ISSN 0216-9169
Fauna Indonesia Volume 11, No. 2 Desember 2012
t
Zoologi In
M
donesia
asyaraka
MZI
Hylarana rufipes
Fauna Indonesia
Fauna Indonesia merupakan Majalah llmiah Populer yang diterbitkan oleh Masyarakat Zoologi Indonesia (MZI). Majalah ini memuat hasil pengamatan ataupun kajian yang berkaitan dengan fauna asli Indonesia, diterbitkan secara berkala dua kali setahun ISSN 0216-9169 Redaksi Mohammad Irham Pungki Lupiyaningdyah Nur Rohmatin Isnaningsih Connie M. Sidabalok
Sekretariatan Yulianto Yuni Apriyanti
Tata Letak Yulianto
Alamat Redaksi Bidang Zoologi Puslit Biologi - LIPI Gd. Widyasatwaloka, Cibinong Science Center JI. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong 16911 TeIp. (021) 8765056-64 Fax. (021) 8765068 E-mail:
[email protected]
Foto sampul depan : Hylarana rufipes - Foto : Hellen Kurniati
PEDOMAN PENULISAN 1. Redaksi FAUNA INDONESIA menerima sumbangan naskah yang belum pernah diterbitkan, dapat berupa hasil pengamatan di lapangan/ laboratorium atau studi pustaka yang terkait dengan fauna asli Indonesia yang bersifat ilmiah popular. 2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan summary Bahasa Inggris maksimum 200 kata dengan jarak baris tunggal. 3. Huruf menggunakan tipe Times New Roman 12, jarak baris 1.5 dalam format kertas A4 dengan ukuran margin atas dan bawah 2.5 cm, kanan dan kiri 3 cm. 4. Sistematika penulisan: a. Judul: ditulis huruf besar, kecuali nama ilmiah spesies, dengan ukuran huruf 14. b. Nama pengarang dan instansi/ organisasi. c. Summary d. Pendahuluan e. Isi: i. Jika tulisan berdasarkan pengamatan lapangan/ laboratorium maka dapat dicantumkan cara kerja/ metoda, lokasi dan waktu, hasil, pembahasan. ii. Studi pustaka dapat mencantumkan taksonomi, deskripsi morfologi, habitat perilaku, konservasi, potensi pemanfaatan dan lain-lain tergantung topik tulisan. f. Kesimpulan dan saran (jika ada). g. Ucapan terima kasih (jika ada). h. Daftar pustaka. 5. Acuan daftar pustaka: Daftar pustaka ditulis berdasarkan urutan abjad nama belakang penulis pertama atau tunggal. a. Jurnal Chamberlain. C.P., J.D. BIum, R.T. Holmes, X. Feng, T.W. Sherry & G.R. Graves. 1997. The use of isotope tracers for identifying populations of migratory birds. Oecologia 9:132-141. b. Buku Flannery, T. 1990. Mammals of New Guinea. Robert Brown & Associates. New York. 439 pp. Koford, R.R., B.S. Bowen, J.T. Lokemoen & A.D. Kruse. 2000. Cowbird parasitism in grasslands and croplands in the Northern Great Plains. Pages 229-235 in Ecology and Management of Cowbirds (J. N.M. Smith, T. L. Cook, S. I. Rothstein, S. K. Robinson, and S. G. Sealy, Eds.). University of Texas Press, Austin. c. Koran Bachtiar, I. 2009. Berawal dari hobi , kini jadi jutawan. Radar Bogor 28 November 2009. Hal.20 d. internet NY Times Online . 2007.”Fossil find challenges man’s timeline”. Accessed on 10 July 2007 (http://www.nytimes.com/nytonline/NYTO-Fossil-Challenges-Timeline.html).
6.
Tata nama fauna: a. Nama ilmiah mengacu pada ICZN (zoologi) dan ICBN (botani), contoh Glossolepis incisus, nama jenis dengan author Glossolepis incisus Weber, 1907. b. Nama Inggris yang menunjuk nama jenis diawali dengan huruf besar dan italic, contoh Red Rainbowfish. Nama Indonesia yang menunjuk pada nama jenis diawali dengan huruf besar, contoh Ikan Pelangi Merah. c. Nama Indonesia dan Inggris yang menunjuk nama kelompok fauna ditulis dengan huruf kecil, kecuali diawal kalimat, contoh ikan pelangi/ rainbowfish.
7.
