ISLAM VERSUS SOSIALISME DALAM MEMANDANG KEHIDUPAN SOSIAL DAN KEGIATAN EKONOMI Farhan Alumnus Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Mataram Email:
[email protected] Abstrak Bagi sebagian ideolog, konsep sosialisme lebih dekat kepada Islam dibandingkan dengan konsep kapitalisme. Sosialisme yang secara teoretiskonseptual sangat menjaga kepentingan-kepentingan sosial di atas kepentingan personal dan individu, sepintas sejalan dengan pandangan Islam dalam melihat kehidupan sosial. Sosialisme menolak kebebasan individu tanpa batas dan menyerahkan pengaturan-pengaturan sosial kepada hukum pasar, sebagaimana dalam doktrin utama kapitalisme memang, tidak diterima dalam Islam. Namun ini bukan berarti Islam adalah sosialime atau sosialisme adalah Islam. Tulisan ini akan menganalisis secara lebih mendalam doktrin sosialisme dalam memandang kehidupan sosial dan membandingkannya dengan konsep Islam. Klaim dari tulisan ini adalah bahwa kehidupan sosial seperti yang diidealkan oleh Islam berbeda dengan kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh sosialisme. Perbedaan keduanya terutama terletak pada pendasaran ontologis yang berbeda; sosialisme melihat kehidupan sosial hanya untuk kepentingan duniawi dan menafikan spritualisme di dalamnya, sebaliknya Islam melihat kehidupan sosial sebagai perluasan dari spritualisme yang menjadi struktur dasarnya. Kata kunci: sosialisme, Islam, kehidupan sosial, spritualitas.
Pendahuluan Istilah sosial, secara leksikal berarti “berkenaan dengan khalayak, masyarakat dan umum”. Definisi lain tentang sosial yaitu “segala sesuatu mengenai masyarakat, peduli terhadap kepentingan umum”. Berbicara sosial berarti berbicara tentang kehidupan bersama dalam sebuah komunitas atau masyarakat dalam arti yang seluasluasnya, yang notabenenya tinggal di
suatu tempat dan memiliki budaya atau visi yang sama dalam mem bangun kehidupan. Solidaritas se nantiasa bersandingan dengan kata sosial. Ini, mengandung arti bahwa solidaritas menyangkut kebutuhan ma syarakat atau khalayak sebagai makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari orang lain, baik yang berkaitan dengan ke
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 49
wajiban maupun hak dalam menjalani kehidupan bersama. Adapun sosialisme, secara termi nologi berarti “pandangan secara politik dan ekonomi yang berusaha agar harta benda, industri, dan perusahaan menjadi milik negara”. Partanto, mendefinisikan sosialisme sebagai “teori politik dan ekonomi yang menganjurkan hak milik umum serta manajemen alatalat pokok untuk produksi, distribusi dan pertukaran barang”.1 Sedangkan, Listiyani memberikan definisi sosialisme sebagai suatu paham yang menghendaki segala sesuatu harus diatur bersama dan hasilnya dinikmati bersama-sama. Terminologi sosialisme pertama kali muncul pada tahun 1827 dalam majalah perkoperasian oleh Robert Owen, dan dianut oleh hampir 1,3 milyar manusia di dunia pada abad ke20 seperti tersebut dalam buku “Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah” karya Michael H. Hart. Sosialisme sebagai suatu gerakan politik yang efektif dan terorganisir baru muncul di Eropa pada akhir abad ke 18 dan awal abad ke-19 sebagai ekses-ekses dari Revolusi Industri. Penemuan baru di bidang teknologi telah membuka cakrawala baru di bidang industri dan perdagangan. Di satu sisi, membuat golongan pengusaha atau pemilik modal (borjuis) semakin hidup makmur, se mentara golongan buruh atau pekerja (proletar) dengan upah yang rendah hidup melarat dan menderita. Keadaan ini, menjadi awal timbulnya kritik 1Pius A. Partanto, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1998), h. 452.
