KATA PENGANTAR Akuntabilitas
Kinerja
Instansi
Pemerintah
(AKIP)
merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban tentang penyelenggaraan negara yang berdaya guna dan berhasil guna dengan mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Inpres tersebut mewajibkan setiap instansi pemerintah sebagai unsur penyelenggara negara untuk mempertanggung-jawabkan pelaksanaan tugas, fungsi, dan peranannya dalam pengelolaan sumberdaya. Merujuk
pada
Inpres
tersebut,
Kementerian
Pemberdayaan
Perempuan
Perlindungan Anak sebagai sebuah instansi pemerintah yang diberi tanggung jawab dalam menangani pembangunan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan,
dan
perlindungan
anak,
berkewajiban
untuk
mempertanggungjawabkan pencapaian sasaran dan target yang telah ditetapkan dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). LAKIP Tahun 2011 ini merupakan laporan hasil capaian kinerja tahun kedua dari lima tahun Rencana Strategis Tahun 2010-2014 Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak. Penyusunan laporan
ini merupakan bentuk
pertanggungjawaban secara terbuka terhadap pencapaian sasaran dan target di bidang pembangunan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak. Laporan ini menyajikan gambaran tentang pencapaian kinerja Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak selama Tahun 2011. Sangat disadari bahwa laporan ini belum menyajikan secara sempurna prinsip transparansi dan akuntabilitas sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian, setidaknya
berbagai
pihak
yang
berkepentingan
terhadap
pembangunan
i
kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak dapat memperoleh gambaran tentang hasil pembangunan yang telah dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak selama Tahun 2011. Harapan kami, laporan ini dapat menjadi media pertanggungjawaban kinerja serta peningkatan kinerja di masa mendatang bagi seluruh pejabat dan staf di lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak.
Jakarta,
Maret 2012
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ttd.
Linda Amalia Sari, S.IP
ii
DAFTAR ISI Hal.
Kata Pengantar Daftar Isi BAB I
BAB II
BAB III
i iii
: PENDAHULUAN A. Gambaran Umum ......................................................................
1
B. Permasalahan yang dihadapi ...................................................
3
C. Kedudukan, Tugas dan Fungsi ..................................................
5
D. Struktur Organisasi ...................................................................
6
: PERENCANAAN STRATEGIS A. Visi dan Misi ..............................................................................
8
B. Tujuan dan Sasaran Strategis ....................................................
9
C. Strategi .......................................................................................
10
D. Rencana Strategis Kementerian PP dan PA Tahun 2010.........
11
: AKUNTABILITAS KINERJA A. Sasaran 1:
14
Meningkatnya jumlah kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang ekonomi yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda B. Sasaran 2:
21
Meningkatnya jumlah kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang politik, sosial dan hukum yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda C. Sasaran 3:
31
Meningkatnya jumlah penerapan kebijakan Tumbuh Kembang Anak
iii
D. Sasaran 4:
48
Meningkatnya jumlah penerapan kebijakan perlindungan perempuan dari tindak kekerasan E. Sasaran 5:
62
Meningkatnya jumlah penerapan kebijakan perlindungan anak F. Sasaran 6:
73
Meningkatnya jumlah K/L dan pemda yang memiliki dan atau memanfaatkan kebijakan sistem data dan anak BAB IV
: PENUTUP
83
iv
BAB I PENDAHULUAN
A.
Gambaran Umum Peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia merupakan kunci
keberhasilan pembangunan nasional yang sedang kita jalankan. Sumberdaya manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dari jumlah total penduduk Indonesia tahun 2011, separohnya
adalah perempuan. Proporsi tersebut
diperkirakan tidak akan mengalami perubahan secara signifikan hingga beberapa tahun ke depan. Jumlah penduduk perempuan yang besar tersebut akan sangat berpotensi memberikan manfaat bagi kehidupan bangsa dan negara, apabila mereka diberdayakan dengan memberikan kesempatan dan peluang yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang pembangunan. Dibanding tahun-tahun sebelumnya, saat ini kaum perempuan telah banyak berkiprah di berbagai sektor pembangunan. Hal ini ditandai dengan peningkatan nilai Indeks Pembangunan Gender (IPG), yang semula hanya 69.6 pada tahun 2005, menjadi 71.76 pada tahun 2009. Namun demikian, kaum perempuan belum banyak memperoleh kesempatan dan peluang yang sama dibandingkan dengan kaum laki-laki di sebagian besar bidang pembangunan. Bahkan sebaliknya, perempuan masih menghadapi berbagai bentuk diskriminasi. Keadaan tersebut secara tidak langsung berdampak pada rendahnya kualitas hidup perempuan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, dan pengambilan keputusan. Upaya mewujudkan visi kesetaraan gender telah dilakukan dengan segenap daya dan upaya serta telah menempuh perjalanan waktu yang tidak pendek.
1
Namun, mengingat sifatnya yang lintas bidang, lintas program dan banyaknya faktor yang berpengaruh dan saling terkait, maka hasil dan dampaknya belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan. Masih tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan, masih adanya kesenjangan partisipasi pembangunan antara perempuan dan laki-laki, terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan kurangnya keterlibatan perempuan dalam kegiatan publik yang lebih luas, merupakan sebagian dari permasalahan yang perlu diselesaikan. Selain itu, masih adanya hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan, dan belum peduli anak, menjadi tantangan yang harus diatasi. Masalah lain yang cukup mendasar adalah masih lemahnya kapasitas kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender. Demikian pula halnya dengan permasalahan tumbuh kembang dan perlindungan anak. Perhatian terhadap pemenuhan hak-hak anak termasuk perlindungan mereka dari tindak kekerasan dan diskriminasi masih dijumpai di segenap wilayah kehidupan. Hal ini dapat dikenali dari akibat-akibat yang timbul, yakni: masih terdapat anak-anak yang belum mengenyam pendidikan formal, anak-anak yang mendapat perlakuan kekerasan, masih banyaknya anak yang berhadapan dengan hukum, terpaksa bekerja, diperdagangkan, kurang gizi, dan sebagainya. Sementara kelembagaan yang menangani perlindungan anak masih belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh
karenanya,
pembangunan
kesetaraan
gender,
pemberdayaan
perempuan dan pemenuhan hak-hak anak melalui berbagai kebijakan, program dan kegiatan, serta koordinasi pelaksanaannya yang mendukung terwujudnya kesetaraan gender dan terpenuhinya hak-hak anak, harus lebih
ditingkatkan
secara intensif dan ekstensif hingga ke seluruh pelosok tanah air. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA), sesuai dengan fungsi dan kewenangannya, yaitu perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, koordinasi
2
dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; dan pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang tersebut, telah melakukan berbagai intervensi, di antaranya adalah berkoordinasi dan membangun kerjasama dengan Kementerian/Lembaga (K/L) dan daerah untuk mempercepat pencapaian sasaran dan target di bidang pembangunan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. B.
Permasalahan yang dihadapi Ada
tiga
permasalahan
besar
yang
dihadapi
dalam
pelaksanaan
pembangunan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, yaitu: 1.
Rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan Rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, antara lain, disebabkan oleh: (a) terjadinya kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya, terutama di tatanan antarprovinsi dan antarkabupaten/kota; (b) rendahnya peran dan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, termasuk di bidang politik, jabatan-jabatan publik, dan di bidang ekonomi; dan (c) rendahnya kesiapan perempuan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, krisis energi, krisis ekonomi, bencana alam dan konflik sosial, serta terjadinya penyakit. Hal ini, antara lain, ditunjukkan dengan rendahnya peningkatan nilai Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) setiap tahunnya yang mengindikasikan bahwa peningkatan kesetaraan gender di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan, politik, serta pengambilan keputusan belum signifikan.
2. Masih rendahnya perlindungan terhadap perempuan dan anak dari tindak kekerasan Maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak belum diiringi dengan peningkatan kuantitas dan kualitas layanan terhadap mereka yang menjadi korban tindak kekerasan. Di samping itu, masih terdapat
3
ketidaksesuaian antarproduk hukum yang dihasilkan, termasuk antara produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dengan daerah, sehingga perlindungan terhadap perempuan dan anak belum dapat dilaksanakan secara komprehensif. 3. Masih lemahnya kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak Permasalahan tersebut muncul disebabkan oleh: (a) belum optimalnya penerapan piranti hukum, piranti analisis, dan dukungan politik terhadap kesetaraan gender dan pemenuhan hak anak sebagai prioritas pembangunan; (b)
belum
memadainya
kapasitas
kelembagaan
dalam
pelaksanaan
pengarusutamaan gender dan anak (PUG dan PUHA), yang ditandai dengan masih rendahnya kapasitas sumber daya manusia, belum banyak tersedianya dan penggunaan data terpilah menurut jenis kelamin dalam siklus pembangunan; dan (c) masih rendahnya pemahaman tentang konsep dan isu gender, nilai-nilai kesetaraan gender, manfaat PUG dan PUHA dalam pembangunan, dan pemenuhan hak-hak anak, baik di pusat maupun di daerah. Isu dan permasalahan perempuan dan anak bersifat kompleks dan lintas Bidang dan
Program, dan harus ditangani secara lintas sektoral. Dikatakan
kompleks karena banyaknya faktor yang saling terkait
sebagai penyebab
rendahnya kualitas hidup perempuan dan anak. Sementara disebut isu lintas bidang dan program serta sektoral karena permasalahannya terdapat di hampir semua sektor, bidang dan program pembangunan, dan karenanya, penanganan permasalahan tersebut harus melibatkan seluruh bidang dan program serta sektor pembangunan. Menyadari hal tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA) yang merupakan lembaga pemerintah yang diberi amanat dan tugas serta tanggung jawab dalam menangani pembangunan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak, telah menetapkan visi, misi, tujuan dan sasaran melalui Peraturan Menteri Negara PP
4
dan PA Nomor 15 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis 2010-2014, yang merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, sebagai panduan untuk menangani isu dan permasalahan kesenjangan gender, perempuan dan anak. Pelaksanaan program dan kegiatan dalam rangka mencapai sasaran pada tahun 2011, telah dibuat dalam bentuk laporan tentang perkembangan capaian kinerja Kementerian PP dan PA selama tahun 2011, yaitu tahun kedua dari lima tahun pelaksanaan Renstra 2010-2014, dan dituangkan ke dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Tahun 2011 sebagai bentuk akuntabilitas kepada pemerintah sendiri dan juga kepada masyarakat. C.
Kedudukan, Tugas dan Fungsi Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,
Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon 1, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1.
Kedudukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dipimpin oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
2. Tugas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. 3. Fungsi Dalam menjalankan tugasnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyelenggarakan fungsi:
5
a. perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; b. koordinasi
dan
sinkronisasi
pelaksanaan
kebijakan
di
bidang
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; dan d. pengawasan
atas
pelaksanaan
tugas
di
lingkungan
Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. D.
Struktur Organisasi Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Nomor 04 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dibantu oleh satu orang Sekretaris Kementerian dan lima orang Deputi sebagai pejabat Eselon I, yaitu: 1.
Deputi Bidang Pengarusutamaan Gender Bidang Ekonomi;
2. Deputi Bidang Pengarusutamaan Gender Bidang Politik, Sosial dan Hukum; 3. Deputi Bidang Perlindungan Perempuan; 4. Deputi Bidang Perlindungan Anak; dan 5. Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak. Selain itu, terdapat lima orang pejabat setingkat Eselon I yang lain, yaitu: 1.
Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan;
2.
Staf Ahli Menteri Bidang Pengembangan Sistem Informasi Manajemen;
3. Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Internasional; 4. Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi Pembangunan; dan 5. Staf Ahli Menteri Bidang Agama. Setiap unit kedeputian merupakan Satuan Kerja (Satker) pelaksana kegiatan dan pengelola anggaran, sedangkan dalam Satker Sekretariat Kementerian
6
terdapat tiga Biro setingkat eselon II, yaitu: 1) Biro Perencanaan; 2) Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat; dan 3) Biro Umum. Setiap satker kedeputian terdapat lima unit kerja setingkat Eselon II, yaitu Asisten Deputi. Selain itu, juga terdapat unit kerja Inspektorat, yang berfungsi sebagai pengawas internal Kementerian PP dan PA. Dengan demikian, total unit kerja setingkat eselon II adalah 29 (dua puluh sembilan) unit kerja.
7
BAB II PERENCANAAN STRATEGIS
Pasal 6 dan 15 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) menetapkan bahwa Rencana Strategis (Renstra) kementerian/lembaga disusun untuk periode lima tahun. Renstra
Tahun
2010-2014
Kementerian
Pemberdayaan
Perempuan
dan
Perlindungan Anak (PP dan PA) memuat: Visi, Misi, Tujuan, Sasaran, Strategi, Program,
Kegiatan,
dan
Sasaran
Tahunan
pembangunan
pemberdayaan
perempuan dan kesejahteraan dan perlindungan anak yang disusun dengan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. A.
Visi dan Misi Renstra Tahun 2010-2014 Kementerian PP dan PA ditetapkan berdasarkan
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 15 Tahun 2010. Renstra dimaksud digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan Rencana Kinerja Tahunan (RKT), PenetapanKinerja (PK), masukan untuk penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan acuan dalam penyusunan Rencana Kerja (Renja) dan Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) Kementerian PP dan PA. Visi Kementerian PP dan PA adalah:
TERWUJUDNYA KESETARAAN GENDER DAN TERPENUHINYA HAK ANAK
8
Sementara Misinya adalah:
MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN DAN KUALITAS HIDUP PEREMPUAN DAN ANAK
B.
Tujuan dan Sasaran Strategis Tujuan
dan
sasaran
strategis
pembangunan
kesetaraan
gender,
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak adalah: Tujuan Pertama: Mewujudkan K/L dan Pemda yang melaksanakan pembangunan yang responsif gender dan peduli anak, dengan sasaran sebagai berikut: 1. Meningkatnya jumlah kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang ekonomi yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda; 2. Meningkatnya jumlah kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang politik, sosial dan hukum yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda; 3. Meningkatnya jumlah penerapan kebijakan Tumbuh Kembang Anak. Tujuan Kedua: Mewujudkan K/L, Pemda dan masyarakat yang melaksanakan perlindungan perempuan dan anak, dengan sasaran sebagai berikut: 1. Meningkatnya jumlah penerapan kebijakan Perlindungan Perempuan dari tindak kekerasan; 2. Meningkatnya jumlah penerapan kebijakan perlindungan anak. Tujuan Ketiga: Mewujudkan kebijakan sistem data yg responsif gender dan peduli anak, dengan sasaran sebagai berikut: 1. Meningkatnya jumlah K/L dan pemda yang memiliki dan atau memanfaatkan kebijakan sistem data dan anak.
9
C.
Strategi Untuk mencapai tujuan dan sasaran sebagaimana dimaksud, telah
ditetapkan Arah Kebijakan dan Fokus Prioritas Kementerian PP dan PA. 1.
Arah Kebijakan a.
Menyusun berbagai kebijakan pelaksanaan pengarusutamaan gender dan anak termasuk kebijakan perlindungan perempuan dan anak dari berbagai tindak kekerasan sebagai acuan bagi Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan strategi pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak;
b. Melakukan pendampingan teknis dalam penyusunan program, anggaran dan kegiatan yang responsif gender dan peduli anak pada program Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah; c.
Membangun jejaring kelembagaan dan nara sumber pada tingkat daerah, nasional dan internasional untuk peningkatan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan PUG dan mendorong pemenuhan hak anak;
d. Melakukan evaluasi dan pemantauan pelaksanaan program, anggaran dan
kegiatan
yang
responsif
gender
dan
peduli
anak
di
Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah; e.
Menyusun manajemen yang akuntabel dan terintegrasi.
2. Fokus Prioritas a.
Perumusan kebijakan pelaksanaan pengarusutamaan gender di bidang perekonomian;
b. Perumusan kebijakan pelaksanaan pengarusutamaan gender di bidang sosial, politik dan hukum; c.
Perumusan kebijakan perlindungan perempuan;
d. Perumusan kebijakan perlindungan anak;
10
e.
Perumusan kebijakan pemenuhan hak tumbuh kembang anak;
f.
Perencanaan program dan anggaran serta evaluasi kinerja organisasi yang diselesaikan, dilaksanakan, dipantau dan dievaluasi tepat waktu, terintegrasi dan harmonis dengan dokumen perencanaan lainnya (RPJPN, RPJMN, Renstra);
g.
Peningkatan ketersediaan data dan informasi tentang gender dan anak;
h. Peningkatan SDM yang kompeten sesuai kebutuhan dan kualifikasi, prasarana sarana barang dan jasa, serta keuangan. 3. Program a.
Program kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
b. Program perlindungan anak; dan c. D.
Program Dukungan Manajemen.
