ISSN: 1907-4336
MENGUJI DEMOKRASI BERAGAMA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM; DIFERENSIASI ATAS DIVERSITAS SOSIO-KULTURAL1 Mochammad Zaka Ardiansyah Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Kependidikan IAIN Jember.
Abstrak Diferensiasi atas diversitas sosio-kultural peserta didik merupakan implementasi amanat Undang-undang untuk menciptakan pembelajaran yang demokratis, khususnya dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Dalam penelitian ini, penulis meneliti secara mendalam mengenai perlakuan guru Pendidikan Agama Islam terhadap diversitas sosio-kultural peserta didik, penelitian ini dilakukan pada sekolah umum di Kota Surabaya. Hasil penelitian ini adalah pertama, terdapat sebagian guru Pendidikan Agama Islam pada sekolah umum di Kota Surabaya yang tidak memahami konsep diversitas sosiokultur dan diferensiasi peserta didik dengan baik, kedua terdapat sebagian guru yang tidak melakukan diferensiasi atas diversitas sosio-kultur peserta didik khususnya ranah ubudiyah, bahkan mereka melakukan diskriminasi dengan menyeragamkan dan berusaha tutup mata serta menghilangkan diversitas yang ada. Ketiga terdapat sebagian guru lain melakukan diferensiasi atas diversitas sosio-kultur peserta didik, namun masih inkonsisten, karena masih terindikasi berusaha melakukan pemaksaan pendapat dengan mengedepankan ego negatif kultural.
1 Artikel ini merupakan hasil penelitian lapangan di sekolah umum Kota Surabaya pada 2012, data lengkap silakan baca Mochammad Zaka Ardiansyah, “Perlakuan Guru Pendidikan Agama Islam terhadap Variasi Peserta Didik pada Sekolah Umum di Kota Surabaya”, (Tesis - IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012)
Menguji Demokrasi Beragama Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam; Diferensiasi Atas Diversitas Sosio-Kultural Kata Kunci : diferensiasi, diversitas sosio-kultural, demokrasi, kebebasan beragama, pembelajaran PAI A. PENDAHULUAN Ketua MGMP PAI SMA Kota Surabaya menyatakan bahwa salat yang paling benar adalah salat “ala” masjid al h}aram dan setiap peserta didiknya wajib mengikutinya.2 Worldview dan sikap rigid-eksklusif yang ditunjukkan oleh stakeholder pendidikan Islam di atas tidak selaras dengan adagium populer “kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain”. Adagium ini sangat mudah diucapkan dan tepat secara normatif, namun problematis dalam tataran implementasi-aplikatifnya.3 Dalam laporan kebebasan beragama dan intoleransi di Indonesia 2013, The Wahid Institute merilis hasil monitoring terhadap kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia dalam kurun 2013 menunjukkan angka penurunan yang menggembirakan. Jika sebelumnya pada 2011 terjadi 267 kasus dengan jumlah kasus intoleransi sebanyak 184 kasus4, maka selama kurun 2013 hanya terjadi 245 kasus.5 Namun, apa makna data tersebut? Miniatur kasus intoleransi beragama juga terdapat dalam institusi pendidikan Islam, sayangnya tidak terjangkau media.
2 Salah satu temuan penelitian ini berdasarkan wawancara dengan M. Yatna (guru PAI SMA Barunawati Surabaya), Wawancara, Surabaya, 20 Pebruari 2012. 3 Sebagaimana penulis kutip dari Masdar Hilmi, “Quo Vadis Kebebasan Beragama”, Kompas, 1 Maret 2013 4 The Wahid Institute, Lampu Merah Kebebasan Beragama; Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), h. 1. Serupa tapi tak sama, baca Zainal Abidin Bagir, dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia, (Yogyakarta: CRCS Pascasarjana UGM, 2013), h. 18. 5 The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2013 (Jakarta: The Wahid Institute, 2013), h. 2.
Mochammad zaka ardiansyah Apakah praktik mengabaikan diversitas sosio-kultural dan menyeragamkan praktik ubudiyah peserta didik oleh guru PAI di sekolah umum termasuk dalam tindakan intoleran? Sebelum menjawabnya, perlu kita pahami bahwa praktik intoleransi beragama tidak hanya terjadi antar agama -sebagaimana mayoritas data yang disajikan The Wahid Institut dan CRCS UGM di atas-- namun tak sedikit juga kasuskasus intoleransi intern Islam yang dapat menjadi preseden buruk penegakan demokrasi beragama di Indonesia. Banyaknya kasus –terutama kasus yang tidak muncul ke ruang publik dan tidak terekspose media- menjadikan fenomena pelanggaran kebebasan beragama yang nampak bagai fenomena gunung es. Diantara kasus pelanggaran kebebasan beragama yang tenggelam tersebut adalah kasuskasus diskriminasi keyakinan dalam dunia pendidikan. Diskriminasi keyakinan, intoleransi dan tidak tersemainya demokrasi dalam pendidikan Islam merupakan problematika paradigmatik guru yang harus segera diformulasikan solusinya dengan mendorong guru memiliki competent worldview.6 Kegelisahan ini penting segera ditindaklanjuti, mengingat pendidikan merupakan media yang mendapatkan indeks kepercayaan tinggi oleh masyarakat dalam penanaman nilai keadilan dan kemanusiaan --baca: Pancasila--.7 Di tengah upaya penegakan demokrasi, fenomena pemasungan kebebasan beragama justru semakin sering mencuat ke permukaan. Tindakan intoleran yang muncul semakin variatif, mulai dari pelarangan menyelenggarakan kegiatan ibadah, ceramah dan artikel yang bernada penyudutan terhadap kelompok tertentu, upaya penutupan dan 6 Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach, (London: the International Institute of Islamic Thought, 2007), h. 204. 7 Budi Susilo Soepandji, Stadium General; Respon Santri Terhadap Pancasila, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 10 Pebruari 2012.
