ISSN 1693-9654
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 8, No. 1, Maret 2012 1. PENGGUNAAN PIL KONTRASEPSI DAN HIPERTENSI PADA WANITA 20-45 TAHUN DI PUSKESMAS BANJAR 3 KOTA BANJAR TAHUN 2011 Siti Novianti 2. HUBUNGAN HUBUNGAN KEMAMPUAN AKADEMIS, MOTIVASI KERJA PETUGAS PUSKESMAS DENGAN MUTU PELAYANAN ISPA DI KECAMATAN SUMBER KABUPATEN CIREBON TAHUN 2011 Herlinawati, Nor Andryany Chusniah 3. HUBUNGAN TINGKAT KONSUMSI MAKANAN, STATUS GIZI, DAN PERSEN CARDIOVASKULAIR LOAD (CVL) DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PADA PEKERJA WANITA DI GUDANG TEMBAKAU Lilis Banowati, Asih Widajat, Merita 4. HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KUSTA DI KABUPATEN CILACAP TAHUN 2010. Anto Purwanto 5. STUDI KOMPARASI DAMPAK PENGGUNAAN AC (AIR CONDITIONING) PADA BUS TERHADAP TINGKAT KELELAHAN PENGEMUDI Rena Meiliani, Sri Maywati 6. PENGARUH PEMBERIAN PENDIDIKAN KESEHATAN GIGI OLEH DOKTER KECIL TERHADAP ORAL HYGIENE INDEX SIMPLIFIED MURID SDN SINDANGGALIH KOTA TASIKMALAYA TAHUN 2011 Anie Kristiani, Aan Kusmana, Winda Fratiwi 7. PENGATURAN KEBIASAAN KONSUMSI MAKAN (KARIOGENIK DAN PENCEGAH KARIES) SERTA PRAKTEK KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT SEBAGAI UPAYA PENURUNAN KEPARAHAN KARIES GIGI PADA ANAK SEKOLAH DASAR Lilik Hidayanti, Nur Lina 8. DAMPAK PENGGUNAAN AIR TANAH TERHADAP KADAR MERKURI (HG) DARAH MASYARAKAT DESA KARANGLAYUNG KECAMATAN KARANGJAYA KABUPATEN TASIKMALAYA Andik Setiyono, Mirwan Rachmadi Yusuf
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Siliwangi Tasikmalaya
ISSN 1693-9654
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Volume 8, nomor 1, Maret 2012
KETUA PENYUNTING H. Kamiel Roesman Bachtiar
WAKIL PENYUNTING Nur Lina
PENYUNTING PELAKSANA Lilik Hidayanti Sri Maywati Kiki Korneliani
PEMBANTU PELAKSANA Nurhaelah
Alamat Redaksi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Siliwangi Tasikmalaya Jl. Siliwangi No. 24 Tasikmalaya Telp : 0265-330634 Fax : 0265-325812 Email :
[email protected]
ISSN 1693-9654
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Volume 8, nomor 1, Maret 2012
DAFTAR ISI PENYUNTING ............................................................................................................................................... i DAFTAR ISI..................................................................................................................................................... ii PENGANTAR REDAKSI ................................................................................................................................ iii Penggunaan Pil Kontrasepsi Dan Hipertensi Pada Wanita 20-45 Tahun Di Puskesmas Banjar 3 Kota Banjar Tahun 2011 Siti Novianti .................................................................................................................................................. 573 Hubungan Hubungan Kemampuan Akademis, Motivasi Kerja Petugas Puskesmas Dengan Mutu Pelayanan Ispa Di Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon Tahun 2011 Herlinawati1, Nor Andryany Chusniah2 ......................................................................................................... 580
Hubungan Tingkat Konsumsi Makanan, Status Gizi, Dan Persen Cardiovaskulair Load (Cvl) Dengan Produktivitas Kerja Pada Pekerja Wanita Di Gudang Tembakau Lilis Banowati1, Asih Widajat2, Merita3.................................................................................................... 592 Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010 Anto Purwanto ............................................................................................................................................. 607 Studi Komparasi Dampak Penggunaan Ac (Air Conditioning) Pada Bus Terhadap Tingkat Kelelahan Pengemudi Rena Meiliani1, Sri Maywati2 ...................................................................................................................... 621 Pengaruh Pemberian Pendidikan Kesehatan Gigi Oleh Dokter Kecil Terhadap Oral Hygiene Index Simplified Murid Sdn Sindanggalih Kota Tasikmalaya Tahun 2011 Anie Kristiani1, Aan Kusmana2, Winda Fratiwi3....................................................................................... 631 Pengaturan Kebiasaan Konsumsi Makan (Kariogenik Dan Pencegah Karies) Serta Praktek Kebersihan Gigi Dan Mulut Sebagai Upaya Penurunan Keparahan Karies Gigi Pada Anak Sekolah Dasar Lilik Hidayanti1, Nur Lina2 ........................................................................................................................... 638 Dampak Penggunaan Air Tanah Terhadap Kadar Merkuri (Hg) Darah Masyarakat Desa Karanglayung Kecamatan Karangjaya Kabupaten Tasikmalaya Andik Setiyono, Mirwan Rachmadi Yusuf ............................................................................... 654
