Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 6 No. 3, Desember 2015: 119-210
JLBG
JURNAL LINGKUNGAN DAN BENCANA GEOLOGI Journal of Environment and Geological Hazards ISSN: 2086-7794 Akreditasi LIPI No. 692/AU/P2MI-LIPI/07/2015 e-mail:
[email protected]
Studi Pengaruh Letusan Abu Vulkanik Gunung Marapi di Sumatra Barat Tanggal 3 Agustus 2011 Terhadap Hasil Pengukuran Gas SO2 dan Partikel (Pm10 Dan Tsp) di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang The Study On The Effect Of Mount Marapi Eruption Volcanic Ash In West Sumatra (3 August 2011) On The Results Of Measurement Of SO2 Gas And Particle (Pm10 And Tsp) In The Global Atmosphere Watch Of Bukit Kototabang Station Agusta Kurniawan Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Bukit Kototabang Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika-Sumatra Barat, Indonesia Naskah diterima 21 Mei 2015, selesai direvisi 02 Oktober 2015, dan disetujui 15 Oktober2015 2015 e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Makalah ini bertujuan memberi gambaran tentang perlunya sinergi dan harmonisasi antar sektor dalam perencanaan dan pengelolaan tata ruang. Studi kasus dilakukan di kawasan Dieng Plateau menggunakan metode pendekatan survei lapang an dan analisis. Tekanan populasi di kawasan ini telah menyebabkan terjadinya tekanan lahan yang memicu peningkatan aktivitas di sektor pertanian, khususnya komoditas kentang. Aktivitas tersebut disertai dengan pemanfaatan pupuk organik maupun anorganik untuk meningkatkan produktivitas. Hasil analisis lima dari enam sampel air sumur di sekitar lokasi studi menunjukkan kadar nitrat dan COD (Chemical Oxygen Demand) yang tinggi. Tingginya kadar nitrat dan COD dalam air sumur memberikan indikasi yang cukup kuat yaitu telah terjadi kontaminasi air akibat aktivitas pertanian. Oleh karena itu, untuk mencapai kesinambungan sumber daya di Dieng Plateau, maka perlu adanya sinergi dan harmonisai antarsektor, khususnya sektor sumber daya air dan lahan. Kata kunci: COD, Dieng Plateau, nitrat, produktivitas pertanian ABSTRACT This paper aims to provide an overview of the need for the synergy and harmonize between sectosr in the spatial planning and its management. The case study was conducted in Dieng Plateau using the method of survey and analytical approach. The population pressure influenced the land pressure in this location. It has triggered the increase of agricultural activities, particularly in potato commodities. Its activities use organic and inorganic fertilizers to improve productivity. The analysis result of five of six water samples taken from the shallow dug well around the Dieng Plateau showed the high concentration of nitrate and COD (Chemical Oxygen Demand). High concentration of nitrate and COD in water sample provides a strong enough indication that water contamination occurred as a result of the agricultural activities. Therefore, in order to achieve sustainability of resources in the Dieng Plateau, hence the synergy and harmony between sectors are needed, especially water and land resources sectors. Keywords: COD, Dieng Plateau, nitrate, agricultural activitie
199
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 6 No. 3, Desember 2015: 119-210
PENDAHULUAN
SPAG Bukit Kototabang
Gunung Marapi
Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Bukit Kototabang merupakan satu-satunya Stasiun Pemantau Atmosfer Global di Indonesia dari Stasiun Pemantau Atmosfer Global (berskala global) yang ada di dunia (Gambar2) (Kurniawan , 2014).
