JURNAL ILMIAH ORASI BISNIS EDISI III MEI 2010 DAFTAR ISI
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
MODEL PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENDIDIKAN MASYARAKAT MISKIN KOTA YANG BERSPERSPEKTIF HAM DI JADEBOTABEK
Oleh: Iis Mariam, Endah Wartiningsih, Heri Setyawan, Mawarta Onida Sinaga1 Staf Pengajar Politeknik Negeri Jakarta
ABSTRACT Poverty is the dominant factor affecting other humanitarian issues, such as backwardness, ignorance, displaced, early death. Problem of illiteracy, dropouts, street children, child labor, human trafficking (human trafficking) can not be separated from the problem of poverty. The most interesting when describing the condition of poverty in the city, is a different condition of society in the fight against poverty which they did. Little things that occur to people capable of, will become meaningful when the balance of life began to be disturbed. This study uses data retrieval method by using descriptive analysis. The purpose of this study is to master and understand the concept of poverty and its relation to everyday social phenomena in urban areas. Capable of designing and implementing education and learning stages applicable to the urban poor. of this research is given a model which can alleviate poverty human rights perspective. Keywords: Poverty, Public education, Human rights
PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan kemanusiaan purba. Sehingga Kemiskinan masih menjadi gambaran kehidupan sebagian masyarakat di dunia, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Miskin dan kaya adalah persoalan abadi yang banyak diperdebatkan selama berabad-abad dan tak kunjung ada penyelesaiannya. Di lihat dari sudut pandang ekonomi, kemiskinan memang selalu dikaitkan dengan masalah pendapatan. Max Nef et all mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi dimana tidak terpenuhinya kebutuhan dasar atau esensial individu sebagai manusia. Sementara menurut Chambers (1983), kemiskinan terutama dipedesaan mempunyai lima karakteristik yang saling terkait yaitu kemiskinan material, kelemahan fisik, keterkucilan dan keterpencilan, kerentanan, dan ketidak berdayaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin Indonesia di tahun 2007 sebesar 37,17 juta orang atau 16,58 persen dari total penduduk Indonesia. Dengan demikian, Indonesia menempatkan diri sebagai salah satu negara miskin didunia. Prestasi minus yang membuahkan hasil berupa aliran dana segar dan memantapkan posisi Indonesia dalam daftar negara penghutang. Pembangunan di Indonesia saat ini telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek, baik di kawasan pedesaan maupun perkotaan. Perubahan yang tidak hanya terjadi di lingkungan fisik, tapi juga sistem nilai dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat. Namun sayangnya perubahan yang diciptakan oleh pembangunan membawa dampak yang menyertainya, yang mengerikan dan kompleks, karena melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan dalam masyarakat.
2
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Apabila diperhatikan, maka kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah bentuk kemiskinan struktural (buatan), karena sebenarnya secara alamiah Indonesia mempunyai potensi dan sumber daya yang cukup untuk tidak mengalami kemiskinan. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya. Struktur ini menyebabkan tidak adanya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi rakyat dalam pelaksanaan pembangunan serta terpinggirkannya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. Kebijakan pemerintah yang berkait dengan penanggulangan kemiskinan tidak memenuhi target dan sasaran, bahkan cenderung memunculkan kemiskinan yang baru. Kebijakan pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan banyak menggunakan dana recovery yang merupakan dana pinjaman atau hutang dari luar negeri. Program tersebut banyak memunculkan permasalahan; karena tidak tepat ke sasaran dan pelaksanaan program yang tidak jelas. Program ini tidak hanya menimbulkan pemiskinan secara ekonomi, namun dalam konteks yang lebih luas meliputi sosial, budaya dan politik. Rakyat miskin menjadi sangat tergantung pada bantuan orang lain atau luar negeri dan tidak inisiatif untuk bangkit dari kemiskinan dengan kemampuan sendiri. Beban utang dari dana pinjaman terbebankan ke rakyat miskin. Aspek ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab kemiskinan. Faktor-faktor yang lain, seperti politik dan sosial budaya, mempunyai peranan yang sangat kuat dalam melatarbelakangi munculnya lingkaran kemiskinan yang tak terselesaikan. Komponen politik dalam bangsa ini juga merupakan sisi penyumbang terjadinya proses kemiskinan majemuk. Kepentingan politik tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan yang terjadi. Struktur birokrasi yang tidak aspiratif terhadap rakyat miskin menimbulkan banyak kebijakan yang semakin memiskinkan rakyat. Namun dengan adanya ideologi dan paradigma serta orientasi politik pemerintah yang tidak fokus, menyebabkan terdapatnya nilai pesimistis terhadap kebijakan politik yang ada, termasuk pengentasan kemiskinan. Pola pendekatan yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan dalam menyelesaikan persoalan adalah dengan menggunakan pendekatan proyek, sehingga dalam pelaksanaannya rentan dengan tindak korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu yang pertama - tama yang harus dilakukan adalah evaluasi terhadap visi yang selama ini berkembang mengenai kemiskinan di masyarakat. Kemiskinan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi persoalan kemanusiaan lainnya, seperti keterbelakangan, kebodohan, ketelantaran, kematian dini. Problema buta huruf, putus sekolah, anak jalanan, pekerja anak, perdagangan manusia (human trafficking) tidak bisa dipisahkan dari masalah kemiskinan. Menurut dirjen PLS diknas (2007:1) Kemiskinan bahkan bukan lagi isu kelas atau bicara tentang si kaya dan si miskin, kemiskinan menjadi sesuatu yang diciptakan, disengaja bahkan dibangun karena kesalahan menerjemahkan demokrasi dalam kondisi transisi, dan ketidakcerdasan pengelolaan krisis yang berkepanjangan. Teori Dalam kerangka penanggulangan kemiskinan tersebut, hampir semua kajian masalah kemiskinan berporos pada paradigma modernisasi (the modernisation paradigm) dan the product centered model yang kajiannya didasari teori pertumbuhan ekonomi capital dan ekonomi neoclasic ortodox (Elson, 1977, Suharto, 2002). Secara umum, pendekatan yang dipergunakan lebih terkonsentrasi pada individual poverty sehingga aspek structural and social poverty menjadi kurang terjamah. Beberapa pendekatan dimaksud tercermin dari tolok ukur yang digunakan untuk melihat garis kemiskinan pada beberapa pendekatan seperti Gross National Product
3
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
(GNP), Human Development Index (HDI) dan Human Poverty Index (HPI), Social Accounting Matrix (SAM), Physical Quality of Life Index (PQLI). Kemiskinan dan Permasalahannya Membahas konsepsi kemiskinan tidak akan pernah terlepas dari perdebatan panjang soal definisi, indikator dan segala hal yang terkait dengan masalah kemiskinan. Kemiskinan, bisa dikatakan, adalah konsep yang cair, tidak pasti, dan mutidimensional. Oleh karena itu, banyak terdapat terminologi kemiskinan baik yang dikemukakan oleh pakar secara individu maupun secara kelembagaan. Dalam pengertian konvensional, kemiskinan (hanya) dimaknai sebagai permasalahan pendapatan (income) individu, kelompok, komunitas, masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan (Zikrullah, 2000, h. 11). Hal ini setidaknya terlihat pada batasan yang dikemukakan UNDP (1997) dalam Cox (2004, h. 9), bahwa seseorang dikatakan miskin jika tingkat pendapatannya (hanya) berada dibawah garis kemiskinan. Oleh karena itu, upaya penanganan kemiskinan yang dilakukan pada negara dunia ketiga baik oleh pemerintah maupun organisasi nonpemerintah, kebanyakan (hanya) bertumpu pada upaya peningkatan pendapatan. Itu sebabnya, berbagai upaya penanganan kemiskinan itu tidak menyelesaikan masalah dan cenderung gagal. Selanjutnya, Narhetali mengutip hasil penelitian tentang kemiskinan yang dilakukan Yeates & Mc Laughlin dari Bank Dunia (2000) yang menyatakan, bahwa orang miskin mempunyai penekanan yang berbeda dari pembuat kebijakan tentang hal-hal yang dipersepsi sebagai dimensi kemiskinan. Selain tingkat pendapatan, konsumsi, pendidikan, dan kesehatan, kaum miskin juga menekankan faktor psikologis seperti kepercayaan diri, ketidakberdayaan (powerlesness) serta pengucilan fisik dan sosial sebagai sumber kemiskinan. Dengan demikian secara jelas terlihat bahwa bagi orang, kelompok, komunitas, masyarakat miskin, ternyata peningkatan pendapatan bukanlah satu-satunya hal yang amat penting. Tetapi, perlakuan humanis penuh harga diri, self-respect juga merupakan sesuatu yang amat bernilai (Kompas, 5 Maret 2008). Badan Pusat Statistik Indonesia menyodorkan kriteria kemiskinan dengan satuan rumah tangga sebagai basis pengukuran. Kriteria rumah tangga miskin yang dirumuskan BPS adalah sebagai berikut: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2, 2. Lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan, 3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/ kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester, 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain, 5. Penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik, 6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan, 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah, 8. Hanya mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu, 9. Hanya membeli satu setel pakaian baru dalam setahun, 10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari, 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik, 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan, 13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/hanya SD
4
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal berjumlah Rp 500.000, seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Pengertian HAM Pengertian HAM ada beberapa pendapat, yaitu: 1. Menurut Deklarasi umum HAM adalah semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. 2. Dalam Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang HAM dijelaskan: a) HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan yang maha Esa dan merupakan anugrahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. b) Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya hak azasi manusia c) Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan dan pengucilan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak azasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. d) Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat politik. 3. Menurut Padmo Wahyono adalah suatu hak kemanusiaan sebernarnya baru menjadi permasalahan apabila seseorang berada dalam lingkungan manusia lainnya. Hanya secara teoritis abstrak kita dapat membayangkan hak manusia yang mutlak tanpa memerlukan perumusan dalam lingkungannya dengan masyarakat. Secara rinci HAM menurut dokumen PBB adalah: a) Semua manusia mempunyai hak yang sama b) Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan tanpa perkecualian seperti misalnya bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik asal usul kebangsaan , kelahiran. c) Setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang d) Tidak boleh ada perbudakan e) Tidak boleh ada penganiayaan f) Setiap orang berhak atas pengakuan sebagai manusia pribadi g) Semua orang berhak atas perlindungan hukum yang sama
5
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
h) Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif i) Tidak boleh ada penangkapan, penahanan atau pembuangan sewenangwenang. Sedangkan dalam UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, mengatur mengenai: a) Hak untuk hidup b) Hak untuk berjodoh c) Hak untuk mengembangkan diri d) Hak untuk memperoleh keadilan e) Hak atas kebebasan pribadi f) Hak atas rasa aman g) Hak atas kesejahteraan h) Hak turut serta dalam pemerintahan i) Hak wanita j) Hak anak Selain hak ada juga kewajiban manusia Indonesia, yaitu: a) Wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tidak tertulis dan hukum Internasional mengenai HAM yang diterima negara Indonesia. b) Wajib bela negara berdasarkan UU c) Wajib menghormati HAM orang lain, moral, etika. Dalam dokumen HAM versi Indonesia, pelaksanaan HAM , antara hak dan kewajiban berjalan secara harmonis, tidak dibenarkan hanya menuntut haknya, kalau terjadi sama dengan pemeras , tidak dibenarkan melaksanakan kewajibannya saja, kalau itu terjadi maka dapat disebut perbudakan. Sedangkan fakta dilapangan, hampir setiap hari terjadi pelanggaran hak azasi manusia mulai dari yang ringan sampai yang berat terjadi hampir diseluruh belahan bumi, seperti pembunuhan, diskriminasi, perampasan hak, kebebasan yang terbelenggu, marjinalisasi kaum masyarakat dan sebagainya, yang merupakan deretan peristiwa yang berkaitan dengan pelanggaran HAM. Kondisi inilah yang kemudian menjadi inspirasi berbagai pihak untuk memperjuangkan penegakkan HAM yang dilakukan secara individu maupun kelompok dalam skala lokal, regional, nasional maupun internasional. Tidak dipungkiri bahwa semua orang, masyarakat maupun laki-laki pada masa yang penuh pertentangan seperti sekarang ini akan menghadapi ancaman kekerasan. Akan tetapi resiko yang akan diterima dan pengalaman menghadapi kekerasan berbeda-beda berdasarkan gender. Secara umum, dapat dikatakan bahwa kebanyakan pelaku kekerasan terhadap masyarakat adalah laki-laki. Selain itu apa yang diderita oleh masyarakat sebagai dampak dari perilaku kekerasan berbeda benar dengan apa serta bagaimana kaum laki-laki mengalaminya. Kekerasan berbasis gender dan segala bentuk penyerangan maupun eksploitasi seksual, termasuk yang merupakan hasil olahan prasangka/anggapan budaya adalah pelanggaran terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, dan oleh karenanya harus dihapuskan. Metodologi Riset Metode yang dipakai dalam penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap, yaitu: Tempat dan waktu penelitian adalah Jadebotabek. Sedangkan waktu pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama 10 (sepuluh) bulan, untuk persiapan pembuatan angket, pelaksanaan penyebaran angket serta pengolahan dan analisa data. Obyek penelitian Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah kota kabupaten di Jadebotabek yang berkaitan dengan masalah pengentasan kemiskinan dan merupakan responden dimana
6
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
akan diinventarisasi dan dikelompokkan guna menemukan indikasi-indikasi khusus yang berkenaan dengan pendidikan bagi masyarakat miskin kota. Metode pengambilan sampel adalah dengan cara membedakan pertama, kelompok-kelompok masyarakat miskin kota , di masing-masing kecamatan maupun kelurahan yang ada di Jadebotabek yang dinilai cukup mempunyai peranan di lingkungannya. Untuk responden ditiap kecamatan dan kelurahan dipilih dengan cara: Menentukan pengambilan sample di masing-masing kelurahan dilakukan secara acak dengan memperhatikan keberadaan kelompokkelompok masyarakat miskin kota di wilayah Jadebotabek. Dengan perkataan lain dalam menentukan responden, digunakan teknik acak yang proporsional. Metode Pengumpulan Data Dalam mendapatkan data yang diperlukan baik yang bersifat kualitatif akan diadakan penelitian lapangan langsung pada obyek-obyek penelitian yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Sebagai sumber informasi digali informasi yang terpercaya juga penelitian kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat-pendapat pihak-pihak lain yang berwenang. Alat penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah wawancara, angket dan data yang diperoleh dari instansi terkait. Metode analisa data Analisa data dilakukan secara kualitatif sesuai dengan jenis data yang diteliti. Data primer yang diperoleh dari para responden diinventarisasi dan dikelompokkan guna menemukan indikasi-indikasi khusus yang berkenaan dengan kasus. Data yang telah dikelompokkan akan dikaitkan satu dan lainnya serta diinterpretasikan dengan perspektif bidang sosiologi, psikologi dan hukum dalam konteks peran serta kelompok masyarakat dan pemerintah daerah dalam pendidikan berprespektif HAM sebagai bentuk pengentasan kemiskinan yang berbasis masyarakat di Jadebotabek. Analisis Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang ada di Indonesia dan tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk mengatasinya tetapi masih banyak yang ditemui permukiman masyarakat miskin hampir setiap sudut kota. Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai permukiman masyarakat miskin tersebut adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang mesti disingkirkan. Pendekatan konvensional yang paling populer adalah menggusur permukiman kumuh dan kemudian diganti oleh kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih bermartabat. Cara yang dilakukan seperti ini seringkali disebut sebagi permejaan kota dan hal ini bukanlah cara yang berkelanjutan untuk menghilangkan kemiskinan dari perkotaan. Kemiskinan dan kualitas lingkungan yang rendah adalah hal yang seharusnya dihilangkan tetapi tidak dengan menggusur permukiman kumuh dari tempat masyarakat yang telah lama bermukim di tempat tersebut. Cara menggusur adalah suatu cara yang hanya sekedar memindahkan kemiskinan dari satu lokasi ke lokasi lainnya dan hal ini tidak menyebabkan masalah kemiskinan menjadi selesai. Bagi orang yang tergusur keadaan ini malahan akan menimbulkan masalah baru yaitu semakin sulitnya mereka untuk bertahan hidup karena mereka harus beradaptasi dengan lokasi permukiman yang baru. Kemiskinan seperti yang telah dijelaskan di atas adalah persoalan yang sangat serius di negara Indonesia saat ini, dengan adanya kenaikan BBM dan konversi minyak tanah ke gas maka kondisi masyarakat semakin hari semakin berat beban yang harus dirasakannya. Dengan kenaikan BBM yang mencapai rerata 180% telah menambah jumlah orang-orang yang termasuk kategori miskin di Indonesia. Dari 42 juta orang menjadi 62 juta orang dari 217 juta pendudukn di Indonesia, belum lagi akan adanya rencana kembali kenaikan harga gas dan tarif dasar listirik (TDL) yang sedang
7
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
diperdebatkan saat ini. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada kota-kota besar saja yang dekat dengan pusat kekuasaan negara yaitu DKI Jakarta akan tetapi juga pada kota-kota yang tersebar di pelosok tanah air terutama kota-kota penyangga ibu kota seperti Depok, Bogor, Bekasi dan Tangerang. Dalam penelitian ini ada lima wilayah yang dijadikan sebagai tempat atau objek penelitian dari tiga propinsi, yaitu: Tabel. 1, Nama Objek dan Jumlah Responden Penelitian NO KOTA PROPINSI JUMLAH RESPONDEN 1 Jakarta Utara DKI Jakarta 100 orang 2 Depok Jawa Barat 100 orang 3 Bogor Jawa Barat 100 orang 4 Tanggerang Selatan Banten 100 orang 5 Bekasi Jawa Barat 100 orang Sumber: Data primer diolah, 2009. DKI Jakarta DKI Jakarta memiliki lima wilayah yaitu: Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Kompleksitas permasalahan di DKI Jakarta dari tahun ke tahun semakin beragam terutama mengenai masalah pengentasan kemiskinan dimana kondisi saat ini jumlah penduduk masuk/pendatang lebih banyak daripada penduduk DKI Jakarta yang ke luar. Biasanya penduduk yang masuk sebagai pendatang adalah penduduk yang mempertaruhkan hidupnya untuk menghidupi keluarga yang ada di daerah, oleh karena itu maka bantuan yang diberikan biasanya hanya berdasarkan pada aturan bahwa penduduk yang berhak mendapatkan bantuan adalah mereka yang tercantum pada data daerah DKI Jakarta atau dengan kata lain telah memiliki KTP dan KK. Konteks kemiskinan saat ini sangatlah berbeda di masing-masing daerah apalagi dengan adanya otonomi daerah maka dukungan pemerintahan pusat mengalir untuk pembangunan di masing-masing daerah dan juga disesuaikan dengan dana APBD. Salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan yang telah diapresiasi oleh pemerintah daerah yaitu dengan dibentuknya PPMK (program pemberdayaan masyarakat kelurahan) serta P2KP (program pemberdayaan kemiskinan masyarakat perkotaan). Setiap daerah tentunya telah memiliki data yang akurat mengenai daerah mana saja yang termasuk pada wilayah yang dimasukan dalam skala prioritas PPMK dan P2KP. Dalam PMKP maka Dewan Kelurahan ditunjuk sebagai orang/kelompok yang mengelola dana dari PPMK. Untuk bantuan yang diberikan pemerintah pusat DKI Jakarta untuk lima wilayah di Jakarta bahwa dana diperuntukan dalam membangun kepercayaan masyarakat mengenai adanya lembaga keuangan yang bisa menghindari adanya perbuatan rentenir yang mengakibatkan masyarakat miskin makin miskin karena terlilit hutang pada rentenir. Sedangkan untuk P2KP yang telah dilaksanakan sebagian masyarakat yang mendapatkan dana bantuan tersebut merasakan adanya kendala dengan kesulitan untuk mengembalikan dana pinjaman tersebut. Dengan demikian masyarakat miskin kota yang ada di DKI Jakarta maka dana PPMK yang merupakan dana bergulir haruslah diprioritaskan untuk menambah modal usaha agar usaha yang ada makin bergulir untuk menolong masyarakat miskin lainnya.
8
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
ALUR KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Tabel, Prosentase RTS / Jumlah Rumah Tangga pada masing-masing kecamatan se Kota Bogor tahun 2008. Kecamatan Jumlah Jumlah rumah RTS Jumlah RTS/ penduduk tangga Jumlah RT (%) Bogor Selatan 170.494 39.804 10.092 25.35% Bogor Timur 94.329 19.146 3.670 19.16% Bogor Utara 166.245 36.207 5.231 14.44% Bogor Tengah 111.952 24.256 5.084 20.95% Bogor Barat 205.123 43.190 11.289 26.13% Tanah Sareal 185.061 39.000 6.962 16.31% Kota bogor 942.204 201.603 42.328 20.99%
Bekasi Bekasi saat ini memiliki 12 kecamatan, yaitu: (1) Bekasi Timur, (2) Bekasi Barat, (3) Bekasi Selatan, (4) Bekasi Utara, (5) Bantargebang, (6) Pondokgede, ( 7) Jatiasih, (8) Jatisampurna, (9) Medan Satria, (10) Rawalumbu, (11) Pondokmelati, (12) Mustikajaya. Mengenai masalah kemiskinan yang terjadi di Bekasi salah satu upaya yang dilakukan oleh Dinas Perekonomian Rakyat yang menangani pertanian dan pasar dimana pertanian dibagi lagi ada bagian agribisnis serta peternakan dan perikanan. Untuk agribisnis program yang dilakukan adalah adanya program pemberdayaan masyarakat yang dimulai dengan program Intesifikasi lahan pekarangan dimana program ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam masalah ekonomi keluarga sebagai unit terkecil yaitu dengan cara: Prioritas Penanganan PMKS pada dinas sosial Kota Bekasi, sebagai berikut: 1. Anak terlantar 2. Anak jalanan 3. Penyandang cacat 4. Wanita tuna susila 5. Gelandangan dan pengemis
9
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Orang terlantar Keluarga fakir miskin Wanita rawan sosial ekonomi Lanjut usia terlantar Bekas narapidana Keluarga berumah tidak layak huni Korban bencana alam
Sedangkan data kondisi potensi dan sumber kesejahteraan sosial (PSKS) kota Bekasi tahun 2005 – 2008, yaitu sebagai berikut: No Jenis PSKS 1 Yayasan yang menangani cacat mental 2 Yayasan Panti sosial asuhan anak (PSAA) 3 Panti Jompo / Lansia 4 Panti Narkoba 5 Rumah singgah 6 Pekerja sosial Masyarakat (PSM) 7 Yayasan / Orsos Kessos Sistem Luar panti Sumber : buku renstra Dinas sosial Bekasi tahun 2009 -2013
2005
2006
2 60 2 1 3 50 14
2007
2 60 2 1 2 52 19
2008 2 58 2 1 1 53 22
2 55 2 1 1 53 27
Tangerang Selatan Tangerang Selatan yang baru berusia kurang lebih satu tahun sebagai bagian dari pemekaran dari wilayah kota Tangerang berkedudukan di Pamulang. Kota Tangerang Selatan adalah salah satu kota di propinsi Banten, kota ini diresmikan oleh Mendagri pada tanggal 29 Oktober 2009. Wilayah ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangeran, rencana ini berawal dari keinginan warga di wilayah selatan untuk mensejahterakan masyarakat. Pada tahun 2000 beberapa tokoh dari kecamatan-kecamatan mulai menyebut CIPASERA sebagai wilayah otonom. Warga merasa kurang diperhatikan pemerintah kabupaten Tangerang sehingga banyak fasilitas yang terabaikan. Pada 27 Desember 2006 DPRD Kabupaten Tangerang menyetujui terbentuknya kota Tangerang Selatan pada waktu itu calon kota otonom ini terdiri dari atas tujuh kecamatan, yakni: Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, Pondok Aren, Cisauk dan Setu. Wilayah ini berpenduduk sekitar 966.037 jiwa. Pada masa penjajahan Belanda wilayah ini termasuk ke dalam Karesidenan Batavia dan mempertahankan karakteristik tiga etnis, yaitu: suku Betawi, suku Sunda dan suku Tionghoa dan pada tanggal 27 Desember 2007 dalam rapat paripurna DPRD Kabupaten Tangerang maka menetapkan Kecamatan Ciputat sebagai pusat pemerintahan Tangerang Selatan walaupun saat ini tempat kegiatan pemerintahan ada di kecamatan Pamulang. Saat ini Tangerang Selatan memiliki tujuh kecamatan, yaitu: (1) Serpong, (2) Serpong Utara, (3) Ciputat, (4) Ciputat Timur, (5) Pamulang, (6) Pondok Aren dan (7) Setu. Adapaun data yang dapat disampaikan mengenai daerah Tangerang Selatan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2, Kecamatan di Tangerang Selatan Kecamatan Serpong Serpong Utara Ciputat Ciputat Timur Pamulang Pondok Aren Setu Jumlah
Jumlah Kelurahan
Jumlah Desa 9 7 7 6 8 11 1 49
Jumlah RW 5 5
Jumlah RT 69 65 92 75 129 113 29 572
337 272 460 416 690 677 144 2.996
Sumber: www.kecpamulang.org, diakses September 2009
10
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Tabel 4, Data Peserta Gakin, Jamkesmas No
PUSKESMAS
1 Serpong 2 Pondok Jagung 3 Pamulang 4 Ciputat 5 Kampung Sawah 6 Jombang 7 Ciputat Timur 8 Pondok Aren 9 Jurang Mangu Timur 10 Setu Kota Tangerang Selatan
Rumah Tangga Rawan Gakin 2.911 2.872 7.877 5.420 1.693 1.678 Na 4.246 4.846 Na 31.543
Jiwa Peserta Jamkesmas (orang) 9.311 6.485 22.047 4.817 6.570 5.391 12.551 12.431 11.407 13.548 104.558
Anak umur 011 Bulan Gakin (orang) 34 17 116 20 67 26 79 56 31 29 475
Anak Umur 11 -59 Bulan Gakin (orang) 186 Na Na 51 Na 280 325 Na 486 -1.328
Bumil Gakin (orang) 54 39 189 53 117 13 96 100 49 21 731
Sumber: www.kecpamulang.org, diakses September 2009 Dari tabel di atas maka peserta dari Pamulang baik untuk Rumah Tangga Rawan Gakin (RT) memiliki angka yang paling tinggi dibandingkan dengan tempat lain yaitu sebesar 7.877, Jamkesmas sebesar 22.047 orang, anak umur 0-11 bulan gakin 116 orang, serta Bumil Gakin sebanyak 189 orang. Tabel 5, Daftar penerima BLT di kota Tangerang Selatan No.
Kecamatan
Rumah Tangga Penerima BLT
1 Serpong 2 Serpong Utara 3 Setu 4 Pamulang 5 Ciputat 6 Ciputat Timur 7 Pondok Aren Kota Tangerang Selatan
Hasil Verifikas PPLS’2008 2.463 1.742 1.993 5.963 2.438 1.685 2.820
2.420 1.590 1.817 5.229 1.848 918 2.411
Sumber: www.kecpamulang.org, diakses September 2009 Dalam tabel di atas dapatlah disimpulkan bahwa kecamatan Pamulang merupakan daerah yang masyarakatnya menerima bantuan langsung tunai (BLT) terbanyak jika dibandingkan dengan tempat lainnya di Kota Tangerang Selatan. Untuk lebih jelasnya penerima BLT di kecamatan Pamulang dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 6, Daftar Penerima BLT di Kecamatan Pamulang No. 1 2 3 4 5 6 7 8 Total
Kelurahan / Desa
Jumlah Penerima BLT hasil verifikasi PPLS’08 (9 Pebruari 2009)
Pondok Benda Pamulang Barat Pamulang Timur Pondok Cabe Udik Pondok Cabe Ilir Kedaung Bambu Apus Benda Baru
495 430 383 303 848 1.726 460 654 5.299
Sumber: www.kecpamulang.org, diakses September 2009
PEMBAHASAN Dalam riset ini yang dibutuhkan yaitu selama 10 (sepuluh) bulan, untuk persiapan pembuatan angket, pelaksanaan penyebaran angket serta pengolahan dan 11
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
analisa data. Sedangkan penelitian ini juga membahas mengenai produk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kota kabupaten di Jadebotabek yang berkaitan dengan masalah pengentasan kemiskinan dan merupakan responden dimana akan diinventarisasi serta dikelompokkan guna menemukan indikasi-indikasi khusus yang berkenaan dengan pendidikan bagi masyarakat miskin kota. Metode Pengambilan Sampel dengan cara membedakan pertama, kelompokkelompok masyarakat miskin kota , di masing-masing kecamatan maupun kelurahan yang ada di Jadebotabek yang dinilai cukup mempunyai peranan di lingkungannya. Dari lima pemerintah daerah yang dijadikan sampel dalam penelitian ini yaitu: 1) DKI Jakarta: kecamatan yang dijadikan sampel adalah Kecamatan Jakarta Utara dengan mengambil lokasi dua kelurahan yaitu: Penjaringan dan Muara Angke. Wilayah ini diambil karena dari lima wilayah yang ada di DKI Jakarta tingkat kemiskinan kota yang paling besar ada di wilayah Jakarta Utara 2) Depok: kecamatan yang diambil untuk dijadikan sampel adalah Kecamatan Pancoran Mas dengan dua kelurahan, yaitu: Beji dan Kampung Lio. 3) Bogor: kecamatan yang diambil untuk dijadikan sampel adalah Kecamatan Bogor Selatan dengan kelurahan Empang dan Kecamatan Bogor Barat dengan kelurahan Cilendek. 4) Tangerang Selatan: Kecamatan yang diambil untuk dijadikan sampel adalah Kecamatan Pamulang dengan dua kelurahan yaitu: Kelurahan Pondok Cabe Ilir dan Kelurahan Pamulang Barat. 5) Bekasi: Kecamatan yang diambil untuk dijadikan sampel adalah Kecamatan Jatiwarna dengan dua kelurahan yaitu: Kelurahan dan Kelurahan.
Responden yang berhasil diwawancara sebagai kelengkapan data penelitian ini terdiri dari 42% perempuan dan 58% responden laki-laki Data responden yang diambil dari 5 (lima) wilayah yaitu Jakarta dalam hal ini diwakili daaerah Jakarta Utara, Bekasi yang diwakili daerah Jatisampurna, Bogor, yang diwakili daerah bogor selatan dan Barat , Tangerang Selatan yang diwakili daerah Pamulang, komposisi responden berdasarkan usia dari kelima wilayah tersebut adalah sebagian besar berusaia 36 – 45 tahun yaitu berjumlah 34%, usia 26 – 35 tahun berjumlah 30%, usia, 17 % berusia 46-17 tahun, 13% berusia 0 – 25 tahun, 5% berusia 56 – 65 tahun, dan hanya 1% berusia di atas 66 tahun. Dari sisi pendidikan responden didapatkan angka 36% bererndidikan setingkat SMU/SLTA dan ini adalah jumlah terbesar dari sisi pendidikan, SMP sebanyak 26%, tamat SD 28%, tidak tamat SD 2%, tidak sekolah 2% dan 6% responden pernah mengenyam Pendidikan Tinggi (SI)
12
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Komposisi responden dalam mata pencaharian atau pekerjaannya adalah 2% pemulung, 2% pensiunan/PNS/ pedangang 16%, wiraswasta 20%, buruh 27%, dan pengangguran atau tidak bekerja sejumlah 33%. 90% responden angket ini telah berstatus menikah dan 10% belum menikah Ratarata jumlah anak dari responden yang menikah adalah 1 – 2 anak sebanyak 56%, 3-5 anak sejumlah 33%, 6 – 10 anak 6% lebih dari 11 anak 1% dan 4% responden tidak memiliki anak.
Sedangkan data jumlah keluarga yang ditanggung responden adalah 56% menanggung sejumlah 3-5 orang, 11% menanggung 6-10 orang, dan sisanya menanggung 1 – 2 anak yaitu sejumlah 28%. Berdasarkan angket yang diisi responden tentang data penghasilan ternyata 57% responden berpenghasilan lebih dari 401 ribu per bulan, 6% perpenghasilan 351 rb – 400 rb, 35 berpenghasilan 301 – 350 rb, 8% perpenghasilan 251-300rb , 5% berpenghasilan 201 – 250 rb, 3% berpenghasilan 101 – 200 rb, dan 16% perpenghasilan di bawah Rp.100.000 Jenis bantuan yang diterima responden adalah BLT sebanyak 27%, ASKESKIN/GAKIN 19%, Sembako Murah 17%, BOS 16%, dan belum pernah mendapat sebanyak 22%. HASIL ANALISA DARI PERTANYAAN YANG ADA DALAM ANGKET 1. Secara total dari sejumlah 428 responden sebanyak 80% mengatakan bahwa mereka mengetahui tentang adanya program pemerintah untuk mengentasan kemiskinan sedangkan 20% dari mereka tidak mengetahui. Dari prosentase ini dapat dikatakan bahwa propaganda pemerintah cukup berhasil mengingat sebagian besar masyarakat mengnetahui bahwa pemerintah memeliki program untuk membantu kaum miskin. 2. Mengenai sumber informasi yang mereka dapatkan tentang program pemerintah ini ternyata 52% atau sebagaian besar mendapatkan informasi dari TV dan radio, sebanyak 28% dari Koran dan majalah, 10% dari aparat desa, keluarga sebanyak 8%, tetangga 16%. 3. Mengenai kemudahan dalam mengakses informasi 61% responden menyatakan mudah dan 39 % menyatakan tidak mudah. Meskipun di era saat ini media elektronik (TV dan radio) sudah cukup banyak namun ternyata masih ada juga masyarakat yang kesulitan mengakses informasi. Ada beberapa factor yang mungkin menjadi penyebabnya, misalnya keengganan memperhatikan tayangan yang bersifat berita,
13
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
4.
5.
6. 7.
karena memang dekat tempat tiggalnya tidak ada media elektronik, atau karena ketiadaan waktu untuk menfapatkan informasi. Jenis-jenis bantuan yang digulirkan oleh pemeritah dalam mengatasi masalah kemiskinan dan dikenal oleh responden dari angket didapatkan informasi bahwa sebagian besar responden (34%) mengenal adanya BLT, 27% mengetahui tentang Raskin, 24% mengenal adanya BOS, 15% mengenal adanya 15%. Kita dapat memaklumi bahwa pada pencairan program BLT di autu daerah biasanya ditayangkan di televisi (TV), sehingga program ini cukup popular dimata masyarakat, mengenai program BOS biasanya orangtua yang punya anak usia sekolahlah yang mengetahui adanya program ini. Responden diminta pendapatnya tentang program pemerintah, hanya 42% responden yang memberikan jawaban , dan jawaban mereka mengenai program pemerintan yang paling masuk akal adalah BLT 13%, BOS 11%, Raskin 9%, Sembako murah 9%, 1% program lainnya. Jawaban responden tentang kebermanfaatan program menurut mereka adalah 92% menyatakan bermanfaat dan hanya 8% yang menyatakan tidak. Mengenai keberlanjutan program pemerintah 84% responden menyatakan keberatan jika program dihentikan dan hanya 16% yang tidak keberatan jika program pemerintah yang sudah dijalankan tersebut dihentikan
Raskin 1. Jawaban responden terhadap pertanyaan tentang raskin adalah 41% menyatakan pernah menerima raskin sedangkan 59% tidak 2. Dan dari sejumlah 41% tersebut ditanya tentang kemudahan mereka dalam mendapatkan raskin 64% menyatakan mudah menerima raskin dan 36% menyatakan sulit. 3. Responden menyatakan bahwa 89% menyatakan program ini bermanfaat sedangkan 11% menyatakan bermanfaat 4. Responden penerima raskin menyatakan bahwa 29% menyatakan bahwa pembagian raskin sudah sesuai, 19% menyatakan ada penyelewengan dan 52% menyatakan tidak tahu Pendidikan 1. Data rsponden yang memiliki anak usia sekolah berjumlah 66% dan tidak 34% 2. Responden menyatakan anaknya tetap sekolah sejumlah 89% sedangkan 11% menyatakan tidak melanjutkan sekolah 3. Responden yang menngenal BOS sebaynyak 81% sedangkan 19% tidak mengenal 4. Sumber informasi responden tentang adanya bantuan operasional sekolah adalah 51% berasal dari TV, radio, 16% dari Koran, majalah, 15% dari aparat desa, 4% keluarga, 10% tetangga, dan 4% dari lainnya 5. Responden yang tidak menyekolahkan anaknya ketika ditanya mengapa mereka tidak memanfaatkan program BOS jawabannya adalah 95% karena tidak tahu adanya BOS dan 5% menyataakan tidak tertarik. 6. Responden ditanya tentang beban hidup meskipun sudah ada BOS dan 84% menyatakan beban hidup masih berat, sedangkan 16% menyatakan tidak berat 7. Alasan yang diberikan responden mengapa anaknya tidak sekolah adalah 57% karena harga buku mahal, 24% karena seragam tidak terbeli, 4% karena alasan jauhny jarak sekolah dari rumah, 13% karena anak bekerja membantu orang tua, dan 3% menyatakan tidak perlu sekolah.
14
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Kesehatan (Askeskin / Gakin) 1. Data dari angket menunjukan bahwa 89% responden tinggal jauh dari puskesmas maupun rumah sakit dan hanya 11% yang tinggal dekat puskesmas/rumah sakit 2. Data dari angket menunjukan bahwa 89% responden memeriksakan kesehatannya ke Puskesmas atau rumah sakit bila sakit dan shanya ejumlah 11% yang tidak memeriksakan ke puskesmas atau rumah sakit bila sakit, hal ini menunjukan bahwa masyarakat yang sadar bahwa instansi medis sebagai bantuan untuk sembuh dari sakit cukup tinggi 3. Memskipun mereka mempunyai hak untuk mendapatkan askeskin tetapi ternyata hanya 27% yang memiliki ASKESKIN/GAKIN, sejumlah 73% tidak memiliki 4. Responden yang menyatakan pelayanan ASKESKIN/GAKIN baik berjumlah 39%, menyatakan cukup baik 35%, dan 26% menyatakan tidak baik. 5. Informasi tentang ASKESKIN ini berdasarkan jawaban responden ternyata menyatakan 38% dari TV, radio, 8% dari Koran, Majalah, 35% dari aparat desa/pemerintah, keluarga 3%, tetangga 15%, dan informasi dari yang lain 2% 6. Pada dasarnya ASKESKIN hanya membantu warga dengan jumlah tertentu …… jika biaya yang harus dikeluarkan melebihi jatah yang disediakan atau obat yang harus dibeli tidak termasuk dalam program ASKESKIN/GAKIN maka masyarakat harus membeli sendiri obatnya atau dengan biaya tambahan. Responden menyatakan bahwa 2% mereka dikenakan dengan harga yang mahal dan 48% harga obat dirasa tidak mahal. 7. Ketika dimintai pendapat tentang program pemerintah 26% menyatakan puas, 32% cukup puas, dan 8% responden menyatakan tidak puas 8. Responden menyatakan bahwa selain bantuan program BOS, ASKESKIN, GAKIN, BLT dan RASKIN bantuan yang diharapkan responden adalah 89% bantuan modal usaha, sedangkan 11% menyatakan bantuan lainnya. 9. Kondisi kemiskinan di lokasi responden menyatakan bahwa hanya 8% yang sudah membaik, 44% mulai membaik dan 48a5 menyatakan masih tetap miskin
KESIMPULAN 1. Bentuk kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah kemiskinan structural (buatan) karena sebenarnya secara alamiah Indonesia memiliki potensi dan sumber daya yang cukup untuk tidak mengalami kemiskinan. 2. Model penanggulangan kemiskinan di lima wilayah yaitu: DKI Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang Selatan dan Bekasi pada prinsipnya sama mengikuti program pemberdayaan masyarakat dari pemerintah pusat seperti memberikan bantuan dengan program BLT, Askeskin, Gakin, BOS dan sembako murah. 3. Jumlah responden yang mengembalikan angket dalam penelitian ini sebanyak 500 orang dari 500 angket yang disebarkan di lima wilayah kota untuk tiga propinsi (Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten). 4. Kriteria masyarakat miskin didasarkan pada empat belas indicator yang diberikan oleh pemerintah, sehingga hal ini mengakibatkan masyarakat miskin di Kota Bogor pada tahun 2009 cenderung mengalami peningkatan jumlahnya dibandingkan dengan kondisi tahun 2003 – 2005. 5. Program pendidikan yang berperspektif HAM telah dilaksanakan dengan melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan secara adil dan gratis (BOS) untuk siswa pendidikan formal (mulai SD sampai SMA), sedangkan pendidikan non formal diselenggarakan dalam upaya menekan kemiskinan masyarakat untuk dapat hidup lebih sejahtera melalui PKBM.
15
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
6. Pada Bidang kesehatan, masyarakat telah menikmati program bantuan dari pemerintah dengan Askeskin/Gakin sehingga dapat berobat ke puskesmas/Rumah sakit secara gratis dan memiliki pola hidup yang sehat. 7. Program bantuan yang diberikan oleh pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat miskin kota tetap dipertahankan untuk masa yang akan dating terbukti dengan jumlah responden yang membeikan jawaban tersebut sebesar…….%. 8. Bantuan dari pemerintah kepada masyarakat miskin kota ada yang tidak tepat sasaran. 9. PNPM Mandiri dan P2KP dapat dijadikan sebagai salah satu model yang diharapkan dapat menekan angka kemiskinan khususnya pada masyarakat miskin kota. SARAN 1. Program bantuan yang diberikan pemerintah dalam upaya menekan jumlah kemiskinan hendaknya dibuat dengan program yang lebih mendidik yaitu dengan pemberian modal usaha 2. Pembagian bantuan program dari pemerintah saat ini (BOS, Askeskin/Gakin, BLT, Sembako murah) seharusnya diberikan kepada masyarakat tepat sasaran dengan berpedoman pada data base yang benar dari masing-masing RT/RW/Kelurahan. 3. Diperlukan suatu model yang tepat dari pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan masyarakat miskin yang tinggal di kota.
DAFTAR PUSTAKA Adi, Rianto. 2004. Metodologi Penelitian sosial dan Hukum,. Jakarta: Granit. Badan perencanaan Pembangunan Nasional 2006. Buku Potensi Ekonomi BPS Pusat. 2006. Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 2005-2006. Available at: http://www.bps.go.id/releases/files/kemiskinan Combs, Philip H dan Manzzor Ahmed. 1974. Memerangi Kemiskinan di Pedesaan melalui Pendidikan Non-formal. Jakarta: CV Rajawali. Dikti. 2002. Panduan Pelaksanaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Edisi VI. Dikti. 2002. Panduan Pelaksanaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Edisi VI. Gunawan dan Sugiyanto. 2000. Kondisi Keluarga Fakir Miskin. Jakarta. Jurnal triwulan Pembangunan Daerah No.02 tahun 2006 Mukhtar. 2003. Strategi Pemberdayaan Berbasis Kelembagaan Lokal dalam Penanganan Kemiskinan Perkotaan: Kasus Implementasi P2KP di Desa Sukadanau. Mukhtar. 2006. Orang Miskin bertambah .Kompas. 2 September 2006. Rais, M. Amien. 1995. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media. Sarman, Mukhtar dan Sajogo. 2000. Masalah Penanggulangan Kemiskinan, Refleksi dari Kawasan Timur Indonesia. Jakarta: Puspa Swara. Suryana. 2003. Kewirausahaan pedoman praktis, Kiat dan proses menuju sukses. Jakarta: Salemba Empat Vandana Shiva. 1997. Bebas Dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi, dan Perjuangan Hidup di India. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Majalah Detak, Demokratis, tegas dan aktual, artikel :“ Memanusiakan manusia dalam pengesanan PMKS”, edisi Juni 2009 tahun II. -------------------------------- libatkan berbagai pihak tangani PMKS. Majalah Keluarga mandiri..pembangunan Posdaya Kota Bekasi naik 550 persen. Edisi 102/tahun X- juli 2009.