Naskah dikirim secara elektronik ke alamat:
[email protected]
PENGANTAR REDAKSI Artikel-artikel yang disuguhkan kepada pembaca pada penghujung tahun 2012 ini didominasi oleh kelompok herpetofauna. Potensi kajian ilmiah dan ekonomi kelompok ini mengundang pemerhati binatang melata untuk membagi ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya. Informasi-informasi mendasar dari cara identifikasi sampai potensi senyawa bioaktif dan perdagangan reptil disajikan secara lugas. Tulisan lainnya tidak kalah menarik yang datang dari dunia serangga dan ikan. Topik pemaparannya juga tidak hanya berkutat kepada masalah biologi tetapi menginjak pada potensi ekonominya. Penggalian potensi ekonomi sangat penting dengan kaitannya dengan usaha konservasi satwa. Hal ini mungkin menjadi kunci kesuksesan konservasi karena kita akan semakin peduli jika nilai ekonominya diketahui. Edisi ini adalah adalah persembahan kami yang terakhir di tahun 2012. Kami berharap semua tulisan yang telah disajikan dapat meningkatkan khazanah pengetahuan dan minat pembaca terhadap konservasi dan potensi pemanfaatan satwa Indonesia. Kami sadari masih banyak kekurangan dari majalah Fauna Indonesia. Oleh karena itu kami selalu berusaha meningkatkan kualitas dan kuantitas artikel di Fauna Indonesia. Akhir kata, kami ucapkan “Selamat Tahun Baru 2013” dan sukses selalu untuk anda pembaca kami yang setia. Redaksi
i
DAFTAR ISI PENGANTAR REDAKSI ............................................................................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................................................................................ ii CARA MUDAH MEMBEDAKAN MORFOLOGI KODOK KELOMPOK Hylarana chalconota ASAL SUMATRA................................................................................................................................................. 1 Hellen Kurniati JENIS-JENIS REPTILIA YANG DIPERDAGANGKAN DI BANTEN............................................... 4 Dadang Rahadian Subasli BIOLOGI JANGKRIK (ORTHOPTERA: GRYLLIDAE) BUDIDAYA DAN PERANANNYA..................................................................................................................................................10 Erniwati POTENSI KEANEKARAGAMAN KATAK DI PAPUA SEBAGAI SUMBER SENYAWA BIOAKTIF OBAT ..............................................................................................................................................15 Aditya Krishar Karim CICAK DAN TOKEK DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.....................................................23 Rury Eprilurahman Ikan Padi (Oryzias sp.) DARI SULAWESI...............................................................................................28 Hadi Dahruddin Stegobium paniceum Linnaaeus, 1758, Si Kumbang Perusak Buku...............................................33 Teti Purwasih
ii
In
M
donesia
asyaraka
t
Fauna Indonesia Vol 11 (2) Desember 2012 : 15 -22
Zoologi
Fauna Indonesia
MZI
POTENSI KEANEKARAGAMAN KATAK DI PAPUA SEBAGAI SUMBER SENYAWA BIOAKTIF OBAT Aditya Krishar Karim Summary Amphibians skin secretions contains of bioactive compounds with broad spectrum biological activity. These compounds have excited interest because of their potential for drug development. Amphibians secrete a complex chemical compounds from highly specialized skin structures, namely the granular glands. These secretions contains a biologically active components, including alkaloids, biogenic amines, peptides and proteins. Several hundred of compounds from diverse species of frogs and toads have been described. Biodiversity of frog and toad in Papua as potential resource of bioactive compounds for drug development are going to be discussed in this paper.
PENDAHULUAN
untuk dijadikan obat sehingga dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit yang diderita oleh masyarakat kita seperti tumor, kanker, diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit infeksi yang disebabkan mikroba dan lain-lain (Karim dkk, 2012b), selain itu senyawa bioaktif yang berasal dari bahan alam hayati umumnya memiliki efek samping yang lebih rendah, murah, dan banyak terdapat di alam. Kelenjar yang terdapat pada kulit amfibi menghasilkan senyawa peptida dengan aktivitas biologis yang luas. Diperkirakan kurang lebih 100.000 peptida yang berbeda dihasilkan dari kelenjar pada berbagai kulit katak. Senyawa peptida yang dihasilkan dari sekresi kulit katak ini kemungkinan antara 10-20 peptida yang berbeda baik dalam ukuran, susunannya (sequences), muatan, hidrofobisitas (hydrophobicity), struktur tridimensinya dan aktivitasnya (Zairi et al., 2009). Beberapa studi melaporkan berbagai macam senyawa peptida diisolasi dari kulit jenis katak seperti brevinin dari Rana brevipoda porsa (Morikawa et al., 1992), bradykinin dari Bombina variegata, dan B. orientalis (Chen et al., 2002ab), pentadactylin dari Leptodactylus pentadactylus (King et al., 2005), telocinobufagin dan marinobufagin dari Bufo rubescens (Filho et al., 2005), esculentin dan
