Dialog Media Jerman-Indonesia 4–5 Maret 2008 / Jakarta
’Islam, Demokrasi dan Kebebasan Media – Tantangan dan Perspektif bagi Indonesia dan Jerman pada awal abad ke-21’
Penyelenggara // Tempat // Penerjemah Dialog Media disponsori
Penasehat ilmiah:
Departemen Luar Negeri RFJ, Berlin
Prof. Dr. Martin Löffelholz, Universitas Teknik Ilmenau
Penanggungjawab:
Bahasa Konferensi:
Bagian Kebudayaan dan Komunikasi
Jerman/Indonesia
Hubungan Bilateral Kebudayaan dan Media Asia
Penerjemah
Angelika Viets
Lantip Kusmanhadji Dhodi Kusmanhadji
Di Indonesia disponsori
Tempat Konferensi:
Kedutaan Besar Republik Federal Jerman
Grand Hyatt Jakarta
Jakarta
Jl. M.H. Thamrin, Kav. 28-30
Penanggungjawab:
Jakarta 10350
Bagian Pers dan Kebudayaan
Indonesia
Anja Wallau, First Secretary
Tlp: +62 21 390 1234 Fax: +62 21 390 6426 http://jakarta.grand.hyatt.com
Konsep dan Pelaksanaan Institut Hubungan Luar Negeri (ifa), Stuttgart Penanggungjawab: Bagian Dialog Barbara Kuhnert
1
Tujuan Media Dialog “Demokrasi, Islam dan modernisasi di Indonesia berjalan seiring“, demikian kata Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada November lalu saat menerima Medali Demokrasi yang dianugerahkan kepada seluruh rakyat Indonesia. Presiden Yudhoyono menyambut medali tersebut atas nama rakyat Indonesia pada pembukaan Konvensi Dunia Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC) di Bali. Menurut IAPC yang menganugerahkan Medali Demokrasi, Indonesia telah menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam dan demokrasi saling mengisi. Negara dengan penduduk umat Islam yang terbesar di dunia itu disebutkan sebagai ’contoh cemerlang bagi harapan’. Tokoh penting yang juga telah menerima Medali Demokrasi antara lain, mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela dan pemimpin oposisi Burma Aung San Suu Kyi. Bagi Indonesia penganugerahan medali itu dapat dikatakan sebagai suatu kehormatan dan dorongan dalam upaya mengembangkan demokrasi yang masih muda. Sejak berakhirnya era Suharto (1998), banyak negara di dunia dengan minat yang besar mengamati jalan Indonesia menuju demokrasi, di mana konstitusinya menjamin persaman hak bagi penganut Buddhisme, Hinduisme, Islam, Katolik dan Protestan. Ini adalah sesuatu yang luar biasa, sebab sekitar 90 persen dari 220 juta warga Indonesia adalah penganut agama Islam. Dan negara yang sekuler ini selalu dihadapi dengan berbagai tantangan, di antaranya yang ditimbulkan oleh serangan-serangan kelompok teroris. Aksi-aksi teror itu tidak hanya mengakibatkan kesengsaraan pada korban yang langsung terkena, tapi juga memberikan sinyal ketidakstabilan yang merugikan secara politik dan ekonomi, misalnya yang berkaitan dengan investasi asing atau pariwisata. Karena media internasional lebih sering memberitakan aksi kekerasan ketimbang laporan mengenai diskusi damai kelompok-kelompuk muslim, misalnya mengenai perdebatan yang menyangkut pertanyaan, bentuk islam yang bagaimana yang sesuai bagi sebuah negara demokratis yang multietnik dan multiagama seperti Indonesia. Baik di Indonesia maupun di Jerman secara intensif dibahas, bagaimana nilai-nilai islam dan gagasan-gagasan demokratis bisa diserasikan. Di Indonesia, orang-orang tertentu melihat negara-negara Arab sebagai panutan. Kenyataan itu tercermin misalnya dalam tuntutan untuk menerapkan pengadilan syariah secara meluas. Sementara yang lainnya beranggapan