J. Sains MIPA, Agustus 2008, Vol. 14, No. 2, Hal.: 133 - 142 ISSN 1978-1873
INVENTARISASI KEANEKARAGAMAN SPESIES IKAN HIAS LAUT DAN KONDISI HABITATNYA DI PERAIRAN TELUK LAMPUNG Suratman Umar*, Marizal Ahmad dan Ahmad Nugraha Laboratorium Ekologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung Bandar Lampung 35145 *Alamat korespondensi e-mail: Diterima 22 Juli 2008, disetujui untuk diterbitkan 21 Oktober 2008
ABSTRACT We inventoried the species diversity of marine ornamental fishes and their habitat condition in Lampung Bay waters. The ornamental fish samples were collected from marine ornamental fish fishermen and marine ornamental fish traders. While collecting for fish samples, other information related to the habitat condition are asked to the fishermen. The information obtained from the fishermen then is used to undertake field survey for habitat study. At least there were 36 species of marine ornamental fishes in Lampung Bay waters. Based on the information from fishermen there are some locations that have been used to catch marine ornamental-fish in Lampung Bay waters. Generally, those locations harbor coral reefs with relatively good condition in the surrounding of small islands such as Legundi, Puhawang, Sebuku, Sebesi and Krakatau islands waters. Keywords: Ornamental-fish, coral reef, habitat, Lampung
1. PENDAHULUAN Ikan hias laut adalah kelompok ikan laut yang digemari karena morfologinya unik, warnanya menarik dan cocok dipelihara di aquarium1). Kegiatan penangkapan dan perda-gangan ikan hias laut merupakan industri multi-miliar dolar yang mendukung ribuan nelayan di negara berkembang dan menyediakan sekitar 1400-an spesies ikan bagi pecinta ikan hias laut di seluruh dunia2). Perdagangan ikan hias laut ini dimulai tahun 1930-an di Sri Langka kemudian menyebar sampai Hawaii pada tahun 1953 dan Pilipina pada tahun 1957. Saat ini sebanyak 45 negara sebagai pemasok pasar dunia sebesar 14-30 juta ikan per tahun dengan nilai berkisar 28-44 juta dollar Amerika2). Negara pemasok ikan hias laut terbesar di dunia adalah Indonesia dan Pilipina diikuti Brazil, Maladewa, Vietnam, Sri Lanka dan Hawaii2-4). Kebanyakan ikan hias laut berhabitat sangat khas yaitu terumbu karang5) dan sebagian yang lain berhabitat padang lamun, mangrove dan hamparan lumpur6). Terumbu karang mendukung keanekaragaman ikan yang tinggi karena terumbu karang merupakan ekosistem yang kompleks, terdiri atas banyak mikrohabitat dan menyediakan fasilitas untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai spesies ikan2). Salah satu hasil adaptasi terhadap lingkungan yang heterogen ini adalah beranekanya morfologi dan warna tubuh ikan7). Tumbuhnya hobi memelihara ikan hias laut di masyarakat menyebabkan permintaan pasar terhadap ikan hias laut terus meningkat6). Meningkatnya permintaan pasar ini di satu sisi menciptakan lapangan kerja baru dan sebagai sumber pendapatan8), tetapi di sisi lain mendorong penangkapan ikan secara besarbesaran yang apabila tidak diatur dapat berdampak buruk terhadap populasi ikan dan habitatnya9). Paine10) menyatakan bahwa penurunan luas tutupan terumbu karang pada saat yang sama diikuti menurunnya keanekaragaman ikan baik di dalam wilayah suaka laut dan di wilayah yang terbuka untuk penangkapan dan makin besar ketergantungan spesies ikan pada terumbu karang untuk rekruitmen anakannya akan semakin besar penurunan populasinya. Tidak seperti spesies ikan aquarium air tawar yang 90% spesiesnya adalah hasil budidaya, sebagian besar spesies ikan hias laut adalah hasil tangkapan stok alam11). Oleh karena itu, tanpa nilai tambah yang dirasakan oleh masyarakat pengumpul ikan hias laut, kemiskinan dapat mendorong orang untuk menggunakan cara-cara yang merusak dalam kegiatan penangkapan ikan, seperti penggunaan bom ikan8). Ziemann1) mengatakan bahwa populasi ikan di daerah tropis dan subtropis terus menurun akibat besarnya eksploitasi untuk memenuhi tuntutan industri aquarium dan pasar ikan segar. Terlebih lagi ikan hias
2008 FMIPA Universitas Lampung
133
S. Umar dkk… Inventarisasi Keanekaragaman Spesies Ikan Hias Laut
laut belum banyak dikaji dari perspektif manajemen, walaupun beberapa data menunjukkan bahwa penangkapan dapat menurunkan populasi alami sampai 50%5). Untuk mengantisipasi dampak buruk terhadap kegiatan penangkapan ikan hias laut ini maka perlu dilkukan inventarisasi jenis ikan hias laut yang ada dan survei kondisi habitatnya. Yusron20 mengatakan bahwa pengelolaan sumberdaya hayati laut memerlukan pengetahuan yang mendasari prinsip biologi dan ekologi sumberdaya tersebut. Sehingga data yang diperoleh dari studi ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan aturan dan pengelolaan yang mengarah kepada konservasi khususnya usaha untuk mempertahankan populasi di alam.
