IV. KORELASI POLA IKATAN PEMBULUH PADA KANDUNGAN KIMIA 4 JENIS BAMBU Abstrak Informasi tentang sifat kimia bambu selama ini terbatas baik dari jenis bambu maupun posisi pengambilan sampelnya, pengamatan variabel, dan hubungan di antara variabel respons. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi lengkap dengan mempertimbangkan pola ikatan pembuluh dan melihat pengaruhnya pada sifat kimia bambu. Selain itu, diharapkan juga dapat mengeksplorasi keberadaan pola ikatan pembuluh serta kontribusinya pada sifat kimia bambu. Bahan penelitian adalah 4 jenis bambu yaitu, Arundinaria hundsii, Cephalostachyum pergracile, Dendrocalamus giganteus, dan Dendrocalamus asper yang diambil dari Kebun Raya Bogor dan di sekitar Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor. Variabel yang diamati adalah kandungan ekstraktif, abu, lignin, alfa selulosa, dan pati yang dianalisis dengan berbagai pengujian standar. Data diolah dengan analisi deskripsi dan analisis keragaman. Kandungan ekstraktif pada berbagai jenis dan pola ikatan pembuluh bambu berkisar dari 4% hingga 9.9%. Berdasarkan pengujian, interaksi antara jenis bambu dan pola ikatan pembuluh berpengaruh pada kadar ekstraktif. Interaksi antara jenis dan pola ikatan pembuluh bambu juga berpengaruh pada nilai kadar abu. Kandungan abu bambu berkisar dari 1.6% hingga 4.3%. Adanya interaksi
antara jenis dan pola bambu berpengaruh pada nilai kadar lignin. Nilai kadar lignin pada bambu yang diteliti berkisar dari 28.9% sampai 32%. Pengaruh interaksi juga muncul dalam penentuan analisis kadar pati yang nilainya berkisar dari 0.1% sampai 1.4%. Tidak ada interaksi antara jenis dan pola ikatan pembuluh bambu yang mempengaruhi nilai kadar alfa selulosa, demikian pula setiap jenis dan pola ikatan pembuluh bambu tidak berpengaruh pada nilai respons. Kesimpulannya ialah interaksi antara jenis dan pola ikatan pembuluh bambu berpengaruh pada beberapa sifat kimia kayu. Kata kunci: sifat kimia bambu, pola ikatan pembuluh bambu, jenis bambu Abstract Information about chemical properties of bamboo is limited both in species of the bamboo, position of sampling, observation variables, and relationship among variables with response. This study was done to obtain complete information, by considering vessel bundle pattern of bamboo and evaluate its effect on the chemical properties of bamboo. In addition, it is expected to explore the existence of the vessel bundle pattern of bamboo as well as its contribution to the chemical properties of the bamboo. The material research is 4 species of bamboo which are Arundinaria hundsiii, Cephalostachyum pergracile, Dendrocalamus giganteus and D. asper taken from the Bogor Botanical Garden and the area of Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University. The observed variables were content of extractives, ash, lignin, alpha cellulose, and starch using various testing standards. The data was processed by description analysis and varian analysis. The extractive content of the species various and the vessel bundle patterns of bamboo range from 4% to 9.9%. The results showed that interaction between the species and the vessel bundle patterns of bamboo influences the extractive content. Ash content of the bamboo range from 1.6% to 4.3%. The interaction between the species and vessel bundle pattern of bamboo effects the lignin level. Lignin in bamboo in this study ranges from 28.9% to 31.9%. The interaction effect also appears in the starch content, which ranges from 0.1% to 1%. There was no interaction between the species and the vessel bundle pattern of bamboo that affect the alpha cellulose content. This study concludes that interaction between the species and the vessel bundle pattern of bamboo affect some chemical properties of the bamboo. Keyword: bamboo chemical properties, bamboo bonding pattern, bamboo species
Pendahuluan Sifat-sifat kimia beragam berdasar spesies, kondisi pertumbuhan, umur, bagian batang bambu dan faktor-faktor eksternal topografi dan efek musim ( Lwin et al. 2007). Bambu terdiri atas sekitar 50-70% holoselulosa, 30% pentosan, dan 20-25% lignin. Kandungan silika 0.5-5% dan mempengaruhi pemotongan bambu dan mutu pulping dan umumnya ada di daerah epidermis (Liese l992) sedangkan
menurut Qisheng et al. (2001) komponen organik bambu sama seperti kayu terutama terdiri atas selulosa (±55%), lignin (±25%) dan hemiselulosa (pentosan ±20%) (Lwin et al. 2007). Menurut Liese (2006), bambu memiliki beberapa ekstraktif yang disimpan dalam dinding sel, dalam sel lumina sebagai tambahan korteks atau dalam lakuna. Bahan organik pada bambu antara lain adalah lilin dan pati. Bahan anorganik seperti silika adalah penyusun utama epidermis dengan nilai berkisar diantara 1.5% dan 6.4%. Kebanyakan studi menyediakan informasi secara umum dari beberapa spesies bambu dan terpusat pada satu spesies atau hanya
satu asfek saja (Li 2004).
Selama ini informasi sifat kimia yang diperoleh berasal dari jenis-jenis bambu tertentu dengan perolehan beragam dari berbagai posisi vertikal dan posisi horizontal.