Rencana Strategis Kementerian PP dan PA Tahun 2010 TUJUAN
SASARAN
1. Mewujudkan K/L dan Pemda yang melaksanakan pembangunan yang responsif gender dan peduli anak
1. Meningkatnya jumlah kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang ekonomi yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda
2. Meningkatnya jumlah kebijakan, program, kegiatan yang responsif
INDIKATOR KINERJA URAIAN 1. Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang ekonomi 2. Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan kebijakan/program/ kegiatan di bidang ekonomi yang responsif gender 3. Jumlah K/L dan Pemda yang memiliki kebijakan bidang ekonomi yang responsif gender 1. Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang politik, sosial dan hokum
TARGET 8 kebijakan 15 K/L 16 provinsi
16 K/L 16 provinsi
3 kebijakan
11
TUJUAN
SASARAN gender di bidang politik, sosial dan hukum yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda 3. Meningkatnya jumlah penerapan kebijakan Tumbuh Kembang Anak
2. Mewujudkan K/L, Pemda dan masyarakat yang melaksanakan perlindungan perempuan dan anak
1. Meningkatnya jumlah penerapan kebijakan Perlindungan Perempuan dari tindak kekerasan
2. Meningkatnya jumlah penerapan kebijakan perlindungan anak
3. Mewujudkan kebijakan sistem data yg responsif
1. Meningkatnya jumlah K/L dan pemda yang
INDIKATOR KINERJA URAIAN 2. Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan ARG di bidang politik, sosial dan hukum 1. Jumlah K/L dan Pemda yang mengembangkan kebijakan/program/ kegiatan tumbuh kembang anak 2. Jumlah kabupaten/kota menuju Kabupaten/Kota Layak Anak 1. Jumlah kebijakan perlindungan hak perempuan 2. Jumlah K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan hak perempuan 3. Persentase perempuan korban kekerasan yang memperoleh layanan 1. Jumlah Kebijakan Perlindungan Anak 2. Jumlah K/L/Pemda yang difasilitasi dalam penerapan Kebijakan Perlindungan Anak 3. Jumlah K/L/Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan anak 1. Jumlah kebijakan penyusunan data dan informasi
TARGET 8 K/L 27 provinsi
3 K/L 7 provinsi
35 kab/kota
10 kebijakan 15 K/L 23 provinsi 22 kab/kota
80 persen
1 kebijakan 14 K/L 33 provinsi
7 K/L 15 provinsi 4 kebijakan
12
TUJUAN gender dan peduli anak
SASARAN memiliki dan atau memanfaatkan kebijakan sistem data dan anak
INDIKATOR KINERJA URAIAN 2. Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan kebijakan penyusunan data dan informasi gender 3. Jumlah K/L dan Pemda yang memanfaatkan data dan informasi gender 4. Jumlah pengolahan, penyajian, pemutakhiran, dan pengembangan data dan informasi gender
TARGET 15 K/L 5 provinsi
2 K/L 5 provinsi 3 publikasi 1 aplikasi
13
BAB III AKUNTABILITAS KINERJA Data dan informasi untuk penyusunan laporan ini diolah berdasarkan formulir Pengukuran Kinerja sebagaimana terlampir, dan juga bersumber dari dokumen Rencana Kinerja Tahun 2011 dan Penetapan Kinerja Tahun 2011 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA). Secara umum, seluruh sasaran dapat dicapai dengan tingkat keberhasilan yang cukup memuaskan. Untuk mengetahui sejauhmana perkembangan pencapaian target kinerja Kementerian PP dan PA pada tahun 2011, analisis dan hambatan dalam pencapaiannya, berikut ini adalah uraian masing-masing sasaran strategis yang telah ditetapkan. SASARAN PERTAMA: Meningkatnya
jumlah
kebijakan,
program,
kegiatan
yang
responsif gender di bidang ekonomi yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda
1.
Latar Belakang Penetapan Sasaran Dalam Roadmap pembangunan kesetaraan gender, terdapat dua pendekatan
yang dilakukan untuk mewujudkan kesetaraan gender. Pertama, pendekatan kepada kementerian/lembaga dan pemerintahan daerah, dan kedua, pendekatan kepada lembaga masyarakat. Langkah awal untuk mewujudkan kesetaraan gender di lingkungan instansi pemerintah diarahkan pada penyusunan rencana kebijakan, program dan kegiatan yang berperspektif gender, khususnya pada kebijakan,
14
program dan kegiatan yang menjadi prioritas nasional. Pelaksanaan tahap awal tersebut dipandang strategis karena hal tersebut merupakan pintu masuk dalam mewujudkan kesetaraan gender dengan menjadikan kebijakan, program dan kegiatan pemerintah responsif gender, artinya dapat memenuhi kebutuhan dan menjawab permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki. Tahap awal tersebut masih menjadi prioritas program dan kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengingat belum semua instansi pemerintah mampu untuk mewujudkannya. Atas dasar itulah, sasaran yang ditetapkan adalah: Meningkatnya jumlah kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang ekonomi yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda. Sasaran ini difokuskan pada bidang ekonomi, mengingat bidang ini sangat bersinggungan dengan hajat orang banyak, dan sangat menyangkut kebutuhan dasar setiap warga. Upaya peningkatan pada bidang ini, dapat juga meningkatkan citra instasi pemerintah di mata publik. Sasaran dan indikatornya dapat dilihat pada tabel berikut ini: SASARAN Meningkatnya jumlah kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang ekonomi yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda
2.
INDIKATOR
TARGET
1. Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang ekonomi
8 kebijakan
2. Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan kebijakan/program/ kegiatan di bidang ekonomi yang responsif gender 3. Jumlah K/L dan Pemda yang memiliki kebijakan bidang ekonomi yang responsif gender
15 K/L 16 provinsi
16 K/L 16 provinsi
Pencapaian Sasaran Tahun 2011 Untuk pencapaian sasaran tersebut, dapat dilihat pada capaian indikator-
indikatornya sebagai berikut:
15
a. Indikator pertama: Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang ekonomi. Dari target delapan kebijakan yang akan dihasilkan pada tahun 2011, dapat direalisasikan sebanyak sembilan kebijakan, yaitu: 1) MoU antara Kementerian PP dan PA dengan Kementerian Kehutanan tentang Efektivitas Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender bidang Kehutanan; 2) Pedoman PPRG bidang Kehutanan; 3) Panduan Pelaksanaan PUG Bidang Hortikultura dan Ketahanan Pangan yang responsif gender; 4) Pedoman Pengarusutamaan Gender bagi Widyaiswara di Pusdiklat Kemenakertrans; 5) Tata Cara Penyusunan Data Terpilah Bidang Pekerjaan Umum yang Responsif Gender; 6) Data Sektor ke PU-an yang mendukung pembangunan yang responsif gender; 7) Data Terpilah di Balai-balai Provinsi Jawa Timur dan DKI Jakarta dan sekitarnya Kementerian Pekerjaan Umum; 8) Panduan Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender di Kementerian dan Lembaga Non Kementerian (K/L); 9) Pedoman Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender di Bidang Komunikasi dan Informatika. Kebijakan ini dibuat sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 yang mengamanatkan bagi semua K/L, Pemda untuk melakukan pengarusutamaan gender, sehingga seluruh proses penyusunan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program dan
16
kegiatan di seluruh sektor pembangunan mempertimbangkan aspek gender. b. Indikator kedua: Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan kebijakan/program/kegiatan di bidang ekonomi yang responsif gender. Terkait dengan indikator kedua tersebut, target 15 kementerian/lembaga, dan 16 pemerintah provinsi yang difasilitasi, dapat direalisasikan seluruhnya pada akhir tahun 2011. Adapun daftar K/L dan provinsi tersebut adalah sebagai berikut:
KEMENTERIAN/LEMBAGA
PROVINSI
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kementerian Koperasi dan UKM Kementerian Perindustrian Kementerian Perdagangan Kementerian Pertanian Kementerian Kehutanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Kementerian Komunikasi dan Informatika Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal 10. Kementerian ESDM 11. Kementerian Perumahan Rakyat 12. Kementerian Keuangan 13. Kementerian Perhubungan 14. Kementerian Pekerjaan Umum 15. Badan Pertanahan Nasional 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Dari
sejumlah
K/L
yang
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
difasilitasi
Aceh Sumatera Barat Kepulauan Riau Sumatera Selatan Bengkulu DKI Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Nusa Tenggara Barat Maluku Maluku Utara Papua
dalam
penerapan
kebijakan/program/kegiatan di bidang ekonomi yang responsif gender tersebut, beberapa K/L telah mampu menyusun program dan kegiatan tahun 2012 yang responsif gender.
17
Sementara untuk
provinsi,
terdapat
empat
provinsi yang
telah
mengembangkan program/kegiatan responsif gender pada penyusunan RKASKPD 2012, yaitu Kalimantan Timur, Maluku Utara, Jawa Tengah dan Kepulauan Riau. c. Indikator Ketiga: Jumlah K/L dan Pemda yang memiliki kebijakan bidang ekonomi yang responsif gender Indikator tersebut sejatinya adalah hasil atau dampak dari indikator sebelumnya, yakni hasil dari fasilitasi yang dilakukan Kementerian PP dan PA kepada
sejumlah
K/L
dan
Pemda
dalam
penerapan
kebijakan/program/kegiatan di bidang ekonomi yang responsif gender. Dari target 16 K/L yang memiliki kebijakan bidang ekonomi yang responsif gender, hanya 3 K/L yang dapat merealisasikannya, yaitu: 1) Kementerian Komunikasi dan Informatika, dalam bentuk kebijakan penyediaan jasa akses Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) dengan mempertimbangkan
kelompok
perempuan
dapat
mengakses
dan
memanfaatkan sarana teknologi informasi dan komunikasi yang dimiliki oleh
Kementerian
Komunikasi
dan
Informatika.
Disamping
itu,
Kementerian Kominfo juga telah membuat kegiatan pemberdayaan teknologi
informasi
dan
komunikasi
yang
mempertimbangkan
perempuan sebagai penerima pelatihan TIK. 2) Kementerian Pertanian, dengan mengembangkan kebijakan Kawasan Rumah Pangan Lestari, Desa Mandiri Pangan dan Sarjana Masuk Desa Usaha Peternakan. Sedangkan dari Kebun Bibit Rakyat, pembentukan ganis dan wasganis bidang konservasi alam. 3) Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan
mengembangkan
Kawasan
Minapolitan Perikanan Tangkap, Kawasan Minapolitan Budi Daya, Pengembangan Usaha Garam Rakyat dan Pengembangan Daerah Aliran Sungai yang Responsif Gender. Untuk kawasan Minapolitan yang
18
responsif gender telah dikembangkan di Kota Ambon, Kota Bitung, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Pacitan. Sementara itu, dari target 16 provinsi, hanya 6 provinsi yang memiliki kebijakan bidang ekonomi yang responsif gender, yaitu: 1) Provinsi Kalimantan Timur; 2) Provinsi Kalimantan Tengah; 3) Provinsi Jawa Barat; 4) Provinsi Jawa Tengah; 5) Provinsi Sumatera Selatan; dan 6) Provinsi DKI Jakarta. Melesetnya realisasi dari target yang ditetapkan disebabkan kendala di internal K/L dan Pemda dalam merumuskan kebijakan bidang ekonomi yang responsif gender, yang antara lain adalah masih bervariasinya pemahaman tentang kebijakan bidang ekonomi yang responsif gender di internal K/L dan Pemda. Selain itu, khususnya di daerah, karena kebijakan tersebut bersifat lintas sektoral, koordinasi antar SKPD perlu mendapat perhatian yang intens. Secara keseluruhan ketiga indikator yang telah diuraikan di atas, jika dibandingkan antara target dengan realisasi (capaian target) selama tahun 2011 dapat dilihat pada tabel di bawah ini: SASARAN Meningkatnya jumlah kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang ekonomi yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda
INDIKATOR KINERJA
%
URAIAN
TARGET
REALISASI
1. Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang ekonomi 2. Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan kebijaka/program/kegiatan di bidang ekonomi yang responsif gender
8
9
113
15 K/L 16 prov
15 K/L 16 prov
100 100
19
SASARAN
INDIKATOR KINERJA URAIAN 3. Jumlah K/L dan Pemda yang memiliki kebijakan bidang ekonomi yang responsif gender
3.
TARGET
REALISASI
16 K/L 16 prov
3 K/L 6 prov
% 19 38
Analisis Perbandingan Capaian Target Tahun 2010 dengan Capaian Target Tahun 2011 Secara keseluruhan capaian tahun 2011 dibandingkan dengan capaian tahun
2010 dari setiap indikator dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
SASARAN Meningkatnya jumlah kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang ekonomi yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda
4.
INDIKATOR KINERJA CAPAIAN URAIAN TARGET 2010 1. Jumlah kebijakan pelaksanaan 9 PUG di bidang ekonomi 2. Jumlah K/L dan Pemda yang 9 K/L difasilitasi dalam penerapan 16 prov kebijaka/program/kegiatan di bidang ekonomi yang responsif gender 3. Jumlah K/L dan Pemda yang memiliki kebijakan bidang ekonomi yang responsif gender
CAPAIAN TARGET 2011 9 15 K/L 16 prov
3 K/L 6 prov
Solusi/Rekomendasi/Rencana Tindak Lanjut Strategi yang dibutuhkan untuk mewujudkan sasaran adalah:
a. Untuk pusat, perlu ada advokasi kepada unit eselon I dan II di K/L agar kebijakan yang dibuat adalah kebijakan yang mempertimbangkan kebutuhan laki-laki dan perempuan; b. Untuk daerah, perlu dilakukan advokasi kepada Ka. SKPD, DPRD, TAPD; memperbanyak fasilitator di daerah agar penyusunan anggaran bisa
20
dilaksanakan sampai di tk. Kab/Kota dan kebijakan yang dibuat adalah kebijakan yang responsif gender. Program dan kegiatan yang dilakukan oleh Deputi Bidang PUG Bidang Ekonomi diupayakan mendukung pencapaian sasaran berupa peningkatan jumlah kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang ekonomi yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda.
SASARAN KEDUA: Meningkatnya
jumlah
kebijakan,
program,
kegiatan
yang
responsif gender di bidang politik, sosial, dan hukum yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda
1.
Latar Belakang Penetapan Sasaran Sebagaimana yang telah diuraikan pada sasaran pertama, bahwa sebagai
langkah awal untuk mewujudkan kesetaraan gender di lingkungan instansi pemerintah diarahkan pada penyusunan rencana kebijakan, program dan kegiatan yang berperspektif gender, khususnya pada kebijakan, program dan kegiatan yang menjadi prioritas nasional. Pelaksanaan tahap awal tersebut dipandang strategis karena hal tersebut merupakan pintu masuk dalam mewujudkan kesetaraan gender dengan menjadikan kebijakan, program dan kegiatan pemerintah responsif gender, artinya dapat memenuhi kebutuhan dan menjawab permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki. Tahap awal tersebut masih menjadi prioritas program dan kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengingat belum semua instansi pemerintah mampu untuk mewujudkannya. Pada sasaran pertama difokuskan pada bidang ekonomi, maka pada sasaran kedua ini difokuskan pada bidang politik, sosial dan hukum, dengan uraian
21
sasarannya adalah: Meningkatnya jumlah kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang politik, sosial dan hukum yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda. Sasaran ini difokuskan pada bidang politik, sosial dan hukum, mengingat bidang ini juga sangat bersinggungan dengan hajat orang banyak, seperti bidang kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Sasaran dan indikatornya dapat dilihat pada tabel berikut ini: SASARAN
INDIKATOR
Meningkatnya jumlah kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang politik, sosial dan hukum yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda
1. Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang politik, sosial dan hukum 2. Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan Anggaran Responsif Gender di bidang politik, sosial dan hukum
2.
TARGET 3 kebijakan 8 K/L 27 provinsi
Pencapaian Sasaran Tahun 2011 Untuk pencapaian sasaran tersebut, dapat dilihat pada capaian indikator-
indikatornya sebagai berikut: a. Indikator Pertama: Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang politik, sosial dan hukum. Dari target tiga kebijakan, yang dapat direalisasikan sebanyak 11 kebijakan pada akhir tahun 2011. Kebijakan tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Petunjuk Umum Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) Bidang Pendidikan;
2)
Pedoman Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender di bidang Kesejahteraan Sosial;
3)
Pedoman Pelaksanaan PPRG Pembangunan Bidang Kebudayaan dan Pariwisata;
4)
Pedoman
Pelaksanaan
Strategi
Nasional
Sosial
Budaya
untuk
Mewujudkan Kesetaraan Gender;
22
5)
Pedoman Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya;
6)
Pedoman Pelaksanaan PUG Dalam Peningkatan Peran dan Posisi Perempuan di Lembaga Eksekutif;
7)
Pedoman
Pelaksanaan
PUG
Dalam
Peningkatan
Keterwakilan
Perempuan di Lembaga Legislatif; 8)
Parameter
Kesetaraan
Gender
dalam
Pembentukan
Peraturan
Perundang-Undangan; 9)
Kebijakan Perundang-Undangan yang Responsif Gender;
10) Rancangan Peraturan Perundang-Undangan produk Kementerian PP dan PA; dan 11) Peraturan Perundang-Undangan Bias Gender. b. Indikator Kedua: Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan Anggaran Responsif Gender bidang politik, sosial dan hukum. Dari target sebanyak delapan K/L yang ditetapkan, seluruhnya dapat direalisasikan pada tahun 2011. Delapan K/L tersebut adalah: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Pemerintah dan Reformasi Birokrasi, dan Mahkamah Agung. Dari hasil fasilitasi yang dilakukan terhadap delapan K/L tersebut, terdapat tujuh K/L yang telah menerapkan Anggaran Responsif Gender dengan melampirkan Gender Budget Statement dan TOR dalam pengajuan anggaran 2012, yaitu: Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Mahkamah Agung.
