JURNAL EMPIRIKA Volume 16, No.1, Juni 2003 ANALISIS FORMASI KETERKAITAN, POLA KLUSTER DAN ORIENTASI PASAR : STUDI KASUS SENTRA INDUSTRI KERAMIK DI KASONGAN, KABUPATEN BANTUL, D.I.YOGYAKARTA Mudrajad Kuncoro Irwan Adimaschandra Supomo
Abstract The objective of this research was to examine small and cottage industries in Kasongan, one of the prominent ceramic clusters in Yogyakarta province. Primary data were collected through field research and 49 enterpreneurs had been deeply interviewed. We will show that ceramic industry, undoubtedly, had played an important role in developing small and cottage establishments in Kasongan. Interestingly, when economic crisis negatively affected almost all sectors in Indonesia, Kasongan showed a remarkable performance. This is demonstrated by not only unprecendented growth of export values but also a rapid increase in terms of employment and number of establishments. Based on Markusen’s cluster typology, this study found that Kasongan cluster is a mixture between Marshallian and Hub and Spoke. Using regression logistic model, we analyzed the market orientation of this industry, either domestic or internatioanl, using some predictors. The result indicated that there are four variables that significantly and positively affect the export market oriented, namely promotion activity, technology application, employees and age of industry. This paper suggests that it is necessary to create a strong and an effective network that includes Kasongan cluster and other entities – such as government, financial institutions, NGO’s, major companies, trade associations, suppliers and universities. Key words : small and medium enterprise, household industries, Kasongan, cluster, binary logistic regression
PENDAHULUAN Fenomena kluster telah menarik perhatian para ekonom untuk terjun dalam studi masalah lokasi sehingga memunculkan paradigma baru yang disebut geografi ekonomi baru (new economic geography atau geographical economics) (Fujita & Thisse, 1996; Krugman, 1995; Kuncoro, 2002; Lucas, 1988). Argumentasi ini dikuatkan kembali oleh Porter, bahwa peta ekonomi dewasa ini didominasi oleh apa yang dinamakannya kluster (cluster)(Porter, 1998). Hal senada juga ditegaskan oleh Kuncoro bahwa industri cenderung
1
beraglomerasi di daerah-daerah di mana potensi mereka mendapat manfaat akibat lokasi perusahaan yang saling berdekatan (Kuncoro, 2002). Definisi kluster menurut Porter, adalah konsentrasi geografi dari perusahaanperusahaan dan institusi-institusi yang saling berhubungan dalam wilayah tertentu. Kuncoro lebih lanjut menguraikan bahwa kluster industri (industrial cluster) pada dasarnya merupakan kelompok produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya berspesialisasi pada hanya satu atau dua industri utama saja. Dalam kaitannya dengan UKM, pertumbuhan UKM mulai menjadi topik yang cukup hangat sejak munculnya tesis flexible specialization pada tahun 1980-an, yang didasari oleh pengalaman dari sentra-sentra Industri Skala Kecil (ISK) dan Industri Skala Menengah (ISM) di beberapa negara di Eropa Barat, khususnya Italia (Becattini, 1990; Tambunan, 1999). Sebagai contoh kasus, bahwa pada tahun 1970-80an, pada saat Industri Skala Besar di Inggris, Jerman dan Italia mengalami staknasi atau kelesuan, ternyata Industri Skala Kecil (terkonsentrasi di lokasi tertentu membentuk sentra-sentra) yang membuat produk-produk tradisional mengalami pertumbuhan yang pesat dan bahkan mengembangkan pasar ekspor untuk barang-barang tersebut dan menyerap banyak tenaga kerja (Rabellotti, 1994). Menurut Tambunan, pengalaman ini menunjukkan bahwa industri kecil di sentra-sentra dapat berkembang lebih pesat, lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan pasar, dan dapat meningkatkan produksinya daripada industri kecil secara individu di luar sentra. Pengalaman Taiwan, sebagai perbandingan, justru menunjukkan perekonomiannya dapat tumbuh pesat karena ditopang oleh sejumlah usaha kecil dan menengah yang disebut community based industri {Kuncoro, 2000: 310} (lihat gambar 1). Lebih lanjut Kuncoro menjelaskan bahwa perkembangan industri di Taiwan yang sukses menembus pasar global, ternyata ditopang oleh kontribusi UKM yang dinamik (Kuncoro, 2002).
