Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Introduksi Teknologi Usahatani Padi dan Ternak Itik terhadap Peningkatan Pendapatan Petani di Lahan Pasang Surut, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan Introductions Technology of Rice Farming and Livestock Ducks on Farmers' Income Increasing in Tidal, Tanah Laut, South Kalimantan Eni Siti Rohaeni1*), Barnuwati1, Putu Ratmini2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Kalimantan Selatan 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sumatera Selatan *) Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. +625114772346/+625114781810 email:
[email protected] ABSTRACT Handil Gayam village is one of the villages in Tanah Laut district with agroekosystim tidal land is a growing type C. Farming is the farmer rice and duck. This study aims to determine the effect of technological improvements on the income of farmers in tidal land. The study was conducted in the village of Handil Gayam, Earth Makmur subdistrict, Tanah Laut district. The technology introduced in paddy and duck in order to increase production, income and welfare of farmers. Technology which introduced the PTT approach to rice and introduction duck and management improvements. The study showed that the improvement of the technology through a mentoring effect : an increase in the production of rice and duck each by 54.51% and 7%; IP 200 increase by 15% from 160 ha to 184 ha; increase in business scale of 10-25 ducks/KK become 25-100 ducks/KK and revenue growth of 20.19% / year. Keywords: duck, rice, tidal, revenue ABSTRAK Desa Handil Gayam merupakan salah satu desa di Kabupaten Tanah Laut dengan agroekosistim lahan adalah pasang surut tipe C. Usahatani yang berkembang dan dilakukan petani adalah padi dan ternak itik. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbaikan teknologi terhadap pendapatan petani di lahan pasang surut. Kajian ini dilakukan di Desa Handil Gayam, Kecamatan Bumi Makmur, Kabupaten Tanah Laut. Teknologi yang diintroduksikan pada komoditas padi dan ternak itik dengan tujuan untuk meningkatkan produksi, pendapatan dan kesejahteraan petani. Teknologi yang diintroduksikan yaitu pendekatan PTT padi dan untuk ternak itik berupa introduksi bangsa itik dan perbaikan manajemen. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa perbaikan teknologi melalui pendampingan memberikan pengaruh berupa : peningkatan produksi padi dan itik masing-masing sebesar 54,51% dan 7%; peningkatan IP 200 sebanyak 15% dari 160 ha menjadi 184 ha; peningkatan skala usaha ternak itik dari 10-25 ekor/KK menjadi 25-100 ekor/KK dan peningkatan pendapatan sebesar 20,19%/tahun. Kata kunci: itik, padi, pasang surut, pendapatan 646
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN Lahan pasang surut adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut atau air sungai (Sudana, 2005). Lahan rawa pasang surut memiliki potensi cukup besar untuk pengembangan pertanian, namun lahan ini dikenal sebagai lahan marginal khususnya dalam pengembangan tanaman pangan. Luas lahan ini di Indonesia diperkirakan mencapai 20,11 juta hektar, sekitar 9,53 juta hektar diantaranya berpotensi sebagai areal pertanian, sudah direklamasi sekitar 4,186 juta hektar, diperkirakan 5,344 juta hektar yang bisa dimanfaatkan menjadi areal pertanian, seluas 4.186 juta ha yang telah direklamasi belum dimanfaatkan secara optimal (Balittra, 2013). Masalah utama di lahan rawa pasang surut adalah pengelolaan air serta sifat tanah yang masam dan ketersediaan tenaga kerja, pengolah tanah terbatas, serta sulitnya transportasi untuk mengangkut hasil bumi dan sarana produksi karena prasarana jalan yang buruk (Kusnadi, 2005). Usahatani yang umum dilakukan di lahan pasang surut utamanya adalah usahatani padi, tanaman pangan, sayuran dan ternak. Sudaryanto dan Rusastra (2006) mengemukakan bahwa pendapatan petani yang melakukan diversifikasi usahatani lebih tinggi dibandingkan dari petani non diversifikasi.
Itik, merupakan salah satu ternak unggas yang banyak berkembang dan diusahakan di lahan pasang surut. Ternak itik yang dipelihara merupakan sumber pendapatan harian bagi keluarga. Itik MA (Mojosari Alabio) yang diintroduksikan merupakan salah satu hasil penelitian yang dilakukan Balai Penelitian Ternak (Balitnak) mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan sebagi itik niaga (Balitnak, 2004). Makalah ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbaikan teknologi terhadap pendapatan petani di lahan pasang surut. BAHAN DAN METODE Kegiatan ini dilakukan di Desa Handil Gayam, Kecamatan Bumi Makmur, Kabupaten Tanah Laut yang merupakan agroekosistem lahan pasang surut. Perbaikan teknologi yang diintroduksikan terkait dengan komoditas utama yang diusahakan oleh petani yaitu padi dan itik. Aspek teknologi yang diintroduksikan yaitu : a. Komoditas Padi Teknologi yang diintroduksikan dengan pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu), adapun komponennya yaitu : Varietas unggul dengan karakteristik daya hasil tinggi dan berumur pendek yaitu Ciherang, Silugonggo dan Gilirang Pemupukan berimbang (berdasarkan hasil uji tanah) Pengendalian OPT terutama tikus Pengelolaan Bahan Organik (pengembalian jerami padi ke lahan)
647
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
b. Komoditas Ternak Itik Inovasi teknologi yang diintroduksikan untuk ternak itik : Introduksi varietas unggul yaitu itik MA (Mojosari Alabio) atau Itik Ratu. Itik ini dapat dibibitkan di BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul) yang ada di Pelaihari. Keunggulan dari ternak ini yaitu produksinya lebih seragam, waktu produksinya lebih panjang dan tingkat produksinya lebih tinggi dibanding tetuanya (Alabio atau Mojosari) bila dikelola dengan baik (intensif) Pemeliharaan itik unggul (MA) secara semi intensif baik pada usaha pembesaran dan produksi telur dengan memperhatikan kualitas telur yang disukai yaitu sebagai itik tambak Perbaikan pemeliharaan/tatalaksana itik petelur lokal yang ada dengan perbaikan pakan terutama di musim kemarau dengan menggunakan bahan pakan yang ada berupa dedak, sagu, ikan, keong mas, kepala udang Spesialisasi usaha yaitu sebagai peternak pembesaran, peternak itik petelur, pasca panen telur atau sebagai pembuat pakan itik Pemilihan kooperator petani itik pada tahap awal berdasarkan ketrampilan dasar beternak itik (telah terbiasa) dan mampu membangun kandang karena dianjurkan untuk dipelihara secara semi intensif Pemilihan kooperator petani itik tahap selanjutnya adalah untuk petani miskin yang mempunyai potensi beternak itik (mempunyai ketrampilan beternak itik) HASIL Tabel 1.
Struktur pendapatan rata-rata rumah tangga petani di Desa Handil
Gayam Kegiatan usaha Usaha Pertanian (on-farm) Tanaman pangan Peternakan Usaha offfarm Pasca panen Lainnya (dagang) Usaha Luar Pertanian non-farm Dagang Lainnya
Sebelum kajian Rp 10.778.125
Dua tahun kajian Tahun pertama Tahun kedua % Rp % Rp % 90,94 11.799.580 90,57 12.658.060 89,72
9.950.000
83,95
9.950.000
76,36 11.116.400
78,80
828.125 69.750
6,99 0,59
1.849.580 223.250
14,20 1,71
1.541.660 380.150
10,93 2,69
69.750 -
0,59 0,00
23.250 200.000
0,18 1,54
23.250 356.900
0,16 2,53
1.004.650
8,48
1.004.650
7,71
1.069.750
7,58
669.750 334.900
5,65 2,83
669.750 334.900
5,14 2,57
669.750 400.000
4,75 2,84 648
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Total 11.852.525 pendapatan
100,00 13.027.480
100,00 14.107.960
Tabel 2. Peningkatan produktivitas pada awal dan akhir kajian Komoditas Sebelum kajian Dua tahun kajian Produktivitas Skala Produktivitas Luas usaha adopsi Padi unggul
Itik MA (introduksi)
3,4 kg/ha
-
125 ha 5,25 kg/ha
-
60 % telur
150 ha
2500 ekor
100,00
Inovasi Teknologi Unggulan * Rekomendasi pemupukan berdasar analisis tanah, benih berlabel Jenis itik, penyusunan ransum pakan, kandang
Tabel 3.
Rekap peningkatan produksi dan pendapatan melalui introduksi teknologi komoditas padi dan ternak itik di lokasi kajian Parameter * Sebelum Dua tahun Peningkatan (%) kajian kajian Produktivitas padi (t/ha) 3,4 5,25 54,41 Produktivitas telur itik (%) 53 60 7 Pendapatan per KK (Rp/th)*** 10.847.875 13.038.210 20,19 PEMBAHASAN Kondisi Awal. Pilihan padi dan itik sebagai komoditas utama yang dikembangkan di Desa Handil Gayam didasari oleh hasil PRA yang dilakukan di awal kajian. Pertanaman padi lokal ditanam pada hampir seluruh areal persawahan, yaitu sekitar 500 ha, sementara padi unggul yang ditanam pada musim hujan hanya sekitar 160 ha dan musim kemarau khusus untuk penangkaran. Produktivitas padi lokal rata-rata 2,8 ton/ha sedang padi unggul varitas Ciherang sekitar 3,4 ton/ha. Pendekatan pengembangan, terutama untuk budidaya padi unggul adalah PTT (pengelolaan tanaman terpadu) padi pasang surut. Sedang padi lokal memanfaatkan pendekatan yang sudah dikembangkan oleh PPL setempat, yaitu jarak tanam lebar system 9-2 yaitu sembilan baris padi dalam dua depa atau sekitar 35x35 cm. Itik petelur yang dipelihara secara tradisional (diumbar) dengan skala pemeliharaan antara 10-25 ekor/KK, produktivitasnya juga masih rendah yaitu hanya 53%. Itik yang dipelihara ini mempunyai keunggulan mutu telur (merah) dan biaya produksi yang rendah. Pendekatan pengembangan itik dengan memperkenalkan bibit unggul persilangan MA (Mojosari-Alabio) yang kemudian dikenal sebagai itik Ratu dan pemeliharaan semi intensif dengan pertimbangan merupakan itik bibit unggul yang potensial dan dapat diusahakan sepanjang tahun bila diusahakan secara intensif.
649
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Desa Handil Gayam memiliki potensi sumberdaya alam yang masih mungkin untuk terus ditingkatkan fungsinya. Masalah yang dihadapi petani di Desa Handil Gayam yaitu : lahan (sawah) tergenang antara 1-3 bulan terutama bila musim hujan yang cukup panjang; penguasaan lahan per KK sempit (0,4ha/KK); produktivitas tanaman/ternak itik rendah antara 10-25 ekor/KK; kemampuan teknis rendah ; modal terbatas; PTT belum optimal penerapannya. Berdasarkan simpul kritis dan permasalahan yang dihadapi, pemecahan masalah yang perlu dilakukan yaitu : pembangunan jalan usahatani; peningkatan intensitas tanam; introduksi jenis ternak unggul; pelatihan/ penyuluhan teknis peternakan dan PTT padi; dan pengembangan lembaga pembiayaan. Kondisi Setelah Introduksi Teknologi. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, sebagai salah satu indikator adalah perubahan ekonomi rumah tangga. Struktur pendapatan rumah tangga yang dianalisis adalah yang bersumber dari kegiatan usahatani (on-farm), luar usahatani (off-farm) dan luar bidang pertanian (non-farm). Berdasarkan hasil survey pendasaran sebelum kegiatan dilakukan dan berdasarkan pengamatan saat kajian berjalan serta wawancara terbatas dengan informan kunci diperkirakan telah terjadi perubahan ekonomi rumah tangga ratarata seperti terlihat pada Tabel 1. Pendapatan total meningkat sekitar 11,11%, dan proporsi pendapatan dari usahatani itik dan perdagangan yang terkait (telur) meningkat. Pendapatan yang dihasilkan pada usaha on farm sebesar 90,94% terhadap total pendapatan petani pada saat sebelum kajian dilakukan dan mengalami peningkatan sebesar 9,48% pada tahun pertama dan 17,44% pada tahun kedua terhadap total pendapatan pertanian pada sebelum kajian. Jika dilihat khusus dari ternak itik maka peningkatan pendapatan cukup besar, hal ini terjadi karena skala pemeliharaan ternak yang diusahakan meningkat, produksi meningkat yang pada akhirnya memberikan peningkatan pendapatan (Tabel 1). Berdasarkan kajian ini terlihat bahwa usaha ternak dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan keluarga selain usahatani lainnya. Sesuai dengan pendapat Kusnadi et al. (2005) bahwa subsektor peternakan berperan sangat penting dalam aspek pengentasan kemiskinan,. Berdasarkan data dari Proyek Inpres Desa Tertinggal (IDT), komoditas yang dipilih sebagian besar (60-70%) adalah ternak. Begitu pula dalam Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI), semua lokasi kegiatan menghendaki adanya sistem usaha pertanian yang melibatkan ternak sebagai basis dalam sistem usaha pertaniannya (Kusnadi et al., 2005). Dampak Inovasi Teknologi. Kegiatan pendampingan introduksi inovasi teknologi, walaupun belum sepenuhnya diadopsi oleh petani, sudah menunjukan adanya peningkatan produktivitas baik padi lokal maupun padi unggul. Rekomendasi pemupukan berdasarkan analisis tanah dan pemanfaatan bagan warna daun, walaupun masih belum mantap, sudah mulai diterapkan. Produktivitas padi unggul pada awal kegiatan berkisar 3,4 ton/ha meningkat menjadi rata-rata 5,25 ton/ha. Ada kecendrungan (Tabel 2) bahwa petani memakai urea lebih tinggi dari yang direkomendasikan (200 kg/ha), karena faktor genangan air mengakibatkan penampakan efek pupuk N tidak terlalu nyata.
650
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Adanya penambahan jalan uasahatani mendorong meningkatnya areal tanam padi unggul. Sementara padi lokal, selain penerapan jarak tanam lebar juga karena faktor musim yang mendukung meningkat menjadi 3 ton/ha dari sebelumnya 2,8 ton/ha. Introduksi inovasi bibit, kandang dan penyusunan ransum itik, walaupun belum memperlihatkan hasil yang optimal, sudah memperlihatkan peningkatan produktivitas telur rata-rata 60% dari sebelumnya sekitar 53%. Produktivitas ini sangat bervariasi antar petani koperator, karena perbedaan manajemen kandang dan pemberian pakan (Tabel 3). Dampak dari kegiatan kajian ini di Desa Handil Gayam, Kecamatan Bumi Makmur, Kabupaten Tanah Laut yaitu : Peningkatan produksi padi dari 3,4 menjadi 5,25 ton/ha Indeks Pertanaman padi dari 1 kali menjadi 2 kali/tahun sekitar 15% Perluasan areal tanam padi unggul di musim hujan dari 160 menjadi 184 ha Peningkatan skala usaha pemeliharaan ternak itik dari 10-50 ekor menjadi 25100 ekor/KK Peningkatan pendapatan petani dari tanam padi dan usaha ternak itik KESIMPULAN
Perbaikan teknologi melalui pendampingan memberikan pengaruh berupa Peningkatan produksi padi dan itik masing-masng sebesar 54,51% dan 7% Peningkatan IP 200 sebanyak 15% dari 160 ha menjadi 184 ha Peningkatan skala usaha ternak itik dari 10-25 ekor/KK menjadi 25-100 ekor/KK Peningkatan pendapatan sebesar 20,19%/tahun
DAFTAR PUSTAKA Balittra. 2013. Empat Kunci Sukses Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Usaha Pertanian Berkelanjutan. http://balittra.litbang.deptan.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id= 1210&Itemid=5 Balitnak. 2004. Ratu : Bibit Niaga Itik petelur Unggulan. www.balitnak.net. Kusnadi, U. 2005. Strategi dan kebijakan pengembangan ayam lokal di lahan rawa untuk memacu ekonomi pedesaan. hlm. 252-259. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal, Semarang 26 Agustus 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor dan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Sudana, W. 2005. Potensi dan Prospek Lahan Rawa Sebagai Sumber Produksi Pertanian. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 Nomor 3 : 141-151. Sudaryanto, T., dan I. W. Rusastra. 2006. Kebijakan strategis usaha pertanian dalam rangka peningkatan produksi dan pengentasan kemiskinan. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 25 (4) : 115-122.
651
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Respon dan Minat Petani Terhadap Usaha Diversifikasi Olahan Jagung (Studi Kasus Di Desa Wonosari, Kabupaten Lampung Timur) Response And Interest Of Farmers DiversifiedBusinessAgainst ProcessedCorn (Case Studies in Wonosari Village, East Lampung Regency) Zahara1*), Ratna Wylis Arief1 dan Maya Dhania Sari2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Lampung 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sumatera Selatan *) Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. +62721781776/+62721705273 Email :
[email protected] ABSTRACT Maize is an alternative food with high carbohydrate content accounts for 71,3%. Processed maize will provide high economic value compared to fresh maize. Therefore, it is necessary to develop diversification business for processed maize using simple technology. This research aims to identify farmers’ respond and interest to run diversification business for processed maize. The research was conducted in Wonosari village, East Lampung from September to December 2012. The respondent was all woman farmer groups Bahagia consisted of 15 people. Method used was survey using primary and secondary data. Data analysis on farmers’ respondents use Likert scale in the form of questions related to farmers’ respond on diversification business for processed maize, farmers’ interest on diversification business for processed maize used Guttman scale. Respondents’ interest was analyzed using binary regression. The study found that farmers knowledge on diversification business for processed maize was high (91,17%) and farmers’ attitude towards diversification business for processed maize was positive (99,53%). Farmers’ respond towards diversification business for processed maize was very interested. Eleven respondents (73,33%) were interested to run diversification business for processed maize. This interest was influenced by factors, market, and farmers’ time. Policy implication from this research is a need to develop diversification business for processed maize. However, the constraint is in marketing the product. Therefore, market needs to be created for the processed maize. Keyword : Response of farmer, product diversification, businesss diversification, maize ABSTRAK Jagung merupakan salah satu bahan pangan alternatif yang memiliki kandungan pati yang tinggi mencapai 71,3%. Jagung olahan akan memberikan nilai ekonomi tinggi dibandingkan dengan jagung segar, sehingga perlu dikembangkan usaha diversifikasi olahan jaung dengan menggunakan teknologi
652
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
yang sederhana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon dan minat petani untuk melakukan usaha diversifikasi olahan jagung. Pnelitian dilaksanakan di Desa Wonosari Kecamatan Pekalongan Kabupaten Lampung Timur dari bulan September sampai dengan Desember 2012. Responden dalam penelitian ini adalah seluruh anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) Bahagia yang berjumlah 15 orang. Metode yang digunakan adalah metode survey, data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis data tanggapan petani digunakan skala linkert yang berbentuk pertanyaan yang menyangkut respon petani terhadap usaha diversifikasi olahan jagung, minat petani anggota KWT Bahagia terhadap usaha diversifikasi olahan jagung digunakan skala Guttman. Minat Responden dianalisis dengan regresi binery . Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh kesimpulan bahwa pengetahuan petani tentang diversifikasi olahan jagung termasuk dalam kategori tinggi (91,17%) dan sikap petani terhadap usaha diversifikasi olehan jagung positif (99,53%). Respon petani terhadap usaha diversifikasi pengolahan jagung sangat positif. Responden yang berminat untuk menjalankan usaha diversifikasi pengolahan jagung sebanyak 11 orang (73,33%) dari 15 orang responden. Minat responden untuk menjalankan usaha diversifikasi pengolahan jagung dipengaruhi oleh faktor ada tidaknya pasar dan waktu yang dimiliki responden. Implikasi kebijakan dari hasil penelitian ini perlu dikembangkan usaha diversifikasi olahan jagung, karena pengetahuan dan sikap positif petani terhadap usaha ini. Pengetahuan dan sikap petani didukung pula dengan minat yang tinggi untuk menjalankan usaha ini. Tetapi terkendala dengan pemasaran produk olahan jagung, sehingga perlu diciptakan peluang pasar bagi produk olahan jagung. Kata Kunci :respon petani, diversifikasi produk, diversifikasi usaha, komoditas jagung PENDAHULUN Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 telah mencapai angka 237,56 juta jiwa dengan laju pertambahan penduduk mencapai 1,46 per tahun. Hal ini menyebabkan konsumsi pangan semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Kebutuhan pangan selalu mengikuti trend jumlah penduduk dan dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan per kapita serta perubahan pola konsumsi masyarakat. Ini menunjukkan indikasi bahwa diversifikasi pangan sangat diperlukan untuk mendukung pemantapan swasembada pangan. Dari kondisi ini maka harus dapat dipenuhi dua hal, yaitu penyediaan bahan pangan dan diversifikasi olahan pangan (Susanto,2012). Bahan pangan tidak hanya berasal dari padi-padin, namun dapat dipenuhi dari umbi-umbian dan serealia seperti jagung. Jagung merupakan salah satu bahan pangan alternatif pengganti atau pendamping beras. Komponen utama jagung adalah pati, yaitu sekitar 70 % dari bobot biji. Komponen lainnya adalah gula sederhana (glukosa, sukrosa dan fruktosa)1-3%,2 sehingga jagung sangat cocok bagi penderita diabetes. Suarni dan Widowati (2007), menyatakan bahwa jagung juga mengandung serat pangan tinggi yang dapat membantu menurunkan kolesterol dan LDL, sehingga produk tersebut semakin banyak dicari dan dikonsumsi orang banyak.
653
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Produksi jagung nasional Tahun 2012 berdasarkan angka ramalan BPS mencapai 18.961.645 ton meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 17.643.250 ton). Di Lampung produksi jagung mengalami fluktuasi selama 5 tahun terakhir dari tahun 2008—2012. Tahun 2008—2010 produksi jagung terus meningkat dari 1.809.889 ton menjadi 2.216.571 ton.Tahun 2011—2012 mengalami penurunan dari 1.817.906 ton menjadi 1.750.902 ton (BPS,2013). Produksi yang cukup melimpah ini seharusnya dimanfaatkan sebagai bahan pangan alternatif pengganti beras maupun sebagai makanan pendamping. Jagung dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, pakan ternak dan bioetanol. Persentase kegunaan jagung di Indonesia adalah 71,7 persen untuk bahan makanan manusia, 15,5 persen untuk makanan ternak, 0,8 persen untuk industri, 0,1 persen untuk diekspor dan 11,9 persen untuk kegunaan lain (Masturi,2009). Agro industri dengan bahan baku jagung saat ini sudah banyak beredar secara luas, seperti minyak jagung, sirup jagung dan gula jagung. Semua produk tersebut masih berbau luar negeri, sehingga harganya mahal. Dengan demikian semakin jelas bahwa makanan dari bahan jagung bukan lagi menjadi bahan pangan yang ‘inferior’ (Susanto,2012). Jagung dapat diolah menjadi berbagai macam makanan seperti marning, nasi jagung, kue kering, kue basah, mie, dan jenis makanan lainnya.Saat ini industri-industri makanan memanfaatkan jagung untuk membuat tepung, minyak, dan gula.Produk – produk industri dari bahan jagung masih menggunakan teknologi tinggi, sehingga masih belum terjangkau dengan teknologi yang ada di petani atau masyarakat umum (Susanto,2012). Selain itu jagung juga dapat diolah menjadi makanan tradisional yang menggunakan teknologi sederhana seperti kerupuk, marning, dan nasi jagung dan pada perkembangnnya jagung juga dapat diolah mejadi aneka kue kering/basah, mie, dan skotel jagung. Jagung yang sudah diolah akan memberi nilai ekonomi tinggi dibandingkan dengan jagung segar. Nilai ekonomi yang tinggi akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan petani, sehingga perlu dikembangkan usaha diversifikasi pangan olahan jagung di Desa Wonosari dengan menggunakan teknologi yang sederhana. Petani di Desa Wonosari belum mengembangkan usaha diversifikasi olahan jagung, padahal produksi jagung melimpah. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana respon dan minat petani terhadap usaha diversifikasi olahan jagung serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi minat petani terhadap usaha diversifikasi olahan jagung. Penelitian dengan topik respon dan minat sudah banyak dilakukan, namun penelitian tentang respon dan minat petani terhadap usaha olahan jagung belum dilakukan. Penelitian respon dan minat petani terhadap usaha diversifikasi olahan jagung perlu dilakukan, untuk dijadikan masukan bagi pemerintah setempat dalam pengembangan potensi daerah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengetahuan sikap dan minat responden terhadap usaha diversifikasi olahan jagung. BAHAN DAN METODE
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan survey. Penelitian dilaksanakan di Desa Wonosari Kecamatan Pekalongan Kabupaten Lampung
654
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Timur.Penelitian dilaksanakan dari bulan September sampai dengan Desember 2012. Responden dalam penelitian ini adalah seluruh anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) Bahagia yang berjumlah 15 orang. Pemilihan KWT Bahagia karena anggotanya kooperatif dan sudah memiliki mesin penggiling jagung. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan metode wawancara langsung dengan menggunakan kuisioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur. Data yang dikumpulkan terdiri dari karakter responden, respon responden yang terdiri dari pengetahuan dan sikap serta minat responden. Data karakteristik petani dianalisis secara deskriptif menggunakan table distribusi frekwensi. Sikap dan pengetahuan responden diukur menggunakan skala linkert. Skala Linkert adalah menentukan lokasi kedudukan seseorang dalam suatu kontinum sikap terhadap objek sikap, mulai dari sangat negatif sampai dengan sangat positif (Widyoko,2012). Skala linkert berbentuk pertanyaan yang menyangkut respon petani terhadap usaha diversifikasi olahan jagung, kemudian ditentukan skor dari jawaban responden. Skoring menggunakan rumus interval (Dajan. 1996). I
J K
Keterangan : I
= Interval
J
= Jarak antara skor maksimum dan skor minimum
K = Banyaknya kelas yang digunakan Penghitung skor untuk pengetahuan adalah sebagai berikut : Skor tertinggi = 12 Skor terendah = 4 Jumlah kelas = 3 Interval = = 2,66 Penghitungan skor untuk sikap adalah sebagai berikut : Skor maksimum = 15 Skor minimum = 5 Jumlah kelas = 3 Interval = = 3,33 Kategori dan kisaran skor untuk pengetahuan dan sikap petani terhadap usaha diversifikasi olahan jagung dapat dilihat pada Tabel 1.
655
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 1. Kategori dan Kisaran Skor Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Usaha Diversifikasi Olahan Jagung Di Desa Wonosari, Kecamatan Pekalongan, Kabupaten Lampung Timur No 1.
2.
Kategori Pengetahuan Petani - Rendah - Sedang - Tinggi Sikap Petani - Negatif - Netral - Positif
Kisaran Skor
Persentase (%)
4 – 6,66 6,67 – 9,33 9,34 –12
33,33 – 55,58 55,59 – 77,83 77,84 – 100,00
5 – 8,33 8,34 – 11,67 11,68 – 15
33,33 – 55,53 55,54 – 77,80 77,81 – 100,00
Untuk mengetahui minat petani terhadap usaha diversifikasi olahan jagung digunakan skala Guttman. Skala pengukuran dengan tipe ini akan didapat jawaban yang jelas (tegas) dan konsisten misalnya : ya-tidak; benar salah; pernah-tidak pernah; positif-negatif; yakin-tidak yakin; setuju-tidak setuju dan lain-lain.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi minat responden dianalisis dengan regresi binery dengan persamaan sebagai berikut : Ln[p /(1- p)] = Y = α + βiXi Keterangan, Y = Minat responden untuk menjalankan usaha pengolahan jagung Y = 1, jika responden berminat untuk menjalankan usaha diversifikasi olahan jagung Y= 0, jika responden tidak berminat menjalankan usaha diversifikasi olahan jagung P = Probabilitas minat responden Xi = Variabel bebas (pasar, waktu, biaya) α = Konstanta (intersep) βi = Koefisien regresi variabel bebas ke-i Hipotesisi yang digunakan : H0 : Model yang dihipotesakan cocok dengan data H1 : Model yang dihipotesakan tidak cocok dengan data HASIL Tabel 2. Umur Responden pada KWT Bahagia Desa Wonosari, Kecamatan Pekalongan, Kabupaten Lampung Timur, Tahun 2012 Uraian Jumlah Persentase 34 – 40 6 40,00 41 – 47 2 13,13 48 – 54 3 20,00 55 – 61 4 26,67 Total 15 100.00 Sumber : Data primer diolah, 2012
656
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Pendidikan Responden pada KWT Bahagia Desa Wonosari, Kecamatan Pekalongan, Kabupaten Lampung Timur, Tahun 2012 Uraian Jumlah Persentase Sekolah Dasar/sederajat 5 33.33 Sekolah Menengah Pertama/sederajat 2 13.33 Sekolah Menengah Atas/sederajat 8 53.33 Total 15 100.00 Data primer diolah, 2012
Tabel 4. Pengalaman Usahatani Responden pada KWT Bahagia Desa Wonosari, Kecamatan Pekalongan, Kabupaten Lampung Timur, Tahun 2012 Uraian Jumlah Persentase 10 – 20 8 53,33 21 – 30 4 26,67 31 – 40 1 6,67 41 – 50 2 13,33 Total 15 100.00 Data primer diolah, 2012
Tabel 5.Skor Pengetahuan terhadap Usaha Diversifikasi Olahan Jagung pada KWT Bahagia Desa Wonosari, Kecamatan Pekalongan, Kabupaten Lampung Timur, Tahun 2012 Uraian Mengetahui bahwa jagung dapat diolah menjadi bentuk olahan lain Mengetahui tentang teknologi pengolahan Jagung Mengetahui bahwa jagung yang telah diolah mempunyai harga jual yang lebih tinggi Mengetahui produk olahan jagung yang dijual di pasar desa Total
Skor Maksimal
Rata-rata Skor Lapang
Persentas e
Klasifikasi
3
2.67
89.00
Tinggi
3
2.67
89.00
Tinggi
3
2.67
89.00
Tinggi
3
2.93
97.67
Tinggi
12
10.94
91.17
Tinggi
Data primer diolah, 2012
657
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 6. Sikap terhadap Usaha Diversifikasi Olahan Jagung pada KWT Bahagia Desa Wonosari, Kecamatan Pekalongan, Kabupaten Lampung Timur, Tahun 2012 Uraian Usaha pengolahan jagung merupakan pilihan yang tepat
Skor Rata-rata Maksimal Skor Lapang 3 3
Persentas e 100.00
Klasifikas i Positif
Penerapan usaha pengolahan jagung sesuai dengan keinginan
3
3
100.00
Positif
Usaha pengolahan jagung dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga Usaha pengolahan jagung dapat dikembangkan di tingkat Desa
3
3
100.00
Positif
3
3
100.00
Positif
Teknologi pengolahan jagung dapat dilakukan dengan mudah
3
2,93
97,67
Positif
Total Data primer diolah, 2012
15
14,93
99,53
Tinggi
Tabel 7. Minat terhadap Usaha Diversifikasi Olahan Jagung pada KWT Bahagia Desa Wonosari, Kecamatan Pekalongan, Kabupaten Lampung Timur, Tahun 2012 Minat Jumlah (orang) Persentase Ya Tidak Total
11 4 15
73.33 26.67 100.00
Data primer diolah, 2012
Tabel 8. Hasil Analisis Statistik Regresi Binary di Desa Wonosari, Kecamatan Pekalongan, Kabupaten Lampung Timur, Tahun 2012 Uraian Nilai Konstanta 0,979 Pasar 0,793 Waktu -1,957 Cox & Snell R Squere 0,183 Negelkerke R Squere 0,267 Hosmer and lemeshow goodnes of fit 1,869 0,172 Probabilitas Signifikan 17,397 -2Log L (konstanta saja) 14,361 -2logL (Konstanta dan Variabel pasar dan waktu Data primer diolah, 2012
658
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PEMBAHASAN Umur merupakan faktor intrinsik yang diyakini mempengaruhi penggunaan sistem informasi baru (Wirjono, 2007). Informasi teknologi pengolahan jagung bagi responden merupakan informasi baru, sehingga faktor umur sangat penting dalam menyerap informasi tersebut.Umur responden dapat dilihat pada Tabel 2. Usia responden berkisar antara 34—61 tahun, usia yang paling mendominasi yaitu berkisar antara 34—40 tahun sebesar 40 % dari total responden. Usia 35-43 tahun merupakan usia produktif dan sangat mudah untuk menyerap informasi dalam hal ini teknologi pengolahan jagung. Responden yang memiliki jenjang pendidikan Sekolah Menengah mencapai 66,33% dari seluruh responden sedangkan pendidikan dasar mencapai 33,33%. Pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 3. Pendidikan sangat mendukung dalam penyerapan informasi teknologi khususnya teknologi pengolahan jagung. Pengalaman usahatani responden berkisar antara 10-75 tahun (Tabel 4). Pengalaman usahatani responden berkisar antara 10-23 tahun mencapai 53,33%. Pekerjaan sebagai petani merupakan pekerjaan utama responden, sehingga mereka mempunyai pengalaman sampai puluhan tahun. Pengalaman usahatani ini memudahkan responden untuk menerima inovasi diversifikasi olahan jagung. Teori Respon Kognitis dari David Aaker ini memiliki asumsi dasar bahwa khalayak secara aktif terlibat dalam proses penerimaan informasi dengan cara mengevaluasi informasi yang diterima berdasarkan pengetahuan dan sikap yang dimiliki sebelumnya, yang akhirnya mengarah pada perubahan sikap (Teddykw, 2008). Respon petani terhadap usaha diversifikasi olahan jagung dapat dilihat melalui pengetahuan dan sikap. Pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian melahirkan sikap dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan. Suharyanto, dkk (2006) menyatakan bahwa dengan adanya wawasan petani yang baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya sikap yang pada gilirannnya mendorong terjadinya perubahan perilaku. Pengetahuan. Petani diukur dari wawasan dan pemahamannya tentang usaha diversifikasi olahan jagung. Untuk mengetahui pengetahuan petani terhadap usaha diversifikasi olahan jagung menggunakan skala linkert. Pengetahuan responden rata-rata mencapai 10.94 dari skor total 12 (Tabel 5), ini berarti skor pengetahuan responden tergolong tingggi. Pengetahuan responden yang tinggi ini didukung pula dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Skor pengetahuan responden tinggi karena responden sudah mengetahui berbagai macam bentuk olahan jagung dan mengetahui cara pengolahan jagung. Responden juga pernah mencoba resep olahan jagung seperti kue pancong, bakwan jagung, dan kue-kue kering. Pengetahuan yang tinggi akan memudahkan responden dalam menerima dan menerapkan teknologi diversifikasi olahan jagung. Hasil penelitian Sulistiyono, dkk (2008) menunjukkan bahwa pengetahuan petani semakin tinggi kategorinya sesuai dengan jenjang pendidikannya.Hal ini dapat terlihat dari tingkat pendidikan responden yang cukup tinggi yaitu 53,33% berada pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA).
659
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Sikap responden terhadap usaha diversifikasi olahan jagung juga diukur menggunakan skala linkert. Menurut Wulandari (2008), sikap petani merupakan tingkat persetujuan, pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan pengalaman yang pernah mereka alami. Skor rata-rata sikap responden mencapai 14.93 dari skor total yaitu 15 (Tabel 6), ini berarti sikap responden terhadap usaha diversifikasi olahan jagung tergolong positif. Responden memberikan sikap yang positif sebesar 99,53% terhadap usaha diversifikasi olahan jagung. Sikap petani ini dipengaruhi pengetahuan yang tinggi dari responden. Hal ini dapat terlihat dari skor pengetahuan petani yang mencapai 91,17%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan mempunyai satu garis lurus terhadap sikap pada sebuah ilmu pengetahuan atau informasi yang diterima (Sulistiyono, dkk, 2008). Menurut petani usaha olahan jagung merupakan pilihan yang tepat dengan capaian skor tinggi yaitu 3 (100%) dan termasuk dalam kalsifikasi tinggi. Hal ini karena responden merupakan petani jagung yang cukup berpengalaman dan bahan baku olahan jagung tersedia. Menurut Hanafi, dkk (2003), berbagai faktor terbentuknya sikap terhadap objek sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, pengaruh orang lain yang dianggap penting, media massa, instansi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor emosi dalam diri individu. Menurut responden penerapan usaha pengolahan jagung sesuai deangan keinginan mereka sehingga skor lapang mencapai 3 (100%) dan usaha pengolahan jagung ini dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga karena menambah pendapatan bagi responden dan keluarganya dengan skor lapang 3 (100%). Responden sangat setuju jika usaha pengolahan jagung dikembangkan di Desa Wonosari dengan skor lapang 3 (100%), hal ini karena responden merupakan ibu rumahtangga yang memiliki waktu luang sehingga waktunya bisa diisi dengan kegiatan bermanfaat seperti usaha pengolahan jagung. Skor lapang untuk teknologi pengolahan jagung dapat dilakukan dengan mudah mencapai 2,93 (100%) dan tergolong dalam klasifikasi tingggi. Cara atau teknologi yang digunakan tidaklah sulit karena masih menggunakan alat yang sederhana dan bahan-bahan yang mudah diperoleh. Minat responden terhadap usaha diversifikasi pengolahan jagung ini terkendala dengan pasar dan waktu. Pasar untuk produk olahan jagung masih terbatas di warung-warung kecil atau di kantin sekolah yang ada di desa. Produk yang paling mudah diolah dan diminati adalah kerupuk atau keripik jagung dan kue-kue kering. Faktor biaya dan ada tidaknya pasar bagi usaha pengolahan ubi jalar merupakan kendala utama bagi responden (Sulistiyono, 2008). Kedua faktor tersebut menjadi faktor utama bagi responden dalam pertimbangan membuat keputusan untuk menjalankan usaha pengolahan ubi jalar. Responden yang berminat untuk menjalankan usaha diversifikasi pengolahan jagung sebanyak 11 orang (73,33%) dari 15 orang responden (Tabel 7). Berdasarkan hasil wawancara bahwa tingginya minat responden ini disebabkan dapat menambah pendapatan keluarga dan cara pengolahan yang cukup mudah dilakukan. Nilai Cox dan Snell R Squere sebesar 0,183 dan nilai Negelkerke R Squere yaitu 0,267. Ini berarti bahwa variabel bebas yaitu pasar dan waktu yang dimasukkan ke dalam model dapat menjelaskan variabel terikat yaitu minat sebesar 26,7%. Nilai Hosmer and Lemeshow Goodness-of-fit sebesar 1,869 dengan probabilitas signifikansi sebesar 0,172 dan nilainya lebih besar dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis nol (H0) diterima yang berarti model cocok
660
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dengan data observasinya.Berdasarkan Tabel 7 dapat disusun persamaan regresinya sebagai berikut : Ln[p /(1- p)] = Y = 0,979 + 0,793 pasar – 1,957 waktu. Setiap peningkatan dari faktor pasar maka akan meningkatkan probabilitas minat responden untuk menjalankan usaha diversifikasi pengolahan jagung sebesar 0,793. Jika faktor pasar dianggap konstan maka setiap penurunan pengaruh faktor waktu akan meningkatkan minat responden untuk menjalankan usaha diversifikasi pengolahan jagung sebesar (-1,957).
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 1. Usia responden tergolong dalam usia produktif yaitu 35—43 tahun sebesar 46,67% dari total responden. Responden yang memiliki jenjang pendidikan Sekolah Menengah mencapai 66,33% dari seluruh responden dan Pengalaman usahatani responden berkisar antara 10-23 tahun mencapai 53,33%. 2. Pengetahuan yang tinggi akan memudahkan responden dalam menyerap dan menerapkan teknologi diversifikasi olahan jagung. Pengetahuan responden terhadap usaha diversifikasi pengolahan jagung termasuk dalam kategori tinggi mencapai 91,17%. 3. Sikap responden terhadap usaha diversifikasi olahan jagung menunjukkan sikap yang positif mencapai 99,53%. Sikap yang positif ini akan memudahkan responden dalam menjalankan usaha diversifikasi olahan jagung. 4. Responden yang berminat untuk menjalankan usaha diversifikasi olahan jagung sebanyak 73,33%. Faktor yang mempengaruhi minat responden yaitu ada tidaknya pasar dan waktu untuk usaha pengolahan jagung. Implikasi Kebijakan 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap responden terhadap usaha diversifikasi olahan jagung tinggi dan positif, hal ini dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan oleh stake holder untuk mengembangkan usaha diversifikasi olahan jagung khususnya di Desa Wonosari Kecamatan Pekalongan Kabupaten Lampung Timur. 2. Penegetahuan yang tinggi dan sikap yang positif juga didukung dengan minat yang tinggi dari petani untuk menjalankan uasaha diversifikasi olahan jagung, namun terkendala dengan pasar untuk produk olahan jagung ini. Perlu adanya kebijakan dalam menciptakan peluang pasar bagi produk olahan jagung. DAFTAR PUSTAKA Susanto,A. Pengolahan Jagung Sebagai Bahan Pangan. Diakses dari http://www.Jateng.litbang.deptan.go.id, tanggal 27 Nopember 2012. Suarni dan S. Widowati. 2007. Struktur, Komposisi dan Nutrisi Jagung. Dalam Jagung. Teknik dan Pengembangan. Sunarno et.al. (editor). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Hal 412.
661
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Badan Pusat Statistik. Tabel Luas Panen -Produktivitas –Produksi Tanaman Jagung di Provinsi Lampung. Diakses dari http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3, pada tanggal 13 september 2013 Masturi, H. 2009. Kemitraan Usaha Suatu Alternatif Peningkatan Pendapatan Petani Pada Agribisnis Jagung. Diakses dari http://hasanawimasturi.blogspot.com/2009/11/kemitraan-agribisnisjagung.html pada tanggal 13 September 2013 Widyoko, S.E.P. 2012. Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Pustaka Belajar. Yogyakarta. 254 halaman. Dajan, A. 1996. Pengantar metode statistik. Jilid II. LP3ES. Jakarta E.R. Wirjono. 2007. Pengaruh Kepercayaan Dan Umur Terhadap Kinerja Individual Dalam Penggunaan Teknologi Informasi. http//ojs.unud.ac.id, diakses padatanggal 11 Februari 2013. Teddykw. 2008. Teori Respon Kognitif. Diakses dari www.komunikologiwordpress.compada tanggal18 September 2013. Suharyanto, Rubiyo dan J. Rinaldy. 2006. Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Petani Terhadap Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) Conopomorpha cramerellaSnellen Di Kabupaten Tabanan. Prosiding Seminar Nasional ”Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian Sebagai Penggerak Ketahanan Pangan. Mataram 5-6 September 2006. Sulistiyono, L, et.al. 2008. Pengetahuan Sikap Dan Tindakan Petani Bawang Merah Dalam Penggunaan Pestisida (Studi Kasus Di Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur. Jurnal Agroland. Volume 15 No 1 Bulan Maret 2008. Wulandari, D.B., 2008. Analisis Tanggapan Dan Minat Petani Terhadap Usaha Pengolahan Ubi Jalar (Studi Kasus Di Desa Wringinsongo, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang). Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang Hanafi, H., Suharsono dan Supriadi. 2003. Sikap Petani Terhadap Inovasi “Crop Livestock Systems” Di Lahan Kering Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional “Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Kusumah, W. 2009. Apakah Minat Itu. http// www.edukasi.kompasiana.com, diakses pada tanggal 22 Februari 2013. Aprianto, E.P. 2012. Minat Siswa Putra Kelas Atas Sd Negeri Dan Mi Di Desa Kaliwungu Kecamatan Mandiraja Kabupaten Banjarnegara Terhadap Ekstrakurikuler Sepak Bola. Skripsi.Universitas Negeri Yogyakarta.
662
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kelayakan Pengembangan Usaha Penangkar Benih Padi Berbasis Komunal Di Provinsi Sulawesi Tengah (Study Kasus Pada Kelompok Tani Sabar Jaya Desa Sibayu Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala) Economycally Feasible Captivity Business Develoment Paddy Seed Communal Base In Central Sulawesi Propince ( Case Study On The Farmers To Sabar Jaya SibayuVillageBalaesang Subdistrict.Donggala District.) Muhammad Abid dan Benyamin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah Jl. Lasoso No. 62 Biromaru Email :
[email protected] ABSTRACT The dissemination and a variety of other industrial determined by the seeds and seed supplies to get to the hands of farmers. Because of the substantial ( productive, efficient, defenseless concept, sustained ) is needed to support the efforts to improve the quality of agricultural products.The study is to determine eligibility development of captivity communal in Sulawesi Tengah. The method is applicable in descriptive on farm research. The result was conducted in Sibayu village, Balaesang sub district, Sulawesi Tengah province in may to september 2011. A study showed that the raw land to farm Donggala district 14.751 ha, it needs some 737.550 / kg seeds planting season.While production seed only about communal 719.000 tons per year. With this data can provide opportunities to build a network ofcaptivity broader to the fulfillment of seeds precisely can be embodied . Preference of farmers against superior varieties of new varieties average wants rice with good growth, pest resistant, high productivity and a sense of rice good. Inpari 13 varieties of having conformity agronomis compared with existing varieties ( mekongga ). The analysis of the cultivation of rice in cativity worthy of a developed economy, with the R/C ratio 1,45. Building a system of information captivity in level province is needed for communal captivity empowerment and the fulfillment of seed for the consume. Keywoords :System Economycally feasible, Captipiy, Paddy seeds, base on Communal ABSTRAK Keberhasilan diseminasi teknologi varietas unggul ditentukan antara lain oleh kemampuan industri benih untuk memasok benih hingga sampai ke tangan petani. Oleh karena keberadaan sistem perbenihan yang kokoh (produktif, efisien, berdaya saing, berkelanjutan) sangat diperlukan untuk mendukung upaya peningkatan produksi mutu produk pertanian. Tujuan kajian adalah untuk mengetahui kelayakan pengembangan jaringan penangkar padi komunal di Sulawesi Tengah. Metode yang digunakan adalah deskriptif dan on farm 663
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
research. Lokasi kajian berada di Desa Sibayu Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala provinsi Sulawesi Tengah pada Bulan Mei - September 2012. Hasil kajian menunjukkan bahwa dengan luas lahan baku sawah di Kabupaten Donggala sebesar 14.751 ha, maka kebutuhan benih sebanyak 737.550 kg/musim tanam. Sementara produksi benih komunal hanya berkisar 719.000 ton per tahun. Dengan data ini dapat memberikan peluang untuk membangun jaringan penangkar padi yang lebih luas agar pemenuhan benih secara tepat dapat terealisir. Preferensi petani terhadap varietas unggul baru (VUB) rata-rata menghendaki padi dengan pertumbuhan baik, tahan terhadap OPT, produktivitas tinggi dan rasa nasi pulen. Varietas Inpari 13 memiliki kesesuaian agronomis dibandingkan dengan varietas existing (Mekongga). Hasil analisis usahatani perbenihan padi di Desa Sibayu Kec. Balaesang Kab. Donggala layak secara ekonomi untuk dikembangkan, dengan nilai R/C 1,45. Membangun sistem informasi perbenihan ditingkat provinsi sangat dibutuhkan untuk pemberdayaan penangkar komunal dan pemenuhan benih bagi konsumen (petani). Kata kunci :Kelayakan, Penangkar, Benih Padi, berbasis Komunal.
PENDAHULUAN Keberhasilan diseminasi teknologi varietas unggul ditentukan antara lain oleh kemampuan industri benih untuk memasok benih hingga sampai ke tangan petani. Oleh karena keberadaan sistem perbenihan yang kokoh (produktif, efisien, berdaya saing, berkelanjutan) sangat diperlukan untuk mendukung upaya peningkatan produksi mutu produk pertanian. Kesinambungan alur perbanyakan benih tersebut sangat berpengaruh terhadap tingkat ketersediaan benih sumber yang sesuai dengan kebutuhan para produsen/penangkar benih dan sangat menentukan dalam proses produksi benih sebar. Benih bermutu tinggi memberikan manfaat teknis dan ekonomis yang nyata bagi perkembangan usaha pertanian. Dengan benih bermutu tinggi maka kebutuhan per hektarnya menjadi lebih sedikit dibandingkan benih tidak bermutu. Hal ini karena terjaminnya daya tumbuh yang tinggi dari benih bermutu. Di samping itu, penggunaan benih bermutu tinggi mempunyai efek ganda (multiplier effect) sebanyak 3 : 1. Artinya satu kali menggunakan benih bermutu tinggi, mampu untuk dua kali tanam (dua musim) berikutnya tanpa adanya penurunan produktivitas yang nyata. Penggunaan benih bermutu menurut hasil pengkajian mempunyai kontribusi sekitar 60% dalam menyumbang produksi tanaman. Melihat kondisi ini peluang penggunaan benih berlabel/bermutu masih sangat tinggi dan harus terus dipacu melalui pemasyarakatan penggunaan benih bermutu. Program perbenihan menitikberatkan pada penggunaan benih yang tepat mutu sesuai yang tertera di labelnya (Wirawan dan Sri Wahyuni, 2002).Kegiatan produksi benih memiliki tiga komponen utama yaitu benih tanaman, lingkungan tumbuh, pengelolaan budidaya sampai pasca panennya, sehingga teknologi benih berada dalam ruang lingkup Agronomi (Mugnisyah dan Setiawan ,1995; Sutopo, 2002). Pengadaan benih bersertifikat ditingkat Nasional belum mencukupi kebutuhan. Wirawan, et. al.,2002 mengemukakan bahwa ketersediaan benih padi bersertifikat secara
664
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
nasional baru mencapai 35 % dari total yang dibutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa masih terbuka peluang bisnis untuk penangkaran benih padi di Indonesia. Di Sulawesi Tengah hingga kini, penggunaan benih bersertifikat untuk kebutuhan penangkaran hanya terserap oleh penangkar benih sebesar 30-50 %, padahal sudah disosialisasikan sejak tahun 2006 (Ardjanhar dkk, 2012).Permasalahan perbenihan adalah seringkali pertanaman harus ditanam pada saat musim tanam yang tidak optimal, sehingga menimbulkan resiko kegagalan yang tinggi (Nugraha, 1993). Kondisi demikian menyebabkan sebagian besar petani menggunakan benih padi dari musim sebelumnya. Rendahnya persentase kemampuan nasional dalam penyediaan benih terhadap kebutuhan potensial memberikan indikasi masih belum optimalnya kinerja lembaga pendukung industri perbenihan khususnya di perdesaan Sulawesi Tengah. Untuk itu, perlu dilakukan studi kelayakan pengembangan jaringan penangkar benih padi yang basisnya komunal di Sulawesi Tengah dengan tujuan untuk mempercepat penyebaran varietas unggul baru (VUB) kepada para petani, sehingga kebutuhan benih untuk musim tanam berikut dalam suatu wilayah tersebut dapat terpenuhi.
BAHAN DAN METODE Kajian dilaksanakan di Desa Sibayu Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala, mulai bulan Mei hingga September Tahun 2012. Pemilihan lokasi ditentukan secara purpossive sampling dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu sentra padi dan memiliki penangkar. Kajian menggunakan metode deskriptif dan On Farm Research dengan luas lahan yang digunakan adalah 1 (satu) hektar. Varietas Unggul padi yang digunakan adalah Inpari 13 dengan kelas benih FS (Foundation Seed/benih dasar). Teknik budidaya tanaman menggunakan pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu). Komponen teknologi yang digunakan : Varietas Unggul Baru, umur bibit 21 hari setelah semai, jumlah bibit per rumpun 2-3 batang, sistem tanam jajar legowo 2:1, dosis pemupukan berdasarkan hasil analisis tanah dengan menggunakan PUTS, pengendalian organisme pengganggu tanaman secara terpadu sesuai dengan kondisi lapangan, penanganan panen dan pasca panen. Untuk keperluan analisis, maka data dan informasi yang dikumpulkan dalam kajian ini meliputi, : 1) luas baku sawah, 2) sebaran benih penangkar padi sawah, 3) simulasi ketersediaan benih di tingkat petani oleh penangkar tiap musim tanam, 4) preferensi petani terhadap karakteristik padi sawah, 5) kesesuaian Agronomis VUB yang di usahakan dan 6) Analisis ekonomi. Selanjutnya data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode tabulasi dan analisis R/C Ratio untuk mengetahui tingkat pandapatan usahatani serta layak tidaknya untuk dikembangkan ke arah yang lebih luas. (Soekartawi, 1990).
665
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
HASIL Tabel 1. Luas baku sawah dan Kebutuhan Benih Di Kabupaten Donggala Tahun 2012 Luas baku Kebutuhan Benih (kg) No Kecamatan sawah (ha) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sojol Utara Sojol Damsol Balaesang Sirenja Sindue, Sindue Tobata, Sindue Tambusabora Labuan Tanantovea Banawa Selatan, Banawa Rio Pakava Total Sumber: Analisis Data primer, 2012
1.300 3.997 3.628 1.935 1.186 684 328 236 1264 193 14.751
65.000 199.850 181.400 96.750 59.300 34.200 16.400 11.800 63.200 9.650 737.550
Tabel 2. Sebaran Benih Penangkar Benih Padi Sawah Kabupaten Donggala Tahun 2011 Produksi Benih Penyebaran Benih No Penangkar (kg/tahun) 1
Kelompok Penangkar Desa Lumbu Tarombo Kec. Banawa Selatan 2 Kelompok Penangkar Desa Sibayu Kec. Balaesang 3 Kelompok Penangkar Desa Panii Kec. Damsol 4 Kelompok Penangkar Desa Malonas Kecamatan Damsol 5 Kelompok Penangkar Desa Ogomas Kecamatan Sojol Utara Total Sumber: BPSB, 2011
84.000 50.000 480.000 65.000 40.000
Kec. Banawa Selatan, Kec. Rio Pakava Kec. Balaisang, Kec. Sirenja Kec. Damsol, Kec. Sojol Kec. Damsol, Kec. Sojol Kec. Sojol Utara
719.000
Tabel 3. Simulasi ketersediaan benih di tingkat petani oleh penangkar benih tiap musim tanam (MT) Kebutuhan Ketersediaan Surplus/defisit No Kecamatan Benih (kg) Benih (kg) (kg) 1 Sojol Utara 20.000 32.500 -12.500 2 Sojol 0 99.925 -99.925 3 Damsol 262.500 90.700 171.800 4 Balaesang 25.000 48.375 -23.375 5 Sirenja 0 29.650 -29.650 6 7 8 9 10
Sindue, Sindue Tobata, Sindue Tambusabora Labuan Tanantovea BanawaSelatan, Banawa Rio Pakava Total
17.100 8.200 5.900 31.600 4.825 368.775
0 0 0 42.000 0
349.500
-17.100 -8.200 -5.900 10.400 -4.825 -19.275
666
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Sumber: Analisis Data, 2012
Tabel 4. Preferensi petani terhadap karakteristik padi sawah di Kecamatan Balaesang 2012 No Karakteristik Preferensi 1 Tinggi tanaman Sedang 2 Produktivitas Tinggi 3 Ketahanan penyakit tahan terhadap wereng dan tungro 4 Rasa nasi Pulen 5 Bentuk bulir Panjang ramping 6 Panjang malai Panjang 7 Jumlah anakan Banyak 8 Kerontokan Sedang Sumber: Analisis data primer, 2012.
Tabel 5. Tabel kesesuaian agronomis varietas unggul baru Inpari 13 yang sesuai preferensi petani 2012 Perlakuan No Komponen pengamatan Display Petani 1 Tinggi tanaman(cm) 100,7 113,4 2 Jumlah anakan produktif 19,5 11,7 3 Panjang malai (cm) 28,4 25,7 4 Jumlah gabah per malai (butir) 234,2 185,2 5 Jumlah gabah hampa per malai (butir) 14,6 56,2 6 Berat 100 butir (gr) 28,14 25,7 7 Produksi/ha (ton/ha) GKP 8,8 5,1 Sumber: Analisis data primer, 2012
Tabel 6. Kelayakan Ekonomis Usaha Penangkaran Benih Padi di Desa Sibayu Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala dalam luasan 1 ha. Komponen usahatani Satuan Nilai A. Penerimaan Produksi benih (kg) 20.000.000 4.000 Produsi beras (kg) 7.000.000 1.000 Total Peneriman 27.000.000 B. Biaya – Biaya 1. Biaya Variabel - Saprodi : Benih (kg) 25 162.500 Pupuk urea (kg) 150 375.000 Pupuk Phonska (kg) 200 480.000 Pupuk Organik (kg) 200 350.000 Herbisida (bungkus) 6 500.000 Insektisida (liter) 3 600.000 Kemasan benih (buah) 160 480.000 - Tenaga kerja : Pengolahan tanah (borongan) 850.000 667
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
pesemaian (OH) penanaman (OH) Pemupukan (OH) Penyiangan (OH) rouging (OH) Pengendalian H/P (OH) Panen (OH) Pengangkutan (OH) Pengeringan (OH) Pengawasan benih Sortasi (OH) - Ongkos giling (Rp) - Biaya produksi (Rp) Total Biaya Variabel 2. Biaya Tetap - Sewa tanah Total Biaya Tetap Total Biaya yang dikeluarkan (B1+B2) Revenue Benefit R/C
1 10 3 2 6 3 6 2 10 1 6
40.000 400.000 120.000 80.000 240.000 120.000 240.000 80.000 400.000 300.000 240.000 2.450.000 8.507.500 17.015.000
1
1.500.000 1.500.000 18.515.000 27.000.000 18.515.000 1,45
Sumber: Analisis data primer, 2012
Peluang Pengembangan. Untuk mencukupi kebutuhan benih perlu diketahui luas baku sawah yang ada. Dengan jumlah benih yang dianjurkan sebesar 25 kg/ha, maka kebutuhan benih dapat diketahui. Hasil perhitungan kebutuhan benih di Kabupaten Donggala berdasarkan luas baku sawah per musim tanam (MT) yang tersebar di beberapa Kecamatan dengan jumlah total luas baku sawah 14.751 Ha kebutuhan benih yang diperlukan adalah 737.550 Kg. Dan untuk lebih jelasnya dapat digambarkan pada tabel 1. Penangkar memiliki peran yang besar dalam ketersediaan benih dan pengawas benih sebagai penjamin mutu benih agar layak disertifikasi. Untuk mencukupi kebutuhan benih tersebut maka ketersediaan benih yang dihasilkan oleh penangkar mempunyai peran yang utama. Tujuan menyediakan benih pada wilayah setempat adalah untuk menyediakan benih yang telah beradaptasi dengan agroekologinya. Selain itu, penangkar dengan mudah mengetahui jenis benih yang sesuai dengan preferensi petani setempat. Produksi benih yang dihasilkan oleh penangkar komunal di Kabupaten Donggala pada tahun 2011 sebesar 719.000 ton/tahun. Jika indeks pertanaman penangkar benih padi di Kabupaten Donggala sebesar 200%, maka benih yang dapat disediakan per musim tanam hanya separuhnya yaitu 395.500 ton/MT. Produksi benih yang dihasilkan oleh penangkar secara komunal di beberapa wilayah di Kabupaten Donggala disajikan pada Tabel 2. Secara geografis wilayah Kabupaten Donggala terbentang memanjang dari Kecamatan Sojol Utara yang merupakan bagian paling Ujung Utara Kabupaten Donggala sampai Kecamatan Rio Pakava yang merupakan bagian paling barat. Dengan bentuk geografis yang memanjang tersebut maka strategi penyediaan 668
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
benih secara komunal harus memperhatikan kondisi geografis tersebut. Pengembangan penangkar komunal di beberapa area yang akan mensuplai benih petani dengan mempertimbangkan jarak tempuh petani ke penangkar perlu diperhatikan. Pengembangan penangkar komunal baru tentunya harus mempertimbangkan kebutuhan benih di wilayah yang bersangkutan. Simulasi kebutuhan benih di masing-masing kecamatan berikut ketersediaannya pada penangkar komunal setiap musim tanam (MT) disajikan pada Tabel 3. Preferensi Petani. Paradigma pembangunan pertanian pada saat ini adalah berorientasi pasar. Oleh karena itu, perbenihan sebagai usaha agribisnis harus memasarkan produk yaitu benih yang sesuai dengan permintaan pasar yaitu petani dan masyarakat konsumen beras. Di tingkat lapangan, sudah ada varietas yang sesuai dan berkembang di suatu wilayah karena secara agronomis sesuai dan disukai oleh petani. Namun beberapa varietas yang berkembang tersebut telah mengalami levelling off produksi sehingga harus dintroduksi varietas baru yang tetap sesuai preferensi petani. Varietas baru sebelum dikembangkan di suatu wilayah harus diketahui terlebih dahulu preferensi petani terhadap kualitas dan hasilnya sehingga varietas baru tersebut akan laku dan diadopsi oleh petani. Varietas unggul baru padi sawah yang diintroduksi tidak segera diadopsi apabila tidak sesuai dengan preferensi petani. Karena itu perlu diketahui karakteristik padi sawah yang sesuai dengan preferensi petani sebelum suatu varietas unggul baru dikembangkan. Prefrensi petani terhadap padi sawah yang akan diintroduksikan disajikan pada Tabel 4. Kesesuaian Varietas Secara Agronomis. Kementerian Pertanian melalui Balai Penelitian Padi berupaya menghasilkan varietas baru padi sawah. Varietas unggul baru diharapkan dapat menggantikan varietas padi yang telah ada di tingkat petani. Varietas padi yang ada di tingkat petani saat ini perlu diperbaharui karena telah mengalami beberapa kendala, antara lain tingginya serangan hama dan penyakit, pelandaian produksi (leveling off), dan ketidaktahanan terhadap perubahan iklim. Varietas padi yang telah ada di Kabupaten Donggala sebelumnya antara lain varietas Mekongga, Cigeulis, dan Ciherang. Sedangkan varietas unggul baru yang diproduksi oleh Balai Penelitian Padi adalah jenis Inhibrid Padi Irigasi (Inpari). Varietas unggul baru padi sawah yang telah dihasilkan harus diperkenalkan kepada petani sebagai konsumennya.Cara yang cukup efektif untuk memperkenalkan varietas unggul baru kepada petani antara lain melalui demonstrasi pertanaman di lapangan. Dengan metode ini mereka dapat melihat langsung keunggulan dari varietas yang akan dikembangkan. Kesesuaian agronomis VUB Inpari 13 yang sesuai dengaan preferensi petani di Kaab. Donggala Tahun 2012 disajikan pada Tabel 5. Dari Tabel 5 terlihat bahwa varietas Inpari 13 memenuhi preferensi konsumen yaitu petani dengan tinggi tanaman sedang, jumlah anakan banyak, malai panjang, dan produksi tinggi. Tingkat serangan hama yaitu wereng rendah dan relatif tahan tungro dimana Sulawesi Tengah merupakan daerah endemik tungro. Varietas yang mempunyai rasa nasi enak juga disenangi oleh hama sehingga membuat rentan terhadap serangan hama, (Fattah, 2010). Olehnya itu, dalam memilih benih diharapkan dapat menyesuaikan keadaan agronomis daerah tersebut.