23
Sementara untuk provinsi, dari target 27 provinsi, yang dapat direalisasikan hanya sebanyak 23 provinsi, yaitu: NTT, Banten, Sumatera Utara, DI Yogyakarta, Riau, Gorontalo, Papua Barat, Bali, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, NTB, Kalimantan Timur, Papua, dan Kepulauan Riau. Secara keseluruhan, pencapaian sasaran kedua ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini: INDIKATOR KINERJA SASARAN Meningkatnya jumlah kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender dibidang polsoskum yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda 3.
URAIAN Jumlah kebijakan pelaksanaan pengarusutamaan gender di bidang Polsoskum Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan Anggaran Responsif Gender di bidang Polsoskum
TARGET
% REALISAS I 11 367
Kebijaka n
3
K/L
8
8
100
Provinsi
27
23
85,17
Analisis Pencapaian Sasaran Secara keseluruhan, sasaran kedua ini dapat dicapai, bahkan ada yang
melebihi target yang telah ditetapkan. Namun demikian, dari fakta di atas, ada juga yang belum dapat dicapai 100%, yaitu target capaian di provinsi. Hal tersebut dikarenakan perubahan struktur organisasi kelembagaan daerah yang dinamis dan cepat, yang dapat menghambat
kesinambungan pelaksanaan
program dan
kegiatan di daerah. Selain itu, keterbatasan jumlah tenaga pendamping dan bahanbahan informasi menjadi tantangan pula. Selain itu, pemahaman dan persepsi
24
tentang PUG masih bervariasi, dan peran unit kerja daerah yang menangani PP dan PA sebagai gender machinery juga belum optimal. Semuanya ini berakibat pada belum optimalnya penyusunan berbagai kebijakan, program dan kegiatan, yang kemudian berdampak pada keterbatasan alokasi anggaran untuk mendorong pelaksanaan PUG di daerah. 4.
Strategi yang Digunakan sehingga Sasaran Dapat Tercapai Strategi/taktik yang digunakan dalam rangka pencapaian sasaran kedua ini
adalah melalui advokasi dan fasilitasi secara intensif, dan bersinergi dengan Kementerian Keuangan dan Bappenas. Sementara untuk daerah, Kementerian PP dan PAbersinergi dengan Kementerian Dalam Negeri. Landasan hukum pelaksanaan PUG adalah Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional; Peraturan Menteri Dalam Negari No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah, yang direvisi menjadi Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 67 Tahun 2011 tentang Revisi Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan PUG di Daerah. Wujud nyata upaya yang sinergi tadi adalah keluarnya Peraturan Menteri Keuangan No. 119 Tahun 2009 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga Tahun 2010, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 104 Tahun 2010 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-KL Tahun Anggaran 2011, selanjutnya diperbaharui melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 93 Tahun 2011 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penalaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga. Peraturan Menteri Keuangan tersebut memuat sistem anggaran yang responsif gender melalui pelaksanaan “gender budget statement”. Peraturan tersebut memerintahkan kepada seluruh kementerian/lembaga (K/L) untuk menyusun kegiatan yang responsif gender dalam RKA-K/L yang ditunjukkan dengan adanya Gender Budget Statement (GBS).
Maksud dari
25
penyusunan program, kegiatan dan anggaran responsif gender adalah: Pertama, agar anggaran pembangunan yang digunakan dapat memberikan manfaat yang adil bagi kesejahteraan masyarakat, baik perempuan dan laki-laki (termasuk anak laki-laki dan anak perempuan). Kedua, meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran, serta membangun akuntabilitas dan transparansi anggaran. Ketiga, membantu mengurangi kesenjangan dan menghapuskan diskriminasi. 5.
Keterkaitan Program dan Kegiatan yang Dilakukan dengan Pencapaian Sasaran SASARAN
INDIKATOR SASARAN
PROGRAM
Meningkatnya jumlah kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender dibidang polsoskum yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda
1. Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang Polsoskum 2. Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan ARG di bidang Polsoskum 3. Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penyusunan data terpilah di bidang Polsoskum
Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
6.
KEGIATAN UTAMA
Penyusunan dan Harmonisasi Kebijakan Bidang Politik, Sosial dan Hukum
Analisis Perbandingan Realisasi Tahun 2010 dengan Realisasi Tahun 2011 INDIKATOR KINERJA SASARAN
Meningkatnya jumlah kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang polsoskum yang dilaksanakan oleh K/L dan Pemda
URAIAN 1. Jumlah kebijakan pelaksanaan pengarusutamaan gender di Bidang Polsoskum
REALISASI 2010 13
REALISASI 2011 3
26
INDIKATOR KINERJA SASARAN
URAIAN 2. Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan ARG di bidang Polsoskum 3. Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penyusunan data terpilah di bidang Polsoskum
7.
REALISASI 2010 K/L: 8
REALISASI 2011 K/L: 8
Pemda: 30
Pemda: 27
K/L: 2
K/L: 8
Pemda: 8
Pemda: 16
Hambatan Hambatan
yang
ada
dalam
pencapaian
target
dalam
pelaksanaan
pengarusutamaan gender berada pada tujuh kunci sekaligus kriteria keberhasilan pelaksanaan strategi PUG. Kriteria dimaksud mencakup dasar hukum dan komitmen, kesadaran dan keberadaan SDM, kelembagaan dan mekanisme kerja, ketersediaan data terpilah berdasarkan jenis kelamin serta dukungan masyarakat yang masih rendah. Pada tingkat nasional, tantangan yang ada adalah masih rendahnya komitmen para penentu kebijakan di masing-masing K/L; ketersediaan SDM yang dapat menfasilitasi dan memberikan bantuan teknis serta pendampingan dalam pelaksanaan strategi PUG di K/L; kebutuhan akan referensi untuk menggali dan mengidentifikasi isu gender, serta ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin di masing-masing sektor pembangunan. Sementara pada tingkat daerah, tantangan yang dihadapi relatif sama. Namun demikian, faktor lain yang sangat dominan adalah dampak dari perubahan struktur organisasi dan kelembagaan daerah yang dinamis dan cepat. Hal ini berakibat adanya perubahan personil kelembagaan daerah yang silih berganti dalam waktu singkat dan tentunya belum memahami permasalahan gender. Di
27
samping itu, masalah keterbatasan jumlah fasilitator, tenaga pendamping dan bahan-bahan informasi juga menjadi tantangan yang harus diatasi. Pemahaman dan persepsi SDM aparatur pemerintah provinsi, kabupaten dan kota tentang PUG yang masih terbatas, serta peran Badan PP, Bappeda dan Biro Keuangan yang masih bervariasi telah menyebabkan perannya sebagai gender machinery di daerah belum optimal. Di beberapa provinsi, kabupaten dan kota, hal ini telah menyebabkan belum optimalnya penyusunan berbagai kebijakan, program dan kegiatan serta penganggaran. Dampak yang kemudian muncul adalah keterbatasan alokasi anggaran untuk mendorong pelaksanaan strategi PUG di daerah. Secara umum terjadinya perkembangan dan dinamika perubahan sosial, politik, dan hukum serta pada pembangunan lainnya, memerlukan penyesuaian kebijakan dalam program dan strateginya. Pengarusutamaan gender yang bersifat konseptual tidak selalu mudah dipahami dan tidak selalu dianggap tepat untuk mengatasi permasalahan yang timbul, misalnya masalah pendidikan, kesehatan, hukum, politik, sumber daya alam dan lingkungan, perkembangan wilayah dan sebagainya. Tantangan lain yang dihadapi dalam melaksanakan strategi PUG di daerah adalah bagaimana menjangkau kabupaten dan kota, sementara wewenang pusat terbatas sampai pada provinsi. Ketersediaan SDM di bidang PUG yang mempunyai kemampuan untuk memberikan fasilitasi dan pendampingan serta penyediaan bantuan teknis juga perlu ditingkatkan. Keterbatasan peran yang dimiliki Kementerian PP dan PA tersebut, memerlukan alternatif pemecahan permasalahan yang tepat. 8.
Solusi/Rekomendasi/Rencana Tindak Lanjut Adanya berbagai tantangan dan kendala dalam pencapaian sasaran, tentunya
diperlukan suatu solusi sebagai jalan keluar dari permasalahan dan tantangan
28
tersebut. Secara umum, Kementerian PP dan PA telah menempuh langkah-langkah pemecahan masalah dan tantangan, baik secara internal maupun eksternal. Langkah tersebut dilakukan melalui peningkatan kapasitas SDM di internal Kementerian PP dan PA, dan sinkronisasi berbagai peraturan dan produk hukum terkait perempuan dan terus melakukan koordinasi, sosialisasi dan fasilitasi penyusunan kebijakan, program dan kegiatan terkait perlindungan perempuan. Pendekatan lain yang bersifat praktis juga telah dikembangkan, dengan tujuan
agar
masalah
yang
ada
dapat
ditangani
dengan
cepat
dengan
mengintegrasikan konsep keadilan dan kesetaraan gender di segala bidang pembangunan. Selain itu, juga telah diupayakan strategi yang dapat memastikan bahwa PUG sebagai strategi pembangunan dilaksanakan sampai di tingkat kabupaten/kota. Upaya lain yang juga dilakukan adalah dengan membangun kemitraan dengan Lembaga Masyarakat dan Pusat-Pusat Studi Wanita dan Gender, baik di pusat maupun daerah. Potensi ini terus dikembangkan sehinggga dapat menjadi pendamping dan pemberi bantuan teknis dalam pelaksanaan PUG di provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, Kementerian PP dan PA juga melakukan kajian, untuk melihat efektifitas pendekatan yang selama ini dilakukan, perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku serta perkembangan pelaksanaan strategi PUG. Lebih lanjut, dengan kajian ini akan dilihat dampak jangka pendek, menengah dan panjang serta perkembangan partisipasi masyarakat secara keseluruhan. Sementara itu, pengalaman praktis yang baik dalam pelaksanaan PUG telah dicatat dan direkam sebagai bahan pelajaran dalam pelaksanaan di daerah lainnya. Demikian juga perbaikan metode dan mekanisme pelaksanaan PUG di masa datang yang lebih baik dan sesuai dengan yang kita harapkan, terus dikembangkan.
29
Secara khusus, rekomendasi yang perlu dilakukan,antara lain sebagai berikut: a. Advokasi oleh Menteri Negara PP dan PA kepada Gubernur, Anggota DPRD, Kepala SKPD tentang kebijakan PP dan PA; b. Sosialisasi dan Desiminasi kebijakan dan program deputi PUG bidang Polsoskum di Kementerian/ Lembaga, Pemda dan Masyarakat; c. Capacity building tentang mekanisme pelaksanaan PUG bidang Polsoskum di K/L dan Pemda; d. Pendampingan secara intensif dalam rangka penguatan kelembagaan PUG bidang Polsoskum di kementerian/lembaga dan daerah mitra kerja; e. Memantau dan mengevaluasi tindak lanjut Kesepakatan Bersama dengan kementerian terkait dalam rangka implementasi PUG dalam rangka perencanaan dan penganggaran di K/L dan daerah mitra kerja; f. Memperkuat mekanisme pelaporan dan evaluasi tentang pelaksanaan PUG bidang Polsoskum di kementerian/lembaga dan daerah mitra kerja; g. Penguatan Kelembagaan PUG melalui Pembentukan POKJA, gender focal point dan bentuk jejaring kerja lainnya.
30
SASARAN KETIGA: Meningkatnya Jumlah Penerapan Kebijakan Tumbuh Kembang Anak
1.
Latar Belakang Penetapan Sasaran Penetapan sasaran ini dilandasi keprihatinan yang mendalam atas kurangnya
kebijakan terkait dengan tumbuh kembang anak yang holistik dan integral, serta berperspektif hak anak. Berbagai kebijakan tentang anak yang telah ada masih bersifat sektoral dan kurang berpihak pada pemenuhan hak anak. Padahal pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak tahun 1990 melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, dan memiliki Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedua dokumen tersebut seharusnya mengikat semua pihak agar secara serius memenuhi hak anak, sehingga anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Namun fakta membuktikan masih banyak anak-anak yang belum terpenuhi haknya, seperti hak mendapatkan akta kelahiran, memperoleh pendidikan yang berkualitas, memperoleh pelayanan kesehatan, berpartisipasi dalam proses pembangunan dan tumbuh dalam lingkungan yang kurang layak. Melihat kenyataan tersebut, Kementerian PP dan PA menerbitkan berbagai kebijakan untuk diimplementasikan di kementerian/lembaga maupun pemda, atau sebagai panduan/pedoman bagi kementerian/lembaga dan pemda dalam mengembangkan kebijakan terkait tumbuh kembang anak. Proses penyusunan kebijakan tersebut telah dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, seperti pakar anak, akademisi, kementerian/lembaga, lembaga donor, dunia usaha, sampai anak itu sendiri. Pelibatan anak dalam proses pembangunan dilakukan untuk mewujudkan kebijakan yang benar-benar dibutuhkan anak, dan sebagai wujud dari komitmen negara untuk menghormati pandangan anak, serta respon atas tuntutan dunia internasional.
31
Atas dasar itulah, sasaran yang ditetapkan adalah “Meningkatnya Jumlah Penerapan Kebijakan Tumbuh Kembang Anak”. Untuk mencapai sasaran tersebut telah ditetapkan dua indikator kinerja, sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini: SASARAN
INDIKATOR
TARGET
Meningkatnya Jumlah Penerapan Kebijakan Tumbuh Kembang Anak
1. Jumlah K/L dan Pemda yang mengembangkan kebijakan/program/ kegiatan tumbuh kembang anak 2. Jumlah kabupaten/kota menuju Kabupaten/Kota Layak Anak
3 K/L 7 provinsi 35 kab/kota
Berbeda dengan sasaran lainnya yang hanya mempunyai indikator provinsi, sasaran ketiga ini memiliki indikator hingga tingkat kabupaten/kota. Hal ini karena
Kementerian
Pemberdayaan
Perempuan
dan
Perlindungan
Anak
mempunyai kebijakan pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), yaitu kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak. Dalam upaya mencapai sasaran yang telah ditetapkan, telah disusun beberapa kebijakan terkait tumbuh kembang anak, yaitu: a. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 5 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pemenuhan Hak Pendidikan Anak; b. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 3 Tahun 2011 tentang Kebijakan Partisipasi Anak Dalam Pembangunan;
32
c. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 04 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kebijakan Partisipasi Anak Dalam Pembangunan; d. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Nomor
11
Tahun
2011
tentang
Kebijakan
Pengembangan
Kabupaten/Kota Layak Anak; e. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak; f. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Nomor
13
Tahun
2011
tentang
Panduan
Pengembangan
Kabupaten/Kota Layak Anak; g. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 14 tahun 2011 tentang Panduan Evaluasi Kabupaten/Kota Layak Anak. 2.
Pencapaian sasaran Untuk melihat pencapaian sasaran tersebut, dapat dilihat capaiannya
sebagaimana indikator-indikator berikut ini: a. Indikator Pertama: Jumlah Kementerian/Lembaga dan Pemda yang
mengembangkan
kebijakan/program/kegiatan
tumbuh
kembang anak. Sepanjang tahun 2011, Kementerian PP dan PA telah melakukan advokasi dan sosialisasi sejumlah kebijakan terkait dengan tumbuh kembang anak kepada 30 K/L. dari sejumlah K/L tersebut, terdapat lima K/L yang menindaklanjutinya dengan mengembangkan kebijakan/program/kegiatan tumbuh kembang anak pada instansinya sesuai bidang tugasnya masingmasing. Jumlah lima K/L tersebut melebihi target yang ditetapkan, yakni tiga K/L.