16
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
PENGARUH LAYANAN INTERNAL TERHADAP LAYANAN EKSTERNAL KARYAWAN POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA Oleh: Bainil Yulina & Hanifati Intan Azhar Staf Pengajar Jurusan Jurusan Akuntansi dan Administrasi Niaga - Polsri
ABSTRACT The main task and responsibility of non-educative staff is to give external service for the students, by Parasuraman, et al. called servqual that consist of five components. But the external service given is also influenced by internal service level that they receive from the institution, based on Halowell, at al. consist of eight components. How is the influence of the internal service quality of the non-educative staff ot external service quality for Politeknik State of Sriwijaya’s students? The research prove that 44,49% employees dominant confess satisfied with the internal service from the institution and 36,73% students dominant confess satisfied with service given by non-educative staff. The research shows us that internal service quality only influence 3,5% to the quality of external service, and 96,5% influenced by other factor outside of internal service factor. Keyword: External service quality, Internal service quality, Non-educatif employee
PENDAHULUAN Perguruan Tinggi (PT) memang bukan murni organisasi bisnis. Namun tetap ada persamaan yaitu meraih reward atau keberhasilan. Namun keberhasilan suatu organisasi termasuk keberhasilan sebuah lembaga PT tidak diperoleh dengan sendirinya. Keberhasilan dapat dicapai bila organisasi/PT tersebut menerapkan prinsip-prinsip manajerial modern, seperti halnya dalam bidang pemasaran. Aktivitas pemasaran sangat penting bagi kelangsungan hidup organisasi. Inti pemasaran dalam manajemen modern adalah upaya memuaskan pelanggan dan juga stakeholders, melalui kegiatan menciptakan, mengkomunikasikan dan menyerahkan nilai unggul. Hallowel , et.al. (1996), “Organizations attempting to deliver service quality to their external customers must begin by serving the needs of their internal customers”. Ini berarti , sebelum memperbaiki kualitas layanan ekternalnya terhadap para pelanggan, setiap organisasi atau lembaga harus terlebih dahulu melayani kebutuhan organisasi secara internal yakni para karyawan. Pendapat ini menyiratkan secara jelas akan pentingnya kualitas layanan internal. Dengan demikian sebuah organisasi harus melayani dua macam pelanggan sekaligus, yakni secara internal adalah para karyawan dan secara ekternal adalah konsumen atau pelanggan. Jadi kalau organisasi ingin memberi layanan yang unggul terhadap pelanggan, maka peningkatan kualitas layanan harus dilakukan pula secara internal (internal service quality) dan secara ekternal (external service quaity). Perguruan Tinggi (PT) sebagai sebuah organisasi atau lembaga juga harus menghadapi dua pelanggan, yakni karyawan dan dosen (pelanggan internal) dan pelanggan atau para mahasiswa termasuk para stakeholders (orang tua, pemerintah, industri) sebagai pelanggan eksternal. Segala upaya yang dilakukan utamanya dalam proses pembelajaran di PT selama ini lebih banyak ditujukan untuk meningkatkan kualitas lulusan (outcomes) agar dapat memuaskan stakeholders. Hampir semua sumber daya dan biaya dikonsentrasikan untuk meningkatkan kualitas lulusan. Ada indikasi bahwa manajemen PT sering melupakan aset karyawan khususnya karyawan non-
17
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
edukatif yang dimilikinya yang adalah juga pelanggannya sendiri. Perhatian manajemen hanya terfokus pada aktivitas studi mahasiswa, namun kerap ”terlupakan” bahwa dalam aktivitas mahasiswa tersebut, mereka harus berurusan dengan persoalan administrasi PT, dan layanan itu harus didapat dari karyawan non-edukatif. Bila hal ini diabaikan tentu saja akan berakibat buruk bagi masa depan sebuah Perguruan Tinggi. Para karyawan sebagai ujung tombak yang harus memberikan layanan sebaikbaiknya kepada para mahasiswa dituntut untuk bekerja secara profesional. Mereka harus fokus pada kepuasan pelanggan atau mahasiswa dan selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas layanannya. Namun kualitas layanan yang diberikan para karyawan kepada para mahasiswa (external servqual) bukan variabel yang berdiri sendiri. Artinya, ada faktorfaktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut antara lain dapat berupa pengalaman kerja, teknologi dan ketrampilan yang bersifat teknis, dan faktor kepuasan kerja. Bagaimana pun juga kualitas layanan internal pada akhirnya akan menentukan kualitas layanan eksternal. Intinya, bahwa peran kualitas internal penting bagi kualitas layanan eksternal. Membahas mengenai kualitas layanan, merupakan sesuatu yang cukup menarik. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan kualitas layanan di Polsri telah dilakukan. Markoni et. al (2003), hasil penelitiannya menunjukan bahwa „sebagian besar mahasiswa dan alumni menganggap kualitas layanan masih jelek dari yang mereka harapkan sehingga sebagian besar tidak puas dengan kualitas layanan yang ada“. Mandiangan et.al (2005), mengemukakan hasil penelitiannya bahwa kualitas jasa kependidikan Politeknik Negeri Sriwijaya yang dirasakan oleh mahasiswa belum memuaskan. Lebih lanjut dalam penelitian lain, Mandiangan et.al (2008), mengungkapkan bahwa tingkat harapan mahasiswa Politeknik Negeri Sriwijaya sebesar 4,25 dan Kinerja yang ditunjukkan oleh Lembaga Politeknik sebesar 2,67, sehingga tingkat kesenjangan yang terjadi sebesar 1,58. Dari kenyataan itu dapat dideskripsikan lebih lanjut bahwa dengan tingkat harapan dan kinerja serta kesenjangan yang sedemikian itu, mahasiswa Politeknik Negeri Sriwijaya tetap mempersepsi kualitas layanan yang diterimanya sesuai dengan harapannya. Fenomena hasil penelitian di atas, dapat diyakini, bahwa faktor layanan internal ikut berkontribusi sehingga kualitas layanan eksternal yang dirasakan mahasiswa sebagai pelanggan utama belum mereka terima secara maksimal atau belum mencapai klasifikasi memuaskan atau sangat memuaskan. Bagaimanakah kualitas layanan internal dan kualitas layanan ekternal dan bagaimana pengaruhnya baik secara simultan maupun secara parsial menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini. Pembahasan ditujukan untuk mengetahui tingkat kualitas layanan internal yang diterima oleh karyawan non-edukatif dan tingkat layanan eksternal yang diberikannya kepada mahasiswa. Selanjutnya penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui berapa besar pengaruh kualitas layanan internal terhadap kualitas layanan eksternal. Dengan mengetahui tingkat kualitas layanan internal dan eksternal serta seberapa kuat kualitas layanan internal mempengaruhi kualitas layanan eksternal, diharapkan menjadi masukan bagai lembaga dalam menentukan komitmen kualitas layanan pendidikan kepada utama yaitu mahasiswa dan para stake holders. Core business dari Perguruan Tinggi adalah Jasa Kependidikan. Jasa merupakan ”semua aktivitas ekonomi yang hasilnya tidak merupakan produk dalam bentuk fisik atau konstruksi, yang biasanya dikonsumsi pada saat yang sama dengan waktu yang dihasilkan dan memberikan nilai tambah (seperti kenyamanan, hiburan, kesenangan atau kesehatan) atau pemecahan atas masalah yang dihadapi konsumen”.(Lupiyoadi, 2001). Sedangkan Kotler (1994) mendefinisikan jasa sebagai: ”setiap tindakan atau keinginan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun“. Sementara perusahaan yang memberikan operasi
18
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
jasa adalah mereka yang memberikan konsumen produk jasa baik yang berwujud atau tidak, seperti transportasi, hiburan, restoran, dan pendidikan. Jadi, jasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan produk berbentuk fisik. Griffin, (Lupiyoadi, 2001), mengatakan bahwa produk jasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan barang yang meliputi: Intangibility (tidak berwujud). Jasa yang tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dicium sebelum jasa itu dibeli. Nilai penting dari hal ini adalah nilai tidak berwujud yang dialami konsumen dalam bentuk kenikmatan, kepuasan, atau rasa aman. Unstorability. Jasa tidak mengenal persediaan atau penyimpanan dan produk yang telah dihasilkan. Karakteristik ini disebut juga tidak dapat (inseperability) dipisahkan mengingat pada umumnya jasa dihasilkan dan dikonsumsi secara bersamaan. Customization. Jasa juga sering kali didesain khusus untuk kebutuhan pelanggan, sebagaimana pada jasa asuransi dan kesehatan. Kotler (1997:451) mengatakan bahwa jasa memiliki empat karakteristik utama yang sangat mempengaruhi rancangan program pemasaran jasa yaitu tidak nyata (intangible), tidak terpisahkan (inseparable), variabel (variable) dan tidak dapat disimpan (perishable). Berdasarkan karakteristik jasa menurut Philip Kotler, yaitu: Jasa bersifat tidak nyata dalam arti tidak dapat disentuh, tidak dapat dilihat atau dirasakan sampai saat dikonsumsi. Maka, kualitas suatu perguruan tinggi termasuk politeknik dapat ditentukan baik buruknya bila seseorang telah menjadi mahasiswa, dan apakah lulusan Perguruan Tinggi termasuk Politeknik tersebut mudah mendapatkan pekerjaan atau tidak, serta apakah sesuai dengan bidang ilmunya dapat dibuktikan beberapa tahun kemudian setelah mahasiswa lulus. Jasa tidak dapat dipisahkan, yang berarti pemberian atau pelayanan jasa pendidikan membutuhkan kehadiran dosen dan mahasiswa pada saat yang bersamaan. Implikasinya mutu para dosen serta banyaknya mahasiswa akan mempengaruhi kualitas pendidikan Perguruan Tinggi. Karakteristik ketiga adalah variability atau bervariasi dan berhubungan erat dengan karakteristik yang kedua di atas. Kualitas jasa akan sangat bervariasi tergantung dari siapa yang memberikan kapan dan dimana diberikan. Siapa yang memberikan berkonotasi dengan kualitas dosen yang memberikan kuliah dan kapan serta dimana diberikan berkaitan dengan fasilitas pendidikan yang dimiliki perguruan tinggi yang bersangkutan. Karakteristik keempat yakni jasa tidak dapat disimpan, berarti kapasitas suatu produsen jasa akan terbuang bila permintaan terhadap jasa yang bersangkutan lebih rendah dari pada kapasitasnya. Sebaliknya pada saat permintaan meningkat tinggi, maka produsen jasa akan sulit menambah kapasitasnya. Dibandingkan dengan karakteristik, kualitas jasa jauh lebih sukar didefinisikan, dijabarkan, dan diukur bila dibandingkan dengan kualitas barang. Menurut Kotler (1998), kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Ini berarti bahwa citra kualitas yang baik tidak berdasarkan persepsi penyedia jasa melainkan berdasarkan persepsi pelanggan. Persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu jasa. Wyckof (Lovelock, 1988) berpendapat bahwa kualitas jasa merupakan tingkat kesempurnaan yang diharapkan dan pengendalian atas kesempurnaan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Dengan demikian, ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualias jasa yakni: jasa yang diharapkan (expected service) dan jasa yang dipersepsikan (perceipt service). (Parasuraman, et.al. 1988). Implikasinya, baik buruknya kualitas jasa sangat tergantung pada kemampuan penyedia jasa memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten. Apabila jasa yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Sudah dijelaskan terdahulu bahwa mata rantai pertumbuhan organisasi sebenarnya diawali oleh faktor kualitas layanan internal (internal service quality).
19
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Penelitian ini mengukur layanan internal dengan delapan atribut (Halowell, et al, 1996) yang terdiri dari: 1. peralatan (termasuk sistem informasi) yang disediakan oleh organisasi/lembaga untuk kepentingan melayani mahasiswa, 2. kebijakan, peraturan dan prosedur kerja yang mendukung layanan terhadap mahasiswa, 3. kerjasama yang terjalin baik, antarkaryawan maupun antarbagian, 4. pihak atasan yang mendukung kemampuan karyawan dalam memberi layanan terhadap mahasiswa, 5. sasaran kerja yang dicapai segaris/searah dengan misi prodi atau fakultas, 6. pelatihan kerja yang efektif dan berguna yang dilakukan secara rutin, 7. komunikasi secara vertikal dan horisontal yang terjalin dengan baik, dan 8. hasil kerja karyawan dihargai dan/atau diakui. Dimensi kualitas jasa telah dikembangkan oleh beberapa ahli. Parasuraman et.al, (1988) diantaranya mengemukakan lima dimensi kualitas jasa yang meliputi: 1. Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi 2. Keandalan (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan 3. Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap. 4. Jaminan (Assurance) mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko, atau keragu-raguan. 5. Empati (emphaty), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan.
BAHAN DAN METODE Populasi dan Sampel Penelitian Mengingat Populasi penelitian terdiri dari dua kategori maka sample yang akan diambil dilakukan secara berpasangan dengan porsi satu berbanding lima (1:3) yakni satu karyawan dan lima mahasiswa. Penentuan jumlah sampel, menggunakan rumus Slovin (Umar, 1997) sebagai berikut: N n = ------1 + N e2
dimana n = jumlah sampel N = jumlah populasi e = persen kelonggaran ketidaktelitian yang ditoleransi
Hasil perhitungan diperoleh jumlah sampel untuk karyawan sebesar 58,55 (dibulatkan 58) orang karyawan, sedangkan sampel untuk mahasiswa berdasarkan porsi perbandingan 1: 3, adalah sebesar 204 orang mahasiswa. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner dan wawancara. Kuesioner yaitu pengumpulan data dengan cara mengedarkan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan kepada responden untuk memperoleh data tentang persepsi mahasiswa mengenai kualitas jasa kependidikan yang dirasakan dan tingkat kepentingan dimensi
20
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
kualitas jasa sebagai harapan mahasiswa. Sedangkan wawancara diperlukan untuk memperoleh data lanjutan atau tambahan sebagai kelengkapan guna keakuratan jawaban responden. Variabel Penelitian dan Pengukuran Variabel Definisi Variabel Penelitian : 1. Kualitas Layanan Internal (internal service quality) adalah aktivitas layanan dan semua sumberdaya yang dilakukan oleh pihak pimpinan Perguruan Tinggi (PT) dengan tujuan agar karyawan memperoleh kepuasan kerja. Pengukuran kualitas layanan internal menggunakan delapan komponen, meliputi tools (fasilitas, peralatan dan perlengkapan), policies and procedures (berbagai kebijakan dan peraturan), teamwork (kerjasama dalam tim), management support (dukungan pimpinan), goal aligment (arah dan tujuan), effective training (pelatihan), communication (komunikasi vertikal dan horizontal), reward and recognition (penghargaan dan pengakuan). 2. Kualitas Layanan Eksternal adalah kondisi dan kegiatan untuk memuaskan pelanggan. Dimensi yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah aspek tangibles (meliputi fasilitas fisik perlengkapan, karyawan dan sarana komunikasi), reliability (yaitu kemampuan memberikan layanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan), responsiveness (yaitu keinginan para staf untuk membantu pelanggan dan memberikan layanan dengan tanggap), assurance (mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf) dan empathy (meliputi kemudahan dalam menjalin relasi, komunikasi yang baik , perhatian secara personal, dan pemahaman atas kebutuhan individual para pelanggan). Pengukuran Variabel Pengukuran variabel menggunakan skala Likert yang terdiri dari 5 tingkat. Untuk melihat kualitas layanan internal yang terdiri dari delapan komponen Halowell et.al. (1996) dan kualitas layanan eksternal karyawan Politeknik Negeri Sriwijaya yang terdiri dari lima dimensi kualitas layanan menurut Parasuraman et.al. (1988). Baik komponen kualitas layanan internal maupun dimensi kualitas layanan eksternal, diberi skor sesuai dengan klasifikasinya yaitu sangat baik diberi skor 5, baik diberi skor 4, cukup baik diberi skor 3, kurang baik diberi skor 2, dan tidak baik diberi skor 1. Komponen layanan internal, memiliki definisi atau atribut komponen seperti tersaji dalam tabel berikut ini.
No 1
Komponen Tools
2
Policies and Procedures Teamwork
3 4 5 6
Management Support Goal Aligment Effective Training
Tabel 1, Komponen Layanan Internal Pert. Definisi 1 Peralatan (termasuk sistem informasi) telah disediakan oleh organisasi untuk kepentingan melayani mahasiswa. 2 Kebijakan, peraturan dan prosedur kerja mendukung layanan terhadap mahasiswa 3 Kerjasama terjalin baik, antarkaryawan maupun antarbagian. 4 Atasan mendukung kemampuan karyawan dalam memberi layanan terhadap mahasiswa. 5 Sasaran kerja yang dicapai segaris/searah dengan misi prodi atau fakultas. 6 Pelatihan kerja yang efektif dan berguna dilakukan secara rutin.
21
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
7
Communicatio 7 Komunikasi secara vertikal dan horisontal, keduanya n terjalin dengan baik 8 Rewards and 8 Hasil kerja karyawan dihargai dan/atau diakui. Recognition Adopsi dari: Halowell et.al 1996 Sedangkan dimensi dan Atribut External Service Quality atau SERVQUAL adopsi dari Parasuraman, et.al. (1988) disajikan dalam tabel 2 berikut ini. Tabel 2, Dimensi dan Atribut Layanan Eksternal Pert Atribut 1 Penampilan rapi 2 Layanan cepat dan segera 3 Sikap simpatik 4 Menepati janji 5 Sistem pencatatan yang akurat 6 Layanan secara keseluruhan memuaskan 3 Responsiveness 7 Karyawan siap dan bersedia membantu 8 Karyawan tidak terlalu sibuk 9 Tanggap terhadap permintaan mahasiswa 4 Assurance 10 Pengalaman luas 11 Memiliki kompetensi 12 Bersikap sopan 13 Dapat dipercaya 5 Empathy 14 Mudah menjalin relasi 15 Mudah diajak komunikasi 16 Memberi perhatian personal 17 Memahami kebutuhan spesifik Sumber : Adopsi dari Parasuraman, Zeithaml, Berry (1988). No 1 2
Dimensi Tangibles Reliability
Teknik Analisis Analisis data dilakukan bertujuan untuk mengkonversi data menjadi informasi yang mempunyai arti. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisa kuantitatif dengan menggunakan peralatan statistik yaitu regresi linear berganda dengan menggunakan peralatan statistik SPSS untuk melihat hubungan antara variabel bebas yaitu kualitas layanan internal terhadap variabel tak bebas yaitu kualitas layanan eksternal. Persamaan regresi linier berganda adalah Y=a + b1X1+b2X2+ ......... +bnXn+e, dimana: Y a b1.... bn X1...Xn e
= persepsi karyawan = Konstanta = Koefisien regresi, = Variabel berupa komponen layanan internal = Variabel error
22
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum atau generalisasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kualitas Layanan Internal Penelitian ini mengukur layanan internal dengan delapan atribut (Halowell, et al, 1996) yang terdiri dari: 1) Peralatan (termasuk sistem informasi) yang disediakan oleh organisasi/lembaga untuk kepentingan melayani mahasiswa, 2) Kebijakan, peraturan dan prosedur kerja yang mendukung layanan terhadap mahasiswa, 3) Kerjasama yang terjalin baik, antarkaryawan maupun antarbagian, 4) pihak atasan yang mendukung kemampuan karyawan dalam memberi layanan terhadap mahasiswa, 5) Sasaran kerja yang dicapai segaris/searah dengan misi prodi atau fakultas, 6) Pelatihan kerja yang efektif dan berguna yang dilakukan secara rutin, 7) Komunikasi secara vertikal dan horisontal yang terjalin dengan baik, dan 8) Hasil kerja karyawan dihargai dan/atau diakui. Hasil penelitian layanan internal yang diberikan oleh lembaga Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang terhadap staf karyawan non-edukatif dapat disimak pada tabel 3 berikut: Tabel 3, Sebaran Jawaban Lananan Internal Politeknik Negeri Sriwijaya Menurut Karyawan Non-Edukatif No
Var
1 X1
2 X2 3 X3 4 X4 5 X5 6 X6 7 X7 8 X8
Skor
Atribut
% 5 Res
1
2
3
4
0 Kebijakan, peraturan dan prosedur kerja mendukung layanan terhadap mahasiswa 0 Kerjasama terjalin baik, antarkaryawan maupun antarbagian. 0 Atasan mendukung kemampuan karyawan dalam memberi layanan terhadap mahasiswa. 0 Sasaran kerja yang dicapai segaris/searah dengan misi prodi atau jurusan 0 Pelatihan kerja yang efektif dan berguna dilakukan secara rutin. 6 Komunikasi secara vertikal dan horisontal, keduanya terjalin dengan baik 0 Hasil kerja karyawan dihargai dan/atau diakui. 0
2
28
32
6
68
4
19
36
9
68
6
20
32
10
68
0
30
32
6
68
4
29
31
4
68
9
23
26
4
68
6
30
27
5
68
11
26
26
5
68
Total
42
205
242
49
544
Peralatan (termasuk sistem informasi) telah disediakan oleh organisasi/lembaga untuk kepentingan melayani mahasiswa.
6
Sumber: Data primer diolah Jawaban responden yang diperlihatkan dalam tabel 3 diatas, menggambarkan tingkatan layanan internal yang dirasakan oleh karyawan. Skor 1= tidak baik, 2 = kurang, 3 =cukup, 4 = baik, 5 = sangat baik; maka 6 orang mempersepsi bahwa layanan internal
23
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
yang dirasakannya tidak baik, sedangkan 42 orang merasakan kurang, 205 orang merasakan cukup, 242 orang merasakan baik, dan 49 orang merasakan sangat baik. Layanan internal yang diterima oleh karyawan Politeknik Negeri Sriwijaya akan memberi dampak positif dan negatif seperti tingkat kepuasan . Bila hal itu dikaitkan dengan tingkat kepuasan karyawan, maka data tabel 3 dapat diolah lebih lanjut untuk menggambarkan tingkat kepuasan atau tingkat kesiapan melayani pelanggan eksternal dapat disimak dalam tabel 4 berikut ini. Tabel 4, Tingkat Kepuasan Karyawan Terhadap Layanan Internal Politeknik Negeri Sriwijaya
Tabel 4 memperlihatkan kualitas layanan internal yang diberikan oleh Politeknik Negeri Sriwijaya terhadap karyawan non-edukatif, dimana 1,1% menyatakan tidak puas dengan layanan internal, 7,72% merasa kurang puas, 37,68 merasa cukup puas, 44,49% merasa puas dan 9,01% merasa sangat puas. Berdasarkan data dalam tabel 4 dapat mengindikasikan bahwa pihak manajemen Politeknik cukup memiliki komitmen yang baik dalam merancang layanan internal kepada karyawan. Adalah sangat logis jika tingkat layanan internal yang sedemikian itu dapat sekaligus memberikan gambaran layanan eksternal yang baik pula kepada mahasiswa. Perlu pembuktian lebih lanjut dalam uraian hasil-hasil berikut ini. Deskripsi Kualitas Layanan Eksternal Pengukuran external service quality dalam penelitian ini menggunakan dimensi dan atribut yang dikembangkan oleh Parasuraman et.al. (1988), meliputi tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy. Banyak peneliti yang menggunakan alat ukur ini dengan berbagai modifikasi disesuaikan dengan bidang organisasi yang diteliti, terutama pada sejumlah item atributnya. Adapun atribut yang digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian ini meliputi 17 butir (item) yang ditanyakan kepada mahasiswa sebagai customer (lihat tabel 2), sekaligus mencerminkan bagaimana kepuasan mahasiswa atas layanan yang diberikan oleh para karyawan.
24
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Tabel 5, Sebaran Jawaban Tingkat Kualitas Layanan Eksternal Politeknik Negeri Sriwiijaya Atribut Penampilan rapi Layanan cepat dan segera Sikap simpatik Menepati janji Sistem pencatatan yang akurat Layanan secara keseluruhan memuaskan Karyawan siap dan bersedia membantu Karyawan tidak terlalu sibuk Tanggap terhadap permintaan mahasiswa Pengalaman luas Memiliki kompetensi Bersikap sopan Dapat dipercaya Mudah menjalin relasi Mudah diajak komunikasi Memberi perhatian personal Memahami kebutuhan spesifik Total
1 1 6 6 5 3 7 2 6 3 4 4 7 2 7 11 11 9 94
2 6 36 30 19 18 22 31 33 35 13 9 12 21 14 14 31 28 372
Skor 3 4 42 108 80 51 69 74 89 67 65 87 74 70 64 73 101 35 85 56 77 67 61 88 45 80 53 72 73 81 71 65 76 61 82 64 1207 1199
5 35 19 13 12 19 19 22 17 13 31 30 48 44 17 31 13 9 392
Res 192 192 192 192 192 192 192 192 192 192 192 192 192 192 192 192 192 3264
Sumber: Data primer diolah Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 17 pertanyaan yang diajukan kepada 192 mahasiswa, sebanyak 94 jawaban menyatakan bahwa layanan eksternal yang dirasakan buruk, 372 jawaban kurang, 1207 jawaban cukup, 1199 jawaban baik dan 392 jawaban sangat baik. Jika diperbandingkan dengan kualitas layanan internal yang dirasakan oleh karyawan, sepintas dapat dikatakan bahwa kualitas layanan eksternal yang dirasakan oleh mahasiswa tidak sebanding dengan kualitas layanan internal yang dirasakan oleh karyawan. Bila direpresentasikan sebagai kepuasan mahasiswa dalam menerima layanan ekternal yang diberikan oleh karyawan, dapat disimak lebih lanjut dalam tabel 6 dan gambar 3 berikut. Tabel 6, Tingkat Kepuasan Mahasiswa Terhadap Layanan Eksternal Karyawan Non-Edukatif Politeknik Negeri Sriwijaya
Tabel 6 dan gambar 3 merepresentasikan bahwa 2,88% mahasiswa menyatakan bahwa layanan eksternal yang diberikan oleh karyawan non-edukatif Politeknik Negeri Sriwijaya
25
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
tidak puas, 11,40% menyatakan kurang puas, 36,98% menyatakan cukup puas, 36,73% menyatakan puas, dan 12,01% menyatakan sangat puas. Bagaimana pengaruh yang antara kualitas layanan internal terhadap kualitas layanan eksternal karyawan non-edukatif Politeknik Negeri Sriwijaya akan dijelaskan dalam uraian selanjutnya. Hasil Uji Validitas dan Hasil Uji Reliabilitas Hasil Uji Validitas Berdasarkan hasil pengolahan dengan software Statistical Package Social Sciences (SPSS) versi 10, terhadap 8 butir variabel kualitas layanan internal dan 17 butir variabel kualitas layanan eksternal dalam instrumen dengan tingkat signifikansi 5%, didapat r-tabel sebesar 0,09421. Dibandingkan dengan r-hasil atau r-hitung baik variabel kualitas layanan internal maupun variabel kualitas layanan internal, seperti diperlihatkan dalam kolom ke-4 tabel 7 dan tabel 8 berikut ini. Tabel 7, Hasil Uji Validitas Variabel Kualitas Layanan Internal
TOOL POLICIES TEAMWORK MGTSUPP GOAL TRAINING COMMUNI REWARD
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
24,5156 24,3958 24,4583 24,4688 24,6146 24,9375 24,6615 24,7500
17,9369 15,7901 15,2129 16,2294 15,5365 13,8390 15,6178 14,8272
Corrected ItemTotal Correlation ,2848 ,6081 ,6350 ,6549 ,7292 ,6588 ,6451 ,6927
Alpha if Item Deleted ,8745 ,8435 ,8403 ,8406 ,8316 ,8408 ,8395 ,8331
Sumber: Hasil pengolahan data dengan spss Tabel 8, Hasil Uji Validitas Variabel Kualitas Layanan Eksternal
TANGIBLE RELIA1 RELIA2 RELIA3 RELIA4 RELIA5 RESPON1 RESPON2 RESPON3 ASURAN1 ASURAN2 ASURAN3 ASURAN4 EMPATI1 EMPATI2 EMPATI3 EMPATI4
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
54,5260 55,1979 55,1094 55,0885 54,8854 55,0365 54,9844 55,2865 55,1979 54,8490 54,7292 54,6302 54,7083 54,9583 54,9375 55,2344 55,2240
122,1145 115,8559 116,9042 117,1282 118,4057 115,3128 115,7956 119,7657 116,9030 115,0713 116,6278 112,8207 113,6736 115,1606 113,9542 115,2066 115,2742
Corrected ItemTotal Correlation ,4886 ,6726 ,6529 ,7142 ,6250 ,7217 ,7058 ,5135 ,6928 ,7592 ,7153 ,7894 ,7757 ,7753 ,7143 ,6976 ,7534
Alpha if Item Deleted ,9466 ,9435 ,9438 ,9427 ,9443 ,9425 ,9428 ,9465 ,9431 ,9417 ,9426 ,9410 ,9413 ,9414 ,9427 ,9430 ,9418
Sumber: Hasil pengolahan data dengan spss Berdasarkan kedua angka-angka yang diperlihatkan pada kolom ke-4 dari kedua tabel diatas, sebagai r-hasil > 0.09241, maka dapat dinyatakan bahwa semua variabel internal dan variabel eksternal adalah valid.
26
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Uji Reliabilitas Reliabel atau tidak pertanyaan yang digunakan dalam instrumen baik pertanyaan untuk pengumpulan data kualitas layanan internal maupun data kualitas layanan eksternal ditentukan dengan memperbandingkan nilai koefisien alpha dengan nilai r-tabel. Jika koefisien alpha lebih besar dari r-tabel, maka semua pertanyaan dinyatakan reliabel. Hasil pengolahan dengan menggunakan spss diperlihatkan dalam tabel 9 dan tabel 10 berikut ini. Tabel 9, Hasil Uji Reliabel Instrumen Layanan Internal N of Cases Cronbach’s Alpha N of Items 192,0 0,8605 8 Sumber: Hasil pengolahan data dengan spss Tabel 10, Hasil Uji Instrumen Kualitas Layanan Eksternal N of Cases Cronbach’s Alpha N of Items 192,0 0,9462 17 Sumber: Hasil pengolahan data dengan spss Berdasarkan nilai alpha yang diperlihatkan dalam tabel 9 dan tabel 10 diatas adalah lebih besar dari r-tabel (0,8605 dan 0,9462 > 0,09241, maka seluruh pertanyaan dalam instrumen penelitian ini dinyatakan reliabel. Hubungan dan Pengaruh Variabel Setelah melihat validitas dan reliabilitas dari masing-masing variabel di atas maka selanjutnya akan dilihat tabel yang menunjukkan hubungan dan pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen. Tabel 11, Model Summary R Adjusted Square R Square 1 ,187 ,035 -,007 Sumber: Hasil pengolahan data dengan spss Model
R
Std. Error of the Estimate 11,478
Dari tabel model summary di dapat nilai R atau koefisien korelasi sebesar 0,187, menunjukkan bahwa hubungan antara variabel layanan internal dengan variabel layanan eksternal sangat lemah. Nilai R Square atau koefisien determinasi adalah 0.035 yang berarti bahwa variabel layanan internal sebesar 3,5 persen berpengaruh terhadap layanan eksternal. Artinya, faktor-faktor: “peralatan, kebijakan, peraturan dan prosedur kerja, kerja sama antar karyawan dan bagian/unit, dukungan atasan, sasaran kerja searah dengan tujuan lembaga, pelatihan kerja efektif dan rutin, komunikasi verbal horizontal-vertikal terjalin baik, dan hasil kerja dihargai dan diakui”, secara determinasi hanya memberi pengaruh sebesar 3,5 persen terhadap layanan eksternal. Atau dengan perkataan lain, layanan karyawan non-edukatif terhadap mahasiswa, 3,5 persen variasinya dapat dijelaskan oleh variabel layanan internal, sedang 96,5 persen dijelaskan oleh variabel lain. Setelah melihat erat tidaknya hubungan variabel independen dengan variabel dependen dan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, tabel Anova di bawah ini memperlihatkan valid tidaknya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
27
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Tabel 14, ANOVA Model
Sum of Squares 1 Regression 869,744 Residual 24108,751 Total 24978,495 Sumber: Hasil pengolahan data dengan spss
df 8 183 191
Mean Square 108,718 131,742
F
Sig. ,825
,058
Dari uji Anova atau F-Test, didapat F-hitung 0,825 dengan signifikansi 0,058. Karena probalitas = 0,05 maka model Regresi dapat dipakai untuk memprediksi externa servqual. Atau dengan perkataan lain ke delapan variabel independen terdiri dari tools, policies & procedure, team-work, management support, goal alignment, effective training, communication, reward & Recignition, secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen external servqual.
Mode l 1
(Constant) Tools Policies & Procedures Teamwork Managemen t Support Goal alignment Effective training Communicatio n Reward & recognition
Tabel 13, Coeficients Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Beta Error 52,161 6,314 1,573 1,446 ,092 ,606 1,652 ,040
t
Sig.
8,262 1,088 ,367
,000 ,278 ,714
-,785 -1,863
1,362 2,006
-,057 -,104
-,576 -,929
,565 ,354
2,757
1,941
,167
1,421
,157
-1,184
1,249
-,108
-,948
,344
-,594
1,770
-,039
-,336
,738
1,238
1,806
,091
,685
,494
Sumber: Hasil pengolahan data dengan spss Berdasarkan tabel 13 di atas didapat persamaan regresi yaitu: External Servqual = 52,161 + 1,573 Tools + 0,606 Policies and procedure – 0,785 Team work – 1,863 Management support + 2,757 Goal alignment – 1,184 Effective training – 0,594 Communication + 1,238 Reward and Recognition Hal ini berarti bahwa faktor-faktor teamwork, management support, goal alignment, communication masih perlu mendapat perhatian karena memiliki nilai negatif atau perlu dibenahi. Karena, jika terjadi penurunan management support kepada karyawan nonedukatif sebesar satu unit skor, akan menyebabkan penurunan external servqual kepada mahasiswa sebesar 1,863 unit skor. Demikian juga penurunan pada faktor team work, effective training, communication, akan menyebabkan penurunan external seervqual
28
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
sebesar nilai koefisien faktor-faktor tersebut. Tetapi faktor-faktor tools, policies and procedure, effective training, reward and recognition sudah memiliki nilai positif atau baik, dan dipertahankan bahkan ditingkatkan. Karena, jika terjadi penambahan tools sebesar satu unit skor, akan menyebabkan kenaikan external servqual sebesar 1,573 unit skor. Demikian juga faktor penambahan pada faktor policies and procedure, goal alignment, reward and recognition, menyebabkan peningkatan external serqual sebesar nilai koefisien faktor-faktor tersebut. Artinya jika terjadi peningkatan layanan internal berupa reward and recognition kepada karyawan non-edukatif sebesar 1 unit skor, akan menyebabkan kenaikan nilai kualitas layanan eksternal (external servqual) sebesar 1,238 unit skor. Pengaruh Parsial Menjawab pertanyaan variabel manakah yang paling dominan mempengaruhi kualitas eksternal. Atau, faktor-faktor mana saja dari variabel internal, yang paling kuat dominasinya mempengaruhi variabel ekternal?. Menjawab pertanyaan ini dapat dilakukan dengan melihat besaran nilai koefisien dari masing-masing variabel, serta tanda negarif atau positif yang menandakan pengaruh searah dan berlawanan. Hasil pengolahan spss dalam print-out tabel korelasi menunjukkan nilai korelasi dari masing-masing faktor variabel internal terhadap faktor eksternal disajikan dalam tabel berikut ini. Tabel 14, Nilai Korelasi Faktor Variabel Internal Tools Policies and procedure Teamwork Management support Goal alignment Effective training Communications Reward and recognition
T. Extern 0,133 0,063 - 0,002 - 0,001 0,101 - 0,018 - 0,011 0,006
Sumber: Hasil pengolahan data spss Data dalam tabel 14 diatas memperlihatkan bahwa faktor tools merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi qualitas layanan eksternal disusul oleh faktor gaol alignment , reward and recognition, dan policies and procedure, secara positif. Artinya apabila keempat faktor tersebut, telah berkontribusi secara positif dalam mempengaruhi kualitas layanan eksternal karyawan non-edukatif terhadap mahasiswa. Sedangkan keempat faktor lainnya yakni faktor effective training, communications, teamwork, communications belum mampu berkontribusi positif kepada karyawan non-edukatif dalam memberikan layanan eksternal kepada mahasiswa. Oleh karenanya keempat faktor terakhir ini perlu mendapat perhatian dari manajemen Politeknik Negeri Sriwijaya untuk dibenahi atau diperbaiki agar ke depan, faktor-faktor tersebut dapat berkontribusi secara positif terhadap kualitas layanan eksternal.
KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan hasil penelitian sebagai berikut: 1. Bahwa kualitas layanan internal Politeknik Negeri Sriwijaya diakui oleh sebagian besar (44,49) persen karyawan non-edukatif menyatakan puas. Walaupun masih ada sebagian kecil karyawan non-edukatif menyatakan bahwa faktor ”faktor pelatihan
29
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
dan rutinitasnya” tidak baik. Hal tersebut masih belum cukup memberikan dampak secara normal terhadap peningkatan kualitas layanan eksternal, sebab sebagian besar mahasiswa atau hanya (36,73) persen menyatakan puas dan (36,98) persen menyatakan cukup puas. 2. Hubungan antara internal servqual dengan external servqual sangat lemah, ditunjukkan oleh nilai R atau koefisien korelasi sebesar 0,187, dan pengaruh yang ditimbulkan internal servgual terhadap external servqual ditunjukkan oleh nilai R Square sebesar 0,035 atau hanya berpengaruh sebesar 3,5 persen sedang selebihnya, 96,5 persen dipengaruhi oleh faktor lain di luar internal servqual. 3. Secara determinan semua variabel internal servqual berpangaruh terhadap external servqual. Demikian juga secara parsial semua variabel internal servqual berpengaruh terhadap external servqual. Variabel yang paling dominan berpengaruh adalah variabel tools dan alignment goal dengan nilai koefisien ke arah positif. Sedangkan variabel management support dan effective training juga memberi pengaruh yang cukup dominan, namun dengan nilai koefisien ke arah negatif. SARAN 1. Walaupun sebagian besar karyawan non-edukatif menyatakan ”puas” terhadap layanan internal Politeknik Negeri Sriwijaya, namun pihak manajemen perlu tetap memperhatikan bahkan meningkatkan kualitas layanan internal guna memotivasi karyawan. 2. Walaupun pengaruh yang ditimbulkan oleh variabel internal servqual terhadap external servqual, khususnya pada variabel manajement support dan effective training. Saran khusus yang dapat diberikan adalah dalam hal pemerataan pemberian training kepada karyawan, oleh karena ternyata masih ada karyawan yang belum pernah mendapat training apapun kendati telah mengabdi di Politeknik hampir 10 tahun.
DAFTAR PUSTAKA Halowell, Schelsinger & Zornitsky, 1996. “Internal Service Quality, Customer and Job Satisfaction”, Human Resources Planning, 19, 2; ABI/ INFORM Global, p.20. Kotler, Philip. (1994), Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan Pengendalian, Alih bahasa Ancella Anitawati Hermawan, Salemba Empat, Jakarta. Lovelock, C. (1998), Managing Service: Marketing, Operations, and Human Resources, Prentice Hall-International Inc., London. Lupiyoadi Rambat. 2001, Manajemen Pemasaran Jasa, Teori dan Praktek, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Markoni Badri, Yahya, Ummasyroh. (2003), Analisis Persepsi Mahasiswa dan Alumni Terhadap Kualitas Pelayanan (Service Quality) Politeknik Negeri Sriwijaya, Politeknik Negeri Sriwijaya, Palembang. Parasuraman, A., Valerie a. Zeithami, Leonard L. Berry. (1988) SERVQUAL: Multiple Item Scale for Measurin Consumer Perceptions of Service Quality. Journal of Retailing 64, 12-40. Pridson Mandiangan, Paisal, Nirwan Rasyid (2005), Kualitas Jasa Pendidikan Politeknik Negeri Sriwijaya dan Pengaruhnya Terhadap Loyalitas Mahasiswa Politeknik Negeri Sriwijaya, Palembang. Umar, H. (1997), Metodologi Penelitian-Aplikasi Dalam Pemasaran, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
30
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
FAKTOR-FAKTOR PERSEPSI OPERATOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENERIMAAN TEKNOLOGI INFORMASI E-GOVERNMENT DALAM RANGKA PELAYANAN PUBLIK (Studi Kasus: Pemerintah Daerah Sumatera Selatan) Oleh: Divianto Staf Pengajar Jurusan Administrasi Niaga - Polsri
ABSTRACT This study aimed to determine the factors influencing the perception of the operator receiving the e-Government information technology within the framework of public services with case studies on local government in South Sumatra. The factors included the perception that operators in this study is the technology acceptance factors (technology acceptance) of the Model Davis F.D (1989), namely: Computer SelfEfficacy/CSE, Perceived Ease Of Use/PEOU, Perceived Usefulness/PU, Attitude Toward Using Technology/ATT, attention to uses, Behavioral Intention to Use /BITU, Actual System Usage / ASU. The population in the study were employees who were directly involved on the implementation of IT / e-Government as operator. As for local governments, as object of research is on the Provincial Government of South Sumatra, The City Government of Palembang, Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Ogan Ilir, and Kabupaten Prabumulih. The number of respondents to the six governments of the region is 115 people. This research resulted in a conclusion that the eight hypotheses tested, seven of which produce acceptable conclusion. Key words : E-Government, TAM Theory, Technology information, Province South of Sumatera
PENDAHULUAN Pemerintahan diseluruh dunia pada saat ini menghadapi "tekanan" dari berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan meningkatkan partisipasi aktif dalam pemberian informasi bagi masyarakat serta dituntut untuk lebih efektif. Penandaan era globalisasi dengan adanya peningkatan pada kegiatan perdagangan bebas, demokratisasi, HAM, transparansi, anti korupsi, akuntabilitas, profesionalitas, civil society, good corporate government, kemajuan Teknologi Informasi (TI), dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat menyebabkan semakin meningkatnya tekanan tersebut khususnya dalam standarisasi pada pelayanan publik. Teknologi informasi dan komunikasi sampai sekarang telah menunjukkan perkembangan yang begitu cepat (Naisbit, 1982). Penggunaan TIK baik secara individu maupun organisasi sudah menjadi hal yang sangat penting di era globalisasi saat ini, dimana bagi sebagian organisasi, TIK sudah menjadi keharusan sebagai bentuk perkembangan perusahaan dan pusat strategis bisnis untuk memperoleh keunggulan dalam bersaing. Berdasarkan tujuan dari penerapan TIK yang tersedia dimanfaatkan antara lain aplikasi perkantoran (pengolah kata, perhitungan, pengolah grafis), fasilitas komunikasi (email, chatting, teleconference), sistem pendukung keputusan dan sistem informasi manajemen. Dampak yang perlu dikaji dari kehadiran TIK dalam organisasi adalah terjadinya perubahan dibeberapa hal antara lain cara bekerja maupun proses bisnis. Perubahan ini antara lain
31
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
dapat direpresentasikan misalnya cara berkomunikasi pada saat belum menggunakan TIK masih menggunakan surat maka jika menggunakan TIK dapat digantikan dengan email. Rapat yang biasanya dilakukan harus dalam satu lokasi dapat dilakukan oleh peserta yang berbeda lokasi dengan memanfaatkan teleconference. Pengolah data yang biasanya memerlukan waktu lama karena dilakukan secara manual maka dapat dipercepat secara signifikan bahkan dengan tingkat keakuratan yang jauh lebih baik. Jadi dengan kata lain TIK sudah menjadi kebutuhan dasar bagi setiap organisasi. Berdasarkan hasil penelitian banyak implementasi sistem TIK yang gagal disebabkan bukan karena faktor teknis namun lebih pada faktor SDM. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku pengguna suatu sistem TIK memiliki peran penting terhadap keberhasilan implementasinya. Hasil survei Robbins-Gioia (2001) terhadap 232 responden atas implementasi ERP (Enterprise Resource Planning) pada tempat mereka bekerja menunjukkan bahwa 51% melihat bahwa implementasi ERP tidak berhasil, 46% tidak merasa organisasi mereka memahami bagaimana menggunakan sistem untuk mengembangkan diri dan menjalankan bisnis, sedangkan survei yang dilakukan oleh Chaos Report USA terhadap 8380 responden tahun 1994 bahwa 31% proyek IT dibatalkan sebelum waktunya, 52,7% proyek IT menghabiskan dana mencapai 189% dan hanya 16,2% proyek IT yang dapat diselesaikan tepat waktu dan biaya. Ada lagi survei yang dilakukan oleh Conference Board Survey (2001) memperoleh hasil bahwa 34% sangat puas, 58% agak puas, 8% tidak puas, 40% proyek gagal untuk mencapai tujuan bisnis dalam 1 tahun ke depan, keuntungan dicapai setelah 6 bulan dari yang telah diharapkan, 25% kelebihan anggaran, biaya dukungan dibawah perkiraan dengan rata-rata 20%. Jadi dapat dikatakan bahwa bentuk kegagalan adalah berupa kegagalan teknis dan kegagalan non-teknis. Kegagalan teknis yaitu sistem teknologi informasi tidak dapat berfungsi dengan baik seperti tidak terhubungnya suatu formulir dengan basis data. Kegagalan non-teknis adalah berkaitan dengan persepsi pengguna sistem teknologi informasi yang menyebabkan pengguna mau atau enggan menggunakan sistem teknologi informasi yang telah dikembangkan. Pengukuran kegagalan yang ditentukan berdasarkan persepsi dari penggunanya memiliki kelebihan yaitu secara alami mengintegrasikan berbagai aspek. Hal ini menunjukkan bahwa masalah yang terjadi adalah lebih pada aspek sumber daya manusia pengguna yang tidak bisa menerima implementasi teknologi informasi. Awalnya TIK jarang diadopsi oleh organisasi-organisasi pemerintah. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran para pimpinan pada organisasi pemerintah akan pentingnya peran TIK dalam meningkatkan kinerja organisasi dan juga terbatasnya ketersediaan SDM yang handal dibidang tersebut. Seiring dengan mulai terlihatnya ketergantungan yang besar dari proses bisnis terhadap TIK dan tuntutan masyarakat yang makin beragam dan kritis mendorong pula pemerintah memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, organisasi pemerintah telah menyadari pentingnya peran TIK dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja organisasi. Salah satu konsep dari TIK adalah e-Government. Instruksi resmi tentang egovernment salah satunya telah diwujudkan dengan munculnya berbagai situs resmi instansi pemerintah. Inisiatif e-Government tersebut menuntut kemampuan penggunanya dalam hal ini kemampuan penggunaan internet. e-Government adalah salah satu bukti transformasi area kehidupan dalam sektor publik yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi informasi. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah seiring dengan semakin bertambahnya penetrasi internet, sebagai bagian dari TIK, sekarang sangat mungkin meninggalkan prosedur lama yang terkesan kaku dan harus berbasis tatap muka. Hal tersebut menyebabkan e-Government atau pemerintahan berbasis elektronik semakin berperan penting bagi semua pengambil keputusan. Jadi Pemerintah Tradisional
32
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
(traditional government) yang identik dengan paper-based administration mulai ditinggalkan. Dengan kata lain sistem manajemen pemerintah yang selama ini merupakan sistem hirarki kewenangan dan komando sektoral yang mengerucut dan panjang, harus dikembangkan menjadi sistem manajemen organisasi jaringan yang dapat memperpendek lini pengambilan keputusan serta memperluas rentang kendali, dimana hal ini dilakukan melalui e-Government. Fenomena di atas menunjukkan bahwa dengan adanya eGovernment masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik dapat menikmati pelayanan yang lebih baik karena pelayanan publik dapat dilakukan dengan lebih cepat dan mudah tanpa dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Kantor pelayanan publik buka selama 24 jam dan dapat diakses dari manapun. Pelayanan publik di Indonesia yang telah banyak dinilai oleh banyak kalangan belum menunjukkan kinerja yang memuaskan sangatlah mungkin diperbaharui melalui e-Government. Apalagi dengan telah ditetapkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), hal ini juga telah menambah peluang bahwa transaksi pelayanan publik diperbolehkan melalui e-Government. Pengembangan e-Government merupakan upaya untuk mendukung kinerja institusi pemerintahan berbasis elektronik, dimana melalui pengembangan e-Government penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah dapat berjalan secara optimal. Hal ini berarti seluruh aktivitas organisasi pemerintahan dapat dilaksanakan secara elektronik dan dapat dimanfaatkan untuk mempermudah pengambilan keputusan serta mendorong lahirnya kebijakan dan pelayanan publik sesuai dengan harapan masyarakat. Sejalan dengan konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelaksanaan otonomi daerah, penggunaan TIK sebagai perwujudan dari e-Government pada lingkup pemerintahan merupakan salah satu solusi untuk menjawab berbagai tuntutan perubahan menuju era pemerintahan yang lebih bertanggungjawab (accountable) dan transparan kepada masyarakat. Penggunaan teknologi informasi dalam kerangka manajemen pemerintahan di daerah akan mempermudah akses bagi pelayanan masyarakat baik secara individual maupun terintegrasi (layanan bersama) serta mendapatkan feedback yang cepat dari masyarakat akan kinerja masing-masing institusi pemerintahan. Sejak Inpres Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government diterbitkan, telah banyak inisiatif dilaksanakan oleh berbagai instansi. Penerapan e-Government bukanlah suatu yang sederhana, yang hanya memberikan komputer atau melakukan otomatisasi terhadap prosedur yang ada. Memang benar bahwa komputerisasi dan otomatisasi prosedur harus dilakukan, namun lebih dari itu, merubah mentalitas para birokrat dalam rangka meningkatkan layanan kepada masyarakat dan peningkatan partisitasi masyarakat harus menjadi fokus utama pelaksanaan e-Government dikarenakan teknologi hanyalah sebuah alat. Pemahaman secara benar e-Government kepada seluruh pemangku kepentingan merupakan hal utama karena menerapkan e-Government berarti memanfaatkan TIK secara optimal untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan melalui proses yang lebih transparan dan partisipasi aktif masyarakat. Salah satu kunci keberhasilan penerapan e-Government adalah adanya leadership yang kuat pada seluruh tingkatan yaitu: presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota dan pimpinan pimpinan lembaga negara lainnya. Disamping itu, penerapan konsep e-Government tidak hanya merupakan tanggungjawab pemerintah saja, mengingat bahwa penyelenggaraan pemerintahan berlangsung dalam kerangka pencapaian tujuan bersama (shared goals) antara pemerintah dan masyarakat, maka keterlibatan seluruh komunitas dalam domain kepemerintahan yang baik (good governance) seperti masyarakat dan dunia usaha (sektor swasta) akan sangat menentukan. Oleh karena itu dalam konteks ini paling tidak terdapat dua hal yang
33
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
berkaitan: 1. Kebutuhan yang menjadi prioritas utama dari masyarakat, 2. Ketersediaan sumber daya yang terdapat pada domain masyarakat dan pemerintah. Selain kedua hal tersebut di atas, sebenarnya terdapat sejumlah faktor penentu lainnya yang menentukan tingkat kesiapan sebuah daerah untuk menerapkan eGovernment sebagaimana dikemukakan Indrajit dkk (2005:8-9), yakni: infrastruktur telekomunikasi, tingkat konektivitas dan penggunaan IT oleh pemerintah, kesiapan sumber daya di pemerintah, ketersediaan anggaran, perangkat hukum, dan perubahan paradigma berpemerintahan. Jogiyanto (2007) menyebutkan bahwa sekarang ini hambatan implementasi TIK banyak diakibatkan oleh faktor pengguna TIK tersebut. Beberapa dekade yang lalu banyak TIK yang gagal karena aspek teknisnya, yaitu banyak mengandung kesalahankesalahan sintak maupun algoritmanya. Sekarang ini, walaupun kualitas teknis TIK sudah membaik, tetapi masih juga terdengar banyak sekali teknologi informasi gagal diterapkan. Salah satu faktor yang saat ini memegang peranan penting dalam keberhasilan penerapan teknologi informasi adalah faktor pengguna. Faktor pengguna merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk diperhatikan dalam penerapan TIK. Tingkat kesiapan pengguna untuk menerima teknologi tersebut memiliki pengaruh besar dalam menentukan sukses atau tidaknya (mindful dan mindless) penerapan teknologi tersebut. Kehadiran suatu teknologi baru dapat menimbulkan reaksi pada diri penggunanya baik rekasi menerima maupun menolak. Oleh karena itu, perlu untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor penerimaan teknologi (technology acceptance) oleh para penggunanya. Beberapa model telah dibangun untuk menganalisis dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi diterimanya penggunaan TIK. Salah satu model yang sering digunakan untuk menggambarkan tingkat penerimaan teknologi informasi adalah Technology Acceptance Model (TAM). Model TAM dikembangkan dari teori psikologis yang menjelaskan perilaku pengguna teknologi dipengaruhi oleh kepercayaan (belief), sikap (attitude), intensitas (intention) dan hubungan perilalu pengguna (user behavior relationship) (Abdalla, I., 2005, Lee, Y., Kozar K.A., & Larsenm, K.R.T., 2003) . Tujuan model ini untuk menjelaskan faktor-faktor utama dari perilaku pengguna teknologi informasi terhadap penerimaan penggunaan teknologi informasi itu sendiri. Dalam TAM dikenal ada 5 (lima) konstruk, yaitu: 1. Persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use), 2. Persepsi kegunaan (perceived usefulness), 3. Sikap terhadap penggunaan teknologi (attitude toward using technology), 4. Minat perilaku menggunakan teknologi (behavioral intention to use), 5. Penggunaan teknologi sesungguhnya (actual technology use). Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk menganalisis permasalahanpermasalahan (problematika) yang dihadapi dalam penerimaan teknologi sehubungan atas implementasi IT/e-Government pada pemerintah daerah dengan menggunakan Model TAM (Technology Acceptance Model), sekaligus untuk memberikan solusi atas implementasi IT/e-Government tersebut.
