KATA PENGANTAR Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban tentang penyelenggaraan negara yang berdaya guna dan berhasil guna dengan mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Inpres tersebut mewajibkan setiap instansi pemerintah sebagai unsur penyelenggara negara untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas, fungsi, dan peranannya dalam pengelolaan sumberdaya. Merujuk pada Inpres tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak sebagai sebuah instansi pemerintah yang diberi tanggung jawab dalam menangani pembangunan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan,
dan
perlindungan
anak,
berkewajiban
untuk
mempertanggungjawabkan pencapaian sasaran dan target yang telah ditetapkan dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). LAKIP Tahun 2012 ini merupakan laporan hasil capaian kinerja tahun kedua dari
lima
tahun
Rencana
Strategis
Tahun
2010-2014
Kementerian
Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak. Penyusunan laporan
ini
merupakan bentuk pertanggungjawaban secara terbuka terhadap pencapaian sasaran dan target di bidang pembangunan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak. tentang
pencapaian
kinerja
Laporan ini menyajikan gambaran
Kementerian
Pemberdayaan
Perempuan
Perlindungan Anak selama Tahun 2012. Sangat disadari bahwa laporan ini belum menyajikan secara sempurna prinsip transparansi dan akuntabilitas sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian,
setidaknya
pembangunan
berbagai
kesetaraan
pihak
gender,
yang
berkepentingan
pemberdayaan
terhadap
perempuan,
dan i
perlindungan anak dapat memperoleh gambaran tentang hasil pembangunan yang
telah
dilakukan
oleh
Kementerian
Pemberdayaan
Perempuan
Perlindungan Anak selama Tahun 2012. Harapan kami, laporan ini dapat menjadi media pertanggungjawaban kinerja serta peningkatan kinerja di masa mendatang bagi seluruh pejabat dan staf di lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak.
Jakarta, 4 Maret 2013
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Linda Amalia Sari, S.IP
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Daftar Isi BAB I
BAB II
: PENDAHULUAN A. Gambaran Umum ....................................................................... B. Permasalahan yang dihadapi ............................................... C. Kedudukan, Tugas dan Fungsi ............................................. D. Struktur Organisasi .................................................................. : PERENCANAAN STRATEGIS A. Visi dan Misi ................................................................................. B. Tujuan dan Sasaran Strategis ............................................... C. Strategi ........................................................................................... D. Rencana Kinerja Tahun 2012 Kementerian PP dan PA ………………………………………………………………………...
BAB III
: AKUNTABILITAS KINERJA A. Sasaran 1: Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan yang responsif gender di bidang ekonomi
Hal. i iii 1 3 5 7 9 10 11 13
17
B. Sasaran 2: Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan yang responsif gender di bidang politik, sosial dan hukum
28
C. Sasaran 3: Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan hak perempuan
38
iii
BAB IV
D. Sasaran 4: Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan hak anak
56
E. Sasaran 5: Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan tumbuh kembang anak
64
: PENUTUP
87
iv
BAB I PENDAHULUAN
A.
Gambaran Umum Peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia merupakan kunci
keberhasilan pembangunan nasional yang sedang kita jalankan. Sumberdaya manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dari jumlah total penduduk Indonesia tahun 2012, separuhnya adalah perempuan. Proporsi tersebut diperkirakan tidak akan mengalami perubahan secara signifikan hingga beberapa tahun ke depan. Jumlah penduduk perempuan yang besar tersebut akan sangat berpotensi memberikan manfaat bagi kehidupan bangsa dan negara, apabila mereka diberdayakan dengan memberikan kesempatan dan peluang yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang pembangunan. Dibanding tahun-tahun sebelumnya, saat ini kaum perempuan telah banyak berkiprah di berbagai sektor pembangunan. Hal ini ditandai dengan peningkatan nilai Indeks Pembangunan Gender (IPG), yang semula hanya 65,13 pada tahun 2005, menjadi 67,80 pada tahun 2011. Namun demikian, kaum perempuan belum banyak memperoleh kesempatan dan peluang yang sama dibandingkan dengan kaum laki-laki di sebagian besar bidang pembangunan. Bahkan
sebaliknya,
perempuan
masih
menghadapi
berbagai
bentuk
diskriminasi. Keadaan tersebut secara tidak langsung berdampak pada rendahnya kualitas hidup perempuan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, dan pengambilan keputusan. 1
Upaya mewujudkan visi kesetaraan gender telah dilakukan dengan segenap daya dan upaya serta telah menempuh perjalanan waktu yang tidak pendek. Namun, mengingat sifatnya yang lintas bidang, lintas program dan banyaknya faktor yang berpengaruh dan saling terkait, maka hasil dan dampaknya belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan. Masih tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan, masih adanya kesenjangan partisipasi pembangunan antara perempuan dan laki-laki, terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan kurangnya keterlibatan perempuan dalam kegiatan publik yang lebih luas, merupakan sebagian dari permasalahan yang perlu diselesaikan. Selain itu, masih adanya hukum dan peraturan perundangundangan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan, dan belum peduli anak, menjadi tantangan yang harus diatasi. Masalah lain yang cukup mendasar adalah masih lemahnya kapasitas kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender. Demikian pula halnya dengan permasalahan tumbuh kembang dan perlindungan anak. Perhatian terhadap pemenuhan hak-hak anak termasuk perlindungan mereka dari tindak kekerasan dan diskriminasi masih dijumpai di segenap wilayah kehidupan. Hal ini dapat dikenali dari akibat-akibat yang timbul, yakni: masih terdapat anak-anak yang belum mengenyam pendidikan formal, anak-anak yang mendapat perlakuan kekerasan, masih banyaknya anak yang berhadapan dengan hukum, terpaksa bekerja, diperdagangkan, kurang gizi, dan sebagainya. Sementara kelembagaan yang menangani perlindungan anak masih belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karenanya, pembangunan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan dan pemenuhan hak-hak anak melalui berbagai kebijakan, program dan kegiatan, serta koordinasi pelaksanaannya yang mendukung terwujudnya 2
kesetaraan gender dan terpenuhinya hak-hak anak, harus lebih ditingkatkan secara intensif dan ekstensif hingga ke seluruh pelosok tanah air. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA), sesuai dengan fungsi dan kewenangannya, yaitu perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak,
koordinasi
dan
sinkronisasi
pelaksanaan
kebijakan
di
bidang
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; dan pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang tersebut, telah melakukan berbagai intervensi, di antaranya
adalah
berkoordinasi
Kementerian/Lembaga (K/L)
dan
membangun
kerjasama
dengan
dan daerah untuk mempercepat pencapaian
sasaran dan target di bidang pembangunan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. B.
Permasalahan yang dihadapi Ada tiga permasalahan besar yang dihadapi dalam pelaksanaan
pembangunan
kesetaraan
gender,
pemberdayaan
perempuan
dan
perlindungan anak, yaitu: 1. Rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan Rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, antara lain, disebabkan oleh: (a) terjadinya kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya, terutama di tatanan antarprovinsi dan antarkabupaten/kota; (b) rendahnya peran dan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, termasuk di bidang politik, jabatan-jabatan publik, dan di bidang ekonomi; dan (c) rendahnya kesiapan perempuan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, krisis energi, krisis ekonomi, bencana alam dan konflik sosial, serta terjadinya penyakit. Hal ini, antara 3
lain,
ditunjukkan
dengan
rendahnya
peningkatan
nilai
Indeks
Pemberdayaan Gender (IDG) setiap tahunnya yang mengindikasikan bahwa peningkatan kesetaraan gender di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan, politik, serta pengambilan keputusan belum signifikan. 2. Masih rendahnya perlindungan terhadap perempuan dan anak dari tindak kekerasan Maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak belum diiringi dengan peningkatan kuantitas dan kualitas layanan terhadap mereka yang menjadi korban tindak kekerasan. Di samping itu, masih terdapat ketidaksesuaian antarproduk hukum yang dihasilkan, termasuk antara produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dengan daerah, sehingga perlindungan terhadap perempuan dan anak belum dapat dilaksanakan secara komprehensif. 3. Masih lemahnya kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak Permasalahan tersebut muncul disebabkan oleh: (a) belum optimalnya penerapan piranti hukum, piranti analisis, dan dukungan politik terhadap kesetaraan gender
dan pemenuhan hak anak sebagai prioritas
pembangunan; (b) belum memadainya kapasitas kelembagaan dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender dan anak (PUG dan PUHA), yang ditandai dengan masih rendahnya kapasitas sumber daya manusia, belum banyak tersedianya dan penggunaan data terpilah menurut jenis kelamin dalam siklus pembangunan; dan (c) masih rendahnya pemahaman tentang konsep dan isu gender, nilai-nilai kesetaraan gender, manfaat PUG dan PUHA dalam pembangunan, dan pemenuhan hak-hak anak, baik di pusat maupun di daerah.
4
Isu dan permasalahan perempuan dan anak bersifat kompleks dan lintas Bidang dan Program, dan harus ditangani secara lintas sektoral. Dikatakan kompleks karena banyaknya faktor yang saling terkait
sebagai penyebab
rendahnya kualitas hidup perempuan dan anak. Sementara disebut isu lintas bidang dan
program serta sektoral karena permasalahannya terdapat di
hampir semua sektor, bidang dan program pembangunan, dan karenanya, penanganan permasalahan tersebut harus melibatkan seluruh bidang dan program serta sektor pembangunan. Menyadari hal tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA) yang merupakan lembaga pemerintah yang diberi amanat dan tugas serta tanggung jawab dalam menangani pembangunan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak, telah menetapkan visi, misi, tujuan dan sasaran melalui Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 15 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis 2010-2014, yang merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, sebagai panduan untuk menangani isu dan permasalahan kesenjangan gender, perempuan dan anak. Pelaksanaan program dan kegiatan dalam rangka mencapai sasaran pada tahun 2012, telah dibuat dalam bentuk laporan tentang perkembangan capaian kinerja Kementerian PP dan PA selama tahun 2012, yaitu tahun ketiga dari lima tahun pelaksanaan Renstra 2010-2014, dan dituangkan ke dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Tahun 2012 sebagai bentuk akuntabilitas kepada pemerintah sendiri dan juga kepada masyarakat. C.
Kedudukan, Tugas dan Fungsi Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi,
5
Tugas dan Fungsi Eselon 1, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1. Kedudukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dipimpin oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. 2. Tugas Kementerian
Pemberdayaan
Perempuan
dan
Perlindungan
Anak
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. 3. Fungsi Dalam menjalankan tugasnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyelenggarakan fungsi: a. perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; b. koordinasi
dan
sinkronisasi
pelaksanaan
kebijakan
di
bidang
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; dan d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
6
D.
Struktur Organisasi Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Nomor 04 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dibantu oleh satu orang Sekretaris Kementerian dan lima orang Deputi sebagai pejabat Eselon I, yaitu: 1. Deputi Bidang Pengarusutamaan Gender Bidang Ekonomi; 2. Deputi Bidang Pengarusutamaan Gender Bidang Politik, Sosial dan Hukum; 3. Deputi Bidang Perlindungan Perempuan; 4. Deputi Bidang Perlindungan Anak; dan 5. Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak. Selain itu, terdapat lima orang pejabat setingkat Eselon I yang lain, yaitu: 1.
Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan;
2.
Staf Ahli Menteri Bidang Pengembangan Sistem Informasi Manajemen;
3. Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Internasional; 4. Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi Pembangunan; dan 5. Staf Ahli Menteri Bidang Agama. Setiap unit kedeputian merupakan Satuan Kerja (Satker) pelaksana kegiatan dan pengelola anggaran, sedangkan dalam Satker Sekretariat Kementerian terdapat tiga Biro setingkat eselon II, yaitu: 1. Biro Perencanaan; 2. Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat; dan 3. Biro Umum.
7
Setiap satker kedeputian terdapat lima unit kerja setingkat Eselon II, yaitu Asisten Deputi. Selain itu, juga terdapat unit kerja Inspektorat, yang berfungsi sebagai pengawas internal Kementerian PP dan PA. Dengan demikian, total unit kerja setingkat eselon II adalah 29 (dua puluh sembilan) unit kerja.
8
BAB II PERENCANAAN STRATEGIS
Pasal 6 dan 15 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) menetapkan bahwa Rencana Strategis (Renstra) kementerian/lembaga disusun untuk periode lima tahun. Renstra Tahun 2010-2014 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA) memuat: Visi, Misi, Tujuan, Sasaran, Strategi, Program, Kegiatan, dan Sasaran Tahunan pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesejahteraan dan perlindungan anak yang disusun dengan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. A.
Visi dan Misi Renstra Tahun 2010-2014 Kementerian PP dan PA
ditetapkan
berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 15 Tahun 2010. Renstra dimaksud digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan Rencana Kinerja Tahunan (RKT), PenetapanKinerja (PK), masukan untuk penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan acuan dalam penyusunan Rencana Kerja (Renja) dan Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) Kementerian PP dan PA.
9
Visi Kementerian PP dan PA adalah:
TERWUJUDNYA KESETARAAN GENDER DAN TERPENUHINYA HAK ANAK
Sementara Misinya adalah:
MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN DAN KUALITAS HIDUP PEREMPUAN DAN ANAK
B.
Tujuan dan Sasaran Strategis Tujuan
dan
sasaran
strategis
pembangunan
kesetaraan
gender,
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak adalah: Tujuan Pertama: Mewujudkan Pembangunan yang Responsif Gender, dengan sasaran sebagai berikut: 1. Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan yang responsif gender di bidang ekonomi; 2. Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan yang responsif gender di bidang politik, sosial dan hukum; 3. Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan hak perempuan.
10
Tujuan Kedua: Mewujudkan Pembangunan yang Peduli Anak, dengan sasaran sebagai berikut: 1. Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan hak anak; 2. Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan tumbuh kembang anak. C.
Strategi Untuk mencapai tujuan dan sasaran sebagaimana dimaksud, telah
ditetapkan Arah Kebijakan dan Fokus Prioritas Kementerian PP dan PA. 1.
Arah Kebijakan a. Menyusun berbagai kebijakan pelaksanaan pengarusutamaan gender dan anak termasuk kebijakan perlindungan perempuan dan anak dari berbagai tindak kekerasan sebagai acuan bagi Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan strategi pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak; b. Melakukan pendampingan teknis dalam penyusunan program, anggaran dan kegiatan yang responsif gender dan peduli anak pada program Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah; c. Membangun jejaring kelembagaan dan nara sumber pada tingkat daerah, nasional dan internasional untuk peningkatan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan PUG dan mendorong pemenuhan hak anak; d. Melakukan evaluasi dan pemantauan pelaksanaan program, anggaran dan
kegiatan
yang
responsif
gender
dan
peduli
anak
di
Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah; e. Menyusun manajemen yang akuntabel dan terintegrasi. 11
2. Fokus Prioritas a. Perumusan kebijakan pelaksanaan pengarusutamaan gender di bidang perekonomian; b. Perumusan kebijakan
pelaksanaan pengarusutamaan gender di
bidang sosial, politik dan hukum; c. Perumusan kebijakan perlindungan perempuan; d. Perumusan kebijakan perlindungan anak; e. Perumusan kebijakan pemenuhan hak tumbuh kembang anak; f.
Perencanaan program dan anggaran serta evaluasi kinerja organisasi yang diselesaikan, dilaksanakan, dipantau dan dievaluasi tepat waktu, terintegrasi dan harmonis dengan dokumen perencanaan lainnya (RPJPN, RPJMN, Renstra);
g. Peningkatan ketersediaan data dan informasi tentang gender dan anak; h. Peningkatan SDM yang kompeten sesuai kebutuhan dan kualifikasi, prasarana sarana barang dan jasa, serta keuangan. 3. Program a. Program kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; b. Program perlindungan anak; dan c. Program Dukungan Manajemen.