33
Kelima K/L tersebut adalah: 1) Kementerian Sosial, yang telah mengembangkan kegiatan sinkronisasi kegiatan anak di Provinsi Sulawesi Utara sebagai pengembangan dari Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 03 Tahun 2011 tentang Partisipasi Anak dalam Pembangunan; 2) Kementerian Komunikasi dan Informatika yang telah memasukkan isu anak ke dalam dokumen perencanaannya; 3) Kementerian Dalam Negeri yang telah menghasilkan draft Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pengembangan KLA di Desa/Kelurahan; 4) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang telah mensinkronkan wilayah program Penghapusan Pekerja Anak (PPA)-Program Keluarga Harapan (PKH) dengan wilayah pengembangan KLA; dan 5) Perpustakaan Nasional telah mensinkronkan wilayah programnya dengan wilayah pengembangan KLA. Dibandingkan dengan K/L yang mengembangkan kebijakan tumbuh kembang anak pada tahun 2010, capaian tahun 2011 meningkat pesat. Pada pada tahun 2010 belum ada K/L yang mengembangkan kebijakan tumbuh kembang anak, karena unit kerja yang menangani tumbuh kembang anak baru dibentuk di Kementerian PP dan PA pada akhir tahun 2009. Perubahan tersebut membawa konsekuensi yang luas, karena tidak saja substansinya yang berubah, tetapi juga sumber daya manusia yang menanganinya, serta perubahan kerangka pikir dari kelembagaan menjadi pemenuhan hak anak. Selain kementerian/lembaga, Kementerian PP dan PA juga telah memfasilitasi sejumlah provinsi untuk pengembangan kebijakan tumbuh kembang anak. Sebagian provinsi tersebut telah mengembangkan kebijakan tumbuh kembang anak sebagai tindak lanjut dari kegiatan fasilitasi, baik dalam
bentuk
penerbitan
Keputusan/Peraturan/Edaran
Gubernur/Bupati/Walikota, maupun pembentukan Gugus Tugas terkait
34
tumbuh kembang anak. Dari sejumlah provinsi tersebut, terdapat 12 provinsi yang telah mengembangkan kebijakan tumbuh kembang anak di provinsinya masing-masing. Jumlah provinsi tersebut melebihi dari target yang ditetapkan, yaitu sebanyak tujuh provinsi. Kedua belas provinsi tersebut adalah: 1)
Jawa Tengah;
2)
Sulawesi Tenggara;
3)
Kalimantan Tengah;
4)
Maluku;
5)
Sumatera Utara;
6)
Banten;
7)
DKI Jakarta;
8)
DI Yogyakarta;
9)
Jawa Barat;
10) Kalimantan Barat; 11) Kalimantan Timur; 12) Kalimantan Selatan. Sebagian besar provinsi tersebut telah membentuk Gugus Tugas KLA Provinsi, mengembangkan rintisan KLA di kabupaten/kota, penyediaan anggaran untuk pengembangan KLA, dan melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding antara Gubernur dengan Bupati/Walikota dalam rangka mengembangkan KLA. Selain
kementerian/lembaga
dan
provinsi,
fasilitasi
tentang
pengembangan kebijakan tumbuh kembang anak juga dilakukan di tingkat kabupaten/kota. Pada tahun 2011, kegiatan sosialisasi dilakukan kepada sejumlah kabupaten/kota. Dari sejumlah kabupaten/kota tersebut, sebanyak 37 kabupaten/kota telah mengembangkan kebijakan tumbuh kembang anak pada tahun 2011. Hal ini berarti target yang ditetapkan, yaitu sebanyak 15 kabupaten/kota, realiasasinya melebihi targetnya.
35
Sebagian besar kabupaten/kota tersebut telah mengembangkan kebijakan tumbuh kembang anak dalam bentuk penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) KLA, pembentukan Gugus Tugas KLA, pemberian akte kelahiran gratis, pengembangan taman bacaan yang semuanya dimaksudkan untuk percepatan pemenuhan hak anak. b. Indikator
Kedua:
Jumlah
kabupaten/kota
menuju
Kabupaten/Kota Layak Anak. Target
indikator
kedua,
yakni
jumlah
kabupaten/kota
menuju
Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) sebanyak 35 kabupaten/kota pada tahun 2011 telah berhasil dicapai. Kabupaten/Kota yang telah menuju KLA tersebut pada umumnya diawali dengan adanya komitmen dari pimpinan daerah beserta seluruh pemangku kepentingan daerah. Komitmen tersebut antara lain ditandai dengan diterbitkannya peraturan daerah dan/atau Peraturan/Keputusan/Edaran Bupati/Walikota. Komitmen selanjutnya diikuti dengan adanya pembentukan Gugus Tugas KLA Kabupaten/Kota, serta ditandai adanya ketersediaan data dasar, kemudian diikuti penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) KLA yang berisi program dan kegiatan yang ditujukan untuk pemenuhan hak anak di wilayahnya, yang mengacu pada 31 indikator KLA, yang telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri PP dan PA Nomor 12 Tahun 2011. Secara keseluruhan, pencapaian sasaran dan indikatornya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: SASARAN Meningkatnya jumlah penerapan kebijakan tumbuh kembang anak
INDIKATOR KINERJA
%
URAIAN
TARGET
REALISASI
1. Jumlah K/L dan Pemda yang mengembangkan kebijakan/program/ kegiatan pengembangan tumbuh kembang anak
3 K/L
5 K/L
167%
7 Prov
12 Prov
171%
15 kab/kota
37 kab/kota
245%
36
SASARAN
3.
INDIKATOR KINERJA URAIAN
TARGET
REALISASI
2. Jumlah kabupaten/kota menuju Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA)
35 kab/kota
35 kab/kota
% 100 %
Analisis Pencapaian Sasaran Pencapaian sasaran bidang tumbuh kembang anak sampai akhir tahun 2011
dapat dikatakan melampaui target yang telah ditetapkan. Hal ini tercapai karena didukung oleh berbagai faktor yang melatarbelakangi. Dalam upaya mencapai sasaran, pada tahap pertama dan menjadi hal utama yang dilakukan adalah mengidentifikasi kebutuhan kebijakan (sudah dilakukan sejak tahun 2010). Dari seluruh kebutuhan kebijakan, ditetapkan skala prioritas, dan kemudian melakukan kajian serta penyempurnaan dari kebijakan tumbuh kembang anak yang telah ada sebelumnya, dilanjutkan dengan menyusun kebijakan-kebijakan baru yang diperlukan. Kebijakan-kebijakan tersebut disusun sedemikian rupa sehingga dapat memberikan arahan dan sekaligus dapat dimanfaatkan bagi kementerian/lembaga, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam mengembangkan kebijakan terkait tumbuh kembang anak. Capaian yang mampu melebihi target tersebut juga sangat terkait dengan kebijakan pengembangan KLA dan pengembangan Forum Anak sebagai wadah partisipasi anak. Kedua kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang unik, dan menawarkan solusi bagi pembangunan anak yang lebih holistik, integratif, berkelanjutan, serta memberikan ruang bagi partisipasi anak dalam proses pembangunan yang selama ini belum mendapat perhatian secara khusus. Pelibatan anak dalam proses pembangunan melalui –salah satunya Forum Anak- merupakan pendekatan baru dalam paradigma pembangunan yang menyangkut anak. Keunikan dari kedua kebijakan tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi Pemerintah Daerah dalam upaya pemenuhan hak anak dan upaya mengoptimalkan
37
tumbuh kembang anak. Hal ini membuat pendekatan dan upaya meyakinkan para pimpinan daerah menjadi relatif lebih mudah, karena dapat menjadi solusi inovatif dalam pembangunan anak melalui good governance. Selain itu, kebijakan pengembangan KLA telah mulai dikembangkan sejak tahun 2006, sehingga pada tahun 2011 telah mampu mencapai target yang diinginkan. Faktor keunikan kedua kebijakan tersebut memberikan konstribusi paling besar dalam capaian terkait dengan tumbuh kembang anak di Kementerian PP dan PA, sehingga uraian analisa pencapaian
sasaran
berikut
ini
akan
banyak
terkait
dengan
kebijakan
Pengembangan KLA dan partisipasi anak. Selain kedua kebijakan tersebut, kebijakan tumbuh kembang anak di bidang pemenuhan hak pendidikan, pemenuhan hak kesehatan, lingkungan dan penanaman nilai-nilai luhur belum dapat mencapai target yang diinginkan. Kebijakan-kebijakan tersebut masih dalam tahap proses. Selain kebijakankebijakan tersebut masih relatif baru, khususnya pengembangan kebijakan di bidang pendidikan dan kesehatan anak juga dilakukan oleh instansi lain yang telah lebih dulu melakukan upaya-upaya terkait pemenuhan hak anak, dan didukung dengan anggaran dan SDM dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan Kementerian PP dan PA. Seperti telah diuraikan di atas, capaian provinsi yang mengembangkan kebijakan tumbuh kembang anak, yang juga melebihi target, merupakan kontribusi dari kebijakan pengembangan KLA dan partisipasi anak. Peran provinsi sangat strategis dalam penerapan kebijakan tumbuh kembang anak, karena sejalan dengan era pelaksanaan otonomi daerah, adalah sebagai koordinator dan sekaligus sebagai pembina kabupaten/kota. Dengan demikian seluruh kegiatan yang dilakukan di tingkat provinsi dimaksudkan untuk memperkuat peran provinsi, sehingga
pengembangan
kebijakan
tumbuh
kembang
anak
di
setiap
kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan, dapat lebih dipercepat pencapaiannya. Dalam kebijakan pengembangan KLA, hal yang sama juga berlaku untuk kabupaten/kota, karena kabupaten/kota mempunyai peran kunci sebagai pelaksana pengembangan KLA, sehingga seluruh upaya lebih difokuskan pada
38
kabupaten/kota. Peran pemangku kepentingan di tingkat kabupaten/kota sangat penting karena merupakan ujung tombak implementasi pengembangan KLA. Atas dasar hal tersebut, sasaran tahun 2011 sebagaimana diuraikan di atas dapat tercapai, bahkan melebihi target karena seluruh pemangku kepentingan telah menyadari pentingnya pengembangan KLA di wilayahnya. Hal yang mendasari adalah bahwa dengan terwujudnya KLA di wilayahnya, berarti hak anak di wilayah tersebut telah terpenuhi. Pemenuhan hak anak merupakan kewajiban negara yang harus dipenuhi, dan merupakan fondasi bagi terbentuknya anak yang berkualitas, yang dapat tumbuh dan berkembang secara optimal serta terlindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi. 4.
Strategi yang digunakan sehingga sasaran dapat tercapai Dalam upaya mencapai sasaran yang telah ditetapkan, metode yang
digunakan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman para pemangku kepentingan daerah, diawali dengan kegiatan advokasi kepada pimpinan daerah (dari lembaga eksekutif, legislatif dan judikatif). Kegiatan advokasi bagi pimpinan daerah, yang utama ditujukan kepada Gubernur, Bupati dan Walikota, serta pimpinan lembaga legislatif dan yudikatif. Kegiatan advokasi diikuti dengan kegiatan sosialisasi, untuk membahas lebih teknis tentang bagaimana cara pemenuhan hak anak tersebut, khususnya terkait dengan pemenuhan 31 indikator pemenuhan hak anak. Peserta sosialisasi meliputi seluruh unsur pemangku kepentingan
daerah,
yaitu:
SKPD
terkait,
DPRD,
lembaga
masyarakat
pemerhati/penggiat anak, tokoh agama, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, dan pakar anak di tingkat kabupaten/kota. Khusus untuk penguatan wilayah KLA yang telah digarap sejak tahun 2010, juga dilakukan fasilitasi berupa pendampingan teknis. Dalam pengembangan KLA, untuk mendukung keberhasilan advokasi, telah disusun materi advokasi “Pemenuhan Hak Anak untuk Mewujudkan KLA”. Substansi yang terkandung dalam materi advokasi meliputi materi 11 keasdepan, yaitu: KLA, pemenuhan hak pendidikan anak, pemenuhan hak kesehatan anak,
39
partisipasi anak, penanaman nilai-nilai luhur pada anak, penanganan masalah sosial anak, penanganan ABH, penanganan ABK, penanganan kekerasan terhadap anak, dan pemenuhan hak sipil anak. Selain itu, juga telah disusun Buku “Pengalaman Terbaik Pengembangan KLA di 10 Kabupaten/Kota”, dengan tujuan sebagai
media
untuk
menyebarluaskan
pengalaman
terbaik
dari
10
kabupaten/kota penerima penghargaan KLA Tahun 2011, dan “Buku Saku KLA”, yang ditujukan untuk memberikan “versi ringkas” segala informasi terkait pembangunan anak untuk mewujudkan KLA, khususnya informasi-informasi penting yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak, Millennium Development Goals (MDGs) dan Undang-Undang U No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Untuk memperkuat komitmen secara utuh khususnya bagi pemerintah provinsi, dalam pengembangan KLA sejak tahun 2011 telah dilakukan Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) KLA Tingkat Provinsi. Peserta Rakortek berasal dari Bappeda dan Badan/Biro/Kantor PP dan PA. Tujuan dari Rakortek Provinsi adalah untuk memperkuat kelembagaan pemerintah provinsi dalam mengkoordinasikan KLA di wilayahnya dan sekaligus mereka dapat membina kabupaten/kota di wilayahnya. Rakortek Provinsi juga dimaksudkan sebagai forum berbagi pengalaman diantara provinsi-provinsi yang sedang mengembangkan KLA. Selain Rakortek Provinsi, juga dilaksanakan Rakortek KLA Tingkat Kabupaten/Kota. Rakortek Kabupaten/Kota membahas hal-hal teknis terkait pengembangan KLA. Pada Rakortek ini dihadirkan para pakar anak dan juga para pimpinan SKPD kabupaten/kota yang berhasil mengembangkan KLA di wilayahnya. Dengan demikian, Rakortek juga merupakan forum berbagi diantara kabupaten/kota. Untuk lebih memperkuat substansi KLA, telah dibentuk Tim Ahli KLA, yang beranggotakan 9 (sembilan) orang pakar anak (sesuai keahlian masingmasing klaster hak anak), yang berasal dari perguruan tinggi, lembaga pemerhati anak, lembaga masyarakat, dan lembaga donor internasional. Peran Tim Ahli sangat penting, khususnya dalam memberikan masukan untuk penyusunan kebijakan KLA dan juga berperan sebagai nara sumber bagi daerah dalam pengembangan KLA. Untuk mempercepat terwujudnya KLA, telah diberikan
40
fasilitasi bagi lembaga masyarakat dalam bentuk dukungan pelaksanaan kegiatan pengembangan KLA di daerah oleh lembaga masyarakat. Strategi yang digunakan dalam pengembangan tumbuh kembang anak selama ini juga didasarkan pada pemenuhan hak anak, sebagaimana tertuang dalam klaster hak anak. Artinya, dilakukan segala upaya untuk memenuhi hak anak bagi setiap anak Indonesia, agar tidak ada seorang anakpun tertinggal sehingga tidak dapat menikmati hak yang seharusnya dinikmatinya. Untuk itu, strategi pelaksanaan teknis dilakukan melalui: a. Penyusunan dan penyempurnaan berbagai kebijakan terkait tumbuh kembang anak; b. Penguatan kelembagaan: 1) Di tingkat nasional melalui pembentukan Gugus Tugas KLA Nasional 2) Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, melalui: a) Advokasi
kepada
pimpinan
daerah
(Gubernur,
Bupati
dan
Walikota); b) Sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan daerah (SKPD terkait, lembaga legislatif, Yudikatif, lembaga masyarakat dan dunia usaha); c) Fasilitasi kepada daerah; d) Penyusunan dan pemanfaatan data anak yang telah ada. c. Pemantauan pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan tumbuh kembang anak. d. Evaluasi pelaksanaan tumbuh kembang anak. Mengingat keterbatasan anggaran, pelaksanaan kegiatan sosialisasi, advokasi dan fasilitasi dilakukan dalam waktu yang berurutan, mulai dari kebijakan yang dilakukan pada hari pertama, dilanjutkan dengan data pada hari berikutnya. Hal
41
ini dilakukan di beberapa provinsi dengan substansi terkait anak yang integral, sesuai tugas pokok dan fungsi serta kebijakan Kementerian PP dan PA. 5.
Keterkaitan Program dan Kegiatan yang dilakukan dengan Pencapaian Sasaran Pelaksanaan pengembangan program tumbuh kembang anak di Kementerian
PP dan PA selama ini dilakukan melalui Program Perlindungan Anak, sebagaimana tertuang dalam RAPBN 2011, bahwa pelaksanaan Program ini dilakukan melalui tiga kegiatan utama, yakni: a. Penyusunan kebijakan tumbuh kembang anak; b. Kementerian/Lembaga dan Pemda yang difasilitasi dalam pengembangan kebijakan/program/kegiatan tumbuh kembang anak; c. Kementerian/Lembaga dan Pemda yang difasilitasi dalam penyusunan data anak. Pelaksanaan ketiga kegiatan utama tersebut dilakukan dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditetapkan, yang diukur melalui dua indikator kinerja, sebagaimana tertuang dalam tabel berikut: SASARAN Meningkatnya jumlah penerapan kebijakan tumbuh kembang anak
INDIKATOR SASARAN 1. Jumlah K/L dan Pemda yang mengembangkan kebijakan/program/ kegiatan tumbuh kembang anak 2. Jumlah kabupaten/kota menuju Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA)
PROGRAM
Program Perlindungan Anak
KEGIATAN UTAMA
1. Penyusunan kebijakan tumbuh kembang anak 2. Fasilitasi K/L dan Pemda dalam pengembangan kebijakan/program/ kegiatan tumbuh kembang anak
42
6.
