JUS TEKNO
ISSN 2580-2801
Jurnal Sains & Teknologi KOROSI PADA LASAN BAJA ANTIKARAT AISI 316 L Sumaryono Program Studi Teknik Elektro Sekolah Tinggi Teknologi Duta Bangsa Abstrak Austenitic stainless steel 316 L could experience sensitization due to the heat from welding process where chrome in steel will form carbide chrome. In this research, it would be observed the effect of welding to sensitization process. The welding were done by direct current SMAW technique with constant heat input and various treatment. The treatmnet were a. Water Cooling (WC). b. Air Cooling (AC) and c. Air Cooling and Post Weld Heat Treatment (PWHT) to 900 oC in 1 hour. Then, sampels were corroded by dipping in boiling 50 % H2 SO4 + 2,5 % Fe2 (SO4)3 solution, and temperature between 85oC – 95o C for 120 hours (Streicher method).. After corrosion process , metallography test were done to the samples. From the test, it was found that the corrosion rates for samples without weld (BM), WC, AC, and PWHT samples are 0.876; 1.226; 1,518 and 15.939 mpy respectively.The metallography test showed that the type of corrosions were intergranular corrosion (IGC) and corrosion by gas from the high temperature air. Kata-kata Kunci : Korosi pada baja Anti Karat 316 L, Uji korosi, Baja antikarat 316L, AISI 316 L, Pengelasan, uji metalografi. PENDAHULUAN Kondisi lingkungan yang korosif, proses perubahan tekanan dan temperatur yang besar, banyak dialami pipa-pipa, bejana tekan, tangki dan komponen peralatan industri lainnya pada industri-industri kimia, pemrosesan makanan, perminyakan dan lain-lain, selama dalam pengoperasiannya. Atas pertimbangan tertentu supaya bahan mempunyai ketahanan terhadap korosi, ada di antara komponen-komponen peralatan yang menggunakan bahan baja tahan karat (stainless steel/SS) jenis austenit tipe AISI 316 L. Dalam prakteknya penggunaan bahan SS 316 L ini banyak melibatkan proses pengelasan Baja SS 316 ini mudah mengalami sensitisasi yaitu pengendapan krom karbida pada daerah batas butir sehingga baja mengalami kekurangan krom yang akan menurunkan sifat tahan karatnya. Sensitisasi terjadi pada proses pendinginan lambat yang melewati daerah temperatur kritis dari 850 oC ke 480 oC. Untuk mencegah sensitisasi ini maka dibuatlah bahan yang diberi nama SS 316 L sebagai pengganti bahan SS 316 yang penambahan huruf L-nya berarti bahan ini mengandung kadar karbon (C) yang rendah. Namun untuk melihat lebih dalam apakah baja SS 316 L mengalami perubahan daya tahan karat karena proses pengelasan, maka kali ini penulis mencoba meneliti lebih jauh ketahanan korosi bahan ini pada daerah lasan dan daerah sekitarnya (Heat Affected Zone) dengan kondisi perlakuan tertentu. TEORI Baja tahan karat austenit tipe AISI 316 L merupakan baja antikarat atau stainless steel dengan paduan utama unsur-unsur Fe, Cr, dan Ni yang memiliki sifat dasar lebih tahan terhadap korosi di samping sifat mampu bentuknya (formability) dibandingkan dengan baja antikarat jenis ferit dan martensit. Tambahan huruf L di belakang namanya mengandung arti bahwa baja ini mempunyai kandungan unsur karbon yang rendah, yakni 0,03 %. Vol. 01 No. 01 Mei 2017
93
Dalam melihat gejala korosi pada lasan baja AISI 316, sampel yang dikorosikan diukur beratnya sebelum dan sesudah terjadi proses pengkaratan. Dari selisih berat tersebut bisa ditentukan laju korosi yang terjadi. Laju korosi yang dialami oleh baja dirumuskan dengan : berat awal + berat akhir mdd = .....................................................(1) Luas permukaan terpapar. Hari dimana : Mdd = mils per dm2 per day (1 mil = 0,001 in) Berat awal = berat sebelum dikorosikan (mg) Berat akhir = berat setelah dikorosikan (mg) Luas permukaan terpapar = luas seluruh bidang sisi spesimen uji (dm2) Hari = jumlah hari paparan media korosi selama satu periode pengukuran (hari). Untuk melihat laju korosi dalam satuan mils per year (mpy) dipakai (National Association of corrosion Engineers, 1975) : Mpy = mdd x 1,437 / D ......................................................................