Jurnal Hukum & Pembangunan 46 No. 1 (2016): 106-119 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)
PROBLEMATIKA PENINJAUAN KEMBALI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PASCA SEMA RI NO. 7 TAHUN 2014 (SUATU ANALISA YURIDIS DAN ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERADILAN PIDANA) Seno Wibowo Gumbira* * Staf Pengajar Program Studi Ilmu Hukum, FISIP Universitas Terbuka, Pondok Cabe, Tangerang Selatan Korespondensi:
[email protected] Naskah dikirim: 11 Februari 2016 Naskah diterima untuk diterbitkan: 8 Maret 2016
Abstract Problems of extraordinary legal remedy on Reconsideration, especially in the criminal justice process in Indonesia following the Ruling of judicial review of the Constitutional Court Number 34 / PPU-XI / 2013 and SEMA Decree No. 7 of 2014 issued by the Supreme Court had the same problem juridical in contradictory with the principles both within the criminal justice system and the principle of the science of law in Indonesia, those principles include the principle of ne bis in idem, the principle of justice which one quick, simple and low cost, the principle of litis finiri oportet, It is on the principle of lex superior derogate legi inferior. It can also be said that the judicial review of the Constitutional Court has the potential to undermine the pillars of legal systems as when stating a legal provision is only base on one law, in which is in fact the legislation is incontracdictory with other laws. The solution that does not cause the problems is that the Supreme Court did not need to issue SEMA Decree No. 7 of 2014 the court simple use the Law of Judicial Power and the Law of the Supreme Court which states Reconsideration should be only one time in addition to the necessary optimizeevidence of proof in the criminal justice process by all Parties. Keywords: judicial review, reconsideration, the criminal justice system Abstrak Permasalahan upaya hukum luar biasa pada Peninjauan Kembali khususnya pada proses peradilan pidana di Indonesia Pasca Putusan judicial review Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PPU-XI/2013 dan SEMA RI No 7 Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI sama-sama memiliki permasalahan yuridis dan bertentangan dengan asas-asas baik dalam lingkup sistem peradilan pidana dan asas ilmu perundang-undangan di Indonesia, asas tersebut meliputi asas ne bis in idem, asas peradilan cepat, sederhana dan Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol46.no1.44
Problematika PK dalam Sistem Peradilan Pidana, Gumbira
107
biaya ringan, asas litis finiri oportet, dan sedangkan pada ilmu perundangundangan asas lex superior derogate legi inferior. Dapat juga dikatakan bahwa judicial review Mahkamah Konstitusi berpotensi merusak pilar hukum karena jika menyatakan suatu ketentuan hukum hanya satu undang-undang saja, yang mana peraturan perundang-undangan yang 1 bertentangan dengan peraturan perundang-undang lainnya. Solusi agar tidak menimbulkan problematika adalah bahwa Mahkamah Agung tidak perlu menerbitkan SEMA RI No 7 Tahun 2014 tersebut, cukup menggunakan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah Agung yang menyatakan Peninjauan kembali hanya 1 kali, selain itu perlu optimalisasi pembuktian dalam proses peradilan pidana oleh semua pihak. Kata kunci: judicial review, peninjauan kembali, sistem peradilan pidana I.
