INTEGRASI-INTERKONEKSI KEILMUAN ALA ABDUL MALIK FADJAR (Refleksi Wacana dan Konstruk Sejarah Pemikiran) Rifda El Fiah PPs Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
[email protected]
Abstract This article describes scientific integration of Abdul Malik Fajar’s insight. In essence, discussion surrounding the integration of scientific discourse, between general/secular sciences and religious ones, has long been the discussion of experts. The reason why Abdul Malik Fajar’s insight the topic of discussion in this article is because his thoughts on integration of science not to be simply discourse. What is more, he was able to pave the way to be an important and esteemed public figure that was pointed to hold the reins of the Minister of Religious Affairs, and followed then to be the Minister of National Education. Reconstruction of Islamic education from dichotomious character into non-dichotomous one, the existence of the Islamic education system that should be placed within the framework of sociological purposes, as well as school-based management education as a realization of the decentralization of education by offering school-based management (SBM) is the most original thought he was offering. Abstrak Artikel ini memaparkan gagasan pemikiran integrasi keilmuan Abdul Malik Fadjar. Pada dasarnya, diskursus seputar wacana integrasi keilmuan, ilmu umum dan ilmu agama, telah lama menjadi perbincangan para ahli. Abdul Malik Fadjar sendiri diangkat menjadi topik pembahasan dalam artikel ini dikarenakan pemikirannya tentang integrasi keilmuan tidak hanya sebatas ia wacanakan. Lebih dari itu, ia mampu meretas jalan sebagai sosok yang diperhitugkan dan dipercaya memegang tampuk Menteri Agama dan kemudian menyusul Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
313
Rida El Fiah
menjadi Menteri Pendidikan Nasional. Rekontruksi pendidikan Islam dari dikotomik menjadi nondikotomik, keberadaan sistem pendidikan Islam yang seharusnya ditempatkan dalam kerangka tujuan sosiologis, serta Menajemen Pendidikan berbasis Sekolah sebagai realisasi desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dengan menawarkan Menejemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah sebagian pemikiran orisinal yang ia tawarkan. Kata Kunci: Integrasi keilmuan, integrasi-interkoneksi, wacana dan pemikiran.
A. Pendahuluan Suatu sistem pendidikan dapat dikatakan bermutu, jika proses belajar mengajar berlangsung secara menarik dan menantang, sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang bermutu akan membuahkan hasil pendidikan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan. Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu dan efisien perlu disusun dan dilaksanakan programprogram pendidikan yang mampu membelajarkan peserta didik secara berkelanjutan; karena dengan kualitas pendidikan yang optimal, diharapkan akan dicapai keunggulan sumber daya manusia yang dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas, diperlukan manajemen pendidikan yang dapat memobilisasi segala sumber daya pendidikan. Manajemen pendidikan itu terkait dengan manajemen peserta didik yang isinya merupakan pengelolaan dan juga pelaksanaannya. Fakta-fakta di lapangan ditemukan sistem pengelolaan anak didik masih menggunakan cara-cara konvensional dan lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberi perhatian kepada pengembangan bakat kreatif peserta didik. Padahal, selain bermanfaat untuk pengembangan diri anak didik, kreativitas juga merupakan kebutuhan akan perwujudan diri sebagai salah satu kebutuhan paling tinggi bagi manusia. Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan, menilai dan menguji dugaan atau hipotesis, kemudian mengubahnya dan 314
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Integritas-Interkoneksi Keilmuan ala Abdul Malik Fadjar
mengujinya lagi sampai pada akhirnya menyampaikan hasilnya. Dengan adanya kreativitas yang diimplementasikan dalam sistem pembelajaran, peserta didik nantinya diharapkan dapat menemukan ide-ide yang berbeda dalam memecahkan masalah yang dihadapi sehingga ide-ide kaya yang progresif dan divergen pada saatnya dapat bersaing dalam kompetisi global yang selalu berubah. Di zaman yang sudah modern ini, pendidikan masih dianggap sebagai kekuatan utama dalam komunitas sosial untuk mengimbangi laju berkembangnya ilmu dan teknologi. Persepsi masyarakat ini kiranya telah mampu memobilisasi kaum cerdik cendikia untuk selalu merespon secara stimulan terhadap perkembangan dan sistem pendidikan berikut unsur-unsur yang terkait yang berpotensi positif bagi keberhasilan pendidikan. Secara sosiologis, pendidikan selain memberikan amunisi memasuki masa depan, ia juga memiliki hubungan dialektikal dengan tranformasi sosial masyarakat. Transformasi pendidikan selalu merupakan hasil dari trasformasi sosial masyarakat, dan begitupun sebaliknya. Berbagai pola dan corak sistem pendidikan menggambarkan corak dari tradisi dan budaya sosial masyarakat yang ada. Maka, hal yang paling mendasar yang perlu diperhatikan adalah suatu sistem pendidikan dibangun guna melaksanakan “amanah masyarakat” untuk menyalurkan anggota-anggotanya ke posisi-posisi tertentu. Artinya, suatu sistem pendidikan bagaimanapun harus mampu menjadikan dirinya sebagai mekanisme alokasi posisional bagi civitas akademika untuk memasuki masa depannya. Banyak usaha telah dilakukan oleh para pemikir, praktisi dan pelaku pendidikan untuk mengkonstruksinya sebagai amunisi memasuki masa depan. Dalam konteks inilah nama Abdul Malik Fadjar (selanjutnya dalam tulisan ini disebut Malik Fadjar) bisa dinyatakan sebagai salah seorang pakar dan sekaligus praktisi pendidikan di tanah air.1 Ide, gagasan-gagasan dan kebijakankebijakannya kemudian mendapat respon positif bagi kemajuan Untuk mengetahui tokoh-tokoh pendidikan di tanah air, baca lebih lanjut Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 57. 1
