efek mediasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa job embeddedness berperan sebagai mediator dalam hubungan negatif antara team member exchange dan intensi turnover. Job embeddedness juga berperan dalam hubungan negatif antara job characteristic dengan intensi turnover. Namun demikian, tidak seperti beberapa penelitian terdahulu, job embeddedness tidak menjadi mediator dalam hubungan negatif antara leader member exchange dan psychological capital dengan intensi turnover. Penelitian ini memberikan beberapa implikasi praktis dan teoritis. Kata Kunci : Intensi Turnover, Job Embeddedness, Leader Member Exchange, Team Member Exchange, Karakteristik Pekerjaan, Psychological Capital
Salah satu tantangan & permasalahan yang banyak dihadapi perusahaan saat ini adalah tingginya angka turnover karyawan, khususnya voluntary turnover pada karyawan potensial (swamajalah.com). Voluntary turnover adalah kondisi dimana karyawan memiliki kesempatan untuk tetap bekerja di perusahaan namun memilih untuk meninggalkan perusahaan dan pekerjaannya (Rogelberg, 2012). Survey yang dilakukan oleh Watson Wyatt (2007/2008), menyatakan bahwa di AsiaPasifik, tingkat turnover karyawan mencapai angka 10%. Secara khusus di Indonesia, survey lain yang dilakukan tahun lalu oleh Global Workforce Study 2012 (GWS 2012) menemukan bahwa 27% dari karyawan Indonesia yang menjadi partisipan survey mengatakan bahwa dalam dua tahun mendatang, kemungkinan mereka akan meninggalkan pekerjaannya saat ini. Lebih lanjut mengenai survey yang dilakukan Watson Wyatt (2007/2008), organisasi atau perusahaan memiliki pemahaman yang tidak lengkap mengenai alasan mengapa karyawan bergabung atau meninggalkan organisasi mereka. Lebih dari setengah sampel survei ini juga melaporkan bahwa mereka memiliki kesulitan dalam mempertahankan karyawan dengan critical skill (56%) dan karyawan dengan top2
performance (52%) serta karyawan yang memiliki potensi tinggi (54%) (towerwatson.com). Tingginya turnover akan membawa berbagai akibat, seperti kondisi organisasi yang tidak stabil, biaya rekrutmen dan pelatihan terhadap karyawan baru yang meningkat, biaya proses penyesuaian karyawan baru, turunnya integrasi antar karyawan, demoralisasi pada karyawan yang bertahan, yang kemudian berpengaruh pada efektivitas dan produktivitas organisasi secara keseluruhan (mis: Nguyen, 2010; Vidyarthi, 2001; Mitchell, 2001). Sementara itu, pertumbuhan bisnis dan pencarian best talent menyebabkan para pengusaha dan perusahaan di Indonesia harus memfokuskan upayanya untuk meningkatkan employee retention sebagai usaha untuk mengurangi angka employee turnover. Topik voluntary turnover sendiri merupakan jembatan penting antara strategi makro dan perilaku mikro dalam organisasi. Variabel ini adalah salah satu variabel yang secara konseptual menghubungkan pengalaman individu dalam organisasi dengan pengukuran kesuksesan organisasi tersebut (Holtom, 2008). Bluedorn (1978) menyatakan turnover atau pindah kerja secara umum diartikan sebagai perubahan dalam keanggotaan dalam organisasi; adanya posisi yang ditinggalkan oleh pemegang jabatan yang keluar untuk digantikan pendatang baru; sementara secara khusus, mengacu pada anggota organisasi yang keluar. Mobley (1982), menyatakan bahwa turnover adalah pemutusan atau penghentian keanggotaan dalam organisasi oleh karyawan individual (Joader, et al., 2011). Dengan kata lain turnover adalah penghentian permanen seorang karyawan dari organisasi. 3