Pendahuluan
Terwujudnya Negara hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 3 yang merupakan cita-cita dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia akan dapat direalisasikan bila seluruh proses penyelenggaraan pemerintah yang didasarkan pada norma-norma yang tercantum dalam konstitusi. Konsep Negara hukum itu sendiri ditujukan untuk menghindari Negara atau pemerintah berbuat dan bertindak sewenang-wenang,1 sebagaimana diketahui konsep Negara Hukum yang dikemukakan oleh Soemantri Martosoewignjo, yaitu pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negaranya), adanya pembagian kekuasaan dalam negara, adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) bertujuan untuk melaksanakan atau menegakkan hukum pidana materiil dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia, hal tersebut merupakan salah satu ciri yang mencerminkan konsep Negara hukum. KUHAP yang saat ini ada dan berlaku dalam praktiknya telah mengalami berbagai perkembangan dan perubahan yang salah satunya yakni adanya beberapa ketentuan atau Pasal yang dalam KUHAP telah dilakukan pengujian perundang-undangan (Judicial review) oleh Mahkamah Konstitusi dan ada dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ada juga permohonan yang di tolak.3 Tentu dengan demikian memiliki implikasi atau dampak
1 Irianto A. Baso Ence, “Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi: Telaah terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi”, (Bandung: Alumni, 2008), hal. 1. 2
Sri Soemantri, “Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia”, (Bandung: Alumni, 1990), hal.
3
Sebagai contoh dapat dilihat dari putusan Mahkamah Konstitusi No. Nomor 65/PUU-IX/2011.
29.
108
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.1 Januari-Maret 2016
terhadap pelaksanaan hukumnya terutama pada ketentuan dalam KUHAP yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Implikasi yang ada pada ketentuan KUHAP yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau diubah oleh Mahkamah Konstitusi dapat berdampak pada pelaksanaan penegakan hukum dan salah satu yang telah di lakukan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi adalah Peninjauan kembali. Sebagai hal yang krusial adalah mengenai ketentuan upaya hukum luar biasa pada Peninjauan Kembali (selanjutnya disebut PK).Dalam ranah KUHAP Peninjauan kembali terdapat dan diatur dalam Bab XVIII Pasal 263 Sampai dengan 269 KUHAP dan termasuk dalam upaya hukum luar biasa. Pasal-Pasal ini merupakan upaya hukum yang mengatur tata cara untuk melakukan peninjauan kembali terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Jadi Lembaga ini merupakan Rechteerljike Dwaling atau Misscarriage of Justice terhadap seseorang yang telah di jatuhi pidana, ternyata berdasarkan bukti-bukti kuat dan signifikan dia tidak bersalah atau ternyata perbuatan pidana yang yang dituduhkan dilakukan oleh orang lain. Bahwa Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan sekali. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 268 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 268 KUHAP berdasarkan putusan Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi Nomor: 34/PPU-XI/2013 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya Peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali permohonan atas kasus atau perkara yang sama baik di bidang hukum perdata maupun pidana. Tentunya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mempunyai dampak yang sangat signifikan dalam proses penegakan hukum khususnya bidang hukum pidana. Namun, di penghujung akhir tahun kemarin, Mahkamah Agung (“MA”) akhirnya menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, yang mengatur bahwa Peninjauan Kembali hanya bisa dilakukan satu kali.4 Dengan Mahkamah Agung RI mengeluarkan SEMA tersebut tentunya terdapat pertentangan produk yuridis antar lembaga tinggi Negara yang bertugas menjalankan kekuasaan kehakiman di Negara Republik Indonesia ini. Sehingga dapat menimbulkan permasalahan yuridis yang memiliki dampak terhadap penegakan hukum di Indonesia. Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang dikaji adalah sebagai berikut: Problematika apa sajakah yang akan timbul pada peninjauan kembali dalam sistem peradilan pidana pasca putusan Mahkamah Konstitusi dan pasca SEMA RI No. 7 tahun 2014?
4
, diakses pada tanggal 27 Februari 2016.
Problematika PK dalam Sistem Peradilan Pidana, Gumbira
II.
