Jurnal
BISNIS & MANAJEMEN Jurnal Ilmiah Berkala Empat Bulanan, ISSN 1411 - 9366
Volume 7 No.2, Januari 2011
KAJIAN ELEMEN-ELEMEN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BIOETANOL BERBASIS BAHAN BAKU POTENSIAL DI PROVINSI LAMPUNG Erlina, Endang Gumbira Sa’id, Machfud, Sukardi, Zainal Mahmud PENGUKURAN EFISIENSI KINERJA DENGAN METODE STOCHASTIC FRONTIER APPROACH PADA PERBANKAN SYARIAH Ivan Gumilar SP, Siti Komariah PENGARUH KINERJA KEUANGAN TERHADAP HARGA SAHAM (STUDI PADA SUB SEKTOR PERBANKAN DI BURSA EFEK INDONESIA) Sendi Gusnandar Arnan, Shinta Dewi Herawati KEPUASAN KERJA, KOMITMEN ORGANISASI, DAN INTENSI TURNOVER Habibullah Jimad ANALISIS MENGAPA SEBUAH USAHA MENGGUNAKAN SISTIM BAGI HASIL Heru Wahyudi PENGARUH HUMAN RELATIONS TERHADAP MOTIVASI KERJA KARYAWAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUKADANA Yuningsih TINJAUAN KEMBALI LEADERSHIP IN ADMINISTRATION: A SOCIOLOGICAL INTERPRETATION (Selznick, 1957) Ayi Ahadiat
JURNAL BISNIS dan MANAJEMEN
Vol. 7
No.2
Hal. 79-222
Bandarlampung Januari 2011
ISSN 1411 - 9366
ISSN 1411 - 9366
Volume 7 No. 2, Januari 2011
JURNAL BISNIS DAN MANAJEMEN TIM REDAKSI Penanggung Jawab
: Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.Sc. (Rektor Universitas Lampung)
Pembina
: Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.Sc. (Pembantu Rektor I Universitas Lampung) : Dr. Eng. Admi Syarif (Ketua Lembaga Penelitian Universitas Lampung) : Prof. Dr. Satria Bangsawan, S.E., M.Si. (Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Lampung)
Pemimpin Umum
: Hj. Aida Sari, S.E., M.Si. Ketua Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Lampung
Dewan Editor Ketua Anggota
Redaksi Pelaksana Ketua Wakil Ketua Sekretaris Bendahara Tata Usaha dan Kearsipan Distribusi dan Sirkulasi Alamat Redaksi
: Dr. Satria Bangsawan, S.E., M.Si. : Dr. Irham Lihan, S.E., M.Si. Dr. Sri Hasnawati, S.E.. M.M. Iban Sofyan, S.E., M.M. Aripin Ahmad, S.E., M.Si. Zulkarnain, S.E., M.B.A. Dariyus, S.E., M.M. Ribhan, S.E., M.Si. Ernie Hendrawaty, S.E., M.Si. : : : : : : :
Hj. Mahrinasari M.S., S.E., M.P.M. Rinaldi Bursan, S.E., M.Si. Prakarsa Pandjinegara, S.E., M.E. Hi. Habibullah Jimad, S.E., M.Si. Prayugo Nasirudin Gedung A Lantai 2, Fakultas Ekonomi Unila Jl. Prof. Sumantri Brojonegoro no. 1 Gedungmeneng - Bandarlampung, 35145 Telp. : (0721) 773465 Email :
[email protected] Website : http://fe-manajemen.unila.ac.id/jbm
Jumal Bisnis dan Manajemen merupakan media komunikasi ilmiah, diterbitkan tiga kali setahun oleh Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Lampung, berisikan ringkasan hasil penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi.
Volume 7 No. 2, Januari 2011
ISSN 1411 - 9366
JURNAL BISNIS DAN MANAJEMEN
DAFTAR ISI KAJIAN ELEMEN-ELEMEN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BIOETANOL BERBASIS BAHAN BAKU POTENSIAL DI PROVINSI LAMPUNG................................................... 79 Erlina, Endang Gumbira Sa’id, Machfud, Sukardi, Zainal Mahmud PENGUKURAN EFISIENSI KINERJA DENGAN METODE STOCHASTIC FRONTIER APPROACH PADA PERBANKAN SYARIAH ......................................................................................................... 93 Ivan Gumilar SP, Siti Komariah PENGARUH KINERJA KEUANGAN TERHADAP HARGA SAHAM (STUDI PADA SUB SEKTOR PERBANKAN DI BURSA EFEK INDONESIA) ...................................................................... 123 Sendi Gusnandar Arnan, Shinta Dewi Herawati KEPUASAN KERJA, KOMITMEN ORGANISASI, DAN INTENSI TURNOVER ................................................................................. 155 Habibullah Jimad ANALISIS MENGAPA SEBUAH USAHA MENGGUNAKAN SISTIM BAGI HASIL .................................................................................. 167 Heru Wahyudi PENGARUH HUMAN RELATIONS TERHADAP MOTIVASI KERJA KARYAWAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUKADANA.................................................................................................. 191 Yuningsih TINJAUAN KEMBALI LEADERSHIP IN ADMINISTRATION: A SOCIOLOGICAL INTERPRETATION (Selznick, 1957) ........................ 207 Ayi Ahadiat
KAJIAN ELEMEN-ELEMEN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BIOETANOL BERBASIS BAHAN BAKU POTENSIAL DI PROVINSI LAMPUNG1 Erlina2, Endang Gumbira Sa’id3, Machfud3, Sukardi3, Zainal Mahmud4
ABSTRACT In general, this study aims to determine key elements of agro-industry development of bioethanol in Lampung Province. The results showed that based on MPE analysis, the raw material of superior agro-industry development of bioethanol in Lampung Province is cassava. Based on the results of the study elements from development using ISM analysis, obtained four key elements of agro-industry development of bioethanol in Lampung Province, namely: (1) supporting element development system with 7 (seven) sub key elements of development, (2) inhibiting element development system with 7 (seven) inhibiting the development of key sub-elements, (3) elements of the development system actors with 3 (three) sub-elements of the key development actors, and (4) elements need development system with 3 (three) sub-elements of the key development needs. Key Words : bioethanol, agro-industry, interpretative struktural modelling (ISM)
PENDAHULUAN Latar Belakang Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi bahan baku bioetanol (Ubikayu, Tebu, Sorgum manis dan Jagung ) yang sangat baik. Lampung merupakan provinsi penghasil ubikayu dan tebu terbesar di Indonesia, dengan produksi pada tahun 2007 mencapai 6.394.906 ton (BPS 2008). Pada tahun yang sama produksi jagung 1.340.821 ton dan tebu sebesar 35.730 ton. Kelebihan tanaman sebagai sumber bahan bakar nabati dapat mengimbangi produksi rumah kaca, mengurangi pencemaran udara dan 1
Bagian dari disertasi untuk Seminar Hasil Disertasi IPB Mahasiswa S3 Program Studi Teknologi Industri Pertanian SPs IPB 3 Staf Pengajar Departemen Teknologi Industri Pertanian Fateta IPB 4 Peneliti Balitro, Bogor 2
bahan bakar tersebut dapat diproduksi secara lokal sehingga diharapkan dapat memperbaiki ekonomi pedesaan, menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan petani serta mengurangi potensi ketergantungan minyak impor (Gumbira-Sa’id , 2007). Hasil penelitian Hasanuddin et al., (2006) menunjukkan bahwa pengembangan agroindustri berbasis ubi kayu di Lampung menunjukkan bahwa, agroindustri bioetanol menduduki peringkat tertinggi untuk dikembangkan dibandingkan jika dikembangkan menjadi industri tapioka, tepung cassava dan industri makanan ringan. Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar yang cukup penting setelah biodiesel untuk dikembangkan di Indonesia. Untuk mengimplementasikan hal tersebut perlu dilakukan kajian-kajian terhadap permasalahan yang ada di dalam proses pengembangan agroindustri bioetanol. Beberapa penelitian sudah dilakukan mengenai strategi pengembangan bioetanol yaitu oleh Kurniawan et al., (2005) Bustaman (2008), Nurwidyastuti (2006) mengenai strategi pengembangan bioetanol berbasis tebu, dimana strategi yang diperlukan adalah perlu adanya upaya perluasan areal tanam untuk meningkatkan ketersediaan bahan baku tebu agar tidak bersaing dengan kebutuhan gula nasional. Berdasarkan kajian-kajian pustaka yang telah dilakukan, terdapat permasalahan pokok yang harus dikaji dalam usaha pengembangan agroindustri bioetanol di Lampung yaitu belum adanya penetapan dan penerapan strategi yang tepat untuk mampu memaksimalkan potensi sumberdaya yang ada, yang memungkinkan agroindustri menjadi industri yang kompetitif dan mewujudkan revitalisasi pertanian. Lampung merupakan salah satu sentra pertanian yang memiliki potensi yang tinggi sebagai penyedia bahan baku untuk bioetanol, tetapi masih diperlukan penelitian yang mengkaji strategi pengembangan agroindustri bioetanol agar kepentingan pemanfaatan bahan baku untuk bioetanol tidak berbenturan dengan kebutuhan bahan baku terutama untuk pangan, pakan, maupun industri lain yang terkait. Diharapkan pengembangan bioetanol di Lampung tidak hanya sesuai dengan prinsip pengembangan pada pemenuhan pasokan energi saja tetapi juga untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan pekerjaan, menciptakan pembangunan nasional yang berkelanjutan dan mendukung aksi penyelamatan bumi dari efek pemanasan global.
80
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan bahan baku unggulan untuk pengembangan agroindustri bioetanol di Provinsi Lampung; 2. Menentukan elemen-elemen kunci pengembangan agroindustri bioetanol. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pemilihan bahan baku untuk pengembangan agroindustri bioetanol di Provinsi Lampung. 2. Penentuan elemen kunci pengembangan agroindustri bioetanol di Provinsi Lampung. Manfaat Penelitian Elemen-elemen kunci sistem pengembangan yang ditetapkan dalam penelitian diharapkan berguna untuk mengkaji strategi pengembangan agroindustri bioetanol berdasarkan pendekatan bahan baku di Provinsi Lampung METODE PENELITIAN Kerangka Penelitian Penelitian ini mengkaji tentang elemen-elemen pengembangan agroindustri bioetanol yang terdiri dari pokok kajian, 1) penentuan elemn kunci pendukung pengembangan agroindustri bioetanol, 2) penentuan elemen kunci penghambat pengembangan agroindustri bioetanol, 3) penentuan elemen kunci pelaku pengembangan dan 4) penentuan elemen kunci kebutuhan pengembangan. Metode yang digunakan untuk menggali informasi dan pengetahuan adalah dengan melakukan wawancara mendalam sesuai dengan kecukupan informasi yang diperlukan. Penggunaan teknik yang sesuai akan membantu dalam menetapkan elemen-elemen kunci pengembangan, klasifikasi hubungan pengaruh/ketergantungan dan tingkatan strukturalnya. Kerangka Pikir Penelitian untuk menentukan elemen-elemen kunci dalam pengembangan agroindustri bioetanol di Provinsi Lampung diperlihatkan pada Gambar 1
81
Nama Elemen Nama Subelemen Pakar
Mulai
Penilaian Hubungan Kontekstual (VAXO) antar Sub-Elemen pada setiap Elemen untuk setiap Pakar
Matrik Self Structural Interpretive (SSIM) Untuk setiap Pakar dan pada setiap Elemen
Pembentukan Matrik Reachability (RM) untuk setiap Pakar dan pada setiap Elemen
Modifikasi menjadi Matrik Transitif
Transitif ?
Matrik Reachability Pendapat Gabungan Pakar
Strukturisasi Elemen Sistem Penetapan Sub-elemen Kunci Kategorisasi Sub-Elemen
Pembentukan RM Pendapat Gabungan Pakar
Strukturisasi Sistem Pengembangan Kelompok Sub-Elemen
Selesai
Gambar 1. Diagram Alir Strukturisasi Sistem Pengembangan Agroindustri menggunakan ISM-VAXO (diadopsi dari Machfud,2001)
Metode Pengumpulan dan Analisis Data Penelitian ini didahului dengan survei pakar, yang berjumlah 14 responden yang berasal dari perguruan tinggi, instansi pemerintah, pengusaha bioetanol, ketua kelompok tani, dan asosiasi bioetanol. Data
82
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran atau studi pustaka dari dokumen-dokumen yang dipublikasikan oleh institusi terkait. Pengumpulan data primer dilakukan melalui cara survey. Dalam penelitian ini digunakan dua metode analisis yaitu, Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) (Marimin, 2004) dan Analisis ISM (Saxena, 1992 ) Untuk kepentingan analisis MPE, fokus pertanyaan adalah tentang jenis bahan baku dengan kriteria yang mempengaruhinya, berikutnya pakar menilai elemen dan sub elemen struktur sistem pengembangan agroindustri bioetanol, dengan analisis ISM. HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan dan Penetapan Bahan Baku Unggulan Tahap penentuan bahan baku unggulan untuk pengembangan agroindustri bioetanol diseleksi dari beberapa alternatif ketersediaan bahan baku yang tersedia di lokasi penelitian. Penentuan bahan baku unggulan menggunakan pendekatan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Terdapat enam bahan baku potensian untuk produksi bioetanol di Provinsi Lampung yakni, (A). Ubi kayu, (B). Tebu, (C). Jagung, (D). Ubi jalar, (E). Sorghum dan (F). Nira Aren Hasil analisis disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Perhitungan MPE Untuk Penentuan Bahan Baku Unggulan Prioritas Bahan Baku Unggulan 1 Bahan Baku Unggulan 2 Bahan Baku Unggulan 3 Bahan Baku Unggulan 4 Bahan Baku Unggulan 5 Bahan Baku Unggulan 6
Alternatif Bahan Baku Terpilih Ubi Kayu Tebu Jagung Ubi Jalar Nira Aren Sorgum manis
Nilai MPE 601.80 425.78 425.19 184.89 145.76 144.38
Berdasarkan hasil perhitungan di atas (Tabel 1) diperoleh enam alternatif bahan baku untuk pengembangan agroindustri bioetanol di Provinsi Lampung, urutan enam pilihan bahan baku yakni: (1) Ubi kayu dengan nilai MPE 601.80 ; (2) Tebu, nilai MPE 425.78; (3) Jagung, nilai MPE 425.19; (4) Ubi Jalar, nilai MPE 184.89; (5) Nira Aren. Nilai MPE 145.76 dan (6) Sorgum Manis nilai MPE 144.38. Mengingat ubi kayu 83
memiliki nilai MPE yang tertinggi, maka strategi pengembangan agroindustri bioetanol yang dikaji selanjutnya adalah yang berdasarkan bahan baku ubikayu. Pengembangan Agroindustri Bioetanol di Provinsi Lampung Kajian elemen-elemen pengembangan agroindustri bioetanol di Provinsi Lampung dengan menggunakan metode analisis ISM memperoleh 4 (empat) elemen kunci pengembangan agroindustri bioetanol, yaitu (1) elemen pendukung pengembangan, (2) elemen penghambat pengembangan ; (3) elemen pelaku pengembangan; dan (4) elemen kebutuhan pengembangan. Hasil analisis ISM-VAXO terhadap keempat elemen pengembangan, diperoleh hasil sebagai berikut. 1.
Elemen pendukung pengembangan agroindustri bioetanol
Hasil ISM-VAXO menunjukan struktur hirarki hubungan antar subelemen pendukung terdiri dari 5 level (Gambar 2) dengan asumsi hubungannya bahwa sub elemen pendukung yang satu mempengaruhi manfaat sub-elemen pendukung yang lain. Hirarki model mengartikan bahwa sub elemen pada satu level didukung oleh terpenuhinya subelemen pada level dibawahnya. Hasilnya menunjukan kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk bahan baku industri bioetanol di Provinsi Lampung (P2), sarana dan prasaran produksi pendukung (P3), dan Dukungan pemerintah dalam pengembangan agroindustri bioetanol (P4) sebagai elemen kunci pendukung pengembangan agroindustri bioetanol di Provinsi Lampung yang menempati level 5, dengan total DP terbesar yakni 14. Keluaran ISM-VAXO untuk klasifikasi sub elemen pendukung berdasarkan tingkat driver power (DP) dan tingkat dependency (D) (gambar 3), menunjukan bahwa tidak ada sub elem pendukung pengembangan yang tidak berkaitan dengan sistem (sektor 1 Autonomous =0), dan tidak ada hubungan antar peubah pada sektor ini yang tidak stabil (sektor 3 linkage ) Sub elemen P1,P6,P7,P9,P13 dan P14 berada pada sektor dua (Dependent), peubah pada sektor ini sangat tergantung dari input dan tindakan yang diberikan terhadap peubah dari independen dan terutama linkage dan P2,P3,P4,P5,P10,P11 dan P12 berada pada sektor 4 Independent elemen pada sektor ini memiliki daya dorong yang tinggi dengan tingkat ketergantungan yang rendah peubah pada sektor ini disebut sebagai beubah bebas.
84
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
1)
Level 1
2) 3) 4)
Level 2 5) 6)
Level 3
7) 8) 9)
Level 4
10) 11) 12)
Level 5 13) 14)
Ketersediaan bahan baku untuk industri bioetanol di Provinsi lampung (P-1) Kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk bahan baku di Provinsi Lampung (P-2) Sarana dan prasarana produksi mendukung (P-3) Dukungan pemerintah dalam pengembangan agroindustri bioetanol (P-4) Kemampuan masyarakat dalam menerima inovasi baru (P-5) Sifat kepemilikan lahan pertanian sebagai petani pemilik lahan (P-6) Motivasi Petani (P-7) Ketersediaan teknologi proses (P-8) Peningkatan kesejahteraan masyarakat dari nilai tambah yang diperoleh dari pengembangan agro industri bioetanol (P-9) Agroindustri bioetanol skala pabrik dapat dikembangkan di Provinsi Lampung (P-10) Penunjukan Provinsi Lampung sebagai lumbung bahan bakar nabati nasional (P-11) Peningkatan permintaan BBN (Bahan Bakar Nabati), khususnya bioetanol yang diprediksi akan terus meningkat (P-12) Peluang peningkatan pendapatan daerah di sektor pertanian (P-13) Potensi pasar lokal, regional dan global (P-14)
Gambar 2. Struktur hirarki sub-elemen Pendukung pengembangan
DAYA
DORONG
2, 3, 4
Independen 0
1
2
3
4
5
Autonomous
6
15 14 13 12 Linkage 11 5, 10, 11, 12 10 9 8 7 1 7 6 8 9 10 11 6, 12 7, 9 13 5 4 Dependent 3 2 1 0
14
15
8, 13, 14
KETERGANTUNGAN
Gambar 3. Diagram klasifikasi sub-elemen pendukung pengembangan
85
2.
Elemen penghambat sistem pengembangan
Matriks SSIM-VAXO (elemen penghambat) ditranformasi menjadi matrik RM. Klasifikasi sub-elemen dilakukan berdasarkan tingkat driver power dan dependence , dan penyusunan hirarki struktural berdasarkan rangking sub-elemen (Gambar 4 dan 5). Sesuai dengan asumbi hubungannya bahwa sub-elemen penghambat yang satu menyebabkan sub-elemen penghambat yang lain, maka hirarki menunjukkan bahwa sub-elemen pada level ditentukan oleh terpenuhinya pada sub elemen pada level dibawahnya. Hasil ISM-VAXO menunjukan kedudukan subelemen keterbatasan modal bagi pengembangan dioetanol skala kecil (K1), produktivitas bahan baku rendah (K-2) dan kontinuitas bahan baku tidak terjamin (K-9) menempati level tertinggi dengan total nilai DP terbesar yakni 14, sehingga ke tiga sub-elemen tersebut dinyatakan sebagai sub-elemen kunci penghambat pengembangan agroindustri bioetanol di Provinsi Lampung.
Level 1
Level 2
Level 3
Level 4
Level 5
Level 6
1. Keterbatasan modal bagi pengembangan bioetanol skala kecil (K-1) 2 Produktivitas bahan baku rendah (K-2) 3. Biaya produksi masih tinggi untuk skala industri kecil (K-3) 4. Harga bioetanol per liter berada di atas harga BBM subsidi (K-4) 5. Keterbatasan sumber daya manusia dalam penguasaan teknologi (K-5) 6. Minimnya sosialiasi penggunaan bioetanol yang ahli di bidang agroindustri bioetanol (K-6) 7. Masih Terbatasnya Sumber daya manusia yang ahli di bidang agroindustri bioetanol (K-7) 8. Bahan baku bersaing dengan industri pangan (K8) 9. Kontinuitas bahan baku tidak terjamin (K-9) 10. Hambatan kelembagaan (perijinan, birokrasi) (K10) 11. Hambatan perdagangan internasional (K-11) 12. Pesaing internasional yang telah lebih dahulu mengembangkan bioetanol (K-12) 13. Kekuatan pesaing pada basis bahan baku yang sama (K-13) 14. Belum adanya jaminan harga bioetanol yang stabil (K-14)
Gambar 4. Struktur hirarki sub-elemen Penghambat pengembangan
86
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Hasil klasifikasi menunjukan bahwa tidak ada sub-elemen penghambat yang tidak terkait dengan sistem (sektor Autonomous =0), dan tidak ada hubungan antar peubah pada sektor ini yang tidak stabil (sektor 3 linkage). Sub-elemen keterbatasan sumberdaya manusia dalam penguasaan teknologi (K-5), minimnya sosialisasi penggunaan penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif untuk kendaraan (K-6), masih terbatasnya sumber daya manusia yang ahli di bidang agroindustri bioetanol (K-7), adanya hambatan perdagangan internasional (K-11), persaingan internasional yang telah lebih dahulu mengembangkan bioetanol (K-12), kekuatan pesaing pada basis bahan baku yang sama dan belum adanya jaminan harga bioetanol (K-14) berada pada sektor dua, peubah pada sektor ini sangat tergantung dari input dan tindakan yang diberikan terhadap peubah dari independen dan terutama linkage. dan (K1,K2,K9,K3,K4,K8 dan K10) berada pada sektor 4 Independent elemen pada sektor ini memiliki daya dorong yang tinggi dengan tingkat ketergantungan yang rendah peubah pada sektor ini disebut sebagai beubah bebas.
D A Y A D O R O N G
1, 2, 9
Independen
0
1
2
3
Autonomous
4
5
15 14 13 12 11 3, 4, 8, 10 10 Linkage 9 8 7 5 6 76 8 9 6 10 11 12 13 14 15 5 7, 11, 12, 13 4 3 Dependent 2 14 1 0
KETERGANTUNGAN
Gambar 5. Diagram klasifikasi pengembangan
sub-elemen
penghambat
87
3. Elemen pelaku pengembangan Hirarki struktural (Gambar 6), menunjukan kedudukan sub-elemen Pemerintah Daerah (m5) berada pada level tertinggi dengan total DP terbesar yakni 7, diikuti pelaku industri bioetanol (m3) dan perguruan tinggi (m7) dengan nilai DP 6, Pemerintah Daerah dinyatakan sebagai sub elemen kunci pelaku pengembangan.
Level 1
Level 2
Level 3
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Masyarakat (M-1) Asosiasi Bahan Bakar Nabati (M-2) Pelaku Industri Bioetanol (M-3) Industri terkait bahan pangan (industri gula & tapioka) (M-4) Pemerintah Daerah (M-5) Balai Penelitian (M-6) Perguruan Tinggi (M-7)
Level 4
Level 5 Gambar 6. Struktur Hirarki Antar Pengembangan Agroindustri Lampung
Sub-Elemen Bioetanol di
Pelaku Provinsi
Gambar 7 menampilkan klasifikasi sub elemen berdasarkan tingkat driver power dan dependence. Hasil klasifikasi menunjukan bahwa tidak ada subelemen pelaku pengembangan yang tidak terkait antar elemen (sektor Autonomous = 0). Sub elemen M6,M2 dan M4 masuk pada sektor dependent yang merupakan peubah tidak bebas dan sangat tergantung pada sektor independent dan linkage, dan M5,M3,M7 dan M1 masuk pada sektor 4 Independent, elemen pada sektor ini memiliki daya dorong yang tinggi dengan tingkat ketergantungan yang rendah peubah pada sektor ini disebut sebagai beubah bebas.
88
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
D A Y A D O R O N G
8 7
5
3, 7 6
Independent
4 0
1
Linkage
5 2
3
3 4
1 56
6
2
Autonomous
1
7
8 2, 4
Dependent
0
KETERGANTUNGAN Gambar 7. Matriks Driver Power-Dependence Elemen Pelaku Pengembangan Agroindustri Bioetanol di Provinsi Lampung 4.
Elemen Kebutuhan Sistem Pengembangan.
Hirarki struktural kebutuhan pengembangan (gambar8) menunjukan sub elemen intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian (U-3), berada pada level tertinggi dengan total nilai DP terbesar yakni 8 dan sehingga dinyatakan sebagai sub elemen kunci kebutuhan pengembangan agroindustri bioetanol di provinsi Lampung, diikuti peningkatan sumberdaya teknologi (U-6) dan subsidi dan kemudahan dari pemerintah (U-8) dengan nilai DP 7. Level 1 Level 2 Level 3
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Level 4
Peningkatan kualitas sumber daya manusia (U-1) Peningkatan infrastruktur (U-2) Intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian (U-3) Kebijakan penetapan ekspor (U-4) Jaminan keamanan investasi (U-5) Peningkatan sumber daya teknologi (U-6) Jaminan pasar bioetanol dan kestabilan harga bioetanol (U-7) Subsidi, insentif dan kemudahan-kemudahan dari pemerintah (U-8)
Level 5 Gambar 8. Struktur hirarki sub-elemen kebutuhan pengembangan
89
Gambar 9 menunjukan bahwa tidak ada sub-elemen kebutuhan yang tidak terkait dengan sistem (sektor Autonomous =0), juga tidak ada sub elemen yang sifat hubungannya tidak stabil (sektor Linkage =0). Pada umumnya sub elemen tersebar pada sektor Independent ( U3,U6 dan U8),dan sebagian lainnya pada sektor Dependent ( U2,U5,U4 dan U7) yang sifatnya sangat tergantung dari input dan tindakan yang diberikan pada pengembangan dan peubah bebas. D A Y A
9 3
8 6, 8
7
Linkage
6
Independent
5 1
D O R O N G
0
1
2
3
4
4 3 2
Autonomous
1
5
6
2, 5
7
8
9 4, 7
Dependent
0
KETERGANTUNGAN Gambar 9. Diagram klasifikasi sub–elemen pengembangan agroindustri Bioetanol Lampung
di
kebutuhan Provinsi
Tabel 2. Sub – Elemen Kunci Sistem Pengembangan Agroindustri bioetanol di Provinsi Lampung Nama Elemen Pendukung Pengembangan
Penghambat Pengembangan
Pelaku Pengembangan Kebutuhan Pengembangan
90
Sub Elemen Kunci Kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk bahan baku industri bioetanol di Provinsi Lampung (P2), Sarana dan prasarana produksi pendukung (P3), Dukungan pemerintah dalam pengembangan agroindustri bioetanol(P-4), Kemampuan masyarakat dalam menerima inovasi baru (P5), Agroindustri bioetanol skala pabrik dapat dikembangkan (P-10), Penunjukan Provinsi Lampung sebagai lumbung bahan bakar nabati nasional (P-11) dan peningkatan permintaan BBN, khususnya yang diprediksi akan terus meningkat (P-12) Keterbatasan modal bagi pengembangan bioetanol skala kecil (K-1), Produktivitas bahan baku rendah (K-2),Kontinuitas bahan baku yang tidak terjamin (K-9), Biaya produksi masih tinggi untuk skala industri kecil (K-3), Harga bioetanol per liter berada diatas harga BBM subsidi (K-4), Bahan baku bersaing dengan industri pangan (K-8) dan Hambatan Kelembagaan (K-10) Pemerintah Daerah (M-5), Pelaku Industri Bioetanol (M-3) dan Perguruan tinggi (M-7) Intensifikasi dan Ekstensifikasi pertanian (U-3), Peningkatan sumber daya teknologi (U-6), Subsidi dan kemudahan – kemudahan dari pemerintah (U-8) dan Peningkatan kualitas sumberdaya manusia (U-1)
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Hasil analisis faktor kunci dengan ISM akan di jadikan sebagai landasan dalam analisis Internal dan eksternal dalam menentukan strategi pengembangan agroindustri bioetanol di provinsi Lampung. Dari hasil analisis ISM terlihat bahwa pengembangan agroindustri bioetanol di provinsi Lampung sangat terkait dengan Kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk bahan baku industri bioetanol di Provinsi Lampung , Sarana dan prasarana produksi pendukung, Dukungan pemerintah dalam pengembangan agroindustri bioetanol, Kemampuan masyarakat dalam menerima inovasi baru, Agroindustri bioetanol skala pabrik dapat dikembangkan, Penunjukan Provinsi Lampung sebagai lumbung bahan bakar nabati nasional dan peningkatan permintaan BBN (Bahan Bakar Nabati), khususnya yang diprediksi akan terus meningkat, dan dengan ketersediaan bahan baku, teknologi, pasar tujuan dan dukungan finansial. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Analisis unggulan bahan baku menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) menunjukkan bahwa tanaman ubi kayu menempati unggulan teratas. 2.
ISM-VAXO maka didapatkan Sub – Elemen Kunci Sistem Pengembangan Agroindustri bioetanol di Provinsi Lampung sebagai berikut: 1). Elemen pendukung pengembangan, dengan sub elemen kunci pendukung pengembangannya adalah: kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk
bahan baku industri bioetanol di Provinsi Lampung (P2), sarana dan prasaran produksi pendukung (P3), dan Dukungan pemerintah dalam pengembangan agroindustri bioetanol (P4) sebagai elemen kunci pendukung pengembangan agroindustri bioetanol di Provinsi Lampung. 2) Elemen penghambat pengembangan agroindustri bioetanol , dengan sub elemen kunci penghambat pengembangan adalah keterbatasan modal bagi pengembangan dioetanol skala kecil (K-1), produktivitas bahan baku rendah (K-2) dan kontinuitas bahan baku tidak terjamin (K-9). 3) Elemen Pelaku pengembangan dengan sub elemen kunci pelaku pengembangan adalah : Pemerintah Daerah (m5) berada pada level tertinggi, diikuti pelaku industri bioetanol (m3) dan perguruan tinggi (m7). 4) Elemen Kebutuhan Pengembangan dengan sub elemen kuncikebutuhan pengembangan adalah sebagai berikut:
Intensifikasi dan ekstensifikasi (U3), Peningkatan sumberdaya teknologi (U6) dan Subsidi dan kemudahan kemudahan dari pemerintah ( U8)
91
Saran 1. 2. 3.
Pemerintah Provinsi Lampung harus lebih membina kelompok tani yang sudah ada. Menerapkan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, khususnya untuk pertanian ubi kayu Memberikan pelatihan yang terpadu bagi industri bioetanol dan memberikan penyuluhan tentang mutu bioetanol
DAFTAR PUSTAKA BPS. 2008. Provinsi Lampung Dalam Angka. 2008. Bandar Lampung: CV. Lima Saudara. Bustaman S. 2008. Strategi Pengembangan Bio-etanol Berbasis Sagu di Maluku. Perspektif Vol. 7 No. 2 / Desember 2008. Hlm 65 – 79. Gumbira-Sa’id E. 2007. Bisnis Global Bioenergi Versus Ketahanan Pangan dan Energi Nasional Tantangan dalam Mengisi Visi Indonesia 2030. Materi Orasi Ilmiah pada Wisuda ke-7 Universitas Paramadina Jakarta, Minggu 9 September 2007. Hassanudin, U. 2006. Strategi Pengembangan Agroindustri Ubi Kayu di Propinsi Lampung. Laporan Pengabdian kepada Masyarakat. LPM Unila. Kurniawan , Y, A. Susmiadi dan A.Toharisman. 2005. Potensi Pengembangan Industri Gula Sebagai Penghasil Energi di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), Pasuruan. Machfud. 2001. Rekayasa Model Penunjang Keputusan Kelompok dengan Fuzzy-logic untuk Sistem Pengembangan Agroindustri Minyak Atsiri [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta,2004. Nurwidyastuti, I. 2006. Teknologi Proses Produksi Bio-Ethanol. Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak. Saxena, J.P. et al, 1992. Hierarchy and Classification of Program Plan Element Using Interpretative Struktural Modelling. Systems Practice, Vol 12 (6), 651 : 670.
92
PENGUKURAN EFISIENSI KINERJA DENGAN METODE STOCHASTIC FRONTIER APPROACH PADA PERBANKAN SYARIAH Ivan Gumilar SP5, Siti Komariah6
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk untuk mengukur dan menganalisis tingkat efisiensi pada Perbankan Syariah di Indonesia dengan menggunakan Stochastic Frontier Approach (SFA) melalui pendekatan Alternative Profit Efficiency, dimana efisiensi perbankan syariah pada dasarnya adalah bagi-hasil yang dipengaruhi oleh fungsi 2 variabel input yaitu Dana Pihak Ketiga, Modal disetor dan 3 variabel output seperti Penempatan pada Bank Indonesia, Penempatan pada Bank Lain, Pembiayaan yang diberikan. Menggunakan metode desktiptif untuk 6 Bank Syariah di Indonesia saat ini beroperasi sebagai sampel selama rentang waktu 32 bulan (2007-2009) didapatkan bahwa secara umum industri perbankan syariah di Indonesia selama periode yang diteliti mengalami peningkatan efisiensi. Kata kunci: Efisiensi Kinerja, Stochastic Frontier Approach.
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah perkembangan perbankan syariah di Indonesia secara formal dimulai dengan Lokakarya MUI mengenai perbankan pada tahun 1990, yang kemudian diikuti dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan yang mengakomodasi kegiatan operasional perbankan dengan prinsip bagi-hasil (Maghfirah;2005). Namun selama periode 1992-1998 menurut Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia (2009) hanya terdapat satu Bank Umum Syariah dan beberapa Bank Perkreditan Rakyat Syariah sebagai pelaku industri perbankan 5
Dosen Jurusan Manajemen, Fakultas Bisnis dan Manajemen, Universitas Widyatama Bandung 6 Dosen Jurusan Manajemen, Fakultas Bisnis dan Manajemen, Universitas Widyatama Bandung
syariah. Hal ini disebabkan selama enam tahun beroperasi, praktis tidak ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mendukung sistem beroperasinya Perbankan Syariah. Ketiadaan perangkat legalitas pendukung ini mengharuskan perbankan Syariah menyesuaikan produk-produknya seperti produk bank konvensional, akibatnya ciri-ciri syariah menjadi tersamar seperti layaknya bank konvensional, selain itu mengenai rendahnya pengetahuan dan kesalahpahaman masyarakat mengenai bank syariah terutama mengenai riba dengan bagi-hasil, belum tersedianya ketentuan pelaksana terhadap operasional bank syariah, terbatasnya jaringan kantor perbankan syariah, dan kurangnya SDM khususnya keahlian dalam bidang perbankan syariah (ekonomi Islam). Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah melakukan langkahlangkah strategis dalam pengembangan perbankan syariah yaitu dengan pemberian izin kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang Unit Usaha Syariah (UUS) atau konversi dari sebuah bank konvensional menjadi bank syariah (Atmawardhana;2006). Langkah strategis ini menurut Hatifuddin (2004) merupakan respon dan inisiatif dari perubahan Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 sebagai pengganti UU No. 7 tahun 1992, yang secara tegas Sistem Perbankan Syariah ditempatkan sebagai bagian dari sistim perbankan nasional. Pada tahun 2008 Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008, diharapkan akan memberikan dasar hukum yang lebih kokoh dan peluang yang lebih besar dalam pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia sehingga setara dan sejajar dengan bank konvensional. Dampak UU Perbankan Syariah memberikan hal yang positif, terbukti hingga akhir tahun 2009, pertumbuhan dana pihak ketiga perbankan syariah sebesar 41,7%, dengan angka Rp.52,3 triliun. Angka pertumbuhan 41,7% ini merupakan yang tertinggi sejak 2005. Begitupula jika dibandingkan dengan perbankan konvensional yang hanya tumbuh 19,6%. Tetapi market share perbankan syariah terhadap bank konvensional masih 6,4% (Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia;2009). Lebih lanjut menurut Biro Perbankan Syariah BI menjelaskan bahwa perkembangan jumlah kantor bank syariah hingga akhir 2009 antara lain 6 Bank Umum Syariah, 138 BPR Syariah. Dari sisi institusional penyebaran jaringan kantor perbankan syariah juga mengalami pertumbuhan pesat. Pada tahun 2009, outlet pelayanan mengalami penambahan sebanyak 199 kantor. Dengan demikian, kini bank syariah telah memiliki sekitar 3134 jaringan, dengan rincian 6 kantor Pusat Bank Umum Syariah, 25 kantor UUS (Unit Usaha Syariah), 1223 Kantor
94
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Cabang, 1742 office channeling (layanan bank syariah di bank konvensional) dan 138 BPRS, hal ini terlihat pada gambar 1. 1990
1992
1998
1999
2000
2001
MUI Workshop
Founding the First Islamic Banking
Allowed Dual Banking System
Monetary Policy based on Islamic Sharia Principles
Issued The Law of Operation and Institution
Founding BPS in Central Bank
The Participants agree to found Islamic • Bank Banking Muamalat Immediately Indonesia found as a first Islamic Bank • Issued Banking Act No.7/1992
• Banking Act No.10/199 8: Central Bank recognize Islamic and Conventio nal Banking • Conventio nal Bank allowed open UUS
Government Law No.10 of 1999: • BI have responsible on development and supervisory Islamic Bank • BI determine monetary policy in Islamic Principles BI has research team and Islamic banking arrangement
• BI create and determine the law of Islamic banking institution • Develop PUAS & SWBI
2002-2009 Progress and Launch Islamic Banking
• The Era of progress Islamic Banking in Indonesia • Many variety and Innovation of Islamic Banking Products
Gambar 1. Sejarah Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia Sumber: Hasbi, 2010 Data Bank Indonesia (2009) menunjukkan jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp.46,9 triliun, hanya tumbuh 22,8%, lebih rendah dari tahun 2008 sebesar 36,9%. Hal ini dikarenakan melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu pertumbuhan Dana Pihak Ketiga perbankan syariah 41,7% yaitu 52,3 triliun. FDR (Financing to Deposit Rasio sebesar 89.7%, ROA perbankan syariah mencapai 1,5%, ROE mencapai 26,1%, CAR 10,77% dan NPF 4,0%. Terlihat bahwa dari laporan keuangan Perbankan syariah tahun 2009 memiliki nilai ratio yang baik, Pembiayaan tumbuh diatas 20%, FDR dibawah 100%, CAR dan NPF diatas ketentuan. Baiknya kinerja perbankan syariah ini dikarenakan dilakukannya sistem manajemen tata kelola dan melaksanakan prinsip kehati-hatian serta mengimplementasikan manajemen risiko dengan baik (Susilo;2000).