Perumusan Masalah Penulis merumuskan permasalahan yang mendasar dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Apakah persepsi Kemampuan diri operator (Computer Self-Efficacy/CSE) berpengaruh terhadap persepsi kemudahan penggunaan (Perceived Ease of Use/PEU). 2. Apakah persepsi Kemampuan diri operator (Computer Self-Efficacy/CSE) berpengaruh terhadap penggunaan sistem nyata (Actual System Usage/ASU).
34
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
3. Apakah Persepsi kemudahan penggunaan operator (Perceived Ease of Use/PEOU) berpengaruh terhadap persepsi kemanfaatan (Perceived Usefulness/PU). 4. Apakah Persepsi kemudahan penggunaan operator (Perceived Ease of Use/PEOU) berpengaruh terhadap sikap dalam menggunakan (Attitude Toward Using Technology/ATT). 5. Apakah Persepsi kemanfaatan operator (Perceived Usefulness/PU) berpengaruh terhadap sikap dalam menggunakan (Attitude Toward Using Technology/ATT). 6. Apakah Sikap operator dalam menggunakan (Attitude Toward Using Technology/ATT) berpengaruh terhadap perhatian untuk menggunakan (Behavioral Intention to Use/BITU). 7. Apakah Persepsi kemanfaatan operator (Perceived Usefulness/PU) berpengaruh terhadap perhatian untuk menggunakan (Behavioral Intention to Use/BI). 8. Apakah Perhatian operator untuk menggunakan (Behavioral Intention to Use/BITU) berpengaruh terhadap penggunaan sistem nyata (Actual System Usage/ASU). Hipotesis-hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. H1 :Kemampuan diri operator (Computer Self-Efficacy/CSE) berpengaruh terhadap persepsi kemudahan penggunaan (Perceived Ease of Use/PEU) 2. H2 :Kemampuan diri operator (Computer Self-Efficacy/CSE) berpengaruh terhadap penggunaan sistem nyata (Actual System Usage/ASU) 3. H3 :Persepsi kemudahan penggunaan operator (Perceived Ease of Use/PEOU) berpengaruh terhadap persepsi kemanfaatan (Perceived Usefulness/PU) 4. H4 :Persepsi kemudahan penggunaan operator (Perceived Ease of Use/PEOU) berpengaruh terhadap sikap dalam menggunakan (Attitude Toward Using Technology/ATT) 5. H5 :Persepsi kemanfaatan operator (Perceived Usefulness/PU) berpengaruh terhadap sikap dalam menggunakan (Attitude Toward Using Technology/ATT) 6. H6 :Sikap operator dalam menggunakan (Attitude Toward Using Technology/ATT) berpengaruh terhadap perhatian untuk menggunakan (Behavioral Intention to Use/BITU) 7. H7 :Persepsi kemanfaatan operator (Perceived Usefulness/PU) berpengaruh terhadap perhatian untuk menggunakan (Behavioral Intention to Use/BI) 8. H8 :Perhatian operator untuk menggunakan (Behavioral Intention to Use/BITU) berpengaruh terhadap penggunaan sistem nyata (Actual System Usage/ASU)
Landasan Teori Tinjauan Teoritis Model Davis. F.D (1989) Iqbaria menyatakan bahwa secara individu maupun kolektif penerimaan teknologi dapat dijelaskan dari variasi penggunaan suatu sistem karena diyakini bahwa penggunaan suatu sistem yang berbasis IT dapat meningkatkan kinerja individu atau kinerja organisasi. Untuk mengetahui indikator penerimaan TI secara umum diketahui bahwa penerimaan TI dapat dilihat dengan adanya indikator penggunaan sistem dan frekuensi penggunaan komputer, atau dari aspek kepuasan pengguna dan ada juga yang menjadikan penggunaan sistem sebagai indikator utama penerimaan teknologi oleh penggunanya. Menurut Davis (1989), tingkat penerimaan pengguna TI ditentukan oleh 6 (enam) konstruksisi, yaitu: variabel dari luar (external variable), persepsi pengguna terhadap
35
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
kemudahan (perceived ease of use), persepsi pengguna terhadap kemanfaatan (perceived usefulness), sikap dalam menggunakan (attitude toward using), perhatian untuk menggunakan (behavioral intention to use), dan pemakaian nyata (actual usage). TAM mendeskripsikan terdapat dua faktor yang secara dominan mempengaruhi integrasi teknologi. Faktor pertama adalah persepsi pengguna terhadap manfaat teknologi. Sedangkan faktor kedua adalah persepsi pengguna terhadap kemudahan penggunaan teknologi. Kedua faktor tersebut mempengaruhi kemauan untuk memanfaatkan teknologi. Selanjutnya kemauan untuk memanfaatkan teknologi akan mempengaruhi penggunaan teknologi yang sesungguhnya.
Gambar II.1 Technology Acceptance Model (Davis, 1989) Pada penelitian ini, hanya 5 (lima) konstruksi Technology Acceptance Model yang diteliti, yaitu persepsi kemudahan, persepsi kemanfaatan, sikap pengguna, perhatian untuk menggunakan, dan pemakaian nyata. Konstruksi variabel dari luar tidak dimasukkan ke model karena kontribusinya dalam TAM dianggap tidak signifikan sehingga dapat diabaikan meskipun mempunyai pengaruh secara tidak langsung terhadap penerimaan sebuah teknologi (Milchrahm, 2003). Penerimaan Teknologi (Acceptance Technology) TI Iqbaria (1994), Nelson (1996), Luthans (1995) juga menyebutkan bahwa secara individu maupun kolektif penerimaan penggunaan dapat dijelaskan dari variasi penggunaan suatu sistem, karena diyakini penggunaan suatu sistem yang berbasis TI dapat mengembangkan kinerja individu atau kinerja organisasi. Tahapan Implementasi TI Metode standar dalam implementasi TI, yaitu System Development Life Cycle (SDLC), suatu proses untuk memahami bagaimana suatu informasi dapat mendukung kebutuhan bisnis, merancang sistem, serta membangunnya dan kemudian menyampaikan informasi kepada pengguna (Dennis et al. 2005). Ada beberapa model yang dikembangkan berdasarkan prinsip SDLC sesuai sistem yang akan diimplementasikan. Implemetasi TI/eGovernment, pengembangannya menggunakan waterfall model yang mencakup lima tahapan kegiatan (Gambar II.3) (Setiarso, 2008), yaitu:
36
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Gambar II.2. SDLC dengan Waterfall Models Setiap proyek pengembangan sistem akan melalui siklus hidup pengembangan sistem SDLC (Sistem Development Life Cycles). Pendekatan dengan SDLC ini biasanya digunakan oleh divisi sistem informasi untuk memberikan pengertian yang jelas tentang apa yang seharusnya disertakan dalam pengembangan suatu sistem. Jadi untuk lebih mudah dipahami tahap-tahap dalam SDLC dapat ditunjukkan dalam tabel berikut ini: Tabel II.1, Tahap-Tahap dalam SDLC General Phase Detail Phase Analysis Feasibility Assessment Information Analyst Design Sistem Design Program development Procedure Development Implementation Conversion Operation & Maintenance Audit and Review Sumber Bodnar G.H. and Hopwood W.S. (1995) Konsep e-Government Desakan untuk meningkatkan kinerja pemerintah dikaitkan dengan peningkatan kualitas pelayanan kepada publik, memperoleh momentum baru dengan keluarnya “Reinventing Government” dari David Osborne dan Ted Gaebler di tahun 1992. Mereka mengetengahkan argumentasi untuk “consumer driven government” yang memberdayakan masyarakat dengan mengalihkan kendali dan pengawasan dari birokrasi ke masyarakat. Mereka mengajukan argumentasi “We don’t need more or less government, we need better government.” Memang dalam buku itu, e-Government belum disinggung karena waktunya belum tiba, tetapi apa yang mereka kemukakan menunjukkan paradigma baru bagi good government atau good governance. Menurut Darrell M. West, seorang pakar e-Government dari Brown University Amerika Serikat, “e-Government refers to the delivery of information and services online through the Internet or other digital means”. Dikatakan juga oleh Douglas Holmes “The e-government movement is being driven by the need for government to: cut costs and improve efficiency; meet citizen expectations and improve citizen relationship; facilitate economic development.” Secara umum, e-Government didefinisikan sebagai Pemerintahan Elektronik (juga disebut e-gov, digital government, online government atau transformational government) adalah penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah untuk memberikan informasi dan pelayanan bagi warganya, urusan bisnis, serta hal-hal lain yang berkenaan
37
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
dengan pemerintahan. e-Government dapat diaplikasikan pada legislatif, yudikatif, atau administrasi publik, untuk meningkatkan efisiensi internal, menyampaikan pelayanan publik, atau proses kepemerintahan yang demokratis. Model penyampaian yang utama adalah Government-to-Citizen atau Government-to-Customer (G2C), Government-toBusiness (G2B) serta Government-to-Government (G2G). Tahapan Implementasi TI/e-Government Implementasi e-Government di setiap lembaga menyangkut implementasi konsep dan aplikasi sebagai berikut: Konsep pengembangan infrastruktur yang menyangkut infrastruktur aplikasi, informasi dan jaringan; konsep pengintegrasian sistem informasi, konsep penerapan e-Government menyangkut; ketersediaan anggaran; layanan eGovernment; Infrastruktur akses dan informasi; Aplikasi eksisting lembaga; back office lembaga. Implementasi konsep e-Government berlangsung melalui tahapan proses yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar II.3. Tahapan Implementasi e-Government Pengukuran Implementasi e-Government Pengukuran pemanfaatan/penerapan e-Government, Allen dan Hamilton dalam Indrajit (2005:43-45) mengemukakan 5 (lima) dimensi sebagai ukuran performa yang dikenal dengan Balanced e-Government Scorecard. Kelima dimensi tersebut adalah: Manfaat, Efisiensi, Partisipasi, Transparansi, dan Manajemen Perubahan. Penelitian dibidangnya Hasil penelitian yang dilakukan Guimares (tahun 1996). Lee (1986), Stassman (tahun 1985) dalam Nur, menemukan bahwa penerapan TI dalam suatu organisasi mendorong terjadinya revolusi terhadap perilaku bekerja individu dalam konteks penggunaan PC dan kemungkinan seseorang mempunyai keyakinan bahwa penggunaan komputer akan memberikan manfaat bagi dirinya dan pekerjaannya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa aspek perilaku dalam penerapan TI merupakan salah satu aspek yang penting diperhatikan karena berhubungan langsung dengan pengguna. Sebab, interaksi antara pengguna dengan perangkat komputer yang digunakan sangat dipengaruhi oleh persepsi, sikap dan afeksi sebagai aspek keperilakuan yang melekat pada diri manusia sebagai user. Oleh karena itu, sistem yang dikembangkan haruslah berorientasi kepada penggunanya. Penelitian tentang adopsi Technology Acceptance Model (TAM) merupakan penelitian yang menarik untuk terus disimak. Penjelasan tentang TAM oleh Lee et all 38
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
(2003) menunjukkan bahwa penggunaanteknologi informasi khususnya internet akan semakin membantu meningkatkan efisiensi kerja seseorang sehingga akan menunjang efektivitasnya. Ukuran dimaksud adalah, seberapa besar tingkat adopsi pengguna (user) atau pelanggan (customer) atas pemanfaatan sistem informasi yang mencakup sistem komunikasi dan internet. Dukungan dari penelitian yang dilakukan Gefen (2000) menjelaskan arah keinginan untuk memanfaatkan teknologi informasi ada pada penilaian kemudahan penggunaan (perceived easy of use), hasil ini memperkuat peran dari pengaruh gender, yang menyatakan jenis kelamin ternyata mampu memengaruhi perceived easy of use dan perceivedusefulness. Internet telah melengkapi sebagian besar aktifitasmanusia terutama yang berkaitan dengan kegiatan bisnis (profit) dan akademik (nonprofit). Coomber (1997), menyatakan bahwa internet mampu membuka cakrawala bagi peneliti. pendapat ini kemudian didukung pernyataan Ciolek dan Mathew (1998). Penelitian yang dilakukan oleh Harmadi (2005) sampai pada kesimpulan bahwa TAM dapat dijelaskan melalui peran variabel kemudahan (PEOU) dan variabel manfaat (PU). Penelitian ini mengukur validitas TAM pada adopsi internet banking nasabah suatu Bank di Jakarta. Pemakaian TAM dalam penelitian tentang penerimaan penerapan teknologi sudah dilakukan oleh beberapa peneliti di negara yang berbeda dan penerapan teknologi yang berbeda pula untuk menguji keakuratan TAM. Penelitian tersebut antara lain Penerimaan Pengguna terhadap Perpustakaan Digital di Universitas Hon-Kong oleh Weiyin Hong dkk (Weiyin Hong et al. 2002); Penerapan TAM di Inggris oleh Said AlGahtani (Gahtani 2001) dan beberapa penelitian lain dengan TAM yang dimodifikasi sesuai tujuan penelitian (Malhotra dan Galleta 1999; Milchrahm 2003). Penelitian ini, menggunakan TAM yang telah dimodifikasi sesuai dengan TAM yang digunakan oleh Said Al-Gahtani dalam penelitiannya tentang Kemampuan TAM untuk digunakan di Luar Amerika yaitu di Inggris (Said Al-Gahtani 2001). Tipe (design) Penelitian Gambar III.1., Model Technology Acceptance Model atas Implementasi IT/ e-Government pada Pemda Sumsel
39
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di pemerintahan daerah Sumatera Selatan. Responden yang terlibat atas Implementasi IT/e-Government di lingkungan pemerintahan daerah Provinsi Sumatera Selatan, Pemerintahan Kota Palembang, Pemerintahan Kabupaten Musi Banyuasin dan Pemerintahan Kabupaten Banyuasin, dan Pemerintahan Kota Prabumulih. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian adalah pegawai yang terlibat langsung atas Implementasi IT/e-Government. Adapun pemerintah daerah yang dijadikan objek penelitian adalah pada Pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan, Kota Palembang, Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Kota Musi Banyuasin, dan Kabupaten Kota Prabumulih. Jumlah responden untuk enam pemerintahan daerah tersebut adalah sebanyak 241 orang. Pemilihan atas 6 (enam) lembaga pemerintahan disertai dengan dinas/kantor tersebut didasarkan karena berbagai alasan, antara lain: karena pada lembaga (dinas/kantor) di 6 (enam) lembaga pemerintahan di atas telah mengimplemetasikan IT/eGovernment dengan tingkat pelayanan publik yang cukup tinggi. Instrumen Penelitian Pada prinsipnya meneliti adalah melakukan pengukuran terhadap fenomena sosial maupun alam, oleh karena itu perlu digunakan alat ukur yang baik. Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Ridwan (2003:24) mengatakan bahwa, instrumen yang diartikan sebagai alat bantu merupakan sarana yang dapat diwujudkan dalam benda. Instrumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah angket (questionare). Kuesioner ini dikembangkan daeri variabel penelitian yang pengukurannya dilakukan lewat 5 (lima) dimensi (sub variabel). Selanjutnya dari setiap dimensi dimunculkan indikator masingmasing. Kisi-kisi penyusunan instrumen dapat ditampilkan dalam tabel berikut. Semua indikator diajukan sebagai pertanyaan tertutup, sehingga responden hanya memilih satu jawaban yang dinilainya cenderung lebih sesuai dengan pendapatnya. Tabel III.1., Kisi-Kisi Penyusunan Instrumen Dimensi
Computer SelfEfficacy
Perceived Ease of Use
Perceived Usefulness
Attitude
Indikator X1 = menjalankan aplikasi e- Government sehubungan dengan tugas X2 = mengakses informasi dalam e-Government X3 = menggunakan e-Government sesuai dengan prosedur ? SOP X4 = melakukan maintenance/pemeliharaan terhadap sistem X5 = memanfaatkan software lain sebagai pendukung e-Government X6 = berkomunikasi melalui e-Government
Nomor Item 1-6
Y1 = mudah untuk dipelajari Y2 = mudah dikendalikan Y3 = jelas dan mudah dipahami Y4 = fleksibel Y5 = mudah untuk menjadi mahir Y6 = mudah dipergunakan
7-12
Y7 = mempercepat pekerjaan Y8 = memperbaiki kinerja Y9 = meningkatkan produktivitas Y10 = mempertinggi efektivitas Y11 = menjadikan pekerjaan lebih mudah Y12 = bermanfaat
13-18
Y13 = menggunakan e-Government merupakan ide yang baik
19-23
40
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Toward Using
Y14 = menggunakan e-Government merupakan tindakan yang sesuai prosedur/hukum Y15 = menggunakan e-Government merupakan pekerjaan yang menyenangkan Y16 = menggunakan e-Government merupakan tindakan yang menguntungkan Y17 = menggunakan e-Government telah memberikan perubahan pada budaya kerja lembaga Y18 = niat untuk menggunakan Y19 = niat untuk meningkatkan penggunaan Y20 = niat untuk mengajak pengguna lain Y 21 = niat untuk menambah software pendukung
24-27
Behavioral Intention to Use
Y22 = pemakaian nyata Y23 = frekuensi menggunakan Y24 = durasi waktu penggunaan
28-30
Actual System Usage
Diagram Jalur Biasanya hubungan-hubungan kausal dinyatakan dalam bentuk persamaan, tetapi dalam SEM, atau analisis Jalur dalam AMOS Versi 18.0, hubungan kausalitas cukup digambarkan dalam sebuah diagram jalur yang akan diterjemahkan ke dalam bentuk persamaan, dan persamaan menjadi estimasi model. Tujuan dibangunnya diagram jalur adalah untuk memudahkan peneliti dalam memvisualisasikan hubungan-hubungan kausalitas yang ingin diuji. Model penelitian ini adalah recursive yang merupakan model penyebab yang mempunyai satu arah. Dimana tidak ada arah membalik (feed back loop) dan tidak ada pengaruh sebab akibat (reciprocal). Dalam model ini satu variabel tidak dapat berfungsi sebagai penyebab dan akibat dalam waktu yang bersamaan. Bentuk persamaan struktural dalam penelitian ini adalah: PEU = γ 11CSE + ζ 1 PU = β 21 PEU + ζ 2 ATT = β 31 PEU + β 32 PU + ζ 3 BI = β 43 ATT + β 42PU + ζ 4 ASU = γ 21 CSE + β 54BI + ζ5 Dimana : PEU : Perceived Ease of Use CSE : Computer Self-Efficacy PU : Perceived Usefulness ATT : Attitude Toward Using BI : Behavioral Intention to Use ASU : Actual System Usage Β : regression weight ζ : disturbance term
Hasil Penelitian dan Pembahasan Deskripsi Responden Berikut perhitungan analisis data kuesioner: Jumlah kuesioner beredar Kuesioner tidak kembali 24 eks Kuesioner cacat data 65 eks Jumlah kuesioner yang dapat diolah
241 eks
89 eks 152 eks
Dengan demikian respon rate pengembalian kuesioner adalah sebesar 63,01% (152/241).
41
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Analisis Data Setelah dilakukan modifikasi model, diperoleh diagram jalur baru seperti terlihat pada Gambar IV.2. Gambar tersebut menunjukkan telah terjadi penurunan nilai chisquare dari 446.841 menjadi 408.360 dan probabilitas (p) meningkat dari 0.042 menjadi 0.077. Dengan nilai p yang lebih besar dari 0.05, dapat dikatakan bahwa model yang diusulkan identik dengan data observasinya atau model dinyatakan fit. Dengan demikian peneliti sudah dapat melakukan analisis lebih lanjut. Berikut ini adalah hasil uji hipotesis setelah dilakukan modifikasi model. Chi-square=408.360 Probabilitas=.077 DF=369 CMIN/DF=1.107 GFI=.803 AGFI=.768 RMSEA=.030 TLI=.984 CFI=.985 NFI=.869 Jadi dalam penelitian ini jumlah variabel adalah sebagai berikut: Variable counts (Group number 1) Number of variables in your model: 71 Number of observed variables: 30 Number of unobserved variables: 41 Number of exogenous variables: 36 Number of endogenous variables: 35 Uji Reliabilitas Konstruk CSE PEU PU ATT BI AU
Tabel IV.1. Hasil Uji Reliabilitas Parameter Construct Reliability Variance Extracted 0,936 0,709 0,907 0,620 0,933 0,700 0,914 0,680 0,899 0,691 0,771 0,682
Tabel IV.1. menunjukkan bahwa nilai construct reliability untuk seluruh konstruksi berada di atas 0.70. Demikian pula halnya dengan variance extracted, semuanya memiliki nilai lebih besar dari 0.50. Hal ini membuktikan bahwa setiap variabel indikator memiliki tingkat konsistensi pengukuran yang baik terhadap konstruksi yang diwakilinya. Uji Kecocokan Model Struktural (Structural Model Fit) Secara umum, nilai R2 (squared multiple correlations) yang ditampilkan pada Tabel IV.2. menunjukkan nilai yang signifikan secara statistik, sehingga dapat disimpulkan bahwa model tersebut memiliki tingkat kecocokan yang baik dalam menggambarkan hubungan antara konstruksi yang dibentuk dengan variabel indikator yang mewakilinya. 42
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Tabel IV.1. Nilai R2 Estimate PEU .521 PU .625 ATT .531 BI .717 AU .785 Langkah modifikasi dilakukan dengan cara menghapus variabel “durasi waktu penggunaan” karena memiliki nilai loading factor < 0.50. Dengan dihapusnya variabel indikator durasi waktu penggunaan dari model menunjukkan perbedaan dengan hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya. Menurut Davis (1989), salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengukur perilaku pemakaian nyata dari sebuah teknologi adalah durasi waktu penggunaan terhadap teknologi tersebut. Menurut pendapat peneliti, dihapuskannya variabel durasi waktu dari model penerimaan teknologi atas implemntasi IT/e-Government merupakan suatu hal yang cukup logis. Dewasa ini, perilaku umum para pengguna e-Government di kantor-kantor menggambarkan bahwa pada saat bekerja biasanya mereka akan melakukan akses internet tanpa memperhitungkan masalah lamanya waktu mereka menggunakan internet tersebut. Apabila di kantor mereka sudah tersedia fasilitas internet, umunya mereka akan melakukan akses internet tersebut tanpa dibatasi masalah durasi waktu, Dengan tersedianya fasilitas internet, berbagai aktivitas yang terkait internet, seperti membaca berita on-line, mencari berbagai informasi yang diperlukan, menerima dan mengirim email, atau chatting, dapat dilakukan di sela-sela mengerjakan pekerjaan kantor lainnya, seperti mengetik surat, membuat laporan, dan sebagainya. Hasil Pengujian Hipotesis Pengujian terhadap H1 dan H2 memberikan simpulan bahwa kedua hipotesis tersebut dapat diterima, yang berarti konstruksi persepsi kemampuan diri di bidang komputer (computer self efficacy) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap persepsi kemudahan dan perilaku pemakaian nyata seseorang dalam menggunakan Internet. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Fenech (1998) dan Hwang dan Yi (2002) yang samasama menyimpulkan bahwa konstruksi CSE memiliki pengaruh yang nyata terhadap penggunaan web melalui konstruksi persepsi kemudahan dan pemakaian nyata. Demikian pula halnya dengan pengujian H3 hingga H7, semuanya menghasilkan simpulan diterima. Hal ini berarti bahwa konstruksi persepsi kemudahan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap persepsi kemanfaatan. Sementara itu, kedua konstruksi tersebut (persepsi kemudahan dan persepsi kemanfaatan) secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap persepsi sikap dalam menggunakan. Konstruksi sikap dalam menggunakan dan persepsi kemanfaatan juga sama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi perhatian untuk menggunakan. Hasil-hasil ini tentu saja dapat menjadi bukti untuk mendukung Model TAM yang menjadi landasan penelitian ini. Sementara itu ditolaknya H8 memberi indikasi bahwa konstruksi perhatian untuk menggunakan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap konstruksi pemakaian nyata. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya. Davis (1989) menyatakan bahwa tingkat penggunaan sebuah teknologi komputer pada seseorang dapat diprediksi dari sikap perhatiannya terhadap teknologi tersebut. Demikian pula halnya dengan penelitian Maholtra dan Galetta (1999) yang juga menyimpulkan bahwa sikap perhatian untuk menggunakan suatu teknologi adalah prediksi yang baik untuk
43
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
mengetahui pemakaian nyata dari teknologi tersebut. Penolakan terhadap H 8 ini mungkin didasari oleh faktor bahwa penggunaan internet di tempat kerjanya. Kenyataan bahwa beberapa unit kerja di organisasi pemerintahan saat ini belum memiliki fasilitas internet di ruang kerjanya, berakibat pada terbatasnya kesempatan para pegawai untuk dapat menggunakan internet pada saat mereka berada di kantor. Oleh karena itu, seberapapun besarnya perhatian dan niat para pegawai untuk menggunakan internet, hal itu tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap penggunaan internet. Kebijakan Pengembangan atas Implementasi IT/ e-Government Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya, penulis berpendapat bahwa permasalahan utama yang saat ini dihadapi oleh organisasi pemerintah terkait dengan pemanfaatan teknologi internet di lingkungan kerja mereka adalah masih rendahnya pemahaman dan kemampuan para pegawainya untuk memanfaatkan e-Government dalam menunjang aktivitas mereka sehari-hari. Ketersediaan fasilitas internet yang kurang memadai di lingkungan kerja organisasi pemerintah juga menjadi masalah tersendiri yang berdampak pada rendahnya kesempatan para pegawainya untuk melakukan kases internet. Selain itu belum jelasnya unit kerja yang bertanggung jawab dalam melakukan pengembangan dan pengelolaan teknologi informasi di lingkungan oraganisasi pemerintah secara menyeluruh menyebabkan setiap unit kerja memiliki cara sendiri dalam melakukan pengembangan IT/e-Government di lingkungan kerjanya masingmasing. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan kesulitan dalam melakukan perencanaan program pengembangan IT/e-Government secara terkoordinasi. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang disebutkan di atas, penulis mencoba untuk memberikan gambaran langkah-langkah yang dapat diambil para pimpinan pada organisasi pemerintahan untuk meningkatkan penerapan teknologi informasi di lingkungan kerja mereka, terutama yang terkait dengan pemanfaatan internet. Menurut pendapat penulis, setidaknya ada tiga hal yang perlu segera dibenahi dalam hal pengembangan teknologi informasi di organisasi pemerintahan, yaitu pengembangan infrastruktur teknologi informasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pembenahan struktur organisasi. Ketiga aspek tersebut sudah sepantasnya mendapat perhatian serius dari para pengambil kebijakan pada organisasi pemerintahan dan perlu digariskan dalam rencana kebijakan strategis organisasi di bidang TIK.
KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, maka dalam penelitian ini diperoleh simpulan sebagai berikut: 1. Hasil estimasi awal menunjukkan bahwa model termasuk dalam kategori tidak fit, sehingga model tersebut harus dimodifikasi terlebih dahulu untuk memperbaiki kriteria model fit. Langkah modifikasi model yang dilakukan adalah menghapus variabel yang memiliki nilai loading factor di bawah nilai kritis 0.50, yaitu variabel “durasi waktu penggunaan”. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa variabel durasi waktu dalam penelitian ini tidak dapat digunakan untuk mengukur pemakaian nyata teknologi internet. Hal ini mungkin disebabkan karena sebagian besar pegawai pada organisasi pemerintahan yang biasa menggunakan internet, umumnya melakukan akses internet di kantor tanpa dibatasi masalah durasi waktu. Mereka biasanya memiliki kesempatan untuk melakukan berbagai aktivitas yang terkait dengan internet selama jam kerja berlangsung, mungkin di sela-sela mengerjakan pekerjaan lainnya.
44
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
2. Dari 8 hipotesis yang diuji, 7 diantaranya menghasilkan kesimpulan diterima. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu, seperti penelitian oleh Davis (1989), Fenech (1998) dan Hwang & Yi (2002). Sementara satu hipotesis lainnya, yaitu H8 menghasilkan kesimpulan ditolak yang berarti dalam penelitian ini konstruksi persepsi perhatian untuk menggunakan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap konstruksi pemakaian nyata. Hasil ini tentu berbeda dengan simpulan penelitian Davis (1989) dan Maholtra & Galetta (1999) yang sama-sama menyatakan bahwa tingkat penggunaan sebuah teknologi komputer pada seseorang dapat diprediksi dengan baik dari sikap perhatiannya terhadap teknologi tersebut. Penolakan hipotesis ini mungkin didasari oleh faktor bahwa besarnya bentuk perhatian dan niat para pegawai untuk menggunakan internet, tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap pemakaian nyata mereka dalam menggunakan internet jika di lingkungan kerja mereka belum tersedia fasilitas koneksi internet yang memadai. 3. Dari kedua hasil di atas dapat disimpulkan bahwa Model TAM yang diusulkan secara umum dapat diterima sebagai model penerimaan atas implementasi IT/e-Government di suatu organisasi pemerintah. Akan tetapi, model tersebut harus melalui tahap modifikasi yakni menghapus variabel “durasi waktu” dan menghilangkan pengaruh “persepsi perhatian untuk menggunakan” terhadap konstruksi “pemakaian nyata”. 4. Organisasi pemerintah dianggap perlu menetapkan beberapa kebijakan terkait dengan implementasi IT/e-Government. Pertama, mengembangkan infrastruktur jaringan internet untuk memberikan kesempatan yang lebih besar bagi para pegawainya dalam memanfaatkan internet. Kedua, kebijakan organisasi yang terkait aspek peningkatan kualitas para pegawai di bidang TIK karena sejauh ini masih banyak pegawai yang belum memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik dalam melakukan pemanfaatan TIK. Ketiga, secara definitif perlu ditetapkan unit kerja yang menjadi penanggungjawab dalam pengelolaan TIK di lingkup organisasi pemerintah tersebut agar setiap langkah dalam pengembangan TIK baik dari segi infrastruktur maupun pengembangan sumber daya manusia dapat berjalan secara terintegrasi dan berkesinambungan. SARAN 1. Kondisi ketersediaan fasilitas sambungan internet di setiap unit kerja di lingkungan organisasi pemerintah yang beragam mungkin dapat mempengaruhi hasil penelitian yang ingin dicapai. 2. Beragamnya latar belakang pendidikan dan pemahaman responden di bidang teknologi informasi dapat menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi anatara penulis dengan responden dalam memahami pertanyaan di dalam kuesioner.
DAFTAR PUSTAKA Abdalla, I., 2005. Evaluating Effectiveness of E-Blackboard System Using TAM Framework, diakses dari www.editlib.org/index.cfm/files/paper_21805. pdf?fuseaction= Reader.DownloadullText&paper_id=21805, tanggal 2 Oktober 2009. Al-Gahtani, Said S. 2001. “The Applicability of TAM Outside North America An Empirical test in the United Kingdom”. http://www.ideagroup.com/articles/details.asp?id=361 Bandura, A. 1986. “Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory”. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ.
45
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Baronas,
A.M.K., dan M.R., Louis. 1988. Restoring a Sense of Control During Implementation: How User Involvement Leads to Sistems Acceptance. MIS Quarterly. March. Bodnar, G.H., dan William S., Hopwood. 1995. Accounting Information Sistems. Prentice Hall International. 6th. Ed. Burch, Jr. Jhon, Garry Grudnitski. 1991. Information Sistems: Theory and Practice. Jhon Wiley & Sons. 5th Ed. Ciolek and Mathew. 1989. The Scholary Uses of the Internet. 1998 online survey. http://www.ciolek.com/PAPERS/InternetSurvey-98.html.15 March1998 Compeau, D., Higgins, C. A., & Huff S., 1999. Social Cognitive Theori and Individual Reactions to Computing Technology: A Longitudinal Study, MIS Quarterly. Vol 23 no 2, June 1999. Coomber, R. 1997. Using the Internet for Survey Research. Sociological Research Online 2(2). http://www.socres-online.org.uk/socresonline/2/2/2.html. 30 June 1997. Davis, F.D. 1989. “Perceived Usefullness, Perceived Ease of Use of Information Technology”, Management Information System Quarterly, 21(3). Diakses tanggal 12 Oktober 2009. Fazli, Syam. 1999. “Dampak Kompleksitas Teknologi Informasi bagi Strategi dan Kelangsungan Usaha”, Jurnal Akuntansi dan Auditing (JAAI) Vol.3 No.1, FE. UII Yogyakarta. Fenech, T. 1998. “Using Perceived Ease of Use an Perceived Usefulness to Predict Acceptance of the World Wide Web. http://www7.scu.edu.au/programme/ poeters/1839/ com1839.htm. Diakses tanggal 30 September 2009. Gefen, D., dan Straub, DW. 2000. "The Relative Importance of Perceived Kemudahan Penggunaan di IS Adopsi: A Study of E-Commerce Adopsi, Journal of the Association for Information Systems, 1 (8), 1-28. Ghozali, Imam. 2001. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Badan Penerbit Undip. Ginnzberg, M.J. 1981. Early Diagnosis of Implementation Failure: Priopmising Result and Unanswered Questions. Management Sciences. Vol. 17 No. 4. April. Guimaraes, Tor, Sandy D. Staples., dan James D McKeen. 2003. Empirically Testing Some Main-User Related Faktors for Sistem Development Quality. The Quality Management Journal. ABI/INFORM Global. Hal 39-55. Gulo, W. 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Grasindo. Hwang, Y., and Yi, M.Y. “Predicting the Use of Web-Based Information Systems: Intrinsic Motivation and Self-Efficacy”. http://sigs.aisnet.org/SIGHCI/amcis02/ CR/Hwang.pdf Diakses tanggal 10 September 2009. Hair, J.F., Anderson, R.E., Tatham, R.L., & Block, W.C. 1998. “Multivariate Data Analysis (Fifth Edition)”. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice-Hall Inc. Indrajit, Richardus Eko dkk. 2005. e-Government in Action. Yogyakarta: Andi. Inpres RI Nomor 3 tahun 2003. Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan EGovernment. Iqbaria, M. et.al. 1997. “Personal Computing Acceptance Factors in Small Firm: A Structural Equation Modelling”. MIS Quarterly, 21(3). Iqbaria, M., 1994. “An Examination of the Factors Contributing to Micro Computer Technology Acceptance”, Journal of Information System, Elsiever Ecience. Jogiyanto, 2007. Sistem Informasi Keperilakuan, Yogyakarta: Andi Offset. Jones, Gareth R. 2003. Organization Theory. 3rd Edition. Prenctice Hall. New York. Kepmen Komunikasi dan Informasi Nomor 57/Kep/M.Kominfo/12/2003. Panduan Penyusunan Rencana Induk Pengembangan E-Government.
46
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Lee, Y., Kozar K.A., & Larsenm, K.R.T., 2003. “The Technology Acceptance Model: Past, Present, And Future”. Communications of Association For Information System, Volume 12 artikel 50. Malhotra, Y. and Galetta D.F.. “Extending the Technology Acceptance Model to Account for Socail Influence: Theoritical Bases and Empirical Validation”. 1999. http://www.brint.org/technologyacceptance.pdf Marakas, G.M., Yi, M.Y. and Johnson, R.D. 1998. “The Multilevel and Multifaceted Character of Computer Self-Efficacy: Toward Clarification of the Construct and an Integrative Framework for Research”. IS Research (9:2). Milchrahm, Elisabeth. “Modelling the Acceptance of Information Technology”, http://www.inforum.cz/inforum2003/prispevky/milchrahm.elisabeth.pdf Nunnaly, J.C. dan I.H. Bernsten. 1994. Psycometric Theory. McGraww-Hill. 3th.Ed. PIU UK. 2000. Electronic Government Services for the 21st Century. Performance and Innovation Unit. Cabinet Office, UK, London. http://www.cabinetoffice.gov.uk.innovation. Diakses tanggal 13 September 2009. Setiarso, B. 2008. Pengembangan Perpustakaan Digital (DL) di Instansi Pemerintah. http://ilmukomputer.com/2006/10/17/pengembangan-digital-library-di-instansipemerintah/. Diakses tanggal 2 September 2009. Tangke, Natalia. 2004. “Analisa penerimaan Penerapan TABK dengan Menggunakan TAM pada BPK-RI”. http://puslit.petra.ac.id. Diakses tanggal 12 Oktober 2009. The World Bank Group. “A Definition of E-Government”. http://www1.worldbank.org/publicsector/egov/definition.htm. Diakses tanggal 10 Oktober 2009. Zweers K & Planqué K. (2001). Electronic government. From a organizational based perspective towards a client oriented approach. In JEJ Prins JEJ (Ed.) Designing E-Government, Kluwer Law International, 92. http://www.bappenas.go.id. Pentingnya Aplikasi E-Government. Diakses tanggal 1 Oktober 2009. http://www.depkominfo.go.id. Kondisi Situs Web Pemerintah Daerah. Diakses tanggal 15 Oktober 2009.
47
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
EFEKTIVITAS PENGAWASAN ARSIP GUNA MENUNJANG PROSES KELANCARAN KERJA KANTOR Oleh: Lisnini Staf Pengajar Jurusan Administrasi Niaga - Polsri
ABSTRACT Each organization usually uses a piece of paper to record their data. A paper which is contains scripts or pictures that have meaning, then it called by archive. Everyday employees create archives in an organization, day by day the archives accumulated. If the increasing of archives is not controlling, then it will going pile. Thus, people may have difficulty to find it back when needed. If it is happen what will do? Regarding to this issue, a company should learn about the rule of archives systems; valuable; eliminating and removing archives; and the ratio of using and careful. By following these steps, and estimate the ratio of archives, then we can arrange the archives by divided into groups base on valuable, subject, and finally to consider active and inactive of archives. The next step is removing and eliminating of archives. By using this technique we can organize the archives into their cluster, subjects, place it base on their groups, so, people have no trouble and easy to find it back. Keywords: Effective, archives, and office.
