JURNAL ILMIAH KEPERAWATAN Diterbitkan oleh STIKES Hang Tuah Surabaya bekerjasama dengan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Propinsi Jawa Timur dan Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Tenaga Kesehatan (AIPTINAKES) wilayah Jawa Timur.
Pelindung dr. H. Moch. Djumhana, Sp.M Penanggung Jawab Ns. Nuh Huda, M.Kep, Sp.KMB Pemimpin Redaksi Meiana Harfika, S.KM Sekretaris Taufan Agung Prasetya, S.Sos Bendahara Nenny Andriani, SE Anggota Redaksi Ns. Setiadi, M.Kep Ns. Diyah Arini, M.Kes Ns. Dhian Satya Rahmawati, M.Kep Ns. Diyah Sustrami, M.Kes Lela Nurlela, S.Kp Promosi dan Distribusi Ns. Christina Yuliastuti, S.Kep Ns. Antonius Catur Sukmono, S.Kep Ns. Ninik Ambar Sari, S.Kep Jadual Penerbitan Terbit tiga kali dalam setahun Penyerahan Naskah Naskah merupakan hasil penelitian dan kajian pustaka Ilmu Keperawatan yang belum pernah dipublikasikan/diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun terakhir. Naskah dapat dikirim melalui e-mail atau diserahkan langsung ke Redaksi dalam bentuk rekaman Compact Disk (CD) dan print-out 2 eksemplar, ditulis dalam MS Word atau dengan program pengolahan data yang kompatibel. Gambar, ilustrasi, dan foto dimasukan dalam file naskah. Penerbitan Naskah Naskah yang layak terbit ditentukan oleh Dewan Redaksi setelah mendapat rekomendasi dari Mitra Bestari. Perbaikan naskah menjadi tanggung jawab penulis dan naskah yang tidak layak diterbitkan akan dikembalikan kepada penulis Alamat Redaksi STIKES Hang Tuah Surabaya d/a Rumkital Dr. Ramelan Surabaya Jl. Gadung No. 1 Surabaya Telp. (031) 8411721, 8404248, 8404248, Fax (031) 8411721
UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN KEPADA :
Prof. Dr. Hj. Rika Soebarniati, dr, S.KM Guru Besar Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Ketua Umum Assosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Tenaga Kesehatan (AIPTINAKES) Jawa Timur Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons) Staf Pengajar Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Airlangga Manajer Rumah Sakit Pendidikan Universitas Airlangga
Dr. Bambang Widjanarko Otok, M.Si Staf Pengajar dan Kepala Laboratorium Statistika Sosial dan Bisnis Jurusan Statistika Fakultas MIPA Institut Tekhnologi Surabaya
Ah. Yusuf, S.Kp, M.Kes Ketua PPNI Provinsi Jawa Timur Staf Pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
Selaku penelaah (Mitra Bestari) dari Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya
KATA PENGANTAR Dengan mengucap puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya yang memuat hasil penelitian-penelitian dalam bidang keperawatan telah selesai di cetak. Dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat cepat. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi khususnya dalam bidang keperawatan sangat di tentukan oleh hasil kajian dan penelitian secara ilmiah. Penelitian dalam bidang keperawatan yang dilakukan dengan baik, cermat dan akurat dimana kemudian hasilnya disusun dengan sistematika yang benar dan disebarluaskan tentunya menjadi stimulus terhadap perkembangan ilmu keperawatan itu sendiri. Bertolak dari pandangan diatas maka STIKES Hang Tuah Surabaya merasa perlu memberikan wadah bagi para Dosen/Peneliti dalam bidang keperawatan baik dosen STIKES Hang Tuah sendiri maupun dari dosen luar untuk menyebarluaskan hasil penelitiannya. Diharapkan Jurnal Ilmiah Keperawatan yang diterbitkan oleh STIKES Hang Tuah ini mampu menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang keperawatan dan menambah motivasi bagi para Dosen – dosen yang lain agar melakukan penelitian. Atas nama civitas akademika STIKES Hang Tuah Surabaya saya mengucapkan selamat atas terbitnya Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya, semoga Jurnal ini bermanfaat bagi kita semua.
Surabaya, Desember 2011 STIKES Hang Tuah Surabaya Ketua,
dr. Moch. Djumhana, Sp.M Kolonel Laut (Purn)
DAFTAR ISI Jurnal Ilmiah Keperawatan.....................................................................................i Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan.................................................................ii Kata Pengantar........................................................................................................iii Daftar Isi .................................................................................................................vii Persepsi Perawat Terhadap Pengkajian Resiko Luka Tekan Metode Braden Dan Waterlow Di Unit Perawatan Bedah Pujiarto...................................................................................................................1 Hubungan Lama Menstruasi Terhadap Perubahan HB Mahasiswi Stikes Hang Tuah Surabaya Yang Tinggal Di Asrama Moch. Djumhana ....................................................................................................11 Pengaruh Teknik Relaksasi Progresif Otot Terhadap Kecukupan Tidur Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Budhi Luhur Yogyakarta Merry Kristiana, Abdul Majid, Thomas Aquino E. Amigo......................................21 Hubungan Antara Komunikasi Teraupetik Perawat Dan Tingkat Kecemasan Pada Klien Pre Operasi Di Ruang Pre Med ICU Anestesi RUMKITAL Dr. Ramelan Surabaya Nuh Huda................................................................................................................27 Kualitas Hidup Perempuan Yang Mengalami Histerektomi Serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Di Wilayah DKI Jakarta: Study Grounded Theory R. Khairiyatul Afiyah, Setyowati , Imalia Dewi Asih..............................................34
Pemberian Jambu Merah Terhadap Peningkatan Trombosit Pada Anak DHF Setiadi .....................................................................................................................42 Pengaruh Elevasi Ekstremitas Bawah Terhadap Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik Di Wilayah Banten Tahun 2010 Indah Wulandari, Krisna Yetti, Rr.Tutik Sri Hayati...............................................52 Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Kanker Payudara Pada Pengetahuan Dan Sikap Ibu Dalam Deteksi Dini (SADARI) Dya Sustrami ..........................................................................................................61
Karakteristik Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di Instalasi Rawat Inap Penyakit Dalam Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang Meiana Harfika.......................................................................................................73
PERSEPSI PERAWAT TERHADAP PENGKAJIAN RESIKO LUKA TEKAN METODE BRADEN DAN WATERLOW DI UNIT PERAWATAN BEDAH Pujiarto¹
Abstract : The focus of this study how the nurses perception in assessment risk of the pressure ulcers Braden and Waterlow Method at surgery care unit Dr. Hi. Abdul Moeloek Hospital Lampung Province.This research uses pre-experiment postest only design with 30 nurses. They have been given training about study of the pressure ulcers risks using Braden and Waterlow Method, before answered the questionnaire. Perception base on the Braden Method that is perceived difficult are sensory perception and humidity, while perception according to Waterlow Method description and category score are ratio weight to high, neurogical deficit, drugs, skin type, and risk area which is seen. The statistical test result by Chi square show p value = 0.201 with α = 0.05, therefore it can be concluded that there is no differentiation in the nurses perceptions base on Braden and Waterlow Methods. Both are perceived as easy. Key words : Nurse perception, assesment risk pressure ulcer, Braden Method, Waterlow Method, surgical care unit.
Latar Belakang Luka tekan (Pressure Ulcers) adalah kerusakan pada kulit pada posisi tidur yang lama yang disebabkan oleh tekanan, perlukaan dan gesekan atau dari gabungan penyebab tersebut (European Pressure Ulcer Advisory Panel, 1998 dalam Kottner, 2009). Langkah utama pencegahan terjadinya luka tekan adalah keakuratan pengkajian resiko terjadinya luka tekan sehingga perawat dapat menetapkan dan melaksanakan intervensi untuk pencegahan (Bergstrom, Demuth, & Braden, 1987 dalam Kottner 2009). Biaya yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka tekan sangat tinggi, dikarenakan perawatan dirumah sakit yang lama, yang tentunya memiliki
konsekuensi sosial dan ekonomi bagi seluruh keluarga pasien, kemungkinan terburuk adalah pasien dapat meninggal karena septikemia (Morison, 2004). Berdasarkan hasil survey di Amerika Serikat biaya yang dibutuhkan untuk perawatan pasien yang menderita luka tekan berkisar antara $ 500 – 400.000 ( Rp. 5000.000 – 400.000.000 ), jumlah ini bervariasi tergantung dari derajat luka tekan dan komplikasi yang dialami pasien (Curtis, Allman & Hill, 2007). Sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk tindakan pencegahan luka tekan tidak mencapai setengah dari biaya yang dipakai untuk mengobati luka tekan tersebut. Pasien yang mengalami luka tekan dapat menuntut pertanggung jawaban dari rumah sakit karena kelalaian dalam perawatan pasien, ganti rugi £ 100.000 dapat diberikan kepada seorang 1
penuntut yang dikabulkan tuntutannya (Silver, 1987 dalam Morison, 2004). Luka tekan merupakan masalah yang sering terjadi di rumah sakit di Amerika Serikat yaitu berkisar 3 – 11% pada unit perawatan akut dan 24% pada unit perawatan jangka panjang (Ayello, 2003). Menurut Port (2005, dalam Le Mone 2008) insiden luka tekan di rumah sakit mencapai 8% dan insiden luka tekan di unit perawatan jangka panjang berkisar 2,4 – 23%. Kejadian luka tekan pada pasien yang dirawat di ruang ICU rumah sakit di Pontinak mencapai 33% (Suriadi, 2007), kemudian angka kejadian luka tekan periode November sampai dengan Desember 2009 di Rumah Sakit Umum daerah Dr. Hi. Abdul Moeloek (RSUDAM) Propinsi Lampung pada unit perawatan bedah : Ruang mawar (bedah wanita 50%, Ruang gelatik (bedah orthopedic) 48%, dan ruang kutilang (bedah pria) 12,8%. Identifikasi pasien yang beresiko tinggi mengalami luka tekan sangat penting untuk efektifitas dalam penatalaksanaan luka tekan karena sangat menentukan strategi dan tindakan yang digunakan dalam pencegahan terjadinya luka tekan. Untuk mendukung pengkajian resiko luka tekan diharapkan menggunakan panduan pengkajian dengan skala yang direkomendasikan untuk dapat diaplikasikan pada praktikal klinik (Stechmiller et al., 2008). Metode pengkajian resiko luka tekan yang sering digunakan antara lain adalah metode Braden dan Waterlow. Metode waterlow pertama kali diperkenalkan di Inggris tahun 1985, terdiri dari 10 item yaitu : jenis kelamin dan umur, perbandingan bentuk/berat badan dan tinggi badan, kontinen atau
eliminasi, resiko khusus/malnutrisi jaringan, mobilitas, deficit neurologis, obat-obatan, jenis kulit dan daerah resiko yang terlihat, bedah atau trauma mayor, nafsu makan. Setiap item mempunyai nilai antara 0 sampai dengan 8 total score antara 2 sampai dengan 69, kesimpulan dari penilaian bila score diatas 10 “ resiko ” , score diatas 15 “ resiko tinggi”, dan score diatas 20 “ sangat resiko tinggi” (Waterlow, 1985). Metode waterlow dirancang pertama kali untuk upaya menyempurnakan skala Norton dengan memasukkan lebih banyak parameter didalamnya antara lain memasukkan factor nutrisi, pengkajian tipe kulit, predisposisi penyakit, dan gangguan kardiovaskuler, yang dapat ikut mendorong terjadinya iskemia jaringan (Morison , 2004). Metode Braden pertama kali diperkenalkan di Amerika serikat tahun 1987 terdiri dari 6 item yaitu : persepsi – sensori, kelembaban, aktivitas, mobilitas, nutrisi, gesekan. Setiap item mempunyai nilai antara 1 sampai dengan 4 total score antara 6 sampai dengan 23, kesimpulan dari penilaian bila score 18-15 “ resiko ringan ”, score 14-13 “ resiko sedang”, score 12-10 “ resiko tinggi” dan score 9 atau kurang “ sangat beresiko” ( Ayello dan Braden, 2002 ). . Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang validitas instrumen pengkajian resiko luka tekan antara lain untuk skala Braden diruang ICU mempunyai sensitivitas 83% dan spesifitas 90% dan di nursing home mempunyai sensitivitas 46% dan spesifitas 88% (Bergstrom et al., 1994 dalam Bell J, 2009), sedang di unit orthopepedic mempunyai sensitivitas 64% dan spesifitas 87% (Langemo et al., 1991 dalam Bell J, 2009), dan di
2
unit Cardiothorasic mempunyai sensitivitas 73% dan spesifitas 91% (Barnes et al., 1993 dalam Bell J, 2009). Skala Waterlow mempunyai sensitivitas 73% dan spesifitas 38% (Smith, 1989 dalam Bell J, 2009). Skala Norton di unit orthopedic mempunyai sensitivitas 50% dan spesifitas 31% (Smith, 1989 dalam Bell J, 2009). Instrumen pengkajian resiko luka tekan dengan metode Braden dan Waterlow merupakan alat yang baru, sebagai alat yang baru digunakan adanya kecanggungan penggunaannya adalah hal yang mungkin dapat terjadi dan kondisi tersebut dapat menurunkan efektifitas alat tersebut, sehingga mendorong peneliti untuk meneliti bagaimana penilaian perawat terhadap pengkajian resiko luka tekan dengan metode Braden dan Waterlow pada unit perawatan bedah Rumah Sakit Umum Daerah Dr, Hi. Abdul Moeloek Propinsi Lampung. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi persepsi perawat terhadap pengkajian resiko luka tekan Metode Braden dan Waterlow, Mengidentifikasi persepsi perawat terhadap deskripsi kategori pengkajian resiko luka tekan Metode Braden danWaterlow, Mengidentifikasi persepsi perawat terhadap penetapan skor pada setiap butir kategori dan skor akhir pengkajian resiko luka tekan Metode Braden dan Waterlow, Mengidentifikasi perbedaan persepsi perawat terhadap pengkajian resiko luka tekan Metode Braden dan Waterlow.
Bahan dan Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan desain pra-eksperimen postest only design. Dalam rancangan ini perlakuan atau intervensi yang dilakukan (Xi), kemudian dilakukan pengukuran observasi atau postest (Oii). Rancangan ini sering juga disebut “The one shot case study, untuk meneliti persepsi perawat terhadap pengkajian resiko luka tekan Metode Braden dan Waterlow. Perawat yang bekerja diunit perawatan bedah RSUDAM berjumlah 60 perawat dan yang memenuhi kriteria inklusi penelitian adalah 54 perawat, untuk mengambil 30 responden peneliti menggunakan tekhnik pengambilan sampel simple random sampling yaitu dengan cara mengundi kelima puluh empat perawat dengan menuliskannya kedalam kertas dan digulung kemudian dimasukkan kedalam gelas yang tertutup kemudian dikeluarkan sebanyak 30, kemudian 30 perawat yang terambil dijadikan sampel pada penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Hi. Abdul Moeloek Propinsi Lampung yang merupakan rumah sakit daerah di Propinsi Lampung. Penelitian dilakukan di unit perawatan penyakit bedah dari tanggal 3 Mei – 5 Juni 2010. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan 2 jenis lembar pengumpulan data dalam bentuk kuisioner yaitu : Kuisioner 1 : Tentang persepsi perawat terhadap Metode Braden, yaitu berisi pertanyaan tentang persepsi tentang deskripsi kategori, menilai skor, dan menilai skor akhir dan kesimpulan yang bersisi 13 pertanyaan. Kuisioner 2 : Tentang persepsi perawat terhadap Metode Waterlow, yaitu berisi pertanyaan tentang persepsi tentang deskripsi kategori, menilai skor, dan
3
menilai skor akhir dan kesimpulan yang berisi 21 pertanyaan. Analisis yang digunakan pada penelitian adalah analisis univariat digunakan untuk menggambarkan distribusi frekuensi dan proporsi dari persepsi perawat terhadap Metode Braden dan Waterlow. Analisis bivariat dengan menggunakan Chi Square untuk mengetahui apakah ada perbedaan persepsi perawat terhadap pengkajian resiko luka tekan Metode Braden dan Waterlow.
Hasil Penelitian Pembahasan
dan
3.1. Persepsi perawat terhadap Deskripsi kategori Metode Braden Tabel 3.1 Distribusi Persepsi perawat terhadap deskripsi kategori Metode Braden
Terlihat pada tabel 3.1 persepsi perawat terhadap deskripsi kategori Metode Braden, persepsi persepsi terhadap deskripsi kategori yang dipersepsikan sulit oleh perawat adalah kategori persepsi sensori, yaitu persepsi sensori dipersepsikan sulit oleh 16 responden (53,3%) dan yang mempesepsikan mudah adalah 14 responden (46,7%), sedangkan kategori kelembaban, nutrisi, mobilitas, aktifitas, dan gesekan lebih dari 50% responden mempersepsikan mudah. Menurut teori luka tekan dapat disebabkan karena pasien tidak mampu merasakan atau mengkomunikasikan nyeri yang dirasakan akibat tekanan cenderung untuk mengalami luka tekan, pada pasien yang mengalami gangguan status mental karena stroke, trauma kepala, penyakit otak organic, Alzheimer desease, atau masalah kognitif lainnya beresiko untuk terjadinya luka tekanan namun mereka tidak bisa mengatakan pada orang lain
untuk membantu mereka merubah posisi bahkan ada yang tidak mampu merasakan nyeri atau tekanan (Ignatavicius dan Workman, 2006). Menurut Stuart dan Sundeen (1995), ada lima faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu : (1) Perhatian yang selektif, (2) Ciri-ciri rangsang atau stimulus, (3) Nilai-nilai dan kebutuhan individu, (4) Pengalaman terdahulu, (5) Kebutuhan dan status emosional. Persepsi sulit 53,3% terhadap kategori sensori persepsi dikarenakan perawat sulit untuk melakukan pengkajian rasa nyeri pasien, pasien tidak bisa mengkomunikasikannya kepada perawat, factor lain bisa karena pengalaman terhadap pengkajian persepsi sensori karena dari tiga ruangan, hanya satu ruangan yang banyak pasiennya mengalami penurunan kesadaran karena cidera kepala yaitu diruang bedah N Deskripsi kategori o Metode Braden
Persepsi perawat
1 Deskripsi kategori Persepsi sensori 2 Deskripsi kategori Kelembaban 3 Deskripsi kategori Nutrisi
Sulit Mudah Sulit Mudah Sulit Mudah Sulit Mudah Sulit Mudah Sulit Mudah
4 Deskripsi kategori Mobilitas 5 Deskripsi kategori Aktifitas 6 Deskripsi kategori Gesekan
Fre kuensi (n) 16 14 14 16 2 28 1 29 2 28 3 27
Pro sentase (%) 53,3 46,7 46,7 53,3 6,7 93,3 3,3 96,7 6,7 93,3 10 90
pria/kutilang. 3.2 Persepsi perawat terhadap Skor kategori Metode Braden Tabel 3.2Distribusi Persepsi perawat terhadap skor kategori Metode Braden No
Skor kategori Metode Braden
1
Skor kategori Persepsi sensori Skor kategori Kelembaban Skor kategori Nutrisi Skor kategori Mobilitas
2 3 4
Persep si peraw at Sulit Mudah Sulit Mudah Sulit Mudah Sulit Mudah
Frekue nsi (n)
Prosenta se (%)
18 12 17 13 2 28 1 29
60 40 56,7 43,3 6,7 93,3 3,3 96,7
4
5 6
Skor kategori Aktifitas Skor kategori Gesekan
Sulit Mudah Sulit Mudah
1 29 2 28
3,3 96,7 6,7 93,3
Terlihat pada tabel 3.2 persepsi perawat terhadap skor kategori Metode Braden, persepsi skor kategori yang dipersepsikan sulit adalah persepsi sensori dan kelembaban. Persepsi terhadap skor kategori persepsi sensori dipersepsikan sulit oleh 18 responden (60%) dan dipersepsikan mudah oleh 12 responden (40). Persepsi skor kategori kelembaban dipersepsikan sulit oleh 17 responden (56,7%) dan dipersepsikan mudah oleh 13 responden (43,3%), sedangkan skor kategori lainnya dipersepsikan mudah oleh perawat. Skor kategori persepsi sensori adalah 1 “Tidak dapat merasakan nyeri”, 2 “Gangguan sensori pada setengah permukaan tubuh”, 3 “Gangguan sensori pada 1 atau 2 ekstremitas”, 4 “ Tidak ada gangguan sensori” dipersepsikan cukup sulit oleh perawat karena pasien mungkin tidak bisa mengkomunikasikan kepada perawat, beberapa factor lain yang dapat mempengaruhi persepsi perawat antara lain perhatian terhadap kategori, kurangnya pengalaman dalam menilai persepsi sensori, atau latar belakang pendidikan perawat. Skor kategori kelembaban adalah 1 “Selalu terpapar oleh keringat atau urine (kulit basah)”, 2 “Kulit lembab”, 3 “Kulit kadang-kadang lembab”, 4 “Kulit kering”. Penetapan skor kelembaban dipersepsikan perawat karena sulit membadakan antara kulit lembab dan kulit kadang-kadang lembab, dari wawancara dengan beberapa responden perawat sulit saat membedakan pada skor kulit lembab dan skor kulit kadang-kadang lembab hal ini dikarenakan pengalaman perawat
dalam mengkaji pasien.
kelembaban
kulit
3.3 Persepsi perawat terhadap Skor akhir dan kesimpulan Metode Braden Tabel 3.3 Distribusi Persepsi perawat terhadap Metode Braden menetapkan skor akhir dan kesimpulan No Menetapkan Persepsi Frek Pro skor perawat uensi senta akhir dan (n) se kesimpulan (%) Metode Braden 1 Menetapkan skor Sulit 1 3,3 akhir dan Mudah 29 96,7 kesimpulan
Terlihat pada tabel 3.3 persepsi perawat dalam menetapkan skor akhir dan kesimpulan Metode Braden dipersepsi mudah oleh perawat yaitu 96,7%. 3.4 Persepsi perawat terhadap Deskripsi kategori Metode Waterlow Tabel 3.4Distribusi Persepsi perawat terhadap deskripsi kategori Metode Waterlow No Deskripsi kategori Persepsi Fre Metode Waterlow perawat kue nsi (n ) 1 Deskripsi kategori Sulit 3 Jenis kelamin dan Mudah 27 umur 2 Deskripsi kategori Sulit 18 Perbandingan berat Mudah 12 badan terhadap tinggi badan 3 Deskripsi kategori Sulit 11 Inkontinensia Mudah 19 4 Deskripsi kategori Sulit 5 Mobilitas Mudah 25 5 Deskripsi kategori Sulit 14 Resiko Mudah 16 khusus/malnutrisi jaringan 6 Deskripsi kategori Sulit 16 Defisit neurologis Mudah 14 7 Deskripsi kategori Sulit 16 Obat - obatan Mudah 14 8 Deskripsi kategori Sulit 17 Jenis kulit dan daerah Mudah 13 resiko yang terlihat
5
Prose ntase (%)
10 90 60 40
36,7 63,3 16,7 83,3 46,7 53,3
53,3 46,7 53,3 46,7 56,7 43,3
9
10
Deskripsi kategori Bedah atau trauma mayor Deskripsi kategori Nafsu makan
Sulit Mudah
8 22
Sulit Mudah
4 26
Terlihat pada tabel 3.4 diatas persepsi perawat terhadap deskripsi kategori Metode Waterlow, kategori yang dipersepsikan sulit oleh perawat adalah perbandingan berat badan terhadap tinggi badan, deficit neurologis, obatobatan, dan jenis kulit dan daerah resiko yang terlihat. Perbandingan berat badan terhadap tinggi badan dipersepsikan oleh 18 responden (60%) dan yang mempersepsikan mudah 12 responden (40%), deficit neurologis dipersepsikan sulit oleh 16 responden (53,3%) dan yang mempersepsikan mudah 14 responden (46,7%), obat-obatan dipersepsikan sulit oleh 16 responden (53,3%) dan yang mempersepsikan mudah 14 responden (46,7%), jenis kulit dan daerah resiko yang terlihat dipersepsikan sulit oleh 17 responden (56,7%) dan yang mempersepsikan mudah 13 responden (43,3%), sedangkan kategori lainnya dipersepsikan mudah oleh perawat. Menurut Vangilder et al., (2008) melakukan penelitian untuk melihat hubungan antara prevalen luka tekan, indek masa tubuh dan berat badan survey ini dilakukan dengan melihat laporan kejadian luka tekan di Amerika Serikat tahun 2006-2007 hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi luka tekan lebih tinggi pada pasien dengan indek masa tubuh rendah, dan juga pada pasien yang berat badan kurang dan berat badan lebih. Kategori perbandingan berat badan terhadap tinggi badan dipersepsikan sulit oleh perawat karena untuk mengetahui perbandingan berat badan terhadap tinggi badan harus
menghitung terlebih dahulu sedangkan alat hitung seperti kalkulator tidak tersedia di ruangan. Hal lain bisa karena 13,3 perawat dan tingkat 86,7 pengalaman pendidikan. 26,7 73,3
Kategori deficit neurologis dipersepsikan sulit oleh perawat karena dalam pengkajian perawat kurang memahami kondisi pasien yang mengalami gangguan neurologis terutama pada ruang bedah wanita dan ruang orthopedic yang sedikit pasiennya mengalami deficit neurologis. Kategori obat-obatan dipersepsikan sulit oleh perawat dimungkinkan karena dalam pengkajian perawat kurang memahami jenis obatobatan yang diberikan ke pasien karena obat-obatan dalam instrument ini jarang diberikan pada pasien di unit perawatan ini. Kategori Jenis kulit dan daerah resiko yang terlihat dipersepsikan sulit oleh perawat dimungkinkan karena kesulitan dalam melihat atau membedakan jenis kulit dan kelembabannya disini perawat harus melihat dan mempalpasi langsung kulit pasien. 3.5 Persepsi perawat terhadap Skor kategori Metode Waterlow Tabel 3.5 Distribusi Persepsi perawat terhadap Skor kategori Metode Waterlow No Skor kategori Persepsi Fre Metode Waterlow perawat kue nsi (n) 1 Skor kategori Jenis Sulit 4 kelamin dan umur Mudah 26 2 Skor kategori Sulit 17 Perbandingan berat Mudah 13 badan terhadap tinggi badan 3 Skor kategori Sulit 12 Inkontinensia Mudah 18 4 Skor kategori Sulit 4
6
Pro sent ase (%) 13,3 86,7 56,7 43,3
40 60 13,3
5
6 7 8
9
10
Mobilitas Skor kategori Resiko khusus/malnutrisi jaringan Skor kategori Defisit neurologis Skor kategori Obat - obatan Skor kategori Jenis kulit dan daerah resiko yang terlihat Skor kategori Bedah atau trauma mayor Skor kategori Nafsu makan
Mudah Sulit Mudah
26 13 17
86,7 43,3 56,7
Sulit Mudah Sulit Mudah Sulit Mudah
17 13 16 14 18 12
56,7 43,3 53,3 46,7 60 40
Sulit Mudah
9 21
30 70
Sulit Mudah
4 26
13,3 86,7
Terlihat pada tabel 3.5 diatas persepsi perawat terhadap skor kategori Metode Waterlow, persepsi terhadap skor kategori yang dipersepsikan sulit oleh perawat adalah perbandingan berat badan terhadap tinggi badan, deficit neurologis, obat-obatan, dan jenis kulit dan daerah resiko yang terlihat. Perbandingan berat badan terhadap tinggi badan dipersepsikan oleh 17 responden (56,7%) dan yang mempersepsikan mudah 13 responden (43,3%), deficit neurologis dipersepsikan sulit oleh 17 responden (56,7%) dan yang mempersepsikan mudah 13 responden (43,3%), obatobatan dipersepsikan sulit oleh 16 responden (53,3%) dan yang mempersepsikan mudah 14 responden (46,7%), jenis kulit dan daerah resiko yang terlihat dipersepsikan sulit oleh 18 responden (60%) dan yang mempersepsikan mudah 14 responden (40%),, sedangkan skor kategori lainnya dipersepsikan mudah oleh perawat. Skor kategori perbandingan berat badan terhadap tinggi badan adalah Rata – rata ( 20 – 24,9) – (0), Diatas rata – rata (25 – 29,9) – (1), Obesitas (>30) – (2), Dibawah rata – rata (<20) – (3). Penentuan skore perbandingan berat badan terhadap tinggi badan adalah dipersepsikan cukup sulit oleh perawat
karena dalam penentuan skornya perawat harus menghitung terlebih dahulu perbandingan berat badan tinggi badan pasien. Skor kategori deficit neurologis adalah Diabetes, MS, CVA, Motorik/sensorik paraplegi (4-6). Penentuan skore deficit neurologis adalah dipersepsikan cukup sulit oleh perawat karena dalam penentuan skornya perawat harus menentukan kapan memberikan skor nilai 4-6 pada kategori tersebut. Skor kategori obat-obatan adalah pasien mendapat terapi Sitotoksik, steroid, anti inflamasi, anti koagulan (4). Penentuan skore obat-obatan adalah dipersepsikan cukup sulit oleh perawat karena dalam penentuan skornya perawat harus memahami obat-obatan yang diberikan ke pasien. Skor kategori Jenis kulit dan daerah resiko yang terlihat adalah Sehat (0), Tipis (1), Kering (1), Edema (1), Lembab atau demam (1), Pucat (Luka tekan stage 1) (2), Luka tekan stage 2, 3, atau 4 (3). Penentuan skore kulit dan daerah resiko yang terlihat adalah dipersepsikan cukup sulit oleh perawat karena dalam penentuan skornya perawat harus memahami kondisi pasien dan skor setiap item tidak berurutan. 3.6 Persepsi perawat terhadap Skor akhir dan kesimpulan Metode Waterlow Tabel 3.6 Distribusi Persepsi perawat terhadap Metode Waterlow dalam menetapkan skor akhir dan kesimpulan No Menetapkan Persepsi Frek Prose skor perawat uensi ntase akhir dan (n) (%) kesimpulan Metode Waterlow 1 Menetapkan Sulit 12 40 skor Mudah 18 60 akhir dan kesimpulan
7
Jum lah
Terlihat pada table 3.6 diatas persepsi perawat dalam menetapkan skor akhir dan kesimpulan Metode Braden dipersepsi mudah oleh perawat yaitu 60%. Persepsi perawat terhadap Metode Braden dan Waterlow Tabel 3.7 Distribusi Persepsi perawat terhadap Metode Braden dan Waterlow No Metode Persepsi Frek Prosen Pengkajian perawat uensi tase (n) (%) 1 Metode Sulit 12 40 Braden Mudah 18 60 2 Metode Sulit 13 43,3 Waterlow Mudah 17 56,7
3.8 Persepsi perawat terhadap perbedaan Metode Braden dan Waterlow Tabel 3.8 Distribusi perbedaan persepsi perawat terhadap Metode Braden dan Waterlow Persepsi Waterlow Total OR Persep (95 Sulit Mudah si Braden n % % n % n % CI)
Suli t
3
Mu dah
10
25
9
75
12
100
55,6
8
44,4
18
100
43,3
17
56,7
30
100
Terlihat pada tabel 3.8 hasil analisis perbedaan persepsi Metode Braden dan Waterlow diperoleh bahwa Metode Braden dan Metode Waterlow samasama dipersepsikan mudah oleh perawat unit perawatan bedah. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,201 maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan persepsi perawat terhadap Metode Braden dan Waterlow. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 0,267, artinya persepsi perawat terhadap Metode Braden mempunyai peluang 0,267 kali lebih mudah dibandingkan dengan Metode Waterlow.