95
Menyadari bahwa pertumbuhan perbankan syariah nasional yang relatif cepat setelah dikeluarkannya peraturan yang mengatur tentang perbankan syariah, maka Biro Perbankan Syariah-Bank Indonesia sejak tahun 2001 telah melakukan kajian dan menyusun Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia untuk periode 2002-2011. Pada cetak biru ini terlihat jelas bahwa perbankan syariah harus memegang teguh prinsip syariah, prinsip kehati-hatian, memberikan manfaat bagi masyarakat dan mengembangkan sistem perbankan yang kompetitif. Untuk menciptakan hal-hal tadi salah satu tugas berat bagi perbankan syariah adalah harus melakukan efisiensi. Efisiensi dalam Atmawardhana (2006) merupakan salah satu parameter kinerja yang secara teoritis merupakan salah satu kinerja yang mendasari seluruh kinerja sebuah organisasi. Kemampuan menghasilkan output yang maksimal dengan input yang ada merupakan ukuran kinerja yang diharapkan. Pada saat pengukuran efisiensi menurut Astiyah dan Jardine (2006) bank dihadapkan pada kondisi bagaimana mendapatkan tingkat output yang optimal dengan tingkat input yang ada, atau mendapatkan tingkat input yang minimum dengan tingkat output tertentu. Dengan diidentifikasikannya alokasi input dan output, dapat dianalisa lebih jauh untuk melihat penyebab ketidakefisiensian (Iswardono dan Darmawan;2000). Menurut mereka efisiensi dalam dunia perbankan adalah salah satu parameter kinerja yang cukup populer, banyak digunakan karena merupakan jawaban atas kesulitan-kesulitan dalam menghitung ukuran-ukuran kinerja perbankan. Sering kali, perhitungan tingkat keuntungan menunjukkan kinerja yang baik, tidak masuk dalam kriteria “sehat” atau berprestasi dari sisi peraturan. Sebagaimana diketahui, industri perbankan adalah industri yang paling banyak diatur oleh peraturan-peraturan yang sekaligus menjadi ukuran kinerja dunia perbankan (Sunendar;2005, Sudarsono;2003). Capital Adequacy Ratio (CAR), Reserve Requirement, Legal Lending Limit dan kredibilitas para pengelola bank adalah contoh peraturan-peraturan yang sekaligus menjadi kriteria kinerja di dunia perbankan. Selain itu menurut Piesse (2000), Habib dan Alexander (2000), Muhammad (2004) pengukuran efisiensi perbankan dapat dilakukan dengan 3 pendekatan lainnya yaitu; Data Envelopment Analysis (DEA), Stochastic Frontier Approach (SFA), dan Distribution Free Approach (DFA).
96
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk menganalisa : 1. Apakah Dana Pihak Ketiga, Modal Disetor, Penempatan pada Bank Indonesia, Penempatan pada Bank Lain, dan pembiayaan yang diberikan berpengaruh terhadap efisiensi perbankan syariah di Indonesia selama ini ? 2. Faktor apa yang paling berpengaruh terhadap efisiensi tersebut ? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mengukur tingkat efisiensi pada Perbankan Syariah di Indonesia. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Bagi Perbankan Syariah, Bank Indonesia dan Pemerintah adalah memberikan informasi tentang kinerja khususnya tingkat efisiensi Bank Syariah di Indonesia 2.
Bagi Peneliti dan peneliti selanjutnya, dengan penelitian ini diharapkan menjadi wahana pengetahuan dan pengalaman mengenai perbankan syariah dan diharapkan penelitian ini menjadi pioner untuk penelitian selanjutnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perbankan Syariah Setelah diterbitkannya Undang-Undang Perbankan No.10 tahun 1998 yang secara tegas menempatkan sistem perbankan syariah sebagai bagian dari sistem perbankan nasional barulah terdapat perkembangan pada perbankan syariah di Indonesia, terlebih dengan diterbitkannya Undang-Undang Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008, diharapkan akan memberikan dasar hukum yang lebih kokoh dan peluang yang lebih besar dalam pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia sehingga setara dan sejajar dengan bank konvensional. Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan prinsip-prinsip syariah. (Sudarsono; 2003) Selain itu Susilo(2000) juga mendefinisikan bahwa 97
Bank Syariah adalah bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah yaitu jual-beli dan bagi hasil. Antonio dan Perwaatmadja membedakan bank syariah menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan Bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam. Bank Islam adalah (1) bank yang beropeasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam; (2) adalah bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al Quran dan Hadis. Sementara bank yang beroperasi sesuai prinsip syariah Islam adalah bank yang dalam beroperasinya itu mengikuti ketentuanketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam. Dalam tata cara bermuamalat ini menghindari praktek yang dikhawatirkan mengandung unsur riba dan diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi-hasil dan pembiayaan perdagangan. (Muhammad;2005) Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. Prinsip utama yang digunakan dalam kegiatan perbankan syariah adalah: 1. Larangan riba dalam berbagai bentuk transaksi. 2. Melakukan kegiatan usaha perdagangan berdasarkan perolehan keuntungan yang sah. 3. Memberikan zakat. Oleh karena dalam operasional perbankan syariah tidak menerapkan sistem bunga seperti bank konvensional, namun menerapkan sistem bagi-hasil. Hal ini sesuai dengan fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 yang menggolongkan bunga bank termasuk riba, dan menurut AlQur`an riba adalah haram. Pernyataan ini ditegaskan oleh ayat-ayat dalam Al-Qur`an antara lain sebagai berikut: Ajaran yang mendasar dalam islam mengenai perdagangan yang dijelaskan dalam Al Qur'an and Hadith as follows:
• َ ََأ َ ِ َ ْ َ ُْ َأ ْ َاَ ُْ َْ ُآُ ا َ ءَا َُ ا ا ِ ِ َْ ِ ”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (An-Nisa: 29)
98
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
• ُِ ا ْ َ َ !ِ " ِ َ#
ا: َ $ َ ل َأ َ َ& َ ْ ك ا َ (َ َ &(َا َم َو َ ْ ا ”Perbaikilah dalam mencari rezeki, dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram. (HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi dari Jabir bin Abdullah radhiyallahuanhu.” (Al-Albani, 6/2607)
• ٍ ْ , ُ ِ َ َ ِ َ ِ ( َْ هَدُوا ا/ َ ِْ ْ َ0 َ ت ٍ َ2 َ ْ3 / ِ ِهْ َ ُْ ُأ42 5 َ ِ ْ َو0 َ ِ ِ6 َ 7 ِ ا ِ(ًا9 َآ. ُ ِ ِه$ ْ (َا َوَأ2 ْ4:َ ْ ُ< ُ;ُ ا َو0 َ ِْ ِل َوَأ ْآ َ س َأ ْ َا ِ ا ِ ِ َْ ِ َ;ْ4>َ 0 ْ َوَأ َ ِ(ِ َْ ِ ُْ ْ ِ ً َا0 َ ًَِأ ”Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (An-Nisa:160-161)
• َ َ ْ َ ُْ َأ ْ َاَ ُْ َْ ُآُ ا َو ِ ِ َْ ِ ”Dan jangan kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang batil.” (Al-Baqarah: 188)
• َْ ? َو ِ > َ 7 َ َ@ْ اA ْ َ <ُ َ ً(َ B ْ َ . <ُ :ْ ِْ َو َ(ْ ُزD ُ ْ / َ َ " ُ E ِ >َ & ْ َ َْ َ َ> َ آْ َو0 َ Fَ 7 ِ ُ ُ< َ ُ َ اE ْ/ َ ”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangkasangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (Ath-Thalaq:2-3) Untuk menghindari perbuatan yang dilarang dalam Al-Qur`an maupun Al-Hadis, maka bank-bank yang menganut prinsip syariah menerapkan prinsip bagi-hasil yang sesuai dengan syariah, inilah yang membedakan dengan bank konvensional seperti pada Tabel 1.
99
Tabel 1. Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah Conventional Banks 1. The functions and operating modes of conventional banks are based on fully manmade principles. 2. The investor is assured of a predetermined rate of interest.
Islamic Banks 1. The functions and operating modes of Islamic banks are based on the principles of Islamic Shariah. 2. In contrast, it promotes risk sharing between provider of capital (investor) and the user of funds (entrepreneur).
3. It aims at maximizing profit without any restriction.
3. It also aims at maximizing profit but subject to Shariah restrictions.
4. It does not deal with Zakat.
4. In the modern Islamic banking system, it has become one of the service-oriented functions of the Islamic banks to be a Zakat Collection Centre and they also pay out their Zakat.
5. Lending money and getting it back with compounding interest is the fundamental function of the conventional banks.
5. Participation in partnership business is the fundamental function of the Islamic banks. So we have to understand our customer's business very well.
6. It can charge additional money (penalty and compounded interest) in case of defaulters.
6. The Islamic banks have no provision to charge any extra money from the defaulters. Only small amount of compensation and these proceeds is given to charity. Rebates are give for early settlement at the Bank's discretion.
7. Very often it results in the bank's own interest becoming prominent. It makes no effort to ensure growth with equity.
7.
8. For interest-based commercial banks, borrowing from the money market is relatively easier.
8. For the Islamic banks, it must be based on a Shariah approved underlying transaction.
9. Since income from the advances is fixed, it gives little importance to developing expertise in project appraisal and evaluations.
9. Since it shares profit and loss, the Islamic banks pay greater attention to developing project appraisal and evaluations.
10. The conventional banks give greater emphasis on credit-worthiness of the clients.
10. The Islamic banks, on the other hand, give greater emphasis on the viability of the projects.
11. The status of a conventional bank, in relation to its clients, is that of creditor and debtors.
11. The status of Islamic bank in relation to its clients is that of partners, investors and trader, buyer and seller.
100
It gives due importance to the public interest. Its ultimate aim is to ensure growth with equity.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Conventional Banks 12. A conventional bank has to guarantee all its deposits.
Islamic Banks 12. Islamic bank can only guarantee deposits for deposit account, which is based on the principle of al-wadiah, thus the depositors are guaranteed repayment of their funds, however if the account is based on the mudarabah concept, client have to share in a loss position..
Sumber: Zaharuddin;2007 2.2 Efisiensi Efisiensi didefinisikan sebagai perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (input), atau jumlah yang dihasilkan dari satu input yang dipergunakan (Iswardono;2000). Efisiensi juga bisa diartikan sebagai rasio antara output dengan input. Ada tiga faktor yang menyebabkan efisiensi, yaitu (1) apabila dengan input yang sama dapat menghasilkan output yang lebih besar, (2) input yang lebih kecil dapat menghasilkan output yang sama, dan (3) dengan input yang lebih besar dapat menghasilkan output yang lebih besar lagi. (Atmawardhana;2006) Astiyah dan Jardin (2006) menyebutkan ada empat faktor yang menyebabkan efisiensi dalam lembaga keuangan. Faktor utama adalah efisiensi karena arbitrase informasi, kedua efisiensi karena ketepatan penilaian asset-asetnya, ketiga adalah efisiensi karena lembaga keuangan bank mampu mengantisipasi resiko yang muncul, dan yang keempat adalah efisiensi fungsional, yaitu berkaitan dengan administrasi dan mekanisme pembayaran yang dilakukan oleh sebuah lembaga keuangan. Termasuk didalam efisiensi fungsional ini adalah risk pooling, general insurance, administrasi, dan mobilisasi dana masyarakat. (Sudarsono;2003) Efisiensi bank merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisa performance suatu bank dan juga sebagai sarana untuk lebih meningkatkan efektifitas kebijakan moneter. Efisiensi dapat dilihat dari 2 sisi, yaitu dari sisi biaya (cost efficiency) dan keuntungan (profit efficiency). Profit efficiency sendiri dibedakan menjadi 2 yaitu Standard profit efficiency dan Alternative profit efficiency Secara umum terdapat 3 pendekatan konsep dasar model efisiensi sektor finansial (Habib;2000) termasuk industri perbankan yaitu Cost Efficiency, Standard Profit Efficiency, dan Alternatif Profit Efficiency.
101
(1) Cost Efficiency pada dasarnya mengukur tingkat biaya suatu bank dibandingkan dengan bank yang memiliki biaya operasi terbaik (best practice bank`s cost) yang menghasilkan output yang sama dengan teknologi yang sama. Rasio cost efficiency dari suatu bank dirumuskan sebagai berikut:
Dimana Cn adalah biaya aktual dari bank n. Cost efficiency ratio (CEFF) adalah proporsi dari biaya atau resources yang digunakan secara efisien. Misalnya cost efficiency ratio suatu bank sebesar 80%, hal ini menunjukkan bahwa bank tersebut beroperasi secara efisien sebesar 80% atau terdapat 20 % biaya yang terbuang. (2) Standard Profit Efficiency pada dasarnya mengukur tingkat efisiensi suatu bank didasarkan pada kemampuan bank untuk menghasilkan profit maksimal pada tingkat harga output tertentu dibandingkan dengan tingkat keuntungan bank yang beroperasi terbaik (best practice bank) dalam sampel. Model ini seringkali dikaitkan dengan suatu kondisi pasar persaingan sempurna dimana harga input dan output ditentukan oleh pasar. Dengan kata lain tidak satupun bank yang dapat menentukan harga input maupun harga output sehingga bank bertindak sebagai pricetaking agent. Karena dalam model ini terkait bentuk pasar persaingan sempurna (prefect market competition) maka hal ini mengindikasikan bahwa maksimum profit hanya merupakan fungsi dari eksogen harga output. Sehubungan dengan pendekatan cost efficiency, maka fungsi standard profit dalam natural logarithm adalah seperti berikut:
Log π = ƒ (w,y) + log u + log v Maka standard profit efficiency untuk bank menjadi:
Dimana ̟n adalah profit pada bank Z. standard profit efficiency merupakan rasio dari keuntungan yang dapat diperoleh suatu bank, misalnya bank Z dibandingkan dengan keuntungan dari bank yang paling efisien. Misalnya dari perhitungan diatas didapatkan standard profit efficiency sebesar 80%, hal ini berarti bahwa bank Z kehilangan 20% dari keuntungan yang seharusnya dapat diperoleh kalau beroperasi secara efisien. Atau dengan kata lain terdapat inefisiensi sebesar 20%. 102
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
(3) Alternative Profit Efficiency seringkali dikaitkan dengan suatu kondisi pasar persaingan tidak sempurna (imperfect market competition), dimana bank diasumsikan memiliki market power dalam menentukan harga output namun tidak pada harga input. Karena perbedaan jenis pasar tersebut maka perbedaan yang paling menonjol antara kedua model ini (standard profit efficiency dan alternative profit efficiency) adalah pada penentuan variabel eksogen didalam pencapaian keuntungan maksimum yaitu tingkat output. Dalam pendekatan ini bank akan memaksimalkan keuntungan dengan memilih harga output (p), jumlah input (x), untuk sejumlah output (y), dan harga input (r) yang telah ditetapkan. Fungsi indirect profit yang sesuai disebut sebagai fungsi indirect profit alternative yang dapat dituliskan sebagai berikut :
Max ̟ = P.Q = ( p, r)( y,− x) Sejalan dengan hal ini, misalkan fungsi alternative profit sebagai berikut:
Log π = ƒ (w,y) + log u + log v Maka alternative profit efficiency dapat dituliskan sebagai berikut:
Terdapat 2 pendekatan untuk menghitung efisiensi jika menggunakan metode parametrik yaitu Stochastic Frontier Approach (SFA) dan Distribution Free Approach (DFA). Metode SFA ini dikembangkan oleh Aigner, Lovell, Schmidt (1977). Pada metode ini, profit dari suatu bank dimodelkan untuk terdeviasi dari profit efficient frontier-nya akibat adanya random noise dan inefisiensi. Fungsi standar Stochastic Profit Frontier memiliki bentuk umum (log) sebagai berikut:
Log πi = ƒ (log Xi, log yi) + ei Dimana : πi Xi Yi ei
= = = =
Total profit bank i Input pada waktu i Output pada waktu i error
Perhitungan efisiensi menurut Habib (2000) dengan menggunakan metode parametrik membutuhkan suatu pendugaan fungsi biaya sebagai frontier untuk mengetahui tingkat efisiensi suatu bank, tetapi sebelum
103
menentukan fungsi biaya yang digunakan, input dan output dari bank harus ditentukan terlebih dahulu seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Sistem dan Prosedur Operasional Syariah Sumber : Muhammad, Sistem & Prosedur Operasional Bank Syariah, 2005:4 Beberapa pendekatan dalam penentuan variabel input dan output dari bank antar lain Intermediary Approach, User-Cost Approach, dan Value Added Approach. (Astiyah dan Jardine A. Husman;2006). Intermediary Approach adalah penentuan variabel input dan variabel output dengan memperhatikan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi. User-Cost Approach adalah penentuan variabel input dan variabel output bank berdasarkan fungsi bank sebagai penentu harga dipasar perbankan, dan Value Added Approach adalah penentuan variabel input dan output bank berdasarkan tujuan bank untuk menghasilkan nilai tambah (keuntungan) yang maksimal. Dalam penelitian ini penentuan variabel input dan outputnya menggunakan pendekatan Value Added Approach yang dilatarbelakangi oleh tujuan bank yaitu selalu meningkatkan efisiesi kinerjanya secara berkesinambungan, Variabel input dan output yang ditentukan berdasarkan Suswadi (2007) adalah sebagai berikut: a. Variabel Input (X) : Dana Pihak Ketiga (DPK), Modal Disetor (MDS). b. Variabel Output (Y) : Penempatan pada Bank Indonesia (PBI), 104
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Penempatan pada bank lain (PBL), Pembiayaan yang diberikan (PD). Dijelaskan bahwa variabel-variabel input pada perbankan syariah terdiri dari (1) Dana pihak pertama adalah berasal dari dana yang berasal dari para pemodal, pemegang saham. (2) Dana pihak kedua adalah dana yang berasal dari pinjaman lembaga keuangan (bank dan bukan bank), pinjaman dari Bank Indonesia. (3) Dana pihak ketiga adalah dana yang berasal dari dana simpanan, tabungan, dan deposito. Setelah input terkumpul di bank, selanjutnya bank syariah dapat menghasilkan output. Output tersebut berupa penyaluran dana kepada pihak yang membutuhkan dalam bentuk pembiayaan, kredit dan jasa. 2.3 Hipotesis Dalam penelitian ini, Efisiensi perbankan dengan pendekatan alternative profit efficiency, pada dasarnya adalah bagi-hasil yang dipengaruhi oleh fungsi variabel input dan variabel output. Karena metode SFA merupakan fungsi log dari variabel input dan variabel output. Berdasarkan perihal diatas, peneliti melakukan rumusan hipotesa sebagai berikut: H1 : Dana Pihak Ketiga, Modal Disetor, Penempatan pada Bank Indonesia, Penempatan pada Bank Lain, dan Pembiayaan yang Diberikan secara parsial berpengaruh terhadap Efisiensi Perbankan Syariah di Indonesia H2 : Secara simultan Dana Pihak Ketiga, Modal Disetor, Penempatan pada Bank Indonesia, Penempatan pada Bank Lain, dan Pembiayaan yang Diberikan berpengaruh terhadap Efisiensi Perbankan Syariah di Indonesia III. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif yaitu memberikan gambaran umum dan menjelaskan tentang data yang telah diperoleh, dimana gambaran dan penjelasan ini bisa menjadi acuan untuk melihat karakteristik data yang kita peroleh dan diakhiri dengan menarik kesimpulan (Cooper;2009)
105
3.1 Populasi dan Sampel Populasi adalah keseluruhan objek psikologis yang dibatasi oleh kriteria tertentu (Sekaran;2003). Pada penelitian ini populasi ditentukan pada perbankan syariah yang terdaftar pada Bank Indonesia sebagai Bank Sentral sekaligus sebagai pengawas perbankan di Indonesia. Sampel penelitian ditentukan dengan metode purposive sampling, yaitu penentuan sampel dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu (sekaran,2003), adapun yang dijadikan pertimbangan dalam penentuan sampel penelitian ini antara lain: 1.
Bank-bank Syariah yaitu Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Telah menerbitkan laporan keuangan selama 3 tahun berturut-turut secara bulanan dari periode pengamatan 2007-2009 (32 bulan) Bank-bank tersebut tidak merger dalam periode pengamatan.
2. 3.
3.2 Definisi Operasional Tabel 2. Operasionalisasi Variabel Variabel Penelitian
Konsep Variabel
Indikator
Dana Pihak Ketiga (DPK)
Penjumlahan dari Giro Wadiah, Tabungan Mudharabah, dan Deposito Mudharabah
Giro Wadiah Tabungan Mudharabah Deposito Mudharabah
Rupiah (Rp)
Rasio
Modal disetor (MDS)
Modal yang telah efektif diterima bank sebesar nilai nominal saham
Modal disetor Harga Pasar Saham
Rupiah (Rp)
Rasio
Penempatan Pada Bank Indonesia (PBI)
Saldo rekening giro bank syariah dalam rupiah maupun valuta asing di Bank Indonesia.
Giro Wajib Minimum
Rupiah (Rp)
Rasio
Penempatan Pada Bank Lain (PBL)
Penanaman dana pada bank syariah lain baik di dalam maupun di luar negeri dalam bentuk antara lain Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank, deposito mudharabah, tabungan mudharabah, giro
Sertifikat Investasi Mudharabah Deposito Mudharabah Tabungan Mudharabah Giro Wadiah Tabungan Wadiah
Rupiah (Rp)
Rasio
106
Ukuran
Skala
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Variabel Penelitian
Konsep Variabel
Indikator
Ukuran
Skala
wadiah, dan tabungan wadiah yang dimaksud untuk optimalisasi pengelolaan dana. Pembiayaan yang diberikan (PD)
Efisiensi
Penyediaan dana dan/atau tagihan berdasarkan akad udharabah dan/atau musyarakah dan/atau pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip bagi hasil Kemampuan perbankan syariah dalam menghasilkan bagi-hasil dengan input dan output yang telah ditetapkan dan diukur secara relative menurut waktu.
Pembiayaan
BOPO ROA
Rupiah (Rp)
Rasio
Rupiah (Rp)
Rasio
(Suswadi;2007)
3.3 Metode Analisa Data Dalam penelitian ini digunakan perhitungan alternative profit efficiency bank syariah dengan menggunakan metode pendekatan stochastic frontier approach (SFA) yang menghitung deviasi dari fungsi profit yang diestimasi terlebih dahulu dengan profit frontiernya. Alasan peneliti menggunakan pendekatan profit efficiency dengan metode pendekatan stochastic frontier approach (SFA) mengikuti Hadad (2003) adalah karena pendekatan profit efficiency lebih superior dibanding pendekatan cost efficiency. Selain alasan diatas, pemilihan metode ini terkait dengan jenis pasar perbankan di Indonesia yang tidak dapat diklasifikasikan dalam pasar persaingan sempurna tetapi lebih cenderung pada pasar persaingan tidak sempurna. Metode SFA ini dikembangkan oleh Aigner, Lovell, Schmidt (1977). Pada metode ini, profit dari suatu bank dimodelkan untuk terdeviasi dari profit efficient frontier-nya akibat adanya random noise dan inefisiensi. Fungsi standar stochastic profit frontier memiliki bentuk umum (log) sebagai berikut :
107
log ̟i= f (log Xi , log Yi) + ei Dimana : ̟ X.i Y. i ei
= = = =
Total profit bank n Input j pada pada bank n Output k pada bank n error
ei terdiri dari 2 fungsi yaitu:
e i = ui + vi dimana : ui = faktor error yang dapat dikendalikan = faktor error yang bersifat random yang tidak dapat dikendalikan. vi Diasumsikan bahwa v terdistribusi normal N(0,σv2) dan u terdistribusi half-normal, |N(0,σv2)| dimana uit= (uiexp(−h(t − T )))3 dan h adalah parameter yang akan diestimasi.
Dalam pendekatan alternative profit efficiency bank akan memaksimalkan keuntungan dengan memilih harga output (y) dan jumlah input (X), untuk sejumlah output (Y) dan harga input (r) yang telah ditetapkan. Fungsi indirect profit yang sesuai disebut sebagai fungsi indirect profit alternative yang merupakan solusi dari masalah optimasi berikut: (Astiyah;2006)
MAX̟ = P`Q = ( p, r)( y,− x) Sejalan dengan hal tersebut, misalkan fungsi alternative profit sebagai berikut:
log ̟ = f(x,y) + logu + logv dimana : ̟ x y u dan v
= = = =
Bagi-hasil atau Efisiensi Jumlah Input Jumlah Output error
Maka alternative profit efficiency dapat dituliskan sebagai berikut :
Dimana: Variabel Input (X) Variabel Output (Y)
108
: Dana Pihak Ketiga (DPK), Modal Disetor (MDS). : Penempatan pada Bank Indonesia (PBI), Penempatan pada Bank Lain (PBL), Pembiayaan yang Diberikan (PD).
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pada penelitian ini digunakan data bulanan perbankan syariah di Indonesia (tidak termasuk BPRS) periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2009. Dengan metode pendekatan Stochastic Frontier Approach (SFA) melalui alternative profit efficiency untuk menghitung tingkat efisiensi pada perbankan syariah di Indonesia, profit dari bank syariah dimodelkan untuk terdeviasi dari profit efficient frontier-nya akibat adanya random noise dan inefisiensi. Sedangkan penentuan input dan outputnya menggunakan pendekatan Value Added Approach. Dalam penelitian ini, efisiensi bank syariah didasarkan pada kemampuan bank syariah menghasilkan profit (bagi-hasil) dari input dan output yang digunakan, sehingga istilah bagi-hasil ataupun efisiensi didalam penelitian ini adalah memiliki makna yang sama. Sedangkan output (Y) yang digunakan pada penelitian ini adalah penempatan pada Bank Indonesia, penempatan pada bank lain, pembiayaan yang diberikan. Sedangkan input (X) yang digunakan adalah Dana Pihak Ketiga (DPK) terdiri dari giro wadiah, tabungan mudharabah, dan deposito mudharabah dan modal disetor. Dengan meregresi model SFA yang dirumuskan sebagai berikut :
log ̟i= f (log Xi , log Yi) + ei Dimana ̟i adalah total profit untuk waktu ke i, Xi adalah input pada waktu ke i, Yi adalah output pada waktu ke i, ei adalah error. Sedangkan untuk perhitungan efisiensi, peneliti menggunakan pendekatan alternative profit efficiency yang dirumuskan sebagai berikut:
4.1.1 Uji Asumsi Ordinary Least Square (OLS) Sebelum dilakukan pengujian hipotesis, terlebih dahulu dilakukan pengujian mengenai ada tidaknya pelanggaran terhadap asumsi-asumsi klasik. Hasil pengujian hipotesis yang baik adalah pengujian yang tidak melanggar empat asumsi klasik dengan menggunakan metode ordinary
109
least square (OLS) yang mendasari model regresi linier (Gujarati;1995), hasil perhitungan ke empat asumsi tersebut adalah sebagai berikut: A. Autokorelasi Untuk mendeteksi terjadinya autokorelasi dalam penelitian ini, digunakan uji DW dengan melihat koefisien korelasi DW test (Cooper;2009). Tabel 3. Tingkat Autokorelasi (Durbin Watson) DWg
Kesimpulan
< 1,10 1,10 – 1,54 1,55 – 2,46 2,47 – 2,90 > 2,91
Ada Autokorelasi Tidak Ada Kesimpulan Tidak Ada Autokorelasi Tidak Ada Kesimpulan Ada Autokorelasi
Hasil perhitungan uji autokorelasi pada industri perbankan syariah dapat diikhtisarkan nilai Durbin Watson sebesar 1,757 yang berada pada tingkat 1,550 – 2,460 dapat disimpulkan sesuai dengan tabel 3. bahwa tidak ada autokorelasi pada data ini. B. Heteroskedastisitas Untuk menguji apakah data mengalami heteroskedastisitas atau tidak, dilakukan dengan melihat apakah: 1. Terdapat pola tertentu seperti titik-titik, yang ada membentuk suatu pola tertentu yang beraturan seperti bergelombang, melebar, menyempit, diartikan bahwa data telah terjadi heteroskedastisitas. 2. atau tidak ada pola yang jelas serta titik-titik menyebar ke atas dan dibawah 0 (nol) pada sumbu Y, diartikan tidak terjadi heteroskedastisitas. Pada gambar 3, titik-titik menyebar ke atas dan di bawah 0 (nol) pada sumbu Y serta tidak tampak adanya suatu pola tertentu pada sebaran data tersebut. Berdasarkan analisis ini disimpulkan bahwa data tidak terdapat heteroskedastisitas.
110
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Scatterplot
Dependent Variable: Log_LR
Regression Studentized Deleted (Press) Residual
3
2
1
0
-1
-2 -2
-1
0
1
2
Regression Standardized Predicted Value
Gambar 3. Hasil Uji Heteroskedastisitas C. Multikolinearitas Cooper (2009) mengemukakan bahwa multikolinearitas dapat di deteksi dengan cara: 1. Nilai deskriminasi yang sangat tinggi dan diakui dengan nilai F test yang sangat tinggi, serta tidak atau hanya sedikit nilai t test yang signifikan. 2. Meregresikan model analisis dan melakukan uji korelasi antar variable dependent dengan menggunakan Variance Inflating Factor (VIF) dan Tolerance Value (TV). Batas VIF adalah 10 dan TV adalah 0,1 jika nilai VIF lebih besar dari 10 dan nilai Tolerance Value lebih kecil dari 0,1 maka terjadi multikolinearitas. Hasil perhitungannya terlihat pada Tabel 5. dimana kelima variable dependent tersebut memiliki Variance Inflating Factor (VIF) < 10 dan Tolerance Value (TV) > 0,1 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat gejala multikolinearitas pada data penelitian ini. Tabel 4. Ikhtisar Uji Multikolinearitas Model Log_PBI Log_PBL Log_PD Log_DPK Log_MDS
Collinearity Statistics Tolerance VIF ,843 ,401 ,249 ,310 ,715
1,856 4,907 7,301 6,078 5,830
a. dependent varoables: P_Saham1
111
D. Normalitas Uji normalitas adalah menguji apakah model regresi, variabel independen, dan variabel dependen memiliki distribusi data normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan uji kolmogorov-smirnov satu arah atau analisis grafis. Jika residual berasal dari distribusi normal, maka nilai-nilai sebaran data akan terletak disekitar garis lurus, dalam penelitian ini menggunakan analisis grafis. Gambar 4. memperlihatkan bahwa sebaran data bisa dikatakan tersebar disekeliling garis lurus (tidak terpencar jauh dari garis lurus) sehingga dapat dikatakan bahwa persyaratan normalitas terpenuhi.
Gambar 4. Hasil Uji Normalitas Dari hasil uji keempat analisis Ordinary Least Square (OLS) ini, cukup menyimpulkan bahwa data penelitian ini berdistribusi normal dan dapat dilanjutkan untuk mendapatkan model keuangan melalui analisis regresi berganda dan menguji hipotesis penelitian ini. 4.1.2 Hasil Pengujian Regresi Berganda Dengan memasukkan variabel input dan variabel output yang telah ditentukan ke dalam model regresi, persamaan SFA dapat dituliskan kembali menjadi:
log LR = Dimana:
112
β0 + β1 log DPK + β2 log MDS + β3 log PBI + β4 log PBL + β5 log PD + ei
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011 LR DPK MDS PBI PBL PD ei
= Bagi-hasil/Rugi Perbankan = Dana Pihak Ketiga yang terdiri atas Giro Wadiah, Tabungan Mudharabah, Deposito Mudharabah = Modal Disetor = Penempatan pada Bank Indonesia = Penempatan pada bank lain = Pembiayaan diberikan = error
Hasil perhitungan data yang terdiri dari: Dana Pihak Ketiga, Modal Disetor, Penempatan pada Bank Indonesia, Penempatan pada Bank Lain dan Pembiayaan Diberikan periode 2007-2009 dengan menggunakan program SPSS seperti pada Tabel 5 dan Tabel 6. Tabel 5. Rumusan Regresi Berganda & Pengujian Hipotesis a Coefficients
(Constant) Log_PBI B 165,402 ,014 Std. Error 68,707 ,032 Standardized Coefficients Beta ,171 t 2,407 2,444 Sig. ,022 ,046 95% Confidence IntervalLower Bound 25,085 -,079 for B Upper Bound 305,720 ,051 Correlations Zero-order ,345 Partial ,081 Part ,050 Collinearity Statistics Tolerance ,843 VIF 1,856 Unstandardized Coefficients
Model 1 Log_PBL Log_PD Log_DPK Log_MDS ,101 ,040 -,031 -,288 ,156 ,015 ,017 ,106 ,363 ,612 -1,977 -,738 ,649 1,730 -1,948 -2,726 ,621 ,049 ,025 ,011 -,421 -,034 -,003 -,504 ,218 ,027 ,066 -,072 ,522 ,652 ,639 ,343 ,118 ,342 -,320 -,446 ,073 ,226 -,207 -,306 ,401 ,249 ,310 ,715 4,907 7,301 6,078 5,830
a. Dependent Variable: Log_LR
Hasil regresi pada Tabel 5. dapat dituliskan kembali dalam suatu model keuangan, yaitu sebagai berikut: log LR = 165,4024 + 0,1713 log PBI + 0,3631 log PBL + 0,6122 log PD – 1,9771 log DPK – 0,7384 log MDS + ei Dalam persamaan regresi di atas, konstanta LR adalah sebesar 165,4024. Hal ini berarti apabila variabel input dan variabel output (dana pihak ketiga, modal disetor, penempatan pada Bank Indonesia, penempatan pada bank lain, pembiayaan diberikan) dianggap konstan (tetap atau dianggap 1) maka perbankan syariah akan mengalami bagi-hasil sebesar Rp. 346736,850 milyar (anti log 165,4024 = 346736,850).
