ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal LOGIKA merupakan jurnal resmi yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Kuningan. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk menyediakan sarana komunikasi dan publikasi ilmiah bagi peneliti dan staf pengajar dilingkungan Universitas Kuningan maupun dari luar Universitas Kuningan yang mempunyai komitmen terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Terbitan kali ini menghadirkan tulisan – tulisan yang merupakan hasil penelitian baik dalam bidang Pendidikan, Pertanian dan Kehutanan, Hukum, Ekonomi serta Teknologi Informasi. Tulisan-tulisan tersebut diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah dan inspirasi bagi tumbuhnya budaya ilmiah melalui ruang-ruang diskusi dan budaya menulis di kalangan civitas akademik Universitas Kuningan. Terbit 2 kali dalam setahun setiap bulan April dan September, Redaksi memberikan kesempatan kepada para peneliti, Dosen, pekarya tesis sarjana semua strata untuk menyumbangkan tulisannya. Makalah harus dipersiapkan dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan penulisan artikel ilmiah.
Kuningan, April 2014 Redaksi
1
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
DAFTAR ISI Hal Pengembangan Bahan Ajar Membaca Indah Berorientasi Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Apresiasi Puisi Pada Siswa SMP Kelas VII Semester II Asep Jejen Jaelani
3
Rancang Bangun Animasi Film Kartun Sejarah dan Kemajuan Universitas Kuningan sebagai Media Informasi dan Promosi Berbasis Adobe Flash Cs3 Iskanda, Panji Novantara , Tito Sugiharto,
11
Pengembangan Model Pendidikan Keaksaraan Berbasis Kearifan Lokal di Desa Silebu, Kecamatan Pancalang, Kabupaten Kuningan Ida Hamidah
27
Model Pendekatan Sosial Penyuluhan Kepada Masyarakat dalam Penyerapan Teknologi Baru Pertanian (Study Kasus Kabupaten Kuningan) Ika karyaningsih
37
Konversi LKPD Versi PP NO. 24 Tahun 2005 Menjadi LKPD VERSI PP NO. 71 Tahun 2010 (Studi Kasus pada Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan) Neni Nurhayati
47
Pembelajaran Membaca Permulaan Melalui Metode Analisis Glass bagi Siswa Berkesulitan Membaca (Reading Difficulties) (Studi Kasus pada Siswa Kelas III SDN 1 Cineumbeuy - Kuningan) Ifah Hanifah
53
Assessmen Kinerja Mahasiswa pada Praktikum dan Korelasinya dengan Peningkatan Pemahaman Konsep pada Mata Kuliah Mikrobiologi Ilah Nurlaelah, Ina Setiawati
69
Manajemen Model Analisis Neraca Air di Wilayah Kabupaten Kuningan Bagian Timur Ai Nurlaila, Oding Syafrudin
77
Identifikasi Morfologi Tumbuhan Kawasan Hutan Lindung Gunung Tilu Kabupaten Kuningan Nina Herlina, Ika Karyaningsih
87
Pengaruh Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Dosen di Fkip Universitas Kuningan Yeyen Suryani & Iyan Setiawan
103
Pengaruh Pasar Modern Terhadap Perkembangan Pasar Tradisional (Studi Kasus Di Pasar Kramatmulya ). Yoyo Sunaryo N . Erin Ferdian,
117
2
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Pengembangan Bahan Ajar Membaca Indah Berorientasi Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Apresiasi Puisi pada Siswa SMP Kelas VII Semester II Asep Jejen Jaelani Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kuningan
Abstrak Bahan pembelajaran/bahan ajar memiliki kedudukan strategis dalam kurikulum. Bahan ajar dalam hal ini adalah bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia, merupakan sarana untuk mencapai standar kompetensi berbahasa dan bersastra siswa sesuai tuntutan kurikulum. Kalau kita mengacu pada strategi pengembangan KTSP, bahan ajar tersebut harus disusun dan dirancang oleh guru sesuasi dengan kebutuhan siswa. Namun pada kenyataannya, banyak guru yang tetap “mendewakan” buku teks sebagai pegangan dan malas mengembangkan bahan ajar sendiri. Akibatnya pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya sastra menjadi kurang menarik karena pemilihan bahan ajar yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan produk berupa bahan ajar yang berbentuk modul untuk pembelajaran membaca indah di SMP kelas VII semester II. Pendekatan penelitian dalam tesis ini adalah pendekatan penelitian dan pengembangan model Borg and Gall. Namun, karena keterbatasan waktu, penelitian pengembangan ini hanya melaksanakan lima tahapan, yakni (1) analisis teoritis dan praktis, (2) analisis kebutuhan guru dan peserta didik, (3) penyusunan prototipe modul membaca indah, (4) uji ahli dan guru, dan (5) revisi prototipe berdasarkan uji ahli dan guru. Hasil penelitian pengembangan ini dapat disajikan sebagai berikut. (1) rata-rata skor analisis kebutuhaan peserta didik dalam penyedian bahan ajar membaca indah adalah 63 sehingga dapat disimpulkan peserta didik sangat memerukan bahan ajar membaca indah. Untuk skor analisis kebutuhan guru dalam penyediaan bahan ajar membaca indah adalah 58 sehingga dapat disimpulkan bahwa guru sangat memerlukan bahan ajar membaca indah. Sementara itu untuk bahan ajar yang digunakan peserta didik dalam pembelajaran membaca indah adalah 100%. Sedangkan bahan ajar yang digunakan guru adalah 10% guru menggunakan secara terintegrasi beberapa bahan ajar berupa LKS, buku pelajaran, diktat, dan buku lainnya, 20% Guru hanya menggunakan LKS saja, dan 70% Guru menggunakan LKS dikombinasikan dengan buku pelajaran. (2) Produk pengembangan dalam penelitian ini berupa bahan ajar membaca indah berbentuk modul yang dilengkapi dengan CD pembacaan puisi dan berdasarkan penilaian ahli dan guru berkategori cukup. (3) Perbaikan yang dilakukan antara lain desain cover, petunjuk penggunaan modul untuk guru, variasi ukuran huruf, ejaan, kalimat efektif, dan penjelasan untuk perbedaan pengertian konsep membaca indah dengan deklamasi puisi. Berdasarkan uji coba kepada peserta didik bahan ajar membaca indah hasil pengembangan berkategori baik dan layak dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran membaca indah di SMP kelas VII semester II. Kata kunci : Bahan ajar, membaca indah
3
ISSN 2085-9970
Pendahuluan Bahan pembelajaran/bahan ajar memiliki kedudukan strategis dalam kurikulum. Bahan ajar dalam hal ini adalah bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia, merupakan sarana untuk mencapai standar kompetensi berbahasa dan bersastra siswa sesuai tuntutan kurikulum. Kalau kita mengacu pada strategi pengembangan KTSP, bahan ajar tersebut harus disusun dan dirancang oleh guru sesuasi dengan kebutuhan siswa. Namun pada kenyataannya, banyak guru yang tetap “mendewakan” buku teks sebagai pegangan dan malas mengembangkan bahan ajar sendiri. Akibatnya pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya sastra menjadi kurang menarik karena pemilihan bahan ajar yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Salah satu standar kompetensi pembelajaran sastra di kelas VII SMP adalah memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan buku cerita anak. Standar kompetensi tersebut tercantum dalam kompetensi dasar membaca indah puisi dengan menggunakan irama, volume suara, mimik, kinesik yang sesuai dengan isi puisi. Membaca indah merupakan salah satu kegiatan apresiasi puisi. Selain itu, membaca indah juga merupakan salah satu bentuk pertunjukan puisi. Dengan membaca indah, seseorang dapat mengekspresikan pemahaman terhadap isi puisi melalui vokal, mimik, dan kinesik (gesture) sehingga dapat dinikmati oleh orang lain. Oleh karena itu, pembelajaran membaca indah merupakan salah satu kegiatan apresiasi sastra yang perlu dikaji lebih mendalam. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan guru dan siswa, diperoleh informasi bahwa siswa cenderung mengalami kesulitan dalam hal membaca indah. Hal ini dikarenakan 4
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
kurangnya pemahaman guru dan siswa terhadap teknik-teknik membaca indah. Pada saat mengajarkan puisi, pada umumnya, guru hanya memberi contoh pembacaan puisi kemudian menugaskan kepada siswa untuk membaca indah. Hal ini disebabkan guru kurang menguasai teknik-teknik membaca indah karena kurangnya bahan ajar yang membahas cara memahami isi puisi dan membaca indah. Dari ilustrasi di atas, penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan bahan ajar membaca indah yang relevan dengan kebutuhan siswa, sehingga pembelajaran membaca indah dapat berjalan dengan baik. Bahan ajar membaca puisi ini disusun untuk siswa SMP dengan harapan setelah menggunakan bahan ajar ini, mereka dapat memetik manfaat dan menerapkannya dalam kegiatan membaca indah. Dengan demikian, kegiatan membaca puisi tidak hanya terbatas pada melatih pengucapan dan gerak tubuh saja, melainkan melatih pemahaman dan penjiwaan atau penghayatan terhadap isi dari puisi tersebut. Berdasarkan hal di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut. 1) Bagaimana profil bahan ajar membaca indah dalam pembelajaran apresiasi puisi terlangsung siswa SMP kelas VII semester II di Kuningan? 2) Bagaimana prototipe bahan ajar membaca indah siswa SMP kelas VII semester II di Kuningan? 3) Bagaimana perbaikan prototipe bahan ajar membaca indah siswa SMP kelas VII semester II di Kuningan?
ISSN 2085-9970
Pembahasan a. Teori Bahan ajar (teaching material) menurut Dick & Carey (2001:229) merupakan seperangkat materi/substansi pelajaran yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Bahan ajar juga diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai (Depdiknas, 2006: 1). Menurut Majid (2009:173) bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam melaksanakan belajar mengajar. Bahan ajar merupakan informasi, alat, dan teks yang diperlukan guru untuk perencanaan dan penelahaan implementasi pembelajaran. Menurut Joni (dalam Widyartono, 2012:1) bahan ajar merupakan spesifikasi pengalaman belajar dalam bentuk penstrukturan kegiatan pembelajaran yang kaya dengan variasi sehingga dapat memberikan efek pengiring yang sama efeknya dengan pencapaian tujuan-tujuan pembelajaran. Untuk mencapainya, bahan ajar harus mencakup semua bahan, alat, dan cara yang ditata secara sistematis, mahasiswa/siswa tujuan tertentu. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas yang harus ditata secara sistematis bergantung kebutuhan siswa. Bahan tersebut bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis.
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Bahan ajar yang dihasilkan dapat berupa bahan cetak, audio, visual, audio visual, dan multi media. Majid (2009:174) menyatakan bahwa bentuk bahan ajar paling tidak dapat dikelompokkan menjadi (1) bahan ajar cetak (printed) contohnya buku, modul, lembar kerja siswa; (2) bahan ajar dengar (audio) contohnya kaset, radio, piringan hitam, dan compact disk audio; (3) bahan ajar pandang dengar (audio visual) contohnya video compact disk, film; dan (4) bahan ajar interaktif (interactive teaching material) seperti compact disk interaktif. Bahan ajar dapat dibedakan menjadi berbagai macam. Salah satunya adalah modul. Sebagai salah satu bahan ajar cetak, modul merupakan suatu paket belajar yang berkenaan dengan satu unit bahan pelajaran. Dengan modul siswa dapat mencapai dan menyelesaikan bahan belajarnya dengan belajar secara individual. Mengembangkan modul berarti mengajarkan suatu mata pelajaran melalui tulisan. Oleh karena itu, prinsip-prinsip yang digunakan dalam mengembangkan modul sama dengan yang digunakan dalam pembelajaran biasa. Bedanya adalah, bahasa yang digunakan bersifat setengah formal dan setengah lisan, bukan bahasa buku teks yang bersifat sangat formal. Ada tiga teknik yang dapat dipilih dalam menyusun modul. Ketiga teknik tersebut menurut Sungkono (2003:10), yaitu menulis sendiri, pengemasan kembali informasi, dan penataan informasi. Purwanto (2007:15) menjelaskan bahwa desain pengembangan modul terdiri dari: (1) tahap perencanaan; (2) tahap penulisan; (3) tahap review, uji coba, dan revisi; dan (4) tahap finalisasi dan pencetakan.
5
ISSN 2085-9970
b. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil perhitungan kuesioner, bahan ajar membaca indah yang digunakan oleh peserta didik adalah 100% menggunakan LKS. Sedangkan penggunaan bahan ajar membaca indah yang digunakan oleh guru adalah 10% guru menggunakan secara terintegrasi beberapa bahan ajar berupa LKS, buku pelajaran, diktat, dan buku lainnya, 20% Guru hanya menggunakan LKS saja, dan 70% Guru menggunakan LKS dikombinasikan dengan buku pelajaran. Berdasarkan pengolahan data, skor rata-rata kebutuhan seluruh subjek penelitian peserta didik sebesar 63. Ini berarti peserta didik sangat perlu bahan ajar membaca indah berbentuk modul. Sementara itu, rata-rata kebutuhan guru mencapai skor 58,4 sehingga berkategori sangat diperlukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peserta didik dan guru memerlukan bahan ajar membaca indah berbentuk modul. Produk pengembangan dalam penelitian ini berupa bahan ajar membaca indah berbentuk modul yang dilengkapi dengan CD pembacaan puisi. Produk pengembangan ini telah melalui serangkaian proses dari analisis teroretis dan praktis, analisis kebutuhan peserta didik dan guru, serta telah dinilai oleh guru mata pelajaran. Selain itu, produk pengembangan tersebut telah dinilai oleh pakar pembelajaran bahasa dan sastra juga pakar kebahasaan dan kesastraan. Berdasarkan proses panjang itu, modul membaca indah yang dihasilkan berkategori cukup dan perlu perbaikan sesuai dengan saran dari guru dan pakar. Berdasarkan penilaian guru dan pakar modul membaca indah yang dihasilkan masih berkaegori cukup dan perlu perbaikan sesuai dengan saran dari guru dan pakar tersebut. Perbaikan yang dilakukan antara lain desain cover, petunjuk penggunaan modul untuk guru, 6
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
variasi ukuran huruf, ejaan, kalimat efektif, dan penjelasan untuk perbedaan pengertian konsep membaca indah dengan deklamasi puisi. Berdasarkan perbaikan tersebut, modul diuji cobakan kepada peserta didik. Uji coba tersebut dilakukan dengan pre-test dan post-test. Pre-test dilakukan untuk mengetahui hasil belajar membaca indah sebelum menggunakan modul dan post-test dilakukan untuk mengetahui hasil belajar membaca indah setelah menggunakan modul. Hasil pretest diperoleh sebanyak 80% siswa belum mampu membaca indah dengan baik. Sedangkan dari hasil post-test diperoleh sebanyak 80% siswa mampu membaca indah dengan baik setelah menggunakan modul Terampil Membaca Indah hasil pengembangan. Dari hasil uji coba tersebut memperoleh gambaran bahwa modul Terampil Membaca Indah layak dijadikan bahan ajar. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Bahan ajar membaca indah yang digunakan oleh siswa dan guru didominasi olek LKS. Sebanyak 100% siswa menggunakan LKS dan 70% guru menggunakan LKS yang dikombinasikan dengan buku teks. Berdasarkan tingkat kebutuhan guru dan siswa menyatakan bahwa sangat perlu bahan ajar membaca indah yang berbentuk modul dan dilengkapi dengan CD contoh pembacaan puisi. 2) Prototipe bahan ajar yang dihasilkan adalah modul membaca indah yang dilengkapi dengan CD contoh pembacaan puisi. 3) Berdasarkan penilaian guru & pakar, perbaikan produk pengembangan dilakukan pada desain cover, petunjuk penggunaan modul untuk guru, variasi ukuran huruf, ejaan, kalimat efektif,
ISSN 2085-9970
dan penjelasan untuk perbedaan pengertian konsep membaca indah dengan deklamasi puisi. Setelah modul tersebut diperbaiki sesuai saran guru dan pakar, maka modul tersebut diuji coba kepada siswa. Dari hasil uji coba tersebut dinyatakan bahwa modul membaca indah hasil pengembangan layak untuk dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran apresiasi puisi.
Daftar Pustaka Aftarudin, Pesu. (1990). Pengantar Apresiasi Puisi. Bandung: Angkasa. Atmoko, Sigit Setyo. (2010). Pengembangan Buku Pelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Kesantunan Untuk Siswa SMP/MTs Kelas VII Semester 1 (Tesis). Semarang: PPs Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang. Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Asnimarwati. (2007). Kemampuan Memahami Makna Puisi Siswa Kelas 2 SMU Muhammadiyah 7 Malang Tahun Pelajaran 1996/1997 (Skripsi). Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Borg, W.R. & Gall, M.D. (1983). Educational Research: An Introduction. London: Longman, Inc. Depdiknas. (2003). Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Berbasis Kompetensi SMP. Jakarta: Dirjen Dikdasmen. _________. (2005). Pedoman Penulisan Buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta : Pusat Perbukuan. __________. (2006). Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar. Jakarta : Pusat Perbukuan.
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
__________. (2008). Teknik Penyusunan Modul. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMK. __________. (2009). Modul MGMP (Kesastraan). Jakarta: Dirjen PMPTK. Dick, Walter & Lou Carey. (2001). The Systematic Design of Instruction. New York: Longman. Effendi, S. (2002). Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya. Esten. (1995). Memahami Puisi. Bandung: Angkasa. Furchan, Arief. (2011). Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hamalik, Oemar. (2007). Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hakiim, Lukmanul. (2009). Perencanaan Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima. Hernowo. (2005). Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar dengan Menggunakan Pendekatan Kontekstual. Bandung: MLC. Indriyanti. (2010). Pengembangan Modul (Makalah disampaikan pada Pelatihan Pembuatan Modul bagi Guru SMP se-Surakarta). Surakarta: LPPM Universitas Sebelas Maret. Ismayanti. (2011). Pengembangan Media Pembelajaran Apresiasi Puisi Berbasis Multimedia Interaktif pada Siswa SMA (Skripsi). Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Johnson, E.B. (2001). Texbooks in the Kalediescope, A Critical Survey of Literature and Research on Educational Text. Tonsberg: Vestfold College. Johnson, LouAnne. (2009). Pengajaran yang Kreatif dan Menarik. Jakarta: PT. Indeks. Lemlit UNJ & Proyek Pembinaan Kurikulum Pusat Kurikulum 7
ISSN 2085-9970
Balitbang Depdiknas. (2003). Bahan Ajar Bermuatan Imtaq dan Iptek untuk TK & RA-12. Jakarta: Lemlit UNJ LPMP Jateng. (2006). Pengembangan Bahan Ajar. Semarang: LPMP Jateng. Majid, Abdul. (2009). Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mbulu & Suhartono. (2004). Pengembangan Bahan Ajar. Malang: Elang Mad. Mulyasa, E. (2007). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. __________. (2009). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyati, Yeti. (2002). Pokok-Pokok Pikiran Tentang Penulisan Modul Bahan Ajar Dan Diklat (Makalah Disampaikan dalam Pendidikan dan Latihan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris bagi Widyaiswara BPG, PPPG, dan Instruktur, pada tanggal 15 s.d. 25 Juni 2002 di PPPG Jalan Gardu, Srengseng Sawah Jagaraksa, Jakarta Selatan). Jakarta: Pusat Pengembangan dan Penataran Guru Bahasa. Mulyono, Pudji. (2001). Pedoman Penyusunan Modul (Makalah disampaikan pada Diskusi dengan Staf Pengajar Program Diploma III Manajemen Agribisnis, Jurusan Sosek Faperta IPB pada tanggal 9 April 2001). Bogor: IPB. Nurhadi, dkk. (2004). Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang. Prendergast, M. (2002). Action research: The improvement of student and teacher learning. http://educ.queensu.ca/ ar/reports/M P2002.htm 8
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Purwanto, dkk. (2007). Pengembangan Modul. Jakarta: Depdiknas. Rosalin, Elin. (2008). Gagasan Merancang Pembelajaran Kontekstual. Bandung: PT. Karsa Mandiri Persada. Rusyana, Y. & Maman Suryaman. (2003). Pedoman Penulisan Buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SD, SMP, dan SMA. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas. Sanjaya, Wina. (2005). Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana. Santyasa, I Wayan. (2009). Metode Penelitian Pengembangan dan Teori Pengembangan Modul.( Makalah disajikan dalam Pelatihan Bagi Para Guru TK, SD, SMP, SMA, dan SMK, Bali 12-14 Januari 2009). Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Saryono, Djoko. (2009). Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing. Sujadi. (2002). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Sukardi. (2011). Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: PT Bumi Aksara. Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta. Sukmadinata, Nana Syaodih. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sungkono, dkk. (2003). Pengembangan Bahan Ajar. Yogyakarta: FIP UNY. Supriyadi. (2001). Pedoman Pengembangan Buku Pelajaran. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas. Susanti, Febilya. (2009). Pengembangan Bahan Ajar Membaca Indah Puisi bagi Siswa SMP Kelas VII Semester II. Skripsi. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.
ISSN 2085-9970
Susilana, Rudi & Cepi Riyana. (2009). Media Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima. Tian Belawati, dkk. (2003). Pengembangan Bahan Ajar . Jakarta: Pusat Penerbitan UT. Tim Puslitjaknov. (2008). Metode Penelitian dan Pengembangan. Jakarta: Pusat Penelitian Kebijakan Dan Inovasi Pendidikan Badan Penelitian Dan Pengembangan Tomlison, Brian (ed). (1998). Material Development in Language Teaching. Cambridge: Cambridege University. Trisnayati, Nunik. (2011). Kemampuan Membaca Indah Puisi Siswa Jurusan Bahasa Semester 2 SMAN I Talun (Skripsi). Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Undang-Undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003.
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Uno,
Hamzah B. (2008). Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar-Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara. Widijanto, Tjahjono. (2007). Pengajaran Sastra yang Menyenangkan. Bandung: PT. Pribumi Mekar. Widyartono, Didin. (2007). Pengembangan Media Interaktif Berbasis Kompetensi untuk Pembelajaran Membaca Puisi (Skripsi). Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Wirasti, dkk. (2003). Pengembangan Bahan Ajar. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Pendidikan UNY. Wiyanto, Asul. (2005). Kesusastraan Sekolah. Jakarta: Grasindo. W.S., Hassanuddin. (2002). Membaca dan Menilai Sajak. Bandung: Angkasa.
9
ISSN 2085-9970
10
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Rancang Bangun Animasi Film Kartun Sejarah dan Kemajuan Universitas Kuningan sebagai Media Informasi dan Promosi Berbasis Adobe Flash Cs3 Iskandar, Panji Novantara, Tito Sugiharto Dosen Universitas Kuningan
Abstrak Film kartun yang ditayangkan setiap hari di stasiun televisi banyak disenangi oleh pemirsa, tidak hanya oleh anak-anak tetapi juga orang dewasa. Film kartun dapat juga dijadikan sebagai media promosi digital dan sebagai media informasi. Universitas Kuningan adalah sebuah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) pertama yang berdiri di Kabupaten Kuningan. Universitas Kuningan didirikan sebagai perwujudan dari idealisme komitmen Yayasan Sang Adipati Kuningan untuk terus menerus berkarya khususnya dalam bidang pendidikan. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk membuat sebuah rancangan media animasi berbentuk film kartun yang bertujuan sebagai media promosi dan informasi tentang keberadaan Universitas Kuningan. Dalam proses pembuatannya dilakukan dalam empat tahapan, yaitu: pengembangan, pra produksi, produksi, dan pasca produksi Kata kunci Film kartun, Universitas Kuningan, pra produksi, produksi, pasca produksi.
Pendahuluan Penggunaan komputer untuk menghasilkan kartun yang profesional sudah diawali dengan kartun-kartun yang dibuat di Hollywood, Amerika Serikat. Di Indonesia, keberadaan film kartun masih didominasi oleh pihak asing seperti Jepang, Autralia dan Amerika. Saat ini, di Indonesia juga sudah mulai bermunculan forum-forum yang membahas tentang animasi kartun dan beberapa perusahaan yang memfokuskan diri dibidang animasi kartun. Akan tetapi jumlah perusahaan pembuat film kartun di Indonesia masih sedikit sekali. Film kartun yang ditayangkan setiap hari di stasiun televisi banyak disenangi oleh pemirsa, tidak hanya oleh anak-anak tetapi juga orang dewasa. Hal ini dikarenakan film kartun dapat menampung segala daya imajinasi manusia didalamnya. Manusia pada dasarnya
mempunyai sifat ingin bebas berekspresi dan tidak mau dibatasi oleh apapun seperti yang ditemui pada kehidupan sehariharinya. Film kartun dapat juga dijadikan sebagai media promosi digital dan sebagai media informasi. Universitas Kuningan adalah sebuah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) pertama yang berdiri di Kabupaten Kuningan. Universitas Kuningan didirikan sebagai perwujudan dari idealisme komitmen Yayasan Sang Adipati Kuningan untuk terus menerus berkarya khususnya dalam bidang pendidikan. Secara umum rumusan permasalahan yang terdapat pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Belum terdapatnya suatu media informasi dan promosi berbasis multimedia untuk memperkenalkan Universitas Kuningan.
11
ISSN 2085-9970
2. Proses pembuatan animasi film kartun mulai dari tahap pengembangan, pra produksi, produksi dan pasca produksi sulit untuk dirancang dan dibuat. Pada penelitian ini dibahas mengenai bagaimana merancang film kartun “Sejarah dan Kemajuan Universitas Kuningan sebagai media informasi dan promosi” secara bertahap mulai dari tahap pengembangan, pra produksi, produksi dan pasca produksi. Selain itu, dibahas juga mengenai bagaimana merancang aplikasi yang dapat menarik dan menggugah. Ruang lingkup pemanfaatan teknologi komputer, khususnya teknologi multimedia sangat luas. Oleh karena itu, untuk lebih memudahkan penyusunan Proposal ini dan untuk memfokuskan pembahasan, dalam hal ini penulis membatasi ruang lingkup yang lebih sempit yaitu : 1. Aplikasi ini berupa multimedia 2D ( dua dimensi ) dibuat dengan software Adobe Flash CS3. 2. Menganalisa cerita film kartun dan merancang film kartun mulai dari tahap pengembangan, pra produksi, dan pasca produksi. 3. Film kartun ini berdurasi minimal 5 menit maksimal 10 menit. Film kartun ini membahas tentang sejarah berdirinya Universitas Kuningan dan perkembangan kemajuannya. Adapun tujuan penelitian dari perancangan animasi multimedia interaktif ini adalah sebagai berikut : 1. Dapat merancang film kartun 2D yang efektif. 2. Sebagai media alternatif untuk menginformasikan atau mengingatkan sejarah dan perkembangan Universitas Kuningan. 3. Sebagai media promosi menarik Universitas Kuningan berbentuk film animasi kartun 2D.
12
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
4. Menambah pengalaman secara langsung melalui perancangan suatu proyek multimedia film kartun. Istilah multimedia berasal dari teater, bukan komputer. Pertunjukan yang memanfaatkan lebih dari satu medium sering kali disebut pertunjukan multimedia. Sistem multimedia dimulai pada akhir 1980-an dengan diperkenalkannya Hypercard oleh Apple pada tahun 1987, dan pengumuman oleh IBM pada tahun 1989 mengenai perangkat lunak Audio Visual Connection ( AVC ) dan Video Adhapter Card. 1. Multimedia menurut etimologinya berasal dari kata multi yang berarti banyak dan dari kata media yang berarti sarana komunikasi untuk memberikan informasi. Multimedia juga merupakan suatu sistem yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak dan alat-alat lain seperti : televisi, monitor, video, dan sistem piringan optik yang dimaksudkan untuk menghasilkan penyajian audio visual penuh. Multimedia mempunyai peranan yang sangat penting karena saat ini multimedia dijadikan salah satu alat untuk bersaing di era globalisasi ini. Di samping itu pada abad 21 ini multimedia akan menjadi ketrampilan dasar yang sama pentingnya dengan ketrampilan membaca. Animasi adalah memberi arti “menghidupkan” suatu benda atau obyek yang seolah-olah bergerak hidup sehingga dapat dinikmati dan dirasakan, adegan dalam menggerakkan wayang dalam seni wayang kulit merupakan cikal bakal animasi sehingga animasi modern merupakan salah satu unsur penunjang yang sangat penting dalam memproduksi sebuah aplikasi multimedia. Prinsip dasar animasi adalah menjalankan gambar1
M.Suyanto, 2003. Multimedia Alat Untuk Meningkatkan Keunggulan Bersaing, Andi Offset, halaman 20
ISSN 2085-9970
gambar yang terlihat frame per frame secara berangkaian dan hampir bersamaan, sehingga terlihat seolah gambar tersebut bergerak. 2 Sebuah karya film kartun tidak akan terlihat bagus jika cerita yang disuguhkan dalam film tersebut juga tidak menarik. Untuk membuat cerita yang bagus sangat diperlukan struktur cerita yang jelas. Cerita tersebut harus memiliki awalan, nilai tengah, dan akhir cerita yang sering disebut babak. Syarat menjadi seorang penulis tidaklah sulit tapi tidak cukup hanya dengan menulis sebuah cerita. Hal paling penting yang harus diperhatikan adalah bagaimana cara kita memunculkan ide atau gagasan kemudian baru menuliskannya. Setiap orang pastilah mempunyai cara masing-masing dalam mencari ide. Ide merupakan hal yang mendasar untuk mengembangkan sebuah karya film animasi. Ide dapat diinspirasikan dari berbagai hal, misalnya pengalaman pribadi, legenda, cerita rakyat, mitos, kehidupan sehari-hari, pendidikan, perjalanan dan lain sebagainya. Setelah semua ide terkumpul, maka langkah berikutnya adalah menentukan tema sebuah cerita. Tema pada sebuah film biasanya mengerucut pada satu kata. Tema dari sebuah film bisa beragam dan berbeda-beda, misalnya kepahlawanan, perjuangan, petualangan, cinta, pendidikan, dan masih banyak tema-tema lainnya. Dalam film kartun “SEJARAH DAN KEMAJUAN UNIVERSITAS KUNINGAN“ ini penulis mengambil tema pokok tentang “promosi“. Dengan tema yang jelas maka alur cerita bisa disusun dengan mudah. Film kartun ini 2
Hariyanto, Seminar Animasi dan Kartun, Bening Animasi, AMIKOM tanggal 26 Mei 2002
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
mengambil tema “promosi“ karena, dengan promosi yang baik dan tepat maka pesan yang akan disampaikan akan diterima dengan baik. Sebelum menulis cerita, diperlukan inti cerita. Sebuah logline merupakan plot yang dituangkan dalam sedikit mungkin kata-kata yang digunakan. Sedangkan Plot adalah sesuatu yang lebih tinggi dan kompleks daripada cerita, mengandung unsur misteri, untuk dapat memahaminya harus ada unsur intelgensia dan kejelasan antar peristiwa yang dikisahkannya. Sebuah cerita biasanya dimulai dengan dua buah kata yaitu ”Bagaimana jika?” dan untuk membangun cerita tersebut ditambahkan dua kata lagi ”Dan kemudian”. Contohnya, logline dari cerita film kartun ” SEJARAH DAN KEMAJUAN UNIVERSITAS KUNINGAN” ini adalah ”Bagaimana jika di Kabupaten Kuningan tidak ada Universitas Kuningan dan kemudian bagaimana masyarakat Kuningan dapat memperoleh pendidikan yang lebih tinggi”. Setelah logline ditemukan, hal berikutnya yang dilakukan adalah menulis sinopsisnya. Sinopsis merupakan gambaran keseluruhan cerita kasar dari cerita film. Untuk mengembangkan cerita, ada 7 pertanyaan dasar yang harus dijawab, yaitu : 1. Siapakah tokoh utamanya? Olga. 2. Apa yang diinginkan / didambakan tokoh utama? Olga memiliki keinginan untuk masuk ke perguruan tinggi yang bagus. 3. Siapa / apa yang menghalangi tokoh utama untuk mendapatkan yang diinginkannya? Sahabat-sahabatnya yang belum meyakini bahwa Universitas Kuningan adalah perguruan tinggi yang bagus dan berkualitas.
13
ISSN 2085-9970
4. Bagaimana pada akhirnya tokoh utama berhasil mencapai apa yang dicita-citakannya dengan cara yang luar biasa, menarik, dan unik? Dengan penjelasan dan pendekatan yang baik dari Bapak Rektor akhirnya olga dan teman-temannya tertarik untuk masuk ke perguruan tinggi Universitas Kuningan. 5. Apa yang ingin Anda sampaikan dengan mengakhiri cerita seperti ini? Penjelasan dan pendekatan yang baik dalam menyampaikan suatu informasi akan lebih berhasil dalam mempromosikan suatu Universitas. 6. Bagaimana Anda mengisahkan cerita Anda?
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Dengan sudut pandang orang ketiga, beberapa cerita flashback, dengan kekuatan musik, dan kekuatan doa. 7. Bagaimana tokoh utama dan tokohtokoh pendukung lain mengalami perubahan dalam cerita ini? Olga dan teman-temannya akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke Universitas Kuningan setelah mendapat ajakan dari chelsea dan penjelasan dari pak Rektor. Diagram scene secara umum terdiri dari 3 (tiga) babak, yaitu Awal (25%), Tengah (50%), Akhir (25%). Sebuah babak dalam cerita memiliki sasaran atau ketentuan guna memperjelas cerita dengan urutan yang jelas dan menarik.
Gambar 1. Diagram Scene Film Kartun Pengenalan Universitas Kuningan
14
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Penulisan skenario dikerjakan oleh seorang scriptwriter, ditulis dengan gaya penulisan yang berbeda dengan naskah. Skenario berguna dalam memastikan pengambilan adegan, aksi tokoh, dialog antar tokoh-tokohnya, hingga suara-suara yang diinginkan dalam film, baik suara berupa efek, maupun berupa musik ilustrasi. Dalam film nyata pengambilan gambar dapat diambil dengan mudah oleh kameraman dengan menggunakan kamera video. Sutradara dapat mengambil posisi dan sudut pandang tiap adegan tanpa kesulitan berarti. Sedangkan dalam film kartun, pengambilan gambar direncanakan dengan menggunakan imajinasi terlebih dahulu, membayangkan sudut pandang yang pas dan enak dilihat Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat keras yang
digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini: Tabel 1. Perangkat Keras Perangkat Keras Notebook Smartphone VGA
Nama ASUS I3-370M Samsung Galaxy Tab Nvidia GeForce 310 VRAM
Perangkat lunak yang digunakan terdiri dari perangkat lunak pengembangan aplikasi dan perangkat lunak pendukung aplikasi. Gambaran lengkap perangkat lunak yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini:
Tabel 2. Tabel Perangkat Lunak Pengembangan dan Pendukung Perangkat Lunak Pembuatan Animasi
Nama Adobe Flash
Editing Suara
Adobe Audition
Pembuatan Background
Adobe Photoshop
Rendering
Adobe Affter Effecr
Sistem Operasi
Windows 7
Dalam penelitian ini dibuat sebuah flowchrat untuk menggambarkan jalan penelitian. Dengan adanya flowchart proses penelitian dapat berjalan menurut waktu dan jadwal yang telah
Jenis Perangkat Pengembangan Perangkat Pengembangan Perangkat Pengembangan Perangkat Pendukung Perangkat Pendukung
Lunak Lunak Lunak Lunak Lunak
direncanakan. Dengan adanya flowchart diharapkan hasil penelitian menjadi lebih baik juga. Jalan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
15
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Mulai
Identifikasi Masalah
Analisis Kebutuhan
Analisis Kebutuhan Lengkap
Merancang Business Modeling
Melakukan Analysis&Design
Melakukan Implementasi
Melakukan Test
Melakukan Deployment Melakukan Konfigurasi
Selesai
Gambar 2. Flowchart Penelitian Pembahasan Dalam tahap mendefinisikan masalah ini, maksud dan tujuannya adalah menggali dan mengembangkan ilmu dalam bidang multimedia perancangan animasi film kartun. Masalah yang dihadapi adalah : “ Bagaimana langkah-langkah dalam membuat film animasi kartun SEJARAH 16
DAN KEMAJUAN UNIVERSITAS KUNINGAN agar lebih tersusun dan berurut? “ Pemecahan masalah : Untuk mengatasi hal tersebut penulis mencoba membuat film animasi kartun SEJARAH DAN KEMAJUAN UNIVERSITAS KUNINGAN dimulai dengan beberapa langkah-langkah yang
ISSN 2085-9970
praktis dalam upaya membuat film kartun yang sederhana dan menarik, yaitu mulai dari pembuatan karakter, storyboard, pewarnaan, pengeditan, pengisian suara, sampai pada proses rendering. Konsep penyusunan langkah-langkah dalam membuat film animasi kartun SEJARAH DAN KEMAJUAN UNIVERSITAS KUNINGAN ini adalah untuk memberikan alternatif cara dalam membuat sebuah film animasi kartun yang menarik.
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Pembuatan film animasi kartun SEJARAH DAN KEMAJUAN UNIVERSITAS KUNINGAN memadukan unsur penting yaitu cerita dan animasi. Banyak sekali cerita berupa legenda, mitos atau hanya sebuah cerita dari sepenggal peristiwa. Sebuah peristiwa dapat diceritakan atau digambarkan melalui kalimat-kalimat yang tersusun dan membentuk sebuah gambar peristiwa tersebut.
17
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Tahap- tahap pembuatan film kartun SEJARAH DAN KEMAJUAN UNIVERSITAS KUNINGAN :3 Project Film
RISET DAN PENGUMPULAN DATA
Menentukan tema cerita tujuan cerita Membuat sinopsis dan skrip Memunculkan karakter sifat-sifat dan ciri Pengumpulan dokumentasi Peta lokasi Standard properti dan vegetasi Membuat workbook
PRA PRODUKSI
Membuat standard karakter tokoh Membuat standard warna Standard properti Membuat layout dari film itu Storyboard
PRODUKSI
Membuat gambar key Menentukan timing Membuat gambar inbetween Proses clean up Pembuatan background
POST PRODUKSI
Gambar scan Clean up dan Pewarnaan Editing dan Dubbing Composing
Gambar 3. Tahap-tahap pembuatan film kartun Sejarah dan Kemajuan Universitas Kuningan
3
MSV Animation, 2006 Modul animasi kartun. Yogyakarta : STMIK AMIKOM, halaman 4
18
ISSN 2085-9970
Setelah kita mengidentifikasi masalah dan merancang konsep selanjutnya kita akan merancang isi dari proses pembuatan film animasi kartun ini. Proses pembuatan pertama yang dilakukan adalah proses Pra Produksi. Dalam proses Pra Produksi ini kita akan membuat desain karakter, desain standar properti dan vegetasi, merancang warna tokoh karakter, menyusun standar tokoh karakter, membuat layout, membuat storyboard, dan melakukan analisis biaya manfaat. Untuk membuat sebuah cerita tidak terlepas adanya tokoh atau peran yang akan dimainkan, dalam hal ini kita harus membuat atau menggambar karakter yang akan kita masukan dalam cerita atau film kartun Sejarah dan Kemajuan Universitas Kuningan ini. Membuat desain karakter berarti merancang tokoh-tokoh animasi dengan karakter yang digambarkan dalam naskah. Untuk mendesain karakter, awali sketsa kasar dengan berimajinasi, kemudian lengkapi dengan berbagai action dari karakter tersebut. a. Karakter Putih (White Character) Karakter putih adalah karakter yang memiliki sifat dan budi pekerti yang baik, senang menolong sesama, dan tidak pernah melakukan hal-hal yang bersifat negatif, contohnya : Abdan (Petualangan Abdan), Biksu Tong sam Cong (Sun Go Kong), Sun Go Ku (Dragon Ball), Astro (astro Boy). b. Karakter Hitam (Black Character) Karakter hitam adalah karakter yang memiliki sifat jahat dan suka membuat onar dengan tokoh lain di dalam cerita. Umumnya karakter ini merupakan musuh sang tokoh utama di dalam cerita, contohnya : Magneto (X-Men), Venom (Spiderman). c. Karakter Abu-abu (Gray Character) Karakter abu-abu adalah karakter yang memiliki sifat campuran antara baik, nakal dan jahat. Seperti : Sun Go Kong
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
(Sun Go Kong), Hulk (Hulk), Squidward (Spongebob Squarepants). 1. Karakter Utama Karakter utama merupakan orang yang pertama dalam cerita, dan biasanya mendapatkan porsi tampil yang lebih banyak dari karakter lain. Merekalah satusatunya yang berperan sepanjang cerita, bertugas menjalankan cerita yang sedang berlangsung. Contoh : Inuyasha, Shinchan, Abdan, Doraemon, Conan.
Gambar 4. Karakter Utama 2. Karakter Pendukung dan Karakter Figuran Karakter pendukung adalah karakter yang sering mendampingi karakter utama di dalam cerita yang disajikan. Contoh Shizuka (Doraemon), Bapak Rektor Universitas Kuningan (Sejarah dan Kemajuan Universitas Kuningan).