50 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
yang tajam dari kalangan sosialis ter hadap sistem ekonomi kapitalis yang berdasarkan paham liberal yang saat itu mendapatkan legitimasi dari gereja. Sosialisme memiliki dua tahapan embriologi, yang pertama disebut de ngan Sosialisme Utopis dan yang kedua dinamakan dengan Sosialisme Ilmiah. Tokoh Sosialisme Utopis seperti Saint Simon (1760-1825), Robert Owen (1771-1858), Charles Fourier (17721837), dan Pierre Joseph Proudon (1809-1865), secara umum berpan dangan bahwa untuk menghilangkan kesengsaraan rakyat akibat revolusi industri, menciptakan masyarakat baru yang lebih baik dan lebih adil, mem perbaiki nasib kaum buruh agar dapat hidup dengan layak, maka kekuatan ekonomi seperti alat-alat dan faktor produksi harus diserahkan kepada ahliahli industri dan kaum tekhnokrat, mengurangi jam kerja, serta mendirikan dan menyelenggarakan pendidikan tanpa memungut biaya. Obsesi untuk menghilangkan ke sengsaraan rakyat akibat Revolusi Prancis (1789) dan Revolusi Industri di Inggris juga mendorong tokoh Sosialis me Ilmiah seperti Karl Heinrich Marx yang lebih dikenal dengan Karl Marx (1818-1883) dan George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) untuk mencari solusi terhadap masalah tersebut. Marx dan Hegel mendasarkan ideologinya pada ilmu pengetahuan, yaitu teori historis materialistis. Ber dasarkan teori ini, materilah yang mempengaruhi segalanya, materilah yang menjadi ukurannya. Untuk men
capai suatu hidup yang layak bagi kaum buruh (golongan proletar), maka perlu perjuangan sehingga muncullah konsep perjuangan kelas. Semangat juang yang diserukan oleh Marx dan Hegel dalam menghapus kelas-kelas sosial yang timbul karena perbedaan kepentingan antara golongan pemilik modal dan kaum buruh termaktub dalam semboyan “Kaum Buruh Sedunia Bersatulah!”. Dalam telaah sejarahnya, implementasi dari semboyan ini menurut Marx, bahwa pertentangan antar kelas hanya dapat diselesaikan dengan jalan kekerasan atau gerakan radikal untuk merebut kembali kekuasaan yang didominasi oleh kapitalis. Berdasarkan definisi dan deskripsi historis kelahiran ideologi ini, dapat disimpulkan bahwa sosialisme secara politis ingin menyerahkan kendali ekonomi sepenuhnya pada otoritas politik atau pemerintah (State Capitalism) atau pihak yang dimandatkan untuk tugas tersebut, tidak semata-mata untuk menghapus hak privat yang digaungkan oleh materialisme kapitalis, tetapi untuk menghilangkan kesenjangan yang tajam di antara masyarakat sebagai akibat dari pengakuan hak privat yang sangat obsesif terhadap individu dalam menjalankan aktivitas ekonomi pada khususnya. Secara ekonomi, gerakan sosialisme mengharapkan pemerataan ekonomi masyarakat tanpa ada kelas-kelas sosial seperti kelas pemilik modal (kapitalis), tuan tanah (feodalis), dan agamawan dalam kubu kapitalis, serta kelas buruh
dan pekerja pada kubu sosialis, yang terbentuk oleh perbedaan tingkat ekonomi seperti yang terjadi pada era feodalisme yang merupakan “ibu” yang telah melahirkan materialisme kapitalis. Perspektif Sosialisme tentang Kehidupan Sosial Secara historis, ideologi ekonomi dan politik ini muncul sebagai kritik terhadap paham Kapitalis yang sangat eksploitatif terhadap manusia. Para pemilik modal menjadi penguasa atau “kaisar pasar” sementara kaum buruh dan pekerja tidak mendapatkan upah yang layak dari pekerjaannya sejauh tidak menguntungkan pihak pemilik modal. Kondisi ini, menjadi awal terjadinya gap yang tajam antara golongan pemilik modal (kapitalis), tuan tanah (feodalis), dan agamawan yang telah melegitimasi kerangka pikir kapitalisme dengan para pekerja atau buruh yang melakukan produksi setiap saat untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan kapitalisme tanpa memperdulikan nasib mereka dalam bentuk pertimbangan upah yang layak. Meskipun Kapitalisme dan Sosialis me memiliki aliran darah yang sama yaitu materialisme, keduanya memiliki pandangan yang berbeda tentang kon sep kesejahteraan. Kapitalisme ber pandangan bahwa kesejahteraan masya rakat hanya akan dapat diperoleh dengan memberikan kebebasan tanpa batas kepada setiap individu untuk me lakukan kegiatan ekonominya. Semen tara, sosialisme menyandarkan kesejah
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 51
teraan masyarakat pada agresifnya intervensi pemerintah atau Negara sebagai wakil atau abdi rakyat untuk mengatur regulasi ekonomi, utamanya dalam mengendalikan faktor dan alatalat produksi yang menjadi kepentingan publik. Tokoh Sosialisme ilmiah terkemuka Karl Marx, pada dasarnya mengharapkan terwujudnya masyarakat yang ideal seperti yang digambarkan dalam ”ki tab perjanjian baru”. Namun, saat itu agama hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan posisi kaum kapitalis dalam menindas kaum buruh. Kondisi ini, membuat Marx mengambil kesimpulan bahwa agama adalah candu (religion is the opium), sebagai bentuk ekspresi kekecewaannya terhadap rea litas agama pada saat itu. Penganut ideologi sosialis berpan dangan bahwa kehidupan sosial yang ideal itu adalah hidup bersama dalam tingkat atau status sosial eknomi yang sama. Masyarakat yang adil dan sejahtera itu adalah masyarakat yang hidup dalam kesetaraan, tidak ada gap yang dapat memperuncing kecem buruan sosial, tidak ada status sosial yang dapat memancing lahirnya kon flik kepentingan dan kelas, serta dapat terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat secara merata dalam skalaskala ekonomi. Komitmen sosialisme dalam me wujudkan kesejahteraan yang hakiki bagi masyarakat ternyata kandas di tengah jalan. Konsep pemerataan distribusi eko nomi yang mereka usung, di samping