12
D.
Rencana Kinerja Tahun 2012 Kementerian PP dan PA TUJUAN
1. Mewujudkan Pembangunan yang Responsif Gender
SASARAN 1. Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan yang responsif gender di bidang ekonomi
2. Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan yang responsif gender di bidang politik, sosial dan hukum
3. Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan
INDIKATOR KINERJA URAIAN TARGET 1. Jumlah kebijakan 7 Kebijakan pelaksanaan PUG di bidang ekonomi 2. Jumlah K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan/program/ kegiatan yang responsif gender di bidang ekonomi
13 K/L
3. Jumlah K/L dan Pemda yang memanfaatkan data gender di bidang ekonomi
10 K/L
1. Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang Politik, Sosial dan Hukum
5 Kebijakan
2. Jumlah K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan/program/ kegiatan yang responsif gender di bidang Politik, Sosial dan Hukum
13 provinsi
14 provinsi
9 K/L 26 provinsi
3. Jumlah K/L dan Pemda yang memanfaatkan data gender di bidang Politik, Sosial dan Hukum
12 K/L
1. Jumlah kebijakan perlindungan hak perempuan
7 kebijakan
2. Jumlah K/L dan
15 K/L
5 provinsi
13
TUJUAN
SASARAN perlindungan hak perempuan
2. Mewujudkan Pembangunan yang Peduli Anak
1. Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan hak anak
2. Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan tumbuh kembang anak
INDIKATOR KINERJA URAIAN TARGET Pemda yang 30 provinsi menerapkan 70 kab/kota kebijakan perlindungan hak perempuan 3. Persentase perempuan korban kekerasan yang mendapatkan layanan
25 persen
4. Jumlah K/L dan Pemda yang memanfaatkan data dan informasi gender
10 K/L
1. Jumlah K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan anak
5 K/L
2. Persentase anak korban kekerasan yang mendapatkan layanan
30 persen
3. Jumlah K/L dan Pemda yang memanfaatkan data perlindungan anak
5 K/L
1. Jumlah kebijakan tumbuh kembang anak
7 kebijakan
2. Jumlah K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan/program/ kegiatan tumbuh kembang anak
4 K/L
3. Jumlah K/L dan Pemda yang
1 K/L
19 provinsi 6 kab/kota
10 provinsi
10 provinsi
10 provinsi 29 kab/kota
14
TUJUAN
SASARAN
INDIKATOR KINERJA URAIAN TARGET memanfaatkan data 10 provinsi tumbuh kembang 40 kab/kota anak 4. Jumlah Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA)
25 kab/kota
15
BAB III AKUNTABILITAS KINERJA
Data dan informasi untuk penyusunan laporan ini diolah berdasarkan formulir Pengukuran Kinerja sebagaimana terlampir, dan juga bersumber dari dokumen Rencana Kinerja Tahun 2012 dan Penetapan Kinerja Tahun 2012 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA). Ada lima sasaran strategis yang ditetapkan untuk dicapai oleh Kementerian PP dan PA pada akhir Tahun 2012. Untuk mengetahui sejauhmana perkembangan pencapaian target kinerja Kementerian PP dan PA pada tahun 2012, analisis dan hambatan dalam pencapaiannya, berikut ini adalah uraian masing-masing sasaran strategis yang telah ditetapkan.
16
SASARAN PERTAMA: Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang ekonomi
1.
Latar Belakang Penetapan Sasaran Sebagaimana yang telah disampaikan terdahulu pada LAKIP Tahun 2011
Kementerian PP dan PA, dalam Roadmap pembangunan kesetaraan gender, terdapat dua pendekatan yang dilakukan untuk mewujudkan kesetaraan gender. Pertama, pendekatan kepada instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Dalam konteks ini, kementerian/lembaga adalah representasi dari pemerintah pusat, dan provinsi dan kabupaten/kota merupakan wakil dari pemerintah daerah. Sementara pendekatan kedua dilakukan kepada lembaga masyarakat. Langkah awal untuk mewujudkan kesetaraan gender di lingkungan instansi pemerintah diarahkan pada penyusunan rencana kebijakan, program dan kegiatan yang berperspektif gender, khususnya pada kebijakan, program dan kegiatan yang menjadi prioritas nasional. Pelaksanaan tahap awal tersebut dipandang strategis karena hal tersebut merupakan pintu masuk (entry point) dalam mewujudkan kesetaraan gender dengan menjadikan kebijakan, program dan kegiatan pemerintah responsif gender, artinya dapat memenuhi kebutuhan dan menjawab permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki. Tahap awal tersebut masih menjadi prioritas program dan kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengingat belum semua instansi pemerintah mampu untuk mewujudkannya. 17
Atas dasar itulah, sasaran yang ditetapkan adalah: Meningkatnya Kementerian/Lembaga dan Pemda yang menerapkan kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang ekonomi. Sasaran ini difokuskan pada bidang ekonomi, mengingat bidang ini sangat bersinggungan dengan hajat orang banyak, dan sangat menyangkut kebutuhan dasar setiap warga. Upaya peningkatan pada bidang ini, dapat juga meningkatkan citra instasi pemerintah di mata publik. Tanggung jawab pencapaian sasaran tersebut dibebankan kepada Deputi Bidang Pengarusutamaan Gender Bidang Ekonomi. 2.
Pencapaian Sasaran Tahun 2012 Berdasarkan matriks di bawah ini, pencapaian sasaran ini dapat
dikategorikan berhasil, karena dari target yang ditetapkan, seluruhnya berhasil direalisasikan pada akhir Tahun 2012 melebihi dari yang direncanakan. SASARAN Meningkatnya Kementerian/ Lembaga dan Pemda yang menerapkan kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang ekonomi
INDIKATOR
TARGET
REALISASI
%
1. Jumlah kebijakan
7 kebijakan 9 kebijakan
2. Jumlah K/L dan Pemda
13 K/L
16 K/L
123
13 provinsi
19 provinsi
146
10 K/L
14 K/L
140
14 provinsi
16 provinsi
114
pelaksanaan PUG di bidang ekonomi yang menerapkan kebijakan/program/ kegiatan yang responsif gender di bidang ekonomi
3. Jumlah K/L dan Pemda
yang memanfaatkan data gender di bidang ekonomi
128,5
Untuk melihat bagaimana target-target tersebut berhasil dicapai, akan diuraikan secara lebih dalam per indikatornya. 18
a.
Indikator pertama: Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang ekonomi. Dari target tujuh kebijakan yang akan dihasilkan pada akhir tahun 2012,
dapat direalisasikan sebanyak sembilan kebijakan. Dengan demikian, dalam realisasinya pada akhir Tahun 2012, hasil tersebut telah melebihi dari yang direncanakan. Adapun sembilan kebijakan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Pedoman Monev dan Penyusunan Data Terpilah Bidang Ketenagakerjaan, 2) Pedoman Pemanfaatan Data Terpilah Bidang Komunikasi dan Informasi, 3) Kajian Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi, 4) Pedoman Data Terpilah Bidang Kelautan dan Perikanan, 5) Pedoman Pelaksanaan PUG Bidang Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kelautan dan Perikanan, 6) Grand Design Pelaksanaan PUG Kementerian Perhubungan Sub Sektor Perhubungan Udara, 7) Panduan
Data
Terpilah
Bidang
Perhubungan
yang
Mendukung
Pembangunan yang Responsif Gender, 8) Pedoman Monev Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) di Daerah, dan 9) Pedoman PUG dan PPRG Bidang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Kebijakan ini dibuat sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, yang menginstruksikan kepada pimpinan Kementerian/Lembaga, dan pemerintah daerah untuk melakukan pengarusutamaan gender, sehingga seluruh proses penyusunan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dari seluruh kebijakan,
program
dan
kegiatan
di
seluruh
sektor
pembangunan 19
mempertimbangkan aspek gender. Jika dibandingkan dengan capaian indikator tersebut pada tahun sebelumnya, capaian indikator tersebut pada tahun ini mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat pada matriks di bawah ini: TARGET 2011 2012
INDIKATOR Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang ekonomi.
b.
6
REALISASI 2011 2012
7
6
9
Indikator kedua: Jumlah K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender di bidang ekonomi. Sama dengan capaian target pada indikator pertama, capaian target pada
indikator kedua ini juga melebihi dari yang direncanakan, yaitu dari target 13 kementerian/lembaga
dan
13
pemda
yang
menerapkan
kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender di bidang ekonomi, dapat berhasil
direalisasikan
pada
akhir
Tahun
2012
sebanyak
16
kementerian/lembaga dan 19 pemda. Ke-16 kementerian/lembaga dan ke-19 pemda tersebut adalah sebagai berikut: NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
KEMENTERIAN/LEMBAGA Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kementerian Koperasi dan UKM Kementerian Perdagangan Kementerian Perindustrian Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian Kementerian Pertanian Kementerian Kehutanan Kementerian Perikanan dan Kelautan Kementerian Komunikasi dan Informatika Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal
NO.
PROVINSI
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Papua Maluku Aceh Jawa Tengah Kepulauan Riau Kalimantan Selatan Sumatera Barat Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Bali
20
NO. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
KEMENTERIAN/LEMBAGA Kementerian Pekerjaan Umum Kementerian Perhubungan Kementerian ESDM Kementerian Perumahan Rakyat Kementerian Keuangan Badan Pertanahan Nasional
NO. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
PROVINSI Jawa Barat Maluku Utara Nusa Tenggara Barat Sumatera Selatan Sulawesi Utara DKI Jakarta Bengkulu Jawa Timur Sulawesi Tengah
Keberhasilan kementerian/lembaga dan provinsi sebagaimana dimaksud di atas dalam menerapkan kebijakan/program/kegiatan responsif gender, merupakan buah dari upaya keras dari Kementerian PP dan PA dalam mendorong instansi tersebut untuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam kebijakan/program/kegiatan masing-masing instansi tersebut. Upaya yang telah dilakukan dalam bentuk advokasi kepada para pimpinan instansi, dan
ditindaklanjuti
dengan
fasilitasi
pelatihan
dan
bimbingan
teknis/pendampingan dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender kepada para komponen perencana masing-masing instansi pemerintah. Keberhasilan kementerian/lembaga dan provinsi sebagaimana dimaksud di atas juga merupakan tindak lanjut dari proses dan hasil yang telah dilakukan pada tahun 2011, di mana perspektif gender telah diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan instansi pemerintah tersebut. c.
Indikator ketiga: Jumlah K/L dan Pemda yang memanfaatkan data gender di bidang ekonomi. Sama halnya dengan capaian target pada dua indikator sebelumnya
sebagaimana dimaksud di atas, realisasi target pada indikator ketiga juga melebihi dari target yang direncanakan, yakni dari 10 kementerian/lembaga, 21
dan 14 provinsi, dapat direalisasikan pada akhir tahun 2012 menjadi 14 kementerian/lembaga, dan 16 provinsi yang telah memanfaatkan data gender di bidang ekonomi. Adapun ke-14 kementerian/lembaga dan ke-16 provinsi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini: NO.
KEMENTERIAN/LEMBAGA
NO.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kementerian Koperasi dan UKM Kementerian Perdagangan Kementerian Perindustrian Kementerian Pertanian Kementerian Kehutanan Kementerian Perikanan dan Kelautan Kementerian Komunikasi dan Informatika Kementerian Pekerjaan Umum Kementerian Perhubungan Kementerian ESDM Kementerian Perumahan Rakyat Kementerian Keuangan Badan Pertanahan Nasional
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
PROVINSI Papua Maluku Aceh Jawa Tengah Kepulauan Riau Kalimantan Selatan Sumatera Barat Kalimantan Timur Bali Maluku Utara Nusa Tenggara Barat Sumatera Selatan Sulawesi Utara Bengkulu Jawa Timur Sulawesi Tengah
Dalam Peraturan Menteri PP dan PA No. 6 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Data Gender dan Anak mempunyai tujuan meningkatkan K/L dan Pemda dalam penggunaan data terpilah dan statistik gender. Dalam meningkatkan efektivitas pengarusutamaan gender, secara sistematis dan konprehensif dan berkesinambungan. Manfaat adanya data terpilah dan statistik gender yaitu dapat memberikan arahan untuk menyusun pemetaan untuk mengetahui kesenjangan gender (disparitas gender) di bidang ekonomi. Data terpilah dan statistik gender merupakan sumber inspirasi gender bagi K/L dan Pemda dalam pembuatan kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender untuk percepatan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.
22
Keberhasilan capaian tersebut tidak dapat dilepaskan dari upaya keras Kementerian PP dan PA, dan juga komitmen yang kuat dari pimpinan kementerian/lembaga dan provinsi tersebut terkait dengan penyusunan data gender dan juga pemanfaatannya dalam proses perencanaan program dan anggaran pada masing-masing instansi tersebut. Upaya yang telah dilakukan Kementerian PP dan PA terkait dengan capaian tersebut di atas, antara lain dalam bentuk advokasi kepada pada pimpinan instansi pemerintah tersebut, dan ditindaklanjuti dengan workshop, sosialisasi, pelatihan, pendampingan dan penyusunan data terpilah, dan juga monitoring dan evaluasi pelaksanaannya. Pemanfaatan data gender dapat tercermin pada upaya pengembangan database yang di dalamnya memuat data gender, yang digunakan sebagai pemetaan dalam perencanaan dan penganggaran di kementerian/lembaga maupun pemerintah provinsi. 3.
Analisa Pencapaian Sasaran Ada beberapa faktor pendukung tercapainya sasaran berikut target-target
sebagaimana tersebut di atas, yaitu: a.
Adanya dukungan regulasi ataupun kebijakan dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender, antara lain adalah: 1) Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional; 2) Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan
Jangka
Menengah
Nasional
2009-2014,
yang
menjadikan PUG menjadi salah satu dari tiga pengarusutamaan yang menjadi dasar atau prinsip dalam pelaksanaan pembangunan nasional; 23
3) Peraturan Menteri Keuangan tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, yang telah dikeluarkan sejak tahun 2009 hingga saat ini, yang mengamanatkan perencanaan dan penganggaran responsif gender di dalamnya; 4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah; 5) Nota Kesepahaman antara Kementerian PP dan PA dengan kementerian/lembaga dalam pelaksanaan PUG; b. Dukungan dari Bappenas melalui “Trilateral Meeting”, yang mendorong kementerian/lembaga melaksanakan perencanaan dan penganggaran responsif gender; c. Adanya Strategi Nasional PPRG yang dikoordinasikan oleh empat kementerian,
yaitu
Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian PP dan PA sendiri. Stranas PPRG tersebut akan semakin memperkuat bagi pelaksanaan PPRG, baik di pusat maupun di daerah. d. Dukungan Peraturan Menteri Dalam Negeri dalam mendorong percepatan pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran Responsi Gender (PPRG) di daerah, dan telah ditindaklanjuti oleh pemerintah provinsi dalam bentuk regulasi daerah, seperti peraturan daerah, peraturan gubernur dan sebagainya. e. Terbangunnya jejaring yang kuat antara Kementerian PP dan PA dengan para pemangku kepentingan di kementerian/lembaga dan pemerintah provinsi, yang berkontribusi pada cepatnya merespon pelaksanaan kebijakan PPRG pada instansinya masing-masing.