669
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kelayakan Usahatani. Selain kesesuaian agronomis, pemenuhan jaringan pasar juga sangat di perlukan dimana secara ekonomis harus menguntungkan. Salah satu kriteria suatu usaha layak untuk diusahakan adalah dengan menghitung profit keuntungan. Kelayakan ekonomis usaha penangkaran benih padi yang dilakukan oleh petani penangkar di desa Sibayu Kecamatan Balaesang kabupaten Donggala disajikan dalam Tabel 6. Besarnya R/C Ratio yang diperoleh oleh kelompok Tani Sabar jaya di desa Sibayu Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala dalam melakukan penangkar benih padi yang berbasis komunal sebesar 1,45. Dengan demikian, kelayakan pengembangan jaringan penangkar benih padi yang berbasis komunal di Propinsi Sulawesi Tengah khususnya di Kabupaten Donggala menguntungkan dan layak untuk dikembangkan ke arah yang lebih luas. Nilai R/C Ratio 1,45 berarti setiap pengeluaran petani untuk usaha penangkaran benih padi sebesar Rp 1 akan memperoleh pendapatan bersih Rp. 1,45. KESIMPULAN 1. Dengan luas lahan baku sawah di Kabupaten Donggala sebesar 14.751 ha, maka kebutuhan benih sebanyak 737.550 kg per musim tanam. Sementara produksi benih komunal hanya berkisar 719.000 ton per tahun. Dengan data ini, memberikan peluang untuk membangun jaringan penangkar padi yang lebih luas agar pemenuhan benih secara tepat dapat terealisir. 2. Preferensi petani terhadap varietas unggul baru rata-rata menghendaki padi dengan pertumbuhan baik, tahan terhadap OPT, produktivitas tinggi dan rasa nasi pulen. 3. Varietas Inpari 13 memiliki kesesuaian agronomis dibandingkan dengan varietas existing (Mekongga). 4. Hasil analisis usahatani perbenihan padi di Desa Sibayu Kec. Balaesang Kab. Donggala layak secara ekonomi untuk dikembangkan, dengan nilai R/C 1,45.
DAFTAR PUSTAKA Andjanhar, A. M. Afif dan Soeharsono, 2012. Laporan akhir tahun 2012. Unit Perbanyakan Benih Sumber (UPBS). BPTP Sulawesi Tengah. Fattah, A. 2010. Respon Beberapa Varietas Unggul Baru Padi Sawah Terhadap Serangan Hama Utama di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan. 27 Mei 2010. Mugnisyah, W. Q. dan A. Setiawan. 1995. Produksi Benih. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Bogor. 129 hal. Nugraha. S,A. Setyono dan R.Tahir, 1993. Perbaikan sistem panen dalam usaha menekan kehilangan hasil padi. Sutopo, L, 2002, Teknologi Benih Raja Grafindo Persada Jakarta. Soekartawi, 1990. Ilmu Usaha Tani, Yasaguna. Wirawan, B. dan Sri Wahyuni. 2002. Memproduksi Benih Bersertifikat (Padi, Jagung, Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau). Penebar Swadaya, Jakarta.
670
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Analisis Kelayakan Usahatani Cabe Merah Keriting (Capsicum annum L) dan Kacang Panjang (Vigna sinensis L) Secara Rotasi Menggunakan Teknologi Olah Limbah pada Lahan Sub Optimal Feasibility Analysis Farming Curly Red Chilli (Capsicum annum L)and Long Bean (Vigna sinensis L)on Rotation Using Imaging Technology Waste on Land Sub-Optimal Railia Karneta Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) Sriwigama Palembang Email :
[email protected] ABSTRACT Technology management land sub-optimal among others with soil enrichment techniques by utilizing residual waste crop and manure be a green manure or compost, and conservation aimed at efforts to reduce erosion and nutrient losses bycontour tillage, making of mounds, terras and embankments as well as vegetable crop rotation. The purpose of this study is to analyze the feasibility of curlyred chili ((Capsicum annum L) farming and long beans (Vigna sinensis L) in rotation using technology if waste on land sub-optimal based on the value of money is NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), Net B/C (Net Benefit Cost Ratio), and based on the value of time is (Break Even Point) , PBP (Pay Back of Period), sensitivity analysis. The research method used survey method a method that directly look into the field, and direct interview with farmer and related institutions. simple random with 20 respondents from 60 farmers. The results of the study that farming curly red chili and long beans in rotation using technology if waste on land sub-optimal feasible. The situation is shown by the NPV which is positive, IRR greater than the prevailing interest rate, and Net B/C greater than one. The results of the sensitivity analysis to the increase in production costs and decrease in revenue of up to 30%, farming curly red chili and beans on land sub-optimal still feasible. __________________________________________________________________ Keywords:Feasibility study, environmentally friendly farming, landsub-optimal ABSTRAK Teknologi pengelolaan lahan sub optimal antara lain dengan teknik penyuburan tanah dengan memanfaatkan limbah sisa panen dan pupuk kandang menjadi pupuk hijau atau kompos, dan konservasi yang ditujukan pada upaya mengurangi erosi dan kehilangan unsur hara, dengan pengolahan tanah menurut kontur, pembuatan guludan, terras dan tanggul serta pergiliran tanaman sayuran. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kelayakan usahatani cabe merah keriting (Capsicum annum L) dan kacang panjang (Vigna sinensis L) secara rotasi menggunakan teknologi olah limbah pada lahan sub optimal berdasarkan nilai uang yaitu NPV(Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), Net B/C (Net
671
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Benefit Cost Ratio), dan berdasarkan nilai waktu yaitu BEP (Break Even Point), PBP (Pay Back of Period), analisis sensitivitas. Metode penelitian menggunakan metode survey, yaitu metode yang langsung melihat ke lapangan dan wawancara langsung dengan petani dan Instansi terkait. Metode penarikan contoh secara sederhana (simple random) dengan 20 orang responden dari 60 orang petani. Hasil penelitian bahwa usahatani cabe merah keriting dan kacang panjang secara rotasi menggunakan teknologi olah limbah pada lahan sub optimal layak untuk dilaksanakan. Keadaan tersebut ditunjukkan oleh NPV yang bernilai positif, IRR lebih besar dari suku bunga yang berlaku dan Net B/C lebih besar dari satu. Hasil analisis sensitivitas terhadap peningkatan biaya produksi dan penurunan penerimaan hingga 30%, usahatani cabe merah keriting dan kacang panjang pada lahan sub optimal masih layak untuk dilaksanakan. _________________________________________________________________ Kata kunci : Studi kelayakan, pertanian ramah lingkungan, lahan sub optimal PENDAHULUAN Kotamadya Palembang merupakan salah satu kota yang memproduksi tanaman sayuran terutama cabe merah keriting dan kacang panjang. Salah satu daerah yang memproduksi sayuran adalah Kelurahan Talang Jambe Kecamatan Sukarami dengan luas lahan kering 1071 Ha, dan berada pada 10-22 m di atas permukaan laut, dengan kemiringan 15 % , pH tanah 4,5 – 5,5 (Monografi Kelurahan Talang Jambe, 2013). Karakteristik tanah kering didominasi alfisol, ultisol dan oksisol, menyebabkan produktivitas atau kesuburan tanahnya rendah (Hakim, 2002) dan sumber pengairan terbatas keculi dari curah hujan yang distribusinya tidak bisa dikendalikan sesuai dengan kebutuhan. Topografi tidak datar atau lereng dengan tingkat erosi relatif tinggi, sehingga menjadi kendala dalam pengembangannya, terutama tingkat kesuburan yang rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik. Bahan organik memiliki peranan penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah, juga merupakan sumber unsur esessial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg dan Si (Abdurachman et al., 2008). Salah satu usaha mengembangkan lahan sub optimal adalah dengan melibatkan peran serta petani sebagai pelaku aktif dan masyarakat pedesaan dalam meningkatkan dan mengembangkan lahan kering yang ada secara optimal dan lestari dengan memanfaatkan pilihan teknologi penyuburan tanah secara alami. Teknik penyuburan tanah secara alamiah dengan memanfaatkan limbah sisa panen terutama kacang- kacangan dan pupuk kandang, menjadi kompos atau pupuk hijau yang dapat bersimbiose dengan bakteri Rhizobium, sehingga diharapkan dapat mengikat N bebas dari udara yang dapat ditambahkan kedalam tanah. Kompos berfungsi memperbaiki struktur tanah, meningkatkan daya serap tanah terhadap air, memperbaiki dan meningkatkan kehidupan di dalam tanah, dan banyak mengandung unsur hara untuk tanaman (Bachrum, 2013). Terkait dengan aspek penerapan teknologi di tingkat petani menunjukkan bahwa sistem usahatani terpadu dan integratif antar komoditas dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi dan pendapatan petani (Bachrum, 2013), dan bahkan sudah ada kecenderungan pengembangan pertanian yang ramah lingkungan (Soemarno, 2007).
672
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Di kelurahan Talang Jambe pengelolaan komoditi sudah mulai diarahkan pada komoditi yang ramah lingkungan sehingga pengelolaan komoditi dapat dilakukan secara terpadu dengan konsep sistem holistik, sehingga setiap komponen mampu memberikan nilai manfaat terhadap komponen lainnya. Dengan menerapkan konsep ini diharapkan dapat mengarah pada penanganan secarazero waste dan mengarahkan pembangunan pertanian lebih efisien dan berwawasan ramah lingkungan (Kariada, 2012). Konsep ini mendukung konsep sistem agribisnis, dimana setiap subsistem akan mampu bersinergi secara tuntas. Permasalahan utama yang dapat menyebabkan usahatani cabai merah keriting dan kacang panjang sering menghadapi resiko gagal, disamping kondisi tanah yang kurang subur, juga tidak adanya kepastian jual, harga yang berfluktuasi, kemungkinan rendahnya margin usaha, lemahnya akses pasar, dan ketidakmampuan untuk memenuhi persyaratan teknis (Bank Indonesia, 2011). Penyelesaian masalah tersebut diperlukan analisis kelayakan usahatani, baik secara teknologi maupun ekonomi. Teknologi pengelolaan lahan kering yang dilakukan adalah tindakan konservasi yang ditujukan pada upaya mengurangi erosi dan kehilangan unsur hara, dengan pengolahan tanah menurut kontur, pembuatan guludan, terras dan tanggul serta pergiliran tanaman sayuran. Teknik penyuburan tanah dengan memanfaatkan limbah sisa panen , dan pupuk kandang menjadi pupuk hijau atau kompos. Secara ekonomi hal tersebut masih menguntungkan petani. Analisis kelayakan usahatani dapat dijadikan bahan pengambilan keputusan bagi pengembangan usahatani cabai merah keriting dan kacang panjang pada lahan sub optimal di Kelurahan Talang Jambe pada khususnya dan Kota Palembang pada umumnya. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kelayakan usahatani cabe merah keriting (Capsicum annum L) dan kacang panjang (Vigna sinensis L) secara rotasi menggunakan teknologi olah limbah pada lahan sub optimal berdasarkan nilai uang yaitu NPV(Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), Net B/C (Net Benefit Cost Ratio), dan berdasarkan nilai waktu yaitu BEP (Break Even Point) , PBP (Pay Back of Period), analisis sensitivitas. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Talang Jambe Kecamatan Sukarami Kotamadya Palembang. Penentuan lokasi dilakukan dengan sengaja dengan pertimbangan bahwa daerah ini merupakan lahan kering sampai lahan kering masam dan cukup banyak petani yang mengusahakan usahatani cabai merah keriting dan kacang panjang secara rotasi tanaman dengan sistem pertanian organik. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2013 sampai dengan bulan April 2014. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survey. Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pengamatan dan wawancara langsung dengan petani melalui kuisioner yang sudah disiapkan sebelumnya, sedangkan data sekunder di dapat dari Instansi terkait, lembaga yang ada di desa dan literatur. Metode penarikan contoh secara acak sederhana (simple random) yaitu setiap petani mempunyai peluang untuk dijadikan contoh. Jumlah petani contoh atau responden yang menanam cabai merah keriting dan kacang panjang 673
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
secara rotasi dengan sistem pertanian organik dalam penarikan contoh ini sebanyak 20 orang petani yang diambil sebagai contoh dari 60 orang populasi petani cabai merah keriting dan kacang panjang. Metode pengolahan data yang digunakan dalam analisis kelayakan meliputi berdasarkan nilai uang yaitu NPV (Net Present Value), IRR(Internal Rate of Return), Net B/C (Net Benefit Cost Ratio), dan berdasarkan nilai waktu yaitu BEP (Break Even Point), PBP (Payback of Period) dan analisis sensitivitas (Turner and Martin, 1989) HASIL Tabel 1. Biaya Tetap dan Tidak Tetap Produksi Usahatani Cabe Merah Keriting dan Kacang Panjang/Ha No Uraian Biaya Jumlah(Rp) A Biaya tetap Gaji 6.000.000,00 Penyusutan 12.551.000,00 Bunga pinjaman 2.600.000,00 Cicilan bank 4.000.000,00 Jumlah 25.151.000,00 B Biaya tidak tetap Benih 2.200.000,00 Pupuk Kandang (400 karung/Ha) 6.400.000,00 EM4(Efective Micro Organisme) 2.500.000,00 Upah tenaga kerja 4.100.000,00 Upah pemeliharaan 1.580.000,00 Jumlah 16.780.000,00 Total (A+B) 41.931.000,00 Tabel 2. Biaya Investasi, Biaya Produksi dan Harga Cabe Merah Keriting dan Kacang Panjang / Ha No Uraian Biaya Jumlah (Rp) A Biaya investasi 674
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
1.
Lahan 40.000.000,00 2. Bangunan 1.000.000,00 3. Peralatan Produksi 12.940.000,00 4. Biaya Pra Operasi 2.697.000,00 Jumlah 56.637.000,00 B Biaya sarana produksi 1. Biaya tetap 25.151.000,00 2. Biaya tidak tetap 16.780.000,00 Jumlah 41.931.000,00 C Produksi/tahun (kg) Kacang Panjang
Cabe Merah Keriting 9.780
10.000 D Harga pokok = (B:C) 3.449,55 E. Harga jual = D + (D x 14%) 3.932,49
4.287,42 4.887,65
Tabel 3. Rekapitulasi Kriteria Investasi Produksi Cabe Merah Keriting dan Kacang Panjang NPV 14% (Rp)
IRR(%)
Net B/C
PBP(tahun)
BEP (%) Cabe merah 318.418.551,10 16,96 9,20 1,69 23,09 Kacang panjang 70.469.588,16 18,02 7,69 3,48 30,45 Tabel 4. Analisis Sensitivitas Usahatani Cabe Merah Keriting Terhadap Penurunan Harga Jual NPV 13% Net B/C Harga normal 9,20 Harga jual turun 10% 7,15 Harga jual turun 20% 5,69
IRR(%)
318.418.551,10
16,96
233.589.216,07
16,87
160.014.655,43
16,73
675
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Harga jual turun 30% 3,61
92.988.362,03
16,47
Tabel 5. Analisis Sensitivitas Usahatani Cabe Merah Keriting Terhadap Penurunan Produksi NPV 13% Net B/C Produksi normal 9,20 Produksi turun 10% 8,16 Produksi turun 20% 7,05 Produksi turun 30% 5,94
IRR(%)
318.418,551,10
16,96
274.216.973,81
16,92
230,014.873,37
16,86
185.812.768,03
16,79
Tabel 6. Analisis Sensitivitas Usahatani Kacang Panjang Terhadap Penurunan Harga Jual NPV 14% Net B/C Harga normal 7,69 Harga jual turun 10% 6,02 Harga jual turun 20% 4,15 Harga jual turun 30% 3,04
IRR(%)
70.469.588,16
18,02
55.433.969,20
17,63
38.460.626,12
16,26
20.066.518,17
15,42
Tabel 7. Analisis Sensitivitas Usahatani Cabe Merah Keriting Terhadap Penurunan Produksi Net B/C Produksi normal 7,69 Produksi turun 10% 6,05 Produksi turun 20% 4,25 Produksi turun 30% 3,07
NPV 13%
IRR(%)
70.469.588,16
18,02
52.123.928,42
17,87
34.620.728,42
16,54
19.176.728,42
15,51
676
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PEMBAHASAN Tujuan didirikannya suatu usaha yaitu untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat. Besar kecilnya keuntungan yang diperoleh tergantung dari produksi yang dihasilkan. Analisis kelayakan usaha adalah suatu kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan atau usaha yang dijalankan, untuk menentukan layak atau tidaknya suatu usaha dijalankan. Kelayakan usahatani dapat diukur dengan melihat produkivitasnya, terutama produktivitas lahan, produktivitas tenaga kerja dan produktivitas modal (Gray et al., 1997 ; Satyarini, 2009). Studi kelayakan merupakan penelitian terhadap rencana usaha yang tidak hanya menganalisis layak atau tidak layak usaha dibangun, tetapi juga saat dioperasionalkan secara rutin dalam rangka pencapaian keuntungan yang maksimal untuk waktu yang tidak ditentukan (Umar, 2003). Analisis kelayakan sangat diperlukan oleh banyak kalangan, khususnya para invenstor, bank selaku pemberi kredit, dan pemerintah yang memberikan fasilitas tata peraturan hukum dan perundang-undangan. Tujuan dilakukan studi kelayakan adalah untuk mencari jalan keluar agar dapat meminimalkan hambatan dan resiko yang mungkin timbul dimasa yang akan datang karena keadaan yang akan datang penuh dengan ketidakpastian (Gittinger, 1986). Rincian biaya yang dikeluarkan untuk usahatani cabe merah keriting dan kacang panjang per hektar adalah sebagai berikut : 1. Modal usahatani merupakan modal sendiri dan modal pinjaman 2. Perhitungan biaya yang digunakan adalah di dasarkan pada tahun 2013, dan diasumsikan konstan selama periode pengkajian dengan suku bunga 14 % 3. Gaji untuk manager adalah Rp 6.000.000/musim tanam 4. Biaya pra oprasi 5 % dari biaya investasi 5. Gaji dan upah naik 5 % setahun 6. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat penurunan produksi dan penurunan harga jual cabe merah keriting dan kacang panjang 10%, 20%, dan 30%. Analisis kelayakan usahatani dilakukan untuk umur proyek 5 tahun ke depan dan ditetapkan berdasarkan umur ekonomis peralatan. Dengan asumsi tersebut maka biaya investasi, biaya produksi, harga pokok dan harga jual produk bisa ditentukan. Total biaya produksi (tetap dan tidak tetap) disajikan pada Tabel 1. Biaya produksi adalah biaya yang berhubungan dengan kegiatan produksi yang terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya produksi akan selalu muncul dalam setiap kegiatan ekonomi dimana usahanya selalu berkaitan dengan produksi (Hernanto, 1996 ; Kartasapoetra, 1998). Biaya tetap adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh naik turunnya produksi yang dihasilkan. Biaya tidak tetap tergantung pada volume produksi yang dihasilkan. Besarnya biaya produksi yang harus dikeluarkan merupakan faktor penentu terhadap harga jual terendah dari produk yang dihasilkan (Taufik, 2010). Petani dihadapkan pada biaya yang perlu dipertimbangkan untuk memperoleh pendapatan yang optimal. Perkiraan laba rugi produksi usahatani cabe merah keriting dan kacang panjang, dimana pengeluaran setiap tahun digunakan untuk keperluan biaya produksi (biaya tetap dan tidak tetap). Gaji dan upah naik 5% setiap tahun.
677
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pendapatan tiap tahun diperoleh dari nilai penjualan produk yang besarnya tergantung dari harga jual produk yang dihasilkan. Arus kas penerimaan merupakan sumber dana bagi usahatani cabe merah keriting dan kacang panjang, yang terdiri dari modal sendiri, modal pinjaman, penerimaan dan penyusutan untuk tahun ke-1. Sumber dana untuk tahun ke-2 sampai tahun ke-5 berupa penerimaan dan penyusutan. Pengeluaran dana terdiri dari modal investasi, gaji dan upah tenaga kerja, upah pemeliharaan, pembayaran bunga dan cicilan bank. Usahatani cabe merah keriting dengan kapasitas produksi 9.780 kg/Ha (20 kali hasil panen), dan kapasitas produksi kacang panjang 10.000 kg/Ha untuk satu musim tanam dalam satu tahun. Petani memasarkan cabe merah keriting dengan rata-rata harga jual Rp 12.850/kg, harga kacang panjang Rp 6.000/kg. Kegairahan petani untuk meningkatkan kualitas produksinya akan terjadi selama harga produk diatas biaya produksi (Agung et al., 2002). Berdasarkan hasil produksi sistem budidaya pertanian ramah lingkungan memberikan hasil yang lebih rendah, dibandingkan budidaya pertanian konvensional dengan menggunakan input kimia, tetapi sistem pertanian ramah lingkungan meningkatkan kualitas sayuran, dari segi rasa, penampilan fisik, dan keamanan untuk dikonsumsi Tujuan usahatani pada akhirnya untuk memperoleh pendapatan dan tingkat keuntungan yang layak dari usahataninya. Penerimaan diperoleh dari hasil kali produksi dengan harga jual. Untuk cabe merah keriting sebesar Rp 125.673.000,00/Ha, dan untuk kacang panjang Rp 60.000.000. Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Rerata pendapatan yang diterima petani responden dari cabe merah keriting adalah Rp 83.742.000,00/Ha, dan dari kacang panjang Rp 18.069.000/Ha/tahun. Total pendapatan petani didapatkan dari hasil rotasi tanaman. Rotasi tanaman adalah menanam dua atau lebih tanaman di suatu lahan dalam satu tahun pada kurun waktu yang berbeda, dan tidak ada kompetisi inter spesies, karena hanya ada satu jenis tanaman pada satu waktu di suatu lahan. Sekarang dan masa yang akan datang, kita membutuhkan suatu sistem usahatani yang ramah lingkungan dan layak secara ekonomi (Mansyur., et al. Tanpa tahun) Hasil perhitungan kriteria investasi menunjukkan bahwa usahatani produksi cabe merah keriting pada kapasitas produksi 9.780kg/Ha dan produksi kacang panjang pada kapasitas produksi 10.000 kg/Ha untuk satu musim tanam layak untuk dilaksanakan. Keadaan tersebut dapat dilihat pada NPV yang bernilai positif, IRR yang lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku dan Net B/C yang lebih besar dari satu. NPV yang bernilai positif sebesar Rp 318.418.551,10 untuk cabe merah keriting, dan Rp 70.467.588,16 untuk kacang panjang merupakan keuntungan bersih yang akan diterima dalam pelaksanaan usahatani pada tahun yang akan datang jika diukur dengan nilai uang sekarang. NPV bernilai positif menunjukkan kemampuan usaha untuk menghasilkan laba, sehingga layak untuk dilaksanakan. Nilai IRR yang diperoleh 16,96% untuk cabe merah keriting ,dan 18,02% untuk kacang panjang, lebih besar dari tingkat suku bunga yang digunakan dalam perhitungan 14%. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani yang akan dilakukan mempunyai kemampuan untuk mengembalikan modal yang digunakan dan dapat
678
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
menghasilkan keuntungan, sehingga usahatani cabe merah keriting dan kacang panjang layak untuk dilaksanakan Net B/C pada tingkat suku bunga 14% per tahun menunjukkan nilai 9,20 untuk cabe merah keriting dan 7,69 untuk kacang panjang. Hal ini berarti setiap satu rupiah yang ditanam akan menghasilkan keuntungan sebesar 9,20 rupiah untuk cabe merah keriting, dan 7,69 rupiah untuk kacang panjang. Nilai Net B/C yang dihasilkan dalam perhitungan lebih besar dari pada satu, sehingga usahatani cabe merah keriting layak untuk dilaksanakan. PBP adalah waktu yang diperlukan untuk menutup atau mengembalikan modal investasi yang ditanam. Modal investasi yang digunakan pada usahatani cabe merah keriting dan kacang panjang sebesar Rp 56.637.000,00 akan kembali setelah usaha berjalan 1,69 tahun untuk cabe merah keriting, dan 3,48 tahun untuk kacang panjang. Hasil perhitungan BEP menunjukkan bahwa usaha memiliki potensi untuk menghasilkan keuntungan. Semakin kecil nilai BEP maka semakin besar keuntungan yang akan diperoleh. Sebagai ilustrasi, nilai BEP pada cabe merah keriting dicapai pada saat 23,0969%. Hal ini berarti 76,9031% dari penjualan merupakan keuntungan usaha. Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi terhadap hasil analisis yang dilakukan, maka dilakukan analisis sensitivitas terhadap perubahan biaya produksi serta perubahan penerimaan karena penurunan harga jual atau penurunan jumlah produksi yang di jual. Analisis sensitivitas diperlukan apabila terjadi suatu kesalahan dalam menilai biaya atau manfaat serta untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi perubahan suatu unsur harga (penurunan atau kenaikan) pada saat usaha tersebut dilaksanakan (Zubir, 2006). Analisis sensitivitas berpengaruh terhadap nilai NPV, IRR, Net B/C yang disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 4,5, 6, dan 7 terlihat bahwa penurunan harga jual dan penurunan produksi 10%, 20% dan 30% usahatani cabe merah keriting dan kacang panjang masih layak untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukan oleh NPV yang bernilai positif dan IRR yang lebih tinggi dari tingkat suku bunga yang digunakan dalam perhitungan dan Net B/C lebih besar dari satu. Penurunan produksi dan penurunan harga jual menyebabkan penurunan nilai NPV , IRR dan Net B/C, akan tetapi nilai-nilai tersebut masih tergolong layak. Penurunan produksi sampai 30 % dan penurunan harga jual sampai 30 % berpengaruh terhadap nilai Net B/C, tetapi masih tergolong layak. karena masih lebih besar dari satu. KESIMPULAN 1. Biaya produksi yang dikeluarkan pada usahatani cabe merah keriting dan kacang panjang dalam satu musim tanam masing masing sebesar Rp 41.931.000,00/Ha 2. Pendapatan yang diperoleh pada usahatani cabe merah keriting dan kacang panjang dalam satu musim tanam sebesar Rp 83.742.000,00/Ha dan Rp Rp 18.069.000 3. Hasil analisis kelayakan finansial usahatani cabe marah keriting dan kacang panjang di lahan sub optimal selama 5 kali musim tanam masih layak untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukkan oleh NPV (14 %) sebesar Rp
679
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
318.418.551,10 , IRR sebesar 16,96%, Net B/C sebesar 9,20 dan PBP 1,69 tahun untuk usahatani cabe merah keriting, dan NPV sebesar Rp 70.469.588,16 , IRR 18,02 % , Net B/C sebesar 7,69, dan PBP 3,48 tahun untuk usahatani kacang panjang. 4. Hasil analisis sensitivitas terhadap penurunan produksi dan penurunan harga jual sampai 30%, usahatani cabe merah keriting dan kacang panjang masih layak untuk diusahakan.
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., Dariah, dan Mulyani. 2008. Strategi dan teknologi Pengelolaan Lahan kering Mendukung Pengadaan Pangan Nasional. J. Litbang pertanian 27(2) : 43-49. Agung,IGD, Niwayan P dan Nyoman R.D. 2002. Analisis Usahatani Cabe Merah Di Desa Perean Tengah Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Bali. Bachrum. 2013. Pertanian Terpadu dan Agribisnis. Pusdiklat Pertanian Terpadu. Karya Nyata. Bogor. Bank Indonesia. 2011. Budidaya Cabai Merah (Pola Pembiayaan Konvensional). Direktorat Kredit, BPR. UMKM. Jakarta Biro Pusat Statistik. 2011. Laporan Tahunan Luas Panen Produksi Sayuran di Kota Palembang Dalam Angka. Palembang. Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Diterjemahkan Oleh Sutomo,S dan Mangiri, K. The Johns Hopkins University Press Untuk The Economic Development Institute Bank Dunia. Jakarta. Gray, C.P., Simanjuntak dan L.K. Sabur. 1997. Pengantar Evaluasi Proyek. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hakim,L. 2002. Strategi Perencanaan dan Pengelolaan Lahan kering Secara Berkelanjutan Di Kalimantan. Makalah Falsafah Saints. Program Pascasarjana. Institut Pertanian. Bogor. Hernanto. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta Kariada,I.K. 2012. Teknologi Olah Limbah Pertanian dan Aplikasinya pada Tanaman Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan. Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi. Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo. Madura. Kartasapoetra,G. 1998. Marketing Produk Pertanian dan Industri. Rineka Cipta. Jakarta Mansyur., Dhalika, T., Susilawati, I, Nyimas. Tanpa tahun. Sistem Pertanian Terintegrasi pada Lahan Sempit. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Bandung Satyarini. 2009. Analisis Kelayakan Usahatani Cabai di Lahan Pantai Pandan Simo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
680
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Soemarno. 2007. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering Dalam Rangka Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. Taufik. 2010. Analisis Pendapatan Usahatani dan Penanganan Pasca Panen . Balai Pengkajian Pertanian. Sulawesi Selatan. Turner,J and T. Martin. 1989. Applied Farm Management. Blackwell Scientific Publication Ltd. Melbourne. Umar. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Teknik Menganalisis Kelayakan Rencana Bisnis Secara Komperatif . Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Zubir. 2006. Studi Kelayakan Usaha. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
681
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Peningkatan Pola Pangan Harapan (PPH) Rumah Tangga dari Pemanfaatan Lahan Pekarangan di Provinsi Kepulauan Riau Enhancement of pattern of food hope household with yard utilization in Riau Island Province Dahono*), Oktariani Indri Safitri, Yayu Zurriyati dan Salfina Nurdin Loka Pengkajian Teknoogi Pertanian (LPTP) Kepri Penulis untuk korespondensi*): Tel/Fax (0771) 22153/ (0771) 26285 Email :
[email protected] ABSTRACT Yard utilization at rural or urban areas is one concepts to support national food security. Sustainable Food House Model (MKRPL) has been implemented in all districts / cities in Riau Islands Province. To find Enhancement pattern of food hope (PPH) which achieved the household with the MKRPL activity, used analyze at two districts / cities, that are Tanjung Pinang and Bintan, representing city and rural regions. The method used is interviews using questionnaire to respondents of implementing MKRPL at the beginning and end of the activity. The number of respondents in each district / city is 20 people. Questionnaires were used follow the questionnaire consumption National Socioeconomic Survey (SUSENAS) conducted by the BPS. The data obtained were then analyzed with calculation method PPH. The results show there are growing PPH value at cooperators in Tanjungpinang of 3.8% (82.4 becomes 85.6) and in Bintan regency of 6.2% (75.5 becomes 80.2). Key Word :Pattern of Food Hope, House yard ABSTRAK Rumah pangan merupakan salah satu konsep pemanfaatan lahan pekarangan baik di pedesaan maupun perkotaan untuk mendukung ketahanan pangan nasional.Kegiatan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) telah dilaksanakan di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau. Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan pola pangan harapan (PPH) yang dicapai rumah tangga dari kegiatan MKRPL tersebut, maka dilakukan analisis pada 2 kabupaten/kota yaitu Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan yang mewakili wilayah kota dan perdesaan. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan wawancara terstruktur menggunakan kuesioner pada responden pelaksana kegiatan M-KRPL di 2 kabupaten tersebut pada awal dan diakhir kegiatan. Jumlah responden pada masing-masing kabupaten/kota tersebut adalah 20 orang. Kuisioner konsumsi yang digunakan mengikuti kuisioner konsumsi Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan oleh BPS. Data yang didapat selanjutnya dianalisis meggunakan metode penghitungan PPH. Hasil kegiatan menunjukkan terdapat peningkatan nlai PPH kooperator MKRPL di Kota Tanjungpinang sebesar 3,8% ( 82.4 menjadi 85.6) dan di Kabupaten Bintan sebesar 6,2 % ( 75.5 menjadi 80.2). Kata Kunci: Pola Pangan Harapan, Pekarangan
682
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN Lahan pekarangan merupakan areal disekitar rumah yang dapat dimanfaatkan sebagai penopang ketahanan pangan. Ketahanan pangan selalu identik dengan kemandirian pangan yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan baik secara nasional atau kawasan secara mandiri dengan memberdayakan modal, manusia, sosial dan ekonomi yang ada dan berdampak positif bagi kehidupan sosial maupun ekonomi masyarakat. Untuk menunjang ketahanan pangan ditingkat rumah tangga tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian mendapat mandat untuk mengembangkan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) yang dimulai sejak tahun 2011. Pengembangan KRPL ini diimplementasikan melalui pemanfaatan lahan pekarangan secara intensif, baik di perkotaan maupun di perdesaan dengan menerapkan budidaya tanaman sayuran, buah-buahan, tanaman pangan, tanaman obat keluarga (toga), budidaya ikan, dan ternak. Potensi lahan pekarangan cukup besar di Indonesia mencapai 10,3 juta ha atau 14 % dari keseluruhan luas lahan pertanian (Badan Litbang, 2011). Di Provinsi Kepulauan Riau luas lahan pekarangan mencapai 44,092 ha yang tersebar di 5 kabupaten dan 2 kota (BPS Kepulauan Riau, 2011). Potensi yang cukup besar ini merupakan salah satu sumber penyedia bahan pangan yang bernilai gizi dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Salah satu indikator keberhsilan kegiatan KRPL adalah terjadi peningkatan Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan (PPH) adalah susunan beragam pangan atau kelompok pangan yang didasarkan atas sumbangan energinya, terhadap total energi baik dalam hal ketersediaan maupun konsumsi pangan, yang mampu mencukupi kebutuhan dengan mempertimbangkan aspekaspek sosial, ekonomi, budaya, agama dan cita rasa (Depkes RI, 2005). Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui nilai PPH awal dan akhir dari kegatan M-KRPL di dua kabupaten yaitu Kota Tanjung Pinang dan Kaupaten Bintan sebagai lokasi pelaksana kegiatan MKRPL di Provinsi Kepulauan Riau yang mewakili kawasan perkotaan dan perdesaan. BAHAN DAN METODE Kegiatan dilaksanakan di Kelurahan Melayu Kota Piring, Kecamatan Tanjung Pinang Timur, Kota Tanjung Pinang dan di Kelurahan Sei Lekop, Kecamatan Tanjung Pinang Timur, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) mulai Januari – Desember 2013. Responden yang dilibatkan dalam kegiataan adalah kooperator kegiatan M-KRPL. Kegiatan M-KRPL di kedua lokasi tersebut merupakan kegiatan M-KRPL ditahun pertama. Jumlah responden yang terlibat dimasing-masing lokasi adalah 20 orang. Metode yang digunakan adalah metode survey menggunakan kuisioner konsumsi pangan berdasarkan Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan oleh BPS. Data konsumsi pangan yang dicatat dari responden adalah konsumsi pangan yang dilakukan pada satu hari sebelum pendataan. Data rata-rata konsumsi perkapita per hari dinyatakan dalam satuan gram/kap/hari yang kemudian dikonversikan kedalam bentuk satuan energykkal/kap/hari dan kedalam bentuk protein dengan satuan gram/kap/hari.
683
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Data konsumsi pangan dikelompokkan sesuai dengan pengelompokkan yang ada didalam Pola Pangan Harapan. Pengelompokkan tersebut disederhanakan menjadi 9 kelompok bahan pangan yaitu kelompok : 1 2.
Padi Umbi-umbian
: :
3. 4. 5.
Pangan Hewani Minyak dan lemak Buah biji berminyak
: : :
6.
Kacang-kacangan
:
7. 8. 9.
Gula Sayur dan Buah Lain-lain
: : :
Beras, jagung, terigu Ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas, sagu dan umbi lainnya Daging, telur, susu dan ikan Minyak kelapa, minyak lainnya Kelapa, kemiri, jambu mete dan coklat Kedelai, kacang tanah, kacang hijau, kacang merah dan kacang lainnya Gula pasir dan gula merah Semua jenis sayuran dan buah-buahan Bumbu-bumbuan, makanan dan minuman yang mengandung alkohol, teh, kopi, sirup, dll.
Data yang didapat sesuai dengan pengelompokkan tersebut selanjutnya dibandingkan antara skor konsumsi pangan aktual dengan sasaran PPH Nasional dan dilakukan analisis secara deskriptif. HASIL Tabel 1. Karakteristik Respon Responden di Kelurahan Melayu Kota Piring Kota Tanjung Pinang No Nama Jumlah Anggota Pendidikan Umur Pekerjaan Keluarga (orang (Thn) Kooperator Kelurahan Melayu Kota Piring 1 Katminah 4 SD 50 IRT 2 Liberti 5 DIII 40 IRT 3 Aisyah 4 SMA 38 IRT 4 Dewi 4 DIII 45 Karyawan 5 Halijah 4 SMA 42 Karyawan 6 Ria IRT 3 41 Yuliana SMA 7 Ika 4 SMA 38 IRT 8 Yanti 4 SMP 37 Karyawan 9 Pepti 4 SMA 39 IRT 10 Daswati 4 SMA 48 Wiraswasta 11 Ria Verta 4 SMA 33 IRT 12 Sri hayati 4 SMA 44 IRT 13 Masni 4 SMA 38 Karyawan 14 Siti 4 SMA 36 IRT 15 Ita 4 DII 34 Karyawan 16 Sri Karyawan 4 42 Mumpuni SMA
684
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
17 18 19 20
Rifah Nurhayati Latifah Anum Sri Lestari
4 4 3 4
SMA SMA SMP DIII
48 49 50 48
IRT IRT IRT IRT
Keterangan : IRT = ibu rumah tangga
Tabel 2. Susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional No. Kelompok Berat Energi % Pangan/ (gr/Kap/ (Kkal/Kap/Hr) AKE Jenis Pangan Hr) 1. Padi-padian 275 1.000 50.0 2. Umbi-umbian 100 120 6.0 3. Pangan Hewani 150 240 12.0 4. Minyak dan 20 200 10.0 Lemak 5. Buah/biji 10 60 3.0 berminyak 6. Kacang35 100 5.0 kacangan 7. Gula 30 100 5.0 8. Sayur dan buah 250 120 6.0 9. Lain-lain 60 3.0 Jumlah 2.000 100 -
Bobot
Skor PPH
0.5 0.5 2.0 0.5
25.0 2.5 24.0 5.0
0.5
1.0
2.0
10.0
0.5 5.0 0.0 -
2.5 30.0 0.0 100
Keterangan : AKE= angka kecukupan energi
Tabel 3. Rataan Pola Pangan Harapan (PPH) Responden Pada Awal Kegiatan MKRPL di Kelurahan Melayu Kota Piring, Kota Tanjung Pinang No. Kelompok Pangan/ Energi Aktual % AKE Bobot Skor Jenis Pangan (Kkal/Kap/Hr) PPH 1. Padi-padian 1.440,5 55 0,5 25,0 2. Umbi-umbian 120 ,0 6 0,5 2,50 3. Pangan Hewani 125,0 5 2,0 12,5 4. Minyak dan Lemak 300,0 11 0,5 5,0 5. Buah/biji berminyak 25,0 1 0,5 0,6 6. Kacang-kacangan 150,4 6 2,0 10,0 7. Gula 255,7 10 0,5 2,5 8. Sayur dan buah 97,2 4 5,0 24,3 9. Lain-lain 65,0 2 0,0 0.0 Jumlah 2.608,8 100 82,4
685
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 4. Rataan Pola Pangan Harapan (PPH) Responden Pada Akhir Kegiatan MKRPL di Kelurahan Melayu Kota Piring, Kota Tanjung Pinang No.
Kelompok Pangan/ Jenis Pangan 1. Padi-padian 2. Umbi-umbian 3. Pangan Hewani 4. Minyak dan Lemak 5. Buah/biji berminyak 6. Kacang-kacangan 7. Gula 8. Sayur dan buah 9. Lain-lain Jumlah Tabel 5.
No
Energi Aktual (Kkal/Kap/Hr) 1.490,0 125 ,8 130,7 155,6 35,7 125,5 275,0 110,8 65,00 2.514,5
% AKE 59 5 5 6 1 5 11 4 3 100
Bobot
Skor PPH
0.5 0.5 2.0 0.5 0.5 2.0 0.5 5.0 0.0 -
25,0 0 2,50 12,5 5,0 0 0,60 10,0 0 2,5 24,3 0.0 85,6
Karakteristik Kooperator Kegiatan MKRPL Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan Nama
KWT Mekar Sari 1 Munifah 2 Misdiati 3 Asnidar 4 Sri Wahyuni 5 Sawiyah 6 Eva Zariani 7 Elvi Sumarni 8 Nur Azizah 9 Nani Utami 10 Tusinah 11 Rosmini 12 Sunarti 13 Juminah 14 Sukatmi 15 Eka Purwati 16 Halijah 17 Roswati 18 Hindun 19 Martini 20 Rohimah Rataan
Jumlah Anggota Keluarga (orang)
Pendidikan
Umur (Thn)
Pekerjaan
4 4 6 5 4 3 4 6 4 4 4 4 6 2 3 5 5 7 3 3
SD SD SD SLTP SD SLTP SLTA SD SLTP SD SD SD SD SD SLTA SLTP SD SLTP SLTP SLTA
53 45 45 35 48 33 40 32 36 46 44 44 73 50 29 34 53 33 40 35 42.4
IRT IRT IRT/Tani IRT/Tani IRT IRT Karyawan IRT Karyawan IRT IRT/Tani IRT//Tani IR/Tani IRT/Tani IRT IRT IRT/Tani IRT IRT IRT
686
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 6. Rataan Pola Pangan Harapan (PPH) Responden Pada Awal Kegiatan MKRPL di Kelurahan Sei Lekop, Kec. Bintan Timur, Kab. Bintan No.
Kelompok Pangan/ Jenis Pangan 1. Padi-padian 2. Umbi-umbian 3. Pangan Hewani 4. Minyak dan Lemak 5. Buah/biji berminyak 6. Kacang-kacangan 7. Gula 8. Sayur dan buah 9. Lain-lain Jumlah
Energi Aktual (Kkal/Kap/Hr) 1.150,70 118,80 150,50 180,20 20,50 85,70 150,30 67,50 85,95 2.010,15
% AKE 57 6 7 9 1 4 7 3 4 100
Bobot
Skor PPH
0,5 0,5 2,0 0,5 0,5 2,0 0,5 5,0 0,0 -
25 2,5 15,1 4,5 0,5 8,6 2,5 16,9 0 75,5
Tabel 7. Rataan Pola Pangan Harapan (PPH) Responden Pada Akhir Kegiatan MKRPL di Kelurahan Sei Lekop, Kec. Bintan Timur, Kab. Bintan No.
Kelompok Pangan/ Jenis Pangan 1. Padi-padian 2. Umbi-umbian 3. Pangan Hewani 4. Minyak dan Lemak 5. Buah/biji berminyak 6. Kacang-kacangan 7. Gula 8. Sayur dan buah 9. Lain-lain Jumlah
Energi Aktual (Kkal/Kap/Hr) 1.250,50 100,00 175,00 190,50 40,00 55,50 100,00 85,50 217,18 2.214,18
% AKE 56 5 8 9 2 3 5 4 10 100
Bobot 0.5 0.5 2.0 0.5 0.5 2.0 0.5 5.0 0.0 -
Skor PPH 25 2,5 17,5 4,8 1 5,6 2,5 21,3 0 80,2
PEMBAHASAN
Kegiatan M-KRPL di wilayah kota Tanjung Pinang, Kecamatan Tanjung Pinang Timur, mewakili wilayah perkotaan dengan luas lahan pekarangan rat-rata < 200 M2 ,dilaksanakan di Kelurahan Melayu Kota Piring, Kecamatan Tanjung Pinang Timur. Sementara kegiatan M-KRPL di wilayah Kabupaten Bintan dilaksanakan di Kelurahan Sungai Lekop, Kecamatan Bintan Timur mewakili wilayah perdesaan dengan luas lahan pekarangan antara 200 - >400 m2 . Sehingga digolongkan dalam pengelompokan M-KRPL strata sedang sampai luas. Kota Tanjungpinang berada di Pulau Bintan dengan letak geografis berada pada 0051’ sampai dengan 0059’ Lintang Utara dan 104023’ sampai dengan 104034’ Bujur Timur. Kota Tanjungpinang beriklim tropis dengan temperatur udara sekitar 26,8 derajat celsius, kelembaban udara sekitar 86 persen dan rata‐rata curah hujan 324,4 mm per hari. Sub sektor pertanian 687
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
khususnya tanaman pangan yang cukup berpotensi diwilayah Tanjung Pinang yaitu jagung, ubi kayu dan ubi jalar. (BPS Kota Tanjung Pinang, 2011) Kabupaten Bintan terletak antara 1o15 Lintang Utara – 0 o 48 Lintang Selatan dan antara 109o dan 103o 11 Bujur Timur. Pada umumnya daerah Kabupaten Bintan beriklim tropis basah dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September sampai dengan bulan Februari. Sedangkan musim kemarau terjadi antar bulan Maret sampai dengan bulan Agustus. Temperatur rata-rata bulanan berkisar antara 24,8°C sampai dengan 26,6°C dengan temperatur udara maksimum antara 29,0°C - 31,3°C, sedangkan temperatur udara minimum berkisar antara 22,2°C - 23,3°C (BPS Kabupaten Bintan, 2011). Kegiatan pertanian yang banyak ditekuni oleh penduduk Bintan Timur adalah pertanian tanaman pangan dan hortikultura. Karakteristik Kooperator MKRPL dan Hasil Penghitungan Pola Pangan Harapan (PPH) Kota Tanjungpinang. Kegiatan MKRPL di Kota Tanjungpinang dilaksanakan di Kelurahan Melayu Kota Piring. Luas lahan perkarangan kooperator di Kota Tannjung Pinang rata-rata < 200 m² yang berada pada kategori lahan sempit. Seluruh responden merupakan warga salah satu komplek perumahan di Kota Tanjung Pinang. Jumlah responden yaitu 20 orang. Sebagian besar adalah ibu rumah tangga, dengan usia rata-rata 42 tahun. Jumlah anggota keluarga responden rata-rata 4 orang. Tingkat pendidikan responden sebagian besar adalah SMA. Pada Tabel 1. disajikan karakteristik responden dalam penghitungan PPH di Kelurahan Melayu Kota Piring, Kota Tanjung Pinang. Pola pangan harapan (PPH) menjadi salah satu indikator tingkat keberhasilan kegiatan M-KRPL. Berdasarkan kesepakatan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998 yang menggunakan bobot (rating) FAO RAPA (1989) yang terus disempurnakan menjadi Pola Pangan Harapan (PPH) tahun 2020 disepakati bahwa skor mutu pangan yang ideal untuk hidup sehat bagi penduduk Indonesia adalah 100. Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG VIII) tahun 2004, susunan Pola Pangan Harapan Nasional disajikan pada Tabel 2. Hasil perhitungan rataan PPH di Kelurahan Melayu Kota Piring pada awal dan akhir kegiatan M-KRPL disajikan berturut-turut pada Tabel 3 dan Tabel. 4. Pada awal kegiatan M-KRPL, skor rataan PPH responden adalah 82,4. skor ini masih dibawah skor ideal yang direkomendasikan secara nasional, skor PPH 100. Rataan konsumsi energi responden terbesar berasal dari padi-padian. yaitu 1.440,50 kkal/kap/hari dengan persentase AKE 55 %. Hal ini menunjukkan konsumsi padi-padian melebihi dari rekomendasi nasional yang hanya 50%. Sementara konsumsi sayur dan buah responden dibawah rekomendasi nasional dengan AKE 4%, sementara anjuran nasional adalah 6%.Kegiatan M-KRPL dimaksudkan dapat meningkatkan diversifikasi pangan responden, melalui pemanfaatan lahan pekarangan dengan budidaya tanaman sayuran dan hortikultura. Peningkatan konsumsi sayur dan buah dari kooperator M-KRPL dapat meningkatkan skor PPH dari kooperator tersebut. Penghitungan skor PPH akhir dilaksanakan diakhir kegiatan MKRPL di Kelurahan Melayu Kota piring pada tahun 2013. Hasil penghitungan tersebut didapatkan skor PPH akhir sebesar 85,6. Terjadi peningkatan skor PPH
688
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dibandingkan pada awal kegiatan. Peningkatan yang terjadi adalah sebesar 3,8 %. (dari skor PPH 82,4 menjadi 85,6). Peningkatan ini sebagian besar karena adanya peningkatan konsumsi sayuran dari kooperator dan keluarganya. Kegiatan M-KRPL, memberikan andil yang cukup besar dalam peningkatan konsumsi sayuran bagi rumah tangga. Sebelum kegiatan M-KRPL, sebagian besar responden harus mengeluarkan biaya untuk membeli sayuran seperti sayuran bayam, kangkung, sawi, terong, cabe rawit, tomat dan seledri. Hal ini menyebabkan minat responden untuk mengkonsumsi sayuran tersebut menurun. Responden lebih memilih menggunakan dana yang ada untuk keperluan lain dibandingkan harus membeli sayuran (terutama sayuran berdaun lebar). Walaupun mereka mengetahui bahwa mengkonsumsi sayuran bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Akan tetapi keadaan menjadi berbeda setelah adanya kegiatan M-KRPL, dimana responden mengakui lebih mudah mendapatkan sayuran untuk dikonsumsi dari pekarangan sendiri tanpa harus mengeluarkan biaya. Karakteristik Kooperator MKRPL dan Hasil Penghitungan Pola Pangan Harapan (PPH) Kabupaten Bintan. Responden dalam penghitungan skor PPH di Kelurahan Sei Lekop, Kecamatan Bintan Timur berasal dari kelompok wanita tani (KWT) Mekarsari. Rataan umur kooperator adalah 42 tahun , dengan kisaran anggota keluarga 3-6 orang. Tingkat pendidikan responden ratarata adalah tamatan Sekolah Dasar (Tabel 5). Hasil penghitungan skor PPH diawal kegiatan M-KRPL adalah 75,5 (Tabel 6). Skor PPH responden pada awal kegiatan M-KRPL di Kabupaten Bintan lebih kecil dibandingkan skor PPH responden di Kota Tanjung Pinang pada saat yang sama. Hal ini diduga karena masyarakat perkotaan mempunyai pola konsumsi pangan yang lebih bervariasi/beragam dibandingkan masyarakat di wilayah perdesaan. Disamping itu juga tingkat pengetahuan responden terhadap nilai gizi makanan berpengaruh terhadap pola konsumsi masyarakat. Walaupun demikian sama dengan responden di Kota Tanjung Pinang, persentase AKE dari jenis pangan padi-padian yang didapat melebihi rekomendasi nasional yaitu 57% (rekomendasi nasional 50%). Hal ini menandakan bahwa konsumsi padi-padian dari responden cukup tinggi. Sementara persentase AKE dari sayur dan buah hanya 3%, secara nasional direkomendasikan sebesar 6%. Jika dikaitkan dengan tersedianya lahan yang cukup luas d lahan pekarangan responden yang dapat ditanami sayuran, keadaan ini sungguh bertolak belakang. Pemanfaatan lahan pekarangan dengan tanaman sayuran dan hortikultura selain dapat meningkatkan gizi keluarga juga merupakan peluang sebagai sumber pendapatan karena kelebihan produksi dari tanaman sayuran dapat dijual. Hasil perhitungan skor PPH di Kelurahan Sei Lekop pada akhir kegiatan M-KRPL didapatkan sebesar 80,2. Terjadi peningkatan skor PPH dibandingkan pada awal kegiatan aebesar 6,2% (dari skor PPH 75,5 menjadi 80,2). Sama hal nya dengan responden di Kota Tanjung Pinang, peningkatan skor PPH ini sebagian besar karena adanya peningkatan konsumsi sayuran dari responden yang menjadi kooperator kegiatan M-KRPL. Peningkatan konsumsi sayuran secara perhitungan akan meningkatkan skor PPH. Pada Tabel 3, 4, 6 dan 7, terlihat skor aktual PPH yang dicapai responden diawal dan diakhir kegiatan M-KRPL lebih rendah dari target skor nasional yaitu
689
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
sebesar 100. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keragaman konsumsi dan mutu pangan responden di Kota Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan relatif masih rendah dan komposisi pangan yang dikonsumsi belum berimbang antara kelompok pangan sumber gizi (karbohidrat, protein, vitamin dan mineral). Konsumsi pangan sumber karbohidrat masih didominasi kelompok padipadian. Walaupun demikian dengan semakin berkembangnya kegiatan M-KRPL diharapkan terjadi peningkatan PPH dimasa-masa yang akan datang. Hasil penghitungan skor PPH diawal dan diakhir kegiatan M-KRPL di Kabupaten Bintan pada kegiatan ini menunjukkan peningkatan lebih besar dibandingkan di Kota Tanjung Pinang (6,2% VS 3,8%). Hal ini diduga berhubungan dengan tingkat pelaksanaan kegiatan M-KRPL, dimana cenderung lebih baik pelaksanaanya di Kabupaten Bintan. KESIMPULAN Pelaksanaan kegiatan M-KRPL di Kelurahan Melayu Kota Piring , Kota Tanjung Pinang dan Kelurahan Sei Lekop, Kabupaten Bintan berdampak pada peningkatan PPH pelaksana kegiatan tersebut. peningkatan nlai PPH kooperator MKRPL di Kota Tanjungpinang sebesar 3,8% ( 82,4 menjadi 85,6) dan di Kabupaten Bintan sebesar 6,2 % ( 75,5 menjadi 80,2).
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kepulauan Riau. 2011. Kepri Dalam angka 2011. Provinsi Kepulauan Riau. Badan Pusat Statistik Kabuapten Bintan. 2011. Bintan Dalam angka 2011. Kabupaten Bintan. Badan Pusat Statistik Kota Tanjung Pinang. 2011. Tanjung pinang Dalam angka 2011. Kota Tanjung Pinang. Badan Litbang Pertanian. 2011. Pedoman Umum Model Rumah Pangan Lestari.