ISSN 1693-9654
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Volume 8, nomor 1, Maret 2012
PENGANTAR REDAKSI
Alhamdulillah pada bulan Maret tahun 2012 ini Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Siliwangi Tasikmalaya kembali menerbitkan Jurnal kesehatan komunitas yang merupakan terbitan ke 1. Jurnal ini memuat hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan kesehatan yang telah dilakukan oleh civitas akademika FKM UNSIL sebagai perwujudan dari pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi dan hasil Penelitian dari Stikes Cirebon dan Politeknik Kesehatan Tasikmalaya Jurusan Keperawatan Gigi. Pada terbitan pada periode kali ini diketangahkan 8 (delapan) judul tulisan yang meliputi bidang ilmu Epidemiologi, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja, Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Gizi Masyarakat serta Kesehatan Reproduksi. Kami sangat berharap penerbitan Jurnal Kesehatan Komunitas dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu kesehatan, para peneliti serta para pembaca setia jurnal ini, serta besar harapan kami partisipasi dari para praktisi di bidang kesehatan untuk dapat berperan serta mengkontribusikan tulisannya demi pengkayaan jurnal ini. Di samping itu kami juga menantikan kritik dan masukan yang membangun demi untuk peningkatan kualitas dari jurnal kami.
Tasikmalaya, Maret 2012
Redaksi
1. Penggunaan Pil Kontrasepsi Dan Hipertensi Pada Wanita 20-45 Tahun Di Puskesmas Banjar 3 Kota Banjar Tahun 2011 Siti Novianti 2. Hubungan Hubungan Kemampuan Akademis, Motivasi Kerja Petugas Puskesmas Dengan Mutu Pelayanan Ispa Di Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon Tahun 2011 Herlinawati1, Nor Andryany Chusniah2 3. Hubungan Tingkat Konsumsi Makanan, Status Gizi, Dan Persen Cardiovaskulair Load (Cvl) Dengan Produktivitas Kerja Pada Pekerja Wanita Di Gudang Tembakau Lilis Banowati1, Asih Widajat2, Merita3 4. Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Tahun 2010. Anto Purwanto 5. Studi Komparasi Dampak Penggunaan Ac (Air Conditioning) Pada Bus Terhadap Tingkat Kelelahan Pengemudi Rena Meiliani1, Sri Maywati2 6. Pengaruh Pemberian Pendidikan Kesehatan Gigi Oleh Dokter Kecil Terhadap Oral Hygiene Index Simplified Murid Sdn Sindanggalih Kota Tasikmalaya Tahun 2011 Anie Kristiani1, Aan Kusmana2, Winda Fratiwi3 7. Pengaturan Kebiasaan Konsumsi Makan (Kariogenik Dan Pencegah Karies) SertaPraktek Kebersihan Gigi Dan Mulut Sebagai Upaya Penurunan Keparahan Karies Gigi Pada Anak Sekolah Dasar Lilik Hidayanti1, Nur Lina2
HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KUSTA DI KABUPATEN CILACAP TAHUN 2010 Anto Purwanto1 ABSTRAK Kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh mykobakterium lepra. Kusta menurut kementrian Republik Indonesia masih ada 14 propinsi yang kejadiannya masih tinggi salah satunya Jawa Tengah. Penderita Kusta di Jawa Tengah Sebanyak 1869 dan salah satu kabupaten penyumbangnya adalah Cilacap. Data kusta sampai tahun 2009 berjumlah 35 yang ditemukan secara pasif dan kemungkinan masih banyak kasus lain karena belum ada penemuan penderita secara aktif. Kusta ini disebabkan oleh risiko berupa lingkungan fisik rumah yang tidak memnuhi syarat dan kondisi yang tidak secara langsung berhubungan yaitu factor ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi factor lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian kusta. Desain studi penelitian ini adalah kasus kontrol dengan jumlah populasi atau sampel sebanyak 70 yang terdiri dari 35 kasus dan 35 kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan yaitu suhu (p value=0,001), dinding rumah (pvalue=0,001), lantai rumah, (pvalue=0,001), ventilasi rumah (p value= 0,001), pencahayaan rumah (pvalue=0,001), kelembaban rumah (p value=0,001) dengan kejadian kusta. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa variabel suhu, dinding, lantai, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, merupakan factor risiko dalam kejadian kusta dan saran dalam penelitian ini adalah Agar dari pemerintah supaya mengadakan intervensi yang lebih tegas terhadap perbaikan rumah yang kurang memenuhi syarat dan agar penyuluhan ditegaskan supaya tidak kontak dengan penderita, kemudian masyarakat supaya memperbaiki rumahnya agar rumah tersebut bisa bersih dan sehat serta hindari kontak dengan penderita. Kata kunci Kepustakaan
