India, Cerminku “Kamu itu lulusan UGM le. Yakin kamu mau ngelanjutin ke India? Gak isin po sama teman-temanmu yang kuliah di Jepang atau eropa?”. Masih terngiang jelas gumaman simbok ketika aku memutuskan melanjutkan studi ke India. Cibiran tetangga-tetangga ketika aku memutuskan mengambil studi tingkat master ke negeri Gandhi tersebut. “Sampeyan arep nopo mas ke India? Belajar jadi artis po?” Satu tahun berlalu sejak keberangkatanku. Bulan Juli. Matahari garang bersinar diatas langit Ludhiana, Punjab. Punjab Agricultural University, salah satu universitas pertanian terbaik di India ini nampaknya tak memberi belas kasihan sama sekali kepadaku. Pandu namaku. Setengah tersengal berjalan lunglai aku menuju departemen. Ya, di India, kami terbiasa menyebut “jurusan” dengan istilah “departement”, sedang fakultas disebut dengan istilah “college”. Suhu di tengah musim panas di Punjab tak main-main. 50° Celcius mas bro. Bulan puasa pula. “Jackpot” batinku sambil tersenyum kecut. “ So how’s your thesis and in plant training going on Mr. Pandu?”. Mrs. Raaj Bala Grewal. Profesor and Head of Departement. Kajur kalau orang Indonesia bilang. Pertanyaan itu meluncur dengan nada dingin dari bibirnya. “Iron Lady”. Begitu kami menyebut beliau. Dosen tua ini lumayan punya reputasi buruk di kalangan mahasiswa. Sering mahasiswa dibuat menangis bahkan ngompolsecara harfiah- oleh beliau. Serius!! Tak main-main beliau membantai mahasiswamahasiwa yang tidak disipilin atau terkesan main-main. Ingat aku di awal pertemuan kami. Saat itu kondisinya hampir sama. Aku sedang menjalankan ibadah puasa di tengah terik dan panasnya cuaca musim panas Punjab, India. Kusapa beliau dan kuajak bersalaman. Sopan santun standar di Indonesia. Tapi rupanya ajakan jabat tanganku bertepuk sebelah tangan. Sambil mengatur dokumen-dokumen di mejanya dan sesekali menandatangani beberapa surat, beliau menanyakan maksud kedatanganku. Karena hari itu aku baru saja menyelesaikan registrasi yang lumayan melelahkan, tanpa pikir panjang aku mengambil salah satu kursi di depan beliau dan duduk disitu. “Ngiiiing...” Tiba-tiba ruangan hening. Beberapa asistennya yang mondar-mandir sambil sesekali bercakap dalam bahasa Hindi tiba-tiba terdiam. Tatapan mereka tertuju padaku. “Feeling ga enak nih” batinku waktu itu. Dan benar. Tiba-tiba Mrs Raaj Bala menghentikan semua aktivitasnya. “Let me guess, you must be one of the new foreign student here”. “Yes Maam”, jawabku singkat. “From which country you are?” imbuhnya sambil menatapku tajam
“Indonesia Maam”, jawabku singkat sambil kuberikan senyumku yang paling manis. “Well Mr. Foreign student from Indonesia. You might be a brilian student in your country, but in here you only a student. So please, don’t sit unless I told you to do so” Pyar!!!! Bengong, kaget, dan takjub bercampur aduk perasaanku saat itu. Setengah tak percaya aku berdiri dari kursi panas itu segera. Diantara kebingunganku waktu itu masih sempat aku berpositive thinking. “Mungkin senyumku kurang manis di mata beliau”. Sambil mengerjap mata dan menggelengkan kepala, aku mencoba meninggalkan sejenak pengalaman pertamaku berinteraksi dengan beliau. “Yes Maam. Maam, I already prepare the protein concentrate and isolate for my thesis maam. And now I am in the third week of my in plant training. This week we are doing the quality control procedure that being applied in the market and in the processing unit. Next week, we will do direct inspection in the factory in Haryana Road Maam”, laporku singkat ke beliau sambil menyerahkan dokumen laporan mingguan dari in plant training-ku. Kerja Praktek kalau di Indonesia. Beliau menyingkirkan dokumen yang sedang beliau baca sejenak untuk mengecek laporanku. Satu persatu dibaca baik-baik laporan yang aku susun. Sesekali matanya melirik tajam ke arahku dari ujung kacamatanya. “Sebodo”, batinku. Paling tidak aku