690
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Produksi Benih Sebar di Kelompok Tani dalam Mendukung Ketersediaan Benih Unggul di Kecamatan Lebong Selatan Kabupaten Lebong Spread Seed Production In The Farmer In Supporting The Availability Of Superior Seeds In Southern Lebong District Yartiwi1*) dan Yong Farmanta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu *) Jalan Irian Km. 6,5 Kota Bengkulu Tel./Faks. 0736-23030 1
Email:
[email protected] ABSTRACT Supreme seedhold a big role in increasing rice productivity, but now the adoption rate and availability of seed on the groundis still limited. This current day, rice varieties have been released over the 200 varieties. Therefore this assessment has been done to accelerate spread out of new varieties and facilitate farmers to obtain the good varieties of seed. This Assessment has been conducted on irrigated land in the Taba Anyar Village, South Lebong Subdistrict, Lebong District, Province of Bengkulu, from March to June 2012 covering an area of 5 ha, involving 8 farmers. Cultivation techniques of breeding follow the model of Integrated Crop Management(ICM). Information and data collection has been done by direct observation. Before carrying out breeding done by farmers approach Participatory Rural Appraisal (PRA). Data collected include plant characteristics, analysis of farming, the production of seeds produced and the response of farmers to innovation technology. Data are presented descriptively. Production of seeds produce and average of 8 average farmer GKP 3:53 kg compared with production before carrying out breeding which GKP 2:33kg, an increase of 1.2 kg GKP. Seeds produced by agroup of breeders in the VillageTaba Anyaris16 564kgandcanprovide forseluas662seeds, 5ha, with an estimatedusing of seed as 25 kg seed/ha. Keywords: breeder, production, rice seeds ABSTRAK Benih unggul sangat berperan dalam peningkatan produktivitas padi, namun sampai saat ini tingkat adopsi dan ketersediaan benih dilapangan masih sangat terbatas. Sampai saat ini varietas unggul padi sudah dilepas lebih dari 200. Untuk itu dilakukan kegiatan pengkajian produksi benih bertujuan mempercepat penyebaran varietas unggul baru dan mempermudah petani memperoleh benih varietas unggul bermutu. Pengkajian dilakukan pada lahan sawah irigasi di Kelurahan Taba Anyar Kecamatan Lebong Selatan Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu dari bulan Maret sampai dengan Juni 2012 seluas 5 ha yang melibatkan 8 orang petani. Teknik budidaya penangkaran mengikuti model Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan observasi langsung. Sebelum melaksanakan penangkaran dilakukan pendekatan 691
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
petani dengan melakukan Participatory Rural Appraisal (PRA). Data yang dikumpulkan meliputi karateristik tanaman, analisis usahatani, produksi benih yang dihasilkan dan respon petani terhadap teknologi yang diinovasikan. Data disajikan secara deskriptif. Produksi benih yang dihasilkan rata-rata dari 8 petani rata-rata 3.53 ton GKP dibandingkan dengan produksi sebelum melaksanakan penangkaran yaitu 2.33 ton GKP, meningkat 1.2 ton GKP. Benih yang dihasilkan oleh kelompok penangkar di Kelurahan Taba Anyar yaitu 16.564 ton dan dapat mencukupi kebutuhan benih seluas 662,5 ha, dengan perkiraan penggunaan benih 25 kg/ha. Kata kunci: benih padi, produksi, penangkar PENDAHULUAN Produksi padi perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang makin hari makin bertambah. Salah satu unsur yang mendukung peningkatan produksi adalah penggunaan benih bermutu yang disinergikan dengan komponen teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). PTT adalah suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani (Puslitbang Tanaman Pangan, 2009). Dengan pendekatan ini diharapkan selain produksi padi naik, biaya produksi optimal, produknya berdaya saing dan lingkungan tetap terpelihara sehingga bisa berkelanjutan Menurut Baehaki (2001), penggunaan varietas unggul baru merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan hasil dan mengantisipasi kegagalan usaha tani padi sawah di tingkat petani, varietas unggul yang beredar sekarang, suatu saat hasilnya akan menurun dan ketahanan terhadap hama penyakit tertentu juga berkurang. Varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi yang penting untuk meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani padi. Varietas Unggul Baru (VUB) adalah kelompok tanaman padi yang memiliki karakteristik umur 100–135 hari setelah sebar (HSS), anakan banyak (>20 tunas/rumpun), bermalai lebat (± 150 gabah/malai). Tersedianya varietas unggul yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi wilayah dan keinginan pasar. Revitalisasi pertanian bertujuan untuk mencapai swasembada beras dalam upaya mendukung ketahanan pangan nasional. Penggunaan VUB bersama inovasi lainnya seperti PTT dapat berperan dalam mewujudkan tujuan diatas. Sampai saat ini telah dihasilkan lebih dari 200 varietas unggul padi oleh berbagai lembaga penelitian di Indonesia, 85% diantaranya dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian. Dari data luas tanam pada tahun 2009, lebih dari 75% telah menanam padi varietas unggul. Pada tahun 2010, varietas padi yang paling luas ditanam adalah Ciherang, IR64 dan Cigeulis (Sri Wahyuni, 2011). Penggunaan benih unggul di lapangan oleh masyarakat relatif masih terbatas. Produksi benih unggul selama ini masih dipegang pihak swasta sehingga petani diharuskan membeli dengan harga yang cukup mahal. Menurut Daradjat et al. (2008), benih padi yang digunakan oleh masyarakat lebih dari 60 % berasal dari sektor informal yaitu berupa gabah yang disisihkan dari sebagian hasil panen
692
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
musim sebelumnya yang dilakukan berulang-ulang, sehingga kemurnian akan benih yang digunakan tidak dijamin bermutu. Adapun ciri-ciri benih bermutu yaitu varietasnya asli, benih bernas, ukuran seragam, bersih (tidak tercampur dengan biji gulma atau biji tanaman lain), daya berkecambah dan vigor tinggi sehingga dapat tumbuh baik jika ditanam dan sehat (tidak terinfeksi oleh jamur atau serangan hama). Keuntungan menggunakan benih bermutu adalah : 1) benih tumbuh dengan cepat dan serempak, 2) bila disemaikan mampu menghasilkan bibit yang vigorous (tegar), 3) ketika di tanam pindah, bibit dapat tumbuh dengan cepat, dan 4) pertumbuhan tanaman serempak. Permasalahan yang dihadapi dalam percepatan penggunaan varietas unggul adalah terbatas ketersediaannya (Sri Wahyuni, 2011). Masalah tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan kemampuan kelompok tani untuk memproduksi benih bermutu secara baik dan benar melalui teknologi PTT. Kegiatan produksi benih bertujuan mempercepat penyebaran varietas unggul baru dan mempermudah petani memperoleh benih varietas unggul bermutu. BAHAN DAN METODE Pengkajian dilakukan pada lahan sawah irigasi di Kelurahan Taba Anyar Kecamatan Lebong Selatan Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu dari bulan Maret sampai dengan Juni 2012 seluas 5 ha yang melibatkan 8 orang petani. Teknologi yang diterapkan adalah PTT yang terdiri atas komponen varietas padi Inpari 13 dengan kelas benih pokok label ungu, jumlah benih 25 kg/ha, dengan petak persemaian 1/20 luas penanaman, pengolahan tanah sempurna, umur bibit muda <21 hss dengan sistem tanam legowo 4:1 menggunakan caplak roda dan pupuk NPK Phonska 350 kg/ha dan urea 100 kg/ha, 3 kali pemupukan, I =7-14 HST, II = 21 – 25 HST dan III = 35-40 HST. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung dengan melakukan budidaya. Sebelum melaksanakan penangkaran dilakukan Participatory Rural Appraisal (PRA). Data yang dikumpulkan meliputi karateristik tanaman dengan membandingkan terhadap deskripsi padi (Suprihatno, et, al), analisis usahatani, produksi benih yang dihasilkan, dan respon petani terhadap teknologi yang diinovasikan. Untuk mengetahui respon petani terhadap introduksi PTT dilakukan wawancara terhadap petani kooperator. HASIL Karakteristik Wilayah PengkajianLuas panen padi pada tahun 2009 di Kabupaten Lebong tercatat 13.294 ha terdiri atas 13.056 ha padi sawah dan 238 ha padi ladang. Produksi padi sawah mencapai 52.093 ton dengan produktvitas 3,99 ton/ha dan produksi padi ladang 500 ton dengan produktivitas 2,1 ton/ha (BPS Lebong, 2010). Keadaan iklim di Kabupaten Lebong yaitu hari hujan rata-rata mencapai 19 hari hujan per bulan. Bulan Oktober dan November merupakan hari hujan terbanyak, sedangkan bulan Juni merupakan bulan hujan paling sedikit. Suhu di
693
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kabupaten Lebong 29-30oC setiap bulan dengan rata-rata suhu 23,8oC (BPS Lebong, 2010). Berdasarkan hasil analisis tanah yang dilakukan bahwa kategori unsur hara N sedang, P sangat tinggi dan K rendah. Untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tersebut direkomendasikan pemberian pupuk urea sebanyak 100 kg/ha dan phonska sebanyak 350 kg/ha. Keragaan Tanaman Hasil pengkajian menunjukkan bahwa rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan dan berat 1000 butir lebih tinggi dibandingkan dengan deskripsi seperti tertera pada Tabel 1. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Inpari 13 dapat beradaptasi dengan baik di lokasi dan dapat dijadikan sebagai calon benih. Tabel 1. Keragaan tanaman padi Inpari 13 Karakter Pengamatan Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan Produktif (batang) Berat 1000 butir (g)
Hasil Pengkajian* 106.13 20.79
Deskripsi** 101 17
29.50
25,2
Data primer diolah **Deskripsi varietas padi menurut BB-Padi. 2009 dan Suprihatno, et. al., 2011
HASIL PANEN RIIL Melalui pembinaan dan pengawalan teknologi produksi benih, rata-rata produksi padi petani kooperator meningkat dibandingkan dengan hasil rata-rata yang diperoleh petani sebelum penangkaran (Tabel 2). Tabel 2. Hasil produksi padi petani kooperator melalui pembinaan dan pengawalan teknologi produksi benih Hasil panen (ton GKP) Kenaikan produksi No Nama petani Setelah Luas (ha) Sebelum (ton) penangkaran penangkaran 1 2 3 4 5 6 7 8
Zubirman Mahyudin Syehkdehir Insyah Lindri Sumardi R. Muin. My Khairil Anwar Jumlah Rata-rata
0,5 0,5 1 0,5 0,25 0,5 0,75 0,5
2.32 2.27 3.46 2.6 1.35 2.43 2.43 1.8
3.06 3.35 4.81 3.84 2.54 3.78 3.75 3.13
0.74 1.08 1.35 1.24 1.20 1.35 1.32 1.33
5
18.66 2.33
28.242 3.53
9.612 1.20
694
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Analisis Usahatani. Peningkatan hasil produksi dapat menyebabkan peningkatan penerimaan dalam berusahatani. Peningkatan pendapatan dapat dilihat pada analisis usaha tani pada Tabel 3. Tabel 3. Analisis usahatani budidaya padi sawah pada lahan demplot per hektar. N Uraian Jumlah o Paket petani Paket rekomendasi Satuan Biaya (Rp) Satuan Biaya (Rp) A Pengeluaran 1 Benih 40 kg 160.000 25 kg 100.000 2 Tenaga kerja - Perbaikan pematang 4 HOK 200.000 4 HOK 200.000 - Pembuatan persemaian 1,5 HOK 75.000 1,5 HOK 75.000 - Bajak lahan dan garu 2 kl 1.200.000 2 kl 1.200.000 - Penanaman 30 HOK 1.050.000 20 HOK 700.000 - Penyiangan 12 HOK 420.000 12 HOK 420.000 - Pemupukan 3 HOK 150.000 5 HOK 250.000 - Penyemprotan 4 HOK 200.000 4 HOK 200.000 hama/penyakit - Panen 10 HOK 350.000 10 HOK 350.000 - Perontokan gabah 1 kl 850.000 1 kl 950.000 - Pengangkutan 1 kl 480.000 1 kl 640.000 3 Pupuk - Urea 131 kg 262.000 100 kg 200.000 - SP-36 57 kg 4 - KCl 44 kg 308.000 - Phonska 350 kg 910.000 4 Pestisida - Insektisida 1 MT 400.000 1 MT 400.000 - Rodentisida 1 MT 85.000 1 MT 85.000 5 Karung 85 lbr 212.500 123 lbr 307.500 Jumlah pengeluaran total 6.527.900 6.987.500 B Panen (GKP) 4.239 kg 14.836.000 6.115,5 kg 21.404.25 0 C Keuntungan 8.308.100 14.416.75 0 D RC ratio 2.27 3.06 Terlihat pada Tabel 3 bahwa total pengeluaran usahatani per hektar untuk paket petani adalah sebesar Rp. 6.527.900 lebih tinggi Rp. 459.600 dari pada paket rekomendasi yaitu Rp. 6.987.500. Bila dilihat dari nilai RC ratio, maka paket rekomendasi memiliki RC ratio lebih tinggi yaitu 3.06 dibandingkan RC ratio pada paket petani sebesar 2.27. Dengan kata lain, penggunaan paket pupuk sesuai dengan rekomendasi bukan saja lebih efisien, namun juga meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp. 6.108.650 per hektar per musim tanam.
695
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Respon Petani Respon 8 orang petani kooperator terhadap teknologi yang di introduksikan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Respon petani terhadap teknologi yang di introduksikan Respon petani kooperator No. Teknologi yang di introduksikan
Positif
Negatif
(orang)
(orang)
1
Menggunakan bibit bermutu
8
-
2
Penggunaan bibit muda <21 hss
8
-
3
Menggunaan bibit 2-3 batang per lubang 8
-
tanam 4
Sistem tanam legowo menggunakan alat bantu 8
-
tanam caplak roda 5
Pemupukan sesuai dengan rekomendasi
8
-
6
Intensitas pemupukan dari 1 menjadi 3 kali
8
-
Tabel 4 menunjukkan bahwa 8 orang petani kooperator merespon positif terhadap teknologi yang introduksikan. Dengan terintroduksinya teknologi tersebut dapat memotivasi petani-petani disekitar untuk mengadopsi teknologi sehingga pendapatan dan kesejateraan petani meningkat. PEMBAHASAN Tinggi tanaman merupakan karakter yang diperhatikan saat seleksi. Tanaman padi di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan baik dan seragam. Tanaman yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dibuang dari pertanaman. Tanaman yang seragam disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya bibit yang berumur muda, menanam dengan bibit sedikit, kesuburan tanah dan pemberian pupuk yang seimbang. Jumlah anakan pada saat pertumbuhan diharapkan semua produktif menghasilkan malai, karena anakan produktif nantinya merupakan salah satu yang berpengaruh terhadap tinggi rendahnya hasil gabah (Simanulang, 2001). Berdasarkan Tabel 2 hasil produksi dari 8 orang petani kooperator mencapai 28.242 ton GKP, yang telah tersebar kepada buruh panen untuk bawon adalah 4.707 ton GKP, sehingga hasil bersih yang diperoleh petani 23.535 ton GKP. Dengan asumsi bahwa 25% dari hasil bersih yang diperoleh (5.884 ton GKP) petani digunakan sebagai benih yang terdistribusi melalui jalur benih antar lapang (Jabal), 75% dari hasil tersebut (17.651 ton GKP) yang diproses menjadi benih bersertifikat. Setelah mengalami proses sertifikasi benih yang dihasilkan menjadi 16.564 ton dan dapat mencukupi kebutuhan benih padi sawah sekitar 662.5 ha, dengan penggunaan benih 25 kg/ha. Dengan adanya efisiensi dan peningkatan produktivitas melalui demplot teknologi padi, diharapkan petani akan mengadopsi teknologi yang akan 696
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
diintroduksikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriatna (2000) bahwa kecepatan dan tingkat adopsi teknologi oleh petani ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya: (1) teknologi yang diintroduksi membantu menyelesaikan permasalahan petani, (2) sarana yang diperlukan untuk implementasi teknologi tersebut mudah didapat, dan (3) teknologi yang diperkenalkan memiliki tingkat efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi sebelumnya. KESIMPULAN Produksi benih yang dihasilkan kelompok penangkar dapat mencukupi kebutuhan benih padi sawah sekitar 662,5 ha, dengan perkiraan penggunaan benih 25 kg/ha, sehingga diharapkan produksi benih ini dapat berkelanjutan untuk kelompok lain dalam mendukung kebutuhan benih unggul di Kecamatan Lebong Selatan Kabupaten Lebong.
DAFTAR PUSTAKA Baehaki, S.E. 2001. Skrining Lapangan Terhadap Hama Utama Tanaman Padi. Pelatihan dan Koordinasi Progam Pemuliaan Partisipatif (Shuttle Breeding) dan Uji Multi Lokasi. Balai Penelitian Tanaman Padi sukamandi, 9-14 April 2001. BPS Kabupaten Lebong. 2010. Kabupaten Lebong Dalam Angka. Katalog BPS. 11020011707. 314 hal. Daradjat, A.A., Agus S., A.K. Makarim, A. Hasanuddin. 2008. Padi – Inovasi Teknologi Produksi. Buku 2. LIPI Press. Jakarta. Puslitbangtan, 2009. Petunjuk Pelaksanaan Pendampingan SL-PTT. Kerjasama Puslitbangtan, BBP2TP, BPTP Jawa Barat dan BPTP Bali. 20 p. Simanulang, Z.A. 2001. Kriteria Seleksi untuk Sifat Agonomis dan Mutu. Pelatihan dan Koordinasi Progam Pemuliaan Partisipatif (Shuttle Breeding) dan Uji Multilokasi. Sukamandi 9-14 April 2001. Balitpa. Sukamndi. Sri Wahyuni. 2011. Teknik Produksi Benih Sumber Padi. Makalah disampaikan dalam Workshop Evaluasi Kegiatan Pendampingan SL-PTT 2001 dan Koordinasi UPBS 2012 tanggal 28-29 November 2011. Balai Besar Penelitian Padi. Tidak dipublikasikan. Suprihatno, B., Aan A. Daradjat., Satato., Erwin Lubis., Baehaki, SE., S. DEwi Indrasari., I Putu Wardana, dan M.J. Mejaya. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. 118 hal. Suriatna, S. 2000. Media Penyuluhan Pertanian. Universitas Terbuka Press. Jakarta. Badan Litbang Pertanian Jakarta.
697
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kontribusi Pendapatan Usahatani Padi Terhadap Pemenuhan Kebuhan Rumah Tangga Petani di Lahan Rawa Lebak Contribution of Paddy’s Farm Income to Meet The Necessity of Swamp Land Farmer’s Household Nasir1), Imron Zahri2), Andy Mulyana2), Yunita2) Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pertanian dan Dosen Program Studi Agrobisnis, Fakultas Pertanian Universitas Tridinanti Palembang 2) Program Doktor Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Tel/Faks +62711378387 email:
[email protected] 1)
ABSTRACT Contribution of Paddy’s Farm Income to Meet The Necessity of Swamp Land Farmer’s Household. This research aims to: (1) calculate the income of rice farming in lowland swamp land; (2) Calculate the household expenditure of rice farmers in lowland and swampland, (3) Calculate the contribution of rice farming households in meeting the needs of rice farmers in lowland swamp land. The research was carried out in this study was conducted in the village of Pelabuhan Dalam Pemulutan Subdistrict Pemulutan and Village of Muara Penimbung Subdistrict Inderalay of Ddistrict Ogan Ilir. Data collected consist of primary and secondary data. Data collected in the field processed tabulation and then analyzed descriptively. To calculate the income of rice farming is done by reducing the total revenue with total costs, to calculate household expenses by adding up all the household expenses of food consumption, non-food, education and health as well as investment and savings. To calculate the contribution of rice farming is done with comparing the income from rice farming to total household expenditure farmers in lowland swamp land. Research findings show the average income of rice farming In lowland swamp land is still low at an average of Rp. 7,743,762.5 , With a value of R/C ratio of 2.29. Average expenditure of households Rp. 15,548,702.5. Contribution to the financing of rice farming households amounted to 49.80 percent of farmers. Keywords : Contributions , Income , rice farming . ABSTRAK Kontribusi Usahatani Padi Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Rumah Tangga Petani di Lahan Rawa Lebak. Penelitian ini bertujuan: (1) menghitung pendapatan usahatani padi pada lahan rawa lebak; (2) Menghitung pengeluran rumah tangga petani padi di lahan rawa lebak dan (3) Menghitung kontribusi usahatani padi dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani padi di lahan rawa lebak. Penelitian ini dilaksanakan di di Desa Pelabuhan Dalam Kecamatan Pemulutan dan Desa Muara Penimbung Kecamatan Inderalaya Kabupaten Ogan Ilir. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data yang dikumpulkan di lapangan diolah secara tabulasi dan selanjutnya dianalisis secara
698
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
deskriptif. Untuk menghitung pendapatan usahatani padi dilakukan dengan mengurangi penerimaan total dengan biaya total, untuk menghitung pengeluaran rumah tangga dengan menjumlahkan seluruh pengeluaran rumah tangga dari konsumsi pangan, non pangan, pendidikan dan kesehatan serta investasi dan tabungan. Untuk menghitung kontribusi pendapatan usahatani padi dilakukan dengan membandingkan pendapatan dari usahatani padi terhadap total pengeluaran rumah tangga petani di lahan rawa lebak. Hasil peneltian menunjukan Pendapatan rata-rata usahatani padi Pada lahan rawa lebak masih rendah yaitu rata-rata Rp. 7.743.762,5, dengan nilai R/C sebesar 2,29.Pengeluaran rata-rata rumah tangga sebesar Rp. 15.548.702,5. Kontribusi usahatani padi terhadap pembiayaan rumah tangga petani sebesar 49,80 persen __________________________________________________________________ Kata Kunci: Kontribusi, Pendapatan, Usahatani padi. PENDAHULUAN Lahan rawa lebak lebih memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian yang produktif karena tipe gambutnya dangkal, dengan mudah untuk dibuat sawah dan ditanami tanaman pangan yang pada akhirnya akan dapat mendukung tercapainya tujuan pembangunan di bidang pertanian nasional yang berkaitan dengan program pemerintah dalam peningkatan ketahanan pangan nasional, pengembangan agribisnis, dan pemanfaatan tenaga kerja (Djamhari, 2009). Lahan rawa lebak merupakan lahan suboptimal yang memiliki potensi yang besar untuk pengembangan pertanian. Potensi lahan rawa lebak untuk pengembangan pertanian didukung oleh luas lahan yang sangat besar yaitu mencapai 13,27 juta hektar dan tersebar di empat pulau besar, yaitu Papua, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi. Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi yang memiliki lahan rawa lebak cukup luas. Luasan lahan rawa lebak di Sumatera Selatan mencapai 163.150 hektar dan tersebar di sembilan Kabupaten/Kota, yaitu: Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Ogan Komering Ulu, Muara Enim, Musi Rawas, Musi Banyuasin, OKU Timur dan Palembang. Sebagian besar lahan rawa lebak tersebut digunakan untuk pengembangan usaha pertanian dengan jenis komoditi utama yang dikembangkan adalah tanaman padi. Padi merupakan komoditas yang paling banyak dibudidayakan oleh petani padi di lahan rawa lebak. Selain budidayanya yang telah dipahami secara turuntemurun dan dikuasai dengan baik, jaminan hasilnyapun akan lebih baik dibandingkan dengan komoditas lainnya. Pertimbangan lainnya, karena padi merupakan bahan makanan pokok sehari-hari. Ketersediaannya menjadi penting untuk menjaga rasa aman dan tenang bagi keluarganya. Padi juga dipandang mempunyai nilai tersendiri dalam kehidupan sosial dan keagamaan di beberapa wilayah (Noor, 2007). Budidaya tanaman padi meskipun secara teknis masih dapat dilakukan, tetapi pengembangannya juga banyak mengalami kendala. Kendala pengembangan tanaman padi di lahan rawa lebak terkait dengan kondisi biofisik lahan rawa lebak yang marjinal dengan dan sangat tergantung dengan musim hujan.
699
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Lahan rawa merupakan lahan marjinal yang rapuh dengan karakteristik yang tidak stabil dan selalu berubah sesuai dengan perubahan lingkungannya. Beberapa permasalahan lain lahan rawa lebak, yaitu: kesuburan tanah yang rendah, reaksi tanah yang masam, adanya pirit, tingginya kadar Al, Fe, Mn, dan asam organic, kahat P, miskin kation basa seperti Ca, K, Mg serta tertekannya aktivitas mikroba (Subagyo dan Widjaja Adhi, 1998). Kondisi lahan yang marjinal menyebabkan produktivitasnya masih sangat rendah, yaitu antara: 1,5-2,5 ton/ha Gabah Kering Panen (GKP). Produktivitas yang rendah menyebabkan pendapatan usahatani pada lahan rawa lebak relatif rendah. Kegiatan usahatani padi yang hanya berlangsung sekali setahun dengan pendapatan yang rendah menyebabkan petani seringkali mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga jika hanya mengandalkan pendapatan dari usahatani padi. Disisi lain kebutuhan rumah tangga petani semakin meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup dan peningkatan jumlah anggota rumah tangga petani. Jika kondisi terus berlangsung maka tingkat kemiskinan rumah tangga petani padi pada lahan rawa lebak akan terus berlanjut. Untuk mengatasi kemiskinan tersebut perlu dilakukan upaya peningkatan kesejahteraan petani baik melalui peningkatan pendapatan maupun pengaturan pola pengeluaran. Langkah awal untuk mengatasi kemiskinan yang dialami rumah tangga lahan rawa lebak adalah dengan mengetahui kemampuan usahatani dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga petani padi di lahan rawa lebak. Permasalahan yang akan dijawab pada penelitian ini adalah: (1) Berapa besar pendapatan usahatani padi pada lahan rawa lebak, (2) seberapa besar pengeluaran rumah tangga petani padi di lahan rawa lebak, dan (3) seberapa besar kontribusi usahatani padi dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani padi di lahan rawa lebak. Melalui penelitian ini diharapkan akan dapat diketahui pendapatan rusahatani padi dan kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga petani di lahan rawa lebak. Tujuan penelitian ini adalah: (1) menghitung pendapatan usahatani padi pada lahan rawa lebak, (2) Menghitung pengeluaran rumah tangga petani padi di lahan rawa lebak, dan (3) Menghitung kontribusi usahatani padi dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani padi di lahan rawa lebak. Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat berupa diketahuinya pendapatan usahatani padi dan kontribusinya pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani padi di lahan rawa lebak. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pelabuhan Dalam Kecamatan Pemulutan dan Desa Muara Penimbung Kecamatan Inderalaya Kabupaten Ogan Ilir. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan kedua desa ini merupaka salah satu wilayah pengembangan lahan rawa lebak di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan yaitu dari Bulan Februari sampai Maret 2014. Metode Pengumpulan Data. Populasi dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani pada lahan rawa yang mengusahakan usahatani padi dan non 700
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
padi serta usaha non usahatani. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dimana sampel diambil berdasarkan pertimbangan keterwakilan ciri-ciri fenomena populasi. Kegiatan analisis data penelitian lapangan didukung oleh data kuantitatif dan kualitatif. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan petani. Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang berisi pertanyaan yan berkaitan dengan data yang diperlukan sesuai dengan tujuan penelitian. Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait dengan penelitian ini, seperti: Kantor Pemerintah Kecamatan, Dinas Pertanian, dan instansi lain yang menunjang penelitian ini. Tehnik Penarikan Sampel. Tehnik penarikan contoh menggunakan metode acak sederhana dengan alasan kondisi populasi yang homogen yaitu mengusahakan usahatani padi. Responden pada penelitian ini adalah rumah petani yang mengusahakan usahatani padi di lahan rawa lebak. Jumlah responden sebanyai 90 orang atau sebanyak 7,5 persen dari total populasi petani lebak 1.200 orang di kedua lokasi penelitian tersebut. Metode Analisa Data. Data yang dikumpulkan di lapangan diolah secara tabulasi dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Untuk menjawab permasalahan pertama dilakukan analisis pendapatan. Menurut Soekartawi dalam Rohaeni ES (2013), pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan atau dengan rumus sebagai berikut: I = Σ (yi.Pyi) - Σ (xj.Pxj) dimana : I = pendapatan (Rp) Y = output atau hasil (i=1, 2, 3…..n) Py = harga output (Rp) Pxj = harga input (Rp) xj = input (j=1, 2,3,……n) Sedang analisis untuk melihat kelayakan suatu usaha digunakan R/C ratio yang merupakan perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya, makin besar nilai R/C ratio usahatani maka makin layak usahatani itu dengan rumus sebagai berikut : R/C = (Py.y)/(xj.Pxj), R = Py.y C = xj.Pxj dimana : R = penerimaan C = biaya y = output Py = harga output (Rp) Pxj = harga input (Rp) 701
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
xj = input (j=1, 2,3,……n) dengan indikator kelayakan: Jika: R/C > 1 maka dikatakan layak, R/C = 1 artinya impas (tidak untung dan tidak rugi) R/C < 1 dikatakan tidak layak, dan Untuk menghitung kontribusi pendapatan usahatani terhadap pendapatan total rumah tangga petani dilakukan perhitungan rasio pendapatan usahatani padi dan total pendapatan rumah tangga atau dirumuskan sebagai berikut: TI KUP = ----------- x 100% TP Dimana: TI = Total income (pendapatan) usahatani padi TP = Total Pengeluaran rumah tangga petani padi HASIL Tabel 1. Produksi, harga, penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani padi di lahan rawalebak No
Indikator
Jumlah (Rp)
1
Produksi (kg/Ha/Mt)
3.367,9
2
Harga (Rp/kg)
4.075,2
3
Penerimaan (Rp/ha/mt)
4
Biaya
13.724.866,0 5.981.104,0
- Biaya variabel (Rp/ha/MT) -
5.611.415,0
Biaya tetap (Rp/ha/MT)
5
Pedapatan
6
R/C
369.688,9 7.743.762,0 2,29
Tabel 2. Pengeluaran rumah tangga petani padi di lahan rawa lebak. No Sumber Pendapatan
Jumlah (Rp/tahun)
Kontribusi (%)
1
Konsumsi Pangan
10.594.565,5
68,13
2
Konsumsi non pangan
2.796.708,0
17,97
3
Pendidikan dan kesehatan
1.867.429,0
12,20
4
Investasi dan tabungan Jumlah
1,80
290.000,0 15.548.702,5
100
702
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Sumber pendapatan dan kontribusinya pada pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani di lahan rawa lebak No Sumber Pendapatan 1
Usahatani padi
2
Usahatani non padi
3
Non usahatani
Jumlah (Rp/tahun)
Kontribusi (%)
7.743.762,0
49,80
892.000,0
5.73
6.912.940,5
44,45
15.548.704,5
100,00
PEMBAHASAN Pendapatan Usahatani Padi. Lahan rawa lebak merupakan lahan suboptimal dengan kondisi yang marjinal. Kondisi lahan yang marjinal menyebabkan tingkat kesejahteraan petani pada tipologi lahan ini relatif masih rendah dibandingkan dengan tipologi lahan lainnya. Tingkat kesejahteraan yang rendah disebabkan produktivitas lahan yang relatif masih rendah yaitu rata-rata 3.367,9 kilogram perhektar dengan pemanfaatan lahan yang belum optimal yaitu hanya dapat diusahakan satu kali musim tanam pertahun Pendapatan rata-rata rumah tangga petani dari usahatani padi sebesar Rp. 7.743.762,- perhektar permusim tanam. Dilihat dari tingkat penerimaan, usahatani ini dari sisi layak diusahakan dengan nilai nilai R/C sebesar 2,29. Nilai R/C ini menunjukkan bahwa setiap Rp.1 (satu rupiah) biaya yang dikeluarkan pada usahatani padi di lebak tengahan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 2,29. Nilai R/C yang cukup tinggi tidak menjadikan jaminan bahwa usaha ini mampu memberikan pendapatan yang dapat membiaya seluruh pengeluaran rumah tangga petani. Dengan pendapatan rata-rata Rp. 7.743.762,- perhektar permusim tanam, dan luas garapan rata-rata 1,12 hektar perkepala keluarga, dan diasumsikan lahan rawa lebak hanya dapat diusahakan satu kali musim tanam pertahun maka pendapatan rata-rata rumah tangga hanya sebesar Rp. 8.673.013,perkepala keluarga pertahun. Jika jumlah rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 3 orang maka dalam satu pendapatan perkapita dari usahatani ini hanya Rp. 240.917/kapita/bulan. Pendapatan usahatani padi yang rendah disebabkan produktivitas lahan yang rendah yaitu rata-rata 3.367,09 kilogram perhektar. Produktivitas lahan yang rendah disebabkan penggunaan faktor produksi yang relatif belum optimal dan kondisi lahan yang relatif marjinal yaitu memiliki tingkat kesuburan yang rendah sehingga tidak cukup ideal untuk budidaya tanaman padi. Faktor lain yang menyebabkan pendapatan petani rendah yaitu harga gabar yang masih rendah ditingkat petani yaitu rata-rata Rp. 4.075,2/kilogram. Harga gabah yang rendah ditingkat petani karena sebagian besar petani menjual pada saat panen
703
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
raya, sedangkan pada saat ini pembeli gabah akan memberlakukan harga gabah yang relatif rendah karena banyaknya petani yang menjual gabah pada saat tersebut. Disisi lain pendapatan yang rendah karena pemanfaatan lahan yang tidak optimal hanya dapat ditanami padi satu musim tanam pertahun. Penyebabnya, kondisi lahan lahan rawa lebak yang sangat tergantung dengan curah hujan menyebabkan lahan ini hanya dapat ditanami pada periode waktu tententu saja yaitu antara Pertengahan Bulan Maret sampai dengan Juli. Pengeluaran Rumah Tangga Petani. Pengeluaran rumah tangga petani di lahan rawa lebak terbagi menjadi konsumsi pangan, konsumsi non pangan, pendidikan dan kesehatan, investasi dan tabungan. Sebagian besar pengeluaran rumah tangga digunakan untuk konsumsi pangan yaitu sebesar Rp. 10.594.565,5 pertahun atau 68,13 persen dari total pengeluaran rumah tangga petani sebesar Rp. 15.548.702,50 pertahun. Konsumsi pangan terdiri dari pengeluaran untuk bahan pangan yang mengandung karbohidrat (beras, umbi-umbian, gandum, mie dan sebagainya) sebesar Rp. 4.255.209 pertahun, bahan pangan yang mengandung protein (ikan, daging, telur, tempe, tahu, minyak, kacang-kacangan dan sebagainya), Rp. 2.661.548 pertahun, vitamin dan mineral (sayur-sayuran dan buah-buahan) Rp. 449.285,7 pertahun, serta bahan pangan lain (rempah, bumbu, gula, dan sebagainya) sebesar Rp. 3.228.524,- pertahun. Tingginya alokasi pendapatan yang digunakan petani untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan menunjukkan bahwa saat ini petani di lahan rawa lebak baru memprioritaskan pengeluarannya untuk kebutuhan dasar berupa bahanan makanan. Prioritas pengeluaran yang baru sebatas memenuhi kebutuhan dasar disebabkan pendapatan rumah tangga petani di lahan rawa lebak masih rendah, sehingga mereka belum mampu memenuhi kebutuhan sekunder. Prioritas pengeluaran rumah tangga yang diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan fisik juga terlihat dari alokasi pendapatan yang digunakan untuk memenuhi non pangan yang sesungguhnya termasuk pada kelompok kebutuhan dasar rumah tangga petani. Pengeluaran rumah tangga petani untuk non pangan terdiri dari pengeluaran untuk pembelian sandang (pakaian) sebesar Rp. 496.381 pertahun, bahan bakar, air, listrik dan gas sebesar Rp. 1.329.924 pertahun, bahan kosmetika dan kebersihan tubuh sebesar Rp. 695.784 pertahun, serta sosial dan komunikasi sebesar Rp. 274.619 pertahun. Pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan merupakan pembiayaan untuk investasi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan terdiri dari pengeluaran untuk pendidikan sebesar Rp. 1.849.762. Pengeluaran untuk pendidikan terdiri dari pembelian perlengkapan sekolah (pakaian, buku dan pengeluran rutin harian). Pengeluaran untuk kesehatan sebesar Rp. 17.666,67, yang terdiri dari biaya tenaga medis (dokter atau bidan), dan obat-obatan. Pengeluaran pendidikan yang cukup tinggi menunjukan tingkat kesadaran anggota rumah tangga untuk melanjutkan pendidikan cukup besar. Disisi lain, pengeluaran untuk kesehatan masih tergolong rendah. Pengeluaran untuk kesehatan yang masih rendah disebabkan adanya dukungan dari pemerintah Provinsi Sumatera Selatan berupa program pengobatan gratis serta masih rendahnya kesadaran anggota rumah tangga untuk menggunakan tenaga medis pada kegiatan pengobatan. Sebagian besar diantara
704
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
petani seringkali menggunakan obat-obatan yang dijual bebas tanpa melalui resep dokter. Disamping adanya pengeluaran yang bersifat konsumtif, rumah tangga juga menyisihkan sebagian dari pendapatan untuk melakukan investasi dengan nilai rata-rata Rp. 110.000,- pertahun. Investasi dapat berupa investasi produktif berupa pembelian perlatan pertanian maupun perlatan yang digunakan kegiatan produktif lainnya, maupun investasi non produktif berupa pembelian peralatan rumah tangga. Tabungan yang dikeluarkan petani berupa kegiatan arisan maupun sisa selisih dari pendapatan total dan pengeluaran total rumah tangga yang diasumsikan nilai tersebut sebagai tabungan yang jumlahnya mencapai Rp. 180.000,- pertahun. Nilai investasi dan tabungan yang masih rendah menunjukkan kemampuan petani untuk melakukan investasi pada usahataninya masih rendah, sehingga peralatan usahatani yang mereka gunakan masih sangat sederhana. Kontribusi Pendapatan Usahatani Padi Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Rumah Tangga Petani. Usahatani padi masih menjadi usaha pokok dan merupakan matapencaharian utama bagi sebagian besar rumah tangga petani di lahan rawa lebak. Dijadikan usahatani padi sebagai usaha pokok terlihat dari curahan tenaga kerja anggota rumah tangga yang banyak digunakan untuk usahatani padi. Usahatani padi masih menjadi usaha pokok karena sebagian besar hanya memiliki keterampilan untuk melaksanakan budidaya tanaman padi sedangkan keterampilan diluar usahatani sangat minim dimiliki petani. Penyebab lainnya, masih rendahnya ketersediaan lapangan kerja di luar usahatani yang dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan alternatif bagi petani. Jenis usaha yang hanya berupa pekerjaan “serabutan” yang tidak memberikan jaminan sebagai sumber pendapatan utama bagi petani. Pekerjaan jenis ini bersifat sementara, seperti: pekerjaan sebagai buruh, penangkap ikan dan sebagainya yang biasanya bersifat musiman. Usahatani padi meskipun menjadi matapencaharian utama tetapi belum mampu menjadi sumber pendapatan yang mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga petani. Dilihat dari rasio antara pendapatan rumah tangga dari usahatani padi sebesar Rp. 8.091.131 dan pengeluaran total rumah tangga sebesar Rp. , usahatani ini hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 52,03 persen pada pemenuhan pengeluaran rumah tangga petani. Kontribusi yang rendah ini disebabkan pendapatan usahatani yang masih rendah sementara jumlah kebutuhan rumah tangga cukup besar. Pendapatan usahatani yang masih rendah menyebabkan petani berupaya untuk mencari sumber pendapatan lain baik dari usahatani non padi maupun non usahatani. Kontribusi usahatani padi terhadap pendapatan total rumah tangga petani padi di lahan rawa lebak yaitu mencapai 49,80 persen. Berdasarkan nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa usahatani padi bukan satu-satunya sumber pendapatan rumah tangga petani, walaupun sebagian besar pengeluaran rumah tangga dibiayai dari pendapatan usahatani padi. Masih rendahnya kemampuan usahatani padi untuk membiayai seluruh pengeluaran rumah tangga petani menyebabkan adanya upaya dari petani melakukan diversifikasi usaha dengan cara mengembangkan usahatani lain selain padi yang secara teknis dapat dilakukan pada lahan rawa lebak serta mencurahkan
705
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
tenaga kerjanya di luar usahatani dengan cara bekerja sebagai buruh, penangkap ikan, pedagang atau kegiatan produktif lainnya. Usahatani non padi merupakan usaha sampingan yang biasanya tidak dilakukan secara intensif sehingga pendapatan dari usahatani ini relatif masih rendah. Pendapatan rumah tangga petani padi dari usahatani non padi berasal dari usaha budidaya tanaman hortikultura (sayuran dan buah-buahan), kegiatan pemeliharaan ternak dan budidaya ikan dalam kerambah. Kegiatan non usahatani dilakukan dengan bekerja di luar sektor pertanian, baik sebabai buruh, nelayan penangkap ikan maupun sebagai pedagang. Waktu yang digunakan petani untuk bekerja di luar sektor pertanian biasanya dilakukan setelah masa tanam padi berakhir yaitu antara Bulan Oktober sampai dengan April. Pendapatan rata-rata petani dari bekerja di luar sektor pertanian sebesar Rp. 6.912.940,5,- pertahun, dengan kontribusi sebesar 44,45 persen. Pendapatan yang diperoleh dari kegiatan non usahatani yang cukup tinggi disebabkan sebagian besar anggota rumah tangga berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan mencurahkan sebagian waktunya dengan bekerja di luar sektor pertanian. Upaya ini dilakukan karena pendapatan dari usahatani padi tidak mampu membiayai seluruh pengeluaan rumah tangga mereka, meskipun usahatani padi masih merupakan matapencaharian utama bagi anggota rumah tangga petani di lahan rawa lebak. Kontribusi yang masih rendah dari usahatani ini ternyata juga dialami oleh sebagian besar petani padi di lahan rawa lebak pada daerah lainnya. Berdasarkan hasil penelitian Wardhani (2006), pendapatan petani padi di lahan rawa lebak di kawasan Kota Palembang sebesar Rp. 2.175.295,- pertahun, sedangkan konsumsi rumah tangga pertahun adalah Rp. 7.141.060,- per tahun. Kontribusi usahatani terhadap pendapatan keluarga juga masih rendah yaitu sebesar 31% atau sebesar 2.175.295,- per tahun, sedangkan pendapatan dari luar usahatani sebesar 69% atau Rp. 4.738.000,- per tahun. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa kontribusi pendapatan usahatani padi yang merupakan usahatani utama di lahan rawa lebak belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga petani. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan hasil penelitian ini adalah: 1. Pendapatan rata-rata usahatani padi Pada lahan rawa lebak masih rendah yaitu rata-rata Rp. 7.743.762,5, dengan tingkat keuntungan usahatani padi sebesar 2,29, artinya setiap Rp. 1 (satu rupiah) yang dikeluarkan sebagai biaya usahatani akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 2,29. 2. Pengeluaran rata-rata rumah tangga sebesar Rp. 15.548.702,5 yang sebagian besar digunakan untuk konsumsi pangan yaitu sebesar Rp. 10.594.565,5 atau 68,13 persen, non pangan sebesar Rp. 2.796.708 atau 17,97 persen, pendidikan dan kesehatan Rp. 1.867.492 atau 12,20 persen dan, investasi dan tabungan sebesar Rp 290.000 atau 1,80 persen. 3. Usahatani padi merupakan sumber pendapatan utama yang memberikan kontribusi cukup tinggi dibandingkan dengan sumber pendapatan lain baik dari usahatani non padi maupun non usahatani, dengan kontribusi sebesar 49,80 persen. 706
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Disarankan kepada pemerintah untuk mendorong peningkatan pendapatan usahatani padi dengan mengoptimalkan usahatani padi melalui penyaluran sarana produksi kepada petani padi di lahan rawa lebak sehingga kontribusi usahatani ini dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA Adhi, W, IPG, Nugroho dan A. Syarifudin K. 1992. Sumber Daya Lahan Rawa; Potensi Keterbatasan dan Pemanfaatan. Puslitbangtan. Badan Litbang Departemen Pertanian. Bogor. Dalam: Suparwoto dan Waluyo. 2009. Peningkatan Pendapatan Petani di Rawa Lebak Melalui Penganekaragaman Komoditas. Jurnal Pembangunan Manusia Vol. 7 No.1 April 2009. Djamhari, S. 2009. Peningkatan Produksi Padi di Lahan Lebak Sebagai Alternatif Dalam Pengembangan Lahan Pertanian ke Luar Pulau Jawa. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 11 No. 1 April 2009 Hlm. 6469 Soekartawi. 1995. Linear Programming : Teori dan Aplikasinya Khususnya dalam Bidang Pertanian. Rajawali Press. Jakarta. Dalam Rohaeni E.S. Rohaeni, ES, 2013. Analisis Usahatani Berbasis Padi dan Ternak Sapi serta Kontribusi Pendapatan Terhadap Kebutuhan Hidup Layak di Lahan Kering (Studi Kasus di Desa Sumber Makmur, Kecamatan Takisung, Tanah Laut). Makalah pada Seminar Nasional Invovasi Teknologi Pertanian. Noor, M. 2007. Rawa Lebak. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Wardhani, D.S. 2006. Potensi dan Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak serta Hubungannya dengan Pendapatan Petani di Kecamatan Gandus Kota Palembang. Tesis Magister Pada Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya. Wayan Sudana. 2005. Potensi dan Prosfek Lahan Rawa Sebagai Sumber Produksi Pertanian. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian Volume 3 No.2 Juni 2005 : 141-151
707
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pengenalan Alat Tanam Benih Langsung Pada Padi Sawah Irigasi Sederhana (Kasus Pada Demfarm PTT Padi Sawah Irigasi Di Desa Gunung Kuripan Kabupaten Ogan Komering Ulu) The introduction ofDirectSeedPlantingToolInSimplePaddyIrrigation(Case in PTTDemfarmPaddyIrrigation in Gunung Kuripan,Ogan Komering Ulu Regency) Sidiq Hanapi dan Yanter Hutapea Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol. H. Barlian, Km 6 Kotak Pos 1265, Palembang 30153 Email:
[email protected] ABSTRACK This assessment was conducted in May - August 2012 in one of the centers of paddy production in Pengandonan district, Ogan Komering Ulu Regency. The method used is the PTT paddy demfarm this spacious 3 acres of plantings with atabela and 3 acres with transplanting. Farmers are involved approximately 20 people. The data is taken that the performance of agronomic, input use, cost of production, value of production (receipts) and rice farming income. The data covered by means of direct observation and interviews with individual farmer cooperators and Focus Group Discussion. This assessment gives the result that the performance of agronomic plant height and number of tillers farmer cropping systems using atabela better than sestem farmers transplanting. Average production of dry grain harvest to farmers with transplanting system as much as 5.360 kg / ha with a revenue of 11.792.000 rupiahs in one season with profits 3.832.090,- while the farmer with the system atabela magnitude of the average production of dry grain harvest as much as 5.320 kg /ha with revenues of 11.704.000,in one season with profit 4.575.533.Keywords: Atabela, transplanting, paddy ABSTRAK Pengkajian ini dilakukan pada bulan mei – agustus 2012 di salah satu sentra produksi padi di Kecamatan Pengandonan, Kabupaten Ogan Komering Ulu. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan demfarm PTT Padi ini luas 3 hektar penanaman dengan atabela dan 3 hektar dengan tanam pindah. Petani yang dilibatkan lebih kurang 20 orang. Data yang diambil yaitu keragaan agronomis, penggunaan input, biaya produksi, nilai produksi (penerimaan) dan pendapatan usahatani padi. Data diliput dengan cara observasi langsung dan wawancara terhadap petani kooperator secara perorangan dan Focus Group Discussion. Pengkajian ini memberikan hasil bahwa keragaan agronomis tinggi tanaman dan jumlah anakan petani dengan sistem tanam menggunakan atabela lebih baik dibanding dengan petani sestem tanam pindah. Produksi rata-rata gabah 708
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
kering panen (GKP) pada petani dengan sistem tanam pindah sebanyak 5.360 kg/ha dengan penerimaan sebesar Rp. 11.792.000,- /musim tanam dengan keuntungan 3.832.090,- sementara pada petani dengan sistem atabela besarnya produksi rata-rata gabah kering panen sebanyak 5.320 kg/ha dengan penerimaan sebesar Rp. 11.704.000,- /musim tanam dengan keuntungan 4.575.533,Kata kunci: Atabela, tanam pindah, padi sawah PENDAHULUAN
Produksi padi di Provinsi Sumatera Selatan berasal dari lahan sawah mencapai 3.384.670 ton pada tahun 2011, meningkat 112.219 ton dibanding tahun 2010 bahkan produksi padi meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sementara angka produktivitasnya walaupun meningkat dari tahun ke tahun, baru mencapai 4,313 ton per hektar pada tahun 2011. (BPS Sumsel, 2011). Kabupaten Ogan Komering Ulu mempunyai potensi kuat di sektor pertanian dan pertambangan yang memberi sumbangan terbesar terhadap PDRB. Di daerah itu, 47 persen dari luas wilayahnya dimanfaatkan untuk usaha pertanian. Kehidupan ekonominya didominasi sektor pertambangan 26,77 persen, pertanian 24,88 persen dan perdagangan 15,46 persen. Sumbangan sektor pertanian dan perkebunan adalah hasil tanaman kelapa sawit, kopi dan karet adalah signifikan yang masing-masing menghasilkan; 418.104,79 ton; 15.095 ton, dan 11.206 ton. Untuk hasil tanaman pangan utamanya padi mencapai 47.837,93 ton, ketela pohon 2.788,21 ton, jagung 792,93 ton, kacang tanah 131,65 ton, untuk tanaman pangan terkonsentrasi di Kecamatan Pengandonan, Ulu Ogan, Semidang Aji, dan Muara Jaya. Kabupaten Ogan Komering Ulu memiliki luas tanam padi 5.336 hektar yang terdiri dari 3.874 hektar yang ditanam IP 200, 1.462 hektar yang ditanam IP 100. Agroekosistem sawah irigasi di Kabupaten Ogan Komering Ulu cukup potensial untuk peningkatan produktivitas pertanian dan peningkatan pendapatan petani. upaya perbaikan agribisnis untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi. Salah satu cara yang diperkenalkan adalah melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu dengan penanaman padi sistem tanam benih langsung dengan Alat Tanam Benih Langsung (ATABELA) dan tanam pindah. Pengenalan alat ini sebagai upaya untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja yang banyak bekerja di perkebunan karet, sawit dan pertambangan batubara. Tabel 1. Komponen teknologi Komponen teknologi Varitas Seleksi Benih
Pesemaian
ATABELA Varitas Unggul Inpari 1 Pemilahan benih dengan direndam dan dianginanginkan 1 malam -
Tanam Bibit
Tanam benih langsung
Tanam Pindah Varitas Unggul Inpari 1 -
Pesemaian basah diaplikasi kompos dan pupuk 16-21 Hss atau semuda mungkin, gunakan bibit umur agak tua di endemis keong mas
709
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Jumlah bibit Jarak tanam Hama penyakit
Pengelolaan gulma Pengelolaan air: Fase Pertumbuhan vegetatif Fase Pertumbuhan produktif
3-6 20 cm x 20 cm Pengendalian OPT (organisme pengganggu tanaman) dengan pendekatan PHT (Pengendalian Hama Terpadu). Penyiangan dengan landak/gasrok Secara efektif dan efisien Irigasi terputus-putus genangan sekitar 2 cm Irigasi terus-menerus, genangan air 5 -10 cm
3-6 bibit 20 cm x 20 cm Pengendalian OPT (organisme pengganggu tanaman) dengan pendekatan PHT (Pengendalian Hama Terpadu) Penyiangan dengan landak/gasrok Irigasi terus-menerus, genangan air 5 -10 cm Irigasi terus-menerus, genangan air 5 -10 cm
Sumber: Juknis PTT Padi sawah irigasi
Penelitian ini bertujuan utnuk mengkaji kelayakan penggunaan Atabela yang merupakan alat tanam yang baru diperkenalkan pada kegiatan Demfarm pengelolaan tanaman terpadi padi sawah irigasi sederhana di Desa Gunung Kuripan Kabupaten Ogan Komering Ulu. METODE PENELITIAN Pengkajian ini akan dilakukan di Kabupaten Ogan Komring Ulu, Sumatera Selatan tahun 2012. Demfarm PTT Padi ini luas 3 hektar penanaman dengan atabela dan 3 hektar dengan tanam pindah. Petani yang dilibatkan lebih kurang 20 orang. Data yang diambil yaitu keragaan agronomis, penggunaan input, biaya produksi, nilai produksi (penerimaan) dan pendapatan usahatani padi. Data diliput dengan cara pengamatan langsung dan wawancara terhadap petani kooperator secara perorangan dan Focus Group Discussion. Untuk mengetahui keuntungan usahatani padi petani dengan sistem tanam pindah dan petani dengan sistem atabela padi digunakan analisis imbangan penerimaan dan biaya yang dirumuskan sebagai berikut: PT Keterangan: R/C = Nisbah antarR penerimaan dengan biaya /C BT PT = Penerimaan Total BT = Biaya total yang dikeluarkan petani Jika R/C > 1, maka usahatani padi yang diusahakan menguntungkan. Jika R/C < 1 maka suahatani padi yang diusahakan mengalami kerugian HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Agronomis. Hasil pengkajian bahwa melaluipendekatan sistem tanam dengan atabela dan tanam pindah secara aspek agronomis sebagai berikut:
710
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel.2 rata –rata tinggi tanaman Umur/Hst
ATABELA
Tapin
10
19,37
20,3
30 50
43,4 62,8
50,7 74,3
70 90
101,5 112,72
99,4 104
112,73
106
Panen Sumber: data primer
Sistem tanam berpengaruh terhadap parametar tinggi tanaman dan jumlah anakan, sitem tanam dengan Atabela memberikan rata-rata yang paling tinggi 112,3 cm saat panen, jika dibandingkan dengan sistem tanam pindah rata-rata tinggi tanaman 106 cm saat panen. Tabel 3. Rata-rata jumlah anakan Umur /Hst
ATABELA
Tapin
10 30
2,3 18,7
6,5 16,7
50 70
40,83 32
23 15
90 Panen
28,6 28
14,5 14,5
Sumber : data primer Atabela memberikan rata-rata yang paling baik 28,6 anakan, jika dibandingkan dengan sistem tanam pindah yang hanya 14,5 anakan, pada parameter jumlah anakan dan sistem tanam Atabela lebih baik jika dibandingkan dengan sistem tanam pindah. Keragaan ekonomi usahatani padi sawah irigasi sederhana. Penerimaan usahtani padi diperoleh dari hasil produksi padi (GKP) dikalikan harga produksi yaitu harga GKP pada periode tersebut yang dinyatakan dalam rupiah. Pengeluaran usahatani padi merupakan penjumlahan dari biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel meliputi pengunaan bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja pengolahan lahan, semai, pemeliharaan tanaman sampai panen, biaya angkut dan lain-lain, sedangkan biaya tetap meliputi biaya penyusutan alat dan pajak. Keuntungan yang didapat petani adalah penerimaan dikurangi dengan total pengeluaran petani untuk prosess produksi.
711
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 4. Rata-rata Penerimaan, biaya dan keuntungan usahatani padi sawah irigasi dengan Tanam pindah di Desa Gunung kuripan, Kecamatan Pengandonan. Uraian Produksi (Kg/ha)
Volume
Harga
Nilai (Rp)
(Kg)
(Rp)
Per hektar
5.360
2.200
11.792.000
50
7.500
375.000
1. NPK
300
2.383
714.999
2. Urea
200
1.557
311.332
3. Organik
300
500
150.000
3
45.000
135.000
Biaya Variabel (RP): a. Benih b. Pupuk
c. Pestisida (ltr) d. Tenaga Kerja (HOK) 1. Babat Rumput
520.000
2. Semai
350.000
3. penyiapan lahan
1.550.000
4. Penamanam
747.833
5. Penyiangan
450.000
6. Semprot G/H/P
174.722
7. Pemupukan
187.222
8. Angkut
225.000
9. Panen e. Lain-lain Jumlah
1.021.551 819.167 7.731.826
Biaya Tetap a. Penyusutan Alat Jumlah
228.084 228.084
Total Biaya
7.959.910
Keuntungan
3.832.090
R/C
1,4
Sumber : data primer Berdasar hasil analisis yang disajikan pada tabel 4 tersebut bahwa penerimaaan dan total biaya usahatani padi, maka diperoleh nisbah penerimaan dengan biaya yang disebut Revenue cost ratio (R/C rasio). Besarnya R/C usahatani padi adalah 1,4 artinya setiap Rp. 1.000,- biaya yang dikeluarkan dalam usahatani padi akan memperoleh penerimaan sebesar Rp.1.400,-. Sehingga dilihat besarnya R/C tersebut menunjukkan bahwa usahatani padi tetap memberikan keuntungan petani. Keuntungan rata-rata pada lahan garapan padi 1 hektar yang diterima oleh petani di Desa Gunung Kuripan sebesar Rp. 3.832.090,- Sementara analisa usahatani dengan sistem Atabela sebagai seperti pada tabel 5.
712
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 5. Rata-rata Penerimaan, biaya dan keuntungan usahatani padi sawah irigasi dengan Sistem Atabela di Desa Gunung kuripan, Kecamatan Pengandonan. Uraian Produksi (Kg/ha) Biaya Variabel (RP): a. Benih b. Pupuk 1. NPK 2. Urea 3. Organik c. Pestisida (ltr) d. Tenaga Kerja (HOK) 1. Babat Rumput 2. Semai 3. penyiapan lahan
Volume
Harga
Nilai (Rp)
(Kg)
(Rp)
Per hektar
5.320
2.200
11.704..000
50
7.500
375.000
300 200
2.383 1.557
714.999 311.332
300 2
500 45.000
150.000 90.000 490.000 1.450.000
4. Penamanam 5. Penyiangan
146.744 430.000
6. Semprot G/H/P 7. Pemupukan
264.532 197.432
8. Angkut 9. Panen e. Lain-lain Jumlah Biaya Tetap a. Penyusutan Alat
220.000 1.022.141 724.237 6.916.417 214.050
Jumlah Total Biaya
214.050 7.130.467
Keuntungan R/C
4.575.533 1,6
Sumber: data primer
Berdasar hasil analisis yang disajikan pada tabel 5 tersebut bahwa penerimaaan dan total biaya usahatani padi, maka diperoleh nisbah penerimaan dengan biaya yang disebut Revenue cost ratio (R/C rasio). Besarnya R/C usahatani padi adalah 1,6 artinya setiap Rp. 1.000,- biaya yang dikeluarkan dalam usahatani padi akan memperoleh penerimaan sebesar Rp.1.600,-. Sehingga dilihat besarnya R/C tersebut menunjukkan bahwa usahatani padi tetap memberikan keuntungan petani. Keuntungan rata-rata pada lahan garapan padi 1 hektar yang diterima oleh petani di Desa Gunung Kuripan sebesar Rp. 4.575.533,Produksi Padi, Penerimaan dan keuntungan Usahatani Padi. Dari hasil analisis, menunjukkan bahwa produksi rata-rata gabah kering panen (GKP) pada petani dengan sistem tanam pindah sebanyak 5.360 kg/ha. Pada petani dengan sistem atabela besarnya produksi rata-rata gabah kering panen sebanyak 713
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
5.320 kg/ha. Rata-rata penerimaan usahatani padi petani dengan sistem tanam pindah sebesar Rp. 11.792.000,- /musim tanam dengan keuntungan 3.832.090,-. Sedangkan pada petani dengan sistem Atabela sebesar Rp. 11.704.000,- /musim tanam dengan keuntungan 4.575.533,-. Nilai keuntungan tersebut jika dibandingkan dengan sistem tapin meningkat sebasar Rp.743.443,-/ha atau 19,4% Produksi gabah kering panen rata-rata pada petani dengan sistem tanam pindah lebih tinggi dibandingkan petani dengan sitem Atabela. Nilai revenue cost ratio (R/C) usahatani padi pada petani sistem tanam pindah adalah 1,4 yang artinya setiap pengeluaran biaya produksi sebesar Rp 1000,- diperoleh penerimaan sebesar Rp 1.400,- Sedangkan untuk petani dengan sistem atabela, R/C ratio adalah 1,6 yang artinya setiap pengeluaran biaya produksi sebesar Rp 1000,diperoleh penerimaan sebesar Rp 1.600,- . Pengusahaan usahatani padi dengan menggunakan ATABELA lebih efisien dibandingkan dengan sistem tanam pindah ditunjukkan dengan nilai R/C yang lebih tinggi. Kelebihan dan Kelemahan Atabela. Alat tanam benih langsung (ATABELA) ini bisa diterapkan pada sawah irigasi yang pengairannya bisa diatur untuk penggenangan sawah. Kelebihan atabela dua sistem model bali modifikasi palembang ini sebagai berikut: Mengurangi Penggunaan Tenaga Kerja Kapasitas Tenaga Kerja 2 HOK/ha Hemat Benih 30-40kg/ha Jarak Tanam teratur (Sistem Legow 2:1) dan Jajar Mudah dalam Pemeliharaan (Penyiangan, Pemupukan dan Pengedalian PHT) Adapun cara penggunaan atabela sebagai berikut: Lahan di olah sempurna sampai kondisi melumpur dan rata Lakukan Pengolahan dasar sebelum pengolahan tanah akhir Buat Saluran Cacing Keliling di Sekitar Lahan Rendam Benih selama 12 -24 jam dan Angin-anginkan sampai benih berkecambah kurang dari 1 mm, benih siap ditanam Sementara kelemahan Alat Tanam Benih Padi Langsung ini adalah sebagai berikut : Lahan harus diolah dan diratakan dengan baik sementara air juga perlu dikelola secara baik untuk menjaga agar tanaman tumbuh seragam. Benih yang ditabur di atas permukaan tanah rentan terhadap serangan burung dan tikus. Gulma biasanya tumbuh subur dan bersamaan dengan benih padi sehingga pengendaliannya perlu mendapat perhatian yang lebih besar. Hujan lebat pada saat tabur benih dapat mengganggu pertanaman.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Keragaan agronomis tinggi tanaman dan jumlah anakan petani dengan sistem tanam menggunakan atabela lebih baik dibanding dengan petani sestem tanam pindah.
714
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
2. Produksi rata-rata gabah kering panen (GKP) pada petani dengan sistem tanam pindah sebanyak 5.360 kg/ha dengan penerimaan sebesar Rp. 11.792.000,- /musim tanam dengan keuntungan 3.832.090,- sementara pada petani dengan sistem atabela besarnya produksi rata-rata gabah kering panen sebanyak 5.320 kg/ha dengan penerimaan sebesar Rp. 11.704.000,/musim tanam dengan keuntungan 4.575.533,Saran Teknologi tanam benih sebar langsung denga alat ATABELA ini bisa dikembangkan untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan petani.