52 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
bertentangan dengan pengakuan alQuran tentang strata sosial ekonomi yang bersifat alamiah bagi manusia, juga dapat menghambat kreativitas individu untuk mengembangkan potensi dirinya dalam meraih kehidupan yang lebih baik dan layak. Solusi Sosialisme terhadap Masalah Ekonomi Masyarakat Menanggapi dialektika sosial di atas, penganut ideologi sosialis memberikan solusi sebagai jalan keluar dari berbagai macam konflik dan pertentangan sebagai bentuk reaksi mereka terhadap perjuangan kelas dengan mengajukan sintesis, yaitu “produksi seharusnya diambil dari tangan individu dan di pindahkan pada masyarakat untuk dimiliki secara bersama-sama, masya rakat harus secara kolektif mendistri busikan kekayaan setiap individu menurut kebutuhan masing-masing”. Dengan kata lain, untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dalam konteks sosialisme, memiliki tingkat ekonomi dan penghidupan yang relatif sama, maka “seluruh kegiatan ekonomi harus diusahakan secara bersama atas nama masyarakat tanpa ada klaim usaha swata atau pihak lain selain pemerintah (state enterprise)”. Penyerahan kewenangan ekonomi kepada negara atau pihak yang ditunjuk oleh negara atas tugas tersebut di samping karena alasan yang telah dikemukakan di atas, juga didasari atas adanya asumsi bahwa keterpurukan ekonomi, sosial dan politik pasca perang dunia kedua tidak akan dapat diatasi hanya dengan
mengandalkan peran individu dalam pasar melalui mekanisme pasar bebas. Negara-negara yang terkena imbas perang dunia kedua saat itu, secara sosial, ekonomi maupun politik sedang mengalami keterpurukan, terbelakang dan dicekam oleh lingkaran kemiskinan yang membuat mereka tetap berada di sekitar tingkat keseimbangan pen dapatan perkapita yang rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlu kan “upaya minimum kritis” untuk menaikkan kembali pendapatan per kapita pada tingkat di mana pem bangunan yang berkesinambungan da pat dipertahankan. Keterlibatan atau intervensi pe merintah yang sangat dominan ter hadap aset-aset produksi dan sumber daya ekonomi lainnya menjadi awal stagnannya kebebasan individu dalam melakukan aktivitas ekonomi, awal tidak diakuinya kepemilikan pri badi dan semua akativitas ekonomi dilakukan secara bersama-sama untuk kepentingan bersama. Dalam hal ini, Negara bertanggung jawab dalam mendistribusikan sumber dan hasil produksi kepada seluruh masyarakat serta seluruh risiko-risiko ekonomi yang mungkin timbul di tengah-tengah mereka. Pemusatan aset-aset produksi dan sumber daya ekonomi lainnya pada satu tangan (pemerintah atau badan ekskutif yang mewakilinya) seperti tersebut di atas, secara praktis bertentangan dengan pengakuan Islam akan hak privat seseorang dalam mengembangkan
potensi diri mereka yang bersifat alamiah (kebebasan dalam bekerja dan memiliki harta), untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan wajar. Tetapi, harus dipahami bahwa hak privat yang diakui Islam tidak seperti yang digaungkan oleh kapitalisme yaitu kebebasan mutlak tanpa ada batasan hukum dan moral. Motivasi awal dari state enterprise adalah untuk mewujudkan masyarakat yang merata secara ekonomi tanpa ada gap yang harus memisahkan kelaskelas individu dalam kehidupan sosial seperti yang terjadi sebelumnya, yaitu feodalis, kapitalis dan buruh. Dengan dipusatkannya aset-aset produksi utama pada satu tangan, menurut kalangan sosialis secara langsung akan menghapus kelas-kelas sosial tersebut dan akhirnya masyarakat memiliki tingkat ekonomi yang sama, tidak ada yang kaya atau mungkin disebut miskin. Bila dicermati secara seksama, meskipun pada awalnya pemerintah atau badan ekskutif ini dipilih oleh masyarakat dan bekerja atas nama mereka, secara perlahan tapi pasti bila seluruh sarana kehidupan berada di bawah pengawasannya dan individu tidak memperoleh bagiannya kecuali melalui badan tetrsebut, maka masyarakat akan menjadi tidak berdaya di bawah cengkramannya. Tidak ada seorang pun yang dapat mengabaikan kehendaknya, tidak ada kekuatan terorganisir yang dapat menentangnya serta mampu menggesernya dari kedudukan yang penuh kuasa. Jika badan ekskutif ini tidak suka kepada seseorang, itu berarti bahwa seluruh
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 53
sarana kehidupannya akan direbut dari tangannya. Pandangan Islam tentang Kehidupan Sosial Analisis sosial tentang konsep pemerataan ekonomi di atas, secara normatif bertentangan dengan peng akuan Islam akan perbedaan tingkat ekonomi individu dan masyarakat sebagai konsekuensi logis dari perbedaan tingkat usaha, ikhtiar dan upaya masingmasing dalam memanfaatkan potensi diri dan sumber daya ekonomi yang ada demi kemakmuran hidup mereka. Disebutkan dalam Qs. al-Nahl (16): 71, bahwa Allah melebihkan rizki sebagian orang atas sebagian yang lain.