113
Tabel 6. Korelasi dan Kontribusi antar Variabel Model Summary
b
Model 1 ,789a ,623
R R Square Adjusted R Square
,560
Std. Error of the Estimate Change Statistics
90,408 R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change
Durbin-Watson
,623 9,914 5 30 ,000 1,757
a. Predictors: (Constant), Log_MDS, Log_PBI, Log_PD, Log_PBL, Log_DPK b. Dependent Variable: Log_LR
Jika persamaan di atas ditulis kembali dalam persamaan antilog maka akan menjadi:
LR = 165,402 . PBI0,171 . PBL0,363 . PD0,612 . DPK– 1,977 . MDS– 0,738
Dengan memasukkan persamaan antilog di atas ke dalam persamaan di bawah ini (pendekatan alternative profit efficiency) maka dapat dituliskan kembali menjadi:
Dengan memasukkan data-data ke dalam rumus di atas, didapatkan efisiensi perbankan seperti pada Tabel 7. Tabel 7. Efisiensi Perbankan Syariah Nasional Periode 2007-2009 Periode Januari Februari Maret April Mei
114
2007
2008
2009
93,3054 92,8436 94,2018 94,7253 95,5396
82,3282 80,8523 81,3956 81,7495 82,6382
87,2043 86,9023 85,3428 90,2311 90,8664
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Periode Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Rata2
2007
2008
2009
93,7935 92,5392 90,4283 89,8355 92,8454 93,5683 95,2341 93,2383
80,8942 80,2146 79,6928 79,1734 82,4728 82,8946 84,4854 81,5660
91,1869 90,9824 91,7243 92,0462 92,5881 92,7937 93,2016 90,4225
Sumber: data diolah kembali Telihat bahwa secara umum rata-rata efisiensi perbankan syariah mengalami fluktuasi tiap tahunnya, hal ini dikarenakan adanya krisis ekonomi di Amerika dan Eropa yang sedikit banyak mempengaruhi perekonomian dunia juga Indonesia karena 90% lalu lintas pembayaran di dunia menggunakan Dollar Amerika (USD) dan Euro Eropa (EUR) . rata-rata efisiensi perbankan syariah nasional pada tahun 2007 sebesar 93,238% namun turun 13% di tahun 2008 dengan rata-rata sebesar 81,566% karena pengaruh krisis dunia, dan selanjutnya di tahun 2009 mengalami kenaikan efisiensi kembali sebesar 11% di tahun 2009 dengan rata-rata sebesar 90,423%. Namun sesungguhnya dengan efisiensi ratarata di atas 80% tersebut dapat disimpulkan Perbankan Syariah dalam menjalankan operasionalnya sudah sangat efisien sesuai dengan ukuran yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yaitu 80%. 4.1.3 Pengujian Variabel A. Uji Koefisien Determinasi (R2) Pada Tabel 6 menunjukkan besarnya koefisien determinasi (Adjusted R2) adalah 0,560 yang menunjukkan variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi variabel tidak bebas sebesar 56% sisanya sebesar 44% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian. Artinya variabel input dan output yang dimasukkan (Dana Pihak Ketiga, Modal Disetor, Penempatan pada BI, Penempatan pada Bank Lain, dan Pembiayaan yang Diberikan) secara bersama-sama mempengaruhi bagi-hasil perbankan syariah sebesar 56% dan sisanya sebesar 44% dipengaruhi variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model persamaan regresi diatas.
115
B. Uji Keseluruhan (Uji F) Hasil uji F diperoleh Fhitung sebesar 9,914 lebih besar dari Ftabel 2,69 dengan N1 (k-1) = 4 dan N2 (n-k) = 31. Karena Fhitung lebih besar dari Ftabel maka H0 ditolak dan H1 diterima, atau dapat diartikan bahwa secara bersama-sama variabel input dan output (Dana Pihak Ketiga, Modal Disetor, Penempatan pada BI, Penempatan pada Bank Lain, dan Pembiayaan Diberikan) berpengaruh terhadap efisiensi perbankan syariah di Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh nilai probabilitas (sig.) sebesar 0,00 yang lebih kecil dari tingkat signifikansinya (α) sebesar 5%. Uji Parsial (Uji t) Pada Tabel 8. terlihat bahwa secara parsial (individu) terdapat 3 variabel yang signifikan terhadap efisiensi perbankan syariah yaitu Pembiayaan yang Diberikan, Dana Pihak Ketiga dan Modal Disetor, serta 2 variabel yang tidak signifikan yaitu Penempatan pada Bank Indonesia dan Penempatan pada Bank Lain, dengan rincian sebagai berikut: Tabel 8. Hasil Pengujian Hipotesis (Uji t dan Uji F) Model
Koef. Reg t_hitung
t_tabel
Constant Log_PBI Log_PBL
165,402 0,171 0,363
2,407 1,444 0,649
1,697 1,697 1,697
Log_PD Log_DPK
0,612 -1,977
1,730 -1,948
Log_MDS
-0,738
-2,726
Sig.
Kriteria #1
Kriteria #2
Kesimpulan
Sig. > 5% Sig. > 5%
Ho Diterima Ho Diterima H1 Diterima*
1,697 -1,697
0,022 0,460 t_hitung < t_tabel 0,521 t_hitung < t_tabel 0,020 t_hitung > t_tabel 0,025 t_hitung > t_tabel
Sig. < 5% Sig. < 5%
-1,697
0,011 t_hitung > t_tabel
Sig. < 5%
H1 Diterima* H1 Diterima*
Sumber: data diolah kembali
1.
Penempatan pada Bank Indonesia; terlihat bahwa nilai thitung lebih kecil dari ttabel (1,444 < 1,697) disimpulkan bahwa secara statistik Penempatan Dana pada Bank Indonesia tidak signifikan berpengaruh terhadap efisiensi perbankan syariah. Hal ini mungkin disebabkan karena bunga SBI yang selama ini selalu konstan dilevel 6,25, sehingga bank menjadi kurang tertarik lagi dan lebih mengoptimalkan pengucuran dananya dalam bentuk pembiayaan yang lebih memberikan bagi-hasil yang lebih besar dan tentu saja masih dalam rambu-rambu yang berprinsip kehati-hatian.
2.
Penempatan pada Bank Lain; jika dilihat dari perbandingan nilai thitung terhadap ttabel didapati bahwa nilai thitung lebih kecil dari ttabel (0,649 < 1,697), disimpulkan bahwa penempatan dana pada
116
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
bank lain tidak berpengaruh secara signifikan terhadap efisiensi perbankan syariah di Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan karena dana yang ditempatkan pada bank lain tersebut tidak produktif, tidak diinvestasikan pada jangka waktu pendek atau menengah, atau disebabkan sedikitnya jumlah dana yang ditempatkan pada bank lain sehingga bagi hasil yang didapat tidak berpengaruh signifikan terhadap bagi-hasil bank syariah. 3.
Pembiayaan yang Diberikan; jika dilihat dari sisi statistik, bahwa variabel ini berpengaruh secara signifikan terhadap efisiensi pada perbankan syariah di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari nilai thitung terhadap ttabel, dimana nilai thitung lebih besar dari ttabel (1,730 > 1,697). Variabel ini berpengaruh positif terhadap bagi-hasil sebesar 0,612 artinya apabila pembiayaan yang diberikan bertambah 1% maka bagi-hasil perbankan syariah juga bertambah sebesar 0,612% dan sebaliknya apabila pembiayaan yang diberikan turun sebesar 1% maka bagi-hasil perbankan syariah juga akan turun sebesar 0,612%. Penyebab dari adanya pengaruh yang signifikan terhadap bagi-hasil perbankan syariah di Indonesia karena Perbankan syariah berhasil dalam melakukan pembiayaan yang tepat dan berprinsip kehati-hatian kepada debiturnya, sehingga memberikan bagi-hasil yang besar bagi bank.
4.
Dana Pihak Ketiga; dilihat dari nilai thitung terhadap ttabel dimana nilai thitung lebih besar dari ttabel (-1,948 > -1,697) disimpulkan bahwa variabel ini secara statistik berpengaruh signifikan terhadap efisiensi perbankan syariah. Hal ini kemungkinan disebabkan karena hampir semua dana pihak ketiga yang dapat disalurkan kepada debitur dalam bentuk Pembiayaan dan dikarenakan tepat sasaran memberikan tingkat pengembalian yang lancar yang berdampak pada besarnya bagi-hasil yang menguntungkan kedua belah pihak umumnya, dan bagi perbankan syariah khususnya sehingga secara signifikan mempengaruhi bagi-hasil perbankan syariah.
5.
Modal Disetor; dilihat dari nilai thitung terhadap ttabel dimana nilai thitung lebih besar dari ttabel (-2,726 > -1,697) disimpulkan bahwa variabel modal disetor secara statistik berpengaruh signifikan terhadap efisiensi perbankan syariah. Variabel ini berpengaruh negatif terhadap bagi-hasil perbankan syariah di Indonesia sebesar 0,738. Artinya apabila modal disetor bertambah 1%, maka bagi-hasil perbankan syariah akan turun sebesar0,738% dan sebaliknya apabila modal disetor berkurang 1% maka bagi-hasil perbankan syariah akan bertambah sebesar 0,738%. 117
4.2 Pembahasan Penelitian Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa dengan metode pendekatan SFA dan alternative profit efficiency, secara umum Perbankan Syariah selama tahun 2007-2009 telah mengalami efisiensi rata-rata sebesar 88,41%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Astiyah (2006) yang menyebutkan bahwa secara rata-rata efisiensi untuk tahun 20012004 adalah sebesar 91,4% dan 92,4% juga penelitian Suswadi (2007) untuk rentang 2003-2006 dengan efisiensi sebesar 90,12%, 94,45%, 94,62%, dan 98,29%. Pada tahun 2007 hingga 2009 rata-rata efisiensi pertahunnya sebesar 93,24%, 81,57% dan 90,42%, terlihat adanya penurunan efisiensi di tahun 2008 dikarenakan adanya krisis ekonomi di dunia yang melanda amerika dan eropa yang secara tidak langsung juga ikut mempengaruhi perekonomian di dalam negeri, namun hal tersebut tidak lama, karena ditahun 2009 perekonomian Indonesia sudah pulih kembali terlihat dengan meningkatnya efisensi di tahun tersebut sebesar 90,42%. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Astiyah, Suswadi dan peneliti lainnya adalah variabel input dan output yang digunakan serta penekanan pada fungsi intermediasi perbankan. Dalam penelitian Astiyah (2006) lebih menekankan efisiensi setiap bank dan penekanan fungsi intermediasi, Suswadi (2007) lebih menekankan pada efisiensi yang diteliti lebih bersifat umum pada perbankan syariah (keseluruhan perbankan syariah yang beroperasi di Indonesia tetapi tidak termasuk BPRS) dan pada penelitian ini menekankan pada efisiensi funding dan lending yag menyangkut pada inflow dan outflow dari suatu operasionalisasi perbankan syariah. Tabel 9. Rata-rata Efisiensi yang terjadi pada Perbankan Syariah Nasional Periode 2007-2009 2007
2008
2009
Rata2
93,2383
81,5660
90,4225
88,4089
Terlihat pada Tabel 10. Pertumbuhan efisiensi pada tahun 2008 terjadi perlambatan dengan rata-rata 12,51% terhadap tahun 2007, dimana perlambatan tertinggi terjadi pada bulan Juni sebesar 13,75% dan perlambatan terendah pada bulan Oktober sebesar 11,17%. Pada tahun 2009 terjadi perbaikan efisiensi setelah dihantam krisis ekonomi dunia dengan kenaikan rata-rata sebesar 10,88% dengan kenaikan tingkat efisiensi tertinggi januari 5,92%. Hal ini menunjukkan perekonomian kita secara umumnya sudah pulih dari gangguan krisis dunia dan lebih 118
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
spesifik lagi bahwa efisiensi Perbankan Syariah Nasional sudah baik terlihat dari rata-rata efisiensi operasional diatas 80%. Tabel 11. Pertumbuhan Efisiensi yang terjadi pada Perbankan Syariah Nasional Periode 2007-2009 P e r io d e
2008
J a n u a ri F e b ru a r i M a ret A p r il M ei Jun i J u li A gu s tu s S ep te m b er O k tob e r N op e m b er D es e m b e r R ata 2
-1 1,7 6 % -1 2,9 2 % -1 3,5 9 % -1 3,7 0 % -1 3,5 0 % -1 3,7 5 % -1 3,3 2 % -1 1,8 7 % -1 1,8 7 % -1 1,1 7 % -1 1,4 1 % -1 1,2 9 % -1 2,5 1 %
20 0 9 5,9 2 % 7,4 8 % 4,8 5 % 1 0,3 8 % 9,9 6 % 1 2,7 2 % 1 3,4 2 % 1 5,1 0 % 1 6,2 6 % 1 2,2 7 % 1 1,9 4 % 1 0,3 2 % 1 0,8 8 %
R a ta 2 - 2 ,92 % - 2 ,72 % - 4 ,37 % - 1 ,66 % - 1 ,77 % - 0 ,51 % 0 ,05 % 1 ,61 % 2 ,20 % 0 ,55 % 0 ,27 % - 0 ,48 % - 0 ,81 %
Sumber: data diolah kembali V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisa efisiensi perbankan syariah di Indonesia khususnya Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) dengan metode pendekatan SFA periode bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2009 dengan menggunakan variabel input dan otput secara berurutan adalah dana pihak ketiga (DPK), modal disetor (MDS), penempatan pada Bank Indonesia (PBI), penempatan pada bank lain (PBL), dan pembiayaan yang diberikan (PD) dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Selama periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2009 Perbankan Syariah di Indonesia telah mengalami efisiensi yang berfluktuatif dikarenakan adanya krisis ekonomi dunia di awal tahun 2008. Total rata-rata efisiensi sebesar 88,41% tiap tahunnya. Dengan efisiensi rata-rata tahun 2007, 2008 dan 2009 sebesar 93,24%, 81,57% dan 90,42%. 2. Hipotesis secara simultan menyatakan bahwa semua variabel input dan output berpengaruh secara signifikan terhadap efisiensi perbankan syariah. Artinya variabel yang digunakan pada penelitian ini berpengaruh terhadap bagi-hasil pada perbankan syariah di 119
Indonesia. Besarnya pengaruh variabel yang digunakan terhadap bagi-hasil perbankan syariah adalah sebesar 56%. 3. Berdasarkan hasil uji parsial dapat diketahui bahwa variabel-variabel yang digunakan ada yang tidak berpengaruh terhadap efisiensi perbankan syariah. Variabel tersebut antara lain Penempatan pada Bank Indonesia dan Penempatan pada Bank Lain, sedangkan variabel yang berpengaruh terhadap efisiensi pada perbankan syariah antara lain Modal Disetor, Dana Pihak Ketiga dan Pembiayaan yang Diberikan. 4. Meskipun Modal Disetor, Dana Pihak Ketiga dan Pembiayaan yang Diberikan dalam penelitian ini berpengaruh terhadap efisiensi perbankan syariah, namun variabel Modal Disetor dan DPK berpengaruh negatif pada perbankan syariah di Indonesia. Sedangkan Penempatan pada Bank Indonesia dan Pembiayaan yang Diberikan sama-sama berpengaruh positif terhadap efisiensi pada perbankan syariah di Indonesia. 5. Secara umum efisiensi perbankan syariah di Indonesia selama periode yang diteliti mengalami peningkatan kualitas, kecuali tahun 2008. 5.2. Saran Dari kesimpulan di atas ada beberapa saran yang penulis ingin sampaikan, diantaranya: 1. Dana Pihak Ketiga dan Modal Disetor hendaknya dapat dikendalikan, karena kedua variabel ini dalam operasional perbankan syariah selama ini memiliki hubungan yang negatif terhadap efisiensi perbankan syariah. Hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya dana pihak ketiga dan modal yang masuk tetapi tidak diimbangi dengan penyaluran pembiayaan kepada debitur, sehingga bagi-hasil yang diterima perbankan tidak seimbang dengan biaya bagi-hasil yang harus diberikan kepada debitur yang akhirnya dapat mengurangi bagi-hasil yang akan diperoleh oleh perbankan syariah. 2. Penempatan pada Bank Indonesia dan Penempatan pada Bank Lain seharusnya dikurangi karena tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan bagi-hasil, atau penempatan dana ke bank lain harus melihat bank mana yang mampu memberikan potensi bagi-hasil yang paling optimal.
120
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
3. Untuk mendapatkan efisiensi yang optimal, perbankan syariah di Indonesia seharusnya lebih meningkatkan pembiayaan kepada debitur yang berpengaruh besar terhadap bagi-hasil yang diperoleh perbankan syariah selama ini namun tetap berprinsip prudent.
DAFTAR PUSTAKA Astiyah, Siti, and Jardine A. Husman, (2006), “Fungsi Intermediasi Dalam Efisiensi Perbankan di Indonesia: Deviasi Fungsi Profit,” Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 8, No. 4, Hal 529543,Bank Indonesia, Jakarta Atmawardhana, Angga., (2006), ”Analisis Efisiensi Bank Umum Syariah dan Bank Konvensional yang Memiliki Unit Usaha Syariah di Indonesia, setelah pemberlakuan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Pendekatan Data Envelopment Analysis),” Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta Bader, M. K., Shamsher, M. and Taufiq, (2007). “Cost, Revenue, and Profit Efficiency of Conventional versus Islamic Banks: Evidence from the Middle East”. Paper Accepted for Presentation in the IIUM International Conference on Islamic Banking and Finance, April 23-25 in Kuala Lumpur, Malaysia Bank Indonesia, (2001), “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia,” Bank Indonesia, Jakarta Bank Indonesia, (2009), ”Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2009,” Bank Indonesia, Jakarta Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia, (2009), ”Statistik Perbankan Syariah; Januari 2007-Desember 2009,” Bank Indonesia, Jakarta Cooper, Donald R. and Pamela S. Schindler, (2009), Business Research Methods. 10th Ed. HD 30.4 E47. Tata McGraw-Hill Publising company Ltd., New Delhi Habib, Michel A. and Alexander P. Ljungqvist., (2000), “Firm Value and Managerial Incentives: A Stochastic Frontier Approach,” www.finance.ox.ac.uk Hatifuddin, (2004), “Pengaruh kebijakan Bank Indonesia Terhadap Perkembangan Syariah di Indonesia,” Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta Iswardono S, Permono and Darmawan, (2000), “Analisis Efisiensi Industri perbankan di Indonesia” (studi kasus Bank-Bank Devisa di Indonesia Tahun 1991-1996), Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta 121
Maghfirah, Ester Dwi, (2005), “Prospek Perbankan Syariah Pasca Fatwa MUI,” Jakarta Muhammad, (2004), Yogyakarta
“Manajemen
Dana
Bank
Syariah,”
Ekonisia,
Nachrowi, D. Nacrowi and Hardius Usman, (2006), ”Pendekatan Populer dan Praktis EKONOMETRIKA Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan,” Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Piesse, Jennifer dan Colin Thirtle (2000), “A Stochastic Frontier Approach to Firm Level Efficiency, Technological Change and Productivity During the Early Transition in Hungary,” Journal of Comparative Economics Sekaran, Uma, (2003), Research Method for Business, Wiley and Son, New York Sudarsono, Heri, (2003), Bank dan Lembaga Keuangan Syariah; Deskripsi dan Ilustrasi, Ekonesia, Yogyakarta Sunendar, Anen, (2005), ”Analisa Kesehatan Finansial pada PT. Bank Muamalat Indonesia Periode Tahun 1998-2003,” Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta Susilo, Sri., at all, (2000),Bank & Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta Suswadi, (2007), “Analisis Efisiensi Perbankan Syariah di Indonesia
(Metode Stochastic Frontier Approach),” UMM, Malang Yudistira, D., (2003), “Efficiency in Islamic Banking: An empirical analysis of 18 Banks.” Unpublished paper, Leicestershire: Department of Economics, Loughborough University, UK
122
PENGARUH KINERJA KEUANGAN TERHADAP HARGA SAHAM (STUDI PADA SUB SEKTOR PERBANKAN DI BURSA EFEK INDONESIA) Sendi Gusnandar Arnan7, Shinta Dewi Herawati8
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kinerja keuangan perbankan yang diukur dengan metode CAMEL yang diproksikan dengan Capital Adequacy Ratio (CAR), Return on Risked Assets (RORA), Net Profit Margin (NPM), Return On Assets (ROA), Operating Expense to Operating Income (OEOI) dan Loan to Deposits Ratio (LDR) serta pengaruhnya terhadap harga saham sub sektor perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Dengan menggunakan metode desktiptif untuk 23 perusahaan perbankan sebagai sampel dan menganalisis item-item dari laporan keuangan per bulannya selama rentang waktu 32 bulan (periode 2007 sampai dengan 2009) didapatkan hasil penelitian dimana secara parsial CAR, RORA dan LDR berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan harga saham perbankan dan secara simultan variabel: CAR, RORA, NPM, ROA, OEOI, dan LDR berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham perbankan di Bursa Efek Indonesia. Kata kunci: Kinerja Keuangan, CAMEL, Harga Saham.
I. LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsinya berasaskan prinsip kehati-hatian (prudent). Menurut UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 Bab II Pasal 3, fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak (pasal 4).
7 8
Dosen Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Widyatama Bandung Dosen Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Widyatama Bandung
Perjalanan industri perbankan Indonesia selama tahun 2001-2004 menurut Komatsu (2005), Okuda dan Yasushi (2005) mengalami perbaikan kinerja yang signifikan setelah berakhirnya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997-2000, dimana puncak dari semuanya ditandai dengan keberhasilan beberapa bank besar mencatatkan sahamnya di bursa dengan permintaan oversubscribed yang berarti kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan telah pulih kembali. Hal ini tercermin pada laba perbankan secara nasional pada tahun 2004 mencapai Rp. 29,4 triliun dengan tingkat NPL hanya sebesar 4,50%. Kondisi yang kondusif tersebut didukung oleh stabilitas nilai rupiah dan suku bunga SBI yang sangat rendah (sekitar 5%-6%), sehingga ekspansi kredit di tahun 2004 mencapai 27% dan LDR perbankan menjadi 49,95% dibandingkan LDR tahun 2000 yang hanya 33,41%. Meski di goyang krisis kembali pada tahun 2008 oleh krisis global yang diawali oleh sub-prime mortgage di Amerika yang berakibat bangkrutnya Lehman Brothers, salah satu lembaga keuangan terbesar di dunia yang harus ikut dipertanggungjawabkan oleh Citibank, JP Morgan, dan Earns & Young (Kompas, Sabtu, 13 Maret 2010). Sepanjang tahun 2009 sektor perbankan menunjukkan kinerja yang sangat baik, terlihat dari indikator rasio kecukupan modal (CAR) per akhir Agustus 2009 sebesar 17,12% jauh di atas syarat CAR minimum 8%, walau indikator lainnya seperti Loan to Deposit Ratio (LDR) menurun, jika di bulan Agustus 2008 LDR Bank Umum sebesar 79,02%, pada Juli 2009 turun menjadi 73,20%. Hal ini tercermin pada pertumbuhan penyaluran kredit yang melambat dari 38% pada Oktober 2008 menjadi hanya 9,6% pada September 2009. Berdasarkan hasil riset Morgan Stanley menunjukkan bahwa peran perbankan Indonesia hanya sebesar 26 persen dari PDB nasional, dibandingkan negara-negara Asia seperti Cina dan India bisa berperan hingga 60% dari PDB negaranya, masalah ini adalah akibat indikasi masih tinggginya risiko pasar dari krisis global, dan sikap kehati-hatian pelaku perbankan di Indonesia yang tercermin masih sangat tingginya suku bunga pinjaman sehingga kurangnya minat debitur untuk meminjam dana dari perbankan walau spread dengan BI rate sudah sangat besar. Uraian ini menjadi cerminan bahwa dinamika bank-bank dalam menjalankan fungsinya sebagai intermediasi dan dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, diharapkan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat sebagai pihak ke-3. Data pada Tabel 1 memperlihatkan fungsi perbankan sebagai intermediasi serta perkembangan kinerjanya dari sisi: 124
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
penyaluran dana kepada masyarakat, penempatan dana di SBI, pertumbuhan aset perusahaan, jumlah bank serta pertumbuhan jumlah kantor cabang. Penyaluran dana kepada masyarakat oleh bank umum pada tahun 2005 terhadap tahun 2004 mengalami kenaikan sebesar 22,2%, dan simpanan bank pada surat berharga di Bank Indonesia berkurang 42,3%, sumber dana dari pihak ke-3 naik 16,1% begitu pula dengan aset perusahaan meningkat 15,5% dikarenakan penambahan kantor cabang sebanyak 4,1% walau ada 2 Bank Umum yang dilikuidasi pada tahun 2005 ini. Hal serupa dengan BPR terjadi kenaikan dan penurunan seperti Bank Umum, hanya pada tahun 2005 ini sebanyak 149 BPR yang dilikuidasi, jumlah likuidasi BPR terbanyak hingga 2009. Pada tahun-tahun berikutnya (2006-2009) kredit yang disalurkan oleh bank umum tumbuh positif rata-rata 19,1%, namun pada lelang SBI tahun 2006 terjadi aksi beli yang sangat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, 2005 yaitu sebesar 230,1% hal ini dimungkinkan karena biaya modal untuk pihak ke-3 cukup rendah, sehingga memberikan spread yang tinggi terhadap SBI, namun ditahun 2008 hal ini normal kembali sejalan dengan mulai naiknya suku bunga pihak ke-3, dan pelaku perbankan mulai mengurangi pembelian SBI. Sumber dana pihak ke-3 juga tumbuh dari tahun ke tahun dikarenakan kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan yang meningkat, selain dari iming-iming hadiah dan suku bunga yang cukup tinggi serta service/jasa yang diberikan sangat baik dan memadai.
Tabel 1. Kegiatan Usaha Perbankan Dalam Miliar Rp. Indikator
2004
2005
2006
2007
2008
2009
932.971 15.145
1.140.278 18.096
1.380.373 21.904
1.702.520 26.549
2.015.221 31.313
2.282.179 36.076
94.068
54.256
179.045
203.863
166.518
212.116
1.105.769 12.911
1.283.480 15.453
1.468.369 18.733
1.718.965 22.629
1.990.345 26.345
2.180.934 30.367
1.272.081 16.707
1.469.827 20.393
1.693.850 23.045
1.986.501 27.741
2.310.567 32.533
2.534.106 37.554
133 2.158
131 2.009
130 1.890
130 1.817
124 1.772
121 1.733
7.939 3.472
8.236 3.110
9.110 3.173
9.690 3.250
12.010 3.367
12.837 3.644
Penyaluran Dana Bank Umum Bank Perkreditan Rakyat SBI dan SBIS Sumber Dana Bank Umum Bank Perkreditan Rakyat Jumlah Aset Bank Umum Bank Perkreditan Rakyat Jumlah Bank Bank Umum Bank Perkreditan Rakyat Jumlah Kantor Bank Umum Bank Perkreditan Rakyat
Sumber: Bank Indonesia; 2010
125
Gambaran ini menandakan bahwa perbankan Indonesia mulai menapaki kembali fungsinya setelah krisis moneter, dan terlihat kembalinya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, sebagai akibat dari performa atau kinerja perbankan yang bagus sehingga respon dari masyarakat juga bertambah baik (Martono;2002). Dari sisi pasar modal, industri perbankan merupakan salah satu sub sektor dari sektor keuangan selain lembaga pembiayaan, perusahaan efek, asuransi dan institusi keuangan lainnya. Menurut Siamat (2003) Industri perbankan memainkan peran penting dalam perekonomian yaitu sebagai lembaga finansial yang menyalurkan dana dari pihakpihak yang kelebihan dana ke perusahaan yang memerlukan dana untuk pengembangan usahanya. Bank yang dapat selalu menjaga kinerjanya dengan baik, maka nilai saham dari bank yang bersangkutan di pasar sekunder dan jumlah dana pihak ketiga yang berhasil dikumpulkan akan naik. Kenaikan nilai saham dan jumlah dana pihak ketiga ini merupakan salah satu indikator naiknya kepercayaan masyarakat kepada bank yang berkinerja baik. Informasi mengenai kinerja perusahaan (analisis fundamental) dapat diperoleh investor melalui analisis terhadap laporan keuangan yang dipublikasikan perusahaan. Jogianto (1998) menambahkan bahwa berbagai pengumuman dapat mempengaruhi harga dari sekuritas di antaranya (1) pengumuman yang berhubungan dengan laba (earnings related announcements dan (2) pengumuman terkait dengan pendanaan (financing announcement) yang berhubungan dengan ekuitas, utang, sewaguna, persetujuan standby credit. Baik buruknya kinerja perusahaan dapat dijadikan sebagai tolok ukur bagi investor dalam menentukan pembelian saham perusahaan. Tentunya investor akan menjatuhkan pilihannya pada saham yang memiliki reputasi yang baik karena investor ingin memperoleh tingkat pengembalian yang tinggi dari investasinya. Helfert, (1999) mengemukakan bahwa dalam menilai kinerja perusahaan yang paling berkepentingan adalah pihak-pihak yang berhubungan dengan perusahaan tersebut dalam hal ini investor, manajer, kreditor, pemerintah dan masyarakat umum. Mereka akan menilai perusahaan dengan ukuran keuangan tertentu sesuai dengan tujuannya, begitu pula khalayaknya di industri perbankan yang memerlukan kepercayaan yang tinggi oleh masyarakat guna mempertahankan dan meningkatkan kelangsungan bisnisnya. Ketentuan tingkat kinerja bank dimaksudkan agar dapat digunakan sebagai tolak ukur bagi pihak-pihak yang berkepentingan tersebut.
126
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Kinerja bank berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, pada dasarnya adalah menilai berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangan suatu bank, yaitu: Permodalan (capital), Aktiva produktif (assets), Manajemen (management), Rentabilitas (earning), dan Likuiditas (likuidity) yang biasa disebut CAMEL. Kelima aspek tersebut menggunakan rasio keuangan. Tabel 2. Kinerja Bank Umum Dalam % Indikator
2004
CAR 19,42 KAP 3,05 ROA 3,46 BOPO 76,64 LDR 49,96 Sumber: Bank Indonesia; 2010
2005 19,30 4,30 2,56 89,50 59,66
2006 21,27 3,91 2,64 85,98 61,56
2007 19,30 3,03 2,78 84,05 66,32
2008 16,76 2,95 2,33 88,59 74,58
2009 17,42 2,83 2,60 86,63 72,88
Kinerja Bank Umum dalam Tabel 2, memperlihatkan CAR dari tahun ke tahun (2004-2008) cenderung menurun (rata-rata sebesar 3,2%) dan mulai meningkat kembali di tahun 2009 sebesar 17,42%, Aktiva Produktif yang Disesuaikan (APYD) cenderung menurun hingga 2009 (rata-rata sebesar 4,2%), begitu pula ROA dan BOPO di tahun 2004-2008 menurun (berkinerja kurang baik dengan rata-rata 4%) namun di tahun 2009 ke dua rasio itu mulai membaik (ROA meningkat 11,6% dan BOPO turun menjadi 2,2%), yang berarti kinerja perbankan di tahun 2009 mulai membaik, rasio LDR cenderung meningkat dari tahun 2004-2009 yang berarti bank-bank mengambil risiko kekurangan likuiditas, namun di sisi lain fungsi menyalurkan dana kepada masyarakat (landing/pemberian kredit) berjalan sangat signifikan, disimpulkan bahwa kinerja Bank Umum selama periode 2004-2008 mengalami penurunan kinerja dan mulai pulih kembali di tahun 2009. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan rencana penelitian ini guna menjawab permasalahan penelitian pada latar belakang di atas, antara lain: 1.
Bagaimana hubungan kinerja perbankan yang diukur melalui metode CAMEL yang diproksikan dengan: CAR, RORA, NPM, ROA, BOPO, dan LDR terhadap harga saham sub sektor perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI) baik secara parsial maupun simultan? 127
2.
Bagaimana pengaruh kinerja perbankan yang diukur melalui metode CAMEL yang diproksikan dengan: CAR, RORA, NPM, ROA, BOPO, dan LDR terhadap harga saham sub sektor perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI) secara simultan?
1.3 Tujuan Penulisan 1.
Untuk mengetahui dan menjawab hubungan kinerja perbankan yang diukur dengan metode CAMEL yang diproksikan dengan CAR, RORA, NPM, ROA, OEOI dan LDR baik secara parsial maupun simultan, serta pengaruhnya terhadap harga saham sub sektor perbankan yang listing di Bursa Efek Indonesia.
2.
Diharapkan dapat memberikan kontribusi hasil literatur sebagai bukti empiris di bidang akuntansi, keuangan dan pasar modal serta memberi masukan kepada regulator dalam pembuatan keputusan mengenai kinerja sub sektor perbankan.
1.4 Kerangka Pemikiran Bank sebagai lembaga keuangan yang menganut dasar falsafah kepercayaan, harus mampu mengelola seluruh aspek usahanya agar dapat menunjukkan kinerja yang dikategorikan sehat dan dapat terus menjaganya. Salah satu metode yang ditetapkan oleh bank Indonesia dalam pengukuran kesehatan suatu bank adalah menggunakan rasio CAMEL. Penilaian kesehatan bank ini pada prinsipnya merupakan kepentingan pemilik dan pengelolaan bank, masyarakat pengguna jasa bank maupun pengawas dan pembina bank (Kuncoro, 2002). Menurut Siamat (1993), ketentuan penilaian tingkat kesehatan bank dimaksudkan untuk dapat digunakan sebagai: a.
b.
Standar bagi manajemen bank untuk menilai apakah pengelolaan bank telah dijalankan sesuai dengan asas-asas perbankan yang sehat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Standar untuk menetapkan arah pembinaan dan pengembangan bank baik secara individual maupun untuk industry perbankan secara keseluruhan.
Tingkat kesehatan bank pada dasarnya dinilai pendekatan kualitatif dan kuantitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangan suatu bank. Rasio CAMEL yang diterapkan pada penelitian ini tidak sepenuhnya sama dengan Ketentuan tentang Tata 128
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Cara Pengukuran Kesehatan Bank yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, mengingat laporan keuangan yang dipublikasikan oleh pihak bank tidak sepenuhnya memuat data-data yang diperlukan dalam perhitungan. Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No.6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, ketentuan ini merupakan penyempurnaan ketentuan yang dikeluarkan Bank Indonesia melalui Surat Edaran 26/5/BPPP tanggal 29 Mei 1993. Sistem penilaian tingkat kesehatan bank tersebut diatas kemudian dikenal dengan CAMEL. Penilaian kesehatan bank meliputi 5 aspek yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Capital, untuk rasio kecukupan modal Assets, untuk rasio kualitas aktiva Management, untuk menilai kualitas manajemen Earning, untuk rasio-rasio rentabilitas bank Liquidity, untuk rasio-rasio likuiditas bank
Pentingnya penelitian tentang rasio keuangan perbankan dalam kaitannya dengan harga saham karena rasio keuangan perbankan sedikit berbeda dengan rasio keuangan jenis perusahaan lain (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 31/2009), khususnya rasio CAMEL. Dengan menggunakan metode CAMEL maka kinerja keuangan perusahaan dapat diketahui sehingga para investor juga bisa melihat kondisi perusahaan. Dengan mengetahui kondisi perusahaan maka dapat mengambil keputusan menyangkut investasinya pada perusahaan yang lebih memberikan keuntungan dengan tingkat resiko yang rendah. Selain itu perusahaan dapat mengetahui seberapa besar kinerja yang telah dihasilkan sehingga tujuan untuk kemakmuran pemegang saham dapat dicapai. Secara umum Adnyani (2004) mengatakan semakin baik keuangan perusahaan dan semakin banyak keuntungan yang dinikmati oleh pemegang saham, kemungkinan harga saham akan naik. Tetapi saham yang memiliki tingkat keuntungan yang baik juga bisa mengalami penurunan harga. Hal ini dapat disebabkan oleh keadaan pasar saham.
129
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kinerja Keuangan Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 87/KMK.01/2009 tanggal 24 Maret 2009, bahwa yang dimaksud dengan kinerja adalah prestasi yang dicapai oleh perusahaan dalam periode tertentu yang mencerminkan tingkat kesehatan dari perusahaan tersebut. Ada 2 (dua) macam ukuran kinerja yang dapat digunakan secara kuantitatif menurut Hanafi (2003), yaitu: a.
b.
