Ipung Kurniawan Yunianto. JOGJAFORCE, Niteni, Nirokne, Nambahi sebagai Proses berpikir kreatif
JOGJAFORCE. Niteni, Nirokne, Nambahi Sebagai Proses Berpikir Kreatif
Ipung Kurniawan Yunianto Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Visi Indonesia
Abstract Living in the middle of contemporary era, which is almost governed by the digital technology has made life getting more blur from the original principal that actually should be enforced by the modern community. The statement before could be conclude that human are stand in a border of a curse and blessing of digital technology. Jogjaforce as a digital art community which is originally live in Yogyakarta defines the digital technology as a playground, where art method becomes more dynamic. Alternative creativity process celebrated as an important thing to reach the artwork perfection. Niteni – Nirokke – Nambahi is a creativity method which is use by Jogjaforce to do their creativity process and problem solving, then they translate it into a digital artwork. This kind of process uses the eclectic spirit. Niteni – Nirokke – Nambahi method is a relevant comprehensive method that can be use by beginner until advance artist. Inspiring and inspired become a common thing when people (designer) had connected in a digital room just like a digital gallery. Become connected and being known are an intermediate impact of the global internet connection. In this mean time or digital era, originality of an artwork would not be place on how original the artwork is, but it is place to the artwork process method and how is the artwork being present. Keywords: Jogjaforce, digital art, Nitèni-Nirokké-Nambahi, contemporary art, creative method.
121
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
Pendahuluan Kehadiran teknologi digital dalam kurun tiga dasawarsa ini, seakan menjadi pisau bermata dua, dimana menjadikan manusia untuk berpikir lebih kreatif ataupun sebaliknya, tetapi yang cukup signifikan adalah perubahan cara hidup manusia berinteraksi, perubahan media yang dipakai, perubahan cara menerima informasi, dan pola bersosialisasi. Semua disesuaikan dengan perkembangan teknologi. Perubahan ini dimaknai sebagai era kebebasan dari ketergantungan atas sebuah pengawasan mengikat, serta batasan sebuah parameter yang menyekat. Sehingga mendorong setiap orang dengan leluasa untuk menjadi pelaku, pembaharu, pelopor, pencerita, dan pencipta sebagai dirinya sendiri. Diawali semenjak paruh kedua tahun 1980an, adalah masa dimana perambahan teknologi digital turut andil dalam perkembangan dunia desain grafis. Menurut Philip B. Meggs pada pada tahun 1984, merupakan dimulainya revolusi digital, dimana praktik desain grafis mengalami perkembangannya yang paling revolusioner. Setelah penggunaan PC (personal computer), dengan sistem operasi macintosh menjadi lazim digunakan khalayak, di tahun kemudian peran komputer ditingkatkan fungsinya untuk kebutuhan yang lebih spesifik sebagai penunjang aktifitas desain grafis. 122
Dalam tempo yang relatif singkat, segala proses pekerjaan desain grafis yang berlaku pada masa pra digital, segera diambil alih sepenuhnya oleh teknologi digital, yang secara intuitif menyajikan layar komputer sebagai representasi kertas atau lembar kerja, tablet grafis, dan tetikus (mouse). Kehadiran software grafis sebagai piranti lunak pun memperluas kemampuan pancaindera, menjanjikan kemudahan-kemudahan yang tak terbayangkan, mengakomodasi desainer grafis dalam menghasilkan karya-karya yang nyaris mustahil dilakukan pada masa sebelumnya.