2. METODE PENELITIAN Studi keanekaragaman spesies ikan hias laut dan kondisi habitatnya di perairan teluk Lampung telah dilakukan mulai bulan Oktober sampai Nopember 2004. Pengumpulan data dilakukan melalui survei lapangan pada beberapa wilayah pesisir Teluk Lampung yang penduduknya berpencaharian sebagai nelayan. Wawancara secara langsung terhadap nelayan dan kelompok masyarakat yang memiliki hubungan erat dengan nelayan yaitu pedagang pengumpul ikan yang dalam istilah setempat disebut pelele dilakukan untuk memperoleh informasi tentang jenis ikan, lokasi penangkapan, frequensi penangkapan dalam sebulan, cara atau teknik penangkapan dan ukuran ikan yang ditangkap. Spesies ikan hias laut yang dikumpulkan oleh nelayan dan pedagang diinventarisasi dan diidentifikasi dengan mencocokkan pada gambar yang terdapat pada buku Marine Fishes of South-East Asia12. Data tentang kualitas perairan dan kondisi terumbu karang yang merupakan habitat alami ikan hias laut diperoleh dengan melakukan pengukuran dan pengamatan secara langsung pada beberapa lokasi yang menjadi daerah penangkapan oleh para nelayan sasaran studi ini. Menurut para nelayan terdapat empat lokasi penangkapan hias laut yang utama, yaitu perairan pulau Puhawang, sekitar pulau Legundi, sekitar pulau Sebuku dan Sebesi dan Periran Kepulauan Krakatau. Metode pengukuran kualitas air yang digunakan adalah metode standar yang biasa digunakan untuk pengukuran kualitas perairan (Tabel 1). Pengukuran persentase tutupan terumbu karang dilakukan dengan metode Line Intercept Transect sepanjang 50 meter yang didahului dengan pengamatan secara mantatow guna menentukan lokasi yang akan disampling agar diperoleh sampel yang representatif. Tabel 1. Metode analisis kualitas air laut yang digunakan dalam studi
No. 1 2 1 2 3 4 5
Parameter Suhu udara/air Kecerahan DO Salinitas NO2 (nitrit) NO3 (nitrat) PO4 (fosfat)
Satuan oC
m mg/l o/oo mg/l mg/l mg/l
Alat Ukur Termometer Sechi Disk DO-meter, YSI SCT-meter, YSI Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer
Metode Pemuaian Visual Potensiometri Potensiometri Spektrometri Spektrometri Spektrometri
Tempat Pengukuran Insitu Insitu Insitu Insitu Laboratorium Laboratorium Laboratorium
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Spesies ikan hias laut dan kondisi habitatnya Spesies ikan hias laut yang ditangkap oleh nelayan Lampung Selatan dari perairan teluk Lampung disajikan pada Tabel 2. Tercatat, sebanyak 36 spesies ikan hias lauit yang tergong dalam 12 famili. Tabel 2 menunjukkan ada tiga famili yang dominant yaitu Pomacentridai, Pomacantidae dan Chaeodontidae dengan jumlah spesies lebih dari 50% dari seluruh spesies yang tertangkap. Dari survei yang telah dilakukan pada perkampungan nelayan di Lampung Selatan juga diketahui bahwa terdapat kelompok nelayan yang khusus mencari ikan hias laut dan terumbu karang, namun terdapat juga nelayan yang mencari ikan hias hanya sebagai sampingan yaitu ketika tidak sedang menangkap ikan konsumsi.