3.7
Terlihat pada tabel 3.7 persepsi perawat terhadap Metode Braden yang mempunyai persepsi sulit adalah 12 responden (40%) sedangkan yang mempunyai persepsi mudah adalah 18 responden (60%). Persepsi perawat terhadap Metode Waterlow yang mempunyai persepsi sulit adalah 13 responden (43,3%) sedangkan yang mempunyai persepsi mudah adalah 17 responden (56,7%). Metode Braden dan Metode Waterlow sama – sama dipersepsikan mudah oleh perawat di unit perawatan bedah.
13
Implikasi Hasil Penelitian Hasil penelitian ini sangat bermanfaat bagi perawat di unit perawatan bedah untuk melakukan pengkajian resiko luka tekan pada pasien-pasien yang beresiko mengalami luka tekan dengan menggunakan metode Braden maupun Waterlow, metode Braden dipersepsikan relative lebih mudah dibanding dengan metode Waterlow, metode braden yang dipersepsikan lebih mudah oleh perawat dapat menjadi standar dalam melakukan pengkajian resiko luka tekan khususnya di unit perawatan bedah. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu dalam bidang keperawatan, khususnya P masalah pengkajian resiko luka tekan. va lu Simpulan e
perawat terhadap Metode dan Waterlow sama-sama 0,05 2 dipersepsikan mudah oleh perawat, diperoleh nilai p value = 0,201 dengan – α = 0,05 maka dapat disimpulkan tidak 1,32 ada perbedaan persepsi perawat 0,26
Persepsi
0, Braden
8
terhadap Metode Braden dan Waterlow, kedua metode sama-sama dipersepsikan mudah oleh perawat Dalam penelitian ini ada beberapa deskripsi kategori dan skor kategori dari masing – masing metode pengkajian resiko luka tekan yang dipersepsikan sulit oleh perawat. DAFTAR PUSTAKA Ariawan, I. (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan. Depok : Jurusan Biostatistik dan Kependudukan FKM UI. Tidak dipublikasikan. Ayello,
E.A. (2003). Predicting pressure ulcer risk. Diambil dari : http://www.medscape.com/view article/450041. tanggal 20 Januari 2010
Craven, F.R, & Hirnle, J.C. (2007). Fundamentals of nursing: Human health and function.(5 th ed). Philadelphia: Lippincott william & Wilkins. Curtis, A.R., Allman, R., & Hill, Ci. (2007). Pressure ulcer prevention and treatment. Diambil dari : http://www.alabamacme.uab.edu /courses/geriatric/pressure ulcer/D0416 G.html. tanggal 22 Januari 2010. Ignatavicius, D.D., & Workman, M.L. (2006). Medical surgical nursing ; Critical thinking for collaborative care. 5th edition. Philadelphia ; W.B. Sounders Company. Knox,
Bergstrom, N., Demuth, Pj., & Braden. Bj. (1988). A clinical trial of the braden scale for predicting pressure sore risk. Diambil dari : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pu bmed/3594150 tanggal 21 Januari 2010
D.M., (1999). Care body temperature, skin temperature and interface pressure : Relationship to skin integrity in nursing home resident. Diambil dari : http://findarticles.com/p/articles/ mi_9a 3964/13_199906/oi_48857776. tanggal 23 Januari 2010
Braden. Bj., (2001). Braden scale for predicting pressure sore risk. Diambil dari : http://rgp.toronto.on.ca/toronto best practice/bradenscale for predictingpressuresorerisk.pdf. tanggal 20 Januari 2010
Kottner, J., Dassen. T., Tannen, A., (2008). Inter- and intrarater reliability of the Waterlow pressure sore risk scale: A systematic review. Diambil dari : http://www.sciencedirect.com. Tanggal 20 Januari 2010
Bryant. R.A. (2000). Acute & chronic wounds. Nursing management. 2nd edition. USA. Mosby Inc.
Kottner, J., Dassen. T., (2009). Pressure ulcer risk assessment in critical care: Interrater reliability and validity studies of the Braden and Waterlow scales and subjective ratings in two intensive care units Diambil dari
www. Elsevier.com/ijns Tanggal 20 januari 2010. Le Mone, P., & Burke, Medical surgical Critical thinking in 4th edition. USA prentice hall
K. (2008). nursing ; client care. ; Pearson
Morison. J., (2004). Manajemen luka. Edisi 1. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Potter.
P., Perry. A., (1997) Fundamental of nursing : concepts, Process, and Practice. (4 th ed). St. Louis. CV. Mosby Year Company Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H., (2008). Text book of medical surgical nursing9 ; Brunner & Sudarth’s. 11th edition. Philadelphia ; Lippincott Williams & Wilkins
¹ Staf Pengajar Akademi Keperawatan Panca Bhakti, Bandar Lampung
HUBUNGAN LAMANYA MENSTRUASI TERHADAP PERUBAHAN HB MAHASISWI STIKES HANG TUAH SURABAYA YANG TINGGAL DI ASRAMA Moch. Djumhana¹ Abstract: Woman's monthly menstrual period, menstrual blood expenditure experience by women is different. The amount of menstrual blood out of every woman is generally between 25-60 ml, it can affect the change of Hb value, it is checked prior to menstruation and post Hb menstruation. The purpose of this study is investigate the changes of Hb on the respondents before and after menstruation on Hang Tuah Surabaya STIKES students who live in a dormitory. The research design uses a type of observational analytic cohort, the population is students STIKES Hang Tuah who live in the dormitory, by a probability sampling technique that is used simple random sampling, with a total sample of 42 respondents. The measurement use in this study are observation sheets and Hb-meter. Pearson’s test is used for analysis with meaning degree P value < 0,005. The results obtained shows that the duration of menstruation at almost half the respondents is 7 days with 1 change Hb. The result has shows that it is no significant relationship between duration of menstruation with a change in Hb with a value of ρ 0.000 (ρ <0.005). The duration of menstruation affects Hb recommend for menstruating women to consume a nutrious food so Hb level remains normal.
Keywords: Menstruation, Haemoglobin.
Latar Belakang Menstruasi adalah pelepasan dinding rahim (endometrium) yang disertai dengan perdarahan dan terjadi setiap bulannya kecuali pada saat kehamilan. Menstruasi yang terjadi terus menerus setiap bulannya disebut sebagai siklus menstruasi (BiohealthIndonesia, 2007). Menstruasi biasanya dimulai antara umur 10 dan 16 tahun, tergantung pada berbagai faktor, termasuk kesehatan wanita, status nutrisi, dan berat tubuh relatif terhadap tinggi tubuh. Jumlah darah menstruasi yang keluar pada setiap wanita berbedabeda namun umumnya antara 25-60 ml (Dita Andira, 2010:30).
Wanita yang berumur kurang dari pada 35 tahun akan kehilangan darah lebih banyak berbanding wanita yang berumur 35 tahun ke atas (Aulia, 2009: 23). Dari semua golongan wanita terutama remaja mempunyai resiko paling tinggi menderita anemia, karena pada masa ini terjadi peningkatan kebutuhan serta adanya menstruasi (Tarwoto, Wasdinar, 2007: 12). Perkiraan prevelensi anemia di Indonesia menurut Husaini, dkk dalam buku asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem hematologi (Wiwik Handayani, Andi Sulistyo Haribowo, 2008: 38). Anak prasekolah 30-40%, anak usia sekolah 25-35%, dewasa tidak hamil 30-40%, hamil 50-
70%, Laki-laki dewasa 20-30%, pekerja berpenghasilan rendah 30-40%. Untuk angka prevelensi anemia di dunia sangat bervariasi, bergantung pada geografi dan taraf sosial ekonomi masyarakat. Dari hasil studi pendahuluan pada mahasiswi STIKES Hang Tuah Surabaya tentang hubungan lamanya menstruasi terhadap perubahan Hb diketahui dari 4 orang mahasiswa yang mengalami menstruasi pada bulan januari (2010), didapatkan hasil: Nn.S saat menstruasi Hb 12,3g/dl dan setelah menstruasi Hb12,2g/dl, Nn.Il saat menstruasi Hb 11g/dl dan setelah menstruasi Hb11g/dl, Nn. Dm saat menstruasi Hb 10g/dl dan setelah menstruasi Hb 9,5g/dl, dan Nn. M saat menstruasi Hb 10g/dl dan setelah menstruasi Hb 9g/dl, dan mereka ratarata mengalami penurunan Hb pada saat menstruasi. Menstruasi atau haid mengacu kepada pengeluaran secara periodik darah dan sel-sel tubuh dari vagina yang berasal dari dinding rahim wanita. Menstruasi merupakan bagian dari proses reguler yang mempersiapkan tubuh wanita setiap bulannya untuk kehamilan. Daur ini melibatkan beberapa tahap yang dikendalikan oleh interaksi hormon yang dikeluarkan oleh hipotalamus, kelenjar dibawah otak depan, dan indung telur. (Keikos.Biz women stuffs, 2007). Sel darah merah yang matang mengandung 200-300 juta hemoglobin (Tarwoto, Wasdinar, 2007: 16). Zat besi merupakan unsur utama hemoglobin, pada tubuh orang dewasa kira-kira mengandung sebanyak 50 mg besi per 100 ml darah. Total kebutuhan zat besi kira-kira antara 2-6 gr, tergantung berat badan dan kadar Hbnya (Tarwoto,Wasdinar, 2007: 27). Selama masa haid kehilangan zat besi rata-rata 24 mg, kekurangan zat besi mengakibatkan kekurangan hemoglobin (Hb), kadar hemoglobin dalam darah
yang rendah dikenal dengan istilah anemia (Tarwoto, Wasdinar, 2007: 12). Remaja memeliki resiko tertinggi terkena anemia hal ini disebabkan ketidakseimbangan antara asupan gizi dan aktifitas yang dilakukan, pola hidup remaja putri berubah dari yang semula serba teratur menjadi kurang teratur, misalnya sering terlambat makan atau kurang tidur dan kehilangan darah yang disebabkan oleh perdarahan menstruasi (Eli, Neil, and Paul, 2008). Ada banyak penyebab anemia diantaranya yang paling sering adalah perdarahan, kurang gizi, gangguan sumsum tulang, pengobatan kemoterapi dan abnormalitas hemoglobin bawaan (Nurudin Jauhari, 2008). Manifestasi klinis tergantung dari kecepatan kehilangan darah akut atau kronik anemia, umur dan ada tidaknya penyakit. Kadar Hb biasanya berhubungan dengan manifestasi klinis, bila Hb 10-12 g/dl biasanya tidak ada gejala, manifestasi klinis biasanya terjadi apabila Hb antara 6-10 g/dl diantaranya dyspnea (kesulitan bernapas, napas pendek), palpitasi, keringat banyak, keletihan dan apabila Hb kurang dari 6 g/dl manifestasi klinis seperti keadaan umum pucat, keletihan berat, kelemahan, nyeri kepala, demam, dispnea, dan lain-lain. (Tarwoto, Wasdinar, 2007: 38-39). Anemia merupakan kejadian yang paling banyak diantara gangguan dari darah terutama terjadi pada negaranegara berkembang dan negara miskin hal ini sangat berkaitan dengan tingkat konsumsi gizi masyarakat, penyerapan zat besi yang tidak optimal dan kehilangan darah yang disebabkan oleh perdarahan menstruasi yang banyak, perdarahan akibat luka, perdarahan karena penyakit tertentu. Manifastasi anemia juga bermacam-macam untuk mencegah agar tidak terjadi anemia pada wanita terutama pada remaja
12
dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi, atau memperbaiki menu makanan, konsumsi bahan makanan tinggi zat besi, seperti susu, daging, dan sayuran hijau harus ditingkatkan, memberikan konseling untuk membantu memilih bahan makanan dengan kadar besi yang cukup secara rutin pada usia remaja, memberikan pengetahuan (kognitif) seperti tindakan petugas pemberi pendidikan kesehatan dalam meningkatkan pengetahuan klien diantaranya adalah menjelaskan, memberikan informasi, menyarankan, mendiskusikan masalah kesehatan klien tentang pentingnya gizi, memenuhi kebutuhan zat besi yang optimal. Mengubah atau memperbaiki perasaan (afektif), perubahan afektif misalnya adanya perubahan sikap, pendapat, keyakinan dan nilai-nilai yang dimiliki klien. Meningkatkan keterampilan (psikomotor), kegiatan untuk meningkatkan keterampilan seperti mendemonstrasikan, bermain peran, simulasi latihan kerja. Dengan latar belakang diatas, maka perlu dilakukan penelitian guna mengetahui kadar hemoglobin (Hb) pada wanita terutama remaja saat mengalami siklus menstruasi.
Bahan dan Penelitian
Metodologi
Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan peneliti (Setiadi, 2007: 127). Pada penelitian ini menggunakan metode penelitian observasional analitik dengan jenis cohort yaitu penelitian non eksperimen yang paling baik dalam mengkaji hubungan antara faktor resiko dengan efek (Setiadi, 2007: 142). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswi yang tinggal
di asrama sebanyak 47 orang (tahun 2010). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian mahasiswi yang tinggal di asrama sebanyak 47 orang (tahun 2010). Pada penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah probability sampling yakni simple random sampling. Random sampling adalah pengambilan sampel dilakukan secara acak (Setiadi, 2007: 182). Variabel dalam penelitian terdiri dari 2 yatu variabel independent dan dependen. Variabel independent adalah variable yang nilainya menentukan variabel lain, suatu kegiatan stimulus yang dimanipulasi oleh peneliti menciptakan suatu dampak pada variabel dependen (Nursalam, 2003: 102). Dalam penelitian ini variabel independennya adalah lamanya siklus menstruasi. Dalam penelitian ini variabel dependennya adalah perubahan Hb. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah lembar observasi dan Hb meter (sahli). Lembar observasi pada penelitian ini ada 2 macam yaitu lembar demografi yang terdiri dari beberapa pertanyaan yang harus dijawab dengan cara membubuhkan tanda contreng (√ ) pada salah satu jawaban yang terjadi pada responden dan lembar observasi yang diisi oleh peneliti sendiri. Hb meter (sahli) digunakan untuk mengukur Hb pada saat sebelum menstruasi dan sesudah menstruasi, pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb) yang dilakukan dengan cara membandingkan secara visual warna dengan alat standar. Data dari hasil pemeriksaan Hb yang telah terkumpul diperiksa ulang untuk mengetahui kelengkapannya . Setelah data lengkap data dikelompokkan dan di tabulasi berdasarkan sub variabel yang diteliti. Untuk menguji hipotesa digunakan uji Korelasi Pearson’s dengan tingkat
13
kemaknaan 5%. Apabila P < 0,05 artinya Ho ditolak dan H1 diterima yang berarti ada hubungan antara lamanya menstruasi terhadap perubahan Hb pada mahasiswi STIKES Hang Tuah Surabaya yang tinggal di Asrama..
Hasil Penelitian 1.
Lamanya Menstruasi
Tabel 1
No
Distribusi Nilai Lamanya Menstruasi Responden Jumlah
1
Lamanya Menstruasi 4
1
Prosentas e 2.4%
2
5
3
7.1%
3
6
7
16.7%
4
7
30
71.4%
5
8
1
2.4%
Jumlah
42
100%
Dari tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar lamanya menstruasi pada responden adalah 7 hari sebanyak 30 orang (71.4%), sedangkan responden yang lama menstruasinya 6 hari sebanyak 7 orang (16.7%), lama menstruasinya 5 hari sebanyak 3 orang (7.1%), lama menstruasinya 4 hari sebanyak 1 orang (2.4%), dan yang lama menstruasinya 8 hari sebanyak 1 orang (2.4%). Perubahan Hb (Sebelum dan Sesudah Menstruasi) Tabel 2 Distribusi Perubahan Hb Sebelum dan Sesudah Menstruasi
6 7 8
Jumlah 2 1 4 1 27
3.
4.8% 9.5% 2.4% 100%
Hubungan antara Lamanya Menstruasi Dan Perubahan Hb
Tabel 3 Hubungan Lamanya Menstruasi Terhadap Perubahan Hb Perubahan Hb N o
Lama Menst
1
4 hari
2
5 hari
1
3
6 hari
1
4
7 hari
Prosentase 4.8% 2.4% 9.5% 2.4% 64.3%
2 4 1 42
Dari tabel 2 diatas terlihat bahwa dari 42 responden di dapatkan nilai Hb sebelum menstruasi pada responden adalah 12 gr/dl sebanyak 17 orang, 11 gr/dl 10 orang, 10 gr/dl sebanyak 6 orang, 12.5 gr/dl sebanyak 5 orang, 14 gr/dl sebanyak 2 orang, 10.5 gr/dl sebanyak 1 orang, dan 11.5 gr/dl sebanyak 1 orang. Sedangkan nilai Hb sesudah menstruasi pada responden di dapatkan 11 gr/dl sebanyak 14 orang, 10 gr/dl sebanyak 12 orang, 9 gr/dl sebanyak 5 orang, 11.5 gr/dl sebanyak 3 orang, 9.5 gr/dl sebanyak 2 orang, 9.2 gr/dl sebanyak 1 orang, 10.2 gr/dl sebanyak 1 orang, 10.5 gr/dl sebanyak 1 orang, 11.3 gr/dl sebanyak 1 orang, 12 gr/dl sebanyak 1 orang, dan 12.3 gr/dl sebanyak 1 orang. Dan perubahan Hb pada responden didapatkan perubahan Hb 1 sebanyak 27 orang, perubahan Hb 0,5 sebanyak 4 orang, perubahan Hb 2 sebanyak 4 orang, perubahan Hb 0.2 sebanyak 2 orang, perubahan Hb 1.5 sebanyak 2 orang, perubahan Hb 0.3 sebanyak 1 orang, perubahan Hb 0.8 sebanyak 1 orang, perubahan Hb 5 sebanyak 1 orang.
2.
N Perubaha o n Hb 1 0.2 2 0.3 3 0.5 4 0.8 5 1
1.5 2 5 Jumlah
0 , 2
0, 3
0, 5
0 , 8
1
1, 5
% 2 5
1 1
1 3
1
2 2 4
2
4
2,4 % 7,1 % 16,7 % 71,4 %
14
5
8 hari
Jumlah
2,4 % 100 4 1 % 1
2
1
4
1
2 7
2
Nilai uji korelasi o¡\‒ ›‹☂ ρ = 0,000
Dari tabel 5.3 diatas terlihat bahwa dari 42 responden didapatkan sebagian besar lamanya menstruasi adalah 7 hari dengan perubahan Hb 1 sebanyak 24 orang, perubahan Hb 2 sebanyak 4 orang, perubahan Hb 1,5 sebanyak 2 orang. Lama menstruasi 6 hari dengan perubahan Hb 0,5 sebanyak 3, perubahn Hb 1 sebanyak 2 orang, perubahn Hb 0,2 sebanyak 1 orang, perubahn Hb 0,8 sebanyak 1 orang. Lama menstruasi 5 hari dengan perubahn Hb 0,2 sebanyak 1orang, perubahn Hb 0,3 sebanyak 1 orang, perubahan Hb 0,5 sebanyak 1 orang. Lama menstruasi 4 hari dengan perubahn Hb 1 sebanyak 1 orang. Dan lama menstruasi 8 hari dengan perubahn Hb 5 sebanyak 1 orang. Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji korelasi pearson’s untuk mengetahui seberapa besar hubungan yang terjadi diantara dua veriabel ditemukan hasil ρ = 0,000 (P value < 0,05) yang berarti H1 diterima, sehingga terdapat hubungan antara lamanya menstruasi dan perubahan nilai Hb pada mahasiswi STIKES Hang Tuah Surabaya yang tinggal di Asrama Putri.