bahwa ajaran Islam harus dilihat dalam konteks perubahan masyarakat dan bahwa Islam di Indonesia telah berkembang serta menemukan bentuk sendiri yang moderat. Misalnya sinkretisme, yaitu pembauran unsur Islam dengan tradisi daerah yang dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai aspek menyangkut hubungan Islam dan demokrasi yang didiskusikan di Indonesia, juga memainkan peranan penting dalam wacana politik di Jerman. Dalam yang dinamakan ‘Konferensi Islam’ yang diprakarsai pemerintah Jerman dan tokoh-tokoh dari berbagai organisasi muslim, difokuskan antara lain soal, sejauh mana nilai-nilai yang
2
tercantum di UUD (misalnya kekuasaan sepenuhnya yang dipegang negara, kebebasan mengeluarkan pendapat bagi rakyat atau persamaan hak bagi pria dan wanita) diterima oleh sekitar tiga juta umat muslim yang tinggal di Jerman. Tokoh-tokoh kelompok muslim beranggapan, persepsi Islam di Jerman tidak menggambarkan Islam yang sebenarnya dan pengetahuan tentang prinsip agama Islam sangat minim. Selanjutnya dikatakan bahwa terutama pemberitaan media tidak mencerminkan kebenaran yang cukup rumit dari negara-negara muslim atau pun Islam di Jerman. Media melaporkan berita mengenai Islam lebih negatif dan lebih berorientasi ke konflik (misalnya mengenai yang dinamakan ‘kawin paksa’ atau ‘pembunuhan demi martabat keluarga’ ) ketimbang mengenai banyak tema-tema pemberitaan lainnya. Bagaimana warga sebuah negara menilai hubungan Islam dan demokrasi, sudah tentu tidak hanya tergantung pada media saja. Namun, relevansi jurnalisme bagi sebuah demokrasi yang berfungsi tidak boleh diremehkan. Juga jelas bahwa kebebasan media termasuk dalam salah satu ciri mendasar dari demokrasi. Seperti yang disiratkan Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia, kebebasan media tidak hanya berlaku bagi informasi yang dinilai ”menguntungkan, menyenangkan atau tidak bermasalah, melainkan juga bagi informasi-informasi dan ide-ide yang menyakitkan hati, mengejutkan dan mengganggu.” Mengingat besarnya arti kebebasan media, sejumlah organisasi independen, misalnya ‘Reporter Lintas Batas’, setiap tahun mengeluarkan laporan mengenai kondisi kebebasan media di seluruh dunia. Menurut “World Press Freedom Ranking 2007”, Jerman termasuk negara yang kebebasan medianya hanya sedikit dibatasi (peringkat ke-20 dari 169 negara). Indonesia sebagai negara demokrasi muda berada dalam posisi menengah bawah (peringkat ke-100). Laporan semacam itu sudah tentu hanya merupakan upaya pendekatan pada kenyataan yang rumit dari kebebasan media dari sebuah negara. Memang pada dasarnya, konsep kebebasan media di dunia diinterpretasi secara berbeda. Hal ini menjadi jelas terutama dalam perdebatan seputar harian Denmark yang menerbitkan karikatur dengan ilustrasi Nabi Muhammad. Umat muslim di banyak negara, termasuk Presiden Indonesia, mengutuk penerbitan karikatur itu sebagai penghinaan bagi agama Islam. Sedangkan harian Denmark itu mengacu pada kebebasan media dan menolak untuk melakukan pembatasan berita. Perspektif yang berbeda ini menunjukkan apa arti kebebasan media secara nyata, bagaimana kebebasan ini dapat dijamin dalam keadaan politik, ekonomi dan budaya yang berlainan dan batasan mana yang harus ditarik dari segi pandang negara-negara yang berbeda. Semuanya ini didiskusikan secara cermat dalam kerangka internasional. Dalam hal ini yang harus diperhatikan bahwa kebebasan media sama sekali tidak berarti ‘anything goes’. Pelanggaran hak pribadi, seruan melaksanakan kebencian rasial atau pemaparan sesuatu yang membahayakan kaum muda, berdasarkan undang-undang