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
315
Rida El Fiah
pendidikan di negeri ini. Intelektualitas dan kapabilitasnya di bidang pendidikan dapat dilihat dari sejarah hidup yang diabdikannya pada lembaga-lembaga pendidikan yang dipimpinnya sampai mencapai kualifikasi academic exellence dan kompetitif advantage di era global. Pemikirannya yang prinsip tentang pendidikan Islam, yaitu mengenai bagaimana mengenalkan pendidikan yang betul-betul mampu menggambarkan integrasi keilmuan. Yaitu melakukan rekonstruksi terhadap realitas keilmuan yang bersifat dualistik atau dikotomis, meminjam istilah Abdurrahman Mas’ud dalam bukunya: Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik. Latar belakang pendidikan Malik Fadjar sangat berwarna Islam: lulus dari PGA dan PGAA, lalu memperoleh gelar sarjana muda dari IAIN dan sarjana lengkap dari IAIN serta kiprah pengabdiannya juga di IAIN. Pada tahap selanjutnya, Malik Fadjar pernah menjabat sebagai Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, dan pada gilirannya ia diangkat menjadi Menteri Agama RI di era Habibie dan dipercaya untuk menjadi Menteri Pendidikan Nasional di era Pemerintahan Megawati.2 B. Malik Fadjar dan Proyek Pemikiran Integrasi-Interkoneksi Pendidikan 1. Biografi dan Riwayat Pendidikan Malik Fadjar3 Prof. Dr. H. Abdul Malik Fadjar memiliki nama lengkap Abdul Malik Fadjar yang dilahirkan di Yogyakarta tanggal 22 Februari 1939. Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara dari pasangan Fadjar Martodiharjo dan Hj. Salamah Fadjar. Abdul Malik Fadjar memiliki riwayat pendidikan antara lain: Sekolah Rakyat di Magelang (selama 6 tahun); Pendidikan Guru Agama Pertama di Magelang (selama 4 tahun); Pendidikan Guru Agama 2 http://www.pelita.or.id/images/headerbaru.gif Pelita. (Diakses pada Minggu 30 Mei 2010). 3 Baca terutama “Dari Guru SD ke Menteri: Selejang Hidup A. Malik Fadjar”, Bagian Pertama buku A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan (Jakarta: Fadjar Dunia, 1999). Lihat juga, Imam Gozali, “Konsep pemikiran Pendidikan Islam Prof. Dr. H. Abdul Malik Fadjar, M.Sc.”, http://pujakesumaigmafazizah.blogspot.com/2011/04/konsep-pendidikan-menurut.html. (Diakses tanggal 21 Oktober 2011). Juga, http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/ abdul-malik-fadjar/index.shtml. (diakses tanggal 21 Oktober 2011).
316
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Integritas-Interkoneksi Keilmuan ala Abdul Malik Fadjar
Atas di Yogyakarta (2 tahun). Pada tahun 1963 ia meneruskan pendidikan ke jenjang sarjana muda di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Malang. Kemudian dilanjutkan lagi hingga meraih gelar sarjana tahun 1972. Beliau adalah lulusan tahun 1972 dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Malang. Setelah itu, Abdul Malik Fadjar mendapat kesempatan melanjutkan studi di Department of Educational Research, Florida State University, Amerika Serikat dan meraih gelar Master of Science tahun 1981. 2. Riwayat Pekerjaan A. Malik Fadjar4 Abdul Malik Fadjar memulai karirnya sebagai guru agama di SD Taliwang (1959-1960), guru SMI, guru agama pada SGBN Sumbawa Besar dan Guru Agama pada SMPN Sumbawa besar dan kepala SMEP. Malik Fadjar langsung menjadi guru selepas lulus dari Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) Negeri Yogyakarta tahun 1959. Setelah menjadi guru agama selama empat tahun, pada 1963 Malik Fadjar kembali ke Jawa karena panggilan tugas belajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Malang. Begitu lulus dia mengajar di almamaternya dan menjadi Sekretaris Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel hingga tahun 1979. Setelah itu, Abdul Malik Fadjar mendapat kesempatan melanjutkan studi di Department of Educational Research, Florida State University, Amerika Serikat dan meraih gelar Master of Science tahun 1981. Sepulang dari Amerika ia kemudian dipercaya untuk menjabat sebagai Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (Unmuh Malang), tahun 1983-1984. Lalu menjabat Rektor di dua universitas: Unmuh Malang dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) hingga tahun 2000. Pada tahun 2000, Malik Fadjar diangkat menjadi guru besar di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pada masa kepemimpinan Presiden B.J. Habibie ia diangkat menjadi Menteri Agama dan pada era kepemimpinan Megawati Soekarno Putri diangkat menjadi Menteri Pendidikan Nasional. 3. Karya-karya A. Malik Fadjar Karya-karya yang dihasilkan oleh Prof. Dr. H. A. Malik Fadjar, MSc antara lain: 4
Ibid.