Hutan tropis Papua memiliki keanekaragaman hewan yang mencakup 3.764 vertebrata dan kurang lebih 200.000 invertebrata. Keanekaragaman herpetofauna yang terdapat di Papua termasuk dalam 23 famili, 109 genus dan 371 spesies meliputi katak/kodok, kadal, ular, kura-kura dan buaya. Herpetofauna yang diketahui diperkirakan 28% endemik Papua dan 61% endemik regional (Papua Nugini dan pulau disekitarnya), sedangkan untuk amfibi (katak dan kodok) di Papua diwakili 4 famili, 11 genus dan 130 jenis (53.1% jenis endemik) (Kartikasari dkk, 2012). Kekayaan dan keanekaragaman herpetofauna terutama amfibi di Papua belum dieksplorasi dan dimanfaatkan secara optimal dalam bidang kesehatan. Data dan penelitian pemanfaatan amfibi dalam bidang kesehatan masih sangat sedikit (Karim dkk, 2012a). Pencarian dan pemanfaatan bahan alam hayati khususnya dari herpetofauna terutama katak/ kodok merupakan salah satu cara untuk menemukan senyawa-senyawa bioaktif yang dapat dikembangkan sebagai bahan bioaktif untuk pembuatan obat. Senyawa ini dapat dikembangkan dengan penelitian yang sistematis, terarah dan berkesinambungan
15
FAUNA INDONESIA Vol 11 (2) Desember 2012: 15-22
brevinin dari Rana saharica (Marenah et al., 2006), dermaseptin dan phylloseptin dari Hylomantis lemur (Conlon et al., 2007). Peptida-peptida ini selain memiliki peranan sebagai pengaturan fungsi fisiologis, juga sebagai pertahanan terhadap predator atau mikroorganisme di alam. Senyawa peptida yang diisolasi dan dikembangkan dari berbagai jenis katak memiliki nilai terapi dan aktivitas farmakologi seperti antitumor, antikanker, antiinflamasi, antioksidan, antimalaria, antimikroba (bakteri, jamur, virus) dan beberapa memiliki aktivitas untuk meningkatkan stamina tubuh (tonik), sebagai afrodisiak (meningkatkan gairah seksual), hepatoprotektif (melindungi hati), meningkatkan sistem imum dan memiliki aktivitas seperti hormon (Marenah et al., 2006, Gomes et al., 2007; 2011, Zoggel et al., 2012). JENIS KATAK, SENYAWA BIOAKTIF DAN AKTIVITAS FARMAKOLOGINYA Katak hampir terdapat diseluruh wilayah di Papua mulai dari dataran rendah sampai dataran rumput alpin di atas 3.200 meter. Jenis-jenis katak ini memiliki ukuran dari yang kecil sampai besar (11.5 mm - 250 mm) dan hidup mulai dari vegetasi rendah, lantai hutan, dilubang tanah dan diatas pohon yang tinggi (Menzies, 2006; Kartikasari dkk, 2012). Famili Hylidae, di Papua diwakili dua genus yaitu Litoria dan Nyctimystes, untuk genus Litoria diwakili 37 spesies (38% merupakan jenis endemik) (Kartikasari dkk, 2012). Beberapa jenis katak dari genus Litoria yang terdapat di Papua antara lain Litoria infrafrenata, L. amboinensis, L. nigropunctata, L. eucnemis, L. arfakiana, L. angiana dan lain-lain (Richards et al., 2002ab, Karim dkk, 2011). Beberapa studi melaporkan berbagai senyawa peptida yang memiliki aktivitas biologis seperti antimikroba diisolasi dan disintesis dari jenis katak yang termasuk dalam genus Litoria. Senyawa peptida citropin 1.1, 1.2 dan 1.3 dari L. citropa (Wegner et al., 1999), aurein dari katak L. aurea dan L. raniformis (Rozek et al., 2000), maculatin 1.1 dari L. genimaculata (Chia et al., 2000), caerin dari L. gracilenta (Macleana et al., 2006). Hal ini juga akan memungkinkan ditemukan atau diisolasi berbagai senyawa peptida dari jenis katak Litoria asal Papua. Secara alamiah, senyawa-senywa peptida ini dihasilkan oleh berbagai jenis katak selain untuk pengaturan fungsi fisiologis juga digunakan untuk
16
mempertahankan dirinya di alam terhadap berbagai predator atau melindungi dirinya dari infeksi jamur atau bakteri. Senyawa-senyawa peptida ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk menjadi bahan dasar obat. Salah satu contoh katak pohon L. infrafrenata Günther, 1867 (Gambar 1) atau dikenal sebagai White lipped tree frog, merupakan katak pohon yang umum dijumpai di Indonesia ataupun di Papua (Iskandar, 1998, Richards et al., 2002ab), Jenis ini bisa mencapai ukuran panjang hingga 14 cm, dan tersebar luas di Jayapura dan beberapa wilayah lainya di Papua (Indrayani & Karim, 2006; Karim dkk, 2011). Warna tubuh katak ini hijau terang atau coklat dipermukaan bagian punggung, terdapat garis putih yang jelas di bagian bibir sampai di bagian bahu, dan juga ada garis putih di kaki bagian belakang. Permukaan ventral berwarna putih dan bagian samping tubuhnya biasanya tidak halus dan terdapat granular. a
b
Gambar 1. Jenis a). L. amboinensis dan b). L. infrafenata di Jayapura-Papua (Foto: Aditya Krishar Karim).
Senyawa peptida frenatin yang diisolasi dari jenis katak ini memiliki aktivitas antimikroba (Raftery et al., 1996; Zhou et al., 2005), sedangkan Brinkworth et al., (2003) melaporkan peptida frenatin-3 (tersusun atas 22 asam amino) yang diisolasi dari katak L. infrafrenata memiliki aktivitas antimikroba dan antikanker.