2
Gambar 1 Peranan IKM dalam Ekspor di Beberapa Negara Asia, 1996 ( dalam prosentase)
70 60 50 40 30 20 10 0 Taiwan
Cina
Thailand
Vietnam
Hong Kong
Singapura Indonesia
Sumber: Tambunan (1999)
Di Indonesia, peranan Industri Kecil dan Rumahtangga (IKRT) mempunyai peranan yang cukup penting terutama bila ditilik dari segi jumlah unit usaha dan tenaga kerja yang diserapnya (lihat Gambar 2).
Gambar 2 Kontribusi IKRT dan IB/S terhadap Unit Usaha dan Tenaga Kerja (dalam prosentase)
3
100 90 80 70 60 IB/S
50
IKKR 40 30 20 10 0 Usaha TK 1995
Usaha
TK 1996
Usaha
TK 1998
Usaha
TK 1999
Sumber: BPS (2001) Berdasarkan dari penjelasan di atas, maka sudah sepantasnya bila pemerintah tidak menyampingkan peran IKRT sebagai salah satu penggerak kegiatan ekonomi di Indonesia. Sebaliknya, pemerintah harus turut berperan serta
dalam memberdayakan IKRT
di
antaranya dengan menciptakan kebijaksanaan yang berpihak pada IKRT. Usaha pemerintah dalam memberdayakan IKRT sebagai salah satu pondasi perekonomian Indonesia sudah sepantasnya tidak hanya dikonsentrasikan di pulau Jawa, tetapi selayaknya juga
menumbuhkembangkan IKRT di luar Jawa. Hal ini sangatlah
penting dalam rangka mengurangi tingkat ketimpangan ekonomi antar propinsi. Beberapa penelitian tentang ketimpangan ekonomi daerah di Indonesia menunjukkan adanya tendensi peningkatan disparitas yang terus menerus sejak awal dekade 1970-an sampai 1997 (Penelitian Syafrizal dalam Tambunan, 1999; (Garcia, 2000). Ini sejalan dengan penelitian Kuncoro yang menemukan trend peningkatan konsentrasi geografis industri manufaktur setelah diluncurkan berbagai paket deregulasi perdagangan sejak pertengahan 1980-an (Kuncoro, 2002). Upaya lain pemerintah Indonesia dalam menanggulangi permasalahan di atas salah satunya adalah dengan penyelenggaraan otonomi daerah yang dimulai sejak 1 Januari
4
2001. Penyelenggaraan otonomi daerah ini mengacu pada UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Bila pada masa Orde Baru pemerintah pusat sangat dominan dalam mengatur pemerintah daerah (top-down approach), maka dengan penyelenggaraan otonomi daerah ini pemerintah daerah, dalam hal ini Dati II, diharapkan mampu menyusun kebijakan perekonomiannya yang sesuai dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing (bottomup approach). Artikel ini menitikberatkan analisis IKRT di desa wisata sentra industri keramik Kasongan, Kabupaten Bantul, DIY. Objek wilayah Kasongan dipilih karena tiga faktor berikut. Pertama, faktor usia sentra Industri Kasongan yang cukup tua ditilik dari sejarahnya sehingga amatlah menarik menganalisis pola perkembangan klusternya. Kedua, kontribusinya yang cukup besar baik dari segi finansial, unit usaha, dan penyerapan tenaga kerja terhadap Kabupaten Bantul. Ketiga, faktor stuktur unit usaha Sentra Industri Keramik Kasongan yang didominasi oleh industri kecil dan rumah tangga. Penelitian ini terutama bertujuan untuk menganalisis tesis pola kluster yang diajukan oleh (Markusen, 1996) berdasarkan studinya di Amerika Serikat. Selain itu penelitian ini juga menganalisis bagaimana formasi keterkaitan pasar sentra industri keramik Kasongan dan apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi pasar domestik atau luar negeri.
