1
INTERAKSI ANTARA REMAJA, AYAH, DAN SEKOLAH SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT STRES DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL
Asroheni Muharrifah
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
2
ABSTRAK ASROHENI MUHARRIFAH. Interaction between adolescent, father, and school, and it’s relation with stress level in national examination period. Supervised by DIAH KRISNATUTI. National Examination is one of reference of evaluation to increase the quality of education in Indonesia. In High School National Examination 2009, there is increasing of the amount of examination subject. It is become six subject from only three in the previous year. The student in the third year who facing the National Examination is easier to get stress. Stress level in this student can be minimilized with family and school environtment interaction. The research methods is cross sectional study with 76 sample utilize simple random sampling. Analysis data that is utilized Independent Sample's difference T-test and Mann Whitney, spearman’s correlation, and multiple linear regretion. The result of this research show that stress level in girls is higher than boys, the result also show that stress happen because of less interaction with father and school. Parenting that tend to mutual and communicative interaction with father will also give a better interaction quality. If father can optimize his role to do a good parenting, their children will also overcome their stress well.
Keyword: stress, interaction, National Examination
3
RINGKASAN ASROHENI MUHARRIFAH. I24052061. Interaksi antara Remaja, Ayah, dan Sekolah serta Hubungannya dengan Tingkat Stres dalam Menghadapi Ujian Nasional. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui interaksi antara remaja, ayah, dan sekolah serta hubungannya dengan tingkat stres dalam menghadapi Ujian Nasional pada siswa SMA Negeri dan SMA Swasta. Secara khusus, penelitian ini bertujuan: (1) Mengidentifikasi karakteristik contoh dan karakteristik keluarga contoh, (2) Mengidentifikasi interaksi contoh dengan ayah, (3) Mengidentifikasi interaksi contoh di lingkungan sekolah, (4) Mengindentifikasi prestasi belajar contoh, (5) Membandingkan tingkat stres contoh, (6) Menganalisis hubungan berbagai variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres contoh dalam penelitian. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian ini dilakukan di SMU Negeri 3 dan SMU Insan Kamil, Kota Bogor, Jawa Barat. Lokasi penelitian dilakukan di dua tempat secara simple random sampling berdasarkan sekolah favorit di kota tersebut. Pengumpulan data dilakukan selama 8 minggu sebelum Ujian Nasional (20-24 April 2009) sampai Juni 2009. Total contoh dalam penelitian ini sebanyak 76 siswa dengan proporsi jenis kelamin yang sama baik laki-laki maupun perempuan. Data primer meliputi identitas pribadi, karakteristik sosial ekonomi keluarga, interaksi anak (lingkungan keluarga (ayah) dan lingkungan sekolah), prestasi belajar, dan tingkat stres contoh. Data sekunder yang digunakan adalah keadaan umum sekolah berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Kota Bogor. Data sekunder diperoleh dari website sekolah dan keterangan pihak sekolah serta raport siswa. Data yang diperoleh kemudian diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry data ke komputer, cleaning, dan analisis data dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS for windows versi 11,5. Setelah itu, data dianalisis dengan menggunakan uji deskriptif, beda mean, korelasi, dan regresi. Lebih dari separuh contoh berumur 17 tahun, tergolong pada kategori anak tengah (SMA Negeri 3) dan anak sulung (SMA Insan Kamil), dan berasal dari keluarga dengan ukuran sedang (5-6 orang). Persentase terbesar contoh dominan pada tipe kepribadian ekstrovert, memiliki orangtua dengan kategori usia dewasa madya, dan pendidikan tertinggi orangtua adalah perguruan tinggi (ayah) dan tamat SMA (ibu). Hampir seluruh contoh mempunyai rencana jangka pendek meneruskan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Persentase terbesar ayah contoh di SMA Negeri 3 memiliki pekerjaan utama sebagai karyawan swasta, sedangkan pada SMA Insan Kamil memiliki proporsi yang sama sebagai pegawai negeri, wiraswasta, dan karyawan swasta. Proporsi terbesar pendapatan keluarga pada kedua sekolah contoh yaitu terletak pada kisaran Rp 2.5 juta – Rp 5 juta. Seluruh contoh disediakan fasilitas dan sarana belajar di rumah. Persentase terbesar contoh memiliki interaksi dengan ayah cukup baik. Lebih dari separuh contoh memiliki komunikasi dengan ayah cukup baik. Sebagian besar contoh memiliki kedekatan dengan ayah cukup baik. Selain itu, persentase tertinggi contoh memiliki kualitas interaksi dengan ayah cukup puas. Sebagian besar ayah contoh memiliki harapan sedang terhadap masa depan contoh setelah Ujian Nasional.
4
Sebagian besar contoh termasuk dalam kategori cukup baik berinteraksi dengan guru dan teman. Selain itu, sebagian besar contoh juga memiliki interaksi dengan sekolah cukup baik. Persentase terbesar contoh memiliki nilai kognitif dengan kategori sedang (65-80) dan ada perbedaan nilai rapor dengan kategori nilai kognitif di kedua sekolah. Prestasi akademik berdasarkan nilai psikomotorik memiliki proporsi yang sama dengan kategori sedang dan tinggi (SMA Negeri 3) dan kategori sedang (SMA Insan Kamil). Selain itu, nilai afektif contoh tergolong kategori baik (SMA Negeri 3) dan baik sekali (SMA Insan Kamil). Persentase terbesar contoh di kedua sekolah berada dalam kategori tingkat stres sedang. Semakin baik interaksi dengan sekolah, maka tingkat stresnya akan semakin menurun. Semakin ekstrovert, maka semakin baik interaksi dengan teman. Semakin erat interaksi contoh dengan ayah, maka semakin baik pula interaksi dengan sekolah. Semakin erat interaksi contoh dengan ayah, maka tujuan hidup dan cita-cita semakin tinggi prioritasnya. Selain itu, semakin tinggi harapan ayah terhadap contoh, maka tujuan hidup dan cita-cita akan semakin tinggi prioritasnya. Jenis kelamin, besar keluarga, kepribadian, hubungan ayah, dan umur ibu memiliki pengaruh nyata terhadap tingkat stres contoh. Tingkat stres banyak dialami oleh remaja perempuan, berasal dari keluarga dengan ukuran besar, bertipe kepribadian ekstrovert, kurangnya interaksi dengan ayah, dan umur ibu yang lebih muda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi contoh dengan sekolah berhubungan dengan tingkat stres. Oleh karena itu, hendaknya sekolah terutama guru dalam menghadapi Ujian Nasional sudah memberikan persiapan sedini mungkin baik psikis dan mental siswa dengan pendalaman materi dan latihan soal-soal dengan cara menarik sehingga siswa tidak merasa bosan dan jenuh. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi dengan ayah mempengaruhi stres anak. Berdasarkan hal ini, ayah hendaknya mempunyai waktu banyak untuk bertukar pikiran, mendukung, dan mengatasi masalah anaknya terutama saat menghadapi Ujian Nasional. Walaupun ibu sebagai pengasuh utama dalam keluarga, tetapi ayah tidak boleh meninggalkan perannya sebagai pengarah perkembangan di masa depan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa remaja perempuan rentan terhadap stres. Oleh karena itu, hendaknya ayah lebih memperhatikan remaja perempuan dengan tidak membeda-bedakan jenis kelamin.
5
INTERAKSI ANTARA REMAJA, AYAH, DAN SEKOLAH SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT STRES DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL
ASROHENI MUHARRIFAH
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
6
Judul Skripsi
:
INTERAKSI SEKOLAH
ANTARA SERTA
REMAJA,
AYAH,
HUBUNGANNYA
DAN
DENGAN
TINGKAT STRES DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL Nama Mahasiswa NRP
: ASROHENI MUHARRIFAH : I24052061
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS.
NIP. 19601007 198503 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Dr.Ir.Hartoyo. MSc NIP. 19630714 198703 1002
Tanggal lulus :
7
PRAKATA Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah dengan baik. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan, waktu, kesabaran, dan ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih ibu telah menebarkan semangat,
keceriaan,
dan
optimisme
kepada
saya
untuk
segera
menyelesaikan skripsi dan lulus tepat waktu. 2. Ir. Melly Latifah, MSi selaku dosen pembimbing akademik selama 3 tahun di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen atas perhatian dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis. 3. Alfiasari, SP, MSi selaku dosen pemandu seminar atas waktu, masukan, dan keceriaan yang telah diberikan kepada penulis selama seminar. 4. Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc, MSc dan Ir. M.D.Djamaludin, MSc selaku dosen penguji atas masukan dan saran yang bermanfaat untuk perbaikan skripsi penulis. 5. Orangtuaku tercinta yang selalu dan tak pernah putus memberi semua dukungan dan bimbingan dengan penuh kasih sayang yang dapat diberikan, dari yang bersifat fisik, mental, dan spiritual. Orangtua yang telah mengasuh dan membimbing penulis sejak kecil hingga mampu menempuh pendidikan di perguruan tinggi. 6. Kakak, adik, kakak ipar, dan adik sepupuku tersayang: Kak Mely, Kak Alwan, Kak Wiwit, Ade Nda, Dek Rani, dan Dek Azil yang telah memberikan keceriaan, semangat, do’a agar penulis bisa melakukan hal yang terbaik. 7. Pemerintah Kota Bogor yang telah membantu dalam bentuk materi untuk penelitian penulis. 8. Kepala sekolah, Ibu Sri, Ibu Elvita, dan siswa/i SMA Negeri 3 Bogor yang telah memberikan waktu dan izin untuk pengambilan data yang diperlukan. 9. Kepala sekolah, Pak Adening, Pak Ade Hidayat, dan siswa/i SMA Insan Kamil yang telah memberikan waktu dan izin untuk pengambilan data yang diperlukan.
8
10. Sahabat-sahabatku Alfarabi Crew’s: Ana, Ari, Ita, Fitri, Uci, Maul, Wiji, Veni, Mba Arul, Mba Hani, Mba Nur, Zera, dan adek Indah. Terima kasih atas semua warna-warni kehidupan yang telah kalian lukiskan. 11. Sahabat-sahabatku di IKK’42: Tika, Sri, Anne, Dini, Ibu Endah, dan semuanya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih untuk hari-hari yang penuh kenangan, semangat, tawa, serta canda. 12. Mba Inur dan Mba Dedew yang telah membantu dalam proses olah data, memberikan semangat, bantuan, dan perhatian kepada penulis. 13. Ana, Vivi, Sri, dan Eka WL atas bantuan pengambilan data. 14. Semua pihak yang telah berkenan berpartisipasi. Semoga Allah membalas kebaikan saudara dengan hal yang lebih baik. Amin. Penulis menyadari bahwa segala sesuatu tidaklah luput dari kesalahan. Penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini serta mengharapkan kritik dan saran untuk dapat memperbaikinya. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, September 2009
Asroheni Muharrifah
9
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 07 September 1987. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Asdarmi dan Ibu Efroh Dahlia. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Cikunir II pada tahun 1999. Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, penulis melanjutkan
pendidikan
menyelesaikannya
di
SLTPN
07
Bekasi
dan
berhasil
pada tahun 2002. Pada tahun 2005 penulis
menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMU Negeri 08 Bekasi. Setelah
menyelesaikan
pendidikan
menengah
atas,
penulis
melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Penulis diterima di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2005. Pada tahun 2006, penulis berhasil diterima menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia dengan minor Manajemen Fungsional. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Metode Penelitian dan Penyajian Ilmiah tahun ajaran 2008/2009. Selain itu, penulis pernah lolos dalam seleksi pendanaan proposal Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang kegiatan Kewirausahaan dan Pengabdian Masyarakat oleh DIKTI tahun 2008. Penulis merupakan anggota dari klub keluarga, klub bahasa Inggris, dan klub tumbuh kembang anak Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen pada tahun 2006-2008.
10
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................ ii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
v
PENDAHULUAN .......................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA Remaja .......................................................................................... Stres .............................................................................................. Interaksi dengan Ayah ................................................................... Prestasi Belajar .............................................................................. Karakteristik Anak .......................................................................... Karakteristik Keluarga .................................................................... Lingkungan Sekolah.......................................................................
6 8 11 20 20 23 25
KERANGKA PEMIKIRAN ..........................................................................
28
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu penelitian ........................................... Contoh dan Cara Penarikan Contoh .............................................. Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................ Pengolahan dan Analisa Data ........................................................ Definisi Operasional .......................................................................
30 31 31 32 35
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................... Karakteristik Contoh ....................................................................... Karakteristik Keluarga .................................................................... Interaksi Anak dengan Ayah .......................................................... Interaksi Anak di Sekolah ............................................................... Prestasi Belajar .............................................................................. Tingkat stres .................................................................................. Hubungan Antar Variabel ............................................................... Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat stres ..................
37 41 45 50 58 61 62 65 70
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
75
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
77
LAMPIRAN ................................................................................................
80
11
DAFTAR TABEL Halaman 1 Jenis dan cara pengumpulan data .............................................................
31
2 Variabel dan cara pengolahan ...................................................................
32
3 Karakteristik SMA Negeri 3 Bogor .............................................................
37
4 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin, umur, dan urutan kelahiran ..
41
5 Sebaran contoh berdasarkan kepribadian .................................................
42
6 Sebaran berdasarkan rencana contoh dalam jangka pendek ...................
43
7 Sebaran contoh berdasarkan tujuan hidup dan cita-cita ............................
44
8 Sebaran contoh berdasarkan kategori tujuan hidup dan cita-cita ...............
44
9 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga ............................................
45
10 Sebaran contoh berdasarkan usia orangtua ............................................
46
11 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orangtua ..................................
47
12 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan utama orangtua.........................
48
13 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga.................................
48
14 Sebaran contoh berdasarkan jenis fasilitas belajar di rumah ...................
49
15 Sebaran contoh berdasarkan kategori interaksi contoh dengan ayah ......
51
16 Nilai rata-rata dan hasil uji beda interaksi contoh dengan ayah ...............
52
17 Sebaran contoh berdasarkan komunikasi contoh dengan ayah ...............
53
18 Sebaran contoh berdasarkan kategori komunikasi contoh dengan ayah..
53
19 Sebaran contoh berdasarkan keeratan interaksi dengan ayah ................
54
20 Sebaran contoh berdasarkan kategori keeratan contoh dengan ayah......
55
21 Sebaran contoh berdasarkan kualitas interaksi ........................................
55
22 Sebaran contoh berdasarkan kategori kepuasan contoh dengan ayah . ..
56
23 Sebaran contoh berdasarkan kategori harapan ayah ...............................
57
24 Sebaran contoh berdasarkan kategori interaksi contoh dengan guru
59
25 Sebaran contoh berdasarkan kategori interaksi contoh dengan teman ....
60
26 Sebaran contoh berdasarkan kategori interaksi contoh dengan sekolah .
60
27 Sebaran contoh berdasarkan prestasi belajar ..........................................
61
28 Sebaran contoh berdasarkan seringnya mengalami gejala stres .............
63
29 Sebaran contoh berdasarkan tingkat stres ...............................................
65
30 Hubungan interaksi dengan sekolah dan tingkat stres .............................
66
31 Hubungan kepribadian dan interaksi contoh dengan teman .....................
67
32 Hubungan keeratan contoh-ayah dan interaksi contoh dengan sekolah ..
67
33 Hubungan keeratan contoh-ayah dengan tujuan hidup dan cita-cita ........
68
12
34 Hubungan harapan ayah dengan tujuan dan cita-cita contoh ..................
69
35 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres .......................................
70
13
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Model ABC-X McCubbin ............................................................................
10
2 Kerangka pemikiran Interaksi remaja-ayah dan sekolah serta hubungannya dengan tingkat stres ............................................................
29
3 Cara pengambilan contoh ....................................................................... …
30
14
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Variabel dan reliabilitas ..............................................................................
81
5 Sebaran contoh berdasarkan interaksi diadik contoh dengan ayah ...........
82
6 Sebaran contoh berdasarkan harapan ayah ..............................................
83
4 Sebaran contoh berdasarkan interaksi contoh di lingkungan sekolah ........
84
2 Sebaran pernyataan contoh berdasarkan sistem UN .............................. …
85
3 Sebaran pernyataan contoh berdasarkan perasaan menghadapi UN ..... …
86
15
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas merupakan modal dasar untuk mewujudkan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Hal ini berarti
bahwa
kualitas
sumberdaya
manusia
dipengaruhi
oleh
kualitas
pendidikannya. Undang-Undang No 20 tahun 2003 pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa salah satu fungsi pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, pemerintah menata kurikulum yang dianggap sebagai salah satu solusi dalam menangani permasalahan pendidikan. Seiring dengan perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia dari kurikulum 1994 ke kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan sekarang menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), perubahan kebijakan tahap akhir nasional pun ikut berubah. Dahulu sistem evaluasi hasil belajar dikenal dengan Ebtanas, pada akhir 2003 diubah menjadi Ujian Nasional (UN) atau pada awalnya bernama Ujian Akhir Nasional (UAN). Ujian
Nasional
dijadikan
sebagai
bahan
acuan
evaluasi
untuk
meningkatkan kualitas pendidikan dan menyiapkan peserta didik agar dapat bersaing di dunia internasional. Salah satunya, pemerintah menaikkan nilai standar kelulusan ujian nasional sekolah lanjutan tingkat atas untuk tahun 2009 dengan rata-rata minimal 5,5 dari sebelum 5,25 dan tidak ada nilai di bawah 4,5. Inti UN 2009 adalah adanya penambahan mata pelajaran dari tiga menjadi enam di tingkat sekolah menengah atas. Penambahan mata pelajaran tersebut dapat meningkatkan beban kejiwaan siswa terutama beban psikologis (Sudaryanto 2008). Menurut Gunarsa & Gunarsa (2004) masa remaja merupakan masa transisi dimana pada masa ini remaja mengalami tahap kehidupan yang penuh gejolak, perubahan, dan penyesuaian dalam rangka mencari identitas diri. Oleh karena itu, remaja relatif belum mencapai tahap kematangan mental dan emosi serta juga harus menghadapi tekanan psikologis dan sosial yang saling bertentangan sehingga rentan terhadap stres. Dalam tahap perkembangannya, jiwa remaja mengalami kondisi emosi yang tidak stabil dan cenderung sensitif terhadap semua hal yang berkaitan
16
dengan pribadinya. Siswa SMA kelas tiga
yang sedang menghadapi Ujian
Nasional lebih rentan terkena stres. Adapun setiap siswa memiliki tingkat adaptasi yang berbeda menghadapi stres menjelang pelaksanaan Ujian Nasional. Tingkat stres remaja dapat diminimalkan dengan interaksi oleh keluarga dan lingkungan sekolah. Keluarga merupakan suatu sistem yang terdiri atas elemen-elemen yang saling terkait antara satu dengan lainnya dan memiliki pengaruh paling awal dan berkesinambungan yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis anak. Berkaitan dengan peran orangtua, ayah berperan sebagai pengambil keputusan untuk mengatur atau mengelola sumberdaya yang terbatas untuk mencapai tujuan bersama. Walaupun ibu lebih sering berinteraksi dengan anak, namun biasanya ayah yang
paling menentukan dalam
pengambilan keputusan dan kontrol disiplin mengenai berbagai permasalahan yang timbul dalam keluarga (Sarwono 2007). Interaksi antara ayah dan anak memberikan warna tersendiri dalam pembentukan konsep diri anak. Hal ini dikarenakan karakter pria yang berbeda dengan sosok wanita yang akan memberikan sumbangan unik pada anak. Tidak adanya interaksi dengan ayah secara fisik dan emosional akan berdampak kuat pada perkembangan seorang anak (BKKBN 2007). Arus informasi dapat mempengaruhi
interaksi
ayah
dengan
remaja.
Ayah
tidak
lagi
mengkomunikasikan harapannya dan memahami kebutuhan terhadap remaja sehingga akan sulit bagi ayah dan remaja untuk mencapai tingkat pemahaman terhadap apa yang dipikirkan dan dirasakan satu sama lain. Remaja
akan
merasa bahwa harapan-harapan yang ditujukan pada dirinya terlampau tinggi sehingga timbul rasa frustasi, gangguan tingkah laku, dan konsep diri yang rendah dalam diri anak. Lingkungan sekolah berpengaruh cukup besar terhadap perkembangan jiwa remaja karena hampir sepertiga dari waktu setiap hari dilewatkan di sekolah. Guru menjadi tokoh utama di sekolah yang mempengaruhi perkembangan kepribadian anak remaja secara menyeluruh. Guru yang memahami kebutuhan siswa dan mampu bersosialisasi dengan siswa dapat menjadi faktor pemicu motivasi siswa remaja untuk belajar. Lingkungan pergaulan dengan teman sebaya pun besar pengaruhnya terhadap sikap, minat, penampilan, dan tingkah lakunya untuk mengikuti perubahan yang lebih luas pada masa selanjutnya. Berdasarkan paparan tersebut, maka sangat menarik untuk menganalisis
17
interaksi antara remaja, ayah, dan sekolah serta hubungannya dengan tingkat stres dalam menghadapi Ujian nasional (UN). Perumusan Masalah Data HDI (Human Development Index) menunjukkan bahwa tingkat Pendidikan Indonesia berada di urutan 4 terbawah (urutan ke 102 dari 106 negara) atau Indonesia berada di bawah Vietnam. Hasil yang sama juga ditunjukkan dari hasil survei PERC (Political and Economic Risk Consultancy) di 12 negara (Megawangi 2007). Hal ini merupakan salah satu tanda dari kegagalan institusi pendidikan yang ada di masyarakat dalam membentuk manusia Indonesia yang berkualitas. Sejauh ini evaluasi mutu pendidikan hanya ditujukan untuk meningkatkan standar minimum kelulusan yaitu dengan menyelenggarakan Ujian Nasional (UN). Dengan adanya Ujian Nasional yang menuntut nilai tinggi, orientasi belajar tertuju untuk mendapatkan nilai, biasanya hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling) dan tidak melibatkan aspek afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Selain itu, dengan adanya tuntutan nilai UN yang tinggi, pihak sekolah akan menekan para siswa dengan banyak latihan dan hafalan, pelajaran tambahan pada sore hari serta PR yang menumpuk, yang akan membuat para siswa stres dan proses belajar menjadi tidak efektif (Megawangi 2007). Sejak mengawali pelajaran di kelas tiga, siswa tidak bisa menikmati proses belajar dengan nyaman karena siswa lebih memusatkan kepada target kenaikan nilai kelulusan. Siswa dihadapkan pada ketakutan akan persyaratan angka kelulusan. Menurut Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), angka kelulusan untuk sekolah menengah atas (SMA), angka kelulusan naik dari 80,76 persen menjadi 92,50 persen. Untuk madrasah aliyah (MA), dari 80,73 persen menjadi 90,82 persen. Adapun untuk sekolah menengah kejuruan (SMK), dari 78,29 persen menjadi 91,00 persen (Depdiknas 2006). Siswa yang hanya ber-IQ di atas 115 saja yang mampu mengikuti ujian tersebut (tidak lebih dari 15 persen penduduk), sehingga dapat membuat sebagian besar siswa merasa bodoh, depresi, tidak percaya diri, dan akhirnya menurunkan kualitas peserta didik di Indonesia. Orangtua pun ikut andil dalam menuntut anaknya mendapatkan nilai tertinggi. Orangtua banyak berharap anaknya menguasai beragam kemampuan dengan mendaftarkan anaknya ke sekolah dengan sistem full day dan banyak mengikuti kursus yang semata-mata
18
untuk menembus pintu testing. Jadi, wajar saja kalau para siswa di Indonesia sudah menderita stres berat. Di Indonesia sendiri memang belum terdapat data statistik yang pasti mengenai kasus stres pada siswa dalam menghadapi ujian nasional, namun hasil survei Substance Abuse and Mental Health Services Administration menunjukkan remaja akhir lebih rentan mengalami depresi dibanding remaja awal. Pada tahun 2004 misalnya, jumlah remaja berusia 16-17 tahun yang mengalami depresi mencapai 12 persen. Angka ini lebih tinggi dibanding remaja berusia 12-13 tahun sebanyak 5 persen dan 14-15 tahun sekitar 9 persen. Badan Kesehatan Dunia memperkirakan, pada tahun 2010 depresi menjadi penyakit nomor satu di dunia yang paling banyak memakan biaya pengobatan (Nurhayati 2006). Berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas, terdapat pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya melalui penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana karakteristik siswa dan karakteristik keluarga siswa dalam menghadapi Ujian Nasional? 2. Bagaimana interaksi ayah terhadap siswa dalam menghadapi Ujian Nasional (UN)? 3. Bagaimana interaksi lingkungan sekolah siswa dalam menghadapi Ujian Nasional? 4. Bagaimana prestasi belajar siswa? 5. Apakah siswa mengalami stres dan pada tingkat yang mana ia mengalami stres tersebut?
Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interaksi antara remaja, ayah, dan sekolah serta hubungannya dengan tingkat stres dalam menghadapi Ujian Nasional (UN) pada siswa SMA Negeri dan SMA Swasta. Secara khusus, penelitian ini bertujuan: 1. Mengidentifikasi karakteristik contoh (jenis kelamin, umur, urutan anak, kepribadian, cita-cita dan tujuan) dan karakteristik keluarga contoh (besar keluarga, umur orangtua, pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga dan fasilitas belajar)
19
2. Mengidentifikasi interaksi contoh dengan ayah 3. Mengidentifikasi interaksi contoh di lingkungan sekolah (interaksi dengan guru, interaksi dengan teman sebaya, dan interaksi dengan sekolah) 4. Mengindentifikasi prestasi belajar contoh 5. Membandingkan tingkat stres contoh 6. Menganalisis hubungan berbagai variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres contoh dalam penelitian Kegunaan Penelitian 1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat sebagai sarana berlatih untuk memanajemen diri dan pengalaman dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan ilmu yang peneliti mampu. 2. Bagi para orangtua dan siswa SMA, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sarana kajian ilmiah interaksi antara remaja, ayah, dan sekolah serta hubungannya dengan tingkat stres dalam menghadapi Ujian Nasional. 3. Bagi Institusi Pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan referensi yang berkaitan dengan Ujian Nasional. 4. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang berkaitan dengan interaksi remaja, ayah, dan sekolah serta hubungannya dengan tingkat stres dalam menghadapi Ujian Nasional, sehingga masyarakat diharapkan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai hal ini.