PENDAHULUAN Sejak terbentuknya suatu organisasi maka sejak saat itu pulalah dimulainya pencatatan informasi berupa data-data, surat dan lain-lain yang nantinya dapat digunakan sebagai sumber informasi dalam pengambilan keputusan. Setiap organisasi tentunya ingin terus berkembang, maka dengan semakin berkembangnya organisasi tentunya akan semakin banyak dokumen-dokumen yang tercipta. Kegiatan operasional organisasi akan semakin sibuk, sehingga tidak menutup kemungkinan seringkali dikeluarkannya dokumen-dokumen dari tempat penyimpanannya bilamana dokumen-dokumen tersebut diperlukan. Dengan demikian maka perlunya penataan dan pengelolaan dokumen dengan baik dan benar, sehingga dapat memperlancar kegiatan operasional kantor. Dengan semakin menumpuknya dokumen-dokumen maka tidak menutup kemungkinan akan menghambat lalu lintas pelayanan komunikasi melalui dokumen, bahkan tidak jarang masih kita rasakan lambannya pelayanan yang diterima masyarakat pada saat berurusan dengan instansi yang disebabkan salah satunya kurang baiknya penataan dokumen. Masyarakat yang berkepentingan merasakan kebosanan dikarenakan harus menunggu. Bahkan tidak jarang harus mengantri berjam-jam ditambah lagi dengan suasana yang kurang nyaman. Setiap individu menginginkan agar memperoleh pelayanan yang cepat dan memuaskan, karena konon katanya waktu adalah uang. Padahal petugas sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan pekerjaan. Sedangkan para pelanggan sudah berkeluh kesah dengan ketidak sabarannya. Pelayanan yang lamban terhadap masyarakat masih kita temui, dengan demikian apa yang harus kita lakukan. Keadaan tersebut bukan memperlancar pekerjaan kantor, tetapi justru menghambat. Oleh karena itu perlu adanya pengkajian apa faktor
48
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
penyebabnya, tetapi kelambanan tersebut salah satu penyebabnya adalah karena kurang baiknya penataan unsur penunjang kelancaran pelayanan, misalnya penataan kartu, formulir, surat dan sebagainya yang berhubungan dengan pelayanan pelanggan yang ditata sedemikian rupa sehingga mudah dan cepat ditemukan bila diperlukan. (Amsyah, 2003) Arsip merupakan suatu data yang sudah diolah baik secara manual maupun elektronik (komputer) yang menjadi sumber informasi. Pengelolaan tentunya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pengguna, sehingga memudahkan dalam pengambilan keputusan. Sebagai salah satu sumber informasi oleh sebab itu setiap kegiatan arsip baik dalam organisasi pemerintahan maupun swasta perlu mendapat perhatian yang wajar guna memberikan petunjuk kerja yang praktis bagaimana seharusnya arsip-arsip tersebut diterima dan dipergunakan kembali. Seperti yang dimuat dalam Pasal 3 Undang-undang No. 7 Tahun 1971 (Barthos, 1997), antara lain dirumuskan bahwa “tujuan” kearsipan adalah untuk menjamin keselamatan bahan pertanggungjawaban nasional tentang perencanaan, pelaksanaan dan penyelenggaraan kehidupan kebangsaan serta untuk menyediakan bahan pertanggungjawaban tersebut bagi kegiatan pemerintahan. Mengingat pengertian dan peranan kearsipan seperti dikemukakan di atas betapa pentingnya arsip, maka untuk melaksanakan tugas pemerintahan dan tugas pembangunan dengan baik perlu diusahakan peningkatan dan penyempurnaan kearsipan secara optimasi agar dapat berfungsi dengan baik, berdaya guna dan bertepat guna. Penerapan terhadap pengertian kearsipan seperti yang diatur dalam undangundang dibutuhkan suatu kepengurusan arsip dengan baik sejak arsip diciptakan sampai dengan penataan berkas (filing), pengawasan dan pemeliharaan serta penyusutan (pemusnahan). Tanpa didukung dengan manajemen pengelolaan arsip yang baik bukan mustahil arsip-arsip akan menumpuk tanpa terorganisir dengan baik, berantakan, tidak teratur mana yang masih aktif, tidak aktif dan mana yang pasif. Jika kondisi sedemikian rupa, maka akan mengganggu kegiatan operasional organisasi yang bersangkutan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa pelayanan kepada masyarakat (pelayanan eksternal) perlu juga didukung data dan informasi dari arsip. Maka jika informasi dari arsip kurang baik dalam penataannya akan berdampak terhadap pelayanan, baik pelayanan internal maupun eksternal. Menurut Amsyah (2003), secara sederhana dapat diperkirakan bahwa bila arsip dapat ditemukan dalam 1 (satu) menit berarti kecepatan penemuan sudah relatif baik. Dengan demikia identik bahwa pengelolaan arsip (manajemen arsip) baik secara keseluruhan termasuk sistem , peralatan, dan personil. Adapun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana efektivitas pengawasan arsip agar dapat membantu kelancaran kerja, sehingga kegiatan operasional kantor dapat berjalan lancar. Kelancaran tersebut akan berdampak pada lancarnya dalam pemberian informasi yang dibutuhkan. Tanpa disadari arsip sudah tercipta sejak kita dilahirkan, sejak saat itu pula satu persatu arsip untuk setiap individu tercipta. Berawal dari lingkup keluarga secara tidak formal sudah dituntut untuk menata arsip-arsipnya dengan baik dan rapi, karena untuk berinteraksi dilingkungan masyarakat dibutuhkan dokumen-dokumen sebagai bukti pengakuan secara syah dalam bermasyarakat. Demikian pula halnya dalam lingkungan organisasi, lembaga pemerintah maupun swasta dituntut untuk menata dokumendokumennya dengan baik dan rapi sehingga dapat dengan mudah, cepat dan tepat ditemukan. Mengingat pentingnya pengelolaan arsip dengan baik dan benar, maka penulisan artikel bidang kearsipan ini tujuannya adalah untuk memberikan wawasan bagi pembaca betapa pentingnya pengelolaan arsip khususnya bagaimana pengawasan yang efektif.
49
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Disamping itu juga arsip sebagai pusat ingatan sumber informasi, sumber sejarah atau bahkan bukti sejarah dikemudian hari merupakan faktor pula yang tidak mungkin ditinggalkan dalam menunjang kemajuan di bidang administrasi dan manajemen perkantoran. Dengan pengelolaan arsip yang efektif diharapkan dapat meningkatkan dan penyempurnaan bidang kearsipan yang merupakan bagian integral daripada bidang administrasi dan manajemen. Oleh karena itu pula kedua bidang ini tidak bisa dipisahkan dan sangat erat kaitannya, karena dapat dikatakan pula bahwa bila bidang administrasi kacau maka bidang kearsipanpun akan kacau.
TINJAUAN PUSTAKA Istilah arsip atau dalam bahasa Belanda disebut archief, dlam bahasa Inggris disebut archive berasal dari bahasa Yunani, yaitu ”arche” yang berarti permulaan. Kemudian dari kata ”arche” berkembang menjadi kata ”ta archia” yang berarti catatan. Selanjutnya kata ”ta archia” berobah lagi menjadi kata ”archeon” yang berarti ” gedung pemerintahan. (Abubakar, 1996: 8). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan, pasal 1 ayat a dan ayat b menetapkan bahwa yang dimaksud dengan arsip adalah: (Barthos, 1997: 2) 1. Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Lembaga-Lembaga Negara dan Badan-Badan Perintahan dalam bentuk corak apa pun, baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok, dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintahan. 2. Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Badan-Badan Swasta dan atau perorangan, dalam bentuk corak apa pun, baik dalam keadaan tunggal maupun kelompok, dalam rangka pelaksanaan kehidupan kebangsaan. 3. Selain dari pengertian di atas, arsip dapat diartikan pula sebagai suatu badan (agency) yang melakukan segala kegiatan pencatatan penanganan, penyimpanan dan pemeliharaan surat-surat/warkat-warkat yang mempunyai arti penting baik ke dalam maupun ke luar, baik yang menyangkut soal-soal pemerintahan maupun non-pemerintahan, dengan menerapkan kebijaksanaan dan sistem tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada undang-undang tersebut arsip dibedakan menurut fungsinya menjadi dua golongan, yaitu arsip dinamis dan arsip statis. Arsip dinamis adalah arsip yang dipergunakan secara langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, penyelenggaraan kehidupan pada umumnya atau dipergunakan secara langsung dalam penyelenggaraan administrasi negara. Arsip statis adalah arsip yang tidak dipergunakan secara langsung untuk perencanaan, penyelenggaraan kehidupan kebangsaan pada umumnya maupun untuk penyelengaraan sehari-hari administrasi negara. Nilai Guna Arsip Arsip pada dasarnya memiliki nilai guna, ditinjau dari kepentingan pengguna arsip, nilaiguna arsip dapat dibedakan dua bagian yaitu:(Abubakar. 1996: 232) Nilai guna primer Nilai guna primer adalah nilai arsip yang didasarkan pada kegunaan arsip bagi kepentingan lembaga/instansi pencipta arsip. Penentuan nilaiguna primer tidak hanya didasarkan pada kegunaannya dalam menunjang pelaksanaan kegiatan-
50
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
kegiatan yang sedang berlangsung, tetapi juga kegunaannya lembaga/instansi pencipta arsip tersebut di waktu yang akan datang.
bagi
Nilai guna primer meliputi: Nilai guna administrasi (Administrative value), adalah nilai guna arsip yang didasarkan pada kegunaan bagi pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga/instansi pencipta arsip. Arsip yang berisikan hal-hal yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan umumnya mempunyai nilai yang tinggi dan perlu disimpan lebih lama daripada arsip-arsip yang sifatnya hanya untuk menunjang kegiatan rutin seharihari. Nilai guna hukum (Legal value), adalah arsip mempunyai nilai hukum apabila berisikan bukti-bukti yang mempunyai kekuatan hukum atas hak dan kewajiban warganegara dan pemerintah. Nilai guna keuangan (Fiskal value), adalah arsip yang mempunyai nilaiguna keuangan berisikan segala hal-ikhwal yang menyangkut transaksi dan pertanggungjawaban keuangan, misalnya arsip-arsip tentang rencana anggaran belanja, pertanggungjawaban keuangan, pembukuan, laporan keuangan, laporan pemeriksaan keuangan dan lain sebagainya. Nilai guna penelitian (Research value), Adalah arsip yang mempunyai nilaiguna ilmiah dan teknologi mengandung data ilmiah dan teknologi sebagai akibat/hasil penelitian murni atau penelilitian terapan. Maksudnya arsip memiliki informasi yang dapat dipergunakan sebagai bahan penelitian ilmiah, baik untuk kepentingan penelitian dibidang ekonomi, sosiologi, sejarah, silsilah, kedoteran dan lain-lain. Nilai guna pendidikan (Education value), Adalah arsip yang mempunyai nilaiguna dalam penyampaian informasi, sehingga perlu di tata dengan baik dan benar. Dengan demikian mendidik setiap pengelolanya bahwa arsip sebagai benda mati saja perlu dimanaje sedemikian rupa. Nilai guna dokumentasi (documentation value), Adalah arsip yang mempunyai nilaiguna dokumentasi termasuk didalamnya arsip yang mempunyai kegunaan administrasi guna memperlancar operasional organisasi. Nilai guna sekunder Adalah nilai arsip yang didasarkan pada kegunaan arsip bagi kepentingan lembaga/instransi lain dan/atau kepentingan umum di luar lembaga/instansi pencipta arsip dan kegunaannya sebagai bahan bukti dan bahan pertanggungjawaban nasional. Efektivitas Pengawasan Arsip Yang dimaksud dengan efektivitas pengawasan arsip adalah membatasi jumlah arsip yang ada pada setiap bagian (individu). Menurut Amsyah (2003: 207) mengatakan bahwa pada kegiatan pelayanan umum jumlah 0,2 meter kubik per karyawan masih merupakan kewajaran. Penyimpanan arsip yang berlebihan membutuhkan pengeluaran biaya yang besar untuk personil, peralatan, ruangan, dan pemeliharaan. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan efektifitas arsip dengan menggunakan ratio. Ratio-ratio atau angka-angka pembanding lainnya seperti Ratio Pemakaian Arsip untuk memperlihatkan penggunaan arsip yang disimpan.
51
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Analisis Ratio Pemakaian Arsip dapat dibuat dengan perhitungan rata-rata jumlah arsip. Analisis tersebut dapat membantu pengawasan penyimpanan dan pemindahan arsip. Rumusnya adalah: (Amsyah, 2003: 209) Ratio Pemakaian Arsip (dalam persen) =
Pemakaian 100 Jumlah arsip
Ratio lain adalah Ratio Kecermatan yang rumusnya adalah sebagi berikut: Ratio kecermatan (dalam persen) =
Jumlaharsip yang tidak ditemukan 100 Jumlaharsip yang ditemukan
Ratio Kecermatan tidak menghitung waktu penemuan arsip, dan menurut Amsyah (2003: 210) bahwa penemuan arsip yang waktunya tidak melebihi 1 menit berarti kecepatan penemuan sudah relatif bagus. Artinya manajemen arsip atau pengelolaan arsip sudah baik ditinjau secara keseluruhan termasuk sistem, peralatan, dan personil. Pemindahan dan Pemusnahan Semakin tinggi kegiatan suatu kantor, semakin cepat pertambahan jumlah arsip. Untuk mengatasi hal tersebut maka di butuhkan adanya pemindahan dan pemusnahan arsip. Keuntungan pemindahan dan pemusnahan arsip adalah: (Amsyah, 2003: 211) 1. Penghematan penggunaan ruangan kantor. 2. Penghematan pemakaian peralatan dan perlengkapan kearsipan. 3. Tempat arsip yang agak longgar akan memudahkan petugas bekerja dengan arsip.
PEMBAHASAN Kegunaan Arsip Sejak terbentuknya suatu organisasi, maka sejak itu pula arsip mulai tercipta dan kedepan akan terakumulasi yang akibatnya akan menumpuk. Jika hal ini kurang mendapat perhatian yang serius besar kemungkinan akan menjadi salah satu hambatan dalam penyampaian informasi yang berdampak pada target pencapaian tujuan yang tidak sesuai dengan rencana. Mengapa setiap informasi yang diterima organisasi perlu dicatat, apakah memang informasi tersebut perlu dokumentasikan. Aktivitas organisasi sangatlah kompleks, oleh karena itu setiap informasi berupa data penting perlu mendapat perhatian yang serius. Karena berdasarkan data-data tersebut organisasi dapat mengambil langkah apa yang harus diperbuat. Informasi-informasi dapat berupa surat, laporan, gambar, slide film, dan sebagainya. Dalam bentuk-bentuk informasi tersebut yang dijadikan pedoman/dasar bagi organisasi untuk mengambil keputusan. Konsep penanganan arsip seperti nilai guna arsip, penilaian arsip maupun daur hidup arsip sudah ada sejak abad ke XX yang dicetuskan oleh Theodore R. Schellenberg berkebangsaan Amerika. Beliau adalah tokoh kearsipan modern, gagasan-gagasannya masih digunakan sampai sekarang (arsiparis.blogspot.com/2009). Sedang di Indonesia masalah arsip telah diatur dalam undang-undang Nomor 7 tahun 1971 tentang Pokokpokok Kearsipan. Berdasarkan hal tersebut dapat diambil kesimpulan betapa pentingnya pengelolaan arsip, salah satunya karena arsip memiliki nilai guna sehingga perlu dimanaje dengan baik agar dapat dengan mudah dan cepat ditemukan. Ditinjau dari kepentingan penggunaan arsip, maka arsip yang pastinya digunakan untuk kepentingan operasional organisasi (aktivitas sehari-hari). Setiap kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing bagian menindaklanjuti apa yang sudah ada semuanya
52
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
tertuang dalam data-data yang dicatat atau di rekam (berupa gambar atau rekaman suara). Mustahil orang bertindak tanpa ada yang melatar belakanginya, apa yang dilakukannya, mengapa melakukannya. Dalam setiap rangakaian kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu, pada umumnya terdiri dari proses pengerjaan dan proses penyelenggaraan yang meliputi kelembagaan, ketatalaksanaan, kepegawaian, perbekalan, keuangan, dan tata hubungan serta unsur-unsur yang terpadu dalam organisasi. Bidang kegiatan organisasi pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam dua bidang kegiatan (Sedarmayanti, 2005: 3) yaitu bidang substantif yang meliputi bidang tugas pokok atau tugas operasional organisasi. Sedangkan bidang administratif meliputi pelaksanaan tugas operasional. Bidang ini pada umumnya sama untuk setiap organisasi, seperti kepegawaian, keuangan, perbekalan, dan sebagainya. Kegiatan tersebut menunjukkan bahwa arsip memiliki nilai guna primer (untuk kepentingan internal organisasi). Manusia dalam kehidupan saling ketergantungan satu sama lain, saling mengisi, saling membantu dalam mencapai tujuan. Demikian pula dalam organisasi, untuk kegiatan operasional sehari hari yang sifatnya administratif satu bagian dengan bagian lainnya saling keterkaitan. Misalnya karyawan dalam organisasi akan betah bekerja diantaranya jika ia diberi imbalan yang layak, dihargai, mempunyai wewenang dan tanggungjawab yang jelas dan sebagainya. Untuk mewujudkan tersebut tentunya berdasarkan data dan fakta yang akurat, apa bidang kerjanya (bagian), bagaimana kedisiplinannya, bagaimana prestasinya, lamanya bekerja dan sebagainya. Data-data karyawan tersebut dicatat oleh bagian kepegawaian, sedangkan untuk urusan gaji ditangani oleh bagian lain seperti bagaian keuangan. Demikian pula bagian-bagian lain yang saling keterkaitan satu sama lain yang kesemuanya bergerak dari informasi yang dituangkan dalam bentuk catatan-catatan dari masing-masing bagian dalam rangka pencapaian tujuan. Dengan demikian berarti data-data yang berisi informasi baik berupa lembaran dan lain-lainnya perlu dikelola dengan baik sejak diciptakan, digunakan, disimpan, sampai dibutuhkan kembali karena secara adminstratif memiliki nilai guna bagi organisasi. Setiap informasi yang didokumentasikan merupakan fakta setiap kejadian yang telah dilakukan organisasi maupun karyawan. Selama organisasi masih beroperasi akan selalu dihadapkan suatu permasalahan baik yang datang dari dalam organisasi itu sendiri atau dari luar. Solusi permasalah yang dihadapi tidak jarang membutuhkan bukti-bukti tertulis yang diambil dari informasi yang telah didokumentasikan berupa arsip. Atas dasar fakta tertulis tersebut dapat digunakan untuk mengambil keputusan bagi manajemen. Kegiatan operasional organisasi membutuhkan biaya sejak pembelian alat tulis kantor, perabot kantor, pembayaran gaji, transportasi, material untuk kebutuhan produksi dan sebagainya. Dengan demikian berarti terdapat juga berupa bukti pengeluaran seperti cek, kwitansi, daftar gaji, dan faktur yang perlu disimpan karena merupakan data yang menunjukkan berapa jumlah biaya yang sudah dikeluarkan untuk setiap kegiatan atau pengeluaran secara keseluruhan (Neraca Laporan Keuangan). Secara ekonomis hampir semua aktivitas dapat dikatagorikan pengeluaran (biaya), oleh karena itu arsip dapat dikatakan memiliki nilai guna keuangan. Organisasi untuk setiap periode tertentu perlu melakukan analisa dan evaluasi untuk melihat sudah sampai sejauh mana kegiatan yang dilakukan. Apakah kegiatan sudah dilakukan sesuai wewenang dan tanggungjawabnya untuk masing-masing bagian, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai sesuai rencana. Untuk melakukan hal tersebut perlu dilakukan audit atau penelitian yang benar-benar tepat, sehingga memberikan manfaat karena sebagai salah satu masukan dalam pengambilan kebijakan. Dengan
53
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
demikian dibutuhkan data-data (arsip) yang akurat agar hasil penelitian memberikan manfaat bagi organisasi. Akan tetapi ada juga data-data organisasi dibutuhkan pihak eksternal untuk penelitian seperti data-data bersejarah, data keuangan dari Bank Indonesia, data statistik, dan data-data lainnya. Pengelolaan data berupa arsip sejak diciptakan sampai disimpan, dimusnahkan, atau menjadi arsip nasional secara teoritis telah diatur (manajemen kearsipan). Secara kronologis urut-urutannya sudah jelas dan memang perlu di manaje dengan baik, karena arsip yang sudah tidak digunakan lagi bukan berarti langsung dibuang tetapi masih perlu disimpan agar jika sewaktu-waktu dibutuhkan arsip tersebut masih dapat ditemukan. Tetapi bukan berarti arsip tersebut tidak boleh dibuang, apabila sudah ”tidak digunakan lagi” dalam hal ini sudah dihitung berdasarkan angka kecermatan dan sudah termasuk arsip inaktif. Jika kita tinjau dari segi proses penganan arsip yang perlu dimanaje dengan baik, dengan demikian secara tidak langsung mendidik kita bahwa benda mati saja perlu dikelola dengan baik dan benar agar dapat memberikan manfaat yang positif bagi organisasi. Dengan demikian berarti bagaimana dengan yang lain-lain agar dapat juga memberikan manfaat. Dapat dibayangkan jika setiap kegiatan dalam organisasi tidak didokumentasikan maka apa yang akan terjadi. Atas dasar apa akan bertindak karena semua data-data tidak tercatat, jika hanya berdasarkan ingatan maka ada keterbatasan. Jika data-data sudah terakumulasi maka sudah tidak memungkinkan lagi hanya berdasarkan ingatan, oleh karena itu dibutuhkan bukti tertulis. Jadi bukti tertulis berupa lembaran-lembaran kertas atau bentuk lainnya dapat digunakan sebagai dokumentasi bagi organisasi yang sewaktuwaktu dibutuhkan. Disamping data-data digunakan untuk kegiatan operasional organisasi, data-data tersebut dapat juga tidak lagi digunakan tetapi tidak boleh dimusnahkan karena data-data tersebut masih dibutuhkan oleh negara sebagai bukti sejarah. Sehingga data-data tersebut dapat digunakan atau masih bisa digunakan oleh pihak-pihak tertentu misalnya untuk data penelitian dan kepentingan lainnya untuk kehidupan berkebangsaan. Berdasarkan uraian di atas maka jelaslah bahwa arsip memiliki kegunaan yang tidak ternilai manfaatnya baik kegunaan secara internal maupun eksternal. Kelangsungan hidup organisasi akan berjalan lancar dengan tersedianya informasi atau data pendukung yang lengkap dan akurat karena setiap tindakan ada landasannya. Informasi berupa data amat penting bagi kelangsungan organisasi dan berkehidupan kebangsaan, sehingga perlu diatur dalam undang-undang agar jelas kemana dan dimana data-data tersebut harus didapatkan. Efektivitas Pengawasan Arsip Terciptanya arsip sejak berdirinya atau terbentuknya organisasi, pada saat baru berdirinya organisasi tentu dengan segala keterbatasannya. Tetapi relatif banyak organisasi mengalami kemajuan dan bahkan go public. Awal mula berdirinya jumlah arsip masih terbatas, karena kegiatan masih batas lingkup yang kecil. Akan tetapi jika dari yang sedikit tersebut jika berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun maka tidak menutup kemungkinan akan menumpuk karena tidak pernah dimusnahkan atau hilang dan salah meletakkan. Jika kita tinjau kebelakang yaitu sejak pendirian perusahaan sampai penerimaan karyawan sudah tercipta dokumen-dokumen yang nantinya akan diarsip. Penerapan fungsi-fungsi manajemen, seperti planning, organizing, actuating, dan controling pada hakekatnya akan diterapkan guna mewujudkan tujuan organiasi sesuai rencana yang sudah ditetapkan. Upaya pencapaian tujuan tentunya tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi dengan menggerakkan orang lain sehingga akan terlihat bahwa setiap karyawan memiliki
54
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
tugas dan tanggungjawabnya masing-masing dimana mereka mempunyai peran sendirisendiri. Dengan demikian berarti setiap karyawan dalam organisasi sebagai pelaksana menciptakan dokumen-dokumen yang nantinya akan diarsip guna kepentingan kelangsungan organisasi. Dengan terciptanya arsip oleh masing-masing karyawan, maka akan semakin menumpuk jika dihitung secara keseluruhan karena secara tidak langsung jumlah arsip tergantung dari jumlah karyawan. Dapat dibayangkan jika arsip-arsip tersebut tidak pernah dilakukan pemusnahan, maka akan menjadi beban organisasi karena membutuhkan tempat dan biaya pemeliharaan yang baik agar arsip tidak cepat rusak dan terjaga dengan baik. Disamping itu akan terjadi hambatan dalam penemuan kembali jika arsip-arsip tersebut dibutuhkan kembali. Secara teoritis ada batasan jumlah arsip yang layak untuk disimpan oleh seorang karyawan yakni 0,2 m3. Organisasi bisnis sangat berkepentingan dengan jumlah arsip yang perlu ditolerir dalam perkembangan jumlah arsip setiap hari yang luar biasa banyaknya. Jika lebih dari jumlah tersebut, maka akan membutuhkan ruangan tempat penyimpanan, orang yang mengurusnya, peralatan dan biaya pemeliharaan. Kemudian untuk organisasi yang sudah mempergunakan pelayanan komputer, dapat kita hitung berapa besar biaya untuk komputer dan tenaga sumber daya manusianya baik harga komputer itu sendiri. Menurut Barthos (1997: 36) setiap arsip yang disimpan harus dijaga dan dipelihara pada suhu ruangan 650F sampai 750F, kelembaban udara sekitar 500 dan 650 karena dalam waktu dekat arsip akan cepat lapuk jika kelembaban melebihi 65 0. Berdasarkan uraian di atas kita ambil contoh bahwa perkiraan biaya pemeliharaan perlembar arsip sebesar Rp 25,00 per bulan. Misalnya terdapat 5000 lembar arsip dalam satu lemari, jika perlembarnya dibutuhkan biaya sebesar Rp 25,00 maka biaya yang harus dikeluarkan adalah 5000 lembar x Rp 25,00 = Rp 125.000,00. Jika satu lemari tersebut hanya untuk satu bagian unit kerja, sedangkan dalam organisasi ada 5 bagian unit kerja. Maka biaya yang dibutuhkan untuk 5 bagian unit kerja tersebut sebesar Rp 625.000,00 per bulannya. Agar pengawasan lebih efektif dan efisien, maka perlu dilakukan pengurangan terhadap arsip-arsip yang sudah menumpuk sehingga dapat menghemat biaya pemeliharaan. Adapun langkah lain yang dapat dilakukan dalam mengefektifkan pengawasan arsip adalah dengan menghitung ratio pemakaian arsip untuk melihat pengggunaan arsip yang disimpan. Ratio ini dapat dijadikan pembanding yang dapat diketengahkan sebagai langkah untuk mengefektifkan pengawasan arsip agar lebih cepat dan mudah ditemukan. Sebagai contoh, untuk bulan terakhir terdapat penggunaan 300 arsip dari jumlah 30.000 yang tersimpan. Dengan demikian untuk menghitung persentase Ratio Pemakaian adalah 300 x 100 dibagi dengan jumlah arsip yaitu 30.000 sama dengan 1%. Dari perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa dari jumlah 300 arsip dapat dikatakan sudah tidak aktif lagi (arsip inaktif). Menurut Amsyah (2003: 209) dikatakan bahwa arsip inaktif pada umumnya jarang mencapai ratio pemakaian lebih dari 5%, dan arsip aktif biasanya ratio pemakaiannya diantara 15% - 20%. Analisis ratio pemakaian arsip dapat juga dilakukan berdasarkan golongan arsip dan jenis arsip yang sudah ditentukan umur masing-masing arsip. Sehingga dapat mengefektifkan pengawasan untuk setiap jenis arsip. Ratio lain yang dapat dilakukan untuk mengefektifkan pengawasan arsip adalah dengan menggunakan Ratio Kecermatan, yaitu dengan cara menghitung persentase jumlah arsip yang tidak ditemukan dibagi dengan jumlah arsip yang ditemukan. Sebagai contoh untuk 20 arsip yang tidak ditemukan dan 10.000 arsip dapat ditemukan, maka ratio kecermatannya adalah 20 arsip x 100 dibagi 10.000 arsip ratio kecermatannya diperoleh
55
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
sebesar 0,2%. Menurut Amsyah (2003: 209), untuk sistem penyimpanan arsip yang sempurna ratio kecermatan atau angka kecermatan tidak akan lebih dari 0,5%. Untuk ratio kecermatan yang mencapai lebih dari 3%, maka organisasi perlu mengadakan perbaikan pengelolaan arsipnya. Langkah selanjutnya setelah melakukan perhitungan ratio diatas, misalnya menghitung Ratio Pemakaian arsip dapat dilakukan pemisahan terhadap arsip aktif dan inaktif. Kemudian dengan memasukkan kriteria untuk menentukan nilai arsip dengan melihat nilai guna arsip (ALFRED) dapat dilakukan penilaian terhadap setiap jenis arsip agar dapat ditentukan berapa lama jenis arsip bersangkutan seharusnya disimpan di file aktif dan inaktif, serta apakah jenis aktif tersebut kemudian dimusnahkan atau dikirim untuk menjadi arsip statis dan dimasukkan ke arsip nasional. Setelah menghitung ratio-ratio diatas, maka selanjutnya dapat dilakukan pemidahan arsip yang sudah jarang dipergunakan ke dalam file inaktif atau melakukan pemusnahan untuk arsip-arsip yang sudah tidak dipergunakan lagi dalam kegiatan operasional organisasi. Dengan melakukan langkah-langkah tersebut dapat diperkirakan bahwa ada pengurangan untuk arsip yang tersimpan dan jumlah yang tersisa tentunya adalah arsip yang masih aktif. Selanjutnya arsip yang ada tidak menumpuk yang berdampak pada tingginya biaya pemeliharaan, disamping itu juga dengan tingginya frekuensi pemakaian arsip-arsip maka arsip-arsip tersebut akan selalu dalam pengawasan. Suatu hal yang wajar jika biaya yang dikeluarkan peruntukannya adalah untuk arsip-arsip yang aktif. Hasil perhitungan angka kecermatan dapat memberikan petunjuk apakah akan dilakukan perbaikan terhadap pengelolaan arsip. Apabila kenyataannya menunjukkan bahwa memang harus dilakukan perbaikan, maka pembenahan dilakukan sejak surat-surat masuk atau sejak dokumen-dokumen diciptakan kemudian baru dilakuan prosedur penyimpanan. Langkah selanjutnya menentukan sistem apa yang akan dipergunakan tentunya disesuaikan dengan kebutuhan organisasi dan mengatur keluar masuknya arsip karena dipinjam. Apabila sistem yang digunakan sudah sesuai dengan kebutuhan organisasi, dan dalam kegiatan operasional sehari-hari terus dilakukan pemantauan sehingga tidak terjadi penumpukan arsip maka pengawasan terhadap arsip/dokumendokumen akan lebih mudah. Apabila hal ini yang terjadi, maka akan memberikan dampak yang luar biasa bagi organisasi karena dapat menghemat biaya pemeliharaan, penyampaian informasi akan lebih lancar sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih baik lagi dalam hal penyampaian informasi baik untuk kebutuhan internal (administratif) maupun eksternal. Pemindahan dan Pemusnahan Arsip Organisasi seharusnya sudah memiliki pedoman pemindahan dan pemusnahan arsip, sehingga petugas akan lebih mudah melakukan pemindahan karena telah memiliki pedoman. Menurut Amsyah (2003: 211) ada beberape keuntungan dengan adanya pemindhan dan pemusnahan arsip yaitu; Penghematan penggunaan ruangan kantor, penghematan pemakaian peralatan dan perlengkapan kearsipan, dan tempat aesip yang agak longgar akan memudahkan petugas bekerja dengan arsip. Persiapan yang perlu dilakukan sebelum dilakukan pemindahan dan pemusnahan adalah membuat jadwal tertentu yang disebut dengan jadwal retensi. Adapun Jadwal Retensi memuat: a. Golongan arsip, dalam hal ini kita menggolongkan arsip-arsip yang ada berdasarkan tingkat kepentingan arsip itu sendiri. Memisah-misahkan untuk arsip yang sangat penting, penting, berguna, dan tidak berguna. Dengan demikian jelaslah bahwa arsiparsip tersebut ada kelompoknya sendiri-sendiri tidak bercampur aduk. Dengan cara
56
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
menggolong-golongkan berdasarkan kegunagaan arsip memudahkan bagi individu pengelola arsip atau pengguna lainnya untuk mengidentifikasi arsip-arsip, pada saat pencarian mempermudah arsiparis untuk menemukan arsip yang dibutuhkan karena sudah terarah berdasarkan golongan kegunaan. b. Menentukan arsip berdasarkan pokok permasalahan misalnya arsip vital (sangat penting) yaitu arsip statis yang tidak boleh dimusnahkan seperti akte tanah, IMB, surat izin pendirian organisasi atau surat lain yang sejenis yang harus disimpan di Arsip Nasional. Demikian pula untuk golongan arsip penting, berguna dan tidak berguna. Pada bagian ini kita mengelompokkan berdasarkan permasalahan arsip seperti surat, cek, kuitansi, dan lain-lain. Dengan pengelompokan berdasarkan permasalahan tersebut akan terlihat surat-surat ditata lagi dengan berdasarkan masalah. Dengan demikian akan lebih diperjelas lagi pengelompokan berdasarkan permasalahan tersebut. Surat akan dikelola berdasarkan pengelompokan permasalahan yang ada, permasing-masing masalah akan ditangani dengan baik karena terfokus pada satu persatu permasalahan saja dan berdasarkan golongan tingkat kegunaan. c. Tahapan selanjutnya yaitu dengan menentukan umur masing-masing arsip, dengan demikian akan terlihat prihal apa saja yang sering digunakan dan surat-surat berprihal apa saja yang sudah jarang digunakan dan kita dapat menentukan mana yang masih aktif dan mana yang inaktif. Pada tahapan ini dilakukan penyiangan terhadap arsip berdasarkan permasalahan dan golongan arsip, kita melakukan pemindahan arsip, misal dari arsip aktif ke arsip inaktif. Pada tahapan ini juga kita sudah dapat menentukan umur arsip yang akan disimpan, atau ada yang tidak perlu disimpan lagi tetapi setelah digunakan dapat langsung dimusnahkan. Sehingga pada saat arsip dibutuhkan dapat dengan mudah dan cepat ditemukan, dengan adanya pemindahan berarti sudah mengurangi tumpukan arsip pada satu tempat. d. Akhirnya dari berbagai jenis arsip yang dikelompokkan berdasarkan permasalahan tersebut dapat diketahui apakah arsip harus dimusnahkan atau kapan arsip harus disimpan abadi. Uraian di atas dibuat dalam Jadwal Retensi yang sebelumnya dihitung terlebih dahulu Ratio Pemakaian Arsip. Berdasarkan uraian di atas dengan jelas digambarkan bahwa arsip dikelompokkan berdasarkan tingkat kepentingan operasional organisasi. Adanya pemisahan arsip-arsip yang aktif dan inaktif, dan mengetahui umur arsip maka mempermudah pengurangan arsip karena terinci dengan jelas. Jika telah dilakukan penataan dan pengurangan arsip maka pengawasan arsip dapat dilakukan dengan mudah, dan tidak terjadi penumpukan arsip yang bercampur antara aktif dan inaktif. Dengan kondisi yang demikian maka jika arsip dibutuhkan dapat ditemukan dengan mudah dan cepat, secara tidak langsung dapat memperlancar arus penyampaian informasi baik secara internal maupun eksternal. Dengan adanya pengurangan arsip dapat meringankan pekerjaan arsiparis dalam pengawasan terhadap arsip-arsip yang tersedia. Disamping itu juga dapat mengurangi pemakaian peralatan arsip dan biaya pemeliharaanpun dapat dihemat. Terciptanya kondisi demikian maka secara tidak langsung telah dilakukan penghematan dalam penanganan arsip.
KESIMPULAN 1. Setiap kegiatan perlu diabadikan sebagai bukti tercatat pada masing-masing peristiwa. Dokumen-dokumen penting dalam organisasi perlu diarsip dan dijaga, sehingga sumber-sumber informasi tidak hilang dan dapat digunakan pada saat
57
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
2.
3.
4.
dibutuhkan baik dimanfaatkan bagi kepentingan internal maupun eksternal organisasi. Dokumen yang sudah/akan diarsip perlu dipantau sejak diciptakan, penyimpanan, dan pemeliharaan. Dokumen-dokumen tersebut bukan hanya sekedar disimpan saja tetapi sebaiknya dilakukan penghitungan Ratio Pemakaian Arsip, sehingga dapat dilakukan pemusnahan agar tidak terjadi penumpukan yang dampaknya akan menimbulkan biaya dan kelambanan dalam penemuan kembali bila sewaktu-waktu dibutuhkan, serta efektifitas pengawasan. Organisasi perlu juga menghitung Ratio Kecermatan, karena dengan penghitungan angka kecermatan dapat diketahui apakah sistem penyimpanan arsip sudah baik atau tidak. Pengelolaan arsip yang sesuai prosedur dapat mempermudah dalam pengawasan dan pemeliharaan, mempercepat penemuan kembali jika sewaktu-waktu dibutuhkan dan secara tidak langsung memberikan dampak pada pelayanan.
DAFTAR PUSTAKA Abubakar, Hadi, Drs. 1996. Pola Kearsipan Modern. Djambatan. Jakarta. Amsyah, Zulkifli. 2003. Manajemen Kearsipan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Barthos, Basir, Drs. 1997. Manajemen Kearsipan. Bumi Aksara. Jakarta. Manulang, M. Drs. 2008. Dasar-Dasar Manajemen. Gajah Mada University Prss. UGM. Yogyakarta. Sedarmayanti, Hj. Prof. DR. M.Pd. 2005. Tugas dan Pengembangan Sekretaris. Mandar Maju. Bandung
58
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
PERANAN PERSONAL SELLING DALAM MENCAPAI TARGET PENJUALAN PADA PT. ASTRA HONDA MOTOR CABANG PLAJU PALEMBANG (Studi Kasus: Agen Motor Honda Cabang Plaju) Oleh: Yusnizal Firdaus Staf Pengajar Jurusan Administrasi Niaga - Polsri
ABSTRACT The role of personal selling in an effort to achieve the target sales at PT Astra Honda Motor Branch Plaju Palembang. purpose of this report is to identify how personal selling to its activities in the sales process to achieve the sales target.The data were collected through interviews, observation and research libraries. then, they were analyzed with the use of marketing theory and calculation of forecast sales target by basu swatha (1999), Boediono (2001) and the result is a personal selling activities in the sales process and to achieve the target company. the results show that personal selling can not achieve the sales target, because the determination of the target that is not rational, so that personal selling has not been able to achieve the target give to company. in addition, it often happens obstacles such as impact salesman also affect inter-personal selling in achieving sales targets. From the problems above, it is suggested that companies can reduce sales target by looking at the sales data of the previous year to fit the facts on the ground, and the intervention should be the company to complete the barriers that exist. Keywords : Marketing, Target, Salesman, Personal Selling
PENDAHULUAN Latar Belakang Seiring dengan perkembangan ilmu penetahuan dan teknologi, perusahaanperusahaan yang bergerak dibidang otomotif berusaha untuk menciptakan kerndaraankendaraan bermotor yang semakin baik dan dilakukan secara terus-menerus yang ditujukan untuk memnuhi kebutuhan konsumen akan kendaraan bermotor yang lebih efisien, baik dalam hal penggunaan maupun pemeliharaan. Konsekuensi dari semakin majunya industri otomotif adalah jumlah kendaraan bermotor yang makin bertambah dipasaran dengan berbagai jumlah kendaraan bermotor yang makin bertambah dipasaran dengan berbagai kelebihan yang ditawarkan kepada konsumen. Dalam hal ini proses pemasaran sangat diperlukan untuk menyalurkan barang- barang dari produsen sampai ke tangan konsumen. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam proses penjualan barang dan jasa dari produsen ke konsumen adalah melalui peran aktif bagian pemasaran, khususnya tenaga penjual yang dimiliki oleh perusahaan. Tenaga penjualan yang baik sangat penting bagi keberhsilan di dalam penjualan produk suatu perusahaan. Tenaga penjual tersebut selain membantu dalam pemasaran, mereka juga bertugas sebagai promosi penjualan dengan memberikan informasi mengenai manfaat produk yang ditawarkan kepada konsumen dan melakukan tindak lanjut atas pertanyaan konsumen. Personal selling merupakan aktifitas dari tenaga penjual (Basu Swastha,Manajemen Penjualan, Edisi Ketiga). Personal selling merupakan komunikasi langsung atau tatap muka antar penjual dengn calon pelanggan untuk memperkenalkan produknya kepada calon pelanggan serta membantu pemahaman
59
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
pelanggan terhadap produk yang ditawarkan agar menarik minat pembeli untuk membeli produk tersebut. Dengan kontak langsung ini diharapkan akan terjadi hubungan yang positif antara penjual dan calon konsumen. Kontak langsung ini akan dapat membantu mempengaruhi konsumen secara terus-menerus, karena dalam hal ini para penjual dapat mengetahui keinginan dan selera konsumen serta gaya hidupnya dan dengan demikian maka para penjual dapat menyesuaikan cara pendekatan dengan konsumen tersebut, pada akhirnya konsumen percaya akan barang dan jasa yang ditawarkan. PT. Astra Honda Motor cabang Plaju bergerak dibidang jual beli kendaraan bermotor dengan merek Honda. Perusahaan ini memiliki 15 orang tenaga salesmen dari 25 orang karyawan. Target penjualan yang dibebankan kepada setiap salesman minimal 15 unit motor per bulan. Dalam menjalankan aktvitasnya sebagai penyalur perusahaan ini mengalami kesulitan-kesulitan yaitu angka penjualan atau target yang dibebankan kepada konsumen banyak yang tidak mencapai target penjualan, mulai dari sales junior, sales, dan sales senior. Target penjualan yang di bebankan kepada sales mengalami ketidak stabilan. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi tenaga salesman dalam melakukan aktivitas personal selling. Salah satunya, sering terjadinya benturan-benturan konsumen yang di hadapi oleh para salesman dan sales counter, atau juga lambatnya manajemen dalam menghadapi keinginan konsumen.
PERUMUSAN MASALAH PT. Astra Honda Motor Plaju Palembang adalah sebagai penyalur kendaraan bermotor dengan merk Honda untuk daerah pemasaran wilayah Sumatera Selatan, perusahaan tersebut tentunya menginginkan agar produk yang mereka pasarkan laku dijual. Sehingga target penjualan dapat dicapai. Untuk itu diperlukan suatu cara agar produk dikenal oleh konsumen sehingga dapat menciptakan permintaan atas produk tersebut. Dari uraian tersebut, maka data diidentifikasi beberapa permasalahan yang dihadapi oleh PT. Astra Honda Motor cabang Plaju Palembang adalah: 1. Sering terjadinya benturan antar salesman yang dikarenakan penempatan wilayah kerja yang sama sehingga membuat kejenuhan pada salesman 2. Lambatnya kinerja manajemen dalam pengadaan barang yang membuat konsumen sulit mempercayai salesman, hal ini membuat turunnya motivasi kerja para salesman Tujuan a. Untuk mengetahui aktivitas dan manfaat kegiatan personal selling dalam rangka penjualan sepeda motor merk Honda oleh PT. Astra Honda Motor Plaju Palembang. b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi oleh PT.Astra Honda Motor dalam penjualan produknya. c. Untuk mengetahui usaha perusahaan dalam memperkenalkan produknya. Manfaat Bagi penulis sendiri merupakan penerapaan ilmu praktis yang ada pada penulis yang akan diberikan kepada perusahaan sebagai masukan guna pengembangan serta membuka wawasan pagi salesman maupun peningkatan volume penjualan bagi perusahaan.
