J. Lignocellulose Technol. 01 (2016), 43-50
Journal of Lignocellulose Technology Journal homepage: http://jlignotech.biomaterial.lipi.go.id/
Article
Modification of palm oil empty fruit bunches biosorbent using egg shells for phenol sorption Mamay Maslahat1*, Mediagmi Paramitha1, Supriyono Eko Wardoyo1 1PS
Kimia FMIPA Universitas Nusa Bangsa Bogor, Jl. KH. Sholeh Iskandar KM 4 Cimanggu Tanah sareal Bogor *Corresponding
author:
[email protected]
Received: 1 December 2016. Received in revised form: 15 December 2016. Accepted: 15 December 2016. Published online: 23 December 2016
Abstract Palm oil empty fruit bunches (OPEFB) is the largest solid waste produced by the palm oil Industry. It accounts of 23% of fresh fruit bunches. The major component of palm oil waste are lignin and cellulose, which has potential used as a natural biosorbent for the recovery of phenol waste. Phenol is an organic material which widely used in the plastics industry, lubricants, paints, pharmaceuticals, herbicides, and resin. Phenol is classified as one of the most toxic industrial pollutants. Phenol contamination in low concentration causes water pollution and hazardous to human health. The purpose of study was to use the OPEFB as biosorbent and to investigate its potential in the sorption of phenol. The biosorbent was modified with egg shells (BMC) to increase high sorption power of the phenol. The stages of research were biosorbent production, impregnation using NaOH, modification using egg shells, water analysis content, active functional group analysis using IR spectrophotometer, determination of maximum wavelength and optimum sorption condition. Optimum sorption condition were time of sorption, biosorbent weights, pH and the concentration of phenol. The result showed the biosorbent modified egg shell can be used to absorb phenol. The adsorption capacity of BMC and pH were 1476.046 g and <3, respectively. They were appropriate to the Langmuir isotherm equation. Keywords : BMC; fenol waste; functional groups; langmuir isotherm equation;oil palm empty fruit bunches
Pendahuluan Peningkatan pertumbuhan sektor agroindustri kelapa sawit diikuti oleh dampak lingkungan akibat dihasilkannya limbah cair, gas dari kegiatan perkebunan maupun pabrik kelapa sawit. Oleh karena itu, pencegahan dan penanggulangan dampak negatif dari kegiatan perkebunan kelapa sawit amat penting untuk dilakukan. Perkebunan kelapa sawit menghasilkan limbah padat berupa batang dan pelepah sawit. Sedangkan proses pengolahan
tandan buah segar (TBS) dihasilkan limbah berupa tandan kosong, serat, cangkang, kernel cake, dan POME. Pemanfaatan limbah pelepah dan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) sejauh ini belum maksimal, yakni digunakan umumnya untuk pupuk, arang, pulp kertas, papan partikel, dan pakan ternak (Indriyati, 2008). Salah satu pemanfaatan limbah TKKS lain yang berpotensi dikembangkan adalah sebagai biosorben.
43
TKKS merupakan limbah padat terbesar yang dihasilkan oleh industri kelapa sawit yaitu berkisar 23% dari tandan buah segar (TBS), sehingga ketersediaannya melimpah (Indriyati, 2008). Komponen utama dari limbah kelapa sawit berupa lignin dan selulosa sehingga limbah ini disebut sebagai limbah lignoselulosa (Darnoko et al., 1995). Selulosa adalah polisakarida berantai lurus yang mengandung lebih dari 1000 unit glukosa, terikat oleh ikatan beta 1,4 glikosida, dan dapat didegradasi menjadi senyawa C sederhana. Sedangkan lignin merupakan senyawa yang sulit untuk didegradasi (Orth, Royse and Tien, 1993). Dilihat dari strukturnya, selulosa memiliki banyak gugus hidroksil (OH), sehingga dapat digunakan sebagai penjerap yang potensial. Dengan adanya gugus OH ini, selulosa baik digunakan sebagai penjerap zat yang bersifat polar.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, biosorben TKKS terimpregnasi basa dan biosorben cangkang telur terbukti mampu digunakan sebagai biosorben fenol (Lestari, 2011). Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian mengenai potensi dan optimasi sorpsi biosorben TKKS modifikasi cangkang telur terhadap recovery limbah fenol. Bahan dan Metode Alat dan bahan Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian yaitu Spektrofotometer VIS Genesys 20, Spektrofotometer IR, oven Memmert UL50, Neraca analitik, pH meter Eutech Instruments pH 510, dan seperangkat alat gelas. Bahan-bahan yang digunakan yaitu, serbuk TKKS dari PT Perkebunan Nasional Kelapa Sawit VI, Cimulang berukuran 200 mesh, bubuk cangkang telur ayam berasal dari limbah rumah tangga di Bogor berukuran 100 mesh, NH4Cl p.a, NaOH p.a, Fenil alkohol p.a, Kloroform p.a, 4-aminoantipirin 2 %, Kalium Ferrisianida 8%, Natrium Sulfat p.a, Ammonium Hidroksida.