: Faktor risiko, Kusta, lingkungan fisik rumah. : 23 (1990-2006)
ABSTRACT Leprosy is a chronic infectious disease caused by leprosy mykobakterium. Leprosy according to the ministry of the Republic of Indonesia is still there 14 was a high incidence province of Central Java one. Leprosy Patients A total of 1869 in Central Java and one of the contributors are Cilacap district. Data leprosy until the year 2009 amounted to 35 are found to be passive and probably many other cases because there has been no discovery of active patients. Leprosy is caused by the risk of a physical environment that is not the home meets the terms and conditions that are not directly related to the economic factor. The purpose of this study is to identify environmental factors associated with the physical home of leprosy incidence. The design of this study is a case-control study with a population of as many as 70 or sample consisting of 35 cases and 35 controls. The results showed that the temperature-related variables (p value = 0.001), walls (pvalue = 0.001), floor of the house, (pvalue = 0.001), home ventilation (p value = 0.001), home lighting (pvalue = 0.001), humidity of the home (p value = 0.001) with the 1
Pengajar Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Siliwangi Tasikmalaya
Jurnal Kesehatan Komunias Indonesia Vol. 8, No. 1, Maret 2012
incidence of leprosy. Conclusions in this study is that the variable temperature, walls, floors, ventilation, lighting, humidity, a risk factor in the incidence of leprosy and suggestions in this study was order of the government to intervene more decisively against the home improvement and less qualified for counseling confirmed that no contact with patients, and society in order to repair his house to clean and healthy and avoid contact with patients. Key words: risk factors, Leprosy, the physical environment of the house. Bibliography: 23 (1990-2006)
LATAR BELAKANG Kusta atau lepra atau disebut juga penyakit Morbus Hansen, Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata (Depkes, 2008). Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan pada 55 negara di dunia, sekitar 16 negara terbanyak di dunia dimana negara kita, Indonesia termasuk urutan ke tiga, dibawah India dan Brazil. Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization) telah mengeluarkan strategi global untuk terus berupaya menurunkan beban penyakit kusta dalam: ”Enhanced global strategy for futher reducing the disease burden due to leprosy 2011 – 2015”; dimana target yang ditentukan adalah penurunan sebesar 35% kusta pada akhir tahun 2015 berdasarkan data tahun 2010. Dengan demikian, tahun 2010 merupakan tonggak penentuan pencapaian target tersebut (Depkes, 2008). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat, sampai akhir 2008 ada 17.441 kasus kusta baru di Indonesia. Sebanyak 1500-1700 kasus kecacatan akibat kusta setiap tahunnya juga masih ditemukan karena kebanyakan penyakit terlambat terdeteksi sehingga terlanjur menyebabkan kerusakan organ tubuh.
Menurut data Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, saat ini masih ada 14 propinsi yang mempunyai beban kusta yang tinggi dengan angka penemuan kasus baru lebih dari 10 per 100 ribu atau penemuan kasus barunya melebihi seribu kasus per tahun.
Daerah yang
memiliki beban kusta tinggi antara lain DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, seluruh Sulawesi, seluruh Papua dan Maluku (Maryati 2010).
608
Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta di Kabupaten Cilacap Tahun 2010 Anto Purwanto Penderita kusta tahun 2007 di Jawa Tengah sebanyak 1869 penderita yang terbagi atas penderita tipe PB (Pausebasiler) atau kusta tipe kering sebanyak 167 penderita dan penderita tipe MB (Multibasiler) atau kusta tipe basah sebanyak 1702 penderita (bankdata.depkes.go.id 2010).