َ ُ َ َواهللُ فَ َّض َل بَ ْع ض ِفى ٍ ضك ْم َعلى بَ ْع فَ َما الَّ ِذيْ َن فُ ِّضلُ ْوا بِ َرآدِّي ِر ْز ِق ِه ْم،ْق ِ الرز ِّ ،ُهم فَ ُه ْم ِفيْ ِه َس َوآ ٌء ْ َعلَى َما َمل َك ْ ت أَمْيَان .(ÔÎ :ْح ُد ْو َن )النحل َ أَفَبِنِ ْع َم ِة اهللِ جَي “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah”. (Qs. al-Nahl [16]: 71) Perbedaan tingkat ekonomi dan sta tus sosial, pendidikan, profesi dll., me rupakan sesuatu yang alamiah dan terjadi secara alamiah pula. Tidak seorang pun dapat memaksakan kehendaknya meskipun terhadap saudaranya sendiri.
54 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
Setiap orang berjalan sesuai dengan citacita, motivasi dan sugesti hidup yang ia miliki. Dalam sebuah keluarga, seorang bapak atau ibu tidak dapat memastikan bahwa semua anak atau cucunya akan mengikuti jejaknya secara utuh, meskipun mereka memiliki hubungan darah yang sama. Kecenderungan individu untuk menentukan sendiri jalan hidupnya inilah yang meniscayakan adanya perbedaan tingkat ekonomi dan status sosial dalam masyarakat. Melanggar sesuatu yang alamiah, disamping ia mendapat legitimasi dari al-Quran, merupakan tindakan merusak arsitektur kehidupan ma nusia yang aktif dan dinamis, serta me rubah paradigmanya menjadi pasif, pasrah, cukup dengan menengadah tanpa ada usaha atau upaya untuk berubah menjadi lebih baik. Padahal, penciptaan manusia dengan sempurna, dibentangkannya alam raya sebagai sumber penghidupannya, merupakan fasilitator Tuhan untuk menguji ma nusia, siapa yang paling baik amal per buatannya. Disebutkan dalam Qs. al-An’am (6): 165 sebagai berikut:
َ َ َِو ُه َو الَّ ِذي َج َعلَكم َخ اَلئ ض ِ ف أْال ْر ْ ُ َ َو َرفَ َع بَ ْع َ ات ٍ ض َد َر َج ٍ ضك ْم فَ ْوق بَ ْع : (األنعام...اكم ْ َلَيَبْلُ َو ُك ْم ِفى َمآ آت .)165
“Dan Dialah (Allah) yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia pula yang meninggikan sebahagian
kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu…” (Qs. al-An’âm [6]: 165) Konsekuensi logis dari aksioma bahwa “hidup adalah pengabdian”, yaitu seluruh bentuk tingkah laku harus merefresentasikan atau mencerminkan motif ibadah kepada Allah swt.. Perkataan, perbuatan maupun tingkah laku seseorang akan terhitung sebagai suatu ibadah bila sesuai dengan normanorma ketuhanan yang terkodifikasi dalam bentuk mushaf (al-Quran) dan kitab-kitab Hadis. Seluruh norma kehidupan, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan maupun hubungannya dengan sesama makhluk, secara kom prehensif telah termaktub di dalamnya. Dunia adalah tempat bercocok tanam, sedangkan akhirat adalah tempat memetik buahnya. Hasil panen yang baik akan dapat diperoleh bila proses bercocok tanamnya dilakukan secara baik pula. Kehidupan sosial yang dijalani dengan baik sesuai dengan tuntunan agama akan melahirkan kehidupan yang rabbani dan madani, yaitu kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai ibadah sehingga dapat memberikan kesejah teraan dunia dan akhirat. Orang yang tekun dalam beribadah (‘âbid), tetapi tidak tercermin dalam khidupan sosialnya, cenderung akan mendapat celaan di mata masyarakat yang akhirnya dapat mengancam kehidupan ekonominya. Telah disebut
kan sebelumnya bahwa kondisi eko nomi dapat mempengaruhi intensitas keimanan seseorang. Karena motif ekonomi, orang berjual beli secara tidak jujur, seorang bos memberikan gaji yang tidak wajar kepada buruh dan karyawannya, orang berspekulasi di pasar modal, seorang akuntan berani memanipulasi laporan keuangan, se orang yang kurang beruntung secara ekonomi menjadi peminta-minta, pengemis, pencuri bahkan perampok sekalipun, seorang wanita yang kurang beruntung dan tidak beragama berani menjual kehormatannya, dan perilaku negatif lainnya. Ini berarti bahwa kehidupan sosial dalam pandangan Islam, memiliki peran penting dalam menentukan masa depan akhirat se seorang. Disebutkan dalam Qs. Ali‘Imran (3): 112 sebagai berikut:
ِّ ت َعلَي ِهم َّ ِالذلَّة أَيْنَ َما ثُ ِق ُف ْوا إ ال ُ ُ ْ ْ َض ِرب )آل... ،َّاس ِ حِبَبْ ٍل َم َن اهللِ َو َحبْ ٍل َم َن الن .(ÎÎÏ :عمران
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia…”. (Qs. Ali Imran (3): 112). Menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat adalah tugas hidup manusia sebagai makhluk pilihan yang diberikan kesempurnaan berupa akal dan bentuk tubuh yang indah bila dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dunia seisi nya serta seluruh tata kehidupan di dalamnya, adalah amanah Allah
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 55