Turnover selanjutnya dibagi menjadi turnover secara sukarela (voluntary turnover) dan turnover secara tidak sukarela (invouluntary turnover). Involuntary turnover adalah turnover yang diinisiasi oleh organisasi sendiri (biasanya dilakukan terhadap karyawan yang lebih memilih untuk bertahan di organisasi) sementara voluntary turnover biasanya terjadi pada karyawan yang masih diharapkan perusahaan untuk bertahan) (Noe, et al., 2010). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa turnover secara tidak sukarela pada umumnya baik jika ditinjau dari kepentingan organisasi (McShane & Williams, 1993); namun turnover secara sukarela dianggap sangat merugikan organisasi (Ahmad, et al., 2012). Mobley (1977) menyatakan bahwa sebelum karyawan memutuskan keluar dari organisasi maka ia akan melewati beberapa proses atau kondisi, yaitu berpikir untuk keluar (thinking of quitting), intensi untuk mencari pekerjaan lain (intention to search for another job), dan intensi untuk berhenti atau bertahan (intention to quit or stay). Berdasarkan pernyataan ini dapat dilihat bahwa sebelum seseorang keluar dari organisasi, ia akan menjalani beberapa proses kognitif yang kemudian mengarahkannya kepada perilaku aktual turnover. Hal inilah yang disebut dengan intensi. Selanjutnya, Mobley (1978) dan Farh (1998) menyatakan bahwa intensi turnover sendiri diindikasikan oleh adanya pemikiran untuk keluar (thoughts of leaving), mencari pekerjaan baru (looking for new job), dan mau menerima kesempatan pekerjaan lain yang lebih baik jika ada ada (willing to accept other better job chance if available) (Zhang & Feng, 2011).
4
Istilah turnover mengacu kepada perilaku aktual dari turnover, perpindahan karyawan ke organisasi lain, sementara istilah intensi turnover mengacu kepada intensi behavioral karyawan, yaitu persepsi karyawan akan kemungkinan untuk meninggalkan organisasinya saat ini (Cotton & Tuttle, 1986, dalam Joarder, 2011). Intensi turnover didefinisikan sebagai faktor mediasi antara sikap yang mempengaruhi intensi untuk berhenti dan perilaku aktual berhenti atau keluar dari organisasi (Yucel, 2012). Intensi turnover merupakan suatu bentuk penarikan diri (Joarder, 2011). Hal ini juga didukung oleh berbagai penelitian yang menyatakan bahwa intensi untuk keluar dari organisasi adalah prediktor terbaik dari perilaku turnover aktual (Tett & Meyer, 1993, Steele & Ovalle, 1984, Mowday, Koberg, & McArthur, 1984, dalam Martin, 2011). Ada banyak studi mengenai alasan karyawan meninggalkan atau setidaknya berpikir untuk meninggalkan pekerjaannya saat ini. Teori-teori awal dan yang sampai saat ini masih dipakai menjelaskan bahwa adanya alternatif pekerjaan, kepuasan kerja dan komitmen terhadap organisasi merupakan penentu karyawan bertahan atau tidak dalam pekerjaan atau organisasi (Mitchell, 2001; Nguyen, 2010). Kebanyakan teori turnover berasal dari teori dan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh March & Simon (1958) mengenai persepsi akan kemudahan mencari pekerjaan dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Mobley (1977) menyatakan bahwa turnover merupakan akumulasi reaksi afeksi negatif sepanjang waktu, yang pada akhirnya memicu perilaku mencari pekerjaan lain, membandingkan berbagai pilihan alternatif ini dengan pekerjaan saat ini menggunakan proses expected-value-like decision dan berhenti dari pekerjaan saat 5
