INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1968 TENTANG PENETAPAN KELONGGARAN-KELONGGARAN PERPAJAKAN UNTUK PENANAMAN MODAL ASING DIBIDANG PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam pembangunan dan penanaman modal dibidang pertambangan, unsur risiko yang harus dipikul oleh usaha-usaha pertambangan lebih besar dari pada usaha-usaha dibidang lain. b. bahwa disamping unsur risiko termaksud, pembangunan dibidang pertambangan, memerlukan modal yang besar dan pengetahuan tehnik yang khusus. c. bahwa untuk dapat mempergiat dan mempercepat pembangunan dan penanaman modal dibidang pertambangan, kecuali minyak dan gas bumi, perlu diberikan perangsang-perangsang sebagai pengimbangan terhadap faktor tersebut diatas. d. bahwa karena itu perlu menentukan lebih lanjut hal-hal tambahan kelonggaran perpajakan termaksud dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing; 2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967, tentang Ketentuan Pokok Penambangan. 3. Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925, sebagaimana diubah dan disempurnakan terakhir dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967. 4. Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944 sebagaimana diubah dan disempurnakan, terakhir dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967. 5. Undang-undang Pajak dividen Tahun 1959. 6. Ketetapan M.P.R.S. Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Mendengar : Saran-saran Menteri Keuangan dan Menteri Pertambangan. MEMUTUSKAN : Menginstruksikan : KEPADA 1. MENTERI KEUANGAN, 2. MENTERI PERTAMBANGAN, UNTUK MELAKSANAKAN KETENTUAN-KETENTUAN TENTANG KELONGGARAN-KELONGGARAN PERPAJAKAN BAGI INVESTASI MODAL ASING DIBIDANG PERTAMBANGAN SEPERTI TERCANTUM DALAM PASAL-PASAL DIBAWAH INI. I. ISTILAH
Pasal 1 Yang dimaksud dengan Perusahaan-perusahaan pertambangan dalam instruksi ini, ialah perusahaan-perusahaan asing yang menjalankan usaha-usaha pertambangan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967. II. KEWAJIBAN-KEWAJIBAN PERPAJAKAN Pasal 2 (1) Pada dasarnya perusahaan-perusahaan pertambangan wajib membayar pajak-pajak dan pungutan-pungutan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sesuai dengan Undang-undang dan Peraturan-peraturan yang berlaku. (2) Pajak-pajak dan pungutan-pungutan Pemerintah Pusat adalah : a. Pajak Perseroan. b. Pajak dividen c. Pajak Penjualan. d. Bea Materai. e. Pungutan-pungutan yang berhubungan dengan kuasa Pertambangan. f. Bea masuk. g. Cukai. h. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kapal-kapal. i. Pungutan ekspor. (3) Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda), Alokasi Devisa Otomatis (Ado), pajak-pajak, iuran-iuran dan pungutan-pungutan Pemerintah Daerah, dapat diperhitungkan dengan pajak perseroan, dan pungutan-pungutan yang berhubungan dengan Kuasa Pertambangan. Pasal 3 Mengingat sifat-sifat khusus dari pada bahan-bahan galian, maka kepada perusahaan-perusahaan pertambangan tidak diberikan pembebasan pajak perseroan seperti dimaksud dalam Pasal 15a, ke-1 dan ke-3, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967. Pasal 4 Kepada perusahaan-perusahaan pertambangan dikenakan pajak perseroan berdasarkan laba kena pajak, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925, menurut tarif seperti tercantum dibawah ini.