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
317
Rida El Fiah
1. Kuliah Agama Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981). 2. Kepemimpinan Pendidikan (Malang: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang,1983) 3. Dunia Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan (Malang: UMM Press,1989) 4. Dasar-dasar Administrasi Pendidikan (Yogyakarta: Aditya Media, 1993) 5. ReorientasiWawasan Pendidikan dalam Muhammadiyah dan NU (Malang: UMM Press,1993) 6. Visi Pembaharuan Pendidikan Islam (Jakarta: LP3NI, 1998) 7. Madrasah Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1998) 8. Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Fadjar Dunia, 1999) 9. Holistika Pemikiran Pendidikan (Jakarta: Fadjar Dunia, 1999) 10.Pendidikan, Agama, Kebudayaan dan Perdamaian (Malang: UIN Malang Perss, 2004) 11.Sintesa Antara Perguruan Tinggi dengan Pesantren (Malang: UIN Malang Press, 2004) 12.Berbagai artikel dan makalah yang dimuat berbagai media, baik nasional maupun internasional.5 C. Konsep Pendidikan Islam Menurut Malik Fadjar 1. Pengertian Pendidikan Islam Tulisan H. Mutamam yang berjudul “Pendidikan Agama Menjadi Menjadi Pendidikan Penting Di Dunia Moderen”, dengan mengutip pendapat Malik Fadjar, menyebutkan, dalam sejarah pendidikan Indonesia maupun dalam studi pendidikan, istilah “Pendidikan Islam” umumnya dipahami sebagai ciri khas jenis pendidikan yang berlatar belakang keagamaan. Demikian pula batasan yang ditetapkan di dalam sebuah Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yang diperinci sebagai berikut:6 Imam Gozali, “Konsep Pemikiran Pendidikan.” http://pujakesumaigmafazizah.blogspot.com/2011/04/konsep-pendidikan-menurut.html, (Diakses tanggal 21 Januari 2012). Juga, http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/ abdul-malik-fadjar/index.shtm. (Diakses tanggal 21 Januari 2012) 6 A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia, 1991), h. 31. 5
318
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Integritas-Interkoneksi Keilmuan ala Abdul Malik Fadjar
1. Pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat keislaman. 2. Pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang memberikan pengertian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan. 3. Pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian di atas. Karena itu, jika kita ingin menatap masa depan pendidikan Islam yang mampu memainkan peran strategis dan memperhitungkannya untuk dijadikan pilihan, maka perlu ada keterbukaan wawasan dan keberanian dalam memecahkan masalahmasalahnya secara mendasar dan menyeluruh, seperti berkaitan dengan hal-hal berikut ini: (a) Kejelasan antara yang dicita-citakan dengan langkah operasionalnya; (b) Pemberdayaan kelembagaan yang ada dengan menata kembali sistemnya; (c) Perbaikan, pembaharuan dan pengembangan dalam sistem pengelolaan atau menejemen; dan (d) Peningkatan SDM yang diperlukan.7 2. Tujuan Pendidikan Islam Harus diakui, praktek penyelenggaraan pendidikan Islam selama ini sering mengalami benturan antara tradisional dan modern serta kelemahan positioning kelembagaan pendidikan Islam itu sendiri, misalnya konsep pendidikan Islam yang memposisikan Islam dan ilmu pengetahuan secara dikotomis. Bahkan, lebih naif lagi penyelenggaraan pendidikan Islam sering dibatasi hanya pada organisasi masyarakat Islam semata. Malik Fadjar sendiri, dalam buku Membuka Jendela Pendidikan mengatakan bahwa keberadaan sistem pendidikan Islam seharusnya ditempatkan dalam kerangka tujuan sosiologis. Artinya, bagaimana menempatkan sistem pendidikan Islam dalam alokasi posisional yang setara dengan sistem sekolah lainnya. Kerangka posisional tersebut mengimplementasikan adanya mandat dari masyarakat yang harus dijalankan oleh sistem pendidikan Islam dengan menyalurkan anggota-anggotanya Ibid. Lihat juga, Reorientasi Wawasan Muhammadiyah dan NU (Malang: UMM Press, 1993). 7
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pendidikan
dalam
319
Rida El Fiah
ke dalam posisi-posisi tertentu. Samuel Bowless menyarankan bagaimana sistem pendidikan Islam mampu mencari struktur status dari generasi ke generasi, daripada membantu menimbulkan mobilitas antar kelas. Mekanisme alokasi posisional juga menyarankan suatu sistem pendidikan Islam memiliki kemampuan yang besar dalam menyerahkan lulusannya sesuai selera masyarakat secara luas. Juga menyarankan adanya mobilitas yang kuat dari masyarakat untuk mengakhiri pendidikannya sampai pada jenjang pendidikan yang setinggi-tingginya, dan sistem pendidikan Islam yang berkualitas. Menurut Zakiyah Daradjat, sebagaimana diuraikan Nur Uhbiyarti, tujuan pendidikan Islam secara keseluruhan adalah keperibadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil dengan pola takwa. Beberapa tujuan pendidikan yang perlu diketahui:8 a. Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau yang lainnya; b. Tujuan akhir, tujuan ini dapat dipahami dengan firman Allah berikut ini:
ﭤﭥﭦﭧﭨﭩﭪﭫﭬﭭﭮ ﭯ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”.9
3. Peran Pranata Pendidikan Konsep pemikiran Malik Fadjar tentang peran pranata kependidikan adalah bahwa melalui pranata pendidikan, berbagai kegiatan pendidikan menjadi kekuatan riil bagi proses pembangunan bangsa. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa, untuk mengetahui peranan pranata pendidikan, berikut ini adalah pranata pendidikan: (1) Peranan guru dan pemimpin pendidikan; 8 Nur Uhbiyati, “Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Menurut Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Yogyakarta I”, Skripsi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga 2007), h.11. 9 QS. Al-Imran: 102.