Gambar 5. Karakter Pendukung
19
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Sedangkan Karakter figuran adalah karakter yang sering dijadikan sebagai latar belakang Scene yang sedang berjalan. Contoh : karakter figuran berperan sebagai seorang karyawan Universitas Kuningan yang mendukung promosi, kemudian setelah itu si karyawan tidak muncul lagi di alur cerita. Gambar 7. Gambar contoh desain standar properti dan vegetasi
Gambar 6. Karakter Figuran Desain standar properti adalah perlengkapan pendukung pada tokohtokoh dalam film animasi kartun yang dibuat seperti : tas, pakaian yang dikenakan, kendaraan dan sebagainya yang bersangkutan dengan tokoh-tokoh tersebut, termasuk desain tempat dan gambaran benda-benda lainnya. Sementara itu, vegetasi menentukan keadaan di sekitarnya yang meliputi rumput yang ada serta tumbuhan lain yang disesuaikan dengan keadaan daerah yang diceritakan.4
Rancangan warna pada tokoh-tokoh kartun disertai dengan standar propertimya. Menentukan warna adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dengan membayangkan visual bentuk jadinya pada saat film tersebut jadi. Hal itu perlu dilakukan karena terkadang kita menentukan salah satu warna pada karakter yang tidak sesuai dengan properti lain, bahkan backgroundnya. Contohnya, jika karakter tersebut memakai baju yang berwarna merah muda, maka akan disesuaikan dengan properti lainnya seperti dasi dan celana.
Gambar 8. Tokoh-tokoh karakter film kartun Sejarah dan Kemajuan Universitas Kuningan setelah diberi warna 4
MSV Animation, 2006 Modul perancangan film kartun. Yogyakarta : STMIK AMIKOM
20
Layout digunakan untuk menggambarkan hasil jadi dari visual film
ISSN 2085-9970
tersebut. Dengan adanya bantuan layout seorang animator dan pembuat background diharapkan realisasi animasinya tidak melenceng jauh dari harapan karena layout ini harus digambar menggunakan warna aslinya. Layout juga sama dengan sebuah lukisan realis sehingga sekali melihat layout tersebut maka seorang animator akan paham karena layout merupakan cuplikan dari sebuah adegan.
Gambar 9. Tampilan Cuplikan Adegan Film Kartun Storyboard adalah terjemahan berupa gambar cerita dari naskah yang sudah dibuat. Storyboard memberikan kehidupan (nyawa) bagi script mengenai bagaimana sebuah cerita akan berjalan dan mudah dipahami. Storyboard akan memperlihatkan setiap adegan/scene
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
dalam beberapa angel kamera kepada semua orang. Storyboard yang berurutan dan sesuai dengan jalan cerita, sangat baik untuk menjadikan sebuah animasi film kartun menjadi sebuah film yang bagus, sebab sebelum mulai ke hal penganimasian, sudah ada penggambaran jalan cerita atau bisa disebut sebagai pedoman pembuatan animasi. Mengapa harus membuat storyboard? a) Pembuatan storyboard harus dilakukan jika pembuatan animasi dilakukan oleh satu tim yang terdiri dari banyak orang atau minimal dua orang. Hal ini dilakukan karena untuk memahami alur cerita yang akan dianimasikan tidak semua orang bisa mengerti hanya dengan tulisan saja, tetapi dengan bantuan visual (gambar) orang lain akan mengerti isi cerita yang akan dianimasikan. b) Storyboard harus dibuat jika kita sendiri kurang mampu dalam mengingat suatu ide cerita, karena storyboard juga berfungsi sebagai pengingat atau pedoman dalam membuat sebuah animasi cerita. c) Storyboard harus dibuat untuk mempermudah pembacaan isi cerita, karena storyboard menggambarkan isi cerita secara visual (menggunakan gambar-gambar) seperti komik.
21
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Gambar 10. Storyboard Film Kartun Sejarah dan Kemajuan Universitas Kuningan Proses produksi dimulai dari tahap pembautan gambar key. Gambar key adalah sebuah awal dari bentuk animasi dalam frame sebagai patokan oleh animator untuk meneruskan sebuah adegan dan gerakan. Disamping menyelesaikan key animasi seorang key animator biasanya juga memiliki kemampuan untuk menghitung timing (namun tidak harus). Inbetween adalah animasi yang sudah diselesaikan oleh inbetween animator dari panduan yang sudah diselesaikan oleh key animator. I Betweener bertugas meneruskan frame-frame yang telah dibuat oleh seorang key animator.
22
Dibutuhkan keahlian gambar sekaligus kecepatan menggambar. Dalam waktu sehari, seorang In Between profesional mampu menyelesaikan 3 cut. 1 cut rata-rata 2 sampai 7 detik sehingga rata-rata gambar yang harus diselesaikan key dan in between dalam 1 hari, jika menggunakan 25 frame per second, adalah 25 x 2 = 50 hingga 25 x 7 = 175 gambar. Ada 2 macam inbetween di dalam pembuatan film animasi kartun SEJARAH DAN KEMAJUAN UNIVERSITAS KUNINGAN ini, yaitu : 1. Unlimited : yaitu animasi yang digambarkan dan digerakan secara utuh dalam 1 atau lebih pada suatu karakter.
ISSN 2085-9970
Gambar 11. Inbetween Unlimited Inbetween digambar menurut panduan Time Mapping dari key dengan langkah tracing frame by frame, seperti halnya teknik seluloid pada roll film negetive. 2. Limited : yaitu animasi yang digambar terbatas pada gerakan tertentu. Tujuannya untuk mengurangi beban yang tidak perlu.
Gambar 12. Animasi Limited Proses Cleaning disebut juga Proses Inker, gambar yang telah diselesaikan oleh Inbetweener menggunakan Pensil 2B akan ditracing ulang menggunakan Drawing Pen untuk mendapatkan outline yang lebih tegas. Background merupakan lokasi dan setting di mana animasi itu berada. Background dapat dibuat secara sederhana atau kompleks sesuai dengan kebutuhan.
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Background yang baik harus memperhatikan detail, termasuk perspektif dan lighting yang disesuaikan dengan situasi pada adegan film terutama untuk film layar lebar. Pembuatan background bisa dilakukan menggunakan cara analog dengan kertas dan cat air atau langsung dengan komputer secara digital menggunakan software grafis, seperti Adobe Photoshop. Pembuatan background pada film kartun Sejarah dan Kemajuan Universitas Kuningan ini menggunakan cara digital painting dengan menggunakan software Adobe Photoshop. Secara teknis, bakground sebagai setting dikelompokan menjadi dua, yaitu background (sebagai latar belakang) dan foreground (sebagai latar depan). Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan background adalah arah cahaya datang, suasana alam (pagi, siang, sore, malam, hujan, mendung, cerah dan sebagainya), dan apakah adegan akan dilaksanakan di dalam ruangan atau di luar ruangan. Background dibuat dalam resolusi yang tinggi sesuai kebutuhan. Pembuatan background berpedoman pada storyboard atau sesuai arahan sutradara, terutama pada hal-hal yang berhubungan dengan pergerakan kamera. Apakah Pan, Track, Cut, atau Zoom. Pembuatan background pada film kartun SEJARAH DAN KEMAJUAN UNIVERSITAS KUNINGAN ini dikerjakan dengan beberapa cara, yaitu : menggambar langsung di kertas kemudian discan, membuat background di Adobe Flash CS3, menggunakan Adobe Photoshop CS3. Proses pasca produksi adalah proses akhir dalam pembuatan penelitian ini. Dalam sebuah proyek pembuatan animasi atau kartun, proses pewarnaan adalah salah satu langkah yang termasuk penting dan spesifik di dalamnya. Pewarnaan menjadi penting agar untuk memberi 23
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
kesan hidup dan artistic. Di samping itu selain background , coloring atau pewarnaan menjadi sebuah aspek yang sangat penting untuk memperindah suasana. Tanpa adanya coloring atau pewarnaan, sebuah animasi akan terasa hambar. Pewarnaan dibagi menjadi 2 jenis menurut jenis softwarenya yaitu pewarnaan dengan menggunakan software Adobe Photoshop dan pewarnaan dengan menggunakan software Flash. Dalam pengerjaan proyek film kartun SEJARAH DAN KEMAJUAN UNIVERSITAS KUNINGAN ini software yang digunakan adalah software untuk mewarnai objek animasi. Adapun keistimewaan menggunakan Flash adalah karena pada Flash terdapat timeline sebagai panduan gerak, onion skin untuk menyamakan peletakan bayangan, edit multiple frames untuk menyamakan skala
dan rotasi secara bersamaan, serta tooltool yang mempermudah kita dalam mewarnai. Selain itu dalam menggunakan Flash ini objek akan diubah ke dalam format vector sehingga lebih detail dalam kita memberi warna. Adapun langkah-langkah pewarnaanya adalah sebagai berikut : 1. Importing Image Importing image adalah mengimport image yang telah di scan dari Adobe Photoshop dengan format gambar (*.Bmp, *.Jpeg) dari folder untuk dimanipulasi dalam Flash. Dalam stage berukuran 768 x 576 pixels. Caranya mengimport adalah kita mengambil file gambar yang telah discan dari Photoshop dengan mengklik ctrl+r. Kemudian setelah file dipilih, kemudian klik tombol Open yang ada di sisi kanan bawah seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 13. Import gambar 2. Scalling Setelah gambar kita masukkan ke stage, kemudian (semua) gambar/image tadi jadikan dalam satu skala. Caranya 24
adalah dengan mengklik tombol “edit multiple frames” , setelah itu drag timeline-nya hingga mencakup semua image atau gambar yang telah kita
ISSN 2085-9970
letakkan di stage. Setelah itu klik ctrl+T untuk mengeluarkan tools Transform dan klik ctrl+K untuk mengeluarkan tools Align. Pada tools transform kita tandai kotak pada constrain, kemudian ubah 100% yang telah tertera menjadi 33%. Sedangkan pada tools align, kita klik pada Align/Distribute to Stage, Align Vertical Center dan Align Horizontal Center sehingga image akan berada benar-benar pada tengah stage.
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
tracing. Seperti penjelasan pada gambar di bawah.
Gambar 15. Menampilkan Trace Bitmap Kesimpulan
Gambar 14. Transform dan Align Tools
3. Tracing Mengubah gambar image bitmap atau jpg menjadi vector sehingga akan lebih mudah untuk dimanipulasi dalam Flash. Disini kita menggunakan ukuran color threshold 100 % dan minimum area 8 pixels. Caranya adalah pertama, setelah image selesai di scaling maka kemudian klik pada image kemudian klik menu Modify – Bitmap – Trace Bitmap , atau bisa juga dengan mengklik Alt+M+B+B. Setelah keluar tampilan menu Tracing bitmap, kemudian buat ukuran untuk Color threshold menjadi 100% dan Minimum Area-nya 8 pixels. Kemudian klik tombol OK untuk memulai proses
Adapun kesimpulan yang didapat dalam penulisan hasil penelitian ini adalah : 1) Berhasil dibuatnya sebuah media informasi mengenai Universitas Kuningan berbasis multimedia yang menarik dan menghibur. 2) Dalam pembuatan animasi multimedia ini dibuat dengan menggunakan flash ( dua dimensi ) diperlukan tahapantahapan yang menjadi tolak ukur terselesaikannya aplikasi animasi ini. Terdapat 4 tahapan dalam pembuatan aplikasi animasi ini, yaitu sebagai berikut : Pengembangan, meliputi : 1) Menentukan ide cerita 2) Menentukan tema cerita 3) Membuat logline 4) Membuat sinopsis 5) Merancang diagram scene 6) Pengembangan karakter 7) Membuat naskah cerita Pra produksi, meliputi : 1) Membuat desain karakter 2) Merancang standar warna tokoh karakter 3) Membuat standar properti dan vegetasi 4) Menyusun standar karakter 5) Membuat Layout 6) Membuat Storyboard 25
ISSN 2085-9970
Produksi, meliputi : 1) Membuat gambar key 2) Membuat gambar inbetween 3) Inker ( cleaning ) 4) Membuat background Pasca Produksi, meliputi : 1) Pewarnaan 2) Editing 3) Dubbing 4) Rendering
Daftar Pustaka Amir F. Sofyan, 2005. Modul Multimedia. Yogyakarta : STMIK AMIKOM Yogyakarta.
26
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Amir F. Sofyan, 2006. Modul Multimedia TI. Yogyakarta : STMIK AMIKOM Yogyakarta. M. Suyanto, 2003. Multimedia Alat Untuk Meningkatkan Keunggulan Bersaing. Yogyakarta : Andi Offset. M. Suyanto, 2004. Analisis dan Desain Aplikasi Multimedia Untuk Pemasaran. Yogyakarta : Andi Offset. M. Suyanto, 2006. Merancang Film Kartun Kelas Dunia. Yogyakarta : Andi Offset. MSV Animation. Modul Perancangan Film Kartun. Yogyakarta : STMIK AMIKOM Yogyakarta. Moh. Rifai. Risalah Tuntunan shalat Lengkap. Semarang :CV Toha Putra
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Pengembangan Model Pendidikan Keaksaraan Berbasis Kearifan Lokal di Desa Silebu, Kecamatan Pancalang, Kabupaten Kuningan Ida Hamidah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kuningan
Abstrak Penelitian ini didasari fakta bahwa pembelajaran pada program pendidikan keaksaraan fungsional dasar belum dapat meningkatkan kemampuan membaca warga belajar secara optimal. Permasalahannya adalah rendahnya kemampuan membaca permulaan warga belajar dan perangkat pembelajaran belum sesuai dengan kebutuhan warga belajar. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model pembelajaran keaksaraan dasar berbasis kearifan lokal guna meningkatkan kemampuan membaca permulaan warga belajar. Penelitian dan pengembangan model pembelajaran mendeskripsikan kondisi penyelenggaraan pendidikan keaksaraan dasar di Desa Silebu, Kecamatan Pancalang, Kabupaten Kuningan dengan menggunakan metodologi penelitian dan pengembangan (Research & Development). Temuan hasil penelitian ditemukan bahwa: (1) sebelum dilakukan pengembangan model pembelajaran keaksaraan berbasis kearifan lokal, kondisi warga belajar belum mampu membaca, (2) pengembangan model pembelajaran keaksaraan dasar berbasis kearifan lokal secara signifikan dapat meningkatkan kemampuan membaca warga belajar. Kearifan lokal dapat dikembangkan dengan pengembangan materi belajar keaksaraan sesuai kearifan yang dimiliki daerah setempat. Berdasarkan temuan tersebut disimpulkan, pengembangan pendidikan keaksaraan berbasis kearifan lokal terbukti efektif mampu meningkatkan kemampuan membaca warga belajar. Direkomendaskan kepada penyelenggara dan tutor keaksaraan dasar agar menjadikan pengembangan model ini sebagai alternatif dalam pembelajaran membaca permulaan pada keaksaraan fungsional. Kata kunci: Model, Keaksaraan, Kearifan Lokal
Pendahuluan Persoalan keaksaraan ini berbeda-beda pada setiap provinsi yang ada di Indonesia, termasuk Jawa Barat. Berdasarkan booklet Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, melek huruf Jawa Barat berada pada angka 96,18%. Itu artinya ada 3,82% penduduk Jawa Barat yang masih buta aksara. Jumlah penduduk buta aksara tersebut tersebar di kabupaten-kabupaten yang ada di Jawa Barat. Kabupaten Kuningan merupakan salah satu kabupaten
yang jumlah penduduk buta aksaranya tergolong tinggi dan termasuk ke dalam tujuh besar kota/kabupaten dengan jumlah penduduk buta aksara terbesar. Pada tahun 2011, tercatat ada 65.377 penduduk di Kabupaten Kuningan yang masih buta aksara. Berdasarkan uraian tersebut, perlu dirancang pengembangan model pendidikan keaksaraan berbasis nilai kearifan lokal. Model yang dirancang dispesifikkan bagi pendidikan keaksaraan tingkat dasar dalam pembelajaran 27
ISSN 2085-9970
membaca permulaan. Nilai kearifan lokal perlu digali secara serius agar pendidikan keaksaraan tepat sasaran, karena orang akan lebih semangat belajar supaya dirinya melek aksara jika perangkat pembelajaran yang dibuat dekat dengan nilai yang ada dengan diri dan masyarakat tempat ia tinggal. Teori dan konsep yang digunakan pada pengembangan model pendidikan keaksaraan berbasis kearifan lokal ini meliputi: (1) membaca permulaan, (2) pendidikan keaksaraan fungsional, (3) kearifan lokal, (4) model pembelajaran, dan (5) pemilihan model rancangan pengembangan. Berdasarkan cakupan masalah penelitian di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimanakah penyelenggaraan pendidikan keaksaraan di Kabupaten Kuningan?; (2) Bagaimanakah profil kemampuan membaca permulaan warga belajar pendidikan keaksaraan di Desa Silebu, Kecamatan Pancalang, Kabupaten Kuningan sebelum dilakukan pengembangan model?; (3) Bagaimanakah rancangan model awal/hipotetik pembelajaran membaca permulaan di Desa Silebu, Kecamatan Pancalang, Kabupaten Kuningan?; (4) Bagaimanakah profil kemampuan membaca permulaan warga belajar melalui model pendidikan keaksaraan berbasis kearifan lokal?; (5) Bagaimanakah proses pengembangan dan perbaikan model pendidikan keaksaraan berbasis kearifan lokal?; dan (6) Bagaimanakah efektivitas model pendidikan keaksaraan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Kuningan? Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran penyelenggaraan pendidikan keaksaraan ditinjau dari penyelenggara, sasaran, materi, dan metode pendidikan keaksaraan yang diselenggarakan di Kabupaten Kuningan, memperoleh gambaran 28
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
mengenai rancangan model awal/hipotetik pembelajaran keaksaraan di Kabupaten Kuningan, mengetahui profil kemampuan membaca permulaan warga belajar pendidikan keaksaraan di Kabupaten Kuningan, dan mengetahui efektivitas model pendidikan keaksaraan berbasis nilai kearifan lokal di Kabupaten Kuningan. Metode Penelitian Penelitian ini mengunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan metode Penelitian dan Pengembangan atau Research and Development (R&D) menurut Borg dan Gall (2003: 270), yakni “educational research and development is a process to develop and validate aducational product”. Borg dan Gall (2003: 270) mengemukakan 10 langkah dalam penelitian dan pengembangan. Menimbang keterbatasan peneliti, baik dari segi waktu maupun kemampuan yang ada, langkah-langkah dalam penelitian ini disederhanakan menjadi tiga langkah. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukmadinata (2006: 190) yang mengatakan bahwa sepuluh langkah penelitian dan pengembangan yang dikemukakan Borg dan Gall tersebut dapat disederhanakan menjadi tiga langkah, yakni: (1) studi pendahuluan meliputi studi literatur, studi lapangan, dan penyusunan draft awal produk, (2) pemberlakuan model, dan (3) atau validasi produk melalui kegiatan pemberlakuan dan kegiatan sosialisasi produk. Hasil dan Pembahasan a. Deskripsi Penyelenggaraan Pendidikan Kekasaraan di Kabupaten Kuningan Data mengenai penduduk buta aksara di Kabupaten Kuningan berbeda-beda antara data Badan Pusat Statistik dan data yang ada pada Dinas Pendidikan Pemuda
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
dan Olah Raga Kabupaten Kuningan. Berdasarkan Data Pusat Statistik tahun 2011, penduduk buta aksara di Kabupaten Kuningan berjumlah 65.377 orang. Jumlah tersebut cukup jauh berbeda dengan data yang diberikan Kepala Seksi Kemasyarakatan, Kursus, dan Kelembagaan yakni 2.585 orang. Masyarakat buta aksara tersebut berusia 15 tahun ke atas. Ketika penelitian ini berlangsung, penyelenggaraan pendidikan keaksaraan baru dilaksanakan oleh Muslimat Nahdlatul Ulama yang bekerja sama
dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan. Oleh karena itu, penulis mengadakan penelitian dengan bekerja sama dengan Muslimat Nahdlatul Ulama. Lokasi penelitian tersebut yakni di Desa Silebu, Kecamatan Pancalang, Kabupaten Kuningan. Warga belajar keaksaraan dasar di Desa Silebu berjumlah 20 orang yang terdiri atas 13 perempuan dan 7 laki-laki. Untuk penyelenggaraan pendidikan keaksaraan di PKBM Desa Silebu, Kecamatan Pancalang, Kanupaten Kuningan, dapatdigambarkan melalui bagan berikut.
INPUT
OUTPUT Kebijakan Pemerintah (Program dan Anggaran)
1. Warga Belajar 2. Tutor 3. PKBM
1. Silabus 2. Materi Pembelajaran: Calistung 3. Metode Pembelajaran: Metode Eja 4. Media Pembelajaran: papan tulis, kartu huruf, buku teks, manik-manik, dan tang 5. Alokasi waktu: 6 bulan (114 jam
Pelaksanaan
Proses Pembelajaran
Perencanaan
1. Warga belajar dapat membaca 2. Warga belajar dapat menulis 3. Warga belajar dapat berhitung 4. Warga belajar dapat berwirausaha.
Evaluasi
Gambar 1. Bagan Penyelenggaraan Pendidikan Keaksaraan di PKBM Desa Silebu 29
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
b.
Deskripsi Rancangan Model Awal/Hipotetik Pembelajaran Membaca Permulaan Berbasis Kearifan Lokal Model Hipotetik merupakan model eksplorasi hasil dari studi pendahuluan dan hasil temuan di lapangan. Pengembangan model pembelajaran membaca permulaan berbasis kearifan lokal ini meliputi: a. Perencanaan b. Pelaksanaan c. Evaluasi
Hasil pengembangan model pembelajaran tampak pada kemampuan warga belajar dalam kemampuan membaca permulaan. Kemampuan penguasaan materi pembelajaran menyangkut pengenalan huruf, suku kata, kata, kalimat sederhana, dan wacana sederhana. Untuk lebih jelasnya, berikut penulis gambarkan model hipotetik tersebut ke dalam bagan berikut ini.
Model Pembelajaran Membaca Permulaan Berbasis Kearifan Lokal PROSES
INPUT 1. Warga Belajar 2. Tutor
1. PERENCANAAN a. Kurikulum Keaksaraan Dasar b. Penyusunan Materi Berbasis Kearifan Lokal c. Metode Pembelajaran: Metode Global d. Media Pembelajaran: Media Gambar 2. PELAKSANAAN Proses Pembelajaran 3. Evaluasi a. Proses Belajar b. hasil Pembelajaran
OUTPUT Hasil Belajar: Warga Belajar dapat membaca huruf, suku kata, kata, dan kalimat sederhana.
UMPAN BALIK Gambar 2. Model Pembelajaran Membaca Permulaan Berbasis Kearifan Lokal
30
ISSN 2085-9970
c. Uji Pemberlakuan Model Pembelajaran terhadap Kemampuan Membaca Permulaan Dari hasil perhitungan diperoleh ratarata keterampilan membaca dengan model induktif kata bergambar berbasis kearifan lokal pada kelas ekperimen bernilai 73,5. Sedangkan rata-rata untuk keterampilan membaca dengan bukan model induktif kata bergambar berbasis kearifan lokal pada kelas kontrol bernilai 47,0. Perbedaan yang cukup besar tersebut mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan penerapan pembelajaran antara model induktif kata bergambar berbasis kearifan lokal dengan bukan model induktif kata bergambar terhadap keterampilan membaca permulaan warga belajar di PKBM Desa Silebu Kabupaten Kuningan.
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
d. Model Akhir Pembelajaran Membaca Permulaan Berbasis Kearifan Lokal Pengembangan model dalam penelitian ini mengacu pada model pembelajaran Model Induktif Kata Bergambar (Picture-Word Inductive Model). Model ini termasuk ke dalam kelompok model pengajaran memproses informasi. Model ini dirancang untuk menjadi komponen kurikulum seni berbahasa, terutama untuk para pembaca pemula di tingkat dasar. Fokus pengajaran model ini adalah seputar penyusunan pembelajaran sehingga seseorang dapat meneliti bahasa, bentuk, dan penggunaan, seperti bagaimana huruf, kata, frasa, kalimat, atau teks untuk mendukung komunikasi. paparan model akhir pembelajaran membaca permulaan ini, penulis akan menjelaskannya dalam bagan berikut.
31
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Model Pembelajaran Membaca Permulaan Berbasis Kearifan lokal UNSUR PENUNJANG
Tutor dan Warga Belajar
URUTAN 1. Kegiatan Awal a. Menciptakan kondisi yang kondusif b. Berdoa dengan esensi rasa syukur c. Menumbuhkan motivasi belajar 2. Kegiatan Inti a. tutor memilih sebuah gambar dengan tema kearifan lokal; b. tutor meminta warga belajar mengidentifikasi apa yang mereka lihat dalam gambar; c. tutor menandai bagian-bagian gambar yang telah diidentifikasi warga belajar. Kemudian tutor menggambar sebuah garis yang merentang dari objek gambar ke kata-kata, mengucapkan kata-kata itu, dan mengejanya sambil menunjuk huruf. Tutor mengucapkan kata-kata itu sekali lagi, lalu meminta warga belajar mengeja kata-kata tersebut bersamasama; d. tutor memperkenalkan kalimat sederhana berdasarkan kata-kata yang telah diidentifikasi warga belajar sesuai gambar; tutor menyuruh warga belajar membaca kalimat sederhana tersebut, membaca kata-kata yang ada di dalam kalimat, membaca suku kata yang ada di dalam kalimat, dan membaca huruf yang ada di dalam kalimat. Urutan kegiatan-kegiatan tersebut sesuai dengan cara mengajar membaca memakai metode global. 3. Kegiatan Penutup a. Refleksi; b. Meninformasikan materi selanjutnya; c. Doa penutup pembelajaran.
Bahan Ajar
Media Pembelajaran
Evaluasi
HASIL BELAJAR Warga belajar dapat: 1. belajar membaca huruf, suku kata, kata, dan kalimat sederhana; 2. belajar Membangun kosakata; 3. belajar meneliti struktur kata dan kalimat; 4. mengembangkan keterampilan dalam analisis fonetik dan struktural 5. memahami bentuk-bentuk kearifan lokal yang terdapat di daerah setempat.
Gambar 3. Model Akhir Pembelajaran Membaca Permulaan Berbasis Kearifan Lokal
32
ISSN 2085-9970
Mengacu pada masalah penelitian, tujuan penelitian, dan hasil penelitian mengenai pengembangan model pembelajaran membaca permulaan berbasis kearifan lokal, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut. 1. Program pendidikan keaksaraan di Kabupaten Kuningan diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak dapat membaca dan menulis huruf latin dan tidak bisa berbahasa Indonesia. 2. Pola pendidikan keaksaraan di Desa Silebu, khususnya dalam pembelajaran membaca permulaan masih menggunakan metode konvensional. 3. Rancangan model pembelajaran membaca permulaan dengan model induktif kata bergambar berbasis kearifan lokal dapat meningkatkan kemampuan membaca permulaan warga belajar. 4. Berdasarkan hasil uji statistik terhadap kemampuan membaca warga belajar, terbukti ada perbedaan secara signifikan. Adapun perbedaan terhadap kemampuan membaca permulaan warga belajar adalah p-value (sig) bernilai 0,17. Artinya, bahwa terdapat perbedaan penerapan pembelajaran antara media gambar dengan media bukan gambar terhadap keterampilan membaca. Daftar Pustaka Abidin, Yunus. 2010. Strategi Membaca. Bandung: Rizqi Press. Adler, Mortimer J. dan Charles Van Doren. 2009. How to Read a Book: Mencapai Puncak Tujuan Membaca. Jakarta: iPublishing. Anderson, R.C. 1972. Language Skills in Elementary Education. New York: Macmillan Publishing Company. Arends, R.I. 2008. Learning to Teach: Belajar untuk Mengajar Edisi ketujuh/Jilid
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
I, terj. Helly Prajitno S. dan Sri Mulyantini S. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Arif, Z. Dan W.P. Napitupulu. 1997. Pedoman Baru Menyusun Bahan Belajar. Bandung: Gramedia. Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya Badan Pusat Statistik. 2011. Rencana Aksi Daerah (RAD) Percepatan Program Pemberantasan Buta Aksara di Provinsi Jawa Barat. Baynham, Mike. 1995. Literacy Practices: Investigating Literacy in Social Contexts. London: Longman. Bond, G.C. et all. 1979. Reading Difficulties. Englewood Cliffs, New Jersey: Prince Hall, Inc. Danim, Sudarwan. 2010. Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi. Bandung: Alfabeta. Darmiyati, Zuchdi dan Budiasih. 2001. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah. Yogyakarta: PAS. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab.Kuningan, April 2012. Eriyanti, Ribut Wahyu. 2004. Model Penerapan Teori Skemata untuk Meningkatkan Pemahaman Isi Bacaan bagi Siswa Sekolah Dasar. Laporan Penelitian. Dalam http://www.scribd.com/doc/76461769/ 6/Peran-Skemata-dalam-Membaca. Diunduh tanggal 18 Maret 2012. E. Tiezzi, N. Marchettini, & M. Rossini. “Extending the Environmental Wisdom beyond the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the Learning Community”. http://library.witpress.com/pages/ paperinfo.asp. Diunduh tanggal 04 Juli 2012. Forgan, Harry W dan Charles T. Mangrum II. 1989. Teaching Content Area Reading Skills. New York: Macmillan Publishing Company. 33
ISSN 2085-9970
Harjasujana, Ahmad Slamet dan Vismaia S. Damaianti. 2003. Membaca dalam Teori dan Praktik. Bandung: Mutiara Harris, L. Theodore (et.al) (ed). 1983. Dictionary of Reading and Related Term. London Heinemann Educational Book. Herber, Harold L. 1978. Teaching Reading in Content Areas. New Jersey: Prentice-Hall. Iun. “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali”. Dalam http://www.balipos.co.id. Diunduh 17 September 2011. Kusnadi dkk. 2003. Program Keaksaraan Fungsional di Indonesia:Konsep, Strategi, dan Implementasi. Jakarta: Mustika Aksara. Kuswara. 2005. “Pembelajaran Keaksaraan Fungsional Melalui Bahasa Ibu dan Kontribusinya Terhadap Pemertahanan Bahasa Sunda”. Bandung: Tesis UPI (Tidak Diterbitkan). Kuswari, U. 2007. “Model Group Mapping Activity (GMA) dalam Pembelajaran Membaca”. Laporan Penelitian. Mahu, Saing. 2011. “Pengembangan Model Keaksaraan Fungsional Berbasis Potensi LokalPertanian Bagi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil: Studi di KecamatanWaiapo Kabupaten Buru”. Bandung: Tesis UPI. Tidak diterbitkan. Managing Basic Education. 2004. “Belajar Membaca Menulis Permulaan”. Tersedia: http://www.mbeproject.net. Diunduh 9 Maret 2012. Musfiroh, Tadkiroatun. 2009. Menumbuhkembangkan Baca Tulis Anak Usia Dini.Jakarta: Grasindo. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan keaksaraan Dasar dan Keaksaraan Usaha Mandiri Tahun 2012. Diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan 34
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Masyarakat, Direktorat Pendidikan Masyarakat, Direktorat Jendral Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Purwanto, M. Ngalim dan Djeniah. 1997. Metodologi Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Jakarta: PT Rosda Jayaputra. Rahim, Farida. 2008. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Bandung: BumiAksara. Sakri, Adjat. 1994. Bangun Kalimat Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Bandung: Penerbit ITB. Smith N.B. & Robinson, A. 1980. Reading Instructions for Today’s Children. Englewood Cliffs, New Jersey: Prince Hall, Inc. Sri Nuryati. 2007. “Pembelajaran Membaca Permulaan Melalui Permainan Bahasa di Kelas Awal Sekolah Dasar “. Tersedia: http://www.scribd.com. Diunduh 8 Maret 2012. Sujadi. 2002. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Sujarwo. Konsep Dasar Pendidikan Keaksaraan Fungsional. Yogyakarta: UNY. Sukmadinata, N.S. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Rosdakarya. Suprijanto. 2008. Pendidikan Orang Dewasa dari Teori Hingga Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara. Suryaman, Maman. 2001. ”Model Pembelajaran Membaca Berbasis Bacaan dan Pembaca (Studi tentang bacaan narasi dan eksposisi dan tentang pembaca siswa SLTP)”.Bandung: Disertasi UPI (Tidak Diterbitkan). Safie’e, Nurhadi, dan Roekhan. 1992. “Pengajaran Membaca Terpadu”. Bahasa
ISSN 2085-9970
Kursus Pembekalan Materi Guru Inti PKG Bahasa dan Sastra Indonesia . Jakarta: DirjenPendasmen. Tampubolon, D.P. 2008. Kemampuan Membaca Teknik, Membaca Efektif, dan Membaca Efisien. Bandung: Angkasa. Tarigan, Henry Guntur dkk. 1990. Membaca dalam Kehidupan. Bandung:
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Angkasa. Tompkins, Gail E. Dan Kenneth Hoskisson. 1991. Language Arts: Content and Teaching Strategies. New York: Macmillan Publishing Company. www.kuningankab.go.id
35
ISSN 2085-9970
36
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Model Pendekatan Sosial Penyuluhan Kepada Masyarakat dalam Penyerapan Teknologi Baru Pertanian (Study Kasus Kabupaten Kuningan) Ika Karyaningsih Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan
Abstrak Proses penyuluhan pada bidang pertanian masih sangat kurang tingkat keberhasilannya sehingga dibutuhkan strategi model pendekatan social kepada masyarakat petani yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat petani di kabupaten kuningan. Terdapat 4 (empat) model pendekatan social yang dapat dilakukan yaitu : 1.Model Pendekatan Keagamaan; 2. Model Pendekatan Program Bantuan; 3. Model Pendekatan Tokoh Masyarakat; dan 4. Model Pendekatan generasi Muda. Setiap model pendekatan tersebut akan membentuk memiliki berbagai Peluang, Tantangan, Kekuatan dan Hambatan dimana masing-masing model pendekatan tersebut dengan semua aspeknya akan membentuk strategi-strategi yang dapat digunakan oleh penyuluh dalam proses pembelajaran kepada masyarakat. Demikian pula dari Model-model pendekatan sosial tersebut dapat saling melengkapi dan dikolaborasikan sehingga dapat membentuk strategi lain pula yang dapat digunakan/dimanfaatkan oleh para penyuluh. Kata kunci : penyuluhan, pendekatan sosial, strategi,
Pendahuluan Latar Belakang Sumberdaya manusia yang perlu dibangun di antaranya adalah SDM masyarakat pertanian (petani-nelayan, pengusaha pertanian dan pedagang pertanian), agar kemampuan dan kompetensi kerja masyarakat pertanian dapat meningkat, karena merekalah yang langsung melaksanakan segala kegiatan usaha pertanian di lahan usahanya. Dengan penyuluhan pertanian, masyarakat pertanian dibekali dengan ilmu, pengetahuan, keterampilan, pengenalan paket teknologi dan inovasi baru di bidang pertanian dengan sapta usahanya, penanaman nilai-nilai atau prinsip agribisnis, mengkreasi sumber daya manusia dengan konsep dasar filosofi rajin, kooperatif, inovatif, kreatif dan sebagainya. Yang lebih penting lagi
adalah mengubah sikap dan perilaku masyarakat pertanian agar mereka tahu dan mau menerapkan informasi anjuran yang dibawa dan disampaikan oleh penyuluh pertanian. Saat ini sumber daya manusia yang bekerja di sektor pertanian di Indonesia didominasi para petani yang hanya lulusan sekolah dasar dan/atau tidak lulus sekolah dasar. Tercatat 75 petani Indonesia hanya lulusan SD dan tidak lulus SD, 15% lulusan SMP, 9% lulusan SMA dan hanya satu persen yang lulusan sarjana. Dengan latar belakang tersebut seringkali teknologi/inovasi baru seringkali tidak terserap dengan baik oleh para petani sehingga hasil produksi atau pengembangan kreatifitas yang diharapkan kurang optimal yang artinya proses penyuluhan yang dilakukan kurang berhasil. Olah karena itu dibutuhkan suatu strategi model pendekatan sosial kepada 37
ISSN 2085-9970
masyarakat yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan keberhasilan proses belajar/mengajar informal ini dan tehnologi yang ada dpat diterapkan dengan baik agar visi pembangunan pertanian akan tercapai dengan efektif. Kuningan sebagai salah satu wilayah agraris yang terletak di bagian selatan jawa barat yang berbatasan langsung dengan jawa tengah, hampir 80% masyarakatnya merupakan petani yang merupakan petani tradisional bahkan saat ini cenderung petani yang ada di wilayah ini lebih banyak petani usia tua sebab kecenderungan yang ada dewasa ini generasi muda lebih memilih pekerjaan di kota atau sebagai urban. Kondisi ini menyebabkan keberhasilan atau tingkat kemajuan sektor pertanian di wilayah Kabupaten Kuningan menjadi terhambat. Oleh karena itu perlu adanya strategi yang tepat dan mantap untuk dapat menularkan ilmu pengetahuan/teknologi pertanian yang telah berkembang saat ini kepada petani-petani yang ada dengan kondisi tersebut, maka diperlukan pola dan bentuk penyuluhan yang terarah dan terencana sehingga tepat sasaran. Penyuluh pertanianlah yang selanjutnya menjadi ujung tombak poses ini. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi bentuk pendekatan sosial kepada masyarakat petani di desa binaan penyuluhan pertanian dalam upaya peningkatan penyerapan tehnologi pertanian. Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di seluruh unit kerja BP4K Kabupaten Kuningan, terdiri dari 15 UPT. Unit Pelaksana Teknis pada seluruh kabupaten kuningan dijadikan responden pada penelitian ini, yaitu beberapa penyuluh pertanian dan 38
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
petani. Penelitian dirancang untuk dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2013. Pengambilan data Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan 3 metode yaitu wawancara, quisioner dan observasi lapangan, yang dilakukan secara sampling terhadap seluruh penyuluh pertanian yang bekerja UPT BP4K secara acak dengan persentase 10%. Selanjutnya sampling pada beberapa petani dan keluarganya di tiap-tiap desa binaan UPT dengan wawancara dan kuisioner dengan persentase acak 10%. Pengambilan sempel dilakukan menggunakan rumus slovin. Data yang didapatkan dianalisis dengan menggunakan analisis swot yang selanjutkan di sajikan secara diskriptif kualitatif. Hasil dan Pembahasan Pemahaman para petani terhadap proses dan hasil penyuluhan pun sangat beragam. Petani di Kabupaten Kuningan pada umumnya (85%) beranggapan bahwa proses penyuluhan cukup memberikan kontribusi yang baik terhadap perbaikan usaha taninya tetapi terkadang mereka sulit untuk melaksanakannya secara langsung himbauan/anjuran yang diberikan. Hal ini disebabkan karena kekhawatiran para petani akan kegagalan usaha tani yang dilakukan jika melaksanakan anjuran yang diberikan terutapa terhadap anjuran yang bersifat inovasi baru atau hal-hal yang diluar kebiasaan para petani sehari-hari. Sehingga seringkali proses penyerapan adaptasi (terutama inovasi baru) agak lambat untuk dapat diterapkan oleh masyarakat, dengan rata-rata proses
ISSN 2085-9970
sosialisasi hingga adopsi dan perubahan prilaku yang terjadi didalam masyarakat dapat memakan waktu antara 2-3 tahun. Para petani sampel di Kabupaten Kuningan lebih banyak mendapatkan pengetahuan/informasi mengenai bidangbidang pertanian, peternakan, perikanan, maupun kehutanan berasal dari para penyuluh. Para petani tidak sering mendapatkan pengetahuan bidang pertanian ini dari media sosialisasi yang lain seperti : radio, televisi bahkan sangat jarang dari media cetak. Dalam hal ini para penyuluh merupakan ujung tombak dalam proses sosialisasi pengetahuan pertanian. Akan tetapi hampir sebagian besar petani Kabupaten Kuningan (87%) belum mengetahui bahwa para penyuluh petanian Kabupaten Kuningan berada dibawah naungan sebuah badan tersendiri yaitu Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Peternakan dan Kehutanan yang disingkat dengan BP4K dan hanya 13% saja yang mengetahui keberadaan badan ini itupun merupakan petani-petani sampel yang juga berprofesi sebagai pamong desa atau tokoh masyarakat. Dari hasil penelitian di lapangan didapatkan bahwa 80% penyuluh yang terdapat dikabupaten kuningan adalah usia produktif yaitu antara 25-45 tahun, dengan jabatan penyuluh honorer ± 70%, dengan tingkat pendidikan minimal A.Md (ahli madya) setara D3 dan S1. Sebanyak 93,6% penyuluh pertanian kabupaten kuningan tidak berdomisili di wilayah kerjanya (di luar wilayah bimbingan) dengan jarak antara tempat tinggal dengan wilayah bimbingan bervariasi sekitar 3 km bahkan ada yang mencapai 25 km. agama yang dianut 95% adalah agama Islam. Data yang dihasilkan dalam quisioner yang dibagikan menunjukan adanya variasi pemahaman yang rendah artinya pemahaman dan pengalaman yang dimiliki lebih relative seragam dalam
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
