Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
142
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia Volume 13 Nomor 2, Desember 2016
PENGUJIAN BIAS PERILAKU: GAMBLER’S FALLACY, HALO EFFECT, DAN FAMILIARITY EFFECT DI PASAR MODAL INDONESIA (Test of Behavioral Bias: Gambler’s Fallacy, Halo Effect, and Familiarity Effect in Indonesian Capital Market) Riana Rahmawati Djojopranoto Universitas Surabaya
[email protected] Putu Anom Mahadwartha Universitas Surabaya
[email protected] Abstract This study aims to examine the biased behavior of investor in uptrend and/or downtrend market in Indonesian stock exchange. Behavioral bias is indicated by three variables: gambler’s fallacy, halo effect, and familiarity effect. Data were collected using questionnaire and distributed to 384 respondents. First, questionnaires were analyzed using frequency distribution. Second, questionnaires were assessed using Likert scale and analyzed using one sample t-test and paired ttest to answer the hypothesis and research questions. The result shows that gambler’s fallacy exists in investors when they trade in uptrend stock market, but does not exist in downtrend stock market. Halo effect does not exist when they trade in uptrend and downtrend stock market. Meanwhile, familiarity effect exists when they trade in uptrend and downtrend stock market. In uptrend stock market, familiarity effect was greater than that of the downtrend stock market. Based on the result, this research concluded that in general, investors in Indonesian stock market are irrational in decision making process. In the uptrend market, behavioral bias is potentially greater than that in the downtrend market as indicated by the occurrence of gambler’s fallacy and familiarity effect. Meanwhile, in the downtrend market, the behavioral bias is indicated by familiarity effect. Keywords: behavioral bias, gambler’s fallacy, halo effect, familiarity effect
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menguji bias perilaku yang terjadi pada investor saat kondisi uptrend dan downtrend di pasar modal Indonesia. Bias perilaku diteliti melalui 3 variabel: gambler’s fallacy, halo effect, dan familiarity effect. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner dengan jumlah sampel sebanyak 384 responden. Pertama, kuesioner dianalisis menggunakan distribusi frekuensi. Kedua, kuesioner diberikan nilai menggunakan skala Likert dan dianalisis menggunakan one sample t-test dan paired t-test untuk menjawab hipotesis dan pertanyaan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambler’s fallacy terjadi pada investor saat kondisi uptrend, tetapi tidak terjadi saat kondisi downtrend. Halo effect tidak terjadi pada investor, baik ketika kondisi uptrend dan downtrend. Sementara itu, familiarity effect terjadi pada investor saat kondisi uptrend dan downtrend. Familiarity effect terjadi lebih besar saat kondisi pasar modal mengalami uptrend. Berdasarkan hasil penelitian ini, secara umum, investor di pasar modal Indonesia mengambil keputusan secara irasional. Saat kondisi uptrend, perilaku bias berpeluang lebih besar terjadi dibandingkan saat kondisi downtrend, yang diindikasikan dengan terjadinya gambler’s fallacy dan familiarity effect. Sementara itu, saat kondisi downtrend, perilaku bias diindikasikan dengan terjadinya familiarity effect. Kata kunci: bias perilaku, gambler’s fallacy, halo effect, familiarity effect
143
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
PENDAHULUAN Sesuai dengan teori utilitas, seorang pengambil keputusan dianggap sebagai orang yang rasional dan mempunyai kemampuan dalam mengelola informasi secara sempurna. Asumsi rasionalitas tersebut mengharuskan adanya konsistensi dan koherensi dalam setiap kesempatan pengambilan keputusan. Namun, menurut Tversky dan Kahneman (1981), dalam beberapa penelitian, asumsi rasionalitas seringkali dilanggar. Salah satunya dikarenakan adanya decision frame yang digunakan oleh seorang pengambil keputusan. Perilaku investor dalam proses pengambilan keputusan seringkali lebih menggunakan intuisi dan perasaan dibandingkan mengumpulkan informasi yang cukup. Manusia cenderung mengambil keputusan yang bias dengan pola heuristics karena adanya keterbatasan waktu dan informasi yang tersedia di pasar (Onsomu 2014). Pola heuristics dapat membantu investor dalam proses pengambilan keputusan dengan informasi dan waktu yang singkat (Ackert dan Deaves 2010). Namun, penggunaan pola heuristics tidak selamanya dapat membantu pengambilan keputusan yang tepat sehingga berakibat menimbulkan bias. Bias perilaku dapat ditandai dengan munculnya berbagai perilaku, diantaranya adalah gambler’s fallacy, halo effect, dan familiarity effect. Shefrin dan Statman (1985) serta Odean (1998) menyatakan bahwa investor akan mengalami gambler’s fallacy dalam melakukan investasi seperti saat gambling. Hasil tersebut juga didukung oleh Hopfensitz (2009), yang menyatakan eksistensi gambler’s fallacy pada investor. Landy dan Sigall (1974) dalam penelitiannya menemukan bahwa dalam melakukan investasi, halo effect seringkali muncul. Sebagian besar orang cenderung memilih broker yang berpenampilan sesuai dan melakukan investasi lebih banyak kepada broker tersebut. Sementara itu, saat broker yang sama berpakaian santai, orang cenderung mengurangi jumlah investasinya karena menganggap broker tidak kompeten.
Selain itu, Heath dan Tversky (1991) menyatakan bahwa orang cenderung lebih berani berspekulasi saat merasa paham terhadap situasi yang terjadi. Dalam situasi ambiguity aversion, orang cenderung memilih risiko yang sudah diketahui dengan pasti dibandingkan dengan yang tidak pasti. Orang lebih menyukai hal-hal yang familiar dibandingkan hal baru. Hal tersebut memicu timbulnya familiarity effect. Banyak faktor yang diduga dapat memicu timbulnya bias perilaku yang terjadi pada investor saat melakukan trading. Salah satunya adalah pengaruh dari kondisi pasar modal. Saat kondisi uptrend, kemungkinan trader mengalami keberhasilan lebih besar dibandingkan saat downtrend (Shi dan Wang 2010). Odean (1999) menemukan bahwa investor akan melakukan trading secara berlebihan pada kondisi uptrend dibandingkan downtrend karena harga saham cenderung mengalami peningkatan saat uptrend. Mehmood dan Hanif (2014) menemukan bahwa hasil penelitiannya kontraindikasi dengan teori prospek yang menyatakan bahwa investor akan cenderung menghindari risiko saat kondisi uptrend dan mengambil risiko saat kondisi downtrend. Volume trading pada saat uptrend lebih besar dibandingkan saat downtrend. Daniel et al. (1998) serta Hong dan Stein (1999) memprediksi bahwa momentum akan terjadi lebih kuat selama kondisi uptrend. Momentum dalam return saham hanya akan muncul setelah kondisi uptrend. Penelitian ini ingin membuktikan bagaimana perilaku investor selama melakukan trading di pasar modal Indonesia saat kondisi uptrend dan downtrend. Sesuai dengan teori yang telah dijabarkan, seorang investor seharusnya bersikap rasional dalam proses pengambilan keputusan. Akan tetapi, penelitian-penelitian sebelumnya membuktikan bahwa investor mengalami bias perilaku dalam proses pengambilan keputusan yang termanifestasi dalam bentuk perilaku, yaitu gambler’s fallacy, halo effect, dan familiarity effect. Kondisi uptrend dan downtrend di pasar modal diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan munculnya tiga bentuk bias perilaku yang diteliti karena sedikit
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
banyak akan memengaruhi reaksi investor selama proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, penelitian ini menghubungkan munculnya bias perilaku investor selama trading dengan kondisi uptrend dan downtrend di pasar modal yang belum pernah diteliti sebelumnya. Bias perilaku diharapkan terjadi pada investor sesuai dengan hipotesis penelitian sehingga dapat menunjukkan fenomena perilaku investor yang terjadi di pasar modal dan memberikan informasi bagi investor pasar modal agar dapat memaksimalkan nilai portfolionya.
TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Markowitz (1952) menyatakan bahwa dalam teori keuangan konvensional, individu bersifat rasional dan menghindari risiko. Individu cenderung memilih risiko yang lebih rendah untuk tingkat pengembalian tertentu. Pengambilan keputusan secara rasional seharusnya dilakukan berdasarkan informasi baru yang diterima. Kemudian, individu akan memperbarui keyakinan yang akan dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan yang tepat dan tidak terjadi bias. Hirschey dan Nofsinger (2008) menyatakan bahwa teori keuangan berbasis tingkah laku lebih mengkaji bagaimana secara aktual seseorang bertingkah laku (positive approach). Basis tingkah laku tersebut menyebabkan individu menggunakan emosi dan terjadi bias dalam mengambil keputusan keuangan. Sementara itu, teori keuangan konvensional lebih fokus pada bagaimana seharusnya individu bertingkah laku (normative approach). Adanya keterbatasan waktu dan kemampuan berpikir pada saat proses pengambilan keputusan menyebabkan individu bertingkah laku secara irasional. Para investor sering melakukan penyederhanaan proses pengambilan keputusan melalui perilaku heuristics. Heuristics dapat membantu investor mengambil keputusan dengan lebih cepat, tetapi seringkali juga dapat menyebabkan terjadinya kesalahan
144
sistematis dan tidak memaksimalkan nilai utilitas (Kahneman dan Tversky 1979). Perilaku bias menyebabkan terjadinya kesalahan dalam melakukan prediksi dari peristiwa acak. Kesalahan prediksi ini dapat termanifestasi dalam bentuk tingkah laku gambler’s fallacy, halo effect, dan familiarity effect. Tingkah laku tersebut menyebabkan individu mencoba untuk memprediksi pola suatu peristiwa acak yang pada akhirnya dapat menimbulkan bias. Gambler’s Fallacy Croson dan Sundali (2005) menyatakan bahwa gambler’s fallacy adalah keyakinan terhadap korelasi negatif dari suatu urutan acak yang tidak berkorelasi. Apabila sesuatu terjadi lebih sering selama beberapa periode, maka kesempatan hal tersebut akan terjadi lagi menjadi lebih kecil di masa mendatang. Atau, jika sesuatu yang jarang terjadi selama beberapa periode, maka akan terjadi lebih sering di masa mendatang. Kesalahan keyakinan tersebut menyebabkan investor melakukan investasi lebih sedikit atau banyak berdasarkan observasi dari kejadian pada periode sebelumnya. Croson dan Sundali (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dalam bermain casino, terjadi sedikit tetapi signifikan, kecenderungan gambler’s fallacy dan hot hand pada populasi yang diteliti. Clotfelter dan Cook (1991; 1993) serta Terrell (1994) menunjukkan bahwa individu secara signifikan akan mengurangi jumlah taruhannya setelah memenangkan sebuah perjudian. Individu akan menghindari pengambilan keputusan yang sama dengan kejadian acak sebelumnya. Dalam permainan roda roullete, warna hitam lebih besar kemungkinan terpilih dibandingkan warna merah karena urutan MMMH lebih merepresentasikan distribusi underlying dibandingkan pola MMMM. Hopfensitz (2009) dalam penelitiannya menyatakan eksistensi gambler’s fallacy pada investor selama proses pengambilan keputusan. Frekuensi dari outcome trading sebelumnya menjadi acuan untuk pengambilan keputusan investasi di masa mendatang. Saat investor telah mendapatkan keuntungan beberapa kali pada periode
145
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
sebelumnya, maka pada kesempatan investasi berikutnya investor akan mengurangi nilai investasi mereka. Selain itu, Amin et al. (2009) juga menyatakan bahwa gambler’s fallacy memengaruhi pengambilan keputusan investor yang melakukan trading di bursa saham Pakistan. Salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya gambler’s fallacy adalah pengetahuan dan pemahaman investor terkait pasar modal dan mekanisme kerjanya. Hal ini menunjukkan adanya ketidakrasionalan investor dalam pengambilan keputusan keuangan mereka. Saat membuat keputusan investasi, investor juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti kondisi pasar modal (Odean 1999). Saat uptrend, investor yang mengalami gambler’s fallacy cenderung menghindari untuk membeli saham yang mengalami peningkatan harga pada periode sebelumnya karena investor yakin bahwa probabilitas saham tersebut mengalami penurunan harga akan lebih besar. Demikian juga saat downtrend, investor menganggap bahwa saham-saham yang sebelumnya mengalami penurunan harga akan memiliki probabilitas lebih besar untuk mengalami peningkatan harga. Oleh karena itu, hipotesis yang sesuai untuk gambler’s fallacy adalah: H1a: Perilaku gambler’s fallacy terjadi pada investor saat kondisi uptrend di pasar modal. H1b: Perilaku gambler’s fallacy terjadi pada investor saat kondisi downtrend di pasar modal. Halo Effect Perilaku bias juga dapat menyebabkan munculnya halo effect. Halo effect merupakan bias kognitif di mana orang cenderung membuat persepsi dan gambaran secara umum tentang individu berdasarkan satu karakteristik tertentu (Ackert dan Deaves 2010). Halo effect akan terjadi terutama saat individu tidak memiliki informasi yang cukup sehingga individu akan membuat asumsi berdasarkan satu atau dua informasi menonjol yang dimiliki. Informasi menonjol tersebut akan menutupi informasi-informasi lainnya yang seharusnya lebih relevan.
Ackert dan Deaves (2010) menuliskan bahwa perilaku bias, yaitu halo effect, terjadi pada investor saat memilih perusahaan yang akan menjadi tempat investasi mereka. Padahal, tidak ada atribut perusahaan yang dapat dihubungkan dengan nilai investasi. Semua informasi terkait dengan kualitas perusahaan tidak selalu melekat pada harga saham sehingga perusahaan baik atau buruk sama-sama merupakan tempat investasi yang baik. Secara independen, rasio size dan book to market memengaruhi nilai investasi sehingga membuat perusahaan besar dan berkembang terlihat sebagai tempat investasi yang menarik. Namun, sesuai dengan historis seringkali terjadi anomali bahwa perusahaan dengan kapitalisasi kecil dapat menghasilkan return lebih besar dibandingkan perusahaan dengan kapitalisasi besar. Adanya bias perilaku halo effect menyebabkan investor beranggapan bahwa trading ketika kondisi uptrend di pasar modal akan lebih sukses dibandingkan ketika kondisi downtrend di pasar modal (Shi dan Wang 2010). Pada akhirnya, investor akan melakukan trading secara tidak rasional ketika kondisi uptrend karena beranggapan pasti mendapatkan return yang lebih besar dibandingkan saat kondisi downtrend. Oleh karena itu, hipotesis yang sesuai untuk halo effect adalah: H2a: Perilaku halo effect terjadi pada investor saat kondisi uptrend di pasar modal. H2b: Perilaku halo effect terjadi pada investor saat kondisi downtrend di pasar modal. Familiarity Effect Familiarity effect merupakan kecenderungan untuk menilai sesuatu yang telah dikenal sebelumnya lebih baik dibandingkan sesuatu yang tidak dikenal. Dalam konteks investasi, investor cenderung melakukan investasi pada perusahaan atau produk investasi yang telah dikenal atau diketahui. Orang akan cenderung merasa lebih aman apabila investasi pada perusahaan yang dikenal atau produk investasi yang sebelumnya telah pernah digunakan (Nofsinger 2005).