Kelompok bahan galian Tembaga, Timbal, Seng, Besi Titan, Mangan, Air-raksa, Molibdinum, Antimon, Asbes, Chromit, Jodium, Aspal-alam, Intan, Belerang, Kaolin, Jarosit Nikkel, Kobalt, Bauksit Timah
Tarip pajak perseroan Tahun Tahun ke-1-10 Ke-11-30 35,0% 37.5% 40,0%
42.0% 45% 48.0%
III. KELONGGARAN DAN PERANGSANG TAMBAHAN Pasal 5 Pembayaran dividen oleh perusahaan-perusahaan pertambangan yang berkedudukan di Indonesia, dapat dibebaskan dari pajak dividen. Pasal 6 (1) Jumlah-jumlah dalam batas-batas yang layak, yang dicadangkan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan untuk menampung kemungkinan kerugian-kerugian, sepanjang kerugian-kerugian tersebut tidak diasuransikan, dianggap sebagai beaya yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925. (2) Sepanjang cadangan tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak dipergunakan, maka cadangan itu merupakan bagian dari laba kena pajak. Pasal 7 (1) Kerugian-kerugian yang diderita selama lima tahun pertama dari pada Operating period, dapat diperhitungkan dengan laba kena pajak dari tahun-tahun berikutnya. (2) Jika dalam tahun-tahun setelah masa-waktu yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diderita pula kerugian, maka kerugian tersebut dapat diperhitungkan lebih dahulu sesuai dengan Pasal 7 Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925. Pasal 8 Interest dan/atau dividen yang diterima oleh/dan dari badan-badan yang beraffiliasi dengan perusahaan-perusahaan pertambangan, tidak dikenakan pajak perseroan. Pasal 9 (1) Tenaga-tenaga, baik yang bekerja pada perusahaan-perusahaan pertambangan maupun pada badan-badan yang beraffiliasi dengan perusahaan-perusahaan pertambangan, yang bukan penduduk Indonesia dan yang berada di Indonesia dalam satu tahun takwin secara total tidak lebih dari pada sembilan puluh hari, dibebaskan dari pengenaan pajak pendapatan menurut Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944. (2) Tenaga-tenaga tetap asing perusahaan-perusahaan pertambangan tidak akan dikenakan pajak pendapatan Indonesia lebih besar dari pada pajak pendapatan dari negara asal mereka. Kelonggaran termaksud dalam ayat ini, hanya berlaku sampai akhir tahun ke-10 dari Operating period.
Pasal 10 Dalam hal investasi yang sangat besar jumlahnya dan yang berpengaruh terhadap perkembangan dan pembangunan daerah, maka disamping kelonggaran-kelonggaran tersebut di atas, pada perusahaan-perusahaan pertambangan dapat diberikan perangsang yang berhubungan dengan investasinya. Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini ditetapkan bersama oleh Menteri Keuangan dan Menteri Pertambangan. IV. LAIN-LAIN DAN PENUTUP Pasal 11 (1) Kontrak-kontrak karya atau bentuk kerja-sama lainnya yang telah ditanda-tangani sebelum instruksi ini dikeluarkan, dapat diberikan kesempatan untuk disesuaikan dengan hal-hal yang tercantum dalam instruksi ini. (2) Penyesuaian seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya dapat diizinkan, sepanjang penyesuaian itu mencakup keseluruhan isi instruksi ini serta ketentuan-ketentuan lainnya yang berlaku. Pasal 12 Dengan surat keputusan bersama Menteri Pertambangan dan Menteri Keuangan, dapat diadakan perobahan dan tambahan pengelompokan bahan-bahan galian termaksud dalam Pasal 4, jika dianggap perlu. Pasal 13 Ketentuan-ketentuan dalam instnuksi ini tidak berlaku terhadap perusahaan-perusahaan dibidang pertambangan minyak dan gas bumi. Pasal 14 Pelaksanaan dari instruksi ini terhadap penanaman modal asing dibidang pertambangan tertentu, dilakukan sesuai dengan Peraturan Perundangan yang berlaku. Pasal 15 Instruksi ini mulai berlaku pada hari dikeluarkannya.
Dikeluarkan di Jakarta Pada tanggal 18 Juni 1968 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd SOEHARTO Jendral T.N.I
PENJELASAN ATAS INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1968 TENTANG PENETAPAN KELONGGARAN-KELONGGARAN PERPAJAKAN UNTUK PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG PERTAMBANGAN I.
