Jangan. Gadis Indian itu takkan sanggup menggunakan sepucuk surat untuk kepentingannya. Maka ia mengalah saja. “Boleh Karjaku sayang! Permintaanmu akan kupenuhi dengan segala senang hati. Jadi, katakan saja, di mana dapat ditemukan harta itu, sayang?” “Surat pernyataannya lebih dahulu, Alfonso sayang!” “Baik. Besok sore akan kusiapkan.” “Memakai meterai.” “Baik.” “Malam harinya akan kuberitahukan tempat persembunyian itu.” “Mengapa baru malam hari? Surat itu akan kau peroleh sore hari. Bolehkah aku datang mengunjungimu?” “Jangan. Aku takut, kalau Emma atau seorang pelayan datang. Mereka dapat menemukan kita berdua.” “Kau saja datang padaku.” “Masa aku yang datang?” tanyanya ragu-ragu. “Kau takut?” “Tidak. Aku akan datang.” Kembali dipeluk dan diciumnya Karja, meskipun ia harus memaksakan diri berbuat demikian. Memang benar ia menyukai gadis-gadis, tetapi gadis Indian tidak sesuai dengan seleranya. Sedang Alfonso dan Karja duduk-duduk di bawah pohon zaitun, Unger mengantar Tecalto ke tempat tidurnya di atas rumput. Ia sudah biasa tidur beratap langit. Sebelum tidur, hendak menghirup udara segar lebih dahulu. Ia duduk di tepi kolam dahulu, di tengah-tengahnya terdapat sebuah air mancur. Belum lama ia duduk, ia mendengar jejak kaki perlahan-lahan di atas rumput. Seorang wanita melangkahkan kaki ke arah air mancur. Ia mengenali Emma, lalu segera berdiri, supaya jangan disangka mata-mata. Emma melihatnya juga, lalu agak ragu-ragu. “Senorita, jangan ragu-ragu! Silahkan ke mari,” kata Unger. “Aku segera meninggalkan tempat ini, supaya jangan mengganggu Anda!” “O, Andakah itu? Kukira, Anda sudah lama tidur.” “Kamar itu agak panas bagi saya; saya masih harus menyesuaikan diri.” “Demikian juga dengan saya, maka saya ke mari.” “Nikmatilah kesegaran malam, tanpa diganggu. Selamat malam, senorita.” Unger hendak pergi, tetapi Emma menahan sambil memegang tangannya. “Biar Anda tetap di sini, bila Anda kehendaki. Alam indah ini kepunyaan Tuhan dan cukup luas untuk kita nikmati berdua. Anda sekali-kali tidak mengganggu saya!” Ia menurut dan duduk di tepi kolam di sisi gadis itu. Dalam pada itu kepala suku Mixteca membaringkan diri di taman dekat pagar. Ia
menengadah ke langit dan melamun tentang bulan-bulan dan bintang-bintang, berjuta-juta banyaknya, yang tiada hentinya berputar dan dipuja oleh nenek moyangnya itu. Meskipun demikian tiap suara yang halus pun tiada luput dari perhatiannya. Benarkah ia mendengar langkah kaki perlahan-lahan di atas rumput dan suara berbisik? Ia mengetahui, bahwa pangeran selalu berusaha mendekati adiknya dan adiknya tidak sanggup mempertahankan diri terhadap rayuan sang pangeran. Maka curiganya mulai bangkit. Sudah selama satu jam pangeran maupun Karja tiada nampak di hacienda. Mungkin mereka diam-diam mengadakan pertemuan di taman? Itu harus diselidikinya. Perlahan-lahan ia berdiri dan memanjat pagar secara lincah, seperti biasa dilakukan oleh seorang Indian. Kemudian ia meniarap di atas rumput dan menyelinap, tanpa mengeluarkan suara, sehingga sampai tiada tertangkap oleh pendengaran Unger yang sudah terlatih. Maka orang Indian itu dapat mencapai tepi seberang kolam dan mendengar tiap-tiap kata yang diucapkan oleh kedua orang itu. “Senor, saya sebenarnya harus marah kepada Anda,” kata Emma. “Anda telah menyebabkan saya ketakutan tadi.” “Berhubung dengan kuda itu? Ya, Anda merasa ketakutan tanpa alasan. Saya pernah menjinakkan kuda-kuda sekurang-kurangnya sama liar dengan kuda itu. Lihat saja, kuda hitam itu sekarang sudah jinak sekali, sampai seorang wanita pun dapat menungganginya.” “Tetapi masih ada baiknya, kejadian siang tadi. Anda terpaksa melepaskan incognito Anda. Anda tak dapat pura-pura bodoh lagi.” “Bukan pura-pura bodoh,” katanya sambil tertawa. “Itu hanya kebiasaan saya untuk berhati-hati. Justru karena orang menganggap saya pemburu biasa, saya sering dapat memperoleh keuntungan.” “Tetapi kepada saya hal itu tidak perlu disembunyikan, bukan? Rahasia yang jauh lebih besar, sudah Anda percayakan kepada saya.” “Rahasia itu sebenarnya tidak ada harganya bagi saya. Gua, yang berisi harta karun itu, besar kemungkinan tidak akan saya temukan, meskipun saya ada di dekatnya.” “Mengapa demikian?” “Keadaan tanah, pegunungan dan sungai di daerah sekitar saya, telah saya selidiki. Daerah terakhir yang kita lalui, sesuai benar dengan peta saya.” “Jadi ada harapan, Anda dapat menemukan harta itu dengan bantuan peta Anda.” “Benar, tetapi saya rasa, tidak dapat melanjutkan penyelidikan itu. Saya raguragu, apakah saya mempunyai hak untuk mengambil harta itu.” “Saya kira, Anda mempunyai hak, bila Anda dapat menemukannya. Meskipun saya tidak melebih-lebihkan keuntungan memiliki harta itu, namun sudah pasti dengan memilikinya, Anda dapat memenuhi berbagai keinginan dalam hidup Anda. Beriburibu orang ingin kekayaan demikian. Maka carilah, senor. Anda akan menemukannya!” “Benar, harta itu membuat kita berkuasa,” katanya sambil termenung. “Di negeri saya, ada seorang saudara yang miskin. Saya dapat membuatnya bahagia dengan harta itu. Tetapi harta itu sudah ada pemiliknya. Tentu keturunan raja-raja itu berhak memilikinya.” “Dari siapa Anda memperoleh peta itu?” “Dari seorang Indian, seperti sudah saya katakan. Ia luka dan meninggal, sebelum
ia dapat memberi keterangan-keterangan yang diperlukan secara lisan.” “Namanya tidak tertera?” “Tidak. Di sudut tertera sebuah lambang aneh. Baik, saya mengambil keputusan akan tetap mencarinya. Tetapi bila saya menemukannya, saya tak akan menyentuhnya, sebelum saya dapat bertemu dengan pemilik yang sah.” “Senor, Anda benar-benar seorang yang berbudi luhur.” “Saya hanya mendengarkan kata hati, tak mau mengerjakan sesuatu yang tidak adil.” “Saudara Anda itu miskin?” “Benar. Ia seorang pelaut dan ia selalu bergantung pada orang lain, kalau tak ada bantuan dari luar. Saya sendiri hanya memiliki sedikit uang dari hasil perburuan.” “Milik Anda pasti lebih besar. Saya tidak percaya, seorang seperti Panah Halilintar, tidak memiliki harta lebih banyak. Maksud saya, harta lain dari emas.” “Memang saya kenal harta demikian. Harta tak ternilai besarnya. Bila saya memiliki seratus kehidupan, semua rela saya abdikan kepadanya.” “Bolehkah saya mengetahui, harta apakah yang Anda maksud gerangan?” Lalu suara Unger berubah menjadi terharu sekali, ketika ia membisikkan, “Andalah harta itu.” “Saya percaya kepada perkataan Anda,” kata gadis itu secara sederhana. “Saya beranggapan, bahwa hati manusia harus kita nilai lebih tinggi dari harta benda. Ingin saya sampaikan juga, bahwa saya pun mengenal harta rohani yang tak ternilai harganya.” Unger, ketika mendengar ini merasa gembira, karena menduga sesuatu, yang sampai sekarang belum berani diharapkannya. “Harta apakah yang Anda maksudkan, senorita?” “Andalah — tidak, saya salah — kaulah harta itu, Antonio!” Dengan mengucap kata-kata itu didekapnya Unger dan dilekatkan kepalanya pada dadanya. “Sungguhkah demikian, mungkinkah demikian?” tanyanya. “Sungguh. Pertama kali aku melihatmu, ketika melepaskan belengguku, kemudian mengangkatku ke atas kuda, aku mengagumimu, aku cinta padamu. Kini aku milikmu. Mulai sekarang setiap saat dalam hidupku kuabdikan kepadamu.” Maka ia pun membalas memeluk gadis itu dan berbisik, “Alangkah bahagia aku! Hampir-hampir tidak dapat dipercaya, bahwa nasib yang begitu baik menimpa seorang pemburu miskin.” Mereka masih berpelukan beberapa waktu lamanya dan tidak mendengar, bahwa di tepi seberang ada sesuatu yang bergerak. Itulah si Kepala Banteng, sedang menyelinap kembali ke tempat tidur. Keesokan harinya, ketika Unger baru bangun, haciendero sudah masuk ke dalam
kamarnya, memberi salam pagi. Dalam waktu singkat dalam perkenalan mereka haciendero sudah menaruh simpati yang besar pada tamunya. “Saya datang dengan sebuah permintaan,” katanya. “Akan saya kabulkan, bila mungkin,” jawab Unger. “Sampai sekarang Anda belum sempat memikirkan pakaian Anda. Saya menganggap, itu sudah perlu ditukar dengan yang baru dan boleh saya katakan saya mempunyai persediaan cukup dalam bidang itu. Jika Anda mau, harga-harga yang saya pasang, sangat murah.” Unger menangkap maksud baik tuan rumah, namun di satu pihak ia tidak mau menyinggung perasaan dan di pihak lain ia pun sadar, bahwa baju perburuannya sudah sangat tidak layak. Ia berpikir sejenak, lalu menjawab, “Baik, saya terima tawaran Anda, senor Arbellez, tetapi dengan satu syarat, yaitu bahwa harganya janganlah terlalu tinggi, sebab saya hanyalah seorang miskin.” “Hm. Sedikit harus dibayar juga, meskipun soal pembayaran tidak perlu dilakukan segera. Mari, senor, akan kuperlihatkan persediaanku!” Ketika Unger sejam kemudian berdiri di muka sebuah cermin, dirinya hampir-hampir tak dapat dikenali lagi. Ia memakai celana Meksiko, bersulamkan benang emas dan terbuka sedikit jahitan di bawahnya; sepatu bot ringan berpacu besar-besar; kemeja putih bersih dan baju luar pendek yang terbuka bagian depannya serta dihiasi dengan uang emas dan perak. Di atas kepala dipakainya topi sombrero bertepi lebar dan pinggangnya berlilitkan selendang sutera Cina yang sangat halus. Rambutnya dipangkas dan janggutnya digunting rapih-rapih. Hampir-hampir ia tak dapat mengenali dirinya kembali dalam pakaian yang indah dan mewah. Ketika ia masuk ke dalam kamar makan untuk makan pagi, dijumpainya Emma di situ. Gadis itu merah mukanya, ketika dilihatnya, betapa banyak perubahan yang terjadi atas diri Unger. Karja baru sekarang dapat melihat, betapa gagahnya orang kulit putih itu. Barangkali ia membanding-bandingkan dengan pangeran. Kedua kepala suku Indian pura-pura tidak melihat perubahan itu. Hanya seorang menjadi kesal sekali. Orang itulah pangeran. Ia sedang gembira, mengingat harta karun akan jatuh ke dalam tangannya. Ketika ia masuk ke ruang makan untuk makan pagi, demi dilihatnya Unger menjadi pusat perhatian, ingin sekali ia langsung meninggalkan ruang itu. Apalagi ketika dilihatnya Emma asyik berbicara dengannya. Pangeran menggertakkan giginya dan mengambil keputusan, diam-diam hendak mencelakakannya. Selesai makan pagi, Emma minta kepada Unger dan ayahnya, supaya jangan meninggalkan ruangan dahulu. Unger sama sekali tidak menduga, apa yang dikehendaki gadis itu. Tetapi ketika mereka hanya bertiga, maka gadis cantik itu menarik ayahnya, lalu berkata, “Ayah, bukankah kemarin kita berunding untuk menentukan, bagaimana sebaiknya kita dapat membalas budi senor Unger?” “Memang,” katanya, “namun kita tak dapat menemukan caranya.” “Kemudian saya terus memikirkan hal itu,” kata gadis itu. “Dan akhirnya saya menemukan cara paling tepat. Mau ayah melihatnya?” “Tentu saja, nak!” Maka Emma menghampiri Unger, lalu menciumnya. “Inilah cara yang saya maksudkan, ayah, dan saya kira, ia patut menerima.” Mata haciendero bercahaya dan berlinang-linang. “Apakah senor Unger juga berkenan dengan hadiah itu?” “Saya bergembira, ayah, karena tahu, bahwa Antonio mencintaiku.”
