Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
INFEKSI BOVINE HERPES VIRUS TIPE 2 (BHV2) PENYEBAB PERADANGAN PUTING DAN AMBING PADA SAPI PERAH (Infection of Bovine Herpes Virus Type 2 (BHV2) Caused Bovine Mammilitis in Dairy Cattle) TATTY SYAFRIATI Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor
ABSTRACT Bovine Herpes Virus Type 2 (BHV2) is an important viral agent caused mammilitis or Bovine ulcerative mammilitis in dairy cattle, It is closely related to economic loss such as reduction of marketable milk yield due to difficulty of milking, inter current mastitis and contamination milk with blood. There are two clinical forms of BHV2 or herpes mammilitis virus. One is mammilitis and the other is a cutaneous disease (pseudolumpyskin). Diseases are similar to those lesions caused by BHV2 have been described clinically include Pseudocowpox, Foot and mouth disease, Vesicular stomatitis. Herpes virus particles were seen in teat and udder samples taken during an outbreak of mammilitis almost in dairy herd by using electron microscope, and also virus could be isolated from cases of mammilitis and cutaneous disease by inoculating into Bovine Kidney Cell. The histological changes are characterized by the presence of syncytia and intra nuclear inclusion in the epidermal cells. Iodophor and hypochlorite solution are useful desinfectants to prevent infection to other cows. To date BHV2 is detected almost. throughout the world on serological and virus isolation This paper represents review of infection of BHV2 in dairy cattle. Keywords: Herpesvirus, BHV2, mammilitis, mastitis, dairy cattle ABSTRAK Bovine Herpes Virus tipe 2 (BHV2) sebagai salah satu agen virus penting yang menyebabkan peradangan puting dan ambing atau Bovine ulcerative mammilitis pada sapi perah, kaitannya sangat erat dengan kepentingan ekonomi seperti penurunan produksi susu, mastitis yang selalu muncul dan air susu yang terkontaminasi darah.Ada dua macam bentuk klinis yang terlihat pada infeksi oleh BHV2 atau virus herpes mammilitis yaitu peradangan puting dan ambing susu serta penyakit pada mukosa kulit (pseudo lumpyskin). Penyakit yang disebabkan BHV2, secara klinis terlihat hampir sama pada infeksi Pseudocowpox, Foot and mouth disease, Vesicular stomatitis. Virus yang berasal dari sampel luka pada puting selama outbreak dapat didiagnosis dengan menggunakan mikroskop elektron. Virus dapat mudah diisolasi dari kasus mammilitis atau penyakit kulit dengan menggunakan sel ginjal sapi bahkan secara histopatologi terlihat perubahan secara karakteristik adanya sel raksasa dan benda inklusi dalam inti sel epidermis. Secara serologik juga dapat diuji dengan serum netralisasi. Desinfektan seperti cairan Iodophor dan hypochlorite dapat digunakan untuk mencegah penularan ke sapi lainnya. Sampai saat ini penyakit BHV2 didunia sudah dideteksi secara serologi maupun isolasi. Tulisan ini mengulas tentang infeksi BHV2 pada sapi perah. Kata kunci: Virus herpes, BHV2, mammilitis, mastitis, sapi perah
PENDAHULUAN Virus Herpes berasal dari bahasa Yunani yang berarti creep atau bergerak secara perlahan (BESWICK, 1962). Sampai saat ini, yang merupakan anggota famili virus herpes sangat beragam, demikian juga dalam menyebabkan infeksi pada bermacam-macam induk semang. Virus tersebut tidak dapat
378
dibedakan dari gambaran dasar atau bentuknya, tapi dapat dibedakan secara biologis, ukuran komposisi basa, serta komposisi genom dan kandungan antigenisitasnya. Dari perbedaan urutan DNA digunakan dalam mengklasifikasi famili Herpesviridae kedalam 3 subfamili seperti Alphaherpesvirinae, Betaherpesvirinae dan Gamma herpesvirinae.