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
Investor cenderung lebih menyukai investasi dalam sekuritas domestik atau disebut dengan home bias. Salah satu alasannya adalah karena mereka merasa lebih optimis terhadap pasar domestik dibandingkan dengan pasar internasional. Investasi internasional dianggap kurang menarik karena terdapat barrier institusi, contohnya adanya pembatasan pemindahan kapital, perbedaan biaya trading, dan perbedaan tax rate (Ackert dan Deaves 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Grinblatt dan Keloharju (2001), adanya familiarity juga didukung oleh adanya perbedaan bahasa dan kultur. Contohnya, Finlandia mempunyai dua bahasa resmi yaitu Finlandia dan Swedia. Laporan keuangan diterbitkan menggunakan bahasa Finlandia atau kedua bahasa resmi, tetapi dalam beberapa kasus hanya diterbitkan menggunakan bahasa Swedia. Setelah mengendalikan faktor-faktor yang relevan, ditemukan bahwa investor Finlandia lebih menyukai perusahaan yang melakukan publikasi menggunakan bahasa Finlandia. Begitu juga investor Swedia yang lebih menyukai perusahaan yang melakukan publikasi laporan keuangan menggunakan bahasa Swedia. Investor cenderung memberikan bobot yang lebih besar pada saham di perusahaan tempatnya bekerja atau brand yang telah dikenal. Dalam institusi yang besar, kepemilikan saham berhubungan secara negatif terhadap brand recognition dan tidak berhubungan dengan brand quality. Namun, berbeda dengan investor retail yang memiliki hubungan positif dengan brand recognition yang konsisten dengan comfort seeking dan familiarity (Coval dan Moskowitz 1999; Ackert dan Deaves 2010). Kondisi pasar modal turut memengaruhi sentimen investor yang menyebabkan terjadinya perilaku familiarity effect. Ackert dan Deaves (2010) menemukan bahwa investor yang bersifat risk averse dalam kondisi uptrend akan cenderung menjadi agresif selama kondisi downtrend. Ketika kondisi uptrend, kemungkinan investor mengalami bias perilaku berupa familiarity effect karena investor lebih optimis terhadap pasar modal domestik dan cenderung risk aversion.
146
Sebaliknya, ketika kondisi downtrend, investor menjadi lebih agresif yang memungkinkan investor mengambil risiko lebih besar sehingga tidak terjadi famiiarity effect. Oleh karena itu, hipotesis yang sesuai untuk familiarity effect adalah: H3a: Perilaku familiarity effect terjadi pada investor saat kondisi uptrend di pasar modal. H3b: Perilaku familiarity effect terjadi pada investor saat kondisi downtrend di pasar modal.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang menguji apakah bias perilaku terjadi pada kondisi uptrend dan atau downtrend di pasar modal, atau tidak terjadi pada keduanya. Data penelitian diambil secara langsung dari subjek penelitian menggunakan kuesioner (Lampiran 1). Kuesioner terdiri dari 12 pernyataan: empat pernyataan terkait gambler’s fallacy, empat pernyataan terkait halo effect, dan empat pernyataan terkait familiarity effect. Empat pernyataan dalam setiap variabel dibagi menjadi 2 pernyataan terkait kondisi uptrend di pasar modal: 1 pernyataan menggunakan kalimat positif (kalimat pernyataan yang menyatakan bahwa responden mengalami perilaku bias jika setuju terhadap pernyataan tersebut) dan 1 pernyataan menggunakan kalimat negatif (kalimat pernyataan yang menyatakan bahwa responden tidak mengalami perilaku bias jika setuju terhadap pernyataan tersebut); dan 2 pernyataan terkait dengan kondisi downtrend di pasar modal: 1 pernyataan menggunakan kalimat positif dan 1 pernyataan menggunakan kalimat negatif. Definisi operasional penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Populasi dari penelitian ini adalah investor domestik pasar modal di Indonesia. Berdasarkan data KSEI per Juli 2015, jumlah investor domestik pasar modal Indonesia mencapai 480.231 Single Investor Identification (SID) (Tabel 2). Sesuai dengan tabel Krejcie dan Morgan (1970), ditentukan bahwa sampel yang digunakan adalah 384
147
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
investor. Penetapan sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik nonprobability sampling, yaitu purposive sampling. Kriteria inklusi penelitian adalah responden merupakan seorang investor/trader dalam pasar modal di Indonesia dan bersedia mengisi 12 pernyataan dalam kuesioner yang
diberikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Responden melakukan trading minimal tiga kali seminggu dan aktif trading dalam satu minggu terakhir, serta melakukan pengambilan keputusan trading sendiri tanpa bantuan broker. Responden yang mengisi kuesioner ini tetapi tidak memenuhi kriteria inklusi akan di-drop out.
Tabel 1 Definisi Operasional dari Variabel Penelitian Variabel
Definisi Operasional
Contoh Pernyataan Saat Kondisi Uptrend Saat kondisi uptrend dan saham saya telah mendapatkan keuntungan beberapa kali, saya akan segera menjual saham tersebut karena saya yakin probabilitas penurunan harga saham menjadi lebih besar.
Contoh Pernyataan Saat Kondisi Downtrend Saat kondisi downtrend dan saham saya telah mengalami kerugian, saya akan menahan saham tersebut karena saya yakin setelah harga saham mengalami penurunan beberapa kali, probabilitas kenaikan harganya akan lebih besar.
Penilaian
Gambler’s fallacy
Pengambilan keputusan berdasarkan keyakinan terhadap korelasi negatif dari suatu urutan acak yang tidak berkorelasi.
Halo effect
Pengambilan keputusan dengan kecenderungan membuat persepsi dan gambaran secara umum berdasarkan karakteristik tertentu.
Saat pasar modal sedang uptrend, saya yakin akan mendapat return saham yang tinggi sehingga saya akan melakukan trading lebih banyak.
Saat pasar modal sedang downtrend, perusahaan yang baik merupakan tempat investasi yang menguntungkan.
Jawaban sangat setuju diberikan nilai 5 yang berarti terjadi halo effect, sedangkan jawaban sangat tidak setuju diberikan nilai 1 yang berarti tidak terjadi halo effect.
Familiarity effect
Pengambilan keputusan berdasarkan kesukaan dan kepercayaan pada hal-hal yang telah familiar dengan individu tersebut.
Walaupun tren pasar modal sedang uptrend, saya enggan untuk membeli saham-saham yang namanya belum pernah saya dengar.
Saat pasar modal domestik dan internasional sedang downtrend, saya menganggap lebih aman investasi di pasar domestik dibandingkan internasional.
Jawaban sangat setuju diberikan nilai 5 yang berarti terjadi familiarity effect, sedangkan jawaban sangat tidak setuju diberikan nilai 1 yang berarti tidak terjadi familiarity effect.
Jawaban sangat setuju diberikan nilai 5 yang berarti terjadi gambler’s fallacy, sedangkan jawaban sangat tidak setuju diberikan nilai 1 yang berarti tidak terjadi gambler’s fallacy.