ALAT ANALISIS Model Regresi Logistik dirancang untuk melakukan prediksi keanggotaan grup dalam rangka menganalisis seberapa jauh model yang digunakan mampu memprediksi secara benar kategori (grup) dari sejumlah individu (Kuncoro, 2001). Dalam penelitian ini analisis regresi logistik dipakai untuk menjawab apakah kategori sektor industri keramik Kasongan yang berorientasi pasar lokal (inward) dan yang
5
berorientasi pasar luar negeri (outward)
mampu diprediksi dengan sejumlah variabel
bebas. Variabel – variabel yang diduga mempengaruhi keanggotaan grup antara yang berorientasi pasar dalam negeri dan pasar luar negeri adalah sebagai berikut : Dori
=
bo + b1 BH1 + b2 TK2 + b3 TPT3 + b4 JTKT4 + b5 TPP5 + b6 PEL6 + b7 UMUR7 + b8 BA8 + b9 TEK9 + b10 JBB10 + b11JPT11 + b12AKT12 + eori
Tabel 1 Keterangan Variabel Regresi Logistik Dori Bo BH
Dummy orientasi pasar Konstanta Stataus Badan Hukum
TK TPT
Tenaga Kerja / unit Tingkat Pendidikan TK
JTKT TPP
Jumlah TK tidak dibayar / unit Tingkat Pendidikan Pengusaha
PEL
Pelatihan pengusaha
UMUR BA
Umur perusahaan Bapak Angkat
TEK
Teknologi pembakaran
JPT
Jaringan dengan pembeli terbesar
JBB
Jaringan dengan pemasok bahan baku Keaktifan promosi
AKT
0=orientasi pasar domestik, 1=ekspor 0=tidak berbadan hukum, 1=berbadan hukum Variabel kontinyu 0=sebagian besar TK belum lulus SMP, 1=sebagian besar TK sudah lulus SMP Variabel kontinyu 0=belum lulus SD, 1=lulus SD, 2=lulus SMP, 3=lulus SMU, 4=lulus DI/DII, 5=lulus DIII, 6=lulus S1 atau tingkatan yang lebih tinggi 0=belum pernah mengikuti pelatihan 1=sudah pernah mengikuti pelatihan Variabel kontinyu 0=punya bapak angkat 1=tidak punya bapak angkat Dari tradisional ke modern : 0=tungku ladang,1 = tungku bak terbuka, 2=tungku listrik, 4= tungku elpiji 0=sangat lemah, 1=lemah, 2=sedang, 3=kuat, 4=sangat kuat 0=sangat lemah, 1=lemah, 2=sedang, 3=kuat, 4=sangat kuat 0=tidak aktif berpromosi 1=aktif berpromosi
6
DATA Untuk memperoleh data primer sebagai input utama dalam penelitian ini, maka metode field research merupakan cara yang paling tepat bagi studi kasus ini yang meliputi Sentra Industri Kasongan, Kab.Bantul, Propinsi D.I.Yogyakarta. Definisi sampel dalam penelitian ini adalah unit usaha yang langsung menjual produk akhirnya langsung ke tangan konsumen (baik pedagang besar, pedagang kecil atau konsumen eceran). Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan purposive sampling method karena keterbatasan dana dan waktu. Adapun sampel yang terkumpul sebanyak 49 sampel. Khusus Industri Kerajinan Keramik di Kasongan, dari tahun 1996 sampai tahun 2000 menunjukkan hal yang meningkat dalam beberapa sisi (tabel 2). Pertama, jumlah unit usaha meningkat dari 322 unit menjadi 358 unit; kedua, penyerapan tenaga kerja menaik dari 1200 orang menjadi 1600; ketiga, omset memperlihatkan trend yang menaik dari Rp 1,9 milyar pada tahun 1996 menjadi Rp 8,6 milyar; dan ekspor meningkat dari US$ 196 ribu menjadi US$ 385 ribu. Karena kontribusinya yang cukup besar dalam perekonomian Kabupaten Bantul, Industri Kerajinan Keramik di Kasongan menjadi salah satu komoditi unggulan. Tabel 2 Perkembangan Usaha Kerajinan Keramik Kasongan Tahun 1996 1997 1998 1999 2000
Unit Usaha 322 326 333 338 358
Tenaga Kerja 1200 1469 1497 1549 1600
Omset (juta Rp) 1.900.000 1.740.000 4.511.250 6.500.000 8.600.000
Ekpor (US$) 196.276,15 235.068,23 290.538,16 384.911,25 385.485,09
Sumber: UPT Sentra Industri Keramik Kasongan 2000
Kategori dan definisi yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti definisi BPS. Industri yaitu suatu usaha yang melakukan kegiatan mengolah barang dasar jadi/setengah jadi, barang setengah jadi menjadi barang jadi, atau dari yang kurang nilainya menjadi
7
barang yang yang lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual, dengan jumlah pekerja paling sedikit 1 orang dan paling banyak 4 orang termasuk pengusaha untuk industri rumah tangga , untuk industri kecil 5 – 19 orang, untuk industri menengah, 20-99 orang, dan untuk industri besar di atas 100 orang.
