IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Tempat Pengambilan Sampel Pengambilan sampel Colletotrichum dilakukan di lahan cabai merah Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali dan Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. Kedua lokasi tersebut merupakan salah satu sentra produksi cabai merah. Secara astronomis, Kabupaten Boyolali terletak pada posisi geografi 110 o 22’ – 110o 50’ Bujur Timur dan 7o 7’ – 7o 36’ Lintang Selatan. Kecamatan Selo terletak di ketinggian 1300 – 1500 meter di atas permukaan laut.Tanaman hortikultura yang diusahakan diantaranya bawang merah, bawang daun, kentang, wortel, kobis, sawi, cabai, terung, buncis, mentimun, labu siam, alpukat, jeruk siam, durian, pisang, jambu biji, nangka, cengkeh, tembakau, jahe, kopi robusta, kopi arabika, khina, kayu manis, tembakau ranjangan (BPS Boyolali 2011). Kabupaten Karanganyar terletak antara 110o 40” – 110o 70” Bujur Timur dan 7o 28” – 7o 46” Lintang Selatan. Kecamatan Tawangmangu terletak pada ketinggian 800 - 2000 meter di atas permukaan laut serta beriklim tropis dengan temperatur 22o – 31o C. Tanaman hortikultura yang diusahakan meliputi bawang merah, bawang putih, kentang, kobis, sawi, cabai, tomat terong, buncis, wortel, jeruk keprok, durian, pisang, rabutan, mangga, alpukat, jambu biji, nangka, salak, sukun, sirsak, cengkeh, kelapa dalam, jahe, dan kunir (BPS Karanganyar 2013). Selama survei, banyak ditemukan lahan cabai merah di kedua daerah tersebut. Namun umur tanamnya sudah terlalu tua atau terlalu muda. Ditemukan juga beberapa cabai merah yang sudah berbuah, namun tidak menunjukkan gejala antraknosa. Hal ini karena survei penelitian dilakukan pada bulan Juni, dimana saat itu rata-rata tanaman masih berumur 1-2 bulan. Menurut petani setempat, cabai merah yang ditanaman setelah bulan Maret, kemungkinan cabai merah terinfeksi antraknosa lebih kecil. Cabai merah yang ditanam sebelum bulan Maret berpotensi terkena antraknosa karena pada bulan tersebut curah hujan masih tinggi, sehingga kemungkinan cabai merah terinfeksi sejak tanaman masih muda cenderung lebih besar. Antraknosa akan berkembang pada kondisi lembab 80 – 92% (Ginting et al. 2013). Kondisi ini terjadi saat musim hujan, sedangkan pada
18
19 saat curah hujan mulai menurun, penyakit antraknosa hampir tidak ditemukan (sekitar Maret – April) (Aripin dan Lubis. 2003). Tabel 1. Deskripsi Lahan Cabai Merah di Selo, Boyolali dan Tawangmangu Karanganyar yang Digunakan Untuk Penelitian Lahan Luas (m2) Deksripsi Cabai Merah I Selo
Cabai Selo
1000
Merah
II 1200
Cabai Merah, Tawangmangu
1500
- Varietas: Jacko - Cabai ditanam tumpangsari dengan kobis dan tembakau. - Penyakit antraknosa menyebar ke semua titik lokasi, dengan kerusakan cabai merah pada bedengan 1 – 15 lebih parah dibanding dengan bedengan 16 – 30. - Penyemprotan: 1 minggu sekali - Umur: 120 hari - Varietas: Jacko - Cabai ditanam tumpang sari dengan kobis dan tembakau. - Penyakit antraknosa menyebar ke semua titik lokasi dengan tingkat kerusakan yang sama. - Penyemprotan: 1 minggu sekali - Umur: 120 hari - Varietas: Jacko - Cabai merah ditanam monokultur. - Penyakit cabai merah antara lain busuk kering dan busuk basah. Penyakit antraknosa menyebar ke semua titik lokasi dengan tingkat kerusakan yang sama. - Penyemprotan: 1 minggu sekali - Umur: 120 hari