Pembahasan 1. Lamanya Siklus Menstruasi Hasil penelitian dari 42 responden menunjukkan sebagian besar lamanya menstruasi pada responden adalah 7 hari sebanyak 30 orang (71.4%), sedangkan responden yang lama menstruasinya 6 hari sebanyak 7 orang (16.7%), lama menstruasinya 5 hari sebanyak 3 orang (7.1%), lama
menstruasinya 4 hari sebanyak 1 orang (2.4%), dan yang lama menstruasinya 8 hari sebanyak 1 orang (2.4%). Menstruasi berlangsung kirakira sekali sebulan sampai wanita mencapai usia 45-50 tahun, sekali lagi tergantung pada kesehatan dan pengaruh-pengaruh lainnya. Panjang rata-rata daur menstruasi adalah 28 hari, panjang daur dapat bervariasi pada satu wanita selama saat-saat yang berbeda dalam hidupnya dan bahkan dari bulan ke bulan bergantung pada berbagai hal termasuk kesehatan fisik seperti pada kehamilan, kelelahan, sindrom turner, penyakit-penyakit pada ovarium (indung telur), berat badan turun dengan cepat, olah raga berat, minum obat-obat tertentu, selain itu pada penyakit kejiwaan seperti anorexia nervosa (pada wanita dewasa yang takut gemuk), emosi, dan nutrisi wanita yang bersangkutan (Annia Kissanti, 2008: 15). Menstruasi sangat dipengaruhi oleh hormon, hormon-hormon reproduksi berperan penting dalam proses pematangan dan pengeluaran sel telur. Jika kadar hormon tidak seimbang, maka sel telur yang matang tidak ada, dan seorang perempuan tidak akan mengalami menstruasi. Penting bagi wanita untuk selalu mempertahankan pola makan yang sehat untuk mengurangi efek negatif yang sering dialami saat menstruasi. Hal ini didukung dengan data hasil penelitian didapatkan bahwa nafsu makan mahasiswi yang tinggal di asrama selama menstruasi tidak mengalami perubahan sebanyak 18 orang (43%), dan frekuensi pola makan responden hampir seluruhnya adalah 3 kali sehari sebanyak 34 orang (81%). Menurut Sinsin (2008: 5) yang dimana siklus menstruasi yang normal adalah lamanya antara 3-7 hari. Jumlah darah menstruasi yang keluar pada setiap wanita pun berbeda, namun umumnya
15
antara 25-60 ml (Dita Andira, 2010: 30). Sementara mereka yang mengalami menstruasi yang lebih berat akan kehilangan darah lebih banyak, Sementara dalam darah yang terbuang terkandung zat besi yang sangat dibutuhkan tubuh. Jika seseorang mengalami kekurangan zat besi maka gejala yang umum timbul berupa lelah, pucat, rambut rontok, mudah marah, lemah, dan gangguan fungsi pertahanan tubuh. Untuk mencegahnya, sebaiknya setiap wanita mecukupinya dengan mengonsumsi makanan yang mengandung zat besi. Sebagian besar lamanya menstruasi pada mahasiswi STIKES Hang Tuah Yang tinggal di asrama adalah 7 hari yang didukung dengan data yaitu sebanyak 30 orang mengalami siklus menstruasi sebanyak 7 hari. Pengeluaran darah menstruasi ini terdiri dari fragmen-fragmen kelupasan endometrium yang bercampur dengan darah yang banyaknya tidak tentu, biasanya darah yang keluar adalah darah cair tetapi apabila kecepatan aliran darahnya terlalu besar bekuan dengan berbagai ukuran sangat mungkin, bila perdarahan disertai gumpalan darah menunjukkan terjadi perdarahan banyak yang dimana keadaan tersebut merupakan keadaan yang abnormal pada menstruasi dan pengeluaran darah yang banyak biasanya terjadi pada hari ke dua dan ketiga menstruasi, hari ke empat tambah berkurang dan pada hari berikutnya akan bertambah berkurang, menstruasi dianggap berhenti jika tidak ada lagi kesan darah merah yang keluar dari rahim. Dari data yang didapatkan bahwa umur pertama kali menstruasi (menarce) responden adalah berumur 13 - 15 tahun pada umur tersebut hormon yang dominan adalah estrogen yang dimana hormon estrogen tersebut sangat
penting karena menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan tanda seks sekunder. 2. Nilai Perubahan Hemoglobin (Hb) Sebelum dan Sesudah Menstruasi Hasil penelitian dari 42 responden di dapatkan nilai Hb sebelum menstruasi pada responden adalah 12 gr/dl sebanyak 17 orang, 11 gr/dl 10 orang, 10 gr/dl sebanyak 6 orang, 12.5 gr/dl sebanyak 5 orang, 14 gr/dl sebanyak 2 orang, 10.5 gr/dl sebanyak 1 orang, dan 11.5 gr/dl sebanyak 1 orang. Sedangkan nilai Hb sesudah menstruasi pada responden di dapatkan 11 gr/dl sebanyak 14 orang, 10 gr/dl sebanyak 12 orang, 9 gr/dl sebanyak 5 orang, 11.5 gr/dl sebanyak 3 orang, 9.5 gr/dl sebanyak 2 orang, 9.2 gr/dl sebanyak 1 orang, 10.2 gr/dl sebanyak 1 orang, 10.5 gr/dl sebanyak 1 orang, 11.3 gr/dl sebanyak 1 orang, 12 gr/dl sebanyak 1 orang, dan 12.3 gr/dl sebanyak 1 orang. Dan perubahan Hb pada responden didapatkan perubahan Hb 1 sebanyak 27 orang, perubahan Hb 0,5 sebanyak 4 orang, perubahan Hb 2 sebanyak 4 orang, perubahan Hb 0.2 sebanyak 2 orang, perubahan Hb 1.5 sebanyak 2 orang, perubahan Hb 0.3 sebanyak 1 orang, perubahan Hb 0.8 sebanyak 1 orang, perubahan Hb 5 sebanyak 1 orang. Menurut Eli Neil dan Paul, 2008. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kadar Hb turun pada remaja yaitu kurangnya zat besi dalam makanan yang dikonsumsi, pola hidup remaja putri berubah dari yang semula serba teratur menjadi kurang teratur, misalnya sering terlambat makan atau kurang tidur. Beberapa faktor kebiasaan dan sosial budaya turut memperburuk kondisi anemia di kalangan perempuan Indonesia, antara lain kebiasaan diet untuk mengurangi berat badan, budaya
16
atau kebiasaan di keluarga sering menomor duakan perempuan dalam hal makanan (Detiksport.com, 2009). Ada perbedaan nilai Hb pada responden dari sebelum menstruasi dan sesudah menstruasi sebagian besar mereka mengalami penurunan Hbnya 1, Komponen-komponen dari Hb adalah protein dan hem, dimana komponen hem ini akan di pecah menjadi besi dan bilirubin, besi banyak terdapat pada makanan yang berasal dari sumber hewani seperti daging, ikan, unggas, makanan laut, sayur-sayuran hijau dan buah-buah. Namun dari hasil wawancara sebagian besar para responden mengaku bahwa mereka lebih sering mengkonsumsi makanan dari luar yang dimana nilai zat besinya kurang, hal ini mungkin disebabkan karena rasa yang ada pada makanan yang disediakan oleh asrama kurang cocok dengan lidah mereka walaupun nilai gizinya baik, serta terkadang mereka merasa bosan dengan makanan yang disediakan asrama dan ingin mengkonsumsi makanan dari luar, hal ini mungkin salah satu penyebab kadar Hb responden mengalami penurunan yang diakibatkan kurangnya diet yang mengandung zat besi. 3. Hubungan Antara Lamanya Menstruasi dan Perubahan Hb Dari hasil uji statistik dengan menggunakan uji korelasi Pearson’s dinyatakan dengan nilai signifikansi ρ = 0,000 dengan kemaknaan P < 0,05 yang menunjukkan ada hubungan lamanya menstruasi terhadap perubahan Hb. Menstruasi merupakan bagian dari proses regular yang mempersiapkan tubuh wanita setiap bulannya untuk kehamilan, daur ini melibatkan beberapa tahap yang dikendalikan oleh interaksi hormon yang dikeluarkan oleh hipotalamus kelenjar dibawah otak
depan dan indung telur (Annia Kissanti, 2008: 15). Pengeluaran darah menstruasi terdiri dari fragmen-fragmen kelupasan endrometrium yang bercampur dengan darah yang banyaknya tidak tentu. Biasanya darahnya cair, tetapi apabila kecepatan aliran darahnya terlalu besar, bekuan dengan berbagai ukuran sangat mungkin ditemukan. Terdapat perbedaan antara wanita satu dan yang lainnya, pada hari pertama menstruasi tidak keluar begitu banyak, pada hari selanjutnya hari kedua dan ketiga bertambah banyak, pada hari keempat tambah berkurang dan pada hari kelima hampir kering, pada hari keenam darah kering langsung. Akan tetapi perlu diingat, kadang sering kali keluarnya lendir bercampur sedikit darah berwarna coklat mungkin berlarut selama beberapa hari, hal ini biasa terjadi. Menstruasi dianggap berhenti jika tidak ada lagi kesan darah merah yang keluar dari rahim (Aulia. 2009: 23). Jumlah darah menstruasi yang keluar pada setiap wanita berbeda-beda namun umumnya antara 25-60 ml, sebanyak apapun darah yang keluar asalkan masih dalam batas normal hal ini tidak akan menyebabkan anemia (Dita Andira, 2010: 30). Konsentrasi Hb normal 14 gr/dl dan kandungan besi Hb 3,4 mg per g, volume darah ini mengandung 12-29 mg besi dan menggambarkan kehilangan darah yang sama dengan 0,4 sampai 1,0 mg besi untuk setiap hari siklus tersebut atau 150 sampai 400 mg per tahun. Dalam setiap bulannya wanita mengalami menstruasi yang dimana pengeluaran darah menstruasi itu dapat mempengaruhi kadar Hb, jumlah darah menstruasi yang keluar pada setiap wanita juga berbeda-beda, hemoglobin merupakan protein berpigmen merah yang terdapat dalam sel darah merah, hemoglobin (Hb) yang terdapat dalam
17
sel darah merah merupakan protein yang mengandung zat besi, jika wanita mengalami menstruasi yang lama secara tidak langsung wanita tersebut akan mengeluarkan darah yang banyak, untuk setiap kali siklus menstruasi digambarkan bahwa wanita akan mengalami kehilangan besi antara 0,4-1 mg untuk setiap hari siklus, apabila wanita mengalami siklus menstruasi yang lama wanita tersebut akan semakin banyak besi yang dikeluarkan dengan semakin banyaknya besi yang dikeluarkan akan menyebabkan perubahan kadar Hb mengingat Hb merupakan protein yang mengandung zat besi, bila saat menstruasi wanita tidak mengkonsumsi diet yang banyak mengandung zat besi maka wanita tersebut akan mengalami kekurangan zat besi, jika keadaan tersebut dibiarkan akan berbahaya untuk itu dianjurkan wanita-wanita yang mengalami menstruasi untuk selalu mengkonsumsi diet yang mengandung banyak zat besi sehingga kadar Hb tetap normal. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin lamanya menstruasi responden semakin banyak pula darah yang dikeluarkan akibatnya perubahan nilai Hb semakin turun.
Simpulan Berdasarkan data analisis dari verifikasi hipotesis, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Lamanya menstruasi pada mahasiswi STIKES Hang Tuah Surabaya yang tinggal di asrama adalah sebagian besar 7 hari. 2. Nilai perubahan Hb sebelum dan sesudah menstruasi pada mahasiswi STIKES Hang Tuah Surabaya yang tinggal di asrama adalah sebagian besar perubahan Hbnya adalah 1. 5. Ada hubungan lamanya menstruasi terhadap perubahan Hb pada
mahasiswi STIKES Hang Tuah Surabaya yang tinggal di asrama, hal ini berdasarkan hasil uji statistik korelasi Pearson’s dengan ρ = 0,000 dengan tingkat kemaknaan ρ < 0,05.
Saran 1.
Responden a. Untuk mahasiswi STIKES Hang Tuah diharapkan untuk tetap santai dalam menghadapi kuliah terutama saat ujian agar tidak mengalami gangguan dalam siklus menstruasi b. Dianjurkan bagi mahasiswi yang mengalami menstruasi untuk mengkonsumsi diet yang mengandung nutrisi sehingga kadar Hb tetap normal
2.
Institusi Lebih meningkatkan kualitas makanan yang ada di asrama baik komposisi makanan, rasa dari makanannya maupun pengaturan menu makanan.. Peneliti Selanjutnya Perlu adanya penelitian lanjut tentang mengidentifikasi asupan makanan selama 24 jam pada mahasiswi STIKES Hang Tuah Surabaya yang tinggal di Asrama dengan siklus menstruasi.
3.
DAFTAR PUSTAKA Agus. (2009). Pertumbuhan Somatik Remaja, http://www.Agusjakaswara’s Blog.com. Tanggal di akses: 7 Maret 2009: 20.00 Andira, Dita. (2010). Seluk – Beluk Kesehatan Reproduksi Wanita, Jogjakarta: A+ Plus Books.
18
Anonimity. (2009). Pertumbuhan Dan Perkembangan Masa Remaja, http//www. Dolter-Medis Blog.com. Tanggal Di Akses: 8 Maret 2009: 20.00 Aulia. (2009). Wjib Diketahui Semua Wanita Kupas Tuntas Menstruasi Dari A Sampai Z, Yogyakarta : Milestone. Biohealthworld. (2009). Siklus Menstruasi Wanita. Error! Hyperlink reference not valid.. Tanggal di akses: 27 Juli 2009: 10.00 Buku
Kompetensi I. (2006). Pembelajaran Praktik Klinik Keperawatan Kebutuhan Dasar Mahasiswa Tidak Di Publikasikan. Surabaya: STIKES Hang Tuah.
Handayani, Wiwik., dan Andi Sulistyo, H. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Hematologi, Jakarta : Selamba Medika. Hestiantoro, Andon., Et All. (2008). Masalah Gangguan Haid Dan Infertilitas, Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Kissanti, Annia. (2008). Buku Pintar Wanita Kesehatan Dan Kecantikan, Jakarta: Araska. Manuaba, Ida Bagus Gde. (1999). Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita, Jakarta: Arcan. Neil, Eli dan Paul. (2008). Remaja Putri Dan Anemia, http://www.Blogat Wordpress.com. Tanggal di akses: 27 juli 2009: 13.00. Nurudin Jauhari. (2008), Hemoglobin. http://www.BlogDokter.com.
Tanggal di akses: 27 juli 2009: 10.00 Nursalam. (2003). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis Dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika. Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta. Qittun.
(2009). Konsep Dasar Menstruasi. http://www.QittunBlog.com. Tanggal di akses: 27 Juli 2009: 10.06
Rabe, Thomas. (2003). Buku Saku Ilmu Kandungan, Jakarta : Hipokrates. Saryono., dan Waluyo, Sejati. (2009). Sindrom Premenstruasi Mengungkap Tabir Sensitifitas Perasaan Menjelang Menstruasi, Yogyakarta : Nuha Medika. Setiadi. (2007). Konsep & Penulisan Riset Keperawatan, Yogyakarta : Graha Ilmu. Sisin, Iis. (2008). Masa Kehamilan Dan Persalinan, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Soebroto, Ikhsan. (2009). Cara Mudah Mengatasi Problem Anemia, Yogyakarta: Bangkit!. Soetjiningsih. (2004). Tumbuh Kembang Remaja Dan Permasalahannya, Jakarta: CV. Sagung Seto. Tarwoto., dan Wasdinar. (2007). Buku Saku Anemia Pada Ibu hamil
19
Konsep Dan Penatalaksanaan, Jakarta : Trans Info Media. Yuliarti, Nurheti. (2009). A to Z Woman Health Beauty Panduan Sehat Dan Cantik Bagi Wanita, Yogyakarta: C.V Andi Offset (penerbit ANDI).
¹
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya
20
PENGARUH TEKNIK RELAKSASI PROGRESIF OTOT TERHADAP KECUKUPAN TIDUR LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA UNIT BUDHI LUHUR YOGYAKARTA Merry Kristiana1, Abdul Majid2, Thomas Aquino E. Amigo3 Abstract : Elderly is a closing period of life, i.e. a period characterized by the departing of someone from useful times. It is predicted that on 2010 the number of elders in Indonesia is 24 people (9.77%) (WHO, 2010), while in Yogyakarta it is 14%—the highest throughout the country after Central Java (11.6%) and South Celebes (9.05%). During the aging, a sleeping pattern among the elders undergoes typical changes differentiating it from that of younger people, i.e. 6 hours a day. According to Nugroho (2000), the age group of 40 years old is only found in 7% of cases on sleeping problems (they can only sleep no more than 5 hours a day). However, the age group of 70 years is found in 22% of the same cases.Objective of this study is to find out the effect of muscle progressive relaxation technique on sleeping adequacy among elders in Social House “Tresna Werdha” of “Budhi Luhur” Unit, Yogyakarta. The study used a quantitative method with a quasi-experimental design and one-group pre- and post-test design. The sample used was collected by using a simple random sampling with the number of sample 62 people. The instrument of collecting data was questionnaire. Data analysis was carried out using the t-test analysis, i.e. a paired ttest.The level of sleeping adequacy among elders before they were given the muscle progressive relaxation technique was in a moderate category of 67.7% and after they were given the muscle progressive relaxation technique increased to be 93.5%. Result of the t-test indicates that p=0.0001. There was a significant effect of the muscle progressive relaxation technique on sleeping adequacy among elders in Social House “Tresna Werdha” of “Budhi Luhur” Unit, Yogyakarta, with a significance level of 0.0001. Keywords: Muscle progressive relaxation technique, sleeping adequacy, elder
Latar Belakang Usia tua adalah fase akhir dari rentang kehidupan. Segmen lansia dari total populasi Amerika terus tumbuh lebih cepat dibanding populasi lainnya. Proyeksi Biro Sensus Amerika Serikat menunjukan bahwa pada tahun 2030 akan terdapat lebih banyak lansia yang berusia diatas 65 tahun (22%) dibanding berusia 18 tahun (21%). Dengan peningkatan populasi lansia,
berarti lebih banyak orang yang hidup sangat tua (Smeltzer, 2001) Pada tahun 2000, kira-kira 10% dari penduduk dunia berusia 60 tahun atau lebih. Berdasarkan proyek kependudukan United Nations Medium Variant, turunnya angka fertilitas dan mortalitas menyebabkan peningkatan populasi penduduk hingga 20% pada tahun 2050. Ini berarti bahwa 400 juta orang lanjut usia tinggal di negaranegara maju dan lebih dari 1,5 milyar berada di negara-negara yang kurang maju. (WHO, 2003). Jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2006 mencapai
±19 juta yaitu sekitar 8,90% dari total penduduk Indonesia (Oktovida, 2009). Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah lansia di Indonesia sebanyak 24 juta jiwa atau 9,77% (WHO, 2010). Jumlah lansia di Yogyakarta pada akhir 2007 adalah sebanyak 48.092 orang atau 10,59% dari jumlah penduduk kota Yogyakarta sebanyak 453.925 jiwa. Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah lansia di Daerah IstimewaYogyakarta (DIY) mencapai 14% yang merupakan tertinggi se-Indonesia setelah Jawa Tengah (11,6% dan Sulsel 9,05%). Selama penuaan, pola tidur pada lansia mengalami perubahan-perubahan yang khas yang membedakannya dengan orang yang lebih muda. Perubahan-perubahan tersebut mencakup kelatenan tidur, terbangun pada dini hari, dan peningkatan jumlah tidur siang. Jumlah waktu yang dihabiskan untuk tidur yang lebih dalam juga menurun. Terdapat suatu hubungan antara peningkatan terbangun selama tidur dengan jumlah total waktu yang dihabiskan untuk terjaga dimalam hari (Stanley, 2002). Menurut Nugoroho (2000) bahwa kelompok usia 40 tahun, hanya dijumpai 7% kasus yang mengeluh mengenai masalah tidur (hanya dapat tidur tidak lebih dari 5 jam sehari), akan tetapi kelompok usia 70 tahun dijumpai sebanyak 22% kasus yang sama. Temuan lainnya bahwa pada kelompok lanjut usia ternyata lebih banyak mengeluh terbangun lebih awal dari pukul 05.00 pagi dan terdapat 30% kelompok usia 70 tahun yang banyak terbangun pada malam hari. Angka tersebut ternyata tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memperoleh istirahat dan tidur yang cukup. Dalam kesehatan
komunitas dan rumah, perawat membantu klien mengembangkan perilaku yang kondusif terhadap istirahat dan relaksasi (Perry, 1999). Latihan relaksasi dapat menimbulkan perasaan sehat dan bugar dengan menciptakan keadaan rileks yang sebenarnya menghambat kekhawatiran dan reaksi stress negative (Goliszel, 2005). Di PSTW jumlah lansia pada bulan Januari 2011 sebanyak 73 orang yang rata-rata lansia yang berumur 60 tahun atau lebih. Lanjut usia yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 57 orang dan lansia yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 16 orang. Setelah dilakukan studi pendahuluan salah satu perawat mengatakan bahwa lansia di PSTW tersebut hampir semua mengalami gangguan pada kecukupan tidurnya. Hal tersebut disebabkan pada usia lanjut terjadi penurunan berbagai fungsi baik secara fisiologi (seperti:sistem neurologis) maupun psikologi (kecemasan).
Bahan dan Penelitian
Metodelogi
Penelitian menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain penlitian eksperimental design jenis Pre-Experimental Design dengan rancangan One-group pre-post tes design, yaitu mengungkapkan hubungan sebab akibat yang dilaksanakan pada satu kelompok dengan melakukan observasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi setelah intervensi untuk mengetahui akibat dari perlakuan (Sugiyono, 2008). Penelitian dilakukan pada bulan 29 Mei- 20 Juni 2011 di PSTW Unit Budhi Luhur Yogyakarta. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode simple random sampling. Sampel yang diambil adalah 62 orang.
22
Sampel yang dikehendaki adalah bagian dari populasi terjangkau yang diteliti secara langsung dan sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Sampel yang diambil adalah lansia yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu: 1. Besar sampel yang akan diambil dalam penelitian ini Lansia yang berusia 45 tahun atau lebih (≥ 45 tahun) 2. Lansia yang tinggal di lingkungan PSTW 3. Lansia yang bersedia menjadi responden Sampel yang tidak diambil adalah yang memenuhi kriteria eksklusi yaitu: lansia yang sedang sakit. Variabel penelitian adalah fakta dan angka yang dapat dijadikan bahan untuk menyusun suatu informasi, informasi adalah hasil pengolahan data yang dipakai untuk keperluan (Arikunto, 2009). Variabel penelitian terbagi atas 3 yaitu: a. Variabel independen atau bebas adalah variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variable dependen. Variabel ini dikenal dengan nama variabel bebas yang artinya bebas dalam memengaruhi variabel lain. Variabel independen pada penelitian ini adalah teknik relaksasi progresif. Alat ukur yang digunakan adalah lembar kerja teknik relaksasi progresif yang diadopsi dari Fitri (2010). b. Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kecukupan tidur. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner menggunakan skala Guttman yang terdiri dari 13 item pertanyaan dengan kategori 1=Ya dan 0 =Tidak yang dikategorikan Ya (Cukup) dan Tidak (Tidak cukup). Skor dan jumlah yang diperoleh 13 menunjukan kecukupan tidur
terpenuhi . Skala pengukuran adalah rasio. Cara pengolahan data untuk memperoleh data mengenai pengaruh teknik relaksasi progresif otot terhadap kecukupan tidur lansia menggunakan kuesioner dengan pertanyaan tertututp sebanyak 13 item pertanyaan (berisi tentang kecukupan tidur). Untuk memperoleh data mengenai teknik relaksasi progresif otot menggunakan lembar kerja teknik relaksasi progresif otot yang diadopsi dari Fitri (2010). Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan editing, coding, transferring, dan tabulating. Kemudian dilanjutkan dengan analisa univariat dan bivariat yang menggunakan rumus paired t-test.
Hasil Penelitian Hasil yang diperoleh dari pengaruh teknik relaksasi progresif otot terhadap kecukupan tidur lansia di PSTW Unit Budhi Luhur Yogyakarta. Diagram 4.1. Distribusi Frekuensi Kecukupan Tidur Lansia Pada Saat Pre Test di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Budhi Luhur Yogyakarta Tahun 2011.
RQKRO D
cukup tidur UVKVO D
tidak cukup tidur
Berdasarkan diagram 4.1, menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai tidur yang cukup yaitunsebanyak 67,7% (42 orang), sedangkan responden yang tidak cukup tidur sebanyak 32,2% (20 orang).
23
Diagram 4.2. Distribusi Frekuensi Kecuk cukupan Tidur Lansia Pada Saat Post Test di Panti Sosial Tr Tresna Werdha Unit Budhi Luhur Yogyakarta Tahun 2011..
UKTODO O
cukup tidur
23 tidak cukup tidur
XRKTO D
Berdasarkan diagr diagram 4.2, menunjukkan bahwa seba ebagian besar responden mengalami tidur dur yang cukup sebanyak 93,5% (58 orang ang) dan 6,5% ng tidak cukup (4 orang) responden yang teknik relaksasi tidur setelah melakukan tekni progresif. riat dalam Analisis bivaria nakan analisia penelitian ini menggunaka ncari pengaruh paired t-test guna menca otot terhadap teknik relaksasi progresiff ot kecukupan tidur lansia di PSTW Unit Hasil analisis Budhi Luhur Yogyakarta.. H lansia adalah kecukupan tidur pada la sebagai berikut: aruh Teknik Relaksasi Tabel 4.2 Distribusi Responden Pengaru idur Lansia di PSTW Progresif Otot Terhadap Kecukupan Tid Unit Budhi Luhur Yogyakarta. Kecukupan Ratan S Standar p tidur rata D Deviasi Pre Test
9,29
62
Post Test
7,74
62
2,99
0,00 01
Berdasarkan hasil sil uji paired ttes pada data kecukupann ttidur pre test dan post test pada pelaksa ksanaan teknik relaksasi progresif otot m menunjukkan bahwa nilai rata-rata kecukupa ecukupan tidur lansia pada saat pre ttest sebesar 9,29(tidak cukup) dan ni nilai rata-rata kecukupan tidur lansia pa pada saat post test adalah sebesar 7,74 (cukup cukup). Nilai p value sebesar 0,0001 lebi ebih kecil dari 0,05 (p<0,05), sehingga Ho ditolak. Hal ini berarti bahwa ada penga pengaruh yang signifikan pelaksanaan tekni eknik relaksasi progresif otot terhadap kec ecukupan tidur lansia di PSTW Unit B Budhi Luhur Yogyakarta.
Pembahasan Penelitian ber bertujuan untuk mengetahui pengaruh uh tteknik relaksasi progresif otot terhadapp kkecukupan tidur lansia di PSTW Unit nit Budhi Luhur Yogyakarta. Berdasarkan hhasil pretest diperoleh data sebany anyak 67,7% (42 orang) lansia yangg cukup tidur, tidak cukup tidur sedangkan lansia yangg ti 20 or orang). Hal ini sebanyak 32,2% (20 asih banyak lansia menunjukan bahwa masi cukup yang salah yang tidurnya belum cu bnya adalah karena satu faktor penyebabnya ksanakan teknik lansia belum melaks otot, namun selain relaksasi progresif otot juga dapat itu faktor yangg ukupan tidur adalah mempengaruhi kecukup Faktor usia bisa karena faktor usia. Fa cukupan tidur mempengaruhi kecu usia semakin tua seseorang karena saatt us nurunan fungsi dari maka akan terjadi penuru dalah fungsi saraf tubuh salah satunya ada pengurangan tidur sehingga terjadi pengur gelombang lambat tterutama pada babkan gelombang stadium 4 yang disebab bih cepat sehingga otak akan bergerak lebih tidur kurang dari gelombang delta pada ti ng akan bermimpi 50% dan tidur seseorang gelombang alfa (tidak nyenyak), ge ngkatnya frekuensi menurun, dan meningk alam hari atau terbangun pada mala ntasi. meningkatnya fragmenta hasil post test atau Berdasarkan hasi teknik relaksasi setelah dilakukan te progresif kecukupan tidur pada lansia besar responden diketahui sebagian be mengalami tidur yangg ccukup sebanyak 93,5% (58 orang) dann 66,5% (4 orang) dak cukup tidur responden yang tidak dengan p=0,0001 yangg berarti terdapat teknik relaksasi pengaruh pemberiann te kecukupan tidur progresif terhadap ke nit Budhi Luhur lansia di PSTW Unit Yogyakarta. Hasil ini menunjukkan tidak cukup tidur bahwa lansia yang tida yang berarti yaitu mengalami penurunann ya
24
hanya sebesar 6,5% dari total responden. Adanya penurunan gangguan tidur yang dirasakan oleh lansia, menunjukkan gangguan tidur semakin sedikit dirasakan dan dialami lansia. Hal ini merupakan hasil dari tercapainya tingkat relaksasi otot dan kondisi fisik yang baik pada lansia. Salah satu faktor yang berpartisipasi dalam penurunan angka ketidakcukupan tidur adalah dengan pemberian teknik relaksasi progresif otot pada lansia yang dilakukan menggunakan posisi yang disesuaikan dengan kondisi lansia. Hasil analisis uji paired t-test diperoleh nilai p value sebesar 0,0001 lebih kecil dari 0,05 (p<0,05), hal ini berarti bahwa ada pengaruh yang signifikan teknik relaksasi progresif otot terhadap kecukupan tidur lansia di PSTW Unit Budhi Luhur Yogyakarta. Hasil ini menunjukkan bahwa kecukupan tidur yang dialami lansia merupakan hasil dari teknik relaksasi progresif otot yang diberikan kepada lansia.
Simpulan Berdasarkan analisa univariat dan bivariat serta pembahasan pada Bab IV, dapat disimpulkan bahwa : 1. Berdasarkan hasil pretest, masih banyak lansia yang tingkat kecukupan tidur dalam kategori tidak cukup yaitu sebanyak 32,2% (20 orang) 2. Setelah dilakukan post test pelaksanaan teknik relaksasi progresif otot, maka angka kecukupan tidur lansia dalam kategori cukup yang ditandai dengan jumlah lansia yang tidak cukup tidur yaitu 6,5% (4 orang). 3. Ada pengaruh yang signifikan teknik relaksasi progresif otot terhadap kecukupan tidur lansia di
PSTW Unit Yogyakarta.