Secara umum sifat dari subfamili Alphaherpesvirinae menyebabkan kerusakan sel/ jaringan yang peka secara hebat dan cepat, kerusakan pada sel tersebut yang disebut cytopathic effect (CPE). Infeksi latent sangat sering terjadi pada sel ganglia hewan. Berat molekul DNA nya sebesar 87-105x106 bercirikan siklus replikasi yang relatif sangat pendek.dan dapat menyebabkan infeksi pada berbagai jenis induk semang seperti dapat menyerang sapi, kuda, babi, unggas. dan bahkan manusia. Golongan Alphaherpesvirinae yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia adalah Human herpes virus 1 (Herpes Simplex virus1, HSV1), Human Herpes Virus 2 (Herpes Simplex virus2, HSV2 ); penyakit pada Sapi yaitu Bovine Herpes Virus type 1 (BHV1), Bovid Herpes Virus type 2 (BHV2), penyakit pada babi Suid Herpes virus 1 (Pseudorabies virus, SHV1) dan penyakit yang menyerang kuda, Equid herpes virus 1 (Equine abortion virus EHV1), Equid herpes virus 3 (Coital exanthema virus, EHV3), dan yang menyerang unggas Gallid herpesvirus 1 (Infectious laryngotracheitis virus, ILT). BHV2 termasuk golongan Virus Alphaherpesvirinae Genus Simplexvirus bersama-sama dengan HSV1 dan HSV2, menyebabkan penyakit Bovine ulcerative mammilitis pada sapi perah. Pertama kali diisolasi oleh HUYGELEN et al. (1960) kasus yang menyebabkan peradangan puting dan ambing sapi lokal di Gikongoro, RuandaUrundi Afrika, namun demikian setelah MARTIN et al. (1966), melaporkan semakin bertambah jelas bahwa penyebab penyakit perlukaan pada puting dan ambing pada sapi perah adalah virus herpes. Bertahun-tahun virus dan penyakitnya dilaporkan dengan berbagai macam sebutan tergantung dari temuan lesi dan berbagai lokasi. Selanjutnya tipe lesi tergantung dari waktu pada saat kejadian. Sebenarnya virus BHV2 adalah sebagai penyebab Allerton disease, pseudolumpy skin disease, bovine dermatropic herpes infection, skin gangrene of bovine udder dan bovine ulcerative mammilitis. Penyakit BHV2 di Indonesia belum pernah dilaporkan, namun harus selalu diwaspadai karena kecurigaan terhadap infeksi virus tersebut dapat terlihat dengan gejala klinis
berupa peradangan pada puting susu dan ambing susu sapi perah terutama pada peternakan rakyat yang kandangnya kurang terpelihara dengan baik. Sedangkan di negara tetangga seperti di India yang kejadiannya sudah dilaporkan pada kerbau, juga di Jepang (IMAI et al., 2005), bahwa prevalensi pada sapi perah sebesar 10-81.1% Tulisan infeksi penyakit ini menjelaskan secara menyeluruh, sehingga apabila terjadi letupan penyakit BHV2 akan segera dapat diketahui, didiagnosis dan penanggulangannya dapat dengan cepat pula ditangani KEJADIAN PENYAKIT Penyakit BHV2 sudah dilaporkan menyerang sapi jenis Ayrshire, Friesen dan sapi crosbred dan kerbau (MARTIN et al., 1966a; LETCHWORTH et al., 1982). Derajat kesakitan rata-rata 20-30% dan pada beberapa kasus berlanjut dengan adanya mastitis yang tidak dapat disembuhkan, pada kasus tersebut sebaiknya diadakan pemotongan pada sapi sakit karena penyakit biasanya bertahan sampai 2-3 bulan. (PEPPER et al., 1966) Kejadian penyakit BHV2 pada hewan yang sedang menyusui dan atau pada masa kering dilaporkan oleh