ISOLASI, IDENTIFIKASI, DAN PENGUJIAN KEMAMPUAN KAPANG SELULOLITIK DARI NASKAH KUNO KERTAS EROPA ASAL KERATON KASEPUHAN CIREBON SKRIPSI

UNIVERSITAS INDONESIA

ISOLASI, IDENTIFIKASI, DAN PENGUJIAN KEMAMPUAN KAPANG SELULOLITIK DARI NASKAH KUNO KERTAS EROPA ASAL KERATON KASEPUHAN CIREBON

SKRIPSI

DESSY KOMALASARI 0806453112

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DEPARTEMEN BIOLOGI DEPOK JUNI 2012

UNIVERSITAS INDONESIA

ISOLASI, IDENTIFIKASI, DAN PENGUJIAN KEMAMPUAN KAPANG SELULOLITIK DARI NASKAH KUNO KERTAS EROPA ASAL KERATON KASEPUHAN CIREBON

SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

DESSY KOMALASARI 0806453112

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DEPARTEMEN BIOLOGI DEPOK JUNI 2012

KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada ALLAH SWT atas kasih sayang dan rahmatNya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Begitu banyak bantuan material dan moril serta bimbingan dari berbagai pihak yang tidak dapat diungkapkan hanya dengan kata-kata. Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Ariyanti Oetari, Ph.D. selaku pembimbing yang telah memberikan waktu untuk membimbing, mendukung, memberikan nasehat, serta mengarahkan penulis dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi. 2. Hibah Riset Unggulan Bidang Prioritas Indigenous Studies UI Tahun 2010 atas nama Ariyanti Oetari, Ph.D. yang telah memberikan dukungan dana penelitian. 3. Wellyzar Sjamsuridzal, Ph.D. dan Mega Atria, M.Si. selaku penguji yang telah memberikan saran-saran selama penulis melakukan penelitian. 4. Dr. Abinawanto selaku Penasehat Akademik atas dukungan dan saran-saran, serta semangat yang selalu diberikan. 5. Dr. Wibowo Mangunwardoyo dan Setiorini M.Kes. selaku Koordinator Seminar, Dr.rer.nat. Mufti P. Patria, M.Sc. selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA UI, Dra. Nining Betawati Prihantini selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA UI, Dra. Titi Soedjiarti, S.U. selaku Koordinator Pendidikan, dan segenap staf pengajar atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis selama berada di Biologi. 6. Ahmad Supriyadi, S.Ip. yang membantu penulis selama penelitian serta dukungan semangat yang telah diberikan dan Asri Martini S.Si yang telah membantu penulis dalam memeriksa kelengkapan usulan penelitian, seminar, dan sidang. 7. Sultan Sepuh ke-19 (XIX), Kesultanan Keraton Kasepuhan Cirebon atas izin dan fasilitas yang disediakan kepada penulis dan kawan-kawan dalam pengambilan sampel dari naskah-naskah kuno milik Keraton Kasepuhan Cirebon. 8. Dr. Tamara Susetyo Salim selaku dosen Ilmu Perpustakaan FIB UI atas segala bantuan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian. iv

9. Kedua orang tuaku Ermal Hadi Pranajaya dan Dewi Puspitasari, nenekku Sri Swastiningsih atas segala doa, kasih sayang, pengorbanan, dan telah menjadi motivasi utama penulis dalam menyelesaikan penelitian serta adik-adikku Annisa, Nadia, dan Putri. 10. Fery Pamawisa yang telah memberikan perhatian, doa, semangat, dan dukungan tiada henti kepada penulis sepanjang penelitian. 11. Michelle, Alvin, Edvan, Usman (DEMON), CITRUS (Ahmad Rizki,Fathia Nova,Rusli,Sentot), DIVAS (Nur El Fadhila, Savitry, Hanum, Seyla), dan CANNON (Cinthya, Dhian Citra, Nur Amalina, Oktarina, Grand) atas kebersamaannya sebagai rekan grup dalam menjalani suka duka kegiatan penelitian hingga penelitian serta Annisa Aladin, Mien Savira, Putri Krida, Rithami Arita, Maya Ulfah, Rininta atas kebersamaannya dan telah memberi semangat kepada penulis selama penelitian dan penulisan. 12. Mba Reno yang telah membantu dan memberikan semangat kepada penulis dan kawan-kawan selama penelitian. 13. Teman-teman Biosentris 2008 atas kebersamaan dan persahabatan yang telah dijalani. 14. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Penulis 2012

v

ABSTRAK

Nama Program Studi Judul

: Dessy Komalasari : Biologi : Isolasi, Identifikasi, dan Pengujian Kemampuan Kapang Selulolitik dari Naskah Kuno Kertas Eropa Asal Keraton Kasepuhan Cirebon

Penelitian bertujuan untuk mengisolasi, mengidentifikasi, dan menguji kemampuan kapang selulolitik dari naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan, Cirebon. Sebanyak 11 isolat kapang diisolasi dari lima naskah kuno pada medium DG18. Sebanyak 11 isolat dapat tumbuh pada kertas Eropa, sedangkan 7 isolat memiliki kemampuan selulolitik karena dapat menggunakan substrat Carboxy Methyl Cellulose (CMC). Tiga isolat kapang selulolitik dari naskah kuno Tafsir Al Quran. Tiga isolat kapang selulolitik dari naskah kuno Waosan Babad Galuh. Satu isolat kapang selulolitik dari naskah kuno Sajarah Cirebon. Kapang-kapang dari naskah kuno diidentifikasi sebagai genus Aspergillus (5 isolat), genus Penicillium (4 isolat), genus Eurotium (1 isolat), dan mycelia sterilia (1 isolat). Kata kunci: Carboxy Methyl Cellulose, kapang, kertas Eropa, naskah kuno, selulolitik xv + 104 hlm; 52 gambar; 9 tabel; 9 lampiran Daftar Referensi: 54 (1965--2012)

vii

Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name Study Programe Title

: Dessy Komalasari : Biologi : Isolation, Identification, and Investigation of Cellulolytic Fungi from Old Manuscripts of European Papers from Keraton Kasepuhan Cirebon

The aim of this research is to isolate, identify, and investigate the cellulolytic fungi from old manuscripts of European papers from Keraton Kasepuhan Cirebon. Eleven isolates were isolated from five manuscripts on DG18 medium. Eleven isolates were able to grow on European paper and seven isolates were able to use Carboxy Methyl Cellulose (CMC) as substrate. Three cellulolytic isolates were isolated from manuscript Tafsir Al Quran. Three cellulolytic isolates from manuscript Waosan Babad Galuh. One cellulolytic isolate from manuscript Sajarah Cirebon. The moulds were identified as genus Aspergillus (5 isolates), genus Penicillium (4 isolates), genus Eurotium (1 isolate), and mycelia sterilia (1 isolate). Keywords: Carboxy Methyl Cellulose, cellulolytic, European paper, mould, old manuscript. xv + 104 pages; 52 pictures; 9 tables; 9 attachments Bibliography: 54 (1965--2012)

viii


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............................ vi ABSTRAK ........................................................................................................... vii ABSTRACT......................................................................................................... viii DAFTAR ISI........................................................................................................ ix DAFTAR TABEL................................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ xv 1. PENDAHULUAN......................................................................................... 1 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 8 2.1. Fungi...................................................................................................... 8 2.2. Kertas Eropa.......................................................................................... 10 2.3. Naskah Kuno Kertas Eropa Koleksi Keraton Kasepuhan Cirebon.. ..... 14 2.4. Pengambilan Sampel dan Isolasi Kapang Naskah Kuno....................... 16 2.5. Selulosa dan Selulase…........................................................................ 18 2.6. Pengujian kemampuan mikrooganisme selulolitik............................... 20 2.7. Identifikasi Kapang Secara Konvensional............................................. 22 3. METODOLOGI PENELITIAN.................................................................. 25 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................. 25 3.2. Alat ....................................................................................................... 25 3.3. Bahan ................................................................................................... 25 3.3.1. Mikroorganisme ........................................................................ 25 3.3.2. Sampel....................................................................................... 26 3.3.3. Medium ..................................................................................... 26 3.3.4. Bahan Kimia ............................................................................. 26 3.3.5. Bahan Habis Pakai .................................................................... 27 3.4. Cara Kerja ........................................................................................... 27 3.4.1. Pembuatan Medium................................................................... 27 3.4.1.1. Dichloran-18% Glycerol Agar (DG18)........................ 27 3.4.1.2. Plate Dextrose Agar (PDA)......................................... 27 3.4.1.3. Plate Count Agar (PCA) dengan penambahan rose bengal dan gliserol 18%............................................... 28 3.4.1.4. Czapek’s Dox Agar (CDA)........................................... 28 3.4.1.5. Czapek’s Dox Agar (CDA) basal.................................. 29 3.4.1.6. Czapek’s Dox Agar (CDA) basal dengan penambahan Carboxymethyl Cellulose (CMC)................................. 29 3.4.2. Pengambilan Sampel Kapang.................................................... 29 3.4.3. Isolasi Kapang............................................................ ............... 30 3.4.4. Pemurnian Kapang............................................. ....................... 31 ix


3.4.5. Pembuatan Stock Culture dan Working Culture ....................... 3.4.6. Enumerasi sel kapang................................................................ 3.4.7. Pengujian kemampuan kapang selulolitik pada substrat kertas Eropa......................................................................................... 3.4.8. Pengujian kemampuan kapang selulolitik pada substrat Carboxy Methyl Cellulose (CMC)............................................ 3.4.9. Identifikasi kapang secara konvensional berdasarkan karakter morfologi..................................................................... 3.5. Analisis Data......................................................................................... 4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 4.1. Pengambilan sampel dan isolasi kapang dari naskah kuno kertas Eropa koleksi Keraton Kasepuhan........................................................ 4.2. Enumerasi sel kapang............................................................................ 4.3. Pengujian kemampuan kapang selulolitik pada substrat kertas Eropa..................................................................................................... 4.4. Pengujian kemampuan kapang selulolitik pada substrat Carboxy Methyl Cellulose (CMC)........................................................ 4.5. Identifikasi kapang secara konvensional berdasarkan karakter morfologi............................................................................................... 4.5.1. Aspergillus sp. KS.AQ.7.2, Aspergillus sp. KS.AS.1.1, Aspergillus sp. KS.BG.1.3, Aspergillus sp. KS.BG.3.1, dan Aspergillus sp. KS.BG.8.1............................................................ 4.5.2. Eurotium sp. KS.SC.4.1 ............................................................... 4.5.3. Penicillium sp. KS.AQ.7.1, Penicillium sp. KS.AQ.8.1, Penicillium sp. KS.BG.1.2, dan Penicillium sp. KS.BG.7.1........ 4.5.4. Mycelia sterilia KS.AQ.8.2..........................................................

31 32 32 33 34 35 36 36 42 44 50 58

59 73 76 85

5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 90 5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 90 5.2. Saran ..................................................................................................... 90 DAFTAR REFERENSI ..................................................................................... 91 LAMPIRAN........................................................................................................ 96

x


DAFTAR TABEL

Tabel 4.1.1

Hasil isolasi kapang dari naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan, Cirebon dalam medium DG18 pada suhu 27o C............................................................................... 41

Tabel 4.2.1

Hasil penghitungan jumlah sel kapang umur 48 jam dengan metode Total Plate Count (TPC)............................................. 43

Tabel 4.3.1

Hasil uji pertumbuhan isolat kapang pada potongan kertas Eropa dalam medium basal CDA pada suhu 27o C................. 46

Tabel 4.4.1

Nilai Indeks Aktivitas Selulase isolat-isolat kapang naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan Cirebon.............. 54

Tabel 4.5.1

Hasil identifikasi kapang dari naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan Cirebon.................................................... 59

Tabel 4.5.1.1

Hasil pengamatan morfologi Aspergillus sp. KS.AQ.7.2, Aspergillus sp. KS.AS.1.1, Aspergillus sp. KS.BG.1.3, Aspergillus sp.KS.BG.3.1, Aspergillus sp. KS.BG.8.1 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C)................. 62 Hasil pengamatan karakter morfologi Eurotium KS.SC.4.1 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C)...................................................................................... 74 Hasil pengamatan karakter morfologi isolat kapang Penicillium sp. KS. AQ.7.1, Penicillium sp. KS.AQ.8.1, Penicillium sp. KS.BG.1.2, dan Penicillium sp. KS.BG.7.1 hari ke-7dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C).......... 78 Hasil pengamatan karakter morfologi mycelia sterilia KS.AQ.8.2 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C)...................................................................................... 86

Tabel 4.5.2.1

Tabel 4.5.3.1

Tabel 4.5.4.1

xi


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.(1) Gambar 1.(2) Gambar 1.(3)

Gambar 2.2.(1) Gambar 2.2.(2) Gambar 2.2.(3) Gambar 2.3.1 Gambar 2.4.(1) Gambar 2.4.(2) Gambar 2.4.(3) Gambar 2.5.1 Gambar 2.6.1 Gambar 2.7.(1) Gambar 2.7.(2) Gambar 2.7.(3) Gambar 3.4.2.1 Gambar 4.1.(1)

Gambar 4.1.(2) Gambar 4.1.(3) Gambar 4.1.(4) Gambar 4.1.(5) Gambar 4.3.(1) Gambar 4.3.(2)

Gambar 4.4.(1)

Gambar 4.4.(2)

Keraton Kasepuhan Cirebon................................................. 1 Deteriorasi kertas naskah kuno Waosan Babad Galuh, koleksi Keraton Kasepuhan Cirebon.................................... 3 Kapang Chaetomium Kunze yang diisolasi dari naskah Eropa tua asal Instituto del Patrimonio Cultural de España Madrid, Spanyol................................................................... 5 Kertas Eropa buatan Itali dari abad ke-19............................ 12 Watermark kertas Eropa bergambar Lion in medallion dari dokumen tua VOC tahun 1867............................................. Watermark tertua yang ada pada kertas Italia di Bologna tahun 1282............................................................................ Naskah Kuno dari Kertas Eropa Koleksi Keraton Kasepuhan Cirebon.............................................................. Non invasive sampling.......................................................... Invasive sampling................................................................. Isolasi sampel kapas hasil swab........................................... Selulosa................................................................................. Pengujian kemampuan kapang selulolitik pada substrat CMC dengan pewarna congo red......................................... Beberapa tipe spora aseksual................................................ Tipe spora seksual zigospora dan askospora........................ Contoh mycelia sterilia......................................................... Daerah pengambilan sampel kapang dari naskah kuno........ Isolasi kapang dari naskah Waosan Babad Galuh dengan kode isolat KS.BG.3.1 dalam medium DG18 selama 3 hari pada suhu ruang (27o C)....................................................... Kondisi naskah kuno Waosan Babad Galuh........................ Kondisi naskah kuno Tafsir Al Quran.................................. Kondisi naskah kuno Wawacan Adji Saka........................... Kondisi naskah kuno Sajarah Cirebon................................. Kertas Eropa dari dokumen tua VOC pada tahun 1868 milik Perpustakaan Nasional Republik Indonesia................ Isolat-isolat kapang naskah kuno kertas Eropa Keraton Kasepuhan tumbuh di kertas Eropa dalam medium CDA basal pada umur 7 hari, diinkubasi pada suhu ruang (27o C).................................................................................. Nilai Indeks Aktivitas Selulase isolat kapang selulolitik dalam medium basal CDA dengan substrat CMC pada suhu 27o C............................................................................. Zona bening yang dihasilkan isolat-isolat asal naskah kuno Waosan Babad Galuh dalam substrat CMC dengan pewarna congo red pada suhu 27o C....................................

xii

13 13 15 17 17 18 19 21 23 24 24 30

38 39 39 40 40 45

48

53

56


Gambar 4.4.(3)

Zona bening yang dihasilkan isolat-isolat asal naskah kuno Tafsir Al Quran dalam substrat CMC dengan pewarna congo red pada suhu 27o C.................................... Gambar 4.4.(4) Zona bening ( ) isolat KS.SC.4.1 asal naskah kuno Sajarah Cirebon dalam substrat CMC dengan pewarna congo red pada suhu 27o C.................................................. Gambar 4.5.1.(1) Tipe kepala konidia pada karakter mikromorfologi genus Aspergillus........................................................................... Gambar 4.5.1.(2) Pengamatan mikromorfologi Aspergillus sp. KS.AQ.7.2 perbesaran 10 x 40 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu ruang (27oC)........................................................ Gambar 4.5.1.(3) Pengamatan makromorfologi Aspergillus sp.KS.AQ.7.2 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C)..... Gambar 4.5.1.(4) Pengamatan mikromorfologi Aspergillus sp. KS.AS.1.1 perbesaran 10 x 40 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu ruang (27oC)........................................................ Gambar 4.5.1.(5) Pengamatan makromorfologi Aspergillus sp. KS.AS.1.1 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C)..... Gambar 4.5.1.(6) Pengamatan mikromorfologi Aspergillus sp. KS.BG.1.3 perbesaran 10 x 40 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu ruang (27oC)........................................................ Gambar 4.5.1.(7) Pengamatan makromorfologi Aspergillus sp.KS.BG.1.3 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C)..... Gambar 4.5.1.(8) Pengamatan mikromorfologi Aspergillus sp. KS.BG.3.1 perbesaran 10 x 40 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu ruang (27oC)........................................................ Gambar 4.5.1.(9) Pengamatan makromorfologi Aspergillus sp. KS.BG.3.1 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C)..... Gambar 4.5.1.(10) Pengamatan mikromorfologi Aspergillus sp. KS.BG.8.1 perbesaran 10 x 40 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu ruang (27oC)........................................................ Gambar 4.5.1.(11) Pengamatan makromorfologi Aspergillus sp. KS.BG.8.1 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C)..... Gambar 4.5.2.(1) Pengamatan mikromorfologi Eurotium sp. KS.SC.4.1 perbesaran 10 x 100 hari ke-12 dalam medium CDA pada suhu ruang (27oC)................................................................ Gambar 4.5.2.(2) Pengamatan makromorfologi Eurotium sp. KS.SC.4.1 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C)............ Gambar 4.5.2.(3) Pengamatan makromorfologi Eurotium sp. KS.SC.4.1 hari ke-7 dalam medium DG18 pada suhu ruang (27o C)........... Gambar 4.5.3.(1) Tipe percabangan pada karakter mikromorfologi genus Penicillium........................................................................... Gambar 4.5.3.(2) Pengamatan mikromorfologi Penicillium sp. KS.AQ.7.1 perbesaran 10 x 100 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27oC)................................................................ Gambar 4.5.3.(3) Pengamatan makromorfologi Penicillium sp.KS.AQ.7.1 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C)..... xiii

57

57 60

63 63

65 65

67 67

69 69

71 71

75 75 76 77

79 80


Gambar 4.5.3.(4)

Gambar 4.5.3.(5) Gambar 4.5.3.(6)

Gambar 4.5.3.(7) Gambar 4.5.3.(8)

Gambar 4.5.3.(9) Gambar 4.5.4.(1)

Gambar 4.5.4.(2)

Pengamatan mikromorfologi Penicillium sp. KS.AQ.8.1 perbesaran 10 x 100 dalam medium CDA pada suhu ruang (27oC)................................................................................... Pengamatan makromorfologi Penicillium sp. AQ.8.1 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C)............ Pengamatan mikromorfologi Penicillium sp. KS.BG.1.2 perbesaran 10 x 100 dalam medium CDA pada suhu ruang (27oC)................................................................................... Pengamatan makromorfologi Penicillium sp. KS.BG.1.2 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C)..... Pengamatan mikromorfologi Penicillium sp. KS.BG.7.1 perbesaran 10 x 100 dalam medium CDA pada suhu ruang (27oC)................................................................................... Pengamatan makromorfologi Penicillium sp. KS.BG.7.1 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C)..... Pengamatan mikromorfologi mycelia sterilia KS.AQ.8.2 perbesaran 10 x 100 dalam medium CDA pada suhu ruang (27oC)........................................................................ Pengamatan makromorfologi mycelia sterilia KS. AQ.8.2 hari ke- 7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C)....

xiv

81 81

82 83

84 84

87 87


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6.

Lampiran 7. Lampiran 8.

Lampiran 9.

Skema Kerja........................................................................ 96 Standar Warna Faber Castell............................................... 97 Skema Cara Kerja Isolasi Kapang dari Naskah Kuno Kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan, Cirebon................. 98 Skema Cara Kerja Enumerasi Sel Kapang dengan Metode TPC...................................................................................... 98 Pengujian Isolat-isolat Kapang pada Substrat Kertas Eropa................................................................................... 99 Skema Kerja Pengujian Kapang Selulolitik dalam Menghasilkan Endoglukanase pada Medium CDA dengan Penambahan Carboxymethyl Cellulose (CMC).................. 99 Skema Cara Kerja Identifikasi Kapang secara Konvensional Berdasarkan Karakter Morfologi................. 100 Hasil isolasi kapang dari naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan Cirebon dalam medium DG18 pada suhu 27oC............................................................................ 101 Diameter koloni kapang pada medium CDA...................... 103

xv


BAB 1 PENDAHULUAN

Kabupaten Cirebon merupakan bagian dari wilayah Propinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur. Kabupaten Cirebon memiliki empat keraton, keraton antara lain Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon (DPRD Kabupaten Cirebon 2009: 1). Keraton Kasepuhan (Gambar 1.(1)) terletak di Kecamatan Lemahwungkuk. Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas Mas Mochammad Arifin II yang merupakan cicit dari Sunan Gunung Jati. Keraton Kasepuhan merupakan Keraton pertama di Cirebon sehingga memiliki sejarah paling panjang dibandingkan keraton lainnya di Cirebon. Keraton Kasepuhan memiliki koleksi sejarah yang lengkap lengkap yang terdiri dari benda pusaka, lukisan koleksi kerajaan, dan naskah kuno (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia 2010: 1).

Gambar 1.(1). 1. Keraton Kasepuhan Cirebon [Sumber: Dokumentasi pribadi 17 Desember 2011.]

Kabupaten Cirebon adalah salah satu sumber naskah Sunda terbesar di daerah Jawa Barat. Keraton merupakan tempat penyimpanan naskah kuno terbanyak. Sebanyak 120 naskah kuno pada keempat Keraton telah berhasil diinventarisasi pada tahun 1994 oleh Pudjiastuti dkk.. Dibandingkan dengan keraton lainnya di Cirebon, Keraton Kasepuhan memiliki koleksi naskah kuno 1


2

terbanyak yaitu 69 naskah, sedangkan Keprabonan 32 naskah, Kacirebonan 14 naskah, dan Kanoman 9 naskah. Naskah-naskah yang ditemukan di Kabupaten Cirebon pada umumnya berisikan naskah-naskah keagamaan, tata cara hidup, dan surat-surat perjanjian. Naskah-naskah tersebut ditulis pada berbagai media tulis antara lain lontar, daluang, dan kertas Eropa. Sebanyak 45 naskah di Keraton Kasepuhan ditulis pada media kertas Eropa (Pudjiastuti dkk. 1994: 8--9). Menurut kamus istilah perpustakaan, manuskrip atau naskah adalah karangan pada media kertas yang ditulis tangan atau diketik. Menurut UndangUndang Cagar Budaya no.5 tahun 1992, yang dimaksud naskah kuno atau manuskrip kuno adalah naskah atau manuskrip yang berumur minimal 50 tahun (Perpustakaan Nasional RI 2002:15). Naskah kuno merupakan tulisan yang berisi berbagai ungkapan rasa dan pikiran hasil budaya masa lampau serta berisi informasi sejarah lokal maupun nasional yang menjadi identitas suatu bangsa. Naskah kuno yang terdapat di Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan salah satu identitas masyarakat Cirebon (Pudjiastuti dkk. 1994: 9). Berdasarkan penelitian mengenai inventarisasi naskah di kabupaten Cirebon oleh Pudjiastuti dkk. (1994: 10), naskah-naskah kuno yang ada di Keraton-Keraton Cirebon telah mengalami kerusakan, misalnya kertas berlubang akibat serangga, adanya bercak hitam pada permukaan kertas, jilidan yang lepas, dan tekstur kertas yang semakin rapuh. Naskah kuno Layang Anbiya, Tafsir Al Quran, Sajarah Cirebon, Waosan Babad Galuh, dan Wawacan Aji Saka merupakan beberapa koleksi naskah kuno dengan media kertas Eropa. Naskah kuno Sajarah Cirebon dan Wawacan Aji Saka tergolong masih baik, isi naskah masih dapat dibaca, namun pada beberapa halaman terdapat bercak cokelat, sedangkan pada naskah kuno Waosan Babad Galuh, Layang Anbiya, dan Tafsir Al Quran beberapa halaman telah sobek dan kotor oleh debu. Pada masa prapenelitian 17 Desember 2011, Naskah kuno Layang Anbiya, Tafsir Al Quran, Sajarah Cirebon, Waosan Babad Galuh, dan Wawacan Aji Saka telah mengalami deteriorasi yang diduga oleh fungi. Indikasi kerusakan ditandai dengan adanya bercak-bercak cokelat hingga hitam pada permukaan kertas, adanya butir-butir kecil hitam seperti spora pada kertas, dan bau asam pada naskah. Waosan Babad Galuh merupakan salah satu contoh naskah kuno yang Universitas Indonesia

3

terlihat memiliki indikasi kerusakan tersebut (Gambar 1.(2)). Pemeliharaan (preservasi) naskah-naskah tersebut oleh pemilik dengan menyimpan naskah di dalam lemari tanpa ventilasi, cahaya lampu remang-remang serta susunan naskah yang kurang teratur (Prapenelitian, 17 Desember 2011).

