Indeks
INDEKS PENGARANG JURNAL PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN VOLUME 18, 2012 A Ahmad Jamalong, “Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau” 18(4): 394-411 Al Musanna, “Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk Mempersiapkan Guru yang Memiliki Kompetensi Budaya” 18(3): 328-341 Al Musanna, “Quo Vadis Praksis Evaluasi Kurikulum: Studi Pendahuluan terhadap Ranah Kurikulum yang Terlupakan” 18(1): 1-11 B Bambang Indriyanto, “Dimensi Pembangunan Karakter dan Strategi Pendidikan” 18(1): 21-33 Bambang Indriyanto, “Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan” 18(4): 440-452 D Dian Ruharman lihat I Made Astra, Umiatin, dan Dian Ruharman Didi Tarsidi, “Mengatasi Masalah-masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia Dewasa” 18(1): 85-97 E Eka Kasah Gordah, “Upaya Guru Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis Peserta Didik Melalui Pendekatan Open Ended” 18(3): 264-279 F Fanny Henry Tondo, “Bahasa Minoritas Hamap dalam Perkebunan Jagung: Tinjauan Etnolinguistik” 18 (2): 204-215 H Handaru Catu Bagus, “Administrasi Ujian Nasional (UN) dengan Menggunakan Model Computerized Adaptive Testing (CAT)” 18(1): 45-53 Hayadin, “Pengelolaan Guru Pendidikan Agama dalam Konteks Desentralisasi Pendidikan” 18(2): 181191 Hendarman, “Peran Dewan Pendidikan dalam Meningkatkan Mutu Pelayanan Pendidikan” 18(1): 3444 Hermana Somantrie, “Analisis-Kritis Perlunya Perubahan Kebijakan terhadap Pelabelan Mata Pelajaran dalam Kurikulum Sekolah” 18(1): 12-20 Herry Widyastono, “Implikasi RPJMN 2010-2014 Sektor Pendidikan terhadap Manajemen Pengembangan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah” 18(3): 342-351 Herry Widyastono, “Kemampuan Guru dalam Menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” 18(3): 244-253 Herry Widyastono, “Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah” 18(4): 467-476
489
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012
I I Made Astra, Umiatin, dan Dian Ruharman, “Aplikasi Mobile Learning Fisika dengan Menggunakan Adobe Flash sebagai Media Pembelajaran Pendukung” 18(2): 174-180 Ida Kintamani Dewi Hermawan, “Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pengumpulan Data Pendidikan Nonformal Tidak Tepat Waktu dan Tidak Berkualitas” 18(3): 294-309 Ida Kintamani Dewi Hermawan, “Kinerja Pendidikan Kesetaraan Sebagai Salah Satu Jenis Pendidikan Nonformal” 18(1): 65-84 L L. Kaluge lihat Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge Leo Agung S., “Implementasi Model Pembelajaran IPS Terpadu (Suatu Studi Evaluatif di SMP Kota Surakarta)” 18(2): 145-155 Leo Agung S., “Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya” 18(4): 412-426 M Masganti Sit, “Peningkatan Kompetensi Sosial Anak Usia Dini dengan Metode Bermain Peran (Studi Kasus di Raudhatul Athfal Muhajirin-Medan)” 18(1): 98-106 Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, “Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar” 18(4): 353-367 Munawir Yusuf, “Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif” 18(4): 382-393 Munir Tanrere dan Sumiati Side, “Pengembangan Media Chemo-Edutainment melalui Software Macromedia Flash MX pada Pembelajaran IPA Kimia SMP” 18(2): 156-162 N Nugroho Trisnu Brata, “Korelasi Budaya Perkebunan dan Fenomena “Buruh Borong” Perkebunan Sawit di Kalimantan Barat” 18(3): 280-293 O Oos M. Anwas, “Model PAUD Posdaya sebagai Alternatif Pelaksanaan Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Masyarakat” 18(3): 319-327 P Prayekti dan Rasyimah, “Lesson Study untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Dasar” 18(1) 54-64
bagi Siswa Sekolah
R Rasmadi, “Korelasi antara Komunikasi Antarpersonal, Etos Kerja, dan Budaya Organisasi dengan Pelayanan” 18(1): 107-119 Rasyimah lihat Prayekti dan Rasyimah Rogers Pakpahan, “Model Alternatif Ujian Akhir” 18(2): 121-131
490
Indeks
S Sahat Saragih dan Vira Afriati, “Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph” 18(4): 368-381 Simon Sili Sabon, “Potensi TIK dalam Meningkatkan Daya Tampung LPTK bagi Guru dalam Jabatan di Sulawesi Selatan” 18(3): 254-263 Siswantari, “Kompetensi Keahlian di SMKN 6 Pertanian Jeneponto Sulawesi Selatan” 18(2): 216-227 Siswo Wiratno lihat Subijanto dan Siswo Wiratno Siswo Wiratno, “Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi” 18(4): 453-466 Soebagyo Brotosedjati, “Pengaruh Supervisi Kunjungan Kelas oleh Kepala Sekolah dan Kompensasi terhadap Kinerja Guru SD Negeri di Kecamatan Sukoharjo” 18(3): 229-243 Sri Tatminingsih dan Sudarwo, “Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana” 18(4): 427-439 Subijanto dan Siswo Wiratno, “Analisis Kinerja Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah” 18(3): 310-318 Subijanto, “Analisis Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah Menengah Kejuruan” 18(2): 163-173 Sudaryono, “Kajian Metode Deteksi Differential Item Function (DIF) Butir Soal Ujian Nasional dengan Teori Tes Klasik” 18(2): 132-144 Sumiati Side lihat Munir Tanrere dan Sumiati Side Sunardi, “Konsep Rasa dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa” 18(2): 192-203 U Umiatin lihat I Made Astra, Umiatin, dan Dian Ruharman V Vira Afriati lihat Sahat Saragih dan Vira Afriati Y Yudi Setianto, “Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah” 18(4): 477488
491
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012
INDEKS JUDUL JURNAL PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN VOLUME 18, 2012 A Administrasi Ujian Nasional (UN) dengan Menggunakan Model Computerized Adaptive Testing (CAT) Handaru Catu Bagus Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 45-53 Analisis Kinerja Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Subijanto dan Siswo Wiratno Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 310-318 Analisis Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah Menengah Kejuruan Subijanto Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 163-173 Analisis-Kritis Perlunya Perubahan Kebijakan terhadap Pelabelan Mata Pelajaran dalam Kurikulum Sekolah Hermana Somantrie Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 12-20 Aplikasi Mobile Learning Fisika dengan Menggunakan Adobe Flash sebagai Media Pembelajaran Pendukung I Made Astra, Umiatin, dan Dian Ruharman Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 174-180 Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk Mempersiapkan Guru yang Memiliki Kompetensi Budaya Al Musanna Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 328-341 B Bahasa Minoritas Hamap dalam Perkebunan Jagung: Tinjauan Etnolinguistik Fanny Henry Tondo Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 204-215 D Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah Yudi Setianto Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 477-488 Dimensi Pembangunan Karakter dan Strategi Pendidikan Bambang Indriyanto Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 21-33 F Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pengumpulan Data Pendidikan Nonformal Tidak Tepat Waktu dan Tidak Berkualitas Ida Kintamani Dewi Hermawan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 294-309
492
Indeks
I Implementasi Model Pembelajaran IPS Terpadu (Suatu Studi Evaluatif di SMP Kota Surakarta) Leo Agung S. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 145-155 Implikasi RPJMN 2010-2014 Sektor Pendidikan terhadap Manajemen Pengembangan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah Herry Widyastono Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 342-351 K Kajian Metode Deteksi Differential Item Function (DIF) Butir Soal Ujian Nasional dengan Teori Tes Klasik Sudaryono Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 132-144 Kemampuan Guru dalam Menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Herry Widyastono Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 244-253 Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif Munawir Yusuf Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 382-393 Kinerja Pendidikan Kesetaraan Sebagai Salah Satu Jenis Pendidikan Nonformal Ida Kintamani Dewi Hermawan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 65-84 Kompetensi Keahlian di SMKN 6 Pertanian Jeneponto Sulawesi Selatan Siswantari Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 216-227 Konsep Rasa dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Sunardi Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 192-203 Korelasi antara Komunikasi Antarpersonal, Etos Kerja, dan Budaya Organisasi dengan Pelayanan Rasmadi Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 107-119 Korelasi Budaya Perkebunan dan Fenomena “Buruh Borong” Perkebunan Sawit di Kalimantan Barat Nugroho Trisnu Brata Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 280-293 L Lesson Study untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Bagi Siswa Sekolah Dasar Prayekti dan Rasyimah Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 54-64 M Mengatasi Masalah-masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia Dewasa Didi Tarsidi Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 85-97 Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau
493
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012
Ahmad Jamalong Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 394-411 Model Alternatif Ujian Akhir Rogers Pakpahan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 121-131 Model PAUD Posdaya sebagai Alternatif Pelaksanaan Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Masyarakat Oos M. Anwas Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 319-327 Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah Herry Widyastono Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 467-476 P Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi Siswo Wiratno Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 453-466 Pengaruh Supervisi Kunjungan Kelas oleh Kepala Sekolah dan Kompensasi terhadap Kinerja Guru SD Negeri di Kecamatan Sukoharjo Soebagyo Brotosedjati Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 229-243 Pengelolaan Guru Pendidikan Agama dalam Konteks Desentralisasi Pendidikan Hayadin Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 181-191 Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan Bambang Indriyanto Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 440-452 Pengembangan Media Chemo-Edutainment melalui Software Macromedia Flash MX pada Pembelajaran IPA Kimia SMP Munir Tanrere dan Sumiati Side Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 156-162 Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya Leo Agung S. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 412-426 Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana Sri Tatminingsih dan Sudarwo Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 427-439 Peningkatan Kompetensi Sosial Anak Usia Dini Dengan Metode Bermain Peran (Studi Kasus di Raudhatul Athfal Muhajirin-Medan) Masganti Sit Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 98-106 Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph Sahat Saragih dan Vira Afriati Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 368-381
494
Indeks
Peran Dewan Pendidikan dalam Meningkatkan Mutu Pelayanan Pendidikan Hendarman Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 34-44 Potensi TIK dalam Meningkatkan Daya Tampung LPTK bagi Guru dalam Jabatan di Sulawesi Selatan Simon Sili Sabon Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 254-263 Q Quo Vadis Praksis Evaluasi Kurikulum: Studi Pendahuluan terhadap Ranah Kurikulum yang Terlupakan Al Musanna Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 1-11 S Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 353-367 U Upaya Guru Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis Masalah Matematis Peserta Didik Melalui Pendekatan Open Ended Eka Kasah Gordah Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 264-279
495
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012
Ucapan Terima Kasih
Tim Penyusunan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. 2. 3. 4. 5.