MARTIN et al., 1966a pada 17 peternakan di Scotland (Tabel 1). Tercatat bahwa angka kesakitan atau morbiditasnya berkisar antara 18-96% atau rata2 sebanyak 50%, sedangkan dari kasus tersebut yang menderita mastitis sebanyak 22% atau berkisar 0-59%, pada sapi yang baru pertama menyusui biasanya terlihat lebih parah. Secara serologi terlihat adanya kandungan neutralizing antibodi pada tubuh hewan yang terinfeksi BHV2, penyakit sudah dilaporkan tidak hanya menyerang sapi saja tetapi dapat juga menyerang kerbau, jerapah, waterbuck, hippopotamus, impala, eland, bushbuck dan oryx (PLOWRIGHT dan JESSETT, 1971). Penyakit BHV2 sudah dapat dibuktikan di USA (LETCHWORTH dan LADUE, 1982), UK (MARTIN et al., 1964), Italy (CASTRUCCI et al., 1972), Bulgaria, Afrika bagian selatan, Tanzania, Kenya dan Australia (TURNER et al., 1974, 1976), New Zealand (HORNER and RAYNEL, 1988).
379
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Tabel 1. Populasi sapi perah yang terinfeksi BHV2 dan mastitis pada 17 peternak di Ayrshire, Scotland, pada 2 kali kejadian letupan penyakit (MARTIN et al., 1966a). Tahun kejadian letupan BHV2
Jumlah peternak
1963 1964 Total (rata-rata)
10 peternak 7 peternak 17 peternak
Populasi sapi ∑ Sapi sakit BHV2 Peternak yang sapinya ∑ Sapi Mastitis (%) terkena mastitis (%) (%) 546 313 859
Sifat BHV2 Menurut BUCHMAN dan ROIZMAN (1978), BHV2 mempunyai DNA yang linier, molekul double stranded terdiri dari 2 komponen covalently linked, yaitu komponen L dan S yang masing2 mempunyai berat molekul 71.5x106 dan 15.7x106. Dilaporkan juga bahwa DNA BHV2 mempunyai kemiripan dengan DNA HSV karena terdiri dari 2 ukuran komponen yang tidak sama yang berkaitan satu sama lain. BHV2 mempunyai kandungan Guanine dan Cytisine (G+C) sebanyak 64%. Virus BHV2 sensitif terhadap ether dan chloroform (GIBBS dan RWEYEMAMU, 1977). Pada permulaan penelitian tidak ada hubungan antara BHV2 dengan virus herpes yang lain BHV1, SHV1, EHV1 dan 2, FHV, virus B, MCF, HSV (MARTIN et al., 1966b). Kemudian STERZ et al. (1974), membuktikan bahwa BHV2 ternyata mempunyai hubungan secara antigenik apabila digunakan uji fiksasi complemen, uji immunodifusi dan immunofluoresen. Juga terdapat adanya proteksi silang antara BHV2 dan HSV, terbukti dengan adanya kekebalan dari tikus yang diimunisasi dengan BHV2, ditantang dengan dosis mematikan dari HSV, dapat menurunkan kasus ensefalitis pada tikus tersebut. Terhadap serum manusia yang mengandung Herpes simplex dapat menetralisir BHV2 dan sebaliknya. Terlihat bahwa BHV2 dan HSV mempunyai sekurangnya 1 antigen yang sama. Namun adanya hubungan secara imunologis antara BHV2 dan HSV juga dipelajari oleh CASTRUCCI et al., 1981 pada anak sapi. Gambaran klinis anak sapi yang diimunisasi dengan HSV, kemudian di tantang dengan BHV terlihat lebih ringan dibandingkan dengan kontrol. Demikian juga pada uji serologi, antibodi terhadap HSV hanya dapat dideteksi pada anak sapi setelah ditantang dengan BHV2. Anak sapi hanya
380
305 (56%) 127 (41%) 432 (50%)
9/10 (90%) 5/7 (71%) 14/17 (82%)
64/305 (21%) 30 (24%) 94/432 (22%)
