JURNAL KESEHATAN KARYA HUSADA
VOL.3
NO.1JANUARI 2015
PELAKSANAAN UJI KOMPETENSI OSCA LULUSAN D3 KEBIDANAN DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (STUDI KASUS DI SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH YOGYAKARTA) TAHUN 2012 Fathiyatur R 1, Prof. Dr. Samsi Haryanto, M.Pd 2, dr. Jarot S, M.Kes3 Magister Kedokteran Keluarga Program PASCASARJANA UNS
[email protected] ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mendiskripsikan; 1) Proses pendaftaran peserta uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan yang dilaksanakan di STIKes ‘Aisyiyah Yogyakarta; 2) Proses penyusunan soal uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan yang dilaksanakan di STIKes ‘Aisyiyah Yogyakarta; 3) Proses pelaksanaan uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan yang dilaksanakan di STIKes ‘Aisyiyah Yogyakarta; 4) Hasil yang dicapai uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan yang dilaksanakan di STIKes ‘Aisyiyah Yogyakarta; 5) Kendala uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan yang dilaksanakan di STIKes ‘Aisyiyah Yogyakarta.
Metode Penelitian ini dilakukan di Stikes Aisiyah Yogyakarta, menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi terhadap 5 informan kunci, yaitu ketua MTKP Yogyakarta, Ketua IBI Provinsi Yogyakarta, dosen Stikes ‘Aisiyah, dan 2 peserta uji kompetensi. Proses pengumpulan data dilakukan dengan in-depth interviewing,content analysis, dan observation. Data karakteristik responden disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi, sedangkan analisa hipotesis dilakukan dengan metode trianggulasi. Kesimpulan;1) Proses pendaftaran peserta uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan wilayah Provinsi DIY yang dilaksanakan di STIKes ‘Aisyiyah Yogyakarta telah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh MTKP, perbedaan pada jumlah foto yang dikumpulkan, yaitu tiga lembar ukuran 4x6 standar ketetapan MTKP, dan ukuran 3x4 pada proses pelaksanaan; 2) Proses penyusunan soal uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan wilayah Provinsi DIY yang dilaksanakan di STIKes ‘Aisyiyah Yogyakarta secara umum telah memenuhi standar yang ditetapkan MTKP dengan melibatkan IBI Daerah dan Institusi Pendidikan Bidan, dengan bentuk soal berupa vignnete, dengan materi ANC, Persalinan, Nifas, BBL, KB, Kespro dan Etika; 3) Proses pelaksanaan uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan wilayah Provinsi DIY yang dilaksanakan di STIKes ‘Aisyiyah Yogyakarta secara umum sudah sesuai standar yang ditetapkan oleh MTKP, sedangkan jadwal pelaksanaan sebanyak 2-3 kali dalam setahun; 4) Hasil yang dicapai uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan wilayah Provinsi DIY yang dilaksanakan di STIKes ‘Aisyiyah Yogyakarta secara jumlah peserta mengalami peningkatan, tetapi prosentase kelulusan mengalami penurunan; dan 5) Kendala uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan wilayah Provinsi DIY yang dilaksanakan di STIKes ‘Aisyiyah Yogyakarta terdiri dari; Informasi pelaksanaan uji kompetensi yang terkesan mendadak; Banyak peserta yang sakit sehingga tidak bisa hadir atau datang terlambat; Waktu pelaksanaan uji kompetensi mundur; Ada beberapa alat uji praktik yang perlu diperbaiki; Prosedur pelaksanaan yang masih terkesan ribet dan ISSN 9772337649009
8
cheklist yang berbeda-beda antara tiap institusi pendidikan; Kesiapan mahasiswa yang kurang; dan Penguji yang izin mendadak dan mengganggu konsentrasi peserta. Kata Kunci :Uji Kompetensi, Objective Structured Clinical Assessment(OSCA), MTKP, Profesi Bidan. BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi global yang berdampak hampir di seluruh negara di dunia bulan September tahun 2009 untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs) 2015. Beberapa tujuan MDGs terkait langsung dengan kesehatan ibu dan anak. Sebagai tolak ukur keberhasilan kesehatan, maka salah satu indikator terpenting untuk menilai kualitas pelayanan obstetri dan ginekologi di suatu wilayah adalah dengan melihat AKI dan AKB di wilayah tersebut. Hasil survey demografi dan kesehatan Indonesia tahun 2007 menyebutkan bahwa AKI tahun 2007 sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini turun dibandingkan AKI tahun 2002 yang mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) berdasarkan Estimasi Badan Pusat Statistik tahun 2007 sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup. Angka ini sedikit menurun jika dibandingkan dengan AKB tahun 2002-2003 yang sebesar 35 per1000 kelahiran hidup (Dinkes, 2007). Bidan sebagai pemberi pelayanan kebidanan merupakan ujung tombak dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka kematian Bayi (AKB). Salah satu konstribusi menurunkan AKI dan AKB adalah dengan memberikan pelayanan kebidanan yang berkualitas. Dalam upaya pengadaan tenaga bidan yang profesional sesuai dengan kewenangan yang tertuang dalam Keputusan Mentri Kesehatan Nomor 900 tahun 2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan, maka sejak tahun 1996 telah dilaksanakan Pendidikan Diploma III Kebidanan di Indonesia dengan menggunakan kurikulum yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Nomor 009/U/1996 tanggal 3 Januari 1996 tentang Kurikulum yang berlaku secara Nasional Program Diploma III Kebidanan dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.1.1.1990 tahun 1996 tentang berlakunya Kurikulum Institusi Program Diploma III Kebidanan di lingkungan Departemen Kesehatan (Sofjan, 2003). Ditetapkannya Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa dan adanya pembahan Kepmenkes 572 tahun 1996 menjadi Kepmenkes 900 tahun 2002 serta memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kurikulum Diploma III Kebidanan di sejumlah institusi yang tersebar di seluruh Indonesia telah dilakukan penyesuaian yang bertujuan untuk tetap menjaga mutu pelayanan kebidanan sehingga dari awal, calon bidan atau peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan profesional kebidanan dalam menerapkan ilmu dan konsep kebidanan. Seorang tenaga kesehatan bidan yang baik adalah bidan yang memiliki setidaknya tiga karakteristik yakni pengetahuan, perilaku, dan ketrampilan yang kompeten dibidangnya. Upaya peningkatan pengetahuan, perilaku dan ketrampilan tenaga kesehatan bidan yang bersifat kontinyu sangat diperlukan dalam mencapai tujuan keselamatan dan kesehatan ibu dan anak di tengah masyarakat. Salah satu upaya tersebut adalah dengan penguasaan standar minimal kompetensi yang harus dipenuhi oleh bidan yang akan berkarya dimasyarakat (PD.IBI DIY, 2011) Propinsi DIY yang juga dikenal sebagai kota pendidikan memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga mutu lulusan institusi pendidikannya. Tidak terkecuali lulusan institusi pendidikan DIII Kebidanan. Uji kompetensi bidan pertama kali diadakan pada
tahun 2007, dikelola dan diselenggarakan oleh organisasi IBI Provinsi DIY bekerja sama dengan Badan Mutu Pelayanan Kesehatan, dengan dukungan dari pihak Dinas Kesehatan Provinsi DIY sebagai pelindung dan penasehat kegiatan. Kegiatan uji kompetensi bidan di wilayah Provinsi DIY merupakan kegiatan yang wajib diikuti oleh bidan sebelum memperoleh/mengurus perpanjangan SIB (Surat Ijin Bidan). Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan mutu tenaga kesehatan bidan yang akan bertugas ditengah masyarakat sehingga diharapkan bidan-bidan tersebut adalah bidan-bidan yang berkwalitas dan memiliki kompetensi yang baik (PD.IBI.DIY, 2011) Penyelenggaraan Uji Kompetensi yang dikenal dengan OSCA (Objective Stuctured Clinical Assessment) atau OSCE (Objective Structured Clinical Examination) merupakan suatu metode penilaian mahasiswa atau lulusan pendidikan kesehatan yang lebih kompleks, yang dinilai bukan hanya dari kemampuan kognitif saja, melainkan juga sikap dan ketrampilan yang harus dimiliki oleh seseorang tenaga kesehatan (Turner and Dankoski, 2008). Sebagai gambaran, peserta uji kompetensi bidan yang dilaksanakan pada bulan November 2010 di Propinsi DIY, dari total 432 peserta bidan, hanya sejumlah 63 orang bidan yang lulus dalam sekali uji kompetensi. Tentunya hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi institusi pendidikan Kibidanan, Badan Mutu Profesi Kesehatan (BMPK); organisasi profesi bidan (IBI), dan Dinas Kesehatan Propinsi sebagai penyelenggara OSCA di Propinsi DIY. Menurut studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, uji kompetensi di Provinsi DIY pada bulan November 2010 diikuti oleh lulusan D3 kebidanan dari 8 institusi pendidikan kebidanan yang ada di wilayah Provinsi DIY. Terdiri dari 1 institusi pendidikan kebidanan negeri dan 7 institusi pendidikan kebidanan swasta. STIKES ‘Aisyiyah menjadi salah satu institusi kebidanan swasta dengan angka kelulusan tertinggi dalam uji kompetensi. Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin melakukan penelitian secara kualitatif yang meneliti tentang “Pelaksanaan uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Studi kasus di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta) Tahun 2012”. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teori Uji KOmpetensi 2.1.1.Kompetensi Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang tertentu (SK Mendiknas 045/U/2002). 2.1.2.Standar Kompetensi Bidan Menumt lampiran Keputusan Menteri KesehatanNomor:369/MENKES/SK/III/2007 a.
b.
c.
Kompetensi ke 1 : Bidan mempunyai persyaratan pengetahuan dan ketrampilan ilmu-ilmu sosial, kesehatan masyarakat dan etik yang membentuk dasar dari asuhan yang bermutu tinggi sesuai dengan budaya, untuk wanita, bayi baru lahir dan keluaganya. Kompetensi ke-2: Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, pendidikan kesehatan yang tanggap terhadap budaya dan pelayanan menyeluruh masyarakat dalam rangka untuk meningkatkan kehidupan keluarga yang sehat, perencanaan kehamilan dan kesiapan menjadi orang tua. Kompetensi ke-3 : Bidan memberi asuhan antenatal bermutu tinggi untuk mengoptimalkan kesehatan selama kehamilan yang meliputi: deteksi dini, pengobatan atau rujukan dari komplikasi tertentu.
d.
Kompetensi ke-4: Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, tanggal terhadap kebudayaan setempat selama persalinan, memimpin selama persalinan yang lebih bersih dan aman, menangani situasi kegawatdaruratan tertentu untuk mengoptimalkan kesehatan wanita dan bayinya yang baru lahir. e. Kompetensi ke-5 : Bidan memberikan asuhan pada ibu nifas dan menyusui yang bermutu tinggi dan tanggap terhadap budaya setempat. f. Kompetensi ke-6: Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi baru lahir sehat sampai dengan 1 bulan. g. Kompetensi ke-7: Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi dan balita sehat (1 bulan- 5 tahun). h. Kompetensi ke-8 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi dan komperhensif pada keluarga, kelompok dan masyarakat sesuai dengan budaya setempat. i. Kompetensi ke-9: Melaksanakani asuhan kebidanan pada wanita/ibu dengan gangguan sistem reproduksi. 2.1.3.Pengertian Tentang OSCA Objective Structured Clinical Assessment (OSCA) sebenarnya hanyalah suatu model uji dimana perbedaan denganmodel uji lain adalah pada teknik ujian dan cara menilai, bukan pada materiuji, karena materi uji tetap berdasar kurikulum pendidikan DIII danpengalaman selama di klinik. Objective Structured Clinical Assessement (OSCA) adalah alat uji yang digunakan untuk mengevaluasikompetensi profesional tenaga kesehatan yang mencakup evaluasipengetahuan, keterampilan komunikasi, keterampilan pemeriksaan fisik,keterampilan dalam menginterpretasi dan menganalisis hasil pemeriksaandiagnostik, keterampilan dalam membuat diagnosis, menilai perilaku danhubungan interpersonal. Dalam pelaksanaan OSCA bisa terdiri dari 15-20 stasi, masing-masingstasi dibutuhkan waktu antara 5-30 menit. Stasi secara umum dibagi dalam2 kelompok: a. Stasi prosedur (skill), untuk menilai kemampuan menjalankan tugasyang diberikan terkait dengan keterampilan serta perilaku selamamenjalankan tugas. Stasi ini diobservasi dan dinilai oleh penguji diam (observer) yang melakukan penilaian atas dasar checklist yang sudahdisusun sebelumnya. b. Stasi pengetahuan (knowledge), peserta uji menjawab pertanyaan yang bisa terkait dengan pemeriksaan sebelumnya atau diminta memberikan interpretasi problem pasien atas data yang diberikan (kasus). Pertanyaan bisa juga atas dasar hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan lain-lain. Pada model uji ini peserta akan dinilai pengetahuan, ketrampilan dan sikap perilaku pada satu kali uji. Secara garis besar soal berbentuk uji tulis dan keterampilan atau prosedur pengerjakan suatu perasat. Alasan pemilihan metode OSCA dapat kita lihat dari arti OSCA itu sendiri yaitu: a. Objective karena soal sudah tersedia jawaban baku, B/S, MCQ (pilihan ganda) atau jawaban pendek, pertanyaan essay tidak digunakan pada uji ini. Sedangkan pada stasi skill maka setiap peserta akan diobservasi oleh orang yang sama, sehingga mempunyai standar yang sama. b. Structured berarti bahwa pada uji ini terdapat struktur yang konsisten dimana pada stasi prosedur mencakup semua pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku. c. Clinical Assesment berarti bahwa materi uji adalah keterampilan atau pengetahuan yang terkait dengan pasien (klinis) maupun penatalaksanaan kasus.
Sehingga dari arti kata OSCA tersebut peserta akan dinilai secara obyektif tidak ada faktor keberuntungan, rentang kemampuannya memahami pengelolaan pasien. 2.1.4.Teori Tentang Bidan Pengertian bidan dan bidang praktiknya secara internasional telah diakui oleh Internasional Confederation of Midwives (ICM) tahun 1972 dan Internasional Federation of International Gynaecologist and Obstetritian (FIGO) tahun 1973, WHO dan badan lainnya. Pada tahun 1990 pada pertemuan dewan di Kobe, ICM menyempurnakan definisi tersebut yang kemudian disahkan oleh FIGO (1991) dan WHO (1992). Bidan adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan bidan yang diakui oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktik kebidanan di negeri tersebut. Ia harus mampu memberi supervisi, asuhan, dan memberi nasihat yang dibutuhkan wanita selama hamil, persalinan, dan masa pascapersalinan, memimpin persalinan atas tanggung jawabnya sendiri serta asuhan pada bayi baru lahir dan anak. Asuhan ini termasuk tindakan preventif, pendeteksian kondisi abnormal pada ibu dan bayi, dan mengupayakan bantuan medis serta melakukan tindakan pertolongan gawat-darurat pada saat tidak ada tenaga medis lain. Bidan mempunyai tugas penting dalam konsultasi dan pendidikan kesehatan, tidak hanya untuk wanita tersebut, tetapi juga termasuk keluarga dan komunitasnya. Pekerjaan itu termasuk pendidikan antenatal, dan persiapan menjadi orang tua dan meluas ke daerah tertentu dari ginekologi, keluarga berencana, dan asuhan anak. Bidan bisa berpraktik di rumah sakit, klinik unit kesehatan, rumah perawatan atau tempat pelayanan lain). Pengertian Bidan Indonesia, dengan memperhatikan aspek sosial budaya dan kondisi masyarakat Indonesia, maka Ikatan Bidan Indonesia (IBI) menetapkan bahwa bidan Indonesia adalah: seorang perempuan yang lulus dari pendidikan Bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan. 2.1.5.Uji Kompetensi Uji Kompetensiadalah ujian yang dilaksanakan di akhir masa pendidikan tenaga kesehatan, sebelum pelaksanaan sumpah profesi untuk menilai pencapaian kompetensi berdasarkan standar kompetensi dalam rangka memperoleh sertifikat kompetensi. Setiap tenaga kesehatan yang akan menjalankan pekerjaannya wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR). Untuk memperoleh STR, tenaga kesehatan harus memiliki ijazah dan sertifikat kompetensi. Ijazah dikeluarkan oleh perguruan tinggi bidang kesehatan dan sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh MTKI setelah yang bersangkutan lulus uji kompetensi. Persiapan Uji Kompetensi 1. Peserta a. Peserta Uji kompetensi adalah peserta didik di perguruan tinggi bidang kesehatan yang mengikuti evaluasi akhir program pendidikan. Jenjang pendidikan peserta uji kompetensi minimal Diploma 3 (D3), kecuali untuk Teknisi Transfusi Darah Diploma 1(D1). Khusus untuk tenaga keperawatan lulusan Strata 1 (Sarjana Keperawatan) tidak diberlakukan uji kompetensi. b. Tenaga kesehatan lulusan sebelum 2013 yang tidak menjalankan tugas profesinya serta tidak memiliki STR. c. TK-WNA setelah mendapat rekomendasi dari OP dan telah melakukan adaptasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d.
TK-WNI lulusan perguruan tinggi luar negeri setelah mendapat rekomendasi dari OP, dan telah melakukan adaptasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2. Penyusunan Jadwal Uji 3. Prosedur Pendaftaran 4. Pengelolaan Soal Uji 5. Tempat Uji Kompetensi Berdasarkan Pasal 6 Permenkes Nomor 1796/2011, tempat uji kompetensi (TUK) adalah di perguruan tinggi bidang kesehatan yang terakreditasi. 6. Persiapan Administratif dan Teknis Sebelum uji kompetensi dilaksanakan, MTKI/MTKP melakukan persiapan administratif, teknis dan persiapan lapangan serta melakukan rapat persiapan pelaksanaan (technical meeting, TM) dengan pengawas/panitia dan pihak lain terkait. 2.1.6.Pelaksanaan Uji Kompetensi a. Uji kompetensi dilakukan setelah selesai pelaksanaan evaluasi akhir program, dan sebelum yudisium di perguruan tinggi bidang kesehatan. b. Lamanya waktu uji adlah 150-180 menit untuk 150-180 soal dalam bentuk MCQ best-answer. c. Peserta uji harus sudah berada dalam ruang uji paling lambat 15 (lima belas) menit sebelum ujian dimulai, dengan menunjukkan tanda pengenal peserta uji yang sah. d. Tempat duduk peserta uji disusun sedemikian rupa dengan jarak minimal satu meter ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang dengan nomor urut menjalar seperti permainan ular tangga. Apabila ruangan berbentuk teater, maka jarak antar tempat duduk ke arah belakang harus lebih dari satu meter. e. Alat tulis disediakan oleh peserta uji, lembar jawaban disediakan oleh MTKI. f. Sebelum uji kompetensi dimulai, anggota MTKI atau petugas lain yang ditunjuk membuka segel bungkusan I yang berisi buku soal uji dan petunjuk pengisian lembar jawaban, kemudian membuka bungkusan II yang berisi lembar jawaban disaksikan MTKP, pengawas/koordinator pengawas, dan saksi-saksi lain dari pihak perguruan tinggi. Pembukaan bungkusan I dan bungkusan II dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh para pihak tersebut g. Sebelum uji kompetensi di mulai pengawas/koordinator pengawas membacakan dan menjelaskan tata tertib peserta uji. Peserta uji dapat meminta keterangan apabila penjelasan yang disampaikan pengawas kurang/tidak jelas, atau minta keterangan lain yang diperlukan. h. Peserta uji dan pengawas menandatangani daftar hadir. Daftar hadir peserta uji diedarkan oleh pengawas untuk ditandatangani. i. Pengawas membagikan soal uji kompetensi dan lembar jawaban kepada peserta uji. Lembar jawaban diselipkan di dalam soal uji dan diletakkan oleh pengawas di hadapan peserta uji dengan posisi telungkup. j. Pengawas memberitahukan kepada peserta uji saat dimulainya mengerjakan dan saat harus diakhiri. k. Selama ujian dilaksanakan peserta uji harus menjaga tata tertib yang ditetapkan oleh MTKI/MTKP dan pihak lain terkait dan tidak melakukan kegiatan yang dapat mengganggu peserta uji lainnya. Pelanggaran tata tertib dapat menyebabkan peserta uji didiskualifikasi. l. Selama uji kompetensi berlangsung peserta dilarang meninggalkan ruang uji kecuali untuk keperluan mendesak dan setelah mendapat izin pengawas.