Ukuran kriteria tunggal; Ukuran kriteria tunggal (single criteria) adalah ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran untuk menilai kinerja manajer. Kelemahan apabila kriteria tunggal digunakam untuk mengukur kinerja yaitu orang akan cenderung memusatkan usahanya pada kriteria pada usaha tersebut sehingga akibatnya kriteria lain diabaikan, yang kemungkinan memiliki arti yang sama pentingnya dalam menentukan sukses atau tidaknya perusahaan. Ukuran kriteria beragam; Ukuran kriteria beragam (multiple criteria) adalah ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran untuk memperhitungkan bobot masing-masing ukuran dan menghitung rata-ratanya sebagai ukuran yang menyeluruh kinerja manajer. Kriteria gabungan ini dilakukan karena perusahaan menyadari bahwa beberapa tujuan lebih penting dibandingkan dengan tujuan yang lain, sehingga beberapa perusahaan memberikan bobot angka tertentu pada beragam kriteria untuk mendapatkan ukuran tunggal kinerja manajer.
Kinerja keuangan perusahaan merupakan salah satu aspek yang fundamental mengenai kondisi keuangan perusahaan yang dapat dilakukan berdasarkan analisis rasio keuangan perusahaan dalam suatu periode. Dalam penelitian Zainuddin dan Jogiyanto (1999) juga Sudayasa (2003) menyatakan bahwa beberapa rasio keuangan yang biasa digunakan dalam melakukan analisis fundamental adalah Price Earning Ratio (PER), Return On Investment (ROI), Current Ratio (CR), Debt to Equity Ratio (DER), dan Total Assets Turnover. Khusus untuk lembaga keuangan, dalam rangka melakukan analisis fundamental perlu dipertimbangkan rasio-rasio keuangan CAMEL, yaitu Capital, Asset Quality, Management, Earning Ability, Liquidity. Rasio-rasio keuangan CAMEL merupakan faktor-faktor keuangan yang dipakai 130
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
dasar menilai tingkat kesehatan bank oleh Bank Indonesia (SK Bank Indonesia No.30/12/KEP/DIR, tanggal 30 April 1997 junto SE Bank Indonesia No. 6/23/DPNP, tanggal 31 Mei 2004 (Budisantoso;2006). Tujuan penilaian ini adalah (1) untuk memastikan bahwa pengelolaan bank telah dilakukan sejalan dengan asas-asas perkreditan yang sehat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan (2) untuk menetapkan dasar arah pembinaan dan pengembangan, baik secara individual maupun industri perbankan secara menyeluruh. Bila lembaga keuangan bank meningkat kesehatannya diharapkan kinerjanya juga meningkat sehingga menunjang reputasinya, terutama bagi bank yang terdaftar di pasar modal. Kinerja bank yang baik tentu akan memberikan keyakinan investor untuk bisa memperoleh return saham yang memadai. Perhitungan rasio keuangan dengan menggunakan metode CAMEL (Siamat, 1993), dapat dijabarkan sebagai berikut: A. Capital Capital dapat dihitung dengan menggunakan CAR (Capital Adequacy Ratio). Rasio ini digunakan sebagai indikator terhadap kemampuan bank menutupi penurunan aktiva akibat terjadinya kerugian-kerugian atas aktiva bank dengan menggunakan modalnya sendiri. CAR merupakan perbandingan antara modal sendiri dengan Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR).
B. Assets Kinerja keuangan dari segi asset diukur melalui kualitas aktiva produktifnya. Salah satu rasio yang digunakan adalah RORA (Return On Risked Assets). RORA adalah rasio yang membandingkan antara laba kotor dengan besarnya risked assets yang dimiliki. Laba kotor adalah hasil pengurangan pendapatan terhadap biaya sedangkan risked assets terdiri atas surat berharga dan kredit yang disalurkan. Nilai RORA yang tinggi mengindikasikan bahwa pendapatan yang diterima besar sehingga laba yang diperoleh juga optimal dan berpengaruh pada kenaikan harga saham.
131
C. Management Untuk mengukur tingkat kinerja manajemen, dapat dilakukan dengan perhitungan NPM (Net Profit Margin). NPM merupakan rasio keuangan yang mengukur kemampuan bank dalam menghasilkan net income dari kegiatan operasional pokok bank. Rasio ini menggambarkan tingkat keuntungan (laba) yang diperoleh bank dibandingkan dengan pendapatan yang diterima dari kegiatan operasionalnya (Payamta dan Machfoedz, 1999:87). NPM ini berfungsi untuk mengukur tingkat kembalian keuntungan bersih terhadap penjualan bersihnya. Menurut Ang, 1997 semakin besar nilai NPM berarti semakin efisien biaya yang dikeluarkan yang berarti semakin besar tingkat kembalian keuntungan bersih. Nilai NPM berada pada rentang 0 sampai 1, semakin mendekati 1 maka semakin efisien penggunaan biaya, yang berarti bahwa besar tingkat kembalian keuangan (return) yang akan diikuti tingginya harga saham.
D. Earning Terdapat dua rasio yang dapat menjelaskan kinerja keuangan bank dari segi earning atau rentabilitasnya, yaitu: 1) ROA (Return On Asset) ROA atau rasio laba bersih terhadap total aktiva. Menurut Susilo (2000:37) ROA adalah rasio yang digunakan untuk mengetahui kemampuan bank menghasilkan keuntungan secara relatif dibandingkan dengan nilai total assetnya. Rasio ini sangat penting, mengingat keuntungan yang memadai diperlukan untuk mempertahankan sumber-sumber modal bank.
2) BOPO (Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional) BOPO merupakan perbandingan antara biaya operasional terhadap pendapatan operasional.
132
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
E. Liquidity Rasio liquidity dapat diukur dengan menggunakan rasio salah satunya LDR (Loan to Deposit Ratio). LDR merupakan rasio antara kredit dengan dana pihak ketiga. Semakin tinggi rasio ini, maka akan memberikan indikasi rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit semakin besar.
Yang termasuk dalam pos dana pihak ketiga antara lain Giro, Deposito berjangka, Sertifikat deposito, Kewajiban jangka pendek lainnya. 2.2 Harga Saham Saham merupakan bukti kepemilikan atas suatu perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas. Harga suatu saham sangat erat kaitannya dengan harga pasar suatu saham. Harga dasar suatu saham merupakan harga perdananya. Indigo (2009) menyatakan bahwa harga saham yang sering dipergunakan dalam suatu penelitian umumnya menggunakan harga penutupan (closing price) hari yang sama dan sangat jarang sekali menggunakan harga pembukaan (opening price), harga yang sedang berjalan (spot), harga tertinggi maupun harga terendah. Perubahan harga saham dipengaruhi oleh kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar sekunder. Semakin banyak investor yang ingin membeli atau menyimpan suatu saham, maka harganya akan semakin naik. Dan sebaliknya jika semakin banyak investor yang menjual atau melepaskan maka akan berdampak pada turunnya harga saham (Bawazier). Harga saham merupakan nilai suatu saham yang mencerminkan kekayaan keuangan perusahaan yang mengeluarkan saham tersebut. Faktor- faktor yang mempengaruhi perubahan harga saham menurut Kasmir (2002) selain faktor eksternal yang dipengaruhi oleh kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar sekunder juga dipengaruhi faktor internal, beliau menambahkan bahwa faktor yang mempengaruhi perubahan harga saham secara internal adalah kinerja
133
keuangan perusahaan yang dicerminkan dalam rasio-rasio keuangan, antara lain: 1.
Rasio Likuiditas Rasio ini bertujuan untuk mengukur seberapa likuid suatu bank. Dalam rasio ini terdiri dari beberapa jenis rasio yaitu: Banking ratio, Asset to loan ratio, Loan to deposit ratio, Quick ratio, Investing policy ratio, Investment portfolio ratio, cash ratio, Investment risk ratio, liquidity risk ratio, credit risk ratio, deposit risk ratio.
2.
Rasio Solvabilitas Rasio ini bertujuan untuk mengukur efisiensi bank dalam menjalankan aktivitasnya. Dalam rasio ini terdiri dari berberapa jenis yaitu: capital adequacy ratio, primary ratio, risk assets ratio, secondary risk ratio, capital ratio.
3.
Rasio Rentabilitas Rasio rentabilitas bertujuan untuk mengukur efektivitas bank dalam mencapai tujuannya. Dalam rasio ini terdiri dari: Net profit margin, gross profit margin, leverage multiplier, return on equity, return on assets, net income on total assets, interest margin on loan, assets utilization, rate return on loan, interest expense ratio.
Secara umum Adnyani (2004) mengatakan semakin baik keuangan perusahaan dan semakin banyak keuntungan yang dinikmati oleh pemegang saham, kemungkinan harga saham akan naik. Tetapi saham yang memiliki tingkat keuntungan yang baik juga bisa mengalami penurunan harga. Hal ini dapat disebabkan oleh keadaan pasar saham. Penelitian-penelitian sebelumnya yang didukung dalam penelitian ini mengenai pengaruh variabel keuangan terhadap harga saham di Bursa Efek Indonesia telah banyak dilakukan. Astuti (2002) dalam Jurnal Ekonomi dan Akuntansi (2002) melakukan penelitian tentang analisis CAR, ROA, Net Profit Margin (NPM) dan Loan to Deposit Ratio (LDR) terhadap harga pasar saham perusahaan perbankan di BEI, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa LDR secara signifikan mempengaruhi harga pasar saham namun untuk ROA hasilnya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap harga pasar saham. Selain itu menurut Sari (2004) melakukan penelitian variabel CAR, ROA, LDR dan BOPO. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut secara signifikan berpengaruh terhadap harga saham. Silalahi (1991) menunjukkan bahwa rate of return on assets, devidend pay out ratio, volume perdagangan saham dan tingkat suku bunga deposito secara 134
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
bersama-sama mempengaruhi harga saham. Sulaiman (1995) menunjukkan bahwa return on assets, devidend pay out ratio, leverage, tingkat pertumbuhan, likuiditas, struktur modal dan tingkat bunga deposito secara simultan berpengaruh terhadap harga saham, sedangkan secara parsial ROA, tingkat pertumbuhan, likuiditas, tingkat bunga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap harga saham. Leki (1997) menunjukkan hasil bahwa variabel fundamental dan teknikal secara bersama-sama mempengaruhi harga saham, variabel tersebut adalah return on invesment, devidend pay out ratio, tingkat bunga, likuiditas, volume penjualan saham, harga saham masa lalu, dan capital gain on loss. Sparta (2000) dengan menggunakan sampel 13 bank yang go publik tahun 1992-1996 menunjukkan hasil bahwa secara simultan rasio ROA, DPR, dan debt to equity (DE) mempunyai pengaruh signifikan terhadap price to book value (PBV), namun apabila pengujian secara parsial hanya ROA yang memiliki pengaruh 10% terhadap PBV. Pentingnya penelitian tentang rasio keuangan perbankan dalam kaitannya dengan harga saham karena rasio keuangan perbankan sedikit berbeda dengan rasio keuangan jenis perusahaan lain (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 31/2009), khususnya rasio CAMEL. Dengan menggunakan metode CAMEL maka kinerja keuangan perusahaan dapat diketahui sehingga para investor juga bisa melihat kondisi perusahaan. Dengan mengetahui kondisi perusahaan maka dapat mengambil keputusan menyangkut investasinya pada perusahaan yang lebih memberikan keuntungan dengan tingkat resiko yang rendah. Selain itu perusahaan dapat mengetahui seberapa besar kinerja yang telah dihasilkan sehingga tujuan untuk kemakmuran pemegang saham dapat dicapai. III. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif yaitu untuk memberikan gambaran umum dan menjelaskan tentang data yang telah diperoleh, dimana gambaran dan penjelasan ini bisa menjadi acuan untuk melihat karakteristik data yang kita peroleh dan diakhiri dengan menarik kesimpulan (Cooper;2009) 3.1 Populasi dan Sampel Populasi adalah keseluruhan objek psikologis yang dibatasi oleh kriteria tertentu (Rasyid, 1994). Pada penelitian ini populasi sektor perbankan yang listing di Bursa Efek Indonesia sebanyak 29 bank, dimana proses 135
identifikasi populasinya adalah perusahaan perbankan yang termasuk dalam sub sektor perbankan yang telah terdaftar selama periode 2007 sampai dengan 2009. Sampel penelitian ini ditentukan dengan metode purposive sampling, yaitu penentuan sampel dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu (Sugiyono;2007), adapun yang dijadikan pertimbangan dalam penentuan sampel pada penelitian ini antara lain: 1.
2. 3. 4. 5.
Sampel yang digunakan adalah bank-bank pada sub sektor perbankan yang terdaftar sejak tahun 2007 -2009 di Bursa Efek Indonesia (BEI) Telah menerbitkan laporan keuangan selama 3 tahun berturutturut dari periode pengamatan Bank-bank tersebut tidak merger dalam periode pengamatan Tidak delisting selama periode tersebut untuk menghindarkan survivorship bias dalam hasil penelitian Tersedia closing price saham bulanan
Berdasarkan populasi penelitian yang terdiri dari 29 bank yang listed, yang memenuhi seluruh kriteria dalam penelitian ini sebanyak 23 bank sebagai sampel. 3.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber, antara lain: 1. Bank Indonesia 2. Bapepam-LK 3. Bursa Efek Indonesia 3.3 Operasionalisasi Variabel Tabel 3. Operasionalisasi Variabel Variabel Penelitian Permodalan diproksikan dengan:
136
Konsep Variabel Kemampuan bank menutupi penurunan aktiva akibat terjadinya kerugian-kerugian atas aktiva bank dengan menggunakan modalnya sendiri
Indikator & Formulasi Perbandingan antara jumlah modal sendiri dengan total aktiva
Ukuran Persen (%)
Skala Rasio
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Variabel Penelitian Capital Adequacy Ratio (CAR)
Konsep Variabel
Indikator & Formulasi
Ukuran
Skala
(SE BI No. 6/23DPNP tanggal 31 Mei 2004)
X1 Aset diproksikan dengan: Return on Risked Assets (RORA)
Kemampuan bank dalam berusaha mengoptimalkan aktiva yang mengandung risiko untuk memperoleh laba
X2
(SE BI No. 6/23DPNP tanggal 31 Mei 2004)
Manajemen diproksikan dengan:
Mengukur tingkat kembalian keuntungan bersih terhadap penjualan bersihnya
Net Profit Margin (NPM)
Perbandingan antara laba sebelum pajak dengan aktiva produktif
Persen (%)
Rasio
perbandingan antara laba bersih dengan pendapatan/laba operasi
Persen (%)
Rasio
Perbandingan antara laba bersih dengan total aktiva
Persen (%)
Rasio
perbandingan antara operation expense dengan operation income
Persen (%)
Rasio
Perbandingan antara jumlah kredit yang diberikan dengan jumlah dana pihak ke tiga
Persen (%)
Rasio
(SE BI No. 6/23DPNP tanggal 31 Mei 2004)
X3 Mengukur efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan seluruh sumber daya guna Return on Assets mengukur kemampuan menghasilkan (ROA) keuntungan Earnings diproksikan dengan:
X4
Earnings diproksikan dengan: Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
(SE BI No. 6/23DPNP tanggal 31 Mei 2004) Mengukur tingkat dan distribusi bank dalam melakukan kegiatan operasinya
(SE BI No. 6/23DPNP tanggal 31 Mei 2004)
X5 Likuiditas diproksikan dengan:
Kemampuan bank membayar kembali penarikan-penarikan
137
Variabel Penelitian
Loan to Deposit Ratio (LDR)
Konsep Variabel
Indikator & Formulasi
Ukuran
Skala
yang dilakukan oleh nasabah dan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya
X6 (SE BI No. 6/23DPNP tanggal 31 Mei 2004) Harga Saham Perusahaan Perbankan
Data yang telah terjadi dan mencerminkan keadaan keuangan
Harga Penutupan
Y
(SE BI No. 6/23DPNP tanggal 31 Mei 2004)
Pt
Persen (%)
Rasio
(closing price)
3.4 Metode Analisis Pengujian terhadap hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda yang dibantu SPSS 13.0 for Windows . Analisis regresi berganda digunakan untuk menguji pengaruh antara harga saham sebagai variabel dependen dengan variabel kinerja perbankan (CAR, RORA, NPM, ROA, BOPO, LDR) sebagai variabel independen. Hasil regresi berganda memberikan suatu bentuk model keuangan yang diharapkan dapat memprediksi antara variabel dalam penelitian ini dengan lebih baik, yang dituliskan sebagai berikut:
Y = Dimana: Y α β1 …β6 X1 X2 X3 X4 X5 X6
138
α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + β6 X6 + e7
: : : : : : : : :
Harga Saham Konstanta Koefisien regresi masing-masing variabel independen CAR RORA NPM ROA BOPO LDR
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Sebelum dilakukan pengujian dengan menggunakan regresi berganda, data terlebih dahulu di uji normalitas, autokorelasi, heteroskedastisitas dan multikolinearitas untuk memenuhi asumsi klasik regresi. 3.5 Hipotesis Dari latar belakang permasalahan dan beberapa penelitian sebelumnya serta kerangka pemikiran yang digambarkan pada rencana penelitian ini, penulis merumuskan 7 hipotesis penelitian untuk di uji, yaitu sebagai berikut: H1 : CAR berpengaruh signifikan terhadap Harga Saham Perbankan H2 : RORA berpengaruh signifikan terhadap Harga Saham Perbankan H3 : NPM berpengaruh signifikan terhadap Harga Saham Perbankan H4 : ROA berpengaruh signifikan terhadap Harga Saham Perbankan H5 : BOPO berpengaruh signifikan terhadap Harga Saham Perbankan H6 : LDR berpengaruh signifikan terhadap Harga Saham Perbankan H7 : Kinerja Perbankan yang diukur melalui metode CAMEL yang diproksikan dengan: CAR, RORA, NPM, ROA, BOPO, dan LDR secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Harga Saham IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Perusahaan yang digunakan sebagai sampel pada penelitian ini sebanyak 23 perusahaan perbankan yang berada pada subsektor keuangan di Bursa Efek Indonesia periode 2007 sampai dengan 2009, antara lain: Tabel 4. Perusahan Perbankan sebagai Sampel No
Ticker
1 2 3 4 5 6 7 8 9
BABP BACA BAEK BBKP BBNI BBNP BBRI BCIC BDMN
Nama Perusahaan Bank Bumiputera Indonesia Tbk. Bank Capital Indonesia Tbk. Bank Ekonomi Raharja Tbk Bank Bukopin Tbk Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Bank Nusantara Parahyangan, Tbk. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Bank Century Tbk. Bank Danamon Tbk.
139
No
Ticker
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
BEKS BKSW BMRI BNBA BNGA BNII BNLI BSWD MAYA MCOR MEGA NISP PNBN SDRA
Nama Perusahaan Bank Eksekutif InternasionalTbk. Bank Kesawan Tbk. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Bank Bumi Arta Tbk. Bank CIMB Niaga Tbk. PT Bank Internasional Indonesia Tbk. Bank Permata Tbk. Bank Swadesi Tbk. Bank Mayapada International Tbk. Bank Windu Kentjana Int'l Tbk. Bank Mega Tbk. Bank OCBC NISP Tbk. Bank Pan Indonesia Tbk. Bank Himpunan Saudara 1906 Tbk.
4.1.1 Deskripsi Variabel Penelitian a. Capital Adequacy Ratio (CAR) Rasio ini digunakan sebagai indikator terhadap kemampuan bank menutupi penurunan aktiva akibat terjadinya kerugian-kerugian atas aktiva bank dengan menggunakan modalnya sendiri. Hasil deskriptif CAR diketahui bahwa dari 23 perusahaan perbankan rata-rata (mean) CAR tahun 2007 sebesar 20,09% begitu pula dengan 2008 sebesar 16,72% dan 20,72% ditahun 2009, ini menandakan rata-rata perbankan telah mengikuti ketentuan CAR dari Bank Indonesia minimum 8%. CAR terkecil pada tahun 2008 sebesar 0,2% oleh Bank Mayapada International Tbk. dan CAR terbesar pada tahun 2009 oleh Bank Bumi Artha Tbk. sebesar 44,34%. Tabel 5. Deskripsi CAR
CAR_07 CAR_08 CAR_09 Valid N (listwise)
140
N 23 23 23 23
Minimum ,03 ,02 ,02
Maximum 47,29 41,98 44,34
Mean 20,0904 16,7261 20,7265
Std. Deviation 10,10298 7,68085 14,98587
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
b. Return On Risked Assets (RORA) RORA adalah rasio yang membandingkan antara laba kotor dengan besarnya risked assets yang dimiliki. Laba kotor adalah hasil pengurangan pendapatan terhadap biaya sedangkan risked assets terdiri atas surat berharga dan kredit yang disalurkan. Hasil deskriptif RORA diketahui bahwa dari 23 perusahaan perbankan rata-rata (mean) RORA tahun 2007 sebesar 23,23% begitu pula dengan 2008 sebesar 20,46% dan 17,98% ditahun 2009, ini menandakan rata-rata RORA perbankan memberikan kontribusi gross income rata-rata 20% dari asset berisikonya. RORA terkecil pada tahun 2009 sebesar 0,6% oleh Bank Mayapada International Tbk. dan terbesar pada tahun 2007 oleh Bank Danamon Tbk. sebesar 36,30%. Tabel 6. Deskripsi RORA N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
RORA_07
23
,09
36,30
23,2330
7,17562
RORA_08
23
,07
30,92
20,4674
7,09956
RORA_09
23
,06
28,50
17,9804
6,08536
Valid N (listwise)
23
c. Net Profit Margin (NPM) Net Profit Margin digunakan untuk mengukur tingkat kinerja manajemen. Rasio ini mengukur kemampuan bank dalam menghasilkan net income dari kegiatan operasional pokok bank. Hasil deskriptif NPM diketahui dari 23 perusahaan perbankan rata-rata NPM tahun 2007 sebesar 7,40% di tahun 2008 sebesar 6,59% dan 6,62% ditahun 2009. NPM terkecil pada tahun 2008 sebesar 0,27% oleh Bank Bumiputera Indonesia Tbk. dan terbesar pada tahun 2009 oleh Bank Ekonomi Raharja Tbk. sebesar 15,34%. Tabel 7. Deskripsi NPM N
Minimum
Maximum
NPM_07
23
1,97
14,83
Mean 7,4000
Std. Deviation 4,21738
NPM_08
23
,27
15,29
6,5974
4,30362
NPM_09
23
,96
15,34
6,6278
4,73119
Valid N (listwise)
23
141
d. Return On Assets (ROA) ROA merupakan indikator yang menggambarkan bukan hanya kemampuan manajemen memperoleh laba, tapi juga mengukur kemampuan untuk mengendalikan seluruh biaya-biaya operasional dan non operasional. Hasil deskriptif ROA diketahui dari 23 perusahaan perbankan rata-rata (mean) ROA tahun 2007 sebesar 1,03% di tahun 2008 sebesar 0,84% dan 0,71% ditahun 2009. ROA terkecil pada tahun 2009 sebesar 0,05 oleh Bank Eksekutif Internasional Tbk. dan terbesar pada tahun 2007 oleh Bank Danamon Tbk. sebesar 2,37%. Tabel 8. Deskripsi ROA N
Minimum
Maximum
ROA_07
Mean
Std. Deviation
23
,05
2,37
1,0365
,67099
ROA_08
23
,07
2,05
,8409
,86343
ROA_09
23
,06
1,92
,7187
,85785
Valid N (listwise)
23
e. Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) Diketahui dari 23 perusahaan perbankan rata-rata BOPO tahun 2007 sebesar 72,01% pada tahun 2008 sebesar 74,13% dan 75,31% ditahun 2009, terilihat dari rata-rata ini operasional perbankan Indonesia sudah efisien seperti yang diharapkan oleh Bank Indonesia maksimum 80%. Efisiensi terkecil oleh Bank Rakyat Indonesia Tbk. pada tahun 2007 sebesar 47,71% dan yang paling tidak efisien terbesar terjadi pada tahun 2009 oleh Bank Internasional Indonesia Tbk. sebesar 95,66%. Tabel 9. Deskripsi BOPO N
Minimum
Maximum
BOPO_07
Mean
Std. Deviation
23
47,71
90,92
72,0135
11,80632
BOPO_08
23
49,88
92,06
74,1313
11,54945
BOPO_09
23
52,63
95,66
75,3191
12,74615
Valid N (listwise)
23
f. Loan To Deposits Ratio (LDR) LDR merupakan rasio antara kredit yang diberikan dengan dana pihak ketiga. Rasio ini menunjukkan kemampuan likuiditas bank untuk 142
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
menjadikan kreditnya sebagai sumber likuiditas. Hasil deskriptif LDR dari 23 perusahaan perbankan rata-rata (mean) LDR 2007 sebesar 58,38% di tahun 2008 sebesar 66,01% dan 83,54% di tahun 2009. LDR terkecil pada tahun 2009 sebesar 29,63% oleh Bank Capital Indonesia Tbk. dan terbesar pada tahun 2008 oleh Bank Mayapada International Tbk. sebesar 97,97%. Tabel 10. Deskripsi LDR N
Minimum
Maximum
LDR_07
Mean
Std. Deviation
23
35,82
92,05
58,3865
13,46539
LDR_08
23
47,20
97,97
66,0087
12,16207
LDR_09
23
29,63
83,54
63,3965
13,06181
Valid N (listwise)
23
g. Harga Saham (Ps) Harga saham terbentuk dari kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di bursa (pasar sekunder). Hasil deskriptif harga saham dari 23 perusahaan perbankantahun 2007 rata-rata senilai Rp. 1.316,- tahun 2008 senilai Rp. 1.183,- dan Rp. 1.238,- di tahun 2009. Harga saham terkecil senilai Rp. 50,- terjadi pada tahun 2009 oleh Bank Century Tbk. dan Harga saham terbesar terjadi pada tahun 2007 oleh Bank Danamon Tbk. senilai Rp. 7.370,Tabel 11. Deskripsi Harga Saham N
Minimum
Maximum
PSaham_07
23
71,17
7370,83
1316,6522
Mean
Std. Deviation 1929,57224
PSaham_08
23
65,33
5510,42
1183,7461
1541,19578
PSaham_09
23
50,00
6280,42
1238,5804
1591,90909
Valid N (listwise)
23
4.1.2 Hasil Uji Asumsi Dasar Regresi Sebelum dilakukan pengujian hipotesis, terlebih dahulu dilakukan pengujian mengenai ada tidaknya pelanggaran terhadap asumsi-asumsi klasik. Hasil pengujian hipotesis yang baik adalah pengujian yang tidak melanggar tiga asumsi klasik yang mendasari model regresi linier, ketiga asumsi tersebut adalah sebagai berikut (Gujarati;1995) :
143
A. Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi antar anggota sampel yang diurutkan berdasarkan waktu Autokorelasi menunjukkan adanya kondisi yang berurutan antara gangguan atau distribusi yang masuk dalam regresi (Algifari;1997). Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi korelasi antara anggota serangkaian data observasi yang diurutkan menurut waktu (time series). Untuk mendeteksi terjadinya autokorelasi dalam penelitian ini maka digunakan uji DW dengan melihat koefisien korelasi DW test (Algifari;1997). Tabel 12. Tingkat Autokorelasi (Durbin Watson) DW
Kesimpulan
< 1,10 1,10 – 1,54 1,55 – 2,46 2,47 – 2,90 > 2,91
Ada Autokorelasi Tidak Ada Kesimpulan Tidak Ada Autokorelasi Tidak Ada Kesimpulan Ada Autokorelasi
Untuk selengkapnya hasil perhitungan uji autokorelasi pada industri perbankan dapat diikhtisarkan pada tabel 16 sebagai berikut: Tabel 13. Ikhtisar Hasil Uji Autokorelasi Variabel
DW
Kesimpulan
1,55 – 2,46
1,865
Tidak Ada Autokorelasi
B. Heteroskedastisitas Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dalam sebuah model regresi, dengan tujuan bahwa apakah suatu regresi tersebut terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari setiap pengamatan kepengamatan lainnya berbeda, maka disebut heteroskedastisitas Gejala heteroskedastisitas terjadi apabila disturbance terms untuk setiap observasi tidak lagi konstan tetapi bervariasi.
144
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Ada beberapa cara untuk menguji ada tidaknya situasi heteroskedastisitas dalam varian error terms untuk model regresi. Selain dilihat dari korelasi Pearson (> 5%) dalam penelitian ini digunakan metode chart (Diagram Scatterplot), dengan dasar pemikiran bahwa (Singgih, 2001): 1.
2.
Jika ada pola tertentu seperti titik-titik (poin-poin), yang ada membentuk suatu pola tertentu yang beraturan (bergelombang, melebar, kemudian menyempit), maka terjadi heteroskedastisitas. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar ke atas dan di bawah 0 (nol) pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
Terlihat pada gambar 1 bahwa titik-titik menyebar ke atas dan di bawah 0 (nol) pada sumbu Y serta tidak tampak adanya suatu pola tertentu pada sebaran data tersebut. Berdasarkan analisis ini maka variable tidak terdapat heteroskedastisitas. Scatterplot
Dependent Variable: P_Saham1
Regression Studentized Deleted (Press) Residual
4
3
2
1
0
-1
-2
-3 -4
-2
0
2
4
Regression Standardized Predicted Value
Gambar 1. Analisis Heteroskedastisitas C. Multikolinearitas Multikolinearitas adalah suatu keadaan dimana satu atau lebih variable dependent dinyatakan sebagai kombinasi linier dengan variable dependent lainnya. Jika suatu model regresi mengandung multikolinearitas maka kesalahan standar estimasi akan cenderung meningkat dengan bertambahnya variable dependent.
145
Multikolinearitas dapat dideteksi dengan : 1.
2.
Nilai deskriminasi yang sangat tinggi dan diakui dengan nilai F test yang sangat tinggi, serta tidak atau hanya sedikit nilai t test yang signifikan. Meregresikan model analisis dan melakukan uji korelasi antar variable dependent dengan menggunakan Variance Inflating Factor (VIF) dan Tolerance Value (Gujari,1995). Batas VIF adalah 10 dan Tolerance Value adalah 0,1 jika nilai VIF lebih besar dari 10 dan nilai Tolerance Value lebih kecil dari 0,1 maka terjadi multikolinearitas dan harus dikelompokkan dari model.
Hasil perhitungan korelasi industri perbankan diihtisarkan pada tabel 14 dibawah ini: Tabel 14. Ikhtisar Uji Multikolinearitas Model
Collinearity Statistics Tolerance VIF
CAR ,491 RORA ,320 BOPO ,470 NPM ,422 ROA ,301 LDR ,433 a. dependent varoables: P_Saham1
2,036 3,124 21,26 2,368 3,327 2,312
Berdasarkan tabel 12, keenam variable dependent tersebut memiliki VIF < 10 dan Tolerance Value > 0,1 maka tidak terdapat adanya gejala multikolinearitas pada data penelitian ini. D. Normalitas Uji normalitas adalah untuk menguji apakah model regresi, variabel independent, dan variabel dependent memiliki distribusi data normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan uji kolmogorov-smirnov satu arah atau analisis grafis. Dalam penelitian ini menggunakan analisis grafis, seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
146
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Dependent Variable: P_Saham1 1.0
Expected Cum Prob
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Observed Cum Prob
Gambar 2. Analisis Normalitas Jika residual berasal dari distribusi normal, maka nilai-nilai sebaran data akan terletak disekitar garis lurus. Terlihat bahwa sebaran data pada gambar di atas bisa dikatakan tersebar disekeliling garis lurus (tidak terpencar jauh dari garis lurus) sehingga dapat dikatakan bahwa persyaratan normalitas bisa terpenuhi. 4.1.3 Hasil Pengujian Hipotesis Secara Parsial, hipotesis penelitian yang menilai pengaruh capital, assets, management, earning, dan liquidity secara parsial dirangkum pada table 15. Tabel 15. Pengujian Hipotesis secara Parsial Model
Koef. Reg
t
sig.
Kesimpulan
Constant CAR RORA
540 -0,337 0,363
0,222 -2,577 2,241
0,825 0,012 0,029
Sig. < 5%; H1 diterima* Sig. < 5%; H1 diterima*
BOPO NPM
-0,203 0,505
-1,521 3,585
0,133 0,001
Sig. < 5%; H1 ditolak Sig. < 5%; H1 diterima*
ROA LDR
-0,133 0,113
-0,796 0,81
0,429 0,421
Sig. < 5%; H1 ditolak Sig. < 5%; H1 ditolak
147
Berdasarkan Tabel 15, dijelaskan sebagai berikut : 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Variabel CAR mempunyai koefisien regresi sebesar -0,337 dengan tingkat signifikansi 0,012 lebih kecil dari 5%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa H1 diterima, berarti variable CAR secara parsial berpengaruh signifikan terhadap harga saham perbankan. Variabel RORA mempunyai koefisien regresi sebesar 0,363 dengan tingkat signifikansi 0,029 lebih kecil dari 5%. Disimpulkan bahwa H1 diterima, artinya variable RORA secara parsial berpengaruh signifikan terhadap harga saham perbankan. Variabel BOPO mempunyai koefisien regresi sebesar -0,203 dengan tingkat signifikansi 0,133 lebih besar dari β=5%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa H1 ditolak, berarti variable BOPO secara parsial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan harga saham perbankan. Variabel NPM mempunyai koefisien regresi sebesar 0,505 dengan tingkat signifikansi 0,001 lebih kecil dari 5%. Disimpulkan bahwa H1 diterima, artinya variable NPM secara parsial berpengaruh signifikan terhadap harga saham perbankan. Variabel ROA mempunyai koefisien regresi sebesar -0,133 dengan tingkat signifikansi 0,429 lebih besar dari β=5%. Dengan demikian disimpulkan bahwa H1 ditolak, artinya variable ROA secara parsial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan harga saham perbankan. Begitu pula dengan Variabel LDR yang memiliki koefisien regresi sebesar 0,113 dengan tingkat signifikansi 0,421 lebih besar dari β=5%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa H1 ditolak, artinya variable LDR secara parsial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan harga saham perbankan.
Secara simultan, dari hasil pengolahan data pada Tabel 16 diketahui bahwa variabel independent (CAR, RORA, NPM, BOPO, ROA, LDR) mempunyai nilai F hitung sebesar 9,520 dengan nilai signifikansi yang lebih kecil dari β =5% yaitu 0,000. Dengan demikian, maka H1 diterima, berarti variabel independent secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham perbankan. Untuk lebih jelasnya hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel 16.
148
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Tabel 16. Uji Hipotesis secara Simultan ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 91169818 98954965 2E+008
df 6 62 68
Mean Square 15194969,67 1596047,815
F 9,520
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), LDR, ROA, CAR, NPM, BOPO, RORA b. Dependent Variable: P_Saham1
4.1.4 Financial Modelling yang Terbentuk Model keuangan yang terbentuk dari hasil perhitungan regresi berganda, adalah sebagai berikut: Y = 540 – 0,337 X1 + 0,363 X2 + 0,505 X3 – 0,133 X4 - 0,203 X5 + 0,113 X6 + e7 Dimana: Y α β1 …β6 X1 X2 X3
: : : : : :
Harga Saham Konstanta Koefisien regresi masing-masing variabel independen CAR X4 : ROA RORA X5 : BOPO NPM X6 : LDR
4.2 Pembahasan Penelitian Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis diketahui bahwa CAR, RORA dan NPM berpengaruh signifikan terhadap harga saham perbankan yang go public di BEI. Rasio CAR digunakan untuk mengukur sejauh mana kemampuan permodalan bank dalam mengantisipasi penurunan aktiva. Menurut Kasmir (2003:76) CAR merupakan rasio keuangan yang mengukur kemampuan bank menanggung risiko yang mungkin timbul atas aktiva. Pada dasarnya semakin tinggi CAR maka akan semakin tinggi pula harga saham karena bank yang mempunyai CAR yang tinggi berarti bank tersebut mempunyai modal yang cukup untuk melakukan kegiatan usahanya dan cukup pula menanggung resiko apabila bank tersebut dilikuidasi. Semakin tinggi CAR juga dapat menggambarkan bahwa bank tersebut semakin solvabel. Variabel NPM mencerminkan tingkat kembalian ekonomi dapat dipersamakan dengan 149
penghasilan diatas rata-rata. Penghasilan ini merupakan kelebihan penghasilan yang diharapkan seorang investor dari investasi lain dengan jumlah resiko yang serupa. Hal tersebut karena dengan besarnya kualitas manajemen yang diukur dengan besarnya perbandingan laba bersih terhadap pendapatan operasional. Hasil ini menunjukkan bahwa investor dalam pengambilan putusan investasi mempertimbangkan tingkat harga saham, tingkat pengembalian yang akan diperoleh dan juga mempertimbangkan kemampuan alat-alat likuid (dana dari pihak ketiga, pinjaman yang diterima dan modal inti ) terhadap kewajiban (hutang lancar) perusahaan. Pandangan ini dapat diterima karena usaha pokok perbankan adalah menghimpun dana masyarakat dan kemudian menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit. Variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham perbankan adalah: BOPO, ROA dan LDR. Variabel BOPO tidak berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham perusahaan perbankan disebabkan adanya kebijakan yang mengarah pada ekspansi perusahaan yang membutuhkan biaya besar. Variabel ROA yang mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba, disebabkan karena terjadinya penurunan pada laba perusahaan dan ratarata jumlah asset bank. Padahal untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, perusahaan memerlukan laba. Mengenai variabel LDR yang mencerminkan kegiatan usaha atau operasi seharihari perbankan. Investor akan lebih memilih bank-bank yang mampu membiayai operasinya dengan modal atau apabila harus dibiayai dengan hutang, maka bank tersebut harus bisa mengembalikannya dengan asset yang dimiliki dengan likuiditas bank yang tinggi maka hal tersebut akan dapat meningkatkan kepercayaan konsumen pada bank tersebut, sehingga membuat para investor melirik perusahaan tersebut untuk menanamkan modalnya dan akan berdampak pada kenaikan harga saham. V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
150
Secara parsial CAR, RORA dan LDR berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan harga saham perbankan, sedangkan untuk BOPO, ROA dan LDR tidak berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham perbankan di Bursa Efek Indonesia
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
2.
