123 Moh. Saleh & Waluyo, Aspek hukum internasional mengenai peperangan di wilayah laut negara kepulauan Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 17, Oktober 2009:123-146 ISSN1412 - 0887
ASPEK HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI PEPERANGAN DI WILAYAH LAUT NEGARA KEPULAUAN Moh. Saleh 1
Abstrak Hukum internasional tidak hanya mengatur masalah hubungan dua negara atau lebih pada saat damai, akan tetapi juga mengatur masalah hubungan dua negara atau lebih pada saat perang, yang disebut sebagai hukum humaniter. Dalam hukum humaniter lebih menekankan pada penggunaan wilayah darat sebagai medan perang. Oleh karena itulah, dalam hukum humaniter juga harus memperjelas pengaturan penggunaan wilayah laut sebagai medan perang yang terdapat pada negara-negara kepulauan, seperti Indonesia. Kehadiran San Remo Manual on International Law Applicable to Armed Conflicts at Sea pada tahun 1994 memberikan titik terang bagi tata cara penggunaan laut sebagai medan perang dan dijadikan sebagai salah satu sumber hukum internasional di bidang hukum humaniter. Kata Kunci : Hukum Internasional, Hukum Humaniter, San Remo Manual
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat istimewa dalam berbagai hal. Mulai dari komposisinya yang tiada duanya di dunia, yaitu negara dengan etnis dan suku paling beragam, sampai dengan bentuk fisiknya yang berupa negara kepulauan paling luas. Dalam hal ini, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan posisi geografis membentang antara 6 derajat garis lintang utara sampai dengan 11 derajat garis lintang selatan dan dari 97 sampai dengan 141 derajat garis bujur timur yang terletak di antara benua Asia dan Australia. 2 Wilayah Indonesia yang juga terletak diantara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik tersebut jika diukur membentang sepanjang 3.977 mil dan apabila perairan di antara pulau-pulau tersebut digabungkan maka kita akan memperoleh angka 1.9 juta mil persegi bagi luas keseluruhan negara kita.3 Beranjak dari bentuk fisik yang tiada tandingannya tersebut dari sisi Hukum Laut dalam sejarahnya Indonesia telah sangat mempengaruhi 1 2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya. RepubIik Indonesia, Profil Indonesia, diakses melalui
http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=112&Itemid=336>, pada 20
Desember 2008. 3 Ibid.
124 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
perumusan the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) pada tahun 1982. Melalui serangkaian perundingan yang sangat panjang dan memakan waktu bertahun-tahun, akhirnya pada tahun 1982 diadopsilah konsep Wawasan Nusantara yang berasal dari buah pikir Mochtar Kusumaatmadja ke dalam konvensi tersebut dengan sebutan konsep negara kepulauan (archipelagic state concept). Negara kepulauan diatur secara khusus di dalam Bab IV konvensi tersebut. Hal ini semakin menunjukkan kedudukan istimewa negara kepulauan dibandingkan negara pantai lainnya dalam Hukum Laut. Di Indonesia sendiri, UNCLOS 1982 disahkan dalam peraturan perundang-undangan nasional melalui mekanisme ratifikasi yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan the United Nations Convention on the Law of the Sea. UNCLOS 1982 yang telah menciptakan suatu rezim tersendiri dalam Hukum Laut apabila dikaji sepintas menunjukkan bahwa konvensi tersebut bertujuan mengatur penggunaan laut pada masa damai. Konvensi tersebut tidak mengatur secara khusus penggunaan laut pada masa perang yang mana kerap kali memang laut dipakai sebagai tempat untuk berperang atau yang lebih dikenal dengan sebutan zona perang. Padahal dalam sejarah umat manusia, selain wilayah daratan yang secara tradisional memang dipakai sebagai tempat untuk berperang, wilayah laut jauh lebih dulu dipakai sebagai zona perang daripada wilayah udara. Pada perjalanan sejarah bangsa kita sendiri, yaitu pada masa kolonial, wilayah perairan Indonesia juga digunakan sebagai zona perang. Bahkan hingga saat ini masih banyak ranjau-ranjau laut peninggalan masa penjajahan tersebut yang masih aktif dan berserakan di perairan kita. Di sisi lain, peperangan, di manapun tempatnya, seakan tidak pernah luput dari sejarah manusia. Pelepasan diri suatu bangsa dari penjajahan bangsa lain, perluasan wilayah, perang atas nama agama dan keyakinan, sampai dengan alasan cinta, dan berbagai alasan lain telah pernah menjadi latar belakang meletusnya suatu peperangan. Apapun alasannya, dalam setiap peperangan selalu menimbulkan kerugian yang sangat besar terutama terhadap warga sipil. Untuk menghindari dan meminimalisir kerugian tersebut maka perang telah diatur dalam Hukum Humaniter atau Hukum Perang. Dalam hal peperangan di laut, terjadi interaksi antara dua hukum yang masuk dalam ruang lingkup Hukum Internasional, yaitu Hukum Laut yang mengatur mengenai penggunaan laut dan Hukum Humaniter yang diberlakukan pada masa peperangan.4 Oleh karena interaksi tersebut, maka pada tahun 4
Secara garis besar, Hukum Internasional sendiri dibagi menjadi dua, yaitu Hukum Internasional yang berlaku pada masa damai dan Hukum Internasional yang berlaku pada masa konflik bersenjata atau perang. Satu-satunya Hukum Internasional yang berlaku pada masa perang adalah Hukum Humaniter Internasional.
125 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
1988, sekelompok individu yang terdiri dari para ahli hukum dan ahli pelayaran dalam kapasitas pribadi masing-masing atas prakarsa dari International Institute of Humanitarian Law berkumpul di Madrid, Spanyol, untuk membahas mengenai bagaimana seharusnya pengaturan peperangan di wilayah laut. 5 Perundingan tersebut ternyata tidak terselesaikan hanya dalam satu putaran perundingan yang singkat saja. Namun perundingan tersebut harus diselesaikan dalam 7 putaran dan memakan waktu hingga 6 tahun, sampai sampai dengan tahun 1994.6 Perundingan terakhir yang diselenggarakan di kota Livorno telah menghasilkan suatu manual atau panduan mengenai tata cara penggunaan laut dalam masa konflik bersenjata. Panduan tersebut lebih dikenal dengan nama San Remo Manual on International Law Applicable to Armed Conflicts at Sea demi menghormati nama kota tempat diselenggarakannya perundingan Round Table on International Humanitarian LawApplicable to Armed Conflicts at Sea di tahun 1987 yang merupakan cikal bakal berbagai putaran perundingan yang melahirkan panduan tersebut.7 Panduan ini tidak hanya memuat mengenai perang, namun juga konflik bersenjata yang lebih luas. Di dalamnya mengatur mulai dari konflik bersenjata di perairan pedalaman, laut teritorial, bahkan pada laut negara kepulauan seperti Indonesia.8 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah Internasional?
kedudukan
suatu
panduan
(manual)
dalam
Hukum
2. Bagaimanakah pengaturan zona perang di laut negara kepulauan berdasarkan Hukum Internasional? Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Penelitian ini adalah sebuah tipe penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang meneliti permasalahan hukum yang dihadapi dan mencari jawaban serta solusinya berdasarkan peraturan yang ada dan berlaku. 2. Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah Statute Approach dan conceptual approach. Statute aproach adalah sebagai 5
International Committee for the Red Cross, San Remo Manual on International Law Applicable to Armed Conflicts at Sea, 12 June 1994, dapat diakses melalui
, pada 25 Januari 2009. 6 Ibid. 7 Ibid. 8 Ibid., dapat diakses melalui , pada 25 Januari 2009.