320
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Integritas-Interkoneksi Keilmuan ala Abdul Malik Fadjar
(2) Peranan pedidikan lembaga-lembaga pendidikan formal; (3) Peranan lembaga keagamaan sebagai wadah kependidikan nonformal; (4) Peranan pusat-pusat keilmuan sebagai wadah kegiatan penelitian; (5) Peranan pusat seni sebagai wadah pendidkan dan kebudayaan. Selama ini peranan pranata kependidikan masih tampak bergerak sendiri-sendiri dan belum membentuk sinergi positif yang mendukung proses pembangunan bangsa. Masing-masing lebih banyak melihat dunianya sendiri dan kurang membuka dan saling memberi akses. Sehingga, makna pendidikan mengalami “penyempitan” dan “reduksi”. Bahkan “mandek”, terkurung dalam sistem sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi. 4. Menejemen Pendidikan MBS Dalam buku Holistika Pemikiran Pendidikan, A. Malik Fadjar mengemukakan tentang pemikiran-pemikirannya mengenai dunia kependidikan Indonesia. Menurutnya, pendidikan nasional harus mempunyai visi dan misi. Visi misi itu bertumpu pada kenyataan: (a) Perjalanan kehidupan berbangsa di negara Indonesia; (b) Suasana yang diliputi konflik yang terjadi; (c) Pembenahan di kala krisis; (d) Kondisi di antara aneka persoalan bangsa; dan (e) Peradaban dan kebudayaan.10 Singkatnya, pendidikan nasional mengemban visi dan misi integrasi nasional, martabat kemanusiaan, spiritual dan moralitas bangsa, kecerdasan dan kecakapan hidup.11 Selain itu, Malik Fadjar berpendapat bahwa manajemen pendidikan harus diganti dari Manajemen Berbasis Kurikulum menjadi Menajemen Berbasis Sekolah. Mengenai MBS sebagai realisasi dari desentralisasi pendidikan, sedikitnya ada empat bentuk yang perlu diidentifikasi: (1) Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan sebagian kewenangan atau tanggung jawab administratif ke tingkat yang lebih rendah; (2) Delegasi, yaitu pelimpahan atau pemindahan tanggung jawab manajerial dan fungsional ke organisasi di luar struktur birokrasi; (3) Devolusi, yaitu penguatan dan penciptaan unit pemerintah di daerah; (4). Privatisasi atau swatanisasi, Baca khususnya bab II dan III A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan (Jakarta: Fadjar Dunia, 1999). 11 Ibid. 10
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
321
Rida El Fiah
yaitu pemberian wewenang secara penuh kepada swasta untuk merencanakan, manjalankan dan mengevaluasi seluruh sistem yang di kontruksi.12 MBS ditawarkan sebagai salah satu alternatif jawaban pemberian otonomi daerah di bidang pendidikan, mengingat prinsip dan kecenderungan yang masih mengembalikan pengelolaan manajemen sekolah kepada pihak-pihak yang dianggap paling mengetahui kebutuhan sekolah. Oleh karena itu, jika kita semua sedang gencar berbicara tenteng reformasi pendidikan, maka dalam konteks MBS tema sentral yang diangkat adalah isu desentralisasi. Desentralisasi dalam pengertian sebagai pengalihan tanggung jawab pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam hal perencanaan, manajemen, penggalian dana dan alokasi sumber daya. D. Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan: Mencari Format Pemikiran Malik Fadjar Paradigma integrasi-interkoneksi yang dimaksud di sini adalah penjelasan tentang teori tersebut, yang mana penulis anggap relevan untuk mengungkap geneologi sejarah pemikiran integrasi keilmuan ala Malik Fadjar. Tujuannya sebagai rujukan atau bahan acuan dalam menganalisis proyek pemikiran integrasi keilmuan Malik Fadjar. Adapun konsep atau pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan integrasi-interkoneksi dalam upaya mempertemukan kembali antara ilmu-ilmu keislaman (islamic studies) dengan ilmu-ilmu umum (modern science), sehingga tercapai kesatuan ilmu yang integratif-interkonektif.13 1. Sekilas tentang Integrasi-interkoneksi Integrasi-interkoneksi merupakan dua kata yang berbeda, tapi mempunyai maksud dan tujuan yang sama yaitu menggabungkan dan mengkaitkan dua persoalan yang dianggap terpisah.14 Dalam hal ini, mengkaji atau mempelajari tentang Ibid. Sekar Ayu Ariyani dkk., Sukses Di Perguruan Tinggi, Sosialisasi Pembelajaran Bagi Mahasiswa Baru UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: Tim CTSD UIN Sunan Kalijaga, 2007), h.1. 14 John M. Ecols. Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 139. 12 13
322
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Integritas-Interkoneksi Keilmuan ala Abdul Malik Fadjar
satu bidang tertentu dengan tetap melihat bidang keilmuan lainnya itulah integrasi; sedangkan melihat kesaling-terkaitan dengan berbagai disiplin keilmuan adalah yang dimaksud dengan interkoneksi. Kata integrasi-interkoneksi akhir-akhir ini menjadi trend baru bagi civitas akademika dalam mengembangkan disiplin keilmuan baik di tingkat pendidikan dasar maupun di tingkat perguruan tinggi. Kata integrasi di dalam kamus ilmiah populer mempunyai makna “penyatuan”, “penggabungan”, dan “penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh”.15 Jadi, pada hakikatnya paradigma integrasi-interkoneksi ingin menunjukkan bahwa antarberbagai bidang keilmuan tersebut sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan itu adalah realitas alam semesta yang sama. Hanya saja, dimensi dan fokus yang dilihat oleh masing-masing disiplin keilmuan berbeda.16 Pendekatan kontak mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah dapat memperluas cakrawala keyakinan religius (teologi) dan bahwa perspektif keyakinan religius dapat memperdalam pemahaman kita tentang alam semesta (kosmologi).17 Selanjutnya, jika ditelisik lebih jauh, gagasan integrasi ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum sebenarnya bukan merupakan fenomena baru dalam khazanah epistimologi keilmuan Islam. Sebab, pada asasnya Islam tidak mendikotomikan antara ilmu agama dan ilmu umum.18 Hal itu dapat dilihat dari sabda Nabi Muhammad saw., “Menuntut ilmu pengetahuan wajib bagi setiap muslim”. Kata ilmu yang tertera di dalam hadis tersebut tidak secara spesifik merujuk ilmu apa yang wajib dipelajari: apakah ilmu agama (islamic studies) ataukah ilmu-ilmu umum (modern science). Hal 15
h. 264.