Budhi
Luhur
DAFTAR PUSTAKA Smeltzer, S. C. 2001. Buku Ajar Keperawatan medical Bedah Edisi 8. EGC. Jakarta Oktovida, D. 2003. Hubungan Antara Lingkungan Rumah sakit Dengan Pemenuhan Kebutuhan Istitahat Tidur Anak Prasekolah Yang Dirawat Inap di Instalasi Kesehatan Anak RS DR Sardjito Yogyakarta. Skripsi, FK, UGM. Yogyakarta Stanley, M., Beare, Patricia Gaunlett. 2007. Buku Ajar keperawatan Gerontik. EGC. Jakarta. Nugroho, W,. 2000. Keperawatan Gerontik Edisi 2. EGC. Jakarta Perry & Potter. 2005. Fundamental Keperawatan. EGC. Jakarta Goliszel, A., 2005. 60 Second Manajemen Stres. PT Bhuana Ilmu Populer. Jakarta Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung Arikunto,S., 2009. Manajemen Penelitian, Rineka Cipta. Jakarta. Fitri, N, N., 2010. Pengaruh Teknik Relaksasi Progresif Terhadap Insomnia Pada Lanjut Usia di Dusun Blunyah Gede Kelurahan Sinduadi Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman Yogyakarta., Skripsi, FK, UGM. Yogyakarta
25
1
Mahasiswa S 1 Keperawatan Universitas Respati Yogyakarta ² Dosen Poltekes Yogyakarta ³ Dosen Universitas Respati Yogyakarta
26
HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DAN TINGKAT KECEMASAN PADA KLIEN PRE OPERASI DI RUANG PRE MED ICU ANESTESI RUMKITAL Dr. RAMELAN SURABAYA Nuh Huda¹
Abstract : Anxiety is signal awaking human being, anxiety warn danger existence menacing and enabling somebody to overcome threat. Anxiety a lot of met of client experiencing inspection, client and treatment to experience operation To lessen anxiety one of them is with therapeutic communications by nurse. The target of this Research to know relation existence between terapeutc communications by nurse and mount anxiety of client pre operate for
The research design use method Cross Sectional, sampling method used is the Non Random Sampling, the samples taken as much 19 responder that is client pre operate for in Pre Med ICU Anaesthesia room of Rumkital Dr. Ramelan Surabaya. Research consisted by two variable that is free variable is therapeutic communications and veriable nurse trussed is anxiety. This Elite data is analysed by using test Spearman Corelation with the significant level meaning ρ < 0,05. Result of this research express therapeutic communications by nurse goodness that is as much 10 client (53%) from 19 responder. While level of anxiety responder experience of light anxiety level as much 11 client (58%) from 19 responder. From obtained statistical test of result there is relation between therapeutic communications nurse and mount anxiety at client pre operate for in Pre Med ICU Anaesthesia room of Rumkital Dr. Ramelan Surabaya with level signifikan 0,05 (ρ < 0,00) and r = 0,913 meaning there is relation which significant. See this research hence need effective communications use improvement existence by nurse in assisting minimization mount anxiety. Keyword : communications terapeutik, mount anxiety
Latar Belakang Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan manusia, kecemasan memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. Sensasi cemas sering dialami oleh hampir semua manusia. Perasaan tersebut ditandai rasa ketakutan yang difus, tidak menyenangkan dan samar – samar, seringkali disertai oleh gejala
otonomik. Kumpulan gejala tertentu yang ditemukan selama kecemasan cenderung bervariasi dari orang ke orang (Ayub Sani Ibrahim, 2003 : 30). Kecemasan banyak ditemui pada klien yang menjalani pemeriksaan dan perawatan dalam bidang kesehatan (Ayub Sani Ibrahim, 2003 : 20). Salah satunya kecemasan yang terjadi pada klien Pre Operasi di Ruang Pre Med ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya, klien umumnya mengalami
cemas terhadap segala hal yang berhubungan dengan operasi. Secara signifikan kecemasan mempengaruhi 5 – 7% populasi umum dan 25% atau lebih pada populasi klien dalam bidang medis, pada waktu yang tidak ditentukan (Ayub Sani Ibrahim, 2003 : 76). Data yang didapat dari ruang Pre Med ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya klien pre operasi pada tahun 2007 bulan Januari sebanyak 333 klien, Februari sebanyak 271 klien dan Maret sebanyak 290 klien. Data tersebut disimpulkan hanya dari kecemasan penyakit klien dan kecemasan yang timbul dari segi komunikasi perawat tidak terdata dengan nominal. Kesimpulan yang didapat dari wawancara perawat dan klien, rata – rata semua klien mengalami kecemasan terhadap pembedahan yang akan dilakukan, rasa sakit yang akan dirasakan selama dan sesudah dilakukan pembedahan, adanya infeksi dan kemungkinan komplikasi yang ditimbulkan akibat pembedahan bahkan kematian bisa terjadi dimeja operasi. Hal ini terjadi pada klien yang baru pertama kali ataupun yang kedua kali dilakukannya pembedahan. Dari studi pendahuluan yang dilakukan dengan cara acak pada 10 klien Pre operasi di ruang Pre Med ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya. Pada tanggal 4 Juni 2006 didapatkan data yang menunjukkan cemas berat ada 2 klien dengan diagnosa Fraktur Colles dan Tumor Mammae sinistra, cemas sedang ada 6 klien dengan diagnosa Fraktur Digiti Manus II Dextra, Criptomanus, Fibrotik Penis, Struma Nodusa, Hemorroid dan Neurofibrom, sedangkan cemas ringan ada 2 klien dengan tindakan AV Shunt. Orang berbeda pandangan dalam menanggapi bedah sehingga responnya berbeda – beda pula. Cemas Anestesi biasanya adalah maut, “tidur terus dan tidak bangun lagi” (Barbara C. long, 1996 : 6). Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kecemasan
biasanya bersumber dari : Adanya ancaman terhadap keselamatan diri, misalnya tidak menemukan integritas diri, tidak menemukan status dan prestise, tidak memperoleh pengakuan dari orang lain, serta ketidaksesuaian pandangan diri dengan lingkungan nyata. Manifestasi gejala perifer dari kecemasan yang ditimbulkan oleh klien pre operasi adalah seperti ; mual, muntah, diare, pusing melayang, tensi meningkat, nadi meningkat, hiperhidrosis, hiperrefleksia, palpitasi, midriasis pupil, gelisah, sinkop, rasa gatal di anggota gerak, tremor, frekwensi urine yang tidak terkontrol, gangguan tidur. (Ayub Sani Ibrahim, 2003 : 32). Dengan adanya komunikasi yang efektif oleh perawat diharapkan kecemasan klien dapat berkurang salah satunya berupa pemberian pengertian dan informasi melalui komunikasi terapeutik. Situasi operasi merupakan situasi yang diwarnai suasana cemas, baik bagi klien dan kelurganya. Sehingga peran perawat dan tenaga kesehatan lain perlu memberi perhatian dalam upaya mengurangi kecemasan sekaligus menurunkan resiko operasi yang dapat timbul karena klien tidak kooperatif. Oleh karena itu, adanya komunikasi selama masa operasi terutama pre operasi sangat diperlukan bagi klien. Dalam hal ini perawat memakai dirinya secara terapeutik dengan menggunakan tehnik komunikasi agar perilaku klien berubah kearah yang positif seoptimal mungkin. Komunikasi yang kurang antara petugas kesehatan dan klien dapat mengakibatkan kesalahpahaman, pemahaman yang rendah tentang operasi, peningkatan kecemasan dan ketakutan, serta partisipasi klien dan keluarga yang rendah pada situasi operasi (Ayub Sani Ibrahim, 2003 : 98). Melalui komunikasi terapeutik diharapkan perawat dapat menghadapi, mempersepsikan, bereaksi dan menghargai keunikan klien (Mundakir, 2006 : 115).
28
Bahan dan Metodologi Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasional dengan tujuan untuk mengungkapkan hubungan antara variabel yang mengacu pada kecenderungan bahwa variasi suatu variabel diikuti oleh variabel yang lain (Nursalam dan S. Pariani, 2001) dengan pendekatan cross sectional yaitu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor – faktor resiko efek, dengan cara pendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (PointTime Approach) artinya setiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap suatu karakter atau variabel subyek pada saat pemeriksaan (Notoatmojo, 2002 : 145 – 146). Variabel Dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. variabel independennya adalah komunikasi terapeutik perawat di ruang Pre Med ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya. variabel dependennya adalah tingkat kecemasan klien Pre Operasi diruang Pre Med ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya Dalam penelitian ini populasinya adalah semua klien yang dirawat di ruang Pre Med ICU Anestesi Rumkital dr. Ramelan Surabaya pada periode Juli 2007. Sampel yang diambil adalah sebagian klien dirawat di ruang Pre Med ICU Anestesi Dr. Ramelan Surabaya, Juli 2007. Tehnik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probability sampling dengan purposive sampling yaitu dengan tehnik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi (Nursalam, 2001: 98).
Tingkat kecemasan Tidak cemas Cemas ringan Cemas sedang Cemas berat Total
Frekwensi
Persentase
0 11 7 1
0% 58% 37% 5%
19
100%
Alat pengumpul data dengan kuesioner tertstruktur berdasarkan konsep teori. Untuk mengetahui hubungan dalam penelitian ini peneliti menggunakan uji korelasi spearman dengan tingkat kemaknaan p < 0,05 artinya bila 0,05 Ho ditolak dan H1 diterima yang berarti ada hubungan antara komunikasi terapeutik dan tingkat kecemasan klien pro perasi di ruang ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.
Hasil Penelitian 1. Komunikasi Terapeutik perawat Tabel
1 Distribusi Frekwensi Komunikasi Terapeutik perawat di Pre Med ICU Anestesi Rumkital
Komunikasi Terapeutik perawat Baik Cukup Kurang Total
Frekwensi
Persentase
10 8 1
53 % 42% 5%
19
100%
Pada tabel 1 diatas didapatkan bahwa 10 responden (53%) menyatakan komunikasi perawat baik, 8 responden (42%) menyatakan bahwa komunikasi perawat cukup dan 1 responden (5%) menyatakan komunikasi perawat kurang. 2. Tingkat Kecemasan Tabel 2 Distribusi Frekwensi Tingkat Kecemasan Responden di Ruang Pre Med ICU Anestesi Rumkital
29
Pada hasil penelitian pada tabel 2 diatas didapatkan bahwa tingkat kecemasan sebagian besar mengalami kecemasan ringan sebanyak 11 responden (58%), sebanyak 7 responden (37%) mengalami cemas sedang dan sebanyak 1 responden (5%) mengalami cemas berat sedangkan tidak ada responden yang tidak cemas. 3. Hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dan tingkat kecemasan klien Tabel 3 Hubungan Antara Komunikasi Terapeutik Perawat dan Tingkat Kecemasan Komunikas i terapeutik
baik cukup kurang
kecemasan
pada klien mengalami cemas berat sebanyak 1 responden (5%). Berdasarkan uji statistik korelasi spearman di dapatkan adanya hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dan tingkat kecemasan klien pre operasi. Probabilitas yang diperoleh sebesar ρ = 0,05 yang lebih kecil dari ρ < 0,05 yang berarti hipotesa nol ditolak dan hipotesa kerja diterima dengan koefisien sebesar 0,913 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi terapeutik perawat dan tingkat kecemasan klien pre operasi di ruang pre med ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.
Pembahasan
Total
1. cemas ringan 10
cemas sedang 0
cemas berat 0
10
53%
0%
0%
53
1
7
0
8
5%
37%
0%
42
0
0
1
1
0%
0%
5%
5%
Total
11
7
1
19
37% Spear man
5%
Hasil
58% Uji Korelasi
100% α = 0.913
P = 0.05
Dari hasil diatas berdasarkan distribusi frekwensi hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dan tingkat kecemasan klien pre operasi di ruang Pre Med ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya terlihat bahwa perawat melakukan komunikasi terapeutik yang baik pada responden mengalami cemas ringan ada 10 responden (53%), perawat yang melakukan komunikasi terapeutik yang cukup pada responden mengalami cemas ringan ada 1 responden (5%), yang mengalami cemas sedang ada 7 responden (37%), sedangkan perawat yang melakukan komunikasi terapeutik kurang
Komunikasi Terapeutik Perawat Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa komunikasi terapeutik perawat baik sebanyak 10 responden (53%), komunikasi terapeutik perawat cukup sebanyak 8 responden (42%) dan komunikasi terapeutik perawat kurang hanya 1 responden (5%). Melihat hasil diatas diketahui bahwa komunikasi perawat sangat penting dalam membantu memberikan informasi tentang hal – hal yang tidak di ketahui klien dan membantu mengatasi masalah klien karena pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang di rencanakan secara sadar bertujuan dan kegiatannya di pusatkan untuk kesembuhan klien (Heri Purwanto, 2003). Hubungan terapeutik antara perawat dan klien adalah hubungan kerja sama yang di tandai dengan tukar menukar perilaku, perasaan, pikiran dan pengalaman dalam membina hubungan yang terapeutik. Banya factor yang mempengaruhi proses komunikasi antara lain : usia, jenis kelamin dan pendidikan. Tingkat pengetahuan akan memperngaruhi komunikasi yang di lakukan (Nurjannah, 2001 : 36).
30
Sedangkan menurut Notoraharjo yang di kutip oleh Nursalam (2001) mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin baik pula pengetahuannya dan akan lebih mudah untuk menerima informasi tentang keadaannya sehingga seseorang akan lebih mengerti tentang cara penatalaksanaan terhadap penyakitnya baik hal yang akan memperberat maupun hal untuk mengendalikan kecemasannya dengan mekanisme koping yang efektif, sebaliknya seseorang dengan pendidikan rendah akan sulit menerima atau merespon informasi dan pertanyaan yang mengandung bahasa verbal dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Untuk itu perawat perlu mengetahui tingkat pengetahuan klien sehingga perawat dapat berinteraksi dengan baik dan akhirnya dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien. 2.
Tingkat Kecemasan Klien pre operasi di ruang Pre Med ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya paling banyak mengalami kecemasan tingkat ringan ini ditunjukkan pada tabel 5.2 dengan prosentase 58% (11 responden), megalami kecemasan sedang sebanyak 37% (7 responden), sedangkan yang mengalami kecemasan berat sebanyak 5% (1 responden). Seseorang yang merasa cemas biasanya dikaitkan dengan kondisinya, lingkungan yang baru, kurangnya informasi, pola pengobatan serta biaya pengobatan. Seseorang yang mengalami kecemasan sedang masih dapat melaksanakan aktivitas hidup sehari – hari. Dan yang perlu diperhatikan adalah mencegah jangan sampai klien berada dalam kecemasan berat maupun panic karena tingkat pada tingkat ini wawasan individu terhadap lingkungan sangat menurun dan sudah tidak mampu mengontrol dirinya (Ibrahim, 2003 : 58).
Respon seseorang terhadap stress memiliki tingat adaptasi yang berbeda sehingga jika ia tidak mampu mengatasi masalah maka akan timbul respon mal adaptif yang berupa kecemasan. Akan tetapi setiap orang berbeda dalam menyesuaikan dirinya terhadap stress, hal tersebuit dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin dan tingkat pengetahuan (Maramis, 2004 : 69). Dari faktor pendidikan menurut Boewer yang di kuitp oleh Nursalam (2001), pendidikan seseorang sangat menentukan kecemasan. Klien dengan pendidian tinggi akan lebih mampu mengatasi kecemasan dengan menggunakan koping yang efektif dan konstruktif daripada seseorang dengan pendidikan rendah. Faktor yang dapat menimbulkan kecemasan adalah lingkungan. Lingkungan dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil. Hal ini dapat dipahami karena dirawat di rumah sakit merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan bagi tiap individu sehingga dapat menimbulkan suatu kecemasan. 3.
Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat dan Tingkat Kecemasan. Dari hasil pengolahan data pada sub bab 5.1.4 tabel 5.3 diperoleh hasil bahwa hubungan komunikasi terapeutik dan tingkat kecemasan menunjukkan tingkat kemaknaan (ρ < 0,00) dengan koefisien korelasi α = 0,913, artinya ada hubungan yang kuat antara komunikasi terapeutik perawat terhadap tingkat kecemasan klien. Dalam memberikan asuhan keperawatan, komunikasi secara terapeutik memegang peranan penting dalam membantu memecahkan masalah klien, karena komunikasi yang ditujukan untuk kesembuhan klien sehingga dalam pelaksanaanya proses komunikasi dapat memberikan informasi dan membantu
31
klien untuk mengatasi persoalan yang dihadapi pada tahap perawatan. Komunikasi terapeutik perawat mempengaruhi tingkat kecemasan klien pre operasi. Hal ini disebabkan karena klien pre operasi membutuhkan informasi dan penjelasan tentang keadaanya dan tindakan yang akan dilakukan oleh perawat. Kecemasan yang terjadi pada klien yang ada di ruang pre med ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya terjadi karena adanya suatu ancaman terhadap diri klien seperti ketidakberdayaan dan kehilangan kendali pada diri klien dan kecemasan semacam ini akan terus berkelanjutan dan menyebabkan klien pre operasi salah menafsirkan status kesehatan mereka. Untuk membantu meningkatkan perasaan pengendalian diri pada klien salah satunya dapat melalui pemberian informasi dan penjelasan. Pemberian informasi ini dapat dilakukan dengan baik apabila didukung oleh pelaksanaan komunikasi yang efektif oleh perawat. .
Saran
Simpulan
Ayub Sani Ibrahim (2003), Panik Neurosis dan Gangguan Cemas, Jakarta : PT. Dua As – As
Dari hasil penelitian ini dapat di simpulkan bahwa : 1. Rata rata komunikasi perawat di ruang Pre Med ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya adalah baik 2. Rata rata klien Pre Operasi di Ruang Pre Med ICU Anestesi Dr. Ramelan Surabaya mengalami cemas sedang. 3. Hasil Uji statistic korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi terapeutik perawat dan tingkat kecemasan klien Pre Operasi di Ruang Pre Med ICU Anestesi Dr. Ramelan Surabaya.
1. Diharapkan perawat mampu melaksanakan komunikasi terapeutik secara efektif terhadap klien pre operasi dalam memberikan asuhan keperawatan secara professional 2. Diharapkan Rumah Sakit senantiasa meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan perawat khususnya sikap dan komunikasi terapeutik perawat. 3. Bagi peneliti selanjutnya agar penelitian ini dapat dijadikan suatu gambaran dalam penelitian selanjutnyaguna mendapatkan hasil yang lebih baik karena hasil penelitian ini tidak bisa mewakili populasi, hanya mewakili sampel yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA Arwani (2002), Komunikasi Keperawatan, Jakarta: EGC.
Dalam
Anas Tansuri (2006), Buku Saku Komunikasi Dalam Keperawatan, Jakarta : EGC Barbara C. Long (1996), Perawatan Medikal Bedah I, Bandung : Yayasan IKAPI Barbara J, Gruendemann (2005), Buku Ajar Keperawatan Perioperatif, Volume 1, Jakarta: EGC. H.
Syamsuri Adam (1998), Praktek Keperawatan Medikal Bedah, Bandung : Yayasan LAPK
Hudak dan Gallo (1997), Keperawatan Kritis, pendekatan Holistik, Jakarta : EGC Keliat, Budi Ana (1996), Hubungan Perawat dan Klien. Jakarta :EGC Monica Ester (2005), Pedoman Perawatan Pasien, Jakarta: EGC.
32
Mundakir (2006), Komunikasi Keperawatan Aplikasi Dalam Pelayanan. Yogyakarta : Graha Ilmu Notoatmojo (2002), Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta Notoatmojo, (2005),. Metodologi Penelitian Kesehatan Edisi Revisi V, Jakarta : Rineka Cipta Nursalam & S. Pariani (2001), Metodologi Penelitian, Jakarta : Sagung Seto Oswari E. (1993), Bedah dan Perawatannya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Setiadi (2007), Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan, Yogyakarta: Graha Ilmu. Suryani (2005), Komunikasi Jakarta :EGC
Terapeutik,
Stuart & Sundeen (1998), Keperawatan Jiwa Buku Saku, Edisi 3, Jakarta : Balai Pustaka Sugiono (2001), Statistika Untuk Penelitian, Bandung : CV Alfa Beta
¹ Staf Dosen Departemen Medikal Bedah Stikes Hang Tuah Surabaya
33
KUALITAS HIDUP PEREMPUAN YANG MENGALAMI HISTEREKTOMI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYADI WILAYAH DKI JAKARTA: STUDY GROUNDED THEORY R. Khairiyatul Afiyah1, Setyowati2 , Imalia Dewi Asih3
Abstract : Hiysterctomy is a surgery that cutting out the uterus. It causes physical, psychology and social effects. The purpose of this research is to develop a new concept of quality of life amongst women with hysterectomy. The grounded theory method was used with ten participants that recruited through a purposive sampling method. The result shows that there are internal and external factors that influence the quality of life and perceptions of women make them feel better in biological, psychological, social and spiritual aspects of their lifes. This research recommends to that nurses to apply biological, psiychological, social, spiritual support for women with hysterectomy as an aspect of nursing service. Keywords : Hysterectomy,
Latar Belakang Histerektomi adalah suatu tindakan pengangkatan uterus dengan cara pembedahan (Hickey & Lumsden, 2000). Histerektomi bukan merupakan satu-satunya tindakan yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan pada organ reproduksi, terutama bagi perempuan yang masih menginginkan anak. Namun tindakan ini adalah tindakan yang tepat dan terbaik untuk mengatasi penyakit pada organ reproduksi secara permanen (Bobak & Jensen, 2005). Data dari bagian Obstetri Ginekologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan bahwa setiap tahun kurang lebih 230 tindakan histerektomi dilakukan dengan bermacam-macam tujuan seperti mengatasi perdarahan dan kanker
serviks (Gozali, Junisaf & Santoso, 2002). Histerektomi banyak dialami oleh wanita usia produktif. Usia wanita yang mengalami histerektomi berada dalam rentang usia 20-49 tahun (Berek, 1996). Dampak histerektomi pada perempuan yang mengalaminya yaitu pada fisik, psikologi dan sosial. Beberapa dampak tersebut saling mempengaruhi karena dengan histerektomi perempuan akan kehilangan organ reproduksi yang sangat berharga. Kehilangan tersebut akan mempengaruhi keadaan psikologi mereka seperti cemas, ketakutan dan akhirnya mengalami depresi. Perasaan depresi yang diakibatkan oleh hilangnya simbol kewanitaanya membuat perempuan mengalami perasaan yang tidak jelas sehingga dapat mengancam perannya terutama didalam masyarakat tradisional yang sangat menghargai terhadap nilai seorang perempuan
(Farooqi, 2007; Carlson, 1997; Bayram & Beji, 2009). Perasaan dan anggapan kurang sempurna sebagai perempuan karena histerektomi akan menimbulkan permasalahan dan dilema yang sangat pelik dan bersifat patologis yang akan terjadi disepanjang kehidupannya. Salah satu permasalahan yang banyak ditakutkan adalah perpisahan dengan pasangannya. Keadaan ini merupakan langkah terberat dan penyebab depresi yang dialami oleh perempuan pasca histerektomi khusunya bagi perempuan yang belum pernah melahirkan seorang anak (Hickey & Lumsden, 2000). Depresi merupakan dampak tersering karena histerektomi. Salah satu penyebabnya adalah karena kehilangan fungsi reproduksi dan infertil. Beberapa perempuan mengatakan merasa “sedih” setelah tindakan histerektomi, ini dibuktikan oleh beberapa perempuan yang terlihat menangis tanpa diketahui penyebabnya setelah empat hari sampai satu minggu pasca histerektomi (Flory,. et al, 2005; Katz, 2002). Dampak dari histerektomi akan memberikan pengaruh besar terhadap kualitas hidup, ini dapat terlihat bagaimana perempuan dalam menjalankan kehidupannya seperti bagaimana individu dalam beraktivitas, berhubungan sosial dan berinteraksi terhadap lingkungannya. Semua hal tersebut dapat menyebabkan perubahan perilaku sehari-hari yaitu perubahan gambaran diri akan mengakibatkan rasa tidak percaya diri, perilaku menarik diri, tidak percaya terhadap Tuhan dan akhirnya perilaku melukai diri sendiri (Farooqi, 2005; Flory., et al,. 2005; Uzun., et al, 2009).
Pada umumnya tindakan histerektomi berdampak terhadap kualitas hidup, pernyataan ini diperkuat oleh penelitian dari Bayram & Beji, (2009) yang mengidentifikasi bahwa tindakan histerektomi memberikan dampak kecil pada peningkatan kualitas hidup yang lebih baik dalam waktu yang lama termasuk kesehatan mental. Kualitas hidup perempuan yang mengalami histerektomi memberikan hasil berbeda pada setiap individu hal tersebut seperti yang dikatakan Bayram & Beji, (2009) menyatakan bahwa dampak histerektomi terhadap kualitas hidup perempuan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu; seberapa besar keluhan yang dirasakan sebelum tindakan histerektomi, hasil tindakan histerektomi yaitu hasil yang baik akan meningkatkan kualitas hidup serta kualitas personal yaitu fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan yang baik dapat meningkatkan kualitas hidup.
Bahan dan Penelitian
Metodelogi
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain grounded theory dengan tujuan mengembangkan suatu konsep tentang kualitas hidup pada perempuan yang mengalami histerektomi serta faktorfaktor yang mempengaruhinya. Prosedur sampling yang digunakan purposive sampling, jumlah partisipan 10 orang, menggunakan tekhnik wawancara dan observasi dengan analisa data dari Strauss & Corbin (1998).
35
Hasil Penelitian Setelah peneliti memperoleh data penelitian yang teridentifikasi dari hasil wawancara, observasi perilaku, catatan lapangan dan telaah literatur, peneliti kemudian menganalisanya dan memperoleh sepuluh tema. Adapun sepuluh tema yang diperoleh dalam penelitian ini tentang kualitas hidup perempuan yang mengalami histerektomi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah : Persepsi tentang histerektomi. Histerektomi yang dikemukakan oleh sebagian besar partisipan adalah bahwa dengan histerektomi menghilangkan semua keluhan-keluhan utama seperti perdarahan, nyeri, anemia. Hal tersebut sesuai dengan konsep dari Rock & Jones III (2008), Hickey & Lumsden, 2000 tentang tujuan dari histerektomi adalah mengurangi keluhan dan meningkatkan kesehatan. Berikut ini beberapa ungkapan partisipan : “Keluhan-keluhan yang dulu sebelum histerektomi sudah tidak terasa “(P-1). . Keluhan awal pasca histerektomi. Penurunan produksi hormon estrogen dapat menyebabkan gejala premenopause yaitu merasa kedinginan, produksi keringat meningkat, palpitasi, sakit kepala, nyeri otot, kelelahan, insomnia. penurunan respon seksual karena bekas luka pada jaringan saat operasi dapat mengganggu aliran darah ke organ genital dan banyak syaraf disekitar organ genital mengalami kerusakan saat operasi sehingga mengakibatkan gangguan pada saat berhubungan sek (Yongkin & Davis, 2004).
Gejala gangguan psikologi yang sering terjadi setelah histerektomi adalah depresi dan stres, karena beberapa perempuan beranggapan bahwa uterus adalah sumber perasaan dan anggapan tersebut dapat mempengaruhi kesehatan mental (Katz, 2002). Berikut ini beberapa ungkapan partisipan: “yang paling dirasakan 3 bulan aktivitas hubungan suami istri tidak berani,4 bulan setelah pasca operasi baru berhubungan suami istri tapi sakitnya luar biasa “( P-1). Keluhan lanjut pasca histerektomi. Dampak psikologis dari tindakan histerektomi adalah pada umumnya reaksi perempuan yang mengalami histerektomi akan merasakan suatu kehilangan yang diikuti reaksi kesedihan. Secara umum dampak dari histerektomi adalah pada fisik, psikologi, dan sosial senada yang dikatakan Rock & Jones III (2008) tentang efek tindakan histerektomi yang memberikan dampak yang sangat kompleks pada individu. Berikut ini adalah beberapa ungkapan dari partisipan : “BB meningkat sampai 10 kg, keringat keluar banyak, berhubungan suami isteri tapi sakitnya luar biasa, terasa serret” (P-1) Aktivitas sehari-hari berjalan normal. setelah mengalami tindakan histerektomi aktivitas sehari-hari tidak mengalami perubahan yang artinya tidak ada masalah apapun yang berkaitan dengan bagaimana aktivitas sehari-hari dirumah ataupun ditempat kerja pada perempuan yang mengalami histerektomi senada yang dikatakan oleh Hennesy., et al (2006) salah satu
36
dimensi dari kualitas hidup adalah kemampuan fungsional yang berari bagaimana individu dapat memfungsikan dirinya dalam kehidupan sehari-hari yang diaplikasikan bagaimana indivdu melakukan aktivitas baik dirumah, lingkungan serta ditempat kerja. Beberapa ungkapan dari partisipan sebagai berikut : ”rutin tiap hari masuk pagi..bisanya tiap hari ada saja rapat, .tapi anehnya saya tuh gak merasakan apa-apa bagaimanan gitu capek-capek gitu malah sekarang saya agak maruk kerja ya” (P-9) Peningkatan kesejahteraan spiritual. Peningkatan spiritual sebagai salah satu mekanisme koping yang efektif dalam menerima suatu masalah. Peningkatan spiritual yang dilakukan seseorang atau sumber spiritual yang berasal dari orang lain merupakan modal dalam memberikan dukungan dan kekuatan untuk menghadapi menghadapi situasi atau masalah dalam kehidupan termasuk peristiwa kehilangan. Dengan adanya kekuatan tersebut seseorang mempunyai suatu harapan, semangat dalam menghadapi hidupnya. Berikut beberapa ungkapan dari parisipan : “Malah saya lebih enak saya bisa beribadah kapanpun, bisa puasa penuh selama tiga taun akhir-akhir ini, bisa beribadah dengan penuh”(P-8 Hubungan sosial baik. Hal ini terlihat dari ungkapan yang dinyatakan oleh partisipan adalah sebagai berikut : ”Tapi kita kalau ada undangan kalau ada waktu pasti kita datang yang penting silaturrahmi tetep dengan tetangga” (P-4) Orientasi masa depan.
