JURNAL KESEHATAN KOMUNITAS INDONESIA Vol.1 No.1 Tahun 2016 ISSN: 2503-2801
Penurunan tingkat depresi lansia melalui storytelling therapy di panti sosial tresna werdha wana seraya denpasar Putu Ayu Sani Utami1, Ni Made Gita Anindita Nirmala2 1
Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
2
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto
ABSTRAK Tujuan: Tahap perkembangan terakhir yang dialami oleh manusia adalah masa lansia. Lansia yang tinggal di PSTW banyak mengalami depresi akibat kondisi lingkungan. Salah satu terapi yang dapat dilakukan adalah storytelling therapy. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh terapi bercerita terhadap tingkat depresi lansia. Metode: Penelitian ini menggunakan one group pretest posttest design. Sampel yang digunakan 23 orang lansia yang mengalami depresi ringan dan sedang. Storytelling therapy dilakukan satu hari sekali dengan durasi 30 menit dan diberikan selama tiga hari. Kuisioner Geriatric Depression Scale (GDS) digunakan untuk mengukur tingkat depresi lansia. Hasil: Uji Paired Sample t Test (tingkat kepercayaan 95%) digunakan untuk menganalisis data dengan hasil p=0,000<0,05 yang berarti ada pengaruh storytelling therapy terhadap tingkat depresi lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar. Simpulan: Storytelling therapy dapat menurunkan depresi pada lansia dengan media buku cerita guna membangkitkan sifat arif bijaksana sehingga lansia menjadi individu yang terbuka dan positif. Kata kunci: lansia, storytelling therapy, tingkat depresi
Pendahuluan Masa lansia adalah suatu perkembangan terakhir yang dialami oleh manusia. World Health Organization (WHO, 2013) menyatakan bahwa masyarakat menua dengan cepat, diperkirakan bahwa lansia yang berusia 60 tahun keatas berjumlah lebih dari tiga kali lipat pada tahun 2100. Lansia berada
diseluruh lapisan masyarakat baik di komunitas maupun di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW). Panti Sosial Tresna Werdha adalah sebuah hunian bagi para lansia yang mempunyai keterbatasan di bidang sosial-ekonomi dan dikelola oleh badan pemerintah ataupun swasta (Darmojo, 2010). Andini & Supriyadi (2013) menyatakan ketika lansia diantarkan oleh keluarga ke PSTW maka lansia merasa tidak berguna dan tidak diinginkan sehingga membuat banyak lansia akan
mengembangkan perasaan rendah diri dan marah terhadap diri sendiri, orang lain dan juga lingkungan. Lansia secara perlahan akan menarik diri dari interaksi sosial dan hubungan dengan masyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan persepsi negatif terhadap dirinya. Henuhili (2004) menyebutkan bahwa depresi adalah gangguan mental terbanyak yang dialami oleh lansia yang tinggal di PSTW. Depresi adalah suatu kondisi terganggunya fungsi pikiran manusia yang berkaitan dengan alam perasaan meliputi perasaan sedih dan gejala penyertanya, penurunan konsentrasi, rasa putus asa dan tidak berdaya, selalu merasa dirinya gagal, tidak berminat pada aktifitas fisik sehari-hari, sampai ada ide bunuh diri, perubahan pada psikomotor, kelelahan, pola
Evidence Based Practice Indonesia Web: http://ebpi.asia Email:
[email protected]
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol: 1, No:1 Tahun : 2016 tidur dan nafsu makan (Kaplan, 2010; Yosep 2009). WHO (2013) menyatakan, depresi dapat menyebabkan menyebabkan gangguan fungsi dalam kehidupan sehari-hari, depresi terjadi 7% dari populasi lansia umum dan 1,6% adalah angka lansia yang mengalami ketidakmampuan dalam melakukan ADL. Gejala depresi pada lansia sering diabaikan dan tidak diobati karena bersamaan dengan masalah kesehatan lainnya dalam proses penuaan. Nevid, Rathus dan Green (2005) menyatakan bahwa lansia yang tinggal di PSTW lebih tinggi mengalami depresi akibat jauh dari keluarga atau sanak saudara sehingga memunculkan perasaan kesepian, tidak ada lagi orang-orang yang dapat diajak berbagi segala sesuatu baik kekurangan ataupun kelebihan. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan terapi yang bersifat kekeluargan, memotivasi dan dapat mengembalikan semangat hidup. Salah satu terapi yang dapat dikembangkan adalah storytelling therapy. Storytelling merupakan kegiatan mengembangkan emosi, moral, dan motivasi yang menimbulkan perasaan senang dengan memberikan contoh nyata ke dalam imajinasi sehingga seseorang akan lebih mudah menyerap dan memahami isi cerita yang disampaikan. Metode penyampaian sebuah cerita dapat melalui media buku cerita, video, gambar, ataupun alat peraga dengan teknik yang interaktif (Nuraini, 2009). Jenis cerita-cerita tradisional yang bertemakan cerita rakyat dapat digunakan sebagai terapi seperti cerita Timun Mas, Asal Usul Nama Pulau Bali, dan Keong Mas, karena cerita ini menggambarkan sifat-sifat kebaikan, kebijaksanaan, kearifan, serta ke-Tuhanan yang dapat menanamkan semangat hidup pada lansia (Asfandiyar, 2007). Ketika memasuki usia lanjut maka waktu luang hendaknya benar-benar diisi dengan kegiatan yang terarah yang diperlukan untuk mengisi waktu luang dan berdampak positif dan menentramkan hati (Padila, 2013). Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh storytelling therapy terhadap tingkat depresi lansia di PSTW Wana Seraya Denpasar.