Dukungan Anggaran untuk Pencapaian Sasaran Terkait dengan anggaran, dalam tahun 2011 telah dialokasikan dana APBN
sebesar Rp. 21.486.211.000,- untuk pencapaian sasaran di bidang tumbuh kembang anak. Dari dana tersebut, terpakai Rp. 20. 300.738.920,- atau sebesar 94,50%. Belum terserapnya seluruh anggaran yang tersedia bukan disebabkan karena dana yang dialokasikan terlalu besar dibandingkan kebutuhan, tetapi karena terjadi beberapa kali revisi anggaran yang akhirnya justru menyulitkan pertanggung jawaban keuangan, sehingga sisa anggaran yang ada harus dikembalikan ke kas negara. Sebenarnya untuk sampai pada outcome tumbuh kembang anak Indonesia yang optimal, diperlukan anggaran yang jauh lebih besar dari alokasi tahun 2011. Namun mengingat keterbatasan SDM yang ada di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang relatif sedikit dibandingkan besarnya tanggung jawab, maka strategi yang digunakan selain melakukan efisiensi anggaran juga mendorong pemda mengalokasikan dana untuk tumbuh kembang anak melalui APBDnya. Dalam kaitan dengan indikator kedua, yakni jumlah kabupaten/kota menuju Kabupaten/Kota Layak Anak, capaian dalam tahun 2011 melebihi target dari yang telah ditetapkan. Jika hanya mengacu pada alokasi anggaran yang tersedia untuk pengembangan KLA, mungkin capaiannya tidak akan sebesar dari capaian di tahun 2011 ini. Salah satu penyebab tingginya capaian dibandingkan dengan target pada tahun 2011, khususnya yang terkait dengan capaian kabupaten/kota menuju KLA, karena pemda telah mengalokasikan anggaranya melalui APBD masing-masing untuk menunjang terwujudnya KLA. Keberhasilan ini tentu saja tidak terlepas dari penerapan strategi yang digunakan, terutama advokasi kepada pimpinan daerah. Setelah advokasi dilakukan, pada umumnya diikuti komitmen pimpinan daerah, maka daerah tersebut pada tahun berikutnya mengalokasikan APBD-nya untuk pengembangan KLA. Selain itu, kejelasan materi/substansi advokasi dan sosialisasi juga memegang peran kunci sehingga pemahaman pimpinan daerah dan para pemangku kepentingan daerah meningkat. Peningkatan pemahaman inilah yang
43
selanjutnya memberikan landasan awal dari pengembangan KLA di tahap-tahap berikutnya. 7.
Analisis Perbandingan Capaian Target Tahun 2010 dengan Capaian Target Tahun 2011 Capaian tahun 2011 mengalami peningkatan yang cukup signifikan
dibandingkan dengan capaian tahun 2010, bahkan melampaui target yang telah ditetapkan. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2011 telah dilakukan berbagai pengembangan strategi pendekatan pada K/L dan Pemda, khususnya dalam pengembangan KLA dan pembentukan forum anak di daerah. Sedangkan pada tahun 2010, unit kerja yang menangani tumbuh kembang anak relatif masih sangat baru, sehingga masih berfokus pada penataan internal organisasi. Untuk capaian sasaran dan indikator pertama pada tahun 2011 tercapai 5 K/L yang mengembangkan kebijakan terkait tumbuh kembang anak yang belum berhasil dilakukan pada tahun 2010. Sedangkan untuk capaian provinsi yang mengembangkan kebijakan/program/kegiatan tumbuh kembang anak pada tahun 2011 belum mengalami peningkatan dari tahun 2010. Hal ini disebabkan pada tahun 2011 masih berfokus pada lokasi yang sama dengan peningkatan yang berbeda, antara lain jika pada tahun 2010 bentuk pengembangan berupa MoU antara Gubernur dan Bupati/Walikota, maka pada tahun 2011 telah dikembangkan lebih jauh dalam bentuk alokasi anggaran untuk tumbuh kembang anak. Ke-9 provinsi yang mengembangkan kebijakan/program/kegiatan tumbuh kembang anak tahun 2011 merupakan provinsi yang sama di tahun 2010, karena provinsiprovinsi tersebut telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 56 Tahun 2010. Untuk capaian jumlah kabupaten/kota yang
mengembangkan kebijakan
tumbuh kembang anak mengalami peningkatan yang sangat signifikan, yaitu lebih dari 100%. Jika pada tahun 2010 tercapai 17 kabupaten/kota, maka pada tahun 2011 terdapat 37
kabupaten/kota yang
mengembangkan kebijakan tumbuh
kembang anak. Peningkatan tersebut tercapai karena telah dilakukan peningkatan
44
jumlah kabupaten/kota yang diintervensi. Di sisi lain telah tumbuh kesadaran di tingkat kabupaten/kota untuk memenuhi hak anak melalui pengembangan KLA dan penghargaan terhadap pendapat anak. Oleh karena itu, semakin banyak Pemda kabupaten/kota yang berinisiatif membuat kabupaten/kotanya menjadi layak anak dan mengembangkan forum anak sebagai wadah partisipasi anak dalam proses pembangunan. Perbandingan capaian kabupaten/kota yang mengembangkan kebijakan tumbuh kembang anak antara tahun 2010 dan tahun 2011 seperti tergambar dalam tabel berikut:
NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
REALISASI CAPAIAN 2010 Kota Jambi Kota Surakarta Kabupaten Kutai Kartanegara Kabupaten Gorontalo Kabupaten Aceh Besar Kota Padang Kabupaten Ogan Komering Ilir Kabupaten Lampung Selatan Kota Malang Kota Pontianak Kota Manado Kota Kupang Kabupaten Sragen Kabupaten Serdang Bedagai Kabupaten Malang Kabupaten Grobogan Kota Jogya
REALISASI CAPAIAN 2011 Kota Jambi Kota Surakarta Kabupaten Kutai Kartanegara Kabupaten Gorontalo Kabupaten Aceh Besar Kota Padang Kabupaten Ogan Komering Ilir Kabupaten Lampung Selatan Kota Malang Kota Pontianak Kota Manado Kota Kupang Kabupaten Sragen Kabupaten Serdang Bedagai Kabupaten Malang Kabupaten Grobogan Kota Jogya Kota Depok Kabupaten Bogor Kota Serang Kota Tangerang Selatan Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Utara Kota Jakarta Selatan Kabupaten Sumedang Kabupaten Sintang
45
NO
REALISASI CAPAIAN 2010
Kabupaten Singkawang Kabupaten Sleman Kota Surabaya Kota Denpasar Kabupaten Simalungun Kota Pariaman Kota Medan Kabupaten Kerawang Kabupaten Badung Kota Bandung Kabupaten Langkat
27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37.
8.
REALISASI CAPAIAN 2011
Kendala yang dihadapi Dalam upaya mencapai sasaran yang telah ditetapkan, beberapa hambatan
masih harus dihadapi, antara lain: a. Data anak yang spesifik sesuai dengan Konvensi Hak Anak (KHA) masih sangat
kurang,
hal
ini
menyebabkan
pengembangan
kebijakan/program/kegiatan tumbuh kembang anak kurang optimal; b. Seringnya terjadi pergantian pimpinan di daerah, baik kepala daerah maupun kepala SKPD terkait. Pergantian ini mempengaruhi koordinasi yang telah berjalan, sering kali bahkan harus mulai dari awal kembali; c. Belum banyak daerah yang telah mempunyai Peraturan Daerah (Perda) sebagai landasan hukum pengembangan tumbuh kembang anak di daerah; d. Pembangunan anak selama ini masih dilakukan secara sektoral dan parsial, belum terintegrasi dan berkelanjutan; e. Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) di daerah untuk pemahaman anak masih rendah; f. Terbatasnya anggaran untuk pembangunan anak, baik di pusat maupun di daerah.
46
g. Pada tahap pelaksanaan pembangunan anak, koordinasi belum berjalan secara efektif lintas bidang dan holistik; h. Konsep terkait tumbuh kembang anak khususnya dalam hal penanaman nilai-nilai luhur belum dipahami secara sama, sehingga menyulitkan dalam penyusunan datanya karena sifatnya yang abstrak. 9.
Solusi/Rekomendasi/Rencana Tindak lanjut Untuk mengatasi kendala di atas, diusulkan solusi/rekomendasi/rencana
tindak lanjut yang harus dilakukan pada tahun 2012, yaitu meliputi: a. Perlu dilakukan pemetaan terkait dengan isu anak, potensi dan kebijakan terkait pemenuhan hak anak yang sudah dimiliki kementerian/lembaga dan daerah; b. Kegiatan advokasi dan sosialisasi harus lebih diefektifkan dengan lebih memfokuskan pada sasaran potensial; c. Setelah suatu kementerian/lembaga dan pemda memperoleh advokasi, harus diikuti dengan kegiatan fasilitasi dan pendampingan teknis serta monitoring dan evaluasi secara terus menerus untuk mengetahui kemajuan yang telah dicapai; d. KIE melalui media elektronik harus semakin digalakkan, karena melalui media elektronik pesan akan lebih banyak tersebar luas; e. Mendorong daerah memiliki perda sebagai landasan hukum pengembangan tumbuh kembang anak di daerah; f. Kerjasama dengan dunia usaha perlu ditingkatkan untuk mengatasi kendala keuangan; g. Perlu dilakukan fasilitasi penyusunan data anak di kementerian/lembaga dan Pemda agar memiliki data sesuai dengan Konvensi Hak Anak; h. Perlu dilakukan peningkatan kapasitas bagi para pemangku kepentingan yang menangani isu anak di daerah;
47
i. Perlu dilakukan pelatihan tentang Konvensi Hak Anak bagi pemangku kepentingan, termasuk pengambil keputusan, baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
SASARAN KEEMPAT: Meningkatnya
jumlah
penerapan
kebijakan
Perlindungan
Perempuan dari tindak kekerasan
1.
Latar belakang penetapan sasaran Sasaran yang ditetapkan adalah: Meningkatnya jumlah penerapan
kebijakan Perlindungan Perempuan dari tindak kekerasan. Penetapan Sasaran ini dilandasi keprihatinan yang mendalam atas kurangnya kebijakan terkait dengan perlindungan hak perempuan sebagai tindak lanjut Pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discriminations Against Women, CEDAW) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 dan Beijing Platform for Actions serta berbagai peraturan perundang-undangan terkait perlindungan hak perempuan. Berbagai kebijakan perlindungan hak perempuan tersebut adalah terutama yang bersifat afirmasi (affirmative actions) untuk pemajuan hak asasi perempuan dan sekaligus untuk mengejar persamaan substantif dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender. Fokus affirmative actions adalah pada kegiatan-kegiatan yang terkait dengan upaya pencegahan, pelayanan dan pemberdayaan korban kekerasan, termasuk korban perdagangan tindak perdagangan orang. Meski Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) telah diratifikasi lebih dari dua dekade, namun fakta membuktikan masih banyak perempuan yang belum terpenuhi haknya.
Perempuan masih
48
banyak yang mengalami diskriminasi, ketidaksetaraaan dalam hal akses terhadap berbagai peluang dan kesempatan, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, kontrol terhadap sumber daya pembangunan dan perolehan manfaat dari hasil pembangunan, sehingga seringkali berujung pada tindak kekerasan. Kondisi ini tidak hanya terjadi di lingkup keluarga dan di tempat kerja, tetapi meluas hingga ke ranah publik, bahkan pada situasi konflik atau pada saat terjadi bencana. Melihat kenyataan tersebut, Deputi Bidang Perlindungan Perempuan perlu menerbitkan berbagai kebijakan perlindungan hak perempuan untuk dapat diimplementasikan di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah (Pemda), atau sebagai panduan/pedoman bagi kementerian/lembaga dan Pemda dalam mengembangkan
kebijakan
terkait
perlindungan
hak
perempuan.
Proses
penyusunan kebijakan tersebut telah dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak seperti pakar hak asasi perempuan, akademisi, kementerian/lembaga, lembaga masyarakat, lembaga donor, dan dunia usaha. Pelibatan perempuan dalam seluruh tahapan dan proses pembangunan dilakukan untuk mewujudkan kebijakan yang benar-benar dibutuhkan perempuan, dan sebagai wujud dari komitmen negara untuk menghormati hak asasi perempuan, serta respon atas tuntutan dunia internasional. Untuk mencapai sasaran tersebut telah ditetapkan dua indikator kinerja, sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
SASARAN Meningkatnya jumlah penerapan kebijakan Perlindungan Perempuan dari tindak kekerasan
INDIKATOR
TARGET
1. Jumlah kebijakan perlindungan hak perempuan
10 kebijakan
2. Jumlah K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan hak perempuan 3. Persentase perempuan korban kekerasan yang memperoleh layanan
14 K/L 23 provinsi 22 kab/kota 80 persen
49
2.
Pencapaian sasaran Untuk pencapaian sasaran tersebut, dapat dilihat pada capaian indikator-
indikatornya sebagai berikut: a. Indikator
Pertama:
Jumlah
kebijakan
perlindungan
hak
perempuan Dari target 10 kebijakan yang ditetapkan, telah berhasil direalisasikan sebanyak 11 kebijakan, atau melebihi targetnya pada tahun 2011. Kebijakankebijakan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 09 Tahun 2011 tentang Kebijakan Kewaspadaan Dini Tindak Pidana Perdagangan Orang; 2) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 18 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengintegrasian Materi Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pendidikan dan Pelatihan Penjenjangan dan Teknis; 3) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan; 4) Modul Pelatihan Pencegahan Kekerasan melalui Pendidikan Keluarga; 5) Rencana
Aksi
Nasional
(RAN)
Perlindungan,
Pencegahan
dan
Pemberdayaan Perempuan di Daerah Konflik; 6) Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kebijakan Bina Keluarga Tenaga Kerja Indonesia (TKI); 7) Kebijakan Pencegahan Perdagangan Orang melalui Pendekatan Kearifan Lokal; 8) Panduan Pelatihan Pendampingan Saksi dan/atau Korban Perdagangan Orang; 9) Pedoman Pengelolaan Data Gender dan Anak; 10) Instrumen Data Gender; dan
50
11) Modul Pelatihan Pengelolaan Data Gender dan Anak. Keseluruhan kebijakan tersebut telah diadvokasikan dan disosialisasikan kepada seluruh kementerian/lembaga terkait, provinsi, dan kabupaten/kota terpilih. Walaupun advokasi dan sosialisasi berbagai kebijakan tersebut belum
mencakup
seluruh
provinsi
dan
kabupaten/kota
mengingat
keterbatasan anggaran, hasil yang diperoleh adalah sebagaimana tergambar dalam indikator kedua sebagaimana berikut ini. b. Indikator Kedua: Jumlah K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan hak perempuan Berbagai kebijakan yang telah dihasilkan sebagaimana diuraikan pada 15Indikator
pertama
kementerian/lembaga,
telah provinsi
sosialisasikan dan
kepada
kabupaten/kota
serta
kepada lembaga
masyarakat sebagai dasar pengembangan kebijakan perlindungan hak perempuan di kementerian/lembaga dan Pemda. Bentuk fasilitasi yang diberikan di antaranya adalah: advokasi kepada pimpinan instansi, sedangkan sosialisasi dan pelatihan diberikan kepada staf teknis yang lebih bersifat operasional. Melalui advokasi, sosialisasi dan pelatihan tersebut, diharapkan kementerian/lembaga dan Pemda dapat menindaklanjutinya. Dari target 14 K/L yang ditetapkan, telah berhasil dicapai sebanyak 15 K/L, atau melebihi targetnya pada tahun 2011. Penerapan kebijakan perlindungan perempuan yang dilakukan oleh K/L dicapai dalam bentuk antara lain: 1) pengalokasian anggaran di masing-masing kementerian/lembaga untuk mendukung pelaksanaan kebijakan perlindungan hak perempuan; 2) kebijakan yang dikeluarkan oleh kementerian/lembaga baik dalam bentuk Surat Edaran Menteri/Kepala Lembaga maupun kebijakan operasional sebagai tindak lanjut atas kebijakan perlindungan hak
51
perempuan yang dihasilkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, misalnya dalam bentuk pengembangan model perlindungan
hak
perempuan
dan
pengintegrasian
kebijakan
perlindungan hak perempuan ke dalam berbagai materi pelatihan yang diselenggarakan oleh kementerian/lembaga terkait; dan 3) pengembangan kelembagaan di kementerian/lembaga terkait, misalnya pembentukan Gugus Tugas atau Kelompok Kerja terkait isu-isu spesifik perlindungan hak perempuan, disesuaikan dengan tugas dan fungsi masing-masing
kementerian/lembaga.