Gambar 1. Apple “Classic” Machintosh Personal Computer dan Mouse (Tetikus) Sumber: http://www. http://oldcomputers.net. Dokumentasi Penulis
Digital art, bagian budaya urban global Gelombang digital seakan meniscayakan runtuhnya hirarki kaum awam dan kaum spesialis. Inilah sebuah demokrasi
Ipung Kurniawan Yunianto. JOGJAFORCE, Niteni, Nirokne, Nambahi sebagai Proses berpikir kreatif
dimana semua orang sangat bebas dalam upaya pengaktualisasian diri, dalam berkesenian. Orang akan sah-sah saja leluasa mengaku sebagai senirupawan digital, berburu pengalaman estetis, memungut visual literasi yang terserak, dan meramu elemen visual yang disusun berdasarkan kaidah bahasa visual (visual langguage) yang khas sesuai disiplin tata rupa. Tidak peduli seberapa besar luas studio desain dan jejak identitas personal yang disamarkan, namun setiap karya yang dihasilkan selalu tersirat jejak-jejak estetis sebagai identitas dari senimannya. Apabila merayakan adalah melakukan kerja seni digital (Digital Art), maka digital art ini adalah suatu perjalanan seni visual dengan menyajikan literasi yang bisa kita berikan tanda kutip maupun dibawah coretan. Praktik grafis hibrida adalah agenda penting desainer grafis Indonesia, ini untuk menjawab berbagai kemungkinan atas makna metode kebaruan. Desainer grafis telah hidup dalam era karya tanpa batas, bermain-main mewujudkan ilustrasi yang sangat imajinatif, perpaduan objek akrobatik, penggunaan warna transparan dan montase rumit, atau praktik manipulasi gambar juga sah-sah saja dilakukan, bahkan karya yang dihasilkan pun nyaris sepenuhnya menggunakan perangkat komputer, dengan piranti lunak atau software grafis yang selalu ditingkatkan fungsinya untuk keperluan tersebut.
Inilah kemunculan era seni digital (digital art). Digital art dijelaskan dalam The Columbia Electronic Encyclopedia explains that digital art is a contemporary art form where computer technology is manipulated to create distinctive works, diartikan (digital art adalah salah satu bentuk seni rupa kontemporer, dimana teknologi komputer digunakan sebagai metode untuk membuat karya yang khas). Secara umum dapat diartikan sebagai suatu upaya berkesenian yang menggunakan metode teknologi digital, dengan bahasa pemrograman, sebagai bagian penting dari proses kreatif dan presentasi dari karya tersebut. Karya digital art sangat beragam baik audio maupun visual, digital ilustrasi merupakan salah satu bangiannya. Dalam perkembangan, kemunculan digital art didefinisikan dalam pengertian luas, sebagai istilah yang diterapkan untuk suatu percabangan seni, dalam koridor seni kontemporer yang menggunakan metode produksi massal atau media digital. Kata “kontemporer” yang berasal dari kata “co” (bersama) dan “tempo” (waktu), sehingga karya seni kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Seniman digital (digital artist), lebih umumnya sebagai istilah untuk menggambarkan seorang pelaku seni yang memanfaatkan teknologi digital sebagai metode dalam 123
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
berkesenian.Keberadaan mereka dalam zaman kontemporer ini menunjukan posisinya yang signifikan sebagai bagian budaya urban global. Pembahasan Digital Art di Indonesia Menurut Meggs teknologi digital ini, tanpa belas kasihan, secara dramatis telah memaksakan pengabaran tiap karya digitalart ke berbagai pelosok dunia dalam seketika, bagaikan setali tiga uang metode penciptaan karya digital pun turut tersiar. Yang terjadi selanjutnya ialah, praktik menginspirasi dan terinspirasi karya orang lain adalah hal yang lazim, ini adalah dampak dari era digital. Di Indonesia fenomena digital art ini disambut gegap gempita penggiat digital art terutama desainer grafis, layaknya virus yang mewabah secepat kilat, layaknya jejamur dimusim penghujan. Terlebih semenjak kehadiran internet di Indonesia pada tahun 1990an, sebagai awal letupan dari memasyarakatnya digital art, yang gemanya berlanjut pada era 2000-an hingga sekarang. Hampir semua aktifitas berkesenian diakomodir metode digital, khususnya desainer grafis sebagai praktisi visual, yang intensitas dalam menggunakan teknologi komputer grafis cukup tinggi, bereksplorasi visual dengan software grafis berbasis vektor, maupun bitmap untuk mewujudkan illustrasi grafis digital. 124