yang harus dijaga, dipelihara serta dimanfaatkan sesuai dengan tuntunanNya. Kehidupan bersama adalah bentuk rahmat Allah pada makhluknya, mereka diberikan kesempurnaan di satu sisi tetapi diselipkan kekurangan di sisi lain. Kekurangan dan kesempurnaan inilah yang membuat manusia harus hidup bersama untuk saling menutupi dan melengkapi agar kehidupan mereka terasa lebih baik dan berguna buat orang lain. Ekonomi dalam Perspektif Islam Ekonomi secara umum Ekonomi, secara etimologi ber asal dari bahasan Yunani yaitu kata oikos (kemakmuran) dan nomos (pengetahuan). Ada juga yang mengata kan bahwa kata ekonomi berasal dari kata oikonomos yang berarti “rumah tangga”. Sumber lain menyebutkan, bahwa ekonomi berarti “segala bentuk upaya manusia untuk memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemak muran hidup”. Jadi, secara literal, makna dasar kata ekonomi ialah “ilmu pengetahuan tentang cara yang ditempuh oleh manusia dalam upaya meraih kemakmuran dalam hidupnya”. Secara terminologi, Oxford Dictionary of Current English dalam Muhammad dan Ridwan Mas’ud, memberikan definisi ekonomi sebagai “Science of the production, distribution and consumption of goods, condition of a country as material property”. Alfred Marshall dalam Deliarnov, memberikan definisi ekonomi sebagai “ilmu yang
56 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
mempelajari manusia dalam kehidupan sehari-hari, bertindak dalam proses produksi, konsumsi, alokasi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia”. Setiawan (Freeware @2010), memberikan definisi ekonomi sebagai “ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barangbarang serta kekayaan seperti keuangan, perindustrian, dan perdagangan. Sedang kan, menurut Leurensius, ekonomi merupakan “ilmu yang mempelajari usaha-usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka mencapai kemakmuran. Dari sederetan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekonomi merupakan ilmu tentang usaha manusia dalam melakukan kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi sebagai bentuk upayanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dalam posisinya sebagai individu, keluarga, masyarakat bahkan warga Negara. Bila individu, kelompok, masyarakat dan warga suatu Negara secara kompak dan konsisten melakukan kegiatan tersebut sesuai dengan norma dan kepentingan bersama yang diakomodir oleh suatu ideologi dan sistem politik akan dapat menghasilkan suatu sistem ekonomi yang kuat dan handal. Ali bin Abi Thalib mengatakan “kebaikan yang tidak terorganisir akan dapat dikalahkan dengan kebatilan yang terorganisir”. Ekonomi Islam Yang membedakan ekonomi kon vensional dan Islam adalah terletak pada
falsafahnya. Dasar falsafah ekonomi Islam adalah pandangan tentang dunia, alam semesta dan manusia, serta tujuan hidup mereka. Islam memandang bahwa dunia dan alam semesta adalah milik Allah swt yang diamanahkan kepada manusia sebagai khalifatullah di muka bumi untuk mengelola dan menjaganya demi kepentingan hidup mereka. Pengakuan terhadap kepemilikan Allah swt akan alam semesta merupakan i’tirâf terhadap keesaan dan ketauhidanNya. Konsekuensi logis dari i’tirâf ini adalah bahwa manusia secara praktis bersedia menerima otoritas sebagai khalifah di muka bumi untuk mengelola dan memanfaatkan sumbersumber pemenuh kebutuhan secara adil sesuai dengan tuntutan Islam demi kemakmuran bersama, serta menjaganya dari kerusakan dan eksploitasi yang diakibatkan oleh kerakusan manusia. Ekonomi Islam adalah ekonomi normatif pada asasnya dan positif pada implementasinya. Seluruh praktek ekonomi Islam dapat dipastikan ada dasar normatifnya dalam agama, meskipun secara praktis tidak ada pedoman manajerialnya. Manusia adalah makhluk yang mendapatkan kepercayaan sebagai top management untuk menjaga dan mengelola alam sekitarnya sesuai kebutuhan dan batas yang dihalalkan oleh agama demi kemakmuran hidup mereka. Dalam sebuah hadis, Nabi saw. bersabda “… kalian lebih tahu tentang urusan atau perkara duniamu…”. Artinya bahwa dalam menjalankan aktivitas ekonomi, manusia diberikan kebebasan untuk
menentukan cara dan manajemennya sendiri selama tidak bertentangan de ngan norma-norma keislaman. Islam sebagai Sebuah Sistem Ekonomi dan Kontrol Sosial Secara etimologi, sistem berarti cara, metode yang teratur untuk melakukan sesuatu. Sedangkan, secara terminologi sistem berarti sebuah totalitas terpadu yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berhubungan, saling terkait, saling mempengaruhi, dan saling ter gantung menuju tujuan bersama tertentu. Definisi lain tentang sistem yaitu “perangkat unsur yg secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas”. Islam merupakan sebuah termi nologi yang menghimpun berbagai unsur kehidupan manusia, seperti jasmani dan rohani; individu, keluarga, dan masyarakat; sosial, ekonomi dan politik; dunia dan akhirat. Bila dicermati, keseluruhan unsur ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya dan include dalam kehidupan manusia. Dengan jasmani yang kuat, manusia dapat bekerja, dengan hati dan perasaan manusia cenderung untuk berbagi dengan orang lain sehingga muncul hasrat untuk berkeluarga, bekerja sama dan bermasyarakat. Hasrat untuk hidup bersama ini memicu lahirnya interaksi sosial, ekonomi bahkan penunjukan seorang pemimpin atau kepala negara yang diharapkan dapat mengatur kehidupan sosial mereka. Bila hubungan sistemis ini dibangun di atas pondasi agama, maka dipastikan kehidupan