HASIL PEMBAHASAN Analisis Formasi Keterkaitan Mengacu pada hasil wawancara terhadap beberapa pengusaha, bahwa toko-toko keramik di Kasongan biasanya mempunyai unit produksi di bagian dalam kampung tersebut. Menurut observasi di lapangan , didapat bahwa terdapat dua tipe unit produksi di Kasongan. Yang pertama adalah unit produksi yang memang dimiliki oleh pengusaha toko. Sedangkan yang kedua adalah unit produksi independen yang menyetor produknya ke toko-toko di Kasongan. Tipe yang kedua ini dapat juga berupa subkontrak yang menerima pesanan dari toko. Salah satu hal yang cukup menarik adalah bahwa pengusaha keramik Kasongan juga mengadakan kerjasama dengan sentra industri keramik di Pundong (masih dalam wilayah Kabupaten Bantul). Jadi para pengusaha tersebut memandang industri keramik di Pundong bukan sebagai rival bisnis, melainkan sebagai mitra usaha kerja. Namun demikian terdapat perbedaan yang siginfikan antara pembuatan keramik di Kasongan dan Pundong. Sentra keramik Kasongan ditekankan pada sistem “Lelet”, yaitu menempelkan ornamen atau aksesoris tertentu pada keramik agar lebih terlihat menarik. Sedangkan sentra keramik Pundong ditekankan pada sistem putar (cara pembuatan keramik yang diputar dengan kemiringan tertentu) sehingga produk yang dihasilkan mempunyai corak yang berbeda dan dapat saling mendukung untuk pasarnya (UPT, 2002). Gambar 3 merupakan formasi keterkaitan sentra industri keramik antara penyedia bahan baku, pembeli maupun
di
lingkungan Kasongan sendiri.
Gambar 3. 8
Formasi Keterkaitan / Pola Sentra Industri Keramik Kasongan
Dari segi bahan baku, pemasok tanah liat merah ( body carthenware ) berasal dari luar kluster Kasongan, di antaranya adalah pemasok yang masih berasal dari satu Desa Bangunjiwo, Pundong, Godean, Pacitan dan Kebumen. Sedangkan pemasok tanah liat putih ( koolinet ) didatangkan dari luar Propinsi D.I.Y, yaitu dari Malang dan Jakarta (lihat tabel 3). Tabel 3 Asal Bahan Baku Keramik Desa Bangunjiwo
Kec. Kasihan
Pundong
Luar Kec. Kasihan
Godean
Kabupaten Bantul
Propinsi D.I.Y.
Luar Kab.Bantul
Luar Propinsi D.I.Y.
Pacitan, Kebumen, Malang, Jakarta
Sumber : data primer dan UPT 2002, diolah Persaingan sesama pengusaha keramik di Kasongan cenderung ketat. Sebagian besar pengusaha merasa saingan utama mereka adalah pengusaha besar. Hal ini dapat dilihat secara sepintas dari ukuran tokonya yang cukup besar pula sehingga dapat memajang produknya sebanyak mungkin. Hal inilah yang dapat menarik perhatian
9
konsumen yang datang ke Kasongan karena pilihan barang pajangannya yang lebih beragam. Selain itu dengan tidak adanya asosiasi dagang antar sesama pengusaha, maka tidak ada kesepakatan harga produk, sehingga masing-masing pengusaha menentukan sendiri harga produknya dalam rangka menggaet konsumen sebesar-besarnya. Mayoritas pengusaha keramik Kasongan merasa bahwa barang substitusi (seperti produk dari logam dan glasiran) tidak terlalu mengancam keberadaan produk mereka. Hal ini dikarenakan ciri khas produk keramik Kasongan yang unik dibandingkan dengan produk lain , yaitu pada
sistem “Lelet”, menempelkan tanah liat/benda lain sebagai
aksesoris yang memperindah produk keramik tersebut. Perusahaan yang menjalin kerjasama dengan bapak angkat/kemitraan sangatlah terbatas (16,3%). Menurut Kuncoro (2000), minimnya kemitraan menunjukkan bahwa program kemitraan masih sebatas retorika politis semata. Dari hasil kuesioner, dapat dinyatakan bahwa 61,2% pengusaha keramik mengaku bahwa orientasi pasarnya cenderung untuk ekspor sedangkan sisanya 38,8% berorientasi pasar domestik. Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa pengusaha, penjualan untuk tahun 2002 dirasakan menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Salah satu yang paling signifikan adalah jarang sekali wisatawan mancanegara yang tampak di Kasongan sejak terjadinya tragedi WTC (World Trade Center) 11 September 2001. Berkaitan dengan dengan tragedi pengeboman di Ligitan Bali 12 September 2002, pada umumnya tidak mengganggu aktivitas ekspor ke luar negeri yang melalui Singapura karena jalinan kerjasama yang kuat dengan pelanggan tetap di luar negeri.