DAFTAR PUSTAKA ________, BPS Provinsi Sumatera Selatan. 2012. Sumatera Selatan dalam Angka tahun 212.Badan Pusat Statistik Sumsel. Palembang. ________, 2011. Peta Ekonomi Kabupaten OKU 2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten Ogan Komering Ulu, Baturaja. ________, 2011. Program Strategis/RENSTRA Kabupaten Ogan Komering Ulu, www.pemkab_oku.go.id ________, 2010. Juknis Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah Irigasi, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumsel. Palembang. Dirjentanhor. 1996. Kebijaksanaan Pengembangan Tanam Benih Langsung Padi Sawah. Seminar Sehari, Prospek Tanam Benih Langsung Padi Sawah di Indonesia. Padang, Makarim, A.K., U.S. Nugraha, dan U.G. Kartasasmita. 2000. Teknologi Produksi Padi Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.Bogor. Milan.M.H, 2004. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan Finansial Teknologi pada Skala Pengkajian. Pelatihan Analisis dan Ekonomi bagi Pengembangan Sistem & Usaha Agribisnis. Pusat Pelatihan dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor Raharjo, B. 2009. (Alat Tanam Benih Langsung) ATABELA, Lembar Informasi Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera selatan. Supranto, J. 1992. Teknik Sampling untuk Survei dan Eksperimen. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
715
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Dampak Pendampingan PTT Terhadap Peningkatan Produktivitas Padi di Provinsi Jambi ImpactAssistance Integrated Crop Manajement AgainstRice ProductivityImprovement In Jambi Province Adri, Hery Nugroho, dan Endrizal Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi Jl. Samarinda Paal Lima Kotabaru Jambi Telp (0741) 7053525, Fax (0741) 40413 Email :
[email protected]
ABSTRAK Peningkatan produktivitas merupakan salah satu program 4 (empat) sukses kementerian Pertanian. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas adalah melalui pendampingan. Pengkajian ini bertujuan untuk melihat dampak pendampingan terhadap peningkatkan produktivitas padi. Pengkajian di Laksanakan pada agroekosistem lahan pasang surut, lahan lebak dan sawah dataran tinggi di Provinsi Jambi dari tahun 20092013. Bentuk pendampingan yang diberikan berupa; taransfer ilmu pengetahuan melalui pelatihan dan nara sumber, pemberian informasi teknologi melalui media cetak dan elektronik, serta pembuatan petak-petak percontohan di lahan petani. Hasil pengkajian menunjukan terjadi penyebaran Varietas Unggul baru (VUB) dan peningkatan produktivitas padi 20-30%. ABSTRACT Increased productivity is one of the program four (4) successful ministry of Agriculture. One effort that can be done to increase productivity is through mentoring. This study aims to look at the impact of assistance to increase rice productivity. Conduct an assessment on the agro-ecosystem tidal land, swampy area sand paddy plateau in Jambi Province of years 2009-2013. Forms of assistance are; taransfer knowledge throught raining and resources, the provision of information technology through the print and electronic media, as well as the manufacture of demonstration plots in farmers' fields. The assessment results showed there was an outbreakof new Varieties(VUB) and a 20-30% increase in rice productivity
716
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN Jumlah penduduk Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini jumlah penduduk Indonesia terbesar keempat didunia, setelah Negara Cina, India dan Amerika Serikat. Hal ini tentu menjadi keniscayaan bagi Pemerintah Indonesia untuk selalu meningkatkan produksi pangan baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi dalam rangka mewujudkan stabilitas politik, ekonomi, sosial dan keamanan (Kementan, 2011) Salah satu upaya untuk meningkatan produktivitas melalui intensifikasi adalah melakukan pendampingan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi, seperti; penanaman Varietas Unggul Baru (VUB) spesifik lokasi, pemupukan berimbang, penerapan sistem tanaman jajar legowo, pengendaliaan organisme pengganggu tanaman (POPT), panen dan pasca panen. Provinsi Jambi mempunyai luas sawah 138.323 ha dan luas pertanaman lebih kurang 175.000 ha dengan produksi 501.125 ton dan rata-rata produktivitas 3,6 t/ha (Disperta, 2003), hasil ini masih rendah bila dibandingkan dengan potensi genetik tanaman padi varietas unggul yang dapat mecapai diatas 5 t/ha. Daerah sentra produksi padi di Provinsi Jambi terdapat pada wilayah beragroekosistem pasang surut, lebak dan dataran tinggi. Ketiga agroekosistem ini memiliki ciri dan sifat yang berbeda dan tentunya juga menghendaki penanganan dan teknolgi yang tidak sama. Rendahnya rata-rata produktivitas tersebut disebabkan oleh usahatani yang dilakukan petani belum sepenuhnya menerapkan teknologi, belum kondusifnya kelembagaan usahatani dan kelembagaan agribisnis serta kurangnya pendampingan dari instansi terkait. Evaluasi eksternal maupun internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian cenderung melambat, bahkan menurun. Segmen rantai pasok inovasi pada subsistem penyampaian (delivery subsystem) dan subsistem penerima (receiving subsystem) merupakan bottleneck yang menyebabkan lambannya penyampaian informasi dan rendahnya tingkat adopsi inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian tersebut (Badan Litbang Pertanian, 2004). Badan Litbang Pertanian merasa terpanggil harus melakukan segala upaya yang mungkin untuk menjamin inovasi yang telah dihasilkannya, tidak saja diketahui oleh para pengguna (beneficiaries) tetapi juga dimanfaatkan secara luas dan tepat guna. Dengan demikian, Badan Litbang Pertanian merasa turut bertanggungjawab dalam menjamin terciptanya sistem inovasi pertanian nasional yang padu padan dengan sistem agribisnis, yang berarti merajut simpul antara subsistem rantai pasok pengadaan (generating subsystem) dengan subsistem penyampaian (delivery subsystem) atau subsistem penerimaan (receiving subsystem) inovasi pertanian nasional (Badan Litbang Pertanian, 2006).Untuk itu, salah satu upaya yang dapat meningkatkan produktivitas padi, jagung dan kedelai adalah melalui kegiatan Sl-PTT. Dalam SL-PTT petani dapat belajar langsung di lapangan melalui pembelajaran dan penghayatan langsung (mengalami). Mengungkapkan, menganalisis, menyimpulkan dan menerapkan (melakukan/mengalami kembali), menghadapi dan memecahkan masalah-masalah terutama dalam hal teknik
717
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
budidaya dengan mengkaji bersama berdasarkan spesifik lokasi (Dirjen Tanaman Pangan, 2013) Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT), yaitu suatu pendekatan dalam bentuk pendampingan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani padi, melalui perbaikan sistem/pendekatan dalam perakitan paket teknologi padi yang sinergis antar komponen teknologi, dilakukan secara partisipatif oleh petani, serta bersifat spesifik lokasi. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melihat dampak dari pendampingan Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) terhadap peningkatan produktivitas padi. BAHAN DAN METODE Pendekatan pendampingan dilakukan secara ; 1) Partisipatif, 2) Agroekosistem, 3) Agribisnis, (4) Wilayah, (5) Kelembagaan, dan (6) pemberdayaan masyarakat. Pendekatan Partisipatif ditujukan kepada stakeholder dan benefisieris yang terkait dengan pelaksanaan SL-PTT. Pendekatan agroekosistem berarti SL-PTT diimplementasikan dengan memperhatikan kesesuaian dengan kondisi biofisik lokasi yang meliputi aspek sumberdaya lahan dan air. Pendekatan Wilayah adalah penempatan pendampingan oleh BPTP berada di wilayah yang memiliki kegiatan SL-PTT. Pendekatan agribisnis berarti dalam implementasi SL-PTT diperhatikan struktur dan keterkaitan subsistem penyediaan input usahatani, panen dan pascapanen. Pendekatan wilayah berarti optimalisasi penggunaan lahan untuk pertanian dalam satu kawasan. Pendekatan kelembagaan berarti pelaksanaan SLPTT tidak hanya memperhatikan keberadaan dan fungsi suatu organisasi ekonomi atau individu yang berkaitan dengan input dan output tetapi juga mencakup modal, sosial, budaya dan aturan yang berlaku di lokasi masyarakat. Bentuk dukungan yang diberikan berupa pelaksanakan Display VUB, memberikan pelatihan dan nara sumber, temu lapang serta penyebaran informasi teknologi melalui media cetak dan elektronik HASIL Pelatihan / Nara Sumber. Pelatihan dilaksanakan 23 kali pada tingkat PL II/III 5 kali pada tingkat PL I. Pelatihan PL II dilaksanakan di tingkat Kabupaten / Kota dan PL I di tingkat Provinsi. Setiap kali pertemuan diikuti oleh 50 orang peserta pada PL II dan 60 orang pada PL I. Sistem Tanam Jajar Legowo. Sistem tanaman jajar legowo yang diterapkan petani bervariasi mulai dari legowo 2:1, legowo 4:1 dan legowo 6:1. Luas pertanaman sijarwo di Provinsi Jambi baru mencapai 37,58%. Pada umumnya sijarwo dengan mudah diterapkan pada sawah irigasi. Pada sawah pasang surut, lebak dan sawah dataran tinggi penerapaan sijarwo agak mengalami kesulitan. Bebarapa kendala penerapan sijarwo oleh petani menyangkut sijarwo membutuhkan tenaga dan biaya lebih banyak serta waktu tanam lebih lama.
718
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Display Varietas Unggul Baru (VUB) Padi. VUB padi yang disisplaykan pada pendampingan SL-PTT padi tahun 2013 adalah; inpari 6, inpari 15, Inpari 17, Inpari 21, Inpari 28, Inpari 30, Inpara 3, Inpara 4 dan Batang Piaman. Inpari 28 diarahkan untuk padi sawah dataran tinggi, dan Ipari 30, Inpara 3 dan Inpara 4 diarahkan untuk sawah pasang surut. Sesuai dengan referensi petani terhadap rasa nasi, maka VUB yang didisplaykan rasa nasinya Pera. Masih didisplaykannya varietas Batang Piaman karena varietas ini memiliki sifat yang toleran pada sawah bukaan baru dan sawah keracunan besi. Tabel 2. Wilayah pengembangan dan rekomendasi VUB No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kabupaten Batang Hari (lebak) Tanjung Jabung Timur (pasang Surut) Bungo ( Tadah Hujan) Tanjung Jabung barat (Irigasi) Kerinci (Dataran Tinggi)
Rekomendasi pengembangan VUB Inpara 3, Indragiri Inpara 3, Indragiri Mekongga, Inpari 12, Inpara 3 Inpari 30, Inpari 13 Inpari 13, Inpari 28, Inpari 21, Sarinah
PEMBAHASAN Pelatihan dan Nara Sumber. Bentuk pendampingan nara sumber / pelatihan inovasi teknologi PTT sangat banyak dan sering dilakukan. Nara sumber / Pelatihan inovasi teknologi PTT ini dilakukan di tingkat provinsi (PL I) dan ditingkat kabupaten (PL II) serta pelatihan / nara sumber tingkat kecamatan (PL III). Setiap kabupaten / kota memiliki kegiatan pertemuan untuk pemberdayaan sumberdaya manusia petugas dan pelaksana SL-PTT. Peneliti BPTP diminta sebagai tenaga pengajar/nara sumber. Frekuensi pemberian materi inovasi teknologi PTT pada berbagai bentuk pertemuan di 11 kabupaten / kota se-Provinsi Jambi lebih dari 30 kali / tahun. Pelatihan lain yang diberikan adalah teknik sistem tanam jajar legowo. Sistem tanam jajar legowo yang benar adalah sistem tanam jajar legowo pagar. Kebanyakan petani melakukan sistem tanam jajar legowo tidak melakukan penyisipan tanaman pada baris terluar sehingga populasi tanaman berkurang dri sistem tegel dan tentunya produksi juga berkurang.
719
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 1. Narasumber dan Pelatihan PTT Padi
No 1.
2.
Narasumber [nama] 23 orang Pendamping di 11 kabupaten kota
Lokasi [Kab]
11 kabupaten / kota, ratarata 2 kali per kabupaten kota 5 orang Dinas pendamping pertanian padi, jagung Provinsi dan kedelai dan Bakorluh Provinsi Jambi dengan frekuensi 7 kali
Tingkat Pelatihan [PL I/PL II/PL III]
Materi/Tema
PL II dan PL III
Inovasi teknologi PTT dalam upaya peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai
PL I
Inovasi teknologi PTT dalam upaya peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai P2BN dan kelembagaan penyuluhan
Jumlah Peserta [orang] Rata-rata setiap kegiatan orang
Rata-rata setiap kegiatan orang
Sistem Tanam Jajar Legowo. Dalam sistem tanam jajar legowo terdapat dua atau lebih baris tanaman padi yang diselingi oleh satu baris yang dikosongkan. Bila terdapat dua baris tanam per unit legowo disebut legowo 2:1, kalau tiga baris disebut legowo 3:1 dan kalau 4 baris legowo 4:1. Hasil pengkajian display VUB di kota Sungai Penuh didapatkan hasil Inpari 28 pada pertanaman sistem jajar legowo 2:1 hasilnya 8,8 ton/ha, sedang pada sistem jajar legowo 4:1 6,5 ton/ha atau sistem jajar legowo 2:1 lebih tinggi 33,3 %. Begitu juga dengan kegiatan yang dilakukan oleh Bakorluh Provinsi Jambi di Desa Pudak menggunakan varietas Ciherang pada sistem tanam jajar legowo 2: 1 hasilnya 8,6 sedangkan pada sistem jajar legowo 4:1 hanya 6,1 atau sistem 2:1 lebih tinggi 30,3% Sistem tanam jajar legowo 4:1 lebih tinggi 42,3% hasilnya dibandingkan sistem tanam tegel. Sistem tanam jajar legowo 4:1 ditingkat petani hasilnya beragam, hasil yang paling rendah 5,1 ton/ha dan hasil yang paling tinggi 7,2 ton/ha, sedangkan pada sistem tanam tegel hasil terendah 3,5 ton/ha dan hasil tertinggi 5,4 ton/ha. Luas pertanaman sijarwo di Provinsi Jambi baru mencapai 37,58%. Pada umumnya sijarwo dengan mudah diterapkan pada sawah irigasi. Pada sawah pasang surut, lebak dan sawah dataran tinggi penerapaan sijarwo agak mengalami kesulitan. Bebarapa kendala penerapan sijarwo oleh petani menyangkut sijarwo membutuhkan tenaga dan biaya lebih banyak serta waktu tanam lebih lama. Pada sawah dataran tinggi kendala dihadapi pada topografi lahan yang memiliki petakan kecil-kecil, sedangkan pada lahan pasang surut dihadapi pada masalah kondisi alam yang sering mengalami banjir. Namun dengan adanya penyuluhan kendala-kedala tersebut dapat diatasi, terutama memberikan
720
50
60
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
penyuluhan manfaat dan keuntungan sijarwo dan perubahan prilaku dan kebiasaan petani. Beberapa keuntungan yang diperoleh dari sistem tanam jajar legowo antara lian; semua barisan rumpun tanaman berada pada bagian pinggir yang biasanya memberikan hasil lebih tinggi (efek tanaman pinggir), pengendaliaan hama penyakit dan gulma lebih mudah, menediakan ruang kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpul keong mas dan juga bisa untuk mina padi, dan penggunaan pupuk lebih efisen dan efektif. Display Varietas Unggul Baru (VUB) Padi. Berdasarkan penyebaran VUB dan preferensi petani, maka wilayah pengembangan atau rekomendasi VUB untuk 5 agroekosistem ( rawa lebak, pasang surut, tadah hujan, irigasi, dan sawah dataran tinggi ). Pada lahan rawa lebak yang sangat populer saat ini adalah Inpara 3 dan Indragiri, VUB inpara 3 tidak hanya bagus di lahan rawa lebak seperti di Kabupaten Batanghari dan Muaro Jambi tetapi juga di lahan Pasang surut kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. VUB yang cocok untuk sawah tadah hujan adalah varietas Mikonga, Inapri 12 dan Inpari 21. VUB Inpari 28 cocok untuk lahan sawah dataran tinggi. Display VUB untuk daerah dataran tinggi dilaksanakan pada tiga lokasi yaitu; kabupaten Kerinci, Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Merangin. Varietas yang selama ini ditanam yaitu Sarinah, Ciherang, IR 42 dan lokal, varietas untuk dataran tinggi agak terbatas. Salah satu VUB yang baru dilepas khusus untuk dataran tinggi adalah Inpari 28 Kerinci. Varietas ini dibentuk dan diseleksi di dataran tinggi salah satunya berlokasi di Kabupaten Kerinci. Capaian produktivitas Inpari 28 kerinci 5,6 – 7,84 ton/ha GKP Inpari 15, Inpari 17 dan Inpari 21 didisplaykan di Kabupaten Sarolangun, kabupaten Kerinci, Kota Sungai Penuh, Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, dan Kota Jambi. Hasil tertinggi Inpari 15 dan Inpari 17 terdapat di Kabupaten Sarolangun yaitu 7,0 ton/ha GKP dan 7,4 ton/ha GKP. Hasil tertinggi Inpari 21 terdapat di Kota Sungai Penuh yaitu 7,21 ton/ha GKP. Batang Piaman yang ditanam di Kabupaten Muaro Jambi memberikan hasil yang lebih tinggi dari VUB yang diuji yaitu 9,0 ton/ha GKP. Produktivitas Inpara 3 6,8 ton/ha GKP, sedangkan Inpara 4 hanya 3,0 ton/ha GKP. Dengan demikian Inpara 3 tidak cocok dan tidak direkomendasikan untuk lahan pasang surut di Provinsi Jambi.
721
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Display Varietas Pada Pendampingan SL-PTT Padi No. Lokasi Varietas [kabupaten] 1. Sarolangun Inpari 15, inpari 17 2. Merangin Inpari 28 3. Kerinci Btg. Piaman, inpari 21, dan inpari 28 4. Kota Sungai penuh Inpari 21, inpari 28 5. Bungo Inpari 21, 1npari 15 dan inpara 3 6. Tebo Inpati 6, 15 dan 28 7. Muaro Jambi Btg Piaman, inpari 17 dan inpari 21
Produktivitas (t/ha/varietas) 7,0 dan 7,4 7,6 4,8 5,2 dan 5,6 7,21 dan 7,84 4,9 4,4 dan 5,7 Belum panen 9,0 5,7 dan 6,4
8. 9.
6,24 dan 4,96 6,8 dan 3,0
Kota Jambi Tanjung Jabung Barat
Inpari 17 dan inpara 3 Inpara 3 dan inpara 4
Media cetak dan elektronik. Guna mempercepat dan memperluas jangkauan pendampingan, maka dilakukan upaya memperbanyak inovasi teknologi PTT melalui media cetak dan elektronik. Jenis media cetak berupa leaflat, poster dan brosur. Judul media cetak yang dibuat berdasarkan kebutuhan daerah. Pada tahun 2013 dibuat 5 judul yaitu ; stop bakar jerami buatlah kompos jerami, rekomendasi pemupukan P dan K, sistem tanam jajar legowo, deskripsi varietas padi. Media cetak tersebut dibuat dalam bentuk leafplat, brosur dan poster. Tabel 4. Media cetak sebagai informasi teknologi PTT Padi No. Judul Publikasi
Kabupaten
1.
11 kabupate n / kota 11 kabupate n / kota 11 kabupate n / kota 11 kabupate n / kota 11 kabupate n / kota
2.
3.
4.
5.
Jenis Jumlah Penerima Publikasi (eks) Stop bakar Leaflat 1000 Bakorluh, dinas pertanian provinsi, jerami : buatlah bapeluh (BP4K), dinas pertanian kompos padi kabupaten, BP3K, Gapoktan dan Poktan Rekomendasi Brosur 250 Bakorluh, dinas pertanian provinsi, pemupukan P bapeluh (BP4K), dinas pertanian dan K kabupaten, BP3K, Gapoktan dan Poktan Sistem tanam Brosur 250 Bakorluh, dinas pertanian provinsi, padi jajar bapeluh (BP4K), dinas pertanian legowo kabupaten, BP3K, Gapoktan dan Poktan Deskripsi Brosur 250 Bakorluh, dinas pertanian provinsi, varietas padi bapeluh (BP4K), dinas pertanian kabupaten, BP3K, Gapoktan dan Poktan Sistem tanam Poster 500 Bakorluh, dinas pertanian provinsi, jajar legowo bapeluh (BP4K), dinas pertanian kabupaten, BP3K, Gapoktan dan Poktan
722
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari kegiatan Pendampingan SL-PTT Padi dan Jagung di Provinsi Jambi tahun 2013 adalah sebagai berikut : Produktivitas Inpari 28 mencapai 7,84 ton/ ha GKP. Batang Piaman cocok untuk sawah bukaan baru dan rawa lebak, varietas ini mampu berproduksi 4,8 – 9,0 ton/ha GKP. Secara keseluruhan VUB yang diuji memberikan hasil lebih tinggi 2,3 - 63 % dinadingkan dengan rata-rata hasil padi di Provinsi Jambi Kontribusi sistem tanam jajar legowo terhadap peningkatan hasil dibandingkan dengan system tegel mencapai 20-30% Pelatihan, nara sumber dan penyebaran informasi teknologi melalui media cetak dapat membantu petugas dan petani dalam penerapan inovasi teknologi PTT padi DAFTAR PUSTAKA Dirjen Tanaman Pangan. 2007. Gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Departemen Pertanian. Dirjen Tanaman Pangan 2013. Pedoman Teknis Sekolah lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung dan Kedelai tahun 2013. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,Departemen Pertanian. Kementerian Pertanian. 2011. Peraturan Menteri Pertanian No.45/Permentan/OT.140/8/2011 tentang Tata Hubungan Kerja Antar Kelembagaan Teknis, Penelitian dan Pengembangan dan Penyuluhan Pertanian Dalam Menudkung Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Zaini, Z. 2008. Memacu Peningkatan Produksi Padi Sawah Melalui Inovasi Teknologi Budidaya Spesifik Lokasi Dalam Era Revolusi hijau Lestari. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidan Budidaya Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor, April 2008 .
723
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Analisis Pendapatan Usahatani Padi Sawah pada Sistem Tanam Benih Langsung (Tabela) di Kabupaten Buol Income Analysis on Paddy Farming with Direct Seed Planting System (Tabela) in Buol Regency Muhammad Abid dan Saidah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah Jl. Lasoso No. 62 Biromaru Email :
[email protected]
ABSTRACT The highest labor demand in paddy cultivation takes place at planting, which could reach up to 26% of total labor demand. On the other side, labor availability at this particular time is increasingly limited. Therefore, direct seed planting system could be one of the solutions. This study was aimed to find out how much income could be obtained by farmers with direct seed planting system (Tabela) in Bukal district, Buol Regency Central Sulawesi province. The method used was survey with purposive sampling design. Data was analyzed with tabulation and average methods. The study showed that average income of paddy cultivation with direct seed planting system (Tabela) during one planting season was Rp 8.274.500,-/ha with B/C Ratio of 1,11. Keywords : Income, Paddy and direct sytem
ABSTRAK Kebutuhan tenaga kerja pada usahatani padi sawah yang terbesar adalah saat penanaman, yakni mencapai 26 % dari total kebutuhan tenaga kerja.Di sisi lain, ketersediaan tenaga kerja saat ini semakin terbatas. Untuk itu, sistem tanam benih langsung menjadi salah satu solusi. Tujuan kajian adalah mengetahui jumlah pendapatan yang diperoleh petani padi sawah pada sistem tanam benih Langsung (Tabela) di Kec. Bukal. Lokasi kegiatan dilaksanakan di Kecamatan Bukal Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi Tengah. Metode yang digunakan adalah survey dengan teknik penentuan sampel secara sengaja (purposive sampling). Data dianalisis dengan menggunakan metode tabulasi dan rata-rata. Hasil kajian menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan usahatani padi sawah dengan sistem tanam benih langsung (tabela) selama satu musim tanam sebesar Rp. 8.274.500,-/ha dengan B/C Ratio 1, Kata Kunci :Pendapatan, Padi sawah, Tabela.
724
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN Komoditas tanaman pangan, utamanya padi memiliki peranan pokok dalam pemenuhan kebutuhan pangan rakyat Indonesia, karena sebagian besar penduduknya dari 238 juta jiwa mengkonsumsi beras. Kebutuhan beras terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di Indonesia. Kebutuhan beras pada periode 2005-2025 diproyeksikan meningkat seiring dengan laju pertumbuhan 5,7% per tahun. Dengan demikian, kebutuhan akan beras juga meningkat dari 52,8 juta ton pada tahun 2005 menjadi 65,9 juta ton pada tahun 2025. Disisi lain, produksi padi nasional masih relatif rendah (Ditjen Tanaman Pangan, 2010). Penyebabnya adalah terjadinya pelandaian produksi (leveling off), pertambahan penduduk yang sangat cepat dan kurangnya minat generasi muda dalam berusahatani padi (Ananto, 1989). Sementara kebutuhan tenaga kerja pada usahatani padi sawah yang terbesar adalah saat penanaman, yakni mencapai 26 % dari total kebutuhan tenaga kerja (Pane, 2003). Hasil studi kasus di beberapa sentra produksi padi, terutama di daerah Subang dan Karawang menunjukkan bahwa kekurangan tenaga kerja sering terjadi pada saat kegiatan penanaman. Cara tanam padi di Indonesia umumnya menggunakan dua cara yaitu cara tanam pindah atau tapin dan cara tanam benih langsung atau tabela. Tapin banyak dipakai petani di Indonesia dibanding tabela dan cara tabela sangat menguntungkan jika ditanam pada lahan sawah irigasi (Fagi dan Kartaatmadja, 2004). Cara tanam tabela dapat menekan alokasi kebutuhan waktu tanam dari 429 jam/ha pada sistem tapin menjadi 5-11 jam/ha (Ananto et al. 2004). Menurut Fagi dan Kartaatmadja (2004) bahwa setiap cara tanam akan dipilih petani berdasarkan tingkat efisiensi dan efektivitasnya. Sistem tanam benih langsung (Tabela) merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja saat penananam. Di Sulawesi Tengah, sistem tabela sudah mulai memasyarakat dan banyak digunakan oleh petani padi sawah, terutama di daerah yang ketersediaan tenaga kerja terbatas, termasuk Kabupaten Buol. Tanam padi sistem tabela memberikan beberapa keunggulan atau kelebihan dibandingkan cara tanam konvensional karena lebih efisien. Hasil kajian Jumakir dan Endrizal (2009) terkait dengan analisis usahatani padi sawah dengan sistem tanam pindah dan tanam benih langsung menujukkan bahwa sistem tabela lebih menguntung (B/C rasio 1,42) dibandingkan tapin (B/C rasio 1,34). Demikian pula hasil penelitian Sukisti (2010) di Kab. Bantul Yogyakarta, bahwa usahatani padi dengan sistem tabela lebih menguntungkan dibandingkan dengan sistem tanam pindah (tapin).
BAHAN DAN METODE Kajian ini dilaksanakan pada Tahun 2013 di Kecamatan Bukal Kabupaten Buol. Pemilihan lokasi ditentukansecara sengaja(Purpossive sampling)dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu sentra tanaman padi sawah yang ada di kabupetan Buol. Kajian dilakukan dengan menggunakan metode survey. Sebanyak 25% dari 80 RT petani padi sawah yang menggunakan sistem tabela menjadi
725
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
responden atau Dua Puluh orang RT petani. Teknik pengambilan sampel yaitu dengan mengelompokkan data berdasarkan desa yang merupakan sentra pengembangan padi. Data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dan data sekunder yang diperoleh dari instansi yang terkait. Selanjutnya data yang diperoleh dari responden dianalisis secara kuantitatif dan didiskriptifkan. Sedangkan untuk menghitung rasio pendapatan/keuntungan digunakan rumus sebagai berikut (Soekartawi, 2002) : B/C Ratio = Tambahahan Out Put Tambahan Input Dengan Kriteria : B/C Ratio <1 : tidak memberikan keuntungan B/C Ratio > 1 : Untung B/C Ratio = 1 : Impas Sedangkan untuk mengetahui tingkat pendapatan petaniPadi sawah yang menggunakan sistem tanam benih Langsung (Tabela) digunakan rumus pendapatan sebagai berikut : Pd = TR – TC Dimana : TR = Y.Py TC = FC + VC Keterangan : Pd. = PendapatanUsahatani TR = Total Penerimaan (Total revenue) TC = Total Biaya Produksi (total cost) FC = Biaya Tetap (fixed cost) VC = Biaya Variabel(Variabel cost) Y = Produksi yang dihasilkan Py. = Harga Produksi HASIL Tabel 1. Prosentase Responden Berdasarkan Karakteristik Individu Kec. Bukal kab. Buol 2013. Karakteristik individu Kategori Jumlah Prosentase (%) Usia (tahun) 17 – 25 6 30 26 – 35 5 25 36 – 45 7 35 < 46 2 10 Pendidikan SD 2 10 SLTP 8 40 SLTA 10 50 Pengalaman berusahatani 1 – 10 5 25 padi sawah (tahun) 11 – 20 8 40 21 – 30 7 35 Luasan kepemilikan lahan 0,50 – 1,00 13 65 (ha) 1,50 – 2,00 7 35 Sumber : Data Primer setelah diolah, 2013
726
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 2. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Sawah pada Sistem Tanam Benih Langsung di Kec. Bukal Kab. Buol, 2013. Harga Komponen Usahatani Satuan Volume Nilai (Rp) (Rp) A. Penerimaan Nilai Produksi (kg) 3.000 5.250 15.750.000 Rata-rata Penerimaan 15.750.000 B. Biaya – Biaya 1. Biaya Variabel Benih Padi (kg) 6.500 30 195.000 Saprodi - Pupuk Urea (Kg) 1.800 150 270.000 - Pupuk KCL (Kg) 2.500 50 125.000 - Pupuk SP36 (Kg) 2.500 100 250.000 - Pupuk ZA (Kg) 1.700 50 85.000 - Herbisida (Ltr) 55.000 4 250.000 - Insektisida (Ltr) 65.000 3 185.000 Tenaga kerja - Pengolahan tanah (Borongan) 800.000 800.000 - Penanaman (OH) 300.000 2 600.000 - Penyulaman (OH) 50.000 3 150.000 - Pemupukan (OH) 50.000 3 150.000 - Sanitasi (OH) 50.000 3 150.000 - Pengendalian H/P (OH) 200.000 1 200.000 - Panen (Borongan) 150.000 10 1.500.000 Total Biaya Variabel 4.910.000 2. Biaya Tetap - Pajak PBB 85.000 - Penyusutan Alat 30.500 - Sewa Lahan 1.500.000 - Penyusutan produksi 950.000 Total Biaya Tetap 2.565.500 Total Biaya yang dikeluarkan (B1+B2) 7.475.500 Pendapatan bersih (Nilai Produksi - Total 8.274.500 Biaya) B/C Ratio 1,11 Sumber : Data Primer setelah diolah, 2013
Karakterisrik Responden. Hasil wawancara yang dilakukan pada 20% responden menunjukkan variasi yang berbeda, mulai dari usia, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani dan luasan kepemilikan,lahan yang Secara rinci disajikan pada Tabel 1. Usia. Usia petaniresponden yang ada lokasi penelitian bervariasi antara 17 sampai di atas 46 tahun. 35% responden berada pada usia 36-45 tahun, 25%
727
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
berada pada usia 26-35 tahun, 30% berada pada usia 17-25 tahun, dan sisanya 10% berada di atas usia 46 tahun. Pola pikir petani dapat dipengaruhi oleh faktor usia.Usia berkaitan langsung dengan kemampuan fisik dan pola fikir seseorang serta menjadi faktor penentu dalam keberhasilan suatu usaha.Semakin bertambah usia seseorang, akan semakin berkurang kemampuan fisiknya.Sedangkan pola fikir ditentukan oleh tuanya usia seseorang. Keadaan ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani masih dalam kondisi fisik yang mendukung kegiatan usahatani padi sawah, sehingga mudah dalam mengadopsi teknologi yang diberikan. Petani usia produktif memiliki kemampuan bekerja atau beraktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang sudah tidak produktif. Petani yang berumur lebih muda biasanya akan lebih bersemangat dan lebih cepat memahami apa yang diberikan untuk menunjang usaha taninya dibandingkan dengan petani yang berumur lebih tua. Pendidikan. Strata pendidikan formal petani responden adalah 50% berada pada tingkat SLTA, 40% SLTP, dan sisanya adalah SD (10%). Dalam menyerap informasi dan teknologi baru sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.Semakin tinggi tingkat pendidikan,akan menyebabkan cara berfikir seseorang akan semakin dinamis.Dengan demikian, dalam mengadopsi teknologi baru akan semakin mudah untuk dilakukan. Pengalamanberusahatani. Prosentase pengalaman petani responden dalam melakukan usahatani padi sawah sangat bervariasi mulai 1 tahun hingga 30 tahun. 40% petani memiliki pengalaman sebagai petani sawah selama 11 hingga 20 tahun, 35% dari 21 hingga 30 tahun dan sisanya 1 hingga 10 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usahatanipadi sawahtelah cukup lama diusahakan oleh masyarakat setempat. Dengan demikian, pengalaman petani dalam berusahatani padi sawah telah cukup. Luas Kepemilikan Lahan (Ha). Prosentase luas kepemilikan lahan petani antara 0,50-1,00 hektar adalah yang terbanyak (65%), sedangkan sisanya memiliki luas kepemilikan antara 1,5-2,00 hektar. Hal ini menunjukkan bahwa tanam sistem tabela yang dikelola oleh petani responden masih rendah bila dibandingkan dengan sistem tanam pindah. Sikap petani terhadap teknologi sistem tabela kurang mendapat respon positif.Salah satu penyebab adalah sistem irigasi di desa Kecamatan Bukal kabupaten Buol yang belum terorganisir dengan baik, sehingga sulit untuk mengatur pola tanam. Menurut Jannah (2012), luas kepemilikan lahan mempengaruhi tingkat pendapatan usahatani. Keuntungan petani dengan luas penguasaan lahan usahatani yang lebih besar adalah kemampuan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Dengan demikian, selain dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga, juga memungkinkan berinvestasi pada sektor pertanian atau di sektor non pertanian. Investasi yang ditanamkan petani akan menghasilkan tambahan pendapatan bagi rumah tangga petani. Pendapatan Usahatani padi Sawah Sistem Tabela. Besarnya pendapatan yang diterima oleh petani sangat ditentukan oleh besarnya penerimaan dan rendahnya pengeluaran. Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dengan
728
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
biaya yang dikeluarkan atau nilai penerimaan total dikurangi dari keseluruhan biaya produksi dalam proses usahatani tersebut (Roza dalam Jannah, 2012). Hasil analisis usahatani padi sawah dengan sistem tabela menujukkan bahwa rata-rata penerimaan petani per hektar sebesar Rp. 15.700.000,- dengan nilai pendapatan Rp. 8.274.500,-. atauB/C ratio 1,11. Produksi padi rata-rata per hektar mencapai 5.250 kg/ha GKP. Sedangkan total biaya yang dikeluarkan oleh petani adalah Rp. 7.475.500/ha/Musim tanam. Nilai B/C–Ratio lebih besar atau sama dengan satu berarti usaha tani tersebut menguntungkan (Soekartawi, 2002).Hasil analisis usahatani padi dengan sistem tanam benih langsung per hektar per musim tanam disajikan pada Tabel 2.
KESIMPULAN Hasil analisis usahatani padi sawah dengan sistem tabela di Kec. Bukal Kab. Buol memberikan keuntungan yang layak bagi petani dengan nilai B/C ratio 1,32 atau rata-rata pendapatan sebesar Rp. 8.959.500,-/ha/musim tanam. DAFTAR PUSTAKA Ananto, E.E. 1989. Mekanisasi Pertanian dalam Usahatani Padi. Dalam M. Ismunadji, M. Syam, dan Yuswadi (Ed.). Padi, Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.hlm. 631-652. Ananto EE, Handaka dan A Setyono. 2004. Mekanisasi dalam perspektif modernisasipertanian. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Ditjen Tanaman Pangan, 2010. Pedoman Umum Pelaksanaan SL-PTT. Ditjen Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta Fagi AM dan S Kartaatmadja. 2004. Teknologi budidaya padi: perkembangan dan peluang. Ekonomi padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jannah, E.M., 2012. Analisis Keuntungan Usahatani dan Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Petani Ubikayu pada Sentra Agroindustri Tapioka di Kab. Lampung Tengah. Jurnal Informatika Pertanian Vol. 21 No. 2/Desember 2012. Hal. 95-105. Jakarta. Jumakir dan Endrizal, 2009.Produkivitas Padi Sistem Tapin dan Tabela dengan Pendekatan PTT di Lahan Sawah Semi Intensif Provinsi Jambi. BPTP Jambi. Jambi. https://www.google.com/#q=kajian+analisis+usahatani+padi+sawah+ dengan+sistem+tabela&start=0. Diunduh 01 Desember 2013. Pane H. 2003. Kendala dan peluang pengembangan teknologi padi tanam benih langsung. Balai Penelitian Tanaman Padi. Jurnal penelitian dan Pengembangan pertanian. Vol 22 No 44. Sukisti, 2010. Usahatani Padi dengan Sistem Tanam Pindah (tapin) dan Sistem Tabur Benih Langsung (tabela) di Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul Yogyakarta (Skripsi). Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
729
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Soekartawi, 2002. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil, Universitas Indonesia. Press, Jakarta.
730
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kelembagaan Penyuluhan Eksisting Sebagai Implementasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 di PropinsiSumatera Selatan The Existence of Extension Institution as Implementation of the Law Number 16 of 2006 in South Sumatera Province Maya Dhania Sari1*), Harnisah, Triyandar Arief Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sumatera Selatan *) Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. (0711) 410155/(0711) 411845 email:
[email protected] ABSTRACT The enactment of Law No. 16 of 2006 concerning the Agricultural Counseling System, Fisheries and Forestry (LAw of SP3K) is the government's efforts to realize the revitalization of agriculture. In the revitalization of agriculture, establishment of institutional needs to be done. In the province of South Sumatra, institutional counseling has not been formed for all districts / cities as well as in the village. The number of counsellor can not satisfy for one village with one counsellor yet, the counsellor specifications are also not evenly distributed. It can be concluded that the application of the implementation of the Law SP3K in South Sumatra Province has not been optimal yet. So that the Unestablished counsellor institution needs to be established soon. And increasing number of the counsellor also needs to be conducted with respect to their own expertise. Keywords: Extension Institute, counsellor ABSTRAK Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (UU SP3K) merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan revitalisasi pertanian. Dalam revitalisasi pertanian, pembentukan kelembagaan perlu dilakukan. Di Propinsi Sumatera Selatan, kelembagaan penyuluhan belum terbentuk di semua kabupaten/kota maupun di kelurahan/desa. Jumlah penyuluh belum dapat memenuhi satu desa satu penyuluh, bidang keahlian penyuluh yang ada juga belum merata. Dapat disimpulkan bahwa penerapan implementasi UU SP3K di Propinsi Sumatera Selatan belum optimal. Untuk itu kelembagaan penyuluhan yang belum terbentuk perlu segera dibentuk. Dan penambahan jumlah tenaga penyuluh juga perlu dilakukan dengan memperhatikan bidang keahliannya. Kata Kunci: Lembaga Penyuluhan, Tenaga Penyuluh PENDAHULUAN Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk maka semakin bertambah pula kebutuhan pangan, papan dan bahan baku industri. Hal ini telah menjadikan 731
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
pembangunan pertanian yang berkelanjutan sangat perlu untuk dilakukan. Menurut Van Den Ban dan Hawkins (1999) pemerintah mempunyai tujuan-tujuan antara lain: 1) Meningkatkan produksi pangan. Di berbagai negara permintaan terhadap bahan pangan semakin meningkat, baik karena pertumbuhan penduduk maupun meningkatnya kemakmuran. 2) Merangsang pertumbuhan ekonomi. Tujuan ini berkaitan dengan tujuan pertama, tetapi lebih menekankan pada biaya produksi dan daya saing di pasar dunia melalui produksi yang efisien. 3) Meningkatkan kesejahteraan keluarga petani dan rakyat desa. Biasanya petani dan buruh tani yang tidak memiliki lahan sendiri termasuk golongan termiskin di negara yang bersangkutan. 4) Mengusahakan pertanian yang berkelanjutan. Strategi umum untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan pertanian adalah sebagai berikut: 1) Melaksanakan pembangunan yang bersih, transparan dan bebas KKN. 2) Meningkatkan koordinasi dalam penyusunan kebijakan dan manajemen pembangunan pertanian. 3) Memperluas dan memanfaatkan basis produksi secara berkelanjutan. 4) Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan memberdayakan SDM pertanian. 5) Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian. 6) Meningkatkan inovasi dan diseminasi teknologi tepat guna. 7) Mempromosikan dan memproteksi komoditas pertanian. Penyuluhan pertanian merupakan salah satu faktor pendukung terwujudnya pembangunan pertanian. Pemerintah telah mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan pada tanggal 11 Juni 2005 di Bendungan Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat. Pemerintah juga telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (UU SP3K). Undang-Undang ini merupakan suatu upaya untuk mewujudkan revitalisasi pertanian (pertanian, perikanan dan kehutanan). Dalam revitalisasi pertanian, pembentukan kelembagaan perlu dilakukan. Menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006, kelembagaan penyuluhan adalah lembaga pemerintah dan/atau masyarakat yang mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan penyuluhan. UU SP3K dapat digunakan pemerintah dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian, baik pemerintah di tingkat pusat maupun di daerah. Pemerintah telah membentuk lembaga yang akan merumuskan tentang metoda, strategi, dan kebijakan penyuluhan di tingkat Propinsi. Lembaga yang dimaksud adalah Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh). Lembaga penyuluhan terkecil di tingkat desa juga telah dibentuk yaitu Pos Penyuluhan Desa (Posluhdes). Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran kelembagaan penyuluhan dan sumber daya manusia di Propinsi Sumatera Selatan, sehingga dapat diketahui sejauh mana penerapan UU SP3K untuk terwujudnya pembangunan pertanian di Propinsi Sumatera Selatan. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2012 dengan mengumpulkan data primer pada Badan Koordinasi Penyuluh dan BPS Sumatera Selatan. Selain itu dilakukan diskusi dengan beberapa informan kunci pada Badan Koordinasi Penyuluh Propinsi Sumatera Selatan. Data dianalisis dengan menggunakan tabulasi sederhana dan expert analysis. KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN Lima tahun setelah lahirnya Undang-Undang SP3K, Propinsi Sumatera Selatan mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2011 yang
732
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 12 tahun 2011. Dan pada bulan Januari 2012 barulah terbentuk kelembagaan Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh). Sekretariat Bakorluh memiliki tugas untuk mengkoordinir pelaksanaan penyuluhan di setiap kabupaten. Di Propinsi Sumatera Selatan, 13 kabupaten/kota telah berbentuk Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K). BP4K di Propinsi Sumatera Selatan dapat dilihat dari tabel 1. Tabel 1. Kelembagaan Penyuluhan di Tingkat Kabupaten BP4K No. Kabupaten/Kota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Palembang Muba Banyuasin Ogan Ilir OKI OKU Timur OKU OKUS Muara Enim Lahat Musi Rawas Pagar Alam Prabumulih Lubuk. Linggau Empat Lawang Pali Muratara
BP4K** BP4K BP4K BP4K* BP4K BP4K* BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K* BP4K* BP4K** BP4K BP4K** BP4K**
Sumber: Data sementara Sekretariat Bakorluh Sumatera Selatan, 2014 Keterangan: * BP4K masih bergabung dengan Badan Ketahanan Pangan **BP4K menjadi bagian Bidang dari Dinas Pertanian
Dari tabel 1 di atas, empat kabupaten yaitu Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten OKU Timur, Kota Pagar Alam, dan Kota Prabumulih BP4K masih bergabung dengan Badan Ketahanan Pangan (BKP). Sedangkan untuk Kotamadya Palembang, Kota Lubuk Linggau, Kabupaten Muratara dan Pali badan pelaksana penyuluhan pertanain masih dalam proses pembentukan. Di tingkat kecamatan ada lembaga Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang sekarang berubah menjadi BP3K (Balai Penyuluhan, Pertanian, Perikanan dan Kehutanan). Dari 17 kabupaten/kota di Sumatera Selatan, sepuluh diantaranya sudah ada BP3K di setiap kecamatan. Jumlah BP3K di setiap Kabupaetn dapat dilihat pada tabel 2.
733
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 2. Kelembagaan Penyuluhan di Tingkat Kecamatan No. Kabupaten/Kota Jumlah Jumlah BP3K Kecamatan 1 Palembang 16 4 2 Muba 14 15 3 Banyuasin 19 19 4 Ogan Ilir 16 16 5 OKI 18 18 6 OKU Timur 20 20 7 OKU 12 5 8 OKUS 19 16 9 Muara Enim 22 12 10 Lahat 21 14 11 Musi Rawas 14 14 12 Pagar Alam 5 5 13 Prabumulih 6 6 14 Lubuk. Linggau 8 3 15 Empat Lawang 10 10 16 Pali 5 3 17 Muratara 6 6 Jumlah 231 186
Persentase (%) 25 100 100 100 100 100 41,7 84,2 54,5 66,7 100 100 100 37,5 100 60 100 80,5
Keterangan: Sumber: Data Sementara Sekretariat Bakorluh Propinsi Sumatera
Selatan, 2014
Dari tabel 2 dapat diketahui bahwa jumlah BP3K di tujuh kabupaten/kota belum memenuhi satu BP3K untuk satu kecamatan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006, BP3K merupakan pusat koordinasi pelaksanaan kegiatan pembangunan pertanian di wilayah kecamatan. Selain itu BP3K merupakan pusat data dan informasi bagi petani dan pemangku kepentingan lainnya dalam pengembangan usaha di wilayah kecamatan. Mengingt pentingnya peran BP3K, maka pemerintah daerah diharapkan dapat segera membentuk kelembagaan tersebut di setiap kecamatan. Pos penyuluhan adalah lembaga yang ada di tingkat desa/kelurahan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006, pos penyuluhan desa (posluhdes) merupakan unit kerja nonstruktural yang dibentuk dan dikelola secara partisipatif oleh pelaku utama. Sebaran posluhdes di desa/kelurahan Propinsi Sumatera Selatan dapat dilihat pada tabel 3.
734
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Kelembagaan Penyuluhan di Tingkat Desa/Kelurahan No. Kab/Kota *Jumlah **Posluhdes Persentase (%) Kelurahan/Desa 1 Palembang 107 2 Muba 267 100 37,5 3 Banyuasin 304 231 75,9 4 Ogan Ilir 255 5 OKI 321 6 OKU Timur 293 67 22,9 7 OKU 143 100 69,9 8 OKUS 252 4 1,6 9 Muara Enim 321 320 99,7 10 Lahat 382 76 19,9 11 Musi Rawas 190 190 100 12 Pagar Alam 35 13 Prabumulih 19 11 57,9 14 Lubuk. Linggau 72 15 Empat Lawang 159 104 65,4 16 Pali 71 7 9,9 17 Muratara 65 18 27,7 Jumlah 3.256 1.228 37,7 Keterangan: * Sumber: Data BPS, 2012 ** Sumber: Data Sementara Sekretariat Bakorluh, 2012 Dari tabel di atas menunjukkan bahwa dari 17 kabupaten/kota di Sumatera Selatan, baru Kabupaten Musi Rawas yang telah membentuk pos penyuluhan di setiap desa. Dari 3.256 kelurahan/desa hanya 37,7 % pos penyuluhan desa (posluhdes) yang sudah terbentuk, maka perlu dibentuk 2.028 posluhdes lagi. SUMBER DAYA MANUSIA PENYULUHAN PERTANIAN Penyuluh pertanian yang ada di Propinsi Sumatera Selatan berjumlah 1.997 orang. 1.263 orang diantarannya merupakan penyuluh PNS, sedangkan sisanya merupakan penyuluh tenaga kontrak. Bila kita bandingkan dengan jumlah desa pada tabel 2 , untuk mewujudkan satu desa satu penyuluh maka Propinsi Sumatera Selatan membutuhkan 1.214 penyuluh lagi. Sebaran penyuluh pertanian di Propinsi Sumatera Selatan dapat dilihat pada tabel 4.
735
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 4. Jumlah Penyuluh Propinsi Sumatera Selatan No. Kabupaten/ Penyuluh Penyuluh Penyuluh Kota Pertanian Perikanan Kehutanan 1 Palembang 75 6 2 Muba 237 2 3 Banyuasin 262 19 3 4 Ogan Ilir 97 5 5 OKI 219 26 21 6 OKU Timur 187 72 18 7 OKU 147 5 15 8 OKUS 109 73 6 9 Muara Enim 255 12 25 10 Lahat 186 4 13 11 Musi Rawas 276 19 70 12 Pagar Alam 26 2 11 13 Prabumulih 38 2 14 Lubuk. Linggau 64 9 9 15 Empat Lawang 70 10 7 16 Pali 26 1 17 Muratara 11 3 18 Provinsi 22 Jumlah 2.307 265 203
Jumlah 81 239 284 102 266 277 167 188 292 203 365 39 40 82 87 27 14 22 2.775
Sumber: Data Sementara Sekretariat Bakorluh, 2014
Selain menunjukkan jumlah penyuluh masih kurang, dari tabel 4 juga dapat diketahui bahwa sebaran penyuluh berdasarkan keahliannya belum merata. Dapat dilihat bahwa penyuluh pertanian lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan penyuluh perikanan dan penyuluh kehutanan. Di beberapa kabupaten/kota bahkan di Kotamadya Palembang penyuluh berdasarkan bidang keahlian formasinya belum lengkap. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Propinsi Sumatera Selatan, bagaimana mewujudkan satu desa dengan satu tenaga penyuluh. STRATEGI PENGEMBANGAN PENYULUHAN Untuk menerapkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang SP3K, maka diperlukan penataan kelembagaan baik di tingkat propinsi sampai tingkat desa/kelurahan. BP4K di kabupaten/kota yang belum terbentuk segera dibentuk. BP4K yang masih bergabung dengan Badan Ketahanan Pangan (BKP) sebaiknya segera untuk dapat berdiri sendiri, mengingat BP4K merupakan badan yang mengkoordinir penyuluhan dari tiga sub sektor, yaitu pertanian, perikanan, dan kehutanan. Diharapkan dengan berdiri sendiri BP4K dapat lebih optimal dalam mengkoordinir pelaksanaan penyuluhan di tingkat kabupaten/kota. Begitu pula kelembagaan BP3K dapat segara dibentuk di setiap kecamatan agar pelaksanaan penyuluhan di setiap kecamatan dapat terkoordinir dengan lebih baik. Peran pemerintah daerah sangat diperlukan untuk dapat segera membentuk kelembagaan penyuluhan di daerahnya masing-masing.
736
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kelembagaan di tingkat desa juga perlu mendapat perhatian lebih. Bila posluhdes dapat berjalan sesuai dengan fungsinya maka penyuluhan pertanian di tingkat desa akan berjalan baik, sehingga petani sebagai ujung tombak keberhasilan pembangunan pertanian akan mudah mendapatkan informasi yang mereka butuhkan. Kegiatan penyuluhan merupakan pendidikan nonformal yang bertujuan untuk merubah pengetahuan, sikap dan keterampilan. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluhan merupakan suatu upaya untuk mencerdaskan dan meningkatkan kesejahteraan kehidupan. Dan tentu saja untuk memajukan kehidupan bangsa diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk itu penyuluh sebagai change of agent tidak hanya ditambah jumlahnya melalui pengangkatan maupun penerimaan tenaga kontrak, namun harus ditingkatkan pula keahliannya. Peningkatan wawasan/ keahlian penyuluh perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga kondusif bagi pengembangan potensi diri secara self development, yaitu menumbuhkan sikap kemandirian penyuluh dalam mengembangkan dirinya sebagai penyuluh yang semakin profesional (Slamet, 2001). Pertemuan penyuluh yang dilaksanakan di BP3K sebaiknya dapat memberikan manfaat dan menambah ilmu bagi penyuluh sebagai modal pengetahuan yang akan diteruskan pada petani. Materi yang disampaikan pada saat pertemuan penyuluh haruslah sesuai dengan kebutuhan penyuluh dilapangan. KESIMPULAN UU SP3K di propinsi Sumatera Selatan belum diterapkan secara optimal, ini dapat dilihat dari kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten/kota, kecamatan, maupun desa/kelurahan yang belum terpenuhi. Begitu pula dengan tenaga penyuluh petanian yang masih sangat terbatas, baik jumlah maupun bidang keahliannya. DAFTAR PUSTAKA BPS Provinsi Sumatera Selatan. 2013. Sumatera Selatan dalam Angka tahun 2013. Badan Pusat Statistik Sumsel. Palembang. -----------. 2010. Modul Diklat Dasar Penyuluh Pertanian Ahli. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian. Bogor. -----------. 2014. Pedoman Pelaksanaan Klasifikasi Balai Penyuluhan Kecamatan (BPK). Badan penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian. Jakarta. Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluh Propinsi Sumatera Selatan. 2014 Slamet, M. 2001. Menata Sistem Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah. http://a289431cp.blogspot.com/2012/02/menata-sistem-penyuluhan-pertanian-di.html
(31 Oktober 2013) Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Van den Ben.A.W. dan H.S.Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.
737
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Strategi Peningkatan Peran Penyuluh Dalam Transfer Teknologi PTT- Padi di Lahan Rawa Lebak Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan StrategyIncreasing Role of Extension in TechnologyTransfer PTTRiceInTheLowlandSwampOganIlir, SouthSumatra Triyandar Arief1*), Hj.Harnisah, dan MayaDhania Sari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sumatera Selatan *) Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. (0711) 410155/(0711) 411845 Email:
[email protected]
ABSTRACT Increasing rice productivity is determined by the role of the instructor. Assessment of the role of extension of the PTT-Rice technology transfer in lowland swampland Ogan Ilir aims to knowing the performance results achieved extension in the transfer of technology PTT Rice in lowland swamp wetland agroecosystem, and develop strategy for increasing the role of extension in technology trasnfer PTT Rice. Data collected by Foccus Group Dyscution, survey, field observation, against 30 the extension and 30 farmers implementing SL-PTT Rice in Ogan Ilir. Data were analyzed using a simple tabulation and SWOT analysis. From the results of the study indicate that there are two factors supporting/inhibitory role of extension in the transfer of technology PTT Rice, namely: Internal Factor and External Factors. Internal factors, among others: a) formal education, b) The number and type of training, c) Experience into extension, d) The ability to access resources, e) Mastery of the material components SLPTT, f) Ability to convey the message, dig opinion, accept suggestions/criticism, discuss, create an atmosphere of the meeting, and acting as a facilitator, g) The ability to use tools. External factors namely: a) Distance/location, b) The substance ofthe PL-II, c) received publication from various sources, d) Total of SLPTT units escorted, e) Total of villages constructed. Agricultural extension in Ogan Ilir has been instrumental both in technology transfer PTT rice in lowland swampland. It is shown the performance results achieved by farmers is quite good, with the increase in rice productivity is high. Having regard to the opportunities, strengths, weaknesses, and threats that exist, then there are four strategies that can be taken to increase the role of extension, among others utilize and optimize function and facilitates extension in BPP with facilities/infrastructure support, improve supervision, and involves extension non government. Keywords: Strategy, increasing the role of extension, PTT Rice in lowland swamp
738
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ABSTRAK Peningkatan produktivitas padi sangat ditentukan oleh peran penyuluh. Pengkajian peran penyuluh terhadap transfer teknologi PTT-Padi di lahan rawa lebak Kabupaten Ogan Ilir bertujuan diantaranya untuk mengetahui kinerja hasil yang dicapai penyuluh dalam transfer teknologi PTT Padi pada agroekosistem lahan sawah rawa lebak, dan menyusun strategi peningkatan peran penyuluh dalam transfer teknologi PTT Padi. Pengumpulan data dilakukan dengan Foccus Group Dyscution, survey, dan observasi lapang terhadap 30 orang penyuluh dan 30 orang petani pelaksana SLPTT Padi. Data dianalisis dengan menggunakan tabulasi sederhana dan analisis SWOT. Dari hasil kajian menunjukkan bahwa ada dua faktor pendukung/penghambat peran penyuluh dalam transfer teknologi PTT Padi, yaitu Faktor Internal : a) Pendidikan Formal, b) Jumlah dan jenis diklat, c) Pengalaman menjadi penyuluh, d) Kemampuan mengakses sumber informasi, e) Penguasaan materi komponen SLPTT, f) Kemampuan menyampaikan pesan, menggali pendapat, menerima saran/kritik, berdiskusi, menciptakan suasana pertemuan, dan bertindak sebagai fasilitator, dan g) Kemampuan menggunakan alat bantu. Danfaktor eksternal yaitu : a) Jarak/lokasi binaan, b) Muatan materi pada PL-II, c) Menerima publikasi dari berbagai sumber, d) Jumlah unit SLPTT yang dikawal, dan e) Jumlah desa binaan. Penyuluh pertanian di Kabupaten Ogan Ilir telah berperan ”baik” dalam transfer teknologi PTT padi di lahan rawa lebak. Hal ini ditunjukkan kinerja hasil yang dicapai oleh petani cukup baik, dengan peningkatan produktivitas padi ”cukup” tinggi. Dengan memperhatikan peluang, kekuatan, kelemahan, dan ancaman yang ada, maka ada 4 (empat) Strategi yang dapat ditempuh untuk dapat meningkatkan peran penyuluh, antara lain memanfaatkan dan optimalkan fungsi BPP dan memfasilitasi penyuluh dengan sarana/prasarana pendukung, meningkatkan supervisi, dan melibatkan penyuluh swadaya. Kata Kunci : Strategi, Peningkatan Peran Penyuluh, PTT Padi Lahan Rawa Lebak PENDAHULUAN Badan Penelitian dan Pengembangan (LITBANG) pertanian telah menghasilkan berbagai inovasi teknologi yang telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas padi, diantaranya penggunaan varietas unggul yang sebagian diantaranya telah dikembangkan oleh petani. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, badan LITBANG Pertanian juga telah menghasilkan dan mengembangkan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang ternyata mampu meningkatkan produktivitas padi dan efisiensi input produksi, salah satu upaya dalam peningkatan produksi pangan adalah menerapkan pola pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Namun dalam pelaksanaannya tidak terlepas dari peran penyuluh lapang, yang ikut membantu terlaksananya Teknologi PTT Padi. Sumatera Selatan dengan agroekosistem yang lebih beragam dibandingkan wilayah lain di Indonesia, menyebabkan keragaman dalam teknis budidaya padi. Hal ini menuntut adanya spesifik teknologi tersendiri untuk tiap agroekosistem. Akan menjadi spesifik lagi jika terkait dengan budaya
739
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
setempat¸apakah petani sebagai pendatang (peserta transmigrasi) atau etnis lokal yang selama ini juga menanam jenis-jenis padi lokal. Hal ini memberikan nuansa sendiri dalam melakukan pendampingan kegiatan SLPTT Padi di Sumatera Selatan. Konstribusi setiap komponen teknologi PTT terhadap produktivitas padi berbeda antara agroekosistem dan antar lokasi. PTT yang paling besar kontribusinya terhadap produktivitas padi pada lahan sawah irigasi adalah VUB bermutu bersertifikat dan pemupukan anorganik spesifik lokasi, sedangkan pada lahan sawah tadah hujan adalah penambahan bahan organik (Sutrisna,N et all., 2011).Keberhasilan SLPTT diitentukan oleh 1) Seberapa besar teknologi yang dapat kita sampaikan kepada petani sebagai pelaku usaha; 2) Seberapa besar teknologi tersebut dapat diserap dan dilaksanakan oleh mereka; 3) Seberapa besar manfaat dari teknologi tersebut bagi petani kita; 4) Dan yang terpenting seberapa besar teknologi tersebut dapat meningkatkan. Penyuluh pertanian baik PNS maupun THL yang ditempatkan dalam WKPP di desa mempunyai tugas antara lain : a) Menghadiri pertemuan/musyawarah yang diselenggarakan oleh kelompok tani., b) Menyampaikan berbagai informasi dan teknologi usaha tani, c) Memfasilitasi kelompok tani dalam melakukan PRA, d) penyusunan rencana definitif kelompok (RDK) dan rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK), e) Penyusunan progama penyuluhan pertanian desa/kelurahan., f) Mengajarkan berbagai ketrampilan usaha tani serta melakukan, bimbingan penerapannya., g) Membantu para petani untuk mengidentifikasi permasalahan usaha tani, yang dihadapi serta memilih alternatif pemecahan yang terbaik, h) Menginventarisir masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh kelompok tani dan anggota untuk dibawa dalam pertemuan di BPP. i) Melakukan pencatatan mengenai keanggotaan dan kegiatan kelompok tani yang tumbuh dan berkembang di wilayah kerjanya. J) Menumbuhkembangkan kemampuan menajerial, kepemimpinan, dan kewirausahaan kelembagaan tani serta pelaku agribisnis lainnya. k) Memfasilitasi terbentuknya gabungan kelompok tani serta pembinaannya, l) Melaksanakan forum penyuluhan tingkat desa (musyawarah/ rembug kontak tani, temu wicara serta koordinasi penyuluhan pertania (Kementan, 2007). SLPTT Padi merupakan salah satu program strategis Kementerian Pertanian. Dalam pelaksanaan SL-PTT Padi diharapkan mampu memberdayakan petani agar memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan pengelolaan usaha taninya, kemandirian dalam menumbuhkan dan memecahkan masalahnya sendiri, serta kemampuan dalam menstransfer ilmunnya ke petani lainnya, dengan demikian akan tercipta petani yang tangguh, dalam arti ahli mengelola usaha taninya, ahli meneliti, ahli menyuluh dan ahli mengajar kepada petani lainnya. Dari uraian di atas dapat dirumuskan beberapa masalah terkait peningkatan peran penyuluh dalam transfer teknologi PTT padi, yaitu : 1) Faktor-faktor apa yang mendorong/menghambat peningkatan peran penyuluh dan 2) bagaimana kinerja hasil yang dicapai penyuluh dalam transfer teknologi PTT Padi pada agroekosistem lahan sawah irigasi, dan 3) Bagaimana strategi peningkatan peran penyuluh dalam trasnfer teknologi PTT Padi tersebut?. Makalah ini bertujuan untuk: 1) Menganalisis faktor-faktor pendorong/ penghambat peningkatan peran penyuluh dalam mentransfer teknologi PTT padi pada agroekosistem lahan sawah irigasi, 2) Mengetahui peran dan kinerja
740
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
penyuluh dalam transfer teknologi PTT padi pada agroekosistem lahan rawa lebak, dan 3) Menyusun strategi peningkatan peran penyuluh dalam transfer teknologi PTT padi pada agroekosistem lahan rawa lebak. BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan di Kabupaten Ogan Ilir. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, dengan alasan bahwa kabupaten tersebut mewakili agroekosistem lahan rawa lebak dan sebagai penyangga beras yang cukup besar di Sumatera Selatan. Pengkajian dilaksanakan pada Maret-Desember 2012. Teknik Penentuan Sampel. Responden dalam pengkajian ini adalah penyuluh pertanian (PPL PNS atau PPL-THL-BPP) di lokasi pelaksana SLPTT tahun 2010 atau tahun 2011. Populasi sampel diambil sebanyak 60 orang Penyuluh, yang diambil masing-masing dari 30 orang penyuluh yang berasal dari 2 (dua) kecamatan atau BPP, satu diantaranya adalah BPP-Model. Informan kunci (key informan) adalah pihak-pihak lembaga atau dinas dan individu yang terkait dengan upaya-upaya peningkatan peran penyuluh dalam transfer teknologi PTT Padi kepada petani, antara lain: koordinator penyuluh (Kepala BPP), ketua poktan (LL), Peneliti/penyuluh pendamping BPTP, POPT/PHP, Kepala Cabang Dinas (KCD), staf Bidang Produksi Dinas Pertanian, dan petani pelaksana SLPTT Padi. Tabel 1. Rincian asal, jabatan, Jumlah Sampel Pengkajian No 1
2
Sampel Penyuluh (Responden)
Asal Kabupaten Agroekosistem Rawa Lebak BPP Pemulutan BPP Indralaya
Informan Kunci Kab. Ogan Ilir Korluh Kabid Produksi KCD POPT /PHP Petani pelaksana SLPTT Peneliti/Penyuluh (LO) BPTP
Jumlah (Org)
15 15 2 2 2 2 30 1
Pengumpulan Data. Pengumpulan data dilakukan 3 (tiga) cara yaitu 1) FGD (Focus Group Discussion), Wawancara Mendalam (In depth interview ), dan 3) Observasi Lapang. Peserta FGD adalah penyuluh dan informan kunci yang terdiri dari koordinator penyuluh (Kepala BPP), ketua poktan/gapoktan, POPT/PHP, peneliti/penyuluh pendamping BPTP, POPT/PHP, Kepala Cabang Dinas (KCD), Kabid Produksi Dinas Pertanian, dan petani pelaksanaa SLPTT. Pada pelaksanaan FGD topik diskusi yang akan didiskusikan peserta FGD adalah terkait dengan tujuan kajian.