126 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
pendekatan peraturan perundang-undangan9. Khusus mengenai penelitian di bidang Hukum Internasional, statute approach tidak bisa diartikan secara sempit hanya sebatas peraturan perundang-undangan pada hukum positif saja, namun ia harus diartikan secara luas sehingga meliputi sumber hukum tertulis dari Hukum Internasional seperti Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud oleh Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. Dalam menyelesaikan permasalahan, Penulis memandang perlu untuk menggunakan pendekatan konsep (conceptual approach) karena penulis akan menyelesaikan permasalahan yang belum ada aturan hukum tertulisnya melalui konsepkonsep serta doktrin-doktrin yang dikemukakan oleh para ahli hukum. 3. Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang autoritatif. 10 Oleh karenanya, pada kelompok ini penulis akan menggunakan konvensi, treaty, agreement, dan berbagai macam jenis perjanjian internasional yang disebutkan dalam the Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. Sedangkan bahan hukum primer yang berasal dari hukum nasional, maka penulis menggunakan peraturan perundang-undangan Indonesia. b. Bahan Hukum Sekunder Jika bahan hukum primer diartikan sebagai bahan hukum yang memiliki otoritas11, maka menurut penulis logikanya bahan hukum sekunder harus diartikan sebagai bahan hukum yang tidak memiliki otoritas. Bahan hukum jenis ini bisa berupa text book, kamus hukum, jurnal ilmiah hukum, dan dokumen-dokumen lain yang sejenis. 4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Penelitian Bahan hukum primer, sekunder, dan non-hukum dikumpulkan melalui suatu studi literatur atau pustaka. Ini termasuk pula mengumpulkannya melalui browsing internet. Selanjutnya, bahan-bahan tersebut diolah dengan mengambil hanya bahan-bahan yang relevan dengan penelitian ini. Penulis akan mengesampingkan bahan-bahan yang tidak relevan bagi penelitian ini. 5. Analisa Bahan Hukum Setelah semua bahan-bahan tersebut terkumpul, maka bahan hukum tersebut akan peneliti telaah untuk bisa memperoleh suatu kesimpulan melalui metode deduksi, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang umum menuju ke hal-hal yang khusus.
9
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Hal. 93, Ed. 1, Cet. 4, Kencana, Jakarta,
10
Ibid., Hal. 141. Ibid.
2008. 11
127 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
Setelah didapat kesimpulan, barulah penulis bisa menuliskan preskripsi yang tepat sebagai permasalahan-permasalahan pada penelitian ini. Suatu preskripsi yang tepat mengenai apa yang seharusnya, merupakan esensial dari penelitian hukum karena untuk hal itulah dilakukan suatu penelitian hukum.12 PEMBAHASAN SAN REMO MANUAL SEBAGAI SUMBER HUKUM INTERNASIONAL 1. Sumber Hukum Internasional Kita tidak mungkin bisa menggolongkan sesuatu hal sebagai suatu sumber Hukum Internasional atau tidak tanpa mengetahui apa sebenarnya pengertian “sumber Hukum Internasional” tersebut. Bahkan kita pun tidak mungkin melakukannya tanpa mengetahui dan memahami makna dari kata “sumber hukum” itu sendiri. Pada dasarnya, sumber hukum memiliki tiga pengertian, yaitu: a. Sumber Hukum dalam Arti Material Dalam hal ini, kata sumber hukum dipakai dalam arti dasar berlakunya hukum, yaitu untuk menjawab pertanyaan mengenai apa sebab suatu hukum memiliki kekuatan mengikat.13 b. Sumber Hukum dalam Arti Formal Pada pengertian yang kedua ini, kata sumber hukum akan memberikan jawaban mengenai lokasi atau kedudukan tempat kita bisa mendapatkan ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam suatu kasus.14 c. Sumber Hukum dalam Arti Kausal Sumber hukum dalam arti ini meneliti faktor kausal atau penyebab yang turut membantu dalam pembentukan suatu kaidah. Bisa jadi faktorfaktor tersebut merupakan faktor politis, kemasyarakatan, ekonomis, teknis, dan psikologis.15 Dari ketiga pengertian sumber hukum tersebut, maka kita dapat mengetahui tentang arti sumber hukum internasional, yaitu: a. Sumber Hukum Internasional dalam Arti Material Dalam hal ini akan memberikan pengertian mengenai dasar mengikat atau daya berlaku Hukum Internasional terhadap subyek-subyek hukumnya. Misalnya, sumber hukum bagi kekuatan mengikat Hukum Internasional secara keseluruhan kepada negara-negara adalah common consent atau kesepakatan bersama. b. Sumber Hukum Internasional dalam Arti Formal 12
Ibid., Hal. 206. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Ed. 2, Cet. 1, Alumni, Bandung, 2003, Hal. 113. 14 Ibid. 15 Ibid., Hal. 113-114. 13
128 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
Dalam ruang lingkup Hukum Internasional maka pengertian ini akan menjawab mengenai di manakah letak kaidah Hukum Internasional yang bisa diterapkan pada suatu kasus atau persoalan Hukum Internasional. Misalnya, sumber hukum bagi Tahta Suci (the Holly See) untuk berkedudukan di Vatican adalah the Lateran Treaty yang ditandatangani oleh pemerintah Italia dan Paus pada 11 Februari 1929. c. Sumber Hukum Internasional dalam Arti Kausal Dalam hal ini akan ditemukan suatu sumber hukum yang berupa faktor kausal atau penyebab yang turut membantu dalam pembentukan suatu kaidah Hukum Internasional. Sebagai contoh adalah pengakuan nondiscrimonation principle sebagai prinsip hukum yang paling utama di dalam the World Trade Organization (WTO). Sumber hukum internasional pada hal ini tak lain adalah kenyataan bahwa negara-negara anggota WTO tidak ingin resesi perekonomian hebat yang terjadi pasca Perang Dunia I dan II akibat diterapkannya perekonomian protectionist terulang lagi. Memang nyata terlihat bahwa hal ini bukanlah alasan yang mengandung unsur hukum di dalamnya, tetapi memang pengertian kausal ini mengakomodasi faktor-faktor non-yuridis. Jika kita teliti lebih lanjut mengenai ketiga arti tersebut, dapat dengan mudah kita simpulkan bahwa hanya sumber hukum, termasuk juga sumber hukum internasional, dalam arti formal sajalah yang masuk dalam kajian bidang keilmuan Hukum sementara sumber hukum dalam arti material, yang pada hakikatnya merupakan persoalan filosofis, dan sumber hukum dalam pengertian kausal akan menjawab persoalan-persoalan ekstra yuridis atau di luar bidang ilmu hukum. Dengan demikian tepat kiranya apabila seorang jurist hanya memperhatikan sumber hukum, termasuk sumber hukum internasional, dalam arti formal saja. Sehingga ketika seorang jurist mengatakan “sumber hukum”, tidak peduli bidang kajian hukum apa yang dimaksudnya, maka kita wajib mengasumsikan bahwa yang dimaksud olehnya adalah dalam pengertian formal. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi sumber hukum internasional, saat ini rujukan yang paling utama adalah Statute of the International Court of Justice atau Statuta Mahkamah Internasional yang merupakan annex atau lampiran dari Charter of the United Nations atau Piagam Perserikatan BangsaBangsa (PBB)16. Pada Chapter II atau Bab II yang diberi judul Competence of the Court atau berarti Kompetensi Mahkamah Internasional, lebih tepatnya pada Article 38 Paragraph 1 disebutkan bahwa: “The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply:
16
International Court of Justice, Statute of the International Court of Justice, dapat diakses melalui < http://www.icj-cij.org/documents/index.php?p1=4&p2=2&p3=0>, pada 1 Januari 2009.