Peserta yang sudah selesai mengerjakan soal ujian, dilarang meninggalkan tempat sebelum waktu ujian selesai. m. Selama uji kompetensi dilaksanakan, pengawas melakukan pengawasan dan/atau monitoring jalannya ujian. Hasil pengawasan/monitoring dilaporkan kepada MTKP, segera setelah ujian selesai dilaksanakan. n. Pada akhir ujian, lembar jawaban dan soal uji ditinggal di tempat duduk masing-masing peserta untuk selanjutnya dikumpulkan oleh pengawas. o. Lembar jawaban dan daftar hadir peserta dimasukkan kedalam bungkus tertutup dan disegel serta dibuatkan berita acara yang ditandatangani anggota MTKI atau petugas lain yang ditunjuk, MTKP, pengawas/koordinator pengawas. Soal uji (termasuk yang tidak digunakan dan/atau cadangan) dimasukkan kedalam bungkus tertutup dan disegel serta dibuatkan berita acara yang ditandatangani anggota MTKI atau petugas lain yang ditunjuk, MTKP, pengawas/koordinator pengawas. p. Sebelum lembar jawaban dan daftar hadir peserta dimasukkan ke dalam bungkus tertentu dan disegel sebagaimana dimaksud pada butir o,pengawas harus mengitung untuk memastikan jumlah lembar jawaban sama dengan jumlah peserta uji yang menandatangani daftar hadir. q. Sebelum soal uji (termasuk soal uji yang tidak digunakan dan/atau cadangan) dimasukkan ke dalam bungkus tertutup dan disegel sebagaimana dimaksudkan pada butir o, pengawas harus memastikan jumlahnya sama dengan jumlah peserta uji yang menandatangani daftar hadir ditambah jumlah soal uji yang tidak digunakan dan/atau cadangan 10%. r. Soal uji yang telah digunakan seluruhnya dimusnahkan dan dibuatkan berita acaranya 2.1.7.Rapat Koreksi a. MTKI, setelah menerima bungkusan lembar jawaban dan daftar hadir peserta harus segera menyelenggarakan rapat koreksi. b. Rapat koreksi sebagaimana dimaksud pada butir a, dihadiri oleh sekurangkurangnya (50%+1) orang jumlah anggota MTKI dengan ketentuan salah seorang diantara peserta rapat harus berasal dari profesi yang dinilai. c. Rapat koreksi diselenggarakan dalam ruang tertutup, dan tidak boleh dihadiri oleh siapapun kecuali oleh para pihak seperti tersebut pada butir b. d. Pimpinan rapat mempersilakan petugas yang ditunjuk untuk membuka segel bungkusan lembar jawaban dan daftar hadir peserta serta mencocokkan jumlah lembar jawaban sebagaimana tertulis dalam berita acara dan daftar hadir yang menyertainya dan membagikan kepada peserta rapat koreksi. e. Sebelum koreksi, korektor membuat “CODING” pada lembar jawaban menggantikan identitas peserta uji. f. Sebelum koreksi dimulai, korektor membuka kunci jawaban dan membagikan kunci jawaban kepada peserta rapat koreksi. g. Koreksi lembar jawaban di dalam rapat koreksi dilakukan dengan menggunakan SCANNER. Koreksi lembar jawaban dengan menggunakan scanner harus tetap menjamin kerahasiaan. h. Untuk menjamin keamanan berlangsungnya rapat koreksi, MTKI dapat minta bantuan pengamanan kepada aparat keamanan. i. Hasil rapat koreksi dituangkan dalam daftar nilai peserta uji disertai keterangan nilai tertinggi/terendah, nilai rata-rata dan informasi lain yang dibutuhkan. j. Hasil rapat koreksi sebagaimana dimaksud butir i dibuatkan berita acaranya. 2.1.8. Rapat Standard Setting
a. b.
c.
Standar Setting ditentukan oleh MTKI Dalam menentukan standard setting MTKI bekerja sama dengan panel expert di tingkat pusat yang terdiri dari komponen MTKI, OP dan expeert dari perguruan tinggi berjumlah antara 5-7 orang. Hasil rapat standard setting digunakan sebagai dasar rapat penentuan kelulusan. Hasil rapat standard setting dibuat berita acaranya
2.1.9. Rapat Penentuan Kelulusan a. b.
c. d.
e.
Rapat penentuan kelulusan dilaksanakan oleh MTKI. Rapat penentuan kelulusan adalah rapat untuk menetapkan peserta uji lulus atau tidak lulus berdasarkan standar setting yang ditetapkan sebelumnya oleh MTKI. Hasil penentuan kelulusan dituangkan dalam daftar peserta lulus/tidak lulus uji kompetensi dan dibuat berita acaranya Pengumuman kelulusan uji kompetensi disampaikan oleh MTKI kepada MTKP untuk diteruskan ke perguruan tinggi bidang kesehatan dan peserta uji. Pengumuman kelulusan oleh MTKI/MTKP dapat dilakukan melalui berbagai macam cara, termasuk penggunaan perangkat Information Technology/ITPeserta uji kompetensi yang dinyatakan belum/tidak kompeten (tidak lulus uji kompetensi) masih tercatat sebagai peserta didik perguruan tinggi bidang kesehatan yang bersangkutan dan berhak mengikuti uji kompetensi ulang pada periode berikutnya. Peserta uji yang tidak lulus dapat mengikuti program remedial yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi untuk meningkatkan kemampuan keilmuan dan keterampilan
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1 Tujuan Penelitan Tujuan penelitian ini secara umum untuk mengetahui Pelaksanaan uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Studi di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta) Tahun 2012 dengan mendiskripsikan melalui pendekatan kualitatif tentang proses pendaftaran, proses penyusunan soal, proses pelaksanaan, hasil yang dicapai dan kendala uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan yang dilaksanakan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta. 3.2 Manfaat Penelitian Manfaat yang akan dicapai dalam penelitian ini bagi institusi Pendidikan, Pendidik, Organisasi Profesi (IBI), dan Mahasiswa diharapkan mampu memberikan gambaran secara riil mengenai Pelaksanaan uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta Tahun 2012 sebagai evaluasi pelaksanaan uji kompetensi OSCA bagi penyelenggara, pelaksana dan semua pihak terkait untuk merencanakan tindak lanjut ataupun upaya yang bisa dilakukan untuk mendapatkan hasil uji kompetensi yang memuaskan banyak pihak, serta menciptakan bidan yang professional dan kompeten dengan tetap mengutamakan prinsip penilaian yang jujur, seimbang dan terorganisir dengan baik. Sedangkan bagi perkembangan ilmu pengetahuan diharapkan mampu memperkaya khasanah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pendidikan, khususnya Pendidikan kebidanan BAB.IV. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yang dilakukan di Ruang Sakinah Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta terhadap 3 informan kunci, yaitu Ketua MTKP Yogyakarta, Ketua IBI Provinsi Yogyakarta, Dosen D-III Kebidanan Stikes ‘Aisyiah Yogyakarta dan 2 peserta uji kompetensi dengan cara purposive sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara in-depth interviewing, content analysis, dan observation. Uji hipotesis dilakukan dengan cara trianggulasi. BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Proses Pendaftaran Peserta Uji Kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan Yang Dilaksanakan Di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan 1 (peserta uji kompetensi OSCA bidan yang dinyatakan lulus) bahwa; “… Informasinya terlalu mepet. Kemaren proses pendaftarannya melalui IBI, saya dapat informasi melalui sms suruh daftar bayar melalui rekening…” Hal ini dibenarkan oleh Informan 2 (peserta uji kompetensi OSCA yang dinyatakan harus remidi atau mengulang)., ia mengatakan bahwa; “…informasi pelaksanaan uji kompetensi terlalu mendesak waktunya. Kita dapat informasi dari kampus melalui sms berantai, untuk melihat informasinya melalu website IBI. Jadi kita lumayan krodit untuk persiapannya dan pendaftarannya. Karena pendaftarannya kalo menurut saya dibilang kolektif juga tidak, individu juga tidak …Syaratnya ada foto 4x6 berwarna…..” Pernyataan kedua informan sebagai peserta ujian kompetensi tersebut ternyata dibenarkan oleh pendapat salah satu panitia penyelenggara uji kompetensi yang ditunjuk oleh MTKP dari STIKes ‘Aisyiyah Yogyakarta, sebagaimana kutipan hasil wawancara dengan Informan 3 berikut ini; “...Untuk informasi memang terkesan mendadak. Koordinasi antara institusi dengan panitia dari IBI terlalu lama, tidak langsung sampe, tapi berantai…” Bagaimanapun pendapat tersebut di atas, sangat perlu sekali dirumuskan prosedur tentang prosedur pendaftaran ujian kompetensi OSCA Bidan. Sebagaimana prosedur pendaftaran yang telah ditetapkan oleh TIM MTKP berikut ini ; Prosedur Pendaftaran (Kemenkes RI, MTKI, 2012) a. Perguruan tinggi bidang kesehatan menyampaikan permohonan dilakukannya uji kompetensi bagi peserta didiknya kepada MTKI melalui MTKP. b. TK-WNA dan WNI lulusan perguruan tinggi luar negeri, Tenaga Kesehatan lulusan sebelum tahun 2013 yang tidak menjalankan tugas profesinya serta tidak memiliki STR yang akan mengikuti uji kompetensi wajib melapor ke MTKP yang mengikuti program adaptasi di perguruan tinggi bidang kesehatan. c. Permohonan sebagaimana dimaksud pada butir a, sekurang-kurangnya disertai informasi tentang perguruan tinggi bidang kesehatan dan daftar calon peserta sebagai berikut: 1) Nama dan alamat perguruan tinggi; 2) Nama Fakultas/jurusan/Program Studi/Permintaan; 3) Ijin Pendirian (perpanjangan) Perguruan Tinggi; 4) SK Akreditasi Perguruan Tinggi; 5) Tempat dan tanggal dilakukannya Uji Kompetensi; 6) Identitas calon peserta, meliputi: a) Nama calon peserta uji; b) Tempat dan tanggal lahir; c) Jenis Kelamin;
d) Jenis tenaga kesehatan. e) Jenjang pendidikan. f)Perguruan Tinggi. 7) Tahun masuk perguruan tinggi bagi peserta uji 8) Uji Kompetensi yang ke-berapa d. Pas foto calon peserta ukuran 4 x 6, sebanyak 2 (dua) lembar dengan latar belakang warna merah untuk membuat tanda pengenal peserta uji (1 untuk cadangan). Proses pendaftaran yang dilaksanakan dalam ujian kompetensi OSCA Bidan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana disampaikan oleh ketua MTKP DIY sebagai Informan 5 adalah sebagai berikut; “…Prosedurnya pertama kita menyampaikan kepada OP, kemudian OP bersama-sama dengan kita menyampaikan kepada institusi, pendaftaran kolektif dari masing-masing institusi…” Informasi diatas dibenarkan oleh Ketua PD.IBI DIY bahwa pendaftaran dilakukan secara kolektif. Namun kondisi tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa calon peserta uji kompetensi yang datang dan mendaftar secara personal ke sekretariat IBI juga dapat dilayani secara langsung. Berikut ini merupakan kutipan wawancara bersama Informan 4; “...Dilakukan secara kolektif melalui institusi masing-masing, ada juga beberapa peserta yang datang langsung ke secretariat tetap kita layani. Prosesnya dengan cara membayar biaya uji kompetensi ke rekening IBI atau langsung ke secretariat IBI, disertai dengan foto copy ijazah yang dilegalisir, foto ukuran 4x6 3 lembar untuk sertifikat uji kompetensi, dan foto 3x4 3 lembar untuk register pendaftaran dan kartu ujian, dilampiri kwitansi pembayaran...” Dengan demikian berdasarkan hasil wawancara terhadap kelima responden dapat disimpulkan bahwa proses pendaftaran uji kompetensi OSCA untuk Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan melalui dua cara, yaitu secara kolektif dan mandiri. Sedangkan untuk persyaratan pendaftaran calon peserta telah sesuai dengan teori dan prasyarat pelaksanaan ujian kompetensi OSCA, meskipun ada sedikit perbedaan. Khususnya tentang jumlah dan ukuran foto yang harus dikumpulkan. Jika di dalam persyaratan teori uji kompetensi OSCA cukup mengumpulkan foto 4 x 6 sebanyak 2 lembar dengan latar belakang merah dan ditambah 1 lembar lagi untuk tanda pengenal ujian bagi para peserta. Ternyata pada pelaksanaannya calon peserta uji kompetensi yang mendaftar harus menyerahkan pula foto ukuran 3 x 4 sebanyak 3 lembar. Namun hal ini bukanlah suatu masalah besar, sehingga dapat segera diantisipasi oleh calon peserta. 2. Proses Penyusunan Soal Uji Kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan yang dilaksanakan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta Instrumen evaluasi sering diartikan alat penilaian, dalam hal ini penguji melaksanakan evaluasi dan memerlukan alat yang akandigunakan untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan. Informan 1, pesera uji kompetensi OSCA yang lulus spontan mengatakan bahwa; “…untuk uji tulis bentuk soal vignette, berupa kasus kita analisa baru kita pilih jawaban yang paling tepat (pilihan ganda). Jumlah soalnya saya lupa ada berapa, tapi dalam satu soal vignette atau dalam satu kasus terdapat dua sampai tiga pertanyaan yang saling berhubungan …” Pendapat tersebut dibenarkan oleh Siwi, peserta uji kompetensi OSCA yang dinyatakan harus mengulang atau remidi sebagaimana berikut ini; “…kalo soal secara keseluruhan sudah mewakili standar kompetensi bidan. Memang agak sulit karena perlu pemahaman, karena bentuknya kasus untul utulnya. Macamnya yang diujikan: ANC, INC, Nifas, BBL, KB, Kespro, dan apalagi ya, saya lupa… Untuk soal uji prakteknya juga berbentuk kasus …” Informan tiga dan empat tidak menyampaikan adanya kisi-kisi soal uji kompetensi OSCA untuk D3 Kebidanan ini. Tapi Informan Peserta uji kompetensi OSCA
menyebutkan bahwa materi yang diujikan sesuai dengan materi perkuliahan D3 kebidanan, sebagaimana yang telah ia katakan berikut ini; “…materi yang diujikan ada ANC, persalinan, nifas, BBL, KB, kespro dan Etika. Materi pertanyaan sudah sesuai dengan materi yang pernah diberikan pada saat kuliah. Tingkat kesulitan kira-kira 30% dari keseluruhan jumlah soal…” Kisi-kisi soal itu penting untuk disusun, karena merupakan acuan bagi penyusunan instrumen sehingga tes yang disusun dapatdiketahui pokok bahasan atau subpokok bahasan, ruang lingkup,indikator, bentuk soal maupun bobot soalnya. Menurut Mimin Haryati (2006)”, kisi-kisi merupakan matrik yang berisi spesifikasi soal-soalyang akan dibuat. Adapun komponen-komponen suatu kisi-kisi tes ditentukan oleh tujuan penulisan soal tersebut. Bilamana guru, dosen atau penguji setiap menyusun instrumen menggunakan kisi-kisi soal, maka akan memudahkan dalam menganalisis apakah soal yang diberikan kepadapeserta sudah mewakili sejumlah materi dan kompetensi serta bobot soalnya. Sebagaimana System Pengelolaan Soal Uji Kompetensi OSCA untuk D3 Kebidanan berikut ini (Kemenkes RI, MTKI, 2012); System Pengelolaan Soal Uji a. Setelah menerima permohonan uji kompetensi sebagaimana dimaksud dalam butir 3, maka MTKI menyiapkan paket materi uji kompetensi, termasuk soal uji kompetensi. b. Soal uji yang akan digunakan untuk uji kompetensi disiapkan oleh TIM yang ditetapkan oleh Ketua MTKI dan bekerjasama dengan lembaga pengembangan uji kompetensi Ditjen Dikti, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. c. Persiapan paket materi uji kompetensi meliputi pemilihan soal uji dari Bank Soal, print out master soal uji (buku soal) dan lembaran jawaban, memasukkan ke dalam amplop atau bungkusan khusus dan disegel; menyiapkan kunci jawaban dalam bungkus dan disegel;dan persiapan berkas lainnya. Bungkusan I (soal uji dan petunjuk pengisian lembar jawaban), bungkusan II (lembar jawaban); serta bungkusan yang berisi berkas lainnya semuanya dimasukkan ke dalam koper dan dikunci. d. Anggota MTKI atau petugas lain yang ditunjuk menyerahkan paket materi uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada butir c di atas kepada MTKP dengan berita acara yang disiapka oleh MTKI. Paket materi uji dibuka di MTKP dengan berita acara. Bungkusan I dan bungkusan II dibuka dengan berita acara dan selanjutnya soal uji dan lembar jawaban digandakan sebanyak jumlah peserta ditambah 10% cadangan. e. Bagi provinsi yang memiliki jumlah peserta uji lebih dari 250 orang, soal digandakan di provinsi tempat penyelenggaran uji. f. Soal uji dan lembar jawaban hasil penggandaan dimasukkan ke dalam bungkusan I dan bungkusan II dan disegel kembali dan hanya dibuka dihadapan peserta uji dengan berita acara yang disiapkan oleh MTKI. g. Setelah selesai ujian, soal uji yang sudah digunakan (termasuk cadangan 10%) dibungkus, disegel dan dibuatkan berita acaranya, selanjutnya untuk dimusnahkan dengan berita acara pemusnahan. h. Lembar jawaban dibungkus dan disegel untuk dikoreksi di MTKI dengan dibuatkan berita acara. i. Daftar hadir dibuat 2 (dua) rangkap, untuk MTKI dan MTKP. Teori di atas senada dengan penyampaian Ketua MTKP, ia mengatakan bahwa soal dibuat oleh tim yang telah ditunjuk dalam sebuah bank soal. Soal tersebut dibuat dalam bentuk vignette, bahkan dalam pembuatannya melibatkan seluruh institusi kebidanan di Yogyakarta sehingga seluruh institusi pendidikan di DIY yang jumlahnya tiga belas semua faham, ikut mencermati, ikut membuat, ikut berkontribusi dalam arti bentuk soalnya, kemudian apa yang akan diujikan, kisi-kisinya dapat diketahui. Berikut ini merupakan hasil wawancara dengan Informan 5 ; “...Soal diusulkan oleh OP kepada MTKP sebanyak tiga set. Kemudian MTKP yang memilih untuk ujian utama. Seadainya ada yang mengulang kita ambilkan dari dua set
yang tersisa. Jadi OP sudah mempunyai bank soal…. tetapi yang menentukan soal yang akan digunakan adalah prerogatif MTKP.… tetapi prinsip tidak mengubah isi dari soal tersebut....” Pernyataan Ketua MTKP dibenarkan oleh Ketua PD.IBI DIY, sebagaimana diketahui dari petikan wawancara dengan Informan 4 berikut ini; “...Untuk soal uji kompetensi kita ambil dari hasil workshop dilakukan oleh IBI DIY dengan semua institusi pendidikan kebidanan yang ada di DIY kita libatkan, lalu kita buat soal dan hasilnya kita saring oleh TIM dari diklat IBI, baru nanti kita pake soalnya. Bentuk soal vignette, materi soal dari 9 kompetensi, untuk soal uji tulisnya. Kalo untuk soal uji prakteknya, dalam bentuk kasus...” Informasi yang disampaikan oleh ketua MTKP DIY dan ketua PD.IBI DIY di atas sesuai dengan teori pelaksanaan OSCA berikut ini; Dalam pelaksanaan OSCA bisa terdiri dari 15-20 stasi, masing-masingstasi dibutuhkan waktu antara 5-30 menit. Stasi secara umum dibagi dalam2 kelompok(Kemenkes RI, MTKI, 2012): c. Stasi prosedur (skill), untuk menilai kemampuan menjalankan tugasyang diberikan terkait dengan keterampilan serta perilaku selamamenjalankan tugas. Stasi ini diobservasi dan dinilai oleh penguji diam (observer) yang melakukan penilaian atas dasar checklist yang sudahdisusun sebelumnya. Cheklist terdiri atas: 1) Content atau isi kegiatan yang harus dilakukan. 2) Sikap yang ditunjukkan dan perilaku yang dilakukan selama melaksanakan kegiatan. 3) Teknik yaitu hal-hal yang terkait dengan bagaimana prosedur kerja dilaksanakan. Setiap butir dalam cheklist tersebut harus diberi skor, sesuai dengan pentingnya kedudukan butir tersebut, dan perlu disepakati bersama diantara para pakar penyusun soal OSCA. d. Stasi pengetahuan (knowledge), peserta uji menjawab pertanyaan yang bisa terkait dengan pemeriksaan sebelumnya atau diminta memberikan interpretasi problem pasien atas data yang diberikan (kasus). Pertanyaan bisa juga atas dasar hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan lain-lain. Pada model uji ini peserta akan dinilai pengetahuan, ketrampilan dan sikap perilaku pada satu kali uji. Secara garis besar soal berbentuk uji tulis dan keterampilan atau prosedur pengerjakan suatu perasat. Alasan pemilihan metode OSCA dapat kita lihat dari arti OSCA itu sendiri yaitu, (Kemenkes RI, MTKI, 2012): d. Objective karena soal sudah tersedia jawaban baku, B/S, MCQ (pilihan ganda) atau jawaban pendek, pertanyaan essay tidak digunakan pada uji ini. Sedangkan pada stasi skill maka setiap peserta akan diobservasi oleh orang yang sama, sehingga mempunyai standar yang sama. e. Structured berarti bahwa pada uji ini terdapat struktur yang konsisten dimana pada stasi prosedur mencakup semua pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku. f. Clinical Assesment berarti bahwa materi uji adalah keterampilan atau pengetahuan yang terkait dengan pasien (klinis) maupun penatalaksanaan kasus. (Sarwoko 2009) Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa secara teori langkah pelaksanaan pengelolaan soal uji kompetensi telah memenuhi standar pengelolaan soal uji kompetensi, yaitu soal uji kompetensi dibuat oleh satu tim yang telah ditunjuk oleh MTKP. Namun di Yogyakarta juga melibatkan IBI DIY dan kemudian dikritisi oleh seluruh institusi kebidanan yang tergabung dalam kemitraan institusi kebidanan di DIY. Jenis soalnya adalah berbentuk vignnete untuk uji tulis maupun ujian praktiknya, sedangkan materi yang diujikan meliputi materi pokok D3 Kebidanan seperti; ANC, persalinan, nifas, BBL, KB, kespro dan Etika. Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses penyusunan soal uji kompetensi OSCA profesi bidan telah memenuhi standar pembuatan soal secara teori.