Secara simultan variabel: CAR, RORA, BOPO, ROA, LDR dan NPM berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham perbankan di Bursa Efek Indonesia
5.2 Saran Penelitian ini hanya terbatas pada kajian empiris tentang analisis pengaruh kinerja keuangan terhadap harga saham perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI), namun tidak bagaimana pemecahan masalah dan jalan keluar mengenai dampak kinerja keuangan perusahaan terhadap perubahan harga saham setiap periodenya. Diharapkan peneliti lain dapat melakukan pengembangan penelitian ini pada sub sektor, sektor atau bahkan seluruh sektor lainnya di BEI, atau dapat berkolaborasi dengan peneliti dari negara lain untuk membandingkan kinerja sub sektor atau sektor yang sama antar negara peneliti. DAFTAR PUSTAKA Adnyani, Widya. 2004, Pengaruh Earnings Per Share dan Return On Investment terhadap Stock Return Saham-saham Blue-Chip di Bursa Efek Jakarta Tahun 1998–2002, Fakultas Ekonomi, Universitas Udayana, Denpasar. Ardiani, Anita. 2007, Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Perubahan Harga Saham pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jurnal Akuntasi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. Astuti, Puji. 2002, Analisis CAR, ROA, Net Profit Margin (NPM) dan Loan to Deposit Ratio (LDR) terhadap harga pasar saham perusahaan perbankan di BEI, Jurnal Ekonomi dan Akuntansi. Artana, Budi. 2004, Analisis Perbedaan Rasio-rasio CAMEL Dalam Menilai Tingkat Kesehatan Bank Sebelum dan Sesudah Krisis Ekonomi Pada PT BPR ”Ubudmas Dharmasentana” di Sukawati, Gianyar. Fakultas Ekonomi, Universitas Udayana, Denpasar. Bank Indonesia. 2004, Peraturan Bank Indonesia No.6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Cooper, Donald R. and Pamela S. Schindler. 2009, Business research methods. 10th Ed. HD 30.4 E47. Tata McGraw-Hill Publising company Ltd., New Delhi.
151
Departemen Keuangan. 1990, Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 729 Tahun 1990 tentang Perbankan. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 87/KMK.01/2009 tanggal 24 Maret 2009 tentang Kinerja Perusahaan. Leki, Rofinus. 1997, Analisis Pengaruh Variabel Fundamental dan Teknikal terhadap Perubahan Harga Saham (Studi Kasus Industri Berat/Automotif & Allied Product yang Go Publik di Pasar Modal Indonesia), Program Pascasarjana, Universitas Brawijaya Malang. Merkusiwati, Lely Aryani. 2007, Evaluasi Pengaruh CAMEL Terhadap Kinerja Perusahaan. Buletin Studi Ekonomi. Volume 12 Nomor 1. Sudayasa. 2003, Penilaian Kinerja Keuangan Bank-bank yang Go Public Di Bursa Efek Jakarta Tahun 2001 (Melalui Pendekatan CAMEL), Program Studi Magister Manajemen, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar. Suwarno. 2003, Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat TAPA, Kuta (dengan Pendekatan CAMEL), Fakultas Ekonomi, Universitas Udayana, Denpasar. Santoso, Singgih. 2001, Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik Aplikasi dengan SPSS, PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Santoso, Budi. Totok dan Sigit Triandaru. 2006, Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Sari, Aini. dan Yuyun Nurul. 2004, Analisis Pengaruh CAR, LDR, ROA dan Besaran Perusahaan Terhadap Perubahan Laba Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEJ, Jurnal Manajemen Universitas Negeri Semarang. Silalahi. 1991, Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Harga Saham (Studi pada Pasar Modal Indonesia), Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Sulaiman. 1995, Analisis return on assets, devidend pay out ratio, leverage, tingkat pertumbuhan, likuiditas, struktur modal dan tingkat bunga deposito terhadap harga saham. Sparta. 2000, Analisis Rasio ROA, DPR, dan debt to equity (DER) terhadap price to book value (PBV). Suardana, Ketut Alit. 2007, Pengaruh Rasio Camel Terhadap Return Saham, Jurnal Akuntansi, Universitas Udayana.
152
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Sugiyono. 2007, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1988 tentang Perbankan. Zainuddin dan Jogianto Hartono. 1999, Manfaat Rasio Keuangan dalam Memprediksi Pertumbuhan Laba: Suatu Studi Empiris pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Volume 2 No. 1, Januari 1999.
153
KEPUASAN KERJA, KOMITMEN ORGANISASI, DAN INTENSI TURNOVER Habibullah Jimad9
ABSTRAK Intensi turnover sampai saat ini masih menjadi masalah yang menyita perhatian berbagai pihak, terutama pihak manajemen suatu organisasi. Hal ini berkaitan kerugian yang diakibatkan oleh turnover, seperti hilangnya tenaga kerja potensial dan berbakat, berkurangnya keunggulan kompetitif suatu perusahaan serta memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap karyawan. Keinginan untuk meninggalkan suatu organisasi umumnya didahului oleh niat karyawan yang dipicu antara lain oleh ketidakpuasan karyawan terhadap pekerjaan serta rendahnya komitmen karyawan untuk mengikatkan diri pada organisasi. Karyawan yang merasa kurang puas serta memiliki komitmen yang rendah memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk meninggalkan suatu organisasi. Artikel ini akan membahas keterkaitan antara ketiga variabel tersebut berdasarkan literatur yang dikaji untuk memperjelas keterkaitan ketiga ketiga variabel tersebut. Keyword: Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi, Intensi turnover.
PENDAHULUAN I. Latar Belakang Turnover karyawan merupakan masalah yang dihadapi oleh banyak perusahaan. Tingkat turnover yang tinggi berkaitan dengan berkurangnya kepuasan pelanggan, produktivitas, pertumbuhan pendapatan yang akan datang, dan profitabilitas (Zimmerman, 2008:309). Kepuasan kerja dan komitmen memegang peranan kunci pada terjadinya turnover (Glisson dan Durrick, 1988:65). Komitmen organisasi dan 9
Dosen Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Lampung
kepuasan kerja yang lebih tinggi akan mengurangi intensi turnover (Falkenburg dan Schyns, 2007:711). Komitmen yang tinggi akan meningkatkan rasa memiliki pekerja terhadap organisasi sehingga keinginan untuk meninggalkan organisasi akan berkurang. Kepuasan kerja juga merupakan faktor penentu yang sangat signifikan untuk memelihara karyawan agar tetap bertahan dalam suatu organisasi. Kurangnya semangat kerja karyawan serta ketidakpuasan terhadap suatu pekerjaan berhubungan dengan meningkatnya turnover dalam organisasi (Swafford dan Legg, 2009:163). Ketidakpuasan kerja juga cenderung akan menyebabkan karyawan merasa tidak berguna, tidak diapresiasi, dan keluar dari suatu organisasi (Shouksmith, 1994 dalam Tanner, 2007:3). Mobley et al (1979) dalam Biswas (2009:30) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan salah satu variabel penting yang menentukan intensi turnover. Karyawan yang merasakan kepuasan kerja dalam suatu organisasi memiliki kecenderungan untuk tetap berada pada organisasi tersebut, sedangkan karyawan yang merasa tidak puas terhadap suatu organisasi memiliki kecenderungan untuk meninggalkan organisasi tersebut. Kepuasan kerja serta komitmen organisasi memiliki keterkaitan satu sama lain. Kepuasan kerja mengacu pada keadaan emosional dan pikiran yang mencerminkan reaksi afektif terhadap pekerjaan dan situasi pekerjaan, sedangkan fokus dari komitmen organisasi adalah reaksi yang lebih global (emosional atau non-emosional) ke seluruh organisasi (Dipboye et al., 1994; Farkas dan Tetrick, 1989; Lance, 1991; Russell dan Price, 1988). Akibatnya komitmen organisasi kurang dipengaruhi oleh kejadian sehari-hari, berkembang selama waktu yang lebih lama dan lebih stabil daripada kepuasan kerja (Sagie, 1998; Dipboye et al, 1994 dalam Falkenburg dan Schyns, 2007:710). William dan Hazer (1968) dalam Glisson dan Durrick (1988:65) secara khusus membedakan kepuasan dan komitmen berdasarkan definisi yang dibentuk dari respon afektif terhadap keyakinan tentang organisasi dan pengalaman yang diperoleh dari suatu pekerjaan. Komitmen menekankan pekerjaan suatu organisasi termasuk tujuan serta nilai organisasi sedangkan kepuasan kerja menekankan pada lingkungan kerja yang spesifik dimana karyawan melakukan pekerjaaannya (Mowdays, Porter dan Steers, 1982).
156
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
II.
Kajian Pustaka
Kepuasan Kerja Secara umum kepuasan kerja dinyatakan sebagai beraneka ragam konstruk yang terdiri dari dua elemen yaitu elemen instrinsik dan elemen ekstrinsik (Howard dan Frink, 1996 dalam Gould, 2007:19). Baik perasaan (afeksi) maupun pikiran (kognisi) merupakan hal yang penting, sebagaimana dikemukakan oleh Saari dan Judge (2004), seseorang cenderung merasakan tentang apa yang mereka pikirkan dan berfikir apa yang mereka rasakan. Ketika seseorang mengevaluasi pekerjaan mereka berfikir tentang proses yang melibatkan perasaan. Robbins (2001:148) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Vroom (1964) dalam Nair (2007:39) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu sikap terhadap pekerjaan. Sikap positif terhadap pekerjaan secara konseptual berhubungan dengan kepuasan kerja. Hal ini berarti jika seseorang memiliki orientasi positif terhadap pekerjaannya maka ia puas dengan dengan pekerjaannya, namun jika ia memiliki orientasi negatif terhadap pekerjaannya maka dia tidak puas dengan pekerjaannya. Sebagai suatu sikap, kepuasan kerja terdiri dari komponen evaluatif, komponen afektif, dan komponen kognitif. Komponen evaluatif berkaitan dengan kesukaan atau keetidaksukaan terhadap organisasi. Komponen kognitif berkaitan dengan persepsi, pendapat, harapan mengenai organisasi (Kumar, Bakhshi, dan Rani, 2009:27) Locke (1976:1319) dalam definisinya tentang kepuasan kerja menjelaskan bahwa kepuasan kerja disebabkan adanya penilaian suatu pekerjaan yang dicapai atau dilakukan oleh seseorang yang memberikan nilai yang dapat memenuhi salah satu kebutuhan dasar (Nair, 2007:40). Karakteristik utama dari definisi yang dikemukakan oleh Locke (1976) yaitu orang menilai pekerjaannya berdasarkan bagaimana cara mengukur nilai pekerjaannya dan nilai pekerjaan berasal dari kebutuhan dasar. Meskipun proses penilaian diperoleh secara implisit dalam definisi yang dikemukakan oleh Vroom, Locke menyatakan dua tingkatan dalam proses kepuasan kerja yaitu nilai pekerjaan yang berasal dari kebutuhan dasar seseorang dan pencapaian dari nilai pekerjaan yang setara dengan kepuasan kerja. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian terhadap hasil pencapaian nilai-nilai pekerjaan yang penting untuk seseorang.
157
Kepuasan kerja dapat didefinisikan tingkat atau petunjuk pernyataan emosional atau orientasi afektif yang diperoleh dari penilaian satu pekerjaan atau suatu pengalaman kerja (Kallenberg, 1977; Locke, 1969 dalam Tanner, 2007:25). Berdasarkan definisi tersebut diketahui bahwa kepuasan ditentukan oleh beberapa komponen atau variabel yang mempengaruhi perasaan individu tentang lingkungan kerja mereka. Kepuasan kerja merupakan pengalaman yang menyenangkan atau perasaan positif yang dihasilkan dari evaluasi terhadap satu pekerjaan atau pengalaman kerja (Locke, 1976; Shaffer dan Horison, 1998 dalam Elci dan Alpkan, 2008 : 299). Dengan kata lain kepuasan kerja menjelaskan reaksi afektif dari suatu pekerjaan serta sikap terhadap pekerjaan. Berry (1997) dalam Tanner (2007:25) menyatakan bahwa kepuasan kerja secara sederhana merupakan reaksi individu terhadap pengalaman pekerjaan secara keseluruhan. Berdasarkan definisi tersebut dapat dinyatakan bahwa kepuasan kerja ditentukan oleh berbagai komponen atau variabel yang mempengaruhi perasaan individu tentang lingkungan kerja mereka. Schnake (1983) dalam Biswas (2009:30) mengonseptualisasikan tiga dimensi kepuasan kerja yang mewakili aspek intrinsik, ekstrinsik dan aspek sosial dari kepuasan kerja. Sebenarnya dimensi kepuasan kerja yang dikemukakan oleh Schnake (1983) mencakup respon afektif dan respon kognitif yang dibuat individu dalam lingkungan kerja mereka. Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Jenis kepribadian, keterampilan, keadilan, kepercayaan dan keterlibatan organisasi akan menpengaruhi kepuasan seseorang (Wesolowski dan Mossholder, 1997 dalam Tanner, 2007:25). Pekerjaan atau perusahaan juga berhubungan dengan kepuasan, dan pada beberapa kasus hal ini menjadi faktor penentu utama yang mempengaruhi kepuasan karyawan. Vroom (1964) dalam Nair (2007:42) mengidentifikasi enam faktor yang memungkinkan terjadinya kepuasan kerja, yaitu supervisor, kelompok kerja atau seseorang yang ditugaskan untuk bekerja dengan karyawan tersebut, deskripsi pekerjaan, gaji, kesempatan untuk dipromosikan, beban kerja. Sedangkan Locke (1976) mengidentifikasi tujuh kondisi penting yang menentukan kepuasan kerja, yaitu: (1) pekerjaan yang secara mental menantang dan berhasil dilakukan; (2) kepentingan 158
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
terhadap pekerjaan; (3) pekerjaan yang secara fisik tidak terlalu melelahkan; (4) imbalan atas kinerja yang adil, transparan dan sejalan dengan aspirasi pribadi; (5) kondisi kerja yang kompatibel dengan kebutuhan fisik dan dapat memfasilitasi tujuan kerjanya; (6) penghargaan terhadap karyawan; dan (7) perubahan di tempat kerja yang dapat membantu karyawan mencapai nilai-nilai kerja seperti pekerjaan yang menarik, gaji, dan promosi, serta nilai-nilai dasar yang dapat meminimalkan konflik dan ambiguitas. Pendapat yang dikemukakan oleh Vroom (1964) dan Locke (1976) tersebut lebih menekankan kepada lingkungan kerja sebagai faktor penentu kepuasan kerja karyawan, sedangkan Wellowski lebh menekankan kepada aspek pribadi atau kedaan individu yang akan menentukan kepuasannya dalam bekerja. Beberapa teori lain menyatakan bahwa kepuasan kerja ditentukan oleh kombinansi dari berbagai imbalan kerja. Herzberg et al (1957) dalam Tanner (200:26) menyatakan dua kelompok dasar dari imbalan kerja, yaitu (1) faktor instrinsik, seperti pencapaian, pengakuan, serta kemajuan; an (b) faktor ekstrinsik seperti gaji, konsisi kerja dan keselamatan kerja. Motazz dan Potts (1986) dalam Tanner (200:26) mengajukan model imbalan yang dirasakan (perceived reward model) sebagai suatu kerangka untuk memahami kepuasan kerja secara keseluruhan. Model ini mengungkapkan lima imbalan ekstrinsik yang dipercaya sangat berpengaruh terhadap kepuasan kerja, yaitu (1) supervisor, tingkat dimana supervisor dirasakan mendukung dan membantu (2) rekan kerja, (3) kondisi kerja, (4) gaji, dan (5) kesempatan untuk dipromosikan. Dengan mengacu pada beberapa pendapat yang dikemukakan dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang menentukan kepuasan kerja seseorang, antara lain faktor pribadi, pekerjaan itu sendiri, lingkungan kerja, serta imbalan yang diperoleh. Pengukuran Kepuasan Kerja Penelitian yang dilakukan oleh Biswas (2009:32) mengukur kepuasan kerja dengan tiga dimensi yang dikemukakan oleh Schnake (1983), yaitu intrinsik, ekstrinsik dan kepuasan sosial. Kepuasan juga dapat diukur dengan menggunakan Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). MSQ adalah instrumen yang mengukur kepuasan 159
dengan mengunakan beberapa aspek lingkungan kerja yang berbeda. MSQ ini didasarkan pada Theory of Work Adjustment yang menyatakan bahwa penyesuaian dapat diprediksi dengan pencocokan kepribadian dan lingkungan dalam pengaturan pekerjaan (Swafford dan Legg, 2009:164). Job Descriptive Index (JDI) banyak digunakan uuntuk mengukur kepuasan kerja. JDI mengukur lima segi kepuasan karyawan, termasuk kepuasan kerja itu sendiri, kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap kesempatan memperoleh promosi, kepuasan terhadap supervisi, dan kepuasan terhadap rekan kerja (Gould, 20077:49). Komitmen Organisasi Scot, Corman dan Cheney (1998) dalam Popoola (2005:36) menyatakan bahwa komitmen organisasi merupakan kelompok besar dari konstruk yang menjelaskan hubungan organisasi dan individu yang terdiri dari identifikasi organisasi, loyalitas kerja, kesukaan terhadap pekerjaan dan keterlibatan kerja. Steers (1977) dalam Kumar, Bakhshi, dan Rani (2009:27) mendefiniskan komitmen orrganisasi sebagai kekuatan relatif individu dan keterlibatan dalam organisasi tertentu. Mowday et al (1979) dalam artikel yang sama menyatakan bahwa komitmen organisasi merupakan respon afektif yang berpengaruh terhadap loyalitas organisasi. Banay, Moshe, Reisel dan William (1993) dalam Popoola (2005:37) menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah (1) keyakinan yang kuat, dan penerimaan terhadap tujuan dan nilai suatu organisasi, (2) Kemauan untuk berupaya memiliki keterlibatan dalam organisasi, (3) Keinginan yang kuat untuk loyal terhadap organisasi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa komitmen merupakan rasa keterikatan karyawan terhadap organisasi serta menjadi faktor penentu seseorang untuk tetap tinggal dan loyal terhadap organisasi. Komitmen organisasi dipengaruhi oleh sedikit kejadian harian, berlangsung dalam waktu yang cukup lama sehingga lebih stabil daripada kepuasan kerja (Sagie, 1998; Dipboye et al, 1994 dalam Bibby, 2008:68). Meyer dan Allen (1991) dalam Falkenberg dan Schyns (2007:709) menyatakan bahwa secara garis besar, komitmen terdiri dari tiga dimensi yaitu dimensi afektif, normatif dan komitmen berkelanjutan. Dimensi 160
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
afektif berkaitan dengan aspek penerimaan tujuan organisasi, nilai-nilai, serta keinginan untuk tetap berada pada organisasi (Dipboye et., 1994; McCaul et al, 1995.) Dimensi komitmen berkelanjutan mengacu pada komitmen karyawan untuk tidak meninggalkan organisasi karena merasa mereka telah memiliki andil terhadap perusahaan ataupun karena memiliki alternatif yang terbatas. Buchanan (1974); Mowday, Porter dan Steer (1982); dan Reichers (1985) dalam Popoola (2005:37) menyatakan tiga pendekatan yang berbeda untuk mengonseptualisasikan komitmen organisasi. Pendekatan pertama yaitu perubahan cara pandang tentang komitmen organisasi sebagai hasil dari transaksi antara organisasi dan anggotanya. Komitmen dari perspektif ini dapat dilihat sebagai suatu konstruk yang didasarkan pada hadiah dan biaya yang berhubungan dengan keanggotaan organisasi (Alluto, Hrebiniak dan Alonso, 1973; Farrell dan Rusbult, 1981). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa komitmen bersifat multidimensional yang memiliki komponen sikap dan komponen perilaku (O’Reily dan Chatman, 1986 dalam Glisson dan Durrick, 1988:66). Salancik (1977) dalam artikel yang sama menjelaskan bahwa komitmen sebagai perilaku dihasilkan dari hambatan yang dirasakan dari kemauan pekerja untuk meninggalkan organisasi dan dari pilihan yang mengikatnya pada organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa komitmen terhadap suatu organisasi akan menghubungkan seseorang dengan organisasi tersebut, dapat menimbulkan rasa memiliki terhadap organisasi, dan pada akhirnya akan membuat seseorang bertahan serta loyal terhadap organisasi. Komponen Komitmen Organisasi Matthew dan Zajac (1980) dalam Popoola (2005:38) mengidentifikasi beberapa bagian dari komitmen organisasi, yaitu karakteristik personal (umur, masa jabatan, jenis kelamin dan kemampuan), peran negara (peran ambiguitas, konflik serta beban kerja), karakeristik pekerjaan (otonomi tugas, tantangan, cakupan tugas), kelompok pimpinan (inisiatif pimpinan, kepemimpinan partisipatif) dan karakteristik organisasi (ukuran dan sentralisasi). Faktor lain yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah sistem imbalan, kesempatan bagi pekerja,dukungan yang diberikan organisasi kepada karyawan, kesempatan untuk kemajuan karier, keamanan kerja, nilai serta tujuan (Bateman dan Strasser, 1984; O’Reily dan Chatman, 1986; Shore dan Wayne, 1993 dalam Popoola, 1995:38). 161
Porter et al (1974) dalam Kumar, Bakhshi, dan Rani (2009:30) mengidentifikasi tiga faktor yang berhubungan dengan komitmen organisasi, yaitu (1) keyakinan yang kuat terhadap nilai serta tujuan organisasi; (2) keinginan untuk membangun organisasi, (3) kemauan yang kuat untuk menjaga keanggotaan pada suatu organisasi. Intensi Turnover Lyons (1971) dalam Bibby (2008:68) mendefinisikan intensi turnover sebagai kecenderungan untuk meninggalkan pekerjaan. Niat untuk meninggalkan pekerjaan termasuk berfikir untuk berhenti dari suatu organisasi, serta pernyataan yang dikeluarkan oleh karyawan untuk benar-benar meninggalkan organisasi (Park dan Kim, 2009:23). Diantara banyak faktor yang menyebabkan intensi turnover antara lain kompensasi yang rendah, manfaat yang diperoleh tidak memadai, kurangnya penghargaan yang diberikan oleh atasan merupakan alasan utama karyawan meninggalkan pekerjaannya (Goolsby, 2005 dalam Bibby, 2008:68). Turnover umumnya disebabkan oleh empat determinan (Mobley, 1992) dalam Bibby (2008:68). Kelompok pertama terdiri dari faktor eksternal, seperti ketersediaan pekerjaan. Determinan kedua adalah faktor organisasional termasuk gaji, imbalan, penghargaan, gaya pengawasan, pekerjaan serta lingkungan kerja. Determinan ketiga adalah faktor individu yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, seperti pertimbangan keluarga dan karier. Determinan keempat adalah faktor individu yang berhubungan dengan pekerjaan seperti pekerjaan yang tidak menarrik atau tidak menantang ( Mobley, 1992). Moynihan dan Pandey (2007) dalam Liu, Liu dan Hu (2010:617) menyatakan tiga faktor yang mempengaruhi intensi turnover yaitu (1) lingkungan atau ekonomi, (2) pekerja, dan (3) tingkatan organisasi. Keterkaitan antara Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi dan Intensi Turnover Berbagai analisis data yang dilakukan sebelumnya baik secara empiris maupun teoritis menunjukkan bahwa kepuasan kerja merupakan bagian dari komitmen organisasi. Hal ini disebabkan perlu waktu lama untuk membangun suatu komitmen dan komitmen lebih stabil daripada kepuasan kerja (Bibby, 2008:68).
162
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Marsh dan Mannari (1977) dalam Glisson dan Durick (1988:61) menyatakan bahwa kepuasan merupakan awal terjadinya komitmen terhadap suatu organisasi. Hal ini berarti bahwa seseorang yang merasakan kepuasan bekerja dalam suatu organisasi memiliki kecenderungan untuk mengikatkan diri pada suatu organisasi, merasa sebagai bagian dari organisasi dan cenderung akan loyal terhadap suatu organisasi. Loyalitas karyawan terhadap organisasi akan mengurangi tingkat turnover karyawan yang berarti akan menghemat biaya, meningkatkan kepuasan konsumen, meningkatkan daya saing perusahaaan, serta meningkatkan produktivitas karyawan. Kepuasan kerja dan komitmen memegang peranan kunci pada terjadinya turnover (Glisson dan Durrick, 1988:65). Komitmen organisasi dan kepuasan kerja yang lebih tinggi akan mengurangi intensi turnover (Falkenburg dan Schyns, 2007:711). Dapat dikatakan bahwa karyawan yang merasakan kepuasan bekerja dalam suatu organisasi akan memiliki komitmen yang tinggi untuk tetap bertahan dalam organisasi tersebut. Komitmen yang tinggi akan meningkatkan rasa memiliki pekerja terhadap organisasi sehingga keinginan untuk meninggalkan organisasi akan berkurang. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Tett dan Mayer (2006) dalam Huning dan Thomson (2010:29) yang melakukan pengujian meta analisis dan menemukan serta menyimpulkan bahwa kepuasan kerja berhubungan sangat erat dengan intensi turnover, dan pengaruh kepuasan kerja lebih besar daripada pengaruh komitmen organisasi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa faktor terbesar yang menentukan niat karyawan untuk keluar atau bertahan dalam suatu organisasi adalah kepuasan kerja. Karyawan yang merasa puas akan memilih bertahan dalam suatu organisasi, sedangkan karyawan yang merasa tidak puas akan berfikir dan memiliki niat untuk meninggalkan suatu organisasi. DAFTAR PUSTAKA Bibby, C. L. 2008. Should I Stay or Should I Leave? Perception of Age Discrimination, Organizational Justice, and Employee Attitudes on Intentions to Leave. Vol.13. No. 2. Page 63-86. Biswas, S. 2009. Job Satisfaction and Job Involvement as Mediators of The Relationship Between Psychologycal Climate and Turnover Intention. South Asia Journal of Management. Vol.16. No.1. Page 27-43.
163
Elci, M. & Alpkan, L. 2009. The Impact of Perceived Organizational Ethical Climate on Work Satisfaction. Journal of Business Ethics. Page 297311. Falkenburg, K & Schyns, B. 2007. Work Satisfaction, Organizational Commitment and Withdrawal Behaviours. Management Research News. Vol.30. No.10. Page 708-723. Glisson, C. & Durick, M. 1988. Predictors of Job Satisfaction and Organizational Commitment in Human Service Organization. Administrative Science Quarterly. Vol. 33. No.1. Page 61-81. Gould, M. 2007. Distance Education: A Measurement Of Job Satisfaction Of Full-Time Business Faculty In Association Of Collegiate Business Schools And Programs At Accredited Colleges Of Busines. Dissertation. US: Capella University. Huning, T.M. & Thomson, N.F. 2010. Proceeding of The Academy of Organozational Culture, Communications and Conflict. Page 27-31. Kumar, K., Bakhshi, A., & Rani, E. 2009. Organizational Justice Perceptions as Predictor of Job Satisfaction and Organizational Commitment. The IUP Journal of Management Research. Vol. VIII. No. 10. Page 24-37. Liu, B., Liu, J.& Hiu, J. 2010. Person-Organization Fit, Job Satisfaction and Turnover Intention: An Empirical Study in The Chinese Public Sector. Social Behavior and Personality. Vol.38. No. 5. Page 615-626. Nair, P.K. 2007. A Path Analysis Of Relationships Among Job Stress, Job Satisfaction, Motivation To Transfer, And Transfer Of Learning: Perceptions Of Occupational Safety And Health Administration Outreach Trainers. Dissetation. Texas A&M University. Popoola, J.K. 2005. Organizational Identification and Commitment as Correlates of Job Satisfaction. Dissertation.Washington: Howard University. Robbins, S. P. 2002. Perilaku Organisasi. Edisi Kedelapan. Jakarta: PT Prenhalindo. Swafford, L. G & Legg, J. S. 2009. Determinant of Job satisfaction Among Radiation Therapy Faculty. Journal of Allied Health. Vol 38. No. 29. Page 163-169. Tanner, Jr & Bobby M. 2007. An Analysis Of The Relationships Among Job Satisfaction, Organizational Trust, And Organizational Commitment In An Acute Care Hospital. Dissertation. California: San Fransisco.
164
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Zimmerman, R.D. 2008. Understanding the Impact of Personality Traits on Individuals’ Turnover Decision: A Meta-Analytic Path Model. Personnel Psychology. Vol.61. Iss.2. Page 309.
165
ANALISIS MENGAPA SEBUAH USAHA MENGGUNAKAN SISTIM BAGI HASIL Heru Wahyudi 10
ABSTRAK Upah memiliki peranan penting bagi pekerja, bagi pemilik usaha, dan bagi pemerintah, oleh karena itu keseimbangan pengupahan harus diupayakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan mengapa sebuah usaha menggunakan model bagi hasil dari perspektif pemilik modal, penggusaha, serta melihat kecocokan diantara keduanya. Hasil penelitian membuktikan bahwa alasan utama pemilik usaha menggunakan model bagi hasil yaitu menggunakan bagi hasil karena dalam rangka mencontoh nabi/alasan agama, memiliki kecocokan dengan alasan karyawan sebesar 72,32%. Kata Kunci : Bagi hasil, persepsi.
A. PENDAHULUAN Masalah pengupahan bukanlah masalah baru di Indonesia, negara kita ini telah akrab dengan kasus pengupahan, bahkan sampai hari ini masalah upah buruh tidak kunjung selesai, terlebih setiap tanggal 1 Mei bertepatan dengan hari buruh dunia, selalu muncul tuntutan perbaikan upah dan kesejahteraan buruh dan karyawan. Pemerintah bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya, dimana setiap berbicara kesejahteraan rakyat tidak terlepas dari masalah perburuhan. Setiap usaha peningkatan kesejahteraan buruh akan berdampak pada kesejahteraan penduduk secara keseluruhan, dengan kata lain kesejahteraan penduduk indonesia tidak akan tercapai tanpa adanya peningkatan kesejahteraan buruh. Kesejahteraan buruh erat kaitannya dengan upah yang diterima.
10
Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Lampung
Upah memiliki kedudukan yang sangat penting, bagi buruh dan keluarganya, bagi pengusaha, serta bagi kepentingan nasional secara luas. Bagi pekerja, upah merupakan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarga secara langsung. Bagi pengusaha, upah mempengaruhi biaya produksi dan tingkat harga, yang kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan produksi, perluasan dan pemerataan kesempatan kerja. Bagi pemerintah, upah merupakan sarana pemerataan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu keseimbangan upah harus diupayakan. UMR(Upah Minimum Regional) yaitu upah bulanan terendah yang ditetapkan pemerintah yang diberlakukan untuk satu wilayah, merupakan batas minimal upah yang harus diberikan kepada pekerja, yang diharapkan dengan batas minimal tersebut dapat mencukupi kebutuhan pokok minimal secara layak. Pengusaha menginginkan ketentuan upah minimum rendah, sedangkan serikat buruh menghendaki upah minimum yang tinggi, dari kondisi inilah maka penentuan upah minimum selalu bermasalah. Upah minimum juga menimbulkan masalah lain yaitu apabila dihadapkan dengan jumlah penduduk yang besar, maka dengan adanya upah minimum akan mengakibatkan penurunan permintan tenaga kerja sehingga pengangguran akan semakin meningkat. Selain upah minimum, model pengupahan yang selalu timbul permasalahan dalam penentuannya adalah upah harian. Dengan permintaan tenaga kerja yang terbatas sedangkan penawaran tenaga kerja yang tinggi, maka upah harian selalu tidak berpihak kepada pekerja, tapi pengusahalah yang berkuasa mementukan upah harian tersebut. Bagi perusahaan kecil yang terkena regulasi upah minimum ini, akan berahir fatal yaitu bubarnya perusahaan karena tidak mampu membayar upah minimum. Disisi lain naiknya upah minimum akan menyebabkan permintaan tenaga kerja turun, sehingga upah berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja. Selain itu kenaikan upah minimum akan memicu inflasi, karena upah dan harga saling terkait dan berhubungan positif. Kemudian yang lebih menakutkan adalah ketentuan upah minimum akan menyebabkan kesenjangan sektor yang terkena peraturan dan sektor informal, sehingga disektor yang diregulasi terjadi penghambatan penciptaan lapangan kerja, dan terjadi penurunan upah disektor yang tidak diregulasi karena tenaga kerja membanjiri sektor informal, sehingga supply dan demand berjalan. Akhirnya sektor 168
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
informal, buruh formal dan profesional sangat menonjol perbedaanya. Posisi upah minimum akan lebih sulit lagi kondisinya bila dihadapkan globalisasi ekonomi, dimana investor akan memilih negara yang sanggub memberikan kemudahan dalam investasi termasuk ongkos buruh yang murah. Apabila upah buruh dibiarkan mengikuti mekanisme pasar dalam kondisi jumlah buruh lebih besar daripada jumlah lapangan kerja, maka upah buruh akan lebih parah, dan buruh akan sulit sejahtera, namun apabila kebijakan upah minimum dilakukan akan berpengaruh terhadap penurunan lapangan kerja, yang akhinya akan menurunkan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan. Walau begitu sampai saat ini, upah minimum masih ditetapkan sebagai dasar acuan pengupahan yang dianggab ideal, padahal seharusnya dicarikan solusi alternatifnya. Islam sebagai agama dijamin oleh Allah yang sempurna dan universal berdimensi dunia dan akherat tentu memiliki solusi mengatasi masalah kehidupan dunia ini yang diantaranya yaitu masalah pengupahan. Supaya dapat mencapai keadilan dan terhindar dari kedholiman dalam bermuamalah, maka islam memperkenalkan 2 konsep yaitu kontrak ijaroh dan kerjasama berupa musyarokah dan mudhorobah, dengan model distribusi pendapatan berupa bagi hasil(Profit-loss sharing). Bagi hasil adalah proporsi pembagian hasil usaha dalam ukuran prosentase atas kemungkinan keuntungan/kerugian riil yang akan diperoleh pihak-pihak yang bekerja sama. Jumlah nominal bagi hasil akan berfluktuasi sesuai dengan keuntungan riil dari pemanfaatan dana. Model bagi hasil paling sesuai dengan fitrah dalam berusaha yaitu kondisi untung, rugi, juga brek even point/ pulang pokok, namun model ini kurang disuarakan. Salah satu usaha yang menjalankan bisnisnya berdasarkan bagi hasil di Provinsi Lampung adalah RM. Puti Minang Gruop, didirikan oleh Bpk.H.Andi Kusnadi, M.T.M.M, setelah usaha didirikan, kemudian operasional diserahkan kepada pengelola yaitu seluruh karyawan, sedangkan kebijakan perusahaan ditangan pemilik usaha. Dalam kondisi perekonomian yang seperti apapun dengan sistim yang digunakan ini, ternyata membuat Puti Minang Group masih tetap bisa berjalan dengan baik.