Prof. Dr. Madyo Eko Susilo, M.Ed. (Universitas Veteran Sukoharjo/Manajemen Pendidikan), Prof. Dr. Sugiyono, M.Pd. (Universitas Negeri Yogyakarta/Teknik), Dr. Retno Dwi Suyanti (Universitas Negeri Medan/Kebijakan Pendidikan), Prof. Dr. Muhammad Sidin Ali, M.Pd. (Universitas Negeri Makassar/Evaluasi Pendidikan), Nonny Swediaty, Ph.D. (Institute for Research, Training & Development/Psikometri, PAUD, Educational & Brain)
Sebagai Mitra Bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel-artikel Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
496
Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah
DIKOTOMI BEBAS NILAI DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH (THE DICHOTOMY BETWEEN VALUE - FREE AND EDUCATIONAL VALUE IN HISTORY LEARNING) Yudi Setianto PPPPTK PKn-IPS Malang, Jl. Raya Arhanud, Pendem, Batu, e-mail:
[email protected] Diterima tanggal:10/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 10/11/2012, Disetujui tanggal:20/12/2012 Abstrak: Tujuan penulisan artikel ini untuk menemukan win-win solution, dalam rangka memisahkan sekaligus saling menghormati antara Sejarah dalam ranah ilmu murni dan Sejarah dalam domain pendidikan atau pembelajaran ke siswa. Penulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Sejarah sebagai ilmu dituntut objektif, dan tetap menjaga kebebasan nilai (value-free). Dalam konteks Sejarah, objektivitas bisa diterjemahkan sebagai kebenaran dan kejujuran, fakta yang direkonstruksi dituntut dikemukakan secara transparan. Namun, dalam ranah pembelajaran Sejarah, Sejarah tidak mungkin dikemukakan secara objektif. Hal ini bukan berarti jika pembelajaran bersifat subyektif ataupun mengingkari fakta. Bagi tujuan yang lebih bijaksana, polarisasi Sejarah, yaitu dalam rangka menumbuhkan nasionalisme, patriotisme serta tujuan-tujuan pendidikan lainnya, tidak mungkin disandingkan dengan sejarah sebagai alat legitimasi konflik sosial, bahkan disintegrasi bangsa. Ilmu Sejarah tetap bersifat objektif dalam mengungkap fakta Sejarah, sementara itu tujuan pelajaran Sejarah merupakan bagian dari tujuan pendidikan. Sejarah sebagai bahan pelajaran harus disusun searah dengan dasar dan tujuan Pendidikan Nasional. Sejarah sebagai mata pelajaran yang mempunyai misi tertentu dan Sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Pembelajaran Sejarah menempatkan fakta-fakta Sejarah yang disaring, demi tujuan pendidikan agar Sejarah menjadikan yang mempelajarinya lebih bijaksana. Kata kunci: ilmu Sejarah, bebas nilai, objektivitas sejarah, dan pendidikan Sejarah Abstract: The aim of writing this article is to offer a win-win solution to put history learning, both as a pure social science as well as an education and learning tools for students. This study used qualitative descriptive approach. As a science, history should be objective and at the same time keep the value-free concept. In the context of history, objectivity means truth and honesty, that is all facts must be disclosed transparantly. However, in history learning, not all the historical facts should be revealed fully. Yet, it does not necessarily mean that history learning is not objective or even denying the facts. For the wiser purpose, the history polarisation aiming at growing students’ nationalisme, patriotism, and other noble educational objectives, it is not possible to treat history as a tool to legitimate social conflicts or even the nation disintegration. History in learning should keep objective in uncovering historical facts, while also maintain the purpose of the learning itself. History as a learning must be built upon the foundation and aim of the national education system. Thus, history as a school subject having particular education objectives must be put in line, side by side, compromise with its position as a social science, without eliminating the principles of one or both of them. History learning uses filtered historic facts, so the learners are led to be wise people. Keywords: the science of history, value-free, objectivity of history, and history learning
477
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Pendahuluan
Kajian Literatur dan Pembahasan
Ilmu Sejarah adalah ilmu yang menyelidiki dan
Pembelajaran Sejarah
menceritakan peristiwa-peristiwa dalam waktu
Pengaja ran terd iri atas proses bela jar dan
dan ruang yang dihubungkan dengan perkem-
mengajar. Belajar-mengajar sebagai suatu sistem
bangan aktivitas manusia. Sebagaimana ilmu
instruksional mengacu kepada pengertian sebagai
pengetahuan lainnya, Ilmu Sejarah juga
bersifat
seperangkat komponen yang saling bergantung
bebas nilai (value-free). Namun, perlu disadari
satu dengan lainnya dalam mencapai tujuan.
bahwa dalam perjalanan Sejarah peradaban di
Sebagai suatu sistem, belajar mengajar meliputi
dunia, konflik sosial sering terjadi. Konflik ini bisa
suatu komponen seperti: tujuan, bahan, siswa,
terjadi antara negara, dan juga dalam suatu
gur u, m etod e, situa si d an e valuasi. Tuj uan
negara. Berbagai konflik, tak jarang disebabkan
tersebut dapat tercapai jika semua komponen
oleh legitimasi sejarah. Konflik tersebut tak lepas
diorganisasikan, sehingga terjadi kerja sama
dari penghargaan yang tinggi terhadap “the glorius
antarkomponen (Djamarah & Zain, 1996). Secara
past” dari masing-masing suku, ras, agama, dan
sederhana, pengajaran Sejarah diartikan sebagai
bangsanya. Ilmu Sejarah yang value-free, sering
sua tu
kali harus bertanggung jawab terhadap
Pengajaran Sejarah berkaitan dengan perpaduan
konflik-
konflik tersebut.
siste m
be laja r
me ngaj ar
Sejar ah.
antara teori-teori pendidikan dan Ilmu Sejarah.