Menguji Demokrasi Beragama Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam; Diferensiasi Atas Diversitas Sosio-Kultural pelarangan rumah ibadah, penyerbuan massal, perusakan tempat ibadah, aksi bersenjata, intimidasi, serta pemaksaan mengikuti aliran agama arus utama. Aksi-aksi intoleran tersebut melengkapi fenomena terbitnya fatwa-fatwa keagamaan intoleran yang semakin mengukuhkan dan melegitimasi tindakan kekerasan atas nama agama.8 Realita yang kian meresahkan banyak pihak adalah jaminan konstitusi atas kebebasan beragama di Indonesia layaknya sebuah teks mati yang sukar ditegakkan, kondisi ini sukses menjadi biang keladi terjadinya disfungsi konstitusi yang idealnya dapat bersifat legal-universal menyangkut kebebasan beragama. Menurut Mahfud MD, dampaknya konstitusi tanpa fungsi konstitusionalitas akan kerap membawa ekses yang menyertainya, dalam hal ini kekerasan berbasis intoleransi beragama.9 Maka untuk menciptakan masyarakat demokratis, konflik horisontal-sosio-kultur --baca: konflik beragama--, maka dibutuhkan proses pembelajaran yang demokratis sesuai amanat Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.10 Dewey sebagaimana dikutip Tilaar menyatakan bahwa untuk menciptakan masyarakat negara demokratis, dengan kata lain mus-
8
Moh. Mahfud MD, Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi, h. 2. Artikel ini merupakan makalah yang disampaikan dalam Konferensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan Kebebasan Beragama di Indonesia, Menuntut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, yang diselenggarakan oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) pada Senin, 5 Oktober 2009 di Ruang Vanda II Wisma Serbaguna, Jakarta. 9 Ibid., h. 3. 10 Yang berbunyi “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” Baca Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Mochammad zaka ardiansyah tahil tercipta masyarakat demokratis, jika lembaga pendidikan masih otoriter-diskriminatif-rigid.11 Memotret pemahaman guru PAI di sekolah umum terhadap variasi peserta didiknya dan bagaimana mereka memperlakukan keragaman keyakinan peserta didiknya menjadi sangat menarik untuk diteliti, karena prediksi penulis, selain ketua MGMP PAI masih banyak guru PAI yang menutup mata terhadap diversitas peserta didiknya. Dalam penelitian ini, penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana pemahaman guru terhadap diversitas peserta didiknya, serta perlakuan guru terhadap diversitas keyakinan peserta didik di sekolah umum di Kota Surabaya. B. METODE PENELITIAN Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah penulis paparkan pada bagian sebelumnya, maka penulis melakukan penelitian lapangan (field research), namun membatasi diri “di luar garis” --baca: menjadi observer an sich--. Dalam penelitian ini, penulis memilih pendekatan kualitatif karena ingin memahami secara mendalam realitas obyek dari perspektif obyek itu sendiri. Sehingga dihasilkan data yang natural, dianalisis secara induktif dan memaparkan temuan lapangan dengan deskriptif. Pendekatan ini sengaja dipilih untuk menghasilkan data mendalam mengenai kondisi di lapangan, asumsi yang berkembang, detail proses yang berlangsung serta dampaknya.12 Obyek penelitian ini adalah seluruh guru PAI di sekolah umum di Kota Surabaya pada jenjang sekolah
11 H.A.R Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 150. 12 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial - Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), h. 8. Silakan bandingkan dengan Sumanto, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan: Aplikasi Metode Kuantitatif dan Statistika dalam Penelitian (Yogyakarta: Andi Offset, 1995), h. 77.
Menguji Demokrasi Beragama Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam; Diferensiasi Atas Diversitas Sosio-Kultural menengah umum dan swasta, namun saat melakukan penelitian pendahuluan penulis tidak mendapatkan data jumlah sekolah umum dan guru PAI di Kota Surabaya pada tahun ajaran 2011/2012.13 Berdasarkan pertimbangan karakteristik dan tidak diketahuinya jumlah pasti populasi, maka data penelitian guru PAI diperoleh secara acak dengan terlebih dahulu memilih sekolah menggunakan gabungan teknik probability dan non-probability sampling, yakni mengkombinasikan teknik cluster sampling (probability) dan quota sampling (non-probability). Penggunaan dua teknik sampling ini bertujuan untuk meminimalisir bias dan meningkatkan validitas data penelitian. Dalam pemilihan sampling, penulis membagi Kota Surabaya menjadi lima cluster menggunakan teknik cluster sampling, yakni Surabaya Selatan, Surabaya Pusat, Surabaya Barat, Surabaya Utara, dan Surabaya Timur. Tahap berikutnya penulis memilih secara acak 3 wilayah yakni Surabaya Pusat, Surabaya Utara, dan Surabaya Selatan. Dari ketiga wilayah tersebut penulis memilih sampel 4 sekolah umum berdasarkan beberapa kriteria dengan teknik quota sampling untuk meminimalisir bias yang mungkin timbul namun tetap mewakili karakteristik populasi. Kriteria tersebut yakni: 1. Quota sampling berdasarkan jenjang sekolah: 2 SMP dan 2 SMA 2. Quota sampling berdasarkan status sekolah: 2 sekolah negeri dan 2 sekolah swasta 3. Quota sampling berdasarkan jenis dan akreditasi sekolah: 1 RSBI terakreditasi A dan bersertifikat ISO 9001:2008, 2 13 Wawancara mendalam terhadap Titik (Kasi Kurikulum Dinas Pendidikan Kota Surabaya), Wawancara, Surabaya, 7 Nopember 2011
Mochammad zaka ardiansyah sekolah SSN terakreditasi A dan 1 sekolah reguler terakreditasi B. Untuk memperjelas bagaimana proses penulis memperoleh sampel penelitian yang merepresentasikan kondisi populasi, penulis memaparkan dalam diagram di bawah, sehingga diperoleh hasil sampling sekolah sebagai berikut:
Surabaya Selatan
Kriteria
Jenjang Status Standar Akreditas i Sekolah
Sampel Guru14
SMAN 15 Surabaya SMA Negeri RSBI A
SMP Suryo Nugroh o SMP Swasta Standar B
SMAN 15 Surabaya Nur Fahmi
SMP Suryo Nugroho Siti Khodijah
Surabaya Pusat SMPN 3 Surabaya SMP Negeri SSN A
Surabaya Utara SMA Barunawati
SMA Swasta SSN A
SMPN 3 Surabaya
SMA Barunawati
Misri
M Yatna
C. HASIL PENELITIAN
14 Nama-nama sekolah adalah nama asli, sementara nama sampel guru sengaja penulis samarkan.
Menguji Demokrasi Beragama Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam; Diferensiasi Atas Diversitas Sosio-Kultural Tujuan penelitian ini untuk mengetahui memahami pemahaman guru terhadap diversitas peserta didiknya, serta perlakuan guru terhadap diversitas keyakinan peserta didik di sekolah umum di Kota Surabaya. Dalam paparan hasil penelitian ini, penulis menyamarkan nama guru PAI yang dijadikan subyek penelitian, namun tidak menyamarkan nama sekolah. Dalam kuesioner terbuka yang telah disusun, penulis menanyakan beberapa tema terkait dengan isu diferensiasi, yakni demokrasi pendidikan, pendidikan multikultural, pendidikan inklusif, pendidikan berbasis gender, serta pertanyaan inti terkait diversitas sosio-kultural dan diferensiasi dalam pendidikan. Topik-topik tersebut dipilih untuk mengetahui secara mendalam pemahaman guru PAI terhadap konsep pendidikan humanis dan secara teoritik mengukur kemampuan guru melakukan diferensiasi terhadap diversitas sosio-kultur peserta didik, khususnya diversitas ubudiyahfiqhiyah dalam Islam. Wawancara dengan bantuan kuesioner dilakukan tidak hanya dengan membaca alur wawancara pada kuesioner yang telah penulis persiapkan. Dalam proses wawancara penulis banyak melakukan probing untuk menggali informasi lebih dalam dan mengklarifikasi jika statement subyek tidak konsisten dengan jawaban sebelumnya. 1. M. Yatna, guru PAI di SMA Barunawati Berdasarkan wawancara terstruktur dengan M Yatna --Guru PAI SMA Barunawati yang juga ketua MGMP PAI SMA Kota Surabaya-menggunakan kuesioner terbuka pada 20 Pebruari 2012, tatkala menjawab pertanyaan awareness, diketahui bahwa yatna mengetahui konsep pendidikan multikultural, demokrasi pendidikan, pendidikan berbasis gender dan pendidikan inklusif, namun ia tidak memahami konsep diversitas so-
Mochammad zaka ardiansyah sio-kultural, dan memahaminya dengan terminologi diskriminasi.15 Yatna juga menyatakan memahami konsep diferensiasi, namun setelah penulis melakukan probing beberapa kali, nampak bahwa Ia tidak memahami persoalan ini, begitupun dengan konsep diversitas sosiokultural. Dari wawancara tersebut juga terungkap bahwa Yatna mendiskriminasikan peserta didik dengan melarang peserta didiknya mengekspresikan ibadah ala ormas kulturalnya dan menyeragamkan ubudiyah peserta didik --khususnya salat—dengan peribadatan sesuai dengan materi kurikulum pemerintah. Alih-alih menyeragamkan ala kurikulum pemerintah, ia justru menyeragamkan salat peserta didik ala masjid al h{aram, karena menurutnya salah yang benar seperti tayangan salat ala VCD salat di masjid al h{aram. karena menurutnya itulah cara ibadah Rasulullah.16 2. Nur Fahmi, guru PAI di SMAN 15 Surabaya Berdasarkan wawancara terstruktur dengan Nur Fahmi menggunakan kuesioner terbuka pada 17 Pebruari 2012, dalam pertanyaan awareness, diketahui bahwa Fahmi mengetahui konsep pendidikan multikultural, demokrasi pendidikan, pendidikan berbasis gender dan pendidikan inklusif. ia kerap mengikuti isu ini dari media massa, buku, materi perkuliahan dan seminar.17 Namun tatkala penulis menanyakan tingkat pemahaman beliau terhadap konsep diversitas sosio-kultural? 15 M. Yatna (guru PAI SMA Barunawati Surabaya), Wawancara, Surabaya, 20 Pebruari 2012 16 Ibid. 17 Nur Fahmi (guru PAI SMAN 15 Surabaya Surabaya), Wawancara, Surabaya, 17 Pebruari 2012.
Menguji Demokrasi Beragama Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam; Diferensiasi Atas Diversitas Sosio-Kultural Dalam jawaban top-of-mind18 --baca: TOM, yakni jawaban spontan dan pertama atas pertanyaan awareness --, beliau melakukan cross check dengan menanyakan kembali “diversitas itu apa? Kalau sosio-kultural saya tahu”. Setelah penulis mendeskripsikan, beliau kemudian menyatakan bahwa pernah mengetahui isu tersebut.19 Penulis kemudian melakukan probing, nampak bahwa Ia tidak mengetahui konsep ini, karena dari wawancara ini nampak bahwa Ia mengingkari realitas diversitas ormas peserta didik, dan berusaha menyeragamkannya. Ia menyatakan tidak ada Islam ala ormas, dan ingin menghilangkan fanatisme peserta didik terhadap ormas yang secara kultural telah tertanam dari lingkungan keluarganya. Alasannya, Ia tidak ingin peserta didik memiliki persepsi bahwa Islam telah terpecah. Namun, ia pun menyatakan tidak ingin menyeragamkan cara ibadah peserta didik. Statemen ini kontradiktif, di satu sisi Ia ingin mengajak peserta didik mengingkari realitas ormas kulturalnya, namun di sisi lain ia tidak ingin menyeragamkan praktik ubudiyah-fiqhiyah peserta didiknya. Inkonsistensi sikap ini makin nampak, karena Ia bisa menganalisis dan menyebutkan komposisi ormas peserta didiknya.20 Dalam wawancara terpisah dengan Affan, peserta didik kelas X-8, diperoleh data bahwa Fahmi memberikan jalan tengah jika terjadi perbedaan cara ibadah peserta 18 Richard Rosenbaum-Elliott et.al., Strategic Brand Management, second edition, (Oxford: Oxford University Press, 2011) 169 19 Nur Fahmi (guru PAI SMAN 15 Surabaya Surabaya), Wawancara, Surabaya, 17 Pebruari 2012. 20 Menurut Fahmi, komposisi ormas peserta didik SMAN 15 Surabaya terdiri dari Muhammadiyah (49%), NU (49%) dan Al-Irsyad (0,5%), sisanya dari ormas lain, pernyataan ini kontradiktif dengan statement Fahmi sebelumnya. Nur Fahmi (guru PAI SMAN 15 Surabaya Surabaya), Wawancara, Surabaya, 17 Pebruari 2012.
Mochammad zaka ardiansyah didik, ia tidak pernah melarang selama sesuai dengan cara ibadah Rasulullah.21 Namun jika Fahmi menemukan salah satu peserta didiknya melakukan ibadah yang menurut Fahmi tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah, maka menurut Nadia “cuma diberi pengetahuan bahwa Rasulullah tidak menganjurkan itu tapi tidak juga melarang”.22 3. Misri, guru PAI SMPN 3 Surabaya Berdasarkan wawancara terstruktur dengan Misri menggunakan kuesioner terbuka pada 17 Pebruari 2012, dalam pertanyaan awareness, diketahui bahwa Misri menyatakan mengetahui isu pendidikan multikultural, demokrasi pendidikan, pendidikan berbasis gender dan pendidikan inklusif.23 Namun Misri kaget saat penulis menanyakan awareness beliau terhadap diversitas sosiokultural, ia sontak kaget dan bertanya balik “maksudnya itu?”, lantas menjawab dengan ragu bahwa terminologi sosio-kultural sepertinya pernah dengar namun dengan istilah berbeda. Misri melanjutkan keheranannya dan bertanya “itu yang ditanyakan tentang cara penanganannya atau apa?” Respons ini mengindikasikan bahwa ia tidak memahami isu ini. Sementara diferensiasi diakuinya diketahui sekilas dari internet. Bagi Misri, materi yang kerap membutuhkan diferensiasi peserta didik adalah SKI, akidah dan fikih, maka untuk dapat menjawab pertanyaan peserta didik yang bervariasi, ia menggunakan 6 literatur dengan penulis dan penerbit yang berbeda, karena menurutnya 21
Affan, (siswa kelas X-8 SMAN 15 Surabaya), Wawancara, Surabaya, 2 Maret
2012. 22
Nadia, (siswa kelas X-8 SMAN 15 Surabaya), Wawancara, Surabaya, 2 Maret
2012 23
Misri (guru PAI SMPN 3 Surabaya), Wawancara, Surabaya, 17 Pebruari 2012.