ini jika salah satu dari alternatif tersebut dinilai lebih baik dari situasi saat ini (Mitchell, et al., 2001). Sehingga dalam teori tradisional, sikap kerja (khususnya kepuasan kerja dan komitmen) dikombinasikan dengan persepsi mudahnya pindah (job alternative & job search), dianggap sebagai prediktor utama dari turnover (Nguyen, 2010). Penelitian-penelitian terdahulu mengenai turnover telah menunjukkan hasil yang signifikan, namun dengan tingkatan sedang. Bukti empiris menyatakan bahwa model teori ini memiliki kekuatan prediktif yang terbatas. Sikap kerja hanya memiliki peran realtif kecil dalam employee retention. Berbagai studi metaanalisis juga mengindikasikan hanya 4-5 % sampai 25% varians dalam turnover yang disebabkan oleh variabel sikap, seperti oleh Hom & Griffeth (1995) dan Griffeth et al. (2000) (misal : Mitchell et al., 2001; Valle et al., 2006; Zhang, et al., 2012). Persepsi alternatif pekerjaan bahkan hanya memiliki efek lebih kecil terhadap employee turnover (Nguyen, 2010). Dalam salah satu studinya, Mitchell et al. (2001) menyatakan bahwa, bahwa orang-orang yang meninggalkan organisasi relatif puas dengan pekerjaan mereka secara umum. Salah satu arah baru dalam penelitian turnover adalah yang dilakukan oleh Mitchell, Holtom, Lee, Sablysky, & Erez (2001), yang mengidentifikasi on-thejob & off-the-job factors yang dapat menyebabkan turnover. Konsep ini dapat merupakan konsep yang non-attitudinal & non affective, yang disebut dengan istilah job embeddedness. Job embeddedness merupakan konstruk yang menyeluruh yang terdiri dari berbagai faktor dan dimensi, dikonseptualisasikan sebagai kombinasi dorongan yang menjaga seseorang dari perilaku turnover 6
(meninggalkan organisasi) (Mitchell, et al., 2001). Job embeddedness mewakili suatu kumpulan besar pengaruh yang membuat karyawan tetap bertahan di pekerjaan dan organisasi. Istilah ini mewakili alasan-alasan psikologis, personadan profesional yang menjelaskan mengapa seseorang bersedia bertahan di suatu pekerjaan (Holtom et al., 2006 ; Sun et al., 2011). Secara lebih ringkas, konstruk ini menyatakan bahwa semakin besar koneksi seseorang dengan organisasi dan komunitasnya, maka akan semakin besar kemungkinan dia akan bertahan di organisasi (Holtom, Mitchell, Lee, 2006). Hal inilah yang membedakan JE dengan berbagai konstruk lainnya, seperti kepuasan kerja dan komitmen afektif yang pada dasarnya difokuskan pada komponen afektif (Mitchell, 2001), JE sendiri merupakan konstruk kognitif (Slugoski, 2008). Konstruk ini juga berbeda dengan work engagement. Secara singkat, work engagement dapat didefinisikan sebagai kondisi psikologi positif yang berfokus pada pekerjaan, yang dicirikan oleh adanya semangat, dedikasi, dan penghayatan dalam pekerjaan. Job embeddedness, di lain pihak, merupakan kumpulan dorongan yang menjaga seseorang dalam pekerjaannya (Hasbesleben & Wheeler, 2008). Kedua konstruk ini juga telah dibuktikan secara empiris merupakan konstruk yang berbeda. Job embeddedness dapat digambarkan seperti jaringan atau net dimana seorang individu dapat terikat (Mitchel, et al., 2001). Koneksi ini dapat berjumlah sedikit atau banyak dan dekat atau jauh. Isi atau bagian kelekatan ini juga dapat bervariasi, yang menunjukkan bahwa seseorang dapat terikat atau lekat dengan cara yang beragam. Mitchell et al. (2001) juga menyatakan bahwa dengan 7
mengenyampingkan pengaruh dari berbagai faktor spesifik yang membuat individu terkoneksi dengan perusahaan, job embeddedness juga dapat difokuskan pada level keterhubungan (connectedness) secara keseluruhan (Mitchell et al., 2001; Holtom et. al, 2013). Aspek penting dari job embeddedness adalah (1) Links, dikarakteristikkan sebagai koneksi formal atau informal diantara individu dan institusi atau orang lain; kondisi dimana orang-orang memiliki jaringan atau hubungan dengan orang atau aktivitas lain, (2) Fit, didefinisikan sebagai persepsi kecocokan atau kenyamanan dengan organisasi dan lingkungan yang ada disekitar organisasi. Berdasarkan teori Mitchell, dkk (2001), nilai-nilai personal, tujuan karir dan rencana masa depan karyawan harus sesuai dengan budaya perusahaan yang lebih luas dan tuntutan pekerjaannya saat ini (pengetahuan pekerjaan, skill, dan kemampuan), (3) Sacrifce, menangkap suatu bentuk persepsi akan biaya material atau keuntungan psikologis yang mungkin hilang akibat seseorang meninggalkan pekerjaannya. Sebagai