Berdasarkan hasil survei, diperoleh tiga lahan cabai merah (Lampiran 1) yang terkena antraknosa yaitu dua lahan dari Selo dan satu lahan dari Tawangmangu. Cabai merah di Selo banyak ditanam secara tumpangsari dengan sayuran lainnya atau tembakau. Lahan disekitar pertanaman tersebut sebagian besar ditanami dengan tembakau. Berbeda dengan Tawangmangu yang sebagian besar cabai merah ditanam secara monokultur. Air irigasi Selo sangat terbatas. Air diperoleh dari pos-pos penampungan air yang sudah dibuat di beberapa tempat, kemudian petani mengambil air tersebut menggunakan jerigen. Pengairan hanya dilakukan tepat di daerah perakaran cabai merah saja, sedangkan di
20 Tawangmangu air irigasi masih relatif melimpah, sehingga irigasi merata ke semua lahan. Mayoritas
petani
cabai
merah
dari
Selo
dan
Tawangmangu
mengaplikasikan pestisida minimal satu minggu sekali untuk tindakan pengendalian hama penyakit. Cara pemupukannya juga sama, pemupukan dilakukan saat pengolahan lahan menggunakan campuran pupuk kandang dan pupuk kimia. Kemudian pemupukan selanjutnya menggunakan pupuk kimia. Jenis dan takaran pupuk di kedua tempat tersebut bervariasi. Pada musim tanam sebelumnya, ketiga lahan tersebut ditanami dengan komoditas lain yang bukan satu family dengan cabai merah, diantaranya bawang merah, wortel, sawi sendok, daun bawang, jagung dan beberapa tanaman sayuran lainnya. Pergiliran tanaman sudah diatur sesuai kondisi dan musim saat itu. Petani juga menyatakan bahwa sebelumnya sudah pernah melakukan budidaya cabai merah, mereka mengeluhkan kerugian pada musim tanam sekarang lebih besar dibandingkan musim tanam sebelumnya.
B. Karakteristik Biologi Isolat Colletotrichum 1. Karakter Morfologi Colletotrichum Karakteristik morfologi merupakan ekspresi gen makhluk hidup yang dipengaruhi oleh lingkungan. Karakter morfologi menjadi parameter pertama yang digunakan untuk mengidentifikasi makhluk hidup dalam tingkat spesies maupun tingkatan taksonomi lainnya. Dalam penelitian ini, identifikasi karakter morfologi Colletotrichum didasarkan pada warna koloni, bentuk koloni, bentuk tepian koloni, struktur dalam koloni dan bentuk elevasi koloni (Tabel 2). Data Tabel 2 menunjukkan, masing-masing isolat memiliki karakter warna koloni, bentuk koloni, bentuk tepi koloni, struktur dalam dan bentuk elevasi koloni yang beragam (Lampiran 2). Sebagian besar isolat memiliki bentuk koloni Circular, bentuk tepi Entire, struktur dalam Smooth, dan bentuk elevasi Flat. Isolat C. gloeosporioides memiliki bentuk koloni Circular dengan miselium seragam dan radial saat ditumbuhkan di media PDA (Chowdappa et al. 2012).
21 Tabel 2. Karakter Morfologi 36 Isolat Colletotrichum Cabai Merah Selo, Boyolali dan lahan Tawangmangu, Karanganyar Setelah 14 Hari Inkubasi di Media PDA Morfologi koloni Isolat Lokasi sampel Warna Bentuk Bentuk Tepi Struktur Dalam Bentuk Elevasi B11 Selo I Putih abu-abu, kehijauan Irregular Lobate Filamentous Umbonate B12 Selo I Putih keabu-abuan, merah muda Circular Entire Smooth Flat B13 Selo I Putih kehitaman Circular Rhizoid Arborresceal Umbonate B14 Selo I Putih keabu-abuan, merah muda Circular Entire Smooth Flat B15 Selo I Putih keabu-abuan, merah muda Circular Entire Smooth Flat B16 Selo I Putih kehitaman Irregular Entire Arborresceal Umbonate B17 Selo I Putih kehitaman Circular Entire Arborresceal Umbonate B18 Selo I Putih kekuningan di tengah koloni Circular Entire Smooth Flat B19 Selo I Putih Circular Entire Smooth Flat B110 Selo I Putih keabu-abuan, merah muda Circular Entire Smooth Flat B111 Selo I Putih keabu-abuan, merah muda Circular Entire Smooth Flat B112 Selo I Putih abu-abu, kehijauan Circular Rhizoid Smooth Flat B113 Selo I Putih abu-abu, kehijauan Circular Entire Smooth Flat B114 Selo I Putih abu-abu, kehijauan Irregular Curled Smooth