Gambar 1.(2). Deteriorasi kertas naskah kuno Waosan Babad Galuh, koleksi Keraton Kasepuhan Cirebon [Sumber: Dokumentasi pribadi 17 Desember 2011.]

Salah satu jenis media tulis yang banyak digunakan pada naskah yang terdapat di Kabupaten Cirebon adalah kertas Eropa. Kertas Eropa merupakan salah satu jenis kertas yang digunakan sebagai media tulis dalam kegiatan aktivitas pemerintahan pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Pada umumnya kertas tersebut diimpor dari negara Belanda (Jones 1993: 477--478). Kertas Eropa selain diproduksi oleh Belanda, juga diproduksi oleh negara-negara Eropa seperti Spanyol, Italia, Jerman. Kertas Eropa berasal dari bubur kain dan bubur kayu yang disaring dan dicetak serta memiliki tanda air (watermark) pada tiap lembarannya (Hunter 1943: 264 lihat Fuller 2002: 12). Jones (1993: 477) menyatakan bahwa persentuhan Indonesia dengan kertas Eropa semakin mendalam pada abad ke-17 ketika Belanda masuk ke Indonesia kemudian mendirikan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Kebutuhan pemerintah Belanda di Indonesia terhadap kertas membuat Belanda mengimpor kertas dari negara asalnya. Pada tahun 1696, VOC mengimpor kertaskertas dari Belanda untuk keperluan pegawai pemerintahan kolonial. Kertas Eropa termasuk mahal pada masa tersebut sehingga penduduk lokal yang tidak mampu membeli kertas Eropa memanfaatkan kertas tradisional. Kertas tradisional adalah kertas asli Indonesia yang dibuat melalui cara-cara tradisional Universitas Indonesia

4

dengan bahan mentah seperti kulit batang pohon, bambu, daun lontar, dan daun nipah. Materi organik utama kertas adalah selulosa (Arroyo 2009: 43). Fungi selulolitik memanfaatkan kertas sebagai sumber makanannya dengan menghasilkan enzim selulase yang mendegradasi selulosa untuk kemudian diserap oleh fungi (Arroyo 2009: 41). Selulosa adalah polimer berantai panjang yang merupakan gabungan glukosa-glukosa yang diikat oleh ikatan yang disebut ikatan glikosidik β-1,4. Selulase adalah enzim yang memutuskan ikatan glikosidik β-1,4 di dalam selulosa, selobiosa, dan turunan selulosa lainnya. Hidrolisis selulosa oleh enzim selulase meliputi tiga komponen yaitu endoglukanase, eksoglukanase, dan selobiase (Fibersource 2003: 1). Fungi selulolitik pada kertas menyebabkan kertas mengalami biodeteriorasi (Pinzari dkk.2006: 58). Biodeteriorasi adalah kerusakan suatu bahan yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme dan dapat menyebabkan perubahan secara fisik maupun kimia dari bahan tersebut (Singleton & Sainsbury 2006: 95). Michaelsen dkk. (2009: 161) melaporkan bahwa kerusakan pada naskah-naskah tua abad ke-16 dari Perpustakaan Braidense, Milan, disebabkan oleh enzim selulase dari fungi. Enzim selulase tersebut mengurai serat selulosa kertas, atau menghasilkan pigmen dan asam-asam organik sehingga menyebabkan kertas menjadi kuning, menimbulkan noda-noda kecokelatan hingga hitam pada permukaan kertas, dan merapuhkan struktur kertas. Arroyo (2009: 43) menyebutkan bahwa fungi selulolitik dari genus Alternaria Nees: Fr, Aspergillus Fr.:Fr., Fusarium Link, Humicola Traaen, Myrothecium Tode, Penicillium Link, Stachybotrys Ehrenb serta fungi nonselulolitik dari genus Chaetomium Kunze merupakan fungi yang sering ditemukan pada naskah-naskah tua Eropa. Spesies-spesies Aspergillus niger van Tieghem, A. flavus Link, A. fumigatus Fresen, Trichoderma viride Pers., dan Fusarium oxysporium Schltdl. diketahui menghasilkan selulase. Valentin (2010: 3-4) melaporkan bahwa umumnya fungi-fungi yang diduga menyebabkan kerusakan pada naskah-naskah tua termasuk fungi xerofilik, karena fungi tersebut dapat tumbuh pada substrat dengan water activity (aw) di bawah 0,85 seperti naskah-naskah tua. Aspergillus, Cladosporium Link, Universitas Indonesia

5

Penicillium, Geotrichum Link:Fr., Chaetomium (Gambar 1.3.), Fusarium Link, dan Alternaria merupakan genus kapang yang banyak ditemukan pada naskah kuno dan udara di sekitar ruang penyimpanan naskah di Instituto del Patrimonio Cultural de España Madrid, Spanyol. Beberapa spesies dari genus tersebut diketahui berpotensi bersifat patogen pada manusia seperti Aspergillus nidulans Eidam, A. flavus, A.fumigatus Fresen, A. glaucus Link, Cladosporium herbarum Pers., Penicillium brevicompactum Dierckx, Chaetomium globosum Kunze Ex. Fr., F. oxysporium, dan Alternaria tenuis Nees. Gandjar dkk. (2006: 113) menyatakan bahwa fungi dari ruangan dengan kelembaban udara tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada bahan kertas yang disimpan. Menurut Black (2008: 792) udara hanya merupakan media perantara bagi penyebaran spora kapang, namun bukan merupakan media pertumbuhan.

Gambar 1.(3). Kapang Chaetomium Kunze yang diisolasi dari naskah Eropa tua asal Instituto del Patrimonio Cultural de España Madrid, Spanyol [Sumber: Pinzari dkk. 2010: 10.]

Kemampuan fungi memproduksi enzim untuk mengurai selulosa terus dipelajari, sehingga fungi diisolasi dan dilakukan penapisan dalam menghasilkan selulase. Plate assay adalah salah satu metode penapisan yang umum digunakan. Metode tersebut menggunakan medium yang mengandung polisakarida seperti selulosa dan dicampurkan dengan pewarna kromogenik. Pewarna akan berikatan Universitas Indonesia

6

dengan selulosa yang terdapat pada medium dan memberikan warna tertentu pada medium. Selulase yang dihasilkan oleh koloni fungi selulolitik akan memutus ikatan selulosa menjadi monomer-monomer glukosa sehingga pewarna tidak dapat lagi berikatan dengan selulosa dan menyebabkan adanya daerah di sekeliling koloni yang berwarna lebih pucat hingga bening atau disebut clear zone (Yoon dkk. 2007: 1). Isolasi yang dilakukan terhadap suatu mikrorganisme umumnya dilanjutkan dengan identifikasi mikroorganisme tersebut. Identifikasi diperlukan untuk mendapatkan identitas dari mikroorganisme tersebut. Identifikasi konvensional pada kapang dapat dilakukan dengan mengamati karakter mikro dan makromorfologi kapang serta membandingkan karakter tersebut dengan kunci identifikasi pada monograf. Beberapa karakter kunci pada mikromorfologi kapang antara lain: spora aseksual atau spora seksual; bentuk, tipe, dan ukuran spora; struktur penghasil spora; keberadaan septum pada hifa, dan ukuran lebar hifa (Gandjar dkk. 2000: 4). Apabila suatu kapang memiliki spora seksual, maka kapang tersebut berada pada fase teleomorf. Apabila hanya spora aseksual yang ditemukan, maka kapang tersebut berada pada fase anamorf (Samson dkk. 2004: 4, 24, 42). Jika tidak ditemukan spora aseksual maupun spora seksual, maka kapang tersebut disebut mycelia sterilia (Carlile dkk. 2001: 46). Hingga saat ini belum ada penelitian mengenai kapang-kapang pada naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan Cirebon. Penelitian yang belum dilakukan mencakup beberapa hal antara lain: belum diperoleh isolat-isolat kapang dari naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan Cirebon serta belum diperoleh isolat-isolat kapang selulolitik yang menggunakan kertas sebagai substrat. Selain itu, belum diperoleh identitas hingga genus dari kapang-kapang dari naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan Cirebon. Sebelumnya telah dilakukan prapenelitian pada tanggal 17 Desember 2011 berupa pengambilan sampel dari naskah kuno kertas Eropa Keraton Kasepuhan Cirebon yang mengalami kerusakan dan terlihat ditumbuhi oleh kapang. Penelitian yang akan dilakukan bertujuan memperoleh isolat kapang dari naskah kuno, memperoleh isolat-isolat kapang selulolitik yang menggunakan kertas Eropa sebagai substrat serta melakukan identifikasi hingga diperoleh genus dari Universitas Indonesia

7

kapang-kapang naskah kuno tersebut. Hipotesis dari penelitian ini adalah isolatisolat kapang pada naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan kapang selulolitik dan menggunakan kertas Eropa sebagai substrat. Selain itu, diketahui identitas genus dari kapang-kapang selulolitik tersebut berdasarkan karakter morfologi. Diharapkan dari penelitian ini dapat diperoleh isolat-isolat kapang pada naskah kuno kertas Eropa Keraton Kasepuhan Cirebon dan diperoleh isolat-isolat kapang selulolitik yang menggunakan kertas Eropa sebagai substrat serta diketahui genus kapang-kapang tersebut melalui identifikasi. Dalam jangka panjang, hasil penelitian berupa identitas dari kapang-kapang tersebut berguna sebagai informasi yang dapat digunakan untuk upaya preservasi fisik naskah. Pelaksanaan preservasi bagi para kurator diharapkan menjadi lebih baik setelah diketahui identitas genus dari kapang-kapang tersebut dengan menggunakan alat pelindung diri untuk melindungi dari kapang-kapang yang berpotensi patogen bagi manusia.


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Fungi

Fungi meliputi sebagian besar organisme eukariota multiseluler dan beberapa uniseluler, kemoheterotrof, melakukan reproduksi seksual dan aseksual (Gandjar dkk. 2006: 47). Komponen utama penyusun dinding sel fungi adalah kitin dan glukan (Deacon 2006: 5). Beberapa fungi bersifat dimorfik, yaitu memiliki tahapan uniseluler dan tahapan filamen (Sumbali & Mehrotra 2009: 420). Fungi yang memiliki tahapan uniseluler dan tahapan filamen dalam siklus hidupnya disebut yeast-like fungi (Sjamsuridzal 2006: 74). Fungi menyekresikan enzim ekstraseluler untuk mengubah senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana untuk memperoleh makanan. Senyawa kompleks seperti polisakarida diubah menjadi gula, sedangkan protein diubah menjadi peptida dan asam amino yang digunakan sebagai sumber karbon dan energi. Fungi mengurai makhluk hidup yang mati menjadi substansi yang dapat digunakan kembali oleh makhluk hidup lain, terutama tumbuhan dan mikroorganisme lain (Hogg 2005: 394). Fungi dapat hidup sebagai saprofit, yaitu memanfaatkan materi organik dari hewan atau tumbuhan yang telah mati (Black dkk. 2008: 319). Fungi dapat hidup sebagai parasit pada hewan atau tumbuhan, yaitu memanfaatkan materi organik dari inangnya dan beberapa dapat menyebabkan kematian inang tersebut (Brock dkk. 2012: 601). Pertumbuhan fungi dipengaruhi faktor-faktor fisik antara lain suhu, pH, ketersediaan oksigen, tekanan osmotik, cahaya dan water activity. Ketersediaan air pada substrat dinyatakan sebagai water activity (Aw). Apabila ketersediaan air pada suatu substrat rendah, maka nilai Aw semakin rendah. Fungi dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan nilai Aw yang dibutuhkan untuk hidup, yaitu fungi mesofilik, halofilik, dan xerofilik. Fungi mesofilik dapat hidup pada nilai Aw 0,980,85. Fungi halofilik dapat hidup pada nilai Aw 0,80-0,75 sedangkan fungi xerofilik dapat hidup dengan nilai Aw 0,6 atau lebih rendah (Pitt & Hocking 2009: 2). 8


9

Fungi dapat bereproduksi secara aseksual dan seksual (Gandjar dkk. 2006: 3). Beberapa cara fungi bereproduksi secara aseksual adalah dengan pertumbuhan dan fragmentasi filamen hifa (arthrospora), produksi konidia, pembentukan klamidospora, fission, dan budding. Reproduksi fungi secara seksual adalah dengan menghasilkan spora seksual (Madigan dkk. 2010: 537). Fungi termasuk ke dalam kingdom Eumycota yang terdiri atas lima filum berdasarkan alat reproduksi seksualnya yaitu: Chytridiomycota, Zygomycota, Glomeromycota, Ascomycota, dan Basidiomycota (Deacon 2006: 17). Chytridiomycota sering disebut sebagai chytrids (Glazer & Nikaido 2007: 36--37). Chytrids bereproduksi secara seksual dengan menghasilkan zoospora. Contoh spesies dari filum tersebut adalah Basidiobolus ranarum Eidam dan Catenaria anguillulae Sorokin (Sumbali & Mehrotra 2009: 430). Zygomycota bereproduksi seksual dengan menghasilkan zigospora (Glazer & Nikaido 2007: 38). Contoh spesies dari filum tersebut adalah Rhizopus sexualis (G. Sm.) Callen dan Thamnidium elegans Link (Deacon 2006: 23). Glomeromycota dikenal sebagai Arbuscular Mycorrhiza yang bersifat simbiosis obligat (Benson 2001: 48). Filum Glomeromycota belum diketahui spora seksualnya. Salah satu contohnya adalah Geosiphon pyriforme (Kütz.) F. Wettst. (Deacon 2006: 21). Ascomycota bereproduksi secara seksual dengan menghasilkan askospora di dalam askus (Glazer & Nikaido 2007: 38). Contoh spesies dari Ascomycota adalah Aspergillus fumigatus Fres, Sordaria macrospora Auersw, dan Neurospora crassa Shear dan B.O. Dodge. (Deacon 2006: 30). Basidiomycota bereproduksi seksual dengan menghasilkan basidiospora di dalam basidium (Weber & Webster 2007: 18). Contoh spesies dari filum tersebut adalah Agaricus bisporus (J.E. Lange) Imbach, Coprinus cinereus Beeli, dan Sporobolomyces roseus Kluyver dan Niel (Deacon 2006: 17--33). Fungi dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan morfologinya, yaitu khamir (yeast), kapang (mould), dan cendawan (mushroom). Khamir (yeast) merupakan fungi uniseluler yang dapat melakukan reproduksi aseksual dengan cara budding, fission, dan memproduksi konidia pada tangkai pendek (sterigmata). Khamir melakukan reproduksi seksual dengan menghasilkan spora seksual. Koloni khamir umumnya berbentuk bulat. Contoh spesies khamir adalah Universitas Indonesia

10

Saccharomyces cerevisiae Meyen ex Hansen. Kapang adalah fungi multiseluler yang berfilamen. Kapang terdiri dari suatu thalus yang bercabang-cabang disebut hifa. Hifa yang saling berhubungan menjalin suatu struktur semacam jala yaitu miselium. Kapang melakukan reproduksi seksual dengan menghasilkan zigospora, askospora, dan basidiospora. Kapang melakukan reproduksi aseksual dengan menghasilkan arthrokonidia, blastokonidia, sporangiospora, klamidospora, dan konidia (Gandjar dkk. 2006: 56). Contoh spesies kapang yaitu Penicillium notatum Westling yang dimanfaatkan sebagai antibiotik sedangkan kapang Rhizopus dan Aspergillus dimanfaatkan dalam industri makanan. Fungi multiseluler lainnya adalah cendawan. Ukuran fungi tersebut relatif paling besar di antara kelompok fungi lainnya. Ciri khas dari cendawan yaitu terbentuknya tubuh buah (fruiting body) di atas tanah yang terdiri atas tangkai (stalk), gill, dan cap. Salah satu contoh cendawan adalah Agaricus bisporus (J.E. Lange) Imbach (Deacon 2006: 29--31). Menurut Sterflinger dan Pinzari (2011: 2), fungi dapat menyebabkan kerugian pada manusia, salah satunya adalah deteriorasi pada naskah. Fungi yang menyebabkan terjadinya biodeteriorasi pada naskah-naskah kuno dibedakan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah fungi oportunistik yang dapat tumbuh pada permukaan naskah karena adanya faktor-faktor fisik pendukung seperti kelembaban dan suhu. Fungi yang termasuk dalam kelompok pertama tidak dapat menggunakan naskah sebagai sumber karbon utama dan tidak dapat mendegradasi substratnya secara enzimatis. Kelompok kedua adalah fungi yang dapat tumbuh dan mendegradasi substratnya secara spesifik, misalnya fungi selulolitik pada kertas yang mampu mengurai selulosa.

2.2

Kertas Eropa

Masyarakat Mesir kuno menggunakan papyrus untuk menulis dan menggambar. Papyrus sudah menyerupai kertas sehingga dari kata tersebut bangsa Eropa mengenal paper (kertas). Papyrus telah berkembang dengan pesat pada abad ke-3 Sebelum Masehi (S.M.) hingga abad ke-5 S.M. Penggunaan Universitas Indonesia

11

papyrus mulai terkikis ketika bangsa Mesir mulai beralih ke kulit hewan sebagai bahan tulis. Menurut sejarah, kertas ditemukan di Cina pada era kekuasaan Kaisar Ho-Ti dari Dinasti Han yang dikembangkan seorang pejabat pemerintah bernama T’sai Lun pada tahun 105. Meski demikian, banyak yang meragukan T’sai Lun sebagai penemu kertas karena peradaban Cina sudah mulai mengenal kertas sejak tahun 100 S.M. Kertas yang dibuat T’sai Lun berasal dari kulit pohon murbei Morus alba Linnaeus dengan nama Cina yaitu Sang ye (Asbari 2011: 1--2). Teknologi industri kertas mulai berkembang pesat di Timur Tengah, setelah berlangsungnya Pertempuran Talas pada tahun 751. Kaum Muslim berhasil menawan orang-orang Cina yang ulung membuat kertas. Namun demikian, proses pembuatan kertas yang diperkenalkan orang-orang Cina tersebut tidak bisa diterapkan di Timur Tengah karena tidak ada kulit pohon murbei di Timur Tengah. Para sarjana Muslim pun mencari alternatif lain. Mereka memperkenalkan penemuan baru dan inovasi yang mengubah keterampilan membuat kertas menjadi sebuah industri. Kulit pohon murbei diganti dengan linen dan kapas. Awalnya, proses tersebut melibatkan para pekerja. Percetakan kertas pertama berdiri di Baghdad pada tahun 793. Pada abad ke-10, pabrikpabrik kertas segera bermunculan di Damaskus, Tiberia, Tripoli, Kairo, Fez, Sicilia Islam, Jativa, dan Valencia (Asbari 2011:2). Eropa mengenal kertas beberapa ratus tahun setelah Timur Tengah menggunakannya. Eropa memperoleh pengetahuan tentang pembuatan kertas pada abad ke 12 atau ke 13 melalui Itali dan Spanyol, khususnya setelah Perang Salib dan jatuhnya Grenada dari bangsa Moor ke tangan orang-orang Spanyol (Hart. 1990: 63 lihat Sudardi 2003: 91). Sejak ditemukannya kincir air di Jativa, Spanyol pada tahun 1151, penggilingan bahan-bahan menggunakan tenaga air. Pabrik kertas pertama di Eropa dibangun pada tahun 1276 di Fabrino, Italia. Seabad kemudian berdiri pabrik kertas di Nuremberg, Jerman (Asbari 2002: 3--4). Pembuatan kertas menjadi suatu kerajinan yang mapan di Belanda selama akhir abad ke 16. Pada akhir abad tersebut Amsterdam menjadi pusat produksi kertas dan perdagangan Internasional. Produksi kertas dari Amsterdam meluas ke Eropa dan menjadi terkenal. Selain itu, penemuan alat Hollander beater, yaitu sebuah alat yang digunakan untuk merendam dan menyiapkan bubur kertas pada Universitas Indonesia

12

abad ke 17, menyebabkan pembuatan kertas menjadi industri utama dan Belanda menjadi terkenal karena kertas-kertas putihnya yang bagus dan halus. Perusahaan kertas Van Gelder adalah perusahaan yang masih beroperasi dan memproduksi kertas-kertas tersebut menggunakan tenaga angin (wind-driven paper mill). Pabrik tersebut terletak di Westzaan dan dibangun pada tahun 1692 (Churchill 1965: 5--6 lihat Sudardi 2003: 92). Kertas produksi Eropa dari negara Italia (Gambar 2.2.(1) ), Spanyol, Portugis, Inggris, Jerman, dan Belanda kemudian menyebar ke daerah-daerah jajahan negara-negara tersebut. Kertas Eropa memiliki watermark, yaitu suatu ciri yang tidak ditemukan pada kertas Cina dan Arab. Kertas Eropa memiliki watermark. Watermark adalah tanda yang dibuat dari benang-benang yang dijalin ke permukaan jaring-jaring benang pada cetakan kertas. Tanda yang telah dijalin diangkat ke permukaan dan selama pembuatan kertas menyebabkan penipisan lapisan dari pulp, sehingga kertas menjadi transparan terhadap cahaya. Watermark menjadi terlihat pada struktur kertas (Hunter 1943: 264 lihat Fuller 2002: 12). Gambar 2.2.(2). dan Gambar 2.2.(3) memperlihatkan beberapa contoh watermark pada kertas Eropa.

Gambar 2.2.(1). Kertas Eropa buatan Itali dari abad ke-19 [Sumber: Jones 1993: 492.) Universitas Indonesia

13

Gambar 2.2.(2).Watermark kertas Eropa bergambar Lion in medallion dari dokumen tua VOC tahun 1867 milik Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. [Sumber: Dokumentasi pribadi 10 Mei 2012.]

Gambar 2.2.(3). Watermark tertua yang ada pada kertas Italia di Bologna tahun 1282. [Sumber: American Paper and Pulp Association 1965: 17.]

Kertas Eropa yang ditemukan di Indonesia terbuat dari bubur kain atau bubur kayu dengan serat selulosa terjalin yang disaring dan dicetak serta memiliki tanda air (watermark) pada tiap lembarannya (Hunter 1943: 264 lihat Fuller 2002: 12). Bahan baku kertas produksi negara-negara Eropa umumnya terbuat dari bubur kayu yang berasal dari pohon murbei, pinus, cemara. Pada tahun 1602 VOC berdiri di Indonesia dan kertas-kertas Eropa produksi Belanda masuk ke Indonesia kemudian digunakan untuk keperluan arsip-arsip pemerintahan. Kertas Eropa juga digunakan di lingkungan kerajaan dan kesultanan serta para pejabat Universitas Indonesia

14

pribumi pada pemerintahan kolonial Belanda. “Sajarah Banten” merupakan salah satu naskah kuno yang ditulis di kertas Eropa pada tahun 1662-1663 (Jones 1993: 492--499).