Angka
Penemuan kasus baru, CDR (Case detection rate) kusta di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008 sebesar 4,9/100.000 penduduk dengan prevalensi 0,66/10.000 penduduk, mengalami sedikit peningkatan bila dibandingkan dengan CDR tahun 2007 sebesar 4,61/100.000 dengan prevalensi 0,62/10.000 penduduk. Peningkatan angka CDR menunjukkan adanya peningkatan dalam penemuan kasus baru. (Profil Dinas Kesehatan Jawa Tengah 2008). Sedangkan data penderita kusta di Kabupaten Cilacap dimana kabupaten ini menargetkan tidak boleh ada kusta walaupun satu penderita, sehingga apabila ada 1 kasus maka hal tersebut merupakan suatu kejadian luar biasa, tetapi ternyata pada tahun 2009 terjadi kasus sebanyak 32 penderita tipe MB (Multibasiler) dan 3 penderita tipe PB (Pausebasiler). Penderita kusta cacat tingkat 2 sebesar 14,3% dan penderita kusta pada anak dibawah 15 tahun sebesar 6,3% (Data Kusta Dinkes Kabupaten Cilacap 2009). Dengan ditemukannya penderita kusta tipe MB, cacat tingkat 2, dan penderita kusta pada anak merupakan indikator penderita kusta sangat terlambat mendapat pengobatan. Sekitar 88 % pasien menderita kusta tipe MB (Multibasiler) atau tipe basah. Kusta jenis itu dapat menular kepada orang lain. Penularan bisa melalui udara ketika kontak erat dan lama dengan pasien kusta. Ibu penderita kusta sangat mungkin menularkan penyakit kepada anak dan keluarganya (Aria, 1995). Penemuan kusta ini terjadi pada 19 puskesmas dari 33 kecamatan yang ada di Cilacap dan tersebar di setiap pelosok(Profil Dinas Kabupaten Cilacap, 2009). Minimnya pengetahuan tentang kusta menyebabkan pengidap terlambat berobat sehingga menimbulkan cacat dan berpotensi menularkan kuman. Masa inkubasi kusta yang panjang, bisa lebih dari 10 tahun dan tanpa rasa sakit menyebabkan
pengidap
kerap
tidak
menyadari
dirinya
terkena
kusta
(Permanasari 2010), sehingga hal tersebut berdampak pada kasus kusta yang setiap tahunnya meningkat. Faktor lain yang memberikan kontribusi terhadap tingginya kejadian kusta yaitu perilaku masyarakat yang dapat menyebabkan terjadinya kusta seperti; tingkat pendidikan yang masih rendah dimana masih ada yang tidak tamat SD diwilayah Cilacap tersebut.. Faktor lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti; ventilasi, pencahayaan 609
Jurnal Kesehatan Komunias Indonesia Vol. 8, No. 1, Maret 2012
yang buruk dimana jendela jarang dibuka, kelembaban, suhu, jenis lantai, kepadatan hunian, jenis dinding memperparah kejadian tersebut karena lingkungan fisik tersebut menyebabkan kuman kusta bisa berkembang secara optimal dan perkembangannya akan semakin meningkat karena ada factor lain yang mendukung. Selain factor lingkungan fisik juga kepadatan hunian dimana penderita
akan
banyak
kontak
dengan
non
penderita
sehingga
akan
menyebabkan menularnya penyakit kusta ke anggota keluarga yang lain. Kondisi lain yang menyebabkan tingginya angka kusta ini adalah factor prilaku hidup bersih dan sehat. Berdasarkan hasil observasi ternyata penderita kusta bermukim di daerah terisolir dan kumuh, dimana kebiasaan dan fasilitas sanitasinya sangat kurang sehingga prilaku hidup bersih dan sehat para penderita kusta jauh dari yang diharapkan, sehingga Hal tersebut memberikan sinyal semakin kuatnya kejadian kusta akan terjadi. (Suharso, 2009). Gambaran diatas sangat menarik untuk dicermati, oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti mengenai factor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kusta di kabupaten cilacap KERANGKA KONSEP Variabel bebas
Variable Terikat
Kepadatan Hunian Rumah Kepadatan Hunian Tempat Tidur Suhu Kamar Jenis dinding rumah
Penyakit kusta
Jenis Lantai rumah Ventilasi Rumah Pencahayaan Kelembaban
610
Variabel Penggangu Riwayat kontak
Frekwensi mandi
Pemakaian handuk
Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta di Kabupaten Cilacap Tahun 2010 Anto Purwanto METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik dengan metode survey dan pendekatan kasus kontrol. Studi analitik inii adalah riset epidemiologi yang bertujuan untuk memperoleh penjelasan tentang hubungan lingkungan dengan kejadian penyakit kusta. Sedangkan pendekatan pada kasusKontrol (Case Control Study) yaitu mengidentifikasi kasus terlebih dahulu, disusul mengidentifikasi kontrol. Setelah itu, diselidiki beberapa faktor risiko yang disangka sebagai penyebab suatu kejadian kusta HASIL PENELITIAN NO 1