PENJELASAN UMUM 1. Usaha pertambangan mempunyai sifat yang khusus, dalam arti bahwa usaha itu dilakukan atas dasar suatu cadangan mineral yang akan terus semakin berkurang untuk kemudian habis. Oleh karena itu, disatu fihak tidaklah bijaksana apabila kepada usaha-usaha pertambangan diberikan pembebasan pajak dan bentuk "taxholiday" untuk tahun-tahun permulaan. Sebab ada kemungkinan, bahwa justru dalam tahun-tahun permulaan itu, untuk jenis-jenis pertambangan tertentu oleh sipengusaha dapat dilaksanakan "roofbouw" ataupun peningkatan kegiatan yang sedemikian rupa, sehingga dapat merugikan kepentingan Nasional. Meskipun begitu, mengingat sifatnya yang banyak sekali mengandung risiko, kepada perusahaan-perusahaan pertambangan pada umumnya perlu diberikan dorongan khusus. Dalam hubungan ini Pemerintah perlu memberikan perangsang-perangsang berupa keringanan-keringanan perpajakan dan keringanan dalam pungutan-pungutan lain. 2. Dibandingkan dengan usaha-usaha lain, usaha pertambangan masih mempunyai beberapa kekhususan lain lagi. Dalam penambangan bahan galian, hasil yang didapat oleh pengusaha berbeda-beda sekali. Ada beberapa mineral karena sifat endapannya, letaknya, jumlah cadangannya, harganya dipasaran dunia dan sebab-sebab lain, jauh lebih menguntungkan pengusahanya dibandingkan dengan mineral-mineral lain. Dengan mengingat hal-hal tersebut di atas, maka dipandang perlu bahwa kepada pengusaha pertambangan diberikan dorongan yang berbeda-beda tergantung dari jenis bahan galian yang diusahakannya. 3. Oleh karena itu maka penetapan tarip pajak perseroan seperti tersebut dalam Pasal 4 instruksi ini, didasarkan pada prospek pengembangan masing-masing jenis bahan galian, baik menurut potensinya maupun pengaruh sosial-ekonomisnya, bagi Negara. Untuk keperluan ini maka bahan galian di Indonesia digolongkan dalam beberapa kelompok. 4. Yang diatur dalam instruksi ini adalah kelonggaran-kelonggaran perpajakan yang dimungkinkan oleh Pasal 16 ayar (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan peraturan-peraturan pelaksanaan dalam ayat ini adalah diantaranya ketentuan-ketentuan mengenai MPS dan MPO. Ayat (2) Dalam ayat ini tidak dimasukkan pajak pendapatan oleh karena perihal jenis pajak ini tidak merupakan permasalahan. Ayat (3) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk tidak terlalu memberatkan beaya-beaya produksi perusahaan. Cara pelunasan pajak-pajak dan pungutan-pungutan Pemerintah Daerah serta cara memperhitungkannya dengan pajak perseroan dan pungutan-pungutan yang berhubungan dengan Kuasa Pertambangan akan diatur bersama oleh Menteri Keuangan dan Menteri Pertambangan secara tersendiri untuk setiap bentuk kerjasama dengan fihak asing. Pasal 3 Cukup jelas (lihat penjelasan umum). Pasal 4 Seperti telah dijelaskan dalam penjelasan umum diatas disamping sifat-sifatnya yang khusus, bahan galian mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang berbeda satu sama lain. Umpamanya, pengusahaan mineral yang satu mengandung risiko yang lebih besar, memerlukan modal yang lebih banyak, dan tingkat teknologi yang lebih tinggi dari yang lain. Potensi bahan-bahan itu berbeda, demikian pula harganya dipasaran dunia. Berhubung dengan perbedaan dimaksud diatas, guna mendorong pengusahaan pertambangan sebanyak mungkin, perlu diberikan perangsang-perangsang dan fasilitas-fasilitas tertentu yang sesuai dengan kemungkinan pengembangan pertambangan bahan-bahan galian yang bersangkutan. Dalam hubungan ini maka ditetapkan tarip pajak yang ringan dan berbeda-beda dan yang bisa bersaing dengan perangsang-perangsang serta fasilitas-fasilitas, yang terdapat dinegara-negara lain. Dengan adanya perangsang-perangsang yang menguntungkan diharapkan Indonesia bisa turut memainkan peranan dalam kegiatan pertambangan internasional; setidak-tidaknya, mengenai mineral-mineral tertentu, dapat mempertahankan posisinya dipasaran internasional.