20
21
TINJAUAN PUSTAKA Remaja Istilah remaja berasal dari kata Latin adolescere yang berarti ”tumbuh” atau ”tumbuh menjadi dewasa”. Lazimnya masa remaja dianggap secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Namun, penelitian tentang perubahan perilaku, sikap, dan nilai-nilai sepanjang masa remaja tidak hanya menunjukkan bahwa setiap perubahan terjadi lebih cepat pada awal masa remaja daripada tahap akhir masa remaja. Dengan demikian secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian, yaitu awal masa dan akhir masa remaja (Hurlock 1980). Masing-masing ahli memberikan batasan usia yang berbeda-beda bagi remaja berdasarkan pertimbangan tertentu. Thornburgh (1982) diacu dalam Retnowati (2005) membatasi usia remaja antara 11 hingga 22 tahun. Adanya peningkatan kecenderungan para remaja untuk melanjutkan sekolah atau mengikuti pelatihan kerja (magang) yang berusia 19 hingga 22 tahun juga dimasukan
kedalam
golongan
remaja
dengan
pertimbangan
bahwa
pembentukan identitas diri remaja masih terus berlangsung sepanjang rentang usia tersebut. Monks (1999) diacu dalam Nasution (2007) remaja adalah individu berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir. BKKBN (2009) menyatakan bahwa pada masa remaja terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis. Masa remaja dibagi menjadi beberapa fase yaitu fase remaja awal (usia 12-15 tahun), fase remaja pertengahan (usia 15-18 tahun) dan fase remaja akhir (usia 18-21 tahun). Adapun masa pubertas (usia 11 atau 12 tahun-16 tahun) merupakan fase yang singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya. Masa pubertas berada antara masa kanak-kanak dan masa remaja, sehingga kesulitan yang ada pada masa tersebut dapat menyebabkan
remaja
mengalami
kesulitan
dalam
menghadapi
fase
perkembangan selanjutnya. Pada fase tersebut, remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon (dalam tubuhnya) yang memberi dampak baik pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis, terutama emosi.
22
WHO (World Health Organization) memberikan definisi sendiri mengenai remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria yaitu biologis, psikologis, dan sosial-ekonomi. Remaja didefinisikan sebagai suatu masa ketika individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan
tanda-tanda
seksual
sekundernya
sampai
saat
mencapai
kematangan seksual, individu yang mengalami perkembangan psikologis, dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, dan terjadinya peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono 2007). Menurut Al-Migwar (2006), terdapat ciri-ciri umum yang ada pada diri remaja, sehingga dapat membedakan antara masa remaja dengan masa lainnya, yaitu : (1) masa transisi (peralihan dari anak-anak menuju dewasa), masa transisi pada remaja terlihat dari perilaku remaja yang tidak jarang membuat orangtua bingung, kesal, bahkan stres; (2) masa tidak stabilnya emosional, intensitas emosional tergantung pada perubahan emosional yang terjadi dalam diri remaja, hal ini dapat dilihat dari sikap dan sifat remaja yang mengalami naik turun ketika mengerjakan suatu pekerjaan; (3) Masa pencarian identitas, remaja menyesuaikan diri dengan kelompok agar remaja memperoleh identitas diri dan tidak merasa puas dengan kesamaan yang dimiliki dalam segala hal dengan teman-teman sebayanya; (4) Masa kritis, masa kebimbangan remaja dalam menghadapi, memecahkan, dan menghindari suatu masalah. Menurut
(Havighurst
1953
dalam
Hurlock
1973),
tugas–tugas
perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja adalah sebagai berikut: 1. Mencapai interaksi yang baru dan lebih masak dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis 2. Mencapai peran sosial maskulin dan feminin 3. Menerima keadaan fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif 4. Mencapai kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya 5. Mencapai kepastian untuk mandiri secara ekonomi 6. Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja 7. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan kehidupan keluarga
23
8. Mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual untuk tercapainya kompetensi sebagai warga negara 9. Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial 10. Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman perilaku Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks (1999) diacu dalam Nasution (2007) maka terdapat tiga tahap proses perkembangan yang dilalui
remaja
dalam
proses
menuju
kedewasaan,
disertai
dengan
karakteristiknya, yaitu: 1. Remaja awal (12-15 tahun) Pada tahap ini, remaja masih merasa heran terhadap perubahanperubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai
perubahan-perubahan
tersebut.
Mereka
mulai
mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya pengendalian terhadap ego dan menyebabkan remaja sulit dimengerti oleh orang dewasa. 2. Remaja pertengahan (15-18 tahun) Pada tahap remaja pertengahan sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih, peka atau peduli, berkelompok atau sendiri, optimis atau pesimis, dan sebagainya. 3. Remaja akhir (18-21 tahun) Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian
minat
yang
semakin
mantap
terhadap
fungsi-fungsi
intelektual dan egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain. Stres Santrock (2003) menyatakan stres adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stressor), yang mengancam, dan
24
mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya (coping). Stres juga adalah reaksi individual seseorang terhadap ketegangan, perubahan atau konflik yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Reaksi ini bersifat subjektif, sangat tergantung pada konsep diri dan ketahanan mental, karena suatu sumber masalah bisa menjadi stresor bagi seseorang, namun mungkin bagi yang lain dipandang bukan menjadi suatu masalah. Contohnya hari pertama masuk sekolah, bagi anak dengan kemampuan sosial yang rendah merupakan sumber stres, namun bagi anak dengan kemampuan sosial yang baik bukanlah stresor yang berarti untuknya (Anonim 2005). Model stres McCubbin dan Patterson (1980) menjelaskan perbedaan dalam adapatasi keluarga pada masa kritis, setiap variabel saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Variabel dalam model ini digambarkan sebagai berikut: Faktor AA: sumber stres menumpuk, artinya terdapat lebih dari satu sumber stres utama dalam keluarga. Faktor BB: sumber koping keluarga, yaitu kemampuan keluarga untuk memenuhi
tuntutan-tuntutan
yang
dihadapi
seperti
pendidikan,
kesehatan, kepribadian, ikatan keluarga, dan dukungan sosial. Faktor CC: penilaian atau persepsi terhadap sumber stres, yaitu interprestasi subjek terhadap sumber stres, baik positif dan negatif. Faktor XX: adaptasi keluarga merupakan konsep utama dalam usaha mencapai keseimbangan setelah krisis. Terdapat tiga tingkat analisa, yaitu: individu, keluarga, dan masyarakat. Pada masa krisis, unit keluarga (individu) akan bertahan untuk mencapai keseimbangan dan menggabungkan antara individu dengan keluarga dengan masyarakat (McCubbin dan Thompson 1987). Adaptasi keluarga dicapai melalui hubungan timbal balik, dimana tuntutan dari satu unit keluarga dipenuhi melalui kemampuan dari yang lain, untuk mencapai suatu keseimbangan secara simultan pada dua tingkat interaksi primer antara individu dengan sistem keluarga dan antara sistem keluarga dengan komunitas (Gambar 1).
B A
X
C
25
Gambar 1 Model ABC-X McCubbin. Menurut Atkinson (2000) stres merupakan keadaan seseorang ketika dihadapkan dengan peristiwa yang dirasakan mengancam kesehatan fisik dan psikologisnya. Gejala-gejala stres mencakup mental, sosial, dan fisik. Beberapa gejala stres yang biasanya berlangsung terus menerus dan lebih dari dua minggu antara lain: hilangnya minat terhadap kegiatan yang disenangi, hilangnya selera makan, mengalami perubahan berat badan, lelah, letih, atau kekurangan energi, memiliki perasaan tidak berharga dan tidak memiliki harapan, tidak mampu berkonsentrasi dan berpikir jernih, merasa ingin menangis, tidak berdaya di pagi hari dan bergerak lebih lamban, susah tidur, pusing atau sakit perut, dan mempunyai harapan atau keinginan untuk bunuh diri, lebih senang bermain sendiri, lebih suka mengurung diri di rumah, dan tidak mempunyai kreativitas atau ide (Suriati 2006). Sumber Stres Pada umumnya reaksi anak terhadap suatu situasi berbeda-beda. Ada anak yang mudah sekali merasa cemas oleh situasi tertentu, ada pula yang sama sekali tidak terpengaruh. Dapat dikatakan bahwa ada anak yang memiliki daya tahan terhadap stres yang lemah dan ada yang kuat. Menurunnya kondisi fisik, seringkali sakit untuk jangka waktu lama juga membuat anak tertekan dan daya tahan tubuhnya melemah, sehingga mempengaruhi pula ketahanan mentalnya. Sibling rivalry (persaingan antarsaudara), kelahiran adik juga dapat menimbulkan stres pada anak, karena hal tersebut berpengaruh pada kedudukan anak di rumah (Anonim 2005). Menurut Curtis dan Detert (1981) dalam Turner dan Helms (1986) ada lima kategori penyebab stres yaitu: (1) Sosial budaya, seperti keributan atau kepadatan, (2) Psikologis, seperti kebingungan dan kecemasan, (3) Psikososial, seperti kematian salah satu anggota keluarga atau kehilangan orang dicintai, (4) Biokimia, seperti suhu panas, dingin, dan polusi, (5) Filosofi, seperti kehilangan tujuan dan kehilangan arah. Menurut Needlman (2004) menyatakan bahwa ada beberapa sumber stres yang dialami remaja: 1. Biological stress (stres biologis)
26
Perubahan fisik pada remaja terjadi sangat cepat dari umur 12-14 tahun pada remaja perempuan dan antara 13 dan 15 tahun pada remaja lakilaki. Tubuh remaja berubah sangat cepat, remaja merasa bahwa semua orang melihat dirinya. Tubuh remaja berubah sangat cepat, remaja merasa bahwa semua orang melihat dirinya. Jerawat juga dapat membuat remaja stres, terutama bagi meraka yang mempunyai pikiran sempit tentang kecantikan ideal. Saat yang sama, remaja menjadi sibuk di sekolah, bekerja dan bersosialisasi sehingga dapat membuat remaja kekurangan tidur. Hasil penelitian mengatakan bahwa kekurangan tidur dapat menyebabkan stres. 2. Family stress (stres keluarga) Salah satu sumber stres pada remaja adalah hubungannya dengan orangtua karena remaja merasa bahwa mereka ingin mandiri dan bebas. Namun, dilain pihak mereka juga ingin diperhatikan. 3. School stress (stres sekolah) Tekanan dalam masalah akademik cenderung tinggi pada dua tahun terakhir di sekolah, keinginan untuk mendapat nilai tinggi atau keberhasilan dalam bidang olahraga dimana remaja selalu berusaha untuk tidak gagal. Hal ini semua dapat menyebabkan stres. 4. Peer stress (stres teman sebaya) Stres pada kelompok teman sebaya cenderung tinggi pada pertengahan tahun sekolah. Remaja yang tidak diterima oleh teman-temannya biasanya akan menderita, tertutup, dan mempunyai harga diri yang rendah. Pada beberapa remaja, agar dapat diterima oleh temantemannya, mereka melakukan hal-hal negatif seperti merokok, minum alkohol, dan menggunakan obat terlarang. Beberapa remaja merasa bahwa alkohol, rokok, dan obat-obatan terlarang dapat mengurangi stres. Namun, bagaimanapun juga secara psikologis itu semua tidak dapat mengurangi stres, justru meningkatkan. 5. Social stress (stres sosial) Remaja tidak mendapat tempat pergaulan orang dewasa karena mereka tidak diberikan kebebasan mengungkapkan pendapat mereka, tidak boleh membeli rokok secara legal dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang
27
bayarannya tinggi. Pada saat yang sama mereka tahu bahwa mereka semua nantinya akan mewarisi masalah besar dalam kehidupan sosial, seperti perang, polusi, dan masalah ekonomi yang tidak stabil. Hal ini dapat membuat remaja menjadi stres. Interaksi dengan Ayah Penerapan teori struktural-fungsional pada keluarga sebagai reaksi dari pemikiran-pemikiran tentang melunturnya atau berkurangnya fungsi keluarga. Keluarga sebagai suatu sistem akan mempunyai tugas seperti umumnya dihadapi oleh sistem sosial: menjalankan tugas-tugas, pencapaian tujuan, integritas dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Keluarga inti seperti sistem sosial lainnya mempunyai karakteristik yang berupa diferensiasi peran dan struktur organisasi yang jelas. Parsons menekankan pula pentingnya diferensiasi peran dalam kesatuan peran instrumental-ekspresif. Dalam keluarga harus ada alokasi kewajiban tugas yang harus dilakukan agar keluarga sebagai sistem dapat tetap ada. Levy (1949) diacu dalam Megawangi (1999) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masingmasing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang perannya tidak dapat dipenuhi atau konflik akan terjadi karena tidak adanya kesepakatan siapa yang akan memerankan tugas apa. Apabila ini terjadi, maka keberadaan institusi keluarga tidak akan berkesinambungan. Bronfenbrenner (1981) menyajikan model pandangan dari segi ekologi dalam memahami sosialiasi anak. Model tersebut menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat didalam model yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada disekitarnya, yaitu lingkungan mikrosistem yang merupakan lingkungan terdekat dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga. Teorinya menjelaskan peta interaksi antar lingkungan dengan anak, sebagai hasil interaksi lingkungan mikrosistem, mesosistem,
eksosistem,
dan
makrosistem
di
sekitarnya.
Lingkungan
mesosistem yang berupa hubungan antara lingkungan mikrosistem satu dengan mikrosistem lainnya, misalnya hubungan antara lingkungan keluarga dengan sekolah dan hubungan antara lingkungan keluarga dengan teman sebaya. Lingkungan eksosistem adalah lembaga atau institusi yang mempengaruhi anak, anak secara tidak langsung mempunyai peran secara aktif, misalnya tempat
28
kerja orangtua, lembaga dan lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas melebihi lingkungan mesosistem dan eksosistem yang meliputi struktur sosial budaya suatu bangsa secara umum. Lingkungan kronosistem adalah perubahan dan keberlanjutan yang berlangsung sepanjang waktu dan mempengaruhi kehidupan anak, seperti masuknya anak ke sekolah formal, pubertas, pernikahan, dan lain-lain. Interaksi Ayah dan Anak Peran orangtua khususnya ayah berpengaruh secara berbeda terhadap anak tergantung jenis kelamin anak. Ketidakhadiran ayah secara fisik dan emosi akan berdampak kuat pada perkembangan seorang anak. Di Indonesia sendiri, ayah merupakan kepala keluarga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup keluarga. Ayah memiliki kekuasaan yang dianggap cukup kuat. Ayah sering diposisikan sebagai pengambil keputusan. Beberapa aspek dari peran ayah dapat mempengaruhi masa depan remaja. Ayah yang bersifat mengabaikan anak akan meninggalkan kepedihan pada anak yang dapat memanifestasi anak pada beberapa penyimpangan perilaku (Horne & Kiselica 1999). Secara khusus dalam menjalankan peran sebagai orangtua, ayah sebagai mitra aktif bagi ibu yang merupakan pengasuh utama, memegang peranan sebagai pendorong utama akan kemandirian, prestasi dan ambisi. Sesuai dengan karakteristik gendernya yang pokok, ayah menekankan pengembangan, tantangan, mengendalikan agresivitas, prestasi, mencari posisi yang lebih tinggi, mengembangkan kemandirian, otonomi, dan mengarahkan untuk belajar mengenai kehidupan bermasyarakat. Ayah juga biasanya merupakan prototipe dari maskulinitas baik bagi anak laki-laki maupun perempuannya (Parson 1954 diacu dalam Benson 1968). Orangtua mempunyai peranan pertama dan utama bagi anak-anaknya selama anak-anak belum dewasa dan mampu berdiri sendiri. Untuk membawa anak kepada kedewasaan, orangtua harus memberi teladan yang baik karena anak suka mengimitasi kepada yang lebih tua atau orangtuanya. Dengan teladan yang baik, anak tidak merasa dipaksa. Dalam memberikan sugesti kepada anakanak tidak dengan cara otoriter, melainkan dengan sistem pergaulan sehingga dengan senang anak melaksanakannya (Hasbullah 2008). Interaksi antara ayah dan anak memberikan warna tersendiri dalam pembentukan konsep diri anak. Hal ini dikarenakan karakter pria yang berbeda
29
dengan sosok wanita yang akan memberikan sumbangan unik pada anak. Tidak adanya interaksi dengan ayah secara fisik dan emosional akan berdampak kuat pada perkembangan seorang anak. Pola pengasuhan ibu yang cenderung hatihati akan diseimbangkan oleh ayah. Umumnya ayah lebih relaks, sederhana, dan banyak memberi kebebasan kepada anak untuk bereksplorasi. Keterlibatan ayah dapat membantu anak bersifat tegar, kompetitif, menyukai tantangan, dan senang bereksplorasi. Apabila ibu memerankan sosok yang memberikan perlindungan dan keteraturan, maka ayah membantu anak bebas bereksplorasi dan menyukai tantangan.
Anak yang diasuh oleh keduanya secara optimal,
maka akan terbentuk rasa aman dan percaya dalam diri anak. Interaksi ayah dengan anak mampu meningkatkan kemampuan adaptasi anak. Alhasil, anak tidak mudah stres atau frustasi sehingga lebih berani mencoba hal-hal yang ada di sekelilingnya. Secara tidak langsung bisa membantu anak lebih siap menghadapi perannya di kemudian hari (BKKBN 2007). Teori yang digunakan dalam pendekatan Ilmu Sosiologi adalah hubungan antar manusia harus didahului oleh kontak dan komunikasi. Hubungan antar manusia saling mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya melalui pengertian yang diungkapkan, informasi yang dibagi, dan semangat yang disumbangkan. Model interaksi dari proses komunikasi juga menunjukkan perkembangan peran (role development), pengambilan peran (role-taking) dan pengembangan diri sendiri (development of self) karena manusia berkembang melalui interaksi sosialnya. Komunikasi manusia juga terjadi dalam konteks budaya tertentu dan mempunyai batas-batas tertentu. Keluarga mempunyai interaksi kelompok yang memberikan ikatan bonding (hubungan biologis dan hubungan intergenerasi serta ikatan kekerabatan) yang jauh lebih lama dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya. Interaksi dalam keluarga ini lebih dipandang sebagai suatu seri interaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak (dyadic), sejumlah interaksi antara sub-kelompok keluarga: dyadic, triadic, tetradic, dan sistem hubungan internal keluarga sebagai reaksi terhadap sistem sosial yang lebih luas (Klein dan White 1996 diacu dalam Puspitawati 2006). Interaksi diadik antara ayah dan anak dibagi menjadi dimensi kehangatan dan kekasaran. Interaksi diadik merupakan interaksi dua arah antara dua individu yang mengindikasikan aspek pengaruh individu yang diakibatkan karena adanya kontak interaksi. Hasil penelitian Puspitawati (2006) menunjukkan bahwa lebih dari tiga-perempat jumlah contoh dari sekolah negeri maupun swasta
30
melaporkan adanya interaksi yang hangat dan mendukung dari pihak ayah maupun ibu terhadap anaknya. Sikap tersebut tercermin dalam perilaku ayah maupun ibu dalam hal menanyakan, mendengarkan, menghargai pendapat, dan memberikan kepedulian, mencintai dengan hangat, membantu pekerjaan, tertawa bersama, bertindak sportif dan pengertian, dan menyatakan cinta kepada anaknya. Berbicara mengenai pengasuhan, ditemukan adanya korelasi antara pengasuhan dengan kemampuan kontrol diri anak. Dengan kata lain dinyatakan bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh perlakuan orangtua terhadap dirinya. Orangtua yang menerapkan pengasuhan dengan gaya otoriter menekankan pada latihan kekuasaan daripada memberikan penjelasan, menuntut anak, dan menerapkan disiplin tinggi dan kurang pemberian kasih sayang. Orangtua otoriter
juga
mengedepankan
kepatuhan
dan
pemberian
hukuman,
menggunakan kekuasaan untuk dipatuhi dan tidak mengutamakan ekspresi verbal, sebaliknya keputusan disiplin sebagai putusan yang tidak dapat diganggu gugat (Baumrind 1971). Orangtua yang permisif akan menyebabkan kurangnya kemampuan kontrol diri pada diri anak-anak, dan sebaliknya. Adapun pengasuhan anak dan kurangnya kontrol diri pada anak-anak dapat disebabkan oleh faktor-faktor lainnya seperti kecenderungan genetik, kemiskinan atau lingkungan sosial dan sejarah keluarga (Santrock dan Yuseen 1989). Sementara itu, orangtua dengan gaya demokratis menggabungkan dua pendekatan yaitu orangtua yang memberikan batasan aturan dan memiliki otoritas tinggi, namun sekaligus merupakan orangtua yang hangat, penuh kasih sayang, toleransi, empati, dan memberikan penjelasan dan keterangan yang sesuai dengan pola pikir anak (Hastuti 2008). Rohner
(1986)
menggambarkan
penerimaan
orangtua
dengan
kehangatan, kasih, dan cinta yang diberikan orangtua pada anaknya melalui dua ekspresi: yaitu secara fisik (memeluk, mencium, membelai, dan tersenyum) dan verbal (memuji atau mengatakan hal-hal yang menyenangkan). Penolakan orangtua berarti tidak diberikan kehangatan, kasih sayang, dan cinta dari orangtua kepada anaknya dengan tiga kategori bentuk utama: Hostility dan Agression (sikap permusuhan dan agresi) Secara fisik dengan memukul, menendang, mendorong dan bentuk yang lainnya. Sementara itu, Secara verbal misalnya mengatakan bentuk
31
meremehkan, mengutuk, mengkambinghitamkan, mengatakan kata-kata yang tidak baik atau kejam. Indifference dan Neglect (sikap tidak peduli dan melalaikan) Menuju pada ketidakmampuan orangtua secara fisik dan psikologis dalam memenuhi kebutuhan anaknya, tidak memperhatikan kebutuhan anak serta mengabaikannya. Unindifferentiated Rejection (penolakan terhadap anak) Perasaan tidak dicintai, tidak diinginkan, dan penolakan orangtua yang secara subjektif dirasakan oleh anak tanpa adanya indikator yang jelas secara verbal maupun fisik seperti pada dua bentuk lainnya diatas. Menurut Rohner (1975) anak yang mengalami penolakan akan cenderung untuk lebih tergantung daripada anak yang mengalami penerimaan. Apabila anak mengalami penolakan, maka kebutuhan akan kehangatan dan kasih sayang tidak terpenuhi sehingga ia akan berupaya keras untuk mendapatkan cinta, perhatian, dan menjadi lebih tergantung. Penolakan dari orangtua tampak dalam bentuk sikap permusuhan dan agresif secara aktif atau pasif. Dalam masyarakat, anak yang mengalami penolakan akan memiliki masalah dalam mengatur sikap permusuhan dan tidak dapat mengeskpresikan agresinya. Hasil penelitian Puspitawati (2006) menemukan bahwa kurang dari setengah jumlah contoh sekolah negeri maupun swasta mendapatkan perlakuan dan interaksi yang keras dan kasar dari orangtuanya. Hal ini tercermin dalam perilaku orangtua yang mengancam, membuat perasaan bersalah, memukul, menarik rambut, bertengkar, menangis tersedu-sedu apabila tidak puas dengan perbuatan anaknya, menyindir atau sumpah serapah, berbicara dengan kasar, dan memanggil dengan panggilan yang buruk kepada anaknya. Komunikasi dengan Ayah Walgito (2004) diacu dalam Tarmizi (2008) menyebutkan komunikasi di dalam keluarga sebaiknya merupakan komunikasi dua arah, yaitu saling memberi dan saling menerima di antara anggota keluarga. Di dalam komunikasi dua arah akan terdapat umpan balik, sehingga akan tercipta komunikasi hidup dan komunikasi yang dinamis. Menurut Gunarsa & Gunarsa (2004) anak yang mulai menginjak usia remaja membutuhkan lebih banyak waktu dan perhatian untuk menciptakan interaksi timbal balik, interaksi komunikatif, dan dialogis agar permasalahan yang dihadapi oleh remaja memperoleh bantuan, dorongan dan
32
dukungan dari orangtua untuk mengatasinya. Hal ini bisa dicapai dengan pemeliharaan interaksi baik antara remaja dan orangtua, kesempatan yang cukup untuk berbicara antara orangtua dan remaja. Sikap orangtua mempengaruhi cara orangtua memperlakukan anak dan perlakuan orangtua terhadap anak sebaliknya mempengaruhi sikap dan perilaku anak terhadap orangtua. Pada dasarnya hubungan orangtua-anak tergantung pada sikap orangtua. Sikap orangtua sangat menentukan hubungan keluarga. Sekali hubungan terbentuk, maka cenderung bertahan. Orangtua yang mempunyai kemampuan yang baik tentu akan mempunyai cara, sikap, dan waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan anak. Tingkah laku orangtua dapat mempengaruhi dalam pembinaan
anak. Hubungan yang baik dalam
keluarga antara ayah, ibu, dan anak-anak disamping anggota keluarga akan dapat terjalin dengan baik apabila komunikasi berjalan dengan baik dalam lingkungan keluarga (Effendi et al 1995 diacu dalam Kunarti 2004). Permasalahan
keluarga
yang
semakin
rentan
akhir-akhir
ini
menyebabkan semakin melemahnya kualitas komunikasi antar anggota keluarga sehingga memudarkan fungsi keluarga dalam melindungi anggotanya dari pengaruh pihak luar. Disatu sisi, saat ini pengaruh luar terhadap pribadi keluarga semakin kuat akibat peningkatan teknologi komunikasi di era informasi dan globalisasi (Susanto-Sunario 1995 diacu dalam Puspitawati 2006). Masalah-masalah yang timbul di dalam keluarga, sebenarnya berakar pada kesalahpahaman pengertian dan adanya miskomunikasi. Kesalahankesalahan dalam komunikasi pada umumnya disebabkan dua hal: terbatasnya perbendaharaan kata atau sistem simbol dan terbatasnya daya ingat. Untuk itu, perlu diusahakan agar frekuensi komunikasi terutama di dalam keluarga dilibatkan dan dibiasakan selalu memberikan berita-berita yang benar sehingga terjalin komunikasi yang baik antar masing-masing anggota di dalam keluarga. Dengan demikian, di dalam diri anak akan terbiasa melakukan komunikasi dengan baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial (Tarmizi 2008). Keeratan interaksi dengan Ayah Interaksi yang dekat penting dalam perkembangan remaja karena interaksi ini berfungsi sebagai contoh atau cetakan yang akan dibawa dari waktu ke waktu untuk mempengaruhi pembentukan interaksi baru. Interaksi dekat tidak dengan sendirinya terulang secara terus menerus selama masa perkembangan
33
anak dan remaja. Mutu tiap interaksi juga tergantung sampai tingkatan tertentu dengan siapa interaksi tersebut dibentuk. Jadi, sifat dasar dari interaksi orangtua dengan remaja tidak hanya bergantung pada apa yang terjadi dalam interaksi di masa remaja. Interaksi dengan orangtua selama masa kanak-kanak yang panjang dibawa terus dan mempengaruhi, paling tidak sampai tingkat tertentu, sifat interaksi orangtua dengan remaja, dan masa yang panjang dalam interaksi orangtua-anak juga mungkin mempengaruhi (Santrock 2002). Anak perempuan yang dekat dengan ayahnya kelak memiliki keinginan berprestasi tinggi dan berani bersaing. Persepsi ayah saat memandang anak perempuannya akan menumbuhkan konsep diri, merasa layak dihormati, dan memiliki kompetensi. Anak perempuan akan cenderung terhindar dari interaksi pacaran yang tidak sehat, karena bisa menghargai diri sendiri seperti halnya ayah menghargainya. Begitu pun, bila ayah dekat dengan anak lelakinya, kemungkinan anak tersebut terjebak dalam masalah kenakalan remaja sangat kecil peluangnya. Ini disebabkan anak lelaki meniru model acuannya, yaitu ayahnya sendiri yang membantu anak berkembang. Anak akan lebih mudah menyerap nilai-nilai yang diberikan sang ayah pada dirinya (Rohman 2008). Kualitas Interaksi Ayah dan Anak Intensitas jalinan interaksi antara orangtua dan anak dapat menunjukkan perbedaan eratnya keterikatan antara anak dengan orang dewasa yang ada dalam rumah tangga. Rasa cemas yang sering dialami anak dapat meningkatkan intensitas keterikatan, karena anak dapat memperoleh perasaan aman kedekatan dengan ibu dan pengasuhnya. Akan tetapi, interaksi antara orangtua dan anak yang terlalu dekat dapat menyebabkan anak tidak mau lepas dan anak akan menjadi sangat bergantung pada orangtuanya. Sebaliknya jika interaksi antara keduanya renggang atau orangtua bersikap acuh tak acuh terhadap anaknya menyebabkan interaksi menjadi jauh (Gunarsa & Gunarsa 2004). Adelia (2006) mengemukakan kualitas interaksi dengan ibu bukan merupakan peramal yang sama kuat mengenai keberhasilan atau kegagalan anak dibandingkan dengan kualitas interaksi anak dengan ayah. Peran aktif ayah dalam mendidik anak ternyata menimbulkan perbedaan yang sangat dahsyat bagi anak-anak dan bisa menentukan masa depan mereka. Ketersediaan waktu ayah akan terbatas karena peran utama ayah dalam keluarga sebagai pencari nafkah. Namun, kualitas interaksi dengan anak harus lebih diutamakan daripada
34
kuantitas interaksi. Tindakan seperti permasalahan dalam ruang lingkup pekerjaan sebaiknya tidak dibawa ke rumah. Harapan Ayah Harapan adalah persepsi atas kemungkinan pemenuhan kebutuhan tertentu dari seseorang berdasarkan atas pengalaman masa lampau. Persepsi seseorang akan menentukan tindakan. Pandangan atau persepsi orangtua mengenai keberadaan anak dalam kehidupannya, akan menentukan tindakan atau pola asuhnya. Harapan terhadap anak disebut nilai anak. Nilai anak bisa dilihat dari nilai ekonomi, sebagai investasi masa tua atau bahkan investasi masa kini. Dari nilai religius anak dapat dipandang sebagai amanah Yang Maha Pencipta Kehidupan sehingga harus dijaga sebaik-baiknya dan menyiapkan mental untuk suatu saat diambil Yang Maha Kuasa. Dari nilai sosial, kehadiran anak dapat dipandang bahwa anak prestise yang menyiratkan kesempurnaan pasangan, kesuburan, dan kesehatan (Sunarti 2004). Salah satu penyebab terjadinya stres pada anak adalah rasa khawatir dari orangtua mengenai prestasi anak (Anton 2006). Orangtua yang sering menuntut akan semakin memperbesar rasa stres pada diri anak, misalnya orangtua yang ambisius dan menuntut anak agar prestasi akademiknya baik atau menjadi juara di sekolah, bekerja lebih rajin dari sewajarnya, dan mengikuti berbagai kursus yang padat (Anonim 2003). Kecemasan orangtua akan prestasi anak membuat anak diberi berbagai kursus tanpa memperhitungkan waktu untuk bermain dan bersosialisasi, sehingga membuat anak merasa jenuh dengan rutinitasnya dan prestasi menjadi menurun (Ruffin 2001). Menurut Awal (2008) penyebab remaja stres biasanya terkait dengan halhal yang mereka harapkan seperti bermain musik, berorganisasi, atau olahraga. Namun, orangtua terkadang tidak melihat bahwa hal-hal dilakukan adalah positif. Remaja sendiri sangat perhatian terhadap kata-kata orang lain terhadap dirinya. Misalnya, orangtua berharap anaknya berprestasi bagus di sekolah, tetapi kenyataannya anak akan menjadi stres apabila tidak mampu memenuhi harapan tersebut. Tingginya harapan terhadap anak merupakan salah satu penyebab perilaku orangtua yang memperlakukan anaknya sebagai orang dewasa mini. Ketidakpuasan atas setiap keberadaan bahkan prestasi anak, melanda dan mendominasi interaksi orangtua dengan anak. kondisi tersebut seringkali diikuti minimnya toleransi orangtua, dan akibatnya orangtua mudah memberikan sanksi
35
dan hukuman sehingga anak dibiarkan membesarkan dirinya sendiri dan tidak dicintai apa adanya (Sunarti 2004). Freeberg dan Payne (1967) diacu dalam Handayani (2004), mengindikasikan bahwa ayah dari anak-anak yang berada di sekolah dasar lebih menuntut kenyamanan atau kecocokan dan kepatuhan dibanding pada anak yang berada di sekolah menengah. Pada anak usia sekolah ayah lebih menekankan pada bekal persiapan mereka memasuki lingkungan masyarakat, sedangkan pada anak sekolah menengah ayah merencanakan masa depan anak dengan bekal yang sudah diberikan sebelumnya.