Analisis Pola Kluster Ala Markusen Dalam penelitian ini, identifikasi pola kluster mengacu kepada variabel dalam model Markusen. Berdasarkan hasil studinya di Amerika, Markusen (1996) menyebutkan setidaknya ada empat pola kluster yaitu Distrik Industri Marshallian Distrik Hub and Spoke , Distrik Satelit dan Distrik State-anchored. 10
Gambar 4. Identifikasi Pola Kluster Menurut Markusen Variabel Struktur bisnis dan skala ekonomi Keputusan Investasi Jalinan Kerjasama dengan pemasok Jalinan Kerjasama sesama pengusaha dalam kluster Jalinan Kerjasama dengan perusahaan di luar kluster Pasar dan Migrasi Tenaga Kerja Keterkaitan identitas budaya lokal “Patient Capital” Peranan Pemerintah Lokal Peranan Asosiasi Sumber : Markusen (1996), diolah
Distrik Marshallian
Distrik Hub & Spoke
Distrik Satelit
Distrik State-anchored
Tabel 4 berikut ini mengidentifikasi profil kluster Kasongan berdasarkan variabelvariabel kunci yang telah ditemukan oleh Markusen.
Tabel 4. Tabel Identifikasi Pola Kluster Industri Keramik Kasongan VARIABEL Struktur Bisnis dan Skala Ekonomi Keputusan Investasi Kontrak dan Komitmen antara Pembeli dan Penyedia Bahan Baku Tingkat Kerjasama dan Keterkaitan Antar Sesama Pengusaha di Dalam Kluster
KETERANGAN Didominasi oleh industri kecil dan industri rumah tangga Lokal Relatif Kuat Relatif Kuat
Tingkat Kerjasama dan Keterkaitan Antar Pengusaha di Luar Kluster
Relatif Kuat
Pasar dan Migrasi Tenaga Kerja
Berlimpah dan migrasi tenaga kerja ke dalam kluster Kasongan cukup tinggi. Hampir seluruh pengusaha menampilkan ciri khas pada produknya, yaitu yang dikenal dengan sistem “Lelet”. Tidak Ada .
Keterkaitan Identitas Budaya Lokal
Unit/Tempat Meminjam Dana ( Patient Local ) Peranan Pemerintah Lokal Peranan Asosiasi Dagang sumber : data primer 2002, diolah
Relatif Lemah. Tidak ada asosiasi dagang.
11
Dari hasil identifikasi variabel pola kluster Markusen di atas, maka dapat disusun sebuah gambar pola kluster industri keramik Kasongan (gambar 5). Dalam kluster Kasongan (ditandai dengan lingkaran besar), industri kecil mendominasi struktur bisnis. Industri kecil tersebut ada yang menyetor produk keramiknya ke industri kecil lainnya untuk langsung dijual ke konsumen. Ada juga industri kecil yang mempunyai unit produksi sendiri sehingga tidak memesan/order produk ke industri lain. Produk keramik tidak saja didapatkan dari antar sesama industri kecil di dalam Kasongan, tetapi juga didapat dari sentra industri keramik di Pundong (ditandai dengan bentuk segiempat). Sedangkan bahan baku didapat dari luar kluster Kasongan yang menyetor tanah liat ke industri keramik di Kasongan (lihat tabel 3). Dari sisi pemasaran, pembeli terdiri atas tiga macam, yaitu konsumen eceran, pedagang kecil dan pedagang besar. Pada umumnya industri kecil yang melakukan ekspor dapat digolongkan sebagai eksportir karena mereka sendiri yang mengurus prosedur ekspor antara lain pengepakan barang ke kotak kontainer yang terdapat di Kasongan. Selain itu, biasanya kuantitas ekspor dilakukan dalam jumlah yang besar. Sedangkan pedagang kecil hanya membeli produk keramik dalam partai kecil. Contohnya adalah pedagang produk keramik di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Gambar 5 Pola Kluster Industri Keramik Kasongan
12
sumber : diolah dari data primer 2002 Keterangan :
Dari penjelasan pola kluster Kasongan di atas, maka dapat ditentukan termasuk pola manakah dari keempat pola kluster yang diajukan Markusen.