Beberapa partisipan yang mengatakan saat ini dirinya sangat dibutuhkan pasen-pasen diruangan ditempat partisipan bekerja, hal tersebut sesuai dengan konsep Hennesy,.et al (2006), salah satu dari dimensi kualitas hidup adalah orientasi masa depan. Beberapa ungkapan dari partisipan sebagai berikut : “Saya ingin hidup saya bermanfaat untuk orang lain meski sudah gak punya rahim “( P-2) ”pasen-pasen saya masih sangat membutuhkan saya” (P-9) Hubungan interepersonal baik. Lima dari sepuluh partisipan mengatakan hubungan seksual dengan suami tidak ada masalah, namun dua dari sepuluh partisipan mengatakan penurunan hasrat untuk berhubungan seksual. Hal tersebut sesuai dengan konsep dari Hennesy., et al. (2006), tentang salah satu dimensi kualitas hidup adalah kehidupan seksual yang termasuk gambaran terhadap dirinya sendiri. Berikut beberapa ungkapan partisipan: “Sekarang ya, setelah HT itu gairah seksual saya semakin gila “(P-8) “ biasanya liburan kita sering ke Bandung”(P-8) Faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi kualitas hidup pada perempuan yang mengalami histerektomi. Faktor internal yang mempengaruhi kualitas hidup pada perempuan yang mengalami histerektomi adalah komitmen dan sikap optimis dan adaptasi terhadap perubahan pasca histerektomi. Faktor eksternal yang mempengaruhi kualitas hidup pada perempuan yang mengalami histerektomi adalah dukungan sosial dan informasi kesehatan tentang histerektomi dan permasalahannya.
37
Berikut beberapa ungkapan partisipan : ” pengen kualitas hidup saya lebih baik,ya kesehatan jasmani dan rohani” (P-5). “tapi tidak seelastis dulu ya...sudah berkurang,,,tapi bisa menggunakan trik-trik suami isteri tanpa menggunakan obat apapun” (P-7). Beberapa ungkapan yang ditunjukkan oleh partisipan : “saya ini kan mau operasi...harusnya kan mereka ngupas dulu bagaimana tindakannya nanti” (P-6) ”kalau ini memang yang terbaik buat isteri saya, ya dilakukan.,kalau suami pokoknya apapun yang penting saya sehat “(P-3).
Skema Hasil penelitian Grounded Theory; Kualitas hidup perempuan yang mengalami histerektomi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya Faktor internal yang mempengaruhi kualitas hidup pasca histerektomi : Komitmen dan sikap optimis
Faktor eksternal yang mempengaruhi kualitas hidup pasca histerektomi : Dukungan sosial
Adaptasi terhadap perubahan pasca
Keluhan awal pasca histerektomi
Persepsi tentang histerektomi
Aktivitas seharihari berjalan normal Peningkatan kesejahteraan spiritual Hubungan sosial baik
Keluhan lanjut pasca histerektomi
Informasi
Hubungan interpersonal dalam keluarga baik
Orientasi masa depan
Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan keluhan awal yang dirasakan perempuan pasca hiterektomi adalah adanya gangguan pada fisik dan gangguan pada psikologi, gangguan-gangguan yang dialaminya berkaitan dengan gangguan terhadap kebutuhan dasar manusia, seperti gangguan eliminasi alvi, sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidupnya saat itu. Penelitian ini menunjukkan hasil bagaimana kualitas hidup perempuan yang mengalami histerektomi. Kualitas hidup yang ditunjukkan oleh perempuan yang mengalami histerektomi setelah satu tahun sampai saat ini adalah dalam kondisi baik, perempuan yang mengalami kondisi yang baik pasca histerektomi, merasakan bahwa keluhan-keluhan utama yang dirasakan sebelum histerektomi seperti nyeri perut, perdarahan banyak saat menstruasi, nyeri saat berhubungan seksual dengan suami sudah tidak pernah dirasakan lagi.
Kualitas hidup pada perempuan yang mengalami histerektomi akan mempengaruhi bagaimana persepsinya. Persepsi yang baik didapatkan dalam penelitian ini, yang ditunjukkan oleh sebagian besar partisipan bahwa histerektomi yang dialami partisipan meningkatkan status kesehatan dan menghilangnya keluhan utama. Semua yang dialami partisipan setelah histerektomi akan memberikan suatu gambaran terhadap histerektomi. Senada dengan hasil penelitian dari 38
Silverstein, (2002) yang menunjukkan bahwa histerektomi meningkatkan kenyamanan hidup pasien. Kondisi kesehatan yang dialami pada perempuan pasca histerektomi dalam penelitian ini akan mempengaruhi bagaimana perempuan dapat berinteraksi dengan baik terhadap lingkungan sosialnya serta aktivitas sehari-hari. Dalam penelitian ini sebagian besar partisipan masih aktif berhubungan dengan lingkungan sekitarnya seperti masih aktif kumpul dengan tetangga hanya untuk ngobrolngobrol saja dan mengikuti pengajian rutin dan yasinan bersama-sama dengan tetangga. Hubungan interpersonal yang teridentifikasi dalam penelitian ini adalah hubungan interpersonal partisipan dengan pasangannya yang berkaitan dengan hubungan seksual dengan suaminya. Teridentifikasi dalam penelitian ini bahwa sebagian besar partisipan mengungkapkan hubungan seksual dengan suaminya berjalan normal tidak ada gangguan, cenderung meningkat namun ada sebagian kecil partisipan yang mengatakan mengalami penurunan hasrat untuk berhubungan seksual. Hubungan kehangatan dalam keluarga dirasakan oleh sebagian besar partisipan pasca histerektomi. Tindakan histerektomi yang dialami perempuan dalam penelitian ini memberikan dampak positif pada aspek spiritual dalam bentuk peningkatan kesejahteraan spiritual. Selain hubungan spiritual yang berkaitan dengan sang pencipta, partisipan juga mengatakan bahwa saat ini lebih sabar, lebih pasrah dan
menyadari bahwa Tuhan masih sayang pada dirinya dan partisipan juga menganggap bahwa histerktomi yang dialaminya adalah jalan untuk lebih dekat kepada Tuhan. Peningkatan spiritual yang berhubungan dengan sesama manusia tergambar pada sikap dengan membagi dan memberikan kebahagiaan dan kasih sayang kepada keluarga dan orang lain partisipan meyakini bahwa hidupnya saat ini harus bermanfaat buat orang lain. Namun, kualitas hidup baik yang sudah dirasakan oleh perempuan yang mengalami histerektomi sampai saat ini, disertai juga dengan dirasakannya keluhan-keluhan ringan yaitu keluhan lanjut pada fisik dan psikologi pasca histerektomi. Keluhan-keluhan yang dirasakan dianggap oleh partisipan sebagai efek dari menopause dan proses menua. Faktor eksternal yang mempengaruhi kualitas hidup pada perempuan yang mengalami histerektomi dalam penelitian ini adalah pemberian pendidikan kesehatan tentang histerektomi dan permasalahannya dan dukungan sosial. Informasi tentang histerektomi dan permasalahannya sangat dibutuhkan pada semua individu yang mengalami histerektomi tanpa melihat latar belakang pendidikan dan pekerjaan, hal tersebut ditunjukkan oleh karakteristik partisipan dalam penelitian ini yang sebagian besar adalah perawat dan bidan, kenyataannya mereka masih belum mengerti tentang histerktomi dan mereka mengungkapkan bahwa
39
pada saat divonis untuk histerektomi mereka sangat membutuhkan informasi tersebut. Taylor, 1999) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama. Sumber dan bentuk dukungan yang biasa ditunjukkan adalah bagaimana orang lain yang akan berinteraksi dengan individu sehingga individu tersebut dapat merasakan kenyamanan secara psikologis dan fisik. Komitmen dan sikap optimis serta adaptasi terhadap perubahan pasca histerektomi merupakan faktor internal yang mempengaruhi kualitas hidup pada perempuan yang mengalami histerektomi. Komitmen dan sikap yang ditunjukkan partisipan adalah bagaimana dapat mempertahankan atau meningkatkan kualitas hidupnya dengan didasari oleh harapan hidup yang dimilik oleh partisipan. Harapan hidup yang diungkapkan sebagian besar partisipan dalam penelitian ini adalah ingin lebih baik dan lebih sehat. Hal tersebut sesuai dengan konsep tentang dimensi kualitas hidup Jennifer, et all (1999) yaitu bahwa dimensi kualitas hidup yang baik adalah bagaimana orientasi masa depan individu, kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri sendiri dan fungsi dalam bekerja. Komitmen dan sikap optimis akan mempengaruhi proses adaptasi individu terhadap perubahan yang dialaminya akibat histerektomi. Proses adaptasi ditunjukkan oleh
partisipan dengan cara melakukan upaya yang berasal dari kesadaran diri serta melakukan suatu perilaku lebih baik yang bersifat mengurangi dampak yang lebih besar serta bersifat pencegahan dengan tujuan kualitas hidup perempuan yang mengalami histerektomi tetap baik.
Kesimpulan Histerektomi adalah pengangkatan uterus dengan cara pembedahan. Ini menyebabkan dampak pada fisik, psikologi dan sosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan suatu konsep baru tentang kualitas hidup pada perempuan yang mengalami histerektomi. Penelitian ini menggunakan metode grounded theory dengan 10 partisipan, pengambilan partisipan dengan cara purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan adanya faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kualitas hidup dan persepsi perempuan yang membuat mereka merasa lebih baik pada biopsiko, sosial dan spiritual didalam kehidupan mereka. Penelitian ini merekomendasikan pada perawat untuk mengaplikasikan dukungan biopsiko, sosial dan spiritual dalam kasus ini yaitu sebagai bentuk pelayanan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA Bayram, G.O,. & Beji, N.K. (2009). Psychosexual adaptation and quality of life after hysterectomy. Original paper. DOI 10.1007/s11195009-9143-y. http://www.springerlink.com/ diperoleh tanggal 23 Februari, 2010. 40
Berek, J.S. (1996). Novak’s gynecology. (12th ed). Pennsylvania: Pierce Graphic Services, Inc. Bobak, Lowdermik, Jensen, (2003). Maternity Nursing. (4ed). Mosby: Year Book, Inc. Carlson, K.J. (1997). Outcomes of hysterectomy. The New England Journal of Medicine.Volume 347: 13601362. Clark, C.R. & Smith, A. (1998). Womens health: A primary health care approach. Philadelphia. Maclenan+Petty. Farooqi, Y.N. (2005). Depression and anxiety in patients undergoing hysterectomy. Journal of Pakistan Psiychiatric Society. Vol 2 (1):13-6. Flory, N,. Bissonnette, F,. Binih, Y.M. (2005). Psychososial effect of hysterectomy. Journal Psychosom. Res. Vol 5 (10-13). Ghozali, S., & Junizaf, et al. (2004). Perangai seksual pasca histerektomi total. Indonesia J. Obstet Gynecol.24(2):8284. Hickey, M. & Lumsden, M.A. (2000). Complete womens health. London: Hammersmith. Katz, A. (2002). Sexuality after hysterectomy. JOGNN. 31 (22-23) Uzun, R,. Savas, A,. Ertunc, D,. Tok, E., Dilek, S; The effect abdominal hysterectomy perfomed for uterine leiomyoma on quality of live. Turkiye Klinikleri J. Gycinecol. Obstet. 9(1), 1-6.
Silverstein, D.K. (2002) : Hysterectomy status and life satisfaction in older women. Journal of womens health & gender-based medicine. Volume 11, Number 2. ihttp://web.ebscohost.com/. diperoleh tgl 2 juli 2010 Strauss, A. & Corbin, J, (1998). Basics of qualitative research techniques and procedures for developing grounded theory. (2nd ed). New Delhi: SAGE Publication, Inc. Yongkin, E.Q. & Davis, M.S. (2004). Womens health a primary care clinical guide. New Jersey: Pearson. 1
: Staf pengajar Stikes Yarsi Surabaya 2 : Staf Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 3 SKp.,MSN3: Staf Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
41
PEMBERIAN JAMBU MERAH TERHADAP PENINGKATAN TROMBOSIT PADA ANAK DHF Setiadi¹
Abstract : Dengue hemoragic fever is an infection diseases caused by aedes aegepty. There are various methods for medication and treatment dengue hemoragic, farmocologis and non pharrmacological method. There are two of treatment non pharrmacological red guava juice. This research had the purpose to know the trombocyte increase in the patient who administered with the red guava juice. Design of this research was the quasy experiment with control time design using purposive sampling nonprobabilty approach. The population proportion of 20 respondents with 10 groups of control and 10 intervention group, statistical analysis using t-test and tindependen. From the result of the research it was obtained that did not administered with red guava juice the average was trombocyte, 14.300, while the increase average administered red guava juice was 76.100, the result of ρ test 0,00 (ρ <0,05). That is there was effect of red guava administering to the trombocyte number increase on the DHF sufferes. Implication of the research was that the red guava administering can be use one of drink choicces can be consumen to increase trombocyte numbers in the DHF sufferer. Keyword:DHF,RedGuavaJuice,trombocyte.
Latar belakang DHF adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue tipe 1-4, sifat dari virus dengue antara lain berbentuk batang, termolabil, sensitif terhadap inaktivasi, stabil pada suhu 700 celcius. Dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegpty dan beberapa spesies lainnya. Virus ini masuk kedalam pembuluh darah dan menyerang bagian dinding pembuluh
darah. Pada penderita DHF terjadi peningkatan sistem komplemen akibat aktivasi kompleks antigen virus-antibodi. DHF banyak di jumpai di masyarakat penyakit ini dapat menyerang semua orang (Soegeng, 2006). Dari data awal didapatkan pada tahun 2010 di puskesmas Sedati Sidoarjo sejumlah 99 orang menderita DHF Pengobatan DHF berkonsentrasi pada peningkatan trombosit dengan cara mengembalikan permeabilitas vaskuler ke kondisi normal lagi. Salah satu pengobatan yang dapat meningkatkan trombosit yaitu dengan menggunakan ekstrak jambu
merah (Soegeng, 2004 : 121). Berbagai penelitian menunjukkan ekstrak daun jambu merah dan jambu merah bisa menekan aktivasi komplemen. Angka kesakitan DHF di Indonesia cenderung meningkat, mulai 50 kasus per 100.000 penduduk dengan kematian sekitar 12% (Kompas, 2010). Tahun 2004 DHF mengalami insiden peningkatan yang cukup tinggi sehingga pada bulan februari 2004 pemerintah menetapkan keadaan luar biasa (KLB) pada kasus DHF. DHF merupakan penyakit musiman dan penyakit yang berbahaya. (Somarmo, 2000). Berdasarkan data yang didapat dari dinas kesehatan Sidoarjo pada tahun 2009 dengan jumlah penduduk 1.705.528 terdapat 172 penderita DHF pada anak dan 11 penderita DHF meninggal sedangkan pada tahun 2010 dengan jumlah penduduk 1. 778.221 terdapat 404 penderita DHF pada anak, penderita yang meninggal pada tahun 2010 sebanyak 10 orang. Pada tahun 2010 terdapat peningkatan jumlah penderita DHF . Sedangkan di puskesmas sedati kecamatan gedangan kabupaten Sidoarjo pada tahun 2010 jumlah penderita DHF terdapat 99 penderita tahun 2011 bulan januari terdapat 9 penderita DHF. Virus dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegepty dan masuk kedalam pembuluh darah. Trombosit dan endotel diperkirakan mempunyai peran penting dalam patogenesis, berdasarkan kenyataan bahwa pada DHF terjadi trombositopenia disertai peningkatan permeabilitas kapiler. Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/µL) merupakan salah satu kriteria laboratoris disamping
peningkatan hematokrit >20% dari kriteria diagnosis DHF menurut WHO (2007). Para peneliti menyebutkan bahwa derajat trombositopenia pada penderita demam berdarah cenderung berhubungan dengan beratnya penyakit . Manifestasi klinis dari infeksi virus dengue yang paling ditakutkan adalah terjadinya perdarahan dan kebocoran plasma. yang dapat menyebabkan syok. Perdarahan dapat terjadi akibat adanya trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit. Peneliti lain menyebutkan adanya gangguan fungsi trombosit. Ditemukan komplek imun dipermukaan trombosit diduga sebagai penyebab terjadinya agregasi trombosit yang kemudian akan dimusnakan oleh sistem retikuloendotelia, terutama dalam limpa dan hati. Pengobatan DHF pada dasarnya masih bersifat supportif atau simtomatis berdasarkan kelainan utama yang terjadi yaitu berupa perembesan plasma akibat dari meningkatnya permeabilitas vaskuler. Cairan awal sebagai pengganti volume plasma dapat diberikan garam isotonik atau ringer laktat. Belum ada usaha pengobatan yang bersifat kuratif, baik dalam mengatasi terjadinya perdarahan atau trombositophenia maupun dalam mengatasi kebocoran plasma. Jambu merah merupakan salah satu alternatif dalam percepatan penyembuhan penyakit DHF. Kandungan dalam jambu merah salah satunya senyawa quarcentin golongan flavonoid, sitokin yang berfungsi meningkatkan kekenyalan pembuluh darah. Senyawa yang diduga berperan penting adalah quarcentin dari golongan flavonoid. Senyawa ini
43
bekerja meningkatkan jumlah sitokin. Di dalam tubuh sitokin berperan meningkatkan kekenyalan pembuluh darah sekaligus meningkatkan sistem pembekuan darah. Menurut Prof dr Sumali kepala pusat studi bahan alam, di mana quarcentin bekerja dengan cara menghambat enzim pembentuk RNA virus dengue. RNA berperan dalam sintesis protein. Jika pembentukan virus RNA terganggu, virus dapat mati sehingga jumlah trombosit dalam darah dapat meningkat. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan beberapa tahun terakhir penggunaan jambu merah dan ekstrak daun jambu biji untuk pengobatan DHF terutama dalam meningkatkan jumlah trombosit mulai banyak digunakan baik oleh masyarakat maupun dikalangan dunia kedokteran. Hal ini bisa disampaikan kepada tenaga kesehatan, penderita DHF, dan keluarga penderita bahwa jambu merah dapat digunakan sebagai pengobatan DHF dan terapi tambahan. Pemberian terapi tambahan jambu merah pada penderita DHF dengan memberikan demonstrasi tentang cara pengolahan serta konsumsi sehingga penderita dapat dengan mudah memanfaatkan buah jambu merah untuk meningkatkan trombosit. harganya relatif murah karena bahannya mudah didapat, efek sampingnya hampir tidak terasa. Salah satu tanaman yang mempunyai efek meningkatkan trombosit adalah jambu merah.
Bahan dan Penelitian
Metodelogi
Penelitian ini menggunakan rancangan Quasy-Experimental
dengan metode control time desain untuk mengetahui pengaruh pemberian jambu merah terhadap peningkatan trombosit pada anak DHF Penelitian ini terdapat dua responden yaitu kelompok eksperimen yang diberikan intervensi dan kelompok kontrol yang tidak diberikan intervensi. Pemilihan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dipilih secara tidak random dan sesuai dengan keinginan peneliti. Pengukuran dilakukan kepada kedua kelompok diawali dengan pre-test setelah itu diberikan perlakuan kemudian dilakukan pengukuran kembali (post-test). Metode time desain dapat digambarkan sebagai berikut(Aziz, 2010: 43). Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan penderita DHF anak yang (+) menderita DHF pada periode bulan april sampai dengan bulan juni sejumlah 20 orang. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2010) yang mengatakan bahwa seluruh populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti tersebut adalah populasi penelitian. Sampel dari penelitian ini adalah sebagian penderita DHF pada anak, sejumlah 20 orang di Puskesmas Sedati Sidoarjo. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nonprobability sampling dengan metode purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu sesuai yang dikehendaki peneliti (Setiadi, 2007: 183) Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel independent dan variabel dependent. Variabel indipendent nya adalah pemberian jus jambu merah pada kelompok perlakuan dan kelompok intervensi. Variabel dependent nya
44
adalah jumlah trombosit sebelum dan sesudah perlakuan baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol. Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini yang digunakan adalah cek laboratorium pada pengukuran trombosit. Untuk pemberian jus jambu merah menggunkan gelas ukur, dan lembar observasi yang dikembangkan berdasarkan jumlah normal trombosit. Setelah didapatkan sampel, dibagi menjadi dua kelompok sesuai dengan kriteria inklusi yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kedua kelompok didata jumlah trombosit awal (pre test) satu hari sebelum diberikan intervensi jambu merah yaitu pada bulan april 2011. pengukuran jumlah trombosit awal (pre test) dilakukan pagi hari pukul 08.00-09.00 WIB. Kemudian pada bulan april 2011 kelompok perlakuan diberikan jus jambu merah selama tiga hari dengan frekuensi dua kali sehari (pagi, sore). Setelah dilakukan intervensi pemberian jus jambu merah selama 3 hari maka diteruskan dengan pengukuran jumlah trombosit dengan cek darah akhir (post test) pada pukul 08.00-09.00 WIB.. Untuk mengetahui hubungan atau derajat kerataan antara variabel pemberian jus jambu merah terhadap peningkatan trombosit pada anak DHF digunakan uji t test. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian jambu merah terhadap peningkatan trombosit pada penderita DHF di Puskesmas Sedati Sidoarjo. Untuk variabel status trombosit, data yang diperoleh akan dikelompokkan dan ditabulasi frekuensi dalam bentuk mutlak dan angka korelatif %. Data
yang sudah dianalisa diuji dengan menggunakan data Uji-t dua sampel berpasangan uji ini memiliki fungsi untuk mengetahui perbedaan sebelum & sesudah dilakukan perlakuan sampel/kelompok perlakuan. Hasilnya uji-t sampel berpasang adalah ρ = 0,05 maka ada perbedaan jumlah trombosit sebelum dan sesudah dilaksananakan pemberian jus jambu merah. Untuk uji-t sampel bebas untuk mengetahui perbedaan pada dua sampel/kelompok perlakuan hasilnya uji homogen varians ρ = 0,05 , maka varians homogen, maka uji t-2 sampel bebas adalah liat baris pertama adalah ρ ≤ 0,05 maka jus jambu merah efektif terhadap peningkatan trombosit pada anak DHF. Variabel penelitian meliputi jumlah trombosit kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah dan kelompok yang diberikan jus jambu merah .
Hasil Penelitian Variabel penelitian meliputi jumlah trombosit kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah dan kelompok yang diberikan jus jambu merah . 1. Jumlah Trombosit Kelompok Yang diberikan jus jambu merah Tabel 1 Jumlah Trombosit pada kelompok Yang diberikan jus jambu merah Jambu Merah
No resp
Jumlah trombosit Pre Post
Selisih jumlah trombosit
Mean peningk atan trombos it
45
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
90.000 67.000 40.000 90.000 99.000 95.000 84.000 98.000 99.000 74.000
240.000 160.000 200.000 150.000 150.000 150.000 122.000 150.000 125.000 150.000
150.000 93.000 160.000 60.000 51.000 55.000 38.000 52.000 26.000 76.000
76.100
Dari tabel 1 menunjukkan jumlah peningkatan trombosit pada kelompok yang diberikan jus jambu merah, peningkatan mulai dari jumlah trombosit terendah 26.000µ sampai dengan 160.000µ dengan rata-rata peningkatan jumlah trombosit 76.100µ. Pada kelompok yang diberikan jus jambu merah semua responden mengalami peningkatan jumlah trombosit. 2. Jumlah Trombosit Kelompok Yang tidak diberikan jus jambu merah Tabel 2 Jumlah Trombosit pada Kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah Jumlah trombosit No resp
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pre
98.000 68.000 86.000 84.000 95.000 90.000 100.000 90.000 100.000 84.000
Post
150.0 00 122.0 00 95.00 0 84.00 0 99.00 0 90.00 0 101.0 00 98.00 0 100.0 00 99.00 0
Selisih jumlah trombosi t
52.000 54.000 9.000 0 4000 0 1000 8000 0 15.000
Mean peningkatan trombosit
14.30
Dari tabel 5.2 menunjukkan jumlah peningkatan trombosit pada kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah yaitu dari yang tidak mengalami peningkatan samapai dengan peningkatan 54.000µ. Dengan rata-rata peningkatan jumlah trombosit 14.300µ. Sebanyak 7 responden dari 10 sampel kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah yang mengalami peningkatan jumlah trombosit dan 3 responden dari 10 sampel kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah tidak mengalami peningkatan jumlah trombosit. 3. Pengaruh Jambu Merah terhadap peningkatan Trombosit Tabel 3 Group Statistik Trombosit Trombosit
Mean
SD
Yang tidak diberikan jus 14.300 20.60 jambu merah Yang diberikan jus 76.100 45.53 jambu merah t- independent: ρ = 0,00 (ρ <0,05)
SE
N
6.51
10
14.53
10
Pada tabel 3 rata-rata jumlah trombosit pada kelompok yang diberikan jus jambu merah adalah 76.100 dengan Standart Deviation 45.537408, sedangkan untuk kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah jumlah rata-rata trombosit 14.300 dengan Standart Deviation 20.609868. hasil uji t-test dan t-independen statistik dihasilkan ρ = 0,00 ( ρ < 0,05 ) artinya ada perbedaan signifikan rata-rata jumlah trombosit pada pasien yang diberikan jambu merah dengan yang tidak diberikan.
46
Pembahasan 1.
Jumlah Trombosit Kelompok Yang Diberikan Jus Jambu Merah Pada kelompok yang diberikan jus jambu merah sebelum dilakukan intervensi jumlah trombosit nilai terendahnya 40.000 dan nilai tertingginya 240.000. sedangkan setelah diberikan jus jambu merah jumlah trombosit nilai terendahnya 125.000 dan nilai tertingginya 240.000 hasil penelitian pada kelompok intervesi terdapat 10 responden klien DHF didapatkan data, nilai rata-rata peningkatan jumlah trombosit adalah 76.100. Kenaikan jumlah trombosit pada responden yang diberikan jus jambu merah dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu pada kelompok yang diberikan jus jambu merah penderita telah mendapatkan jus jambu merah 2 kali sehari 1000 ml selama 3-4 hari, jumlah peningkatannya tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah , dapat dilihat dari rata-rata jumlah trombosit yang tidak diberikan jus jambu merah dan yang diberikan jus jambu merah peningkatan rata-rata trombosit pada kelompok yang diberikan jus jambu merah 76.100. sedangkan rata-rata pada kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah adalah 14.300 sehingga dapat disimpulkan antara kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah dengan kelompok yang diberikan jus jambu merah peningkatannya lebih tinggi dan lebih cepat kelompok yang diberikan jus jambu merah dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah .
2.
Jumlah Trombosit Kelompok Yang Tidak Diberikan Jus Jambu Merah Pada kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah jumlah trombosit nilai terendahnya 68.000 dan nilai tertingginya 100.000. sedangkan setelah dilakukan observasi pada kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah didapatkan hasil penelitian pada kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah dengan 10 responden klien DHF didapatkan data, nilai jumlah trombosit yang tidak mengalami peningkatan atau tetap dan nilai peningkatan trombosit tertinggi 54.000 dengan nilai ratarata peningkatan pada kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah rata-rata peningkatan trombosit 14.300. Kenaikan jumlah trombosit pada responden kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah dipengaruhi oleh banyak faktor terutama pada DHF nonsyok DHF grade I dan grade II, sedangkan pada grade III dan grade IV tidak terjadi perbedaan. Hal ini disebabkan karena pada kondisi syok akan terjadi hipoksia jaringan, sehingga akan mempengaruhi proses absorsi dan distribusi dari obat yang diberikan peroral pada klien, pada klien grade III dan Grade IV proses kerusakan endotelium vaskuler dan kebocoran plasma lebih berat sehingga trombosit yang terbentuk banyak terpakai di endotel pembuluh darah ( Soegeng, 2006). Ada banyak hal penyebab terjadinya DHF berdasarkan hasil penelitian para peneliti sebelumnya menunjukkan adanya hubungan perubahan iklim, kelembapan, kepadatan larve Aedes Agepty,
47
perilaku bersih dan sehat yang belum terwujud dan lingkungan hidup yang belum memadai. Mengendalikan lingkungan dengan pemberantasan sarang nyamuk, pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk dan perbaikan desain rumah seperti menguras bak mandi sekurangkurangnya satu minggu sekali, menutup dengan rapat tempat penampungan air. Hasil uji t-independen yang didapatkan menunjukkan bahwa terdapat perbedaaan jumlah trombosit antara kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah dan yang diberikan jus jambu merah jumlah trombosit pada kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah Sebelum yang diberikan jus jambu merah jumlah trombosit antara kelompok yang diberikan jus jambu merah dan kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah tidak terdapat perbedaaan, tetapi setelah diberikan jus jambu merah selama 3 hari terdapat perbedaan pada kedua kelompok. Pada kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah menunjukkan peningkatan jumlah trombosit dengan rata-rata 14.300 sedangkan pada kelompok yang diberikan jus jambu merah menunjukkan rata-rata peningkatan 76.100. Setelah yang diberikan jus jambu merah antara kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah dan kelompok yang diberikan jus jambu merah menghasilkan ρ = 0,00 (ρ <0,05) dari hasil uji t-tes independen ada perbedaan yang diberikan jus jambu merah jambu merah terhadap peningkatan trombosit pada penderita DHF Di Puskesmas Sedati Sidoarjo.