Sebagai
contoh,
dari
hasil
advokasi dan sosialisasi yang dilakukan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, selanjutnya Kementerian tersebut menindaklanjutinya dalam bentuk pembentukan Kelompok Kerja Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan diikuti dengan pengalokasian sebagian dana APBN
Kementerian
tersebut
untuk
pembuatan
materi-materi
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) melalui media cetak dan elektronik, misalnya berupa iklan layanan masyarakat, kampanye melalui sekolah-sekolah. Sementara untuk tingkat provinsi, dari target 23 provinsi, seluruhnya dapat berhasil dicapai pada tahun 2011. Ke-23 provinsi tersebut adalah sebagai berikut: 1)
NAD
2)
Sumatera Utara
3)
Riau
4)
Kepulauan Riau
5)
Jambi
6)
Sumatera Barat
7)
Sumatera Selatan
8)
Lampung
9)
Banten
52
10) DKI Jakarta 11) Jawa Barat 12) Jawa Tengah 13) DI Yogyakarta 14) Jawa Timur 15) Bali 16) NTB 17) NTT 18) Kalimantan Barat 19) Kalimantan Timur 20) Sulawesi Utara 21) Sulawesi Selatan 22) Sulawesi Tengah dan 23) Sulawesi Tenggara. Penerapan kebijakan tersebut oleh masing-masing provinsi berbedabeda, misalnya dalam bentuk: a) pengalokasian anggaran APBD di masingmasing provinsi untuk mendukung pelaksanaan kebijakan perlindungan hak perempuan; b) kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemda Provinsi dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) dan Surat Edaran/Keputusan Gubernur serta kebijakan operasional sebagai tindak lanjut atas kebijakan perlindungan hak perempuan yang dihasilkan oleh Kementerian PP dan PA; dan c) pembentukan dan pengembangan kelembagaan provinsi, misalnya dalam bentuk Gugus Tugas atau Kelompok Kerja terkait perlindungan hak perempuan tingkat provinsi. Sementara untuk tingkat kabupaten/kota, dari target 22 kabupaten/kota, dapat direalisasikan sebanyak 74 kabupaten/kota yang telah menerapkan kebijakan perlindungan perempuan. Penerapan
kebijakan
tersebut
diwujudkan
dalam
bentuk:
a)
pengalokasian anggaran APBD di masing-masing kabupaten/kota untuk
53
mendukung pelaksanaan kebijakan perlindungan hak perempuan; b) kebijakan Bupati/Walikota baik dalam bentuk Surat Edaran/Keputusan Bupati/Walikota maupun kebijakan operasional sebagai tindak lanjut atas kebijakan perlindungan hak perempuan yang dihasilkan oleh Kementerian PP dan PA, misalnya pengembangan model-model perlindungan hak perempuan oleh kabupaten/kota. Bahkan di beberapa daerah, juga dikeluarkan kebijakan oleh Camat, seperti Kecamatan Selomerto, Kecamatan Watumalang dan Kecamatan Kaliwiro di Kabupaten Wonosobo, yaitu kebijakan perlindungan hak tenaga kerja perempuan, mengingat ketiga kecamatan tersebut merupakan daerah pengirim terbesar tenaga kerja ke luar negeri di Kabupaten
Wonsobo;
c)
pengembangan
kelembagaan
di
tingkat
kabupaten/kota, misalnya dalam bentuk Gugus Tugas atau Kelompok Kerja terkait perlindungan hak perempuan di tingkat kabupaten/kota; dan d) pembentukan kelompok-kelompok Bina Keluarga TKI di tingkat desa, terutama di kantong-kantong TKI. Meningkatnya jumlah kabupaten/kota yang menerapkan kebijakan menunjukkan tingginya efektifitas fasilitasi yang dilakukan khususnya di tingkat provinsi. Hal ini disebabkan karena dalam pelaksanaan fasilitasi di tingkat provinsi selalu dilibatkan kabupaten/kota dalam advokasi, sosialisasi dan pelatihan perlindungan hak perempuan. Nampaknya upaya ini memberikan dampak positif, yang ditunjukkan melalui tindak lanjut oleh kabupaten/kota yang mengikuti fasilitasi di tingkat provinsi. Dengan kondisi seperti ini, diharapkan capaian ini dapat ditingkatkan dari tahun ke tahun karena strategi yang digunakan adalah dengan cara melibatkan seluruh kabupaten/kota yang ada di masing-masing provinsi tersebut. Dengan demikian, dari sisi anggaran menunjukkan bahwa pemanfaatan anggaran sangat efektif, karena berhasil melebihi target yang ditetapkan. Sejalan dengan hal tersebut, fasilitasi yang langsung dilakukan di tingkat kabupaten/kota masih tetap perlu dilakukan khususnya di kabupaten/kota yang memiliki isu spesifik yang perlu penanganan spesifik pula. Misalnya
54
kabupaten/kota yang merupakan kantong-kantong TKI, kabupaten/kota yang merupakan daerah pengirim/penerima/transit kasus-kasus perdagangan orang. c. Indikator Ketiga: Persentase perempuan korban kekerasan yang memperoleh layanan Capaian pada tahun 2011 untuk indikator ketiga ini telah menunjukkan keberhasilan, sesuai dengan yang ditargetkan. Target yang ditetapkan pada tahun 2011 adalah sebanyak 80% perempuan korban kekerasan memperoleh layanan, dan berdasarkan data yang diperoleh dari sistem pencatatan dan pelaporan korban kekerasan menunjukkan bahwa mereka terlayani. Dari seluruh perempuan korban kekerasan yang datang ke pusat-pusat pelayanan, seperti Rumah Sakit, Puskesmas, Women Crisis Center, Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Rumah Aman, maka seluruhnya dapat dilayani. Sementara itu, untuk penyediaan layanan bagi perempuan korban kekerasan dilakukan secara terpadu oleh sepuluh kementerian/lembaga, yaitu: 1) Kementerian PP dan PA, 2) Kementerian Kesehatan, 3) Kementerian Sosial, 4) Kementerian Luar Negeri, 5) Kementerian Agama, 6) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 7) Mahkamah Agung, 8) Kejaksaan Agung, 9) Kepolisian RI, dan 10) BNP2TKI.
55
Jenis pelayanan yang diberikan, sebagaimana ditetapkan dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, terdiri dari lima jenis pelayanan, yaitu: 1) pelayanan penanganan pengaduan; 2) pelayanan kesehatan; 3) pelayanan rehabilitasi sosial; 4) pelayanan penegakan dan bantuan hukum; dan 5) pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial. Sementara itu, untuk pemberdayaan perempuan korban kekerasan, upaya-upaya yang dilakukan oleh Kementerian PP dan PA berupa pengembangan model-model pemberdayaan, misalnya model Bina Keluarga TKI, yang diperuntukkan bagi keluarga TKI terutama berbasis desa. Model pemberdayaan ini dikembangkan di kantong-kantong TKI, dengan tujuan antara lain agar keluarga TKI dapat mengelola keuangan dengan baik, berupa remitansi yang diperoleh para anggota keluarga yang menjadi TKI di luar negeri. Model ini menekankan aspek pemberdayaan agar keluarga TKI dapat memanfaatkan remitansi untuk kegiatan-kegiatan yang produktif, sehingga memberikan
dampak
peningkatan
ekonomi
keluarga.
Model-model
pemberdayaan untuk isu-isu lainnya juga dikembangkan dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing daerah. Pencapaian sasaran dan indikator ini sampai akhir tahun 2011 dapat dikatakan berhasil, karena telah melampaui target yang ditetapkan. Hal ini tercapai karena didukung oleh berbagai faktor yang melatarbelakangi. Dalam upaya mencapai sasaran dan target, pada tahap pertama dan menjadi hal utama yang dilakukan adalah mengidentifikasi kebutuhan kebijakan, yang sudah dilakukan sejak tahun 2010. Dari seluruh kebutuhan kebijakan, ditetapkan skala prioritas, dan kemudian melakukan kajian serta penyempurnaan dari kebijakan perlindungan hak perempuan yang telah ada sebelumnya, dilanjutkan dengan menyusun kebijakan-kebijakan baru yang diperlukan. Kebijakan-kebijakan
56
tersebut disusun sedemikian rupa sehingga dapat memberikan arahan dan sekaligus dapat dimanfaatkan bagi kementerian/lembaga, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota serta lembaga masyarakat dalam mengembangkan kebijakan terkait perlindungan hak perempuan. Capaian yang mampu melebihi target tersebut juga sangat terkait dengan kebijakan perlindungan perempuan korban kekerasan, baik kekerasan di rumah tangga maupun di tempat kerja dan kebijakan perlindungan perempuan korban trafficking. Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang disusun untuk memberikan solusi bagi pembangunan perlindungan hak perempuan yang lebih holistik, integratif, dan berkelanjutan, serta memberikan ruang bagi partisipasi perempuan dalam proses pembangunan yang selama ini belum mendapat perhatian secara khusus. Seperti telah diuraikan di atas, capaian provinsi yang mengembangkan kebijakan perlindungan hak perempuan, yang juga melebihi target, merupakan kontribusi dari kepedulian provinsi untuk mendukung perlindungan hak perempuan. Peran provinsi sangat strategis dalam penerapan kebijakan perlindungan hak perempuan, karena sejalan dengan era pelaksanaan otonomi daerah,
adalah
sebagai
koordinator
dan
sekaligus
sebagai
pembina
kabupaten/kota. Dengan demikian seluruh kegiatan yang dilakukan di tingkat provinsi dimaksudkan untuk memperkuat peran provinsi, sehingga pengembangan kebijakan perlindungan hak perempuan di setiap kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan, dapat lebih dipercepat pencapaiannya. Atas dasar hal tersebut, sasaran tahun 2011 sebagaimana diuraikan di atas dapat tercapai, bahkan melebihi target karena seluruh pemangku kepentingan telah menyadari pentingnya perlindungan hak perempuan di wilayahnya. Hal yang mendasari adalah bahwa dengan terlindunginya perempuan dari berbagai tindak kekerasan di wilayahnya, berarti hak asasi perempuan di wilayah tersebut telah terpenuhi. Pemenuhan hak asasi perempuan merupakan kewajiban negara yang harus dipenuhi, dan merupakan fondasi bagi terbentuknya perempuan yang
57
berkualitas, yang terlindungi dari berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan, untuk selanjutnya dapat berkontribusi positif bagi pembangunan nasional. Dalam upaya mencapai sasaran yang telah ditetapkan, metode yang digunakan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman para pemangku kepentingan daerah, diawali dengan kegiatan advokasi kepada pimpinan daerah (dari lembaga eksekutif, legislatif dan judikatif). Kegiatan advokasi bagi pimpinan daerah, yang utama ditujukan kepada Gubernur, Bupati dan Walikota, serta pimpinan lembaga legislatif dan yudikatif. Kegiatan advokasi diikuti dengan kegiatan sosialisasi, untuk membahas lebih teknis tentang bagaimana cara pemenuhan hak anak tersebut, khususnya terkait dengan perlindungan hak perempuan. Peserta sosialisasi meliputi seluruh unsur pemangku kepentingan daerah, yaitu: SKPD terkait, DPRD, lembaga masyarakat pemerhati/penggiat perempuan, tokoh agama, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, dan pakar gender/perempan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Secara keseluruhan, pencapaian sasaran dan indikatornya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
SASARAN Meningkatnya jumlah penerapan kebijakan Perlindungan Perempuan dari tindak kekerasan
INDIKATOR KINERJA URAIAN 1. Jumlah kebijakan perlindungan hak perempuan 2. Jumlah K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan hak perempuan 3. Persentase perempuan korban kekerasan yang memperoleh layanan
%
TARGET
REALISASI
10 kebijakan
11 kebijakan
110
14 K/L
15 K/L
107
23 provinsi
23 provinsi
100
22 kab/kota
74 kab/kota
336
80 persen
80 persen
100
58
3.
Strategi pencapaian sasaran Strategi yang digunakan dalam pencapaian sasaran dan indikatornya selama
ini didasarkan pada pemenuhan hak asasi perempuan, sebagaimana tertuang dalam Konvensi CEDAW, BPFA, dan peraturan perundang-undangan terkait. Artinya, dilakukan segala upaya untuk memenuhi hak asasi bagi setiap perempuan, agar tidak ada seorang perempuan-pun yang terdiskriminasi sehingga mengalami kekerasan dan tidak dapat menikmati hak yang seharusnya dinikmatinya. Lebih lanjut, strategi yang digunakan dalam bentuk: a. Penyusunan dan penyempurnaan berbagai kebijakan terkait perlindungan hak perempuan. b. Penguatan kelembagaan: 1) Di tingkat nasional melalui pembentukan Gugus Tugas dan Kelompok Kerja Nasional; 2) Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, melalui: a) Advokasi kepada pimpinan daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota); b) Sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan daerah (SKPD terkait, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, lembaga masyarakat dan dunia usaha); c) Fasilitasi kepada daerah; dan d) Penyusunan dan pemanfaatan data dan informasi gender yang telah ada. c. Pemantauan pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan perlindungan hak perempuan. c. Evaluasi
pelaksanaan
kebijakan/program/kegiatan
perlindungan
hak
perempuan.
59
4.
Keterkaitan program dan kegiatan dengan pencapaian sasaran Pelaksanaan perlindungan hak perempuan di Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak selama ini dilakukan melalui Program Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan, dengan dua kegiatan utama, yaitu: a. Penyusunan kebijakan perlindungan hak perempuan; dan b. Fasilitasi pengembangan kebijakan/program/kegiatan perlindungan hak perempuan kepada Kementerian/Lembaga dan Pemda. Walaupun dari nama program tersebut secara eksplisit tidak menyebutkan perlindungan perempuan, namun itu terlihat jelas pada bunyi kedua kegiatan utamanya. Program dan kegiatan tersebut sangat terkait dengan pencapaian sasaran dan indikatornya. Program, terutama kegiatan tersebut mendukung pencapaian tiga indikator, yaitu: a. Jumlah kebijakan perlindungan hak perempuan; b. Jumlah K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan hak perempuan; dan c. Persentase perempuan korban kekerasan yang memperoleh layanan. 5.
Dukungan Anggaran dalam pencapaian sasaran Terkait dengan anggaran, dalam tahun 2011 telah dialokasikan dana APBN
sebesar Rp. 35.126.100.000,- untuk pencapaian sasaran di bidang perlindungan hak perempuan. Dari dana tersebut, terpakai Rp. 31. 960.324.195,- atau sebesar 96%. Belum terserapnya seluruh anggaran yang tersedia bukan disebabkan karena dana yang dialokasikan terlalu besar dibandingkan kebutuhan, tetapi karena terjadi revisi anggaran, dan sisa anggaran yang ada dikembalikan ke kas negara. Untuk sampai pada pencapaian sasaran yang lebih baik dalam perlindungan hak perempuan, diperlukan anggaran yang jauh lebih besar dari alokasi tahun 2011. Namun mengingat keterbatasan SDM yang ada di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang relatif sedikit dibandingkan besarnya
60
tanggung jawab, maka strategi yang digunakan selain melakukan efisiensi anggaran juga mendorong Pemda provinsi dan kabupaten/kota mengalokasikan dana untuk perlindungan hak perempuan melalui APBDnya. 6.
Kendala yang dihadapi Dalam upaya mencapai sasaran yang telah ditetapkan, beberapa hambatan
masih harus dihadapi, antara lain: a. Seringnya terjadi pergantian pimpinan di daerah, baik kepala daerah maupun kepala SKPD terkait. Pergantian ini mempengaruhi koordinasi yang telah berjalan, sering kali bahkan harus mulai dari awal kembali. b. Belum banyak daerah yang telah mempunyai Peraturan Daerah (Perda) sebagai landasan hukum perlindungan hak perempuan di daerah. c. Perlindungan hak perempuan selama ini masih dilakukan secara sektoral dan parsial, belum terintegrasi dan berkelanjutan. d. Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) di daerah untuk pemahaman pentingnya perlindungan hak perempuan masih rendah. e. Terbatasnya anggaran untuk upaya-upaya perlindungan hak perempuan, baik di pusat maupun di daerah. f. Pada tahap pelaksanaan perlindungan hak perempuan, koordinasi belum berjalan secara efektif lintas bidang dan belum holistik. 7.
Solusi/rekomendasi/rencana tindak lanjut Untuk mengatasi kendala di atas, diusulkan solusi/rekomendasi/rencana
tindak lanjut yang perlu dilakukan pada tahun 2012, yaitu meliputi: a. Perlu dilakukan pemetaan terkait dengan isu spesifik perlindungan hak perempuan, yang sudah dimiliki/dilaksanakan kementerian/lembaga dan daerah.
61
b. Kegiatan advokasi dan sosialisasi harus lebih diefektifkan dengan lebih memfokuskan pada sasaran potensial. c. Setelah suatu kementerian/lembaga dan pemda memperoleh advokasi, harus diikuti dengan kegiatan fasilitasi dan pendampingan teknis serta monitoring dan evaluasi secara terus menerus untuk mengetahui kemajuan yang telah dicapai dalam perlindungan hak perempuan. d. Perlu diintensifkan KIE melalui berbagai media (cetak dan elektronik). e. Mendorong daerah memiliki Perda sebagai landasan hukum perlindungan hak perempuan di daerah. f. Kerjasama dengan dunia usaha perlu ditingkatkan untuk mengatasi kendala keuangan. g. Perlu dilakukan fasilitasi penyusunan data perlindungan hak perempuan di kementerian/lembaga dan Pemda agar memiliki data sesuai dengan Konvensi CEDAW dan BPFA. h. Perlu dilakukan peningkatan kapasitas bagi para pemangku kepentingan yang menangani isu perempuan di daerah. Perlu dilakukan pelatihan tentang Konvensi CEDAW dan BPFA bagi pemangku kepentingan, termasuk pengambil keputusan, baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
SASARAN KELIMA: Meningkatnya jumlah penerapan kebijakan perlindungan anak
1.