Tabel 5. Tabel Penggolongan Variabel Pola Kluster Kasongan Variabel Struktur Bisnis dan Skala Ekonomi Keputusan Investasi Jalinan Kerjasama dengan Pemasok Jalinan Kerjasama antar Sesama Pengusaha Kasongan Jalinan Kerjasama dengan perusahaan lain di luar Kluster
Marshallian
Hub and Spoke
X X X X
X
13
Pasar dan Migrasi Tenaga Kerja Keterkaitan Identitas Budaya Lokal “Patient Local” Peranan Pemerintah Lokal Peranan asosiasi
X X
X
X
Dari tabel di atas, maka dapat ditentukan bahwa pada variabel tertentu, pola kluster Kasongan mengikuti sebagian pola kluster Marhallian dan Hub and Spoke Variabel yang mengikuti pola Kluster Marshallian adalah struktur bisnis dan skala ekonomi yang didominasi oleh industri kecil, keputusan investasi bersifat lokal, jalinan kerjasama dengan pemasok yang relatif kuat, pasar tenaga kerja yang berlimpah dan migrasi tenaga kerja ke dalam kluster yang cukup tinggi, serta keterkaitan identitas budaya lokal berupa penampilan produk keramik yang menerapkan sistem “Lelet”. Sedangkan yang mengikui kluster Hub and Spoke adalah jalinan kerjasama antarasesama pengusaha Kasongan yang relatif kuat, jalinan kerjsama dengan perusahaan lain diluar kluster yang juga relatif kuat, ikatan budaya lokal, dan tidak adanya asosiasi pengusaha keramik Kasongan. Dengan demikian, pola kluster Kasongan mengikuti pola kluster Marshallian dan Hub and Spoke.
Analisis Regresi Logistik Model Regresi Logistik yang digunakan dalam penelitian ini mencoba semua metode yang ada dalam SPSS dan akhirnya dipilih metode terbaik yaitu Forward LR (berdasarkan skor statistik tertentu).
Metode ini menghasilkan empat variabel yang
signifikan (lihat tabel 7). Menurut Gujarati (1995 : 335) dan Kuncoro (2001 :114), gejala multikolinearitas menjadi serius bila korelasi antara dua variabel bebas melebihi 0,8. Berdasarkan tabel matrik
korelasi di bawah (tabel 6) , maka metode tersebut tidak
mempunyai gejala multikolinearitas yang serius karena nilainya diatas 0,8. Tabel 6 Matriks Multikolinearitas
14
Umur
Tenaga Kerja
Teknologi
Keaktifan
(UMUR)
(TK)
(TEK)
Promosi (AKT)
Umur (UMUR) Tenaga Kerja (TK) Teknologi (TEK) Keaktifan Promosi (AKT)
1,000 0,374 0,402 0,443
1,000 0,473 0,366
1,000 0,476
1,000
Tabel 7. Hasil Persamaan Regresi Logistik ( metode Forward LR) Variabel Koefisien AKT 4,5864 TEK 2,5105 TK 0,3582 UMUR 0,2040 Constant -10,172 Sumber : data primer 2002, diolah Catatan : * signifikan pada α=1% ** signifikan pada α=5% *** signifikan pada α=10% **** signifikan pada α=15%
Wald 9,0285 * 5,6573 ** 2,9824 *** 2,6105 ****
Pengujian model regresi logistik orientasi dengan dengan 4 variabel independen terbukti secara statistik dapat dipercaya. Hal ini dibuktikan dengan nilai Chi-Square (4, N=49) = 46,734 yang signifikan dengan p<0,00. Hasil ini mengindikasikan bahwa sejumlah variabel penjelas mampu membedakan orientasi pasar ke dalam negeri dengan ke luar negeri secara meyakinkan.