Gambar 2. Karya VECTORJUNKIE Sumber: vectorjunkie. Dokumentasi Penulis
JOGJAFORCE digital art community Di Yogyakarta, salah satu kota dengan ribuan komunitas, salah satunya adalah komunitas digital art JOGJAFORCE, yang selama 14 tahun eksis sebagai pelopor komunitas digital art di Indonesia. Dibentuk pada pertengahan 2004 di Jogjakarta atas prakarsa beberapa anggota GodoteForum yang berdomisili di Jogjakarta, yaitu Dhanank Pambayun, Amin Mubarok, Toni Ariawan, Zulkifli, dan Adi Perdana. GodoteForum adalah portal digital art di Indonesia yang diprakarsai Godot Praesta pada tahun 2003. JOGJAFORCE beranggotakan 20 orang yang aktif, mereka adalah pekerja kreatif baik sebagai desainer grafis, ilustrator lepas, dan desainer web, walaupun ber-
Ipung Kurniawan Yunianto. JOGJAFORCE, Niteni, Nirokne, Nambahi sebagai Proses berpikir kreatif
beda latar belakang professional, namun prinsipnya tetap sama mereka berkarya dalam ranah estetika seni visual. Bekerja dengan menghasilkan karya visual, dengan fungsi yang jelas sebagai perancang, dalam upaya untuk menterjemahkan sebuah pesan (abstrak), atau gagasan dengan tepat, dan efektif kepada audience, melalui bahasa visual (visual language) yang kongkrit, yang mempersuasi, dengan pendekatan-pendekatan yang disesuaikan dengan audience, sehingga menggerakkan dan mempengaruhi manusia dalam “kebaikan” hidup. Kemunculan JOGJAFORCE diera digital ini adalah tepat adanya, sebagai salah satu penanda zaman kontemporer yang makin digital. Dimana perilaku berkesenian telah berkembang, terbuka, mencair, membaur menjadi satu sebagai seni visual (grey area), mengaburkan pembatasan praktik berkesenian oleh ideologi modernisme, yang mengaburkan batas desain grafis (applied art) dengan seni rupa (fine art). Seperti kemunculan Andy Warhol pada tahun 1960-an,sebagai penanda jejak kemunculan gerakan seni Pop Art, ia menggunakan bahasa grafis sebagai media karya seni, dan sebagai desainer grafis yang menggunakan bahasa seni sebagai karya desainnya. Didalam gerakan senirupa Pop Art, fenomena ini disebut dengan the end of art (the end of modernism) akhir dari era seni rupa modern, yang berlanjut
melahirkan prinsip anything goes. JOGJAFORCE mewacanakannya dengan metodologi digital, sebagai seorang pelaku seni visual dengan latar belakang pekerja professional. Seperti perkataan yang mereka serukan; “JOGJAFORCE ada bukanlah pelopor atas perayaan kegirangan mukjizat zaman digital, kami hanya menebar jejak, memberikan ruang untuk bermain-main. Bukanlah pendefinisian gaya visual yang kami sajikan, hanyalah metode berkesenian yang semakin plastis untuk bersenang-senang. Kami hanyalah gegapgempita hidup yang serius, untuk mengerjakan anarki yang serba manis. Kami bukanlah suatu jaminan melainkan sebuah keleluasaan dalam operasi JOGJAFORCE. Kami adalah JOGJAFORCE“
Gambar 2. Logo JOGJAFORCE Sumber: JOGJAFORCE. Dokumentasi Penulis
Sejak awal kemunculannya, JOGJAFORCE memegang andil mempopulerkan digital art di Indonesia, dan setia berkarya di jalur tersebut. Sebagaimana ranah seni lainnya, mereka mengusung gaya dan ciri visual yang berbeda-beda, dapat ditandai 125
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