3.
Proses Pelaksanaan Uji Kompetensi OSCA Lulusan D3 Kebidanan yang Dilaksanakan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta Uji Kompetensiadalah ujian yang dilaksanakan di akhir masa pendidikan tenaga kesehatan, sebelum pelaksanaan sumpah profesi untuk menilai pencapaian kompetensi berdasarkan standar kompetensi dalam rangka memperoleh sertifikat kompetensi (Kemenkes RI, MTKI, 2012). Berikut ini merupakan pedoman penyusunan jadwal uji kompetensi (Kemenkes RI, MTKI, 2012); a. Rancangan Jadwal Pelaksanaan (RJP) 1) Pada setiap awal tahun akademik (tahun ajaran), MTKP bekerjasama dengan perguruan tinggi bidang kesehatan menyusun Rancangan Jadwal Pelaksnaan (RJP) uji kompetensi dalam tiga periode setiap tahun, yaitu periode April, Agustus, November. 2) RJP sebagaimana dimaksud pada butir 1) disusun dengan memperhatikan jumlah peserta uji dan/atau jenis tenaga kesehatan. 3) RJP sebagaiman dimaksud pada butir 1) dilaporkan secara tertulis oleh MTKP kepada MTKI (Lampiran 1). b. Jadwal Pelaksanaan 1) Dua (2) bulan sebelum dilakukannya uji kompetensi, perguruan tinggi bidang kesehatan menyampaikan permohonan kepada MTKI melalui MTKP. 2) Jadwal pelaksanaan disusun dan ditetapkan oleh MTKI dengan memperhatikan jumlah peserta uji dan atau jenis tenaga kesehatan. 3) Jadwal pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada butir 2) diberitahukan kepada perguruan tinggi bidang kesehatan. c. Uji Kompetensi dilakukan pada hari dan jam kerja, dimulai serentak pada pukul 08.30/09.30/ WITA/10.30 WIT. Pelaksanaan uji kompetensi di DIY telah sesuai, yaitu dilaksanakan pada hari dan jam kerja. Namun untuk waktunya mengalami kemunduran, sebagaimana disampaikan oleh Informan 1, yaitu responden sebagai peserta uji kompetensi yang dinyatakan lulus spontan, ia mengatakan bahwa; “...kelancaran proses pelaksanaan dipengaruhi oleh pertama dari panitianya, meliputi penyelenggaranya, petugas lab yang menyiapkan alatnya, pengujinya, ketepatan waktu penguji. Kemudian dari pesertanya itu sendiri, apakah dia siap, apakah dia on ….” “Harusnya kalo osca pengujinya diam, tapi ini malah menggerak-gerakkan kaki menimbulkan bunyi yang membuat kita grogi….” Secara umum proses pelaksanaan uji kompetensi berjalan lancar, sebagaimana pendapat peserta uji kompetensi OSCA di atas. Hal tersebut dibenarkn oleh Informan 2, sebagai salah satu peserta uji kompetensi yang dinyatakan harus mengulang. Ia mengatakan bahwa; “...Pada saat uji utama pelaksanaan lancar, baik utul maupun praktek. On time, obyektif, pengujinya juga benar-benar penguji diam, sudah bagus…..yang remidi utul agak membingungkan… pelaksanaannya agak krodit….” Namun demikian Peserta menambahkan bahwa dalam pelaksanaanya masih mengalami ke-kroditan, mengingat banyak persiapan, ruang dan peralatan sebagaimana telah ditunjukan dalam kutipan di atas. Berbeda dengan pendapat salah satu Panitia Uji Kompetensi di STIKes ‘Aisyiyah, yang menyatakan bahwa proses pelaksanaan cukup lancar, berikut kutipan wawancara dengan Informan 3; “…Prosesnya pelaksanaan cukup lancar, mungkin ada sedikit kendala ketika ujian tulis, karena ada kejadian beberapa peserta sakit diare…tetapi kita sudah menyampaikan kepada panitia dari IBI…..panitia pun kemudian menyediakan obat untuk yang sakit…
Kalo secara umum lancar, karena keadaan itu tidak kemudian menjadikan pelaksanaan menjadi tidak tepat waktunya. Pelaksanaan tetap berjalan sesuai waktu yang ditentukan…” Proses Pelaksanaan Uji Kompetensi sebenarnya telah ada panduan atau aturan mainnya, sebagaimana dijelaskan berikut ini, (Kemenkes RI, MTKI, 2012): 1. Pelaksanaan Uji a. Uji kompetensi dilakukan setelah selesai pelaksanaan evaluasi akhir program, dan sebelum yudisium di perguruan tinggi bidang kesehatan. b. Lamanya waktu uji adalah 150-180 menit untuk 150-180 soal dalam bentuk MCQ best-answer. c. Peserta uji harus sudah berada dalam ruang uji paling lambat 15 (lima belas) menit sebelum ujian dimulai, dengan menunjukkan tanda pengenal peserta uji yang sah. d. Tempat duduk peserta uji disusun sedemikian rupa dengan jarak minimal satu meter ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang dengan nomor urut menjalar seperti permainan ular tangga. Apabila ruangan berbentuk teater, maka jarak antar tempat duduk ke arah belakang harus lebih dari satu meter. e. Alat tulis disediakan oleh peserta uji, lembar jawaban disediakan oleh MTKI. f. Sebelum uji kompetensi dimulai, anggota MTKI atau petugas lain yang ditunjuk membuka segel bungkusan I yang berisi buku soal uji dan petunjuk pengisian lembar jawaban, kemudian membuka bungkusan II yang berisi lembar jawaban disaksikan MTKP, pengawas/koordinator pengawas, dan saksi-saksi lain dari pihak perguruan tinggi. Pembukaan bungkusan I dan bungkusan II dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh para pihak tersebut (Lampiran 5. g. Sebelum uji kompetensi di mulai pengawas/koordinator pengawas membacakan dan menjelaskan tata tertib peserta uji. Peserta uji dapat meminta keterangan apabila penjelasan yang disampaikan pengawas kurang/tidak jelas, atau minta keterangan lain yang diperlukan. h. Peserta uji dan pengawas menandatangani daftar hadir. Daftar hadir peserta uji diedarkan oleh pengawas untuk ditandatangani. i. Pengawas membagikan soal uji kompetensi dan lembar jawaban kepada peserta uji. Lembar jawaban diselipkan di dalam soal uji dan diletakkan oleh pengawas di hadapan peserta uji dengan posisi telungkup. j. Pengawas memberitahukan kepada peserta uji saat dimulainya mengerjakan dan saat harus diakhiri. k. Selama ujian dilaksanakan peserta uji harus menjaga tata tertib yang ditetapkan oleh MTKI/MTKP dan pihak lain terkait dan tidak melakukan kegiatan yang dapat mengganggu peserta uji lainnya. Pelanggaran tata tertib dapat menyebabkan peserta uji didiskualifikasi. l. Selama uji kompetensi berlangsung peserta dilarang meninggalkan ruang uji kecuali untuk keperluan mendesak dan setelah mendapat izin pengawas. Peserta yang sudah selesai mengerjakan soal ujian, dilarang meninggalkan tempat sebelum waktu ujian selesai. m. Selama uji kompetensi dilaksanakan, pengawas melakukan pengawasan dan/atau monitoring jalannya ujian. Hasil pengawasan/monitoring dilaporkan kepada MTKP, segera setelah ujian selesai dilaksanakan. n. Pada akhir ujian, lembar jawaban dan soal uji ditinggal di tempat duduk masingmasing peserta untuk selanjutnya dikumpulkan oleh pengawas. o. Lembar jawaban dan daftar hadir peserta dimasukkan kedalam bungkus tertutup dan disegel serta dibuatkan berita acara (Lampiran 32) yang ditandatangani anggota MTKI atau petugas lain yang ditunjuk, MTKP, pengawas/koordinator pengawas. Soal uji (termasuk yang tidak digunakan dan/atau cadangan) dimasukkan kedalam bungkus
tertutup dan disegel serta dibuatkan berita acara yang ditandatangani anggota MTKI atau petugas lain yang ditunjuk, MTKP, pengawas/koordinator pengawas. p. Sebelum lembar jawaban dan daftar hadir peserta dimasukkan ke dalam bungkus tertentu dan disegel sebagaimana dimaksud pada butir o,pengawas harus mengitung untuk memastikan jumlah lembar jawaban sama dengan jumlah peserta uji yang menandatangani daftar hadir. q. Sebelum soal uji (termasuk soal uji yang tidak digunakan dan/atau cadangan) dimasukkan ke dalam bungkus tertutup dan disegel sebagaimana dimaksudkan pada butir o, pengawas harus memastikan jumlahnya sama dengan jumlah peserta uji yang menandatangani daftar hadir ditambah jumlah soal uji yang tidak digunakan dan/atau cadangan 10%. r. Soal uji yang telah digunakan seluruhnya dimusnahkan dan dibuatkan berita acaranya. Ketua IBI propinsi Yogyakarta menjelaskan bahwa pelaksanaan uji kompetensi di Yogyakarta dijadwalkan 2-3 kali dalam 1 tahun. Berikut ini merupakan kutipan pernyataan informan 4; “... Untuk pelaksanaan uji kompetensi di DIY, MTKP dan OP menjadwalkan 2-3 kali dalam 1 tahun, berdasarkan periode kelulusan dari prodi kebidananan, informasinya kita dapatkan dari kemitraan....” Pernyataan Ketua PD.IBI DIY tersebut dilengkapi oleh ketua MTKP DIY, berikut kutipan wawancara dengan Informan 5: “...Untuk pelaksaan kita minta dari OP menentukan tempat uji kompetensi (TUK). Dari 13 institusi pendidikan yang ada di DIY kita tentukan yang dapat menjadi TUK sesuai dengan buku pedoman kita… Untuk pelaksanaan UK di DIY pada prinsipnya mengacu semaksimal mungkin sesuai dengan pedoman SK ketua MTKI 057 tentang pedoman teknis UK...” Dengan demikian berdasarkan hasil wawancara dengan kelima responden dapat disimpulkan bahwa; secara umum proses pelaksanaan uji kompetensi OSCA sudah mewakili langkah pelaksanaan yang disusun dalam buku panduan pelaksanaan uji kompetensi. Meskipun masih terdapat hal-hal yang masih perlu dibenahi untuk perbaikan pelaksanaan uji kompetensi kedepannya, seperti; mempertimbangkan waktu pelaksanaan uji kompetensi tidak terlalu mepet dengan uji akhir program, setiap penguji patuh pada aturan pokok sebagai penguji agar teruji lebih kosentrasi, vasilitas atau peralatan uji kompetensi lebih dilengkapi sesuai dengan kebutuhan, dan memperjelas proses pelaksanaan ujian baik untuk uji kompetensi utama maupun untuk uji kompetensi ulang. Sedangkan untuk pelaksanaannya uji kompetensi OSCA untuk profesi bidan diadakan 2-3 kali dalam setahun. 4. Hasil yang dicapai uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan yang dilaksanakan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta Tahap pelaksanaan evaluasi belajar merupakan langkah untuk mendapatkan data tentang evaluasi belajar yang meliputi langkah penilaian atau pengukuran, pengolahan, dan pelaporan. Langkah tersebut merupakan aktivitas pelaksanaan evaluasi belajar yang dalam hal ini meliputi, (Ngalim Purwanto, 2006): a. Penilaian atau pengukuran Penilaian atau pengukuran dapat dikelompokkan menjadi lima jenis. 1) Tes formatif Menurut Ngalim Purwanto (2006) mengatakan bahwa tes formatif adalah tes yang diberikan kepada murid-murid pada setiap akhir program satuan pelajaran. Sedangkan pelaksananaan uji kompetensi di wilayah DIY berdasarkan pengamatan peneliti diadakan 2-3 kali setiap tahun, pasca kelulusan mahasiswa D-III Bidan. 2) Tes subsumatif Mid semester berguna untuk mengetahui kemampuan peserta didik setelah mengikuti beberapa proses belajar mengajar selama setengah semester dan
untuk mengetahui kemampuan peserta didik dalam upaya mempersiapkan diri menghadapi tes sumatif. Tes subsumatif ini termasuk penilaian untuk mengukur aspek kognitif. Jenis evaluasi yang digunakan adalah tes tertulis. Berdasarkan pengamatan dan informasi yang berhasil peneliti kumpulkan diketahui bahwa jenis tes pada uji kompetensi profesi bidan untuk wilayah DIY juga menggunakan tes tulis yang bermaksud mengukur kemampuan kognitif peserta, dan bentuk soal untuk uji tulis tersebut adalah berbentuk vignnete. 3) Tes sumatif. Tes sumatif berguna untuk mengetahui kemampuan peserta didik dalam menerima pelajaran selama satu semester. Kalau peserta didik mampu menerima pelajaran selama satu semester maka bisa dikatakan bahwa peserta didik sudah berhasil menerima materi sesuai dengan yang diinginkan, begitu juga sebaliknya. Hal ini tergantung pada faktor guru, peserta didik, metode mengajar, dan sarana. Bila dalam sebuah institusi pendidikan tes sumatif berguna mengevaluasi hasil pembelajaran selama satu semester terhadap anak didik, maka pada uji kompetensi OSCA lain lagi. Uji Kompetensiadalah ujian yang dilaksanakan di akhir masa pendidikan tenaga kesehatan, sebelum pelaksanaan sumpah profesi untuk menilai pencapaian kompetensi berdasarkan standar kompetensi dalam rangka memperoleh sertifikat kompetensi. Setiap tenaga kesehatan yang akan menjalankan pekerjaannya wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR). Untuk memperoleh STR, tenaga kesehatan harus memiliki ijazah dan sertifikat kompetensi. Ijazah dikeluarkan oleh perguruan tinggi bidang kesehatan dan sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh MTKI setelah yang bersangkutan lulus uji kompetensi. 4) Tes perbuatan (psikomotorik) Menurut Singer mata ajar yang ternasuk kelompok mata ajar psikomotorik adalah mata ajar yang lebih berorientasi pada gerakan dan menekankan pada reaksi-reaksi fisik. Tes perbuatan dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung yang memungkinkan terjadinya praktek. Penilaian ini dilakukan secara langsung ketika peserta didik melakukan praktek dan dapat diamati keterampilan peserta didik dalam mempersiapkan alat praktikum, marangkai alat, langkah kerja praktek, keselamatan kerja, dan yang terakhir adalah laporan yang dikerjakan secara baik dan benar. Menurut Mimin Haryati dalam buku Model dan Teknik Penilaiaan pada Tingkat Satuan Pendidikan bahwa dalam pelaksanaan tes psikomotorik ada kriteria atau rubik. Kriteria atau rubik adalah pedoman yang digunakan dalam melakukan penilaian kinerja atau hasil kerja peserta didik. Menurut Leighbody dalam melakukan penilaian hasil belajar ketrampilan sebaiknya mencakup: pertama, kemampuan peserta didik menggunakan alat dan sikap kerja. Kedua, kemampuan peserta didik menggunakan alat dan sikap kerja. Ketiga, kemampuan peserta didik menganalisis suatu pekerjaan dan menyususn urutan pekerjaan. Keempat, kecepatan siswa dalam mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya. Kelima, kemampuan siswa dalam membaca gambar dan simbol. Keenam, keserasian bentuk dengan yang diharapkan dan atau ukuran yang telah ditentukan. Objective Structured Clinical Assessement (OSCA) adalah alat uji yang digunakan untuk mengevaluasi kompetensi profesional tenaga kesehatan yang mencakup evaluasi pengetahuan, keterampilan komunikasi, keterampilan pemeriksaan fisik, keterampilan dalam menginterpretasi dan menganalisis hasil pemeriksaan diagnostik, keterampilan dalam membuat diagnosis, menilai perilaku dan hubungan interpersonal (Kemenkes RI, MTKI, 2012).
Dalam pelaksanaan OSCA bisa terdiri dari 15-20 stasi, masing-masingstasi dibutuhkan waktu antara 5-30 menit. Stasi secara umum dibagi dalam2 kelompok, yaitu Stasi Prosedur dan Stasi Pengetahuan(Kemenkes RI, MTKI, 2012). Stasi prosedur (skill), untuk menilai kemampuan menjalankan tugasyang diberikan terkait dengan keterampilan serta perilaku selamamenjalankan tugas. Stasi ini diobservasi dan dinilai oleh penguji diam (observer) yang melakukan penilaian atas dasar checklist yang sudahdisusun sebelumnya. Cheklist terdiri atas: a) Content atau isi kegiatan yang harus dilakukan. b) Sikap yang ditunjukkan dan perilaku yang dilakukan selama melaksanakan kegiatan. c) Teknik yaitu hal-hal yang terkait dengan bagaimana prosedur kerja dilaksanakan. Setiap butir dalam cheklist tersebut harus diberi skor, sesuai dengan pentingnya kedudukan butir tersebut, dan perlu disepakati bersama diantara para pakar penyusun soal OSCA.