Sebagai upaya pemanfaatan bambu secara optimum memang
diperlukan berbagai informasi yang akurat yang sifatnya lebih mendalam. Penelitian ini bertujuan menggali sifat kimia bambu khususnya yang terkait dengan pola ikatan pembuluh karena setiap jenis bambu tampil khas dalam penampang melintang batang. Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi yang lebih lengkap termasuk mengenai posisi pola ikatan pembuluh dalam kontribusinya terhadap sifat kimia.
Bahan dan Metode Bahan Bahan penelitian adalah 4 jenis bambu yang telah berumur 3-4 tahun serta memiliki pola ikatan pembuluh 1 sampai 4 yang ditentukan berdasarkan panduan penetapan pola ikatan pembuluh bambu oleh Grosser dan Liese (1971) dengan setiap ulangan 2 kali. Spesies bambu tersebut ialah Arundinaria hundsii (Ah), Cephalostachyum pergracile (Cp) dan Dendrocalamus asper (Da), D. giganteus (Dg) yang diambil dari Kebun Raya Bogor dan dari daerah Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Penentuan Komponen Kimia Bambu
Variabel pengamatan dalam penelitian ini tercantum selengkapnya pada Tabel 5. Sampel uji diambil pada penampang lintang batang khususnya pada ruas tengah bagian pangkal, tengah dan ujung bambu.
Tabel 5. Standar pengujian untuk analisis sifat kimia bambu Variabel pengamatan
Standar pengujian T 204 cm – 97 TAPPI 1997 T 211 om-02 TAPPI 2002 T 222 om-02 TAPPI 2002 ASTM D 1103 – 60 (Reapproved 1977) Browning (1967) SNI 01-2892-1992
Kadar ekstraktif Kadar abu Kadar lignin Kadar alfa selulosa Kadar holoselulosa Kadar pati
Analisis Data Data yang diperoleh diolah dengan analisis deskripsi dan analisis keragaman.
Hasil dan Pembahasan Hasil rata-rata analisis sifat kimia bambu untuk berbagai jenis dan pola bambu dapat diamati pada Tabel 6. Secara umum yang terlihat cukup mencolok adalah nilai rata-rata kadar ekstraktif, kadar abu, kadar alfa, kadar holoselulosa, dan kadar pati untuk berbagai jenis bambu dan pola sedangkan rata-rata nilai kadar lignin relatif sama.
Tabel 6. Rata-rata nilai kandungan kimia pada berbagai jenis dan pola bambu Rata-rata (%) Jenis
Pola
Ah
1
9.0
Dg
3
Cp
2
Lignin
Alfa selulosa
Pati
2.3
32.0
49.1
0.1
4.2
2.6
28.9
45.7
0.2
4.0
4.3
29.2
46.7
0.1
Ekstraktif Abu
Da
4
7.0
1.6
29.2
44.4
1.0
Da
3
9.9
3.0
30.7
40.2
1.4
Kadar ekstraktif hasil penelitian pada berbagai jenis bambu dan pola berkisar dari 4.o% (Cephalostachyum pergracile) hingga 9.9% (Dendrocalamus asper). Hasil penelitian Li (1983) pada bambu Phyllostachys pubescens ternyata nilai kandungan ekstraktifnya adalah sekitar 7%.
Demikian pula dengan
kandungan abu hasil penelitian untuk berbagai jenis bambu berkisar dari 1.6% hingga 4.3% sedangkan kandungan abu untuk bambu Phyllostachys pubescens rata-rata 1.3% (Li 2007). Kandungan lignin hasil penelitian berkisar dari 28.9% hingga 32.0%.
Hasil penelitian memberikan hasil yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan lignin rata-rata bambu yaitu 20-25% (Liese 1992). Kisaran kandungan alfa selulosa hasil penelitian ini adalah 40.2% hingga 49.1% sedangkan kandungan alfa selulosa
hasil penelitian Li et al (2007) adalah 47%.
Kadar pati yang diperoleh melalui hasil penelitian adalah berkisar dari 0.1%-0.4% sedangkan kadar pati pada bambu D. asper berkisar dari 0.27%-2.8% (Sulthoni 1985). Secara umum hasil penelitian tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian lain.
Perbedaan diduga disebabkan karena perbedaan lokasi/tempat tumbuh,
spesies dan musim (Lwin et al. 2007). Untuk mengetahui interaksi antara jenis dan pola yang berpengaruh pada nilai kandungan kimia maka semua variabel pengamatan sifat kimia bambu harus diamati khususnya dengan membandingkan jenis bambu yang berbeda tetapi memiliki pola yang sama (D. giganteus) serta jenis bambu yang sama dengan pola yang berbeda (D. asper) untuk melihat interaksi jenis dan pola yang mempengaruhi kandungan kimia bambu. Tahap selanjutnya untuk memudahkan dalam pemahaman olahan data maka penulisan jenis bambu dan pola dapat digantikan oleh notasi Ah/1, Dg/3, dan seterusnya.