129 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law; c. the general principles of law recognized by civilized nations; d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. “17 Sebagai terjemahan bebas atas ketentuan tersebut adalah bahwa Mahkamah Internasional, yang berfungsi untuk memutus perkara yang diajukan kepadanya berdasarkan hukum internasional, harus menerapkan : a. perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negaranegara yang bersengketa; b. kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum; c. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; d. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.18 2. Kedudukan San Remo Manual berdasarkan Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional Suatu manual, model law, guidance, atau yang sejenisnya, semata-mata sesuai dengan tujuan pembuatannya, hanyalah suatu panduan apabila ditelaah dari sudut pandang hukum. Manual tidak wajib untuk diikuti. Dengan kata lain, segala ketentuan yang terdapat di dalamnya tidak memiliki daya mengikat. Ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan suatu perjanjian yang terhadapnya berlaku asas pacta sunt servanda atau bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah memiliki daya ikat sebagaimana daya ikat yang dimiliki oleh suatu undang-undang. Untuk menentukan apakah San Remo Manual merupakan sumber hukum internasional atau tidak berdasarkan Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahakamah Internasional, maka penting kiranya kita mengetahui lebih jauh mengenai manual ini, baik tentang sejarah pembentukannya, fungsi, tujuan, dan urgensinya. Sebagaimana telah diuraikan sekilas dalam bab terdahulu, San Remo Manual disusun pada periode tahun 1988 sampai dengan tahun 1994 oleh 17 18
Ibid. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., Hal. 114-115.
130 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
sekelompok individu yang terdiri dari para ahli hukum dan ahli pelayaran, baik sipil maupun militer, dalam kapasitas pribadi masing-masing atas prakarsa dari the International Institute of Humanitarian Law.19 Tujuan dari disusunnya Manual tersebut adalah untuk memberikan suatu penegasan kembali atau restatement atas hukum internasional yang berlaku20 terhadap konflik bersenjata yang terjadi di laut.21 San Remo Manual sendiri memang hanya mencantumkan sedikit ketentuan yang mungkin dapat digolongkan sebagai perkembangan progresif terhadap Hukum Internasional dalam bidang tersebut. San Remo Manual lebih banyak memuat ketentuanketentuan Hukum Internasional yang memang sudah berlaku dalam keadaan konflik bersenjata di laut. Namun demikian, San Remo manual yang dianggap sebagai suatu manual kontemporer atas isu tersebut memang sangat dibutuhkan sebab perkembangan hukum dalam bidang tersebut yang terjadi pasca 1913, yaitu sejak saat diadopsinya the Oxford Manual on the Laws of Naval War Governing the Relations Between Belligerents oleh the Institute of International Law, belum dimasukkan ke dalam the Second Geneva Convention of 1949 for the Amelioration of the Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea yang pada dasarnya terbatas pada perlindungan bagi anggota Angkatan Laut yang terluka, sakit dan yang menjadi korban kapal tenggelam.22 Lebih khusus lagi, sejak saat itu tidak ada perkembangan hukum konflik bersenjata di laut yang seperti hukum konflik bersenjata di darat sebagaimana terdapat pada Protocol Additional to the Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protectionof Victims of International Armed Conflicts (Protocol I) yang ditandatangani pada 8 Juni 1977. Walaupun beberapa ketentuan dalam Protokol I mempengaruhi operasi Angkatan Laut, terutama ketentuan-ketentuan yang melengkapi perlindungan terhadap pesawat dan kapal rumah sakit atau medis dalam Konvensi Jenewa Kedua tahun 1949, Part IV dari Protokol tersebut, yang melindungi warga sipil dari efek-efek penyanderaan, hanya berlaku terhadap operasi militer Angkatan Laut yang mempengaruhi warga sipil dan obyek-obyek sipil di darat. 23 Jika kita lihat komposisi penyusun San Remo Manual, maka jelas bahwa dokumen tersebut tidak bisa digolongkan sebagai suatu Perjanjian Internasional. Sebagaimana telah diuraikan di atas, para penyusun San Remo Manual bertindak untuk dan atas nama pribadi dalam kapasitasnya sebagai 19
International Committee for the Red Cross, San Remo Manual on International Law Applicable to Armed Conflicts at Sea, 12 June 1994, Loc.Cit. 20 San Remo Manual merupakan restatement atas ketentuan-ketentuan Konvensi Den Haag tahun 1907, Konvensi Jenewa tahun 1949, maupun Protokol Tambahan I tahun 1977. 21 International Committee for the Red Cross, San Remo Manual on International Law Applicable to Armed Conflicts at Sea, 12 June 1994, Loc.Cit. 22 Ibid. 23 Ibid.
131 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
seorang expert. Mereka bukanlah wakil dari negara masing-masing yang duduk dalam satu meja perundingan untuk merumuskan suatu perjanjian. Terlebih lagi sejak awal, para penyusunnya memang memilih dokumen tersebut sebagai suatu dokumen yang berbentuk manual, bukan perjanjian internasional yang mengikat negara-negara. Pemilihan bentuk manual ini dilatarbelakangi fakta sejarah bahwa telah terjadi beberapa kali upaya untuk membuat perjanjian internasional dalam hal ini namun gagal.24 Kegagalan-kegagalan perumusan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud di atas pada dasarnya sangat menghambat perkembangan hukum perang di laut. Beberapa faktor yang memicu hal tersebut diantaranya 25 : a. Adanya prinsip ke-4 yang terdapat pada Pasal 2 Piagam PBB26 yang pada dasarnya adalah pembatasan penggunaan kekuatan bersenjata dalam hubungan internasional. Efek lain dari adanya ketentuan ini adalah keengganan negara-negara untuk terlibat dengan segala macam pembahasan mengenai hukum perang karena mereka takut dianggap sebagai negara agresor. b. Adanya Pasal 51 Piagam PBB27 yang membatasi alasan perang hanya pada self-defence. Efek lain dari hal ini adalah bahwa jumlah peperangan di muka bumi ini menjadi sangat berkurang sebab tidak bisa suatu negara menyerang negara lain untuk alasan perluasan wilayah, penguasaan sumber daya alam, atau alasan-alasan lainnya yang sebelumnya lazim digunakan sebagai alasan agresi. Jika kita melihat kedua faktor tersebut maka wajar terjadi keengganan diantara negara-negara sebab buat apa lagi membahas aturan peperangan toh jumlah peperangan akan berkurang dengan signifikan secara otomatis dengan adanya dua ketentuan tersebut. Jika toh terjadi perundingan untuk membahas mengenai aturan perang di laut, apalagi bila perundingan itu berjalan alot, maka sebenarnya hal tersebut merupakan suatu hal yang boleh dibilang sia-sia. Namun perlu diingat bahwa walaupun kuantitas peperangan menurun secara signifikan, namun kualitas peperangan justru meningkat. Kualitas 24