M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arloka, 1994),
M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. viii. 17 John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama Dari Konflik Ke Dialog, terj. Fransiskus Borgias (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004), h. 19. 18 Wiji Hidayati, dkk., Pendidikan Islam Dalam Wacana IntegrasiInterkoneksi, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah, UIN SUKA, 2009), h. 8. 16
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
323
Rida El Fiah
ini mengindikasikan bahwa Islam sebagai asas normatif-inklusif memberikan kebebasan kepada umat Islam dalam mempelajari ilmu pengetahuan dengan tidak memandang atau memilah-memilih terhadap bidang keilmuan, baik ilmu yang berasal dari Islam (AlQur’an dan hadis) maupun ilmu yang berasal dari Barat (sekuler). Oleh sebab itu, gagasan integrasi-interkoneksi tidak menjadi persoalan dan tidak pula diperdebatkan ke permukaan karena semua itu merupakan ilmu yang berasal dari Allah swt. Secara epistemologis, paradigma integrasi-interkoneksi merupakan jawaban atau respon terhadap kesulitan-kesulitan yang dirasakan selama ini. Kesulitan yang diwariskan dan diteruskan selama berabad-abad dalam peradaban Islam tentang adanya dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama. Kedua disiplin ilmu ini berjalan sendiri-sendiri tanpa perlu saling tegursapa.19 Setelah adanya paradigma integrasi-interkoneksi yang dilakukan dalam domain internal ilmu-ilmu keislaman, dan juga dalam disiplin keilmuan ilmu-ilmu umum, masing-masing rumpun ilmu menyadari keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada dirinya dan oleh karena itu keduanya bersedia untuk berdialog dan bekerjasama satu sama lain untuk melengkapi kekurangan masing-masing.20 Sebagai contoh, bentuk skema interconnected entities keilmuan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam bentuk yang sudah dimodifikasi menjadi tiga sudut keilmuan yang terdiri dari had}ārah an-na>s, had}ārah al-‘ilm, dan had}ārah al-falsafah.21 Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat dari gambar dibawah ini: had}Ɨrah an-na>s.
Matakuliah
had}Ɨrah al-‘ilm
had}Ɨrah al-falsafah
M. Amin Abdullah, Islamic Studies”, h. viii. Sekar Ayu Ariyani dkk., Sukses di Perguruan Tinggi, h. 10. 21 Ibid.,h.12. 19
20
324
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Integritas-Interkoneksi Keilmuan ala Abdul Malik Fadjar
Skema segitiga di atas mencerminkan keterpaduan antara masing-masing disiplin keilmuan, saling menunjang, saling bertegur sapa, dan saling bersentuhan satu sama lain tanpa melihat perbedaan pada aspek dimensi masing-masing ilmu. 2. Model Kajian Integrasi-Interkoneksi Integrasi Pendidikan Agama Islam (PAI) dan mata pelajaran umum terbagi dalam beberapa model kajian, antara lain: 22 Pertama, informatif, yang berarti suatu disiplin ilmu perlu diperkaya dengan informasi yang dimilki oleh disiplin ilmu lain sehingga wawasan civitas akademika semakin luas. Misalnya, ilmu agama yang bersifat normatif perlu diperkaya dengan teori ilmu sosial yang bersifat historis, demikian pula sebaliknya. Kedua, konfirmatif, yakni mengandung arti bahwa suatu disiplin ilmu tertentu dapat membangun teori yang kokoh perlu memperoleh penegasan dari disiplin ilmu yang lain. Misalnya, teori binnary opposition dalam antropologi akan semakin jelas jika mendapat konfirmasi dari sejarah sosial dan politik serta dari ilmu agama tentang kaya-miskin, mukmin-kafir, surga-neraka, dan lainnya. Ketiga, korektif, yakni teori ilmu tertentu perlu dipertemukan dengan ilmu agama atau sebaliknya; sehingga yang satu dapat mengoreksi yang lain. Dengan demikian, perkembangan ilmu akan semakin dinamis. Menurut Amin Abdullah, aktivitas pendidikan dan keilmuan di Perguruan Tinggi Agama dan Perguruan Tinggi Umum di Indonesia mirip seperti pola kerja ilmuan awal abad renaissance hingga era revolusi informasi. Nafsu serakah telah menguasai perilaku cerdik pandai dimana praktik korupsi merajalela, tindakan kekerasan dan mutual distrust mewabah di mana-mana.23 Hal ini disebabkan karena kurangnya peran agama Islam sebagai kontrol perilaku duniawi. Di samping itu, disebabkan karena hilangnya kesadaran (awareness) akan kode etik dan keteladanan dari seorang public figur seperti para tokoh-tokoh pemegang kekuasaan, yang semestinya menjadi panutan bagi 22 23
Ibid., h. 17. M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan ,h. 94.
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
325
Rida El Fiah
rakyat pada umumnya. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Kemerosotan moralitas, sikap anarkis, dan kriminalitas justru semakin tak terelakkan lagi di kalangan rakyat. Kepercayaan dan harapan para orangtua terhadap pendidikan agama kini semakin hari semakin menipis, bahkan mereka berasumsi bahwa mempelajari ilmu agama dan ilmu umum itu tidak ada bedanya. Hingga kini, masih kuat anggapan dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa “agama” dan “ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya memiliki wilayah sendirisendiri, terpisah antara yang satu dengan yang lainnya, baik dari segi obyek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuan maupun status teori masingmasing bahkan sampai ke institusi penyelenggaraannya. Dengan ungkapan lain, ilmu tidak mempedulikan agama, dan agama tidak mempedulikan ilmu. Begitulah sebuah gambaran praktek kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karenanya, anggapan yang tidak tepat tersebut perlu dikoreksi dan diluruskan.24 Ilmu-ilmu agama disikapi dan diperlakukan sebagai ilmu Allah yang bersifat sakral dan wajib untuk dipelajari. Sebaliknya, kelompok ilmu umum, baik ilmu kealaman maupun sosial dianggap ilmu manusia, bersifat profan yang tidak wajib untuk dipelajari. Akibatnya, terjadi reduksi ilmu agama dan pendangkalan pada ilmu umum secara bersamaan.25 Dari sini tergambar bahwa ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Umum dan ilmu-ilmu agama yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Agama secara terpisah, yang sekarang ini berjalan, sedang terjangkit krisis relevansi (tidak dapat memecahkan banyak persoalan).26 Keberadaan kedua lembaga pendidikan ini, yang keduanya bernaung di bawah kementerian yang berbeda, yaitu antara Kementerian Pendidikan Ibid., h. 92. M. Amin Abdullah, dkk. Kerangka Dasar Keilmuan Dan Pengembangan Kurikulum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN, 2006), h. 15. 26 M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan , h. 97. 24 25