Tabel 2 Jumlah Investor dan Nilai Investasi (KSEI 2016) Domestik Asing Keterangan Institusi Individu Institusi Individu 5.119 475.112 7.057 3.828 SID (1,0%) (96,7%) (1,4%) (0,8%) Nilai Investasi 989,82 (36%) 1.757,71 (64%) (triliun IDR)
Penyebaran kuesioner dilakukan dengan dua cara: (1) kuesioner diberikan secara langsung kepada responden yang memenuhi
kriteria inklusi penelitian; dan (2) kuesioner diberikan secara tidak langsung melalui media elektronik. Kuesioner dibuat menggunakan
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
Google Form dan disebarkan melalui mailing list Yahoo (groups.yahoo.com) pada grup investor pasar modal. Grup tersebut antara lain grup ‘Saham’, grup ‘Dunia_Saham’, grup ‘Wacana_Saham’, grup ‘obrolan-bandar’, grup ‘Investium_Saham’, grup ‘Junior_ Trader’, grup ‘BEJ_Trader’, grup ‘Saham_ Secondliner’, grup ‘Pasar_Modal_Indonesia’, grup ‘Saham_Watchlist’, grup ‘psikologi_ saham’, dan lain-lain. Sebelum melakukan penyebaran kuesioner atau pengambilan data, dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu terhadap instrumen penelitian. Awalnya, dilakukan face validity untuk mengukur apa yang tampak dari instrumen yang digunakan dalam penelitian (Sekaran dan Bougie 2013). Face validity dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada 12 orang secara acak untuk mengetahui apakah mereka memahami maksud dari pernyataan yang diberikan dalam kuesioner. Selanjutnya, dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan memberikan kuesioner kepada 30 responden, kemudian dilakukan pengukuran terhadap hasil tersebut. Hanya item pernyataan yang dinyatakan valid dan reliable yang akan digunakan dalam penelitian. Data yang telah terkumpul kemudian diolah. Pertama, dilakukan perhitungan secara kualitatif terhadap jawaban responden. Peneliti akan mendapatkan data berapa banyak (deskriptif frekuensi) responden yang menjawab sangat tidak setuju, tidak setuju, ragu-ragu, setuju, dan sangat setuju, untuk setiap pernyataan yang terdapat dalam kuesioner. Berdasarkan data tersebut, peneliti mendapatkan gambaran dari kecenderungan perilaku gambler’s fallacy, halo effect maupun familiarity effect pada responden yang merupakan investor saat melakukan trading dalam kondisi uptrend maupun downtrend. Kedua, dilakukan pengujian secara kuantitatif menggunakan metode statistik one sample t-test dan paired t-test. Peneliti memberikan nilai dengan menggunakan skala Likert 1-5 terhadap semua jawaban responden karena skala Likert dapat digunakan untuk menguji seberapa kuat responden setuju atau tidak setuju terhadap pernyataan yang
148
diberikan sehingga memudahkan peneliti dalam menganalisis jawaban responden secara kuantitatif (Sekaran dan Bougie 2013). Selain itu, skala Likert 5 poin digunakan karena mengacu pada penelitian sebelumnya terkait perilaku investasi di pasar modal (Jagongo dan Mutswenje 2014; Khan 2014; Shusha dan Touny 2016). Pernyataan dengan kalimat positif diberikan nilai 1 untuk jawaban sangat tidak setuju sampai dengan nilai 5 untuk jawaban sangat setuju. Sebaliknya, pernyataan dengan kalimat negatif diberikan nilai 1 untuk jawaban sangat setuju sampai dengan nilai 5 untuk jawaban sangat tidak setuju. Nilai yang didapatkan dari setiap pernyataan dalam kuesioner kemudian diuji beda rata-rata menggunakan one sample t-test untuk memastikan bahwa nilai rata-rata (mean) setiap pernyataan mampu menunjukkan outcome yang seharusnya. Angka 3 dijadikan sebagai nilai acuan atau pembanding karena merupakan nilai tengah dari rentang pengukuran yang digunakan (skala Likert 1-5). Apabila nilai rata-rata dari pernyataan lebih dari 3,00 dan nilai thitung > ttabel, pada α = 0,05, maka dapat dinyatakan bahwa bias perilaku terjadi pada responden yang merupakan investor. Apabila nilai rata-rata dari pernyataan kurang dari 3,00 dan nilai thitung > ttabel, pada α = 0,05, maka dinyatakan bahwa bias perilaku tidak terjadi pada responden. Namun, apabila nilai thitung < ttabel, pada α = 0,05, maka pernyataan dalam kuesioner atau instrumen penelitian tidak mampu menunjukkan outcome yang seharusnya. Rancangan uji hipotesis statistik dapat dilihat pada Tabel 3. H0 menyatakan bahwa sampel yang diuji sama atau tidak berbeda signifikan dengan 3, sedangkan Ha menyatakan bahwa sampel yang diuji berbeda signifikan dengan 3. Metode pengujian hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini mengasumsikan bahwa bias perilaku dalam bentuk gambler’s fallacy, halo effect, dan familiarity effect terjadi atau tidak terjadi dalam kondisi uptrend dan/atau downtrend di pasar modal, tanpa menggolongkan investor ke dalam tingkat/derajat bias perilaku berdasarkan nilai rata-rata pernyataan masing-masing variabel.
149
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
Hal ini mengacu pada penelitian sebelumnya. Irshad et al. (2016) serta Jagongo dan Mutswenje (2014) menggunakan instrumen kuesioner untuk mengukur bias perilaku saat investasi. Kuesioner dianalisis menggunakan skala Likert dan kedua penelitian tersebut tidak menggolongkan investor ke dalam tingkat/derajat bias perilaku berdasarkan nilai rata-rata pernyataan masing-masing variabel. Pengujian statistik dilanjutkan menggunakan paired t-test dengan membandingkan nilai dari pernyataan kalimat positif dan negatif dari setiap variabel. Tujuannya adalah untuk mengetahui konsistensi responden dalam menjawab pernyataan dengan kalimat yang berbeda (positif dan negatif). Apabila nilai thitung > ttabel, pada α = 0,05, artinya
terdapat perbedaan signifikan antara pernyataan positif dan negatif yang menunjukkan bahwa responden tidak konsisten dalam menjawab pernyataan yang diberikan. Sebaliknya, apabila nilai thitung < ttabel, pada α = 0,05, artinya tidak terdapat perbedaan signifikan antara pernyataan positif dan negatif yang menunjukkan bahwa responden konsisten dalam menjawab pernyataan yang diberikan. Rancangan uji hipotesis dapat dilihat pada Tabel 4. H0 menyatakan bahwa nilai pernyataan positif sama atau tidak berbeda signifikan dengan pernyataan negatif. Sementara itu, Ha menyatakan bahwa nilai pernyataan positif tidak sama atau berbeda signifikan dengan pernyataan negatif.
Tabel 3 Hipotesis Statistik Menggunakan One Sample T-Test Kondisi Pasar Modal
Gambler’s Fallacy
Halo Effect
Familiarity Effect
Uptrend
Downtrend
Uptrend
Downtrend
Uptrend
Downtrend
Pernyataan Positif
H0: µ1a = 3
H0: µ1c = 3
H0: µ2a = 3
H0: µ2c = 3
H0: µ3a = 3
H0: µ3c = 3
Ha: µ1a ≠ 3
Ha: µ1c ≠ 3
Ha: µ2a ≠ 3
Ha: µ2c ≠ 3
Ha: µ3a ≠ 3
Ha: µ3c ≠ 3
Pernyataan Negatif
H0: µ1b = 3
H0: µ1d = 3
H0: µ2b = 3
H0: µ2d = 3
H0: µ3b = 3
H0: µ3d = 3
Ha: µ1b ≠ 3
Ha: µ1d ≠ 3
Ha: µ2b ≠ 3
Ha: µ2d ≠ 3
Ha: µ3b ≠ 3
Ha: µ3d ≠ 3
Tabel 4 Hipotesis Statistik Menggunakan Paired T-Test antara Pernyataan Positif dan Negatif Kondisi Pasar Modal Uptrend
Downtrend
Gambler’s Fallacy
Halo Effect
Familiarity Effect
H0: µpositif = µnegatif
H0: µpositif = µnegatif
H0: µpositif = µnegatif
Ha: µpositif ≠ µnegatif
Ha: µpositif ≠ µnegatif
Ha: µpositif ≠ µnegatif
H0: µpositif = µnegatif
H0: µpositif = µnegatif
H0: µpositif = µnegatif
Ha: µpositif ≠ µnegatif
Ha: µpositif ≠ µnegatif
Ha: µpositif ≠ µnegatif
Tabel 5 Hipotesis Statistik Menggunakan Paired T-Test antara Pernyataan Kondisi Pasar Modal Uptrend dan Downtrend Gambler’s Fallacy Hallo Effect Familiarity Effect H0: µuptrend = µdowntrend
H0: µuptrend = µdowntrend
H0: µuptrend = µdowntrend
Ha: µuptrend ≠ µdowntrend
Ha: µuptrend ≠ µdowntrend
Ha: µuptrend ≠ µdowntrend
Pengujian statistik paired t-test juga digunakan untuk membandingkan nilai pernyataan pada kondisi uptrend dan downtrend. Apabila nilai thitung > nilai ttabel, pada α = 0,05, artinya terdapat perbedaan signifikan saat kondisi uptrend dan downtrend
yang menunjukkan bahwa bias perilaku terjadi lebih besar pada salah satu kondisi pasar modal (uptrend atau downtrend). Apabila nilai thitung < ttabel, pada α = 0,05, artinya tidak terdapat perbedaan signifikan saat kondisi uptrend atau downtrend yang
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
menunjukkan bahwa bias perilaku terjadi sama besar pada kondisi uptrend dan downtrend. Rancangan uji hipotesis dapat dilihat pada Tabel 5. H0 menyatakan bahwa nilai pernyataan dalam kondisi uptrend sama atau tidak berbeda signifikan dengan downtrend. Sementara itu, Ha menyatakan bahwa nilai pernyataan dalam kondisi uptrend tidak sama atau berbeda signifikan dengan downtrend.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sebelum disebarkan kepada responden, kuesioner atau instrumen penelitian diuji face validation, validitas, dan reliabilitas agar dapat menghasilkan data yang valid dan reliable. Hasil dari pengujian face validation adalah 10 dari 12 orang paham terhadap pernyataan yang digunakan dalam kuesioner. Uji validitas dilakukan dengan menghitung Corrected Item-Total Correlation dan
150
menggunakan sampel sebanyak 30 responden. Menurut Cooper dan Schindler (2003), uji validitas dan reliabilitas minimal diberikan kepada 30 responden agar nilai dan hasil pengukuran yang didapatkan mendekati distribusi normal. Hasilnya, item 1-4 dari setiap variabel menunjukkan hasil yang valid dengan nilai rhitung > rkritis (0,361), pada α = 0,05, yang artinya semua pernyataan dalam kuesioner ini mampu dengan tepat dan cermat mengukur outcome sesuai dengan fungsi yang seharusnya. Data dapat dilihat pada Tabel 6. Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan parameter Cronbach’s Alpha. Berdasarkan Sekaran dan Bougie (2013), hasil yang reliable dinyatakan dengan nilai Cronbach’s Alfa ≥ 0,700. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 7. Ketiga variabel penelitian memiliki nilai Cronbach’s Alpha lebih besar dari 0,700 yang menunjukkan reliabilitas yang tinggi. Hal ini berarti kuesioner atau instrumen penelitian mampu mengukur secara konsisten outcome yang ingin diukur.