“Sudahkah ia mengatakan sendiri?” “Sudah!” katanya dengan air mata berlinang. “Bilamana?” “Semalam. Di taman. Tapi ayah, perlukah Anda mengetahui semua? Tidak cukupkan Anda mengetahui, bahwa saya sedang bahagia?” “Memang, itu sudah cukup, meskipun harus kukatakan bahwa kamu telah membuatku bahagia juga. Dan bagaimana dengan Anda, senor Unger, benarkah Anda rela menjadi menantu seorang yang sudah tua dan sederhana?” “Saya merasa bahagia sekali!” jawabnya. “Tetapi saya ini hanya seorang miskin.” “Tidak apa. Justru saya menjadi lebih kaya lagi oleh karena itu. Semoga Tuhan memberkati kita semua dan menjadikan hari ini permulaan dari kehidupan yang bahagia!” Mereka saling memeluk dalam keadaan yang penuh bahagia, ketika pintu terbuka dan pangeran masuk ke dalam. Ia berdiri terpaku. Segera diketahuinya, apa yang sebenarnya terjadi dan ia menjadi pucat karena berangnya. “Saya merasa, bahwa saya mengganggu!” katanya. “Jangan pergi dahulu, dengarlah tentang pertunangan puteri saya dengan senor Unger!” kata haciendero. “Saya ucapkan selamat!” Setelah mengucapkan perkataan itu, dengan amarah yang tertekan, ia meninggalkan ruangan. Pedro Arbellez tidak tanggung-tanggung mengumumkan kepada para pegawainya, bahwa hari itu menjadi hari libur berhubung dengan perayaan pertunangan senorita Emma. Hacienda dengan daerah sekitarnya menjadi ramai. Gegap gempita terdengar tempik sorak kaum vaquero serta orang-orang Indian, pekerja hacienda. Semua sayang kepada majikannya. Mereka pun mengenal senor Unger sebagai seorang pahlawan yang gagah perkasa, maka sangat rela menganggap sebagai tunangan gadis, puteri majikannya itu. Ketika Unger hendak pergi ke padang rumput, dijumpainya kepala suku Mixteca. “Kau seorang yang gagah berani,” kata kepala suku itu. “Kau menaklukkan lawanmu serta merebut hati gadis tercantik di negeri ini. Semoga Manitou memberkatimu!” “Benarlah, aku telah mendapat rezeki besar,” jawab si kulit putih. “Aku pemburu miskin, tiba-tiba menjadi seorang haciendero yang kaya raya.” “Kau tidak miskin, kau kaya!” “Bagaimana dapat dikatakan kaya,” kata Unger sambil tertawa, “tidurku beratap langit, berselimut embun.” “Tidak,” kata orang Indian itu sungguh-sungguh. “Kau benar-benar kaya. Bukankah kau mempunyai peta tentang harta karun?” Orang kulit putih itu melangkah ke belakang, terheran-heran. “Dari mana kau ketahui?” “Aku mengetahui! Bolehkah aku melihat petanya?” “Boleh. Ikut saja aku!” Unger mengantarkan orang Indian itu ke kamarnya, lalu membentangkan secarik kertas yang agak kumal di hadapannya. Tecalto melayangkan pandangnya ke arah sudut peta itu.
“Benarlah. Ini lambang Toxertes, ayah dari ayahku. Ia harus meninggalkan tanahnya dan tidak kembali lagi. Kau tidak miskin. Maukah kau melihat gua yang berisi harta karun itu?” “Dapatkah kau tunjukkan kepadaku?” “Dapat.” “Milik siapakah harta itu?” “Milikku dengan Karja. Kami adalah sisa dari keturunan raja-raja Mixteca. Sukakah kutunjukkan jalannya?” “Suka.” “Bersiaplah menjelang tengah malam. Perjalanan hanya dapat ditempuh pada malam hari. Tak boleh diketahui orang. Hanya wanita yang kau cintai boleh mengetahuinya. Karena ia sudah mengetahui bahwa kau sedang mencari harta itu.” “Aneh. Dari mana dapat kau ketahui?” “Aku telah mendengar tiap-tiap kata, yang kau ucapkan semalam di taman. Kau memiliki peta itu, namun tidak mau mengambil harta. Kau ingin bertemu lebih dahulu dengan pemilik yang sah. Kau seorang yang jujur, jarang bersua pada orang kulit putih lainnya. Karena itu kau akan diberi kesempatan melihat harta itu.” Sejam kemudian, pada waktu makan siang, ketika orang-orang masih bercakap-cakap sehabis makan, gadis Indian itu menyelinap ke kamar pangeran. “Sudahkah kau siapkan suratnya?” “Dapatkah kau membaca?” “Dapat,” jawab gadis itu bangga. “Inilah suratnya!” Alfonso memberi Karja selembar kertas, yang berisi tulisan seperti berikut:
“Dengan ini saya menyatakan, bahwa telah menerima harta raja-raja Mixteca, saya menganggap diriku sebagai tunangan Karja, ahli waris raja-raja itu, lalu hendak membawanya sebagai isteri ke tanah air saya. Alfonso Pangeran de Rodriganda y Sevilla.”
“Cukupkah demikian?” tanyanya. “Perkataannya benar, hanya masih belum ada materainya.” “Itu tidak perlu.” “Kau telah berjanji kepadaku.” “Baik, meterai itu akan kau dapat,” katanya dengan menyembunyikan kekesalan hatinya. Alfonso membubuhkan capnya di bawah surat itu.
“Ini, Karjaku! Sekarang pegang juga janjimu!” “Akan kupegang janjiku. Tahu kau letak gunung El Reparo?” “Saya tahu. Letaknya empat jam perjalanan dari sini ke arah barat.” “Bentuknya menyerupai bendungan yang memanjang, tempat keluarnya tiga anak sungai. Anak sungai di tengahlah, yang harus kau perhatikan. Permulaannya bukan suatu mata air. Anak sungai itu keluar dari dalam tanah, sudah sebagai sungai yang lebar. Kau dapat mengarungi air itu dengan membungkuk di tempat air itu keluar dari gunung. Bila tempat itu kau masuki, kau akan tiba dalam gua.” “O, mudah kalau begitu.” “Memang mudah.” “Apakah diperlukan juga penerangan?” “Di sebelah kanan ruang masuk itu akan kau temukan beberapa batang obor.” “Sudah semua yang hendak kau beritahukan kepadaku?” “Sudah semua.” “Benarkah harta itu dapat ditemukan di situ?” “Seluruh harta selengkapnya.” “Terima kasih, Karjaku sayang! Kini kau sudah menjadi tunanganku dan tak lama lagi kau akan menjadi isteriku. Tetapi lekas pergi sekarang! Orang dapat menemukan kita berdua.” Karja pergi. Ia telah berkorban dan korban itu menekan berat kepada jiwanya. Ia harus menghadiri pesta pertunangan hari itu, tetapi sebenarnya hatinya merasa sedih. Pangeran tetap tinggal dalam kamar. Siang hari datanglah seorang pengantar surat dari ibu kota Meksiko. Surat itu dialamatkan kepadanya pribadi. Setelah surat itu dibaca, ia melamun sejenak, kemudian melompat dan berkata dalam hati, “Mungkin merupakan suatu kejahatan. Peduli apa! Aku setuju, karena akan mendatangkan mahkota pangeran bagiku. Untunglah aku sudah siap untuk berangkat. Akan kubawa kekayaan, akan menjadi bahan iri hati raja-raja di dunia.” Surat itu berbunyi demikian:
“Keponakanku yang baik! Ayahmu telah menulis surat. Surat itu diterima delapan hari setelah kepergianmu. Engkau harus berangkat ke Spanyol, ke istana keluarga Rodriganda. Akan tetapi, pangeran Fernando yang sudah tua sudah meninggal lebih dahulu. Kapten Landola sementara itu akan berangkat ke Vera Cruz. Pamanmu Pablo Cortejo.”