Flat B115 Selo I Putih keabu-abuan, merah muda Circular Entire Smooth Flat B116 Selo I Putih keabu-abuan, merah muda Circular Entire Smooth Flat B117 Selo I Putih keabu-abuan, merah muda Circular Entire Filamentous Flat B118 Selo I Putih abu-abu, kehijauan Circular Entire Filamentous Flat B119 Selo I Putih keabu-abuan, merah muda Circular Entire Smooth Flat B21 Selo II Putih keabu-abuan, merah muda Circular Rhizoid Filamentous Flat B22 Selo II Putih kehitaman Circular Entire Smooth Umbonate B23 Selo II Putih kekuningan di tengah koloni Irregular Curled Filamentous Umbonate
22 B24 B25 B26 B27 B28 B29 B210 K11 K12 K13 K14 K15 K16 K17
Selo II Selo II Selo II Selo II Selo II Selo II Selo II Tawangmangu Tawangmangu Tawangmangu Tawangmangu Tawangmangu Tawangmangu Tawangmangu
Putih keabu-abuan, merah muda Putih kehitaman Putih Putih kehitaman Putih keabu-abuan, merah muda Putih keabu-abuan, merah muda Putih keabu-abuan, merah muda Putih kehitaman Putih keabu-abuan, merah muda Putih keabu-abuan, merah muda Putih kekuningan di tengah koloni Putih Putih Putih kehitaman
Circular Circular Irregular Circular Irregular Circular Circular Circular Circular Circular Circular Circular Irregular Irregular
Entire Entire Curled Entire Curled Entire Entire Curled Entire Entire Rhizoid Rhizoid Curled Curled
Filamentous Filamentous Filamentous Smooth Filamentous Opaque Tranlucent Opaque Smooth Smooth Filamentous Smooth Smooth Opaque
Flat Raised Raised Raised Flat Flat Flat Raised Flat Flat Flat Raised Raised Raised
23 Berdasarkan Gambar 1, Gambar A menunjukkan isolat Colletotrichum berwarna koloni putih abu-abu kehijauan, Gambar B isolat berwarna putih abuabu bercampur merah muda, Gambar C isolat putih kehitaman di bagian bawah koloni dan putih kekuningan di pusat koloni, serta D isolat putih atau putih dengan warna kuning di pusat koloni. Belum dapat dipastikan bahwaisolat yang memiliki warna koloni sama merupakan spesies atau strain yang sama, karena ada beberapa spesies Colletotrichum yang berbeda, tetapi memiliki warna koloni yang sama. Seperti penelitian Photita et al. (2004), tentang Colletotrichum daripisang dan jahe yang secara molekuler kedua isolat tersebut merupakan spesies yang berbeda, namun memiliki karakter morfologi yang sama. Kasus yang lain, beberapa Colletotrichum dalam satu spesies yang sama juga menunjukkan karakter morfologi yang bervariasi, seperti C. capsici yang memiliki variasi pada karakter morfologi koloni, warna koloni, bentuk konidia, keberadaan setae, pertumbuhan radial, pola pertumbuhan miselium, sporulasi dan pigmentasinya (Kumar et al. 2015). Spesies Colletotrichum sangat beragam dan tersebar di seluruh dunia dengan jangkauan inang yang sangat luas. Sebagian peneliti bahkan mengalami kesulitan membedakan antar spesies Colletotrichum karena kemiripan karakter morfologinya (Wharton dan Uribeondo 2004; Braganca 2013). Seperti penelitian Calzada et al. (2013) dan Photita et al. (2005) tentang C. gloeosporioides yang memiliki warna koloni putih keabu-abuan dengan konidia jingga di pusat koloni, Chowdappa et al. (2012) juga menyebutkan warna koloni C. capsici putih abu-abu kecoklatan dengan warna konidia kuning hingga jingga, sedangkan C. acutatum berwarna merah muda atau jingga dan abu-abu kehijauan (Lewis et al. 2004). Namun Wharton dan Uribeondo(2004) dan Zivkovic 2010) menyebutkan bahwa C. acutatum memiliki warna koloni putih abu-abu yang hampir mirip dengan C. gloeosporioides. Chowdappa et al. (2012) juga pernah keliru mengidentifikasi C. gloeosporioides sebagai C. acutatum dan C. boninense.