Tabel 6 Hasil Uji Validitas Variabel Penelitian
Item_1
Scale Mean if Item Deleted 19,87
Scale Variance if Item Deleted 30,395
Corrected Item-Total Correlation 0,551**
Item_2
20,20
34,028
0,447*
Item_3
20,83
29,592
0,564**
Item_4
20,53
29,361
0,633**
Item_1
19,53
25,499
0,624**
Item_2
20,37
26,378
0,429*
Item_3
19,43
25,013
0,539**
Item_4
19,77
23,771
0,580**
Item_1
21,60
31,628
0,613**
Item_2
21,90
33,955
0,545**
Item_3
21,73
34,961
0,494**
21,80
32,372
0,590**
Variabel
Gambler's Fallacy
Halo Effect
Familiarity Effect
Item_4 ** korelasi signifikan pada 0,01 * korelasi signifikan pada 0,05
Tabel 7 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Penelitian Reliability Statistics Gambler's Fallacy Halo Effect Familiarity Effect Cronbach's Alpha
0,764
0,761
0,769
151
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
Kuesioner yang valid dan reliable kemudian disebarkan selama 50 hari (21 September 2015 hingga 9 November 2015) dan didapatkan responden sebanyak 428 orang. Setelah diseleksi sesuai kriteria inklusi penelitian, diperoleh responden sebanyak 370 orang. Responden dalam penelitian ini didominasi oleh laki-laki. Santrock (2003) menyatakan bahwa perempuan lebih memiliki sikap hati-hati dan sensitif dibandingkan lakilaki. Schubert et al. (1999) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa perempuan lebih cenderung menghindari risiko dibandingkan laki-laki dalam persepsi finansial dan keputusan alokasi aset. Selain itu, selama trading, salah satu faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan investor adalah pengetahuan dan pemahaman akan kondisi pasar modal Indonesia. Christanti dan Mahastanti (2011) menyatakan bahwa lamanya investor dalam investasi memengaruhi pertimbangan dalam pengam-bilan keputusan. Semakin lama pengalaman investasi, makin sedikit faktor-
faktor yang dipertimbangkan dalam mengambil keputusan investasi. Berdasarkan perhitungan frekuensi, responden penelitian paling banyak berumur 20-30 tahun (39%) dengan mayoritas memiliki pengalaman trading selama 1-3 tahun, kemudian diikuti oleh responden dengan kelompok umur 31-40 tahun (32%). Jika dilihat dari pengalaman trading yang dimiliki oleh investor berdasarkan kelompok umur responden, hanya responden dalam kelompok umur 20-30 tahun yang didominasi oleh investor dengan pengalaman trading 1-3 tahun. Sementara itu, untuk kelompok umur lainnya, yaitu 31-40 tahun, 41-50 tahun, dan lebih dari 50 tahun, didominasi oleh investor dengan pengalaman trading lebih dari 5 tahun. Namun, jika dilihat dari total pengalaman trading tanpa memperhatikan kelompok umur responden, mayoritas responden penelitian (30%) telah memiliki pengalaman trading selama lebih dari 5 tahun. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Demografi Responden Penelitian Jenis Kelamin
Umur
20 -30 tahun
Total
145
Persentase
39%
Laki-Laki 319 (86%) 31 - 40 tahun
41-50 tahun
118
80
32%
22%
Perempuan 51(14%) > 50 tahun
27
7%
Berdasarkan analisis secara kualitatif, saat kondisi uptrend, responden cenderung
Pengalaman Trading < 1 tahun
Total
Persentase
59
41%
1 - 3 tahun
63
43%
3 - 5 tahun
15
10%
> 5 tahun
8
6%
< 1 tahun
4
3%
1 - 3 tahun
29
25%
3 - 5 tahun
35
30%
> 5 tahun
50
42%
< 1 tahun
1
1%
1 - 3 tahun
9
11%
3 - 5 tahun
29
36%
> 5 tahun
41
51%
< 1 tahun
2
7%
1 - 3 tahun
7
26%
3 - 5 tahun
6
22%
> 5 tahun
12
44%
mengalami perilaku bias dalam bentuk gambler’s fallacy dan familiarity effect.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
Sementara itu, saat kondisi downtrend, responden cenderung mengalami perilaku bias dalam bentuk familiarity effect. Responden cenderung tidak mengalami perilaku bias dalam bentuk halo effect pada kondisi uptrend maupun downtrend. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Analisis data dilanjutkan dengan pengujian statistik menggunakan metode one
152
sample t-test. Hasilnya adalah nilai sig (2tailed) yang dihasilkan oleh 12 pernyataan dalam kuesioner kurang dari 0,05 (Tabel 10). Hasil tersebut dapat menjawab hipotesis penelitian yang telah diajukan, yaitu Ha diterima dan H0 ditolak. Artinya, nilai ratarata dari 12 pernyataan yang digunakan dalam kuesioner mampu menunjukkan outcome sesuai dengan yang seharusnya.
Tabel 9 Jumlah dan Persentase Jawaban Responden Penelitian
Positif
Sangat Tidak Setuju 15 4%
76
21%
56
15%
125
34%
98
26%
Negatif
76
21%
113
31%
100
27%
69
19%
12
3%
Positif
76
21%
105
28%
64
17%
60
16%
65
18%
Negatif
41
11%
72
19%
82
22%
106
29%
69
19%
Positif
67
18%
96
26%
85
23%
77
21%
45
12%
Negatif
66
18%
43
12%
82
22%
104
28%
75
20%
Positif
36
10%
143
39%
79
21%
87
24%
25
7%
Negatif
62
17%
68
18%
67
18%
92
25%
81
22%
Positif
43
12%
69
19%
83
22%
74
20%
101
27%
Negatif
93
25%
106
29%
71
19%
61
16%
39
11%
Positif
35
9%
76
21%
92
25%
99
27%
68
18%
Negatif
77
21%
91
25%
74
20%
77
21%
51
14%
Pernyataan
Uptrend Gambler's Fallacy Downtrend
Uptrend Halo Effect Downtrend
Uptrend Familiarity Effect Downtrend
Tidak Setuju
RaguRagu
Setuju
Sangat Setuju
Tabel 10 One Sample T-Test Semua Item Pernyataan Variabel
N
Rata-Rata
Std Deviasi
T
Sig (2 tailed)
GF_Uptrend_Positif
370
3,58
1,196
9,343
0,000
GF_Uptrend_Negatif
370
3,46
1,109
8,061
0,000
GF_Downtrend_Positif
370
2,82
1,394
-2,499
0,013
GF_Downtrend_Negatif
370
2,76
1,271
-3,681
0,000
HE_Uptrend_Positif
370
2,83
1,286
-2,547
0,011
HE_Uptrend_Negatif
370
2,79
1,372
-2,994
0,003
HE_Downtrend_Positif
370
2,79
1,114
-3,642
0,000
HE_Downtrend_Negatif
370
2,83
1,398
-2,305
0,022
FE_Uptrend_Positif
370
3,33
1,357
4,636
0,000
FE_Uptrend_Negatif
370
3,41
1,308
6,079
0,000
FE_Downtrend_Positif
370
3,24
1,238
3,737
0,000
FE_Downtrend_Negatif
370
3,18
1,346
2,550
0,011
Pengujian dipertegas dengan melakukan uji statistik paired t-test antara pernyataan
positif dan negatif pada ketiga variabel. Data hasil pengujian paired t-test antara pernyataan
153
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
positif dan negatif dapat dilihat pada Tabel 11. Nilai sig (2-tailed) dari semua variabel lebih dari 0,05. Hasil tersebut menjawab hipotesis penelitian yang telah diajukan, yaitu H0 diterima dan Ha ditolak. Konsistensi responden dalam menjawab pernyataan dalam kuesioner ini mendukung hasil pengujian one sample t-test. Terakhir, dilakukan uji statistik paired t-test antara pernyataan pada kondisi uptrend dan downtrend. Data dari hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 12. Pada pair 1, nilai sig (2-tailed) kurang dari 0,05, berarti Ha diterima dan H0 ditolak. Hal ini disebabkan karena gambler’s fallacy memengaruhi
pengambilan keputusan investasi pada saat kondisi uptrend. Sebaliknya, pada saat kondisi downtrend, gambler’s fallacy tidak terjadi. Pada pair 2, nilai sig (2-tailed) lebih dari 0,05, artinya H0 diterima dan Ha ditolak. Halo effect tidak terjadi atau tidak memengaruhi responden dalam pengambilan keputusan baik saat kondisi uptrend atau downtrend, dan keduanya tidak berbeda signifikan. Pada pair 3, nilai sig (2-tailed) kurang dari 0,05, yang berarti Ha diterima dan H0 ditolak. Familiarity effect memengaruhi pengambilan keputusan responden dalam melakukan investasi lebih besar pada saat kondisi uptrend dibandingkan downtrend.
Tabel 11 Paired T-Test antara Pernyataan Positif dan Negatif Variabel Pair 1
Pair 2
Pair 3
Pair 4
Pair 5
Pair 6
GF_Uptrend_Positif GF_Uptrend_Negatif GF_Downtrend_Positif GF_Downtrend_Negatif HE_Uptrend_Positif HE_Uptrend_Negatif HE_Downtrend_Positif HE_Downtrend_Negatif FE_Uptrend_Positif FE_Uptrend_Negatif FE_Downtrend_Positif FE_Downtrend_Negatif
Variabel Pair 1 Pair 2 Pair 3
N
Rata-Rata
Std Deviasi
Std Error Rata-Rata
t
Sig (2-tailed)
370
0,116
1,260
0,066
1,774
0,077
370
0,062
1,614
0,084
0,741
0,459
370
0,043
1,494
0,078
0,557
0,578
370
-0,043
1,545
0,080
-0,538
0,591
370
-0,086
1,333
0,069
-1,125
0,213
370
0,062
1,296
0,067
0,923
0,357
Tabel 12 Paired T-Test antara Kondisi Uptrend and Downtrend Std Error N Rata-Rata Std Deviasi Rata-Rata
GF_Uptrend GF_Downtrend HE_Uptrend HE_Downtrend FE_Uptrend FE_Downtrend
T
Sig (2-tailed)
370
0,735
1,336
0,069
10,585
0,000
370
-0,027
1,035
-0,054
-0,050
0,960
370
0,161
1,478
0,077
2,093
0,037
Gambler’s Fallacy Perilaku gambler’s fallacy terjadi pada investor yang trading saat kondisi uptrend, tetapi tidak terjadi pada saat kondisi
downtrend. Hal ini mengindikasikan perilaku investor sejalan dengan teori prospek. Teori prospek menyatakan bahwa saat investor mendapatkan keuntungan (berada pada
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
domain gains), maka investor cenderung akan menghindari risiko (risk averse). Sebaliknya, saat investor mendapatkan kerugian (berada pada domain losses), maka investor cenderung akan mengambil risiko (risk seeking) (Ackert dan Deaves 2010). Odean (1999) menemukan bahwa investor akan melakukan trading secara berlebihan pada kondisi uptrend dibandingkan downtrend karena kemungkinan keberhasilan untuk mendapatkan keuntungan lebih besar. Kondisi pasar modal uptrend dianalogi-kan sebagai domain gains. Pada gambler’s fallacy, pengambilan keputusan investor didasarkan pada outcome dari investasi sebelumnya. Saat investor telah mendapatkan keuntungan beberapa kali dalam beberapa periode, investor menjadi risk averse sehingga akan mengurangi investasinya. Hal tersebut dikarenakan investor yakin bahwa probabilitas outcome untuk mengalami keru-gian pada trading berikutnya menjadi lebih besar sehingga gambler’s fallacy terjadi. Sebaliknya, kondisi downtrend dianalogikan sebagai domain losses. Saat investor mengalami kerugian, investor akan menambah investasinya karena investor bersifat risk seeking. Oleh karena itu, saat kondisi downtrend, tidak terjadi gambler’s fallacy. Adanya eksistensi gambler’s fallacy pada investor didukung oleh hasil penelitian Hopfensitz (2009) yang juga menyatakan eksistensi gambler’s fallacy pada investor selama proses pengambilan keputusan. Selama melakukan trading, outcome trading lebih menjadi fokus dari para investor dibandingkan informasi lainnya. Frekuensi untung atau rugi yang dialami oleh investor secara signifikan memengaruhi pengambilan risiko dari investor. Semakin tinggi frekuensi keuntungan yang didapat, makin besar pengurangan investasi yang dilakukan. Hal tersebut yang menyebabkan timbulnya bias dalam pengambilan keputusan. Halo Effect Halo effect pada investor disebabkan karena adanya karakteristik tertentu yang mampu menarik persepsi investor saat proses pengambilan keputusan. Contohnya, investor
154
seringkali tertarik membeli saham-saham yang termasuk dalam LQ-45 karena menganggap pasti menghasilkan return yang besar atau keyakinan bahwa investasi pada perusahaan yang memiliki value tinggi (nilai fundamental baik) akan lebih menguntungkan. Jika ditinjau kembali, sebenarnya hal-hal tersebut belum tentu terjadi karena seringnya anomali yang terjadi dalam pasar modal. Namun, karakteristik menonjol tersebut membuat investor menjadi bias dan terjadi asimetri informasi. Menurut Nisbett dan Wilson (1977), halo effect dapat dihilangkan dengan adanya pengalaman, edukasi yang sesuai, dan kesadaran dari individu. Pada penelitian ini, perilaku halo effect tidak terjadi pada investor yang trading, baik dalam kondisi pasar modal uptrend ataupun downtrend. Hal ini secara umum menunjukkan bahwa investor pasar modal Indonesia memiliki pengalaman dan kesadaran yang cukup baik sehingga dapat menghindari terjadinya bias perilaku ini. Landy dan Sigall (1974) dalam penelitiannya menyatakan bahwa adanya kesadaran dari investor akan keberadaan halo effect dapat secara signifikan mengurangi terjadinya bias perilaku tersebut selama melakukan trading di pasar modal, dalam kondisi uptrend maupun downtrend. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan Ackert dan Deaves (2010) mengenai eksistensi halo effect pada investor saat melakukan investasi. Hasil penelitian ini tentunya berdampak positif bagi investor karena menunjukkan bahwa investor mampu mengambil keputusan secara rasional. Investor mampu mengelola informasi dengan baik dan mengambil keputusan dengan melakukan evaluasi secara holistik. Familiarity Effect Perilaku familiarity effect terjadi pada investor yang trading baik dalam kondisi pasar modal uptrend dan atau downtrend. Hal ini sesuai dengan penelitian Heath dan Tversky (1991) yang menyatakan bahwa individu cenderung bersifat ambiguity aversion saat dihadapkan dalam suatu pilihan. Individu akan lebih memilih hal yang telah diketahui sebelumnya atau familiar. Investor merasa lebih optimis terhadap pasar modal domestik