Latar belakang penetapan sasaran Perlindungan anak menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA), adalah segala kegiatan untuk
62
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selanjutnya pada Bab IX Pasal 42 – 59 UU PA menyebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak meliputi lima bidang yakni bidang agama, kesehatan, pendidikan, sosial, dan perlindungan khusus. Perlindungan khusus diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan napza, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Mensikapi permasalahan tersebut di atas, dan dalam rangka membangun sistem perlindungan anak, langkah awalnya adalah mengembangkan kebijakan tentang perlindungan anak sebagai panduan bagi para pemangku kepentingan dalam melaksanakan kebijakan, program dan kegiatan perlindungan anak secara komprehensif. Atas dasar itulah, sasaran yang ditetapkan adalah: Meningkatnya jumlah penerapan kebijakan perlindungan anak. Untuk mencapai sasaran tersebut telah ditetapkan dua indikator kinerja, sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini: SASARAN
INDIKATOR
Meningkatnya jumlah penerapan kebijakan perlindungan anak
2. Jumlah Kebijakan Perlindungan Anak 3. Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan Kebijakan Perlindungan Anak 4. Jumlah K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan anak
TARGET 1 kebijakan 14 K/L 33 provinsi 7 K/L 15 Pemda
63
2.
Pencapaian sasaran Untuk pencapaian sasaran tersebut, dapat dilihat pada capaian indikator-
indikatornya sebagai berikut: a. Indikator Pertama: Jumlah Kebijakan Perlindungan Anak Dari 1 target kebijakan yang ditetapkan, dalam realisasinya, dapat dicapai dua kebijakan pada tahun 2011. Kedua kebijakan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 7 Tahun 2011 tentang Kebijakan Peningkatan Ketahanan Keluarga Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (AMPK); dan 2) Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus. Pencapaian indikator ini berkaitan dengan penyiapan landasan hukum bagi seluruh K/L dan Pemda dalam melaksanakan kebijakan, program, dan kegiatan terkait dengan perlindungan anak. Perumusan kebijakan selain ditujukan untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan kebijakan dan program di bidang/sektor pembangunan yang mempunyai tanggung-jawab untuk
mewujudkan
perlindungan
anak,
juga
untuk
meningkatkan
pengintegrasian isu anak dalam kebijakan dan program pembangunan di bidang/sektor yang tidak secara langsung mepunyai tanggung jawab untuk perlindungan anak. b. Indikator Kedua: Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan Kebijakan Perlindungan Anak Dari target 14 K/L yang akan difasilitasi dalam penerapan kebijakan perlindungan anak, dapat berhasil direalisasikan sebanyak 16 K/L, atau melebihi dari targetnya. Ke-16 K/L tersebut adalah sebagai berikut: 1) Mahkamah Agung;
64
2) Kejaksaan Agung; 3) Kepolisian RI; 4) Kementerian Hukum dan HAM; 5) Kementerian Sosial; 6) Kementerian Dalam Negeri; 7) Kementerian Luar Negeri; 8) Kementerian Kesehatan; 9) Kementerian Agama; 10) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; 11) Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; 12) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Produktif; 13) Kementerian Komunikasi dan Informatika; 14) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI); 15) Badan
Nasional
Pemberdayaan
dan
Perlindungan
Tenaga
Kerja
Indonesia (BNP2TKI); dan 16) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Fasilitasi difokuskan pada isu pemenuhan hak sipil anak, khususnya hak anak untuk mendapatkan identitas berupa akta kelahiran, isu penanganan ABH dan isu penanganan kekerasan terhadap anak. Dari target 33 provinsi yang ditetapkan, seluruhnya dapat direalisasikan pada tahun 2011. Fasilitasi yang diberikan berupa pertemuan koordinasi, sosialisasi, advokasi, dan pelatihan menyangkut lima substansi perlindungan anak, yaitu: 1) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Anak (PPKTA); 2) Penanganan ABH dengan pendekatan keadilan restoratif; 3) Perlindungan anak dari masalah sosial; 4) Perlindungan anak berkebutuhan khusus (ABK); dan 5) Pemenuhan hak sipil anak.
65
Selain itu, untuk lebih mendorong pelaksanaan kebijakan yang dihasilkan, Kementerian PP dan PA telah melakukan fasilitasi berupa pengembangan model peningkatan ketahanan keluarga yang memiliki anak yang membutuhkan perlindungan khusus (AMPK). Pengembangan Model Peningkatan Ketahanan Keluarga AMPK dilakukan untuk menindaklanjuti Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 7 Tahun 2011 tentang Kebijakan Peningkatan Ketahanan Keluarga AMPK. Pengembangan model dilakukan di empat provinsi dan diarahkan kepada keluarga yang memiliki empat kategori AMPK yakni anak korban bencana alam di provinsi Jawa Tengah, anak korban eksploitasi ekonomi (pekerja anak di perkebunan) di provinsi Lampung, anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) di provinsi Sulawesi Selatan, dan anak korban eksploitasi seksual (ESA) di provinsi Nusa Tenggara Barat. Pengembangan model ini diharapkan dapat memberikan manfaat langsung bagi masyarakat khususnya keluarga AMPK untuk mewujudkan perlindungan khusus bagi AMPKnya, dan dapat memberikan pembelajaran bagi pelaksana program di daerah untuk mensinergikan program layanan yang ada dan untuk dikembangkan kedalam program yang lebih luas. c. Indikator Ketiga: Jumlah K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan anak Dari target tujuh K/L yang ditetapkan, berhasil direalisasikan sebanyak sepuluh K/L yang menerapkan kebijakan perlindungan anak. Sepuluh K/L tersebut adalah sebagai berikut: 1) Mahkamah Agung RI Terkait penanganan ABH dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak, Mahkamah Agung telah: a) menyiapkan hakim dan panitera yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian dan dedikasi yang bersertifikasi di bidang anak pada setiap pengadilan negeri; b) menyiapkan fasilitas dan prasarana,
ruang tunggu dan ruang sidang
66
ramah anak, serta ruang saksi anak pada setiap pengadilan secara bertahap; c) mengadakan diskusi secara rutin serta pelatihan-pelatihan yang
dibutuhkan;
d)
menerbitkan
Surat
Edaran
Mahkamah
Agung/Peraturan Mahkamah Agung/ dan menyusun standar operasional prosedur penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan
keadilan
restoratif;
e)
membentuk
Kelompok
Kerja
Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; f) melakukan sosialisasi internal; dan g) mengefektifkan fungsi Ketua Pengadilan Tinggi dalam memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap jalannya persidangan di dalam daerah hukumnya.
2) Kejaksaan Agung RI Untuk meningkatkan penanganan ABH, Kejaksaan Agung telah a) melakukan penuntutan dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak yang berhadapan dengan hukum; b) menyiapkan Jaksa dan tenaga administrasi yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian dan dedikasi di bidang anak pada setiap kantor kejaksaan; c) menyediakan ruang pemeriksaan khusus bagi anak pada setiap kantor kejaksaan; d) mengadakan
diskusi
secara
rutin
serta
pelatihan-pelatihan
yang
dibutuhkan; e) menyusun panduan/pedoman, surat edaran/standar operasional prosedur penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif; f) membentuk Kelompok Kerja Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; g) melakukan sosialisasi internal; dan h) mengefektifkan fungsi kepala kejaksaan tinggi dalam memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap jalannya penuntutan di dalam daerah hukumnya.
67
3) Kepolisian RI Dalam rangka memberikan perlindungan anak, khususnya ABH, kebijakan dan program yang dilakukan meliputi: a) menyiapkan penyidik yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian dan dedikasi dengan bersertifikasi di bidang anak di Mabes Polri dan jajaran kewilayahannya; b) meningkatkan jumlah Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Mabes Polri dan jajaran kewilayahannya; c) menyediakan ruang pemeriksaan khusus bagi anak di Mabes Polri dan jajaran kewilayahannya; d) melaksanakan pendidikan dan pelatihan tentang penanganan anak yang berhadapan dengan hukum; e) menyusun panduan/pedoman standar tentang penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan
keadilan
restoratif;
f)
membentuk
Kelompok
Kerja
Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; dan g) melakukan sosialisasi internal, yang dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan instansi terkait. 4) Kementerian Sosial Dalam pelaksanaan Program Kesejahteran Sosial Anak, yang semula hanya berupa layanan kepada anak yang mengalami masalah sosial, telah pula melakukan intervensi berupa penguatan kepada keluarga anak tersebut. Penguatan keluarga anak yang mengalami masalah sosial dilakukan oleh pekerja sosial professional yang terus dikembangkan kemampuannya agar tidak saja mampu memberikan layanan kepada anak namun juga melakukan pencegahan melalui penguatan keluarga. Selain itu, dalam upaya meningkatkan pelayanan terpadu penanganan korban kekerasan, Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) melakukan serangkaian kegiatan
antara lain penjangkauan kasus, registrasi dan
assesment, home visit, terapi psikososial, pendampingan, reintegrasi, pemulangan dan pengembalan korban ke daerah asal.
68
5) Kementerian Dalam Negeri Dalam rangka meningkatkan cakupan kepemilikan akta kelahiran, Menteri Dalam Negeri telah meminta kepada Mahkamah Agung untuk memberikan fasilitasi kemudahan dalam proses permohonan pengurusan pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu satu tahun melalui surat Nomor 472.11/3394/SJ tanggal 7 September 2011 tentang Penetapan Pengadilan untuk Percepatan Kelahiran yang Melampaui Batas Waktu 1 (Satu) Tahun. Surat ini untuk mengantisipasi berakhirnya masa dispensasi pencatatan kelahiran pada akhir Desember 2011. 6) Kementerian Hukum dan HAM Dalam upaya meningkatkan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, Kementerian Hukum dan HAM telah melakukan: a) menetapkan kebijakan, program dan kegiatan perlindungan dan pemenuhan hak anak yang berhadapan dengan hukum di lingkungan pemasyarakatan; b) meningkatkan pelayanan litmas, pembimbingan dan pengawasan serta pendampingan anak yang berhadapan dengan hukum; c) menyiapkan Pembimbing Kemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan dan Petugas Pemasyarakatan pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan yang mempunyai minat, kemampuan, perhatian dan dedikasi dengan bersertifikasi di bidang anak; d) meningkatkan pelayanan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan dan pengawasan serta pendampingan terhadap anak yang diputus dengan pidana pengawasan, pidana bersyarat, anak yang dikembalikan kepada orang tua, dan anak yang memerlukan bimbingan lanjutan (after care); e) menyiapkan fasilitas dan prasarana bagi pembinaan, dan pembimbingan, perawatan anak; f) menyiapkan ruang khusus bagi tahanan anak dan anak didik pemasyarakatan di Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan; g) menyediakan psikolog, tenaga pendidik, dan tenaga medis; h) menyusun standar operasional prosedur penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dengan
69
pendekatan Keadilan Restoratif; i) meningkatkan peran serta masyarakat; j) membentuk Kelompok Kerja Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; dan k) melakukan sosialisasi internal. 7) Kementerian Agama Terkait percepatan kepemilikan akta kelahiran, Kementerian Agama telah menyusun program kepenghuluan dengan fokus pelaksanaan nikah yang sah menurut ajaran agama, dan dicatatkan oleh Petugas Pencatat Nikah. Dalam hal ini, Akta Kelahiran yang mencantumkan nama kedua orang tuanya hanya dapat diberikan kepada anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah dan diakui negara sesuai peraturan perundangundangan. 8) Kementerian Kesehatan Dalam upaya
mempercepat
Kesehatan
menerbitkan
kepemilikan akte kelahiran, Surat
Edaran
Menteri Nomor:
BM/Menkes/E/1912/IX/2011 yang ditujukan kepada tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan tentang percepatan kepemilikan akta kelahiran. Surat edaran ini antara lain berisi arahan bagi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang memberikan layanan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan agar memberikan informasi tentang pentingnya akta kelahiran pada saat pemeriksaan kehamilan dan pemeriksaan bayi baru lahir. Selain itu, tenaga kesehatan diminta untuk membuat surat keterangan lahir dengan mencantumkan nama dan tanda tangan penolong persalinan serta dua orang saksi yang digunakan untuk pembuatan akta kelahiran. Kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota, Pengurus Persatuan Rumah Sakit Indonesia, Asosiasi Rumah Sakit Daerah dan Ketua organisasi profesi agar menyosialisasikan hal tersebut dan membantu pelaksanaan di lapangan.
70
9) Kementerian Koordinator Bidang Kesra Untuk meningkatkan penanganan kekerasan terhadap anak, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat selain penguatan koordinasi di tingkat pusat dan daerah juga telah menyusun model-model reintegrasi bagi korban tindak kekerasan berbasis komunitas berdasar kepentingan terbaik untuk anak. Melakukan uji coba pengembangan model program tumbuh kembang anak usia dini dalam rangka “gerbang kampung” di Jeneponto Sulawesi Selatan. 10) Kementerian Luar Negeri Untuk melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak Kementerian Luar Negeri melakukan early detection permasalahan WNI dengan memberdayakan unsur komunitas WNI di Luar Negeri. Immediate response Perwakilan RI terhadap permasalahan TKI baik hukum, kemanusiaan maupun politis, serta pemberian paspor dan pembinaan TKI untuk mengurangi pelanggaran keiimigrasian. Selain itu, membuat
policy
paper
yang
dapat
mengadres
langkah-langkah
perlindungan secara komprehensif terhadap permasalahan WNI di luar Negeri. Sedangkan dalam pencapaian di tingkat provinsi, dari target 15 Pemda yang ditetapkan, telah berhasil dapat terpenuhi seluruhnya atau 100%. Penerapan kebijakan perlindungan anak di Pemda berkaitan perubahan paradigma dari pendekatan isu menjadi pendekatan sistem khususnya dalam pemenuhan hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan. Perubahan paradigm ini diwujudkan dengan menyusun kebijakan baru atau menyesuaikan kebijakan yang ada dengan pendekatan sistem. Selain itu, penerapan kebijakan perlindungan anak di Pemda juga berkaitan dengan pemenuhan hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari diskriminasi khususnya pemenuhan hak anak untuk mendapatkan identitas berupa akta kelahiran, dan penyediaan layanan perlindungan anak
71
melalui Telepon Sahabat Anak (TeSA) 129. 15 Pemda yang telah menerapkan kebijakan perlindungan anak terdiri dari sepuluh provinsi dan lima kabupaten/kota. Adapun sepuluh provinsi tersebut adalah Provinsi DI Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, NTT, dan DI Yogyakarta. Sedangkan lima kabupaten/kota tersebut adalah Kabupaten Lamongan, Magelang, Tulang Bawang, dan Klaten. Secara keseluruhan, pencapaian sasaran dan indikator ini dapat dilihat pada tabel berikut ini: SASARAN Meningkatnya jumlah penerapan kebijakan perlindungan anak
INDIKATOR KINERJA URAIAN 1. Jumlah Kebijakan Perlindungan Anak 2. Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan Kebijakan Perlindungan Anak 3. Jumlah K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan anak
%
TARGET
REALISASI
1 kebijakan
2 kebijakan
200
14 K/L
16 K/L
114
33 provinsi
33 provinsi
100
7 K/L
10 K/L
114
15 Pemda
15 Pemda
100
72
SASARAN KEENAM: Meningkatnya jumlah K/L dan pemda yang memiliki dan atau memanfaatkan kebijakan sistem data dan anak
1.
Latar Belakang Penetapan Sasaran Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan penyediaan dan
pemanfaatan data gender dan anak. Meskipun demikian, masih banyak ditemui berbagai
kendala
dalam
penyediaan
dan
pengelolaan
data.
Kurangnya
pengetahuan dan kesadaran aparat pemerintah terhadap pentingnya data merupakan salah satu sebab data menjadi tidak valid. Belum optimalnya sinergitas data antar Kementerian/Lembaga atau SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di provinsi dan kabupaten/kota, juga menjadi sebab lain tidak validnya suatu data. Selain masalah sumber daya manusia dan sarana pendukung yang masih kurang, serta kelembagaan yang belum memadai, juga ditemui adanya permasalahan dari sisi
peraturan
perundang-undangan
yang
menyebabkan
terhambatnya
penyelenggaraan data, antara lain: belum adanya aturan menyangkut alur data, baik secara horisontal maupun vertikal; dan belum adanya aturan khusus yang mengatur proses pengumpulan data sektoral, sehingga pelaksanaan pengumpulan data hanya berdasarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Meskipun statistik merupakan urusan wajib, tetapi tidak ditindaklanjuti dengan peraturan daerah, sehingga pelaksanaannya tidak optimal. Selain itu, perubahan sistem sentralistik ke desentralistik juga menimbulkan kendala dalam pengumpulan data sektoral. Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut, diperlukan koordinasi dan komitmen yang kuat dari seluruh pihak terkait, baik pusat maupun daerah. Melalui peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan kebijakan data gender dan anak, diharapkan dapat mendorong sinergitas antar Kementerian/Lembaga dan SKPD, sehingga dapat meningkatkan akuntabilitas kinerja Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah melalui penyajian data yang berkualitas, dan pada akhirnya
73
dapat memberikan kontribusi positif terhadap program pembangunan nasional dan daerah. Mengingat begitu pentingnya ketersediaan dan pemanfaatan data gender dan anak dalam pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, serta masih banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan data secara umum maupun data gender dan anak secara khusus, sejak tahun 2010 telah dibentuk satu unit kerja yang menangani informasi gender, yang mempunyai tugas melaksanakan koordinasi, pemantauan, analisis, evaluasi, pelaporan dan penyajian informasi gender. Atas dasar uraian permasalahan tersebut di atas, sasaran yang ditetapkan adalah: Meningkatnya jumlah K/L dan pemda yang memiliki dan atau memanfaatkan kebijakan sistem data dan anak. 2.