24
Lebih lanjut, jika diperbandingkan capaian sasaran pada tahun ini dengan tahun sebelumnya, terdapat peningkatan realisasi pada setiap targetnya. Hal tersebut dapat dilihat pada matriks berikut ini: SASARAN
INDIKATOR
Meningkatnya 1. Jumlah kebijakan Kementerian/Lembaga pelaksanaan PUG di bidang dan Pemda yang ekonomi menerapkan 2. Jumlah K/L dan Pemda yang kebijakan, program, menerapkan kegiatan yang kebijakan/program/ responsif gender di kegiatan yang responsif bidang ekonomi gender di bidang ekonomi 3. Jumlah K/L dan Pemda yang
memanfaatkan data gender di bidang ekonomi
REALISASI 2011
2012
6 kebijakan 9 kebijakan
15 K/L
16 K/L
12 provinsi
19 provinsi
14 K/L
14 K/L
10 provinsi
16 provinsi
Di samping itu, keberhasilan pencapaian sasaran tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari adanya dukungan program dan kegiatan yang relevan. Pencapaian sasaran tersebut didukung oleh Program Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan, yang diperkuat dengan lima kegiatan, yaitu: a. Penyusunan dan harmonisasi bidang ketenagakerjaan yang responsif gender; b. Penyusunan dan harmonisasi bidang koperasi, usaha mikor dan kecil, industri dan perdagangan yang responsif gender; c. Penyusunan dan harmonisasi bidang pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, ketahanan pangan dan agrobisnis yang responsif gender; d. Penyusunan dan harmonisasi bidang ilmu pengetahun dan sumber daya ekonomi yang responsif gender; dan 25
e. Penyusunan dan harmonisasi bidang infrastruktur yang responsif gender. 4.
Tantangan Namun demikian, dari keberhasilan capaian tersebut, masih terdapat
tantangan yang perlu mendapat perhatian serius, antara lain: a. Keterbatasan SDM, baik kuantitas dan kualitas yang dapat memberikan bantuan teknis pelaksanaan
PPRG
di
kementerian/lembaga
dan
pemerintah provinsi; b. Keterbatasan akses terhadap referensi tentang isu gender pada berbagai bidang pembangunan; c. Belum optimalnya sistem monitoring dan evaluasi
pelaksanaan PUG
dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan; d. Seringnya terjadi perubahan struktur organisasi daerah, sehingga menyebabkan efektifitas sosialisasi, pelatihan, advokasi tidak optimal; e. Adanya pemahaman tentang PUG dan peran Badan Pemberdayaan Perempuan masih bervariasi; f. Belum optimalnya penyusunan program dan kegiatan yang responsif gender yang berdampak pada ketersediaan anggaran; g. Kebijakan desentralisasi otonomi daerah; h. Sebagian besar Satuan Kerja Perangkat Daerah yang masih belum memahami dan menyadari keuntungan mengintegrasikan perspektif gender bagi pembangunan daerahnya. 5.
Solusi dan Rencana Tindak Lanjut Melihat beberapa tantangan sebagaimana dimaksud di atas, maka solusi
dan rencan tindak lanjut yang diperlukan antara lain adalah sebagai berikut: 26
a. Untuk pusat, perlu ada advokasi kepada unit eselon I dan II di kementerian/lembaga agar kebijakan yang dibuat adalah kebijakan yang mempertimbangkan kebutuhan laki-laki dan perempuan (responsif gender); b. Untuk daerah, perlu dilakukan advokasi kepada Kepala SKPD, DPRD, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD); memperbanyak fasilitator di daerah agar penyusunan anggaran bisa dilaksanakan sampai pada tingkat kabupaten/kota, dan kebijakan yang dibuat adalah kebijakan yang responsif gender.
27
SASARAN KEDUA: Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang Politik, Sosial dan Hukum
1.
Latar Belakang Penetapan Sasaran Sebagaimana yang telah diuraikan pada sasaran pertama, bahwa sebagai
langkah awal untuk mewujudkan kesetaraan gender di lingkungan instansi pemerintah diarahkan pada penyusunan rencana kebijakan, program dan kegiatan yang berperspektif gender, khususnya pada kebijakan, program dan kegiatan yang menjadi prioritas nasional. Pelaksanaan tahap awal tersebut dipandang strategis karena hal tersebut merupakan pintu masuk dalam mewujudkan kesetaraan gender dengan menjadikan kebijakan, program dan kegiatan pemerintah responsif gender, artinya dapat memenuhi kebutuhan dan menjawab permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki. Tahap awal tersebut masih menjadi prioritas program dan kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengingat belum semua instansi pemerintah mampu untuk mewujudkannya. Pada sasaran pertama difokuskan pada bidang ekonomi, maka pada sasaran kedua ini difokuskan pada bidang politik, sosial dan hukum, dengan uraian sasarannya adalah: “Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang Politik, Sosial dan Hukum”.
28
Adapun penanggung jawab pencapaian sasaran tersebut di atas, diserahkan kepada Deputi Bidang Pengarusutamaan Gender Bidang Politik, Sosial dan Hukum. 2.
Pencapaian Sasaran Tahun 2012 Berdasarkan matriks di bawah ini, pencapaian sasaran ini dapat
dikategorikan kurang berhasil, karena dari ketiga indikator, hanya satu indikator yang targetnya dapat dicapai melebihi dari yang direncanakan. Sementara target-target pada dua indikator lainnya, tidak berhasil dicapai. SASARAN Meningkatnya Kementerian/ Lembaga dan Pemda yang menerapkan kebijakan, program, kegiatan yang responsif gender di bidang politik, sosial dan hukum.
INDIKATOR 1. Jumlah kebijakan
pelaksanaan PUG di bidang politik, sosial dan hukum.
2. Jumlah K/L dan Pemda
yang menerapkan kebijakan/program/ kegiatan yang responsif gender di bidang politik, sosial dan hukum. 3. Jumlah K/L dan Pemda
yang memanfaatkan data gender di bidang politik, sosial dan hukum.
TARGET
REALISASI
%
5 kebijakan 7 kebijakan
140
13 K/L
11 K/L
85
13 provinsi
8 provinsi
62
19 K/L
14 K/L
74
24 provinsi
17 provinsi
71
Untuk melihat lebih jauh pencapaian sasaran sebagaimana dimaksud, akan diuraikan penjelasannya per indikator sebagai berikut:
29
a.
Indikator Pertama: Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG bidang politik, sosial dan hukum di pusat dan daerah. Dari target lima kebijakan yang akan dihasilkan pada akhir tahun 2012,
berhasil direalisasikan sebanyak tujuh kebijakan. Dengan demikian, dalam realisasinya pada akhir Tahun 2012, hasil tersebut telah melebihi dari yang direncanakan. Adapun tujuh kebijakan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bidang Agama; 2) Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif dalam Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN); 3) Pedoman
Perencanaan
dan
Penganggaran
Responsif
Bidang
Kesejahteraan Rakyat; 4) Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif Bidang Politik, Hukum dan Keamanan; 5) Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri; 6) Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang Responsif Gender; dan 7) Pedoman Data Terpilah Bidang Kesehatan. Kebijakan-kebijakan
tersebut
dibuat
sebagai
pedoman
bagi
kementerian/lembaga dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender, dan juga sesuai
dengan
Pengarusutamaan
Instruksi Gender
Presiden dalam
Nomor
9
Tahun
Pembangunan
2000 Nasional,
tentang yang
menginstruksikan kepada pimpinan Kementerian/Lembaga, dan pemerintah daerah untuk melakukan pengarusutamaan gender, sehingga seluruh proses 30
penyusunan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dari seluruh kebijakan,
program
dan
kegiatan
di
seluruh
sektor
pembangunan
mempertimbangkan aspek gender, terutama pada bidang politk, sosial dan hukum. b.
Indikator Kedua: Jumlah K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender di bidang Politik, Sosial dan Hukum. Berbeda dengan indikator pertama, yang capaiannya melampaui target
yang ditetapkan, target pada indikator kedua ini tidak berhasil dicapai hingga akhir tahun 2012. Dari 13 kementerian/lembaga, dan 13 provinsi yang ditargetkan, hanya tercapai 11 kementerian/lembaga, dan 8 provinsi, yang menerapkan kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender di bidang politik, sosial dan hukum. Adapun ke-11 kementerian/lembaga, dan ke-8 provinsi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini: NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
KEMENTERIAN/LEMBAGA Kementerian Pendidikan Kementerian Agama Kementerian Kesehatan Kementerian Sosial Kementerian Lingkungan Hidup Mahkamah Agung Kementerian Dalam Negeri Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Kementerian Hukum dan HAM Komisi Pemilihan Umum Kementerian Pertahanan
NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
PROVINSI Sumatera Utara Banten DI Yogyakarta Jawa Barat Kalimantan Barat Bangka Belitung Sulawesi Tenggara Bali
31
c.
Indikator ketiga: Jumlah K/L dan Pemda yang memanfaatkan data gender di bidang Politik, Sosial dan Hukum. Sama dengan indikator kedua, target yang ditetapkan pada indikator
ketiga ini juga tidak berhasil dicapai. Dari target 19 kementerian/lembaga, dan 24 provinsi, hanya berhasil dicapai sebanyak 14 kementerian/lembaga, dan 17 provinsi yang memanfaatkan data gender di bidang politik, sosial dan hukum. Data ke-14 kementerian/lembaga dan 17 provinsi tersebut, dapat dilihat pada tabel berikut ini: NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
3.
KEMENTERIAN/LEMBAGA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Agama Kementerian Kesehatan Kementerian Sosial Kementerian Lingkungan Hidup Mahkamah Agung Kementerian Dalam Negeri Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Kementerian Koordinator Bidang Kesra Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kementerian Hukum dan HAM Kementerian Pertahanan BKKBN Badan Narkotika Nasional
NO.
PROVINSI
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sumatera Utara Banten Lampung Jawa Barat Kalimantan Barat Bangka Belitung Sulawesi Tenggara Bali
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Kepulauan Riau Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Gorontalo Papua Barat Riau Nusa Tenggara Timur Kalimantan Timur Kalimtanan Tengah
Analisis Pencapaian Sasaran Sebagaimana telah diuraikan di atas, sasaran kedua ini dapat
dikategorikan kurang berhasil, mengingat dari tiga indikator yang ditetapkan, hanya indikator pertama saja yang targetnya tercapai.
32
Kekurangberhasilan dalam pencapaian sasaran tersebut lebih disebabkan adanya revisi anggaran, yang dialokasikan untuk program Reformasi Birokrasi. Hal tersebut berimplikasi pada pengurangan target yang telah ditetapkan. Lebih lanjut, jika dilihat perbandingan pencapaian sasaran tahun ini dengan tahun sebelumnya, yakni tahun 2011, secara umum, terdapat peningkatan jumlah pemangku kepentingan, yaitu kementerian/lembaga dan pemerintah provinsi yang menerapkan kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender, dan memanfaatkan data gender di bidang politik, sosial dan hukum. SASARAN
INDIKATOR
Meningkatnya 4. Jumlah kebijakan Kementerian/Lembaga pelaksanaan PUG di bidang dan Pemda yang ekonomi menerapkan 5. Jumlah K/L dan Pemda yang kebijakan, program, menerapkan kegiatan yang kebijakan/program/ responsif gender di kegiatan yang responsif bidang ekonomi gender di bidang ekonomi 6. Jumlah K/L dan Pemda yang
memanfaatkan data gender di bidang ekonomi
3.
REALISASI 2011
2012
11 kebijakan
7 kebijakan
8 K/L
11 K/L
17 provinsi
8 provinsi
8 K/L
14 K/L
16 provinsi
17 provinsi
Tantangan Pelaksanaan pengarusutamaan gender dapat dievaluasi dengan mengacu
pada tujuh kunci prasyarat PUG kriteria keberhasilan pelaksanaan strategi PUG. Kriteria dimaksud mencakup dasar hukum dan komitmen, kesadaran dan keberadaan SDM, kelembagaan dan mekanisme kerja, ketersediaan data
33
terpilah berdasarkan jenis kelamin serta dukungan masyarakat yang masih rendah. Pada tingkat nasional, tantangan yang dihadapi antara lain: a. Masih rendahnya komitmen para penentu kebijakan di masing-masing kementerian/lembaga; b. Keterbatasan SDM yang dapat menfasilitasi dan memberikan bantuan teknis serta pendampingan dalam pelaksanaan strategi PUG di kementerian/lembaga; c. Kebutuhan akan referensi untuk menggali dan mengidentifikasi isu gender; dan d. Ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin di masing-masing sektor pembangunan. Sementara pada tingkat daerah, tantangan yang dihadapi relatif sama. Namun demikian, faktor lain yang sangat dominan adalah dampak dari perubahan struktur organisasi dan kelembagaan daerah yang dinamis dan cepat. Hal ini berakibat adanya perubahan personel kelembagaan daerah yang silih berganti dalam waktu singkat dan tentunya belum memahami permasalahan gender. Di samping itu, masalah keterbatasan jumlah fasilitator, tenaga pendamping dan bahan-bahan informasi juga menjadi tantangan yang harus diatasi. Selain itu, pemahaman dan persepsi SDM aparatur pemerintah provinsi, kabupaten dan kota tentang PUG yang masih terbatas, serta peran Badan PP, Bappeda dan Biro Keuangan yang masih bervariasi telah menyebabkan perannya sebagai gender machinery di daerah belum optimal. Di beberapa provinsi, kabupaten dan kota, hal ini telah menyebabkan belum optimalnya 34
penyusunan berbagai kebijakan, program dan kegiatan serta penganggaran. Dampak yang kemudian muncul adalah keterbatasan alokasi anggaran untuk mendorong pelaksanaan strategi PUG di daerah. Secara umum terjadinya perkembangan dan dinamika perubahan sosial, politik, dan hukum serta pada pembangunan lainnya, memerlukan penyesuaian kebijakan dalam program dan strateginya. Pengarusutamaan gender yang bersifat konseptual tidak selalu mudah dipahami dan tidak selalu dianggap tepat untuk mengatasi permasalahan yang timbul, misalnya masalah pendidikan, kesehatan, hukum, politik, sumber daya alam dan lingkungan, perkembangan wilayah dan sebagainya. Ketersediaan SDM di bidang PUG yang mempunyai kemampuan untuk memberikan fasilitasi dan pendampingan serta penyediaan bantuan teknis juga perlu ditingkatkan. Keterbatasan peran yang dimiliki Kementerian PP dan PA tersebut, memerlukan alternatif pemecahan permasalahan yang tepat. 4.