24
A
B
C
D
Gambar 1. Keragaman Koloni Isolat Colletotrichum dari lahan Cabai Merah Selo, Boyolali dan lahan Tawangmangu, Karanganyar Setelah 14 Hari Isolasi di Media PDA; (A) Putih Abu-abu Kehijauan, (B) Putih Keabu-abuanMerah muda, (C) Putih Kehitaman, (D) Putih/ Putih Kekuningan di Tengah Koloni 2. Karakteristik Spora Isolat Colletotrichum Bentuk spora merupakan salah satu ciri khas yang dimiliki oleh jamur. Dalam hal ini, informasi tentang bentuk dan panjang spora Colletotrichum dapat membantu identifikasi Colletotrichum. Hasil identifikasi spora menunjukkan terdapat spora berbentuk Cylindrical (silinder) dan Fusiform (bulat meruncing pada salah satu ujung atau kedua ujung). Bentuk spora silinder merupakan ciri khas C. gloeosporioides, sedangkan Fusiform merupakan ciri khas C. acutatum (Than et al. 2008). Berdasarkan
hasil
identifikasi
spora
(Gambar
2),
maka
isolat
Colletotrichum dengan bentuk spora Cylindrical dikelompokkan ke dalam C. gloeosporioides, sedangkan bentuk spora Fusiform dikelompokkan ke dalam C.
25 acutatum. Data Tabel 3 menunjukkan isolat Colletotrichum yang ditemukan di lahan Selo dan Tawangmangu memiliki bentuk spora Cylindrical dan Fusiform. Elizabeth et al. (2014) menyatakan, bentuk konidia Colletotrichum diantaranya silinder, silinder dengan ujung tumpul hingga sedikit bulat dan silinder dengan ujung agak meruncing. Bentuk spora C. gloeosporioides dan C. capsici adalah silinder (Calzada et al. 2013).C. acutatum memiliki bentuk spora silinder dengan ujung tumpul dan bagan bawah meruncing (Lewis et al. 2004).
A
B
Gambar 2. Spora Colletotrichum dari Tiga Lahan Cabai Merah di Selo, Boyolali dan Tawangmangu, Karanganyar; (A) Spora Berbentuk Cylindrical, (B) Spora Berbentuk Fusiform Panjang spora pada masing-masing isolat beragam. Spora C. acutatum terpendek pada isolat K17 sebesar 4,25-9,63 µm dan spora terpanjang pada isolat K14 sebesar 6,21-18,15 µm, sedangkan spora C. gloeosporioides terpendek pada isolat K11 sebesar 1,61-7,62 µm dan terpanjang pada isolat B113 sebesar 5,6814,37 µm. Secara umum, panjang spora C gloeosporioides 12-20 µm, sedangkan C. acutatum 8-13 µm (Vargas et al. 2006). Lewis et al. (2004) menyatakan, C. acutatum memiliki rata-rata panjang spora 14,7 µm.
26 Tabel 3. Deskripsi Spora 36 Isolat Colletotrichum dari Lahan Cabai Merah Asal Selo, Boyolali dan Tawangmangu, Karanganyar Isolat Spesies Bentuk spora Panjang spora (µm) B1.1 C acutatum Fusiform 5,16 – 13,25 B1.2 C gloeosporioides Cylindrical 5,10 – 8,08 B1.3 C acutatum Fusiform 7,03 – 9,76 B1.4 C gloeosporioides Cylindrical 4,76 – 10,99 B1.5 C acutatum Fusiform 5,57 – 11,29 B1.6 C acutatum Fusiform 7,27 – 10,55 B1.7 C acutatum Fusiform 5,31 – 8,29 B1.8 C gloeosporioides Cylindrical 7,71 – 10,92 B1.9 C acutatum Fusiform 5,39 – 10,70 B1.10 C acutatum Fusiform 4,85 – 9,86 B1.11 C acutatum Fusiform 5,08 – 9,45 B1.12 C gloeosporioides Cylindrical 5,05 – 9,24 B1.13 C gloeosporioides Cylindrical 5,68 – 14,37 B1.14 C gloeosporioides Cylindrical 5,76 – 9,80 B1.15 C gloeosporioides Cylindrical 5,03 – 10,50 B1.16 C acutatum Fusiform 5,82 – 12,46 B1.17 C acutatum Fusiform 5,74 – 9,62 B1.18 C gloeosporioides Cylindrical 5,04 – 8,12 B1.19 C gloeosporioides Cylindrical 6,51 – 10,88 B2.1 C acutatum Fusiform 6,23 – 13,93 B2.2 C gloeosporioides Cylindrical 5,70 – 6,89 B2.3 C gloeosporioides Cylindrical 6,09 – 10,79 B2.4 C gloeosporioides Cylindrical 7,96 – 9,65 B2.5 C acutatum Fusiform 4,82 – 8,68 B2.6 C gloeosporioides Cylindrical 2,74 – 9,06 B2.7 C acutatum Fusiform 7,44 – 9,93 B2.8 C acutatum Fusiform 6,49 – 10,20 B2.9 C acutatum Fusiform 6,65 – 10,10 B2.10 C acutatum Fusiform 6,29 – 14,34 K1.1 C gloeosporioides Cylindrical 1,61 – 7,62 K1.2 C acutatum Fusiform 6,48 – 8,98 K1.3 C acutatum Fusiform 4,95 – 11,28 K1.4 C acutatum Fusiform 6,21 – 18,15 K1.5 C gloeosporioides Cylindrical 6,72 – 12,11 K1.6 C gloeosporioides Cylindrical 6,03 – 9,71 K1.7 C acutatum Fusiform 4,25 – 9,63
27 3. Diameter koloni Colletotrichum Informasi diameter koloni Colletotrichum bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan
masing-masing
isolat.