5) Tes sikap (afektif) Life skill merupakan dari kompetensi lulusan sebagai hasil proses pembelajaran. Menurut Pohan dalam buku Model dan Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan Pendidikan, mengatakan bahwa ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Artinya ranah afektif sangat menentukan keberhasilan seorang peserta didik untuk mencapai ketuntasan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti bahwa pada model uji kompetensi ini peserta akan dinilai pengetahuan, ketrampilan dan sikap perilaku pada satu kali uji. Secara garis besar soal berbentuk uji tulis dan keterampilan atau prosedur pengerjakan suatu perasat. 6) Pengolahan (pensekoran data) a) Pensekoran tes objektif Penskoran untuk tes obyektif bentuk pilihan ganda sangat mudah dilakukan. Skor 1 diberikan apabila jawaban benar dan skor 0 diberikan apabila jawaban salah. Soal pilihan ganda adalah soal menuntut peserta uji kompetensi memberikan jawaban paling benar. Dari sejumlah jawaban yang disediakan, hanya ada satu jawaban yang paling benar, yang disebut kunci jawaban, sedangkan yang lain disebut pengecoh. b) Pensekoran tes uraian (essay) Penskoran dalam soal uraian merupakan hal yang sangat penting untuk memberikan lambang penghargaan terhadap peserta didik. Perlu diingat pemberian skor harus disesuaikan dengan bentuk item yang diberikan, karena tipe tes berbentuk obyektif dengan tes subyektif bobot skor berbeda. Namun berdasarkan pengamatan peneliti, pada uji kompetensi OSCA profesi bidan ini tidak melakukan penilaian melalui tes uraian. c) Pensekoran tes perbuatan (psikomotorik) Penskoran untuk tes perbuatan umumnya dilakukan secara langsung ketika peserta didik melakukan praktik. Berdasarkan dokumen, penguji melakukan pengamatan yang berisi aspek yang diamati seperti keterampilan peserta uji kompetensi dalam mempersiapkan alat praktikum, merangkai alat, langkah kerja praktek, keselamatan kerja, dan yang terakhir
adalah pendokumentasian yang dikerjakan secara baik dan benar. Dari semua aspek tersebut diberi skor masing-masing kemudian dijumlahkan. d) Pensekoran tes sikap (afektif) Penskoran untuk tes sikap berhubungan dengan perilaku peserta uji kompetensi. Skor diisi kemudian dijumlahkan dan ditafsirkan secara kualitatif. Namun menurut peneliti berdasarkan dokumen bahwa penguji dalam menilai berdasarkan panduan cheklict prasat yang telah tersedia, dengan memperhatikan pola yang telah ditentukan. penguji hanya memberi kode pada peserta uji kompetensi yang melakukan atau tidak melakukan prasat. Skor tertinggi mendapatkan nilai “2” yaitu dengan kategori melakukan dan benar, nilai “1” yaitu dengan kategori melakukan tetapi salah, dan nilai “0” yaitu dengan kategori tidak melakukan. e) Analisis instrumen. Analisis instrumen bertujuan untuk memperoleh kualitas instrumen yang baik sehingga memperoleh gambaran tentang perkembangan peserta didik sebenarnya. Analisis instrumen adalah pengkajian instrumen agar diperoleh perangkat pertanyaan yang memiliki kualitas yang memadai. Berdasarkan hasil penelitian bahwa tim pelaksana (MTKP) jarang sekali melakukaan penganalisaan kembali terhadap butir-butir item soal yang telah digunakan sebagai instrumen. Pelaksanaan analisis butir soal dilakukan diawal sebelum soal-soal diujicobakan. Bahkan soal-soal yang telah ada dibreakdown pada IBI dan perwakilan institusi kebidanan untuk dibahas bersama. f) Pelaporan. Hasil penilaian yang dibuat oleh penguji pada dasarnya berguna bagi profesi bidan, institusi pendidikan bidan, dan bagi peserta didik, juga berguna untuk orang tua peserta didik dan institusi pelayanan kesehatan. Pelaporan yang dibuat juga berguna untuk mengatahui tingkat pencapaian peserta uji kompetensi dalam proses belajar mengajar selama belajar di institusi pendidikan bidan. Isi laporan yaitu berupa nilai kognif, afektif dan psikomorik. Ketiga ranah tujuan pembelajaran termuat dalam hasil laporan uji kompetensi. Bentuk dan isi laporan dibuat oleh MTKP sesuai dengan kesepakatan dengan kriteria mudah, sederhana, dan bermakna untuk dipelajari dan dimengerti oleh semua pihak. Hasil penilaian baik melalui tes maupu nontes, besar sekali manfaatnya bila dikaji dan digunakan untuk upaya perbaikan proses belajar mengajar di institusi pendidikan bidan, dan dalam upaya perbaikan pelayanan di institusi pelayanan kesehatan, bidan khususnya. Laporan penilaian uji kompetensi merupakan salah satu alat dalam memecahkan persoalan pelayanan kesehatan (kebidanan) dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan pelayanan kedehatan, khususnya kebidanan. Berikut ini merupakan kutipan hasil wawancara terhadap dua responden sebagai peserta uji kompetensi OSCA tentang pendapat mereka pada hasil pelaksanaan uji kompetensi OSCA ; PendapatInforman 1 peserta uji kompetensi yang dinyatakan lulus sempurna pada uji kompetensi OSCA utama; “... Secara individu Alhamdulillah saya puas…. Secara umum Stikes ‘Aisyiyah menurut informasi yang saya dapat ada peningkatan dari tahun sebelumnya (2011) jumlah yang lulus spontan meningkat, tapi katanya kalo menurut prosentase mengalami penurunan, soalnya jumlah pesertanya berbeda-beda dari masing-masing institusi...” Sedangkan menurut Informan 2, peserta uji kompetensi OSCA yang dinyatakan harus mengulang adalah sebagai berikut;
“...ketika mengerjakan soal atau praktek karena ada faktor grogi, kurang percaya diri, ragu-ragu dan persiapan yang kurang, seperti itu… Secara umum, hasil kelulusan dari Stikes ‘Aisyiyah memang masih yang terbanyak kalo dilihat dari jumlah yang lulus, meskipun tidak ada 50% tetapi kalo dilihat dari prosentase kelulusan katanya tidak…” Menurut Ketua MTKP DIY hasil evaluasi pelaksanaan uji kompetensi untuk profesi bidan masih belum sesuai dengan yang diharapkan, berikut ini hasil kutipan wawancara dengan Informan 5; “...Kalau dilihat dari hasil UK secara keseluruhan di DIY tahun 2012 yang dinyatakan lulus spontan di uji utama ada 17,89%. Ternyata tidak mencapai 20%. Kemudian untuk uji praktek yang dinyatakan kompeten 41% uji tulis 33,9%. Dan yang memprihatinkan menurut saya justru banyak gagal/tidak kompeten di basic kompetennya Bidan...” Penelitian yang dilakukan oleh Lulyanti pada tahun 2010 tentang “Perbandingan Tingkat Kelulusan Uji Kompetensi Berdasarkan Asal Institusi Pendidikan Kebidanan Di Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) Jawa Tengah Tahun 2010”, menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kelulusan uji kompetensi berdasarkan asal institusi pendidikan kebidanan di MTKP Jawa Tengah tahun 2010, yakni : tingkat kelulusan uji kompetensi berdasarkan jenis institusi kebidanan didapatkan persentase kelulusan terbanyak berasal dari PTN yaitu 275 orang (53,29%), tingkat kelulusan uji kompetensi berdasarkan bentuk institusi institusi kebidanan didapatkan bahwa persentase kelulusan terbanyak berasal dari POLTEKES, yaitu 275 orang (53.29%), tingkat kelulusan uji kompetensi berdasarkan akreditasi institusi pendidikan kebidanan didapatkan bahwa persentase kelulusan terbanyak didapatkan dari institusi dengan akreditasi C yaitu sebanyak 104 orang (64,19%). Hasil penelitian ini dapat dikarenakan berbagai faktor. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian yaitu faktor nilai IPK dan motivasi saat mengikuti uji kompetensi. Lulusan D3 kebidanan yang memiliki nilai IPK yang baik/di atas rata-rata, kemungkinan dapat lulus dalam uji kompetensi, karena telah dibuktikan dengan nilai IPK yang di atas rata-rata. Motivasi juga dapat mempengaruhi hasil uji kompetensi, karena dengan adanya motivasi untuk menjadi lebih baik, maka prestasi yang didapatkan pun akan menjadi baik. Pendapat diatas kemungkinan besar juga berlaku pada penelitian ini, dimana hasil evaluasi pelaksanaan dalam hal keberhasilan peserta untuk lulus dalam uji kompetensi juga dipengaruhi banyak hal, salah satunya adalah nilai IPK dan motivasi mengikuti uji kompetensi itu sendiri. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Peserta uji kompetensi, berikut kutipan wawancara dengan Informan 1; “... Menurut saya pertama dari panitianya, meliputi penyelenggaranya, petugas lab yang menyiapkan alatnya, pengujinya, ketepatan waktu penguji. Kemudian dari pesertanya itu sendiri, apakah dia siap, apakah dia on time, fasilitas juga mempengaruhi...” Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan Informan 2 berikut ini; “... Hasil yang dicapai cukup bagus dipengaruhi oleh banyak faktor yg mendukung diantaranya dari individu atau mahasiswanya, dosennya, dukungan institusi, panitia, fasilitas pendukung untuk penyelenggara, semua saling mempengaruhi. Kalau kampus atau institusi terbatas fasilitasnya, dan dosennya mungkin tidak dapat menyampaikan materi dengan baik saya kira juga berpengaruh di hasilnya. Kemudian juga mahasiswanya itu sendiri, bagaimana belajarnya, ada faktor lain yang mempengaruhi atau tidak, misalnya masalah pribadi atau psikologi yang menggangu pikiran atau belajarnya...” Dengan demikian, berdasarkan wawancaran responden diatas diketahui bahwa kemungkinan faktor yang mempengaruhi kelulusan uji kompetensi OSCA profesi bidan wilayah DIY adalah; faktor mahasiswa atau individu sebagai peserta ujian, dosen, institusi pendidikan, panitia penyelenggara, fasilitas tempat pelaksanaan ujian, dan faktor penguji.
Pendapat tersebut diatas didukung oleh tanggapan seorang pengamat pendidikan Saufi Sauniwati, ia mengatakan ada empat faktor penentu kelulusan ujian nasional. Pertama tentu saja akademik. Ini kaitannya dengan seberapa sering anak berlatih soal. Sebab, semakin sering berlatih soal, akan menjembatani memori anak terhadap materi ujian. Faktor ke dua adalah strategi teknis. Strategi adalah analisa anak terhadap soal yang dikerjakan. Melalui analisa, anak bisa mengetahui di titik mana kelemahannya dalam menguasai materi. Faktor ketiga adalah motivasi. Hal ini juga dipengaruhi oleh orang tua. Banyak anak sebetulnya pintar namun tidak memiliki motivasi. Faktor ke empat adalah nutrisi. Faktor ini, justru sering ditemui di perkotaan. Orang tua yang sibuk, memberikan nutrisi anaknya junk food. Padahal ini kurang baik bagi perkembangan otak, yang mempengaruhi kecerdasan. 5. Kendala uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan yang dilaksanakan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang telah peneliti lakukan diketahui bahwa dalam pelaksanaan uji kompetensi OSCA profesi bidan di DIY ditemui beberapa hambatan, sebagaimana telah terangkum seperti dibawah ini: a. Informasi pelaksanaan uji kompetensi yang terkesan mendadak Soegeng Prijodarminto, (1993) mengemukakan “Disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, keteraturan dan ketertiban”. Disiplin memang susah dalam penerapan dan berat untuk dilakukan, namun apabila kita tetap untuk disiplin maka hasil yang akan diperoleh cenderung akan sesuai dengan yang diinginkan. Menurut Rugun (1991); Aspek-aspek penting yang mempengaruhi penerapan disiplin tersebut adalah: (a)ketepatan waktu, (b) ketaatan dalam mengikuti aturan-aturan yang didasari kerelaan hatiuntuk melaksanakan aturan dan menghindari larangan-larangan, (c) tanggung jawabterhadap segala kegiatan. b. Banyak peserta yang sakit sehingga tidak bisa hadir atau datang terlambat Secara umum faktor-faktor yang memengaruhi belajar dibedakan atas dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kedua faktor tersebut saling memengaruhi dalam proses belajar individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat memengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi faktor fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik individu. Faktor-faktor ini dibedakan menjadi dua macam. Pertama, keadaan tonus jasmani. Keadaan tonus jasmani pada umumnya sangat memengaruhi aktivitas belajar seseorang. Kondisi fisik yang sehat dan bugar akan memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan belajar individu. Sebaliknya, kondisi fisik yang lemah atau sakit akan menghambat tercapainya hasil belajar yang maksimal. Oleh karena keadaan tonus jasmani sangat memengaruhi proses belajar, maka perlu ada usaha untuk menjaga kesehatan jasmani. c. Waktu pelaksanaan uji kompetensi mundur Soegeng Prijodarminto, (1993) mengemukakan “Disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, keteraturan dan ketertiban”. Disiplin memang susah dalam penerapan dan berat untuk dilakukan, namun apabila kita tetap untuk disiplin maka hasil yang akan diperoleh cenderung akan sesuai dengan yang diinginkan. Menurut Rugun (1991); Aspek-aspek penting yang mempengaruhi penerapan disiplin tersebut adalah: (a)ketepatan waktu, (b) ketaatan dalam mengikuti aturan-aturan yang didasari kerelaan hatiuntuk melaksanakan aturan dan menghindari larangan-larangan, (c) tanggung jawabterhadap segala kegiatan.