326
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Integritas-Interkoneksi Keilmuan ala Abdul Malik Fadjar
Nasional dan Kementerian Agama di awal kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan terpisahnya dua kementerian ini, khususnya dalam hal pendidikan, maka bertambah sempurnalah praktek dikotomi.27 Dari latar belakang seperti itulah, gerakan reapproachment atau gerakan penyatuan (reintegrasi epistemologi keilmuan), kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada antara kedua mainstream keilmuan merupakan suatu keniscayaan dan mutlak diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan yang serba kompleks dan tak terduga pada milenium ketiga.28 Kemudian, yang menjadi tugas penting seorang guru ialah, guru harus memberikan pemahaman, peneladanan kepada peseta didik, termasuk memasukkan nilai-nilai moral agama, etika, akidah akhlak, kesusilaan, dan nila-nilai luhur lainnya, termasuk nilai-nilai IMTAQ (keimanan dan ketaqwaan) kepada Sang Maha Pencipta.29 Nilai-nilai inilah semestinya ditanamkan dalam diri para siswa sejak dini agar para siswa menjadi insan religius-intelektualis yang lulus dengan berbekal ilmu dan agama serta mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, dalam mengintegrasikan IPTEK dan IMTAQ dalam pembelajaran yang memiliki landasan yuridis yang sangat kuat, maka keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia30 merupakan salah satu tujuan dari sistem pendidikan nasional. Hal ini tertuang dalam UUD 1945 sampai UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 (amandemen ke-4) diamanatkan dengan tegas bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah meningkatkan keimanan dan ketakwaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, dari pemaparan mengenai konsep integrasi-interkoneksi keilmuan inilah muncul gagasan pemikiran Ibid., h. viii. Ibid., h. 97. 29 Suparlan, Membangun Sekolah Efektif (Yogyakarta: Hikayat, 2008), 27 28
h. 141.
Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya (Jakarta: Trinity, 2007), h. 23 30
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
327
Rida El Fiah
Malik Fadjar tentang pendidikan Islam, yaitu mengenai bagaimana mengenalkan pendidikan yang betul-betul mampu menggambarkan integrasi keilmuan dapat disandingkan. Dengan kata lain, Malik Fadjar sesungguhnya bermaksud untuk melakukan rekonstruksi terhadap realitas keilmuan yang bersifat dualistik atau dikotomis-- meminjam istilah Abdurrahman Mas’ud dalam bukunya, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik. E. Konstruk Sejarah Pendidikan di Indonesia: Refleksi dan Relevansi Gagasan Malik Fadjar Indonesia merupakan negara yang bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama; melainkan negara yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.31 Kelima azas yang termuat di dalam Pancasila itulah yang menjadi landasan hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di tanah air. Ini sama halnya dengan landasan pendidikan di Indonesia yang berlandaskan pada Undang-Undang Dasar 1945. Sebagaimana dicantumkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab II ayat 1, dijelaskan bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.32 Diuraikan juga tentang peran dan fungsi pendidikan nasional dalam mengaktualisasi potensi dan bakat peserta didik sebagaimana yang tertera pada pasal 3 yang menegaskan, bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat jasmani dan rohani, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab”.33 Pendidikan merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan, baik secara akal, mental maupun secara moral; sehingga mampu menjalankan Suyanto, Pendidikan Berlandaskan Keimanan Di Tengah Pendidikan Sekuler, dalam buku Menuju Jati Diri Pendidikan Yang Mengindonesia (Yogyakarta: UGM Press, 2009), h. 52. 32 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 5. 33 Ibid., h.5. 31
328
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Integritas-Interkoneksi Keilmuan ala Abdul Malik Fadjar
perannya sebagai khali>fah fi al-‘ard} (pemelihara alam semesta) dan kelak ia akan bertanggung jawab di hadapan Tuhan.34 Kesiapan mental dan pola pikir setiap peserta didik di dalam berproses menuju pendewasaan akan mengantarkan mereka untuk terus mempelajari setiap perubahan sosial dalam upaya mempertahankan eksistensi sosial mereka yakni melalui proses pendidikan. Pada hakikatnya, manusia ialah mahluk homo educandum (educable), yang berarti “makhluk yang dapat menerima pendidikan”.35 Di samping sebagai makhluk yang bisa dididik, manusia juga bisa berperan sebagai pendidik yang mampu berkreasi (daya cipta), berinovasi (sebagai pembaharu), berinteraksi (mempengaruhi), dan berkomunikasi (berhubungan/timbal balik dengan sesama manusia), dalam situasi dan kondisi lingkungan yang kompleks. Dengan demikian, pendidikan merupakan salah satu unsur yang paling penting dalam hidup manusia yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari dirinya, mulai dari kandungan sampai ia beranjak dewasa. Tidak berhenti sampai di situ, seluruh proses kehidupan yang dilalui oleh setiap manusia tidak dapat dilepaskan dari nilainilai pendidikan; karena pada dasarnya pendidikan dalam arti luas adalah kehidupan, dan kehidupan adalah pendidikan. Artinya, dalam perjalanan panjang hidupnya, baik yang dialami oleh dirinya sendiri maupun yang dialami oleh lingkungannya, kehidupan manusia adalah sebuah proses pendidikan atau yang biasa disebut dengan pendidikan sepanjang hidup (long life education).36 Pendidikan bagaikan cahaya penerang yang menuntun manusia dalam menentukan arah, tujuan dan makna kehidupan ini. Sementara itu, pendidikan dalam arti sempit ialah segala aktivitas yang dilakukan secara terencana baik secara transfer 34 Muhammad Sya’roni, “Pendidikan Agama Islam Terpadu Imtak Dan Iptek, sebuah Terobosan Integrasi Ilmu Pengetahuan dan Agama”, Jurnal Pendidikan Islam, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Vol. 2 No. 2 (Mei-Agustus 2009), h. 140. 35 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006), h. 93. 36 Maragustam Siregar, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: t.t.p., 2010), h. 8.