Gunung Marapi secara adminstratif berlokasi di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat (Gambar 1). Kecamatan Banuhampu Sungai Puar di Kabupaten Agam dan Kecamatan Pariangan, Kecamatan Batipuh, Kecamatan X Koto di Kabupaten Tanah Datar. Gunung Marapi merupakan gunung api Tipe A (Strato). Menurut laporan Badan Nasional Penanggulan Bencana, Gunung Marapi di Sumatra Barat mulai ada peningkatan aktivitas sejak tanggal 3 Agustus 2011 pukul 09.00 WIB (http://www.bnpb.go.id/website/ asp/berita_list.asp?id=636). Material yang dilontarkan ke atmosfer saat letusan adalah gas dan material vulkanik (Robock, 2002). Selain itu, emisi letusan gunung api juga mengeluarkan gas-gas halogen, se perti HCl dan HF yang memperkuat deposisi asam (Delmelle drr., 2001).
SPAG Bukit Kototabang merupakan implementasi program Global Atmosphere Watch (GAW) yang dicetuskan oleh World Meteorological Organization (WMO) sebagai upaya untuk melakukan monitoring terhadap kondisi atmosfer secara global. Sampai saat ini,25September 2013, ada tiga puluh stasiun sejenis yang ada di dunia yang bertugas untuk memperoleh data atmosferik dan kualitas udara di daerah dengan tipe remote atau daerah dengan kondisi udara yang relatif bersih dan jauh dari aktivitas antropogenik. Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Bukit Kototabang merupakan salah satu stasiun pengamatan referensi udara bersih (Gambar 3). Untuk kawasan Asia, SPAG Bukit Kototabang merupakan satu dari empat stasiun GAW selain Minami-
Gambar 1. Profil Gunung Marapi dan Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Bukit Kototabang 200
Studi Pengaruh Letusan Abu Vulkanik Gunung Marapi di Sumatra Barat Tanggal 3 Agustus 2011 Terhadap Hasil Pengukuran Gas SO2 dan Partikel (Pm10 Dan Tsp) di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang - Agusta Kurniawan
Gambar 2. Lokasi Stasiun Pemantau Atmosfer Global (berskala global) di dunia. (Sumber: www.gawsis.de).
Gambar 3. Kondisi lingkungan sekitar di Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Bukit Kototabang yang masih bersih (sebagai latar belakang adalah Gunung Singgalang). 201
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 6 No. 3, Desember 2015: 119-210
torishima (Jepang), Mount Waliguan (China), dan Danum Valley (Malaysia). Posisi astronomis dan geografis Indonesia memberikan fenomena tersendiri dalam bidang sains atmosfir. Kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara maritim yang terletak di daerah tropis dengan keberagaman topografi dan sumber daya alamnya telah sejak lama menjadi perhatian para peneliti di bidang sains atmosfir. Oleh karena itu, ketika Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) bermaksud untuk memperluas jaringan pemantau atmosfirnya, maka Indonesia dijadikan sebagai salah satu kandidat utama. Wilayah Indonesia yang terbagi dalam lima pulau utama, yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dengan perbedaan topografi mengisyaratkan suatu pemilihan yang selektif untuk dapat merepresentasikan Indonesia sebagai titik acuan bagi pengukuran di wilayah tropis berbasis maritim. Dari kelima pulau tersebut, Pulau Sumatra dipilih karena keragaman topografi dan letaknya yang berhadapan dengan Samudra Hindia, yang telah lama menjadi salah satu perhatian kalangan meteorologis dan peneliti sains atmosfer. Stasiun ini secara administratif berada di Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Secara geografis, berada di 0,20°LS dan 100,32°BT (Gambar 1). Letak