Solusi/Rekomendasi/Rencana Tindak Lanjut Adanya berbagai hambatan dan tantangan dalam pencapaian sasaran,
tentunya diperlukan suatu solusi sebagai jalan keluar dari hambatan dan tantangan tersebut. Secara umum, solusi yang dilakukan untuk mengatasi hambatan dan tantangan dilakukan secara internal maupun eksternal, melalui peningkatan kapasitas SDM Kementerian PP dan PA, terutama pada Deputi Bidang PUG Bidang Politik, Sosial dan Hukum, dan sinkronisasi berbagai peraturan dan produk hukum terkait perempuan. Pendekatan lain yang bersifat praktis juga telah dikembangkan, dengan tujuan agar masalah yang ada dapat ditangani dengan cepat dengan mengintegrasikan konsep keadilan dan kesetaraan gender di segala bidang Pembangunan. Selain itu, juga telah diupayakan strategi yang dapat 35
memastikan bahwa PUG sebagai strategi pembangunan dilaksanakan sampai di tingkat kabupaten/kota. Upaya lain yang juga dilakukan adalah membangun kemitraan dengan Lembaga Masyarakat dan Pusat-Pusat Studi Wanita/Gender, baik di pusat maupun daerah. Potensi ini terus dikembangkan sehinggga dapat menjadi pendamping dan pemberi bantuan teknis serta pengembangan inovasi dalam pelaksanaan PUG di provinsi dan kabupaten/kota. Sementara itu, pengalaman praktis yang baik dalam pelaksanaan PUG telah dicatat dan direkam serta terus dikembangkan sebagai bahan pelajaran dalam pelaksanaan di daerah lainnya. Demikian juga perbaikan metode dan mekanisme pelaksanaan PUG di masa datang yang lebih baik dan sesuai dengan yang diharapkan. Secara khusus, rekomendasi yang perlu dilakukan antara lain sebagai berikut: a. Advokasi oleh Menteri Negara PP dan PA kepada Gubernur, Anggota DPRD, Kepala SKPD tentang kebijakan PP dan PA dalam upaya mendorong daerah untuk membuat kebijakan tentang percepatan pelaksanaan PUG; b. Mendorong Kementerian/Lembaga, Pemda dan Masyarakat untuk membuat inovasi pelaksanaan PUG; c. Capacity building tentang mekanisme pelaksanaan PUG bidang Politik, Sosial dan Hukum di K/L dan Pemda; d. Peningkatan kapasitas SDM melalui Capacity building tentang Pelaksanaan PUG bagi internal Kementerian PP dan PA; e. Pendampingan secara intensif dalam rangka penguatan kelembagaan PUG bidang Politik, Sosial dan Hukum di kementerian/lembaga dan daerah mitra kerja;
36
f. Memantau dan mengevaluasi tindak lanjut Kesepakatan Bersama dengan kementerian/lembaga terkait dalam rangka implementasi PUG; g. Memperkuat mekanisme pelaporan dan evaluasi tentang pelaksanaan PUG bidang Politik, Sosial dan Hukum di kementerian/lembaga dan daerah mitra kerja; h. Penguatan Kelembagaan PUG melalui Pembentukan POKJA, gender focal point dan bentuk jejaring kerja lainnya; i. Mendorong K/L dan Pemda untuk menyusun dan memanfaatkan data gender bidang Politik, Sosial dan Hukum.
37
SASARAN KETIGA: Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan hak perempuan
1.
Latar Belakang Penetapan Sasaran Penetapan Sasaran dilandasi adanya keprihatinan, bahwa meskipun
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discriminations Against Women, CEDAW) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 dan Beijing Platform for Actions (BPFA) serta berbagai peraturan perundang-undangan
terkait
perlindungan
hak
perempuan,
fakta
membuktikan masih banyak perempuan yang belum terpenuhi haknya. Perempuan masih banyak yang mengalami diskriminasi, ketidaksetaraaan dalam hal akses terhadap berbagai peluang dan kesempatan, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, kontrol terhadap sumber daya pembangunan dan perolehan manfaat dari hasil pembangunan, sehingga seringkali berujung pada tindak kekerasan. Kondisi ini tidak hanya terjadi di lingkup keluarga dan di tempat kerja, tetapi meluas hingga ke ranah publik, bahkan pada situasi konflik atau pada saat terjadi bencana. Untuk itu, Kementerian PP dan PA berkomitmen untuk mengembangkan berbagai kebijakan perlindungan hak perempuan, terutama kebijakan yang bersifat afirmasi (affirmative actions) untuk pemajuan hak asasi perempuan dan sekaligus untuk mengejar persamaan substantif dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender. Fokus affirmative actions adalah pada kegiatan-kegiatan yang terkait dengan upaya pencegahan, pelayanan dan pemberdayaan 38
perempuan korban kekerasan, yang diawali dengan penyusunan kebijakankebijakan perlindungan hak perempuan, dan selanjutnya difasilitasi kepada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/ kota) dengan outcome berupa “kementerian/lembaga dan pemerintah daerah (provinsi
dan
kabupaten/kota)
yang
menerapkan
kebijakan-kebijakan
tersebut”. Dalam proses penyusunan kebijakan-kebijakan perlindungan hak perempuan tersebut dilakukan dengan melibatkan seluruh stakeholders, seperti pakar hak asasi perempuan, akademisi, kementerian/lembaga, lembaga masyarakat, lembaga donor, dan dunia usaha. Tugas dan tanggung jawab dalam pencapaian sasaran ini dibebankan kepada Deputi Bidang Perlindungan Perempuan. 2.
Pencapaian Sasaran Tahun 2012 Secara umum, sasaran ketiga ini dapat dikategorikan cukup berhasil. Hal
ini mengingat, walaupun dua target pada indikator kedua tidak mencapai target yang ditetapkan, akan tetapi target-target pada indikator lainnya dapat berhasil dicapai, bahkan melampaui target yang ditetapkan. Pencapaian sasaran tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
39
SASARAN
INDIKATOR
5. Jumlah kebijakan Meningkatnya perlindungan hak K/L dan Pemda perempuan yang menerapkan 6. Jumlah K/L dan Pemda kebijakan yang menerapkan perlindungan kebijakan perlindungan hak perempuan hak perempuan
TARGET
REALISASI
%
7 kebijakan
7 kebijakan
100
15 K/L
12 K/L
80
30 provinsi
14 provinsi
47
70 kab/kota
142 kab/kota
203
7.
Persentase perempuan korban kekerasan yang mendapatkan layanan
25 persen
25 persen
100
8.
Jumlah K/L dan Pemda yang memanfaatkan data dan informasi gender
10 K/L
17 K/L
170
19 provinsi
22 provinsi
116
6 kab/kota
42 kab/kota
767
Pencapaian sasaran berdasarkan masing-masing indikator diuraikan sebagai berikut: a.
Indikator Pertama: Jumlah kebijakan perlindungan hak perempuan. Dari target sebanyak tujuh kebijakan, telah berhasil dicapai seluruhnya
pada akhir tahun 2012. Adapun tujuh kebijakan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 7 Tahun 2012 tentang SOP Layanan Pusat Informasi Konsultasi bagi Perempuan Penyandang Disabilitas; 2) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 10 Tahun 2012 tentang Panduan Pembentukan dan Penguatan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO;
40
3) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2012 tentang Panduan Pencegahan dan Penanganan TPPO Berbasis Komunitas dan Masyarakat; 4) Petunjuk Teknis Pemulihan Korban KDRT yang Sensitif Gender; 5) Panduan Umum Perlindungan Perempuan Pekerja Rumahan; 6) Panduan Konseling bagi Konselor Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP-4); dan 7) Kebijakan Pemberdayaan Polisi Wanita di Kepolisian RI. Keseluruhan kebijakan tersebut di atas selanjutnya digunakan sebagai panduan fasilitasi bagi kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Fasilitasi diberikan berbentuk advokasi kepada pimpinan instansi. Sementara sosialisasi, TOT dan pelatihan diberikan kepada staf teknis yang lebih bersifat operasional. Melalui fasilitasi tersebut, diharapkan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dapat menindaklanjutinya, berupa penerapan kebijakan. Lebih lanjut, fasilitasi yang dlakukan terkait perlindungan hak perempuan, meliputi upaya-upaya pencegahan, pelayanan dan pemberdayaan perempuan, dengan substansi yang dikelmpokkan ke dalam lima sub-bidang utama, yaitu: 1) penanganan kekerasan terhadap perempuan; 2) penanganan masalah sosial perempuan; 3) perlindungan tenaga kerja perempuan; 4) penanganan korban perdagangan orang atau trafficking; dan 5) informasi gender. b.
Indikator Kedua: Jumlah K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan hak perempuan. Berbeda dengan indikator pertama, khusus pada indikator kedua ini,
target yang ditetapkan belum sepenuhnya berhasil dicapai. Di tingkat nasional, 41
sebanyak 12 kementerian/lembaga telah menerapkan kebijakan perlindungan hak perempuan. Capaian ini lebih rendah dari target yang ditetapkan, yaitu sebanyak 15 kementerian/lembaga. Hal ini disebabkan karena jumlah kementerian/lembaga
yang
difasilitasi
dalam
penerapan
kebijakan
perlindungan hak perempuan jauh lebih rendah dari target, karena terjadi revisi anggaran. Namun demikian, apabila dibandingkan dengan capaian tahun 2011, nampak bahwa jumlah kementerian/lembaga yang menerapkan kebijakan perlindungan hak perempuan mengalami peningkatan. Pada pada tahun 2011 sebanyak 11 (sebelas) K/L yang menerapkan kebijakan perlindungan hak perempuan, sedangkan pada tahun 2012 meningkat menjadi 12 (dua belas) K/L. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak kementerian/lembaga yang semakin paham dan peduli serta mendukung dalam penerapan kebijakan perlindungan hak perempuan. Ke-12 kementerian/lembaga tersebut adalah sebagai berikut: 1) Mahkamah Agung, telah mengintegrasikan substansi perlindungan hak perempuan ke dalam pedoman program; 2) Kementerian Sosial, telah mengintegrasikan substansi perlindungan hak perempuan ke dalam pedoman program, dan menyediakan fasilitas layanan pengaduan; 3) Kementerian Tenga Kerja dan Transmigrasi, telah mengintegrasikan substansi perlindungan hak perempuan ke dalam pedoman program, dan upaya pencegahan; 4) Kepolisian RI, telah telah mengintegrasikan substansi perlindungan hak perempuan ke dalam materi pelatihan;
42
5) Kementerian
Luar
Negeri,
telah
mengintegrasikan
substansi
perlindungan hak perempuan ke dalam pelayanan bagi WNI di luar negeri, terutama TKI sektor domestik; 6) Kementerian Hukum dan HAM, telah mengintegrasikan substansi perlindungan hak perempuan ke dalam pelayanan imigrasi; 7) Kementerian
Perhubungan,
telah
mengintegrasikan
substansi
perlindungan hak perempuan ke dalam upaya pencegahan; 8) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah mengalokasikan anggaran untuk mendukung pelaksanaan kebijakan perlindungan hak perempuan; 9) Kementerian Kesehatan, telah mengeluarkan peraturan terkait isu spesifik perlindungan hak perempuan; 10) Kementerian Agama, telah mengeluarkan peraturan terkait isu spesifik perlindungan hak perempuan; 11) Kementerian Dalam Negeri, telah mengeluarkan peraturan terkait isu spesifik perlindungan hak perempuan; dan 12) Badan Nasional Penanggulangan Bencana, telah mengeluarkan peraturan terkait isu spesifik perlindungan hak perempuan. Sementara itu, di tingkat provinsi, sebanyak 14 provinsi telah menerapkan kebijakan perlindungan hak perempuan. Capaian ini lebih rendah dari target yang ditetapkan, yakni 30 provinsi, yang disebabkan oleh adanya optimalisasi anggaran,berupa pemotongan anggaran, sebagai dampak kenaikan harga BBM tahun 2012. Namun demikian, jika dibandingkan dengan capaian tahun 2011, nampak bahwa jumlah provinsi yang menerapkan kebijakan perlindungan hak
43
perempuan menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2011 hanya sebanyak 10 provinsi yang menerapkan kebijakan perlindungan hak perempuan, sedangkan pada tahun 2012 menjadi 14 provinsi. Hal ini berarti semakin banyak provinsi yang paham dan peduli serta selanjutnya mendukung penerapan kebijakan perlindungan hak perempuan. Penerapan kebijakan yang terjadi di masing-masing provinsi, antara lain dalam bentuk: 1) Pengalokasian anggaran APBD di masing-masing provinsi untuk mendukung pelaksanaan kebijakan perlindungan hak perempuan; 2) Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemda Provinsi dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) dan/atau Surat Edaran/Keputusan Gubernur serta kebijakan operasional sebagai tindak lanjut atas kebijakan perlindungan hak perempuan yang dihasilkan oleh Kementerian PP-PA, misalnya berupa Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RAD PP-TPPO); dan 3) Pembentukan dan pengembangan kelembagaan provinsi, misalnya dalam bentuk Gugus Tugas atau Kelompok Kerja terkait perlindungan hak perempuan tingkat provinsi. Selain itu, di tingkat kabupaten/kota, sebanyak 142 kabupaten/kota telah menerapkan kebijakan perlindungan hak perempuan, meliputi: 1) 1 kabupaten di Provinsi NAD; 2) 10 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara; 3) 1 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan; 4) 1 kabupaten/kota di Provinsi Riau; 5) 3 kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau; 6) 7 kabupaten/kota di Provinsi Bangka Belitung; 44
7) 1 kabupaten/kota di Provinsi Lampung; 8) 8 kabupaten/kota di Provinsi Banten; 9) 2 kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta; 10) 18 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat; 11) 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah; 12) 5 kabupaten/kota di Provinsi DIY; 13) 17 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur; 14) 9 kabupaten/kota di Provinsi Bali; 15) 7 kabupaten/kota di Provinsi NTB; 16) 3 kabupaten/kota di Provinsi NTT; 17) 4 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat; 18) 4 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur; 19) 13 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan; dan 20) 6 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara. Capaian ini jauh melampaui target
yang ditetapkan, yaitu
70
kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak kabupaten/kota yang semakin paham dan peduli serta selanjutnya mendukung penerapan kebijakan perlindungan hak perempuan di wilayahnya. Adapun bentuk penerapan kebijakan di tingkat kabupaten/kota, antara lain adalah: 1) Pengalokasian anggaran APBD di masing-masing kabupaten/ kota untuk mendukung pelaksanaan kebijakan perlindungan hak perempuan; 2) Kebijakan Bupati/Walikota baik dalam bentuk Surat Edaran/Keputusan Bupati/Walikota maupun kebijakan operasional sebagai tindak lanjut atas kebijakan
perlindungan
hak
perempuan
yang
dihasilkan
oleh
Kementerian PP-PA, misalnya pengembangan model-model perlindungan tenaga kerja perempuan; 45
3) Pembentukan kelompok-kelompok Bina Keluarga TKI di tingkat desa, terutama di daerah kantong-kantong TKI; dan 4) Pengembangan kelembagaan di tingkat kabupaten/kota, misalnya dalam bentuk Gugus Tugas atau Kelompok Kerja terkait perlindungan hak perempuan di tingkat kabupaten/kota. Terkait dengan capaian ini, jika dibandingkan dengan capaian tahun 2011, nampak
bahwa
jumlah
kabupaten/kota
yang
menerapkan
kebijakan
perlindungan hak perempuan pada tahun 2012 mengalami peningkatan yang cukup signifikan, meskipun terjadi optimalisasi anggaran, yaitu pemotongan anggaran sebagai dampak kenaikan harga BBM. Pada tahun 2011, sebanyak 74 kabupaten/kota telah menerapkan kebijakan perlindungan hak perempuan. Namun, jumlah tersebut meningkat menjadi 142 kabupaten/ kota pada tahun 2012. Meningkatnya jumlah kabupaten/kota yang sangat signifikan dalam menerapkan kebijakan dibandingkan dengan jumlah kabupaten/kota yang difasilitasi dalam penerapan kebijakan selama tahun 2012, menunjukkan tingginya efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan kegiatan fasilitasi yang dilakukan, khususnya di tingkat provinsi. Hal ini disebabkan karena dalam pelaksanaan fasilitasi di tingkat provinsi, kabupaten/kota selalu dilibatkan dalam advokasi, sosialisasi dan pelatihan perlindungan hak perempuan. Nampaknya strategi tersebut akan terus dilanjutkan untuk tahun-tahun berikutnya. Dari sisi anggaran, menunjukkan bahwa pemanfaatan anggaran sangat efektif, karena outcome yang didapat jauh melampaui output. Sejalan dengan hal tersebut, fasilitasi yang langsung dilakukan di tingkat kabupaten/kota sangat diperlukan, khususnya di kabupaten/kota yang memiliki isu spesifik yang perlu penanganan spesifik pula. Misalnya kabupaten/kota yang 46
merupakan kantong-kantong TKI, kabupaten/kota yang merupakan daerah pengirim/penerima/transit, daerah dengan kasus-kasus perdagangan orang, serta daerah konflik dan rawan bencana. Lebih dari itu, dampak dari penerapan kebijakan perlindungan hak perempuan adalah terbentuknya lembaga-lembaga layanan bagi perempuan dan anak yang membutuhkan bantuan, termasuk perempuan dan anak korban tindak kekerasan. Lembaga-lembaga tersebut antara lain adalah: 1) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), yang saat ini sudah dibentuk di 27 provinsi, dan 197 kabupaten/kota; 2) Gugus Tugas Traficking di 25 provinsi, dan 77 kabupaten/kota; 3) Lembaga layanan korban kekerasan berbasis rumah sakit, sebanyak 123 buah; dan 4) Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di kepolisian sebanyak 456 buah. c.