Variabel Kepadatan Hunian
P Value 0,001
Keterangan Ada Hubungan
2 3 4 5 6 7 8
Kepadatan Hunian Kamar Suhu Dinding Rumah Lantai Rumah Ventilasi Pencahayaan Kelembaban
0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001
Ada Hubungan Ada Hubungan Ada Hubungan Ada Hubungan Ada Hubungan Ada Hubungan Ada Hubungan
PEMBAHASAN Hubungan Kepadatan Hunian Rumah Dengan Kejadian Kusta Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian kusta. Hal ini terjadi karena Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni > 9 m² per orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 9 m² per orang (Lubis, 1989). Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena selain menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama kusta akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan 2-3 orang di dalam rumahnya. Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit, semakin padat maka perpindahan penyakit
611
Jurnal Kesehatan Komunias Indonesia Vol. 8, No. 1, Maret 2012
akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian kusta. Penyebaran kusta ini terjadi seperti pada TBC dimana cairan yang menempel pada sofa ataupun tempat tidur serta lantai, apabila cairan tersebut yang menempel sudah menjadi kering maka cairan itulah yang akan menyebarkan kuman kusta lewat udara, sehingga apabila kepadatannya tinggi tentunya akan lebih berisiko terhadap kejadian kusta. Untuk itu Departemen Kesehatan telah membuat peraturan tentang rumah sehat dengan rumus jumlah penghuni/luas bangunan. Hubungan Kepadatan Hunian Kamar Dengan Kejadian Kusta Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian kusta hal ini terjadi karena pada penelitian ini responden yang terkena penyakit kusta sebagian besar ada saudara ataupun suami istri sehingga dari gambaran tersebut terlihat bahwa apabila mereka tingga dalam satu kamar ditambah lagi dengan kepadatan kamar yang tinggi maka penyakit kusta tentunya akan lebih mudah untuk menyebar karena antara penderita dengan non penderita sering mengalami kontak. karena rata-rata responden dalam penelitian ini tidurnya dalam satu kamar hampir 5 orang karena dilihat dari pekerjaan mereka adalah buruh atau serabutan yang menurut mereka tidak akan mencukupi untuk memperbaiki rumah mereka sehingga mereka tinggal seadanya dan bertumpuk-tumpuk. Dalam penelitian ini ada tiga keluarga yang tinggal dalam satu rumah
sedangkan
rumahnya hanya memiliki 3 kamar, kemudian Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah sering mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, karena jarak ke tempat pelayanan sangat jauh butuh waktu sekitar 3 jam, petugas puskesmas untuk bidang kusta yang sedikit hampir tiap puskesmas punya 1 atau 2 petugas sehingga bisa melayani kasus secara maksimal, sehingga penyakit kusta menjadi ancaman bagi mereka (Soewasti,1997) Syarat rumah dianggap sehat adalah 9 m² per orang (Depkes, 2003), jarak antara tempat tidur satu dan lainnya adalah 70 cm, kamar tidur sebaiknya tidak dihuni 2 orang atau lebih kecuali di bawah 2 tahun. Hubungan Suhu Dengan Kejadian Kusta Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa suhu ada hubungan antara suhu dengan kejadian kusta. Hal ini terjadi karena suhu dalam rumah rata-rata memiliki rentang suhu yang optimal untuk perkembangan kuman kusta yaitu 612
Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta di Kabupaten Cilacap Tahun 2010 Anto Purwanto berkisar antara 31-370C. Hal ini terjadi karena dari hal penelitian terlihat bahwa seluruh rumah responden yang terkena kusta mempunyai karakteristik yang sama yaitu tinggi rumahnya hanya 2 m dengan atap rumah memakai seng sehingga rumah menjadi pengap dan panas. Hasil pengukuran suhu sesuai untuk perkembangan kusta sehingga hal ini mendukung terjadinya kusta. Hal ini sejalan dengan apa yang di tulis Walton (1991), bahwa suhu berperan penting dalam metabolisme tubuh, konsumsi oksigen dan tekanan darah. Sedangkan Lennihan dan Fletter (1989), mengemukakan bahwa suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan kehilangan panas tubuh dan tubuh akan berusaha menyeimbangkan dengan suhu lingkungan melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini akan