2.3

Naskah Kuno dari Kertas Eropa Koleksi Keraton Kasepuhan Cirebon

Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas Mochammad Arifin yang terletak di Kecamatan Lemahwungkuk, Cirebon. Keraton Kasepuhan merupakan keraton tertua dari tiga keraton lainnya di Cirebon yaitu Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cirebon 2009: 1). Keraton Kasepuhan memiliki koleksi naskah kuno sebanyak 69. Naskah tersebut berisi tentang ajaran agama Islam, tata cara hidup, sejarah Cirebon dan silsilah sultan-sultan Cirebon. Naskah tersebut ditulis pada berbagai media tulis antara lain lontar, daluang, dan kertas Eropa. Keraton Kasepuhan memiliki 45 naskah kuno dari kertas Eropa (Pudjiastuti dkk. 1994: 9). Berdasarkan watermark pada naskah kuno dari kertas Eropa koleksi Keraton Kasepuhan Cirebon, diketahui kertas-kertas Eropa tersebut diproduksi pada abad ke-19. Pudjiastuti dkk. (1994: vii), mengidentifikasi watermark yang digunakan, yaitu: Pro Patria, Beehave, Garden of Holland, Straursbourg lily, Concordia, Lion in medallion, Arms of Amsterdam, dan Man in the moon. Beberapa naskah dengan kertas Eropa ditemukan tidak memiliki watermark, namun memiliki garis bayang halus dan tebal pada lembarannya. Pada tahun 1994, Pudjiastuti dkk. melaporkan kondisi naskah-naskah kuno koleksi Keraton Kasepuhan Cirebon. Naskah kuno Sajarah Cirebon memiliki sampul dari kulit dan menggunakan kertas Eropa bergaris. Naskah kuno Waosan Babad Galuh memiliki sampul berbahan karton dan menggunakan kertas Eropa dengan watermark Medallion. Sebagian besar kertas pada naskah kuno tersebut telah banyak yang sobek dan ditumbuhi fungi yang terlihat dari bercak-bercak hitam yang menutupi tulisan (Gambar 2.3.1). Naskah kuno Layang Anbiya memiliki sampul dari bahan kulit yang sudah terlepas dari jilidannya dan Universitas Indonesia

15

menggunakan kertas Eropa tanpa watermark namun memiliki garis bayang halus dan tebal. Naskah kuno Tafsir Al Quran kondisinya sudah rusak yaitu lembaran kertasnya sudah berwarna cokelat, saling menempel, dan banyak yang sobek. Naskah tersebut menggunakan kertas Eropa tanpa watermark namun memiliki garis bayang halus dan tebal. Naskah kuno Wawacan Adji Saka memiliki kondisi kertas yang warnanya telah berubah menjadi cokelat dan beberapa halaman terdapat bercak-bercak hitam yang mengindikasikan adanya pertumbuhan fungi. Naskah tersebut menggunakan kertas Eropa dengan garis bayang halus dan tebal tanpa watermark pada lembarannya (Pudjiastuti dkk. 1994: 20--50). Naskahnaskah tersebut disimpan secara bertumpuk dan tumpang tindih antara naskahnaskah yang berukuran besar dan kecil dengan posisi horizontal, yaitu bagian punggung buku menghadap pintu lemari penyimpanan. Lemari penyimpanan naskah tertutup tanpa ventilasi dan cahaya lampu pada ruang penyimpanan naskah sangat redup. Suhu ruang penyimpanan naskah yaitu 30,3o C dan kelembaban relatif 78% (Prapenelitian, 17 Desember 2011). Berdasarkan United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) (2006:6), preservasi naskah seharusnya dilakukan pada ruangan dengan suhu 16--20o C dan kelembaban relatif 50--60%. Pudjiastuti dkk. (1994: 18--63) menyatakan preservasi pada naskah-naskah kuno tersebut tergolong buruk karena tidak secara rutin dilakukan fumigasi, recovery naskah, dan transformasi isi naskah.

A Keterangan: A. Naskah kuno Waosan Babad Galuh B. Naskah kuno Sajarah Cirebon

B

Gambar 2.3.1. Naskah Kuno dari Kertas Eropa Koleksi Keraton Kasepuhan Cirebon [Sumber: Dokumentasi pribadi 17 Desember 2011.]


16

Menurut Razak (1992: 6), preservasi naskah meliputi lima komponen antara lain: preventive conservation yaitu tindakan mengoptimalkan kondisi lingkungan untuk memperpanjang umur naskah; passive conservation yaitu kegiatan monitoring kondisi koleksi naskah dan kondisi ruang penyimpanan naskah; active conservation yaitu tindakan yang berhubungan langsung dengan koleksi; restoration yaitu tindakan memperbaiki tampilan koleksi; dan transformation yaitu mengalihmediakan dari bahan konvensional ke bentuk mikro (mikrofilm atau mikrofis). Menurut Pudjiastuti dkk. (1994: 10), preservasi naskah di Keraton Kasepuhan Cirebon yang ditulis pada berbagai jenis kertas masih belum terlaksana dengan baik dan belum memenuhi kelima komponen preservasi tersebut.

2.4

Pengambilan Sampel dan Isolasi Kapang Naskah Kuno

Pengambilan sampel kapang pada naskah manuskrip dapat menggunakan non-invasive sampling dan invasive sampling. Non-invasive sampling (Gambar 2.4.(1)) dapat dilakukan dengan swab menggunakan cotton buds steril atau menggunakan selotip. Metode tersebut digunakan untuk memperoleh hifa atau spora dari kapang yang terdapat pada kertas tanpa merusak struktur kertas. Invasive sampling (Gambar 2.4.(2)) dapat dilakukan menggunakan jarum yang berguna untuk mengambil sedikit serpihan kertas atau sobekan yang sangat kecil dari kertas di beberapa area kertas atau naskah tersebut. Metode tersebut digunakan untuk memperoleh sampel kapang yang terdapat pada kertas dan diduga menggunakan kertas sebagai substrat (Pinzari dkk. 2010: 8--9). Michaelsen dkk. (2009: 162) menggunakan metode non-invasive sampling dan invasive sampling untuk memperoleh sampel dari buku Le Stanze del Bandello yang berasal dari abad ke-16 di Braidense Library di Milan. Non-invasive sampling dilakukan dengan cotton buds steril dan selotip pada permukaan kertas dari buku tersebut yang telah berwarna kecokelatan. Invasive sampling dilakukan dengan jarum tajam steril untuk mengambil serpihan kertas pada tepi buku tersebut. Universitas Indonesia

17

Gambar 2.4.(1). Non-invasive sampling [Sumber: Pinzari dkk.2010:10]

Gambar 2.4.(2). Invasive sampling [Sumber: Pinzari dkk.2010:10.]

Isolasi adalah proses memisahkan mikroorganisme tertentu dari lingkungannya dan dari mikroorganisme yang tidak diinginkan, sehingga diperoleh biakan murni. Biakan murni adalah koloni mikroorganisme yang tumbuh berasal dari satu sel tunggal (Gandjar dkk. 2006: 158). Berdasarkan Pinzari dkk. (2010: 9--10), isolasi kapang dilakukan menggunakan metode direct plating (Gambar 2.4.(3).) yaitu dengan meletakkan sampel, baik sampel pada cotton buds maupun serpihan kertas, ke permukaan medium. Kapang yang tumbuh dari kapas cotton buds dan dari serpihan kertas kemudian dimurnikan untuk mendapatkan biakan murni.


18

Gambar 2.4.(3). Isolasi sampel kapas hasil swab [Sumber: Pinzari dkk.2010:10.]

Berdasarkan Michaelsen dkk. (2009: 162--164) Aspergillus nidulans Eidam, Aspergillus niger, Penicillium commune Thom, Penicillium chrysogenum Thom, Cladosporium cladosporioides (Fres.) de Vries, dan Cladosporium herbarum (Pers.) Link adalah beberapa spesies yang berhasil diidentifikasi dari sampel swab. Penicillium pinophilum Thom, Aspergillus versicolor (Vuill.) Tirab, dan Aspergillus nidulans adalah beberapa spesies yang berhasil diidentifikasi dari serpihan kertas.

2.5

Selulosa dan Selulase

Selulosa (Gambar 2.5.1) adalah polimer linear glukosa yang terikat oleh ikatan glikosidik β-1,4 membentuk molekul selobiosa. Bentuk rantai panjang glukosa tersebut dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Selulosa terdapat pada 45% berat kering kulit batang pohon. (Perez dkk. 2002: 54). Berdasarkan Kumari dkk. (2011:1), ikatan glikosidik adalah ikatan kovalen yang terbentuk antara dua monosakarida melalui dehidrasi (penghilangan gugus air). Ikatan glikosidik β-1,4 merupakan konfigurasi glukosa dalam selulosa yang semuanya berbentuk beta, sedangkan atom karbon yang menghubungkan antar unit glukosa terletak pada karbon nomor 1 dan nomor 4.


19

Gambar 2.5.1. Selulosa [Sumber: Fibersource.2003:1.]

Selulosa dapat dihidrolisis oleh enzim selulase. Selulase merupakan enzim kompleks yang terdiri dari tiga komponen. Ketiga komponen enzim selulase tersebut adalah endoglukanase, eksoglukanase atau selobiohidrolase, dan β-1,4-glukosidase. Endoglukanase atau Endo-β-1,4-glukanase [EC 3.2.1.4] bekerja lebih aktif pada selulosa amorf dan derivat terlarut seperti Carboxy Methyl Cellulose (CMC), sehingga sering disebut enzim CMC-ase. Endoglukanase menghidrolisis ikatan β-1,4 glukosida secara acak pada rantai selulosa dan menghasilkan ujung rantai baru yang merupakan substrat untuk komponen enzim selulase yang kedua. Komponen enzim selulase kedua adalah eksoglukanase atau ekso-β-1,4- glukanase atau dikenal selobiohidrolase [EC 3.2.1.91] yang menghidrolisis bagian kristalin dari selulosa pada ujung pereduksi dan non pereduksi sehingga menghasilkan selobiosa dan glukosa. Enzim eksoglukanase memiliki aktivitas yang sangat tinggi pada substrat Avisel, sehingga sering disebut enzim aviselase. Komponen enzim selulase ketiga adalah β-1,4-glukosidase atau dikenal dengan selobiase [EC 3.2.1.21] menghidrolisis selobiosa dan oligosakarida berantai pendek sehingga menghasilkan glukosa. Ketiga komponen enzim selulase tersebut memiliki spesifisitas terhadap bagian tertentu dari substrat selulosa. Komponen-komponen tersebut bekerja bersama-sama dan secara bertahap menguraikan selulosa menjadi unit glukosa (Lynd dkk. 2002: 511). Hasil dari hidrolisis selulosa berupa karbon dan sumber energi bagi mikroorganisme Universitas Indonesia

20

selulolitik tersebut atau mikroorganisme lainnya yang hidup dalam lingkungan yang mengandung selulosa yang telah diuraikan (Perez dkk. 2002: 55--56). Sterflinger dan Pinzari (2011: 5) menyatakan bahwa kapang dapat tumbuh pada permukaan kertas karena mampu menghasilkan enzim selulolitik yang dapat mengurai selulosa pada substrat. Enzim yang dihasilkan kapang-kapang tersebut menyebabkan penguraian senyawa-senyawa tertentu pada kertas dan menyebabkan beberapa perubahan pada permukaan kertas, sebagai contoh perubahan warna kertas disebabkan oleh senyawa toksik chaetoglobosins dari Chaetomium dan senyawa toksik trichothecene mycotoxins oleh Stachybotrys. Arroyo (2009: 43) menyebutkan bahwa naskah-naskah Eropa tua mengandung selulosa sebagai komponen utama dan komponen lainnya seperti lignin, hemiselulosa, pektin, dan lem perekat kertas. Fungi yang mengontaminasi kertas-kertas Eropa tersebut merupakan fungi selulolitik yang mengurai selulosa dan fungi nonselulolitik yang mengurai bahan-bahan lainnya dari kertas tersebut. Faktor eksternal seperti kelembaban dan suhu tempat penyimpanan naskah mendukung deteriorasi pada naskah-naskah Eropa tua tersebut oleh fungi. Perubahan warna dan tekstur kertas merupakan akibat yang ditimbulkan dari tumbuhnya fungi selulolitik dan fungi nonselulolitik yang ada pada permukaan kertas. Fungi selulolitik dari genus Alternaria, Aspergillus, Fusarium, Humicola, Myrothecium, Penicillium, Stachybotrys serta fungi nonselulolitik dari genus Chaetomium merupakan fungi yang sering ditemukan pada naskah-naskah Eropa tua.

2.6

Pengujian Kemampuan Mikrooganisme Selulolitik

Pengujian yang umum digunakan untuk mendeteksi mikroorganisme penghasil enzim ekstraseluler adalah plate assay. Metode plate assay menggunakan medium yang mengandung polisakarida dan zat pewarna kromogenik. Zat pewarna kromogenik dapat berikatan dengan medium polisakarida. Polisakarida seperti selulosa akan terurai oleh enzim selulase yang dihasilkan oleh koloni kapang. Selulosa akan terurai menjadi monomer-monomer Universitas Indonesia

21

glukosa yang menyebabkan pewarna kromogenik tidak dapat berikatan lagi dengan selulosa sehingga warna yang dihasilkan menjadi lebih pucat hingga bening. Kemampuan kapang menghasilkan selulase dapat dilihat berdasarkan pengukuran zona bening yang terbentuk di sekeliling koloni. Congo red merupakan indikator pH. Asam organik yang dihasilkan dari metabolisme kapang akan menurunkan pH medium menjadi lebih asam dan menyebabkan congo red sebagai indikator pH berubah warna dari merah menjadi oranye (Jo dkk. 2011: 1-2). Yoon dkk. (2007: 1) melaporkan bahwa plating assay untuk pengujian menggunakan medium yang mengandung polisakarida seperti selulosa dan dicampurkan dengan zat pewarna. Zat warna seperti congo red, phenol red, remazol brilliant blue, dan tryphan blue merupakan pewarna yang banyak digunakan untuk metode tersebut. Penggunaan pewarna untuk memperlihatkan reaksi positif dengan terbentuknya clear zone di sekeliling koloni fungi yang dapat menghasilkan enzim selulase (Gambar 2.6.1). Substrat yang dapat digunakan untuk pengujian kemampuan mikroorganisme selulolitik adalah Carboxy Methyl Cellulose (CMC), Avicel atau Avisel, dan D-cellobiose atau selobiosa sebagai sumber karbon.

A

Keterangan: A. Zona bening

Gambar 2.6.1. Pengujian kemampuan kapang Aspergillus sp. pada substrat CMC dengan pewarna congo red. [Sumber: Onsori dkk.2005: 28.]

Carboxy Methyl Cellulose (CMC) adalah salah satu derivat selulosa yang dapat larut dalam air, bersifat amorf, berwarna putih, tidak berbau, tidak berasa, Universitas Indonesia

22

dan berbentuk padatan. Substrat CMC merupakan substrat yang umum digunakan untuk mendeteksi enzim endoglukanase. Avisel merupakan fragmen selulosa yang mengandung 200 unit glukosa dengan tingkat kristalinitas lebih tinggi dibanding CMC. Avisel merupakan substrat yang digunakan untuk deteksi adanya enzim eksoglukanase atau disebut juga enzim selobiohidrolase. Enzim eksoglukanase disebut juga aviselase karena kemampuannya dalam menghidrolisis avisel. Selobiosa merupakan oligosakarida yang tersusun atas dua unit glukosa. Selobiosa merupakan substrat bagi enzim selobiase. Enzim selobiase akan menghidrolisis selobiosa menjadi dua unit glukosa (Lynd dkk. 2002: 509--515). Berdasarkan Onsori dkk. (2005: 27), untuk menguji kemampuan kapang selulolitik Aspergillus sp. dalam menghasilkan endoglukanase, digunakan metode plate screening menggunakan well atau sumur yang diteteskan suspensi spora kapang tersebut pada medium yang mengandung substrat CMC sebagai sumber karbon tunggal. Deteksi enzim endoglukanase dilakukan dengan pewarnaan menggunakan congo red. Indikasi adanya endoglukanase adalah dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni. Endoglukanase berdifusi secara radial ke medium dan menyebabkan terurainya substrat CMC. Substrat CMC yang terurai menyebabkan congo red tidak dapat lagi berikatan kuat dengan substrat CMC, sehingga warna merah congo red menjadi memudar. Teather dan Wood (1982: 777-780) melaporkan bahwa pengujian untuk deteksi mikroorganisme selulolitik secara kualitatif dapat menggunakan pewarna congo red. Medium yang digunakan adalah medium basal yang telah ditambahkan dengan substrat selulosa spesifik sebagai sumber karbon. Congo red dapat berikatan dengan polisakarida pada ikatan glikosidik β-1,4 antar glukosa. Congo red dapat digunakan sebagai indikator pemutusan ikatan glikosidik β-1,4 pada substrat selulosa oleh enzim selulase. Ikatan polisakarida antara glukosa dan congo red menjadi terputus oleh selulase, sehingga congo red tidak lagi berikatan dengan medium dan menghasilkan zona bening di sekeliling koloni.


23

2.7

Identifikasi Kapang K Secara Konvensional

Identifikasi kapang secara konvensional dapat dilakukan dengan mengamati karakter mikro dan makromorfologi kapang, kemudian dibandingkan dengan kunci identifikasi pada monograf. Karakter mikromorfologi kapang yang penting adalahh ada tidaknya spora aseksual (Gambar 2.7.(1).) .) dan spora seksual (Gambar 2.7.(2).),, ukuran spora aseksual dan seksual, tipe conidiogenous cell, ada tidaknya septa pada hifa, dan ukuran lebar hifa. Jika hanya ditemukan spora aseksual pada pengamatan mikromorfologi, maka kapang tersebut berada pada fase anamorf (Pitt & Hocking 2009: 43, 53, dan 54). Jika ditemukan spora seksual pada pengamatan mikromorfologi, maka kapang tersebut sedang berada pada fase teleomorf (Carlile dkk.. 2001: 46). Apabila tidak ditemukan spora (aseksual maupun seksual) pada pengamatan mikromorfologi kapang, maka kapang tersebut disebut mycelia sterilia (Barnett & Hunter 2003: 34). 34 Gambar 2.7.(3) merupakan contoh mycelia sterilia. Menurut Pitt dan Hocking (2009: 53), karakter makromorfologi koloni kapang yang penting adalah warna koloni, tekstur koloni, keberadaan zonasi, zonas radial furrow, growing zone, dan sebalik koloni.

sporangium

columella Mucor

Syncephalastrum

Penicillium

SPORANGIOSPORA

Cladosporium

Oospora

Fialid

Gliocadium

FIALOSPORA

Candida albicans Fusarium Alternaria Microsporium canis

BLASTOKONIDIA ARHTROSPORA KLAMIDOSPORA

MAKROKONIDIA ONIDIA

Gambar 2.7.(1).. Beberapa tipe spora aseksual [Sumber: Benson 2001: 4 dengan modifikasi. ] Universitas Indonesia

24

Askus

Suspensor

Zigospora

Askospora

Zigospora

Askospora

(Zygomycota)

(Ascomycota)

Gambar 2.7.(2). 2.7. . Tipe spora seksual zigospora dan askospora [Sumber: Benson 2001: 50 dengan modifikasi.]

10 µm

mycelia sterilia

Septum

Gambar 2.7.(3). Contoh mycelia sterilia [Sumber: Watanabe 2002: 389 dengan modifikasi.]


BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi dan Laboratorium Center of Excellence for Indigenous Biological ResourcesGenome Studies (CoE IBR-GS), FMIPA-UI, Depok, mulai bulan Maret hingga Mei 2012.

3.2

Alat

Alat-alat yang digunakan adalah tabung reaksi, cawan petri, Erlenmeyer 1L, beaker glass, pipet tetes, mikropipet [Gilson], bulb, gelas ukur, skalpel, spatula, spatel Drygalski, jarum tanam tajam, jarum tanam bulat, batang pengaduk, stainless steel cork borer, object glass, cover glass, marker pen, gunting, digital caliper, transfer box, pembakar spiritus, lighter, kamera digital, Alat Pelindung Diri (jas laboratorium, masker, dan google), autoclave [Hirayama], oven [Heraeus], refrigerator [Gassio], kompor listrik [Sanyo], pemanas air [Sharp], timbangan digital [And EW-300 G], timbangan analitik [Sartorius], mikroskop trinokular [Carl-Zeiss], dan mikroskop cahaya [Boeco],dan mikroskop stereo [Carl-Zeiss]

3.3

Bahan

3.3.1

Mikroorganisme

Mikrooganisme yang digunakan adalah isolat - isolat kapang dari naskah kuno Eropa koleksi Keraton Kasepuhan Cirebon, isolat kapang Aspergillus niger 25


26

UICC 371 sebagai kontrol positif, dan Rhizopus oryzae UICC 24B sebagai kontrol negatif pengujian kemampuan selulolitik.

3.3.2

Sampel

Sampel yang digunakan adalah potongan cotton bud hasil swab pada naskah Waosan Babad Galuh, Tafsir Al Quran, Sajarah Cirebon, dan Wawacan Adji Saka yang berasal dari abad 19, koleksi Keraton Kasepuhan Cirebon. Pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 17 Desember 2011.

3.3.3

Medium

Medium yang digunakan adalah Dichloran-18% Glycerol Agar (DG-18) [Oxoid], Potato Dextrose Agar (PDA) [BD], Plate Count Agar (PCA) [Britannia] dengan penambahan rose bengal [TCI] dan gliserol 18%, medium Czapek’s Dox Agar (CDA) racikan, medium basal Czapek’s Dox Agar (CDA) tanpa sumber karbon racikan, dan medium basal CDA tanpa sumber karbon dengan substrat Carboxy Methyl Cellulose (CMC). Medium DG-18 digunakan untuk isolasi dan pemurnian kapang-kapang dari manuskrip kertas Eropa. Medium PDA digunakan untuk membuat stock culture dan working culture. Medium PCA dengan penambahan rose bengal dan gliserol 18% digunakan untuk enumerasi sel kapang. Medium CDA untuk identifikasi isolat kapang. Medium basal CDA dan sebagai sumber karbon digunakan sebagai medium pengujian kemampuan selulolitik.

3.3.4

Bahan kimia

Bahan kimia yang digunakan adalah alkohol 70%, etanol 96%, pewarna congo red, kloramfenikol [Wako], lactophenol cotton blue [Merck], substrat Carboxy Methyl Celullose (CMC) [BDI], dan kertas Eropa dari dokumen tua VOC pada abad 19 milik Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang diperoleh dari Dr. Tamara Susetyo-Salim, FIB UI.


27

3.3.5

Bahan habis pakai

Bahan habis pakai yang digunakan adalah plastik tahan panas [Bell], masker, tisu gulung, kertas, label, selotip, parafilm, dan karet gelang.

3.4

Cara Kerja

Skema kerja penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.4.1

Pembuatan medium

3.4.1.1 Medium Dichloran-18% Glycerol Agar (DG18)

Pembuatan medium DG18 dilakukan berdasarkan Atlas (2010: 593). Sebanyak 15,7 g bubuk DG18 agar yang dilarutkan ke dalam 350 ml akuades, kemudian dipanaskan dan diaduk hingga homogen. Medium tersebut ditunggu beberapa menit kemudian ditambahkan sebanyak 103 mL gliserol 87% (v/v) dan air hangat hingga volume akhir mencapai 500 mL. Sebanyak 0,05 gram kloramfenikol yang telah dilarutkan dalam 1 mL etanol 96% (v/v) kemudian ditambahkan ke dalam medium DG-18 agar yang masih cair, dan diaduk hingga homogen. Medium disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121o C dengan tekanan 2 atm selama 15 menit. Sebanyak 15 mL medium dituang secara aseptis ke dalam masing-masing cawan petri steril dan dibiarkan mengeras.

3.4.1.2 Medium Potato Dextrose Agar (PDA)

Pembuatan medium PDA berdasarkan petunjuk yang ada pada kemasan. Medium PDA dibuat dengan melarutkan 39 g bubuk PDA dengan akuades hingga volume mencapai 1 L. Campuran medium ditambahkan 0,1 g kloramfenikol yang telah dilarutkan dengan 1 ml etanol 96% kemudian diaduk kembali hingga homogen. Medium PDA kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi masingUniversitas Indonesia

28

masing dengan volume 6 mL. Medium dipanaskan hingga larut dan disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121o C dengan tekanan 2 atm selama 15 menit. Medium kemudian dimiringkan dengan sudut kira-kira 300 dan didiamkan selama sehari.