dalam hasil karya yang disajikan, aplikasi perangkat lunak yang digunakan dengan format vectorgraphic dan bitmap, meskipun proses atau metode berkesenian yang dilalui sama,namun secara estetika citraan grafis komputer yang dihasilkan berbeda dan tetap indah nan imajinatif. JOGJAFORCE mencoba menulis sejarahnya, yang akan merangkai bingkai besar proses perjalanan panjang seni rupa dengan mempopulerkan jejak visual seperti proyek Designflip, adalah majalah digital (ezine) yang mengabarkan karya serta profil seniman digital art dari berbagai tikungan di benua ini, tips-tips berkarya digitalart, dan tren visual digitalart. Berikutnya yaitu Project Designdiary, sebagai catatan harian JOGJAFORCE dalam dunia virtual, berisi berbagai situs referensi desain, perkembangan digital art, dan
situs-situs desainer serta agency besar di dunia. Jika berkarya adalah menjadikan seniman itu ada dalam sejarah, maka berpameran adalah cara menuliskan sejarah tersebut, sebagai galeri digital ,situs deviant Art adalah galeri online dengan jumlah anggota lebih dari 30 juta. behance.net situs serupa yang dikhususkan untuk penggiat digital art professional, dan begitu pula secara khusus di Indonesia, berbagai situs dan publikasi online turut andil dalam mempopulerkan seni illustrasi digital kepada khalayak seperti kreavi.net, situs digital galeri lokal yang telah mengumpulkan penggiat seni visual digital se-Indonesia, yang anggotanya sudah mencapai ribuan, dan godoteforum sebagai pelopor portal digital art di Indonesia pada tahun 2003.
Gambar 3. Tampilan antar muka behance.net Sumber: https://www.behance.net/. Dokumentasi Penulis
126
Ipung Kurniawan Yunianto. JOGJAFORCE, Niteni, Nirokne, Nambahi sebagai Proses berpikir kreatif
Situs tersebut ialah sebagai wadah karya visual digital art, didedikasikan untuk memberikan ruang bagi penggunanya yang sebagian besar para seniman digital, untuk memamerkan karya melalui “galeri pribadi”, mendiskusikannya dengan siapa pun yang mengaksesnya di seluruh dunia, saling mengapresiasi serta mempertemukan buyer lintas benua, ini adalah suatu percepatan dalam pengambilan keputusan atas sebuah kesepakatan yang pasti, tanpa adanya batas jarak dan waktu, dan seakan dunia telah terlipat. Proses kreatif JOGJAFORCE, niteni nirokne nambahi. Berpikir kreatif adalah hak setiap orang, sebagai upaya terbesar manusia untuk “berdamai” dengan masalah, terlebih desainer grafis yang selalu ditutut untuk menterjemahkan masalah menjadi “solusi kebaikan”. Di era yang semakin kontemporer ini nilai kebaruan dan orisinalitas sebuah karya bukanlah sesuatu yang mutlak, kebaruan lebih dimaknai sebagai caraatau proses berkarya (method), nilai (value),dan cara mempresentasikan karya. Terinspirasi dan menginspirasi atau termotivasi dan memotivasi orang dari sebuah karya yang dilihat menjadi hal yang lazim dalam proses berkarya, dan ini adalah bagian dari proses kreatif.
Berjuta literatur dirangkum dan dirumuskan dalam mendefinisikan proses kreatif, namun sesungguhnya proses belajar itu pada hakikatnya dapat ditelusur dari dua aspek. Ialah belajar sebagai proses, dan belajar sebagai karya atau hasil. Menurut Ki Hadjar Dewantara, dengan salah satu diksi populernya dalam proses belajar seharusnya seorang pembelajar sebaiknya mengimplementasikan potensi dengan cara 3N; “Nitèni”, “Nirokké”, dan “Nambahi”. Seperti yang disampaikan Kusmayanto Kadiman,Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid 1, dalam makalah forum Symposium “Promoting Inventions & Innovations, menyatakan; Some decades ago Ki Hajar Dewantoro, well known as “Bapak Pendidikan” to Indonesian people, asserted his famous phrase: “Nitèni, Nirokké, Nambahi”.(N3). A reflection on the meaning behind this phrase, we will find a message that is increasingly important to our understanding on invention and innovation. Nitèni(to inquire), Nirokké(to imitate), Nambahi (to innovate), are key concepts used in recent literature on innovation theories. The N3 rule emphasizes three essential cognitive aspects of invention and innovation, whatever the contexts are (modern or traditional communities, business or research enterprises, for-profit or non for-profit businner).