Sementara itu, Pendidikan Sejarah yang
Berbeda de ngan Ilmu Sejarah, y ang secara
merupakan pembelajaran Sejarah di sekolah
khusus intens mengembangkan keilmuan, maka
mengungkap fakta sejarah secara lebih bijak agar
pe mbel ajar an Sejar ah a tau mata pel ajar an
dampak
sejarah bagi siklus konflik mendapat
Sejarah dalam kurikulum sekolah, memang tidak
reduksi. Namun demikian, dalam kontek Sejarah
secara khusus bertujuan untuk memajukan ilmu
Nasiona l Indone sia, ser ing kali sej araw an
ata u untuk mene lork an calon ahl i Se jara h.
mengkritisi official history atau penulisan Sejarah
Penekanan pengajaran Sejarah, tetap terkait
resmi yang dibuat pemegang kekuasaan. Official
dengan tujuan pendidikan pada umumnya, yaitu
history memang sering dijadikan rujukan dalam
ikut membangun kepribadian dan sikap mental
pembelajaran Sejarah, termasuk di dalamnya
siswa. Tujuan pendidikan tidak hanya membentuk
Sejarah Kontemporer. Pembelajaran Sejarah
kemampuan intelektual semata, tetapi juga sikap
sering dikritik mengabaikan temuan fakta dari Ilmu
dan berbagai keterampilan. Jika pendidikan hanya
Sejarah, demi tujuan pendidikan secara umum.
mem beri kan kema mpua n intele ktua l ta npa
Dalam menyikapi perbedaan paradigma Ilmu
didasari nilai-nilai dan moralitas dalam diri siswa,
Sejarah dan Pendidikan Sejarah, tentunya harus
maka intelektualitas dapat menjadi salah arah.
ada titik temu.
Pembelajaran harus memiliki muatan konsep
Dari gambaran di atas, muncul rumusan
kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yang
permasalahan sebagai berikut: 1) bagaimana
meliputi nilai-nilai yang dipromosikan oleh sekolah,
perbedaan tinjuan Ilmu Sejarah dan Pendidikan
penekanan yang diberikan oleh guru, derajat
Sejarah?; dan 2) bagaimana jalan tengah dari
antusiasme guru, iklim fisik dan sosial sekolah
kontroversi Ilmu Sejarah dan Pendidikan Sejarah,
(Oliva 1982). Istilah hidden curriculum menunjuk
dalam konteks Sejarah Nasional Indonesia?
pada kenyataan bahwa para guru dan sekolah
Penulisan ini bertujuan untuk mencari format
terlibat dalam pendidikan moral, tanpa secara
dalam rangka menemukan titik temu antara dua
eksplisit dan filosofis membahas atau merumuskan
paradigma yang berbeda, yaitu sejarah sebagai
tujuan dan metodenya (Kohlberg, 1995).
ilmu, dan sejarah dalam ranah pembelajaran atau
Se jara h se baga i ma ta
pela jara n ya ng
pendidikan, khususnya dalam membahas sejarah
mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu
nasional Indonesia.
Perbedaan antara ilmu yang
dan Sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalam
bersifat value-free, dan nilai-nilai pendidikan dalam
konsep yang jelas tanpa mengorbankan prinsip-
Sejarah, dapat dipadukan, dengan melihat tujuan
pri nsip sal ah satunya a tau keduanya . Ha l
dan fungsi masing-masing.
tersebut penting, agar kekhawatiran tentang subjektivitas sejarah dalam pembelajaran Sejarah
478
Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah
tidak mengorbankan ilmu Sejarah itu sendiri.
diajarkan ilmu-ilmu yang dapat meningkatkan
Meskipun demikian, sebagai materi pelajaran di
kemampuan dan keterampilan, perlu dilengkapi
sekolah, Sejarah harus menghindarkan hal-hal
jug a
sebagai berikut: pertama, Sejarah sebagai bahan
membentuk sikap dan mentalitas,
pelajaran harus dihindarkan pada kecenderungan
pelajaran Sejarah. Menurut Ali (2005), pengajaran
antikuriat, yaitu kisah masa lalu dipelajari hanya
Sej arah penting dal am p embe ntuk an j iwa
sekedar pelipur lara atau bahan hafalan yang
patriotisme dan rasa kebangsaan.
de ngan
pengeta huan
yang
ma mpu
seperti mata
menjemukan. Kedua, pelajaran Sejarah sebaiknya
Sementara itu, Hasan berpendapat, terdapat
menjauhkan diri dari keterangan sejarah (historical
beb erap a pe maknaan terhadap Pendidi kan
explanation) yang ideologis tanpa pertanggung-
Sejarah. Pertama, secara tradisional Pendidikan
jawaban yang rasional (Abdullah, 1996).
Sejarah dimaknai sebagai upaya untuk mentran-
Se cara sed erha na, peng ajar an Sejar ah
sfer kemegahan bangsa di masa lampau kepada
diartikan sebagai suatu sistem belajar mengajar
generasi muda. Dengan posisi yang demikian,
Sejarah. Pengajaran Sejarah berkaitan dengan
Pendidi kan
teori-t eori pem bela jara n da n ke Seja raha n.
pewarisan nilai-nilai keunggulan bangsa. Melalui
Berbeda dengan ilmu Sejarah, pembelajaran
posisi ini Pendidikan Sejarah ditujukan untuk
Sejarah atau mata pelajaran Sejarah dalam
membangun kebanggaan bangsa dan pelestarian
kurikulum sekolah memang tidak secara khusus
keunggulan tersebut. Kedua, Pendidikan Sejarah
bertujuan untuk memajukan ilmu atau untuk
ber kena an d enga n up aya memp erke nalk an
menelorkan calon ahli Sejarah. Penekanannya,
peserta didik terhadap disiplin Ilmu Sejarah. Oleh
dalam pengajaran Sejarah tetap terkait dengan
karena itu, kualitas seperti berpikir kronologis,
tujuan pendidikan pada umumnya, yaitu ikut
pemahaman sejarah, kemampuan analisis dan
membangun kepribadian dan sikap mental siswa.
pe nafsiran sej arah, ke mamp uan pene liti an
Seja rah
adal ah
w ahana
ba gi
Dalam masa pembangunan bangsa, salah
sejarah, kemampuan analisis isu dan pengambilan
satu fungsi utama pendidikan adalah pengem-
keputusan (historical issues-analysis and decision
bangan kesadaran nasional sebagai sumber daya
making) menjadi tujuan penting dalam Pendidikan
mental dalam proses pembangunan kepribadian
Sejarah (Hasan, 2007).
nasional beserta identitasnya (Kartodirdjo, 1993).
I G de W idja menyata kan bahw a pe m-
Hal ini juga diperkuat oleh pemerintah melalui
belaja ran Sejara h adalah p erpaduan a ntara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
aktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnya
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang
yang menyatakan:
erat kaitannya dengan masa kini (Widja,1989).
“Pendidikan nasional berfungsi mengem-
Pendapat Widya tersebut dapat disimpulkan,
bangkan kemampuan dan membentuk watak
bahwa mata pelajaran Sejarah merupakan bidang
serta peradaban bangsa yang bermartabat
studi yang terkait dengan fakta-fakta dalam Ilmu
da lam rang ka m ence rda skan kehidup an
Sejarah namun tetap memperhatikan tujuan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
pendidikan pada umumnya. Dalam Seminar
peserta didik agar menjadi manusia yang
Sejarah Nasional di Yogyakarta tahun 1957,
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Padmopuspito berpendapat bahwa pert ama,
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
penyusunan pelajaran Sejarah harus bersifat
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
ilmiah. Kedua, siswa perlu bimbangan dalam
negara yang demokratis serta bertanggung
berfikir, tetapi tafsiran dan penilaian tidak boleh
jawab” (Pasal 3).
dipaksakan, karena dapat mematikan daya pikir
Memperhatikan fungsi dan tujuan Pendidikan
siswa (Gazalba,1966).
Dalam bidang pengajaran
Nasional tersebut, jelas bahwa yang dicapai bukan
Sejarah, terdapat tiga faktor yang harus dipahami
hanya kemampuan intelektualitas saja, tetapi
tentang materi Sejarah. Pertama, hakikat fakta
lebih menekankan kepada tiga ranah secara
Sejarah. Kedua, hakikat penjelasan dalam Sejarah.
merata, yaitu: kognitif, afektif dan psikomotorik.
Ketiga, masalah obyektivitas Sejarah (Hariyono,
Berkaitan dengan itulah, di samping di sekolah
1995).