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
329
Rida El Fiah
of knowledge (alih ilmu), transfer of value (alih nilai), transfer of culture (alih budaya), dan transfer of methodology (alih metode), maupun transformatif (hal-hal yang diterima peserta didik dalam proses pembelajaran menjadi milik peseta didik dan dapat membentuk pribadinya); baik yang dilakukan perseorangan, kelompok, lembaga formal, informal maupun non-formal.37 Pada proses “pemanusiaan manusia muda”38 melalui pendidikan, manusia pada hakikatnya adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan-Nya. Hal ini disebabkan kemampuan berbahasa dan akal pikiran (rasio); sehingga mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang berbudaya. Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia pada dasarnya adalah upaya mengembangkan potensi atau kemampuan individu; sehingga bisa hidup optimal baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat, serta memiliki nilai moral dan sosial sebagai pedoman hidupnya. Dalam dunia pendidikan nasional saat ini, upaya lembaga pendidikan untuk mengintegrasi-interkoneksikan pengetahuan umum dengan agama menemukan jalan yang terang. Kebijakan seputar pendidikan lebih banyak dilimpahkan kepada pengelola pendidikan yang tidak berhenti hanya pada level pemerintah kota tetapi menerobos sampai level yang paling rendah yaitu satuan pendidikan atau sekolah.39 Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, kurikulum menjadi tugas masing-masing sekolah; sehingga akan terjadi berbagai variasi dan jenis kurikulum pada setiap satuan pendidikan di sekolah, karena kurikulum dikembangkan sesuai dengan karaktersitik dan kemampuan peserta didik masingmasing sekolah.40 Meskipun demikian, perbedaan ini tetap berpedoman pada Standar Nasional Pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Ibid., h. 8. Sumitro dkk, Pengantar Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: UNY Press, 2006), h. 18. 39 Muhammad Sya’roni, “Pendidikan Agama Islam Terpadu…h. 143. 40 Ibid.,143 37 38
330
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Integritas-Interkoneksi Keilmuan ala Abdul Malik Fadjar
Adapun kurikulum Pendidikan Agama Islam (selanjutnya disebut PAI) yang mengacu pada standar kompetensi meliputi: Aqidah (keyakinan), Syari’ah (keislaman), dan Akhlak (ihsan/ pengamalan). Ketiga inti ajaran ini kemudian dijabarkan dalam kurikulum dalam bentuk rukun iman, rukun Islam, dan akhlak. Dari ketiganya, lahirlah ilmu tauhid, ilmu fiqih, dan ilmu akhlak. Setelah itu, baru dilengkapi dengan pembahasan dasar hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis, serta ditambah lagi dengan sejarah Islam, sehingga berurutan menjadi mata pelajaran: (a) Ilmu Tauhid, (b). Ilmu Fiqih, (c) Al-Qur’an, (d) Al-Hadist, dan (e) Sejarah Islam.”41 Akhir-akhir ini, mata pelajaran PAI sebagai salah satu muatan kurikulum banyak mendapat sorotan dan perbincangan serius di masyarakat, mulai dari tukang becak hingga para pakar pendidikan. Hal ini disebabkan karena melihat realitas yang terjadi di lapangan, bahwa banyak cendikiawan yang ahli dalam bidang agama tetapi masih melakukan tindakan asosial dan amoral yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Pelbagai fenomena kehidupan masyarakat di atas menunjukkan semakin tingginya kebutuhan dan harapan pada pelaksanaan PAI di sekolah. Sebab, pelbagai persoalan banyak terjadi pada peserta didik, seperti kasus tawuran antar pelajar, konsumsi minuman keras, narkoba, seks bebas dan kekerasan dalam pendidikan yang melanda pelajar dan mahasiswa. Ini merupakan bukti, bahwa pendidikan agama Islam belum mampu diserap secara penuh oleh peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan agama Islam belum berjalan secara optimal dalam membentuk peserta didik menjadi pribadi yang sesungguhnya. Di samping itu, fenomena-fenomena di atas sering diklaim sebagai semata-mata bentuk kegagalan dari PAI, sementara masyarakat dan keluarga luput dari perhatian. Padahal, kedua institusi ini memegang peran dominan dalam perkembangan
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 76. 41
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
331
Rida El Fiah
perilaku dan moralitas peserta didik.42 Realitasnya, pembelajaran PAI yang diberikan di sekolah hanya 2 jam pelajaran atau 2 SKS yang jelas tidak cukup untuk menanggulangi gaya hidup hedonis (hedonism life style) dan krisis moral akhlak di kalangan masyarakat. Oleh sebab itu, sangat tidak adil hanya mengkambinghitamkan PAI di sekolah berkaitan dengan kemerosotan moralitas peserta didik. Maka, pembelajaran PAI di sekolah perlu dikaji ulang. Secara khusus, tujuan pendidikan agama Islam (PAI) ialah membentuk akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan manusia yang bermoral, jiwa yang bersih, kemauan yang keras, serta dapat membedakan yang baik dan yang buruk;43 sehingga pada akhirnya dapat memberikan suatu acuan pembelajaran yang efektif dan dapat membentuk peserta didik yang beriman, bertakwa kepada Tuhan yang mahaesa, serta berakhlak mulia. Dalam konteks ini, pendidikan agama Islam dijadikan sebagai salah satu fondasi dalam membangun karakter bangsa (nation character building) serta kepribadian peserta didik yang seimbang, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dari sudut pandang ini, gagasan integrasi keilmuan yang ditawarkan mencoba untuk direalisasikan dalam dunia pendidikan di Indonesia oleh Malik Fadjar menemukan momentumnya. Pendekatan disiplin keilmuan terpadu berbasis paradigma integrasi-interkoneksi yang memadukan antara pembelajaran pendidikan keislaman dan disiplin ilmu-ilmu umum baik yang bersifat lokal-keindonesiaan maupun yang bersifat globaluniversal. Pada gilirannya, perpaduan ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu umum seperti Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Matematika, bahasa Arab, atau memadukan wahyu Tuhan (a>ya>t qauliyah) dengan hasil temuan pikiran manusia (a>ya>t qauniyah) tentu saja tidak akan berimplikasi pada pengecilan peran Tuhan Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan tinggi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2007), h. 21. 43 Lihat Athiyah al-Abrosyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. H. Bustami (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 103. 42