menurunkan vitalitas tubuh dan merupakan predisposisi untuk terkena infeksi terutama infeksi saluran nafas oleh agen yang menular. Sedangkan menurut Gould & Brooker (2003), bakteri yang bersifat BTA seperti kusta dan mycobakterium tuberkulosis memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang ini terdapat suatu suhu optimum saat mereka tumbuh pesat. Kuman ini merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-40ºC, akan tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37ºC (Depkes RI). Hubungan Dinding Rumah Dengan Kejadian Kusta Analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara dinding rumah dengan kejadian kusta. Hal ini terjadi karena seperti yang telah di kemukakan diatas bahwa karakteristik lingkungan fisik rumahnya seluruhnya sama yaitu rumah yang terbuat dari selain tembok, ventilasi tertutup, atap rumah terbuat dari seng, tidak ada pencahayaan matahari yang masuk hal ini bisa dilihat dari foto lampiran. Sehingga kondisi ini tentunya akan mempermudah diam di dalam dinding tersebut karena dinding yang terbuat dari selain tembok sulit untuk dibersihkan sehingga bakteri tentunya akan terus berkembang ditambah dengan keadaan yang mendukung terhadap perkembangbikan kusta. Hal ini sejalan dengan aturan Permenkes 1999 bahwa Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun angin serta melindungi dari pengaruh panas. Beberapa bahan pembuat dinding adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata dan lain sebagainya, tetapi dari beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau tembok (permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah dibersihkan. Dinding ruang tidur, ruang keluarga 613
Jurnal Kesehatan Komunias Indonesia Vol. 8, No. 1, Maret 2012
harus dilengkapi dengan sarana ventilasi yang berfungsi untuk pengaturan udara, karena dinding dapat memberikan kontribusi terciptanya kelembaban dan temperatur
yang
memungkinkan
suatu
bibit
penyakit
akan
mati
atau
berkembangbiak, tumbuh pada kelembaban dan temperatur tertentu.(Depkes RI: 2003) Hubungan lantai Rumah Dengan Kejadian Kusta Analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan lantai rumah dengan kejadian kusta. Hal initerjadi karena dalam penelitian ini hampir seluruhnya responden memiliki lantai yang tidak terbuat dari ubin tetapi pester semen yang sudah rusak dan ada yang berasal dari tanah. Tentunya kondisi ini akan mempermudah perkembangbikan bakteri didalam tanah karena lantai yang kondisinya seperti itu tidak dapat dibersihkan dengan desinfektan ataupun lisol Karena terbuat dari tanah ataupun plester yang sudah rusak. Hal ini sejalan dengna yang ditulis Depkes RI (2003) bahwa Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, kontruksi lantai rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah dibersihkan dari kotoran dan debu. Selain itu dapat menyebabkan meningkatnya kelembaban dalam ruangan. Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai rumah sebaiknya dinaikan 20 cm dari permukaan tanah. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air sehingga lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah seperti tegel, semen, keramik. Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan perkembangbiakan kuman dan vektor penyakit, menjadikan udara dalam ruangan lembab, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air seperti tegel, semen atau keramik. Hubungan Ventilasi Rumah Dengan Kejadian Kusta Analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian kusta. Hal ini terjadi karena dalam penelitian ini responden yang mengalami kejadian kusta tidak mempunyai ventilasi yang memadai bahkan sebagian besar tidak mempunyai ventilasi hanya jendela yang dipatenkan sehingga tidak bisa di buka. Hal ini akan menyebabkan terjadinya lingkungan yang dapat mendukung terhadap perkembangan kuman kusta karena tidak bergantinya udara yang bersih dengan udara yang kotor sehingga akan pengap 614
Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta di Kabupaten Cilacap Tahun 2010 Anto Purwanto dan bau yang membuat kuman bisa berkembang secara optimal.hal ini sejalan dengna yang ditulis Depkes Ri (1989) bahwa
Rumah dengan luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilai rumah yang <10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya.