3.4.1.3 Medium Plate Count Agar (PCA) dengan penambahan rose bengal dan gliserol 18%

Pembuatan medium PCA berdasarkan petunjuk yang terdapat pada kemasan namun ditambahkan rose bengal dan gliserol 18%. Medium PCA dibuat dengan melarutkan 23,5 g bubuk PCA dan rose bengal sebanyak 0,025 g ke dalam 700 ml akuades. Campuran medium dipanaskan dan diaduk hingga homogen. Medium yang telah homogen didiamkan hingga suhunya mencapai 40--50o C, kemudian ditambahkan 206 ml gliserol 87% dan air hangat hingga volume akhir mencapai 1.000 ml. Sebanyak 0,05 g kloramfenikol yang telah dilarutkan dengan 1 mL etanol 96% (v/v) kemudian ditambahkan ke dalam medium yang masih cair dan diaduk hingga homogen. Medium disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121o C dengan tekanan 2 atm selama 15 menit. Sebanyak 15 mL medium dituang secara aseptis ke dalam masing-masing cawan petri steril dan dibiarkan mengeras.

3.4.1.4 Medium Czapek’s Dox Agar (CDA)

Pembuatan medium CDA berdasarkan Atlas (2010: 480). Medium CDA sebanyak 1.000 ml dibuat dengan cara melarutkan 30 g sukrosa, 2 g NaNO3, 1 g K2HPO4, 0,5 g MgSO4.7H2O, 0,5 g KCl, 0,01 g FeSO4.7H2O, dan 15 g agar kemudian ditambahkan akuades hingga 1.000 ml. Campuran medium dipanaskan dan diaduk hingga homogen. Campuran medium ditambahkan 0,1 g kloramfenikol yang telah dilarutkan dengan 1 ml etanol 96% kemudian diaduk kembali hingga homogen. Medium disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121o C dengan tekanan 2 atm selama 15 menit. Medium dituang ke dalam cawan petri masing-masing sebanyak 20 ml.


29

3.4.1.5 Medium basal Czapek’s Dox Agar (CDA) tanpa sumber karbon

Pembuatan medium basal Czapek’s Dox Agar (CDA) berdasarkan Atlas (2010: 480). Sebanyak 15 g agar, 3 g NaNO3, 1 g K2HPO4, 0,5 g MgSO4.7H2O, 0,5 g KCl, dan 0,01 g FeSO4.7H2O ke dalam air hingga volumenya mencapai 1 L. Sebanyak 0,05 g kloramfenikol yang telah dilarutkan dalam 1 mL etanol 96% (v/v) kemudian ditambahkan ke dalam medium CDA yang masih cair dan diaduk hingga homogen. Medium kemudian diaduk hingga homogen. Medium disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121o C dengan tekanan 2 atm selama 15 menit. Sebanyak 15 mL medium dituang secara aseptis ke dalam masing-masing cawan petri steril dan dibiarkan mengeras.

3.4.1.6 Medium basal Czapek’s Dox Agar (CDA) dengan penambahan Carboxy Methyl Cellulose (CMC)

Petunjuk pembuatan medium berdasarkan Teather dan Wood (1982: 778) dan Atlas (2010: 480) yang dimodifikasi. Substrat selulosa yang digunakan yaitu Carboxy Methyl Cellulose (CMC). Medium CDA dibuat dengan cara melarutkan 15 g agar, 2 g NaNO3, 1 g K2HPO4, 0,5 MgSO4.7H2O, 0,5 g KCl, 0,01 g FeSO4.7H2O kemudian ditambahkan akuades hingga 1 L. Sebanyak 0,05 g kloramfenikol yang telah dilarutkan dalam 1 mL etanol 96% (v/v) kemudian ditambahkan ke dalam medium yang masih cair dan diaduk hingga homogen. Substrat CMC sebanyak 0,1% (v/w) ditambahkan ke dalam campuran medium. Setelah campuran medium homogen, medium disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121oC, tekanan 2 atm, selama 15 menit. Sebanyak 15 mL medium dituang secara aseptis ke dalam masing-masing cawan petri steril dan dibiarkan mengeras.

3.4.2

Pengambilan sampel kapang

Pengambilan sampel mikroorganisme pada Manuskrip kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan Cirebon menggunakan metode non-invasive sampling berdasarkan Pinzari dkk. (2010: 8). Pengambilan sampel dilakukan dengan swab Universitas Indonesia

30

menggunakan cotton buds steril.. Sampel dari setiap manuskrip diambil dari beberapa bagian buku (Gambar 3.4.2.1),, seperti: sampul atas, sampul bawah, tebal atas, tebal bawah, tebal samping, jilidan buku, dan beberapa halaman buku. Sampel yang telah diambil kemudian dimasukkan ke dalam plastik sampel steril yang telah diberi label.

Gambar 3.4.2.1. Daerah pengambilan pengambilan sampel kapang dari naskah kuno [Sumber Sumber : UNESCO 2006: 2 dengan modifikasi.]

3.4.3

Isolasi kapang

Isolasi kapang dari Manuskrip Eropa berdasarkan Michaelsen dkk. (2009: 162--163) 163) menggunakan metode direct plating. Isolasi dilakukan dengan cara mengambil sebagian kecil sampel cotton buds berisi spora kapang. Sampel diletakkan pada medium DG-18 DG 18 di cawan petri yang telah dibagi menjadi 4 kuadran. Cawan petri yang digunakan sebanyak dua buah (Gambar 3.4.3.1). 3.4.3.1) Cawan petri pertama terdiri dari kuadran 1--4 1 berturut-turut turut yaitu sampul sa depan, sampul belakang, ketebalan atas, dan ketebalan ketebala bawah. Cawan awan petri kedua terdiri dari kuadran 5--8 berturut-turut berturut yaitu ketebalan samping,, punggung buku, serta bagian dalam pertama dan kedua. Pemberian mberian kode isolat kapang dari manuskrip sebagai berikut: KS. BG.2.1, yaitu: KS adalah Kasepuhan sebagai tempat pengambilan sampel; BG adalah Universitas Indonesia

31

Babad Galuh sebagai nama naskah kuno; 2 adalah menunjukkan kuadran; 1 adalah isolat ke-1 yang tumbuh pada juring tersebut. Isolat-isolat kapang yang tumbuh dari sampel kertas Eropa pada cawan petri tersebut kemudian dilakukan pemurnian.

3.4.4

Pemurnian Kapang

Pemurnian isolat dilakukan berdasarkan Benson (2001: 85) dan Pinzari dkk. (2010: 10) yang dimodifikasi. Berdasarkan Pinzari dkk. (2010: 10), pemurnian dilakukan dengan membuat suspensi hifa atau spora kapang dalam akuades steril 5 mL kemudian dilakukan streak pada permukaan medium dan berdasarkan Benson (2001: 85), pemurnian dilakukan dengan metode quadrant streak. Pemurnian dilakukan dengan memasukkan hifa atau spora kapang ke dalam akuades steril dengan volume 5 mL. Suspensi hifa atau konidia dipindahkan secara streak ke medium agar DG18 menggunakan jarum ose. Streak diulangi sebanyak tiga kali, masing-masing dibuat empat streak yang melalui hasil streak sebelumnya tanpa inokulasi. Jarum ose dibakar sampai pijar setiap selesai melakukan streak dan akan melakukan streak berikutnya. Biakan diinkubasi pada suhu ruang 27o C. Medium diamati selama beberapa hari hingga bersporulasi dan terdapat koloni tunggal yang representatif.

3.4.5 Pembuatan stock culture dan working culture

Koloni kapang yang telah murni dipindahkan ke dalam tabung berisi medium PDA miring sebagai stock culture dan working culture. Pembuatan stock culture dan working culture dilakukan berdasarkan Cappuccino dan Sherman (2002: 7) dengan metode stab menggunakan jarum tanam tajam. Stock culture berjumlah minimal dua. Working culture berjumlah satu tabung. Stock culture dan working culture kemudian diinkubasikan pada suhu ruang 27o C. Biakan kapang stock culture yang telah tumbuh dan bersporulasi disimpan di lemari pendingin pada suhu 4o C. Stock dan working culture diberi label yang memiliki Universitas Indonesia

32

keterangan nama isolat, tanggal inokulasi isolat, medium yang digunakan. Biakan working culture disimpan pada suhu ruang 27o C agar dapat digunakan untuk pengujian.

3.4.6 Enumerasi sel kapang

Enumerasi sel kapang dilakukan menggunakan metode Total Plate Count (TPC). Metode TPC yang dikerjakan berdasarkan Hogg (2005: 91--93). Isolatisolat kapang ditumbuhkan dalam medium PDA miring dengan metode streak sebanyak 15 gores untuk digunakan dalam pembuatan suspensi sel. Akuades steril sebanyak 5 mL dimasukkan ke dalam biakan. Suspensi tersebut kemudian dihomogenkan menggunakan vorteks. Suspensi sel kapang kemudian diencerkan menggunakan akuades steril hingga faktor pengenceran 10-4, 10-5, dan 10-6. Sebanyak 0,1 mL dari setiap suspensi yang telah diencerkan, dituangkan pada medium PCA (Plate Count Agar) di cawan petri dan disebar menggunakan spatel Drygalsky. Masing-masing faktor pengenceran dilakukan tiga kali pengulangan. Biakan kemudian diinkubasi selama tiga hari pada suhu ruang 27o C. Penghitungan Colony Forming Unit (CFU) dengan rumus berikut dilakukan berdasarkan Hogg (2005: 93--94):

Jumlah CFU/mL Jumlah rata-rata koloni yang tumbuh Jumlah CFU/mL = volume inokulum x faktor pengenceran

3.4.7

Pengujian kemampuan kapang selulolitik pada substrat kertas Eropa

Pengujian pertumbuhan isolat kapang pada kertas Eropa dilakukan dengan metode paper disc berdasarkan Rosenberg dan Oberkotter (1978: 206) yang telah dimodifikasi. Rosenberg dan Oberkotter (1978: 206) melakukan pengujian enzim endoglukanase pada bakteri Cellvibrio vulgaris menggunakan kertas saring Whatman no.1 sebagai sumber karbon tunggal di atas medium yang mengandung 0,067 M phosphate buffer (pH 7.0) dan 1 mM MgSO4.7H2O. Modifikasi dari Universitas Indonesia

33

metode tersebut adalah tidak menggunakan kertas saring Whatman no. 1, tetapi potongan kertas Eropa sebagai sumber karbon tunggal. Pengujian kapang selulolitik menggunakan medium basal CDA tanpa sumber karbon. Volume suspensi isolat kapang uji, kapang Aspergillus niger UICC 371 sebagai kontrol positif, Rhizopus oryzae UICC 24B dan akuades sebagai kontrol negatif yang akan digunakan sebanyak 20 µL. Kertas Eropa digunting membentuk persegi dengan sisi (1x1) cm dan disterilkan dalam cawan petri steril. Cawan petri yang berisi medium basal CDA dibagi menjadi empat kuadran dan pada permukaan masing-masing diletakkan potongan kertas Eropa steril tersebut. Suspensi isolat kapang uji, kontrol positif, dan kontrol negatif diencerkan hingga mencapai jumlah sel sebanyak 1 x 107 CFU/mL. Potongan kertas pada kuadran pertama diteteskan suspensi kapang yang akan diuji. Potongan kertas pada kuadran kedua diteteskan akuades steril sebagai kontrol negatif. Potongan kertas pada kuadran ketiga diteteskan suspensi kapang Aspergillus niger UICC 371 sebagai kontrol positif dan potongan kertas pada kuadran keempat diteteskan Rhizopus oryzae UICC 24B sebagai kontrol negatif Biakan diinkubasi pada suhu ruang 27o C. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan hifa pada permukaan potongan kertas Eropa. Hasil negatif ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan hifa pada permukaan potongan kertas Eropa. Pertumbuhan hifa menunjukkan kemampuan isolat kapang menggunakan kertas Eropa sebagai substrat.

3.4.8 Pengujian kemampuan kapang selulolitik pada substrat Carboxy Methyl Cellulose (CMC)

Pengujian kemampuan kapang selulolitik dari naskah kuno dilakukan dengan substrat CMC dengan pewarna congo red berdasarkan metode yang dilakukan Onsori dkk. (2005: 27). Pengujian dilakukan dengan menggunakan medium basal CDA dengan penambahan substrat CMC sebagai substrat selulosa spesifik untuk mendeteksi enzim endoglukanase. Cawan petri dibagi menjadi empat kuadran. Volume suspensi isolat kapang uji, kapang Aspergillus niger UICC 371 sebagai kontrol positif, Rhizopus oryzae UICC 24B dan akuades Universitas Indonesia

34

sebagai kontrol negatif yang akan digunakan sebanyak 80 µL. Setiap kuadran dibuat sumur (well) hingga ke dasar cawan petri menggunakan stainless steel cork borer. Sumur pada kuadran pertama diisi suspensi isolat kapang yang akan diuji. Sumur pada kuadran kedua diisi akuades steril. Sumur pada kuadran ketiga dan kuadran keempat masing-masing diteteskan suspensi kapang Aspergillus niger UICC 371 sebagai kontrol positif dan sumur pada kuadran keempat diteteskan Rhizopus oryzae UICC 24B sebagai kontrol negatif. Biakan diinkubasi pada suhu ruang 27oC selama 6 hari. Pada hari keenam, sebanyak 4 ml larutan Congo red steril 0,2% diteteskan ke seluruh bagian permukaan medium uji. Biakan didiamkan selama 15 menit hingga pewarna congo red meresap ke dalam medium. Sisa larutan congo red diambil kembali dengan pipet. Biakan yang telah ditetesi congo red diinkubasi selama 48 jam, kemudian diamati. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening di sekeliling koloni kapang. Hasil negatif ditunjukkan dengan tidak terbentuknya zona bening di sekeliling koloni kapang. Zona bening merupakan suatu daerah tidak berwarna atau yang berwarna lebih muda daripada warna medium yang telah ditetesi congo red pada sekeliling koloni yang tumbuh. Zona tersebut menunjukkan terurainya selulosa oleh enzim endoglukanase yang dihasilkan koloni kapang sehingga pewarna congo red yang berikatan dengan substrat selulosa menjadi terurai pula. Terbentuknya zona bening menunjukkan kapang uji tersebut menghasilkan endoglukanase. Pengukuran diameter zona bening menggunakan jangka sorong dan dilakukan tiga kali pengulangan. Kemampuan selulolitik ditentukan melalui pengukuran Indeks Aktivitas Selulase berdasarkan Kader dan Omar (1998: 3) dengan Standar Deviasi:

IAS =

diameter zona bening – diameter koloni kapang diameter koloni kapang

3.4.9 Identifikasi kapang secara konvensional berdasarkan karakter morfologi

Identifikasi kapang dilakukan pada kapang yang bersporulasi di medium CDA pada suhu ruang (27o C) dengan melakukan pengamatan karakter Universitas Indonesia

35

mikromorfologi dan makromorfologi berdasarkan Gandjar (2000: 4). Karakter mikromorfologi kapang dilakukan dengan mengamati keberadaan spora seksual dan/atau aseksual, ukuran konidia, ukuran hifa, dan ukuran spora aseksual khusus (misalnya klamidospora), bentuk hifa, septum pada hifa, ukuran hifa, keberadaan metula, dan keberadaan vesikel, karakter konidiofor, dan tipe conidiogenous cell. Karakter makromorfologi dilakukan dengan mengamati warna berdasarkan standar warna Faber Castell (Lampiran 2.) dan tekstur koloni, ada tidaknya exudate drops, sporulasi, zonasi, radial furrow, growing zone, serta pengamatan sebalik koloni. Data karakter morfologi kapang secara mikroskopik dan makroskopik yang telah diperoleh kemudian dibandingkan dengan kunci identifikasi pada monograf seperti Illustrated genera of imperfect fungi oleh Barnett dan Hunter (2003) serta monograf Introduction to food and airborne-fungi oleh Samson dkk. (2004).

3.5

Analisis Data

Data yang diperoleh disusun dalam bentuk tabel dan gambar. Data yang diperoleh merupakan data kualitatif dan data kuantitatif. Analisis data kualitatif dilakukan secara deskriptif. Data kualitatif meliputi jumlah isolat, hasil penapisan selulase pada paper disc, hasil identifikasi kapang manuskrip berdasarkan karakter mikromorfologi dan makromorfologi. Data kuantitatif dianalisis dengan standar deviasi. Data-data kuantitatif yaitu hasil enumerasi sel kapang dan diameter zona bening hasil pengujian kemampuan selulolitik.


BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Pengambilan Sampel dan Isolasi Kapang Naskah Kertas Eropa Koleksi Keraton Kasepuhan

Pengambilan sampel pada tanggal 17 Desember 2011 dilakukan pada naskah kuno kertas Eropa Tafsir Al Quran, Wawacan Adji Saka, Waosan Babad Galuh, dan Sajarah Cirebon yang berasal dari abad 19 asal Keraton Kasepuhan Cirebon dengan non-invasive sampling menggunakan teknik swab. Pengambilan sampel kapang dilakukan pada naskah kuno tersebut karena memperlihatkan indikasi kerusakan oleh fungi. Hal tersebut ditandai dengan adanya bercak-bercak cokelat hingga kehitaman pada permukaan bagian-bagian naskah. Sampel diambil dari bagian naskah yaitu: sampul atas, sampul bawah, ketebalan atas, ketebalan bawah, ketebalan samping, punggung buku, dan tiga halaman naskah kuno bagian dalam yang paling banyak terlihat pertumbuhan kapang. Penggunaan teknik swab dilakukan karena mudah dan spora kapang yang berada pada permukaan naskah dapat menempel pada permukaan kapas dari cotton bud tersebut. Penggunaan teknik ini hanya pada permukaan naskah, sehingga diharapkan tidak merusak keadaan naskah kuno. Berdasarkan Pinzari dkk. (2010: 8--10) kapas dari sampel swab, pada permukaannya terdapat spora dan hifa kapang dari naskah. Teknik tersebut tidak merusak substrat kertas karena hanya dilakukan pada permukaan kertas, sedangkan spora kapang dan potongan miselium akan menempel pada kapas dari cotton bud. Medium DG18 digunakan sebagai medium isolasi karena DG18 merupakan medium yang tepat untuk pertumbuhan kapang xerofilik yang dapat hidup pada substrat dengan kadar air rendah. Sampel yang diambil berasal dari permukaan kertas dengan kadar air rendah sehingga diharapkan sampel kapang yang diinokulasikan dapat tumbuh pada medium tersebut. Antibiotik kloramfenikol digunakan untuk mencegah pertumbuhan bakteri yang mungkin dapat tumbuh dan berasal dari kapas hasil swab, sehingga diharapkan dari kapas 36


37

yang diinokulasikan pada medium hanya kapang yang dapat tumbuh. Menurut Mueller dkk. (2004: 340), kloramfenikol merupakan broad-spectrum antibiotics yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri tetapi tidak menghambat pertumbuhan kapang maupun khamir. Berdasarkan Hocking dan Pitt (1980: 490-492), DG18 merupakan medium pertumbuhan yang tepat untuk kapang-kapang yang tumbuh pada substrat kering dan memiliki kadar air sangat rendah. Komposisi medium DG18 terdiri atas pepton, glukosa, K2HPO4, MgSO4.7H20, dichloran, dan agar. Pepton berfungsi sebagai sumber nitrogen, sedangkan glukosa berfungsi sebagai sumber karbon. K2HPO4 dan MgSO4.7H20 terdiri dari unsur-unsur makronutrien sehingga berfungsi sebagai faktor pertumbuhan. DG18 mengandung Dichloran yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan kapang yang bersifat fast grower sedangkan gliserol 18% (v/v) berfungsi untuk menurunkan kadar air atau nilai Aw. Komponen-komponen lainnya dari medium DG18 berperan untuk mendukung pertumbuhan kapang xerofilik. Antibiotik digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri, baik bakteri Gram positif maupun bakteri Gram negatif. Isolat kapang yang tumbuh pada medium DG18 setelah diinkubasi hingga 7 hari kemungkinan berasal dari naskah dan ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan hifa kapang di sekitar kapas. Menurut Pinzari dkk. (2001: 9--10), sampel dari hasil non-invasive sampling dapat diisolasi dengan metode direct plating yaitu dengan meletakkan sampel kapas di atas medium pertumbuhan. Koloni kapang representatif yang tumbuh dari kapas tersebut diduga berasal dari naskah. Michaelsen dkk. (2009: 164) melaporkan bahwa pada permukaan kapas hasil swab terdapat spora dan hifa kapang yang berasal dari naskah, sehingga sebagian dari kapas diinokulasikan secara langsung pada medium di cawan petri. Michaelsen dkk. (2009: 162--164) melaporkan bahwa Aspergillus nidulans, Aspergillus niger, Penicillium commune, Penicillium chrysogenum, Cladosporium cladosporioides, dan Cladosporium herbarum merupakan beberapa spesies dari hasil isolasi sampel swab dari buku Le Stanze del Bandello yang berasal dari abad ke-16 di Braidense Library di Milan yang berhasil diidentifikasi. Hasil isolasi kapang dan kondisi dari naskah kuno Tafsir Al Quran, Wawacan Adji Saka, Waosan Babad Galuh, dan Sajarah Cirebon ditunjukkan Universitas Indonesia

38

pada Tabel 4.1.1 dan Lampiran 8. Isolasi dari keempat naskah tersebut menghasilkan 11 isolat representatif yang berasal dari sampel kapas cotton buds. Salah satu contoh hasil isolasi kapang ditunjukkan oleh Gambar 4.1.(1) yang berasal dari naskah Waosan Babad Galuh. Isolat terbanyak dihasilkan oleh naskah Waosan Babad Galuh yaitu sebanyak 5 isolat. Kondisi naskah kuno Waosan Babad Galuh (Gambar 4.1.(2)) tergolong rusak berat karena kertaskertasnya telah banyak yang sobek dan memiliki bercak-bercak cokelat dan hitam yang menutupi tulisan. Sampel dari naskah Tafsir Al Quran menghasilkan sebanyak 4 isolat. Kondisi naskah kuno Tafsir Al Quran (Gambar 4.1.(3)) sudah tergolong rusak karena banyak lembaran kertasnya yang terdapat bercak-bercak cokelat, sobek, dan lembarannya saling menempel. Naskah Wawacan Adji Saka dan Sajarah Cirebon masing-masing menghasilkan 1 isolat. Naskah Wawacan Adji Saka dan Sajarah Cirebon (Gambar 4.1.(4) dan Gambar 4.1.(5)) memiliki kondisi kertas yang mengalami bercak-bercak hitam oleh pertumbuhan fungi. Hal tersebut menunjukkan adanya korelasi antara kondisi naskah dengan jumlah koloni yang dihasilkan tiap naskah. Koloni kapang tersebut diberi kode isolat kemudian dilakukan pemurnian pada medium DG18.

A

1 cm Keterangan: A. isolat kapang representatif

Gambar 4.1.(1). Isolasi kapang dari naskah Waosan Babad Galuh dengan kode isolat KS.BG.3.1 dalam medium DG18 selama 3 hari pada suhu ruang 27o C [Sumber: Dokumentasi pribadi.]


39

B

A

Keterangan: A. Naskah kuno Waosan Babad Galuh bagian dalam B. Naskah kuno Waosan Babad Galuh bagian dalam yang telah mengalami deteriorasi dan terdapat bercak kecokelatan

Gambar 4.1.(2) Kondisi Naskah Kuno Waosan Babad Galuh [Sumber: Dokumentasi pribadi.]

A

B

Keterangan: A. Naskah kuno Tafsir Al Quran bagian dalam B. Bagian dalam naskah kuno Tafsir Al Quran yang mengalami bercakbercak cokelat

Gambar 4.1.(3) Kondisi Naskah Kuno tafsir Al Quran [Sumber: Dokumentasi pribadi.]


40

A

B

Keterangan: A. Naskah kuno Wawacan Adji Saka tampak luar B. Naskah kuno Wawacan Adji Saka bagian dalam

Gambar 4.1.(4) Kondisi Naskah Kuno Wawacan Adji Saka [Sumber: Dokumentasi pribadi.]