BAB III
HARTA KARUN RAJA-RAJA Perayaan berlangsung, tanpa mendapat gangguan sesuatu, terutama karena pangeran tidak menampakkan diri. Kini ia sudah tahu rahasianya. Ia menyuruh kedua pelayannya mengemasi barangbarangnya. Setelah makan malam, diberitahukannya kepada Arbellez, bahwa ia akan berangkat malam itu. Meskipun perbuatan itu tampak ganjil, namun Arbellez tidak menanyakan sebabnya atau berusaha menghalang-halangi. Ketika Alfonso kemudian meninggalkan rumah, dijumpainya Karja, sudah menanti di taman beberapa waktu lamanya. Karena sudah yakin tujuannya akan berhasil, ia berbuat bodoh dengan mengatakan kepada Karja, “Tadi telah kuberitahukan pada Arbellez, bahwa aku akan berangkat.” “Ke mana?” tanya gadis itu. “Ke ibu kota.” “Dan bagaimana dengan hartanya?” “Itu akan kuambil lebih dahulu. Mungkin hanya sebagian dahulu. Pelayanku siap sedia dengan kudanya dan akan pergi ke gunung El Reparo, untuk menggali harta tersebut. Dari situ aku langsung pergi ke Meksiko.” “Bilamana kau kembali lagi?” “Entahlah.” “Kau jemput aku di sini?” “Baru setelah rencanaku benar-benar selesai.” Perkataan itu diucapkan dengan nada agak menyindir. Gadis Indian itu mulai menyadari, bahwa ia sedang dipermainkan. “Bila kau tidak kembali, saya akan mencarimu di ibu kota,” katanya. “Janganlah berbuat demikian. Kau tinggal menantikan kedatanganku kembali di sini!” kata pangeran dengan sombong. “Kau berani menegurku dengan nada sombong itu? Kukira, seorang pangeran tidak layak memperlakukan calon isterinya sedemikian rupa.” “Harus kau cari kesalahan pada dirimu sendiri. Bila kau datang dengan permintaan yang aneh-aneh, maka kau tak layak dapat kubawa ke dalam kalanganku.” Gadis itu terkejut dan berkata terbata-bata, “Kurasa kau mempermainkanku! Kau pandai berpura-pura, hanya untuk mendapatkan harta itu.” “Seorang pangeran tidak dapat berbohong, soalnya, aku hanya lebih cerdik daripadamu. Harta itu sudah menjadi milikku dan kau harus tunduk pada peraturanku. Bila kau tak mau, terserahlah. Aku tidak merasa terikat lagi oleh perjanjian kita.” Karja memekik. Pangeran terkejut dan menyesal atas perbuatan bodoh itu. Ia mendengar bunyi
langkah kaki di lorong. Kesombongannya berubah menjadi rasa sangat ketakutan. Cepat ia melarikan diri ke tempat pelayannya sedang menanti. Karja berjalan terhuyung-huyung, masuk ke dalam rumah dan langsung jatuh pingsan di dalam tangan Arbellez. Arbellez membawanya ke dalam kamar. Tidak lama kemudian berduyun-duyunlah orang masuk ke dalam rumah. Mula-mula tak ada yang mengetahui, bahwa orang kulit putih dengan si Kepala Banteng tidak hadir di situ. Emma berlutut di sisi gadis pingsan itu. Kemudian Karja membuka mata, melepaskan diri dari pegangan kawannya, lalu bangkit. Dengan muka merah padam, ia berseru sekuat suaranya. “Uf, siapa mau ikut aku untuk menangkap dan membunuh pangeran, karena ia seorang penipu dan pengkhianat. Ia bermaksud mencuri harta raja-raja dan ia telah pergi bersama dua orang pelayan ke gunung El Reparo.” “Masya Allah!” kata Emma. “Senor Unger telah pergi juga dengan Tecalto ke situ. Sebenarnya harus kurahasiakan, tetapi apa boleh buat! Keadaan memaksa!” “Maka mereka dalam bahaya!” seru gadis Indian itu. “Pangeran akan menemukan senor Unger dan abangku di situ dan akan membunuh mereka. Senor Arbellez, tiuplah serunai tanda ada bahaya! Kumpulkan semua vaquero dan cibolero! Mereka harus ke gua-gua harta raja-raja untuk menyelamatkan kedua orang itu.” Kini terdengar bunyi hiruk-pikuk orang bertanya dan menjawab. Hanya orang Apache itu tetap tenang saja. Ia sedang memperhatikan Karja. Alangkah cantik gadis itu, ketika meluap-luap amarahnya. Perangai wanita Indian sejati! Maka berkatalah ia, “Siapa tahu, di mana letak gua itu?” “Saya,” jawab Karja. “Saya dapat menunjukkan pada Anda jalan ke situ.” “Dapatkah dicapai dengan naik kuda?” “Dapat.” “Biar gadis itu dengan seorang vaquero menemani saya! Lebih dari itu tidak saya perlukan. Karena lawan kita hanyalah tiga orang.” “Saya pun turut!” kata Arbellez. “Jangan!” kata orang Apache itu tegas. “Kalau Anda pergi, siapa yang mengatur hacienda? Berikan saya seorang saja. Yang lain perlu menjaga hacienda. Itulah yang sebaiknya.” Itu pun yang dikerjakan mereka. Arbellez pergi dan tak lama kemudian vaquero yang diperlukan tiba. Karja menaiki kuda, lalu mereka berangkat. Suasana hiruk pikuk yang baru lalu menyebabkan keberangkatan agak terlambat. Beberapa jam sebelumnya, selesai perayaan pesta pertunangan, orang-orang sudah menuju ke tempat tidurnya, pergilah si Kepala Banteng ke kamar Unger. “Sudah siap?” Kepala Banteng bertanya. “Sudah.” “Mari kita berangkat!” Unger mengambil senjata dan mengikuti orang Indian itu. Di bawah, tiga ekor kuda sudah siap, dua ekor berpelana dan seekor lagi berpelana pembawa beban. “Apa maksud Anda dengan kuda itu?” tanya Unger sambil menunjuk ke arah kuda beban itu.
“Telah kukatakan, bahwa kau bukan seorang miskin. Kau tidak mau mencuri harta ini. Karena itu kau diizinkan, membawa pulang sebagian harta itu, sebanyak yang dapat diangkut oleh seekor kuda.” “Apa-apaan!” seru Unger terkejut. “Jangan bantah, lekaslah, ikut aku.” Orang Indian itu naik ke atas kudanya, memegang tali kekang kuda beban itu, lalu pergi. Pemburu itu mengikutinya. Hari gelap gulita, tetapi orang Indian itu mengenal jalannya dan kuda Meksiko separuh liar itu matanya setajam kucing dalam gelap. Mereka tidak dapat maju pesat, karena harus menempuh jalan pegunungan, yang hampir tidak dapat dilalui. Si Kepala Banteng tidak berkata sepatah kata pun. Malam itu sunyi sepi. Tak ada suara lain yang terdengar selain bunyi dengus kuda. Sejam berlalu, sejam lagi dan sejam lagi. Kemudian terdengar desir air. Mereka tiba pada suatu anak sungai dan menelusurinya. Sekonyong-konyong mereka melihat sebuah punggung gunung di hadapannya. Di kaki gunung orang Indian itu turun dari atas kudanya. “Kita akan menunggu di sini sampai hari menjadi siang,” katanya. Unger turun dari atas kudanya, membiarkan kudanya memakan rumput dan duduk di atas sebuah batu besar di sisi Kepala Banteng. “Sudah dekatkah gua itu?” tanyanya. “Sudah. Di tempat air keluar dari pegunungan. Kau harus masuk ke dalam air, membungkukkan badan dan merangkak ke dalam lubang. Kau akan tiba di gua itu. Tak seorang pun mengetahui tentang besar dan berapa jumlah cabang-cabang gua itu, kecuali Kepala Banteng dan Karja.” Unger ingat perkataan Emma yang berhubungan dengan hal itu, lalu katanya, “Akan tetapi seorang yang ingin mengetahui rahasia itu dari Karja. Ialah pangeran Alfonso.” “Uf! Kita harus hati-hati!” “Kau kawanku, harus kau ketahui, bahwa adikmu menaruh cinta kepada orang Spanyol itu.” “Aku sudah mengetahui.” “Tapi bila ia membuka rahasia itu kepadanya?” “Dalam hal itu Kepala Banteng masih ada. Orang kulit putih itu tak akan mendapat bahagian sedikitpun juga dari harta itu.” “Besarkah harta itu?” “Kau akan melihatnya sendiri. Semua emas di Meksiko dikumpulkan menjadi satu, masih belum sepersepuluh bagian dari harta itu. Hanya seorang kulit putih berhasil menyaksikan harta itu dan...” “Kau telah membunuhnya?” “Tidak. Ia tidak perlu dibunuh, karena ia menjadi gila, setelah melihat harta itu, dan karena kegembiraan yang amat besar. Orang kulit putih itu tidak dapat menahan diri, melihat harta terkumpul sebanyak itu. Hanya orang Indian yang tahan.” “Dan kau hendak memperlihatkan sebagian saja dari harta itu kepadaku juga?” “Tidak, aku hendak memperlihatkan sebagian saja dari harta itu kepadamu, karena