Disamping
itu,
tidak
cukup
ventilasi
akan
menyebabkan
peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi mediayang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman kusta. Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis dan kusta, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir (Notoatmodjo, 2003). Selain itu, luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis dan kusta yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan. Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi udara dalam rumah serta mengurangi kelembaban. Keringat manusia juga dikenal mempengaruhi kelembaban. Semakin banyak manusia dalam satu ruangan kelembaban semakin tinggi khususnya karena uap air baik dari pernapasan maupun keringat. Kelembaban dalam ruang tertutup dimana banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi dibanding kelembaban di luar ruang. Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara juga dengan kata lain mengencerkan konsentrasi kuman tuberkulosis dan kusta serta kuman lain terbawa keluar dan mati terkena sinar ultra violet. Ventilasi juga dapat merupakan tempat untuk memasukan cahaya ultra violet. Hal ini akan semakin baik apabila konstruksi rumah menggunakan genteng kaca (Kepmenkes, 1999;Depkes 2003). Hubungan Pencahayaan Rumah Dengan Kejadian Kusta Analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian kusta. Hal ini terjadi karena dalam penelitian ini pencahayaan 615
Jurnal Kesehatan Komunias Indonesia Vol. 8, No. 1, Maret 2012
responden khususnya yang kusta tidak dapat masuk sehingga tentunya tidak bisa membunuh kuman yang ada didalam rumah karena pencahayaan dari sinar matahari dapat membunuh kuman sedangkan rumah yang berada pada responden kontrol memiliki pencahayaan sinar matahari yang dapat masuk. Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup khususnya cahaya alam berupa cahaya matahari yang berisi antara lain ultra violet. Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat tidak menyilaukan. Pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat berisiko 2,5 kali terkena tuberkulosis dibanding penghuni yang memenuhi persyaratan di Jakarta Timur (Pertiwi, 2004) dan pada kusta pun terjadi hal yang sesuai dengan TB tersebut. Semua cahaya pada dasarnya dapat mematikan, namun tentu tergantung jenis dan lama cahaya tersebut. Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genteng kaca (Notoatmodjo, 2003). Hubungan Kelembaban Rumah Dengan Kejadian Kusta Analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian kusta. Hal ini terjadi rumah responden yang terkena kasus mempunyai kelembaban yang cukup baik untuk perkembangan kuman kusta sehingga terjadi yang namanya penyakit berbeda dengan rumah responden yang tidak mengalami kusta dimana rumahnya mempunyai tingkat kelembaban yang tidak sesuai untuk perkembangan kuman kusta. Hal ini sejalan dengan yang ditulis oleh Gould & Brooker (2003) bahwa
rumah
yang
tidak
memiliki
kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Bakteribakteri pada umumnya akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Selain itu kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen.
616
Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta di Kabupaten Cilacap Tahun 2010 Anto Purwanto Kelembaban
merupakan
sarana
yang
baik
untuk
pertumbuhan
mikroorganisme, termasuk kuman tuberkulosis sehingga viabilitas lebih lama. Seperti telah dikemukakan, kelembaban berhubungan dengan kepadatan dan ventilasi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan a. Ada hubungan secara bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian kusta dengan p value 0,0001 b. Ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian kusta dengan p value 0,0001 c. Ada hubungan yang bermakna antara suhu dalam rumah dengan kejadian kusta dengan p value 0,0001 d. Ada hubungan yang bermakna antara dinding rumah dengan kejadian kusta dengan p value 0,0001 e. Ada hubungan yang bermakna antara lantai rumah responden dengan kejadian kusta dengan p value 0,0001 f.
Ada hubungan yang bermakna ventilasi rumah dengan kejadian kusta dengan p value 0,0001
g. Ada hubungan yang bermakna antara pencahayaan rumah dengan kejadian kusta dengan p value 0,0001 h. Ada hubungan yang bermakna antara kelembaban rumah dengan kejadian kusta dengan p value 0,0001
Saran Bagi Dinas Kesehatan Cilacap a. Agar program pemberantasan kusta bisa dilaksanakan pada masalah yang terjadi yaitu faktor lingkungan fisik rumah dan kontak dengan penderita yang lain b. Adanya percontohan dari dinas mengenai rumah yang sehat sehingga masyarakat terhindar dari kejadian kusta Bagi Masyarakat a. Agar dapat memperbaiki kondisi rumah supaya terhindari dari kejadian kusta b. Usahakan tidak kontak dengan penderita kusta karena kusta dapat menular dan kusta bukan merupakan penyakit keturunan 617