109
Pembahasan Problematika Pada Peninjauan Kembali Dalam Sistem Peradilan Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI dan Pasca SEMA RI No. 7 Tahun 2014 Sebelum membahas pembahasan utama dalam artikel ini, penulis ingin memberikan terlebih dahulu penjabaran mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi RI dan dampak dari putusannya yang sifatnya putusan tingkat pertama dan terakhir (final and binding) yang kemudian akan dihubungkan dan atau diperbandingkan konsekuensinya dengan adanya SEMA RI 2014 tentang Peninjauan Kembali hanya sekali. Pada perubahan Undang-Undang Dasar 1945 melahirkan lembaga baru dibidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.5 Pada Pasal 24 huruf C Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan tingkat terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (Judicial Review), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum, dan selain itu juga Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR RI mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945. Sebagaimana diketahui juga bahwa disamping Mahkamah Konstitusi dapat melakukan Judicial Review, tetapi secara nyata Pasal 24 A ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa Mahkamah Agung RI berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah Undang-Undang. Putusan Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PPUXI/2013pada Pasal 268 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sudah tentu menimbulkan dampak dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yakni khususnya pada upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali yang dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dinyatakan bahwa Pasal 268 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tidak mengikat dan berkekuatan hukum, artinya bahwa peninjauan kembali dapat dilakukan berkali-kali. adapun pertimbangan Mahkamah Konstitusi RI dalam putusan 34/PPU-XI/2013 yakni sebagai berikut:
5
Ni’matul Huda, “Hukum Tata Negara Indonesia”, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), hal. 202.
110
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.1 Januari-Maret 2016
a.
b.
c.
d.
e.
Dengan dalih keadilan, Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan Peninjauan Kembali hanya satu kali; Upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali secara historis-filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana; Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali. Mungkin saja setelah diajukannya Peninjauan Kembali dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan saat Peninjauan Kembali sebelumnya belum ditemukan; Syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah sangat materiil atau syarat yang sangat mendasar terkait kebenaran dan keadilan dalam proses peradilan pidana seperti ditentukan Pasal 263 ayat (2) KUHAP; Upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP haruslah dalam kerangka yang demikian, yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi menegaskan upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi. Namun, tak demikian upaya pencapaian keadilan. Sebab, keadilan kebutuhan manusia yang sangat mendasar lebih mendasar daripada kepastian hukum.
Dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka ada benturan antara kepastian hukum dan keadilan, tetapi apakah dengan dapat diajukannya upaya hukum luar biasa peninjauan kembali benarbenar mencapai keadilan dan tidak menimbulkan permasalahan?dan apakah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah selaras dengan asasasas hukum dan juga telah singkron dengan aspek yuridis yang ada dan berlaku? Hal inipun perlu diuji terlebih dahulu baik dengan asas-asas hukum terutama dalam hal ini adalah hukum yang ada dalam lingkup hukum pidana baik dalam lingkup hukum materielnya maupun hukum formalnya. Secara sekilas Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bertentangan dengan asas peradilan hukum peradilan pidana Indonesia, yakni: a. b. c.
Asas nebis in idem (exceptie van gewijsde zaak); Asas peradilan cepat sederhana dan biaya murah; Asas litis finiri oportet.
Pada pertentangan antara asas nebis in idem (exceptie van gewijsde zaak) dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yakni, sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksud dengan asas nebis in idem (exceptie van gewijsde zaak) adalah tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai tindakan (feit) yang sama.6 Asas ini diatur dalam Pasal 76 ayat
Problematika PK dalam Sistem Peradilan Pidana, Gumbira
111
1 dan 2 KUHP Bab VIII menyatakan “bahwa seseorang tidak dapat dituntut sekali lagi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht van gewijsde/res judicata)”. Adanya potensi pertentangan ini dikarenakan yakni pada upaya hukum luar biasa peninjauan kembali pada perkara pidana bahwa dari sudut praktik selain yang dapat mengajukan adalah terpidana/ahli warisnya/penasehat hukumnya, juga dalam perkembangannya Jaksa Penuntut Umum juga dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali.Melalui putusan Mahkamah Agung RI No. 55 PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996. Menurut Majelis Hakim Mahkamah Agung Peninjauan Kembali, Jaksa/penuntut umum diperkenankan mengajukan peninjauan kembali, karena KUHAP tidak mengaturnya sehingga Mahkamah Agung melalui putusan Peninjauan Kembalinya berkeinginan menciptakan Hukum Acara Sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali dalam perkara pidana dengan menafsirkan beberapa ketentuan undang-undang yakni pada: a.
b.
c.
d.
e.