KARIM - POTENSI KEANEKARAGAMAN KATAK DI PAPUA
Jenis katak lain termasuk dalam famili Ranidae, di Papua diwakili genus Rana, Platymantis dan Limnonectes, satu genus yang lain adalah Fejervarya. Terdapat kurang lebih 10 jenis Rana yang didokumentasi di Papua (Kartikasari dkk, 2012). Beberapa jenis katak yang termasuk dalam famili Ranidae untuk genus Rana yang terdapat di wilayah Papua antara lain Rana papua, R. daemeli, R. grisea, R. garritor, R. arfaki (Richards et al., 2002b, Karim dkk, 2011). Genus Fejervarya diwakili F. cancrivora dan F. limnocharis, sedangkan genus Platymantis diperkirakan terdapat enam jenis dari Papua dan lima jenis adalah endemik. Jenis-jenis ini antara lain P. papuensis P. batantae, P. punctatus, P. dorsalis (Menzies, 2006; Kartikasari dkk, 2012). Beberapa contoh katak famili Ranidae dapat dilihat pada gambar 2. a
b
Gambar 2. Jenis katak famili Ranidae, a) Rana papua, b). Platymantis papuaensis di Jayapura-Papua (Foto: Aditya Krishar Karim)
Beberapa studi melaporkan berbagai senyawa yang memiliki aktivitas antikanker, antitumor, antiviral, immunomodulator, dan antimikroba banyak diisolasi dari jenis katak yang termasuk genus Rana seperti brevinin-1 dan -2 serta protein-C yang diisolasi dari R. brevipoda (Morikawa et al., 1992; Nakamura et al., 1994), gaegurins dan rugorins dari R. rugosa (Eun et al., 2006), Onconase, pipinin-1, esculentin-1 (E2P), ranateurin-2P (RP)
dari R. pipiens (Goraya et al., 2000) dan lain-lain. Kemungkinan akan ditemukan berbagai senyawa peptida yang terdapat pada beberapa jenis katak genus Rana yang ada di Papua. R. catesbeiana Shaw, 1802 merupakan katak dengan ukuran besar, dan hidup harus selalu dekat dengan air, kolam, atau danau. Katak ini dapat tumbuh dengan panjang tubuh 9.1-15 cm, beberapa tercatat biasa tumbuh sampai 20 cm. Beberapa senyawa yang diisolasi dari jenis katak ini antara lain ranalexin (C97H167N23O22S3) dan ranateurin 1-9 yang memiliki aktivitas antimikroba yang dapat digunakan untuk mencegah infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, S. aureus yang resisten terhadap meticilin (MRSA; meticillin-resistant S. aureus), Escherchia coli, dan Candida albicans (Goraya et al., 1998; Vignal et al., 1998; Desbois et al., 2010). Clark et al., (1994) melaporkan ranalexin yang diisolasi dari jenis katak R. catesbeiana memiliki struktur dan aktivitas seperti antibiotik polymyxin, yang digunakan untuk mencegah infeksi yang disebabkan oleh mikroba. Ranalexin-1Ca dan ranalexin-1Cb dilaporkan juga diisolasi dari kulit jenis katak lain yaitu R. clamitans (The North American green frog) (Halverson et al., 2000). Jenis lain dari famili Ranidae yaitu Fejervarya cancrivora Gravenhorst, 1829 atau dikenal juga dengan nama Marsh frog, Rice-field frog atau Crabeating frog, kalau di Indonesia dikenal sebagai katak sawah, dan memiliki penyebaran yang cukup luas di Indonesia sampai di Papua. Jenis ini merupakan katak yang berukuran sedang sampai besar, katak jantan rata-rata memiliki panjang 60-68 mm SVL, sedangkan betina antara 70-80 mm, namun ada yang bisa mencapai 120 mm SVL, Katak gempal ini memiliki warna tubuh bervariasi dari coklat atau kehijau-hijauan sampai abu-abu dengan garis berwarna gelap (hitam)/belang hitam pada bagian bibir dan kaki belakang. Senyawa peptida tigerinin (tigerinin-like peptides) yang diisolasi dari kulit katak ini memiliki aktivitas antimikroba (Song et al., 2009) sedangkan Sai et al. (2000) melaporkan senyawa tigerinin merupakan peptida bersifat kationik, non-helikal dan bersifat menghancurkan membran sel bakteri. Peptida tigerinin-1 dan beberapa senyawa analognya menunjukkan aktivitas antimikroba dan menyebabkan kerusakan pada membran sel bakteri seperti bakteri rabbit enteropathogenic E. coli, human enteropathogenic E. coli, S. aureus, Vibrio
17
FAUNA INDONESIA Vol 11 (2) Desember 2012: 15-22
cholerae, Pseudomonas, Klebsiella pneumonia, Shigella flexneri, Proteus mirabilis, dan Salmonella enterica serovar Typhi H. Peptida ini dilaporkan diisolasi dari kulit katak Rana tigerina (Sitaram et al., 2002). Famili Bufonidae merupakan jenis katak yang terindroduksi di Papua dan Papua Nugini (Menzies, 1976; 2006), di Papua diwakili oleh Bufo melanostictus dan B. marinus. Dilaporkan untuk jenis B. melanostictus memiliki persebaran yang terbatas di Papua yaitu didaerah pesisir sekitar Manokwari (Kartikasari dkk, 2012). B. melanostictus Schneider, 1799 atau dikenal sebagai Black-spined toad, Common Indian toad, Common Asian toad, atau di Indonesia lebih dikenal sebagai kodok buduk atau kodok puru (Gambar 3). Katak dengan panjang antara 55-80 mm SVL (jantan) dan betina 65-85 mm SVL (betina), memiliki sepasang kelenjar parotoid (kelenjar racun) yang besar panjang terdapat di atas tengkuk dan terdapat benjolan-benjolan hitam yang tersebar di bagian atas tubuh. Bagian punggung bervariasi warnanya antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai kehitaman. Ada pula yang dengan warna dasar kuning kecoklatan atau hitam keabu-abuan. Katak ini memiliki bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung kehitaman (Iskandar, 1998).