3.
Pengaruh Pemberian Jambu Merah Terhadap Peningkatan Trombosit Berdasarkan hasil uji t- test independent menunjukkan nilai ρ =0.00 (ρ <0,05) artinya secara statistik pemberian jus jambu merah berpengaruh terhadap peningkatan trombosit. Analisa perbandingan kedua kelompok, yaitu yang tidak diberikan jus jambu merah dan yang diberikan jus jambu merah jumlah rata-rata trombosit pada kelompok yang diberikan jus jambu merah lebih besar dari pada kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah hanya 14.300. Pada kelompok yang diberikan jus jambu merah didapatkan hasil rata-rata trombosit 76.100µ. Padahal kedua kelompok mendapatkan terapi cairan yang sama. Pemberian jambu merah didapatkan bahwa tanin dan quarcentin yang terkandung dalam buah dan daun jambu biji merah dapat meningkatkan proliferasi dan deferensiasi megakariosit dalam sumsum tulang. Buah jambu biji merah mengandung senyawa quarcentin dari golongan flavonoid senyawa yang diduga berperan penting. Senyawa ini bekerja dalam meningkatkan senyawa sitokin. Di dalam tubuh, sitokon berperan meningkatkan kekenyalan pembuluh darah sekaligus mengaktifkan sistem pembekuan darah. Menurut prof Dr sumali, quarcentin bekerja dengan cara menghambat enzim pembentuk RNA virus dengue, RNA berperan sintesis protein. Jika pembentukan RNA virus terganggu, virus mati sehingga jumlah trombosit dapat meningkat. Kadar quarcentin di daun jambu biji lebih banyak dari pada dibuahnya.
48
Pada penderita demam berdarah terjadi peningkatan sistem komplemen akibat aktivasi komplek antigen virus-antibodi. Peningkatan ini menyebabkan lepasnya anafilaktosin suatu mediator kuat terjadinya peningkatan permeabilitas. Peningkatan permaebilitas vaskuler dan gangguan hemostasis. Peningkatan permeabilitas vaskuler menyebabkan terjadinya kebocoran plasma dan dapat menimbulkan syok. Hal ini yang paling ditakutkan sehingga pengobatan DHF berkonsentrasi pada cara mengembalikan permeabilitas vaskuler kekondisi normal lagi. Oleh karena itu, aktivasi komplemen yang berlebihan harus di tekan. Berbagai penelitian menunjukkan buah dan daun jambu biji merah dapat menekan aktivasi komplemen. (Soegeng, 2004). Jambu biji mengandung berbagai mineral dan vitamin, Kandungan vitamin C jambu biji 100 gram 2-3 kali lebih tinggi dari jeruk dengan berat yang sama. Buah jambu merah bermanfaat untuk memperbaiki kapiler supaya tidak terjadi kebocoran. Oleh karena itu pencegahan pecahnya kapiler dapat dilakukan dengan minum jus jambu biji secara rutin jika sudah muncul kecurigaan, bahwa demam berdarah sedang beraksi di dalam tubuh. Likopen dalam jambu biji lokal merah mempunyai banyak manfaat karena bersifat antioksidan. Jambu biji merah adalah suatu bentuk terapi herbal yang dapat meningkatkan trombosit pada DHF. Yang diberikan jus jambu merah jambu biji merah yang diberikan dalam bentuk jus yang dapat menimbulkan peningkatan trombosit. Buah jambu biji digunakan untuk meningkatkan trombosit darah,
sehingga banyak digunakan untuk melawan DHF (Dengue hemoragic fever). Berdasarkan hasil penelitian, telah berhasil diisolasikan suatu zat flavonoid dari daun jambu biji dan buah jambu biji yang dapat memperlambat penggandaan (replika) human immunodeficiency virus (HIV) penyebab penyakit AIDS. Zat ini bekerja dengan cara menghambat pengeluaran enzim reserved transriptase yang dapat mengubah RNA virus menjadi DNA di dalam tubuh manusia.
Simpulan Berdasarkan hasil temuan penelitian dan hasil pengujian pada pembahasan yang dilaksanakan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Peningkatan jumlah trombosit pada kelompok yang diberikan jus jambu merah rata-rata jumlah trombosit 76.100µ pada penderita DHF Di Puskesmas Sedati Sidoarjo. 2. Peningkatan jumlah trombosit pada kelompok yang tidak diberikan jus jambu merah ratarata jumlah trombosit 14.300µ pada penderita DHF Di Puskesmas Sedati Sidoarjo. 3. Ada pengaruh pemberian jambu merah terhadap peningkatan jumlah trombosit pada penderita DHF Di Puskesmas Sedati Sidoarjo.
Saran Berdasarkan temuan hasil penelitian, beberapa saran yang disampaikan pada pihak terkait adalah sebagai berikut:
49
1. Bagi masyarakat Jambu merah dapat digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan Dengue Hemorgic Fever. 2. Bagi Tenaga Kesehatan Jambu merah merupakan terapi tambahan, sehingga terapi dasar yaitu pemberian replacement cairan harus tetap diberikan sesuai dengan protap yang ada. Dan masih diperlukan penelitian yang lebih lanjut. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk mengambil judul “perbandingan percepatan peningkatan jumlah tromboit dengan pemberian jambu merah dan sari kurma pada penderita DHF”.
Emma W. (2008). Jus buah dan sayuran. Jakarta: Penebar Swadaya.
DAFTAR PUSTAKA
Notoatmodjo, S.(2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT.Rineka Cipta.
Ainul, R. K. (2010). Sayur Buah Sehat Mengenal Kandungan`Dan Khasiat Untuk Menjaga Kesehatan Tubuh. Yogyakarta: Pionor Media. Alimul, A.H. (2010). Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif. Surabaya: Health Books publising. Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Boedina, S. K. (2010). Imunologi Diagnosis Dan Prosedur Laboratorium Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia UniversitasIndonesia
Hadinegoro, SR. (2000). Imunopatogenesis Demam Berdarah Degue. Jakarta: Universitas Indonesia. Herliana, L.F. (2010). 33 Macam Buah-Buahan Untuk Kesehatan. Bandung: Alfabeta Hoffbrand. A.V. (2005). Kapita selekta hematologi. Jakarrta: EGC Nasirudin, M. (2005). Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji Terhadap Peningkatan Jumlah Trombosit Kasus Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Universitas Airlangga
Nursalam. (2009). Konsep Dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemmba Medika. Soegijanto, S. (2006). Demam berdarah dengue edisi kedua. Surabaya: Airlangga university. Setiadi. (2007). Konsep Dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Universitas Indonesia. (2007). Ilmu kesehatan anak. Jakarta: Infomedika. Sumarmo, PS (2000). Masalah Demam Berdarah Di Indonesia. Dalam: Sri Rezeki HH, Hindra Is. Demam
50
Berdarah Dengue. Jakarta: Universitas Indonesia. Suwarno, A. (2010). 9 Buah Dan Sayur Tangkal Penyakit. Jakarta: Liberpus. Tim editor EGC. (1996). Kamus Kedokteran Dorlan. Jakarta: EGC Utami, P. (2009). Solusi sehat. Tanggerang: Agro Media Pustaka. Sebagian daftar pustaka nya aa yang blum masuk
¹
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya
51
PENGARUH ELEVASI EKSTREMITAS BAWAH TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN ULKUS DIABETIK DI WILAYAH BANTEN TAHUN 2010 Indah Wulandari1, Krisna Yetti2, Rr.Tutik Sri Hayati3
Absract : One of Diabetes Mellitus complications, is ulcer. Process of diabetical ulcus healing influenced by internal factors and external factors. The internal factors are age, nutrition, some chronic diseases, blood glucose, growth factor, blood cholesterol, and circulation. The external factor are able to influence like infection, diabetes history, smoking, and hypertension history. This research is aim to get a description about “influence of elevation of lower extremity to diabetic ulcer healing process in Banten". This research using quasi experiment method with nonequivalent control group design approach. Sample in this research were diabetes mellitus patients with ulcer, consist of 7 respondents as control group and 6 respondent as intervention group. Univariat analysis showed that score of healing process between group with elevation more better than group without elevation. The result of bivariat analysis showed that lower extremity elevation were significantly associated with diabetic ulcer healing process (p value 0,003). Nurse should be elevate the lower extremity with diabetic ulcer at around 10 minutes after activity more than 15 minutes. Summary of this research are the average of healing process of ulcus diabetic at group without elevation is higher to elevation group. Besides that, there are not related between vascularisation, blood glucose rate, infection, nutrition, diabetes history, and smoking history to healing process of diabetic ulcus. Keywords:
Lower
extremity
elevation,
Latar Belakang Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan hiperglikemia akibat defek sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (American Diabetic Association, 2007). Komplikasi jangka panjang dari diabetes melitus salah satunya adalah ulkus diabetik (15%) (ADA, 2007; Clayton, 2009) dan 85% merupakan penyebab terjadinya amputasi pada pasien diabetes melitus (Clayton, 2009). Lebih lanjut Clayton (2009), Jeffcoate (2003) dan Frykberg (2000)
diabetic
ulcer,
wound
healing
process.
mengungkapkan bahwa komplikasi lanjut ulkus diabetik adalah terjadinya infeksi. Salah satu penyebab terjadinya ulkus diabetik adalah akibat penurunan sirkulasi ke perifer yang dipengaruhi oleh tingginya kadar glukosa dalam darah dan penyakit arterial perifer yaitu aterosklerosis (Sumpio, 2000; Jeffcoate, 2003; Clayton, 2009). Penurunan perfusi ke perifer menyebabkan kematian (nekrosis) jaringan dan menyebabkan iskemik perifer dan beresiko kejadian ulkus diabetik serta mempengaruhi penyembuhan ulkus (Sumpio, 2000). Hipoperfusi perifer menyebabkan penurunan suplai oksigen, nutrient, dan
mediator pelarut yang membantu proses penyembuhan ulkus dan terjadinya gangren (Sumpio, 2000). Evaluasi proses penyembuhan ulkus dilakukan setiap kali ganti balutan dengan menilai luas dan kedalaman ulkus serta eksudasi dari ulkus (Frykberg, 2002; Jeffcoate, 2003; Delmas, 2006; Kruse, 2006; Clayton, 2009). Evaluasi dilakukan untuk menilai bagaimana kemajuan proses penyembuhan ulkus. Pengukuran kemajuan proses penyembuhan ulkus dapat dilakukan dengan menggunakan healing index yaitu dengan membandingkan hasil pengukuran hari pertama dengan hari berikutnya yang diikuti selama proses penyembuhan ulkus terjadi (Bozan et al, 2006). Semakin tinggi healing index, maka semakin besar kemajuan proses penyembuhan ulkus. Penatalaksanaan ulkus diabetik diperlukan agar fase penyembuhan ulkus dapat difasilitasi dengan baik. Terdapat tiga prinsip utama manajemen ulkus diabetik yaitu debridement, off-loading, dan kontrol infeksi (Jeffcoate, 2003; Delmas, 2006; Kruse, 2006; Clayton, 2009) dan istirahat (Frykberg, 2002; Cavanagh, 2005). Lebih lanjut Frykberg (2002) dan Simon, et al (2004) menambahkan elevasi ekstremitas bawah yang mengalami ulkus sebagai salah satu manajemen ulkus diabetik. Elevasi ekstremitas bawah bertujuan agar sirkulasi perifer tidak menumpuk di area distal ulkus sirkulasi dapat dipertahankan (Frykberg, 2002). Elevasi ekstremitas bawah dilakukan setelah pasien beraktivitas atau turun dari tempat tidur. Saat turun dari tempat tidur, walaupun kaki tidak dijadikan sebagai tumpuan, namun akibat efek gravitasi menyebabkan aliran darah akan cenderung menuju perifer terutama kaki yang mengalami ulkus. Elevasi ekstremitas bawah dilakukan untuk
mengatasi efek tersebut (Frykberg, 2002). Selain elevasi ekstremitas bawah, manajemen ulkus lain yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan ulkus adalah offloading. off-loading adalah upaya mencegah stress mekanikal akibat tekanan pada ulkus (Slater, 2001). Tujuan off-loading adalah mencegah penekanan pada ulkus dan meredistribusikan tekanan dari ulkus ke area yang lebih luas (Keast, 2000). Tekanan yang berlebih pada ulkus akan menyebabkan terhambatnya fase penyembuhan ulkus sehingga ulkus sulit sembuh dan berkembang menjadi gangrene (Frykberg, 2002; Kruse, 2006). Saat terjadi ulkus pasien tidak diperbolehkan menggunakan kaki yang mengalami ulkus sebagai tumpuan berjalan atau beraktivitas. Salah satu metoda yang digunakan untuk offloading adalah penggunaan kruk atau kursi roda saat beraktivitas (Jeffcoate, 2003; Delmas, 2006; Kruse, 2006; Clayton, 2009). Manajemen ulkus diabetik kaki diabetik salah satunya adalah elevasi ekstremitas bawah yang mengalami ulkus. Elevasi ekstremitas bawah bertujuan mengembalikan sirkulasi perifer akibat efek gravitasi saat kaki diturunkan dari tempat tidur. Elevasi ekstremitas bawah seperti apa yang diperulkusn agar penyembuhan ulkus dapat terjadi merupakan hal yang akan diteliti lebih lanjut. Menilik hal di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimanakah pengaruh elevasi ekstremitas bawah terhadap skor healing index perkembangan ulkus diabetik di Wilayah Banten?”.
Bahan dan Metode Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan pendekatan
53
nonequivalent control group design. Desain kuasi eksperimen merupakan desain penelitian untuk mengetahui penyebab dan efek intervensi (LoBiondo-Wood & Haber, 2006) terhadap variabel dependen setelah memanipulasi variabel independen (Polit & Hungler, 1999). Nonequivalent control group design digunakan untuk membandingkan dua kelompok subjek penelitian, yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi (Polit & Hungler, 1999). Besar sampel didapatkan berdasarkan waktu penelitian selama 6 minggu dengan tehnik pengambilan sampel menggunakan nonprobability sampling dengan metoda convenience sampling. Total sampel di akhir penelitian adalah 13 responden dengan perincian 7 responden masuk kelompok kontrol dan 6 responden masuk kelompok intervensi. Selama proses penelitian, peneliti memberikan perlakukan yang sama kepada semua responden (right to justice dan right to fair treatment). Walau pada kelompok kontrol pada awal penelitian tidak dilakukan elevasi kaki, namun setelah penelitian tindakan tersebut diberikan setelah melihat hasil yang signifikan pada uji statistik (beneficence). Data responden dijaga kerahasiaannya dan disimpan dalam file computer yang hanya bisa diakses oleh peneliti (right to privacy).
Hasil Penelitian Jumlah responden yang tidak dilakukan elevasi ekstremitas bawah sebanyak 7 orang (53,8%) dan responden yang dilakukan elevasi ekstremitas bawah sebanyak 6 orang (46,2%). Rerata proses penyembuhan ulkus diabetik pada pasien diabetes melitus di kelompok intervensi lebih besar dibandingkan di kelompok
kontrol. Pada kelompok intervensi rerata skor healing index sebesar 0,213 dengan standar deviasi 0,082. Pada alfa 5% diyakini bahwa rerata skor healing index antara 0,127 sampai dengan 0,299. P value pada uji statistik menunjukkan nilai 0,003 yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara proses penyembuhan ulkus diabetik pada kelompok dengan elevasi ekstremitas bawah dan kelompok tanpa elevasi ekstremitas bawah. Tabel 1 Distribusi Frekuensi Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik Pada Pasien Diabetes Melitus di Wilayah Banten Tahun 2010 (n1=7, n2=6) Kelompok
Mean
SD
Tanpa elevasi Elevasi
0,083
0,039
0,213
0,082
MinMak 0,020,15 0,110,32
95% CI 0,0460,119 0,1270,299
Jika dilihat dari klasifikasi ulkus kelompok intervensi dan kelompok kontrol bervariasi dari derajat 2 sampai derajat 4. Proses penyembuhan ulkus diabetik tertinggi pada kelompok kontrol yang dinilai dengan healing index sebesar 0,15. Hasil pengamatan ulkus menunjukkan perbaikan proses penyembuhan ulkus terutama pada kelompok intervensi, walaupun pada setiap kelompok mengalami perubahan skor healing index. Pada kelompok intervensi, edema dan nyeri yang dirasakan di awal menurun di akhir penelitian . Tabel 2 Pengaruh Elevasi Ekstremitas Bawah terhadap Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik di Wilayah Banten Tahun 2010 (n1=7, n2=6) Kelompok Tanpa elevasi ekstremitas bawah Dengan elevasi ekstremitas bawah
Me an 0,0 83 0,2 13
SD
SE
0,03 9
0,0 15
0,08 2
0,0 34
p Value
n 7
0,003 6
54
Gambar 1. Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik dengan Nilai Healing Index Terbesar pada Kelompok Tanpa Elevasi Hari rawat Hari rawat pertama ketujuh 7 mei 2010 14 Mei 2010
Gambar 2 Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik dengan Nilai Healing Index Terbesar pada Kelompok Elevasi Hari rawat pertama Hari rawat ketujuh 24 Mei 2010 31 Mei 2010
Hasil penelitian juga menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara variabel perancu vaskularisasi perifer, kadar glukosa darah, infeksi, status nutrisi, riwayat diabetes, dan riwayat merokok dengan proses penyembuhan ulkus. Walaupun terdapat perubahan kadar glukosa darah serta nutrisi pada awal dan akhir penelitian, namun saat dicari hubungan dengan proses penyembuhan ulkus tidak didapatkan. Hal ini terjadi kemungkinan karena jumlah sampel yang sedikit dengan kekuatan uji 1,1 % sehingga tidak didapatkan hasil yang signifikan.
Pembahasan Frykberg (2002) mengungkapkan bahwa salah satu intervensi mengembalikan perfusi setelah pasien
diabetes dengan ulkus beraktivitas adalah elevasi ekstremitas bawah. Pada penelitian ini, kelompok intervensi dipantau selama 3 kali shift dinas oleh peneliti dan asisten peneliti dalam pelaksanaan elevasi ekstremitas bawahnya. Semua responden pada kedua kelompok dapat melakukan mobilisasi ke kamar mandi. Dalam mobilisasi ditekankan agar responden tidak memberikan tekanan berlebih pada kaki yang mengalami ulkus dan diharuskan menggunakan kursi roda, kruk, atau bantuan keluarga. Dalam pelaksanaannya ada juga responden yang tidak optimal melakukan offloading dengan alasan sulit bergerak atau tidak biasa atau karena keterbatasan alat. Namun setelah dimotivasi sebagian besar responden mau menggunakan alat bantu gerak Untuk mengantisipasi kekurangan alat peneliti menyarankan responden menggunakan tongkat. Elevasi ekstremitas bawah berguna untuk mengembalikan aliran darah dan mengurangi tekanan di bagian distal ekstremitas (Seeley, 2004). Aktivitas >15 menit dapat meningkatkan tekanan ke distal sebesar 20% sehingga meningkatkan resiko terjadinya edema perifer. Edema akan meningkatkan tekanan area distal dan mengurangi perfusi akibat penekanan arterial. Dengan elevasi ekstremitas bawah, tekanan tersebut dapat dikurangi. Hasil penelitian tersebut tidak sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Park, et al (2010) tentang apakah elevasi ekstremitas bawah merupakan posisi optimal terhadap penyembuhan ulkus diabetik. Pada penelitian tersebut Park membandingkan penyembuhan ulkus diabetik yang dengan posisi elevasi ekstremitas bawah menggunakan empat bantal dengan merendahkan
55
posisi kaki 30-35 cm di samping tempat tidur. Hasil penelitiannya menunjukkan penyembuhan ulkus diabetik antara merendahkan posisi kaki lebih baik dibandingkan posisi elevasi ekstremitas bawah. Penilaian Park dengan menggunakan transcutaneous partial oxygen tension (TcpO2) sebelum dan setelah intervensi. Hal yang mempengaruhi perbedaan hasil antara penelitian Park dengan penelitian di Banten salah satunya adalah pemilihan evaluasi dalam menilai variabel independen. Pada penelitian di Banten, variabel independennya adalah skor healing index yang digunakan untuk menilai proses pe nyembuhan ulkus diabetik. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Park, et al (2010) yang menjadi acuannya adalah tekanan oksigen perifer sebelum dan setelah penelitian. Pada kasus ulkus diabetik, penyebab terbesar adalah masalah pada vena yaitu sekitar 80-85% (Simon, et al, 2004). Namun pada diabetes melitus, penyebab umumnya adalah karena penyakit arterial perifer dan campuran antara masalah di vena dan arterial (mix ulcer) (Obermeyer, et al, 2008). Oklusi yang timbul di vena akibat thrombus dari arterial maupun murni akibat gangguan pembekuan darah menyebabkan refluks vena massif dan menghambat penyembuhan ulkus. Penelitian oleh Obermeyer, et al (2008) menunjukkan bahwa masalah arterial dapat menyebabkan masalah di vena yang ditunjukkan dengan nilai ABI yang < 0,8. Terdapat beberapa hal yang didapat dari penelitian terkait kadar glukosa darah adalah persepsi yang salah tentang diet dan kecemasan responden selama perawatan. Sebagian besar responden baik pada kelompok kontrol maupun kelompok intervensi tidak
mau makan. Alasannya mereka takut gluksoa darahnya meningkat dan akhirnya ia lama menjalani perawatan. Padahal menurut Clayton (2009) dan Lemone & Burke (2004), asupan diet yang tidak adekuat menyebabkan terpicunya sekresi glucagon, meningkatnya glukoneogenesis, sehingga meningkatkan kadar glukosa darah. Variabel perancu lain yang tidak mempunyai signifikansi dengan proses perkembangan ulkus diabetik adalah kadar glukosa darah. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p sebesar 0,144. Artinya tidak terdapat hubungan antara kadar glukosa darah dengan perkembangan ulkus diabetik. Hal ini tentunya berbeda dengan hasil penelitian Margolis (2000) yang memasukkan kadar glukosa darah sebagai salah satu variabel yang menghambat penyembuhan ulkus. Demikian pula dengan artikel yang ditulis Keast (2000), Falanga (2005), atau Pearson (2006) yang juga mengaitkan hiperglikemi sebagai salah satu faktor penghambat penyembuhan ulkus. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena jumlah responden yang kecil yang tidak menggambarkan hasil yang sesungguhnya. Selain itu fluktuasi kadar glukosa darah antar kelompok dan adanya rentang nilai glukosa darah yang besar antara nilai terendah dan tertinggi mungkin menyebabkan hasil uji statistik yang demikian. Terdapat beberapa hal yang didapat dari penelitian terkait kadar glukosa darah adalah persepsi yang salah tentang diet dan kecemasan responden selama perawatan. Sebagian besar responden baik pada kelompok kontrol maupun kelompok intervensi tidak mau makan. Alasannya mereka takut gluksoa darahnya meningkat dan akhirnya ia lama menjalani perawatan. Padahal menurut Clayton (2009) dan 56
Lemone & Burke (2004), asupan diet yang tidak adekuat menyebabkan terpicunya sekresi glucagon, meningkatnya glukoneogenesis, sehingga meningkatkan kadar glukosa darah. Variabel perancu lain yang tidak mempunyai signifikansi dengan proses perkembangan ulkus diabetik adalah kadar glukosa darah. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p sebesar 0,144. Artinya tidak terdapat hubungan antara kadar glukosa darah dengan perkembangan ulkus diabetik. Hal ini tentunya berbeda dengan hasil penelitian Margolis (2000) yang memasukkan kadar glukosa darah sebagai salah satu variabel yang menghambat penyembuhan ulkus. Demikian pula dengan artikel yang ditulis Keast (2000), Falanga (2005), atau Pearson (2006) yang juga mengaitkan hiperglikemi sebagai salah satu faktor penghambat penyembuhan ulkus. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena jumlah responden yang kecil yang tidak menggambarkan hasil yang sesungguhnya. Selain itu fluktuasi kadar glukosa darah antar kelompok dan adanya rentang nilai glukosa darah yang besar antara nilai terendah dan tertinggi mungkin menyebabkan hasil uji statistik yang demikian. Terdapat beberapa hal yang didapat dari penelitian terkait kadar glukosa darah adalah persepsi yang salah tentang diet dan kecemasan responden selama perawatan. Sebagian besar responden baik pada kelompok kontrol maupun kelompok intervensi tidak mau makan. Alasannya mereka takut gluksoa darahnya meningkat dan akhirnya ia lama menjalani perawatan. Padahal menurut Clayton (2009) dan Lemone & Burke (2004), asupan diet yang tidak adekuat menyebabkan terpicunya sekresi glucagon, meningkatnya glukoneogenesis,
sehingga meningkatkan kadar glukosa darah. Variabel status nutrisi juga menunjukkan hasil tidak signifikan dengan proses perkembangan ulkus diabetik. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p sebesar 0,195 sebelum penelitian dan 0,211 setelah penelitian. Artinya tidak terdapat hubungan antara status nutrisi dengan skor healing index perkembangan ulkus diabetik. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh MacKay & Miller (2003) atau Kempest, et al (2010), yang menyatakan bahwa penyembuhan ulkus sangat dipengaruhi oleh status nutrisi. Jika dianalisa lebih lanjut, hasil uji statistik menunjukkan rerata nilai IMT pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi > 20. Nilai ini termasuk kategori normal. Namun jika melihat nilai CI 95%, nilai terendah pada kelompok kontrol maupun kelompok intervensi masuk dalam kategori malnutrisi karena nilai IMT < 20. Hal ini terjadi kemungkinan karena jumlah sampel yang kecil dan tidak menggambarkan kondisi sebenarnya. Selain itu terdapat nilai ekstrim baik pada kelompok kontrol maupun kelompok intervensi. Pada penelitian ini juga tidak melihat komponen nutrien yang mengalami perubahan dikarenakan keterbatasan peneliti. Walaupun pada kenyataannya status nutrisi dapat dilihat melalui beberapa indikator seperti kadar Hb, kadar albumin, kadar asam folat, vitamin A, vitamin C, Zinc, atau glukosamin. Peneliti hanya menggunakan IMT sebagai indikator status nutrisi namun tidak melihat komponen nutrien dalam penelitian ini. Variabel infeksi menunjukkan hasil uji statistik nilai p sebesar 0,175. Hasil menunjukkan infeksi tidak signifikan
57
terhadap skor healing index perkembangan ulkus diabetik. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Emerson (2010). Jika dilihat rerata, rerata responden dengan kultur positif lebih besar (0,166) dibandingkan dengan rerata responden dengan kultur negatif (0,106). Kemungkinan hal tersebut disebabkan karena pada kelompok kontrol maupun kelompok intervensi skor healing index mengalami perbaikan. Peneliti berasumsi bahwa hal ini terkait dengan faktor lain yang dikontrol dalam penelitian ini yaitu off-loading dan perawatan ulkus dengan metoda moist. Pearson (2006) mengungkapkan pemilihan balutan dan jenis perawatan ulkus mempengaruhi proses penyembuhan ulkus. Metoda perawatan ulkus dengan konsep moist menyebabkan suasana lembab tetap terjaga sehingga eksudat dapat terserap lebih baik (Pearson, 2006; Benbow, 2010). Selain itu tindakan nekrotomi yang berkala juga membantu membuang jaringan nekrotik yang menghambat penyembuhan ulkus. Implikasi Penelitian Saat penelitian, peneliti menemukan bahwa respon responden cukup antusias saat melihat kondisi lukanya yang menjadi lebih baik. Namun di sisi lain, pengetahuan akan penatalaksanaan ulkus diabetik di kalangan petugas kesehatan belum terlihat baik. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan perawat di lapangan adalah melakukan tindakan elevasi ekstremitas bawah pada pasien diabetes melitus dengan ulkus setiap kali pasien mobilsiasi >15 menit. Elevasi dapat dilakukan dengan alat khusus elevasi ekstremitas bawah atau menggunaan sumber daya yang ada seperti tumpukan bantal atau selimut untuk menopang pangkal paha.