Indikator Ketiga: Persentase perempuan korban kekerasan yang memperoleh layanan. Target yang ditetapkan pada indikator ketiga ini dapat berhasil dicapai
dengan baik. Target yang ditetapkan pada tahun 2012 adalah sebanyak 25 persen perempuan korban kekerasan memperoleh layanan, dan berdasarkan data yang diperoleh dari sistem pencatatan dan pelaporan korban kekerasan juga menunjukkan persentase capaian yang sama, yaitu 25 persen perempuan korban kekerasan memperoleh layanan. Jika dibandingkan dengan capaian tahun 2011, nampak bahwa persentase perempuan korban kekerasan yang memperoleh layanan menunjukkan adanya peningkatan. Pada tahun 2011 capaiannya adalah sebesar 20%, sedangkan pada tahun 2012 menjadi 25%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak perempuan korban kekerasan yang memperoleh layanan. 47
Keberhasilan
ini
kementerian/lembaga
tentu terkait,
saja
tidak
pemerintah
hanya
berkat
provinsi
dan
dukungan pemerintah
kabupaten/kota, tetapi juga dukungan dunia usaha dan masyarakat. Dari seluruh perempuan korban kekerasan yang datang ke pusat-pusat pelayanan, seperti Rumah Sakit, Puskesmas, Women Crisis Center, Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Rumah Aman, dan lembaga yang sejenisnya, maka seluruhnya dapat dilayani. d.
Indikator Keempat: Jumlah K/L dan Pemda yang memanfaatkan data dan informasi gender. Pada indikator keempat ini, seluruh target dapat berhasil dicapai, bahkan
melampaui jumlah yang ditargetkan. Dari 10 kementerian/lembaga, 19 provinsi,
dan
6
kementerian/lembaga,
kabupaten/kota, 22
berhasil
provinsi,
dan
dicapai
42
sejumlah
kabupaten/kota
17 yang
memanfaatkan data dan informasi gender. Ke-17 kementerian/lembaga tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini: NO.
KEMENTERIAN/LEMBAGA
NO.
1.
Mahkamah Agung
10.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kementerian Agama Kementerian Dalam Negeri Kementerian Sosial Kementerian Kesehatan Kementerian Luar Negeri Kementerian Hukum dan HAM Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
9.
KEMENTERIAN/LEMBAGA Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kementerian Perhubungan Kementerian Pekerjaan Umum BNP2TKI Badan Pusat Statistik BKKBN Badan Narkotika Nasional Polri.
48
Pemanfaatan data oleh kementerian/lembaga adalah dalam bentuk: 1) pemanfaatan data sebagai input dalam proses revisi kebijakan K/L; 2) Pemanfaatan data untuk pemantauan dan evaluasi oleh K/L; 3) Penyempurnaan data dan informasi gender di masing-masing K/L sesuai dengan masing-masing tugas dan fungsi K/L untuk mendukung pelaksanaan pengarusutamaan gender dan anak, termasuk perlindungan hak perempuan, misalnya dalam bentuk Profil Gender dan Profil Anak menurut bidang pembangunan, dan profil data gender/terpilah (bidangbidang: pendidikan, kesehatan, PU dan BNN); 4) Pemetaan isu gender dan anak, yang dimanfaatkan oleh para perencana dan pengambil keputusan di kementerian/lembaga sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan; 5) Pemanfaatan data dan informasi gender sebagai input dalam proses pemantauan dan evaluasi oleh K/L; 6) Website di BPS dengan penambahan sub-menu ‘gender’; dan 7) Tersusunnya pedoman penyusunan data terpilah (bidang infrastruktur). Sementara itu, ke-22 provinsi yang telah memanfaatkan data dan informasi gender adalah sebagai berikut: NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
PROVINSI Aceh Sumatera Utara Bangka Belitung Kepulauan Riau Riau Sumatera Barat Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta
NO. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
PROVINSI Jawa Timur Banten Bali NTB Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Utara Maluku Papua
49
Pemanfaatan data perlindungan hak perempuan di tingkat provinsi tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk, antara lain adalah: 1) Penyusunan data
basis provinsi
sebagai
data
pendukung pada
perencanaan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan provinsi; 2) Penyusunan profil data perindungan hak perempuan provinsi; dan 3) Pemanfaatan data perlindungan hak perempuan untuk pemantauan dan evaluasi di masing-masing provinsi. Adapun ke-46 kabupaten/kota yang telah memanfaatkan data dan informasi gender, khususnya data kekerasan terhadap perempuan, sebagai bentuk pelaksanaan SPM Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, tersebar di 11 provinsi, yaitu: 1) 1 kabupaten/kota di Provinsi Lampung; 2) 6 kabupaten/ kota di Provinsi Bangka Belitung; 3) 8 kabupaten/kota di Provinsi Banten; 4) 5 kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta; 5) 1 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah; 6) 5 kabupaten/kota di Provinsi DIY; 7) 8 kabupaten/kota di Provinsi Bali; 8) 9 kabupaten/kota di Provinsi NTB; 9) 1 kabupaten/kota di Provinsi NTT; dan 10) 1 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. 3.
Analisis Pencapaian Sasaran Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, bahwa capaian sasaran ketiga ini
dapat dikategorikan cukup berhasil. Hal ini tercapai karena didukung oleh berbagai faktor yang melatarbelakangi. Dalam upaya mencapai sasaran dan 50
target, pada tahap pertama dan menjadi hal utama yang dilakukan adalah mengidentifikasi kebutuhan kebijakan (sudah dilakukan sejak tahun 2010, dan dilanjutkan pada tahun 2011 dan 2012). Dari seluruh kebutuhan kebijakan, ditetapkan
skala
prioritas,
dan
kemudian
melakukan
kajian
serta
penyempurnaan dari kebijakan perlindungan hak perempuan yang telah ada sebelumnya, dilanjutkan dengan menyusun kebijakan-kebijakan baru yang diperlukan. Kebijakan-kebijakan tersebut disusun sedemikian rupa sehingga dapat
memberikan
arahan
dan
sekaligus
dapat
dimanfaatkan
bagi
kementerian/lembaga, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota serta
lembaga
masyarakat
dalam
mengembangkan
kebijakan
terkait
perlindungan hak perempuan di institusinya masing-masing. Capaian-capaian yang mampu melebihi target tersebut juga sangat terkait dengan kebijakan perlindungan perempuan korban kekerasan (baik kekerasan di rumah tangga maupun di tempat kerja) dan kebijakan perlindungan perempuan korban trafficking. Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang disusun untuk memberikan solusi bagi pembangunan perlindungan hak perempuan yang lebih holistik, integratif, dan berkelanjutan, serta
memberikan
ruang
bagi
partisipasi
perempuan
dalam
proses
pembangunan yang selama ini belum mendapat perhatian secara khusus. Berbagai kebijakan perlindungan hak perempuan yang dihasilkan tersebut, selanjutnya diadvokasikan dan disosialisasikan kepada kementerian/lembaga, provinsi dan kabupaten/kota, dengan harapan mereka akan menerapkannya dalam bentuk kebijakan, program, dan/atau kegiatan terkait perlindungan hak perempuan sesuai tugas dan fungsi masing-masing lembaga. Seperti telah diuraikan di atas, capaian provinsi dan kabupaten/kota yang mengembangkan kebijakan perlindungan hak perempuan, yang juga melebihi target, merupakan kontribusi dari kepedulian provinsi dan kabupaten/kota 51
untuk mendukung perlindungan hak perempuan. Peran provinsi sangat strategis dalam penerapan kebijakan perlindungan hak perempuan, karena sejalan dengan era pelaksanaan otonomi daerah, adalah sebagai koordinator dan sekaligus sebagai pembina kabupaten/kota. Sementara itu, peran kabupaten/kota sebagai pelaksana program pembangunan juga turut mendukung keberhasilan penerapan kebijakan perlindungan hak perempuan di tingkat kabupaten/kota. Dengan demikian seluruh kegiatan yang dilakukan di tingkat provinsi dimaksudkan untuk memperkuat peran provinsi, sehingga pengembangan kebijakan perlindungan hak perempuan di setiap kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan, dapat lebih dipercepat pencapaiannya. Atas dasar hal tersebut, sasaran tahun 2012 sebagaimana diuraikan di atas dapat tercapai, karena seluruh pemangku kepentingan telah menyadari pentingnya
perlindungan
hak
perempuan
di
wilayah
provinsi
dan
kabupaten/kota (di wilayah provinsinya). Hal yang mendasari adalah bahwa dengan terlindunginya perempuan dari berbagai tindak kekerasan di wilayahnya, berarti hak asasi perempuan di wilayah tersebut telah terpenuhi. Pemenuhan hak asasi perempuan merupakan kewajiban negara yang harus dipenuhi, dan merupakan fondasi bagi terbentuknya perempuan yang berkualitas, yang terlindungi dari berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan, untuk selanjutnya dapat berkontribusi positif bagi pembangunan nasional. Dalam upaya mencapai sasaran yang telah ditetapkan, metode yang digunakan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman para pemangku kepentingan daerah, diawali dengan kegiatan advokasi kepada pimpinan daerah (dari lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif). Kegiatan advokasi bagi pimpinan daerah, yang utama ditujukan kepada Gubernur, Bupati dan Walikota, serta pimpinan lembaga legislatif dan yudikatif. Kegiatan advokasi 52
diikuti dengan kegiatan sosialisasi, untuk membahas lebih teknis tentang bagaimana cara pemenuhan hak anak tersebut, khususnya terkait dengan perlindungan hak perempuan. Peserta sosialisasi meliputi seluruh unsur pemangku kepentingan daerah, yaitu: SKPD terkait, DPRD, lembaga masyarakat pemerhati/penggiat perempuan, tokoh agama, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, dan pakar gender/perempuan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Keberhasilan capaian ini juga ditentukan oleh dukungan program, yaitu Program Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan, dan lima kegiatan, yaitu: 1) Penyusunan dan harmonisasi kebijakan perlindungan perempuan dari tindak kekerasan; 2) Penyusunan dan harmonisasi kebijakan perlindungan masalah sosial perempuan; 3) Penyusunan dan harmonisasi kebijakan perlindungan tenaga kerja perempuan; 4) Penyusunan
dan
harmonisasi
kebijakan
perlindungan
korban
perdagangan orang; dan 5) Penyusunan dan harmonisasi kebijakan penyusunan data gender. 4.
Tantangan Dalam upaya mencapai sasaran yang telah ditetapkan, beberapa tantangan
yang masih dihadapi, antara lain: a. Seringnya terjadi pergantian pimpinan di daerah, baik kepala daerah maupun kepala SKPD terkait. Pergantian ini mempengaruhi koordinasi yang telah berjalan, sering kali bahkan harus mulai dari awal kembali. b. Belum banyak daerah yang telah mempunyai Peraturan Daerah (Perda) sebagai landasan hukum perlindungan hak perempuan di daerah. 53
c. Perlindungan hak perempuan selama ini masih dilakukan secara sektoral dan parsial, belum terintegrasi dan berkelanjutan. d. Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) di daerah untuk pemahaman pentingnya perlindungan hak perempuan masih rendah. e. Terbatasnya anggaran untuk upaya-upaya perlindungan hak perempuan, baik di pusat maupun di daerah. f. Pada tahap pelaksanaan perlindungan hak perempuan, koordinasi belum berjalan secara efektif lintas bidang dan belum holistik. 5.
Solusi/Rekomendasi/Rencana Tindak lanjut Untuk mengatasi kendala di atas, diusulkan solusi/rekomendasi/rencana
tindak lanjut yang perlu dilakukan pada tahun mendatang, yaitu meliputi: a. Perlu dilakukan pemetaan terkait dengan isu spesifik perlindungan hak perempuan, yang sudah dimiliki/dilaksanakan kementerian/lembaga dan daerah. b. Kegiatan advokasi dan sosialisasi harus lebih diefektifkan dengan lebih memfokuskan pada sasaran potensial. c. Setelah suatu kementerian/lembaga dan pemda memperoleh advokasi, harus diikuti dengan kegiatan fasilitasi dan pendampingan teknis serta monitoring dan evaluasi secara terus menerus untuk mengetahui kemajuan yang telah dicapai dalam perlindungan hak perempuan. d. Perlu diintensifkan KIE melalui berbagai media (cetak dan elektronik). e. Mendorong daerah memiliki Perda sebagai landasan hukum perlindungan hak perempuan di daerah. f. Kerjasama dengan dunia usaha perlu ditingkatkan untuk mengatasi kendala keuangan. 54
g. Perlu dilakukan fasilitasi penyusunan data perlindungan hak perempuan di kementerian/lembaga dan Pemda agar memiliki data sesuai dengan Konvensi CEDAW dan BPFA. h. Perlu dilakukan peningkatan kapasitas bagi para pemangku kepentingan yang menangani isu perempuan di daerah. i. Perlu dilakukan pelatihan tentang Konvensi CEDAW dan BPFA bagi pemangku kepentingan, termasuk pengambil keputusan, baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
55
SASARAN KEEMPAT: Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan anak
1.
Latar Belakang Penetapan Sasaran Sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian Pembedayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak, maka Kementerian ini tidak atau bukanlah Kementerian teknis yang dapat langsung mencapai akar rumput atau masyarakat untuk mendaratkan programnya. Namun diperlukan bantuan dari Kementerian dan Lembaga teknis lainnya agar dapat turut serta dalam mengimplementasikan program Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sehingga apapun upaya yang dilakukan oleh Kementerian PP dan PA adalah suatu upaya yang bertujuan untuk memperkuat kelembagaan dan mendorong agar muncul keterlibatan dari K/L yang berada dalam wilayah strategis untuk bertindak sebagai implementor atas program yang digagas oleh Kementerian PP dan PA. Misalnya, upaya untuk melindungi anak dari kekerasan, tidak bisa hanya dilaksanakan oleh Kementerian PP dan PA, tetapi harus dalam suatu sistem tatanan perlindungan anak yang melibatkan K/L sebagai pencegah dan pemberi layanan maupun dukungan aktif. Sehingga tugas Kementerian PP dan PA adalah bagaimana semua K/L baik di pusat maupun di daerah turut aktif mengerti arti pentingnya mencegah dan menangani kekekrasan terhadap anak. Sehingga semakin banyak K/L di pusat dan daerah yang menerapkan kebijakan tentang perlindungan anak maka semakin tinggi tingkat capaian program yang akan didapat oleh Kementerian PP dan PA.
56
Menyikapi permasalahan tersebut di atas, dan dalam rangka membangun sistem perlindungan anak, langkah awalnya adalah mengembangkan kebijakan tentang perlindungan anak sebagai panduan bagi para pemangku kepentingan dalam melaksanakan kebijakan, program dan kegiatan perlindungan anak secara komprehensif. Atas dasar itulah, sasaran yang ditetapkan adalah: Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan anak. Adapun penanggung jawab pencapaian sasaran tersebut di atas, diserahkan kepada Deputi Bidang Perlindungan Anak.