aku sayang kepadamu. Aku tak ingin melihatmu menjadi gila juga. Coba boleh aku periksa nadimu?” Orang Indian itu memegang tangan Unger, lalu meraba nadinya. Kemudian ia berkata, “Benar, kau orang kuat. Jiwamu masih belum terpengaruh emas itu. Tetapi bila kau sudah masuk gua itu, darahmu akan berdesir seperti air terjun dari batu karang itu.” Percakapan itu terhentilah. Orang kulit putih itu dihinggapi perasaan aneh. Kini langit mulai menampakkan warna. Cahaya sayup-sayup di timur mulai bertambah terang. Tak lama kemudian makin jelas kelihatan benda-benda di sekitarnya. Unger melihat di hadapannya gunung El Reparo. Lerengnya penuh pohon eik. Di kaki gunung keluarlah sebuah anak sungai dari dalam batu-batunya. Anak sungai itu lebar satu meter dan dalam satu setengah meter. “Itukah jalan masuknya?” tanyanya. “Benar,” jawab si Kepala Banteng. “Tetapi kita belum akan masuk. Kita harus menyembunyikan kuda-kuda kita. Orang yang harus menjaga harta harus berlaku hati-hati.” Mereka menyembunyikan kuda di balik semak-semak. Kemudian mereka kembali ke anak sungai, lalu menghapus jejak kaki mereka, seperti biasa dilakukan orang Indian. Akhirnya mereka sampai pada batu karang, tempat air itu keluar melalui suatu lubang. “Mari!” kata si Kepala Banteng, lalu masuk ke dalam air; di antara permukaan air dengan batu karang terdapat ruang kosong, sehingga mereka dapat mengangkat kepala ke atas air. Selama beberapa waktu mereka harus mengarungi air, kemudian tiba dalam ruangan gelap. Udara di situ kering, meskipun ada anak sungai. “Coba lihat tanganmu!” perintah orang Indian itu, lalu mengantar pemburu itu ke tempat kering. Kemudian dirasakan lagi denyut nadinya. “Jantungmu kuat!” katanya, “aku akan menyalakan obor.” Ia menjauh beberapa langkah dari Unger. Tak lama kemudian tampak kilatan api di udara, diikuti oleh bunyi desis lalu sebatang obor mulai menyala. Tetapi apa yang terjadi? Bukan hanya sebatang, melainkan tampak seperti beriburibu batang menyala serentak. Unger merasa seperti di tengah-tengah matahari, cahayanya menyilaukan mata. Sedang menghadapi pancaran cahaya terang benderang itu, terdengar suara orang Indian itu berkata, “Inilah gua dengan harta raja-raja! Kuatkan imanmu!” Beberapa saat berlalu, sebelum mata Unger dapat membiasakan diri dengan keadaan cemerlang ini. Gua itu berbentuk bujur sangkar tinggi, panjang dan lebarnya kira-kira enam puluh langkah kaki dan dilalui anak sungai itu. Anak sungai itu permukaannya ditutup dengan plat-plat batu. Ruang itu dari lantai dasar sampai ke langitlangit yang lengkung, penuh berisi barang perhiasan yang tak ternilai harganya, cahaya yang menyilaukan itu dapat menggoncangkan iman, biar berapa teguh sekalipun. Terdapat berhala-berhala bertahtakan ratna mutu manikam, terutama yang melambangkan dewa udara Quetzalcoatl, dewa pencipta Tetzkatlipoka, dewa perang Huitzilopochtli dengan isterinya dewi Teoyaniqui, serta berhala saudaranya Tlakahuepankuexkotzin. Selanjutnya berhala dewi air Chalcuikueja, dewi api
Ixcozauhqui dan dewa anggur Cenzontotochtin. Beratus-ratus dewa rumah terdapat di atas rak-rak; patung-patung demikian terbuat dari logam mulia atau diasah dari batu kristal. Di antaranya terdapat bermacam-macam alat perang emas, potpot emas dan perak, perhiasan bertahtakan intan, pisau untuk memotong kurban, pucuknya bertatahkan batu berkilauan. Pucuk pisau itu sendiri sudah tidak ternilai harganya. Perisai dari kulit binatang berlapis emas tempa. Di tengah langit-langit tergantung sesuatu bagaikan lampu hias yang menakjubkan. Sebuah mahkota raja berbentuk mahkota seperti sebuah pici, terbuat dari benang emas kasar bertatahkan intan. Selanjutnya tampak kantong-kantong penuh dengan pasiremas dan serbuk-emas, peti-peti berisi butir-butir emas sebesar kacang hijau sampai sebesar telur burung merpati. Terlihat juga bungkah-bungkah perak murni, keluar dari urat-urat di dalam tanah. Di atas meja-meja besar terdapat contoh berbagai bangunan, seperti kuil Meksiko, Cholula dan Teotihuakan, tak perlu lagi disebut barang-barang mosaik indah memakai bahan kulit kerang, emas, perak, batu mulia serta mutiara, yang berserakan terhampar di atas tanah. Melihat harta sebanyak ini orang kulit putih itu mabuk. Ia merasa seperti seorang pangeran dalam dongeng Seribu-Satu-Malam. Ia berusaha sekuat tenaga, supaya tetap tenang, namun tanpa hasil. Unger merasa berdebar-debar, intan yang besar-besar itu tampak seolah-olah berpusing di hadapan matanya. Ia benar-benar mabuk. Ia pun menyadari bahwa kekayaan sebesar itu dapat mendatangkan pengaruh buruk bagi kita. Sehingga kita terdorong oleh keserakahan, akhirnya dapat melakukan perbuatan jahat yang sekeji-kejinya. “Inilah gua harta raja-raja,” demikian orang Indian itu mengulangi perkataannya. “Dan harta ini hanyalah aku dan Karja pemiliknya, keturunan terakhir dari rajaraja Mixteca.” “Maka kau lebih kaya dari raja-raja lain di dunia ini!” kata Unger menyatakan kekagumannya. “Kau salah! Aku sebenarnya lebih miskin dari kau dan siapapun juga. Atau perlukah kau iri hati kepada keturunan raja-raja, yang sudah tak berkuasa dan kerajaannya sudah hancur menjadi puing? Para prajurit, pemakai perkakas perang ini, dihormati oleh rakyatnya. Sepatah kata yang mereka ucapkan dapat menentukan hidup atau mati. Harta mereka masih utuh, akan tetapi kuburan, tempat menaruh tulang-tulang mereka, sudah dirusak oleh orang kulit putih. Abu jenazah mereka berserakan ditiup angin. Cucu-cucu mereka mengembara di hutan-hutan serta padang prairi. Pekerjaannya memburu banteng. Kemudian datang orang kulit putih. Ia pun dusta dan penipu, ia memerangi serta membunuh bangsaku, hanya untuk memperoleh harta ini. Tanah sudah menjadi kepunyaannya, tetapi orang Indian sudah menyingkirkan harta ke tempat yang gelap di bawah tanah, agar tidak terjamah oleh tangan perampok. Namun kau ternyata tidak seperti yang lain, hatimu tidak mengenal kejahatan. Kau telah menyelamatkan adikku dari tangan kaum Comanche. Kau adalah saudaraku. Karena itu kau boleh membawa pulang sebagian harta, sebanyak yang dapat diangkut oleh seekor kuda. Tetapi dua jenis yang boleh kau miliki. Lihatlah bungkah-bungkah emas ini, lalu barang-barang perhiasan seperti cincin, rantai, gelang dan lain-lain. Pilih mana yang kau sukai. Akan tetapi benda-benda lain adalah benda suci. Benda-benda itu tidak boleh kena cahaya matahari, matahari yang telah menyaksikan tenggelamnya bangsa Mixteca.” Unger melihat bungkah-bungkah emas dan benda-benda perhiasan itu. Kepalanya menjadi pusing. “Tetapi benda-benda yang hendak kau hadiahkan itu beratus-ratus dolar harganya!” “Bahkan mungkin berjuta-juta dolar.” “Aku tidak dapat menerimanya!” “Kau hendak menolak pemberian sahabatmu?” “Tidak, tetapi aku tak mau kau harus berkorban untukku.”
Orang Indian itu menggelengkan kepalanya. “Itu bukanlah korban. Apa yang kau lihat di sini, hanya sebagian dari hartaharta yang disimpan di El Reparo. Masih ada beberapa gua lagi. Bahkan Karja pun tidak mengenalnya. Bila sampai aku meninggal, tak seorang pun dapat menerobos ke dalam tempat-tempat penyimpanan harta itu. Kini aku hendak pergi mengunjungi gua-gua lain. Perhatikanlah benda-benda berharga itu dan sampingkanlah bendabenda pilihanmu. Sekembaliku, benda-benda pilihanmu akan kumuatkan ke atas kuda, lalu kita kembali ke Hacienda del Erina.” Obor itu kemudian dipancangkan oleh si Kepala Banteng ke sebuah lubang, ia lalu pergi ke sudut paling jauh dari gua itu dan menghilang. Orang kulit putih itu kini berdiri seorang diri di tengah-tengah kekayaan yang tiada terhingga. Alangkah besar kepercayaan yang diberikan kepadanya. Andaikata ia membunuh orang Mixteca itu, ia akan dapat memiliki segenap kekayaan, yang sekarang hanya dijanjikan sebagian saja kepadanya. Namun pikiran demikian tak pernah timbul dari hati orang yang jujur itu. Ia sudah terlalu bahagia dengan bagian yang diserahkan kepadanya. Sementara itu Alfonso sedang menuju ke gua itu bersama pelayan-pelayannya dengan naik kuda. Ketakutannya pada akibat buruk dari perbuatan bodoh itu menyebabkan ia berusaha mengejar waktu. Meskipun sebagai keponakan dan ahli waris pangeran Fernando, pemilik sebenarnya dari hacienda patut dihormati orang namun kenyataannya ia kurang disegani oleh orang-orang di daerah ini. Dengan berharap di kota besar akan mendapat penghargaan lebih banyak, sesuai dengan derajat dan martabatnya, ia mengambil keputusan untuk selekasnya pergi ke ibu kota Meksiko, setelah mengambil harta karun dari dalam gua itu. Dibiarkan kudanya berjalan mengatur kecepatan sendiri, karena dalam gelap agak berbahaya untuk berjalan cepat-cepat. Gunung, yang ditujunya cukup dikenal Alfonso, tetapi dari arah ini belum pernah didekatinya. Jalan-jalan yang dilaluinya tidak dikenal hanya arah menjadi pedoman baginya. Karena itu tidak mengherankan, bila ia agak lambat majunya. Baru setelah pagi dapatlah ia menyuruh kudanya berlari lebih cepat. Tak lama kemudian tampak di hadapannya gunung El Reparo. Mereka menyeberang sungai pertama. Sebelum sampai di sungai yang kedua, Alfonso menyuruh mereka berhenti. Ia tidak mau diikuti pelayannya sampai ke gua itu. Mula-mula ia ingin meyakinkan diri sendiri, apakah gua itu ada. “Bagaimana sekarang?” tanya yang seorang. “Kalian menunggu!” “Jadi Anda hendak meninggalkan kami?” “Hanya sebentar!” “Barang apa yang harus kami muat?” “Itu bukan urusanmu; tunggu sampai saya kembali!” Alfonso menjalankan kuda perlahan-lahan. Tiada berapa lama dijumpainya sungai yang kedua. Ia turun dari atas kuda, menambatkan pada sebatang pohon, lalu menghilang di balik semak belukar. Tak jauh lagi tampak sungai keluar dari gunung. Setelah ditelitinya tempat itu, dengan hati-hati ia masuk ke dalam air yang dingin itu, lalu melanjutkan perjalanan dengan merangkak. Sebelum sampai ia ke gua, tampak cahaya terang benderang dan sangat mengherankannya. Apakah itu? Mungkinkah nyala obor? Ataukah cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah? Tidak terpikir oleh orang Spanyol itu untuk kembali lagi. Hati-hati ia merangkak terus, sambil berusaha, supaya jangan mengeluarkan suara sedikit pun.