741
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Wawancara mendalam dilakukan untuk melengkapi atau mendalami data /informasi yang diperoleh pada saat pelaksanaan FGD, dengan menggunakan instrumen wawancara terstruktur melalui kuisioner. Observasi lapang yang digunakan adalah observasi berperan (partisipant observation), dimana pada saat observasi lapang penyuluh sedang melaksanaakan proses alih teknologi proses belajar-mengajar di Laboratorium Lapangan (LL). Pengamatan meliputi aspek penguasaan materi, kemampuan berkomunikasi, penggunaan alat bantu/peraga. Metode Pelaksanaan. Metode yang dipergunakan dalam kajian ini adalah Metode Deskriptif dengan menggunakan 3 (tiga) pendekatan, yaitu (1) studi pustaka (Desk Studi), 2) Focus Group Discustion (FGD), dan (3) survei lapangan (wawancara dan observasi lapang). Pelaksanaan kegiatan ini menggunakan berbagai tahap, mulai dari tahap penyusunan desain studi, penyusunan instrument, penentuan sampel (sampling technic), pengumpulan data lapangan, tabulasi data, pemilihan dan pemilahan data, analisis data, dan intrepretasi data analisis data ke dalam suatu bentuk laporan yang komprehensif. Jenis dan Sumber Data. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer berasal wawancara langsung secara terstruktur dengan penyuluh dengan menggunakan kuisioner. Sedangkan data sekunder berasal dari wawancara informan kunci, laporan-laporan dinas/instansi terkait, desk study, dan lain-lain Metoda Analisis Data. Data-data yang berhasil dikumpulkan, baik data primer maupun sekunder, selanjutnya ditabulasi, direkap, diedit, di-coding, dan dilakukan pemilihan item atas dasar prioritas kebutuhan untuk pengolahan data dan tujuan kajian. Analisis yang akan digunakan didalam penelitian ini adalah: 1) analisis kekuatan internal dan eksternal (SWOT) untuk megidentifikasi faktor pendorong/penghambat peran penyuluh dan mendapatkan strategi peningkatan peran penyuluh ; 2) tabulasi sederhana (kinerja). Untuk mengetahui peran penyuluh, kinerja penyuluh oleh petani, penerapan PTT padi oleh petani, aksesibilitas penyuluh terhadap sumber informasi teknologi, aspek persiapan pelaksanaan, dan aspek pelaksanaan SL-PTT padi dilakukan dengan membuat klasifikasi. Sebelum membuat klasifikasi tersebut perlu ditentukan panjang interval kelas. Menurut Riduwan (2003), rumus yang digunakan untuk menentukan panjang interval kelas adalah : data tertinggi - data terendah Panjang interval kelas = jumlah kelas
742
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Penyuluh. Rata-rata usia penyuluh di wilayah kajian berkisar antara 32-35 tahun., dengan pengalaman kerja sebagai penyuluh relatif baru antara 6-8 tahun. Lama masa pendidikan sekitar 13-15 tahun artinya setara dengan D-I atau D-III, dengan berlatar belakang pendidikan umumnya adalah pertanian (90 %), dengan sebagian lainnya peternakan (10%). Penyuluh di Kabupaten Ogan Ilir mempunyai wilayah binaan berkisar 1-3 desa binaan. Dengan jarak tempuh ke wilayah binaan sekitar 20 – 40 km, mereka tiba di lokasi wilayah binaan sekitar 1-2 jam perjalanan.
Tabel 2. Karakteristik Penyuluh sebagai responden di Kab. Ogan Ilir No Uraian BPP BPP Indralaya Pemulutan 1 35.5 Umur penyuluh (tahun) 32.1 2 15.7 Pendidikan (tahun) 13.38 3 8.18 Pengalaman sbg penyuluh (tahun) 6.65 4 Latar belakang pendidikan 100 - Pertanian 90 - Peternakan 10 - Perikanan 5 1.85 Anggota keluarga < 15 tahun (orang) 1.6 6 2.72 Anggota keluarga > 15 tahun (orang) 2.5 7 1.3 Jumlah wilayah kerja (desa) 1.7 8 275 Luas hamparan sawah di wilayah kerja (ha) 519.25 9 20 Jarak rumah ke wilayah kerja terdekat (km) 34.8 10 Waktu tempuh ke wilayah kerja terdekat (menit) 23.63 38 Sumber : Harnisah et al, 2012 Aksesibilitas Penyuluh. Penyuluh sebagai agen perubahan dalam pelaksanaan pembangunan pertanian, perlu menyampaikan informasi teknologi kepada petani sebagai pengguna. Banyak sumber yang dapat diakses penyuluh untuk mendapatkan informasi teknologi seperti siaran RadioTelevisi, koran, pada saat mengikuti pendidikan dan latihan bahkan yang bersumber dari cyber extension. Aksesibilitas PPL terhadap sumber informasi di BPP Indralaya terkategori ”kurang”, sedangkan di BPP Pemulutan termasuk katagori ”cukup” (Tabel 3) Tabel 3. Aksesibilitas PPL terhadap infotek dan pelaksanaan SL-PTT padi No Agroekosistem Lebak Uraian BPP Indralaya BPP Pemulutan 1
Aksesibilitas Thd Sumber Informasi Teknologi
31.5 (kurang)
37.65 (cukup)
2
Persiapan pelaksanaan SL-PTT
19.13 (cukup)
19.4 (cukup)
3
Pelaksanaan SL-PTT
54.79 (cukup)
62.4 (baik)
Sumber : Harnisah et al, 2012
743
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kurangnya aksesibilitas PPL terhadap informasi ini karena rendahnya akses mereka ke Website, cyber extension dan keikutsertaan mereka dalam seminar dan lokakarya. Padahal informasi juga dapat diperoleh dari sumber-sumber tersebut. Untuk melaksanakan SL-PTT seorang PPL tentu harus mempersiapkan pelaksanaannya, mulai dari jumlah unit SLPTT yang dibimbing/dikawal, jumlah desa lokasi binaan, menyesuaikan komponen teknologi yang dirakit dengan wilayah yang didampingi, perakitan komponen teknologi yang seharusnya dilakukan bersama petani secara partisipatif, menyusun kurikulum dan rencana pertemuan dalam 1 (satu) musim tanam. Di dalam persiapan pelaksanaan SL-PTT padi baik di BPP Indralaya maupun BPP Pemulutan termasuk katagori cukup. Sedangkan dari aspek pelaksanaan SL-PTT padi oleh PPL, BPP Pemulutan termasuk kategori baik, sedangkan di BPP Indralaya termasuk kategori cukup. Karakteristik Petani Ditinjau dari usianya, petani pelaksana SL-PTT padi sebagai responden umumnya berusia rata-rata diatas 40 tahun. Dengan demikian peserta SL-PTT padi tersebut secara-rata masih terkategori tenaga kerja yang berusia produktif dalam melakukan usahatani padinya, dengan pengalaman berusahatani padi berkisar 15 - 20 tahun. Dengan waktu tersebut, memang bukan lagi suatu masa pangalaman yang singkat untuk petani Jumlah persil yang digarap terbanyak di Kabupaten Ogan Ilir ini berhubungan juga dengan luas pemilikan lahan sawahnya. Rata-rata luas milik lahan sawah yang terlibat dalam kegiatan SL-PTT padi adalah 2,0 ha. Tabel 4. Karakteristik Petani sebagai responden No Uraian Agroekosistem Lebak BPP Indralaya BPP Pemulutan 1 46.8 Umur petani (tahun) 43.8 2 8.7 Pendidikan (tahun) 8.5 3 17.9 Pengalaman berusahatani (tahun) 15.1 4 2.88 Anggota keluarga < 15 tahun (orang) 2 5 3.14 Anggota keluarga > 15 tahun (orang) 3.6 6 Anggota keluarga ikut berusahatani 3 (orang) 2.4 7 2 Jumlah persil digarap (persil) 2.5 8 1.46 Luas milik lahan sawah (ha) 1.68 9 Luas milik lahan sawah untuk SL1 PTT (ha) 1 Sumber : Harnisah et al, 2012
Mata Pencaharian Petani. Aktivitas petani untuk memenuhi kebutuhan keluarganya juga tergambar oleh pekerjaan yang mereka lakukan. Semakin banyak aktivitas petani di suatu wilayah akan menggambarkan semakin banyak sumber pendapatannya, sehingga pendapatan dari sektor pertanian boleh jadi semakin rendah. Di kecamatan Indralaya Kabupaten OKI dengan agroekosistem lebaknya, mata pencaharian utama responden selain sebagai petani ada juga sebagai pedagang (40%) bahkan nelayan (10%), sedangkan di Kecamatan pemulutan 40% diantaranya memiliki mata pencaharian utama sebagai pedagang.
744
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 5. Mata pencaharian petani Uraian
No 1 Mata pencaharian utama (% responden) - Petani - pedagang - nelayan 2 Mata pencaharian sampingan - Petani - Nelayan - Peternak 3 - Karyawan 4 - Buruh 5 - Dagang 6 - Tukang
Agroekosistem Lebak BPP Indralaya BPP Pemulutan 60 30 10
70 30
30
20 20 20 10
30 40
Sumber : Harnisah et al, 2012
Responden juga memiliki mata pancaharian sampingan. Variasi yang lebih besar terjadi di Kecamatan Indralaya dan di Kecamatan Pemulutan, dimana semua responden memiliki mata pencaharian sampingan. Mata pencaharian sampingannya ada juga sebagai pedagang dan tukang. Mata pencaharian sampingan sebagai karyawan juga terdapat pada responden di Kecamatan pemulutan. Karyawan dianggap responden sebagai mata pencaharian sampingan, boleh jadi karena dari sudut pandang responden itu besarannya yang tidak seberapa jika dibanding mata pencaharian utama yang memberikan nilai yang jauh lebih besar. Faktor Pendukung/Penghambat Peran Penyuluh Dalam Transfer Teknologi. Ada 2 (dua) faktor yang mendukung/menghambat peran penyuluh dalam transfer teknologi PTT Padi pada agroekositem lahan sawah irigasi yaitu 1) Faktor Internal dan 2) Faktor Eksternal. Faktor internal. Penyuluh pertanian di kabupaten Ogan Ilir umumnya mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup (D3). Dengan pengalaman kerja rata-rata antara 6-8 tahun tentunya kemampuan berkomunikasi untuk menyampaikan pesan, menggali pendapat, berdiskusi, bertindak sebagai fasilitator, dan penguasaan materi komponen teknologi PTT (dasar dan pilihan) merupakan faktor internal yang sangat mendukung peran penyuluh dalam transfer teknologi, dapat dikatakakan cukup memadai. Di sisi lain, kesempatan penyuluh untuk mengikuti diklat, kemampuan individu dalam melaksanakan PRA, menyusun kurikulum materi pelatihan petani, kemampuan mengakses sumber informasi, dan kemampuan untuk menggunakan alat bantu/peraga penyuluhan termasuk katagori kurang, dan hal ini merupakan faktor yang dapat menghambat peningkatan peran penyuluh. Umumnya penyuluh berdomisili sekitar 20-40 km dari lokasi binaan. Jarak ini dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor sekitar 2-3 jam. Setiap orang penyuluh umumnya membina 2-3 wilayah desa binaan dengan jumlah unit SLPTT yang dibina sebanyak 8-12 unit. Namun demikian, faktor eksternal lain yang 745
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dapat menghambat peran penyuluh antara lain terbatasnya publikasi tercetak maupun elektronik yang diterima dari berbagai sumber masih dirasakan kurang. Disamping itu, muatan-muatan materi yang disampaikan pada saat mereka menerima pelatihan PL-II masih dirasakan perlu ada peningkatan. Tabel 8. Faktor Pendukung/Penghambat Peran Penyuluh No I 1 2 3 4
Faktor Pendukung/ Penghambat Faktor Internal Pendidikan Formal Jumlah dan jenis diklat Pengalaman menjadi penyuluh Kemampuan mengakses sumber informasi (tercetak/ elektronik) 5 Kemampuan indididu dalam PRA, merakit, menyusun kurikulum , dan menyusun rencana pertemuan poktan 6 Penguasaan materi komponen SLPTT (dasar dan pilihan) 7 Kemampuan menyampaikan pesan, menggali pendapat, menerma saran/kritik, berdiskusi, menciptakan suasana pertemuan, dan bertindak sebagai fasilitator 8 Kemampuan menggunakan alat bantu/alat peraga II Faktor Eksternal 1 Jarak/lokasi binaan 2 Muatan materi pada PL-II 3 Menerima publikasi tercetak/elektronik dari berbagai sumber 4 Jumlah unit SLPTT yang dikawal 5 Jumlah desa binaan
Agroekesistem Lebak (n = 30) cukup Sangat kurang cukup kurang cukup
baik baik
baik kurang cukup cukup cukup cukup
Sumber : Harnisah et al, 2012
Peran dan Kinerja Penyuluh dalam Transfer Teknologi PTT. Untuk meningkatkan produksi tanaman padi, maka diperlukan peran seorang penyuluh yang terkait dengan upayanya untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan petani. Untuk mendapatkan hasil yang objektif, dari peran dan kinerja penyuluh ini, maka penggalian informasi dilakukan terhadap petani. Hasil penilaian responden tersebut menunjukkan bahwa di semua kecamatan sebagai wilayah pengkajian, penyuluh berperan baik dalam pelaksanaan SL PTT padi tersebut. Namun kinerja yang dicapainya, oleh responden hanya di Kabupaten Musi Rawas saja yang dinilai baik, sedangkan di Kabupaten OI dan Banyuasin dinilai cukup. Penilaian peranan petani diperoleh dari item-item sebagai berikut: 1). Memfasilitasi dalam membangun jaringan Komunikasi dan Koordinasi, 2). Memotivasi petani, 3). Memediasi dalam pelaksanaan Demplot dan Pertemuan Kelompok, 4). Menginisiasi petani, 5). Mendinamiskan petani dalam kelompok dan berusahatani, 6). Mendampingi petani dalam agar mandiri dan berkelanjutan, 7). Meningkatkan akses petani pada sumberdaya produktif, 8). Meningkatkan 746
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
partisipasi petani sehingga ada kemauan, kesanggupan dan kemampuan, 9). Peningkatan kapasitas petani agar poktan lebih berperan, kegiatan terencana, dan adanya partisipasi petani dalam pengambilan keputusan, 10). Menumbuhkan Kesadaran Lingkungan (Penggunaan Pupuk Berimbang, Ramah Lingkungan), 11). Memperbaiki Kondisi Lahan (Partisipasi dalam SLPHT), 12). Menguatkan Manjerial, Leadership dan Wirausaha, 13). Menguatkan Modal Sosial, 14). Merubah Perilaku Petani, 15). Sumber Informasi & Iptek; 16). Memperbaiki Kinerjanya (Kapasitas, Akses, Kepekaan, Tanggungjawab, Mutu Layanan), 17). Mendidik dan mengarahkan petani agar mampu bersaing, keberlanjutan usaha, dan berinteraksi. Penilaian kinerja dinilai dari beberapa item sebagai berikut: 1). Kemampuan penyuluh mengakses informasi, 2). Kemampuan penyuluh mengakses teknologi, 3). Kemampuan penyuluh berkomunikasi /menyampaikan pesan ke dan dengan petani, 4). Kemampuan penyuluh berkoordinasi dengan pihak terkait, 5). Peningkatan produktivitas usahatani padi. Selain itu kinerja ini juga dinilai dari bagaimana aktivitas PPL mendampingi petani melalui unit percontohan dengan menerapkan: 1). Penggunaan VUB , 2). Penanaman Bibit muda (< 15 hari), 3). Penggunaan pupuk organik (pupuk kandang), 4). Penerapan Irigasi berselang (intermitten), 5). Penggunaan Bagan Warna Daun (BWD), 6). Perlakuan benih sebelum ditanam, 7). Cara pengolahan tanah, 8). Cara tanam jajar legowo, 9). Pengendalian hama terpadu, 9). Pengendalian gulma, 10). Penggunaan Alat mesin pertanian, dan 11). Penanganan panen dan pasca panen. Tabel 8. Kriteria peran dan kinerja penyuluh menurut petani dan penerapan PTT Padi No Uraian 1 2 3
Peranan penyuluh Kinerja penyuluh Penerapan PTT Padi oleh petani
Agroekosistem Lebak (kab. OI) BPP Indralaya BPP Pemulutan 60.23 (baik) 60.6 (baik) 50.78 (cukup) 56.52 (cukup) 46.21 (baik) 45.53 (baik)
Sumber : Harnisah et al, 2012
Meskipun kinerja petani dibeberapa lokasi kegiatan dinilai cukup oleh petani, namun Penerapan PTT oleh petani menunjukkan hasil penilaian yang terkategori baik di semua kabupaten pengkajian. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya dengan hasil yang dicapai petani masih menginginkan adanya peningkatan kinerja penyuluh terutama dalam pelaksanaan pendampingan tersebut. Penilaian terhadap penerapan PTT ini meliputi: 1) Penggunaan varietas unggul, 2) Penggunaan benih bermutu/ bersertifikat, 3). Penggunaan bibit Muda, 4) Jumlah bibit pada saat tanam per rumpun/ lubang, 5) Sistem tanam oleh petani, 6) Pemberian pupuk N dengan Bagan Warna Daun (BWD), 7) Pemberian pupuk P, 8). Pemberian pupuk K, 9) Pemberian bahan organik, 10) Penanggulangan gulma, 11). Pengendalian hama/penyakit, 12) Waktu panen, 13). Alat dan cara panen , 14) Pasca panen dan 15) Jumlah komponen teknologi PTT yang diterapkan. Penilaian kinerja dinilai dari beberapa item sebagai berikut: 1). Kemampuan penyuluh mengakses informasi, 2). Kemampuan penyuluh mengakses teknologi, 3). Kemampuan penyuluh berkomunikasi /menyampaikan pesan ke dan dengan 747
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
petani, 4). Kemampuan penyuluh berkoordinasi dengan pihak terkait, 5). Peningkatan produktivitas usahatani padi. Selain itu kinerja ini juga dinilai dari bagaimana aktivitas PPL mendampingi petani melalui unit percontohan dengan menerapkan: 1). Penggunaan VUB , 2). Penanaman Bibit muda (< 15 hari), 3). Penggunaan pupuk organik (pupuk kandang), 4). Penerapan Irigasi berselang (intermitten), 5). Penggunaan Bagan Warna Daun (BWD), 6). Perlakuan benih sebelum ditanam, 7). Cara pengolahan tanah, 8). Cara tanam jajar legowo, 9). Pengendalian hama terpadu, 9). Pengendalian gulma, 10). Penggunaan Alat mesin pertanian, dan 11). Penanganan panen dan pasca panen. Strategi Peningkatan Peran Penyuluh Dalam Transfer Teknologi PTT Padi-Lebak Peluang. Berdasarkan hasil diskusi FGD dapat dirumuskan bahwa peluang untuk meningkatkan peran penyuluh dalam transfer teknologi PTT Padi di lahan rawa lebak cukup tinggi dengan memperhatikan beberapa aspek antara lain : 1) Adanya dukungan pemerintah (BLBU, BLP, perbaikan saluran, alsintan.), 2) ketelibatan petani non SLPTT, 3) Adanya kebutuhan informasi teknologi oleh petani, 4) Adanya jadwal pertemuan yang tersusun, dan 5) Tingkat kehadiran petani dalam pertemuan merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan peran penyuluh dalam mentransfer teknologi PTT. Keberhasilan pelaksanaan SL-PTT Padi ini juga didukung oleh adanya. Program pemerintah yang mendukungnya seperti adanya BLBU, BLP, perbaikan saluran, alsintan dll). Pada pelaksanaan SL-PTT sendiri petani mendapat bantuan benih unggul. Begitu juga dengan upaya pemerintah meningkatkan jumlah PPL diharapkan mampu dalam melaksanakan program SL-PTT. Keterlibatan petani non SL-PTT merupakan indikator penyebaran informasi teknologi pada petani non SL. Untuk melibatkan petani non SL dapat dilakukan dengan mencari letak yang strategis untuk melaksanakan demplot yaitu mudah dilihat dan letaknya mudah dijangkau petani. Adanya hasil yang lebih tinggi dan meyakinkan petani dari hasil demplot dibanding pola petani setempat akan menyebabkan petani non SL tertarik pada kegiatan PTT tersebut. Adanya kebutuhan informasi teknologi pada petani merupakan peluang untuk memperbesar dampak kegiatan ke wilayah non SL. Inovasi teknologi pertanian dapat didiseminasikan melalui berbagai pendekatan dan media. Pemilihan yang tepat terhadap metoda pembinaan dan media yang digunakan merupakan salah satu faktor yang dapat memperlancar upaya penyampaian informasi kepada pengguna. Terbatasnya media yang ada, dapat mempengaruhi transfer teknologi yang dihasilkan (Mardikanto dan Sri Sutarni, 1982; Sudarmanto, 1988). Keberhasilan program SL-PTT juga ditentukan kehadiran petani pada setiap pertemuan yang sudah terjadwal baik tingkat kecamatan maupun desa. Pada saat pertemuan ini lah informasi berkaitan dengan kebijakan pemerintah, transfer teknologi dilaksanakan. Untuk itu penjadwalan pertemuan di kecamatan, desa dan di kelompok disusun bersama petani. Kekuatan (K). Ketersediaan teknologi PTT padi di lahan rawa lebak ini sudah tersedia. Badan Litbang Deptan sudah menghasilkan berbagai teknologi mulai dari penyiapan bibit dan cara tanam, pemilihan varietas, pengolahan lahan, 748
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
teknologi hemat air, pemupukan spesifik lokasi, pemberian bahan organik, pengendalian organisme pengganggu tanaman, panen dan pasca panen untuk mendukung pelaksanaan kegiatan ini. Informasi tersebut tersedia baik dalam bentuk brosur, leaflet, petunjuk teknis dan materi-materi pelatihan yang sudah diberikan pada pemandu teknologi dan PPL. Keberadaan penyuluh, juga menjadi syarat untuk ditetapkannya desa tersebut sebagai lokasi SL, karena mulai dari penentuan calon lokasi dan petani sudah melibatkan PPL tersebut. Implementasi teknologi melalui demplot dilakukan di bawah bimbingan PPL dengan terlebih dahulu melalukan identifikasi masalah, kendala dan peluang , kemudian ditentukan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan petani setempat. Menguatnya hasil diskusi yang difokuskan pada penyuluh dan berpedoman pada analisa data sebelumnya terlihat bahwa penyuluh yang ada di wilayah agroekosistem lebak umumnya masih muda, dan pengalaman kerja berkisar antara 6- 8 tahun, bagi petani sudah cukup membantu dalam transfer teknologi PTT, namun lokasi wilayah yang cukup jauh, sekitar 15 - 35 km, penyuluh sering mengalami keterlambatan dalam pertemuan kelompok. Bagi penyuluh yag pengalaman cukup lama di lapangan tidak mengalami kesulitan dalam mentransfer teknologi PTT, akan tetapi bagi penyuluh THL yang baru beberapa tahun di tugas mengalami permasalahan dalam transfer tekologi, apalagi belum dibekali pendidikan dan pelatihan (diklat). Besarnya minat petani mengikuti SL dapat dilihat dari adanya keikutsertaan petani bukan peserta pada kegiatan temu lapang di lokasi SL-PTT, dan petani peserta juga berperan memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat, dan meningkatkan kemampuan melalui proses pembelajaran di Laboratorium Lapangan. Kelemahan. Lemahnya peran penyuluh pertanian lapangan dalam mentransfer teknologi PTT padi , di lahan rawa lebak dikarenakan penguasaan materi penyuluhan (teknologi PTT) yang masih kurang terutama bagi penyuluh yang belum berpengalaman di lapang (PNS/THL) baru mulai bekerja sudah dibebani dengan pekerjaan SL-PTT, disamping itu juga belum pernah mendapat pendidikan dan latihan (diklat) berkaitan dengan PTT. Akibat keterbatasan jumlah penyuluh, sehigga satu orang penyuluh adakala memantau 1 - 3 desa. Demikian juga akses penyuluh untuk mendapatkan sumber informasi masih di katagori kurang untuk BPP Indralaya dan cukup untuk BPP Pemulutan. Kurangnya akses terhaap informasi di lihat dari akses mereka terhadap Website, cyber extension dan untuk mengikuti seminar atau workshop. Pelaksanaan dan persiapan SL-PTT di semua lokasi dapat dikatakan sudah cukup, namun kelemahan yang masih di dapat kadang kala dalam implementasinya tidak sesuai dengan rencana/jadwal yang telah ditetapkan, hal ini dikarenakan pengaruh musim, sudah seharusnya nanam, tetapi kemarau terjadinya pergeseran jadwal tanam. Dari 12 komponen teknologi PTT yang tersedia, sistem tanam jajar legowo dan Bagan Warna Daun (BWD) merupakan teknologi yang sulit diterapkan oleh petani. Hal ini dikarenakan petani belum begitu mengerti atau jelas tentang teknologi tesebut, disamping itu juga alat peraga BWD belum tersedia di lapangan. 749
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Apabila peluang ini dapat dimanfaatkan dan mensinergikan dengan kekuatan dan kelemahan yang ada dalam diri penyuluh, maka strategi yang dapat ditempuh untuk peningkatan peran penyuluh di lahan rawa lebak yaitu sebagai berikut: Strategi I (K x P) 1. Optimalkan peran dan fungsi BPK/BPP/desa sebagai POSKO IV dan V untuk perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi SL-PTT 2. Manfaatkan dan optimalkan fungsi Balai Penyuluh Pertanian sebagai tempat pertemuan/pelatihan 2 mingguan bagi penyuluh 3. Memfungsikan BPK/BP sebagai forum pertemuan petani tingkat kecamatan untuk pemecahan masalah agribisnis padi 4. Memanfaatkan lahan BPK/BPP untuk display varietas padi rawa lebak dan demplot/demfarm SLPTT Padi spesifik lokasi 5. Mengembnagkan sitem laku dengan metoda dan media penyuluhan yang ada 6. Meningkatkan koordinasi dan sinergi penyuluhan – penelitian-pelayanan dalam pendampingan pengawalan SL-PTT Strategi II (L x P) 1. Menghadirkan peneiliti BPTP Sumsel sebagi nara sumber dalam pertemuan/pelatihan rutin 2 mingguan di BPK/BPP 2. Pengadaan bahan materi penyuluhan yang brsumberkan dari BPTP Sumsel untuk untuk disebar luaskan ke petani baik dalam bentuk tercetak maupun elektronik 3. Melatih penyuluh untuk mengembangkan sistem penyuluhan berbasis web 4. Meningkatkan volume dan kualitas bahan materi penyuluhan baik tercetak maupun elektronik 5. Memfasilitasi penyuluh dengan sarana/prasarana pendukung (kenderaan roda 2) dan alat bantu/ peraga sebagai media penyuluhan Ancaman. Adanya konversi lahan sawah merupakan “ancaman” pengembangan tanaman padi secara keseluruhan. Rendahnya harga jual gabah atau beras pada saat panen dan lebih stabilnya harga karet dan kelapa sawit, dapat merupakan ancaman yang serius dan mulai dilirik oleh petani untuk beralih usahatani yang lebih layak secara ekonomis. Strategi III (K x A) 1. Memberikaninsentif/bantuan operasional penyuluh dalam pengawalan/pendampingan SL-PTT 2. Sosialisasi kalender anam (KATAM dan varietas unggul baru dilahan rawa lebak (inpara, dll) 3. Meningkatkan supervisi dan sinergi peneliti-penyuluh-petani dalam memecahkan masalah. Strategi IV (L x P) Melibatka penyuluh swadaya (kontak tani, dll) dalam proram SL-PTT.
750
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil kajian yang telah dilaksanakan maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Faktor pendukung/penghambat peran penyuluh dalam transfer teknologi PTT Padi di Kabupaten Ogan Ilir (Lahan rawa Lebak) adalah : 1) Internal dan 2) Faktor Eksternal. Faktor internal antara lain : 1) Pendidikan Formal, 2) Jumlah dan jenis diklat, 3) Pengalaman menjadi penyuluh, 4) Kemampuan mengakses sumber informasi (tercetak/ elektronik), 5) Kemampuan indididu dalam PRA, merakit, menyusun kurikulum , dan menyusun rencana pertemuan poktan, 6) Penguasaan materi komponen SLPTT (dasar dan pilihan), 7) Kemampuan menyampaikan pesan, menggali pendapat, menerima saran/kritik, berdiskusi, menciptakan suasana pertemuan, dan bertindak sebagai fasilitator, dan 8) Kemampuan menggunakan alat bantu/alat peraga. Sedangkan Faktor eksternal yaitu : 1) Jarak/lokasi binaan, 2) Muatan materi pada PL-II, 3) Menerima publikasi tercetak/elektronik dari berbagai sumber, 4) Jumlah unit SLPTT yang dikawal, dan 5) Jumlah desa binaan 2. Penyuluh pertanian di Kabupaten Ogan Ilir telah berperan ”baik” dalam transfer teknologi PTT padi di lahan rawa lebak. Hal ini ditunjukkan kinerja hasil yang dicapai oleh petani cukup baik, dengan peningkatan produktivitas padi ”cukup” tinggi. 3. Dengan memperhatikan peluang, kekuatan, kelemahan, dan ancaman yang ada, maka ada 4 (empat) Strategi yang dapat ditempuh untuk dapat meningkatkan peran penyuluh, yaitu : Strategi I (K x P) a. Optimalkan peran dan fungsi BPK/BPP/desa sebagai POSKO IV dan V untuk perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi SL-PTT b. Manfaatkan dan optimalkan fungsi Balai Penyuluh Pertanian sebagai tempat pertemuan/pelatihan 2 mingguan bagi penyuluh c. Memfungsikan BPK/BP sebagai forum pertemuan petani tingkat kecamatan untuk pemecahan masalah agribisnis padi d. Memanfaatkan lahan BPK/BPP untuk display varietas padi rawa lebak dan demplot/demfarm SLPTT Padi spesifik lokasi e. Mengembnagkan sistem laku dengan metoda dan media penyuluhan yang ada f. Meningkatkan koordinasi dan sinergi penyuluhan – penelitianpelayanan dalam pendampingan pengawalan SL-PTT Strategi II (L x P) a. Menghadirkan peneiliti BPTP Sumsel sebagi nara sumber dalam pertemuan/pelatihan rutin 2 mingguan di BPK/BPP b. Pengadaan bahan materi penyuluhan yang brsumberkan dari BPTP Sumsel untuk untuk disebar luaskan ke petani baik dalam bentuk tercetak maupun elektronik c. Melatih penyuluh untuk mengembangkan sistem penyuluhan berbasis web
751
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
d. Meningkatkan volume dan kualitas bahan materi penyuluhan baik tercetak maupun elektronik e. Memfasilitasi penyuluh dengan sarana/prasarana pendukung (kenderaan roda 2) dan alat bantu/ peraga sebagai media penyuluhan Strategi III (K x A) 4. Memberikan insentif/bantuan operasional penyuluh dalam pengawalan/pendampingan SL-PTT 5. Sosialisasi kalender anam (KATAM dan varietas unggul baru dilahan rawa lebak (inpara, dll) 6. Meningkatkan supervisi dan sinergi peneliti-penyuluh-petani dalam memecahkan masalah Strategi IV (L x P) Melibatka penyuluh swadaya (kontak tani, dll) dalam proram SL-PTT.
752
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2001. Pengembangan dan Evaluasi Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Pada Padi Sawah Irigasi. Balai Penelitian Padi Sukamandi. 2-14. Anonim. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 2007. 1-39. Bungin, Burhan. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Aktualisasi Metodologis kearah Ragam Varian Kontemporer. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Departemen Pertanian. 2006. Kebijaksanaan Nasional Penyelenggaran Penyuluhan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Grootaert, C. 1997. Social Capital: The Missing Link? Environmentally and Socially Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Kemandirian Petani di Jawa Barat. Disertasi. IPB, Bogor Kartasasmita, G. 2005. Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Tinjauan Administrasi. Makalah Disampaikan dalam Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Unibraw, Malang. Kurnia, G. 1999. Triangulasi: Penyuluh, Petani dan Peneliti. Pusat Dinamika Pembangunan Unpad, Bandung. Kurnia, G. 2004. Petani: Pejuang yang Terpinggirkan. Makalah Pengukuhan Guru Besar. Unpad, Bandung. Margono Slamet. 1998. Reformasi Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Departemen Pertanian, Jakarta Sutopo, H. B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif : Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. UNS Press. Surakarta Rivera, W.M dan Gustafson, D.J. 1997. Agricultural Extension: Worldwide Institutional Evolution and Forces for Change. Elsevier Science Publishing, Amesterdam. Setiawan, I dan Y Sukayat. 2007. Penelitian Peran Penyuluh Pertanian di Kabupaten Tasikmalaya. Kantor Penyuluhan Pertanian, Tasikmalaya. Sutrisna et all., 2011. Proseding Konstribusi Komponen Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) terhadap peningkatan produktivitas padi inbrida Jawa Barat. Kementerian Peranian. Hal 847-855. Tubbs, S.L dan S.Moss. 1996. Human Communications: Prinsip-Prinsip Dasar. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
753
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel Lampiran 1. Hasil penilaian faktor pendukung/penghambat peran penyuluh dalam transfer teknologi di Kabupaten Ogan Ilir (Lahan rawa Lebak) No Aspek Penilaian Agroekosistem Lebak Nilai Skor Penilaian I Karakteristik individu 1 Pendidikan formal 2,80 Cukup 2 Jumlah dan jenis diklat 2,05 Sangat kurang 3 Pengalaman menjadi penyuluh 2,74 Cukup 4 Jarak/lokasi domisili penyuluh 2,22 Kurang II Aksesibilitas Thd Sumber Informasi 5 Banyaknya Sumber informasi teknologi PTT yang 1,95 Kurang diperoleh penyuluh 6 Muatan materi PTT Padi yang diterima dari fasilitator 2,70 Cukup PL-II 7 Menerima publikasi cetakan (Brosur/ Juknis, Liptan) 2,62 Cukup PTT Padi 8 Mendengarkan siaran radio pedesaan 2,10 Kurang 9 Mengakses Web site BPTP/balit/Puslit/Badan Libang 2,15 Kurang 10 Mendapatkan informasi teknologi PTT dari Koran Sinar 2,57 Kurang Tani 11 Mencari informasi teknologi PTT Padi dari Cyber 2,09 Kurang extention 12 Menerima informasi teknologi PTT Padi dari Diklat 2,43 Kurang Teknis 13 Mengikuti Seminar/Workshop/Temu Lapang/Gelar 2,43 Kurang Teknologi (atas inisiatif sendiri) 14 Mengikuti Seminar/Workshop/Temu Lapang/Gelar 2,33 Kurang Teknologi (penugasan unit kerja) III ASPEK PERSIAPAN PELAKSANAAN SLPTT 15 Jumlah unit SLPTT yang dibimbing/dikawal 2,65 Cukup 16 Jumlah desa lokasi binaan Penyuluh Pendamping 4,38 Baik 17 Kesesuaian komponen teknologi yang dirakit dengan 2,80 Cukup potensi wilayah 18 Perakitan komponen teknologi secara partisipatif 3,25 Baik 19 Penyusunan kurikulum (materi, praktek, sarana 3,00 Cukup pendukung) pertemuan di LL dan SL 20 Jumlah kali rencana pertemuan dalam 1 (satu) Musim 3,19 Cukup Tanam IV ASPEK PELAKSANAAN SLPTT 21 Penguasaan materi komponen teknologi dasar 3,00 Baik 22 Penguasaan materi komponen teknologi pilihan PTT 3,20 Baik Padi 23 Kemampuan menyampaikan pendapat 3,14 Baik 24 Penyediakan waktu untuk berdiskusi dari dan untuk 3,71 Baik anggota 25 Kemampuan menggali pendapat petani untuk 3,28 Baik berbicara/berdiskusi
754
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
No 26 27 28
Aspek Penilaian
Agroekosistem Lebak Nilai Skor Penilaian Kemampuan menciptakan suasana pertemuan yang akrab 3,42 Baik Kemampuan menempatkan diri sebagai fasilitator dalam 3,33 baik SL Kemampuan menerima kritik, saran, pendapat orang lain 3,42 baik dan pengendalian diri Keakraban dengan petani anggota SLPTT 3,65 baik Kemampuan menggunakan alat bantu/peraga 3,23 baik Relevansi materi sesuai dengan kebutuhan petani 3,19 baik
29 30 31 ` 32 Keterlibatan peneliti dalam pemecahan masalah di lapangan 33 Kemampuan berkoordinasi dengan pihak terkait 34 Prosentase kehadiran anggota poktan dalam pertemuan 35 Peningkatan produktivitas usahatani padi yang dicapai di LL 36 Peningkatan produktivitas usahatani padi yang dicapai diluar SL
2,35
kurang
3,23 3,04 3,50
baik cukup baik
2,95
baik
755
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel Lampiran 2. Matriks Swot Analisis Peningkatan Peran Penyuluh Dalam Transfer Teknologi PTT di Kabupaten Ogan ilir (Lahan Rawa Lebak) Faktor Internal Kekuatan (K) Kelemahan (L) 1. Latar belakang pendidikan 1) Jumlah dan jenis diklat yang cukup tinggi dan pengalaman diikuti sebagai penyuluh cukup lama 2. Tersedianya lahan dan poktan 2) Jumlah unit SLPTT yang sebagai unit SLPTT didampingi 3. Tersedianya penyuluh sbg 3) Jarak lokasi binaan penyuluh fasilitator 4) Akses penyuluh terhadap 4. Tersedianya komponen sumber informasi teknologi teknologi dasar dan pilihan rendah SLPTT padi di lahan lebak 5) Implementasi kelas belajar 5. Tersedianya Laboratorium kurang sesuai rencana lapang (LL) dan Sekolah 6) Penggunaan alat bantu/ peraga Lapang (SL) sbg kelas belajar sbg media penyuluhan 6. Kemampuan menyampaikan Faktor Eksternal pesan, berdiskusi, menerima kritik, menjalin keakraban dengan petani Peluang (P) Strategi I (K x P) Strategi II (L X P) 1. Adanya 1. Optimalkan peran dan fungsi 1. Menghadirkan peneliti BPTP dukungan BPK/BPP/desa sebagai Sumsel sebagai nara sumber pemerintah POSKO IV dan V untuk dalam pertemuan/ pelatihan (BLBU, BLP, perencanaan, pelaksanaan, rutin 2 mingguan di BPK/BPP perbaikan dan evaluasi SLPTT 2. Penggandaan bahan materi saluran, 2. Manfaatkan dan optimalkan penyuluhan yang bersumber alsintan, dll) fungsi Balai Penyuluhan dari BPTP sumsel untuk 2. Keterlibatan Kecamatan (BPK/BPP) disebarkan ke petani baik petani non sebagai tempat dalam bentuk tercetak maupun SLPTT pertemuan/pelatihan 2 elektronik 3. Adanya mingguan bagi penyuluh 3. Melatih penyuluh untuk kebutuhan 3. Memfungsikan BPK/BPP mengembangkan sistem informasi sebagai forum pertemuan penyuluhan berbasis web teknologi oleh petani tingkat kecamatan 4. Meningkatkan volume dan petani untuk pemecahan masalah kualitas bahan materi 4. Adanya jadwal usaha agribiisnis padi penyuluhan baik tercetak pertemuan yang 4. Memanfaatkan lahan maupun elektronik tersusun BKP/BPP untuk display 5. Memfasilitasi penyuluh 5. Tingkat varietas padi rawa lebak dan dengan sarana/prasarana kehadiran demplot/demfarm SLPTT pendukung (kendaraan roda 2) petani dalam Padi spesifik lokasi dan alat bantu/peraga sbg pertemuan 5. Mengembangkan sistem media penyuluhan 6. Peningkatan LAKU dengan metoda dan provitas padi di media penyuluhan yang ada LL dan SL 6. Meningkatkan koordinasi dan sinergi penyuluhan-penelitian
756
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
–pelayanan dalam pendampingan/ pengawalan SLPTT Ancaman (A) Strategi III (K X A) 1. Aktivitas 1. Memberikan insentif/bantuan penyuluh dalam operasional penyuluh dalam program lain pengawalan/pendampingan (PUAP. FEATI, SLPTT dll) 2. Sosialisasi kalender tanam 2. Resiko kegagalan (KATAM) dan varietas panen (banjir/ unggul baru di lahan rawa kekeringan) lebak (Inpara, dll) 3. Keterlibatan 3. Meningkatkan supervisi dan peneliti dalam sinergi peneliti-penyuluhpemecahan petani dalam pemecahan masalah masalah usahatani
Strategi IV (L X P) Melibatkan penyuluh swadaya (Kontak Tani, dll) dalam program SLPTT
757
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kelompok Tani Sebagai Media Penyuluhan dalam Pengembangan Pertanian Farmer Groups as Media Outreach In Development Agriculture Mahdalena*) dan SIH Nugrahini Widiastuti1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan *) Penulis untuk korespondensi: Telp/Fax.+62711410155/+062711411845 Email:
[email protected] ABSTRACT Farmer groups is very important in the process of delivering information and new technology to farmers. For it is very important to know the effectiveness of farmer groups as media outreach in the delivery of innovation. Group counseling method is more advantageous than the media because there will be feedback to minimize misunderstandings between extension workers and farmers in the information recipient interaction between farmers and extension agents will be more intensive. In this method, farmers are invited and guided in groups to carry out activities that are more productive on the basis of cooperation. Extension act more as a conduit of information to farmers, where the higher the intensity of counseling and incompatibility of information needed by farmers will make farmers survive in the group to meet the needs and his desires. Keywords:farmer groups, media outreach, development agriculture ABSTRAK Kelompok tani sangat penting dalam proses penyampaian informasi dan teknologi baru kepada petani. Untuk itu sangat perlu diketahui keefektifan kelompok tani sebagai media penyuluhan dalam penyampaian inovasi. Metode penyuluhan kelompok lebih menguntungkan daripada media massa karena akan terjadi umpan balik yang dapat meminimalkan salah pengertian antara penyuluh dan petani dalam penerima informasi maka interaksi antara petani dan penyuluh akan lebih intensif. Dalam metode ini petani diajak dan dibimbing secara berkelompok untuk melaksanakan kegiatan yang lebih produktif atas dasar kerja sama. Penyuluh lebih berperan sebagai pemberi informasi kepada petani, dimana semakin tinggi intensitas penyuluhan dan sesuainya informasi yang dibutuhkan petani akan membuat petani bertahan dalam kelompok untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannnya. Kata kunci :kelompok tani, media penyuluhan, pengembangan pertanian
758
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN Kelompok tani merupakan wadah atau tempat belajar, bekerjasama, berproduksi dan melakukan usaha-usaha/bisnis. Keefektifan kelompok tani sebagai media penyuluhan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Berikut merupakan faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap keefektifan kelompok tani sebagai media penyuluhan, antara lain: 1) Pengembangan dan pembinaan kelompok merupakan sebuah usaha mempertahankan kehidupan kelompok yang meliputi partisipasi semua anggota, penyediaan fasilitas, menciptakan kegiatankegiatan, menerapkan norma, serta adanya sosialisasi. Semakin baik pengembangan dan pembinaan kelompok, maka kelompok tani semakin efektif sebagai media penyuluhan. Beberapa komponen dalam pengembangan dan pembinaan di dalam kelompok yang menentukan tingkat keefekifan kelompok tani sebagai media penyuluhan antara lain adanya partisipasi aktif semua anggota kelompok tani dalam kegiatan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan bersama. Partisipasi aktif anggota kelompok tani timbul karena adanya rasa memiliki kelompok yang meningkatkan rasa tanggung jawab untuk terus mengembangkan dan membina kelompoknya. 2) Suasana kelompok : Suasana kelompok yang baik didukung oleh adanya hubungan yang baik antar anggota kelompok yang menimbulkan rasa bersemangat pada diri anggota untuk mencapai tujuan bersama. Dan 3) Peran penyuluh : Penyuluh berperan dalam memberikan informasi dan teknologi baru kepada petani serta bersedia membantu jika petani mengalami permasalahan dalam berusahatani. (Kusumaningsih, 2008) Mosher (1977), dalam uraiannya mengenai syarat pokok dan faktor pelancar pembangunan pertanian, mengemukakan bahwa kegiatan penyuluhan atau pendidikan pembangunan merupakan salah satu faktor pelancar pembangunan pertanian. Penyuluhan atau pendidikan pembangunan adalah pendidikan tentang pembangunan pertanian yang mencakup: pendidikan pembangunan untuk petani, pendidikan bagi petugas penyuluhan pertanian, dan latihan petugas teknik pertanian (Mardikanto, 1993). Disinilah peran kelompok tani sebagai media pembelajaran bagi petani dalam upaya peningkatan produktivitas usahataninya. Untuk mewujudkan hal tersebut maka dalam tulisan ini akan dibahas beberapa hal yang mempunyai peran penting dalam pengembangan kelompok tani melalui media penyuluhan antara lain adalah peran penyuluh dan keefektifan kelompok tani sebagai media penyuluhan. PENGERTIAN KELOMPOK TANI Kelompok tani merupakan kumpulan para petani yang tumbuh berdasarkan keakraban dan keserasian, serta kesamaan kepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian untuk bekerjasama meningkatkan produktivitas usaha tani dan kesejahteraan anggotanya. Fungsi utama kelompok tani pada dasarnya adalah sebagai wahana: proses belajar mengajar, bekerjasama, berproduksi, dan usaha/ bisnis. Departemen Pertanian RI dalam Hariadi (2005). Dari definisi tersebut, kelompok tani dapat dipahami sebagai sebuah wadah atau media bagi para petani dalam melakukan kegiatan usahataninya. Keberadaan kelompok tani cukup penting karena menjadi sebuah unit kerjasama antar petani yang bersinergi dalam rangka meningkatkan produktivitas usahataninya. Lebih 759
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
luas lagi, eksistensi kelompok tani dapat mendukung program-program dalam pembangunan pertanian. Dalam proses revitalisasi, eksistensi dan keefektifan kelompok tani merupakan unsur yang perlu diperhatikan. Kelompok tani dengan kontak taninya merupakan kelembagaan sosial yang pokok dalam sistem penyuluhan pertanian. Ia juga merupakan basis dalam aktivitas penyuluhan pertanian. Kelompok tani sebagai suatu unit belajar merupakan wadah/tempat dilakukannya pelatihan atau penyuluhan (Hariadi, 2011). Beberapa keuntungan dari pembentukan kelompok tani antara lain diungkapkan oleh Torres dalam Mardikanto (1993) sebagai berikut: a) Semakin eratnya interaksi dalam kelompok dan semakin terbinanya kepemimpinan kelompok, b) Semakin terarahnya peningkatan secara cepat tentang jiwa kerjasama antar petani, c) Semakin cepatnya proses perembesan (difusi) penerapan inovasi (teknologi) baru, d) Semakin naiknya kemampuan rata-rata pengembalian pinjaman petani, e) Semakin meningkatnya orientasi pasar, baik yang berkaitan dengan masukan (input) maupun produk yang dihasilkannya, F) Semakin dapat membantu efisiensi pembagian air irigasi serta pengawasannya oleh petani sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka untuk penyampaian suatu teknologi sangat penting dilakukan dalam kelompok tani. Tanpa kelompok tani terdapat beberapa hal yang terkendala untuk pengembangan pertanian. Tanpa adanya kelompok tani, maka dampak yang akan timbul adalah : a) Kegiatan penyuluhan oleh PPL tidak dapat dilaksanakan, b) Petani tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah sebagai akibat tidak adanya kelembagaan pertanian yang dapat mengelola bantuan dengan baik, khususnya kelompok tani, c) Pola dan teknik pelaksanaan kegiatan usahatani tidak berjalan dengan baik sehingga menimbulkan masalah-masalah dalam usahatani. Misalnya kesulitan air serta serangan hama. MANFAAT PENYULUHAN Menurut Depatemen Pertanian (2006), penyuluhan pertanian adalah suatu pandangan hidup atau landasan pemikiran yang bersumber pada kebijakan moral tentang segala sesuatu yang akan dan harus diterapkan dalam perilaku atau praktek kehidupan sehari-hari. Penyuluhan Pertanian harus berpijak kepada pengembangan individu bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu Penyuluhan Pertanian sebagai upaya membantu masyarakat agar mereka dapat membantu dirinya sendiri dan meningkatkan harkatnya sebagai manusia. Pengertian membantu masyarakat agar dapat membantu dirinya sendiri tersebut terdapat beberapa kokok pikiran tentang pelaksanaan penyuluhan pertanian. Penyuluhan pertanian harus mengacu pada kebutuhan sasaran/petani yang akan dibantu, dan bukan sasaran yang harus mengikuti keinginan Penyuluh Pertanian; penyuluhan pertanian harus mengarah pada terciptanya kemandirian petani, tidak menciptakan ketergantungan petani terahadap penyuluh; Penyuluh Pertanian harus mengacu kepada perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan sasaran, tidak mengutamakan taget-terget fisik yang tidak banyak manfaatnya bagi bagi perbaikan kualitas hidup sasaran. Penyuluhan pertanian harus bekerja dengan masyarakat dan bukan bekerja untuk masyarakat. Penyuluhan Pertanian tidak menciptakan ketergantungan tetapi harus mampu mendorong semakin
760
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
terciptanya kreativitas dan kemandirian masyarakatat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswadaya, swakarsa, swadana dan swakelola bagi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pertanian guna mencapai tujuan, harapan dan keinginan-keinginan sasaran. Penyuluhan Pertanian yang dilaksanakan harus selalu mengacu pada terwujudnya perbaikan kesejahteraan ekonomi masyarakat dan peningkatan harkatnya sebagai manusia. Penyuluhan adalan proses pendidikan yang bertujuan untuk mengubah pengetahuan sikap dan keterampilan masyarakat tani. Sasaran penyuluhan pertanian adalah segenap warga masyarakat (pria, wanita, termasuk anakanak). Penyuluhan pertanian juga mengajar masyarakat tentang apa yang diinginkannya dan bagaimana cara mencapai keinginan-keinginan itu. Metode yang diterapkan dalam penyuluhan pertanian adalah belajar sambil bekerja dan mengajarkan pada petani untuk percaya pada apa yang dilihatnya. Sedangkan pola komunikasi yang dikembangkan adalah komunikasi dua arah, saling menghormati dan saling mempercayai dalam bentuk kerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyuluh Pertanian harus mampu menumbuhkan citacita yang dilandasi untuk selalu berfikir kreaif dan dinamis yang mengacu pada kegiatan-kegiatan yang ada dan dapat ditemui di lapangan atau harus selalu disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi. PELAKU/FASILIATOR PENYULUHAN PERTANIAN Pelaku utama dalam kegiatan penyuluhan pertanian adalah seorang Penyuluh Pertanian atau juga sering disebut Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Penyuluh Pertanian pada dasarnya adalah aparat atau agen yang membangun pertanian, pendidik/penasehat yang mengabdi untuk kepentingan para petani, nelayan beserta keluarganya dengan memberikan motivasi, bimbingan dan mendorong para petani-nelayan mengembangkan swadaya dan kemandiriannya dalam berusaha tani yang lebih menguntungkan menuju kehidupan yang lebih bahagia dan sejahtera, untuk itu seorang Penyuluh Pertanian dituntut untuk dapat mengembangkan program dan materinya dalam melaksanakan penyuluhan agar kinerja penyuluh lebih maksimal. Pelaksanaan penyuluhan pertanian dilakukan harus sesuai dengan program penyuluhan pertanian. Program penyuluhan pertanian dimaksudkan untuk memberikan arahan, pedoman, dan sebagai alat pengendali pencapaian tujuan penyelenggaraan penyuluhan pertanian, Program penyuluhan pertanian terdiri dari program penyuluhan pertanian desa, program penyuluhan pertanian kecamatan, program penyuluhan pertanian kabupaten/kota, program penyuluhan pertanian propinsi dan program penyuluhan pertanian nasional. Penyuluh Pertanian dalam melakukan tugas dilapangan selain melakukan penyuluhan, memberikan motivasi dan inovasi teknologi yang dibutuhkan oleh para petani dan keluarganya yang meliputi : 1. Penyuluh sebagai inisiator, yang senantiasa selalu memberikan gagasan/ideide baru. 2. Penyuluh sebagai fasilitator, yang senantiasa memberikan jalan keluar/ kemudahan-kemudahan, baik dalam menyuluh/proses belajar mengajar, maupun fasilitas dalam memajukan usahataninya. Dalam hal menyuluh
761
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
penyuluh memfasilitasi dalam hal : kemitraan usaha, berakses ke pasar, permodalan dan sebagainya. 3. Penyuluh sebagai motivator, penyuluh senantiasa membuat petani tahu, mau dan mampu. 4. Penyuluh sebagai penghubung yaitu penyampai aspirasi masyarakat tani dan pemerintah. Apa yang harus penyuluh lakukan dan persiapkan agar penyuluhan sesuai dengan keinginan dan harapan petani dan keluarganya yang telah dituangkan dalan programa penyuluhan dan rencana kerja penyuluhan pertanian (RKPP) bulanan maupun tahunan: 1. Memahami kondisi, harapan dan keinginan petani saat ini 2. Pahami materi, media dan metode penyuluhan yang akan dilakukan 3. Gunakan sarana dan prasarana yang memadai 4. Gunakan waktu yang tepat dan akurat. Penyuluhan yang efektif yaitu Penyuluh Pertanian sebelum melakukan kegiatan dilapangan memahami tentang permasalahan dipetani (pelaku utama maupun pelaku usaha), siapkan alternatif pemecahan yang harus dilakukan, lakukan penyuluhan yang tepat seperti tersebut diatas, apabila telah selesai melakukan penyuluhan untuk melihat sejauhmana sasaran penyuluhan ada perubahan pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan tahapan adopsi inovasi teknologi yang dianjurkannya. Penyuluhan yang dilakukan sebaiknya dilakukan secara partisipatif, sehingga petani mampu mengemukakan pendapatnya, serta mampu menyusun rencana kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga, maupun lingkungannya. Penyuluh lebih berperan sebagai pemberi informasi kepada petani, dimana semakin tinggi intensitas penyuluhan dan sesuainya informasi yang dibutuhkan petani akan membuat petani bertahan dalam kelompok untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannnya. Dalam era baru pertanian, penyuluh lapangan dituntut untuk memiliki fungsi paling tidak dalam tiga hal yaitu transfer teknologi (technology transfer), fasilitasi (facilitation) dan penasehat (advisory work). Untuk mendukung fungsi-fungsi tersebut, penyuluh pertanian lapangan mestinya juga menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. KEEFEKTIPAN KELOMPOK TANI SEBAGAI MEDIA PENYULUHAN Kelompok tani sangat penting dalam proses penyampaian informasi dan teknologi baru kepada petani. Untuk itu sangat perlu diketahui keefektifan kelompok tani sebagai media penyuluhan dalam penyampaian inovasi. Metode penyuluhan kelompok lebih menguntungkan daripada media massa karena akan terjadi umpan balik yang dapat meminimalkan salah pengertian antara penyuluh dan petani dalam penyampaian informasi. Dalam metode ini interaksi yang timbul antara petani dan penyuluh akan lebih intensif. Dalam metode ini petani diajak dan dibimbing secara berkelompok untuk melaksanakan kegiatan yang lebih produktif atas dasar kerja sama. Efektifitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan, jika hasil kegiatan makin mendekati sasaran berarti makin tinggi efektifitasnya. Menurut (Hariadi, 2011) menyatakan bahwa sebuah
762
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
kelompok tani dinilai efektif, bila kelompok tersebut memiliki karakteristik berikut: a. b. c. d.