A

B

Keterangan: A. Naskah kuno Sajarah Cirebon tampak luar B. Naskah kuno Sajarah Cirebon bagian dalam

Gambar 4.1.(5) Kondisi Naskah Kuno Sajarah Cirebon [Sumber: Dokumentasi pribadi.] Universitas Indonesia

41

Tabel 4.1.1. Hasil isolasi kapang dari naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan Cirebon dalam Medium DG18 pada suhu 27oC

Nama naskah kuno

Bagian naskah

Jumlah koloni yang tumbuh

Tumbuh pada hari ke-

Jumlah total isolat

4 Tafsir Al Quran

Bagian dalam

4

4 3

KS. AQ.7.1 KS.AQ.7.2

4

KS.AQ.8.1

4

Wawacan Adji

Sampul

Saka

depan

Sampul depan Waosan Babad

Ketebalan

Galuh

atas Bagian dalam

Sajarah

Ketebalan

Cirebon

bawah

1

2

1

2

1

3

KS.AQ.8.2

1

KS.AS.1.1

4

KS.BG.1.2

2

KS.BG.1.3

2

5

KS.BG.3.1

4

KS.BG.7.1

2

KS.BG.8.1

4 Total Isolat

Keterangan: KS.AQ.7.1 KS.AQ.7.2 KS.AQ.8.1 KS.AS.1.1 KS.BG.1.2 KS.BG.1.3 KS.BG.3.1 KS.BG.7.1 KS.BG.8.1 KS.SC.4.1

Kode isolat

1

KS.SC.4.1

11

: Isolat ke-1 dari bagian dalam (1) naskah Tafsir Al Quran : Isolat ke-2 dari bagian dalam (1) naskah Tafsir Al Quran : Isolat ke-1 dari bagian dalam (2) naskah Tafsir Al Quran : Isolat ke-1 dari sampul depan naskah Wawacan Adji Saka : Isolat ke-2 dari sampul depan naskah Waosan Babad Galuh : Isolat ke-3 dari sampul depan naskah Waosan Babad Galuh : Isolat ke-1 dari ketebalan atas naskah Waosan Babad Galuh : Isolat ke-1 dari bagian dalam naskah Waosan Babad Galuh : Isolat ke-1 dari bagian dalam naskah Waosan Babad Galuh : Isolat ke-1 dari ketebalan bawah naskah Sajarah Cirebon

Sebanyak enam isolat dari 11 isolat yang berhasil tumbuh pada medium DG18 berasal dari bagian dalam naskah yang berupa lembaran-lembaran kertas pada naskah kuno serta sebanyak dua isolat masing-masing berasal dari ketebalan atas dan ketebalan bawah lembaran-lembaran kertas naskah kuno. Hal tersebut Universitas Indonesia

42

diduga karena isolat-isolat kapang tersebut mampu menggunakan kertas Eropa pada naskah kuno sebagai substrat dengan menghasilkan enzim yang dapat mengurai substrat kertas. Sebanyak tiga isolat lainnya berasal dari sampul depan. Isolat yang berasal dari sampul depan naskah diduga terbawa udara dan dapat menggunakan bahan pada sampul naskah kuno tersebut sebagai substrat. Kelembaban udara rata-rata ruang penyimpanan naskah yaitu sebesar 78% diduga mempengaruhi keberadaan fungi yang berhasil diisolasi dari sampul depan naskah. Kelembaban udara yang tinggi diduga menjadi faktor yang dapat membuat fungi mampu tumbuh pada permukaan naskah kuno. Arroyo (2009: 41) menyatakan bahwa fungi-fungi yang ditemukan pada naskah kuno diduga dapat menggunakan naskah sebagai substrat. Kelembaban udara yang tinggi pada lingkungan tempat penyimpanan naskah dapat memengaruhi keberadaaan fungifungi tersebut. Umumnya fungi dapat tumbuh pada kelembaban udara yang tinggi. Udara sebagai media perantara spora-spora fungi tersebut hingga kemungkinan jatuh pada permukaan naskah akibat pengaruh gaya gravitasi. Fungi yang memiliki kemampuan selulolitik dapat mengurai selulosa pada kertas naskah kuno, sedangkan fungi nonselulolitik diduga menggunakan materi organik lain pada naskah untuk pertumbuhannya.

4.2

Enumerasi Sel Kapang

Enumerasi dilakukan untuk mengetahui jumlah sel sebelum digunakan sebagai inokulum dalam pengujian. Jumlah Colony Forming Unit per ml (CFU/ml) yang diperoleh memberikan informasi jumlah spora kapang yang hidup, sehingga dapat mewakili jumlah sel yang digunakan sebagai inokulum dalam pengujian. Hasil penghitungan jumlah sel kapang menggunakan metode Total Plate Count (TPC) menunjukkan bahwa kisaran jumlah sel dalam inokulum adalah (1,37--9) x 107 CFU/ml dan dapat dilihat pada Tabel 4.2.1.


43

Tabel 4.2.1. Hasil penghitungan jumlah sel kapang umur 48 jam dengan metode Total Plate Count (TPC)

No.

Kode Isolat

1

KS.AQ.7.1

2

KS.AQ.7.2

3

KS.AQ.8.1

4

KS.AQ.8.2

5

KS.AS.1.1

6

KS.BG.1.2

7

KS.BG.1.3

8

KS.BG.3.1

9

KS.BG.7.1

10

KS.BG.8.1

12

Rhizopus oryzae UICC 24B (kontrol negatif)

13

Aspergillus niger UICC 371 (kontrol positif)

Pengenceran 10-4 10-5 10-6 10-4 10-5 10-6 10-4 10-5 10-6 10-4 10-5 10-6 10-4 10-5 10-6 10-4 10-5 10-6 10-4 10-5 10-6 10-4 10-5 10-6 10-4 10-5 10-6 10-4 10-5 10-6 10-4 10-5 10-6 10-4 10-5 10-6

1 >300 63 10 >300 88 5 >300 79 6 110 16 0 >300 42 5 >300 62 9 >300 37 8 >300 57 8 >300 103 7 295 31 3 >300 24 2 98 33 2

Pengulangan 2 >300 99 10 >300 94 7 >300 93 6 141 18 0 >300 35 3 >300 69 5 >300 40 9 >300 69 5 >300 81 9 244 28 3 >300 34 4 166 14 3

3 >300 91 8 >300 89 8 >300 74 5 151 11 1 >300 44 4 >300 22 7 >300 57 4 >300 79 7 >300 65 5 >300 34 6 >300 24 6 124 16 2

Rata-rata ∑koloni

∑ CFU/ml

84 9

8,4 x 107 9 x 107

90 7

9 x 107 7 x 107

82 6 134 15

8,2 x 107 6 x 107 1,34 x 107 1,5 x 107

40 4

4 x 107 4 x 107

51 7

5,1 x 107 7 x 107

45 7

4,5 x 107 7 x 107

68 7

6,8 x 107 7 x 107

83 7 267 31 4

8,3 x 107 7 x 107 2,67 x 107 3,1 x 107 4 x 107

-

24 4 127 21 2

2,4 x 107 4 x 107 1,27 x 107 2,1 x 107 2 x 107

Jumlah spora kapang tersebut kemudian diseragamkan menjadi 1 x 107 CFU/ml. Pengenceran hingga 1 x 107 sel/ml bertujuan agar jumlah spora dalam inokulum yang digunakan seragam, sehingga perbedaan hasil yang mungkin terjadi pada pengujian kemampuan kapang selulolitik bukan disebabkan oleh perbedaan jumlah spora kapang pada inokulum. Kader dan Omar (1998: 2) telah melakukan pengujian kemampuan selulolitik terhadap 16 isolat kapang dari taman Universitas Indonesia

44

Sayap-Kinabalu, Sabah dengan metode paper disc menggunakan inokulum sel kapang sebesar 107 CFU/ml. Penggunaan medium medium (Plate Count Agar) PCA dengan penambahan rose bengal dan gliserol 18% (v/v) berdasarkan Atlas (2010: 1403) bahwa PCA digunakan untuk enumerasi mikroorganisme, sedangkan rose bengal digunakan untuk memperlambat pertumbuhan kapang yang bersifat fast grower dan gliserol 18% digunakan untuk menurunkan nilai Aw.

4.3

Pengujian Kemampuan Kapang Selulolitik pada Substrat Kertas Eropa

Pengujian kemampuan isolat kapang naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan Cirebon dalam menggunakan kertas Eropa sebagai substrat dilakukan menggunakan suspensi sel kapang uji yang telah dihitung jumlah sel/ml. Suspensi spora kapang yang digunakan 1 x 107 sel/ml. Kader dan Omar (1998: 2) telah melakukan pengujian kemampuan selulolitik terhadap 16 isolat kapang dari taman Sayap-Kinabalu, Sabah menggunakan inokulum sel kapang sebesar 107 CFU/ml. Pengujian kemampuan selulolitik kapang menggunakan metode paper disc assay. Metode tersebut termasuk dalam metode kualitatif dengan melihat ada atau tidaknya pertumbuhan hifa pada permukaan kertas Eropa. Metode paper disc yang dilakukan menggunakan potongan kertas Eropa pada medium basal CDA. Metode tersebut digunakan untuk membuktikan kapang pada naskah kuno menggunakan kertas Eropa sebagai sumber karbon dan dapat mengurai selulosa pada kertas, sehingga dapat diduga bahwa isolat uji yang didapatkan berasal dari kertas Eropa dan mampu menggunakan kertas Eropa sebagai substrat untuk pertumbuhan. Pengujian kemampuan selulase menggunakan metode paper disc assay terhadap isolat kapang dilakukan berdasarkan Rosenberg dan Oberkotter (1978: 1). Rosenberg dan Oberkotter menguji pertumbuhan bakteri selulolitik Cellvibrio vulgaris pada substrat kertas saring Whatman no.1 sebagai sumber karbon. Bakteri uji dengan kemampuan selulolitik dapat tumbuh pada kertas saring. Universitas Indonesia

45

Pengujian pertumbuhan kapang pada potongan kertas Eropa dilakukan pada 11 isolat kapang yang telah bersporulasi. Pengujian menggunakan kertas Eropa dari dokumen tua VOC tahun 1868 dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang memiliki watermark bertuliskan liskan WJ. Wymuller (Gambar 4.3.(1)). 4.3 Potongan kertas Eropa diletakkan pada medium CDA basal tanpa sukrosa sebagai sumber karbon, sehingga sumber karbon utama berasal berasal dari potongan kertas Eropa. Isolat kapang yang mampu tumbuh pada potongan kertas Eropa Ero dapat dilihat pada Gambar 4.3.(2) 4.3 yang diamati menggunakan mikroskop Stereo (Zeiss).

1 cm Gambar 4.3.(1).Kertas 4. Kertas Eropa dari dokumen tua VOC pada tahun 1868 milik Perpustakaan Nasional Republik Indonesia [Sumber: Dokumentasi Dokumen pribadi.]

Pengamatan pertumbuhan isolat kapang pada kertas Eropa dilakukan pada hari ke-2 hingga hari ke-7. ke Hasil pengujian pertumbuhan 11 isolat kapang pada kertas Eropa (Tabel Tabel 4.3.1) 4.3 ) menunjukkan bahwa semua isolat tersebut mampu tumbuh pada kertas Eropa yang ditandai dengan pertumbuhan hifa pada kertas, namun hanya 10 isolat yang bersporulasi pada pengamatan hingga hari ke-7. ke Potongan kertas Eropa yang diteteskan akuades steril tidak menunjukkan adanya pertumbuhan kapang. Potongan kertas Eropa yang diteteskann suspensi sel A. niger UICC 371 sebagai kontrol positif menunjukkan adanya pertumbuhan


46

kapang. Potongan kertas Eropa yang diteteskan suspensi sel R. oryzae UICC 24B sebagai kontrol negatif tidak menunjukkan adanya pertumbuhan kapang.

Tabel 4.3.1. Hasil uji pertumbuhan isolat kapang pada potongan kertas Eropa dalam medium basal CDA pada suhu 27o C Naskah Kuno Tafsir Al Quran Pertumbuhan Inokulum

(pengulangan) 1

2

3

KS.AQ.7.1

+

+

+

Akuades

-

-

-

A.niger UICC 371

+

+

+

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

KS.AQ.7.2

+

+

+

Akuades

-

-

-

A.niger UICC 371

+

+

+

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

KS.AQ.8.1

+

+

+

Akuades

-

-

-

A.niger UICC 371

+

+

+

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

KS.AQ.8.2

+

+

+

Akuades

-

-

-

A.niger UICC 371

+

+

+

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

Tumbuh hifa hari ke-

Sporulasi hari ke-

3

6

3

6

3

6

3

6

2

5

3

6

4

Naskah Kuno Wawacan Adji Saka Pertumbuhan Inokulum

(pengulangan) 1

2

3

KS.AS.1.1

+

+

+

Akuades

-

-

-

A.niger UICC 371

+

+

+

R. oryzae UICC 24B

-

-

-


Sporulasi hari ke-

3

6

3

6


47

Tabel 4.3.1. (sambungan) Naskah Kuno Waosan Babad Galuh Pertumbuhan Inokulum

(pengulangan) 1

2

3

KS.BG.1.2

+

+

+

Akuades

-

-

-

A.niger UICC 371

+

+

+

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

KS.BG.1.3

+

+

+

Akuades

-

-

-

A.niger UICC 371

+

+

+

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

KS.BG.3.1

+

+

+

Akuades

-

-

-

A.niger UICC 371

+

+

+

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

KS.BG.7.1

+

+

+

Akuades

-

-

-

A.niger UICC 371

+

+

+

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

KS.BG.8.1

+

+

+

Akuades

-

-

-

A.niger UICC 371

+

+

+

R. oryzae UICC 24B

-

-

-


Sporulasi hari ke-

3

6

3

6

3

6

3

6

3

6

3

6

2

5

3

6

3

6

Naskah Kuno Sajarah Cirebon Pertumbuhan Inokulum

(pengulangan) 1

2

3

KS.SC.4.1

+

+

+

Akuades

-

-

-

A.niger UICC 371

+

+

+

R. oryzae UICC 24B

-

-

-


Sporulasi hari ke-

3

6

3

6

Keterangan: +

= ada pertumbuhan;

-

= tidak ada pertumbuhan Universitas Indonesia

48

a

b

c

d

e

f

g

h

i

Keterangan: a. Isolat KS.AQ.7.1 b. Isolat KS.AQ.7.2 c. Isolat at KS.AQ.8.1 d. Isolat KS.AQ.8.2 e. Isolat lat KS.BG.1.2

f. g. h. i.

Isolat KS.BG.1.3 Isolat KS.BG.3.1 Isolat KS.BG.7.1 Isolat KS.BG.8.1

Gambar 4.3.(2).Isolat Isolat-isolat isolat kapang naskah kuno kertas Eropa Keraton Kasepuhan tumbuh di kertas Eropa dalam medium CDA basal pada umur 7 hari dan diinkubasi pada suhu ruang (27o C). [Sumber: Dokumentasi pribadi.] pribadi Universitas Indonesia

49

k

j

m

l

n

Keterangan: j. Isolat KS.AS.1.1 k.Isolat KS.SC.4.1 l. Akuades steril m. Kontrol positif Aspergillus niger UICC 371 n. Kontrol negatif Rhizopus oryzae UICC 24B Pengamatan menggunakan mikroskop stereo (Carl-Zeiss) (Carl Zeiss) perbesaran 8x

Gambar 4.3.(2). (sambungan) Sumber: [Dokumentasi pribadi.]

Hasil pengujian isolat-isolat isolat kapang pada kertas Eropa menunjukkan bahwa seluruh isolat mampu menggunakan kertas Eropa sebagai substrat substr dan sebagai sumber karbon. karbon Hal tersebut mengindikasikan bahwa isolat-isolat isolat tersebut memang berasal dari naskah kuno dan mampu tumbuh pada permukaan naskah dengan menghasilkan hasilkan enzim yang dapat mengurai substrat kertas. kertas Isolat Universitas Indonesia

50

kapang KS.AQ.8.1 dari naskah kuno Tafsir Al Quran dan KS.BG.7.1 dari naskah kuno Waosan Babad Galuh diketahui menunjukkan pertumbuhan yang paling cepat pada kertas Eropa (Tabel 4.3.1). Kedua kapang tersebut berasal dari bagian dalam naskah yang terdeteriorasi. Hal tersebut mengindikasikan kedua kapang tersebut dapat merusak lembaran-lembaran kertas pada naskah lebih cepat. Pinzari dkk. (2006: 58--59), melaporkan bahwa kapang mampu tumbuh pada substrat naskah kuno dengan menghasilkan enzim ekstraseluler yang dapat mengurai materi-materi organik penyusun kertas seperti selulosa dan hemiselulosa. Selulosa merupakan materi organik utama penyusun kertas, sehingga kapang yang dapat tumbuh pada permukaan kertas diduga dapat menghasilkan enzim selulase yang dapat mengurai selulosa pada kertas. Bahanbahan lainnya yang terdapat pada naskah seperti tinta dan lem yang mengandung materi organik dapat menjadi sumber nutrien lainnya bagi kapang. Berdasarkan Rosenberg dan Oberkotter (1978: 1), apabila isolat uji mampu tumbuh pada substrat kertas yang diletakkan pada medium basal tanpa sumber karbon, maka mengindikasikan isolat uji tersebut mampu menggunakan kertas sebagai sumber karbon. Sumber karbon diperoleh dari selulosa yang menjadi komponen penyusun kertas yang utama.

4.4

Pengujian Kemampuan Kapang Selulolitik pada Substrat Carboxy Methyl Cellulose (CMC)

Pengujian kemampuan selulolitik dilakukan terhadap 11 isolat kapang naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan Cirebon yang telah bersporulasi. Suspensi spora kapang yang digunakan 1 x 107 sel/ml. Kader dan Omar (1998: 2) telah melakukan pengujian kemampuan selulolitik terhadap 16 isolat kapang dari taman Sayap-Kinabalu, Sabah dengan metode plate screening assay menggunakan inokulum sel kapang sebesar 107 CFU/ml. Hasil pengujian kemampuan selulolitik terhadap 11 isolat kapang pada medium CDA basal tanpa sumber karbon dengan penambahan substrat Carboxy Methyl Cellulose (CMC) menunjukkan bahwa sebanyak tujuh isolat menghasilkan Universitas Indonesia

51

zona bening, sedangkan empat isolat lainnya tidak menghasilkan zona bening. Isolat-isolat kapang yang menghasilkan zona bening memiliki nilai Indeks Aktivitas Selulase (IAS) yang dapat dilihat pada Tabel 4.4.1 serta ditunjukkan pada Gambar 4.4.(1), Gambar 4.4.(2), Gambar 4.4.(3), dan Gambar 4.4.(4). Well atau sumur yang ditetesi suspensi akuades steril dan isolat kapang R. oryzae UICC 24B sebagai kontrol negatif tidak menunjukkan pertumbuhan. Sumur yang ditetesi suspensi isolat kapang A. niger UICC 371 sebagai kontrol positif menunjukkan pertumbuhan dan menghasilkan zona bening. Zona bening yang dihasilkan oleh isolat-isolat kapang tersebut dan A. niger UICC 371 sebagai kontrol positif, mengindikasikan adanya enzim endoglukanase yang dihasilkan oleh kapang. Zona bening yang dihasilkan kemudian diukur dan dikonversi menjadi nilai Indeks Aktivitas Selulase. Lynd dkk. (2002: 511) menyatakan bahwa CMC merupakan substrat yang umum digunakan untuk mengetahui aktivitas enzim endoglukanase. Onsori dkk. (2005: 27) berhasil melakukan pengujian kemampuan selulolitik 13 kapang Aspergillus yang diisolasi dari tanah dan jelaga di Iran menggunakan metode sumur untuk mengetahui kapang yang memiliki aktivitas endoglukanase tertinggi. Prinsip kerja dari metode plate screening assay menggunakan sumur adalah kapang dapat menggunakan substrat CMC yang berada di sekeliling sumur kemudian menyekresikan enzim endoglukanase. Endoglukanase dari hifa-hifa kapang berdifusi secara radial ke medium di sekeliling sumur untuk mengurai substrat CMC. Pewarna congo red berikatan dengan ikatan β-1,4-glikosida pada substrat CMC. Ikatan β-1,4glikosida pada CMC yang terurai oleh endoglukanase menyebabkan pewarna congo red tidak dapat berikatan dengan CMC, sehingga warna merah congo red memudar dan terbentuk zona bening di sekeliling koloni. Zona bening yang terbentuk bervariasi dalam hal tingkat beningnya, mulai dari yang tidak terlihat jelas hingga yang terlihat sangat bening. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap isolat kapang memiliki kemampuan yang berbedabeda dalam menguraikan substrat CMC. Zona bening yang paling jelas terlihat dan paling bening dimiliki oleh isolat KS.AQ.8.2, sedangkan zona bening yang paling redup dan dan tidak terlihat jelas dimiliki oleh isolat KS.SC.4.1. Zona bening yang terlihat sangat bening menunjukkan bahwa CMC terdegradasi secara Universitas Indonesia

52

sempurna menjadi monomer-monomer glukosa dan ikatan β-1,4-glikosida sudah terputus, sehingga tidak dapat berikatan lagi dengan congo red dan mewarnai medium. Zona bening yang tidak terlihat secara jelas menunjukkan bahwa CMC terdegradasi menjadi fragmen-fragmen yang lebih pendek yang masih memiliki ikatan β-1,4-glukosida, sehingga masih dapat berikatan dengan congo red dan mewarnai medium. Teather dan Wood (1982: 777--778) melaporkan bahwa pewarna congo red berikatan secara kuat dengan medium yang mengandung polisakarida yang memiliki ikatan β-1,4-glikosida seperti selulosa. Adanya zona bening mengindikasikan adanya endoglukanase yang dihasilkan oleh isolat uji. Zona bening terbentuk karena substrat CMC terurai oleh enzim endoglukanase yang dihasilkan oleh isolat uji sehingga menyebabkan congo red yang berikatan dengan selulosa menjadi terurai pula. Terbentuknya zona bening berkaitan pula dengan menurunnya pH medium akibat asam organik yang dihasilkan dari metabolisme kapang dalam mengurai selulosa. Jo dkk. (2011: 131--132) melaporkan bahwa asam organik yang dihasilkan dari metabolisme kapang akan menurunkan pH medium menjadi lebih asam dan menyebabkan congo red sebagai indikator pH berubah warna dari merah menjadi oranye. Berdasarkan Yoon dkk. (2007: 22--23), congo red merupakan indikator pH pada pengujian kemampuan kapang selulolitik menggunakan medium dengan penambahan substrat CMC. Congo red memberi warna merah yang pekat pada medium dengan pH 7, sedangkan congo red tidak memberi warna merah yang pekat apabila pH medium kurang dari 7. Nilai pH menjadi turun disebabkan oleh asam organik yang dihasilkan oleh metabolisme fungi. Nilai IAS berturut-turut dari yang tertinggi adalah isolat KS.BG.7.1, KS.AQ.8.1, KS.BG.1.2, KS.BG.8.1, KS.AQ.8.2, KS.SC.4.1, dan KS.AQ.7.1. Nilai IAS yang diperoleh berkorelasi dengan kecepatan isolat kapang tumbuh pada kertas Eropa. Isolat KS.BG.7.1 dan KS.AQ.8.1 mulai tumbuh hifa di kertas Eropa pada hari kedua dan mulai bersporulasi pada hari kelima. Kapang yang memiliki nilai IAS tertinggi mengindikasikan kemampuan kapang tersebut adalah yang tertinggi dalam mengurai substrat CMC. Berdasarkan Kader dan Omar


53

(1998: 3), kapang yang memiliki nilai IAS tertinggi tinggi mengindikasikan bahwa isolat kapang tersebut ut mempunyai aktivitas selulase tertinggi.

Nilai IAS

Indeks Aktivitas Selulase

4,00

3,65 3,33

3,50

3,18

3,00 2,40

2,42

2,50 2,00

1,42 1,50

1,25

1,00 0,50 -

Kode Isolat

Gambar 4.4.(1).. Nilai Indeks Aktivitas Selulase isolat kapang selulolitik dalam medium basal CDA dengan substrat CMC pada suhu 27o C [Sumber: Dokumentasi pribadi.]