Enny Narwati, “Aturan Perang di Laut: San Remo Manual Sebagai Sumber Hukum Internasional”, Mimbar Hukum, Vol. 20, No. 3, Oktober 2008, Hal. 444. 25 Ibid., Hal. 444 – 445 26 Bunyi ketentuan itu adalah, “All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.” 27 Bunyi ketentuan itu adalah, “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”
132 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
peperangan dalam hal ini adalah kualitas kerusakan yang ditimbulkan akibat suatu serangan. Hal ini bisa dimengerti sebab teknologi persenjataan militer meningkat dengan sangat pesat. Perang tidak perlu lagi tatap muka dengan menggunakan kapak, pedang, bambu runcing, atau bahkan senapan. Perang saat ini bisa dilakukan dengan peluru kendali, atau kendaraan-kendaraan perang tanpa awak. Kualitas kerusakannya pun juga meningkat. Dengan perkembangan yang seperti ini di lain sisi memang hukum perang di laut pra San Remo Manual mau tidak mau harus di-update dengan suatu aturan yang kontemporer. Untuk itulah San Remo Manual hadir sebagai jawaban sekaligus sebagai jalan tengah bagi dilema yang dihadapi negaranegara. Jika San Remo Manual tidak cocok untuk digolongkan sebagai perjanjian internasional, maka tentunya kita akan mencoba menggolongkan San Remo Manual kedalam salah satu dari tiga kelompok sumber hukum internasional yang tersisa berdasarkan Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional. Yang jelas San Remo Manual bukanlah prinsip hukum umum. Sebab yang dimaksud sebagai prinsip hukum umum adalah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern seperti misalnya asas hukum perdata pacta sunt servanda, bona fides, abus de droit, dan adimplenti non est adiplendum. Menurut pandangan penulis, San Remo Manual sangatlah unik sehingga ia tidak bisa digolongkan ke dalam salah satu dari tiga kelompok sumber hukum internasional yang tersisa berdasarkan Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional. Ia justru merupakan gabungan dari dua diantaranya, yaitu kebiasaan internasional dan ajaran para sarjana. Berikut ini penjelasannya. Seperti sudah diuraikan di atas bahwa beberapa ketentuan dalam San Remo Manual merupakan restatement atas ketentuan-ketentuan Konvensi Den Haag tahun 1907, Konvensi Jenewa tahun 1949, maupun Protokol Tambahan I tahun 1977, yang mana ketentuan-ketentuan tersebut sampai saat ini sudah berlaku secara universal bahkan untuk Konvensi Den Haag dan Jenewa sudah menjadi hukum kebiasaan internasional dalam melakukan peperangan sehingga ketentuan tersebut langsung berlaku tanpa negara yang bersangkutan harus meratifikasinya. Selanjutnya, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa ada beberapa ketentuan dalam San Remo Manual yang merupakan ketentuan yang terbilang kontemporer, yang belum ada di mana pun sebelumnya namun sudah dipraktekkan oleh negara-negara, maupun ketentuan baru dalam bidang hukum ini yang belum pernah dipraktekkan sama sekali. Untuk ketentuan baru yang telah dipraktekkan, maka hal ini dapat digolongkan sebagai hukum kebiasaan internasional sebab memenuhi unsur-unsur : a. Opinio Juris Sive Necessitatis Ini berarti bahwa harus ada kehendak negara untuk mengakui atau menerima kebiasaan intemasional sebagai suatu hukum kebiasaan internasional. San Remo Manual secara keseluruhan telah memenuhi
133 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
kriteria ini, terbukti dari tidak adanya protes dari negara-negara untuk menggunakan San Remo Manual selama ini.28 b. Lamanya Waktu Praktek Suatu Kebiasaan Internasional Hal ini bukan merupakan persoalan yang berarti, karena dalam beberapa situasi hal ini dapat dikesampingkan. Sebagai contoh, penggunaan zona-zona,perang walaupun hal ini hanya beberapa kali digunakan dalam peperangan, tetapi hal tersebut sudah bisa diterima oleh negara-negara, terbukti selama ini tidak ada negara yang melakukan praktek penggunaan zona-zona yang bertentangan dengan hal tersebut.29 c. Keseragaman dan Konsistensi Dapat dikatakan bahwa San Remo Manual sudah memenuhi syarat tersebut. Praktek negara-negara sudah secara seragam-mengacu pada San Remo Manual dan tidak ada keberatan dari negara-negara akan hal ini. d. Berlaku Secara Urnum Dapat dikatakan bahwa walaupun masih dalam bentuk Manual, tetapi dalam kenyataannya San Remo Manual telah dijadikan acuan oleh seluruh Angkatan Laut dari negara-negara yang ada di dunia ini. Untuk ketentuan-ketentuan yang baru dibuat dan belum pemah digunakan oleh negara-negara dalam praktek, seperti misalnya pengaturan tentang daerah peperangan, tentu saja ketentuan ini tidak dapat dikategorikan sebagai hukum kebiasaan intemasional. Hal ini karena ketentuan ini tidak memenuhi salah satu syarat hukum kebiasaan internasional yang tidak boleh ditinggalkan yaitu sudah ada praktek dari negara-negara. Bagi ketentuan baru yang belum pernah dipraktekkan tersebut, kita wajib memandangnya sebagai ajaran para ahli (sarjana) sebagaimana dimaksud oleh Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, sebab sebagaimana telah diuraikan terdahulu, San Remo Manual ini dibuat oleh kumpulan para ahli di bidang hukum intemasional dan juga para ahli hukum perang terkemuka, yang disponsori oleh Institute of International Humanitarian Law yang berpusat di Jenewa dan mendapat dukungan penuh dari International Committee of the Red Cross (ICRC) yang memang selalu peduli terhadap perkembangan Hukum Humaniter Intemasional. Para ahli tersebut berjumlah 56 orang, yang berasal dari berbagai negara, yaitu, Italia, Perancis, Mesir, Inggris, Swedia, Kanada, Swiss, Singapura, Norwegia, Belanda, Israel, Amerika Serikat, China, Jerman, Argentina, Belgia, Rusia, Austria, Jepang, Iran, Australia, dan Kroasia. Mereka berasal dari berbagai profesi, diantaranya dari kalangan akademisi, anggota Angkatan Laut, ICRC, Institute of International Humanitarian Law, Kementerian Luar Negeri, Departemen Pertahanan, dan sebagian dari mereka adalah Hakim. Dari sini dapat dikatakan bahwa peserta perumus San Remo Manual telah mewakili berbagai belahan dunia dan berbagai profesi yang sangat 28 29
Enny Narwati, Op.Cit., Hal. 455. Ibid.