Menguji Demokrasi Beragama Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam; Diferensiasi Atas Diversitas Sosio-Kultural dengan menggunakan banyak buku ia memahami materi lebih mendalam. ia lantas menambahkan “lha, kalau kita hanya menggunakan satu buku saja, jelas kita tidak mungkin memahami materi dengan betul-betul”.24 Ia menceritakan pernah memiliki peserta didik yang menyatakan bahwa guru mengajinya melarang anak tersebut meniru cara ibadah yang diajarkan Misri di sekolah. ia kemudian mengajak “Oh. begini nak, bandingkan cara kamu beribadah dengan firman Allah dan Hadis Rasulullah! Saya terangkan hingga dia mau menerima pendapat saya”. Dalam sesi wawancara ini, penulis juga menemukan fakta jika Misri menemukan peserta didik yang terindikasi beribadah tidak sesuai dengan ajaran Rasul, ia menasihatinya: Salat yang benar adalah salat yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, apapun yang pernah dilakukan oleh gurumu, coba kamu kaji ulang kembali, benar nggak? Seperti itu, pernahkah Rasulullah begini-begini. Kalau memang yang diajarkan oleh gurumu sesuai dengan ajaran oleh Rasululloh, ya silakan. Tetapi kalau menyimpang, jangan!. Peserta didik harus mengkaji lebih mendalam lagi apa yang telah diberikan oleh Rasulullah25 4. Khodijah, guru PAI SMP Suryo Nugroho Berdasarkan wawancara terstruktur dengan Misri menggunakan kuesioner terbuka pada 15 Pebruari 2012, nampak bahwa Khodijah tidak asing dengan isu pendidikan multikultural, demokrasi pendidikan, pendidikan berbasis gender dan pendidikan inklusif, begitupun dengan diversitas sosio-kultural dan diferensiasi peserta didik dalam proses pembelajaran. Dari wawancara tersebut juga nampak beliau memahami makna dan urgensi 24
Ibid. Penulis gunakan redaksi asli simulasi nasihat yang diberikan oleh Musri kepada muridnya yang diperagakan oleh Misri, Ibid. 25
Mochammad zaka ardiansyah diferensiasi peserta didik, baik berdasarkan variasi intelektual, disability, maupun berdasarkan keyakinan dan ormas, khususnya ubudiyah. Batasannya adalah “selama perbedaan keyakinan, perbedaan aliran itu tidak bertentangan dengan al Quran dan Hadis, ya kita toleransi. Seandainya perbedaan mereka itu menyimpang dari al Quran dan Hadis, ya kita luruskan, berdasarkan ayat-ayat yang tercantum dalam al Quran dan Hadis”26 Mengetahui tanggapan di atas, penulis kembali melakukan probing, dengan menanyakan sikap beliau jika ada peserta didik yang cara ibadahnya di rumah berbeda dengan cara ibadah yang diajarkan di sekolah, tanggapan beliau “saya persilakan ndak apa-apa, ya ndak apa-apa digunakan saja”.27 Untuk memahami sikap sebenarnya, penulis melakukan pengecekan silang guna triangulasi data dengan mewawancarai beberapa peserta didik kelas IX-1 SMP Suryo Nugroho. Dalam hal ini, Ikhwan28 dan Sinta29 berbeda pendapat. Ikhwan menyatakan bahwa Khodijah selalu mengajarkan ibadah yang benar (menurut guru) kepada peserta didik. Sementara bagi Sinta, Khodijah selalu mengembalikan pilihan cara beribadah pada peserta didik, sebagaimana ungkapannya “semuanya dikembalikan lagi kepada peserta didiknya. Apa yang menurut mereka benar, ya gak apa-apa. Karena dalam salat itu do-
26
Siti Khodijah (guru PAI di SMP Suryo Nugroho Surabaya), Wawancara, Surabaya, 15 Pebruari 2012. 27 Ibid. 28 Ikhwan (siswa kelas IX-1 SMP Suryo Nugroho Surabaya), Wawancara, Surabaya, 9 Maret 2012 29 Sinta (siswa kelas IX-1 SMP Suryo Nugroho Surabaya), Wawancara, Surabaya, 9 Maret 2012
Menguji Demokrasi Beragama Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam; Diferensiasi Atas Diversitas Sosio-Kultural anya kan beda-beda baik dalam bacaan iftitahnya atau dalam hal qunut”.30 D. ANALISIS Hasil penelitian ini membuktikan bahwa berdasar pertanyaan awareness, semua guru mengaku mengetahui isu pendidikan multikultural, demokrasi pendidikan, pendidikan berbasis gender dan pendidikan inklusif. Namun tiga di antara empat subyek penelitian ini tidak mengetahui isu diferensiasi peserta didik dan diversitas sosio-kultural, karena jawaban TOM yang dimunculkan obyek merupakan respon keheranan dan ketidak tahuan. Ungkapan ketidaktahuan di awal tersebut menjadikan argumentasi obyek selanjutnya terhadap kedua isu tersebut menjadi tidak tepat –untuk tidak mengatakan salah--. Dalam penelitian ini, peristiwa kaget, gugup dan pertanyaan balik31 yang dilontarkan obyek beberapa kali terjadi ketika penulis melakukan in-depth interview terhadap M Yatna, Nur Fahmi dan Misri, dengan bantuan kuesioner terbuka. Dengan kuesioner terbuka, penulis banyak melakukan probe dan dapat menilai awareness dari setiap jawaban atau respon awal yang muncul melalui TOM. Hanya satu guru yang menyatakan memahami kedua isu tersebut, yakni Khodijah. Ketika penulis melakukan probing untuk mendalami pemahaman guru tentang kedua isu tersebut, beberapa guru PAI tidak konsisten. M Yatna yang mengaku memahami diferensiasi peserta didik justru mengasumsikannya dengan
30
(siswa kelas IX-1 SMP Suryo Nugroho Surabaya), Wawancara, Surabaya, 9 Maret 2012 31 Misalkan kata “maksudnya itu?” dan “itu yang ditanyakan tentang cara penanganannya atau apa?” sebagaimana dilontarkan Misri. Begitupun dengan Nur Fahmi yang bertanya dengan penasaran “diversitas itu apa?” dan M Yatna yang bertanya balik dengan penuh heran “kenapa?” tatkala penulis menanyakan awareness-nya terhadap isu diversitas sosio-kultural.