antiproliferatif, cytotoxic, apoptogenic, antibakteri, immunomodulator dan aktivitas merangsang tidur (sleep inducing activity) (Das et al., 1998, Giri et al., 2006; Bhattacharjee et al., 2011; Gomes et al., 2011). Sekresi kulit B. melanostictus mengandung sebuah protein BMP1 (Gomes et al., 2011). Protein BMP-1 ini secara signifikan menurunkan jumlah sel kanker (viabilitas sel) Ehrlich ascites carcinoma (EAC), dan memperpanjang hidup tikus dengan EAC. Hasil analisis data dengan flow-cytometric, sel kanker mengalami penghambatan pada siklus sel pada subunit G1. BMP1 (1 mg/kg) juga mereduksi berat ukuran sel kanker (solid tumor weight). Pada sel kanker ini EAC setelah diperlakukan dengan BMP1 (0.5 mg/kg/hari selama 3 hari) (Bhattacharjee et al., 2011). Protein ini juga menyebabkan sel mengalami apoptosis ditandai dengan adanya fragmentasi inti (nuclear fragmentation), membran sel pecah (membrane blebbing), dan vakuolisasi (vacuolization of cells). DNA fragmentation dengan jelas teramati dengan metode alkaline comet assay. Apoptosis yang diinduksi diamati dengan flow-cytometric analysis of annexin-V binding study, sub-G1 istirahat pada siklus sel melalui peningkatan reaksi kaspase 3 (Bhattacharjee et al., 2011). Gomes et al., (2007) melaporkan bahwa senyawa BM-ANF1 yang diisolasi dari ekstrak kulit katak B. melanostictus juga dapat menghambat pertumbuhan Leukemia (U937; K562 Leukemic cell line), dan HepG2 (Liver carcinoma cell line; Hepatoma). Selain itu ekstraksi dari kulit (TSE) dari jenis kodok ini dapat menghambat proliferasi sel leukimia U937 dan K562 setelah diuji dengan MTT assay. TSE menyebabkan berhentinya siklus sel pada fase G1 pada sel U937 dan K562 (Giri et al., 2006; Gomes et al., 2007).
Gambar 3.Kodok Bufo melanostictus (Foto: Aditya Krishar Karim)
Penelitian dan Pengembangan serta Pemanfaatan Katak di Papua Sebagai Sumber Obat
Kelenjar granular dari katak ini mensekresikan beberapa senyawa peptida yang digunakan untuk melindungi dirinya dari predator alamiahnya atau infeksi dari berbagai jenis bakteri atau jamur. Beberapa senyawa dilaporkan terdapat pada sekresi kulit katak ini seperti protein BMP1 (Bufo melanostictus Protein-1), senyawa kristal BMANF1 (Bufo melanostictus antineoplastic factor-1), TSE (skin extract of Indiana common toad), SIF (a non-lethal Sleping Inducing Factor) memiliki aktivitas
18
Katak atau kodok di Indonesia mencapai kurang lebih 351 jenis (yang teridentifikasi) dari sekitar 5.067 jenis kodok atau katak yang terdapat di dunia. Bahkan sebagian besar katak/kodok di Indonesia adalah endemik yang tidak dimiliki oleh negara lain. Katak di Papua kurang lebih terdapat 130 jenis sekitar 2.6% dari jumlah jenis katak yang diketahui di dunia, dari 130 jenis katak yang diketahui di Papua sekitar 53.1% adalah endemik, namum jumlah ini akan terus meningkat karena
KARIM - POTENSI KEANEKARAGAMAN KATAK DI PAPUA
semakin banyak ditemukan jenis-jenis baru dalam survey-survey yang dilakukan di Papua, yang belum dideskripsikan (Kartikasari, dkk. 2012). Keanekaragaman katak di Papua diperkirakan akan sama dengan yang terdapat di Papua Nugini yang diketahui memiliki katak sekitar 282 jenis (5.6% dari jenis katak yang diketahui di dunia). Jumlah jenis katak di Papua Nugini 92% adalah jenis yang endemik, lebih tinggi di bandingkan di Papua (Kartikasari dkk, 2012). Jenis-jenis katak banyak yang terancam punah padahal sampai sekarang belum atau hanya sedikit jenis katak yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia atau Pemerintahan Daerah Papua. Padahal katak adalah kelompok hewan yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan, seperti polusi air, perusakan hutan, ataupun perubahan iklim (Kusrini, 2007). Penurunan jumlah populasi katak disuatu wilayah menunjukkan lingkungan di tempat tersebut kurang baik, demikian juga sebaliknya. Penyebab utama kelangkaan katak secara umum adalah hilangnya habitat alami seperti penggundulan hutan hujan tropis, pencemaran air sungai, dan konversi lahan basah menjadi areal perkebunan. Jenis-jenis kodok asli hutan hidupnya sangat bergantung pada keberadaan hutan, rusaknya hutan akan berdampak negatif pada kelangsungan hidup jenis-jenis katak (Kusrini, 2007). Berdasarkan data dari