Pasal 244 KUHAP hanya menegaskan “putusan bebas” tidak dapat dimintakan kasasi. Dalam praktik, ketentuan Pasal 244 KUHAP telah diciptakan aturan baru berupa putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi dan dalam hal ini telah menjadi Yurisprudensi Konstan; Pada Pasal 21 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 yang berisi bahwa pihak berkepentingan ditafsirkan adalah Kejaksaan yang tentunya berhak memohon pemeriksaan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI; Pasal 263 ayat 3 KUHAP ditafsirkan Pasal ini ditujukan kepada Jaksa karena Jaksa/Penuntut Umum adalah pihak yang berkepentingan agar putusan hakim diubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tetapi tidak diikuti dengan pemidanaan dapat diubah dengan diikuti pemidanaan terhadap terdakwa; Berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perseorangan (termohon peninjauan kembali) dengan kepentingan umum, bangsa dan negara dilain pihak. Atas dasar asas keseimbangan penerapan hak asasi tersebut disamping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakilkan oleh Jaksa/Penuntut Umum dapat dimintakan peninjauan kembali; Mahkamah Agung RI sebagai badan peradilan tinggi bertugas membina dan menjaga agar semua undang-undang diterapkan secara
6 S.R. Sianturi, “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”, (Jakarta. Alumni AHAEM PETEHAEM, 1996), hal. 418. Tujuan Asas ini adalah untuk menghindari adanya beberapa putusan terhadap suatu tindak pidana; seseorang terdakwa/terpidana harus diberi ketenangan hati, jangan sampai dibiarkan terus menerus dengan perasaan terancam oleh tuntutan kembali dalam tindak pidana yang telah diputus. Lihat H. Riduan Syahrani, hal. 153.
112
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.1 Januari-Maret 2016
tepat dan adil. Karena terjadi kekosongan hukum dalam KUHAP, Mahkamah Agung akan menciptakan Hukum Acara sendiri (Yurisprudensi) demi untuk adanya kepastian hukum.7 Dengan demikian dapat terjadi problematika yakni Putusan yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht van gewijsde/res judicata) dapat diajukan atau dituntut kembali atau diperiksa kembali. Padahal kekuatan atau daya berlaku dari res judicata in criminalibus (finalnya putusan dalam kasus-kasus pidana) ini menutup total hak untuk melakukan atau melanjutkan penuntutan tidak dilandaskan pada pengandaian bahwa putusan yang dijatuhkan sudah tepat-benar, jadi bukan pada res judicata pro veritate habetur (putusan pengadilan berlaku sebagai kebenaran absolut). Sebaliknya hal itu dilandaskan pada dorongan untuk menegakkan kewibawaan Negara serta juga kebutuhan memenuhi tuntutan perdamaian dan kepastian bagi individu. Setidaknya kepentingan umum akan terjaga bilamana hakim tidak dipaksakan untuk terus menerus mengulang atau membantah pandangan-pandangan sendiri. Putusan-putusan pengadilan yang sudah final haruslah dihormati. Individu yang terkait jelas sangat diuntungkan oleh kepastian yang diberikan, yakni bilamana tuntutan hukum yang dijalankan terhadapnya sudah dihentikan, ia tidak akan diganggu dan dipidana lagi untuk tindak pidana yang sama: memo debet bis vexari (tidak seorangpun boleh diganggu dengan penuntutan dua kali untuk perkara yang sama dan sebab itu juga tidak dipidana dua kali untuk tindak pidana yang sama. Dalam rumusan lain:siapa (dalam hal ini penuntut umum) telah menggunakan keweangan prosesuilnya, maka ia selanjutnya kehilangan menggunakan kewenangan yang sama untuk kedua kalinya.8 