60
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
TINJAUAN PUSTAKA Pemasaran merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan yang berfungsi sebagai penghubung antara produsen dan konsumen. Sedangkan semua perusahaan berusaha memproduksi dan memasarkan produk dan jasa untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Dengan adanya pemasaran memungkinkan proses tukar-menukar barang dan jasa berjalan lebih lancar lagi seiring dengan perkembangan zaman. Pemasaran itu sendiri sebenarnya dilakukan baik sebelum maupun sesudah pertukaran, pemasaran merupakan hasil interaksi dari banyak kegiatan. Kegiatan pemasaran itu diciptakan oleh pembeli dan penjual, dalam hal ini pembeli berusaha memenuhi kebutuhannya, sedangkan penjual mendapatkan laba, kedua pihak ini mengadakan pertukaran yang mengutungkan, hal ini sesuai dengan definisi pemasaran yang dikemukakan oleh Kotler: “Pemasaran adalah kegiatan manusia yang diarahkan pada usaha untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan melalui proses pertukaran”. Menurut Stanton dalam Kotler (1991:10) pengertian pemasaran adalah sebagai berikut: “Pemasaran adalah suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang dirancang, untuk merencanakan, menentukan harga, promosi, dan mendistribusikan barang-barang yang dapat memuaskan keinginan dan mencapai pasar sasaran serta tujuan perusahaan”. Dari definisi yang diberikan para ahli dia atas, dapat dilihat bahwa pemasaran bukan hanya menjual dan mendistribusikan barang dan jasa saja, namun tanpa ada unsurunsur aktivitas lain yang mendukung maka pemasaran tersebut tidak akan dapat berjalan dengan baik. Pemasaran merupakan suatu proses pertukaran yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan konsumen melalui perencanaan, penentuan harga, promosi dan pendistribusian barang dan jasa. Dan transaksi antara produsen dengan konsumen dengan mendapatkan kepuasan dari kedua belah pihak. Pengertian Promotional Mix dan Variabel-variabelnya “Promotional Mix adalah kombinasi strategi yang paling baik dari variabelvariabel periklanan, Personal Selling, dan alat promosi yang lain, yang kesemuanya direncanakan tujuan program penjualan”. Adapun variabel-variabel yang terdapat dalam Promotional Mix (Saladin,1994:135) adalah sebagai berikut: 1. Penjualan tatap muka (Personal selling) 2. Periklanan (Advertising) 3. Promosi Penjualan (Sales Promotion) 4. Publisitas (Publicity) 5. Hubungan Masyarakat (Public Relation) Faktor-fakrtor yang mempengaruhi Promotional Mix menurut Swastha (2002:355) 1. Dana yang digunakan untuk promosi 2. Sifat pasar, Beberapa sifat pasar yang mempengaruhi promotional mix meliputi: a. Luas pasar secara geografis b. Konsentrasi pasar. c. Macam pembeli. d. Jenis produk e. Tahap-tahap dalam siklus kehidupan barang Pengertian dan Fungsi Personal selling Tujuan seluruh usaha pemasaran pada umumnya adalah meningkatkan penjualan yang dapat menghasilkan laba dengan menawarkan kebutuhan yang memuaskan kepada pasar dalam jangka panjang. Menurut Tjiptono (1997:224) Pengertian Personal selling adalah: “Personal selling adalah Komunikasi langsung (tatap muka) antara penjual
61
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
dancalon pelanggan untuk memperkenalkan suatu produk kepada calon pelanggan dan membentuk pemahaman pelanggan terhadap produk sehingga mereka kemudian akan mencoba membelinya”. Jadi dari definisi diatas jelas bahwa personal selling merupakan cara penjualan tatap muka meliputi hubungan yang hidup, langsung serta interaktif antara dua orang atau lebih. Salah satu fungsi utama dari personal selling adalah melakukan penjualan dengan bertemu muka, seorang penjual dari sebuah perusahaan langsung menemui konsumen untuk menawarkan produknya. Sedangkan fungsi penting lainnya (Swatha, 1999:261) adalah : (1) Mengadakan analisa pasar, (2) Menentukan calon pembeli,(3) Mengadakan komunikasi,(4) Memberi pelayanan, (5) Memajukan langganan, (6) Mempertahankan langganan, (7) Medefinisikan masalah, (8) Mengatasi masalah, (9) Mengatur waktu, (10) Mengalokasikan sumber-sumber, (11) Meningkatkan kemampuan diri Kriteria dan Sifat Personal selling Seperti yang telah kita ketahui Personal selling adalah komunikasi langsung (tatap muka) antara lain penjual dan pembeli untuk memperkenalkan suatu produk kepada pembeli sehingga akan membentu pemahaman pembeli, terhadap produk tersebut, dan kemudian akan mencoba membelinya. Untuk itulah suatu perusahaan juga harus mencoba dan membelinya dan menentukan sifat-sifat dari personal selling yang akan dilakukan. Sifat-sifat personal selling menurut Tjiptono (1997:202) antara lain: 1. Personal Confrontation (Konfrontasi pribadi) 2. Cultivation (Pemeliharaan Hubungan) 3. Response (Tanggapan) Berbagai usaha dilakukan oleh tenaga Personal selling dalam mencapai tujuan perusahaan, salah satu caranya dengan jalan membujuk konsumen melalui usaha-usaha yang meyakinkan. Menurut Saladin (1994:152) usaha-usaha tersebut terdiri dari: 1. Menunjukkan kelebihan produk 2. Mendominasikan cara-cara penggunaan produk 3. Memeberikan jawaban-jawaban dan tanggapan-tanggapan atau keberatan pelanggan terhadap produk tersebut. 4. Mengorganisasikan dan melaksanakan bentuk-bentuk promosi penjualan yang cocok. 5. Menjadwalkan waktu-waktu penjualan yang memuaskan kepada pembeli. 6. Memberikan jaminan penjualan yang jitu menghadapi persaingan.
PROSES PENJUALAN Menurut Swastha (1998:410) ada lima tahapan dalam melakukan kegiatan penjualan yakni: (1). Persiapan sebelum penjualan, (2). Penentuan lokasi pembeli potensial, (3). Pendekatan pendahuluan, (4). Melakukan Penjualan, (5). Pelayanan sesudah penjualan.
Penentuan Lokasi Pembali Potensial Dengan menggunakan data pembeli yang lalu maupun sekarang, penjual dapat menentukan karakteristiknya, misalnya lokasi, oleh karena itu, pada tahap kedua ini dapatlah dibuat sebuah daftar tentang orang-orang atau perusahaan yang secara logis merupakan pembeli potensial dari produk yang ditawarkan. dari konsumen yang ada dapat pula ditentukan konsumen manakah yang sudah menggunakan produk-produk saingan.
62
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Pendekatan Pendahuluan Sebelum melakukan penjualan, penjual harus mempelajari semua masalah tentang individu atau perusahaan yang dapat diharapkan sebagai pembelinya. selain itu, perlu juga mengetahui tentang produk atau merk apa yang sedang mereka gunakan dan bagaimana reaksinya. berbagai macam informasi perlu dikumpulkan untuk mendukung penawaran produknya kepada pembeli, misalnya tentang kebiasaan membeli, kesukaan, dan sebagainya. semua kegiatan ini dilakukan sebagai pendekatan pendahuluan terhadap pasarnya. Melakukan Penjualan Penjualan yang dilakukan bermula dari suatu usaha unutk memikat perhatian calon konsumen, kemudian diusahakan untuk mengetahui daya tarik mereka. Dan akhirnya penjualan melakukan penjualan produknya kepada pembeli. Pelayanan Sesudah Penjualan Dalam tahap terakhir ini penjual harus berusaha mengatasi berbagai macam keluhan atau tanggapan yang kurang baik dari pembeli. pelayanan lain yang juga perlu diberikan sesudah penjualan adalah memberikan jaminan kepada pembeli bahwa keputusan yang diambilnya tepat. barang yang dibelinya betul-betul bermanfaat , dan hasil kerja produk tersebut memuaskan. Pengertian Target dan Volume Penjualan Setiap perusahaan pada umumnya mempunyai tujuan yaitu ingin mencapai target penjualan dan laba tertentu (mungkin maksimal), dan mempertahankan atau meningkatkannya untuk jangka waktu yang lama. Tercapai atau tidaknya target penjualan dilihat dari volume penjualan yang diperoleh. Pengertian Target Penjualan Menurut Swastha (1999:404), “Target penjualan adalah jumlah barang atau jasa yang harus terjual yang telah ditetapkan sebelumnya oleh perusahaan”. Menurut Sutoyo (1995:59), “Target penjualan adalah jumlah atau batasan penjualan yang telah ditentukan perusahaan untuk dicapai”. Pengertian Volume Penjualan Menurut Anogra (1997:523), “Volume penjualan adalah jumlah penjualan yang ingin dicapai oleh suatu perusahaan dalam jangka waktu tertentu”. Pengertian motivasi kerja Menurut Maslow (2002:153) Motivasi merupakan motif intern yang menyebabkan orang berperilaku seperti yang mereka lakukan. Adapun hierarki kebutuhan menurut Maslow yaitu: kebutuhan akan perwujudan diri, Perwujudan Diri, Kebutuhan Harga Diri, Kebutuhan Sosial, Kebutuhan Perlindungan dan Kebutuhan Fisiologi. Aktivitas Personal selling Tenaga Penjual sangatlah berperan penting dalam mencapai target penjualan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. PT. Astra Honda Motor Cabang Plaju mempunyai tenaga penjual sebanyak 15 orang dari 25 orang karyawan yang dimiliki. Dari 15 orang salesmen terbagi menjadi empat golongan yakni, 5 orang sebagai junior, 5 orang sales tetap, 3 orang sales senior, dan 2 orang sales counter. Target yang dibebankan pun berbeda-beda mulai dari junior atau sales kontrak dibebankan harus mampu menjual
63
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
dalam satu bulan yakni sebanyak 15 unit, kemudian sales tetap dibebankan sebanyak 20 unit perbulan nya, dan sales senior dibebankan sebanyak 25 unit, sedangkan untuk sales counter sebanyak 35 unit perbulannya. Dalam pencapaian target tidak semua sales mampu melampaui target yang dibebankan, dan satu bulan hanya 5-8 sales yang mampu melampaui target yang ditetapkan oleh perusahaan, bahkan terkadang beberapa sales tidak dapat mencapai target sampai 3 bulan berturut-turut. Bidang Usaha dan Produk PT. Astra Honda Motor Cabang Plaju Palembang bergerak di bidang usaha penjualan kendaraan bermotor khususnya roda dua, ada 15 jenis motor yang ditawarkan yaitu dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel. Type dan Harga Motor Type Fit X Revo D Revo CW Supra XD Supra X CW Supra X PGM F1 Vario D Vario CW Beat Mega Pro D Mega Pro CW Tiger D Tiger CW Blade
Merk Honda Harga (Rp.) 14.150.000,12.200.000,13.500.000,14.750.000,15.750.000,16.852.000,13.750.000,15.250.000,12.800.000,19.750.000,20.900.000,21.150.000,23.750.000,25.150.000,-
Target dan Realisasi Penjualan Target yang ditetapkan oleh perusahaan kepada sales berbeda-beda menurut tingkatan sales itu sendiri yaitu: (a) Junior : 15 Unit, (b) Sales : 20 Unit,(c) Sales Senior : 25 Unit,(d) Sales Counter : 35 Unit.
ANALISA Aktivitas Personal selling Pekerjaan sebagai salesman atau tenaga penjual banyak di pandang sebelah mata oleh masyarakat luas, padahal salesman merupakan kunci utama dari kegiatan penjualan, mulai dari memperkenalkan produk baru ataupun lama hingga membuat calon kunsumen menjadi konsumen. dalam kegiatan personal selling setiap salesman harus mampu menarik calon konsumen menjadi konsumen, dengan memiliki kemampuan yang ada di dalam diri salesman dan kemampuan dalam mengenal produk, salesman dipercaya untuk memenuhi setiap target yang diberikan perusahaan hal ini untuk menunjang kegiatan penjualan dalam setiap bulan bahkan setiap tahun, sehingga mampu meningkatkan penjualan perushaan. Peran aktif bagian pemasaran khususnya tenaga penjual yang dimiliki perusahaan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan dalam proses penjualan barang ke konsumen. Tenaga penjualan yang baik sangat penting bagi keberhasilan di dalam penjualan produk suatu perusahaan. tenaga penjual tersebut selain
64
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
membantu dalam pemasaran, mereka juga bertugas sebagai promosi penjualan dengan memberikan informasi mengenai manfaat produk yang dipasarkan oleh perusahaan. Personal selling merupakan komunikasi langsung atau tatap muka antar penjual dengan calon pelanggan untuk memperkenalkan prosuknya kepada calon pelanggan serta membantu pemahaman pelanggan terhadap produk yang ditawarkan agar menarik minat pembeli untuk membeli produk tersebut, dengan kontak langsung ini diharapkan akan terjadi hubungan yang positif antara penjual dan calon konsumen. kontak langsung ini akan dapat membantu mempengaruhi konsumen secara terus-menerus, karena dalam hal ini para penjual dapat mengetahui dan selera konsumen serta gaya hidupnya dan dengan demikian para penjual dapat menyesuaikan cara pendekatan dengan konsumen tersebut, pada akhirnya konsumen percaya akan barang dan jasa yang ditawarkan. Lima tahapan penjualan yakni:
Persiapan Sebelum Penjualan Tahap pertama dalam proses personal selling adalah mengadakan persiapanpersiapan sebelum melakukan penjualan. di sini, ada dua jenis persiapan yang harus dilakukan, yakni persiapan diri sendiri dan persiapan pengenalan produk. Persiapan diri sendiri dapat dilakukan dalam lima tahapan yaitu pertama, Penampilan yang menarik,rapi dan meyakinkan calon konsumen, kedua memiliki Sikap atau kepribadian yang sopan santun, tidak menyinggung orang lain, bertutur kata yang mudah dimengerti, ketiga Kelengkapan pengetahuan tentang produk yang ditawarkan sehingga mampu menjelaskan secara terperinci sehingga mampu menjawab pertanyaan yang mungkin timbul dari calon konsumen, keempat Pengetahuan tentang calon konsumen (prospect) yang dikunjungi, mulai dari keinginan dan kebutuhan calon konsumen serata mengetahui kemampuan calon pembeli untuk membeli produk yang ditawarkan, kelima yaitu Pemilihan waktu kunjungan yang tepat, sehingga tidak menyiakan waktu yang ada tanpa hasil diperoleh. Pada PT Astra Honda Motor selain mempersiapkan diri dengan berpenampilan yang menarik, salesman juga menentukan tempat yang akan dituju, kemudian mempersiapkan brosur produk untuk memperkenalkan produk yang ada agar mempermudah saat melakukan presentasi. Penentuan Lokasi Pembeli Potensial Dengan menggunakan data pembeli yang lalu maupun sekarang, penjual dapat menentukan karakteristiknya, misalnya lokasi, oleh karena itu, pada tahap kedua ini salesman telah memiliki data calon konsumen yang berpotensi ataupun data lama yang telah di dapatkan oleh salesman, dengan melihat pesaingan yang ada. 10 langkah dalam menentukan pembeli potensial yakni: (1). Keluarga & handai taulan,(2). Perkumpulan sosial,(3). Pelanggan produk,(4). Buku petunjuk telepon dan pariwisata,(5). Klub profesional dan pengusaha,(6). Asosiasi perusahaan sejenis,(7). Pameran dagang,(8). Surat kabar lokal,(9). Izin usaha,(10). Iklan usaha bisnis. Pendekatan Pendahuluan Tahap ini menjadi langkah awal yang menentukan keberhasilan pada tahap selanjutnya, sebelum menghadapi calon pembeli, maka perlu diadakan pendekatan yang baik untuk bisa diterima oleh konsumen, seperti datang langsung dengan menyampaikan kartu nama, menyampaikan referensi dari pembeli sebelumnya atau relasi lain atau dating dengan disertai relasi yang telah dikenal calon pembeli.
65
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Melakukan Penjualan Penjualan yang dilakukan bermula dari suatu usaha unutk memikat perhatian calon konsumen, kemudian diusahakan untuk mengetahui daya tarik mereka. dan akhirnya penjualan melakukan penjualan produknya kepada pembeli. Dua cara untuk melakukan penjualan yakni: (1) Presentasi, (2) Demonstrasi Pelayanan Sesudah Penjualan Dalam tahap terakhir ini penjual harus berusaha mengatasi berbagai macam keluhan atau tanggapan yang kurang baik dari pembeli. pelayanan lain yang juga perlu diberikan sesudah penjualan adalah memberikan jaminan kepada pembeli bahwa keputusan yang diambilnya tepat. barang yang dibelinya betul-betul bermanfaat , dan hasil kerja produk tersebut memuaskan. Berdasarkan hasil pengolahan data tersebut, untuk pernyataan melakukan persiapan terlebih dahulu sebelum melakukan penjualan terdapat 100% menyatakan melakukan persiapan terlebih dahulu, hal ini memang harus dilakukan agar salesman dapat dengan mudah menjelaskan produk yang akan ditawarkan. sehingga mampu mempengaruhi calon konsumen. Pernyataan penentuan lokasi penjualan yang ditentukan oleh perusahaan seluruh responden menyatakan bahwa tidak adanya ketentuan yang diberikan perusahaan dalam penempatan lokasi penjualan, hal ini di perkuat dengan pernyataan bahwa salesman menentukan sendiri lokasi penjualan karena 100% salesman menyatakan dalam pemilihan lokasi penjualan salesman menentukan sendiri lokasi penjualan. Terdapat 75% responden yang menyatakan melakukan pendekatan terlebih dahulu kepada calon konsumen sebelum melakukan kegiatan penjualan, hal ini untuk mempermudah proses memperkenalkan produk kepada calon konsumen. Sedangkan, 25% responden menyatakan tidak melakukan pendekatan sebelum melakukan kegiatan penjualan, penyebabnya banyak konsumen yang telah mengetahui produk yang ditawarkan dan calon konsumen langsung membeli tanpa ada pendekatan terlebih dahulu. Layanan Purna Jual di berikan seluruh salesman kepada konsumen hal ini untuk mengikat konsumen dan memberikan pelayanan lebih setelah melakukan penjualan seperti: Service gratis, pemberian garansi. Sebelum melaksanakan kunjungan sebaiknya salesman mengetahui fungsinya dalam memasarkan produk perusahaan yakni: 1. Mengadakan analisa pasar, Salesman yang dimiliki perusahaan selalu berada didekat para konsumen beserta lingkungan yang mempengaruhi kebutuhan dan selera konsumen. 2. Menentukan calon pembeli, Personal selling menentukan sendiri calon pembeli yang akan dikunjungi tanpa ada campur tangan perusahaan jadi salesman harus memiliki database calon pembeli yang akan di kunjungi, calon pembeli dapat di dapatkan dari relasi ataupun pada saat promosi atau pameran. 3. Mengadakan komunikasi, Mengajak calon pembeli berbincang-bincang dengan ramaha sehingga pada saat perbincangan personal selling dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh calon pembeli.
66
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
4. Memberi pelayanan, Service gratis dan pemberian garansi kepada seluruh konsumen diberikan langsung dari salesman. Dengan pemberian pelayanan dapat mengikat pembeli dan menjadi referensi calon pembeli lainnya. 5. Memajukan langganan, Salesman mengajukan apa yang dibutuhkan oleh konsumen seperti dalam pengadaan Nomor Polisi, dan surat-surat izin kendaraan yang harus dimiliki oleh konsumen, sehingga saleman harus bertanggung jawab dalama hal itu. 6. Mempertahankan langganan, Mempertahankan dengan cara selalu aktif bersilahturahmi kepada konsumen karena dengan cara itu personal selling akan mendapatkan referensi calon pembeli. 7. Mendefinisikan masalah, Mengetahui dan apa saja yang menjadi kendala oleh konsumen, seperti harga, cara pemakaian, jangka waktu service, sehingga salesman mengetahui apa yang menjadi kendala para konsumen.. 8. Mengatasi masalah, Setelah mengetahui permasalahan yang dihadapi konsumen maka salesman harus dapat mengatasi atau ikut membantu memcahkan masalah tersebut salah satu nya dengan cara konsultasi dan lainnya. 9. Mengatur waktu, a. Waktu Non Produktif, Waktu non produktif adalah waktu yang relatif dan cenderung tidak mendatangkan hasil apapun. Waktu tersebut digunakan selama perjalanan, menunggu, istirahat dan makan siang. b. Waktu Produktif, Waktu produktif merupakan kegiatan pokok dari salesman yang diharapkan mendapatkan suatu hasil. Sehingga tidak membuang waktu yang sia-sia 10. Mengalokasikan sumber-sumber, Dapat memberikan masukan kepada manajemen untuk membuka pasar baru yang potensial, sehingga mempermudah manajemen dalam melakukan dan membuka pasar baru. 11. Meningkatkan kemampuan diri, Salesman mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh konsumen, untuk mengasah kemampuan yang telah ada dan lebih memupuk kepercayaan diri salesman. Dari sebelas fungsi utama yang harus dijalani personal selling pada PT Astra Honda Motor cabang Plaju Palembang, hanya lima fungsi yang baru dilakukan yaitu, Menentukan calon pembeli hal ini dikarenakan salesman harus menentukan sendiri calon pembeli yang akan dikunjungin tanpa adanya referensi perusahaan. Mengadakan komunikasi dengan calon konsumen hal ini selalu dilakukan sebelum memperkenalkan produk. Memberi pelayanan kepada konsumen dengan memberikan service gratis dan garansi yang diberikan salesman dan perusahaan. Memajukan Langganan, dengan cara bmempersiapkan semua keperluan yang dibutuhkan pelanggan seperti surat-surat kepemilikan kendaraan bermotor. Meningkatkan kepercayaan diri melalui mengikuti training yang diadakan oleh perusahaan sehingga dapat menimbulkan kepercayaan diri dan termotivasi untuk terus maju. Dari lima fungsi yang dilakukan menimbulkan hasil yang baik namun kurang optimal hal ini dapat terlihat salesman mampu menjual produk walaupun tidak mencapai target sebesar 100%. Sebaiknya salesman melakukan kesebelas fungsi utama yang ada agar dapat mencapai target yang dibebankan perusahaan, kesebelas fungsi tersebut bermanfaat agar salesman mudah menjalankan proses penjualan, dari uraian diatas salesman dapat melakukan kesebelas fungsi personal selling sebelum melakukan proses penjualan. Hambatan-hambatan yang Dihadapi oleh Salesman Dalam melakukan kegiatan penjualan sering sekali terdapat hambatan-hambatan
67
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
yang dapat menyebabkan proses penjualan tidak berjalan lancar hal ini dapat membuat calon konsumen tidak tertarik dan tidak dapat melajutkan proses penjualan hingga tahap terakhir. Hambatan-hambatan yang sering dihadapi oleh salesman yaitu: 1. Benturan Antar Sales seperti antar sales counter dan sales marketing, yang terjadi adalah konsumen yang telah di prospek oleh sales marketing mendatangi langsung dealer sehingga calon konsumen tersebut melakukan transaksi dengan sales counter yang berada di dealer tanpat sepengetahuan ataupun pemberitahuan kepada sales marketing. Hal ini dapat dihindarkan dengan cara selalu berkomunikasi yang baik antar sales counter dan sales marketing, atau dengan cara menanyakan kepada calon konsumen apakah telah bertemu dengan sales marketing sebelumnya dan menginformasikan kepada sales marketing yang bersangkutan. Kemudian jika konsumen telah bertemu dengan sales marketing sebelumnya maka sales marketing tersebut berhak atas konsumen tersebut, selain itu sales counter harus dapat membedakan antara konsumen sales marketing dengan konsumen untuk sales counter, dengan begitu benturan antar sale marketing dan sales counter tidak akan terjadi. 2. Lambatnya kerja Manajemen dalam pengadaan barang, pengadaan barang baru sampai ke tangan konsumen 3 sampai 5 hari, hal ini dikarenakan jarak gudang yang jauh dan lambatnya proses penurunan barang di gudang. Keterlambatan tersebut membuat konsumen menunggu lama dan sehingga menimbulkan ketidak percayaan kepada salesman yang menangani hal tersebut. Hal ini dapat dihindari dengan membuat kebijkan dari manajeman itu sendiri, atau melakukan perjanjian lebih dahulu kepada konsumen agar tidak bosan menunggu, dan melakukan komunikasi kepada pihak gudang untuk lebih cepat menangani proses pengadaan barang. 3. Kurangnya Motivasi Kerja yang membuat salesman tidak bersemangat dalam melakukan aktivitas penjualan yang dikarenakan tidak adanya motivasi dari perusahaan. Dari hasil kuesioner terbuka penyebab turunnya motivasi kerja yang di alami salesman yaitu tidak adanya pelatihan atau motivasi yang diadakan oleh perusahaan . Dari lima kebutuhan yang dibutuhkan saleman pada perusahaan PT Astra Honda Motor cabang PLAJU Palembang belum terpenuhinya adalahkebutuhan harga diri karma turunnya motivasi kerja yang diakibatkan tidak adanya pelatihanpelatihan atau pemberian training dari perusahaan, empat macam kebutuhan yang telah dipenuhi perusahaan adalah, Kebutuhan Fisiologis yaitu pemberian gaji pokok kepada salesman, Kebutuhan Perlindungan yaitu pemberian asuransi jiwa, Kebutuhan Sosial adanya penghargaan yang diberikan perushaan dan diakui di lingkungan kerja, kemudian perwujudan diri yaitu adanya pemberian bonus jika salesman melampaui target penjualan. Dengan pemberian motivasi seperti training pembekalan produk atau motivasi kiat-kiat sukses dapat di adakan perusahaan agar salesman termotivasi dan bersemangat. 4. Kejenuhan-kejenuhan yang di alami oleh salesman karena sering mengalami hambatan-hambatan yang sama dan berulang-ulang, dan tidak adanya campur tangan manajemen untuk menyelesaikan permasalah yang timbul. Hal ini dapat dihindari dengan memperbaiki sistem yang ada dan saling berkomunikasi antar salesman ke manajemen, apabila hambatan tersebut timbul sebaiknya dihindari dengan saling berkomunikasi satu dengan lainnya. Kemudian adanya campur tangan dari perusahaan untuk menyelesaikan hambatan yang sering dihadapi dengan cara membuat kebijakan atas hambatan-hambatan yang sering terjadi sehingga tidak dapat terulang lagi.
68
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Target yang Diberikan Perusahaan dan Realisasinya Personal selling harus memenuhi target yang telah ditetapkan oleh perusahaan, hal tersebut untuk mencapai tujuan perusahaan. Setiap personal selling dibebankan target sesuai dengan ketentuan perusahaan, pada PT Astra Honda Motor cabang Plaju Palembang, target yang diberikan dari perusahaan dirasakan terlalu berat dan menjadi beban personal selling. Menurut Basu Swastha (1999:404), “Target penjualan adalah jumlah barang atau jasa yang harus terjual yang telah ditetapkan sebelumnya oleh perusahaan”, berdasarkan hasil pengolahan data karyawan, (a) pernyataan karyawan yang merasa terbebani oleh target yang diberikan oleh perusahaan sebesar 98%, dan (b) yang tidak terbebani hanya 2% dari karyawan yang ada. Sebanyak 98% responden merasa terbebani dengan pemberian target yang diberikan perusahaan hal ini dikarenakan terlalu besarnya target yang diberikan kepada setiap salesman Yakni: Target yang dibebankan untuk junior atau sales kontrak dibebankan harus mampu menjual dalam satu bulan yakni sebanyak 15 unit, kemudian sales tetap dibebankan sebanyak 20 unit perbulan nya, dan sales senior dibebankan sebanyak 25 unit, sedangkan untuk sales counter sebanyak 35 unit perbulannya. Dari data-data yang diperoleh banyak personal selling tidak dapat mencapai target yang diberikan oleh perusahaan, target yang diberikan di anggap membebani personal selling, dari data tersebut dapat dihutng ramalan penjualan 3 tahun yang akan dating, jika perusahaan menginkan pencapaian target sebesar 100% maka perusahaan dapat menurunkan jumlah target yang dibebankan berdasarkan ramalan yang telah diperoleh 3 tahun yang akan dating, sebagai berikut: Tabel, Ramalan Target Penjualan 3 Tahun Mendatang Tahun Target Penjualan (Y) Kode (X) XY 2006 2022 -1 -2022 2007 2087 0 0 2008 2074 1 2074 Jumlah 6183 52 Sumber : Hasil olahan b
= ∑ XY / X2 = 52 / 2 = 26
a
X2 1 0 1 2
=∑Y/n = 6183 / 3 = 2061
Dengan demikian diperoleh persamaan regresi linier nya sebagai berikut: tahun mendatang, dengan tahun dasar 2007, maka: Tahun 2009; 2009-2007 =2 1 Y = 2.061 + 26 X = 2.061 + 26 ( 2 ) = 2.061 + 52 Y1 = 2.113 Jadi target ramalan penjualan motor pada tahun 2009, adalah 2.113 unit, dan persentase target penjualan untuk tahun 2009 adalah sebagai berikut: Y1
= Target penjualan 2009 x 100 % Target Perusahaan = 2.113 x 100%
69
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Tahun 2010,
3.000 = 70.43 % 2010-2007
=3
Y1 = 2.061 + 26 ( 3 ) = 2.061 + 78 = 2.139 Y1 = Target penjualan 2010 x 100 % Target Perusahaan = 2.139 x 100% 3.000 = 71.3 % Jadi ramalan penjualan untuk tahun 2010, sebesar 2.139 unit, dengan prosentase target penjualan sebesar 71.3% Tahun 2011,
2011-2007
=4
Y1 = 2.061 + 26 ( 4 ) = 2.061 + 104 = 2.165 Y1 = Target penjualan 2011 x 100 % Target Perusahaan = 2.165 x 100% 3.000 = 72.2 % Dari data penjualan tahun 2006-2008 dapat dihitung persentase target yang telah tercapai dari 3000 unit per tahun yakni tahun 2006 mencapai 67,4%, 2007 mencapai 69,57%, 2008 mencapai 69,13. Dari hasil persentase tersebut dapat terlihat pencapaian target belum baik dan optimal karna belum memenuhi 100%. dari ramalan target penjualan di atas dapat kembali diketahui persentase sebaiknya ditetapkan oleh perusahaan sesuai dengan ramalan yang ada dari target perusahaan sebesar 3000 unit per tahun maka dapat diketahui persentase target yang dapat dicapai yakni utuk tahun 2009 sebesar70.43%, 2010 sebesar 71.3%, sedangkan 2011 sebesar 72,17. terlihat dari hasil persentase diatas bahwa tidak rasionalnya penetapan target dari perusahaan karena tidak melihat data-data sebelumnya yang telah ada, maka dari itu jika perusahaan menginginkan pencapaian target secara optimal maka perusahaan harus menurunkan penetapan target sesuai dengan data tahun sebelumnya. Secara personal perusahaan juga harus menyesuaikan target dengan kemampuan personal selling dapat diambil contoh pada ramalan tahun 2009 target yang tercapai sebesar 2165 unit atau 72,17% dari target perusahaan yakni : Untuk menyesuaikan dengan kemampuan personal selling perusahaan harus menurunkan 27,83% dari target sebelumnya. Misalnya, untuk sales kontrak target yang dibebankan sebesar 180 unit per tahun jika diturunkan 27,83% maka target yang di bebankan selama satu tahun sebesar 150 unit per salesman, sales tetap target yang dibebankan pertahun sebesar 240 unit maka menjadi 173 unit pertahun untuk setiap salesman, sedangkan untuk sales senior sebesar 300 maka dapat diturunkan sebesar 217 per tahun untuk setiap konsumen. Jadi sebaiknya jika perusahaan menginginkan pencapaian target yang optimal maka perusahaan harus menurunkan target sebelumnya
70
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
dengan melihat data-data tahun sebelumnya, karena selama ini penetapan target tidak rasional karena tidak melihat data yang telah ada.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan seperti diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan yaitu sebagai berikut: 1. Benturan antar sales counter dan sales marketing dalam menangani konsumen yang mengakibatkan turunnya motivasi kerja. 2. Lambatnya kinerja manajemen dalam pengadaan barang yang membuat konsumen dapat membatalkan pesanan kepada salesman. 3. Aktivitas yang di lakukan salesman dalam proses penjualan sudah berjalan dengan baik hanya saja belum optimal. 4. Hambatan-hambatan yang sering terjadi saat melakukan proses penjualan yang selalu terjadi tanpa ada penyelesaian. 5. Pencapaian target dan realisasi yang belum tercapai oleh salesman. 6. Tidak adanya kebijakan perusahaan dalam penentuan lokasi penjualan dan kurangnya motivasi kerja salesman. DAFTAR PUSTAKA Anas, Sudiyono. 2007. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Boediono. 2001. Pengantar Statistik 1. Jakarta: Erlangga. Kotler, Philip. 2002. Manajeman Pemasaran. Jilid 2. Jakarta: Index. Pabundu, Tika. 2006. Metode Riset Bisnis. Jakarta: Gramedia. Saladin, Djasalim. 1994. Pengantar Manajeman Pemasaran. Jakarta: Grafindo. Siwono, Sutoyo. 1995. Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta: Gramedia. Supranto, M.A.J. 2003. Metode Riset. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Swarha, Basu 1999. Manajeman Pemasaran Modern. Yogyakarta: Liberty. Swatha, Basu, 2002. Pengantar Bisnis Modern. Yogyakarta: Liberty. Tjiptono, Fandy. 1997. Azas-Azas Manajeman Pemasaran. Jakarta: Erlangga
71
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
VARIABEL –VARIABEL YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PEMBELIAN AYAM OLEH PEDAGANG AYAM POTONG DI KOTA PALEMBANG Oleh: Hendra Sastrawinata & H. Suhairi Hazizma Staf Pengajar Jurusan Administrasi Niaga - Polsri
ABSTRACT The biggest broilers market in South Sumatera is located in Palembang because its population contributes 20% of the total population in South Sumatera. Concerning to the role of poulterers as the media between consumers and producers in broilers business is big, so it is necessary to carry out a research to know; a) whether the variables of price, product, distribution and service influence the poulteres’ decision in buying the broilers; b) which variables are dominantly influence the poulteres’ decision in buying the broilers. The reach the objectives, it is used hypothesis test of the analyses method (F Test and T Test) to the function of doubled linear formed. The results show that the variables of price, product, distribution and service influence together with the poulteres’ decision in buying the broilers significantly with the assurance level 95%. Whereas, the most dominant variable which influences in buying the broilers by poulteres is product variable of the health and the average weight of each life-broiler. Based on the research, it is suggested to the brolier farmers to maintain the cleanness of cage because it influence the health of broilers and to collect the broilers in time so the weight will be suitable to the consumers’ need. Meanwhile, to the poulterers, it is suggested to keep the main consideration in buying the broilers that is the quality of the broilers in order to increase the profit Keywords: Broilers, Product, Price, Distribution, Service
PENDAHULUAN Tujuan pembangunan sektor peternakan di Sumatera Selatan pada dasarnya adalah meningkatkan kesejahteraan peternakan melalui peningkatan pendapatan; peningkatan produksi ternak untuk memenuhi kebutuhan kosumsi masyarakat; peningkatan kualitas pangan dan gizi masyarakat melalui diversifikasi produk bahan pangan hewani; mengembangkan agribisnis peternakan; perluasan kesempatan kerja dan berusaha; serta optimalisasi sumber daya alam untuk memperoleh manfaat sebesarbesarnya bagi peningkatan produksi ternak dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hidup (Dinas Peternakan Sumatera Selatan, 2009). Salah satu indikator pencapaian tujuan pembangunan sektor peternakan di Sumatera Selatan tersebut dicerminkan dalam perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor peternakan. Menurut data BPS Sumsel 2009, PDRB sektor peternakan selama tiga tahun terakhir cenderung mengalami penurunan seiring dengan penurunan total PDRB, tetapi sebaliknya sektor pertanian mengalami peningkatan yang cukup berarti. Pada tahun 2006, PDRB sektor peternakan dan total PDRB, masingmasing sebesar RP. 214,69 miliar dan RP. 13,52 triliun, kemudian menurun pada tahun 2008, masing-masing menjadi sebesar Rp. 208,76 miliar dan Rp 13,05 triliun atau terjadi penurunan rata-rata per tahun, masing-masing sebesar 1,19 persen dan 1,54 persen. .
72
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Tabel 1.1, Perkembangan dan kontribusi PDRB Sektor Peternakan Terhadap PDRB Sektor Pertanian dan Total PDRB Sumatera Selatan Periode 2006 – 2008 (dalam juta) No Uraian 2006 2007 2008 Pert. (%/th) 1 PDRB peternakan 214.691 225.812 208.764 - 1,19 2 PDRB pertanian 2.579.819 2.632.715 2.742.215 3,11 3 Total PDRB 13.521.163 14.176.629 13.053.689 - 1.54 4 Kontribusi PDRB peternakan terhadap - PDRB pert. (%) 8,32 8,59 7,61 -0,36 - Total PDRB (%) 1,59 1,59 1,59 0,0 Sumber: BPS Sumsel (2009) Pada tabel 1.1 Penurunan kinerja sektor peternakan tersebut, terutama disebabkan harga sebagian penunjang sektor tersebut, seperti pakan dan obat-obatan mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Penurunan kinerja sektor peternakan tersebut, ternyata tidak terjadi pada komoditas ayam potong (broiler) karena populasi ayam potong dan permintaan dagingnya selama periode 2006 – 2008 mengalami peningkatan yang cukup berarti. Hal ini mengingat daging ayam merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat untuk memenuhi bebutuhan protein hewani yang harganya relatif terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Data-datanya dapat dilihat di bawah ini. Tabel 1.2, Perkembangan Populasi dan Produksi Daging Ayam Potong (Broiler) di Sumatera Selatan, Periode 2006 – 2008 Tahun Populasi (ekor) Produksi Daging (Ton) 2006 1.119.651 14.555 2007 1.218.038 15.834 2008 1.319.381 17.416 Pert/Tahun (%) 8,56 9,39 Sumber: BPS Sumsel (2010) Kondisi permintaan ayam potong di pasar Palembang cenderung meningkat terutama terjadi pada saat hari raya keagamaan seperti idul fitri, idul adha serta natal dan tahun baru, sedangkan permintaan dsaging pada hari-hari biasa cenderung stabil. Untuk memenuhi kebutuhan pasar Palembang tersebut, supply ayam potong dipasok oleh peternak yang berada di kotamadya Palembang, dan daerah lainnya disekitarnya, seperti kabupaten Musi Banyuasin, kabupaten Banyuasin, kabupaten Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir serta Prabumulih. Untuk menyampaikan produk ayam potong tersebut dari titik produsen (peternak) ke konsumen akhir (rumah trangga), diperlukan peranan pedagang ayam sebagai perantara untuk menghubungkan keduanya. Pedagang perantara dapat berperan secara optimal tergantung kepada tingkat keuntungan yang diperoleh dibanding dengan pengorbanan yang dikeluarkan, karena tingkat keuntungan merupkan daya tarik atau insentif pedagang untuk terus menerus menjalankan usahanya. Dalam usaha perdagangan ayam potong, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan pedagang adalah faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang dominan, antara lain adalah permintaan daging ayam yang terus-menerus, tingkat harga pasar yang menarik, situasi persaingan yang berjalan secara sehat, tingkat harga barang substitusi yang masih kompetitif dan kemudahan memperoleh fasilitas, termasuk permodalan dan perijinan. Sementara itu faktor internal
73
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
yang dominan, antara lain tingkat kemampuan menjalankan usaha, tingkat permodalan, tempat usaha yang strategis dan penerapan manajemen pembelian yang efektif dan efisien. Menurut hasil survey lapangan beberapa pedagang ayam potong di pasar Lemabang, Palembang (2010) menunjukkan bahwa kemajuan usaha dari pedagang, antara lain sangat ditentukan oleh kemampuan pedagang dalam menerapkan manajemen pembelian yang efektif dan efisien, sebagai bagian untuk memenangkan persaingan di pasar yang cukup kompetitif. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian ayam potong oleh pedagang adalah harga beli, kondisi produk, distribusi pembelian dan tingkat pelayanan dari pemasok. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor dominan yang mana yang mempengaruhi keputusan pembelian oleh pedagang ayam potong. Perumusan Masalah Permasalahan yang akan diteliti adalah 1. Apakah variabel-variabel berupa harga, produk, distribusi dan pelayanan secara bersama-sama mempunyai pengaruh kepada keputusan pembelian ayam oleh pedagang ayam? 2. Dari keempat variabel (harga, produk, distribusi dan tingkat pelayanan), variabel mana yang dominan berpengaruh terhadap keputusan pembelian oleh pedagang ayam potong? Landasan Teori Tujuan didirikannya lembaga bisnis, termasuk usaha perdagangan adalah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, laba perusahaan, nilai perusahaan, deviden untuk pemegang saham dan kesejahteraan karyawan. (Coulter Mary K, 2006). Tingkat keuntungan usaha perdagangan juga dipengaruhi oleh adanya jiwa entrepreneurship dari para pengelolanya untuk membaca, menangkap dan mengimplementasikan peluang bisnis yang tersedia (Abeng, Tanri, 2007). Sementara itu tinggi rendahnya penjualan, antara lain tergantung pada kemampuan usaha perdagangan dalam menjual barang melalui penerapan konsep pemasaran modern (Brigham, Eugene, F, 2007). Pemasaran merupakan salah satu dari kegiatan-kegiatan pokok yang dilakukan oleh perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hudupnya, untuk berkembang dan mendapatkan laba. Menurut Basu Swastha (2004) pemasaran adalah satu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendisribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial. Sementara itu menurut Kotler (2005), bauran pemasaran merupakan seperangkat alat-alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk mencapai tujuan pemasaran, dimana alat pemasaran tersebut dikenal dengan istilah 4 P yaitu: product, price, place dan promotion. Kombinasi antara alat-alat pemasaran tersebut tidak bersifat konstan untuk jangka waktu yang panjang, melainkan berubah-ubah sesuai dengan perubahan yang terjadi di pasar atau faktor-faktor eksternal (teknologi, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Dalam kasus pembelian ayam oleh pedagang dari produsen, penerapan konsep bauran pemasaran tersebut (marketing mix) maupun faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian produk dapat disederhanakan menjadi: tingkat harga beli, kuantitas dan kualitas produk yang dibeli, sistem distribusi dari produsen sampai ke pedagang dan tingkat pelayanan untuk pemasok. Sementara itu indikator yang diperhatikan pedagang dalam kegiatan pembelian ayam adalah jumlah pembelian, nilai pembelian, dan frekwensi pembelian. Adapun gambaran yang lebih rinci dari faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian atau bauran pemasaran tersebut adalah sebagai berikut:
74
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Harga Beli Menurut Basu Swastha dan Irawan (2004) harga adalah jumlah uang yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari produk dan pelayanannya. Dalam kasus penentuan harga antara pemasuk dengan pedagang ayam, didalam faktor harga juga termasuk kebujaksanaan discount (potongan harga) dan kemudahan dalam cara pembayarannya. Penerapan kebijaksanaan potongan harga biasanya terjadi pada saat peternak memiliki produksi yang tinggi dan harga pasar pada saat itu juga tinggi sehingga untuk meningkatkan omzet penjualan peternak lekakukan kebijakan potongan harga. Selain potongan harga, peternak juga melakukan kemudahan lainnya yaitu cara pembayaran yang dapat diangsur untuk menjaga kesinambungan pelanggan. Produk Yang Dibeli Pengertian produk menurut Kotler (2003) adalah “Product is anything that can be offered to a market for attention, acquisition, use or consumption that might satisfy awant or need”. Menurut Boyd dan Walker (2000), “Product is anything that satisfies a want or need in term of use, consumption or acquisition”. Selanjutnya Basu Swastha (2004), produk adalah sifat yang kompleks baik dapat diraba, termasuk warna, harga, prestise perusahaan dan pengecer yang diterima pembeli untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan konsumen. Dalam kasus produk ayam yang dijual pemasok kepada pedagang ayam potong, spesifikasi produknya meliputi tingkat kesehatan ayam dan berat rata-rata ayam hidup. Spesifikasi produk tersebut semakin mendekati keinginan konsumen maka produk ayam hidup tersebut semakin baik. Oleh karena itu, para pemasok ayam hidup sangat memperhatikan faktor-faktor tersebut untuk menjaga kesinambungan hubungan bisnis dengan para pedagang ayam potong. Distribusi Menurut Basu Swastha (2004) lokasi atau tempat dimana produk atau jasa ditawarkan atau diberikan dan kemudahan pencapaiannya (accessibility) adalah faktor yang penting dalam memasarkan produk. Accessibility disini tidak berarti fisik saja seperti lokasi, tetapi juga cara berkomunikasi dan kontak (hubungan) dengan penerima produk. Termasuk dalam hal ini adalah jenis saluran distribusi yang dipakai dan peliputannya. Dalam kasus perdagangan ayam, penyaluran produk tersebut pada umumnya bersifat langsung dan sistem penjualan langsung, sehingga penentuan lokasi yang strategis sangat penting. Dengan demikian, faktor yang penting diperhatikan pedagang dalam kegiatan distribusi adalah cara pengambilan ayam, kemudalah mengangkut dan kontinuitas pasokan Tingkat Pelayanan Pelayanan yang optimal ditujukan untuk memuaskan pelanggan. Menurut Kotler (2003), kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk dan harapan-harapannya. Dari definisi tersebut, kepuasan merupakan fungsi dari kesan kinerja dan harapan. Jika kinerja berada di bawah harapan, pelanggan tidak puas, Jika kinerja memenuhi harapan, pelanggan puas, sedangkan jika kinerja melebihi harapan, pelanggan amat puas atau senang. Dalam kasus perdagangan ayam potong, faktor-faktor yang diperhatikan pedagang terhadap pemasok adalah kecepatan menangkap ayam hidup dari
75
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
peternak, kecepatan menimbang dan kecepetan mengangkut ayam hidup yang telah ditimbang ke kendaraan angkutan.
KERANGKA KONSEPTUAL Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan tersebut dapat disusun kerangka konseptual penelitian, seperti terlihat pada gambar 2 di bawah ini: Gambar 1, Kerangka Konseptual Penelitian
Pada gambar 2 terlihat bahwa indikator yang digunakan untuk mengetahui keputusan pembelian ayam oleh pedagang (Y) adalah jumlah pembelian, nilai pembelian dan frekuensi pembelian tersebut dipengaruhi oleh empat faktor yaitu harga (X1), produk (X2), distribusi (X3) dan pelayanan (X4). Harga dapat diketahui dengan indikator harga beli ayam, potongan harga dan cara pembayaran. Produk dapat diketahui dengan indikator kualitas ayam dan berat rata-rata ayam. Distribusi dapat diketahui dengan indikatot kemudahan mengangkut dan kontinuitas pasokan. Sementara itu pelayanan dapat duketahui dengan indikator kecepatan menangkap, kecepatan menimbang dan kecepatan mengangkut. Hipotesa Penelitian Berdasarkan kerangka konseptual di atas maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini, khususnya yang terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian dan pengaruhnya terhadap kondisi usaha pedagang adalah sebagai berikut: a. Diduga bahwa variabel-variabel berupa harga, produk, distribusi dan pelayanan secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap keputusan pembelian ayam oleh pedagang ayam potong. b. Diduga terdapat minimal empat variabel (harga, produk, distribusi dan pelayanan) yang secara sendiri-sendiri mempunyai pengaruh yang dominan terhadap keputusan pembelian ayam oleh pedagang ayam potong.