Pencapaian Sasaran Tahun 2011 Untuk pencapaian sasaran tersebut, dapat dilihat pada capaian indikator-
indikatornya sebagai berikut: a. Indikator Pertama: Jumlah kebijakan penyusunan data dan informasi Dari empat kebijakan yang ditargetkan akan dicapai, hanya tiga kebijakan yang dihasilkan. Ketiga kebijakan tersebut adalah: 1) Pedoman Pengelolaan Data Gender dan Anak Pedoman ini disusun sebagai tindak lanjut dari ditetapkannya Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan No. 6 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Data Gender dan Anak. Pedoman ini berisi uraian yang lebih rinci dan teknis terkait mekanisme pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data gender dan anak. Pedoman ini bersifat petunjuk teknis pelaksanaan dari peraturan menteri tersebut, dan berfungsi sebagai acuan bagi semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan data gender dan anak.
74
2) Instrumen Data Gender Instrumen ini merupakan salah satu bentuk implementasi Peraturan Menteri No. 6 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Data Gender dan Anak dalam rangka meningkatkan ketersediaan data gender dan anak. Format baku ini disusun berdasarkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan. 3) Modul Pelatihan Pengelolaan Data Gender dan Anak Modul Pelatihan Pengelolaan Data Gender dan Anak ini disusun untuk memberikan pedoman kepada para pengelola data di lingkungan Kementerian PP dan PA, Kementerian/Lembaga, dan SKPD di daerah dalam menyusun indikator terkait gender dan anak. Modul ini mengulas tentang metode pengumpulan data, pengolahan, analisis dan penyajian data. Selain itu, disajikan juga cara penghitungan indikator gender dan anak, serta cara penghitungan indikator-indikator terkait kependudukan, pendidikan, tenaga kerja dan kesehatan. Modul Pelatihan ini disusun bahan pelatihan bagi pengelola data baik di tingkat nasional maupun daerah, sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas pengelola data secara umum serta data gender anak secara khusus. b. Indikator Kedua: Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan kebijakan penyusunan data dan informasi gender. Dari target 15 Kementerian/Lembaga, seluruhnya dapat dicapai pada tahun 2011. Sementara dari target lima provinsi yang ditetapkan, seluruhnya juga dapat dicapai pada tahun 2011. Adapun lima provinsi tersebut adalah: Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat dan Jambi.
75
c. Indikator Ketiga: Jumlah K/L dan Pemda yang memanfaatkan data dan informasi gender. Kriteria yang digunakan untuk menilai sejauhmana K/L dan Pemda telah memanfaatkan data dan informasi gender adalah upaya K/L dan Pemda yang telah menyusun profil atau statistik gender sesuai bidang dan wilayah tugasnya
masing-masing,
dan
telah
melakukan
kegiatan
pelatihan
pengelolaan data gender secara mandiri atau melalui dana APBN/APBD, serta telah menggunakan data pembangunan manusia berbasis gender (HDI, GDI dan GEM) untuk perencanaan pembangunan sesuai bidang dan wilayah tugas masing-masing. Dari target dua Kementerian/Lembaga, seluruhnya dapat dicapai pada tahun 2011. Sementara dari target lima provinsi yang ditetapkan, telah berhasil dicapai enam provinsi pada tahun 2011. Adapun keenam provinsi tersebut adalah: 1) Jawa Tengah; 2) Sulawesi Tengah; 3) Sumatera Barat; 4) DI Yogyakarta; 5) Kepulauan Riau; dan 6) Maluku. d. Indikator
Keempat:
Jumlah
pengolahan,
penyajian,
pemutakhiran, dan pengembangan data dan informasi gender. Dari target tiga publikasi, hasil yang berhasil dicapai melebihi target yang ditetapkan, yaitu empat publikasi. Keempat publikasi tersebut adalah: 1) Profil Perempuan Indonesia Tahun 2011; 2) Profil Anak Indonesia Tahun 2011;
76
3) Statistik Gender (disajikan dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris); dan 4) Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Terbitnya publikasi tersebut sebagai salah satu tindak lanjut dari nota kesepahaman bersama antara Badan
Pusat
Statistik (BPS)
dengan
Kementerian PP dan PA. Publikasi tersebut juga merupakan hasil kerja kelompok kerja (Forum Data) yang dibentuk BPS dan Kementerian PP dan PA, yang berfungsi untuk membahas berbagai permasalahan terkait ketersediaan dan pemanfaatan data gender dan anak. Melalui forum data yang telah dilakukan selama tahun 2011, telah dihasilkan mekanisme penyelenggaraan data gender dan anak serta instrumen pengumpulan data gender dan anak. Publikasi tersebut sangat bermanfaat untuk melihat perkembangan kondisi perempuan dan anak dari tahun ke tahun sebagai rujukan bagi kementerian/lembaga untuk merumuskan kebijakan yang terkait dengan pembangunan perempuan dan anak. Selain itu, sebagai upaya meningkatkan diseminasi data, telah dilakukan berbagai kegiatan, yaitu pemeliharaan dan pengembangan aplikasi data dan jaringan, dengan tujuan untuk memelihara tetap terselenggaranya diseminasi data dan informasi melalui website menegpp.go.id dan internet; pengembangan Pusat Informasi Gender dan Anak (Data Operation Center); serta tersedianya aplikasi data gender di bidang pendidikan. Secara keseluruhan keempat indikator yang telah diuraikan di atas, jika dibandingkan antara target dengan realisasi (capaian target) selama tahun 2011 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
77
SASARAN Meningkatnya jumlah K/L dan pemda yang memiliki dan atau memanfaatkan kebijakan sistem data dan anak
3.
INDIKATOR KINERJA URAIAN 1. Jumlah kebijakan penyusunan data dan informasi 2. Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan kebijakan penyusunan data dan informasi gender 3. Jumlah K/L dan Pemda yang memanfaatkan data dan informasi gender 4. Jumlah pengolahan, penyajian, pemutakhiran, dan pengembangan data dan informasi gender
%
TARGET
REALISASI
4
3
75
15 K/L 5 prov
15 K/L 5 prov
100 100
2 K/L 5 prov
2 K/L 6 prov
100 120
3 publikasi 1 aplikasi
4 publikasi 1 aplikasi
133 100
Strategi yang Digunakan sehingga Sasaran Dapat Tercapai Membangun pemahaman dan komitmen untuk menyajikan data dan
melakukan analisisnya dengan melihat j data terpilah berdasarkan jenis kelamin di K/L/Pemda; Menjadikan format laporan utama BPS terpilah menurut jenis kelamin; dan Mendorong terbentuknya lembaga/forum/ pokja yang mampu mengambil keputusan tentang penyediaan dan pemanfaatan data terpilah. Beberapa strategi diatas, pada tahun anggaran berjalan dapat dilakukan dengan rencana tindak lajut yang berupa
kegiatan pelatihan pengelolaan data gender
lanjutan di provinsi lain, serta fasilitasi penerapan pedoman pengelolaan data gender, yang tidak terlaksana seluruhnya pada tahun 2011. Pemutakhiran atau up dating data harus dilakukan setiap tahun untuk melihat perkembangan yang terjadi.
78
4.
Keterkaitan Program dan Kegiatan yang Dilakukan dengan Pencapaian Sasaran Keterkaitan program dan kegiatan dengan pencapaian sasaran, dapat dilihat
pada tabel berikut ini: SASARAN
Meningkatnya jumlah K/L dan pemda yang memiliki dan atau memanfaatkan kebijakan sistem data dan anak
INDIKATOR 1. Jumlah
kebijakan penerapan Sistem Data Gender 2. Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan kebijakan penerapan Sistem Data Gender 3. Tersedianya Sistem Data Gender
PROGRAM
KEGIATAN UTAMA
Program 2. Pedoman/panduan Kesetaraan pengelolaan data Gender gender Pemberdayaan Perempuan 3. Laporan Informasi gender
4. Aplikasi Sistem Data Gender
79
5.
Perbandingan Realisasi Tahun 2010 dengan Realisasi Tahun 2011 INDIKATOR KINERJA
SASARAN Meningkatnya jumlah K/L dan pemda yang memiliki dan atau memanfaatkan kebijakan sistem data dan anak
URAIAN 1) Jumlah kebijakan penerapan Sistem Data Gender 2) Jumlah K/L dan Pemda yang difasilitasi dalam penerapan kebijakan penerapan Sistem Data Gender
REALISASI 2010
REALISASI 2011
3
3
20 Prov
15 Prov
3 Publikasi 4 Publikasi 20 K/L
3) Tersedianya sistem data gender
6.
-
3 Aplikasi/Sistem
Hambatan Dalam mengembangkan penerapan sistem data gender ini masih ditemukan
berbagai kendala dan hambatan, pada umumnya kendala yang dihadapi antara lain: a. Kebijakan sistem data dan anak baru diinisiasi pada tahun 2010 melalui pembentukan unit kerja Informasi Gender; b. Masih kurangnya pemahaman dan perhatian dari pemangku kepentingan akan pentingnya ketersediaan data gender dan anak; c. Adanya otonomi daerah, berdampak pada “Missing Man Missing Files” karena pejabat seringkali dengan mudah diganti-ganti, dan belum ada daerah yang memiliki Peraturan Daerah (Perda) terkait dengan pengelolaan data gender dan anak sebagai landasan hukum pelaksanaan pengelolaan data gender dan anak;
80
d. Selama ini pembangunan data
masih dilakukan secara sektoral, belum
terintegrasi dan tidak berkelanjutan, apalagi unit pengelola data sangat bervariasi dan bahkan tidak ada unit khusus yang menangani data; e. Kapasitas sumber daya manusia (SDM) dalam pengelolaan data masih rendah; f. Keterbatasan ketersediaan anggaran untuk pembangunan sistem pengelolaan data dan informasi baik di K/L maupun SKPD Daerah; g. Pada tahap pelaksanaan, belum terjadi koordinasi lintas bidang yang holistik, hal ini antara lain disebabkan karena belum terbentuk Pokja Data Gender dan Anak baik di tingkat Pusat maupun daerah; h. Data terpilah menurut jenis kelamin, spasial, waktu dan umur diberbagai bidang belum sepenuhnya tersedia, sehingga sulit untuk menemukenali isu gender dan isu anak. 7.
Solusi/Rekomendasi/Rencana Tindak Lanjut Untuk mengatasi hambatan yang telah diuraikan pada butir 5 tersebut di atas,
maka diusulkan solusi/rekomendasi/ rencana tindak lanjut yang harus dilakukan pada tahun 2012, meliputi: a. Untuk dapat melembagakan kebijakan sistem data dan anak pada seluruh Kementerian/Lembaga dan pemangku kepentingan daerah, maka perlu diintensifkan kegiatan-kegiatan
sosialisasi penerapan pengelolaan data
gender dan anak. Untuk daerah yang telah memperoleh sosialisasi dimaksud, maka perlu dilanjutkan dengan diberikan fasilitasi atau pendampingan teknis atau bahkan diadvokasi agar pada tahun 2012 dan berikutnya dapat mereplikasi program/kegiatan serupa; b. Untuk mengatasi masih kurangnya pemahaman dan perhatian dari pemangku kepentingan akan pentingnya ketersediaan data gender dan anak, tentunya perlu dilibatkan sebagai peserta dalam kegiatan sosialisasi;
81
c. Untuk mengatasi hambatan pada butir (c), disarankan bagi daerah agar dapat menyusun Peraturan Daerah (Perda) sebagai landasan hukum pelaksanaan system pengelolaan data gender dan anak. Apabila suatu daerah memiliki Perda,
maka
tidak
akan
terpengaruh
oleh
adanya
pergantian
pimpinan/pejabat; d. Untuk menjadikan agar pengelolaan data gender dan anak tidak bersifat sektoral, maka perlu diadvokasikan ke daerah untuk membentuk Pokja Data Gender dan Anak yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di daerah yang terkait dengan pengelolaan data; e. Untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di daerah, maka perlu lebih diintensifkan pelatihan modul pengelolaan data gender dan anak terutama kepada para pengelola data di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, baik di SKPD, organisasi masyarakat, lembaga masyarakat/LSM; f. Untuk mengatasi keterbatasan ketersediaan anggaran dalam pengelolaan data, khususnya untuk pengembangan data gender dan anak, dapat dilakukan kerjasama dengan K/L, lembaga masyarakat dan dunia usaha; g. Untuk memperkuat pada tahap perencanaan, perlu dilakukan advokasi dan sosialisasi kepada Bappeda, dengan harapan Bappeda selanjutnya dapat mengintegrasikan Rencana Aksi Daerah (RAD) Sistem Pengelolaan Data Gender dan Anak ke dalam dokumen perencanaan daerah; h. Untuk memastikan ketersediaan data gender dan anak, maka perlu dilakukan fasilitasi penyusunan instrumen format baku. Hal ini penting dilakukan, karena dengan ketersediaan data selanjutnya dapat dimanfaatkan serta dapat ditemukenali isu gender dan anak. Disamping itu tetap melakukan updating data secara berkesinambungan dengan menyusun publikasi yang dihasilkan oleh kerjasama Kementerian PP dan PA dengan BPS.
82
BAB IV PENUTUP Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai
“national machinery” dalam mendorong terwujudnya kesetaraan gender dan terlindunginya anak memiliki fungsi bukan sebagai pelaksana, melainkan sebagai perumus kebijakan, koordinator pelaksanaan kebijakan, advokator, fasilitator, mediator, dan inisiator dalam mengimplementasikan pengarusutamaan gender (PUG) dan anak (PUHA) di semua kementerian/lembaga dan lembaga masyarakat. Agar setiap kementerian/lembaga dan lembaga masyarakat tersebut dapat mengimplementasikan strategi PUG dan PUHA ke dalam setiap kebijakan, program dan kegiatannya yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pemantauan dan evaluasinya, maka tugas awal yang paling mendasar dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak adalah mengubah mindset individu dan budaya lembaga dari buta dan bias gender menjadi sadar, sensitif, peduli, dan tanggap (rensponsif) gender, dan dari tidak peduli terhadap hak anak menjadi peduli anak. Oleh karena itu, indikator outcome, terlebih lagi indikator dampak (impact) dari keberhasilan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak lebih banyak bersifat kualitatif dan tidak mudah diukur terutama dalam jangka waktu yang relatif pendek (satu tahun). Selain
itu,
melihat
visi
dan
misinya,
maka
keberhasilan
Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada hakekatnya tersebar sebagai bagian dari keberhasilan semua kementerian/lembaga dan lembaga masyarakat dalam mengintegrasikan ataupun mempertimbangkan isu gender, perempuan dan anak ke dalam kebijakan, program, dan kegiatannya. Kendati proses pencapaian tujuan dan penetapan ukuran keberhasilan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersifat
83
kompleks, cenderung bernuansa kualitatif, dan acapkali merupakan outputs dari para pemangku kepentingan (stakeholders), bukan berarti kinerja lembaga ini tidak dapat diukur. Hal ini dapat didekati dari rencana program dan kegiatan beserta sasaran-sasaran yang hendak dicapai setiap tahunnya sesuai dengan yang tertuang dalam RPJMN Tahun 2010-2014 dan Renstra 2010-2014 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Disadari bahwa hasil pelaksanaan program, kegiatan dan pencapaian sasaran tahun 2010 tidak secara keseluruhan mutlak dapat tercapai seratus persen. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih terdapat kantong-kantong wilayah untuk kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang sulit digarap (hard area/hard people). Namun berbagai upaya yang dilakukan secara umum telah mengarah pada pencapaian hasil yang baik. Hal ini antara lain dapat diamati dari semakin meluasnya ”critical mass” individu di lembaga pemerintah dan masyarakat yang memiliki kesadaran dan sensitivitas gender; meningkatnya inisiatif yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, unit Pemberdayaan Perempuan di provinsi/kabupaten/kota dan instansi pemerintah lainnya; semakin proaktifnya lembaga mitra dan institusi masyarakat; meningkatnya alokasi dana untuk pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak; meningkatnya focal point dan kelompok kerja PUG di kementerian/lembaga, provinsi, dan kabupaten/kota; serta meluasnya penyusunan profil statistik gender (data terpilah menurut jenis kelamin) dan analisisnya di sektor pusat dan daerah. Semua ini akibat dari semakin intensif dan ekstensifnya berbagai pelaksanaan kegiatan advokasi, sosialisasi, fasilitasi, dan pelatihan tentang gender, PUG, serta pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
84