Penerapan metoda moist di lain pihak, tidak dijadikan pilihan utama saat menemukan pasien dengan kondisi ulkus yang buruk. Alasan utamanya adalah efesiensi biaya tidak mungkin dijangkau oleh pasien dengan karakteristik tertentu. Padahal manfaat yang didapatkan cukup besar. Pada pelaksanaan off-loading pun tidak diketahui banyak oleh petugas kesehatan di pelayanan. Pasien seringkali tidak diperhatikan apakah ia menggunakan kursi roda dalam aktivitasnya, walaupun alat tersebut tersedia di ruangan. Karena itu penggunaan metoda sederhana elevasi ekstremitas bawah dengan penggunaan balutan moist dan tanpa elevasi aktivitas merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan ulkus diabetik.
Simpulan Hasil penelitian menunjukkan rerata proses perkembangan ulkus diabetik pada kelompok intervensi lebih tinggi sebesar 0,213 dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu 0,083. Pelaksanaan elevasi ekstremitas bawah menunjukkan hasil yang signifikan (P value 0,003) terhadap proses penyembuhan luka. Perawat sebaiknya melakukan elevasi pada ekstremitas bawah yang mengalami ulkus diabetik selama 10 menit setiap pasien melakukan aktivitas > 15 menit. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap faktor perancu yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan ulkus diabetik. Dalam melaksanakan elevasi ekstremitas bawah, perlu pula diperhatikan offloading dan memilih metoda moist dalam perawatan ulkus diabetik.
58
DAFTAR PUSTAKA American Diabetes Association. (2007). Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes Care. Armstrong, D.G., Lavery, L.A., Bushman, T.R. (1998). Peak foot pressures influence the healing time of diabetic foot ulcers treated with total contact casts. Journal of Rehabilitation Research and Development, 35(1), 1-5. Maret 5, 2010, from Academic Research Library. (Document ID: 26709923). A.Yu. Modin. (2003). Effect of gravity on blood distribution and flow in large vessels of healthy humans. Human Physiology. April 1, 2010. Baranoski, S. (2008). Choosing a wound dressing part 1. April 11, 2010. www.nursing2008.com Benbow, M. (2010). Wound Swabs and Chronic Wounds. Practice Nurse. Bozan, M.E., Altinel. L., I Kuru, Maralcan., G. & et al. (2006). Factors that affect the healing index of metacarpal lengthening: a retrospective study. Journal of Orthopaedic Surgery, 14(2), 167-71. Maret 5, 2010, from ProQuest Health and Medical Complete. (Document ID: 1155936311). Bryant, R., Nix, D. (2007). Acute and Chronic Wounds: Current Management Concept. 3rd Edition. St. Louis: Mosby Elsevier.
Brunner & Suddarth’s. (2005). Textbook of Medical-Surgical Nursing. 10th Edition. E-Book. Cavanagh, P.R., Lipsky, B.A., Bradbury, A.W., Botek, G. (2005). Treatment for Diabetic Foot Ulcers. Lancet. Februari 10 Februari, 2010 Clayton, W. Jr. (2009). A Review of The Pathophysiology , Classification, and Treatment of Foot Ulcers in Diabetic Patients. Januari, 27 2010 melalui ProQuest Health and Medical Complete. Craven, R. F., Hirnle, C.J. (2000). Fundamentals of Nursing Human health and Function. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins Dealey, C. (2005). The Care of Wound: A Guide Corners. 3rd Ed. Australia: Blackwell. Dix, F.P., Reily, David, M.C., et al. (2005). Effect of leg elevation, venous velocity, and ambulatory venous pressure in venous ulceration. Phlebology. London: The Royal Society of Medicine Press. Emerson, E. (2010). Healing Slowed by Bacteria Talk. Science News. Washington. Juni 27, 2010. Falanga, V. (2005). Wound Healing and Its Impairment in The Diabetic Foot. Boston: thelancet. Farnsworth, J., & Paulman, P. (2005). Diabetic Foot Ulcer and Poor Compliance: How would you treat? . Family Medicine Grand Rounds. June 22, 2010.
59
http://stg.jfponline.com/pdf%2F 5409%2F5409JFP_FMGrandRo unds.pdf Frykberg, R.G, Armstrong, D., Giurini, J., et al. (2000). Diabetic Foot Disorders A Clinical Practice Guideline. The Journal of Foot and Ankle Surgery. Grenon, S.M., Gagnon, J., Hsiang, Y. (2009). Ankle-brachial index for assessment of peripheral arterial disease. The New England Journal of Medicine. April 6, 2010. www.nejm.org
http://www.pilonidal.org/pdfs/Pr inciples-of-Wound-Healing.pdf.
¹ Penulis adalah dosen Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Faletehan Serang Banten ² Penulis adalah dosen Program Studi FIK UI ³ Penulis adalah dosen Program Studi FIK UI
Hunt, D. (2007). Diabetes: Foot Ulcers and Amputations. BMJ. Januari 12, 2010. http://clinicalevidence.bmj.com/ ceweb/conditions/dia/0602/0602 _background.jsp. Jeffcoate, W.J., Harding, K.G. (2003). Diabetic Foot Ulcers. Departement od Diabetes and Endrocrinology, City Hospital, Nottingham : The Lancet. Online Published February, 2003. February 10, 2010. Keast, D., & Orsted, H. (2008). The Basic Principles of Wound Healing. Journal of Poediatry. February 10, 2010.
60
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG KANKER PAYUDARA PADA PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DALAM DETEKSI DINI (SADARI) Dya Sustrami¹
Abstract : Breast cancer is one of the most attacking cancer in women who ranked second. Breasts ca are able to be cured at an early stage, but in fact breast cancer is usually found at an advanced stage. One way to do that early detection efforts to find early-stage cancers that are still to be cured, so it can reduce mortality by BSE but still much less known breast cancer and BSE detection techniques. For that researchers want to investigate "The Effect of Health Education About Breast Cancer In Science And Attitude Mother In Early Detection (BSE) IN West Randu RT 05 RW 12 Gang II" This study used experimental design techniques quasy sampling using probability sampling simple random sampling, sample size was of 44 respondents. Kesahatan independent variable is health education. Dependent variable is the knowledge and attitudes. Data were analyzed using willcoxon signed rank test and Mann Whitney test with significance level 0.05. The results showed no significant effect of health education on knowledge (p = 0.000 and z =4.130a) and attitude (p = 0.000 and z = - 2.72a) from Wilcoxon signed rank test test and test results reinforced with whiney mann post-test resulted in knowledge (p = 0.000 and z = -4938) and attitude (p = 0.000 and z = -4692). From the results of her study is expected to increase knowledge about breast cancer and the importance of BSE in a way to follow health counseling, seek information through print and electronic media. Key words: Health education, knowledge, attitudes, early detection of breast cancer
(BSE)
Latar Belakang Payudara merupakan salah satu organ yang sangat penting, baik dari segi fungsinya maupun estetika. Akan tetapi bagian tubuh ini berpotensi terjangkit oleh kanker. Kanker payudara merupakan salah satu kanker yang paling banyak menyerang pada kaum perempuan yang menduduki peringkat kedua setelah kanker leher rahim. Namun diprediksi pada 20-30 tahun ke depan, penderita kanker payudara di Indonesia akan meningkat, sebaliknya kanker leher rahim akan
menurun angka kejadiannya. Sehingga penyakit ini menimbulkan rasa takut yang amat besar bagi kebanyakan perempuan, terutama bagi mereka yang mengeluhkan ada benjolan pada payudaranya. (Wibisono, 2009 : 72) Kanker adalah kelompok penyakit, dimana sel-sel tubuh yang bergenerasi mengalami pemisahan dan mati ketika sel menua sehingga digantikan sel-sel baru. Tetapi ketika sel-sel baru terus tumbuh, jumlahnya tidak terkendali sehingga membentuk tumor. Jika tumor itu semakin besar dan ganas itu dapat digolongkan sebagai kanker. Kanker dapat tumbuh dibagian
manapun, terutama bagian yang mempunyai banyak jaringan sel. Salah satunya adalah payudara. Kanker payudara terjadi karena adanya pertumbuhan dan perkembangan sel abnormal yang muncul pada jaringan payudara. Payudara terdiri dari dua tipe jaringan yaitu jaringan glandular (kelenjar) dan jaringan stromal (penopang). Jaringan kelenjar mencangkup kelenjar susu (lobules) dan saluran susu (the milk passage, milk duct). Sedangkan jaringan penopang meliputi jaringan lemak dan jaringan serat konektif. Payudara juga dibentuk oleh jaringan lymphatik, sebuah jaringan yang berisi sistem kekebalan yang bertugas mengeluarkan cairan kotoran selular (Putri, 2009 : 38). Jumlah penderita kanker payudara di dunia terus mengalami peningkatan, baik pada daerah dengan insiden tinggi di Negara-negara Barat, maupun pada insiden rendah seperti di banyak daerah di Asia. Satu laporan penelitian pada tahun 1993 memperkirakan bahwa jumlah kasus baru di dunia pada tahun 1985 mencapai 720.000 orang, terdiri atas 422.000 di Negara maju dan 298.000 di Negara berkembang. Angka insiden tertinggi dapat ditemukan pada beberapa daerah di Amerika Serikat (mencapai di atas 100/100.000 ; berarti ditemukan lebih 100 penderita dari 100.000 orang). Kemudian diikuti dengan beberapa negara Eropa Barat (tertinggi Swiss 73,5/100.000). Untuk Asia, masih sekitar antara 10-20/100.000 (contoh pada daerah tertentu di Jepang 17,6 / 100.000 ; Kuwait 17,2/100.000 ; dan Cina 9,5/100.000) yang menarik angka ini akan berubah bila populasi dari daerah dengan insiden rendah melakukan migrasi ke daerah dengan insiden yang lebih tinggi, suatu bukti bahwa faktor lingkungan juga berparan pada proses terjadinya kanker. (Purwoastuti, 2008 : 13)
Di Indonesia, kanker payudara merupakan salah satu kanker yang paling banyak menyerang pada perempuan yang menduduki peringkat kedua setelah kanker leher rahim. Menurut data angka dari Poli Onkologi Satu Atap (POSA) RSU dr. Soetomo juga merangkak naik pada tahun 2004, sebanyak 4.675 pasien kanker payudara mengunjugi POSA, tahun 2005 jumlahnya melonjak menjadi 5.597 pasien dan pada tahun 2006 dengan beberapa bulan masih tersisa angkanya sudah mencapai 5.652 pasien oleh sebab itu, SADARI sangat penting dianjurkan kepada masyarakat karena hampir 86% benjolan di payudara ditemukan olah penderita sendiri (www.acehforum.or.id/perangikanker-payudra dikutip pada safitri dan afiyah, 2008 : 15). Pada tahun 2004 di Randu Barat RT 05 RW 12 Gang II Surabaya didapatkan jumlah penderita kanker payudara sebanyak 1 pasien. Ada beberapa perempuan, yang mempunyai resiko terkena kanker payudara. Faktor resiko terkena kanker payudara. Faktor resiko ini bisa berasal dari dalam atau luar. Faktor dari dalam adalah adanya riwayat pada keluarga yang menderita kanker payudara. Faktor lainnya, hormon estrogen yang berlebihan dalam tubuh, menstruasi pertama terlalu dini, yaitu kurang dari 12 tahun, melahirkan pertama diatas 30 tahun, tidak menikah, tidak menyusui, menopause yang terlambat, terapi hormon yang berlebihan. Sedangkan faktor resiko dari luar diantaranya terlalu banyak mengkonsumsi lemak, pola makanan tidak baik, merokok, minum alkohol, polusi dan lain-lain. (Wibisono, 2009 : 73) Untuk menentukan lokasi tumor, payudara dibagi menjadi 4 (empat) kuadran dan 1 daerah sentral, sebagai berikut: 1. Kuadran lateral (pinggir) atas merupakan lokasi yang paling 62
sering terkena 44%. 2. Kuadran lateral bawah sekitar 16%. 3. Kuadran medial (tengah) atas sekitar 15%. 4. Kuadran medial bawah merupakan lokasi yang paling jarang terkena 4%. 5. Dearah sentral adalah sekitar putting susu (areola) sekitar 21%. (Purwoastuti, 2008 : 19) Jadi bila ditemukan benjolan disekitar payudara, sebaiknya sesegera mungkin dikonsultasikan ke dokter. Hal ini perlu dilakukan karena tidak semua benjolan yang timbul disekitar payudara adalah kanker. Semakin cepat dikonsultasikan ke dokter maka dapat teridentifikasi hasilnya sehingga dapat diketahui benjolan tersebut adalah kanker atau bukan. Sehingga dapat dilakukan pengobatan secara dini. Tapi bila terlambat untuk mendeteksi dini dan sudah diketahui dalam stadium terakhir maka tidak menutup kemungkinan akan berakhir pada kematian. Untuk mencegah terjadinya penyakit kanker payudara dapat dilakukan dengan cara : pengobatan atau terapi yang dilakukan tergantung pada stadium kanker yang akan diobati/diterapi; bisa dilakukan dengan cara operasi, radiasi, pemberian kemoterapi , radioterapi (penyinaran), maupun hormon (Purwoastuti, 2008 : 20). Namun demikian usaha-usaha untuk penemuan dini (early detection) dapat dilakukan dengan baik dengan mengikutsertakan masyarakat melalui dengan cara memberikan penyuluhan . Karena masyarakat masih belum tahu tentang kanker payudara dan resiko dari kanker payudara bila tidak segera diatasi akan berakibat pada kematian. Apabila kanker payudara ditemukan dalam stadium dini dan mendapatkan terapi secara tepat sehingga kanker payudara itu dapat diatasi dengan cara melakukan tindakan pemeriksaaan payudara
sendiri (SADARI) yang sangat bermanfaat bagi kaum perempuan. Untuk itu SADARI ini harus diterapkan serta diharapkan akan lebih banyak kasus dapat di cegah dalam stadium lebih dini. Fenomena diatas melatarbelakangi penelitian dengan judul Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Kanker Payudara Pada Pengetahuan Dan Sikap Ibu Dalam Deteksi Dini (SADARI) Di Randu Barat RT 05 RW 12 Gang II Surabaya.
Bahan dan Metode Penelitian Pada penelitian ini menggunakan eksperimen semu (quasy - experiment) yaitu untuk mencari pengaruh variabel bebas (independen variable) dan variabel tergantung (dependen variable) pada dua kelompok, dimana pada suatu kelompok perlakuan diberikan pendidikan kesehatan sedangkan kelompok kontrol tidak. Pada kedua kelompok akan diawali dengan pre test, dan setelah pemberian perlakuan diadakan pengukuran kembali post test. K-A 01 P 02 K-B 01 02 Keterangan : K-A : Subjek (Ibu) Perlakuan K-B : Subjek (Ibu) kontrol : Tidak diberi perlakuan P : Perlakuan 01 : Pengukuran pertama (sebelum perlakuan pendidikan kesehatan) 02 : Pengukuran kedua (setelah perlakuan pendidikan kesehatan) Dalam penelitian ini akan diambil sampel dengan target Ibu-ibu yang sudah menikah dengan usia 20 – 60 tahun, berpenduduk tetap di Randu Barat RT 05 RW 12 Gang II Surabaya, ibu-ibu yang tidak terkena tumor atau kanker payudara, bisa membaca dan 63
menulis, bersedia untukk diteliti dan kooperatif sehinggga da dapat disebut populasi homogen. Teknik sampli pling yang digunakan pada pene penelitian ini menggunakan “ Probability lity Sampling ” dengan metode “ Simpl mple Random mbilan sampel Sampling “ yaitu pengambi ara ini dipakai dilakukan secara acak. Car dianggap jika anggota populsi 182). homogen. (Setiadi,, 2007 : 182 dalah kegiatan Analisa data adala kna pada data pemberian arti dan makna memecahkan yang terkumpul guna m dari kuesioner masalah penulis. Data da kan diperiksa yang telah dikumpulka hui kelengkapan ulang untuk mengetahui lengkap, data isinya. Setelah data leng ditabulasi dikumpulkan dan bel yang diteliti berdasarkan sub-variabel penghitungan kemudian dilakukan pe m SPSS 16,0 dengan bantuan program kan uji statistik for windows menggunakan dan Wilcoxon Signed Rankk Test uk mengetahui Mann Whitney untuk seberapa pengaruhnyaa pendidikan nker payudara kesehatan tentang kanke sikap ibu dalam pada pengetahuan dan sika deteksi dini (SADARI) di Randu Barat dengan tingkat RT 05 RW 12 Gang II de kemaknaan p < 0,05.
Hasil Penelitian Tingkat Pengetahuan Ibu Dalam RI) Sebelum Deteksi Dini (SADARI an Pendidikan Dan Sesudah Diberikan Kanker Kesehatan Tentangg Payudara huan a. Tingkat Pengetahua n. Kelompok Perlakuan.
Pada
Gambar 1: Diagram sili silinder distribusi frekuensi sampel menu nurut perbedaan pendidikan kesehata hatan terhadap perubahan tingkat pen pengetahuan ibu tentang kanker payudara udara dalam deteksi dini (SADARI)
Kesimpulan dari atas m menggambarkan bahwa tingkat penge ngetahuan pada kelompok perlakuann menunjukkan nnya meningkat. tingkat pengetahuanny ihat dari hasil Hal ini dapat diliha ang menunjukkan prosentase pre test yang ya masih cukup tingkat pengetahuannya gkan dari hasil sebesar 41% sedangka st menunjukkan prosentase post test huannya yang tingkat pengetahuan penilaiannya baik mempunyai kreteria pen renakan sebelum sebesar 91 % dikaren terlebih dahulu dilakukan post test te nsi dengan cara diberikan intervensi uluhan tentang memberikan penyulu m ddeteksi dini. kanker payudara dalam
64
b. Tingkat Pengetahua ahuan kelompok Kontrol.
pada
Sikap Ibu Dalam Deteksi Dini (SADARI) Sebelum D Dan Sesudah kan Kesehatan Diberikan Pendidikan ayudara Tentang Kanker Payud pok Perlakuan. a. Sikap Pada Kelompo
Gambar 2: Diagram silinde linder distribusi frekuensi sampel menur nurut tingkat pengetahuan pada kelom ompok kontrol sudah diberikan sebelum dan sesudah tentang kanker pendidikan kesehatan tent payudara
dari atas Kesimpulan da bahwa pada menggambarkan bahw menunjukkan kelompok kontrol m tingkat pengetahuan pre ttest dan post test tidak mengalamii perubahan, masih kurang. kreteria penilaiannya ma babkan pada Hal ini dapat diseba dak diberikan kelompok kontrol tidak ukan post test. intervensi sebelum dilakuka
silinder distribusi Gambar 3: Diagram sili nurut sikap pada frekuensi sampel menur kelompok perlakuann sebelum dan sesudah diberikann pendidikan kesehatan tentang kanke nker payudara
Dari kesimpulann diatas bahwa sikap pada kelompo pok perlakuan menunjukkan peningka gkatan. Hal ini dapat dilihat dari hasil sil prosentase pre test dan post test yang ng menunjukkan sikap yang kebanyakann dalam kategori baik prosentase pre test st sebanyak 50% sedangkan post test ssebanyak 95% dikarenakan sebelum ddilakukan post test terlebih dahul hulu diberikan intervensi dengan cara ara memberikan penyuluhan tentang ka kanker payudara dalam deteksi dini. b. Sikap pada kelompok pok Kontrol.
65
Gambar 4: Diagram silinde linder distribusi frekuensi sampel menurut nurut sikap pada kelompok perlakuan se sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang kankerr pa payudara
Hal ini dapat diseba sebabkan pada kelompok kontrol tidak dak diberikan ukan post test. intervensi sebelum dilakuka
Pembahasan Tingkat Pengetahuan Ibu Dalam Deteksi Dini (SADARI RI) Sebelum Dan Sesudah Diberikan an Pendidikan Kesehatan Tentangg Kanker Payudara Pada tabel m menunjukkan tingkat pengetahuan Ibuu deteksi dini dan sesudah (SADARI) sebelum da diberikan pendidikann kesehatan yudara. Pada tentang kanker payuda kelompok perlakuan pre test sebelum kebanyakan dilakukan intervensi ori cukup dan nilainya dalam kategori ol pa pada pre test pada kelompok kontrol kebanyakan nilainya dala alam kategori
ukuran pre test kurang. Pada penguku ngkat pengetahuan dengan kuesioner tingka masalah yang peneliti menemukann m dimengerti oleh paling banyak belum di getahuan kanker responden pada penget dini payudara dalam ddeteksi (SADARI) antara llain masalah an, tanda-tanda mengenai pengertian, ndakan pencegahan tahap awal serta tindaka nker payudara, pada penyakit kank sien pada stadium keluhan yang oleh pasien kit kanker yang lanjut, urutan penyakit sering diderita olehh kaum wanita, lamanya cara mengenai berapa la radioterapi, pengobatan secaraa dalam tindakan pengertian BCT dal pengobatan kanker ppayudara, dan RI meliputi tentang SADARI nnya, dan cara kepanjangan, tujuanny pemeriksaannnya. ompok perlakuan Sedangkan pada kelom setelah diberikan pada post test sete tan mengalami pendidikan kesehatan kebanyakan nilai peningkattan yaitu keb dalam kategori baikk karena dalam pendidikan materi penyuluhann kanker payudara kesehatan tentang kan (SADARI) dalam deteksi dini pertanyaan dari mencakup tentang pe etahuan sehingga kuesioner dalam pengeta njawabnya dengan responden dapat menjaw dengan kelompok benar, dibandingkan den kontrol post test yangg ttidak diberikan an kebanyakan pendidikan kesehatan kategori kurang nilainya masih dalam ka masih sama pada ppre test dan nyak responden permasalahannya bany ang pengetahuan belum mengerti tentang lam deteksi dini kanker payudara dalam (SADARI). tersebut bahwa Berdasarkan hasil ter ibu yang tingkat pengetahuann kesetahan pada diberikan pendidikann ke kelompok perlakuann hasil nilainya ndingkan dengan lebih baik dibandingka kelompok kontrol yangg ttidak diberikan n. Pengetahuan pendidikan kesehatan. ri tahu dan ini merupakan hasil dari ang melakukan terjadi setelah orang dap suatu objek penginderaan terhadap 66
tertentu (Notoatmodjo, 1997). Adapun beberapa faktor-faktor yang mempengeruhi pada kelompok perlakuan yang diberikan pendidikan kesehatan meliputi : 1) Umur dapat mempengaruhi pengetahuan dari 22 responden menunjukkan bahwa yang kebanyakan berusia 41 – 50 tahun sebayak 9 orang (41%), 7 orang (32%) berusia 31- 40 tahun dan 11 orang (25%) berusia 2030 tahun. Pada usia responden yang kebanyakan 41-50 tahun yang apabila diberikan penyuluhan pendidikan kesehatan masih dapat menerima atau merespon materi yang diberikan dengan baik. Seiringnya dengan pertambahan usia dalam cara berpikir pun bertambah. Sehingga kemampuan seseorang untuk mengembangkan pengetahuan pun akan meningkat. Usia merupakan tingkat kebiasaan seseorang semakin bertambah usia seseorang maka kebutuhan mereka meningkat. Karena pengetahuan yang didapatkan, bukan hanya berasal dari lingkungan, tingkat pendidikan tetapi pengalaman pun dapat menghadapi realita kehidupan yang menuju pematangan pikiran. 2) Pendidikan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan dengan tingkat pendidikan terakhir pada responden yang kebanyakan responden berpendidikan SLTA sebanyak 50% (11 orang), berpendidikan SD 32% (7 orang), SLTP 9% (2 orang), dan Perguruan Tinggi 9% (2 orang). Pada pendidikan terakhir responden yang kebanyakan adalah SLTA sehingga dalam pemberiaan pendidikan kesehatan tentang materi yang diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh kebanyakan responden tersebut. Tentunya dapat mempengaruhi seseorang dalam membuka cakrawala pengetahuannya. Menurut Kuntjoroningrat yang dikutip Mubarak (2007) bahwa makin tinggi pendidikan
seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana dengan seseorang yang berpendidikan tinggi diharapkan orang tersebut semakin luas pula pengetahuannya, tetapi perlu ditekankan bahwa bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah, mutlak berpengetahuan rendah pula. Jadi sangatlah penting suatu pendidikan bagi setiap orang untuk mendapatkan informasi. 3) Pekerjaan responden juga mempengaruhi dengan tingkat pengetahuan yang kebanyakan responden tidak bekerja sebesar 50% (11 orang), pekerjaan yang sebagai pengawai swasta 41% (12 orang), buruh/pengawai tidak tetap 9% (2 orang), dan PNS 0%. Sehingga banyak responden yang tidak bekerja dapat dihubungkan dengan mempunyai luang waktu banyak untuk mencari dan membaca tentang informasi tentang kanker payudara. 4) Informasi, juga dapat mempengaruhi pengetahuan berdasarkan Cara Mendapatkan Informasi Tentang Kanker Payudara pada kelompok perlakuan dari 22 responden menunjukknan bahwa mayoritas dapat innformasi dari tenaga kesehatan sebesar 36% (8 orang). Infomasi adalah kemudahan kita untuk memperoleh suatu informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memeperoleh pengetahuan yang baru. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa setelah ibu diberikan pendidikan kesehatan tentang kanker payudara dalam deteksi dini (SADARI) terjadi peningkatan pengetahuan menjadi lebih baik dibandingkan kelompok yang tidak diberikan pendidikan kesehatan. Dengan demikian semakin tinggi 67
tingkat pengetahuan seseorang tentang kanker payudar maka diharapkan akan mempengaruhi perubahan sikap dalam deteksi dini kanker payudara (SADARI).
Sikap Ibu Dalam Deteksi Dini (SADARI) Sebelum Dan Sesudah Diberikan Pendidikan Kesehatan Tentang Kanker Payudara Pada tabel menunjukkan sikap Ibu deteksi dini (SADARI) sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang kanker payudara. Pada kelompok perlakuan pre test sebelum dilakukan intervensi kebanyakan dalam kategori penilaiannya baik sebanyak 11 sampel. Pada kelompok kontrol pada pre test kebanyakan dalam kategori penilaiannya sikap cukup. Pada pengukuran pre test kedua kelompok dengan kuesioner peneliti menemukan masalah yang sama paling banyak belum dimengerti oleh responden dalam pengambilan sikap yang benar tentang kanker payudara dalam deteksi dini (SADARI) yaitu masalah mengenai bagaimana cara-cara pemeriksaan payudara sendiri dengan benar sedangkan pada kelompok perlakuan pada post test setelah diberikan intervensi mengalami peningkattan pada banyaknya sampel yang nilainya dalam kategori baik sehingga ibu dapat mengambil sikap yang benar tentang kanker payudara dalam deteksi dini (SADARI), dibandingkan dengan kelompok kontrol post test yang tidak diberikan intervensi kebanyakan penilaiannya masih dalam kategori cukup masih sama pada pre test dan permasalahannya banyak responden belum mengerti tentang pengambilan sikap yang benar tentang kanker payudara dalam deteksi dini (SADARI).