54

Tabel 4.4.1. Nilai Indeks Aktivitas Selulase isolat-isolat kapang naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan Cirebon Naskah kuno Tafsir Al Quran Diameter zona bening (mm) Inokulum

IAS pengulangan 1

2

3

KS.AQ.7.1

20,62

20,09

20,16

Akuades

-

-

-

A.niger UICC 371

25,78

25,77

25,76

0,96

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

-

KS.AQ.7.2

-

-

-

-

Akuades

-

-

-

-

A.niger UICC 371

25,76

25,75

25,74

0,94

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

KS.AQ.8.1

40,47

37,48

-

3,33 + 0,23

Akuades

-

-

-

-

A.niger UICC 371

23,16

23,18

-

0,67

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

-

KS.AQ.8.2

-

30,54

31,10

2,42 + 0,04

Akuades

-

-

-

-

A.niger UICC 371

29,06

29,11

29,14

0,69

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

-

-

1,25 + 0,03

Naskah Kuno Wawacan Adji Saka Diameter zona bening (mm) Inokulum

IAS pengulangan 1

2

3

KS.AS.1.1

-

-

-

-

Akuades

-

-

-

-

A.niger UICC 371

29,16

29,18

29,13

0,73

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

-


55

Tabel 4.4.1. (sambungan) Naskah kuno Waosan Babad Galuh Diameter zona bening (mm) Inokulum

IAS pengulangan 1

2

3

KS.BG.1.2

37,13

38,19

-

3,18 + 0,08

Akuades

-

-

-

-

A.niger UICC 371

25,78

25,77

25,76

0,96

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

-

KS.BG.1.3

-

-

-

-

Akuades

-

-

-

-

A.niger UICC 371

25,41

25,43

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

-

KS.BG.3.1

-

-

-

-

Akuades

-

-

-

-

A.niger UICC 371

23,14

23,16

-

0,66

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

-

KS.BG.7.1

46,44

34,78

44,37

3,65 + 0,69

Akuades

-

-

-

-

A.niger UICC 371

29,16

29,18

29,16

0,73

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

-

KS.BG.8.1

25,78

32,45

33,70

2,40 + 0,47

-

-

-

Akuades

0,45

A.niger UICC 371

26,24

26,26

26,25

1,33

R. oryzae UICC 24B

-

-

-

-

Naskah kuno Sajarah Cirebon Diameter zona bening (mm) Inokulum

IAS pengulangan 1

2

3

KS.SC.4.1

20,15

23,49

-

1,42 + 0,26

Akuades

-

-

-

-

A.niger UICC 371

29,92

29,96

-

0,79

R.oryzae UICC 24B

-

-

-


56

A

B

C Keterangan: A. B. C.

Zona bening yang dihasilkan oleh isolat KS.BG.1.2 Zona bening yang dihasilkan oleh isolat KS.BG.7.1 Zona bening yang dihasilkan oleh isolat KS.BG.8.1

Gambar 4.4.(2). Zona bening yang dihasilkan isolat-isolat asal naskah kuno Waosan Babad Galuh dalam substrat CMC dengan pewarna congo red pada suhu 27o C. [Sumber: Dokumentasi pribadi.]


57

A

B

C Keterangan: A. B. C.

Zona bening yang dihasilkan oleh isolat KS.AQ.7.1 Zona bening yang dihasilkan oleh isolat KS.AQ.8.1 Zona bening yang dihasilkan oleh isolat KS.AQ.8.2

Gambar 4.4.(3). Zona bening yang dihasilkan isolat-isolat asal naskah kuno Tafsir Al Quran dalam substrat CMC dengan pewarna congo red pada suhu 27o C. [Sumber: Dokumentasi pribadi.]

Gambar 4.4.(4). Zona bening ( ) isolat KS.SC.4.1 asal naskah kuno Sajarah Cirebon dalam substrat CMC dengan pewarna congo red pada suhu 27o C. [Sumber: Dokumentasi pribadi.] Universitas Indonesia

58

Isolat kapang yang memiliki kemampuan selulolitik dengan menghasilkan endoglukanase dan tumbuh pada kertas Eropa adalah KS.AQ.8.1, KS.BG.1.2, KS.BG.7.1, KS.SC.4.1, KS.AQ.7.1, KS.BG.8.1, dan KS.AQ.8.2. Isolat-isolat tersebut diduga merupakan kapang selulolitik yang dapat tumbuh pada kertas Eropa dengan menghasilkan enzim endoglukanase yang mengurai selulosa pada kertas Eropa. Isolat-isolat lainnya yang dapat tumbuh pada kertas namun tidak menghasilkan endoglukanase, diduga menggunakan materi organik lain pada kertas selain selulosa atau menggunakan hasil uraian selulosa yang telah didegradasi oleh kapang selulolitik. Sebanyak lima isolat dari tujuh isolat kapang selulolitik tersebut yaitu isolat kapang KS.AQ.7.1, KS.AQ.8.1, KS.AQ.8.2, KS.BG.7.1, dan KS.BG.8.1 berasal dari bagian dalam yang merupakan lembaranlembaran kertas pada naskah kuno Tafsir Al Quran dan Waosan Babad Galuh yang telah mengalami deteriorasi. Isolat kapang selulolitik KS.SC.4.1 berasal dari ketebalan bawah lembaran-lembaran kertas pada naskah kuno Sajarah Cirebon. Kapang-kapang selulolitik tersebut diduga menghasilkan endoglukanase untuk mengurai selulosa pada kertas sehingga lambat laun menyebabkan deteriorasi pada kertas. Isolat kapang selulolitik KS.BG.1.2 berasal dari sampul depan naskah kuno Waosan Babad Galuh yang berbahan karton. Hal tersebut diduga pada bahan karton mengandung selulosa yang dapat didegradasi oleh kapang selulolitik tersebut. Arroyo (2009: 43) menyatakan bahwa fungi selulolitik pada kertas mampu menghasilkan selulase yang mengurai selulosa sebagai materi organik utama kertas, namun, fungi nonselulolitik juga mampu tumbuh pada kertas Eropa dengan memanfaatkan materi organik lainnya pada kertas seperti hemiselulosa dan protein atau memanfaatkan hasil uraian selulosa oleh fungi selulolitik seperti glukosa.

4.5

Identifikasi Kapang Secara Konvensional

Identifikasi terhadap 11 isolat kapang dari naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan Cirebon dilakukan secara konvensional, yaitu melalui pengamatan karakter mikromorfologi dan makromorfologi. Pengamatan Universitas Indonesia

59

mikromorfologi dan makromorfologi dilakukan pada isolat yang berumur 7 hari dalam medium CDA. Hasil pengamatan (Tabel 4.5.1) menunjukkan bahwa lima isolat merupakan genus Aspergillus, empat isolat merupakan genus Penicillium, satu isolat merupakan genus Eurotium, dan satu isolat merupakan mycelia sterilia. Shamsian dkk. (2008: 420--422) telah mengisolasi dan mengidentifikasi kapang dari 495 manuskrip dan buku kuno yang diambil secara acak di Perpustakan Museum Astan Quds di Iran. Aspergillus spp. sebanyak 34 isolat (41%) dan 19 isolat Penicillum (22,9%) merupakan kapang kontaminan utama pada naskahnaskah kuno di Perpustakan Museum Astan Quds di Iran. Tabel 4.5.1. Hasil identifikasi kapang dari naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan Cirebon Naskah Kuno

Jumlah Isolat

Identitas Genus

Waosan Babad Galuh

5

3 Aspergillus, 2 Penicillium

Tafsir Al Quran

4

1 Aspergillus, 2 Penicillium, 1 mycelia sterilia

Wawacan Aji Saka

1

1 Aspergillus

Sajarah Cirebon

1

1 Eurotium

Total Isolat

11

5 Aspergillus (46%), 1 Eurotium (9%), 4 Penicillium (36%), 1 mycelia sterilia (9%)

4.5.1

Aspergillus sp. KS.AQ.7.2, Aspergillus sp. KS.AS.1.1, Aspergillus sp. KS.BG.1.3, Aspergillus sp. KS.BG.3.1, Aspergillus sp. KS.BG.8.1.

Pengamatan dilakukan pada kapang Aspergillus sp. KS.AQ.7.2, Aspergillus sp. KS.AS.1.1, Aspergillus sp. KS.BG.1.3, Aspergillus sp. KS.BG.3.1, Aspergillus sp. KS.BG.8.1 yang berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu 27o C. Hasil pengamatan karakter mikromorfologi dan makromorfologi kapang Aspergillus sp. KS.AQ.7.2, Aspergillus sp. KS.AS.1.1, Aspergillus sp. KS.BG.1.3, Aspergillus sp. KS.BG.3.1, Aspergillus sp. KS.BG.8.1 dapat dilihat pada Tabel 4.5.1.1. Pengamatan mikromorfologi pada kapang-kapang tersebut menunjukkan tidak ditemukan alat reproduksi seksual dan hanya ditemukan alat reproduksi Universitas Indonesia

60

aseksual sehingga disimpulkan bahwa kapang tersebut berada pada fase anamorf. Konidia terlihat bertumpuk membentuk untaian seperti rantai. Konidia berasal dari bagian apikal konidiofor yang mengalami pembengkakan (vesikel). Kepala konidia berbentuk radial yang terdiri dari vesikel, fialid dan metula. Deskripsi kapang Aspergillus sp. KS.AQ.7.2, Aspergillus sp. KS.AS.1.1, Aspergillus sp.KS.BG.1.3, Aspergillus sp. KS.BG.3.1, Aspergillus sp. KS.BG.8.1 sesuai dengan deskripsi kapang Aspergillus pada monograf Introduction to Food and Airborne-Fungi oleh Samson dkk. (2004: 107). Menurut Samson dkk. (2004: 107), yaitu secara makroskopik, koloni umumnya bersifat fast grower, memiliki warna koloni putih, kuning, kuning kecokelatan, hijau, dan coklat kehitaman. Ujung konidiofor membulat membentuk vesikel yang dilapisi oleh susunan fialid yang menghasilkan konidia (uniseriate) atau vesikel dilapisi oleh struktur metula kemudian pada metula dilapisi oleh struktur fialid yang menghasilkan konidia (biseriate) (Gambar 4.5.1.(1)). Struktur yang terdiri dari vesikel, metula (bila ada), fialid, dan konidia akan membentuk kepala konidia. Konidia terdiri dari satu sel, memiliki dinding yang halus atau kasar, hialin atau berpigmen.

Gambar 4.5.1.(1). Tipe kepala konidia pada karakter mikromorfologi genus Aspergillus [Sumber: Ellis dkk. 2007: 8.]


61

Pengamatan dilakukan pada Aspergillus sp. KS.AQ.7.2 yang berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu 27o C. Pengamatan mikromorfologi pada kapang tersebut menunjukkan tidak ditemukan bentuk seksual sehingga disimpulkan bahwa kapang tersebut berada pada fase anamorf. Konidia terlihat bertumpuk membentuk untaian seperti rantai. Konidia berasal dari bagian apikal konidiofor yang mengalami pembengkakan (vesikel). Kepala konidia berbentuk radial yang terdiri dari vesikel, fialid dan metula. Diameter konidia Aspergillus sp. KS.AQ.7.2 berkisar 1,54--1,66 µm. Diameter kepala konidia Aspergillus sp. KS.AQ.7.2 berkisar (36,15--36,28) µm. Lebar hifa vegetatif Aspergillus sp. KS.AQ.7.2 berkisar 6,12--6,49 µm. Aspergillus sp. KS.AQ.7.2 memiliki tipe kepala konidia biseriate karena memiliki metula dan fialid. Fialid duduk di atas metula. Kepala konidia berbentuk radial dan fialid tumbuh pada seluruh bagian vesikel (full fertile). Pengamatan karakter makromorfologi Aspergillus sp. KS.AQ.7.2 menunjukkan Aspergillus sp. KS.AQ.7.2 memiliki diameter rata-rata 8,48--36,37 mm dalam waktu 7 hari, warna koloni hijau Grey green 172 (Lampiran 2), tekstur permukaan granular, tidak terdapat exudate drops, growing zone, radial furrow dan zonasi. Karakter sebalik koloni adalah tidak berwarna (hialin), tidak ada growing zone, radial furrow serta zonasi. Hasil pengamatan karakter mikromorfologi dan makromorfologi Aspergillus sp. KS.AQ.7.2 dapat dilihat pada Tabel 4.5.1.1 serta ditunjukkan Gambar 4.5.1.(2) dan Gambar 4.5.1.(3).


62

Tabel 4.5.1.1. Hasil pengamatan morfologi Aspergillus sp. KS.AQ.7.2, Aspergillus sp. KS.AS.1.1, Aspergillus sp. KS.BG.1.3, Aspergillus sp. KS.BG.3.1, Aspergillus sp. KS.BG.8.1 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C) Karakter

Aspergillus sp. KS.AQ.7.2

Aspergillus sp. KS.AS.1.1

Aspergillus sp. KS.BG.1.3



Tidak ditemukan

Tidak ditemukan

Tidak ditemukan

Tidak ditemukan

Tidak ditemukan

Bulat

Bulat

Bulat

Bulat

Bulat

1,54--1,66 µm

1,61--1,64 µm

1,62--1,64 µm

1,86--2,09 µm

1,75--2,1 µm

Radial

Radial

Radial

Radial

Radial

(36,15--36,28) µm

(55,07--56,27) µm

(60,12--65,24) µm

(72,29--73,35) µm

(58,9--72,07) µm

Bersekat (septate) 7,5--7,65 µm

Mikromorfologi a. Spora seksual b. Bentuk konidia c. Diameter konidia d. Bentuk kepala konida e. Diameter kepala konidia f. Jenis hifa g. Lebar hifa h. Pigmentasi hifa i. Sterigmata j. Karakter lain Makromorfologi k.

Warna koloni l. Tekstur m. Sporulasi n. Zonasi o. Exudate drops p. Radial furrow sebalik koloni q. warna r. zonasi s. radial furrow

Bersekat (septate) 6,12--6,49 µm

Bersekat Bersekat (septate) (septate) 10,55--11,11µm 7,61--7,96 µm

Tidak berwarna

Tidak berwarna

Tidak berwarna

Tidak berwarna

Bersekat (septate) 7,25--10,28 µm Tidak berwarna

Biseriate

Uniseriate

Biseriate

Biseriate

Biseriate

Metula, fialid

Fialid

Metula, fialid

Metula, fialid

Metula, fialid

Grey green 172 Granular Ada Tidak ada



Olive green 173 Granular Ada Tidak ada

Olive green 173 Granular Ada Tidak ada

Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak Ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

hialin tidak ada tidak ada






63

E

C

B

A

D

F 10 µm Keterangan: A. Kepala konidia B. Vesikel

C. Metula D. Fialid

E. Konidia F. Konidiofor

Gambar 4.5.1.(2). Pengamatan mikromorfologi Aspergillus sp. KS.AQ.7.2 perbesaran 10 x 40 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C) [Sumber: Dokumentasi pribadi.]

A

B b

1 cm

C

1 cm Keterangan: A. Koloni kapang Aspergillus sp. KS.AQ.7.2 pada tiga titik B. Permukaan atas koloni kapang Aspergillus sp. KS.AQ.7.2 C. Sebalik koloni kapang Aspergillus sp. KS.AQ.7.2

Gambar 4.5.1.(3). Pengamatan makromorfologi Aspergillus sp. KS.AQ.7.2 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C) [Sumber: Dokumentasi pribadi.] Universitas Indonesia

64

Pengamatan dilakukan pada Aspergillus sp. KS.AS.1.1 yang berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu 27o C. Pengamatan mikromorfologi pada kapang tersebut menunjukkan tidak ditemukan bentuk seksual sehingga disimpulkan bahwa kapang tersebut berada pada fase anamorf. Konidia terlihat bertumpuk membentuk untaian seperti rantai. Konidia berasal dari bagian apikal konidiofor yang mengalami pembengkakan (vesikel). Kepala konidia berbentuk radial yang terdiri dari vesikel, dan fialid. Diameter konidia Aspergillus sp. KS.AS.1.1 berkisar 1,61--1,64 µm. Diameter kepala konidia Aspergillus sp. KS.AS.1.1 berkisar (55,07--56,27) µm. Lebar hifa vegetatif Aspergillus sp. KS.AS.1.1 berkisar 10,55--11,11 µm. Aspergillus sp. KS.AS.1.1 memiliki tipe kepala konidia uniseriate karena hanya memiliki fialid. Fialid duduk di atas vesikel. Kepala konidia berbentuk radial dan fialid tumbuh pada seluruh bagian vesikel (full fertile). Pengamatan karakter makromorfologi Aspergillus sp. KS.AS.1.1 menunjukkan Aspergillus sp. KS.AS.1.1 memiliki diameter rata-rata 7,05--32,65 mm dalam waktu 7 hari, warna koloni hijau Grey green 172 (Lampiran 2), tekstur permukaan granular, tidak terdapat exudate drops, growing zone, radial furrow dan zonasi. Karakter sebalik koloni adalah tidak berwarna (hialin), tidak ada growing zone, radial furrow serta zonasi. Hasil pengamatan karakter mikromorfologi dan makromorfologi Aspergillus sp. KS.AS.1.1 dapat dilihat pada Tabel 4.5.1.1 serta ditunjukkan Gambar 4.5.1.(4) dan Gambar 4.5.1.(5).


65

D A

C

B

10 µm

E Keterangan: A. Kepala konidia B. Vesikel

C. Fialid D. Konidia

E. Konidiofor

Gambar 4.5.1.((4). Pengamatan mikromorfologi Aspergillus sp. KS.AS.1.1 perbesaran 10 x 40 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C) [Sumber: Dokumentasi Dokumen pribadi.]

A

B

1 cm

C

1 cm Keterangan: A. Koloni kapang Aspergillus sp. KS.AS.1.1 pada tiga titik B. Permukaan atas koloni kapang Aspergillus sp. KS.AS.1.1 C. Sebalik koloni kapang Aspergillus sp. KS.AS.1.1

Gambar 4.5.1.(55). Pengamatan makromorfologi Aspergillus sp. KS.AS.1.1 hari ke-7 dalam medium CDA DA pada suhu ruang (27o C) [Sumber: Dokumentasi Dokumen pribadi.] Universitas Indonesia

66

Pengamatan dilakukan pada Aspergillus sp. KS.BG.1.3 yang berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu 27o C. Pengamatan mikromorfologi pada kapang tersebut menunjukkan tidak ditemukan bentuk seksual sehingga disimpulkan bahwa kapang tersebut berada pada fase anamorf. Konidia terlihat bertumpuk membentuk untaian seperti rantai. Konidia berasal dari bagian apikal konidiofor yang mengalami pembengkakan (vesikel). Kepala konidia berbentuk radial yang terdiri dari vesikel, fialid dan metula. Diameter konidia Aspergillus sp. KS.BG.1.3 berkisar 1,62--1,64 µm. Diameter kepala konidia Aspergillus sp. KS.BG.1.3 berkisar (60,12--65,24) µm. Lebar hifa vegetatif Aspergillus sp. KS.BG.1.3 berkisar 7,61--7,96 µm. Aspergillus sp. KS.BG.1.3 memiliki tipe kepala konidia biseriate karena memiliki metula dan fialid. Fialid duduk di atas metula. Kepala konidia berbentuk radial dan fialid tumbuh pada seluruh bagian vesikel (full fertile). Pengamatan karakter makromorfologi Aspergillus sp. KS.BG.1.3 menunjukkan Aspergillus sp. KS.BG.1.3 memiliki diameter rata-rata 7,48--38,77 mm dalam waktu 7 hari, warna koloni hijau Grey green 172 (Lampiran 2), tekstur permukaan granular, tidak terdapat exudate drops, growing zone, radial furrow dan zonasi. Karakter sebalik koloni adalah tidak berwarna (hialin), tidak ada growing zone, radial furrow serta zonasi. Hasil pengamatan karakter mikromorfologi dan makromorfologi Aspergillus sp. KS.BG.1.3 dapat dilihat pada Tabel 4.5.1.1. serta ditunjukkan Gambar 4.5.1.(6) dan Gambar 4.5.1.(7).


67

Keterangan: A. Kepala konidia B. Vesikel

C. Metula D. Fialid


Gambar 4.5.1.(6)). Pengamatan mikromorfologi Aspergillus sp. KS.BG.1.3 perbesaran 10 x 40 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu ruang 27o C [Sumber: Dokumentasi tasi pribadi.]

A

B

1 cm

C

1 cm Keterangan: A. Koloni kapang Aspergillus sp. KS.BG.1.3 pada tiga titik B. Permukaan atas koloni kapang Aspergillus sp. KS.BG.1.3 C. Sebalik koloni kapang Aspergillus sp.KS.BG.1.3

Gambar 4.5.1.(77). Pengamatan makromorfologi Aspergillus sp. KS.BG.1.3 hari ke-7 dalam medium CDA DA pada suhu ruang (27o C) [Sumber: Dokumentasi Dokumen pribadi.] Universitas Indonesia

68

Pengamatan dilakukan pada Aspergillus sp. KS.BG.3.1 yang berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu 27o C. Pengamatan mikromorfologi pada kapang tersebut menunjukkan tidak ditemukan bentuk seksual sehingga disimpulkan bahwa kapang tersebut berada pada fase anamorf. Konidia terlihat bertumpuk membentuk untaian seperti rantai. Konidia berasal dari bagian apikal konidiofor yang mengalami pembengkakan (vesikel). Kepala konidia berbentuk radial yang terdiri dari vesikel, fialid dan metula. Diameter konidia Aspergillus sp. KS.BG.3.1 berkisar 1,86--2,09 µm. Diameter kepala konidia Aspergillus sp.KS.BG.3.1 berkisar 72,29--73,35 µm. Lebar hifa vegetatif Aspergillus sp. KS.BG.3.1 berkisar 7,5--7,65 µm. Aspergillus sp. KS.BG.3.1 memiliki tipe kepala konidia biseriate karena memiliki metula dan fialid. Fialid duduk di atas metula. Kepala konidia berbentuk radial dan fialid tumbuh pada seluruh bagian vesikel (full fertile). Pengamatan karakter makromorfologi Aspergillus sp. KS.BG.3.1 menunjukkan Aspergillus sp. KS.BG.3.1 memiliki diameter rata-rata 8,37--34,08 mm dalam waktu 7 hari, warna koloni hijau Olive green 173 (Lampiran 2), tekstur permukaan granular, tidak terdapat exudate drops, growing zone, radial furrow dan zonasi. Karakter sebalik koloni adalah tidak berwarna (hialin), tidak ada growing zone, radial furrow serta zonasi. Hasil pengamatan karakter mikromorfologi dan makromorfologi Aspergillus sp. KS.BG.3.1 dapat dilihat pada Tabel 4.5.1. serta ditunjukkan Gambar 4.5.1.(8) dan Gambar 4.5.1.(9).


69

C B

A D E


C. Metula D. Fialid


Gambar 4.5.1.(8). Pengamatan mikromorfologi Aspergillus sp. KS.BG.3.1 perbesaran 10 x 40 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C) [Sumber: Dokumentasi pribadi.]

A

B

1 cm

C

1 cm Keterangan: A. Koloni kapang Aspergillus sp. KS.BG.3.1 pada tiga titik B. Permukaan atas koloni kapang Aspergillus sp. KS.BG.3.1 C. Sebalik koloni kapang Aspergillus sp. KS.BG.3.1

Gambar 4.5.1.(9). Pengamatan makromorfologi Aspergillus sp.KS. BG.3.1 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C) [Sumber: Dokumentasi pribadi.] Universitas Indonesia

70

Pengamatan dilakukan pada Aspergillus sp. KS.BG.8.1 yang berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu 27o C. Pengamatan mikromorfologi pada kapang tersebut menunjukkan tidak ditemukan bentuk seksual sehingga disimpulkan bahwa kapang tersebut berada pada fase anamorf. Konidia terlihat bertumpuk membentuk untaian seperti rantai. Konidia berasal dari bagian apikal konidiofor yang mengalami pembengkakan (vesikel). Kepala konidia berbentuk radial yang terdiri dari vesikel, fialid dan metula. Diameter konidia Aspergillus sp. KS.BG.8.1 berkisar 1,75--2,1µm. Diameter kepala konidia Aspergillus sp. KS.BG.8.1 berkisar 58,9--72,07 µm. Lebar hifa vegetatif Aspergillus sp. KS.BG.8.1 berkisar 7,25--10,28 µm. Aspergillus sp. KS.BG.8.1 memiliki tipe kepala konidia biseriate karena memiliki metula dan fialid. Fialid duduk di atas metula. Kepala konidia berbentuk radial dan fialid tumbuh pada seluruh bagian vesikel (full fertile). Pengamatan karakter makromorfologi Aspergillus sp. KS.BG.8.1 menunjukkan Aspergillus sp. KS.BG.8.1 memiliki diameter rata-rata 8,27--36,01 mm dalam waktu 7 hari, warna koloni hijau Olive green 173 (Lampiran 2), tekstur permukaan granular, tidak terdapat exudate drops, growing zone, radial furrow dan zonasi. Karakter sebalik koloni adalah tidak berwarna (hialin), tidak ada growing zone, radial furrow serta zonasi. Hasil pengamatan karakter mikromorfologi dan makromorfologi Aspergillus sp. KS.BG.8.1 dapat dilihat pada Tabel 4.5.1 serta ditunjukkan Gambar 4.5.1.(10) dan Gambar 4.5.1.(11).