Tiba-tiba tampak olehnya kilatan sinar berkilauan, berasal dari benda-benda perhiasan dalam gua itu. Demi dilihatnya segala keindahan itu, tubuh merasa gemetar. Setan harta sudah menguasainya. Matanya berganti-ganti dipejamkan dan dibuka lagi. Hampir ia berteriak, kalau ia tidak melihat sesosok tubuh tak jauh dari tempatnya sedang berlutut, memeriksa bungkah-bungkah emas dan benda perhiasan yang terletak di hadapannya. Siapakah dia? Nah, kini ia memutar tubuh sedikit, sehingga tampak mukanya. Pangeran mengenali orang itu. “Unger!” katanya dalam hati. “Siapa yang memberi tahu rahasia itu kepadanya? Seorang dirikah atau berkawan?” Matanya mencari ke segenap penjuru, namun tak dapat ditemukannya orang lain. Tiada disangkanya bahwa si Kepala Banteng ada di dalam. Ia seorang diri, pikirnya dengan gembira. Ia tak akan menikmati penemuannya itu. Tak sebutir emas pun akan jatuh ke tangannya. Inilah kesempatan untuk membalas dendam terhadapnya. Tak jauh daripadanya terletak sebuah pemukul, terbuat dari kayu besi dan dilekatkan pada pemukul, kaca kristal tajam. Dipegangnya senjata itu, lalu menyelinap ke arah Unger, yang sedang asyik mengamati kalung berlian yang bercahaya dengan sangat menakjubkan. “Bukan main indahnya! Benda perhiasan ini tiada ternilai harganya.” Benda ini hendak ditaruh terpisah dari yang lain-lain. Ketika itu senjata pemukul diayunkan dan jatuh dengan kuatnya ke atas kepala Unger. Seketika itu tubuh Unger jatuh terkulai ke atas tanah. Kini pangeran berteriak-teriak liar. “Mati dia! Sekarang harta ini semua milikku, milikku!” Kegembiraan luar biasa membuat dia separuh gila. Ia meloncat-loncat dan bertepuk tangan seperti orang yang berubah akal. Tetapi apakah itu? Di sudut sana bergerak sesosok tubuh makin mendekat. Itulah si Kepala Banteng, baru kembali dari dalam. Kini dilihatnya di tempat Unger seorang lain, sedangkan Unger tergeletak di atas tanah di sebelahnya. Dengan dua lompatan orang Mixteca itu sudah sampai di dekatnya, lalu memegang tubuh penjahat itu. “Anjing! Mengapa kamu di sini?” serunya. Pangeran terdiam saja. Ia mengetahui, bahwa orang Indian itu bukan tandingannya. Sekarang matilah ia. Dari tingkat puncak kebahagiaan, dalam sekejap mata terjatuh dalam lembah kematian yang mengerikan. Keringat dingin bercucuran di seluruh tubuhnya. “Kau telah memukulnya?” seru si Kepala Banteng, sambil menunjuk ke arah tubuh Unger dan senjata pemukul di atas tanah. Diguncang-guncangnya tubuh Alfonso itu seperti tubuh anak kecil saja. “Ya,” jawab Alfonso dengan hati kecut. “Mengapa?” “Harta inilah sebabnya,” jawabnya terbata-bata. “Masa! Aku tahu, dia adalah musuhmu. Sudah lama kau kehendaki kematiannya. Celaka kamu, tiga kali celaka!” Si Kepala Banteng membungkuk untuk menyelidiki tubuh kawannya. Pangeran berdiri dengan diam. Betapa mudah untuk mengambil senjata pemukul dan berusaha untuk berkelahi. Tetapi hal itu tidak dilakukannya. Ia seperti burung pipit, tak sanggup terbang lagi di hadapan ular yang menunggunya dan akhirnya burung itu akan ditelan oleh sang ular, tanpa mengadakan perlawanan.
“Ia sudah mati!” kata si Kepala Banteng, sambil meluruskan badannya. “Aku akan menghakimimu! Kau telah membunuh seorang pemburu, yang paling mulia hatinya di dunia ini. Sebagai hukuman kau patut mati seribu kali.” Orang Indian itu berdiri di hadapannya dengan tangan dilipat. Otot-ototnya menonjol, matanya memancarkan sinar berapi-api serta menakutkan. “Wah kau gemetar!” katanya, seraya melemparkan pandangan hina kepadanya. “Kau seperti cacing, seorang pengecut tak ada harganya. Dari siapa kau ketahui jalan ke gua ini?” Alfonso berdiam diri. Ketakutan membuatnya menundukkan kepala. “Lekas jawab!” bentak cibolero. “Karja!” bisik pangeran. “Adikku?” “Benar.” Mata orang Indian itu bercahaya seperti nyala obor yang panas. “Bohong! Dengan menyebut-nyebut nama adikku, kau berharap dapat terhindar dari hukuman?” “Aku berterus terang. Kau harus percaya.” “Wah, tentu telah kau gunakan ilmu hitam untuk merayu adikku, sampai ia mau membuka rahasia tentang El Reparo. Tentu kau pura-pura menyatakan cinta?” Pangeran berdiam diri. “Bicaralah terus terang, kau dapat meringankan nasibmu. Tahukah kau, bagaimana cara kau akan menjumpai ajalmu? Di atas gunung terdapat sebuah kolam. Kolam itu tidak berapa besar, tetapi dalamnya terdapat sepuluh ekor buaya suci. Perut buaya itu digunakan raja-raja zaman dahulu sebagai kuburan bagi para penjahat. Usia buaya itu lebih dari seratus tahun. Binatang-binatang itu tentu lapar sekali, karena sudah lama tidak makan. Kau akan kubawa ke atas dan akan kugantung pada sebatang pohon, sehingga kau hidup-hidup tergantung di atas kolam itu. Buaya akan berlompatan ke atas, namun tak mencapai tubuhmu. Buaya-buaya itu akan berebut untuk mendapat tubuhmu dan bau busuk akan tercium olehmu. Berharihari dan bermalam-malam kau akan tergantung, tak seorang pun akan melepaskan ikatan sekitar lehermu. Panas terik matahari akan membuatmu kehausan dan kelaparan. Akhirnya kau akan terjatuh dan ditelan buaya-buaya.” Alfonso mendengar dengan ketakutan. Lidahnya kaku, tak dapat digerakkan. Tak dapat diucapkannya kata-kata untuk mohon belas kasihan. “Hanya dengan berterus terang dapat meringankan nasibmu,” demikian diulang sekali lagi oleh orang Indian itu. “Jadi kau telah menyatakan cinta kepada adikku?” “Benar,” kata Alfonso. “Tapi sebenarnya kau tidak mencintainya?” “Tidak,” jawab orang kulit putih itu. Ia tidak berani membohonginya. “Tetapi ia mencintaimu?” tanya orang Indian itu lebih lanjut. Pertanyaan ini dijawab dengan mengiakan.
“Kau bertemu dengan dia di mana?” “Di bawah pohon zaitun di dekat anak sungai, di belakang hacienda.” “Kau telah berjanji akan mengawininya?” “Benar.” “Bilamana Karja membuka rahasia itu kepadamu?” “Kemarin petang,” jawabnya. “Kau di sini seorang diri?” “Aku beserta dua orang pelayan.” “Mereka tentu harus mengangkut harta itu. Kau telah memberi tahu rahasia itu pada mereka juga!” “Mereka tidak mengetahui apa yang harus diangkut dan tidak mengetahui tentang terdapatnya gua itu.” “Di mana mereka?” “Mereka menanti dekat dari sini.” “Baik. Orang ini kubiarkan berbaring di sini, tetapi kau harus mengikutiku. Kau belum kuikat, tetapi kau tak dapat melarikan diri. Kau seekor cacing, mudah kuhancurkan dalam tanganku. Mari, ikut aku!” “Hendak diapakan aku?” tanya Alfonso ketakutan. “Itu segera akan kau ketahui.” Si Kepala Banteng memegang tangan Alfonso, lalu menarik Alfonso ke dalam sungai, menuju ke luar gua. Air sungai serta cahaya matahari dari luar membuat Alfonso merasa segar kembali. Ia menarik napas dalam-dalam dan bertanya kepada dirinya sendiri, apakah ada jalan untuk menyelamatkan diri. “Di mana kudamu?” tanya orang Mixteca itu. “Kutambat pada sebatang pohon eik di sebelah kanan sana!” “Di mana pelayanmu?” “Di belakang bukit itu.” “Tunjukkan padaku kudamu.” Si Kepala Banteng pergi dengan tawanannya ke tempat yang telah ditunjukkan. Setelah sampai di tempat kuda, diikatnya tangan pangeran ke belakang, kakinya pun diikat dan mulutnya disumbat. Pangeran membiarkan diri diperlakukan demikian, tanpa mengadakan perlawanan. Kemudian ia ditinggal di situ, setelah orang Mixteca itu mengambil senapannya. Kini orang Mixteca itu menyelinap, mencari kedua pelayan pangeran. Setelah sampai dekat sungai pertama didengarnya orang sedang bercakap-cakap. Si Kepala Banteng meniarap dan merangkak ke arah suara itu. Di balik gerombolan semak terakhir dilihatnya kedua orang itu sedang duduk di tanah dan sedang asyik bercakap-cakap. Orang Indian itu memastikan bahwa dari pihak mereka bahaya tidak mengancam, lalu kembali lagi ke tempat tawanannya.