Telur merupakan salah satu jenis bahan makanan yang sering dikonsumsi oleh manusia. Konsumsi telur memberikan hasil samping berupa limbah cangkang telur. Limbah cangkang telur selama ini hanya dianggap sebagai sampah, dan belum banyak diolah secara maksimal. Selama ini cangkang telur hanya dimanfaatkan sebagai pakan unggas, dan baru beberapa industi kecil yang memanfaatkan limbah cangkang telur sebagai bahan baku kerajinan tangan (handicraft). Cangkang telur memiliki kadar kalsium yang cukup tinggi. Dengan demikian, cangkang telur memiliki potensi untuk menjadi penjerap atau sorben.
Metode Penelitian ini terdiri atas beberapa tahap yaitu preparasi sampel tandan kosong kelapa sawit (TKKS) menjadi biosorben, selanjutnya disebut Biosorben Tanpa Modifikasi (BTM). Pembuatan biosorben terimpregnasi basa (BTB) dengan mereaksikan larutan 2 liter NaOH 0,1 N dengan 100 g BTM dengan proses perendaman. Preparasi biosorben cangkang telur (CT) dan pembuatan biosorben modifikasi cangkang telur (BMC) dengan cara mencampurkan antara biosorben terimpregnasi basa (BTB) dengan bubuk cangkang telur pada perbandingan 1:1. Sampel biosorben modifikasi ini selanjutnya disebut sebagai biosorben modifikasi cangkang telur (BMC)
Biosorben yang berasal dari limbah TKKS dapat digunakan untuk pengolahan limbah hasil industri, yaitu limbah fenol (Lestari, 2011). Fenol digolongkan menjadi bahan beracun dan berbahaya (B3), karena bersifat korosif terhadap kulit, beracun, dan karsinogenik, yang jika tidak ditangani akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Environmental Protection Agency (EPA) menyatakan konsentrasi fenol yang diizinkan dalam air minum sebesar 0,002 ppm. Penggunaan biomassa seperti TKKS untuk proses sorpsi bukan hanya menguntungkan secara ekonomis, tetapi juga mendukung prinsip zero-waste, khususnya untuk industri- industri yang menghasilkan biomassa sebagai hasil samping.
Analisis BMC meliputi penentuan kadar air biosorben, penentuan panjang gelombang maksimum dan kalibrasi fenol, dan optimasi kondisi sorpsi. Parameter optimasi terdiri atas waktu kontak, berat BMC, pH sorpsi optimum, konsentrasi fenol (sebagai adsorbat). Adapun penghitungan kapasitas adsorpsi, konsentrasi fenol berdasarkan persamaan 1 dan 2.
44
Rumus-rumus perhitungan
permukaan biosorben dapat memungkinkan adsorpsi terjadi di lebih banyak tempat pada permukaan biosorben. Jumlah permukaan biosorben yang meningkat akan meningkatkan jumlah adsorbat yang terjerap.