bertugas di wilayah kabupaten kuningan, walaupun terdapat beberapa perbedaan. Dari data kuisioner yang dilakukan dapat menunjukkan beberapa hal, antara lain : a. Penyuluh masih bergantung pada program pemerintah dalam melakukan pembinaan kepada masyarakat. Artinya penyuluh lebih mengedepankan terlaksananya program pemerintah dibandingkan dengan adanya pola inovasi baru dalam bidang pertanian yang mungkin dapat dikembangkan di wilayah tersebut sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing. b. Para penyuluh sempel menunjukan bahwa seringkali proses penyuluhan ini memerlukan dukungan bantuan dari pemerintah baik materi maupun alat peraga dengan lengkap. Tetapi bagi para petani bantuan yang diberikan oleh pemerintah ini terkadang seperti 2 (dua) sisi mata uang yang kadang dapat membantu tetapi kadang pula akan melenakan para petani. c. Belum terintegrasinya proses penyuluhan bidang pertanian dengan proses penyuluhan atau sosialisasi pada bidang-bidang yang lain di dalam masyarakat dalam membentuk perikehidupan social yang menyatu antara masyarakat dan penyuluh. Strategi pendekatan penyuluhan yang selama ini dilakukan oleh para penyuluh di Kabupaten Kuningan lebih banyak dilakukan dengan system diskusi dan ceramah, pembuatan demplot dan sekolah lapangan. Metode yang dilakukan ini lebih banyak membutuhkan (menuntut) kehadiran penyuluh dilokasi yang dibimbingnya. Dari informasi dan observasi membuka peluang terdapat potensi pola pendekatan yang mungkin dapat dilakukan oleh para penyuluh dalam upaya 39
ISSN 2085-9970
pendekatan dan proses peyuluhan di Kabupaten kuningan. Strategi Model Pendekatan sosial yang perlu dicoba untuk dilakukan terdiri atas 4 kegiatan pendekatan yaitu : 1. Pendekatan Keagamaan (pengajian) Pengajian merupakan usaha untuk menanamkan nilai-nilai islam dimana dalam pengajian ini terdapat interaksi antara ustadz (guru) sebagai agen sosialisasi dan jamaah (anggota) sebagai objek sosialisasi. Pengajian merupakan salah satu proses pentransferan (sosialisasi) nilai atau norma-norma kelompok terhadap para anggota baru, agar nantinya dapat diinternalisasikan oleh anggota baru tersebut yang nantinya dijadikan standar pedoman dan perilaku. Dewasa ini fungsi pengajian tidak hanya sebatas itu, tetapi terdapat juga fungsifungsi lainnya, seperti fungsi ekonomi, sosial, dan bahkan politik. Pengajian tidak lagi mutlak sebagai tempat penyaluran atau bentuk tindakan rasionalitas nilai dari anggotanya. Berbagai peluang dan kekuatan yang dimiliki dalam model pendekatan ini dan strategi yang dapat dibangun oleh para penyuluh untuk dapat menggunakan model ini adalah : Kekuatan : - Informasi dapat langsung tersampaikan kepada semua kalangan masyarakat - Sangat mudah karena ada beberapa kegiatan rutin yang telah terjadwal dengan nuansa agamis akan mudah sekali terserap dan dimengerti oleh masyarakat Hambatan : - Penyuluh harus menyesuaikan dengan tata cara keagamaan - Harus/sangat perlu untuk menguasai ilmu-ilmu agama pula Seyogyanya penyuluh seagama/sama keyakinan dengan para petani/masyarakat 40
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Peluang : - Dapat dilakukan kapanpun tanpa terikat waktu sebab kegiatan keagaan ini setiap hari sering dilakukan - Jumlah petani /kelompok tani yang mengikuti kegiatan ini cukup banyak - Informasi mudah diterima terlebih dikaitkan dengan ketuhanan dan tauhid Tantangan : - Penyuluh perlu/harus siap kapan saja (24jam) - Penyuluh harus siap dengan 2 (dua) materi penyuluhan yaitu informasi tehnologi pertanian dan juga ilmuilmu agama - Jika penyuluh beda agama/keyakinan maka harus siap informasi kurang tersampaikan Rekomendasi : - Penyuluh perlu meningkatkan pemahaman tentang agama - Penyuluh perlu bekerjasama dengan pihak terkait misal departemen keagamaan - penyuluh lebih meningkatkan jiwa sosial 2. Pendekatan Program Bantuan dari Pemerintah baik pusat maupun daerah Tujuan dari pemaberian bantuan baik alat-alat pertanian maupun bibit dan lainlain adalah untuk membantu para petani dalam rangka meningkatkan produksi panen yang selanjutnya diharapkan akan meningkatkan dan mampu memenuhi kebituhan pangan masyarakat. Singkronisasi penyusunan program dan kegiatan penyuluhan menjadi sangat penting dan strategis sebagai perwujudan harmonisasi serta sinkronisasi program, oleh karena itu keberhasilan keduanya perlu untuk diselaraskan. Maka diperlukan strategi untuk menyelaraskan kegiatan bantuan/program yang diberikan
ISSN 2085-9970
oleh pemerintah dengan kegiatan penyuluhan yang diberikan sehingga program bantuan menjadi tidak sia-sia dan kegiatan penyuluhan akan lebih efektif dilakukan sehing keberhasilan tujuan pembangunan bidang pertanian dapat terwujud dengan cepat, seimbang dan berkelanjutan. Strategi model pendekatan sosial dengan program bantuan ini kondisi peluang tantangan dan hambatan yang dialami adalah : Kekuatan : - Tehnologi baru yang diajarkan langsung diterima dan dipraktekkan - Petani langsung merasakan teknologi dengan praktek - Hasil teknologi yang diterapkan langsung dapat dievaluasi dengan cepat dan dirasakan langsung oleh petani Hambatan : - Seringkali pelaksanaan bantuan / program tidak sesuai dengan musim tanam - Tidak semua bantuan terutama benih/bibit disesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat - Petani sudah terbiasa memakai varietas/jenis tertentu yang berbeda dengan program bantuan yang diberikan - Mprogram bantuan seringkali melibatkan pihak ke-3 sehingga bantuan menjadi tidak sesuai spesifikasinya Peluang : - Petani menerima semua bantuan dan melaksanakannya - Adanya keseragaman pada suatu wilayah yang mendapat bantuan sehingga memudahkan - Penyuluhan mudah dilakukan dengan pertemuan disuatu tempat/hamparan yang mendapat bantuan
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Tantangan : - Penyuluh harus selalu siap/tanggap untuk turun ke lapangan/lokasi bantuan - Materi penyuluhan harus diselaraskan/nyambung dengan program bantuan yang diberikan Rekomendasi : - Penyuluh memberikan motivasi lebih kuat - Perlu adanya reward bagi petani dengan prestasi tinggi - Perlu penyelarasan program dengan kondisi lingkungan/iklim setempat - Peningkatan pola bottom up dalam penyusunan rencana kerja/program atas bantuan yang ada - Evaluasi dan monitoring rutin dalam waktu yang relatif pendek - Diberi keluasan bagi petani untuk dapat mengajukan pendapat - Adanya bantuan dengan program terpadu dari hulu hingga hilir 3. Pendekatan Tokoh masyarakat Model pendekatan sosial masyarakat dengan mengikutsertakan tokoh masyarakat untuk mendukung program dan membantu penyuluh dalam setiap tugasnya ini dapat disebut sebagai penyuluh swadaya. Penyuluh swadaya adalah tokoh masyarakat yang secara mandiri mau dan mampu melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat. Untuk melihat apakah seornag tokoh masyarakat dapat didayagunakan sebagai orang yang dapat membantu penyuluh dalam melakukan pendekatan sosial kepada masyarakat dapat dilihat dari : a. Telah ikut serta melaksanakan upayaupaya nyata dibidang pertanian dan semua program pertanian yang diberikan secara sukarela/swadaya. b. Secara sukarela memiliki semangat untuk mengajak atau menularkan ilmu
41
ISSN 2085-9970
pengetahuan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lainnya. c. Memiliki pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat ditiru dan diteladani oleh anggota masyarakat. d. Mendapat pengakuan dari masyarakat disekitarnya bahwa yang bersangkutan memiliki kemampuan dan pantas sebagai penyuluh swadaya. Kekuatan : - Penyuluhan akan lebih singkat karena ada perpanjangan informasi - Masyarakat akan lebih cepat mengikuti informasi yang diberikan oleh tokoh masyarakat Hambatan : - Jika tokoh masyarakat tidak mendukung penyuluhan yang dilakukan - Teknologi akan lambat diterima oleh masyarakat tani yang lebih “kecil” - Tokoh masyarakat tidak semuanya dapat/bisa menyampaikan tehnologi bahkan kadang informasi hanya untuk konsumsi sendiri Peluang : - Penyuluhan akan lebih singkat karena yang diinformasikan kepada tokohtokoh masyarakat saja - Para tokok masyarakat biasanya lebih terbuka dan lebih berpendidikan Tantangan : - Informasi harus benar harus-benar diterima oleh para tokoh masyarakat agar tidak terjadi salah penyampaian kepada petani secara keseluruhan - Penyuluh harus menyesuaikan jadwal kerjanya sebab tokoh-tokoh masyarakat ini juga seringkali memiliki kesibukan yang cukup tinggi
42
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Rekomendasi : - Adanya penghargaan atau rewart bagi tokoh yang penjadi penyuluh swadaya - Adanya pelibatan pada berbagai pelatihan terutama tentang bidang pertanian - Adanya forum penyuluh swadaya sebagai tempat berbagi pengalaman - Perlu adanya motifasi yang kuat dan terus menerus serta evaluasi kepada tokoh masyarakat 4. Pendekatan Generasi Muda/Anak Sekolah Pemuda merupakan agen kreatif yang mampu menghasilkan ide-ide baru serta mampu membawa isu yang dianggap tradisional menjadi perhatian public modern dan menjadi sangat penting. Gerakan pemuda peduli pertanian haruslah dibentuk mengingat potensi yang dimilikinya bersifat jangka panjang. Faktor pengaruh modernisasi atau karena kurangnya pengetahuan di bidang ilmu pertanian pada pemuda dapat menjadi alasan utama keengganan mereka untuk membuat kelompok tersebut. Namun hal itu dapat diatasi dengan peran serta mahasiswa pertanian, kelompok ahli dan lembaga pemerintahan yang perduli terhadap pemberdayaan pemuda untuk ketahanan pangan masa depan. Kabupaten Kuningan telah lama ditetapkan sebagai kabupaten konservasi sehingga dalam proses pembangunannya akan ber titik tolak dari upaya konservasi dan penyelamatan lingkungan. Hal ini juga dibuktikan dengan banyaknya program pemerintah Kabupaten kuningan yang mengedepankan masalah konservasi dan penyelamatan lingkungan ini. Salah satu program yang telah dilakukan dibidang pendidikan adalah Muatan lokal pada kurikulum siswa baik di tingkat SD,SLTP maupun SLTA. Kurikulum Muatan lokal bidang pendidikan lingkungan ini sampai saat ini masih lebih
ISSN 2085-9970
banyak berisi tentang proses konservasi dan penyelamatan lingkungan yang menitik beratkan pada “penanganan sampah” alangkah lebih baiknya jika muatan lokal pendidikan lingkungan ini dikolaborasikan juga dengan bidangbidangilmu-ilmu pengetahuan alam dan lingkungan terutama bidang pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan. Dengan demikian akan terjalin kerjasama yang harmonis antara UPT BP3K dengan UPT Dinas pendidikan dan juga sekolahsekolah dalam upaya peningkatan pendidikan masyarakat usia dini secara umum di wilayah bimbingan. Seperti berikut ini adalah beberapa strategi dengan analisis swot yang dapat dilakukan sebagai model pendekatan sosial melalui generasi muda untuk dapat membangun dan penyerapan tehnologi baru kan perluasannya kepada masyarakat adalah : Kekuatan : - Generasi muda akan lebih sempurna menerima informasi dengan teknologi yang terbaru - Masa/waktu penyampaian informasi yang sudah diserap oleh generasi muda akan mudah diingat tidak akan mudah lupa Hambatan : - Generasi muda yang tertarik terhadap dunia pertanian dan peternakan dewasa ini sangat sulit - Kurangnya minat/ keperdulian anak/generasi muda untuk menggeluti bidang pertanian Peluang : - Informasi teknologi pertanian yang diterapkan kepada anak sekolah/generasi muda harus memakai teknologi modern/kekinian - Adanya keterbaruan yang selalu harus dibawa
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
-
Pola teknologi dan metode yang digunakan harus menggunakan penalaran; sebab akibat yang jelas didukung oleh teori kekinian
Tantangan : - Adanya keterbaruan yang selalu harus dibawa - Pola teknologi dan metode yang digunakan harus menggunakan penalaran; sebab akibat yang jelas didukung oleh teori kekinian Rekomendasi : - Penggunaan media elektronik dalam proses penyuluhan (vidio, lcd, dll) - Materi yang terus sering berganti dan tidak monoton - Studi banding ke sistem pertanian berbasis teknologi - Mengkolaborasikan bidang pertanian pada bidang-bidang kehidupan masyarat lain (pendidikan, kepemudaan dll) - Melibatkan karang taruna/generasi muda desa pada setiap kegiatan pertanian - Adanya bantuan/program bidang pertanian khusus untuk pemuda atau kelompok pemuda - Sering memberikan contoh pemudapemuda yang sukses dibidang pertanian - Adanya reward/ penghargaan bagi pemuda yg mau terjun dlm bidang pertanian - Inovasi yang kreatif dan tepat sasaran dapat menggugah minat generasi muda untuk lebih mencari tahu hal-hal tentang pertanian Pengetahuan masyarakat bermacammacam dan berbeda-beda. Kemampuan untuk mengikuti informasi dari luar juga berbeda-beda. Kemampuan untuk menerima indormasi juga menjadi berbeda-beda. Oleh karena itu strategi 43
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
metode pendekatan juga perlu diselaraskan dengan karakter masyarakat sasaran. Seperti telah dijelaskan diatas beberapa model pendekatan sosial yang dapat dilakukan pada masyarakat di Kabupaten Kuningan dengan semua potensi, tantangan, kekuatan dan hambatannya membentuk strategi pendekatan sosial pada setiap model sehingga penyuluh akan merasa mudah dalam proses pembelajarannya tinggal melihat karakter atau stereotip masyarakat desa binaannya. Proses transver pengetahuan pertanian juga bukan saja tanggung jawab para penyuluh pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan saja tetapi juga seluruh lapisan masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah. Oleh sebab itu perlu adanya kolaborasi yang baik antara para penyuluh dengan para penyampai sosialisasi yang lain seperti pendakwah atau bidang-bidang
lain dan hal ini perlu untuk mendapat dukungan dari pemerintah, sebab selama ini program-program yang telah dilakukan hampir pada semua lini/bidang berjalan masing-masing. Oleh karena itu alangkah lebih baik jika terdapat program-program yang dapat saling dikolaborasikan sehingga akan memberikan effek dan effort yang lebih luar biasa baik terhadap keberhasilan program itu sendiri terlebih lagi terhadap masyarakat sasaran. Strategi pada model-model pendekatan sosial ini dapat dilakukan secara terpisah-pisah (tiap model pendekatan) tergantuk kondisi/karakter masyarakat tani binaan; tetapi modelmodel ini juga dapat saling melengkapi atau dikolaborasikan antara model pendekatan sosial yang satu dengan model pendekatan sosial yang lain seperti pada matrik kolaborasi model pendekatan di bawah ini :
Tabel 1. Kolaborasi Model Pendekatan Sosial Pendk. Keagamaan Pendk. Keagamaan Pendk. Bantuan Program Pendk. Tokoh masyarakat Pendk. Generasi Muda
Pendk. Bantuan Program A
Strategi kolaboratif yang dapat dilakukan sebagai bentuk kegiatan pendekatan sosial antara lain adalah : a. Pendekatan Keagamaan dan Pendekatan Program Bantuan, dapat dilakukan dengan pemberian modal usaha bergulir tetapi pengelolanya adalah pengajian kelompok tani 44
Pendk. Tokoh Pendk. masyarakat Generasi Muda
B
C
D
sehingga dari tingkat kepercayaan pengembalian dan amanah dapat dipertanggung jawabkan sehingga program ini akan berkembang dan berjalan terus-menerus karena mengkaitkannya dengan keakheratan. Model pendekatan ini juga dapat memberdayakan tokoh masyarakat
ISSN 2085-9970
dan juga peran serta generasi muda baik sebagai pelasana, sasaran dan evaluator sekaligus. b. Pendekatan Tokoh masyarakat dan Pendekatan Bantuan Program, dapat dilakukan dengan Pemberian modal bergulir dan kemitraan usaha, Pemberian alat-alat bantu atau alat peraga penyuluhan kepada tokoh masyarakat tersebut. c. Pendekatan Program Bantuan dan Pendekatan Generasi Muda, dapat dilakukan dengan pemberian bantuan khusus untuk pemberdayaan generasi muda di bidang pertanian. Jadi misalnya bantuan untuk pelatihan karang taruna untuk bercocok tanam atau program karang taruna/pelajar membuka sawah dan ladang atau beasiswa bagi pemuda yang ingin sekolah dibidang pertanian. Kolaborasi ini dapat pula dilakukan dengan proses penyuluhan yang tidak hanya dilakukan kepada para petani, tetapi juga perlu dilakukan kepada siswa-siswa sekolah mulai dari tingkat SD,SLTP, maupun SLTA dengan memanfaatkan kurikulum muatan lokal Pendidikan Lingkungan. Sehingga kurikulum muatan lokal pendidikan lingkungan tidak hanya membahas tentang sampah dan konservasi lingkungan tetapi menjadi lebih luas kepada bidang-bidang pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan yang nantinya dapat diharapkan menumbuhkan minat terdapat bidang pertanian Indonesia. d. Pendekatan Tokoh Masyarakat dan Pendekatan Generasi Muda dapat dilakukan dengan mendorong tokoh masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah berbasiskan pertanian, memberikan kepercayaan
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
kepada generasi muda untuk menjadi penyuluh swadara dengan pelatihanpelatihan. KESIMPULAN Model Pendekatan Sosial dalam penyuluhan kepada masyarakat perlu dilakukan dengan berbagai cara dengan melihat karakteristik sasaran dan masyarakat tani yang dihadapi. Terdapat 4 (empat) model pendekatan yang dapat dilakukan yaitu : (1) Model Pendekatan Keagamaan; (2) Model Pendekatan Program Bantuan; (3) Model Pendekatan Tokoh Masyarakat; dan (4) Model Pendekatan generasi Muda. Setiap model pendekatan tersebut akan membentuk memiliki berbagai Peluang, Tantangan, Kekuatan dan Hambatan dimana masing-masing model pendekatan tersebut dengan semua aspeknya akan membentuk strategistrategi yang dapat digunakan oleh penyuluh dalam proses pembelajaran kepada masyarakat. Demikian pula dari Model-model pendekatan sosial tersebut dapat saling melengkapi dan dikolaborasikan sehingga dapat membentuk strategi lain pula yang dapat digunakan/dimanfaatkan oleh para penyuluh. Daftar Pustaka Abdullah, Taufik, (Ed). 1982. Agama, Etos Kerja,dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES. Alsyah,2009. Pengajian dan transformasi sosiokultural dalam masyarakat muslim tradisonal Banjar. Jurnal Dakwah dan komunikasi vol 3 no 1 januari-juni 2009 pp 75-89 ISSN : 1978-1261. Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto. Abdullah, Irwan. 2002. “Tantangan Pembangunan Ekonomi dan Transformasi Sosial: Suatu 45
ISSN 2085-9970
Pendekatan Budaya”, dalam Humaniora Volume XIV No. 3/2002. Yogyakarta: FIB, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
46
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Belli, TB. 1991. Penyuluhan Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Bandung. Mardikanto, Totok. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. UNS Press. Surakarta.
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Konversi LKPD Versi PP NO. 24 Tahun 2005 Menjadi LKPD VERSI PP NO. 71 Tahun 2010 (Studi Kasus pada Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan) Neni Nurhayati Dosen Universitas Kuningan
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konversi LKPD di Pemerintah Kabupaten Kuningan dari LKPD yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 menjadi sesuai dengan PP Nomor 71 Tahun 2010. Penelitian dilakukan pada LKPD Kabupaten Kuningan periode tahun 2011 dan 2012 yang telah diaudit. Penelitian ini menggunakan tes artikulasi, persamaan akuntansi, dan konversi dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dalam Cash Toward Accrual Basic menjadi Accrual Basic sesuai Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010. LKPD Kabupaten Kuningan tahun anggran 2012 versi PP Nomor 24 Tahun 2005 setelah dikonversi sesuai PP Nomor 71 Tahun 2010 belum sesuai, karena jumlah nominal ekuitas akhir pada Laporan Perubahan Ekuitas tidak sama dengan jumlah nominal ekuitas pada Neraca, sehingga penyusunan Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, dan Neraca pada LKPD Kabupaten Kuningan Tahun 2012 belum mempunyai keterkaitan yang tepat. Kata kunci: konversi, LKPD, Kabupten kuningan
Pendahuluan Dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik yaitu mengacu pada penerapan Good Governance, pemerintah Republik Indonesia telah melakukan reformasi dibidang pengelolaan atau manajemen keuangan negara. Reformasi manajemen keuangan negara merupakan suatu agenda yang secara continue terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Salah satu reformasi yang dilakukan adalah keharusan penerapan akuntansi berbasis akrual pada setiap instansi pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dalam Pasal 36 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:
”Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16 undang-undang ini dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.” UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara khususnya pasal 36 ayat 1 mengamanatkan penerapan basis akrual untuk pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja yang dimulai pada tahun anggaran 2008 dan akan diadopsi penuh pada tahun 2015. Penyebab penerapan penuh basis akrual ini baru 47
ISSN 2085-9970
dimulai tahun 2015 yaitu supaya aparatur pemerintah pusat maupun daerah mempersiapkan migrasi dari pencatatan LKPD basis CTA (Cash Toward Accrual) menjadi basis akrual. Selanjutnya UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengamanatkan tugas penyusunan standar tersebut kepada suatu komite standar yang independen yang ditetapkan dengan suatu keputusan presiden tentang komisi standar akuntansi pemerintahan (KSAP). Dengan harapan mampu meningkatan kualitas informasi pelaporan keuangan pemerintah sehingga mampu untuk menghasilkan pengukuran kinerja yang lebih baik, serta memfasilitasi manajemen keuangan/aset yang lebih transparan dan akuntabel, maka Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP) mengeluarkan Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Akrual yaitu PP No. 71 Tahun 2010 menggantikan PP No. 24 Tahun 2005 yang saat ini masih berlaku. Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) berbasis Akrual adalah Standar Akuntansi Pemerintahan yang mengakui pendapatan, beban, aset, utang, dan ekuitas dalam pelaporan finansial berbasis akrual, serta mengakui pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam pelaporan pelaksanaan anggaran berdasarkan basis yang ditetapkan dalam APBN/APBD. Pada Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis Akrual, komponen Laporan Keuangan Pokok terdiri dari : Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), Laporan Operasional (LO), Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (LP SAL), Laporan Perubahan Ekuitas (LPE), dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). Menurut Van Der Hoek (2005) dalam Saraswati (2011), Akuntansi berbasis akrual telah berhasil diterapkan di berbagai negara maju dan membawa manfaat. Manfaat akuntansi berbasis 48
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
akrual antara lain: Mendukung manajemen kinerja; Menfasilitasi manajemen keuangan yang lebih baik; Memperbaiki pengertian akan biaya program; Memperluas dan meningkatkan informasi alokasi sumber daya; Meningkatkan pelaporan keuangan; Memfasilitasi dan meningkatkan manajemen aset (termasuk kas). Kabupaten Kuningan adalah Pemerintah Daerah yang sampai saat ini masih menerapkan PP No. 24 Tahun 2005 pada laporan keuangannya. Dikarenakan PP Nomor 71 Tahun 2010 ini mengamanatkan penyusunan dan penyajian laporan keuangan tahun anggaran 2010 sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis Akrual, sedangkan LKPD masih disusun berdasarkan PP No. 24 Tahun 2005, maka pemerintah daerah perlu membuat LKPD berdasarkan PP No. 71 Tahun 2010 sejak tahun anggaran 2010. Hal tersebut dapat dilakukan dengan teknik melakukan konversi LKPD versi PP NO. 24 Tahun 2005 menjadi PP No. 71 Tahun 2010. Sampai saat ini belum ada ketentuan lebih lanjut dari menteri dalam negeri dan buletin teknis Standar Akuntansi Pemerintahan terkait konversi laporan keuangan sesuai PP Nomor 24 Tahun 2005 ke laporan keuangan sesuai PP Nomor 71 Tahun 2010 (Saraswati:2011). Oleh karena itu dibutuhkan uji coba (simulasi) penerapan PP Nomor 71 Tahun 2010 untuk mengetahui hasil akhir Laporan Keuangan yang disusun berdasarkan ketentuan PP Nomor 71 Tahun 2010. Penelitian mengenai laporan keuangan sesuai PP Nomor 24 Tahun 2005 dan laporan keuangan sesuai PP Nomor 71 Tahun 2010 telah dilakukan oleh peneliti terdahulu, yaitu Saraswati (2011). Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat perbedaan dalam recognition, measurement, dan disclosure pada
ISSN 2085-9970
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010. Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, peneliti bermaksud ingin melakukan uji coba (simulasi) penerapan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Kuningan Tahun Anggaran 2011-2012 yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2005 ke Laporan Keuangan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010. Maka peneliti akan melakukan penelitian berjudul : “Konversi LKPD versi PP No 24 Tahun 2005 menjadi LKPD versi PP No. 71 Tahun 2010 (Studi Kasus di Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan)” Metode Penelitian Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Menurut Sugiyono (2009:31), metode deskriptif yang dilakukan adalah melalui pendekatan survey yaitu penelitian yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala yang ada dan mencari keteranganketerangan secara faktual, baik tentang institusi social, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah. Dalam penelitian ini metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan penerapan model pencatatan cash toward accrual basic dan accrual basis pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah sesuai PP No. 24 Tahun 2005 dan PP No. 71 Tahun 2010. Sasaran dalam penelitian ini adalah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan. Objek Penelitian ini adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan. Penelitian ini dilaksanakan di Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Kuningan.
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Penelitian ini termasuk jenis penelitian studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi data sekunder. Penelitian ini membutuhkan data sekunder berupa Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan Tahun Anggaran 2011-2012. Pembahasan Konversi LKPD versi PP No 24 Tahun 2005 menjadi LKPD versi PP No. 71 Tahun 2010 Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan Tahun 2011-2012 Konversi LKPD berbasis Cash Toward Accrual menjadi Accrual berarti langkah-langkah yang dilakukan untuk menghasilkan LKPD sesuai SAP versi PP No. 71 tahun 2010. Berikut penulis jabarkan hasil konversi LKPD versi PP No 24 Tahun 2005 menjadi LKPD versi PP No. 71 Tahun 2010 pada Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan Tahun 20112012. 1. Dilakukannya penambahanpenambahan akun-akun yang harus disajikan pada LKPD versi PP No. 71 Tahun 2010 yang selama ini tidak terdapat pada LKPD menurut versi PP No. 24 Tahun 2005 dikarenakan metode pencatatan yang digunakan berbeda. 2. Format LKPD untuk Laporan Realisasi Anggaran (LRA) menurut PP Nomor 24 Tahun 2005 dan PP Nomor 71 Tahun 2010 menggunakan struktur anggaran yang sama yang terdiri dari struktur pendapatan, struktur belanja, struktur transfer, dan struktur pembiayaan 3. Format LKPD untuk neraca menurut menurut PP Nomor 24 Tahun 2005 dan PP Nomor 71 Tahun 2010 memiliki struktur yang sama, yaitu dengan menggunakan klasifikasi lancar dan non-lancar. Tetapi keduanya memiliki perbedaan dalam pengklasifikasian ekuitasnya. Ketika 49
ISSN 2085-9970
4.
5.
6.
7.
8.
50
mengacu pada PP No. 24 Tahun 2005 ekuitas dibedakan menjadi 3 pengklasifikasian yaitu : Ekuitas Dana Lancar (EDC), Ekuitas Dana Investasi (EDI), da Ekuitas Dana Cadangan (EDC), pada format LKPD menurut PP No. 71 Tahun 2010 ekuitas ini tidak diklasifikasikan lagi tetapi dicatatkan dalam satu akun yaitu Ekuitas Dana. Format LKPD sesuai PP Nomor 24 Tahun 2005 laporan arus kas di klasifikasikan berdasarkan aktifitas operasi, investasi aset non keuangan, pembiayaan, dan non anggaran. Sedangkan menurut PP Nomor 71 Tahun 2010 , laporan arus kas di klasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi, pendanaan, dan transitoris. Dilakukan nya pembuatan 3 laporan keuangan yang sebelumnya tidak terdapat pada LKPD menurut PP No. 24 Tahun 2005 tetapi harus disajikan menurut PP N0. 71 Tahun 2010 seperti : Laporan Operasional (LO), Laporan Perubahan Saldi Anggaran Lebih (LP-SAL), dan Laporan Perubahan Ekuitas (LPE). Jumlah nominal akun Saldo Akhir Kas di Kas Daerah pada Neraca sama dengan Jumlah Nominal Akun Saldo Akhir Kas di Kas Daerah pada Laporan Arus Kas. Jumlah Nominal Akun Ekuitas pada Neraca berbeda dengan jumlah nominal Ekuitas Akhir pada Laporan Perubahan Ekuitas. Hal tersebut dikarenakan belum terdapat perhitungan Beban Penyusutan pada LKPD Kabupaten Kuningan sehingga Surplus/Defisit Operasional pada Laporan Operasional berpengaruh pada Ekuitas Akhir pada Laporan Perubahan ekuitas. Jumlah nominal akun SiLPA pada Laporan Realisasi Anggaran sama
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
dengan jumlah nominal akun SiLPA pada Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih. 9. LKPD Kabupaten Kuningan tahun anggran 2012 versi PP Nomor 24 Tahun 2005 setelah dikonversi sesuai PP Nomor 71 Tahun 2010 belum sesuai, karena jumlah nominal ekuitas akhir pada Laporan Perubahan Ekuitas tidak sama dengan jumlah nominal ekuitas pada Neraca, sehingga penyusunan Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, dan Neraca pada LKPD Kabupaten Kuningan Tahun 2012 belum mempunyai keterkaitan yang tepat. 10. Akun yang dapat ditambahkan sebagai penyeimbang agar jumlah nominal ekuitas akhir pada Laporan Perubahan Ekuitas sama dengan jumlah nominal ekuitas pada Neraca yaitu dengan menambahkan akun Penyesuaian Akibat Konversi pada komponen Laporan Perubahan Ekuitas. Kesimpulan LKPD Kabupaten Kuningan tahun anggran 2012 versi PP Nomor 24 Tahun 2005 setelah dikonversi sesuai PP Nomor 71 Tahun 2010 belum sesuai, karena jumlah nominal ekuitas akhir pada Laporan Perubahan Ekuitas tidak sama dengan jumlah nominal ekuitas pada Neraca, sehingga penyusunan Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, dan Neraca pada LKPD Kabupaten Kuningan Tahun 2012 belum mempunyai keterkaitan yang tepat. Saran 1. Bagi pemerintah Kabupaten Kuningan, agar segera mempersipakan infrastruktur Sumber Daya Manusia yang benar-benar kompeten dalam membuat LKPD karena kerap kali peraturan tentang format pelaporan
ISSN 2085-9970
keuangan mengalami perubahan terkait implementasi PP No. 71 tahun 2010. 2. Bagi akademisi seharusnya memberikan perhatian lebih, baik dengan memberikan bantuan atau dukungan teknis terhadap implementasi PP No. 71 tahun 2010 di Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan. DAFTAR PUSTAKA Bastian, Indra. 2005. Akuntansi Sektor Publik dan Implementasinya di Indonesia. Jakarta: Erlangga. Halim, Abdul. 2007. Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah Edisi 3. Jakarta: Salemba Empat. KSAP. 2006. Memorandum Pembahasan Penerapan Basis Akrual Dalam Akuntansi Pemerintahan Di Indonesia. Jakarta.
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Republik Indonesia, 2005. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Rusmana, Oman. 2007. Materi Akuntansi Pemerintahan. Universitas Jenderal Soedirman. Tidak Dipublikasikan. Saraswati, esti (2011). Konversi LKPD Berbasis Cash Toward Accrual menjadi Accrual. Sugiono.2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: CV. Alfabeta
51
ISSN 2085-9970
52
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Pembelajaran Membaca Permulaan Melalui Metode Analisis Glass bagi Siswa Berkesulitan Membaca (Reading Difficulties) (Studi Kasus pada Siswa Kelas III SDN 1 Cineumbeuy - Kuningan) Ifah Hanifah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kuningan
Abstrak Penelitian ini berkenaan dengan penelitian terhadap siswa kelas III SDN 1 Cineumbeuy Tahun Akademik 2012/2013 yang berkesulitan membaca. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil kemampuan membaca siswa berkesulitan membaca tersebut, faktor-faktor yang menjadi penyebab siswa berkesulitan membaca tersebut, rancangan pembelajaran membaca permulaan dengan Metode Analisis Glass bagi siswa berkesulitan membaca tersebut, pelaksanaan pembelajaran dengan Metode Analisis Glass bagi siswa berkesulitan membaca tersebut, dan hasil pembelajaran dengan Metode Analisis Glass bagi siswa berkesulitan membaca tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam Penelitian ini adalah Metode Studi Kasus. Adapun instrumen penelitian yang digunakan berupa instrumen tes, observasi, dan wawancara. Berdasarkan hasil penelitian dalam Penelitian ini, diperoleh data bahwa di kelas III SDN 1 Cineumbeuy Kuningan, tahun akademik 2012/2013 terdapat lima orang siswa yang berkesulitan membaca. Lima orang tersebut kemudian dibagi menjadi dua kelompok, yakni siswa berkesulitan membaca berat dan siswa berkesulitan membaca sedang. Setelah dilakukan diagnosis diketahui bahwa penyebab siswa berkesulitan membaca tersebut terdiri atas faktor internal yang meliputi: kesadaran fonetik, fonemik, minat dan motivasi belajar yang rendah serta faktor eksternal berupa penggunaan metode pembelajaran yang kurang efektif dan kondisi ekonomi keluarga yang rendah, juga tingkat pendidikan dan keterampilan orangtua yang rendah pula. Setelah dilakukan tindakan berupa pembelajaran membaca permulaan dengan Metode Analisis Glass, kemampuan membaca siswa tersebut mengalami peningkatan. Hal itu terbukti dari adanya peningkatan kesadaran fonetik dan fonemik kelima siswa berkesulitan membaca tersebut. Dari kelima siswa berkesulitan membaca itu, OR dan RF masih berada pada level frustrasi namun kemampuan membaca mereka sudah meningkat. Sementara itu, H sudah mencapai level instruksional. Adapun N dan Rk, mereka sudah mencapai level independen. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Metode Analisis Glass mampu meningkatkan kemampuan membaca siswa. Namun, pada siswa berkesulitan membaca berat Metode Analisis Glass ini belum mampu meningkatkan level membacanya. Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis menyarankan peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian tentang penanganan terhadap faktor keluarga yang ternyata juga berpengaruh terhadap siswa berkesulitan membaca. Selain itu, mengingat Metode Analisis Glass ini masih memiliki kelemahan yaitu kurang menarik bagi siswa, penulis juga menyarankan untuk meneliti metode lain yang menuntut siswa untuk menganalisis seperti halnya Metode Analisis Glass namun lebih menarik bagi siswa. Kata kunci: Metode Analisis Glass, Kesulitan Membaca (Reading Difficulties), Kemampuan Membaca Permulaan 53
ISSN 2085-9970
Pendahuluan Membaca adalah salah satu keterampilan berbahasa yang penting dimiliki oleh manusia. Dengan membaca, manusia akan banyak mendapatkan ilmu tentang kehidupan. Bahkan, ketika Nabi Muhammad saw. akan diangkat menjadi seorang Rasul, perintah pertama yang ia terima adalah membaca. Dalam kitab-Nya Allah swt. berfirman,yang artinya, “Bacalah dengan Nama Tuhanmu” (T.Q.SAl-‘Alaq:1). Hal itu menunjukkan betapa petingnya membaca. Seorang Nabi Muhammad yang konon adalah seorang ummi (tidak dapat membaca dan menulis) ketika ia akan diamanahi untuk menjadi pemimpin umat Islam dan perantara Allah dalam menyampaikan perintah-Nya diperintahkan untuk membaca. Selain itu, budaya baca suatu bangsa sangat berpengaruh terhadap kemajuannya. Namun, berdasarkan hasil survei lembaga internasional yang bergerak dalam bidang pendidikan, United Nations Education Societyand Cultural Organization (UNESCO), minat baca penduduk Indonesia jauh di bawah negaranegara Asia. Hal itu seperti yang diungkapkan oleh Aditama (www bit.lipi.go.id: 2008) yang menyatakan bahwa dua tahun sebelumnya , atau tahun 2006, UNESCO menempatkan posisi minat baca masyarakat Inonesia paling rendah di kawasan Asia. Hal itulah yang kemudian menjadikan keterampilan membaca merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga di perguruan tinggi. Lebih dari itu, sekarang keterampilan membaca mulai diajarkan di tingkat pendidikan anak usia dini. Banyak pula orang tua yang mulai membiasakan dan mengajarkan keterampilan membaca pada anaknya semenjak balita. Penelitian serta buku-
54
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
buku tentang membaca untuk anak usia dini pun banyak dilakukan dan ditulis. Untuk tingkat sekolah dasar, pembelajaran membaca dibagi menjadi dua, yakni pembelajaran membaca permulaan dan pembelajaran membaca lanjutan. Dalam pembelajaran membaca permulaan, membaca diarahkan untuk melafalkan huruf sehingga dikatakan bahwa tujuan pembelajaran membaca permulaan adalah untuk melek huruf. Menurut Mulyati (www.file.upi.edu) yang dimaksud dengan melek huruf adalah anak-anak dapat mengubah dan melafalkan lambang-lambang tertulis menjadi bunyi-bunyi bermakna. Pada tahap ini sangat dimungkinkan anak-anak dapat melafalkan lambang-lambang huruf yang dibacanya tanpa diikuti oleh pemahaman terhadap lambang bunyibunyi lambang tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran membaca permulaan ditujukan untuk siswa di kelas-kelas awal. Sementara itu, pembelajaran membaca lanjutan diberikan untuk anak kelas-kelas lanjutan. Dalam pembelajaran membaca lanjutan ini, siswa diarahkan untuk memaknai bunyi huruf yang dapat ia lafalkan sehingga tujuan pembelajaran membaca lanjutan adalah untuk memahami isi bacaan atau yang kemudian disebut dengan melek wacana. Menurut Mulyati (www.file.upi.edu) yang dimaksud melek wacana adalah kemampuan membaca yang sesungguhnya, yakni kemampuan mengubah lambang-lambang tulis menjadi bunyi-bunyi bermakna disertai pemahaman akan lambang-lambang tersebut. Namun, pada beberapa kasus masih terdapat siswa sekolah dasar pada kelas lanjut yang belum mampu membaca, dalam hal ini belum melek huruf. Misalnya, di Kabupaten Kuningan, khususnya di SDN 1 Cineumbeuy, Kecamatan Lebakwangi, masih terdapat
ISSN 2085-9970
siswa kelas lanjut yang belum melek huruf. Di antara mereka ada yang sama sekali belum biasa membaca (baru mengenal huruf, namun tidak bisa merangkaikan) ada pula yang sudah bisa namun belum lancar atau masih terbatabata. Untuk selanjutnya, penulis mengelompokkan siswa-siswa tersebut ke dalam kelompok berkesulitan membaca. Ketika penulis mewawancarai seorang guru kelas tentang upaya penanganan anak dengan kesulitan membaca itu, beliau mengatakan bahwa sudah dilakukan upaya untuk menangani anak tersebut. Adapun upaya yang dilakukan adalah meminta teman sebayanya membimbing siswa dengan kesulitan membaca itu. Namun, usaha tersebut belum berhasil. Ketika ditanya tentang upaya yang dilakukan oleh guru secara langsung, beliau menjawab bahwa belum ada upaya yang ia lakukan. Menurut beliau, seharusnya tugas itu adalah tugas guru kelas I dan II. Selanjutnya, penulis bertanya tentang guru kelas I yang dulu mengajarkan membaca permulaan pada siswa yang berkesulitan tersebut. Ternyata, guru tersebut sudah tiada. Pertanyaan selanjutnya yang penulis ajukan adalah tentang penyebab kesulitan membaca pada siswa tersebut. Beliau tidak dapat menjelaskan secara pasti tentang penyebab itu. Beliau hanya menjawab, “Mungkin karena malas”. Dari sana, penulis melihat bahwa belum adanya upaya dari guru dan sekolah untuk mengetahui penyebab sekaligus mengatasi masalah siswa yang berkesulitan belajar tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis berpendapat bahwa kondisi tersebut memerlukan penanganan atau penyelesaian segera. Jika ini dibiarkan, bagaimana nasib anak dengan kesulitan membaca ini selanjutnya. Tentu saja anak ini akan mengalami kesulitan dalam mengikuti pembelajaran yang lainnya.