Kadar ekstraktif Nilai rata-rata kandungan ekstraktif pada berbagai jenis dan pola bambu nilainya berkisar dari 4.0% (C.pergracile) sampai 9.9% (D. asper) (Gambar 58). Pengolahan lebih lanjut terhadap data diawali dengan memeriksa kemungkinan
adanya interaksi antara jenis dan pola dengan melihat nilai kandungan ekstraktif antara Dg/3 dibandingkan dengan Da/3 dan antara kandungan ekstraktif pada bambu Da/4 dan Da/3.
Terlihat perbedaan yang mencolok sehingga diduga
terdapat interaksi antara variabel jenis dan pola yang untuk selanjutnya dianalisis keragamannya guna menguji pengaruh interaksi
terhadap kandungan ekstraktif
dan berdasarkan hasil uji ternyata interaksi berpengaruh sangat nyata sehingga dilanjutkan dengan uji Duncan pada Tabel 7.
Ekstraktif (%)
12
9.9
9 7.
6
4.2
4
Dg/3
Cp/2
0 Ah/1
Da/4
Da/3
Jenis /pola bambu
Gambar 58. Kadar ekstraktif (%) pada 4 jenis/pola bambu
Pengolahan lebih lanjut terhadap data diawali dengan memeriksa kemungkinan adanya interaksi antara jenis dan pola dengan melihat nilai kandungan ekstraktif antara Dg/3 dibandingkan dengan Da/3 dan antara kandungan ekstraktif pada bambu Da/4 dan Da/3.
Terlihat perbedaan yang
mencolok sehingga diduga terdapat interaksi antara variabel jenis dan pola. Hasil uji menyatakan interaksi berpengaruh sangat nyata sehingga dilanjutkan dengan uji Duncan pada Tabel 7. Berdasarkan uji Duncan terlihat bahwa interaksi ini mengelompokkan jenis/pola bambu ke dalam 2 kelompok yaitu kelompok 1 dan kelompok 2. Kelompok 1 terdiri atas Cp/2, Dg/3, dan Da/4 yang memberikan pengaruh yang sama terhadap kadar ekstraktif. Kelompok 2 terdiri atas Da/4, Ah/1 dan Da/3 juga memberikan pengaruh yang sama pada kadar ekstraktif.
Tabel 7. Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar ekstraktif pada jenis/pola bambu α = 0.05 Jenis/pola
1
2
Cp/2
4.0
Dg/3
4.2
Da/4
7.0
7.0
Ah/1
9.0
Da/3
9.9
Apabila ditelusuri lebih lanjut dari pengelompokan interaksi itu sendiri terlihat bahwa pengaruh interaksi pada kelompok 2 (kecuali pada Da/4) memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap nilai kadar ekstraktif dibandingkan dengan kelompok 1. Kelompok 1 terdiri atas bambu-bambu dengan pola 2 dan 3 sedangkan kelompok 2 terdiri atas bambu-bambu yang memiliki pola 1 dan 3. Analisa lebih lanjut terhadap nilai kadar ekstraktif tidak akan terlepas dari letak ekstraktif itu sendiri dalam batang bambu yang menurut Liese (2006) bambu memiliki ekstraktif yang disimpan dalam dinding sel, dalam rongga sel atau dalam lakuna (rongga batang bambu). Dengan demikian kandungan ekstraktif suatu bambu tidak akan terlepas dari struktur selnya. Selanjutnya analis akan diutamakan pada pola 3 yang terpisah pengelompokannnya. Kadar ekstraktif yang berasal dari D. asper
mempunyai nilai yang lebih besar dibandingkan
ekstraktif dari bambu D. giganteus. Pengamatan terhadap struktur sel khususnya ketebalan dinding sel dikombinasikan dengan persen serabut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8. Tebal dinding sel serabut D. asper bagian tengah dan ujung (6.3 µm) lebih kecil daripada tebal dinding sel serabut D. giganteus (7.2 µm), namun persentase serabut yang lebih tinggi (34.4%) dimiliki oleh bambu D. asper sementara D. giganteus mempunyai persentase serabut 28.8%. Dengan demikian karena jumlah sel D. asper lebih banyak dengan dinding sel yang relatif tebal maka
bambu D. asper berpeluang mendapatkan kadar ekstraktif yang lebih
tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dengan nilai kadar ekstraktif D. asper lebih besar yaitu 9.9% sedangkan kadar ekstratif D. giganteus hanya 4.2%. Bambu C. pergracile yang memiliki pola 2 ternyata mempunyai tebal dinding serabut sebesar 5.8 µm (Tabel 8) relatif lebih kecil dibandingkan ketebalan dinding serabut A. hundsii (5.9 µm) tapi C. pergracile memiliki
persentase serabut lebih tinggi (40.3% dibandingkan 38.4%). Kondisi seperti ini sulit menjelaskan adanya kontribusi yang berbeda terhadap kadar ekstraktif kedua jenis bambu tersebut. Seperti yang telah dikemukakan oleh Liese (2006) bahwa ekstraktif juga ada pada rongga sel. Pengamatan terhadap lebar rongga sel serabut A. hundsii (6.9 µm ) yang lebih lebar dibandingkan diameter rongga sel serabut pada C. pergracile (3.4 µm) maka kemungkinan akan ada perbedaan kandungan ekstraktif. Hasil analisa lebih lanjut terhadap kandungan ekstraktif (Tabel 7) memperlihatkan hasil bahwa kandungan ekstraktif pada bambu A. hundsii lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan ekstraktif C. pergracile.