Kapasitas adsorpsi (Q) π=
π (πΆπβπΆπ) π
β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦.(1)
Q
= Kapasitas adsorpsi per bobot biosorben (ΞΌg/gram bioremoval) V = Volume larutan (ml) Co = Konsentrasi awal (ppm) Ca = Konsentrasi akhir (ppm) m = Bobot biosoren (gram)
Impregnasi basa Proses impregnasi bertujuan untuk menghilangkan senyawa lignin dari TKKS. Menurut Nevvel dan Zerronian (1985) dalam Darnoko et al. (1995) lignin senyawa polimer aromatik komplek yang terbentuk melalui proses polimerisasi tiga dimensi dari sinapil alkohol yang merupakan turunan dari fenil propana. Adanya ikatan aril eter menyebabkan lignin mudah dihidrolisis oleh basa. Adanya lignin akan menghambat proses penyerapan fenol oleh biosorben.
Konsentrasi fenol ppm Fenol(setimbang) =
π΄ πππππ
Γ ππ................(2)
A = Absorbansi Fp = faktor pengenceran Hasil dan Pembahasan
Kadar air biosorben
Preparasi sampel
Analisis kadar air dilakukan terhadap Biosorben Tanpa Modifikasi (BTM), Biosorben Terimpregnasi Basa (BTB), biosorben Cangkang Telur (CT), dan Biosorben Modifikasi Cangkang (BMC) telur (Tabel 1).
Limbah TKKS yang digunakan adalah limbah yang masih segar dan belum ditumbuhi jamur dan sebaiknya memiliki kadar air kurang dari 10%. Beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan agro-waste sebagai biosorben, ukuran partikel yang digunakan yakni 100 mesh. Pada penelitian ini, ukuran partikel diperkecil menjadi 200 mesh dimaksudkan agar diperoleh luas permukaan adsorpsi yang lebih besar.
Tabel 1. Hasil Analisis Kadar Air Biosorben Biosorben Kadar Air (%) BTM 13,50 BTB 7,12 CT 0,82 BMC 3,93
Limbah cangkang telur yang digunakan diperoleh dari limbah rumah makan dan rumah tangga. Limbah cangkang telur yang digunakan pun merupakan limbah baru, yang belum menghasilkan bau busuk. Cangkang telur yang telah dicuci bersih dikeringkan, kemudian digiling hingga berukuran 100 mesh (Arunlertaree et al., 2007). Selanjutnya bubuk cangkang telur 100 mesh ini kemudian dikeringkan hingga bebas air dengan kadar air sebaiknya kurang dari 10%.
Kadar air biosorben berpengaruh pada penyimpanan biosorben sehingga biosorben tidak mudah rusak. Biosorben berbasis selulosa akan mudah ditumbuhi jamur dengan kadar air yang tinggi. Standar maksimum untuk biosorben asal TKKS ataupun cangkang telur sejauh ini belum ada. Oleh karena itu, standard kadar air biosorben BMC mengacu pada kadar air maksimum dari karbon aktif yakni sebesar 15%. Hasil kadar air biosorben dibawah 15%.
Penentuan ukuran partikel biosorben dilakukan agar sampel yang digunakan seragam. Hal ini karena dalam proses sorpsi padatan-cairan ukuran partikel sangat mempengaruhi kapasitas adsorpsi. adsorpsi dipengaruhi oleh ukuran pori dan luas permukaan adsorben (Lynch, 1990). Luas permukaan adsorben dapat diperbesar dengan cara pengecilan ukuran partikelnya. Semakin kecil ukuran partikel akan memperluas permukaan biosorben sehingga ketersediaan sisi aktif biosorben akan meningkat. Bertambahnya sisi-sisi aktif dari
Sisi aktif biosorben Sampel Biosorben Tanpa Modifikasi (BTM), Biosorben Terimpregnasi Basa (BTB), biosorben Cangkang Telur (CT), dan Biosorben Modifikasi Cangkang (BMC) telur setelah dihaluskan, kemudian dianalisis gugus fungsional aktifnya dengan menggunakan spektrofotometer IR. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui sisi aktif dari biosorben yang digunakan (Gambar 1, 2, 3 dan 4).