479
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Ilmu Sejarah
Kritik Terhadap Pembelajaran Sejarah
Di sisi lain, Sejarah merupakan cabang ilmu
Sejarawan Italia, Benedetto Croce mengatakan,
pengetahuan yang berkembang, dengan metode
mer ekonstruksi Seja rah, pasti a kan terj adi
dan standar tersendiri. Ilmu Sejarah dalam
benturan antara realita dan pemikiran, maksud
mengung kap
mem perhatik an
dan peristiwa, historical dan philosophical. Jika
netr alitas nilai k etika me lakukan peneli tian
merekonstruksi fakta Sejarah saja, Croce masih
sejarah. Ini berarti bahwa ia harus menyingkirkan
mengkhawatirkan adanya subjektivitas yang
asumsi ideologis atau nonilmiah dari penelitian.
“disengaja” dalam pengungkapan fakta sejarah,
Ini sebagai konsekuensi, bahwa ilmu penge-
maka tentunya akan lebih khawatir jika sejarah
tahuan bersifat bebas nilai (value-free). Bebas nilai
bersanding dengan tujuan pendidikan suatu
artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah
negara. Sebagaimana pandangan Taufik Abdullah
agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan
bahwa, sejarah sebagai alat pemupuk ideologi,
itu sendiri. Tokoh sosiologi, Max Weber, menya-
betapapun luhurnya mempunyai resiko yang bisa
takan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi
me niad akan val idit as dari apa yang ak an
ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus
disampaikan. Seakan-akan, sejarah dapat bersifat
menjadi nilai yang relevan ( value-relevant ).
subyektif, demi didapatkan kearifan yang afektif
Mempelajari Sejarah merupakan suatu jenis
(Abdullah, 1996). Mengutip pernyataan dari Elton,
berpikir tertentu yang disebut pemikiran historis.
sering muncul kecurigaan di kalangan sejarawan
Sebagai sebuah ilmu, Sejarah telah memenuhi
bahkan para pendidik, terhadap alasan meng-
syarat-syaratnya seperti (Hugiono & Poerwan-
kai tkan Seja rah denga n pr oses pend idik an.
tana, 1987), yaitu: 1) pengetahuan yang dicapai
Pr oses pendidi kan Seja rah dianggap hanya
secara
fakt a,
metodis
dan
harus
seca ra
menjadi sumber kecenderungan etnosentris,
sistematis; 2) meliputi kelompok besar dari
berhubungan
bahkan mengarah ke “xenophobia”. Sementara itu,
kebenaran umum; dan 3) bersifat objektif.
Namier (dalam Widja, 1997) berpendapat bahwa
Seb agai mana pandang an Bacon, ba hwa
peran sejarah sebagai “moral precepts” atau
“histories make man wise”, Sejarah diharapkan
ajaran moral dianggap dapat menjelma menjadi
yang mempelajari menjadi lebih bijaksana (dalam
indokt rinasi seba gai legiti masi doktri n atau
Widja,1989). Syarat Ilmu Sejarah adalah objektif.
ideologi tertentu (Widja,1997).
Sejarah sebagai ilmu dituntut objektif, karena ilmu
Selain itu sejarawan lain, yakni Mahasin
tanpa obyektivitas tidak mempunyai nilai ilmiah.
ber pand anga n ba hwa krit ik umum kepa da
Objektif bisa diartikan bersifat tidak memihak.
pendukung nilai edukatif Sejarah dalam pena-
Suatu penulisan sejarah dapat bersifat subyektif,
naman nilai-nilai sejarah melalui proses pendi-
apa bila sej araw an m embi arka n politi k at au
dikan yang lebih menonjol adalah pencapaian
etisnya turut berperan, atau nilai-nilai turut
tujuan-tujuan edukatif yang bersifat ekstrinsik
berperan dalam penulisan sejarahnya (Siswanto
atau instrumental. Padahal dalam teori belajar
dan Sukamto, 1991).
ya ng l ebih uta ma
adal ah nilai
instri nsi k.
Hal ini menjadi berbeda jika Sejarah sebagai
Penekanan sifat ekstrinsik atau instrumental
mata pelajaran dan materi pembelajaran di
dalam Pendidikan Sejarah akan lebih mengarah
sekolah. Bagaimanapun, pembelajaran Sejarah
pada pemahaman nilai sejarah sebagai landasan
mempunyai misi dan visi tertentu, yang merupakan
ba gi
bagian dari tujuan pendidikan. Jika tujuan pendi-
membentuk manusia yang sudah ditentukan
dikan suatu negara bersifat subjektif, bagaimana
sebelumnya (predefined person), baik dalam
dengan pendidikan Sejarah dalam pembelajaran
rangka “cultural transmission” maupun dalam
di sekolah? Dikotomi semacam ini, seringkali
penyiapan” moral precepts” bagi generasi baru.
muncul dari para sejarawan untuk menggugat
Dalam kerangka berpikir seperti ini, muncul ke-
objektivitas fakta dalam pem-belajaran Sejarah.
cenderungan atau dorongan pemujaan berlebihan
Materi pembelajaran Sejarah, apalagi Sejarah
terhadap masa lampau yang pada gilirannya
Kontemporer, tak lepas dari produk “sejarah
memberi peluang bagi kekaburan realitas sejarah
resmi” dari pemerintah atau penguasa.
demi kepentingan masa kini atau kecenderungan
480
p embe ntuk an
sema cam
alat
cet ak
Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah
pre sentisme.
Peng aburan
sep erti
ini
bi sa
juangannya sering diangkat sebagai pahlawan
mendorong generasi baru hanya terpesona atau
bangsa di negaranya masing-masing. Di hampir
mengagumi masa lampau tanpa pernah berpikir
semua negara, sosok pahlawan tetap selalu
secara kreatif merencanakan bangunan masa
didasari unsur subjektivitas yang dibalut kerangka
depannya (Widja, 1997).
obj ekti vita s.
K eber adaa n
pe ngkhiana t,
t erka it
Menurut Abdullah (1996), jika disimpulkan,
pa hlaw an
deng an
a tau
k epenting an
Sejarah sebagai wacana intelektual akan tampil
penguasa politik dan demi kepentingan negara,
secara
bert ahap
waj ah.
melalui official history atau penulisan Sejarah resmi
b erna da
yang dibuat pemegang kekuasaan. Sejarawan
moralistik, yang merupakan pertanggungjawaban
terkenal Italia, Benedetto Croce mengatakan,
rasional akan keharusan hidup bermasyarakat.
merekonstruksi Sejarah, termasuk kisah The Great
Kedua, Sejarah sebagai alat pengetahuan praktis,
Man, pasti akan terjadi benturan antara realita
yaitu sebagai kaca pembanding untuk mengetahui
dan pemikiran ,maksud dan peristiwa, historical
struktur hari dan dunia kini. Ketiga, Sejarah
dan philosophical.
Per tama ,
se baga i
dengan
berb agai
Se jara h
ya ng
sebagai pembimbing ke arah pemahaman, yaitu sebagai alat dan penolong untuk memungkinkan
Kewajaran Pembelajaran Sejarah
terjadinya dialog yang kreatif dengan pergolakan
Berbagai fungsi sejarah dapat dikatagorikan
jaman yang melintas dalam pengalaman hidupnya
sebagai sejarah yang berfungsi secara pragmatis,
atau alat untuk memahami dunia intelligently
antara lai n untuk legi tima si d an j usti tika si
(Abdullah, 1996).
eksistensi suatu bangsa, keduanya menyangkut
Dalam konteks Sejarah Nasional Indonesia,
fungsi pragmatis. Di samping itu, ada dua fungsi
tentunya Ilmu Sejarah bukanlah sebagai pedang
lain yang mempunyai relevansi bagi pembelajaran
bermata dua, di satu sisi sebagai alat pemupuk
Sej arah, ya itu fung si g enet is d an d idak tis
ideologi, perekat persatuan-kesatuan bangsa,
(Ka rtodi rdjo, 199 3). Pe mbe laja ran Se jar ah
namun di sisi lainnya sebagai instrumen dalam
merupakan perpaduan antara pembelajaran itu
disinte grasi ba ngsa . Ji ka “ peda ng sejar ah”
sendiri dan ilmu Sejarah, yang mana keduanya
bermata dua, maka istilah histories make man wise
tetap memperhatikan tujuan pendidikan secara
menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini perlu disadari,
umum.
konflik horisontal di masyarakat, gerakan sparatis,
Pe meri ntah seb agai pem egang ot orit as
pemberontakan atau hal-hal lain terkait konflik
pendidikan berpendapat tentang tujuan dari mata
internal da lam suatu negara, ser ing terjadi
pelajaran Sejarah melalui Peraturan Menteri
disebabkan oleh pedang
bermata dua tersebut.