Tabel 8. Hasil Klasifikasi dengan Regresi Logistik
DALAM NEGERI LUAR NEGERI OVERAL PERCENTAGE CHI SQUARE
DALAM NEGERI 21 1
PREDICTED LUAR NEGERI 2 18
PERCENTAGE CORRECT 93,3% 94,7% 93,9% 46,734 (0,00)
Sumber : diolah dari data primer 2002
15
Kemampuan prediksi model terbukti sangat meyakinkan dengan tingkat sukses total 93,9%, dengan prosentase 93,3% untuk orientasi pasar domestik dan
94,7% untuk
orientasi pasar luar negeri. Hasil klasifikasi menunjukkan bahwa kemampuan orientasi pasar
dalam
negeri
adalah
sebesar
28
industri,
sedangkan
kesalahan
dalam
mengklasifikasikan data ke orientasi pasar luar negeri sebanyak 2 industri. Di samping itu, kemampuan dalam mengklasifikasikan orientasi pasar luar negeri secara benar adalah 18 industri, sedangkan kesalahan dalam mengklasifikasikan orientasi pasar dalam negeri adalah sebesar 1 industri. Dari hasil tabel output (tabel 8), dapat dilihat bahwa hanya 4 variabel independen yang signifikan secara statistik yaitu berturut-turut dari yang paling berpengaruh yaitu keaktifan berpromosi (AKT), teknologi (TEK), jumlah tenaga kerja (TK), umur (UMUR). Koefisien keaktifan pengusaha untuk berpromosi (AKT) positif dan signifikan pada α = 1%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin aktif pengusaha untuk berpromosi akan menyebabkan probabilitas perusahaan untuk berorientasi pasar ekspor semakin besar. Koefisien penggunaan teknologi (TEK) positif dan signifikan pada α = 5%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin modern tingkat penerapan teknologi pada industri keramik, maka semakin besar probabilitas industri keramik berorientasi pasar ekspor. Koefisien jumlah tenaga kerja (TK) positif dan signifikan pada α = 10%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar jumlah tenaga kerja yang dipakai, maka semakin besar probabilitas industri keramik berorientasi pasar ekspor. Koefisien umur perusahaan (UMUR) positif dan signifikan pada α = 15%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tua umur industri keramik, maka semakin besar pula probabilitas industri keramik berorientasi pasar ekspor.
KESIMPULAN
16
Berdasarkan hasil analisis di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut ini : a.
Dengan mengacu kepada identifikasi pola kluster model Markusen, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pola kluster Kasongan mengikuti pola kluster Marshallian dan Hub and Spoke.
b.
Berdasarkan analisis regresi logistik, maka dapat disimpulkan bahwa variabel aktifitas berpromosi, teknologi, jumlah tenaga kerja dan umur perusahaan sangat berpengaruh dalam menentukan orientasi pasar industri keramik Kasongan. Semakin aktif pengusaha berpromosi maka semakin besar probabilitas berorientasi pasar ke luar negeri. Semakin modern penerapan teknologi pembakaran keramik, semakin besar kemungkinan pengusaha untuk berorientasi pasar luar negeri. Semakin besar jumlah tenaga kerja pada suatu perusahaan, semakin besar pula probabilitas berorientasi pasar ke luar negeri dan semakin tua usia perusahaan, semakin tinggi pula probabilitas perusahaan untuk berorientasi ke luar negeri.
c.
Dari hasil formasi keterkaitan / pola sentra industri keramik Kasongan, maka dapat disimpulkan bahwa pada umumnya industri keramik di Kasongan menjalin kerjasama baik dengan pihak-pihak di dalam kluster maupun di luar kluster . Hampir seluruh pengusaha keramik berpendapat bahwa tidak ada barang pengganti yang mengancam keberadaan produk keramik mereka karena produk mereka yang unik berupa sistem “Lelet” pada penampilan produk keramiknya.