Data
tersebut
digunakan
untuk
memperkirakan perkembangan patogen ketika di lahan. Gambar 2 menunjukkan rata-rata diameter koloni isolat C. acutatum sebesar 76 mm, dimana semua isolat memiliki diameter koloni >60 mm kecuali pada isolat K17 yang diameternya hanya 30 mm, sedangkan rata-rata diameter koloni C. gloeosporioides sebesar 61 mm, 7 isolat diantaranya memiliki diameter koloni <60 mm. Selisih diameter pada masing-masing spesies tidak besar. Wharton dan Uribeondo (2004) menjelaskan, laju pertumbuhan koloni Colletotrichum dipengaruhi oleh faktor lingkungan, diantaranya adalah suhu. Seperti pada C. gloeosporioides yang tumbuh dan berkembang secara optimum pada suhu 25oC, sedangkan C. acutatum tumbuh secara optimum pada suhu 30 oC.
28
Gambar 3. Diameter Koloni 36 Isolat Colletotrichum dari lahan Cabai Merah asal Selo, Boyolali dan Tawangmangu, Karanganyar Setelah 14 Hari Inkubasi
29 4. Sporulasi Isolat Colletotrichum Data produksi spora berguna untuk memprediksi seberapa besar suatu patogen dapat menyebabkan penyakit pada tanaman inang dan penyebaran spora di lahan. Dugaan sementara, patogen yang produksi sporanya tinggi memiliki kemampuan menyebabkan penyakit yang lebih besar dan jangkauan inang lebih luas. Sebaliknya, patogen yang produksi sporanya rendah, kemampuan menyebabkan penyakit lebih rendah dan penyebaran patogen tidak luas. Gambar 4 menunjukkan, produksi spora pada masing-masing isolat sangat beragam. Produksi spora terbesar pada isolat B119 yaitu 1,7 x 108 spora/koloni, sedangkan produksi spora terendah pada isolat K13 sebesar 2,3 x 10 5 spora/koloni. Rata-rata C. acutatum dan C. gloeosporioides sama, yaitu 4 x 107 spora/koloni. Secara teori, produksi spora yang besar berpeluang menyebabkan penyakit sangat besar pada inang. Namun, pada isolat B119 yang memproduksi spora melimpah tidak menunjukkan diameter koloni yang besar. Sama halnya dengan isolat K13, produksi spora lebih rendah dibandingkan isolat yang lain, namun diameter koloninya jauh lebih besar dibandingkan isolat B119. Produksi spora yang berbeda dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh patogen. Sporulasi Colletotrichum pada kondisi yang optimal terjadi pada suhu 20-24oC. Perbedaan cahaya tidak mempengaruhi sporulasi. Namun, produksi spora lebih tinggi ketika jamur diinkubasi dibawah lampu yang konstan (Mello et al. 2004). Yi Ding et al. (2007) menyebutkan, pertumbuhan dan produksi spora terbaik Colletotrichum terjadi pada suhu 25oC dan pH antara 5,6-6,0.