134
2008 FMIPA Universitas Lampung
J. Sains MIPA, Agustus 2008, Vol. 14, No. 2
Tabel 2. Spesies ikan hias laut yang tertangkap oleh nelayan Rangai, Lampung No Famili 1 Pomacentridae
Nama lokal Nama Umum Ikan Anemon * Anemonfish Biru Pasir * Orangefin anemonfish Tompel * Red saddleback anemonfish Ikan Badut * False clown anemonfish Ikan Balong * Spine-cheek anemonfish 2 Pomacanthidae Ikan bidadari sejati* Three-spot angelfish Ikan Porang Regal angelfish Ekor Putih** White-tail angelfish Brustun Roti** Six-banded angelfish Nularis** Blue-ringed angelfish Napoleon ** Yellowmask angelfish 3 Bleniidae Belut Laut* Spotted eel-blenny Ikan Ambon** Ambon blenny 4 Acanthuridae Ekor Biru* Powderblue surgeonfish Ekor Bulat** Ring-tailed surgeonfish 5 Chaetodontidae Mayari Ornate butterflyfish Ikan Gajah** Racoon butterflyfish Kalkula** Saddled butterflyfish Kepe Susu *** Redfin butterflyfish Kepe Kalong *** Reticulated butterflyfish Monyong Biasa Teardrop butterflyfish Sitrun** Spot-banded butterflyfish Layaran * Humphead bannerfish 6 Monacanthidae Kepala Gelap Black-lined leatherjacket Ikan brontok** Radial letherjacket 7 Serranide Kerapu Bebek *** Baramundi cod Kerapu Hitam *** Black-tipped cod Kerapu Macan *** Flowery cod 8 Ostraciidae Betok Hitam Putih * Striped boxfish Sapi-Sapi Thornback cowfish 9 Gobiidae Ikan Cina** Chinese Gudgeon Ikan Mandarin** Mandarin fish 10 Pesudochromidae Punggung totol** Royal dottyback 11 Scorpaenidae Scorpion** Spotless firefish 12 Syngnatidae Tangkur Kuda** Spotted horse Keterangan : * = Ikan yang sering ditemukan ** = Ikan yang mulai sulit ditemukan *** = Ikan hias dan sekaligus sebagai ikan konsumsi
Nama Ilmiah Amphiprion clarkii Amphiprion chrysopterus Amphiprion ephippium Amphiprion ocellaris Premnas biaculeatus Apolemichthys trimaculatus Pygoplites diacanthus Centropyge flanicauda Pomacanthus sexstriatus Pomacanthus annularis Pomacanthus xanthometopon Notograptus guttatus Paralticus amboinensis Achanthurus leucosternon Achanthurus grammoptilus Chaetodon ornatissimus Chaetodon lunula Chaetodon ephippium Chaetodon trifasciatus Chaetodon reticulatus Chaetodon unimaculatus Chaetodon punctatofasciatus Heniochus varius Pervagor nigrolineatus Acreichthys radiatus Cromileptes altivelis Ephinephelus fasciatus Epinephelus fuscoguttatus Ostracion solorensis Lactoria fornasini Bostrichthys sinensis Synchiropus splendidus Pseudochromis paccagnellae Pterois russelli Hippocampus kuda
Kegiatan penangkapan dan perdagangan ikan hias laut di Lampung belum memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya. Sebagai contoh, Nelayan pengumpul ikan hias laut dalam kegiatan penangkapannya masih ada yang menggunakan larutan sianida dengan cara memasukkan ke dalam botol plastik kemudian dikocok. Untuk menangkap ikan hias laut, racun tersebut disemprotkan ke lubang terumbu karang dan dalam waktu yang tidak lama ikan keluar dari lubang dalam keadaan melayang atau pingsan maka dengan mudah nelayan untuk menangkap baik dengan tangan atau jaring. Bruckner2 mengatakan bahwa peralatan tangkap yang merusak dan penggunaan sianida dan racun yang lain menyebabkan degradasi terumbu karang dan berdampak pada perubahan ekologi terumbu karang. Para pemburu ikan hias laut dalam kegiatannya menangkap semua ukuran ikan yang ada dan pedagang pengumpul cenderung menyukai ikan yang masih kecil (anakan) karena lebih murah dalam