Mochammad zaka ardiansyah diskriminasi, yang harus dihindari dan tidak boleh terjadi di sekolahnya. Begitupun dengan Nur Fahmi yang pada pertanyaan awareness yakin bahwa ia memahami makna dan urgensi diferensiasi peserta didik, namun pada praktiknya ia mengingkari realitas diversitas keyakinan peserta didik, sebagaimana ungkapannya yang “sebetulnya anak-anak sendiri tidak ada yang beraliran apa atau apa, cuma dia dari latar belakang pendidikan dari golongan aliran apa, itu ada. Kalo anak sendiri yang beraliran, tidak ada sebetulnya”. Ungkapan tersebut kontradiktif statemen sebelumnya. Dalam wawancara yang sama, pasca menyatakan anak tidak memiliki latarbelakang sosio-kultur dalam terminologi diversitas ubudiyah (versi ormas sebagai latar belakang sosio-kultural anak), alih-alih ingin menunjukkan peta ormas anak, justru terlihat bahwa Ia memahami diversitas dan komposisi ormas peserta didiknya. Statement ini menunjukkan bahwa ia menutup mata terhadap realitas kultur ubudiyah anak yang dibangun oleh orang tua, lingkungan dan lembaga pendidikan sebelumnya. Penanaman wawasan kebangsaan dan pluralisme beragama di tengah realitas diversitas keyakinan dan ubudiyah -sebagai manifestasi sosio-kultur-- peserta didik bukan berarti menghapuskan varian yang ada, namun menjadikan variasi dan perbedaan sebagai pemersatu perbedaan yang dimiliki oleh komunitas,32 setiap guru harus mempertimbangkan
32 Untuk menegakkan pilar wawasan kebangsaan, sikap mentransendir eksklusivitas golongan, ras, ormas mutlak diperlukan, di samping memelihara dan merawat keragaman sebagai kekayaan bangsa. Baca Muhammad AS Hikam, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, (Jakarta: Erlangga, 1999) h. 6.
Menguji Demokrasi Beragama Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam; Diferensiasi Atas Diversitas Sosio-Kultural keragaman prinsip ibadah dan aspirasi peserta didik sebagai bagian integral dalam lingkungan belajar.33 Diversitas cara ibadah peserta didik dalam kelas (termasuk dalam pembelajaran PAI) sulit --untuk tidak mengatakan tidak dapat-- dipisahkan dengan kultur yang telah terbangun dari keluarga mereka. Karena menurut Bruner sebagaimana disitir Hamalik, kesiapan dan minat peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas sangat dipengaruhi oleh kekuatan kultural yang berkembang di lingkungannya.34 Di rumah, peserta didik telah menyerap banyak aspek kultur dari keluarga dan lingkungan sosialnya, seperti cara beribadah dan berperilaku. Maka, keadaan peserta didik di sekolah tidak dapat dipisahkan dan sangat dipengaruhi oleh doktrin kultur keluarga dan lingkungan sosialnya di rumah. Aspek-aspek kultur yang telah diserap peserta didik di rumah, memberikan banyak kontribusi dalam proses pembelajaran di sekolah.35 Lantas apa relevansinya dengan penelitian ini, pilihan cara ibadah yang diyakini benar sangat dipengaruhi oleh kultur yang diberikan oleh keluarganya, kebiasaan keluarga di rumah merupakan manifestasi kultur peserta didik, karena telah ditanamkan keluarga pada peserta didik sebagai standar kebenaran dalam beribadah. Begitupun dengan lingkungan
33 Oemar Hamalik, Psikologi Belajar Mengajar, Cet. 7. (Bandung: Sinar Baru Agnesindo: 2010), h. 20. 34 Ibid. 35 R. E. Slavin., Psikologi Pendidikan; Teori dan Praktek, Edisi Kedelapan, Jilid 1 (Jakarta: Indeks, 2008), h.133, Slavin juga berkomentar bahwa realitas diversitas sosio-kultur, keyakinan dan kebiasaan ibadah peserta didik, norma, tradisi serta kebiasaan dan pengalaman dalam keluarga seharusnya berimplikasi pada pembelajaran, kurikulum, kebijakan sekolah dan implementasinya, baca dalam versi aslinya Robert E. Slavin, Educational Psychology, Eight Edition, (New York: Pearson Education, 2006) h. 98.
Mochammad zaka ardiansyah sosial yang berperan membangun standar kebenaran cara beribadah peserta didik. Style ibadah dan habit of mind berkeyakinan selalu dibawa oleh peserta didik, begitupun dalam lingkungan sosial sekolah. Guru PAI sebagai pembimbing belajar peserta didik dalam beragama Islam yang ideal, hendaknya membuka cakrawalanya, bahwa banyak peserta didik yang belajar di kelasnya bukan dalam kondisi kosong melompong, bak tong kosong. Namun sudah memiliki tatanan nilai yang berbasis sosio-kultur.36 Keragaman keyakinan (dan ubudiyah) peserta didik inilah yang penulis maksud dengan diversitas sosio-kultur, karena berbasis kultur keluarga dan lingkungan sosial anak. Tindakan yang dilakukan oleh sebagian guru PAI di sekolah umum di Kota Surabaya, dalam hal ini dilakukan oleh M Yatna yang seolah menutup mata --untuk tidak menyebut intoleran-- dengan menyeragamkan cara ibadah peserta didik ala masjid al haram, telah menunjukkan ketidakmampuan guru melakukan diferensiasi dalam pembelajaran PAI. Diferensiasi yakni membedakan peserta didik berdasarkan diversitas sosio-kulturnya, tujuannya tidak lain untuk memberikan hak peserta didik beribadah dan berkeyakinan berdasarkan bangunan keyakinan dan kebenaran kultural keluarga dan lingkungan sosialnya. Sementara tindakan Nur Fahmi, alih-alih untuk menghindari fanatisme beragama peserta didik, ia justru mengingkari dan menghilangkan diversitas ormas peserta didik. Tindakan ini merupakan tindakan diskriminatif yang dilakukan olehnya, karena mengabaikan realitas sosio-kultur 36 Sumber pengetahuan keagamaan peserta didik tidak dapat dilepaskan dari keluarga dan lembaga pendidikan non -formal di masyarakat. Menurut Wahid, realitas ini tidak dapat dikesampingkan dalam penyelenggaraan pendidikan Islam di sekolah/madrasah. Baca Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda dan Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 225.
Menguji Demokrasi Beragama Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam; Diferensiasi Atas Diversitas Sosio-Kultural peserta didik. Terdapat inkonsistensi atas ungkapan Fahmi, ia ingin menyeragamkan peserta didik dengan menghilangkan diversitas karena “jika itu (pengelompokan golongan) dihilangkan, insya Allah mereka dapat berpikir yang obyektif”, namun di sisi lain ia pun menyatakan “jika peserta didik tidak diajarkan realita perbedaan yang terdapat dalam Islam, maka dikhawatirkan peserta didik akan fanatik dan menganggap orang lain yang cara ibadahnya berbeda dengannya salah”. Ambiguitas statemen di atas menjadikan kedua ungkapan tersebut bertolak belakang. Meskipun kedua guru di atas melakukan diskriminasi, namun khusus dalam ranah diversitas ubudiyah, Fahmi memiliki persamaan dengan sikap dengan Misri dan Khodijah, yakni selalu mengarahkan standar kebenaran ibadah pada Rasulullah,37 namun Misri dan Khodijah lebih toleran dalam menyikapi diversitas ubudiyah peserta didik. Tindakan mereka telah mencerminkan diferensiasi, hal ini terbukti dari cara mereka menyikapi dengan bijak --serta tidak serta merta menyalahkan dan menyeragamkan--. Misri misal, jika ia menemui peserta didik yang cara ibadahnya dinilai tidak sesuai dengan cara Rasul, ia mengajak peserta didik untuk kembali merujuk pada al Qur'an dan Hadits, hingga beberapa kali menyatakan kerap menyarankan untuk merujuk pada cara Rasul melakukannya. Misri menyatakan bahwa nasihat halus dilakukan untuk menjaga perasaan peserta didiknya, sehingga ia memahami kesalahannya dan berubah karena kesadaran yang tinggi dan tidak ada paksaan. Namun, lagi-lagi tindakan Misri di atas inkonsisten, karena ungkapannya “Saya terangkan hingga dia mau menerima pendapat saya” mengindikasikan bahwa ia ingin mengajak 37
Dalam laporan ini penulis tidak menganalisanya dari perspektif fikih, penulis menyajikan data apa adanya untuk dianalisa dengan pendekatan demokrasi dan diferensiasi atas diversitas peserta didik.