METODE PENELITIAN
ISSN: 2503-2801
Hal.2
Jenis rancangan penelitian yang digunakan adalah one group pretest posttest design dengan sampel berjumlah 23 orang lansia yang mengalami depresi ringan dan sedang yang tidak sedang menggunakan terapi anti-depresan. Penelitian eksperimental dengan kontrol yang ketat dapat menggunakan ukuran sampel yang kecil antara 10 sampai 20 sampel (Uma, 2006). Nonprobability Sampling dengan teknik purposive sampling adalah teknik sampling yang digunakan. Pengumpulan data menggunakan kuisioner Geriatric Depression Scale (GDS) sebelum dan sesudah diberikan storytelling therapy. Analisa menggunakan uji Paired Sample t Test (tingkat kepercayaan 95%). HASIL PENELITIAN Tingkat Depresi storytelling therapy
Sebelum
Tabel 1. Distribusi Tingkat Depresi Therapy Tingkat Depresi (Skor) Sebelum Tidak depresi Ringan Sedang Total
Tingkat Depresi Storytelling therapy
diberikan
Sebelum Storytelling Frek. (n) 0 11 12 23
Setelah
Presentase (%) 0,0 47,7 52,3 100,0
diberikan
Tabel 2 Distribusi Tingkat Depresi Setelah Storytelling Therapy Tingkat Depresi Frek. Presentase (Skor) (n) % Setelah 6 26,1 Tidak depresi 15 65,2 Ringan Sedang 2 8,6 Total 23 100,0
Pengaruh Storytelling therapy Terhadap Tingkat Depresi lansia di PSTW Wana Seraya Denpasar Tabel 3. Analisa tingkat depresi sebelum dan setelah diberikan Storytelling Therapy Sebelum Sesudah
Storytelling Therapy
-
Paired Samples Test Mean Std. Deviation 2.609
1.033
Sig. (2tailed) .000
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol: 1, No:1 Tahun : 2016 PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa enam responden mengalami penurunan tingkat depresi menjadi tidak depresi, 15 responden mengalami depresi ringan dan hanya dua responden mengalami depresi sedang. Melalui perhitungan distribusi frekuensi diperoleh hasil bahwa sebelum dilakukan terapi bercerita 11 responden mengalami depresi ringan dan 12 orang mengalami depresi sedang, dari 11 orang yang sebelum terapi bercerita mengalami depresi ringan sebanyak enam responden mengalami penurunan menjadi tidak depresi dan lima responden tetap mengalami depresi ringan. Responden yang mengalami depresi berat sebanyak 12 orang sebelum terapi bercerita mengalami penurunan menjadi depresi ringan sebanyak 10 responden dan tetap mengalami depresi sedang sebanyak dua responden. Penurunan tingkat depresi yang terjadi pada lansia setelah storytelling therapy sesuai dengan pendapat dari Asfandiyar (2007) yang menyatakan storytelling therapy bermanfaat untuk menstimulasi emosi. Storytelling memiliki kekuatan untuk mendorong keterbukaan karena melibatkan imajinasi dan emosi serta pengembangan aspek-spek kognitif, afektif, sosial, dan konatif (Asfandiyar, 2007; Hilder, 2005). Mendengarkan dan bercerita membantu individu memahami diri sendiri dan orang lain (Bishop & Kimball, 2006). Kusumaningrum, Gultonm, & Dewi (2011) yang menyatakan storytelling merupakan aktivitas yang menyenangkan, sehingga memberikan efek santai yang akan menyebabkan pengeluaran hormon yang dapat merubah suasana hati atau perasaan dan meningkatkan kesejahteraan. Molekul seperti oksida nitrat, endocannabinoid, endorphin atau encephalin berperan sebagai respon plasebo, perasaan nyaman dan santai akan menurunkan stress dan kecemasan. Kecemasan yang terjadi pada lansia merupakan faktor dapat menciptakan mekanisme pertahanan yang negatif sehingga muncul depresi, perasaan yang positif dan emosi yang stabil akan menyebabkan penurunan pada tingkat depresi (Supriani, 2011).