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 57
manusia akan bahagia di dunia dan akhirat. Disebutkan dalam Qs. al-Nahl (16) ayat 97 sebagai berikut:
ً ِص ح الا ِم ْن َذ َك ٍر أَ ْو أُنْثَى َو ُه َو َ َم ْن َع ِم َل ُم ْؤ ِم ٌن فَلَنُ ْحيِيَنَّ ُه َحيَا ًة َطيِّبًَة َولَنَ ْج ِزيَنَّ ُه ْم ُوا يَ ْع َملُ ْو َن ْ أَ ْج َر ُه ْم بِأَ ْح َس ِن َما َكان .(ÖÔ :)النحل
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perem puan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan ke padanya kehidupan yang baik, dan se sungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. Bila dikaitkan dengan ekonomi, T. Gilarso dalam Muhammad dan Ridwan mendefinisikan sistem ekonomi sebagai “keseluruhan tata cara untuk mengatur prilaku masyarakat, konsumen dan produsen, dalam menjalankan kegiatan ekonomi produksi, distribusi dan kon sumsi sehingga menjadi satu kesatuan yang teratur dan dinamis, serta ke kacauan dapat dihindarkan”. Sistem ekonomi juga berarti “cara suatu negara mengatur dan mengorganisir seluruh aktifitas ekonominya dalam mencapai tingkat kesejahteraan tertinggi bagi Ne gara dan rakyatnya”. Bila Islam adalah sistem ekonomi, sedangkan sistem ekonomi merupakan cara negara dalam mengatur aktifitas ekonomi, maka Islam adalah mana jemen ekonomi negara. Dalam kon
58 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
teks ini, negara Islam atau yang meng gantungkan undang-undangnya pada syari’at Islam, akan berperan sebagai kontrol bukan sebagai pengendali ekonomi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Setiap individu bebas menjalankan aktifitas ekonominya se jauh tidak bertentangan dengan nor ma-norma keislaman dan kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, Islam sebagai sis tem dan kontrol berarti Islam merupakan cara, evaluasi dan supervisor kerja. Dalam manajemen, kontrol barada pada posisi akhir dari seluruh rangkaian manajemen, mulai dari planning, organizing, actuating, dan controlling. Da lam konteks ini, Islam harus menjadi visi, misi dan kontrol terhadap seluruh aktivitas ekonomi individu, masyarakat atau negara agar sejalan dengan tujuan agama. Kerangka logis normatif yang men jadikan Islam sebagai sistem ekonomi adalah bahwa terminologi bisnis seperti jual beli, hutang piutang, gadai, harga, uang, perniagaan, akunting, riba, dll., telah termaktub dalam al-Quran. Di samping itu, Islam sebagai agama bukan hadir sebagai pedoman manusia dalam menghadap kepada Tuhannya semata, tetapi juga sebagai acuan manusia sebagai makhluk yang tunduk pada prinsipprinsip ekonomi (homo economicus) dalam menjalani kehidupannya. Kegiatan ekonomi giatan sosial dimana masyarakat terlibat di antara mereka, ada
merupakan ke setiap elemen dalamnya. Di yang berperan
sebagai penyedia faktor-faktor produksi seperti petani, nelayan, penambang dll.; ada yang berperan sebagai produsen seperti home industry, manufactur, dll.; ada yang berperan sebagai distributor, agen, dan pengecer; dan yang terakhir adalah sebagai pengguna (konsumen). Sirkulasi ekonomi, berjalan diantara mata rantai tersebut secara fix dan stabil sehingga kebutuhan dan kegiatan masing-masing entitas ekonomi berjalan secara wajar. Bila salah satu diantara rantai atau entitas ekonomi tersebut pincang, akan mempengaruhi mata rantai atau entitas yang lainnya.
mereka mau mengubah apa yang ada pada diri mereka…”. Quraish Shihab, sebagaimana dikutip Said Aqil, mengatakan bahwa penggunaan kata “kaum” pada redaksi ayat ini menunjukkan bahwa suatu perubahan baru akan bisa terwujud bila dilakukan secara bersama-sama (kolektif) dan terorganisir di bawah suatu otoritas politik atau pemerintahan yang berdaulat, agar dapat melahirkan harmoni dan integrasi yang kuat dalam masyarakat.
Konsep ekonomi Islam akan dapat terealisasi secara optimal untuk me wujudkan masyarakat yang rabbani dan madani bila dijalankan oleh seluruh entitas masyarakat dalam suatu negeri secara serempak, sistemis dan terorganisir di bawah otoritas politik atau pemerintahan yang berdaulat sebagai kontrol terhadap kegiatan masyarakat. Ibnu Abîy Râbi’, al-Mawardi dan Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip Said Agil dalam bukunya “Islam Humanis” mengatakan bahwa “untuk mewujudkan masyarakat yang teratur, diperlukan terciptanya rasa aman, damai, keadilan yang menyeluruh yang didasarkan pada undang-undang untuk mengatur kerjasama antar kelompok sosial yang menjamin kepentingan bersama serta didukkung oleh pemimpin yang berwibawa untuk melaksanakannya”.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, ke cuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…” (Qs. al-Nisâ’ [4]: 29).