BAB IV
DI KOLAM DENGAN BUAYA Sementara itu kepala suku Apache bersama Karja dan vaquero mendekati El Reparo dari sudut lain. Mereka belum sampai juga, karena Karja tersesat dalam gelap. Karena itu mereka harus menempuh jalan memutar, menyebabkan mereka terlambat sampai di tempat tujuan. “Ini sungainya,” kata Karja kepada si Hati Beruang. “Kita akan segera tiba di gua.” Orang Apache itu mulai memeriksa daerah sekeliling. “Uf!” serunya, lalu menunjuk ke arah bekas tapak kaki di atas tanah. “Pangeran dengan orang-orangnya! Jalan terus, tetapi hati-hatilah!” Si Hati Beruang, yang mengepalai rombongan, tiba-tiba memerintahkan berhenti. Ia telah melihat kuda-kuda pelayan pangeran, yang sedang makan rumput, lalu ia turun dari atas kuda. Ia memberi isyarat dengan tangan, supaya orang-orang tidak mengikutinya. Ia menyelinap ke dalam semak-semak. Tak lama kemudian ia kembali untuk memberitahu, bahwa pelayan Alfonso sedang duduk-duduk di sana. Kemudian mereka berangkat lagi. Kini mereka tiba di sungai kedua. Tiba-tiba mereka melihat kepala orang muncul dari balik semak-semak. Itulah si Kepala Banteng. Ia telah mendengar mereka datang dan diam-diam menyelinap ke arah mereka untuk mengetahui, siapakah yang datang. “Uf! Kepala Banteng!” kata orang Apache. “Di manakah si Panah Halilintar?” “Mati!” “Siapa pembunuhnya?” tanya si Hati Beruang dengan berang. “Alfonso.” “Di mana?” “Tak dapat kuterangkan di sini,” jawab si Kepala Banteng, sambil memandang vaquero. “Ikutlah aku ke orang kulit putih itu!” Alfonso memandang mereka dengan ketakutan. Namun Hati Beruang maupun Karja tidak menghiraukannya. Orang Mixteca berkata kepada orang Apache itu, “Maukah saudara menjaga tawanan ini, sampai saya kembali lagi?” Kemudian ia kembali ke gua. Sesampai di gua, ternyata, obor sudah hampir terbakar habis. Ia menyalakan obor yang baru lagi dan menghampiri orang kulit putih itu. Segera diketahuinya, bahwa letak tubuh kawannya itu sudah berubah dari semula. Nadi orang itu diperiksa lagi. Ternyata masih berdenyut. Hal itu sangat menggembirakan orang Mixteca itu. Pemburu itu, ketika ditinggalkannya sadar kembali dan menggerakkan tubuhnya. Kemudian ia jatuh pingsan lagi. Orang Mixteca itu mengangkatnya dengan hati-hati ke luar dan meletakkannya di atas rumput. Orang Apache, ketika melihat kawannya dalam keadaan demikian, menepuk mulut bedilnya yang menunjuk ke atas dan berseru, “Bila saudara kulit putihku meninggal, awas pembunuhnya! Binatang buas dalam hutan akan mencabik tubuhnya. Demikian sabda Shosh-in-liett, kepala suku Apache.”
Ia membungkuk memandang Unger dan memeriksa kepalanya. “Bekas pukulan dengan senjata pemukul,” katanya setelah diperiksanya. “Rongga otaknya pecah. Harus disediakan usungan untuk membawa ke hacienda. Akan kucari akar obat oregano yang dapat menyembuhkan setiap luka.” Sedang vaquero pergi untuk membuat sebuah usungan dan Hati Beruang pergi pula mencari akar obat, Kepala Banteng tinggal di tempat itu bersama adiknya. “Kau marah padaku?” tanya gadis itu dengan lemah lembut. Si Kepala Banteng tidak memandang kepadanya, tetapi ia menjawab, “Roh Agung telah meninggalkan dirimu, dik!” “Ia hanya meninggalkan diriku untuk sementara,” katanya. “Tetapi waktu Roh sedang meninggalkan dirimu telah terjadi hal-hal yang menyedihkan. Kau mencintai Alfonso?” “Benar.” “Kau kira ia membalas cintamu?” “Ya.” “Apakah ia berjanji akan mengawinimu dan kau percaya kepadanya?” “Ya. Pengkhianat itu telah membuat surat pengakuan tertulis, bahwa ia akan mengawiniku.” “Uf! Masih adakah surat itu padamu?” “Ada di kamarku.” “Bolehkah aku membaca surat itu?” “Boleh. Maukah kau maafkan daku?” “Hanya dapat kumaafkan bila kau menurut kehendakku.” “Aku akan menurut. Apa yang harus kuperbuat?” “Akan kau dengar segera. Naiklah kuda dan kembali ke Hacienda, memanggil semua orang Indian keturunan Mixteca. Katakan kepada mereka, bahwa Tecalto kepala suku mereka, memerlukan bantuan mereka. Mereka harus meninggalkan pekerjaan mereka dan langsung ke sini.” Karja langsung naik kuda, tanpa menanyakan sesuatu lalu melarikan kudanya. Setengah jam kemudian kembalilah Hati Beruang. Akar-akar obat diperas dan dibubuhkannya ke atas dahi Unger. Setelah itu dibalutnya luka itu. Vaquero pun sudah siap usungannya, yang dibuat dari cabang dan ranting pohon, ditutup dengan selimut. Usungan itu diletakkan di atas punggung dua ekor kuda yang diikat menjadi satu. Unger diletakkan di atas usungan itu. “Pangeran hendak diapakan?” tanya vaquero. “Dia adalah milikku!” jawab Kepala Banteng. “Antarkanlah si Panah Halilintar ke hacienda. Hati Beruang tinggal di sini saja.” Vaquero menurut dan membawa Unger ke hacienda. Kedua kepala suku berdiam diri sejenak. Kemudian dilepaskan oleh si Kepala Banteng tali pengikat kaki tawanannya, supaya tawanannya dapat berdiri di atas kakinya. Setelah itu
diikatkan pada ekor kuda. Lalu katanya kepada orang Apache itu, “Saudara boleh mengikuti aku!” Kedua orang itu pergi naik kuda meninggalkan tempat itu. Bagi pangeran perjalanan itu merupakan siksaan besar. Kepala Banteng menjalankan kudanya mengitari lereng gunung, kemudian mendaki. Setelah menempuh satu jam perjalanan mereka sampai di punggung pegunungan. Kini mereka masuk hutan lebat. Di tengah-tengah hutan itu, dikelilingi semak belukar, terdapat reruntuhan sebuah kuil lama, kepunyaan bangsa Astek. Kuil itu dahulu berbentuk sebuah piramida terpancung, dikelilingi taman-taman. Taman-taman itu dikelilingi dinding pula. Kini semuanya sudah tinggal reruntuhan saja. Di salah satu taman itu terdapat sebuah kolam yang dalam airnya. Ke situlah dibawa mereka tawanannya, yang telah dibebaskan dari tali pengikat dan sumbat mulutnya. Kolam itu pada zaman dahulu berukuran kecil, tetapi sekarang sudah seperti danau kecil. Di tepi tumbuh pohon-pohonan yang tinggi. Di situlah dua orang kepala suku itu turun dari atas kudanya. Orang Mixteca itu duduk di atas rumput dan mengajak orang Apache itu duduk di sebelahnya. Mula-mula mereka duduk tanpa bercakap, sesuai dengan adat kebiasaan orang Indian. Kemudian cibolero bertanya, “Saudara mengasihi si Panah Halilintar?” “Benar, saya mengasihinya!” jawab orang Apache itu pendek. “Orang kulit putih ini mau membunuhnya.” “Ia seorang pembunuh, karena kawan kita itu akan mati.” “Apa hukuman seorang pembunuh?” “Hukuman mati.” Diam sejenak. Kemudian si Kepala Banteng mulai lagi, “Saudara kenal akan bangsa Mixteca?” “Benar, aku mengenalnya,” kata si Hati Beruang sambil mengangguk. “Bangsa yang terkaya di Meksiko.” “Benar, mereka memiliki kekayaan yang tak ada bandingnya,” kata orang Apache itu. “Tahukah saudara, di mana harta kekayaan itu sekarang?” “Saya tidak tahu.” “Dapatkah kepala suku Apache itu menyimpan rahasia?” “Mulutnya tertutup seperti batu karang.” “Maka ia boleh mengetahui, bahwa Kepala Banteng adalah penjaga harta itu.” “Saudaraku Kepala Banteng sebaiknya menghancurkan harta itu! Emas itu dihuni roh jahat. Seandainya bumi itu terbuat dari emas, maka Hati Beruang lebih baik mati saja.” “Saudara mempunyai kebijaksanaan tinggi, seperti yang dimiliki oleh kepalakepala suku zaman dahulu. Namun orang lain mencintai emas itu. Umpamanya, orang kulit putih ini, ingin sekali memiliki harta kaum Mixteca itu.” “Uf!” “Ia datang dengan dua orang pelayan ingin mencuri harta itu.”