Asas nebis in idem tersebut juga berkaitan dengan asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya ringan hal tersebut berkaitan dengan penyelesaian perkara agar terlaksana secara sistematis dan cepat selesai, karena jika perkara yang subjek, objek dan kejadiannya yang sama diperiksa dan diputus berkali–kali tentunya akan menyebabkan ketidak sesuaian asas–asas yang dianut dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Pada asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan dimaksudkan supaya terdakwa/terpidana tidak diperlakukan dan diperiksa sampai berlarut-larut, kemudian memperoleh kepastian prosedural hukum serta proses administrasi biaya perkara yang ringan dan tidak terlalu membebani.9 Dengan adanya upaya hukum luar biasa peninjauan kembali secara lebih dari dua kali tanpa ada limitatif, maka
Lilik Mulyadi, “Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritus, Praktik Dan Permasalahannya”, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 277-278. 7
8 Jan Rammelink, “Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda dan Pandanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia”, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 425. 9
Lilik Mulyadi, Op Cit., hal. 14.
Problematika PK dalam Sistem Peradilan Pidana, Gumbira
113
sudah barang tentu mencerminkan pertentangan dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan tersebut karena adanya proses kepastian penyelesaian perkara menjadi tidak jelas dan pasti, yang tentunya akan membawa dampak tidak adanya ketenangan bagi pencari keadilan. Pertentangan dengan pada asas litis finiri oportet. Dalam hal ini tentunya berkaitan dengan Heuristika yang merupakan proses penting dalam penegakan hukum pidana. Proses ini terkait dengan dua persoalan, yakni penstrukturan fakta dan penstrukturan aturan.10 Proses penegakan hukum pidana tentu tidak bisa lepas dari Heuristika hal tersebut karena prosesnya untuk merestruktur peristiwa terjadinya tindak pidana mulai dari penyelidikan hingga pada putusan yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht van gewijsde/res judicata) dalam mencari, menemukan dan setidak-tidaknya mendekati kebenaran yang materil. Kebenaran materil tentunya tidak lepas dari proses pembuktian dan mereksturtur fakta atau peristiwa yang mana pada proses peradilan pidana posisi para penegak hukum memang harus berujung pada sebuah keputusan terakhir (litis finiri oportet). Jika tidak, maka akan membuat tidakadanya kepastian yang seharusnya ada dan di jamin oleh Negara yakni sebagaimana dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 28 ayat 1 huruf D yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Dalam ketentuan tersebut mengindikasikan Negara Indonesia melindungi warga negaranya melalui ketentuan hukum yang berwujud undang-undang untuk mendapatkan jaminan mendapatkan pengakuan, perlindungan hukum, kepastian hukum, keadilan hukum. dengan tidak adanya kepastian hukum tentunya dapat juga tercipta ketidakadilan bagi Justiabelen. Setelah mengkaji pertentangan putusan Mahkamah Konstitusi dengan asas-asas hukum yang ada dalam sistem peradilan pidana tersebut. Kini penulis ingin mengkaji SEMA RI No. 7 Tahun 2014 tentang Peninjauan Kembali Hanya Satu Kali, kemudian penulis akan analisa dan perbandingkan kekuatan produk hukum antara Putusan judicial review Mahkamah Konstitusi dengan SEMA RI tersebut guna membahas permasalahannya serta menemukan solusinya. Dengan Mahkamah Konstitusi memberi putusan atas judicial review sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Hal inipun menimbulkan problem baik yuridis maupun secara segi administrasi yakni hal yang utama adalah potensi menumpuknya perkara di Mahkamah Agung RI hal tersebut dikarenakan pengajuan peninjauan kembali pada perkara pidana yang dapat diajukan berkali-kali tanpa batas limitatif yang pasti tentunya hal ini menjadi potensi masalah di