134 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
berkaitan, dan merupakan kristalisasi dari pendapat para ahli yang termuka tersebut.30 PEPERANGAN DI WILAYAH LAUT NEGARA KEPULAUAN 1. Keistimewaan Negara Kepulauan dalam Hukum Laut Hukum Laut memandang negara kepulauan dalam perspektif yang khusus. Berdasarkan bentuknya yang unik, yaitu terdiri dari gugusan pulaupulau, maka pengaturan mengenai wilayah laut suatu negara kepulauan tidak akan pernah bisa disamakan dengan pengaturan wilayah laut negara pantai pada umumnya. Jika lebar laut teritorial adalah 12 mil laut yang pada umumnya diukur dari garis pangkal31 yang merupakan garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana terlihat pada peta skala besar yang diakui resmi oleh Negara pantai tersebut32, maka ketentuan mengenai pengukuran lebar laut teritorial ini tidak bisa diterapkan pada suatu Negara kepulauan sebab jika hal ini diterapkan nantinya akan ada wilayah laut bebas yang memisahkan satu pulau dengan pulau lainnya jika memang jarak antara suatu pulau dengan pulau lainnya melebihi 12 mil laut. Tentu saja hal tersebut tidak diinginkan oleh Negara kepulauan yang bersangkutan dengan alasan national security atau keamanan nasional. Negara kepulauan secara logis menginginkan agar seluruh wilayahnya berada dalam satu kesatuan yang utuh tanpa ada “lubang” yang merupakan wilayah nonsovereignty baginya. Hal ini pulalah yang menjadi dasar bagi Indonesia untuk memperjuangkan konsep Wawasan Nusantara di perundingan-perundingan hukum laut hingga konsep ini diakui dan diterima melalui pengaturan khusus mengenai Negara Kepulauan di UNCLOS 1982. UNCLOS 1982 sendiri telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea. Negara Kepulauan diatur secara khusus dalam Bab IV UNCLOS 1982. Bab ini memuat 9 pasal, mulai dari Pasal 46 sampai dengan Pasal 54. Di dalam bab tersebut diatur mengenai penggunaan istilah: garis pangkal kepulauan, pengukuran lebar laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen, status hukum perairan kepulauan, ruang udara di atas perairan kepulauan dan dasar laut serta tanah di bawahnya, penetapan batas perairan pedalaman, perjanjian yang berlaku, hak perikanan tradisional dan kabel laut yang ada, hak lintas damai, hak lintas alur laut kepulauan, serta kewajiban kapal dan pesawat udara selama melakukan lintas, kegiatan riset
30
Ibid., Hal. 456. The United Nations Convention on the Law of the Sea (untuk selanjutnya disebut dengan UNCLOS), Pasal 3. 32 Ibid. Pasal 5. 31
135 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
dan survey, Kewajiban Negara kepulauan dan perundang-undangan Negara kepulauan bertalian dengan lintas alur laut kepulauan.33 Tidak semua negara yang terdiri dari pulau-pulau bisa disebut sebagai negara kepulauan. Menurut Pasal 46 Huruf (a) UNCLOS 1982, yang dimaksud sebagai Negara Kepulauan adalah “… a State constituted wholly by one or more archipellagos and may include other islands”. Ini berarti Negara kepulauan menurut definisi UNCLOS 1982 adalah suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulaupulau lain. Sementara definisi dari archipelago atau kepulauan berdasarkan Pasal 46 Huruf (b) UNCLOS 1982 adalah: “… a group of islands, including parts of islands, interconnecting waters and other natural features which are so closely interrelated that such islands, waters, and other natural features form an intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically have been regarded as such”. Ini artinya bahwa UNCLOS 1982 mendefinisikan “kepulauan” sebagai suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. Pendefinisian ini sangat penting artinya bagi Hukum Laut karena hanya negara kepulauan saja yang berhak untuk menarik garis pangkal kepulauan mengelilingi kepulauannya.34 Hal ini sebagaimana terdapat pada Pasal 47 Ayat 1 UNCLOS 19812 yang berbunyi: “An archipelagic State may draw straight archipelagic baselines joining the outermost points of the outermost islands and drying reefs of the archipelagio provided that within such baselines are included the main islands and an area in which the ratio of the area of the water to the area of the land, including atolls, is between 1 to 1 and 9 to 1.” Dari ketentuan tersebut dapat kita ketahui bahwa suatu negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal yang demikian itu termasuk pulaupulau utama dan suatu daerah di mana perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara satu berbanding satu dan sembilan berbanding satu. Sampai saat ini telah ada 17 negara yang secara formal telah menyatakan diri sebagai negara kepulauan melalui peraturan perundangundangan masing-masing, walaupun belum semua negara kepulauan tersebut 33
Ibid. Bab IV. R. R. Churchill dan A. V. Lowe, The Law of the Sea, Cet. 4, Ed. 3, Manchester University Press, Manchester, United Kingdom, 1999, Hal. 120. 34
136 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
telah menarik garis pangkal kepulauan. Negara kepulauan tersebut adalah Indonesia, Antigua and Barbuda, Bahamas, Cape Verde, Comoros, Fiji, Jamaica, Kiribati, Marshall Islands, Papua New Guinea, Philippines, St Vincent and the Grenadines, Sao Tomé e Principe, Solomon Islands, Trinidad and Tobago, Tuvalu and Vanuatu. Perlu dicatat bahwa walaupun ada beberapa negara yang bisa menyatakan dirinya sebagai Negara kepulauan berdasarkan UNCLOS 1982 karena memang masuk dalam definisinya, namun negara-negara tersebut, contohnya adalah Grenada dan Seychelles, sampai saat ini telah memilih untuk tidak melakukannya.35 Selain keistimewaan dalam hal garis pangkal, negara kepulauan juga memiliki keistimewaan yang berkaitan dengan perairan kepulauan (archipelagic waters) dan perairan pedalaman (internal waters). Perairan kepulauan terdiri dari seluruh wilayah laut yang berada di dalam garis pangkal kepulauan.36 Namun perlu diingat bahwa ada suatu kualifikasi yang harus ditepati, yaitu bahwa di dalam perairan kepulauannya, Negara kepulauan dapat menarik garis-garis penutup melintasi mulut sungai37, teluk38, dan pelabuhan39 pada masing-masing pulau sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang penetapan garis pangkal secara umum, yaitu Pasal 3 UNCLOS 1982.40 Perairan yang tertutup oleh garis-garis penutup tersebut disebut dengan perairan pedalaman, bukan perairan kepulauan. Hal ini terdapat pada Pasal 50 UNCLOS 1982 yang berbunyi “Within its archipelagic waters, the archipelagic State may draw closing linces for the delimitation of internal waters, in accordance with articles 9, 10 and 11” (bahwa di dalam perairan kepulauannya, Negara kepulauan dapat menarik garis-garis penutup untuk keperluan penetapan batas perairan pedalaman, sesuai dengan ketentuan pasal 9, 10 dan 11). Konsep perairan kepulauan ini adalah suatu konsep baru pada hukum internasional. Perairan ini bukanlah laut pedalaman ataupun laut teritorial, walupun terdapat persamaan dengan laut teritorial, yaitu bahwa suatu Negara kepulauan memiliki kedaulatan penuh atas perairan kepulauan, termasuk wilayah udara yang ada di atasnya, dasar laut dan tanah yang ada di bawahnya, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hal ini disebutkan dalam Pasal 49 Ayat 1 dan Ayat 2 UNCLOS 1982 yang masingmasing berbunyi: “The soverignty of an archipelagic State extends to the waters enclosed by the archipelagic baseline drawn in accordance with article 47, described as archipelagic waters, regradless of their depth or distance from the cost”. 35
Ibid. Ibid., Hal. 125. 37 UNCLOS, Op.Cit., Pasal 9. 38 Ibid., Pasal 10. 39 Ibid., Pasal 11. 40 R. R. Churchill dan A. V. Lowe, Loc.Cit. 36
137 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
“ The soverignty extends to the air space over the archipelagic waters, as well as to their bed and subsoil, and the resources contained therein”. Menurut Pasal 49 ayat 1 tersebut diatas, kedaulatan suatu negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan, yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal 47, disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Sedangkan berdasarkan Pasal 49 ayat 2, kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas perairan kepulauan, juga dasar laut dan tanah di bawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Namun demikian kedaulatan suatu negara kepulauan atas perairan kepulauan juga dibatasi oleh beberapa hak yang bisa dinikmati oleh negara ketiga. Hak terpenting yang berkaitan dengan penelitian ini adalah hak navigasi negara lain. Di perairan kepulauan kapal-kapal dari semua negara dapat menikmati hak lintas damai yang sama sebagaimana yang mereka nikmati di laut teritorial. Hal ini terdapat dalam Pasal 52 ayat 1 UNCLOS 1982 yang berbunyi: “ Subject to article 53 and without prejudice to article 50, ships of all States enjoy the right of innocent passage through archipelagic waters, in accordance with Part II, section 3 “. Maksudnya adalah dengan tunduk pada ketentuan Pasal 53 dan tanpa mengurangi arti ketentuan Pasal 50, kapal semua negara menikmati hak lintas damai melalui perairan kepulauan sesuai dengan ketentuan dalam Bab II, bagian 3. Hak ini hanya dapat dicabut sementara dan di tempat-tempat tertentu atas alasan keamanan setelah terdapat pemberitahuan terlebih dahulu. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 52 ayat 2 yang bunyinya sebagai berikut: The archipelagic State may, without discrimination in form of of in a fact among foreign shops, suspend temporarily in specified areas of its archipelagic waters the innocent passage of foreign ships if such suspension is essential for the protection of its security. Such suspension shall take effect only after having neen duly published . Menurut Pasal 52 ayat 2 tersebut diatas, negara kepulauan dapat, tanpa mengadakan diskriminasi formal maupun diskriminasi nyata diantara kapal asing, menangguhkan semetara lintas damai kapal asing di daerah tertentu perairan kepulauannya, apabila penangguhan demikian sangat perlu untuk melindungi keamanannya. Penangguhan demikian akan berlaku hanya setelah diumumkan sebagaimana mestinya. Demikianlah keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki negara kepulauan dalam UNCLOS 1982 yang nantinya berkaitan dengan pengaturan zona perang di wilayah laut negara kepulauan sebagaimana diatur dalam San Remo Manual.