menghasilkan antibodi terhadap BHV2 tetapi antibodi ini juga dapat bereaksi dengan HSV. Sehingga terbukti adanya sebagian proteksi pada infeksi BHV2, pada anak sapi yang diimunisasi dengan HSV. Walaupun secara uji serologi ada hubungan antara serum sapi dan manusia, tetapi penyakit BHV2 tidak berbahaya bagi manusia. GEJALA KLINIS Periode inkubasi penyakit BHV2 berkisar antara 5 sampai 10 hari, tetapi banyak lesi pada hewan pada hari ke 14, setelah kasus terlihat pertama (MARTIN et al., 1966a), gejala klinis pada sapi yang baru melahirkan terjadi setelah 1 minggu. Sedangkan keropeng pada puting biasanya terlihat 5-9 hari, kemudian terjadi pengelupasan setelah 10-13 hari. Penyakit yang disebabkan virus BHV2 yang secara klinis terlihat adanya keropeng pada kulit dari puting dan ambing atau dapat juga secara menyeluruh pada kulit tubuh sapi (Gambar1) yang disebut pseudolumpyskin disease, dengan lesi jendolan di seluruh permukaan tubuh hewan, Benjolan terlihat padat, bundar atau dapat juga berbentuk rata dengan membentuk legokan ditengah benjolan tersebut. Kadang-kadang luka tersebut menjalar sampai ke mulut dan cungur anak sapi yang sedang menyusu pada induk sapi yang terkena infeksi (JOHNSTON et al., 1971). Kejadian lesi pada puting susu ada 5 macam bentuk yang biasanya diakibatkan karena traumatik; biasanya akibat terinjak sapi atau terkena kawat, lesi karena penyakit biasanya karena infeksi pseudocowpox atau bovineherpesmammilitis atau DN 599, merupakan 3 macam penyebab yang paling umum, sedangkan karena zat kimia akibat terlalu pekatnya desinfektan seperti larutan iodophor yang biasanya digunakan untuk
mencuci puting susu. Lingkungan mempunyai andil juga didalam kejadian lesi tsb. karena puting yang bersentuhan dengan alat yang mengakibatkan beku, sengatan panas dll. atau adanya jaringan sekitar puting yang mengelupas sekitar lubang puting, sehingga terlihat seperti keropeng (MARTIN et al., 1966a; LETCHWORTH dan LADUE, 1982).
Gambar 1. Gejala klinis pada sapi percobaan yang disuntik oleh virus BHV2, lesi kulit pada seluruh badan (CASTRUCCI et al., 1975)
DIAGNOSIS Berbagai macam cara mendiagnosis infeksi BHV2 sudah diulas oleh GIBB dan RWEYEMAMU (1977) yaitu dengan cara isolasi virus pada kultur jaringan yang berasal dari hewan sapi, seperti sel ginjal fetus sapi (Bovine fetal kidney cells, BKC) atau sel testis sapi (Bovine testicular cells, BTC), Fetal bovine muscle cells (FBM). Cara diagnosis dengan isolasi pada sel sapi adalah cara yang paling sensitif (LETCHWORTH et al., 1982). Virus sangat cepat sekali tumbuh pada sel/jaringan pada suhu 30-350C, menyebabkan kerusakan CPE dalam waktu 18 jam, tetapi biasanya adanya interfensi virus lain seperti BHV1, BHV3, maka sebaiknya pengujian juga dilakukan secara serologi. Virus BHV2 yang sudah diisolasi dapat dikonformasi dengan menggunakan uji fluorescent antibody technique (FAT), 3 hari setelah sel sapi diinfeksi dengan sampel yang diduga mengandung virus BHV2. Pengujian secara serologik dilakukan pada serum sapi yang diambil secara paired pertama serum diambil pada tahapan klinis dini kemudian serum yang kedua diambil kembali setelah 3-4 minggu kemudian, karena akan