Sidharta. 2016. Heurestika dan Hermeneutika: Penalaran Hukum Pidana, Artikel pada “Demi Keadilan Antologi HUkum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana: 6 Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo”, (Jakarta: Pustaka Kemang, 2016), hal. 9. 10
114
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.1 Januari-Maret 2016
Mahkamah Agung RI. Selain itu juga permasalahan mengenai dikhawatirkan instrumen hukum itu dijadikan senjata bagi para gembongnarkoba menghindari eksekusi mati karena mengajukan Peninjauan Kembali yang kedua setelah Grasinya ditolak oleh presiden. Dengan adanya berbagai permasalahan, maka Mahkamah Agung RI mengeluarkan SEMA RI No. 7 Tahun 2014 tentang Peninjauan Kembali Hanya Satu Kali. SEMA RI No. 7 Tahun 2014 tentang Peninjauan Kembali Hanya Satu Kali tersebut ditujukan untuk memberikan kepastian dan keadilan disatu sisi dan segi lainnya untuk mempermudah dalam hak teknis eksekusi terhadap putusan perlu mendapat apresiasi dan sekaligus kritik, karena Mahkamah Agung RI ingin memperbaiki sistematika dan struktur hukum dalam sistem peradilan yang disebabkan adanya putusan judicial reviewMahkamah Konstitusi yang menyebabkan problematika dari segi yuridis baik secara vertical maupun horizontal. Kewenangan judicial review yang ada di Indonesia baik dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung walau berbeda degradasinya tetap akan menimbulkan problematika yakni Pertama, kewenangan judicial review yang melekat pada Mahkamah Konstitusi ternyata justru berpeluang untuk mematahkan atau menggugurkan putusan-putusan perkara judicial review yang ada di Mahkamah Agung dalam perkara yang saling berkaitan; Kedua, penyerahan kewenangan judicial review kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi akan menyisakan kerumitan tersendiri dalam hal pengujian peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan secara langsung terhadap peraturan setingkat diatasnya namun bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan ditingkat atasnya;11 Ketiga, judicial review oleh Mahkamah Konstitusi juga dapat berpotensi menimbulkan masalah dengan rusaknya pilar-pilar hukum, seperti contoh Putusan MK Nomor 34/PPU-XI/2013 pada Pasal 268 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum tetap tentang Peninjauan Kembali hanya dilakukan 1 kali saja, sedangkan pada Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan Pasal 66 ayat 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, kedua instrument hukum tersebut menyatakan bahwa pengajuan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 kali. Jika dikaji apakah putusan Mahkamah Konstitusi dan SEMA RI No. 7 Tahun 2014 tentang Peninjauan Kembali Hanya Satu Kali tersebut merupakan instrument hukum? dan bagaimana daya mengikat dan kekuatan hukumnya? Surat Edaran Mahkamah Agung atau SEMA bentuk edaran pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan,
11 Janpatar Simamora, Analisa Yuridis Terhadap Model Kewenangan Judicial Review Di Indonesia, “Jurnal Mimbar Hukum”, Volume 25, Nomor 3, Oktober 2013, hal. 392.