astronomisnya yang sangat unik karena berada dekat dengan garis ekuator, membuat stasiun ini menjadi sangat penting untuk pengamatan kondisi atmosferik di daerah sekitar ekuator. Letak geografis stasiun ini juga tak kalah unik karena bagian barat merupakan daerah pesisir yang berhadapan dengan Samudra Hindia yang luas, sementara bagian timur merupakan wilayah dataran tinggi yang merupakan bagian dari Pegunungan Bukit Barisan. Berdasarkan pertimbangan kedekatan lokasi Gunung Marapi dan Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang, serta tugas pokok dan fungsi Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang sebagai salah satu stasiun referensi udara bersih di Indonesia, studi pengaruh letusan abu vulkanik Gunung Marapi dilakukan pada 3Agustus 2011 terhadap pengukuran gas SO2 dan parameter partikel (PM10dan TSP) di Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Bukit Kototabang. 202
METODE PENELITIAN Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan agregat harian yang terbagi menjadi dua: data pembanding, yaitu data harian sebelum letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada 1-30 Juli 2011, dan data sampel, yaitu data setelah letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada 1-10 Agustus 2011. Pengukuran Konsentrasi SO2 Konsentrasi gas SO2 (part per billion=ppb) diperoleh dari instrumen TS43i-Trace Level Enhance. Prinsip kerja instrumen ini dengan metode UV Fluorescence. Data gas SO2 merupakan data dengan resolusi 5 menit,yang kemudian diolah menjadi agregat harian. Raw data diambil dari instrumen menggunakan software iport dengan kabel RS232 yang dilengkapi dengan sistem kalibrasi (Dynamic Gas Calibrator TS146i dan Zero Air Supply TS111) serta gas Standar SO2 (Kurniawan, 2010). Pengukuran Konsentrasi PM10 Konsentrasi PM10 (particulate matter 10/aerosol berukuran kurang dari 10 μm) diperoleh dari instrumen BAM yang menggunakan prinsip pelemahan sinar beta. Data PM10 (µg/m3) merupakan data dengan resolusi 1 jam. Raw data diambil dari instrumen menggunakan aplikasi hyperterminal dengan kabel RS232. Raw data kemudian diolah menjadi data agregat harian (Met One Instruments, Inc., 2001; Kurniawan, 2010). Pengukuran Konsentrasi TSP Konsentrasi TSP (Total Suspended Particle) diperoleh dari instrumen HVAS (High Volume Air Sampler). Instrumen ini dioperasikan selama 24 jam. HVAS Staplex ini juga dilengkapi dengan flow controller (pengatur laju alir), yang memastikan laju alir udara tetap sama/konstan. Laju alir udara diatur tetap 1.12 CMM ≈ 1.2 CMM (Cubic Meter Per Minute)=1200 LPM atau Pompa dioperasikan dengan laju alir 1,2 m3/menit. Partikel akan mengendap pada filter. Berat Total Suspended Particle (TSP) merupakan selisih antara berat filter sesudah pemasangan dikurangi berat filter sebelum pemasangan (dalam gram) (Kurniawan, 2010).
Studi Pengaruh Letusan Abu Vulkanik Gunung Marapi di Sumatra Barat Tanggal 3 Agustus 2011 Terhadap Hasil Pengukuran Gas SO2 dan Partikel (Pm10 Dan Tsp) di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang - Agusta Kurniawan
Citra Satelit OMI (Ozon Monitoring Instrument) pada Satelit Aura
SO2 + H2O → H2SO3
Citra satelit ini digunakan untuk memotret konsentrasi kolom SO2 di atmosfer bumi dari luar angkasa, dalam satuan DU (Dobson Unit).
Gas SO2 bila bertemu dengan oksigen di udara akan membentuk gas SO3, kemudian bereaksi dengan uap air (H2O) atau bereaksi dengan air hujan membentuk asam sulfat (H2SO4) (Sutamihardja dan Murniawati, 2008).