contoh,
meninggalkan organisasi
berakibat
pada
kehilangan personal seperti meninggalkan rekan kerja, proyek atau pekerjaan yang menarik, atau tunjangan tertentu. Semakin banyak yang mungkin harus ditinggalkan karyawan ketika ia keluar dari perusahaan, akan semakin sulit baginya untuk memutuskan hubungan kerjanya dengan organisasi (Mitchell, 2001). Ketiga dimensi ini, links, fit, dan sacrifice, kemudian dibagi lagi kedalam dua sub dimensi yaitu : di dalam (on the job) maupun di luar pekerjaan (off the job). Matriks dua kali tiga ini menyatakan adanya 6 dimensi dalam job embeddedness, 8
links, fit, dan sacrifice yang berhubungan dengan organisasi individu dan dengan komunitasnya. Namun demikian, sekalipun konstruk ini meliputi dimensi organisasional dan komunitas, hanya aspek organisasional yang memiliki potensi lebih besar untuk dipengaruhi oleh perusahaan (Besich, 2005). Sehingga berdasarkan hal ini, maka yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini adalah on-the-job embeddedness, karena langsung berhubungan dengan kebijakan dan kondisi dalam organisasi. Penelitian sebelumnya juga telah menunjukkan bahwa kedua subdimensi ini memiliki nilai diskriminan yang signifikan sehingga dapat diuji secara terpisah (misal : Besich, 2005 ; Crossley, 2007; Clinton et.al., 2012). Konstruk JE secara keseluruhan meningkatkan prediksi turnover lebih dari pada model tradisonal (termasuk kepuasan kerja, komitmen organisasi, job search dan persepsi akan alternatif pekerjaan). Berbagai penelitian juga telah menyatakan bahwa JE adalah prediktor yang reliable bagi intensi untuk keluar dari organisasi Halbesleben & Wheeler, 2008; Knight & Leimer, 2010; dalam Clinton et al., 2012) dan turnover secara sukarela (Mitchell et al., 2001; Lee et al., 2004; Mallol et al., 2007; Felps et al., 2009; dalam Clinton et al., 2012). Namun, mengenai efek dimensi organisasional JE terhadap turnover, hanya beberapa studi yang telah dilakukan dan hasilnya belum konsisten. Oleh karena itu, lebih banyak penelitian yang dibutuhkan untuk melihat dimensi organisasional dari JE. Konstruk job embeddedness sendiri telah banyak diteliti di negara-negara barat dan menunjukkan pengaruh yang lebih besar dan diluar konstruk sikap terhadap intensi turnover. Namun demikian, konstruk ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut, khusus nya di negara-negara diluar negara barat untuk 9
mengevaluasi penerapan lintas budaya dari konstruk ini (Vidyarthi, 2010 ; Nguyen, 2011). Perbedaan budaya pada setiap negara menyebabkan perbedaan nilai-nilai yang ada dalam diri individu yang ada di negara tersebut. Nilai-nilai budaya ini memberikan beberapa dampak antara lain, membedakan satu negara dengan negara lainnya, budaya memberikan sense of identity terhadap individu yang ada di dalamnnya, budaya memfasilitasi terbentuknya komitmen yang lebih besar terhadap sesuatu dibandingkan self interest sendiri, budaya merupakan perekat sosial yang membuat suatu negara atau kelompok tetap bersama dengan memberikan standar yang tepat mengenai apa yang harus dan harus tidak dilakukan oleh anggotanya, budaya juga merupakan mekanisme kontrol yang mengarahkan dan membentuk sikap dan perilaku individu (Robbins, 2005). Penelitian terdahulu mengenai job embeddedness menunjukkan bahwa konstruk ini memiliki dampak yang berbeda dalam budaya yang berbeda (misal : Harman, et al., 2009). Beberapa penelitian sebelumnya di berbagai negara dengan budaya yang berbeda menunjukkan bahwa job embeddedness dan