(2) dimana: D = kerapatan dalam g/cm3 Penentuan besaran laju korosi dalam m per year digunakan rumus (Fontana, 1986) : m/year= 87.600 x W/(D.A.T) (3) dimana: W = kehilangan berat (mg) A = luas permukaan yang terkorosi (cm2) T = waktu paparan media korosi 9jam) Konversi dari m/year ke mpy (Fontana 1986). 1 mpy = 25,4 m/year .........................................................................(4) BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan di sini adalah baja tahan karat austenit tipe AISI 316 L dengan komposisi kimianya serta sifat mekaniknya sebagai berikut: Tabel 1 : Komposisi kimia baja tahan karat austenit AISI 316 L (Acerinox, 1997)
Kekuatan tarik : 599,4 N/mm2 Kekuatan luluh : 342,9 N/mm2 Elongasi : 47,4 % Kawat las yang digunakan dalam pengelasan sampel adalah nikko steel tipe NS 316 L (AWS : E316 L-16) yang mempunyai kadar karbon ekstra rendah (0,03 %C) dengan paduan utama 18%Cr – 12%Ni – 2,5%Mo. Diameter elektroda adalah 3,2 mm. Prosedur penelitian bisa dilihat pada diagram alir berikut:
Vol. 01 No. 01 Mei 2017
94
Gambar 1. Diagram Air Peneltian Sampel dikelompokkan atas 4 kelompok, yaitu 3 kelompok sampel dengan pengelasan dan 1 kelompok sampel yang tanpa dilas (disebut Base Metal = BM). Kelompok sampel dengan pengelasan adalah sampel pengelasan dengan pendinginan di udara dengan PWHT (disebut PWHT), serta pendinginan dengan air (disebut WC). Masing-masing kelompok terdiri atas 3 sampel sehingga total keseluruhan sampel pada penelitian ini adalah 12 sampel. Untuk uji metalografi hanya diambil satu sampel dari masing-masing kelompok. Pengelasan sampel dilakukan dengan pengelasan busur listrik dengan elektroda terbungkus (Shielded Metal Arc Welding – SMAW) jenis arus searah. Arus pengelasan di sekitar 110 – 140 A pada tegangan 25 – 28 Volt. Posisi pengelasan adalah di bawah tangan / datar dengan gerakan mundur pada kecepatan 30 cm/menit (5 mm/dt). Ukuran dan alur las seperti gambar berikut:
Vol. 01 No. 01 Mei 2017
95
Gambar 2. Ukuran dan alur las Bentuk sampel dibuat berdasarkan standar AWS / ASME-98 QW-46.2.1 seperti terlihat pada gambar 3 di bawah ini dengan tujuan sampel bisa dipergunakan untuk keperluan lain, yaitu uji tarik. Spesifikasi sampel adalah sebagai berikut: Ketebalan sampel (y) = 10 mm Lebar bagian sisi yang masih belum dikurangi = 31,75 mm Lebar bagian sisi yang telah dikurangi = 19,05 mm Panjang keseluruhan = 254 mm Sampel yang mengalami panas lanjut (PWHT), pemanasan dilakukan pada sebuah tungku berupa tabung gelas pada suhu 900 oC dengan diberikan sirkulasi udara (yang berfungsi menjadi besaran butiran kristal bahan menjadi homogen di samping terdistribusi secara merata ke seluruh volume material) dan dilakukan sekitar 1 jam dan selanjutnya didinginkan di udara.
Gambar 3. Spesifikasi uji tarik menurut standar AWS/ASME 98 QW-462.1 (a) untuk sampel berbentuk pelat (American Society of Mechanical Engineers, 1998) Proses pengorosian dilakukan dengan metode streicher sesuai dengan standar ASTM 262-70, Practice-B yaitu perendaman dalam larutan kimia yang terdiri dari 50% H2SO4 + 2,5% Fe2 (S0 4) 3 sisanya air, dalam keadaan boiling dengan temperatur 85 oC sampai 90oC selama 120 jam dalam satu kali periode pengukuran. Pemeriksaan metalografi dilakukan dengan mikroskop optik pada daerah base metal, batas las, daerah las, dan daerah HAZ (Heat Affected Zone) HASIL PEMBAHASAN Hasil penimbangan berat semua sampel serta hasil laju korosinya diperlihatkan pada table 2 di bawah ini dengan mempergunakan rumus (1) dengan besar variabelnya sebagai
Vol. 01 No. 01 Mei 2017
96
berikut: - Luas permukaan terpapar = 2,085 dm2 - hari = 5 hari (120 jam) Yang dasar perhitungan luas permukaan terpapar-nya adalah semua permukaan yang ada pada sampel yaitu permukaan depan, belakang, atas, dan bawah yang hasil pengukurannya adalah 2,085 dm2. Tabel 2 : Hasil uji korosi (mdd)
Tabel 3 : Memberikan harga laju korosi rata–rata dalam mpy
Untuk lebih memperlihatkan dengan jelas laju korosi untuk keempat sampel tersebut penulis gambarkan dengan grafik batang yang memperlihatkan dengan jelas bahwa laju korosi paling tinggi terjadi pada sampel dengan PWHT.