Model HYSPLIT Volcanic Ash
SO3 + H2O → H2SO4
Model ini merupakan salah satu produk dari NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), dan pada tulisan ini model tersebut dipergunakan untuk memperkirakan arah letusan abu vulkanik Gunung Marapi yang terjadi pada 3 Agustus 2011(Draxler drr., 2009). HASIL DAN PEMBAHASAN Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang merupakan stasiun referensi udara bersih dan memantau secara terus menerus kondisi udara ambien bersih yang mewakili daerah terpencil di dunia, khususnya di daerah ekuator. Oleh karena itu, pengukuran gas maupun partikel akan sangat sensitif terhadap perubahan aktivitas antropogenik ataupun aktivitas alami seperti letusan abu vulkanik gunung berapi. Data yang digunakan pada tulisan ini berbasis harian (aggregat harian). Sebagai data pembanding (data referensi) digunakan data harian parameter sebelum terjadinya letusan abu vulkanik Gunung Marapi, yaitu data bulan Juli 2011, sedangkan sebagai data pengujian (data sampel) digunakan data harian setelah letusan awal abu vulkanik Gunung Marapi (awal meletus pada 3 Agustus 2011 pada pukul 09.00 WIB). Ada tiga parameter yang dianalisis pada tulisan ini, yaitu konsentrasi gas SO2 dinyatakan dalam ppb, konsentrasi partikel PM10dinyatakan dalam mg/m3 atau µg/m3, dan konsentrasi TSP (Suspended Particulate Matter) yang dinyatakan sebagai berat debu (g). Pengukuran Konsentrasi Gas SO2 Parameter gas SO2 (sulfur dioksida) diamati pada pengukuran ini karena gas SO2 sebagai salah satu parameter deposisi asam, yang menyebabkan kerusakan pada lingkungan. Gas SO2 berbau tajam dan tidak mudah terbakar.Bila bertemu dengan udara yang mengandung uap air akan bereaksi membentuk asam sulfit (H2SO3) (Sutamihardja dan Murniawati, 2008).
Asam sulfat ini akan bersifat korosif terhadap logam, bangunan, dan juga bisa membuat logam-logam terlarut kembali dalam bentuk oksidasi tinggi, sehingga beracun bagi makhluk hidup (Sutamihardja dan Murniawati, 2008; Andrews drr., 1996). Walaupun gas SO2 (sulfur dioksida) mempunyai kelarutan yang kecil dalam air, namun dalam jumlah mol yang sama dengan gas lain (misal: CO2, NO2), gas ini mampu menaikkan keasaman/menurunkan pH air hujan secara signifikan dibandingkan dengan gas lain tersebut (Andrews drr., 1996). Nilai rata-rata konsentrasi gas SO2 (Gambar 4) sebelum letusan abu vulkanik Gunung Marapi (pada 1 Juli 2011 sampai 2 Agustus 2011) sebesar 0,50 ppb, dan maksimum tercapai pada tanggal 30 Juli 2011 sebesar 0,86 ppb. Nilai rata-rata konsentrasi gas SO2 (Gambar 4) setelah letusan (pada 4 sampai 10 Agustus 2011) sebesar 0,50 ppb, dan maksimum tercapai pada tanggal 5 Agustus 2011 sebesar 0,80 ppb. Data tersebut menunjukkan bahwa letusan abu vulkanik Gunung Marapi tidak memengaruhi pengukuran gas SO2 di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang. Adanya fluktuasi konsentrasi gas SO2 yang teramati sebelum letusan abu vulkanik Gunung Marapi merupakan variabilitas harian akibat adanya aktivitas antropogenik di sekitar Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang. Kenaikan konsentrasi gas SO2 setelah letusan abu vulkanik Gunung Marapi yang masih dalam orde ppb (part per bilion) bukan merupakan pengaruh material letusan Gunung Marapi, tetapi merupakan variabilitas harian. Dari analisis tersebut dapat dikatakan letusan abu vulkanik Gunung Marapi tidak berpengaruh terhadap pengukuran gas SO2 di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang. Pengukuran Konsentrasi PM10 Parameter partikel dalam hal ini adalah PM10 (partikel debu berukuran 10 mikron ke bawah). Parameter 203
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 6 No. 3, Desember 2015: 119-210