127
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
Nitèni, dalam bahasa inggris disebut sebagai to inquire (Ni seperti ni dalam kata bahasa Indonesia berani; tè dimana “è” dalam bahasa Jawa, seperti dalam Baha’ullah Indonesia pada kata mepet, coret, jebret). Niteni adalah proses kognitif/pikiran manusia, berasal dari kata “titen”, yang menunjuk pada kemampuan untuk secara cermat mengenali, dan menangkap makna (sifat, ciri, prosedur, kebenaran) dari suatu obyek amatan, dengan cara memperhatikan, membanding-bandingkan, mengamati secara seksama, jeli dan mendalam serta melibatkan seluruh indra. Diartikan dalam proses berkarya, aktivitas pertama yang dilakukan ialah mengamati, dengan mempelajari masalah, menelaah brief, mengamati bermacam karya desain, sebagai referensi metode maupun eksekusi. Amati dengan baik, bagaimana setiap karya yang baik selalu berhasil diterima khalayak, dan menjadi bagian sejarah, tentu saja dengan cara memilih warna, menata,dan mengkomposisi elemen grafisnya, ketepatan emphasis, memperhatikan setiap detilnya, membuat suatu hirarki readability, legibility dan clearity. Mengamati memang pekerjaan yang tak gampang, bukan sekadar membaca, melihat, tapi dicerna, dan diwujudkan dengan baik. Sehingga ketika karya itu dihasilkan maka orang lain yang menyaksikan akan terinspirasi, bergairah untuk berkarya, merasakan manfaat dari se128
buah pengamatan dan sebagainya. Nirokké (”e” dibaca “é” dalam bahasa Jawa, seperti dalam bahasa Indonesia kata sore, hore, Bone), yang berarti menirukan apa yang telah dipahami (to imitate), atau tindak lanjut dari proses Nitèni, dengan melibatkan seluruh pribadinya. Nirokké adalah aktifitas menirukan dari apa yang dilihat, didengar, dirasakan dalam bentuk contoh atau teladan yang baik. Perilaku meniru ini tidak salah, meniru diartikan sebagai menduplikasi diri terhadap desainer, atau perupa yang hendak “dicontoh” metodenya, semangatnya, bagaimana mengolah permasalahan menjadi karya yang baik, yang mudah dicerna dan mudah difahami sesuai fungsinya. Tapi, tegasnya, ini bukan sebuah pembiaran dalam praktik plagiarisme, ini adalah proses belajar.
Dalam tahapan mengamati, adalah tahapan awal dalam proses terinspirasi yang disebut tahap pengenalan. Dalam langkah Nirokké, subyek mencoba menjadi sosok desainer tersebut yang mau diduplikasi atau ditiru. Sebagai contoh, si ”A” kesengsem berat dengan Stefan Sagmeister, sehingga sedapat mungkin si ”A” tersebut meniru bagaimana metode Stefan Sagmeister berpikir kreatif, bagaimana berproses dan bagaimana mewujudkan karya tersebut dalam wujud konkrit, dan dari karya tersebut ditangkaplah sebuah pembelajaran.