138 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
2. Aturan Perang di Wilayah Laut Negara Kepulauan berdasarkan San Remo Manual Hukum Internasional pada dasarnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu Hukum Internasional yang berlaku di masa damai dan Hukum Internasional yang berlaku di masa perang. Semua bidang Hukum Internasional merupakan Hukum Internasional yang berlaku di masa damai, kecuali Hukum Humaniter Internasional. San Remo Manual berdasarkan penjelasan pada bab terdahulu merupakan salah satu sumber Hukum Internasional. Manual ini hanya bisa diterapkan pada masa perang karena ia memberikan panduan mengenai perang di laut. Materi San Remo Manual merupakan bagian dari Hukum Humaniter Internasional. Jika UNCLOS 1982 yang merupakan Hukum Laut yang mengatur wilayah tersebut pada masa damai memberikan kekhususan mengenai negara kepulauan dan wilayah lautnya maka San Remo Manual juga memberikan kekhususan kepada negara kepulauan. Namun perlu dicatat bahwa kekhususan mengenai Negara kepulauan dan wilayah lautnya dalam San Remo Manual tidak dilakukan melalui pengaturan mengenai Negara Kepulauan dalam satu bagian tertentu seperti dalam UNCLOS 1982 yang secara khusus diatur dalam BAB IV. Ketentuanketentuan mengenai Negara kepulauan dan wilayah lautnya berserakan dalam berbagai bagian dalam San Remo Manual sesuai dengan materi hukum perang yang sedang di bahas. Pengaturan yang demikian itu sangat logis mengingat San Remo Manual bukanlah suatu manual di bidang hukum laut. Manual tersebut adalah suatu panduan yang memberikan arahan mengenai bagaimana melakukan suatu peperangan di wilayah laut. a. Daerah Peperangan Mengenai daerah peperangan, atau zona perang, San Remo Manual mengatur bahwa aksi tempur oleh kekuatan Angkatan Laut dapat dilaksanakan di laut dan atau diatas: a. Laut teritorial, perairan pedalaman, wilayah daratan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen, serta bila ada, perairan kepulauan dari negara-negara yang berperang; b. Laut lepas; dan c. Zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen negara-negara netral sebagaimana diatur pada paragraf 34 dan 35 San Remo Manual. Ketentuan mengenai Daerah Peperangan ini terdapat pada paragraf 10 San Remo Manual yang berbunyi: “Subject to other applicable rules of the law of armed conflict at sea contained in this document or elsewhere, hostile actions by naval forces may be conducted in, on or over:
139 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
(a) the territorial sea and internal waters, the land territories, the exclusive economic zone and continental shelf and, where applicable, the archipelagic waters, of belligerent States; (b) the high seas; and (c) subject to paragraphs 34 and 35, the exclusive economic zone and the continental shelf of neutral States “. b. Kawasan Operasi Pada paragraf 14 San Remo Manual yang berbunyi, “Neutral waters consist of the internal waters, territorial sea, and, where applicable, the archipelagic waters, of neutral States. Neutral airspace consists of the airspace over neutral waters and the land territory of neutral States “, dijelaskan bahwa perairan netral terdiri dari perairan pedalaman, laut teritorial, dan bila ada perairan kepulauan negara-negara netral sementara ruang udara netral terdiri dari ruangan di atas perairan netral dan wilayah daratan negara-negara netral. Sedangkan pada paragraf 15, San Remo Manual menjelaskan bahwa : “Within and over neutral waters, including neutral waters comprising an international strait and waters in which the right of archipelagic sea lanes passage may be exercised, hostile actions by belligerent forces are forbidden. A neutral State must take such measures as are consistent with Section II of this Part, including the exercise of surveillance, as the means at its disposal allow, to prevent the violation of its neutrality by belligerent forces.“ Dari ketentuan tersebut dapat kita ketahui bahwa dalam dan di atas perairan netral, termasuk perairan netral yang di dalamnya terdapat selat internasional dan perairan dimana hak lalu lintas alur kepulauan dapat dilaksanakan, aksi-aksi tempur oleh kekuatan-kekuatan bersenjata pihak yang berperang adalah dilarang. Suatu negara netral harus mengambil beberapa tindakan yang konsisten dengan melaksanakan pengamatan, sebagai sarana yang diijinkan untuk mencegah adanya pelanggaran tentang kenetralannya oleh kekuatan-kekuatan bersenjata pihak yang berperang. Selanjutnya San Remo Manual paragraf 20 mengatur bahwa : Subject to the duty of impartiality, and to paragraphs 21 and 23-33, and under such regulations as it may establish, a neutral State may, without jeopardizing its neutrality, permit the following acts within its neutral waters: (a) passage through its territorial sea, and where applicable its archipelagic waters, by warships, auxiliary vessels and prizes of belligerent States; warships, auxiliary vessels and prizes may employ pilots of the neutral State during passage; (b) replenishment by a belligerent warship or auxiliary vessel of its food, water and fuel sufficient to reach a port in its own territory; and
140 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
