ISNA MARATU RODIYAH
TITIK (:)
Penerbit Humanisna
Isna Maratu Rodiyah
Titik (:)
TITIK (:) Oleh: Isna Maratu Rodiyah Copyright © 2013 by Isna Maratu Rodiyah
Penerbit (Humanisna) humanisna.tumblr.com
[email protected]
Desain Sampul: (Ira Carlina Pratiwi)
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Isna Maratu Rodiyah
Titik (:)
Ucapan Terimakasih:
Terima kasih saya ucapkan kepada Allah swt. atas rahmat-Nya sehingga ide terus mengalir di kepala ini. Terima kasih kepada Nabi Muhammad saw atas risalahnya bagi seluruh alam. Terima kasih kepada Ayah, Ibu, keluarga, dan para sahabat saya yang mendukung saya selama ini. Buku ini untukmu. Untukmu yang tengah mempertanyakan apa makna dari hanya sekadar menjadi titik. Untukmu yang tengah berseru dari kejauhan karena masih menerka-nerka apa makna dari sebuah titik. Dan untukmu yang telah memahami, bahwa menjadi titik adalah sebuah jati diri. Semoga bermanfaat.
3
Isna Maratu Rodiyah
Titik (:)
Aku tak mau hanya sekadar menjadi pembaca dan pendongeng. Aku akan menuliskan dongengku sendiri.
(Isna, 2013)
4
Isna Maratu Rodiyah
Titik (:)
DAFTAR ISI
A.
TITIK (:) 1. Titik (.) 2. Koma (,) 3. Tanya (?) 4. Seru (!) 5. Titik (:)
B.
SAJAK-SAJAK HATI 1. Cukup 2. Kapal dan Mercusuar 3. Lagila Gicinta 4. Selembar Hati 5. Belajar Menjadi Pelupa 6. Langkah Pertama 7. Penjahit 8. Angin 5
Isna Maratu Rodiyah
Titik (:)
9. Bulan Baru 10. Tentu Ibu 11. Ala Kakak 12. Kepada Adik 13. Kepada Perempuan 14. Kepada Cinta 15. Gerimis 16. Pintu dan Jendela 17. Semburat Mentari 18. Tentang Jarak 19. Kepada Waktu 20. Tentang Jodoh 21. Kepada Hujan 22. Cinta dalam Sepotong Roti 23. Dua Lajur 24. Irama Hujan 25. Menara Kita 26. Palung
6
Isna Maratu Rodiyah
Titik (:)
A. TITIK (:)
Kita ini hanyalah sebuah titik. Pilihannya hanya ada dua. Mau menjadi titik semata, atau melengkapi penanda lainnya.
(Isna, 2013)
7
Isna Maratu Rodiyah
Titik (:)
1. Titik (.) Pernahkah kamu mengarungi hidup, lalu tandatanda pemarkah itu datang menghampirimu? Ada koma yang membuatmu berjeda, ada tanya yang membuat hatimu bertanya, ada seru yang membuatmu harus berseru, atau mungkin ada titik? Sebuah titik yang hanya menjadi sekadar tempat pemarkah terakhir yang paling akhir. Sebuah titik sebagai penanda, bahwa sebuah
kalimat
bernama
perjalanan
hati
telah
menemukan ujungnya, walaupun harus bergumul dahulu dengan koma, dan menyatu dengan seru dan tanya.
Sebuah
pertanyaan
telah
menemukan
jawabannya. 8
Isna Maratu Rodiyah
Titik (:)
Namaku Titik. Lengkapku adalah Titik Den Malah. Orang tuaku yang memberiku nama itu. Kata mereka, namaku berasal dari bahasa Jawa Kuna. Titik artinya adalah penanda, den artinya adalah sebab atau saling berkorelasi, dan malah artinya adalah titik juga. Aku tak mengerti mengapa orang tuaku membubuhkan dua titik di namaku, namun di akhir kalimat pencarianku,
aku
mengerti
mengapa
mereka
memberiku nama itu. Sebuah nama yang bahkan dari kecil aku tak tahu, namun menjadi tahu ketika ada beberapa siluet kokoh yang mencoba menjadi titikku yang lain. Ya, namaku memiliki dua titik. Dua titik yang saling berhubungan, dua titik yang saling berkorelasi, dan dua titik yang saling menjadi sebab akan titik lain. Namaku punya dua titik. Satu untukku, dan satu untuk seseorang yang akan menjadi akhir kalimat pencarianku ini. Namaku
Titik.
Orang-orang
memanggilku
Titik. Kata mereka aku lumayan cantik. Namun mereka tak tahu, bahwa hati ini harus terlebih dahulu merintik, 9
Isna Maratu Rodiyah
Titik (:)
demi mencari pasangan titik yang lain. Ya, sebuah titik di dalam realita kehidupan yang berisik. Oleh karena itu, aku lebih suka menulis di tengah rerintikan itu. Berharap kehidupan akan lebih baik. Dan memang, semua terlihat lebih terang ketika kutuliskan. Namaku
Titik.