Prestasi Belajar Kemampuan intelektual siswa sangat menentukan keberhasilan siswa dalam memperoleh prestasi. Untuk mengetahui berhasil tidaknya seseorang dalam belajar maka perlu dilakukan suatu evaluasi, tujuannya untuk mengetahui prestasi yang diperoleh siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung. Adapun prestasi dapat diartikan hasil diperoleh karena adanya aktivitas belajar yang telah dilakukan. Sehubungan dengan prestasi belajar, Poerwanto (1986) diacu dalam Ridwan (2008) memberikan pengertian prestasi belajar yaitu hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam rapor sementara itu, menurut Nasution (1996) diacu dalam Ridwan (2008) prestasi belajar adalah kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, afektif, dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut. Prestasi belajar seseorang dinyatakan dalam bentuk nilai atau rapor setiap
bidang
studi
setelah
mengalami
proses
belajar
mengajar.
Prestasi belajar siswa dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil dari evaluasi dapat memperlihatkan tentang tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa. Karakteristik Anak Jenis Kelamin Jenis kelamin anak akan mempengaruhi harapan orangtua karena orangtua dan lingkungan sosial mempunyai pengharapan yang berbeda bagi
36
anak laki-laki dan perempuan. Anak perempuan sering distereotipekan kurang kompeten daripada laki-laki. Hal ini dapat memicu anak-anak perempuan ke arah kurang rasa percaya diri dibanding laki-laki dalam kemampuan intelektual sehingga mereka sering diwujudkan dalam bentuk depresi dan kebiasaan makan yang salah (Santrock 2002). Hasil penelitian Laela (2008) menunjukkan bahwa anak perempuan mempunyai jenis, jumlah, dan alokasi waktu kegiatan di luar sekolah lebih banyak dibanding anak laki-laki.
Urutan Kelahiran Urutan kelahiran memiliki daya tarik tersendiri untuk dijadikan tolok ukur perilaku remaja dan diharapkan mereka memainkan peran tersebut dengan baik. Anak pertama sering digambarkan sebagai anak yang lebih berorientasi dewasa, penolong, mengalah, lebih cemas, mampu mengendalikan diri, dan kurang agresif dibandingkan dengan saudaranya. Tuntutan orangtua dan standar yang tinggi yang ditetapkan bagi anak sulung dapat membuat mereka meraih keberhasilan sekolah dan pekerjaan yang lebih baik dibanding saudaranya. Namun demikian, beberapa tekanan yang sama diberikan kepada anak sulung untuk lebih berhasil dapat memberikan rasa bersalah, lebih cemas, kesulitan menghadapi situasi yang menimbulkan stres, dan lebih banyak berkonsultasi ke klinik bimbingan (Santrock 2002). Anak bungsu biasanya dianggap sebagai ”bayi” di dalam keluarga walaupun sudah tidak bayi lagi, menghadapi resiko menjadi terlalu tergantung, anak yang di tengah cenderung lebih diplomatis, seringkali berperan sebagai penengah dalam pertengkaran (Smith 1982 dalam Santrock 2002). Selain itu, anak tunggal populer dengan konsep anak manja denga sifat-sifat buruk, seperti tergantung pada orangtua, kurang pengendalian diri, dan sifat ingin menang sendiri. Kepribadian Kepribadian atau "personality" merupakan sifat dan tingkah laku yang membedakannya dengan orang lain. Kepribadian seseorang dibentuk dan terbentuk oleh faktor internal dan eksternal. Menurut Port (1897) diacu dalam Tahsinul (2007), kepribadian adalah organisasi dinamis yang ada pada
37
seseorang di dalam suatu sistem kejiwaan yang menentukan keunikan penyesuaian dengan lingkungannya. Jung (1971) diacu dalam Tahsinul (2007) menyatakan bahwa ada dua kepribadian yaitu ekstrovert dan introvert. Ekstrovert adalah kepribadian yang lebih dipengaruhi oleh dunia objektif, orientasinya terutama tertuju ke luar. Pikiran, perasaan, serta tindakannya lebih banyak ditentukan oleh lingkungan. Sementara itu, introvert adalah kepribadian yang lebih dipengaruhi oleh dunia subjektif, orientasinya tertuju ke dalam sehingga bila tidak dapat menyelesaikan masalah, maka individu tersebut akan menekan masalahnya dan membiarkan masalah menumpuk. Hal ini akan memicu timbulnya stres. Ekstrovert dan introvert digambarkan oleh Eysenck dan Eysenck (1975) diacu dalam Tahsinul (2007) adalah kepribadian yang khas dari ekstrovert adalah mudah bergaul, suka pesta, mempunyai banyak teman, membutuhkan teman untuk bicara, dan tidak suka membaca atau belajar sendirian, sangat membutuhkan kegembiraan, mengambil tantangan, sering menentang bahaya, berperilaku tanpa berpikir terlebih dahulu, dan biasanya suka menurutkan kata hatinya, gemar akan gurau-gurauan, selalu siap menjawab, dan biasanya suka akan perubahan, riang, tidak banyak pertimbangan (easy going), optimis, serta suka tertawa dan gembira, lebih suka untuk tetap bergerak dalam melakukan aktivitas, cenderung menjadi agresif dan cepat hilang kemarahannya, semua perasaannya tidak disimpan dibawah kontrol sehingga stres yang dihadapi akan cenderung dapat diselesaikan dengan baik, dan tidak selalu dapat dipercaya. Sementara itu, hal yang khas dari introvert adalah pendiam, pemalu, mawas diri, gemar membaca, suka menyendiri dan menjaga jarak kecuali dengan teman yang sudah akrab, cenderung merencanakan lebih dahulu – melihat dahulu – sebelum melangkah, dan curiga, tidak suka kegembiraan, menjalani kehidupan sehari-hari dengan keseriusan, dan menyukai gaya hidup yang teratur dengan baik, menjaga perasaannya secara tertutup, jarang berperilaku agresif, tidak menghilangkan kemarahannya, dapat dipercaya, dalam beberapa hal pesimis, dan mempunyai nilai standar etika yang tinggi. Kepribadian yang dimilki setiap orang berbeda-beda, untuk itu dalam mengatasi tingkat stres yang dialami siswa juga berbeda-beda. Kepribadian yang dimiliki tersebut dapat mempengaruhi tingkat stres yang dilakukannya. Semakin cenderung kearah tipe kepribadian ekstrovert, maka kemungkinan besar semakin baik juga mengatasinya (Alvin 2007).
38
Tujuan Hidup dan Cita-cita Minat remaja pada pekerjaan sangat mempengaruhi besarnya minat mereka terhadap pendidikan. Pada umumnya remaja lebih menaruh minat pada pelajaran-pelajaran yang nantinya dapat bermanfaat dalam bidang pekerjaan yang dipilihnya. Remaja terutama anak sekolah menengah ke atas, mulai memikirkan masa depan dengan bersungguh-sungguh. Anak laki-laki lebih bersungguh-sungguh dalam hal pekerjaan dibandingkan anak perempuan yang memandang pekerjaan sebagai pengisi waktu luang sebelum pernikahan (AlMighwar 2006). Cita-cita merupakan perwujudan dari minat, yang berkaitan dengan masa depan yang direncanakan seseorang dalam menentukan pilihannya, baik yang berkaitan dengan masalah teman hidup, pekerjaan, jenjang pendidikan, atau hal lain yang berkaitan dengan dirinya kelak. Selama masa remaja, minat dan citacita berkembang. Minat atau cita-cita remaja awal terhadap sekolah dan jabatan banyak dipengaruhi oleh minat orangtua dan kelompoknya. Remaja awal akan berminat pada sekolah yang menghantarkannya ke perguruan tinggi dan menuju cita-cita jabatannya jika orangtua dan kelompoknya berorientasi kesana. Ane Roe dalam Al-Mighwar (2006) menyatakan bahwa pola pendidikan orangtua mempunyai pengaruh yang besar terhadap pilihan jabatan. Pada masa remaja akhir, minat dan cita-cita pendidikan atau jabatan telah mantap sehingga faktor akhir yang mempengaruhi pemilihan cita-cita yaitu minat dan aspirasi sendiri, minat dan aspirasi orangtua, serta kesan-kesan teman sebaya. Karakteristik Keluarga Besar Keluarga Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2000), kepadatan anggota keluarga dapat mengganggu pola dan interaksi antar anggota keluarga sehingga muncul berbagai reaksi seperti otoriter, acuh tak acuh, sikap bersaing dan tersisih. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan yang berakibat lebih buruk pada perilaku antar anggota keluarga itu sendiri. Makin besar anggota keluarga maka jumlah interaksi antar personal yang terjadi akan semakin banyak dan kompleks. Keluarga besar yang terdiri dari banyak orang akan membentuk interaksi yang semakin majemuk dan kemungkinan terjadi ketegangan antara anggota keluarga menjadi lebih besar.
39
Kondisi ini pada akhirnya dapat memperbesar stres dalam keluarga (Guhardja et al 1992). Umur Orangtua Semakin
bertambahnya
usia
seseorang
maka
semakin
besar
kemungkinan individu untuk lebih mudah mengasumsikan suatu keadaan sebagai situasi yang penuh tekanan. Namun, umur saat pernikahan juga merupakan faktor yang dapat menentukan kualitas pengasuhan anak. Pasangan yang menikah muda relatif lebih rentan terhadap adanya badai dan tantangan kehidupan keluarga. Hal ini berhubungan dengan kestabilan emosi dan kemampuan pengendalian emosi diri. Individu yang relatif muda umumnya belum memiliki kematangan untuk mengendalikan diri sehingga menyulitkan untuk menyesuaikan diri dengan pasangan hidupnya dan mempengaruhi dalam membesarkan anak. Ketidakstabilan ekonomi dan emosi, tekanan rasa malu, dan ketidaksiapan menjadi orangtua adalah faktor utama yang menentukan kualitas pengasuhan yang diberikan kepada anaknya. Pengasuhan yang tidak berkualitas kemungkinan akan membentuk anak yang anti sosial, yaitu remaja yang stres, terlibat narkoba, minum alkohol, dan terlibat dalam perkelahian antar geng (Hastuti 2008). Pendidikan Orangtua Tingkat
pendidikan
seseorang
yang
dicapai
seseorang
akan
mempengaruhi dan membentuk cara, pola dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian. Hal tersebut merupakan suatu kesatuan yang dapat menjadi faktor penentu dalam komunikasi keluarga. Oleh karena itu, meningkatnya pendidikan secara langsung ataupun tidak langsung akan menentukan baik buruknya interaksi antar anggota keluarga (Gunarsa dan Gunarsa 2000). Orangtua berpendidikan tinggi cenderung lebih mengembangkan diri dan pengetahuannya, lebih terbuka untuk mengikuti perkembangan masyarakat, dan perkembangan informasi dibandingkan dengan orangtua berpendidikan rendah. Mereka juga sanggup memberikan rangsangan-rangsangan fisik maupun mental sejak dini, mereka juga akan melatih anak-anaknya untuk memiliki sikap sosial yang baik, dan membiasakan untuk hidup disiplin, sehingga anak-anak memiliki sikap atau nilai sosial yang tinggi (Gunarsa dan Gunarsa 2004). Pendapatan Keluarga
40
Salah satu hal yang penting dalam kehidupan berkeluarga adalah keadaan sosial ekonomi sehingga akan berpengaruh pada kehidupan mental dan fisik individu dalam keluarga tersebut. Ekonomi keluarga akan digunakan salah satunya untuk pemeliharaan anak dalam keluarga. Adanya kondisi keluarga yang memiliki tingkat pendapatan yang cukup menyebabkan orangtua lebih mempunyai waktu untuk membimbing anak karena orangtua tidak lagi memikirkan mengenai keadaan ekonomi yang kurang. Sebaliknya, adanya kondisi keluarga yang memiliki tingkat pendapatan yang rendah menyebabkan orangtua memperlakukan anaknya dengan kurang perhatian, penghargaan, pujian untuk berbuat baik yang mengikuti peraturan, kurangnya latihan dan penanaman nilai moral (Gunarsa dan Gunarsa 2004). Fasilitas Belajar Fasilitas belajar yang sangat diperlukan untuk menunjang prestasi belajar yang semaksimal mungkin diantaranya adalah meja, kursi, alat tulis, papan tulis, alat peraga, kelas yang memenuhi syarat, laboratorium dan perpustakaan (Hakim 2005). Beberapa faktor yang juga mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar adalah tempat tersendiri, tenang dan memiliki penerangan yang baik. Penerangan yang tidak baik dapat menyebabkan kelelahan mata sehingga dapat mengganggu proses belajar. Selain itu, perlengkapan belajar, alat-alat yang tidak lengkap dapat membuat anak frustasi, suasana ini mempengaruhi prestasi belajar anak (Walgito 2004). Lingkungan Sekolah Interaksi dengan Guru Untuk mendapatkan prestasi akademik yang optimal banyak dipengaruhi komponen-komponen belajar-mengajar. Pencapaian prestasi akademik perlu di dukung oleh interaksi yang baik antara guru dengan muridnya. Guru merupakan contoh teladan bagi siswanya, sehingga sikap dan perilaku guru perlu diperhatikan. Interaksi guru dengan anak didik di dalam proses belajar mengajar merupakan faktor yang sangat menentukan. Bagaimanapun baiknya bahan pelajaran yang diberikan, sempurnanya metode yang digunakan, namun jika interaksi guru dengan anak didik merupakan interaksi yang tidak harmonis, maka dapat menciptakan suatu outcome yang tidak diinginkan (Sardiman 2004). Perkembangan masa remaja menuntut peran guru yang lebih baik lagi, karena remaja pada umumnya suka mengeluh tentang sekolah dan larangan-
41
larangan, pekerjaan rumah, kursus, makan, cara pengelolaan sekolah, dan bersikap kritis terhadap sikap dan cara mengajar guru. Salah satu faktor yang sering dianggap menurunkan motivasi siswa remaja untuk belajar adalah materi pelajaran dan guru yang menyampaikan pelajaran itu. Mengenai mata pelajaran, sering dikeluhkan para siswa sebagai membosankan, terlalu sulit, tidak ada manfaatnya sehari-hari, terlalu banyak bahannya untuk waktu yang terbatas, dan sebagainya (Sarwono 2007). Meskipun demikian sebagian remaja juga dapat menyesuaikan diri di sekolah, baik dengan masalah sekolah, akademik, dan lama kelamaan mereka menyukai sekolah. Besarnya minat pendidikan dipengaruhi oleh minat pada pekerjaan atau melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Jika tidak terdapat minat pendidikan biasanya ditandai dengan rendahnya prestasi anak, bekerja dibawah kemampuan pada pelajaran yang tidak disukainya. Faktor yang mempengaruhi minat sekolah diantaranya adalah teman sebaya, sikap orangtua, nilai-nilai gagal atau berhasil, sikap terhadap guru, keberhasilan ekstrakurikuler, dan derajat dukungan sosial diantara teman sekelasnya (Atkinson, Atkinson & Hilgard 1983). Interaksi dengan Teman Sebaya Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja mempunyai peranan penting bagi perkembangan kepribadiannya, salah satunya adalah membantu remaja untuk memahami identitas diri (jati diri) selain sebagai pemenuhan salah satu tugas perkembangannya yaitu mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan bergaul dengan teman sebaya. Remaja yang gagal dalam mengembangkan rasa identitasnya akan kehilangan arah dan bisa berdampak pada kecenderungan melakukan perilaku menyimpang yang berarti perilaku tersebut tidak sesuai dengan norma sosial yang ada (Hurlock 1980). Pada banyak remaja, teman sebaya dipandang sebagai aspek yang terpenting dalam kehidupan mereka. Beberapa remaja akan melakukan apapun, agar dapat dimasukkan sebagai anggota. Bagi mereka, dikucilkan berarti stres, frustasi, dan kesedihan. Teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Perbedaan usia tetap akan terjadi walaupun pembagian kelas di sekolah tidak berdasarkan usia maupun jika para remaja dibiarkan untuk menentukan sendiri komposisi dari lingkungan sosial mereka (Hurlock 1980).
42
Tidak adanya panutan untuk mencari teman-teman yang baru biasanya remaja membentuk kelompok geng. Faktor-faktor yang mendorong siswa membentuk geng adalah mereka kurang percaya diri sendiri atau kepada orang lain, untuk menghadapi pergaulan keras yang ia terima di rumah atau di sekolah, menderita suatu penyakit, menghadapi banyak konflik dan masalah, dililit kesulitan ekonomi, dan dijauhkan dari pergaulan baik di rumah maupun di sekolah (Mahfuzh 2005). Interaksi dengan Sekolah Sekolah mempunyai peranan strategis sebagai institusi penyelenggara kegiatan pendidikan. Keberadaan sekolah menjadi institusi sosial yang menentukan pembinaan pribadi anak dan sosialiasi serta pemberdayaan suatu bangsa. Sekolah menciptakan lingkungan pembelajaran baru bagi pelajar, termasuk perpustakaan, lapangan olahraga, laboratorium sains, taman, dan tempat bermain (Syafaruddin 2002). Menurut Hasbullah (2008), faktor lingkungan sekolah adalah faktor yang penggunaannya dirancang sesuai hasil belajar yang diharapkan. Faktor lingkungan sekolah terdiri dari kurikulum, program pendidikan, sarana dan fasilitas, serta guru atau tenaga pengajar. a. Kurikulum Kurikulum sekolah yang belum mantap dan sering ada perubahan-perubahan dapat mengganggu proses belajar mengajar. Kurikulum yang baik, jelas, dan mantap memungkinkan siswa dapat berkonsentrasi dalam belajar dengan baik. b. Program Pendidikan Program pendidikan dan pengajaran di sekolah yang telah dirinci dalam suatu kegiatan memudahkan siswa dalam merencanakan dan mempersiapkan diri untuk mengikuti program tersebut . c. Sarana dan fasilitas Keadaan gedung atau tempat siswa belajar, tempat duduk, penerangan, ventilasi, dan buku-buku yang kurang memadai dapat mempengaruhi keberhasilan belajar. d. Guru atau tenaga pengajar Kelengkapan jumlah tenaga pengajar, kualitas guru, dan cara guru mengajar (terlalu cepat, suara kurang keras, penguasaan materi kurang baik,
43
penguasaan kelas rendah , motivasi rendah, dan terlalu banyak jam mengajar) mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar. Lingkungan sekolah yang kurang menyenangkan dan membosankan dapat mempengaruhi prestasi akademik, tingkat stres, dan kepribadian anak. Anak yang kurang memperoleh perhatian memiliki kecenderungan menjadi anak yang pendiam, kurang percaya diri, dan mudah putus asa (Hurlock 1980). Hasil penelitian Puspitawati (2006) menggambarkan bahwa sekolah yang disiplin siswanya rendah, fasilitas sekolah terbatas, dan tidak memadai seperti sarana dan prasarana olahraga, interaksi dengan guru yang kurang baik, serta pengaruh teman yang tinggi terbukti memiliki kecenderungan menghasilkan pelajar yang nakal.