bisa ngadem sejenak di ruangan beliau yang full AC ini. “Pandu, why there’s so less picture in your report this week?”, tanya beliau “So less”??? Kalau tak salah ingat ada lebih dari 50 gambar yang kulampirkan dalam laporanku. Dan itu semua berwarna. Bayangkan biaya cetak yang harus dikeluarkan dari kantongku. Bukan kenapa-kenapa, beasiswa yang kudapat dari pemerintah India ini benar-benar pas-pasan. Cukup untuk hidup-dan nafas doang, kata Bang Tigor, seniorku yang mengambil jurusan MBA di universitas yang sama. Masak gambar sebanyak itu masih beliau bilang “so less”, batinku “Maam, it’s because this week we only do observation in market and processing unit maam. That’s why the pictures are relatively less”, jawabku. “Yes, I know, but this is quality asessement betha. It’s very important. One small mistake, you can endanger the life of the consumer”, jawab beliau masih sambil asik membolak balik dan membaca laporanku. Rada gemes dengan sebutan “betha” yang beliau tujukan padaku. “Betha” atau “Nak”, “Le”, “Nduk”, kalau orang jawa bilang, biasanya ditujukan kepada anakanak peserta didik 10+2, jenjang pendidikan setara SMU kalau di Indonesia. Masak sudah berpengalaman kerja 2 tahun dan usia hampir menginjak kepala tiga
masih dipanggil “betha”. Ya sudah lah. Paling tidak panggilan tersebut masih mending jika dibanding dengan panggilan “Cothu”. “Bocah” kalau orang Indonesia bilang. “Yes Maam, I will take more picture in the next week”, jawabku singkat. Pasrah. Berbeda dengan di Indonesia, bisa berabe kalau kita sampai bermasalah dengan dosen pembimbing kita. Disini dosen adalah segala-galanya. Semi God, kalau mengambil istilah Victor, teman sekelas saya dari Namibia. Membantah dosen itu haram hukumnya. Sing penting slamet. Daripada harus memperpanjang masa study? “So how is it Maam?”, tanyaku. Terlalu lelah aku hari itu. Bayangkan, semingguan ini aku harus menghabiskan waktuku di pasar di tengah suhu 48°-50° Celcius. Puasa pula. Dan ketika ada waktu luang, aku harus mengerjakan thesis secara berdampingan. Belum lagi laporan, ditambah dosen yang perfeksionis. Haduh, sudah terlanjur pening kepalaku memikirkan semua beban. Ingin rasanya pulang dan mandi dibawah pancuran kamar mandi hostel. “It’s ok”,Jawab Mrs Raaj Bala. Cessss.... Plong... Paling tidak habis ini bisa meletakkan kepala sejenak. Kuambil laporan dari tangan beliau dan perlahan tapi pasti kulangkahkan kaki meninggalkan ruangan beliau. Senang. Sampai tepat di depan pintu keluar beliau berujar kepadaku dari belakang “Pandu, please submit the first three chapter for your thesis after two days”. Sore itu hilang nafsu makanku. Walaupun sudah mendekati waktu buka, namun tidak ada gairah sama sekali untuk beranjak dari tempat tidurku. Yang bener brooo. Dua hari untuk menyelesaikan tiga bab pertama. Bab “Pendahuluan” dan Bab “Metode” sih lumayan gampang. Lah yang bikin pening itu bab “Tinjauan Pustaka”. Memangnya aku ini robot yang bisa membaca sekian banyak naskah thesis, buku, dan jurnal dalam waktu sesingkat itu. Yaa salaam. Lantunan lagu “Tum hi ho” dari Arijit Singh terdengar dari handphone-ku. Nada dering favoritku. Kulihat siapa yang memanggil di waktu sesore itu. “Prety Chaudhary”,senior dari Haryana. Kuangkat panggilan di hp-ku. “Namashte ji”, salam khas India kusampaikan ke beliau. “Namashte, Kaise ho Pandu”,(apa kabardalam bahasa Hindhi) sahut beliau. “Thik nahin hai didii. I am not good”, jawabku setengah merajuk. “Kya hua? What happen Pandu?”. Kutumpahkanlah segala kekesalanku kepada beliau. Walau beliau lebih muda dariku, tetap kusapa dia dengan sebutan “didii”, “Kakak”, sebagai tanda penghormatan. Beliau sangat perhatian terutama kepada kami mahasiswa asing. Teman-teman sekelas pun tak kalah baik dari beliau. “Aww, so bad Pandu. But don’t worry, I will help you to finish that. By the way, is it already time to break your fasting?”