Disebutkan dalam Qs. al-Ra’d (13) ayat 11, Allah swt. berfirman “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum (masyarakat) sehingga
Dasar Normatif Berekonomi secara Islami
Di atas, telah dibahas meskipun dengan bahasa dan uraian yang sangat sederhana, pesan-pesan etis berekonomi secara Islami yang juga secara filosofis dapat dijadikan aspek ontologis ekonomi Islam. Berikut ini, adalah kerangka dasar normatif yang mengharuskan kaum muslimin untuk menjalankan kegiatan ekonominya secara Islami, yaitu: Unity (Tauhid) Dasar tauhid, oleh kalangan eko nom muslim disebut juga dengan “dasar akidah, ketuhanan, ‘ubûdiyah, dan agama”. Benar bahwa bila sese orang telah meyakini bahwa Allah swt. adalah Tuhan yang wajib disembah yang ditunjukkan dengan dua kalimat syahadat (syahâdatayn), secara langsung ia
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 59
telah mentauhidkan Allah dan menjadi beragama. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Qs. alDzâriyât [51]: 56). Keberagamaan ini, menjadi dasar yang sangat fundamental dan sakral bagi manusia untuk menjalani ke hidupannya sesuai dengan tuntunan agama, termasuk di dalamnya kegiatan ekonomi. “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (Qs. al-Ahzâb [33]: 36). “Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari'at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari'at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benarbenar berada pada jalan yang lurus” (Qs. al-Hâj [22]: 67). Bila tata ekonomi Islam bersumber dari Tuhan, maka secara konseptual ia adalah ekonomi ke-Tuhanan, dalam arti bahwa prinsip-prinsip dasarnya bersumber dari al-Quran dan al-Hadis. Bila demikian, menjalankan aktifitas ekonomi secara islami merupakan sebuah keharusan sebagai wujud pengabdian kepada Allah swt.
60 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
Dasar Khilafah Manusia adalah makhluk yang Allah ciptakan paling sempurna, mulia dan beragama (homo religious). Karena kesempurnaan, kemuliaan dan keberagamaan yang disandangnya inilah ia mendapatkan tugas sebagai duta, pemegang amanat dari Allah untuk menjaga, menglola dan memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar. “… Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…” (Qs. Hûd [11]: 61) “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah men jadikan kamu menguasainya, …” (Qs. al-Hadîd [57]: 7). Tugas untuk menjaga, mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang diembankan kepada manusia, tidak tertentu untuk kepentingan pribadinya tetapi juga untuk kepenetingan orang lain, masyarakat sekitar, bangsa, agama bahkan alam raya ini sekalipun. Bila hal tersebut diabaikan, dapat dipastikan dunia ini akan hancur disebabkan kerakusan manusia, terjadi eksploitasi alam secara besar-besaran, harta benda cenderung dihambur-hamburkan dari pada dizakatkan atau diinfakkan, dll.
ت ِّ ََظ َه َر الْ َف َسا ُد ِفى الْ ر ْ َب َو الْبَ ْح ِر مِبَا َك َسب .)41 : (الروم... ،َّاس ِ أَيْ ِدي الن “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusi…” (QS. al.Rûm [30]: 41). Penutup Kegiatan ekonomi merupakan ak tifitas seluruh komunitas hidup di seluruh penjuru alam. Setiap aktifitas yang orientasinya adalah pemenuhan kebutuhan hidup merupakan kegiatan ekonomi. Manusia, secara alamiah seperti telah dijelaskan di atas memiliki keinginan dan kebutuhan yang tidak terbatas dalam hidupnya, sehingga ia cenderung berlebih-lebihan dalam me mandang material (tirani materialisme), rakus, sombong dikala mendapatkan nikmat dan berkeluh kesah dikala mendapatkan musibah. Islam adalah agama yang mendasari prinsip hukumnya pada keadilan. Ke adilan yang diamanatkan Islam dalam setiap dimensi kehidupan, hendak menghapus seluruh kecenderungan buruk pada diri manusia akibat motif ekonominya. Hal ini, karena manusia secara depacto memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam menjalankan aktifitas sosialnya, dalam menjalankan kewajiban maupun dalam menuntut haknya, tanpa membedakan status sosial tertentu mereka dalam masyarakat. Konsep keseimbangan yang diajar kan Islam hendak menghapus sisisisi yang tidak sepadan dalam tata kehidupan manusia. Kecenderungan yang terlalu tinggi kepada dunia sehingga lupa kepada akhirat atau sebaliknya, berkonsumsi melebihi batas kebutuhan tubuh dan batas yang dihalalkan dalam agama, terlalu mengutamakan
kepentingan pribadi sehingga lupa kepada kepentingan orang lain, terlalu kikir atau bakhil sehingga enggan untuk memberi atau sebaliknya, terlalu spekulatif sehingga lupa dengan realitas, terlalu obsesif shingga lupa dengan raja’, terlalu cinta hidup sehingga takut kepada mati, dll. Hidup yang seimbang diantara dua sisi yang tersebut di atas, akan menjadikan manusia hidup realistis, kerja secara etis tanpa harus melupakan do’a, hidup humanis, berkonsumsi secara wajar, jauh dari spekulasi yang tidak masyrû’, menggantungkan cita-cita pada Allah swt, serta siap siaga untuk menghadapi kematian yang merupakan cerita akhir sebuah perjalanan hidup. Daftar Pusataka M.