155
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
dibandingkan pasar modal internasional (Strong dan Xu 2003). Adanya perbedaan bahasa dan barrier institusi juga menjadi alasan investor menganggap pasar modal internasional kurang menarik dibandingkan pasar modal Indonesia (Ackert dan Deaves 2010). Padahal, adanya diversifikasi internasional akan meminimalkan risiko dan mengoptimalkan return portfolio. Kondisi uptrend di pasar modal diyakini mampu memberikan keuntungan lebih besar sehingga memicu terjadinya perilaku familiarity effect lebih besar dibandingkan saat kondisi downtrend. Huberman (2001) menyatakan bahwa investor yang mengalami familiarity effect memiliki kecenderungan menyusun portfolio secara terkonsetrasi sehingga diversifikasi portfolio menjadi kurang optimal. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan seperti kedekatan geografi, kedekatan profesional, patriotisme budaya, dan lain-lain. Sejalan dengan teori prospek, ketika kondisi uptrend di pasar modal, investor menjadi lebih optimis terhadap pasar modal domestik dan cenderung risk aversion. Sebaliknya, ketika kondisi downtrend, investor menjadi lebih agresif yang memungkinkan investor lebih berani mengambil risiko dengan cara membeli saham internasional atau saham yang belum pernah diketahui sebelumnya sehingga familiarity effect yang terjadi lebih kecil.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa gambler’s fallacy terjadi pada investor yang melakukan trading pada saat kondisi uptrend, tetapi tidak terjadi pada kondisi downtrend. Halo effect tidak terjadi pada investor yang melakukan trading pada saat uptrend dan downtrend. Sementara itu, familiarity effect terjadi pada investor yang melakukan trading pada saat uptrend dan downtrend, dimana familiarity effect terjadi lebih besar saat kondisi uptrend daripada downtrend. Secara keseluruhan, saat kondisi pasar modal mengalami uptrend, bias lebih banyak terjadi. Saat kondisi pasar modal mengalami
uptrend, investor merasa lebih percaya diri dan optimis berlebihan sehingga lebih besar memicu timbulnya asimetri informasi. Adanya asimetri informasi menyebabkan bias representatif yang ditandai dengan gambler’s fallacy dan familiarity effect. Penelitian ini memberikan implikasi terhadap investor dan pasar modal di Indonesia karena berhasil membuktikan bahwa selama melakukan trading pada kondisi pasar modal yang mengalami uptrend dan atau downtrend, investor cenderung mengalami bias dalam memproses informasi dan belum mampu melakukan analisis secara rasional. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perilaku irasional yang menjauhkan efisiensi pasar dan dapat memberikan efek negatif pada portfolio yang telah disusun oleh investor. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi bahan kajian bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian serupa dengan tujuan memperdalam hasil dari penelitian ini sehingga menghasilkan daya guna yang lebih besar bagi pasar modal Indonesia. Penelitian ini terkait dengan perilaku seseorang dimana perilaku tersebut dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman sehingga adanya perbedaan demografi responden kemungkinan dapat menghasilkan perbedaan hasil penelitian. Hasil penelitian ini tidak dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, usia, maupun pengalaman responden. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang tidak dapat menjelaskan hubungan ataupun faktorfaktor apa yang menyebabkan terjadinya bias perilaku tersebut. Selain itu, hasil penelitian ini juga hanya terbatas pada investasi aset keuangan pasar modal dan tidak dapat digeneralisasikan pada investasi aset nonkeuangan. Saran yang dapat diberikan oleh peneliti untuk pengembangan penelitian selanjutnya adalah: (1) Melakukan penelitian sejenis yang bersifat eksperimen dan eksploratif sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang memengaruhi dan alasan terjadinya bias perilaku. Selain itu, penelitian eksperimen dan eksplo-ratif memiliki keunggulan karena dapat menggambarkan perilaku investor yang
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
lebih aktual. Pengujian bias perilaku dapat dikondisikan sesuai dengan situasi saat investor melakukan trading yang sebenarnya; (2) Melakukan pengembangan variabel penelitian untuk mengetahui perbedaan perilaku bias perilaku dari investor berdasarkan umur, pengalaman, dan etnis; serta (3) Melakukan pengembangan penelitian terkait pola pengambilan keputusan investor selain heuristics representatif yang dapat dikaitkan dengan siklus pasar modal Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Ackert, L. F. and R. Deaves. 2010. Behavioral Finance: Psychology, Decision-Making, and Markets. Mason, USA: South-Western College Pub. Amin, A., S. Shoukat, and Z. Khan. 2009. Gambler’s Fallacy and Behavioral Finance in the Financial Markets (A Case Study of Lahore Stock Exchange). Abasyn University Journal of Social Sciences, 3 (2), 67-73. Christanti, N. and L. A. Mahastanti. 2011. Faktor-Faktor yang Dipertimbangkan Investor dalam Melakukan Investasi. Jurnal Manajemen Teori dan Terapan, 4 (3), 37-51. Clotfelter, C. and P. Cook. 1991. Lotteries in the Real World. Journal of Risk and Uncertainty, 4 (3), 227-232. Clotfelter, C. and P. Cook. 1993. The ‘Gambler’s Fallacy’ in Lottery Play. Management Science, 39 (12), 15211525. Cooper, D. R. and P. S. Schindler. 2003. Business Research Methods, 8th Edition. New York: McGraw-Hill Inc. Coval, J. and T. Moskowitz. 1999. Home Bias at Home: Local Equity Preference in Domestic Portfolios. Journal of Finance, 54 (6), 2045-2073. Croson, R. and J. Sundali. 2005. The Gambler’s Fallacy and the Hot Hand: Empirical Data from Casinos. Journal of Risk and Uncertainty, 30 (3), 195209.
156
Daniel, K., D. Hirshleifer, and A. Subrahmanyam. 1998. Investor Psychology and Security Market Underand Overreactions. The Journal of Finance, 53 (6), 1839-1885. Grinblatt, M. and M. Keloharju. 2001. How Distance, Language, and Culture Influence Stockholdings and Trades. The Journal of Finance, 56 (3), 10531073. Heath, C. and A. Tversky. 1991. Preference and Belief: Ambiguity and Competence in Choice under Uncertainty. Journal of Risk and Uncertainty, 4 (1), 5-28. Hirschey, M. and R. J. Nofsinger. 2008. Invesment: Analysis and Behavioral. New York: McGraw-Hill. Hong, H. and J. C. Stein. 1999. A Unified Theory of Underreaction, Momentum Trading, and Overreaction in Asset Markets. The Journal of Finance, 54 (6), 2143-2184. Hopfensitz, A. 2009. Previous Outcomes and Reference Dependence: A Meta Study of Repeated Investment Tasks with and without Restricted Feedback. Working Paper, Toulouse School of Economics. Huberman, G. 2001. Familiarity Breeds Investment. Review of Financial Studies, 14 (3), 659-680. Irshad, S., W. Badshah, and U. Hakam. 2016. Effect of Representativeness Bias on Investment Decision Making. Management and Administrative Sciences Review, 5 (1), 26-30. Jagongo, A. and V. S. Mutswenje. 2014. A Survey of the Factors Influencing Investment Decisions: The Case of Individual Investors at the NSE. International Journal of Humanities and Social Science, 4 (4), 92-102. Kahneman, D. and A. Tversky. 1979. Prospect Theory: An Analysis of Decision under Risk. Econometrica, 47 (2), 263-291. Khan, M. H. 2014. An Empirical Investigation on Behavioral Determinants of Perceived Investment Performance: Evidence from Karachi Stock Exchange. Research Journal of Finance and Accounting, 5 (21), 129-137.