Jurnal Kesehatan Komunias Indonesia Vol. 8, No. 1, Maret 2012
DAFTAR PUSTAKA Amirudin, M.D., 2007 Penyakit Kusta di Indonesia ; Masalah dan Penanggulangannya http://ridwanamiruddin.wordpress.com/2007/05/23/abstrak-penelitianepidemiologi-program-s2-epidemiologi-unhas/ diakses tanggal 27 Maret 2008 Badan Pusat Statistik, 2007 Cilacap Dalam Angka, BPS Kabupaten Cilacap Basri M., 2003 Faktor – Faktor Determinan Permintaan Pelayanan Kesehatan Penderita Kusta Cacat Tingkat 2 di Sulawesi Selatan Tahun 2003. http://www.litbangdasulsel.go.id/modules.php?name=Peningk_khm&file=detail&id=2004102 0220054. Diakses 27 April 2008 Basuki, B. 2000. Aplikasi Metode Kasus-Kontrol. Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI, Jakarta Bidang DIKBUD KBRI Tokyo, 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional.2003. http://www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas.pdf .Diakses 5 Mei 2008. Brakel, V., Kaur, H., (2002) Leprosy Review ; Is Beggary a Chosen Profession Among People Living in Leprosy Colony, The Leposy Mission India, NewDelhi 110 001, India. 21 Juni 2008. Cross Hugh 2002 “ The prevention of disability for people affected by leprosy : whoose attitude needs to change?” http://www.leprosy-review.org.uk/ diakses tanggal 27 Desember 2007 Depkes RI, 2006, Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, cetakan XVIII, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta ------------, 2007, Modul Pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK, Subdirektorat Kusta Dan Frambusia, Jakarta. Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap. 2007. Profil Kesehatan Kabupaten Cilacap. Dinkes Gorontalo (2005) ”Beberapa faktor yang mempengaruhi keteraturan berobat penerita kusta di Propinsi Gorontalo” http://dinkes.gorontalo.web.id/index.php?option=com_content&task=vie w&id=24&Itemid=52 diakses 16 April 2008 Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2006, Buku Pedoman Surveilans Penyakit, Semarang. Farrokh, Ebrahim, Ghobad et all, “The study of disability status of live leprosy patients in Kurdistan province of Iran” http://www.pjms.com.pk/issues/octdec207/article/article7.html Akses 28 Januari 2008 618
Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta di Kabupaten Cilacap Tahun 2010 Anto Purwanto Ganapati , R., Pai, W., Kingsley S , 2003 “Disability prevention and management in leprosy : A field Experience Volume : 69 page : 369-374 http://ijdvl.com/article.asp?issn di akses tanggal 26 Maret 2008 Ghimire, 1997, “ Secondary Deformity in Leprosy : A sosio-ekonomi perspective” http://www.aifo.it/english/resources/online/apdrj/apdrj102/leprosy.pdf diekses tanggal 12 Maret 2008 Hastono, P., 2001, Modul Analisa Data, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Muhammed K., Nandakumar G., Thomas S., 2004. ” Disability rates in Leprosy” www.ijdvl.com/article.asp?issn=03786323;year=2004;volume=70;issue=5;spage=314;epage=316;aulast=Singhi 33k -. Diakses 12 April 2008
-
Murti, B. 1995, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Gadjah Mada University Press ----------- 2003, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, edisi kedua, jilid pertama. Gadjah Mada University Press. Notoatmodjo, 1997 , Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT Rineka Cipta, Jakarta ---------------- 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta Peters E., and Eshiet (2002) “ Male-female (sex) differences in leprosy patients in south Eastern Nigeria : fameles present late for diagnosis and teatment and have higher rates of deformity” http://www.lepra.org.uk/lr/sept02/Lep262_267.pdf diakses 12 Desember 2007 Purnaningsih, 2003 Penelitian kecacatan penderita kusta di RSU Tugurejo Semarang, 2002 http://www.fkmundip.or.id/data/index.php?action=4&idx=234 diakses tanggal 06April2008 Sow SO., Tiendrebeogo A., Lienhardt C., at al 1998. Leprose as a cause of Physical Disability in Rural and Urban Areas of Mali, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9794042 Leprse revie, volume 8 (4) pp. 297-302.Diakses 16 April 2008 Srinivasan, 2004, “Leprosy d Daumerie Global Epidemiology of Infectious Diseases” http://whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241592303_chap7.pdf diakses tanggal 2 Desember 2007 Tarusaraya, Halim P., 1996 “Penelitian Kecacatan Pasien Kusta di RSK Sitanala, Tangerang” www.kalbe.co.id/files/cdk/files/01DaftarIsi117.pdf/01DaftarIsi117.html - 13k - Diakses 12
Pebruari 2008 619
Jurnal Kesehatan Komunias Indonesia Vol. 8, No. 1, Maret 2012
Zulkifli.
2003.
Penyakit
Kusta
dan
Masalah
yang
Ditimbulkannya.
library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf. Diakses tanggal 18 April 2008. WHO, 2007. Action Progamme For The Elimination of Leprosy, Status Report 1996, World Health Organization, Genewa, Switzerland, pp.1-18.
620