2008 FMIPA Universitas Lampung
135
S. Umar dkk… Inventarisasi Keanekaragaman Spesies Ikan Hias Laut
pengiriman. Bruckner2 mengatakan bahwa cara penangkapan yang tidak memperhatikan ukuran seperti ini harus diwaspadai karena ikan yang masih sangat muda sangat mudah stress dan mengalami tingkat kematian yang tinggi apabila dipelihara di dalam kolam pemeliharaan. Di samping itu, penangkapan ikan anakan yang terlalu banyak menjadikan berkurangnya stok di alam yang dapat mencapai ukuran siap bereproduksi. Job8 menekankan bahwa pemilihan ukuran dan jenis kelamin pada perdagangan ikan hias laut harus menjadi issue konservasi. Untuk spesies ikan badut sebagai contoh, ikan anakan lebih diminati karena pola warna yang lebih menarik dan lebih cocok untuk ukuran aquarium rumah tangga. Frekwensi penangkapan terhadap ikan hias laut di perairan teluk lampung dalam sebulan dapat dikatakan hampir tiap hari kecuali ketika musim gelombang laut tinggi. Pola penangkapan seperti ini jelas tidak memberi kesempatan pada populasi alam untuk pulih terutama spesies yang langka. Untuk memberi perlindungan pada populasi yang mengalami tekanan penangkapan berlebih, Bruckner2 mengusulkan upaya penutupan lokasi dan penutupan sementara (spatial and temporal closures) karena penutupan sementara khususnya pada musim bereproduksi akan memberi kesempatan ikan untuk tumbuh dan bereproduksi pada habitat normalnya. Tabel 3. Kualitas perairan di sekitar Pulau Puhawang dan Pulau Legundi, Lampung Parameter Kode Suhu Suhu Kecerahan Nitrit Nitrat Fosfat Salinitas No. lokasi Udara Air (m) (ppm) (ppm) (ppm) ppt 0 0 ( C) ( C) 1 SP I 30 29 6,5 Ttd 0,150 3,059 30 2 LG I 30 29,5 8 Ttd 0,140 2,541 31 3 LG II 29 28,5 8 Ttd 0,156 2,222 30 4 SP II 30 29,5 7 Ttd 0,131 2,073 29 5 LG III 31 29,5 7,5 Ttd 0,175 1,988 29 6 SP III 30 29 7 Ttd 0,176 2,300 30 7 SP IV 30 28,5 8 Ttd 0,210 2,094 31 8 LG IV 31 29 8 Ttd 0,187 2,842 31 9 SP V 30 29 6 Ttd 0,156 2,208 30 10 LG V 31 29,5 7 Ttd 0,158 2,248 30 11 SP VI 29,5 29 7 Ttd 0,130 2,110 29 12 LG VI 30 29,5 6,5 Ttd 0,188 2,317 29 Keterangan : ttd = tidak terdeteksi SP = sekitar Pulau Puhawang LG = sekitar Pulau Legundi
136
DO mg/l 7 6,5 6,5 7 7 6,5 7 7 6,5 6,5 8 7
2008 FMIPA Universitas Lampung
J. Sains MIPA, Agustus 2008, Vol. 14, No. 2
Tabel 4. Kondisi terumbu karang di sekitar Pulau Puhawang dan Pulau Legundi
No
Kedalaman (3 – 10 m)
TKB
DCA 1,76 8,94 0,92 6,46 16,1 2,82 11,26 0 0 0,32 1,5 3,18 0 2,2 1,8 0,35
1 PHW I 26,88 2 PHW II 19,06 3 PHW III *) 46,64 4 PHW IV *) 49,3 5 PHW V *) 54,1 6 PHW VI *) 51,24 7 PHW VII 38,96 8 PHW VIII 20,12 9 PHW IX *) 56,68 10 PHW X 40,28 11 PHW XI 70,18 12 PHW XII *) 49,84 13 LGD I 12,98 14 LGD II *) 45,72 15 LGD III 29,14 16 LGD IV 41,28 Keterangan : TKB = Tutupan Karang Batu DCA = Karang Mati Oleh Alga DC = Karang Mati SC = Karang Lunak SL = Lumpur OT = Lain-lain
2008 FMIPA Universitas Lampung
TKM DC 0,8 0 0 0 0 2,52 0 0 0 0 3,78 0 0 0 0 0,35
Total 2,56 8,94 0,92 6,46 16,1 5,34 11,26 0 0 0,32 5,28 3,18 0 2,2 1,8 0,7 SP ZO S TKM WA R
SC 0 22,02 0,2 0 1,76 1 1,76 0 7,76 0 0 0 9,44 1,72 5,2 0