ISSN: 2503-2801
Hal.3
Storytelling therapy menggambarkan sifat-sifat tokoh yang positif dan dapat ditauladani oleh lansia, sehingga memotivasi lansia agar lebih bersemangat dan berpikir positif serta melatih lansia agar memiliki mekanisme koping positif pada setiap permasalahan yang muncul. George (2005) menyatakan pada individu yang sedang fokus menyimak cerita menunjukkan beberapa tanda penyesuaian pikiran dan tubuh yang dapat dilihat seperti perubahan dalam respirasi, irama otot, dan detak jantung karena terapi bercerta memiliki beberapa kekuatan yaitu menumbuhkan sikap disiplin, membangkitkan emosi, memberikan inspirasi, memunculkan perubahan, menumbuhkan motivasi dan energi untuk menyembuhkan. Hasil uji statistik Paired Sample t Test dengan tingkat kemaknaan p ≤0,05 didapatkan hasil bahwa p = 0,000 α (0,05) yang berarti ada pengaruh yang signifikan antara storytelling therapy terhadap tingkat depresi lansia di PSTW Wana Seraya Denpasar. Metode storytelling therapy mampu menjembatani penyampaian informasi kepada lansia agar lebih ringan, menyenangkan dan mudah dipahami. Ketika kegiatan bercerita berlangsung, indra pengelihatan dan pendengaran akan menerima stimulus berupa rangsangan audio, yaitu dialog tokoh dalam cerita. Rangsangan audio tersebut kemudian diteruskan menuju otak dan memicu peningkatan produksi dopamin pada akson dopaminergik di otak. Dopamin kemudian dilepaskan dari vesikel untuk membawa pesan ke sel saraf lainnya (Pasiak, 2007). Terstimulasinya otak tengah yang memiliki sifat mudah menyerap informasi yang disajikan dalam bentuk cerita beralur dengan emosi yang menyentuh akan memudahkan kinerja otak dalam memahami pesan yang disampaikan dalam cerita. Otak tengah juga berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan hemisper otak kiri dan kanan, sehingga dapat mengaktifkan fungsi kedua hemisper otak, maka akan memicu aktvasi otak tengah (Haryanto, 2004). Penyederhanaan bentuk penyampaian pesan-pesan moral yang disampaikan melalui metode terapi bercerita memudahkan lansia dalam memahami, mengingat, dan mengaplikasikannya (Marina & Sarwono, 2007).
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol: 1, No:1 Tahun : 2016 Pemberian terapi bercerita kepada lansia dapat mengembangkan emosi dan kondisi psikologis lansia menjadi lebih positif. Penyampaian informasi melalui alur cerita membuat lansia lebih mudah untuk mengerti dan memahami peran moral yang terkadung dalam setiap cerita sehingga mampu memotivasi lansia untuk menjalani masa tuanya dengan tenang dan sejahtera. Lansia mendengarkan dengan baik cerita yang disampaikan oleh storyteller selama proses storytelling therapy ini walaupun beberapa kali lansia tampak kehilangan fokus, namun diakhir sesi saat ditanyakan mengenai sifat masingmasing tokoh dan manfaat yang bisa dipetik dari cerita yang disampaikan lansia mampu mengutarakan pendapatnya dan lansia mengatakan termotivasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Asfandiyar (2007) bahwa eksplorasi emosional melalui pengalaman fiktif yang tidak pernah dialami di kehidupan nyata akan membuat seseorang mampu menumbuhkan perasaan positif dalam dirinya. Pemberian storytelling therapy satu kali sehari selama tiga hari pada pagi atau sore hari. Sudarmadji dkk, (2010) dalam Sari (2014) menyatakan bahwa waktu pemberian storytelling therapy mempertimbangkan daya pikir dan rentang konsentrasi dan daya tangkap, terapi bercerita dapat dilakukan sebelum tidur, bangun tidur dan pada waktu santai. Sebaiknya ketika memasuki usia lanjut waktu luang benar-benar diisi dengan kegiatan yang terarah yang diperlukan untuk mengisi waktu luang dan berdampak positif serta menentramkan hati (Padila, 2013). Terapi bercerita ini layak diterapkan pada lansia karena terapi ini memiliki efek menstimulasi emosi dan perasaan positif sehingga pada waktu luang terapi ini dapat diterapkan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan lansia. Meskipun storytelling therapy memiliki keterbatasan seperti ketidakmampuan mengontrol konsentrasi lansia untuk menyimak cerita yang disampaikan, namun kepiawaian storyteller berinteraksi ditengah-tengah proses terapi untuk memprediksi alur cerita yang ISSN: 2503-2801
Hal.4
disampaiakan dapat mengembalikan konsentrasi lansia. SIMPULAN Storytelling therapy dapat menurunkan tingkat depresi secara signifikan. Oleh karena itu, pada lansia dengan depresi ringan dan sedang yang tinggal di PSTW dapat diberikan storytelling therapy. Terapi ini mudah dan efisien serta dapat diberikan dengan media buku cerita yang mudah didapatkan. Untuk meningkatkan keatraktifan storyteller dalam menyampaiakan cerita dapat menggunakan alat bantu cerita. Selain itu storytelling therapy tidak memiliki batasan ruang dan waktu dalam pelaksanaanya, ini dapat diterapkan dikamar maupun di ruang terbuka sebelum tidur, bangun tidur ataupun pada waktu santai.