332
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Integritas-Interkoneksi Keilmuan ala Abdul Malik Fadjar
(sekularisasi) atau mengucilkan manusia sehingga teralienasi dari dirinya sendiri, masyarakat serta lingkungan hidupnya.44 F. Penutup Sebagai penutup, dapat dikatakan bahwa sebagai pemerhati, praktisi dan pakar pendidikan, Malik Fadjar adalah seorang tokoh pendidikan tanah air yang memiliki keistimewaan. Sebab, ia merupakan sarjana lulusan dari lembaga pendidikan yang berlatarbelakang agama yang selama ini dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang di Indonesia; tetapi mampu menepis anggapan miring dan diskriminatif terhadap produk pendidikan Islam terutama yang dikelola oleh Kementerian Agama RI. Kemampuan dan amal pengabdian yang ia tunjukkan dengan dipercaya sebagai Menteri Pendidikan Nasional yang notabene merupakan basis ilmu-ilmu umum di Era Megawati Soekarno Putri menjadi bukti konkret ketokohannya. Kemudian, gagasan dan pemikiran di bidang pendidikan yang ia kemukakan dalam berbagai buku karyanya mendapat respon positif dari bergai pihak, khususnya dari para pemerhati pendidikan dan pakar pendidikan. Dari uraian di atas, terdapat beberapa konsep pemikiran tentang pendidikan yang ia tawarkan, antara lain: Pertama, rekontruksi pendidikan Islam dari dikotomik menjadi nondikotomik. Sudah berlangsung lama praktek penyelenggaraan pendidikan Islam sering mengalami benturan antara tradisional dan modern dan kelemahan positioning kelembagaan pendidikan Islam itu sendiri, misalnya konsep pendidikan Islam yang memposisikan Islam dan ilmu pengetahuan secara dikotomis. Kedua, keberadaan sistem pendidikan Islam seharusnya ditempatkan dalam kerangka tujuan sosiologis. Artinya, bagaimana menempatkan sistem pendidikan Islam dalam alokasi posisional yang setara dengan sistem sekolah lainnya. Kerangka posisional tersebut mengimplementasikan adanya mandat dari masyarakat yang harus dijalankan oleh sistem pendidikan Islam dengan menyalurkan anggota-anggotanya ke dalam posisi-posisi tertentu. 44
Sekar Ayu Ariyani dkk., Sukses Di Perguruan Tinggi, h. 2-3.
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
333
Rida El Fiah
Ketiga, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah sebagai realisasi desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dengan menawarkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) agar sekolah memiliki kebebasan dalam mengelola pendidikan yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan masyarakat dimana sekolah tersebut berada.
334
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Integritas-Interkoneksi Keilmuan ala Abdul Malik Fadjar
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, dkk., Kerangka Dasar Keilmuan Dan Pengembangan Kurikulum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN, 2006. Abdullah, M. Amin, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. al-Abrosyi, Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. H. Bustami, Jakarta: Bulan Bintang, 1991. Ariyani, Sekar Ayu, dkk., Sukses Di Perguruan Tinggi, Sosialisasi Pembelajaran Bagi Mahasiswa Baru UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: Tim CTSD UIN Sunan Kalijaga, 2007. al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arloka, 1994. Echols, John M., Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996. Gozali, Imam, “Konsep pemikiran Pendidikan Islam Prof. Dr. H. Abdul Malik Fadjar, M.Sc.”, di http://pujakesumaigmafazizah.blogspot.com/2011/04/konsep-pendidikanmenurut.html. Haught, John F., Perjumpaan Sains dan Agama Dari Konflik Ke Dialog, terj. Fransiskus Borgias, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004. Hidayati, Wiji, dkk., Pendidikan Islam Dalam Wacana IntegrasiInterkoneksi, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah, UIN Sunan Kalijaga, 2009. http://www.pelita.or.id/images/headerbaru.gif Pelita, Minggu 30 Mei 2010. Majid, Abdul dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005. Malik Fadjar, Abdul, Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta: FadjarDunia, 1999. Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
335
Rida El Fiah
Malik Fadjar, Abdul, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia, 1991. Malik Fadjar, Abdul, Reorientasi Wawasan Pendidikan dalam Muhammadiyah dan NU, Malang: UMM Press, 1993. Maragustam, Siregar, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: t.n.p, 2010. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan tinggi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.21. Nata, Abuddin, Tokoh-tokoh Pembaharua Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005. Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006. Sumitro dkk., Pengantar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: UNY Press, 2006. Suparlan, Membangun Sekolah Efektif, Yogyakarta: Hikayat, 2008. Suyanto, Pendidikan Berlandaskan Keimanan Di Tengah Pendidikan Sekuler, dalam buku Menuju Jati Diri Pendidikan Yang Mengindonesia, Yogyakarta: UGM Press, 2009. Sya’roni, Muhammad, “Pendidikan Agama Islam Terpadu Imtak Dan Iptek, sebuah Terobosan Integrasi Ilmu Pengetahuan dan Agama”, Jurnal Pendidikan Islam, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Vol. 2 No. 2 Mei-Agustus 2009. Uhbiyati, Nur, “Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Menurut Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Yogyakarta I”, Skripsi,Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah, UIN Sunan Kalijaga, 2007. Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya, (Jakarta: TRINITY, 2007. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003, Jakarta: SINAR GRAFIKA, 2003. Usman, Filsafat Pendidikan Kajian Filosofis Pendidikan Nahdatul Wathan di Lombok Yogyakarta: Teras, 2010. 336
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011