169
Masalah dan tujuan penelitian Berkaitan dengan ketentuan upah minimum, pengusaha mengiginkan upah minimum yang rendah, sedangkan buruh menginginkan upah yang tinggi, sehigga masalah upah tidak terselesaikan, untuk itu perlu dicari solusi pengupahan yang tepat dan adil. Berdasarkan rumusan masalah, maka pertanyaan penelitian ini adalah apakah yang menjadi alasan mengapa sebuah usaha menggunakan sistim bagi hasil dalam berusaha. Tujuan Penelitaian ini adalah : Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mengetahui alasan yang melatarbelakangi mengapa bagi hasil digunakan dalam berusaha.?
2.
Mengetahui prosentase kesamaan Argumen pengusaha dan karyawan mengenai alasan menggunakan sistim bagi hasil dalam usaha.
B. LANDASAN TEORI Pemerintah bertangung jawab untuk mensejahterakan warganya, berkaitan dengan hal ini pemerintah dihadapkan dengan permasalahan jumlah penduduk yang besar dan lapangan pekerjaan yang terbatas, masalah buruh muncul ketika buruh menuntut upah yang tinggi, sedangkan pengusaha menginginkan upah yang rendah. Apabila tuntutan buruh dituruti, maka dalam era globalisasi seperti ini akan membuat pengusaha tidak tertarik untuk berivestasi, atau inflasi karena biaya prosduksi yang tinggi, atau PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) untuk menekan biaya agar produk dapat bersaing. Upah apabila dilepas sesuai mekanisme pasar, maka dengan kondisi jumlah penduduk yang besar dengan lapangan kerja yang terbatas, maka upah akan lebih rendah lagi. Sedangkan apabila yang dituruti adalah keinginan pengusaha berupa upah yang rendah, maka tanggung jawab pemerintah untuk mensejahterakan rakyat akan sangat sulit. Dengan segala kondisi yang ada pemerintah membuat peraturan tentang upah minimum, pengusaha menginginkan upah minimum yang rendah, sedangkan serikat buruh menuntut upah minimum yang lebih tinggi
170
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
lagi, inilah kondisi sulit berkaitan dengan pengupahan, sehingga perlu dicari solusi menyelesaikan masalah ini. Berkaitan dengan penyelesaian masalah ini, Islam memperkenalkan 2 konsep yaitu kontrak ijaroh dan kerjasama berupa musyarokah dan mudhorobah, dengan model distribusi pendapatan berupa bagi hasil(profit-loss sharing). Bagi hasil adalah proporsi pembagian hasil usaha dalam ukuran prosentase atas kemungkinan keuntungan/kerugian riil yang akan diperoleh pihak-pihak yang bekerja sama. Jumlah nominal bagi hasil akan berfluktuasi sesuai dengan keuntungan riil dari pemanfaatan dana. Dalam Islam, hubungan antara majikan-pekerja idealnya adalah hubungan antara saudara sesama makluk Allah, seorang pekerja tidak boleh dibebani dengan tugas yang terlalu berat atau sulit di luar kemampuannya, namun pekerja juga tidak boleh berbuat dholim terhadap majikannya dengan menyia-nyiakan pekerjaanya. Model bagi hasil sangat menghargai nilai manusia dan sesuai dengan fitroh berusaha, dimana hasil riil yang akan menjadi patokan dalam pengupahan. Dengan Model bagi hasil pengusaha tidak menjadikan upah sebagai biaya, karena yang menjadi biaya sesungguhnya adalah biaya-biaya yang muncul dalam rangka menghasilkan laba. Tanpa menganggung biaya upah berarti pengusaha akan punya kesempatan bayak untuk pengembangan usaha/ekspansi usaha.Di sisi lain, model bagi hasil akan memotivasi karyawan untuk mengasilkan laba yang paling banyak karena semakin besar laba yang diperoleh akan berdampak pada besarnya bagi hasil yang diterima, dan semakin kecil laba yang diperoleh, maka semakin sedikit bagi hasil yang diterima. Model bagi hasil akan memotivasi, sehingga dengan sistim bagi hasil ini karyawan dengan pekerjaan yang sama akan dapat memperoleh hasil riil yang berbeda pada cabang usaha yang berbeda karenanya dengan upah model bagi hasil karyawan tidak akan begitu peduli dengan jabatan pekerjaan, tetapi justru akan sangat peduli dengan hasil riil usaha yang dijalankan karena hasil ini yang akan dibagikan. Jadi dengan kerangka fikir yang demikian dapat ditarik benang merah bahwa sistem upah bagi hasil terhindar dari konflik penentuan upah antara pengusaha dan pekerja. Dengan model upah bagi hasil ini, maka upah minimum dan upah harian akan sangat mungkin untuk bisa dipenuhi, bahkan dengan semangat produktivitas maka upah bagi hasil 171
bisa melebihi ketentuan upah minimum dan upah harian. Selain itu dengan sistem bagi hasil akan memberikan bagi hasil yang berbeda untuk pekerjaan yang sama apabila dikerjakan ditempat yang berbeda. Apabila digambarkan pola pikir penulis sebagai berikut: C. METODA PENELITIAN Penelitian ini menggunakan populasi, jadi semua karyawan RM.Puti Minang akan menjadi objek penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer diperoleh dari wawancara dan kuisoner. Untuk menggetahui urutan ke satu sampai ke sepuluh alasan menggapa RM.Puti Minang Group menggunakan model bagi hasil, dilakukan dengan kuisoner dan analisis diskriptif dengan bantuan tabel. D. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Argumen Menggunakan Model Bagi Hasil Dalam Usaha 4.1.1. Alasan Shohibul Maal Menggunakan Model Bagi Hasil Dalam berusaha. Pihak yang paling menentukan untuk berlakunya model bagi hasil adalah kemauan dari pemilik usaha/sohibul maal. Bagi sohibul maal/pemilik usaha, sesungguhnya akan dirugikan secara materi atau dari nominal ekonomi, karena nilai nominal bagi hasil yang harus direlakan untuk karyawan nilainya berkisar 2 sampai 10 kali lipat dari upah minimum. Oleh karena itu, pembahasan tentang alasan mengapa shohibul maal mau dengan model bagi hasil layak untuk di dahulukan. Dari quisoner yang diberikan, pemilik usaha memberikan jawaban quisoner, berupa urutan alasan mengapa menggukan model bagi hasi dalam berusaha adalah sebagaimana dalam tabel 4.12 berikut: Tabel 4.1 Alasan Shohibul Maal Menggunakan Model Bagi Hasil Alasan Urutan
A 1
B 5
C 4
D 3
E 2
F 8
G 10
H 6
1 7
J 9
Sumber ; data Primer ; 2010 Keterangan: A. Untuk mencontoh nabi/ mentaati syariat/ untuk syiar agama islam B. secara ekonomi bagi hasil lebih menguntungkan C. karena bagi hasil lebih kekeluargaan D. karena bagi hasil membuat termotivasi kerja E. karena bagi hasil menumbukan rasa memiliki 172
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
F. G. H. I. J.
karena bagi hasil lebih adil karena bagi hasil sudah adat kebiasaan karena bagi hasil membuat nyaman bekerja karena bagi hasil lebih transparan karena bagi hasil praktis
Berdasarkan jawaban dari pemilik usaha tentang alasan mengapa menggunakan sistim bagi hasil dalam usaha yang dijalankan terlihat bahwa alasan pertama : karena mentaati syariah/untuk syiar agama islam/mencontoh nabi. Alasan kedua adalah bagi hasil akan menumbuhkan rasa memiliki. Alasan ketiga karena bagi hasil akan membuat termotivasi kerja. Alasan keempat yaitu bagi hasil lebih kekeluargaan. Alasan kelima yaitu karena secara ekonomi lebih menguntungkan. Alasan keenam yaitu bagi hasil akan membuat nyaman bekerja. Alasan ketujuh karena transparansi. Alasan kedelapan karena bagi hasil lebih adil. Alasan kesembilan adalah bagi hasil praktis. Dan alasan terahir mengapa menggunakan bagi hasil adalah karena bagi hasil sudah menjadi adat kebiasaan. 4.1.2. Alasan Karyawan Menggunakan Model Bagi Hasil Andai saja karyawan tidak mau dengan model bagi hasil, maka sebaik apapun sohibul maal maka sistem bagi hasil ini tidak bisa berjalan, oleh karena itu perlu diteliti sesungguhnya apa yang menjadi alasan karyawan rekan usaha memilih di upah dengan upah bagi hasil dari pada upah minimum atau upah harian. Para karyawan rekan usaha sekiranya tidak mau dengan bagi hasil tentu mereka akan memilih untuk menjadi karyawan biasa sehingga tidak perlu bersusah payah mencari bagi hasil yang belum pasti, bukan menjadi rekan usaha, atau mereka bisa bekerja ditempat lain yang menggunakan upah selain bagi hasil. Untuk mengetahui alasan karyawan mengapa menggunakan model bagi hasil dilakukan dengan penyebaran kuisoner kepada keseluruh karyawan dengan status rekan usaha karena merekalah yang berhak atas bagi hasil di Puti Minang Group dan tidak kepada karyawan calon anggota atau karyawan anggota, para karyawan diminta mengisi alasan terpenting (1) sampai alasan paling tidak penting (10) mengapa mereka mau menggunakan sistim bagi hasil untuk menetukan upah mereka. Berdasarkan quisoner yang dibagikan sebagaimana bentuknya pada lampiran 3, inilah rekapan jawaban dari karyawn tentang alasan 173
mengapa sistim bagi hasil digunakan karyawan Puti Minang Group untuk menentukan upah mereka. Tabel 4.2 Rekap Jawaban Mengapa Karyawan Menggunakan Model Bagi Hasil Alasan Rengking 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 jumlah
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
81 19 5 3 4 112
18 25 21 15 12 8 7 2 2 2 112
6 26 26 27 7 3 10 1 6 112
1 14 35 40 7 5 6 2 2 112
2 16 11 9 34 25 8 3 4 112
3 5 2 8 33 25 23 10 3 112
2 6 6 6 25 30 18 11 8 112
4 3 2 6 8 12 47 28 2 112
1 1 2 4 1 10 11 25 50 7 112
1 1 3 3 5 9 90 112
Jumlah 112 112 112 112 112 112 112 112 112 112
Sumber : data primer ; diolah 2010 Nb ( - ) berarti tidak ada yang memberi jawaban ( 0 ) 1, 2, 3, 4 dan seteruasnya adalah rengking dan A, B, C adalah jenis alasannya 1. Prioritas Yang Menjadi Alasan Pertama Pembahasan akan dimulai dari alasan terpenting, bernomor satu, mengapa karyawan menggunakan sistim bagi hasil, jawaban karyawan sebagai alasan pertama tertera pada tabel berikut: Tabel 4.3 Prioritas Yang Menjadi Menggunakan Bagi Hasil Alasan 1 %
A 81 72,32
B 18 16,07
C 6 5,35
D 1 0,89
E 2 1,78
Alasan
F 3 2,67
G -
Pertama
H -
I 1 0,89
Karyawan
J -
jumlah 112 100%
Sumber : Data Pimer Penelitian; 2010 Keterangan: A. Untuk mencontoh nabi/ mentaati syariat/ untuk syiar agama islam B. secara ekonomi bagi hasil lebih menguntungkan C. karena bagi hasil lebih kekeluargaan D. karena bagi hasil membuat termotivasi kerja E. karena bagi hasil menumbukan rasa memiliki F. karena bagi hasil lebih adil G. karena bagi hasil sudah adat kebiasaan 174
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
H. karena bagi hasil membuat nyaman bekerja I. karena bagi hasil lebih transparan J. karena bagi hasil praktis 2. Prioritas Yang Menjadi Alasan Kedua Setelah selesai membahas alasan pertama, maka dilanjutkan dengan pembahasan alasan kedua mengapa karyawan menggunakan model bagi hasil untuk menentukan upah mereka, alasan tersebut sebagaimana termuat dalam tabel di bawah ini: Tabel 4.4 Prioritas Yang Menjadi Menggunakan Bagi Hasil Alasan 2 %
A 19 16,96
B 25 22,32
C 26 23,31
D 14 12,5
E 16 14,2
Alasan
F 5 4,46
G 2 1,7
Kedua
H 4 3,5
I 1 0,8
Karyawan
J -
∑ 112 100%
Sumber : Data Pimer Penelitian; 2010 Keterangan: A. Untuk mencontoh nabi/ mentaati syariat/ untuk syiar agama islam B. secara ekonomi bagi hasil lebih menguntungkan C. karena bagi hasil lebih kekeluargaan D. karena bagi hasil membuat termotivasi kerja E. karena bagi hasil menumbukan rasa memiliki F. karena bagi hasil lebih adil G. karena bagi hasil sudah adat kebiasaan H. karena bagi hasil membuat nyaman bekerja I. karena bagi hasil lebih transparan J. karena bagi hasil praktis 3. Prioritas Yang Menjadi Alasan Ketiga Alasan selanjutnya adalah alasan ketiga, sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini Tabel 4.5 Prioritas Yang Menjadi Menggunakan Bagi Hasil Alasan A 3 5 % 4,46
B 21 18,75
C 26 23,21
D 35 31,25
E 11 9,8
Alasan
F 2 1,7
G 6 5,4
Ketiga
H 3 2,6
I 2 1,7
Karyawan
J 1 0,8
jumlah 112 100%
Sumber : Data Pimer Penelitian; 2010 Keterangan: A. Untuk mencontoh nabi/mentaati syariat/untuk syiar agama islam 175
B. C. D. E. F. G. H. I. J.
secara ekonomi bagi hasil lebih menguntungkan karena bagi hasil lebih kekeluargaan karena bagi hasil membuat termotivasi kerja karena bagi hasil menumbukan rasa memiliki karena bagi hasil lebih adil karena bagi hasil sudah adat kebiasaan karena bagi hasil membuat nyaman bekerja karena bagi hasil lebih transparan karena bagi hasil praktis
4. Prioritas Yang Menjadi Alasan Keempat Pembahasan selanjutnya yaitu alasan keempat mengapa karyawan menggunakan model bagi hasil untuk menentukan upah mereka, berdasarkan quisoner, maka jawaban sebagai alasan ke empat terlihat pada tabel berikut; Tabel 4.6 Prioritas Yang Menjadi Menggunakan Bagi Hasil Alasan 4 %
A -
B 15 13,39
C 27 24,1
D 40 35,7
E 9 8,03
Alasan
F 8 7,1
G 6 5,4
Keempat
H 2 1,7
I 4 3,5
Karyawan
J 1 0,8
jumlah 112 100%
Sumber : Data Pimer Penelitian; 2010 Keterangan: A. Untuk mencontoh nabi/ mentaati syariat/ untuk syiar agama islam B. secara ekonomi bagi hasil lebih menguntungkan C. karena bagi hasil lebih kekeluargaan D. karena bagi hasil membuat termotivasi kerja E. karena bagi hasil menumbukan rasa memiliki F. karena bagi hasil lebih adil G. karena bagi hasil sudah adat kebiasaan H. karena bagi hasil membuat nyaman bekerja I. karena bagi hasil lebih transparan J. karena bagi hasil praktis 5. Prioritas Yang Menjadi Alasan Kelima Berdasarkan jawaban karyawan mengapa menggunakan model upah bagi hasil, pada alasan kelima ada hal yang menarik, seperti terlihat pada tabel berikut ini :
176
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Tabel 4.7 Prioritas Yang Menjadi Menggunakan Bagi Hasil Alasan 5 %
A 3 2,6
B 12 10,7
C 7 6,25
D 7 6,25
E 34 30,36
Alasan
F 33 29,46
G 6 5,4
Kelima
Karyawan
H 6 5,4
J 3 2,6
I 1 0,8
jumlah 112 100%
Sumber : Data Pimer Penelitian; 2010 Keterangan: A. Untuk mencontoh nabi/ mentaati syariat/ untuk syiar agama islam B. secara ekonomi bagi hasil lebih menguntungkan C. karena bagi hasil lebih kekeluargaan D. karena bagi hasil membuat termotivasi kerja E. karena bagi hasil menumbukan rasa memiliki F. karena bagi hasil lebih adil G. karena bagi hasil sudah adat kebiasaan H. karena bagi hasil membuat nyaman bekerja I. karena bagi hasil lebih transparan J. karena bagi hasil praktis 6. Prioritas Yang Menjadi Alasan Keenam Apabila pada alasan kelima ada hal yang menarik, maka alasan keenam ini lebih menarik lagi untuk diperhatikan dan dibahas, sebagaimana tersebut dalam tabel di bawah ini: Tabel 4.8 Prioritas Yang Menjadi Menggunakan Bagi Hasil Alasan 6 %
A -
B 8 7,1
C 3 2,6
D 5 4,46
E 25 22,32
F 25 22,32
Alasan
G 25 22,32
Keenam
H 8 7,1
I 10 8,9
Karyawan
J 3 2,6
jumlah 112 100%
Sumber : Data Pimer Penelitian; 2010 Keterangan: A. Untuk mencontoh nabi/ mentaati syariat/ untuk syiar agama islam B. secara ekonomi bagi hasil lebih menguntungkan C. karena bagi hasil lebih kekeluargaan D. karena bagi hasil membuat termotivasi kerja E. karena bagi hasil menumbukan rasa memiliki F. karena bagi hasil lebih adil G. karena bagi hasil sudah adat kebiasaan H. karena bagi hasil membuat nyaman bekerja I. karena bagi hasil lebih transparan J. karena bagi hasil praktis
177
7. Prioritas Yang Menjadi Alasan Ketujuh Tabel 4.9 Prioritas Yang Menjadi Menggunakan Bagi Hasil Alasan 7 %
A -
B 7 6,25
C 10 8,9
D 6 5,3
E 8 7,1
F 23 20,53
Alasan
G 30 26,78
Ketujuh
H 12 10,7
I 11 9,8
Karyawan
J 5 4,5
jumlah 112 100%
Sumber : Data Pimer Penelitian; 2010 Keterangan: A. Untuk mencontoh nabi/ mentaati syariat/ untuk syiar agama islam B. secara ekonomi bagi hasil lebih menguntungkan C. karena bagi hasil lebih kekeluargaan D. karena bagi hasil membuat termotivasi kerja E. karena bagi hasil menumbukan rasa memiliki F. karena bagi hasil lebih adil G. karena bagi hasil sudah adat kebiasaan H. karena bagi hasil membuat nyaman bekerja I. karena bagi hasil lebih transparan J. karena bagi hasil praktis 8. Prioritas Yang Menjadi Alasan Kedelapan Tabel 4.10
Alasan 8 %
Prioritas Yang Menjadi Alasan Kedelapan Karyawan Menggunakan Bagi Hasil
A 4 3,57
B 2 1,7
C 1 0,8
D 2 1,7
E 3 2,67
F 10 8,9
G 18 16,07
H 47 41,96
I 25 22,32
J -
jumlah 112 100%
Sumber : Data Pimer Penelitian; 2010 Keterangan: A. Untuk mencontoh nabi/ mentaati syariat/ untuk syiar agama islam B. secara ekonomi bagi hasil lebih menguntungkan C. karena bagi hasil lebih kekeluargaan D. karena bagi hasil membuat termotivasi kerja E. karena bagi hasil menumbukan rasa memiliki F. karena bagi hasil lebih adil G. karena bagi hasil sudah adat kebiasaan H. karena bagi hasil membuat nyaman bekerja I. karena bagi hasil lebih transparan J. karena bagi hasil praktis
178
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
9. Prioritas Yang Menjadi Alasan Kesembilan Tabel 4.11
Alasan 9 %
Prioritas Yang Menjadi Alasan Kesembilan Karyawan Menggunakan Bagi Hasil A -
B 2 1,7
C 6 5,4
D 2 1,7
E 4 3,5
F -
G 11 9,8
H 28 25
I 50 44,64
J 9 8,03
jumlah 112 100%
Sumber : Data Pimer Penelitian; 2010 Keterangan: A. Untuk mencontoh nabi/ mentaati syariat/ untuk syiar agama islam B. secara ekonomi bagi hasil lebih menguntungkan C. karena bagi hasil lebih kekeluargaan D. karena bagi hasil membuat termotivasi kerja E. karena bagi hasil menumbukan rasa memiliki F. karena bagi hasil lebih adil G. karena bagi hasil sudah adat kebiasaan H. karena bagi hasil membuat nyaman bekerja I. karena bagi hasil lebih transparan J. karena bagi hasil praktis 10. Prioritas Yang Menjadi Alasan Kesepuluh Tabel 4.12
Alasan 10 %
Prioritas Yang Menjadi Alasan Kesepuluh Karyawan Menggunakan Bagi Hasil A -
B 2 1,7
C -
D -
E -
F 3 2,67
G 8 7,1
H 2 1,7
I 7 6,25
J 90 80,36
jumlah 112 100%
Sumber : Data Pimer Penelitian; 2010 Keterangan: A. Untuk mencontoh nabi/ mentaati syariat/ untuk syiar agama islam B. secara ekonomi bagi hasil lebih menguntungkan C. karena bagi hasil lebih kekeluargaan D. karena bagi hasil membuat termotivasi kerja E. karena bagi hasil menumbukan rasa memiliki F. karena bagi hasil lebih adil G. karena bagi hasil sudah adat kebiasaan H. karena bagi hasil membuat nyaman bekerja I. karena bagi hasil lebih transparan J. karena bagi hasil praktis
179
4.3. Kecocokan Alasan Sohibul Maal Dengan Alasan Karyawan Apabila alasan pemilik usaha dicocokan dengan alasan karyawan mengapa menggunakan model bagi hasil dalam usaha, maka akan diperoleh informasi yang menarik dan indah untuk dicermati. Alasan yang memiliki kecocokan paling tinggi adalah menggunakan model bagi hasil karena mencontoh nabi dengan kecocokan 72,32% dan alasan bagi hasil membuat termotivasi kerja dengan tingkat kecocokan 31,25%. Sedangkan kecocokan alasan terendah adalah karena alasan adat dan kenyamanan kerja dengan tingkat kecocokan 7,1%. Dari kecocokan tertinggi dapat diketahui bahwa baik pemilik maupun karyawan telah memiliki landasan niatan yang mayoritas sama mengapa menggunakan model bagi hasil yaitu untuk mencontoh nabi dalam berbisnis dan dengan model syirkah berpola bagi hasil akan menimbulkan semangat motivasi. Sedangkan dari kecocokan terendah yaitu alasan adat istiadat sebagai alasan terakhir/paling tidak penting ternyata menurut mayoritas karyawan meduduki alasan ke enam 22,23% alasan ke tujuh 26,78%, jadi bukan alasan terakhir, hal ini terjadi karena karyawan yang mayoritas suku Padang masih kental/fanatik dengan kesukuan sedangkan sohibul maal dengan tingkat pendiddikan yang dimiliki lebih moderat. Berikutnya kenyamanan kerja memiliki tingkat kecocokan jawaban terendah karena bagi sohibul maal melihat kenyamanan kerja adalah hal yang penting sehingga menjadikan urutan alasan ke enam karena sohibul maal tidak bekerja, tapi justru pekerja telah nyaman dengan model bagi hasil ini sehingga mayoritas pekerja menjadikan alasan kenyamanan kerja sebagai alasan yang tidak penting yaitu sebagai alasan ke delapan 41,96% dan ke sembilan 25%. Alasan utama menurut sohibul maal yaitu menggunakan bagi hasil karena dalam rangka mencontoh nabi/alasan agama/si’ar islam memiliki kecocokan sebesar 72,32% dengan alasan karyawan, jadi niat awal pemilik dan mayoritas karyawan memiliki kesamaan visi dan misi. Alasan kedua shohibul maal cocok dengan 14,28% alasan karyawan yaitu bagi hasil menumbuhkan rasa memiliki, hal ini terjadi karena menurut mayoritas karyawan alasan kedua adalah secara ekonomi lebih menguntungkan atau rasa kekeluargaan dalam bagi hasil. Jadi dapat difahami bagi karyawan yang memang pendapatanya dari bagihasil 180
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
yang diterimanya menjadikan alasan keduanya adalah karena ekonomi yang tidak demikian dengan sohibul maal dimana ekonomi tidak lagi dianggab urgen karena sumber pendapatannya dari banyak arah. Alasan ketiga sohibul maal cocok dengan 31,25% karyawan yaitu bagi hasil membuat termotivasi kerja, jadi mayoritas karyawan dan pemilik usaha sepakat tentang adanya motivasi kerja yang muncul dari sistem bagi hasil ini, dimana pekerja termotivasi untuk sebuah harapan bagi hasil yang akan diraih besar, demikian pula pemilik menyadari akan pentingnya hal itu untuk menjaga investasinya dari segala kemungkinan resiko. Alasan keempat shohibul maal cocok dengan 24,1% pendapat karyawan yaitu bagi hasil lebih kekeluargaan, jadi berkaitan kekeluargaan yang ada pada model bagi hasil sangat diperlukan menurut pemilik usaha dan hampir seperempat pendapat karyawan, karena apabila menggunakan aturan formal maka dengan rata-rata pendidikan SMA bahkan ada yang dibawahnya maka akan sulit untuk karyawan maupun pengusaha mengatasi masalah ini, karena bisnis dengan model bagi hasil bukan keformalan yang dikedepankan tapi kemampuan dan pengalaman. Alasan kelima shohibul maal cocok dengan 10,7% karyawan yaitu bagi hasil menguntungkan secara ekonomi, jadi sangat jelas akan berbeda secara ekonomi karena bagi pekerja ekonomi sangat penting setelah niat karenanya menduduki posisi kedua, tapi bagi pengusaha dengan kondisi ekonomi yang sudah dimiliki tidak lagi memprioritaskan alasan ekonomi sebagai alasan utama dan cukup untuk menjadi alasan kelima Alasan keenam cocok dengan 7,1% karyawan yaitu bagi hasil membuat nyaman bekerja, bagi sohibul maal melihat kenyamanan kerja adalah hal yang penting sehingga menjadikan urutan alasan ke enam setelah alasan ekonomi karena sohibul maal tidak bekerja, tapi sebaliknya justru karyawan/pekerja telah nyaman dengan model bagi hasil ini sehingga mayoritas pekerja menjadikan alasan kenyamanan kerja sebagai alasan yang tidak penting yaitu sebagai alasan ke delapan 41,96% dan ke sembilan 25%. Alasan ketujuh dari sohibul maal cocok dengan 9,8% karyawan yaitu bagi hasil lebih transparan, bagi mayoritas karyawan yaitu 30 orang 26,78% alasan ketujuh mengapa menggunakan bagi hasil adalah karena adat kebiasaan, jadi menurut mayoritas karyawan adat lebih penting dari pada transparansi.
181
Alasan kedelapan cocok dengan 8,9 % karyawan yaitu bagi hasil lebih adil. Bagi mayoritas karyawan alasan adil menduduki posisi ke 5, 6 dan 7, jadi sesungguhnya baik pemilik maupun mayoritas karyawan sepakat tetang model bagi hasil dan keadilan yang ada dalam model ini. Alasan kesembilan cocok dengan 8,03% karyawan yaitu bagi hasil praktis. Kondisi ini jelas akan terjadi karena pemilik usaha dengan gelar megister manajemen keuangan dan megister teknik yang biasa dengan RAP perlu mengabaikan keformalan standar akuntansi karena semua jenis laporan keuangan yang ada di Puti Minang Group dibuat untuk kemudahan saja sehingg tidak sesuai dengan standar akuntansi, beda halnya dengan mayoritas karyawan yang rata-rata berpendidikan SMA bahkah ada yang dibawahnya akan sangat tidak peduli dengan standar akuntansi yang penting berapa nilai per mato dan berapa bagian mato mereka tinggal dikalikan maka karyawan akan tahu berapa bagi hasil mereka. Mayoritas karyawan menganggab praktis sama sekali tidak penting/tidak masalah lagi dalam model bagi hasil yang digunakan, praktis sudah dirasakan pada model bagi hasil karena 90 karyawan 80,36% karyawan beralasan praktis sebagai alasan terakhir. Alasan kesepuluh shohibul maal cocok dengan 7,1% karyawan yaitu alasan adat kebiasaan, jadi sebagai alasan terakhir/paling tidak penting ternyata menurut mayoritas karyawan meduduki alasan ke enam 22,23% alasan ke tujuh 26,78%, jadi bukan alasan terakhir, hal ini terjadi karena karyawan yang mayoritas suku Padang masih kental/fanatik dengan kesukuan sedangkan sohibul maal dengan tingkat pendiddikan yang dimiliki lebih moderat. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1.
182
Shohibul maal menggunakan model bagi hasil dengan alasan mencontoh nabi dalam berdagang, sebagai alasan pertama. Alasan kedua adalah bagi hasil akan menumbuhkan rasa memiliki. Alasan ketiga karena bagi hasil akan membuat termotivasi kerja. Alasan keempat yaitu bagi hasil lebih kekeluargaan. Alasan kelima yaitu karena secara ekonomi lebih menguntungkan. Alasan keenam yaitu bagi hasil akan membuat nyaman bekerja. Alasan ketujuh karena transparansi. Alasan kedelapan karena bagi hasil lebih adil. Alasan kesembilan adalah bagi hasil praktis. Dan alasan terahir mengapa menggunakan bagi hasil adalah karena bagi hasil sudah menjadi adat kebiasaan.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
2.
Karyawan mau menggunakan model bagi hasil karena alasan agama mencontoh nabi sebagai alasan pertama (72,32%) karyawan berpendapat demikian. Alasan kedua karena secara ekonomi lebih menguntungkan menurut 23,31%, dan sedangkan pendapat kedua yang lain beralasan karena kekeluargaan 22,32%. Bagi hasil membuat termotivasi kerja menjadi alasan ke tiga bagi 31,25% karyawan. Alasan keempat yaitu bagi hasil membuat termotivasi kerja 35,7% karyawan. Alasan kelima sebanyak 30,36% karyawan berpendapat bahwa dengan bagi hasil menumbuhkan rasa memiliki. Sedangkan alasan keenam tidak ada yang dominan yaitu karena rasa adil, rasa memiliki dan adat kebiasaan di sampaikan masing-masing 22.23% karyawan. Argument ketujuh adalah karena adat kebiasaan mengapa bagi hasil digunakan menurut 26,78% karyawan. Alasan kedelapan sebanyak 41,96% karyawan berpendapat bahwa bagi hasil membuat nyaman bekerja. Alasan yang tidak begitu penting sehingga menduduki posisi kesembilan adalah karena transparansi yang ada dalam bagi hasil, pendapat ini mencapai 44,64%. Dan alasan pamungkas yang menjadi keunggulan bagi hasil yaitu sederhana, mudah dimengerti praktis, tidak merepotkan untuk memahami, disampaikan oleh 80,36% karyawan.
3.
Alasan Sohibul maal yang menggunakan model bagi hasil dalam usaha, memiliki kecocokan dengan alasan karyawan, alasan utama yaitu menggunakan bagi hasil karena dalam rangka mencontoh nabi/alasan agama/ si’ar islam memiliki kecocokan sebesar 72,32%. Alasan kedua shohibul maal cocok dengan 14,28% alasan karyawan yaitu bagi hasil menumbuhkan rasa memiliki, alasan ketiga sohibul maal cocok dengan 31,25% karyawan yaitu bagi hasil membuat termotivasi kerja, alasan keempat shohibul maal cocok dengan 24,1% pendapat karyawan yaitu bagi hasil lebih kekeuargaan. Alasan kelima shohibul maal cocok dengan 10,7% karyawan yaitu bagi hasil menguntungkan secara ekonomi, alasan keenam cocok dengan 7,1% karyawan yaitu bagi hasil membuat nyaman bekerja, alasan ketujuh cocok dengan 9,8%karyawan yaitu bagi hasil lebih transparan, alasan kedelapan cocok dengan 8,9 % karyawan yaitu bagi hasil lebih adil, alasan kesembilan cocok dengan 8,03% karyawan yaitu bagi hasil praktis, dan alasan kesepuluh shohibul maal cocok dengan 7,1% karyawan yaitu alasan adat kebiasaan.
5.2 Saran Atas dasar kesimpulan tersebut maka beberapa saran yang berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut : 183
a.
Pemerintah sebagai pemilik kebijakan supaya mulai memikirkan untuk mencoba menerapkan model bagi hasil sebagai penentu upah karyawan, terutama untuk usaha-usaha yang sangat berat untuk melaksanakan ketentuan upah minimum.
b.
Bagi pengusaha atau colon pengusaha dapat mencoba sistim bagi hasil untuk pengelolaan usaha
c.
Hendaknya dilanjutkan untuk penelitian-penelitian yang berkaitan dengan pengupahan dengan model bagi hasil, sehingga dapat diketemukan model bagi hasil yang bernuansa modern/canggih dan sederhana.
REFERENSI Departemen Agama.Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya.2007. Afzalurrahman. 1995. Doktrin Ekonomi Islam Jilid 1. Terjemahan Soeroyo, Nastangin. PT Dana Bhakti Prima Yasa. Yogyakarta. ____,1997. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang. Yayasan Swarna Bhumy. Jakarta Antonio, Muhammad Syafi’i. 2003. Bank Syariah (dari Teori ke Praktek). Jakarta: Gema Insani Press. Ash Shadr, Muhammad Baqir. 2008. Iqtishoduna Buku Induk Ekonomi Islam. Zahra Publishing House.Jakarta. Ash Siddiqieqy, Muhammad. 1996 Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, Dana Bakti Prima Yasa.Yogyakarta Benham.1940.Economics.jilid II. BPS. 2008.Lampung Dalam Angka.BPS.Lampung. Chapra, M.Umer. 2000. Sistim Moneter Islam. Jakarta: Gema Insani Press Nasution, Mustafa Edwin,dkk. 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Prenada Media Group, Jakarta. Gamal, Merza,2004. Aktivitas ekonomi Syariah. Unri Press. Riau. _____,2006. Model Dinamika sosial Ekonomi Islam.Unri Press.Riau. Haroen, Nasrun, 2007. Fiqih Muamalah, Penerbit Gaya Media Pratama, Jakarta, Haritsi Al, Jaribah bin Muhammad. 2008. Fikih Ekonomi Umar bin Al Khathab, Khalifa ( pustaka Al kaustar), Jakarta 184
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Hasan, M. Ali. 2004. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Huda, Nurul.dkk. 2008. Ekonomi Makro Islam Pendektan Teoritis. Kencana. Jakarta. Husin Al, Syahri, 2002, Aplikasi Statistik Praktis Dengan SPSS for Windows, J&J Learning.Yogyakarta, Iqbal, Muhaimin.2007.Mengembalikan kemakmuran Islam dengan Dinar dan Dirham.Spiritual Learning Center dan Dinar Club.Jakarta Jusmaliani. 2006. Aktivitas Sekunder.Lipi. Jakarta
Ekonomi
Berbasis
Bagi
Hasil
Sektror
Karim, Adiwarman, 2007. Bank Islam “Analisis Fiqih dan Keuangan”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. _____, 2002. Ekonomi Islam Suatu Kajian Makro,III T Indonesia, Jakarta. _____, 2006. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta Karomah umi. 2006. Aktivitas Ekonomi Berbasis Bagi Hasil sektror tersier.LIPI. Jakarta. Khan, Muhammad Akram.1997.Ajaran Nabi Muhammad SAW Ekonomi. BMI. Jakarta
Tentang
Lewis, Mervyn K, dan Algaoud, Latifa M. 2001. Perbankan Syariah Prinsip, Praktik, Prospek, Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta. Mansur, Husaini dan Idat Gunawan Dhani, 2007, Dimensi Perbankan dalam Al Qur’an.Visi Cita Kreasi. Jakarta. Mannan,M.A. 1997. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa. Manurung, Mandala.2006.Teori Ekonomi Mikro Suatu pengantar.Lembaga Penerbit FE UI. Jakarta ____,2006.Teori Ekonomi Makro Suatu pengantar.Lembaga Penerbit FE UI. Jakarta Metwally.1995. Teori dan Model Insana.Cijantung.Jakarta Muhammad. 2000. Sistem Yogyakarta:UII Press
&
Ekonomi
Prosedur
Daya
Islam.Bangkit
Operasional
Bank
Syariah.