d. Ada beberapa alat uji praktik yang perlu diganti atau diperbaiki Menurut Syah (2003), faktor eksternal yang merupakan faktor eksternal nonsosial sangat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang. Sebagaimana ia menyatakan bahwa faktor instrumental, yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama, hardware, seperti gedung sekolah, alat-alat belajar, fasilitas belajar, lapangan olahraga. Contohnya, letak sekolah atau tempat belajar harus memenuhi syarat-syarat seperti di tempat yang tidak terlalu dekat kepada kebisingan atau jalan ramai, lalu bangunan itu harus memenuhi syaratsyarat yang telah ditentukan. Kedua, software, seperti kurikulum sekolah, peraturan-peraturan sekolah, buku panduan, silabi, dan lain sebagainya. e. Prosedur pelaksanaan yang masih terkesan ribet dan cheklist yang berbedabeda antara tiap institusi pendidikan Menurut muhibbin syah (2001) bahwa faktor pendekatan belajar, yakni jenis upaya siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran, yang terdiri dari pendekatan tinggi, pendekatan sedang dan pendekatan rendah. f. Kesiapan mahasiswa yang kurang Menurut Syah (2006) bahwa hal yang mempengaruhi prestasi seseorang atau peserta didik adalah; 1) Intelegensi Intelegensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psikifisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat. Sebagaimana diungkapkan oleh Syah (2006) bahwa intelegensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan juga kualitas organ-organ tubuh lainnya. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa peran otak dalam hubungannya dengan intelegensi manusia lebih menonjol daripada peran-peran anggota tubuh lainnya. Intelegensi atau kecerdasan merupakan faktor yang besar peranannya dalam menentukan berhasil atau tidaknya mengikuti program pendidikan. Pada umumnya orang yang mempunyai taraf kecerdasan tinggi akan lebih baik prestasinya bila dibandingkan dengan orang yang mempunyai taraf kecerdasan yang sedang/rendah. 2) Sikap Mahasiswa Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecendrungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif (Syah, 2006). 3) Bakat Mahasiswa Secara umum bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Chaplin, 1972; Reber, 1988 dalam Syah, 2006). Dengan demikian, sebetulnya setiap orang pasti memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas masing-masing (Syah, 2006). 4) Minat Mahasiswa Minat dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar mahasiswa, sebab minat itu sendiri adalah kecendrungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu (Syah, 2006). Dalam konteks ini minat seseorang yang besar akan mempengaruhinya untuk selalu memperhatikan dan mengingat sesuatu tersebut secara terus-menerus. Pada situasi belajar mengajar di kampus, misalnya mahasiswa yang berminat terhadap suatu mata pelajaran tertentu akan cenderung untuk memusatkan perhatian secara terus-menerus selama belajar-mengajar berlangsung. 5) Motivasi Mahasiswa
Pengertian dasar motivasi adalah keadaan internal organisme yang mendorong untuk berbuat sesuatu (Syah, 2006). Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah. g. Penguji yang izin mendadak dan mengganggu konsentrasi peserta dengan melakukan gerakan atau suatu tindakan yang mengganggu seperti berdehem, menghela nafas panjang, dan lain sebagainya. Telah diketahui, bahwa dalam pelaksanaan uji kompetensi para penguji atau observer telah dibekali teknik dan aturan-aturan sendiri. Semua dilakukan dengan harapan para penguji atau observer tidak mengganggu kosentrasi peserta ujian. Sebagaimana penjelasan berikut ini; Tim penguji terdiri dari leader (ketua tim penguji), penguji skill (diam/observer) dan penguji umum. (Kemenkes RI, MTKI, 2012). 1) Leader (ketua tim penguji) Leader adalah seorang yang dipilih untuk memimpin jalannya uji kompetensi. Adapun tugas leader secara terperinci adalah sebagai berikut : a) Membawa soal b) Briefing dengan penguji dan teruji (bila memungkinkan breafing dilaksanakan satu hari sebelum pelaksanaan ujian) c) Melihat persiapan alat d) Sebelum ujian dimulai briefing dengan simulated patient e) Membagikan nomor ujian f) Mengundi penempatan stasi g) Mengawasi proses ujian (dapat menggantikan menjadi penguji skill atau keterampilan apabila penguji skill/keterampilanmeninggalkan tempat ujian atau berhalangan datang karena adasesuatu hal). h) Mengawasi dan melakukan koreksi serta membantu proses Yudicium ditempat i) Mengumpulkan soal-soal yang telah diujikan dan diserahkan kembali ke dinas kesehatan. 2) Pengujiskill (diam/observer) Penguji skill adalah orang yang bertugas di stasi skill untuk melakukan penilaian terhadap teruji pada saat teruji mendemonstrasikan kemampuan psikomotornya dengan mengisi ceklist dari skill yang diujikan. Secara lebih rinci tugas dari penguji skill adalah sebagai berikut: a) Membantu leader dalam proses persiapan ujian b) Melaksanakan penilaian pada stasi keterampilan c) Sebagai penguji skill atau ketrampilan harus benar-benar mematuhi ketentuan sebagai penguji diam, tidak boleh berbicara atau mengajukan pertanyaan kepada teruji atau simulated pasien. Sedangkan penguji umum adalah orang yang bertugas untuk mengawasi teruji pada stasi knowledge atau menggantikan penguji diam pada stasi skill bila dibutuhkan. Dari sekian banyak hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan uji kompetensi OSCA untuk profesi bidan di wilayah DIY, sebenarnya baik peserta maupun panitia telah melakukan usaha-usaha terbaik yang dapat mereka lakukan untuk menekan terjadinya kesalahan dan hambatan-hambatan yang dapat mempengaruhi kemungkinan terjadinya gangguan dalam proses pelaksanaan uji kompetensi OSCA tersebut. Usaha tersebut diantaranya meliputi; 1) untuk peserta uji kompetensi telah berusaha aktif mencari informasi tentang proses pelaksanaan uji kompetensi melalui berbagai upaya seperti, membuka Website internal IBI, bertanya kepihak kampus, bertanya beruntun dari teman ke teman lainnya. Selain itu peserta juga berupaya
untuk tetap mengikuti uji kompetensi meskipun kelelahan dan sakit; dan 2) untuk panitia pelaksana juga telah melakukan upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut dengan menyiapkan fasilitas ujian semaksimal mungkin, briefing terhadap peserta maupun penguji, menyiapkan obat-obatan untuk peserta yang sakit, melakukan uji coba soal, mensosialisasikan dan melakukan pencermatan soal dengan IBI dan seluruh perwakilan institusi pendidikan D3 kebidan se-DIY, serta berbagai usaha lainnya. BAB VI KESIMPULAN 1. Proses pendaftaran peserta uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan wilayah Provinsi DIY yang dilaksanakan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta telah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh MTKI dan MTKP, namun ada satu perbedaan pada jumlah foto yang dikumpulkan, yaitu tiga lembar ukuran 4x6 dengan latar belakang merah untuk persyaratan dari standar ketetapan MTKP, sedangkan tiga lembar ukuran 3x4 pada proses pelaksanaan. 2. Proses penyusunan soal uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan wilayah Provinsi DIY yang dilaksanakan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta secara umum telah memenuhi standar penyusunan soal yang ditetapkan MTKI-MTKP dengan melibatkan IBI Daerah dan Institusi Pendidikan Bidan, dengan bentuk soal berupa vignnete untuk uji tulis dan uji praktik, serta materi yang diujikan berupa ANC, Persalinan, Nifas, BBL, KB, Kespro dan Etika. 3. Proses pelaksanaan uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan wilayah Provinsi DIY yang dilaksanakan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta secara umum proses pelaksanaan uji kompetensi OSCA sudah mewakili langkah pelaksanaan yang telah ditetapkan oleh MTKI-MTKP, sedangkan jadwal pelaksanaan uji kompetensi OSCA profesi bidan untuk wilayah provinsi DIY dilaksanakan sebanyak 2-3 kali dalam setahun. 4. Hasil yang dicapai uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan wilayah Provinsi DIY yang dilaksanakan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta secara jumlah peserta mengalami peningkatan, akan tetapi prosentase kelulusan mengalami penurunan. 5. Kendala uji kompetensi OSCA lulusan D3 Kebidanan wilayah Provinsi DIY yang dilaksanakan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta terdiri dari; Informasi pelaksanaan uji kompetensi yang terkesan mendadak; Banyak peserta yang sakit sehingga tidak bisa hadir atau datang terlambat; Waktu pelaksanaan uji kompetensi mundur; Ada beberapa alat uji praktik yang perlu diganti atau diperbaiki; Prosedur pelaksanaan yang masih terkesan ribet dan cheklist yang berbeda-beda antara tiap institusi pendidikan; Kesiapan mahasiswa yang kurang; dan Penguji yang izin mendadak dan mengganggu konsentrasi peserta dengan melakukan gerakan atau suatu tindakan yang mengganggu. DAFTAR PUSTAKA
Atik P, 2007. Konsep Kebidanan Sejarah dan Profesionalisme. Jakarta Badan Perencanaan Pembanguman Nasional. 2008. Laporan Kajian Kementrian Negara Pembangunan Nasional Pembiayaan Pencapaian MDGs di Indonesia. Jakarta: Bappenas. Bakhtiar, Amsal. 2007. Filsafat Ilmu, Jakarta. Brilian putrid mawaddah, 2010. Peran fungsi dan kompetensi bidan. http://brilianaputrimawaddah.blogspot.com/2010/10/peran-fungsi-dankompetensi-bidan.html Corbin, J & Strauss, A, 2012. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Dinkes Propinsi DIY. 2007. Profil Kesehatan Propinsi DIY tahun 2007. Yogyakarta: Dinkes Depkes RI Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan. 2008. Konsep kebidanan, Jakarta. Estiwidani, Meilani, Widyasih, Widyastuti, 2008. Konsep Kebidanan. Yogyakarta. Fuad, Nur dan Ahmad, Gofur. 2005. Integrated HRD: Human Resources Development. Jakarta : GRASINDO. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia. 2012. Pedoman Uji Kompetensi, Sertifikasi dan Registrasi Tenaga Kesehatan. Jakarta. Mimin Haryati, (2006).Model dan Teknik Penilaian Pada tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta : Gaung persada pers. Murti, Bhisma. 2010. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Meleong, Lexy, J. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Nana Syaodih S. 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Ngalim Purwanto. 2006. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Nurjayanti, D(2009) Evaluasi Hubungan Skill Laboratorium Asuhan Kebidanan II Metode OSCA dengan Prestasi Belajar Asuhan Kebidanan II di Stikes ‘Aisyiyah Surakarta. Karya Tulis Ilmiah, Universitas Sebelas Maret. Tersedia dalam:
[ Diakes 3 Maret 2011]. KTI Tidak Dipublikasikan. PD. IBI. DIY, 2001. Laporan Pelaksanaan Uji Kompetensi Bidan Tahun 2011. Yogyakarta : IBI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/Menkes/Perix/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Prijodarminto, Soegeng. 1993. Disiplin Kiat Menuju Sukses. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. Profil Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2008. (Berdasarkan Laporan Program Kesehatan Ibu dan Anak, untuk Tahun 2003 dan 2007 berasal dari SDKI 2002-2003 dan SDKI 2007). Tersedia dalam htt://www.depkes.go.id/downloads/profil/diy07.pdf.2005. (Diakses 26 Feburari 2011]. Rice, P.L and Ezzy. D. 2000. Qualitative Research Methods. South Melbourne. Vic., Australia: Oxford University Press. Rozana, E. (2010). Evaluasi Pelaksanaan Informed Consent Pada Akseptor KB di RSU PKU. Muhammadiyah Yogyakarta. Skripsi, Stikes ‘Aisyiyah Yogyakarta. Skripsi tidak dipublikasikan. Sarwoko (2009) Pengaruh Metode Role Play terhadap Pencapaian Hasil Ujian Asuhan Kebidanan I dengan Metode OSCA pada Mahasiswa Akademik Estu utomo Boyolali Jalur Umum Semester II Tahun 2009. Tersedia dalam:
[Diakses 3 Maret 2011]. Sarwono P. 2007. Ilmu Kebidanan, Jakarta. Soepardan, Suryani. 2007. Konsep Kebidanan. Jakarta ; EGC.
METODE CERAMAH DAPAT MEMPENGARUHI PENGETAHUAN SISWI SD DALAM MENGHADAPI MENARCHE Laily Mualifah Program Studi Diploma III Keperawatan Karya Husada, Email: [email protected]
Abstract Background: Menarche and menstruation is a physiological process that can cause physical discomfort, emotional and anxiety. SDN in Districts Nanggulan there were 6 from 10 pra puberty are not yet menarche say not know about menarche and menstruation and not knowing what to do when menstruation
occurs. This happens because there is no health education about menstruation health in the scope of elementary school. Objective: To find the influence of health education with lecture method to the knowledge to face of menarche. Materials and Methods: This study is quasy-experiment with approaches pre test-post test group design. Subjects were 5th and 6th grade students of elementary school at Nanggulan Kulon Progo with as many as 56 who met the inclusion criteria. The instrument used questionnaire modification from Fauziah (2005) and BKKBN (2009). The sampling technique purposive sampling. Statistical test using Wilcoxon test. Results: Scores of knowledge before and after treatment there were significant differences in lectures with the p=0,00 (p <0.05). Conclusion: Health education with lecture method in increasing knowledge in the pra-puberty facing menarche. Keywords: health education, lecture method, menarche 1. PENDAHULUAN Peristiwa datangnya menarche memiliki arti dimulainya siklus reproduksi wanita (Erbil, 2012). Peristiwa ini dapat menjadikan hal yang traumatis dan ketidaknyamanan (Chang, 2008). Menarche dan menstruasi merupakan proses fisiologis namun dapat menyebabkan ketidaknyamanan fisik dan efek pada kebersihan, emosional, sosial dan dapat memunculkan rasa cemas. Permasalahan ini muncul karena informasi yang buruk tentang menstruasi dan respon dari teman sebaya terkait aktivitas selama menstruasi. Campbell dan Mcgrath menyebutkan bahwa prevalensi ketidaknyamanaan gadis usia 14-21 tahun saat terjadi menarche adalah 99,6% (Chang, 2008). Menarche dan menstruasi merupakan sesuatu yang memalukan dan disembunyikan di lingkungan sosial dan lingkungan sekolah serta ada yang beranggapan terjadinya menstruasi merupakan suatu penyakit walaupun sebenarnya terjadinya menstruasi merupakan proses fisiologis (Sally, 2005). Beausang dan Razor menyebutkan secara aspek emosional, remaja
perempuan sering melaporkan emosi yang negatif setelah terjadi menarche dan pada saat menstruasi berikutnya (Chang, 2008). Berbagai pandangan tentang menstruasi di atas disebabkan tidak semua anak perempuan mendapatkan informasi tentang proses menstruasi dan kesehatan selama menstruasi sehingga tidak dapat melakukan persiapan yang cukup untuk mengenali dan menyambut menstruasi (Wahyudi, 2001). Hasil penelitian Shanbag (2012) bahwa remaja putri 99,6% pernah mendengar tentang menstruasi sebelum menarche namun seluruh responden belum memahami dengan jelas tentang menstruasi. Penelitian Shanbag (2012) juga mengukur pengetahuan tentang menstruasi, hasilnya merupakan fenomena yang normal sebanyak 28,7%, tidak mengetahui menstruasi berhubungan dengan kehamilan 48,1%, menggunakan pembalut pada saat menstruasi 44,1%, membersihkan organ genital menggunakan sabun 56,8%. Pengetahuan tentang menstruasi sangat mempengaruhi anak gadis dalam menghadapi menarche yang dapat
mempengaruhi sikap dan perilaku terjadinya menstruasi berikutnya. Peningkatan pengetahuan tentang menarche dan menstruasi dapat diberikan pada usia lebih awal sehingga dapat meningkatkan perilaku sehat selama menstruasi (Shanbag, 2012). Kesehatan selama menstruasi harus diperhatikan karena merupakan hal yang penting dan merupakan kesempatan yang baik untuk remaja lebih memahami tubuh dan kesehatan reproduksinya (BKKBN, 2003). Kurangnya informasi dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi khusunya menstruasi tidak hanya berdampak pada kesehatan menstruasi saja. Beberapa permasalahan nyata yang muncul pada saat ini yang terjadi pada usia siswa Sekolah Dasar (SD) sudah mulai muncul. Perilaku negatif yang dilakukan siswa SD diantaranya mulai dari senggol menyenggol bagian tubuh yang sensitif, berciuman hingga berpelukan. Berawal dari permasalahan ini maka saat ini banyak kasus terjadinya pelecehan seksual hingga perkosaan, hamil di luar nikah dan seks bebas yang berdampak pada kehamilan usia dini. Munculnya beberapa permasalahan ini memberikan tanda bahwa kesehatan reproduksi sudah perlu diberikan sejak usia SD (Margono, 2012). Berdasarkan informasi dari Sekolah bahwa wilayah SDN di Kecamatan Nanggulan belum pernah medapatkan pendidikan kesehatan tentang Menarche. Sehubungan dengan hal ini maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di SDN wilayah Nanggulan dengan memberikan pendidikan kesehatan tentang menarche. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan siswi dalam menghadapi menarche.
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini quasy experiment dengan desain pre test post test desain. Dalam penelitian ini terdiri dari satu kelompok perlakuan pendidikan kesehatan dengan metode ceramah. Tekhnik pengambilan sampel dengan purposive sampling dengan jumlah sampel 56 siswi. Kriteria inklusi adalah siswi berusia 9-12 tahun, kelas 5 dan 6, belum menarche serta bersedia menjadi responden. Kriteria inklusi adalah responden yang tidak hadir dalam proses penelitian berlangsung. Pendidikan kesehatan diberikan dengan metode ceramah dengan media power point yang sebelumnya telah dilakukan uji coba. Pendidikan kesehatan diberikan oleh guru SD yang sebelumya telah dilakukan persamaan persepsi dan dilakukan observasi selama proses penelitian. Quesionaire yang digunakan modifikasi dari Fauziah (2005) dan BKKBN (2009). Sebelum digunakan, dilakukan ujivaliditas dan reliabilitas dan hasilnya dinyatakan valid dan reliable. Analisa bivariat dengan menggunakan paired t test jika data berdistribusi normal atau menggunakan wilcoxon test jika data tidak berdistribusi normal.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik responden dalam penelitian ini rata-rata berumur 10,71 tahun. Karakteristik responden berdasarkan variable perancu terlihat dlam table 1. Table 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Variabel Perancu Karakterstik N % Pendidikan Ayah Rendah (≤SMP) 49 87.5 Tinggi (≥SMP) 7 12,5 Pendidikan Ibu Rendah (≤SMP) 45 80.4 Tinggi (≥SMP) 11 19.6
Karakterstik Pekerjaan Ayah Bekerja Tidak bekerja Pekerjaan Ibu Bekerja Tidak bekerja Sumber Informasi Terpapar Tidak terpapar
N
%
55 1
98.2 1,8
26 30
46,4 53,6
36 20
64,3 35,7
Karakteristik responden untuk pendidikan orang tua sebagian besar berpendidikan rendah. Pengkategorian pendidikan rendah dan tinggi dalam penelitian ini berdasarkan pada Undang-Undang Pendidikan No 20 tahun 2003. Keadaan tidak bekerja pada Ibu responden adalah sebagai Ibu Rumah Tangga dan pada ayah responden disebut tidak bekerja jika benar-benar tidak memiliki pekerjaan yang menghasilkan uang. Hasil uji normalitas data bahwa data tidak berdistribusi normal sehingga untuk mengetahui perbedaan pengetahuan sebelum dan setelah pendidikan kesehatan analisa data dengan menggunakan wilcoxon test. Tabel1. Perbedaan pengetahuan sebelum dan setelah pendidikan kesehatan. Pengetahuan Mean ∆ P (SD) Mean Pre test 11,62 (1,73) 1,22 0,00 Post test 12.84 (1,74) Berdasarkan hasil uji dengan menggunakan wilcoxon test, ratarata pengetahuan sebelum dan setelah pendidikan terdapat perbedaan menjadi lebih tinggi setelah pendidikan kesehatan. Secara statistic nilai p=0,00 (p<0,00) yang berarti bahwa pendidikan kesehatan dengan metode ceramah memiliki pegaruh yang signifikant terhadap
peningkatan pengetahuan siswi dalam mengahadapi menarche. Metode ceramah dalam penelitian ini dilakukan pada SD yang memiliki jumlah responden lebih dari 15. Jumlah peserta pada metode ceramah ini sesuai pendapat Notoadmodjo (2012) dan Machfoedz (2005) bahwa metode ceramah merupakan penyampaian informasi secara lisan kepada sejumlah siswa dengan jumlah peserta lebih dari 15 orang. Guru sebagai pemberi informasi menyampaikan materi dan responden mendengarkan. Berdasarkan hasil observasi selama proses ceramah responden bersifat pasif dan hanya mendengarkan apa yang disampaikan guru. Hal ini sesuai dengan Notoatmodjo (2012) bahwa dalam proses ceramah peserta bersifat pasif. Media yang digunakan untuk mendukung penyampaian materi adalah power point. Responden terlihat dengan seksama memperhatikan guru dalam menyampaikan informasi dan memperhatikan media power point yang menarik. Penggunaan media ini bertujuan untuk memudahkan responden menerima informasi dan meminimalkan kejenuhan. Selama proses ceramah, guru sulit mengevaluasi atau mengendalikan sejauhmana pengetahuan responden terkait materi yang disampaikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Roymond (2009) bahwa dalam metode ceramah responden bersifat pasif dan pengajar sukar mengendalikan sejauhmana pengetahuan peserta didik. Dalam penelitian ini peran guru sangat mempengaruhi keberhasilan dalam pendidikan kesehatan. Metode ceramah ini dapat mempengaruhi pengetahuan responden karena dengan mendapatkan ceramah informasi yang didengarkan dapat terserap 5% (Atherton, 2013) sehingga dapat menambah pengetahuan responden.
Didukung dengan media power point sehingga mempermudah responden dalam menyerap informasi yang disampaikan. Hal ini sesuai pendapat Roymond (2009) bahwa media pendidikan kesehatan seperti power point dapat mendukung keberhasilan proses pendidikan kesehatan. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan responden selain proses pendidikan kesehatan dengan metode ceramah adalah sumber informasi dan sosial ekonomi (pekerjaan dan pendidikan orang tua). Sumber informasi yang paling banyak dicari oleh responden adalah guru sebanyak 19 responden. Informasi yang pernah diberikan oleh guru juga hanya sebatas jika menstruasi tidak diperbolehkan melakukan sholat. Informasi yang diperoleh seseorang akan diproses dan akan menghasilkan pengetahuan. Semakin sering orang menerima informasi maka pengetahuan dapat meningkat. Faktor sosial ekonomi dalam penelitian ini adalah pekerjaan dan pendidikan orang tua responden yang dapat mempengaruhi pengetahuan responden tentang menarche. Pendidikan orang tua baik ayah dan ibu jumlah berpendidikan tinggi sebanyak 7 responden pada ayah dan 11 responden pada ibu. Pekerjaan orang tua sebagian besar adalah petani (tabel.1). Pekerjaan orang tua dapat mempengaruhi peran orang tua dalam memberikan informasi tentang menarche terkait dengan ketersediaannya waktu untuk berinteraksi kepada anak sehingga kesempatan anak untuk bertemu orang tua untuk berdiskusi tentang apa yang mereka hadapi juga berkurang (Wulandari, 2008). Faktor sosial ekonomi merupakan salah satu faktor personal yang merupakan faktor yang relevan terhadap tingkah laku peningkatan kesehatan (Pender, 2011). Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian Arfan (2009) dan Riyatno (1998) bahwa pendidikan kesehatan dengan metode ceramah dapat meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. 4. KESIMPULAN Kesimpulan dalam penelitian ini adalah pendidikan kesehatan dengan metode ceramah mempengaruhi pengetahuan siswi dalam mengahadapi menarche. Saran bagi sekolah supaya berperan aktif dalam menyiapkan siswanya dalam menghadapi menarche dengan memberikan pendidikan kesehatan tentang kesehatan menstruasi yang dapat diberikan oleh guru bekerjasama dengan Puskesmas, berkaitan dengan usia pubertas yang semakin dini maka sekolah harus memberikan pendampingan pada siswa dalam pembentukan moral, budi pekerti dan terkait dengan pendidikan kesehatan reproduksi usia SD, Sekolah perlu melakukan pemberdayaan guru dengan melibatkan orang tua dalam membantu mempersiapkan siswi menghadapi masa pubertas. Saran bagi perawat Perkesmas dapat membuat program penyuluhan secara jelas dan bekerja sama dengan pihak sekolah dalam mempersiapkan siswa menghadapi menarche dan terkait kesehatan reproduksi usia SD. Bagi peneliti lain persamaan persepsi kepada guru SD tentang materi kesehatan menstruasi dilakukan dalam bentuk pelatihan sehingga guru benar-benar memahami tentang materi kesehatan menstruasi, untuk memberikan pendidikan kesehatan tidak hanya terkait menstruasi namun tentang pentingnya kesehatan reproduksi pada siswa SD baik laki-laki ataupun perempuan. 5. REFERENSI
Arfan, M. 2009. Efektifitas Pendidikan Kesehatan Melalui E-File Multimedia Materi KRR dan Tatap Muka di Kelas Terhadap Peningkatan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Remaja Di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Tesis UGM. Tidak Dipublikasikan
Mengapa Tidak. http://www.kulonprogokab.g o.id/v21/Materi-KesproDiberikan-Sejak-SD-Mengapa Tidak_1961. Diakses tanggal 10 Februari 2014.