30
Gambar 4. Data Produksi Spora dari 36 Isolat Colletotrichum dari lahan Cabai Merah asal Selo, Boyolali dan Tawangmangu, Karanganyar Setelah 14 Hari Inkubasi
31 C. Uji Virulensi Colletotrichum Pengertian virulensi yaitu kemampuan suatu patogen menyebabkan proses fisiologis inang terganggu sehingga inang menunjukkan gejala penyimpangan (Khan 2010). Proses terjadinya penyakit dipengaruhi oleh faktor abiotik dan faktor biotik. Faktor abiotik antara lain hujan (frekuensi dan intensitas hujan), kebasahan daun (leaf wetness), kelembapan udara, suhu, angin, dan cahaya matahari. Selain itu pH, tekstur dan struktur tanah juga berpengaruh terhadap biologi patogen dan intensitas penyakit. Faktor biotik yang berpengaruh ialah tanaman (inang dan bukan inang, derajat resistensi), mikroorganisme lain (vektor, antagonis dan simbion), dan manusia. Selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan, perkembangan penyakit juga ditentukan oleh sifat pertumbuhan patogen. Faktor lingkungan secara serentak berpengaruh terhadap tanaman dan patogen (Suhardi 2009). Gejala nekrosis yang ditunjukkan buah apel (Gambar 5) yaitu luka busuk kering coklat atau coklat kehitaman, terdapat bintik-bintik spora berwarna jingga dipermukaannya. Semakin lama, luka akan membesar dan mengkerut (Lampiran 3). Selain itu, beberapa apel menunjukkan gejala nekrosis berwarna coklat kehitaman dan tidak menunjukkan bintik spora pada permukaan lukanya. Sesuai dengan hasil penelitian Zivkovic et al. (2010), gejala antraknosa pada tomat juga menunjukkan gejala busuk hitam bulat cekung dengam massa konidia berwarna jingga.
A
B
Gambar 5. Gejala Nekrosis Apel Merah Setelah 14 Hari Diinokulasi dengan Isolat Colletotrichum dari lahan Cabai Merah Selo, Boyolali dan lahan Tawangmangu, Karanganyar; Diameter Nekrosis Tertinggi (A) dan Diameter Nekrosis Terendah (B)
32
Gambar 6. Diameter Nekrosis pada Apel Merah Setelah 14 hari Diinokulasi dengan 36 Isolat Colletotrichum Lahan Cabai Merah Selo, Boyolali dan Lahan Tawangmangu, Karanganyar
33 Berdasarkan Gambar 6, diperoleh besaran diameter nekrosis C. acutatum dan C. gloeosporioides pada apel merah. Diketahui rata- rata diameter nekrosis C. acutatum sebesar 43 mm sedangkan C. gloeosporioides sebesar 41 mm. Kedua spesies tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang besar dalam menyebabkan penyakit pada apel, sehingga diasumsikan bahwa kedua isolat merupakan patogen utama apel dan cabai merah. Namun pada masing-masing spesies terdapat variasi virulensi. Pada isolat C. acutatum, terdapat tiga isolat yang menunjukkan diameter nekrosis <40 mm, sedangkan pada isolat C. gloeosporioides terdapat enam isolat dengan diameter <40 mm. Perbedaan ini mengarah pada dugaan patogen mengalami mutasi disebabkan oleh faktor lingkungan seperti cuaca dan penggunaan pestisida, sehingga kemampuan menyebabkan penyakit pada inang menurun (Hipovirulensi). Hipovirulensi patogen juga dapat disebabkan karena patogen terparasit oleh virus. Beberapa penelitian yang telah dilakukan, sifat hipovirulen dapat dimanfaatkan untuk bahan pengendali hayati, salah satunya dengan penyebaran sifat hipovirulensi ke patogen virulen melalui mekanisme anastomosis. Namun, cara ini hanya dapat dimanfaatkan pada patogen jamur yang memiliki tingkat kompatibilitas vegetatif tinggi serta kemampuan ini sebagian besar terjadi pada patogen yang memiliki kekerabatan dekat, sehingga sebelum memanfaatkan patogen hipovirulen sebagai agen pengendali hayati, terlebih dahulu mengetahui keragaman patogen agar pemanfaatannya dapat lebih efektif dan efisien.
D. Uji Kompatibilitas Vegetatif Uji kompatibilitas vegetatif merupakan uji kemampuan jamur melakukan pertukaran informasi genetik melalui pembentukan heterokaryon dan siklus paraseksual. Uji kompatibilitas vegetatif menjadi salah satu cara membedakan spesies Colletotrichum (Peres et al. 2005). Dalam uji ini, pasangan isolat yang memiliki sifat kompatibel akan dimasukkan ke dalam Vegetative Compatibility Group (VCG) yang sama. Kemampuan dua isolat membentuk atau tidak membentuk heterokarion dikontrol secara genetik oleh lokus vegetatif inkompatibilitas yang disebut vic (Vegetative Incompatibility). Isolat dengan lokus
34 yang sama mampu membentuk heterokarion yang stabil, tetapi jika berbeda, maka keduanya tidak mampu membentuk heterokarion (Camila dan Maria 2011). Isolat yang digunakan sebagai bahan uji VCG adalah 6 isolat yang memiliki virulensi tertinggi (virulen) dan lima isolat dengan virulensi terendah (hipovirulen). Isolat virulen tiga diantaranya merupakan spesies C. acutatum dan tiga lainnya C. gloeosporioides. Isolat hipovirulen berasal dari dua isolat C. acutatum dan tiga isolat C. gloeosporioides. Isolat ini dipilih berdasarkan kemampuan virulensinya karena parameter ini menjadi salah satu sifat yang membedakan antar spesies atau strain patogen selain karakter morfologi. Gambar 7, A menunjukkan isolat B23 dan B19 membentuk kompatibilitas vegetatif, dimana kedua isolat tersebut dapat tumbuh secara stabil dan tidak menunjukkan kematian pada salah satu isolat. Kemudian B, antara isolat K12 dan B115 membentuk zona hambatan pada garis pertemuan antara kedua isolat. Selain itu juga ditunjukkan adanya eksudat berwarna kuning keemasan diarea pertemuan kedua isolat.