Tabel 8. Ketebalan dinding sel dan persen serabut D. asper, D. giganteus, C. pergracile dan A. hundsii Jenis bambu
Bagian
Pola
Tebal dinding (mikron)
Persen serabut (%)
D.asper
Tengah Ujung
3 3
D.giganteus
Pangkal Tengah Ujung
3 3 3
C.pergracile
Pangkal Tengah Ujung
2 2 2
A.hundsii
Tengah
1
5.4 7.1 Rata2 6.3 6.3 8.4 6.8 Rata2 7.2 6.0 5.8 5.5 Rata2 5.8 5.9
33.8 35.0 Rata2 34.4 25.9 27.6 33.3 Rata2 28.8 39.5 45.3 36.1 40.3 38.4
Ekstraktif memainkan peranan penting dalam menentukan penggunaan sejumlah spesies selain itu juga dapat mengontrol keawetan, warna, bau dan rasa. Dalam beberapa spesies, ekstraktif yang bersifat fenolik menyediakan ketahanan terhadap busuk dan serangan serangga (Liese 2006).
Di antara bambu-bambu
yang diujikan terlihat bahwa bambu A. hundsii (pola 1) dan D. asper (pola 3) memiliki kandungan ekstraktif yang relatif lebih besar sehingga diduga memiliki keawetan yang lebih tinggi.
Kadar abu Nilai kandungan abu rata-rata selengkapnya ditampilkan pada Gambar 59. Perbandingan antara D/3 dengan Da/3 dan Da/4 dengan Da/3 kelihatan berbeda secara mencolok sehingga kemungkinan ada interaksi antara jenis dan pola.
Kadar abu (%)
5
4.3
2.3
2.5
3
2.6 1.6
0 Ah/1
Dg/3
Cp/2
Da/4
Da/3 Jenis/pola
bambu Gambar 59. Kadar abu (%) pada 4 jenis /pola bambu
Tahap selanjutnya dilakukan uji beda dengan variabel jenis bambu/pola. Berdasar hasil uji analisis keragaman ternyata interaksi bersifat nyata. Hasil uji beda Duncan terlihat pada Tabel 9. Pengaruh interaksi dikelompokkan ke dalam 2 kelompok. Kelompok 1 adalah kelompok yang terdiri atas Da/4, Ah/1, Dg/3, dan Da/3 yang interaksinya memberikan pengaruh yang sama pada nilai rata-rata kadar abu sedangkan kelompok 2 terdiri atas Dg/3, Da/3, dan Cp/2 yang juga interaksinya memberikan pengaruh yang sama pada nilai rata-rata kadar abu. Interaksi yang diberikan oleh Da/4 dan Ah/1 berbeda pengaruhnya dibandingkan dengan interaksi yang diberikan oleh Cp/2. Tabel 9. Hasil uji beda Duncan terhadap kandungan abu α=5%
Jenis bambu/pola 1
2
Da/4
1.6
Ah/1
2.3
Dg/3
2.6
2.6
Da/3
3.0
3.0
Cp/2
4.3
Kandungan abu merupakan indikator kandungan mineral yang terutama terdiri atas kalsium dan magnesium, karbonat, oksalat dan kadang-kadang kristal silika (Bodig dan Jayne 1993). Tanaman memperoleh nutrisi anorganik dari
dalam tanah atau dari air hujan (Austin et al. 1974) sehingga nutrisi yang diambil tergantung dari spesies, tanah, iklim dan faktor eksternal lain (Chen et al. 1987, Kozlowskin & Pallardy 1997). Pada tanaman bambu Phylostahys pubescens, akumulasi nutrisi mineral bervariasi dari satu bagian ke bagian yang lain. Sebagai contoh nutrisi mineral pada rizoma lebih tinggi dibandingkan di bagian batang namun lebih rendah dibanding daun. Tapi untuk akumulasi K, Ca dan Mn lebih besar di bagian batang dibandingkan rizoma (Pai-hui 1985). Sebagai pendukung transport air dan nutrisi adalah ikatan pembuluh (Wang et al. 2011) khususnya metaxilem yang terdiri atas 2 pembuluh besar (Liese dan Kumar 2003). Unsur hara diserap oleh akar dalam bentuk cairan bersama-sama dengan air dan aliran ini mengalir melalui unsur metaxilem (Salisbury dan Ross 1992).
Dengan demikian metaxilem adalah
bagian yang sangat penting dalam transportasi hara sehingga keberadaannya termasuk ukuran diameter metaxilem akan mempengaruhi proses penyaluran unsur hara.