Mochammad zaka ardiansyah peserta didik seragam dengan standar kebenarannya, sikap intoleran ini tidak relevan dengan tindakan pertama. Tindakan ini tidak kontradiktif dengan tujuan menciptakan pendidikan yang demokratis sebagaimana dicanangkan pemerintah dalam Pasal 3 Ayat (5) PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru serta Pasal 16 Ayat (4) Permenag No. 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan pendidikan Agama pada Sekolah yang mengandung pesan moral bahwa dalam kompetensi sosial, guru pendidikan agama tidak diperkenankan mendiskriminasi peserta didiknya dan harus bersikap inklusif.38 Tanpa disadari oleh guru, kerap kali tindakannya mengajarkan --untuk tidak menyebut mendoktrin dan memaksa-- cara beribadah guru kepada setiap peserta didik tanpa mencermati diversitas sosio-kultural yang dimiliki peserta didik merupakan bentuk pelanggaran kebebasan beragama di kelas. Setiap kultur (termasuk kultur guru) memiliki kecenderungan negatif untuk mengajak pihak yang berbeda dengan kultur tersebut untuk selalu mengikuti kebenaran yang diyakini benar oleh golongannya. Donald Campbell sebagaimana dikutip Santrock menyatakan jika setiap anggota dalam komunitas kultur selalu meyakini jika segala sesuatu yang ada dalam kultur mereka adalah sesuatu yang alami dan paling benar secara universal, dan sesuatu yang terjadi dalam kultur di luar mereka tidak alami dan tidak benar.39 Ego kultural tersebut dapat berdampak negatif bagi tumbuhnya iklim demokrasi di Indonesia, maka diperlukan toleransi dengan cara memberikan kebebasan berekspresi 38 Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru, Pasal 3 Ayat (5), bandingkan dengan Peraturan Menteri Agama No. 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah, Pasal 26 Ayat (4) 39 John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua, Terj. Tri Wibowo B.S. (Jakarta: Kencana, 2008), h. 170.
Menguji Demokrasi Beragama Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam; Diferensiasi Atas Diversitas Sosio-Kultural sesuai dengan kemantapan fiqhiyah.40 Mengingat kecenderungan komunitas dominan --untuk tidak mengatakan guru-dalam melakukan demonisasi yang liyan. Sikap ego semacam ini tak jarang mengerucut pada tindakan pembatasan hak-hak sipil (civil right) peserta didik. Hak sipil warganegara merupakan hak mendasar yang kerap dilanggar, baik oleh individu, organisasi, penguasa dan negara.41 Lemahnya dukungan dan kontrol negara terhadap kebebasan pelaksanaan hak sipil dalam mengekspresikan keanekaragaman pilihan ideologi dan ibadahnya42 dalam pendidikan43 akan sulit mendorong 40
Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Landasan Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama; Sejarah Toleransi dan intoleransi Agama dan Kepercayaan Sejak Jaman Yunani (Surabaya; Bina Ilmu, tt.), 22. Sebagaimana dikutip Tim PW LTN-NU Jawa Timur (ed), Sarung dan Demokrasi: Dari NU untuk Peradaban Indonesia, (Surabaya: Khalista, 2008), h. 256. 41 Baca Masdar Hilmi, “Quo Vadis Kebebasan Beragama”, Kompas, 1 Maret 2013. Bandingkan dengan bagaimana Rasul menegakkan hak asasi manusia dalam piagam Madinah, baca W. Montgomery Watt, Mohammad at Medina (Oxford: Clarendon Press, 1956), h. 221-225. Richard C. Martin juga mengungkapkan dampak positif sahifa al-madina bagi bangunan keberagamaan di Madinah, baca juga di Richard C. Martin, Encyclopedia of Islam and the Muslim World, Volumen 1, (New York: Macmillan Reference, 2004), h. 313. Sebagai penyeimbang, statement kontradiktif yang cenderung mendeskriditkan toleransi beragama di Madinah dapat dibaca dalam Phillip K. Hitti, History of the Arabs, Third Edition, (London: Macmillan, 1942) h. 117-118. 42 Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing, Buku Saku untuk Kebebasan Beragama; Memahami Kebijakan Rumah Ibadah, (Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center, 2010), h. v-vi. 43 Dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik termaktub pesan bahwa hak atas kebebasan beragama memiliki dua dimensi yaitu forum internum dan forum eksternum. Forum internum merupakan hak setiap individu untuk memiliki/memeluk agama/ kepercayaannya (religion/belief) berdasarkan kesadaran dan pilihannya. Sementara forum eksternum merupakan hak untuk memanifestasikan agama/kepercayaannya termasuk dalam hak ini adalah ibadah (worship), praktek-praktek keagamaan/kepercayaan (practice), perayaan keagamaan/ kepercayaan (observance), dan pengajaran keagamaan (teaching). Manfred Nowak mendefinisikan pengajaran keagamaan merupakan penyebaran substansi ajaran keagamaan baik di sekolah agama maupun sekolah umum (berkaitan dengan mata pelajaran agama) atau juga melalui sekolah-sekolah non-formal dan kegiatan dakwah.
Mochammad zaka ardiansyah resonansi gagasan mewujudkan civil society yang memiliki pasar ideologi dengan persaingan demokratis,44 yakni persaingan yang tetap menghormati realitas fragmentasi ideologi keagamaan yang menjadi ruh unity in diversity --baca: bhinneka tunggal ika--.45 Kendala resonansi merealisasikan civil society salah satunya karena fragmentasi ideologi di Indonesia merupakan diversitas asimetris, artinya meski banyak agama dan keyakinan yang berkembang di Indonesia, namun didominasi oleh ormas Islam mayoritas,46 yakni NU dan Muhammadiyah. Namun, setidaknya kita bisa sedikit lega karena secara umum, toleransi yang ditunjukkan oleh pengikut kedua Ormas tersebut sangat baik, meskipun masih ditemukan oknum yang menunjukkan sikap dan tindakan intoleransi di sana-sini, termasuk hasil temuan penelitian ini. Penelitian ini tidak berusaha mendefinisikan batasan seorang guru dalam melakukan doktrin ibadah di tengah proses pembelajaran PAI, namun lebih mendeskripsikan realitas “pemaksaan” dan sikap tutup mata guru PAI dalam proses pembelajaran di Kota Surabaya. Dari penelitian lapangan ini, separuh guru PAI di kota Surabaya ingin mendominasi dengan melakukan demonisasi terhadap peserta didik yang dianggapnya lebih lemah dengan menyeragamkan praktik ubudiyah peserta didik dan mengabaikan realitas keragaman ormas (baca: madzhab
Selengkapnya silakan baca Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing, Buku Saku untuk Kebebasan Beragama, h. 2 dan 4. 44 Sejak 1992, Inggris sudah mampu mengarahkan lembaga pendidikannya menjamin ekualitas, diversitas, pilihan orang tua/parental choice, otonomi sekolah dan akuntabilitas. Baca David Bridges (ed.), Education, Autonomy and Democratic Citizenship; Philosophy in a Changing World, (London: Routledge, 1997), h. 88. 45 Ihsan Ali-Fauzi, Mengelola Keragaman; Pemolosian Kebebasan Beragama di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina-MPRK UGM-Asia Foundation, 2012) h. 61. 46 Ibid., h. 62.