Global Wildlife Conservation dan International Union for Conservation of Nature (IUCN) sekitar 30-40 persen dari jenis amfibi terancam punah. Ancaman terutama akibat perusakan hutan, perubahan iklim, polusi, perdagangan satwa, kerusakan habitat dan koleksi yang berlebihan (dalam penangkaran) dan lainnya terus berlangsung mengakibatkan terjadinya kepunahan katak-katak didunia, diduga sejumlah spesies amfibi punah dalam 30 tahun terakhir (IUCN, 2012). Katak diketahui memiliki banyak manfaat bagi kepentingan manusia misalnya sebagai sumber utama protein hewani, salah satu komoditi penting yang diekspor ke berbagai negara maju (Kusrini & Alford, 2006). Selain itu katak dapat digunakan dalam pembelajaran dan penelitian (Burggren & Warburton, 2007; O”Rourke, 2007), bioindikator kesehatan lingkungan dan biokontrol hayati terhadap hama serangga (Welsh & Ollivier, 1998; Sparling et al., 2000) dan sekresi kulit dari beberapa
jenis kini juga dikembangkan sebagai obat antitumor, antikanker, antimikroba dan lain-lain (Karim dkk, 2012b). Minat dan perhatian para peneliti dan mahasiswa pada katak di Indonesia ataupun di Papua sangat sedikit. Katak selain memiliki nilai ekonomi yang sangat penting, senyawa peptida yang disekresikan dari beberapa jenis katak juga memiliki manfaat dalam bidang kesehatan dan pengembangan obat. Masih sangat kurang penelitian dan pemanfaatan jenis katak yang berasal dari Papua untuk bidang kesehatan, padahal ada kemungkinan besar akan ditemukan senyawa-senyawa bioaktif dan senyawa turunannya (derivated) yang dapat diisolasi dari berbagai jenis katak Litoria, Rana ataupun Bufo yang terdapat di Papua. Masih banyak katak lain dari famili Microhylidae (63 jenis diketahui di Papua) yang memiliki penyebaran yang cukup luas seperti dari genus Pherohapsis, Aphantophryne, Barygenys, Genyophryne, Oreophryne dan lain-lain. Jenis-jenis katak famili microhylidae dapat dilihat pada Gambar 4. Sangat disayangkan, hilangnya senyawa peptida yang berpotensi untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit hilang bersama dengan punahnya katak tersebut sebelum diteliti pemanfaatannya dalam bidang medis. a
b
Gambar 4. Jenis-jenis katak famili Microhylidae (genus Oreophryne spp) di Papua-Jayapura (Foto: Aditya Krishar Karim)
Penelitian dan pemanfaatan jenis-jenis
19
FAUNA INDONESIA Vol 11 (2) Desember 2012: 15-22
katak di Papua secara sistematis dan terarah dengan tetap menjaga kelestarian dan mencegah kepunahan dari jenis-jenis ini akan menjadi menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah dalam bidang kesehatan, terutama sebagai sumber obat potensial untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit dimasa sekarang atau yang akan datang. DAFTAR PUSTAKA Brinkworth, C.S., J.A. Carver, K.L. Wegener, J. Doyle, L.E. Llewellyn & J.H. Bowie. 2003. The solution structure of frenatin 3, a neuronal nitric oxide synthase inhibitor from the giant tree frog, Litoria infrafrenata. Biopolymers. 70(3): 424-434. Burggren, W.W. & S. Warburton. 2007. Amphibians as Animal models for laboratory research in physiology. ILAR J. 48(3): 260-269. Bhattacharjee, P, B. Giri & A. Gomes. 2011. Apoptogenic activity and toxicity studies of a cytotoxic protein (BMP1) from the aqueous extract of common Indian toad (Bufo melanostictus Schneider) skin. Toxicon. 57(2): 225-36. Clark, D.P., S. Durell & W.L.Maloy. 1994. Ranalexin. A novel antimicrobial peptide from bullfrog (Rana catesbeiana) skin, structurally related to the bacterial antibiotic, polymyxin. J Biol Chem. 269: 10849-10855. Chia, B.C.S., J.A. Carver, T.D. Mulhern & J.H. Bowie. 2000. Maculatin 1.1, an anti-microbial peptide from the Australian tree frog, Litoria genimaculata. Eur J Biochem. 267: 1894-1908. Chen, T., D.V. Orr, A.J. Bjourson, S. McClean, M. O’Rourke, D.G. Hirst, P. Raob & C. Shaw. 2002a. Novel bradykinins and their precursor cDNAs from European yellow-bellied toad (Bombina variegata) skin. Eur J Biochem. 269: 4693-4700. Chen, T., D.V. Orr, A.J. Bjourson, S. McCleana, M. O’Rourke, D.G. Hirst, P. Raob & C. Shaw. 2002b. Bradykinins and their precursor cDNAs from the skin of the fire-bellied toad (Bombina orientalis). Peptides. 23:1547-1555. Conlon, J.M., D.C. Woodhams, H. Raza, L.C.