Pasal 5 Kelonggaran pajak dividen ini dianggap wajar, karena pajak dividen itu pada akhirnya adalah suatu beban atas laba perseroan dan apabila tidak diberikan pembebasan pajak dividen, maka beban pajak atas laba perseroan akan sedemikian tingginya sehingga tidak menarik lagi bagi perusahaan. Pasal 6 Ayat (1) Pencadangan untuk menutup kerugian dalam bentuk asuransi yang risikonya ditanggung sendiri dalam dunia Internasional adalah lazim. Ayat (2) Sepanjang cadangan tersebut tidak dipergunakan maka cadangan tersebut tetap merupakan bagian laba kena pajak. Pasal 7 Ayat (1) Sebagai kelonggaran tambahan berhubung dengan risiko yang besar tidak menentunya hasil usaha pertambangan, maka kepada Perusahaan diberikan kesempatan untuk memperhitungkan kerugian-kerugian yang diderita dalam masa lima tahun operating period yang pertama dengan laba tahun-tahun berikutnya. Sesudah masa lima tahun operating period tersebut, maka apabila masih diderita kerugian lagi, kerugian belakangan ini hanya boleh diperhitungkan dengan keuntungan-keuntungan dua tahun berikutnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Dalam operasinya perusahaan mungkin memperkerjakan badan-badan afiliasinya dalam mana ia mempunyai kepentingan yang besar. Oleh karena itu pekerjaan yang dilakukan oleh badan afiliasinya itu untuk sebagian dapat dianggap dilakukan sendiri olehnya sehingga adalah wajar jika perusahaan dibebaskan dari pengenaan pajak perseroan untuk bagian yang dapat dianggap sebagai labanya sendiri. Maksud dari ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda. Pasal 9 Ayat (1) Pasal ini mengatur kewajiban perpajakan bagi tenaga-tenaga asing perusahaan yang tidak berada tetap di Indonesia.
Ayat (2) Pasal ini mengatur, apabila tenaga-tenaga asing yang diperlukan dan yang akan dipekerjakan oleh perusahaan dikenakan pajak pendapatan yang lebih berat daripada di negara asalnya, maka tenaga-tenaga asing tersebut tidak akan tertarik untuk datang di Indonesia. Pasal 10 Yang dimaksudkan dengan "investasi yang sangat besar" ialah penanaman modal yang sedemikian besarnya sehingga membawa manfaat bagi perkembangan dan pembangunan daerah, khususnya yang membuka kesempatan bekerja yang luas serta membangun prasarana yang serbaguna. Guna menstimuleer penanaman modal dalam jumlah yang besar, maka dianggap perlu untuk mempertimbangkan perangsang tambahan yang bersifat pengurangan beban keuangan perusahaan pertambangan yang bersangkutan. Perangsang tambahan dimaksud tidak diberikan secara otomatis, akan tetapi harus dipertimbangkan untuk setiap kerjasama tersendiri dengan memperhatikan situasi dan kondisi setempat pada suatu waktu serta faktor-faktor lainnya, umpamanya sifat perintis (pioneering nature) usaha-usaha yang dijalankan oleh perusahaan pertambangan yang bersangkutan. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ketentuan pasal ini dimaksudkan untuk membuka kemungkinan adanya penyesuaian dan tambahan pengelompokan bahan-bahan galian, sesuai dengan perkembangan teknologi, situasi ekonomi Indonesia dan pasaran dunia. Pasal 13 Kelonggaran-kelonggaran perpajakan dibidang pertambangan minyak dan gas bumi diatur tersendiri. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas.