2 DUA
Dalam
aula gelap, Jung-Ah berjalan terus. Tak ada yang nampak di penglihatannya. Bahkan setitik cahaya pun makin lama malah semakin memudar. Jung-ah bingung, di tempat yang begitu gelap seperti ini ke arah mana ia harus pergi pun ia tak tahu. Tak lama ia mendengar suara, jauh sekali. “Han Jung-ah~ssi, hanya tinggal selangkah lagi. Tolong bantu aku maka aku akan membantumu.” Jung-ah diam. Ia menelan ludahnya gugup. “Nugu-seyo—siapa kau?” ia terus saja berjalan, berharap dapat menemukan sumber suara itu. “Aku yang akan merubahmu.” Jung-ah tak menggubris. Ia harus mencari siapa orang itu. Terus saja ia berjalan di tengah gelap gulita. Lama kelamaan nampak sesuatu di ujung menghalangi sepercik cahaya yang mencoba masuk ke dalam tempat Jung-ah berada. “Nugu-seyo?” lagi, kembali gadis itu mempertanyakan identitas si pemilik suara. Tak ada respon. Untuk beberapa saat tidak ada suara apapun. Anehnya, sudah terasa lama sekai Jungah berjalan namun sosok itu masih belum dapat ia jangkau. “Jung-ah~ssi.” “Han Jung-ah.” “Jung-ah, inilah waktunya!!” “YAK!! HAN JUNG-AH!!”
Jung-ah segera bangkit dari tempat tidurnya. Suara Hye-bin mampu membuatnya terpental dari alam bawah sadar. “Cepat bersiap, kita akan segera meninggalkan Bucheon dan kembali ke Seoul.” *** Paman Go sudah tak kuasa lagi menahan serangan serdadu musuh, sepanjang jalan ia benarbenar tidur bahkan seperti mati suri. Hye-bin yang duduk disebelahnya mau tak mau harus rela menahan bobot kepala paman Go di pundak runcingnya meskipun beberapa kali ia menghindar, tapi akhirnya ia juga menyerah. Tak tega juga kalau sampai Hye-Bin mengorbankan wanita polos seperti Jung-ah untuk bertukar posisi duduk di belakang. Sementara itu JungAh duduk bersebelahan dengan Yo-Geum, dimana lagilagi hubungan mereka seperti seseorang yang berada di tengah badai salju, dingin, dan duduk di gurun yang gersang, kurang lebih seperti itu. Jung-Ah terus menyandarkan kepalanya pada kaca mobil, ia baru sadar kalau hari ini cuaca cukup cerah, dan ia juga baru sadar kalau bajunya belum diganti sejak kemarin karena instruksi dadakan ia bahkan tak menyiapkan apa-apa. Dompetnya saja hampir ketinggalan, apalagi mempersiapkan hal lain. Di dalam pikirannya hanya ada peristiwa tadi malam, suara apa yang menghampiri mimpinya, siapa yang berdiri di pintu itu, dan apa arti mimpinya. Jung-ah hanya menebak-nebak saja. Ia menaikkan kaca mata bundar lensa tebalnya, merapatkan tangannya menghalau rasa dingin yang tiba-tiba datang dan pergi. Perlahan, kantuk tak bisa dielakkan. Jung-ah tertidur. Hanya saja ketika ia kembali mulai memasuki alam bawah sadar, kejadian serupa kembali
menghampirinya. Kali ini agak samar. Jung-ah ketakutan sendiri. Ia tak kuat lagi memaksa kakinya untuk melangkah. Suara yang memanggilnya semakin besar namun semakin membuat Jung-ah tak bisa bergerak. Sebelum ia tidur lebih dalam, Jung-ah segera terbangun. Memikirkan itu membuat ia mengetuk kepalanya beberapa kali. Tak sengaja matanya menangkap kotak hitam yang diambilnya kemarin. Sebuah peninggalan sejarah yang ia sendiri tidak tahu benda apa yang ada di dalamnya. Jung-ah melirik. Yogeum, pria itu tidur damai dengan headphone yang menutupi telinganya. Melihat dua objek tersebut bergantian, membuat Jung-ah berpikir, kalau keduanya tak ada beda, antara kota dan Yo-Geum adalah samasama misterius. *** “Han Jung-ah~ssi, tolong kau bawakan tasku ya?” “Jung-ah~ya jangan lupa peralatan di mobilku!” “Han Jung-ah, ingat janjimu kemarin untuk memfotokopi berkas di meja kerjaku.” “Han Jung-ah, apa kau sudah membeli kopi pesananku?” Jung-ah menghela napas. Sekali dua kali ia masih bisa tahan, tapi jika harus menanggung ini selamanya mungkin saja ia akan putus asa dan berujung pada tindakan gegabah. Bunuh diri. Di depan mesin fotokopi ia menggumam, kalau memang seandainya ia bisa memilih maka Jung-ah tak akan pernah memulai semuanya. DRRRT.. DRRRT
Keadaan memang tak pernah berpihak padanya. Lihat saja! ditengah kekesalan atas dirinya sendiri, bahkan benda matipun malah mengerjainya. Mesin fotokopi rusak. Jung-ah semakin geram. “BUKK!!” ia menendang bagian bawahnya hingga penutup mesin lepas dan bagian dalam menjulur keluar. Jung-ah kaget. Ia segera berjongkok. “Aigoo-ya ampun!! Bagaimana kalau tuan HwiJae tahu?” “Kenapa?” Jung-ah membeku. Yang dipanggilnya datang. Ia berdiri dari balik mesin dengan kaki tepat menghimpit menyembunyikan akibat dari perbuatannya. “Eh.. Eobseoyo—tidak ada.” Jawabnya diselingi cengiran lebar. “Apa yang kau sembunyikan hemh?” Hwi Jae mengangkat wajahnya. Ia mendekat tapi raut wajahnya seperti ingin mengerjai Jung-ah yang gelagapan. “Tidak..tidak ada apapun.” Hwi Jae tak menggubris. Setelah berjalan memutar. Trekk.. kaki Jung-ah bergerak membuat penutup tadi jatuh menghujam lantai, isi kertas di dalamnya berantakan. Bukannya marah, Hwi-Jae malah tertawa. Sambil menggaruk hidungnya, ia berkomentar “Astaga.. bagaimana aku merapikannya?” ujarnya agak bergurau. Ia segera menghampiri Jung-ah, kemudian ikut berjongkok di sampingnya. Tak sengaja tangan keduanya bersentuhan. Jung-ah segera menarik tangannya. Sesaat jantungnya berdegup, sesaat kemudian napasnya sesak, setelah itu keringat dingin mulai mengalir. Jung-ah jatuh cinta. Tak bisa dirinya menampik perasaan itu.
“Tugasmu itu hanya membuat salinan lembaran ini, bukan memperbaiki mesinnya sekalipun kau yang merusaknya.” Lembut sekali Hwi-Jae berbicara. Jungah semakin merasa tak berpijak. *** Malam-malam Jung-Ah belum pulang, masih banyak tugas sampingan yang mesti ia kerjakan tidak lain adalah mengerjakan milik orang lain. Sebelum memberi sebuah keputusan, tangannya bergerak membuka benda yang diambil dari Bucheon kemarin. “Kalau aku sampai membukanya dan mengetahui isinya seorang diri saja, apa aku akan dianggap sebagai pengkhianat dalam profesiku?” Jungah tak bisa diam. Pikirannya tak mau berhenti membayangkan beberapa hal dan yang paling irrasional adalah mengangankan berada di sisi atasannya HwiJae. Kembali Jung-ah menangkupkan wajahnya di atas meja, membuat napasnya tersengal sendiri, begitulah cara ia menghukum diri saat dirasa keluar batas. “Maldo andwaeeeee!!!!” jeritnya dalam himpitan map. Jung-ah segera melepas benda yang membekapnya. Napasnya terengah-engah. “Kenapa aku berani sekali?” Jung-ah merutuk dirinya sendiri. Dahinya berkeringat. Ekor matanya melirik kaku ke arah jam, pukul 2 malam dan ia masih harus berkutat dalam runtutnya tugas. Jung-ah mengambil kacamata bulatnya yang baru diganti 2 minggu lalu, Ia duduk termenung di depan monitor yang sedang melakukan proses booting. Tatapannya kosong, rambut keritingnya dibiarkan mengembang seperti mie ramen, tak berapa lama pikirannya untuk berbagi benda yang ada di dalam kotak hitam persegi kian mengepung. Bahwa setelah kejadian tadi siang, Jung-ah tak sepantasnya
menyembunyikan ini. Tangannya lantas bergerak meraih kotak itu. Untuk beberapa saat Jung-ah memperhatikannya hingga kemudian tekad untuk membeitahu Hwi-Jae pun muncul. Hanya saja pesan dari Yo-Geum tak bisa ia acuhkan ketika pria itu menganjurkan dirinya untuk menyimpan benda itu seorang diri, disamping ia dan Hye-Bin yang tahu masalah ini. Tak tahu makna apa yang ada dibalik peringatan Yo-Geum, Jung-ah benar-benar tidak ingin ikut campur karena pribadi pria itu saja sudah sulit sekali ditebak. Beberapa waktu Jung-ah yang berniat untuk berselancar di komputer dan mengerjakan arsip data yang dikumpulkannya sebulan terakhir, justru sebaliknya perempuan itu sudah tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya agar tetap diam. Perlahan tangannya bergerak menyusuri bagian empat sisi kotak hitam itu, tapi ia tak bisa menemukan kail pembuka. Warna kotak itu memang sudah pudar termakan usia. Berdasarkan pengalaman, Jung-ah sudah bisa menebak berapa usia persisnya. Lebih dari 400 tahun. Ia menggoyang-goyangkan kotaknya. Tak ada suara. Jung-ah memicingkan matanya, mengamati tekstur sampulnya. Polos saja, tak ada simbol yang berarti. Ia bertanya-tanya sendiri. Pada akhirnya kedua tangan Jung-ah memegang kedua bagian sisi dan kanan dan Trek kotak itu menggeser ke bagian sisi dan kanan. Jung-ah menganga tak percaya. “Unik sekali.” Gumamnya. Bibir Jung-ah tersungging puas. Rasa-rasanya ia tak sanggup untuk menahan kakinya untuk berlari menemui Yo-geum, memberitahu apa isi kotak yang lebih dari 30 menit ia ekskavasi dari dalam tanah selain tembikar itu.
“Hanya jam pasir?” gumamnya mengeluarkan benda itu dari dalam kotak. Jam pasir berbentuk setengah cembung. Rasa kecewa tersirat di raut wajahnya. “Menghabiskan waktu 30 menit hanya untuk ini? menyedihkan sekali! Aku rasa ini bukan peninggalan sejarah, tapi memang ada orang lain yang sengaja meninggalkannya.” Ia frustrasi sendiri lalu membalik bagian tabungnya yang kosong dan meletakkan benda itu di atas meja. Sambil menangkupkan wajahnya Jung-Ah memperhatikan butiran pasir yang tampak jatuh sangat lambat. “Aigoo..” Jung-ah mendecak. Seperti dihipnotis, semakin ia memerhatikan butiran pasir itu, semakin ia merasa mengantuk. Perlahan matanya terlelap. Perlahan ia mulai memasuki alam bawah sadarnya. Tanpa bisa menolak lagi, Jung-ah kali ini benar-benar tertidur. Entah kenapa indera penciuman dan penglihatannya semakin tajam. Lagi, ia kembali berada di tempat tak dikenal itu. Dengan bebauan bunga krisan, Jung-ah mulai menjelajah. Jika kemarin malam ia hanya memimpikan aula nan gelap tanpa ada penerangan, sekarang tempat itu sudah disinari cahaya redup namun fokusnya tepat menghujam pada objek yang membelakanginya. Jungah berjalan mengendap, tapi entah kenapa permukaan lantainya merekatkan kedua kaki Jung-ah. Tubuhnya pun tak bisa bergerak. Objek itu mendekat seperti kilatan cahaya danWussh.. tubuhnya terjungkal. BRUKK!! Jung-ah membuka matanya. Jantungnya naik turun, nafasnya menderu, keringat dingin bercucuran. Ia amat terkejut dan baru sadar kalau itu hanyalah sebuah mimpi. Sedetik.. dua detik.. Jung-ah segera
sadar dan bangkit, namun saat ia berbalik seorang wanita tengah berdiri di depannya dengan sorot mata menikam. Dalam sinar temaram Jung-Ah dapat melihat kalau orang itu sedang berada di puncak emosi. JungAh segera bangun, merapikan sebisa mungkin. “Aku memerlukan rancangan itu esok pagi, tapi yang kau lakukan hanya tidur disini. Sebenarnya kau itu berguna atau tidak sih?” kalimat yang keluar seperti tanpa beban, padahal yang ia lakukan adalah mengerjai Jung-Ah. “Pikirkanlah! Jika kau jadi aku!” jari telunjuknya bergerak mendorong kening Jung-Ah berkali-kali. “Kau itu hanya pegawai lepas, tugasmu tidak dituntut oleh aturan perusahaan, dan kehidupanmu bukanlah pusat perhatian banyak orang. Kau tak harus bekerja keras sepertiku. Wanita bodoh sepertimu hanya layak menjadi budak. Jadi jangan pernah berpikir untuk mengambil simpati atasanmu dengan tindakan menggelikan.” “Tapi aku juga punya mimpi.” Jung-Ah menjawab meski sambil menunduk. “Dan aku berhak mewujudkannya.” Bibir wanita itu tersungging. Ia kesal. Setelah sekian lama menjadikan Jung-Ah seorang budak, inilah kali pertama gadis itu melakukan protes. PAKK Sebuah tamparan mendarat halus di pipi JungAh membuat wanita tadi tersenyum puas. “Begini lebih baik.” Gumamnya berlalu pergi tanpa memikirkan perasaan Jung-Ah sedikitpun. Seseorang telah memfitnahnya hingga membuat Jung-Ah harus bekerja lembur malam ini. Setelah disambar sebuah tamparan, dirinya benar-benar terpukul. Di rumah, sang ibu seringkali memarahinya,