“Siapa yang menunjukkan jalan?” “Karja, seorang puteri bangsa Mixteca.” “Karja, adik si Kepala Banteng? Uf!” “Benar,” kata si Kepala Banteng dengan hati sedih. “Jiwanya gelap, karena ia mencintai orang kulit putih itu. Orang kulit putih itu berjanji hendak mengawininya, tetapi sebenarnya ia hanya menginginkan harta itu, untuk kemudian meninggalkan gadis itu.” “Ia seorang pengkhianat.” “Apa hukuman seorang pengkhianat?” “Hukuman mati.” “Dan apa hukuman seorang pengkhianat serta pembunuh?” “Hukuman mati berganda.” “Saudara benar.” Diam lagi sejenak. Kedua kepala suku itu merupakan hakim prairi yang sangat dahsyat dan ditakuti oleh lawan-lawan, karena mereka tidak dapat naik banding atau dibela oleh seorang pengacara. Sebenarnya si Kepala Banteng itu dapat juga menghakimi sendiri, tetapi ia ingin memberi kesempatan kepada orang Apache itu, turut memberi suara, untuk menuntut bela terhadap kawannya yang terbunuh itu. Mereka berbicara dengan logat bahasa Apache, yang tidak dipahami oleh Alfonso; namun ia mengetahui bahwa mereka sedang memperbincangkan nasibnya. Ia gemetar sekujur badan, mengingat buaya-buaya yang disinggung oleh si Kepala Banteng dalam keterangannya. Inilah kolam yang dimaksud dan dekat tempat mereka duduk, tumbuh sebatang pohon. Tumbuhnya agak condong ke atas air. Dahan-dahannya menunduk, hampir-hampir mencapai permukaan air. Ngeri hati orang Spanyol itu, bila ia mengarahkan pandang kepada pohon itu. Kemudian si Kepala Banteng memulai lagi, “Tahukah saudara, di mana kematian berganda itu dapat ditemukan?” “Saudara kepala suku Mixteca saja yang mengatakannya.” “Di sana!” Si Kepala Banteng menunjuk ke air. Orang Apache itu, tanpa menoleh, menjawab, seolah-olah hal itu merupakan hal yang biasa saja, “Buayakah penghuninya?” “Benar. Saksikan sendiri saja!” Ia menghampiri kolam, mengulurkan tangannya, lalu berseru, “Nikan! Tlatlaka! Kemarilah!” Serta merta permukaan air menjadi berbuih. Di sepuluh tempat tampak air mulai beriak dan jumlah buaya sebanyak itu melaju ke tepi. Di situ binatang-binatang itu berhenti dan mengeluarkan kepalanya yang jijik itu ke atas permukaan air. Sebagian buaya itu tubuhnya berloreng dan sebagian lagi berbintik-bintik. Panjang tak ada yang kurang dari empat meter. Tubuhnya menyerupai batang pohon diliputi lumpur, kepalanya tampak mengerikan, ketika membuka dan menutup moncongnya yang panjang itu; memperlihatkan baris-baris giginya yang tajam, tak melepaskan mangsanya lagi, bila sudah tertangkap. Terdengar seorang memekik
ketakutan. Alfonsolah yang mengeluarkan pekik itu. Kedua orang Indian itu memandang dengan hina. Seorang Indian mempunyai kebiasaan, dapat menahan rasa sakit dengan sempurna. Bahkan di tiang penyiksa, biar menderita ia tidak mengeluarkan suara sedikit pun atau memperlihatkan dengan cara lain. Menurut kepercayaannya, seseorang yang menampakkan rasa sakit di tiang penyiksa, tak diterima di padang perburuan abadi, yaitu surga bagi orang Indian setelah meninggal dunia. Oleh karena itu, orang Indian sedari kecil sekali sudah dididik menahan sakit. Biasanya mereka memandang rendah orang kulit putih, karena mereka lebih peka pada macam-macam rasa sakit dari orang Indian. “Kau lihat binatang-binatang itu? Ganas semua. Usianya tak ada yang kurang dari sepuluh kali sepuluh musim semi. Kau lihat juga tali laso yang kubawa?” “Aku paham maksud saudara dengan baik,” jawab orang Apache itu pendek. “Berapa tinggi binatang itu dapat melompat?” “Ia tidak dapat mengangkat moncong lebih tinggi dari dua hasta, bila air itu lebih dalam dari panjang badannya.” “Dan bila ia dapat menyentuh dasar kolam dengan ekornya?” “Maka ia akan dapat melompat dua kali tinggi itu.” “Baik. Air itu cukup dalam. Maka kaki orang itu harus tergantung setinggi tiga hasta di atas permukaan air. Siapa yang memanjat pohon? Saudara atau aku?” “Aku yang memanjat,” kata orang Apache itu. Kedua orang Indian itu bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Alfonso, lalu mengikat tangannya ke belakang punggung dengan tali laso, yang dililitkan dua kali sekitar tubuhnya. Pada tali itu dihubungkan dua potong tali lagi, ujungnya dipegang oleh orang Apache itu, ketika memanjat pohon. Kini pangeran sadar, bahwa mereka sungguh-sungguh akan melaksanakan hukuman itu terhadapnya. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Telinganya mengiang, seolah-olah mendengar bunyi desing angin badai. “Ampun, ampun!” demikian ratap dan rintihannya. Kedua hakim acuh tak acuh saja. “Ampun!” serunya lagi. “Aku mau melakukan apa pun asal aku jangan digantung di atas kolam itu!” Permohonan ini pun tiada mendapat sambutan. Si Kepala Banteng memegang Alfonso dan menarik ke arah pohon. “Jangan! Ampun! Akan kuhadiahkan seluruh milikku kepada kalian, kekuasaanku sebagai pangeran, harta benda seluruh Rodriganda. Aku rela kehilangan segalagalanya asal biarkan aku tetap hidup.” Kini kepala suku Mixteca menjawab, “Cih! Apa artinya Rodriganda itu? Apa artinya seluruh harta bendamu, harta benda seorang pangeran? Apa artinya, dibandingkan dengan harta raja-raja Mixteca, yang telah kau saksikan sendiri? Harta itu tidak menggiurkan hati kami, apa lagi harta kepunyaan orang miskin, yang kau tawarkan kepada kami. Keputusan kami tetap: kau akan mati! Perhatikan binatang-binatang buas itu, belum pernah mendapat sajian daging orang kulit putih. Lama sekali kau akan bergantung di pohon itu dan setiap kali kau menarik kakimu ke atas, bila buaya-buaya itu hendak mencapaimu. Dan akhirnya kau akan letih lelah, badanmu terlalu lemah untuk menggerakkan kaki. Saat itu kau akan menjadi mangsa binatang itu. Mereka akan berebut mencabik badanmu. Itulah ganjaran seorang pangeran, yang menipu dan merampok harta seorang gadis Indian!” “Ampun! Ampun!” teriak Alfonso sekali lagi, mohon belas kasihan.
“Apa? Ampun? Kau kenal ampun, ketika kau pukul kepala pemburu kawan kami, dengan senjata pemukul itu? Kau kenal ampun, ketika kau hancurkan hati gadis Indian itu? Kami sangsikan, apakah hanya itu perbuatan jahatmu itu. Wahkonda telah menciptakan manusia demikian, sehingga tidak mengetahui segala-galanya. Aku tidak kenal hidupmu, tetapi orang yang melakukan kejahatan-kejahatan seperti kamu, biasanya sudah kerap kali melakukannya sebelumnya. Maka kami ingin menghakimimu dengan memperhitungkan segala kejahatan yang pernah kau lakukan. Buaya-buaya yang akan menelan tubuhmu itu, sebenarnya masih belum sejahat kau. Wahkonda telah menciptakan buaya untuk makan daging, tetapi manusia diciptakan untuk menjadi baik. Maka jiwamu lebih busuk dari jiwa buaya.” Si Kepala Banteng mendorong orang malang itu lebih dekat ke arah air. Alfonso memberontak. Kakinya masih bebas. Ia berusaha menahan dengan kaki. Kini orang Indian itu mengikat kakinya, sehingga tawanan itu tidak berdaya sama sekali. “Ampun! Ampun!” teriaknya. Tetapi sia-sia. Orang Mixteca yang kuat itu mengangkatnya ke pohon, sambil membawa kedua ujung tali itu dengan cara menggigitnya. Sesampai di atas duduklah ia, lalu menghubungkan kedua potong tali menjadi satu dan mengaitkan tali itu pada sebuah dahan yang kuat. Kemudian ia menarik tali itu. Dengan demikian tubuh pangeran tertarik ke atas. Si Kepala Banteng membantu mendorong pangeran. Sedikit demi sedikit tubuh pangeran naik ke atas. “Lepaskan aku! Lepaskan aku!” seru Alfonso, membayangkan kematian yang mengerikan itu. “Aku rela menjadi pelayanmu. Apa pun yang kau suruh, aku akan mengerjakan.” “Seorang pangeran perlu mempunyai pelayan-pelayan, tetapi seorang Indian tidak memerlukannya,” jawabnya. Buaya-buaya dalam kolam merupakan pemandangan yang mengerikan. Kolam itu terlalu kecil baginya, makanan pun jauh dari cukup. Sudah lama buaya-buaya itu menderita lapar. Karena kekurangan makanan, terjadilah saling serang-menyerang, sehingga akibatnya, seekor kehilangan sebuah kaki dan seekor lagi sebagian dari tubuhnya. Kini buaya-buaya itu melihat, bahwa akan diberi makanan. Maka binatang-binatang itu berdesakan, berkumpul di tepi, di bawah pohon. Ekornya mengibas-ngibas, membuat air berbuih. Sorot matanya yang menjijikkan membayangkan kerakusannya dan moncong yang terbuka lebar itu mengatup memperdengarkan suara keras seperti dua bilah papan tebal yang dipukulkan, satu kepada yang lain. Kesepuluh binatang itu seolah-olah bersatu padu, merupakan seekor naga raksasa, bermoncong serta berekor sepuluh. Tawanan itu menggigil. “Lepaskan aku, bangsat!” teriaknya. “Tolong ditarik talinya sedikit ke atas!” kata si Kepala Banteng kepada orang Apache itu. “Terkutuk kalian semua!” teriak pangeran dengan suara parau, sedang matanya liar mencari sesuatu, yang dapat menolongnya. “Cukuplah!” kata orang Mixteca itu, setelah membandingkan jarak antara dahan dan permukaan air dengan panjang tali laso. “Lilitkan saja tali laso itu ke batang pohon, lalu buatlah simpul yang kencang!” Orang Apache itu berbuat seperti yang dikatakan kepadanya. Si Kepala Banteng hingga kini dengan tangan sebelah berpegangan pada batang pohon, sedangkan tangan yang sebelah memegang tawanannya. Untuk itu diperlukan tenaga otot-otot yang kuat sekali. Andaikata pohon itu tidak cukup kuat disebabkan tumbuhnya yang condong akan roboh, memikul beban tiga orang yang berat itu. Kini saat genting akan tiba. Alfonso menyadari hal itu, lalu ia berteriak-teriak penuh kebencian.
“Kalian bukan manusia lagi. Kalian setan!” “Kami adalah manusia, yang sedang menghakimi setan,” jawab orang Mixteca itu. “Lepaskan!” Aba-aba itu diikuti oleh jeritan orang yang dicekam maut. Tecalto telah melepaskan Alfonso, serentak dengan itu mendorongnya kuat-kuat. Karena dorongan ini tawanan berayun-ayun dari pohon ke atas permukaan air. Ia berayun kian kemari. Tiap kali ia terayun ke atas permukaan air, buaya-buaya itu berlompatan ke atas untuk mencapai orang itu. “Cukuplah! Saudara boleh turun!” Orang Apache itu lalu turun dari pohon. Mereka berdiri di tepi kolam, mengamati keadaan yang mengerikan. Ayun-mengayun itu makin lama makin lemah. Akhirnya berhenti dengan keadaan tawanan tergantung tegak lurus ke bawah. Ternyata taksiran orang Mixteca itu tepat. Alfonso tergantung demikian tinggi, sehingga buaya-buaya itu, bila melompat dapat mencapai kakinya. Maka Alfonso harus cepat menarik kakinya ke atas, bila salah seekor buaya memagutnya. Itu dapat dilakukannya, bila keadaan badannya masih kuat. Setelah badannya lemah ia tak tertolong lagi. Memang banyak sekali dosa yang diperbuatnya, namun kematian secara ini disertai rasa takut yang mencekam, seimbang dengan semua dosa yang dipikulnya. “Selesailah tugas kita! Mari kita kembali lagi!” kata orang Apache yang turut merasa ngeri juga. Kemudian mereka naik kudanya dan pergi meninggalkan tempat itu. Di belakangnya masih lama terdengar jerit tangis pangeran. “Aku ikut saudara,” kata si Kepala Banteng. Kini mereka dapat melarikan kuda lebih cepat lagi, karena mereka menuruni gunung. Di bawah, dekat sungai, dijumpainya orang-orang Indian. Orang-orang itu semuanya masuk suku Mixteca yang hampir punah. Mereka dipanggil Karja. Kepala suku mereka berkata kepada orang Apache itu. “Terima kasih atas bantuan saudara untuk menghakimi orang kulit putih itu. Saudara boleh pulang ke hacienda lagi untuk merawat luka-luka si Panah Halilintar. Aku sendiri baru besok dapat pergi ke sana, karena di sini masih menunggu pekerjaan-pekerjaan yang harus diselesaikan.” Si Hati Beruang pergi meninggalkan mereka. Namun orang Mixteca itu mengumpulkan orang-orang Indian yang hadir di situ. Mereka membuat lingkaran mengitarinya untuk mendengar, apa yang dikehendakinya. Kepala suku itu melayangkan pandangnya ke sekeliling dan mulai berkata, “Kita ini putera-putera suatu bangsa yang akan punah. Orang kulit putih mendatangkan kematian bagi kita. Mereka menghendaki harta kekayaan kita, akan tetapi tidak memperolehnya. Nenek moyang kalian telah membantu nenek moyangku menyembunyikan harta itu dan tak ada seorang pun di antara mereka berkhianat, membuka rahasia itu kepada orang asing. Dapatkah kalian menutup rahasia itu juga?” Mereka semuanya mengangguk, menyatakan setuju, lalu yang tertua di antara mereka berkata atas nama semuanya, “Terkutuklah mulut mereka, yang memberitahu tempat penyimpanan harta itu kepada orang asing!” “Aku percaya kepada kalian. Hanya akulah yang mengetahui tempat itu. Namun ada seorang kulit putih menemukan harta itu. Orang kulit putih itu hanya melihat sebagian. Maka bagian itulah harus dipindahkan ke tempat persembunyian lain. Bersediakah kalian membantuku?” “Kami akan membantu.”