_____,2002.Menejemen Bank Syariah. UPP AMP YKPN. Yogyakarta
185
_____,2004. Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. BPFE. Yogyakarta. _____,2002. Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam. Jakarta: Salemba Empat. Munrokhim,dkk. 2008. Ekonomi Islam. Raja Grafindo Persada,Jakarta, Mushlih Al, Abdullah, dan Shalah ash-Shawi. 2004. Fiqih Ekonomi Keuangan Islam. Darul Haq. Jakarta Perwataatmadja, Karnaen, dan M. Syafi,i Antonio. 1992. Apa & Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa Pedoman Akuntansi Keuangan Syairiah, 2008, IAI, Jakarta Qardhawi, Yusuf. 2001. Peran Nilai Dan Moral Dalam Perekonomian Islam. Robbani press. Jakarta Qorashi, Syarief Baqir. 2007. Keringat Buruh, Hak dan Peran Pekerja Dalam Islam. Al-Huda. Jakarta. Rahardja.Pratama. 2006.Teori Ekonomi Makro. Lembaga Penerbit FE UI. Jakarta Sakaran,Uma, 1984. Research Methods for Busines,Southern illionis, University of Carbondle Sasono,1994.Perbarun Sistim Upah.Departemen Tenaga Kerja dan CIDES. Jakarta Suariasumantri, Jujun S,1985. Filsafat Ilmu, sebuah Pengantar Populer, Sinar Harapan.Bandung. Sukirno, Sadono, 2005. Mikro Ekonomi Teori pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta. _____, 2006. Ekonomi Pembangunan, Prenada Media Group. Jakarta Simanjuntak, 1996. Teori dan sistim Pengupahan.Harapan Pembina Sumberdaya Manusia. Jakarta. Suprayitno,Eko, 2005. Ekonomi Islam Pendekatan Ekonom Makro Islam dan Konvensional, Graha Ilmu,Yogyakarta Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada Syafe’i, Rahmat. 2006. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia. Bandung Sabiq, Sayyid. 1987. Fiqih Sunnah. Jilid 13. Pustaka, Jawa Barat ____ , 1990. Fiqh al-Sunnah al-Majallad al-Tsalis, Kairo: Dar al-Fath lil I’lam al-’Arabi.
186
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Sugiono, 2004, Metode Penelitian Bisnis, Alfabet, Bandung. Sula,M. Syakir, 2004. Asuransi Syariah Konsep dan Sistem Operasional, Gema Insani, Jakarta. Taqiyyudin, Abi Bakr Ibn Muhammad.1995. Kifayat Al Ahyar. PT.Al Ma’arif Press.Bandung Undang-Undang Ketenagakerjaan.2003.Sinar Grafika. Jakarta. Widodo, Hertanto , dkk, 1999. PAS (Pedoman Akuntansi Syariah ) Panduan Praktis Operasional BMT, MIZAN, Bandung Wiroso. 2005. Jual Beli Murabahah. UII Press. Yogyakarta _____, 2005. Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah. Grasindo. Jakarta Zulkifli, Sunarto. 2003. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Zikrul Hakim. Jakarta.
Artikel, Makalah Seminar, Tesis, Hasil Penelitian Basu.1999.Household labour Supply, Unemployment, and Minimum Wage. World Bank Policy Paper 2049. Washington. Bappenas, 2001, Upah Minimum ; Sebuah Kajian tentang Dampaknya Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja Di Masa Krisis, Bappenas, Jakarta. Couch, 1999, Distribution and Employment Infact of Raising The Minimum Wage.FRBSF Economic Latter.Sanfransisco.CA 94120. Dwiastuti, Dwi, 2007, Aktivitas Ekonomi Berbasis BagiHasil Dalam Sektor Tersier: Studi Kasus di sub Perhotelan. P2E LIPI. Jakarta. Helen, Monica.2008. Perbandingan Efisiensi Perbankan Konvensional Terhadap Perbankan Syariah di Indonesia.Tesis. UI. Jakarta. Iskandarsyah, Triyana.1996. Pengaruh Upah Minimum Pengangguran di Indonesia 1988-1993. Tesis. UI. Jakarta.
Terhadap
Jusmaliani.2005, Mengenal kembali Kegiatan Ekonomi Berbasis Bagi Hasil. P2E LIPI. Jakarta. ____,2006, Pola bagi hasil Dalam Perekonomian. P2E LIPI. Jakarta. ____,2006, Potensi Pengembangan Pola Bagi Hasil. P2E LIPI. Jakarta. ____,2007, Aktivitas Ekonomi Berbasis Bagi Hasil Di Sektor Tersier: Rekomendasi Kebijakan. P2E LIPI. Jakarta. 187
Kapiantari, Adriatni, 2002. Studi dan Rekomendasi Kebijakan Upah Minimum bagi Buruh, perkembangan upah minimum 1996 – 1999. UI. Jakarta. Listiani, Nurlia. 2006. Persepsi Masyarakat Terhadap Aktivitas Ekonomi Berbasis Bagi Hasil Pada Sektor Manufaktur. P2E LIPI. Jakarta. Macperson,2002, The Employment Infact Of Acomprehensive Living Wage Laweridence From Florida. Employmen Policies Institute. Florida State University. Mulyaningsih, Yani, 2005, Aktivitas Ekonomi Berbasis Bagi Hasil; Revenue Sharing. P2E LIPI. Jakarta. _____,2006, Ekonomi Berbasis BagiHasil Dalam sektor Sekunder Di Daerah Penelitian; Kasus industri Manufaktur. P2E LIPI. Jakarta. _____, 2007, Aktivitas Ekonomi Berbasis BagiHasil Dalam Sektor Tersier: Studi Kasus di sub Sektor Ruman Makan dan Restoran. P2E LIPI. Jakarta. Muhammad Yasir Yusuf, 2008. Aplikasi Investasi Perbankan Syarih antara Harapan dan Kenyataan( Suatu Kajian Terhadap praktek Mudharobah ,Musyarokah, dan murabahan). Unair. Surabaya. Nafiq, Muhammad,2008. Model Perhitungan Nisbah Pada Sistim Bagi Hasil. Unair. Surabaya. Ngadi,2003. Pengaruh Upah Minimum Terhadap Kemiskinan Dan Kesempatan Kerja di Indonesia. UI.Jakarta. Novian, Muhammad, 2006, Analisis Pembiayaan Pada Bank Syariah mudhorobah). UI. Jakarta.
Yuridis Terhadap Perjanjian (murabaha, musyarokah dan
Prawira, Hendra, 2001, Perbandingan Kinerja PT.Bank Jabar Syariah Sebelum dan Sesudah Fatwa MUI Tentang Haramnya Bunga Bank, UI, Jakarta. Septia, Yeni, 2006, Beberapa Kendala Dalam Pola Kemitraan Usaha Berbasis Bagi Hasil Di Sektror Sekunder. P2E LIPI. Jakarta. Saget. 2001.Is The Minimum Wages an Effective Tool to Promote Decen Work and Reduce Poverty? The experience or selected Developing Countries. Employmen Paper 2001/13. International Labour Office. Thoha, Muhammad, 2005, Profit and loss Sharing. P2E LIPI. Jakarta. Wahdy, afandi. 2007. Perbandingan Resiko dan Imbal hasil sukuk dan obligasi Konvensional di Pasar Sekunder(Studi kasus di Bursa Efek Surabaya 2004 -2006). UI. Jakarta. Yuniarti, Irma Putri,2007, Aktivitas Ekonomi Berbasis BagiHasil Dalam Sektor Tersier: Studi Kasus di sub Telekomunikasi. P2E LIPI. Jakarta. 188
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Yaumudin, Karomah Umi,2007, Aktivitas Ekonomi Berbasis Bagi Hasil Di Sektor Tersier: Sebuah Pengantar. P2E LIPI. Jakarta. Yan Orgianus dan Oktofa Yudha Sudrajad, 2008. Rekayasa Model bagi Hasil Dan Bagi Resiko Usaha Berdasar Pola Bagi Hasil. Unair. Surabaya.
189
PENGARUH HUMAN RELATIONS TERHADAP MOTIVASI KERJA KARYAWAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUKADANA Yuningsih11
ABSTRAK Rumah Sakit Umum Daerah Sukadana merupakan rumah sakit tipe C Pemerintah Kab. Lampung Timur yang berlokasi di Jl.Letnan Adnan Sanjaya Lintas Timur Mataram Marga Sukadana. Untuk mewujudkan tujuan rumah sakit diperlukan dukungan sepenuhnya dari seluruh personil yang ada dalam rumah sakit. Masalah yang dihadapi oleh Rumah Sakit Umum Daerah Sukadana adalah penerapan pendekatan human relations yang belum dilaksanakan secara baik dan keseluruhan. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh human relations terhadap motivasi kerja karyawan pada Rumah Sakit Umum Daerah Sukadana. Hipotesis yang diajukan adalah human relations mempunyai pengaruh yang positif terhadap motivasi kerja karyawan pada Rumah Sakit Umum Daerah Sukadana. Berdasarkan hasil perhitungan kuantitatif dengan rumus product moment diperoleh r hitung sebesar 0,832. Nilai r2 =0,692 serta besarnya pengaruh 69,2% yang berarti bahwa kemampuan peubah human relations dalam mempengaruhi setiap pertambahan motivasi kerja adalah 69,2%. Keywords : human relations, motivasi, kinerja
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap perusahaan atau organisasi memiliki tujuan akhir yaitu memperoleh keuntungan dan mampu mempertahankan eksistensinya. Sumber daya manusia adalah salah satu faktor produksi yang paling dominan dan sangat berperan aktif dalam pencapaian visi dan misi organisasi.
11
Dosen Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Lampung
Agar suatu perusahaan memiliki daya saing baik nasional maupun internasional, maka sumber daya manusia atau tenaga kerja perusahaan yang bersangkutan sebagai faktor produksi utama haruslah mendapat perhatian yang lebih besar. Menurut Malayu S.P Hasibuan (2003 : 10), Manajemen Sumber Daya Manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat. Berdasarkan pengertian di atas tampak bahwa fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia adalah pencapaian tujuan organisasi tanpa mengabaikan keefektifan dan keefisienan personalianya. Menurut Sondang P.Siagian (2003:110), inti keberhasilan manajemen adalah kepemimpinan. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi orang yang mengarah kepada pencapaian tujuan organisasi, sedangkan inti kepemimpinan adalah human relations. Baik buruknya manajemen tersebut tergantung pada baik buruknya kepemimpinan, sedangkan baik buruknya kepemimpinan tersebut tergantung pada baik buruknya human relations yang diterapkan dalam organisasi atau perusahaan. Menurut Ig. Wursanto ( 1999: 169 ), definisi Human Relations adalah Segala hubungan baik yang bersifat formal, maupun yang bersifat informal yang dijalankan oleh atasan terhadap bawahan, bawahan terhadap sesama bawahan, atau atasan sesama atasan yang bertujuan mendapatkan kepuasan hati para karyawan sehingga para karyawan mempunyai semangat kerja, disiplin dan kerja sama yang tinggi. Menurut Malayu S.P.Hasibuan ( 2003 : 137 ), “Hubungan antar manusia (human relations) adalah hubungan kemanusiaan yang harmonis, tercipta atas kesadaran dan kesediaan melebur keinginan individu demi terpadunya kepentingan bersama.” Fungsi Human Relations menurut HR.Danan Djaya ( 1995 : 63 ), yaitu : 1. 2. 3. 4.
Mencegah salah pengertian antara pimpinan dan bawahan Mengembangkan kerja sama antara pimpinan dan bawahan Dapat membentuk suatu teamwork yang efektif Mengerahkan individu dalam kelompok pada suatu tujuan
Human relations yang baik sangat dibutuhkan dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan, perlu kiranya pihak manajemen 192
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
perusahaan menerapkan prinsip-prinsip human relations dengan baik. Dalam kegiatan human relations seorang pemimpin perusahaan berusaha memecahkan masalah-masalah yang menimpa bawahannya secara individual. Tujuannya untuk menggugah kegairahan dan kegiatan bekerja dengan semangat kerjasama yang produktif dengan perasaan bahagia dan hati yang puas, baik kepuasan ekonomis, psikologis maupun kepuasan sosial. Human relations mempunyai fungsi untuk memotivasi para karyawan, membangkitkan motif mereka, menggugah daya gerak mereka, untuk bekerja lebih giat(Effendi, 2009:71). Menurut Heidjrahman Ranupandojo dan Suad Husnan (2002 :78), definisi motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. Pemimpin harus berusaha agar karyawan dalam suatu organisasi yang dipimpinnya mempunyai motivasi kerja yang tinggi untuk melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya. Pencapaian tujuan organisasi membutuhkan suatu human relations yang baik. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sukadana merupakan rumah sakit tipe C Pemerintah Kab. Lampung Timur yang berlokasi di Jl.Letnan Adnan Sanjaya Lintas Timur Mataram Marga Sukadana. Pada awalnya fasilitas yang dimiliki adalah rawat inap kelas II dan III sebanyak 9 tempat tidur, rawat jalan terdiri dari poliklinik gigi dan umum. Penunjang medik terdiri dari laboratorium klinik, farmasi dan gizi. Rumah Sakit Umum Daerah Sukadana memiliki karyawan sebanyak 154 orang. Tingkat absensi karyawan dapat dijadikan indikator motivasi kerja. Tingkat absensi yang tinggi menunjukkan keadaan di mana semangat dan kegairahan kerja karyawan rendah. Tingkat absensi karyawan Rumah Sakit Umum Daerah Sukadana menunjukkan angka yang berfluktuasi, tingkat absensi yang tertinggi yaitu sebesar 4,68 % terjadi pada Oktober 2009. Tingkat absensi terendah terjadi pada Juni 2010 sebesar 1,92 %. Rata-rata tingkat absensi yang terjadi selama periode 2009-2010 sebesar 3,30 %, sedangkan tingkat absensi yang ditolerir oleh Rumah Sakit Umum Daerah Sukadana adalah 1 % per bulan. Beberapa hal yang menyebabkan absensi tersebut antara lain, sakit, izin untuk keperluan keluarga dan sebab lain yang kurang jelas. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi kerja karyawan Rumah Sakit Umum Daerah Sukadana masih rendah. Selain itu Rumah Sakit Umum Daerah Sukadana belum melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan organisasi yang menimbulkan 193
suasana kerja yang menyenangkan, seperti fasilitas kerja belum memadai, parkir di RSUD tidak memadai, tata letak alat-alat kerja belum efektif. Pewarnaan ruangannya pudar sehingga karyawan terkadang bosan lama-lama di dalam ruangan, seta kebersihan di RSUD Sukadana masih kurang. Hal ini menyebabkan karyawan kurang termotivasi dalam bekerja, dikarenakan suasana kerja di RSUD Sukadana belum menyenangkan. Penerapan prinsip-prinsip hubungan manusiawi (human relations) dalam sebuah organisasi diperlukan agar dapat terjalin kerjasama yang baik dan selaras guna mencapai tujuan organisasi. 1.2 Permasalahan Human relations merupakan keseluruhan hubungan, baik secara formal maupun informal yang perlu diciptakan dan dibina sedemikian rupa sehingga tercipta suatu kelompok kerja (team work) yang intim dan harmonis dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Halhal tersebut berpengaruh terhadap semangat dan kegairahan kerja karyawan yang pada akhirnya berdampak pada motivasi kerja karyawan. Masalah yang juga terjadi pada RSUD Sukadana adalah masih tingginya tingkat absensi karyawan (3,3%) di atas batas toleransi perusahaan 1 % per bulan. 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penulisan • • • •
Untuk mengetahui pengaruh human relations terhadap motivasi kerja karyawan pada RSUD Sukadana. Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada RSUD Sukadana dalam rangka meningkatkan motivasi kerja karyawan dalam hal ini berhubungan dengan human relations di masa yang akan datang. Sebagai bahan referensi bagi penulis dalam melakukan penelitian Sebagai hubungan karakteristik terhadap kinerja karyawan dengan komitmen sebagai variabel mediasi
1.4 Kerangka Pemikiran Human relations sangat penting dalam peningkatan motivasi kerja. Tidak dapat disangkal adanya kenyataan-kenyataan dalam pendekatan bahwa untuk sebagian kegagalan yang dialami oleh badan usaha baik dalam instansi pemerintah maupun swasta disebabkan tidak dijalankannya suatu human relations yang baik. Human relations yang baik dapat meningkatkan motivasi kerja dan sebaliknya human relations yang buruk dapat menurunkan motivasi kerja.
194
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Human Relations 1. Sinkronisasi Tujuan Organisasi dan tujuan individu 2. Suasana Kerja Yang Menyenangkan 3. Pengakuan dan penghargaan atas pelaksanaan tugas dengan baik
Motivasi Kerja 1. Pekerjaan seseorang 2. Kesempatan yang bertumbuh 3. Kemajuan dalam karir 4. Hubungan seorang individu dengan atasannya 5. Hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya 6. Kondisi kerja
Gambar 1. Human Relations mempengaruhi Motivasi Kerja Karyawan Gambar 1. menunjukkan bahwa variabel human relations mempengaruhi motivasi kerja karyawan. Bila human relations yang diterapkan dalam organisasi berjalan dengan baik maka motivasi kerja karyawan akan meningkat. 1.5 Hipotesis Berdasarkan latar belakang, permasalahan, dan kerangka pemikiran di atas maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut: “Human relations mempunyai pengaruh yang positif terhadap motivasi kerja karyawannya.” 11. METODE PENELITIAN 2.1 Jenis Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian explanatory ( penelitian penjelasan ). 2.2 Metode Pengumpulan Data 2.2.1 Penelitian Pustaka Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan dasar teoritis yang akan dipakai dalam pembahasan. Penelitian ini dilakukan dengan
195
mempelajari buku-buku literatur, karangan ilmiah, dan buku-buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. 2.2.2 Penelitian Lapangan Penelitian dilakukan langsung ke Rumah Sakit Umum Daerah Sukadana. Metode pengumpulan data dilakukan melalui metode penyebaran kuisioner yang berkaitan dengan pengaruh human relations dan motivasi. Dalam penyusunan instrumen seperti kuisioner, indikator yang akan dijadikan sebagai pertanyaan atau pernyataan dalam kuisioner dikembangkan dari kerangka pemikiran. Jawaban dari setiap pernyataan tersebut ditentukan skornya dengan menggunakan skala likert. Indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan. Skala likert yang digunakan yaitu skala : (1,2,3,4,5) dengan kriteria umum skor yang digunakan untuk jawaban adalah : • Sangat setuju, skor (5) • Setuju, skor (4) • Netral, skor (3) • Tidak setuju, skor (2) • Sangat tidak setuju, skor (1) 2.3 Penelitian sampel Menurut Suharsimi Arikunto (2006 : 110) : “Apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semuanya sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi, selanjutnya jika jumlah subjeknya besar dapat diambil antara 10-15 %, 20-25 % atau lebih.” Berdasarkan keterangan di atas, penulis mengambil sampel secara random yaitu: Sampel = Sampel =
20 % × 154 orang 31 orang
2.4 Definisi Operasional Variabel Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah variabel X dan variabel Y. Variabel X merupakan variabel bebas yaitu human relations. Indikator variabelnya adalah suasana kerja yang
196
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
menyenangkan, sinkronisasi tujuan organisasi dan tujuan individu, pengakuan dan penghargaan atas pelaksanaan tugas dengan baik. Variabel Y merupakan variabel terikat yaitu motivasi kerja. Indikator variabelnya adalah pekerjaan seseorang, kesempatan yang bertumbuh, kemajuan dalam karir, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, dan kondisi kerja. 2.5 Metode Pengukuran Data Teknik pengukuran data yang digunakan adalah dengan skala Likert. Menurut Hasan (2002: 72) Skala Likert merupakan jenis skala yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian (fenomena sosial spesifik), seperti sikap, pendapat, persepsi sosial seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial. Variabel penelitian yang diukur dengan skala likert ini, dijabarkan menjadi indikator variabel yang kemudian dijadikan sebagai titik tolak penyusunan item-item instrumen, bisa berbentuk pertanyaan atau pernyataan. 2.6
Uji Instrumen Penelitian
2.6.1 Uji Validitas Menurut Arikunto (2006:144), validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrument. Instrumen utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar pernyataan yang disebarkan kepada responden. Instrumen yang dibuat sebelum disebarkan kepada responden harus diuji kevalidan dan keriabelannya agar daftar pernyataan yang dibuat tersebut benar-benar mampu menguak data sehingga mampu menjawab permasalahan hingga tujuan penelitian tercapai. Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas yang tinggi, sebaliknya instrumen yang kurang valid berarti memiliki validitas yang rendah. Metode uji validitas yang digunakan pada penelitian ini adalah metode korelasi product moment dengan menggunakan program SPSS 15.0 for Windows dengan rumus sebagai berikut :
rxy =
[n∑ x
n∑ xy − (∑ x )(∑ y ) 2
][
− (∑ x ) n∑ y 2 − (∑ y ) 2
2
] 197
Keterangan : rxy = Keeratan hubungan (korelasi) x = Jumlah skor pertanyaan y = Jumlah skor total pertanyaan n = Jumlah sampel yang akan diuji Kriteria keputusan : rxy hitung > r tabel maka valid atau sahih rxy hitung < r tabel maka tidak valid atau sahih Dari pengujian validitas dapat diperoleh hasil yang ditunjukkan Tabel 5 berikut ini: Tabel 5. Hasil Uji Validitas P 1 2 3 4 5 6
r-hitung X1 0,72 0,745 0,632 0,763 0,6
r-hitung X2 0,826 0,693 0,789 0,657 0,724
r-hitung X3 0,575 0,608 0,803 0,758 0,677
r-hitung Y 0,617 0,614 0,738 0,718 0,756 0,687
r-tabel n=31
0,355
Keterangan Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Sumber : Data diolah SPSS, 2009 Dari Tabel 5 di atas dapat diketahui bahwa semua item pernyataan memiliki nilai r-hitung > r-tabel ( 0,355 ) sehingga dalam hal ini semua item pernyataan di atas dinyatakan valid. 2.6.2 Uji Reliabilitas Uji Reliabilitas digunakan untuk menunjukkan sejauh mana alat pengukur (instrument) yang digunakan dapat dipercaya. Untuk mengetahui reliabilitas digunakan rumus Spearman Brown dengan menggunakan program SPSS 15.0 for Windows. 2 (r½½)r 11= (1 + r½½) Keterangan : r11 = Reliabilitas r½½ = rxy yang disebutkan sebagai koefisien korelasi antara variabel x dan y Bila r11≥ rt maka instrumen reliabel Bila r11≤ rt maka instrumen tidak reliabel 198
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Dari pengujian reliabilitas dapat diperoleh hasil yang ditunjukkan Tabel 6 berikut ini : Tabel 6. Hasil Uji Reliabilitas P 1 2 3 4 5 6
r11 X1
r11X2
0,623
r11X3
0,722
r11Y
0,768
0,811
r-tabel n = 31 0,355 0,355 0,355 0,355 0,355 0,355
Keterangan Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel
Sumber : Data diolah SPSS, 2010 Dari Tabel 6 di atas dapat diketahui bahwa semua item pernyataan memiliki nilai r 11 ≥ r- tabel (0,355) sehingga dalam hal ini semua item pernyataan di atas dinyatakan reliabel. 2.7 Alat Analisis 2.7.1 Analisis Kualitatif Metode ini dilakukan dengan menggunakan konsep-konsep manajemen sumber daya manusia (personalia) khususnya teori-teori yang berkaitan dengan human relations dalam rangka meningkatkan motivasi kerja karyawan. 2.7.2 Analisis Kuantitatif Untuk mengetahui adanya hubungan human relations terhadap motivasi kerja karyawan Rumah Sakit Umum Daerah Sukadana, digunakan rumus korelasi product moment : rxy =
N ∑ XY − (∑ X )(∑ Y )
[N ∑ X
2
][
− (∑ X ) N ∑ Y 2 − (∑ Y )
Keterangan : rxy X Y N
2
2
]
= Koefisien korelasi antara variabel X dan Y = Nilai skor untuk human relations = Nilai skor untuk motivasi kerja = Jumlah responden
199
Untuk mengetahui besarnya pengaruh human relations terhadap motivasi kerja karyawan dapat dilihat dengan menggunakan rumus koefisien penentu yaitu : KP = (rxy)² X 100 % III. PEMBAHASAN 3.1 Karakteristik Responden Dalam penelitian ini diambil 31 orang responden, dengan karakteristik sebagai berikut : Tabel 7. Karakteristik Responden No 1
Keterangan Jenis Kelamin
2
Usia
3
Pendidikan
4
Masa Kerja
Laki-laki Perempuan < 25 th 26-40 tahun > 40 tahun SMA/SMK Diploma S1 < 5 tahun 5 - 10 tahun > 10 tahun
Jumlah 8 23 12 15 4 3 26 2 12 12 7
Persentase (%) 26 74 39 48 13 10 84 6 39 39 22
Sumber : Data diolah, 2010 4.2 Analisis Kuantitatif Untuk mengetahui adanya pengaruh human relations terhadap motivasi kerja karyawan digunakan pendekatan alat analisis korelasi product moment, serta dilanjutkan dengan rumus koefisien penentu. 1.
Pengaruh Sinkronisasi Tujuan Organisasi dan Individu terhadap Motivasi Kerja
Untuk mengetahui adanya pengaruh antara sinkronisasi tujuan organisasi dan tujuan individu terhadap motivasi kerja karyawan digunakan rumus product moment dengan sinkronisasi tujuan organisasi dan tujuan individu sebagai variabel X dan motivasi kerja sebagai variabel Y, serta dilanjutkan dengan rumus koefisien penentu.
200
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dengan N = 31 diperoleh r hitung sebesar 0,707. Perolehan r tabel pada tingkat kepercayaan 95 % atau α= 0,05 sebesar 0,355. Berarti r hitung lebih besar dari r tabel. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang positif antara sinkronisasi tujuan organisasi dan individu terhadap motivasi kerja karyawan dengan tingkat keeratan 0,707. Nilai r² menunjukkan hasil sebesar 0,50 hal ini berarti sumbangan variabel X (sinkronisasi tujuan organisasi dan tujuan individu) untuk berperan dalam mempengaruhi setiap penambahan variabel Y (motivasi kerja) sebesar 50 %. 2.
Pengaruh Suasana Kerja yang Menyenangkan terhadap Motivasi Kerja
Untuk mengetahui adanya pengaruh antara suasana kerja yang menyenangkan terhadap motivasi kerja karyawan digunakan rumus product moment dengan suasana kerja yang menyenangkan sebagai variabel X dan motivasi kerja sebagai variabel Y, serta dilanjutkan dengan rumus koefisien penentu. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dengan N = 31 diperoleh r hitung sebesar 0,789. Perolehan r tabel pada tingkat kepercayaan 95% atau α = 0,05 sebesar 0,355. Berarti r hitung lebih besar dari r tabel. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang positif antara suasana kerja yang menyenangkan terhadap motivasi kerja karyawan dengan tingkat keeratan 0,789. Nilai r2 menunjukkan hasil sebesar 0,623 hal ini berarti sumbangan variabel X (suasana kerja yang menyenangkan) untuk berperan dalam mempengaruhi setiap penambahan variabel Y (motivasi kerja) sebesar 62,3 %. 3.
Pengaruh Pengakuan dan Penghargaan Atas Pelaksanaan Tugas dengan Baik terhadap Motivasi Kerja
Untuk mengetahui adanya pengaruh antara pengakuan dan penghargaan atas pelaksanaan tugas dengan baik terhadap motivasi kerja karyawan digunakan rumus product moment dengan pengakuan dan penghargaan atas pelaksanaan tugas dengan baik sebagai variabel X dan motivasi kerja sebagai variabel Y, serta dilanjutkan dengan rumus koefisien penentu. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dengan N =31 diperoleh r hitung sebesar 0,751. Perolehan r tabel pada tingkat kepercayaan 95% atau α = 201
0,05 sebesar 0,355. Berarti r hitung lebih besar dari r tabel. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang positif antara pengakuan dan penghargaan atas pelaksanaan tugas dengan baik terhadap motivasi kerja dengan tingkat keeratan 0,751. Nilai r2 menunjukkan hasil sebesar 0,564 hal ini berarti sumbangan variabel X ( pengakuan dan penghargaan atas pelaksanaan tugas dengan baik ) untuk berperan dalam mempengaruhi setiap penambahan variabel Y (motivasi kerja) sebesar 56,4 %. 4.
Pengaruh Human Relations Terhadap Motivasi Kerja Karyawan
Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa dengan N=31 diperoleh r hitung sebesar 0,832. Perolehan r tabel pada tingkat kepercayaan 95% atau α = 0,05 sebesar 0,355. Berarti r hitung lebih besar dari r tabel. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang positif antara human relations terhadap motivasi kerja. Nilai r2 menunjukkan hasil sebesar 0,692 hal ini berarti sumbangan variabel X ( human relations ) untuk berperan dalam mempengaruhi setiap penambahan variabel Y (motivasi kerja) sebesar 69,2 %. V. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa human relations mempunyai pengaruh positif terhadap motivasi kerja karyawan Rumah Sakit Umum Daerah Sukadana, hal ini didasarkan pada : 1.
Hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Product Moment diperoleh r hitung sebesar 0,832. Nilai r2 =0,692 serta besarnya pengaruh 69,2% yang berarti bahwa kemampuan peubah human relations dalam mempengaruhi setiap pertambahan motivasi kerja adalah 69,2%. Hal ini juga didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut : a.
202
Terdapat pengaruh antara tingkat sinkronisasi tujuan organisasi dan individu terhadap motivasi kerja karyawan, tingkat keeratannya 0,707 dan nilai r2= 0,50 serta besarnya pengaruh 50 % yang berarti bahwa kemampuan peubah sinkronisasi tujuan organisasi dan individu (X1) dalam mempengaruhi setiap pertambahan peubah motivasi kerja (Y) adalah sebesar 50 %.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
b.
c.
Terdapat pengaruh antara suasana kerja yang menyenangkan terhadap motivasi kerja karyawan, tingkat keeratannya sebesar 0,789 dan nilai r2=0,623 serta besarnya pengaruh 62,3 % yang berarti bahwa kemampuan peubah suasana kerja yang menyenangkan (X2) dalam mempengaruhi setiap pertambahan peubah motivasi kerja (Y) adalah sebesar 62,3 %. Terdapat pengaruh antara pengakuan dan penghargaan atas pelaksanaan tugas dengan baik terhadap motivasi kerja karyawan, tingkat keeratannya 0,751 dan nilai r2= 0,564 serta besarnya pengaruh 56,4 % yang berarti bahwa kemampuan peubah pengakuan dan penghargaan atas pelaksanaan tugas dengan baik (X3) dalam mempengaruhi setiap pertambahan peubah motivasi kerja (Y) adalah sebesar 56,4 %.
2.
Hasil kuisioner mengenai sinkronisasi tujuan organisasi dan tujuan individu menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan tidak mengetahui dengan jelas tujuan organisasi. Atasan tidak memberikan pengarahan sebelum karyawan melakukan pekerjaan. Atasan tidak meminta ide dari dari karyawan apabila timbul masalah yang berkenaan dengan tugas, namun atasan tidak memaksakan pendapat dan keinginannya demi kemajuan RSUD Sukadana di masa yang akan datang. Atasan tidak meyakinkan karyawan tentang keberhasilan dan kemajuan RSUD di masa yang akan datang.
3.
Hasil kuisioner mengenai suasana kerja yang menyenangkan menunjukkan bahwa secara keseluruhan suasana kerja yang menyenangkan pada RSUD Sukadana belum terwujud seluruhnya. Fasilitas kerja di RSUD Sukadana belum memadai sehingga belum menciptakan semangat dan kegairahan kerja.
4.
Hasil kuisioner mengenai pengakuan dan penghargaan atas pelaksanaan tugas dengan baik secara keseluruhan menunjukkan bahwa masih kurangnya pimpinan memberikan pujian dan penghargaan atas hasil kerja karyawan sehingga karyawan menjadi tidak semangat dalam bekerja.
5.
Faktor-faktor sinkronisasi tujuan organisasi dan individu, suasana kerja yang menyenangkan serta pengakuan dan penghargaan atas pelaksanaan tugas dengan baik akan meningkatkan motivasi kerja karyawan. Hasil kuisioner mengenai motivasi kerja menunjukkan bahwa secara keseluruhan motivasi kerja karyawan rendah, dikarenakan mereka tidak memiliki kesempatan untuk 203
mengembangkan kemampuan, tidak memiliki kesempatan untuk maju, hubungan kerja dengan pimpinan tidak berjalan baik, hubungan kerja dengan sesama rekan kerja tidak berjalan dengan baik, situasi lingkungan kerja tidak baik dan tidak menyenangkan. 6.
Berdasarkan analisis kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan maka hipotesis yang diajukan penulis bahwa human relations mempunyai pengaruh yang positif terhadap motivasi kerja karyawan RSUD Sukadana dapat diterima.
Saran 1.
Pemimpin RSUD Sukadana hendaknya melakukan kegiatan memotivasi karyawan dengan memberikan penjelasan, bimbingan, atau pengarahan mengenai tujuan RSUD, karena seorang karyawan yang tidak mengetahui dan memahami tujuan RSUD dengan baik akan sulit bekerja dengan semangat dan kegairahan yang tinggi.
2.
Pemimpin RSUD Sukadana hendaknya lebih memperhatikan fasilitas kerja yang dapat menimbulkan perasaan nyaman pada saat bekerja dan juga harus menciptakan semangat dan kegairahan kerja karyawan.
3.
Pemimpin RSUD Sukadana hendaknya lebih memberikan pengakuan dan penghargaan atas kerja dari para karyawan salah satunya dengan memberikan pujian dan penghargaan sehingga karyawan dapat termotivasi dalam bekerja.
4.
Penerapan human relations di RSUD Sukadana terbukti mempunyai peranan dalam meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga baik pemimpin RSUD Sukadana dan karyawan perlu menerapkan prinsip-prinsip human relations.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto,Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian. Penerbit Asdi Mahasatya. Jakarta. Alhadza, Abdullah. 2001. http : // www.depdiknas.go.id/ jurnal /Pengaruh Motivasi Berprestasi dan Perilaku. htm. Djaja, H.R. Dhanan. 1995. Peranan Humas Dalam Perusahan. Penerbit Alumni. Bandung. 204
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Effendy, Onong Uchjana. 2009. Human Relations dan Public Relations dalam Management. Penerbit CV Mandar Maju. Bandung. Gibson, Ivancevich, Donelly. 1999. Perilaku, Struktur, (Terjemahan). Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta.
Proses
1
Handoko, T.Hani. 2005. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Penerbit BPFE. Yogyakarta. Hasan, Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian dan Aplikasinya. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Hasibuan, Malayu S.P. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia dan Kunci Keberhasilan. Penerbit CV Haji Masagung. Jakarta. Hasibuan, Malayu S.P. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. PT Bumi Aksara. Jakarta. Mangkunegara, Anwar Prabu. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Mangkuprawira, Tb.Sjafri. 2001. Manajemen Strategik. Penerbit Ghalia. Jakarta. Manullang, M. 2000. Manajemen Personalia. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Mondy, R.Wayne and Robert M.Noe. 2005. Human Resources Management : Ninth Edition. New Jersey : Pearson Education. Inc. Ranupandojo, Heidjrachman dan Suad Husnan. 2002. Manajemen Personalia, Edisi Keempat. Penerbit BPFE-UGM. Yogyakarta. Setiati, A. Dian. 2002. Jurnal Bisnis dan Manajemen. Magister Manajemen Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Siagian, Sondang P. 1999. Teori Motivasi dan Aplikasinya. PT Rineka Cipta. Jakarta. Siagian, Sondang P. 2003. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Penerbit Rineka Citra. Jakarta. Siagian, Sondang P. 2005. Fungsi-Fungsi Manajerial. Penerbit PT Bumi Aksara. Jakarta. Wursanto, Ig. 1999. Etika Komunikasi Kantor. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
205
TINJAUAN KEMBALI LEADERSHIP IN ADMINISTRATION: A SOCIOLOGICAL INTERPRETATION (Selznick, 1957) Ayi Ahadiat12
ABSTRACT Conceptually, leadership, as an on going debatable topic, is becoming a more elusive and ambiguous research constructs. Therefore, it will always be a “hot topic” to be studied and discoursed. Core concept of leadership is very important to be used in critical decision making. Selznick (1957) has been a classic in leadership elaborates concept of leadership beyond efficiency, beyond organization, leadership responsibility and creativity. The distinctive competence concept has inspired various studies in resource-based view strategic management. In the review section the writer emphasize pros and cons of leadership that show more contribution to the development of leadership theory. Keywords: kepemimpinan institusional, karakter kepemimpinan, dan pelembagaan.
I. PENDAHULUAN 1.1 Organisasi, Premis Kepemimpinan dan Kegagalam Kepemimpinan Sifat dan kualitas kepemimpinan, dari segi kenegarawanan, sesuatu yang elusif atau tidak mudah untuk menjelaskannya namun merupakan topik yang tetap hangat (hot topic) dalam sejarah perkembangan idenya. Pada awalnya kepemimpinan merupakan wilayah kajian yang banyak diperhatikan oleh bidang politik, namun kini juga masuk kewilayah industri, pendidikan, psikologi, administrasi dan lainnya. Pemahaman kepemimpinan harusnya menjadi agenda kajian sosial yang penting baik dalam organisasi publik maupun privat. Studi saintifik tentang kepemimpinan telah berkembang dalam bidang manajemen industri dan administrasi publik.