padahal itu adalah tabiat sang ibu bukan karena merasa dianiaya karena telah dianugerahi seorang puteri tanpa keunggulan ini, tapi justru Jung-Ah memandangnya dalam segi negatif. Sudah tak kuasa, ia perlu melakukan sesuatu agar semuanya berhenti. Di tengah penerangan yang buruk, Jung-Ah mulai bekerja. Pipi sebelah kanannya masih panas. Ia menangis hingga tersedu. Hidup bagaikan mati, matipun tak ada yang tahu. Perumpamaan itu dipegangnya erat-erat. Baginya itu adalah sebuah pilihan. Dan apakah JungAh perlu untuk memilih salah satunya? Membuat sebuah kehidupan baru yang mungkin akan jauh lebih baik dari sekarang. Ia merasa tak berguna. Kalaupun harus terus mengalah sebenarnya ia rela saja, tapi sekarang sudah terlambat. Jung-ah telah berada di ambang keputusasaannya sebagai seorang manusia. “Aku begitu mencintai profesiku. Meskipun tak ada yang peduli bagaimana aku hidup.” Ia menggumam. Ia bicara dengan nada melamun. Benda itu bertengger di sana tanpa kejanggalan. Air matanya bergulir. Jung-Ah membenturkan kepalanya di meja kayu. Sudah terlalu putus asa, maka yang paling lama melintas dipikirannya adalah bagaimana perempuan itu dapat menghentikan semua hal. Ia bangun. Dengan napas berat Jung-Ah mengayun langkahnya hingga tiba di puncak tertinggi gedung tempatnya bekerja. Tak peduli bagaimana angin musim dingin memeluk erat kulitnya hingga membekukan tulang dan membuat ia kebas seketika. Dalam setiap derai air mata, Jung-Ah menyematkan sebuah harapan, bahwa tak akan ada lagi wanita lain yang bernasib sama seperti dirinya. Cukup ia yang merasa. Jung-Ah berdiri
di bagian paling atas dan paling ujung. Melalui tatapan kosong ia melihat lampu-lampu yang teredam suasana malam tampak begitu memilukan. Sama seperti hatinya yang kosong. Jung-Ah menangis dalam sepi. Dadanya sesak dan sakit. Ia akan memutuskannya, melompat dari atas gedung dan mengakhiri segala penyiksaan disana. Bahkan untuk detik terakhir saja ia tetap menguatkan diri agar berani mengambil tindakan. Perlahan langkah kakinya yang berat bergerak menepi. Ia gugup. Satu detik, dua detik, angin meniup kuat di telinganya. Tiga detik, ia berhenti, menghirup napas kuat-kuat tapi justru malah membuat paru-parunya beku. Hingga beberapa saat kemudian, pada saat ia sudah siap melayangkan diri dari sana... “HENTIKAN?!” “Apa yang sedang anda lakukan?” Seseorang berseru seperti tengah memberi arahan pada armada perang. Tapi entahlah suara itu, seperti pernah didengarnya. Jung-Ah yakin bukan dalam keseharian ia mengenal suara itu, justru dalam mimpi yang baru-baru ini mendatanginya. Ia segera berbalik—memastikan. “HUWAAAAAA!!!!!!!” “AAAAAAAAAA!!!!!!” Suara Jung-ah berlarian kemana-mana, hingga ke lantai dasar. Seorang pria berdiri di depannya. Entah darimana ia berasal, tapi akibat penampilannya yang begitu mencengangkan membuat Jung-ah terkejut dan berteriak sejadi-jadinya. Ia hampir saja terpeleset saat secara simultan pria aneh itu bergerak gesit untuk menarik dan menangkap wanita itu hingga keduanya terjatuh. Bukan
dirinya yang terluka karena tertimpa tubuh Jung-Ah, justru sebaliknya. Gadis itu tak sadarkan diri. ***