Metaxilem pada penampang lintang bambu terlihat secara jelas
berada dalam setiap pola ikatan pembuluh sehingga untuk mengetahui jumlah metaxilem harus diketahui pula jumlah pola ikatan dalam luasan tertentu (kerapatan ikatan pembuluh). Tabel 10 menjelaskan tentang kerapatan ikatan pembuluh dan ukuran metaxilem. Arundinaria hundsii dengan pola 1 memiliki kerapatan ikatan pembuluh tertinggi namun dengan diameter metaxilem yang terkecil, bambu D. asper dengan kerapatan ikatan pembuluh terkecil mempunyai diameter metaxilem terbesar sedangkan C. pergracil dengan pola 2 memiliki kerapatan dan diameter metaxilem yang berada diantara kedua bambu D. asper dan A. hundsii. Hasil uji lanjut Duncan menyatakan bahwa yang berpengaruh pada kontribusi kadar abu yang lebih tinggi adalah hasil dari interaksi antara jenis bambu C. pergracil dengan pola 2. Berpengaruhnya perbedaan ukuran metaxilem ini terkait dengan akumulasi nutrisi yang berbeda terkait dengan laju siklus nutrisi yang berbeda pula (Kozlowskin & Pallardy 1997). Bambu A.hundsii dengan pola 1 memiliki kerapatan ikatan pembuluh yang tertinggi dengan diameter metaxilem yang paling kecil akan mengalami hambatan yang paling besar karena adanya gaya tarik antarlarutan dengan dinding sel metaxilem/adhesi akan lebih besar dibanding kohesinya juga ditambah oleh gaya tahanan dari gravitasi. Bambu
D.asper/4 memiliki kerapatan ikatan pembuluh yang rendah dengan diameter yang besar juga akan mengalami hambatan dalam mengalirkan nutrisinya karena selain oleh gaya adhesi dan kohesi yang besar juga tertahan oleh gaya gravitasi. Dengan demikian kondisi optimum dalam proses penyerapan akan dimiliki oleh bambu C.pergracil/2 dengan kerapatan dan diameter metaxilem berada di antara bambu D.asper/4 dan A.hundsii/1 sehingga siklus nutrisi berjalan dengan lancar dan otomatis akan memberikan kontribusi terhadap kandungan abu yang tinggi pula.
Tabel 10. Kerapatan ikatan pembuluh dan diameter metaxilem bambu Jenis bambu/pola
Kerapatan ikatan pembuluh (/mm2)
Diameter metaxilem(µm)
A. hundsii/1
3.2
80.2
D. asper/4
0.6
203.6
C. pergracil/2
2.8
118.4
Lignin Nilai rata-rata kandungan lignin pada beberapa jenis bambu/pola tercantum selengkapnya pada Gambar 60. Untuk melihat interaksi antara jenis dan pola maka dibandingkan antara Dg/3 dengan Da/3 dan Da/4 dengan Da/3, terlihat terdapat perbedaan yang mencolok sehingga ada dugaan terdapat interaksi. Berdasar perbedaan tersebut maka dilakukan uji beda dengan variabel jenis bambu/pola dan teruji bahwa interaksi antar jenis dan pola memberikan pengaruh yang sama terhadap kadar lignin. Hal ini terjadi karena perbedaan kandungan lignin antar jenis bambu/pola relatif kecil.
Kadar lignin (%)
35 32 30.7 30
28.9
29.2
29.2
Dg/3
Cp/2
Da/4
25 Ah/1
Da/3
Jenis/pola bambu
Gambar 60. Kadar lignin (%) pada 4 jenis/pola bambu Lignin adalah komponen utama dinding sel serabut, parenkim dan pembuluh dan bertanggung jawab pada berbagai sifat mekanis (Lybeer dan Koch 2005). Menurut Wang et al. (2011), dinding sekunder (S) serabut sklerenkim mempunyai kandungan lignin tertinggi dibandingkan dengan sel parenkim dan serabut yang berada pada rantai serabut. Hal ini lebih diperjelas lagi oleh Lybeeer dan Koch (2005) terutama pada bagian S2 lapisan sekunder sel sklerenkim. Sklerenkim mempunyai lapisan S2 yang terdiri atas lapisan berselingan antara lapisan lebar dan sempit.
Lapisan-lapisan yang sempit berwarna lebih gelap
dibandingkan dengan lapisan yang lebar, menandakan kandungan lignin yang tinggi. Serabut-serabut yang berada pada rantai serabut mempunyai dinding sel yang lebih tipis dan lumen yang besar. Lapisan-lapisan penyusun dindingnya memiliki lapisan lebar yang lebih sedikit dengan jumlah lapisan sangat beragam. Sementara sel parenkim memiliki dinding yang tipis yang disusun oleh beberapa lapisan sempit. Serabut bambu mengandung lignin guaiacyl and syringyl (Lin et al. 2002). Terkait dengan hasil penelitian lignin pada beberapa jenis bambu dan pola walaupun interaksinya memberikan pengaruh yang sama pada kandungan lignin, tapi terlihat bahwa ada kecenderungan pada bambu Arundinaria hundsii dengan pola 1 memiliki kandungan lignin yang relatif lebih tinggi dibandingkan bambu dengan pola-pola lain. Penelitian anatomi mengenai kerapatan ikatan pembuluh
pada pola 1 memperlihatkan nilai yang paling tinggi dibandingkan pola-pola lain. Serabut pada pola 1 ada sebagai sklerenkim (tidak ada serabut yang berposisi dalam rantai serabut) sehingga dapat dipastikan semua serabut berdinding tebal dengan kandungan lignin yang tinggi. Dalam pengamatan di lapangan diduga kontribusi lignin dan kerapatan memberikan pengaruh pada kondisi pertumbuhan batang yang berdiri tegak. Sama halnya dengan kandungan serabut pada bambu Cephalostachym pergracile (Cp) dengan pola 2 terdiri atas serabut sklerenkim sehingga memiliki kandungan lignin yang relatif tinggi pula. Kandungan lignin pada bambu Dendrocalamus asper (Da) memiliki nilai yang berbeda antara pola 3 dengan pola 4. Kedua pola mempunyai serabut dalam posisi sebagai rantai serabut, tapi kandungan serabut pada posisi sebagai rantai serabut dalam pola 3 lebih sedikit dibandingkan dengan pola 4.