Ipung Kurniawan Yunianto. JOGJAFORCE, Niteni, Nirokne, Nambahi sebagai Proses berpikir kreatif
Sedangkan Nambahi (to innovate/to add value) merupakan sebuah titik akhir, bukan sekadar aktifitas meniru karya orang yang dikagumi. Disini sudah ada unsur penambahan, suatu aktifitas melengkapi, menyempurnakan sesuai keinginan individu melalui mengolah, mengubah, memodifikasi, menginovasi, memperbaiki, menambah, mengurangi, dan proses berpikir kreatif dalam rangka memunculkan unsur pembeda,yaitu asas kebaruan. Adakalanya Nambahi tersebut dengan tujuan mulia, untuk membuat rancang visual lebih baik, atau menyempurnakan menurut alam hati, jiwa, pikiran, dan nurani, sehingga menjadikan pengalaman estetis dengan perujudan suatu temuan, atau kemungkinan-kemungkinan atas sebuah makna kebaruan. Fenomena ini merupakan tindak lanjut dari dari dua proses sebelumnya, yaitu Nitèni, dan Nirokké. Kalau dalam Nirokké adalah “seratus persen duplikasi” sebagai langkah pembelajaran, pada Nambahi, persentase duplikasi jauh berkurang dan bahkan menjadi sangat berbeda dengan aslinya. Sehingga desainer atau seniman sudah bisa menemukan identitas visualnya sendiri. Nitèni-Nirokké -Nambahi adalah suatu manifestasi dari sebuah revolusi pemikiran Ki Hadjar Dewantara, dalam konteks proses pembelajaran, dimana Taman Siswa adalah laboratorium kreatif beliau.
Bagi JOGJAFORCE, dalam mengimplementasikan konsep Nitèni, Nirokké, dan Nambahi, bukanlah perkara mudah, dikarenakan tahapannya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, ini adalah metode sistemik, seri dan bertahap. Tiap tahapnya tidak boleh saling mendahului, melainkan ketiganya integral dalam satu aktifitas sehingga menghasilkan pengetahuan dan keterampilan yang utuh. Tantangan berikutnya yaitu memperagakan, atau aktif mempraktikan metode Nitèni, Nirokké, dan Nambahi. Maksudnya, apabila tidak diiringi dengan praktik langsung dan konsisten, maka keniscayaan tidak akan berpihak pada sebuah keberhasilan yang pasti, atas sebuah kegiatan berlatih visual. Sehingga praktik dengan kontinyu adalah mutlak adanya. Nitèni-Nirokké-Nambahi adalah Retro Dalam praktik Nitèni-Nirokké-Nambahi, ini secara tampilan visual seperti sebuahnostalgia/romantisme gaya desain yang mendaur ulang,menghadirkan/ menampilkan/ memvisualkan kembali nuansa/ gaya-gaya,berbagai tampilan gaya desain masa lalu, seperti psychedelic, dada, art nouveau, art deco, futurism, art and craft, bauhaus, de stijl, konstruktifisme, new typography, new wave dan sebagainya. Perkara tersebut diistilahkan sebagai “retro”, berasal dari kata retrospektif; meninjau kembali atau mengingat kem129
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
bali, yang populer untuk mendefinisikan/ menyebutkan model visual dengan perlakuan pengulangan-pengulangan yang disebut sebagai revival, alchimia, eklektik, historisisme, rekonstruksi, dan duplikasi. Perilaku ini dapat diperiksa dari layout/ tataletak, hirarki visual, komposisi bidang, komposisi warna, jenis tipografi, dan sebagainya. Postmodern dapat diartikan sebagai suatu solusi, ketika dalam budaya masyarakat postmodern disini sebagi suatu gaya yang menggunakan beberapa prinsip pendekatan Appropriation, yang pertama ialah parody, yaitu imitasi atau mimikri terhadap gaya desain lain yang ada, dengan menambahkan motif mempermainkan dan menertawakan–baik¬dalam arti positif dan simpatetik, ataupun dalam arti negatif menjatuhkan dan menghujat, dengan menghadirkan oposisi/kontras terhadap teks, karya atau gaya satu dengan lainnya. Suatu parody tidak mungkin hadir dan sempurna tanpa adanya pengalaman/ referensi masa lalu yang kemudian direkonstruksi imitasinya. Kedua adalah Pastiche, yaitu peniruan atau mengimitasi satu bentuk gaya atau objek lain yang lebih dulu ada untuk tujuan kesenangan, melalui permainan bebas tanda, dan merayakan tanda ketimbang makna, namun bersifat netral. Pastiche lebih mengutamakan akurasi dari peniruan yang dilakukan seperti model 130