Memahami dengan jelas tujuan sasarannya. Mampu menetapkan prosedur yang sesuai demi tercapainya tujuan bersama Komunikasi lancar serta ada pengertian antar anggota Ketegasan pemimpin dalam mengambil keputusan dengan melibatkan anggotanya e. Keseimbangan produktivitas kelompok dan kepuasan individu terjaga f. Tanggung jawab kepemimpinan dipikul bersama sehingga semua anggota terlibat dalam menyumbangkan ide atau pendapatnya g. Adanya rasa kebersamaan h. Mampu mengatasi perbedaan yang terjadi dalam kelompok i. Tidak ada dominasi baik oleh pemimpin maupun anggota kelompok j. Keseimbangan antara perilaku emosi dan perilaku rasional dalam setiap usaha pemecahan masalah. Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa keefektifan kelompok sebagai keberhasilan kelompok untuk mencapai tujuannya. Hal tersebut dapat dilihat pada tercapainya keadaan atau perubahan-perubahan (fisik maupun non fisik). Posisi kelompok tani sebagai media penyuluhan adalah bahwa kelompok tani merupakan wadah sekaligus sasaran utama dalam kegiatan penyuluhan pertanian. Berkaitan dengan arah dan kebijaksanaan pembangunan nasional dijelaskan bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas manusia sebagai kekuatan pembangunan, maka perlu ditingkatkan usaha-usaha pembinaan, pengembangan dan pemanfaatan potensi SDM (Soekartawi, 1995). Di sinilah peran penyuluhan dalam memberikan pembinaan dan pendidikan untuk mengoptimalkan potensi SDM kepada petani melalui kelompok tani sebagai media penyuluhannya. Pelaksanaan pembangunan seringkali menggunakan kelompok sosial sebagai kelompok sasaran. Untuk itu keberadaan kelompok tani perlu direvitalisasi, dikuatkan posisinya, serta didorong untuk terus menjaga eksistensinya. Hal itu dilakukan mengingat intenstitas hubungan yang telah terbentuk dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang produktif dan berprospektif kedepan. PENUTUP Kelompok tani sebagai media penyuluhan adalah bahwa kelompok tani merupakan wadah sekaligus sasaran utama dalam kegiatan penyuluhan pertanian. Kelangsungan kegiatan penyuluhan dapat ditinjau dari eksistensi dan keefektifan kelompok tani. Peran penyuluhan dalam memberikan pembinaan dan pendidikan untuk mengoptimalkan potensi SDM kepada petani melalui kelompok tani sebagai media penyuluhannya. Penyuluhan memegang peran yang penting yaitu sebagai faktor pelancar dalam pembangunan pertanian yang bertujuan mengadakan pendidikan dan pembinaan sumber daya manusia kepada sasaran pembangunan pertanian melalui kelompok tani. Penguatan kelembagaan pertanian khususnya kelompok tani harus dilakukan agar tujuan pembangunan pertanian dapat dicapai. Eksistensi kelompok tani perlu dijaga dan ditingkatkan mengingat peran kelompok tani sebagai penggerak dalam pembangunan pertanian. Selain itu,
763
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
penyuluh dan kelompok tani harus bersinergi untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian. DAFTAR PUSTAKA Departemen Pertanian, 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Jakarta. Hariadi, S. S. 2011. Dinamika Kelompok. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hariadi, S. S. 2005. Revitalisasi Kelompok Tani Sebagai Media Penyuluhan Pertanian Era Globalisasi. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian; 1 (2): 83-93. Kusumaningsih, S. W. 2008. Keefektifan Kelompok Tani Subsektor Sebagai Media Penyuluhan di Kabupaten Sleman. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Mardikato, Totok. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Mosher, A.,T. 1977. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Yasaguna. Jakarta. Soekartawi. 1995. Pembangunan Pertanian. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
764
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Potensi Nilai Tambah Cassava Mendukung Ketahanan Pangan Berkelanjutan Potential Value Added Cassava Supporting Sustainable Food Security Herwenita*) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan Jl. Kol. H. Barlian No. 83 KM 6, Puntikayu Palembang 30153 *)Penulis untuk korespondensi : Tel./Faks. +62711410155/+62711411845 email :
[email protected] ABSTRACT As an agricultural country, Indonesia has a biodiversity that is able to support food security, especially staple foods. Rice is the main carbohydrate source which is unfulfilled by domestic production, while the rice flour as a substitute food is not a local plants that have to be imported and foreign exchange burden. Sustainable food security can be done with food diversification. Diversification is an appropriate means to break away from dependence on rice and wheat and one of Indonesia's potential is cassava plant. Cassava production increased from year to year, mainly due to improved productivity. Potential increase in cassava production is still very large because the harvest area of more than one million with low productivity. This happens because most of the planting is intercropping. Productivity can be increased when grown in monoculture with the improvement of cultivation technology from seeding to harvesting and processing. Cassava derivative products traded on the world market include cassava (manioc), cassava flour (cassava starch), tapioca, and some chemical products such as alcohol, liquid sugar (maltose, glucose, fructose), sorbitol, cyclodextrin, citric acid, and manufacture of edible coating materials and biodegradable plastics. The main export destinations of this product group, among others, China, European Union, Taiwan, and South Korea. In addition, cassava derived products which is claimed can replace wheat flour is Modified Cassava Flour (mocaf). Cassava processing provide promised benefits to farmers. Based on the calculation of Hayami and Kawagoe, added value obtained after processing cassava farmers into cassava, tapioca and mocaf row is Rp 200 / kg; Rp. 750 / kg; Rp. 1,150 / kg to the level of the company's profit margin of 50%; 73.3%; and 56.52%. Keywords: Cassava, food security ABSTRAK Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang mampu mendukung ketahanan pangan terutama makanan pokok. Beras yang merupakan sumber karbohidrat utama tidak mampu dipenuhi dari produksi dalam negeri, sementara itu terigu sebagai substitusi beras teratas bukan merupakan tanaman lokal sehingga harus diimpor dan memberatkan devisa negara. 765
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Ketahanan pangan berkelanjutan dapat dilakukan dengan diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan merupakan upaya yang tepat untuk melepaskan diri dari ketergantungan beras maupun terigu dan salah satu potensi yang dimiliki Indonesia adalah tanaman singkong atau cassava. Produksi cassava meningkat dari tahun ke tahun, terutama karena perbaikan produktivitas. Potensi peningkatan produksi masih sangat besar karena luasan panen yang lebih dari satu juta dengan produktivitas yang masih rendah. Hal ini terjadi karena sebagian besar penanaman bersifat tumpangsari. Produktivitas masih dapat ditingkatkan jika ditanam secara monokultur dengan perbaikan teknologi budidaya mulai dari pembibitan sampai pemanenan dan pengolahan. Produk turunan cassava yang diperdagangkan di pasar dunia antara lain adalah gaplek (manioc), tepung cassava (cassava starch), tapioka, dan beberapa produk kimia seperti alkohol, gula cair (maltosa, glukosa, fruktosa), sorbitol, siklodekstrin, asam sitrat, serta bahan pembuatan edible coating dan biodegradable plastics. Negara tujuan ekspor utama kelompok produk ini antara lain RRC, Uni Eropa, Taiwan, dan Korea Selatan Selain itu produk turunan cassava yang sedang naik daun dan diklaim mampu menggantikan tepung terigu adalah Modified Cassava Flour (MOCAF). Pengolahan cassava memberikan keuntungan yang menjanjikan untuk petani. Berdasarkan perhitungan dari Hayami dan Kawagoe, nilai tambah yang diperoleh petani setelah mengolah cassava menjadi gaplek, tapioka dan mocaf berturut-turut adalah Rp 200/kg; Rp. 750/kg; Rp. 1.150/kg dengan tingkat marjin keuntungan perusahaan sebesar 50%; 73,3%; dan 56,52% Kata kunci : Cassava, ketahanan pangan PENDAHULUAN Kebutuhan pangan utama penduduk Indonesia dipenuhi dari konsumsi beras yang tiap tahunnya terus meningkat hingga akhirnya tidak mampu dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Sebagai negara agraris yang besar Indonesia memiliki kekayaan sumber karbohidrat yang beragam. Secara tradisi, sejak jaman dahulu kala penduduk Indonesia mengkonsumsi berbagai macam pangan lokal untuk pemenuhan karbohidatnya seperti halnya penduduk Madura mengkonsumsi nasi jagung, Maluku mengkonsumsi sagu dan Irian yang mengkonsumsi sagu dan ubi, bahkan penduduk Jawa pada waktu musim tertentu mengkonsumsi pangan olahan ubi sebagai pengganti beras. Untuk mengantisipasi kebutuhan beras yang terus melonjak, pemerintah berupaya meningkatkan diversifikasi pangan dari pola konsumsi beras ke sumber karbohidrat lain. Upaya pemerintah ini berhasil menurunkan konsumsi beras penduduk Indonesia. Sumber karbohidrat lain yang mulai menggantikan posisi beras sebagai pangan utama adalah gandum sebagai bahan utama tepung terigu. Namun sayangnya gandum bukan merupakan tanaman lokal yang mampu diproduksi dan dikembangkan di Indonesia dalam jumlah besar sehingga harus diimpor dan menguras devisa negara yang pada akhirnya substitusi inipun menimbulkan persoalan baru. Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor gandum terbesar kedua di dunia. Setidaknya berdasarkan laporan United State Department of Agriculture (USDA) Mei 2012, impor gandum Indonesia diprediksi menembus 7,1 juta ton,
766
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
bandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 6,7 juta ton (Suhendra, 2012). Dari Tabel 1 terlihat bahwa gandum, baik gandum segar maupun olahan, menempati urutan tertinggi volume komoditas tanaman pangan yang diimpor oleh Indonesia dan semakin meningkat tiap tahunnya. Tabel 1. Volume Impor Komoditas Tanaman Pangan Indonesia (Ton) No
Komoditas
2009
2010
2011
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
2012 (Trw. 1) 770.295 12 1.382.187 151.514 424.147 26.676 47.146 242 374.870 4.316 6 194.854 403 3.376.666
Beras Segar 250.225 687.582 2.744.002 Beras Olahan 51 1 259 Gandum Segar 4.666.418 4.824.049 5.684.065 Gandum Olahan 733.527 900.963 828.512 Jagung Segar 338.798 1.527.517 3.207.657 Jagung Olahan 82.433 259.294 103.327 Kacang Tanah Segar 194.002 229.393 251.004 Kacang Tanah Olahan 1.186 1.393 2.099 Kedelai Segar 1.320.865 1.740.505 2.088.616 Kedelai Olahan 22.145 32.158 36.896 Ubi Jalar Segar 51 32 25 Ubi Kayu Segar 1.903 21 6 Ubi Kayu Olahan 166.813 294.832 435.419 Lainnya 9.799 6.862 17.124 Total 7.788.215 10.504.604 15.363.009 Sumber : BPS, diolah Pusdatin Keterangan : Data tahun 2009 s/d 2011 menggunakan kode HS sesuai dengan klasifikasi BTBMI 2007 Data tahun 2012 menggunakan kode HS sesuai dengan klasifikasi BTKI 2012 serta revisi cakupan terutama wujud olahan
Peningkatan konsumsi tepung terigu disebabkan karena perubahan pola konsumsi pangan dimana konsumsi makanan cepat saji seperti mie instant menjadi semakin meningkat. Selain itu semakin banyaknya golongan menengah keatas berpengaruh pada perubahan gaya hidup yang kebarat-baratan juga secara tidak langsung merubah pilihan kuliner western yang sebagian besar menggunakan gandum sebagai bahan pokok kulinernya. Penurunan konsumsi beras justru meningkatkan konsumsi tepung terigu sementara sumber karbohidrat lokal lainnya ikut menurun yang ditunjukkan oleh Tabel. 2. Tabel 2. Perkembangan Konsumsi Beberapa Jenis Pangan (Gram/kap/hari)
Jenis Pangan Sumber Energi Beras Jagung Terigu Cassava Ubijalar Sagu & umbi lainnya Sumber Protein Daging Telur Susu Ikan Kedelai
2005
2006
2007
2008
2009
Laju (%/th)
288,30 9,09 23,03 41,19 10,87 3,13
285,04 8,34 22,60 34,65 8,71 2,86
274,03 11,55 31,07 37,09 6,84 3,33
287,26 8,02 30,72 35,32 7,60 3,15
280,06 6,07 28,28 26,21 6,56 2,64
-0,50 -7,38 6,86 - 8,39 - 11,99 - 2,28
16,10 16,76 3,86 50,91 21,33
12,59 15,90 4,05 48,67 22,76
17,13 18,58 6,10 49,01 23,63
16,21 17,46 5,84 50,45 21,01
15,10 17,45 5,36 46,83 19,66
1,05 1,71 9,50 -1,30 -2,35
767
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Jenis Pangan 2005 Sumber Vitamin/ Mineral Sayur 139,13 Buah 86,96 Sumber: Ariani (2010)
2006
2007
2008
2009
Laju (%/th)
139,96 64,71
158,26 93,41
154,3 87,40
136,29 63,20
0,59 -3, 14
Fenomena ini apabila terus dibiarkan tanpa upaya meningkatkan daya saing komoditas lokal bisa mengarah kepada hilangnya sumberdaya karbohidrat lokal yang juga berarti menurunkan pendapatan petani dan merugikan pendapatan negara. KARAKTERISTIK TANAMAN CASSAVA Singkong merupakan tanaman pangan yang berasal dari benua Amerika berupa perdu, memiliki nama lain ubi kayu, singkong, kasepe, dan dalam Bahasa Inggris cassava. Singkong termasuk famili Euphorbiaceae yang umbinya dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat dan daunnya dikonsumsi sebagai sayuran. Di Indonesia, singkong menjadi bahan pangan pokok setelah beras dan jagung (Lidiasari et al., 2006). Cassava merupakan tanaman tropis dan subtropis. Pada dasarnya cassava tidak memerlukan iklim yang spesifik untuk perkembangannya, namun agar tumbuh optimal tanaman cassava menghendaki suhu antara 18-35°C karena pada suhu di bawah 10°C pertumbuhan tanaman cassava akan terhambat. Kelembaban udara optimal yang dibutuhkan cassava adalah 65% (Suharno et al., 1999). Selanjutnya menurut Keating dan Evenson (1979), pertumbuhan tunas akan lebih cepat pada tanah dengan suhu 28-30°C. Pertumbuhan tunas tersebut akan melambat pada suhu 17°C dan berhenti tumbuh pada suhu 37°C. Untuk dapat berproduksi optimal, cassava memerlukan curah hujan 150-200 mm pada umur 1-3 bulan, 250-300 mm pada umur 4-7 bulan, dan 100-150 mm pada fase menjelang dan saat panen (Wargiono et al., 2006). Dari karakteristik tersebut, cassava dapat dikembangkan di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Tahun 2012, Indonesia diketahui berpotensi untuk pengembangan tanaman cassava. Hal ini dapat terlihat dari kecenderungan peningkatan produktivitas dan produksi tanaman cassava dari tahun ke tahun. Luas panen yang cenderung menurun ternyata tidak mempengaruhi peningkatan produktivitas cassava. Pada tahun 2007 produktivitas cassava menunjukkan sebesar 166,36 Ku/Ha yang meningkat pada tahun berikutnya menjadi sebesar 180,57 Ku/Ha. Produktivitas ini terus meningkat hingga mencapai angka 213,63 Ku/Ha (angka sementara) pada tahun 2012 seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Persentase peningkatan produktivitas dari tahun 2007 sampai dengan 2011 rata-rata 4,81 persen/tahun. Seiring dengan meningkatnya produktivitas nasional, produksi cassava juga turut meningkat. Pada tahun 2007 produksi cassava mencapai 19.988.058 ton, naik pada tahun 2008 yang mencapai 21.756.991 ton hingga mencapai produksi 24.044.025 ton pada tahun 2011. Persentase peningkatan produksi cassava dari tahun 2007 hingga 2011 rata-rata 4,45 persen/tahun.
768
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Cassava Indonesia Tahun
Luas Panen(Ha)
2007 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber : BPS
1201481 1204933 1175666 1183047 1184696 1119784
Produktivitas(Ku/ Ha) 166.36 180.57 187.46 202.17 202.96 213.63
Produksi(Ton) 19988058 21756991 22039145 23918118 24044025 23922075
Produksi cassava meningkat dari tahun ke tahun, terutama karena perbaikan produktivitas. Potensi peningkatan produksi masih sangat besar karena luasan panen yang lebih dari satu juta dengan produktivitas yang masih rendah. Hal ini terjadi karena sebagian besar penanaman bersifat tumpangsari. Produktivitas masih dapat ditingkatkan jika ditanam secara monokultur dengan perbaikan teknologi budidaya mulai dari pembibitan sampai pemanenan dan pengolahan. POTENSI CASSAVA SEBAGAI PENGHASIL TEPUNG Cassava merupakan salah satu sumber pati. Pati merupakan senyawa karbohidrat yang kompleks. Sebelum difermentasi, pati diubah menjadi glukosa, karbohidrat yang lebih sederhana. Dalam penguraian pati diperlukan bantuan cendawan Aspergillus sp. Cendawan ini akan menghasilkan enzim alfaamilase dan glikoamilase yang akan berperan dalam mengurai pati menjadi glukosa atau gula sederhana. Setelah menjadi gula baru difermentasi menjadi etanol (Kusumastuti, 2007). Untuk keperluan industri pangan yang berbasis tepung atau pati cassava, diperlukan varietas yang mempunyai kadar bahan kering dan pati yang tinggi. Untuk keperluan industri tepung tapioka, umbi dengan kadar HCN tinggi tidak menjadi masalah karena bahan racun tersebut akan hilang selama pengolahan menjadi tepung dan pati, misalnya UJ-3, UJ-5, MLG-4, MLG-6 atau Adira-4 (Sundari, 2010). Produk turunan cassava yang diperdagangkan di pasar dunia antara lain adalah gaplek (manioc), tepung cassava (cassava starch), tapioka, dan beberapa produk kimia seperti alkohol, gula cair (maltosa, glukosa, fruktosa), sorbitol, siklodekstrin, asam sitrat, serta bahan pembuatan edible coating dan biodegradable plastics. Negara tujuan ekspor utama kelompok produk ini antara lain RRC, Uni Eropa, Taiwan, dan Korea Selatan (Ditjen P2HP, 2012). Selain itu produk turunan cassava yang sedang naik daun dan diklaim mampu menggantikan tepung terigu adalah Modified Cassava Flour (MOCAF). Berdasarkan naskah akademik mengenai Kebijakan Pengembangan Tepung Lokal (Cassava) diketahui bahwa turunan cassava dapat memberikan nilai tambah bagi pemilik usaha produksi, terkait dengan nilai tambah tersebut pengembangan tepung terutama dari cassava, dapat dijadikan jalan keluar dari kemelut ketergantungan dan pengabaian sumberdaya lokal (Bantacut et all, 2012)
769
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
GAPLEK (MANIOC) Secara umum gaplek adalah cassava yang dipanen, dikupas dan dikeringkan yang dilakukan secara tradisional oleh masyarakat. Setelah kering, gaplek dapat ditumbuk menjadi tepung dan dimanfaatkan menjadi bermacammacam kue. Teknologi pengolahan cassava menjadi gaplek saat ini masih sederhana. Untuk memperoleh gaplek yang berstandar bahan baku industri diperlukan penerapan teknologi yang baik. Tahapan yang paling penting dalam pengolahan gaplek adalah tahap pengeringan. Jika ketersediaan sinar matahari sangat minim, maka harus digunakan bantuan alat pengering. Umbi cassava yang telah dicuci dan dipotong harus segera dikeringkan karena umbi cassava segar yang telah dikupas mempunyai kadar air yang tinggi dan sangat rentan terhadap pertumbuhan jamur. Tabel 4. Model Perhitungan Nilai Tambah Gaplek dari Hayami dan Kawagoe No I.
II.
Variabel Output, input dan harga 1 Output (kg/produksi)
a = 400 kg/produksi
2
Bahan baku (kg/produksi )
b = 1.000 kg/produksi
3
Tenaga kerja (HOK/produksi)
c = 4 HOK/produksi
4
Faktor konversi (1:2)
d = a/b = 400/1.000 = 0,4
5
Koefisien tenaga kerja (HOK/kg)
e = c/b = 4/1.000
6
Harga output (Rp/kg)
f = Rp 1.750,-/kg
7
Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK)
g = Rp 25.000,- /HOK
= 0,004
Pendapatan dan Keuntungan 8
Harga bahan baku (Rp/kg)
h = Rp 500 /kg
9
Sumbangan input lain (Rp/kg)
I= 0
10
Nilai output (Rp/kg)
j = dxf = 0,4 x 1.750 = Rp 700 / kg
11
a. NiIai tambah (Rp/kg)
k = j-i-h= 700 – 0 - 500 = Rp 200 /kg
b. Rasio nilai tambah (%)
I(%) = k/j x 100% = 200/700 x100% = 28,57 %
a. Imbalan tenaga kerja (Rp/kg)
m = exg = 0.004 x 25.000 = Rp 100 /kg
b. Bagian tenaga kerja (%)
n(%) = m/k x 100% = 100/200 x100%= 50 %
a. Keuntungan (Rp/kg)
o = k-m= 200 – 100 = Rp 100
b. Tingkat keuntungan (%)
p(%) = o/j x 100%= 100/700 x 100% = 14,28 %
12
13
Ill.
Perhitungan
Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi 14
Marjin Keuntungan (Rp/kg)
q = j-h = 700-500 = Rp 200/kg
770
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 a. Pendapatan tenaga kerja (%)
r(%) = m/q x 100% = 100/200 x100% = 50%
b. Sumbangan input lain (%)
s(%) = i/q x 100% = 0
c. Keuntungan perusahaan (%)
t(%) = o/q x 100% = 100/200 x 100% = 50%
Sumber : Ditjen P2HP, 2012& Bantacut et al, 2012
Pengolahan bahan baku cassava sebanyak 1000 kg menghasilkan gaplek sebanyak 400kg dengan peningkatan nilai tambah produk sebesar Rp. 200/kg. Marjin keuntungan yang diperoleh sebesar Rp. 200/kg dengan keuntungan bersih perusahaan sebesar 50% seperti ditampilkan pada Tabel 4. TAPIOKA Tepung tapioka yang dibuat dari cassava mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Dibandingkan dengan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu, komposisi kasein tepung tapioka cukup baik sehingga mengurangi kerusakan tenun, juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna putih. Tapioka yang diolah menjadi sirup glukosa dan dekstrin diperlukan oleh berbagai industri, antara lain industri kembang gula, penggalengan buah, pengolahan es krim, minuman dan industri peragian. Tapioka juga banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat dalam industri makanan, seperti dalam pembuatan puding, sop, makanan bayi, es krim, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain-lain. Ampas tapioka banyak dipakai sebagai campuran makanan ternak. Pada umumnya masyarakat kita mengenal dua jenis tapioka, yaitu tapioka kasar dan tapioka halus. Tapioka kasar masih mengandung gumpalan dan butiran cassava yang masih kasar, sedangkan tapioka halus merupakan hasil pengolahan lebih lanjut dan tidak mengandung gumpalan lagi. Tabel 5. Model Perhitungan Nilai Tambah Tapioka dari Hayami dan Kawagoe No I.
Variabel
Perhitungan
Output, input dan harga 1 Output (kg)
a = 250 kg
2
Bahan baku (kg )
b = 1.000 kg
3
Tenaga kerja (HOK)
c = 8 HOK
4
Faktor konversi (1:2)
d = a/b = 250/1.000 = 0,25
5
Koefisien tenaga kerja (HOK/kg)
e = c/b = 8 /1.000
6
Harga output (Rp/kg)
f = Rp 5.000,-/kg
7
Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK)
g = Rp 25.0000,- /HOK
= 0,008
Pendapatan dan Keuntungan II. 8
Harga bahan baku (Rp/kg)
h = Rp 500 /kg
771
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 9
Sumbangan input lain (Rp/kg)
I = Rp 0/kg
10
Nilai output (Rp/kg)
j = dxf = 0,25 x 5.000 = Rp 1.250 / kg
11
a. NiIai tambah (Rp/kg)
k = j-i-h= 1.250 – 0 – 500 = Rp 750 /kg
b. Rasio nilai tambah (%)
I(%) = k/j x 100% = 750/1250 x100% = 60 %
a. Imbalan tenaga kerja (Rp/kg)
m = e x g = 0.008 x 25.000 = Rp 200/kg
b. Bagian tenaga kerja (%)
n(%) = m/k x 100% = 200/750 x 100% = 26,67 %
a. Keuntungan (Rp/kg)
o = k-m= 750 – 200 = Rp 550
b. Tingkat keuntungan (%)
p(%) = o/j x 100%= 550/1.250 x 100% = 44%
12
13
Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi Ill. 14
Marjin Keuntungan (Rp/kg)
q = j-h = 1250 - 500 = Rp 750/kg
a. Pendapatan tenaga kerja (%)
r(%) = m/q x 100% = 200/750 x100% = 26,67 %
b. Sumbangan input lain (%)
s(%) = i/q x 100% = 0
c. Keuntungan perusahaan (%)
t(%) = o/q x 100% = 550/750 x 100% = 73,33 %
Sumber : Ditjen P2HP, 2012& Bantacut et al, 2012
Dari Tabel 5. Dapat dilihat bahwa pengolahan cassava menjadi tepung tapioka meningkatkan nilai tambah produk sebesar Rp. 750/kg atau 60% lebih besar dari harga pokok cassava dengan perolehan marjin keuntungan perusahaan meningkat sebesar 73,33%. MODIFIED CASSAVA FLOUR (MOCAF) MOCAF yang juga dikenal dengan istilah MOCAL merupakan produk tepung dari singkong yang diproses menggunakan prinsip modifikasi sel singkong secara fermentasi, dimana mikroba BAL (Bakteri Asam Laktat) mendominasi selama fermentasi tepung singkong ini. Mikroba yang tumbuh menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel singkong sedemikian rupa sehingga terjadi liberasi granula pati. Mikroba tersebut juga menghasilkan enzim-enzim yang menghidrolisis pati menjadi gula dan selanjutnya mengubahnya menjadi asam-asam organic, terutama asam laktat. Hal ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Demkian pula, cita rasa MOCAF menjadi netral karena menutupi citra rasa singkong sampai 70% (Subagio et al., 2008). Menurut Subagio et al. (2008), komposisi kimia MOCAF tidak jauh berbeda dengan tepung singkong, tetapi MOCAF mempunyai karakteristik organoleptik yang spesifik. Komposisi kimia dan karakteristik organoleptik antara MOCAF dan tepung singkong dapat dilihat pada Tabel 6 dan 7. Secara organoleptik warna MOCAF yang dihasilkan jauh lebih putih jika dibandingkan dengan warna tepung singkong biasa. Hal ini disebabkan karena kandungan
772
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
protein MOCAF yang lebih rendah dibandingkan dengan tepung singkong. Kandungan protein dapat menyebabkan warna coklat tua ketika pengeringan atau pemanasan. Tabel 6. Perbedaan komposisi kimia MOCAF dengan tepung singkong Parameter Kadar Air (%) Kadar protein (%) Kadar abu (%) Kadar pati (%) Kadar serat (%) Kadar lemak (%) Kadar HCN (mg/kg) Sumber : Subagio et al., 2008.
MOCAF Max. 13 Max. 1.0 Max. 0.2 85 - 87 1.9 - 3.4 0.4 - 0.8 tidak terdeteksi
Tepung Singkong Max. 13 Max. 1.2 Max. 0.2 82 - 85 1.0 - 4.2 0.4 - 0.8 tidak terdeteksi
Tabel 7. Perbedaan sifat organoleptik MOCAF dengan tepung singkong Parameter Warna Aroma Rasa Sumber : Subagio et al., 2008
MOCAF Putih Netral Netral
Tepung Singkong Putih agak kecoklatan Kesan singkong Kesan singkong
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa substitusi tepung mocaf untuk bahan industri mie instan, roti maupun biskuit sampai 30% tidak berpengaruh nyata terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Pengujian ini sudah dilakukan oleh PT Tiga Pilar Sejahtera Food produsen mie instan dan sudah mengembangkan industri mocaf di Trenggalek Jawa Timur. Kualitas tepung mocaf berbeda dengan tapioka, aroma cassava tidak muncul di tepung mocaf sehingga sangat baik untuk bahan baku industri pangan. Dengan demikian, pengolahan cassava menjadi tepung mocaf mempunyai peluang sangat baik untuk dikembangkan sebagai bahan substitusi tepung terigu yang merupakan produk impor (Ditjen P2HP, 2012). Tabel 8. Model Perhitungan Nilai Tambah Tepung Cassava Mocaf Pengeringan dengan Dryer dari Hayami dan Kawagoe No I.
Variabel
Perhitungan
Output, input dan harga 1 Output (kg/produksi)
a = 10.000 kg/produksi (333)
2
Bahan baku (kg/produksi )
b = 30.000 kg/produksi (1.000)
3
Tenaga kerja (HOK/produksi)
c = 600 HOK/produksi (20)
4
Faktor konversi (1:2)
d = a/b = 10.000/30.000 = 0,30
5
Koefisien tenaga kerja (HOK/kg)
e = c/b = 600/30.000 = 0,02
6
Harga output (Rp/kg)
f = Rp 5.500,-/kg
7
Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK)
g = Rp 25.000 /HOK
773
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Pendapatan dan Keuntungan II. 8
Harga bahan baku (Rp/kg)
h = Rp 500 /kg
9
Sumbangan input lain (Rp/kg)
I=0
10
Nilai output (Rp/kg)
j = dxf = 0,30 x 5500 = Rp 1.650 / kg
11
a. NiIai tambah (Rp/kg)
k = j-i-h= 1.650 – 0 - 500 = Rp 1.150 /kg
b. Rasio nilai tambah (%)
I(%) = k/j x 100% = 1.150/1.650 x100% = 69,69%
a. Imbalan tenaga kerja (Rp/kg)
m = exg = 0.02 x 25.000 = Rp 500/kg
b. Bagian tenaga kerja (%)
n(%) = m/k x 100% = 500/1.150 x100%= 43,48 %
a. Keuntungan (Rp/kg)
o = k-m= 1.150 – 500 = Rp 650
b. Tingkat keuntungan (%)
p(%) = o/j x 100%= 650/1.650 x 100% = 39,39%
12
13
Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi Ill. 14
Marjin Keuntungan (Rp/kg)
q = j-h = 1.650 - 500 = Rp 1.150/kg
a. Pendapatan tenaga kerja (%)
r(%) = m/q x 100% = 500/1.150 x100% =43,48 %
b. Sumbangan input lain (%)
s(%) = i/q x 100% = 0
c. Keuntungan perusahaan (%)
t(%) = o/q x 100% = 650/1.150 x 100% =56,52 %
Sumber : Ditjen P2HP, 2012& Bantacut et al, 2012
Dari model perhitungan yang dilakukan oleh Hayami dan Kawagoe, diperoleh hasil bahwa mocaf mampu meningkatkan nilai tambah cassava sebesar Rp. 1.150/kg atau setara dengan 69,69% lebih tinggi dari harga pokok cassava. Marjin keuntungan perusahaan setelah dikurangi biaya tenaga kerja adalah sebesar 56,52%. Hasil perhitungan dapat dilihat di Tabel 8. KESIMPULAN DAN SARAN 1.
2.
3.
4.
Diversifikasi pangan diperlukan untuk mengurangi ketergantungan konsumsi beras dan tepung terigu. Salah satu komoditas lokal yang berpotensi untuk dikembangkan adalah tanaman singkong atau cassava. Pengolahan bahan baku cassava sebanyak 1000 kg menghasilkan gaplek sebanyak 400kg dengan peningkatan nilai tambah produk sebesar Rp. 200/kg. Marjin keuntungan yang diperoleh sebesar Rp. 200/kg dengan keuntungan bersih perusahaan sebesar 50%. Pengolahan cassava menjadi tepung tapioka meningkatkan nilai tambah produk sebesar Rp. 750/kg atau 60% lebih besar dari harga pokok cassava dengan perolehan marjin keuntungan perusahaan meningkat sebesar 73,33% Pengolahan cassava menjadi mocaf mampu meningkatkan nilai tambah cassava sebesar Rp. 1.150/kg atau setara dengan 69,69% lebih tinggi dari harga pokok cassava. Marjin keuntungan perusahaan setelah dikurangi biaya tenaga kerja adalah sebesar 56,52%.
774
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
5.
6.
Petani perlu mendapatkan perhatian khusus baik berupa intensifikasi lahan, peningkatan sarana dan prasarana pengolahan cassava maupun kebijakan yang mendukung dan melindungi eksistensi petani. Dukungan pemerintah mutlak diperlukan dengan terlibatnya bahkan terbentuknya perusahaan-perusahaaan yang bergerak dibidang pengolahan cassava menjadi produk siap konsumsi sehingga diversifikasi pangan dapat tercapai. DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M. 2010. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Mendukung Swasembada Beras. Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : 978-9798940-29-3 Badan Pusat Statistik Indonesia. 2013. Statistik Indonesia. http://www.bps.go.id/ tnmn_pgn.php. (Diakses Tanggal 11 Juni 2013) Bantacut, T., Budijanto, S., Saptana., Nugraha DR. 2012. Naskah Akademik Kebijakan Pengembangan Tepung Lokal (Cassava). Bogor BPS Jamal, E. 2009. Telaah Penggunaan Pendekatan Sekolah Lapang Dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi: Kasus di Kabupaten Blitar dan Kediri, Jawa Timur. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 7 No. 4, Desember 2009 : 337-349. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2012. Kebijakan Pengembangan Tepung Lokal (Cassava). Jakarta: Kementerian Pertanian. Keating, B.A. and Evenson, J.P. 1979. Effect of Soil Temperature on Sprouting and Sprout Elongation of Steam Cuttings og Cassava (Manihot esculata Cranz). Field Crops Research 2: 241-251. Kusumastuti CT. 2007. Singkong Sebagai Salah Satu Sumber Bahan Bakar Nabati(BBN) [makalah]. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. Lidiasari, E., M.I. Syafutri, dan F. Syaiful. 2006. Pengaruh perbedaan suhu pengeringan tepung tapai ubi kayu terhadap mutu fisik dan kimia yang dihasilkan. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. 8(2): 141146. Martianto, D dan M. Ariani. 2004. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi Pangan Masyarakat dalam Dekade Terakhir. Prosiding WNPG VIII. Jakarta, 17-19 Mei. LIPI. Jakarta. Pusat Data dan Infomasi Pertanian (Pusdatin). 2012. Buku Saku Statistik Makro Sektor Pertanian Volume 4 No 12 Tahun 2012. Kementerian Pertanian Subagio, A., W. Siti, Y. Witono, dan F. Fahmi. 2008. Prosedur Operasi Standar (POS) Produksi Mocal Berbasis Klaster. Bogor: Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Institut Pertanian Bogor. Suharno, Djasmin, Rubiyo, dan Dasiran. 1999. Budi Daya Ubikayu. Kendari : Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian. Suhendra. 2012. RI Pengimpor Gandum Terbesar Kedua Di Dunia. Detik Finance. http://finance.detik.com/read/2012/06/12/103707/1938780/1036/ri-
775
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
pengimpor-gandum-terbesar-kedua-di-dunia. (Diakses pada tanggal 11 Juni 2013) Sundari, T. 2010. Pengenalan Varietas Unggul dan Teknik Budidaya Ubi kayu (Materi Pelatihan Agribisnis bagi KMPH). Petunjuk Teknis. Malang: Balai Penelitian Kacang Kacangan dan Umbi Umbian. Wargiono, J., A. Hasanuddin, dan Suyamto. 2006. Teknologi Produksi Ubikayu Mendukung Industri Bioethanol. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Widowati, S. 2009. Tepung Aneka Umbi: Sebuah Solusi Ketahanan Pangan. SINAR TANI Edisi 6 - 12 Mei 2009, No.3302 Tahun XXXIX).
776
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pemanfaatan Tanaman Sayuran untuk Peningkatan Produktivitas Lahan Pasang Surut Imelda S Marpaung 1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol. H. Barlian No. 83 KM 6, Puntikayu Palembang 30153 *) Corresponding author:Telp. (0711) 410155 Fax (0711)411845 e-mail:
[email protected] ABSTRAK Pemanfaatan lahan pasang surut sebagian besar masih dilakukan untuk usahatani padi satu – dua kali dalam setahun. Selain untuk tanaman padi lahan pasang surut juga dapat dimanfaatkan dengan usahatani sayuran yang dapat meningkatkan pendapatan petani lahan pasang surut. Kegiatan dilaksanakan di desa Telang Sari Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin Maret Desember 2011 pada lahan pasang surut dengan tipologi luapan B ke C. Pada musim kemarau lahan ditata dengan menggunakan surjan untuk usahatani sayuran dan musim hujan guludan untuk tanaman padi. Sayuran yang ditanam jenis kacang panjang, oyong/gambas, pare dan sawi. Pemupukan dilakukan dengan pemberian bahan organik berupa pupuk kandang dan penggunaan bahan kimia yang selektif. Hasil pengamatan menunjukkan produktivitas lahan pasang surut dapat ditingkatkan dengan usahatani sayuran selain dengan usahatani padi yang umumnya dilakukan petani. Dari beberapa jenis sayur yang ditanam menunjukkan bahwa sayuran kacang panjang memberikan pendapatan yang lebih tinggi dibanding dengan jenis sayur lainnya namun dilihat dari harga yang berlaku saat ini jenis sayuran pare dan sawi memiliki nilai jual yang lebih baik. Kata kunci: lahan pasang surut, produktivitas, sayuran. PENDAHULUAN
Peranan inovasi teknologi sangat dibutuhkan sebagai lokomotif penggerak perekonomian desa yang harus selalu tumbuh berkembang secara progresif. Inovasi teknologi sangat diperlukan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan produktivitas, sehingga dapat memacu tidak hanya pertumbuhan produksi, tetapi juga sekaligus meningkatkan daya saing. Inovasi teknologi juga diperlukan dalam pengembangan produk (product development) dalam rangka peningkatan dalam negeri terus nilai tambah, diversifikasi produk dan transformasi produk sesuai dengan preferensi konsumen( Suryana, 2007). Lahan pasang surut di Provinsi Sumatera Selatan luasnya lebih 1,3 juta hektar yang tersebar di beberapa delta. Dari jumlah tersebut sampai tahun 2010 sekitar 373.000 ha sudah direklamasi dan sekitar 278.000 ha telah dimanfaatkan untuk usahatani dan pemukiman sekitar 65.000 KK transmigrasi (Robiyanto 2010). Lahan rawa pasang surut telah diusahakan sebagai usahatani berbasis padi
777
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
yang dikombinasikan dengan tanaman jeruk, kelapa, dan tanaman lainnya secara tradisional oleh Petani Banjar dan Bugis di sepanjang pantai dan tepian sungai Kalimantan dan Sumatera sejak ratusan tahun yang lalu (Badan Litbang Pertanian, 2007). Pengembangan lahan pasang surut harus benar benar dilakukan secara cermat dan hati-hati disesuaikan dengan karakteristik wilayahnya dan memerlukan model pengembangan yang komprehensip dan terintegrasi secara holistik. Pemanfaatan lahan belum optimal karena adanya berbagai kendala. Indikasinya terlihat dari tingkat produksi yang masih rendah dan belum meningkatnya kesejahteraan petani pada umumnya. Sebagian besar usahatani di lahan pasang surut dilakukan dengan usahatani padi satu kali dalam setahun dan baru diusahakan dengan tanam 2 kali setahun. Selain untuk tanaman padi lahan pasang surut juga dapat dimanfaatkan dengan usahatani sayuran yang dapat meningkatkan pendapatan petani di lahan pasang surut (Siagian,2010). BAHAN DAN METODE Kegiatan dilaksanakan di desa Telang Sari Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin Maret-Desember 2011 pada lahan pasang surut dengan tipologi luapan B ke C. Pada musim kemarau lahan ditata dengan menggunakan surjan untuk usahatani sayuran dan musim hujan guludan untuk tanaman padi. Sayuran yang ditanam jenis kacang panjang, oyong/gambas, pare dan sawi. Pemupukan dilakukan dengan pemberian bahan organik berupa pupuk kandang dan penggunaan bahan kimia yang selektif. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteritik Lokasi .Desa Telang Sari merupakan bagian organisasi pemerintah terendah di bawah koordinasi administrasi pemerintah kecamatan Tanjung Lago kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Letak geografis wilayah Desa Telang Sari berbatasan dengan desa Mulya Sari dan Desa Purwosari (pecahan Desa Telang Sari). Jarak lokasi Desa ini +50 km dari Palembang yang memerlukan waktu tempuh kurang lebih 1 jam. Desa Telang Sari miliki luas 903,15 ha memiliki karakteritik lahan pasang surut dengan tipe luapan A dan B dan sebagian C. Tipe luapan ini menurut Subagyo (1997), berdasarkan tingginya pasang besar dan pasang kecil. Pola curah hujan menunjukkan bulan Oktober sampai bulan Januari tergolong musim hujan, sedangkan dari bulan Pebruari sampai September tergolong musim kemarau. Berdasarkan kondisi wilayahnya yang selalu terluapi dengan air pasang air laut maka pengelolaan lahan usahatani mengikuti pola dan tipe luapan lahan pasang surut yang sangat tergantung dari pengelolaan tata air baik makro maupun mikro. Sesuai dengan letak wilayahnya yang termasuk wilayah Kota terpadu mandiri Muara Telang maka infrastruktur di wilayah ini telah dibangun. Pada umumnya jaringan tata air (sistem drainase) yang terdapat di Kawasan KTM Telang adalah sistem grid ganda (double-grid system) yang dirancang oleh LAPIITB pada tahun 1976. Sistem ini didasarkan pada sistem drainase saluran terbuka (open system) dengan menggunakan saluran primer sebagai saluran navigasi yang berhubungan langsung ke sungai utama.
778
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Dari hasil pengamatan di lokasi kegiatan menunjukkan bahwa produktivitas lahan di desa Telang Sari masih rendah. Hal ini disebabkan petani belum sepenuhnya menerapkan perbaikan tata air mikro untuk dapat meningkatkan produktivitas lahan usahanya. Selain itu petani masih kurang memahami pentingnya pemeliharaan saluran sehingga terjadi pendangkalan disaluran tersier yang menyebabkkan terjadinya reaksi oksidasi terhadap lapisan pirit yang menyebabkan lahan usaha menjadi lebih asam pada musim kemarau. Hal ini menyebabkan pada musim kemarau lahan tidak dapat diusahakan. Selain itu tingginya serangan OPT terutama tikus pada saat pertanaman menyebabkan petani lebih memilih membiarkan lahan usahataninya pada musim kemarau. Beberapa petani menata lahannya dengan usahatani sayuran. Komoditi utama yang diusahakan oleh petani berupa budidaya padi dan baru diusahakan satu kali tanam dalam setahun (IP100). Selain itu petani juga mengusahakan berbagai komoditi lainnya yaitu kelapa, sayuran, unggas (itik,entog dan ayam) dan pada tahun 2008 adanya bantuan dari Departemen Transmigrasi berupa ternak sapi. Petani umumnya menanam berbagai macam sayuran yang ditanam baik di lahan pekarangan maupun di surjan yang terdapat di sawah. Umumnya petani menjual langsung ke Palembang tetapi ada juga yang menjual ke pedagang pengumpul yang selalu datang ke desa telang sari. Melalui kegiatan demplot ini didemonstrasikan beberapa jenis sayuran yang memiliki nilai jual yang baik antara lain : sawi, kacang panjang, gambas, pare. Kalender Musim di Desa Telang sari. Periode musim tanam padi di desa tanjung lago yaitu bulan oktober-Pebruari (Musim Hujan) dan umumnya petani memberakan lahannya akibat kendala tikus yang sangat tinggi yang menyerang tanaman bila ditanam pada musim tanam berikutnya. Tabel 1. Periode musim hujan/kemarau dan pola tanam Bulan Pola curah hujan
9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
Musim hujan Musim kemarau Pola tanam Padi Produktivitas lahan saat sebelum dilakukan pengkajian Rata-rata produksi padi gabah kering panen pada MH 4.3 t/ha dengan kisaran 4 – 5.5 t/ha dengan indeks pertanaman 1 (satu) kali dalam setahun.
779
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel2. Pengamatan pertumbuhan dan produksi tanaman padi MH 2011 di Ds Telang sari Kec. Tj Lago Kab. Banyuasin Varitas
Tinggi
Jumlah
Produksi Per Ha
Tanaman
anakan
(ton)
Inpara3 (atabela)
105
25
4.095
Inpari4 (atabela)
99
13
4.680
Inpara2 (tabela)
103
14
7.930
Inpari 1 (tabela)
94
16
5.850
(atabela 90
24
3.120
Inpari
1
organik)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dengan budidaya sayuran dapat menambah pendapatan petani. Namun saat ini petani mengusahakan tanaman sayuran tidak secara monokultur namun dikombinasikan dengan tanaman sayuran lainnya yaitu sayuran berumur pendek dengan sayuran yang umurnya lebih panjang sehingga dapat memberikan peluang penambahan pendapatan misalnya sayuran sawi dengan kacang panjang,pare dan gambas atau kangkung dengan sayuran lainnya seperti gambas, pare dan kacangpanjang. Hasil pengamatan tanaman sayur disajikan pada tabel 3. Tabel 3. Pengamatan hasil beberapa tanaman sayur Desa Telang Sari Kec. Tanjung.Lago Kab. Banyuasin. Komoditi
Luas Bedengan
Berat rata-rata Produksi (kg)
Umur produksi
Sayuran pare
5m2
17,5
5 kali petik
Sayuran kacang panjang
50m2
50
2 kali petik
Sayuran gambas/oyong
12m2
30
4 kali petik
Sayuran sawi
16m2
17
1 kali petik
Dari data pengamatan tersebut dapat dilihat bahwa dengan budidaya sayuran dan pemanfaatan pupuk organik dari kotoran sapi dan jerami diperoleh pendapatan, budidaya kacang panjang dapat memberikan hasil yang paling tinggi dibanding tanaman sayuran lainnya dengan R/C =3,12. Analisa usahatani beberapa jenis sayuran disajikan pada tabel4.
780
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel4. Analisa usahatani beberapa jenis sayuran di lahan pasang surut MT 2011 di Desa Telang Sari Kec. Tanjung Lago Kab. Banyuasin; Uraian
Gambas/oyong
Sawi
Luasan 5m2
Kacang Panjang Luasan 50 m2
Luasan 12m2
Luasan 16m2
Biaya produksi Bibit Pupuk organik Pestisida Alami Lanjaran Pengeluaran
Rp Rp Rp. Rp Rp
20.000,4.500,15.000,10.000,49.500,-
Rp20.000,Rp45.000,Rp. 15.000,Rp 10.000,Rp 80.000,-
Rp 20.000,Rp 10.800,Rp. 15.000,Rp10.000,Rp 55.800,-
Rp 20.000,Rp 14.400,Rp15.000,Rp.49.400,-
Produksi
Rp 105.000,-
Rp 250.000,-
Rp.120.000,-
Rp.102.000,-
Pendapatan:
Rp 54.500,-
Rp 170.000,-
Rp 64.200,-
Rp 52.600,-
R/C = 2.12
R/C=3,12
R/C=2,15
R/C=2,06
Pare
Biaya tenaga kerja tidak dihitung karena tenaga berasal dari tenaga keluarga petani.
Dari beberapa jenis sayur yang ditanam menunjukkan bahwa sayuran kacang panjang memberikan pendapatan yang lebih tinggi dibanding dengan jenis sayur lainnya namun dilihat dari harga saat ini jenis sayuran pare dan sawi memiliki nilai jual yang lebih baik sehingga untuk kedepannya pemilihan kedua jenis komoditi ini untuk ditanam petani sebagai suatu usaha agribisnis dapat menjadi alternatif misalnya ditumpangsarikan dengan tanaman kacang panjang. Untuk dapat memenuhi kebutuhan pasar komoditi sayuran diperlukan peningkatan efisiensi dalam upaya peningkatan daya saing dan juga diperlukan antisipasi terhadap kontunuitas pasokan produk baik dalam jumlah maupun mutu sesuai preferensi konsumen dan ketepatan waktu penyediaan agar dapat bersaing di pasar domestik (Shinta,2010). Saat ini petani belum menjual langsung usaha sayurnya ke Ibukota Propinsi meskipun jarak dari dekat. Umumnya petani masih menjual di desa setempat ataupun dengan pedagang pengumpul yang membeli langsung dengan petani. Semakin pendek rantai pemasaran dan makin pendek marjin pemasaran maka semakin efisien pemasaran tersebut. Saluran pemasaran A dianggap lebih efisien dibanding saluran pemasaran B jika bagian yang diterima petani (farmer’s share) pada saluran pemasaran A lebih besar dari B. Menurut Mubyarto 1977 sistem pemasaran dianggap efisien bila: 1) mampu menyampaikan barang dari produsen ke konsumen dengan biaya yang semurah-murahnya. 2)mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar dibayar konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan produksi dan tataniaga barang itu. KESIMPULAN 1. Produktivitas lahan pasang surut dapat ditingkatkan dengan usahatani sayuran selain dengan usahatani padi yang umumnya dilakukan petani. 781
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
2. Dari beberapa jenis sayur yang ditanam menunjukkan bahwa sayuran kacang panjang memberikan pendapatan yang lebih tinggi dibanding dengan jenis sayur lainnya namun dilihat dari harga saat ini jenis sayuran pare dan sawi memiliki nilai jual yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Petunjuk Teknis Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Lahan Rawa Pasang Surut. Jakarta. Mubyarto,1977. Pengantar Ekonomi Pertanian. Penerbit LP3ES, Yogyakarta Robiyanto HS. 2010. Strategi Pengelolaan Rawa untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Sumatera Selatan: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Shinta, Puji M , 2010. Perencanaan Persediaan dan Pengendalian Mutu Buah Lokal di Sinar Supermarket “Surabaya” (Studi Kasus di PT. Sinar Supermarket). Undergraduate thesis, Faculty of Social Science and politics. http://eprints.upnjatim.ac.id/id/eprint/424 Siagian V, Rahardjo B. 2011. Kondisi sosial petani sawah pasang surut di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Di dalam: Bambang Suprihatno et al.(Eds), Variabilitas dan Perubahan Iklim: Pengaruhnya terhadap Kemandirian Pangan Nasional. Prosiding seminar ilmiah hasil penelitian padi Nasional 2010, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Badan Litbang Pertanian Kementrian Pertanian.
782
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Adopsi Teknologi dengan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi (Kasus di Desa Pagarsari Kecamatan Purwodadi Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan) Kgs. Abdul Kodir Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol. Barlian Km 6 Palembang telp 0711-410155 Email:
[email protected]
ABSTRAK SekolahLapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi (SL-PTT) sebagai wadah pendidikan nonformal bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, utamanya dalam mengenali potensi, penyusunan rencana usahatani, mengatasi permasalahan. Adopsi sebagai suatu dampak dapat dievaluasi setelah dilakukannya pendampingan SL-PTT tersebut. Pengkajian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat adopsi teknologi yang diterapkan, efisiensi usahatani padi akibat penerapan inovasi sesudah pelaksanaan SL-PTT Padi. Kajian ini dilakukan pada musim hujan 2011/2012 di Desa Pagarsari kecamatan Purwodadi Kabupaten Musi Rawas, dengan membandingkan antara peserta dan bukan peserta SL-PTT tahun sebelumnya. Hasil kajian menunjukkan bahwa dibanding bukan petani peserta, maka petani peserta SL-PTT Padi skor tingkat adopsi teknologinya 23,5 sedangkan yang bukan peserta 19,4. Petani peserta memiliki motivasi yang lebih kuat untuk mengetahui perkembangan inovasi yang dibuktikan dari lebih aktifnya mereka ikut dalam pertemuan kelompok dan belajar pada petak percontohan. Dibanding dengan petani bukan peserta, usahatani padi petani peserta lebih efisien. Ini dibuktikan dengan lebih besarnya Nilai R/C peserta (2,45) dibanding bukan peserta (2,20). Biaya pokok untuk menghasilkan gabah kering panen pada petani peserta Rp 1.429/kg sedangkan bukan peserta sebesar Rp 1.597/kg. Kata kunci: Usahatani padi, SL-PTT, inovasi, efisiensi
PENDAHULUAN Pemerintah dalam upaya meningkatkan produksi padi terus mengupayakan berbagai program. Salah satunya adalah Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN). Salah satu upaya dalam peningkatan produksi pangan adalah dengan menerapkan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Wujud pelaksanaan program tersebut melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) Padi yang merupakan suatu pendekatan holistik bersifat partisipatif, disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi, agar dapat berdaya guna dan berhasil guna. Pembelajaran, penerapan, menganalisis, menghadapi dan memecahkan masalah terutama dalam hal teknik budidaya dilakukan dengan mengkaji 783
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
bersama-sama antara petani dan pemandu berdasarkan teknologi spesifik lokasi (Sembiring dan Abdulrahman, 2008; Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2009). PTT adalah pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan produktivitas, pendapatan petani dan kelestarian lingkungan. Tujuan penerapan PTT padi adalah untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani padi serta melestarikan lingkungan produksi melalui pengelolaan lahan, air, tanaman, OPT dan iklim secara terpadu (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2008. ). Pendampingan terhadap program SL-PTT padi adalah memberi dorongan/motivasi kepada pelaku utama dan pelaku usaha untuk memanfaatkan paket teknologi hasil Litbang Pertanian yang dikemas dengan pendekatan tanaman terpadu, didalamnya terdapat teknologi utama yang perlu diterapkan dan teknologi pilihan yang dapat disesuaikan dengan kondisi lingkungan petani setempat. Wujud pendampingan dilakukan melalui: Menyiapkan petunjuk teknis (juknis) dan struktur operasional prosedur (SOP) untuk setiap teknologi tersebut. Menyiapkan modul pelatihan SL-PTT untuk petugas lapang yang memuat paket teknologi hasil litbang pertanian Membuat demplot atau gelar teknologi di lokasi laboratorium lapangan dalam lokasi SL-PTT Agar teknologi baru digunakan oleh petani, maka memerlukan berbagai tahapan atau upaya untuk meyakinkan petani tersebut, karena petani dengan keberagamannya (perintis, pelopor, penganut dini, penganut lambat, bahkan yang kolot) memerlukan pendekatan yang beragam pula oleh seorang penyuluh untuk meyakinkannya. Partisipasi aktif dari petani dan pengguna lainnya, bahkan peran serta petugas lapang akan lebih mempercepat adopsi inovasi teknologi tersebut. Salah satu indikator keberhasilan program pengkajian teknologi pertanian adalah seberapa besar hasil-hasil pengkajian tersebut diadopsi oleh pengguna (terutama petani) untuk selanjutnya diaplikasikan dalam kegiatan usahatani (Hanafi, 1988). Rendahnya tingkat adopsi inovasi yang ditandai dengan banyaknya petani kooperator kembali melakukan aktivitas usahataninya menggunakan cara lama (pola tradisonal) menunjukkan belum optimalnya program pengkajian teknologi pertanian. Diadopsinya suatu inovasi diharapkan akan menyebar ke petani lain atau calon adopter. Ada tiga hal yang diperlukan bagi calon adopter dalam kaitannya dengan proses adopsi inovasi (Soekartawi, 2005) yaitu: 1) adanya pihak lain yang telah mengadopsi, 2) adanya proses adopsi yang berjalan sistematis sehingga dapat diikuti oleh calon adopter dan 3) adanya hasil adopsi yang menguntungkan. Sebagai usahatani yang dominan diusahakan oleh petani di Indonesia, sewajarnya jika usahatani ini menjadi pionir dalam mengembangkan usaha pertanian ke arah yang ramah lingkungan. Hal ini dapat dimulai dengan memanfaatkan semua bagian tanaman padi agar tidak terbuang karena dapat dimanfaatkan untuk keperluan lainnya. Petani padi dapat memulai aktivitas yang ramah lingkungan ini, karena pada umumnya selain menanam padi mereka juga memelihara ternak dan mengusahakan tanaman lain. Sehingga keterkaitan ini dapat saling memanfaatkan sisa dari masing-masing tanaman atau ternak untuk kepentingan yang lain.
784
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui adopsi inovasi PTT padi dan kelayakan usahatani padi pada peserta dan bukan peserta SL-PTT padi. Selain itu juga untuk mengetahui pemanfaatan semua hasil tanaman padi yang sudah dilakukan sebagai upaya mengarahkan usahatani padi kearah yang ramah lingkungan. Hasil kajian ini dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan adopsi inovasi pada petani lain dan menjadikan usahatani padi berbasis ramah lingkungan agar usaha ini semakin layak. BAHAN DAN METODE Pengkajian ini dilakukan pada di Desa Pagarsari Kecamatan Purwodadi Kabupaten Musi Rawas pada bulan Desember 2011 - April 2012. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan desa tersebut merupakan salah satu desa tempat dilaksanakannya SL-PTT padi di sentra produksi padi kabupaten Musi Rawas pada tahun sebelumnya. Data diperoleh dari hasil pertanaman musim hujan 2011/2012, yang dikumpulkan melalui multiple visit survey selama pertanaman sampai dengan pelaksanaan panen bulan Pebruari 2012. Data dianalisis secara deskriptif. Total biaya produksi dihitung dari nilai semua faktor produksi yang digunakan, baik dalam bentuk benda maupun jasa. Sedangkan pendapatan diperoleh dari nilai penerimaan dikurangi dengan total biaya dalam suatu proses produksi. Revenue cost ratio (R/C) merupakan perbandingan antara penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan (Soekartawi, 1993). Informasi pemanfaatan hasil tanaman padi diperoleh dengan observasi dan wawancara dengan petani kunci pada pelaksanaan kegiatan. Dari beberapa komponen teknologi yang dianjurkan, jika disesuaikan dengan kondisi lapangan yang ada maka ditentukan 10 kriteria untuk dianalisis tingkat adopsinya oleh petani peserta dan bukan peserta pasca pendampingan tahun 2010/2011. Tabel 1. Penentuan Skor Adopsi Teknologi Usahatani Padi No 1.
2.
3.
4.
Komponen Penggunaan Benih
Penerapan Teknologi Skoring 3 Sesuai dengan anjuran (bibit muda, 1-3 tanaman /lubang, bersertifikat) 2 1 anjuran tidak sesuai 1 2 atau 3 anjuran tidak sesuai Pemupukan 3 Sesuai dengan anjuran. 2 Kurang dari anjuran. 1 Lebih dari anjuran. Pengendalian organisme Prinsip Pengendalian Hama Terpadu 3 pengganggu tanaman 2 (PHT). 1 Ditanggulangi, tidak sesuai dengan PHT. Tidak ditanggulangi. Penggunaan Bahan Lebih dari 75% jerami padi dikembalikan 3 Organik ke sawah dan ditebar merata 2 Pengembalian tidak merata atau hanya 5075% saja dikembalikan ke sawah 1 Tidak sampai 50% sisa jerami dikembalikan kesawah 785
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
No 5.
Komponen Pengolahan Tanah
6.
Sistem tanam
7.
Pengairan berselang
8.
Penyiangan
9.
Panen
10.