Atherton J S (2013) Learning and Teaching; Misrepresentation, myths and misleading ideas [Online: UK] retrieved 21 November 2014 from http://www.learningandteaching.info/le arning/myths.htm
Machfoedz, I. 2005. Pendidikan Kesehatan Bagian dari Promosi Kesehatan, Yogyakarta: Fitramaya.
BKKBN. 2003. "Kesehatan Reproduksi Remaja Perlu dan Penting" Kerjasama BKKBN, STARH, USAID.
BKKBN.2009. Pegangan Kader Tentang Pembinaan Anak Remaja. Jakarta: Direktorat Pengembangan Ketahanan Keluarga. Chang, Y.-T. 2008. Menstrual and menarche experience among pubescent female students in Taiwan: Implication for health education and promotion practice. Journal of Clinical Nursing, 18. Erbil,N. Boyaci, S. Kurt, I. , 2012. A Turkish Study on menarche and menstrual experiences and their effects on attitudes toward menopouse. International Journal of Nursing Practice, 18, 107-116.
Fauziah. 2005. Pengetahuan, Sikap, Perilaku tentang Menstruasi dan gangguan Menstruasi pada remaja Putri di Kabupaten Purworejo. Tesis UGM. Tidak dipublikasikan Margono.2012. Materi kespro Diberikan Sejak SD,
Notoadmodjo. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta: PT Rineka Cipta. Riyatno.1998.Efektifitas Metode Ceramah dan Diskusi Kelompok Dalam Meningkatkan Pengetahuan dan Sikap Remaja tentang Kesehatan Reproduksi. UGM. Roymond, 2009. Buku Ajar Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta: EGC. Pender, N.J. 2011. Health Promotion in Nursing Practice. Boston, MA: Pearson. research2vrpractice.org/.../HEA LTH_PROMOTION_MANUAL_ Rev_5-. Diakses tanggal 20 Februari 2014. Sally, A. 2005. Girls' experiences of menarche and menstruation. Journal of Reproductive and infant Psychology, 23, 235-249. Shanbag,D. Shipa, R. Souza, D. Josephin, P. Singh, J. GGoud, B.R. 2012. Perceptions regarding menstruation and Practice during menstrual cycles among high school going adolescent girls in resource limited settings arround Bangalore city Karnataka India. International Journal of Collaboration Research on
Internal Medicine & Public Health, 4.
Wahyudi.2001. Kesehatan Reproduksi Remaja, In: BKKBN. Jakarta.
Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia, nomor 78. Jakarta: Sekertaris Negara.
Wulandari. 2008. Peran Orang Tua Terhadap Persepsi Remaja Putri Tentang Menarche di Kabupaten Purworejo Jawa Tengah.Tesis UGM. Tidak dipublikasikan.
KARAKTERISTIK PERAWAT YANG MEMPENGARUHI PERILAKU CARING DI RS PKU MUHAMMADIYAH TEMANGGUNG Luthfi Fauzi Asriyanto1), Puguh Widiyanto 2), Sodik Kamal 2) [email protected] Abstract Quality health care becomes an absolute must for a health care institution, as a special effect to the image, profits, productivity, and liability. One of the keys of the quality of health services provided by a nurse lies in aspects of attention, empathy, and caring. Based on preliminary studies in PKU Muhammadiyah Hospital Temanggung, it can be concluded that the nurse caring behavior can’t be said to be optimal, although the management of the hospital has established a commitment to quality service through its quality policy.This study aims to determine the factors fatherly dimensions of personal characteristic that influence nurses caring behavior. The study design used was a cross sectional analytic method in 50 nurses. Data analysis using Pearson and Spearman correlation test, with the result there is no relationship between gender and marital status with nurses caring behavior, whereas age and years of nursing has a significant relationship. Multivariate analysis showed that the variables that most influence the caring behavior is working lives, so suggestions for management of the hospital to take care of inserting items into the standard of care and nursing performance appraisal. Key words: Caring Behavior, Nurses Character _____________________________________________ 1). Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung 2). Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Magelang
JURNAL KESEHATAN KARYA HUSADA
VOL.3 NO.1JANUARI
2015
PENDAHULUAN Keperawatan dan caring adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, dan pada dasarnya mengindikasikan bahwa beberapa aktivitas praktek seorang perawat dilakukan dalam rangka proses caring (McFarlane, 1976; dalam Morrison dan Burnard, 2008). Aktivitas caring perawat yang diharapkan klien dalam asuhan keperawatan adalah perilaku-perilaku yang berhubungan dengan kenyamanan, dukungan, kasih sayang, empati, perilaku menolong secara langsung, koping, pengurangan stres yang spesifik, sentuhan, pengasuhan, bantuan, pengawasan, perlindungan, pemulihan, stimulasi, pemeliharaan kesehatan, pendidikan kesehatan, serta konsultasi kesehatan (Leininger, 1997; dalam Amin, 2013). Dengan kata lain, perilaku caring perawat dimanifestasikan dengan memberikan perhatian penuh kepada klien saat melakukan asuhan keperawatan (Potter dan Perry, 2005; dalam Sukesi, 2013). Caring adalah ide moral dalam keperawatan yang menghasilkan perlindungan, peningkatan, dan pemeliharaan martabat manusia (Reilly dan Behrens-Hanna, 1991; dalam Gruendemann dan Fernsebner, 2005). Menurut Watson (2000) dalam Putra, Utami, dan Jem (2012), perilaku caring dalam keperawatan dapat bermanfaat membantu manusia mencapai keharmonisan pikiran, jiwa, dan raga; meningkatkan kemampuan, kemandirian, pengetahuan, dan pengendalian; serta meningkatkan proses perawatan dan kesembuhan diri klien sendiri. Pernyataan mengenai manfaat perilaku caring perawat juga disampaikan oleh Ria (2006), dalam Setiadi (2013), bahwa perilaku caring dapat menimbulkan ketenangan jiwa, membina rasa percaya, serta mengurangi kecemasan, sehingga dapat membantu proses penyembuhan klien selama proses perawatan. Selain bermanfaat bagi kesembuhan klien, perilaku caring perawat mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan klien (Duffy dalam Ma, et al, 2014). Anjaswani, Keliat, dan Sabri (2002), dalam Tanjung dan Salbiah (2012), mengungkapkan bahwa
ISSN 9772337649009
perilaku caring perawat akan memungkinkan terjalinnya hubungan interpersonal yang harmonis antara perawat dengan klien. Oleh karena itu, perilaku caring dapat memberikan dukungan psikologis serta emosional kepada klien dan keluarganya, baik secara verbal maupun nonverbal, sehingga dapat meningkatkan rasa aman, keselamatan klien, serta membantu terpenuhinya kebutuhan klien. Caring sebagai esensi dari keperawatan, tidak hanya sekedar mempraktekkan seni perawatan, memberikan kasih sayang untuk meringankan penderitaan klien dan keluarganya, meningkatkan kesehatan dan martabat klien, akan tetapi dapat memperluas aktualisasi diri perawat (Morrison dan Burnard, 1997/2009; dalam Zees, 2011). Melihat besarnya manfaat yang dapat diperoleh klien, maka seorang perawat harus dapat menerapkan perilaku caring saat memberikan asuhan keperawatan. Penelitian yang dilakukan oleh Tanjung dan Salbiah (2012) memberikan bukti, bahwa klien yang sedang menjalani proses perawatan memiliki harapan yang tinggi terhadap perilaku caring perawat. Namun, kenyataan pada saat ini menunjukkan bahwa sebagian besar perawat aktif terlibat pada tugas-tugas yang bersifat cure daripada care (caring). Selain itu, masih banyak perawat yang tidak memiliki waktu untuk mendengarkan kliennya, memberikan kenyamanan, dan tindakan-tindakan caring lainnya. Bukti empiris yang mendukung pernyataan tersebut adalah penelitian Laila (2010), dalam Awaliyah (2012), sebanyak 57,1% klien mengatakan tidak puas dengan perilaku caring perawat. Perilaku caring perawat mewakili semua faktor-faktor yang digunakan oleh perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada kliennya (Tomey dan Alligood, 2006). Perilaku caring merupakan bagian dari bentuk kinerja perawat, karena caring merupakan aspek dasar dari praktek keperawatan yang bertujuan membantu klien untuk pulih dari sakitnya (Potter dan Perry; dalam Widiharti, Sunaryo, dan Purwaningsih, 2011). Robbins dan Judge (2008) menyebutkan bahwa kinerja seorang perawat dipengaruhi oleh: 1).
1
Variabel tingkat individual, yang meliputi karakteristik pribadi yang berkaitan dengan biografi (usia, jenis kelamin, status pernikahan), kerangka emosional bawaan, nilai dan sikap, serta level kemampuan dasar; 2). Variabel tingkat kelompok, yang meliputi standar perilaku kelompok, rancangan kerja, pola komunikasi, kekuasaan dan politik, kepemimpinan, serta level konflik yang mempengaruhi kelompok; dan 3). Variabel tingkat sistem organisasi, yang meliputi desain organisasi formal, kultur internal organisasi, kebijaksanaan dan praktek sumber daya manusia organisasi (program seleksi, pelatihan dan pengembangan, serta metode evaluasi kerja). Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung merupakan organisasi yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan, sebagai wujud amal usaha Persyarikatan Muhammadiyah. Rumah sakit ini didirikan berdasarkan keinginan kuat segenap keluarga besar Muhammadiyah daerah Temanggung, dengan tujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya melalui upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif secara menyeluruh (MKKM PDM Kabupaten Temanggung, 2009). Tujuan tersebut kemudian dirumuskan dalam visi rumah sakit, yaitu terwujudnya Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung sebagai e-world hospital yang mendukung pelayanan kesehatan komprehensif sesuai kebutuhan klien dan menjadi rujukan bagi Rumah Sakit Muhammadiyah di Indonesia, didasarkan iman kepada Allah SWT. Dalam rangka mewujudkan tujuan dan visi rumah sakit, maka perlu adanya dukungan dan upaya-upaya menyeluruh dari setiap pegawai, terutama perawat. Hal ini didasarkan pada realita, bahwa perawat adalah profesi yang paling sering dan lebih lama berinteraksi dengan klien rawat inap. Akan tetapi, perilaku caring yang ditampilkan oleh para perawat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung belum dapat dikatakan optimal. Hal ini dibuktikan dari evaluasi laporan Instrumen B (kepuasan pelanggan) pada tribulan III tahun 2013 dengan data-data
sebagai berikut: sebanyak 82,6% perawat tidak menjelaskan kepada klien tentang alasan pemasangan gelang identitas; 30,5% perawat tidak memberitahu klien apabila mengalami penundaan pelayanan; 34,8% perawat tidak memberitahu tentang petugas yang akan merawat pada setiap shift dinas; 34,8% perawat tidak memberitahu hak dan kewajiban klien selama perawatan; serta 60,9% perawat tidak memperhatikan dan menanyakan jumlah makanan dan minuman yang dihabiskan klien. Sebagai bagian dari upaya mewujudkan tujuan dan visi rumah sakit, sekaligus dalam rangka memperbaiki diri guna menghadapi persaingan perumahsakitan yang semakin ketat, maka manajemen rumah sakit berkomitmen memberikan pelayanan kesehatan terbaik dan menyeluruh sesuai kebutuhan klien. Komitmen tersebut salah satunya dituangkan dalam kebijakan mutu SOFT dan FAST, yang dapat diartikan sebagai lembut dan cepat, yaitu dimensi yang menjadi salah satu kunci kesuksesan sebuah pelayanan (Adadiyah, 2009).
Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui karakteristik individu perawat (usia, jenis kelamin, status pernikahan, dan masa kerja) yang berpengaruh terhadap perilaku caring perawat di ruang rawat inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain analitik dengan metode cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat yang bertugas di ruang rawat inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung. Sampel dalam penelitian ini adalah 50 perawat pelaksana di ruang rawat inap dengan kriteria adalah perawat yang bertugas di ruang rawat inap, memiliki masa kerja minimal 1 tahun, latar belakang pendidikan minimal D-III Keperawatan. Penelitian ini dilakukan pada bulan April - Agustus 2014.
Penelitian ini menggunakan metode survey dengan alat ukur berupa kuesioner berskala likert. Pengambilan data penelitian dilakukan secara langsung (data primer), yaitu dengan membagikan kuesioner kepada responden penelitian untuk mengetahui gambaran karakteristik pribadi perawat dan perilaku caring perawat. Kuesioner tentang perilaku caring perawat dikembangkan dan dimodifikasi dari Caring Behaviors Inventory (CBI) yang dikembangkan oleh Wolf (1986, 1994).
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Status Pernikahan; Juli 2014 (n = 50)
HASIL PENELITIAN Karakteristik Responden Karakteristik responden (sampel) penelitian diartikan sebagai ciri-ciri yang melekat pada perawat pelaksana, yang meliputi usia, jenis kelamin, status pernikahan, dan masa kerja. Hasil analisa univariat mengenai karakteristik responden dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 Deskripsi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia dan Masa Kerja Perawat; Juli 2014 (n = 50)
Analisa mengenai karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin menjelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara responden laki-laki dengan perempuan (46% : 54%). Sedangkan apabila dilihat berdasarkan status pernikahan, maka sebagian besar (84%) responden dalam kategori menikah.
Variabel Karakteristik Usia Karakteristik Masa Kerja
Mean
Md
SD
Min
Max
30,24
30
3,81
23
38
7,50
5,5
4,21
1
18
Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata usia perawat pelaksana adalah 30 tahun, dan rata-rata masa kerja perawat pelaksana adalah 7,5 tahun.
Karakteristik
Kategori
f
%
Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
23 27 50 8
46 % 54 % 100% 16 %
42 50
84 % 100%
Total Status Pernikahan
Belum menikah Menikah
Total
Gambaran Perilaku Caring Perawat Perilaku caring perawat diukur menurut persepsi perawat pelaksana melalui pengisian kuesioner yang dimodifikasi dari Caring Behavior Inventory (CBI). Hasil analisa univariat mengenai perilaku caring perawat dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3 Deskripsi Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung; Juli 2014 (n = 50) Variabel
Rerata
Md
SD
Min
Max
Perilaku Caring Perawat
53,52
52
7,08
40
67
Tabel 3 menunjukkan rerata perilaku caring perawat adalah 53,52 (SD 7,08). Hasil analisa tersebut menjelaskan bahwa persepsi perawat pelaksana di ruang rawat
inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung tentang perilaku caring dalam kategori cukup. Hubungan Karakteristik Pribadi dengan Perilaku Caring Perawat Variabel usia dan masa kerja perawat menggunakan skala ukur interval. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji normalitas data terlebih dahulu untuk mengetahui distribusi data apakah normal atau tidak. Uji normalitas data menunjukkan bahwa variabel perilaku caring perawat memiliki nilai p = 0,071. Dengan demikian, variabel tersebut dapat dikatakan memiliki distribusi data yang normal. Tabel 6 Uji Normalitas Data Variabel Usia dan Masa Kerja Perawat Variabel Usia Perawat Masa Kerja Perawat
Shapiro-Wilk Statistik df p 0,957 50 0,064 0,924 50 0,003
Tabel 6 menunjukkan variabel usia perawat memiliki nilai p = 0,064, sehingga dapat dikatakan memiliki distribusi data yang normal. Sebaliknya variabel masa kerja perawat memiliki nilai p = 0,003, sehingga dikatakan memiliki distribusi data tidak normal. Berdasar hasil uji normalitas tersebut, maka analisa hubungan antara variabel usia dengan perilaku caring perawat dilakukan dengan uji statistik Pearson, sedangkan analisa hubungan antara variabel masa kerja dengan perilaku caring perawat dilakukan dengan uji statistik Spearman. Hasil analisa variabelvariabel tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 7 Hubungan antara Karakteristik Pribadi Perawat (Usia, Masa Kerja) dengan Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung; Juli 2014 (n = 50) Perilaku Caring Perawat n p* r Usia 50 0,009 0,364 Masa Kerja 50 0,007 0,365 * bermakna pada α = 0,01 Variabel
Variabel jenis kelamin dan status pernikahan menggunakan skala ukur nominal. Oleh karena itu, analisa hubungan antara variabel jenis kelamin dan status pernikahan dengan perilaku caring perawat dilakukan dengan uji statistik Kolmogorov-Smirnov. Hasil analisa tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 8 Hubungan antara Karakteristik Pribadi Perawat (Jenis Kelamin, Status Pernikahan) dengan Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung; Juli 2014 (n = 50) Perilaku Caring Perawat
Variabel B
C
Jenis Kelamin Laki-laki 7 16 Perempuan 13 14 Status Pernikahan Belum 2 6 Menikah Menikah 18 24 * bermakna pada α = 0,05
Total
p*
0 0
23 27
0,831
0
8
0
42
K
0,983
Hubungan Usia dengan Perilaku Caring Perawat Uji statistik Pearson antara variabel usia dengan perilaku caring perawat diperoleh nilai p = 0,009 (α< 0,01), dengan nilai korelasi 0,364. Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara usia perawat dengan perilaku caring perawat. Namun, hubungan tersebut memiliki arah korelasi positif dengan kekuatan yang lemah. Hubungan Jenis Kelamin dengan Perilaku Caring Perawat Analisa bivariat menunjukkan bahwa proporsi perawat pelaksana dengan jenis kelamin perempuan yang memiliki persepsi perilaku caring baik sebanyak 13 orang, sedangkan perawat laki-laki sebanyak 7 orang. Hasil uji statistik Kolmogorov-Smirnov menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan perilaku caring perawat (p = 0,831; α< 0,05). Hubungan Status Pernikahan dengan Perilaku Caring Perawat Analisa bivariat menunjukkan bahwa proporsi perawat pelaksana dengan kategori menikah yang memiliki persepsi perilaku caring baik sebanyak 18 orang, sedangkan perawat yang belum menikah sebanyak 2 orang. Hasil uji statistik Kolmogorov-Smirnov menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status pernikahan dengan perilaku caring perawat (p = 0,983; α< 0,05). Hubungan Masa Kerja dengan Perilaku Caring Perawat Uji statistik Spearman antara variabel masa kerja dengan perilaku caring perawat diperoleh nilai p = 0,007 (α< 0,01), dengan nilai korelasi 0,365. Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara masa kerja perawat dengan perilaku caring perawat. Akan tetapi, hubungan
tersebut memiliki arah korelasi positif dengan kekuatan yang lemah. PEMBAHASAN Hubungan antara usia dengan perilaku caring perawat Hasil uji statistik Pearson menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara usia perawat dengan perilaku caring perawat (p = 0,009; α< 0,01), dengan nilai korelasi sebesar 0,364. Hasil tersebut menjelaskan bahwa semakin bertambah usia seorang perawat, maka persepsi perilaku caring perawat tersebut menjadi semakin baik. Penelitian ini menggunakan konsep teori Dessler (dalam Humaira, 2008) yang membagi kategori usia dalam 5 tahapan karir. Akan tetapi, sesuai dengan rentang usia responden (antara 23 - 38 tahun), maka peneliti memutuskan hanya menggunakan 2 tahapan saja. Tahapan tersebut dikelompokkan menjadi: tahap eksplorasi (usia 15 – 24 tahun), tahap perkembangan periode uji coba (usia 25 – 30 tahun), dan tahap perkembangan periode stabilisasi (usia 31 – 44 tahun). Berdasar hasil analisa dapat disimpulkan, bahwa perawat pelaksana dengan rentang usia 31 – 44 tahun memiliki persepsi perilaku caring yang lebih baik dibandingkan 2 kelompok usia sebelumnya. Kesimpulan ini mendukung konsep teori Robbins dan Judge (2008), bahwa para pegawai yang lebih tua membawa sejumlah kualitas positif terhadap kinerja, diantaranya pengalaman, penilaian, etika kerja yang kuat, dan komitmen terhadap kualitas. Meskipun demikian, hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian Zees (2011), bahwa tidak ada hubungan antara karakteristik perawat, khususnya variabel umur, dengan perilaku caring perawat di RSAS Kota Gorontalo.