20
Leprince, T.J.H. Vaudry, A. Louise & L.A. RollinsSmith. 2007. Peptides with differential cytolytic activity from skin secretions of the lemur leaf frog Hylomantis lemur (Hylidae: Phyllomedusinae). Toxicon. 50: 498-506. Das, M., S.C. Dasgupta & A. Gomes. 1998. Immunomodulatory and antineoplastic activity of common Indian toad skin extract. Indian J Pharmacol. 30(5): 311-317. Desbois,A.P, C.G. Gemmell & P.J. Coote. 2010. In vivo efficacy of the antimicrobial peptide ranalexin in combination with the endopeptidase lysostaphin against wound and systemic meticillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infections. Int J Antimicrob Agents. 35(6):559-565. Eun, S.Y., H.K. Jang, S.K. Han, P.D. Ryu, J. Lee, K.H. Han & S.J. Kim. 2006. A Helixinduced oligomeric transition of gaegurin 4, an antimicrobial peptide isolated from a Korean Frog. Mol Cells. 21(2): 229-236. Filho, G.A.C., C.A. Schwartz, I.S. Resck, M.M. Murta & S.S. Lemos. 2005. Antimicrobial activity of the bufadienolides marinobufagin and telocinobufagin isolated as major components from skin secretion of the toad Bufo rubescens. Toxicon official journal of the International Society on Toxinology. 45(6): 777-782. Goraya, J., F.C. Knoop & J.M. Conlon. 1998. Ranatuerins: antimicrobial peptides isolated from the skin of the American bullfrog, Rana catesbeiana. Biochem Biophysical Res Comm. 250: 589-592. Giri, B., A. Gomes, A. Debnath, A. Saha, A.K. Biswa & S.C. Dasgupta. 2006. Antiproliferative, cytotoxic and apoptogenic activity of Indian toad (Bufo melanostictus, Schneider) skin extract on U937 and K562 cells. Toxicon. 48(4): 388-400. Gomes, A., B. Giri, L. Kole, A. Saha, A. Debnath & A. Gomes. 2007. A crystalline compound (BMANF1) from the Indian toad (Bufo melanostictus, Schneider) skin extract, induced antiproliferation and apoptosis in leukemic and hepatoma cell line involving cell cycle proteins. Toxicon. 50 (6): 835-
KARIM - POTENSI KEANEKARAGAMAN KATAK DI PAPUA
49. Gomes, A., B. Giri, A. Alam, S. Mukherjee, P. Bhattacharjee & A. Gomes. 2011. Anticancer activity of a low immunogenic protein toxin (BMP1) from Indian toad (Bufo melanostictus, Schneider) skin extract. Toxicon. 58 (1): 85-92. Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Pustlitbang Biologi-LIPI. Bogor. Indrayani, E. & A.K. Karim. 2006. Keragaman amphibi dan reptil di kawasan hutan kampus Universitas Cenderawasih, Waena, Papua. Prosiding Seminar Nasional Konservasi Biodiversitas Sebagai Penunjang Pembangunan yang Berkelanjutan. 16 September 2006, Universitas Soedirman, Purwokerto. IUCN. 2012. http://www.iucnredlist.org/ news/ (diakses pada tanggal 09 November 2012) King, J.D., N. Al-Ghaferi, B. Abraham, A. Sonnevend, J. Leprince, P.F. Nielsen & J.M. Conlon. 2005. Pentadactylin: an antimicrobial peptide from the skin secretions of the South American bullfrog Leptodactylus pentadactylus. Comp Biochem Physiol. 141(4): 393-397. Kusrini, M.D. & R.A. Alford. 2006. Indonesia’s export of frog legs. Traffic Bull. 21(1): 13-24. Kusrini, M.D. 2007. Konservasi amfibi di Indonesia: Masalah global dan tantangan. Media Konservasi. XII(2): 89-95. Karim, A.K., B. Tjaturadi, J. Kalor, A. Tipawel & S. Roni. 2011. Studi awal keanekaragaman jenisjenis herpetofauna di beberapa lokasi di wilayah kampung Berap, distrik Nimbokrang, Jayapura. SAINS. 11(2): 78-85. Karim, A.K., Z.A. Wasaraka, Y.L. Chrystomo & E. Indrayani. 2012a. Peran herpetofauna dalam bidang kesehatan: peluang dan tantangan. J Biologi Papua. 4(1): 37-46. Karim, A.K., Y.L. Chrystomo, Z.A. Wasaraka & E. Indrayani. 2012b. Herpertofauna kaitannya dalam pengembangan senyawa antitumor, antikanker
dan antimikroba. Seminar Nasional Taksonomi Fauna ke IV dan Konggres Masyarakat Zoologi Indonesia ke I. 7-8 November 2012, Universitas Soedirman, Purwokerto. Kartikasari, S.N., A.J. Marshall & B.M. Beehler. (Eds). 2012. Ekologi Papua. Seri Ekologi Indonesia Jilid VI. Yayasan Obor Indonesia dan Conservation International. Jakarta. Menzies, J. 1976. Handbook of Common New Guinea Frogs. Wau Ecology Institute. PNG. Menzies, J. 2006. The Frog of New Guinea and The Solomond Islands. Pensoft Publisher. Bulgaria. Morikawa, N., K. Hagiwara & T. Nakajima. 1992. Brevinin-1 and -2, unique antimicrobial peptides from the skin of the frog, Rana brevipoda porsa. Biochemical Biophysical Res Comm. 189(1):184190. Marenah, L., P.R. Flatt, D.F. Orr, C. Shaw & Y.H.A. Abdel-Wahab. 2006. Skin Secretions of Rana saharica frogs reveal antimicrobial peptides Esculentins-1 and -1B and Brevinins-1E and -2EC with novel insulin releasing activity. J Endocrinology. 188: 1-9. Maclean, M.J., Brinkworth, C.S., Daniel Bilusich, D., Bowiea, J.H., Doyle, J.R., Llewellyn, L.E. & Tyler, M.J. 2006. New caerin antibiotic peptides from the skin secretion of the Dainty Green Tree Frog Litoria gracilenta. Identification using positive and negative ion electrospray mass spectrometry. Toxicon. 47(6): 664-675. Nakamura, M., M. Sumida, T. Yamanobe & M. Nishioka. 1994. Identification of protein C in sera of the frogs, Rana nigromaculata and Rana brevipoda. Zoolog Sci. 11(5):763-6. Rourke, D.P. 2007. Amphibians Used in Research and Teaching. ILAR J. 48(3): 183-187. Raftery, M.J., R.J. Waugh, J.H. Bowie, J.C. Wallace & M.J. Tyler. 1996. The structures of the frenatin peptides from the skin secretion of the giant tree frog Litoria infrafrenata. J Pept Sci. 2:117-124.