“Maka bersumpahlah demi roh ayah, saudara dan puteramu, bahwa kalian tidak akan membuka rahasia tempat penyimpanan harta itu, atau pun menjamahnya sendiri!” “Kami bersumpah,” kata mereka semuanya. “Beri makan kudamu, lalu ikutlah.” Setelah kudanya cukup makan rumput, orang-orang kulit merah itu masuk ke dalam gua. Di situ mereka sibuk mengerjakan sesuatu. Hanya seorang berada di luar menjaga keamanan kuda-kuda serta orang-orang yang sedang bekerja di dalam gua. Pekerjaan ini dilakukan sepanjang malam. Baru keesokan harinya orang-orang Mixteca itu keluar satu per satu dari dalam gua. Masing-masing membawa beban ditumpukkan menjadi satu. Benda-benda itu terdiri atas bungkah-bungkah emas yang besar dan barang-barang perhiasan, yang disisihkan Unger. “Baik!” kata si Kepala Banteng, sambil mengamati tumpukan itu. “Bungkuslah semuanya dengan sehelai selimut, lalu muatkan ke atas kuda! Inilah hadiah dari suku Mixteca kepada seorang kulit putih, satu-satunya yang telah menyaksikan harta raja-raja dengan seizinku. Semoga ia mendapat bahagia.” Setelah kuda beban penuh muatan, ia kembali lagi menyaksikan gua itu terakhir kali. Bagian depan gua, yang telah dilihat Unger dan Alfonso telah kosong. Si Kepala Banteng melihat-lihat sekeliling sekali lagi, lalu pergi ke suatu sudut gua. Di situ terlihat sepotong sumbu tersembul keluar dari dalam tanah. Si Kepala Banteng menyalakan sumbu itu dengan api obornya, lalu lari ke luar gua. Di luar, semua orang menyingkir jauh dan menunggu. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi ledakan hebat. Bumi bergetar, asap tebal di bagian depan gunung membubung ke langit, batu-batu besar terpecah-pecah. Batu-batuan itu runtuh perlahan-lahan ke bawah, diikuti bunyi gemuruh. Anak sungai mengalirkan airnya berbuih-buih melalui tumpukan puing itu, mula-mula bergumul dengan dahsyat, tetapi kemudian tenang kembali, karena menemukan jalan air yang baru. Jalan masuk ke harta raja-raja Mixteca sudah tertutup. “Bersumpahlah sekali lagi dengan berjabat tangan, bahwa selama kalian hidup, tidak membuka rahasia ini kepada siapa pun!” perintah si Kepala Banteng. Orang-orang Indian itu bersumpah lagi. Nyata kelihatan pada wajah-wajah mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh, bahwa mereka lebih baik mati daripada melepaskan sesuatu tentang rahasia mereka. Sekali lagi mereka mengarahkan pandang ke tempat rahasia terpendam itu. Kemudian mereka pergi meninggalkan tempat itu. Sekembali orang Apache dari gunung El Reparo ke hacienda, dijumpainya penduduk sedang dalam dukacita besar. Emma sedang merawat tunangannya, yang menderita luka parah di dalam kamar. Kebahagiaan mereka yang baru saja dikecapnya, jatuh berkeping-keping. Karja mendampinginya merawat orang sakit itu dan berusaha menghibur hatinya pula. Haciendero segera memerintahkan salah seorang penunggang kuda terbaik, pergi ke Manclova untuk memanggil seorang dokter berpengalaman. Ketika dilihatnya, orang Apache itu turun dari atas kuda, haciendero menghampirinya untuk menanyakan berbagai hal kepadanya. Pada kesempatan ini ia ber-“aku” ber-“engkau”, seperti lazimnya digunakan oleh orang Indian. “Engkau datang seorang diri?” tanyanya. “Di manakah Tecalto?” “Masih di gunung El Reparo.” “Sedang mengapa ia di situ?” “Itu tidak dikatakannya kepadaku.” “Kudengar, ia mengumpulkan orang-orang Indian. Apa maksudnya?”
“Aku tidak menanyakannya.” “Di mana pangeran Alfonso sekarang?” “Tidak boleh kukatakan.” Arbellez agak kecewa, lalu berkata, “Itu tidak kau katakan, aku pun tidak akan menanyakan, tidak dapat kukatakan! Jawaban macam apakah itu?” Orang Apache itu menggerakkan tangan, seperti hendak menolak tuduhan itu, lalu menjawab, “Saudara jangan menanyakan sesuatu yang tak dapat kujawab! Kepala suku Apache bukanlah orang banyak cakap, melainkan orang yang mengutamakan perbuatan.” “Tetapi aku ingin mengetahui sedikit tentang apa yang terjadi di gunung itu.” “Puteri suku Mixteca akan menceriterakannya.” “Dia pun tak bersedia berbicara.” “Kepala Banteng akan segera kembali dan akan menceriterakannya. Tolong saudara antarkan aku ke tempat tidur si Panah Halilintar, supaya aku dapat memeriksa lukanya.” “Ikut aku.” Ketika kedua orang itu masuk ke dalam kamar Unger, tampak olehnya kedua gadis itu sedang mendampingi orang sakit itu, Emma dengan air mata berlinang dan Karja dengan hati yang sedih. Orang sakit itu sedang berguling dengan gelisah di tempat tidurnya. Sudah nyata, bahwa ia sangat menderita, namun ia tetap menutup mata dan tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Ketika si Hati Beruang memegang kepalanya, ia mengerutkan muka, tetapi ia tetap tidak bersuara. “Bagaimana keadaannya?” tanya haciendero. “Ia tidak akan meninggal,” jawab kepala suku itu. “Setiap kali lukanya harus dibubuhi akar-akar obat itu!” “Besok dokter akan datang.” “Akar obat oregano lebih manjur dari obat dokter. Apakah saudara mempunyai seorang vaquero yang pandai menunggang kuda serta menembak?” “Orangku yang paling pandai berburu dan menembak ialah Fransisco.” “Tolong panggilkan orang itu dan sediakan seekor kuda baginya! Ia harus mendampingi aku. Aku hendak pergi ke daerah orang Comanche.” “Ke daerah orang Comanche? Astaghfirullah! Apa yang kau kehendaki di situ?” “Saudara tidak kenal tabiat kaum Comanche? Kita telah merebut tawanan mereka. Maka mereka pasti akan ke sini untuk membalas dendam.” “Mereka ke hacienda? Jarak sejauh itu?” “Orang Indian tidak mengenal jarak, bila tujuannya hendak membalas dendam dan untuk mengambil scalp (kulit kepala) musuhnya. Orang-orang Comanche pasti akan datang.” “Tetapi mengapa harus menyongsong mereka?” “Untuk melihat mereka dan untuk mengetahui, kapan mereka tiba di sini dan jalan mana yang dilaluinya.”
“Apakah tidak lebih baik menanti mereka di sini dan mengirim beberapa prajurit untuk memata-matai mereka?” “Aku lebih suka melihat dengan mata kepala sendiri dan kurang percaya laporan orang lain. Si Panah Halilintarlah, sebenarnya mengusulkan pergi menyongsong anjing-anjing kaum Comanche itu. Sekarang ia sedang sakit, akulah yang menggantikannya.” “Kalau begitu, saudara dapat pergi. Aku akan memanggil Fransisco.” Tak lama kemudian vaquero itu tiba. Dari wajahnya dapat dipastikan, bahwa dialah orang yang sesuai untuk tugas ini. Mereka mengemasi barang-barang yang diperlukan dalam perjalanan mereka. Kemudian berangkatlah mereka. Dua orang gadis itu hanya bersama orang luka itu dalam kamar, air mata Emma tak tertahan lagi, mulai bercucuran. Kehadiran gadis itu benar-benar menyejukkan hati orang sakit itu. Bila gadis itu melihat ia menderita, maka dipegang tangannya, ketegangan pada wajahnya segera lenyap. Bila suatu kali diciumnya dahi si sakit yang pucat pasi atau bibirnya, maka pada wajah si sakit tampak cahaya kegembiraan, yang membuatnya melupakan penderitaan seketika. “Ia sudah mengenal aku kembali, bukankah demikian?” tanya Emma kepada gadis Indian. “Masa? Ia tidak melihatmu!” jawab Karja. “Tanpa melihat dengan matanya ia dapat mengenaliku. Ia dapat melihat dengan hatinya, bahwa kekasihnya duduk di sampingnya. Aku sangat menyesali kepergiannya ke El Reparo. Mengapa saudaramu Tecalto harus membawanya ke gunung sial itu?” “Jangan menyalahkan Tecalto. Sesungguhnya ia bermaksud baik. Ia ingin memperlihatkan harta raja-raja kepadanya dan menghadiahkan sebagian dari harta itu kepadanya.” “Dan kau ingin memberi harta itu kepada pangeran!” kata Emma, menyesali perbuatan kawannya. “Tak dapatkah kau memaafkan aku?” demikian Karja memohon. “Aku memaafkanmu, karena aku mengetahui, bahwa cinta lebih kuat dari perkara lain. Dapatkah ia sehat kembali seperti sedia kala?” “