Gambar 4. Konsentrasi harian gas SO2 di SPAG Bukit Kototabang, kiri: sebelum dan kanan: setelah, letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada 3 Agustus 2011
ini penting untuk diamati karena partikel ini berpengaruh terhadap kesehatan manusia (berpotensi mengganggu pernapasan dan jarak pandang (visibilitas) (Kurniawan drr., 2011; Miroslav danVladimir,1999). Selain itu, partikel ini cenderung mempunyai sebaran atau distribusi yang jauh dari sumber awal polutannya. Letusan abu vulkanik gunung berapi sangat berpotensi mengeluarkan partikel PM10 ini. Sebelum letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada 1 Juli sampai 2 Agustus 2011 (Gambar 5), konsentrasi PM10 rata-rata harian di SPAG Bukit Kototabang sebesar 0,029 mg/m3 udara, dan mencapai konsentrasi maksimum sebesar 0,076 mg/m3 udara pada 29 Juli 2011. Tingginya konsentrasi PM10 pada awal Juli 2011 dan pada akhir bulan Juli 2011 (Gambar 5), kemungkinan besar adalah aktivitas antropogenik di sekitar stasiun GAW Bukit Kototabang,
akibat perambahan dan pembakaran hutan di sekitar stasiun, dan adanya transpor polutan hasil kebakaran hutan di Pulau Sumatra, khususnya di Jambi dan Riau. Setelah letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada tanggal 2 sampai 10 Agustus 2011 (Gambar 5), konsentrasi PM10 rata-rata harian di SPAG Bukit Kototabang sebesar 0,024 mg/m3 udara, dan mencapai maksimum tercapai pada 3 Agustus 2011sebesar 0,060 mg/m3 udara. Kecenderungan tinggi setelah letusan abu vulkanik Gunung Marapi dan menurun sampai 7 Agustus 2011 dan menaik lagi sampai 11 Agustus 2011 (Gambar 5), bukan akibat dari letusan abu vulkanik Gunung Marapi, tetapi merupakan variabilitas rata-rata harian konsentrasi PM10 akibat aktivitas antropogenik di stasiun GAW Bukit Kototabang dan transpor polutan akibat kebakaran hutan di Pulau Sumatra.
Gambar 5. Konsentrasi harian PM10 di SPAG Bukit Kototabang, kiri: sebelum dan kanan: setelah, letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada 3 Agustus 2011. Baku mutu udara ambien menurut PP no 41 tahun 1999 adalah 120 µg/m3 204
Studi Pengaruh Letusan Abu Vulkanik Gunung Marapi di Sumatra Barat Tanggal 3 Agustus 2011 Terhadap Hasil Pengukuran Gas SO2 dan Partikel (Pm10 Dan Tsp) di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang - Agusta Kurniawan
Letusan abu vulkanik Gunung Marapi ternyata tidak berpengaruh secara nyata terhadap pengukuran partikel PM10 di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang, terlihat bahwa nilai rata-rata dan nilai maksimum konsentrasi harian PM10 setelah letusan abu vulkanik Gunung Marapi terukur lebih rendah dibandingkan nilai rata-rata dan nilai maksimum konsentrasi harian PM10 sebelum letusan abu vulkanik Gunung Marapi. Pengukuran Berat TSP (Total Suspended Partikel ) Partikelyang diukur adalah Total Suspended Partikel (TSP), merupakan partikel debu (aerosol) yang dapat mengendap dan biasanya berukuran sampai 100 mikron. Partikel ini diamati karena debu vulkanik mempunyai cenderung berukuran besar dan mudah mengendap. Pengukuran sampel TSP dilakukan selama 24 jam, dengan jadwal mingguan, dan sebagai data sebelum letusan abu vulkanik Gunung Marapi diukur dari 7 Mei 2011 sampai 30 Juli 2011, namun ada beberapa hari pada tanggal tersebut data tidak tersedia. Konsentrasi TSP dalam tulisan ini dinyatakan sebagai berat dalam gram. Berat TSP diperoleh dengan cara menghitung berat filter setelah dipasang dikurangi berat filter awal. Berat TSP rata-rata sebelum letusan abu vulkanik Gunung Marapi sebesar 0,048 gram, dengan nilai maksimum tercapai pada 6 Juli 2011 sebesar 0,1100 gram (Gambar 6). Ternyata pola yang sama pada pengukuran partikel PM10 teramati juga pada pengukuran TSP, pada 6 Juli 2011, pengukuran TSP mencapai puncak.
Hal itu karena aktivitas antropogenik di sekitar stasiun GAW Bukit Kototabang dan transpor polutan akibat kebakaran hutan di Pulau Sumatra. Sementara sebagai data sampel atau data TSP setelah letusan abu vulkanik Gunung Marapi (Gambar 6) hanya diukur tiga kali, yaitu 5, 7, dan 11 Agustus 2011. Nilai rata-rata berat SPM setelah letusan abu vulkanik Gunung Marapi sebesar 0,0609 gram dan mencapai maksimum pada 17 Agustus 2011 sebesar 0,0821 gram. Walaupun nilai rata-rata berat TSP setelah letusan abu vulkanik Gunung Marapi lebih tinggi daripada nilai rata-rata berat TSP sebelum letusan Gunung Marapi, namun itu tidak menunjukkan bahwa letusan abu vulkanik berpengaruh secara signifikan terhadap pengukuran TSP di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang. Nilai maksimum berat TSP sebelum letusan abu vulkanik Gunung Marapi (0,1100 gram) lebih tinggi daripada nilai maksimum berat TSP setelah letusan abu vulkanik Gunung Marapi (0,0821 gram).Letusan abu vulkanik mengeluarkan material ke udara yang banyak, sehingga penurunan nilai maksimum berat TSP sebelum dikurangi sesudah letusan abu vulkanik, merupakan bukti yang lebih masuk akal bahwa letusan abu vulkanik Gunung Marapi tidak berpengaruh secara signifikan terdapat pengukuran TSP di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang. Citra Satelit OMI (Ozon Monitoring Instrument) pada Satelit Aura Citra satelit OMI digunakan untuk melihat konsentrasi kolom SO2 di atas Pulau Sumatra untuk dapat membantu menjelaskan fenomena konsentrasi gas
Gambar 6. Konsentrasi TSP di SPAG Bukit Kototabang, kiri: sebelum dan kanan: setelah, letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada 3 Agustus 2011.Baku mutu udara ambien menurut PP no 41 tahun 1999 adalah 230 µg/m3 atau 0,230 mg/ m3. 205
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 6 No. 3, Desember 2015: 119-210
(SO2) di stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang yang terukur lebih kecil setelah letusan abu vulkanik dibandingkan dengan konsentrasi sebelum letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada 3 Agustus 2011. Citra satelit OMI juga mendukung data pengamatan partikel dan gas di stasiun GAW Bukit Kototabang, yang menunjukkan bahwa tidak teramati kenaikan yang signifikan akibat letusan abu vulkanik Gunung Marapi 3 Agustus 2011, terutama pada pengukuran konsentrasi gas SO2 yang disebabkan oleh material abu vulkanik yang bergerak menuju ke barat ke arah pantai Sumatra, bukan menuju ke arah timur ke Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang (Gambar 7). Pada hari berikutnya pada tanggal 4 Agustus 2011, kondisi kolom atmosfer sudah lebih bersih. Model HYSPLIT Volcanic Ash (NOAA) Salah satu model partikel yang berfungsi untuk memperkirakan arah letusan abu vulkanik dan material gunung berapi adalah Hysplit Volcanic Ash Model dari NOAA(Stunder dan Draxler, 2014). Model ini digunakan untuk dapat lebih menjelaskan mengapa konsentrasi partikel dan gas di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang terukur lebih rendah, atau mengapa letusan abu vulkanik Gunung Marapi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengukuran partikel dan gas di stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang. Model tersebut dijalankan dengan skenario Gunung Marapi di Sumatra Barat meletus selama 1 jam, dan terjadi pada 29 Agustus 2011 (Gambar 8). Hasil running model tersebut, menguatkan lagi citra satelit OMI dari satelit AURA bahwa material abu vulkanik Gunung Marapi melayang terbang ke arah barat ke pantai Padang, bukan ke arah Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang. Hubungan Antara Berbagai Parameter Walaupun jarak antara Gunung Marapi dengan SPAG Bukit Kototabang kurang dari 50 km, namun parameter-parameter pengukuran partikel dan gas tidak terlalu terpengaruh. Nilai pengukuran gas SO2 dan nilai pengukuran partikel PM10 dan TSP yang diharapkan tinggi, karena material abu vulkanik akan 206