Problematika PK dalam Sistem Peradilan Pidana, Gumbira
115
yang lebih bersifat administrasi. Fatwa Mahkamah Agung berisi pendapat hukum Mahkamah Agung yang diberikan atas permintaan lembaga negara. Surat Keputusan Ketua MA atau SK KMA adalah surat keputusan (beschikking) yang dikeluarkan Ketua Mahkamah Agung mengenai satu hal tertentu. Untuk mengetahui keabsahannya maka perlu dilihat berdasarkan Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yakni pada Pasal 8 ayat 1 yang menyatakan “Jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebut dalam Pasal 7 ayat 1 mencakup peraturan yang ditetapkan...Mahkamah Agung...”. Rumusan ini senafas dengan Pasal 7 ayat 4 dan Penjelasan UU 10 Tahun 2004. Selanjutnya, Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 menegaskan peraturan perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Frasa ‘kekuatan hukum’ adalah sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundangundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. jenis peraturan lain dalam konteks ini peraturan yang diterbitkan Mahkamah Agung seharusnya juga tunduk pada prinsip hierarki. Lalu, apakah peradilan tunduk kepada produk hukum yang dikeluarkan Mahkamah Agung? Pasal 32 ayat 4 UndangUndang Mahkamah Agung menggunakan frasa “semua lingkungan peradilan”. Ketentuan ini perlu dikaitkan dengan fungsi pengawasan Mahkamah Agung terhadap peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer. Ukuran yang dipakai undang-undang adalah jangan sampai produk hukum itu “mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara”.12 Dengan demikian, jika ditinjau dari segi hierarki dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, maka baik yurisprudensi maupun Perma yang digunakan sebagai dasar hukum oleh Mahkamah Agung dalam memeriksa suatu perkara dapat dikesampingkan oleh peraturan atau putusan yang lebih tinggi. Hal tersebut sejalan dengan teori jenjang norma (Stufen Theorie) dari Hans Kelsen yang menyatakan “norma yang menentukan norma perbuatan lain adalah Norma Superior, sedangkan norma yang dibuat adalah norma inferior. Tata hukum, khususnya sebagai personifikasi Negara bukan merupakan sistem norma yang dikoordinasikan satu dengan yang lainnya, tetapi suatu hierarki dari norma-norma yang memiliki level berbeda. Kesatuan norma ini di susun oleh fakta bahwa pembuatan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang
12 , diakses pada tanggal 23 Desember 2015.
116
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.1 Januari-Maret 2016
lebih tinggi.Pembuatan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan utama validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk satu kesatuan.13 Pada putusan Mahkamah Konstitusi selain mengikat para pihak yang berperkara juga semua elemen negara baik itu rakyat dan lembaga tinggi negara. Hal ini pun juga dikemukakan oleh Muchammad Ali Safa’at yang menyatakan putusan pengadilan biasa yang hanya mengikat para pihak, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang mengikat semua komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun warga Negara14 atau yang dikenal dengan asas erga omnes putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilepaskan dari asas erga omnes yang memiliki kekuatan mengikat secara hukum terhadap seluruh komponen bangsa, sehingga semua pihak harus tunduk dan taat melaksanakan putusan tersebut.15 Walaupun demikian Putusan judicial review Nomor 34/PPU-XI/2013 terhadap Pasal 268 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut dapat diatasi dengan menggunakan Instrumen hukum Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang sama-sama menyatakan bahwa peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 kali sebagai dasar untuk menolak atau tidak mengabulkan permohonan peninjauan kembali pada perkara yang sama, sehingga keadilan dan kepastian hukum tercapai. Hal tersebut dikarenakan 2 instrumen hukum tersebut gradasinya setingkat yakni Undang-Undang yang singkron baik secara vertical maupun horizontal dalam sistem perundang-undangan, sehingga dengan dasar tersebut sekiranya Mahkamah Agung tidak perlu secara ekplisit mengeluarkan SEMA tersebut yang akan menimbulkan permasalahan teoritis dan membingungkan, karena pada dasarnya tidaklah mungkin norma yang lebih rendah dapat mengesampingkan norma yang lebih tinggi (lex superior derogate legi inferior). Persoalan peninjauan kembali tersebut dapat juga diatasi dengan memaksimalkan proses pembuktian yang maksimal baik oleh pihak penuntut umum maupun oleh Terdakwa, terpidana tersebut yang tidak lepas dari heuristika sebagaimana yang dibahas sebelumnya guna pada proses
13 Jimmly Asshiddiqie dan M Ali Sa’faat, “Teori Hans Kelsen Tentang Hukum”, (Jakarta: Sekertariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 110. 14 Muchamad Ali Safa’at, Kekuatan Mengikat Dan Pelaksanaan Putusan MK, Makalah, Malang, Universitas Brawijaya, tanpa tahun, hal. 2. Muchamad Ali Safa’at, Penafsiran Konstitusi, diunduh dari , diakses pada tanggal 5 Desember 2015 15 Syukri Asy'ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, “Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan tahun 2003-2012)”, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Pengelolaan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Kepaniteraan dan Sekertariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2012).