45
Gambar 1. Spektrum Infra Merah Biosorben TKKS (BTM)
Gambar 2. Spektrum Infra Merah Biosorben Terimpregnasi Basa (BTB)
Gambar 3. Spektrum Infra Merah Serbuk Cangkang Telur (CT)
46
Gambar 4. Spektrum Infra Merah Biosorben Modifikasi dengan Cangkang Telur (BMC)
Hasil interpretasi terhadap spektrum infra merah TKKS memperlihatkan adanya puncak serapan pada daerah 3500-3200 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus hidroksil. Pada daerah 3300-3000 cm-1 terjadi penyerapan yang kuat yang menunjukkan adanya regangan C-H aromatik, didukung dengan adanya serapan pada daerah 1650-1500 cm-1 yang merupakan spektrum pendukung untuk mengidentifikasikan senyawa aromatik, puncak serapan juga ditunjukkan pada daerah 850 - 650 cm-1 yang merupakan regangan Ar-H. Serapan yang cukup kuat juga ditunjukkan pada daerah 1900-1650 cm-1 yang merupakan regangan aldehida. Gugus OH dapat diidentifikasikan sebagai senyawa polisakarida seperti selulosa yang merupakan susunan terbesar dari TKKS. Terdapat senyawa aromatik yang kemungkinan besar menunjukkan adanya senyawa lignin (Gambar 1).
adanya puncak penyerapan yang signifikan pada 1500β1400 cm-1 yang berasosiasi dengan kuat atas keberadaan mineral karbonat pada matriks cangkang telur (Gambar 3). Hal ini sesuai dengan Ghazy et al. (2008) yang menyatakan puncak serapan pada sekitar 2500 cm-1 dan 1810 cm-1 menunjukkan keberadaan kalsium karbonat. Selain itu pada spektrum tampak bahwa terdapat puncak serapan di sekitar 715 cm-1 dan 875 cm-1 yang masing-masing merupakan pendukung untuk keberadaan kalsium karbonat. Sedangkan pada panjang gelombang 3500 -3200 cm-1 dan 1650 cm-1 yang masing-masing merupakan regangan NH dan βNH-C=O. Hal ini menunjukkan bahwa cangkang telur pun tersusun atas zat organik, yakni membran cangkang telur. Membran cangkang telur ini tersusun dari sejumlah material organik diantaranya kolagen, asam hianulorik, asam amino, dan polipeptida (Yoo et al., 2009). Keberadaan struktur porous alami dan permukaan berporinya yang luas, limbah cangkang telur yang benyak mengandung kalsium mudah untuk digiling dan dihaluskan menjadi bubuk, yang kemudian dapat dimanfaatkan sebagai adsorben yang baik yakni berupa porous adsorbent (Elwakeel and Yousif, 2010).
Berdasarkan analisis dengan spektrofotometer inframerah, spektrum biosorben BTB memiliki spektrum yang tidak jauh berbeda dengan TKKS tanpa impregnasi (BTM). Terlihat puncak serapan pada daerah 3400-3300 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus hidroksil. Pada daerah 3000-3300 cm-1 terjadi penyerapan yang kuat yang menunjukkan adanya regangan C-H aromatik, didukung dengan adanya serapan pada daerah 1650-1500 cm1 yang merupakan spektrum pendukung untuk mengidentifikasikan senyawa aromatik, dan pada daerah 1500-1900 cm-1 terjadi penyerapan yang menunjukkan adanya regangan aldehid (Gambar 2).