Hasil
perhitungan nilai rata-rata kandungan serabut pada pola 3 adalah 34% sedangkan pada pola 4 adalah 23%, hal ini berarti bahwa porsi sklerenkim lebih tinggi pada bambu dengan pola 3 sehingga kandungan ligninnya pun relatif lebih tinggi. Kandungan lignin pada bambu Dendrocalamus giganteus (Dg/3) lebih rendah dibandingkan dengan kandungan lignin pada Dendrocalamus asper (Da/3). Hasil perhitungan persentase serabut pada kedua bambu pun mendukung kondisi tersebut. Bambu D. giganteus mempunyai nilai rata-rata 29% serabut, sementara D. asper memiliki 34% serabut. Perbedaan kandungan serabut akan berkontribusi pada kandungan lignin.
Kandungan pati Hasil penelitian nilai rata-rata kandungan kadar pati dapat dilihat pada Gambar 61. Terdapat interaksi antara pola dan jenis dengan perbandingan kadar pati antara Dg/3 dengan Da/3
dan antara Da/4 dengan Da/3
yang cukup
mencolok. Di antara berbagai jenis/pola yang diujikan terlihat bahwa bambu D. asper memiliki kandungan pati yang tertinggi sedangkan bambu A. hundsii/pola 1 dan C. pergracile/pola 2 memiliki kandungan pati yang terendah.
1.4
Kadar pati (%)
1.6 1 0.8 0.1
0.2
0.1
Ah/1
Dg/3
Cp/2
0 Da/4
Gambar 61. Kadar pati (%) 4 jenis /pola bambu
Da/3
Jenis/pola bambu
Hasil analisis keragaman terlihat bahwa variabel jenis bambu/pola berpengaruh nyata dalam penentuan kadar pati. Hasil uji lanjut Duncan tercantum selengkapnya pada Tabel 11.
Jenis/pola bambu AH/1, Cp/2 dan Dg/3
memberikan pengaruh yang sama terhadap nilai kadar pati dan pengaruhnya berbeda dibandingkan dengan jenis/pola bambu Da/4 dan Da/3 sedangkan jenis/pola bambu Da/4 dan Da/3 memberikan pengaruh yang sama terhadap kadar pati.
Tabel 11. Hasil uji Duncan terhadap kadar pati bambu α = 0.05 Jenis/pola bambu
1
AH/1
0.1
Cp/2
0.1
Dg/3
0.2
2
Da/4
1.0
Da/3
1.4
Liese (2006) mengemukakan bahwa butiran pati terdapat melimpah dalam jaringan parenkim.
Sel-sel parenkim adalah tempat penyimpanan utama dan
mobilisasi energi batang (Liese 2003). Dalam penelitian Bhat et al. (2005) lebih diperjelas lagi bahwa jaringan parenkim yang kaya dengan kandungan pati ada di bagian dalam batang bambu.
Sel-sel parenkim sekitar buku dan diafragma
memperlihatkan kandungan pati yang melimpah. Hal ini juga telah dibuktikan dalam bentuk pola kerusakan serangan serangga penggerek yang lebih intensif ke
bagian dalam dinding batang yang menandakan adanya kandungan pati yang lebih banyak (Bhat et al. 2005, Liese 2006). Analisis hasil penelitian ini terkait penelitian Liese (2006) dan Bhat et al. (2005) memerlukan informasi tentang kondisi bagian dalam batang yang dicerminkan dalam bentuk kerapatan ikatan pembuluh jenis-jenis bambu yang diteliti (Tabel 12).