dimensidimensinya memiliki pengaruh yang berbeda. Salah satu penelitian ini menunjukkan bahwa negara-negara dengan budaya yang lebih kolektivis memiliki tingkat embeddedness yang lebih tinggi ( Nguyen, 2011). Ada beberapa gap literatur lainnya mengenai job embeddedness yang membuat konstruk ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut, seperti belum adanya pemahaman yang lengkap mengenai anteseden organizational dari job embeddedness, atau faktor yang menyebabkan munculnya persepsi job embeddedness (Vidyarthi, 2010), belum ada studi yang menginvestigasi 10
bagaimana berbagai faktor yang ada dalam organisasi mempengaruhi job embeddedness. Job embeddedess dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak hanya dari lingkungan sosial (organisasi), namun juga karakteristik personal seseorang (Nguyen, 2010; Vidyarthi, 2010). Berdasarkan penjelasan ini, penelitian ini kemudian difokuskan kepada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi JE, yang merupakan faktor dari organisasi dan faktor dari dalam diri individu. Salah satu teori yang banyak dibahas dalam meneliti faktor yang berperan dalam membentuk job embeddedness adalah teori pertukaran sosial atau social exchange theory (Wheeler et al., 2010). Teori ini menyatakan bahwa adanya suatu bentuk resiprositas yang membuat individu merasa bertanggung jawab untuk memberikan respon secara positif terhadap perlakuan baik yang diterima dari orang lain (Gouldner, 1990). Respon dan dukungan ini dapat berupa socioemotional support serta agen penting dalam organisasi yang secara langsung berhubungan dengan karyawan yaitu atasan (leader) dan rekan kerja (coworkers atau team member) (Vidyarthi, 2010). Teori pertukaran sosial menyatakan bahwa individu yang mendapatkan dukungan psikologis dan material dari individu-individu atau kumpulan individu akan merasa berkewajiban untuk mengembalikan kebaikan tersebut untuk mempertahankan keseimbangan dalam hubungan pertukaran tersebut (Blau, 1964; Homans, 1958, dalam Vidyarthi, 2010). Berdasarkan teori pertukaran sosial ini serta norma resiprositas, peneliti telah menyetujui bahwa sikap dan perilaku
11
karyawan sebagian dibentuk oleh persepsi mereka akan kualitas hubungan pertukaran yang ada di tempat kerja (Vidyarthi, 2010). Kualitas hubungan pertukaran sosial yang tinggi dapat bersifat instrumental dalam perkembangan dan mempertahankan persepsi job embeddedness karyawan. Secara umum, paling tidak ada 3 (tiga) penjelasan potensial mengenai hubungan positif antara kualitas pertukaran sosial dan job embeddedness. Yang pertama, kualitas hubungan pertukaran sosial mewakili suatu keadaan dimana individu mendapatkan dukungan sosio-emosional dan intrumental dari orang lain dalam pekerjaanya (mis : Cropanzo & Mitchell, 2005). Individu yang memiliki hubungan suportif melaporkan adanya kedekatan dan identifikasi dengan partner pertukaran tersebut. Identifikasi dan kohesivitas mewakili suatu ketergantungan dalam relasi sosial dalam pekerjaannya dan akan menghasilkan job embeddedness lebih tinggi (mis : Rhoades & Eisenberg, 2002). Kedua, karena hubungan pertukaran sosial dengan kualitas tinggi dikarakteristikkan oleh peningkatan arus informasi dan pemberdayaan karyawan (Mueller & Lee 2002; Sparrowe & Liden, 1997), karyawan mempersepsikan rendahnya ambiguitas peran kerja dalam pekerjaan mereka. Klarifikasi peran pada gilirannya akan meningkatkan persepsi akan adanya kecocokan dengan agen pertukaran (mis: Graen & Cashman, 1975; Graen & Schiemann, 1978 ; dalam Vidyarthi, 2010). Sebagai konsekuensinya, karyawan dengan kualitas hubungan pertukaran yang tinggi akan lebih mungkin memiliki job embeddedness yang lebih tinggi. Lebih lanjut hubungan pertukaran sosial dengan kualitas tinggi meningkatkan kesesuaian individu dengan pekerjaan (person-job fit) karena adanya klarifikasi peran dan kongruensi pekerjaan-nilai, 12