Menguji Demokrasi Beragama Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam; Diferensiasi Atas Diversitas Sosio-Kultural ubudiyahnya), salah satunya dengan menyeragamkan praktik ubudiyah menurut standar guru dan atau kurikulum pemerintah.47 Sikap guru yang demikian merupakan praktik diskriminasi yang mengorbankan nilai-nilai demokrasi substantif. Dominasi dan demonisasi yang dilakukan guru PAI mengabaikan realitas kultural peserta didik di rumah, sehingga proses pembelajaran PAI masih parsial dan distortif, padahal kultur dan standar kebenaran yang diperoleh peserta didik dari keluarga dan madrasah diniyah tidak terisolir, namun masuk pada relung-relung pendidikan peserta didik di sekolah.48 Guru PAI sebagai simbol agama --baca ulama, yang mewarisi perilaku Nabi--, merupakan manifestasi agama yang diharapkan sebagai model perilaku-akhlak-karakter ideal, mewakili karakter nabawi. Namun masih banyak guru PAI yang seharusnya sebagai model perilaku beragama ideal -baca: uswatun hasanah-- , justru menjadi model kontra-
47 Intervensi negara dengan cara merumuskan kurikulum nasional --standarisasi kurikulum-- dapat menghambat terwujudnya kehidupan berwawasan kebangsaan dan demokratis. Hikam menawarkan solusi, bahwa otonomi kelompok-kelompok, termasuk guru PAI di masyarakat diperbesar --dengan tanggung jawab penuh dan memerhatikan diversitas sosio-kultural, tentunya dengan menegasikan dominasi kelompok dominan--, serta intervensi negara terhadap kurikulum diperkecil, tentunya selama kurikulum yang dikembangkan masih selaras dengan empat pilar kebangsaan. Baca Muhammad AS Hikam, Islam, Demokratisasi, h. 9. Daron Acemoglu dan James A. Robinson menganalisa bahwa perlindungan terhadap hak-hak individu dalam beragama (inclusive political institutions) sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan di bidang yang lebih luas, khususnya bidang ekonomi. Maka, pemberian dan perlindungan kebebasan beragama dalam pembelajaran PAI oleh guru dapat mendorong keberhasilan individu-individu berkontribusi terhadap pembangunan negaranya di masa depan. Penjelasan secara komprehensif baca Ihsan Ali-Fauzi dan Samsu Rizal Panggabean (ed.). Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia; Sebuah Perdebatan. (Jakarta: PUSAD, 2012), h. 57. 48 Analisa ini diadopsi dari John Dewey, Democracy & Education, (Pennsylvania: The Pennsylvania State University, 2001) h. 87-88.
Mochammad zaka ardiansyah demokratis karena tidak berhasil mendisplay perilaku demokratis dalam pembelajaran. Dalam menganalisa isu serupa, Hikam menyatakan dalam analisa lebih luas bahwa agama sebagai struktur makna memiliki kemampuan menjelaskan dan mengkonstruksi realitas sosial dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda.49 Maka seyogyanya, guru agama sebagai manifestasi dari agama itu sendiri harus mampu membaca, menganalisis dan mengkonstruksi realitas sosio-kultur peserta didik, sehingga tercipta pembelajaran PAI yang nyaman, menyenangkan dan memberikan kesempatan peserta didik mengekspresikan tradisi keagamaannya, berdasarkan kultur keluarganya. Guna menghindari kejadian berulang, Guy Haarscher telah menawarkan solusi menarik yang disebutnya lowest common dominator policy, yakni agar setiap orang dapat mengekspresikan keyakinan religiusnya namun tanpa menerjang aturan hukum yang berlaku di negara multikultural, maka ketidaksetujuan guru PAI (melihat cara ibadah peserta didik yang berbeda dengannya) tidak boleh diekspresikan,50 atau dalam terminologi Masdar Hilmi tidak boleh ”mengguncang” (shock) orang lain.51 Kesadaran ini nampak pada tumbuhnya sikap legowo untuk menerima liyan sehingga harapan terbesar adalah tumbuhnya suasana kehangatan, saling menghargai dan menghormati sehingga masing-masing individu merasakan 49 Selama ini agama kerap hanya dipahami sebagai suatu epifenomena dari relasi produksi dan profit, sebagaimana pandangan Marxis-ortodoks, atau sebagai sistem makna prarasional (yang kerap mempertentangkan kesadaran agama dengan kesadaran rasional) dalam pemikiran Weberian. Analisis selengkapnya dapat disimak pada Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 140-141. 50 Guy Haarscher, Freedom of Religious in Context, Jurnal BYU Law Review, Volume 2002, Issue 2, h. 278. 51 Masdar Hilmi, “Quo Vadis Kebebasan Beragama”, Kompas, 1 Maret 2013.