B A Gambar 7. Pasangan Isolat Colletotrichum B23 dan B19 yang Menunjukkan kompatibilitas Vegetatif (A), Pasangan Isolat Colletotrichum K12 dan B115 yang Menunjukkan Inkompatibilitas Vegetatif (B) A
Data selengkapnya tersaji pada Tabel 4. Diketahui sebagian besar pasangan isolat menunjukkan interaksi yang kompatibel, baik antar isolat virulen, isolat hipovirulen, maupun isolat virulen-hipovirulen. Namun, beberapa pasangan isolat ada yang menunjukkan inkompatibilitas, yaitu pasangan isolat B19 (hipovirulen)-K12
(virulen),
K14
(hipovirulen)-B23
(hipovirulen),
K14
(hipovirulen)-B116 (virulen), B23 (hipovirulen)-K12 (virulen), B112 (virulen)-
35 K12 (virulen), B115 (virulen)-K12 (virulen), dan B116 (virulen)-K12 (virulen) (Lampiran 4). Tabel 4. Hasil Uji Kompatibilitas Vegetatif Isolat Colletotrichum dari Lahan Cabai Merah I dan Lahan II Selo serta lahan Cabai Merah Tawangmangu yang Bersifat Virulen dan Hipovirulen No. Isolat Keterangan No. Isolat Keterangan 1 I – II Kompatibel 29 IV – VI Kompatibel 2 I – III Kompatibel 30 IV – VII Kompatibel 3 I – IV Kompatibel 31 IV – VIII Kompatibel 4 I–V Kompatibel 32 IV – IX Kompatibel 5 I – VI Kompatibel 33 IV – X Kompatibel 6 I – VII Kompatibel 34 IV – XI Kompatibel 7 I – VIII Kompatibel 35 V – VI Kompatibel 8 I – IX Kompatibel 36 V – VII Kompatibel 9 I–X Inkompatibel 37 V – VIII Kompatibel 10 I – XI Kompatibel 38 V – IX Kompatibel 11 II – III Inkompatibel 39 V–X Kompatibel 12 II – IV Kompatibel 40 V – XI Kompatibel 13 II – V Kompatibel 41 VI – VII Kompatibel 14 II – VI Kompatibel 42 VI – VIII Kompatibel 15 II – VII Kompatibel 43 VI – IX Kompatibel 16 II – VIII Kompatibel 44 VI – X Kompatibel 17 II – IX Inkompatibel 45 VI – XI Kompatibel 18 II – X Kompatibel 46 VII – VIII Kompatibel 19 II – XI Kompatibel 47 VII – IX Kompatibel 20 III – IV Kompatibel 48 VII – X Inkompatibel 21 III – V Kompatibel 49 VII – XI Kompatibel 22 III – VI Kompatibel 50 VIII – IX Kompatibel 23 III – VII Kompatibel 51 VIII – X Inkompatibel 24 III – VIII Kompatibel 52 VIII – XI Kompatibel 25 III – IX Kompatibel 53 IX – X Inkompatibel 26 III – X Inkompatibel 54 IX – XI Kompatibel 27 III – XI Kompatibel 55 X – XI Kompatibel 28 IV – V Kompatibel Keterangan: Patogen Hipovirulen Patogen Virulen I : B19 VI : B24 II : K14 VII : B112 III : B23 VIII : B115 IV : K15 IX : B116 V :B18 X : K12 XI : B111
36 Pasangan isolat yang menunjukkan inkompatibilitas vegetatif semua berasal dari lahan yang berbeda, baik pasangan isolat antar hipovirulen, antar virulen, maupun pasangan hipovirulen dan virulen. Inkompatibilitas vegetatif menunjukkan bahwa pasangan isolat tersebut tidak memiliki kekerabatan yang dekat. Hal ini mengindikasikan, isolat Colletotrichum yang ditemukan di lahan I Selo berbeda dengan isolat yang ditemukan di lahan II Selo dan Tawangmangu. Tabel 4 menunjukkan pasangan patogen yang inkompatibilitas, 5 dari 7 pasang diantaranya berasal dari pasangan spesies yang berbeda yaitu B19-K12, B23-K14, B23-K12, B112-K12, dan B115-K12 berturut-turut dari pasangan isolat C. gloeosporioides dan C. acutatum. Dua isolat lainnya yaitu K14-B116 dan B116-K12 berasal dari pasangan C. acutatum. Hasil ini menimbulkan dugaan pasangan isolat dari kelompok sama yang menunjukkan inkompatibilitas ada kemungkinan isolat tersebut merupakan strain C. acutatum yang berbeda. Kompatibilitas vegetatif yang tinggi menunjukkan besar kemungkinan isolat dari dari ketiga lahan tersebut memiliki kekerabatan yang dekat. Hal ini berarti spesies C. acutatum dan C. gloeosporioides yang ditemukan di ketiga lahan pengamatan masih memiliki kekerabatan yang dekat.