Pasca panen
Penerapan Teknologi Skoring 3 Pengolahan tanah sempurna 2 Pengolahan mendekati sempurna 1 Pengolahan tanah tidak sempurna 2 Jajar legowo sesuai anjuran 2 Jajar legowo tetapi tidak sesuai anjuran 1 Tidak jajar legowo 3 Pengairan berselang 2 Pengairan sulit diatur 1 Tergantung dengan alam 3 Menggunakan gulusan 2 Menggunakan tangan 1 Menggunakan herbisida di pertanaman 3 Mekanisasi pertanian (Power Tresher) 2 Semi mekanisasi pertanian (Pedal Tresher) 1 Digebot atau dibanting 3 Dijemur di lantai jemur, disimpan di ruang khusus 2 Dijemur menggunakan terpal di atas tanah, disimpan diruang khusus 1 Dijemur menggunakan terpal diatas tanah, penyimpanan bukan di ruang khusus
Berdasarkan Tabel 1 di atas, maka dari 10 komponen teknologi dapat diperoleh total skor penerapan teknologi tertinggi adalah 30 sedangkan yang terendah 10. Tingkat adopsi teknologi oleh petani dibedakan menjadi tiga kategori atau kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi. Menurut Riduwan (2003), rumus yang digunakan untuk menentukan panjang interval kelas adalah: data tertinggi - data terendah Panjang interval kelas = jumlah kelas Dimana : Data atau nilai skor tertinggi = 30 Data atau nilai skor terendah = 10 Jumlah kelas = 3 Panjang interval kelas diperoleh sebesar 6,6. Sehingga petani dikategorikan dalam : tingkat adopsi teknologi yang rendah, jika nilai interval kelas = 10,0 – 16,6 tingkat adopsi teknologi yang sedang, jika nilai interval kelas = 16,7 – 23,3 dan tingkat adopsi teknologi yang tinggi, jika nilai interval kelas = 23,4 – 30
786
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN Adopsi Inovasi Teknologi Pelaksanaan pendampingan SL-PTT Padi dilakukan pada tahun 2010/2011 di Desa Pagar Sari dengan mengimplementasikan Demfarm seluas 4 ha. Selain melalui demfarm tersebut juga dilakukan pendampingan melalui penyediaan media cetak, petemuan kelompok dan pelatihan petani. Varietas unggul yang digunakan diyakini petani dapat meningkatkan produktivitas. Benih bersertifikat diyakini lebih terjamin daya tumbuhnya dibanding tanpa sertifikasi, meskipun demikian pada kasus tertentu adakalanya juga petani mendapatkan benih palsu. Penanaman bibit muda (< 21 hari) dapat menghindari stres pada penanaman di lapangan, namun tidak semua meyakini bahwa dengan cara ini dapat diperoleh anakan yang lebih banyak. Penanaman bibit 1-3 batang per rumpun atau lebih sedikit dari yang biasa mereka lakukan diyakini juga mampu merangsang pertumbuhan anakan lebih banyak. Pelaksanaan PHT dapat mencegah penurunan hasil. Ini dapat terjadi jika pestisida yang digunakan tepat sasarannya. Anjuran pemupukan diyakini dapat meningkatkan produktivitas untuk jenis/varietas padi yang sama. Pemberian bahan organik diyakini dapat menggantikan peran pupuk kimia, walaupun tidak besar kemampuannya seperti pupuk kimia, namun dapat memperbaiki struktur tanah. Ini dapat dilakukan dengan mengembalikan sisa jerami padi ke tahan. Sistem tanam jajar legowo dapat meningkatkan produktivitas padi karena tanaman padi dapat memanfaatkan secara optimal penyinaran matahari. Namun sebagai suatu cara tanam yang baru bagi petani di desa tersebut, maka cara ini membutuhkan biaya yang lebih besar untuk penanamannya dibanding dengan sistem tegel. Pengairan berselang dapat mengoptimalkan pertumbuhan, dan efisiensi penggunaan air. Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok dapat mengurangi kehilangan hasil. Penyiangan dengan menggunakan gulusan dilakukan pada saat tanaman masih muda dan kondisi lahan yang berair. Pada saat tanaman sudah relative tinggi atau atau pada saat kondisi lahan kurang air, maka biasanya petani menggunakan tangan, bahkan sebagian juga masih menggunakan herbisida. Tabel 1. Tingkat Adopsi Teknologi Petani Peserta dan Luar SL-PTT Padi di Desa Pagarsari tahun 2011/2012 Uraian Petani Peserta SL Petani luar SL Benih (sertifikat, bibit muda, 1-3 batang/rumpun) 2.3 1.8 Pemupukan 2.15 1.65 Penerapan PHT 2.15 1.8 Penggunaan bahan organik 2.15 1.65 Pengolahan tanah sesuai musim 3 3 Sistem tanam jajar legowo 2.3 1.6 Pengairan berselang 2.2 2 Penyiangan 2 1.45 Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok 3 3 pasca panen 2.25 1.45 Jumlah 23.5 19.4
787
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Satu tahun pasca pendampingan, hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah skor penerapan teknologi usahatani padi petani peserta SL-PTT padi sebesar 23,5 sedangkan luar peserta 19,4. Ini menunjukkan bahwa tingkat adopsi teknologi yang sudah dianjurkan pada waktu pendampingan satu tahun yang lalu tersebut oleh petani peserta pada saat dilakukan pengkajian ini termasuk dalam kategori tingkat adopsi teknologi yang tinggi. Adapun petani di luar SL-PTT padi tingkat adopsi teknologi terkategori sedang. Analisis Finansial Usahatani Padi Adanya program pengelolaan tanaman terpadu diharapkan mampu meningkatkan produktivitas padi serta mampu meningkatkan pendapatan petani. Untuk membuktikan bahwa adanya nilai manfaat dengan menerapkan inovasi pada usahatani padi, maka melalui analisis dengan dan tanpa (with and without) petani yang pada tahun sebelumnya (2010/2012) sebagai peserta SL-PTT padi menunjukkan produksi padinya lebih tinggi 1,4 ton/ha dibanding petani luar SLPTT. Pada petani peserta SL-PTT padi, dengan menerapkan inovasi yang lebih mendekati anjuran, terjadi pengeluaran biaya bahan sebesar Rp 320.350/ha lebih tinggi dibanding luar SL-PTT padi. Ini lebih disebabkan oleh penggunaan pupuk yang lebih tinggi dibanding luar peserta. Juga terjadi peningkatan biaya tenaga kerja. Biaya tenaga kerja pada petani peserta sebesar Rp 6.620.600/ha. Lebih besar Rp 872.500/ha. Hal ini disebabkan adanya peningkatan produksi yang dihasilkan sehingga memerlukan tambahan biaya panen. Meskipun kedua strata petani usahataninya terkategori efisien, namun petani peserta SL-PTT padi lebih efisien dalam mengelola usahatani padinya dibanding bukan peserta. Hal ini dapat dilihat dari nilai R/C nya sebesar 2,45 pada petani peserta SL-PTT padi dan 2,2 pada luar SL-PTT padi. Biaya pokok untuk menghasilkan GKP sebesar Rp 1.429/kg sedangkan pada luar peserta sebesar Rp 1.597/kg (Tabel 2 dan Lampiran 1). Dengan demikian untuk menghasilkan 1 kg GKP petani peserta memerlukan biaya yang lebih rendah dibanding petani luar SL-PTT padi. Ini disebabkan lebih banyaknya produksi yang diperoleh petani peserta dibanding petani luar SL-PTT padi. Tabel 2. Biaya dan pendapatan usahatani padi peserta dan luar SL-PTT Padi di Desa Pagarsari per Ha tahun 2011/2012. Uraian Petani Peserta SL Petani luar SL Biaya Bahan Benih (Rp/ha) 150.000 234.000 Pupuk (Rp/ha) 1.480.000 1.091.000 Pestisida (Rp/ha) 940.850 782.300 Alat (Rp/ha) 183.200 143.200 Jumlah Biaya Bahan (Rp/ha) 2.570.850 2.250.500 Biaya Tenaga Kerja (Rp/ha) 6.620.600 5.748.100 Jumlah Biaya Produksi (Rp/ha) 9.191.450 7.998.600 Penerimaan (Rp/ha) 22.503.600 17.526.600 Pendapatan (Rp/ha) 13.312.150 9.528.000 R/C 2,45 2,20 Biaya pokok GKP (Rp/kg) 1.429 1.597
788
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pemanfaatan Hasil Samping Tanaman Padi Usahatani yang dilakukan dapat diarahkan untuk menerapkan konsep ramah lingkungan yang tidak menghasilkan sisa tanaman yang terbuang percuma. Tidak seperti halnya petani di wilayah lain, maka di Desa Pagar Sari, petani sudah memanfaatkan jerami padi untuk pakan ternak sapi. Namun proses pengawetan pakan agar tahan disimpan dalam waktu lama belum dilakukan. Selain digunakan untuk untuk pakan tentunya jerami padi ini juga dikembalikan ke tanah sebagai pupuk organik. Pemanfaatan sekam padi juga sudah dimanfaatkan yaitu untuk ditabur pada lantai kandang ternak ayam. Sehingga peternak akan lebih mudah membersihkan kandangnya dan sudah tercampur dengan kotoran ayam. Campuran antara kotoran ayam dengan sekam padi ini selanjutnya dapat digunakan sebagai campuran media tanaman atau digunakan sebagai pupuk organik. Umpan Balik Perbaikan Teknologi Inovasi yang dilakukan menuntut tersedianya sarana produksi secara tepat waktu, dan berkualitas. Benih padi VUB seharusnya mudah diperoleh petani. Ini dapat dilakukan dengan melibatkan Balai Benih dan penangkar benih lokal untuk memperbanyaknya. Kualitas pupuk yang bersubsidi, belakangan ini disinyalir kandungan unsur haranya tidak seperti yang tercantum pada kemasannya. Hal ini tentu akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas hasil. Cara petani dengan sistem tanam tegel secara lambat laun dapat diganti dengan jarwo setelah petani memahami penggunaan caplak yang dibuat khusus untuk itu. Pada beberapa petani, biaya tanam yang lebih besar dengan menggunakan jarwo dibanding tegel, dikarenakan belum terbiasanya petani menggunakan cara tanam ini dan menuntut kompensasi upah yang lebih tinggi. Namun pada petani yang sudah terbiasa, maka tidak ada perbedaan antara waktu penanaman dengan cara tegel dibanding jarwo. Pemanfaatan sisa-sisa tanaman padi untuk penggunaan seperti pakan ternak, pengawetan pakan ternak agar bisa digunakan dalam waktu yang lama menuntut tersedianya informasi pengolahannya di tingkat petani. Penggunaan jerami padi langsung, yang diberikan pada sapi meskipun dengan kualitas gizi yang rendah, juga sebagai akibat ketidakpahaman petani untuk mengolahnya. KESIMPULAN Tingkat adopsi teknologi petani peserta termasuk dalam kategori yang tinggi. Petani di luar SL-PTT padi tingkat adopsi teknologi terkategori sedang. Usahatani padi petani peserta lebih efisien (R/C= 2,45) dibanding petani luar SL-PTT padi (2,20).
789
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Lampiran 1. Analisis Usahatani Padi Peserta dan Luar SL-PTT Padi Uraian Peserta SL-PTT Padi Luar SL-PTT Padi Biaya Bahan Volume Nilai (Rp) Volume Nilai (Rp) Benih (kg) 25 150.000 39 234.000 Pupuk organik (kg) 500 400.000 200 160.000 Pupuk pelengkap cair (l) 4 100.000 0 0 Urea (kg) 200 360.000 195 351.000 SP 36 (kg) 100 220.000 100 220.000 NPK (kg) 100 400.000 90 360.000 Pestisida 757.630 782.300 Alat 183.200 143.200 Jumlah biaya bahan 2.570.830 2.250.500 Tenaga kerja Pesemaian 50.000 50.000 Cabut bibit 200.000 200.000 Caplak 100.000 100.000 Perbaikan saluran 25.000 25.000 Semprot gulma 50.000 50.000 Olah tanah 750.000 750.000 Perbaikan pematang 320.000 320.000 Penanaman 220.000 220.000 Penyulaman dan matun 255.000 212.000 Pemupukan 75.000 75.000 Semprot H/P 75.000 75.000 Panen (kg) 1071,6 3.750.600 834,6 2.921.100 Konsumsi panen 750.000 750.000 Jumlah biaya Tenaga kerja 6.620.600 5.748.100 Produksi GKP (kg) 6429,6 22.503.600 5007,6 17.526.600 Total Biaya 9.191.430 7.998.600 Pendapatan 13.312.170 9.528.000 R/C 2.44 2.19 Biaya pokok 1.429,5 1.597,2 DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2009. SL-PTT Kunci Sukses Meraih Produksi Tanaman Pangan 2009. Sinar Tani No. 3302 Tahun XXXIX. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2008. Inovasi Teknologi Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Sembiring, H dan S. Abdulrahman. Filosofi dan Dinamika Pengelolaan Tanaman Tanaman Terpadu padi Sawah. Pelatihan TOT SL-PTT Padi Nasional. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. 2008. Soekartawi, 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. 790
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Riduwan. 2003. Dasar-Dasar Statistika. Penerbit Alfabeta, Bandung. 258 hal Hanafi, 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Disarikan dari karya E. Roger dan F.F Shoemaker. Communication of Inovations. Penerbit Usaha Nasional, Surabaya. Soekartawi. 1993. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
791
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kebijakan Rehabilitasi Lahan Pertanian Pasca Tsunami di Provinsi NAD Basri A. Bakar1, Abdul Azis1 Email:
[email protected] 1 Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh ABSTRACT Tsunami disaster at the end of year 2004 in Aceh Province had destroyed productive land on nine districts. Some rehabilitation efforts had been done by several institution. The study aimed to evaluate the progress and efectiveness of the rehabilitation efforts and to formulate recommendation to the activity. The study focused on eastern costal area with Pidie and Bireuen District as the sample areas. So far, rehabilitation effort is still limited on land clearing activity, while soil fertility still left behind. Hence, it is recommended to use agricultural technology to recover land productivity on high salinity and pH balance. Restoration on supporting infrastucture is urgently needed to accelerate land rehabilitation activity since farmers still facing some problems due to damages on irigation and drainage channel, flood during high tide, and transportation facility. Farmer’s economic recovery can be helped by giving some agriculture production input to start farming activity followed by guidance to manage tsunami-affected land and market-oriented farm management. Coordination among institutions involved in land rehabilitation efforts should be intensified to get effective programs and impacts. Keyword: Tsunami, land rehabilitation, salinity, agricultural technology. ABSTRAK Bencana gelombang tsunami yang terjadi pada akhir tahun 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah mengakibatkan kerusakan lahan pertanian di sembilan kabupaten/kota. Upaya rehabilitasi lahan pertanian yang rusak telah dilakukan oleh berbagai pihak. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan pertanian dan memberi rekomendasi untuk kegiatan tersebut. Penelitian difokuskan pada daerah pesisir timur dengan mengambil sampel pada Kabupaten Pidie dan Kabupaten Bireuen. Rehabilitasi lahan masih terbatas pada perbaikan fisik lahan, sehingga perlu dilakukan upaya pemulihan kualitas kesuburan tanah melalui pemanfaatan teknologi pengelolaan tanah yang memiliki salinitas, sodisitas, dan pH tinggi. Perbaikan infrastruktur pendukung perlu dilakukan segera untuk mempercepat proses rehabilitasi lahan dan mengatasi masalah yang masih dialami petani. Pemulihan kapasitas ekonomi petani perlu dilakukan dengan memberikan bantuan sarana produksi dan bimbingan praktek usahatani berorientasi agribisnis. Koordinasi antar pihak yang terlibat dalam upaya rehabilitasi lahan perlu lebih diefektifkan. Kata Kunci: Tsunami, rehabilitasi lahan, salinitas, dan teknologi pertanian.
792
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN Dampak dari bencana tsunami yang terjadi di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam pada akhir tahun 2004 dapat dirasakan hampir di seluruh sektor, termasuk sektor pertanian. Bencana tersebut telah mengakibatkan kerusakan pada lahan-lahan pertanian yang produktif maupun non produktif serta sendi-sendi kehidupan petani yang bergantung pada lahan tersebut. Ribuan hektar lahan pertanian tercemar lumpur yang terbawa gelombang tsunami. Sedimen lumpur tersebut telah merubah sifat fisika dan kimia tanah semula (John Janes, 2005). Tatanan kelembagaan pertanian yang sebelumnya telah terbina dan berjalan untuk membantu petani dalam melaksanakan usahataninya telah hancur. Ribuan petani harus menjalani kehidupan di pengungsian, sementara lahan tempatnya berusahatani belum dapat dimanfaatkan. Daerah yang terkena dampak tsunami mencakup sembilan kabupaten/kota. Sedangkan daerah yang mengalami kerusakan lahan pertanian cukup berat terjadi di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Barat Daya, Pidie, Bireun, dan Aceh Jaya. Tingkat kerusakan lahan yang terjadi antara lain lahan sawah (termasuk subsektor hortikultura) seluas 56.101 ha, lahan tegalan (tanaman palawija dan hortikultura) seluas 31.345 ha, dan perkebunan diperkirakan 56.500 – 102.461 ha yang terdiri atas lahan perkebunan karet, kelapa, kelapa sawit, kopi, cengkeh, pala, pinang, coklat, nilam, dan jahe. Jumlah ternak yang mati ataupun hilang adalah 78.450 ekor sapi, 62.561 ekor kerbau, 16.133 ekor domba, 73.100 ekor kambing, dan 1.624.431 ekor unggas (Tim Nasional, 2005). Di wilayah pantai timur seperti Kabupaten Pidie dan Kabupaten Bireun upaya rehabilitasi lahan pertanian pertanian telah dilakukan oleh masyarakat dengan didukung oleh berbagai lembaga dan instansi pemerintah melalui beberapa program dan kegiatan. Program dan kegiatan tersebut bertujuan untuk membangun kembali usaha-usaha pertanian seperti pemulihan kesuburan tanah, perbaikan sarana irigasi, penanaman kembali komoditas unggulan daerah, membentuk kelompoktani-kelompoktani, penyediaan sarana produksi dan permodalan, serta bantuan tunjangan hidup bagi keluarga tani. Bila dikaitkan dengan penyebab terjadinya kerusakan, maka kegiatan rehabilitasi lahan pertanian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan kegiatan yang baru pertama kali dilakukan dan masih terbatas pada beberapa daerah. Oleh karena itu tingkat efektivitas dan dayagunanya masih harus dipelajari dan dievaluasi untuk perbaikan dan penyempurnaan pada kegiatankegiatan sejenis pada wilayah yang lebih luas. Penelitian ini bertujuan mempelajari dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan rehabilitasi lahan pertanian di daerah-daerah yang telah melakukannya untuk mengetahui masalah dan kendala yang dihadapi, potensi dan peluang kedepan, serta dampaknya terhadap kehidupan petani. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan rekomendasi bagi pelaksana pembangunan pertanian di Provinsi NAD, terutama dalam upaya rehabilitasi lahan pertanian dan kelembagaan petani di pedesaan.
793
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
BAHAN DAN METODE Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah (1) Desk study, yaitu penelusuran dan analisis data-data sekunder kegiatan rehabilitasi lahan pertanian paska tsunami dan (2) Kajian lapangan dengan menggunakan teknik survey. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari sampai Desember 2005 dan dilaksanakan di tingkat provinsi dan kabupaten. Pelaksanaan survey dilakukan pada kabupaten yang memiliki kriteria sesuai tujuan penelitian, yaitu Kabupaten Pidie dan Kabupaten Bireun. Pada masing-masing kabupaten akan dipilih pula kecamatan dan desa yang bisa mewakili kondisi pembangunan pertanian di wilayah tersebut. Pemilihan kabupaten didasarkan pada pertimbangan bahwa kedua kabupaten tersebut merupakan daerah pantai timur yang lahan pertaniannya relatif banyak terkena dampak bencana tsunami dan telah terdapat kegiatan rehabilitasi lahan dan kelembagaan pertanian pasca tsunami, sehingga dapat mewakili daerah lain yang terkena tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pemilihan petani responden di tingkat desa atau lokasi dilakukan secara acak proporsional. Petani yang dipilih sebagai responden adalah petani mengalami kerusakan lahan dan telah mengikuti kegiatan rehabilitasi lahan. Dari setiap kabupaten diambil 20 orang responden yang terdiri dari lima orang dari tiga lokasi yang berbeda. Dengan demikian, jumlah keseluruhan petani responden adalah 40 orang. Data sekunder diperoleh dari kantor BPS dan dinas/instansi terkait yang mencakup data ekonomi, sosial dan pertanian pada tingkat kabupaten dan provinsi. Sedangkan data primer diperoleh pada level petani dengan menggunakan metoda survey. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan petani responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) dan petugas yang terlibat dalam kegiatan rehabilitasi lahan. Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara tabulasi dan deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Kerusakan Lahan Pertanian Akibat Bencana Tsunami. Bencana alam Tsunami yang terjadi pada tahun 2004 di Provinsi NAD bukan hanya mengakibatkan korban jiwa, tetapi juga menyebabkan kerusakan berbagai fasilitas termasuk lahan pertanian. Menurut FAO (2005), sebanyak 61. 816 ha lahan tanaman pangan dan hortikultura yang terdiri dari 37.471 ha lahan basah dan 24.345 ha lahan kering (Tabel 1) yang tersebar di 11 kabupaten yang meliputi Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Simeulue telah mengalami kerusakan dengan tingkat yang bervariasi dari ringan hingga sangat berat. Secara umum tingkat kerusakan lahan pertanian di pantai barat NAD (45.755 ha) lebih berat dibandingkan di pantai timur (16.061 ha). Dari total lahan pertanian yang rusak di pantai timur NAD dapat diklasifikasikan sekitar 50 persen tergolong rusak ringan dan 50 persen tergolong rusak sedang, sedangkan di pantai barat dari total 45.755 ha, 10 persen tergolong rusak ringan (4.575 ha), 20 persen rusak sedang (9.151 ha), 60 persen rusak berat (27.453 ha) dan 10 persen tergenang air laut (5.575 ha).
794
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 1. Perkiraan Kerusakan Lahan Tanaman Pangan dan Hortikultura Akibat Tsunami Lahan basah Lahan kering Kabupaten Total (ha) (ha) (ha) Banda Aceh 75 50 125 Aceh Besar 6.855 9.465 16.320 Aceh Jaya 8.800 3.068 11.868 Aceh Barat 2.970 1.114 4.084 Nagan Raya 3.960 1.560 5.520 Aceh Barat Daya 3.080 4.758 7.838 Pidie 2.860 3.072 5.932 Bireun 2.118 567 2.685 Aceh Utara 1.224 612 1.836 Aceh Timur 2.119 2.119 Simeulue 3.410 79 3.486 Total (ha) 34.471 24.345 61.816 Sumber: FAO (2005) Dalam penelitian ini pembahasan difokuskan pada daerah pantai timur Provinsi NAD, karena tingkat kerusakan lahan di wilayah ini tergolong ringan sampai sedang sehingga program rehabilitasi lahan pertanian dalam jangka pendek dan menengah lebih memungkinkan di daerah tersebut. Sedangkan rehabilitasi lahan pertanian di daerah pantai barat lebih komplek dan memerlukan program yang lebih kompehensif dalam jangka panjang. Kabupaten Pidie dan Bireun dipilih karena kedua kabupaten merupakan daerah sentra produksi komoditas pertanian sehingga dapat digunakan sebagai indikator pembangunan pertanian di wilayah pantai timur Provinsi NAD. A. Kabupaten Pidie Di Kabupaten Pidie, bencana tsunami telah mengakibatkan kerusakan tanaman dan lahan pertanian yang mencakup 11 kecamatan. Kerusakan tanaman yang terdiri dari tanaman padi lahan sawah seluas 757,33 ha, palawija 97,48 ha dan hortikultura 100,56 ha (Tabel 2). Kerugian akibat kerusakan tanaman tersebut mencapai lebih dari Rp. 3,1 milyar yang diderita oleh lebih dari 1.970 orang petani. Kerusakan lahan pertanian yang tergolong rusak sedang seluas 642,74 ha.
795
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 2. Kerusakan Tanaman dan Lahan Pertanian Akibat Bencana Tsunami di Kabupaten Pidie. No.
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kota Sigli Pante Raja Meurah Dua Meureudu Simpang Tiga Trienggadeng Jangka Buya Pidie Muara Tiga Batee Ulim
Jumlah
Jumlah Petani (orang) 35 197 106 81 327 544 481 124 75 -
135,50 77,30 20,39 118,62 206,69 147,47 22,36 29,00 -
1.970
787,33
Luas Kerusakan Tanaman (Ha) Padi
Palawija Hortikultura 7,46 30,00 10,00 0,38 20,00 14,75 22,00 20,00 8,35 0,35 17,75 32,00 10,00 5,00 97,48
100,56
Kerusakan Lahan/ Rusak sedang (Ha) 5,74 135,50 77,30 20,39 118,25 243,44 20,37 21,75 642,74
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Pidie (2005) Kerusakan lahan pertanian di Kabupaten pidie terjadi karena masuknya air laut hingga mencapai daerah-daerah pertanian dan meninggalkan endapan lumpur setebal 5-20 cm yang bercampur dengan sampah dan puing-puing bangunan. Selain itu bencana tersebut juga merusak infrastruktur pendukung kegiatan pertanian seperti jaringan irigasi/drainase, jalan dan tanggul penahan air pasang di daerah-daerah tepi pantai. B. Kabupaten Bireun Di Kabupaten Bireuen, bencana tsunami telah mengakibatkan kerusakan lahan pertanian yang terdiri dari lahan sawah dan lahan kering di sembilan kecamatan dari 17 kecamatan yang ada. Kerusakan lahan sawah mencapai 2.345 ha yang terdiri dari 1.045 ha (45 persen) tergolong rusak sedang dan 1.300 ha (55 persen) rusak ringan. Sedangkan kerusakan lahan kering mencapai 717 ha terdiri dari 144 ha (20 persen) rusak sedang dan 573 ha (80 persen) rusak ringan. Jumlah petani yang mengalami kerusakan lahan tersebut sebanyak 3.513 orang (Tabel 3).
796
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Kerusakan Lahan Pertanian Akibat Tsunami di Kabupaten Bireuen.
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Kecamatan
Samalanga Sp. Mamplam Pandrah Jeunib Plimbang Peudada Kuala Jeumpa Juang Juli Peusangan P. Selatan Siblah Krueng Jangka Makmur Gandapura Kuta Blang
Jumlah
Luas Lahan (Ha) Tersedia Lahan Lahan Sawah Kering 1.523 2.242 1.652 2.146 1.035 1.307 2.127 2.203 1.235 1.524 2.165 13.750 643 663 1.792 3.536 790 1.462 643 22.467 2.420 2.553 812 2.087 1.030 1.154 1.403 786 1.150 1.096 1.165 1.269 1.363 1.917 22.948
62.162
Jumlah (Ha)
Lahan Sawah (Ha)
Lahan Kering (Ha)
3.765 3.798 2.342 4.330 2.759 15.915 1.306 5.328 2.252 23.110 4.973 2.899 2.184 2.189 2.246 2.434 3.820
Rusak Sedang 172 204 96 336 173 64 -
Rusak Ringan 214 204 64 54 220 190 272 82 -
Rusak Sedang 45 58 41 -
Rusak Ringan 20 13 17 180 35 68 19 168 47 -
85.110
1.045
1.300
144
573
Jumlah Petani (orang) 569 585 89 263 108 769 223 659 248 3.513
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Bireuen (2005) Profil Usahatani. Jenis komoditi yang diusahakan oleh petani sampel sebelum terjadinya bencana tsunami bervariasi. Sebanyak 72,5 persen petani menanam padi pada musim hujan dan palawija pada musim kemarau di lahan sawah, sedangkan lainnya 27,5 persen mengusahakan tanaman palawija (kacang tanah, kedelai, kacang hijau, dan jagung) dan hortikultura (bawang merah, cabai, terung, sayuran, mentimun, dan semangka di lahan kering. Produktivitas lahan sawah sebelum tsunami berkisar antara 4,31 – 5,90 ton/ha padi kering giling dengan rata-rata produksi 4,7 ton/ha GKG. Penerimaan usahatani padi rata-rata Rp. 5.880.000,-/ha/musim tanam. Setelah dikurangi biaya produksi rata-rata sebesar Rp. 3.700.000,-/ha/musim tanam, maka keuntungan usahatani padi rata-rata Rp. 2.180.000,-/ha/musim tanam. Dua bulan setelah tsunami petani telah mencoba menanam kembali di lahan sawahnya setelah terlebih dahulu dibersihkan dari sampah di permukaan tanah. Pada penanaman pertama tersebut rata-rata produksi menurun sebanyak 20–40 persen dengan variasi tergantung pada tingkat kerusakan lahan. Demikian pula petani yang menanam komoditi lain di lahan kering, penurunan produksi kacang tanah dan mencapai 70 persen pada penanaman pertama setelah tsunami, bahkan sebagian petani mengalami kematian tanaman sebelum panen. Untuk komoditas hortikultura pada daerah dengan kerusakan lahan ringan, petani dapat mengusahakan tanaman seperti musim tanam sebelumnya. Sedangkan pada lahan kerusakan sedang, 20 persen petani mengalami penurunan produksi sebagai akibat kematian sebagian tanaman. Berdasarkan hasil pengamatan, pada awal kegiatan usahatani yang dilakukan dua bulan setelah tsunami, petani umumnya mengalami bebarapa kendala yang menyebabkan meraka tidak dapat berusahatani seperti sebelumnya. Namun karena desakan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup rumah 797
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
tangganya, petani harus segera memulai kembali aktivitas berusahataninya meskipun harus menghadapi resiko kegagalan atau penurunan produksi. Beberapa kendala tersebut antara lain: a) lahan usahatani masih bercampur dengan sedimen lumpur laut dan kotoran lain; b) sebagian lahan masih tergenang air; c) kadar salinitas tanah tergolong tinggi; d) lahan dekat pantai masih mengalami air pasang, tanggul penahan ombak rusak; e) saluran irigasi/drainase tidak berfungsi dengan baik; f) tidak tersedia sarana produksi dan kekurangan modal usahatani. Rehabilitasi Lahan Paska Tsunami. Berdasarkan uraian permasalahan yang dihadapi oleh petani dalam berusahatani, maka upaya rehabilitasi lahan yang terkena dampak tsunami mencakup beberapa aspek antara lain: (1) Rehabilitasi fisik dan kualitas lahan; (2) Rehabilitasi infratrusktur pendukung; dan (3) Pemulihan kapasitas ekonomi petani Rehabilitas lahan secara fisik dimaksudkan untuk mengembalikan kondisi fisik lahan agar lahan tersebut dapat dimanfaatkan seperti peruntukannya semula. Rehabilitasi secara fisik lebih banyak berupa pembersihan lahan dari puing-puing dan sampah yang ada di atas permukaan lahan serta penanganan endapan lumpur yang dapat merubah struktur tanah. Sedangkan rehabilitasi kualitas lahan lebih menekankan pada pemulihan kesuburan lahan, sehingga lahan dapat memiliki produktivitas seperti semula agar tanaman yang diusahakan petani dapat berproduksi secara optimal. Sejauh ini upaya rehabilitasi lahan petani lebih banyak diarahkan pada perbaikan lahan secara fisik saja. Sebagai langkah awal hal itu memang sangat membantu petani, namun untuk membantu pemulihan usahatani masyarakat upaya tersebut belumlah cukup, karena harus diikuti pula dengan upaya perbaikan kualitas kesuburan lahan itu sendiri. Lahan yang terkena dampak tsunami umumnya memiliki kadar garam (salinitas) yang tinggi dan keasaman (pH) tinggi, sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan mengakibatkan penurunan produksi yang cukup besar. Dalam upaya rehabilitasi lahan juga harus memperhatikan tingkat kerusakan lahan itu sendiri, karena penanganannya juga akan berbeda untuk setiap tingkat kerusakan. Di daerah pantai timur Provinsi NAD, terutama di Kabupaten Pidie dan Kabupaten Bireuen, tingkat kerusakan lahan tergolong ringan sampai sedang. Untuk lahan dengan tingkat kerusakan ringan, petani dapat melakukan kegiatan rehabilitasi secara individu maupun berkelompok dengan dibantu oleh pemerintah daerah. Sedangkan untuk lahan dengan tingkat kerusakan sedang memerlukan penanganan yang lebih luas dan memerlukan biaya yang lebih besar, sehingga petani tidak mampu untuk melakukannya sendiri. Pemulihan kesuburan lahan dapat dilakukan dengan pencucian lahan (leaching) agar tingkat salinitas tanah dapat diturunkan ketingkat yang dapat ditolerir oleh tanaman dan untuk menurunkan pH tanah dapat diberikan kapur pertanian atau gypsum serta pemberian pupuk organik (pupuk kandang) dengan dosis yang tepat. Perbaikan infrastruktur pendukung dimaksudkan agar lahan petani yang telah diperbaiki dapat dimanfaatkan secara lebih terjamin dan berkesinambungan. Perbaikan infrastruktur tersebut berupa perbaikan saluran irigasi dan drainasi untuk membantu mempercepat proses pencucian lahan dan memenuhi kebutuhan air bagi tanaman. Perbaikan tanggul-tanggul penahan ombak di daerah tepi pantai
798
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
yang rusak untuk mencegah masuknya air laut pada saat air pasang ke lahan petani yang dapat mengakibatkan kerusakan dan kematian pertanaman. Pemulihan kapasitas ekonomi petani perlu dilakukan, mengingat petani yang terkena dampak tsunami saat ini dalam keadaan kekurangan modal untuk berusahatani. Bantuan yang dapat diberikan berupa sarana produksi (benih, pupuk, obat-obatan, dan peralatan usahatani). Diharapkan bantuan tersebut dapat mengembalikan gairah kerja petani untuk mengusahakan kembali lahannya. Selain itu bimbingan teknis usahatani juga perlu dilakukan, terutama tentang caracara pengelolaan lahan bekas tsunami yang cenderung bermasalah agar dapat berproduksi secara lebih baik. Dengan demikian selanjutnya petani dapat melaksanakan kegiatan usahatani secara mandiri. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 1. Rehabilitasi lahan terkena tsunami seharusnya tidak hanya mencakup pemulihan secara fisik yang berupa pembersihan sampah dan endapan lumpur di atas permukaan tanah, tetapi juga diikuti dengan pemulihan kesuburan tanah. Hal ini dapat dilakukan dengan pemanfaatan teknologi pertanian untuk mengurangi salinitas, menurunkan kadar keasaman (pH), dan menambah bahan organik dalam tanah. Teknologi yang dapat digunakan antara lain: (a) pencucian lahan melalui penggunaan air bersih pada lahan agar garam-garam dalam tanah dapat terbawa ke lapisan tanah yang lebih dalam; (b) pemberian kapur pertanian untuk menurunkan pH tanah dan mengurangi unsur-unsur garam beracun dalam tanah; (c) pemberian pupuk organik berupa kompos atau pupuk kandang untuk memperbaiki struktur tanah. 2. Perbaikan dan peningkatan infrasturktur pendukung pertanian seperti saluran irigasi dan drainasi untuk mempercepat proses pemulihan kesuburan lahan, perbaikan tanggul penahan air pasang yang rusak untuk mencegah masukknya kembali air laut ke lahan pertanian, perbaikan jalan desa untuk memperlancar transportasi sarana produksi dan hasil produksi pertanian. 3. Pemulihan kapasitas ekonomi petani melalui pengembangan sistem usahatani berorientasi pasar dapat dilakukan dengan pemberian bantuan sarana produksi bagi petani untuk memulai kembali kegiatan usahataninya. Kegiatan tersebut diiringi dengan bimbingan tentang pengelolaan lahan bekas tsunami dan manajemen usahatani yang lebih bersifat komersil berorientasi pasar. Diharapkan petani memiliki usahatani yang lebih menguntungkan dan memiliki kemandirian ekonomi keluarga 4. Agar pelaksanan program rehabilitasi lahan dapat berjalan dengan baik, maka perlu adanya koordinasi yang lebih efektif antar pihak-pihak yang terlibat seperti Pemerintah Daerah, LSM (dalam dan luar negeri), Lembaga Penelitian, dan lembaga pemberi bantuan lainnya. DAFTAR PUSTAKA ACIAR, 2005. Management of Soil Fertility for Restoring Cropping in TsunamiAffected Areas of Nanggroe Aceh Darussalam Province. Contract Document. Australian Centre for Internationl Agriculture Research.
799
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
FAO, 2005. Final Report for SPFS: Emergency on Reconstruction along the Eastern Coast of NAD Province. Government of the Repuclic of Indonesia, Ministry of Agriculture. Food and Agriculture Organization of the United State. John Janes, 2005. Rehabilitasi Kualitas Tanah pada Areal-areal yang Rusak Pasca Tsunami di NAD. Makalah Pelatihan Manajemen Tanah Akibat Tsunami Untuk Penanaman Padi dan Tanaman Lainnya. Medan, 9-14 mei 2005. Kasdi Subagyono, 2005. Rehabilitasi Lahan Pertanian Paska Bencana Tsunami di NAD: Mengatasi Masalah Salinitas dan Sodisitas. Bahan Kuliah pada Basic Training on Salt-affected Soil. Banda Aceh dan Meulaboh, 18-24 April 2005. Tahlim Sudaryanto dan Armen Zulham, 2005. Aceh: Setting the Pace for Agricultural Modernization in Indonesia. Makalah pada The Agricultural Rehabilitation and Consolidation Workshop (FAO dan BRR). Banda Aceh, 22-23 Nopember 2005. Tim Nasional, 2005. Dampak Tsunami terhadap Sektor Pertanian. Tim Nasional Penanggulangan Bencana Alam Aceh. 18 Pebruari 2005.
800
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Karakterisasi Wijen Mutan Introduksi ‘DT-36’ Sebagai Kandidat Tetua Sifat Umur Genjah Characterization of Sesame Mutant Introduction 'DT -36' as Determinate Early Maturity Candidate Parent Sri Adikadarsih1, Abdul Azis2 1
Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta 2
Peneliti Balai PengkajianTeknologiPertanian Aceh Email:
[email protected]
ABSTRACT Sesame is sixth best vegetable oil world. Its oil seeds content is high and has good quality, therefore it very good for consumption. Long maturity period is one of problems in cultivating sesame beside it different level maturity among capsules in a plant (indeterminate) cause difficulties in determining the appropriate harvest time. The early or late of harvesting time will affect to loss of yield and seed quality deterioration. One of the steps solve this problem is by crossing cultivar indeterminit and determinit. So it is very important to characterize each cultivar to understanding their spesific trait. Characterization activities were carried in November 2011 until February 2012 in the Padangan, Sitimulyo, Piyungan, Bantul, Yogyakarta. Planting material used are sesame cultivars ' SBR- 2 ', ' SBR- 3 ' (indeterminate), and ‘DT -36’ (determinate) . ‘DT 36’ is the introduction of Turkish sesame cultivar. It was the result of a mutation breeding that has restricted growth type (determinate). Characterization results indicate that the day of flowering and harvest ‘DT -36’ ( 80 days ) is the shorthest. Another specific properties is short stems (105,12 cm), higer number of nodes per plants (37,43), and earlier nodes where first pod shown (5th nodes). Total branches per plant (1-2 units) located at the lower section of the main stem. Number of pods per plant and weight of pods per plant was still lower from ‘SBR3 ' but the weight of 1000 seeds tend to be higher . From the results of the characterization of the crossing between the three cultivars are recommended to get any promising lines that has early maturity of and uniformity of ripening pods. Keywords: Mutations, sesame, characterization, Determinate, Indeterminate
ABSTRAK Wijen menduduki urutan ke enam tanaman penghasil minyak nabati dunia. Kandungan minyak dalam biji yang tinggi dan kualitasnya yang baik menjadikan minyak wijen sangat baik untuk dikonsumsi. Permasalahan yang dihadapi pada budidaya tanaman wijen antara lain adalah umur panen yang relatif panjang dan tingkat kemasakan dalam satu tanaman dengan tipe tumbuh tak terbatas (indeterminit) tidak serentak, hal tersebut menyulitkan penentuan waktu panen dan beresiko pada kehilangan hasil dan penurunan kualitas biji. Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan 801
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
persilangan kultivar indeterminit dan determinit. Oleh sebab itu kegiatan karakterisasi sangat penting untuk dilaksanakan. Kegiatan dilaksanakan pada bulan November 2011 sd Februari 2012 di Lahan Sawah desa Padangan, Sitimulyo, Piyungan Bantul. Bahan tanam yang digunakan adalah Wijen kultivar ‘SBR-2’,’SBR-3’ (indeterminit), dan ‘DT-36’. ‘DT-36’ merupakan wijen introduksi dari Turki dan merupakan hasil hasil mutasi yang memiliki sifat tumbuh terbatas (determinit). Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa Umur Berbunga dan Umur Panen Wijen ‘DT-36’ (80 hari) adalah yang paling pendek dibandingkan varietas pembandingnya. Sifat khusus lain adalah postur batang cenderung rendah (105, 12 cm), jumlah ruas per tanaman banyak (37,43) dan sudah mulai berbuah pada ruas yang ke-5 (lima) Jumlah cabang per tanaman (1-2 buah) terletak pada bagian bawah batang utama. Jumlah polong per tanaman dan Berat polong per tanaman masih dibawah ‘SBR-3’ namun berat 1000 biji cenderung lebih tinggi. Dari hasil karakterisasi tersebut maka persilangan antara ketiga kultivar tersebut direkomendasikan untuk mendapatkan galur-galur harapan yang memiliki umur genjah dan memiliki tingkat kemasakan seragam dalam satu tanaman. Kata kunci : Mutasi, Karakterisasi, Wijen, Determinit, Indeterminit
PENDAHULUAN Wijen (Sesamum indicum L. syn Sesamum orientalis L.) termasuk dalam famili Pelidaceae diduga berasal dari benua Afrika dan pertama kali dibudidayakan di Ethiopia (Suprijono,1996) kemudian dikenalkan ke India dan Cina. Pada abad ke 17 wijen mulai dikenalkan di Amerika dan berkembang dengan pesat di kawasan Amerika Latin termasuk Mexico, Guatemala, Nicaragua dan Venezuela (Yermanos, 1980). Wijen dikenal sebagai bennished (Afrika), benne (Amerika Serikat bagian selatan), gingelly (India), gengelin (Brazil) dan tila (Sansekerta) (Hwang, 2005). Di beberapa negara wijen merupakan salah satu bahan makanan tradisional yang dikonsumsi dalam bentuk biji, minyak, ataupun dijadikan pasta (Ashri, 2007). Di Mesir minyak wijen dipergunakan sebagai salah satu bahan pembuat mumi dan di Jepang sangat baik untuk menggoreng tempura (Namiki, 2007). Disamping sebagai bahan makanan, wijen juga dimanfaatkan dalam sektor industri meskipun masih dalam skala kecil antara lain sebagai bahan dasar kosmetik, obat-obatan, sabun dan insektisida (Uzun et al., 2008). Selain dipasarkan dalam bentuk biji, wijen juga merupakan penghasil minyak industri yang dikenal sebagai minyak wijen. Wijen menduduki urutan ke enam sebagai tanaman penghasil minyak terpenting di dunia (Olowe et al., 2009). Konsumsi wijen dunia pada tahun 2004 telah mencapai lebih dari 2 ribu ton dan menurut proyeksi FAO konsumsi dunia terhadap wijen akan meningkat sekitar 500 ton per tahun hingga tahun 2012 (Anindita, 2007). Data FAO (2009) menunjukkan Myanmar dan India merupakan produsen wijen terbesar di dunia. Importir biji wijen terbesar adalah Jepang dan China. Indonesia dalam pasar wijen pada saat ini tercatat sebagai pengekspor sekaligus pengimpor wijen baik dalam bentuk biji kering ataupun minyak (Rachman, 2007).
802
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Seiring dengan makin meningkatnya kualitas hidup, masyarakat akan makin selektif dalam memilih bahan yang akan dikonsumsinya. Wijen termasuk dalam golongan makanann sehat, memiliki kandungan utama 30-60% minyak dan 19-30% protein (Ashri, 1998; Arslan et al., 2007), sedangkan sisanya adalah lemak dan abu (Mardjono, 2007). Minyak wijen sangat stabil (Uzun et al., 2008) dan tidak mudah tengik. Hal tersebut disebabkan terutama oleh kandungan antioxidant (Davidson, 1999) yang terdapat dalam sesamin (Hwang, 2005). Salah satu permasalahan utama dalam budidaya tanaman wijen adalah umurnya yang panjang dan kemasakan dalam satu tanaman yang tidak serentak yang disebabkan oleh sifat indeterminit wijen. Periode pembungaan bisa mencapai 2 bulan (Day, 2000). Pada saat bunga masih mekar di pucuk, kapsul di bagian pangkal sudah masak bahkan mulai pecah (Cagirgan, 2006). Hal tersebut mengakibatkan kesulitan dalam menentukan masa panen, karena jika dilakukan panen awal maka kualitas benih akan kurang karena ada sebagian benih yang belum masak, namun jika dilakukan panen lambat maka terjadi kehilangan hasil karena kapsul bagian bawah yang telah masah terlebih dahulu sebagian sudah pecah. Usaha perbaikan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan seleksi pada populasi yang memiliki keragaman genetik yang cukup tinggi (Sudarmadji et al., 2007) yang dapat memberikan kemungkinan lebih besar dalam keberhasilan usaha perakitan suatu varietas baru (Purwantoro et al., 1991). Keragaman genetik pada suatu komoditas dapat diciptakan antara lain dengan persilangan, mutasi, dan introduksi. Mutasi tanaman wijen pertama kali dilakukan oleh Langham (1942) untuk perbaikan sifat cangkang yang pecah. Seleksi mutan wijen determinit dilakukan oleh Dr. Ashri yang menghasilkan wijen’DT-45’, kemudian Cagirgan (2006) memutasi wijen lokal Turki dan menemukan var wijen determinit ‘DT-1’ sampai dengan ‘DT-6’. Ciri utama tanaman wijen hasil mutasi adalah memiliki arsitektur yang khas dengan 5-7 kapsul yang berkelompok tersusun pada ujung cabangnya, ukuran tanaman lebih kecil (Ashri, 2001). Hasil biji lebih rendah dibandingkan dengan tipe liarnya, biasanya memiliki sepasang cabang sekunder (Cagirgan, 2006). Kelompok mutan ini disebut dengan determinit karena periode berbunganya lebih singkat daripada induknya (Ashri, 1985). Potensi umur genjah dan keserempakan kemasakan polong biji pada suatu tanaman merupakan sifat yang khas dalam wijen determinit, sehingga kedepannya persilangan wijen determinit dengan kultivar lokal yang umumnya bersifat determinit sangat perlu diperlukan untuk memperoleh galur harapan baru. Penelitian ini sangat penting dilakukan untuk mempelajari karakter wijen determinit hasil introduksi dari Turki. BAHAN DAN METODE Penelitian ini telah di lakukan pada bulan November 2011 sd Februari 2012 di Lahan Sawah desa Padangan, Sitimulyo, Piyungan Bantul. Bahan yang dipergunakan adalah Wijen Introduksi Turki ‘DT-36’ sebagai kultivar yang dikarakterisasi, SBR 3, dan SBR2 sebagai kultivar pembanding. Tanaman wijen ditanam menurut rancangan acak lengkap dengan kultivar sebagai 803
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
perlakuan. Masing-masing kultivar ditanam 120 tanaman dengan jarak tanam 40 x 25 cm dan pengamatan dilakukan pada 50 sampel individu tanaman wijen. Pengamatan pada individu tanaman dilakukan mengacu pada descriptor list untuk tanaman wijen (IPGRI and NBPGR, 2004) dengan modifikasi. Pengamatan meliputi: Tinggi tanaman/TT (cm), diukur pada saat pertumbuhan telah terhenti dari permukaan tanah sampai dengan apex (tunas pucuk). Tipe pertumbuhan tanaman/TP, 1. Indeterminit 2. Determinit; Jumlah cabang/JC, dihitung banyaknya cabang yang berada pada batang utama; Tipe percabangan/TC, 0. Tidak bercabang, 2. Bercabang pada bagian bawah batang utama, 3. Bercabang pada bagian atas batang utama; Muncul polong pertama pada ruas ke-/R1; Jumlah ruas pada batang utama/JR; Jumlah polong per tanaman/JP; Berat polong per tanaman/BP (gram); Berat biji per tanaman/BBj (gram); Berat seribu biji/BSB (gram). Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis keragaman atau Analysis of Varian (Anova), dan jika terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf kepercayaan 95 %. HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe pertumbuhan batang wijen ada dua macam yakni determinit dan indeterminit. Determinit adalah tanaman wijen yang menghentikan pertumbuhan vegetatif meristem apikalnya, kemudian melakukan inisiasi pembungaan (Pham, 2011). Kultivar wijen yang dibudidayakan di Indonesia pada umumnya adalah indeterminit. Tanaman indeterminit akan terus tumbuh daun, berbunga dan berbuah selama lingkungan mendukung. Tabel 1. Hasil Pengamatan skor maksimal, minimal, rerata dan standar deviasi sifat percabangan wijen DT-36 dan pembandingnya. Tipe Pertumbuhan Max Min Rerata SD Jumlah cabang Max Min Rerata SD Posisi cabang Max Min Rerata SD Muncul polong pertama pada ruas keMax Min Rerata SD
‘SBR3’
‘SBR2’
‘DT-36’
1 1 1 0
1 1 1 0
2 2 2 0
5 2 3,5 0,9
0 0 0 0
3 0 1,5 0,6
3 2 2 0
0 0 0 0
2 0 2 0
18 3 12 3,3
22 4 12 4
12 3 6 1,9
804
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Jumlah cabang adalah salah satu penciri utama dari ketiga kultivar ditunjukkan pada Tabel 1. ‘SBR3’ memiliki jumlah cabang yang paling banyak (3,5) dan posisinya ada di atas bagian batang utama. Sudut cabang cenderung datar (data tidak ditampilkan) sehingga tajuk untuk kultivar ini terkesan lebar dan penuh, ‘SBR2’ merupakan wijen yang tidak bercabang dan sering dikenal dengan wijen ‘sate’, dan ‘DT-36’ secara umum memiliki cabang 2 buah dan terletak di bagian bawah batang utama, sudut cabangnya kecil sehingga mempengaruhi arsitektur tanaman yang ramping seperti yang tampak pada gambar 1.
Keterangan gambar: A=kultivar ‘SBR3’; B=kultivar ‘SBR2’ dan C=’DT-36’ Gambar1. Kultivar ‘SBR3’, ‘SBR2’ dan ‘DT-36’
Mutan determinit dikenal memiliki periode berbunga yang lebih cepat (Uzun, 2013) hal tersebut ditunjukkan dengan polong buah wijen pada kultivar ‘Dt-36’ sudah mulai berbuah pada ruas ke enam, sedangkan kultivar indeterminit baru mulai muncul buah pada ruas ke duabelas. Jumlah ruas kultivar determinit dan indeterminit tidak jauh berbeda yakni ‘SBR3’ (30,18), ‘SBR2’ (32, 78) dan ‘DT-36’ (37,43). Namun sehubungan dengan tinggi tanaman yang berbeda cukup nyata maka ruas pada tanaman determinit terkesan jauh lebih pendek dan rapat. Nilai keragaman karakter generatif disajikan pada Tabel 2. Tinggi tanaman wijen ‘DT-36’ lebih pendek (105,12 cm) dibandingkan dengan dengan ‘SBR3’ (165,22) dan ‘SBR2’ (140,51). Seperti halnya yang dikemukakan Cagirgan (2008) bahwa tanaman wijen determinit lebih pendek bahkan bisa mencapai setengah dari kultivar indeterminit, namun kultivar determinit yang lebih pendek tersebut memiliki potensi untuk sifat tahan genangan. Umur berbunga dan umur panen kultivar determinit adalah yang paling pendek (37, 44/80,48) hari, sedangkan ‘SBR3’ adalah yang paling lama (46,6/100,60). Jumlah polong yang dihasilkan Kultivar ‘DT-36’ lebih rendah (72,3) dibandingkan dengan ‘SBR3’ (143,54), demikian pula dengan berat polong per tanaman (129, 81) dan berat biji kering yang dihasilkan dari satu tanaman (28,9), namun nilai tersebut masih diatas ‘SBR2’. Berat seribu biji dari kultivar yang diuji tidak memberikan beda nyata, namun kultivar ‘DT-36’ cenderung lebih tinggi.
805
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 2. Nilai keragaman karakter generatif tanaman wijen. kar UB UP TT JR JP BP BBj BSB
var
‘SBR3’ 46,60 a 100,60 a 165,22 a 30,18 b 143,54 a 129,81 a 28,90 a 3,20 a
‘SBR2’ 42,11 b 95,14b 140,51 b 32,78 b 27,97 c 33,54 c 3,36 c 3,33 a
‘DT-36’ 37,44 c 80,48 c 105,12 c 37,43 a 72,3 b 66,20 b 9,72 b 3,37 a
Keterangan UB: umur berbunga; UP: Umur panen; TT: Tinggi Tanaman; JP: Jumlah polong per tanaman; BP: Berat polong per tanaman; BBj: Berat Biji kering per tanaman; BSB: Berat 1000 biji
Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa baik kultivar determinit dan indeterminit masing-masing memiliki nilai yang menarik untuk kegiatan pemuliaan selanjutnya. Kultivar ‘SBR2 dan 3’ indeterminit yang memiliki postur tanaman yang tinggi, bercabang banyak, memiliki daya hasil tinggi namun berumur panjang. Sedangkan ‘Dt-36’ merupakan kultivar determinit yang memiliki postur yang pendek, bercabang sedikit dan ramping, memiliki umur panen yang pendek. Pada penelitian selanjutya sangat menarik untuk dilakukan persilangan, dengan umur panen dan karakter daya hasil sebagai parameter seleksi. KESIMPULAN Wijen ‘DT-36’ memiliki tipe tumbuh terbatas, jumlah cabang sedikit, berada dibawah dan ramping. Kultivar ini memiliki umur berbunga dan panen yang singkat, postur tanaman pendek dan memiliki ruas cukup banyak. Jumlah polong per tanaman, berat polong dan berat biji relatif lebih rendah dibandingkan kultivar indeterminit. Kultivar ini bisa direkomendasikan untuk digunakan sebagai tetua untuk seleksi umur genjah. DAFTAR PUSTAKA Anindita, R. (2007).Posisi wijen Indonesia dalam perdagangan dunia. In Seminar Memacu Perkembangan Wijen untuk Mendukung Agroindustri: Pusat Penelitian dan Perkembangan Perkebunan, Bogor. Arslan, C., Uzun B., Ulger S., Cagirgan M.I. 2007. Determination of oil content and fatty acid composition of sesame mutantssuited for intensivemanagement conditions. J. Am Oil Chem Soc. 84: 917-920 Ashri, A. (2007). Sesame (Sesamum indicum L.). In Genetic Resources, Chromosome Enginering, and Crop Improvement(Ed R. J. Singh). New York: CRC Press.
806
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Cagirgan, M. I. (2006). Selection and morphological characterization of induced determinate mutants in sesame. Field Crop Research 96: 19-24. Day, J. S. (2000). Development and maturation of sesame seeds and capsules. Field Crops Research 67(1): 1-9. Davidson, A., 1999. The oxford companion to food. Oxford University Press. London Hwang, L. S. (2005).Sesame Oil. In Bayley's oil and fat product, sixth edition: John Wiley & Sons, Inc. IPGRI and NBPGR, 2004, Descriptor for Sesame (Sesamum spp), International Plant Genetic Resources Institute, Rome, Italy; and National Bureau of Plant Genetic Resources, New Delhi, India Langham, D.R.2007. Phenology of sesame. In: Janick, J. and Whipley, A. Eds: Issues in New Crops and New Uses. ASHS Press, Alexandria, VA, 144182. Mardjono, R. (2007). Varietas unggul wijen Sumberejo 1 dan 4 untuk pengembangan di lahan sawah sesudah padi. Perspektif 6(1): 1-9. Namiki, M. (2007). Nutraceutical Functions of Sesame: A Review. Critical Reviews in Food Science and Nutrition 47(7): 651-673. Olowe, V. I. O., Adeyemo, Y. A. &Adeniregun, O. O. (2009). Sesame : The underexploited organic oilseed crop. Journal of Science and Sustainable Development 2. Pham, T. D., Nguyen, T.-D. T., Carlsson, A. S. &Bui, T. M. (2011). Morphological evaluation of sesame (Sesamum indicum L.) varieties from different origins. Australian Journal of Crop Science 4(7): 498-504. Purwantoro, A., W. Mangoendidjojo, & L. Kusdiarti. 1991. Analisis diallel untuk daya gabung tanaman jagung (Zea mays L.) pada tiga tingkat kerapatan tanam. Jurnal Ilmu Pengetahuan 4(6) : 291-298 Rachman, A. H. (2007).Status wijen (Sesamum indicum L.) di dalam dan di luar negri. In Seminar Memacu Pengembangan Wijen Untuk Mendukung Agroindustri: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. Sudarmadji, Rusim M., Hadi S. 2007. Variasi genetik, heritabilitas, dan korelasi genotipik sifat-sifat penting tanaman wijen (Sesamum indicum L.). Jurnal Litri. 13 (3). Suprijono (1996). Pemuliaan Tanaman Wijen. In Monograf Balitas no2. Wijen: Balittas, Badan Litbang Pertanian. Uzun, B., Arslan, C. & Furat, S. (2008). Variation in fatty acid compositions, oil content and oil yieldin germplasm colection of sesame (Sesamum indicum L.). J. Am. Oil Chem. Soc. (85): 1135-1142. Yermanos, D. M., Edwards, R. T. &Hemstreet, S. c. (1964). Sesame, an oil seed crop with potential in California. California Agriculture.