2.
Pencapaian Sasaran Tahun 2012 Secara umum, pencapaian sasaran dapat dikategorikan berhasil, karena
dari ketiga indikator, hampir seluruh target-targetnya dapat berhasil dicapai, kecuali target jumlah K/L pada indikator ketiga. Hal tersebut dapat dilihat pada matriks berikut ini: SASARAN Meningkatnya Kementerian/ Lembaga dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan anak
INDIKATOR 4. Jumlah K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan anak
TARGET
REALISASI
%
5 K/L
17 K/L
340
10 provinsi
21 provinsi
210
31 kab/kota 5. Persentase anak korban kekerasan yang mendapatkan layanan
30 persen
6. Jumlah K/L dan Pemda yang memanfaatkan data perlindungan anak
5 K/L 10 provinsi
30 persen
100
-
-
17 provinsi
190
2 kab
57
Untuk melihat lebih jauh pencapaian sasaran sebagaimana dimaksud, akan diuraikan penjelasannya per indikator sebagai berikut: a.
Indikator Pertama: Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan perlindungan anak. Kebijakan perlindungan anak meliputi kebijakan-kebijakan sebagai
berikut: 1) Perlindungan hak sipil anak; 2) Perlindungan dan penanganan anak korban kekerasan; 3) Perlindungan dan penanganan masalah sosial anak; 4) Perlindungan dan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum; 5) Perlindungan dan penanganan anak yang berkebutuhan khusus. Dari dengan target yang ditetapkan sebanyak 5 K/L dan 10 Provinsi, Kabupaten/Kota, dapat berhasil dicapai sebanyak 17 K/L, dan 21 Provinsi, dan 31 Kabupaten/Kota. Ke-17 K/L tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini: NO.
KEMENTERIAN/LEMBAGA
NO.
KEMENTERIAN/LEMBAGA
1.
Kementerian Agama
10.
2. 3.
Kementerian Sosial Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Mahkamah Agung Kepolisian RI Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kementerian Komunikasi dan Informatika Kementerian Dalam Negeri Kementerian Luar Negeri
11. 12.
Kementerian Koordinator Bidang Kesra Kementerian Hukum dan HAM Kejaksaaan Agung RI
13. 14. 15.
Kementerian Kesehatan BNP2TKI BNPB
16.
Komisi Penyiaran Indonesia
17.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
4. 5. 6. 7. 8. 9.
58
Adapun bentuk penerapan kebijakan perlindungan anak yang dilakukan kementerin/lembaga dan pemerintah daerah cukup bervariasi, antara lain: 1) Terbitnya regulasi yang dihasilkan oleh bentuk
peraturan
kementerian/lembaga dalam
menteri/pimpinan
lembaga,
keputusan
menteri/pimpinan lembaga, atau surat edaran menteri/pimpinan lembaga. 2) Terbitnya regulasi yang dihasilkan oleh bentuk
peraturan
keputusan
daerah,
peraturan
gubernur/bupati/walikota,
pemerintahan daerah dalam gubernur/bupati/walikota, atau
surat
edaran
gubernur/bupati/walikota. 3) Dukungan pelaksanaan kebijakan perlindungan anak dari sisi program dan anggaran di kementerian/lembaga, provinsi, dan kabupaten/kota. 4) Tersedianya/terbentuknya Unit Perlindungan Anak pada struktur organisasi di kementerian/lembaga, provinsi, dan kabupaten/kota. 5) Forum koordinasi dan Focal Point perlindungan anak (Pokja, Forkom, Gugus Tugas) di kementerian/lembaga, provinsi, dan kabupaten/kota. 6) Tersedianya sumberdaya manusia (SDM) yang memahami tentang konsep perlindungan
anak
pada
kementerian/lembaga,
provinsi,
dan
kabupaten/kota. Keberhasilan tersebut merupakan hasil dari fasilitasi yang dilakukan Kementerian PP dan PA dalam beragam bentuk, seperti advokasi kepada pimpinan instansi pemerintah untuk menggugah komitmen terhadap perlindungan hak anak. Kemudian langkah tersebut ditindaklanjuti dengan sosialisasi, pelatihan, pendampingan dan bimbingan teknis terkait dengan upaya perlindungan anak, sesuai dengan tupoksi instansi masing-masing.
59
b.
Indikator
Kedua:
Persentase
anak
korban
kekerasan
yang
mendapatkan layanan. Pengertian atau batasan anak korban yang mendapatkan layanan adalah tindakan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga layanan korban, seperti P2TP2A dan yang sejenisnya, dalam menangani pengaduan kasus tindak kekerasan
yang
menindaklanjuti
dialami laporan
anak.
Tindakan
pengaduan
yang
tindak
dilakukan kekerasan,
berupa seperti
mendokumentasikan, merujuk kepada lembaga yang relevan, seperti Rumah Sakit, Trauma Center, Kepolisian dan sebagainya. Tindakan-tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk pelayanan terhadap korban. Singkat kata, batasan penanganan atau pelayanan adalah berbasis laporan yang diterima oleh lembaga-lembaga layanan korban kekerasan. Dengan batasan yang demikian, seluruh lembaga-lembaga layanan tersebut sudah dapat dikategorikan telah melakukan layanan kepada anak korban kekerasan. Artinya, anak korban kekerasan mendapat layanan yang memadai. Sehingga target 30 persen yang ditetapkan, sebenarnya sudah berhasil dilampaui oleh lembaga-lembaga layanan yang tersebar di seluruh Indonesia. Keberhasilan
tersebut
merupakan
hasil
upaya
yang
dilakukan
Kementerian PP dan PA kepada K/L terkait, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan juga kepada pemerintah provinsi dalam penanganan anak korban kekerasan. Kementerian PP dan PA telah menerbitkan Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Perempuan dan Anak korban Kekerasan sebagai acuan bagi pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten/kota dalam penanganan perempuan dan anak korban kekerasan.
60
c.
Indikator Ketiga: Jumlah K/L dan Pemda yang memanfaatkan data perlindungan anak. Dari target 5 K/L yang ditetapkan, tidak dapat berhasil dicapai. Sementara
dari target 10 provinsi, dapat berhasil dicapai sebanyak 17 provinsi, dan dua kabupaten. Ketidakberhasilan dalam mencapai target jumlah K/L tersebut disebabkan ada perubahan alokasi anggaran, yang diperuntukkan untuk fasilitasi tiga K/L, yaitu Bappenas, Kementerian Sosial dan Badan Pusat Statistik untuk penyelenggaraan Survey Prevalensi Kekerasan terhadap Anak. Kebutuhan akan survey tersebut sangat mendesak, mengingat bahwa selama ini, data tentang prevalensi kekerasan terhadap anak belum tersedia. Adapun ke-17 provinsi yang telah memanfaatkan data perlindungan anak adalah sebagai berikut: NO.
3.
PROVINSI
NO.
1. 2. 3. 4.
Sumatera Barat Bengkulu Jambi Sulawesi Barat
10. 11. 12. 13.
5. 6. 7. 8. 9.
Sulawesi Utara Maluku Utara Papua Banten Jawa Barat
14. 15. 16. 17.
PROVINSI DAN KABUPATEN Nusa Tenggara Barat Kalimantan Selatan Jawa Timur
apua
P Aceh Kalimantan Timur DI Yogyakarta Sumatera Utara
Analisis Pencapaian Sasaran Secara umum, pencapaian sasaran keempat ini dapat dikategorikan
berhasil. Keberhasilan tersebut didukung oleh beberapa hal, yaitu: a. Penerapan strategi yang tepat dalam pelaksanaan perlindungan anak, yaitu dengan pendekatan sistem. Pendekatan sistem ini diharapkan dapat memperjelas peran dan mandat masing-masing kementerian/lembaga 61
atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk membangun pelayanan yang komprehensif sesuai kebutuhan anak. Strategi lainnya adalah dengan meningkatkan kapasitas aparatur Kementerian PP dan PA, khususnya pada Deputi Bidang Perlindungan Anak dan Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak sebagai koordinator dan penjuru (leading sector) perlindungan anak untuk memastikan perlindungan anak dilakukan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan. Selain itu, strategi yang juga digunakan adalah dengan mendorong sektor terkait untuk berperan lebih aktif dalam mewujudkan perlindungan anak. b. Keterkaitan yang kuat antara sasaran dengan program dan kegiatan. Program
yang
mendukung
pencapaian
sasaran
adalah
program
perlindungan anak, dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1) Penyusunan dan harmonisasi kebijakan penghapusan kekerasan terhadap anak; 2) Penyusunan dan harmonisasi kebijakan perlindungan anak dari masalah social; 3) Penyusunan
dan
harmonisasi
kebijakan
penanganan
Anak
Berhadapan Dengan Hukum; 4) Penyusunan dan harmonisasi kebijakan perlindungan bagi anak berkebutuhan khusus; dan 5) Penyusunan dan harmonisasi kebijakan pemenuhan hak sipil anak. 4.
Tantangan Walaupun sasaran keempat tersebut dapat berhasil dicapai, namun
demikian, ada beberapa tantangan yang masih dihadapi: a. Pembangunan yang peduli anak, termasuk perlindungan haknya, masih belum menjadi mainstream pemahaman para pemangku kepentingan.
62
b. Keterbatasan kapasitas SDM dalam melakukan advokasi dan fasilitasi tentang perlindungan hak anak. 5.
Solusi dan Rencana Tindak Lanjut
a. Diperlukan intervensi secara terus menerus oleh Kementerian PP dan PA untuk penguatan kelembagaan di pusat dan daerah sehingga K/L di pusat dan daerah dapat meningkatkan komitmennya dalam melaksanakan perlindungan anak. b. Mendorong daerah secara terus menerus untuk menerapkan Standar Pelayanan Minimal untuk perempuan dan anak korban kekerasan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Kementerian PP dan PA melalui Peraturan Menteri PP dan PA Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.
63
SASARAN KELIMA: Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan tumbuh kembang anak
1.
Latar Belakang Penetapan Sasaran Penetapan sasaran ini dilandasi keprihatinan yang mendalam atas
kurangnya kebijakan terkait dengan tumbuh kembang anak yang holistik dan integral, serta berperspektif hak anak. Berbagai kebijakan tentang anak yang telah ada masih bersifat sektoral dan kurang berpihak pada pemenuhan hak anak. Padahal pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak tahun 1990 melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, dan memiliki Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedua dokumen tersebut seharusnya mengikat semua pihak agar secara serius memenuhi hak anak, sehingga anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Namun fakta membuktikan masih banyak anak-anak yang belum terpenuhi haknya, seperti hak mendapatkan akta kelahiran, memperoleh pendidikan yang berkualitas, memperoleh pelayanan kesehatan, berpartisipasi dalam proses pembangunan dan tumbuh dalam lingkungan yang kurang layak. Melihat kenyataan tersebut, Kementerian PP dan PA menerbitkan berbagai kebijakan untuk diimplementasikan di kementerian/lembaga maupun pemda, atau sebagai panduan/pedoman bagi kementerian/lembaga dan pemda dalam mengembangkan kebijakan terkait tumbuh kembang anak. Proses penyusunan kebijakan tersebut telah dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, seperti pakar anak, akademisi, kementerian/lembaga, lembaga donor, 64
dunia usaha, sampai anak itu sendiri. Pelibatan anak dalam proses pembangunan dilakukan untuk mewujudkan kebijakan yang benar-benar dibutuhkan anak, dan sebagai wujud dari komitmen negara untuk menghormati pandangan anak, serta respon atas tuntutan dunia internasional. Atas dasar itulah, sasaran yang ditetapkan adalah “Meningkatnya K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan tumbuh kembang anak”. Adapun penanggung jawab pencapaian sasaran tersebut diserahkan kepada Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak.
Untuk mengetahui sejauh mana perkembangan pencapaian target dan hambatan dalam pencapaian kinerja bidang tumbuh kembang anak, berikut akan diuraikan kinerja beserta analisis pencapaian tahun 2012 dilihat dari sasaran strategis yang telah ditetapkan. 2.
Pencapaian Sasaran Tahun 2012 Secara umum, pencapaian sasaran ini dapat dikategorikan berhasil, karena
seluruh target dari empat indikator, dapat dicapai pada akhir tahun 2012. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
65
SASARAN Meningkatnya K/L dan Pemda Yang Menerapkan Kebijakan Tumbuh Kembang Anak
INDIKATOR
REALISASI
%
2. Jumlah kebijakan tumbuh kembang anak
7 kebijakan 4 kebijakan
57
3. Jumlah K/L dan Pemda yang menerapkan kebijakan/program/ kegiatan tumbuh kembang anak
4 K/L
4 K/L
100
10 provinsi
13 provinsi
130
29 kab/kota
29 kab/kota
100
5. Jumlah K/L dan Pemda yang memanfaatkan data tumbuh kembang anak
11 K/L
4 K/L
36
10 provinsi
10 provinsi
100
40 kab/kota
40 kab/kota
100
25 kab/kota
25 kab/kota
100
6. Jumlah Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA)
TARGET
Untuk melihat sejauhmana pencapaian target pada masing-masing indikator, akan diuraikan per indikator secara lebih mendalam. a.