rujukannya dan mempunyai penekanan pada persamaannya. Seperti Neville Brody yang mengadopsi prinsip konstruktifisme dalam karya desainnya, Ini adalah metode berkesenian yang dijalankan JOGJAFORCE sebagai proses kreatif, menyampaikan kebaruan yang mengakulturasi gaya art nouveau, dengan aroma new wave, kemudian ditaburi unsur psychedelic, diramu dengan sentuhan art deco, dan dikomposisi dengan futurism, dan sebagainya, ini disebut dengan metode eclectic (eklektikisme), adalah upaya pengkombinasian/pemanfaatan berbagai gaya desain lama dari berbagai genre, periode, atau kebudayaan yang berbeda, dan meramunya menjadi satu gaya visual baru. Perilaku ini menjadi telaah dalam postmodern, karena menghasilkan gaya baru dari tambal sulam/mosaik/kombinasi masa lampau. Pengkombinasian tersebut oleh Swatch Catalogue seperti yang dikutip Pilliang (2003) disebut sebagai form-followfunction-follows-fun. Menurut Longman Dictionary Of Contemporary English, pengertian ‘retro’ adalah deliberately using styles of fashion or design from the recent past. Pengertian ini ada hubungannya dengan definisi retrospective yakni; 1. concerned with or thinking about the past; dan 2. a show of the work of an artist, that includes all the kinds of work they have done. Kemuncual desain dengan perlakuan
Ipung Kurniawan Yunianto. JOGJAFORCE, Niteni, Nirokne, Nambahi sebagai Proses berpikir kreatif
Retro adalah, sebuah prinsip utama dalam era postmodern, yang cenderung menggabungkan daripada membuat pembedaan, sebagaimana diungkapkan oleh Robert Venturi dalam Arief Adityawan; tinjauan desain grafis, yang lebih condong pada mengkawisilangkan/hibrid dari murni, distosi daripada kewajaran, ambiguitas daripada jelas, akomodasi daripada penolakan, dengan nafas kebaruan yang berupa gagasan, kemajuan teknologi visualisasi/pencitraan, dan menimbulkan kesan anti mainstream, atau keluar dari paritas, kemudian dikemas menjadi satu kesatuan sebagai sebuah terobosan, atau alternatif yang menyegarkan di era kekakuan hirarki modernism, ala International Typographic Style yang sempat menjadi ‘isme’, atau ‘pakem’ desain standar untuk proyek-proyek Corporate Identity, dan Sign System.
Adalah visual akrobatik, praktik berkesenian yang dipraktikan JOGJAFORCE, untuk menghasilkan karya visual yang hadir sebagai jeda hela nafas, ditengah himpitan rutinitas praktisi komunikasi visual. Bervisual “eklektik ria” adalah permainan yang mengasyikkan, yang tentu saja tidak jauh-jauh dengan ekosistem kreatif mereka, adalah karya grafis digital dengan format vektor maupun bitmap. Selaku seni duamatra,karya seni grafis digital dikenal luas dengan format vektor dan bitmap, sehingga belakangan ini disebut dengan seni vektor (vector art) dan seni manipulasi foto (digital imaging/photo manipulation). Ciri estetik seni vektor ialah menghilangkan semua ciri lukisan. Kontur yang tebal-tegas, warna-warna tanpa tekstur, dan tanpa jejak sapuan kuas, bentuk-ben-
Gambar 4. Seni Vektor, Karya: Theyhatemydesign a.k.a Amin Mubarok. “Lickin”, 2006. dan “Don’t tread on me “, 2014, Sumber: Amin Mubarok. Dokumentasi Penulis
131
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
Gambar 5. Seni digital imaging (photo manipulation). karya: Tragik Piksel a.k.a Dhanank Pambayun. “THE-HABITAT” 2006. Sumber: Dhanank Pambayun. Dokumentasi Penulis