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Akhirnya, tidak menutup kemungkinan anak tersebut akan menjadi anak yang terbelakang dalam hal akademik. Untuk itu, penulis tergerak dan tertarik untuk mengadakan penelitian studi kasus terhadap siswa berkesulitan membaca tersebut. Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti profil kemampuan membaca siswa dan menelusuri faktor penyebab kesulitan membaca yang dialami siswa. Selanjutnya, penulis akan mencoba menggunakan Metode Analisis Glass sebagai upaya penanganan untuk meningkatkan kemampuan membaca mereka. Penelitian serupa yang berkaitan dengan siswa berkesulitan membaca pernah dilakukan oleh Juhanaini (2012) dalam Disertasinya yang berjudul “Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Peserta Didik Berkesulitan Belajar (Learning Difficulties) di Sekolah Dasar Reguler”. Dalam penelitian itu, Juhanaini menggunakan Model Pembelajaran Berdiferensiasi untuk menangani siswa yang berkesulitan belajar membaca. Hasilnya, model pembelajaran tersebut ternyata dapat meningkatkan kemampuan membaca siswa berkesulitan dan sekaligus meningkatkan keaktifan semua siswa di dalam pembelajaran. Selain itu, adapula penelitian lain yang dilakukan oleh Penney (2002) yang berjudul “Teaching Decoding Skill to Poor Readers in High School”. Dalam penelitian itu, Penney pun menggunakan metode Analisis Glass. Berdasarkan penelitian tersebut metode Analisis Glass berhasil meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca. Namun, penelitian ini digunakan kepada siswa tingkat sekolah menengah yang menurut hemat penulis tingkat perkembangan kognitifnya berbeda dengan siswa sekolah dasar (walaupun sama-sama terkategori siswa berkesulitan membaca). 55
ISSN 2085-9970
Sementara itu, penelitian ini merupakan studi kasus terhadap siswa berkesulitan membaca untuk mengetahui profil kesulitan membaca dan faktor yang diduga menjadi penyebabnya. Selanjutnya, penulis menggunakan metode Analisis Glass untuk menangani kesulitan membaca yang dialami siswa yang bersangkutan. Dalam menggunakan metode ini, penulis betul-betul membebaskan setiap kata yang dilatihkan dari konteks, yaitu tidak memberikan latihan kata dalam bentuk kalimat dan tidak disertai gambar apapun. Hal ini sesuai dengan prinsip Metode Analisis Glass yang ditulis oleh Gerald Glass, yaitu Glass Analysis for Decoding Only.
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
3.
4.
Metodologi Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan tipe studi kasus. Alasan menggunakan metode ini adalah karena penelitian ini akan meneliti secara mendalam siswa yang mengalami kesulitan membaca. Dalam penelitian ini, penulis akan menelusuri faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan membaca pada siswa yang dijadikan objek penelitian. Setelah itu, penulis akan menggunakan metode Analisis Glass sebagai alternatif pembelajarannya. Prosedur Penelitian Berdasarkan bagan atau desain penelitian di atas, maka prosedur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Identifikasi Kasus. Dalam tahap ini, penulis melakukan survey pendahuluan untuk menandai siswa yang diduga mengalami kesulitan membaca. Hal ini diperoleh melalui wawancara dengan guru serta informas data prestasi siswa. 2. Identifikasi Masalah. Dalam tahap ini, penulis melakukan asessmen atau tes untuk menandai siswa yang 56
5.
6.
mengalami kesulitan membaca. Dari survey pendahuluan, diperoleh informasi bahwa di kelas III SDN Cineumbeuy terdapat siswa yang diduga mengalami kesulitan membaca. Berdasarkan informasi itulah, penulis kemudian akan mengadakan tes membaca di kelas tersebut untuk mengetahui siswa mana saja yang mengalami kesulitan membaca. Diagnosis. Dalam tahap ini, penulis menandai jenis dan karakteristik kesulitan membaca yang terjadi pada siswa serta faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebabnya Prognosis. Dalam tahap ini, penulis mengambil sebuah kesimpulan dan keputusan untuk kemudian merancang tindakan untuk measalah kesulitan membaca yang dialami siswa tersebut. Tindakan/ Remedial. Dalam tahap ini penulis melakukan tindakan atau remedial berdasar rancangan yang telah ditentukan dalam proses sebelumnya. Evaluasi. Dalam tahap ini, penulis melakukan evaluasi untuk mengetahui efek tindakan terhadap kemampuan membaca siswa yang berkesulitan. Jika masih ditemukan kekurangan, maka penulis akan menganalisis halhal yang mempengaruhinya, untuk kemudian memcari solusi atau pemecahannya. Begitu seterusnya, sampai diperoleh hasil yang memadai.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut. 1. Tes. Teknik ini digunakan untuk mengetahui kondisi kemampuan membaca pada siswa berkesulitan membaca. 2. Wawancara. Teknik ini digunakan untuk mengetahui faktor penyebab kesulitan belajar yang dialami siswa
ISSN 2085-9970
dan metode pembelajaran membaca yang selama ini dilakukan oleh guru. Wawancara akan ditujukan untuk orang tua, guru, dan teman sebaya. 3. Observasi. Teknik ini digunakan untuk mengetahui kondisi siswa yang berkesulitan membaca dan untuk mengetahui penggunaan metode pembelajaran yang selama ini digunakan. Selain itu, observasi digunakan untuk mengetahui dan mendeskripsikan pembelajaran membaca dengan metode Analisis Glass pada siswa berkesulitan membaca. Pengujian Validitas dan Realibilitas Instrumen Penelitian Pengujian keabsahan data dalam penelitian berarti menguji validitas dan realibilitas. Namun validitas dan reliabilitas yang dimaksud tidak sama dengan makna validitas dan reliabilitas yang terdapat dalam penelitian kuantitatif. a. Validitas. Validitas yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah triangulasi. Triangulasi adalah validitas yang dilakukan pada sumber-sumber data yang berbeda, yaitu dengan memeriksa buktibukti yang berasal dari sumber-sumber tersebut dan menggunakannya untuk membangun justifikasi secara koheren. Jadi dalam penelitian ini, hasil dari observasi, wawancara, dan dokumentasi ditriangulasi. Selanjutnya, untuk mengetahui keabsahan instrument tersebut, penulis akan meminta penilaian pakar (judgment expert) terhadap instrumen tes yang telah dibuat. Hal itu dimaksudkan untuk mengetahui keabsahan instrumen tersebut. b. Reliabilitas Reliabilitas yang dilakukan dalam penelitian ini tentu tidak sama dengan realibilitas dalam penelitian kuantitatif.
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Reliabilitas yang dilakukan mengacu pada yang diungkapkan oleh Gibs (dalam Creswell, 2009: 285), yaitu sebagai berikut. 1) Mengecek hasil transkrip untuk memastikan tidak adanya kesalahan yang dibuat selama proses transkripsi 2) Memastikan tidak ada definisi dan makna yang mengambang mengenai kode-kode selama proses coding. 3) Melakukan cross-check dan membandingkan kode-kode yang dibuat oleh peneliti lain dengan yang dibuat oleh penulis. Teknik Analisis Data Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data. Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan Model Miles and Huberman .Miles dan Huberman (dalam Sugiyono,2008: 246) mengemukakan bahwa aktivitas dalam menganalisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data adalah data reduction, data display, dan conclusion drawing atau verification. Dengan demikian, analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan langkah berikut. 1. Reduksi data. Dalam proses ini, penulis merangkum, memilih hal-hal yang pokok atau penting untuk kemudian menemukan tema dan polanya 2. Penyajian data. Setelah data dipilih, data disajikan dalam bentuk narasi atau uraian singkat, bagan, dan hubungan antarkategori dan pedO penilaian yang telah ditentukan 3. Analisis Data, yaitu mengkaji data berdasarkan teori 4. Penarikan kesimpulan. Setelah data disajikan dan dianalisis baru kemudian diambil sebuah kesimpulan 57
ISSN 2085-9970
Data dan Sumber Data 1. Tempat Penelitian Tempat penelitian ini adalah di SDN 1 Cineumbeuy, Kecamatan Lebakwangi, Kabupaten Kuningan. Sekolah ini berada di Jalan Raya Cineumbeuy No. 155, Kecamatan Cimeumbeuy, Kabupaten Kuningan. Rata-rata siswa yang bersekolah di SD ini berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Hal itu terbukti dari data yang menunjukkan bahwa dari 191 siswa yang bersekolah di sana, 98 orang terkategori sebagai siswa dari keluarga miskin. Selain itu, orangtua siswa rata-rata lulusan sekolah dasar. Hal itu menyebabkan tingkat keterampilan yang rendah dan pola pemikiran yang sedikit kolot. Misalnya, ketika penulis melakukan observasi ke rumah siswa, ada beberapa orangtua yang menolak. Hal itu karena mereka tidak mau menjadi bahan gunjingan tetangga. Bagi masyarakat di sekitar sekolah itu, ketika ada guru yang melakukan kunjungan ke rumah, berarti anak mereka memiliki masalah berat di sekolah dan hal itu merupakan aib serta sering menjadi pergunjingan di antara mereka. Selain hal yang telah disebutkan di atas, letak sekolah yang menghadap ke jalan raya sangat tidak kondusif untuk belajar. Setiap hari banyak kendaraan yang melintas dengan frekuensi yang cukup padat. Sering juga kendaraan besar seperti bus melintas ke jalan tersebut. Dengan demikian, suasana pembelajaran banyak terganggu oleh bisingnya suara kendaraan tersebut. Sarana pendukung pembelajaran di sekolah ini pun kurang memadai. Misalnya, sekolah ini tidak memiliki perpustakaan. Padahal, perpustakaan merupakan sarana belajar yang cukup penting bagi siswa. Selain tidak memiliki perpustakaan, sekolah ini juga belum memiliki laboratorium. 58
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
2. Sumber Data Menurut Sugiyono (2009:291-292) sampel sumber data dalam penelitian kualitatif dapat dipilih secara purposive dan bersifat snowball sampling. Penentuan sampel dalam proposal, masih bersifat sementara dan akan berkembang kemudian setelah peneliti berada di lapangan. Pada tahap awal, dipilih sampel yang memiliki otoritas dan power pada suatu situasi sosial atau objek yang diteliti, sehingga diharapkan mampu “membuka pintu” kemana saja peneliti akan melakukan pengumpulan data. Dalam penelitian ini, awalnya penulis mendapat informasi bahwa di SDN 1 Cineumbeuy terdapat siswa kelas III yang sama sekali tidak bisa membaca. Oleh sebab itu, peneliti menjadikan guru kelas III dan tentunya siswa yang bersangkutan sebagai sumber data. Setelah itu, guru wali kelas tersebut menghubungi kepala sekolah tentang rencana penelitian ini, dan kepala sekolah mengizinkan. Dalam proses selanjutnya (berdasarkan karakteristik teknik snowball sampling) tidak menutup kemungkinan akan bermunculan sumber data yang lain. Sumber data ini akan secara pasti diketahui setelah dilakukan assessment dengan menggunakan alat ukur yang representatif. Hasil dan Pembahasan Hasil Hasil Tahap Identifikasi Kasus Dalam tahap ini, penulis melakukan survei pendahuluan. Survei pendahuluan ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang siswa berkesulitan membaca. Awalnya, penulis memperoleh informasi bahwa ada siswa kelas IV yang belum bisa membaca sama sekali. Setelah melakukan wawancara dengan beberapa guru wali kelas, ternyata di kelas III pun terdapat siswa yang berkesulitan membaca, dan jumlahnya lebih banyak. Penulis pun
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
mencoba mencari informasi lebih lanjut tentang siswa yang bersangkutan kepada wali kelas III dan wali kelas IV Hasil Tahap Identifikasi Masalah Tahap ini, merupakan lanjutan dari tahap identifikasi kasus. Setelah memutuskan atau menandai kelas yang diduga terdapat siswa berkesulitan
membaca, selanjutnya penulis melakukan tes membaca (assessment) di kelas tersebut. Tes ini dilakukan untuk mengetahui siswa mana saja yang terkategori sebagai siswa berkesulitan membaca. Berikut adalah hasil tes pada tahap identifikasi kasus untuk kelima siswa tersebut.
Tabel 1. Data Siswa yang Terindikasi Berkesulitan Membaca No
Nama
1 2 3 4 4
O R N H Rk
Jumlah kata yang benar dibaca 0 0 50 47 71
Berdasarkan data tersebut, ternyata kelima siswa tersebut memiliki kemampuan membaca yang berbeda, walau sama-sama terindikasi sebagai siswa berkesulitan membaca. Ada siswa yang berkesulitan membaca dan sama sekali tidak dapat membaca, yang kemudian penulis sebut sebagai siswa dengan kesulitan membaca berat. Siswa yang termasuk dalam kategori itu adalah O ROsyah dan R Fadillah. Ada pula siswa yang terindikasi sebagai siswa
Jumlah Kata Jumlah kata yang salah tak dibaca dibaca 0 80 0 80 30 0 33 0 7 0
Level Frustrasi Frustrasi Frustrasi Frustrasi Frustrasi
berkesulitan membaca, namun sudah mampu membaca beberapa kata, yang kemudian penulis sebut sebagai siswa dengan kesulitan membaca sedang. Siswa yang termasuk kategori ini adalah N, H, dan Rk Hasil Tahap Diagnosis 1. Diagnosis Hasil Tes Diagnosis tes meliputi tes kesadaran fonik dan tes kesadaran fonemik. Berikut adalah hasilnya.
59
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Tabel 2. Hasil Diagnosis Tes Kesadaran Fonik Nama Siswa
Aspek yang dites Membunyikan huruf
Membaca kata dengan satu suku kata Deskripsi Level Tak mampu Perlu membaca satu penanganan kata pun
Membaca Multysyllabic word Deskripsi Level Tidak dapat Perlu membaca penanganan semua kata
Deskripsi hanya mampu membunyikan dengan tepat 59 huruf dari 78 huruf yang diteskan
Level Perlu penanganan
R
hanya mampu membunyikan dengan tepat 67 huruf dari 78 huruf yang diteskan
Perlu imbingan
Tak mampu membaca satu kata pun
Perlu penanganan
Tidak dapat membaca semua kata
Perlu penanganan
N
mampu membunyikan dengan tepat sebanyak 72 huruf dari 78 huruf yang diteskan.
Perlu bimbingan
Kata secara umum, bisa membaca 14 dari 15 kata Kata berhuruf ‘r”; dapat membaca semua kata Kata berkluster; tidak dapat membaca semua kata Kata secara umum, bisa membaca 14 dari 15 kata Kata berhuruf “r”: membaca 14 dari 15 kata Kata berkluster; hanya dapat membaca 1 kata dari 15 kata Kata secara umum, bisa membaca semua kata Kata berhuruf “r”, bisa membaca 13 dari 15 kata Kata berkluster; hanya dapat membaca 8 kata dari 15 kata
Lancar
Hanya dapat membaca 10 dari 24 kata
Perlu penanganan Perlu penanganan
O
H
hanya mampu membunyikan huruf dengan tepat sebanyak 60 dari 78 huruf yang diteskan
Rk
hanya mampu membunyikan dengan tepat sebanyak 70 huruf dari 78 huruf yang diteskan
60
Perlu bimbingan
Perlu bimbngan
Lancar
Perlu penanganan
Lancar
Hanya dapat membaca 13 dari 24 kata
Lancar
Perlu penanganan
Lancar
Lancar
Perlu penanganan
Hanya dapat membaca 19 ari 24 kata
Perlu penanganan
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Selain kesadaran fonik, tes juga digunakan untuk mengetahui kesadaran fonemik mereka. Berdasarkan tes ini, semua siswa berada pada level perlu penanganan. O dan R mereka masih bisa ketika diminta menyebutkan huruf dari kata yang diberikan kepada mereka, kecuali untuk huruf /ng/ dan /ny/. Namun, ketika diminta menyebutkan bunyi mereka terlihat bingung. Misalnya ketika mentor berkata “Kata ‘dor’ diawali dengan huruf apa?” mereka tak dapat menjawabnya. Tidak jauh berbeda, N, H, dan Rk pun mampu memisahkan kata ke dalam huruf, kecuali huruf /ng/ dan /ny/. Mereka masih menyebutkannya secara terpisah, yaitu /n/ dan /g/ serta /n/ dan /y/. Ketika diminta menyebutkan bunyi awal dan akhir
mereka masih mampu menyebutkan untuk kata-kata yang sederhana. Namun, mereka terlihat bingung untuk kata-kata yang berdiftong dan berkluster. Misalnya, dalam kata ‘pantai’ yang mereka lihat diakhiri dengan bunyi [i], namun ketika dibunyikan mereka mendengar bunyi [ai]. 2. Diagnosis Hasil Wawancara Wawancara dilakukan kepada orangtua siswa untuk mengetahui keadaan siswa di rumah dan kondisi keluarga, kepada teman sebaya untuk mengetahui kebiasaan siswa di sekolah, dan guru untuk mengetahui kondisi siswa disekolah serta KBM di sekolah. Berikut adalah rekap hasil wawancara.
Tabel 3. Hasil Wawancara Subjek: Orangtua
Subjek : teman Sebaya
Subjek: Guru
Latar belakang siswa: Berdasarkan wawancara dengan orangtua, kelima siswa tidak pernah mengalami kekerasan atau sakit yang menyebabkan sarap terganggu. Dengan kata lain, mereka adalah anak-anak yang normal. Namun, mereka memang jarang belajar membaca di rumah. Hal itu Karen tidak ada yang membimbing dan mengarahkan.
Kebiasaan belajar: Menurut temantemannya kelima siswa tersebut termasuk siswa yang normal. Manun, memang merupakan siswa yang jarang belajar
Kondisi siswa Menurut guru, kelima siswa tersebut termasuk siswa dengan nilai yang kurang dari KKM. Menurutnya, yang menyebabkan hal demikian adalah karena ketidakmampuan siswa dalam membaca.
Tingkat ekonomi keluarga: Kesemua siswa berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah
Keaktifan siswa di kelas: Menurut temantemannya kelima siswa tersebut tidak termasuk siswa yang aktif di kelasnya
Proses KBM Selama ini belum ada penanganan khusus bagi kelima siswa berkesulitan membaca tesebut. Di sisi lain PBM di kelas pun memang masih menggunakan metode yang biasadilakukan seperti ceramah dan penugasan Kondisi sekolah Menurut guru, hampir semua siswa di sekolah tersebut berasal dari keluarga menengah ke bawah. Selain itu, sarana dan fasilitas di sekolah pun sangat minim
Tingkat pendidikan orangtua: Tingkat pendidikan orangtua kelima siswa tersebut memang rendah. Rata-rata mereka hanya lulusan SD.
61
ISSN 2085-9970
3.
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Diagnosis Hasil Observasi Tabel 4. Hasil Observasi Aspek yang diobservasi Deskripsi Kebiasaan membaca siswa - Selalu membaca dengan menunjuk kata sehingga menghalangi pandangan - Selalu membaca dengan tergesa-gesa Kondisi keluarga siswa - Berasal dari keluarga dengan tingkat pendidikan dan ekonomi serta keterampilan yang rendah. - Ada juga yang berasal dari keluarga bermasalah - Penggunaan bahasa Indonesia yang minim Kondisi sekolah - Jumlah kelas yang besar sehingga siswa tidak terpantau - Pembelajaran yang monoton - Fasiliitas belajar yang minim
A. Hasil Tahap Prognosis Setelah dilakukan diagnosis, penulis prognosis. Prognosis adalah pengambilan kesimpulan berdasarkan hasil diagnosis yang diperoleh. Dari diagnosis, diperoleh simpulan bahwa ada beberapa faktor penyebab siswa berkesulitan membaca adalah sebagai berikut. a. Faktor interal, yaitu: 1) siswa yang berkesulitan membaca ternyata memiliki kesadaran fonetik dan fonemik yang rendah 2) siswa berkesulitan membaca tersebut memiliki motivasi belajar membaca yang rendah b. Faktor eksternal, yaitu: 1) siswa yang mengalami kesulitan membaca itu belum mendapat penaganan yang khusus. Metode yang selama ini digunakan oleh guru, dirasa belum efektif untuk menangani kesulitan membaca yang mereka alami 2) siswa yang mengalami kesulitan membaca rata-rata berasal dari keluarga dengan kondisi sosial ekonomi rendah, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, serta minimnya penggunaan bahasa Indonesia di rumah. 62
B. Hasil Remedial Target hasil ideal dari penelitian ini adalah siswa dapat mampu membaca secara lancar dan fasih. Namun, karena keterbatasan waktu, tenaga, dan dana, maka penulis menetapkan target minimal yang ingin dicapai,yakni: 1) siswa yang terkategori berkesulitan membaca berat ditargetkan mampu membaca minimal kata yang terdiri dari dua suku kata, sementara siswa berkesulitan membaca sedang ditargetkan mampu membaca kata yang terdiri dari tiga suku kata lebih serta kata berdiftong. 2) siswa memiliki kemauan dalam belajar membaca yang diperlihatkan oleh keseriusan dan antusiasme dalam belajar membaca. Berikut ini adalah hasil tindakan yang telah diberikan kepada kelima siswa berkesulitan membaca. Hasil tersebut diperoleh setelah melakukan evaluasi terhadap setiap tindakan, mulai tindakan kesatu sampai tindakan kelima sebagaimana yang telah dibahas pada subbab sebelumnya. a. Siswa O Setelah dilakukan tindakan sebanyak lima kali tindakan, kemampuan O dalam membaca mengalami peningkatan. Sebelum tindakan ada beberapa huruf
ISSN 2085-9970
yang O tidak tahu. Setelah dilakukan tindakan, O sudah mampu mengetahui dan dapat membunyikan semua huruf abjad. Hal itu berarti bahwa kemampuan O dalam mengenal huruf mengalami peningkatan. Begitu juga dengan kemampuan O dalam membaca kata. Setelah tindakan terakhir dilakukan O sudah dapat membunyikan rangkaian huruf atau kata yang terdiri dari tiga suku kata. Setelah tindakan pertama, O belum bisa membaca kata, baru dapat membaca suku kata. Setelah tindakan kedua, O sudah dapat membaca kata yang sersuku kata dua. Dari 40 kata yang diteskan, ia mampu membaca sebanyak 18 kata. Setelah tindakan ketiga, O sudah mampu membaca kata yang bersuku kata tiga. Dari 40 kata yang diberikan, O mampu membaca sebanyak 23 kata. Setelah tindakan keempat, O sudah mampu membaca kata berhuruf /ng/ dan /ny/. Dari 40 kata yang diteskan ia sudah mampu membaca sebanyak 32 kata. Setelah tindakan kelima, O masih tetap dengan 32 kata, namun membacanya lebih lancar dan percaya diri. Sampai tindakan kelima ini kata yang belum dapat dibaca O adalah kata yang berdiftong dan kata yang berkluster. Hal ini melebihi target minimal yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini juga berarti bahwa kemampuan O dalam mengenali kata yang ditunjukkan dengan kemampuan membunyikan rangkaian huruf mengalami peningkatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesadaran fonetik O sudah meningkat. Selain kesadaran fonetik, kesadaran fonemik O pun mengalami peningkatan. Dia sudah mulai dapat menganalisis bunyi yang terdapat dalam sebuah kata. Misalnya, ketika ditanya huruf yang mengawali sebuah kata ia mampu menjawabnya. Contoh lain adalah O mampu menganalisis bunyi yang berbeda
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
dalam sebuah kata. Misalnya ketika ditanya “Dalam bunyi [ima] dan [ina] huruf apa yang beda?” O menunjuk huruf /m/ dan /n/. Artinya, O sudah mampu membedakan bahwa /m/ dan /n/ merupaka fonem yang membedakan bunyi [ima] dan [ina]. Selain itu, motivasi dan minat O dalam belajar juga sudah mengalami peningkatan. Hal itu terbukti dengan antusiasme O ketika mengikuti proses pembelajaran membaca. Ia selalu terlihat bersemangat ketika mentornya datang ke sekolah untuk memberikan les tambahan. b. Siswa R Hasil yang diperoleh R pun tidak jauh berbeda dengan O. Ia pun sudah mengetahhui dan dapat membunyikan semua huruf abjad, walau sesekali mengalami lupa. Berbeda dengan O, R hanya mengikuti sebanyak empat kali tindakan/ pembelajaran. Setelah tindakan pertama, R pun baru bisa membaca suku kata seperti /ma/, /na/, dan sebagainya. Setelah tindakan kedua, R sudah dapat membaca kata yang bersuku kata dua, namun masih ada beberapa yang salah. Dari 40 kata yang diteskan, R mampu membaca sebanyak 16 kata dengan benar. Setelah tindakan ketiga, kemampuan membaca R meningkat. Ia sudah mampu membaca sebanyak 31 kata dari 40 kata yang diteskan. Setelah tindakan keempat, R sudah mampu membaca kata sebanyak 32 kata dari 40 kata yang diteskan. Selain itu, membacanya tidak lagi terbata-bata. Namun, berbeda dengan O, R masih terlihat tidak bersemangat dalam belajar. Buktinya, dari lima kali pertemuan satu kali dia tidak ikut tanpa ada alasan. Dugaan sementara, faktor keluarga yakni ketidakharmonisan orangtua masih menjadi gangguan untuk R. Sampai tindakan kelima, O dan R masih berada pada level frustrasi (berdasarkan pedO penilaian yang telah 63
ISSN 2085-9970
ditentukan). Namun, kemampuan membaca mereka sudah jauh meningkat dibandingkan sebelumnya yang sama sekali tidak dapat membaca. Tidak berbeda dengan O, kesadaran fonetik dan fonemik yang dimiliki R sudah mengalami peningkatan. c. Siswa N N termasuk siswa berkesulitan membaca sedang. Artinya, ia sudah mampu membaca beberapa kata sederhana. Namun untuk kata-kata yang kompleks ia masih kesulitan. Setelah tindakan ini, N pun mengalami peningkatan kemampuan membaca. Setelah tindakan pertama, N mampu membaca 26 kata dari 48 kata yang diteskan. Ia sudah mulai dapat membaca kata-kata yang lebih kompleks. Setelah tindakan kedua, kemampuan membacanya sudah meningkat. Ia sudah mampu membaca 31 kata dari 48 kata yang diteskan. Setelah tindakan ketiga, Ia sudah mampu membaca sebanyak 40 kata dari 48 kata yang diberikan. Setelah tindakan keempat ia sudah mampu membaca 46 kata dari 48 kata yang diteskan. Setelah tindakan terakhir/ tindakan kelima, N sudah mampu membaca 47 kata dari 48 kata yang diteskan. Setelah tindakan terakhir ini, N berada pada level independen atau perlu bimbingan dari sebelumnya yang berada pada level frustrasi. Dengan hasil seperti itu, dapat dikatakan kesadaran fonetik dan fonemik N yang sebelumnya termasuk rendah sudah mengalami peningkatan. Selain itu, N pun sudah terlihat bersemangat dalam belajar membaca. Ia pun tampak semakin termotivasi ketika ia menyadari bahwa kemampuan membacanya mengalami peningkatan. Setiap ia melihat buku teks, ia terlihat antusian untuk membaca.
64
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
d. Siswa H H pun sama dengan N. Ia termasuk siswa berkesulitan membaca sedang. Setelah tindakan pertama, H baru mampu membaca 20 kata dari 48 kata yang diteskan. Setelah tindakan kedua, H sudah mampu membaca 27 kata dari 48 kata yang diteskan. Setelah tindakan ketiga, kemampuan H kembali meningkat. Ia sudah mampu membaca 36 kata dari 48 kata yang diteskan. Setelah tindakan keempat ia sudah mampu membaca 42 kata dari 48 kata yang diteskan. Setelah tindakan kelima, H sudah mampu membaca 46 kata dari 48 kata yang diteskan. Sampai tindakan kelima, H sudah mencapai level instruksional. Artinya, kemampuan membacanya sudah meningkat, namun masih memerlukan bimbingan dari guru atau orang di sekitarnya dalam hal membaca. Namun, secara umum kesadaran fonetik dan fonemik H sudah mengalami peningkatan. Dengan demikian, kemampuan membaca H sudah mengalami peningkatan. Sama dengan N, H pun selalu terlihat lebih antusias ketika mendapati buku teks. Ia selalu mencoba untuk membacanya. Hal itu memperlihatkan semangat dan motivasinya sudah mulai meningkat. e. Rk Dibanding N dan H yang sama-sama terkategori berkesulitan membaca sedang, Rk dapat dikatakan paling cepat perkembangannya. Pada tindakan pertama saja, ia sudah mampu membaca 35 kata dari 48 kata yang diteskan. Pada tindakan kedua, ia sudah mampu membaca 38 kata dari 48 kata yang diteskan. Pada tindakan ketiga, Rk sudah mencapai level lancar karena ia sudah mampu membaca 48 kata yang diteskan. Kesadaran fonetik dan fonemik Rk jelas mengalami peningkatan yang cukup pesat. Rk pun semangit termotivasi. Ketika dinyatakan telah lulus, ia semakin percaya
ISSN 2085-9970
diri. Ketika ia diminta membaca buku teks yang lebih kompleks ia terlihat lebih antusias dan bersemangat. Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis menarik sebuah simpulan bahwa upaya penanganan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa berkesulitan membaca tersebut cukup berhasil. Walaupun tidak seratus persen siswa berkesulitan membaca mencapai level pembaca lancar (independent), kemampuan membaca mereka mengalami peningkatan yang cukup pesat. Kesadaran fonetik dan fonemik siswa sudah mulai meningkat. Hal itu dibuktikan dengan kemampuan siswa dalam membunyikan huruf yang sebelumnya tidak dapat mereka bunyikan. Selain itu, siswa sudah mampu menganalisis bunyi yang terkandung dalam sebuah kata. O dan R yang sebelumnya tak dapat membaca satu kata pun, sekarang sudah mampu membaca kata yang memiliki duatiga suku kata. Artinya, kemampuan O dan R dalam pengenalan huruf dan kata sudah meningkat. Selain itu, mereka juga sudah dapat menganalisis bunyi yang membentuk sebuah kata. Begitu juga dengan N, H, dan Rk. Selain telah dapat membunyikan semua huruf, mereka telah dapat membaca kata yang sebelumnya tak dapat mereka baca. Sekarang, mereka telah mampu membaca kata berhuruf /ng/ dan /ny/, berdiftong, serta kata berkluster. Dengan demikian, kemampuan mengenal huruf dan kata mereka mengalami peningkatan. Artinya, kesadaran fonetik mereka telah mengalami peningkatan. N, H, dan Rk pun sudah mampu menganalisis bunyi dalam sebuah kata. Misalnya, ketika ditanya “Huruf apa yang terdapat pada akhir bunyi kata [sənaŋ], mereka menjawab /ng/ bukan /n/ /g/. Lalu ketika ditanya “Pada bunyi kata [mənatap]
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
dan [mənətap] huruf apa yang beda” mereka menunjuk huruf /a/ dan /e. Kesimpulan Berdasarkan pemaran di atas dapat disimpulkan bahwa, siswa yang terkategori reading difficulties adalah mereka yang mengalami kesulitan membaca karena faktor internal berupa disfungsi saraf. Mereka adalah siswa yang berkesulitan membaca yang dikarenakan oleh faktor internal berupa rendahnya kesadaran fonetik dan fonemik yang rendah. Selain itu, kesulitan mereka disebabkan oleh factor luar seperti kebiasaan belajar, keadaan ekonomi keluarga, dan model pembelajaran di sekolah. Ternyata, Pembelajaran membaca dengan Metode Analisis Glass berhasil mengatasi kesulitan tersebut. Terbukti dengan meningkatnya kemampuan membaca siswa setelah diberikan tindakan dengan menggunakan metode ini. Saran Seperti halnya metode yang lain, Metode Analisis Glass bukan merupakan metode yang sempurna. Misalnya, metode ini menekankan pada proses decoding dan membedakan antara membaca dan decoding. Oleh karena itu, metode tidak mengajarkan membaca kata disertai dengan konteks sehingga tidak memperkenankan menggunakan gambar atau menggunakan kata dalam konteks kalimat. Siswa hanya diperlihatkan katakata tersendiri. Hal itu membuat metode ini kurang menarik bagi siswa sehingga sangat memungkinkan siswa menjadi jenuh. Dengan demikian, perlu diadakan penelitian lanjut untuk menangani siswa berkesulitan membaca dengan menggunakan metode yang menuntut analisis seperti halnya dalam metode
65
ISSN 2085-9970
Analisis Glass namun lebih menarik bagi siswa. Selain itu, penulis menyarankan kepada LPTK Pendidikan Dasar khususnya PGSD Universitas Kuningan untuk memberikan bekal kepada para mahasiswanya kemampuan menangani siswa berkesulitan, termasuk kesulitan membaca. Hal ini diharapkan akan menjadi bekal ketika mereka menjadi guru. Daftar Pustaka Abidin, Yunus. (2010). Strategi Membaca: Teori dan Pembelajarannya. Bandung :Penerbit Rizqi Press. Abdurrahman, Mulyono. (2009). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Kerjasama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Penerbit Rineka Cipta. Aditama, Toeti. (2008). Makna Membangkitkan Minat Baca. [Online]. Tersedia: http://www.bit.lipi.go.id/masyarakatliterasi/index.php/minat baca?start=16.[16 Juni 2013] Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik . Jakarta: PT Asdi Mahasatya. Bagaskorawati, Riana. (2010). Anak Berisiko: Identifikasi, Asesmen, dan Intevensi Dini. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. Balajhty Ernest & Sally Lipa Wade. (2003). Struggling Readers: Assessment dan Instruction in Grades K-6. New York: The Guilford Press. Creswell, Jhon W. (2009). Research Design: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan Mixed. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Departemen Agama RI. (2008). Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: Penerbit Dionegoro. 66
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Jordan, Rosalie. (2005). Early Reading and Early Reading Diagnostic Assessment: Soecond Edition. London: Pearson Education Inc. Juhanaini. (2010). Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Peserta Didik Berkesulitan Belajar (Learning Difficulties) di Sekolah Dasar Reguler. Disertasi pada Program Studi Pengembangan Kurikulum Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan Lyon, G. Reid. (tanpa tahun). Why Some Children Have Difficulties Learning to Read. [Online]. Tersedia: http://www.readingrocket.org. [10 Maret 2013] Makmun, Abin Syamsudin. (2009). Psikologi Kependidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Manzo, Anthony & Ula Manzo. (1990). Content Area Reading: A Heuristic Approach. Ohio: Merrill Publishing Company. Mulyati, Yeti. (Tanpa tahun). Pembelajaran Membaca dan Menulis Permulaan. Online].Tersedia:http://file.upi.edu/D irektori/FPBS/JUR_PEN._BHS._DA N_SASTRA_INDONESIA. [30 Oktober 2012] O’Connor, Rollanda E,. (2007). Teaching Word Recognition : EffectiveStrategies for StudentswithLearningDifficulties. New York: The Guilford Press. Pacific Resources for Education and Learning. (2012). Staged of Reading Development. [Online]. Tersedia: www.readingrocket.org. [23 Maret 2013] Penney, Catherine G. (2002). “Teaching Decoding Skill to Poor Readers In High School”. Journal of Literacy Research, 34, (1), 99-108.
ISSN 2085-9970
Rahim, Farida. 2007. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Reid, Robert & Torri Ortiz Lienemann. (2006). Strategy Instruction for Students with Learning Disabilities. New York: The Guilford Press. Roza, Prima. (2007). “Pendidikan dan Mutu Manusia”.Jurnal Sosioteknologi. 12 (6).303-08. Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Shanker, James L dan Ward A. Cockrum. 2009. Ekwall/Shanker Reading Inventory. California: Pearson Education. Syamsudin, AR. &Vismaia S. Damayanti. (2009). Metode Penelitian Pendidikan Bahasa..
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Bandung:Kerjasama SPS UPI dengan PT Remaja Rosdakarya Tarigan, Henry Guntur. (1979). Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Wahyuni, Sri. (2010). Cepat Bisa Baca. Jakarta: PT Gramedia. WGBH Educational Foundation. (2002). Difficulties with Reading. [Online]. Tersedia: www.pbs.org/wgbh/misunderstoodmi nds/readingdiffs.html. [10 Maret 2013]. Yin, Robet K. (2011). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Yusuf, Munawir. (2003). Pendidikan bagi Anak dengan Problema Belajar. Solo: Tiga Serangkai.
67
ISSN 2085-9970
68
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Assesmen Kinerja Mahasiswa pada Praktikum dan Korelasinya dengan Peningkatan Pemahaman Konsep pada Mata Kuliah Mikrobiologi Ilah Nurlaelah dan Ina Setiawati Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kuningan
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan korelasional dari assesmen kinerja mahasiswa pada praktikum dengan peningkatan pemahaman pada mata kuliah mikrobiologi, target penelitian ini meliputi informasi tentang pemahaman mahasiswa sebelum dan sesudah penggunaan asesmen kinerja dalam praktikum mikrobiologi, informasi mengenai kinerja mahasiswa dalam praktikum mikrobiologi, dan informasi mengenai korelasi antara kinerja mahasiswa dalam praktikum dengan peningkatan pemahaman mahasiswa pada materi kuliah mikrobiologi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif korelasional dimana data diperoleh dengan menggunakan asesmen kinerja dan tes dan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif menggunakan uji korelasi regresi linier. Peningkatan Pemahaman konsep dapat diketahui dengan menggunakan perhitungam Gain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara kinerja mahasiswa pada praktikum dengan pemahaman dengan koefisien korelasi R sebesar 0,435 pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukan korelasi antara kinerja dan peningkatan pemahaman konsep mahasiswa memiliki korelasi positif. Nilai koefisien determinasi (R 2 x 100%) yang diperoleh sebesar 18,9%, hal ini menunjukan bahwa kinerja mahasiswa pada praktikum cukup mempengaruhi peningkatan pemahaman mahasiswa. Nilai rata-rata asesmen kinerja mahasiswa dalam kegiatan praktikum mikrobiologi termasuk kategori baik yaitu sebesar 69,44. Hampir semua mahasiswa menguasai materi dengan baik dengan diperlihatkan adanya gain yang tinggi sebesar 53%. Kinerja mahasiswa yang diukur melalui lembar observasi memiliki skor yang sebanding, dalam artian mahasiswa yang skor lembar observasinya tinggi sebagian besar memiliki skor pemahaman yang tinggi. Oleh karena itu penggunaan asesmen berbasis kinerja dalam praktikum merupakan langkah yang tepat karena asesmen kinerja dapat secara langsung mengukur keterampilanketerampilan dari siswa (mahasiswa) sampai kepada keterampilan teori tingkat tinggi dan keterampilan psikomotor. Kata Kunci: Korelasi, Asesmen Kinerja, Praktikum, Pemahaman Konsep, Mikrobiologi
Pendahuluan Pendidikan mampu meningkatkan kinerja seseorang menjadi lebih baik. Pendidikan mampu mengembangkan dan meningkatkan berbagai aspek perubahan tingkah laku, baik itu aspek kognitif, afektif maupun psikomotor.