Interpretasi spektrum infra merah terhadap biosorben BMC terlihat puncak serapan pada 3400β3300 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus hidroksil. Terdapat pula regangan pada 3300-3000 cm-1- yang merupakan regangan C-H aromatik, dan didukung oleh puncak serapan pada 1650-1500 cm-1. Ketiga spektrum ini diperoleh dari TKKS. Sedangkan cangkang telur memberikan puncak serapan pada 1500 - 1400 cm-1 yang
Interpretasi spektrum infra merah pada sampel cangkang telur memperlihatkan
47
menunjukkan keberadaan mineral karbonat, dan didukung oleh puncak serapan pada 715 cm-1 dan 875 cm-1 (Gambar 4). Berdasarkan hasil interpretasi spektrum infra merah dari biosorben BMC, fenol yang memiliki gugus O-H diduga akan berikatan secara kimiawi dengan gugus O-H pada selulosa yang berasal dari BTB. Selain itu, fenol akan mengisi pori-pori kosong yang terdapat pada biosorben yang berasal dari cangkang telur, dan berikatan secara fisik.
Gambar 6. Berat Optimum Adsoprsi Fenol oleh BMC
Panjang gelombang (ο¬) maksimum fenol Panjang gelombang maksimun untuk fenol berada pada 454 nm. Panjang gelombang ini yang digunakan untuk penentuan konsentrasi fenol selanjutnya. Panjang gelombang yang diperoleh ini sesuai dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2011) yaitu pada panjang gelombang 454 nm, dan Ozkaya (2006) dengan panjang gelombang sekitar 500 nm. Selain menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang visibel, fenol dapat dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer UV, dengan panjang gelombang sekitar 270 nm (Qadeeret al., 2005). Kurva penentuan panjang gelombang maksimum fenol dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 7. Waktu Optimum Adsorpsi Fenol oleh BMC
Gambar 8. pH Optimum Adsorpsi Fenol oleh BMC
Gambar 5. Panjang Gelombang (ο¬) Maksimum Fenol
Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu optimum penyerapan fenol oleh biosorben BMC terjadi pada menit ke 40 (Gambar 7), dengan nilai kapasitas adsorpsi (Q) sebesar 278,735 Β΅g fenol/g biosorben. Nilai kapasitas adsorpsi semakin meningkat dari menit ke 5 hingga menit ke 30. Peningkatan kapasitas adsorpsi ini terjadi karena adanya pembukaan tapak aktif yang lebih besar sehingga adsorben lebih banyak menyerap adsorbat, dan pada menit ke 40 terjadi adsorpsi fenol maksimum. Setelah mencapai waktu adsorpsi maksimum, kapasitas adsorpsi cenderung semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh jumlah
Kondisi optimum adsorpsi fenol oleh biosorben Parameter yang dianalisis pada penentapan kondisi optimum adsorpsi fenol oleh BMC terdiri atas waktu, berat biosorben, dan pH optimum. Lamanya proses adsorpsi ditentukan berdasarkan kapasitas adsorpsinya selama rentang waktu tertentu. Saat kapasitas adsorpsi mencapai nilai maksimum, maka lamanya proses adsorpsi tersebut diambil sebagai waktu optimum adsorpsi (Gambar 6, 7, dan 8).
48
biosorben yang berikatan dengan adsorbat sudah dalam keadaan jenuh, sehingga apabila ditambahkan waktu adsorpsi yang berlebih akan menyebabkan terjadinya proses desorpsi atau pelepasan kembali antara biosorben atau pelepasan kembali antara biosorben dan adsorbat.
Isoterm adsorpsi Tipe isoterm adsorpsi dapat digunakan untuk mempelajari mekanisme penjerapan. Adsorpsi pada fase padat-cair umumnya mengacu pada tipe isoterm Langmuir dan Freundlich (Atkins, 1999). Biosorben BMC memberikan linearitas 0,9994 untuk isoterm Langmuir dan 0,9951 untuk isoterm Freundlich (Gambar 9 dan 10). Adsorpsi fenol oleh biosorben BMC mengikuti persamaan isoterm Langmuir, karena linearitas untuk isoterm Langmuir lebih besar dibandingkan dengan isoterm Freundlich.
Pada sampel BMC, kapasitas adsorpsi optimum diperoleh dengan bobot biosorben sebanyak 0,05 g yakni sebesar 958,891 Β΅g/g. Penambahan biosorben lebih dari 0,05 g tidak memberikan peningkatan kapasitas adsorpsi tehadap fenol, justru terjadi penurunan kapasitas adsorpsi. Kapasitas adsorpsi dapat dipengaruhi oleh pH larutan. Hal ini diperlukan untuk keakuratan parameter adsorpsi. Kondisi pH berpengaruh pada sorpsi karena pH akan mempengaruhi sifat elektrokimia larutan dan muatan partikel atau biosorben (Gambar 8).