44
KERANGKA PEMIKIRAN Salah satu ciri yang paling sering muncul pada remaja untuk menjalani penanganan psikologisnya adalah stres. Stres pada remaja yang duduk dibangku sekolah dapat dilanda ketika mereka menghadapi kenaikan kelas atau Ujian Nasional (UN). Santrock dalam Seligman (1975) mengemukakan bahwa stimulus aversif atau tidak menyenangkan, perasaan putus asa, dan situasi yang tertekan dapat menimbulkan gejala stres. Standar kelulusan UN 2009 dinaikkan menjadi rata-rata minimal 5.50 dari sebelumnya 5.25 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan. Sementara itu, dari masing-masing mata pelajaran yang diujikan nilai minimal 4.00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4.25 untuk mata pelajaran lainnya (Wibowo 2009). Tingkat stres pada remaja dapat dipengaruhi oleh faktor yang bersifat internal dan eksternal, yaitu dirinya sendiri, keluarga, dan lingkungan sekolah (Handayani 2003). Stres dari segi karaktersitik anak dapat ditinjau dari umur, jenis kelamin, urutan kelahiran, kepribadian, dan tujuan hidup. Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam berinteraksi. Dalam keluarga setiap individu membutuhkan pengayoman, perlindungan dan rasa kasih sayang untuk dapat mengembangkan dirinya secara optimal (Megawangi 1999). Karakterisitik keluarga yang terdiri dari besar keluarga, umur, pendapatan, pekerjaan, pendidikan, dan fasilitas belajar akan mempengaruhi penerapan interaksi di lingkungan keluarga terutama ayah kepada anaknya seperti interaksi dengan ayah, komunikasi dengan ayah, keeratan dengan ayah, kualitas interaksi ayah, dan harapan ayah yang selanjutnya secara langsung maupun tidak langsung diduga memiliki kaitan dengan tingkat stres remaja. Interaksi di lingkungan sekolah dan prestasi belajar diduga ikut mempengaruhi tingkat stres remaja. Remaja yang gagal dalam mengembangkan rasa identitas di lingkungan sosial akan kehilangan arah dan bisa berdampak pada kecenderungan melakukan perilaku menyimpang yang berarti perilaku tersebut tidak sesuai dengan norma sosial yang ada (Pratiwi 2007). Secara umum, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis interaksi antara remaja, ayah, dan sekolah serta hubungannya dengan tingkat stres dalam menghadapi Ujian Nasional (UN) yakni ditinjau dari segi karakteristik anak, karakteristik keluarga, interaksi anak, tingkat stres, dan prestasi belajar.
45
Karakteristik Anak Umur Jenis Kelamin Urutan anak Kepribadian Cita-cita dan tujuan
Interaksi Anak dengan Ayah dan Sekolah Ayah Hubungan ayah dengan anak Frekuensi komunikasi ayah dengan anak Keeratan hubungan ayah dengan anak Kualitas hubungan Harapan ayah
Prestasi Belajar Nilai Rapor semester 5
Karakteristik keluarga Umur Besar Keluarga Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Fasilitas belajar
Karakteristik Lingkungan Sekolah
Tingkat Stres Menghadapi UN SMA Negeri SMA Swasta
Sekolah Interaksi dengan guru Interaksi dengan teman sebaya Interaksi dengan sekolah
Aktivitas dan Alokasi Belajar
Gambar 2 Kerangka pemikiran interaksi antara remaja, ayah, dan sekolah serta hubungannya dengan tingkat stres menghadapi Ujian Nasional.
46
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan desain penelitian cross sectional study, yakni penelitian dilakukan pada satu waktu tertentu. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 3 dan SMA Insan Kamil, Kota Bogor, Jawa Barat. Lokasi penelitian dilakukan di dua tempat secara simple random sampling berdasarkan kategori sekolah favorit di kota tersebut. Pengumpulan data dilakukan selama 8 minggu sebelum Ujian Nasional (20-24 April 2009) sampai Juni 2009.
Purposive
Pemilihan Kota Bogor
SMA Negeri 3 Bogor
SMA Insan Kamil
Siswa Kelas III IPA
Siswa Kelas III IPA
Sisiwa kelas II Siswa yang masih memiliki ayah
SMA Negeri 3 Bogor Total 38 Orang Laki-laki= 19 Orang Perempuan= 19 Orang
SMA Insan Kamil Bogor Total 38 Orang Laki-laki= 19 Orang Perempuan= 19 Orang
Sampel Gugus Bertahap Gambar 3 Cara pengambilan contoh.
Simple random sampling
47
Contoh dan Cara Penarikan Contoh Kriteria contoh dalam penelitian ini adalah anak yang berumur 16-18 tahun atau remaja pertengahan (remaja/ siswa kelas III SMA). Alasan pemilihan contoh ini adalah karena anak remaja atau siswa kelas III SMA sedang menghadapi Ujian Nasional (UN). Pada tahap awal penentuan contoh dilakukan proses
penyaringan
siswa
melalui
penyebaran
kuisioner
untuk
mengidentifikasikan siswa yang memiliki ayah. Dari proses penyaringan tersebut, ternyata hanya 81 siswa yaitu 41 siswa dari SMA Negeri 3 Bogor dan 40 siswa dari SMA Insan kamil yang mengisi kuisioner dengan benar dan lengkap beserta rapor semester akhir. Selanjutnya 81 siswa tersebut diambil dengan proporsi jenis kelamin yang sama baik laki-laki maupun perempuan sehingga total contoh dalam penelitian ini adalah sebanyak 76 siswa (Gambar 2). Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi identitas pribadi, karakteristik sosial ekonomi keluarga, interaksi anak (lingkungan keluarga (ayah) dan lingkungan sekolah), prestasi belajar, dan tingkat stres contoh. Data sekunder yang digunakan adalah keadaan umum sekolah berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Kota Bogor. Data sekunder diperoleh dari website sekolah dan keterangan pihak sekolah serta rapor siswa. Reliabilitas variabel dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data Jenis Data Primer
Variabel Karakteristik Anak: 1. Umur
Alat Ukur dan Skala Data Kuisioner/wawancara Rasio
2. Jenis Kelamin
Nominal
3. Urutan Kelahiran
Ordinal
4. Kepribadian
Ordinal
5. Cita-cita dan Tujuan
Ordinal
Karakteristik Keluarga: 1. Umur
Kuisioner Rasio
2. Besar Keluarga
Rasio
3. Pendapatan
Ordinal
4. Jenis Pekerjaan
Nominal
5. Pendidikan 6. Fasilitas Belajar
Ordinal Nominal
48
Tabel 1 (Lanjutan) Jenis Data
Sekunder
Variabel Interaksi Anak dengan ayah
Alat Ukur dan Skala Data Kuisioner
Interaksi dengan ayah
Ordinal
Komunikasi dengan ayah
Ordinal
Keeratan dengan ayah
Ordinal
Kualitas interaksi
Ordinal
Harapan ayah
Ordinal
Lingkungan Sekolah Interaksi dengan guru
Kuisioner Ordinal
Interaksi dengan teman Interaksi dengan sekolah
Ordinal Ordinal
Tingkat Stres
Kuisioner
Tingkat stres remaja
Ordinal
Gambaran Umum Lokasi Data Siswa Prestasi Belajar
Data Dinas Pendidikan dan Data Sekolah Rapor siswa
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh selanjutnya akan diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry data ke komputer, cleaning, dan analisis data. Pada awalnya data dari kuisioner ditransfer ke dalam program Microsoft Excel dan SPSS for windows versi 11,5. Analisis data yang dilakukan meliputi statisitika deskriptif (mean, minimum, maksimum, dll) dan inferensia (uji beda, korelasi, dan regresi). Tabel 2 menyajikan berbagai variabel yang diteliti dan cara pengolahan datanya. Tabel 2 Variabel dan cara pengolahan Variabel Karakteristik anak ● Umur ● Jenis Kelamin Urutan kelahiran
Kategori
1.Laki-laki 2. Perempuan 1. Anak Pertama
Dasar pengukuran Sebaran contoh Sebaran contoh Sebaran contoh
2. Anak Tengah 3. Anak Bungsu 4. Anak Tunggal Kepribadian (adaptasi dari
1. Introvert
Standar deviasi
49
Eka Aprilianti 2007)
2. Ekstrovert
Cita-cita dan Tujuan
1. Tidak Penting (<40)
Standar deviasi
2. Cukup Penting (40-48) 3. Sangat Penting (>48)
Tabel 2 (Lanjutan) Variabel Karakteristik Keluarga ● Umur Papalia dan Olds (1981)
● Besar Keluarga
Kategori 1. 18-40 tahun (Dewasa muda) 2. 41-65 tahun (dewasa madya) 3. >65 tahun (dewasa lanjut) 1.Kecil ( ≤ 4 orang) 2. Sedang (5-6 orang) 3. Besar ( ≥ 7 orang)
Pendidikan Orangtua
Sebaran contoh
BKKBN 1997
Sebaran contoh
Pekerjaan Orangtua Pekerjaan ayah Pekerjaan ibu
Dasar pengukuran
1. Pegawai Negeri 2. Karyawan BUMN 3. ABRI/TNI/Polisi 4. Wiraswasta 5. Karyawan Swasta 6. Pensiunan 7.Buruh 8. Ibu Rumah Tangga 9. Pelajar/mahasiswa 10. Lainnya … 1. Tidak Sekolah
Sebaran contoh
2. SD 3. SMP 4. SMA 5. Akademi/Diploma 6. PT ● Pendapatan Keluarga (Utama) Pendapatan ayah Pendapatan ibu Pendapatan anggota lain
Sebaran contoh 1. < Rp 2.5 juta 2. 2 500 001 – 5 juta 3. 5 000 001 –7.5 juta 4. 7 500 001 – 10 juta 5. > 10 juta
Fasilitas Belajar Tingkat stres remaja (dikembangkan dari Eka Aprilianti 2007) Tidak Pernah (skor 1)
Sebaran contoh
Rendah (<43)
Standar deviasi
50
Jarang (skor 2) Sering (skor 3) Interaksi keluarga (ayah) Interaksi dengan ayah (dikembangkan dari Puspitawati 2006) Komunikasi dengan ayah (dikembangkan dari Puspitawati 2006) Keeratan dengan ayah (dikembangkan dari Puspitawati 2006) Kualitas interaksi (dikembangkan dari Puspitawati 2006)
Sedang (43-60) Tinggi (>60) Kurang baik (< 53) Cukup baik (53-71) Sangat baik (≥ 72)
Standar deviasi
Kurang baik (<16) Cukup baik (16 -29) Sangat baik (≥ 30)
Standar deviasi
Kurang baik (< 25) Cukup baik (25 -36) Sangat baik (≥ 37)
Standar deviasi
Kurang puas (< 5) Cukup puas (5 -8) Sangat puas (≥ 9)
Standar deviasi
Tabel 2 (Lanjutan) Variabel
Kategori
● Harapan ayah
Dasar pengukuran
Rendah (<43) Sedang (43-53) Tinggi (≥53) Interaksi di lingkungan sekolah Kurang baik(<19) Interaksi dengan guru Cukup baik (19 -24) Sangat baik (≥ 25) Interaksi dengan teman Kurang baik(< 21) Cukup baik (21 -27) Sangat baik (≥ 28) Kurang baik(< 14) Interaksi dengan Cukup baik (14 -21) sekolah Sangat baik (≥ 22)
Standar deviasi
Prestasi Akademik
Nilai standar yang diberikan sekolah Sebaran contoh
Nilai Pengetahuan
Nilai Psikomotorik
Rendah (<64) Sedang (65-80) Tinggi (≥81) Rendah (<64) Sedang (65-80) Tinggi (≥81)
Standar deviasi
Standar deviasi
Standar deviasi
Sebaran contoh
Sebaran contoh
Nilai Afektif Rendah (<1) Cukup (1.1-2) Baik (2.1-3) Baik Sekali (3.1-4)
Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
51
1.
Uji deskriptif digunakan pada seluruh variabel yang diamati untuk melihat sebaran contoh menurut variabel yang diteliti.
2.
Uji beda yang digunakan adalah uji beda Mann Whitney untuk data nonparametrik atau data kategorik dan uji beda t-test (untuk data numerik). Uji beda dilakukan pada seluruh variabel yang diamati yakni untuk melihat ada tidaknya perbedaan pada masing-masing variabel di kedua kelompok contoh (SMA Negeri dan SMA Swasta).
3.
Uji Korelasi Spearman, digunakan untuk melihat hubungan antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga, interaksi anak, prestasi belajar, dan stres.
4.
Uji regresi linear berganda, untuk melihat pengaruh karakteristik anak, karakteristik keluarga, interaksi anak, dan prestasi belajar.
Y = B0 + B1x1+ B2x2+ B3x3+ B4x4+ B5x5+ B6x6+ B7x7+ B8x8+ B9x9+ B10x10+ B11x11+ B12x12
Keterangan: Y = Tingkat stres B = Unstandardized Coefficients B B0 = Constant X1 = Jenis kelamin X2 = Besar keluarga X3 = Kepribadian X4 = Interaksi dengan ayah X5 = Interaksi dengan guru
X6 = Interaksi dengan sekolah X7 = Harapan ayah X8= Rapor X9 = Fasilitas belajar X10= Umur ibu X11 = Pekerjaan ayah X12 = Pekerjaan ibu
Definisi Operasional Contoh adalah siswa kelas III IPA di SMAN 3 Bogor dan SMA Insan Kamil, Bogor. Karakteristik Contoh adalah ciri-ciri khas contoh yang diteliti yang meliputi jenis kelamin, umur, urutan kelahiran, kepribadian dan tujuan atau cita-cita.
52
Karakteristik Keluarga adalah keadaan keluarga yang meliputi umur orangtua, besar keluarga, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan keluarga, dan fasilitas belajar. Besar Keluarga adalah banyaknya jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah, dikelompokkan menjadi kecil (≤4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (≥7 orang) dengan menggunakan sumberdaya yang sama. Pendidikan orangtua adalah jenjang pendidikan formal yang telah diselesaikan oleh orangtua contoh, meliputi SD sampai Perguruan Tinggi. Pekerjaan orangtua adalah jenis pekerjaan yang ditekuni orangtua (pekerjaan tetap). Pendapatan orangtua adalah jumlah pendapatan anggota keluarga yang dinyatakan dalam rupiah per bulan. Kepribadian ekstrovert
adalah contoh yang memiliki sifat terbuka, periang,
santai, punya banyak teman, mudah bergaul, butuh teman untuk curhat, suka tantangan, ramah, dan mudah emosi. Kepribadian introvert adalah contoh yang memiliki sifat tertutup, pendiam, kutu buku, pemalu, banyak pertimbangan, tidak suka hura-hura, pandai menyembunyikan perasaan, tidak suka curhat, dan sabar. Stres adalah tekanan yang dialami oleh contoh saat ini, sebagai akibat adanya sumber stres dengan mengasumsikan keadaan dalam menghadapi UN (Ujian Nasional) sebagai sumber stres. Tingkat Stres adalah derajat tekanan yang dialami oleh contoh saat ini, sebagai akibat adanya sumber stres. Ditinjau dari gejala fisik dan emosional yang dialami dalam menghadapi UN (Ujian Nasional). Prestasi Belajar adalah gambaran mengenai penguasaan contoh terhadap materi pelajaran yang diberikan. Prestasi belajar diukur dengan menggunakan nilai rapor pada semester lima meliputi Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Interaksi dalam keluarga adalah tindakan nyata yang terjalin antara contoh dengan ayah yang meliputi interaksi dengan ayah (kehangatan dan kekasaran), komunikasi dengan ayah, keeratan interaksi dengan ayah, kualitas interaksi, dan harapan ayah.
53
Interaksi dengan sekolah adalah tindakan nyata yang terjalin antar contoh dengan lingkungan sekolah yang meliputi interaksi dengan guru, interaksi dengan teman, dan interaksi dengan sekolah.
54
HASIL DAN PEMBAHASAN SMA Negeri 3 Bogor SMA Negeri 3 Bogor mandiri sejak tanggal 1 Juli 1981 dengan SK Mendikbud No. 0220/0/1981 dengan alamat di jalan Pakuan Nomor 4. Data mengenai karakteristik SMA Negeri 3 Bogor tercantum dalam Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3 Karakteristik SMA Negeri 3 Bogor Karakteristik SMA Negeri 3 Bogor
Keterangan
Luas Tanah
4090 m
Luas Bangunan Ruangan:
2
2039,58 m
2
Jumlah
Luas (m
Ruang Kepala Sekolah
1
37,3
Ruang Wakil Kepala Sekolah
1
37,3
Ruang Guru
1
122.5
Ruang Tata Usaha Ruang Belajar/Kelas Laboratorium. IPA
1 21 1
56 1493 143.83
Laboratorium Bahasa Laboratorium Komputer Perpustakaan Ruang OSIS
1 1 1 1
107.52 56 143.83 10.8
Ruang Ekstrakurikuler Ruang Koperasi Siswa Musholla Gudang
1 1 1 1
57.6 4.5 46.92 16.62
Ruang Stensil
1
14
Kantin
3
66
Toilet Guru/Karyawan Toilet Kepsek Toilet Siswa
1 1 5
2.5 2.5 32.46
Toilet Siswi
4
24.98
Jumlah Guru Jumlah Karyawan
Waktu pembelajaran
2)
59 orang Lab.IPA= 1 orang TU = 8 orang Pesuruh= 6 orang Keamanan= 2 orang Perpustakaan= 1 orang Senin- Sabtu dimulai pada pukul 07.00 hingga 13.45 WIB
55
Kurikulum Kurikulum yang digunakan di SMA Negeri 3 Bogor adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Kurikulum ini disusun oleh satu tim penyusun yang terdiri atas unsur dan komite sekolah dibawah koordinasi dan pengawasan Dinas Pendidikan Kota Bogor. Kegiatan Ekstrakurikuler. Ekstrakurikuler merupakan suatu organisasi kegiatan para siswa yang berada dibawah naungan OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Sasaran dengan adanya ekstrakurikuler untuk menyalurkan bakat dan minat siswa. Adapun strategi ekstrakurikuler adalah untuk menyalurkan dan mengembangkan bakar dan minat siswa berbagai kegiatan yang mendukung dapat dilaksanakan di dalam lingkungan sekolah dan luar lingkungan sekolah dengan bantuan pelatih profesional yang meliputi: 1. TARUNA adalah sebuah wadah kegiatan ekstrakurikuler dibidang Paskibra (Pasukan pengibar bendera) 2. RISGABO (Sahabat Alam) 3. KIR (Karya Ilmiah Remaja) 4. PMR (Palang Merah Remaja) 5. ROHIS (Rohani Islam) 6. CASTRO (Club Astronomi) 7. Computer Club 8. Bola Basket Club 9. FUTSAL 10. TRIPLE (Majalah sekolah)
SMA Insan Kamil Bogor Majlis Al-Ihya Bogor didirikan pada tanggal 1 Muharram 1398 H (29 Januari 1978) di Kp. Batu Tapak, Kel. Pasir Jaya, Kec. Kota Bogor Barat, Bogor, oleh K.H.R. Abdullah bin Muhammad Nuh bin Muhammad Idris. Luas tanah
56
keseluruhan ± 4 Ha dengan luas bangunan ± 7000 m2. Pada tahun 1985 Majlis Al-Ihya mampu mendirikan Yayasan Pendidikan Insan Kamil dan membuka sekolah
TK,
SD,
SMP
dan
SMA.
Pada
tahun
ajaran
2006/2007
menyelenggarakan STIT (Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah). Dengan perjuangan dan perjalanan yang panjang Majlis Al-Ihya - Insan Kamil Bogor telah berkembang menjadi lembaga pendidikan yang memadukan keunggulan sistem pesantren dan keunggulan sistem sekolah dengan murid TK, SD, SMP dan SMA keseluruhan ± 3000 orang, serta murid madrasah ± 1000 orang. Dari 3000 murid sekolah 389 murid diantaranya bermukim atau mondok. Kelas di Insan Kamil terbagi menjadi: a. Kelas Al-Hidayah
Adalah kelas reguler dengan penyelesaian 3 tahun, mengikuti kurikulum nasional yaitu KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dengan jumlah jam 36 jam seminggu.
Jadwal pelajaran mengikuti shift SMP-SMA, yaitu :
untuk SMP : Senin-Selasa-Rabu masuk pagi, Kamis-Jum’at-Sabtu masuk siang.
untuk SMA : Senin-Selasa-Rabu masuk siang, Kamis-Jum’atSabtu masuk pagi
b. Kelas Al-Barokah
Adalah kelas reguler dengan penyelesaian 3 tahun, mengikuti kurikulum nasional yaitu KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dengan penambahan jumlah jam menjadi 40 jam pelajaran seminggu
Efektif belajar masuk pagi setiap hari, dengan program khusus CTL (Contextual Teaching and Learning) setiap hari Selasa dan CD (Creative day) setiap hari Sabtu
c. Kelas Al-Hamdu Wa Asy-Syukur (Puji dan Syukur)
Adalah kelas Percepatan (Akselerasi) dengan penyelesaian 2 tahun, mengikuti kurikulum nasional yaitu KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dengan penambahan jumlah jam menjadi 40 jam pelajaran seminggu.
57
Efektif belajar masuk pagi setiap hari, dengan program khusus CTL (Contextual Teaching and Learning) setiap hari Rabu.
Ketiga kelas tersebut mendapatkan tambahan muatan kurikulum Insan Kamil, meliputi:
Diniyah
B. Arab
B. Inggris, standar TOEIC (Test of English for International Communication)
Komputer
CTL (Contextual Teaching and Learning)
PBL (Project Based Learning)
CD (Creative day) setiap hari Sabtu
Kegiatan Ekstrakurikuler Dibagi menjadi kelompok kegiatan ekstrakurikuler :
Diniyah
:Tahfidzil-Qur’an,
Qiro’atul-Qur’an,
Rebana-Marawis,
Sholawat-Nasyid, dan Kaligrafi
Bahasa :Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan Bahasa Jepang
Olah raga prestasi :Merpati Putih, Perisai Diri, Tae Kwon Do, Karate, Futsal, Basket, Volley, dan Bulu Tangkis
Keterampilan Umum :Meraih Prestasi Olimpiade, Pertanian, Tae Kwon Do, Elektronika, Teknologi Tepat Guna (TTG) dan Karya Ilmiyah Remaja (KIR), serta Penulisan Naskah dan Teater
Murid wajib memilih 1 (satu) kegiatan ekstrakurikuler sesuai bakat dan minatnya, dan boleh memilih maksimal 2 (dua) kegiatan.
* Pada semester 6 (enam) murid tidak diwajibkan mengikuti kegiatan ekstra kurikuler, kecuali yang sangat berminat dan berbakat
Sarana Ibadah Masjid Jaman Marhuman
58
Mushola Asmaul Adzom Sarana pendidikan Kelas, Perpustakaan, Laboratorium Bahasa Arab, Laboratorium Bahasa Inggris, Laboratorium Komputer, Laboratorium Biologi, Laboratorium Fisika, Laboratorium Kimia, dan Lahan praktek pertanian Sarana Olahraga Lapangan Bulu Tangkis, Lapangan Voley, Lapangan Basket, Lapangan Futsal (Out door), dan Tenis Meja Sarana Kebersihan 90 Kamar Mandi dan WC keramik putih, Saniter yang terawat, Tempat wudhu, dan Air bersih (PAM dan Jet Pump) 24 jam Sarana Lainnya Rental komputer dan internet, Kantin khusus laki-laki dan khusus perempuan, dan Taman istirahat khusus perempuan
59
Karakteristik Contoh Jenis Kelamin dan Umur Contoh Contoh pada penelitian ini berjumlah 76 orang yang terdiri 38 orang dari SMA Negeri 3 (50%) dan 38 orang dari SMA Insan Kamil (50%). Proporsi contoh berdasarkan jenis kelamin seimbang antara laki-laki dengan perempuan (Tabel 4). Umur contoh kedua sekolah berkisar antara 16–18 tahun dan lebih dari separuh contoh (73.68%) di kedua sekolah berumur 17 tahun (Tabel 4). Umur tersebut tergolong dalam fase remaja pertengahan. Menurut BKKBN (2009) masa remaja pertengahan adalah masa remaja berumur 15–18 tahun. Pada fase ini biasanya remaja mulai menuntut kebebasan dan tanggung jawab pribadi, mempersiapkan diri untuk bekerja, dan mulai mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual lebih baik. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin, umur, dan urutan kelahiran Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total P-value Umur (Tahun) 16 17 18 Total Min-Maks Mean±SD Urutan Anak Sulung Tengah Bungsu Tunggal Total
SMAN 3 BOGOR n % 19 50.0 19 50.0 38 100.0
SMA INSAN KAMIL n % 19 50.0 19 50.0 38 100.0 1.000
n 38 38 76
% 50.0 50.0 100.0
3 28 7 38
2 28 8 38
5 56 15 76
6.6 73.7 19.7 100.0
7.9 73.7 18.4 100.0 16-18 17.11±0.51
12 19 4 3 38
31.58 50 10.53 7.89 100.0
5.3 73.7 21.1 100.0
Total
16-18 17.16±0.49 18 15 4 1 38
47.37 39.47 10.53 2.63 100.0
16-18 17.14±0.5 30 34 8 4 76
39.5 44.7 10.5 5.3 100.0
Urutan Kelahiran Separuh contoh (50%) di SMA Negeri 3 tergolong pada kategori anak tengah dan hampir separuh contoh (47.37%) di SMA Insan Kamil tergolong pada kategori anak sulung (Tabel 4). Anak tengah cenderung lebih diplomatis dan seringkali berperan sebagai penengah dalam pertengkaran, sedangkan anak sulung sering digambarkan sebagai anak yang lebih berorientasi dewasa,
60
penolong, mengalah, lebih cemas, mampu mengendalikan diri, dan kurang agresif dibandingkan dengan saudaranya (Santrock 2002). Kepribadian Sebagian besar contoh (76.3% SMA Negeri 3 dan 84.2% SMA Insan Kamil) dominan pada tipe kepribadian ekstrovert (Tabel 5). Menurut Jung (1971) diacu dalam Tahsinul (2007), tipe ekstrovert biasanya ramah, memiliki banyak teman, dan lebih berani mengambil resiko pada hal yang baru. Sementara itu, orang-orang tipe introvert biasanya banyak melakukan perenungan, tidak mudah terpengaruh orang lain, pemalu, sulit berinteraksi dengan banyak orang dan mengetahui tujuan dalam hidupnya. Uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan (P>0.05) pada variabel kepribadian contoh di kedua sekolah. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan kepribadian Kepribadian Introvert Ekstrovert Total Min-Maks Mean±SD P-value
SMAN 3 BOGOR n % 9 23.7 29 76.3 38 100.0 31-57
SMA INSAN KAMIL n % 6 15.8 32 84.2 38 100.0 33-52 44.9±5.0 0.372
Total n 15 61 76
% 19.7 80.3 100.0 31-57
Tujuan Hidup dan Cita-cita Tujuan hidup dan cita-cita dapat dikelompokkan menjadi tujuan yang berkaitan dengan pendidikan tinggi, bekerja mencari nafkah, prestasi, budi pekerti, menghindari masalah dengan sekolah, dan kemapanan materi. Hampir seluruh contoh (94.7% di SMA Negeri 3 dan 92.1% di SMA Insan Kamil) mempunyai rencana jangka pendek meneruskan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau kuliah. Contoh memiliki rencana hidup untuk melanjutkan ke perguruan tinggi negeri pada jurusan yang diinginkan setelah lulus Ujian Nasional (UN). Beberapa contoh juga menyatakan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke negara tetangga. Sementara itu, sebanyak 2.6 persen contoh memiliki rencana dalam jangka pendek lainnya adalah kuliah sambil bekerja (Tabel 6).