Pendidikan Nasional. Menurut Peraturan Menteri
Denda m sejara h dalam konflik vertikal dan
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22
horisontal dalam suatu negara tak lepas dari fakta
tahun 2006 tentang standar isi yang tercantum
Sejarah.
dalam lampiran Peraturan Menteri ini, bahwa
Di samping itu, sejarah suatu bangsa juga
mata pelajaran Sejarah bertujuan agar peserta
tak lepas dari tokoh besar . Thomas Cartyle
didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
dengan “the great man theory”-nya, berpendapat
1) membangun kesadaran peserta didik tentang
bahwa, “the great man dominates all history”. Dalam
pentingnya waktu dan tempat yang merupakan
ranah Ilmu Sejarah, maka The Great Man akan
sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan
dik upas tuntas, ter kait dengan perj alanan
masa depan; 2) melatih daya kritis peserta didik
sejarahnya berdasarkan fakta yang ada. Ranah
untuk memahami fakta Sejarah secara benar
objektivitas sejarah, tentunya sang tokoh akan
dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah
dikupas kelebihan dan kekurangan, jasa dan
metodologi keilmuan; 3) menumbuhkan apresiasi
kesalahan serta hal-hal lain berdasar hitam putih
dan
perjalananannya, sehingga menjadi tokoh.
peninggalan Sejarah sebagai bukti peradaban
penghar gaan
peserta
did ik
dan
t erha dap
Namun, dala m ranah pembel ajaran, hal
bangsa Indonesia di masa lampau; 4) menum-
tersebut me munculkan kontroversial. Tokoh
buhkan pe maham an peserta didik terha dap
ba ngsa ,
proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui
di kare naka n
j asa- jasa
ata u
pe r-
481
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
seja rah ya ng panj ang da n masih berpr oses
Sebagai wahana pendidikan, kurikulum Sejarah
hingga masa kini dan masa yang akan datang;
harus diarahkan untuk mencapai berbagai tujuan
dan 5) menumbuhkan kesadaran dalam diri
sep erti
pe sert a di dik seba gai bagi an d ari bang sa
kebanggaan atas prestasi gemilang masa lalu
Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta
bangsa, mampu menarik pelajaran dari peristiwa
tanah air yang dapat diimplementasikan dalam
masa lampau untuk digunakan dalam melanjutkan
berbagai bidang kehidupan, baik nasional maupun
prestasi gemilang bangsa bagi kehidupan masa
internasional.
sekarang dan yang akan datang.
pengemb anga n
ra sa
k ebangsaa n,
Menurut Hasan ( 1997 ) da lam Kong res
Hal yang wajar terjadi perbedaan sudut
Nasional Sejarah tahun 1996, secara tradisional
pandang dalam memahami kenyataan sosial
tujuan kuri kulum pendidikan Sej arah selalu
termasuk dalam masalah Sejarah. Hal ini juga
diasosiasikan dengan tiga pandangan, yaitu:
di kemukaka n ol eh Abdullah (19 96), bahwa
1) “ per enia lism e” yang me mand ang bahwa
Sejarah sebagai ingatan kolektif memberikan
pendidikan Sejarah haruslah mengembangkan
ke prihatinan
tugas sebagai wahana “transmission of culture”.
pe neguhan
Pengajaran Sejarah hendaklah diajarkan sebagai
ter kaburlah bat as-b atas ant ara “kep asti an
pe nget ahua n ya ng d apat mem bawa siswa
Sejarah” dengan “kewajaran Sejarah”, antara
kepada penghargaan yang tinggi terhadap “ the
“apa yang sesungguhnya telah terjadi’ dan “apa
glorius past”. Kurikulum Sejarah diharapkan dapat
yang semestinya harus
mengembangkan kemampuan anak didik dan
untuk menjelaskan hal tersebut adalah terbaurlah
generasi penerus untuk mampu menghargai hasil
hasil rekonstruksi kritis terhadap sumber Sejarah
karya agung bangsa di masa lampau, memupuk
de ngan kei nginan a kan masa la lu sebag ai
rasa bangga sebagai bangsa, rasa cinta tanah
landasan kearifan masa kini (Hasan, 2007).
sosia l-kultur al inte grasi.
Dala m
a kan
hasr at
kontek s
ini,
terjadi”. Ungkapan lain
air, persatuan dan kesatuan nasional; 2) esen-
Demikian, usaha untuk menjadikan Sejarah
sialisme, menurut pandangan ini, kurikulum
se baga i sumber inspira si a taup un sebag ai
Sejarah haruslah mengembangkan pendidikan
landasan nilai merupakan hal yang sah, baik secara
Sejarah sebagai pendidikan disiplin ilmu dan
akademis maupun secara etis (Hasan, 2007).
bukan
pend idik an
Pengajaran Sejarah lebih bersifat “confluent”,
pengetahuan Sejarah. Dalam pandangan aliran
hany a
te rbat as
p ada
artinya dapat untuk mengembangkan berbagai
esensialisme, siswa yang belajar Sejarah harus
ranah sekaligus. Ranah kognisi, afeksi, dan konasi
diasah kemampuan intelektualnya sesuai dengan
se cara
tradisi intelektual Sejarah sebagai disiplin ilmu.
keselur uhan”.
Kemampuan intelektual keilmuan antara lain
penggerak perubahan karena informasi yang
menghendaki kemampuan berfikir kritis dan
diterima menentukan perasaan dan kemauan
analitis, terutama dikaitkan dalam konteks berfikir
untuk bert inda k. K ogni si y ang sala h ak an
yang didasarkan filsafat keilmuan; dan 3) rekon-
menimbulkan afeksi dan konasi yang salah pula.
struksi sosial, pandangan ini menganggap bahwa
Af eksi dan konasi yang benar hanya dap at
kurikulum pendidikan Sejarah haruslah diarahkan
dihasilkan oleh kognisi yang benar (Mar’at, 1982).
pada kajian yang mengangkut kehidupan masa
Ini berarti bahwa pengajaran Sejarah yang salah
kini dengan problema masa kini. Pengetahuan
akan menimbulkan sikap yang salah, palsu atau
Se jara h di hara pkan da pat memb antu siswa
munafik. Bila salah, maka tindakan lahirnya juga
mengkaj i ma sala h untuk meme cahk an p er-
menghasilkan tindakan yang salah (Moedjanto,
masalahan. Kecenderungan-kecenderungan yang
1985).
terjadi dalam Sejarah masa lampau sebagai pel ajar an
y ang
dapa t
di manf aatk an
b agi
kehidupan siswa masa kini (Hasan, 2007).
ber sama -sam a Aspek
me mbentuk kog nisi
“sik ap
mer upak an
Berfokus pada fungsi pengajaran Sejarah untuk meningkatkan proses penyadaran diri, maka dua aspek didaktik Sejarah perlu ditonjolkan
Namun, klasifikasi seperti pandangan di atas
yaitu: 1) segi teknik penyampaian atau metodenya
tid ak pe rlu d ijadi kan p egang an mutlak dan
dan 2) segi substansialnya atau silabus. Kedua
terpisah oleh para pengembang kurikulum Sejarah.
asp ek m empunyai pengaruh ti mbal bal ik,
482
Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah
keduanya bertalian dengan usia serta tingkat
membangkit kan semangat penga bdian yang
pendidikan anak didik. Prinsip pemilihan substansi
tinggi, penuh rasa tanggung jawab serta ke-
dalam didaktif sejarah, yaitu: a) pendekatan
wajiban. Kepekaannya terhadap sejarah akan
secara lokosentris, mulai dengan mengenal lokasi
melahirkan aspirasi dan inspirasi untuk melak-
sejarah di sekitarnya; b) pendekatan konsentris,
sanakan tugasnya sebagai warga negara.
mulai lingkungan dekat meluas ke lingkup nasional
Sejarahlah yang menjadi sumber inspirasi dan
sampai ke yang internasional; c) temasentris,
aspirasi generasi muda dengan pengungkapan
yaitu pilihan tema tertentu yang menarik sekitar
model-model tokoh sejarah dan pelbagai bidang.
pahlawan atau monumen, dan lain sebagainya;
Maka dari itu, sejarah masih relevan untuk dipakai
d) kronologi yaitu urutan kejadian menurut waktu;
menjadi perbendaharaan suri-tauladan, ber-
e) tingkatan presentasi dari deskriptif-naratif ke
korban untuk tanah air, berdedikasi tinggi dalam
deskriptif-analitis, mulai dari cerita tentang
pe ngab dian, ta nggung j awab sosial besa r,
“bagaimana” terjadinya, sampai pada “mengapa”-
kewajiban, serta keterlibatan penuh dalam hal-
nya; dan f) sejarah garis besar dan menyeluruh
ihwal bangsa dan tanah air. Kartodirdjo (1993)
(Kartodirdjo,1993).