hal ini akan lebih mungkin menyebabkan adanya perasaaan kelekatan terhadap organisasi (Vidyarthi, 2010). Ketiga, karena karyawan dengan kualitas hubungan pertukaran yang tinggi mendapatkan reward dan rekognisi dari atasan dan organisasi, mereka mungkin lebih enggan untuk kehilangan keuntungan tersebut. Agen dalam pertukaran sosial ini dalam organisasi dapat merupakan atasan (leader) dan rekan kerja (coworkers atau team member) (Vidyarthi, 2010). Penelitian telah menunjukkan bahwa supervisi memiliki peran yang bermakna dalam keputusan karyawan untuk keluar dari perusahaan secara sukarela (Morrow, et al., 2005). Liden et al. (1997); Maslyn & Uhl-Bien (2001) menyatakan teori leader-member exchange (LMX) yang menggambarkan suatu faktor spesifik yang memiliki peran dalam menentukan kualitas hubungan supervisor-subordinat, telah diidentifikasi sebagai suatu kerangka berpikir yang memberikan pencerahan lebih baik terhadap perilaku atasan yang dapat mempengaruhi turnover ( Morrow, et al, 2005). Namun demikian, konstruk ini masih jarang diteliti sebagai prediktor turnover, serta bagaimana mekanismenya dalam mempengaruhi berbagai outcome karyawan masih belum banyak diteliti (Maertz & Griffeth, 2004). Liden & Maslyn (1998) mengembangkan suatu skala multidimensiolan yang dinamakan Leader-Member Exchange Multidimensional (LMX-MDM), yang terdiri dari 4 (empat) aspek LMX, yaitu : (1) Afeksi, merupakan sikap saling mempengaruhi satu sama lain antara atasan dan bawahan berdasarkan ketertarikan interpersonal, tidak hanya nilai-nilai profesional, adanya hubungan pribadi yang bermanfaat, misal persahabatan; (2) Loyalitas, ekspresi akan adanya dukungan 13
secara publik terhadap tujuan dan karakter personal dari anggota lain dalam hubungan tersebut; (3) Kontribusi, persepsi akan level aktivitas yang berorientasi terhadap pekerjaan, yang diberikan setiap anggota untuk mencapai tujuan bersama; (4) Respek Profesional, persepsi dimana setiap anggota dalam hubungan tersebut telah menciptakan reputasi didalam atau diluar organisasi (Mumma, 2010). Team member exchange (TMX) merupakan kontruk yang paralel dengan LMX yang menjelaskan keseluruhan hubungan pertukaran antara karyawan dan rekan kerjanya (Seers, 1989, dalam Vidyarthi, 2010). Lebih lanjut, Seers (1989) menyatakan bahwa konsep TMX merefleksikan suatu kondisi dimana informasi, bantuan, dan rekognisi antara anggota tim secara individual dan tim berlangsung secara resiprok (Neff, 2008). TMX secara umum digunakan untuk melihat hubungan pertukaran resiprositas antara anggota-anggota dalam tim dalam hal ide, bantuan, komunikasi dan dukungan (Seers, 1989; Seers, Petty, & Cashman, 1995 ; dalam Pollack, 2009). Studi menunjukkan bahwa TMX secara positif berhubungan dengan konsekuensi sikap dan perilaku karyawan. Sebagai contoh, Maertz & Griffeth (2004) menemukan bahwa dukungan rekan kerja dapat menurunkan turnover karyawan (misal : Mossholeder, Settoon, & Henagan, 2005; Hellman, Witt, & Hilton, 1993). Satu hal yang perlu untuk diingat adalah bahwa sekalipun karyawan memiliki sejumlah besar anggota tim dalam kelompok kerjanya, hal ini bisa saja tidak meningkatkan persepsi kelekatannya terhadap organisasi. Hal ini
14