Usia perawat secara garis besar menjadi indikator kedewasaan dalam setiap pengambilan keputusan yang mengacu pada pengalamannya. Karakteristik seorang perawat berdasarkan umur sangat berpengaruh terhadap kinerja, dimana semakin tua umur perawat maka akan semakin bertambah penerimaan, tanggung jawab, dan pengalaman terhadap pekerjaannya (Smet, 2004; dalam Nurniningsih, 2012 dan Susanti 2013). Robbins dan Judge (2008) juga mengungkapkan apabila dilakukan perbandingan antara pegawai profesional dengan nonprofesional, maka akan didapatkan hasil bahwa tingkat kinerja cenderung meningkat pada pegawai profesional seiring bertambahnya usia, sedangkan pada pegawai nonprofesional kinerja akan menurun seiring bertambahnya usia. Asumsi peneliti mengenai hubungan ini ada kaitannya dengan aspek religiusitas perawat. Perawat yang berusia lebih tua memiliki tingkatan religiusitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan usia muda, sehingga lebih peka terhadap kebutuhan klien serta mempunyai kepedulian untuk membantu mengatasinya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Amin (2013) di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung, bahwa terdapat hubungan antara aspek religiusitas dengan perilaku caring perawat. Hubungan antara jenis kelamin dengan perilaku caring perawat Proporsi perawat pelaksana dengan jenis kelamin perempuan memiliki persepsi perilaku caring baik sebanyak 13 orang, sedangkan pada perawat laki-laki sebanyak 7 orang. Hasil analisa menunjukkan bahwa perilaku caring perawat yang baik lebih ditunjukkan oleh perawat pelaksana dengan jenis kelamin
perempuan, namun uji statistik Kolmogorov-Smirnov menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan perilaku caring perawat (p = 0,831; α< 0,05). Kinerja sangat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang akan dilakukan. Pekerjaan yang bersifat khusus, misal pekerjaan berat, maka jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kerja. Meskipun demikian, pada pekerjaan yang umumnya lebih baik dikerjakan oleh lakilaki, keberhasilan kerja dapat ditunjukkan oleh perempuan dengan pemberian keterampilan yang cukup memadai (Smet, 2004; dalam Nurniningsih, 2012 dan Susanti 2013). Hasil penelitian ini mendukung riset yang dilakukan oleh Angkasa, Hartono, dan Ta’adi di RSUD Kabupaten Batang, serta Zees (2011) di RSAS Kota Gorontalo bahwa tidak ada hubungan antara variabel karakteristik demografi (jenis kelamin) dengan kinerja perawat pelaksana. Asumsi peneliti mengenai tidak ada hubungan antara variabel jenis kelamin dengan perilaku caring perawat karena tidak terdapatnya perbedaan pekerjaan yang dilakukan perawat di ruang rawat inap. Pernyataan senada dikemukakan oleh Robbins dan Judge (2008), bahwa hanya terdapat sedikit perbedaan penting antara laki-laki dan perempuan yang mempengaruhi kinerja, misalnya dalam hal kemampuan memecahkan masalah, melakukan analisis, dorongan kompetitif, motivasi, sosiabilitas, dan kemampuan dalam belajar. Hubungan antara status pernikahan dengan perilaku caring perawat Proporsi perawat pelaksana dengan kategori menikah yang memiliki persepsi perilaku caring baik sebanyak 18 orang, sedangkan pada perawat yang belum menikah sebanyak 2 orang. Hasil uji
statistik Kolmogorov-Smirnov menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status pernikahan dengan perilaku caring perawat (p = 0,983; α< 0,05). Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan konsep teori yang dikemukakan oleh Robbins (2008), dalam Amin (2013), bahwa pegawai yang telah menikah lebih loyal terhadap pekerjaannya dibandingkan pegawai yang belum menikah. Namun, pegawai yang sudah menikah juga memiliki tingkat absensi yang lebih tinggi dibandingkan yang belum menikah, dikarenakan memiliki tugas tambahan terhadap keluarganya. Riset yang dilakukan oleh Angkasa, Hartono, dan Ta’adi di RSUD Kabupaten Batang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara variabel karakteristik demografi (status pernikahan) dengan kinerja perawat pelaksana. Kesimpulan peneliti mengenai tidak adanya hubungan antara status pernikahan dengan perilaku caring perawat yaitu meskipun jumlah perawat pelaksana yang berstatus menikah lebih banyak daripada yang belum menikah, akan tetapi dalam hal kinerja tidak ada perbedaan yang bermakna. Hal ini ini dimungkinkan karena motivasi intrinsik perawat lebih dominan dibandingkan pengaruh tanggung jawab keluarga. Hasil analisa menunjukkan bahwa perawat pelaksana yang sudah menikah memiliki persepsi perilaku caring cukup dan sebagiannya baik, begitu juga pada perawat pelaksana yang belum menikah. Hubungan antara masa kerja dengan perilaku caring perawat Hasil uji statistik Spearman juga menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan perilaku caring perawat (p = 0,007; α< 0,05), dengan nilai korelasi sebesar 0,365. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
semakin lama masa kerja perawat, maka semakin baik persepsi perilaku caringnya. Masa kerja dapat didefinisikan sebagai lamanya perawat bekerja di sebuah ruangan rawat inap. Pengelompokan masa kerja pada penelitian ini menggunakan konsep teori Morrow dan Mc.Elroy (dalam Humaira, 2008), menjadi tahap perkembangan (kurang dari 2 tahun), tahap lanjutan (antara 2 – 10 tahun), dan tahap pemeliharaan (lebih dari 10 tahun).Berdasarkan hasil analisa dapat disimpulkan, bahwa perawat pelaksana dengan masa kerja lebih dari 10 tahun memiliki persepsi perilaku caring yang lebih baik dibandingkan dengan dua kategori masa kerja perawat lainnya. Kesimpulan tersebut sesuai dengan pendapat Smet (2004), dalam Nurniningsih (2012) dan Susanti (2013), bahwa semakin lama masa kerja seseorang maka akan semakin banyak pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Hal ini karena pengalaman merupakan salah satu cara kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Meskipun demikian, hasil penelitian ini kurang sesuai dengan pendapat Robin (2007), dalam Zees (2011), yang mengatakan bahwa pengalaman kerja belum tentu menjamin kinerja yang baik, karena tergantung dari motivasi pegawai yang bersangkutan. Perilaku caring merupakan bagian dari bentuk kinerja perawat, karena caring merupakan aspek dasar dari praktek keperawatan yang bertujuan membantu klien untuk pulih dari sakitnya (Potter dan Perry; dalam Widiharti, Sunaryo, dan Purwaningsih, 2011). Gibson (1997), dalam Nasution (2009), mengemukakan bahwa masa kerja seseorang akan menentukan prestasi individu yang merupakan dasar prestasi dan kinerja
organisasi. Siagian (2000), dalam Ismael (2009) dan Susanti (2013) menyimpulkan semakin lama kinerja seseorang maka akan semakin terampil dan berpengalaman dalam menghadapi masalah dalam pekerjaannya. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa perilaku caring perawat sebagai bagian dari kinerja perawat sangat dipengaruhi oleh masa kerjanya. Faktor yang Paling Berpengaruh terhadap Perilaku Caring Perawat Hasil anlisa multivariat menunjukkan bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap perilaku caring perawat adalah masa kerja. Analisa multivariat model regresi linier pada variabel masa kerja menghasilkan nilai p 0,002. Pembahasan mengenai hal tersebut telah dijelaskan pada pembahasan hubungan antara masa kerja dengan perilaku caring perawat. KESIMPULAN Perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung memiliki perilaku caring cukup baik. Terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan perilaku caring perawat, dimana semakin bertambah usia perawat maka perilaku caring semakin baik. Hasil uji statistik tidak didapatkan hubungan antara jenis kelamin dengan perilaku caring perawat di ruang rawat inap RS PKU Muhammadiyah Temanggung. Hasil uji statistik tidak didapatkan hubungan antara status pernikahan dengan perilaku caring perawat di ruang rawat inap RS PKU Muhammadiyah Temanggung. Terdapat hubungan yang bermakna antara masa kerja perawat dengan perilaku caring perawat, dimana semakin lama masa kerja maka perilaku caring perawat semakin baik. Berdasar hasil analisa multivariat regresi linier,
variabel yang paling berpengaruh terhadap perilaku caring perawat adalah masa kerja. DAFTAR PUSTAKA Adadiyah, Min. (2009). Buku Panduan Peningkatan Kualitas SDM RS PKU Muhammadiyah Temanggung. Tidak dipublikasikan Al-Assaf, A.F. (2009). Mutu Pelayanan Kesehatan: Perspektif Internasional. EGC; Jakarta Ardiana, Lusana R., Hariyadi, S., Nuzulia, S. (2013). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Budaya Organisasi di Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Daerah Pati. Journal of Social and Industrial Psychology; Semarang Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta; Jakarta Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. EGC; Jakarta Bateman, Thomas S. dan Snell, Scott A. (2008). Manajemen Kepemimpinan dan Kolaborasi dalam Dunia yang Kompetitif. Salemba Empat; Jakarta Christensen, Paula J. and Kenney, Janet W. (2009). Proses Keperawatan : Aplikasi Model Konseptual (Ed. 4). EGC; Jakarta Dahlan, M. Sopiyudin. (2013). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif, Bivariat, dan Multivariat, Dilengkapi Aplikasi Dengan Menggunakan SPSS, Ed. 5. Salemba Medika; Jakarta Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Andalas. (2013). Pengaruh Pelatihan Perilaku Caring pada Perawat Pelaksana terhadap Kemampuannya Menerapkan Perilaku di Ruang Rawat Inap RSUD Solok. Medan
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. (2012). Harapan Pasien Dalam Kepuasan Perilaku Caring Perawat di RSUD Deli Serdang Lubukpakam. Lubukpakam. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. (2008). Hubungan antara Gaya Penyelesaian Konflik dan Kepuasan Kerja pada Perawat. Depok Gruendemann, Barbara J. dan Fernsebner, Billie. (2005). Buku Ajar Keperawatan Perioperatif (Vol. 1 Prinsip). EGC; Jakarta Herjanto, Eddy. Manajemen Operasi (Ed. 3). Grasindo; Jakarta Hurlock, Elizabeth B. (2002). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlangga; Surabaya. Hutapea, Parulian dan Thoha, Nurianna. (2008). Kompetensi Plus: Teori, Desain, Kasus dan Penerapan untuk HR dan Organisasi yang Dinamis. Gramedia Pustaka Utama; Jakarta Ivancevich, John M., Konopaske, Robert. Matteson, Michael T. (2007). Perilaku dan Manajemen Organisasi. Penerbit Erlangga; Jakarta Ma, F., Li, J., Liang, H., Bai, Y., Song, J. (2014). Baccalaureate Nursing Student’s Perspectives on Learning About Caring In China: a Qualitative Descriptive Study. BMC Medical Educational Journal Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Temanggung. (2009). Statuta Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung. Temanggung; tidak diterbitkan
Morrison, Paul and Burnard, Philip. (2008). Caring & Communicating : Hubungan Interpersonal dalam Keperawatan. EGC; Jakarta Muhlisin, Abi dan Ichsan, Burhannudin. (2008). Aplikasi Model Konseptual Caring dari Jean Watson dalam Asuhan Keperawatan. Berita Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol. 1 Nomor 3; Jakarta Nursalam dan Efendi, Ferry. Pendidikan dalam Keperawatan. Penerbit Salemba Medika; Jakarta Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan (Ed. 2). Salemba Medika; Jakarta Pohan, Imbalo S. (2006). Jaminan Mutu Layanan Kesehatan: Dasar-dasar Pengertian dan Penerapan. EGC; Jakarta Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Semarang Program Studi Keperawatan Pekalongan. Pengaruh Karakteristik Demografi, Persepsi Gaya Kepemimpinan Kepala Ruang Keperawatan, dan Motivasi dengan Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap RSUD Kabupaten Batang Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran. (2013). Komparasi Pengaruh Kekuatan Budaya terhadap Tingkat Profesionalisme Perawat antara Rumah Sakit PKU Muhammadiyah dengan RSUD di Temanggung. Ungaran; tidak dipublikasikan Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran. (2013). Hubungan antara Aspek Religiusitas Perawat dengan
Perilaku Caring Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung.. Ungaran; tidak dipublikasikan. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember. (2012). Hubungan Perilaku Caring Perawat dengan Manajemen Regimen Terapeutik Pasien Tuberkulosis (TB) di Poli TB RS Paru Jember. Jember Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember. (2013). Hubungan Karakteristik Perawat dengan Motivasi Perawat dalam Pemenuhan Kebutuhan Kebersihan Diri Pasien di Ruang Rawat Inap RSU Dr. H. Koesnadi Bondowoso. Bondowoso Program Studi Kedokteran Keluarga Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret. (2008). Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kompetensi, dan Motivasi terhadap Kinerja Dosen di Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Sahid Surakarta. Surakarta Putra, Kuswantoro R., Utami, Yulian W., dan Jem, Yosephin S. (2012). Hubungan Motivasi Kerja dengan Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap RSUD Ruteng Kabupaten Manggarai Propinsi Nusa Tenggara Timur. Manggarai Putra, Sitiatava R. (2012). Panduan Riset Keperawatan dan Penulisan Ilmiah. D-Medika (Anggota IKAPI); Yogyakarta Sastroasmoro, Sudigdo. (2011). DasarDasar Metodologi Penelitian Klinis (Ed. 4). Sagung Seto; Jakarta Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. (2009). Pengaruh Karakteristik Individu dan Psikologis terhadap Kinerja Perawat dalam Kelengkapan
Rekam Medis di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan. Medan Setiadi, F., Siswadi, Y., dan Florensa, M.V.A. (2013). Perilaku Caring Terhadap Pasien Berdasarkan Ideal Diri Mahasiswa Keperawatan. Nursing Current Vol. 1 No. 2. Siregar, Charles J.P. (2003). Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan. EGC; Jakarta Smith, Marlaine C., Turkel, Marian C., and Wolf, Zane R. (2013). Caring in Nursing Classics: An Essential Resource. Springer Publishing Company; New York Sobirin, Achmad. (2007). Budaya Organisasi (Pengertian, Makna, dan Aplikasinya dalam Kehidupan Organisasi). UPP STIM YKPN; Yogyakarta Sunaryo. (2004). Psikologi untuk Keperawatan. EGC; Jakarta Sukesi, Niken. (2013). Upaya Peningkatan Caring Perawat terhadap Kepuasan Pasien di Ruang Rawat Inap RS Permata Medika Semarang. Semarang; Jurnal Managemen Keperawatan, Volume 1, No. 1, Mei 2013; 15-24 Tangkilisan, Hessel N.S. (2005). Manajemen Publik. Grasindo; Jakarta Tomey, Ann M. and Alligood, Martha R. (2006). Nursing Theorists and Their Work. Mosby Elsevier; St. Louis, Missouri Tonges, Mary and Ray, Joel. (2011). Translating Caring Theory Into Practice. JONA Vo. 41, Number 9, pp 374-381 Wolters Kluwer Health | Lippincot William and Wilkins Udomluck, S., Tonmukayakul, O., Tiansawad, S., Srisuphan, W. Development of Thai Nurses’
Caring Behavior Scale. Pacific Rim Int J Nurs Res 2010; 14 (1) 32-44 Watson, Jean. (2002). Assessing and Measuring Caring in Nursing and Health Science : Second Edition. Springer Publishing; New York. Widiharti, Sunaryo dan Purwaningsih. (2011). Pengembangan Strategi Peningkatan Mutu Pelayanan Keperawatan Berdasarkan Analisis Porsi Perilaku Caring Perawat dengan Jendela Pelanggan. Jurnal Ners Vol. 6 No. 1 April 2011
JURNAL KESEHATAN KARYA HUSADA
VOL.3
NO.1JANUARI 2015
HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN PERILAKU BULLYING PADA ANAK USIA 10-12 TAHUN DI SEKOLAH DASAR Z KOTA MAGELANG TAHUN 2014 LARASATI MUTIARA ANJANI *) Ns. RENI MARETA, M.Kep **) ROHMAYANTI, S. Kep. Ns ***) *) Alumni Program Studi S1 Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Magelang **) Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Magelang ***) Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Magelang INTISARI Latar belakang: perilaku bullying merupakan perilaku agresif yang banyak dijumpai dalam masyarakat. Banyak kejadian dari perilaku bullying yang memberikan dampak bagi korbannya. Perilaku bullying yang banyak dijumpai di Sekolah Dasar antara lain adalah bullying verbal seperti mengejek. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku bullying adalah pola asuh yang diberikan orang tua kepada anak. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan perilaku bullying pada anak usia 10-12 tahun di SD Z Kota Magelang. Metode: pada penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan melibatkan 57 siswa yang menjadi responden dan menggunakan alat pengumpulan data yang berbentuk kusioner dengan pertanyaan tertutup. Teknik pengambilan sampel adalah stratified random sampling. Hasil: berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan uji Gamma dan Somers’d didapatkan hasil dengan nilai p yaitu 0,002 (p value < 0,05) sehingga didapatkan hasil H 0 ditolak dan Ha diterima. Simpulan: pola asuh orang tua berhubungan dengan perilaku bullying. Saran: hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi orang tua, sehingga orang tua dapat menerapkan pola asuh yang tepat kepada anak. Selain itu, insitusi pendidikan juga diharapkan dapat menyusun program anti-bullying sehingga dapat meminimalisir perilaku bullying di sekolah. Kata kunci: pola asuh, orang tua, perilaku bullying
ISSN 9772337649009
1
PENDAHULUAN Keluarga juga dapat dikatakan sebagai unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga serta beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di satu atap dalam keadaan saling ketergantungan, menurut BKKBN (1999 dalam Sudiharto (2007). Dalam sebuah keluarga terdapat orang tua menurut Mardiya (2000). Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah tipe pola asuh orangtua (Nurdiana, 2007). Pola asuh orang tua merupakan perlakuan orang tua dalam berinteraksi yang meliputi orang tua menunjukkan kekuasaan dan cara orang tua memperhatikan keinginan anak. Kekuasaan atau cara yang digunakan orang tua cenderung mengarah pada pola asuh yang diterapkanya (Gunarso, 2010). Pola asuh juga dapat didefinisikan sebagai suatu model atau cara mendidik anak yang merupakan suatu kewajiban dari setiap orang tua dalam usaha membentuk pribadi anak yang sesuai dengan harapan masyarakat pada umumnya (Soetjiningsih, 2004). Terdapat tiga macam pola asuh yaitu authoritarian atau otoriter, permissive atau permisif, authoritative atau demokrasi. Pola asuh otoriter yaitu suatu bentuk pola asuh yang dimana terdapat perturan yang ketat, peraturan tersebut diterapkan secara kaku dan anak biasanya mendapatkan hukuman apabila melakukan kesalahan, hal tersebut dapat menyebabkan anak kurang inisiatif, cenderung ragu dan mudah gugup. Pola asuh permisif diartikan sebagai bentuk pengasuhan di mana orang tua memberi kebebasan sebanyak mungkin pada anak untuk mengatur dirinya, orang tua dalam pola pengasuhan seperti ini biasanya bersifat hangat, sehingga sering kali disukai oleh anak. Pola asuh demokrasi adalah pola asuh yang ditandai dengan orang tua yang
memberikan kebebasan yang memadai pada anaknya tetapi memiliki standar perilaku yang jelas, anak dilatih untuk bertanggung jawab, dan menentukan perilakunya sendiri agar dapat berdisiplin. Anak yang diasuh dengan pola ini tampak lebih bahagia, mandiri dan mampu untuk mengatasi stress (Dariyo dalam Anisa, 2005). Pola asuh orang tua dapat mempengaruhi perilaku agresif anak. Bullying atau sering disebut dengan pembulian merupakan suatu tindakan atau juga dapat diartikan sebagai suatu perilaku agresif yang disengaja. Kejadian tersebut dapat dilakukan oleh suatu kelompok tertentu, dan juga dapat dilakukan oleh individu ke individu yang lain secara berulang kali sehingga orang yang menjadi korban bullying tersebut tidak dapat mempertahankan dirinya (Olweus dalam Gerald 2012). Perilaku bullying merupakan suatu kejadian dimana seseorang menyalah gunakan kekuasan dengan sistematik (Sharp dan Smith dalam Gerald 2012). Usia 10-12 tahun merupakan rentang usia sekolah, anak mengalami perkembangan kognitif, moral, sosial, dan biologis (Wong, 2009). Dampak dari perilaku bullying pada saat kanak-kanak antara lain dapat mempengaruhi dalam perkembangan anak tersebut. Untuk anak yang sedang sekolah atau dalam usia sekolah, biasanya anak tersebut enggan untuk pergi ke sekolah, kemudian anak tersebut juga mengalami gangguan pada saat proses belajar mengajar berlangsung (Wiyani,2012). Menurut penelitian yang dilakukan oleh yayasan SEJIWA pada tahun 2006, selama periode 2002-2005 terjadi 30 kasus bunuh diri pada rentang usia 6-15 tahun yang dimana kasus bunuh diri tersebut merupakan korban dari perilaku bullying (Shanaz, 2011 dalam Latifah, 2012). Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Menggunakan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini dilakukan di salah satu Sekolah dasar yang berada di Kota Magelang pada bulan Juli. Melibatkan 57
siswa sebagai sampel dan cara pengambilan sampel menggunakan stratified random sampling. Metode pengumpulan data pada penelitian ini dengan menggunakan kuesioner. Terdapat dua jenis kuesioner pada penelitian ini, yaitu kuesioner pola asuh orang tua dan modifikasi dari kuesioner Bullying Olweus.
orang tua yang sebelumnya terdapat 30 item pertanyaan, setelah diuji validitas semuanya valid dengan alpha cronbach 0,739. Kuesioner modifikasi dari Bullying Olweus yang sebelumnya terdapat 25 item pertanyaan, setelah dilakukan validitas terdapat 3 item yang tidak valid, ketiga item pertanyaan tersebut tidak diikutsertakan karena sudah diwakili oleh pertanyaan yang lain dalam satu indikator dan 22 item pertanyaan lainnya valid dengan alpha cronbach 0,747.