71

E B

C

A

D


C. Metula D. Fialid


4.5.1.(10) Pengamatan mikromorfologi Aspergillus sp. KS.BG.8.1 Gambar 4.5.1.(10). perbesaran 10 x 40 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu ruang 27o C [Sumber: Dokumentasi Dokumen pribadi.]

A

B

1 cm

C

1 cm Keterangan: A. Koloni kapang Aspergillus sp. KS.BG.8.1 pada tiga titik B. Permukaan atas koloni kapang Aspergillus sp. KS.BG.8.1 C. Sebalik koloni kapang Aspergillus sp. KS.BG.8.1

Gambar 4.5.1.(11). 4.5.1.(11) Pengamatan makromorfologi Aspergillus KS.BG.8.1 hari ke-7 dalam medium CDA DA pada suhu ruang (27o C) [Sumber: Dokumentasi Dokumen pribadi.] Universitas Indonesia

72

Hasil pengamatan terhadap karakter mikromorfologi dan makromorfologi kelima isolat Aspergillus tersebut memperlihatkan bahwa tiga isolat yaitu Aspergillus sp. KS.AQ.7.2, Aspergillus sp. KS.AS.1.1, Aspergillus sp. KS.BG.1.3 memiliki karakter mikromorfologi dan makromorfologi yang serupa (Tabel 4.5.1.1). Berdasarkan karakter mikromorfologi dan makromorfologi, ketiga isolat tersebut diduga termasuk dalam A.niger-group. Sebanyak dua isolat dari kelima isolat kapang Aspergillus yaitu Aspergillus sp. KS.BG.3.1 dan Aspergillus sp.KS.BG.8.1 memiliki karakter mikromorfologi dan makromorfologi yang serupa (Tabel 4.5.1.1). Berdasarkan karakter mikromorfologi dan makromorfologi, kedua isolat tersebut diduga termasuk dalam A.ochraceus-group. Berdasarkan monograf Introduction to Food and Airborne-Fungi oleh Samson dkk. (2004: 107), A.niger-group pada medium Czapeks’ Dox memiliki koloni berwarna hijau atau cokelat keabuan dengan kepala konidia yang berwarna kecokelatan atau hitam dan berbentuk radial. Aspergillus niger-group dapat memproduksi mycotoxin seperti malformins dan ochratoxin A. Aspergillus ochraceus-group pada medium CDA memiliki koloni berwarna hijau atau cokelat keabuan dengan kepala konidia yang berwarna olive atau kekuningan dan berbentuk radial, memiliki konidia berdinding halus atau kasar. Aspergillus ochraceus-group dapat memproduksi mycotoxin seperti viomellein, vioxanthin, xanthomegnin, dan ochratoxin A. Berdasarkan Ellis dkk. (2007: 12), A.niger group merupakan agen utama yang menyebabkan otomycosis. Otomycosis merupakan mycosis (penyakit yang disebabkan oleh fungi) yang menyerang telinga. Menurut Bennett pada tahun 1985 (lihat Machida & Gomi 2010: 10), genus Aspergillus diketahui dapat menyebabkan gangguan pernafasan, asma, dan alergi yang menyerang alveolus akibat spora Aspergillus yang terhirup dan terakumulasi dalam paru-paru. Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh kapang genus Aspergillus disebut Aspergillosis. Genus Aspergillus menghasilkan beberapa mycotoxin atau toksin yang dihasilkan oleh fungi antara lain ochratoxin, patulin, dan fumigilin.


73

4.5.2

Eurotium sp. KS.SC.4.1

Pengamatan karakter morfologi dilakukan pada isolat kapang KS.SC.4.1 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu 27o C. Hasil pengamatan karakter mikromorfologi kapang KS.SC.4.1 memperlihatkan struktur reproduksi seksual berupa askus berbentuk semibulat yang berisi empat askospora. Alat reproduksi seksual yang dihasilkan isolat kapang KS.SC.4.1 menunjukkan isolat kapang KS.SC.4.1 berada pada fase teleomorf. Selain itu, hasil pengamatan karakter mikromorfologi memperlihatkan cleistothecia dan hifa fertil. Hasil pengamatan karakter mikromorfologi menunjukkan bahwa kapang KS.SC.4.1 termasuk ke dalam genus Eurotium berdasarkan deskripsi kapang Eurotium dalam Introduction to Food and Airborne-Fungi oleh Samson dkk. (2004: 36). Hasil pengamatan karakter mikromorfologi dari Eurotium sp. KS.SC.4.1 berumur 7 hari, di medium CDA, pada suhu 27o C, memperlihatkan askus berbentuk oval hingga semibulat dan berukuran 10,7 x 11,3 µm. Askospora berbentuk oval. Kapang Eurotium sp. KS.SC.4.1 memiliki askokarp berupa cleistothecia dengan ukuran berkisar (20,72--22,15) x (27,09--30,09) µm. Hifa fertil dan hifa vegetatif dari Eurotium sp. KS.SC.4.1 tidak berpigmen, sehingga terwarnai biru oleh lactophenol cotton blue. Lebar hifa fertil berkisar 1,77--3,15 µm. Hasil pengamatan karakter makromorfologi dari Eurotium sp. KS.SC.4.1 memperlihatkan koloni berwarna kuning lemon cadmium 105 (Lampiran 2). Sebalik koloni juga memberikan warna kuning lemon cadmium 105 (Lampiran 2). Koloni memiliki tekstur yang berkerut dan tidak memiliki zonasi, growing zone, exudate drops, serta radial furrow. Diameter koloni Eurotium sp. KS.SC.4.1 pada hari ke-7 di medium DG18 lebih besar yaitu 38,46 mm dibandingkan di medium CDA sebesar 10,57 mm (Lampiran 10). Menurut Samson dkk. (2004: 36), Eurotium termasuk ke dalam filum Ascomycota dengan menghasilkan spora seksual yaitu askospora. Eurotium merupakan teleomorf dari genus Aspergillus. Kapang Eurotium menghasilkan askokarp berupa cleistothecia. Genus Eurotium bersifat xerofilik dan tumbuh optimal pada medium dengan nilai Aw yang rendah. Eurotium sp. KS.SC.4.1 diduga dapat tumbuh pada permukaan kertas naskah kuno Sajarah Cirebon karena permukaan kertas naskah kuno tersebut Universitas Indonesia

74

memiliki kadar air yang rendah. Hal tersebut memungkinkan bagi Eurotium yang bersifat xerofilik untuk tumbuh pada permukaan kertas dan menggunakan kertas sebagai substrat. Hasil pengamatan karakter mikromorfologi dan makromorfologi dari Eurotium sp. KS.SC.4.1 dapat dilihat pada Tabel 4.5.2.1 dan ditunjukkan Gambar 4.5.2.(1), Gambar 4.5.2.(2), dan Gambar 4.5.2.(3).

Tabel 4.5.2.1. Hasil pengamatan karakter morfologi Eurotium sp. KS.SC.4.1 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C) Karakter Morfologi


Mikroskopik a.

Spora seksual

Askospora

b.

Bentuk askus

Bulat

c.

Diameter askus

d.

Jenis hifa

e.

Lebar hifa fertil

1,77--3,15 µm

f.

Tipe karpus seksual

Cleistothecia

g.

Ukuran karpus seksual

f.

Karakter lain Makroskopik

10,7--11,38 µm Bersekat (septate)

(20,72--22,15) x (27,09--30,09) µm


g.

Warna koloni

Lemon cadmium 105

h.

Tekstur koloni

Berkerut

i.

Sporulasi

j.

Zonasi

Tidak ada

k.

Exudate drops

Tidak ada

l.

Radial furrow

Tidak ada

m. Growing zone

Tidak ada

n.

Warna sebalik koloni

Lemon cadmium 105


75

A B

C

D 5 µm Keterangan: A. Askus B. Askospora

C. Hifa fertil D. Cleistothecia

Gambar 4.5.2.(1).. Pengamatan karakter mikromorfologi Eurotium sp. KS.SC.4.1 perbesaran 10 x100 hari ke-12 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C). [Sumber: Dokumentasi tasi pribadi.]

A

B

1 cm C

1 cm Keterangan: A. Koloni kapang Eurotium sp. KS.SC.4.1 pada tiga titik B. Permukaan atas koloni kapang Eurotium sp. KS.SC.4.1 C. Sebalik koloni kapang Eurotium sp. KS.SC.4.1

Gambar 4.5.2.(2).. Pengamatan karakter makromorfologi Eurotium sp. SC.4.1 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C) [Sumber: Dokumentasi tasi pribadi.] Universitas Indonesia

76

A

B

1 cm

C

1 cm Keterangan: A. Koloni kapang Eurotium sp. KS.SC.4.1 pada tiga titik B. Permukaan atas koloni kapang Eurotium sp. KS.SC.4.1 C. Sebalik koloni kapang Eurotium sp. KS.SC.4.1

Gambar 4.5.2.(3). Pengamatan makromorfologi Eurotium sp. KS.SC.4.1 hari ke-7 dalam medium DG18 pada suhu ruang (27o C) [Sumber: Dokumentasi pribadi.]

4.5.3

Penicillium sp.KS.AQ.7.1, Penicillium sp. KS.AQ.8.1, Penicillium sp. KS.BG.1.2, dan Penicillium sp. KS.BG.7.1

Hasil pengamatan karakter mikromorfologi isolat-isolat kapang dari naskah kuno kertas Eropa penghasil selulase, diketahui bahwa isolat KS.AQ.7.1, KS.AQ.8.1, KS.BG.1.2, dan KS.BG.7.1 termasuk dalam genus Penicillium. Pengamatan morfologi dilakukan pada Penicillium sp. AQ.7.1, Penicillium sp. KS.AQ.8.1, Penicillium sp. KS.BG.1.2, dan Penicillium sp. KS.BG.7.1 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu 27o C (Tabel 4.5.3.1). Pengamatan mikromorfologi pada keempat kapang tersebut menunjukkan tidak ditemukan bentuk seksual sehingga dapat disimpulkan bahwa kapang tersebut dalam fase anamorf. Keempat kapang tesebut memiliki konidiofor berdinding halus, fialid, metula, dan konidia. Fialid berbentuk botol berleher pendek. Konidia dari keempat kapang tersebut bersel tunggal, berbentuk bulat, bertekstur halus, dan Universitas Indonesia

77

tidak bersepta. Deskripsi kapang Penicillium sp. AQ.7.1, Penicillium sp. KS.AQ.8.1, Penicillium sp. KS.BG.1.2, dan Penicillium sp. KS.BG.7.1 sesuai dengan deskripsi kapang Penicillium pada monograf Introduction to Food and Airborne-Fungi oleh Samson dkk. (2004: 107). Menurut Samson dkk. (2004: 174), karakter mikromorfologi Penicillium yaitu memiliki konidia tersusun seperti rantai yang dihasilkan oleh conidiogenous cell yang disebut fialid. Fialid dihasilkan oleh suatu struktur yang disebut metula. Metula pada Penicillium dapat bercabang atau tidak bercabang. Struktur antara metula dengan konidiofor disebut branch. Tipe-tipe percabangan atau branch pada Penicillium (Gambar 4.5.3.(1)) terdiri dari: simple branch (non-branched or monoverticillate), onestage branched (biverticillate-symmetrical), two-stage branched (biverticillateasymmetrical) atau three to more-staged branched. Konidiofor berwarna hialin, berdinding halus atau kasar. Fialid umumnya berbentuk seperti botol dengan ujungnya agak menyempit. Konidia tersusun seperti rantai yang memanjang, berbentuk bulat atau agak lonjong, berwarna hialin atau kehijauan, serta berdinding halus atau kasar.

(a)

(b)

(c)

(d)

Tipe percabangan pada karakter mikromorfologi Penicillium. (a) simple; (b) one-stage branched; (c) two-stage branched; (d) threestage branched Gambar 4.5.3.(1). Tipe percabangan pada karakter mikromorfologi genus Penicillium [Sumber: Ellis dkk. 2007: 108.] Universitas Indonesia

78

Tabel 4.5.3.1. Hasil pengamatan morfologi isolat kapang Penicillium sp. KS.AQ.7.1, Penicillium sp. KS.AQ.8.1, Penicillium sp. KS.BG.1.2, dan Penicillium sp. KS.BG.7.1 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C). Penicillium sp.

Penicillium sp.

Penicillium sp.

Penicillium sp.

KS.AQ.7.1

KS.AQ.8.1

KS.BG.1.2

KS.BG.7.1

Tidak ditemukan

Tidak ditemukan

Tidak ditemukan

Tidak ditemukan

Bulat

Bulat

Bulat

Bulat

0,75--0,85 µm

0,72--0,80 µm

0,77--0,82 µm

1,2--1,6 µm

Bersekat

Bersekat

Bersekat

Bersekat

(septate)

(septate)

(septate)

(septate)

0,76--1 µm

0,77--1,25 µm

0,68--1,14 µm

2,02--2,78 µm

Simple branch

Simple branch

Simple branch

Simple branch

(monoverticillate)

(monoverticillate)

(monoverticillate)

(monoverticillate)

Hialin

Hialin

Hialin

Hialin

Metula, fialid

Metula, fialid

Metula, fialid

Metula, Fialid

White 101

White 101

Ivory 103

Warm grey I 270

Velvety

Velvety

Velvety

Velvety

Ada

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

p. warna

Hialin

Hialin

Hialin

Hialin

q. zonasi

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

r. radial furrow

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Karakter

Mikromorfologi a. Spora seksual b. Bentuk konidia c. Ukuran konidia d. Jenis hifa e. Lebar hifa f. Tipe percabangan konidiofor g. Pigmentasi hifa h. Karakter lain Makromorfologi i. Warna koloni j. Tekstur koloni k. Sporulasi l. Zonasi m. Exudate drops n. Radial furrow o.

Growing zone

sebalik koloni


79

Pengamatan dilakukan pada kapang Penicillium sp. KS.AQ AQ.7.1 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu 27o C. Pengamatan karakter mikromorfologi menunjukkan Penicillium sp. KS.AQ.7.1 .1 terdiri dari konidiofor, metula dan fialid yang tidak membentuk percabangan. Fialid berbentuk seperti botol berleher pendek. Konidia berbentuk bulat. bulat Konidia duduk langsung pada fialid. fialid Diameter konidia Penicillium sp. KS.AQ.7.1 berkisar 0,75--0,85 µm.. Lebar hifa vegetatif Penicillium sp. KS.AQ AQ.7.1 berkisar 0,76--1 µm. Tipe percabangan dari Penicillium sp. KS.AQ AQ.7.1 adalah monoverticillate. Pengamatan makromorfologi menunjukkan Penicillium sp. KS.AQ.7.1 memiliki diameter koloni rata-rata rata 3,99--22,57 mm dalam waktu 7 hari, koloni berwarna putih White 101 (Lampiran 2.), bertekstur velvety, tidak memiliki radial furrow dan zonasi namun, namun terdapat exudate drops dan growing zone. zone Karakter sebalik koloni adalah tidak berwarna (hialin), tidak ada radial furrow row dan zonasi. Hasil pengamatan karakter mikromorfologi dan makromorfologi Penicillium sp. KS.AQ.7.1 dapat dilihat pada Tabel 4.5.3.1 serta ditunjukkan Gambar 4.5.3.(2) dan Gambar 4.5.3.(3)).

A B C D

Keterangan: A. Konidia B. Fialid

C. Metula D. Konidiofor

Gambar 4.5.3.(2). 4.5.3 Pengamatan mikromorfologi Penicillium sp. KS.AQ.7.1 perbesaran 10 x 100 hari ke-7 ke dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C) [Sumber: Dokumentasi Dokumen pribadi.] Universitas Indonesia

80

A

B

1 cm

C

1 cm Keterangan: A. Koloni kapang Penicillium sp. KS.AQ.7.1 pada tiga titik B. Permukaan atas koloni kapang Penicillium sp. KS.AQ.7.1 C. Sebalik koloni kapang Penicillium sp. KS.AQ.7.1

Gambar 4.5.3.(3). Pengamatan makromorfologi Penicillium sp. KS.AQ.7.1 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C) [Sumber: Dokumentasi pribadi.]

Pengamatan dilakukan pada kapang Penicillium sp. KS.AQ.8.1 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu 27o C. Pengamatan karakter mikromorfologi menunjukkan Penicillium sp. KS.AQ.8.1 terdiri dari konidiofor, metula dan fialid yang tidak membentuk percabangan. Konidia berbentuk bulat. Konidia duduk langsung pada fialid. Diameter konidia Penicillium sp. KS.AQ.8.1 berkisar 0,72-0,80 µm. Lebar hifa vegetatif Penicillium sp. KS.AQ.8.1 berkisar 0,77--1,25 µm. Tipe percabangan dari Penicillium sp. KS.AQ.8.1 adalah monoverticillate. Pengamatan karakter makromorfologi menunjukkan Penicillium sp. KS.AQ.8.1 memiliki diameter koloni rata-rata 3,91--20,01 mm dalam waktu 7 hari, koloni berwarna putih White 101 (Lampiran 2.), bertekstur velvety, tidak memiliki radial furrow dan zonasi namun, terdapat growing zone dan exudate drops. Karakter sebalik koloni adalah tidak berwarna (hialin), tidak ada radial furrow dan zonasi. Hasil pengamatan karakter mikromorfologi dan makromorfologi Penicillium sp. KS.AQ.8.1 dapat dilihat pada Tabel 4.5.3.1 serta ditunjukkan Gambar 4.5.3.(4) dan Gambar 4.5.3.(5). Universitas Indonesia

81

A B C D 5 µm



Gambar 4.5.3.(4). 4.5.3 Pengamatan mikromorfologi Penicillium sp. KS.AQ.8.1 perbesaran 10 x 100 hari ke-7 ke dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C) [Sumber: Dokumentasi Dokumen pribadi.]

A

B

1 cm

C

1 cm Keterangan: A. Koloni kapang Penicillium sp. KS.AQ.8.1 pada tiga titik B. Permukaan atas koloni kapang Penicillium sp. KS.AQ.8.1 C. Sebalik koloni kapang Penicillium sp. KS.AQ.8.1

Gambar 4.5.3.(55). Pengamatan makromorfologi Penicillium sp. KS.AQ.8.1 hari ke-7 dalam medium CDA DA pada suhu ruang (27o C) [Sumber: Dokumentasi Dokumen pribadi.] Universitas Indonesia

82

Pengamatan morfologi dilakukan pada kapang Penicillium sp.KS.BG.1.2 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu 27o C.. Pengamatan karakter mikromorfologi morfologi menunjukkan Penicillium sp.KS.BG.1.2 terdiri dari konidiofor, metula dan fialid yang tidak membentuk percabangan. Fialid berbentuk seperti botol berleher pendek. Konidia berbentuk bulat.. Konidia duduk langsung pada fialid.. Diameter konidia Penicillium sp. KS.BG.1.2 berkisar 0,77--0,82 0,77 µm. Lebar hifa vegetatif Penicillium sp.KS.BG.1.2 berkisar 0,68--1,14 1,14 µm. Tipe percabangan dari Penicillium sp. KS.BG.1.2 adalah monoverticillat verticillate. Pengamatan karakter makromorfologi menunjukkan Penicillium sp. KS.BG.1.2 memiliki diameter koloni rata-rata 4,12--17,20 mm dalam waktu 7 hari, koloni berwarna putih Ivory 103 (Lampiran 2.), bertekstur velvety, velvety memiliki growing zone, radial furrow, furrow dan exudate drops namun tidak terdapat zonasi. zonasi Karakter sebalik koloni adalah tidak berwarna (hialin), tidak ada radial furrow fu dan zonasi. Hasil pengamatan karakter mikromorfologi dan makromorfologi Penicillium KS.BG.11.2 dapat dilihat pada Tabel 4.5.3.1 serta ditunjukkan Gambar 4.5.3.(6) dan Gambar 4.5.3.(7).

A B C D



Gambar 4.5.3.(6). 4.5.3 Pengamatan mikromorfologi Penicillium sp. KS.BG.1.2 perbesaran 10 x 100 hari ke-7 ke dalam o medium CDA pada suhu ruang (27 C) [Sumber: Dokumentasi Dokumen pribadi.] Universitas Indonesia

83

A A

B

1 cm

C

1 cm Keterangan: A. Koloni kapang Penicillium sp. KS.BG.1.2 pada tiga titik B. Permukaan atas koloni kapang Penicillium sp. KS.BG.1.2 C. Sebalik koloni kapang Penicillium sp. KS.BG.1.2

Gambar 4.5.3.(7). Pengamatan makromorfologi Penicillium sp. KS.BG.1.2 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C) [Sumber: Dokumentasi pribadi.]

Pengamatan dilakukan pada kapang Penicillium sp.KS.BG.7.1 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu 27o C. Pengamatan karakter mikromorfologi menunjukkan Penicillium sp. KS.BG.7.1 terdiri dari konidiofor, metula dan fialid yang tidak membentuk percabangan. Fialid berbentuk seperti botol berleher pendek. Konidia berbentuk bulat. Konidia duduk langsung pada fialid. Diameter konidia Penicillium sp. KS.BG.7.1 berkisar 1,2--1,6 µm. Lebar hifa vegetatif Penicillium sp. KS.BG.7.1 berkisar 2,02--2,78 µm. Tipe percabangan dari Penicillium sp. KS.BG.7.1 adalah monoverticillate. Pengamatan karakter morfologi secara makroskopik menunjukkan Penicillium sp. KS.BG.7.1 memiliki diameter koloni rata-rata 4,05--18,90 mm dalam waktu 7 hari, koloni berwarna putih keabuan Warm grey I 270 (Lampiran 2.), bertekstur velvety, memiliki growing zone, radial furrow, dan zonasi namun, tidak terdapat exudate drops. Karakter sebalik koloni adalah tidak berwarna (hialin), tidak ada radial furrow dan zonasi. Hasil pengamatan karakter mikromorfologi dan makromorfologi Penicillium sp. KS.BG.7.1 dapat dilihat pada Tabel 4.5.3.1 serta ditunjukkan Gambar 4.5.3.(8) dan Gambar 4.5.3.(9). Universitas Indonesia

84

A B C D



Gambar 4.5.3.(8). Pengamatan mikromorfologi Penicillium sp. KS.BG.7.1 pada perbesaran 10 x 100 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C). [Sumber: Dokumentasi pribadi.]

A

B

1 cm

C

1 cm Keterangan: A. Koloni kapang Penicillium sp. KS.BG.7.1 pada tiga titik B. Permukaan atas koloni kapang Penicillium sp. KS.BG.7.1 C. Sebalik koloni kapang Penicillium sp. KS.BG.7.1

Gambar 4.5.3.(9). Pengamatan makromorfologi Penicillium sp. KS BG.7.1 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C) [Sumber: Dokumentasi pribadi.] Universitas Indonesia

85

Berdasarkan karakter mikromorfologi dan makromorfologi yang diamati pada Penicillium sp. KS.AQ.7.1 dan Penicillium sp. KS.AQ.8.1, keduanya memiliki karakter mikromorfologi dan makromorfologi yang mirip (Tabel 4.5.3.1), sehingga diduga keduanya merupakan jenis Penicillium yang sama. Kedua isolat tersebut berasal dari bagian naskah yang sama yaitu bagian dalam naskah. Hal tersebut diduga karena jenis Penicillium tersebut mendominasi bagian dalam naskah yang terdeteriorasi, sehingga hasil isolasi sampel kapang dari bagian dalam naskah dapat menghasilkan jenis kapang yang serupa. Sebanyak empat isolat kapang dari 11 isolat kapang (36%) merupakan genus Penicillium. Keempat isolat Penicillium tersebut menghasilkan enzim endoglukanase dan sebanyak tiga isolat dari empat isolat tersebut berasal dari bagian dalam naskah kuno. Hal tersebut diduga karena keempat isolat Penicillium tersebut mampu menggunakan naskah sebagai substratnya dengan menghasilkan endoglukanase dan kelembaban udara rata-rata sebesar 78% pada permukaan naskah mendukung pertumbuhan genus Penicillium pada naskah. Shamsian dkk. (2008: 421) telah mengisolasi dan mengidentifikasi kapang-kapang dari 79 sampel naskah kuno dan diketahui bahwa sebanyak 22% merupakan genus Penicillium. Genus Penicillium dapat mudah tumbuh pada kelembaban udara rata-rata di atas 65%. Berdasarkan Ellis dkk. (2007: 109), apabila konidia dari genus Penicillium terhirup oleh manusia, maka dapat menyebabkan beberapa penyakit dan gangguan pernafasan. Beberapa spesies memiliki potensi menyebabkan mycotic keratitis (inflamasi pada kornea), otomycosis dan endocarditis (infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme)

4.4.4. Mycelia Sterilia KS.AQ.8.2

Pengamatan morfologi dilakukan pada isolat KS.AQ.8.2 berumur 7 hari dalam medium CDA pada suhu ruang 27o C menunjukkan tidak ditemukan bentuk seksual dan/atau aseksual. Kapang tersebut teridiri atas kumpulan hifa berwarna putih. Pengamatan makromorfologi menunjukkan bahwa koloni kapang KS. AQ.8.2 berwarna putih kehijauan Cedar green 174 (Lampiran 2), memiliki Universitas Indonesia

86

diameter rata-rata 5,60--21,13 mm dan bertekstur flocoose. Permukaan belakang koloni berwarna hialin. Deskripsi kapang KS.AQ.8.2 sesuai dengan deskripsi Mycelia sterilia pada Illustrated genera of imperfect fungi oleh Barnett dan Hunter (2003: 34). Berdasarkan Sugiyama (1987: 278), mycelia sterilia adalah fungi yang tidak memiliki alat reproduksi seksual dan tidak menghasilkan konidia. Karakter morfologi kapang KS.AQ.8.2 yang diamati dapat dilihat pada tabel 4.5.4.1 serta Gambar 4.5.4.(1) dan Gambar 4.5.4.(2).