terlihat kenaikan titer secara signifikan apabila hewan terkena infeksi. Demikian juga pemeriksaan secara histopatologi dapat dilakukan, ditandai dengan terdapatnya sel syncytia atau sel raksasa yang sangat khas, dan membentuk benda inklusi intra nuclear Cowdry tipe A pada lapisan epidermis kulit. Pemeriksaan dengan menggunakan pewarnaan pada preparat ulas kerokan keropeng dapat dengan mudah membedakan penyebab virus yang lain sebagai deferensial diagnosis karena akan terlihat giant cells dan benda inklusi intra nuklear pada kasus yang memberikan gejala klinis yang sama (RWEYEMAMU et al., 1969) Apabila diagnosis dibantu dengan mikroskop elekron maka virus dapat terlihat secara langsung dengan mudah, bahkan virus akan lebih mudah terlihat apabila virus tersebut diproses setelah ditumbuhkan pada sel/ jaringan yang berasal dari sapi. Pada saat sekarang diagnosis untuk penyakit yang disebabkan oleh BHV2 dengan uji PCR juga sudah dikembangkan oleh DEGIULI et al. (2002), metode yang lebih cepat, sensitif dan spesifik yaitu shuttle PCR dilaporkan oleh IMAI et al., 2002. Teknik PCR sudah diterapkan oleh KALMAN dan EGYED (2005) pada non bovine ruminan dengan prevalensi 3-50% pada roe deer, red deer, fallow deer, mouflon dan ternak domba. DIAGNOSIS BANDING Penyakit Bovine herpes mammilitis ini sangat sulit didiagnosis terutama apabila sudah ada infeksi bakteri sekunder, sehingga akan merubah tampakan lesi, apalagi kalau di lokasi yang tidak pernah ada kejadian akan dikelirukan dengan penyakit virus lain yang dapat menyebakan infeksi puting seperti pada infeksi Pseudocowpox (GIBBS et al., 1970; 1973) atau adanya Foot and mouth disease (LETCHWORTH et al., 1982) dan Vesicular stomatitis terutama pada anak sapi yang sedang menyusu (CASTRUCCCI et al., 1972) Selain virus BHV tipe 2 yang menyebabkan perlukaan pada puting dan ambing sapi yang dapat dikelirukan dengan infeksi BHV2 adalah golongan virus yang terlihat seperti tabel 2 berikut (LETCHWORTH dan LADUE, 1982).
381
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Tabel 2. Kelompok virus yang menyebabkan peradangan puting dan ambing susu seperti yang ditimbulkan pada infeksi virus BHV2 Kelompok virus Pox virus
Papova Picorna virus Rhabdo virus Paramyxo virus
Jenis virus Cow pox, Pseudocowpox, variola, vaccinia, bovine papular stomatitis, orf, lumpy skin disease Papillomatosis Foot and mouth disease Vesicular stomatitis Rinderpest
produksi air susu pada sapi perah menurun sampai 20%, kontaminasi air susu dengan serpihan luka keropeng dan darah serta timbulnya mastitis. Penyakit BHV2 dapat didiagnosis sedini mungkin dan dapat segera ditanggulangi, dengan memperhatikan gejala perlukaan pada puting dan ambing pada ternak sapi serta pemeriksaan dan pengujian di laboratorium secara isolasi, histopatologi dan serologi sehingga penyebaran ke sapi lainnya dapat dicegah, yang pada akhirnya kerugian peternakan dapat dihindari. DAFTAR PUSTAKA
Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penyakit BHV2 karena adanya lesi pada puting dan ambing berkaitan dengan penurunan jumlah air susu yang dihasilkan sampai dengan 20% (GIBBS dan RWEYEMAMU, 1977), disebabkan oleh kesulitan dalam memerah, kejadian mastitis yang selalu muncul yang secara langsung menyebabkan turunnya produksi susu, kualitas susu serta keuntungan. Lesi pada puting biasanya menyebabkan kesakitan yang luar biasa, yang menyebabkan pemerahan susunya tidak maksimal yang akhirnya tidak menghasilkan susu secara tuntas pada akhirnya dapat memicu terjadinya infeksi mastitis subklinis yang berlanjut pada mastitis klinis. Karena lesi pada puting maka akan terjadi pengelupasan kulit pada kulit yang mempunyai lesi maupun epithelium yang sehat sehingga kesempatan bakteri untuk masuk ke saluran puting tersebut lebih tinggi. Pada beberapa kejadian infeksi BHV2, larutan iodophor dan hypochlorite dapat digunakan untuk mencuci puting susu pada pengenceran rendah, namun penggunaan larutan iodophor lebih baik dalam membunuh virus dari pemakaian larutan hypochlorite. (MARTIN dan JAMES, 1969). KESIMPULAN Bovine Herpes Virus tipe 2 (BHV2) adalah penyebab kasus Bovine ulcerative mammilitis yaitu peradangan puting dan ambing pada sapi perah. Kejadian infeksi BHV2 perlu diperhatikan karena menyebabkan derajat kesakitan sampai dengan rata-rata 50%. Infeksi yang disebabkan oleh virus BHV2 pada sapi perah sangat merugikan peternak karena
382
BESWICK TSL. 1962. The origin of the use of word herpes. Med His 6 : 214-232. BUCHMAN TG and BROIZMAN. 1978. Anatomy of bovine mammilitis DNA I. Restriction endonuclease maps of four population molecules that differ in the relative orientation of their long and short components. J. Virol. 25 (1): 395-407. CASTRUCCI G, B PEDINI, V CILLI, and G ARANCIA. 1972. Characterization of viral agent resembling bovine herpes mammilitis virus Vet. Rec. 90: 325-333. CASTRUCCI G,WB MARTIN, B PEDINI, V CILLI, and S RANUCCI. 1975. A comparison in calves of the antigenicity of three strains of bovid herpesvirus 2. Res. in Vet. Sci. 18: 208-215. CASTRUCCI G, S RANUCCI, M FERRARI, F FRIGERI, V CILLI and E CASSAI. 1981. A study in calves of an immunologic relationship between herpes simplex virus and bovid herpesvirus 2. Comp. Immun. Microbiol. 4: 1-7. DEGIULI L, S MAGNINO, PG VIGO, I LABALESTRA, and M. FABBI. 2002. Development of polymerase chain reaction and restriction typing assay for the diagnosis of bovine herpes1, bovine herpesvirus 2, and bovine herpesvirus 4 infections. J Vet. Diagn. Invest. 14: 353-356. GIBBS EPJ, RH JOHNSON and AD. OSBORN. 1970. The differential diagnosis of viral skin infections of the bovine teat. Vet. Rec. 87: 602-609. GIBBS EPJ, RH JOHNSON and AD. OSBORN. 1973. Experimental studies of the epidemiology of bovine herpes mammilitis. Res. in Vet. Sci. 14 (2): 139-144.
GIBBS EPJ and MM. RWEYEMAMU. 1977. Bovine herpes viruses. Part II. Bovine Herpesviruses 2 and 3. Vet Bull. 47 (6): 411-425. HORNER GW and PD. RAYNEL. 1988. Serological evidence of bovine herpesvirus2 in northern New Zealand. New Zealand. Vet. J. 36 (1): 4445. C, D. THIENPONT and M. HUYGELEN VANDERVELDEN. 1960. Isolation of cytopathogenic agent from skin lesions of cattle. Nature 186 (4729): 979-980. IMAI K, W. JAYAWARDANE, R ISHIHARA, K. NISHIMORI and T. NISHIMORI. 2002. Development of shuttle polymerase chain reaction for the detection of bovine herpesvirus 2. J. of Vet. Med. Sci. 64 (10): 953-956.