E. Sebaran Colletotrichum di Lahan Isolat Colletotrichum yang telah teridentifikasi, jika diilustrasikan ke dalam denah sesuai pengambilan sampel, maka akan membentuk pola sebaran acak. Berdasarkan Gambar 8, terdapat dua spesies Colletotrichum pada masingmasing lahan pengamatan cabai merah yang berhasil diidentifikasi secara biologi, yaitu C. acutatum dan C. gloeosporioides. Letak masing-masing spesies menyebar secara acak. Data ini menunjukkan antraknosa pada ketiga lahan cabai merah disebabkan oleh C. acutatum dan C. gloeosporioides. Meskipun perlu ada penelitian lebih lanjut ke tingkat identifikasi molekuler untuk lebih memastikan kedua spesies tersebut. Berdasarkan Gambar 8, diketahui beberapa spesies C. acutatum terletak pada titik yang berdekatan, sama halnya dengan C. gloeosporioides. Ini menunjukkan sebaran spesies disekitar tanaman inang. Namun isolat dari spesies
37 yang sama juga diketahui menyebar pada titik lokasi yang berbeda. Diduga penyebaran acak ini terjadi karena peran agensia yang mendukung penyebaran spora patogen seperti kabut pegunungan, aktivitas manusia, angin, aliran irigasi dan vektor patogen. Keragaman patogen di suatu lahan dapat terjadi karena patogen tidak hanya berasal dari lahan itu saja, namun dapat berasal dari lahan lain yang tersebar dan terbawa oleh agensia. Tanaman di sekitar lahan yang sangat beragam juga berpotensi sebagai sumber inokulum, karena dapat menjadi inang alternatif patogen. Contoh kasus penelitian Herwidyanti et al. (2013) tentang beberapa gulma di sekitar cabai merah yang menunjukkan gejala antraknosa ketika diinokulasi dengan C. capsici. Tingkat keparahan penyakitnya hampir sama dengan yang ditimbulkan pada cabai merah. I
I I
III C. acutatum C. gloeosporioides
Gambar 8. Sebaran Colletotrichum pada lahan Cabai merah di (I) Lahan I Selo, (II) Lahan II Selo, (III) Lahan Tawangmangu Berdasarkan hasil penelitian ini, maka perlu diperhatikan bahwa asumsi penyebab penyakit tanaman disuatu lahan hanya disebabkan oleh satu spesies patogen perlu dipertimbangkan. Hal ini menyangkut tindakan pengendalian yang diambil, apakah sudah tepat atau malah menimbulkan permasalahan yang baru. Salah satu contoh pengendalian menggunakan pestisida yang selama ini petani lakukan belum mampu menangani masalah antraknosa pada cabai merah, bahkan permasalahan cenderung semakin kompleks. Tidak semua jenis patogen dapat dikendalikan dengan pestisida. Bahan aktif yang terkandung dalam pestisida tidak
38 semua dapat mengendalikan patogen tersebut. Contoh kasus hasil penelitian Vargas et al. (2006) tentang C. gloeosporioides dan C. acutatum penyebab penyakit pada beberapa sasaran. Kedua isolat tersebut memiliki perbedaan sensitivitas pada fungisida berbahan aktif tertentu. C. acutatum lebih resisten dengan Benomyl dan Azoxystrobin dibandingkan dengan C. gloeosporioides, sehingga masing-masing isolat membutuhkan praktik pengendalian yang berbeda.