DAFTAR PUSTAKA 1. Andini, A. Supriyadi. (2013). Hubungan antara Berpikir Positif Dengan Harga Diri pada Lansia yang Tinggal di Panti Jompo di Bali. Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana 2. Asfandiyar, A.Y. (2007). Cara Pintar Mendongeng. Bandung: Mizan Pustaka 3. Bishop, K. Kimball, M. (2006). Engaging Students in Storytelling. Teacher Librarian, 33(4), 31-38 4. Darmojo, R.B dan Martono, H.H. (2010). Buku Ajar Geriatri. edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 5. Haryanto, N. (2004). Ada apa dengan Otak Tengah. Jakarta:Gradien Mediatama. 6. Henuhili, S. (2004). Proporsi Gangguan Mental pada Lanjut Usia yang Tinggal di Sasana Wreda Yayasan Karya Bakti Ria Pembangunan Cibubur. Tesis (tidak diterbitkan). Jakarta: Universitas Indonesia 7. Hilder, M. (2005). The Enemy’s gospel: Deconstructing Exclusivity and inventing Inclusivity through the power of story. Journal of Curriculum and Supervision. 20(2), 158-181 8. Kaplan, H.I. Sadock, B.J. and Grebb, J.A. (2010). Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol: 1, No:1 Tahun : 2016 Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid Satu. Editor: Dr. I. Made Wiguna S. Jakarta: Bina Rupa Aksara 9. Kusumaningrum, A. Gultonm, N.A & Dewi, N.R. (2011). Physiological and Psychological Benefits of Therapeutic Storytelling to Inpatient Children. Universitas Sriwijaya Palembang, (Online), From: http://aasic2013.permitha.net/Proceedings/IC PMHS_Proceeding/Volume/icpmhsp071.pdf. 10. Marina, L. & Sarwono, S. (2007). Kecerdasan Emosional pada Orang Tua yang Mendongeng dan Tidak Mendongeng. Jurnal Psikologi Anak, (online), Vol.13, No.2, (http://Journal.Ui.Ac.Id/Upload/Jps/Artikel/J ps13-02-1_Aetikel1.Pdf. 11. Nevid, J.S. Rathus S. A. & Green B. (2005). Psikologi Abnormal. Edisi kelima, Jilid Dua. Jakarta: Erlangga 12. Nuraini. (2009). Membangun Melalui Dongeng. (Online). www.fedus.org.
ISSN: 2503-2801
Manfaat from:
Hal.5
13. Padila. (2013). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: NuMed 14. Pasiak, Taufik. (2007). Manajemen Kecerdasan. Bandung: PT Mizan Pustaka 15. Sari.,W.F. (2014). Pengaruh Terapi Bermain Dengan Teknik Bercerita Terhadap Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Anak Prasekolah Di Ruang Rawat Inap Anak Di RSI Ibnu Sina Yarsi Bukittinggi. Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat 16. Supriani, A. (2011). Tingkat Depresi Pada Lansia Ditinjau Dari Tipe Kepribadian Dan Dukungan Sosial. Universitas Sebelas Maret Surakarta. from: http://eprints.uns.ac.id/. 17. World Health Organisation (WHO). 2013. Mental Health and Older Adult, (Online), From: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/f s381/en/. Diakses tanggal 7 Oktober 2014 18. Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa. Edisi kedua. Bandung: Refika Aditama