Pemahaman dan penguasaan konsep biologi tidak hanya dapat di lakukan melalui hafalan, seperti halnya penggunaan metoda ceramah dalam pembelajaran yang lebih menekankan pada aspek ingatan. Berbagai metode dan media pembelajaran dilakukan oleh para pendidik untuk meningkatkan pemahaman konsep. Tujuan akhir dari proses pembelajaran biologi dan 69
ISSN 2085-9970
IPA pada umumnya tidak hanya berorientasi pada kemampuan kognitif dan afektif saja, tetapi lebih di tekankan pada keterampilan proses dan psikomotor peserta didik yang akhirnya mampu meningkatkan pemahamannya. Penyampian bahan kajian materi Mikrobiologi ditingkat mahasiswa pada dasarnya tidak terlepas dari kegiatan praktikum. Kegiatan praktikum dapat memberi pengaruh positif terhadap penguasaan konsep, hal ini kita sadari bahwa ada keterkaitan antara teori dan praktikum. Menurut Nono Sutarno (1995 : 7) prinsip – prinsip yang di kemukakan dalam teori akan di kaji dalam praktikum demikian pula sebaliknya pengalaman – pengalaman yang di peroleh di dalam praktikum di cari dasar – dasarnya dalam teori dan prinsip – prinsip. Dengan adanya keterkaitan antara teori dan praktikum ini sudah tentu ada hubungan yang saling menunjang antara satu dengan lainnya. Praktikum dapat memberikan penguatan terhadap penguasaan konsep, dan teori yang disampaikan dalam pembelajaran bisa dibuktikan dalam praktikum, sehingga mahasiswa lebih memahami konsep yang disampaikan. Ada pepatah yang mengatakan I hear I forget, I see I remember, I do I understand. Jadi segala sesuatu yang dilakukan akan lebih berkesan, tidak hanya dapat diingat sesaat lalu kemudian lupa tetapi dimengerti, dipahami dan tetap menempel dalam ingatan, dengan demikian penguasaan konsep akan tercapai. Untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pembelajaran diperlukan adanya suatu penilaian yang menyangkut segala aspek kegiatan belajar mengajar, yakni aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Hal ini berarti penilaian peningkatan pemahaman peserta didik tidak hanya menitikberatkan pada test tertulis saja. Tes esai dan tes objektif hanya mampu menggambarkan seberapa banyak 70
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
informasi yang berhasil dikumpulkan peserta didik dan mempunyai kecenderungan membuat peserta didik hanya dibiasakan untuk mengingat materi yang sudah di hafalkannya (Nur,1997;Ribon,1996;Sri Estu, 1999:91). Airasian (1994:276) mengatakan bahwa soal uraian (esai test) dapat digunakan untuk berbagai bentuk penilaian tetapi merupakan hal yang tidak tepat apabila digunakan untuk menilai suatu kinerja atau aktifitas. System penilaian yang diandalkan sekarang pada umumnya hanya mengukur hasil belajar dalam ranah kognitif saja. Dalam kegiatan praktikum mahasiswa dapat mengembangkan dan meningkatkan keterampilan proses psikomotor seperti mengoperasikan alat – alat laboratorium, melakukan suatu penelitian dan lain sebagainya. Berbagai aspek yang muncul dalam kegiatan praktikum tersebut dapat dijadikan sebagai bahan penilaian oleh seorang dosen/guru. Dalam pelaksanaan penilaian hasil belajar biologi belum dapat mengungkapkan hasil belajar biologi dari segi proses. Untuk mengungkapnya diperlukan alat penilaian berupa tes kinerja siswa. Penilaian kinerja yang lebih di kenal dengan istilah asemen kinerja dapat memperlihatkan kemampuan siswa dalam kemampuan sesuatu sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya dalam situasi sesungguhnya/nyata (Fitzpatrick and Morrison, 1971; Wiggins, 1992: Airasian, 1994:228). Mitchell (Airasian, 1994:228) mengemukakan bahwa perbedaan antara kemampuan dalam menggambarkan bagaimana keterampilan tersebut ditampilkan (pengetahuan) dan kemampuan dalam mengaktualisasikan penampilan tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam penilaian di kelas. Stiggins (1994;154) menegaskan bahwa penilaian kinerja (performance assesment) merupakan salah satu bentuk alternatif
ISSN 2085-9970
penilaian yang dapat digunakan untuk menilai kinerja dan hasil karya siswa/mahasiswa. Hal ini berarti apa yang ditampilkan siswa menjadi variabel yang dapat dinilai. Selama ini kegiatan praktikum ditingkat perguruan tinggi terutama di bidang IPA merupakan hal yang tak bisa dipisahkan, hampir di setiap mata kuliah terutama di jurusan Pendidikan Biologi keduanya terintegrasi menjadi sebuah penilaian. Peneliti telah melakukan berbagai cara/metode dalam KBM di kelas untuk mata kuliah Mikrobiologi dengan harapan mahasiswa dapat menyerap konsep-konsep dengan mudah salah satu cara yaitu dengan metode diskusi presentasi di depan kelas begitu juga saat kegiatan praktikum mahasiswa dibekali dengan jurnal praktek yang berisi materi praktek lengkap dengan gambar-gambar dengan harapan saat praktek berlangsung mahasiswa dapat mempertelakan, membedakan, mendefinisikan, bahkan membuat kesimpulan dari konsep-konsep yang abstrak dalam materi praktek. Dari kegiatan itu diharapkan pemahaman mahasiswa akan materi ajar dapat dikuasai. Penelitian tentang korelasi antara kinerja mahasiswa pada praktikum dengan penguasaan konsep/materi ajar masih sedikit dilakukan dan masih perlu diteliti. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di sekolah-sekolah yang cukup relevan pada umumnya hanya menilai aspek – aspek kinerja siswa pada praktikum, tanpa mengemukakan hubungannya dengan pemahaman materi. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti merasa perlu untuk mengetahui keterkaitan antara kinerja dalam pembelajaran dan hubungannya dengan peningkatan pemahaman konsep materi perkuliahan, apakah mahasiswa yang kinerjanya tinggi pada saat praktikum memiliki kemampuan kognitif yang tinggi
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
pula, atau sebaliknya. Bahkan mungkin tidak ada hubungan diantara keduannya. Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif korelasional. Metode ini digunakan untuk mengkorelasikan antara kinerja mahasiswa pada kegiatan praktikum dengan peningkatan pemahaman konsep struktur morfologi mikroba. Desain Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang hubungan antara dua buah variabel, yaitu variabel kemampuan kinerja mahasiswa pada saat kegiatan praktikum dan variabel pemahaman mahasiswa terhadap konsep struktur morfologi mikroba pada mata kuliah mikrobiologi. Variabel – variabel yang terlibat dalam penelitian ini adalah: Tabel.1 Variabel Penelitian Variabel Keterangan Y Pemahaman mahasiswa terhadap konsep struktur morfologi mikroba Kinerja mahasiswa pada saat X praktikum yang diambil melalui lembar observasi Populasi dan Sampel Populasi subyek penelitian ini adalah mahasiswa jurusan pendidikan biologi semester lima tahun ajaran 2013-2014. Sampel penelitian ini diperoleh dari hasil acak terhadap kelompok kelas. Mahasiswa dibagi kedalam 5 kelompok berjumlah 5 orang. Setiap kelompok yang berjumlah 5 orang ini akan diuji oleh dosen/peneliti sebagai observer. Teknik Pengumpulan Data Kegiatan yang diamati adalah kinerja mahasiswa pada saat kegiatan praktikum 71
ISSN 2085-9970
berlangsung. Kegiatan praktikum yang dimaksud adalah kegiatan praktikum pada saat melakukan kerja mikrobiologi, meliputi aspek teknik aseptis, isolasi bakteri dan pengamatan mikroba. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah : 1). Aktivitas atau Kinerja mahasiswa Untuk mengungkapkan dan mengumpulkan data mengenai aktivitas atau kinerja mahasiswa selama proses penilaian dalam kegiatan praktikum digunakan lembar observasi atau lembar asesmen kinerja disertai rubric dengan skala penilaian 1-4. 2)Pemahaman Untuk mengumpulkan data berupa kemampuan kognitif atau pemahaman mahasiswa, diguanakan tes objektif dengan jumlah 30 soal di berikan sebelum pembelajaran (pretes) dan 50 soal sesudah pembelajaran (postes) serta asesmen kinerja dilaksanakan pada saat praktikum. Analisis Data Setelah pelaksanaan penelitian data yang diperoleh diolah dan dinilai. Ada 3 tahap prosedur penilaian menurut Hopkins (Sri Estu, 1996;36) yakni : 1) Katagorisasi data, 2) Validasi data., 3) Interpretasi data. Masing – msaing data diolah sebagai berikut : a). Data dari lembar observasi diolah hingga didapat skor total. Skor seluruh sampel dari penilaian ini termasuk dalam data variable X. b). Data yang didapat dari hasil tes objektif pretes dan postes diskor total, kemudian dicari nilai rata-rata lalu dihitung nilai gainnya. Gain ini mampu memperlihatkan bahwa
72
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
terdapat peningkatan pemahaman mahasiswa setelah proses pembelajaran dilakukan. Berikut ini adalah rumus gain (Meltzer, 2002). gain
skor post tes skor pretes skor maksimum skor pretes
Hasil perhitungan dinterpretasikan dengan menggunakan indeks gain
menurut klasifikasi Meltzer (2002) sesuai dengan Tabel berikut: Tabel 2. Kriteria Gain Indeks gain Interpretasi (Gain) g > 0,7 Tinggi 0,3< g < 0,7
Sedang
g ≤ 0,3
Rendah
c). Pengolahan data kemudian dilanjutkan untuk mencari korelasi antar variabel diatas dengan dianalisis menggunakan program SPSS.16 untuk mencari nilai korelasinya dengan rumus regresi linier. Setelah nilai Koefisien korelasi r atau R. Hasil dan Pembahasan Pemahaman mahasiswa pada awal pertemuan diukur dengan pretes. Pretes dilakukan untuk mengetahui pengetahuan dasar setiap mahasiswa. Setelah kegiatan kinerja di laboratorium dan berbagai diskusi, Tanya jawab, presentasi di kelas dilakukan postes. Hasil perhitungan tes awal dan tes akhir dapat dilihat pada table 3 berikut ini:
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Tabel 3. Deskripsi Nilai Pretes, Postes & Praktikum Nilai
Nilai Minimum
Nilai Maksimum
Pretes 28 88 Postes 50 95 Praktikum 50 86 Berdasarkan perhitungan statistic diperoleh Sig. (nilai r) probability value/ critical value pada uji Shapiro-Wilk pada kelas 3A, nilai pretes sebesar 0,612 dan nilai postes sebesar 0,359. Kriteria uji, yang digunakan yaitu apabila nilai r (probability value/ critical value ) lebih kecil atau sama dengan (=) dari tingkat yang ditentukan maka Ho ditolak (data berdistribusi tidak normal). Dalam hal lainnya, Ho diterima apabila Sig. (nilai r) probability value/ critical value lebih besar dari tingkatan yang ditentukan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan program SPSS di atas, tampak nilai r untuk
Ratarata
Deviasi Standar
54.58 14.693 73.56 10.549 69.44 9.369 pretes lebih besar dari pada tingkat yang ditentukan (yaitu 0,05) atau 0,612 > 0,05, sehingga Ho diterima. Artinya data hasil pretes yang diteliti mengikuti distribusi normal. Dan nilai r untuk postes juga lebih besar dari pada tingkat yang ditentukan (yaitu 0,05) atau 0,359 > 0,05, sehingga Ho diterima. Artinya data hasil postes yang diteliti mengikuti distribusi normal. Peningkatan Pemahaman Konsep Berikut ini adalah data nilai ratarata pretes dan postes beserta nilai rata-rata gainnya dapat dilihat pada Gambar 1 berikut:
Gambar.1 Penguasaan Konsep Mahasiswa Nilai rata-rata penguasaan konsep mahasiswa sebelum pembelajaran mencapai 54% dan setelah pembelajaran mencapai 73%, sementara nilai gain 53%. Berdasarkan hasil perhitungan mengenai
data Asesmen Praktikum, diperoleh nilai rata-rata sebesar 69,44 dan deviasi standar sebesar 9.369. Hasil perhitungan data dengan program SPSS 16 menunjukan hasil sebagai berikut :
73
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Tabel 4. Hasil Uji Korelasi No
Uji
Symbol statistic
Hasil penghitungan
Keterangan
1
Koefisien korelasi
R
0,435
2
Deteminasi korelasi
R2(Rx100%)
0,189 = 18,9%
Terdapat korelasi Positif yang moderat
Hasil perhitungan didapat rxy= 0,435 dan harga (r) kritik product moment (5%) dengan N=36 adalah 0,325. Sehingga r xy< r kritik moment, artinya signifikan. Jadi terdapat hubungan yang signifikan antara nilai postes dengan nilai praktikum , dan persentase kontribusinya 18,9 %. Analisis menurut data pada tabel 1.1 diatas, angka R menunjukkan nilai regresi yaitu sebesar 0.445 maka dari angka tersebut dapat dilihat bahwa hubungan antara kedua variabel yang diamati sebesar 0,435 artinya terdapat korelasi yang positif antara kemampuan kinerja mahasiswa saat kegiatan praktikum dengan pemahaman mahasiswa terhadap konsep mikrobiologi. Koefisien korelasi yang didapat sebesar 0,435 menurut kriteria Boediono dan wayan (2001:184) nilai tersebut berada diantara 0,30 < r < 0,50 yang berarti memiliki korelasi yang moderat. Kontribusi kemampuan kinerja mahasiswa terhadap pemahaman mahasiswa ditentukan oleh besarnya determinasi korelasi (R2) yaitu angka R square adalah 0,189 (adalah pengkudratan dari koefisien korelasi, yaitu 0.435x0,435 = 0.189) artinya besarnya kontribusi kemampuan kinerja mahasiswa terhadap pemahaman konsep sebesar 18,9% sedangkan sisanya (100%-18,9% = 81,1%) dijelaskan karena faktor-faktor lain diluar variabel pada persamaan regresi tersebut. Faktor-faktor lain yang dimaksud tentunya berasal dari luar kinerja mahasiswa tadi. Yossi Kustiawan (1995:8) menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang dapat
74
mempengaruhi hasil belajar siswa yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam diri siswa diantaranya kecerdasan, hambatan fisik, minat, bakat, kesiapan, perhatian dan motivasi belajar siswa, dan faktor ekstrinsik adalah faktor yang berada di luar siswa diantaranya lingkungan baik dirumah, sosial masyarakat, fasilitas belajar, dan proses KBM di kelas. Dari hasil pengolahan data di atas kinerja mahasiswa memiliki nilai skor yang sebanding dalam artian mahasiswa yang skor lembar observasinya tinggi sebagian besar memiliki skor gain yang tinggi pula. Dari data tabel 1.4 nilai R2 sebesar 0,189 menunjukkan nilai R square berkisar pada angka 0 sampai dengan 1, artinya walaupun kecil tapi memberikan pengaruh yang positif karena semakin kecil angka R square semakin lemah hubungan kedua variabel. Jadi kedua variabel yang diteliti pengaruhnya kecil tapi tetap hubungannya bersifat positif walaupun kecil/lemah tapi sangat berarti. Di sini asesmen kinerja berpengaruh sebesar 18,9% terhadap peningkatan pemahaman mahasiswa pada mata kuliah mikrobiologi. Analisis berikutnya adalah dari uji anova atau uji F terlihat pada tabel 4.8 berikut, diperoleh F hitung sebesar 7,947 dengan tingkat signifikansi 0,008 oleh karena probabilitas 0,008 lebih kecil dari 0.05, maka model regresi dapat dipakai untuk memprediksi tingkat pemahaman mahasiswa.
ISSN 2085-9970
Analisis selanjutnya adalah menunjukkan persamaan regresi : Y = 0,490 X + 39,523 , di mana: Y adalah tingkat pemahaman terhadap konsep, X adalah kinerja praktikum mahasiswa. Koefisien regresi sebesar 0,490 menyatakan bahwa setiap penambahan nilai kinerja praktikum akan meningkatkan pemahaman konsep sebesar 0,490. Dengan membandingkan statistik hitung dengan statistik tabel, jika thitttab, H0 ditolak. Berdasarkan tabel output di atas terlihat bahwa thit adalah 2,819, ttab ada signifikansi 0,008 dan df = 35, t tabel didapat adalah 1,7081, oleh karena statistik hitung > statistik tabel (2.819 > 1.7081), maka H0 ditolak. Ini berarti asesmen kinerja praktikum berpengaruh secara signifikan terhadap pemahaman konsep materi kuliah mikrobiologi. Berdasarkan hasil tersebut, jelas bahwa ada hubungan yang moderat antara kinerja dengan pemahaman mahasiswa meskipun tidak besar. Dengan demikian hipotesis yang diajukan yakni "Terdapat korelasi positif antara kinerja mahasiswa dengan peningkatan pemahaman mahasiswa pada konsep mikrobiologi" dapat diterima meskipun dengan korelasi yang didapat ternyata sedang. Meskipun demikian dari koefisien determinasi tergambar bahwa korelasi kinerja mahasiswa terhadap pemahaman materi mikrobiologi sebesar 18,9%, dan faktor lain yang memberi korelasi terhadap pemahaman mahasiswa pada materi mikrobiologi sebesar 81,1 %. Seperti telah dijelaskan bahwa faktor-faktor tersebut tentunya berasal dari luar kinerja tadi. Yossi Kustiawan (1995:8) menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar mahasiswa yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Dalam hal ini faktor intrinsik adalah faktor yang berada dalam diri mahasiswa
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
tersebut, dan faktor ekstrinsik merupakan faktor diluar diri mahasiswa tersebut. Berdasarkan perhitungan gain didapat nilai (g)= 0,53 artinya peningkatan hasil belajarnya termasuk kategori sedang (Meltzer, 2002). Peningkatan pemahaman tersebut menunjukkan bahwa ada perubahan pemahaman mahasiswa yang lebih baik. Peningkatan pemahaman ini menunjukan bahwa proses pembelajaran cukup berhasil, hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor diantaranya: a. Metode dan pendekatan pembelajaran yang dirancang dan digunakan untuk penelitian ini tepat. Hal ini berarti sesuai dengan pendapat Sri Redjeki (1998 :1) bahwa metode dan pendekatan dirancang untuk keberhasilan suatu tujuan. b. Penggunaan asesmen kinerja pada kegiatan praktikum mikrobiologi mempengaruhi peningkatan pemahaman secara tidak langsung. Dengan pemberian asesmen kinerja ini mahasiswa menjadi termotivasi untuk mempelajari konsep-konsep mikrobiologi lebih banyak lagi dengan membaca literatur. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Tatang Suratno (2007) tentang asesmen formatif yang menyatakan bahwa penerapan asesmen berbasis kinerja dalam proyek dan penyelidikan, jurnal ilmiah seperti laporan praktikum dan gambar yang diterapkan pada mahasiswa dapat membantu dalam upaya mengembangkan kebiasaan berpikir. c. Kegiatan praktikum dapat merangsang mahasiswa untuk lebih aktif dalam setiap kegiatan dan proses pembelajaran. Kegiatan praktikum ini membawa mahasiswa untuk melakukan pengamatan langsung berhadapan dengan objek yang dipelajarinya. Hal ini didukung oleh 75
ISSN 2085-9970
Indayati (1995:56) bahwa kegiatan praktikum dengan kegiatan mahasiswa menggambar sendiri hasil pengamatnnya dan melakukan teknikteknik praktikum yang melibatkan pengetahuan prosedural dapat meningkatkan penguasaan yang lebih baik dalam materi jaringan tumbuhan, hal ini dapat dikonvensikan bahwa kegiatan praktikum mikrobiologi dapat meningkatkan pemahaman atau penguasaan materi mikrobiologi, yang terbukti dengan adanya gain yang tinggi. Penutup Berdasarkan hasil analisis data dan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara kinerja mahasiswa pada praktikum dengan pemahaman dengan koefisien korelasi R sebesar 0,435 pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini menunjukan korelasi antara kinerja dan peningkatan pemahaman konsep mahasiswa memiliki korelasi positif. Kinerja yang diukur melalui lembar observasi memiliki nilai yang tinggi, nilai koefisien determinasi (R2 x 100%) yang diperoleh sebesar 18,9%, hal ini menunjukan bahwa kinerja mahasiswa pada praktikum cukup mempengaruhi peningkatan pemahaman mahasiswa. Kinerja mahasiswa semester V jurusan pendidikan biologi FKIP UNIKU tahun ajaran 2013/2014 yang diukur melalui lembar observasi berada pada kategori baik. Peningkatan pemahaman mahasiswa yang didapat dari gain sebesar 53 % berada pada kategori sedang Daftar Pustaka Airasian, Peter W. (1994). Classroom Assessement. Mc.graw : Hill International Editions Meltzer, D.E. (2002). The Relationship between mathematics preparation 76
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
and conceptual Learning in physics; a possible hidden variable in diagnostic pretes score. Am.J.Phys.70(2) 12591267.Tersedia: http://physics.Iastate. edu/per/does/addendum_on_normali zedgains .pdf. Nono Sutarno. (1995). Hubungan antara Pemahaman Konsep-Konsep Biologi dengan Kemampuan merencanakan Praktikum Mahasiswa Pendidikan SI. Laporan Penelitian IKIP Bandung : Tidak diterbitkan Rahmat Irawan (2002). Assessment kinerja siswa dalam Praktikum Mikroorganisme Kolam. Skripsi : Jurusan Pendidikan Biologi. FPMIPA UPI Bandung : tidak diterbitkan . Sri Estu. (1999). Penerapan Penilaian Kinerja Siswa dalam Pembelajaran IPA SD Kelas V. IKIP Malang : Jurnak Kependidikan 1 Juli Stiggins S.R.J. (1994), Student – Centered Classroom Assessment. New York. Macmillan College Publising Company Suharsimi Arikunt0. (1996). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Bhineka Cipta Suratno. Tatang. (2007). Formative !ssessment for Learning: Teacher’s Professionalism in Raising Standards. Makalah pada Seminar Nasional Biologi. Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI. Mei 2007.
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Manajemen Model Analisis Neraca Air di Wilayah Kabupaten Kuningan Bagian Timur Ai Nurlaila dan Oding Syafrudin Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan
Abstract This study aims to analyze the water balance and determine the timing of the surplus and deficit of water, as well as determine the water potential in the Eastern District of Kabupaten Kuningan (in this case the District Ciawigebang and the District Cibeureum). Analysis of water is calculated using the Thornwhite and Mather method (1958). Through this method calculated how much supply and rain water deficit in the last ten years. Based on the calculations and the approach obtained water balance curve and soil water balance curve in the region studied. General water balance in the region of East Kuningan average in surplus water from December to April and the water deficit from May to November. Surplus peak occurred in February and March where the average rainfall reached 330 mm monthly. Deficit peak occurred in August and September where rainfall monthly average reached only 10 mm. Soil water balance calculations, the water deficit in the village Cibeureum occurred from May to November with a total deficit of 475.84 mm / year. Deficit peak occurred in September. Surplus water occurs from December to April with a total surplus of 711.94 mm / year. Total run-off is equal to 521.13 mm / year. While the Village Ciawi water deficit occurs from May to October with a total deficit of 425.27 mm / year. Surplus water occurs from November to April with a total surplus of 641.11 mm / year. The amount of run-off amounted to 505.05. Soil water balance can change over space and time is influenced by climate, soil type, cover / land use and topography. Keywords: water balance, precipitation, evapotranspiration, water surplus, water deficit.
Pendahuluan Air merupakan bahan alami yang mutlak diperlukan untuk kehidupan semua mahluk hidup. Air, baik itu di dalam permukaan bumi maupun di atmosfir dalam bentuk uap air ada dalam kadaan dinamis yakni senantiasa mengalami proses perubahan dari berbagai fase: padat/es, cair/air dan gas/uap serta mengalami perpindahan tempat. Bagi daerah yang mengandalkan air hujan untuk kebutuhan penduduknya, maka pengetahuan tentang cuaca atau iklim sangat penting, karena berpengaruh terhadap aktivitas pertanian seperti pada
proses menentukan waktu tanam, jenis tanaman, bahkan jenis ternak yang sesuai. Pada daerah berbukit-bukit seperti di wilayah Kabupaten Kuningan bagian Timur, kondisi air pada bulan-bulan tertentu dalam satu tahun dalam kondisi yang tidak tetap. Kondisi topografi dan jenis tanah serta tutupan vegetasi mempengaruhi ketersediaan air. Topografi mempengaruhi perpindahan tempat dalam hal aliran air karena pengaruh gravitasi. Berdasarkan survey di lapangan, Kabupaten Kuningan bagian timur dialiri oleh sungai Cisanggarung yang mendapat aliran airnya dari Waduk Darma. Pada saat kemarau terjadi yaitu pada bulan Mei 77
ISSN 2085-9970
sampai Agustus pasokan utama air di Cisanggarung yang berasal dari Waduk Darma volumenya berkurang. Ketika musim hujan terjadi Waduk Darma dijadikan tempat penampungan air sebagai konservasi air dan pada saat itu tidak membuka pintu airnya, sehingga air sungai Cisanggarung mengandalkan hujan yang berasal dari anak-anak sungai di sekitarnya. Pasokan air dari Waduk Darma diperlukan ketika kemarau hampir tiba, hal ini untuk menghindari sawah dari ancaman kekeringan. Wilayah yang berada di atas aliran sungai Cisanggarung adalah wilayah yang tidak mendapat pasokan air irigasi, sehingga untuk kegiatan pertanian di sawah-sawah dan tegalan pengairannya mengandalkan hujan. Untuk padi yang merupakan tanaman dengan kebutuhan air yang banyak, terbatasnya pasokan air akan mengganggu produktivitas. Dari kondisi lapangan diatas muncul pemikiran bahwa faktor iklim yang sangat menentukan kegiatan pertanian akan menjadi penting ketika dihadapkan kepada air sebagai faktor pembatas bagi aktivitas pertanian. Kebutuhan air bagi kehidupan manusia sangat luas dan diperlukan dalam jumlah yang cukup pada saat yang tepat. Neraca air pada dasarnya adalah perimbangan antara masukkan (input) dan keluaran (output) air di suatu tempat atau wilayah pada suatu saat atau periode tertentu. Menurut agroklimatologi neraca air air adalah selisih antara jumlah air yang diterima oleh tanaman dan kehilangan air dari tanaman dan kehilangan air dari tanah melalui evapotranspirasi (Suharsono, 1993). Penelitian tentang neraca air di Kabupaten Kuningan bagian timur perlu dilakukan untuk memberi informasi sejauh mana potensi air yang ada di daerah tersebut. Informasi tentang neraca air diperlukan ketika di bagian Timur Kabupaten Kuningan akan dibangun bendungan misalnya. Di samping itu 78
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
informasi ini diperlukan bagi aktivitas pertanian, seperti menentukan waktu yang tepat untuk menanam, memupuk, memanen, dan aktivitas pertanian yang lainnya. Metode Penelitian Penelitian dilakukan di dua Kecamatan bagian Timur Kabupaten Kuningan yang meliputi Kecamatan Ciawigebang dan Kecamatan Cibeureum. Penelitian berlangsung sekitar 6 bulan dari mulai Juni sampai dengan Desember 2013. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer berupa data hasil analisis tanah dan data hasil perhitungan curah hujan serta suhu bulanan. Data sekunder berupa : a. Data curah hujan bulanan selama 10 tahun terakhir b. Data suhu udara bulanan selama 10 tahun terakhir c. Peta lereng wilayah penelitian d. Peta penggunaan lahan e. Peta administrasi wilayah f. Peta jenis tanah g. Peta curah hujan wilayah penelitian Metode Model Analisis Manajemen model analisis neraca air pada wilayah penelitian menggunakan data curah hujan bulanan selama 10 tahun terakhir. Sedangkan untuk menghitung evapotranspirasi digunakan metode Thornthwaite dan Mather (1957) dengan menggunakan unsur temperatur dan letak latitude sebagai bahan perhitungan. Curah hujan bulanan selama 10 tahun terakhir (CH) dicatat dari data yang terekam pada dua stasiun klimatologi di wilayah Kuningan timur dalam hal ini diwakili oleh Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Ciawigebang. Sedangkan data suhu dicatat dari data stasiun meteorologi Jatiwangi (yang terdekat dengan Kabupaten Kuningan). Besarnya evapotranspirasi potensial bulanan
ISSN 2085-9970
dihitung berdasarkan data suhu rata-rata bulanan selama 10 tahun terakhir dan dianalisis dengan menggunakan tabel. Berdasarkan data curah hujan bulanan dan data evapotranspirasi bulanan selama rentang waktu 10 tahun terakhir (20032012) dapat dihitung neraca airnya. Perhitungan neraca air dihitung berdasarkan ketentuan sebagai berikut: a. Jika P > ETP maka nilainya surplus b. Jika P < ETP maka nilainya negatif Data curah hujan dan evapotranspirasi disusun dalam tabel untuk dibuat dalam kurva atau grafiknya. Kurva tersebut dapat memperlihatkan periode surplus dan periode defisit air dalam satu tahun selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Untuk menggambarkan grafik neraca air dilakukan dengan cara membuat garis hubungan antara P curah hujan dan ETP evapotransipirasi dengan satuan waktu bulanan, selanjutnya ditentukan defisit atau surplus air yaitu daerah perpotongan antara P (curah Hujan) dengan ETP (evapotransirasi). Dari grafik tersebut dapat diketahui kapan (bulan bulan apa) terjadinya surplus air dalam satu tahaun dan kapan terjadinya defisit air serta berapa besar netto surplus. Untuk neraca air lahan dalam analisisnya memerlukan data dan informasi fisika tanah terutama nilai kandungan air pada tingkat kapasitas lapang (KL) dan pada titik layu permanen (TLP). Analisis neraca lahan bermanfaat untuk penggunaan pertanian secara umum, seperti kesesuaian pertanian tadah hujan, mengatur jadwal tanam dan jadwal panen, mengatur pemberian air irigasi baik dalam jumlah maupun waktunya. Data yang diperlukan dalam analisis ini adalah data curah hujan, data evapotranspirasi potensial, kandungan air pada tingkat kapasitas lapang dan kandungan air pada titik layu permanen. Dari analisis neraca air dapat ditarik berbagai informasi yang secara keseluruhan sangat bermanfaat bagi
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
pengelolaan suatu lahan tanaman. Pada suatu areal pertanian, penyediaan air tanaman berasal dari curah hujan (P) atau irigasi (I). Sedangkan kehilangan air dapat berupa drainase (D), limpasan permukaan (Ro), Evaporasi (E) dan transpirasi (T). Sebagian air limpasan disimpan sebagai cadangan dalam tanah (S). Keseluruhan masukkan input dan keluaran output air ini dapat dirumuskan sebaga model neraca air: P + I = D + Ro + E +T + S. Hasil dan Pembahasan Neraca Air Umum Dari hasil penelitian neraca air di Kabupaten Kuningan wilayah Timur, didapat grafik neraca air umum. Pada grafik dapat dilihat bahwa di Kecamatan Cibeureum terjadi surplus air mulai bulan Desember sampai bulan April. Puncak surplus terjadi pada bulan Maret dimana curah hujan rata-rata bulanan mencapai 323.5 mm. Sedangkan defisit air terjadi mulai bulan Mei sampai bulan Nopember. Puncak defisit air terjadi pada bulan Agustus dimana curah hujan rata-rata bulanan sebesar 10.33 mm. Besarnya surplus air adalah 711.94 mm/tahun, sedangkan besarnya defisit air adalah 525.49 mm/tahun. Untuk Kecamatan Ciawigebang surplus air terjadi mulai bulan Nopember sampai April. Puncak surplus terjadi pada bulan Pebruari dimana curah hujan rata-rata bulanan mencapai 333.3 mm. defisit air terjadi pada bulan Mei sampai Oktober. Puncak defisit air terjadi pada bulan September dimana curah hujan rata-rata bulanan sebesar 10 mm. Besarnya surplus air adalah 641.11 mm/tahun, sedangkan besarnya defisit air adalah 540.07 mm/tahun. Keadaan defisit air pada wilayah tersebut disebabkan karena tingginya nilai evapotransiprasi pada bulan Mei sampai Oktober, sedangkan curah hujan rata-rata menurun dari bulan-bulan sebelumnya. 79
ISSN 2085-9970
Terdapat sedikit perbedaan waktu terjadinya surplus dan defisit air antara dua kecamatan yang mewakili Kabupaten Kuningan bagian timur. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kelerengan/topografi antara antara Kecamatan Ciawigebang dengan Kecamatan Cibeureum. Hal tersebut dapat dilihat dengan mencocokkan peta kelerengan dengan peta curah hujan. Dari peta dapat dilihat bahwa Kecamatan Cibeureum dengan topografi yang relatif berbukit dengan kelerengan 15-40% mendapatkan curah hujan lebih tinggi (rata-rata 2339 mm/tahun) dibanding Kecamatan Luragung (rata-rata 2043 mm/tahun) yang memiliki rata-rata kelerengan 2-15%.
80
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Di sisi lain, meskipun Kecamatan Cibeureum mempunyai curah hujan lebih tinggi dibanding Kecamatan Ciawigebang, ternyata Kecamatan Cibeureum mengalami defisit air yang lebih lama daripada Kecamatan Ciawigebang. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada wilayah dengan topografi yang curam, air hujan yang turun sebagian besar menjadi air limpasan (run off) sehingga air yang terinfiltrasi ke dalam tanah menjadi sedikit. Dengan deemikian meskipun daerah tersebut mendapat curah hujan tinggi belum tentu mendapat surplus air. Selain itu, perbedaan tutupan vegetasi juga dapat mempengaruhi perbedaan tersebut. Seperti diketahui bahwa jenis dan jumlah pohon/tanaman mempengaruhi nilai evapotranspirasi. Hasil perhitungan neraca air dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Tabel 1. Perhitungan Neraca Air Umum dan Neraca Air Lahan untuk Kuningan Timur Kecamatan Ciawigebang Unsur Iklim Suhu (T) °C Indeks Panas (I) ETP unadj. FK ETP adj. ETP adj. Curah Hujan (CH) CH ETP adj. APWL KAT ∆ KAT ETA Defisit (D) Surplus (S) Run off (Ro)
Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sept
Okt
Nop
Des
26.7
26.5
26.9
27.5
27.6
27.1
27.1
27.4
28.4
29.0
28.1
27.1
12.6
12.5
12.8
13.2
13.3
12.9
12.9
13.1
13.9
14.3
13.7
12.9
4.6
4.5
4.6
4.8
4.8
4.7
4.7
4.8
5.0
5.2
5.0
4.7
32.1 144.7
28.8 129.6
31.2 143.5
30.0 144.0
30.6 146.9
29.4 138.2
30.3 142.4
30.6 146.9
30.0 150.0
31.5 163.8
30.9 154.5
32.4 152.3
298.8
333.3
298.4
182.3
130.3
83.8
36.7
11.6
10.0
75.8
162.3
234.7
154.1
203.7
154.9
38.3
147.8 0.0 143.5
147.8 0.0 144.0
-105.7 -105.7 74.0 -30.0 66.7
-135.3 -135.3 60.0 -14.0 25.6
-140.0 -140.0 58.0 -2.0 12.0
-88.0 -88.0 83.0 25.0 100.8
82.4
147.8 0.0 129.6
-54.4 -54.4 104.0 -30.0 113.8
7.8
147.8 0.0 144.6
-16.6 -16.6 134.0 -13.8 144.1
147.8 64.8 154.5
147.8 0.0 152.3
0.0
0.0
0.0
0.0
2.8
24.4
75.7
121.3
138.0
63.0
0.0
0.0
154.1
203.7
154.9
38.3
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
7.8
82.4
77.1
140.4
147.6
92.9
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
3.9
43.1 81
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Kecamatan Cibeureum Unsur Iklim Jan Suhu (T) °C 26.7 Indeks Panas (I) 12.63 ETP unadj. 4.6 FK ETP adj. 32.1 ETP adj. 144.7 Curah Hujan (CH) 285.2
82
Peb 26.5 12.49 4.5 28.8 129.6 286.1
Mar 26.9 12.78 4.6 31.2 143.5 323.5
Apr 27.5 13.21 4.8 30 144 230
Mei 27.6 13.3 4.8 30.6 147 140
Jun 27.1 12.92 4.7 29.4 138.2 82.7
Jul 27.1 12.92 4.7 30.3 142.4 51
Agt 27.4 13.1 4.8 30.6 147 10.3
Sept 28.4 13.9 5 30 150 11.8
86
CH - ETP adj.
140.5 156.5 180
-6.71
-55.4
-91.4
-137
-138
APWL KAT ∆ KAT ETA Defisit (D) Surplus (S) Run off (Ro)
-6.71 132.7 132.7 132.7 132.7 140 0 0 0 0 7.3 144.7 129.6 143.5 144 147 0 0 0 0 0.59 140.5 156.5 180 116.3 0 70.26 113.4 146.7 116.3 0
-55.4 103 -37 119.8 18.43 0 0
-91.4 91 -12 63 79.41 0 0
-137 60 -31 41.3 106 0 0
-138 59 -1 12.8 137 0 0
Okt 29 14.3 5.2 31.5 164 68.8
Nop 28.1 13.7 5 30.9 155 152 -95 2.25 -95 2.25 79 141 20 62 88.8 214 75 59.8 0 0 0 0
Des 27.1 12.9 4.7 32.4 152 301 149
133 -8 152 0 149 74.5
ISSN 2085-9970
Meskipun demikian pada bulan-bulan dimana terjadi perubahan dari surplus air menjadi defisit air (April-Mei) dan dari defisit air menjadi surplus air (OktoberNopember), jumlah air yang diterima perbedaannya tidak terlalu jauh. Pada bulan-bulan tersebut kedua kecamatan mendapat curah hujan dalam jumlah sedikit. Masyarakat setempat sering mengistilahkan masa tersebut dengan musim pancaroba. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa untuk Kabupaten Kuningan Timur jika dilihat dari rata-rata 2 Kecamatan di atas maka terjadi surplus air selama 5 bulan (Desember - April) dan 7 bulan defisit air (Mei – Nopember). Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa di Kecamatan Ciawigebang pada bulan Nopember, meskipun terjadi surplus air tetapi curah hujan yang terjadi relatif masih kecil sehingga pada kenyataannya kondisi air yang dibutuhkan masyarakat pada waktu itu sudah banyak berkurang. Dari hasil penelitian terdapat pergeseran musim dari biasanya pada waktu sebelumnya. Jika dikaji lebih lanjut maka akan bermanfaat sebagai acuan untuk melakukan kegiatan yang bergantung pada iklim seperti pertanian dan kehutanan. Selain itu jika dikaji secara rinci maka dapat dihitung volume kebutuhan air sebenarnya pada saat defisit terjadi. Dengan demikian jika ingin membangun sumber air dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Grafik neraca air umum di dua kecamatan dapat dilihat pada gambar 1 dan 2 di bawah ini.
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Gambar 1. Grafik Neraca Air Umum Kec. Cibeureum
Gambar 2. Grafik Neraca Air Umum Kec. Ciawigebang Neraca Air Lahan Faktor-faktor yang mempengaruhi neraca air lahan adalah kondisi tutupan lahan atau penggunaan lahan, jenis tanah, topografi, dan iklim (curah hujan, evapotranspirasi, dan run off). Dengan demikian neraca air lahan dapat berubahubah menurut ruang dan waktu. Grafik neraca air lahan di kecamatan Cibeureum dan kecamatan Ciawigebang dapat dilihat pada gambar 3 dan 4.
83
ISSN 2085-9970
Gambar 3. Grafik Neraca Air Umum Kec. Cibeureum
Gambar 4. Grafik Neraca Air Umum Kec. Cibeureum Untuk menghitung neraca air lahan, idealnya penelitian dilakukan pada masingmasing Desa di wilayah Kabupaten Kuningan bagian timur. Hal ini dikarenakan kondisi dan jenis tanah pada masing-masing lokasi dapat bersifat spesifik sehingga akan membedakan dalam hasil analisis neraca air lahannya. Dengan kata lain setiap desa sangat mungkin mempunyai kurva neraca air lahan sendirisendiri. Karena berbagai keterbatasan dalam penelitian, untuk menghitung neraca air 84
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
lahan Kabupaten Kuningan bagian timur dilakukan pada lokasi dimana terdapat stasiun cuaca saja. Artinya, tidak semua desa dilakukan analisis tanah untuk mengetahui kadar air pada kapasitas lapang dan titik layu permanen. Untuk Kecamatan Cibeureum, sampel tanah diambil dari beberapa titik di Desa Cibeureum. Sedangkan untuk Kecamatan Ciawigebang tanah diambil dari beberapa titik di Desa Ciawi. Dari perhitungan neraca air lahan, defisit air di Desa Cibeureum terjadi dari bulan Mei sampai Nopember dengan total defisit 475.84 mm/tahun. Puncak defisit terjadi pada bulan September. Surplus air terjadi pada bulan Desember sampai April dengan total surplus sebesar 711.94 mm/tahun. Total run off adalah sebesar 521.13 mm/tahun. Sedangkan untuk Desa Ciawi defisit air terjadi pada bulan Mei sampai Oktober dengan total defisit sebesar 425.27 mm/tahun. Surplus air terjadi pada bulan Nopember sampai April dengan total surplus sebesar 641.11 mm/tahun. Besarnya run off adalah sebesar 505.05 mm/tahun. Jenis tanah Desa Cibeureum adalah podsolik dengan kelas lempung berliat, sedangkan tanah di Desa Ciawi berjenis litosol dengan kelas lempung berliat. Persen liat pada tanah Desa Cibeureum lebih tinggi sehingga nilai KL (kadar air tanah pada kapasitas lapang) dan TLP (titik layu permanen) lebih tinggi daripada tanah di Desa Ciawi. Tanah dengan tekstur liat memiliki kemampuan menahan air lebih tinggi karena partikel-partikel tanah sangat kecil sehingga luas permukaan partikel yang kontak dengan air menjadi lebih besar. Tekstur tanah lempung dengan persen liat lebih dari 35% memiliki ciri : porositas relatif tinggi (60%), sebagian besar pori berukuran kecil, daya hantar sangat lambat, dan aerasi kurang lancar. Kapasitas air terutama ditentukan oleh sifat fisik tanah dan bahan organik.
ISSN 2085-9970
Di sisi lain di Desa Cibeureum tutupan vegetasi didominasi oleh tanaman tahunan karena masih banyaknya perkebunan. Di Desa Ciawi tutupan vegetasi didominasi oleh tanaman semusim. Hal ini terlihat dari banyaknya lahan sawah irigasi dan lahan pertanian palawija. Vegetasi dapat meningkatkan kadar air tanah, karena tanaman mengandung bahan organik yang memiliki kemampuan mengikat air 6x beratnya sendiri sehingga infiltrasi akan tinggi. Vegetasi tanaman tahunan akan lebih banyak menyerap air dibanding tanaman semusim, tetapi tingkat evapotranspirasinya juga lebih tinggi. Tanaman hutan membutuhkan air untuk pertumbuhannya rata-rata 5.02-6.32 mm/hari, tanaman semusim membutuhkan rata-rata 1.83-4.13 mm/hari. Semakin tinggi evapotranspirasi, semakin berkurang cadangan air tanah dan semakin bertambah kedalaman muka air tanah pada daerah tersebut. Besarnya defisit air di Desa Cibeureum juga dipengaruhi oleh air limpasan (run off). Topografi yang lebih berlereng menyebabkan besarnya nilai run off. Besarnya run off dipengaruhi oleh faktor lamanya hujan dan keadaan air tanah awal. Semakin lama dan deras hujan, tanah akan semakin jenuh air sampai terjadi surplus sehingga air dibuang melalui limpasan (run off). Kehilangan air yang besar mengakibatkan ketersediaan air yang rendah. Kesimpulan 1. Neraca air umum di wilayah Kuningan Timur rata-rata mengalami surplus air pada bulan Desember sampai April dan mengalami defisit air dari bulan Mei sampai Nopember. Puncak surplus terjadi pada bulan Pebruari sampai Maret dimana curah hujan rata-rata bulanan mencapai 330 mm. puncak defisit terjadi pada bulan Agustus
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
sampai September dimana curah hujan rata-rata bulanan hanya mencapai 10 mm. 2. Dari perhitungan neraca air lahan, defisit air di Desa Cibeureum terjadi dari bulan Mei sampai Nopember dengan total defisit 475.84 mm/tahun. Puncak defisit terjadi pada bulan September. Surplus air terjadi pada bulan Desember sampai April dengan total surplus sebesar 711.94 mm/tahun. Total run off adalah sebesar 521.13 mm/tahun. Sedangkan untuk Desa Ciawi defisit air terjadi pada bulan Mei sampai Oktober dengan total defisit sebesar 425.27 mm/tahun. Surplus air terjadi pada bulan Nopember sampai April dengan total surplus sebesar 641.11 mm/tahun. Besarnya run off adalah sebesar 505.05 3. Neraca air lahan dapat berubah-ubah menurut ruang dan waktu dipengaruhi oleh iklim, jenis tanah, tutupan/penggunaan lahan dan topografi 4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang neraca air yang lebih spesifik untuk setiap desa sehingga dapat dihitung kebutuhan air yang sebenarnya di wilayah tersebut baik untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, dan yang lainnya. Daftar Pustaka Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University. Yogyakarta Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2008. Data Spasial Curah Hujan. BMKG. Bandung Handoko.1993. Klimatologi Dasar. Penerbit Pustaka. Jakarta Hudayana, D.2007. Evapotranspirasi dan Pertumbuhan Anakan Sengon. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor 85
ISSN 2085-9970
Kusratmoko,E.2006. Hidrogeologis Wilayah. Jurnal Geografi Indonesia. F.MIPA. Universitas Indonesia. Jakarta Nasir. 1993. Ikhtisar Klimatologi. Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat. IPB. Bogor Nikmah,M. 2006. Penentuan Masa Tanam Jagung Berdasarkan Curah Hujan dan Analisis Neraca Air Di Kabupaten Pohuwato. Thesis. Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo. Sandy,I.M. 1985. Geografi Regional Indonesia. Fakultas MIPA. Universitas Indonesia. Jakarta Suharsono. 1993. Neraca Air dan Prosedur Analisisnya. Diklat Survei
86
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Penggunaan Tanah Bagi Pegawai Badan Pertanahan Nasional. LPM IPB. Bogor Thornthwaite, C.W. and J.R. Mather. 1957. Instruction and Tables for Computing Evapotranspiration and Water Balance. Publication in Climatology. Drexel Institute of Technology, Laboratory of Climatology. Trewartha,G.T. 1980. An Introduction to Climate 4th ed. McGraw-Hill Book Co. Tokyo.