Tabel 4.5.4.1. Hasil pengamatan karakter morfologi mycelia sterilia KS.AQ.8.2 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C).

Karakter Morfologi Mikroskopik

mycelia sterilia KS.AQ.8.2

a.

Spora seksual

b.

Bentuk konidia

c.

Ukuran konidia

d.

Jenis hifa

Bersekat (septate)

e.

Lebar hifa

1,66--2,41 µm

Makroskopik Warna koloni

Tidak ditemukan

mycelia sterilia KS.AQ.8.2 Cedar green 174

f.

Tekstur koloni

Flocoose

g.

Sporulasi

h.

Zonasi

i.

Exudate drops

Tidak ada

j.

Radial furrow

Tidak ada

k.

Growing zone

Tidak ada

l.

Warna sebalik koloni

Ada

hialin


87

A

B

Keterangan: A. Hifa B. Septum

Gambar 4.5.4.(1). Pengamatan mikromorfologi mycelia sterilia KS.AQ.8.2 perbesaran 10 x100 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C). [Sumber: Dokumentasi pribadi.]

A

B

1 cm

C

1 cm Keterangan: A. Koloni kapang mycelia sterilia KS.AQ.8.2 pada tiga titik B. Permukaan atas koloni kapang mycelia sterilia KS.AQ.8.2 C. Sebalik koloni kapang mycelia sterilia KS.AQ.8.2

Gambar 4.5.4.(2). Pengamatan makromorfologi mycelia sterilia KS.AQ.8.2 hari ke-7 dalam medium CDA pada suhu ruang (27o C) [Sumber: Dokumentasi pribadi.] Universitas Indonesia

88

Jumlah kapang Aspergillus paling banyak ditemukan pada naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan, Cirebon yaitu sebanyak 5 isolat. Jumlah kapang Penicillium sebanyak 4 isolat. Eurotium sebanyak 1 isolat, dan 1 isolat lainnya adalah mycelia sterilia. Sebanyak 6 isolat berasal dari bagian dalam naskah. Berdasarkan karakter mikromorfologi, ukuran rata-rata konidia Aspergillus lebih besar dibandingkan konidia Penicillium. Hal tersebut memungkinkan konidia Aspergillus lebih mudah terambil pada saat melakukan swab, selain itu juga konidia akan jatuh lebih banyak di permukaan kertas karena terbawa oleh udara. Michaelsen dkk. (2009: 165) telah berhasil mengisolasi beberapa kapang dari genus Aspergillus dan Penicillium yang ditemukan pada Naskah kuno Le Stanze del Bandello di Italia dari abad ke-16 yaitu Aspergillus nidulans, Aspergillus versicolor, dan Penicillium pinophilum. Jumlah isolat yang berhasil diisolasi yaitu 26 isolat dan genus Aspergillus adalah yang terbanyak yaitu sebanyak 9 isolat serta genus Penicillium sebanyak 4 isolat. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa dari 7 isolat yang menghasilkan endoglukanase, isolat yang termasuk genus Penicillium memiliki jumlah isolat terbanyak. Genus Penicillium sebanyak 4 isolat, genus Aspergillus sebanyak 1 isolat, Eurotium sebanyak 1 isolat, dan 1 isolat lainnya adalah mycelia sterilia. Sebanyak 4 isolat dari 7 isolat yang mampu menghasilkan selulase, berasal dari bagian dalam naskah kuno, sedangkan 3 isolat lainnya berasal dari bagian sampul dan punggung jilidan naskah kuno. Sebanyak 4 isolat kapang yang mampu menghasilkan endoglukanase dan berasal dari bagian dalam naskah, diduga dapat tumbuh pada permukaan kertas dengan menghasilkan enzim endoglukanase untuk mengurai selulase pada kertas Eropa. Kapang-kapang yang mampu menghasilkan endoglukanase dan berasal dari bagian dalam naskah merupakan milik naskah Waosan Babad Galuh dan Tafsir Al Quran yang memiliki kondisi kerusakan pada bagian dalam naskah terberat. Kapang-kapang yang tidak menghasilkan endoglukanase diduga karena kapang-kapang tersebut menghasilkan komponen selulase yang lain seperti eksoglukanase atau selobiosa dalam mengurai selulosa pada kertas atau kapang-kapang tersebut memanfaatkan materi organik lainnya pada kertas selain selulosa.


89

Hasil penelitian ini memperoleh 11 isolat dari hasil isolasi sampel kapang dari naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan Cirebon. Isolat terbanyak berasal dari naskah kuno Waosan Babad Galuh yaitu sebanyak 5 isolat. Seluruh isolat-isolat kapang tersebut mampu tumbuh pada kertas Eropa dengan menggunakan kertas Eropa sebagai substrat yang ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan hifa kapang pada permukaan kertas. Sebanyak 7 isolat dari 11 isolat tersebut, terbukti positif mampu menghasilkan endoglukanase ditunjukkan dengan dihasilkan zona bening melalui pengujian selulase menggunakan penambahan substrat CMC yang diberi pewarna congo red. Identifikasi konvensional melalui pengamatan karakter morfologi yang dilakukan terhadap isolat-isolat kapang tersebut, sebanyak lima isolat termasuk dalam genus Aspergillus, satu isolat termasuk Eurotium, empat isolat termasuk dalam genus Penicillium, dan satu isolat tidak ditemukan alat reproduksi seksual maupun aseksualnya sehingga disebut mycelia sterilia. Hasil identitas kapang yang diperoleh dari naskahnaskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan Cirebon, diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai informasi dalam melakukan preservasi naskah kuno di Keraton Kasepuhan yaitu pengaturan kondisi ruangan penyimpanan naskah sesuai anjuran UNESCO (2006: 4, 16) bahwa ruangan tempat penyimpanan naskahnaskah kuno sebaiknya pada suhu 16--20o C dengan kelembaban relatif 50--60%. Sampul naskah-naskah kuno yang rapuh sebaiknya diganti dengan sampul bebas asam untuk menghindari pertumbuhan fungi. Menurut Merritt dan Brewer (2007: 2), kelembaban relatif 50--60% dapat mengurangi kemungkinan germinasi spora dan suhu 16--20oC dapat menekan pertumbuhan fungi. Selain itu, penggunaan alat pelindung diri seperti kacamata pelindung, masker, dan sarung tangan untuk menghindari spora-spora kapang kontak langsung dengan mata, saluran pernapasan, dan kulit bagi para preservator naskah kuno sehingga dapat melindungi diri dari kapang-kapang yang bersifat patogen bagi manusia.


BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1.

Hasil isolasi kapang dari lima naskah kuno kertas Eropa Keraton Kasepuhan Cirebon menghasilkan 11 isolat yang berasal dari naskah Tafsir Al Quran, Waosan Babad Galuh, Wawacan Adji Saka, dan Sajarah Cirebon. Hasil isolasi terbanyak yaitu 5 isolat berasal dari naskah kuno Waosan Babad Galuh.

2.

Hasil pengujian menunjukkan 11 isolat mampu tumbuh pada kertas Eropa, namun hanya 7 isolat yang memiliki kemampuan selulolitik dengan menghasilkan endoglukanase pada substrat CMC.

3.

Hasil identifikasi secara konvensional berdasarkan karakter morfologi, menunjukkan 5 isolat termasuk genus Aspergillus, 1 isolat termasuk genus Eurotium, 4 isolat termasuk genus Penicillium, dan 1 isolat merupakan mycelia sterilia.

5.2 Saran 1.

Perlu dilakukan identifikasi secara molekuler pada isolat-isolat kapang dari naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan Cirebon untuk mengetahui identitas kapang yang lebih akurat.

2.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan substrat selulosa spesifik yang lain seperti Avicel dan Cellobiose untuk mengetahui jenis selulase yang dimiliki isolat kapang dari naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan, Cirebon.

3.

Perlu dilakukan isolasi dan identifikasi secara molekuler pada kapang-kapang dari udara ruang penyimpanan naskah kuno di Keraton Kasepuhan Cirebon untuk mengetahui korelasi antara kapang-kapang yang telah diperoleh dari naskah kuno kertas Eropa dengan kapang-kapang dari udara.

90


DAFTAR REFERENSI

American Paper and Pulp Association. 1965. The Dictionary of Paper, including pulp, paperboard, paper properties and related papermaking. 3rd ed.New York: 500 hlm Arroyo, I. 2009. The role of fungi in deterioration of movable and inmovable cultural heritage. e_conservation 9: 41--50. Asburi, M. 2011. Jejak Industri Kertas di Dunia Islam. http://hizbuttahrir.or.id/2008/04/24/kejayaan-khilafah-jejak-industri-kertas-di-duniaislam. 2 Februari 2012. pk: 19.23. Atlas, R. M. 2010. Handbook of microbiological media. 4th ed. CRC Press, Florida: vii + 2043 hlm. Barnett, H.L. & B.B. Hunter. 2003. Illustrated genera of imperfect fungi. 5th ed. Burgess Publishing Company, Minnesota: v + 241 hlm. Benson. 2001. Microbiological applications: A laboratory manual in general microbiology. 8th ed. John Wiley & Sons, Inc., New York: xi + 478 hlm. Black, J.G. 2008. Microbiology: Principles and explorations. 7th ed. John Wiley and Sons, Inc., New York: xxv + 967 hlm. Cappuccino, J.G. & N. Sherman. 2002. Microbiology: A laboratory manual. The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc., San Francisco: xvi + 491 hlm. Carlile, M.J., S.C. Watkinson, & G.W. Gooday. 2001. The fungi. Academic Press, London: xix + 588 hlm. Deacon, J.W. 2006. Fungal biology. 4th ed. Blackwell Publishing, Oxford: ix + 371. Digital. 2008. Colour chart for Faber Castell polychromos pencils and pastels. http://www.drawinganddrafting.com.au/category2471.htm, 25 Mei 2012, pk. 22.50. DPRD Kabupaten Cirebon. 2009. Selayang pandang kabupaten Cirebon. 1 hlm. http://www.drprd-cirebonkab.go.id/selayang-pandang-kabcirebon/geografi. 2 September 2012: pk: 15.24

91


92

Ellis, D.,S. Davis, H. Alexiou, R. Handke, & R. Bartley. 2007. Descriptions of medical fungi. 2nd ed. The National Library of Australia Cataloguing-inPublication. Adelaide. 198 hlm. Fibersource. 2003. Cellulose. 3 hlm. http:www/fibersource.com/f.tutor/cellulose.htm, 24 Februari 2012, pk: 17.42 Fuller, N.B. 2002. A brief history of paper. 15 hlm. http://users.stlcc.edu/nfuller/paper, 24 Februari 2012, pk: 18.45 Gandjar, I., R.A. Samson, K. van den Tweel-Vermeulen, A. Oetari, & I. Santoso. 2000. Pengenalan kapang tropik umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: xiii + 136 hlm. Gandjar, I., W. Sjamsudrizal, & A. Oetari. 2006. Mikologi: dasar dan terapan. Yayasan Obor Indonesia,. Jakarta: xii + 234 hlm. Glazer, N.A. & H. Nikaido. 2007. Microbial biotechnology : Fundamentals of applied microbiology. 2nd ed. Cambridge University Press, New York: xvii + 538 hlm. Hogg, S. 2005. Essential microbiology. John Wiley & Sons, Inc., Chichester: xi + 468 hlm. Jo, W.S., H.N. Park, D.H. Cho, Y.B. Yoo, & S.C. Park. 2011. Optimal media conditions for the detection of extracellular cellulase activity in Ganoderma neo-japonicum. Mycobiology 39(2): 129--132. Jones, R. 1993. European and Asian papers in Malay manuscripts; A provisional assessment. The Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 3: 474--502. Karthikeyan, N., M. Sakthivel, & P. Palani. 2010. Screening, identification of Penicillium K-P strain and its cellulase producing conditions. Journal of Ecobiotechnology 2(10): 4--7. Kader, A.J. & O. Omar. 1998. Isolation of cellulolytic fungi from Sayap-Kinabalu Park, Sabah, Serawak. ASEAN Review of Biodiversity and Environmental Conservation: 1--6. Kumari, B.L., M.H. Sri, & P. Sudhakar. 2011. Isolation of cellulase producing fungi from soil, optimization and molecular characterization of the isolate Universitas Indonesia

93

for maximizing the enzyme yield. World Journal of Science and Technology 1(5): 1--9. Lynd, L.R., P.J. Weimer, W.H. van Zyl, & I. S. Pretorius. 2002. Microbial cellulose utilization: Fundamentals and biotechnology. Microbiology and Molecular Biology Reviews 66(3): 506--577. Machida, M. & K. Gomi. 2010. Aspergillus molecular biology and genomics. National Institute of Advance Industrial Science and Technology (AIST). Japan: x + 238 hlm. Madigan, M.T., J.M. Martinko, P.V. Dunlap, & D. P. Clark. 2012. Brock’s biology of microorganism. 13th ed. Pearson Benjamin Cummings, Inc., U.S.A: xxviii + 1043 hlm. Michaelsen, A., G. Piñar, M. Montanari, & F. Pinzari. 2009. Biodeterioration and restoration of a 16th-century book using a combination of conventional and molecular techniques: A case study. International Biodeterioration & Biodegradation 63: 161--168. Mueller, G.M., G.F. Bills, & M.S. Foster. 2004. Biodiversity of fungi: inventory and monitoring methods. Elsevier Academic Press Inc., Amsterdam: xviii + 777 hlm. Oberkotter, L.V. & F.A. Rosenberg. 1978. Extracellular endo-β-1,4-glucanase in Cellvibrio vulgaris. Applied and Environmental Microbiology 36(1): 205-209. Onsori, H., M.R. Zamani, M. Motallebi, & N. Zarghami. 2005. Identification of over producer strain of endo-β-1,4-glucanase in Aspergillus Species: Characterization of crude carboxymethyl cellulase. African Journal of Biotechnology 4(1): 26--30. Perez, J., J. Munoz-Dorado, T. de la Rubia, & J. Martinez. 2002. Biodegradation and biological treatments of cellulose, hemicelluloses, and lignin: an overview. International Microbiology 5: 53--63. Pinzari, F., G. Pasquariello, & A. De Mico. 2006. Biodeterioration of paper: a SEM study of fungal spoilage reproduced under controlled conditions. Macromolecular Symposia 238: 57--66.


94

Pinzari F., M. Montanari, A. Michaelsen, & G. Piñar. 2010. Analytical protocols for the assessment of biological damage in historical documents. Coalition 19: 6--13. Pitt, J.I. & A. D. Hocking. 1980. Dichloran-glycerol medium for enumeration of xerophilic fungi from low-moisture foods. Applied and Environmental Microbiology 39 (3): 488--492. Pitt, J.I. & A. D. Hocking. 2009. Fungi and food spoilage. Springer Science + Business Media, New York: xv + 519 hlm. Pudjiastuti, T., A. Arismunandar, & M.S. Mahayana. 1994. Pencatatan, inventarisasi, dan pendokumentasian naskah-naskah Cirebon. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya--Universitas Indonesia: 234 hlm. Rachman, Y. B. Konservasi naskah daluang Cirebon. 2009. Skripsi S1 Jurusan Ilmu Perpustakaan FIB UI, Depok: 73 hlm Razak, M., R. Anggraeni, & Supriyanto. 1992. Pelestarian bahan pustaka dan arsip. Program pelestarian bahan pustaka dan arsip, Jakarta: 54 hlm. Teather, R.M. & P.J. Wood. 1982. Use of Congo red-polysaccharide interaction in enumeration and characterization of cellulolytic bacteria from the bovine rumen. Application Environmental Microbiology 43(4): 777--780. Sjamsuridzal, W. 2006. Sistematika fungi. Dalam: Gandjar, I., W. Sjamsuridzal & A. Oetari (eds.). 2006. Mikologi: Dasar dan terapan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 68--91. Samson, R.A., E.S. Hoekstra, & J.C. Frisvad. 2004. Introduction to food and airborne fungi. 7th ed. Centraalbureau voor Schimmelcultures, Utrecht: 389 hlm. Shamsian, A., A. Fata, M. Mohajeri, & K. Ghazvini. 2008. Fungal contaminations in historical manuscripts at Astan Quds Museum Library, Mashhad, Iran. International Journal of Agriculture and Biology 8(3): 420--422. Singleton, P. & Sainsbury, D. 2006. Dictionary of microbiology and molecular biology. 3rd ed. John Wiley & Sons, Inc., New York: xi + 896 hlm. Sterflinger, K. & F. Pinzari. 2011. The revenge of time: fungal deterioration of cultural heritage with particular reference to books, paper, and parchment. Environmental microbiology: 1--8. Universitas Indonesia

95

Sudardi, B. 2003. Penggarapan Naskah. Badan Penerbit Sastra Indonesia. Surakarta: 216 hlm. Sugiyama, J. 1987. Pleomorphic fungi: The diversity and its taxonomic implications. Kodansha Ltd., Tokyo: xv + 325 hlm. Sumbali, G. & R.S. Mehrotra. 2009. Principles of microbiology. McGraw-Hill, New Delhi: xxii + 924 hlm. Teather, R.M. & P.J. Wood. 1982. Use of congo red polysaccharide interactions in enumeration and characterization of cellulolytic bacteria from the bovine rumen. Applied and Environmental Microbiology 43(4): 777--780. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). 2006. Care and handling of manuscripts. Paris: 43 hlm. Valentine, N. 2010. Microorganisms in museum collection. Coalition 19: 2--5. Watanabe, T. 2002. Pictorial atlas of soil and seed fungi: morphologies of cultured fungi and key to species. 2nd ed. CRC Press LLC, Florida: xviii + 486 hlm. Webster, J. & R.W.S. Weber. 2007. Introduction to fungi. Cambridge University Press, New York: xx + 841 hlm. Wirajaya, A.Y. 2009. Daluang atau Dluwang dalam Perspektif Kodikologi. 1 hlm. http://asepyudha.staff.uns.ac.id/2009/06/04/sekilas-tentang-daluang-ataudluwang-sebuah-telaah-ringkas-kodikologi/, 10 Februari 2012, pk. 16.30 Yoon, J.H., J.E. Park, D.Y. Suh, S.B. Hong, S.J. Ko. & S.H. Kim. 2007. Comparison of dyes for easy detection of extracellular cellulases in fungi. Mycobiology 35(1): 21--24.


96

Lampiran 1. Skema Kerja Penelitian

SKEMA KERJA Isolasi kapang dari naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan, Cirebon

Inkubasi pada suhu 27oC hingga koloni kapang bersporulasi

Pembuatan suspensi sel kapang

Enumerasi sel kapang

Pengujian isolat-isolat kapang pada substrat kertas Eropa

Pengujian isolat-isolat kapang selulolitik penghasil endoglukanase pada medium basal CDA dengan penambahan carboxymethyl cellulose (CMC)

Identifikasi kapang secara konvensional berdasarkan karakter morfologi

Penyusunan dan analisis data

Penulisan skripsi

Sumber: [Dokumentasi pribadi.] Universitas Indonesia

97

Lampiran 2. Standar Warna Faber Castell

[Sumber: Digital 2008: 1.]


98

Lampiran 3. Skema Cara Kerja Isolasi Kapang dari Naskah Kuno Kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan, Cirebon

Sumber: [Dokumentasi pribadi.]

Lampiran 4. Skema Cara Kerja Enumerasi Sel Kapang dengan Metode TPC


99

Lampiran 5. Pengujian Isolat-isolat Isolat isolat Kapang pada Substrat Kertas Eropa


Lampiran 6. Skemaa Kerja Pengujian Kemampuan Kapang Selulolitik pada Medium Basal CDA dengan Penambahan Carboxymethyl Cellulose (CMC)


100

Lampiran 7. Skema Cara Kerja Identifikasi Kapang secara Konvensional Berdasarkan Karakter Morfologi



101

Lampiran 8. Hasil isolasi kapang dari naskah kuno kertas Eropa asal Keraton Kasepuhan, Cirebon dalam medium DG18 pada suhu 27o C

Nama naskah kuno

Tafsir Al Quran

Wawacan Adji Saka

Kondisi naskah

1. Sampul lembaran depan kertas sudah 2. Sampul berwarna belakang cokelat 3.Ketebalan atas lembaran 4.Ketebalan kertas bawah saling 5.Ketebalan menempel samping dan banyak 6.Punggung yang sobek buku 7 & 8. Bagian dalam

warna kertas telah berubah menjadi cokelat beberapa halaman terdapat bercakbercak hitam

Waosan Babad Galuh

Bagian naskah

sebagian besar kertas telah banyak yang sobek bercakbercak hitam menutupi tulisan

1.Sampul depan 2.Sampul belakang 3.Ketebalan atas



0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

Jumlah total isolat

Kode isolat

4

0

0

4

4 4 3 4

KS. AQ.7.1 KS.AQ.7.2 KS.AQ.8.1 KS.AQ.8.2

1

3

KS.AS.1.1

0

0

0

0 1

4.Ketebalan bawah

0

0

5.Ketebalan samping

0

0

6.Punggung buku 7&8. Bagian dalam 1.Sampul depan 2.Sampul belakang 3.Ketebalan atas 4.Ketebalan bawah 5.Ketebalan samping 6.Punggung buku 7&8. Bagian dalam

0

0

0

0

3

4 2

0

0

1

2

0

0

0

0

0 2

KS.BG.1.2 KS.BG.1.3

KS.BG.3.1 5

0 4 2

KS.BG.7.1 KS.BG.8.1


102

Lampiran 8. (sambungan) Nama naskah kuno

Sajarah Cirebon

Keterangan: KS.AQ.7.1 KS.AQ.7.2 KS.AQ.8.1 KS.AS.1.1 KS.BG.1.2 KS.BG.1.3 KS.BG.3.1 KS.BG.7.1 KS.BG.8.1 KS.SC.4.1

Kondisi naskah

kondisi kertas masih utuh, namun terdapat bercakbercak hitam menutupi tulisan

Bagian naskah 1.Sampul depan 2.Sampul belakang 3.Ketebalan atas 4.Ketebalan bawah 5.Ketebalan samping 6.Punggung buku 7&8.Bagian dalam



0

0

0

0

0

0

1

4

0

0

0 0

Jumlah total isolat

1

Kode isolat

KS.SC.4.1

0 0

: Isolat ke-1 dari bagian dalam (1) naskah Tafsir Al Quran : Isolat ke-2 dari bagian dalam (1) naskah Tafsir Al Quran : Isolat ke-1 dari bagian dalam (2) naskah Tafsir Al Quran : Isolat ke-1 dari sampul depan naskah Wawacan Adji Saka : Isolat ke-2 dari sampul depan naskah Waosan Babad Galuh : Isolat ke-3 dari sampul depan naskah Waosan Babad Galuh : Isolat ke-1 dari ketebalan atas naskah Waosan Babad Galuh : Isolat ke-1 dari bagian dalam naskah Waosan Babad Galuh : Isolat ke-1 dari bagian dalam naskah Waosan Babad Galuh : Isolat ke-1 dari ketebalan bawah naskah Sajarah Cirebon


103


104


ISOLASI, IDENTIFIKASI, DAN PENGUJIAN KEMAMPUAN KAPANG SELULOLITIK DARI NASKAH KUNO KERTAS EROPA ASAL KERATON KASEPUHAN CIREBON SKRIPSI

Recommend Documents