ber pend apat bahwa p embe laja ran Seja rah
Pengajaran Sejarah penting dalam pem-
berkedudukan sangat strategis dalam pendidikan
bentukan jiwa patriotisme dan rasa kebangsaan.
na sional sebag ai “ sok o guru” dala m pe m-
Suat u penget ahuan Se jarah ya ng ditunjang
bangunan bangsa. Pembelajaran Sejarah perlu
pengalaman praktis warga negara yang baik di
disempurnakan agar dapat berfungsi secara lebih
sekolah membantu memperkuat loyalitas dan
efektif, yaitu penyadaran warga negara dalam
membantu anak-anak menemukan dirinya dengan
melaksanakan tugas kewajibannya dalam rangka
lat ar be lakang Sej arah luas. Rowse (19 63)
pembangunan nasional.
menegaskan bahwa Sejarah adalah suatu mata
Tujuan pelajaran Sejarah Nasional, yaitu:
pelajaran yang bernilai pendidikan tinggi. Dalam
a) memb angk itka n, m enge mbangkan, se rta
kontek s
memelihara semangat kebangsaan; b) mem-
pe mbentuka n
pe nget ahua n
Se jara h
i dent itas
nasiona l, fung si
bangkitkan hasrat mewujudkan cita-cita kebang-
fundamental (Kartodirdjo,1993). Inti pembelajaran
me mpunyai
saan dalam segala lapangan; c) mem-bangkitkan
Sejarah adalah bagaimana menanamkan nilai-nilai
hasrat mempelajari Sejarah kebangsaan dan
kepahlawanan, kecintaan terhadap bangsa, jati
mempelajarinya sebagai bagian dari Sejarah
diri, dan budi pekerti kepada anak didik. Buku
dunia; dan d) menyadarkan anak tentang cita-
pelajaran Sejarah hendaknya disusun dengan
cita nasional
ketentuan-ketentuan ilmiah yang berlandaskan
sepanjang masa (Ali, 2005).
pada tujuan pendidikan nasional (Hugiono &
Menurut
untuk mewujudkan cita-cita itu Wahid Siswoyo dalam bukunya
Poerwantana, 1987). M elalui proses belajar
“Seminar Sejarah”,
Sejarah bukan semata-mata menghapal fakta,
antara lain: 1) sejarah dapat menumbuhkan rasa
tet api
sisw a
da pat
meng enal
dikemukakan beberapa hal,
kehidup an
nasionalisme; 2) sejarah yang mempunyai fungsi
bangsanya secara lebih baik dan mempersiapkan
pedagogis serta merupakan alat bagi pendidikan
kehidupan pribadi dan bangsanya yang lebih siap
membutuhkan pedoman atau pegangan yang
untuk jang ka selanjut nya (Hasan, 1997 ).
da pat digunaka n untuk mencapai cit a-ci ta
Sementara itu, Krug (1967) berpendapat bahwa
Pendidikan Nasional.
pengajaran Sejarah bangsa merupakan upaya
Melalui pendidikan Sejarah, yakni dalam
terbaik untuk memperkuat kesatuan nasional dan
be ntuk keg iata n be laja r me ngaj ar, proses
untuk menanamkan semangat cinta tanah air dan
sosialisasi sikap nasionalisme dapat dilaksanakan
jiwa patriotik.
secara lebih sistematik dan terencana, yaitu
Kartodirdjo (1993) menyatakan, peranan
melalui proses internalisasi. Proses internalisasi
strat egis pengajaran Sejarah dalam ra ngka
merupakan proses untuk menjadikan suatu sikap
pembangunan bangsa menuntut suatu penye-
sebaga i bagian d ari keprib adian sese orang.
lenggaran pengajaran Sejarah sebagai pema-
Dalam upaya mensosialisasikan sikap nasio-
ha man dan peny adar an, sehi ngga mam pu
nalisme,
strategi
belajar mengajar
pendidikan
483
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Sejarah
dilakukan
melalui
pengenalan
Sej arah seb agai bahan p elaj aran har us
dan pemahaman, tahap penerimaan, dan tahap
disusun sea rah deng an d asar dan tuj uan
pengint egra sian
Pendidikan Nasional. Anak
(Hizam,
tahap 2007 ).
M eski pun
didik harus mampu
de miki an, seja rah Bang sa I ndonesia har us
menemukan nilai-nilai yang ada pada materi
dig amba rkan keb esar an d an k eagungannya
Sejarah yang dipelajarinya dan mampu mere-
secara ilmiah, sehingga tidak mengorbankan
konstruksi hubungan antarnilai-nilai yang ter-
objektivitas demi penggambaran yang demikian.
kandung dalam materi pelajaran Sejarah tersebut, baik dalam konteks hubungan antarnilai-nilai yang
Konsep Win-Win Solution
terdapat dalam materi Sejarah yang disampaikan
Ilmu pengetahuan dikaitkan dengan kebutuhan
secara parsial maupun hubungannya dengan nilai-
manusia, maka ilmu pengetahuan akan terdistorsi,
nilai yang terjadi saat ini. Sebab pengalaman-
tidak akan didapati kebenaran yang objektif.
pengalaman dalam Sejarah bukan hanya untuk
Sebagai sebuah ilmu, sejarah telah memenuhi
diketahui, tetapi diharapkan dapat dipakai untuk
syarat-syarat ilmiah dan akademis. Dengan
memperbaiki usaha-usaha di masa mendatang
demikian, ilmu Sejarah tetap bersifat objektif
(Imam Barnadib, 1973)
dalam mengungkap fakta Sejarah tanpa didasari
Sebagai jalan tengah memahami perma-
ke pent inga n ya ng m engi ring inya , se hing ga
salahan di atas, perlu ditekankam strategi dasar
mengurangi kadar keilmiahan. Masalah objek-
berupa penanaman nilai yang dinamis progresif.
tivitas dan subjektivitas Sejarah merupakan
Dalam perspektif ini, apabila dalam proses belajar-
masalah yang kl asik . Se jara h di susun ol eh
mengajar Sejarah tidak bisa dihindarkan meng-
manusia yang juga d iseb ut subje k. H al i ni
ajak siswa untuk mengambil nilai-nilai dari masa
menempatkan manusia berfungsi ganda, yaitu
la mpau, bukanl ah d ima ksud kan agar siswa
se baga i
Se jara h.
terpaku dan terpesona pada kegemilangan masa
Obyektivitas dalam hal ini diartikan sebagai upaya
lampau. Nilai-nilai masa lampau diperlukan untuk
me ndek atka n subyek pa da objek , se hing ga
menjadi kekuatan motivasi menghadapi tan-
subjektivitas dapat dikurangi untuk mendekati
tangan masa depan. I Gde Widja menyatakan,
objektivitas. Sejarah sebagai ilmu dituntut objektif,
bahwa pembelajaran Sejarah adalah perpaduan
karena ilmu tanpa objektivitas tidak mempunyai
antara aktivitas belajar dan mengajar yang di
nilai ilmiah. Perlu disadari, menulis Sejarah dengan
dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa
obyektivitas seratus persen merupakan harapan
lampau yang erat kaitannya dengan masa kini. (I
yang berlebihan. Apa yang sebenarnya terjadi
Gde Widja, 1989). Pendapat I Gde Widya tersebut
dalam kehidupan nyata terlebih terkait masa lalu,
dapat disimpulkan jika mata pelajaran Sejarah
tidak akan pernah terekam secara lengkap.
merupakan bidang studi yang terkait dengan
ob yek
seka lig us
subje k
Penulisan sejarah bersifat subjektif, apabila membiarkan politik, etisnya, dan nilai-nilai turut berperan. Perlu ditegaskan, bahwa otonomi ilmu
fakta-fakta dalam ilmu Sejarah namun tetap memperhatikan tujuan pendidikan pada umumnya. Ma ta
p elaj aran
Sej ara h
se baga i
al at
pengetahuan tetaplah harus terjamin, termasuk
mengabdi kepada tujuan pendidikan yang multi-
dalam pengungkapan fakta sejarah. Meskipun
aspek. Meski demikian, Sejarah sebagai mata
demikian, penelitian ilmiah apalagi terkait dengan
pelajaran tidak mengabaikan prinsip-prinsip
sejarah nasional, tidak luput dari pertimbangan
keilmuan, konsep dasar, dan prinsip keilmuan.