Pola penyebaran kerapatan ikatan pembuluh penampang
lintang batang bambu secara umum adalah kerapatan pada bagian dalam paling rendah dibandingkan bagian lainnya. Kerapatan ikatan pembuluh yang rendah berarti mengandung parenkim/jaringan dasar yang tinggi sehingga memungkinkan mengandung pati yang paling banyak. Hasil pengujian (Tabel 11) menyatakan bahwa baik AH/1, Dg/3, maupun Cp/2 memberikan pengaruh yang sama pada kadar pati . Demikian pula Da/4 dan Da/3 memberikan kontribusi sama pada kadar pati. Bambu AH/1, Dg/3, maupun Cp/2 memberikan pengaruh pada kandungan pati yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan jenis/pola bambu Da/4 dan Da/3. Apabila hal ini dikaitkan dengan kondisi kerapatan ikatan pembuluh terutama pada bagian dalam terlihat bahwa bambu AH/1, Dg/3, maupun Cp/2 memiliki persentase parenkim yang lebih kecil (kerapatan ikatan pembuluh tinggi) dibandingkan dengan bambu Da/4 dan Da/3 yang berarti bambu AH/1, Dg/3, maupun Cp/2 memiliki kandungan pati yang lebih sedikit dibandingkan dengan jenis/pola bambu Da/4 dan Da/3. Pati yang terkandung dalam bambu memainkan peranan penting dalam keawetan dan masa pakai bambu. Ketahanan bambu terhadap jamur dan serangga penggerek terkait erat dengan komposisi kimia (Li 2004). Pati yang terdapat pada bambu merupakan nutrisi untuk jamur dan serangga penggerek. Bambu dengan nilai kadar pati yang tinggi memiliki peluang kurang resisten terhadap serangan organisme (Hidalgo 2011, Liese 2003, Sulistyowati 1997). Dalam penelitian ternyata bambu dengan kadar pati yang tinggi dimiliki oleh bambu D.asper. Hasil penelitian Sulthoni (1985) memperlihatkan hasill diantaranya bahwa kandungan pati pada bambu D. asper berfluktuasi diantara 0.3%-3.0%. Dengan demikian bambu D. asper rentan terhadap serangan organisma penggerek dan posisi ketahanan terhadap serangan serangga lebih tinggi dibandingkan Bambusa vulgaris namun lebih rendah dibandingkan Gigantochloa apus dan G. atter.
sehingga perlu mempertimbangkan proses pengawetan apabila akan dipergunakan di luar ruangan.
Tabel 12. Kerapatan ikatan pembuluh pada berbagai jenis/pola bambu Pola
Jenis bambu
Bagian
1
A. hundsii
2
C. pergracil pangkal
2
C. pergracil tengah
2
C. pergracil ujung
3
D. gigantus pangkal
3
D. giganteus tengah
3
D. giganteus ujung
4
D. asper pangkal
3
D. asper tengah
3
D. asper ujung
Tepi Tengah/pusat Dalam Tepi Tengah Pusat Tepi Tengah/pusat Dalam Tepi Tengah/pusat Dalam Tepi Tengah/pusat Dalam Tepi Tengah/pusat Dalam Tepi Tengah/pusat Dalam Tepi Tengah Pusat Dalam Tepi Tengah Pusat Dalam Tepi Tengah Pusat
Kerapatan ikatan pembuluh (/mm2) 3.7 3.1 2.7 2.8 1.4 1.2 2.6 2.3 2.6 5.3 2.1 4.9 …… 1 1.1 1.6 1 1 3.7 1.3 1.8 …… 0.6 0.6 0.8 2.1 1 0.5 1 …… 0.9 1.1
Kandungan alfa selulosa Hasil perhitungan terhadap nilai rata-rata kandungan alfa selulosa sejelasnya seperti yang ditampilkan pada Gambar 62. Interaksi antara pola dan jenis dengan membandingkan kandungan alfa selulosa pada bambu Dg/3 dengan bambu Da/3 dan antara bambu Da/4 dengan bambu Da/3 dan nampak tidak
terlihat adanya perbedaan mencolok pada respons sehingga dilanjutkan dengan uji analisa keragaman untuk masing-masing variabel pola dan jenis. Hasil uji yang dilakukan terhadap variabel jenis bambu menyatakan bahwa jenis bambu tidak berpengaruh terhadap nilai alfa selulosa sedangkan hasil analisa keragaman terhadap variabel pola ikatan pembuluh
juga menyatakan bahwa pola tidak
berpengaruh terhadap nilai alfa selulosa. Sebagai struktur dasar sel tanaman, selulosa merupakan bahan alam paling penting yang dibuat oleh organisma hidup (Fengel dan Wegener l995) termasuk juga untuk tanaman
bambu.
Dengan
demikian baik jenis bambu maupun pola tidak berpengaruh terhadap nilai alfa selulosa. Jika dilihat dari nilai alfa selulosa yang cukup bervariasi mulai dari
60
Kadar alfa selulosa (%)
49.1
45.7
46.7
44.4
40.2
30
0 Ah/1
Dg/3
Cp/2
Da/4
Da/3
Jenis/pola bambu
Gambar 62 Kadar alfa selulosa pada 4 jenis/pola bambu
40.2% sampai 49.1%
maka dipastikan bahwa ada variabel lain yang
mempengaruhi nilai respon selain pola dan jenis bambu.
Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian sifat kimia pada 4 jenis/pola bambu diperoleh kesimpulan bahwa terdapat interaksi antara jenis bambu dan pola ikatan pembuluh dalam hal kandungan ekstraktif, kadar abu, kadar lignin, dan kadar pati pada bambu.
Tetapi tidak ada interaksi antara jenis dan pola ikatan pembuluh
terhadap kadar alfa. Kadar ekstraktif yang paling tinggi dimiliki oleh bambu Dendrocalamus asper dengan pola 3 (9.9%) dan diikuti oleh Arundinaria hundsii dengan pola 1
(9%). Bambu Cephalostachyum pergracile dengan pola 2 memiliki kadar abu tertinggi (4.3%), sementara bambu Arundinaria hundsii dengan pola 1 memiliki kandungan lignin dan alfa selulosa tertinggi
berturut-turut 32% dan 49.1%.