tuk yang kekartun kartunan— semua ini mudah kita kenali pada seni vektor. Tetapi, akan lebih tepat kiranya kalau seni vektor dipahami bukan sebagai jenis, melainkan cara atau metode berkesenian. Sebab, semua ciri seni vektor telah menuntun memori visual manusia dengan jejak-jejak visualnya, yang hampir seabad ini pada aneka film kartun, dan kemudian film animasi.Sehingga dapat merumuskan, seni vektor sebagai seni menggambar-melukis dengan piranti lunak. Berbeda dengan seni vektor bukan berarti tak sepaham atau bertentangan, seni manipulasi foto (digital imaging/photo manipulation) dengan format bitmap, seakan memunculkan semua yang tidak terakomodir dalam seni vektor, ialah mengadakan semua kesan analogi manusiawi dalam karya digital, memvisualkan kesan 132
ciri lukisan, kesan tekstur sapuan kuas. Kesamaan diantara keduanya adalah seni visual yang menekankan pada tekstur visual atau tekstur kesan saja, dapat dirumuskan kedua seni tersebut sebagai seni menggambar-melukis dengan piranti lunak. Simpulan Perambanan teknologi digital yang mendutakan Komputer dan internet,dalam ruang seni visual didefinisikan sebagai pencairan metode berkesenian,memaksa siapapun untuk belajar dari awal, menjinakkan dan berusaha berkompromi dengan kedigdayaan teknologi-digital. Teknologi digital menggelinding dengan percepatan, dan terus menerjang apapun di depannya, seakan menjadi madu bagi mereka yang percaya pada perubahan,
Ipung Kurniawan Yunianto. JOGJAFORCE, Niteni, Nirokne, Nambahi sebagai Proses berpikir kreatif
dan racun bagi yang berpihak pada kemapanan. JOGJAFORCE, hidup, tumbuh, dan berkembang, sebagai pekerja grafis yang telah lebih dahulu bersinergi dengan perangkat komputer, berdialog dan berkompromi dengan teknologi digital, dan tangan dingin sebuah daya kreatifitas yangmenangahi dan mendamaikan. Teknologi digital tak ubahnyaperayaan atas kesepakatan metodologi yang dibarukan. Di era kontemporer saat ini, dimana semua harus diwacanakan, diselesaikan dan dimaknai saat ini, esok bukanlah harapan dan masalalu bukanlah jaminan. Pendefinisian proses kreatif menjadi melebar, saling menginspirasi dan terinspirasi dari laman portal grafis di internet adalah lazim. JOGJAFORCE menegoisasi teknologi sebagai kemudahan, memburu literasi visual yang terserak dalam kanal maya, meraciknya dalam grafis digital didapur kreatifitas dengan penggorengankomputer, mengolah tiap-tiap elemen grafis dalam bingkai inspirasi, duplikasi, imitasi, inovasi, dan merapal komposisi grafis dengan kekayaan pengalaman individual,disesuaikan dengan bahasa visual sebagai kaidah estetika yang baik. Bisa dikatakan ini adalah penyegaran dalam berpikir kreatif, disebut dengan prinsip Nitèni-Nirokké-Nambahi, dengan semangat yang disampaikan sebagai manifestasi estetika eklektik dalam proses digital.
Kepustakaan Adityawan, Tinjauan Desain Grafis, Dari Revolusi Industri hingga Indonesia Kini. Penerbit PT.Concept Media, Jakarta, 2010. Kadiman Kusmayanto, 2006, “Nitèni”, “Niroaké” dan “Nambahaké”, Diakses dari htttp://www.ristek.go.id, pada tanggal 26 Juni 2014. __________________________, 2004, Nitèni,Niroaké, Nambahaké” as A Rule for Innovation; An Elaboration within Complex Sociotechinical Realm, Diakses dari htttp://www.ristek.go.id, pada tanggal 26 Juni 2014. Longman, Dictionary of Contemporary English, 3d Edition, Longman, 2001. Meggs, Phillip B, “A History of Graphic Design”, Jhon Wiley & Sons, Inc., New Jersey, 2012. Pilliang, Yasraf Amir, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003. Ryan, Daniel L, “History of Computer Graphics”: Dlr Associates Series, AuthorHouse, Bloomington, IN, United States of America, 2011
133