3
dilarang di banyak tempat. Namun, pengadilan di banyak negara acap kali harus memutuskan, apakah sebuah laporan jurnalistik memang melanggar hak pribadi seseorang ataukah tuduhan pelanggaran hukum hanya digunakan untuk menekan pemberitaan yang tidak disukai. Oleh sebab itu, sebuah perundang-undangan yang menjunjung kebebasan media secara serius dan sebuah pengadilan yang dapat bertindak secara mandiri adalah prasyarat utama bagi jurnalisme yang menyertai kegiatan politik serta ekonomi secara kritis dan diharapkan untuk mengungkapkan secara dini sesuatu yang tidak beres. Jurnalisme yang bertanggung jawab sepenuhnya, sudah tentu memerlukan lebih dari sekadar undang-undang media yang seimbang. Jurnalisme berkualitas menuntut persyaratan yang mencakup penerapan norma-norma etis, pengajaran standar profesional dalam pendidikan jurnalis dan pembayaran yang layak bagi jurnalis untuk menghindari fenomena ‘wartawan amplop’. Persyaratan jurnalisme yang ingin memikul tanggung jawabnya dalam kehidupan demokrasi pada awal abad ke-21 ini, sudah tentu menghadapi tekanan-tekanan. Proses ekonomisasi yang melaju, upaya mempengaruhi secara politis, persaingan dalam bentuk baru penyebaran informasi melalui internet dan profesionalisasi public relation merupakan tantangan bagi jurnalisme masyarakat demokratis. Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut di atas, Dialog Media Jerman-Indonesia mencanangkan tema ‘Islam, Demokrasi dan Kebebasan Media’ yang meliputi empat kelompok permasalahan: (1) Hubungan islam dan demokrasi: Sejauh mana nilai-nilai Islam dan gagasan demokrasi kompatibel? Relevansi apa yang muncul pada kelompok-kelompok Islam yang beragam dalam pembentukan kondisi kehidupan demokratis? Apa sumbangan Islam bagi kerukunan antarbangsa? Apa yang dapat saling dipelajari Jerman dan Indonesia dalam pembentukan hubungan antara Islam dan demokrasi? (2) Pemberitaan mengenai Islam di media Jerman dan Indonesia: Apakah pemberitaan media mengenai Islam akan sesuai dengan kenyataan rumit dari negara-negara muslim pada awal abad ke-21? Bagaimana pemberitaan media Indonesia dan internasional mengenai berbagai kelompok agama di Indonesia? Bagaimana media Jerman memaparkan negara-negara yang berkarakter Islam dan Islam di Jerman? Apa yang harus diperhatikan wartawan bila ingin menulis tentang umat muslim dan Islam? (3) Masalah kebebasan media: Bagaimana kondisi eksternal dan internal dari kebebasan media di Jerman dan di Indonesia? Sejauh mana media dapat memberitakan tema kritis secara bebas? Apakah pada awal abad ke-21 proses ekonomisasi yang meningkat, persaingan melalui internet, public relation yang profesional dan pengaruh politik mengancam jurnalisme masyarakat demokratis?
4
(4) Jaminan kebebasan media: Apa kontribusi undang-undang media, etika media dan pendidikan jurnalis untuk menjamin kebebasan media? Berubahkah pada awal abad ke-21 ini tuntutan secara hukum dan tuntutan etis yang diminta dalam menjalankan tugas jurnalistik? Apakah pengaturan undang-undang media menjamin atau menghambat kebebasan media? Apakah wartawan yang kualifikasinya lebih tinggi dapat menghadapi kebebasan media dengan lebih baik?