76
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah para pedanang ayam potong yang berada di kotamadya palembang. Pedagang ayam potong tersebar di babarapa lokasi di kotamadya palembang, antara lain pasar cinde, pasar lemabang, pasar palimo, pasar plaju, pasar 16 ilir dan beberapa pasar tradisional lainnya. Jumlah pedagang ayam potong tersebut tidak diketahui secara pasti dan tersebar tidak merata. Berdasarkan hasil pengamatan, jumlah pedagang yang ada di pasar Lemabang dan pasar 16 Ilir cukup dominan dan dapat dijadikan sampel penelitian. Adapun jumlah sampel yang diambil sebanyak 30 pedagang ayam potong yang berasal dari pasar Lemabang dan pasar 16 Ilir. Sementara itu, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah secara purposive yaitu memilih pedagang ayam sebagai sampel yang mempunyai hubungan langsung dengan peternak ayam. Variabel Penelitian Keputusan Pembelian Ayam (Y) Indikator-indikator yang digunakan untuk mengetahui keputusan pembelian ayam adalah: 1. Jumlah ayam yang dibeli (Y1) 2. Nilai pembelian ayam (Y2) 3. Frekuensi pembelian (Y3) Setiap indikator akan dijabarkan dalam satu pertanyaan yang digunakan untuk mengukur keputusan pembelian, dimana pengukuran menggunakan skala likert yaitu ragu-ragu(0); sangat tidak setuju (1); tidak setuju (2); setuju (3); sangat tidak setuju (4). Setelah itu skor item dijimlahkan dan dibagi dengan jumlah pertanyaan untuk mendapatlkan skor rata-rata bagi variabel keputusan pemnelian (Y). Untuk mendapatkan nilai total dari variabel keputusan pembelian dicari dengan menghitung rata-rata skor indikator yang akan digunakan sebagai alat ukur. Y1 +Y2 +Y3 Y = ------------------------3 Y = Skor tingkat pembelian ayam oleh pedagang Y1, Y2, Y3 = Skor Indikator Harga beli (X1) Indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur variabel harga beli adalah: 1. Tingkat harga beli (X1.1) 2. Potongan harga (X1.2) 3. Cara Pembayaran (X1,3) Setiap indikator akan dijabarkan dengan teknik yang sama seperti diatas dengan menggunakan skala likert. Untuk mendapatkan nilai total dari harga beli dicari dengan menghitung rata-rata skor indikator yang akan digunakan sebagai alat ukur.
X1 =
X1.1 + X1.2 + X1.3 ------------------------------3
X1 X1.1, X1.2, X1.3
= =
Skor harga beli Skor Indikator
77
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Produk (X2) Indikator yang digunakan untuk mengukur variabel produk adalah: 1. Kualitas ayam (X2.1) 2. Berat rata-rata ayam hidup per ekor (X2.2) Setiap indikator dijabarkan dengan teknik yang sama seperti di atas dengan menggunakan skala likert. Nilai total dari variabel produk didapat dengan cara: X2.1 + X2.2 ----------------------2
X2 =
X2 X2.1, X2.2
= Skor harga beli = Skor indikator
Distribusi (X3) Indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur variabel distribusi adalah: 1. Kemudahan mengangkut (X3.1) 2. Kontinuitas pasokan (X3.2) Setiap indikator dijabarkan dengan teknik yang sama seperti di atas dengan menggunakan skala likert. Nilai total dari variabel distribusi didapat dengan cara: X3.1 + X3.2 X3 = ----------------------2 X3 X3.1, X3.2
= Skor harga beli = Skor indikator
Tingkat Pelayanan (X4) Indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur variabel distribusi adalah: 1. Kecepatan menangkap (X4.1) 2. Kecepatan menimbang (X4.2) 3. Kecepatan mengangkut (X4.3) Setiap indikator dijabarkan dengan teknik yang sama seperti di atas dengan menggunakan skala likert. Nilai total dari variabel tingkat pelayanan didapat dengan cara: X4.1 + X4.2 + X4.3 X4 = -----------------------------3 X4 X4.1, X4.2, X4.3
= Skor harga beli = Skor indikator
Teknik Analisa Data. Setelah data terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kuantitatif dan penjelasannya dengan metode kualitatif. Tahapan analisis adalah mengumpulkan data mentah yang diperlukan; melakukan editing data yang sudah
78
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
terkumpul; melakukan koding data yang sudah diedit; membuat tabulasi dan mengadakan analisis data. Selanjutnya sebelum koefisien regresi yang diperoleh dipergunakan untuk menarik kesimpulan sebagai pembuktian hipotesis maka terlebih dahulu dilakukan uji mengenai keberartiannya. Menurut Sudjana (1998) bahwa pengujian yang akan dilakukan untuk membuktikan kebenaran hipotesis 1 diperlukan analisa linear berganda dengan uji F. Pengambilan keputusan dilakukan dengan cara melihat nilai probabilitas (significance F) dari fungsi linear berganda (R square). Apabila significance F < 0,05 maka parameter fungsi linear berganda (R Square) signifikan pada selang kepercayaan sebesar 95 persen atau sebaliknya. Data yang digunakan di dalam penyusunan regresi linear berganda tersebut ada;lah rata-rata total score untuk masing-masing variabel, kemudian diolah dengan program Excel. Regresi linear berganda yang diperoleh tersebut dapat dikatakan berarti apabila uji F menunjukkan tingkat signifikan. Adapun fungsi linear berganda yang akan diuji adalah: Y = a + bX1 + cX2 + dX3 + eX4; e Dimana:
Y X1 X2 X3 X4 E
= = = = = =
Keputusan pembelian Harga Produk Distribusi Pelayanan error term
Sementara itu untuk membuktikan kebenaran hipotesis II digunakat uji t, yaitu untuk menguji keberartian koefisien regresi parsial. Pengambilan keputusan dilakukan dengan cara melihat nilai probabilitas (P-value) dari masing-masing parameter regresi. Apabila P-value < 0.05 maka parameter regresi linear berganda signifikan pada selang kepercayaan sebesar 95 persen atau sebaliknya.
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN Regresi Linear Berganda Dengan menggunakan metode ordinary least square (OLS) dari program aplikasi excel diperoleh hasil regresi linear berganda seperti terlihat di bawah ini. Tabel, Summary Output Regresi antara Pembelian (Y) dengan Harga (X1) Produk (X2), Distribusi (X3) dan Pelayanan (X4) Regression Statistics Multiple R 0.75458 R Square 0.5694 Adjusted R Square 0.5005 Standard Error 0.34329 Observations 30 ANOVA df Regression Residual Total
4 25 29
SS 3.89590648 2.94624019 6.84214667
MS 0.973977 0.11785
F 8.264872
Significance F 0.000216455
79
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Coeff Intercept X1 X2 X3 X4
0.5206 -0.0861 0.38156 0.30828 0.21446
Stand.Er 1.16135866 0.14184606 0.1616047 0.25893094 0.22459161
T Start
P-Value
0.44827 -0.606783 2.361065 1.190594 0.954901
Lower 95%
0.657819 0.549466 0.026327 0.244996 0.348771
-1.871258545 -0.378207035 0.048728376 -0.22499628 -0248091894
Upper 95% 2.912464 0.2060674 0.7143901 0.8415595 0.6770176
Parameter-parameter di atas kemudian diformulasikan menjadi fungsi linear berganda yaitu sebagai berikut: Y = 0.5206 – 0,0861X1 + 0,3816 X2 + 0.3083X3 + 0,2145 X4; R square = 0,5694 Standard Error = 0,3433 Dimana: Y = Keputusan pembelian ayam oleh pedagangg X1 = Harga beli ayam oleh pedagang X2 = Produk X3 = Distribusi X4 = Pelayanan a = Konstanta Hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel X1, X2, X3, dan X4 secara bersamasama dapat menjelaskan variasi pembelian ayam oleh pedagang (Y) sebesar 56,94 persen, dengan tingkat kesalahan sebesar 0,3433. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat variabel lain yang mempengaruhi keputusan pembelian ayam oleh pedagang, dimana variabel tersebut diwakili dalam perhitungan standard error atau jumlah sampelnya yang masih sedikit. Persamaan regresi linear berganda tersebut memiliki konstanta (intercept) sebesar 0,5206 dengan tingkat kesalahan sebesar 1,1614. Hal ini berarti apapun kondisi yang terjadi pada harga, produk, distribusi dan pelayanan dari peternak maka pedagang ayam tetap melakukan pembelian ayam rai peternak karena usaha perdagangan ayam bagi pedagang merupakan usaha pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pengujian Hipotesis Uji Serentak (Uji F) Pengambilan keputusan terhadap uji hipotesa dilakukan dengan melihat nilai significance F (nilai probabilitas). Apabila significance F leih rendah dari 5 persen untuk tingkat kesalahan sebesar 5 persen atau selang kepercayaan 95% maka variabel yang diuji tersebut menunjukkan hubungan yang signifikan atau sebaliknya. Berdasarkan output komputer terlihat bahwa nilai significance F sebesar 0,00022 adalah lebih kecil dari 0,05 yang berarti Hi diterima atao Ho ditolak. Hal ini berarti X1, X2, X3 dan X4 secara bersama-sama mempengaruhi pembelian atau keputusan pembelian ayam oleh pedagang pada tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Uji Parsial (Uji t) Pengambilan keputusan terhadap uji hipotesa dilakukan dengan melihat nilai Pvalue (nilai probabilitas). Apabila V-value lebih rendah dari 5 persen untuk tingkat kesalahan sebasar 5 persen atau selang kepercayaan 95 persen maka variabel yang diuji 80
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
tersebut menunjukkan hubungan yang signifikan atau sebaliknya. Adapun nilai V-value dari masing-masing variabel yang diuji dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
No 1 2 3 4 5
P-Value dari Parameter a,b,c,d dan e dari Fungsi Linear Berganda Parameter P Value Perbandingan Keterangan Dengan 0,05 Intercept (a) 0,6578 P-value > 0,05 Tidak signifikan Parameter X1 (b) 0,5495 P-value > 0,05 Tidak signifikan Parameter X2 (c) 0,0263 P-value < 0,05 Signifikan Parameter X3 (d) 0,2450 P-value > 0.05 Tidak signifikan Parameter X4 (e) 0,3488 P-value > 0,05 Tidak signifikan
Dari tabel di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Parameter a (intercept) tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pembelian ayam oleh pedagang (Y) karena nilai V-value lebih besar dari 0,05 sehingga Ho diterima atai Hi ditolak. Artinya adalah apabila peternak tidak menawarkan produk ayamnya maka transaksi pembelian ayam antara peternak dengan pedagang tidak ada. 2. Parameter b dari variabel X1 (harga ayam) secara sendiri-sendiri tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pembelian ayam oleh pedagang (Y) karena nilai V-value lebih besar dari 0,05 sehingga Ho diterima atau Hi ditolak. Hal ini berarti harga jual beli ayam potong peternak secara sendiri-sendiri bukan merupakan faktor dominan dalam pengambilan keputusan pembelian ayam oleh pedagang ayam potong pada tingkat kepercayaan sebesar 95% 3. Parameter c dari variabel X2 (produk ayam) secara sendiri-sendiri mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pembelian ayam oleh pedagang (Y) karena nilai P-value lebih kecil dari 0,05 sehingga Ho ditolak atau Hi diterima. Hal ini berarti faktor kualitas produk yang dicerminkan dengan kesehatan ayam dan berat rata-rata per ekor ayam hidup secara sendiri-sendiri mempengaruhi keputusan pembelian ayam potong oleh pedagang pada tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. 4. Parameter d dari variabel X3 (distribusi) secara sendiri-sendiri tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pembelian ayam oleh pedagang (Y). hal ini berarti faktor kemudahan distribusi secara sendiri-sendiri tidak mempengaruhi keputusan pembelian ayam potong oleh pedagang pada tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. 5. Parameter e dari variabel X4 (pelayanan) secara sendiri-sendiri tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pembelian ayam oleh pedagang (Y) karena V-value lebih besar dari 0,05 sehingga Ho diterima atau Hi ditolak. Hal ini berarti faktor pelayanan yang dicerminkan oleh kecepatan menangkap, menimbang dan mengangkut ayam hidup secara sendiri-sendiri tidak mempengaruhi keputusan pembelian ayam potong oleh pedagang pada tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Analisis Parameter Regresi Berdasarkan hasil uji t menunjukkan bahwa hanya variabel produk yang secara sendiri-sendiri mempengaruhi keputusan pembelian ayam oleh pedagang, sedangkan hasil uji F menunjukkan bahwa variabel harga, produk, distribusi dan pelayanan secara bersama-sama mempengaruhi keputusan pembelian ayam potong oleh pedagang.
81
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Sementara itu variabel X1, X2, X3, dan X4 mempunyai parameter masing-masing sebesar -0,0861; 0,3816; 0,3083; dan 0,2145. Adapun interpretasi dari parameter tersebut adalah sebagai berikut: a. Nilai parameter X1 sebesar -0,0861, dimana hasil uji t menunjukkan banwa variabel tersebut tidak signifikan terhadap pembelian ayam potong dengan standard error sebesar 5 persen. Hal ini berarti variabel tersebut secara sendiri-sendiri tidak mempunyai pengaruh terhadap keputusan pembelian, tetapi bersama dengan variabel lain yaitu produk, distribusi dan pelayanan mempunyai pengaruh terhadap kepuitusan pembelian ayam oleh pedagang. Implikasi dari hasil tersebut adalah para pedagang ayam tidak memasukkan variabel harga sebagai bahan pertimbangan utama untuk melakukan pembelian ayam dari peternak. Hal tersebut, terutama disebabkan tingkat harga ditentukan oleh mekanisme pasar (bukan pedagang dan peternak). Dimana sifat pasarnya mendekati pasar persaingan sempurna yang dicirikan oleh produk homogen, banyak pembeli dan pemjual.. Apabila permintaan daging ayam meningkat akibat masyarakat merayakan hari-hari besar tertentu, sedangkan penawaran ayam dari peternak tidak mampu memenuhinya maka akan terjadi kelebihan permintaan yang mendorong harga ayam di peternak akan meningkat. Kondisi sebaliknya apalbila permintaan ayam oleh konsumen tidak berubah (hari-hari biasa) sedangkan penawaran ayam dari peternak tinggi akibat keberhasilan produksi dan banyak pemain baru maka akan terjadi kelebihan penawaran yang cenderung menurunkan harga ayam di tingkat peternak. b. Nilai parameter produk ayam (X2) sebesar 0,3816, dimana hasil uji t menunjukkan bahwa variabel tersebut mempunyai hubungan yang signifikan dengan pembelian ayam oleh pedagang pada standart error sebesar 5 persen. Implikasi dari hasil tersebut adalah para pedagang sangat memperhatikan spesifikasi produk ayam yang dibeli dari peternak yaitu tingkat kesehatannya dan berat rata-rata per ekor ayam hidup dalam pengambilan keputusan pembelian karena sangat mempengaruhi keuntungan pedagang. Meskipun harga ayam dari peternak relatif murah maka pedagang tidak melakukan pembelian karena kualitas ayamnya tidak sehat atau berat rata-ratanya melampaui selera konsumen (1,8 Kg/ekor). Hal ini disebabkan tingkat kesehatan dari ayam sangat menentukan tingkat kematian yang terjadi di pedagang, dimana setiap ayam dibeli tidak sehat maka tingkat kematian ayam di epedagang semakin tinggi. Tingginya tingkat kematian ayam di pedagang sangat menentukan tingkat keuntungan pedagang, padahal tingkat keuntungan merupakan motif utama dari pedagang ayam di Kotamadya Palembang. c. Nilai parameter distribusi ayam dari peternak ke pedagang (X3) sebesar 0,3083 dimana hasil uji t nemunjukkan bahwa variabel tersebut tidak signifikan terhadap pembelian ayam oleh pedagang pada standard error sebesar 5 persen. Hal ini berarti variabel tersebut secara sendiri-sendiri tidak mempunyai pengaruh terhadap keputusan pembelian, tetapi bersama dengan variabel lain yaitu harga, produk, pelayanan mempunyai pengaruh terhadap keputusan pembelian ayam oleh pedagang. Implikasi dari hasil tersebut adalah para pedagang ayam tidak memasukkan variabel kelancaran distribusi (lokasi dan kontinuitas pasokan) sebagai bahan pertimbangan utama untuk melakukan pembelian ayam dari peternak. Hal tersebut terutama disebabkan hubungan antara peternak dengan pedagang sudah terjalin cukup lama, dimana peternak berusaha menjalin hubungan tersebut dengan menjaga kelangsungan pasokan, selain iyu, lokasi peternak relatif terjangkau oleh pedagang dengan kendaraan sehingga faktor keterjangkauan lokasi tidak menjadi permasalahan utama bagi pedagang.
82
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
d.
Nilai parameter pelayanan ayam dari peternak ke pedagang (X4) sebesar 0,2145, dimana hasil uji t menunjukkan bahwa variabel tersebut tidak signifikan terhadap pembelian ayam oleh [pedagang pada standard error sebesar 5 persen. Hal ini berarti variabel tersebut secara sendiri-sendiri tidak mempunyai pengaruh terhadap keputusan pembelian, tetati secara bersama dengan variabel lain yaitu harga, produk, dan distribusi mempunyai pengaruh terhadap keputusan pembelian ayam oleh pedagang. Implikasi dari hasil tersebut adalah para pedagang ayam tidak memasukkan variabel pelayanan dari peternak (kecepatan menangkap, menimbang dan mengangkut ayam hidup dari kandang ke kendaraan angkutan) sebagai bahan pertimbangan utama untuk melakukan pembelian ayam dari peternak. Hal tersebut terutama disebabkan pelayanan dari peternak selama ini relatif sudah cukup baik, dalam hal kecepatan menangkap, menimbang dan mengngkut ayam hidup dari kandang ke kendaraan pedagang karena peternak dibantu oleh beberapa karyawan yang sudah cukup terampil. Selain itu peternak juga sudah menyadari bahwa pelayanan yang baik merupakan strategi untuk mengikat pelanggan.
DAFTAR PUSTAKA Abeng, Tantri. 2007. Penerapan Manajemen Modern di Indonesia Dalam Menghadari Era Globalisasi. PT. Alex Media Komputindo, Jakarta Brigham, Eugene. 2007. Finance Management, Theory and Practice. The Dryden Press Harcount Brade College Publisher, Sandiego. Basu Swastha, DH dan Irawan. 2004. Manajemen Pemasaran Modern, Edisi Kedua, Liberty, Yokyakarta. Boyd, Harper W. and Orville C. Walker. 2000. Marketing Management: A Strategic Approach. Richard D. Irwin Inc. Momewood, Illinois Coulter, Mary K, 2006. Strategic Management in Action. Prentice Hall International Inc, New York. Copper, Donald R dan Emory, William C. 2006. Metode Penelitian Bisnis, Richard D Irwin Inc. New York Kotlet, Philips. 2005. Manajemen Pemasaran. PT. Prenhallindi, Jakarta Kasali, Rhenald. 1998. Membidik Pasar Indonesia: Segmentasi, Targeting dan Positioning, Edisi Pertama. PT. Gramedia Pustaka Utama, jakarta Kertajaya, Hermawan, 1997. Marketing Plus 2000: Siasat Memenangkan Persaingan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Rangkuti, Freddy. 2006. Riset Pemasaran, Edisi Kelima. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Santoso, Singgih. 2002. Aplikasi Excel dalam Statistik Bisnis. PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.
83
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
PEKERJA WANITA PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA SANDANG DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA (Suatu Studi di Desa Ulakkerbau Lama, Kecamatan Tanjung Raja, Kabupaten Ogan Ilir) Oleh: Munparidi Staf Pengajar Jurusan Administrasi Niaga - Polsri
ABSTRACT The main purpose of this research is that we want to know the condition of female labours In clothing home industry and its contribution toward income. This research was done in Kecamatan Tanjung Raja , Kabupaten Ogan Ilir . From villages that available, is chosen Desa Ulakkerbau Lama as sample of location with the consideration that village is as the central of clothing home industry. From 127 female labours are taken 50% (64) randomly. However from data collection and suitable to be analyzed is just 60. Furthermore the data available is analyzed descriptively with frequency table and crossed tabulation. The result that we get from this research concludes that the existence of home industry deeply help inhabitant around it, because more than half labours is from local village and even many of them (58,33%) has family relationship with the owner enterprise. The income of female labour with marital status is entirely allocated for household affairs need. While the unmarried female labours some of them just to help their parents and some just for their selves. So, it can be said that female labours have important contribution to fulfil household affairs need. Therefore to keep performance clothing home industy must be sought in order to decrease poverty in rural. Key words :
Female labour, Home industry, Home income, Family and Poverty
PENDAHULUAN Berkurangnya kesempatan kerja di sektor pertanian telah mendorong tenaga kerja di sektor pertanian menyingkir ke sektor lain. Usaha pemerintah untuk meningkatkan penerimaan non migas telah mendorong peningkatan sektor industri yang dikembangkan dengan karakteristik yang beragam. Pertumbuhan industri kecil berhubungan dengan perkembangan sektor pertanian. Apabila lapangan kerja yang disediakan oleh sektor pertanian cukup memadai, maka industri kecil akan tetap menjadi sumber nafkah sekunder bagi penduduk pedesaan. Akan tetapi peranan industri kecil bisa bertambah penting apabila sektor pertanian mengalami berbagai pergeseran. Industri kecil dan industri rumah tangga berkembang dengan sifat-sifat padat karya. Dalam hal ini Mc Cawley (1979) mengatakan bahwa perkembangan industrialisasi di Indonesia di sektor industri kecil atau rumah tangga paling tinggi dalam penyerapan tenaga kerja. Hal tersebut di karenakan industri kecil maupun industri rumah tangga relative tidak memerlukan keahlian tinggi, modal kecil dan bahkan di pedeaan pekerjaan rumah tangga dapat didahulukan tanpa meninggalkan kegiatan ekonomis lainnya. Industri kecil sebagai bagian dari sektor informal memainkan peranan penting dalam menyerap tenaga di pedesaan. Kebanyakan industri kecil, terutama yang dikerjakan di rumah banyak menyerap tenaga kerja wanita (Scolten, 1987).
84
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Salah satu jenis industri kecil rumah tangga adalah industi sandang yang sebagian besar tenaga kerja wanita. Masuknya wanita sebagai pekerja industri rumah tangga merupaka gejala yang menarik dalam studi tentang wanita. Keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari perana wanita sebagai pencari nafkah, sebagai tenaga kerja keluarga yang bertugas mengerjakan pekerjaan domestic. Industri rumah tangga merupakan kegiatan ekonomi yang berada di sekitar rumah tempat tinggal (home-based production) dan wanita mempunyai peluang untuk bekerja pada industri semacam itu. Meskipun industri rumah tangga sandang member peluang wanita untuk bekerja, tetapi terdapat masalah penting yang perlu di kaji baik untuk kepentingan akademis maupun praktis. Apakah peluang wanita bekerja di industri sandang tersebut di sertai pula dengan imbalan kerja yang memadai? Apakah mereka secara empiris maupun ideologis dipandang sebagai pekerja yang memberi sumbangan ekonomi penting dalam rumah tangga? Berdasarkan pada kondisi dan latar belakang permasalahan tersebut, maka beberapa masalah pokok yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimakah karakteristik pekerja wanita pada industri rumah tangga sandang? 2. Bagaimana sistem upah yang berlaku pada industri rumah tangga sandang, khususnya bagi pekerja wanita? 3. Bagaimana penggunaan pendapatan yang diterima? Apakah ada perbedaan pola alokasi pendapatan anatara pekerja yang sudah menikah dengan pekerja yang belum? Bagaimanakah sumbangan pendapatan kerja wanita terhadap pendapatn rumah tangga? 4. Bagimana alokasi waktu dalam rumah tanggan pekerja wanita pada industri rumah tangga sandang? Penelitian tentang peranan wanita dalam kaitannya dengan masalah kependudukan pada umumnya berkisar pada masalah fertilitas. Berbagai studi peningkatan status wanita, misalnya dangan meningkatkan pendidikan atau tingakat partisipasi angkatan kerja selalu di kaitkan dan dimaksudkan untuk menurunkan fertilitas, bukan sebagi pengakuan bahwa wanita juga berhak atau mampu untuk mencapai pendidikan yang lebih tinggi atau bekerja di luar rumah (Ware, 1981). Selanjutnya Ware juga mengatakan bahwa kurangnya partisipasi wanita dalam pembangunan adalah masih diterimanaya anggapan bahwa wantia itu tidak bekerja. Hal tersebut tercermin pula dalam Program Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, yang mana pemerintah telah mengajarkan kepada wanita-wanita di pedesaan bahwa mereka ini mempunyai lima kewajiban, yaitu: 1. Menghasilkan generasi bangsa dimasa depan 2. Sebagai istri dan pendamping setia dari suami. 3. Sebagai ibu dan pendidik bagi anak-anaknya 4. Mengurus rumah tangga 5. Sebagai warna Negara Dari kelima butir program pendidikan kesejahteraan keluarga tersebut kiranya tidak ada satupun yang secara jelas mewajibkan wanita untuk bekerja di luar rumah. Butir ke lima secara tersamar mencantumkan kedudukan wanita sebagai warga negara yang tentu saja mempunyai tanggung jawab secara moral untuk berbuat sesuatu. Wanita Jawa sering disebut sebagai “Manajer Rumah Tangga”. Tanggung jawab mereka tidak saja dalam mengatur keuangan rumah tangga, akan tetapi juga mencari nafkah (Geertz, 1961). Tanggung jawab untuk ikut mencari nafkah ini semakain menonjol di kalangan wanita dari keluarga miskin karena hasil pendapatan suami tidak mencukupi.
85
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Partisipasi ekonomi wanita ternyata tidak mengubaha peranan ideal wanita. Mengenai pekerjaan wanita di luar rumah, apapun kedudukan mereka serta sumbangan ekonomi mereka, tugas utama mereka tetaplah mengurus rumah tangga (Sumbung, 1984). Dapatlah dimengerti apabila wanita senantiasa merasa diharuskan untuk mengatur keseimbangan antara perannya sebagai pengurus rumah tangga dan pencari nafkah. Selain harus melakukan pekerjaan rumah tangga, wanita pedesaan juga harus memenuhi peranan mereka sebagai penjaga ikatan kekerabatan dan ketetanggaan (Greetz, 1961). Peranan “Ideal” yang diharapkan dari wanita ini merupakan salah satu hambatan bagi wanita yang ingin memasuki lapangan kerja dan wanita yang sudah bekerja. Allen dan Wolkowitz (1987) menyebut hambatan ini sebagai “hambatan ideologis”. Selain hambatan ideologis masih ada “hambatan material” misalnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah. Hambatan-hambatan ini merupakan penjelasan parsial dari adanya ketidak seimbangan berdasarkan gender dalam lapangan pekerjaan. Perbedaan upah untuk pekerjaan yang sama dan segregasi pekerjaan berdasarkan jenis kelamin merupakan manifestasi ketidak seimbangan berdasarkan gender (gender iequality) dalam lapangan pekerjaan. Ada berbagai teori yang menerangkan ketidak seimbangan berdasarkan gender dalam lapangan pekerjan. Corverman (1988) memasukkan berbagai teori kedalam dua kelompok besar, yaitu teori-teori individualis dan teori-teori strukturalis. Teori individualis di dasarkan pada asumsi bawha pekerjaan dan upah yang di terima seseorang berkaitan langsung dengan karakteristik personal tiap-tiap pekerja. Setiap pekerja mempunyai kesempatan yang sama unutk memasuki lapangan kerja dan prestsi tertentu. Sebaliknya teori strukturalis lebihh menitikberatkan pada pentingnya factor sosiokultural dan kelembagaan yang mempengaruhi pensapain seorang pekerja. Inti uraian coverman (1988) adalah upaya untuk menjelaskan ketidak seimbangan berdasarkan jenis kelamin dalam lapangan kerja secara multi demonsional. Mengingat semua ini , Anker dan Hein (1986) cukup berhasil dalam menjelaskan dengan merangkum tiga teori yang saling melengkapi. Teori in meliputi teori “NeoKlasik”, teori “segmentasi Pasar Tenaga Kerja” dan toeri “Gender” atau “Feminist”. Teori Neo-klasik menerangkan pembagian kerja seksual dengan menekankan perbedaan seksul dalam berbagai variabel yeng mempengaruhi produktivitas pekerja dan supply pekerja. Perbedaan-perbedaan itu meliputi: lamanya jam kerja, tanggung jawab rumah tangga serta kekuatan fisik. Semua ini didasari oleh asumsi lain bahwa di dalam persaingan anatar pekerja, pekerja memperoleh upaya sebesar marginal product yang di hasilkannya. Asumsi lain bahea keluarga mengalokasikan sumber daya mereka sebagai secara rasional. Kosekuensi logis dari hal ini dalah anggota rumah tangga laki-laki memperoleh investasi human capital yang lebih tinggi dari wanita. Selanjutnya wanita memperoleh pendapatan dan produktivitas yang lebih rendah dari pada laki-laki oleh karena mereka memiliki human capacital yang lebih rendah. Teori ini dikritik karena mempunyai dua kelemahan. Kelemahan pertama berkaitan dengan asumsinya tentang perbedaan fisik sebagai suber adnya “pekerjaan-pekerjaan khas wanita “. Secara biologis “mengandung dan melahirkan” memang merupakan pekerjaan khas wanita. Selain itu tidak ada alasan biologis yang menjelaskan mengapa wanita harus mengasuh anak atau melakukan pekerjaan domestik lainnya kelemahan kedua berkaitan dengan asumsinya bahwa laki-laki dan wanita mempunyai akses yang sama terhadap peluang-peluang pekerjaan asumsi ini tidak mempertimbangkan adanya segmentasi pasr tenaga kerja yang tidak dapat di jelaskan berdasarkan perbedaan seksual dalam human capital. Teori pasar tenaga kerja ganda membagi tenaga kerja atau pekerjaan menjadi dua, yaitu: 1. Pekerjaan –pekerjaan sektor primer dan 2. Pekerjaan –pekerjaan sektor sekunder. Pekerjaan sektor primer menjanjikan upah, jaminan keamanan dan peluang untuk
86
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
promosi yang lebih baik dari pada sektor sekunder. Pekerjaan sektor primer mencakup jenis-jenis pekerjaan yang menuntut keahlian pekerja yang “firm specific” dan pekerja yang stabil. Tuntutan ini di imbangi oleh upah yang lebih tinggi dan peluang unutk promosi yang lebih terbuka. Anggapan pengusaha bahwa pekerja wanita merupekan pekerja yang tidak stabil. Hal ini menyebabkan pekerja wanita cenderung terkonsentrasi dalam pekerjaan – pekerjaan di sektor sekunder. Teori segmentsi pasar tenaga kerja menunjukan dengan jelas bahwa pekerjaan lakilaki dan wanita tidak bersaing di landasan yang sama oleh karenanya tidak mempunyai akses yang sama ke lapangan kerja. Adanya dua pasaran kerja yang terpisah bagi lakilaki dan wanita sangat menentukan rendahnya upah tenaga kerja wanita. Oleh karena itu pilihan tenaga kerja wanita relative terbatas. Mereka cenderung terakomodasi dalam “pekerjaan-pekerjaan wanita”. Akibatnya terjadilah penawaran tenaga kerja yang berlebih dalam pekerjaan-pekerjaan semacam ini, yang pada gilirannya menyebabkan upah yang rendah. Teori segementasi pasar tenaga kerja ini dianggap tidak mampu menjelaskan mengapa segmentasi pasar tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin terjadi. Menurut teori gender dan feminist, kedudukan wanita yang relatif lebih rendah dalam pasar tenaga kerja ini tidak bisa dipisahkan dari system sosial yang menempatkan wanita pada kedudukan yang lebih rendah daripada laki-laki. Apapun kendala budaya dan biologis yang dihadapi oleh pekerja wanita, mereka harus terus bekerja untuk dapat memperoleh upah. Alokasi upah yang diperoleh wanita dari kegiatannya mencari nafkah ternyata berhubungan erat dengan status perkawinannya. Wanita yang sudah kawin cenderung menyumbangkan seluruh penghasilannya kepada ekonomi rumah tangga (Nichof, 1985). Sebaliknya pekerja wanita yang belum menikah lebih bebas mengalokasikan upahnya, termasuk untuk kepentingan pribadi. Orang tua mereka beranggapan bahwa upah yang diterima anak gadisnya telah membebaskan mereka dari kewajiban untuk menopang sebagian kebutuhan mereka. Secara singkat penelitian ini bertujuan untuk melihat: 1. Latar belakang sosial ekonomi pekerja wanita pada industri rumah tangga sandang. 2. Distribusi pendapatan pekerja wanita pada industri sandang dan sumbangannya terhadap pendapatan rumah tangga. 3. Alokasi waktu dalam rumah tangga pekerja wanita pada industri rumah tangga sandang. Berdasarkan data dari Buku I Profil Desa Ulakkerbau Lama Tahun 2008, di Desa Ulakkerbau Lama terdapat sekitar 67 Kepala Keluarga (KK) yang merupakan industri rumah tangga sandang yang aktif, dengan jumlah pekerja rata-rata 3 sampai 4 orang sehingga pekerja seluruhnya 226 orang (laki-laki dan perempuan). Dari jumlah tersebut terdapat 127 pekerja wanita atau sekitar 56,19 %. Selanjutnya dari seluruh pekerja wanita tersebut secara acak diambil 50% atau 64 orang. Namun dari data yang terkumpul dan layak untuk dianalisis hanya 60 orang. Data penelitian ini dikumpulkan melalui: 1. Wawancara. 2. Observasi 3. Dokumentasi Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif dengan menggunakan tabel, baik tabel frekwensi maupun tabel silang.
87
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Pekerja Wanita Pada Industri Rumah Tangga Sandang Latar Belakang Sosial Pekerja Wanita Latar belakang pendidikan, umur serta alasan mereka bekerja merupakan merupakan beberapa variable penting yang dapat dipakai untuk melihat latar belakang kehidupan sosial mereka. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa pada umumnya mereka berlatar belakang pendidikan tingkat pertama dan berumur antara 25-34 tahun (lihat tabel 1 dan 2). Tabel 1. Komposisi Umur Pekerja Wanita Industri Rumah Tangga Sandang Desa Ulak kerbau Lama Kecamatan Tanjung Rja, Tahun 2008 Kelompok Umur Jumlah Persentase 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 Lebih dari 44
6 9 21 15 5 6 1
10 15 35 25 8.33 10 1,67
Jumlah
60
100,00
Sumber : Data primer Tabel 2, Komposisi Pendidikan Pekerja Wanita pada Industri Rumah Tangga Sandang Desa Ulak kerbau Lama Kecamatan Tanjung Raja, Tahun 2008 Pendidikan Jumlah Persentase Sekolah Dasar Sekolah Lanjutan Pertama Sekolah Lanjutan Atas Akademi/ Perguruan Tinggi
7 38 15 --
11,67 63,33 25
Jumlah
60
100,00
Sumber : Data primer Keadaan ini memperlihatkan bahwa pekerja waita pada industri rumah tangga sandang ini relatif berumur muda dan produktif. Dengan demikian potensi yang dimiliki oleh para pekerja wanita tersebut cukup besar, karena pada kelompok umur di bawah 40 tahun tersebut masih banyak kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya dalam bidang ketrampilan maupun bidang lainnya. Dilihat dari ada tidaknya hubungan kekerabatan antara pekerja wanita dengan pemilik, ternyata 60 orang pekerja wanita yang diteliti, sejumlah 35 orang (58,33 %) masih ada hubungan kekerabatan dengan pemilik. Sedangkan 25 orang pekerja yang lain (41,67 %) mengatakan tidak ada hubungan kekerabatan dengan pemilik (lihat tabel 3).
88
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Tabel 3. Jenis Ketrampilan Pekerja Wanita Menurut Ada Tidaknya Hubungan Kekerabatan Dengan Pemilik Ada hubungan Jenis Kegiatan Kekerabatan Menjahit Potong Obras/ Desain Persentase Dengan bordir Pemilik Ya 54,29 14,28 17,14 14,29 58,33 (35) Tidak 44 12 36 8 41,67 (25) Jumlah
30
8
15
7
100
(60)
Sumber : Data primer Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa 58,33 persen pekerja masih ada hubungan kekerabatan dengan pemilik. Selanjutnya jika ditinjau dari jenis ketrampilan/pekerjaan yang dilakukan, pekerjaan menjahit yang ada hubungan kekerabatan merupakan persentase terbesar (54,29%) daripada yang lain. Sedangkan yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan pemilik sebesar 44 %. Akan tetapi jenis pekerjaan obras/bordir, pekerja yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan pemilik sebesar 36 % lebih besar daripada mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pemilik yaitu sebesar 17,14 %. Pada jenis pekerjaan potong dan desai, jumlahnya relatif lebih besar pada pekerja yang ada hubungan kekerabatan dengan pemilik daripada pekerja yang tidak ada hubungan kekerabatan. Interpretasi terhadap hasil penelitian ini adalah bahwa sebagian besar pekerja ada hubungan kekerabatan dengan pemilik, tetapi tidak pada semua jenis pekerjaan yang dilakukan pekerja. Dalam mengungkap “alas an bekerja” pekerja industri rumah tangga sandang, tersedia tiga kemungkinan jawaban responden, yaitu alas an bekerja karena desakan ekonomi, karena didorong oleh orang tua atau kerabat atau karena alasan belajar/magang. Dari jawaban yang masuk ternyata desakan ekonomi mempunyai terbesar (55%) dan jenis ketrampilan yang dipilih adalah menjahit (65,625%). Untuk “alasan bekerja” karena belajar atau magang mempunyai persentase terendah di antara dua alasan yang lain, dan ternyata tidak ada pekerja yang belajar/magang dalam jenis ketrampilan desain. Bila dikaitkan dengan tabel 3 dapat diinterpretasikan bahwa meskipun antara pekerja dengan pemilik unit usaha ada hubungan kekerabatan, tetapi ternyata yang benar-benar mengaku bahwa alasan bekerja membantu orang tua/ kerabat hanya 28,33%. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada hubungan kekerabatan antara pemilik dan pekerja, tetapi keduanya juga menjalankan hubungan kerja sebagaimana hubungan antara buruh dengan majikan. Pengupahan. Sistem pengupahan yang berlaku pada industri rumah tangga sandang di Desa Ulakkerbau Lama, Kecamatan Tanjung Raja adalah sistem borongan; artinya besar kecilnya upah yang diterima oleh masing-masing pekerja ditentukan oleh jumlah pekerjaan yang dapat diselesaikan. Dari temuan hasil penelitian pada industri rumah tangga sandang di Desa Ulakkerbau Lama, Kecamatan Tanjung Raja besarnya upah yang diterima pekerja bervariasi antara Rp.250.000,- sampai Rp.500.000,- per bulan. Ada beberapa faktor yang menentukan besarnya upah ini, antara lain jumlah produk yang bisa diselesaikan, bagian/jenis pekerjaan yang dikerjakan, tingkat kesulitan yang dikerjakan dan sebagainya.
89
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Motif Pekerja Wanita Setiap pekerja memiliki berbagai macam kebutuhan pada suatu saat tertentu. Kebutuhan yang paling kuat akan menentukan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Paul Harsey (1982) mengartikan motif sebagai kebutuhan, keinginan, gerak hati dalam diri seseorang. Menurutnya, aktivitas-aktivitas yang timbul dari kebutuhan yang paling kuat dapat dikalisifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu aktivitas yang diarahkan pada tujuan dan aktivitas tujuan. Tingkat-tingkat kebutuhan pekerja dalam studi ini dapat dilihat dari prioritas urutan tujuan para pekerja dalam bekerja. Tabel 5 berikut ini memperlihatkan prioritas pilihan kebutuhan pekerja. Dari tabel 5 terlihat bahwa seluruh responden (100%) mengatakan “uang” merupakan prioritas utama mereka bekerja. Sedangkan jaminan masa depan merupakan kebutuhan berikutnya. Bergaul dengan teman, pada umumnya dipilih pekerja sebagai urutan ketiga. Kebutuhan akan prestasi menempati urutan keempat dan urutan terakhir adalah kebutuhan akan penghargaan. Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa prioritas kebutuhan pekerja wanita umumnya pada level pemenuhan kebutuhan fisiologis. Hal tersebut tampaknya juga selaras dengan data yang ada yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengatakan bahwa alasan mereka bekerja adalah karena desakan ekonomi. (lihat pada tabel 4). Tabel 4. Persentase Jenis Ketrampilan Pekerja Menurut Alasan Bekerja
Desakan Ekonomi Orang Tua/Kerabat Belajar/Magang
Jenis Kegiatan Menjahit Potong Obras/bordir Desain 65,625 9,375 18,75 9,375 33,33 11,11 27,77 22,22 30 30 40 ----
Persentase 55,00 (33) 28,33 (17) 16,67 (10)
Jumlah
30
100
Alasan Bekerja
8
15
7
(60)
Sumber : Data primer Tabel 5: Persentase Pilihan Terhadap Urutan Pekerja. Pilihan Terhadap Urutan Kebutuhan Prioritas Uang I II III IV V
100 ---------
Jaminan Masa Depan --63,33 36,67 -----
Bergaul dengan Teman --16,67 53,33 30,00 --
Penghargaan
Prestasi
----3,33 13,33 83,33
--20,00 6,67 56,67 16.67
Sumber: Data primer Alokasi Pendapatan. Sebenarnya uang hanyalah merupakan alat yang digunakan untuk memenuhi kepuasan motif lain. Sehingga persoalannya terletak pada hal-hal yang dapat dilakukan seorang pekerja terhadap uang tersebut dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Meskipun penggunaan uang terkait dengan semua macam kebutuhan di samping kebutuhan fisiologis, serta kadar pentingnya sukar dipastikan, namun pada studi ini terlihat bahwa penghasilan yang dapat diterima oleh pekerja wanita sebagian besar (70%) 90
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
digunakan untuk memenuhi fisiologis (yang diwujudkan dalam memenuhi makan, perumahan dan pakaian); kemudian untuk mengangsur hutang (15%) dan biaya-biaya: sekolah, transportasi dan komunikasi masing-masing 5%. Sedangkan untuk kebutuhan rekreasi dan tabungan tidak ada. Relevansi terhadap hirarki kebutuhan Maslow adalah orang-orang yang kebutuhan untuk kelangsungan hidupnya tidak dapat terpenuhi dengan baik, maka akan memberikan nilai yang sangat tinggi terhadap uang sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan fisiologinya. Kenyataan ini sejalan dengan data yang ada pada tabel 5 bahwa seluruh responden mengatakan kebutuhan uang menjadi prioritas utama. Dari penelitian ini juga ditemukan bahwa ada sedikit perbedaanmengenai alokasi pendapatan pekerja wanita menurut status perkawinan. Dari pekerja wanita yang sudah berkeluarga menyumbangkan seluruh pendapatannya untuk menambah/memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hal tersebut sesuai dengan anggapan bahwa bagi wanita yang sudah berkeluarga, mencari nafkah merupakan perpanjangan peran domestik mereka. Apalagi kenyataannya bahwa penghasilan yang diperoleh suami mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Sebagian pendapatan mereka untuk membantu orang tua dan sebagian lagi untuk keperluan sendiri, misalnya membeli baju, perhiasan dan kesenangan yang lain. Alokasi Wanita Perbedaan status perkawinan ternyata mempunyai konsekwensi terhadap alokasi waktu. Jumlah jam kerja yang dialokasikan untuk pekerjaan dalam industri rumah tangga sandang bagi pekerja wanita berstatus kawin rata-rata 4 jam/hari. Sedangkan bagi wanita berstatus belum kawin lebih banyak, yaitu antara 6 sampai tujuh jam. Perbedaan jumlah jam kerja inilah yang nampaknya juga memengaruhi besarnya penghasilan yang diterima oleh pekerja wanita tersebut. Perbedaan alokasiwaktu pekerja wanita di luar pekerjaan terletak pada kegiatan mengasuh anak yang memakan lebih bayak waktu bagi pekerja yang sudah berkeluarga. Sedangan bagi pekerja yang belum berkeluarga kegiatan yang sedikit lebih banyak menyita waktu adalah untuk belanja ke pasar.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang bisa diambil dari hasil penelitian ini adalah : 1. Pekerja wanita pada industri rumah tangga sandang dilihat dari umur dan pendidikan merupakan tenaga potensial baik untuk perkembangan industri itu sendirimaupun untuk peningkatan pendapatan keluarga. 2. Sebagian besar pekerja wanita berstatus kawin, sehingga kelompok ini merupakan sasaran strategis untuyk dikembangkan, karena mereka lebih mempunyai keterikata terhadap tempat kerja. Selanjutnya saran yang bisa diberikan dalam rangka pemberdayaan wanita pedesaan, khususnya yang berstatus kawin, maka perlu diperkenalkan system kerja yang memungkinkan para wanita pekerja tersebut bisa melakukan pekerjaan mereka di rumah masing-masing. Dengan demikianperan ideal mereka sebagai ibu rumah tangga tidak ditinggalkan, sementara mereka tetap bisa mencari nafkah tambahan.