disebabkan, persepsi kelekatan ini lebih disebabkan oleh adanya kualitas, tidak hanya kuantitas hubungan tersebut (Vidyarthi, 2010). Lebih lanjut, karakteristik intrinsik pekerjaan juga merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh ke berbagai bentuk sikap dan perilaku karyawan. Karakteristik pekerjaan merupakan atribut dari pekerjaan yang dapat memiliki pengaruh motivasional bagi karyawan. Hackman & Oldham (1980) menyatakan bahwa pekerjaan yang memiliki karakterisitik skill variety, task identity, task significance, autonomy, dan feedback, akan memunculkan perasaan bermakna pada diri karyawan (meaningfullness), tanggung jawab, dan pengetahuan mengenai hasil pekerjaannya. Hal ini kemudian akan mendorong berbagai bentuk perilaku dan sikap positif karyawan terhadap organisasi termasuk rendahnya kemungkinan meninggalkan organisasi (Jewell & Seagell, 1998, Nguyen, 2010). Skill variety adalah kondisi dimana suatu pekerjaan menuntut karyawan untuk menggunakan sejumlah keahlian atau talenta. Task identity adalah kondisi dimana suatu pekerjaan menuntut untuk diselesaikan sebagai suatu keseluruhan dan bagian kerja yang dapat diidentifikasi, atau melakukan suatu pekerjaan dari awal sampai akhir dengan hasil yang dapat diamati. Task significance adalah suatu kondisi dimana pekerjaan memiliki suatu dampak substansial pada pekerjaan atau hidup orang lain. Autonomy adalah kondisi dimana pekerjaan memberikan kebebasan sustantial, kemandirian dan kebebasan bagi individu untuk menjadwalkan pekerjaanya dan menentikan prosedur untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Feedback adalah kondisi dimana pekerjaan memberikan informasi yang jelas dan langsung mengenai level efektivitas kinerja seseorang. 15
Selain itu, ada berbagai alasan untuk meyakini bahwa kelima faktor ini akan mempengaruhi JE karyawan. Pertama, berdasarkan person-job fit, persepsi individu akan seberapa baik kecocokan mereka dengan pekerjaan tertentu akan dipengaruhi oleh kelima karakterisitik dasar pekerjaan (Nguyen, 2010). Hal ini berarti bahwa jika individu merasakan bahwa karakteritik pekerjaan mereka favorable (misal : pekerjaan tersebut bermakna), maka mereka akan merasakan kecocokan yang lebih baik dengan pekerjaan mereka. Sehingga, karakteristik pekerjaan akan secara positif berkorelasi dengan dimensi fit-organization dalam JE. Kedua, dari sudut pandang proses motivasi-kinerja, karakteritik pekerjaan akan menghasilkan motivasi instrinsik (Fried & Ferris, 1987) dan secara intrinsik akan memotivasi karyawan untuk lebih terlibat dalam pekerjaan mereka (Staw, 1977; Hackman & Oldham, 1980; Kanfer, 1991). Ketiga, berdasarkan eksperimen lapangan dari intervensi
job redesign, karyawan akan lebih mungkin untuk
bertahan dalam pekerjaannya jika pekerjaan tersebut diperkaya (yaitu : pekerjaan tersebut diberikan otonomi atau variasi skill yang lebih banyak) (Griffeth, 1985; Locke, Sirota, & Wolfson, 1976; Orpen, 1979; McEvoy & Cascio, 1985). Selanjutnya, berdasarkan dimensi pengorbanan di JE, reward intrinsik dari karakteristik pekerjaan dapat menjadi salah satu alasan yang membuat karyawan tidak meninggalkan organisasi, karena dengan meninggalkan organisasi berarti bahwa mereka harus meninggalkan perasaan dan rewards positif tersebut (Nguyen, 2010). Keputusan seseorang untuk bertahan dalam suatu organisasi juga melibatkan suatu proses psikologis dan emosional yang berbeda pada diri setiap individu. 16
Salah satu konstruk dari psikologi positif yang belakangan ini juga sedang banyak diteliti mengenai dampaknya terhadap berbagai perilaku dan sikap positif karyawan terhadap organisasi adalah psychological capital atau disingkat sebagai PsyCap. PsyCap sendiri telah cukup banyak diteliti dalam keterkaitannya dengan berbagai outcome ditempat kerja. Namun demikian, proses dan mekanisme yang dipengaruhi oleh konstruk ini belum cukup banyak diteliti (Sun, 2011). Berbagai studi awal menunjukkan bahwa adanya hubungan kausal positif yang signifikan antara karakteristik psikologis yang positif dengan positive organizational behavior (POB) (Luthans & Avolio, 2009). Dari perpektif POB,