Selasa, 4 Maret 2008 // Jakarta Pemimpin konferensi dan moderasi Rainer Nolte, Kepala Bagian Dialog, Institut Hubungan Luar Negeri, Stuttgart Kata Sambutan Paul Freiherr von Maltzahn, Duta Besar Republik Federal Jerman, Jakarta Djafar H. Assegaff, Media Group, Jakarta Pembukaan Martin Kobler, Kepala Bagian Kebudayaan dan Komunikasi Departemen Luar Negeri Jerman, Berlin Pengantar “Islam, Demokrasi dan Kebebasan Media“ Professor Dr. Martin Löffelholz, Universitas Teknik Ilmenau, Ilmenau
Panel 1 Islam dan Demokrasi – sebuah hubungan yang sulit? Sejauh mana Islam tidak bertentangan dengan Demokrasi? Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, Jakarta Pendekatan lamban? Islam dan Demokrasi di Jerman Dr. Hans-Ludwig Frese, Kleio Humanities, Bremen Contoh harapan? Islam dan Demokrasi di Indonesia Prof. Dr. Azyumardi Azra, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulla, Jakarta
5
Islam, demokrasi dan wacana tentang persamaan hak-hak perempuan Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, Seminar Indonesia tentang Agama dan Perdamaian, Jakarta
Panel 2 Islam – Sebuah tema media yang peka Islam sebagai tema media – sebuah tantangan khusus bagi wartawan? Prof. Dr. Deddy Mulyana, Universitas Padjajaran, Bandung Hanya prasangka? Bagaimana pemberitaan media Jerman tentang negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim dan Islam di Jerman Andreas Zumach, taz, Genf Fair, objektif, kabur? Bagaimana pemberitaan media Indonesia mengenai agama-agama di negara ini Saur Hutabarat, Media Indonesia, Jakarta
Undangan Dubes Republik Federal Jerman, Yang Mulia Paul Freiherr von Maltzahn
Rabu, 5 Maret 2008 // Jakarta Panel 3 Jurnalisme atau ’Sensasionalisme’ – Berapa harga yang dibayar untuk kebebasan media? Masalah kebebasan media ’eksternal’ dan ’internal’ pada awal abad ke-21 Prof. Dr. Siegfried Weischenberg, Universitas Hamburg, Hamburg Indonesia: Kebebasan media = Jurnalisme yang bertanggung jawab sepenuhnya? Uni Lubis, ANTV, Jakarta Ownership matters – Masalah otonomi redaksional pada harian-harian Indonesia Anett Keller, Asia Pacific Times, Berlin
6
Batas-batas kebebasan media – Sejauh mana kebebasan/ketergantungan televisi Indonesia? Ishadi SK, Trans TV, Jakarta
Panel 4 Perundang-undangan, Etika dan Pendidikan – Bagaimana kebebasan media dapat terjamin? Kebebasan dan tanggung jawab – norma-norma hukum dan etika jurnalistik dalam masa transisi Prof. Dr. Bernd Blöbaum, Universitas Münster Undang-Undang Media: Pembatasan atau jaminan kemandirian jurnalistik? Fetty Fajriati, Komisi Penyiaran Indonesia, Jakarta Etika Media: Apa kontribusi kewajiban normatif jurnalisme untuk demokrasi? Leo Batubara, Komisi Etika Dewan Pers, Jakarta Apakah kemampuan dapat menciptakan tanggung jawab? Pendidikan jurnalis di Jerman dan Indonesia Dr. Thomas Hanitzsch, Universitas Zürich, Zürich
Ringkasan dan Kesimpulan Prof. Dr. Martin Löffelholz, Universitas Teknik Ilmenau, Ilmenau Penutup Rainer Nolte, Institut Hubungan Luar Negeri (ifa), Stuttgart
7