Orang
tuaku
lah
yang
menamaiku titik. Aku suka menulis, apalagi ketika tengah merintik. ***
10
Isna Maratu Rodiyah
Titik (:)
2. Koma (,) Mengapa cinta di bumi ini bertebaran dimanamana? Mereka terlampau banyak, membuatku mudah terhenyak. Sesak. Bahkan untuk remaja usia tujuh belasan sepertiku, rasa-rasanya cinta hanya ibarat bola saja. Yang dengan mudahnya menjadi mainan kucingkucing jalanan itu, bahkan dengan menutup mata. Aku butuh kamu, koma. Yang akan membuatku sejenak berjeda dalam gesekan biola tak menghasilkan nada. Aku menginginkanmu, koma. Yang akan membuatku sedikit menghela dalam deru nafas kepala. Apakah aku ini lugu? Aku pikir, aku sudah cukup bisa menahan perihnya duri gelugu. Aku rasa, aku sudah cukup lihai dalam menebas ragu. 11
Isna Maratu Rodiyah
Titik (:)
Dan kau pun hadir, Koma. Mengubah gundah ini menjadi sesuatu yang terlihat indah. Mempesona. Dan tiap hari bertemu bahkan tak mampu mengobati candu. Dengan Koma, aku bermesra ria dalam balutan usia. Dengan Koma, aku menggenggam jemari erat dalam balutan mentari hangat. Dengan Koma, aku memeluk lekuk bibirmu lama. Dengan Koma, aku mengulum duka-duka. Dan dengan Koma, aku merasa tak berjeda. Kita memang melaju. Melaju bersama lajur-lajur yang kita bangun bersama jalur-jalur kita sendiri. Kita memang melaju. Dan kita pun terus melaju. Tak peduli seberapa remuk lekuk dalam liuk ceruk mangkuk. Tak peduli seberapa darah mengalir semilir hilir. Juga tak peduli bahwa kamu adalah koma. Yang bahkan di dalam bahasa Indonesia menjadi penjeda. Namun, di realita kita ternyata lalai akan jeda. Akhirnya, kita terjerembab dalam samudera kehampaan. Menghambar bersama rasa yang di atas lajur-lajur di jalur-jalur telah banyak kita umbar. Adakah yang lebih pelik dari ini? Lebih pelik dari seseorang 12
Isna Maratu Rodiyah
Titik (:)
yang sejatinya sebuah titik, namun ditakdirkan untuk bertemu dahulu dengan sebuah koma. Lebih pelik dari sesuatu yang kusebut titik koma? Yang di dalam bahasa kita mengandung arti penanda yang takkan pernah usai? Entahlah. Kau ya Koma. Yang tak pernah berjeda, meski sejatinya sebuah koma adalah penjeda. Kau-tak-memberi-jeda-pada-kalimat-hidupku. *** Rintik Pertama Cinta butuh jeda Agar kita kembali senada Agar sakit tak berpenyebab itu hilang dari dada Agar hatimu tak lagi pedas seperti lada Cinta kita butuh jeda *** Hujan tak terasa sudah menurunkan airnya sedari tadi, namun kamu masih saja menutup diri.
13
Isna Maratu Rodiyah
Titik (:)
“Mau kamu apa sekarang?” Tanyaku. Sekali, dua kali, tiga kali, kau tetap saja membisu. Padahal biasanya kau lah yang lebih banyak bercerita, dan bahkan sesekali mengalahkan rintik hujan kita. Dan di seratus delapan puluh detik berikutnya, akhirnya aku dapat bernafas lega karena mulutmu bergerak, pertanda bahwa akan ada kata yang keluar dari sana. “Aku nggak suka kamu sibuk. Semakin hari, kamu semakin ditelan bumi. Baru ketika aku memaksa, kamu baru mengabarkan
rasa.
Aku
bener-bener
nggak
suka
dikayakginiin!”. Jawabmu mencoba memberi kesan tegar dan tegas. Namun aku tahu, semua itu tak dapat menutupi hujan dan parau suaramu yang mulai pias dengan waktu. “Jangan cengeng. Bukankah kita berdua tak pernah menangis? Bahkan ketika kita sebulan yang lalu harus berhadapan dengan preman Pasar Kamis?” Aku mencoba membesarkan hatinya. “Mengapa tak boleh menangis? Apa kau tak pernah diajarkan apa guna Tuhan memberimu air mata?!” Sentakmu galak. 14
Isna Maratu Rodiyah
Titik (:)
“Karena . . .” Aku bingung harus menjawab apa. “Karena apa, hah!” Sahutmu meradang. “Karena tangisanmu takkan mengubah kesibukanku. Kau tahu, aku tahu, kita pun tahu. Dunia kerja tak seperti dunia kuliah apalagi sekolah kita dulu. Aku juga tak menginginkan ini, tapi kumohon percayalah, beri aku waktu, beri kita jeda, nanti aku akan kembali”. Jawabku mencoba menenangkannya. “Kau tahu? Rasanya, aku ingin mengukir namamu di atas batu. Lalu batu itu kulemparkan kepadamu. Agar kau tahu, bagaimana sakitnya hatiku kala merindukanmu”. Jawabmu setengah terisak. Aku tak menjawab atau bertanya kepadanya. Aku hanya mendekat dan memeluk raganya. Kau berontak. Berontak sebagai tanda bahwa kau tidak terima akan rasa sakit hati akan hubungan kita yang kuakui memang telah retak. Aku tetap memelukmu erat. Biar, biar saja kita mengalir seperti ini. Biar kau merasakan dekap hangat tubuh kita yang telah lama tak
15
Isna Maratu Rodiyah
Titik (:)
bersua. Biar kau mengerti aliran nadi yang telah lama mati suri. Biar kau paham akan alasan-alasan yang tak butuh ku jelaskan. Bersamaan dengan redanya hujan sore itu, rontakmu telah rontok. Kau merekatkan peluk, aku merekatkan mata. Kau membuka telinga aku membuka cengkrama. Cengkrama bahwa kita akan baik-baik saja. Lalu setelah aku rasa kita kembali mengerti, aku melepasmu.
Dan
ku
harap,
kau
juga
akan
mengikhlaskanku. Aku pergi. Titik Den Malah untuk Koma ***
16