“Not yet dii, 30 minutes to go”, jawabku. “Pandu, today we prepare special dishes for you. We will deliver it to you”. Waseeek. Lumayan. Jarang-jarang dimasakin sama gadis-gadis India. Berkah Ramadhan. Belum lagi embel-embel “special”. Semangat berbuka langsung menggelora kembali. 30 menit berlalu. Segerombolan teman-teman putri dari girls hostel datang ke hostel-sebutan untuk asrama-ku. Hehe, berasa jadi Arjuna untuk sesaat. Penasaran dengan “special dishes” yang dijanjikan dalam percakapan plus rasa lapar yang membuncah, membuat aku lupa tata krama. Kuserobot bungkusan makanan yang mereka bawa. Kubuka tutupnya. Butter capathi, special-dhal, dan aloo Kari. “How is it Pandu?”, tanya mereka dengan tatapan penuh harap. Sembari memaksakan untuk tersenyum kujawab “awesome dii”. “Than eat it”, kata beliau sambil menyodorkan tempat makanan ke wajahku. Pelan-pelan kucocolkan menu didepanku ke dalam mulut. Ora enak!! Pukul setengah dua belas malam. Nanar mataku menatap ke layar laptop. Sulit kurasakan untuk berkonsentrasi. Bagaimana tidak, tetangga sedang melakukan tea party di sebelah. Bising. Kebetulan, tetangga kamar berasal dari Afghanistan. Sama-sama berpuasa, namun mereka terlihat sangat enjoy menjalani Ramadhan. Tea party setiap malam dari selepas salat tarawih hingga jam dua malam. Lumayan BeTe dengan tetangga ini, ketika kita hampir setiap malam begadang untuk menyelesaikan tugas-tugas, mereka malah asik hura-hura. Tak lama, kudengar pintu diketuk. Kubukakan pintu. Khalid, Omar, Yosaf, dan Noor. Khalid dan Omar berasal dari Afghanistan sedangkan Yosaf dan Noor berasal dari Kashmir. Orang-orang Kashmir memiliki kedekatan dengan teman-teman dari Afghanistan karna kemiripan budaya dan wajah. Lumayan membuat kita-kita dari Indonesia minder kalau boleh jujur. “Hai Pandu. I heard that the girls send you food for ifthar?” Sudah kuduga. Setiap kali datang ke kamar, obrolan mereka tak pernah jauh dari cewek dan selangkangan. Lagian apa pula urusan mereka tadi sore aku buka dengan apa, dengan siapa. “Pandu, this is not good. You have a lot of girl friends and you keep it for your self. Share them to us also yaar” Bagi, bagi. Kalian pikir mereka tabungan pakai acara bagi-bagi. “Haha, I think you are afraid to compete with us. You afraid to lost them don’t you? Hahahaha, timpal Yousaf. Yousaf memang paling rupawan diantara mereka. Wajah kearab-araban, didukung dengan postur yang tinggi dan tegap. Matanya berwarna hijau, dengan rambut sedikit kemerahan. Reputasinya sebagai playboy kampus sudah tak asing lagi. Banyak gadis mengantri di belakangnya. Cukup memprihatinkan kalau boleh dibilang, mengingat bagaimana dia
memperlakukan gadis-gadis yang mengejarnya. Pernah dengan bangganya dia memamerkan empat gadis yang berhasil dia kencani. Bahkan mereka mengemisngemis untuk kembali ketika dia memutuskan untuk meninggalkan mereka. “Don’t worry my friend, we just joking with you hahahaha” Dan obrolan makin ndak nggenah dan nggilani. Tak tahan dengan candaan kotor mereka, aku meminta mereka untuk meninggalkan kamar. “Sorry guys, I have to submit first three chapter of my thesis in two days. So please, if you’re not having any important thing to do, please leave my room”. “Pandu apa-apaan ini, kenapa kamu tidak mau bersosialisasi dengan kami”, protes mereka. Bersosialisasi sih bersosialisasi mas, Cuma kalau dosen killer dah wantiwanti, mana bisa main-main aku. “Ayolah, cobalah mengerti keadaanku”, pintaku menghiba “Pandu, kamu tidak usah terlalu khawatir. Ini India teman. Semua bisa dilobi disini” Tak berlebihan apa yang mereka bilang. Boleh dibilang, siswa asing dari Afghanistan memang mendapat perlakuan khusus karena kemampuan melobi mereka dalam bahasa Hindi. Teringat aku akan kasus-kasus yang sudah-sudah, ketika teman-teman dari Vietnam harus gagal dan memperpanjang masa studynya sedangkan teman-teman dari Afghanistan bisa asik-asik lenggang kangkung melobi Vice Cancelor dan mereka bisa