Berdasarkan hasil tersebut bahwa sikap ibu yang diberikan pendidikan kesetahan pada kelompok perlakuan hasil nilainya lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan pendidikan kesehatan. Hal tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan ibu yang baik sehingga sikap yang ditampilkan juga baik. Faktor-faktor yang menpengaruhi meliputi : 1) Infomasi adalah kemudahan kita untuk memperoleh suatu informasi dari media dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru sehingga sikap juga mempengaruhi. 2) Status Pekerjaan Ibu yang mayoritas tidak berkerja (50%) dapat dihubungkan dengan banyak luang waktu untuk membaca dan mencari informasi tentang kanker payudara. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Saifuddin Azwar (2009) menyatakan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu 1) Pengalaman pribadi, individu sebagai orang yang menerima pengalaman, orang yang melakukan tanggapan atau penghayatan, biasanya tidak akan melepaskan pengalaman lain yang terdahulu, yang relevan. 2) Faktor budaya yang dianut oleh Ibu. Budaya yang dianut oleh Ibu mempengaruhi dalam teknik melakukan detaksi dini kanker payudara (SADARI). 3) Pengaruh media masa sebagai sarana komunikasi mempunyai pengaruh besar pada pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Adanya informasi yang baru dapat memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. 4) Lembaga agama dan lembaga pendidikan sebagai suatu system yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena merupakan
68
dasar pengertian dan konsep moral serta konsep pengetahuan dalam diri seseorang yang dianggap penting. Sikap Ibu dalam teknik melakukan deteksi dini kanker payudara (SADARI) dipengaruhi oleh pengetahuan ibu yang baik, dan pengalaman ibu yang akan bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek yang dihadapi.
Perbedaan Pengetahuan Dan Sikap Ibu Dalam Deteksi Dini (Sadari) Sebelum Dan Sesudah Diberikan Pendidikan Kesehatan Tentang Kanker Payudara Uji wilcoxon signed rank-test pada kelompok kontrol dengan membandingkan tingkat pengetahuan sebelum intervensi (pre-test) dengan setelah intervensi (post test) menghasilkan p = 0,109. Dan pada sikap sebelum intervensi pre-test dengan setelah post-test yang menghasilkan p = 0,785. Sedangkan Uji wilcoxon signed rank-test pada kelompok perlakuan dengan menghubungkan tingkat pengetahuan sebelum intervensi pre-test dengan setelah intervensi post-test yang menghasilkan p = 0,000. Dan pada sikap sebelum intervensi pre-test dengan setelah post-test yang menghasilkan p = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan pada tingkat pengetahuan dan sikap pada kelompok perlakuan pre test dan post test yang diberi intervensi dengan cara memberikan penyuluhan tentang kanker payudara dalam deteksi dini (SADARI) pada kelompok perlakuan. Hasil penelitian ini diperkuat dengan hasil pengujian statistik lain yang berfungsi untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara tingkat pengetahuan dan sikap antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol yaitu dengan uji mann whitney.
Hasil uji mann whitney pada kelompok perlakuan post-test setelah intervensi dengan membandingkan kelompok kontrol post-test setelah intervensi menghasilkan p = 0,000 pada tingkat pengetahuan. Sedangkan pada sikap dengan menggunakan uji mann whitney pada kelompok perlakuan post-test setelah intervensi dengan membandingkan kelompok kontrol post-test setelah intervensi menghasilkan p = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada tingkat pengetahuan dan sikap setelah perlakuan dengan cara memberikan penyuluhan tentang kanker payudara dalam deteksi dini (SADARI) pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol post-test. Dalam tabel 5.4 tersebut juga dapat dilihat bahwa pengetahuan Ibu sebelum diberikan pendidikan kesehatan pada kelompok perlakuan berada dalam kategori cukup dan pada kelompok kontrol dalam kategori kurang. Pada kelompok perlakuan mengalami peningkatan setelah diberikan pendidikan kesehatan menjadi baik dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan pendidikan kesehatan tidak terdapat peningkatan hasil yaitu peningkatan pengetahuan yang kurang. Berdasarkan hasil tersebut, hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : 1) Peningkatan pengetahuan yang diberikan melalui pendidikan kesehatan yang optimal dengan pemberian materi yang terdiri dari pengertian, faktor-faktor resiko, tanda dan gejala, cara pencegahan, cara pengobatan, cara teknik-teknik SADARI. 2) Metode yang digunakan yaitu ceramah, Tanya jawab, demontrasi. 3) Media yang dipakai melalui penyebaran leaflet, pemberian materi melalui LCD, Laptop. 4) Subyek sasaran yang latar belakangnya pendidikan relatife baik 69
yaitu sebagian besar SLTA/sederajat (43%). Pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya sikap seseorang, karena apabila penangkapan sikap baru melalui proses yang didasari oleh pengetahun maka sikap tersebut akan menjadi lebih baik. Dalam melakukan pencapaian pengetahuan didapatkan dari media cetak,media elektronik, dan tenaga kesehatan dimana permasalahan pokok yaitu pada input yang merupakan masalah menyangkut subyek atau sasaran dengan berbagai latar belakang seperti tingkat pendidikan dari sasaran. Tingkat pengetahuan seseorang akan mempengaruhi sikap dimana apabila pengetahuan dipahami, maka akan timbul suatu sikap seseorang yang tinggi kesadaran untuk berperan serta. Pada dalam tabel 5.5 mnenunjukkan bahwa sikap Ibu sebelum diberikan pendidikan kesehatan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berada dalam kategori baik. Pada kelompok perlakuan mengalami peningkatan setelah diberikan pendidikan kesehatan menjadi sangat baik dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan pendidikan kesehatan tidak terdapat peningkatan masih dalam sikap yang baik. Hal tersebut ditandai dengan 1) Ibu yang dipilih menjadi kelompok perlakuan dapat mengikuti kegiatan pendidikan kesehatan dari awal sampai akhir dengan penuh perhatian (100% antusias terhadap materi penyuluhan dan tidak ada peserta yang meninggalkan tempat), 2) Ibu mampu menjawab pertanyaan yang diberikan oleh pemberi materi pada sesi evaluasi (dari 10 pertanyaan 100% dapat dijawab secara sederhana), pada sesi tanya jawab yang disediakan oleh pemberi materi banyak pertanyaan yang disampaikan berkenaan dengan masalah yang dihadapi tentang kanker payudara dalam deteksi dini
(SADARI) (dari 22 peserta yang hadir 5 orang peserta (ibu) mengajukan pertanyaan). Menurut Depkes RI (1990:7) mendeskripsikan bila pengetahuaan telah dipahami maka akan timbul sikap untuk berpartisipasi. Dalam proses pendidikan kesehatan dapat terjadi perubahan sikap dalam berbagai tindakan: 1) Menerima (receiving) yaitu subjek mau memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). 2) Merespon (responding) yaitu memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. 3) Menghargai (valuing) mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah, 4) bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dengan segala resiko (Notoatmodjo, 2003: 126). Adanya informasi yang baru memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa setelah Ibu-Ibu diberikan pendidikan kesehatan tentang kanker payudara dalam deteksi dini (SADARI) terjadi peningkatan pengetahuan dan sikap menjadi lebih baik dibandingkan kelompok yang tidak diberikan pendidikan kesehatan. Hal ini disebabkan karena melalui pendidikan kesehatan yang merupakan upaya untuk mempengaruhi mengajak IbuIbu agar lebih memahami konsep tentang kanker payudara dalam deteksi dini (SADARI) dengan menggunakan media dan metode sebagai penunjang pendidikan kesehatan akan meningkatkan pengetahuan, yang dimana semakin banyak pengetahuan diharapkan semakin baik sikap Ibu dalam melakukan teknik-teknik SADARI.
70
Simpulan 1. Pengetahuan Ibu dalam deteksi dini (SADARI) tentang kanker payudara di Randu Barat RT 05 RW 12 Gang II Surabaya. Sebelum diberikan pendidikan pada kelompok perlakuan berada dalam kategori cukup dan kelompok kontrol berada dalam kategori kurang. Setelah diberikan pendidikan kesehatan pada kelompok perlakuan mengalami perubahan menjadi baik dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan pendidikan kesehatan tidak mengalami perubahan. 2. Sikap Ibu dalam deteksi dini (SADARI) tentang kanker payudara di Randu Barat RT 05 RW 12 Gang II Surabaya. Ibu sebelum diberikan pendidikan pada kelompok perlakuan berada dalam kategori sikap yang baik sedangkan kelompok kontrol berada dalam kategori sikap yang cukup. Setelah diberikan pendidikan kesehatan mengalami peningkatan jumlah responden pada kelompok perlakuan sikap yang baik dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan pendidikan kesehatan tidak mengalami perubahan hasil. 3. Pendidikan kesehatan kanker payudara memberikan perbedaan pada pengetahuan dan sikap ibu dalam deteksi dini (SADARI). Hal ini dapat dikatakan secara tidak langsung pendidikan kesehatan berpengaruh pada pengetahuan dan sikap ibu dalam deteksi dini (SADARI).
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, A. (1999). Psikologi sosial, Jakarta : Rineka Cipta
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta : Rineka Cipta Brunner, Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8, Jakarta : Arcan Mardiana, L. (2004). Kanker Pada Wanita : Pencegahan dan Pengobatan dengan Tanaman Obat, Jakarta : Penebar Swadaya Mubarak, W. I , Bambang A. S, Khoirul R, Siti P. (2006). Ilmu Keperawatan Komunitas 2, Jakarta : CV Sagung Seto Mubarak, W. I . (2007).Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar dalam Pendidikan, yogyakarta : Graha Ilmu Mubarak, W. I ,Nurul C. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas pengantar dan teori, Jakarta : Salemba Medika. Nazir,
M. (2005). Metodologi Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia
Niven, N. (2000). Psikologi Kesehatan : Pengantar untuk Perawat dan Profesional Kesehatan lain, Jakarta : EGC Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika Nursalam dan Ferry E. (2008). Pendidikan dalam Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika
71
Puswoastuti, E. (2008). Kanker Payudara : Pencegahan Deteksi Dini, Yogyakarta : Kanisius Putri, N. (2009). Deteksi Dini Kanker Payudara, Yogyakarta : Aura Medika Riduwan, Akdon. (2006). Rumus dan data dalam Aplikasi Statistika, Bandung : Alfabeta Roeskoprodjo, S, Aryo, D. P, Darmawan. K, E.U Hutagalung, Rochani. S, Chaula. L.S, Muclis. R, Kukuh.B.R, Murzinal. D . (1995). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Jakarta : Binarupa Aksara
Wibisono, N. (2009). Melawan Kanker Payudara : Pencegahan dan Pengobatan, Jakarta : Restu Agung Widayatun, T.R. (1999). Ilmu Perilaku, Jakarta : CV. Sagung Seto.
¹
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya
Soesanto,W. (2008). Biostatistik Penelitian Kesehatan Biostatistik dengan Komputer (SPSS 16 For Windows). Surabaya : Perc. Duatujuh Suliha, U, Herawani, Sumiati, Yeti. R . (2001). Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan, Jakarta : EGC Sunaryo. (2004). Psikologi untuk Keperawatan, Jakarta : EGC
72
KARAKTERISTIK PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI INSTALASI RAWAT INAP PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Meiana Harfika¹
Abstract : Diabetes melitus adalah salah satu penyakit degeneratif yang menjadi ancaman kesehatan penduduk dunia pada saat ini. Jumlah penderita diabetes terus meningkat seiring dengan berubahnya pola makan dan gaya hidup. Pada tahun 2000, jumlah penduduk dunia yang menderita diabetes 171 juta jiwa dan diperkirakan jumlah ini akan terus meningkat menjadi 366 juta pada tahun 2030. Penelitian yang dilakukan antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok dan di Makasar didapatkan prevalensi diabetes tipe 2 yang cukup fantastik. Dengan mengambil sampel dari populasi diabetes di Rawat Inap Bagian Penyakit Dalam RSMH Palembang Periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2007, dilakukan suatu penelitian deskriptif untuk mengetahui karakteristik penderita diabetes dan terapi yang sering diberikan pada penderita dibetes tipe 2 di RSMH Palembang. Penelitian dilakukan pada bulan januari – juni 2008. Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data dari rekam medis. Dari hasil penelitian pada 86 sampel didapatkan distribusi penderita diabetes tipe 2 terbanyak pada usia 45-59 tahun yaitu 40 orang (46,51%) dan lebih banyak perempuan yakni 57 orang (66,28%). Distribusi kadar gula darah yang terbanyak yaitu ≥ 200 mg/dL sebanyak 66 orang (76,74%). Distribusi IMT yang terbanyak yakni pada kelompok berat badan lebih dengan resiko sebanyak 36 orang (41,86%). Komplikasi yang tersering adalah gangren diabetik yaitu sebanyak 36 orang (41,86%). Dan Insulin merupakan terapi yang paling sering diberikan yakni sebanyak 57 orang (66,27%). Diperlukan adanya program penyuluhan mengenai diabetes oleh pihak terkait kepada masyarkat menekan kenaikan jumlah penderita diabetes serta dapat mencegah komplikasi dan menurunkan angka kematian. Kata kunci : Karakteristik, Diabetes Melitus
Latar Belakang Diabetes melitus adalah salah satu penyakit degeneratif yang menjadi ancaman kesehatan penduduk dunia pada saat ini. Jumlah penderita diabetes terus meningkat seiring dengan berubahnya pola makan dan gaya hidup. Pada tahun 2000, jumlah penduduk dunia yang menderita diabetes 171 juta jiwa dan diperkirakan jumlah ini akan terus
meningkat menjadi 366 juta pada tahun 2030. Untuk Indonesia, WHO memprediksikan kenaikan jumlah penderita diabetes dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 2,3 juta pada tahun 2030.2 Jumlah ini menjadikan Indonesia menempati urutan terbesar ke-4 dalam jumlah penderita diabetes melitus setelah India, China dan Amerika Serikat.1
Penelitian yang dilakukan antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi diabetes tipe 2 sebesar 14,7%. Demikian juga di Makasar didapatkan prevalensi diabetes yang mencapai 12,5% pada akhir tahun 2005.3 Angka ini cukup fantastik dan butuh perhatian khusus. Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena kegagalan relatif sel β dan resistensi insulin.4 Sebenarnya diabetes tipe 2 tidak terlalu berbahaya apabila kadar glukosa darah dapat terkontrol dengan baik. Tetapi apabila tidak terkontrol dengan baik maka akan menimbulkan banyak komplikasi yang cukup fatal. Diabetes tipe ini sering menjadi penyebab kebutaan, amputasi, gagal ginjal, penyakit jantung koroner, bahkan dapat menyebabkan kematian. Melihat jumlah penderita diabetes melitus yang tinggi dan terus meningkat akhir-akhir ini terutama diabetes tipe 2 serta komplikasi yang ditimbulkannya maka perlu diadakan penelitian tentang karakteristik diabetes melitus tipe 2 dan terapinya untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas sehingga dapat menekan kenaikan jumlah penderita diabetes serta dapat mencegah komplikasi dan menurunkan angka kematian. Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. (ADA 2005) Diabetes melitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) disebabkan kegagalan relatif sel β dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh
hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitisasi terhadap glikosa.4 Faktor Resiko Diabetes2 a.Faktor resiko dimodifikasi
yang
tidak
bisa
Ras dan etnik Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes). Bila salah satu orang tua mendrita diabetes maka kemungkinan diturunkannya penyakit diabetes ke anak-anaknya 1:20.5 Umur Resiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia ≥ 45 tahun harus dilakukan pemeriksan diabetes melitus. Dalam studi epidemiologi, baik yang dilakukan secara cross-sectional maupun longitudinal, menunjukkan prevalensi diabetes maupun gangguan toleransi glukosa naik bersama bertambah umur, dan membentuk suatu plateau dan kemudian menurun. Patofisilogi diabetes yang timbul pada usia lanjut belum dapat diterangkan seluruhnya, namun dapat didasarkan atas 4 faktor yang muncul oleh proses menunya sendiri. Faktor yang pertama karena adanya perubahan komposisi tubuh yaitu penururnan jumlah masa otot dari 19% menjadi 12%, disamping peningkatan jumlah jaringan lemak dari 14% menjadi 30%, mengakibakan menurunnya jumlah serta sensitivitas reseptor insulin. Faktor yang kedua adalah turunnya aktivitas fisik yang 74
akan mengakibatkan penurunan jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan insulin sehingga kecepatan translokasi GLUT-4 juga menurun. Kedua hal tersebut akan menurunkan baik kecepatan maupun jumlah ambilan glukosa. Faktor yang ketiga yaitu perubahan life-style dan faktor yang keempat adalah perubahan neurohormonal, khususnya insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan dehydroepandrosteron (DHEAS) plasma.6 Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi > 4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG). Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai resiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan berat badan normal. b. Faktor resiko dimodifikasi
yang
bisa
Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2). Risiko diabetes melitus akan meningkat secara linier sesuai dengan peningkatan IMT. Berat badan lebih akan meningkatkan angka kejadian diabetes melitus 3-4 kali dibandingkan orang dengan IMT normal.7 Pada penelitian yang dilakukan di Amerika pada 11.400 wanita menunjukkan bahwa wanita dengan IMT antara 25-26,9 kg/m2 berisiko menderita diabetes melitus tipe 2 delapan kali lebih besar diabandingkan dengan wanita dengan IMT < 22 kg/m2. Diabetes pada orang yang obesitas didasari oleh resistensi insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang
terdapat pada membran sel yang responsif terhadap insulin. Kurang aktivitas fisik. Hipertensi (≥ 140/90 mmHg). Dislipidemia (HDL ≤ 35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL). Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan resiko mnderita prediabetes dan DM tipe 2. Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Edukasi Diabetes Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana telah terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang berkenaan dengan: Makan makanan sehat; Kegiatan jasmani secar teratur;
75
Menggunakan obat diabetes secara aman, teratur, dan pada waktuwaktu yang spesifik; Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan berbagai informasi yang ada; Melakukan perawatan kaki secara berkala; Mengelola diabetes dengan tepat; Mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan keterampilan; Dapat mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan. Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi dan memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi. Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index = Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT (Asia Pasific) Klasifikasi IMT (Asia Pasific)
Lingkar Perut
<90cm >90cm (pria) (pria) <80cm >80cm (wanita) (wanita) Risk of comorbidities BB Kurang Rendah Rata<18,5 Rata-rata rata BB Mening Normal Meningk kat 18,5-22,9 at BB Sedang Sedang Lebih>23,0 Berat Berat Sangat - Dengan berat risiko : 23,024,9 - Obes
I : 25,0-29,9 - Obes II : ≥ 30
Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori, penentuan status gizi memanfaatkan rumus Broca, yaitu: Berat Badan Idaman (BBI) = (TB-100) – 10%
Status gizi: BB kurang, bila BB < 90% BBI BB normal, bila BB 90-110% BBI BB lebih, bila BB 110-120% BBI Gemuk, bila BB >120% BBI
Bahan dan Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif yang bersifat retrospektif. Penelitian dilakukan di lembaga rekam medik Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang. Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2008 sampai dengan Juni 2008. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang berasal dari rekam medik yang dikumpulkan secara retrospektif terhadap semua penderita diabetes melitus tipe 2 yang dirawat di instalasi rawat inap penyakit dalam Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang. Selama periode 1 Januari 2007 sampai 31 Desember 2007 berdasarkan rekam medik. Populasi dari penelitian ini tidak seluruhnya dijadikan sampel. Hal ini dikarenakan ketidaklengkapan data rekam medik dan mengingat keterbatasan waktu. Dari 592 penderita diabetes melitus tipe 2 yang dirawat 76
instalasi rawat inap RSMH Palembang periode 1 Januari – 31 Desember 2007 diambil sampel dengan menggunakan formula sehingga didapatkan 86 orang untuk jumlah sampel yang akan diteliti. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik random sampling.
Hasil dan Pembahasan Populasi dari penelitian ini tidak seluruhnya dijadikan sampel. Hal ini dikarenakan ketidaklengkapan data rekam medik dan mengingat keterbatasan waktu yang dimiliki oleh peneliti. Dari 592 penderita diabetes melitus tipe 2 yang dirawat di instalasi rawat inap RSMH Palembang periode 1 Januari – 31 Desember 2007 diambil sampel dengan menggunakan formula sehingga didaptkan 86 orang untuk jumlah sampel yang akan diteliti. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik random sampling. Karakteritik Sosiodemografi
dan membentuk suatu plateau dan kemudian menurun. Patofisilogi diabetes yang timbul pada usia lanjut belum dapat diterangkan seluruhnya, namun dapat didasarkan atas 4 faktor yang muncul oleh proses menunya sendiri. Faktor yang pertama karena adanya perubahan komposisi tubuh yaitu penururnan jumlah masa otot dari 19% menjadi 12%, disamping peningkatan jumlah jaringan lemak dari 14% menjadi 30%, mengakibakan menurunya jumlah serta sensitivitas reseptor insulin. Faktor yang kedua adalah turunnya aktivitas fisik yang akan mengakibatkan penurunan jumlah reseptor insulin yang siap berikatan berikatan dengan insulin sehingga kecepatan translokasi GLUT-4 juga menurun. Kedua hal tersebut akan menurunkan baik kecepatan maupun jumlah ambilan glukosa. Faktor yang ketiga yaitu perubahan life-style dan faktor yang keempat adalah perubahan neuro-hormonal, khususnya insulinlike growth factor-1 (IGF-1) dan dehydroepandrosteron (DHEAS) plasma.
Usia Tabel 1. Distribusi Penderita Diabetes Tipe 2 Berdasarkan Usia (n=86) Kelompok Jumlah Persentase Usia (tahun) 30 – 44 11 12,79
Jenis Kelamin
Laki-laki
29
33,72
45 – 59 > 60 Jumlah
Perempuan
57
66,28
Jumlah
86
100
40 35 86
46,51 40,70 100
Hal ini sesuai dengan faktor risiko diabetes yang disebutkan dalam kepustakaan yang menyebutkan bahwa kelompok usia ≥ 45 tahun mempunyai risiko yang besar untuk mengalami intoleransi glukosa. Dalam studi epidemiologi, baik yang dilakukan secara cross-sectional maupun longitudinal, menunjukkan prevalensi diabetes maupun gangguan toleransi glukosa naik bersama bertambah umur,
Tabel 2. Distribusi Penderita Diabetes Tipe 2 Berdasarkan Jenis Kelamin (n=86) Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Didapatkan rasio penderita laki-laki dan perempuan sekitar 1 : 2. Keadaan ini berbeda dengan teori yang menyebutkan otot rangka laki-laki lebih resisten terhadap insulin dibandingkan perempuan.
77
Riwayat Keluarga
Perspective: Treatment.
Tabel 3. Distribusi Penderita Diabetes Tipe 2 Berdasarkan Riwayat Keluarga (n=86) Riwayat Keluarga Jumlah Persentase Ada 12 13,95 Tidak Ada 30 34,89 Data Tidak Lengkap 44 51,16 Jumlah 86 100
Hal ini sesuai dengan faktor risiko diabetes yang disebutkan dalam kepustakaan yang menyebutkan bahwa salah satu faktor risiko diabetes adalah berat badan lebih atau IMT > 23 kg/m2. Diabetes pada orang yang mempunyai berat badan lebih (obesitas) didasari oleh resistensi insulin. Pada pasien dengan berat badan lebih (obesitas), terjadi gangguan kepekaan jaringan terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat pada membran sel yang responsif terhadap insulin. Risiko diabetes melitus akan meningkat secara linier sesuai dengan peningkatan IMT. Berat badan lebih akan meningkatkan angka kejadian diabetes melitus 3-4 kali dibandingkan orang dengan IMT normal. Hal ini juga terlihata pada penelitian lain yang dilakukan di Amerika pada 11.400 wanita menunjukkan bahwa wanita dengan IMT antara 25-26,9 kg/m2 berisiko menderita diabetes melitus tipe 2 delapan kali lebih besar diabandingkan dengan wanita dengan IMT < 22 kg/m2.
Dari 86 sampel, terdapat 44 data yang tidak lengkap mengenai riwayat keluarga. Berdasarkan tabel 8 diatas, dapat dilihat bahwa jumlah penderita yang juga memiliki keluarga yang menderita diabetes sebanyak 12 orang (13,95%), sementara sisanya sebanyak 30 orang (34,89%) tidak memiliki keluarga yang menderita diabetes. Menurut kepustakaan adanya riwayat keluarga merupakan salah satu faktor risiko diabetes. Penyakit diabetes melitus tipe 2 dapat diturunkan secara genetik. Bila salah satu orang tua menderita diabetes maka kemungkinan diturunkannya penyakit diabetes ke anak-anaknya 1:20. Hasil penelitian lain menyebutkan jika seorang penderita diabetes melitus tipe 2 maka kemungkinan penyakit ini menurun pada keluarga penderita tersebut sebesar 10% - 15%. Dari penelitian ini tidak dapat dilihat apakah ada faktor keturunan yang mempenguruhi timbulnya panyakit diabtes melitus atau tidak, karena data yang tidak lengkap lebih dari 50%. Indeks Massa Tubuh Tabel 4. Distribusi Penderita Diabetes Tipe 2 Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (n=86). Indeks Massa Tubuh Jumlah Persentase (IMT) Berat Badan Kurang 10 11,63 Berat Badan Normal 35 40,70 Berat Badan Lebih 36 41,86 Dengan Resiko Obes I 4 4,65 Obes II 1 1,16 Jumlah 86 100 *Sumber klasifikasi IMT: WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific
Redefining
Obesity
and
its
Keterbatasan Penelitian
Data pada beberapa rekam medik kurang lengkap sehingga menyulitkan pendataan dan penghitungan guna mencapai ketepatan penelitian.
Simpulan Berdasarkan penelitian deskriptif mengenai karakteristik penderita diabetes melitus tipe 2 dan terapinya di instalasi rawat inap penyakit dalam RSMH Palembang periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2007. Frekuensi penderita diabetes tipe 2 terbanyak pada kelompok usia 45-59 tahun yaitu sebanyak 40 orang (46,51%) dan lebih banyak perempuan yakni 57 orang (66,28%) daripada laki-laki. 78
Frekuensikadar gula darah sewaktu terbanyak pada penelitian ini yaitu ≥ 200 mg/dL yakni sebanyak 66 orang (76,74%). Pada penelitian ini tidak dapat dilihat distribusi penderita berdasarkan riwayat keluarga karena data yang ada tidak lengkap. Berdasarkan Indeks Massa Tubuh, para penderita diabetes tipe 2 lebih banyak yang memiliki berat badan lebih dengan resiko yaitu sebanyak 36 orang (41,86%). Insulin adalah terapi yang peling sering diberikan pada penderita diabetes yakni sebanyak 52 orang (64,20%). Saran Para pihak terkait diharapkan mengadakan penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit diabetes terutama mengenai cara pencegahnnya. Perlu dilakukanya pemeriksaan rutin terhadap orang-orang yang memiliki faktor resiko tinggi diabetes melitus dan orang-orang yang telah terdiagnosa diabetes untuk mencegah berbagai komplikasi yang berbahaya. Peneliti menyarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik penderita diabetes dengan mengambil sampel di luar rumah sakit atau langsung di dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Wild, Sarah, dkk. Global Prevalence of Diabetes. Diabetes Care. Volume 27. Number 5. 2004 PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Jakarta: PB.PERKENI. 2006
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2006. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta, Jilid I. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FK UI. 1999. Rochmah, Wasilah. Diabetes Melitus Pada Usia Lanjut. Dalam: Sudoyo, Aru W, dkk. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2006. Witjaksono, Fiastuti. Obesitas Bukan Lagi Tanda Kemakmuran. Jakarta. 2005 Gustaviani, Reno. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Sudoyo, Aru W, dkk. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2006. Guyton, dan Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC. 1997. Shahab, Alwi. Komplikasi Kronik DM Penyakit Jantung Koroner. Dalam: Sudoyo, Aru W, dkk. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2006. Shahab, Alwi. 2003. Disfungsi Endotel Pada Diabetes Melitus. http://www.rsmhplg.com Pandelaki, Karel. Retinopati Diabetik. Dalam: Sudoyo, Aru W, dkk. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2006.
Suyono, Slamet. Diabetes Melitus Di Indonesia. Dalam: Sudoyo, Aru W, dkk. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Jakarta: Pusat
79
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya ¹
80