61
Tabel 6 Sebaran berdasarkan rencana contoh dalam jangka pendek No 1 2 3 4
Rencana dalam jangka pendek Kuliah Bekerja Belum tahu Lainnya total
SMA Negeri 3 BOGOR n % 36 94.7 1 2.6 1 2.6 0 0.0 38 100.0
SMA INSAN KAMIL n % 35 92.1 0 0.0 1 2.6 2 5.3 38 100.0
Total n 71 1 2 2 76
% 93.4 1.3 2.6 2.6 100.0
Proses untuk mencapai tujuan hidup dan cita-cita yang berhubungan dengan bekerja mencari nafkah setelah lulus UN dianggap sangat penting oleh lebih dari setengah contoh (51.3%) kedua sekolah. Hal ini mengindikasikan bahwa menuntut ilmu hingga perguruan tinggi menjadi cita-cita terbesar contoh. Tujuan hidup dan cita-cita yang berhubungan dengan prestasi yaitu belajar yang rajin agar nilainya bagus dan beraktivitas di sekolah dengan baik dianggap sangat penting oleh lebih dari separuh contoh (53.9%). Sementara itu, beraktivitas dengan baik di sekolah dianggap penting oleh 56.6 persen contoh. Tujuan yang berkaitan dengan cara untuk menjadi siswa yang baik yaitu menghindari masalah di sekolah dianggap sangat penting oleh 42.1 persen contoh di kedua sekolah. Tujuan yang berhubungan dengan budi pekerti seperti berbakti pada orangtua dan guru (73.7%), bertanggung jawab atas segala perbuatan (52.6%), dan berteman dengan baik (51.3%) termasuk hal yang sangat penting. Hal yang berkaitan dengan kemapanan materi seperti menabung dan hidup hemat dianggap sangat penting oleh hampir separuh contoh (48.7%). Selain itu, setengah contoh (50%) juga menyatakan bahwa menjadi orang kaya dan sukses termasuk hal yang sangat penting. Sebaran contoh berdasarkan tujuan hidup dan cita-cita dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.
62
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tujuan hidup dan cita-cita Pernyataan 1. Meneruskan ke perguruan tinggi 2. Bekerja mencari nafkah 3. Belajar yang rajin agar nilainya bagus 4. Beraktivitas di sekolah dengan baik 5. Menghindari masalah di sekolah 6. Berbakti pada orangtua dan guru 7. Bertanggung jawab atas segala perbuatan 8. Berteman dengan baik 9. Menabung dan hidup hemat 10.Menjadi orang kaya dan sukses
A 0.0 1.3 0.0 0.0 1.3 0.0 0.0 0.0 0.0 1.3
Persentase (%) B C D 0.0 0.0 21.1 2.6 13.2 31.6 0.0 3.9 42.1 56.6 1.3 15.8 2.6 13.2 40.8 0.0 0.0 26.3 0.0 5.3 42.1 0.0 9.2 39.5 2.6 15.8 32.9 1.3 7.9 39.5
E 78.9 51.3 53.9 26.3 42.1 73.7 52.6 51.3 48.7 50.0
Keterangan :A:Tidak penting, B:Kurang penting, C: Cukup penting, D:Penting, E:Sangat penting
Tujuan hidup dan cita-cita sebagian besar contoh (84.2%) SMA Negeri 3 dan lebih dari setengah contoh (71.1%) SMA Insan Kamil termasuk ke dalam kategori cukup penting (Tabel 8). Dengan demikian, berarti dapat dikatakan bahwa contoh belum fokus dalam memilih tujuan hidup dan cita-cita menjelang Ujian Nasional. Hal ini diduga karena contoh sebenarnya masih mencari informasi dan alternatif pilihan yang terbaik sesuai dengan tujuan dan cita-cita yang diharapkan seperti meneruskan ke perguruan tinggi, berbakti pada orangtua dan guru, bekerja mencari nafkah, menjadi orang kaya dan sukses, serta menabung dan hidup hemat. Menurut Monks (1999) diacu dalam Nasution (2007), remaja pertengahan berada dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih, peka atau peduli, berkelompok atau sendiri, dan optimis atau pesimis, dan sebagainya. Berbeda halnya pada masa remaja akhir, cita-cita dan tujuan hidup telah mantap, baik yang berkaitan dengan masalah teman hidup, pekerjaan, jenjang pendidikan, atau hal yang berkaitan dengan dirinya kelak (AlMighwar 2006). Uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan (P>0.05) tujuan hidup dan cita-cita di kedua sekolah contoh. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan kategori tujuan hidup dan cita-cita Tujuan Hidup dan Citacita Tidak Penting (< 40) Cukup Penting (40 - 48) Sangat Penting (≥ 49) Total Min-Maks Mean±SD P-value
SMAN 3 BOGOR n % 1 2.6 32 84.2 5 13.2 38 100 33-50
SMA INSAN KAMIL n % 7 18.4 27 71.1 4 10.5 38 100 35-49 44.1±3.7 0.222
Total n 8 59 9 76
% 10.5 77.6 11.8 100.0 33-50
63
Karakteristik Keluarga Besar Keluarga Berdasarkan standar BKKBN (1997), lebih dari separuh contoh (71.1% di SMA Negeri 3 dan 65.8% di SMA Insan Kamil) berasal dari keluarga dengan ukuran sedang (5-6 orang), sementara proporsi besar keluarga yang sama (26.3%) di kedua sekolah termasuk kedalam keluarga kecil (Tabel 9). Menurut Guhardja et.al (1992), besar keluarga akan mempengaruhi tingkat interaksi interpersonal yang terjadi. Semakin besar keluarga, maka semakin banyak dan kompleks jumlah interaksi interpersonal yang terjadi dari keluarga. Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak adanya perbedaan (p>0.05) besar keluarga di kedua sekolah contoh. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Besar Keluarga Kecil (≤ 4 Orang) Sedang (5-6 Orang) Tinggi (≥7 Orang) Total Min-Maks Mean±SD P-Value
SMA 3 BOGOR n % 10 26.3 27 71.1 1 2.6 38 100.0 3-7 4.79±0.96
SMA INSAN KAMIL n % 10 26.3 25 65.8 3 7.9 38 100.0 3-9 5.24±1.13 0.665
n 20 52 4 76
Total % 26.3 68.4 5.3 100.0
3-9 5.01±1.05
Usia Orangtua Contoh Usia ayah contoh berkisar antara 38 tahun hingga 70 tahun. Hampir seluruh contoh (97.4% di SMA Negeri 3 dan 94.7% di SMA Insan Kamil) memiliki ayah dengan kategori usia dewasa madya (41-65 tahun). Terdapat 5.3 persen contoh pada SMA Insan Kamil yang memiliki ayah dengan kategori usia dewasa awal, sedangkan terdapat 2.6 persen contoh pada SMA Negeri 3 memiliki ayah yang tergolong usia dewasa akhir (Tabel 10). Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak adanya perbedaan (p>0.05) usia ayah di kedua sekolah contoh. Umur ibu contoh berada pada rentang umur 35-56 tahun. Sebagian besar umur ibu contoh (82.9% di SMA Negeri 3 dan 73.7% di SMA Insan Kamil) tergolong usia dewasa madya atau berumur 41-65 tahun. Tidak terdapat ibu contoh yang berada dalam kategori usia dewasa akhir (Tabel 10). Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak adanya perbedaan (p>0.05) usia ibu di kedua sekolah contoh. Tabel 10 berikut ini menjelaskan sebaran contoh berdasarkan umur orangtua.
64
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan usia orangtua Usia Orangtua (Tahun) Ayah Dewasa awal (20-40) Dewasa madya (41-65) Dewasa akhir (>65) Total Min-Maks Mean±SD P-value Ibu Dewasa awal (20-40) Dewasa madya (41-65) Dewasa akhir (>65) Total Min-Maks Mean±SD P-value
SMAN 3 BOGOR n % 0 37 1 38
0.0 97.4 2.6 100.0
SMA INSAN KAMIL n %
17.1 82.9 0.0 100.0
38-56 45.2±4.2
n
%
2 36 0 38
5.3 94.7 0.0 100.0 38-61 47.8±4.5 0.09
2 73 1 76
2.6 96.1 1.3 100.0 38-70 48.7±4.9
10 28 0 38
26.3 73.7 0.0 100.0 35-49 43.0±3.6 0.526
16 57 0 73
21.9 78.1 0.0 100.0 35-56 44.1±3.8
43-70 49.7±5.3
6 29 0 35
Total
Pendidikan Orangtua Pendidikan orangtua contoh berkisar antara tidak sekolah sampai dengan tamat dari perguruan tinggi. Tingkat pendidikan ayah contoh dalam penelitian ini pada umumnya adalah perguruan tinggi (68.4% di SMA Negeri 3 dan 39.5% di SMA Insan Kamil). Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa pendidikan ayah contoh pada SMA Negeri 3 lebih tinggi dibandingkan SMA Insan Kamil. Orangtua berpendidikan tinggi cenderung lebih mengembangkan diri dan pengetahuannya, lebih terbuka untuk mengikuti perkembangan masyarakat, dan perkembangan informasi dibandingkan dengan orangtua berpendidikan rendah. Mereka juga sanggup memberikan rangsangan-rangsangan fisik maupun mental sejak dini, mereka juga akan melatih anak-anaknya untuk memiliki sikap sosial yang baik, dan membiasakan untuk hidup disiplin, sehingga anak-anak memiliki sikap atau nilai sosial yang tinggi (Gunarsa dan Gunarsa 2004). Uji beda Mann Whitney menunjukkan adanya perbedaan (P<0.05) pendidikan ayah di kedua sekolah contoh.
65
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orangtua Pendidikan Orangtua Ayah Tidak Sekolah SD SMP SMA Akademi/Diploma Perguruan Tinggi Total P-value Ibu Tidak Sekolah SD SMP SMA Akademi/Diploma Perguruan Tinggi Total P-value
SMAN 3 BOGOR n % 0 0 0 8 4 26 38
0 0 2 14 6 13 35
0.0 0.0 0.0 21.1 10.5 68.4 100.0
0.0 0.0 5.7 40 17.1 37.1 100.0
SMA INSAN KAMIL n % 0 1 1 13 8 15 38
0 0 2 22 5 9 38
0.0 2.6 2.6 34.2 21.1 39.5 100.0 * 0.014 0.0 0.0 5.3 57.9 13.2 23.7 100.0 0.528
Total n
%
0 1 1 21 12 41 76
0.0 1.3 1.3 27.6 15.8 53.9 100.0
0 0 4 36 11 22 73
0.0 0.0 5.5 49.3 15.1 30.1 100.0
Berdasarkan tabel diatas, tingkat pendidikan terendah ibu contoh (5.7% di SMA Negeri 3 dan 5.3% di SMA Insan Kamil) adalah tamat SMP. Persentase tertinggi tingkat pendidikan ibu contoh (40% di SMA Negeri 3 dan 57.9% di SMA Insan Kamil) adalah tamat SMA. Hal ini berarti tingkat pendidikan ayah contoh lebih tinggi daripada ibu contoh. Uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan (P>0.05) pendidikan ibu di kedua sekolah contoh.
Pekerjaan Utama Orangtua Persentase terbesar ayah contoh di SMA Negeri 3 memiliki pekerjaan utama sebagai karyawan swasta (36.8%), sedangkan di SMA Insan Kamil memiliki proporsi yang sama (26.3%) sebagai pegawai negeri, wiraswasta, dan karyawan swasta (Tabel 12). Terdapat 1 orang ayah SMA Negeri 3 dan 4 orang ayah di SMA Insan Kamil yang memiliki pekerjaan tambahan sebagai wiraswasta. Selain itu, lebih dari separuh ibu contoh (62.9% di SMA Negeri 3 dan 68.4% di SMA Insan Kamil) memiliki pekerjaan utama sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) atau tidak bekerja.
66
Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan utama orangtua Pekerjaan Utama Orangtua Ayah Pegawai Negeri Karyawan BUMN ABRI/Polisi Wiraswasta Karyawan Swasta Pensiunan Buruh Total Ibu Pegawai Negeri Wiraswasta Karyawan Swasta Pensiunan Ibu Rumah Tangga Total
SMAN 3 BOGOR n %
SMA INSAN KAMIL n %
Total n
%
8 1 1 9 14 4 1 38
21.1 2.6 2.6 23.7 36.8 10.5 2.6 100.0
10 4 1 10 10 3 0 38
26.3 10.5 2.6 26.3 26.3 7.9 0 100.0
18 5 2 19 24 7 1 76
23.7 6.6 2.6 25.0 31.6 9.2 1.3 100.0
12 0 1 0 22 35
34.3 0.0 2.9 0.0 62.9 100.0
7 3 1 1 26 38
18.4 7.9 2.6 2.6 68.4 100.0
19 3 2 1 48 73
26.0 4.1 2.7 1.4 65.8 100.0
Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga pada penelitian ini didapatkan dari jumlah penghasilan semua anggota keluarga (ayah, ibu, dan anggota lainnya) per bulan. Tabel 13 menunjukkan bahwa persentase terbesar pendapatan keluarga pada kedua sekolah contoh yaitu terletak pada kisaran Rp 2 500 001- Rp 5 000 000 (34.2% di SMA Negeri 3 dan 50% di SMA Insan Kamil).
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga Pendapatan Keluarga (Rupiah/Bulan)
SMAN 3 BOGOR
SMA INSAN KAMIL
Total
n
%
n
%
n
%
< 2.5 Juta
8
21.1
9
23.7
17
22.4
2 500 001 - 5 Juta
13
34.2
19
50.0
32
42.1
5 000 001 - 7.5 Juta
9
23.7
4
10.5
13
17.1
7 500 001 - 10 Juta
4
10.5
2
5.3
6
7.9
> 10 Juta
4
10.5
4
10.5
8
10.5
Total
38
100.0
38
100.0
76
100.0
Fasilitas Belajar Proses belajar anak sangat dipengaruhi oleh fasilitas dan sarana belajar diantaranya adalah kamar pribadi, buku pelajaran, alat peraga, penerangan yang cukup, perlengkapan belajar, dan komputer. Apabila fasilitas belajar di rumah
67
tersedia dapat meminimalkan kemungkinan stres. Diketahui bahwa seluruh contoh di SMA Negeri 3 disediakan fasilitas dan sarana belajar di rumah, yang banyak disediakan adalah kamar pribadi (89.5%), buku pelajaran (97.4%), meja belajar (92.1%), alat tulis (97.4%), lampu belajar/penerangan yang cukup (92.1%), internet (55.3%), dan komputer (89.5%). Sementara itu, sarana yang banyak disediakan di SMA Insan Kamil adalah kamar pribadi (81.6%), buku pelajaran
(100.0%),
meja
belajar
(81.6%),
alat
tulis
(100.0%),
lampu
belajar/penerangan yang cukup (97.4%), dan komputer (89.5%). Namun, kurang dari sepertiga contoh (28.9%) yang mempunyai internet di rumah. Peran orangtua dalam hal menyediakan fasilitas belajar selengkap mungkin sudah baik yaitu orangtua telah memberikan perhatian terhadap kebutuhan contoh dan peduli akan prestasi belajar contoh dengan baik. Berbagai cara dilakukan oleh contoh dalam melengkapi kebutuhan fasilitas belajar yaitu lebih dari setengah contoh (65.8% di SMA Negeri 3 dan 57.9% di SMA Insan Kamil) dengan cara pergi membeli bersama dengan orangtua. Hal ini menggambarkan bahwa orangtua memperhatikan pendidikan anaknya. Selain itu, hampir seluruh contoh (94.7% di SMA Negeri 3 dan 81.6% di SMA Insan Kamil) merasa puas dengan fasilitas yang telah diberikan orangtua karena sebagian besar sarana dan fasilitas yang dibutuhkan contoh telah tersedia (Tabel 14). Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan jenis fasilitas belajar di rumah No 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 1 2
Fasilitas Belajar Jenis fasilitas Kamar pribadi Buku pelajaran Meja belajar Alat tulis Lampu belajar/penerangan yang cukup Internet Komputer Cara memperoleh fasilitas belajar Membeli sendiri Dibelikan orangtua Pergi membeli bersama Kepuasan dengan fasilitas belajarnya Puas Tidak puas
SMA Negeri 3 BOGOR
SMA INSAN KAMIL
89.5 97.4 92.1 97.4 92.1 55.3 89.5
81.6 100.0 81.6 100.0 97.4 28.9 89.5
2.6 65.8 31.6
10.5 57.9 31.6
94.7 5.3
81.6 18.4
68
Interaksi Anak dengan Ayah Interaksi Contoh dengan Ayah Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat dua dimensi interaksi contoh dengan ayahnya yaitu dimensi kehangatan dan dimensi kekasaran. Proporsi terbesar contoh baik SMA Negeri 3 maupun SMA Insan Kamil menyatakan bahwa ayahnya sering bertanya mengenai mata pelajaran Ujian Nasional (UN) yang sedang contoh hadapi (44.7% dan 21.1%), mendiskusikan mengenai rencana jangka pendek setelah UN kepada contoh (34.2% dan 39.5%), dan cukup dalam hal ayah membantu contoh belajar, seperti membelikan buku-buku soal UN untuk contoh kerjakan (39.5% dan 23.7%) serta memberikan pujian atau hadiah untuk memotivasi contoh belajar (36.8% dan 28.9%). Walaupun lebih dari setengah contoh (47.4% dan 55.3%) menyatakan tidak pernah menemani contoh belajar untuk menghadapi UN (Lampiran 2). Begitu pula sebaliknya, interaksi pun terjalin antara contoh dengan ayah. Interaksi antara contoh dengan ayah menunjukkan bahwa proporsi terbesar contoh SMA Negeri 3 dan SMA Insan Kamil cukup mempedulikan masalah ayah (55.3% dan 44.7%), berbuat sesuatu yang membuat ayah merasa bangga dan disayang (55.3% dan 50.0%), mendiskusikan keinginan contoh dengan ayah (39.5% dan 28.9%), dan memberikan pujian atau hadiah untuk membuat ayah bahagia (34.2% dan 47.4%), serta sering membantu ayah bila ayah memerlukan sesuatu (47.4% dan 36.8%). Sikap ayah kepada contoh yang mengarah pada dimensi kekerasan dapat dilihat pada Lampiran 2. Proporsi terbesar contoh SMA Negeri 3 dan SMA Insan Kamil menyatakan ayah tidak pernah marah-marah untuk memaksa belajar (52.6% dan 50.0%), membentak contoh dengan marah (47.4% dan 44.7%), dan bertengkar dengan contoh jika tidak menuruti perintahnya (39.5% dan 47.4%). Namun, terdapat contoh (23.7% dan 47.4%) menyatakan bahwa ayahnya cukup mengkritik perbuatan contoh saat nilai-nilai buruk. Bimbingan oleh orangtua berupa kiritikan saat
anak mengalami kegagalan akan
mengakibatkan anak frustasi sehingga anak-anak bisa menggunakan agresi sebagai pelampiasan rasa frustasinya (Sharma 2007). Adanya interaksi timbal balik antara ayah dengan anak yaitu kekasaran yang dilakukan ayah menyebabkan adanya interaksi kekasaran pula yang dilakukan contoh. Lampiran 2 menunjukkan bahwa proporsi terbesar contoh SMA Negeri 3 dan SMA Insan Kamil tidak pernah marah-marah (52.6% dan
69
65.8%), membentak (73.7% dan 76.3%), dan bertengkar (44.7% dan 68.4%) dengan ayahnya. Hampir separuh contoh (47.4% dan 31.6%) jarang mengkritik perbuatan ayah. Tabel 15 menjelaskan bahwa persentase terbesar contoh (73.7% di SMA Negeri 3 dan 76.3% di SMA Insan Kamil) memiliki interaksi dengan ayah cukup baik. Artinya bahwa contoh merasakan bahwa ayah kadang-kadang membantu belajar seperti membelikan buku soal-soal menjelang UN, memberikan pujian untuk memotivasi belajar, dan mengkritik saat nilai buruk. Begitupula sikap contoh terhadap ayah seperti terkadang peduli dan membuat ayah senang. Selain itu, 10.5 persen contoh di kedua sekolah berada pada kategori kurang baik. Artinya contoh kurang dapat berinteraksi dengan ayahnya seperti kurang menemani contoh belajar menjelang UN. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan (P>0.05) interaksi contoh dengan ayah di kedua sekolah contoh. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kategori Interaksi contoh dengan ayah Interaksi contoh dengan ayah Kurang baik (< 53) Cukup baik (53-71) Sangat baik (≥ 72) Total Min-Maks Mean±SD P-value
SMAN 3 BOGOR n % 4 10.5 28 73.7 6 15.8 38 100.0 41-79
SMA INSAN KAMIL n % 4 10.5 29 76.3 5 10.5 38 100.0 41-79 62.2±8.8 0.505
Total n 8 57 11 76
% 10.5 75.0 14.5 100.0 41-79
Berdasarkan hasil uji statistik, diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal interaksi pada dimensi kehangatan dan kekasaran antara contoh SMA Negeri 3 dan SMA Insan Kamil terhadap ayahnya, begitu pula sebaliknya. Tabel 16 menjelaskan bahwa rata-rata kehangatan ayah dengan contoh SMA Negeri 3 (skor rata-rata=14.5) tidak berbeda jauh dengan kehangatan ayah dengan contoh SMA Insan Kamil ( skor rata-rata=13.05). Sementara itu, rata-rata kekasaran ayah dengan contoh SMA Negeri 3 (skor rata-rata=16.03) tidak berbeda jauh dengan kekasaran ayah dengan contoh SMA Insan Kamil (skor rata-rata=15.68). Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa interaksi pada dimensi kehangatan dan kekasaran contoh di SMA Negeri 3 dan di SMA Insan Kamil terhadap orangtuanya sama saja, begitupula sebaliknya.
70
Tabel 16 Nilai rata-rata dan hasil uji beda interaksi contoh dengan ayah Variabel
SMAN 3 BOGOR
Mean ±SD SMA INSAN KAMIL
t
p
Kehangatan ayah dengan contoh
14.5±4.09
13.05±4.68
1.433
0.156
Kehangatan contoh dengan ayah
15.13±3.66
15.13±3.19
0.000
1.000
Kekerasan ayah dengan contoh
16.03±2.94
15.68 ±3.90
0.432
0.667
Kekerasan contoh dengan ayah
17.08±2.11
17.82±2.60
-1.357
0.179
Komunikasi Contoh dengan Ayah Menurut Gunarsa & Gunarsa (2000) anak yang mulai menginjak usia remaja membutuhkan lebih banyak waktu dan perhatian untuk menciptakan interaksi timbal balik, interaksi komunikatif dan dialogis agar permasalahan yang dihadapi oleh remaja memperoleh bantuan, dorongan dan dukungan dari orangtua untuk mengatasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa contoh merasa komunikasi dengan ayah cukup baik. Hal tersebut dapat disebabkan oleh rutinitas baik ayah dan anak yang sibuk dan padat dengan kegiatan masingmasing, sehingga frekuensi pertemuan kedua belah pihak rendah. Tabel 17 menjelaskan bahwa komunikasi yang selalu dilakukan contoh SMA Negeri 3 dengan ayahnya, yaitu setiap hari berkomunikasi (26.3%), saat makan bersama (21.1%), saat menjelang tidur (2.6%), belajar di rumah (2.6%), menonton TV (31.6%), saat di perjalanan (15.8%), saat di tempat kerja (7.9%), dan saat di luar kota (7.9%). Sama halnya di SMA Insan Kamil komunikasi yang sering dilakukan dengan ayahnya adalah setiap hari berkomunikasi (23.7%), saat makan bersama (13.2%), saat menjelang tidur (2.6%), belajar di rumah (2.6%), menonton TV (13.2%), saat di perjalanan (23.7%), saat di tempat kerja (2.6%), dan saat di luar kota (2.6%).