(c) repairs of belligerent warships or auxiliary vessels found necessary by the neutral State to make them seaworthy; such repairs may not restore or increase their fighting strength. Ini berarti bahwa dengan tunduk pada kewajiban ketidakberpihakan, dan ketentuan paragraf 21dan 23-33 pada San Remo Manual serta berdasar pada ketentuan-ketentuan demikian yang dapat ditetapkan tanpa membahayakan kenetralan yang dimiliki, negara netral dapat memberikan ijin untuk melintasi laut wilayahnya dan bila ada melalui perairan kepulauannya bagi kapal perang, kendaraan air serba guna dan kapal tangkapan negara yang berperang. Kapal perang, kendaraan air serba guna dan kapal tangkapan Negara yang berperang boleh menggunakan pandu dari negara netral selama melintas di dalam perairan netralnya. Sementara, paragraf 21 San Remo Manual itu sendiri yang berbunyi, A belligerent warship or auxiliary vessel may not extend the duration of its passage through neutral waters, or its presence in those waters for replenishment or repair, for longer than 24 hours unless unavoidable on account of damage or the stress of weather. The foregoing rule does not apply in international straits and waters in which the right of archipelagic sea lanes passage is exercised. “, menerangkan bahwa kapal perang atau kendaraan serba guna pihak yang berperang tidak diperbolehkan memperpanjang waktu melintas perairan netral atau keberadaan waktu melintas perairan netral, atau keberadaannya di perairan tersebut untuk bekal ulang atau untuk perbaikan melebihi 24 jam kecuali adanya sesuatu hal yang tidak dapat dihindari karena kerusakan atau gangguan cuaca. Ketentuan diatas tidak berlaku di selat internasional dan di periaran dimana hak lintas alur laut kepulauan dapat dilaksanakan. c. Selat Internasional dan Alur Laut Kepulauan Kapal perang, kendaraan air serbaguna, pesawat udara militer dan pesawat udara serbaguna pihak yang berperang dapat melaksanakan hak lintas melalui di bawah atau di atas selat internasional netral dan alur laut kepulauan yang ditetapkan oleh hukum internasional lainnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal paragraf 23 San Remo Manual yang berbunyi, “Belligerent warships and auxiliary vessels and military and auxiliary aircraft may exercise the rights of passage through, under or over neutral international straits and of archipelagic sea lanes passage provided by general international law.“ Perlu diingat bahwa kenetralan dari negara kepulauan harus tidak terancam oleh pelaksanaan lintas laut alur kepulauan oleh kapal perang, kendaraan air serbaguna, pesawat udara militer dan pesawat udara serbaguna pihak yang berperang. Jika tidak, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap ketentuan paragraf 25 San Remo Manual, yang menyebutkan bahwa, “The neutrality of an archipelagic State is not jeopardized by the exercise of archipelagic sea lanes passage by belligerent warships, auxiliary vessels, or military or auxiliary aircraft.“
141 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
Kemudian paragraf 26 San Remo Manual juga menjelaskan bahwa kapal perang, kendaraan air serbaguna dan pesawat udara serbaguna netral dapat melaksanakan hak lintas seperti apa yang tercantum dalam hukum internasional lainnya melalui di bawah dan di atas selat internasional dan perairan kepulauan pihak yang berperang. Sebagai tindakan pencegahan, pihak netral harus selalu memberitahu pelaksanaan hak lintasnya kepada pihak yang berperang. Ketentuan selengkapnya mengenai hal ini berbunyi: Neutral warships, auxiliary vessels, and military and auxiliary aircraft may exercise the rights of passage provided by general international law through, under and over belligerent international straits and archipelagic waters. The neutral State should, as a precautionary measure, give timely notice of its exercise of the rights of passage to the belligerent State. d. Lintas Transit dan Lintas Laut Kepulauan Hak lintas transit dan lintas alur laut kepulauan yang berlaku di selat internasional dan perairan kepulauan pada masa damai tetap berlaku pada masa konflik bersenjata. Artinya, ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS 1982 yang mengatur mengenai hal ini tetap berlaku di masa perang. Selain itu, hukum dan peraturan dari negara-negara yang berbatasan dengan selat dan negara kepuluan yang berkaitan dengan lintas transit dan lintas alur laut kepulauan yang ditetapkan berdasar hukum internasional lainnya, misalnya mengenai rute penerbangan komersial internasional yang berada di atas alur laut kepulauan, tetap diberlakukan. Hal ini sesuai dengan ketentuan paragraf 27 San Remo Manual, yang berbunyi: The rights of transit passage and archipelagic sea lanes passage applicable to international straits and archipelagic waters in peacetime continue to apply in times of armed conflict. The laws and regulations of States bordering straits and archipelagic States relating to transit passage and archipelagic sea lanes passage adopted in accordance with general international law remain applicable. Sementara itu, kapal perang atas air, kapal selam dan pesawat udara pihak yang berperang dan netral memiliki hak lintas transit dan litas alur laut kepulauan melalui di bawah dan di atas semua selat dan perairan kepulauan dimana hak ini berlaku secara umum. Hal ini diatur dalam paragraf 28 San Remo Manual yang menyatakan dengan jelas bahwa: “Belligerent and neutral surface ships, submarines and aircraft have the rights of transit passage and archipelagic sea lanes passage through, under, and over all straits and archipelagic waters to which these rights generally apply.” Selanjutnya terdapat larangan bagi negara netral untuk tidak menangguhkan, mempersulit atau dengan kata lain menghalangi hak lintas transit atau hak lintas alur laut kepulauan. Larangan ini terdapat pada paragraf 29 San Remo Manual yang secara khusus menyebutkan, “Neutral States may not suspend, hamper, or otherwise impede the right of transit passage nor the right of archipelagic sea lanes passage.”