banyak mengandung gas SO2 dan partikel-partikel yang berukuran sampai 100 mikrometer seharusnya terbawa terbang menuju ke SPAG Bukit Kototabang, ternyata tidak demikian. Data fluktuatif nilai pengukuran gas SO2 dan partikel (PM10 dan SPM) merupakan variabilitas harian, dan banyak dipengaruhi oleh transpor polutan dari daerah lain seperti kebakaran, kegiatan antropogenik di sekitar SPAG Bukit Kototabang, dan bukan akibat dari letusan abu vulkanik Gunung Marapi. Data Citra Satelit OMI pada saat dan setelah letusan didukung dengan output dari Model Hysplit Volcanic Ash (dari NOAA) sangat sesuai dengan data observasi di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang. Arah dan lintasan abu vulkanik letusan abu vulkanik Gunung Marapi ke arah barat atau ke arah pantai Sumatra, bukan ke arah timur (ke arah SPAG Bukit Kototabang), sehingga semua parameter pengukuran partikel dan gas di SPAG Bukit Kototabang, terukur rendah . KESIMPULAN Berdasarkan data dan analisis di atas dapat diambil kesimpulan, letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada 3 Agustus 2011 tidak memengaruhi hasil pengukuran gas SO2 dan partikel (PM10 dan TSP) di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang karena material abu vulkanik Gunung Marapi melayang terbang ke arah barat ke pantai Sumatra, bukan ke arah barat laut ke lokasi stasiun pemantau tersebut berada.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekanrekan SPAG Bukit Kototabang yang telah mengoperasikan dan menganalisis TSP, terutama kepada Yosfi Andri, S.T. dan Aulia Rinadi S.Si. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada NASA (NASA Official: Nickolay A. Krotkov, Web Content: Keith D. Evans (UMBC/JCET), Simon Carn) dalam hal ini menyediakan Citra OMI pada Satelit Aura secara online (http://so2.gsfc.nasa.gov/pix/daily/0811/ sumatra_0811z.html) melalui internet. Penulis juga mengucapkan terima kasih terhadap NOAA yang menyediakan Model Hysplit Volcanic Ashyang diak-
Studi Pengaruh Letusan Abu Vulkanik Gunung Marapi di Sumatra Barat Tanggal 3 Agustus 2011 Terhadap Hasil Pengukuran Gas SO2 dan Partikel (Pm10 Dan Tsp) di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang - Agusta Kurniawan
Gambar 7. Citra Satelit OMI menunjukkan kolom konsentrasi SO2 di Pulau Sumatra, atas: saat terjadi letusan abu vulkanik Gunung Marapi pada 3 Agustus 2011, bawah pada 4 Agustus 2011 (http://so2.gsfc. nasa.gov/, diakses 8 Agustus 2011) 207
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 6 No. 3, Desember 2015: 119-210
Gambar 8. Hasil running Hysplit Volcanic Ash Model dari NOAA, dengan skenario Gunung Marapi meletus pada 29 Agustus 2011, selama 1 jam (http://ready.arl.noaa.gov/READYVolcAsh.php). 208
Studi Pengaruh Letusan Abu Vulkanik Gunung Marapi di Sumatra Barat Tanggal 3 Agustus 2011 Terhadap Hasil Pengukuran Gas SO2 dan Partikel (Pm10 Dan Tsp) di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang - Agusta Kurniawan
ses online melalui http://ready.arl.noaa.gov/READYVolcAsh.php.