Adsorpsi fenol oleh BMC mengikuti isoterm Langmuir, dengan demikian proses adsorpsi dapat diasumsikan bahwa lapisan biosorben membentuk satu lapisan (monolayer), keadaan setimbang bila kecepatan adsorpsi sama dengan kecepatan desorpsi, permukaan adsorbat bersifat homogen, dan fase adsorbat merupakan zat homogen (Anggraningrum, 1996). Jika linearitas kurva untuk kedua isoterm tinggi, maka dapat diasumsikan bahwa adsorpsi dapat berlangsung menurut isoterm Langmuir dan Freundlich sekaligus. Dan dari hasil penelitian yang diperoleh terlihat bahwa linearitas kurva isoterm Langmuir dan Freundlich cukup besar, yakni sebesar 0,9994 untuk isoterm Langmuir dan 0,9951 untuk isoterm Freundlich. Proses adsorpsi menurut isoterm Freundlich dapat diasumsikan bahwa biosorben membentuk lapisan multilayer, permukaan adsorbat bersifat heterogen. Nilai konstanta n, k, Ξ±, dan Ξ² dapat dihitung dari persamaan Langmuir dan Freundlich yang di dapat dan disajikan pada Tabel 2.
Secara umum kapasitas adsorpsi meningkat seiring dengan peningkatan pH, sampai titik tertentu. Pengaruh pH terhadap adsorpsi ini dipengaruhi oleh jenis adsorben maupun adsorbat. Pada sorpsi fenol oleh BMC, diperoleh hasil pH 3 sebagai pH optimum dengan kapasitas adsorpsi sebesar 1476,046 οg/g. Pada pH 5,dan 7 terjadi penurunan kapasitas adsorpsi.Hal ini disebabkan penggunaan basa sebagai bahan aktivasi untuk impregnasi pada biosorben TKKS, sehingga biosorben TKKS memiliki sifat basa pada permukaannya, dan lebih efektif jika penyerapan terjadi pada suasana asam. Selain itu, cangkang telur yang merupakan salah satu penyusun BMC ini mengadung kalsium karbonat (CaCO3) yang bersifat basa. Kalsium karbonat dari cangkang telur ini dapat membuat larutan menjadi basa jika terhidrolisis dalam air, mengikuti mekanisme reaksi sebagai berikut. CaCO3
ο
CO32- + H2O
Nilai konstanta Ξ±, Ξ², n dan k yang diperoleh dari persamaan regresi Langmuir dan Freundlich menggambarkan besaran nilai adsorbat yang dapat diadsorpsi pada sisi permukaan biosorben. Nilai k menunjukkan kemampuan proses adsorpsi dan n menunjukkan konsentrasi adsorpsi, semakin naik nilai ini maka akan semakin besar proses adsorpsi.
Ca2+ + CO32ο
HCO3- + OH-
Sedangkan, proses sorpsi pada pH basa yakni pH 9 tidak dilakukan, karena fenol akan membentuk senyawa natrium fenolat yang akan mengurangi ikatan hidrogen antara fenol dan biosorben. Menurut Ozkaya (2006); Qadeer and Rehan (2002) keberadaan NaOH (basa) dalam larutan yang mengandung fenol akan membentuk garam natrium dari fenol, yang akan memfasilitasi desorpsi fenol dari permukaan adsorben.
Nilai ο‘ dan ο’ dapat diperoleh dari kondisi slope pada garis linear isoterm Langmuir. Slope bernilai 1/ο‘ sedangkan perpotongan dengan sumbu 1/x/m bernilai 1/ο‘ο’. Nilai n dan k diperoleh dari kondisi slope pada garis linear isoterm Freundlich. Slope bernilai 1/n sedangkan nilai anti log dari perpotongan dengan garis log x/m bernilai k.