BENTUK SUBTRAT DASAR FAUNA LAIN SP ZO OT Total 0 0 2,08 2,08 0,94 0 2,04 25 0 0,82 2,1 3,12 0,14 0,32 1,02 1,48 1,44 0 1,7 4,16 1,28 0,58 0,64 3,5 1,44 0 1,7 4,9 0 0 0,7 0,7 1,56 1,68 0 11 0,64 1,56 0 2,2 1,34 0 1,52 2,86 2,38 0,46 0 2,84 6,86 0 0,98 17,28 0,42 0 3,9 6,04 0,35 0 0,7 6,25 0,59 1,61 1,52 0
ALGA 6,12 14,74 0 0 0 8,14 0 5,2 1,86 1,5 0,64 0 0 0 0 0
= Sponge = Zooanthids = Pasir = Tutupan Karang Mati = Air = Karang Batu
137
S 26,82 31,7 40,2 32,38 18,62 13,32 20,92 73,98 20,8 54,94 8,6 42,7 69,74 45,02 46,08 54,94
A R 35,54 0,56 9,12 10,38 6,02 18,46 23,96 0 9,66 0,76 12,44 1,44 0 1,02 16,73 21,33
S. Umar dkk… Inventarisasi Keanekaragaman Spesies Ikan Hias Laut Kualitas perairan Kepulauan Krakatau (Tabel 3.7) secara umum tidak jauh berbeda dengan kualitas perairan yang ada di perairan Puhawang dan Legundi, yaitu masih tergolong perairan alami yang masih baik, yaitu temperatur yang terukur 26,9 – 28,4 0C, nilai transparansi 3,5 – 11 m, kandungan nitrit di air tidak terdeteksi, nitrat 0,110 – 0,191mg/l, fosfat 0,86 – 1,99 mg/l, salinitas 30 – 32 0/00, dan DO 7 – 9,15 mg/l. Tabel 5. Kualitas perairan di sekitar Kepulauan Krakatau
No.
Kode Sampel
Suhu Udara ( 0C) 30,4 30,3 29,5 30,6 31,1 30,8 30,6 31,2 30,4 31,5 29,5 30,6
Suhu Air ( 0C) 26,9 27,2 27,3 27,2 27,4 28,3 26,6 28,4 27,8 28,2 28,4 28
1 RI 2 R II 3 R III 4 PI 5 P II 6 P III 7 SI 8 S II 9 S III 10 AK I 11 AK II 12 AK III Keterangan : R I – III= Perairan sekitar Pulau Rakata P I – III = Perairan sekitar Pulau Panjang S I – III= Perairan sekitar Pulau Sertung
Kecerahan (m) 7 9 11 8 11 9 3,5 6,5 7,4 6,6 6,4 8
Parameter Nitrit Nitrat (ppm) (ppm) Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd
0,135 0,114 0,126 0,113 0,137 0,166 0,191 0,177 0,146 0,138 0,110 0,168
Fosfat (ppm)
Salinitas (ppt)
DO mg/l
2,85 1,45 1,12 1,07 0,86 1,33 1,99 1,72 1,18 1,48 1,91 1,27
31 32 32 31 30 31 30 30 34 30 31 31
8,3 9,15 9,16 9,87 9,31 7 7,56 8,32 7,39 7,75 8,21 8,12
AK I – III= Perairan sekitar Anak Krakatau Ttd = Tidak terdeteksi
Tabel 6. Kualitas perairan di sekitar Pulau Sebuku dan Sebesi
No.
Kode Sampel
Suhu Udara (0C)
Suhu Air (0C) 26,9 27,2 27,3 27,2 27,4 28,3 26,6 28,4 27,8 28,2
Kecerahan (m)
Parameter Nitrit Nitrat (ppm) (ppm)
Fosfat (ppm)
Salinitas (ppt)
DO mg/l
1 SBK I 30,4 7 Ttd 1,185 2,85 31 8,3 2 SBK II 30,3 9 Ttd 0,216 1,45 32 9,15 3 SBK III 29,5 11 Ttd 1,166 1,12 32 9,16 4 SBK IV 30,6 8 Ttd 1,123 1,07 31 9,87 5 SBK V 31,1 11 Ttd 0,677 0,86 30 9,31 6 SBS I 30,8 9 Ttd 1,266 1,33 31 7 7 SBS II 30,6 3,5 Ttd 0,398 1,99 30 7,56 8 SBS III 31,2 6,5 Ttd 1,378 1,72 30 8,32 9 SBS IV 30,4 7,4 Ttd 1,256 1,18 34 7,39 10 SBS V 31,5 6,6 Ttd 1,268 1,48 30 7,75 Keterangan : SBK I – V = Perairan sekitar Pulau Sebuku SBS I – V = Perairan sekitar Pulau Sebesi Kualitas perairan di sekitar pulau Sebuku dan pulau Sebesi (Tabel 3) merupakan perairan alami yang masih baik seperti halnya perairan Puhawang, Legundi, dan kepulauan Krakatau. Temperatur yang terukur berkisar 26,9 – 28,4 0C, nilai transparansi 3,5 – 11 m, kandungan nitrit di air tidak terdeteksi, nitrat 0,110 – 0,191 ppm, fosfat 0,86 – 1,99 ppm, salinitas 30 – 320/00, dan DO 7 – 9,15 mg/l. Kondisi terumbu karang di kepulauan Krakatau, terutama dilihat dari persen tutupan karang hidupnya berkisar antara 6,1 – 35,98 %. Meskipun Kepulauan Krakatau telah ditetapkan sebagai kawasan