Vol. 01 No. 01 Mei 2017
97
Gambar 4. Harga mpy rata-rata sampel Hasil uji metalografi pada base metal (BM) di daerah permukaan bisa dilihat pada gambar 5 sedangkan hasil uji metalografi pada daerah batas las dan HAZ masing-masing sampai WC 3, AC 3,PWHT 3 disajikan dalam gambar 6, 7, dan 8. Foto mikroskop untuk daerah logam las atas setelah laju terkorosi bagi ketiga sampel disajikan pada gambar 9, 10, dan 11. Laju korosi rata-rata sampel memperlihatkan bahwa laju korosi tertinggi dialami pada sampel PWHT, yaitu 404,838 m/year, sedangkan untuk ketiga kelompok sampel yang lain laju korosi rata-ratanya di bawah 40 m/year. Jika dibandingkan dengan baja 316 L dengan pemberian laku panas PWHT selama satu jam pada suhu 900 oC dan pendinginan di udara perlahan-lahan memiliki angka laju korosi jauh di atas laju korosi baja SS 316, sedangkan untuk sampel lain dengan pemberian laku dingin dicelup air (WC) dan didinginkan di udara mempunyai laju korosi masih di bawah laju korosi baja SS 316.
Gambar 5. Hasil Pengamatan Mikro Struktur Sampel BM Bagian Daerah Dekat Permukaan Setelah Terkorosi, 560x
Gambar 9. Hasil Pengamatan Mikro Struktur Sampel WC 3 Pada Daerah Logam Las Atas Setelah Terkorosi, 560x
Vol. 01 No. 01 Mei 2017
98
Gambar 10. Hasil Pengamatan Mikro Struktur Sampel AC 3 Pada Daerah Logam Las Atas Setelah Terkorosi, 560x
Gambar 11. Hasil Pengamatan Mikro Struktur Sampel PWHT 3 Pada Daerah Logam Las Atas Setelah Terkorosi, 560x Jika mengacu kepada kategorisasi bahan relative yang ada pada table 4 di bawah ini, maka baja SS 316 L tanpa lasan yang mempunyai laju korosi 0,876 mpy masuk dalam kategori “very excellent” atau “outstanding”, sementara laju korosi untuk sampel WC dan AC dengan laju korosi masing-masing 1,226 dan 1,518 mpy, maka ketahanan korosi 15, 939 mpy, ketahanan korosinya masuk dalam kategori “good” Tabel 4 : Ketahanan Korosi Bahan Relatif
Dari hasil uji korosi dapat disimpulkan bahwa : 1. Adanya perlakuan pengelasan yang menimbulkan deformasi plastic pada baja SS tipe 316 L dalam penelitian ini menyebabkan laju korosi naik sebesar 40% untuk sampel yang mendapatkan perlakuan dicelup dalam air begitu selesai dilas (WC) dibandingkan laju korosi pada sampel tanpa las (BM). 2. Pemberian perlakuan pendinginan perlahan-lahan di udara menaikkan laju korosi sebesar 73,34% dibandingkan laju korosi tanpa lasan. Diperkirakan fasa yang terbentuk pada pendinginan sangat cepat dari suhu austenit adalah campuran fasa austenit, sebagai matriks dan ferit.Sementara itu fasa yang terbentuk pada pendinginan perlahan di udara diperkirakan adalah campuran dari austenite dan karbida. 3. Kenaikan laju korosi pada sampel AC yang lebih tinggi sampel WC bisa terlihat dari hasil uji metalografi pada gambar 6 dan 7. Pada gambar 7 terlihat korosi intergranular yang lebih nyata pada permukaan sampel AC.