Menguji Demokrasi Beragama Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam; Diferensiasi Atas Diversitas Sosio-Kultural kebebasan beragama sesuai amanat “kulturnya”52 dengan diarahkan dan diberikan pilihan kebenaran namun tidak dipaksakan. Jika guru PAI mampu menyelenggarakan pendidikan demokratis dengan mengedepankan diferensiasi peserta didik berdasarkan diversitas sosio-kultural, maka guru PAI telah berhasil memenuhi harapan masyarakat bahwa media yang paling relevan dalam membumikan dan mensosialisasikan demokrasi melalui empat pilar kebangsaan adalah guru dan dosen.53 E. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian ini, diperoleh data bahwa pertama, terdapat sebagian guru Pendidikan Agama Islam pada sekolah umum di Kota Surabaya yang tidak memahami konsep diversitas sosio-kultur dan diferensiasi peserta didik dengan baik, kedua terdapat sebagian guru yang tidak melakukan diferensiasi atas diversitas sosio-kultur peserta didik khususnya ranah ubudiyah-fiqhiyah-madzhabi, bahkan mereka melakukan diskriminasi dengan menyeragamkan dan berusaha tutup mata serta menghilangkan diversitas yang ada. Ketiga terdapat sebagian guru lain melakukan diferensiasi atas diversitas sosio-kultur peserta didik, namun masih 52
Ibid. BPS menyatakan 43% masyarakat percaya bahwa guru dan dosen merupakan figur yang paling dipercaya dalam melakukan sosialisasi empat pilar kebangsaan (kini dikenal sebagai empat pilar MPR). Baca Badan Pusat Statistik, Laporan Hasil Survey; Pandangan Masyarakat terhadap Kehidupan bernegara, (Jakarta: BPS, 2011) h. v dan 14. Senada dengan hasil survey BPS, Fuad Fachruddin dalam disertasinya Education for Democracy; Ideas and Practices of Islamic Civil Society Association in Indonesia menyatakan bahwa pendidikan idealnya dapat menjadi wahana pengembangan demokrasi dengan berperan menginternalisasi pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh tatanan masyarakat demokratis. Fuad Fachruddin, Education for Democracy; Ideas and Practices of Islamic Civil Society Association in Indonesia terj. Tufel Najib Musyadad (Jakarta: Alvabet, 2006), h. 4. Bandingkan dengan Fuad Fachruddin, “Education for Democracy; Ideas and Practices of Islamic Civil Society Association in Indonesia”, (Disertasi – University of Pittsburgh, 2005), h. 5. 53
Mochammad zaka ardiansyah inkonsisten, karena masih terindikasi berusaha melakukan pemaksaan pendapat dengan mengedepankan ego negatif kultural. Penulis menyarankan pada peminat kajian diferensiasi dalam pembelajaran pendidikan Islam untuk mengeksplorasi ragam pemasungan kebebasan mengekspresikan keragaman khilafiyah ubudiyah-fiqhiyah-madzhabi berbasis kultur peserta didik, khususnya dalam pembelajaran PAI di sekolah umum. Hasil penelitian ini menarik untuk dijadikan data awal guna mengeksplorasi ada atau tidaknya praktik diskriminasi dalam pembelajaran PAI yang dilakukan guru dengan menyeragamkan cara beribadah di sekolah umum di kawasan lain. DAFTAR PUSTAKA Ali-Fauzi, Ihsan. 2012. Mengelola Keragaman; Pemolosian Kebebasan Beragama di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina-MPRK UGM-Asia Foundation) Ali-Fauzi, Ihsan dan Samsu Rizal Panggabean (ed.). 2012. Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia; Sebuah Perdebatan. Jakarta: PUSAD Aminah, Siti dan Uli Parulian Sihombing. 2010. Buku Saku untuk Kebebasan Beragama; Memahami Kebijakan Rumah Ibadah, (Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center) Ardiansyah, Mochammad Zaka. 2012. “Perlakuan Guru Pendidikan Agama Islam terhadap Variasi Siswa pada Sekolah Umum di Kota Surabaya”, (Tesis - IAIN Sunan Ampel) Auda, Jasser. 2007. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: the International Institute of Islamic Thought.
Menguji Demokrasi Beragama Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam; Diferensiasi Atas Diversitas Sosio-Kultural Badan Pusat Statistik. 2011. Laporan Hasil Survey; Pandangan Masyarakat terhadap Kehidupan Bernegara. Jakarta: BPS Bagir, Zainal Abidin, dkk. 2013. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia. Yogyakarta: CRCS Pascasarjana UGM. Bridges, David (ed.). 1997. Education, Autonomy and Democratic Citizenship; Philosophy in a Changing World. London: Routledge Dewey, John. 2001. Democracy & Education. Pennsylvania: The Pennsylvania State University Fachruddin, Fuad. 2005. “Education for Democracy; Ideas and Practices of Islamic Civil Society Association in Indonesia”. Disertasi – University of Pittsburgh. _______________. 2006. Agama dan Pendidikan Demokrasi; Pengalaman Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, terj. Tufel Najib Musyadad. Jakarta: Alvabet Haarscher, Guy. Freedom of Religious in Context, Jurnal BYU Law Review, Volume 2002, Issue 2. Hamalik, Oemar. 2010. Psikologi Belajar Mengajar, Cet. 7. Bandung: Sinar Baru Agnesindo Hikam, Muhammad AS. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES _______________. 1999. Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society. Jakarta: Erlangga Hilmi, Masdar, “Quo Vadis Kebebasan Beragama”, Kompas, 1 Maret 2013 Hitti, Phillip K. 1942. History of the Arabs, Third Edition. London: Macmillan
Mochammad zaka ardiansyah Mahfud MD, Moh. Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi. artikel ICRP dipresentasikan pada 5 Oktober 2009 Peraturan Menteri Agama No. 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru Rosenbaum-Elliott, Richard et.al. 2011. Strategic Brand Management, second edition. Oxford: Oxford University Press. Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua, Terj. Tri Wibowo B.S. Jakarta: Kencana Slavin, R. E. 2008. Psikologi Pendidikan; Teori dan Praktek, Edisi Kedelapan, Jilid 1. Jakarta: Indeks Slavin, Robert E. 2006. Educational Psychology, Eight Edition. New York: Pearson Education. Soepandji, Budi Susilo, Stadium General; Respon Santri Terhadap Pancasila, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 10 Pebruari 2012. Sumanto, 1995. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan: Aplikasi Metode Kuantitatif dan Statistika dalam Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset. Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial – Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya The Wahid Institute. 2011. Lampu Merah Kebebasan Beragama; Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute. _______________. 2013. Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2013. Jakarta: The Wahid Institute.
Menguji Demokrasi Beragama Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam; Diferensiasi Atas Diversitas Sosio-Kultural Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural. Magelang: Indonesia Tera Tim PW LTN-NU Jawa Timur (ed.). 2008. Sarung dan Demokrasi: Dari NU untuk Peradaban Indonesia. Surabaya: Khalista Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Wahid, Abdurrahman. 2006. Islamku, Islam Anda dan Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute Watt, W. Montgomery. 1956. Mohammad at Medina. Oxford: Clarendon Press
Pustaka Non Teks Affan, (siswa kelas X-8 SMAN 15 Surabaya), Wawancara, Surabaya, 2 Maret 2012. Ikhwan (siswa kelas IX-1 SMP Suryo Nugroho Surabaya), Wawancara, Surabaya, 9 Maret 2012 M. Yatna (guru PAI SMA Barunawati Surabaya), Wawancara, Surabaya, 20 Pebruari 2012. Misri (guru PAI SMPN 3 Surabaya), Wawancara, Surabaya, 17 Pebruari 2012. Nadia, (siswa kelas X-8 SMAN 15 Surabaya), Wawancara, Surabaya, 2 Maret 2012
Mochammad zaka ardiansyah Nur Fahmi (guru PAI SMAN 15 Surabaya Surabaya), Wawancara, Surabaya, 17 Pebruari 2012. Sinta (siswa kelas IX-1 SMP Suryo Nugroho Surabaya), Wawancara, Surabaya, 9 Maret 2012 Siti Khodijah (guru PAI di SMP Suryo Nugroho Surabaya), Wawancara, Surabaya, 15 Pebruari 2012. Titik. (Kasi Kurikulum Dinas Pendidikan Kota Surabaya), Wawancara, Surabaya 7 Nopember 2011.