etis meski hal ini sering dituding menghambat
Sejarah sebagai mata pelajaran yang mempunyai
kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat
misi atau tujuan pendidikan tertentu dan sejarah
universal. Ketika “sejarah” telah masuk dalam
sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang
ranah pendidikan, maka nilai etis menjadi hal
jelas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip salah
penting. Tujuan mempelajari sejarah tidaklah
satunya atau keduanya. Hal tersebut penting,
sam a de ngan tuj uan seja rah, menyang kut
agar kekhawatiran tentang subjektivitas Sejarah
persoalan didaktis dan juga filsafat. Tujuan
dalam pembelajaran Sejarah tidak mengorbankan
pelajaran Sejarah merupakan bagian dari tujuan
ilmu Sejarah. Jalan tengah menyikapi sudut
pendidikan.
pa ndang ya ng b erbe da, dapa t di sele saik an
484
Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah
melalui slogan: “histor ies make man wise”,
konflik sosial juga menekankan pada resolusi
sehingga perbedaan pandangan tersebut juga
konflik. Bagi pendidikan di Indonesia, mata
harus disikapi dengan bijaksana.
pelajaran Sejarah tentunya bukan pisau bermata
Dalam kontek Sejarah Nasional Indonesia,
dua. Di sisi lain, mata pelajaran Sejarah untuk
khususnya untuk pembelajaran, tampaknya tidak
menumbuhkan nasionalisme, patriotisme serta
layak jika kepahlawanan seorang tokoh, diungkap
tujuan pendidikan lainnya. Sisi lainnya, mata
dari sisi kekurangannya, bahkan kesalahannya
pelajaran Sejarah mengungkap fakta sejarah,
dalam perjalanan kehidupan. Sebaliknya, tidak
yang berimbas pada disintegrasi bangsa. Ilmu
lay ak jik a conte nt pe mbel ajar an, memuat
Sejarah yang bebas nilai, dalam aplikasi di
perjuangan tokoh
lapangan, khususnya dalam pembelajaran
bangsa, namun paradigma,
harus
prinsip perjuangan dan ideologinya bertentangan
memperhatikan etika yang ada dan dampak yang
dengan ideologi dan falsafah bangsa. Demikian
ditimbulkan. Pendidikan Sejarah merupakan
juga kasus-kasus konflik sosial berbau SARA,
alternatif solusi permasalahan tersebut. Hal ini
seperti Konflik Ambon, Peristiwa Sampit serta
berbeda jika Sejarah berada di perguruan tinggi,
konflik di daerah lain. Termasuk di dalamnya
dimana kajian murni ilmu Sejarah secara akademik
Sejarah di daerah, yang merupakan bagian narrow
dapat diberikan. Alasannya,
nasionalism, namun menjadi pemicu separatisme
pikir peserta didik sudah lebih berkembang dan
seperti yang pernah terjadi di Aceh.
matang.
perkembangan pola
Tampaknya, kita perlu belajar dari penga-
Pembelajaran Sejarah menempatkan fakta-
laman bangsa lain, di mana fakta Sejarah sering
fa kta seja rah yang disaring, d emi tujuan
menjadi pem icu konf lik sosi al, sepa rati sme
pendidikan. Fakta yang disaring bukan sebagai
bahkan pemberontakan tanpa akhir, seperti yang
unsur “kebohongan sejarah”, namun menjelaskan
terjadi di Spanyol (Separatis Basque), Philippina
fakta sejarah berdasarkan tingkat penalaran
(Moro), Irlandia (Pemberontakan IRA), Srilanka
siswa. Sekali lagi, fakta sejarah yang disaring,
(Gerakan Tamil), India (Kashmir), Turki (Suku Kurdi),
bukan untuk memutarbalikkan fakta itu sendiri.
serta kasus-kasus lainnya yang serupa. Demikian
Fak ta
juga konflik antar negara, dikarenakan alasan
merupakan hal yang objektif dan berdasar ilmu
Sej arah,
se pert i
sejarah
d alam
pem bela jara n
te tap
India- Paki stan(Kashmir ),
Sejarah, namun terdapat prinsip memilih dan
Thailand-Kamboja (Candi Preah Vihear), Palestina-
memilah. Tujuannya agar fakta sejarah sesuai
Israel, Irak-Kuwait (pada masa Saddam Hussain),
slogan “histories make man wise”. Slogan tersebut
Inggri s-Ar gent ina
ser ta
perlu diimplementasikan secara kontekstual di
permasalahan serupa di tempat lain. Sebagian
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
konflik tersebut tak lepas dari penghargaan yang
bernegara.
(Pul au
M alvi nas)
tinggi terhadap “the glorius past dari masing-
Sejarah bukan merupakan sumber ilmiah
masing suku, ras, agama, dan bangsanya. Seba-
sekaligus sumber konflik dan dendam antara
gian besar dari konflik berurat dan berakar,
generasi bangsa. Apalagi dalam masyarakat
berlanjut meski sudah berabad-abad karena
multikultural, di mana perbedaan suku, ras,
Sejarah sering dijadikan acuan legitimasi konflik.
agama, dan ideologi seperti di Indonesia, sering
Salah satu penyelesaian kasus semacam itu,
menjadi pemicu konflik. Pendidikan Sejarah juga
melalui proses pembelajaran Sejarah, di mana
berfungsi efektif menjaga ideologi dan falsafah
generasi sekarang dan berikutnya tidak melihat
bangsa. Kompromi antara ilmu Sejarah dan
fakta konflik secara tekstual dalam ranah ilmu
pendidikan Sejarah merupakan konsep jalan
Sejarah, termasuk melihat the glorious past.
tengah, agar ada titik temu. Titik temu ini, tetap
Sejarah, bisa disampaikan dalam kajian pendidikan
menghormati dan menghargai prinsip keduanya
atau pembelajaran Sejarah. Dengan demikian,
dan tidak mengorbankan prinsip salah satunya.
dendam sejarah sesama generasi bangsa dan
Kompromi yang dimaksud tetap dalam kerangka,
generasi antarbangsa tidak berlanjut seiring
ya ng d apat dip erta ngg ungj awab kan seca ra
pem aham an sejar ah
pem bela jara n.
ilm iah. Per paduan a ntar a ke duanya, ibar at
Diharapkan, dalam pembelajaran Sejarah, terkait
per mainan orkestra, yang te rdir i be rbag ai
d alam
485
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
instrumen musik, untuk menghasilkan musik yang
Hal ini berbeda jika Sejarah berada di perguruan
indah dan harmoni. Harmoni bagi keselarasan
tinggi, di mana ilmu Sejarah dikupas sesuai kajian
untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
murni akademik.
bernegara. Harmoni yang tetap menjaga integritas
Mata pelajaran Sejarah merupakan alat
dan menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai dunia
mengabdi kepada tujuan pendidikan yang multi-
akademik.
aspek. Meskipun demikian, Sejarah sebagai mata
Jik a ha l te rseb ut t erja di, maka slogan
pelajaran tidak mengabaikan prinsip-prinsip
kebesaran ilmu Sejarah, Historia Vitae Magistra,
keilmuan. Ditarik kesimpulan, bahwa pembel-
benar-benar terwujud. Sejarah akan menjadi guru
ajaran Sejarah menempatkan fakta-fakta sejarah
kehidupan, sebagaimana harapan dari pencetus
yang disaring, demi tujuan pendidikan. Fakta yang
slogan, sejarawan dan filsuf Romawi Kuno, Marcus
disaring bukan diartikan sebagai unsur “kebo-
Tullius Cicero. Para “sejarawan idealis” perlu
hongan seja rah”, nam un m enjel aska n fa kta
menyada ri,
Sejar ah,
Sejarah berdasarkan tingkat penalaran siswa.
merupakan perpaduan antara ilmu Sejarah dan
Dengan demikian, Sejarah sebagai mata pel-
ilmu Pendidikan, sehingga kritik yang selama ini
ajaran, tidak melupakan prinsip-prinsip dari tujuan
ditujukan kepada pembelajaran Sejarah, memang
pendidikan, termasuk tujuan dari pendidikan
bukan ranah keilmuan Sejarah secara murni
Sejarah yang telah digariskan pemerintah.
bahw a
pe mbel ajar an
karena Ilmu murni Sejarah terdapat di ranah perguruan tinggi. Nilai-nilai dan falsafat kepen-
Saran
didikan, ikut mendominasi dalam pem-belajaran
Bagi kepentingan bangsa dan negara, sejarah
Sejarah. Tujuan pendidikan tidak hanya mem-
jangan seperti
bentuk kemampuan intelektual semata, tetapi juga
meluka i dirinya sendiri. D alam konte ks ke-
etika, moral, sikap, serta berbagai keterampilan.