Vol. 01 No. 01 Mei 2017
99
4. Laju korosi pada PWHT adalah paling besar di antara sampel-sampel lainnya. Hasil uji metalografi pada gambar 8 memperlihatkan terjadinya rekristalisasi disertai pertumbuhan butir dan pembesaran butir pada daerah HAZ yang mengindikasikan bahwa pada daerah ini pernah mengalami pemanasan dengan suhu tinggi sehingga mengalami deformasi plastis yang mengakibatkannya mudah terserang IGC (Intergranular Corrosion) Dari hasil uji metalografi dapat disimpulkan lebih jauh : 1. Pada sampel base metal (BM) tidak ditemukan adanya serangan IGC pada batas butir, yaitu dengan tidak terdapatnya Penebalan Batas Butir”. 2. Pada gambar 6 untuk sampel WC 3 setelah proses pengorosian tidak ditemukan adanya serangan IGC yang signifikan, dan pada daerah transisi antara batas las dan daerah HAZ terlihat adanya sedikit serangan IGC pada permukaan atas dan nampak jelas adanya penipisan permukaan pada daerah ini. 3. Pada gambar 7 untuk sampel AC 3 terlihat adanya serangan IGC yang lebih nyata di permukaan bagian sisi lebar sampel yang ditandai dengan penebalan batas butir berbentuk “y” pada daerah yang berawal dari batas las atas menuju kearah daerah HAZ dan diteruskan kearah daerah logam induk, serangan IGC tampak hanya terbatas pada permukaan bagian sisi lebar dan sedikit di bawah permukaan. Pada bagian daerah transisi yang berawal dari batas las menuju daerah las terlihat adanya kerusakan yang lebih serius pada permukaan logam las atas akibat serangan korosi. Dari gambar 11 hasil pengamatan pada daerah logam atas tak terlihat adanya kerusakan yang berarti akibat korosi. 4. Pada gambar 8 untuk sampel PWHT 3 ditemukan adanya gabungan serangan korosi, baik korosi intergranular maupun korosi akibat oksidasi udara dalam bentuk gas pada suhu tinggi. Di sini terlihat adanya butiran kasar secara merata baik di daerah sekitar batas las maupun daerah HAZ. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah-daerah ini pernah mengalami pemanasan suhu tinggi, yaitu suhu di atas suhu transformasi 723 oC baik pemanasan yang berasal dari pengelasan ataupun yang berasal dari proses PWHT. Pada daerah kiri di mana butirnya lebih kceil telihat korosi yang lebih serius dibandingkan pada daerah yang butirannya lebih besar. Pada gambar 11, pada bagian permukaan atas logam tampak adanya serangan korosi yang ditandai dengan penipisan ketebalan. Mikro struktur yang terbentuk pada daerah logam las atas ini berupa campuran dari austenite sebagai matriks, ferit, dan karbida jenis lain berbentuk kolumnar. Kesimpulan Dari hasil eksperimen dan analisis data-data hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Perlakuan dingin dengan cara dicelup ke dalam air pasca pengelasan memberikan kenaikan laju korosi rata-rata sebesar 40% terhadap laju korosi rata-rata sampel BM sementara untuk perlakuan pendinginan di udara memberikan angka 73,34% dan perlakuan PWHT selama 1 jam pada suhu 900 oC memberikan angka 1719,98% dengan asumsi pengaruh ikutan akibat oksidasi udara suhu tinggi sewaktu mendapatkan laku panas PWHT tak diperhitungkan. 2. Dari hasil pemeriksaan, metalografi laju korosi relatif tinggi pada sampel PWHT dan AC yang tercermin dengan munculnya garis tebal pada batas butir yang terserang korosi intergranular berbentuk huruf “y” pada sampel BM dan WC ditandai dengan adanya mayoritas distribusi fasa austenite tipikal, yang menandakan tidak serangan korosi maupun kerusakan berarti pada permukaan sisi lebar sampel 3. Pemberian laku panas setelah pengelasan pada suhu 900 oC selama 1 jam dan didinginkan perlahan-lahan di udara di udara meningkatkan laju korosi cukup besar akibar terjadinya sinergi interaksi antara oksidasi suhu tinggi dengan korosi intergranular dari proses pengorosian dengan larutan yang mengandung asam sulfat. Vol. 01 No. 01 Mei 2017 100
DAFTAR PUSTAKA Acerinox P.A. 1997. Inspection Certificate, Stainless Steel, Grade AISI 316 L. Palmones. Callister, W.D. 1984. Materials Science and Engineering, an introduction, 3rd Edition. USA: John Willey & Sons. Fontana, M. G. 1986. Corrosion Engineering, 3rd Edition. Singapore: Mc. Graw Hill Book Co. National Association of Corrosion Engineers. 1975. Basic Corrosion Course, 6th Edition. Texas: Houston. Sedris A, John. 1979. Corrosion of Stainless Steel. New York: John Willey & Sons. The American society of mechanical engineers. 1998. Welding and Brazing Qualification, Section IX. New York. Uhlig H, H. 1980. Corrosion and Corrosion Contol: an introduction to Corrosion Science and Engineering, 2nd Edition. New York: John Willey & Sons. Wiryosumarto, Harsono, Okumura Toshi. 1996. Teknologi Pengelasan Logam, 7th Edition. Jakarta: Pradnya Paramita
Vol. 01 No. 01 Mei 2017 101