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Identifikasi Morfologi Tumbuhan Kawasan Hutan Lindung Gunung Tilu Kabupaten Kuningan Nina Herlina, Ika Karyaningsih Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan
Abstrak Informasi morfologi tumbuhan sangat perlu diketahui sehingga nama-nama spesies tumbuhan khas di kawasan hutan lindung Gunung Tilu menjadi dapat menjadi sarana pengetahuan tentang kekayaan spesies yang ada di wilayah tersebut. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi potensi tumbuhan dan morfologinya di kawasan hutan lindung Gunung Tilu. Metode yang digunakan adalah analisis vegetasi dengan petak ganda berbentuk petak sampel bujur sangkar, sedangkan identifikasi morfologi tumbuhan dilakukan agar dapat mengenali dan mengklasifikasikan tumbuhan secara morfologi. Hasil penelitian potensi hutan Gunung Tilu menunjukkan 82 spesies tumbuhan ditemukan. Hasil morfologi tumbuhan merupakan bahan acuan sebagai sarana pengetahuan tentang kekayaan spesies tumbuhan. . Kata Kunci: Identifikasi, Morfologi, Gunung Tilu
Pendahuluan Keanekaragaman tumbuhan menjadi suatu masalah dalam mengenal dan mempelajarinya. Sifat biologi dan atribut ekologi dari berbagai spesies tumbuhan sering kali menyebabkan hambatan bagi jenis-jenis tersebut untuk menjaga besarnya jumlah populasi yang aman dari ancaman kepunahan. Kondisi ini diperburuk oleh tekanan eksternal yang makin kuat, seperti fragmentasi dan perusakan habitat oleh manusia. Penelitian identifikasi morfologi tumbuhan perlu dilakukan agar dapat mengklasifikasikan tumbuhan di Kawasan lindung Gunung Tilu kabupaten Kuningan dengan cara determinasi ataupun identifikasi secara morfologi. Penelitian bertujuan untuk memberikan data dan informasi mengenai morfologi tumbuhan di Kawasan hutan lindung Gunung Tilu, sehingga dapat diketahui nama/spesies tumbuhan secara khas yang dimiliki oleh
Gunung Tilu yang selanjutnya dapat dikembangkan baik pemanfaatan maupun budidayanya, disamping itu juga pengidentifikasian untuk data kekayaan plasma nutfah Indonesia yang dikhawatirkan akan musnah jika tidak dikenali dari sekarang yang disebabkan oleh kerusakan alam maupun sebab kegiatan manusia. Metode Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulanAgustus 2013 di Kawasan lindung Gunung Tilu Kabupaten Kuningan. Data yang digunakan adalah: a. Data primer berupa data hasil pengukuran di lapangan terdiri atas data kekayaan tumbuhan, kondisi kawasan dan wawancara dengan masyarakat. b. Data sekunder merupakan pendukung baik hasil penelusuran literatur ataupun data lain yang digunakan untuk 87
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
menguatkan hasil data primer yang didapat. Materi penelitian adalah vegetasi tumbuhan di kawasan lindung Gunung Tilu kabupaten Kuningan sasaran dari penelitian ini adalah mengidentifikasi potensi tumbuhan Kawasan Lindung Gunung Tilu kabupaten Kuningan. Data pengambilan potensi biotik melalui analisis vegetasi. Metode analisis
vegetasi yang digunakan adalah metode petak ganda (Soerianegara dan Indrawan, 2005). Ukuran setiap petak sampel untuk tingkat pertumbuhan pohon berukuran 20 x 20 m, tingkat pertumbuhan tiang berukuran10x10 m, tingkat pertumbuhan pancang berukuran 5 x 5 m dan tingkat pertumbuhan semai dan tumbuhan bawah berukuran 2 x 2 m (Gambar 3.1) (Kusmana, 1995).
B C A
A
D
D
D
A C
arah rintisan C
B
B
Gambar 1. Bentuk dan ukuran petak ganda untuk pengamatan vegetasi tumbuhan. a = tingkat pohon; b = tingkat tiang; c = tingkat pancang; d = tingkat semai dan tumbuhan bawah. Hasil survei potensi tanaman untuk tingkat pohon, tiang, pancang, semai dan tumbuhan bawah maka masing-masing petak ukur dihitung dengan indeks nilai penting, kerapatan, frekuensi dan dominasi untuk tiap jenis (Soerianegara dan Indrawan, 2005). Tahapan perhitungannya: a. Nilai Kerapatan Tumbuhan (K) Jumlah individu suatu jenis K (ind/ha) Luas seluruh plot sampel (ha)
b. Nilai Kerapatan Relatif (%) Kerapatan suatu jenis KR(%) 100% Kerapatan seluruh jenis
c. Nilai Frekuensi (F) F
88
Jumlah plot terisi suatu jenis Jumlah seluruh plot
d. Nilai Frekuensi Relatif (FR) FR (%)
Frekuensi suatu jenis 100% Frekuensi seluruh jenis
e. Dominasi (D) D
Luas bidang dasar satu jenis Luas seluruh petak
f. Dominasi Relatif (DR) DR (%)
Dominasi suatu jenis 100% Dominasi seluruh jenis
g. INP dihitung berdasarkan rumus: INP = KR + FR + DR Identifikasi jenis-jenis tumbuhan menggunakan buku-buku karangan dari Heyne (1987). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah altimeter, kompas, pita ukur/meteran, tali tambang, kamera, GPS (Global Positioning System), golok, dan alat tulis.
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
spesies. Pengamatan dilakukan dengan membuat plot pengamatan sebanyak 30 plot pada jalur until antil dengan mendata jumlah vegetasi pada tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon. Berikut data pengamatan morfologi tumbuhan di Hutan Gunung Tilu.
Hasil dan Pembahasan
Potensi Hutan Gunung Tilu Jumlah spesies tumbuhan di Hutan Gunung Tilu sebanyak 82 spesies, tergolong ke dalam 31 familia. Spesies yang paling banyak dijumpai berasal dari familia Euphorbiaceae sebanyak 10
Tabel 1. Morfologi Tumbuhan Gunung Tilu No
1
Nama Lokal
Benda
Nama Ilmiah
Artocarpus elastica
Famili
Deskripsi
Moraceae
Tinggi pohon mencapai 10-40 meter, diameter 45-125 cm, tumbuh pada ketinggian 1200 mdpl, dan banyak dibudidayakan di desa-desa. Kayunya digunakan sebagai bahan papan dan bangunan rumah. Secara umum kulitnya yang agak putih digunakan untuk tambang, misalnya untuk pot bunga, keranjang bunga dan sebagainya.
2
Bangban
Donax canniformis
Maranta-ceae
3
Bengang
Neesia altissima
Bombacace ae
4
Beunying
Ficus fistulosa
5
Beurih
Sterculia campanulata
6
Bihbul
Vitex glabrata
Moraceae
Sterculaicea e
Tinggi pohon mencapai 3m, batangnya bisa digunakan untuk bahan anyaman, cairan pada tangkai bisa menyembuhkan gigitan ular dan cairan dari daun yang menggulung bisa dimanfaatkan untuk mengobati penyakit mata (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 30m, tumbuh pada ketinggian 1000mdpl, kayunya terdiri dari kayu gubal dan tajuknya tinggi. Daunnya dapat dimanfaatkan untuk penyakit kencing nanah. Tumbuhan ini merupakan pohon atau perdu, tinggi pohon mencapai 10 meter, diameter sekitar 25 cm, tersebar di seluruh Asia Tenggara, di Jawa banyak sekali ditemukan, tetapi pada umumnya tidak berkelompok. (Heyne, 1987). Tinggi pohon mencapai 35-40m dan diameternya 60-70cm, tumbuh pada ketinggian lebih dari 400 mdpl. Kayunya kasar dan sangat ringan, cepat hancur terserang serangga sehingga digunkan untuk batang korek api Tinggi pohon mencapai 25m dengan diameter mencapai 125cm, tersebar dibawah 900mdpl, kayunya dipergunakan sebagai bahan bangunan.
89
ISSN 2085-9970
7
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Tinggi pohon antara 10-30m dan diameter mencapai 120cm, tumbuh pada ketinggian kurang dari 500mdpl, kayunya dimanfaatkan untuk bahan bangunan (Heyne K, 1987)
Biru
Garuga pinnata
8
Bungbulang
Premna tomentosa
Verbenacea e
9
Cabe Jawa
Piper retrofractum
Piperaceae
10
11
12
13
14
90
Cangcaratan
Nauclea subdita
Rubiaceae
Cayur
Pterospermum javanicum
Sterculaiceae
Cerlang
Ceuri
Dahu
Pterospermum deversifolium
Garcinia dioica
Dracontomelon mangiferum
Sterculaiceae
Guttiferacea
Anacardiace ae
Tinggi pohon mencapai 18m dan diameter 50 cm, tumbuh pada ketinggian dibawah 900 mdpl. Batangnya pada umumnya pada bengkok dan kayunya tidak dapat diperoleh dalam ukuran besar (Heyne K, 1987). Tumbuhan ini tersebar di seluruh nusantara pada ketinggian di bawah 600 mdpl. Daunnya digunakan sebagai obat sakit gigi dan berkumur (Heyne K, Tinggi pohon mencapai 20m dan diameter 25-35 cm, tumbuh tersebar pada ketinggian kurang dari 1200mdpl. Kayunya tidak terkenal hanya digunakan untuk gagang tombak. (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 50 m dengan diameter 80-100 cm, tumbuh pada ketinggian dibawah ketinggian 600 mdpl tetapi di Jawa Tengah dan Jawa Timur tumbuh diatas 1400 mdpl. Tinggi pohon mencapai 30 m dan diameter mencapai 40-50 cm, tumbuh pada ketinggian dibawah ketinggian 250 mdpl. Kayunya dipakai untuk bangunan rumah, jembatan, kerangka perahu, dayung, dan gandar pedati. Daunnya digunakan untuk mengobati gatal-gatal pada kaki akibat terkena lumpur (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 18m dan diameter mencapai 30cm, tersebar di seluruh Jawa dibawah ketinggian 1200 mdpl, Kayunya tak banyak digunakan, tetapi buahnya yang mirip manggis itu digemari orang karena rasa asam segar (Heyne K. 1987). Tinggi pohon mencapai 40m, terdapat di dataran rendah sampai ketinggian ± 900mdpl, kayunya kurang kuat sehingga banyak yang memanfaatkan untuk pembuatan batang korek api. Cairan dari daun muda bisa dimanfaatkan sebagai obat penurun panas (Heyne K, 1987).
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
15
Dangdeur
Gossampinus heptaphylla
16
Galumpit
Tarrietia javanica
17
18
19
Gintung
Baccaurea sp.
Gelam
Melaleuca leucadendron
Gempol
Nauclea orientalis
Bombaceae
Tinggi pohon mencapai 45m dan besar batang mencapai 4m, batangnya tegap dan tajuknya tinggi, tumbuh pada ketinggian 900mdpl. Cairan yang keluar dari akarnya dapat diminum sebagai obat sariawan dan demam. Seduhan dari kulit akarnya dapat mengobati sakit lambung (Heyne K, Tinggi pohon mencapai 40m dan diameter 40cm, tumbuh pada ketinggian 200mdpl, kayunya sangat kuat dan awet digunakan untuk bahan bangunan
Euphorbiace ae
Myrtaceae
Rubiaceae
20
Gledog panto
Garcinia dulcis
Guttiferacea e
21
Hantap
Sterculia oblongata
Sterculaicea e
22
Hambirung
Vernonia arborea
Compositae
Tinggi pohon mencapai 40m, dengan diameter batang 95-150 cm, tumbuh menyebar di Asia Tenggara dan di Jawa, batangnya lurus, menghasilkan kayu yang indah untuk pembangunan rumah. Kayu bertekstur halus, berwarna merah coklat tua keunguan, kuat, tidak diserang rayap, sangat baik untuk bangunan rumah, jembatan-jembatan besar, dan untuk keperluan pertambangan (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 25 m dan diameter 35 cm, tumbuh pada ketinggian di bawah 1300mdpl. Kayunya dimanfaatkan untuk bahan bangunan (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 35m dan diameter 50cm, di Jawa sering di jumpai pada ketinggian kurang dari 1300mdpl. Kayunya hanya digunakan untuk hulu pisau pemotong padi karena sangat lunak dan cepat di makan rayap. Buahnya dapat digunakan sebagai obat. (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 12 m dan diameter 20 cm, tumbuh di bawah ketinggian 500 mdpl, kayunya kurang awet. Buahnya yang masak bisa dimakan mentah. Bijinya dapat digunakan untuk obat bengkak pada kelenjar (Heyne K,1987). Tinggi pohon mencapai 35-40m dan diameter mencapai 150-200 cm, tumbuh pada ketinggian dibawah 1.200mdpl (Heyne, 1987). Tinggi pohon mencapai 30m dan diameter antara 80-100cm, tersebar diseluruh Asia Tenggara, tumbuh peda ketinggian sampai ± 2500mdpl. Kayunya
91
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014 sangat ringan, lunak, kasar, warnanya putih kotor, dan tidak kuat. Di Kediri kayunya dipergunakan untuk industri korek api, baik untuk lidi maupun dus korek api (Heyne K, 1987).
23
24
25
Harikukun
Hantap heulang
Heucip
Actinophora fragrand
Sterculia macrophylla
Baccaurea javanica
26
Huru Manuk
Litsea polyantha
27
Kayu Demang/Ipis Kulit
Decaspermum fruticosum
28
29
92
Kanyere
Kayu Rapet/cukangk ang
Bridelia monoica
Parameria laevigata
Tiliaceae
Sterculaicea e
Euphorbiace ae
Tinggi pohon antara 20-25 m dan diameter 40-45 cm, batangnya lurus dan selalu bercabang agak rendah dekat dengan permukaan tanah, tersebar diseluruh Jawa di bawah ketinggian 500 mdpl. Kayunya digunakan untuk pembuatan gandar kereta atau pedati serta gagang perkakas (Heyne K, 1987). Ketinggian pohon mencapai 20-35m dan diameter antara 120-150cm, tersebar di seluruh jawa, tumbuh pada ketinggian dibawah 1100 mdpl. Kayunya dapat dipergunakan untuk peti kemas dan biduk. (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 10-20m, dan diameter sekitar 15-66 cm tumbuh pada ketinggian < 800 mdpl. Kayunya dapat digunakan unutuk pembuatan rumah (tiang dan rusuk), kayu bakar dan lainlain. Di Jawa kulit batangnya digunakan untuk mewarnai kain (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 17m, tumbuh pada dataran rendah sampai ketinggian ± 1.500mdpl. kayunya dimanfaatkan untuk gagang dan sarung golok (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 18m dan diameter mencapai 40cm, daunnya dikunyah bersama pisang dapat bermanfaat untuk disentri dan dapat menguatkan gigi (Heyne K, 1987).
Euphorbiace ae
Apocynacea e
Tinggi pohon mencapai 8-20m dan diameter 15-30cm, tersebar di bagian tropis dan subtropis, di Jawa umumnya tumbuh pada ketinggian 1000mdpl. Kayunya dapat digunakan untuk membuat gagang golok. Seduhan dari daunnya bisa mengobati kolik (sakit perut) (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 13m dan diameter 30cm (Heyne K, 1987). Kulitnya dapat dimanfaatkan sebagai obat nyeri rahim setelah melahirkan, caranya sediakan 15 gr kulit kayu, dicuci kemudian direbus dengan 3 gelas air selama 25 menit, setelah diangkat lalu
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014 disaring. Hasil saringan diminum 2x sehari yaitu pagi dan sore.
30
31
32
33
Kedongdong
Kemukus
Tinggi pohon mencapai 40m dan diameter mencapai 150cm, tersebar diseluruh Jawa pada ketinggian kurang dari 600mdpl, mempunyai cabang yang panjang dan lurus, mudah tumbuh dan dapat digunakan untuk membuat tiangtiang pagar.
Spondias pinnata
Piper cubeba
Piperaceae
Kaliandra
Calliandra haematocephala
Fabaceae
Kareumbi
Homalantus populneus
Euphorbiace ae
34
Kalapa ciung
Horsfieldia glabra
Myristicace ae
35
Kamuning
Murraya paniculata
Rutaceae
36
Kanari
Canarium amboinense
Tinggi pohon mencapai 15m dengan diameter mencapai 2 cm. tumbuhan ini berguna untuk pengobatan penyakit asma, gonorrhoe, disentri dan sakit perut (Heyne K, 1987). Tanaman asal Guatemala (Amerika Tengah) ini banyak dimanfaatkan kayunya sebagai sumber energi. Tanaman ini banyak ditemukan di seluruh pulau Jawa. Tanaman Kaliandra berbentuk perdu dan dapat tumbuh baik pada ketinggian 150-1.500mdpl. Kaliandra terbagi menjadi dua spesies yaitu kaliandra merah (C.alliandra calothyrsus) dan kaliandra putih (Calliandra tetragona). Merupakan jenis kayu cepat tumbuh, tinggi pohon mencapai 3-10m dan diameter 10-30cm terdapat pada ketinggian 100mdpl. Daunnya dapat digunakan sebagai bahan anyaman,pakan ternak, dan obat cacing. (Heyne K, 1987). Tumbuhan ini merupakan pihon dengan tinggi antara 20-25m dan diameter antara 60-100cm, di Jawa tumbuh pada ketinggian dibawah 1.100mdpl. kayunya mudah terserang oleh bubujk dan tidak dapat digunakan kecuali untuk peti kemas. Kulit dan daunnya sering digunakan sebagai aromatika. Buahnya dapat dimakan. Tinggi pohon mencapai 7m dan diameter 25cm, tumbuh pada ketinggian kurang dari 400mdpl. Kayunya putih, keras dan tidak awet, biasanya digunakan untuk kayu bakar. Di Jawa lebih diutamakan sebagai pohon peneduh daripada untuk mendapatkan bijinya. Bijinya dapat dimakan sebagai penganan dan dapat digunakan dalam pembuatan kue (Heyne K, 1987).
93
ISSN 2085-9970
37
Ki Bangbara
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Vitex heterophylla
Verbenacea e
Tinggi pohon mencapai 30m dan diameter anatar 40-60cm, tumbuh tersebar di bawah 1400mdpl. Kayunya awet dan berguna untuk bahan bangunan (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 5-20 m dan diameter antara 8-40 cm, tumbuh secara umum di bawah ketinggian 1250mdpl. Daunnya digunakan sebagai obat kumur untuk mengobati sariawan, kulit yang memar, bisul dan di oleskan pada penyakit herpes (Heyne K, 1987).
38
Ki Camun
Pipturus incanus
Urticaceae
39
Ki Darewak/Daro wak
Grewina paniculata
Tiliaceae
Tumbuh pada ketinggian ± 1.000mdpl (Heyne K, 1987).
Elaeocarpac eae
Tinggi pohon mencapai 30m dan diameter 70cm dengan batang yang bercabang, terdapat di dataran rendah pada ketinggian kurang dari 600mdpl, kayunya kadang-kadang digunakan untuk bangunan rumah tapi kurang awet, seduhan dari kulit dan daunnya digunakan sebagai obat kumur untuk gusi yang meradang (Heyne K, 1987).
40
41
Ki Hauan/hahauan
Ki Hampelas
Elaeocarpus floribundus
Ficus ampelas
Moraceae
42
Ki Howe
Bridelia glausa
Euphorbiace ae
43
Ki Samagi
Antidesma sp.
Fabaceae
44
94
Ki Sereh
Cinamomum parthenoxylon
Lauraceae
Tumbuhan ini merupakan pohon dengan tinggi mencapai 20m dan diameter 50cm tersebar di seluruh Nusantara, di Jawa tumbuhan ini tidak jarang ditemukan, tetapi tumbuh tersebar pada ketinggian 1300 mdpl. Tinggi pohon mencapai 20-23m dan diameter mencapai 30-36cm tumbuh pada ketinggian 300-1.100mdpl. Batangnya lurus, bulat, tanpa banir akar ataupun alur, kayunya cukup kuat dan awet dapat digunakan untuk bangunan rumah, jembatan (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 30m dan diameter 1m tersebar di seluruh Asia Tenggara, tumbuh pada ketinggian 2001000 mdpl (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 35 m dan diameter 80 cm, tumbuh pada ketinggian 400 dan 1.500 mdpl. Tumbuhan ini terdapat di tanah kering, batangnya agak tegak, tidak beralur, bagian tidak berdahan dapat mencapai panjang 25 m (Heyne K, 1987).
ISSN 2085-9970
45
46
47
Ki Tambaga
Ki Maung
Ki Tulang
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Eugenia euprea
Bischofia javanica
Ficus septica
Myrtaceae
Euphorbiace ae
Moraceae
48
Ki Bonteng
Casearia coriacea
Flacourtiace ae
49
Ki Burahol
Stelechocarpus burahol
Annonaceae
50
Ki Lutung
Taraktogenos heterophylla
Flacourtiace ae
51
Ki Manoa/manow a
Anona reticulata
Anonaceae
52
Karaminan
Aglai sp.
Meliaceae
Tinggi pohon mencapai 40m dan diameter 1m, batangnya berbentuk tiang, tumbuh pada ketinggian 1400-1700 mdpl. Kayunya padat dan strukturnya cukup halus, berserat lurus, coklat. Kayunya dapat diperoleh dalam ukuran besar, tahan lama dan banyak digunakan untuk bahan bangunan (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 40m, diameter mencapai 95-150cm. Batangnya lurus, tanpa mata kayu dan tidak berbanir, tidak beralur. Kayunya kuat dan tidak di serang rayap, kayunya sangat baik untuk bangunan rumah dan jembatan-jembatan besar, dan untuk keperluan pertambangan. (Heyne K, 1987). Tumbuhan ini berupa pohon, di Jawa tumbuh pada ketinggian diatas 1200 mdpl. Akarnya berguna sebagai obat sesak nafas atau obat anti racun yang disebabkan oleh tusukan ikan beracun, kayunya tidak dipergunakan namun getah dan daunnya dapat digunakan sebagai obat herpes atau penyakit kulit. (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 15m dan diameter 35cm, dengan batang agak lurus dan bundar, tersebar diseluruh bagian barat Nusantara, di Jawa hanya ditemukan pada ketinggian 1450-1650 mdpl (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 21m dan diameter 40cm, tersebar diseluruh Jawa pada ketinggian 150-300 mdpl (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 20m dan tersebar pada ketinggian 150-800 mdpl, kayunya tidak dipakai. buahnya bulat. Bijinya mengandung banyak minyak dan dapat dipakai obat luar untuk penyakit kulit. (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 3-6 m, akar tumbuhan ini mengandung racun yang mematikan, kulit dan daunnya digunakan sebagai.Bijinya dapat mengobati disentri (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 40m dan diameter mencapai 150cm, tumbuh pada ketinggian kurang dari 1.100 mdpl (Heyne K, 1987).
95
ISSN 2085-9970
53
54
55
56
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Kiara
Ficus benjamina
Ki Taleus
Nataphoebe umbelliflora
Kondang
Picus variegata
Kupa
Eugenia polycephala
57
Lame
Alstonia scholaris
58
Leuksa
Pipturus lepandus
Moraceae
Lauraceae
Moraceae
Tinggi pohon mencapai 20-25 m dan diameter 40 cm, batangnya berbentuk bulat tanpa banir, tumbuh pada ketinggian 400 mdpl. Kayunya dimanfaatkan untuk bangunan rumah (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 40m dengan diameter 1,75m tetapi banyak berukuran lebih kecil, tersebar di seluruh Asia Tenggara. Akarnya dapat di makan sebagai anti racun setelah makan ikan beracun, kayunya setelah kering baik untuk kayu bakar, kayu ini berat tetapi lunak dan tidak baik untuk pertukangan, dapat tahan lama kalau digunakan untuk tiang di air laut atau di pantai (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 12m dengan diameter 50cm, tumbuh pada ketinggian 1.800mdpl. buahnya dapat dijadikan selai dan kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan (Heyne K, 1987).
Apocynacea e
59
Malaka
Phyllanthus emblica
Euphorbiace ae
60
Mara
Macaranga rhicinoides
Euphorbiace ae
96
Kayunya dimanfaatkan sebagai kayu bakar (Heyne K, 1987).
Tinggi pohon mencapai 20-25m dan diameter 40-60 cm. Tersebar di seluruh nusantara di bawah 900mdpl. Akarnya digunakan sebagai obat-obatan. Kayunya putih polos, rasanya pahit berguna untuk peti dan papan acuan beton (Heyne K, 1987). Tumbuhan ini merupakan tumbuhan perdu yang memanjat, panjang mencapai 35m. potongan batang pada umumnya mempunyai panjang 20cm dan diameter 3-4cm. kulitnya dapat digunakan sebagai obat penyakit saluran kencing (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 19m dengan diameter 28cm tumbuh pada ketinggian ± 1.200mdpl. kayunya dapat dibakar menjadi arang dan bahan perkakas. Rebusan kulit batangnya dapat digunakan untuk bahan pewarna taplak. Daun yang masih muda mengandung zat penyamak. Buah rasanya asam dapat dimakan mentah atau dibuat manisan (Heyne K, 1987) Tinggi pohon mencapai 15-40m dan diameter 20-70cm, kayunya digunakan untuk bangunan rumah dan peti-peti (Heyne K, 1987).
ISSN 2085-9970
61
62
Mindi
Nangka
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Melia azedarach
Artocarpus heterophyllus
63
Nangsi
Villebrunea rubescens
64
Nyatoh
Palaquium hispidum
Palahlar
Dipterocarpus gracilis
65
Meliaceae
Moraceae
Urticaceae
Dipterocarp aceae
66
Pasang
Quercus gemelliflora
Fagaceae
67
Pulus
Laportea stimulant
Urticaceae
Pohon ini merupakan pohon cepat tumbuh, kulit bagian dalam batangnya berkhasiat sebagai obat cacing (Heyne K, 1987) Tinggi pohon mencapai lebih 20m, merupakan tumbuhan asli di Nusatenggara serta dibudidayakan diseluruh Asia tropis. Tanaman ini dapat diperbanyak dengan biji setelah berumur 10 tahun pohon baru mulai berbuah. Rebusan akar yang ditumbuk halus berguna untuk mengobati sakit demam. Kayu nangka baik sekali untuk membuat rumah dan mebel. Kulit pohon dipakai untuk bahan pewarna dan bisa digunakan untuk tambang dan pakaian kulit. Daun digunakan sebagai bahan makanan ternak. Bijinya dapat dimakan atau dimasak dalam sayur (Heyne K, 1987). Tumbuhan ini merupakan pohon cepat tumbuh, tingginya mencapai 3-8m, tumbuh pada dataran rendah sampai ± 1.600 mdpl. Tumbuhan ini mudah di stek untuk dibudidayakan sebagai tanaman pagar. Kulitnya menghasilkan bahan serat. Cairan yang berasal dari batang dapat diminum untuk mengobati orang yang susah buang air. Pucuk yang berwarna coklat dan masih muda di daerah tersebut digemari sekali sebagai lalab (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 50m tumbuh pada ketinggian 300mdpl. Kayunya dimanfaatkan untuk pembuatan perkakas. Tinggi pohon mencapai 40m dan diameter mencapai 80cm tumbuh pada ketinggian ± 1000 mdpl. Kayunya dipergunakan untuk bangunan rumah (Heyne K, 1987). Ketinggian pohon mencapai 25m, terdapat di Sumatra Utara, Jawa, dan Kalimantan. Keberdaaan pohon di Jawa hanya ditemukan pada ketinggian 90mdpl. Kayunya berat, agak keras, agak padat dan agak kasar, tidak tahan lama, tetapi biarpun demikian di daerah Sukabumi Jawa Barat digunakan juga untuk bangunan rumah (Heyne K, 1987). Tumbuhan ini adalah merupakan perdu pohon kecil, tinggi pohon mencapai 5-13 m dan diameter mencapai 10-30cm, tumbuh pada ketinggian 1500mdpl
97
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014 (Heyne K, 1987).
68
69
70
71
72
73
74
98
Purut
Putat
Peutag
Salam
Sengon
Simpur
Sulangkar
Tumbuhan ini merupakan pohon tinggi dan besar, tumbuh pada ketinggian dibawah 1.000mdpl. tumbuhan ini juga mempunyai sifat racun. Buahnya dapat dimakan dan agak asam tetapi bijinya yang belum matang beracun (Heyne K, 1987).
Parartocarpus venenosa
Tinggi pohon mencapai 18m dan diameter mencapai 60cm, tumbuh pada ketinggian dibawah 400mdpl. Kayunya dapat digunakan sebagai bahan bangunan rumah. Daunnya dapat dimakan dengan ikan kembung (Heyne K, 1987).
Barringtonia spicata
Eugenia Uniflora
Syzygium polyanthum
Paraserianthes falcataria
Dillenia excelsa
Leea indica
Myrtaceae
Myrtaceae
Fabaceae
Dilleniaceae
Leaceae
Tinggi pohon mencapai 10-18m dan diameter 25-30 cm, tumbuh pada ketinggian 1500 mdpl. Batang pendek dan bengkok hanya digunakan untuk kayu bakar. Kulitnya digunakan untuk mengecat warna coklat benang dan kain. Bunganya bisa dimakan. (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 25m dan diameter 130cm, tumbuh pada ketinggian dibawah 1400 mdpl dan sudah dibudidayakan. Kayunya cukup berat dan keras, padat dan strukturnya halus. Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Kulitnya digunakan untuk menyamak jala. Daunnya mengandung aroma minyak atsiri (Heyne K, 1987). Tumbuhan ini merupakan pohon yang banyak dikenal, sangat tinggi, lurus, kulit kelabu dan mahkota daun seperti paying, salah satu jenis pohon yang tumbuh cepat di daerah tropis, tumbuh baik pada ketinggian 1500 m mdpl. Tinggi pohon mencapai 12m dan diameter batang sekitar 15-20cm, tumbuh dibawah ketinggian 400mdpl. Kayunya sangat keras tetapi tidak awet dan dapat digunakan untuk tiang. Daunnya yang dimemarkan berkhasiat menyejukkan dan dipakai sebagai obat luar terhadap demam dan sakit kepala (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 11m, tumbuh pada ketinggian kurang dari 700mdpl.serutan kayunya bermanfaat untuk menyembuhkan luka. Daun yang muda setelah dimemarkan digunakan sebagai obat luar terhadap sakit kepala.
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014 Buah mudanya dapat digunakan sebagai obat (Heyne K, 1987).
75
Sampora
Columbia javanica
Tiliaceae
76
Saninten
Castanopsis argentea
Fabaceae
77
Suren
Toonia sureni
Meliaceae
78
Tanglar
Mavaranga subfalcata
Euphorbiace ae
79
Tapen
Malotus tiliaefolia
Euphorbiace ae
80
Tiwulandu
Artocarpus glauca
Moraceae
81
Tundun
Nephelium lappaceum
Sapindaceae
Tinggi pohon mencapai 10-25m dan diameter batang 40-45 cm, tumbuh tersebar di Jawa Barat antara 50300mdpl. Kayunya kadang-kadang dipakai untuk bangunan rumah, akan tetapi dianggap tidak begitu baik (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 25m dan diameter 80-100cm, batang tumbuhan agak tegak, tetapi bagian bawah batang yang dekat tanah memiliki banyak cabang. Kayunya digunakan untuk pembangunan rumah karena tahan lama dan kuat. Rebusan kulit saninten digunakan untuk memberi warna hitam pada rotan yang telah dikupas kulitnya. Buahnya berwarna coklat keabu-abuan dan sering dikumpulkan dari hutan untuk dijual di pasar. (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 35-40m dan diameter 2-3m, tumbuh pada ketinggian 1200mdpl (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 40m dan diameter mencapai 150cm, terdapat diseluruh Jawa pada ketinggian kurang dari 1.100mdpl. kayunya berwarna putih dan digunakan sebagai bahan bangunan Tinggi pohon mencapai 2-7m dan diameter 17cm. Tumbuh di daratan rendah dan di dalam hutan payau. Kayunya putih dan halus seperti gading, lunak dan ringan, cocok untuk perkakas rumah dan ukiran hiasan. (Heyne K, 1987). Tumbuhan ini berupa pohon dengan ketinggian mencapai 30m dan diameter mencapai 90cm, tumbuh pada permukanaan dibawah 1200 mdpl. Kayunya dapat digunakan untuk bahan bangunan rumah. Sifat kayu gubal tumbuhan ini adalah warna putih dan empelur dengan warna merah dan kasar (Heyne K, 1987). Tinggi pohon mencapai 15m dan diameter 25-35 cm tumbuh pada ketinggian kurang dari 1300mdpl (Heyne K, 1987).
99
ISSN 2085-9970
82
Wuni
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Antidesma bunius
Pada pengamatan jalur until antil diketahui jumlah spesies tumbuhan pada tingkat semai (47spesies), tingkat pancang (40 spesies), tingkat tiang (38 spesies) dan tingkat pohon (24 spesies). Hasil pengamatan pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon semakin bertambah ketinggiannya semakin menurun jumlah spesiesnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Primarck et al. (2007) yang mengemukakan bahwa semakin tinggi suatu tempat menyebabkan semakin sedikit keanekaragaman spesies tumbuhan. Tinggi tempat berpengaruh terhadap suhu udara dan intensitas cahaya. Suhu dan intensitas cahaya semakin kecil dengan semakin tingginya tempat tumbuh. Adanya pengurangan suhu udara dan intensitas cahaya dapat menghambat pertumbuhan karena proses fotosintesis terganggu (Sulistyono, 1998). Hasil pengamatan diketahui bahwa spesies Baccauera sp. (INP sebesar 7,34%) mendominasi pada tingkat semai, spesies Eugenia cuprea (INP sebesar 7,25%) mendominasi pada tingkat pancang, spesies Neesia altissima (INP sebesar 85,21%) mendominasi pada tingkat tiang dan spesies Artocarpus elastica (INP sebesar 38,42%) mendominasi pada tingkat pohon. Soerianegara dan 100
Moraceae
Tinggi pohon antara 15-30m dengan diameter 20-85 cm, tumbuh pada ketinggian 50-400 mdpl. Kayunya kurang awet, tetapi bisa digunakan untuk bangunan rumah. Kulit batangnya rasanya sepat mengandung sedikit alkoida yang beracun dan bisa digunakan untuk pengobatan. Daunnya digunakan untuk ramuan obat dan bisa untuk pengobatan penyakit syphilis dan kelelahan. Daunnya keasam-asaman dan dapat dimakan sebagai lauk-pauk (Heyne K, 1987).
Indrawan (2005) mengemukakan bahwa tumbuhan mempunyai hubungan yang sangat nyata dengan tempat tumbuh (habitat) dalam hal penyebaran spesies, kerapatan dan dominansinya. Suatu spesies dikatakan dominan dalam komunitas apabila spesies tersebut berhasil memanfaatkan sebagian besar sumber daya yang ada untuk pertumbuhan hidupnya dibandingkan dengan spesies yang lain. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Hasil penelitian potensi Hutan Lindung Gunung Tilu menunjukkan bahwa terdapat 82 spesies tumbuhan. Spesies Baccauera sp. (INP sebesar 7,34%) mendominasi pada tingkat semai, spesies Eugenia cuprea (INP sebesar 7,25%) mendominasi pada tingkat pancang, spesies Neesia altissima (INP sebesar 85,21%) mendominasi pada tingkat tiang dan spesies Artocarpus elastica (INP sebesar 38,42%) mendominasi pada tingkat pohon. 2. Hasil morfologi tumbuhan di Kawasan Hutan Gunung Tilu merupakan bahan acuan sebagai sarana pengetahuan tentang kekayaan spesies tumbuhan.
ISSN 2085-9970
Saran Perlu adanya kerjasama antara pengelola Kawasan Hutan Gunung Tilu dengan Perguruan Tinggi untuk membuat Hutan Pendidikan mengingat banyak sekali sumberdaya yang belum tergali.
Daftar Pustaka Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 1-4. Yayasan Saran Wana Jaya, Jakarta.