Kedua kuesioner tersebut sudah diuji validitas dan reliabilitas ulang oleh peneliti. Hasil dari kedua uji validitas tersebut adlah untuk kuesioner pola asuh HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Univariat Variabel Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Usia 10 tahun 11 tahun 12 tahun Kelas Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6 Rumah Kota Magelang Kab. Magelang Tinggal Bersama Ayah dan Ibu Ayah Ibu Total
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah siswa berjenis kelamin lakilaki, yaitu sebanyak 38 orang (66,7%) sedangkan siswa yang berjenis kelamin perempuan adalah sebanyak 19 (33,3%). Karakteristik siswa yang berusia 10 tahun sebanyak 24 orang (42,1%), usia 11 tahun sebanyak 21 orang (36,8%), dan yang berusia 12 tahun adalah sebanyak 12 orang (21,1%). Sebagian besar responden berusia 10 tahun. jumlah siswa paling banyak berada di kelas 5 atau sebanyak 20 orang (35,1%) Kelas 4 sebanyak 18 orang
Jumlah
Persetase (%)
38 19
66,7 33,3
24 21 12
42,1 36,8 21,1
18 20 19
31,6 35,1 33,3
54 3
94,7 5,3
54 1 2 57
94,7 1,8 3,5 100,0
(31,6%) dan kelas 6 sebanyak 19 orang (33,3). murid tinggal di Kota Magelang yaitu sebanyak 54 siswa (94,7%), sedangkan yang tinggal di Kabupaten Magelang sebanyak 3 siswa (5,3%). Jumlah responden yang tinggal bersama ayah dan ibu lebih banyak yaitu 54 siswa (94,7%) dibanding yang lainnya yaitu sebanyak 54 siswa (94,7%), tinggal bersama ayah sebanyak 1 siswa (1,8%), dan yang tinggal bersama ibu adalah sebanyak 2 siswa (3,5%).
2.
Analisis Bivariat a. Hubungan Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dengan Perilaku Bullying Kategori Kategori Perilaku Bullying Jenis Kelamin Tidak Renda Sedang Tinggi Total p value Bullyin h g n 18 15 5 38 0,022 Laki-laki % 0 31,6 26,3 8,8 66,7 n 3 14 2 19 Perempuan % 5,3 24,6 3,5 0 33,3 n 3 32 17 5 57 Jumlah % 5,3 56,1 29,8 8,8 100,0 Berdasarkan tabel di atas, sebanyak 5 rendah 14 siswa (24,6%), tidak bullying 3 (8,8%) orang murid laki-laki berperilaku siswa (5,3%). Persentase perilaku bullying bullying tinggi, 15 siswa (26,3%) banyak terjadi pada murid laki-laki berperilaku bullying sedang, 19 siswa dibanding murid perempuan. Berdasarkan (31,6%) berperilaku bullying rendah, dan analisis yang digunakan dengan uji pada tidak bullying tidak ditemukan anak Kolmogorov-Smirnov, diperoleh nilai p = yang tidak bullying. Murid perempuan 0,022 < 0,05 maka dapat disimpulkan yang berperilaku bullying tinggi tidak ada, bahwa jenis kelamin berpengaruh terhadap perlaku bullying sedang 2 siswa (3,5%), perilaku bullying. b. Hubungan Pola asuh Orang Tua dengan Perilaku Bullying Kategori Kategori Perilaku Bullying Pola Asuh Tidak Renda Sedang Tinggi Total r Bullying h n 2 3 7 3 15 -0,546 Tidak % 3,5 5,3 n 5 Permisif % 0 8,8 n 1 24 Demokratis % 1,8 42,1 n 3 32 Jumlah % 5,3 56,1 Hasil analisis di atas dapat diketahui bahwa perilaku bullying tinggi sebanyak 3 siswa (5,3%) dan mendapatkan pola asuh otoriter, sedangkan paling banyak murid di SD Z mendapatkan pola asuh demokratis, dan kebanyakan dari muridmurid tersebut berperilaku bullying rendah, sebanyak 29 siswa (50,9%). Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan uji statistik Gamma dan Somers’d, didapatkan hasil dengan nilai p = 0,002.
p 0,00 2
12,3 5,3 26,3 7 1 13 12,3 1,8 22,8 3 1 29 5,3 1,8 50,9 17 5 57 29,8 8,8 100,0 3. Analisis Multivariat Variabel yang dapat dimasukkan dalam analisis multivariat adalah variabel yang memiliki p value < 0,25 (Dahlan, 2013). Dengan melihat tabel r dengan hasil -0,546 dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua memiliki hubungan negatif yaitu semakin baik pola asuh yang diterapkan oleh orang tua pada anak, maka semakin rendah perilaku bullying dan kekuatan hubungannya sedang. Nilai p tersebut < 0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh dengan perilaku bullying.
Dari analisis bivariat terdapat dua variabel yang dilanjutkan untuk dilakukan analisis multivariat, adapun hasil dari analisis multivariat adalah sebagai berikut : Variabel Pola Asuh (1) Pola Asuh (2) Jenis Kelamin (1) Kostanta Berdasarkan tabel di atas, pola asuh dan jenis kelamin berhubungan serta berpengaruh terhadap perilaku bullying di SD Z Kota Magelang, karena pada pola asuh (1) atau otoriter didapatkan hasil p = 0,002, pola asuh (2) atau permisif p = 0,014 kemudian untuk jenis kelamin lakilaki p = 0,016 berhubungan dengan perilaku bullying. Kekuatan hubungan dari yang terbesar sampai kecil adalah pola asuh (1) dengan (OR = 13,700) jenis kelamin (OR = 9,186), dan pola asuh (2) dengan (OR = 7,720). Langkah 1
Koefisien 2,617 2,044 2,218 -3,454
p 0,002 0,014 0,016 0,000
OR (IK 95%) 13,700 (2,560-73,302) 7,720 (1,515-39,348) 9,186 (1,521-55,464) 0,032
JURNAL KESEHATAN KARYA HUSADA
VOL.3
NO.1JANUARI 2015
PEMBAHASAN 4.2.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 57 orang responden yang diteliti di SD Z di Kota Magelang sebagian besar yang terlibat dalam penelitian ini adalah laki-laki yaitu sebanyak 38 siswa (66,7%). Hasil penelitian juga diketahui bahwa perilaku bullying tinggi banyak dijumpai pada siswa laki-laki dibandingkan perempuan. Hasil penelitian didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi dan Juneman (2012) bahwa siswa laki-laki lebih banyak mendominasi dalam kecenderungan perilaku dan sebagai semata-mata pelaku maupun korban perilaku bullying. Anak laki-laki biasanya lebih agresif jika dibandingkan dengan anak perempuan (Pearce, 2002 dalam Latip, 2013). Laki-laki yang terlibat perilaku bullying cenderung melakukan dan menerima tindakan pembulian terbuka, seperti memukul, menampar, menendang secara langsung, atau lebih ke arah physical bullying. Siswa perempuan yang terlibat tindakan pembulian cenderung melakukan dan menerima tindakan pembulian tidak langsung dan pembulian melalui media maya, seperti menyebarkan rumor, manipulasi, mengabaikan teman lainnya atau lebih ke psychological bullying. Siswa laki-laki cenderung melakukan tindakan pembulian secara fisik langsung, dan siswa perempuan melakukan tindakan pembulian
ISSN 9772337649009
secara tidak langsung (Olweus dalam Pratiwi dan Juneman, 2012). 4.2.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Perilaku Bullying Pada Anak Usia 10-12 Tahun di SD Z Kota Magelang Tahun 2014 Berdasarkan analisis yang digunakan dengan uji Kolmogorov-Smirnov, diperoleh nilai p = 0,022 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin berpengaruh terhadap perilaku bullying. Perilaku bullying memiliki dampak negatif untuk segala aspek kehidupan fisik, psikologis, maupun sosial individu dan akan mempengaruhi perkembangannya (Sejiwa, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan peneliti juga didukung pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Latifah (2012) yaitu bahwa jenis kelamin memiliki kerkaitan dengan perilaku bullying. Uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian bullying. Adapula penelitian lain yang mengatakan bahwa terdapat perbedaan perilaku bullying yang ditunjukkan oleh siswa laki-laki dan siswa perempuan Sekolah Dasar (Nansel et al., 2001; dalam Siswati dan Widayanti, 2009). Anak laki-laki memiliki kecenderungan berperilaku agresif secara fisik, mengingat secara fisik laki-laki lebih relatif lebih kuat dibandingkan dengan perempuan. Anak laki-laki umumnya lebih menerima dan lebih sering meunjukkan keterlibatannya dalam tindakan bullying (Beran dan Leslie, 2002; AASA, 2009; dalam Latifah, 2012). 1
Penelitian yang dilakukan oleh Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) mengemukakan bahwa sebagian besar remaja khususnya remaja laki-laki cenderung melakukan kontak fisik langsung dibandingkan dengan remaja perempuan. Mayoritas remaja yang berjenis kelamin laki-laki cenderung melakukan agresi atau perilaku agresif yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan. 4.2.3 Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perilaku Bullying pada Anak Usia 10-12 Tahun di SD Z Kota Magelang Tahun 2014 Hasil analisis deskriptif diketahui perilaku bullying tinggi sebanyak 3 siswa (5,3%) dan mendapatkan pola asuh otoriter, sedangkan paling banyak murid di SD Z mendapatkan pola asuh demokratis. Hasil dari analisis bivariat dengan uji Gamma dan Sommers’d didapatkan hasil dengan nilai p = 0,002. Dapat disimpulkan bahwa pola asuh berhubungan dengan perilaku bullying. Penelitian yang dilakukan oleh Ormel, dkk (2005, dalam Utami, 2009) menjelaskan bahwa munculnya perilaku bullying berasal dari lingkungan dimana orang tua yang menerapkan disiplin anak yang kadang dengan kekerasan serta penolakan dan menjadikan anak kurang memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah. Kemudian orang tua permisif yang cenderung agresif mengenai perilaku anak, pada saat mengajari anak dengan cara dipukul atau dimarahi. Karakteristik tersebut yang merupakan bagian
terbesar yang dapat mempengaruhi munculnya perilaku bullying pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini didukung oleh penelitian Baumrind (1999, dalam Pratiwi dan Juneman, 2012) mengenai pola asuh orangtua, hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh orangtua yang otoriter memiliki prediksi terbaik untuk kecenderungan perilaku anak menjadi pelaku bullying. Pola asuh orangtua otoriter biasanya mendidik anak dengan cara yang kasar, apabila seorang anak melakukan kesalahan maka orang tua menghukumnya, kurangnya kehangatan antara orang tua dan anak, kurangnya kedekatan anak terhadap orangtua, dan banyaknya konflik yang dapat memungkinankan anak untuk berperilaku yang sama terhadap temannya di sekolah karena meniru apa yang dilakukan oleh orang tua kepada dirinya. Adapun teori yang menyebutkan perilaku bullying adalah kurangnya kehangatan yang diberikan oleh orang tua kepada anak dan selain itu terdapat emosi ketika mendisiplinkan anak sehingga anak berperilaku seperti orang tuanya (Olweus, 2003). Banadib (dalam Aisyah, 2010) menyatakan bahwa orang tua yang permisif, kurang tegas dalam menerapkan peraturan-peraturan yang ada, dan anak diberikan kesempatan sebebas-bebasnya untuk berbuat dan memenuhi keinginannya. Pola asuh permisif dapat menyebabkan perilaku agresif bagi anak asuhnya. Pola asuh permisif-mengabaikan akan memunculkan kecenderungan perilaku anak menjadi seorang
pelaku pembulian. Akan tetapi, kecenderungan kecenderungan anak sebagai pelaku agresif yang muncul tersebut tidak terlalu signifikan dibandingkan kecenderungan perilaku yang dimunculkan dari jenis pola asuh orangtua otoriter (Pratiwi dan Juneman, 2012). penelitian yang dilakukan oleh Cutner-Smist (2004, dalam Annisa 2012) didapatkan hasil bahwa sebagian besar ibu yang berada pada status sosial dan ekonomi yang menengah kebawah menerapkan pola asuh permisif pada anak. Ibu yang mempunyai keinginan untuk bekerja namun tidak memiliki pekerjaan akan mempengaruhi pengasuhan terhadap anaknya karena sebagian besar mengalami ketidakpuasan dalam mengasuh anak (Brooks, 2008). KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai perilaku bullying pada anak usia 10-12 tahun di salah satu Sekolah Dasar Kota Magelang tahun 2014, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Karakteristik siswa pada rentang usia 10-12 tahun di Sekolah Dasar tersebut, paling banyak adalah anak yang berusia 10 tahun. 2. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar murid (50,9%, dengan n = 57) mendapatkan pola asuh demokratis. 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku bullying yang banyak dijumpai adalah perilaku bullying rendah yaitu sebanyak 32 orang (56,1%). Jenis perilaku bullying yang paling mendominasi dalam penelitian ini adalah perilaku bullying fisik dan verbal.
4. Anak laki-laki lebih mendominasi perilaku bullying dibandingkan dengan anak perempuan, dan diketahui bahwa jenis kelamin berhubungan dengan perilaku bullying. 5. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan pola asuh orang tua dengan perilaku bullying pada anak usia 10-12 tahun. Hal tersebut ditunjukkan dengan p = 0,002. SARAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi orang tua, sehingga orang tua dapat menerapkan pola asuh yang tepat kepada anak. Selain itu, insitusi pendidikan juga diharapkan dapat menyusun program anti-bullying sehingga dapat meminimalisir perilaku bullying di sekolah. Bagi peneliti selanjutnya terutama peneliti di bidang keperawatan dan berkaitan dengan psikologi sosial anak, sebaiknya memperhatikan variabelvariabel lain yang berhubungan dengan pola asuh dan bullying seperti konsep diri, harga diri, serta faktor-faktor biologis, psikologis, dan religiusitasnya. DAFTAR PUSTAKA Sudiharto. (2007). Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Keperawatan Transkultural. Jakarta: EGC. Mardiya. (2000). Kiat-kiat Khusus Membangun Keluarga Sejahtera. Jakarta: BKKBN Pusat. Nurdiana, S. U. (2007). Korelasi Peran Serta Keluarga terhadap Tingkat Kekambuhan Klien Skizofrenia. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Keperawatan. Volume 3 No. 1. Stikes Muhammadiyah Banjarmasin.
Diunduh pada 27 Februsri 2014 di http://thesis.binus.ac.id
Gunarso, S. D. (2010). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta Pusat: Gunung Mulia.
SEJIWA. (2008). Bullying: Mengatasi kekerasan di sekolah dan lingkungan. Jakarta: PT. Grasindo.
Soetjiningsih. (2004). Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto.
Siswati, dan Widayanti, C. G. (2009). Fenomena Bullying di Sekolah Dasar Negeri di Semarang : Sebuah Studi Deskriptif. Jurnal Psikologi Undip. Vol. 5, No. 2. Desember 2009, h : 1-13. Diakses pada 27 Februari 2014 di http://eprints.undip.ac.id
Anisa, S. (2005). Kontribusi Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kemandirian Siswa Kelas II SMA Negeri 1 Balapulang Kabupaten Tegal Tahun Pelajaran 2004/2005. Universitas Negeri Semarang. Diakses pada tanggal 5 April 2014 dari http://lib.unnes.ac.id/3139 Wong, DL. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 6. Volume 1. Jakarta: EGC. Latifah, F. (2012). Hubungan Karakteristik Anak Usia Sekolah Dengan Kejadian Bullying Di Sekolah Dasar X Di Bogor. Universitas Indonesia. Diunduh pada 1 April 2014 di http://lontar.ui.ac.id/file Gerald, K (ed.). 2012. Konseling Remaja Intervensi Praktis Bagi Remaja Berisiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wiyani, N. A. (2012). Save Our Children From School Bullying. Yogyakarta: Ar-Rus Media. Pratiwi, M., dan Juneman. (2012). Hubungan Antara Jenis Pola Asuh Orang Tua Dengan Kecenderungan Menjadi Pelaku Dan/Atau Korban Pembulian Pada Siswa-Siswi Sma Di Jakarta Selatan. BINUS University.
Riauskina, I.I., Djiwita, R., & Soesetio, S. R. (2005). “GencetGencetan” Di Mata Siswa/Siswi Kelas I Sma: Naskah Kognitif Anti Skenario, Dan Dampak-Dampak “Gencet-Gencetan”. Jurnal Psikologi SosialI,12, 1-13. Utami, R. L. (2009). Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter dengan Perilaku Bullying pada Siswa Sekolah Menengah. Universitas Islam Indonesia. Diunduh pada 1 Agustus 2014 di http://psychology.uii.ac.id Olweus, D. (2003). Bulling at School.USA: Blackwell Publishing. Aisyah, S. (2010). Pengaruh Pola asuh Orang Tua Terhadap Tingkat Agresivitas Anak. Universitas Negeri Makasar. Diakses pada 1 Agustus 2014 dari http://ft-unm.net Annisa. (2012). Hubungan Antara Pola Asuh Ibu dengan Perilaku Bullying Remaja. Universitas Indonesia. Diakses pada tanggal 31 Juli 2014 dari http://lontar.ui.ac.id/file Brooks, J. (2008). The Proccess of Parenting. (7th ed.). Boston: McGraw-Hill.