DAFTAR PUSTAKA Andrews, J. E., Brimblecambe, P. Jickells, T. D., dan Liss, P. S., 1996. An Introduction to Environmental Chemistry. School of Environmental Sciences. University of East Anglia, Blackwell Sciences, UK. ,Alan.T. D.P. S. Citra OMI dari Satelit Aura. http://so2. gsfc.nasa.gov/ [8 Agustus 2011]. Delmelle, Pierre, Stix, John, Charles, P. Bourque, A., Baxter, Peter J., Alvarez, Julios Garcia, Barquer, Jorge, 2001. Dry Deposition and Heavy Acid Loading in the Vicinity of Masaya Volcano, a Major Sulfur and Chlorine Source in Nicaragua, Environmental Science & Technology, Vol. 35, No. 7, h. 1289-1293. Draxler, R., Stunder, B., Rolph, G., Stein, A., dan Taylor. A, 2009. Hysplit4 User's Guide, Version 4.9, NOAA Technical Memorandum. ?Fotoletusan Gunung Marapi di Sumatra Barat. http:// rafjitsu.blogspot.com/2011/08/aktivitas-gunung-marapimeningkat.html [16 April 2012]. ?Informasi tentang Gunung Marapi. http://catros.wordpress.com/2007/05/11/gunung-marapi/, [16 April 2012]. ?Informasi tentang Gunung Marapi. http://id.wikipedia. org/wiki/Gunung_marapi [16 April 2012]. Informasi tentang Gunung Marapi http://www.bnpb.go.id/ website/asp/berita_list.asp?id=636, [17 April 2012]. Kurniawan, A., 2010. , Pengaruh Letusan GunungSinabung Terhadap Pengukuran Deposisi Asam Di Bukit Kototabang.
Megasains Volume I No.4 Desember 2010, hal.:218-229. Kurniawan, A., 2014, Pengaruh Letusan Gunung Sinabung pada 15 September 2013 terhadap pengukuran deposisi asam di SPAG Bukit Kototabang, Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 5 No.1 April 2014:19 – 38. Kurniawan, E., Nuraliyanti, Ahmad, Mizani, dan Setiawan, Budi, 2011. Karakteristik PM10 Di Wilayah Kemayoran. Megasains Volume 2 No.2 Juni 2011, h.83-91. Lokasi Stasiun Pemantau Atmosfer Global (berskala global) di dunia, http://www.gawsis.de[25 September 2013]. Met One Instruments, Inc., 2001. BAM 1020 Particulate Monitor Operation Manual. Oregon. Miroslav, R. dan Vladimir. B. N., 1999. Practical Environmental Analysis. The Royal Society of Chemistry, Cambridge. Output Model Hysplit Volcanic Ash diperoleh dari NOAA. http://ready.arl.noaa.gov/READYVolcAsh.php. Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1999 tentang Baku Mutu Udara Ambien. Robock, Alan, 2002. Volcanic Eruptions, Volume 1, The Earth system: physical and chemical dimensions of global environmental change,pp 738–744, John Wiley & Sons, Ltd, Chicheste. A.Stunder, Barbara B. dan Draxler, R., 20140. HYSPLIT model description and operational set up for benchmark case study, Workshop on Ash Dispersal Forecast and Civil Aviation, Geneva, Switzerland. Sutamihardja, R.T.M. dan Murniawati,Tati, 2008. Deposisi Asam (Acid deposition). Materi Training Deposisi Asam di Pusarpedal, 28 - 30 Oktober 2008.
209
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 6 No. 3, Desember 2015: 119-210
210