Jurnal Penelitian Perikanan 1(1) (2012) 1-9, online at www.jpp.ub.ac.id
ISSN : 2337-621X
Kelimpahan Foraminifera Bentik Pada Sedimen Permukaan Perairan Dangkal Pantai Timur Semenanjung Ujung Kulon, Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, Banten R. Puspasari1, Marsoedi2, A. Sartimbul3, Suhartati4 1 2
3
4
Pasca Sarjana, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang Pusat Penelitian Oseanografi - Lipi Ancol, Jakarta e-mail :
[email protected] Abstrak
Di daerah pantai berpasir, dikenal banyak macam organisme, salah satunya adalah meiofauna. Meiofauna dapat pula diartikan sebagai kelompok metazoa kecil yang berada di antara mikrofauna dan makrofauna. Dari seluruh jenis Meiofauna yang ada, salah satu di antaranya adalah yang hidup pada substrat lunak (lumpur pasir) yaitu Foraminifera bentik. Foraminifera bentik termasuk dalam Filum Protozoa yang mulai berkembang pada jaman Kambrium. Keberadaan foraminifera bentik di sebuah lingkungan perairan merupakan hasil adaptasi terhadap perubahan lingkungan sekitarnya seperti kedalaman, salinitas, pH, kecerahan, intensitas cahaya matahari, temperatur, kadar oksigen, dan makanan. Penelitian ini dilakukan pada di perairan dangkal pantai timur Semenanjung Ujung Kulon, kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Tujuan penelitian ini adalah untuk menginventarisasi serta mengetahui kelimpahan foraminifera bentik (modern) yang ada di perairan dangkal pantai timur Semenanjung Ujung Kulon. Berdasarkan hasil pengamatan sampel, ditemukan total foraminifera mencapai 58.683 individu yang terdiri dari 34 spesies foraminifera bentik dan 2 foraminifera planktonik. Dari 36 spesies yang ditemukan, terdiri dari 22 famili, 13 superfamili, dan 4 subordo yang didominasi oleh subordo Rotaliina (80,29%). Spesiesspesies dari subordo Rotaliina yang ditemukan cukup melimpah pada penelitian ini adalah Ammonia beccari (Linne), Discorbinella bertheloti (d'orbigny), Elphidium craticulatum (Fitchel&Moll), Elphidium sp. 2 dan Cibicides sp. Kata kunci : Foraminifera bentik, Pantai Timur Semenanjung Ujung Kulon, kelimpahan. The Abundance of Shallow Water Benthic Foraminifera in Surface Sediment of East Coast Peninsula Ujung Kulon of Ujung Kulon National Park Area, Banten Abstract Meiofauna is an organism which live in the sandy beach area. Meiofauna can also be interpreted as a group of small metazoans between microfauna and macrofauna. A Meiofauna which that lived on soft substrates or muddy sand is benthic Foraminifera. Benthic Foraminifera are included in the phylum of Protozoa which can be found found since in the Cambrian era. The presence of benthic foraminifera in a water environment was the result of adaptation to environmental changes such as depth, salinity, pH, brightness, sunlight intensity, temperature, oxygen levels, and foods. The research was conducted in the shallow
Jurnal Penelitian Perikanan 1(1) (2012) 1-9, online at www.jpp.ub.ac.id
waters of East Coast Peninsula of Ujung Kulon, Ujung Kulon National Park area. The purposes of this study were to collect and to identify the abundance of benthic foraminifera (modern) in the shallow waters of East Coast Peninsula of Ujung Kulon. The results showed that there were 58.683 of benthic foraminifera that consisted of 34 species of benthic and 2 species of planktonic organisms. From 36 species collected, those included in 22 families, 13 superfamily, and 4 suborders which were dominated by suborder of Rotaliina (80.29%). The species of the suborder Rotaliina found were Ammonia Beccari (Linne), Discorbinella bertheloti (d'Orbigny), Elphidium craticulatum (Fitchel & Moll), Elphidium sp.2 and Cibicides sp.