Implikasi Kebijakan Sentra industri keramik
Kasongan sudah tidak dapat dipungkiri lagi memberi
kontribusi yang besar tidak saja dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut tetapi juga proses pembangunan Kabupaten Bantul sebagai daerah otonom. Industri keramik Kasongan yang notabene didominasi oleh perusahaan kecil terbukti mampu 17
bertahan hidup dari badai krisis ekonomi, bahkan menurut statistik UPT (2002) kegiatan ekspor malah meningkat. Hal ini dapat dipahami karena dengan melemahnya kurs Rupiah terhadap US Dolar, maka produk ekspor menjadi lebih murah di luar negeri atau mempunyai daya saing yang tinggi.
Gambar 6 Jaringan Bisnis Sentra Industri Keramik Kasongan
Dalam upaya pengembangan kluster Kasongan dan perdagangan bebas terutama AFTA 2003 ini, maka sudah sepatutnya pemerintah daerah mengembangkan sentra industri keramik Kasongan menjadi lebih efektif dan global market oriented, bukan lagi social and political oriented dengan tujuan semata-mata untuk mengurangi kesenjangan (meminjam istilah Tambunan, 1999). Lemahnya peranan pemerintah daerah Kabupaten Bantul dalam membantu perkembangan usaha industri keramik di Kasongan, misalnya seperti bantuan modal dan bantuan promosi, dirasakan oleh mayoritas pengusaha keramik tersebut. Namun demikian, kunci utama untuk membuat UKM menjadi efisien dan dinamik adalah menciptakan iklim bisnis yang kondusif tanpa harus membuat UKM terus bergantung pada 18
bantuan-bantuan khusus pemerintah (Hill, 1995). Peranan pemerintah dalam mendukung perkembangan industri skala kecil hanyalah sebagai fasilitator, stimulator, regulator dan stabilisator (Tambunan, 1999). Misalnya sebagai mediator adalah dalam pembentukan asosiasi/paguyuban pengusaha keramik Kasongan yang dapat menjadi sarana tukar menukar informasi baik pemasaran maupun trend selera konsumen. Sedangkan sebagai fasilitator, misalnya dengan mengadakan promosi di Jogja Expo Center (JEC) berskala nasional atau internasional. Sebab perlu dicatat, bahwa dalam penelitian ini keaktifan promosi menjadi kunci utama industri keramik Kasongan yang berorientasi pasar luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Becattini, G. (1990). The Marshallian Industrial District as a Socioeconomic Notion. In F. Pyke, G. Becattini & W. Sengenberger (Eds.), Industrial Districts and Inter-Firm Cooperation in Italy. Geneva: ILO. BPS, (2001), Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga: Tahun 1999, Jakarta. Fujita, M., & Thisse, J.-F. (1996). The Economics of Agglomeration. Journal of Japanese and International Economics, 10, 339-378. Garcia, J. G. (2000). Indonesia's Trade and Price Interventions: Pro-Java and Pro-Urban. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36(3), 93-112. Gujarati,D, (1995), Basic Econometrics. (3rd edition ed.), New York, Mc-Graw Hill Inc. Hill, Hall, (2000), Ekonomi Indonesia, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada. Krugman, P. (1995). Development, Geography, and Economic Theory. Cambridge and London: The MIT Press. Kuncoro, M. (2001). Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi. Yogyakarta: UPP-AMP YKPN. Kuncoro, M. (2002). Analisis Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia. Yogyakarta: UPP-AMP YKPN. Lucas, R. E. (1988). On the Mechanics of Economic Development. Journal of Monetary Economics, 22, 3-22. Markusen, A. (1996). Sticky places in slippery space: A typology of industrial districts. Economic Geography, 72(3), 293-. 19
Porter, M. E. (1998). Clusters and the New Economics of Competition. Harvard Business Review, November-December(6), 77-91. Rabellotti, R. (1994). Industrial Districts in Mexico: the case of the footwear industry in Guadalajara and Leon. In P. O. Pedersen, A. Sverrisson & M. P. v. Dijk (Eds.), Flexible Specialization: The dynamics of small-scale industries in the South (pp. 131-146). London: Intermediate Terhnology Publications. Tambunan, T. (1999). Perkembangan Industri Skala Kecil Di Indonesia. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya. UPT Sentra Kerajinan Keramik, (2002), Sekilas Tentang Sentra Keramik Kasongan Bangujiwo, Kasihan, Kabupaten Bantul .
20