71
Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan komunikasi contoh dengan ayah (%) Komunikasi contohayah Setiap hari Makan bersama Menjelang tidur Belajar di rumah Menonton TV
SMAN 3 BOGOR
SMA INSAN KAMIL
A
B
C
D
E
A
B
C
D
E
5.3
18.4
23.7
26.3
26.3
2.6
34.2
21.1
18.4
23.7
5.3
31.6
28.9
15.8
21.1
7.9
23.7
23.7
28.9
13.2
21.1
34.2
23.7
21.1
2.6
21.1
36.8
23.7
13.2
2.6
18.4
23.7
34.2
23.7
2.6
23.7
28.9
28.9
13.2
2.6
0.0
13.2
21.1
36.8
31.6
2.6
26.3
26.3
28.9
13.2
Perjalanan di tempat kerja
2.6
26.3
26.3
28.9
15.8
7.9
23.7
39.5
5.3
23.7
34.2
42.1
13.2
2.6
7.9
44.7
34.2
10.5
7.9
2.6
Di luar kota
26.3
34.2
18.4
13.2
7.9
36.8
26.3
21.1
13.2
2.6
Keterangan : A: Tidak pernah,B:Jarang,C:Cukup,D:Sering,E:Selalu
Apabila contoh dikelompokkan menjadi tiga kategori, maka lebih dari separuh contoh (71.7%) memiliki komunikasi dengan ayah cukup baik. Artinya bahwa contoh cukup berkomunikasi dengan ayahnya saat belajar di rumah dan saat dalam perjalanan menjelang UN. Sementara itu, sebanyak 10.5 persen contoh SMA negeri 3 dan 21.1 persen contoh SMA Insan Kamil memiliki komunikasi yang kurang baik (Tabel 18). Hal ini diartikan bahwa contoh kurang memanfaatkan kondisi berkomunikasi dengan ayahnya saat makan bersama, menjelang tidur, saat dalam perjalanan, saat berada di tempat kerja, maupun di luar kota menjelang UN. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan (P>0.05) komunikasi contoh dengan ayah di kedua sekolah contoh. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kategori komunikasi contoh dengan ayah Komunikasi contoh dengan ayah Kurang baik (<16) Cukup baik (16 -29) Sangat baik (≥ 30) Total Min-Maks Mean±SD P-value
SMAN 3 BOGOR n % 4 10.5 27 71.1 7 18.4 38 100.0 11-39
SMA INSAN KAMIL n % 8 21.1 27 71.1 3 7.9 38 100.0 10-36 22.6±6.6 0.24
Total n 12 54 10 76
% 15.8 71.1 13.2 100.0 10-39
Keeratan Interaksi Contoh dengan Ayah Ikatan antara ayah dan anak dapat memberikan warna tersendiri dalam pembentukan konsep diri anak. Hal ini dikarenakan karakter pria yang berbeda dengan sosok wanita yang akan memberikan sumbangan unik pada anak. Ayah
72
membantu anak bersifat tegar, kompetitif, menyukai tantangan, dan senang bereksplorasi. Berdasarkan Tabel 19 terlihat bahwa keeratan interaksi ayah dengan contoh cukup baik. Contoh baik SMA Negeri 3 Bogor dan SMA Insan Kamil menyatakan setuju jika ayah bisa diajak mengobrol tentang apa saja seperti kawan dekat (39.5% dan 44.7%), dapat merasakan kalau ada kesulitan tanpa diberitahu (36.8% dan 47.4%), menceritakan bila mempunyai masalah (26.3% di kedua sekolah), selalu membantu menyelesaikan masalah yang terjadi (55.3% dan 47.4%), menyemangati saat gagal (47.4% dan 50.0%), bangga dengan kemampuan yang contoh miliki (57.9% dan 68.4%), paling tahu akan hobi contoh (47.4% dan 44.7%), memberikan uang jajan tambahan (36.8% dan 39.5%), memantau akitivitas contoh di luar jam sekolah (28.9% dan 42.1%), dan mengenal teman-teman contoh (34.2% dan 47.4%). Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan keeratan interaksi dengan ayah (%) Pernyataan Ayah bisa saya ajak ngobrol tentang apa saja seperti kawan dekat Meskipun saya tidak memberitahu, ayah dapat merasakan kalau saya ada kesulitan Jika saya memang mempunyai masalah saya lebih suka menceritakannya kepada ayah daripada orang lain Ayah selalu membantu menyelesaikan masalah yang terjadi pada saya
A
SMAN 3 BOGOR B C D
SMA INSAN KAMIL A B C D
10.5
44.7
39.5
7.9
15.8
28.9
44.7
7.9
13.2
39.5
36.8
10.5
7.9
28.9
47.4
15.8
23.7
52.6
26.3
0.0
21.1
47.4
26.3
2.6
7.9
36.8
55.3
0.0
13.2
28.9
47.4
10.5
5.3
28.9
47.4
21.1
13.2
10.5
50.0
23.7
2.6
13.2
57.9
28.9
5.3
13.2
68.4
10.5
7.9
31.6
36.8
26.3
21.1
39.5
21.1
15.8
5.3
36.8
47.4
13.2
18.4
31.6
44.7
2.6
7.9
57.9
28.9
7.9
18.4
21.1
42.1
15.8
Ayah tahu dan mengenal teman-teman saya (teman bermain ataupun pacar saya) 18.4 31.6 34.2 18.4 Keterangan: A: Tidak setuju, B:kurang setuju, C:setuju, D:sangat setuju
15.8
23.7
47.4
10.5
Ayah selalu menyemangati saat saya gagal Ayah selalu bangga dengan kemampuan yang saya miliki Kalau perlu uang tambahan untuk keperluan lain misalnya nonton atau jajan, saya lebih suka meminta kepada ayah daripada ibu Ayah paling tahu akan kegemaran (hobi) saya Ayah mengetahui dan memantau aktivitas saya diluar jam sekolah
Apabila keeratan contoh dengan ayah dikelompokkan menjadi tiga kategori, maka hasil menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (81.6% di SMA Negeri 3 dan 76.3% di SMA Insan Kamil) memiliki keeratan dengan ayah cukup baik. Artinya adalah contoh cukup merasa dekat dengan ayah ketika ayah menjadi teman paling dekat, ayah tempat mencurahkan masalah dan membantu
73
menyelesaikan masalah, mengetahui apa yang dirasakan, mengetahui teman terdekat, mengetahui dan memantau akitivitas diluar jam sekolah. Selain itu, terdapat contoh (13.2% di kedua sekolah) memiliki keeratan yang kurang baik dengan ayahnya (Tabel 20). Artinya contoh kurang dekat dengan ayah dan menilai ayah kurang sebagai tempat mencurahkan masalah dan membantu menyelesaikan masalah, kurang mengetahui apa yang dirasakan, kurang mengetahui teman terdekat, kurang mengetahui dan memantau akitivitas diluar jam sekolah. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan (P>0.05) keeratan interaksi contoh dengan ayah di kedua sekolah contoh. Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan kategori keeratan contoh dengan ayah SMAN 3 BOGOR n % 5 13.2 31 81.6 2 5.3 38 100.0 16-34
Keeratan contoh dengan ayah Kurang baik (< 20) Cukup baik (20 -31) Sangat baik (≥ 32) Total Min-Maks Mean±SD P-value
SMA INSAN KAMIL n % 5 13.2 29 76.3 4 10.5 38 100.0 10-36 25.5±5.4 0.979
Total n 10 60 6 76
% 13.2 78.9 7.9 100.0 10-36
Kualitas Interaksi dengan Ayah Interaksi yang terikat antara orangtua dengan anak yang baik ditunjukkan dengan kualitas interaksi orangtua yang baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah contoh SMA Negeri 3 dan SMA Insan Kamil merasa puas (34.2% dan 39.5%) dan bahagia (36.8% dan 44.7%) terhadap kualitas interaksi yang terjalin antara contoh dengan ayah. Terdapat 5.3 persen contoh SMA Insan Kamil yang merasa sangat tidak puas dengan kualitas interaksi dengan ayah (Tabel 21). Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan kualitas interaksi (%) Kualitas interaksi Kepuasan Contoh-Ayah Kebahagiaan Contoh-Ayah
A
SMAN 3 BOGOR B C
D
A
SMA INSAN KAMIL B C
D
0.0
13.2
52.6
34.2
5.3
18.4
36.8
39.5
0.0
7.9
55.3
36.8
0.0
23.7
31.6
44.7
Keterangan: A: sangat tidak puas/bahagia, B:pada dasarnya tidak puas/tidak bahagia, C:Pada dasarnya puas/bahagia, D:Puas/bahagia sekali
Tabel 22 menjelaskan bahwa persentase tertinggi contoh (65.8% contoh di SMA Negeri 3 dan 42.1% di SMA Insan Kamil) termasuk kategori cukup
74
puas/bahagia. Artinya contoh merasa cukup puas terhadap interaksi ayah yang baik dan cukup merasakan interaksi dengan ayah terjalin dengan kebahagiaan dalam memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis menjelang UN. Selain itu, terdapat contoh (5.3%) di SMA Negeri 3 dan contoh (23.7%) di SMA Insan Kamil yang memiliki kepuasan interaksi dengan ayah kurang puas/bahagia. Hal ini menandakan bahwa ayah tidak dapat memenuhi kebutuhan contoh dalam menghadapi UN baik secara fisik maupun psikologis. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan (P>0.05) kualitas interaksi contoh dengan ayah di kedua sekolah contoh. Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan kategori kepuasan contoh dengan ayah Kepuasan contoh dengan ayah Kurang puas/bahagia (< 5) Cukup puas/bahagia (5 -8) Sangat puas/bahagia (≥ 9) Total Min-Maks Mean±SD P-value
SMAN 3 BOGOR n % 2 5.3 25 65.8 11 28.9 38 100.0 4-8
SMA INSAN KAMIL n % 9 23.7 16 42.1 13 34.2 38 100.0 3-8 6.4±1.4 0.953
Total n 11 41 24 76
% 14.5 53.9 31.6 100.0 3-8
Harapan Ayah Pada umumnya, ayah contoh menilai setuju apabila contoh harus menurut perintah orangtua agar lulus UN (52.6% di SMA Negeri 3 dan 57.9% di SMA Insan Kamil), pergaulannya harus selalu dipantau menjelang UN (50.0% di SMA Negeri 3 dan 52.6% di SMA Insan Kamil), contoh harus bisa menjadi bintang kelas atau berprestasi agar nilai UN bagus (44.7% di SMA Negeri 3 dan 52.6% di SMA Insan Kamil), dan contoh harus masuk perguruan tinggi setelah UN (50.0% di SMA Negeri 3 dan 52.6% di SMA Insan Kamil). Harapan ayah dilihat dari aspek ekonomi, dapat diketahui bahwa ayah contoh tidak setuju jika contoh harus mempunyai pekerjaan dan penghasilan sendiri setelah UN (68.4% di SMA Negeri 3 dan 73.3% di SMA Insan Kamil) dan membantu ekonomi orangtua setelah UN (84.2% di SMA Negeri 3 dan 78.9% di SMA Insan Kamil) dapat menyita uang orangtua. Sementara itu, ayah contoh (73.7% di SMA Negeri 3 dan 44.7% di SMA Insan Kamil) setuju jika tidak lulus UN, anak bisa menyita uang orangtua (Lampiran 3). Harapan ayah dilihat dari aspek sosial, proporsi terbesar ayah contoh menyatakan setuju merasakan kebahagiaan jika anaknya lulus UN (57.9% di
75
SMA Negeri 3 dan 39.5% di SMA Insan Kamil), anak dapat meningkatkan status sosial keluarga (60.5% di SMA Negeri 3 dan 63.2% di SMA Insan Kamil), anak sebagai pelindung keluarga (52.6% di SMA Negeri 3 dan 47.4% di Insan Kamil), anak mempererat interaksi keluarga (65.8% di SMA Negeri 3 dan 60.5% di SMA Insan Kamil), dan anak dapat membuat hidup terasa lengkap (50.0% di SMA Negeri 3 dan 44.7% di SMA Insan Kamil). Harapan ayah dilihat dari aspek religius, sebagian besar ayah contoh (84.2% di SMA Negeri 3 dan 81.6% di SMA Insan Kamil) sangat menyetujui anak adalah titipan Tuhan yang harus dijaga. Selain itu, harapan ayah dilihat dari segi psikologis, persentase terbesar ayah contoh (63.2% di SMA Negeri 3 dan 44.7% di SMA Insan Kamil) menyatakan setuju jika tidak lulus UN, anak dapat menyebabkan bertambahnya beban tanggungan keluarga. Sebanyak 44.7 persen ayah contoh di SMA Negeri 3 dan 39.5 persen ayah contoh di SMA Insan Kamil menyatakan tidak setuju apabila anak dapat membuat stres jika tidak lulus UN (Lampiran 3). Tabel 23 menunjukkan bahwa sebagian besar ayah contoh (75%) memiliki harapan sedang. Artinya bahwa ayah cukup besar mempunyai harapan terhadap anaknya di masa depan setelah lulus Ujian Nasional. Hal ini diduga karena prestasi akademik anak termasuk kategori baik di sekolah favorit sehingga ayah cukup yakin anaknya akan berhasil. Persentase harapan ayah contoh (13.2%) sama pada kategori tinggi di kedua sekolah. Hal ini berarti bahwa tuntutan ayah terhadap anak untuk masa depannya sangat besar. Uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan (P>0.05) harapan ayah di kedua sekolah contoh. Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan kategori harapan ayah
Rendah (<43)
n 3
% 7.9
SMA INSAN KAMIL n % 6 15.8
Sedang (43-53)
30
78.9
27
71.1
57
75.0
Tinggi (≥54) Total Min-Maks Mean±SD P-value
5 38
13.2 100.0 36-56
5 38
13.2 100.0 22-55 47.9±5.4 0.603
10 76
13.2 100.0 25-60
Harapan ayah
SMAN 3 BOGOR
Total n 9
% 11.8
76
Interaksi Anak di Sekolah Interaksi Contoh dengan Guru Interaksi guru dengan siswa di dalam proses belajar mengajar merupakan faktor yang sangat menentukan prestasi belajar. Komunikasi yang selaras antara guru dan siswa dalam proses belajar mengajar dapat terpenuhi apabila guru mengembangkan sikap demokratis dan terbuka, sebaliknya siswa juga harus bersikap sopan, ramah, dan saling menghormati. Guru yang cenderung memberikan kritikan dan menilai siswa secara subjektif dapat menurunkan semangat belajar siswa sehingga dapat menimbulkan stres dan tidak percaya diri. Lampiran 4 menunjukkan bahwa guru memberikan perhatian yang cukup besar kepada siswa dalam proses belajar mengajar. Proporsi terbesar contoh SMA Negeri 3 dan SMA Insan Kamil menyatakan bahwa guru sering memperhatikan jika ada siswa yang bertanya (47.4% dan 57.9%), memberikan nilai secara objektif (50.0% dan 55.3%), menyampaikan pelajaran terlalu cepat dan sulit dipahami (50.0% dan 36.8%), dan memuji dan bangga jika melakukan hal yang baik (39.5% dan 18.4%). Interaksi contoh dengan guru juga menunjukkan bahwa proporsi terbesar contoh SMA Negeri 3 dan SMA Insan Kamil menilai jarang terjadi guru menyuruh belajar sendiri saja jika sulit mengerti pelajaran yang diajarkan (42.1% dan 47.4%) dan guru tidak mempunyai waktu untuk mendengarkan keluhan (42.1% dan 39.5%). Apabila contoh dikelompokkan menjadi tiga kategori, maka sebagian besar contoh (68.4% contoh di SMA Negeri 3 dan 84.2% contoh di SMA Insan Kamil) termasuk dalam kategori cukup baik berinteraksi dengan guru (Tabel 24). Artinya bahwa terjadi interaksi yang cukup baik antara guru dan contoh seperti guru cukup memperhatikan contoh ketika bertanya, cukup memberikan nilai secara objektif, dan cukup menjadi pendengar yang baik bagi keluhan-keluhan siswanya. Namun, masih terdapat contoh (26.3% di SMA Negeri 3 dan 7.9% di SMA Insan Kamil) yang memiliki interaksi yang kurang baik. Artinya contoh kurang dapat berinteraksi dengan gurunya dalam hal guru membimbing saat mengalami kesulitan pelajaran dan mendengar keluhan-keluhan siswanya. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan (P>0.05) interaksi dengan guru di kedua sekolah contoh.
77
Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan kategori interaksi contoh dengan guru Interaksi contoh dengan guru
SMAN 3 BOGOR
SMA INSAN KAMIL
Total
n
%
n
%
n
%
Kurang baik (<19) Cukup baik (19 -24) Sangat baik (≥ 25)
10 26 2
26.3 68.4 5.3
3 32 3
7.9 84.2 7.9
13 58 5
17.1 76.3 6.6
Total
38
100.0
38
100.0
76
100.0
Min-Maks
13-25
Mean±SD
17-27
13-27
21.1±2.5
P-value
0.06
Interaksi Contoh dengan Teman Berdasarkan Lampiran 4, lebih dari setengah contoh (68.4% di SMA Negeri 3 dan 65.8% di SMA Insan Kamil) mempunyai teman baik di sekolah. Sebanyak 57.9 persen contoh SMA Negeri 3 dan 42.1 persen contoh SMA Insan Kamil memiliki rasa kepercayaan yang tinggi terhadap teman, tetapi ditemukan contoh (42.1% di SMA Negeri 3 dan 36.8% di SMA Insan Kamil) yang terkadang cekcok dengan teman. Walaupun demikian, contoh SMA Negeri 3 dan SMA Insan Kamil sering berkumpul bersama (57.9% dan 42.1%), berdiskusi mengenai kesulitan belajar (42.1% dan 31.6%), dan tidak sulit untuk meminta bantuan kepada teman (39.5% dan 34.2%). Hal ini menunjukkan adanya interaksi contoh dengan teman berlangsung baik yang didasari saling percaya dan menjaga silahturahmi seperti sering berkumpul bersama. Apabila contoh dikelompokkan menjadi tiga kategori, maka persentase terbesar contoh (81.6% contoh di SMA Negeri 3 dan 65.8% contoh di SMA Insan Kamil) termasuk dalam kategori cukup baik berhubungan dengan teman. Hal ini berarti bahwa terjadi interaksi cukup baik dengan teman seperti cukup percaya dengan teman, cukup berdiskusi dengan teman mengenai kesulitan belajar, dan cukup membantu kesulitan teman. Namun, terdapat pula sebanyak 7.9 persen contoh SMA Negeri 3 dan 21.1 persen contoh SMA Insan Kamil yang termasuk kedalam kategori kurang baik. Hal ini menggambarkan bahwa contoh kurang membantu kesulitan teman dan pernah cekcok dengan teman. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan (P>0.05) interaksi dengan teman di kedua sekolah contoh. Sebaran contoh berdasarkan kategori interaksi dengan temannya terlihat pada Tabel 25.
78
Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan kategori interaksi contoh dengan teman Interaksi contoh dengan teman Kurang baik(< 21) Cukup baik (21 -27) Sangat baik (≥ 28) Total Min-Maks Mean±SD P-value
SMAN 3 BOGOR n % 3 7.9 31 81.6 4 10.5 38 100.0 18-28
SMA INSAN KAMIL n % 8 21.1 25 65.8 5 13.2 38 100.0 13-26 24.1±2.8 0.245
Total n 11 56 9 76
% 14.5 73.7 11.8 100.0 13-28
Interaksi Contoh dengan Sekolah Secara umum contoh SMA Negeri 3 dan SMA Insan Kamil menyatakan sangat menyukai sekolah (52.6% dan 36.8%). Sebanyak 34.2 persen menyatakan cukup dekat dengan beberapa guru secara umum. Namun, contoh SMA Negeri 3 dan SMA Insan Kamil menyatakan setengah setuju jika sekolah sangat membosankan (31.6% dan 28.9%) dan fasilitas sekolah menunjang semangat belajar (57.9% dan 18.4%). Hal ini didukung oleh pernyataan dari hampir setengah contoh (42.1% di SMA Negeri 3 dan 31.6% di SMA Insan Kamil) setengah setuju memiliki prestasi di sekolah (Lampiran 4). Hal ini memperlihatkan bahwa secara umum contoh mempunyai interaksi yang baik dengan sekolah. Tabel 26 menjelaskan bahwa sebagian besar contoh (89.5% di SMA Negeri 3 dan 78.9% di SMA Insan Kamil) memiliki interaksi dengan sekolah cukup baik. Hal ini berarti bahwa contoh cukup memiliki interaksi baik dengan sekolah seperti sekolah cukup membosankan, cukup dekat dengan guru, cukup menyemangati dengan adanya fasilitas sekolah, dan cukup berprestasi. Namun, sebesar 7.9 persen contoh di SMA Negeri 3 dan 5.3 persen SMA Insan Kamil berada pada kategori kurang baik. Hal ini menggambarkan contoh kurang dapat berinteraksi dengan sekolah. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan adanya perbedaan (P<0.05) interaksi dengan sekolah di kedua sekolah contoh. Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan kategori interaksi contoh dengan sekolah Interaksi contoh dengan sekolah Kurang baik(< 14) Cukup baik (14 -21) Sangat baik (≥ 22) Total Min-Maks Mean±SD P-value
SMAN 3 BOGOR n % 3 7.9 34 89.5 1 2.6 38 100.0 11-22
SMA INSAN KAMIL n % 2 5.3 30 78.9 6 15.8 38 100.0 6-24 17.5±3.7 0.03
Total n 5 64 7 76
% 6.6 84.2 9.2 100.0 6-24
79
Prestasi Belajar Nilai rapor merupakan indikator yang digunakan untuk mengetahui prestasi belajar. Nilai rapor yang dipakai pada kedua sekolah adalah nilai pada semester lima. Berdasarkan hasil penelitian, prestasi akademik contoh dibagi menjadi 3 kategori yaitu nilai kognitif, nilai psikomotorik, dan nilai afektif (Tabel 27). Persentase terbesar contoh (65.8% di SMA Negeri 3 dan 81.6% di SMA Insan Kamil) memiliki nilai kognitif dengan kategori sedang (65-80). Terdapat 2.6 persen contoh pada SMA Insan Kamil yang memiliki nilai kognitif dengan kategori rendah. Prestasi akademik berdasarkan nilai psikomotorik, setengah contoh (50%) di SMA Negeri 3 memiliki proporsi yang sama dengan kategori sedang dan tinggi, sedangkan lebih dari separuh contoh (60.5%) di SMA Insan Kamil memiliki kategori sedang. Terdapat 2.6 persen contoh pada SMA Insan Kamil yang memiliki nilai psikomotorik dengan kategori rendah. Selain itu, Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai afektif contoh di SMA Negeri 3 tergolong kategori baik (78.9%), sedangkan lebih dari separuh contoh (57.9%) di SMA Insan Kamil tergolong kategori baik sekali. Terdapat 2.6 persen contoh di SMA Insan Kamil yang memiliki nilai afektif dengan kategori cukup. Hal ini dapat menunjukkan bahwa prestasi belajar contoh secara umum berada pada kategori baik. Namun jika dibandingkan, prestasi belajar contoh SMA Negeri 3 cenderung lebih baik dibandingkan dengan SMA Insan Kamil. Rata-rata nilai contoh SMA Negeri 3 lebih tinggi dibandingkan dengan SMA Insan Kamil untuk aspek kognitif dan psikomotorik. Sementara itu, untuk aspek afektif SMA insan Kamil sedikit lebih unggul daripada SMA Negeri 3. Sebaran contoh berdasarkan prestasi belajar dapat dilihat pada Tabel 27 berikut ini. Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan prestasi belajar Nilai Rapor Nilai Kognitif Rendah (<64) Sedang (65-80) Tinggi (≥81) Total Min-Maks Mean±SD P-value
SMAN 3 BOGOR n % 0 25 13 38
0.0 65.8 34.2 100.0 74-85 80±2.7
SMA INSAN KAMIL n % 1 31 6 38
2.6 81.6 15.8 100.0 24-82 75±9.3 ** 0.001
n 1 56 19 76
Total % 1.3 73.7 25.0 100.0 24-85 77.5±5.9
80
Tabel 27 (Lanjutan) Nilai Rapor Nilai Psikomotorik Rendah (<64) Sedang (65-80) Tinggi (≥81) Total Min-Maks Mean±SD P-value Nilai Afektif Rendah (<1) Cukup (1.1-2) Baik (2.1-3) Baik Sekali (3.1-4) Total Min-Maks Mean±SD P-value
SMAN 3 BOGOR n %
SMA INSAN KAMIL n %
n
Total %
0 19 19 38
0.0 50.0 50.0 100.0 73.2-88.4 80.4±2.8
1 23 14 38
2.6 60.5 36.8 100.0 0-82.8 77.7±12.5 0.266
1 42 33 76
1.3 55.3 43.4 100.0 0-88.4 79.05±7.6
0 0 30 8 38
0.0 0.0 78.9 21.1 100.0 2.8-4.0 3.1±0.3
0 1 15 22 38
0.0 2.6 39.5 57.9 100.0 1.8-3.5 3.2±0.4 0.293
0 1 45 30 76
0.0 1.3 59.2 39.5 100.0 1.8-4.0 3.1±0.3
Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang nyata (p<0.01) nilai rapor dengan kategori nilai kognitif di kedua sekolah. Sementara itu, tidak terdapat perbedaan (p>0.05) nilai rapor dengan kategori nilai psikomotorik dan nilai afektif di kedua sekolah. Hal ini diduga bahwa ada satu contoh yang memiliki nilai yang rendah pada SMA Insan Kamil. Satu contoh tersebut sering absen di kelas sehingga contoh tidak bisa mengikuti pelajaran yang diberikan guru. Tingkat Stres Gejala stres yang seringkali dialami oleh hampir setengah contoh SMA Negeri 3 adalah merasa pegal-pegal pada leher/punggung/bahu (34.2%), merasa tidak
tenang/tegang/cemas/terancam/gelisah
(31.6%),
merasa
sukar
berkonsentrasi dalam belajar (34.2%), dan merasa banyak beban yang menumpuk (42.1%). Hal ini berbeda dengan gejala stres yang seringkali dialami oleh contoh di SMA Insan Kamil yang hanya mengalami sukar berkonsentrasi dalam belajar (34.2%). Sisanya persentase gejala stres tidak terlalu banyak.