job
embeddedness sendiri memiliki elemen positif karena menjelaskan mengapa karyawan mau bertahan di organisasi. Namun, studi mengenai hubungan antara PsyCap & job embeddedness dapat dikatakan masih jarang dilakukan. PsyCap telah memiliki beberapa variabel dependen seperti kepuasan kerja, kinerja dalam pekerjaan, perilaku kewargaan organisasi, stress serta intensi turnover (Luthans et al, 2007). PsyCap akan membuat individu lebih adaptif terhadap situasi kerja, memiliki hubungan yang lebih harmonis dengan lingkungan, dan memiliki teman serta hubungan yang lebih dalam dengan organisasi (Sun et al., 2011). Sehingga secara teoritis, PsyCap merupakan anteseden bagi munculnya job embeddedness dalam level individu. Psychological capital adalah “suatu kondisi perkembangan psikologis positif individual yang dikarakteristikkan oleh : (1) memiliki kepercayaan diri (self efficay) untuk mengambil dan melakukan usaha yang dibutuhkan untuk sukses dalam tugas-tugas yang menantang; (2) membuat atribusi positif 17
(optimism) mengenai kesuksesan saat ini dan masa yang akan datang; (3) tekun dalam mencapai tujuan dan ketika dibutuhkan dapat mengubah jalan mencapai tujuan (hope) untuk sukses; (4) ketika berhadapan dengan permasalahan dan kesulitan, tetap dapat bertahan dan bahkan berusaha lebih untuk mencapai sukses (resilience) (Luthans, Youssef, et al., 2007). Secara keseluruhan, PsyCap secara konsisten menunjukkan korelasi yang lebih tinggi dengan beberapa outcome positif di tempat kerja. PsyCap menawarkan suatu konstruk yang lebih komprehensif, kerangka berpikir konseptual yang lebih tinggi untuk memahami dan menggunakan aset manusia dalam organisasi (Avolio & Luthans, 2006; Luthans, Luthans, et al., 2004; Luthans & Yousseft, 2004; Luthans, Youssef, et al., 2006). Penelitian empirik juga menunjukkan bahwa PsyCap sebagai satu konstruk (core construct) memprediksi hasil lebih baik dibandingkan komponen individualnya (Luthans, Avolio, Walumbwa & Li, 2005; Luthans et al., 2007 dalam Carlson, 2012; Luthans et al., 2007). Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam penelitian ini
job embeddedness
digunakan sebagai mediator karena secara teoritis job embeddedness dapat menjelaskan mengapa (why) beberapa faktor independen dapat mempengaruhi faktor dependen (Baron & Kenny, 1986) serta secara statistik konstruk ini dapat berinteraksi dengan intensi turnover, leader member exchange, team member exchange, karakterisitk pekerjaan dan psychological capital. Holtom, Mitchell, & Lee (2006) juga menyatakan bahwa job embededdness secara teoritis merupakan konstruk mediator antara berbagai faktor dalam pekerjaan (on-the-job) dan luar pekerjaan (off-the-job) dengan retensi karyawan. 18
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui bagaimana job embeddedness mempengaruhi intensi turnover pada karyawan, (2) bagaimana faktor persepsi leader-member exchange, persepsi teammember exchange, persepsi karakteristik pekerjaan, dan psychological capital berperan dalam membentuk job embeddedness, (3) bagaimana peran job embeddedness sebagai variabel mediator dalam hubungan antara leader-member exchange, team-member exchange, karakteristik pekerjaan, dan psychological capital dengan intensi turnover. Model konseptual hipotesis penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Leader-Member Exchange
Team-Member Exchange Job Embeddedness
Intensi Turnover
Karakteristik Pekerjaan
Psychological Capital
Gambar 1. Model Konseptual Hipotesis Penelitian
Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini antara lain :
19