Keywords: Foraminifera benthic, East Coast Peninsula of Ujung Kulon, abundance. PENDAHULUAN Banyak macam organisme di daerah pantai berpasir, salah satunya adalah meiofauna. Meiofauna dapat pula diartikan sebagai kelompok metazoa kecil yang berada di antara mikrofauna dan makrofauna. Dari seluruh jenis Meiofauna yang ada, salah satu di antaranya yang menarik untuk dikaji adalah Meiofauna yang hidup pada substrat lunak (lumpur pasir) yaitu Foraminifera. Foraminifera termasuk dalam Filum Protozoa yang mulai berkembang pada jaman Kambrium. Mayoritas hidup pada lingkungan laut dan mempunyai ukuran yang beragam mulai dari 3 µm sampai 3 mm (Haq and Boersma, 1983). Nama Foraminifera berasal dari istilah Latin foramen rongga, dan ferre menghasilkan. Pada umumnya, Foraminifera mensekresi materi mineral sehingga menghasilkan test (cangkang) berongga (Albani, 1979). Sampai sekarang jumlah foraminifera resen (modern) yang ditemukan (di seluruh perairan dunia) planktonik dan bentonik/bentik sekitar 12.000 spesies (Suhartati, 2010). Dari jumlah tersebut, 40 spesies diantaranya adalah foraminifera plantonik, yang hidup melayang di dalam air laut, dan selebihnya hidup pada permukaan dasar laut/bentik atau membenamkan diri pada batu pasir, lumpur, batuan dan tanaman di dasar laut. Foraminifera diketemukan di semua lingkungan laut, dari lingkungan pasang surut sampai palung laut yang paling dalam, dari daerah tropik sampai kutub, akan tetapi kumpulan spesiesnya bervariasi tergantung dari lingkungannya. Beberapa spesies melimpah hanya di laut dalam, sedangkan spesies yang lain hanya diketemukan di terumbu karang, dan sebagian yang lain hidup di muara sungai yang bersifat payau atau lingkungan rawa mangrove pasang surut. Foraminifera sangat penting dalam rantai makanan, menyediakan makanan bagi ikan, keong, sand dollar, makanan utama moluska Scaphopoda, dan hewan lainnya. Dapat ditemukan sebanyak puluhan ribu per meter persegi di beberapa lingkungan estuarin, pasang surut hingga laut dalam (Wetmore, 1995). Tergantung pada spesies, cangkang dapat terbuat dari pasir, kalsit atau bahan organik. Mereka bergerak dan menangkap makanan mereka dengan pseudopodia tipis. Ketika foraminifera mati, cangkang mereka tenggelam ke dasar laut dan membentuk sebuah endapan. Diperkirakan bahwa 30 persen dari dasar laut terbuat dari cangkang foraminifera. Foraminifera digunakan sebagai petunjuk lingkungan telah digunakan secara luas terutama dikalangan mikropaleontologis. Berdasarkan karakteristiknya, foraminifera merupakan indikator potensial untuk memahami lingkungan perairan baik purba (ancient) maupun perairan modern (recent). Salah satu karakteristik yang menonjol adalah struktur tubuhnya yang sederhana dan memiliki cangkang, sebarannya yang luas di perairan serta kemampuannya yang tinggi dalam merespon lingkungan hidup sekitarnya. Fosil foraminifera
2
Jurnal Penelitian Perikanan 1(1) (2012) 1-9, online at www.jpp.ub.ac.id
memiliki jumlah dan keanekaragaman yang besar. Fosil foraminifera adalah mikrofosil yang sangat berharga khususnya untuk menentukan umur relatif lapisan-lapisan batuan sedimen laut. Batu kapur dan kapur keduanya berasal dari foraminifera. Data penelitian menunjukkan foraminifera ada di bumi sejak jaman Kambrium, yaitu lebih dari 500 juta tahun yang lalu, mereka berguna untuk berbagai tujuan, termasuk paleoclimatology, paleoceanography, menemukan deposit minyak, dan penelitian mengenai proses evolusi. Sedangkan penelitian terhadap ekologi foraminifera resen merupakan kajian yang sangat berharga bagi penafsiran pengaruh perubahan lingkungan akibat aktivitas manusia. Foraminifera banyak dipelajari karena memiliki cangkang yang kecil, sifat morfologi cangkang yang mudah diamati, kelimpahan yang tinggi, kisaran hidup relatif pendek dan penyebaran geografis yang luas. Kumpulan foraminifera dari suatu daerah mencerminkan hubungan antar spesies yang dipengaruhi oleh faktor ekologi dan kemampuan beradaptasi organisme tersebut terhadap lingkungannya (Suhartati, 1988). Tahun 1966, Uchio dalam penelitiannya di San Diego, California menyimpulkan bahwa suhu, tipe sedimen dan makanan merupakan faktor-faktor penting bagi populasi foraminifera bentik. Dasar laut sebagai habitat foraminifera bentik memiliki peranan penting. Penyebaran foraminifera bentik dipengaruhi oleh material sedimen yang dominan. Perairan dangkal pantai timur Semenanjung Ujung Kulon terdapat di teluk Selamat Datang, Banten. Perairan tersebut masuk di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Ujung Kulon yang pada tahun 1992, kawasan tersebut ditetapkan sebagai The Natural World Heritage Site oleh Komisi Warisan Dunia UNESCO, oleh karenanya daerah tersebut dilindungi dan bisa dikatakan tidak tersentuh oleh manusia demi menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Sangat penting diketahui kelimpahan dan keanekaragaman jenis foraminifera bentik di kepulauan ini. Berdasarkan perbedaan sedimen tersebut, diduga terdapat adanya perbedaan jenis foraminifera bentik yang ada di daerah tersebut. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengetahui jenis foraminifera bentik berdasarkan perbedaan jenis sedimen permukaan yang terdapat di suatu perairan. Penelitian ini dilakukan untuk menginventarisasi, mengetahui jenis foraminifera bentik resen (modern) di pantai timur Semenanjung Ujung Kulon kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada Musim Timur (kemarau), di perairan dangkal pantai timur Semenanjung Ujung Kulon, kawasan Taman Nasional Ujung Kulon dari bulan Juli 2010 sampai dengan bulan Juli 2011 pada 24 titik sampel yang berbeda (Gambar 1), Pengambilan sampel foraminifera, dilakukan secara acak berdasarkan perbedaan habitat, sebanyak 24 titik. Proses preparasi sampel dilakukan di Laboratorium Geologi Pusat Penelitian Oceanologi, Jakarta, sedangkan observasi dan analisa terhadap sampel dilakukan di Laboratorium Biomol Biologi MIPA Universitas Brawijaya Malang. Secara umum, metode yang digunakan adalah metode survey, sedangkan observasi dan analisa dilakukan di dalam laboratorium. Penelitian Lapangan Penelitian lapangan diawali dengan penentuan titik pengambilan sampel secara acak dari 24 titik, terdiri dari 8 habitat lamun, 8 habitat terumbu karang dan 8 habitat mangrove. Pengambilan dan pengawetan serta preparasi sampel mengacu pada Murray (2006) dan Douglas (2010). Peralatan yang digunakan adalah corer/pipa tabung dengan diameter 5 cm dan tinggi 20 cm untuk mengumpulkan sedimen. Pipa tabung dibenamkan pada kedalaman sekitar 10 cm, hal tersebut dilakukan karena foraminifera memiliki lingkungan untuk hidup
3
Jurnal Penelitian Perikanan 1(1) (2012) 1-9, online at www.jpp.ub.ac.id
di sedimen sampai dengan kedalaman maksimal 10 cm dari permukaan (Loubere, 1989), hal tersebut dilakukan untuk mengetahui total populasi campuran Biocenoses dan Thanatocenoses (keberadaan individu hidup dan mati), karena sampel hanya mencakup bagian atas dari permukaan sedimen, dapat dianggap bahwa baik hidup dan yang mati merupakan rata-rata populasi pada saat sampling (Murray, 2006). Secara insitu, sampel dimasukkan dalam tabung plastik, diberi larutan campuran Rose Bengal dan buffered formalin 10% (1 g Rose Bengal per 1 l formalin) sampai terendam sempurna, disegel dan diberi label dan dibiarkan selama 24 jam sebelum diamati (Murray, 2006). Pewarnaan sampel foraminifera harus menggunakan Rose Bengal dan dilakukan dengan perendaman 24 jam agar supaya organisme hidup akan tampak merah sebagai akibat dari protoplasma dalam penyerapan warna dari Rose Bengal, sedangkan cangkang kosong foraminifera akan tetap putih.
Gambar 1. Titik pengambilan sampel di pantai timur Semenanjung Ujung Kulon Preparasi Sampel Preparasi sampel dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut : a. tahap pertama (washing), dimana masing-masing sampel foraminifera ditimbang 100 gram kemudian dilakukan pencucian dengan air bersih dibawah air mengalir (di bawah kran) disaring dengan ukuran saringan bertingkat dengan mesh ukuran 1.05, 0.250, 0.125, 0.063 mm. b. kemudian dipisahkan dari ukuran masing-masing dan kemudian dimasukkan ke dalam cawan berlabel dan dioven dengan suhu 50 ° C sampai kering. c. Sampel yang telah kering dimasukkan ke dalam tube plastik dan diberi label. d. tahap berikutnya adalah tahap pemisahan (picking) yaitu tiap sampel diamati dan dihitung di bawah mikroskop stereoskopik (dihitung >100 individu hidup) kemudian difoto.
4
Jurnal Penelitian Perikanan 1(1) (2012) 1-9, online at www.jpp.ub.ac.id
e. tahap berikutnya adalah tahap deskripsi dan identifikasi. Spesimen yang telah dipisahkan dan di foto atau digambar diklarifikasikan berdasarkan morfologinya seperti bentuk cangkang, bentuk kamar, formasi kamar, ornamentasi cangkang, posisi aperture. Sedangkan proses identifikasi dilakukan berdasarkan berbagai referensi tentang foraminifera bentik. f. tahap selanjutnya merupakan kajian sistematik dan analisa kuantitatif untuk mendapatkan data kelimpahan. Analisa data Analisa data dilakukan terhadap spesimen yang didapat dari lapangan meliputi analisa kualitatif dan kuantitatif sebagai berikut: (1) Analisa kualitatif dilakukan dengan mengelompokkan spesimen ke dalam subordo berdasarkan kajian sistematik dari beberapa referensi, dan (2) Analisa kuantitatif dilakukan dengan menghitung jumlah spesimen yang didapatkan untuk menentukan kelimpahan pada masing-masing titik pengambilan sampel. HASIL DAN PEMBAHASAN Semenanjung Ujung Kulon memiliki perairan laut dangkal selebar 500 meter dari batas air laut surut terendah. Di pantai timur terdapat gugusan pulau-pulau karang yang berada di teluk Selamat Datang Banten. Kepulauan tersebut masuk di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Ujung Kulon, terdiri dari P. Handeuleum Pos, P. Handeuleum Tengah, P. Kalong, P. Rengit, P. Boboko, dan P. Pamanggangan. Kawasan tersebut memiliki iklim basah dengan kelembaban relatif berkisar antara 65% dan 100%, suhu udara 25° 30°C, dan dengan curah hujan mencapai 3.250 mm/ tahun. Musim hujan terjadi pada bulan Oktober – April dengan curah hujan terbesar pada bulan Desember dan Januari sebesar 400 mm/bulan dan musim kering dimulai pada bulan Mei – September. Penentuan titik sampling berdasarkan perbedaan lingkungan yang berada di pantai timur Semenanjung Ujung Kulon. Pengambilan sampling dilakukan pada zona pasang surut (kurang dari 10 m). Spesies foraminifera yang ditemukan di perairan dangkal pantai timur Semenanjung Ujung Kulon berjumlah tiga puluh enam (36) spesies. Spesies-spesies ini dikelompokkan dalam super famili (SF), kemudian dikelompokkan dalam subordo. Dari 36 spesies yang terdiri dari 22 famili, 13 superfamili, dan 4 subordo. Ke 13 superfamili ini kemudian dipetakan, terdiri dari Trochamminacea, Miliolacea, Soritacea, Cassidulinacea, Discorbacea, Nodasariacea, Orbitoidacea, Rotaliacea, Globigerinacea, Globorotaliacea, Nonionacea, Planorbulinacea dan Spirillinicea. Ketigabelas superfamili ini termasuk kedalam empat subordo, yaitu subordo Textulariina (Trochamminacea), Millioliina (Miliolacea, Soritacea), Rotaliina (Cassidulinacea, Discorbacea, Nodasariacea, Orbitoidacea, Rotaliacea, Globigerinacea, Globorotaliacea, Nonionacea, Planorbulinacea dan Trochamminacea) dan Spirillinina (Spirilinicea). Jumlah total specimen yang ditemukan selama penelitian mencapai 58.683 specimen. Jumlah famili dan jumlah spesies masingmasing superfamili dapat dilihat pada Tabel 1. Secara umum, spesimen anggota Subordo Rotaliina ditemukan mencapai 80,29%, sehingga mendominasi habitat di perairan dangkal pantai timur Semenanjung Ujung Kulon. Spesies-spesies dari Subordo Milioliina yang ditemukan cukup melimpah dalam penelitian ini adalah Quinqueloculina sp.1 dan Quinqueloculina subpolygonna (Parr). Albani (1979) menyatakan bahwa spesies ini merupakan spesies perairan dangkal. Spesimen dari subordo Rotaliina yang ditemukan cukup melimpah pada penelitian ini adalah Ammonia beccari (Linne), Discorbinella bertheloti (d'orbigny), Elphidium craticulatum (Fitchel&Moll), Elphidium sp. 2 dan Cibicides sp. Distribusi foraminifera bentik di perairan
5
Jurnal Penelitian Perikanan 1(1) (2012) 1-9, online at www.jpp.ub.ac.id
dangkal pantai timur Semenanjung Ujung Kulon berdasarkan superfamili ditampilkan pada Gambar 2. Oksigen terlarut atau DO yang terendah adalah 3,9 mg/l dan yang tertinggi 4,46 mg/l. Konsentrasi oksigen di laut tidak berbeda banyak, kandungan oksigen rendah biasanya disebabkan oleh tingginya produksi unsur organik dipermukaan air serta gas H2S akibat ledakan populasi bakteri anaerob didasar laut. Kebutuhan oksigen pada foraminifera sangatlah kecil, beberapa taxa dapat bertahan pada kondisi anoxia sehingga dapat dikatakan bahwa oksigen bukanlah faktor pembatas pada semua taxa foraminifera, namun demikian rendahnya kandungan oksigen mengurangi kemampuan foraminifera untuk mensekresi kalsium karbonat, keadaan ini akan bertambah parah bila kondisi perairan juga bersifat asam (Phleger & Soutar dalam Brasier, 1980). Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan yang dapat mempengaruhi kehidupan tumbuhan dan hewan air. pH tanah atau substrat akan mempengaruhi perkembangan dan aktivitas organisme. Penuruan pH dan konsentrasi oksigen menyebabkan ketidaknormalan morfologis pada foraminifera bercangkang gampingan (calcareous) (Susana, 2009). Dari hasil pengukuan kualitas pH air berkisar antara 6,8-7,5 sedangkan pH tanah 6,7-7,3. Ph air dan tanah terendah 6,8 terdapat pada titik A4, yakni berada habitat mangrove pada muara Cihandeuleum sedangkan pH tertinggi terdapat pada titik C7 yaitu pada habitat lamun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pH netral dan berada dalam kisaran normal bagi kehidupan foraminifera bentik. Kecerahan air yang terukur pada titik-titik pengambilan sampel didapatkan nilai terendah 20 cm yaitu terdapat pada habitat mangrove A3 dan A4 pada daerah muara ini akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari yang mengakibatkan menurunnya aktivitas fotosintesis, sehingga jumlah makanan foraminifera menjadi kurang (Haq & Boersma, 1984), selain itu Boltovsky & Wright (1976), menyatakan bahwa populasi foraminifera bentik berkurang pada zona-zona dengan sedimentasi cepat. Rendahnya kecerahan akan merugikan foraminifera bentuk gampingan dan menguntungkan foraminifera bentuk pasiran. Kecerahan air tertinggi terukur 70 cm terdapat pada titik B3 pada habitat terumbu pulau Kalong dan titik B7 pada habitat terumbu pulau Boboko, pada perairan daerah tersebut sinar matahari dapat menembus hingga dasar perairan. Di perairan tropik, zona fotik atau dimana sinar matahari masih dapat menembus kedalam air memiliki kandungan produsen primer (nutrien yang terdiri dari alga dan planktonik) yang tingi sehingga sangat disukai foraminifera, terutama jenis-jenis yang bercangkang porcelaneous (porselen) seperti Milliolina dan foraminifera jenis yang berukuran besar (larger foraminifera) karena disamping sejumlah besar alga adalah makanannya, juga karena pada zona ini terdapat banyak makanan dan perlindungan seperti vegetasi lamun, rumput laut dan terumbu karang (Rositasari, 1997). Tipe substrat dasar ikut menentukan jumlah dan jenis organisme bentik di suatu perairan (Susanto, 2000). Macam dari substrat sangat penting dalam perkembangan komunitas organisme bentik. Pasir cenderung memudahkan untuk bergeser dan bergerak ke tempat lain. Substrat berupa lumpur biasanya mengandung sedikit oksigen dan karena itu organisme yang hidup didalamnya harus dapat beradaptasi pada keadaan ini. Hasil analisa butir sedimen pada habitat mangrove terdapat 6,77% kandungan kerikil (2-4 mm), 10,83 % pasir halus (0,063-0,125 mm) serta kandungan lanau dan lempung tinggi. Selain itu kandungan C organik dan materi organik juga lebih tinggi dibandingan daerah lain, sebesar 5.8% dan 10.03%. Pada daerah lamun, analisa ukuran butir sedimen menunjukkan kandungan pasir halus (0,063-0,125 mm) tertinggi sebesar 42,56 % dan lanau sebesar 29,76%. Pada daerah terumbu, hasil analisa butir sedimen menunjukkan 6,24% kandungan kerikil (2-4 mm), pasir berbagai ukuran cukup merata dan sedikit lanau.
6
Jurnal Penelitian Perikanan 1(1) (2012) 1-9, online at www.jpp.ub.ac.id
Tabel 1. Jumlah spesimen foraminifera yang ditemukan di perairan dangkal pantai timur Semenanjung Ujung Kulon SUBORDO
SUPERFAMILY
Textulariina SF.Trochamminacea Millioliina SF.Miliolacea
Rotaliina
SF.Soritacea SF.Cassidulinacea
SF. Discorbacea SF. Nodosariacea
SF. Orbitoidacea SF. Rotaliacea
SF. Globigerinacea SF. Globorotaliacea SF. Nonionacea SF. Planorbulinacea F. Spirillinidae Jumlah
SPESIES
∑ spesies
Trochammina sp. Massilina sp. Quinqueloculina sp.1 Quinqueloculina sp.2 Quinqueloculina subpolygonna (Parr) Spiroloculina communis (Cushman & Todd) Sorites sp. Bolivina bradyi Bolivina sp.1 Bolivina sp.2 Bolivina sp.3 Bolivina semicostata (Cushman) Brizalina earlandi (Parr) Brizalina sp. Brizalina Spathulata Loxostomum limbatum Discorbinella bertheloti (d'orbigny) Oolina sp. Lagena sp. Lagena aspera Amhistegina lessonii (d'orbigny) Cibicides sp. Ammonia beccari (Linne) Calcarina calcar Elphidium craticulatum (Fitchel&Moll) Elphidium sp. 2 Fissurina sp. Hastigerina (Foraminifera planktonik) Cymbaloporetta bradyi Operculina sp. Streblus sp. Globigerina sp. Globorotalia sp Nonion sp. Planorbulina acervalis (brady) Spirillina sp.
1
5
∑ individu 2463 1086 4447 95 2031 80 406 626 263 154 29 126 122 309 129 172 6480 66 824 29 1591 3656 16127 2933 5060 5260 17 145 960 385 839 25 29 20 743 956 58683
1
9
1 3 2
9
1 1 1 1 1 36
7
Jurnal Penelitian Perikanan 1(1) (2012) 1-9, online at www.jpp.ub.ac.id
Gambar 2. Distribusi foraminifera bentik di perairan dangkal pantai timur Semenanjung Ujung Kulon KESIMPULAN Foraminifera bentik yang ditemukan di perairan dangkal pantai timur Semenanjung Ujung Kulon termasuk dalam spesies dari Subordo Milioliina yang ditemukan cukup melimpah dalam penelitian ini yaitu Quinqueloculina sp.1 dan Quinqueloculina subpolygonna (Parr). Spesimen dari subordo Rotaliina yang ditemukan cukup melimpah pada penelitian ini adalah Ammonia beccari (Linne), Discorbinella bertheloti (d'orbigny), Elphidium craticulatum (Fitchel&Moll), Elphidium sp. 2 dan Cibicides sp. Secara umum, spesimen anggota Subordo Rotaliina ditemukan mencapai 80,29%, sehingga mendominasi habitat di perairan dangkal pantai timur Semenanjung Ujung Kulon. Sedangkan superfamili yang dominan adalah Rotaliacea yaitu mencapai 54,05% dari seluruh spesimen yang ditemukan. DAFTAR PUSTAKA Albani, A. D., 1979. Recent Shallow Water Foraminifera from New South Wales. The Australian Marine Sciences Association: 53 pp. Boltovskoy, E. and R. Wright., 1976. Recent Foraminifera. Dr. W. June, Netherland: B. V. Publisher, The Haque. Brasier, M. D., 1980. Microfossil. George Alien &Unwin. Sidney: 380 hal. Douglas, R. G., 2010. Benthic Foraminiferal Ecology and Paleocology: A Review of Concepts and Methods. Foraminiferal Ecology and Paeoecology, pp. 21-53. Haq, B. U. and Boersma, A., 1984. Introduction to Marine Micropaleontology. New York: Elsevier. Biomedical: 258 pp.
8
Jurnal Penelitian Perikanan 1(1) (2012) 1-9, online at www.jpp.ub.ac.id
Loubere, P., 1989. Bioturbation and sedimentation rate control of benthic microfossil taxon abundances in surface sediments: a theoretical approach to the analysis of species microhabitats. Marine Micropaleontology, Vol. 14, pp. 317-325. Murray, J. W., 2006. Ecology and Applications of Benthic Foraminifera Cambridge University Press. The Edinburgh Building, Cambridge CB2 8RU, UK. Rositasari, R., 1997. Habitat Makro dan Mikro pada foraminifera. Oceana, Volume XXII, pp. 31-42. Suhartati, M. N., 2010. “Sebaran Foraminifera Bentik di Pulau Belanda, Kepulauan Seribu pada Musim Barat.” Ilmu Kelautan, Edisi khusus, Vol. 2, pp. 381 – 387. Suhartati, M. N., 1988. “First Note of Brackish Water Agglutinated Foraminifera from Jawa.” Tropical Biodiv. Vol. 51, pp. 57-63. Susanto, P., 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Susana, T dan Rositasari, R., 2009. Dampak Deterjen Terhadap Foraminifera di Kepulauan Seribu Bagian selatan Teluk Jakarta. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Vol. 35, pp. 335-352. Uchio, T., 1966. Ecology of Living Benthonic Foraminifera from The San Diego, California, Area. Cushman Foundation for Foraminifera Research. Special Publication. Wetmore, K. L., 1995. Introduction to the Foraminifera. University of California Museum of Paleontology.
9