21
FAUNA INDONESIA Vol 11 (2) Desember 2012: 15-22
Rozek, T., K.L Wegener, J.H. Bowie, I.N. Oliver, J.A. Carver, J.C.Wallace & M.J. Tyler. 2000. The antibiotic and anticancer active aurein peptides from The Australian bell frogs Litoria aurea and Litoria raniformis The solution structure of aurein 1.2. Federation Eur Biochem Socie J. 267(17): 5330-5341. Richards, S.J., D.T. Iskandar, B. Tjaturadi & A.K. Karim. 2002a. Amphibians and reptiles of the Yongsu area, Papua. Indonesia. In : Richards, S.J., and Suryadi, S. (eds). A Biodiversity assessment of Yongsu-Cyclops mountains and the southern Mamberamo basin, Papua. Indonesia. RAP Bullet Biol Assessment 25: 73-75. CI-Washington, DC. Richards, S.J., D.T. Iskandar & B. Tjaturadi. 2002b. Amphibians and reptiles of the Dabra area, Memberamo river basin, Papua. Indonesia. In : Richards, S.J., and S. Suryadi (eds). A Biodiversity assessment of Yongsu-Cyclops mountains and the Southern Mamberamo basin, Papua. Indonesia. RAP Bullet Biol Assessment 25: 76-79. CI-Washington, DC. Sparling, D.W., G. Linder & C.A. Bishop. 2000. Ecotoxicology of amphibians and reptiles. SETAC Technical Publications. Columbia. 877 hal. Sitaram, N.,K.P Sai, S. Singh, K. Sankaran, & R. Nagaraj. 2002. Structure-function relationship studies on the frog skin antimicrobial peptide Tigerinin 1: Design of analogs with improved activity and their action on clinical bacterial isolates. Antimicrob Agent Chemother. 46(7): 2279-2283. Sai, K.P., M.V. Jagannadham, M. Vairamani, N.P. Raju, A.S. Devi, R. Nagaraj & Narasimhaiah. 2001. Tigerinins: novel antimicrobial peptides from the Indian frog Rana tigerina Sitaram. J Biol Chem. 276(4): 2701-2707.
Song, Y. Y. Lu, L. Wang, H. Yanga, K. Zhang & R. Lai. 2009. Purification, characterization and cloning of two novel tigerinin-like peptides from skin secretions of Fejervarya cancrivora. Peptides. 30(7): 1228-1232. Vignal, E., A. Chavanieu, P. Roch, L. Chiche, G. Grassy, B. Calas & A. Aumelas. 1998. Solution structure of the antimicrobial peptide ranalexin and a study of its interaction with perdeuterated dodecylphosphocholine micelles. Eur J Biochem. 253(1): 221-228. Welsh, H.H.J. & L.M. Ollivier. 1998. Stream Amphibians As Indicators of ecosystem stress: A case study from California’s Redwoods. Ecological Appl. 8: 1118-1132. Wegner, K.L., P.A. Wabnitz, J.A. Carver, J.H. Bowie, B.C. Chia, J.C. Wallace & M.J. Tyler. 1999. Host defence peptides from the skin glands of the Australian blue mountains tree-frog Litoria citropa. Solution structure of the antibacterial peptide citropin 1.1. Eur J Biochem. (2): 627-37. Zhou, M., T. Chen, B. Walker & C. Shaw. 2005. Novel frenatins from the skin of the Australasian giant white-lipped tree frog, Litoria infrafrenata: cloning of precursor cDNAs and identification in defensive skin secretion. Peptides. 26(12): 24452451. Zairi, A., F. Tangy, K. Bouassida & K. Hani. 2009. Dermaseptins and Magainins: Antimicrobial peptides from frogs skin-new sources for a promising spermicides microbicides. J Biomed Biotech. Article ID 452567. 8 pages (1-8) doi:10.1155/2009 /452567. Zoggel, H.V., Y.M. Kourbali, C. Galanth, A. Ali Ladram, P. Nicolas, J. Courty, M. Amiche & J. Delbé. 2012. Original article: Antitumor and angiostatic peptides from frog skin secretions. Amino Acids. 42(1): 385-395.
Aditya Krishar Karim Laboratorium Zoologi, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Cenderawasih,jayapura Email:
[email protected]
22