49
Atkins, P. W. (1999). Kimia Fisik Jilid 1. alih bahasa; Rohadyan T, Hadiyana K. Jakarta: Erlangga. Darnoko, Guritno, P., Sugiharto, A. dan Sugesty, S. (1995). Pembuatan pulp dari tandan kosong sawit dengan penambahan surfaktan. J. Pen. Kelapa Sawit, 3(1), pp. 75-87. Elwakeel, K. Z. and Yousif A. M. (2010). Adsorption of malathion on thermally treated egg shell material. In: Proceeding of Fourteenth International Water Technology Conference. Egypt.
Gambar 9. Isoterm Langmuir Adsorpsi Fenol oleh BMC
Ghazy, S. E., El-Asmy, A. A. and El-Nokrashy, A. M. (2008). Separation of chromium (III) and chromium (VI) from environmental water samples using eggshell sorbent. Indian Journal of Science and Technology, 1(6), pp.1-7. Indriyati, (2008). Potensi limbah industri kelapa sawit di Indonesia. M.Tek.Ling, 4(1), pp. 93-103. Lestari, S. (2011). Pemanfaatan limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) sebagai biosorben fenol. Skripsi. Universitas Nusa Bangsa. Bogor.
Gambar 10. Isoterm Freundlich Adsorpsi Fenol oleh BMC Tabel 2. Nilai Konstanta n, K, ο‘, ο’ dari Persamaan Langmuir dan Freundlich BMC
Lynch, C.T. (1990). Practical Handbook of Material science. 2nd Ed. New York: CRC Pr.
Kesimpulan
Mortaheb, H. R., Amini, M. H., Sadeghian, F., Mokhtarani, B. and Daneshyar, H. (2008). Study on a new surfactant for removal of phenol from wastewater by emulsion liquid membrane. Journal of hazardous materials, 160(2), pp. 582-588.
Biosorben dari TKKS yang dimodifikasi dengan cangkang telur (BMC) dapat digunakan sebagai biosorben fenol dengan nilai kapasitas adsorpsi sebesar 1476,046 οg/g. Kondisi optimum adsoprsi pada waktu Isoterm Langmuir
Orth A.B., Royse D.J. and M. Tien, M. (1993). Ubiquity of lignin-degrading peroxidases among various wood-degrading fungi. Appl Environ Microbiol, 59, pp. 4017-4023.
Isoterm Freundlich
ο‘
ο’
R2
N
K
R2
2,4786
-268,969
0,9994
0,9992
2,5276
0,9951
kontak 40 menit, bobot biosorben <0,05 g, dan pH <3. Adsorpsi fenol oleh BMC mengikuti persamaan isoterm Langmuir.
Ozkaya, B. (2006). Adsorption and desorption of phenol on activated carbon anda comparison of isotherm models. Journal of Hazardous Materials, 129(1), pp. 158-163.
Daftar Pustaka
Qadeer, R. and Rehan, A. H. (2002). A study of the adsorption of phenol by activated carbon from aqueous solutions. Turkish journal of chemistry, 26(3), pp. 357-362.
Anggraningrum, I. T. (1996). Model adsorpsi ion kompleks koordinasi nikel (II) pada permukaan alumina. Tesis. Magister Sains Ilmu Kimia. Universitas Indonesia. Depok.
Shrihari, V., Madhan, S. and Das, A. (2005). Kinetics of phenol sorption by raw agrowastes. Applied Sciences, 6(1), pp. 4750.
Arunlertaree, C., Kaewsomboon, W., Kumsopa, A., Pokethitiyook, P. and Panyawathanakit, P. (2007). Removal of lead from battery manufacturing wastewater by egg shell. Songklanakarin Journal of Science and Technology, 29(3), pp. 857-868.
Yoo, S., Hsieh, J. S., Zou, P. and Kokoszka, J. (2009). Utilization of calcium carbonate particles from eggshell waste as coating pigments for ink-jet printing paper. Bioresource technology, 100(24), pp. 64166421.
50