Indikator Pertama: Jumlah kebijakan tumbuh kembang anak. Dari target tujuh kebijakan yang ditetapkan, pada akhir tahun 2012, hanya
empat kebijakan yang dapat berhasil dicapai. Pada awalnya, telah ditetapkan target tujuh kebijakan yang akan dihasilkan, yaitu: 1) Kebijakan Revitalisasi Bina Keluarga balita; 2) Panduan sosialisasi dan advokasi PAUD HI; 3) Pedoman Penerapan Sekolah Ramah Anak; 4) Pedoman Pemenuhan Hak kesehatan Anak atas pangan jajanan; 5) Pedoman Pengembangan Forum Anak Nasional; 6) Pedoman Pemantauan pengembangan kabupaten/kota Layak Anak; 7) Petunjuk Teknis Pengelolaan Kabupaten/Kota Layak Anak. 66
Namun demikian, dalam perjalanannya, terjadi perubahan, yakni, dari target semula berupa Petunjuk Teknis Pengelolaan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), dalam tahun berjalan berubah menjadi Kebijakan Tumbuh Kembang Anak. Hal ini disebabkan karena adanya kebijakan utama Tumbuh Kembang Anak yang memayungi berbagai kebijakan lainnya di bidang pemenuhan hak pendidikan anak, pemenuhan hak kesehatan anak, partisipasi anak, lingkungan dan penanaman nilai-nilai luhur, serta pengembangan KLA semakin dirasa sangat diperlukan, terutama oleh para pelaksana di daerah. Oleh karena itu, alokasi anggaran kemudian difokuskan kepada pencapaian target Kebijakan Tumbuh Kembang Anak menggantikan target kebijakan berupa Pedoman Pengelolaan Pengembangan KLA. Pedoman Pengelolaan Pengembangan KLA dianggap belum menjadi kebutuhan yang sangat mendesak pada tahun 2012 karena telah ada Panduan Pengembangan KLA yang telah disahkan sebelumnya melalui Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 13 Tahun 2011. Kebijakan ini sementara telah dianggap cukup untuk menjadi panduan pengembangan dan pengelolaan di daerah. Dari tujuh target kebijakan tersebut, yang dapat berhasil dicapai hanya empat kebijakan, yaitu: 1) Panduan Sosialisasi dan Advokasi PAUD HI; 2) Pedoman Pemenuhan Hak kesehatan Anak atas Pangan Jajanan; 3) Pedoman Pengembangan Forum Anak Nasional; 4) Pedoman Pemantauan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak. Sementara dua lainnya masih berbentuk draft kebijakan, yaitu: 1) Draf Pedoman Penerapan Sekolah Ramah Anak; dan 2) Draf Kebijakan Tumbuh Kembang Anak,
67
dan satunya lagi masih dalam bentuk naskah akademis, yaitu Naskah Akademis Kebijakan Nasional Revitalisasi Bina Keluarga Balita. Dari uraian di atas dapat terlihat, bahwa dari target tujuh kebijakan yang ditetapkan di awal tahun 2012 belum dapat 100% tercapai, terutama pada target Kebijakan Revitalisasi Bina Keluarga Balita. Dari rangkaian tahapan penyusunan kebijakan, baru terealisasi tahap awal proses penyusunan kebijakan, yaitu dihasilkannya Naskah Akademis Kebijakan Nasional Bina Keluarga Balita. Hal ini terjadi karena alokasi anggaran yang tersedia pada tahun 2012 tersebut baru pada tahap penyusunan naskah akademis. Sedangkan dua kebijakan masih berupa draft, dan belum menjadi kebijakan disebabkan karena adanya kebijakan pemerintah tentang pemotongan anggaran. Faktor yang mempengaruhi pencapaian indikator pertama antara lain adalah: 1) Ketepatan waktu pelaksanaan berbagai tahapan kegiatan dalam rangka menyusun kebijakan, sehingga kebijakan dapat selesai tepat waktu; 2) Cakupan peserta diskusi yang beragam dalam proses penyusunan kebijakan tumbuh kembang anak. Dalam pelaksanaan kegiatan diskusi untuk penyusunan kebijakan anak, cakupan peserta diskusi yang beragam menghasilkan input yang beragam pula. Hal ini memperkaya masukan bagi penyusunan kebijakan, sehingga proses penyusunan kebijakan menjadi lebih efektif dan efisien; 3) Isu anak telah menjadi isu yang menarik di masyarakat; 4) Kebijakan Kementerian PP dan PA merupakan kebijakan yang unik dan tidak dilakukan oleh Kementerian/lembaga lain; dan
68
5) Kebutuhan yang tinggi akan kebijakan tumbuh kembang anak yang holistik, integratif dan berkelanjutan. Adapun hambatan atau kendala yang dihadapi dalam pencapaian indikator tersebut adalah sebagai berikut: 1) Data anak yang terintegrasi sesuai dengan klaster hak anak masih sangat minim, sehingga menyebabkan kurang optimalnya pengembangan kebijakan/ program/kegiatan terkait tumbuh kembang anak. 2) SDM yang ada belum semuanya terlatih dalam Konvensi Hak Anak (KHA). Hal
ini
sangat
mempengaruhi
dalam
menyusun
kebijakan/program/kegiatan terkait tumbuh kembang anak. 3) Koordinasi dalam penyusunan kebijakan belum optimal. 4) Kementerian/lembaga lain menyusun kebijakan dengan substansi yang serupa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, solusi dan langkah tindak lanjut yang akan dilaksanakan adalah: 1) Pembentukan tim kecil penyusunan kebijakan. Tim tersebut berfungsi sebagai koordinator penyusunan kebijakan tumbuh kembang anak, mulai dari identifikasi awal atas kebutuhan kebijakan, hingga proses pelaksanaan dan penyelesaian kebijakan.
2) Melakukan kesepahaman bersama (MoU) dengan kementerian/lembaga. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih kebijakan dengan kementerian/lembaga yang mempunyai substansi serupa terkait pemenuhan hak anak.
3) Peningkatan kapasitas SDM terkait dengan KHA. Hal teresbut dilakukan mengingat salah satu kendala utama belum optimalnya penyusunan kebijakan terkait tumbuh kembang anak, baik di tingkat nasional dan daerah
69
adalah karena masih minimnya pemahaman dasar tentang hak anak. Dengan dipahaminya hak anak secara optimal, maka proses penyusunan kebijakan akan menjadi lebih efektif dan tepat sasaran.
4) Lebih mengefektifkan komunikasi melalui media elektronik. b.
Indikator Kedua: Jumlah Kementerian/lembaga dan Pemda yang menerapkan kebijakan/program/kegiatan tumbuh kembang anak. Dari target empat kementerian/lembaga yang menerapkan kebijakan
tumbuh
kembang
anak,
telah
berhasil
dicapai
seluruhnya.
Empat
kementerian/lembaga tersebut telah menerapkan kebijakan tumbuh kembang anak ke dalam kebijakan/program/kegiatan instansi masing-masing. Keempat kementerian/lembaga tersebut adalah: 1) Kementerian Dalam Negeri; 2) Kementerian Perhubungan; 3) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional; dan 4) Badan POM. Dicapainya empat kementerian/lembaga tersebut merupakan hasil fasilitasi
yang
Kementerian
PP
dan
PA
lakukan
kepada
14
kementerian/lembaga. Berikut ini perbandingan antara kementerian/lembaga yang difasilitasi kebijakan tumbuh kembang anak dengan kementerian/lembaga yang telah menerapkan kebijakan tumbuh kembang anak: NO. 1. 2. 3. 4. 5.
KEMENTERIAN/LEMBAGA YANG DIFASILITASI KEBIJAKAN TKA Kementerian Luar Negeri Kementerian Dalam Negeri BKKBN Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Kesehatan
KEMENTERIAN/LEMBAGA YANG MENERAPKAN KEBIJAKAN TKA Kementerian Dalam Negeri BKKBN
70
NO. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
KEMENTERIAN/LEMBAGA YANG DIFASILITASI KEBIJAKAN TKA Kementerian Sosial Bappenas Kementerian Agama Kementerian Perhubungan POLRI Badan Nasional Penanggulangan Bencana Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Kwarnas Pramuka Badan POM
KEMENTERIAN/LEMBAGA YANG MENERAPKAN KEBIJAKAN TKA
Kementerian Perhubungan
Badan POM
Adapun bentuk penerapan kebijakan di berbagai instansi tersebut masih fokus pada dukungan dalam pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) dan Partisipasi Anak. Hal ini disebabkan karena kedua kebijakan tersebut telah lebih dahulu dikembangkan oleh Kementerian PP dan PA, yakni sejak tahun 2006. Proses advokasi, sosialisasi dan fasilitasi kedua kebijakan tersebut telah dilakukan sejak sekitar tahun 2007, sehingga pada tahun 2012 outcome yang dicapai lebih banyak dari kedua kebijakan tersebut. Demikian hal juga dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, dari target 10 provinsi dan 29 kabupaten/kota, telah berhasil dicapai sebanyak 13 provinsi dan 40 kabupaten/kota. Bentuk penerapan kebijakan yang dikembangkan oleh Pemerintah Provinsi sebagai hasil dari fasilitasi kebijakan terkait KLA, mulai dari Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pengembangan KLA tingkat Provinsi, Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 14 Tahun 2010 tentang Pengembangan KLA tingkat Desa/Kelurahan, Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2011 tentang Kebijakan KLA, Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 tentang Indikator KLA, Peraturan 71
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 13 Tahun 2011 tentang Panduan Pengembangan KLA, Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 14 Tahun 2011 tentang Evaluasi KLA, dapat dikelompokkan ke dalam 6 (enam) kelompok besar bentuk penerapan kebijakan, yaitu: 1) Penetapan kabupaten/kota menuju layak anak melalui MoU antara Provinsi dengan kabupaten/kota, yaitu provinsi Jawa Tengah, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara; 2) Pembentukan Gugus Tugas KLA tingkat Provinsi, yaitu Jawa Tengah, Banten, Kalimantan Timur, DI Yogyakarta, DKI Jakarta; 3) Penyusunan Rencana Aksi Daerah KLA tingkat Provinsi, yaitu Jawa Tengah, Banten, Jambi; 4) MoU dengan TP PKK untuk membentuk desa/kelurahan ramah anak di desa binaan PKK, yaitu Sumatera Utara; 5) TOT Fasilitator Pengembangan KLA tingkat Provinsi yaitu Jawa Tengah; 6) Pengembangan KIE KLA, yaitu Kepulauan Riau. Keberhasilan pencapaian indikator tersebut didukung oleh beberapa faktor, antara lain: 1) Adanya kebutuhan yang mendesak dari masyarakat terkait dengan isu anak. Berbagai permasalahan anak dirasakan semakin meningkat baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Oleh sebab itu, kebijakan pembangunan anak yang holistik, terintegrasi dan berkelanjutan semakin dirasa menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak oleh berbagai elemen masyarakat, khususnya pemerintah. Alasan ini menjadi faktor pendukung utama sehingga kebijakan tumbuh kembang anak diterapkan dan dikembangkan di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
72
2) Adanya keterkaitan pencapaian indikator tersebut dengan kebijakan pengembangan KLA, karena kebijakan tersebut menawarkan solusi bagi pembangunan anak yang lebih holistik, integratif, berkelanjutan. Keunikan dari KLA menjadi daya tarik tersendiri bagi Pemerintah Daerah dalam upaya pemenuhan hak anak dan upaya mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Hal ini membuat pendekatan dan upaya meyakinkan para pimpinan daerah menjadi relatif lebih mudah, karena dapat menjadi solusi inovatif dalam pembangunan anak melalui good governance.
Banyak
dari
pemerintah
daerah
juga
telah
mengembangkan KLA secara mandiri dengan menggunakan APBD, karena pengembangan KLA telah dirasa menjadi sebuah kebutuhan bagi solusi permasalahan anak. Selain itu, keberhasilan tersebut juga didukung oleh penerapan tiga strategi yang dipandang tepat. Strategi pertama yang telah dilakukan adalah advokasi kepada pimpinan daerah tentang pentingnya kebijakan tumbuh kembang anak bagi masa depan bangsa dan daerah setempat, yang dilakukan secara berurutan dengan pelaksanaan sosialisasi maupun fasilitasi kebijakan tumbuh kembang anak. Pelaksanaan advokasi kepada pimpinan daerah dirasakan cukup efektif karena komitmen pimpinan daerah biasanya kemudian diturunkan menjadi kebijakan maupun program daerah. Strategi ini banyak digunakan dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan KLA yang biasanya selalu didahului dengan advokasi kepada pimpinan daerah dan pimpinan SKPD serta beberapa lembaga masyarakat sejak tahun 2011, kembali dilaksanakan sepanjang tahun 2012. Strategi kedua adalah dengan memperluas cakupan peserta sosialisasi terkait dengan kebijakan tumbuh kembang anak, termasuk di dalamnya SKPD, lembaga masyarakat, dunia usaha, sekolah, hingga anak. Hal ini
73
dikarenakan semakin banyaknya stakeholder yang memahami permasalahan dan kebijakan tumbuh kembang anak, akan semakin mudah pula kebijakan tersebut untuk diterima dan dikembangkan oleh berbagai elemen masyarakat. Strategi
ketiga
adalah
dengan
memberikan
penghargaan
Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) kepada kabupaten/kota yang telah memenuhi indikator-indikator KLA. Strategi ini cukup ampuh dalam mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk menerapkan berbagai kebijakan/program/kegiatan
tumbuh
kembang
anak,
termasuk
pengalokasikan APBD untuk pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan tumbuh kembang anak. Walaupun capaian indikator tersebut telah dipandang berhasil, akan tetapi dalam proses pencapaian target tersebut masih ditemui beberapa kendala dan hambatan yang sama pada tahun sebelumnya. Kendala/hambatan tersebut antara lain: 1) Komitmen tentang pemenuhan hak dan perlindungan anak di beberapa daerah masih terbatas pada komitmen individual, belum merupakan komitmen bersama/lembaga. Hal ini terlihat pada saat terjadi mutasi dan pergantian pimpinan daerah, termasuk pimpinan dan pejabat di SKPD kunci, yang dapat pula menyebabkan berubahnya kebijakan dan menurunnya kinerja pemerintah daerah dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak. 2) Masih minimnya SDM yang terlatih KHA terutama di daerah. Hal ini sangat mempengaruhi pemahaman tentang hak anak dan isu anak sehingga terdapat hambatan dalam menerapkan kebijakan/program/kegiatan terkait tumbuh kembang anak.
74
3) Belum banyaknya daerah yang mempunyai Peraturan Daerah (Perda) sebagai landasan hukum pengembangan tumbuh kembang anak di daerah. 4) Pembangunan anak masih dilakukan secara sektoral, parsial, belum terintegrasi dan berkelanjutan. 5) Kebijakan dan program terkait tumbuh kembang anak telah banyak dikeluarkan, namun pelaksanaannya masih belum optimal. Hal ini dapat disebabkan karena kebijakan-kebijakan yang dihasilkan tumpang tindih. Oleh karena itu, terhadap kendala/hambatan tersebut, solusi dan rencana tindak lanjut yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Perlu dilakukan pemetaan terkait dengan isu anak, potensi dan kebijakan terkait pemenuhan hak anak yang sudah dimiliki kementerian/lembaga dan daerah. 2) Kegiatan advokasi dan sosialisasi harus lebih diefektifkan dengan lebih memfokuskan pada sasaran potensial. 3) Setelah suatu kementerian/lembaga dan pemda memperoleh advokasi, harus diikuti dengan kegiatan fasilitasi dan pendampingan teknis serta monitoring dan evaluasi secara terus menerus untuk mengetahui kemajuan yang telah dicapai. 4) KIE melalui media elektronik harus semakin ditingkatkan, karena melalui media elektronik jangkauan pesan akan lebih banyak tersebar luas. 5) Mendorong daerah memiliki peraturan daerah sebagai landasan hukum pengembangan tumbuh kembang anak di daerah. 6) Diperlukan dukungan dunia usaha dalam mengoptimalkan pembangunan anak, dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik anak.
75
7) Perlu dilakukan fasilitasi penyusunan data anak di kementerian/lembaga dan Pemda agar memiliki data sesuai dengan Konvensi Hak Anak. 8) Perlu dilakukan pelatihan tentang Konvensi Hak Anak bagi pemangku kepentingan, termasuk pengambil keputusan, baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. c.
Indikator Ketiga: Jumlah K/L dan Pemda yang memanfaatkan data tumbuh kembang anak. Terkait dengan indikator di atas, seluruh target dapat berhasil dicapai
dengan baik. Dari 1 K/L yang ditargetkan, dapat dicapai 4 K/L. Sementara itu, dari 10 provinsi dan 40 kabupaten/kota yang memanfaatkan data tumbuh kembang anak, seluruhnya dapat dicapai. Keempat K/L tersebut bentuk pemanfaatan data tumbuh kembang anak (TKA) dapat dilihat pada tabel di bawah ini: NO
KEMENTERIAN/LEMBAGA
BENTUK PEMANFAATAN DATA TKA
1.
Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otonomi Daerah)
Pengintegrasian indikator anak ke dalam IKK Kemendagri
2.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Wilayah sasaran Program Penarikan Pekerja Anak-Program Keluarga Harapan (PPA-) PKH diintegrasikan ke dalam wilayah KLA
3.
Kementerian Komunikasi dan Informatika
Program internet sehat diintegrasikan ke dalam wilayah KLA
4.