157
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). 2016. Raih Rekor Baru, Jumlah Investor Tercatat Naik 26%. Diunduh tanggal 1 Januari 2017, http://www.ksei.co.id/files/uploads/pres s_releases/press_file/idid/121_berita_pers_raih_rekor_baru_ju mlah_investor_tercatat_naik_26_20160 815090837.pdf. Krejcie, R. V. and D. W. Morgan. 1970. Determining Sample Size for Research Activities. Educational and Psychological Measurement, 30 (3), 607-610. Landy, D. and H. Sigall. 1974. Beauty is Talent: Task Evaluation as a Function of the Performer’s Physical Attractiveness. Journal of Personality and Social Psychology, 29 (3), 299-304. Markowitz, H. 1952. Portfolio Selection. The Journal of Finance, 7 (1), 77-91. Mehmood, Y. and W. Hanif. 2014. Impact of Bullish and Bearish Market on Investor Sentiment. International Journal of Innovation and Applied Studies, 9 (1), 142-151. Nisbett, R. E. and T. D. Wilson. 1977. The Halo Effect: Evidence for Unconscious Alteration of Judgements. Journal of Personality and Social Psychology, 35 (4), 250-256. Nofsinger, J. R. 2005. Psychology of Investing, 2nd Edition. New Jersey: Precentice-Hall Inc. Odean, T. 1998. Are Investors Reluctant to Realize Their Losses? The Journal of Finance, 53 (5), 1775-1797. Odean, T. 1999. Do Investor Trade Too Much? The American Economic Review, 8 (5), 1280-1298. Onsomu, Z. N. 2014. The Impact of Behavioral Biases on Investor Decision in Kenya: Male vs Female. International Journal of Research in
Humanities, Arts and Literature, 2 (6), 87-92. Santrock, J. B. 2003. Adolescence: Perkembangan Masa Remaja, Edisi 6. Jakarta: Penerbit Erlangga. Schubert, R., M. Brown, M. Gysler, and H. W. Brachinger. 1999. Financial Decision Making: Are Women Really More Risk Averse? American Economic Review, 89 (2), 381-385. Sekaran, U. and R. Bougie. 2013. Research Methods for Business: A Skill Building Approach, 6th Edition. Chichester, UK: John Wiley and Sons. Shefrin, H. and M. Statman. 1985. The Disposition to Sell Winners Too Early and Ride Losers Too Long: Theory and Evidence. The Journal of Finance, 40 (3), 777-790. Shi, Z. and N. Wang. 2010. Don’t Confuse Brains with a Bull Market: Attribution Bias, Overconfidence, and Trading Behavior of Individual Investors. Paper presented at the European Finance Association (EFA) 2010 Meetings, Frankfurt, Germany. Shusha, A. A. and M. A. Touny. 2016. The Attitudinal Determinants of Adopting the Herd Behavior: An Applied Study on the Egyptian Exhange. Journal of Finance and Investment Analysis, 5 (1), 55-69. Strong, N. and X. Xu. 2003. Understanding the Equity Home Bias: Evidence from Survey Data. Review of Economics and Statistics, 85 (2), 307-312. Terrell, D. 1994. A Test of the Gambler’s Fallacy: Evidence from Pari-Mutuel Games. Journal of Risk and Uncertainty, 8 (3), 309-317. Tversky, A. and D. Kahneman. 1981. The Framing of Decisions and the Psychology of Choice. Science, 211, 453-458.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
158
LAMPIRAN: KUESIONER
I. PROFIL RESPONDEN Nama Responden : ___________________________________________________________ Jenis Kelamin : O Laki-Laki O Perempuan Umur : O 20-30 tahun O 31-40 tahun O 41-50 tahun O > 50 tahun Pengalaman Trading : O < 1 tahun O 1-3 tahun O 3-5 tahun O > 5 tahun Frekuensi trading dalam 1 minggu? O 1x seminggu O 2x seminggu O 3x seminggu O > 3x seminggu Kapan melakukan trading terakhir kali? O 1-3 hari yang lalu O 4-6 hari yang lalu O ≥ 7 hari yang lalu II. KUESIONER BIAS REPRESENTATIF (Bacalah narasi di bawah ini sebelum menjawab pernyataan-pernyataan yang diberikan!) Pasar modal yang mengalami uptrend seringkali dianggap lebih menguntungkan dibandingkan downtrend. Saat uptrend, investor berlomba-lomba melakukan trading untuk mendapatkan capital gain yang besar. Capital gain yang besar hanya bisa didapatkan melalui pengambilan keputusan buy, hold, dan sell yang tepat. Kuesioner ini ingin melihat gambaran perilaku investor pasar modal dalam mengambil keputusan trading saat kondisi pasar modal Indonesia mengalami fluktuatif, baik uptrend dan downtrend. Oleh karena itu, responden dimohon menjawab pernyataan-pernyataan di bawah ini sesuai dengan kondisi dirinya saat trading di pasar modal yang mengalami uptrend maupun downtrend. Bagaimana pemikiran dan keputusan yang Anda ambil? No. 1
2
3
4 5
Pernyataan STS Saat kondisi pasar modal mengalami downtrend dan saham saya telah mengalami kerugian, saya akan menahan saham tersebut karena saya yakin setelah harga saham mengalami penurunan beberapa kali, probabilitas kenaikan harganya akan lebih besar. Saat pasar modal sedang uptrend, saham yang termasuk dalam LQ45 belum tentu memberikan return yang lebih besar dibandingkan saham di luar LQ45. Walaupun kondisi pasar modal mengalami uptrend, saya enggan membeli saham-saham yang namanya belum pernah saya dengar. Saat pasar modal downtrend, perusahaan yang baik merupakan tempat investasi yang menguntungkan. Saat kondisi pasar modal mengalami uptrend, harga saham yang telah mengalami peningkatan pada periode sebelumnya dapat meningkat atau menurun dengan probabilitas yang sama pada periode
TS
R
S
SS
159
6
7
8
9
10
11
12
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2016, Vol. 13, No. 2, hal 142 - 159
berikutnya. Saat pasar modal domestik dan internasional sedang downtrend, saya akan melakukan diversifikasi investasi di pasar modal domestik dan internasional untuk meminimalkan kerugian dan risiko. Saat pasar modal sedang uptrend, saya yakin akan mendapat return saham yang tinggi sehingga saya akan trading lebih banyak. Saat kondisi pasar modal mengalami uptrend dan saham saya telah mendapatkan keuntungan beberapa kali, saya akan segera menjual saham tersebut karena saya yakin probabilitas penurunan harga saham menjadi lebih besar. Saat pasar modal domestik dan internasional sedang downtrend, saya menganggap lebih aman investasi di pasar domestik dibandingkan internasional. Saat pasar modal downtrend, perusahaan yang baik tidak selalu menjadi tempat investasi yang menguntungkan. Saat pasar modal mengalami uptrend, saya membeli saham-saham yang dapat memberikan return besar bagi saya walaupun awalnya saya tidak mengetahui nama perusahaan tersebut. Saat kondisi pasar modal mengalami downtrend, saya akan melakukan cut loss, hold, atau buy terhadap saham saya dan saya yakin probabilitas harga saham akan kembali naik atau turun adalah sama.
Keterangan: 1. STS : Sangat tidak setuju TS : Tidak setuju R : Ragu-ragu S : Setuju SS : Sangat setuju 2. Item nomor 1 dan 8 Item nomor 5 dan 12 Item nomor 4 dan 7 Item nomor 2 dan 10 Item nomor 3 dan 9 Item nomor 6 dan 11
: pernyataan terkait gambler’s fallacy dengan kalimat positif : pernyataan terkait gambler’s fallacy dengan kalimat negatif : pernyataan terkait halo effect dengan kalimat positif : pernyataan terkait halo effect dengan kalimat negatif : pernyataan terkait familiarity effect dengan kalimat positif : pernyataan terkait familiarity effect dengan kalimat negatif