Bambu Dendrocalamus asper mempunyai kandungan pati tertinggi yang berkisar dari 1%-1.4%. Adanya peranan interaksi antara jenis dan pola bambu yang memberikan kontribusi terhadap beberapa sifat kimia menandakan bahwa jenis dan pola bambu penting untuk diperhatikan karena terkait dengan beberapa sifat kimia. Pola ikatan pembuluh memiliki hubungan erat dengan sifat kimia bambu dan akan berpengaruh terhadap pemanfaatan bambu. Dengan demikian hubungan sifat kimia dengan pola ikatan pembuluh bambu perlu dikembangkan lebih mendalam agar bermanfaat dalam membantu menentukan arah penggunaan bambu.
DAFTAR PUSTAKA
Austin R, Euda K, Levy D. 1974. Bamboo: its Growth and Cultivation. New York: Weatherhill. Bhat KV, Varma RV, Paduvil R, Pandalai RC. Santhoshkumar R. 2005. Distribution of starch in the culms of Bambusa bambos (L.)Voss and its influence on borer damage. J Americ Bamb Socie 19(1): 1-4 Bodig J, Jayne BA. 1993. Mechanics of Wood and Wood Composites. Florida: Krieger Publishing Company. Chen Y, Qin W, LI X, Gong J, Nimanna. 1987. The chemical composition of ten bamboo species. Di dalam: Rao AN et al, editor. Proceedings of the International Workshop; Hangzhou. 6–14 October 1985. hlm 110–113. Espiloy, Z.B. 1983. Variability of specific gravity, silica content and fiber measurements in kauayan-tinik (B. blumeana). NSTA Technology Journal 8(2): 42-74. Grosser D, Liese W. 1971. On the anatomy of Asian bamboos, with spesial reference to their vaskular bundles. Wood Sci and Tech 5: 290-312. Hidalgo H. 2011. When and how to harvest bamboo?. http://www.guaduabamboo.com/starch-bamboo.htm[23 Oktober 2011] Kozlowski TT, Pallardy SG. 1997. Physiology of Woody Plants. United States of America: Academic Pr. Li, 1983. Report. Institute of Wood Industry,Chinese Academy of Forestry, Beijing Li XB, Shupe TF, Peter GF, Hse CY, Eberhardt TL. 2007. Chemical changes with maturation of the bamboos spesies Phyllostachys pubescens. Li XB. 2004. Physical, chemical and mechanical properties of bamboo and its utilization potential for fibreboard manufacturing [Thesis]. Chinese Academy of Forestry. Li XB, Peter GF, Hse CY, Eberhardt TL. 2007. Chemical changes with maturation of the bamboo spesies Phyllostachys puberscens. J Trop Fort Sci 19(1): 612 (2007).
Lybeer B, Koch G. 2005. Lignin distribution in the tropical bamboo spesies Gigantochloa levis. J IAWA 26 (4): 443–456. Liese W. 1992. The Structure of bamboo in relation to its properties and utilization . Di dalam: Bamboo and its use. International Symposium On Industrial Use Of Bamboo. Beijing, China, 7-11 Desember 1992. hlm 1 – 6.
Liese W. 2003. Structures of bamboo culm affecting its utilization. Di dalam Xuhe C, Yiping L, Ying H, editor. Proceedings of International Workshop on Bamboo Industrial Utilization. Hubei dan Xianning, Oktober 2003. hlm 6 – 10. Liese W. 2006. The Anatomy of Bamboo Culms. Http://www.inbar.int/ /txt/tr18/default2.htm. [24 Desember 2006]. Liese W, Kumar S. 2003. Bamboo Preservation Compendium. INBAR Tech. Rep. No. 22. Lin J, He X, Hu Y, Kuang T, Ceulemans R. 2002. Lignification and lignin heterogeneity for various age classes of bamboo (Phyllostachys pubescens) stems. Physiologia plantarum 112: 296-302. Lwin KM, Han YY, Maung W, Moe AKZ, Than SBM. 2007. An investigation on morphology, anatomy and chemical properties of some Myanmar bamboos. http://www.myanmar.gov.mm/Ag/Jur/ProcFo01.10.[3 Nov. 2007] Pai-hui H. 1985. A Study on the Mineral Nutrition of Phyllostachys pubescens. Di dalam : Rao, A.N., Dhanarajan, G. dan Sastry, C.B, editor. Recent Research on Bamboo. Proceedings of the International Bamboo Workshop, Hangzholu, People's Republic of China, 6-14 Oktober, 1985. Qisheng Z, Shenxue J, Yongyu T. 2001. Physical properties of bamboo material. Industrial Utilization On Bamboo Technical Report No.26 Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Bandung: ITB Sulistyowati A. 1997. Pengawetan bambu. Wacana No 6. Sulthoni A. 1985. Traditional preservation of bamboo in Java, Indonesia. Di dalam : Rao, A.N., Dhanarajan, G. dan Sastry, C.B, editor. Recent Research on Bamboo. Proceedings of the International Bamboo Workshop, Hangzholu, People's Republic of China, 6-14 Oktober, 1985.