Problematika PK dalam Sistem Peradilan Pidana, Gumbira
117
penstrukturan fakta dan aturan terlaksana dengan baik sehingga tidak memerlukan proses peninjauan kembali secara berulang-ulang dengan dalih untuk mencapai keadilan. III.
Simpulan
Berdasarkan permasalahan dan hasil pembahasan diatas, Pertama, putusan judicial review Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PPU-XI/2013 terhadap Pasal 268 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tersebut bertentangan dengan asas-asas hukum dalam peradilan pidana yakni asas ne bis in idem, asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, asas litis finiri oportet yang secara langsung juga menimbulkan ketidakpastian status hukum subjek hukum apakah kasusnya sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau selesai kasusnya. Kedua, SEMA RI No. 7 Tahun 2014 juga menimbulkan permasalahan yakni akan menciptakan distorsi tata hukum hierarki Indonesia walau tujuan SEMA tersebut untuk menyelaraskan kembali struktur peraturan perundang-undangan dan menciptakan kepastian dan keadilan, hal tersebut cukuplah Mahkamah Agung dalam menolak permohonan kembali atas kasus yang berkekuatan hukum tetap dari Peninjauan kembali sebelumnya dengan instrument hukum Undang-Undang Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah Agung RI yang sama-sama menyatakan bahwa Peninjauan kembali hanya dapat dilakukan hanya 1 kali.
118
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-46 No.1 Januari-Maret 2016
Daftar Pustaka Buku Asshiddiqie, Jimmly dan M Ali Sa’faat. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Sekertariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2006. Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 2007. Irianto, A. Baso Ence. Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi: Telaah terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi, Bandung: Alumni, 2008. Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritus, Praktik Dan Permasalahannya. Bandung: Alumni, 2007. Rammelink, Jan. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Pandanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum PIdana Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003. Sianturi, S.R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Alumni AHAEM PETEHAEM, 1996. Sidharta. Heurestika dan Hermeneutika: Penalaran Hukum Pidana. Artikel pada Demi Keadilan Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana: 6 Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo. Jakarta: Pustaka Kemang, 2016. Soemantri, Sri. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni, 1990. Jurnal/Karya Ilmiah Asy'ari, Syukri, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, dan Mohammad Mahrus Ali. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan tahun 2003-2012). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Pengelolaan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Kepaniteraan dan Sekertariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2012. Safa’at, Muchamad Ali. tanpa tahun, Kekuatan Mengikat Dan Pelaksanaan Putusan MK, Makalah, Malang Universitas Brawijaya, hlm 2. Muchamad Ali Safa’at, Penafsiran Konstitusi, diunduh dari , diakses pada tanggal 5 Desember 2015. Simamora, Janpatar. Analisa Yuridis Terhadap Model Kewenangan Judicial Review Di Indonesia. Jurnal Mimbar Hukum. Yogyakarta: Mimbar Hukum Edisi Volume 25, Nomor 3, Oktober 2013.
Problematika PK dalam Sistem Peradilan Pidana, Gumbira
119
Internet , diakses pada tanggal 27 Februari 2016. , diakses pada tanggal 23 Desember 2015. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP). Putusan Mahkamah Konstitusi No. Nomor 65/PUU-IX/2011. SEMA RI No. 7 Tahun 2014 tentang Peninjauan Kembali Hanya Satu Kali. Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.