138
2008 FMIPA Universitas Lampung
J. Sains MIPA, Agustus 2008, Vol. 14, No. 2 konservasi, ternyata nilai tutupan karangnya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan terumbu karang di sekitar Pulau Legundi dan Puhawang (19,06—70,18%) dan juga sekitar pulau Sebesi dan Sebuku (15,21 – 43,1%). Kondisi ini sementara diduga disebabkan oleh lemahnya pengawasan pada kawasan konservasi kepulauan Krakatau dibarengi dengan rendahnya kesadaran masyarakat yang memanfaatkan kawasan ini, yaitu dengan menggunakan cara-cara yang merusak. Sedangkan pada perairan Pulau Puhawang, Legundi, dan Sebesi diperkirakan secara langsung atau tidak langsung aktivitas penduduk penghuni pulau berperan posistif dalam mengurangi kegiatan penangkapan ikan yang mengakibatkan kerusakan terumbu karang. Oleh karena itu untuk sementara dapat dismpulkan bahwa dalam menetapkan suatu lokasi untuk dijadikan sebagai Daerah Perlindungan Laut sebaiknya berada di sekitar pulau yang berpenghuni yaitu melibatkan peran serta masyarakat setempat sebagaimana yang telah dilakukan oleh Proyek Pesisir di Pulau Sebesi.
2008 FMIPA Universitas Lampung
139
S. Umar dkk… Inventarisasi Keanekaragaman Spesies Ikan Hias Laut Tabel 7. Kondisi terumbu karang di sekitar Kepulauan Krakatau, Pulau Sebuku dan Sebesi
No
Kedalaman (3 – 10 m)
TKB
DCA 1 SBK I 43,1 0 2 SBK II 29,44 0 3 SBK III 15,21 0 4 SBK IV 20,18 2,12 5 SBS I *) 24,26 5,2 6 SBS II *) 18,9 0 7 SBS III *) 27,86 16,46 8 SBS IV 35,98 8,04 9 PJ I **) 29,8 27,78 10 PJ II **) 13,52 31,68 11 PJ III **) 34,5 31,5 12 PJ IV **) 16,5 41 13 RKT I **) 26,41 61,44 14 RKT II **) 41,3 25,6 15 RKT III **) 6,2 48,7 16 RKT IV **) 18,25 44,6 17 RKT V **) 6,1 0,5 18 SRT I **) 20,5 50,4 Keterangan : *) = Lokasi jauh dari perkampungan **) = Lokasi Kepulauan Krakatau SBK = Sekitar Pulau Sebuku SBS = Sekitar Pulau Sebesi SP = Spongia ZO = Zooanthids
TKM DC 0 0 0 0 0 0 0,78 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 OT SC TKB DCA SL
Total 0 0 0 2,12 5,2 0 17,24 8,04 27,78 31,68 31,5 41 61,44 25,6 48,7 44,6 0,5 0
SC 3,04 0 4,12 2,15 0,4 5,58 0 0 4,6 12,6 9 13,5 0 7,5 32,35 8,65 0 0
BENTUK SUBTRAT DASAR FAUNA LAIN ALGA SP ZO OT Total 0 0 0,2 3,24 0 0,84 0 2,14 2,98 9,28 0,35 0 4,64 9,11 7,43 0,31 0,46 2,47 5,39 0 5,72 0 3,06 9,18 15,08 3,6 0 0,98 10,16 3,74 2,12 5,58 3,6 11,3 3,78 1,72 0 0,3 2,02 53,38 0 0 0,62 5,22 0 0 0 4,8 17,4 0 0 0 0 9 0 0 0 0 14,5 0 0 0 0 0 0,35 0 0 0 7,5 0 0 0 0 32,35 1 0 0 0 8,65 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
= Lain-lain = Karang Lunak = Tutupan Karang Batu = Karang Mati Oleh Alga = Lumpur
R S TKM DC WA
= Karang hancur = Pasir = Terumbu Karang Mati = Karang Mati = Air
3.2. Daerah Perlindungan Laut Ada empat cara yang dapat diterapkan untuk menjamin konservasi sumberdaya ikan dan habitatnya, yaitu usaha manajemen perikanan, perbaikan standar industri perikanan, mengembangkan alternative pada tangkapan dari alam dan pembatasan perdagangan internasional8. Hal yang paling penting dan segera untuk dilaksanakan adalah manajemen usaha perikanan melalui perlindungan habitat yaitu pembentukan Daerah Perlindungan Laut. Daerah Perlindungan Laut dikenal luas sebagi strategi untuk