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Indriyanto. 2010. Ekologi Hutan. Bumi Aksara, Jakarta. Kusmana, C. 1995. Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soerianegara, I.dan A. Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
101
ISSN 2085-9970
102
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Pengaruh Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Dosen di FKIP Universitas Kuningan Yeyen Suryani & Iyan Setiawan FKIP Universitas Kuningan
Abstrak Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana meningkatkan kinerja dosen melalui budaya organisasi dan kepuasan kerja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja dosen, untuk mengetahui pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja dosen di FKIP Universitas Kuningan serta untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Kuningan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dan verifikatif dengan metode penelitian survey. Populasi dalam penelitian ini Dosen Tetap FKIP Universitas Kuningan. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik probability sampling. Teknik dan analisis data yang digunakan adalah analisis regresi berganda dengan bantuan SPSS for windows. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Besarnya pengaruh langsung dari budaya organisasi terhadap kinerja dosen , yaitu sebesar 1,016. Besarnya pengaruh langsung dari kepuasan kerja terhadap Kinerja Dosen, yaitu sebesar 0,044 . Secara simultan variabel budaya organisasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja dosen berpengaruh signifikan terhadap kinerja dosen sebesar 0,995 atau 99,5%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja dosen mempunyai pengaruh yang signifikan. Maka disampaikan saran sebagai berikut : perlunya perbaikan dan peningkatan budaya organisasi sehingga meningkatkan kepuasan kerja dosen, agar perilaku dosen dapat menampilkan kinerja yang prima, maka perlu ditelaah dan dilakukan pembenahan terhadap faktor dalam dan luar individu yang akan berpengaruh terhadap kinerja. Dosen harus lebih menyadari akan peran dan fungsinya sebagai seorang pengajar dan pendidik sehingga sikap, semangat dan kepribadiannya sekiranya dapat menjadi contoh bagi mahasiswanya. Kata kunci:Kinerja Dosen, Budaya Organisasi, Kepuasan Kerja
Pendahuluan Latar Belakang Pembangunan dalam bidang pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting terutama dalam mempersiapkan manusia yang berkualitas. Semakin baik pendidikan suatu bangsa semakin baik pula kualitas bangsa tersebut. Karena pentingnya pembangunan pendidikan tersebut, pendidikan nasional
menurut UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 memiliki fungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga 103
ISSN 2085-9970
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Perguruan tinggi mempunyai peran untuk menciptakan sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi dan kompeten. Untuk menghasilkan mahasiswa lulusan yang berkualitas baik dan tinggi, maka tidak terlepas dari kualitas pendidikan di perguruan tinggi itu sendiri. Kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh faktorfaktor seperti : mahasiswa, fasilitas sarana pendukung, proses belajar mengajar dan tak kalah pentingnya adalah faktor dosen sebagai tenaga pendidik. Ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi satu dengan lainnya dalam melaksanakan proses pembelajaran. Kualifikasi dosen sangat diperlukan dalam mewujudkan mahasiswamahasiswa yang handal dan berkualitas tinggi, maka keberadaan dosen sebagai pendidik yang profesional dan kompeten di perguruan tinggi sangat dibutuhkan. Dosen di Perguruan Tinggi merupakan salah satu sumber daya manusia yang sangat menentukan dalam keberhasilan melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran, kegiatan penelitian serta kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Kemampuan dosen dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga pengajar dan pendidik akan menghasilkan kinerja yang optimal. Kinerja dosen diukur berdasarkan beban kerja yang mencakup kegiatankegiatan seperti perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, evaluasi pembelajaran, pembimbingan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Proses perkuliahan yang baik tergantung pada kinerja dosen yang baik dan juga peranan mahasiswa yang termotivasi baik juga. Kinerja dosen dalam proses pembelajaran sangat menentukan kualitas pembelajaran dan akhirnya dapat berpengaruh terhadap kualitas lulusannya. 104
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Kinerja dosen pada kondisi saat ini mengalami penurunan, ditinjau dari segi kemampuan dalam pengelolaan pembelajaran, penguasaan materi kuliah, lemahnya budaya menulis, dan lain-lain. Fenomena yang terjadi di FKIP Universitas Kuningan adalah dalam proses belajar mengajar, sebagian dosen tidak membuat Satuan Acara Pembelajaran (SAP), sebagian dosen tatap mukanya tidak terpenuhi sesuai dengan rencana dalam SAP, kadang tidak tepat waktu sehingga mengajar tidak sesuai dengan jumlah waktu dan materi yang harus dicapai. Tingkat kehadiran dosen dalam proses belajar mengajar tergolong rendah dan mengajar tidak tepat waktu. Budaya organisasi sangat penting dalam meningkatkan kinerja dosen. Budaya organisasi yang kuat dan kondusif akan meningkatkan kinerja dosen. Budaya organisasi merupakan cerminan daripada watak, kepribadian dan keadaan seseorang dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Organisasi yang memiliki budaya yang kondusif akan memotivasi para dosen untuk bekerja secara baik sehingga tujuan organisasi akan tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Untuk membangun budaya organisasi yang kokoh melibatkan berbagai dukungan, diantaranya sumber daya manusia yang handal dan berkualitas yang ada di dalam organisasi. Keberadaan budaya organisasi sering tidak disadari oleh dosen, tetapi pengaruhnya sangat kuat atas pemikiran, sikap dan perilaku dalam organisasi terutama dalam bekerja. Selain budaya organisasi masih ada lagi faktor yang dapat mempengaruhi kinerja dosen yaitu kepuasan kerja. Kepuasan kerja merupakan elemen penting dalam menentukan keberhasilan suatu organisasi. Kepuasan kerja (job satisfaction) dosen merupakan sasaran penting dalam sumber daya manusia karena secara langsung maupun tidak langsung akan
ISSN 2085-9970
mempengaruhi kinerja dosen, kepuasan kerja sangat dipengaruhi oleh fungsi dan kedudukan, kesesuaian antara harapan dosen dengan imbalan karyawan dalam organisasi. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka penulis mengambil judul : “Pengaruh Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Dosen di FKIP Universitas Kuningan” Rumusan Masalah Beranjak dari paparan latar belakang penelitian, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja dosen di FKIP Universitas Kuningan ? 2. Bagaimana pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja dosen di FKIP Universitas Kuningan ? 3. Bagaimana pengaruh budaya organisasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja dosen di FKIP Universitas Kuningan ? Tujuan Penelitian Beranjak dari perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja dosen di FKIP Universitas Kuningan ? 2. Untuk mengetahui pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja dosen di FKIP Universitas Kuningan ? 3. Untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja dosen di FKIP Universitas Kuningan ? Kerangka Pemikiran Dalam mencapai visi dan misi perguruan tinggi yang telah ditetapkan, kinerja dosen merupakan salah satu unsur utama dalam menunjang pencapaian visi dan misi tersebut, kinerja dosen berkaitan
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
dengan keterampilan mengajar dan kegiatan-kegiatan untuk menunjukkan kemampuan kerjanya. Oleh karena itu kinerja dosen terus di pupuk agar dosen senantiasa berusaha meningkatkan kinerjanya sehingga hasil pekerjaan nya dapat tercapai dengan optimal. Kinerja dosen dimaksudkan sebagai perbuatan atau kegiatan yang ditampilkan oleh pegawai untuk melaksanakan tugas dan perannya di perguruan tinggi. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk melihat perkembangan organisasi adalah dengan cara melihat kinerja dosennya. Budaya organisasi adalah sesuatu yang khas dari suatu organisasi. Budaya organisasi menggambarkan aturan main yang berlaku di dalam organisasi. Membentuk budaya organisasi yang kuat merupakan suatu hal yang mendasar bagi kehidupan organisasi, sehingga diperlukan pengertian yang mendalam tentang konsep budaya itu sendiri. Budaya organisasi sangat erat kaitannya dengan kinerja, karena budaya yang kuat memiliki norma-norma kinerja yang tinggi. Budaya yang kuat dengan jelas mengkomunikasikan kepada para karyawannya mengenai tujuan organisasi yang hendak dicapai. Perilaku yang bisa diterima dan diperkuat mendukung kinerja yang tinggi. Suatu organisasi dengan budayanya yang khas akan mendorong terhadap kinerja karyawannya, karena dengan budaya yang telah dibentuk sedini mungkin dan selalu diterapkan oleh masing-masing karyawan dalam bekerja, maka kinerja karyawan pun akan terus meningkat dengan kebiasaan atau normanorma yang berlaku dan selalu dipakai di waktu mereka bekerja. Selain budaya organisasi, kepuasan kerja karyawan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja dosen dalam bekerja. Dimana kepuasan kerja seseorang akan dirasakan apabila dosen I 105
ISSN 2085-9970
merasa senang terhadap tugas, atasan, rekan, kompensasi dan promosi, sehingga dosen akan sungguh-sungguh bekerja dalam mencapai tujuan organisasi yang telah di ditetapkan sebelumnya serta
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
organisasi akan mendapatkan keuntungan yang besar. Secara sederhana, kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Budaya organisasi (Variabel X1)
Kinerja Dosen (Variabel Y)
Kepuasan Kerja (Variabel X2)
Gambar 1. Paradigma Pengaruh Variabel X terhadap Variabel Y Hipotesis Berdasarkan uraian pada latar belakang dan permasalahan penelitian, maka hipotesis yang diajukan adalah : 1. Terdapat Pengaruh Positif Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Dosen. 2. Terdapat Pengaruh Positif Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Dosen . 3. Terdapat pengaruh Positif Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Dosen.
106
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode survey, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuisioner-kuisioner sebagai pengumpulan data primer. Sedangkan penelitiannya adalah verifikatif yaitu penelitian yang memerlukan pengujian hipotesis. Operasionalisasi Variabel Penelitian ini mempelajari tiga variabel yaitu budaya organisasi sebagai variabel independent satu ( variabel bebas X1), kepuasan kerja sebagai variabel independen dua (variabel bebas X2) dan kinerja dosen sebagai variabel dependent ( variabel terikat Y).
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Tabel 1. Penjabaran Konsep Variabel Penelitian Variabel Budaya Organisasi (X1)
Konsep Variabel Budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi.
Kepuasan Kerja (X2)
Sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaanya, sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja.
Kinerja Dosen (Y)
Hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya
Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah dosen tetap Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Kuningan yang berjumlah 68 orang . Dengan jumlah populasi kurang dari 100 yaitu 68 Dosen FKIP Universitas Kuningan maka penelitian ini menggunakan sampel total atau disebut juga penelitian populasi.
Indikator 1) Inisiatif perseorangan 2) Toleransi atau resiko 3) Pengarahan 4) Integrasi 5) Dukungan manajemen 6) Sistem Imbalan 7) Toleransi Konflik 8) Pola Komunikasi Sumber : Yayat Hayati 1). Dorongan berprestasi 2). Promosi 3). Pekerjaan itu sendiri 4). Kesempatan untuk berkembang 5). Tantangan Sumber : Anwar P. Mangkunegara 1). Kualitas kerja 2). Kuantitas kerja 3). Hubungan kerja 4). Inisiatif kerja 5) Tanggung jawab 6). Ketaatan 7). Kejujuran 8). Kerjasama Sumber : Supardi & Sedarmayanti
Hasil dan Pembahasan Deskripsi variabel Penelitian Gambaran Budaya Organisasi Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh skor budaya organisasi menyebar dari skor terendah 17 hingga skor tertinggi 39 dengan rentang data 22. Dari hasil pengolahan data statistik diperoleh skor rata-rata 29,93; median 31; modus 33 dan standar deviasi (STD) sebesar 5,6. Histogram dapat dilihat berikut ini : 107
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Gambar 2. Histogram Budaya Organisasi
Diagram di atas menunjukkan bahwa skor jawaban terpusat pada 30-35. Skala penafsiran budaya organisasi menunjukkan bahwa budaya organisasi yang berlangsung pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Kuningan termasuk dalam kategori tinggi. Dengan kata lain budaya organisasi yang berlaku dianggap baik bagi para dosen. Hal ini
ditunjukkan oleh skor rata-rata responden berjumlah 24 orang atau sebesar 35,29% menganggap budaya organisasi yang berlangsung pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Kuningan adalah baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kategori berikut ini :
Tabel 2. Kategori Data Budaya Organisasi Kriteria 17 – 21 22 – 26 27 – 31 32 – 36 37 – 41
Kategori Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah
Gambaran Kepuasan Kerja Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh, skor kepuasan kerja menyebar dari skor terendah 14 sampai tertinggi 25 108 I
Frekuensi 6 14 15 24 9 68
Persentase 8,82 20,59 22,06 35,29 13,24 100
dengan rentang data 11. Dari hasil pengolahan data diperoleh skor rata-rata 20,94; median 22; modus 24 dan standar
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
deviasi (STD) sebesar 3,54. histogram
dapat dilihat berikut ini :
Gambar 3. Histogram Kepuasan Kerja Diagram di atas menunjukkan bahwa skor jawaban terpusat pada angka 22,5 25. Skala penafsiran kepuasan kerja menunjukkan bahwa tingkat kepuasan kerja pada dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas
Kuningan termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh skor jawaban sebagian besar dosen tentang kepuasan kerja yang menganggap pekerjaannya memuaskan berjumlah 33 orang atau 48,53% . Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kategori berikut ini :
Tabel 3 Kategori Data Kepuasan Kerja
Kriteria 14 – 16 17 – 19 20 – 22 23 – 25 26 – 28
Kategori Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah
Gambaran Kinerja Dosen Data hasil penelitian kinerja dosen menyebar dari skor terendah 16 sampai skor tertinggi 39 dengan rentang data 23.
Frekuensi 11 14 10 33 0 68
Persentase 16,18 20,59 14,71 48,53 0,00 100
Dari hasil pengolahan data diperoleh skor rata-rata 29,28; median 30; modus 32 dan standar deviasi (STD) sebesar 5,33.
109
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Gambaran histogram tentang kinerja dosen
dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar 4. Histogram Kinerja Dosen Diagram di atas menunjukkan bahwa skor jawaban terpusat pada skor 31 - 35. Skala penafsiran Kinerja Dosen berada pada kategori tinggi. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Kuningan termasuk
dalam kategori tinggi. Dengan kata lain, kinerja dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Kuningan dianggap baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kategori berikut ini :
Tabel 4 Kategori Data Kinerja Dosen Kriteria
Kategori Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
16 – 20 21 – 25 26 – 30 31 – 35 36 – 40 Jumlah
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa responden yang beranggapan kinerja dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Kuningan baik sebanyak 25 orang atau sebesar 36.76%. 110
Frekuensi 5 10 20 25 8 68
Persentase 7,35 14,71 29,41 36,76 11,76 100
Pengujian Hipotesis Berdasarkan hasil perhitungan uji analisis data penelitian dengan menggunakan path analisys, persamaan struktural dalam penelitian ini :
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Y = Pyx1 + Pyx2 + ϵ Y = 1,016x1 + 0,044x2 + ϵ 1. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Dosen secara Parsial Pada bagian ini diuji hipotesis nol (H0) yang menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap Kinerja Dosen, sedangkan
hipotesis alternatif (Hi), menyatakan bahwa terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap Kinerja Dosen. Untuk melihat ada tidaknya pengaruh budaya organisasi terhadap Kinerja Dosen digunakan uji t, sedangkan untuk melihat besarnya pengaruh digunakan angka Beta atau Standardized Coefficient pada tabel 5 di bawah ini :
Tabel 5 Hasil Analisis Uji t Variabel B Std Error Beta t Sig Konstanta -1,007 0,477 -2,109 0,039 Budaya organisasi 0,966 0,009 1,016 108,548 0,000 Kepuasan kerja 0,066 0,014 0,044 4,695 0,000 Sumber : Hasil Penelitian (Lampiran 9 ) Uji t menunjukkan bahwa harga t hitung sebesar 108,548 dan t tabel sebesar 1,6686. Tampak bahwa nilai t hitung yang diperoleh dari analisis jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai t tabel pada taraf signifikansi 0,05. Artinya hipotesis nol sebagaimana dinyatakan di atas ditolak, sebaliknya hipotesis alternatif diterima. Kesimpulannya adalah terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja dosen. Besarnya pengaruh langsung dari budaya organisasi terhadap kinerja dosen ditunjukkan oleh nilai Beta yaitu sebesar 1,016 2. Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Dosen secara Parsial Pada bagian ini diuji hipotesis nol (H0) yang menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja dosen, sedangkan hipotesis alternatif (Hi), menyatakan bahwa terdapat pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja dosen. Uji t pada tabel 5 menunjukkan nilai t hitung sebesar 4,695 dan t tabel sebesar
1,668. Tampak bahwa nilai t hitung yang diperoleh dari analisis lebih besar dibandingkan dengan nilai t tabel pada taraf signifikansi 0,05. Artinya hipotesis nol sebagaimana dinyatakan di atas ditolak, sebaliknya hipotesis alternatif diterima. Kesimpulannya adalah terdapat pengaruh dari kepuasan kerja terhadap Kinerja Dosen. Besarnya pengaruh langsung dari kepuasan kerja terhadap Kinerja Dosen ditunjukkan oleh nilai Beta yaitu sebesar 0,044 . 3. Pengaruh Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Dosen Pada bagian ini diuji hipotesis nol (H0) yang menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh budaya organisasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja dosen, sedangkan hipotesis alternatif (Hi), menyatakan bahwa terdapat pengaruh langsung budaya organisasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja dosen.
111
ISSN 2085-997X
Logika Vol 5, No. 1 Maret 2014
Tabel 6. Hasil Analisis Uji F Sum of Mean F df Squares Square Regression 1892,913 2 946,456 7007,979 Residual 8,779 65 ,135 Total 1901,691 67 a. Dependent Variable: Kinerja Dosen b. Predictors: (Constant), Kepuasan Kerja, Budaya Organisasi Model
Uji F pada tabel 6 menunjukkan bahwa harga F hitung sebesar 7007,979 dan F(2;65) tabel sebesar 4,98. Tampak bahwa nilai F hitung yang diperoleh dari analisis lebih besar dibandingkan dengan nilai F tabel pada taraf signifikansi 0,05. Artinya hipotesis nol sebagaimana dinyatakan di atas ditolak, sebaliknya hipotesis alternatif diterima. Kesimpulannya adalah terdapat pengaruh dari budaya organisasai dan kepuasan kerja terhadap kinerja dosen. Besarnya pengaruh langsung budaya organisasai dan kepuasan kerja secara berganda terhadap kinerja dosen ditunjukkan oleh nilai adjusted R square sebesar 0,995 atau 99,5%. Pembahasan Budaya organisasi sangat erat kaitannya dengan kinerja, karena budaya yang kuat memiliki norma-norma kinerja yang tinggi. Budaya yang kuat dengan jelas mengkomunikasikan kepada para anggotanya mengenai tujuan organisasi yang hendak dicapai. Perilaku yang bisa diterima dan diperkuat akan dapat mendukung kinerja yang tinggi. Suatu organisasi dengan budayanya yang khas akan mendorong terhadap kinerja karyawannya, karena dengan budaya yang telah dibentuk sedini mungkin dan selalu diterapkan oleh masing-masing karyawan dalam bekerja, maka kinerja karyawan pun akan terus meningkat dengan kebiasaan atau normanorma yang berlaku dan selalu dipakai di waktu mereka bekerja. 112
Sig ,000b
Seiring dengan meningkatnya kinerja karyawan akan menciptakan prestasi kerja yang tinggi. Menurut Keith Davis dan John W. Newstron yang diterjemahkan oleh Agus Dharma (1995:107) mengemukakan bahwa: Prestasi turut menyumbang timbulnya kepuasan kerja, dengan urutannya yaitu prestasi yang lebih baik secara khas menimbulkan imbalan atau penghargaan yang lebih tinggi. Apabila imbalan itu dipandang pantas dan adil maka timbul kepuasan kerja yang lebih besar karena pegawai merasa bahwa mereka menerima imbalan yang sesuai dengan tingkat prestasinya. Hasil penelitianpun menunjukkan adanya pengaruh budaya organisasi dan kepuasan kerja secara ganda terhadap kinerja dosen. Veithzal Rivai (2004:309) mengemukakan: “Kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh pegawai sesuai dengan perannya dalam perusahaan”. Berdasarkan analisis data penelitian ditemukan adanya pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja dosen secara parsial. Adanya pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja menggunakan beberapa ukuran untuk mendukung sasaran keseluruhan, misalnya profitabilitas meningkat, salah satu ukurannya adalah “tingkat kembalian dari rata-rata modal yang digunakan”. Karyawan harus dapat memahami ukuran penilaian dan mengaitkan dengan pekerjaan mereka sehari-sehari. Jika seorang karyawan tidak
ISSN 2085-9970
dapat melakukannya, ukuran tersebut tidak akan membantu untuk meningkatkan kinerja. Seperti halnya pendapat Maschi yang dikutip Heru Kurnianto (2004:211) tentang definisi budaya organisasi :”Budaya organisasi adalah seperangkat asumsiasumsi, keyakinan –keyakinan, nilai-nilai dan persepsi-persepsi yang dimiliki para anggota kelompok dalam suatu organisasi yang membentuk dan mempengaruhi sikap dan perilaku sikap kelompok tersebut”. Kepuasan kerja karyawan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja dosen dalam bekerja. Dimana kepuasan kerja seseorang akan dirasakan apabila dosen merasa senang terhadap tugas, atasan, rekan, kompensasi dan promosi, sehingga dosen akan sungguhsungguh bekerja dalam mencapai tujuan organisasi yang telah di ditetapkan sebelumnya serta organisasi akan mendapatkan keuntungan yang besar. Berdasarkan analisis data penelitian ditemukan adanya pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja dosen secara parsial. Kepuasan kerja seseorang dapat terpuaskan jika kondisi yang diinginkan sesuai dengan kondisi aktual, adanya keadilan dan adanya dua titik yang berlawanan dari suatu kontinum dengan satu titik netral. Budaya organisasi dapat terbentuk dari mana saja dan akan berpengaruh terhadap organisasi. Budaya organisasi adalah sistem dan pola perilaku baik yang tampak tegas dan jelas yang tidak tampak tegas dan jelas yang dipegang teguh dan dianggap penting dan sama serta diungkapkan melalui berbagai simbol yang diarahkan kepada suatu tujuan atau kehendak tertentu oleh individu yang terikat langsung dengan organisasi. (Kusnadi, 2002:211). Dalam menilai suatu organisasi didasarkan pada sepuluh karakteristik antara lain inisiatif perseorangan, toleransi atau resiko, pengarahan, integrasi,
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
dukungan manajemen, pengendalian, identitas sistem imbalan, toleransi konflik, dan pola komunikasi. Pada akhirnya akan diperoleh gambaran majemuk budaya organisasi itu. Gambaran tersebut menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota yang mengenai organisasi itu. Seperti dikutip Heru Kurnianto (2004:211) tentang definisi budaya organisasi dari Stoner (1995) yang menyatakan bahwa : ”Budaya organisasi sebagai kerangka kerja kognitif yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma, perilaku dan harapan-harapan yang disumbangkan anggota organisasi”. Menurut Strauss dan Sayles dalam Hasibuan (2004:180), kepuasan kerja penting untuk aktualisasi diri, pegawai yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai tingkat kematangan psikologis, dan pada gilirannya akan menjadi frustasi dan stress, stress yang terlalu besar akan mengancam kemampuan sesorang untuk menghadapi lingkungan dan sebagai hasilnya akan mengganggu pelaksanaan kerja mereka. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Bertitik tolak dari tujuan penelitian, yaitu ingin mengetahui pengaruh budaya organisasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja dosen baik secara parsial maupun multiple dan mengetahui hubungan antara budaya organisasi dengan kepuasan kerja, berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data, serta pengujian hipotesis, maka dapat disimpulkan bahwa 1. Adanya pengaruh positif budaya organisasi terhadap kinerja dosen secara parsial. 2. Adanya pengaruh positif kepuasan kerja terhadap kinerja dosen secara parsial. 3. Adanya pengaruh positif budaya organisasi dan kepuasan kerja 113
ISSN 2085-9970
terhadap kinerja multiple.
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
dosen
secara
Saran Berdasarkan pembahasan hasil penelitian kesimpulan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka disampaikan saran sebagai berikut 1. Perlunya perbaikan dan peningkatan budaya organisasi terutama jika terjadi benturan-benturan budaya, konflik internal maupun eksternal, sehingga dapat lebih meningkatkan kepuasan kerja dosen. 2. Agar perilaku dosen dapat menampilkan kinerja yang prima, maka perlu ditelaah dan dilakukan pembenahan terhadap faktor dalam dan luar individu yang akan berpengaruh terhadap kinerja, baik yang menyangkut kecakapan, kemampuan yang dimiliki ataupun yang menyangkut situasi kondisi yang ada, sehingga dapat memberikan kepuasan pada dirinya atau lembaga dimana ia bekerja. Dengan demikian dengan kinerja yang efektif, efesien, dan produktif tentunya akan memberikan kepuasan kerja pada dosen 3. Dosen harus lebih menyadari akan peran dan fungsinya sebagai seorang pengajar dan pendidik sehingga sikap, semangat dan kepribadiannya sekiranya dapat menjadi contoh bagi mahasiswanya. Daftar Pustaka Arikunto Suharsimi. 1996. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta. PT Ikrar Mandiri Abadi As’ad M. 1999. Psikologi Industri. Yogyakarta. Liberty Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka 114
Dharma Agus. 1995. Manajemen Prestasi kerja Pedoman Penting Penelitian Untuk Meningkatkan prestasi Kerja. Jakarta. Rajawali Furtwengler Dale. 2003. Penilaian Kinerja. Diterjemahkan oleh Fandy Tjiptono. Yogyakarya. Andi Yogyakarta Handoko T. Hani. 2001. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta. BPFE Harjana A. M. 1997. Konflik di Tempat Kerja. Jakarta. Kanisius Hasibuan Malayu. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta. Bumi Aksara Hayati Yayat. 2003. Perilaku Organisasi. Bandung. Alfabeta Indriantoro Nur & Supomo Bambang. 1999. Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta. BPFE Kenneth N. Wexley & Yuki A. Gery. 2003. Organizational Behavior and personnel Psychology. Diterjemahkan oleh : Muh. Shobarudin. Richard D. Irwin Inc Kotter P. John & Heskett James L. 1998. Corporate Culture and Performance (terj. Benyamin Molan). Jakarta. PT. Prehallindo Kurnianto Heru. 2004. Budaya Organisasional dan Balanced Scorecard: Dimensi Teori dan Praktik. Yogyakarta. UPFE UMY Yogyakarta Kusnadi. 2002. Pengantar Manajemen Strategi. Universitas Brawijaya Lako Andreas. 2004. Kepemimpinan dan Kinerja Organisasi. Yogyakarta. Amara Books Martoyo Susilo. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta. BPFE Nazir Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia Prabu Mangkunegara Anwar. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung. PT. Remaja Rosda Karya
ISSN 2085-9970
Rivai Veithzal. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan dari Teori dan Praktek. Jakarta. Rajagrafindo Persada Robbins Stephen P. 2001. Perilaku Organisasi. Diterjemahkan oleh Handayana Pujaatmaka. Jakarta. PT. Prenhallindo Robbins Stephen P. 2003. Organization Behavior, Concepts, Controversies Aplication. Seventh Edition. Jakarta. Englewood Cliffs dan PT. Prenhallindo Sastrohadiwiryo B. Siswanto. 2005. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia,
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Pendekatan Administratif dan Operasional. Jakarta. Bumi Aksara Sedarmayanti. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta. Bumi Aksara Siagian P. Sondang. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta. Bumi Aksara Sudjana. 1997. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi. Bandung. Tarsito Sugiyono. 2004. Metode Statistik. Bandung. Tarsito Ukas Maman. 1993. Manajemen Konsep, prinsip dan Aplikasi. Bandung. Tudung Kencana
115
ISSN 2085-9970
116
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Pengaruh Pasar Modern terhadap Perkembangan Pasar Tradisional (Studi Kasus di Pasar Kramatmulya ). Yoyo Sunaryo dan Erin Ferdian Fakultas Ekonomi Universitas Kuningan
Abstract Pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan persaingan yang semakin ketat, menunjukan arah yang semakin manjauh dari landasan palsapah pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam Undang-undang dasar 1945, dinyatakan bahwa perekonomian Indonesia berlandaskan pada ekonomi kerakyatan. Artinya bahwa, perekonomian harus dibangun atas dasar kepentingan orang banyak dan memberikan manfaat yang sebesarbesarnya untuk kesejahteraan rakyat. PendekAtan konglomerasi (ekonomi liberal), menimbulkan kesenjangan ekonomi yang semakin jauh, para pemilik modal terus berekspansi mengembangkan usaha ke semua sekor mulai dari hulu sampai hilir. Sementara para pengusaha kecil terus berkutat antara hidup dan mati mempertahankan usaha kecilnya. Tidak ada kesempatan sekecil apapun yang bisa dilakukan, untuk menjadi mitra usaha salah satu sistem ekonomi global yang terus berkembang. Pasar Kramatmulya berada di Desa Kramatmulya dan Desa Kalapa Gunung Kecamatan Kramatmulya, berada 7 km dari ibu kota Kabupaten Kuningan, berada di kaki Gunung Ciremai memiliki curah hujan diatas 20.000 mm/th, dengan udara yang sejuk dan dingin. Wilayah dengan morfologi perbukitan terjal mencapai 55% dari luas keseluruhan, berupa pegunungan dan perbukitan dengan lereng terjal. Kondisi pasar tidak datar tapi bergelombang, sehingga memudahkan penataan limbah baik berupa cairan maupun limbah padat. Pasar Kramatmulya. berdasarkan pada Peraturan Daerah No. 21 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RUTR) Kabupaten Kuningan, lokasi tersebut berada pada kawasan pemukiman. Artinya bahwa posisi pasar sesuai dengan peruntukan, sebagai fasilitas umum masyarakat termasuk lokasi pasar yang sesuai dengan tata ruang yang ada. Pasar Kramatmulya, adalah pasar desa kramatmulya yang dikelola oleh desa untuk kepentingan desa. Pada masa lalu, untuk melakukan renovasi dilakukan oleh desa dan dananya dari desa itu asendiri. Sehingga kebutuhan dana untuk pembangunan, menjual asset kekayaan desa dengan menjual titisara yaitu lahan milik pemerintah desa yang digunakan untuk menggaji perangkat desa dan sumber dana pembangunan desa. Hasil retribusi yang dipungut harian dari pedagang, merupakan pendapatan desa yang baru dan digunakan untuk upah perangkat dan membiayai pembangunan desa. Kepuasaan konsumen yakni pengunjung toko, sangat bergantung pada berbagai aspek berupa daya tarik banguan, fasilitas bagi pengunjung, keramahan layanan. Maka sarana dan prasarana yang dibangun, menimbulkan kesan baik bagi semua pengunjung, hanya penataan di pojok ruangan yang kosong masih terlihat kumuh dan terkesan tidak terpelihara kebersihannnya. Kata Kunci : Pasar tradisional, persaingan Pasar Modern 117
ISSN 2085-9970
Pendahuluan Pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan persaingan yang semakin ketat, menunjukan arah yang semakin manjauh dari landasan palsapah pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam Undang-undang dasar 1945, dinyatakan bahwa perekonomian Indonesia berlandaskan pada ekonomi kerakyatan. Artinya bahwa, perekonomian harus dibangun atas dasar kepentingan orang banyak dan memberikan manfaat yang sebesarbesarnya untuk kesejahteraan rakyat. Pendekatan konglomerasi, menimbulkan kesenjangan ekonomi yang semakin jauh, para pemilik modal terus berekspansi mengembangkan usaha ke semua sekor mulai dari hulu sampai hilir. Sementara para pengusaha kecil terus berkutat antara hidup dan mati mempertahankan usaha kecilnya. Tidak ada kesempatan sekecil apapun yang bisa dilakukan, untuk menjadi mitra usaha salah satu sistem ekonomi global yang terus berkembang. Tumbuh suburnya pasar-pasar modern dalam bentuk super mool, super market, dan mini market, dari kota sampai di kemacatan dan desa. Menjadi sebab, semakin munurunnya usaha dagang masyarakat kecil. Tidak bisa di pungkiri, bahwa para pedagang kecil akan mendapatkan tekanan usaha dari pasar modern. Harga tidak bisa bersaing, tempilan juga tidak menarik, kemudahan tidak bisa diberikan. Hakekat manusia selalu mencari kemudahan dan itu ada semuanya pada pasar-pasar modern dan tidak ada pada pasar tradisional. Perda No 11 tahun 2011 tentang Perijinan Pasar Modern, dalam tataran operasional masih terjadi tarik ulur antara pemangku kepentingan (stakeholder). Pengusaha di satu sisi menginginkan kebebasan berusaha tanpa ada pembatasan. Landasannya, bahwa pemerintah telah 118
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
meratifikasi pesar global. Di sisi lain, para pedagang tradisional merasa tidak bisa dan mungkin tidak siap untuk bersaing dalam sisi usaha. Di pihak pemerintah, nampaknya masih gembling menghadapi dua komunitas usaha yang sama-sama menghendaki adanya regulasi yang tidak berpihak. Atas dasar pemikiran diatas, penulis ingin melakukan penelitian pada dua komunitas bisnis yang memiliki kemampuan berbeda tapi harus hidup bersanding dalam satuan ekonomi. Dengan tujuan untuk mengatahui seberapa besar pengaruh pasar modern terhadap turn over pedagang tradisional, bisakah dilakukan pembagian segmen pasar, adakah langkah kongkrit untuk mengembangkan pasar tradisional mendekati pelayanan prima di pasar modern Masalah Penelitian. Perijinan pembangunan pasar modern di Kabupaten Kuningan, terus berlanjut tanpa adanya dasar pertimbangan ekonomi maupun sosial. Ekspansi pasar modern di lokalita pasar tradisional, mempengaruhi perputaran uang pedagang tradisional dan semakin mengecilnya tingkat pendapatan mereka. Atas dasar itu, timbul beberapa pertanyaan penelitian : 1. Apakah kehadiran pasar modern di sekitar pasar tradisional memberikan keuntungan terhadap ekonomi maupun sosial ? 2. Apakah kehadiran pasar modern di sekitar pasar tradisonal menyebabkan penurunan tingkat pendapatan pasar tradisional ? 3. Apakah kehadiran pasar modern dapat disandingkan dengan pasar tradisional dengan pembagian segmen pasar ? Tujuan Penelitian. Penelitian keberanaan pasar modern yang berdampingan dengan pasar
ISSN 2085-9970
tradisonal, menimbulkan berbagai masalah ekonmi maupun sosial. Maka tujuan dengan penelitian ini diharapkan dapat mengetahui : 1. Untuk mengetahui apakah kehadiran pasar modern di sekitar pasar tradisonal dapat memberikan keuntungan terhadap ekonomi maupun sosial 2. Menghitung apakah kehadiran pasar modern di sekitar pasar tradisional dapat menyebabkan penurunan pendapatan pasar tradisional 3. Adakah kemungkinan kehadiran pasar modern dapat disandingkan dengan pasar tradisnal dengan pembagian segmen pasar Kegunaan Penelitian. Penelitian ini, diharapkan dapat berguna baik dalam konteks teoritis maupun praktis. Secara praktis berguna bagi perekonomian nasional dan terbukanya lapangan kerja. Sedangkan secara teoritis, diharapkan menjadi acuan bagi para akademisi yang berminat melakukan penelitian sejenis dengan topik yang berbeda, sehingga mampu meningkatkat khasanah keilmuan. : tujuan secara rinci dapat dilihat berikut ni : 1. Secara faktual kehadiran pasar Modern maupun tradisonal, dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Sehingga keberadaannya, perlu didukung oleh semua lapisan masyarakat. 2. Keberadaan pasar modern harus dipertimbangkan dari berbagai sisi, secara sosial dan ekonomi dapat membantu masyarakat, tapi dari sisi usaha pasar modern tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan pasar Tradisional. Sehingga untuk melihat pegaruhnya, perlu dilakukan penelitian secara ilmiah. 3. Perlu dibangun nota kesepakatan antara pasar modern dengan pasar
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
tradisional dalam rangka pembagian segmen pasar, sehingga terjadi pembagian keuntungan yang seimbang. Maka hasil penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan rujukan pagi pemangku kepentingan untuk memberikan regulasi bagi dua pelaku ekonomi tersebut. Pengertian Pasar. Pemasaran banyak memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang, bagi konsumen ibu rumah tangga, pemasaran bisa berarti belanja untuk makanan. Para petani, terutama yang melakukan transaksi dengan para pembeli lokal, bisa mengartikan pemasaran adalah pengangkutan hasil pertanian ke mobil dan diangkut kep pasar. Sementara para pedagang perantara seperti pengecer, pedagang besar bisa mengartikan pemasaran sebagai statu proses mendapatkan keuntungan dari para pesaing yang ada dalam pasar. Banyak istilah dalam pemasaran, menurut Richar L. Kohls & Joseph N. Uhl, (1966) adalah sebagai berikut : 1. Pasar (market) : adalah tempat bertemunya pedagang dan pembeli (supply & demand) 2. Pemasaran (marketing) : adalah proses terjadinya bargaining antara pedagang dan pembeli pada tingkat harga dan berbagai jenis barang tertentu 3. Tataniaga (market distribution) : adalah alur pendistribusian barang dari produsen sampai ke konsumen Pemahaman pemasaran menurut Mubyarto (1979) adalah proses sejak dimulainya rencana produk akan dimulai, pebuatan saran produk, pengadaan bahan baku, proses produk, pengepakan produk, distribusi dan penjualan sampai ke kosumen yang menikmati produk yang bersangkutan. Pemasaran adalah kegiatan jual beli atau distribusi barang dan jasa untuk
119
ISSN 2085-9970
melayani masyarakat yang beragam melalui organisasi guna mempertinggi mutu dan standard hidup masyarakat. W. Alderson, 1965. selanjutanya dikatakan bahwa pemasanaran merupakan system perilaku yang terorganisir dalam penawaran dan permintaan yang heterogen melalui proses penyisihan, ekumulasi, alokasi, dan asortimen. Menurut R. Bagozzi (1979), marketing adalah proses pertukaran guna mencapai kepuasan dari konsusmsi barangbarang dan jasa. Maka dalam proses pemasaran menurut Shergy D. Hunt (1983) dikatakan bahwa femokena pemasaran menyangkut aspek : 1). Prilaku pembeli yang ditujukan untuk melaksankan perbaikan, 2). Prilaku penjual yang ditujukan untuk melaksanakan pertukaran, 3). Kerangka institusional yang ditujukan untuk mempermudah pertukaran, 4). Konsekuensi akibat adanya perilaku para pembeli, penjual dan kerangka institusional. Fungsi Pemasaran. Dalam masyarakat yang masih primitif yang belum mempergunakan uang sebagai alat tukar dan alat pengukur nilai, harga suatu barang dinyatakan dalam barang lain yang akan dipertukarkan. Perdagangan semacam ini disebut barter. Perdagangan semacam ini kadang-kadang masih dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah agak maju. Fungsi pemasaran menurut Crevens, David W. (1982). Memiliki fungsi memuaskan konsumen dari sisi behavioral karena manusia memiliki aksi, reaksi dan interaksi diantara sesamanya maka keberhasilan pemasaran adalah meuaskan perilaku manusia itu sendiri. Selain itu, juga memialikai fungsi sosial yaitu memberikan manfaat sosial dari aktivitas efisiensi pemasaeran, keuangan yang ekonomis, kebenaran iklan, dan dampak terhadap lingkungan.
120
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Maka sasaran yang ingi dicapai dari fungsi pemasaran adalah 1). Membantu perusahaan dalam menigkatkan volume panjualan dan bagian pasar, 2). Menambah laba perusahaan. 3). Mekanisme penyesuaian antara produsen dengan konsumen. 4). Melakukan pelayanan pada pelanggan, sehingga dapat dilaani secara efisien. 5). Membimbing perusahaan untuk dapat meningkatkan kualitas sesuai keinginan konsumen. Menurut Kaslan Tohir (1965) ada beberapa sebab mengapa suatu harang mempunyai harga yaitu : a). barang itu berguna dan b). barang tersebut jumlahnya terbatas. Barang-barang yang berguna tetapi jumlahnya terbatas disebut barang ekonomi. Sedang barang-barang lain yang jumlahnya tidak terbatas meskipun barang tersebut sangat. berguna bagi manusia seperti misalnya udara tidak mempunyai harga. Barang-barang tersebut disebut barang bebas. Dalam ilmu ekonomi suatu barang merupakan barang ekonomi apabila barang tersebut, mempunyai permintaan dan penawaran. Suatu barang mempunyai permintaan karena barang tersebut berguna sedang suatu barang mempunyai penawaran karena jumlahnya terbatas. Fungsi pemasaran adalah juga melaksanakan fungsi penawaran adalah jumlah barang yang ditawarkan oleh penjual/produsen ke pasar pada berbagai tingkat harga. Selain harga, jumlah barang yang ditawarkan produsen dipengaruhi oleh banyak sekali faktor antara lain faktor-faktor teknis, alam, sosial, kebiasaan, dan lain-lain. Karena faktorfaktor yang bersifat sosial sulit diteliti dan memerlukan lebih banyak waktu untuk menyelidikinya, maka biasanya lebih dikenal faktor iklim. Hubungan antara harga dan ,jumlah barang yang ditawarkan dapat dinyatakan dalam suatu fungsi yang disebut füngsi penawaran yang dapat dirumuskan menjadi persamaan:
ISSN 2085-9970
Q = f(p) di mana Q adalah jumlah barang yang ditawarkan , p adalah harga. Hubungan antara harga dan jumlah harang yang ditawarkan searah, seperti dinyatakan dalam hukum penawarnn. hukum penawaran mengatakan bahwa apabila harga naik jumlah barang .yang ditawarkan di pasar naik, permntaan akan barang tersebut akan menurun. Jika harga turun jumlah barang yang ditawarkan naik,. Maka permintaan akan barang meningkat. Hubungan antara tingkat pendaptan dan pengeluaran konsumsi dalam teori ekonomi dinyatakan dalam fungsi konsums. Hubungan kedua variabel tersebut searah, artinya apabila tingkat pendapatan naik, pengeluaran konsumsi juga naik. Selain itu pengeluaran konsunisi selalu positif yang berarti walaupun seseorang tidak mempunyai pendapatan, mereka tetap mengadakan pengeluaran untuk konsumsi. Hubungan tersebut dapat dinyatakan dalam hentuk persamaan yang sederhana sehgai berikut: C = a+by di mana: C : adalah pengeluaran konsumsi Y : adalah tingkat pendapatan a : adalah pengeluaran konsumsi pada saat tingkat pendapatan sama b : adalah Marginal Propensity to Consume disingkat MPG yaitu tambahan pengeluaran konsumsi sebagai akibat adanya tambahan pendapatan sebanyak 1 Sikap Mental Pelaku Pasar Tradisonal. Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli yang ditandai dengan adanya transaksi penjual dan pembeli secara langsung dan
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pelaku pasar Tradisional, memiliki sikap mental dan jiwa yang selalu aktif atau kreatif berdaya, bercipta, berkarsa dan bersahaja dalam berusaha dalam rangka meningkatkan pendapatan dalam kegaitan usahanya atau kiprahnya. Seorang yang memiliki jiwa dan sikap wirausaha selalu tidak puas dengan apa yang telah dicapainya. Dari waktu ke waktu, hari demi hari, minggu demi minggu selalu mencari peluang untuk meningkatkan usaha dan kehidupannya. Ia selalu berkreasi dan berinovasi tanpa berhenti, karena dengan berkreasi dan berinovasi lah semua peluang dapat diperolehnya. Pada hakekatnya semua orang adalah wirausaha dalam arti mampu berdiri sendiri dalam menjalankan usahanya dan pekerjaannya guna mencapai tujuan pribadinya, keluarganya, masyarakat, bangsa dan negaranya, akan tetapi banyak diantara kita yang tidak berkarya dan berkarsa untuk mencapai prestasi yang lebih baik untuk masa depannya, dan ia menjadi ketergantungan pada orang lain, kelompok lain dan bahkan bangsa dan Negara lainnya. Kelemahan sikap mental pelaku pasar tradisional menurut Agus Eko Sujianto (2005) tidak memiliki ciri percaya diri, tidak berani mengambil resiko, berorientasi pada hasil hari ini, inovatif rendah, dan kepemimpinan alami.Mrnurut Wasti Sumanto (2000). Semua pelaku pasar harus memiliki keyakinan yang kuat dalam jiwa dengan syarat : 121
ISSN 2085-9970
a) Mengenal diri sendiri sebagai makluk memiliki kelemahan, namun memperoleh anugerah kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa untuk mengatasi kelemahannya. b) Harus percaya pada diri sendiri bahwa kita memiliki potensi tersendiri yang tidak kurang kuatnya dengan apa yang dimiliki oleh orang lain. c) Harus mengetahui secara jelas terhadap tujuan atau kebutuhan kita. Manusia yang bersikap mental wiraswasta memiliki kejujuran dan tanggung jawab. Perilaku lokal yang dimiliki pelaku pasar tradisional, yaitu sikap kejujuran dapat dilakukan dengan mendidik dirinya sendiri, tapi tidak mampu melakukan analisis perubahan permintaan pasar sehingga produk yang dijual tidap dapat memiliki kelebihan dari produk orang lain yang mengusahakan produk sejenis. Sikap mental para pelaku usaha pasar tradisonal, sebenanrnya masih memiliki kearipan lokal yang dapat dijadikan pokok pedoman hidup dalam berbisnis yang mungkin sudah tidak dimiliki oleh pelaku pasar modern, yaitu : a) Jujur, dalam arti berani untuk mengemuka-kan kondisi sebenarnya dari usaha yang dijalankan, dan mau melaksanakan kegiatan usahanya sesuai dengan kemampuannya. Hal ini diperlukan karena dengan sikap tersebut cenderung akan membuat pembeli mempunyai kepercayaan yang tinggi kepada pengusaha sehingga mau dengan rela untuk menjadi pelanggan dalam jangka waktu panjang ke depan b) Mempunyai tujuan mulia, dalam arti mempunyai gambaran yang jelas mengenai perkembangan akhir dari usaha yang dilaksanakan. Hal ini untuk dapat memberikan motivasi yang besar kepada keluarganya untuk dapat melakukan kerja walaupun pada saat 122
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
yang bersamaan hasil yang diharapkan masih juga belum dapat diperoleh. c) Selalu taat berdoa, yang merupakan penyerahan diri kepada Tuhan untuk meminta apa yang diinginkan dan menerima apapun hasil yang diperoleh. Dalam bahasa lain, dapat dikemukakan bahwa ”manusia yang berusaha, tetapi Tuhan-lah yang menentukan !” dengan demikian berdoa merupakan salah satu terapi bagi pemeliharaan usaha untuk mencapai cita-cita. Namun karena keterbatasan dalam mengelolaan usaha, menyebabkan para pelaku pasar tradisional tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi keinginan para konsumen. Sehingga ciri-ciri pasar tradisional dan disampaikan sebagai berikut : 1). Modal usaha rendah, karena belum bisa akses ke dunia perbankan, 2). Managemen usaha seadanya, hanya mengandalkan daya ingat dan sangat rendah melakukan penataan admisntrasi usaha baik keuangan maupun barang, 3). Tempat usaha sangat sederhana, sehingga tidak memungkinkan untuk menata dengan baik dan memudahkan layanan, 4). Jenis barang yang disajikan masih sangat terbatas pada kebutuhan pokok dan dijual dalam bentuk layanan eceran, 5). Masih terjadi transaksi tawar menawar atas suatu barang Berbeda dengan pasar modern, pasar tradisional sejatinya memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area penjualan yang luas, keragaman barang yang lengkap, harga yang rendah, sistem tawar menawar yang menunjukkan keakraban antara penjual dan pembeli merupakan keunggulan yang dimiliki oleh pasar tradisional. Namun, selain memiliki keunggulan alamiah, pasar tradisional memiliki berbagai kelemahan yang telah menjadi karakter dasar yang sangat sulit diubah. Faktor desain dan tampilan pasar, atmosfir,
ISSN 2085-9970
tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern. Ketika konsumen menuntut nilai lebih atas setiap uang yang dibelanjakannya, maka kondisi pasar tradisional yang kumuh, kotor, bau, dengan atmosfir seadanya dalam jam operasional yang relatif terbatas tidak mampu mengakomodasi hal ini. Kondisi ini menjadi salah satu alasan konsumen untuk beralih dari pasar tradisional ke pasar modern. Artinya, dengan nilai uang yang relatif sama, pasar modern memberikan kenyamanan, keamanan, dan keleluasaan berbelanja yang tidak dapat diberikan pasar tradisional. Sikap Mental Pelaku Pasar Modern. Adapun yang dimaksud dengan Pasar modern adalah pasar yang bersifat modern dimana barang-barang diperjual belikan dengan harga pas dan dengan layanan sendiri. Sebenarnya pasar modern tidak banyak berbeda dari pasar tradisional, namun pasar jenis ini penjual dan pembeli tidak berinterakasi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum dalam barang (barcode), berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual, selain bahan makanan seperti; buah-buahan, sayuran, daging, sebagian besar barang lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama. Contoh dari pasar modern adalah pasar swalayan dan hypermarket ( Carefour, Giant, Matahari ), supermarket ( Yogya, Surya, Terbit ), dan minimarket ( Indomaret, Alfamart, Fajar ). Dimana pada saat ini keberadaan pasar modern kini telah banyak kita jumpai,
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
bahkan hingga kota kecil sekalipun, hal ini terjadi karena seiring dengan perkembangan zaman dan gaya hidup masyarakat yang juga terus berubah (konsumtif ). Pelaku pasar modern, adalah mereka adalah orang-orang yang berpentidikan tinggi, memiliki pengelaman bisnis yang sangat luas, mengguakan manajemen modern, modal yang tidak terbatas dan memiliki prinsip menurut Kasmir (2007), ciri-ciri pelaku pasar modern adalah sebagai berikut : a) Memiliki visi dan tujuan yang jelas. Hal ini berfungsi untuk menebak ke mana langkah dan arah yang dituju sehingga dapat diketahui langkah yang harus dilakukan oleh pengusaha tersebut b) Inisiatif dan selalu proaktif. Ini merupakan ciri mendasar di mana pengusaha tidak hanya menunggu sesuatu terjadi, tetapi terlebih dahulu memulai dan mencari peluang sebagai pelopor dalam berbagai kegiatan. c) Berorientasi pada prestasi. Pengusaha yang sukses selalu mengejar prestasi yang lebih baik daripada prestasi sebelumnya. Mutu produk, pelayanan yang diberikan, serta kepuasan pelanggan menjadi perhatian utama. Setiap waktu segala aktifitas usaha yang dijalankan selalu dievaluasi dan harus lebih baik dibanding sebelumnya. d) Berani mengambil risiko. Hal ini merupakan sifat yang harus dimiliki seorang pengusaha kapanpun dan dimanapun, baik dalam bentuk uang maupun waktu. e) Kerja keras. Jam kerja pengusaha tidak terbatas pada waktu, di mana ada peluang di situ dia datang. Kadangkadang seorang pengusaha sulit untuk mengatur waktu kerjanya. Benaknya selalu memikirkan kemajuan usahanya. Ide-ide baru selalu mendorongnya 123
ISSN 2085-9970
untuk bekerja kerjas merealisasikannya. Tidak ada kata sulit dan tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. f) Bertanggungjawab terhadap segala aktifitas yang dijalankannya, baik sekarang maupun yang akan datang. Tanggungjawab seorang pengusaha tidak hanya pada segi material, tetapi juga moral kepada berbagai pihak. g) Komitmen pada berbagai pihak merupakan ciri yang harus dipegang teguh dan harus ditepati. Komitmen untuk melakukan sesuatu memang merupakan kewajiban untuk segera ditepati dana direalisasikan. h) Mengembangkan dan memelihara hubung-an baik dengan berbagai pihak, baik yang berhubungan langsung dengan usaha yang dijalankan maupun tidak. i) Hubungan baik yang perlu dlijalankan, antara lain kepada : para pelanggan, pemerintah, pemasok, serta masyarakat luas. Proses kewirausahaan yang dilakukan Pasar Modern menurut (Buchari Alma, 2007) mencakup tahap-tahap berikut: proses inovasi, proses pemicu, proses pelaksanaan, proses pertumbuhan. Dijelaskan pula bahwa pelaku pasar modern telah melakukan langkah usaha adalah : (1) Mencari peluang usaha baru, lama usaha dilakukan, dan jenis usaha yang pernah dilakukan; (2) Pembiayaan, pendanaan jumlah dan sumber-sumber dana (3) SDM, tenaga kerja yang dipergunakan, (4) Kepemilikan, peranperan dalam pelaksanaan usaha, (5) Organisasi: pembagian kerja diantara tenaga kerja yang dimiliki 6) Kepemimpinan: kejujuran, agama, tujuan jangka panjang, proses manajerial 7) Pemasaran: lokasi dan tempat usaha. Pasar modern pada posisinya sebagai lembaga ekonomi yang langusung melayani permintaan konsumen ahir 124
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
memiliki ciri-ciri: (1). Managemen pengelolan sudah sanga modern, (2). Dikelola dengan tenaga profesional, (3). Penataan lokasi sangat menjadi perhatian, (4). Penataan barang memudahkan konsumen, (5). Barang tersedia sangat lengkap, (6). Melakukan rekording persediaan barang setiap saat, dan (7). Selalu mengadakan evaluasi perkembangan setiap tahun. Sejalan dengan teori di atas, dapat dikatakan bahwa sikap mental usaha pasar modern yaitu selalu berusaha mencari dan melayani langganan lebih banyak dan lebih baik, serta menciptakan dan menyediakan produk yang lebih bermanfaat dan menerapkan cara kerja yang lebih efisien, melalui keberanian mengambil resiko, kreativitas dan inovasi serta kemampuan manajemen. Metodologi Penelitian Penelitian akan dilaksanakan di Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat, tepatnya keberadaan pasar modern disekitar pasar tradisional yaitu disekitar Pasar Kramatmulya Desa/Kecamatan Kramatmulya. Dengan melihat karakteristik dua komunitas yaitu pasar modern dan pasar tradisional. Dua komunitas ini, secara sosiologis memiliki kultur yang berbeda. Pasar modern dengan berbagai antribut unsur kota, yaitu masyarakat maju dan modern dengan dinamika masyarakat yang tinggi. Sementara unsur pasar tradisional dengan karakteritik kedesaannya, merupakan komunitas masyarakat yang tradional dengan berbagai kearipan budaya lokalnya. Jenis penelitian. Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksploratif, dimana pelaksanaan penelitian ini tidak melakukan intervensi dan kontrol terhadap variabel-variabel seperti normatif dilakukan dalam suatu penelitian kualitatif. Langkah ini diambil
ISSN 2085-9970
dengan pertimbangan keterbatasan waktu, dana dan sarana yang diperlukan. Pengujian model teoritis dilakukan dengan cara menganalisis hubungan pengaruh sosial dan ekonomi antar variabel yang dimiliki pasar modern dan pasar tradisional. Penulis melakukan penelitian dengan serangkaian kegiatan. Sujana (2003) mengemukakan rancangan penelitian lebih mendekati pada metode explanatory research, yakni penelitian survei yang bertujuan menjelaskan pengaruh adanya hubungan antar veriabel melalui pengujian hipotesis. Penggalian data dan informasi sebanyak-banyaknya dilakukan pada saat kegiatan lapangan, melakukan wawancara terstruktur dengan pedagang, aparat pemerintahan, tokoh masyarakat dan lembega swadaya masyarakat Populasi dan Sample Penelitian. Menurut sugiono (2003) Populasi adalah kumpulan individu dengan kualitas serta ciri-ciri yang telah ditetapkan populasi dalam penelitian ini adalah pasar modern Goria dan Alfa Mart, dalam status Pasar Swalayan dan Mini Market dan Pasar Tradisional. Para pedagang yang menjadi populasi, adalah semua pedagang di sekitar Pasar Kramatmulya Sample Penelitian. Menurut sugiono (2003:56) menyatakan bahwa : “sample adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel dalam penelitian ini, adalah pasar modern Golria dan Alfa Mart yang berada di jalan raya cikaso, tepatnya sebelah utara pasar kramatmulya. Untuk pasar tradisional, adalah pasar milik masyarakat yang berada dekat disekitar pasar modern pada radius 100 meter. Jarak ini, dimungkinkan dapat terjangkau oleh speda motor dalam waktu yang singkat. Pasar tradisional yang dijadikan sample
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
sekurang-kurangnya tradisional.
5-10
warung
Teknik Analisis Data 1. Validitas Data. Validitas data dimaksudkan untuk memperoleh data yang valid atau sahih. Validitas data merupakan jaminan bagi kemantapan simpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian Uji validitas adalah uji dilakukan untuk mengetahui validitas butir-butir pertanyaan. Uji validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukuran itu mampu mengukur apa yang ingin diukur. Sekiranya peneliti menggunakan kuesioner didalam pengumpulan penelitian, maka kuesioner yang disusunnya harus mengukur apa yang ingin diukurnya. Dalam penelitian ini uji validitas dalam pengumpulan data menggunaka validitas konstruk. Menurut Husein Umar (2005 : 180), mengemukakan bahwa : Validitas Konstruk adalah kerangka dari suatu konsep, misalkan seorang peneliti ingin mengukur suatu konsep religiusitas. Pertama-pertama yang harus dilakukan oleh peneliti ialah mencari apa saja yang merupakan kerangka dari konsep tersebut. Dengan diketahui kerangka tersebut, seorang peneliti dapat menyusun tolak ukur operasional konsep tersebut. Langkah-langkah menguji validitas yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif adalah metoda trianggulasi dengan teknik sebagai berikut : 2. Trianggulasi Data (trianggulasi Sumber). Teknik trianggulasi data menurut Patton Sutopo (2002) disebut trianggulasi sumber. Cara ini mengarahkan pada peneliti agar dalam pengumpulan data harus menggunakan beragam data yang tersedia. Artinya bahwa, data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya jika digali dari 125
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
beberapa sumber data yang berbeda. Sehingga apa yang didapat dari sumber yang sama, bisa lebih teruji kebenarannya, jika dibandingkan dengan data yang sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang berbeda jenisnya.Triangulasi sumber bisa menggunakan satu jenis sumber data
seperti informasi, namun beberapa informasi atau nara sumber yang digunakan harus merupakan kelompok atau tingkatan yang berbeda-beda. Trianggulasi data (trianggulasi sumber) dapat digambaran sebagai berikut :
1. Kaidah pertama. INFORMAN 1 DATA
WAWANCARA
INFORMAN WAWANC2 INFORMAN WAWANC3
2. Kaidah kedua :
WAWANC WAWANCARA
INFORMAN
WAWANC DATA
CONTENT ANALISIS
DOKUMEN WAWANC
C OBSERVASI
AKTIVITAS
WAWANC 3. Triangulasi Metode. Trianggulasi metoda dapat digunakan oleh peneliti dengan menggunakan data sejenis tetapi dengan menggunakan metode pengumpulan data yang berbeda, yaitu jika data dikumpulkan melalui wawancara maka dicocokan dengan data yang diperoleh dari hasil observasi. Data yang dihasilakn akan lebih meyakinkan, jika dikomprontir dengan data yang diperoleh dari hasil focus group discussion dan juga
126
dikomprontir dengan data dari dokumen dan arsip yang telah diperoleh. Validasi data ini menggunakan metode pengumpulan data yang berbeda, bahkan lebih jelas untuk diusahakan mengarah pada sumber data yang sama untuk menguji kemantapan informasinya (Sutapo, 2002). Teriangulasi metode ini dapat digambarkan sebagai berikut :
ISSN 2085-9970
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
KUESIONER
DATA
WAWANCARA
SUMBER DATA
OBSERVASI
4. Trianggulasi Teori. Trianggulasi teori digunakan oleh peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas hasil kajian. Dari beberapa perspektip teori terkumpul akan memberikan pandangan
yang lebih lengkap, tidak hanya sepihak. Sehingga bisa dianalisa dan ditarik kesimpulan yang lebih utuh dan menyeluruh (Sutopo, 2002). Triangulasi teori dapat dilihat nerikut ini :
TEORI 1
MAKNA
TEORI 2
KONTEKS PERISTIWA
TEORI 3 TEORI 1
Pengembangan validitas tersebut dilakukan dengan : 1). Membandingkan data hasil pengematan dengan data hasil wawancara, 2). Membandingkan apa yang dikatakanorang di sepan umum dengan apa yang dikatakan pribadi, 3). Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu, 4). Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang berpendidikan rendah, menengah atau tinggi, orang berada (kaya) dan orang pemerintah, 5). Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan (Maleog, 2000).
5. Analisis Data. Analisis data penelitian dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan pengumpulan data, menurut Sutopo (2002). Ada tiga komponen pokok dalam analisis data kualitatif yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan dengan verifikasinya : 1). Reduksi data ; merupakan komponen pertama dalam analisis meliputi proses seleksi, fokus data, penyederhanaan, abstarksi data dan fleidote. Proses ini berlangsung sepanjang pelaksanaan penelitian, bahkan prosesnya diawali sebelum pelaksanaan pengumpulan data. Dari bagian data tersebut, peneliti menyusun rumusan pengertian secara singkat berupa pokok-pokok temuan 127
ISSN 2085-9970
dan disajika dalam bentuk cerita Sstematis dan logis. 2). Sajian data berupa catatan deskriptif dan reflektif, berupa analisis, metode, teori, masalah etis dan konplik. Sementara itu, reduksi data dilakukan dengan validitas data yang mempergunakan tahapan triangulasi dari erbagai prespektif. 3). Penarikan kesimpulan di mulai sejak pengumpulan data, membaca arti benda-benda, pencatatan keteraturan, pola-pola penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan populasi. Penarikan kesimpulan harus dapat memberikan makna yang telah teruji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya yang merukan validitas. Data yang diperoleh dari lokasi penelitian, kemudian dianalisis secara deskriptif dengan melihat hubungan keterikatan dan ketergantungan antara dua jenis pasar yang diteliti yaitu Pasar modern Gloria dan Alfa Mart terhadap Pasar Tradisional disekitarnya. Kajian yang dilakukan, tidak terbatas pada faktor ekonomi semata-mata tapi juga faktor sosial sebagai dampak yang ditimbulkan dari keberadaan pasar tersebut. Hasil Penelitian Kondisi Pasar Kramatmulya. Pasar Karamatmulya sering disebut pasar onom, karena aktivitas pasa pedagang sudah duimulai dari jam 2 dini hari dan rmai dikunjungi para pembeli sampai dengan jam 9-10 siang. Ini telah dilakukan sejak lama, atau mungkin sejak berdirinya pasar rakyat di Desa Kramatmulya. Di masa lalu, pasar ini hanya ramai dikunjungi pada hari selasa dan hari jumat, maka disebutnya pasar salasaan dan pasar jumatan. Sampai sekarang masih ada orang tua yang memeiliki tradisi, kalau ke pasar hanya pada hari selasan dan jumat saja. Padahal 128
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
seiring dengan perkembangan kondisi pasar telah berubah, dimana aktivitas pasar sudah hampir tidak bisa dibedakan pada setiap harinya. Posisi pasar dibagi menjadi tiga bagian yaitu : 1) letak pasar ditas sejajar dengan jalan umum, ditempati para pedagang kelontongan dan sebagian kecil kios kain dan baju. 2). Letak pasar di bawah sejajar dengan pemukiman masyarakat, ditempati para pedangan laukpauk, sayuran, buah-buahan dan berbagai kepetingan pangan keluarga, 3). Dan pasar ang posisinya di seberang jalan masuk Desa Kelapa Gunung, dulunya pasar bawang dan sayuran lainnya, sekarang suda diisi dengan pertokoan dan pasar kuliner. Pasar desa yang memiliki tempat strategis, konsumennya tidak hanya berasal dari penduduk desa-desa Kecamatan Kramatmulya saja tapi juga dari desa-desa di kecamatan sekitarnya seperti dari Kecamatan Kuningan bagian utara, Kecamatan Jalaksana sebelah selatan dan ada yang datang dari Kecamatan Cipicung dan dari Kecamatan Cilimus. Hari pasarnya adalah hari Jumat dan Selasa, tapi di hari-hari lain terutama hari minggu kondisi pasar cukup ramai. Para pedang bukan hanya masyarakat Desa Kramatmulya, tapi datang dari berbagai desa sekitar kecamatan bahkan sudah menganut kaidah pasar terbuka yakni persingan diantara pelaku pasar dari manapun mereka. Seperti para pedagang ikan laut, umumnya datang dari pesisir pantai cirebon dan pedagang sayuran berasal dari sekitar palutungan. Disamping penjual eceran, ada juga yang menjual secara grosiran. Sinergitas ini, muncul sebagai satu komitmen dan kerjasama diantara para pedagang di pasar kramatmulya untuk berbagi diantara sesama pedagang.
ISSN 2085-9970
Keberadaan Pasar Modern Pasar modern di masyarakat lebih di kenal dengan Pasar swalayan, karena dalam dalam proses jual belinya lebih aktif dilakukan oleh pembeli, sementara pelayan hanya pemandu jika dibutuhkan oleh pembeli dalam mencari barang yang dibituhkan atau mau dibeli. Dan barang yang di dagangkan cukup, lengkap sehingga sering disebut juga toko serba ada (toserba). Di sekitar pasar desa kramatmulya, terdapat empat pasar modern yaitu Toserba Fajar, Alfa Mart, Gloria dan Indah Collection (khusus toko pakaian). Keempat pasar modern tersebut, berada di lokasi pasar tepatnya Alfa Mart berada di tepi jalan raya Kuningan-Corebon dan toserba fajar, Gloria dan Indah Colection berada di jalan raya Cikaso. Tidak ada jarak pemisah dari aktivitas pasar tradisional dengan pasar modern tersebut, sehingga terjadi persaingan secara terbuka. Percampuran antara pasar modern dan pasar tradisonal, menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak adil. Disatu sisi pasar modern dengan segala kelebihannya bisa memuaskan konsumen, di sisi lain pasar tradisional dengan segala kekurangannya menyebabkan berkurangnya diminati konsumen. Konplik percampuran kepentingan ini, muncul di permukaan sebagai akibat ketidak seimbangan kemampuan berbisnis. Dibeberapa daerah, konplik sudah pada ranah hukum dimana masyarakat menggugat keredaan pasar modern tersebut. Menghindari terjadinya konplik horozontal antara masyarakat dan pengelola pasar modern, maka keberadaan pasar swAlayan dan pasar tradisional, telah diatur oleh berbagai peraturan dan perundang-udangan perundangan. Peraturan daerah atau disebut Perda dan Keputusan Bupati (Kepbup). Perda memberikan regulasi keberadaan pasar
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
modern, dan Kepbup memberikan kejelasan tentang pendirian pasar modern. Keduanya menata keberadaan dan pencampuran pasar modern dan pasar tradisional di Kabupaten Kuningan. Peraturan Daerah No 11 tahun 2010 mengatur tentang tentang penataan pasar modern dan pasar tradisional. Atas dasar peraturan dan perundangan, maka keberadaan semua pasar modern atau toserba Fajar, Gloria, Indah Colection dan Alfa Mart di pasar tradisonal kramatmulya. Keberadaan pasar modern tersebut, seharusnya memiliki perijinan yang jelas dan diakui oleh semua pihak, baik masyarakat maupun penegak hukum, dinyatakan oleh Kapala Desa : ”saya tidak tau karena proses perijinan pasar tersebut sudah lama sebalum saya menjabat jadi kepala desa. Jadi diproses perijinannya telah dilakukan oleh kepala desa yang lama”. Menurut Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Kuningan, kelengkapan atau dokumen yang harus ada pada pengusaha yaitu : ijin lokasi, pengesahan tata ruang, izin mendirikan bangunan, pendaftaran perusahaan, ijin usaha perdagangan dan persetujuan tetangga. Ditanyakan kepada kepala desa dan aparat desa Kramatmulya tentang kelengkapan perijinan keberadaan pasar modern Fajar, Gloria, Alfa Mart dan Indah Coleection Kepala Desa tidak tahu ada dokumen perijinan dan kelengkapan lain sebagai ijin operasional tentang pasar tersebut : ”saya tidak tahu, karena berdirinya pasar itu ketika saya belum menjadi pejabat atau ada sejak masa pimpinan kepala desa yang lama” Adakah dokumen kelengkapan perijinan seperti ijin lokasi, pengesahan tata ruang, izin mendirikan bangunan, pendaftaran perusahaan, ijin usaha perdagangan dan persetujuan tetangga. 129
ISSN 2085-9970
”mungkin ada disimpan di sekertaris desa karena yang menyimpan dokumen arsip adalah sekertaris desa” Pada kesempatan lain dikonpirmasikan kepada sekertaris desa tentang dokumen perijinan pasar Fajar, Gloria, Alfa Mart dan Indah Coleection ? setelah dicari pada dokumen arsip tidak ditemukan data-data perijinan dan dikatakan ”saya tidak menyimpannnya, waktu ada pergantian pejabat pada acara serah terima jabatan tidak ada arsip tentang pasar tersebut.”. Didasarkan atas informasi dari aparatur desa, di coba untuk menelusuri kepada pihak pasar modern, dengan susah payah agar mereka mau menyatakan atau menunjukan bukti surat-surat kelengkapan perijinan, ternyata dinyatakan oleh petugas yang ada di lokasi yang kelihatan dari ekspresi agak ketakutan. Dari petugas di pasar modern Alfa Mart mengatakan bahwa ”saya tidak tahu menahu tentang surat-surat dan perijinan ini, karena disini saya hanya pelaksana dan itu mungkin ada di pimpinan dikantor pusat di Cirebon” Begitu juga dikatakan oleh petugas pasar moder Fajar dan Gloria serta Indah Collection, bahwa ” ” saya bekerja disini sebagai pelaksana, tentang dokumen suratsurat dimaksud tidak mengetahuinya, bisa saja menghubungi pengurus/pemilik di rumahnya di Jalaksana” Peneliti tidak menelusuri sampai ke pihak pimpinan, tapi menemui pihak pengurus dari pasar modern Toserba Fajar dan Gloria serta Indah Collection, dikatakan ”ini kan toko biasa bukan pasar modern tapi outlet sama seperti yang lain, sehingga perijinannya tidak 130
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
selengkap yang dinyatakan oleh pihak BPPT.” Pertumbuhan pasar di los-los pasar desa Kramatmulya juga meuncul modelmodel pasar modern, seperti yang terlihat di Toko Adijaya dan lainnya. Hanya beda dalam penanganan dan memiliki ciri-ciri yang berbeda, pelayanan tetep dilakukan bukan melayani diri sendiri, barang-barang yang dijual masih spesipik seperti toko makanan ringan sendiri, toko kebutuhan rumah tangga sendiri, toko elektronik juga sendiri. Sementara di pasar modern dalam katagori toko serba ada, barang-barang yang dijual, selain alat-alat jeperluan rumah tangga, juga bahan makanan ringan dan barang lainnya yang dibutuhkan sehari-hari oleh konsumen. Tanggapan Masysrakat dan Pelaku Pasar Tradisional. Keberadaan pasar modern atau toserba dan apapun namanya kalau sudah masuk katagori pasar modern, maka pendiriannya harus mengikuti aturan menurut Perda No 11 tahun 2010. Pasar modern pada posisinya sebagai lembaga ekonomi yang langusung melayani permintaan konsumen ahir memiliki ciriciri: 1). Managemen pengelolan sudah sanga modern, 2). Dikelola dengan tenaga profesional, 3). Penataan lokasi sangat menjadi perhatian, 4). Penataan barang memudahkan konsumen, 5). Barang tersedia sangat lengkap, 6). Melakukan rekording persediaan barang setiap saat, dan 7). Selalu mengadakan evaluasi perkembangan setiap tahun. Dinyatakan dalam Perda tersebut, untuk menghindari persaingan yang tidak sehat dengan pasar tradisional, maka keberadaan pasar modern harus memiliki jarak tidak kurang dari 200 m dari pasar tradisional. Ternyata bahwa keberadaan pasar modern toserba Fajar, Gloria, Alfa Mart, Indah Coleection dan Alfa Mart berada di lingkungan pasar tradisional yaitu pasar
ISSN 2085-9970
desa Kramatmulya. Bersatu dalam satu kawasan pasar, bahkan posisinya pasar modern sangat strategis berada di baris luar pasar tradisional dan dipinggir jalan raya yang mudah dilalui masyarakat konsumen. Masyarakat dan para pelaku usaha di pasar tradisional kramatmulya, secara keseluruhan tidak mengatahui tepatnya mulai berdiri toserba, tapi dinyatakan oleh beberapa orang tua disana bahwa Toserba Fajar yang menyajikan barang kebutuhan sehari-hari mulai dari sembako sampai makanan ringan dan barang kebutuhan sehari-hari seperti sabun, sampo dan sebagainya. Toserba Fajar sudah mulai beroperasi hampir kira-kira sudah 10 tahun lalu, satu tahun kemudian tanah disebalahnya juga dibeli dan di bangun Toserba Gloria yang khusus menyediakan peralatan rumah tangga. Kalau Alfa Mart baru berdiri tiga tahun yang lalu, sedangkan Indah Collection baru buka Ramadhan yang lalu. Dokumen perijinan yang harus dipenuhi oleh pihak pengelola, yaitu tentang dokumen perijinan dan ijin tetangga, masyarakat dan pelaku usaha disekitar pasar moders toserba Fajar, Gloria, Alfa Mart, Indah Coleection dan Alfa Mart. Mereka umumnya tidak pernah mengetahui dan tidak pernah diminta tandatangan ijin usaha, bahkan tahunya setelah dibuka pasar swalayan dan yang serba ada. Kebijakan adanya pasar modern tersebut Mnurut Bapak H. Srp tokoh masyarakat pasar yang menyediakan jasa strum accu, menjual kelengkapan kompor gas dan alat kelengkapan gas elfiji mengatakan bahwa : ”proses pendirian pasar tersebut tidak melibatkan masyarakat pedagang, tapi lebih dekat ke masyarakat disekitarnya. Ada ijin yang dibuat perusahaan, tapi prosesnya dengan melakukan pendekatan kepada aparat setempat, sehingga para pedagang
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
marasa tidak dilibatkan dan perijinan dibuat tidak dilakukan dengan proses sebenarnya sesuai dengan aturan yang berlaku ” Dalam kaitannya dengan kedekatan pelaku pasar modern dengan masyarakat, tokoh masyarakat tersebut mengatakan : ”pihak perusahaan melakukan pendekatan dengan masyarakat, dari pemilik toserba Fajar, dan Gloria, cukup baik karena setiap tahun ada kegiatan sosial misalnya hitanan massal, bingkisan setiap mau lebaran dan sering ikut membantu kegiatan sosial lainnya” Masyarakat dan para pelaku pasar tradisional yang berada disekitar pasar moders toserba Fajar, Gloria, Alfa Mart, Indah Coleection dan Alfa Mart menyatakan keluh kesahnya secara terbuka dengan adanya pasar tersebut : Bapak YY rumah dan tokonya selang satu petak dari Toserba Fajar usahanya dulu toko mainan anak-anak, terus ganti komoditas jadi toko mas dan sekarang di kontrakan kepada orang lain, mengatakan ”saya nda bisa usaha dagang bedampingan dengan pengusaha besar, karena harga yang saya jual tidak cukup memeberikan keuntungan usaha, buat menggaji petugas saja anda cukup ” Bapak NN yang mengontrak tempat Bapak YY mengelola usaha alat tulis dan berbagai kebutuahan anak sekolah, dengan nama Toko Prosa mengatakan : ” saya mencoba menyajikan kebutuhan anak sekolah, terutama tingkat sekolah dasar dengan berbagai variasi dan assesoris yang beda dengan barang yang disajikan oleh Toserba, hasilnya alhamdulillah sudah mau dua tahun ini usaha dagang saya dapat berjalan dengan baik” Barang yang disajikan di toko serba ada atau pasar modern, sudah tertera dalam Perda No. 11/2010 harus menjual barang 131
ISSN 2085-9970
dalam satuan grosir. Artinya satau barang harus diikat 5 atau 10 biji, tidak dalam bentuk satuan. Ditanyakan kepada pelaku usaha yang berjarak 4 petak dari torserba, Ibu Mn menyatakan bahwa : ”Usaha dagang saya terpaksa tutup, karena pelanggan saya berpindah ke toserba yang juga malayani pembeli dengan eceran, sehingga kesempatan saya menjual eceran terhenti” Pemilik toko Putri kembar yang berlokasi di jalur sebelah barat jalan raya Kuningan-Cirebon, tepatnya bersebrangan dengan Pasar Modern Alfa Mart menyajikan berbagai kue dan makanan khas, bapak Mrt mengatakan ; ”saya menyajikan berbagai makanan terutama kue dan jajanan, tapi juga kebutuhan keluarga lain dengan cara penyajian yang berbeda dengan barang yang ada di Alfa Mart. Alhamdulillah usaha dagang yang tidak terpengaruh, omset harian saya terus mengalami peningkatan” Bagi pelaku pasar desa krmatmulya, yang berada di dalam los-los pasar namnpaknya yang paling banyak mengalami tekanan dengan adanya pasar modern toserba Fajar, Gloria, Alfa Mart, dan Indah Coleection. Pasar tradisional memiliki berbagai kelemahan yang telah menjadi karakter dasar yang sangat sulit diubah. Faktor desain dan tampilan pasar, atmosfir, tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern. Bagi pelaku pasar tradisional yang menjual barang kelontongan untuk keperluan rumah tangga, merasakan dengan adanya pasar swalayan tersebut omset hariannnya menurun. Ibu End mengatakan bahwa :
132
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
”sejak adanya pasar swalayan tersebut, semasa ibu saya yang jualan dan saya mengikuti sampai sekarang saya yang melajutkannya. Sangat dirasakan bahwa usaha dagang ini serasa semakin sulit, ibu saya berkata sudah tidak bisa menajutkannya karena pendapatan harian yang biasanya sampai 500900 ribu sekarang paling bater 150300 ribu rupiah”. Bapak Tn yang barang jualannya sama, Cuma lokasi agak jauh masuk ke lokasi pasar, juga merasakan adanya kesulitan usahanya , ia mengatakan : ”usahanya menurun dari waktu ke waktu, omset harian yang biasanya mencapai 500 ribu rupiah sekarang tinggal 150 ribu rupiah, kadangkadang hanya dapat untuk makan saja” Begitu dirasakan oleh pedagang makanan kering, bahwa keberadaan toko serba ada banyak pengaruhnya terhadap pendapatan hariannya. Ibu Nn yang berdagang makanan kering dalam kemasan bertempat di dalam los pasar, megatakan : ”pendapatan harian saya menurun sejak adanya pasara swalayan, yang biasanya dapat 300-400 ribu sehari, sekarang menurn tingal 75-100 ribu perhari bahkan sering lebih kurang dari itu” Bapak Spr jualan kelontongan serba ada mengatakan : ” mungkin nanti kalau pasar toserba juga menjual ikan asin dan pindang, pedagang disini juga akan merasakan bahwa pendapatan hariannya akan berkurang” Hubungan sosial antara pelaku pasar modern dengan masyarakat, masyarakat disekitar lokasi pasar modern dan pejabat desa mengatakan : ”pemilik Fajar, dan Gloria bagi masyarakat disekitar pasar cukup
ISSN 2085-9970
baik karena sering mengdakan acara sosial, seperti hitanan masal, bingkisan lebaran, santunan yatim piatu dansebagainya. Sementara itu, pelaku usaha Alfa Mar tidak pernah ada bantuan buat masyarakat” Ibu Mm pedagang pakai anak dan assesoris, berlokasi di dalam los pasar merasakan berkurangnya pendapatan harian, mangatakan bahwa : ”pendapatan harian saya turun, sejak adanya pasar toserba bahkan sejak adanya Indah Collection pada haris raya kemarin saya hanya dapat dibawah satu juta rupiah per hari, padah sebelumnya pedapatan harian saya lebih dari tiga juta” Bahkan ibu End yang berdagang baju anak-anak, mulai dari seragam sekolah, pakaian hari-hari dan pakai dalam ibu-ibu di los pasar, mengatakan : ”menjelang lebaran kemarin dengan dibukanya Indah Collection, hampir saja akan menutup jualan saya karena jualan saya tidak laku, nyaris tidak ada pembeli yang datang sehingga pendapatan hariannya turun diatas 30 % ”
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
2.
3.
4.
5.
6.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Hasil penelitian menunjukan bahwa keberadaan pasar modern di sekitar pasar, sangat berpengaruh terhadap keberadaan pelaku pasar tradisional. Tidak luput dari adanya manfaat positif maupun negatif bagi marasa disekitar pasar tradisonal pasar desa kramatmulya, antara lain : 1. Pembangunan pasar modern toserba Fajar, Gloria, Alfa Mart, dan Indah Coleection di buka atas dasar ijin dari pemerintah daerah, meskipun ijinya tidak dilakukan melalui prosedur perijinan dan dokumen yang diabuat
7.
tidak sesuai dengan pedoman dari pemerintah daerah. Keberadaan Toserba Fajar, Gloria, Alfa Mart dan Indah Coleection, akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat disekitarnya lokasi. Dampak langsung, bisa berupa terbukanya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Keberadaan Toserba Fajar, Gloria, Alfa Mart dan Indah Coleection tidak sesuai dengan Perda No. 11/2010 baik lokasi, melakukan penjualan eceran dan jam kerjanya. Keberadaan Toserba Fajar, Gloria, Alfa Mart dan Indah Coleection sangat menekan per-tumbuhan usaha para pelaku pasar di pasar tradisional pasar desa Kramatmulya, Keberadaan Toserba Fajar, Gloria, Alfa Mart dan Indah Coleection dirasakan para pelaku usaha di pasar trandiaional pasar desa Kramatmulya, adanya menurunnya omset harian sekitar 30 % Toserba Fajar, Gloria sudah sering melaksanakan Corporate Sicial Responsibility (CSR) dengan melakukan fungsi sosial seperti pernah melakukan hitanan massal, selalu memberi bingkisan lebaran bagi masyarakat sekitar dan suka membantu kegiatan sosial lainnya.. Alfa Mart dinilai oleh masyarakat dan pelaku pasar tradisonal tidak coporatif terhadap kepentingan masyarakat di sekitarnya
Saran 1. Keberadaan pasar modern Toserba Fajar, Gloria, Alfa Mart dan Indah Coleection harus ditata ulang, meskipun dari sisi keberadaan tidak sesuai tapi sisi lain masih bisa dilakukan pembenahan yaitu dengan menjulan barang dalam satuan grosir 133
ISSN 2085-9970
2.
3.
4.
5.
dan kegiatan buka diatur kembali sesuai dengan aturan yang berlaku. Ada pebagian segmen pasar, untuk barang konsumsi makanan siap saji dilakukan secara eceran oleh pasar tradional dan jenis eceran pangan lainnya tidak diadakan di pasar modern tapi untuk pasar tradisional. Perijian pasar modern kedepan, harus dilekukan sesuai dengan Perda No. 11 tahun 2010 dan peraturan dan perundangan yang berlaku dengan tetap harus ada keberpihakan terhadap keberadaan pasar tradisional. Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut, kemungkinan adanya sinergitas antara pelaku UMKM dengan pasar modern untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat ikut serta berusaha. Perlu dilakukan pembatas penyebaran pasar modern di daerah-daerah, terutama di tingkat kecamatan dan desa yang masih mengedepankan kearipan budaya lokal.
Daftar Pustaka Agus E ko Sujianto, 2005. Pengaruh mental kewirausahaan terhadap keberhasilan industri kecil di Lokowaru Malang. Jurnal Ekonomi dan Manajemen Universis Gajayana, Malang. Basu Swastha dan Ibnu Sukotjo (2007. Pengantara Bisnis Modern iberti Yogyakarta. Buchari Alma. 2007, Kewirausahaan, Edisi Revisi, Penerbit Alfabeta, Bandung. Gunarsih, A.K. 1986. Klimatologi. Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan Tanaman. Bina Aksara. Jakarta. Hadi, S. 1983. Statistik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
134
Logika Vol 5, No. 1 April 2014
Hanafi, A. 1981. Memasyarakatkan ide-ide Baru. Usaha Nasional. Surabaya. Husein, U. 1999. Riset Strategi Perusahaan. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta. Jogiyanto. 1984. Statistik dengan program Komputer. Jilid 1. Andi Offset. Yogyakarta. Kasmir, 2007, Kewirausahaan, PT Raja Grafindo Perkasa, Jakarta. Kasryno, F. 1984. Prospek Pembanguan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Malo, M. 1996. Metode Penelitian Sosial. Universitas Jakarta. Jakarta. Mardikanto. 1988. Komunikasi Pembangunan. Sebelas Maret Universitas Press. Surakarta. Natsir. 1998. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Nurdin, H. 1991. Dasar-dasar Demografi. LPEUI. Jakarta. Mulyanto 2007. Pengaruh Motivasi dan Kemampuan Manajerial Terhadap Kinerja Usaha Pedagang Kaki Lima Menetap. STIE AUB Surakarta. Nur Indriantoro dan Bambang Supomo. 2002. Metodologi Peneliti. BPFE. Yogyakarta. Prayudi. 1999. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Usaha Industri Kecil. Universitas Brawijaya Malang. Sugiyono. 2001. Metode Penelitian Bisnis.Alfabeta, Bandung. Surya. 1985. Psikologi Pendidikan. Cetakan Keempat. Offset IKIP. Bandung. Sitopo, HB. 2002. Kritik Seni Holostik sebagai Pendekatan Penelitian Kualitatif (pidoto Pengukuhan Guru Besar di UNS) UN Press Surakarta. Tadjudin. 2000. Manajemen Kolaborasi. Pustaka Latin, Bogor.
ISSN 2085-997X
Logika Vol 5, No. 1 Maret 2014