12
Ayi Ahadiat, S.E. MBA: Dosen Tetap FE Unila dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen FEB UGM
Pertanyaan yang sering muncul seperti: Bagaimana cara menjadikan organisasi menjadi lebih efisien? Mendorong berkembangnya logika efesiensi. Namun ternyata dalam organisasi besar kepemimpinan tidak hanya efisiensi saja. Kepemimpinan disini menyangkut tanggungjawab dan kretifitas, serta perubahan organisasi menjadi institusi. Selznick beragumen: “Seorang eksekutif menjadi negarawan manakala dia membuat transisi dari manajemen administratif menjadi kepemimpinan institusional. Untuk itu perlu pemahaman apa arti istilah institusi. a.
Organisasi dan institusi (Organization and Institution)
Istilah organisasi memberikan suatu gambaran keterbukaan, ramping, bukan sistem “non sense” dari aktifitas yang terkoordinasikan secara sadar. Merupakan suatu alat yang digunakan (expendable) dalam rangka mencapai tujuan atau sebagai instrumen yang direkayasa untuk mengerjakan suatu tugas. Sedangan institusi merupakan sebagai hasil natural (natural product) dari kebutuhan dan tekanan sosial menjadi serupa organisme yang adaptif atau responsif. Pembedaan ini hanya semata dari segi analisisnya saja, bukan pada deskripsinya dan tidak berarti bahwa suatu perusahaan tergolong pada salah satu diantaranya. Hal-hal yang perlu diketahui yang berkaitan dengan perubahan adaptif dari suatu organisasi terhadap lingkungannya adalah: 1) Pengembangan ideologi adminstratif sebagai perangkat komunikasi dan pertahanan yang dilakukan baik secara sadar ataupun tidak; 2) Penciptaan dan perlindungan elit organisasi/institusi, dan; 3) tumbuhnya kelompok kepentingan yang berpengaruh pada organisasi. Institusionalisasi adalah suatu proses, yang ada pada setiap organisasi, memasukan suatu nilai (infusion with values) yang lebih dari aspek teknis. Uji dari masuknya suatu nilai adalah kemampuan institusi dalam menggunakan sumberdayanya untuk mencapai tujuan (expandability). Organisasi adalah instrumen yang expandable, jika tersedia yang lebih efisien maka dapat digantikan dengan yang baru. Transformasi organisasi teknis yang expandable ditandai oleh kepedulian pengelolanya terhadap pemeliharaan diri (self-maintenance). b. Premis-Premis tentang Kepemimpinan (Some Premises about Leadership) Premis 1: Kepemimpinan adalah sejenis pekerjaan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dari suatu situasi sosial.
208
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Kepemimpinan dapat dilihat sebagai bentuk kegiatan yang terspesialisasi atau jenis pekerjaan atau fungsi. Karakteristik kepemimpinan akan sangat tergantung pada situasi tertentu. Secara fungsional akan menggunakan alat yang sesuai. Ada variasi karakteristik individu pemimpin untuk situasi yang sama, bahkan variasi itu bertambah besar jika situasinya berbeda (Jenkins 1947 dalam Selznick, 1957:23). Kepemimpinan adalah hubungan yang terjadi antara orang per orang dalam situasi sosial, seorang dapat menjadi pemimpin dalam situasi tertentu namun belum tentu pada situasi lainnya (Stogdill, 1948 dalam Selznick, 1957:23). Teori kepemimpinan sangat tergantung pada teori organisasi sosial. Premis 2: Kepemimpinan tidak setara dengan mengelola kantor atau posisi dengan prestise tinggi atau kewenangan/otoritas atau pengambilan keputusan. Dalam mengidentifikasi kepemimpinan dengan melihat apa yang dikerjakan oleh seseorang dari “tempat” tinggi akan tidak membantu. Dalam pengembangan teorinya akan berguna untuk didiagnosis bahwa kepemimpinan tidak cukup pada aspek otoritas saja, namun proses pengambilan keputusan, baik rutin maupun kritikal. Premis 3: Kepemimpinan itu dispensable. Dapat dipastikan bahwa setiap kelompok manusia sepanjang waktunya memerlukan sebentuk kegiatan kepemimpinan. Jika kepemimpinan itu bersifat manentukan maka perlu diketahui kapan kepemimpinan itu harus hadir kapan tidak diperlukan. Teori kepemimpinan (Theory of Leadership) terkait kegiatan, fungsi, pekerjaan yang dilakukan oleh pemimpin. Karena kepemimpinan itu dispensable, maka ia dapat diadministrasikan. c.
Kegagalan suatu Kepemimpinan (The Default of Leadership)
Ketidakberhasilan suatu kepemimpinan lebih disebabkan oleh tidak adanya pada saat diperlukan bukan karena kesalahannya, sehingga menjadikan lembaga tidak menentu dan menjadi mudah terpengaruh dalam kepentingan oportunistik jangka pendek. Tipe default pertama adalah kesalahan dalam menentukan sasaran (goals). Manakala organisasi sedang berjalan (going concern) orang sibuk dengan pekerjaannya dan dengan tidak sengaja lupa menentukan tujuan, kalau pun ada tujuan itu tidak memberikan panduan secara jelas.
209
Bentuk default lainnya pada saat sasaran, walapun telah diformulasikan dengan baik, memperoleh penerimaan “basa basi” dan tidak dapat mempengaruhi struktur perusahaan secara total. Nilai atau value yang diterima harusnya menginfus pada semua level organisasi, berdampak pada perspektif dan sikap personil, relatif penting dalam kegiatan staf, distribusi otoritas, hubungan dengan kelompok eksternal serta banyak lainnya lagi. Pemimpin disini sebagai agen institusionalisasi (agent of institutionalization). Kegagalan suatu kepemimpinan dapat tampak dalam bentuk yang jelas (acute form) manakala beraduknya antara prestasi atau daya tahan organisasi dengan keberhasilan institusional. 1.2. Keputusan Rutin dan Kritikal (Routine and Critical Decesion) a.
Analogi Psikologikal (Psychological Analogy)
Dapat dipertimbangkan dua psikolog, yang pertama menitik beratkan pada proses psikologis rutin (routine psychological process) dan yang lainnya psikolog klinikal (clinical psychologist). Sifat proses rutin adalah teknikal dalam menjalankan fungsinya. Fungsi rutin bukan saja teknik yang sudah tua tapi juga melahirkan banyak perspektif baru hubungan manusia (human relation). Yang menjadi counterpart dari human relation adalah adaptasi dinamis yang merupakan minat dari psikolog klinikal. Dinamisme diasosiakan dengan modifikasi dari personalitas, sehingga akan berdampak pada modus respon yang kemudian akan muncul. Sedangkan Erich Fromm, dari segi psikoanalitik membedakan antara adaptasi statis dan dinamis. Adaptasi statis menunjukan struktur karakter keseluruhan tidak berubah dan yang berubah hanya kebiasaan baru yang diadopsi saja. Adaptasi dinamis terjadi pada wilayah bayangan bertemunya administrasi dan kebijakan. Adaptasi kepemimpinan adalah menginteraksikan kekuatan internal dan eksternal yang akan memberikan perubahan mendasar pada institusi, ini merupakan wilayah pengalaman kritikal (critical experience). Wilayah ini merupakan komitmen “character-defining” yang berdampak pada perubahan kapasitas organisasi untuk mengendalikan prilaku masa depannya. Terminologi “kepemimpinan” (“leadership”) mempunyai konotasi pengalaman kritikal dari pada praktek rutin. Peran dari kepemimpinan adalah membuat keputusan kritikal.
210
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
b. Konsep Karakter Organisasi (The Concept of Organization Character) Ada empat atribut karakter yang menjadi persetujuan umum: 1) Karakter adalah produk bersejarah (historical product); 2) Karakter merupakan bentuk keterpaduan atau struktur karakter (character-structure); 3) Karakter itu fungsional artinya bukan respon yang terpola secara tidak sengaja, dan; 4) Karakter bersifat dinamis yang melahirkan upaya baru, kebutuhan baru dan masalah. Kita pertimbangkan karakter tersebut dalam konteks organisasi berubah menjadi institusi memberikan butir butir pemikiran sebagai berikut: 1) Organisasi sebagai sistem teknikal, rasional, impersonal, berorientasi tugas terkondisi oleh interaksi responsif dari orang orang dan kelompok; 2) Sejalan dengan waktu, interaksi responsif dipola secara historis, fungsional dan dinamis; 3) Organsisasi menjadi institusi manakala telah dimasuki oleh nilai (infuse with value), dipandang bukan sebagai alat saja, namun sumberdaya yang mewujudkan kepuasan personal dan merupakan kendaraan integritas kelompok – pada gilirannya menjadi integrasi sosial. c.
Karakter Kompetensi Pembeda (The Character as Distinctive Competence)
Karakter pembeda kompetensi adalah terdapatnya komitmen dalam mengadaptasikan diri dalam, menghadapi tekanan dalam dan luar organisasi dalam melaksanakan keputusan untuk mewujudkan tujuan. d. Keputusan kritis dan Kebijakan (Policy and Critical Decision) Dalam kajian administrasi publik secara analitikal dibedakan antara pembuatan kebijakan (policy-making) dan keputusan layanan kebijakan (policy serving decisions). Hal ini mencerminkan pembedaan antara “policy” dan “administration”, yang awal menunjukan tujuan dan aturan diformulasikan oleh pengundang (legislatur) atau badan politik, sedangkan yang akhir digunakan sebagai fungsi teknikal, eksekutif, dan layanan kebijakan. Istilah kebijakan (policy) dasar ditujukan kepada keputusan yang memiliki dampak jangka panjang bagi organisasi (kritikal). Berikut adalah praktek organisasi yang masuk dalam wilayah keputusan kritikal dari suatu kepemimpinan: 1) Keputusan berkenaan dengan rekruitmen personalia, dapat merupakan bagian dari kejadian kritikal; 2) Pelatihan personil juga dapat masuk dalam wilayah kejadian kritikal kepemimpinan; 3) pengembangan organisasi dapat dikatakan
211
sebagai kebijakan pembentukan sistem yang mewakili kepentingan kelompok internal; 4) Kerjasama dengan organisasi lain merupakan wilayah kegiatan adminsitratif yang sarat dengan implikasi kebijakan. Contoh praktek ini dapat memberikan nuansa pembeda antara kejadian kritikal dan rutin, serta adaptasi dinamis dan statis. e.
Fungsi-fungsi Kepemimpinan Institusional (The Functions of Institutional Leadership)
Hubungan antara kepemimpinan dengan karakter organisasi dapat dilihat dari tugas yang harus lakukan oleh pemimpin, sebagai berikut: 1) mendefiniskan misi dan peran; 2) penyatukan tujuan kedalam institusi; 3) mempertahankan integritas institusi, dan; 4) penyelesaikan konflik internal. Dalam tulisan ini akan diperdalam kajian butir satu sampai tiga, dan sekilas akan disinggung butir ke empat. 1.3. Definisi Misi dan Peran (The Definition of Mission and Role) Dalam organisasi sering kita mendengar pertanyaan Apa yang harus dilakukan? Harus menjadi apa kita (organisasi) ini? Seorang pemimpin institusional harus memerankan diri dalam penentuan sasaran untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, sesuai dengan aspirasi yang berkembang. a.
Tujuan dan Komitmen (Purpose and Commitment)
Arah (aims) organisasi yang besar biasanya sangat luas, kabur dan sulit melihat sasaran yang spesifik secara realistik hal ini menjadi tantangan bagi pemimpin untuk menspesifikasi dan menulisnya dalam arahan umum dari organisasi sehingga dapat diadopsi tanpa penyimpangan serius untuk memenuhi tuntutan daya tahan institusi untuk tetap exist. Pernyataan ini mendasari definisi misi dan peran institusi. Pernyataan misi adalah pernyataan tujuan yang secara universal dapat dipahami untuk menjamin berjalannya adminsitrasi secara efektif. Dalam mendifinisikan misi pemimpin harus mempertimbangkan kondisi internal dan eksternal organisasi. b. Penolakan Teknologi (The Retreat to Technology) Ancaman terhadap integrasi tujuan dan komitmen, walaupun misi sudah didefinisikan secara memadai, adalah manakala orientasi terhadap teknologi terjadi secara prematur atau berlebihan. Penolakan teknologi muncul manakala kelompok menghidar dari komitmen yang sebenarnya
212
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
dengan menyerahkan tanggungjawab kepada pihak lain, sebagai cara menutupi bahwa dia mengisolasi diri terhadap teknologi karena ada rasa kekawatiran tertentu. c.
Peran Organisasi (Organization Roles)
Misi organisasi tidak akan terdefinikan secara memadai jika tidak menentukan elemen kunci dari pembagian peran dalam organisasi. Elemen kunci itu adalah: a) metode dasar, yang merupakan alat utama atau cara menenpuh misi, dan; b) bagian organisasi mana yang akan mengerjakan misi (pembagian peran). Secara umum peran adalah cara perprilaku dalam kaitan dengan posisi pada system social. Oleh karenanya setiap masyarakat, kelompok dalam masyarakat, selalu menentukan peran bagi anggotanya. Peran ini memberikan ekspektasi prilaku seperti apa yang diharapkan organisasi terhadap anggotanya. Peran menjadi anak, ayah, guru, tetangga, juru ketik, penduduk, dll. Ada yang menerima peran ini secara sadar dan ada yang tidak. Pengambilan peran ini (role-taking) merupakan proses adaptif dan merupakan modus strukturisasi diri dalam sistem sosial yang dilakukan secara tidak sadar. Pengambilan peran adalah efek dari keputusan pribadi seorang berkenaan dengan apa yang dia harus kerjakan, dan dibentuk oleh kemampuan dan juga tuntutan organisasi. 1.4. Pelembagaan Tujuan (The Institutional Embodiment of Purpose) Setelah penentuan misi dan peran tugas berikut seorang pemimpin adalah membangun tujuan kedalam struktur organisasi usaha atau dengan kata lain mentransformasikan badan yang netral menjadi lembaga yang berkomitmen. Hal ini dapat dilakukan dengan komunikasi ekstensif. Masalahnya adalah bagaimana mengetahui dan menguji kondisi institusi yang siap mencapai tujuan yang telah ditetapkan. a.
Kebijakan dan Struktur Sosial (Policy and Social Structure)
Aspek-aspek yang berpengaruh pada pemeliharaan dan perubahan keputusan kebijakan, adalah: 1) peran yang ditetapkan (assigned role), 2) kelompok kepentingan internal, 3) kepuasan sosial, 4) keyakinan, 5) partisipasi, dan 6) ketergantungan. Keenam elemen struktur sosial ini secara bersamaan membentuk jaringan hubungan komplek antaran individu dan kelompok. Jaringan ini sebagai filter pada saluran komunikasi kebijakan dan menjadi sistem akomodasi dari potensi konflik antara bagian organisasi. Terkadang kebijakan dapat hilang maknanya pada saat proses filter berlangsung dan munculnya 213
ketidakseimbangan berakibat pada proteksi diri dari unit konstituen. Untuk menjadi yang berpengaruh dalam organisasi, pemimpin harus tahu bagaimana cara mengatasi persoalan struktur sosial yang ada dari berbagai dimensi. b. Perspektif Sejarah (Histrorical Perspective) Untuk mencari keterkaitan antara kebijakan dan struktur sosial dapat dilihat dari sejarah perkembangan organisasi. Menurut Daniel Katz, karakteristik organisasi dapat diasosiasikan dengan pola pertumbuhannya. Organisasi yang berkembang dengan cepat karena tekanan waktu polanya akan berbeda dengan organisasi yang stabil dan telah melampaui puncak dari kekuasaannya. Untuk kasus organisasi cepat berkembangnya kepemimpinan menekankan diri pada inisiatif, kreatifitas, mobilitas, motivasi tinggi dan berani menolak tradisi nilai lama dalam menentukan tujuan organisasi, bahkan jika tidak sesuai tujuan itu sendiri yang ditolak. Pada kasus organisasi lambat berkembang pola konvesional dalam penentuan tujuan, perubahan ditekankan pada efesiensi, memelihara motivasi pada batas minimum untuk terjadi stabilitas dibandingkan dengan produktifitas. Berikut adalah tipe-tipe masalah yang memberikan karakteristik pada perkembangan organisasi: 1) pemilihan basis sosial, 2) pembangunan inti institusional, dan 3) formalisasi. c.
Krisis dan Perkembangan Personalia (Personnel Crises and Growth Stage)
Perubahan-perubahan dari pengembangan sangat jelas terefleksi dari pergantian personil. Pergantian personil bukan menjadi suatu yang rutin tapi akan berdampak dari perubahan situasi karena orang yang berubah. Karena masalah berkembang maka cara responnyapun berkembang, sesuai dengan pengembangan tugas-tugas baru, maka terkadang menuntut orangnya pun harus dirubah untuk memerankan tugas yang baru tersebut. Contoh dalam keorganisasian buruh, semua demontrasi menjadi alat efektif untuk meningkatkan posisi tawar buruh terhadap manajemen, namun setelah dirasakan kerugian juga ada pada pihak buruh merubah cara berjuang organisasi dengan upaya negosisasi. Perubahan ini menuntut penyesuaian pada kepemimpinan buruh. Contoh lain ketika orientasi produksi dirubah mejadi orientasi pasar pada Ford Motor Company, menuntut juga perubahan pada personalia. Karena titik berat jenis tugas menjadi berubah, dalam hal ini muncul persoalan pada pemilihan orang kunci yang mengerti tahap perubahan.
214
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
d. Desentralisasi dan Integrasi Sosial (Decentralization and Social Integration) Pada desain pengambilan keputusan perlu diperhatikan keseimbangan antara desentralisasi dan sentralisasi dari pengendalian. Kebutuhan akan sentralisasi berkurang manakala homogenitas dari personil meningkat. Kesamaan pandang pada semua tingkat administrasi akan mendukung terjadinya desentralisasi tanpa merusak policy atau kebijakan. Manakala kebijakan resmi dapat dimengerti dan diterima secara luas, maka sentralisasi akan menjadi cocok untuk diterapkan. Pada tahap perkembangan organisasi biasanya tingkat sentralisasi yang lebih tinggi dibanding dengan pada tahap perkembangan berikutnya dari suatu organisasi. Tahap perkembangan selanjutnya sepanjang sudah terwujud homogenitas pemahaman tujuan akan lebih baik diterapkan desentralisasi pengambilan keputusan. Desentralisasi perlu persiapan bahkan training untuk kepemimpinan. e.
Nilai yang tidak mapam dan pertahanan integritas (Precarious Values and the Defence of Integrity)
Integritas institusi dapat senantiasa terancam, walaupun kondisi internal yang relative kuat, kalau ada cukup kekuatan besar menggangu. Umumnya diagnonis berkenaan dengan kelemahan internal, sehingga dari sudut ini kita melihat organisasi memiliki karakter yang goyah pada saat nilai yang dianut melemah dan kurang aman/terlindungi (tenuous). Kemampuan untuk mempertahankan intergritas tegantung pada beberapa kondisi temasuk pendefinisian tujuan secara memadai. Berkaitan dengan ini masalah yang mungkin timbul yaitu hubungan antara nilai precarious dengan otonomi profesional atau elit. Dalam pembahasan masalah ini akan dilihat kemungkinan kontrbusi analisis institusi pada teori administrasi. Pembahasan ide-ide yang berkenaan dengan masalah juga menjadi caru untuk mendekati pemahaman administrasi yang benar (proper), yaitu elite, nilai sosial, dan otonomi. Elite adalah adalah kelompok yang ditujukan tanggungjawab kepadanya untuk melindungi nilai sosial. Elit dapat saja disebut dengan “profesi” atau “kelompok professional” sepanjang pemahaman perdefinisinya sama. Nilai sosial adalah objek dari suatu kemauan (hasrat) yang mampu mempertahankan identitas kelompok. Termasuk didalamnya satuan tujuan atau standar yang mendasari perspektif bersama dan kebersamaan kelompok. Otonomi adalah kondisi idenpenden yang mampu menjadikan kelompok untuk mempertahankan identitas yang beda. Definisi ketiga faktor tersebut belumlah final namun relasi antar 215
aspek tersebut dapat dinyatakan bahwa pemeliharaan nilai sosial tergantung pada otonomi elit. 1.5. Kajian Kepemimpinan Institusional Tulisan ini bertujuan untuk mengekplorasi arti kepemimpinan institusional pada organisasi skala besar. Wawasan kenegarawanan (statesmanship) merupakan sosok yang lebih cocok dikembangkan sekarang ditengah tengah sempitnya cara berfikir para eksekutif. Untuk memberikan ringkasan dari pemikiran yang berkembang, kepemimpinan adalah lebih dari sekedar efisiensi, lebih dari sekedar organisasi, dan kepemimpinan kreatif. a.
Lebih dari sekedar Efisiensi (Beyond Efficiency)
Penekanan yang berlebih pada aspek efisiensi dan mengabaikan bagaimana kemungkinan hasil akhir dari upaya bisnis terjadi dalam teori adminsitrasi serta praktek-prakteknya. Efisiensi dapat berjalan secara ideal jika tujuan telah ditetapkan dan sumberdaya dibutuhkan tersedia. Persoalannya adalah bagaimana menggabungkan sarana yang ada dengan tujuan akhir yang akan dicapai. Untuk itu perlu dipahami proses pengambilan keputusan rutin dan bedakan dengan keputusan kritikal. Karena organisasi terus berjalan peran keduanya menjadi kabur. Kepemimpinanlah memberikan petunjuk untuk meminimalkan kekaburan yang terjadi. Jika manajemen puncak terjebak dalam kegiatan rutin, teknikal atau adminsitratif dapat digolongkan kedalam manajerial organisatoris, bukan pemimpin institusional. Biasa orang tersebut menitik beratkan (concern) hanya pada efesiensi dengan tujuan semua operasi organisasi berjalan lancar saja. Padahal dari perspektif pengambilan keputusan kritikal kepemimpinan tidak bicara hanya aspek efisiensi. Tugas kepemimpinan melebihi efisiensi manakala 1) kepemimpinan merumuskan misi dasar organisasi dan 2) menciptakan organisasi sebagai organisme sosial yang mampu memenuhi tuntutan pencapaian misi. Kepemimpina puncak menentukan misi dan sasaran organisasi, kemudian semua jajaran (level) administrasi menjadi bagian dari keputusan kritikalnya. b. Lebih dari sekedar Organisasi (Beyond Organization) Dari perspektif engineering, manajemen organisasi pada prakteknya dilakukan secara rutin, karena desain dan pelaksanaan organisasi sangat jelas (straightforward). Karena sifat rutinitas dan teknikal orang yang
216
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
bertanggungjawab dalam organisasi lebih dikatakan sebagai engineer bukan leader. Keterbatasan organisasi dari perspektif engineering menjadi nyata ketika perlunya mengadaptasikan misi dan peran dalam organisasi (enterprise). Proses adaptasi dan integritas kelompok terjadi manakala ada nilai yang dianut (infused by value), dan kejadian ini menggeser manajemen organisasi menjadi kepemimpinan institusional. Tanggungjawab pemimpin lebih kepada integritas institusional. Berbicara integritas berarti lebih dari sekedar efisiensi serta lebih dari sekedar bentuk dan prosedur organisasi bahkan lebih dari kohesi kelompok. Karena integritas menggabungkan organisasi dan kebijakan (policy) serta merupakan upaya dalam mempertahankan kompetensi pembeda (distinctive competence). c.
Kepemimpinan yang Bertanggungjawab (Responsible Leadership)
Pada saat organisasi menjadi institusi, masalah baru muncul yakni penentuan orang yang cocok untuk memimpin. Karena tanggungjawab institusional sebenarnya sama dengan apa yang dimaksud dengan kenegarawanan (statesmanship). Tanggungjawab institusional harus diemban oleh pemimpin yang bertanmggungjawab. Kepemimpinan bertanggungjawab merupakan perbauran (blend) antara komitmen, pemahaman, dan determinasi. Elemen ini mengungkap secara simultan kepribadian pemimpin dan identitas institusi. Bagian dari kepribadian adalah 1) konsepsi diri (self-conception), 2) pengetahuan diri (selfknowledge), dan 3) asumsi komando yang disebut proses kepatuhan diri (self-summoning process). Kepemimpinan dikatakan tidak bertanggungjawab manakala gagal menentukan sasaran dan membiarkan instutisi bejalan mengambang atau “tidak menentu”. Dalam kaitan integritas institusional. Kepemimpinan dapat dilihat dari sudut pandang oportunistik dan utopis. Kepemimpinan oportunistik menunjukan self- centered-ness yang sempit, senantiasa mengeksploitasi pihak lain untuk keuntungan jangka pendek. Sementara kepemimpinan utopis terjebak dalam generalisasi tujuan berlebihan (overgeneralization of purpose) yang digunakan dasar pengambilan keputusan. Jika salah satu dari kedua tipe kepemimpinan diterapkan, menjadikan kepemimpinan tergolong tidak bertanggungjawab (irresponsible). Kepemimpinan yang bertanggungjawab akan berada pada posisi mengendalikan situasi oportunistik dan utopis.
217
d. Kepemimpinan Kreatif (Creative Leadership) Sebagai tambahan dari pandangan konservatif pada ciri kepemimpinan yang bertanggungjawab ditambahkan unsur peduli terhadap perubahan dan rekonstruksi. Peran kreatif mengandung dua aspek yaitu penyatuan tujuan kedalam institusi dan kreativitas yang dipraktekan kedalam rencana strategis dan taktis, yakni menganalisis lingkungan untuk menentukan cara terbaik menggunakan sumberdaya dan kemampuan organisasi. Membangun berdasarkan tujuan dalam organisasi adalah tantangan bagi kreativitas, karena menjalankan tranformasi orang dan kelompok yang semula netral dalam unit teknis menjadi partisipan yang memiliki ciri khusus, sensitifitas dan komitmen yang dilakukan melalui proses pendidikan. Oleh karenanya pemimpin sebagai pendidik dituntut memiliki kemampuan menterjemahkan peran dan karakter enterprise dengan berbagai modus komunikasi menjadi prilaku dan model dalam berbagai perspektif. 2. PERDEBATAN KONSEP KEPEMIMPINAN Dalam mengulas buku leadership in administration yang ditulis oleh Philip Salznick, akan ditinjau pendapat serta teori-teori yang mendukung (agreement) dan yang bertentangan (disagreement). Selain itu, pendapat yang diluar keduanyapun akan diungkapkan dalam rangka untuk memperkaya proses dialektik pada topik ini. 2.1. Pendapat yang mendukung (agreement) Meindl, Ehrlich, dan Dukerich (1985:78) satu pendapat dengan Selznick (1957:1) bahwa topik kepemimpinan sepanjang sejarah pembahasannya masih elusif. Dikatakan dalam istilah yang agak berbeda bahwa definisi kepemimpinan masih ambigu seperti pada Pfeffer (1977:104-12) dan Karmel (1977:480) Kepemimpinan ada karena tekanan faktor lingkungan dan tuntutan dari dalam organisasi atau institusi. Hal ini sama dengan yang diungkap oleh Pfeffer (1977:102-4) bahwa kepemimpinan adalah pengaruh sosial (social influence) sedangkan Meindl, Ehrlich, dan Dukerich (1985:78) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah hasil dari konstruksi sosial. Smircich dan Morgan (1982:259) juga menyatakan kepemimpinan adalah proses sosial yang terjadi melalui interaksi, dimana kepemimpinan itu sendiri merupakan suatu fenomena. Contohcontoh praktis diuraikan pada Vance (1983) dalam buku Corporate
218
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Leadership dan oleh Fulmer and Goldsmith (2001) dalam bukunya the Leadership Investment. Smircich dan Morgan (1982:263-169) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah manajemen makna (management of meaning), dengan kata lain diungkap oleh Schutz (1969) dengan istilah “bracketing” of experience, Goffman (1974) dengan istilah “framing” of experience, dan Bateson (1972) dan Weick (1979) dengan istilah punctuation of context. Dalam konsepkonsep tersebut memberi pengertian bahwa pengikut akan berbuat sesuai dengan perbuatan dan perkataan pemimpinnya. Hal ini sama maknanya dengan apa yang telah dibahas dalam bab definisi misi dan peran (definition of mission and role) serta pelembagaan tujuan (institutional embodiment of purpose). Selain itu juga aspek tanggungjawab, peran dan adaptasi lingkungan dibahas dalam Smircich dan Morgan (1982:268-169) Peran yang diuraikan oleh Selznick sebagai langkah pelaksanaan misi, lebih dielaborasi oleh Mintzberg (1973) menjadi peran sebagai figure, peran sebagai pimpinan, peran sebagai perantara, peran pemantau, peran disseminator, peran juru bicara, peran wirausaha, peran pengendali ganguan, peran alokator sumberdaya, dan negosiator dalam bukunya the Nature of Managerial Work. Visionary Leadership yang bahas oleh Mintzberg, Ahlstrand dan Lampel (1998:136-147) memberikan gambaran yang hampir sama dengan pembahasan Selsznick dalam hal, komitmen, human relation, teknologi dan disimpulkan juga bahwa kepemimpinan adalah historical product artinya pemimpin dapat dilahirkan dan dibuat. Visionary leader diungkap juga oleh Bennis (1997:154) dalam pembahasan leadership attributes. Peter dan Waterman, Jr (1982:98-90 & 281-190), mengutip dan membahas aspek Commitment value, organization character dan creative leadership yang diajukan oleh Selznick, ketiga aspek diuraikan sehingga lebih mudah penerepannya dalam praktek. Keputusan kritikal adalah hal terpenting yang dilakukan seorang pemimpin, karena keputusan ini akan memberikan dampak jangka panjang. Dalam perspektif yang sama pemimpin itu berperan secara strategik yaitu sebagai “Change Master” (Grant, 2001:526), dalam pandangan ini pemimpin mengarahkan perusahaan (direct and redirect) serta membuat keputusan kunci berkenaan akuisisi, divestasi dan pemotongan biaya. Keputusan kritikal menuntut dukungan kreatifitas yang memadai, karenanya pola ini disebut dengan strategic decision leadership oleh Ansoff (1979:134). Keputusan rutin dan kritikal diungkap secara berbeda oleh Tichy (1983:90), istilahnya adalah mechanistic 219
management style dan organic management style. Pengertian yang awal lebih kepada procedural, sdangkan yang terakhir lebih adaptif terhadap perubuahan lingkungan eksternal dan tuntutan internal. 2.2. Pendapat yang tidak mendukung (disagreement) Studi yang dilakukan oleh Selznick ini tergolong kedalam non empirical study, karena pengujian premis (proposisi) tidak didasarkan pada studi explorative atau confirmatory Analysis. Sangat terasa aromanya karena tidak begitu banyak dikutip (cited) oleh para functionalist atau empirist diantaranya seperti Gary Yukl. Selznick tidak memberikan definisi kepemimpinan yang ternyata masih ambigu atau membingunkan seperti yang dilakukan oleh Yukl (1989), Pfeffer (1977), dan Karmel (1978). Kepemimpinan dibahas dalam aspek lebih kepada karakter kepemimpinan, proses pengambilan keputusan kritikal dan kesetaraan pemahaman kepemimpinan dengan kenegarawanan. Proses munculnya atau diseleksinya pemimpin tidak terlihat nyata (Pfeffer, 1977). Variasi kepemimpinan ditinjau dari segi situasinya oleh Selznick (1957) sedangkan oleh Pfeffer variasi kepemimpinan tergantung pada level organisasi Pfeffer, 1977). Dapat dipahami karena Selznick melihat kepemimpinan lebih pada posisi puncak (top management), yang diungkap dalam istilah Institusional Leadership. Tugas pemimpin adalah melembagakan tujuan, terlepas dari apa tujuan institusi (Selznick, 1957, p. 90-133), namun Karmel (1977, p. 480) melihat pemimpin tidak akan paham tugasnya jika tujuan belum terdefinisi secara jelas. Karena akan berakibat pada dimensi dan operasionalisasi yang tidak mengarah (proposisi ke 2). Purpose
General concept
Constuct
Dimensionality
Operationalization
Sumber: Karmel, B. (1978) Leadership: A challenge to traditional research methods and assumptions, Academy of Management Review, 3: p. 480
220
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 7 No.2, Januari 2011
Terlihat dari aspek yang dibahas, ide Salznick (1957) bukan tergolong mainstream karena beberapa penulis meneliti dampak kepemimpinan pada kinerja (performance) Pfeffer (1977), Yukl (1989), Meindl, Ehrlich, dan Dukerich (1985), dan Thomas (1988) yang tidak dibahas oleh Salznick. Yukl (1989 & 1994) menulis buku kepemimpinan dengan kelengkapan yang cukup, sehingga semua aspek yang ada dalam tulisan Selznick (1957) relatif tercakup didalamnya. Tema-tema yang ada seperti decision making, mission and role, tanggungjawab (responsibility), dan kreatifitas. 3. SIMPULAN DAN REKOMENDASI Konsep kepemimpinan dalam administrasi oleh Selznick (1957) belum mencakup aspek karakter pemimpin dan proses pengambilan keputusan oleh pemimpin. Walaupun belum lengkap secara konsep, tulisan Selznick (1957) telah memberikan kontribusi yang besar dalam pengembangan konsep visionary leadership dan menjadi sangat berpengaruh dalam literatur dan studi manajemen strategik terutama kepemimpinan strategik, terutama yang terkait dengan konsep distinctive competence. Namun untuk penelitian mendatang konsep yang dikembangkan Yukl (1994, 2000), serta banyak konsep setelah itu menunjukan perkembangan konsep yang lebih konvergen. Untuk penelitian lebih lanjut penulis merekomendasikan topic kepemimpinan strategic sebagai “avenue” penelitian. REFERENSI Ansoff, H. I. 1979. Strategic Management. London: The Macmillan Press Ltd. Bennis, W. 1997. Becoming a Leader of Leaders. In Gibson, R. Rethinking the Future: Business, Principle, Competition, Control, Leadership, Market and the World: 149-163. London, UK: NB Publishing Fulmer, R.M. & Goldsmith, M. 2001. The Leadership Investment: How the World's Best Organization gain Strategic Advantage through Leadership Development,New York: AMACOM Grant,
R. M. 2002, Contemporary Strategy Analysis: Concept, Techniques, Application (4th ed.). Massachussetts: Blackwell
Jenkins, W. O. 1947. A Review of Leadership Studies with Particular Reference to Military Problems. In Selznick, P. 1957. Leadership in Administration: A Sociological Interpretation. New York: Row, Petersson and Company. 221
Karmel, B. 1977. Leadership: A Challenge to Traditional Research Methods and Assumption. Academy of Management Review, 3: 475482 Mendl, J. R., Ehrlich, S. B., & Dukerich, J. M. 1985. The Romance of Leadership. Administrative Science Quarterly, 30:78-102 Miner, J.B. 1982. Theories of Organization Behaviour, IL: The Dryden Press Peters, T. J. & Waterman, R. H. 1982. In Search of Excellence: Lesson from America's Best-Run Companies. New York: Warner Books Pfferer, J. 1977. The Ambiguity of Leadership. Academy of Management Review, 2: 104-112 Selznick, P. 1957. Leadership in Administration: A Sociological Interpretation. New York: Row, Petersson and Company. Smircich, L. & Morgan, G. 1982. Leadership: The Management of Meaning. Journal of Applied Behavioral Science, 18:257-273 Stogdill, R. M. 1948. Personal Factor Associated with Leadership: A Survey of the Literature. In Selznick, P. 1957. Leadership in Administration: A Sociological Interpretation. New York: Row, Petersson and Company. Thomas, B. A. 1988. Does Leadership Make a Difference to Organizational Performance. Administrative Science Quarterly, 33:388-400 Tichy, N. M. 1983. Managing Strategic Change: Technical, Political and Cultural Dynamics. New York: Wiley Vance, S. C. 1983. Corporate Leadership: Boards, Directors and Startegy. New York: McGraw-Hill Book Company Yukl, G. 1989. Leadership in Organization, (2nd ed.). New Jersey: Prentice Hall Yukl, G. 1989. Managerial Leadership: A Review of Theory and Research. Journal of Management, 15: 251-289
222