memelihara sebagian sumberdaya dari eksploitasi berlebih dan menciptakan lokasi pemijahan yang tidak terganggu, dengan demikian akan meningkatkan rekruitmen daerah di sekitarnya dan juga dapat mengurangi konflik kepentingan dari kelompok masyarakat pengguna yang berbeda-beda. Saat ini, Daerah Perlindungan Laut di Teluk Lampung yang telah ditetapkan berada di kawasan Kepulauan Krakatau dan Pulau Sebesi (Proyek Pesisir 2000). Namun mengingat pentingnya menjaga plasma nutfah dan demi menahan terus menyusutnya keanekaragaman hayati akibat aktifitas manusia, maka diperlukan pembentukan daerah perlindungan laut di Teluk Lampung yang lebih luas lagi. Berdasarkan kualitas perairan dan nilai tutupan karang hidupnya maka daerah yang berpotensi untuk dijadikan daerah perlindungan laut adalah Pulau Puhawang dan Pulau Sebesi. Dengan mengacu pada kriteria pemilihan daerah perlindungan laut menurut Kelleher14 dan Supriharyono19, maka dapat dikatakan bahwa daerah Pulau Puhawang lebih tepat sebagai daerah perlindungan laut dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya di Teluk Lampung, yaitu dengan pertimbangan sebagai berikut : 1. Pulau Puhawang lebih dekat dan mudah dijangkau daripada Pulau Legundi, sarana transportasi penyeberangan ke Pulau Puhawang dari pantai Ketapang tersedia 24 jam. 2. Perairan Pulau Puhawang mempunyai keanekaragaman dan persentase tutupan karang paling tinggi dibandingkan dengan pulau lainnya dan mempunyai tingkat keterancaman yang lebih tinggi oleh aktifitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan racun dan bom. Selain itu Pulau Puhawang letaknya dekat dengan perkampungan yang masyarakatnya terkenal sebagai pembom, yaitu di
140
2008 FMIPA Universitas Lampung
S 23,48 0 28,03 37,41 43,96 67,2 43,18 0,58 23,2 37,4 17 28 11,8 16,5 0 28,5 41,8 26,5
R 30,18 58,3 40,22 34,9 2,32 0 0 0 14 0 8 0 0 9,1 11,75 0 51,6 0
J. Sains MIPA, Agustus 2008, Vol. 14, No. 2 daerah Mutun. Briant et al.7 mengatakan bahwa prioritas untuk pembentukan daerah perlindungan laut adalah daerah yang perairannya mempunyai keanekaragaman biota dan tingkat keterancaman tinggi. 3. Pulau Puhawang sangat potensial dikembangkan menjadi daerah wisata bahari karena perairannya tenang, beberapa tempat dapat dikembangkan menjadi tempat olah raga pantai seperti perahu layar, snorkeling dan penyelaman dan mempunyai gugusan pulau yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi daerah pemancingan. Selain itu Pulau Puhawang berdekatan dengan lokasi budidaya kerapu Keramba Jaring Apung dan Budidaya Mutiara (Pulau Tanjung Putus) sebagai salah satu aset target kunjungan wisata. Keseluruhan tempat tersebut secara otomatis sebagai pendukung daerah perlindungan laut gugus Pulau Puhawang, yaitu diperuntukkan sebagai zona pemanfaatan. Black5 mengatakan bahwa budidaya mutiara berdampak positif terhadap konservasi terumbu karang di Teluk Lampung. 4. Masyarakat Pulau Puhawang mempunyai ketergantungan yang tinggi pada keberadaan terumbu karang karena mata pencaharian dan teknologi penangkapan biota laut yang dikuasai masih bersifat tradisional yaitu pancing, bubu, dan pemburu suala/teripang yang daerah penangkapannya di sekitar ekosistem terumbu karang. 5. Tidak ada konflik mengenai penguasaan lahan.
4. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil studi dan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: (1) Perairan Teluk Lampung memiliki potensi ikan hias laut yang tinggi; (2) Nelayan pengumpul ikan hias laut belum memperhatikan ukuran ikan yang ditangkap, semua ukuran, baik kecil maupun besar ditangkap; (3) Kondisi habitat ikan hias laut yang berupa terubu karang di Teluk Lampung masih tergolong baik namun perlu pemantauan dan pengamanan secara tegas dan terus menerus. Untuk melestarikan potensi ikan hias laut dan sekaligus mempertahankan keanekaragaman hayati di perairan Teluk Lampung ada perlu segera dilakukan (1) Pembinanaan terhadap nelayan dan pedagang ikan hias laut; (2) Pemantauan secara rutin dan terus menerus terhadap kualitas perairan dan kondisi terumbu karang di perairan Teluk Lampung; (3) Pengawasan dan standarisasi serta penataan kembali terhadap usaha penangkapan ikan karang dan bisnis ikan hias laut; (4) Penetapan perairan Pulau Puhawang sebagai Daerah Perlindungan Laut; (5) Melakukan survei potensi ikan hias laut pada habitat padang lamun dan mangrove
UCAPAN TERIMAKASIH Bahan artikel ini adalah sebagian dari hasil survei “Inventarisasi Sumberdaya Hayati Perikanan di Wilayah Pesisir Lampung Selatan” yang didanai oleh Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Propinsi Lampung melalui Proyek PSL-P3K Tahun Anggaran 2004.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Ziemann, D.A. 2001. The potential for the restoration of marine ornamental fish. Aquarium Sciences and Conservation 3 (1): 107-117.
2.
Bruckner, A.W. 2005. The importance of the marine ornamental reef fish trade in the wider Caribbean. J. Tropical Biol., 53 (1): 127-138.
3.
Wood E.M. 2001. Collection of Coral Reef Fish for Aquaria: Global trade, Conservatvion Issues and Management Strategies. Marine Conservation Society. UK.
4.
Holthus, P. 2003. Reducing Poverty and Eliminating the Ecological Footprint of Netherlands Consumers through a Certified Trade in Marine Ornamentals. Marine Aquarium Council.
5.
Jones, R.J. and Steven, A.L. 1997. Effects of cyanide on coral in relation to cyanide fishing on reefs. Aus. J. Marine Freshwter Res., 48:517-522.
2008 FMIPA Universitas Lampung
141
S. Umar dkk… Inventarisasi Keanekaragaman Spesies Ikan Hias Laut 6.
Raja, K., Ajithkumar, T.T. and Balasubramanian, T. 2002. Ornamental Fish. Centre of Advanced Study in Marine Biology. Annamalai University.
7.
Djuhanda, T. 1981. Dunia Ikan. Penerbit Armico. Bandung.
8.
Job, S. 2005. Integrating marine conservation and sustainable development: Community-based aquaculture of marine aquarium fish. SPC Live Reef Fish Information Bull., 13: 25-29.
9.
Tissot, B.N. and Hallacher, I.E. 2003. Effects of aquarium collectors on coral reef fishes in Kona, Hawaii. Conservation Biology, 17: 1759-1768.
10. Paine, R.T. 2004. Coral decline threatens fish biodiversity in marine reserve. 11. Andrews, C. 1990. The ornamental fish trade and fish conservation. Journal of Fish Biology 37: 53-59. 12. Allen, G. 2000. Marine Fishes of South East Asia. Periplus. 13. Aleem, A.A. 1972. Effects of river outflow management on marine life. Marine Biol., 15: 200 – 208. 14. Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. 15. Black M.A. 1999. Coral Conservation effects of pearl culture in Lampung, Sumatera. University of Rhode Island. 16. Bolker, B.M., Mary, C.M.St., Osenberg, G.W., Schmitt R.J. and Holbrook, S.J. 2002. Management at a different scale: Marine ornamentals and local processes. Bull. Marine Science, 70 (2): 733-748. 17. Briant, D., Burke, L. Manus, J.M., and Spalding, M. 1998. Reef at Risk: A Map-Based Indicator of Threats to the World’s Coral Reefs. World Resources Institute, USA. 18. Kelleher, G. 1998. Guidelines for Marine Protected Areas. Best Practice Protected Area Guidelines Series No. 3. IUCN. Galand, Switzerland & Cambridge. 19. Supriharyono.2000. Pelestraian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 20. Yusron, E. 2005. Pemanfaatan keragaman genetic dalam pengelolaan sumberdaya hayati laut. Oseana XXX (2): 29 – 34.
142
2008 FMIPA Universitas Lampung