DAFTAR PUSTAKA. Allen, Sheilladan Carol Wolkowitz, 1987 Homeworking, Myths and Realities. Hongkong; Macmillan EducationLtd.
91
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Anker, Richard dan Catherine Hein, 1980 Sex, Inequalities In The Thrid World. London; Macmillan Press. Badan Pusat Statistik, Ogan Ilir Dalam Angka 2008, BPS Kabupaten OKI. _______________ , Tanjung Raja Dalan Angka 2008, BPS Kabupaten Ogan Ilir. Bakir, Siti Zainab dan Nurlina Tarmizi, 2005 : Memeramgi Kemiskinan Di Sumatera Selatan. Dalam Abdul Wahib Situmorang (Editor) : Pembangunan Di Sumatera Selatan Masalah Dan Jalan Keluarnya, Palembang : Yayasan Pustaka Indonesia. Beneria, Lourdes dan Martha Roldan. 1987. The Crossroads Of Class And Gender, Industrial Homework, Subcontracting And Household Dynamic In Mexico City. The University of Chicago Press. Beneria, Lourdessdan Gita Se. 1982. “Class And Gender Inequalities and Women’s Role In Economic Development” dalam : Feminist Studies 8: Nomor 1. Munparidi, 2005, Pola Konsumsi Rumah Tangga, (Studi Kasus : Desa Ulakkerbau Lama Kecamatan Tanjung Raja Kabupaten Ogan Ilir), Tesis, PPS Unsri, Palembang, tidak dipublikasikan. Mc. Cawley, 1979. Industrialization In Indonesia. Canberra: ANU. Niehof, Anke. 1985. Women And Fertility In Madura. Scholten, Elizabeth Locher. 1987. Female Labour In Twentieth Century Java, European Nations-Indonesian Practice, dalam : Scholten dan Nihof (ed). Indonesian Women In Focus. USA: Foris Publication. Tambunan, Tulus, 2003, Perekonomian Indonesia, Beberapa Masalah Penting, Ghalia Indonesia, Anggota IKAPI, Jakarta. Todaro, Michael, P. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Jilid I. Edisi Kedelapan, Erlangga. Jakarta. Ware, Helen.1981. Women, Demography An Development. Canberra: ANU.
92
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
RECOVERY PENDIDIKAN PASCA BENCANA Oleh: Desloehal Djumrianti Staf Pengajar Jurusan Administrasi Niaga – Polsri
ABSTRACT The purpose of this paper is to provide ideas to help recovery education in many places after earthquakes. The earthquakes were not only broke a number of schools, but it also caused conventional teaching and learning processes stop for a while. Sometimes the donation from government and other social parties, such as tends, foods, clothes, books are very limited. It cannot cover refuges needs, particulary for making temporary class. Therefore, need an alternative school rather than just wait until the condition back to normal, such as create a virtual class to substitute traditional class. Virtual class enables academic learning mobile; teachers and students do not need to attend in a class. The teaching and learning processes will conduct via the internet, computer, and mobilephone. The mobile learning facilitates teachers begin to lecture in anytime, anyplace, and anycondition. Keywords: Mobile learning, Internet, Computer, Handphone
PENDAHULUAN Tujuan umum pendidikan nasional di Indonesia adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang mempunyai produktivitas tinggi, yakni pemerataan dan perluasan akses yang tidak terbatas, mutu, relevansi dan daya saing, serta tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik pada berbagai tingkatan. Pemerintah pun sudah memulai program wajib belajar untuk memulai pencapaian tujuan tersebut Selain itu memenuhi pencapaian tujuan dari kebijakan strategi khususnya berkenaan dengan tenaga guru diejawantahkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Implikasi dari undang-undang tersebut, tentunya setiap institusi yang bertanggung jawab terhadap keberadaan tenaga pengajar yang harus memberikan pelayanan yang terbaik secara professionalisme untuk masyarakat. Sehingga perlu adanya pemberian peluang yang sebesar-besarnya bagi pengajar untuk mengembangkan diri dan mengoptimalkan kemampuannya sebaik mungkin agar dapat tetap memberikan pelayanan dan pengabdian yang terbaik walau dalam situasi apa pun, seperti kesiapan menghadapi pembelajaran pada saat terjadi bencana alam. Keterlibatan berbagai pihak pun sangat diharapkan untuk mendukung terciptanya keinginan tersebut. Perkembangan teknologi terutama teknologi komunikasi dan teknologi informasi telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan tak terkecuali pendidikan. Pengembangan dan pemanfaatan media pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi sudah lama dilakukan dan dikembangkan di berbagai negara maju. Di Indonesia pun pemakaian internet sudah sangat meluas dan meningkat. Pengguna internet pun datang dari berbagai kalangan mulai dari pelajar, mahasiswa, pegawai, pengusaha, guru/dosen dan masih banyak yang lainnya. Berdasarkan data perkiraan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) sampai dengan akhir tahun 2005 pengguna internet Indonesia mencapai 16 juta pengguna, naik hampir 50% dibandingkan dengan data pengguna internet tahun 2004 yang mencapai 11 juta pengguna (www.wahanakom.com). Tingkat keahlian orang (termasuk anak-anak sekolah dan
93
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
pengajar) dalam mengoperasikan komputer, dan internet pun sudah semakin meningkat. Berbagai perusahaan-perusahaan operator telekomunikasi pun juga menawarkan jasa telekomunikasi yang memungkin orang dapat berkomunikasi melalui internet dengan menggunakan telepon. Banyaknya bencana yang sering terjadi di Indonesia seperti, gunung meletus, banjir, dan gempa bumi. Bencana alam gempa bumi ini hampir setiap tahun terjadi di beberapa tempat yang rawan di Indonesia, berdasarkan data dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2008) menunjukan bahwa ada 28 wilayah di Indonesia yang dinyatakan rawan gempa dan tsunami antara lain Daerah Istemawa Yogyakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu, Sumatera Barat, Nangro Aceh Darussalam, Nias, Sulawesi, dan beberapa daerah lainnnya. Setidaknya lebih dari 1025 kali di beberapa tempat ini telah terjadi gempa yang cukup dahsyat mencapai lebih dari 6 skala Richter atau lebih kecil. Hal ini dikarenakan secara histografi, Indonesia merupakan wilayah langganan gempa bumi dan tsunami. Pasca meletusnya Gunung Krakatau yang menimbulkan tsunami besar di tahun 1883, setidaknya telah terjadi 17 bencana tsunami besar di Indonesia selama hampir satu abad(1900-1996). Selain itu wilayah Indonesia dikepung oleh lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Sewaktu-waktu lempeng ini akan bergeser patah menimbulkan gempa bumi. Sebesar apapun bencana gempa tersebut pasti merusak dan memporak porandakan tempat tinggal dan lingkungan masyarakat setempat. Banyaknya rumah-rumah yang rusak, gedung-gedung pemerintahan termasuk sekolahan. Infrastruktur pendidikan secara konvensional sangat terganggu dengan bencana gempa bumi ini, gedung sekolah dan segala fasilitas phisik rusak bahkan ada yang tidak bisa digunakan lagi. Tercatat lebih kurang 454 rumah sekolah SMP dan lebih kurang 200 rumah sekolah SMA yang ada di Sumatera Barat mengalami kerusakan akibat gempa pada tahun 2009. Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini adalah salah satu rumah sekolah yang rusak akibat bencana gempa bumi di kota Padang (Pemprov. Sumatera Barat, 2009). Bantuan dari pemerintah dan pihak-pihak yang terkait kadangkala mengalami hambatan untuk menggapai lokasi bencana. Tempat-tempat pengungsian yang sempit dan kurang memadai membuat proses belajar dan mengajar pun terlambat bahkan mungkin terhenti sementara. Hal ini mengakibatkan banyak anak sekolah yang ketinggalan pelajaran. Menyingkapi keadaan ini perlu adanya langkah yang tepat agar proses belajar mengajar tetap dapat berjalan walaupun dalam kondisi secara phisik face-to-face kelas tidak memungkinkan, sehingga diperlukannya kelas non phisik atau virtual. Perkembangan teknologi informasi seperti internet memberikan peluang bagi orang untuk memanfaatkannya untuk berbagai kepentingan seperti untuk pendidikan. Maraknya pelajar dan guru menggunakan internet untuk mencari informasi yang mereka perlukan dari berbagai search engines. Beberapa media pun bisa digunakan untuk mendapatkan fasilitas internet hanya dengan bantuan modem atau line telephone seperti Personal Computer, Laptop, PDA, bahkan Handpohone atau Mobilephone. Sehingga sangat memungkinkan untuk melakukan pembelajaran virtual dengan mudah. Meluasnya jaringan komunikasi hampir merata ke seluruh wilayah Indonesia, banyaknya provider yang menawarkan sejumlah paket-paket handphone plus sim cardnya (GSM/UMTS) yang menyediakan beberapa fitur-fitur yang menarik dapat digunakan secara online. Sebut saja beberapa provider seperti Telkom dengan paket handphone seharga Rp. 200.000,- an dengan fitur face book, twitter, e-mail, chat. Tidak kalah ketinggalan Esia juga menawarkan handphone online dengan harga juga Rp. 200.000,- an yang menyediakan fitur yang cukup memikat para penggunannya seperti ditawarkan oleh provider lainnya. Bahkan ada provider seperti SMART menawarkan handphone dengan
94
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
harga sekitar Rp. 300.000,- an gratis internet an selama 6 bulan dengan bonus 2 GB per bulan. Tidak hanya itu beberapa tempat-tempat strategis seperti bandara, tempat perbelanjaan, sekolah/universitas, tempat hiburan juga sudah memasang titik hot spot dan wireless yang menyediakan orang untuk menggunakan internet secara gratis. Semakin maraknya para pengguna internet yang terlibat di dalam komunitas online dan jejaring sosial seperti face book, twitter, friendster menyebabkan orang dapat berinteraksi secara online hampir setiap hari. Kemudahaan untuk menuangkan ide, pendapat, gambar ataupun yang lain secara online pun dapat dilakukan orang dengan mudah melalui blogblog pribadi (Desloehal Djumrianti, 2009). Sekarang handphone dan internet bukan lagi merupakan barang yang mewah dan mahal, berbagai kalangan dengan mudah mendapatkannya mulai dari orang tua sampai dengan anak-anak. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas maka peran teknologi informasi dan komunikasi cukup strategis dalam mendukung pemulihan proses belajar mengajar di daerah rawan gempa bumi. Penelitian ini memfokuskan pada konsep penerapan pembelajaran secara mobile di daerah bencana gempa bumi di pulau Sumatera dan menjadikan sebagai model pembelajaran untuk daerah-daerah lain yang mempunyai potensi atau rawan bencana alam. Tujuan tulisan ini: a. untuk memberikan solusi dalam mengatasi masalah proses belajar mengajar pada daerah yang terkena bencana gempa bumi. b. untuk meminimalisasi tingkat kestressan yang dihadapi para anak didik, guru, dan orang tua mengenai ketertinggalan pembelajaran selama terjadinya gempa bumi. c. untuk memberikan pemikiran kepada sekolah-sekolah di daerah rawan becana alam, mulai dari sekolah menengah tingkat pertama sampai dengan perguruan tinggi, dalam mempersiapkan pendidikan virtual kelas. d. Menawarkan model pembelajaran alternatif untuk daerah rawan bencana lainnya, seperti banjir, kebakaran, tanah longsor dengan memanfaatkan fasilitas, komputer, internet dan handphone.
TINJAUAN PUSTAKA Pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain. Usaha ini dapat dilakukan oleh seseorang atau suatu tim yang memiliki kemampuan dan kompetensi dalam merancang dan mengembangkan sumber belajar yang diperlukan. Indikator Pembelajaran yang Efektif berdasarkan pengkajiannya atas sejumlah penelitian, mengidentifikasikan tujuh indikator yang menunjukkan pembelajaran yang efektif. Indikator itu adalah (Menyemai BenihTeknologi Pendidikan, 2004): a. Pengorganisasian kuliah dengan baik. b. Komunikasi secara efektif c. Penguasaan antusiasme dalam mata kuliah. d. Sikap positif terhadap mahasiswa. e. Pemberian ujian dan nilai yang adil. f. Keluwesan dalam pendekatan pengajaran, dan g. Hasil belajar mahasiswa yang baik Apabila kita membicarakan tentang pembelajaran secara mobile (mobile learning) pasti berhubungan dengan electronic learning (e-learning) karena proses belajar mengajar melalui komunikasi secara elektronik. Di beberapa Negara maju pembelajaran elektronik sudah semakin populer diantara peserta didik dan pendidik. Zhang, et al
95
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
(2005) dalam Desloehal Djumrianti (2005) mengatakan nowadays, teachers and students have possibilities to interact, transcending the boundaries of time and space by access to a microcomputer, modem, telephone line, and communication program. Ahli lain menguraikan mengenai e-learning adalah merupakan kegiatan pembelajaran yang memanfaatkan jaringan (Internet, LAN, WAN) sebagai metode penyampaian, interaksi, dan fasilitasi serta didukung oleh berbagai bentuk layanan belajar lainnya (Brown, 2000; Feasey, 2001). Secara ringkas Obringer (2010) menegaskan bahwa e-learning can be CD-ROM based, network-based or Interne-based. It can include text, video, audio, animation and virtual environment. It can a very rich learning experience that can even surpass the level of training you might experience in a crowded classroom. It self-paced, hands-on learning. Lebih jelas menurut Onno W. Purbo (1998) dalam Desloehal Djumrianti & Heri Setiawan (2008) e-learning adalah suatu model pembelajaran yang dibuat dalam format digital melalui perangkat elektronik. Tujuan digunakannya e-learning dalam sistem pembelajaran adalah untuk memperluas akses pendidikan ke masyarakat. Lebih lanjut Onno W. Purbo (1998) mengatakan mengenai manfaat dari pembelajaran melalui internet: a. Peserta didik dapat dengan mudah mengambil mata kuliah/pelajaran di mana pun di seluruh dunia tanpa batas institusi atau negara. b. Peserta didik dapat dengan mudah berguru pada para ahli di bidang yang diminatinya. c. Kuliah/belajar dapat dengan mudah diambil di berbagai penjuru dunia tanpa bergantung pada universitas/sekolah tempat si mahasiswa/pelajar belajar. Adanya perbedaan yang sangat jelas antara e-learning dan konvensional: a. Pembelajaran konvensional sangat tergantung dengan pengajar, sedangkan elearning tidak. b. Sumber belajar terpusat di sekolah sedangkan e-learning sumber belajar banyak tersedia dan mudah diakses. c. Pengajar menjadi sumber ilmu, sedangkan di e-learning pengajar hanya sebagai mediator atau pembimbing. d. Belajar terkendala masalah ekonomi, jarak, ruang dan waktu, pembelajaran elearnig belajar dapat dilakukan kapan dan dimanapun tanpa terkendala waktu dan ruang. e. Perlu sarana dan prasarana belajar yang memadai serta sumber daya manusia yang memahami benar setiap ilmu yang diajarkan pada pembelajaran konvensional, tetapi pembelajaran e-learning juga memerlukan kesiapan keijakan, infrastruktr dan sumber daya manusia pengguna IT. E-learning mempunyai 3 fungsi utama dalam pembelajaran yaitu: sebagai suplemen yang sifatnya pilihan (opsional), pelengkap (komplemen), atau pengganti (substitusi) (Siahaan, 2002). a. Sebagai Suplemen, Dikatakan berfungsi sebagai suplemen (tambahan), apabila peserta didik mempunyai kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran elektronik atau tidak. Dalam hal ini, tidak ada kewajiban/keharusan bagi peserta didik untuk mengakses materi pembelajaran elektronik. Sekalipun sifatnya opsional, peserta didik yang memanfaatkannya tentu akan memiliki tambahan pengetahuan atau wawasan. b. Sebagai Pelengkap/ Komplemen, Dikatakan berfungsi sebagai komplemen (pelengkap) apabila materi pembelajaran elektronik diprogramkan untuk
96
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
melengkapi materi pembelajaran yang diterima siswa di dalam kelas. Sebagai komplemen berarti materi pembelajaran elektronik diprogramkan untukmenjadi materi reinforcement (pengayaan) atau remedial bagi peserta didik di dalam mengikuti kegiatan pembelajaran konvensional. c. Sebagai Pengganti/ Subtitusi, Pengunaan e-learning sebagai pengganti sudah dibuktikan padaperguruan tinggi di beberapa negara maju. Mahasiswa diberikan 3 pilihan yaitu: menggunakan pembelajaran konvesional seluruhnya, sebagian menggunakan pembelajaran konvensional dan sebagian lagi menggunakan elearning sedangkan opsi terakhir adalah penggunaan elearning secara sepenuhnya. Sedangkan mobile learning di definisikan sebagai the intersection of mobile computing and e-learning: accessible resources wherever you are, strong search capabilities, rich interaction, powerful support for effective learning, and performancebased assessment. E-learning independent of location in time or space (Robso, 2003). Berdasarkan definisi-definisi di atas model pembelajaran secara mobile berarti pembelajaran yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, yang sekarang dapat diakses oleh peserta didik maupun pengajar dari berbagai macam media elektronik seperti handphone, personal computer, dan laptop. Walaupun banyak kemudahan yang di dapat melalui pembelajaran mobile learning tetapi tidak semua mata kuliah/pelajaran dapat diterapkan secara seratus persen pada konsep pembelajaran ini. Beberapa mata kuliah/pelajaran yang mempunyai bobot praktek dan teori yang sama, seperti pelajaran menari tidak dapat sepenuhnya menggunakan metode ini, tetapi dengan cara mengkombinasikan antara face-to-face dan online atau lebih di kenal dengan istilah “Blended learning”. Seperti yang dikatakan oleh Cheesman & Cyber Media Creation (2005) dalam Desloehal Djumrianti (2005), Blended learning is an increasingly popular combination of online and in-person, classroom learning activities, … take advantages of the blended learning to minimize the cost of training to fit their programs. Sehingga perlu adanya penyesuaian kurikulum yang tepat untuk diterapkan selama kondisi pemulihan bencana, dengan membuat beberapa alternatif kurikulum yang akan digunakan. Selain kelemahan yang telah disebutkan diatas dalam pembelajaran berbasis elektronik yang akan diterapkan dalam pembelajaran secara mobile ini, ada beberapa kelemahan-kelemahan lain yang perlu diperhatikan dan bagaimana mencari solusinya. Setiap peserta (siswa dan pengajar) harus memiliki keahlian dasar dalam menggunakan komputer dan internet, untuk itu setiap harus diberi bekal pelatihan dalam pemakaiannya. Walaupun sekarang hampir semua siswa dan pengajar sudah tidak asing lagi dengan komputer, internet, dan handphone. Kendala lain yang mungkin terjadi dikarenakan adanya traffic jam pada jam sibuk dikarenakan banyaknya orang yang menggunakan jaringan yang sama. Selain itu adanya gangguan dari para hackers yang dapat mengganggu program dan menghambat waktu pembelajaran. Kesemua problem diatas dapat di atasi dengan cara selalu meng-up-date data, dan bekerja sama dengan provider yang kita gunakan (Wikipedia, 2010). Dalam pembelajaran secara mobile ini perlu adanya kerjasama dari beberapa pihak agar proses belajar mengajar dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kesiapan dari pihak-pihak terkait merupakan aktivitas yang perlu dilakukan untuk keberhasilan penerapan mobile learning. Konsep Pembelajaran secara mobile menurut Stevanus Wisnu Wijaya (2006) pada jenjang pendidikan tinggi sebagai berikut:
97
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
1. Konsep mobile learning difokuskan untuk menyediakan kelas pembelajaran maya yang memungkinkan interaksi antara guru dan siswa. Interaksi meliputi penyediaan materi ajar, ruang diskusi, penyampaian tugas dan pengumuman penilaian. 2. Teknologi yang diadopsi sebaiknya efektif secara pedagogi dan dinilai sebagai sebuah pembaharuan. Selain itu teknologi yang dipilih sebaiknya mudah di akes dan tersedia dengan distrubusi yang merata di lingkungan siswa maupun guru. Sebagai media yang diharapkan akan menjadi bagian dari suatu proses belajar mengajar di sekolah, komputer/internet diharapkan mampu memberikan dukungan bagi terselenggaranya proses komunikasi interaktif antara guru, siswa, dan bahan belajar sebagaimana yang dipersyaratkan dalam suatu kegiatan pembelajaran. Kondisi yang perlu didukung oleh komputer/intemet tersebut terutama berkaitan dengan strategi pembelajaran yang akan dikembangkan (Boettcher 1999). Lebih lanjut Boectther (1999) mengatakan bahwa strategi pembelajaran yang meliputi pengajaran, diskusi, membaca, penugasan, presentasi dan evaluasi, secara umum keterlaksanaannya tergantung dari satu atau lebih dari tiga mode dasar dialog/komunikasi sebagai berikut: 1. Dialog/komunikasi antara guru dengan siswa 2. Dialog/komunikasi antara siswa dengan sumber belajar 3. Dialog/komunikasi di antara siswa Apabila ketiga aspek tersebut bisa diselenggarakan dengan komposisi yang serasi, maka diharapkan akan terjadi proses pembelajaran yang optimal. Keberhasilan pencapaian tujuan dari pembelajaran sangat ditentukan oleh keseimbangan antara ketiga aspek tersebut (Pelikan, 1992). Dari sejumlah studi yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa internet memang bisa dipergunakan sebagai media pembelajaran, seperti studi telah dilakukan oleh Center for Applied Special Technology (CAST) pada tahun 1996, yang dilakukan terhadap sekitar 500 murid. Murid-murid tersebut dimasukkan daiam dua kelompok yaitu kelompok eksperimen yang dalam kegiatan belajarnya dilengkapi dengan akses ke Intemet dan kelompok kontrol. Setelah dua bulan menunjukkan bahwa kelompok eksperimen mendapat nilai yang lebih tinggi berdasarkan hasil tes akhir. Kemudian sebuah studi eksperimen mengenai penggunaan Internet untuk mendukung kegiatan belajar mengajar Bahasa Inggris yang dilakukan oleh Anne L. Rantie dan kawan-kawan di SMU 1 BPK Penabur Jakarta pada tahun 1999, menunjukkan bahwa murid yang terilibat dalam eksperimen tersebut memperlihatkan peningkatan kemampuan mereka secara signifikan dalam menulis dan membuat karangan dalam bahasa Inggris. Dengan demikian terilihat bahwa komputer/intemet mempunyai peluang yang besar dan bahkan mungkin karena karakteristiknya yang khas seperti cara untuk menyampaikan materi dengan menggunakan sumber-sumber yang berbasis mikroprosesor, di mana informasi atau materi yang disampaikan disimpan dalam bentuk digital.
PEMBAHASAN Banyak tulisan dan penelitian terdahulu yang sudah dilakukan mengenai pembelajaran based on Internet seperti penelitian tentang Learning Management System (LMS) tahun 2005, penelitian ini menfokuskan pada melihat kemungkin adanya kesempatan bagi lembaga pendidikan tinggi studi seperti Politeknik Negeri Sriwijaya
98
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
untuk melakukan pendidikan secara elektronik dengan bantuan LMS. Pada penelitian ini yang telah dilakukan dengan menganalisis kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan peluang Politeknik Negeri Sriwijaya untuk melakukan e-learning. Hasil yang di dapat bahwa Politeknik Negeri Sriwijaya mempunyai aspek-aspek yang cukup kuat untuk melakukan e-learning seperti tersedianya komputer-komputer yang memadai di setiap jurusan, tenaga pengajar yang mampu dan menggunakan komputer dan internet, laboratorium internet dan digital library seperti adanya hot spot dan wireless. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran melalui internet bukanlah hal yang mustahil dilakukan pada zaman sekarang ini. Tetapi terkadang belum adanya kesadaran dari pihak peserta didik untuk menggunakan internet secara maksimal untuk keperluan studinya. Seperti penelitian yang pernah dilakukan mengambil kasus juga pada mahasiswa Politeknik Negeri Sriwijaya, di dapat bahwa sebagian besar mahasiswa menggunakan internet hanya untuk kesenangan saja. Tidak sedikit mahasiswa yang menghabiskan waktu dan uangnya untuk bermain online games, atau bergabung dengan komuniti online, atau juga bergabung dengan jejaring sosial (Djumrianti & Setiawan, 2008). Melihat perkembangan teknologi komunikasi sekarang, sangat memungkinkan untuk menjadikan pembelajaran secara mobile dengan menggunakan fasilitas yang ada pada komputer, internet, dan handphone dalam merecovery secepatnya pasca bencana gempa bumi. Perkembangan teknologi komunikasi termasuk internet dan handphone dengan segala kecanggihan piturnya menyebabkan orang yang hanya memiliki keahlian dasar dalam mengoperasikan internet pun sudah dapat melakukan pembelajaran sejenis ini. Tidak hanya itu persaingan antara sesama operator telepon selular dalam merebut pangsa pasara yang cukup luas pun menjadikan kesempatan yang cukup baik bagi pemakai telepon selular dalam mengaplikasikannya ke pembelajaran ini. Dengan satu atau dua unit personal computer (PC) atau laptop dalam satu sekolah, guru atau pengajar sudah dapat mengkreasikan modul pelajarannya, tugas-tugas ke dalam blog-blog pribadi misalnya. Selain itu secara sederhana dan mudah pendekatan lain yang dapat dilakukan oleh guru yaitu terlibat dalam jejaring sosial siswanya atau dibuat kelompok jejaring sosial khusus sekolah tersebut dimana guru dan murid dapat berinteraksi dengan offline maupun online. Pemberian materi pelajaran pun bisa juga di gunakan lewat media ini. Di lain pihak, para siswa dapat dengan mudah mengupload pelajaran melalui handphonenya dimana pun dan kapan pun dapat dilakukan. Tetapi bagi sekolah yang mempunyai fasilitas komputer yang cukup lengkap dengan server yang memadai maka pembelajaran secara mobile ini dapat direncanakan dengan matang sebelum terjadinya bencana gempa bumi. Pihak manajemen sekolah dapat membentuk tim yang melibatkan guru dan ahli komputer/internet atau juga apabila sekolah memiliki tenaga guru yang kompeten untuk melaksanakannya dapat dikerjakan sendiri. Mulai dari pembuatan web sekolah, pengelolaan server, sampai pada pemeliharaan secara teknis baik komputer maupun internet, tentu hasilnya akan lebih baik karena memang sudah dipersiapkan dengan matang jauh hari sebelumnya. Serangkaian uji coba dan test dapat dilakukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Sebenarnya tidak ada aturan secara baku dan tegas bagaimana membuat dan memulai pembelajaran secara mobile ini, faktor yang sangat penting adalah kemauan, kesiapan, dan kesadaran dari pihak-pihak yang akan terlibat di dalam pembelajaran ini yang paling penting. Kerangka kerja pembelajaran secara mobile ini dibuat sedemikian rupa, sehingga menjadi sangat sederhana dan diharapkan semua peserta (siswa dan pengajar) dapat melakukan dengan mudah, mulai dari mengakses dan meng-up-datenya. Secara garis besar konsepnya seperti di bawah ini:
99
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Internet Mobile learning - data server & application server Internet
Operator Selular GSM/Operator SelularUMTS
Pengguna mobile learning
Pengguna mobile learning
Pengguna mobile learning
Gambar 2, Usulan Model Pembelajaran Secara Mobile Diharapkan semua peserta dapat melakukan pembelajaran secara mobile ini, yang paling penting untuk tercipta dan terlaksananya pembelajaran secara mobile ini adalah kemauan dari berbagai pihak yang akan terlibat dalam proses pembelajaran itu sendiri. Dari pihak pimpinan sekolah perlunya memberi dorongan untuk memotivasi pengajar dan pelajar agar dapat terlibat di dalam kegiatan pembelajaran ini. Pengajar dan pelajar merupakan pemain utama yang harus mau untuk mempersiapkan diri dan mengikuti pembelajaran ini. Selain itu juga perlu adanya perhatian dan dukungan dari instansi terkait yaitu Dinas Pendidikan Nasional dan Dinas Komunikasi dan Informasi di daerahdaerah tersebut terutama untuk memfasilitasi dan menjembatani hubungan dengan pihak ke tiga sebagai operator/provider telekomunikasi yang akan mendukung kegiatan ini. Penerapan konsep model pembelajaran di atas akan dibuat dengan sangat bervariasi disesuaikan dengan kondisi sekolah dan kemampuan dari peserta pembelajaran
100
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
ini sendiri. Pada sekolah-sekolah yang sudah memiliki fasilitas komputer dan internet yang lengkap dapat dilakukan lebih komplek misalnya dengan pembuatan web sekolah. Tetapi untuk sekolah-sekolah yang tidak mempunyai pendanaan yang cukup besar pun dapat melaksanakan kegiatan ini tanpa pengadaan server yang memadai untuk mensupport. Cukup dengan satu atau dua personal computer atau laptop yang mempunyai modem dan dapat terhubung dengan internet sudah dapat dilakukan. Dengan pemanfaatan fitur handphone termasuk pemanfaatan komunitas online, seperti facebook, twitter, friendster, dan blog pribadi (pengajar maupun sekolah). Komunikasi dapat dilakukan dalam pembelajaran ini dapat dilakukan secara real time; online chat, sms ataupun melalui e-mail. Untuk menghindari terjadinya kebosanan dari bentuk pembelajaran ini perlu adanya daya kreativitas dan seni yang baik dari pengajar untuk mengkreasikan materi pelajarannya. Di bawah ini contoh handphone online yang dapat digunakan dalam pembelajaran mobile.
Gambar 3. Contoh Handphone Online dan fitur yang dapat digunakan dalam pembelajaran mobile Pembelajaran mobile ini sekarang sudah sangat layak dilakukan di Indonesia karena berdasarkan data sebanyak 70% dari total jumlah seluruh penduduk Indonesia menggunakan perangkat selular Goswni, 2007 dalam Purnawan (2010) atau sekitar 150 juta penduduk Indonesia menggunakan perangkat seluler yang juga dapat digunakan sebagai perangkat bergerak atau mobile devices. Kenyataan ini jelas menjadi peluang bagi institusi pendidikan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran dengan memanfaatkan perangkat bergerak sebagai media. Bahkan seperti contoh sebuah perusahaan operator dan provider telekomunikasi Flexi mengeluarkan dan memasarkan produk handphone atau ponsel yang khusus untuk segmen pendidikan. Ponsel Bundling yang diberi nama Flexi Klub Guru yang menawarkan layanan berbasis On Device Portal (ODP) dengan konten sesuai kebutuhan guru saat ini. Di dalam Flexi Klub Guru terdapat konten antara lain info klub guru yang berisikan aturan kebijakan, hot news, kompentensi dan kurikulum pendidikan, pedoman penulisan karya ilmiah, kios musik, kios buku, kios digital, diskon klub dan siraman rohani. Pembelarjan mobile ini dapat dikembangkan menjadi Syncronous training (Obringer, 2010), dalam pembelajaran ini dapat dilakukan secara real time dengan a live instructor facilitating the training. Dalam pembelajaran ini siswa dapat mengangkat tangan kalau mau bertanya seperti layaknya nyata yang akan terlihat pada the cyber whiteboard. Pembelajaran ini menggunakan fasilitas internet web site, audio, atau video conference, internet telephony, or even two-way liv broadcast to students in a classroom. Cara pembelajaran ini dapat juga dilakukan dengan“Collaborative Learning” antar 101
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
pelajar melalui tele-conference sehingga terjadinya kolaborasi belajar sesama pelajar, ataupun dengan para pakar. Tidak hanya belajar dan berdiskusi tetapi juga dapat memungkin untuk terjadinya virtual seminar. Walaupun bentuk pembelajaran ini juga bukan hal yang baru tetapi kalau kondisi ini dapat tercipta akan tentu akan menghasilkan sesuatu yang sangat positif, misalnya meningkatkan semangat pelajar di tempat tertentu atau dalam kondisi tertentu (misalnya anak-anak korban bencana alam). Kolaborasi pembelajaran melalui tele-conference dapat tercipta dengan siapa saja dibelahan bumi mana saja, dan kapan saja diinginkan. Tentu saja hal ini akan membawa dampak ke dalam dunia pendidikan di Indonesia, pertukaran informasi dan ilmu pengetahuan pun akan sangat bervariasi.
KESIMPULAN Pembelajaran mobile dapat dilakukan untuk memulihkan segera pendidikan di daerah-daerah pasca gempa, karena lebih dari sebagian jumlah penduduk Indonesia sudah memiliki pesawat handphone atau ponsel. Selain itu perkembangan teknologi komunikasi termasuk internet dan komputer membuat banyak orang menjadi terbiasa dan dapat mengoperasikannya. Perlu adanya kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak seperti manajemen sekolah, Dinas Kebudayaan Nasional, Dinas Komunikasi dan Informasi, dan perusahaan operator/provider yang akan mensupport pembelajaran mobile ini. Yang terpenting untuk tercipta pembelajaran ini perlu adanya kesiapan dari guru dan siswa selaku pemain utama yang akan terlibat dalam pembelajaran ini. Guru harus mempunyai kemauan dan keinginan untuk melaksanakan pembelajaran ini, sedangkan siswa harus mempunyai kesadaran dan kemandirian yang tinggi untuk dapat mengikuti pembelajaran ini. Hal ini dikarenakan pembelajaran mobile ini tanpa ada aturan waktu atau jadwal yang mengikat siswa dan guru untuk hadir di suatu ruang kelas tertentu secara nyata, jadi jelas keberhasilannya sangat tergantung dari individu yang terlibat di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto. Suharsimi. 1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Citpa Chessman, J. 2005. Developing directors. E-learning Age. Twyford. dari Curtin Universtiy Library and Service Proquest 5000 (online): http://proquest.umi.com.dbgw.lis.curtin.edu.au/pqdweb?index=2&dd=918078941 &SrchMode=1&sid=1Fmt=4mt=4&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&V Name=PQD&TS=1130886974&clientId=22212 dibaca pada 25 Oktober 2005 hal. 28-30, diakses 2 November 2005. Cybre Media Creation. 2005. Definition of blended learning. http://www.cybrmediacreations.com/elearning/glossary.htm (online), diakses 1 November 2005. Depdiknas. 2009. Perkembangan Sekolah Tiap Provinsi Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2008. Data Bencana di Indonesia. Djumrianti, Desloehal & Setiawan, Heri (2008). Pengaruh Karakteristik Pribadi dan Karakteristik Sasaran terhadap Persepsi Mahasiswa dalm Penggunaan Internet sebagai Penunjang Proses Belajar (studi pada Mahasiswa Politeknik Negeri Sriwijaya). Jurnal Teknologi dan Manajemen Informatika. Volume 6, Nomor 1, Februari 2008.
102
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Djumrianti, Desloehal. 2005. Learning Management System (LMS) at State Polytechnic of Sriwijaya, Palembang, Indonesia: an opportunity in the future. Perth (Western Australia): Curtin University of Technology. Djumrianti, Desloehal. 2009. Crowdsourcing sebagai salah satu solusi bisnis dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Teknika. Desember 2009. Miarso, Yusufhadi. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media. Obringer, Lee Ann. 2010. What is e-learning. http://communication.howstuffworks.com/elearning.htm (online). diakses pada 20 April 2010. Pemprov. Sumatera Barat. 2009. Data Kerusakan Infrastruktur Pendidikan (Sekolah). Purnawan, Yudi. 2010. Mobile learning sebagai alternative. http://yudipurnawan.wordpress.com/2010/01/20/mobile-learning-sebagaialternatif (online) diakses 20 April 2010. Robso, Robby. 2003. Mobile learning and Handled Devices in The Classroom. Eduworks Corporation, Oregeon, USA, IMS Australia. Siahaan, Sudirman. 2002. E-Learning (Pembelajaran Elektronik) Sebagai Salah Satu Alternatif Kegiatan Pembelajaran. Jurnal…. http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/42/sudirman.htm. (online) diakses 20 Desember 2009. Wijaya, Stephanus Wisnu. 2006. Mobile Learning: Definisi, Arsitektur, dan Konsep. http://www.butuhbantuan.com/?p=14 (online) diakses 3 April 2010. Wikipedia. 2010. Management Learning Environment. http://en.wikipedia.org/ wiki/Teaching (online), diakses 25 Maret 2010. Zhang, W., Perris, K. & Yeung, L. 2005. Online tutorial support in open and distance learning. British Journal of Educational Technology, volume 36, no. 5 (online), dari Curtin University Library and Service Proquest 5000: http//pseal.setswise.com.dbgw.liscurtin.edu.au/swesfo/swproxy?ur=http%3A%2F 2%Fww.blackwell-synergy.com%Fdoi%2pdf%2F10.1111%w2Fj.14678535.2004.00492.x&ts=1130853043450&cs=3084231313 diakses 1 November 2005.
103
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
DUKUNGAN SISTEM INFORMASI BERBASIS KOMPUTER BAGI MANAGER Oleh: Muhammad Nizar Al Rasyid Staf Pengajar Jurusan Administrasi Niaga - Polsri
ABSTRACT Computers can be a useful tool for people to make decisions that are notaffordable any human brain. In the midst of Telematics-based industrial progress, the information quickly and accurately is increasingly becoming staples of the decission maker. Information is the basic requirement necessary to perform any management decision making. The information system aims to supply all information needs for those who need it. Appropriate information system will assist managers in terms of programs and operational plans and targets to be achieved by the organization. The author tries to explain how an information system uses the computer as its base. In this case how the position of manager as decision maker, what principles apply in a system of computerbased information, true that computer use can increase the value and quality of information? writing is limited to knowing the support of management information systems for managers as decision makers, the principle that applies in the computerbased information systems, the use of computers to enhance the value and quality of information and how to keep corporate information systems are not only used as a dayto-day operations but can be used to analyze their business strategy. The result is that there are 23 things that can be researched further. The purpose of this paper made to know the importance of current computer-based information support for managers to analyze information systems and improve the quality of the information at this time.
Keywords: System information, Computer-based, Management, Manager
PENDAHULUAN Latar Belakang Alasan mendasar penulis mengangkat judul ini adalah bagaimana teknologi sistem informasi berbasis komputer dapat digunakan oleh manusia dan untuk lebih mengetahui dukungan sistem informasi berbasis komputer bagi manager perusahaan sebagai pengambil keputusan beserta permasalahan-permasalahan yang meliputinya. Ada dua hal pokok mengapa para manager atau pihak pengambil keputusan dalam organisasi memberikan perhatian yang besar pada manajemen informasi, hal ini pertama dikarenakan kegiatan bisnis telah semakin kompleks dengan berbagai macam permasalahan yang memerlukan penyelesaian yang cepat tepat dan akurat. Kedua perangkat komputer telah mencapai kemajuan kemampuannya yang semakin baik. Hasil olahan komputer pada awal pemakaiannya di tahun 50-an baru dipakai oleh pegawai administrasi bagian akuntansi keuangan untuk menata aplikasi gaji, persediaan barang dan penagihan. Sebagian informasi lain disediakan para manager akan tetapi berupa produk sampingan. Gagasan untuk menggunakan komputer sebagai suatu sistem informasi manajemen dalam rangka pemecahan masalah manajemen pada tahun 60-an merupakan terobosan besar.
104
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Adapun rumusan permasalahannya adalah dalam hal ini bagaimana posisi manager sebagai pengambil keputusan? Prinsip-prinsip yang berlaku dalam sistem informasi berbasis komputer untuk membuktikan? Lalu bagaimana penggunaan komputer dapat meningkatkan nilai dan kualitas informasi? Penulis mencoba membuka kemungkinan hal-hal lainnya berkaitan pengembangan praktis dari computer-based pada sistem informasi manajemen. Tentu saja dengan dibuatnya tulisan ini untuk dapat diketahui pentingnya saat ini dukungan informasi berbasis komputer bagi manager organisasi untuk menganalisis sistem informasi dan meningkatkan kualitas informasi beserta permasalahan-permasalahan yang meliputinya. Semoga tulisan ini juga sebagai bahan tambahan dan referensi bagi penulis serta civitas akademika umumnya dalam proses perkuliahan pada mata kuliah yang berhubungan dengan Manajemen sistem informasi dan penggunaan Komputer berbasis teknologi informasi di Politeknik Negeri Sriwijaya. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Sistem Sebelum membahas konsep dasar sistem menurut Hartono (1999:684), Sistem dapat didefinisikan sebagai: “Satu kesatuan yang terdiri dari dua atau lebih komponen atau sub sistem yang berinteraksi untuk mencapai satu tujuan. Suatu sistem dapat terdiri dari subsistem perangkat keras (hardware) dan subsistem perangkat lunak (software)”. Adapun konsep dasar dari sistem informasi adalah: Karakteristik Sistem Hartono (1999:684) mengatakan Suatu sistem mempunyai karakteristik atau sifat-sifat yang tertentu, yaitu mempunyai komponen-komponen (components), batas sistem (boundary), lingkungan luar sistem (enviroments), penghubung (interface), masukan (input), keluaran (output), pengolah (process), dan sasaran (objectives) atau tujuan (goal). Komponen sistem , hal ini dapat dilihat pada bagan di bawah ;
Supra dari Supra Sistem
Supra Sistem
Supra sistem
Sistem
Sistem
Subsistem
Subsistem
gambar 1: Supra Sistem
Sub dari Subsistem
gambar 2: Sub Sistem
Batas Sistem, menurut Hartono (1999:685) Merupakan daerah yang membatasi antara suatu sistem dengan sistem lainnya atau dengan lingkungan luarnya. Batas sistem ini
105
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
memungkinkan suatu sistem dipandang sebagai alat kesatuan. Batas suatu sistem menunjukkan ruang lingkup (scope) dari sistem tersebut: Lingkungan luar sistem, Adalah apapun diluar batas dari sistem yang mempengaruhi operasi sistem. Penghubung sistem, Merupakan media penghubung antara satu subsistem dengan subsistem lainnya. Masukan sistem, Masukan dapat berupa masukan perawatan (maintanance input) dan masukan sinyal (signal input). Keluaran sistem, adalah hasil dari energi yang diolah dan diklasifikasikan menjadi keluaran yang berguna dan sisa pembuangan. Pengolah sistem, suatu sistem dapat mempunyai suatu bagian pengolah atau sistem itu sendiri sebagai pengolahnya. Pengolah yang akan merubah masukan menjadi keluaran (output). Sasaran sistem, suatu sistem mempunyai tujuan (goal) atau sasaran (objectives). Jika tidak ada sasaran maka sistem tidak ada gunanya. Klasifikasi Sistem Sistem dapat diklasifikasikan berdasarkan jenisnya, Hartono (1999:687) menyimpulkan sistem dapat diklasifikasikan dari beberapa sudut pandang, diantaranya adalah: Sistem yang abstrak dan sistem fisik (abstract system and physical system) Sistem alamiah (natural system) Sistem bisa dikatakan tertentu dan sistem tak tentu (deterministic system and probalisitic system). Sistem tertutup dan sistem terbuka (closed system and open system) Pengendalian Sistem Karena sistem tidak ada yang tertutup, supaya sistem dapat terus melangsungkan hidupnya, maka sistem harus mempunyai daya membela diri atau sistem pengendalian. Menurut Hartono (1999:689) Sistem pengendalian dapat berupa: Sistem pengendalian umpan balik, adalah suatu bentuk dasar dari sistem yang terdiri dari ; Masukan->Pengolahan->Keluaran dengan pengendalian.
Gambar 3: Sistem Pengendalian Umpan Balik
Sistem pengendalian umpan maju (feed forwad control system), disebut juga istilah positive feedback ini merupakan pengembangan dari sistem pengendalian umpan maju.
106
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Sistem pengendalian pencegahan, adalah mencoba untuk mengendalikan sistem dimuka sebelum proses dimulai dengan mencegah hal-hal yang merugikan untuk masuk ke dalam sistem.