81
Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan seringnya mengalami gejala stres No
Pernyataan
1
Merasa pusing atau sakit kepala tanpa alasan yang jelas Merasa pegal-pegal pada leher/punggung/bahu Mengalami kejang otot dan tangan gemetaran Perut terasa kembung/mulas/diare pada saat akan melakukan sesuatu Sering menjatuhkan barang atau tersandung atau memecahkan barang Jantung berdebar dengan cepat dan keras Merasa dingin atau berkeringat lebih dari biasanya Mengalami perubahan berat badan Sering buang air Merasa tidak tenang/tegang/cemas/terancam/gelisah Merasa sukar berkonsentrasi dalam belajar Mengalami sukar tidur atau tidak dapat tidur nyenyak seperti biasanya Mengalami perubahan nafsu makan Merasa letih/lesu/lemas yang luar biasa atau serasa tenaga terkuras habis Merasa cepat marah dan tidak sabar tanpa sebab Merasa mudah tersinggung Merasa tertekan tanpa sebab Merasa banyak beban yang menumpuk Merasa pesimis dengan masa depan (tidak punya harapan) Merasa sedih sekali dan ingin menangis Merasa gugup/grogi/bingung bila berhadapan dengan orang lain Membayangkan hal-hal yang buruk Merasa tidak pernah istirahat Merasa tidak berguna sebagai manusia Lepas kontrol/tempramen Tidak bersemangat dan bosan Mengalami mimpi-mimpi buruk Menjadi pendiam apabila kumpul dengan temanteman Saya meras malu/minder di hadapan teman-teman
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
SMAN 3 BOGOR
SMA INSAN KAMIL
nA
%
nA
%
8
21.1
8
21.1
13 2
34.2 5.3
7 1
18.4 2.6
6
15.8
2
5.3
2
5.3
5
13.2
5 4 3 5
13.2 10.5 7.9 13.2
5 4 2 5
13.2 10.5 5.3 13.2
12
31.6
6
15.8
13
34.2
13
34.2
6
15.8
5
13.2
7
18.4
2
5.3
10
26.3
6
15.8
11 8 6 16
28.9 21.1 15.8 42.1
8 3 2 5
21.1 7.9 5.3 13.2
5
13.2
1
2.6
9
23.7
3
7.9
2
5.3
2
5.3
6 5 3 7 10 0
15.8 13.2 7.9 18.4 26.3 0.0
4 1 2 0 7 2
10.5 2.6 5.3 0.0 18.4 5.3
0
0.0
2
5.3
3
7.9
2
5.3
Berdasarkan Lampiran 5, lebih dari setengah contoh (59.2%) yang merasa mengalami sukar berkonsentrasi belajar diduga karena tidak mempunyai jadwal belajar yang jelas dan realistis. Padahal, sebanyak 69.7 persen contoh mengaku mempunyai masalah dengan mata pelajaran. Persentase terbesar mata pelajaran yang dirasakan kurang mampu yang diujikan pada Ujian Nasional adalah Ilmu Pengetahuan Alam (73.7%). Hal ini diduga karena mata pelajaran tersebut baru diujikan pada Ujian Nasional 2009 sehingga menimbulkan kekhawatiran terhadap kemampuan contoh. Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
82
Alam (IPA) yang ditakuti adalah fisika (52.6%), kimia (18.4%), dan biologi (2.6%). Sebanyak 75 persen contoh merasa sistem pendidikan di Indonesia dengan mengadakan Ujian Nasional (UN) tidak tepat. Namun, persentase terbesar contoh (47.9%) menargetkan nilai sebesar 9.5 untuk mencapai nilai kelulusan tahun ini. Setiap anak yang duduk di bangku kelas tiga SMA memiliki kesan mengenai Ujian Nasional yang berbeda-beda. Lebih dari setengah contoh (55.3%) menganggap Ujian Nasional merupakan hal yang menegangkan karena penentuan belajar selama dua belas tahun hanya dilihat dalam waktu empat hari, belum mempunyai persiapan yang matang untuk menghadapi Ujian Nasional, guru kurang menyemangati sehingga harus memotivasi diri sendiri, adanya kecemasan dalam diri yakni takut tidak lulus dan tidak bisa mengerjakan soal, dan waktu Ujian Nasional sudah semakin dekat. Sebanyak 25 persen contoh menganggap Ujian Nasional biasa saja karena contoh menganggap bukan sesuatu hal yang harus ditakuti malah harus dihadapi, yakin dengan kemampuan diri sendiri dan yakin akan lulus, Ujian Nasional sudah menjadi aturan pemerintah, Ujian Nasional sama seperti ujian akhir semester, dan apabila Ujian Nasional dianggap merasa beban akan menambah stres sendiri. Sebanyak 17.1 persen contoh menganggap Ujian Nasional merupakan hal yang membuat senang atau semangat karena contoh merasa sebentar lagi lulus dan meninggalkan sekolah, Ujian Nasional merupakan tantangan untuk mengejar yang terbaik, dan setelah Ujian Nasional berakhir bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Kesan lainnya contoh (2.6%) merasa campur aduk antara cemas dan senang dalam menghadapi Ujian Nasional (Lampiran 6). Berbagai cara dilakukan contoh untuk menghilangkan rasa cemas dalam menghadapi Ujian Nasional yaitu dengan cara pergi ke rumah saudara atau teman (6.6%), jalan-jalan ke tempat hiburan (17.1%), mendekatkan diri kepada Tuhan (53.9%) dan lainnya (22.4%) seperti berinternet, belajar, mendengarkan musik, bermain game, tidur, bercerita kepada orangtua, dan berdiam diri di kamar. Selain itu, persiapan yang dilakukan dalam menghadapi Ujian Nasional yaitu dengan mengikuti bimbingan belajar (63.2%), belajar sendiri atau mandiri (19.7%), belajar kelompok (1.3%), dan lainnya (15.8%) seperti belajar dengan guru yang menyenangkan, semua dilakukan baik bimbingan belajar, belajar sendiri maupun belajar kelompok, hingga tidak melakukan persiapan apa-apa
83
(Lampiran 6). Hal ini menggambarkan bahwa contoh dapat mengatur dirinya dan memberi semangat saat menghadapi situasi yang sulit. Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan tingkat stres Tingkat Stres Rendah (<43) Sedang (43-60) Tinggi (>60) Total Min-Maks Mean±SD P-value
SMAN 3 BOGOR n % 4 28 6 38
10.5 73.7 15.8 100.0 32-72
SMA INSAN KAMIL n %
n
5 29 4 38
9 57 10 76
13.2 76.3 10.5 100.0 32-67 51.4±8.1 0.122
Total % 11.8 75.0 13.2 100.0 32-72
Rata-rata skor gejala stres yang dialami contoh adalah sebesar 51.4, dengan kisaran antara 32 hingga 72. Tingkat stres contoh kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan mean ± standar deviasi yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan Tabel 29 dapat diketahui bahwa persentase terbesar contoh (73.7% di SMA Negeri 3 dan 76.3% di SMA Insan Kamil) berada dalam kategori tingkat stres sedang. Tingkat stres sedang memberikan arti bahwa gejala stres kadang-kadang dialami oleh contoh dalam 6 bulan terakhir. Persentase contoh di SMA Negeri 3 yang mengalami tingkat stres tinggi (15.8%) lebih banyak dibandingkan persentase contoh di SMA Insan Kamil dalam kategori tersebut (10.5%). Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan (p>0.05) pada variabel tingkat stres di kedua sekolah contoh tersebut. Hubungan Antar Variabel Faktor-faktor yang diamati hubungannya dalam penelitian ini adalah interaksi dengan sekolah dan tingkat stres, hubungan kepribadian contoh dan interaksi dengan teman, keeratan contoh-ayah dan interaksi contoh dengan sekolah, keeratan contoh-ayah dengan tujuan hidup dan cita-cita, dan harapan ayah dengan tujuan hidup dan cita-cita contoh.
Hubungan interaksi dengan sekolah dan tingkat stres Tabel 30 memperlihatkan bahwa sebanyak 20.0 persen contoh yang memiliki interaksi dengan sekolah kurang baik tergolong dalam kategori tingkat stres tinggi. Sementara itu, contoh yang memiliki interaksi dengan sekolah
84
sangat baik (28.6%) tergolong kategori tingkat stres rendah. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan yang negatif antara interaksi contoh dengan sekolah terhadap tingkat stres (p=0.024, r= 0.259). Hal ini berarti bahwa semakin baik interaksi dengan sekolah, maka tingkat stresnya akan semakin menurun. Tabel 30 Hubungan interaksi dengan sekolah dan tingkat stres Tingkat stres Interaksi dengan sekolah
rendah
sedang
tinggi
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
kurang baik
1
20.0
3
60.0
1
20.0
5
100.0
cukup baik
5
7.8
47
73.4
12
18.8
64
100.0
sangat baik P-value
2
28.6
5
71.4 0 0.024*
0.0
7
100.0
koefisien korelasi (r) Keterangan: * = nyata pada p<0.05
-0.259
Hubungan dengan sekolah baik guru, teman, mata pelajaran yang berat di sekolah dapat menimbulkan konflik yang cukup besar bagi remaja (Sarwono 1994). Hal ini didukung oleh Needlman (2004) yang menyatakan bahwa tekanan dalam masalah akademik, keinginan untuk mendapatkan nilai tinggi, atau selalu berusaha agar tidak gagal, hal ini semua merupakan sumber stres yang dialami remaja di sekolah. Hubungan kepribadian contoh dan interaksi dengan teman Tabel 31 memperlihatkan bahwa contoh yang memiliki interaksi dengan teman sangat baik (13.1%) termasuk dalam kategori tipe kepribadian ekstrovert. Sementara itu, contoh yang memiliki interaksi dengan teman kurang baik (20.0%) termasuk dalam kategori tipe kepribadian introvert. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan yang positif antara kepribadian contoh terhadap interaksi contoh dengan teman (p=0.002, r= 0.349). Hal ini berarti bahwa semakin ekstrovert/terbuka, maka interaksi dengan teman akan semakin baik pula.
85
Tabel 31 Hubungan kepribadian dan interaksi contoh dengan teman Interaksi contoh dengan teman Kepribadian
kurang baik n % 3 20.0 8 13.1
Introvert ekstrovert P-value koefisien korelasi (r) Keterangan: * *= nyata pada p<0.01
cukup baik n % 11 73.3 45 73.8
sangat baik n % 1 6.7 8 13.1 0.002** 0.349
Total n 15 61
% 100 100
Berdasarkan Tabel 31 dapat diketahui bahwa interaksi dengan teman dapat mempengaruhi kepribadian remaja. Hal ini didukung oleh pendapat Anonim (2009) yang mengemukakan bahwa salah satu karakteristik sosial remaja adalah mereka senang berkelompok-kelompok dan ingin dikelilingi oleh teman-teman istimewanya serta sering dipengaruhi oleh pendapat orang banyak atau hal yang dipikirkan oleh kelompoknya sehingga dapat membentuk kepribadian mereka. Proses sosialisasi yang berjalan tidak sempurna dapat membentuk kepribadian yang menyimpang sehingga dapat melakukan tindakan yang menyimpang pula (Ade 2009). Hubungan keeratan contoh – ayah dan interaksi contoh dengan sekolah Seluruh contoh (100.0%) yang keeratan hubungannya dengan ayah sangat baik memiliki interaksi dengan sekolah cukup baik. Sementara itu, contoh yang keeratan hubungannya dengan ayah kurang baik (20.0%) memiliki interaksi dengan sekolah kurang baik pula (Tabel 32). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan yang positif antara keeratan contoh dengan ayah terhadap interaksi contoh dengan sekolah (p=0.000, r= 0.412).
Hal ini
berarti bahwa semakin erat dengan ayah, maka semakin baik pula interaksi dengan sekolah. Tabel 32 Hubungan keeratan contoh–ayah dan interaksi contoh dengan sekolah Keeratan contoh dengan ayah
Interaksi contoh dengan sekolah kurang baik cukup baik sangat baik
n % kurang baik 2 20.0 cukup baik 3 5.0 Sangat baik 0 0.0 P-value koefisien korelasi (r) Keterangan: * *= nyata pada p<0.01
n 7 51 6
% 70.0 85.0 100.0 0.000** 0.412
n 1 6 0
% 10.0 10.0 0.0
Total n 10 60 6
% 100.0 100.0 100.0
86
Tabel 32 menggambarkan bahwa keeratan interaksi dengan ayah yang baik akan mempengaruhi interaksi contoh dengan sekolah. Keluarga merupakan tempat utama untuk bersosialisasi untuk terbentuknya moral seorang anak yang selanjutnya beralih ke fase lingkungan sekolah. Orangtua menjadi faktor utama dalam penanaman moral dan perkembangan kepribadian anak di masa yang akan datang sehingga terbentuk seorang manusia yang sehat tubuh, akal dan jiwanya (Mahfuzh 2005). Hubungan keeratan contoh – ayah dengan tujuan dan cita-cita contoh Tabel 33 menunjukkan bahwa contoh yang keeratan hubungannya dengan ayah sangat baik (50.0%) memiliki tujuan hidup dan cita-cita sangat penting. Sementara itu, contoh yang keeratan hubungannya dengan ayah kurang baik (10.0%) memiliki tujuan hidup dan cita-cita kurang penting. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan yang positif antara keeratan contohayah terhadap tujuan hidup dan cita-cita (p=0.006, r= 0.314).
Hal ini berarti
bahwa semakin erat dengan ayah, maka tujuan hidup dan cita-cita semakin tinggi prioritasnya. Tabel 33 Hubungan keeratan contoh-ayah dengan tujuan hidup dan cita-cita Keeratan contoh dengan ayah
tidak penting n % 1 10.0 7 11.7 0 0.0
kurang baik cukup baik Sangat baik P-value koefisien korelasi (r) Keterangan: * *= nyata pada p<0.01
Tujuan hidup dan cita-cita sangat cukup penting penting n % n % 9 90.0 0 0.0 47 78.3 6 10.0 3 50.0 3 50.0 0.006** 0.314
Total n 10 60 6
% 100.0 100.0 100.0
Tabel 33 menggambarkan bahwa contoh memerlukan dukungan ayah untuk mencapai tujuan hidup dan cita-cita yang diinginkan. Ayah merupakan kepala
keluarga
yang
dianggap
paling
bertanggung
jawab
terhadap
kelangsungan hidup keluarga. Ayah mempunyai kekuasaan yang dianggap sangat tinggi untuk mengambil keputusan sehingga peran ayah sangat penting bagi perkembangan cita-cita remaja. Anak juga membutuhkan ayah sebagai pengarah pendidikannya dan teladan untuk perannya kelak (Gunarsa & Gunarsa 2004).
87
Hubungan harapan ayah dengan tujuan hidup dan cita-cita contoh Tabel 34 menunjukkan bahwa contoh dengan harapan ayah tinggi (20.0%) memiliki tujuan dan cita-cita yang sangat penting. Sementara itu, contoh dengan harapan ayah rendah (22.7%) memiliki tujuan dan cita-cita yang tidak penting. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan yang positif antara harapan ayah contoh terhadap tujuan hidup dan cita-cita (p=0.001, r= 0.376).
Hal ini berarti bahwa semakin tinggi harapan ayah terhadap contoh,
maka tujuan hidup dan cita-cita akan semakin tinggi prioritasnya. Tabel 34 juga memperlihatkan bahwa harapan ayah akan mempengaruhi tujuan hidup dan cita-cita contoh di masa yang akan datang. Hal ini diperjelas oleh Alvin (2007) yang mengemukakan bahwa para orangtua benar-benar menjadi penentu batas-batas pengaruh terhadap anak-anaknya. Tingkat pendidikan orangtua yang semakin tinggi, maka semakin adanya persaingan untuk menghasilkan anak-anak yang memiliki kemampuan dalam berbagai aspek. Tabel 34 Hubungan harapan ayah dengan tujuan dan cita-cita contoh
tidak penting n %
Tujuan hidup dan cita-cita sangat cukup penting penting n % n %
n
rendah
2
22.2
6
66.7
1
11.1
9
100.0
sedang
5
9.6
42
80.8
5
9.6
52
100.0
tinggi 1 6.7 P-value koefisien korelasi (r) Keterangan: * *= nyata pada p<0.01
11
73.3 3 0.001** 0.376
20.0
15
100.0
Harapan ayah
Total %
Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Stres Faktor-faktor yang diuji pengaruhnya terhadap tingkat stres dalam penelitian ini adalah karakteristik anak (umur contoh, jenis kelamin, kepribadian, tujuan hidup dan cita-cita, urutan kelahiran), karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan keluarga, umur orangtua, dan fasilitas belajar), interaksi contoh dengan ayah (interaksi dengan ayah, komunikasi dengan ayah, keeratan dengan ayah, kualitas interaksi, dan harapan ayah), interaksi di lingkungan sekolah (interaksi dengan guru, interaksi dengan teman, dan prestasi akademik.
88
Setelah dilakukan uji regresi linear berganda, didapatkan berbagai jenis model regresi yang terpilih pada Tabel 35 berikut. Tabel 35 Variabel yang mempengaruhi tingkat stres NO
Variabel
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta (Constant) 1 Jenis kelamin 2 Besar keluarga 3 Kepribadian 4 Interaksi ayah 5 Interaksi dengan guru 6 Interaksi dengan sekolah 7 Harapan ayah 8 Rapor psikomotorik 9 Fasilitas belajar 10 Umur ibu 11 Pekerjaan ayah 12 Pekerjaan ibu Adjusted R square F (P) df n
0.27 0.24 0.24 -0.26 -0.19 -0.16 0.15 -0.17 0.17 -0.23 -0.14 0.17
4.08 2.41 2.33 2.39 -2.34 -1.72 -1.48 1.50 -1.66 1.48 -2.22 -1.29 1.56 32.7% 4.04 12 76
0.00 0.02* 0.02* 0.02* 0.02* 0.09 0.14 0.14 0.10 0.14 0.03* 0.20 0.12
Keterangan: * = nyata pada p<0.05
Dari model regeresi linier berganda tersebut, variabel jenis kelamin (p=0.02), besar keluarga (p=0.02), kepribadian (p=0.02), interaksi ayah (p=0.02), dan umur ibu (p=0.03) yang memiliki pengaruh nyata terhadap tingkat stres contoh. Nilai adjusted R Square (R2) dalam model regresi ini adalah sebesar 32.7 persen. Hal ini berarti bahwa beberapa variabel diatas hanya dapat menjelaskan 32.7 persen dari penyebab stres yang dialami oleh contoh, selebihnya dijelaskan oleh variabel-variabel yang lain di luar model tersebut, misalnya alokasi waktu dan strategi belajar. Menurut Alvin (2007), strategi belajar yang terorganisasi dapat membantu segala sesuatu menjadi teratur sehingga dapat meminimalkan stres. Alokasi waktu yang efektif dan efisien juga dapat meminimalkan stres. Menurut Guharja (1992) alokasi waktu anak antara lain dipergunakan untuk: 1) pekerjaan rumah tangga (membantu ibu), 2) kegiatan sosial dan pendidikan (belajar, sekolah, les, dan ekstrakurikuler), 3) kegiatan pribadi (mandi, beribadah), dan 4) waktu luang (rekreasi, menonton, dan olahraga). Hasil uji regresi linear tersebut menunjukkan bahwa peningkatan besar keluarga akan meningkatkan stres anak. Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin banyaknya anggota keluarga yang tinggal bersama, maka stres anak semakin
89
tinggi. Kepadatan keluarga akibat jumlah anggota yang banyak dapat menyebabkan kelelahan mengasuh anak sehingga anak kurang diawasi dan kurang memenuhi kebutuhannya (Siregar 2003). Hal ini juga dinyatakan oleh Guharja (1992) bahwa keluarga besar yang terdiri dari banyak anak juga akan memungkinkan ketegangan antar anggota keluarga menjadi lebih besar sehingga sikap anak bisa berdampak negatif. Jenis kelamin memiliki pengaruh yang nyata terhadap tingkat stres. Hasil uji regresi linear menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat stres, maka persentase perempuan semakin banyak (lampiran 4). Hal ini diduga karena setelah mencapai usia 15 tahun, perempuan dua kali lebih besar dibandingkan laki-laki memiliki pengalaman depresi yang serius. Studi menunjukkan bahwa selama SMA remaja putri mengalami tingkat depresi, kegelisahan, masalah pola makan, dan emosional dibanding remaja laki-laki. Pada beberapa remaja putri, emosi yang meletup-letup, lekas marah, dan perubahan fisik disebabkan oleh premenstrual syndrome (Num 2002). Selain itu, dampak premenstrual syndrome dapat menyebabkan remaja putri seringkali merasa malu dan menutup diri terhadap lingkungan sehingga dapat mengarah kepada gangguan depresi (Lisnawati 2008). Kepribadian memiliki pengaruh yang nyata terhadap tingkat stres. Hasil uji regresi linear menunjukkan bahwa peningkatan tipe kepribadian ekstrovert akan meningkatkan stres anak. Hal ini berbeda dengan teori Jung (1971) dalam Tahsinul (2007) yang menyatakan bahwa individu yang memiliki tipe kepribadian introvert akan cenderung menyelesaikan semua permasalahannya sendiri, segala keputusan, dan lebih dipengaruhi oleh dunia subjektif sehingga bila tidak dapat
menyelesaikan masalah,
maka
individu
tersebut
akan menekan
masalahnya dan membiarkan masalah menumpuk. Hal ini akan memicu timbulnya stres. Padahal individu ekstrovert cenderung untuk menceritakan segala hambatan yang dialaminya pada orang lain dan lebih dipengaruhi oleh dunia objektif sehingga akan sedikit merasa puas telah berbagi dengan orang lain dan stres yang dihadapi akan cenderung dapat diselesaikan dengan baik. Ketidaksesuaian dengan teori tersebut diduga karena persiapan ujian yang belum matang dan pikiran yang negatif terhadap ujian. Persiapan yang matang menjadikan pemahaman terhadap suatu pelajaran lebih mudah dan cepat sehingga akan lebih percaya diri dalam hal kemampuan akademiknya. Selain itu, pikiran mempengaruhi bentuk keyakinan dan interprestasi. Apabila
90
interprestasinya negatif, ia akan merasa stres, dan sebaliknya (Alvin 2007). Berdasarkan hasil uji regresi linear menunjukkan bahwa peningkatan interaksi dengan ayah akan menurunkan tingkat stres anak. Interaksi dengan ayah yang dilandasi dimensi kehangatan menurunkan tingkat stres. Dengan adanya interaksi yang baik antara ayah dan anaknya menyebabkan adanya interaksi mutualisme (timbal balik) yang baik juga antara anak dan ayahnya sehingga tidak memberikan peluang akan terjadinya stres bagi anak. Dalam mencapai tujuan keluarga, peranan ayah sebagai sumber kekuasaan, dasar identifikasi, penghubung dengan dunia luar, pelindung terhadap ancaman dari luar, dan membentuk kemampuan akademik (Yusuf 2009). Umur ibu juga memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat stres. Semakin tinggi umur ibu, maka tingkat stres anak semakin rendah. Umur ibu yang tinggi memiliki kecenderungan pola pikir yang matang dan dewasa sehingga pengasuhan anak bisa optimal. Hal ini juga diduga karena adanya umur termuda ibu contoh kurang dari 40 tahun sebanyak 16 orang. Pengasuhan yang tidak berkualitas kemungkinan akan membentuk anak yang anti sosial, yaitu remaja yang stres, terlibat narkoba, minum alkohol, dan terlibat dalam perkelahian antar geng (Hastuti 2008). Pembahasan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui interaksi antara remaja, ayah, dan sekolah serta hubungannya dengan tingkat stres dalam menghadapi Ujian Nasional. Penelitian ini menempatkan contoh sebagai seorang remaja yang menjadi anggota dari suatu organisasi baik organisasi keluarga dan sekolah. Pemahaman peran dan fungsi remaja baik sebagai anak maupun sebagai pelajar didekati melalui sistem interaksi dan pendekatan teori ekosistem dalam keluarga (Bronfenbrenner 1981). Bronfenbrenner (1981) menyajikan model pandangan dari segi ekologi dalam mengerti sosialiasi anak. Model tersebut menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat didalam model yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada disekitarnya, yaitu lingkungan mikrosistem yang merupakan lingkungan terdekat dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga. Teorinya menjelaskan peta interaksi antar lingkungan dengan anak, sebagai hasil interaksi lingkungan mikrosistem, mesosistem,
eksosistem,
dan
makrosistem
di
sekitarnya.