PLOWRIGHT W and DM JESSETT. 1971. Investigation of allerton-type herpes virus infection in east African game animals and cattle. J Hyg. 69: 209-222. RWEYEMAMU MM, AD OSBORNE and RH JOHNSON. 1969. Observations on the histopathology of bovine herpes Mammilitis. Res. Vet. Sci. 10: 203-207. STERZ H, H. LUDWIG and R. ROTT. 1974. Immunologic and genetic relationship between herpes simplex virus and bovine herpes mammilitis virus. Intervirology 2: 1-13. TURNER AJ, L KOVESDY and IMS CIANTER. 1974. Isolation of bovine herpes mammilitis virus from dairy cattle in Victoria. Aus.Vet. J. 50: 578-579.
IMAI K, R. ISHIHARA, and T. NISHIMORI. 2005. First demonstration of bovine herpesvirus 2 infection in cattle by neutralization in Japan. J of Vet. Med. Sci. 67 (3): 317-320.
TURNER AJ, L KOVESDY and IR MORGAN. 1976. Isolation and characterization of bovine herpesvirus mammilitis virus and its pathogenicity for cattle. Aus.Vet.J. 52: 166169.
JOHNSTON WS; C WRAY and JA SCOTT. 1971. An outbreak of bovine herpes mammilitis in suckler herd. Vet. Rec.: 372.
DISKUSI
KALMAN D and L EGYED. 2005. PCR detection of bovine herpesviruses from non bovine ruminant in Hungary. J. of Wildlife dis. 41 (3): 482-488. LETCHWORTH III GJ, E CARMICHAEL and HA GREISEN. 1982. Sensitivity of bovid herpesvirus 2 replication to temperatures found in the natural host. Arch. of Vir. 73: 273- 286. LETCHWORTH GJ and R LADUE. 1982. Bovine herpes mammilitis in two New York dairy herds. JAVMA 180 (8): 902-907. MARTIN WB, B MARTIN, D. HAY and IM LAUDER. 1964. Ulceration of cows’s teats caused by a virus. Vet. Rec. 76 (1): 15-16. MARTIN WB, B MARTIN, D HAY and IM LAUDER. 1966a. Bovine ulcerative mammilitis caused by a herpes virus. Vet. Rec. 78 (14): 494-497. MARTIN WB, D HAY, IV CRAWFORD, GL LE BOUVIER and EM CRAWFORD. 1966b. Characteristics of bovine mammilitis virus. J. Gen.Micro. 45: 325-332 MARTIN WB, and ZH JAMES. 1969. Inactivation of the bovine mammilitis herpesvirus by desinfectants. Vet. Rec. 85: 100. PEPPER TA, LP STAFFORD, RH JOHSON, and AD OSBORNE. 1966. Bovine ulcerative mammilitis caused by herpesvirus. Vet. Rec. 78: 569.
Pertanyaan: 1. Bagaimana kemungkinan terjadinya infeksi penyakit ini pada sapi perah di Indonesia? 2. Apakah sudah pernah dilaporkan atau diisolasi virus penyebab dari sapi perah di Indonesia? Jawaban: 1. Infeksi penyakit BHV2 pada sapi perah di Indonesia, dimungkinkan terjadi apabila diketahui adanya sejarah sapi perah impor yang berasal dari negara yang tertular, ditambah dengan adanya gejala klinis yang mirip dengan infeksi BHV2. 2. Belum pernah dilaporkan adanya penyakit Bovine herpes virus, demikian juga isolasi penyebabnya. Namun indikasi kearah penyakit Bovine herpes mammmilitis sudah ada karena selain banyak mastitis di Indonesia juga adanya gejala klinis berupa peradangan puting dan ambing pada sapi perah di beberapa peternakan.
383