Kepolisian RI
Tersedianya data anak korban kecelakaan secara terpilah berdasarkan usia yang telah ditetapkan dalam KHA pada data base Polri
Sementara dari 10 Provinsi dan 40 Kabupaten/Kota yang telah memanfaat data TKA, sebagian besar untuk membuat Rencana Aksi Daerah terkait dengan Tumbuh Kembang Anak. Adapun yang dimaksudkan dengan memanfaatkan 76
data adalah tersedianya data TKA di kementerian/lembaga dan Pemda yang digunakan dalam pembuatan kebijakan, program dan kegiatan terkait dengan tumbuh kembang anak. Dengan dimilikinya kebijakan, program dan kegiatan tumbuh kembang anak oleh kementerian/lembaga dan pemda, maka diharapkan seluruh hak anak dapat terpenuhi, sehingga tumbuh kembang anak dapat tercapai seoptimal mungkin. Selengkapnya pemanfatan data tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: NO
PROVINSI
BENTUK PEMANFAATAN DATA TKA
1.
Kalimantan Timur
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
2.
Kalimantan Selatan
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
3.
Jawa Tengah
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
4.
Jawa Barat
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
5.
Jawa Timur
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
6.
Sumatera Utara
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
7.
Banten
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
8.
DI Yogyakarta
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
9.
Bali
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
10.
Kepulauan Riau
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
77
NO
KABUPATEN/KOTA
BENTUK PEMANFAATAN DATA TKA
1.
Kota Denpasar
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
2.
Kota Surabaya
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
3.
Kota Surakarta
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
4.
Kab. Badung
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
5.
Kota Padang
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
6.
Kab. Sidoarjo
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
7.
Kota Yogyakarta
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
8.
Kab. Malang
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
9.
Kab. Tulung Agung
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
10.
Kab. Cilacap
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
11.
Kab. Kudus
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
12.
Kota Magelang
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
13.
Kab. Rembang
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
14.
Kab. Brebes
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
15.
Kota Sukabumi
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
16.
Kota Pariaman
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
17.
Kab. Sleman
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
18.
Kab. Bogor
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan
78
NO
KABUPATEN/KOTA
BENTUK PEMANFAATAN DATA TKA Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
19.
Kab. Grobogam
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
20.
Kab. Semarang
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
21.
Kab. Jombang
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
22.
Kab. Kebumen
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
23.
Kab. Kelaten
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
24.
Kota Malang
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
25.
Kab. Sragen
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
26.
Kab. Lngkat
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
27.
Kab. Deli Serdang
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
28.
Kab. Serdang Bedagai
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
29.
Kota Kediri
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
30.
Kota Semarang
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
31.
Kota Balikpapan
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
32.
Kota Banjarnegara
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
33.
Kab. Magelang
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
34.
Kab. Wonosobo
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
35.
Kab. Gorontalo
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
79
NO
KABUPATEN/KOTA
BENTUK PEMANFAATAN DATA TKA
36.
Kota Pontianak
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
37.
Kota Kendari
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
38.
Kab. Sintang
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
39.
Kota Kupang
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
40.
Kota Ambon
Penyusunan RAD dalam rangka Pemenuhan Hak Anak Melalui Pengembangan KLA
Tercapainya target pada indikator Jumlah Kementerian/Lembaga dan Pemda yang memanfaatkan data TKA ini tentunya dipengaruhi oleh adanya faktor pendukung dari berbagai pihak, baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internal antara lain: 1) Tersedianya anggaran terkait dengan indikator tersebut; 2) Adanya strategi untuk mencapai indikator jumlah Kementerian/Lembaga dan Pemda yang difasilitasi data TKA melalui perencanaan awal dalam memfasilitasi penyusunan data TKA; 3) Tersedianya
dana
fasilitasi
penyusunan
data
TKA
bagi
kementerian/lembaga dan Pemda; 4) Tersedianya instrumen penyusunan data TKA; dan 5) Tersedianya SDM yang mampu memfasilitasi penyusunan data TKA. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi tercapainya target pada indikator tersebut, antara lain: 1) Tersedianya profil pembangunan anak di beberapa daerah; 2) Tersedianya data anak di kementerian/lembaga terkait;
80
3) Adanya komitmen bersama dalam pemenuhan hak tumbuh kembang anak; 4) Pemangku kepentingan memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya data yang holistik dan terintegratif dalam penyusunan perencanaan yang terkait dengan Tumbuh Kembang Anak. Dengan dimanfaatkannya data TKA maka dapat mendorong Kementerian/lembaga dan Pemda (Provinsi dan Kabupaten/Kota) untuk menyediakan anggaran bagi penyusunan kebijakan, program dan kegiatan yang terkait dengan pembangunan anak, khususnya tentang tumbuh kembang anak. Meskipun target yang ditetapkan telah tercapai,
namun dalam
pelaksanaannya juga mengalami beberapa hambatan atau kendala, sehingga belum semua kementerian/lembaga dan Pemda yang telah difasilitasi dapat memanfaatkan data TKA. Ada kendala/hambatan yang dihadapi dalam pencapaian indikator tersebut adalah: 1) Belum dimanfaatkannya hasil monitoring dan evaluasi secara maksimal. 2) Keterbatasan SDM yang ada di Kementerian PP dan PA yang mengakibatkan data yang masuk belum seluruhnya dapat dikompilasi dan dianalisis, sehingga belum semua kementerian/lembaga dan Pemda yang telah memanfaatkan data TKA dapat terdata dengan akurat. 3) Koordinasi yang masih lemah dengan kementerian/lembaga terkait dan Pemda. 4) Masih adanya ego sektoral. 5) Sulitnya mencari data yang spesifik terkait dengan tumbuh kembang anak.
81
6) Sering terjadinya pergantian pejabat daerah, baik pejabat yang membidangi perlindungan anak maupun SKPD terkait. 7) Belum tersedianya anggaran untuk penyusunan data di daerah. 8) Koordinasi yang masih sangat lemah antar SKPD. Untuk mengatasi hambatan tersebut, ada beberapa solusi yang harus dilakukan untuk memperkecil hambatan yang ada, yaitu: 1) Perlu dilakukan advokasi dan sosialisasi kepada kementerian/lembaga dan Pemda tentang pentingnya data TKA untuk mengembangkan kebijakan, program dan kegiatan di kementerian/lembaga dan Pemda. 2) Perlu dilakukan pelatihan bagi petugas di bidang data di Kementerian PP dan PA. 3) Memanfaatkan secara maksimal hasil monitoring dan evaluasi. 4) Adanya anggaran khusus untuk penyusunan data TKA. d.
Indikator Keempat: Jumlah Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA). Dari target 25 Kabupaten/Kota Layak Anak yang telah ditetapkan,
seluruhnya dapat berhasil dicapai dengan baik pada akhir tahun 2012. Dengan keberhasilan tersebut, sejak tahun 2010 hingga tahun 2012, telah terdapat 60 Kabupaten/Kota Layak Anak, sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini: KLA Perkembangan KLA
2010
CAPAIAN TARGET 2011
2012
20
15
25
Predikat KLA yang disematkan kepada kabupaten/kota, dikarenakan mereka telah menerapkan sebagian besar dari 31 indikator KLA, yaitu: 82
1) Menyusun berbagai kebijakan yang peduli anak dalam bentuk peraturan daerah, surat keputusan, surat edaran, pedoman, dan petunjuk teknis. 2) Mengembangkan media KIE melalui pengadaan media luar ruang dan media cetak dan media elektronik. 3) Meningkatkan kapasitas kelembagaan melalui pelatihan dan sosialisasi. 4) Melalukan upaya terobosan-terobosan percepatan capaian indikator KLA melalui inovasi-inovasi program/kegiatan. 5) Melakukan
percontohan
pengembangan
KLA
ke
tingkat
kecamatan/desa/kelurahan agar lebih implementatif. 6) Membuat visualisasi KLA agar masyarakat dapat melihat dan merasakan langsung perubahan dari kabupaten/kota yang belum KLA menjadi kab/kota yang menuju KLA. Keberhasilan pencapaian target tersebut tidak dapat dilepaskan dari upaya keras Kementerian PP dan PA dalam melakukan advokasi kepada pimpinan instansi, terutama pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, di mana KLA tersebut berbasis. Selain itu, fasilitasi dalam bentuk sosialisasi, pelatihan, pendampingan teknis juga terus dilakukan. Di samping itu, komitmen yang cukup tinggi dari pimpinan instansi di daerah dalam mendukung pengembangan KLA juga turut berkontribusi dalam pencapaian sasaran tersebut. Dukungan dalam pengembangan KLA dilakukan, karena kebutuhan akan hadirnya lingkungan yang dapat memenuhi hak-hak anak sudah sangat mendesak.
83
Lebih lanjut, keberhasilan tersebut juga didukung oleh beberapa faktor, antara lain: 1) Adanya kebutuhan akan sebuah kebijakan yang integratif dan holistik dalam memenuhi hak dan melindungi anak semakin dirasakan, khususnya oleh pemerintah kabupaten/kota. Kebijakan KLA yang mensyaratkan berjalannya mekanisme koordinasi melalui Gugus Tugas KLA dirasa menjadi alternatif solusi yang paling mungkin dilakukan oleh pemerintah daerah, dan secara efektif mampu mengatasi meningkatnya kuantitas dan kualitas permasalahan anak. 2) Adanya ukuran-ukuran yang jelas terkait KLA, yang telah ditetapkan di dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2012 tentang Indikator KLA. Hal ini mempermudah pemerintah kabupaten/kota dalam menyusun strategi langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai indikator KLA berdasarkan permasalahan dan potensi lokal. Walaupun telah mencapai target, dalam proses pencapaian target tersebut masih ditemui beberapa kendala dan hambatan yang pada umumnya serupa dengan kendala dan hambatan pencapaitan target pada kebijakan tumbuh kembang anak secara umum yang juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu: 1) Komitmen tentang pemenuhan hak dan perlindungan anak di beberapa daerah masih terbatas pada komitmen individual, belum merupakan komitmen bersama/lembaga. Hal ini terlihat pada saat terjadi mutasi dan pergantian pimpinan daerah, termasuk pimpinan dan pejabat di SKPD kunci, dapat pula menyebabkan berubahnya kebijakan dan menurunnya kinerja pemerintah daerah dalam menindaklanjuti langkah-langkah pengembangan KLA selanjutnya. 84
2) Masih minimnya SDM yang terlatih KHA terutama di daerah, sangat mempengaruhi pemahaman tentang hak anak dan isu anak sehingga terdapat
hambatan
dalam
mengembangkan
dan
menerapkan
kebijakan/program/kegiatan dalam rangka pengembangan KLA. Padahal SDM yang terlatih KHA merupakan salah satu indikator dalam pengembangan KLA. 3) Belum banyak daerah yang mempunyai Peraturan Daerah (Perda) terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak sebagai landasan hukum pengembangan KLA di daerah. 4) Masih belum optimalnya peran pemerintah provinsi dalam mempercepat terwujudnya KLA di kabupaten/kota. 5) Ego sektoral yang masih tinggi, sehingga pembangunan anak masih cukup sulit untuk dilakukan secara holistik, terintegrasi dan berkelanjutan. Untuk mengatasi berbagai permasalahan dan kendala tersebut di atas, diusulkan solusi/rekomendasi/rencana tindak lanjut yaitu sebagai berikut: 1) Perlu dilakukan pemetaan terkait pengembangan KLA, khususnya tentang potensi dan kebijakan terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak yang
sudah
dimiliki
kementerian/lembaga
dan
pemerintha
provinsi/kabupaten/kota. 2) Kegiatan advokasi dan sosialisasi harus lebih diefektifkan dengan lebih memfokuskan pada sasaran potensial. 3) Setelah suatu kementerian/lembaga dan pemda memperoleh advokasi, harus diikuti dengan kegiatan fasilitasi dan pendampingan teknis serta monitoring dan evaluasi secara terus menerus untuk mengetahui kemajuan yang telah dicapai.
85
4) KIE tentang KLA melalui media elektronik harus semakin ditingkatkan, karena melalui media elektronik jangkauan pesan akan lebih banyak tersebar luas. 5) Mendorong daerah memiliki perda terkait pemernuhan hak dan perlindungan anak sebagai landasan hukum pengembangan KLA. 6) Diperlukan dukungan dunia usaha dalam mengoptimalkan pengembangan KLA, dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. 7) Perlu dilakukan fasilitasi penyusunan data anak di kementerian/lembaga dan Pemda agar memiliki data sesuai dengan Konvensi Hak Anak. 8) Perlu dilakukan pelatihan tentang Konvensi Hak Anak bagi pemangku kepentingan, termasuk pengambil keputusan, baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
86
BAB IV PENUTUP
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai “national machinery” dalam mendorong terwujudnya kesetaraan gender dan terlindunginya anak memiliki fungsi bukan sebagai pelaksana, melainkan sebagai perumus kebijakan, koordinator pelaksanaan kebijakan, advokator, fasilitator,
mediator,
pengarusutamaan
dan
gender
kementerian/lembaga
dan
kementerian/lembaga
dan
inisiator (PUG)
dalam
dan
anak
lembaga lembaga
mengimplementasikan (PUHA)
masyarakat. masyarakat
di
semua
Agar
setiap
tersebut
dapat
mengimplementasikan strategi PUG dan PUHA ke dalam setiap kebijakan, program dan kegiatannya yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pemantauan dan evaluasinya, maka tugas awal yang paling mendasar dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak adalah mengubah mindset individu dan budaya lembaga dari buta dan bias gender menjadi sadar, sensitif, peduli, dan tanggap (rensponsif) gender, dan dari tidak peduli terhadap hak anak menjadi peduli anak. Oleh karena itu, indikator outcome, terlebih
lagi indikator
dampak
(impact) dari
keberhasilan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak lebih banyak bersifat kualitatif dan tidak mudah diukur terutama dalam jangka waktu yang relatif pendek (satu tahun). Selain itu, melihat visi dan misinya, maka keberhasilan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada
hakekatnya
tersebar
sebagai
bagian
dari
keberhasilan
semua
kementerian/lembaga dan lembaga masyarakat dalam mengintegrasikan 87
ataupun mempertimbangkan isu gender, perempuan dan anak ke dalam kebijakan, program, dan kegiatannya. Kendati proses pencapaian tujuan dan penetapan ukuran keberhasilan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersifat
kompleks, cenderung bernuansa kualitatif, dan acapkali merupakan outputs dari para pemangku kepentingan (stakeholders), bukan berarti kinerja lembaga ini tidak dapat diukur. Hal ini dapat didekati dari rencana program dan kegiatan beserta sasaran-sasaran yang hendak dicapai setiap tahunnya sesuai dengan yang tertuang dalam RPJMN Tahun 2010-2014 dan Renstra 2010-2014 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Disadari bahwa hasil pelaksanaan program, kegiatan dan pencapaian sasaran tahun 2012 tidak secara keseluruhan mutlak dapat tercapai seratus persen. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih terdapat kantongkantong wilayah untuk kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang sulit digarap (hard area/hard people). Namun berbagai upaya yang dilakukan secara umum telah mengarah pada pencapaian hasil yang baik. Hal ini antara lain dapat diamati dari semakin meluasnya ”critical mass” individu di lembaga pemerintah dan masyarakat yang memiliki kesadaran dan sensitivitas gender; meningkatnya inisiatif yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, unit Pemberdayaan Perempuan di provinsi/kabupaten/kota
dan
instansi
pemerintah
lainnya;
semakin
proaktifnya lembaga mitra dan institusi masyarakat; meningkatnya alokasi dana untuk pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak; meningkatnya focal point dan kelompok kerja PUG di kementerian/lembaga, provinsi, dan kabupaten/kota; serta meluasnya penyusunan profil statistik gender (data terpilah menurut jenis kelamin) dan analisisnya di sektor pusat dan daerah. Semua ini akibat dari semakin intensif dan ekstensifnya berbagai pelaksanaan 88
kegiatan advokasi, sosialisasi, fasilitasi, dan pelatihan tentang gender, PUG, serta pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
89