142 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
Kemudian, berdasarkan paragraf 30 San Remo Manual yang secara keseluruhan berbunyi: A belligerent in transit passage through, under and over a neutral international strait, or in archipelagic sea lanes passage through, under and over neutral archipelagic waters, is required to proceed without delay, to refrain from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of the neutral littoral or archipelagic State, or in any other manner inconsistent with the purposes of the Charter of the United Nations, and otherwise to refrain from any hostile actions or other activities not incident to their transit. Belligerents passing through, under and over neutral straits or waters in which the right of archipelagic sea lanes passage applies are permitted to take defensive measures consistent with their security, including launching and recovery of aircraft, screen formation steaming, and acoustic and electronic surveillance. Belligerents in transit or archipelagic sea lanes passage may not, however, conduct offensive operations against enemy forces, nor use such neutral waters as a place of sanctuary nor as a base of operations. Menerangkan bahwa pihak yang berperang selama lintas transit melalui, di bawah dan di atas suatu selat internasional netral atau selama lintas alur laut kepulauan di bawah dan di atas perairan kepulauan netral dipersyaratkan lewat tanpa menuda untuk menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekuatan bersenjata yang bertentangan dengan integritas wilayah atau kebebasan berpolitik negara pantai atau negara kepulauan netral atau segala tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan Piagam PBB. Dengan kata lain, pihak yang berperang wajib untuk menahan diri dari setiap aksi tempur atau kegiatan lain yang tidak sesuai dengan perlintasannya. Pihak yang berperang yang melintas melalui, di bawah dan di atas selat netral atau perairan netral dimana berlaku hak lintas alur laut kepulauan diijinkan untuk mengambil tindakan defensif sesuai dengan situasi keamanan mereka, termasuk menerbangkan dan mendaratkan pesawat udara, berlayar dalam formasi tabir serta pengamatan akustik dan elektronik. Pihak yang berperang selama lintas transit dan lintas alur kepulauan, bagaimanapun juga, tidak dapat melaksanakan operasi ofensif terhadap kekuatan bersenjata musuh atau menggunakan perairan netral tersebut sebagai tempat perlindungan atau sebagai pengkalan operasi. Paragraf 31 San Remo Manual juga mengatur mengenai tambahan pada pelaksanaan hak lintas transit dan lintas alur laut kepulauan, yaitu bahwa kendaraan air dan kendaraan air serbaguna pihak yang berperang dengan tunduk pada ketentuan paragraf 19 dan 21 dapat melaksanakan tindakan hak lintas kepulauan sesuai dengan hukum internasional lainnya. Ketentuan selengkapnya mengenai hal ini berbunyi: In addition to the exercise of the rights of transit and archipelagic sea lanes passage, belligerent warships and auxiliary vessels may, subject to paragraphs 19 and 21, exercise the right of innocent passage through
143 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
neutral international straits and archipelagic waters in accordance with general international law. e. Penyebaran Ranjau Mengenai penyebaran ranjau, San Remo Manual mengatur bahwa operasi penyebaran ranjau di perairan pedalaman, laut wilayah atau perairan kepulauan negara yang berperang menjadi netral ketika operasi penyebaran ranjau tersebut telah dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan penjelasan pada paragraf 85 San Remo Manual yang berbunyi, “Mining operations in the internal waters, territorial sea or archipelagic waters of a belligerent State should provide, when the mining is first executed, for free exit of shipping of neutral States.” PENUTUP Kesimpulan 1. San Remo Manual adalah sumber hukum bagi Hukum Internasional. Ia merupakan sumber Hukum Internasional dalam arti formal yang akan memberikan jawaban mengenai lokasi atau kedudukan tempat kita bisa mendapatkan ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam suatu kasus. Berdasarkan Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, maka San Remo Manual tidak dapat digolongkan sebagai suatu perjanjian internasional karena ia bukan dibuat oleh negara-negara, melainkan dibuat oleh sekelompok ahli dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan perang di laut, yang bertindak untuk dan atas nama pribadi masing-masing terlepas dari negara masing-masing ahli tersebut. San Remo Manual adalah suatu panduan perang di laut yang ketentuanketentuan di dalamnya merupakan: restatement atau pernyataan kembali atas hukum internasional yang telah ada dalam berbagai perjanjian internasional mengenai hal tersebut; ketentuan baru mengenai perang di laut namun telah dipraktekkan oleh negara-negara; dan ketentuan baru yang sama sekali belum pernah dipraktekkan. Untuk ketentuan yang merupakan restatement sebagaimana dimaksud di atas dan ketentuan baru mengenai perang di laut yang telah dipraktekkan, maka ketentuanketentuan tersebut harus dipandang sebagai suatu kebiasaan internasional sebagaimana dimaksud oleh Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional. Sedangkan untuk ketentuan yang baru dan belum pernah dipraktekkan oleh negara-negara, maka kita tidak bisa memandangnya sebagai suatu kebiasaan internasional karena tidak terpenuhinya unsur praktek oleh negara-negara. Ketentuan yang seperti ini harus dipandang sebagai ajaran para ahli dalam pengertian Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional karena memang ketentuan ini lahir dari buah pikir para ahli sebagaiman telah diuraikan di atas. Bentuk San Remo Manual yang bukan suatu perjanjian internasional tersebut memiliki konsekuensi terhadap kekuatan mengikatnya. San Remo manual tidak memiliki kekuatan
144 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
mengikat sebagaimana kuatnya kekuatan yang dimiliki oleh suatu perjanjian internasional. 2. Negara kepulauan memiliki arti penting dalam Hukum Laut, yaitu Hukum Internasional yang mengatur mengenai laut yang berlaku di masa damai. Keistimewaan Negara kepulauan terlihat dengan jelas dengan diaturnya Negara jenis ini dalam suatu bab tersendiri dalam UNCLOS 1982. Pengaturan mengenai negara kepulauan tersebut terdapat pada Bab IV UNCLOS 1982. Aturan yang paling berkaitan dengan penulisan ini adalah aturan-aturan yang mengatur mengenai definisi kepulauan dan negara kepulauan, penentuan garis pangkal, wilayah laut teritorial, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan hak-hak lintasnya. Sementara itu, ketentuan yang mengatur mengenai negara kepulauan dan wilayah lautnya dalam San Remo Manual diatur secara seporadis dalam berbagai materi tentang peperangan, tanpa menafikan arti khusus negara kepulauan dan wilayah lautnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis atas materi San Remo Manual, yang merupakan bidang Hukum Humaniter Internasional, suatu bidang Hukum Internasional yang hanya berlaku pada masa perang, yaitu memberikan panduan mengenai code of conduct peperangan di laut, bukan pengaturan mengenai laut. Negara kepulauan dan wilayah lautnya dalam San Remo Manual yang mendapat pengaturan khusus terdapat pada materi yang menyangkut daerah peperangan (war zone), kawasan operasi (regions of operations), selat internasional dan alur laut kepulauan, lintas transit dan lintas laut kepulauan, serta mengenai penyebaran ranjau. Saran 1. San Remo Manual hanya merupakan panduan. Oleh karena itu ia tidak memiliki kekuatan mengikat sekuat perjanjian internasional. Jika memang selama ini seluruh negara-negara menggunakan San Remo Manual sebagai panduan perang di laut tanpa ada yang pernah menyimpang darinya, maka sebaiknya San Remo Manual ini diadopsi dalam suatu perjanjian internasional yang ditandatangani oleg negara-negara agar manual ini berubah menjadi perjanjian internasional dan memiliki kekuatan mengikat yang sangat kuat. 2. Untuk menjamin kepastian hukum dalam bidang hukum internasional mengenai peperangan di laut, hendaknya negara-negara mempertahankan kondisi yang kondusif yang selama ini terjadi, yaitu seluruh negara-negara di dunia menggunakan San Remo Manual sebagai panduan perang di laut tanpa ada yang menyimpang darinya. DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal Hukum Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ed. 1, Cet. 4, Kencana, Jakarta, 2008.
145 Moh. Saleh, Aspek Hukum Internasional Mengenai Peperangan di Wilayah Laut Negara Kepulauan
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Ed. 2, Cet. 1, Alumni, Bandung, 2003. Enny Narwati, “Aturan Perang di Laut: San Remo Manual Sebagai Sumber Hukum Internasional”, Mimbar Hukum, Vol. 20, No. 3, Oktober 2008. Dokumen Hukum Internasional Charter of the United Nations Statute of the International Court of Justice United Nations Conventions on the Law of the Sea 1982 Convention (II) for the Amelioration of the Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea. Geneva, 12 Augt. 1949 Convention (VI) relating to the Status of Enemy Merchant Ships at the Outbreak of Hostilities. The Hague, 18 October 1907 Convention (VII) relating to the Conversion of Merchant Ships into War-Ships. The Hague, 18 October 1907 Convention (IX) concerning Bombardment by Naval Forces in Time of War. The Hague, 18 October 1907 Convention (X) for the Adaptation to Maritime Warfare of the Principles of the Geneva Convention. The Hague, 18 October 1907 Convention (XI) relative to certain Restrictions with regard to the Exercise of the Right of Capture in Naval War. The Hague, 18 October 1907 Convention (XIII) concerning the Rights and Duties of Neutral Powers in Naval War. The Hague, 18 October 1907 Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), 8 June 1977 Peraturan Perundang-Undangan Indonesia Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea Situs Internet International Court of Justice, . International Committee for the Red Cross, .