807
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Analisis Optimalisasi Penggunaan Faktor Produksi pada Usahatani Padi Pasang Surut di Desa Muliasari Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin The Optimum Used Production Factors Analysis of Paddy farmmanagement at Tidal Land in Muliasari Village Tanjung Lago Subdistrict Banyuasin Regency Gusti Fitriyana1*) 1) Fakultas Pertanian Universitas Tridinanti Palembang *) Penulis Korespendensi : Telp +628117882773, Email :
[email protected] ABSTRACT The research objectives were (1) to count the Paddy farm-management income at Tidal Land, (2) to analyze the allocation used to optimize input of Paddy farm-management at Tidal Land.The methodology was a case study. The Population were farmers whereas the procurement had done by cash and yarnen payment system or the payment can be done after off-farm time. This research used Disproportioned Straitified Random Sampling in which the amount of sample were sixty farmers (in each 30 farmers who used cash and yarnen payment system). From the research resulted some conclusion that (1) The income of Paddy farm-management with cash payment system was Rp. 5.619.603,39,-/ cultivating season. It was higher about 50,7 % than yarnen payment system, in which only Rp. 2.850.680,94,-/cultivating season, (2) For Cash payment system, the maximum profit can be reached by used 222,23 kg/ha fertilizer and 50,45 HOK/ha farm workers whereas For Yarnen payment system, the maximum profit can be reached by used 105, 7 kg/ha fertilizer and 24,00 HOK/ha farm workers. Keywords:
cash and “yarnen” payment system, income, optimize allocation, tidal land
. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menghitung pendapatan usahatani padi pada lahan pasang surut , (2) Menganalisis alokasi penggunaan faktor produksi optimal pada kegiatan usahatani padi lahan pasang surut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus. Populasi pada penelitian ini adalah petani padi lahan pasang surut yang dalam pengadaan saprodinya dilakukan dengan sistem bayar tunai (cash) dan sistem ”yarnen” atau pembayaran dilakukan setelah panen. Metode penarikan contoh yang diganakan adalah stratifikasi acak tak berimbang dengan jumlah sampel masing =-masing 30 petani. Kesimpulan dari penelitian ini adalah : Pendapatan usahatani padi pasang surut di Desa Mulyasari dengan sistem tunai sebesar Rp. 5,619,603.39/musim tanam lebih tinggi 50,7% daripada pendapatan usahatani padi dengan sistem yarnen yang hanya sebesar Rp 2,850,680.94/musim tanam. Faktor Produksi yang teliti adalah faktor produksi modal (terdiri dari penggunaan pupuk urea, TSP dan
808
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KCL) dan tenaga kerja. Penggunaan faktor produksi modal dan tenaga kerja untuk menghasilkan keuntungan maksimal pada usahatani dengan sistem tunai adalah sebanyak 222,2 Kg/ha dan 50,45 HOK/ha, sedangkan untuk sistem sistem yarnen adalah 105,7 Kg/ha dan 24,00 HOK/ha Kata kunci: alokasi optimal, lahan pasang surut, pendapatan, sistem tunai dan yarnen,
PENDAHULUAN Kabupaten Banyuasin memiliki potensi untuk pengembangan usahatani padi karena sebagian wilayah kabupaten ini memiliki kondisi geografis yang sesuai. Tingginya potensi pengembangan usahatani padi terlihat dari masih tingginya potensi pengembangan usahatani padi di Kabupaten Banyuasin. Berdasarkan data dari Badan Litbang Sumatera Selatan (2007), dari total luas lahan di Kabupaten Banyuasin yang sudah direklamasi seluas 362.000 hektar, luas tanam hanya seluas153.000 hektar, dan dari jumlah tersebut yang baru dapat ditanami dua kali setahun baru 5.000 hektar sedangkan sisanya masih ditanami satu kali setahun, yang sebagian besar berupa lahan pasang surut. Dengan sistem penanaman yang demikian maka produksi padi Kabupaten Banyuasin sebenarnya masih bisa ditingkatkan lagi mengingat sebagian besar lahan baru ditanam satu sekali setahun dengan cara mengotimalkan penggunaan lahan rawa pasang surut di kabupaten tersebut, apalagi sejak beberapa tahun terakhir, perhatian pemerintah terhadap pengembangan lahan pasang surut terus meningkat untuk mendukung program peningkatan produksi pangan Di Kecamatan Tanjung Lago pengembangan usahatani tersebar di beberapa desa yang salah satunya di Desa Muliasari. Desa Muliasari yang merupakan Kota Terpadu Mandiri (KTM) merupakan areal penempatan transmigrasi tahun 1979-1980 yang berasal dari Pulau Jawa, dengan luas areal 1.840 Ha, dan sebagian besar digunakan untuk pengembangan usahatani padi. Meskipun merupakan daerah penghasil padi ternyata desa ini merupakan daerah yang terkategori miskin yang sebagian besar penduduknya merupakan penerima bantuan raskin. Tingkat kesejahteraan yang rendah didaerah ini menggambarkan pendapatan usahatani padi di wilayah pasang surut tersebut masih rendah. Perkiraan ini sesuai dengan hasil penelitian Tim Puslitbangtan di Kecamatan Pulau Rimau (1991), produktivitas sawah pada lahan rawa pasang surut sangat beragam antara 1 sampai 5 ton dengan rata-rata 2 ton perhektar per musim tanam. Jika diasumsikan tingkat produktivitas tanaman padi 3-4 ton per hektar per musim tanam dengan harga gabah rata-rata Rp. 2.500-2.700/kg berarti dalam satu tahun petani hanya mampu menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 7.500.000 per tahun atau Rp.625.000 per bulan. Tingkat pendapatan usahatani yang rendah mengakibatkan kemampuan petani dalam hal penyediaan modal tunai menjadi terbatas baik itu untuk membeli sarana produksi, maupun untuk biaya kegiatan usahatani lainnya semisal untuk pengolahan lahan, upah tenaga kerja dan lain-lain. Keterbatasan modal ini mengakibatkan kegiatan usahatani yang dilakukan belum optimal, sehingga tingkat kesejahteraan petani di daerah ini masih terbilang rendah. Untuk
809
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
mengatasi permasalahan tersebut maka perlu ada upaya untuk meningkatkan produksi usahatani, salah satunya dengan jalan mengetahui secara riil sejauh mana tingkat optimalisasi kegiatan usahatani tersebut. Berdasarkan alasan tersebut maka sangat menarik untuk dilakukan penelitian mengenai “Analisis Optimalisasi Penggunaan Faktor Produksi pada Usahatani Padi Lahan Pasang Surut”. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Muliasari Kecamatan Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) Menghitung pendapatan usahatani padi pada lahan pasang surut , (2) Menganalisis alokasi penggunaan faktor produksi optimal pada kegiatan usahatani padi lahan pasang surut. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Sistem Tunai
Usahatani Padi
Faktor Produksi : 1.Modal (Pupuk urea,TSP, 2. Tenaga Kerja
Sistem Yarnen
Gambar 1. Kerangka pemikiran
Produksi Usahatani
Pendapatan
Alokasi Penggunaan Faktor Produksi optimal dengan kendala keuntungan
BAHAN DAN METODE Metode Penelitian. Penelitian ini dilakukan di desa Muliasari Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin yang dilaksanakan pada bulan Nopember sampai Desember 2012. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (Purposive) mengingat desa ini merupakan salah satu desa yang termasuk dalam wilayah Kota Terpadu Mandiri (KTM) yang seyogyanya sudah bisa memenuhi kebutuhan pangan terutama beras sendiri, namun kenyataannya desa ini masih mendapatkan bantuan beras raskin. Sedangkan penentuan responden dilakukan dengan metode stratifikasi acak tak berimbang (disproportioned Stratified Random Sampling). Adapun jumlah petani contoh yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah 30 petani untuk masing-masing kelompok. Tabel 1. Populasi Petani yang Berusahatani dengan Sistem Tunai dan Yarnen di D esa Muliasari Kecamatan Tanjung Lago No Sistem Pengadaan Populasi Petani Persentase Saprodi Petani Contoh 1 Tunai (cash) 52 30 57,6 2 Yarnen (bayar setelah 205 30 14,6 panen) Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung terhadap petani contoh dengan menggunakan daftar pertanyaan. Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait dengan penelitian ini, seperti: Kantor Pemerintahan Kecamatan
810
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tanjung Lago, Dinas Pertanian Kabupaten Banyuasin dan instansi lainnya yang terkait dengan penelitian ini. Metode Pengolahan Data. Data yang dikumpulkan dari lapangan diolah secara tabulasi dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Untuk menjawab permasalahan pertama, yaitu: menghitung pendapatan usahatani padi pasang surut, digunakan rumus sebagai berikut : Pd = Pn – BT Pn = Y x Hy BT = BTp + BV dimana : Pd = pendapatan (Rp/mt) Pn = penerimaan (Rp/mt) T = biaya produksi (Rp/mt) Hy = harga produksi (Rp/mt) Y = hasil produksi (kg/mt) BT = biaya total (Rp/mt) BTp = biaya tetap (Rp/mt) BV = biaya variable (Rp/mt) Sedangkan untuk melihat perbedaan pendapatan petani yang membeli saprodi dengan sistem yarnen dan tunai digunakan uji Beda Dua Rata-Rata dengan rumus sebagai berikut: X 1 X 2 ( 1 2 ) t hit = S 2 / n1 S 2 / n2 2
S2 =
( n1 1) S 1 ( n 2 1) S 2
2
n1 n 2 2
df = n1 + n2 -2 Keterangan: X1 = Rata-rata pendapatan petani dengan sistem tunai X2 = Rata-rata pendapatan dengan sistem yarnen n1 = Jumlah contoh yang menanam dengan sistem tunai n2 = Jumlah contoh yang menanam dengan sistem yarnen S2 = Standar deviasi Gabungan S1 dan S2 Dengan hipotesis sebagai berikut: H1; µ1 = µ2 ; H0; µ1 > µ2 Kaidah keputusannya yaitu : Jika thit > ttab, maka H0 ditolak, H1 diterima Artinya : Pendapatan petani yang membeli saprodi dengan sistem tunai lebih besar daripada yang membeli dengan sistem yarnen Jika thit < ttab, maka H0 diterima, H1 ditolak Artinya : Tidak terdapat perbedaan pendapatan petani yang membeli saprodi dengan sistem tunai dan yang membeli dengan sistem yarnen Untuk menjawab permasalahan kedua yaitu alokasi penggunaan faktor produksi optimal yang memaksimumkan keuntungan, menggunakan rumus sebagai berikut : 811
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Maks Penerimaan = Hy . Y + λ (M0 – X1 Hx1 – X2 Hx2) Maks Penerimaan (R) = Hy . f(X1, X2) + λ (M0 – X1 Hx1 – X2 Hx2) Dimana : Y = Produksi X1 = Modal (pupuk urea, TSP dan KCL) X2 = Tenaga Kerja Agar fungsi R menjadi maksimum, maka derivatif pertama terhadap X1, X2 dan λ harus samaa dengan nol. Hy. f1 NPM 1 R = Hy. f1 – λ Hx1 = 0 λ = = Hx1 Hx1 X 1 ...............................................(2.1) Hy. f 2 NPM 2 R = Hy. f2 – λ Hx2 = 0 λ = = Hx 2 Hx 2 X 2 ...............................................(2.2) R = M0 – X1Hx1 – X2Hx2 = 0 M0 = X1Hx1 + X2Hx2 .....................................(2.3) dari hasil turunan pertama secara parsial diatas diperoleh tiga persamaan : NPM1 = Hx1 adalah persamaan 1 NPM2 = Hx2 adalah persamaan 2 M0 = X1Hx1 + X2Hx2 adalah persamaan 3 HASIL Pendapatan Usahatani. Perhitungan pendapatan bersih usahatani padi ini baik sistem tunai maupun yarnen dilakukan dengan cara mengurangkan pendapatan kotor dari usahatani padi dengan pengeluaran yang dibeli dari luar. Pendapatan kotor merupakan penerimaan yang diperoleh dari produksi padi yang dihasilkan dari sawah petani selama satu kali panen (satu musim tanam) dikalikan dengan harga jual yang berlaku pada saat itu, dimana harga jual yang digunakan adalah harga gabah kering panen, karena petani di Desa Muliasari sebagian besar menjual hasil panennya dalam bentuk gabah kering panen. Sedangkan pengeluaran-pengeluaran yang dibeli dari luar terdiri dari pengeluaran untuk pembelian benih, pupuk, pestisida dan pembayaran upah tenaga kerja. Dengan demikian menurut konsep ini bunga modal miliki sendiri atau yang dipinjam dari pihak lainnya tidak dihitung sebagai pengeluaran. Input produksi yang digunakan dalam kegiatan usahatani padi di Desa Muliasari baik sistem tunai maupun sistem yarnen terdiri dari lahan, benih, pupuk urea, pupuk TSP, pupuk KCL, herbisida, insektisida, dan tenaga kerja.
812
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 2. Penggunaan Faktor Produksi (Input) per Hektar Uraian Tunai Yarnen Selisih (%) Benih (kg) 30,3 39,6 30,6 Urea (kg) 174,2 154,7 -11,1 TSP (kg) 157,9 153,2 -2,9 KCL (kg) 78,8 82,9 5,2 Herbisida (ltr) 3,6 4,1 13,8 Insektisida 1,1 2,6 136,3 (ltr) 26,5 26,1 -1,5 T.Kerja (HOK)
Kesimpulan T
Y T>Y TY
Pendapatan petani sawah pasang surut yang berusahatani dengan sistem tunai dari hasil penelitian secara rata-rata adalah sebesar Rp. 5,619,603.39/musim tanam, sedangkan pendapatan petani yang berusahatani dengan sistem yarnen rata-rata adalah sebesar Rp.2,850,680.94/musim tanam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan petani dengan sistem tunai lebih besar Rp.2,768,922. dibandingkan dengan petani yang berusahatani dengan sistem yarnen. Tabel 3. Biaya dan Pendapatan per Hektar Uraian Tunai (Rp) Yarnen (Rp) Biaya 3,288,869 3,985,948 Produksi 3.600,5 3.045,2 Harga Produksi 2.477 2.240 Penerimaan 8.918.438,5 6.836.629 Pendapatan 5.619.603,3 2,850,680
Kesimpulan TY T>Y T>Y T>Y
Selanjutnya perbedaan pendapatan usahatani padi sawah pasah surut dengan sistem tunai dan yarnen diuji menggunakan uji t. Berdasarkan hasil uji t tersebut terlihat bahwa nilai t hitung sebesar 10,151 lebih besar dari t tabel sebesar 2,040. Keputusan terhadap hipotesis berdasarkan analisis ini adalah tolak H0 yang artinya rata-rata pendapatan petani padi dengan sistem tunai berbeda nyata dengan pendapatan petani padi dengan sistem yarnen. Dari segi biaya produksi, perbedaan biaya produksi masing-masing sistem diuji dengan menggunakan uji t. Dari hasil pengujian dengan uji t terlihat bahwa t hitung sebesar -6,199 lebih kecil daripada nilai t tabel 2,040, hal ini berarti bahwa tidak terdapat perbedaan biaya yang signifikan pada kedua sistem usatahani. Alokasi Penggunaan Faktor Produksi Optimal pada Usahatani Padi. Alokasi penggunanaan input optimal atau bisa juga disebut kombinasi optimum adalah kombinasi penggunaan input yang memberikan keuntungan maksimum dengan memperhitungkan keterbatasan modal yang dimiliki ( Husin dan Lifianthi,2008). Tujuan dari perhitungan alokasi input optimal ini untuk mengetahui jumlah penggunaan faktor produksi yang memberikan keuntungan maksimum. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diketahui bahwa rata –rata penggunaan faktor produksi modal (yang terdiri dari penggunaan pupuk urea, TSP
813
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dan KCL) dan penggunaan faktor produksi tenaga kerja dari usahatani padi dengan sistem tunai maupun yaren, tercermin dalam Tabel berikut : Tabel 4. Rata-rata Produksi, Harga Produksi,Penggunaan Faktor Produksi, Harga Faktor Produksi usahatani Padi sistem Tunai dan Yarnen di Desa Mulyasari MT.2012 Uraian Sistem Tunai Sistem Yarnen Faktor Produksi 1. Pupuk (X1) 137,0 (kg) 130,2 (kg) 2.Tenaga Kerja (X2) 26,5 (HOK) 26,1 (HOK) Produksi 3.600 (kg) 3.042,5 (kg) Harga Faktor Produksi 1.Pupuk Rp. 1.975 Rp. 3.677 2.Tenaga Kerja Rp.52.875 Rp.44.909 Hubungan antara input output dalam produksi usahatani padi dengan sistem tunai dieksposisikan dalam fungsi produksi sebagai berikut : Y = 3,080 X10.045 X20,258 Sehingga berdasarkan hasil perhitungan didapatkan hasil X1 sebesar 222,2 dan X2 sebesar 50,45. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah penggunaan input modal (dalam hal ini adalah faktor produksi pupuk) yang optimal yang dapat menghasilkan output sebesar 3.600 kg adalah sebanyak 222,2 kilogram, dan jumlah penggunaan tenaga kerja yang optimalnya adalah sebanyak 50,45 HOK. Sedangkan hubungan input output dalam produksi usahatani padi dengan sistem yarnen dieksposisikan dalam fungsi produksi sebagai berikut : Y = 2,984 X10,085 X20,236 Sehingga berdasarkan hasil perhitungan didapatkan hasil X1 sebesar 105,7 dan X2 sebesar 24,0. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah penggunaan input modal (dalam hal ini adalah faktor produksi pupuk) yang optimal yang dapat menghasilkan output sebesar 3.042,5 kg adalah sebanyak 105,7 kilogram, dan jumlah penggunaan tenaga kerja yang optimalnya adalah sebanyak 24 HOK. Besaran alokasi input yang optimal ini tergambar dalam Tabel 5 berikut : Tabel 5. Alokasi Penggunaan Input dan Output yang Memaksimumkan Keuntungan Usahatani Padi dengan Sistem Tunai dan Yarnen di Desa Muliasari MT. 2012 Uraian Tunai Yarnen X1 (Pupuk) 222,2 (Kg) 105,7 (Kg) X2 (Tenaga Kerja) 50,45 (HOK) 24,00 (HOK) Output 10.390 (Kg) 9.356 (Kg) Modal Rp.3.082.595 Rp.1.446.474.9 PEMBAHASAN Pendapatan Usahatani. Tidak signifikannya perbedaan biaya produksi antara sistem tunai dan sistem yarnen ini disebabkan oleh pada komponen biaya yang jumlahnya cukup besar adalah pada biaya tenaga kerja dan biaya pengolahan lahan, dimana kedua biaya itu dikeluarkan secara tunai. Jika dilihat pada 814
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
komponen biaya yang dibayar dengan sistem tunai dan yarnen, terlihat perbedaan jumlahnya, yaitu pada biaya pupuk (urea, TSP dan KCL). Hal ini disebabkan harga faktor produksi dalam sistem yarnen dikenakan bunga implisit sebagai konsekuensi dari penundaan pembayaran sebesar 80,3% per musim tanam. Di tingkat harga produksi, harga yang diterima petani yarnen lebih rendah dibandingkan petani tunai, hal ini disebabkan karena petani yarnen terikat transaksi dengan pemberi pinjaman, dalam artian petani yarnen mempunyai perjanjian untuk menjual hasil panennya kepada para pemberi pinjaman (tengkulak) dengan harga yang ditentukan oleh tengkulak, sedangkan petani yang berusahatani dengan sistem tunai bebas memilih pembeli dengan tingkat harga tertinggi. Perbedaan harga produksi ini dapat dilihat pada Tabel 9 dimana harga produksi yang diterima oleh petani sistem tunai adalah sebesar Rp. 2.477/kg GKP dan harga yang diterima oleh petani sistem yarnen sebesar Rp.2.240/kg GKP. Alokasi Penggunaan Faktor Produksi Optimal pada Usahatani Padi. Berdasarkan perhitungan secara ekonomis dengan mengalokasikan penggunaan input produksi modal (pupuk) sebanyak 222,2 kg dan tenaga kerja sebanyak 50,45 HOK untuk usahatani dengan sistem tunai, bisa mendapatkan output yang mengnghasilkan keuntungan maksimum dalam hal ini adalah produksi padi sebanyak 10.390 kg (10,3 ton). Sedangkan untuk usahatani sistem yarnen dengan mengalokasikan penggunaan modal (pupuk) sebanyak 105,7 kg dan tenaga kerja sebanyak 24 HOK bisa mendapatkan output yang menghasilkan keuntungan maksimum dalam hal ini produksi padi sebanyak 9.356 kg (9,3 ton). Namun pada kenyataannya output yang optimum ini sulit tercapai karena disebabkan beberapa kendala diantaranya adalah faktor modal dan faktor lingkungan. Berdasarkan hasil perhitungan, usahatani dengan sistem tunai harus menyediakan modal untuk penyediaan input pupuk dan tenga kerja sebesar Rp.3.082.595 agar mendapatkan produksi yang optimum. Namun kenyataan di lapangan petani dengan sistem tunai hanya mampu menyediakan modal sebesar Rp. 1.666.007,6 sehingga dengan modal yang tersedia itu tidak mampu memenuhi penyediaan input yang optimal. Modal yang harus ditambah oleh petani adalah sebanyak Rp.1.416.587,4. Tambahan modal ini jika tidak direncanakan dengan baik di awal waktu akan menyebabkan petani yang berusahatani dengan sistem tunai akan beralih ke sistem yarnen untuk mencukupi kebutuhan modalnya. Sedangkan petani yang berusahatani dengan sistem yarnen berdasarkan hasil perhitungan sebetulnya sudah mengeluarkan modal cukup untuk mendapatkan produksi yang optimum. Adapun modal yang telah dikeluarkan petani untuk menyediakan input pupuk dan tenaga kerja adalah sebesar Rp. 1.744.906. Namun meskipun mengeluarkan modal cukup tinggi, sesungguhnya usahatani dengan sistem yarnen ini belum optimal karena sebagian besar modal tersebut terutama untuk penyediaan input pupuk dikeluarkan petani setelah panen dengan jumlah yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya karena terkait dengan pola pembayaran yarnen yang jumlah riil yang harus dibayar oleh petani baru bisa diketahui dengan pasti setelah panen (tergantung harga gabah pada saat panen). Sistem ini tentunya merugikan petani karena menyebabkan petani kurang perhitungan dalam melaksanakan kegiatan usahataninya, sebagai contoh ada yang beranggapan karena sudah terlanjur yarnen dan optimis dengan hasil yang akan dicapai maka mereka (petani yarnen) membeli pupuk dalam jumlah yang
815
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
berlebihan, ada juga yang sebaliknya karena belum bisa memperkirakan hasil dan harga gabah pada saat panen mereka menggunakan pupuk sekadarnya, sehingga resiko ketidakpastian harga pada petani yarnen ini menjadi tinggi. Selain itu petani dengan sistem yarnen ini belum bisa menghasilkan produksi yang optimum disebabkan oleh aspek teknis dan lingkungan. Lahan di Desa Mulyasari ini adalah lahan pasang surut dimana lahan rawa pasang surut merupakan lahan marjinal yang secara umum mempunyai kesuburan yang rendah serta kendala agrofisik yang beragam. Pengolahan tanah, pemupukan, dan tata air merupakan komponen dari sistem pengelolaan lahan harus dilakukan dengan hati-hati dalam pengembangan pertanian tanaman pangan di lahan rawa pasang surut. Pengelolaan tanah dilahan sulfat masam perlu dilakukan sedemikian rupa sehingga lapisan pirit tidak terangkat ke permukaan. Berbagai kendala belum optimalnya produksi padi dilahan pasang surut di Desa Mulyasari berdasarkan aspek lingkungan dan teknis terutama disebabkan 1). Pengelolaan air dalam hal ini jaringan reklamasi dan tata air di lahan pasang surut masih belum berfungsi optimal, kondisi rill di lapangan sekarang sulit untuk mengatur kebutuhan air sesuai dengan keperluan tanaman. 2) Lapisan pirit yang relatif dangkal, (< 40 cm) sehingga pada saat pengolahan tanah berpotensi terangkat keatas dan menjadikan racun bagi tanaman jika teroksidasi oleh udara. 3) Teknologi pemupuk tidak optimum, baik dari dosis, bentuk dan cara pemberiannya sangat beragam, serta dilihat dari tipologi lahan maupun jenis tanaman yang diusahakan, semuanya diberi perlakukan yang sama, 4). Teknologi budidaya yang belum disesuaikan dengan karakteristik hidrotopografi lahan rawa. Oleh karena itu, untuk membantu petani agar keluar dari sistem yarnen dan mengantisipasi petani yang beralih dari sistem tunai ke sistem yarnen, dibutuhkan dukungan dari banyak pihak, terutama dari pemerintah. Upaya-upaya penyuluhan tentang manajemen usahatani dan teknis budidaya sangat diperlukan untuk mengubah pola pikir petani yang umumnya masih konvensional berpikir jangka pendek. Selain itu perbaikan jaringan tata air untuk membantu menciptakan kondisi yang optimal untuk usahatani padi dan penataan organisasi ekonomi di tingkat petani seperti koperasi diharapkan mampu menjadi solusi bagi peningkatan kesejahteraan petani di lahan pasang surut. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa 1)Pendapatan usahatani padi pasang surut di Desa Mulyasari dengan sistem tunai sebesar Rp. 5,619,603.39/musim tanam lebih tinggi 50,7% daripada pendapatan usahatani padi dengan sistem yarnen yang hanya sebesar Rp 2,850,680.94/musim tanam dan berbeda nyata secara statistic, 2)Penggunaan sarana produksi pupuk dan tenaga kerja untuk menghasilkan keuntungan maksimal pada usahatani dengan sistem tunai adalah sebanyak 222,2 Kg dan 50,45 HOK, sedangkan untuk sistem sistem yarnen adalah 105,7 Kg dan 24,00 HOK
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada Bapak Dr.Ir.M.Yamin,M.P dan Ibu Dessy Adriani, S.P, M.Si atas segala arahan, bimbingan , bantuannya serta waktu luang yang diberikan kepada saya mulai dari 816
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
awal penelitian hingga penelitian ini diselesaikan. Selanjutnya kepada Bapak Wakidi selaku kepala desa/tokoh masyarakat di Desa Muliasari Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin yang telah banyak membantu saya dalam mencari data dan menggali informasi di lapangan. Tak lupa kepada teman-teman di Fakultas Pertanian Universitas Tridinanti serta keluarga yang telah banyak memberikan dukungan dan motivasi dalam penyelesaian penelitian ini. Mudahmudahan penelitian ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2011. Banyuasin dalam Angka. Palembang BPTP Sumsel. 2007. Laporan PRA Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian pada Lahan Rawa Pasang Surut Kabupaten Banyuasin. Laporan pada Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Palembang BPTP Sumsel. 2007. Rancang Bangun Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyaratan Inovasi Teknologi Pertanian Pada Lahan Rawa Pasang Surut di Kabupaten Banyuasin. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan. Palembang. Hadisapoetra,S. 1994. Biaya dan Pendapatan dalam Usahatani. Departemen Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Hernanto,F. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta Husin,L dan Lifianthi. 2008. Ekonomi Produksi Pertanian (Analisis secara teorotis dan kuantitatif). Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Indralaya.
817
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Potensi Pengembangan Kedelai Melalui Varietas Adaptif di Lahan Sub Optimal, Sumatera Selatan Zakiah1*) dan Budi Raharjo2 1 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan *) Penulis untuk korespondensi: Jalan Tentara Pelajar No 10, Bogor 16114, email: [email protected], [email protected] ABSTRACT The different of soybean yield between real productivity and potential productivity indicates that there are several limiting factors. There are one way in order to improve productivity, such as through the increase of science and technology. Technologically superior varieties is essential to achieve farming profitable, effective and efficient. The important technology is using high yield varieties which more effective and efficient. There are many good varieties which had been produced, but supply of seed is not enough. In Indonesia, increasing of seed production which has high yield and adaptability is a way in order to increase of seed supply. Selection of varieties to be grown by the farmer should be based on the results of tests performed on their own land or in nearby areas with similar agro-ecosystems. In dry land, according to the research indicates that the high yield varieties have better productivity (1.93-2.34 ton/ha) than local variety such Willis and the comparison varieties such as Bromo, Argomulyo, Tanggamus, Leuser, Galunggung and Nanti. In acidic sulfate land, the highest productivity means 1.16-1.30 ton/ha which consist of Bromo, Sibayak, Argomulya, and Galunggung, however other varieties produce lower <1 ton/ha of seed. Integrated Crop Management (ICM) on soybean is one of the efforts to give the right example and to spread of technology. The ICM component is consist of basic and optional technologies. In ICM, recommendation of technology is disseminated to farmers through ICM-Field Practice. The farmers are assisted by researchers or extensions of agriculture in order to choose the technologies. So the farmers can manage their farming become productively, efficiently and competitively. Keywords: integrated crop management, productivity, soybean, variety. ABSTRAK Masih tingginya kesenjangan hasil antara produktivitas riil di tingkat usahatani dan produktivitas potensial kedelai, mengindikasikan masih adanya beberapa faktor yang menjadi pembatas. Dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan produktivitas, maka salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu melalui peningkatan pemanfaatan/penerapan ilmu penegetahuan dan teknologi (IPTEK). Varietas unggul merupakan teknolgi penting untuk mencapai usahatani yang menguntungkan, efektif dan efisien. Varietas unggul tanaman kedelai sudah cukup banyak dihasilkan dan dilepas, namun ketersediaan benihnya belum optimal. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri adalah dengan penyediaan benih unggul berdaya hasil tinggi, dan mampu beradaptasi dengan baik. Pemilihan varietas yang akan ditanam oleh petani sebaiknya berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan di lahannya sendiri atau di wilayah yang terdekat dengan agroekosistem serupa. Hasil penelitian uji adaptasi 818
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
kedelai di tipologi lahan potensial menunjukkan bahwa hasil yang lebih baik dari varietas wilis sebagai varietas lokal dan pembanding adalah Bromo, Argomulyo, Tanggamus, Leuser, galunggung dan Nanti dengan produktivitas 1,93-2,34 ton/ha polong kering. Sedangkan pada tipologi lahan sulfat masam produktivitas tertinggi hanya 1,16-1,30 ton/ha yaitu Bromo, Sibayak, Argomulya, dan Galunggung sedangkan varietas yang diuji lainnya lebih rendah <1 ton/ha polong kering. Penerapan dalam PTT kedelai adalah salah satu upaya untuk memberikan contoh yang benar dan untuk memudahkan penyampaian teknologi kepada petani. Teknologi anjuran dalam penerapan konsep PTT dilakukan kepada petani melalui Sekolah Lapang (SL-PTT kedelai). Komponen teknologi yang diterapkan dalam PTT dikelompokkan ke dalam teknologi dasar dan pilihan. Dalam melakukan pilihan teknologi, petani mendapatkan pendampingan dari peneliti/penyuluh pertanian sehingga petani yakin akan dapat mengelola usahataninya dengan produktif, efisien dan menguntungkan serta berdaya saing tinggi. Kata kunci: kedelai, lahan sub optimal, potensi, produktivitas, PENDAHULUAN Tanaman kedelai mulai ditanam di Indonesia pada tahun 1750. Tanaman ini diduga berasal dari China, Manchuria dan Korea (Suprapto, 1997). Kedelai (Glycine max L.) merupakan komoditas tanaman pangan penghasil protein yang populer dikalangan masyarakat Indonesia. Berbagai produk makanan olahan kedelai telah dikenal seperti tahu, tempe, susu dan lain sebagainya. Kedelai (Glycine max Merr.) merupakan salah satu tanaman pangan yang bernilai ekonomis penting, karena perannya sebagai pemenuhan kebutuhan gizi yang terjangkau masyarakat luas. Peranan kedelai sebagai komoditi palawija dirasakan sangat penting dalam upaya untuk memenuhi gizi masyarakat, karena merupakan sumber protein dan kalori yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia dalam kehidupan sehari-hari (Departemen Pertanian, 1983). Salah satu komoditi palawija yang memiliki peranan yang penting di Indonesia adalah Kedelai. Nilai nutrisi kedelai sangat baik untuk kesehatan manusia, terutama kandungan protein nabati yang dikandung kedelai cukup tinggi. Kebutuhan akan konsumsi kedelai semakin meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk, meskipun produksi kedelai pada bulan Juli 2012 mencapai 1,2 juta ton/ha, akan tetapi produksi kedelai menurun drastis dari anggaran yang telah direncanakan, target yang direncanakan mencapai 1,9 juta ton/ha. Oleh karena itu, kekurangan kedelai dalam negeri hingga kini mencapai 66% yang harus dipenuhi dari impor terutama dari Amerika (Hidayat, 2012). Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan yang penting di Indonesia dan dibudidayakan di lahan sawah atau di lahan kering. Kedelai termasuk salah satu komoditas unggulan pangan yang sudah sejak lama diusahakan petani, namun terjadi penurunan luas areal tanam. Secara nasional, luas areal panen kedelai selama 5 tahun terakhir (2008-2013) terus menurun. Sementara bila ditinjau dari segi hasil, produktivitasnya masih tergolong rendah berkisar antara 1-1,5 t/ha. Produksi kedelai selama periode lima tahun (2002-2006) juga cukup rendah berkisar antara 600-700 ribu ton per tahun, sementara kebutuhan telah mencapai 2 juta ton pada tahun 2007. Sampai sekarangpun, untuk menutupi
819
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
kekurangan produksi, pemerintah terpaksa mengimpor kedelai terutama dari Amerika Serikat yang mencapai 1,3 juta ton. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri adalah dengan penyediaan benih unggul bermutu yang mempunyai daya hasil tinggi, dan mampu beradaptasi dengan baik Masih tingginya kesenjangan hasil antara produktivitas riil di tingkat usahatani dan produktivitas potensial kedelai, mengindikasikan masih adanya beberapa factor yang menjadi pembatas. Diantaranya adalah kurangnya pengetahuan/penguasaan teknologi di tingkat petani, rendahnya tingkat adopsi teknologi, terbatasnya kepemilikan modal, dan resiko kegagalan panen akibat serangan hama dan penyakit. Dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan produktivitas, maka salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu melalui peningkatan pemanfaatan/penerapan ilmu penegetahuan dan teknologi (IPTEK). Varietas unggul merupakan teknolgi penting untuk mencapai usahatani yang menguntungkan, efektif dan efisien. Varietas unggul tanaman kedelai sudah cukup banyak dihasilkan dan dilepas, namun ketersediaan benihnya belum optimal. Dampak penggunaan varietas unggul terhadap peningkatan produksi dan kualitas produk akan terasa bila varietas unggul tersbut ditanam dalam skala luas. Sampai saat ini Balikabi, Malang telah berperan dalam menghasilkan berbagai teknologi budidaya kedelai, mulai dari perbenihan, pemuliaan tanaman, kultur teknis, pengendalian organism pengganggu tumbuhan (OPT), dan penanganan pasca panen. Beberapa varieta kedelai dihasilkan dan dilepas oleh Balitkabi, diantaranya Wilis, Anjasmoro, Grobogan, Baluran dan Mahameru (http://www.kr.co.id). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian menyatakan bahwa peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan perluasan areal lahan. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri adalah dengan penyediaan benih unggul unggul berdaya hasil tinggi, dan mampu beradaptasi dengan baik. Darman et al. (2004) menyatakan bahwa pemilihan varietas yang akan ditanam oleh petani sebaiknya berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan di lahannya sendiri atau di wilayah yang terdekat dengan agroekosistem serupa. BAHAN DAN METODE Kajian terhadap potensi pengembangan kedelai melalui penerapan introduksi varietas unggul dalam PTT kedelai di lahan rawa pasang surut dilakukan di Sumatera Selatan dengan cara penelusuran publikasi hasil penelitian yang telah dilakukan terkait dengan uji adaptasi VUB kedelai di lahan potensial dan sulfat masam dan kegiatan pendampingan SLPTT kedelai.
HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi dan Kendala Pengembangan Kedelai di Lahan Rawa Pasang Surut Kedelai merupakan tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Komoditas ini kaya protein nabati yang diperlukan untuk meningkatkan gizi masyarakat, aman dikonsumsi, memiliki arti penting bagi industri pangan dan
820
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
pakan. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan untuk bahan industri pangan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco (Badan Litbang Pertanian, 2007). Di Sumatera Selatan, dengan jumlah penduduk sebanyak 7.121.790 jiwa pada tahun 2008 dan tingkat konsumsi 6,07 kg/kapita/tahun, maka dibutuhkan sebanyak 43.229,3 ton kedelai. Namun pada tahun 2008 tersebut produksi kedelai di Sumsel hanya 7.305 ton (Badan Pusat Statistik Sumsel, 2009), dengan demikian terjadi kekurangan sebanyak 35.924,3 ton sehingga 83,10% kebutuhan akan kedelai di Sumsel harus diimport. Untuk menekan laju impor kedelai dapat diupayakan melalui berbagai strategi, diantaranya peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, peningkatan efisiensi produksi, penguatan kelembagaan petani, peningkatan kualitas dan nilai tambah produk, perbaikan akses pasar dan sistem permodalan, pengembangan infrastruktur, serta pengaturan tataniaga dan insentif usaha (Badan Litbang Pertanian, 2005). Mengingat penduduk Indonesia cukup besar dan industri pangan berbahan baku kedelai berkembang pesat maka pengembangan kedelai perlu mendapat prioritas dalam pembangunan pertanian nasional. Untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan pangan, salah satu program yang dicanangkan Pemerintah Daerah Sumsel adalah mewujudkan Sumsel Lumbung Pangan (Unsri dan Bappeda Sumsel, 2005). Bahkan pemda berhasrat agar Sumsel swasembada kedelai. Pada tahun 2008, luas panen kedelai 5.352 ha dengan produktivitas rata-rata biji kering 1,36 t/ha (Badan Pusat Statistik Sumsel, 2009). Artinya dengan menggunakan potensi produktivitas 2 t/ha, maka masih terdapat senjang produktivitas sebesar 47%. Untuk meningkatkan produktivitas kedelai atau memperkecil senjang produktivitas tersebut, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan perbaikan penggunaan benih yaitu menggunakan varietas unggul, apalagi jika varietas tersebut adaptif dengan lingkungan setempat. Sedangkan peluang untuk meningkatkan produksi masih terbuka luas mengingat potensi lahan yang masih tersedianya luas dan belum dimanfaatkan. Tanpa adanya upaya terobosan untuk mencapai swasembada kedelai, maka kekurangan akan kedelai ini terus menerus meningkat, sehingga ketergantungan akan kedelai impor akan semakin besar. Semakin menurunnya penggunaan lahan subur untuk non pertanian di Indonesia serta meningkatnya permintaan akan hasil pertanian khususnya pangan, mengarahkan pengembangan areal pertanian pada pemanfaatan lahan marginal seperti lahan rawa pasang surut (Manwan et al, 1992). Di Indonesia lahan pasang surut diperkirakan seluas 20,1 juta hektar (Widjaya Adhi et al, 1992) dimana lebih dari 1 juta ha sudah direklamasi. Potensi lahan untuk pengembangan tanaman pangan di Sumatera Selatan, dari 359.250 ha yang sudah direklamasi 142.100 ha pemanfaatannya untuk tanaman pangan (Direktorat Jendral Pengairan, 1998). Tingkat kemasaman tanah yang tinggi, rendahnya bahan organik, tingginya unsur hara beracun dan hama penggerek serta penghisap polong merupakan kendala utama dalam pemanfaatannya sehingga hasil kedelai yang dicapai selama ini masih rendah. Upaya mengembangkan kedelai di lahan rawa merupakan langkah strategis dalam menjawab tantangan peningkatan produksi kedelai, paling tidak untuk mengurangi impor kedelai yang dari tahun ke tahun selalu meningkat. Dengan pengelolaan yang tepat melalui penerapan IPTEK yang benar, lahan rawa
821
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian produktif (Suriadikarta dan Mas Teddy Sutriadi, 2007). Adaptasi Varietas Unggul Kedelai di Lahan Rawa Pasang Surut Perluasan areal pertanian saat ini diarahkan pada pemanfaatan lahan-lahan marginal seperti lahan pasang surut. Selain padi dan jagung sebagai tanaman pangan, kedelai juga merupakan salah satu komoditas yang mempunyai potensi untuk dikembangkan di lahan pasang surut. Penggunaan varietas unggul merupakan salah satu teknologi tepat guna dan lebih nyata kontribusinya terhadap peningkatan produktivitas tanaman dan dapat dengan cepat diadopsi petani karena murah dan penggunaanya lebih praktis (Zakiah dan Erythrina, 2008). Varietas Wilis merupakan varietas unggul lama kedelai dan dapat beradaptasi pada lahan rawa pasang surut. Untuk mendapatkan varietas unggul kedelai yang mempunyai keunggulan hasil yang tinggi telah dilakukan uji adaptasi kedelai pada lahan rawa pasang surut spesifik lokasi di Sumatera Selatan yang telah dihasilkan oleh Balitkabi Malang dan Balittan Banjar Baru. Penelitian dilakukan pada tipologi lahan potensial dan tipologi lahan sulfat masam. Inovasi teknologi yang diterapkan adalah menggunakan jarak tanam 40x10 cm, jumlah benih 2 biji/lubang tanam, menggunakan pupuk pupuk sesuai anjuran yaitu 50-75 kg/ha urea, SP36 dan KCl masing-masing 50 kg/ha dengan cara pemberian seluruh takaran pupuk SP36 dan KCl diberikan pada saat tanam,sedangkan urea diberikan pada tanaman umur 2 minggu setetelah tanam. Pemberian kapur (dolomit) dilakukan 2 minggu sebelum tanam kedelai dengan takaran 500-1000 kg/ha. Pada Tabel 1, hasil penelitian di tipologi lahan potensial menunjukkan bahwa hasil yang lebih baik dan memberikan hasil yang optimal dari varietas wilis sebagai varietas lokal (pembanding) adalah Bromo, Argomulyo, Tanggamus, Leuser, galunggung dan Nanti dengan produktivitas 1,93-2,34 ton/ha polong kering. Hal ini mengindikasikan perlunya uji adaptasi berbagai VUB berdaya hasil tinggi pada kondisi spesifik lokasi. Tabel 1. Komponen hasil dan produktivitas kedelai dalam penelitian uji adaptasi VUB Kedelai di Lahan Potensial, Rawa Pasang Surut, Karang agung Ulu, Sumatera Selatan, MK 2003. No.
Varietas Kedelai
1. Bromo 2. Argomulyo 3. Tanggamus 4. Leuser 5. Galunggung 6. Nanti 7. Wiis 8. Sibayak 9. Kawi 10. Tidar 11. Cikuray 12. Burangrang Sumber: Zakiah et al. (2004)
Jumlah polong 10 rumpun 313,33 206,67 198,33 186,67 361,67 173,33 185,00 190,00 133,33 163,33 185,00 268,33
Berat 100 biji (gram) 93,50 95,40 71,20 89,90 136,57 87,23 94,30 82,63 116,57 45,43 108,10 81,23
Produktivitas (t/ha) 2,34 2,29 2,27 2,21 2,06 1,93 1,86 1,65 1,48 1,46 1,40 1,16
822
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pada Tabel 2, menunjukkan bahwa pada tipologi lahan sulfat masam produktivitas tertinggi hanya 1,16-1,30 ton/ha yaitu Bromo, Sibayak, Argomulya, dan Galunggung sedangkan varietas yang diuji lainnya lebih rendah <1 ton/ha polong kering (Zakiah, et al, 2004). Diharapkan dengan adanya beberapa VUB yang berdaya hasil tinggi dan juga mudah ketersediaanya di lapangan akan berdampak terhadap peningkatan stabilitas ketahanan pangan dari cekaman biotik dan abiotik di suatu wilayah. Tabel 2. Komponen hasil dan produktivitas kedelai dalam penelitian uji adaptasi VUB Kedelai di Lahan Sulfat Masam, Rawa Pasang Surut, Karang agung Ulu, Sumatera Selatan, MK 2003. No.
Varietas Kedelai
1. Bromo 2. Sibayak 3. Argomulyo 4. Galunggung 5. Wilis 6. Tidar 7. Cikuray 8. Leuser 9. Kawi 10. Burangrang 11. Nanti 12. Tanggamus Sumber: Zakiah et al. (2004)
Jumlah polong 10 rumpun 176,67 280,00 218,33 180,00 316,67 143,33 230,00 235,00 143,33 241,67 210,00 166,67
Berat 100 biji (gram) 91,07 78,57 91,97 107,00 90,67 44,70 103,73 85,83 105,73 80,03 83,77 63,13
Produktivitas (t/ha) 1,30 1,18 1,17 1,16 0,81 0,80 0,70 0,66 0,58 0,57 0,70 0,44
Hasil penelitian Suastika et al (1997) menunjukkan keragaan berbagai varietas kedelai di lahan rawa pasang surut, yaitu produktivitas lebih rendah dari varietas Wilis <1,60 t/ha adalah varietas Galunggung dan Dempo (Tabel 3). Tabel 3. Keragaan beberapa varietas unggul kedelai di lahan potensial rawa pasang surut No.
Varietas Umur Kedelai Panen 1. Galunggung 80-90 2. Lokon 76 3. Wilis 88 4. Guntur 73-79 5. Dempo 90-95 6. Kerinci 87 Sumber: Suastika et al. (1997)
Ketahanan Hama dan Penyakit Karat daun Karat daun Karat daun Karat daun Karat daun dan lalat kacang
Produktivitas (t/ha) 1,50 1,75 1,60 1,85 1,50 1,65
Rendahnya produktivitas kedelai pada lahan rawa pasang surut ini menghadapi banyak kendala meliputi agrofisik, biologis dan sosial ekonomi (Tampubolon et al, 1990). Kendala agrofisik berupa rendahnya kesuburan tanah dan pH tanah, adanya lapisan pirit, gambut, genangan air yang kadang-kadang berlebihan, dan peresapan air garam. Kendala biologis pada budidaya kedelai berupa hama lalat bibit, penggerek dan pengisap polong kedelai. Sedangkan kendala sosial ekonomi meliputi keterbatasan modal dan tenaga kerja, tingkat pendidikan petani yang rendah, mutu dan jumlah prasaranan yang tidak memadai 823
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
serta lembaga pemasaran yang berkembang lambat. Untuk itu dalam memperbaiki kendala biofisik lahan agar pertumbuhan dan peningkatan produktivitas kedelai di lahan rawa pasang surut , sangat diperlukan kapur dan pupuk kandang (Manwan, I., et al, 1992). Pembanding: Hasil Penelitian Adaptasi Varietas Kedelai di lahan Kering Masam di Wilayah Sumatera Lahan suboptimal lainnya selain rawa pasang surut adalah lahan kering masam yang merupakan sasaran program perluasan tanam dan intensifikasi dalam pengembangan tanaman kedelai dengan pertimbangan lahan sub optimal atau lahan marginal atau lahan tidak subur secara nasional sangat luas dan masih banyak yang belum dimanfaatkan. Salah satu komoditas tanaman semusim yang dapat dikembangkan pada lahan-lahan sub optimal tersebut adalah kedelai(Glycine max Merr.). Pemanfaatan lahan suboptimal tersebut (lahan kering masam) adalah upaya peningkatan produksi kedelai memerlukan cara budidaya terbaik, antara lain adaptasi varietas. Varietas memiliki keunggulan tertentu (misalnya potensi hasil tinggi), dan kelemahan tertentu (misalnya peka terhadap Organisme Pengganggu Tanaman/OPT),. Melalui adaptasi varietas di suatu wilayah, maka akan diperoleh hasil kedelai maksimal. Beberapa faktor perlu diketahui dan dipertimbangkan dari varietas yang adaptif yang merupakan komponen teknologi utama dalam PTT kedelai.tersebut. Varietas kedelai memiliki variasi sifat utama: Warna hipokoti, warna epikotil, warna kotiledon, warna bulu, warna bunga, warna kulit biji, warna polong masak, warna hilum, bentuk biji, bentuk daun, tipe tumbuh, umur berbunga, umur saat panen, tinggi tanaman, percabangan, bobot 100 biji, ukuran biji, kandungan protein, kandungan lemak, kandungan air, kerebahan, ketahanan terhadap penyakit dan sifat lainnya yaitu polong tidak mudah pecah wilayah adaptasi lahan kering masam. Hasil penelitian adaptasi varietas kedelai di lahan kering masam dibeberapa wilayah Sumatera sudah banyak dilakukan yaitu: 1) Pengembangan kedelai di lahan kering masam Sumatera Selatan diperlukan ketersediaan varietas yang sesuai di samping teknik budi daya. Sebanyak 12 galur kedelai generasi lanjut dan dua varietas pembanding (Tanggamus dan Wilis) dievaluasi pada lahan kering masam di Kab. Muara Enim, Kab. Banyuasin dan Kab. Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, pada MT III (MeiAgustus 2004) dan di Kab. Muara Enim dan Kab. Ogan Komering Ilir pada MT I (Desember 2004-Maret 2005). Percobaan menggunakan rancangan petak terpisah dengan tiga ulangan. Ukuran petak percobaan 2,4 m x 4,5 m, jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua tanaman per rumpun. Petak utama adalah dua perlakuan pemupukan/pengapuran, yaitu: A = masukan rendah (22,5 kg N, 27 kg P2O5, dan 40 kg K2O per ha), dan B = masukan sedang (22,5 kg N, 36 kg P2O5, 53 kg K2O dan 0,56 t CaO per ha). Anak petak terdiri atas 14 galur/varietas. Hasil kedelai nyata dipengaruhi oleh lokasi, galur, dan interaksi lokasi x galur. Pengaruh pupuk, interaksi pupuk x galur, dan lokasi x pupuk x galur terhadap hasil nyata padaMT III. Tinggi tanaman, jumlah polong, dan bobot 100 biji dipengaruhi oleh lokasi dan pupuk, sedangkan galur mempengaruhi tinggi tanaman dan bobot 100 biji. Berdasarkan nilai Pi terkecil
824
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
(jarak kuadrat tengah respon galur dan responmaksimum) dan frekuensi peringkat tertinggi, telah diidentifikasi galur/varietas yang sesuai (beradaptasi) pada lahan kering masam Sumatera Selatan, yaitu W3898-14-3 (Var. Seulawah), K3911-66/D3578-3-2, dan D3578-3/MLG 3072-15 dengan potensi hasil >2,5 t/ha dan ratarata 1,8 t/ha (Arsyad et al, 2004) 2) Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus 2005 sampai Januari 2006 bertempat dilahan percobaan Agro Techno Park, Desa Bakung, Kecamatan Indralaya, Ogan Ilir, Sumatra Selatan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi, dengan dua faktor dan tiga ulangan. Petak utama adalah kondisi lahan masam, yaitu optimal (diberi kapur 1,5 ton/ha dan pupuk kandang ayam 6 ton/ha) dan non optimal (tanpa kapur dan pupuk kandang), sedangkan anak petak adalah galur/varietas kedelai yang diuji (terdiri dari 18 galur harapan dan 5 varietas nasional sebagai pembanding). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Galur harapan yang memiliki potensi hasil tinggi pada lahan masam optimal dan non optimal adalah Galur harapan KH2, KH31, KH35, KH40, KH42 dan KH58 dengan produksi biji per tanaman: 24,83 g, 23,81 g, 21,08 g, 22,31 g, 21,63 g, 22,81 g, memiliki jumlah cabang, buku, buku subur, dan jumlah polong per tanaman yang tinggi (Harmida, Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan, Indonesia (Hamida, 2009). 3) Hasil Pengkajian adaptasi beberapa Varietas Unggul Baru (VUB) kedelai spesifik lokasi di Sumatera Utara dilakukan di Kecamatan Hinai Kabupaten Langkat, menunjukan bahwa Varietas Anjasmoro, Sinabung, Ijen, Burangrang dan Kaba yang ditanam pada Lahan Kering pada MK II 2007 dengan kondisi curah hujan tinggi dan terus menerus bahkan sempat terendam air mampu beradaptasi dan menghasilkan berturut-turut 1,56 t/ha;1,67 t/ha; 1,56 t/ha; 1,23 t/ha dan 1,47 t/ha. Varietas Panderman dan lokal petani pada kondisi curah hujan yang tinggi tersebut hanya mampu menghasilkan berurut-turut 0,77 t/ha dan 0.27 t/ha. http://sumut.litbang.deptan.go.id/ind/index.php/berita/seminarlokakarya. Feb 24, 2010 4) Hasil kajian adaptasi VUB kedelai di Lampung pada beberapa agroekosistem (lahan kering, rawa, sawah, dan di bawah tegakan), adalah varietas unggul kedelai tahan kekeringan yaitu Dering 1 dan varietas toleran naungan yaitu Dena 1 dan Dena 2. Untuk meningkatkan hasil kedelai, pemberian bahan ameliorasi kapur, bahan organik, dan pemupukan N, P, dan K merupakan kunci untuk memperbaiki kesuburan lahan kering masam di Lampung (Junita, 2013) Keunggulan (karakteristik), mutu benih dan ketahanan terhadap serangan hama penyakit pada tanaman kedelai sangat berpengaruh terhadap daya adaptasi dan produktifitasnya. Penerapan PTT Kedelai Di Lahan Rawa Sebagai Tempat Pembelajaran Transfer Teknologi Upaya mewujudkan Sumatera Selatan sebagai sentra kedelai dapat dilakukan melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) dalam rangka meningkatkan produktivitas dan mutu hasil produksi kedelai. Penerapan dalam PTT kedelai adalah salah satu upaya untuk memberikan contoh yang benar dan untuk memudahkan penyampaian teknologi kepada petani dapat
825
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dilaksanakan dengan membuat demplot, dapat dibuat sebanyak 2-4 unit dengan luas masing-masing 0,25 ha di tiap kecamatan pengembangan. Anjuran penerapan konsep PTT dilakukan kepada petani melalui Sekolah Lapang (SL-PTT kedelai). Sekolah lapang akan dilakukan dengan pendekatan kelompok baik pada kelompok tani maupun pada gabungan kelompok (Gapoktan). Komponen teknologi yang diterapkan dalam PTT dikelompokkan ke dalam teknologi dasar dan pilihan. Komponen teknologi dasar sangat dianjurkan untuk diterapkan di semua areal pertanaman kedelai. Penerapan komponen pilihan disesuaikan dengan kondisi, kemauan, dan kemampuan petani setempat. Komponen teknologi dasar tersebut meliputi : (1). Varietas unggul baru (2). Benih bermutu dan berlabel (3). Pengolahan Tanah (4). Pembuatan saluran drainase (5). Pengaturan populasi tanaman (6). Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) secara terpadu. Komponen Teknologi Pilihan terdiri dari: (1). Penyiapan lahan (2). Pemupukan sesuai kebutuhan (3). Pemberian bahan organik (4). Amelioran pada lahan kering masam (5). Pengairan pada periode kritis (6). Panen dan pascapanen (Balai Penelitian Kacang-Kacangan dan UmbiUmbian, 2007). Dalam melakukan pilihan teknologi, petani mendapatkan pendampingan dari peneliti/penyuluh pertanian sehingga petani yakin akan dapat mengelola usahataninya dengan produktif, efisien dan menguntungkan serta berdaya saing tinggi. Peran yang semestinya dimainkan penyuluh adalah mendorong, memberi semangat, membimbing, dan memberi jalan, dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan dan alternatif-alternatif teknologi (Syahyuti, 1999). Lahan demplot itu bisa dianggap sebagai super imposed , sekaligus sebagai media pembuktian teknologi PTT yang sebenarnya. Di demplot juga dapat dilakukan penanaman berbagai varietas unggul kedelai untuk memberikan pilihan kepada petani dalam menentukan pilihan varietas yang sesuai dengan keinginannya baik aspek produktivitas, tingkat ketahanan terhadap OPT dan lainnya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri adalah dengan penyediaan benih unggul unggul berdaya hasil tinggi, dan mampu beradaptasi dengan baik. 2. Pemilihan varietas yang akan ditanam oleh petani sebaiknya berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan di lahannya sendiri atau di wilayah yang terdekat dengan agroekosistem serupa. 3. Hasil penelitian uji adaptasi kedelai di lahan pasang surut pada tipologi lahan potensial menunjukkan bahwa hasil yang lebih baik dari varietas wilis sebagai varietas lokal dan pembanding adalah Bromo, Argomulyo, Tanggamus, Leuser, galunggung dan Nanti dengan produktivitas 1,93-2,34 ton/ha polong kering. Sedangkan pada tipologi lahan sulfat masam produktivitas tertinggi hanya 1,16-1,30 ton/ha yaitu Bromo, Sibayak, Argomulya, dan Galunggung sedangkan varietas yang diuji lainnya lebih rendah <1 ton/ha polong kering. 4. Hasil penelitian sebanyak 12 galur kedelai generasi lanjut dan dua varietas pembanding (Tanggamus dan Wilis) yang dievaluasi pada lahan kering 826
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
5.
6.
masam, telah diidentifikasi galur/varietas yang sesuai (beradaptasi) pada lahan kering masam Sumatera Selatan, yaitu W3898-14-3 (Var. Seulawah), K3911-66/D3578-3-2, dan D3578-3/MLG 3072-15 dengan potensi hasil >2,5 t/ha dan ratarata 1,8 t/ha. Penerapan teknologi dalam PTT kedelai adalah salah satu upaya untuk memberikan contoh yang benar dan untuk memudahkan penyampaian teknologi kepada petani. Teknologi anjuran dalam penerapan konsep PTT dilakukan kepada petani melalui Sekolah Lapang (SL-PTT kedelai). Komponen teknologi yang diterapkan dalam PTT dikelompokkan ke dalam teknologi dasar dan pilihan.
Saran Dalam melakukan pilihan teknologi, petani mendapatkan pendampingan dari peneliti/penyuluh pertanian sehingga petani yakin akan dapat mengelola usahataninya dengan produktif, efisien dan menguntungkan serta berdaya saing tinggi. DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. 2006. Kumpulan Juklak dan Juknis Prima Tani. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Badan Litbang Pertanian. 2009. Pedoman Umum PTT Kedelai. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. 2006. Arahan Tata Ruang Pertanian Provinsi Sumatera Selatan dan Bangka Belitung. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Balai Penelitian Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian, 2007. Panduan Umum Pengelolaan Tanaman Terpadu Kedelai. Balai Penelitian KacangKacangan dan Umbi-Umbian, Badan Litbang Pertanian, Malang. Darman M. Arsyad, H. Kuswantoro, dan Purwantoro. 2004. .:Kesesuaian Varietas Kedelai di Lahan Kering Masam Sumatera Selatan.Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Jl. Kendalpayak, Kotak Pos 66 Malang, Jawa Timur. Darman M., Arsyad dan Yusdar Hilman. 2004. Potensi Sumberdaya dan Inovasi Teknologi Mendukung Pengembangan Kedelai di Lahan Kering. Dalam Kinerja Penelitian Mendukung Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbiumbian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 2004. Departemen Pertanian, 1983. Pedoman Bercocok Tanam Padi, Palawija, SayurSayuran. Satuan Pengendali BIMAS. Jakarta. Harmida. 2009. Respons Pertumbuhan Galur Harapan Kedelai (Glycine max(L.)Merril) pada Lahan Masam. Jurnal Penelitian Sains Volume 13 Nomer 2(D) 13209
827
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Hidayat, R. 2012. Mewujudkan swasembada kedelai. Artikel. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. http://www.suaramerdeka.com. Diakses 30 September 2012 http://sumut.litbang.deptan.go.id/ind/index.php/berita/seminar-lokakarya/36-ujiadaptasi-varietas-kedelai-di-lahan-kering. Uji adaptasi varietas kedelai di lahan kering,Feb 24, 2010 - Hayani. Pengkajian adaptasi beberapa Varietas Unggul Baru (VUB) kedelai spesifik lokasi di Sumatera Utara dilakukan di Kecamatan Hinai ... Junita.B. 2013. Potensi Pengembangan dan Budidaya Kedelai pada Lahan Suboptimal di Lampung. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal, Palembang 20-21 September 2013. Manwan, I., I.G. Ismail, T. Alihamsyah dan S. Partohardjono. 1992. Teknologi untuk Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut. Dalam Prosiding Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4 Maret 1992. Suatika, IW., N.P. Sri Ratmini dan T. Tumarlan. 1997. Budidaya Kedelai di Lahan Pasang surut. Proyek Penelitian dan Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu- ISDP. Badan litbang Pertanian. Jakarta. Suprapto. 1999. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta. 74 hal Suradikarta dan Mas Teddy sutriadi, 2007. Jenis-jenis Lahan berpotensi untuk Pengembangan Pertanian di lahan rawa. Jurnal Litbang Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Syahyuti. 1999. Tinjauan Buku Penyuluhan Pertanian: Kembali ke Dasar. Journal Agro Ekonomi,Vol 18 No 1 Mei 1999. P.105-108. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Tampubolon, S.M.H,. S.Tjakrawerdaya dan S. Sutarman. 1990. Kajian Aspek Sosial Ekonomi Lahan Pasang surut Sumatera Selatan. Dalam Prosiding Seminar Penelitian Lahan Rawa Pasang Surut dan Rawa, SWAMPSII, 1990 di Palembang, 29-31 Oktober 1990. Widjaya Adhi, IPG, K. Nugroho, D.S. Ardi dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya Lahan Pasang Surut, Rawa dan pantai: Potensi, keterbatasan dan Pemanfaatan. Makalah Utama disajikan pada Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa. Cisarua, 3-4 Marer 1992. Zakiah dan Erythrina, 2008. Pengembangan Tanaman Pangan di Lahan Rawa Sumatera Selatan. Prosiding Simposium V Tanaman Pangan. Buku 3: Penelitian dan Pengembangan Palawija. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Zakiah, Asim dan I. Marpaung. 2004. Uji Adaptasi varietas kedelai di lahan potensial rawa pasang surut Karang Agung Ulu Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Lokakarya Nasional Hasil Litkaji Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi, Palembang, 28-29 Juni 2004.
828
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
DAFTAR PESERTA No. 1. 2. 3. 4.
Nama Adri Agung Prabowo Agus Suprihatin Amalia Ulpah
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Ani Susilawati Aulia Evi Susanti Basri A. Bakar Benyamin Lakitan Budi Raharjo Cipto Nugroho Dahono Dedeh Hadiyanti Desy Nofriati Dewi Meidalima Dewi Novalinda Diah Ismia Dian Histifarina Didit Rahadian Dini Yuliani
20.
Edward Saleh
21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43.
Eni Siti Rohaeni Fawzan Sigma Aurum Fazlurrafiq Gribaldi Gusti Fitriyana Hamdan Harnisah Haryono Hasbi Hasnelly Zainal Hasrianti Silondae Herwenita I Ketut Suwitra IKW Edi Imelda Suryani M Irma Calista Siagian Jauhari Efendy Johanes Amirullah Joni Karman Julistia Bobihoe Jumakir Kgs. Abdul Kodir Khodijah
Asal Instansi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh Kemenristek Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara Loka Pengkajian Teknoogi Pertanian Kepri Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Sriwigama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, Subang Sukamandi, Subang Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Indralaya Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Kalimantan Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala- Banda Aceh Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Baturaja Universitas Tridinanti Palembang BPTP Bengkulu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Badan Litbang Pertanian Fakultas Pertanian-Universitas Sriwijaya Balai Penelitian Ternak Ciawi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Loka Penelitian Sapi Potong Grati, Pasuruan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Palembang
829
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
No. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90.
Nama Kurniawan Subatra Lutfi Izhar M. Yanis M.Thamrin Mahdalena Masito Maya Dhania Sari Mildaerizanti Muhammad Abid Nasir Neni Marlina Nofi A Rokhmah NP Sri Ratmini Nur Imdah Minsyah Nurmegawati Oka Ardiana Banaty Rahadian Mawardi Railia Karneta Renny Utami Soemantri Ruslan Boy S. Aminah Sidiq Hanapi Sri Adikarsih Sri Harnanik Subiadi Sumilah Suparwoto Suri Emma Susilawati Syahri Titin Sugianti Tri Agus Sulistya, Triyandar Arief Tumarlan Thamrin Wahyu Wibawa Waluyo Wiratno Y. Suci Pramudyati Yanter Hutapea Yanto Pandu APH Yardha Yartiwi Yeni E. Maryana Yenni Yuana Juwita Zahara Zakiah
Asal Instansi Mahasiswa Program Magister Ilmu Tanaman Universitas Sriwijaya Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jambi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah Fakultas Pertanian Universitas Tridinanti Palembang Fakultas Pertanian Universitas Palembang Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika,Tlekung Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Sriwigama Palembang Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sumatera Barat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat Loka Penelitian Sapi Potong Grati, Pasuruan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
830