Lingkungan
91
mesosistem yang berupa hubungan antara lingkungan mikrosistem satu dengan mikrosistem lainnya, misalnya hubungan antara lingkungan keluarga dengan sekolah dan hubungan antara lingkungan keluarga dengan teman sebaya. Lingkungan eksosistem adalah lembaga atau institusi yang mempengaruhi anak, anak secara tidak langsung mempunyai peran secara aktif, misalnya tempat kerja orangtua, lembaga dan lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas melebihi lingkungan mesosistem dan eksosistem yang meliputi struktur sosial budaya suatu bangsa secara umum. Hampir seluruh contoh mempunyai rencana jangka pendek meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi setelah Ujian Nasional. Hal tersebut dikarenakan pendidikan tertinggi ayah adalah perguruan tinggi. Orangtua yang berpendidikan tinggi cenderung mendorong anak untuk belajar. Gejala stres yang seringkali dialami oleh kedua sekolah contoh menjelang UN adalah sukar berkonsentrasi belajar. Hal ini diduga karena tidak mempunyai jadwal belajar yang jelas dan realistis. Persentase terbesar mata pelajaran yang dirasakan kurang mampu yang diujikan pada Ujian Nasional adalah Ilmu Pengetahuan Alam. Hasil penelitian menemukan adanya hubungan antara interaksi dengan sekolah dan tingkat stres. Hal ini berarti bahwa semakin baik interaksi dengan sekolah, maka tingkat stresnya akan semakin menurun. Harapan ayah mempengaruhi tujuan hidup dan cita-cita contoh di masa depan. Semakin tinggi harapan ayah terhadap contoh, maka tujuan hidup dan cita-cita akan semakin tinggi prioritasnya. Tingkat stres banyak dialami oleh remaja perempuan, berasal dari keluarga dengan ukuran besar, bertipe kepribadian ekstrovert, kurangnya interaksi dengan ayah, dan umur ibu yang lebih muda. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tingkah laku orangtua dapat mempengaruhi pembinaan anak-anaknya. Secara umum, tidak terdapat perbedaan antara interaksi ayah dengan contoh maupun interaksi contoh dengan ayah. Hasil penelitian Puspitawati (2006) mengindikasikan orangtua yang berkompeten adalah melakukan pengasuhan dengan hangat dan mendukung, menghargai anaknya, mencintai anaknya, melakukan kegiatan bersama, menanyakan pendapat, dan membantu memecahkan masalah bersama. Gaya pengasuhan ayah dan ibu merupakan mediator antara karakteristik keluarga dan tingkat stres pelajar di SMK TI dan SMU. Jadi, karakteristik orangtua yang kompeten dalam penelitian ini adalah orangtua yang mampu melakukan
92
pengasuhan dengan penuh kehangatan dan dukungan, mempedulikan masalah yang sedang dihadapi, mencintai anaknya, menghargai anaknya, mendiskusikan sesuatu, dan membantu menyelesaikan masalah. Merujuk pada pendekatan teori ekologi keluarga/teori sistem, apabila salah satu subsistem terganggu, maka berakibat pada terganggunya sub-sistem lainnya. Pengasuhan yang cenderung mengarah pada interaksi yang baik antara ayah dan contoh serta interaksi yang terjadi dalam keluarga akan memiliki kualitas hubungan yang baik pula. Akhirnya, apabila ayah mendampingi dan membimbing anaknya dengan baik, maka akan mempengaruhi penurunan stres anak. Jadi, dapat dikatakan bahwa apabila ayah dapat mengoptimalkan peranannya dalam menjalankan fungsi pengasuhan yang baik, maka anak akan mampu
mengatasi
stresnya.
Penelitian
ini
telah
membuktikan
Teori
Bronfenbrenner (1981) bahwa outcome anak yang berupa tingkat stres dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya khususnya lingkungan keluarga dan sekolah.
93
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Lebih dari separuh contoh berumur 17 tahun, tergolong pada kategori anak tengah (SMA Negeri 3) dan anak sulung (SMA Insan Kamil) serta berasal dari keluarga dengan ukuran sedang (5-6 orang). Persentase terbesar contoh dominan pada tipe kepribadian ekstrovert, memiliki orangtua dengan kategori usia dewasa madya, dan pendidikan tertinggi orangtua adalah perguruan tinggi (ayah) dan tamat SMA (ibu). Hampir seluruh contoh mempunyai rencana jangka pendek meneruskan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Proporsi terbesar contoh termasuk ke dalam kategori cukup penting cita-cita dan tujuan. Persentase terbesar ayah contoh di SMA Negeri 3 memiliki pekerjaan utama sebagai karyawan swasta, sedangkan pada SMA Insan Kamil memiliki proporsi yang sama sebagai pegawai negeri, wiraswasta, dan karyawan swasta. Proporsi terbesar pendapatan keluarga pada kedua sekolah contoh yaitu terletak pada kisaran Rp 2.5 juta – Rp 5 juta. Seluruh contoh juga disediakan fasilitas dan sarana belajar di rumah. Persentase terbesar contoh memiliki interaksi dengan ayah cukup baik. Lebih dari separuh contoh memiliki komunikasi dengan ayah cukup baik. Sebagian besar contoh memiliki keeratan dengan ayah cukup baik. Selain itu, persentase tertinggi contoh memiliki kualitas interaksi dengan ayah cukup puas. Sebagian besar ayah contoh memiliki harapan sedang terhadap masa depan contoh setelah Ujian Nasional. Sebagian besar contoh termasuk dalam kategori cukup baik berinteraksi dengan guru dan teman. Selain itu, sebagian besar contoh juga memiliki interaksi dengan sekolah cukup baik. Persentase terbesar contoh memiliki nilai kognitif dengan kategori sedang (65-80) dan ada perbedaan di kedua sekolah. Prestasi akademik berdasarkan nilai psikomotorik memiliki proporsi yang sama dengan kategori sedang dan tinggi (SMA Negeri 3) dan kategori sedang (SMA Insan Kamil). Selain itu, nilai afektif contoh tergolong kategori baik (SMA Negeri 3) dan baik sekali (SMA Insan Kamil). Persentase terbesar contoh di kedua sekolah berada dalam kategori tingkat stres sedang. Persentase contoh di SMA Negeri 3 yang mengalami tingkat stres tinggi lebih banyak dibandingkan persentase contoh di SMA Insan Kamil dalam kategori tersebut.
94
Semakin baik interaksi dengan sekolah, maka tingkat stresnya akan semakin menurun. Semakin ekstrovert, maka semakin baik interaksi dengan teman. Semakin erat interaksi contoh dengan ayah, maka semakin baik pula interaksi dengan sekolah. Semakin erat interaksi contoh dengan ayah, maka tujuan hidup dan cita-cita semakin tinggi prioritasnya. Selain itu, semakin tinggi harapan ayah terhadap contoh, maka tujuan hidup dan cita-cita akan semakin tinggi prioritasnya. Jenis kelamin, besar keluarga, kepribadian, interaksi ayah, dan umur ibu memiliki pengaruh nyata terhadap tingkat stres contoh. Tingkat stres banyak dialami oleh remaja perempuan, berasal dari keluarga dengan ukuran besar, bertipe kepribadian ekstrovert, kurangnya interaksi dengan ayah, dan umur ibu yang lebih muda. Saran Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi contoh dengan sekolah berhubungan dengan tingkat stres. Oleh karena itu, hendaknya sekolah terutama guru dalam menghadapi Ujian Nasional sudah memberikan persiapan sedini mungkin baik psikis dan mental siswa dengan pendalaman materi dan latihan soal-soal dengan cara menarik sehingga siswa tidak merasa bosan dan jenuh. Selain itu, berjalannya fungsi bimbingan konseling siswa bukan hanya memberikan informasi seputar UN melainkan motivasi dan membantu siswa tenang menghadapi UN. Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
interaksi
dengan
ayah
mempengaruhi stres anak. Berdasarkan hal ini, ayah hendaknya mempunyai waktu banyak untuk bertukar pikiran, mendukung, dan mengatasi masalah anaknya terutama saat menghadapi Ujian Nasional. Walaupun ibu sebagai pengasuh utama dalam keluarga, tetapi ayah tidak boleh meninggalkan perannya sebagai pengarah perkembangan di masa depan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja perempuan rentan terhadap stres. Oleh karena itu, hendaknya ayah lebih memperhatikan remaja perempuan dengan tidak membeda-bedakan jenis kelamin. Saran untuk pengembangan ilmu keluarga yaitu adanya penelitian dengan membandingkan antara sekolah dengan kategori sekolah yang
95
heterogen di Kota Bogor. Selain itu, perlu dilakukan penelitian dengan interaksi dengan ibu karena orangtua tidak hanya seorang ayah saja.
DAFTAR PUSTAKA Adelia.
2006. Libatkan Ayah dalam Mendidik Anak. http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/9/3/kel3.html [16 April 2009].
Al-Mighwar, M. 2006. Psikologi Remaja, petunjuk bagi guru dan orangtua. Bandung: Pustaka Setia. Alvin Ng. 2007. Handling Study Stress. Jakarta : PT elex Media Komputindo. Anonim. 2003. Mungkinkah anak stres lalu bunuh diri?. www.pikiran-rakyat.com [05 Desember 2008]. Anonim. 2005. Apa itu Stres?. [terhubung berkala]. www.Balipost.com . [05 Desember 2008]. Anton
W, 2006. Waspadai stress pada anak. www.portal.Cbn.net.id [05 Desember 2008].
Tabloid
Ibu
Anak
Atkinson, R.L., R.C. Atkinson, & Hilgard. 2000. Pengantar Psikologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Awal. 2008. Stres Pada Remaja dan Solusinya. www.myawal’sweblog.com. [23 Mei 2009]. Benson, L. 1968. Fatherhood: A sociological perspective. New York: Random House, Inc. BKKBN. 2007. Peran Ayah pada Pengasuhan Anak. www.gemapriabkkbn.com [22 Mei 2009]. BKKBN. 2009. Emosi di Masa Remaja. www.bkkbn.com.[23 Mei 2009]. Bronfenbrenner. 1981. The Ecology of Human Development: Experiment By Nature and Design, USA: Library of Congress Cataloging in Publication Data. Depdiknas. 2006. Kelulusan UN 2006. www.depdiknas.go.id [12 Mei 2008]. Guhardja, S. Puspitawati, H. Hartoyo,.D Martianto, D.H. 1992. Manajemen Sumber daya Keluarga. Diktat Kuliah. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas pertanian. IPB. Bogor. Gunarsa & Gunarsa. 2000. Psikologi Praktis : Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. ________________. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
96
Handayani. 2004. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Tipe Pengasuhan oleh Ayah dan Kecerdasan Emosional Anak Usia Sekolah [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hasbullah. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hastuti, D. 2008. Pengasuhan: Teori dan Prinsip serta Aplikasinya di Indonesia. Diktat kuliah. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia. IPB. Bogor. Horne AM & Kiselica. 1999. Handbook of Counseling Boys and Adolescent Males. USA: Sage Publications. Hurlock, E.B. 1973. Adolescent Development (4thed). USA. McGraw Hill. ____________. 1980. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta ; Erlangga. Kunarti. 2004. Pengaruh Interaksi Keluarga dan Tekanan Ekonomi terhadap kenakalan Remaja di Sekolah Menengah Kejuruan Teknik Industri (SMKTI) Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Lianawati E. 2008. Mengapa Lebih Banyak Perempuan Depresi dibanding dengan Laki-laki?? www.lianawati-blog’s.com [18 Juni 2008]. Mahfuzh, M.J. 2001. Psikologi Anak dan Remaja Muslim (A.R.Shiddiq & A.V. Zaman, penerjemah). Jakarta: Pustaka Al Kautsar. McCubbin & Thompson. 1987. Family Assessment Inventories for Research and Practice. Madison, The University of Wisconsin-Madison. Megawangi, R. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan. _____________.2007. Semua Berakar pada Karakter. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Nasution. 2007. Stres Pada Remaja [skripsi]. Medan: Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Needlman, R. 2004. Adolescent Stress. http://www.drspock.com/article.html. [16 Juni 2009]. Num, 2002. Apa Setiap Perempuan Harus www.psicologosclinicos.com [10 Agustus 2009].
Tahu
Tentang
Depresi.
Nurhayati N. 2006. Kala Remaja Depresi. www.wap.korantempo.com [21 Desember 2008] Papalia & Olds. 1986. Human Development. Mc-Graw Hill.
97
Ridwan. 2008. Ketercapaian Desember 2008].
Prestasi
Belajar.
www.dunia-ilmu.html
Retnowati. 2005. Remaja dan Permasalahannya. psy.staff.ugm.ac.id/files.doc. [23 Mei 2009].
[18
http://sofia-
Rohman. 2008. Bersama Ayah, Anak Bisa Membaca. www.flickr.com [05 Juni 2009]. Rohner, R.P. 1986. The Warmth Dimension Foundations of Acceptance-Rejection Theory. Sage Publications. USA.
Parental
Ruffin NJ, 2001. Children and stress: caring strategies to guide children. http://www.ext.vt.edu/pubs/family/350-054/350-054.html [05 Desember 2008]. Santrock. 2003. Adolescence: Perkembangan Remaja (Edisi ke-6). Penerjemah; Adelar S, Saragih S, penerjemah; Kristiadji, Sumiharti Y. Terjemahan dari: Adolescence. Sardiman. 2004. Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar. Jakarta: Grafindo Persada. Sarwono, S.W. 2007. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Singarimbun M & Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta,Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Siregar. 2003. Pengaruh Nilai dan Jumlah Anak pada Keluarga Terhadap NKKBS. http://library.usus.ac.id/fkm-fazidah.html [23 Mei 2009]. Sudaryanto. 2008. UN & Dualisme Pembelajaran. www.pelita.or.id [21 Desember 2008]. Sunarti, E. 2004. Mengasuh dengan Hati. Jakarta: Gramedia. Suriati, A. 2006. Memacu Tanpa Menekan. www.wrm-indonesia.org [25 November 2008]. Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu dan Sekolah Efektif. Jakarta: Grasindo. Tahsinul, 2008. Kepribadian. www.tahsinulweblog’s.com [12 Mei 2008]. Tarmizi, 2008. Peranan Komunikasi dalam Keluarga Untuk Pembentukan Sikap Siswa. www.ramadhan-blog.html. [05 Desember 2008]. Turner, S.D.L.& Helms. 1986. Land Policy and Agriculture in Eastern and Southern Africa: Seleceted Papers Presented at Workshop Held in Gaborne, Botswana., The United Nations University. Tokyo.
98
Wibowo, 2009. Standar Kelulusan UN Tahun 2009 Minimal 5.50 www.penapendidikan.com [26 Juli 2009].
99
Lampiran 1 Variabel dan reliabilitas Item Pertanyaan
Reliabilitas (α-cronbah)
Tujuan Hidup
10
0.704
Kepribadian
18
0.754
Tingkat Stres
29
0.854
Interaksi dengan Ayah
18
0.792
Komunikasi dengan Ayah
8
0.869
Keeratan dengan Ayah
10
0.840
Kualitas Interaksi
2
0.893
Interaksi dengan Lingkungan Sekolah
17
0.706
Harapan Ayah
17
0.818
Variabel
100
Lampiran 2 Sebaran contoh berdasarkan interaksi diadik contoh dengan ayah (%) Hubungan contoh dengan ayah Perlakuan ayah kepada saya Dimensi Kehangatan Ayah bertanya mengenai mata pelajaran Ujian Nasional (UN) yang sedang saya hadapi Ayah menemani saya belajar untuk menghadapi UN Ayah mendiskusikan mengenai rencana jangka pendek setelah UN Ayah membantu saya belajar, misal membelikan buku-buku soal UN untuk saya kerjakan Ayah memberikan pujian atau hadiah untuk memotivasi saya belajar Dimensi kekasaran Ayah marah-marah untuk memaksa saya belajar* Ayah mengkritik perbuatan saya saat nilai-nilai saya buruk* Ayah membentak saya dengan marah jika saya tidak belajar* Ayah bertengkar dengan saya jika saya tidak menuruti perintahnya* Perlakuan Saya kepada ayah Dimensi kehangatan Saya mempedulikan masalah yang sedang ayah hadapi Saya berbuat sesuatu yang kemudian membuat ayah merasa bangga dan disayang Saya mendiskusikan keinginan saya dengan ayah sehingga ayah merasa dihargai Saya membantu ayah bila ayah perlu sesuatu Saya memberikan pujian atau hadiah untuk membuat ayah senang dan bahagia Dimensi kekasaran Saya marah-marah pada ayah* Saya mengkritik perbuatan ayah* Saya membentak ayah dengan marah* Saya bertengkar dengan ayah* Keterangan: A: Tidak pernah,B:Jarang,C:Cukup,D:Sering,E:Selalu * = pernyataan negatif
SMAN 3 BOGOR C D
SMA INSAN KAMIL B C D
E
23.7 18.4 10.5
34.2 23.7 23.7
21.1 2.6 39.5
5.3 0.0 10.5
28.9 34.2
7.9 15.8
23.7 28.9
18.4 15.8
21.1 5.3
2.6 18.4 0.0 5.3
50.0 15.8 44.7 47.4
26.3 18.4 34.2 28.9
18.4 47.4 10.5 13.2
2.6 10.5 5.3 5.3
2.6 7.9 5.3 5.3
18.4
10.5
10.5
10.5
44.7
18.4
15.8
55.3
23.7
2.6
2.6
21.1
50.0
13.2
13.2
10.5 5.3 39.5
39.5 34.2 34.2
31.6 47.4 13.2
15.8 13.2 2.6
10.5 0.0 21.1
21.1 15.8 21.1
28.9 23.7 47.4
21.1 36.8 5.3
18.4 23.7 5.3
31.6 47.4 26.3 39.5
15.8 26.3 0.0 7.9
0.0 7.9 0.0 7.9
0.0 0.0 0.0 0.0
65.8 44.7 76.3 68.4
18.4 31.6 15.8 26.3
7.9 18.4 5.3 2.6
7.9 5.3 2.6 2.6
0.0 0.0 0.0 0.0
A
B
E
A
7.9 47.4 10.5
23.7 15.8 10.5
21.1 28.9 23.7
44.7 7.9 34.2
2.6 0.0 21.1
15.8 55.3 15.8
7.9 15.8
15.8 23.7
39.5 36.8
21.1 15.8
15.8 7.9
52.6 18.4 47.4 39.5
21.1 21.1 28.9 28.9
18.4 23.7 15.8 13.2
5.3 18.4 7.9 13.2
5.3
10.5
55.3
0.0
18.4
2.6 0.0 10.5 52.6 18.4 73.7 44.7
101
Lampiran 3 Sebaran contoh berdasarkan harapan ayah (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pernyataan Anak saya harus menurut kata/perintah orangtua agar lulus Ujian Nasional (UN) Pergaulan anak saya harus selalu dipantau menjelang Ujian Nasional(UN) Anak saya harus bisa menjadi bintang kelas atau berprestasi agar nilai Ujian Nasional bagus Jika tidak lulus UN, Anak saya bisa menyita waktu dan uang orangtua Anak saya harus masuk perguruan tinggi setelah lulus Ujian Nasional Anak saya harus mempunyai pekerjaan dan penghasilan sendiri setelah lulus Ujian Nasional (UN) Anak saya harus membantu ekonomi orang tua setelah lulus UN Jika tidak lulus UN, Anak saya dapat menyebabkan bertambahnya beban tanggungan keluarga Jika lulus UN, Anak saya dapat mendatangkan kebahagiaan Jika lulus UN, Anak saya dapat meningkatkan status sosial keluarga Jika tidak lulus UN, Anak saya dapat membuat saya stres Anak adalah kekayaan yang tak ternilai Anak adalah pelindung bagi keluarga Anak saya dapat mempererat hubungan keluarga Anak saya dapat membuat hidup terasa lengkap Anak adalah titipan Tuhan yang harus dijaga
Keterangan: A: Sangat tidak setuju, B: Tidak setuju, C: Setuju, D: Sangat setuju
SMAN 3 BOGOR
SMA INSAN KAMIL
A 2.6 0.0 5.3
B 18.4 7.9 36.8
C 52.6 50.0 44.7
D 26.3 42.1 13.2
A 2.6 2.6 2.6
B 7.9 2.6 34.2
C 57.9 52.6 52.6
D 31.6 42.1 10.5
5.3 0.0 2.6
15.8 5.3 68.4
73.7 50.0 26.3
5.3 44.7 2.6
7.9 2.6 5.3
31.6 18.4 73.7
44.7 52.6 18.4
15.8 26.3 2.6
5.3 5.3
84.2 28.9
10.5 63.2
0.0 2.6
13.2 5.3
78.9 42.1
7.9 44.7
0.0 7.9
0.0 2.6 5.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
0.0 23.7 44.7 0.0 21.1 0.0 0.0 0.0
57.9 60.5 39.5 31.6 52.6 65.8 50.0 15.8
42.1 13.2 10.5 68.4 26.3 34.2 50.0 84.2
5.3 2.6 7.9 2.6 2.6 2.6 2.6 0.0
5.3 23.7 39.5 2.6 31.6 0.0 2.6 0.0
39.5 63.2 36.8 18.4 47.4 60.5 44.7 18.4
50.0 10.5 15.8 76.3 18.4 36.8 50.0 81.6
102
Lampiran 4 Sebaran contoh berdasarkan interaksi contoh di lingkungan sekolah (%) SMAN 3 BOGOR
Interaksi contoh dengan sekolah Guru menyuruh belajar sendiri saja jika saya sulit mengerti pelajaran yang diajarkan* Guru tidak mempunyai waktu untuk mendengar keluhankeluhan saya* Guru memperhatikan saya jika bertanya tentang pelajaran yang diajarkan Guru menyampaikan pelajaran terlalu cepat dan sulit dipahami* Guru memberikan nilai secara objektif Guru sering memuji dan bangga kepada saya jika melakukan hal yang baik Saya mempunyai teman baik (sahabat) Saya sangat percaya pada teman-teman saya Saya sering berdiskusi dengan teman mengenai kesulitan belajar atau apa saja Sangat sulit bagi saya untuk minta tolong pada teman* Saya dan teman-teman sering berkumpul bersama Saya sering cekcok dengan teman* Secara umum saya sangat suka bersekolah di sekolah ini Sekolah ini sangat membosankan bagi saya* Saya merasa dekat, paling tidak dengan guru di sekolah ini Fasilitas sekolah ini menunjang semangat belajar saya Saya memiliki prestasi di sekolah ini
SMA INSAN KAMIL
A
B
C
D
E
A
B
C
D
E
10.5
42.1
34.2
7.9
5.3
26.3
47.4
21.1
5.3
0.0
5.3
42.1
36.8
10.5
5.3
36.8
39.5
21.1
2.6
0.0
2.6
5.3
23.7
47.4
21.1
0.0
2.6
15.8
57.9
23.7
0.0
18.4
50.0
26.3
5.3
0.0
39.5
36.8
18.4
5.3
0.0
2.6
31.6
50.0
15.8
5.3
2.6
26.3
55.3
10.5
5.3
7.9
44.7
39.5
2.6
2.6
39.5
36.8
18.4
2.6
0.0 0.0
0.0 0.0
2.6 21.1
28.9 57.9
68.4 21.1
5.3 0.0
0.0 7.9
13.2 36.8
15.8 42.1
65.8 13.2
2.6
0.0
18.4
42.1
36.8
0.0
5.3
26.3
31.6
36.8
13.2 0.0 23.7 0.0 31.6 2.6 5.3 13.2
39.5 0.0 42.1 0.0 23.7 21.1 21.1 23.7
36.8 15.8 21.1 15.8 31.6 39.5 57.9 42.1
10.5 26.3 5.3 31.6 10.5 31.6 15.8 21.1
0.0 57.9 7.9 52.6 2.6 5.3 0.0 0.0
23.7 0.0 26.3 0.0 28.9 5.3 2.6 7.9
34.2 2.6 36.8 7.9 26.3 7.9 13.2 18.4
36.8 10.5 31.6 18.4 28.9 26.3 18.4 31.6
5.3 44.7 2.6 36.8 13.2 36.8
0.0 42.1 2.6 36.8 2.6 23.7 34.2 2.6
Keterangan:A: Tidak pernah terjadi, B: Jarang terjadi, C: Cukup terjadi, D: Sering terjadi, E: Selalu terjadi A: Salah sama sekali,B: kemungkinan besar salah, C: Salah dan benar seimbang, D: Kemungkinan besar benar, E: Benar sekali A: tidak setuju, B: kurang setuju, C: Setengah setuju, D: Cukup setuju, E: Sangat setuju * = pernyataan negatif
31.6 39.5
i
Lampiran 5 Sebaran pernyataan contoh berdasarkan sistem UN No 1 2 1 2
1 2 3 4
1 2 1 2 3 4 5
Pernyataan Jadwal sehari-hari yang jelas dan realistis Ya Tidak Adanya masalah dengan mata pelajaran Ya Tidak Mata Pelajaran yang dirasakan kurang mampu yang diujikan pada Ujian Nasional Matematika Bahasa Inggris Bahasa Indonesia Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Tepatkah sistem pendidikan di Indonesia dengan mengadakan Ujian Nasional Ya Tidak Target nilai untuk mencapai kelulusan 5.5 6.5 7.5 8.5 9.5
n
Persentase (%)
31 45
40.8 59.2
53 23
69.7 30.3
11 8 1 56
14.5 10.5 1.3 73.7
19 57
25.0 75.0
0 2 12 24 35
0.0 2.7 16.4 32.9 47.9
ii
Lampiran 6 Sebaran pernyatan contoh berdasarkan perasaan menghadapi UN No
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
Pernyataan Kesan setelah mendengar kata Ujian Nasional Hal yang menegangkan Biasa saja Hal yang membuat senang atau semangat Lainnya Hal yang dilakukan untuk menghilangkan rasa cemas Pergi kerumah saudara atau teman Jalan-jalan ke tempat hiburan Mendekatkan diri pada Tuhan Lainnya Persiapan yang dilakukan dalam menghadapi Ujian Nasional Bimbingan belajar Belajar sendiri Belajar kelompok Lainnya
n
Persentase (%)
42 19 13 2
55.3 25.0 17.1 2.6
5 13 41 17
6.6 17.1 53.9 22.4
48 15 1 12
63.2 19.7 1.3 15.8
ii