lulus dengan nilai memuaskan dan tepat waktu. Di beberapa kasus, bahkan dosen pembimbing menyusunkan naskah thesis untuk mereka. Gila. Di saat-saat seperti ini kembali terngiang percakapanku dengan simbok ketika hendak berangkat ke India. “Kamu itu lulusan UGM le, yakin mau ke India? Ngga’ mau nyoba beasiswa ke negara lain dulu po?” Ada rasa sesal yang besar didalam hatiku saat ini. Ya Allah, kenapa dulu aku memilih India? “Gusti Allah itu memuliakan hambaNya dengan menyibukkan hambaNya dengan urusan-urusan yang penting mas” Ucapan Ustad Zaki sebelum aku berangkat ke India kembali terngiang di ingatanku. “Kalau sampeyan diamanahi menghabiskan waktu sampeyan untuk hal-hal yang penting dan membangun, walupun sampeyan kesel, lelah, dan ndak seneng, berarti
Gusti Allah itu sayang sama sampeyan. Nah kalau sampeyan malah menghabiskan waktu sampeyan buat hal-hal sepele dan ndak bernilai, walau sampeyan seneng, ya berarti cuma segitu nilai sampeyan di hadapanNya. Intinya jangan terlalu cepat menyerah mas. Belum tentu yang dihadapan sampeyan itu seperti yang sampeyan bayangkan. Hasil itu penting mas, cuma yang namanya usaha,proses, ikhtiar itu jauh lebih penting” Apa bener tad omongan sampeyan? Tanpa kusadari, air mata menetes di pipiku. Mbok, Pandu kangen mbok... “Very nice Pandu”, ucap Mrs. Raaj Bala ketika beliau membaca tiga bab pertama dari thesisku. Namun wajahnya tetap lempeng. Tanpa ekspresi. Bola matanya lincah bergerak di belakang kaca mata tebal beliau. Belajar dari pengalaman, aku mencoba untuk tidak terbawa dengan ucapan beliau di awal. Bagaimanapun saat ini aku sedang berhadapan dengan sang “Iron Lady”. Sejuta kejutan bisa keluar dibalik pujian beliau. “Pandu, do you like to write an article?” “Not that much maam”, jawabku “Pandu, we will publish our university magazine next month. Please write an article about your experience as a foreign student in this university. Submit it to me next week” Nah bener kan. Kejutan baru. “Maam”, setengah mendesah aku bergumam. “I’m doing fasting maam, and next week I will celebrate Eid. Please....” kata-kataku terhenti. Air mata tanpa kusadari sudah menetes dipipiku. Aduh, kalau adikku lihat pasti sudah diledekin ini. Masak anak cowok nangis. Namun entahlah Aku sudah letih. Aku lelah.Mungkin karena terlalu sedihnya, aku tak tahu kalau Mrs. Raaj Bala sudah berdiri di depanku. Beliau menyeka airmataku. “Bhetie betha. Have a sit”.Buseet. Akhirnya aku diijinkan juga untuk duduk di kursi panas di depan beliau. Masak iya sih harus mewek-mewek dulu buat boleh duduk disitu? Setelah menenangkan diri, aku meminta diri untuk keluar dari ruangan beliau. “The result of last exam has come betha”, ucap Mrs. Raaj Bala, kali ini dengan nada yang lebih lembut. Ujian di India memang agak berbeda dengan ujian di Indonesia. Kita harus menulis sebanyak-banyaknya di kertas ujian, dan ujian dikoreksi oleh pihak eksternal. Karenanya, kadang butuh waktu satu bulan lebih untuk mengetahui nilai-nilai kita.
Mrs. Raaj Bala menyerahkan kertas transkrip nilai kepadaku. Terngiang beban semester kemarin. Sebelas mata kuliah harus ku ambil. Entahlah, bagaimana nilaiku saat ini GPA 7.5. Setengah tak percaya aku. Ku cek sudut bawah transkrip nilaiku. Disitu tertulis, acknowledgement: Toper “Betha, I’m really sorry if I am harsh at you. But everything that I do was to make you to be a better student. Now you are a topper. Not ordinary topper, you are a topper with all the burden I’ve gave to you. I expect more ftom you. Congratulation betha. I’m very proud of you” Setengah tak percaya aku. Andai Ustad Zaki, tahu akan hal ini, beliau akan tertawa sambil berkata, “kan sudah tak bilangi mas”. Mungkin benar apa kata beliau, bahwa proses jauh lebih penting dibanding hasil. Mungkin semester depan aku bukan toper lagi. Mungkin pula aku gagal. Namun satu hal yang pasti, aku tak boleh berhenti melangkah dan menyibukkan diri, karena nilaiku sebagai manusia tercermin dari sini.