Konsep Dasar Informasi Informasi ibarat darah yang mengalir ke dalam tubuh suatu organisasi, sehingga informasi sangat penting. Dari berbagai sumser Informasi dapat didefinisikan sebagai: Menurut Hartono (1999:692): “Informasi dapat didefinisikan sebagai hasil dari pengolahan data dari suatu bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi penerimanya yang menggambarkan suatu kejadian (event) dan kenyataan (fact) yang digunakan untuk mengambil keputusan”. Menurut Teguh (2005:12): “Informasi kenyataan yang menggambarkan suatu kejadian dan kesatuan nyata. Hasil dari pengolahan data dalam suatu bentuk tunggal atau data-idem. Menurut berbagai kamus bahasa Inggris-Indonesia, data diterjemahkan sebagai istilah yang berasal dari kata “datum” yang berarti fakta atau bahan-bahan keterangan. Data adalah kenyataan yang menggambarkan suatu kejadian dan kesatuan nyata” Menurut Davis, (1999:210): “Informasi sebagai data yang telah diolah menjadi bentuk yang berguna bagi penerimanya dan nyata, berupa nilai yang dapat dipahami di dalam keputusan sekarang maupun masa depan”. Pendapat Robert N. Anthony dan John Dearden (1999:309) dalam buku Management Control Systems, menyebut informasi sebagai suatu kenyataan, data, item yang menambah pengetahuan bagi penggunanya. Moscove dan Mark (1999:220) menyimpulkan informasi adalah sebagai kenyataan atau bentuk-bentuk yang berguna yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan bisnis. Dari lima pengertian seperti tersebut di atas secara umum dapat disimpulkan bahwa informasi merupakan hasil dari pengolahan data menjadi bentuk yang lebih berguna bagi yang menerimanya yang menggambarkan suatu kejadian-kejadian nyata dan dapat digunakan sebagai alat bantu untuk pengambilan suatu keputusan. Siklus Informasi Menurut Hartono (1999:693): “Data merupakan bentuk yang masih mentah dan belum dapat bercerita banyak, sehingga perlu diolah lebih lanjut. Data diolah melalui suatu model untuk dihasilkan informasi. Data dapat berbentuk simbol-simbol semacam huruf-huruf atau alphabet, angka-angka, bentuk-bentuk suara, sinyal-sinyal, gambar-gambar dan sebagainya. Ini yang disebut dengan siklus informasi”. Kualitas Informasi Ada beberapa pendapat yang menyimpulkan tentang kualitas dari informasi namun secara garis besar sama. Menurut Hartono (1999:696): Akurat, artinya pengirim informasi (sender) bersifat akurat, tidak menyesatkan, akurat berarti mencerminkan maksudnya hingga sampai kepada penerima informasi (receiver) terbebas dari gangguan (noise) yang dapat merusak merubah informasi tersebut.
107
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Tepat pada waktunya, berarti informasi yang datang pada penerima tidak terlambat, informasi yang sudah using tidak mempunyai nilai lagi jika telah usang. Karena informasi merupakan landasan setiap pengambilan keputusan, bila pengambilan keputusan terlambat berakibat fatal bagi organisasi. Relevan, berarti informasi tersebut punya manfaat untuk pemakainya (user). Relevansi informasi bisa berbeda bisa juga sama untuk tiap-tiap orang dalam organisasi.
Menurut Teguh (2005:529): Kualitas informasi sangat dipengaruhi atau ditentukan oleh tiga hal pokok, yaitu relevancy, accuracy dan timeliness. a. Relevansi (relevancy), Informasi dikatakan berkualitas jika relevan bagi pemakainya. Pengukuran nilai relevansi, akan terlihat dari jawaban atas pertanyaan “how is the message used for problem solving (decision masking)?” Informasi akan relevan jika memberikan manfaat bagi pemakainya. Relevansi informasi untuk tiap-tiap orang satu dengan yang lainnya berbeda. Misalnya informasi mengenai hasil penjualan barang mingguan kurang relevan jika ditujukan pada manajer teknik, tetapi akan sangat relevan bila disampaikan pada manajer pemasaran. b. Akurasi (accuracy), Sebuah informasi dapat dikatakan akurat jika informasi tersebut tidak bias atau menyesatkan, bebas dari kesalahan-kesalahan dan harus jelas mencerminkan maksudnya. Ketidakakuratan sebuah informasi dapat terjadi karena sumber informasi (data) mengalami gangguan atau kesengajaan sehingga merusak atau mengubah data-data asli tersebut. Beberapa hal yang dapat berpengaruh terhadap keakuratan sebuah informasi antara lain adalah: Kelengkapan (completeness) informasi, “Are necessary message items present?” Informasi yang lengkap, berarti informasi yang dihasilkan atau dibutuhkan harus memiliki kelengkapan yang baik, karena bila informasi yang dihasilkan sebagian-sebagian tentunya akan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan atau menentukan tindakan secara keseluruhan, sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuannya untuk mengontrol atau memecahkan suatu masalah dengan baik. Kebenaran (correctness) informasi.“Are message items correct?” Informasi yang dihasilkan oleh proses pengolahan data, haruslah benar sesuai dengan perhitungan-perhitungan yang ada dalam proses tersebut. Sebagai contoh, jika sebuah informasi menunjukkan total nilai gaji yang harus dibayarkan pada seorang pegawai, maka informasi tersebut haruslah sudah benar dan memuat perhitungan-perhitungan matematis yang ada di dalam prosesnya seperti perhitungan tunjangan, perhitungan potongan dan sebagainya. Keamanan (security) informasi, Keamanan sebuah informasi, tergambar dari jawaban atas pertanyaan “Did the message reach all or only the intended systems user? “ c. Tepat waktu (timeliness), “How quickly is input transformed to correct output?” Bahwa informasi yang dihasilkan dari suatu proses pengolahan data, datangnya tidak boleh terlambat (usang). Informasi yang terlambat tidak akan mempunyai nilai yang baik, sehingga kalau digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dapat menimbulkan kesalahan dalam tindakan yang akan diambil. Kebutuhan akan tepat waktunya sebuah informasi itulah yang pada akhirnya akan menyebabkan mahalnya nilai suatu informasi. Hal itu dapat dipahami karena kecepatan untuk mendapatkan, mengolah dan mengirimkan informasi tersebut memerlukan bantuan teknologi-teknologi terbaru.
108
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Nilai Informasi Menurut Teguh (2005:202): Kriteria untuk menilai apakah sistem yang ada atau sistem yang dibuat telah efektif dan efisien, adalah: Relevance (sesuai kebutuhan) adalah: Capasity (kapasitas sistem) Efficiensy (efesiensi dari sistem) Timeliness (ketepatan waktu menghasilkan informasi) Accessbility (kemudahan akses) Flexibility (keluwesan sistem) Accuracy (keakuratan informasi) Reliability (keandalan dari sistem) Security (keamanan dari sistem) Economy (nilai ekonomis dari sistem) Simplicity (kemudahan dari sistem) Suatu informasi dikatakan bernilai bila manfaatnya lebih efektif dibandingkan dengan biaya mendapatkannya. Kegunaan informasi adalah untuk mengurangi hal ketidakpastian di dalam proses pengambilan keputusan tentang suatu keadaan. Dengan kata lain Nilai suatu informasi berhubungan dengan keputusan. Hal ini berati bahwa bila tidak ada pilihan atau keputusan, informasi menjadi tidak diperlukan. Keputusan dapat berkisar dari keputusan berulang yang sederhana sampai keputusan strategis jangka panjang. Sedangkan parameter untuk mengukur nilai sebuah informasi tersebut, ditentukan oleh dua hal pokok yaitu: Manfaat (benefit) dan Biaya (cost). Suatu informasi dikatakan bernilai bila manfaatnya lebih efektif dibandingkan dengan biaya untuk mendapatkannya dan sebagian besar informasi tidak dapat tepat ditaksir keuntungannya dengan satuan nilai uang, tetapi dapat ditaksir nilai efektivitasnya. Telah diketahui bahwa informasi merupakan hal sangat penting bagi manajemen dalam mengambil suatu keputusan. Lalu timbul pertanyaan darimana informasi didapatkan? jawabannya adalah dari sistem informasi (information system) atau disebut juga processing system. Sistem informasi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem di dalam suatu organisasi yang merupakan kombinasi dari orang-orang, fasilitas, teknologi, media, prosedur-prosedur dan pengendalian yang ditujukan untuk mendapatkan jalur komunikasi penting, memproses tipe tertentu, memberi sinyal kepada manajemen dan yang lainnya terhadap kejadian-kejadian internal dan eksternal. Sistem Informasi Berbasis Komputer Menurut Teguh (2007:
[email protected]) Sistem Informasi merupakan sistem pembangkit. Dengan integrasi yang dimiliki antar subsistemnya, sistem informasi akan mampu menyediakan informasi yang berkualitas, tepat, cepat dan akurat sesuai dengan manajemen yang membutuhkannya. Sistem Informasi “berbasis komputer” mengandung arti bahwa komputer memainkan peranan penting dalam sebuah sistem informasi. Secara teori penerapan sebuah Sistem Informasi memang tidak harus menggunakan komputer dalam kegiatannya. Tetapi pada prakteknya tidak mungkin sistem informasi yang sangat kompleks itu dapat berjalan dengan baik tanpa adanya komputer. Sistem Informasi yang akurat dan efektif, dalam kenyataannya selalu berhubungan dengan istilah “computer-based” atau pengolahan informasi yang berbasis pada computer
109
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
PEMBAHASAN Manusia Versus Komputer Pada awalnya dalam konsep sistem informasi tradisional, manusia merupakan komponen utama dalam mengolah data menjadi informasi. Kapasitas manusia dalam menerima masukan dan menghasilkan keluaran adalah terbatas. Dunia menyediakan lebih banyak masukan daripada yang dapat diterima oleh sistem pengolah manusia. Manusia mengurangi masukan ini sampai batas jumlah yang dapat diatasi melalui suatu proses penyaringan atau seleksi.
Gambar: Model Dasar Manusia sebagai Pengolah Informasi Dengan digunakannya komputer dalam sebuah Sistem Informasi dapat menutupi kekurangan-kekurangan manusia dalam melakukan pengelolaan data menjadi informasi. Pemakaian komputer memiliki beberapa keunggulan seperti berikut di bawah ini: Proses pengolahan yang cepat. Tingkat akurasi informasi yang dihasilkan cukup tinggi. Efisiensi Sumber Daya Manusia. Kemudahan Berinteraksi Dengan Penggunanya Manajer sebagai mengguna informasi dalam rangka pengambilan keputusan berada di berbagai tingkat dan area fungsional di dalam perusahaan. Para manajer yang berada pada tingkat atau area fungsional perusahaan itu hendaklah didukung oleh informasi yang dapat diandalkan agar mereka dapat diandalkan agar mereka dapat melakukan tugasnya dengan baik. Komputer dapat menyajikan terlaksananya proses penyajian informasi yang baik tersebut. Jadi model sistem informasi berbasis komputer (Computer based information system-CBIS) telah menjadi suatu pilihan terbaik dalam pengolahan data. Khususnya pada bidang bisnis. Suatu CBIS sebenarnya mengacu pada evolusi sistem informasi yang berbasiskan komputer yang tahapannya memperlihatkan perkembangan kemajuan teknologi sistem informasi sekaligus pemanfaatannya oleh orang-orang yang berkepentingan dalam perusahaan. Pada gambar dibawah memperlihatkan bahwa para manajer suatu perusahaan manufaktur dapat dikelompokkan menurut tingkatan dan area fungsionalnya.
110
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Gambar, Siklus dari Komputer Berbasis Sistem Informasi (computer based information system-CBIS). Secara ringkas berikut ini adalah sebagai berikut: Tahap 1 : AIS (Accounting Information System) adalah aplikasi yang menggunakan komputer bersifat pengolahan data perusahaan secara sederhana, dalam hal informasi untuk manajemen masih merupakan produk sampingan. Tahap 2 : MIS (Management Information System), adalah konsep aplikasi komputer bertujuan untuk menyajikan informasi manajemen. MIS merupakan sumber daya organisasi yang menyediakan informasi pemecahan masalah bagi sekelompok manajer secara umum yang mewakili suatu unit organisasi seperti suatu tingkat manajemen atau area fungsional. Tahap 3 : DSS (Decision Support System), adalah sistem informasi yang ditujukan pada suatu masalah tertentu yang harus dipecahkan oleh manajer dalam mengambil keputusan. Jadi DSS dapat mendukung satu orang manajer sekalipun dengan masalahnya sendiri-sendiri. Tahap 4 : OA (Office Automation), adalah aplikasi yang memudahkan komunikasi dan meningkatkan kinerja serta produktifitas di antara manajer dan pekerja kantor melalui penggunaan alat-alat elektronik, seperti website perusahaan, faximile, word processing, modem, e-mail, dan desktop publishing. Tahap 5 : ES (Expert System), adalah ide dasar kecerdasan buatan (Artificial inteligent-AI) dalam hal ini komputer dapat diprogram untuk melaksanakan sebagian penalaran logis yang sama seperti manusia. Bagian khusus dari AI adalah sistem pakar (expert system), sistem pakar adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai orang spesialis dalam suatu area fungsional yang dapat memberikan bantuan yang sama seperti diberikan oleh konsultan manajemen.
111
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Sistem Informasi Keorganisasian Setelah melihat daur hidup dari SIM berbasis komputer, akan dibahas gambaran umum tentang bagaimana sistem informasi dalam perusahaan dapat dimiliki agar informasinya dapat dipakai tidak hanya dalam operasional perusahaan sehari-hari tetapi juga dalam rangka menganalisis strategi bisnis perusahaan. Sistem Informasi Perusahaan Sistem informasi perusahaan menyediakan informasi dalam rangka mendukung pemecahan masalah perusahaan. Kaitannya dengan penjualan (selling), pelanggan (customer), potensial pasar, kompetitor. Data Masukan Untuk membuat informasi pemasaran, data yang dibutuhkan menurut subsistemnya adalah: Subsistem SIA, berupa data kegiatan yang rinci. Subsistem penelitian pemasaran (marketing research), berupa data mengenai semua aspek pelanggan atau pasar potensial. Subsistem intelijen pemasaran (marketing inteligent), berupa data khususnya mengenai pesaing (kompetitor). Keluaran Informasi Berdasarkan data di atas, sistem informasi pemasaran diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat dipakai dalam pengambilan keputusan untuk perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan atas produk, distribusi/tempat, promosi, harga atau bauran pemasaran (marketing mix) yang terintegrasi. Sistem Informasi Keuangan Sistem informasi keuangan dirancang untuk menyediakan informasi mengenai arus uang (cash flow) yang dapat digunakan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka mendukung pemecahan masalah keuangan perusahaan. Data Masukan Untuk keperluan pembuatan informasi keuangan, data yang dibutuhkan menurut subsistemnya adalah: Subsistem SIA, berupa data mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan yang terjadi dalam perusahaan. Subsistem Audit Internal, berupa data internal perusahaan yang didapat melalui proses audit internal yang dilakukan secara periodik untuk menyakini bahwa data dan informasi yang ada telah sesuai dengan fakta di lapangan. Subsistem intelijen keuangan, berupa data mengenai lingkungan yang mempengaruhi arus uang seperti masyarakat keuangan, pemegang saham dan pemerintah. Informasi Keluaran Berdasarkan data di atas, sistem informasi keuangan diharapkan dapat memberikan masukan yang dapat dipakai dalam pengambilan keputusan untuk perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan atas peramalan (forecasting) yang menjadi dasar bagi perencanaan strategis, manajemen
112
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
keuangan yang berkaitan dengan arus dana perusahaan dan pengendalian dana yang menyiapkan dana operasi tahunan sekaligus pengendaliannya. Sistem Informasi Sumber Daya Manusia (SDM) Departemen sumber daya manusia (human recources development-HRD) merupakan suatu area fungsional yang melaksanakan fungsi staf. HRD bertanggung jawab membawa personel dari lingkungan ke perusahaan serta sekaligus menyimpan dokumen-dokumen tentang pegawai sampai pegawai tersebut berhenti bekerja atau pensiun. Sistem yang populer menyediakan informasi mengenai HRD perusahaan adalah HRIS (Human Resources Information System), Simpeg (Sistem Informasi Kepegawaian). Data Masukan Untuk keperluan pembuatan informasi HRD atau SDM, data yang dibutuhkan menurut subsistemnya adalah: Subsistem SIA, berupa data keuangan pegawai dan data non keuangan pegawai. Subsistem penelitian pegawai, berupa : Data dari masyarakat seperti prakiraan ekonomi, yang dapat mempengaruhi rencana pegawai. Data dari serikat pekerja, pesaing. Data dari pemasok tenaga kerja, seperti perguruan tinggi dan departemen tenaga kerja. Data dari pemerintah kaitannya tentang peraturan-peraturan ketenagakerjaan. Informasi Keluaran Berdasarkan data tersebut sistem informasi SDM yang sesuai dengan tujuan perusahaan secara terpadu diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat dipakai dalam pengambilan keputusan untuk perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan atas pengadaan, kompensasi, penggajian berdasarkan masa kerja, tunjangan, asuransi pegawai dan pemutusan hubungan kerja. Alat Analisis Bisnis Untuk mengolah data diatas agar dapat menjadi informasi untuk disajikan pada manajer. Analisis tersebut adalah: Alat analisis Sumber Daya Manusia, misalnya Penilaian prestasi kerja, penilaian produktifitas karyawan. Alat analisis pemasaran, misalnya alokasi sumber daya pemasaran, persamaan laba, persamaan penjualan, perencanaan optimalisasi laba. Alat analisis keuangan, misalnya rasio keuangan. Alat analisis akuntansi, misalnya rasio likuiditas, rasio efisiensi, rasio leverage, rasio probabilitas
KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas bahwa penulis menyajikan ada 23 faktor yang dapat di teliti lebih lanjut atau dilakukan riset ilmiah pihak oleh manajemen (manajer), kalangan Dosen atau kalangan praktisi Manajemen terkait dengan pelaksanaan sistem dan prosedur Computer Based Informations System-CBIS sebagai pendukung utama untuk pengambilan keputusan, yaitu sebagai berikut:
113
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Apakah tugas dan tanggung jawab telah didefinisikan dan diterapkan dengan jelas? Apakah tugas dan tanggung jawab telah didistribusikan pada unit-unit organisasi? Apakah kebijaksanaan dan prosedur telah dipahami dan diikuti? Apakah produktifitas karyawan memuaskan? Apakah unit organisasi telah saling bekerja sama menjaga arus data dengan lancar? Apakah masing-masing kegiatan telah mencapai sasarannya? Apakah terjadi operasi yang tumpang tindih? Seberapa perlu hasil dari tiap operasi? Apakah terjadi penundaan dalam pengolahan data? Apakah ada operasi yang menghambat arus data? Apakah jumlah kesalahan di tiap operasi diminimalkan? Apakah operasi-operasi telah direncanakan dan dikendalikan? Apakah volume puncak data dapat ditangani? Seberapa mudah sistem dapat beradaptasi terhadap kejadian khusus dan pertumbuhan-pertumbuhan yang terjadi? Seberapa perlu dokumen yang ada? Apakah dokumen yang ada cukup efektif? Apakah tembusan dokumen diperlukan? Dapatkah laporan-laporan disiapkan dengan mudah dari file dan dokumendokumen yang ada? Apakah terdapat standar kinerja yang baik? Apakah file dapat dengan mudah diakses dan dimutakhirkan? Apakah peralatan pengolahan data telah digunakan secara efektif dan efisien? Apakah sistem pengendalian intern cukup dapat diandalkan? Apakah arus data informal harmonis dengan arus data formal?
SARAN Pada dasarnya komputer diciptakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan kegiatannya sehari-hari di semua bidang kehidupan, Sistem Informasi Berbasis Komputer saat ini walau belum menyeluruh tetapi telah dipakai di lembagalembaga non profit seperti departemen kementrian pemerintahan, pemerintah pusat dan daerah, namun pada perusahaan (corpotate) menengah keatas hal ini telah dipakai dan merupakan bagian dari perusahaan tersebut. Walaupun demikian keputusan akhir (final result decision) tetap berada di tangan manusia dalam hal ini pihak pimpinan/manajer perusahaan, karena dengan menggunakan sistem informasi berbasis komputer belum tentu informasi yang diharapkan tidak mempunyai masalah, seperti terlambat, salah input data, faktor kesalahan manusia (human error), factor gangguan dari aplikasi virus computer, Hacker dan Cracker yang dapat merusak, faktor gangguan telekomunikasi dan sebagainya.
114
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
DAFTAR PUSTAKA Nizar Muhammad & Mandiangan Pridson, 2009, Pengantar Komputer Edisi I. Penerbit KSU Empat Serangkai, Palembang. Wahyono, Teguh. 2005. Komputer Berbasis Sistem Informasi-CBIS: Pemakaian Komputer untuk Meningkatkan Nilai dan Kualitas Informasi. UKSW: Penerbit Ilmu Komputer. Kasmir. 2002. Lembaga Keuangan dan Bank. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Husein, Umar. 2003. Riset Strategi Perusahaan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Gordon, B. Davis. 1999. Management Informations System:Conceptual Foundations, Structures, and Development, 3th edition. Prautice: Hall Inc. Raymond, Mc.Leod. 1998, Management Information System, 7th edition. Prautice: Hall Inc. Setiawan, Hari, Purnomo dan Zulkieflimansyah. 1998. Manajemen Strategi. Jakarta. Lembaga Penerbit FEUI. Jogiyantono, Hartono. 1999. Pengenalan Komputer Dasar Pemrograman Sistem Informasi dan Intelegensi Buatan, Yogyakarta: Penerbit Andi. Anoraga, Panji. 1996. Manajemen Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Swasta, Basu. 1993. Pengantar Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara.
115
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
ANALISA MANFAAT PENYALURAN DANA PROGRAM SEKOLAH GRATIS DI DESA KARANGSARI KABUPATEN BANYUASIN Oleh: Mariskha Z. Staf Pengajar Jurusan Administrasi Niaga - Polsri
ABSTRACT Good educational process is not only the responsibility of the providers of education, but also must be supported by society and the government role in this case acts as a fiduciary of the 1945 highest for the nation of Indonesia. Since lounching free schools program in July 2009, memorandum of under standing (MOU) with Government of South Sumatra provincial government Banyuasin District, has prepared a budget for the program sharing funds amounting to Rp 2.505.030.000 free school for one academic year. Free school program funds is a lot of benefits for the citizens of the village of Karang Sari, Primary X, Karang Agung Ilir, Kelurahan Karang Rejo, Kecamatan Breech, Banyuasin district. Villages with a population of approximately 500 heads of households (families) this, already feeling the positive impact of this program. Due to the existence of a free school program funds have been able to help children who drop out of school, back to school again. The children in this village is no longer dependent on their parents to pay school fees of agricultural output. However, not apart from it all to get the same education, same quality, distribution and the allocation, as well as the use of free school program funds more precisely, with not free from government control to local districts, especially in waters that are difficult to reach. Keywords: Help cost, Free school, Benefit, Evaluation, Controlling
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pendidikan sangat penting keberadaanya bagi kelangsungan hidup sebuah negara bangsa. Untuk memperoleh sumber daya manusia yang unggul dibutuhkan satu proses pendidikan yang baik. Proses pendidikan yang baik bukan hanya menjadi tanggung jawab lembaga penyelenggara pendidikan semata, tetapi juga harus didukung perannya oleh masyarakat dan pemerintah yang dalam hal ini bertindak sebagai pemegang amanah tertinggi dari UUD 1945 untuk mencerdaskan bangsa Indonesia. Seiring bergulirnya reformasi di negara Indonesia yang menuntut otonomi daerah maka secara bertahap pun kewenangan penyelenggaraan pendidikan diserahkan kepada tiap-tiap pemerintah daerah. Dengan diserahkannya kewenangan tersebut kepada pemerintah daerah berarti telah ada keleluasaan kepada daerah untuk menjalankan aktivitas pelayanan publik tanpa harus banyak terpaku pada aturan-aturan yang telah di buat oleh pemerintah pusat. Pendidikan sangat penting keberadaanya bagi kelangsungan hidup sebuah negara bangsa. Untuk memperoleh sumber daya manusia yang unggul dibutuhkan satu proses pendidikan yang baik. Proses pendidikan yang baik bukan hanya menjadi tanggung jawab lembaga penyelenggara pendidikan semata, tetapi juga harus
116
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
didukung perannya oleh masyarakat dan pemerintah yang dalam hal ini bertindak sebagai pemegang amanah tertinggi dari UUD 1945 untuk mencerdaskan bangsa Indonesia. Demikian pula dengan pemerintah Kabupaten Banyuasin sejak lounching program sekolah gratis pada Juli 2009, memorandum of under standing (MOU) dengan pemerintah provinsi Sumatera Selatan. Pemkab Banyuasin, sudah menyiapkan anggaran dana sharing untuk program sekolah gratis sebesar Rp 2.505.030.000 untuk satu tahun ajaran. Dana program sekolah gratis sangat terasa manfaatnya bagi warga Desa Karang Sari, Primer X, Karang Agung Ilir, Kelurahan Karang Rejo, Kecamatan Sungsang, Kabupaten Banyuasin. Desa yang berpenduduk lebih kurang 500 kepala keluarga (KK) ini, sudah merasakan dampak positif dari program ini. Hal ini disebabkan masyarakat Desa Karang Sari yang rata-rata menggantungkan hidup dari bertani padi dengan penghasilan yang tidak tetap. Selain itu Desa Karang Sari ini berada paling ujung di kawasan perairan Kabupaten Banyuasin, sangat terpelosok, dengan infrastruktur masih minim, dan belum tersentuh jaringan listrik. Satu-satunya sarana transportasi yang dapat digunakan untuk menuju desa ini melalui jalur air. Alat transportasi yang digunakan untuk menuju desa ini adalah speedboat melalui dermaga di kawasan Benteng Kuto Besak (BKB). Waktu yang dibutuhkan sekitar 4,5 jam perjalanan untuk sampai ke desa ini. Transportasi lain yang dapat digunakan warga jika membawa barang dagangan Desa Karang Sari tersebut, yakni dengan menaiki perahu tongkang yang berlabuh di belakang gedung Pasar 16 Ilir, dengan waktu sekitar 18 jam perjalanan. Akan tetapi dalam penyaluran dana program sekolah gratis tidak ada perbedaan antara sekolah yang berada di daerah perairan dan di daratan, namun besarnya biaya operasional sekolah yang berada di daerah perairan semestinya menjadi pertimbangan pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten. Perumusan Masalah Adapun yang menjadi masalah dalam kajian ini adalah: 1. Bagaimana manfaat penyaluran dana program sekolah gratis di Desa Karang Sari Kabupaten Banyuasin. 2. Bagaimana masyarakat perairan di Desa Karang Sari dapat menikmati pendidikan yang sama dengan masyarakat di daerah daratan maupun perkotaan. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana manfaat penyaluran dana program sekolah gratis di Desa Karang Sari Kabupaten Banyuasin. 2. Apakah masyarakat perairan sudah mendapatkan pendidikan yang sama dengan masyarakat di daerah daratan maupun perkotaan. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui pendidikan di daerah perairan dan bagi Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten dapat lebih tepat dalam pengalokasian dan penyaluran dana program sekolah gratis khususnya di daerah perairan. Metode Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Adapun ruang lingkup penelitian ini dilakukan di Desa Karang Sari, Primer X, Karang Agung Ilir, Kelurahan Karang Rejo, Kecamatan Sungsang, Kabupaten Banyuasin.
117
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
Metode Pengumpulan Data Metode yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah: 1. Observasi, yaitu dalam hal ini melakukan pengamatan langsung terhadap masyarakat di Desa Karang Sari. 2. Wawancara, yaitu dengan cara bertanya langsung dengan masyarakat yang ada di Desa Karang Sari. Data yang digunakan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data Primer, Yaitu data yang diperoleh dengan survey lapangan yang menggunakan semua metode pengumpulan data original. 2. Data Sekunder, Yaitu data yang telah dikumpulkan oleh lembaga pengumpul data dan dipublikasikan kepada masyarakat pengguna data. Analisis Data Analisis data yang dilakukan dengan cara kualitatif dalam paradigma kuantitatif, di mana data yang terkumpul berdasarkan kuantitatif dibuat dalam bentuk tabel, kemudian dideskripsikan, ditafsirkan dari berbagai aspek baik, baik dari segi latar belakang, karakteristik dan sebagainya (Muhadjir, 2000:304 dalam Widoyoko).
TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya pasal 31 tentang Pendidikan dan Kebudayaan, yang menyatakan bahwa pertama setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Kedua, Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai. Ketiga, pemeritah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Keempat, Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, dan yang kelima, pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Kemudian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga Negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab Negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Konsekuensi dari amanat undang-undang tersebut adalah pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) serta satuan pendidikan lain yang sederajat. (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010:1). Tujuan Penyaluran Dana Program Sekolah Gratis Berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 31 Tahun 2009, tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Sekolah Gratis di Provinsi Sumatera Selatan, Tujuan
118
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
penyaluran dana program sekolah gratis adalah untuk meringankan beban orang tua/wali siswa melalui pembebasan dari kewajiban membayar biaya operasional sekolah. Biaya operasional sekolah adalah biaya yang dikeluarkan untuk pembiayaan kegiatan proses belajar mengajar yang terdiri dari: a. biaya personal meliputi biaya untuk kesejahteraan guru, pegawai, pengembangan profesi guru; dan b. biaya non personal yang meliputi penerimaan siswa baru/daftar ulang siswa, penunjang kegiatan belajar mengajar, evaluasi/ penilaian, perawatan/pemeliharaan ringan, daya dan jasa, pembinaan kesiswaan, dan alat tulis kantor. Sasaran Program Sekolah Gratis Sasaran program sekolah gratis adalah: 1. Sekolah dasar/Sekolah Dasar Luar Biasa/Madrasah Ibtidaiyah Negeri/Swasta disingkat SD/SDLB/MI Negeri/Swasta adalah SD/SDLB/MI di Sumatera Selatan. 2. Sekolah Menengah Pertama/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa/Madrasah Tsanawiyah Negeri/Swasta disingkat SMP/SMPLB/MTs Negeri/Swasta adalah SMP/SMPLB/MTs di Sumatera Selatan. 3. Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa/Madrasah Aliyah/Sekolah Mengengah Kejuruan Negeri/Swasta disingkat SMA/SMALB/MA/SMK Negeri/Swasta adaah SMA/SMALB/MA/SMK di Sumatera Selatan. 4. Sekolah Standar Nasional yang selanjutnya disingkat SSN adalah sekolah negeri maupun swasta yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia sehingga lulusannya memiliki kemampuan dan daya saing nasional. 5. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional yang selanjutnya disingkat RSBI adalah sekolah yang sudah memenuhi standar nasional pendidikan yang dipersiapkan untuk menjadi sekolah bertaraf internasional. 6. Sekolah Bertaraf Internasional yang selanjutnya disingkat SBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan tarafnya internasional sehingga lulusannya memiliki kemampuan dan daya saing internasional. 7. Kelompok Belajar Paket yang selanjutnya disebut Kejar Paket adalah pendidikan masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah untuk siswa yang belajarnya tidak melalui jalur sekolah/madrasah, yang meliputi Kejar Paket A setara SD/MI, Kejar Paket B setara SMP/MTs, dan Kejar Paket C setara SMA/MA. Tim Manajemen Program Sekolah Gratis Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 31 Tahun 2009 pasal 2 tentang Organisasi Pelaksana, Tugas dan Tanggung Jawab, Tim Manajemen program sekolah gratis adalah pengelola program sekolah gratis yang berkedudukan di Dinas Pendidikan Provinsi dan di Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Tim manajemen Kabupaten/Kota, terdiri dari: a. Penanggung jawab, yaitu: 1. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota 2. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota b. Tim Manajemen, yaitu: 1. Ketua Tim (unsur Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota)
119
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
2. 3. 4. 5. 6.
Wakil Ketua I (unsur Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota) Wakil Ketua II (unsur Kantor Wilayah Departemen Agama Kabupaten/Kota) Sekretaris (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) Bendahara Pembantu (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota) Seksi Data (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Kantor Wilayah Departemen Agama Kabupaten/Kota) 7. Seksi Monitoring (unsur Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota) Penggunaan Dana Pendidikan Sekolah Gratis Kegunaan dana pendidikan sekolah gratis diutamakan untuk: a. Pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, yaitu biaya pendaftaran, penggandaan formulir, administrasi pendaftaran, dan pendaftaran ulang, serta kegiatan lain yang berkaitan langsung dengan kegiatan tersebut, seperti fotocopy, konsumsi panitia, dan uang lembur dalam rangka penerimaan siswa baru, dan lain sebagainya; b. Pembelian buku referensi dan buku teks pelajaran untuk dikoleksi di perpustakaan; c. Pembiayaan kegiatan pembelajaran remedial, pembelajaran pengayaan, olahraga, kesenian, karya ilmiah remaja, pramuka, palang merah remaja dan sejenisnya, seperti untuk honor jam mengajar tambahan di luar jam pelajaran, biaya transportasi dan akomodasi siswa/guru dalam rangka mengikuti lomba; d. Pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar siswa, seperti untuk fotocopy, honor koreksi ujian dan honor guru dalam rangka penyusunan rapor siswa; e. Pembelian bahan-bahan habis pakai seperti buku tulis, kapur tulis, pensil, bahan praktikum, buku induk siswa, buku inventaris, langganan Koran/majalah pendidikan, minuman dan makanan ringan untuk kebutuhan sehari-hari di sekolah; f. Pembiayaan langganan daya dan jasa, seperti listrik, air, telepon, internet, dan biaya pengelolaan lingkungan, termasuk untuk pemasangan baru jika sudah ada jaringan di sekitar sekolah, dan khusus di sekolah yang tidak ada jaringan listrik apabila sekolah tersebut memerlukan listrik untuk proses belajar mengajar, maka diperkenankan untuk membeli genset; g. Pembiayaan perawatan sekolah, yaitu pengecatan, perbaikan atap bocor, perbaikan pintu dan jendela, perbaikan meubelear, perbaikan sanitasi sekolah dan perawatan fasilitas sekolah lainnya. h. Pembayaran honorarium bulanan guru honorer dan tenaga kependidikan honorer; i. Pembayaran honorarium tenaga honorer yang membantu administrasi program sekolah gratis pada SD/MI; j. Pengembangan profesi guru seperti pelatihan, kelompok kerja guru/musyawarah guru mata pelajaran dan kelompok kerja kepala sekolah/musyawarah kerja kepala sekolah; k. Pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin yang menghadapi salah biaya transport dari dan ke sekolah. Jika dinilai lebih ekonomis, dapat juga untuk membeli alat transportasi sederhana yang akan menjadi barang inventaris sekolah seperti sepeda, perahu penyeberangan, dll; l. Pembiayaan pengelolaan program sekolah gratis seperti alat tulis kantor, penggandaan, surat menyurat, insentif bagi bendahara dalam rangka penyusunan laporan program sekolah gratis dan biaya transportasi dalam rangka pengambilan dana program sekolah gratis di Bank/Kantor Pos. m. Pembelian computer untuk kegiatan belajar siswa, maksimum 2 set untuk SMA/SMK/MA;
120
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
n.
Pembayaran honorarium wali kelas dan wakil kepala sekolah, serta kelebihan mengajar (lebih dari 24 jam) secara nyata berdiri di depan kelas yang belum di alokasikan dari sumber dana lain.
Apabila seluruh komponen pada huruf a s.d huruf n telah terpenuhi pendanaannya dari program sekolah gratis dan masih terdapat sisa dana, maka sisa dana program sekolah gratis tersebut dapat digunakan untuk membeli alat peraga, media pembelajaran, mesin ketik dan meubelear sekolah. (Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 31 Tahun 2009 pasal 12 tentang Penggunaan Dana) PEMBAHASAN Manfaat Penyaluran Dana Program Sekolah Gratis di Desa Karang Sari Kabupaten Banyuasin Dengan adanya dana program sekolah gratis sangat terasa manfaatnya di Desa Karang Sari Kabupaten Banyuasin, karena program pendidikan gratis sangat membantu masyarakat setempat. Meskipun telah ada Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diterapkan pemerintah mulai tahun 2005 lalu, namun dana dari pemerintah pusat tersebut masih dirasa belum terlalu memadai untuk menunjang proses belajar mengajar. Oleh karena itu dengan adanya dana program sekolah gratis dari pemerintah provinsi Sumatera Selatan dapat membantu meningkatkan kualitas pendidikan di Desa Karang Sari Kabupaten Banyuasin. Masyarakat di Desa Karang Sari Kabupaten Banyuasin yang sebagian besar hidup dari hasil bertani yang selama ini tidak terlalu memikirkan sekolah untuk anaknya dikarenakan takut tidak mampu membayar biaya sekolah, namun saat ini mereka sudah bisa menyekolahkan anak-anaknya karena tidak lagi memikirkan biaya sekolah. Setelah adanya dana bos dan dana program sekolah gratis, anak-anak yang dulunya putus sekolah dapat melanjutkan kembali sekolah. Sebelum adanya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) maupun dan program sekolah gratis, sekolah-sekolah yang ada di desa Karang Sari Kabupaten Banyuasin kesulitan dalam menyediakan buku, membayar gaji guru honorer, dan biaya-biaya lainnya, karena orang tua siswa sangat mengandalkan pembayaran uang sekolah dari hasil memanen padi. Namun pada saat musim paceklik hampir seluruh siswa menunggak pembayaran uang sekolah. Guru-guru yang ada di Desa Karang Sari Kabupaten Banyuasin ini terdapat lebih banyak guru honorer dari guru PNS. Adapun penggunaannya, baik dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) maupun dana program sekolah gratis di Desa Karang Sari dimanfaatkan untuk mensubsidi SPP siswa, membayar gaji guru honorer, membeli buku pelajaran, membayar les siswa, membiayai kegiatan ekstra kulikuler seperti kesenian pramuka dan kegiatan lainnya. Manfaat yang lebih terasa dari dana program sekolah gratis ini adalah sampai tingkat pendidikan SMA/MA, dimana dana Bantuan Operasional hanya sampai tingkat SD dan SMP. Pendidikan Yang Sama Dapat Dinikmati masyarakat di daerah perairan Desa Karang Sari Kabupaten Banyuasin dengan masyarakat di daerah daratan atau perkotaan Apabila dilihat dari manfaatnya dana program sekolah gratis di Desa Karang Sari sudah sangat baik, karena dengan adanya dana tersebut sudah dapat menekan angka siswa putus sekolah, sudah dapat membantu meringankan orang tua siswa, serta pembayaran gaji guru honorerpun sudah lancar bahkan mengalami kenaikan. Akan tetapi apabila dilihat dari daerahnya, Desa Karang Sari, Primer X, Karang Agung Ilir, Kelurahan Karang Rejo ini terletak di daerah perairan yang dapat dikatakan
121
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
desa tertinggal dimana alat transportasi yang dapat digunakan masyarakat untuk ke kota menggunakan Speedboat atau tongkang. Desa Karang Sari ini juga sampai saat ini belum memiliki listrik maupun bank. Apakah masyarakat di Desa Karang Sari sudah mendapatkan pendidikan yang sama dengan dana program sekolah gratis yang diterima sekolah maupun siswa sama dengan di daerah daratan maupun perkotaan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:
NO
Tabel, Rekapitulasi Dana Sharing Program Sekolah Gratis Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2010 Alokasi Dana Kabupaten/ Lembaga Besaran Kab/ Provinsi Kota Kota
1.
PALEMBANG
SD/MI SMP/MTs SMA/MA SMK
10.000 15.000 80.000 90.000
4.000 5.000 5.000 5.000
6.000 10.000 75.000 85.000
2.
MUSI RAWAS
SD/MI SMP/MTs SMA/MA SMK
10.000 15.000 80.000 90.000
5.000 7.500 40.000 45.000
5.000 7.500 40.000 45.000
3.
OGAN ILIR
SD/MI SMP/MTs SMA/MA SMK
10.000 15.000 80.000 90.000
3.000 4.500 24.000 27.000
7.000 10.500 56.000 63.000
4.
OGAN KOMERING ILIR
SD/MI SMP/MTs SMA/MA SMK
10.000 15.000 80.000 90.000
400 1.550 40.000 40.000
9.600 13.450 40.000 50.000
5.
EMPAT LAWANG
SD/MI SMP/MTs SMA/MA SMK
10.000 15.000 80.000 90.000
3.000 4.500 24.000 27.000
7.000 10.500 56.000 63.000
6.
MUSI BANYUASIN
SD/MI SMP/MTs SMA/MA SMK
10.000 15.000 80.000 90.000
6.000 9.000 48.000 54.000
4.000 6.000 32.000 36.000
7.
BANYUASIN
SD/MI SMP/MTs SMA/MA SMK
10.000 15.000 80.000 90.000
3.000 4.500 24.000 27.000
7.000 10.500 56.000 63.000
8.
OGAN KOMERING ULU
SD/MI SMP/MTs SMA/MA SMK
10.000 15.000 80.000 90.000
4.000 6.000 32.000 36.000
6.000 9.000 48.000 54.000
9.
OKU TIMUR
SD/MI SMP/MTs SMA/MA SMK
10.000 15.000 80.000 90.000
1.550 3.500 46.000 46.000
8.450 11.500 34.000 44.000
10.
OKU SELATAN
SD/MI SMP/MTs SMA/MA SMK
10.000 15.000 80.000 90.000
4.000 6.000 32.000 36.000
6.000 9.000 48.000 54.000
11.
LAHAT
SD/MI
10.000
6.000
4.000
122
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
SMP/MTs SMA/MA SMK
15.000 80.000 90.000
9.000 48.000 54.000
6.000 32.000 36.000
12.
MUARA ENIM
SD/MI SMP/MTs SMA/MA SMK
10.000 15.000 80.000 90.000
80.000 90.000
10.000 15.000 -
13.
PAGARALAM
SD/MI SMP/MTs SMA/MA SMK
10.000 15.000 80.000 90.000
5.000 7.500 40.000 45.000
5.000 7.500 40.000 45.000
14.
LUBUK LINGGAU
SD/MI SMP/MTs SMA/MA SMK
10.000 15.000 80.000 90.000
7.500 12.500 20.000 30.000
2.500 2.500 60.000 60.000
15.
PRABUMULIH
SD/MI SMP/MTs SMA/MA SMK
10.000 15.000 80.000 90.000
5.000 7.500 40.000 45.000
5.000 7.500 40.000 45.000
Sumber: Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan Dari data diatas terlihat bahwa tidak ada perbedaan antara dana program sekolah gratis yang ada di setiap daerah perkotaan maupun kabupaten, baik perairan maupun di daratan. Sebaiknya hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten, karena kebutuhan sekolah di kota, di desa dan di daerah perairan berbeda. Seperti sekolah yang ada di desa Karang Sari, Primer X, alokasi dana program sekolah gratis seharusnya berbeda karena kondisi wilayah yang sulit di jangkau, biaya yang paling besar adalah biaya transportasi dimana pada saat pihak sekolah harus ke kota untuk membeli alat-alat tulis kantor dan lainnya. Pihak sekolah juga merasa kesulitan karena di desa Karang Sari tidak memiliki bank, sehingga pada saat pencairan dana, pihak sekolah harus ke kota dan membawa uang tunai kembali ke desa dengan resiko tingkat kejahatan di perjalanan. Selain itu guru-guru yang mengajar di sekolah kebanyakan guru honorer dengan latar belakang bukan dari ilmu keguruan. Hal ini juga perlu mendapatkan perhatian, agar anak didiknya berkualitas, guru-guru yang mengajarpun harus ditingkatkan kualitasnya. Misalnya dengan cara memberikan pendidikan dan pelatihan, seminar, ataupun dengan cara dikuliahkan kembali. Kebutuhan siswa yang ada di daerah perairan seperti di Desa Karang Sari berbeda dengan kebutuhan siswa yang ada di kota. Siswa di perkotaan membutuhkan komputer, internet, dan alat-alat praktek lainnya yang menggunakan teknologi, sedangkan di daerah perairan seperti Desa Karang Sari dengan kondisi desa yang tidak memiliki listrik tidak dapat menggunakan teknologi-teknologi tersebut. Penyaluran dana program sekolah gratis dapat digunakan untuk membeli genset sekolah agar siswa di desa Karang Sari dapat menggunakan teknologi dalam belajar. Dari hasil pengamatan dan wawancara, dana program sekolah gratis sudah sangat membantu siswa di Desa Karang Sari, namun siswa-siswa di desa tersebut belum dapat menikmati pendidikan yang sama dengan masyarakat kota maupun di daerah daratan.
123
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis Edisi Ke-III, Mei 2010
KESIMPULAN Dana program sekolah gratis di Desa Karang Sari, Primer X, Karang Agung Ilir, Kelurahan Karang Rejo, Kecamatan Sungsang, Kabupaten Banyuasin telah memberikan manfaat bagi masyarakat di desa ini. Karena dengan adanya dana program sekolah gratis telah dapat membantu anak-anak yang putus sekolah, kembali sekolah lagi. Anak-anak di desa ini tidak lagi bergantung pada orang tuanya untuk membayar biaya sekolah dari hasil pertanian. Namun tidak terlepas dari itu semua untuk mendapatkan pendidikan yang sama, kualitas yang sama, penyaluran dan pengalokasian, serta penggunaan dana program sekolah gratis lebih tepat, dengan tidak terlepas dari pengawasan pemerintah kabupaten terutama untuk daerah perairan yang sulit di jangkau. SARAN 1. Dana program sekolah gratis sudah dapat membantu masyarakat di Desa Karang Sari, namun agar penyaluran dan pengalokasian dana tersebut tepat dan bermanfaat, sebaiknya dibedakan besaran antara daerah perairan, perkotaan, dan daratan. 2. Untuk lebih dirasakan manfaatnya, sebaiknya penggunaan dana program sekolah gratis sebaiknya lebih transparan dan diawasi, agar tidak terjadi penyimpanganpenyimpangan.
DAFTAR PUSTAKA Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Bantuan Operasional Sekolah. Jakarta Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 31 Tahun 2009, Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Sekolah Gratis Di Provinsi Sumatera Selatan. Berita Daerah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2009 Nomor 8 Seri E. UUD 45 dan Perubahannya. Susunan Kabinet RI Lengkap (1945-2009). Jakarta: Kawan Pustaka. Widoyoko, Putro, Eko, S. 2008. Analisis Kualitatif Dalam Penelitian Sosial. http://www .um-pwr.ac.id. Diakses pada tanggal 19 April 2010.
124