Peserta Jerman Jörg Armbruster, Kepala bagian Luar Negeri/Eropa, SWR/ARD, Stuttgart Prof. Dr. Bernd Blöbaum, Institut Ilmu Komunikasi, Universitas Münster Martina Döring, Berliner Zeitung, Berlin Manfred Ertel, Bagian Luar Negeri, DER SPIEGEL, Hamburg Dr. Hans-Ludwig Frese, Direktur Kleio Humanities, Penerbit Ilmu Pengetahuan Budaya, Bremen Juliane Gunardono, Wartawati independen, Berlin Dr. Thomas Hanitzsch, Institut Ilmu Komunikasi dan Penelitian Media, Universitas Zürich Regina Heidecke, ZDF/3SAT, redaksi Kulturzeit, Mainz Anett Keller, Editor, Asia Pacific Times, Berlin Moritz Kleine-Brockhoff, Koresponden Asia Tenggara, Frankfurter Rundschau, Jakarta Prof. Dr. Martin Löffelholz, Institut Ilmu Media dan Ilmu Komunikasi, Universitas Teknik Ilmenau Bernd Musch-Borowska, Studio ARD Singapura Christiane Oelrich, Pemimpin redaksi Biro Asia dpa, Singapura Hendra Pasuhuk, Managing Editor, Indonesian Service/Program Indonesia, Deutsche Welle, Bonn Christina Schott, Koresponden Asia Tenggara, Jakarta Erwin Schweisshelm, Direktur Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) di Jakarta Prof. Dr. Siegfried Weischenberg, Institut Jurnalistik dan Ilmu Komunikasi, Universitas Hamburg Andreas Zumach, Koresponden, taz, Jenewa
Peserta Indonesia Maria Adriana, Antara, Editor, Jakarta Ade Armando, Madina, Editor, Jakarta Djafar H. Assegaff, Media Group, Corporate Advisor; former editor-in-chief Media Indonesia, Jakarta Prof. Dr. Azyumardi Azra, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulla, Jakarta Hendry Ch. Bangun, Warta Kota, Deputy editor-in-chief, Jakarta Dr. Anis Baswedan, Universitas Paramadina, Rector, Jakarta Leo Batubara, Dewan Pers, Commission on Ethics, Jakarta Mega Christina, Sinar Harapan, Editor, Jakarta
8
Nugroho Dewanto, Alliance of Independent Journalists, Ethic and Profession Division, Jakarta Fetty Fajriati, Komisi Penyiaran Indonesia, Jakarta Farid Gaban, Madina, Editor, Jakarta Bambang Harymurti, Editor-in-Chief, Tempo Magazine, Jakarta Saur Hutabarat, Media Indonesia, News Director, Jakarta Ishadi Sk, Trans TV, President, Director, Jakarta Lukas Ispandriarno, Universitas Atma Jaya Yogyarta, Senior Lecturer, Yogyakarta Emmy Kuswandari, Freelance Journalist, Jakarta Uni Zulfiani Lubis, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia and Antv, Editor, Jakarta Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ, Jakarta Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, Indonesian Conference on Religion and Peace, Jakarta Prof. Dr. Deddy Mulyana, Universitas Padjajaran, Communication Studies, Bandung Wahyu Muryadi, Deputy Managing Editor, Tempo Magazine, Jakarta Susanto Pudjomartono, Former Editor-in-Chief, The Jakarta Post, Jakarta Titin Rosmasari, Trans7, Editor Retno Shanti Ruwyastuti, Metro TV, Deputy Director, Jakarta Tribuana Said, Lembaga Pers „Dokter Soetomo“, Director, Jakarta Naniek Setijadi, Universitas Pelita Harapan, Dean, Faculty for Political and Communication Sciences, Lippo Karawaci Iskandar Siahaan, SCTV (Surya Citra Televisi), Head of Department for Research and Development, News Division Amir Effendi Siregar, Indonesian Newspaper, Publishers Association Chairman, Warta Ekonomi Director, Jakarta Agus Sudibyo, Yayasan Sains Esteika dan Teknologi and Coalition for Freedom of Information, Deputy Director, Jakarta Mr. Uzair, Deutsche Welle, Aceh Dr. Bayu Wahyono, Universitas Negeri Yogyarta, Lecturer, Yogyarta Ade Wahyudi, Manajer Program KBR68H, Jakarta Veven Sp Wardhana, Institute for Media & Social Studies, Director, Jakarta
9