Nasution. Metode Naturalistik-Kualitatif. Tarsito, 1992.
Penelitian Bandung:
M. Umer Chapra. Reformasi Ekonomi Sebuah Solusi Prspektif Islam. terj. Ikhwan Abidin Basri. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. M. Yatimin Abdullah. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah, 2006. Mestika Zed. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Miftahul Huda. Aspek Ekonomi dalam Syari’at Islam. Mataram: LKBH IAIN Mataram, 2007.
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 61
Mochtar Naim. Kompendium Himpunan Ayat-ayat Al-Quran Ekonomi. Jakarta: Hasanah, 2001.
Muhammad. Metodologi Penelitian Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Mohammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press, 1998.
Muslihun Muslim. Fiqh Ekonomi dan Positivisasinya di Indonesia. Mataram: LKIM IAIN Mataram, 2006.
Mudrajad Kuncoro. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi: Bagaimana Meneliti dan Menulis Tesis. Jakarta: Erlangga, 2003.
Pius A Partanto. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1994.
Muhaimin, dkk. Dimensi-dimensi Studi Islam. Surabaya: Karya Abditama, 1994.
Rabîy’ ibn Hâdy ‘Umayr al-Mudkhaly. Mudzakkarat al-Hadits alNabawy. Madinah: Al-Jâmi’ah alIslâmiyyah, 1418 H.
Mukhlis (Ed.). Metodologi Studi Islam. Mataram: IAIN Mataram Press, 2006.
Rosadi Ruslan. Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.
Muhammad dan Ridwan Mas’ud. Zakat dan Kemiskinan. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Said Aqil Husin al-Munawwar, dkk. Muslim Humanis. Jakarta: PT Moyo Segoro Agung, 2011.
Muhammad Rawwas. Ensiklopedi Fiqih Cet. 1. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.
Soeratno dan Lincolin Arsyad. Metode Penelitian Untuk Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: BPFE dan LMP2M AMP YKPN, 1998.
Muhammad Soebari. Amal Islami. Jakarta: Khaerul Bayan, 2003. Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Muhammad Tholchah Hasan. Dinamika Kehidupan Religius. Jakarta: Lista Fariska Putra, tt. Muhammad Yusuf Musa. Islam: Suatu Kajian Komprehensif (Judul Asli: Al-Islâm wa Hâjat al-Insâniyyah Ilayh), Penerj. A. Malik Madany dan Hamim Ilyas. Jakarta: Rajawali, 1988.
62 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
Muhammad Baihaqi (Ed.). Tesis Tentang Studi Komparatif Pemikiran Fuqaha Tentang Penambahan Jumlah Pembayaran Hutang Akibat Inflasi. Yogyakarta: UII, 2005. Suprayogo, Imam, dkk., Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003). Syaiful Sagala. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta, 2010.
Yusuf Al-Qordhowi. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2009. Bahan Online AA. Islahi. Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah. Surabaya: Bina Ilmu, 1997., dalam Sjamsul Arifin (Ed.), “Peran Negara Terhadap Pembangunan dan Kebijakan Dalam Ekonomi Islam”, dalam http://www.ekisonline.com / component/content/article/35ekonomi-makro/288-perannegara-terhadap -pembangunandan-kebijakan-dalam-ekonomiislam.html. Asyraf Wajdi Dusuki, “Ibn Khaldun’s Concept Of Social Solidarity And Its Implication To GroupBased Lending Scheme”, dalam http://www. iefpedia.com/english/ wp-content/uploads/2010/03/ Ibn-Khaldun%E2%80 %99sConcept-Of-Social-SolidarityAnd-Its-mplication-To-GroupBased-Lending-Scheme-Dr.Asyraf-Wajdi-Dusuki.pdf.
Asyraf Wajdi Dusuki, “Ibn Khaldun's Concept Of Social Solidarity And Its Implication To GroupBased Lending Scheme”, dalam http://www. iefpedia. com/ english/?p=4895. Atidy Mahrusi, dkk., “Pembangunan Ekonomi Dalam Islam” dalam http://www.google.co.id/#hl=id &source=hp&q=teori+pembang unan+dan +pertumbuhan+eko nomi+dalam+islam&oq=teori+ pembangunan+dan+pertumbuh an+ekonomi+dalam+islam&aq =f&aqi=&aql=&gs_sm=e&gs_u pl=2317l25091l0l75l71l9l42l48l0l 887l9462l2-5.2.5.6.2l20&fp=1&b iw=1440&bih=710. Admin, “definisi monopoli”, dalam http://www.artikata.com/arti341253-monopo li.html. Admin, “Keynesianisme”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/ Keynesianisme. Admin, “Laissez-Faire”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/ Kapitalisme_laissez-faire. Admin, “Latar Belakang dan Penganjur Sosialisme”, dalam http://www. scribd. com/doc/17547959/ Latar-Belakang-Dan-PenganjurSosialisme.
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 63