Ind onesiaan,
pisau bermata dua, yang bisa se jara h
per satuan-k esat uan
da pat
bang sa
memp erer at d an
m enja ga
Simpulan dan Saran
ide olog i-fa lsaf ah negar a at au k epenting an
Simpulan
bangsa yang lebih luas, bukan sebaliknya, menjadi
Pembelajaran Sejarah tidak mengkhususkan
pemicu disintegrasi NKRI. Bukan juga sebagai alat
mempelajari fakta-fakta dalam sejarah sebagai
legitimasi kepentingan sesaat, terutama bagi
ilmu, namun perpaduan antara Sejarah dan tujuan
kepentingan politik penguasa.
pendidikan pada umumnya. Meski demikian,
Jika menyangkut Sejarah Kontemporer, maka
pembelajaran Sejarah berusaha menampilkan
sejarah yang mengupas konflik SARA, perlu
fakta sejarah secara objektif, dan tetap dalam
di samp aika n
kerangka fakta sejarah yang sesuai dengan
bijaksana, agar dendam sejarah dari siklus yang
tujuan pendidikan itu sendiri. Persepsi tentang
berkepanjangan, tidak menumbuhkan semangat
sejarah harus jelas bagi guru yang mengajarkan
konflik antara generasi bangsa bahkan
Sejarah sebagai mata pelajaran. Tujuan ilmu
ant arba ngsa .
Sejar ah berbeda dengan tujuan penga jaran
pe mber onta kan sert a konfli k la inny a ya ng
Sejarah. Tujuan Sejarah dapat bersifat filosofis,
disebabkan perjalanan Sejarah, dapat diredam
tetapi pengajaran Sejarah mempunyai tujuan
melalui pendidikan Sejarah. Sejarawan yang
tertentu dalam rangka pendidikan atau bersifat
sering mengkritik objektivitas pembelajaran
didaktis. Harus disadari bahwa pembelajaran
Sej arah, pe rlu mema hami hal ini , ba hwa
Sejarah tidak harus bersifat ilmu murni, apalagi
pembelajaran Sejarah berbeda dengan Sejarah
untuk pendidikan tingkat dasar dan menengah.
murni atau ilmu Sejarah.
486
se cara
sa ngat
Konfli k
sosial ,
hat i-ha ti
d an
generasi
se para tism e,
Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah
Pustaka Acuan Abdullah. Taufik. 1996. Di Sekitar Pengajaran Sejarah yang Reflektif dan Inspiratif. Dalam
Jurnal
Sejarah Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi 6 oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ali, Moh. R. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta: LkiS. Barnadib, Imam. 1973. Dasar-Dasar Metode Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIPIKIP Yogyakarta. Djamarah, Syaiful B. & Zain. Aswan. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Gde. Widja I. 1989. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana. Gazalba. Sidi. 1966. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhatara Karya Aksara. Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya. Hasan. Hamid. S. 1997. Kurikulum dan Buku Teks Sejarah dalam Kongres Nasional Sejarah 1996 Jakarta Sub Tema Perkembangan Teori dan Metodologi dan Orientasi Pendidikan Sejarah. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hasan, Hamid. S. 2007. Kurikulum Pendidikan Sejarah Berbasis Kompetensi. Makalah pada Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (Ikahimsi) XII. Semarang, 16 April 2007. Hugiono & Poerwantana, P.K. 1987. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta : PT Bina Aksara. Hizam, Ibnu. 2007. Kontribusi Minat Belajar dan Kemampuan Klarifikasi Nilai Sejarah dalam Pembentukan Sikap Nasionalisme dalam Jurnal Penelitian Ke-Islaman, Vol. 3, No. 2, Juni 2007. Kartodirdjo, Sartono.1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kohlberg, Lawrence. 1995. Tahap-tahap Perkembangan Moral. (Edisi terjemahan oleh John de Santos dan Agus Cremers SUD. Yogyakarta: Kanisius. Krug, Mark. M. 1967. History and the Social Sciences. Walthan Mass: Braisdell. Mar’at. 1982. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Moedjanto, G. 1985. Pengembangan Konsep Diri Lewat Pengajaran Sejarah. Dalam Seminar Nasional IV di Yogyakarta tanggal 16 s/d 19 Desember 1985. Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Oliva, Peter F. 1982. Developing The Curriculum. Boston, Toronto: Little Brown and Company. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi (beserta lampirannya). Rowse, A.L. 1963. The Use of History. London: Macmillan & Co. Siswanto dan G.M. Sukamto. 1991. Penafsiran Sejarah. Malang: Pusat Pengembangan Penataran Guru IPS dan PMP.
487
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Fokusmedia. Widja. 1997. Permasalahan Metodologi dalam Pengajaran Sejarah di Indonesia Suatu Tinjauan Reflektif dalam Mengantisipasi Perkembangan Abad XXI dalam Kongres Nasional Sejarah 1996 Jakarta Sub Tema Perkembangan Teori dan Metodologi dan Orientasi Pendidikan Sejarah. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Widja. 1989. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana.
488
Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah
MUATAN PENDIDIKAN HOLISTIK DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH (HOLISTIC EDUCATION IN THE CURRICULUM OF THE BASIC AND SECONDARY EDUCATION) Herry Widyastono Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Kemdikbud e-mail:
[email protected] Diterima tanggal: 29/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 3/11/2012, Disetujui tanggal: 3/12/2012 Abstrak: Pendidikan holistik merupakan pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi siswa secara harmonis, meliputi potensi intelektual, emosional, phisik, sosial, estetika, dan spiritual. Kajian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang ada tidaknya muatan pendidikan holistik dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Selain itu juga memberikan gambaran tentang implementasi pendidikan holistik dalam pembelajaran di pendidikan dasar dan menengah. Permasalahan dirumuskan sebagai berikut: 1) Apakah kurikulum pendidikan dasar dan menengah sudah memuat pendidikan holistik? 2) Bila sudah, bagaimana implementasi pendidikan holistik dalam pembelajaran? Kajian menyimpulkan bahwa: 1) Dokumen kurikulum pendidikan dasar dan menengah pada hakikatnya sudah memuat pendidikan holistik, karena prinsip, acuan, dan prosedur pengembangan kurikulum sejalan dengan pengertian, tujuan, dan prinsip pendidikan holistik; 2) Pendidikan holistik belum diimplementasikan secara komprehensif dalam pembelajaran. Dalam rangka mengimplementasikan pendidikan holistik dalam pembelajaran, direkomendasikan agar guru dalam melaksanakan pembelajaran tidak hanya mengembangkan ranah pengetahuan, melainkan juga ranah keterampilan dan sikap, melalui pendekatan belajar siswa aktif. Kata kunci: pendidikan holistik, kurikulum, pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Abstract: Holistic education is the education which develops all students potentials in harmony comprises intellectual, emotional, physical, social, esthetic, and spiritual potentials. This article is aimed at describing on whether or not there is the degree of holistic approach in education, particularly for the basic and secondary education. In addition, this describes its implementation at the schools within the basic and secondary education. The problems are formulated as follows 1) whether the basic and secondary education has already been regarded as holistic education?, 2) if yes, how its implementation at the schools concerned. This concludes that: 1) the basic and secondary curriculums have, in principle, been as holistic ones because its principles, reference, and procedure to develop the curriculum are in line with the definition, objective, and the principles which support to it. 2) The holistic education is not yet implemented comprehensively at the schools. In terms of its implementation it is, therefore, advisable that all teachers, while teaching in the classroom, should give the students to have ample opportunities to develop not only their cognitive domain, but their psychomotor and affective ones through active learning. Keywords: holistic education, curriculum, cognitive, psychomotor, and affective.
467
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Pendahuluan
Jabodetabek, Medan, Bandung, Surabaya, dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Makasar, masih berkisar 47,54% remaja yang
merupakan negara yang sangat unik. Dari segi
melakukan hubungan seks sebelum menikah.
sosial budaya, merupakan negara multisosial-
Selanjutnya, hasil penelitian di Yogyakarta
kultural. Hal ini terlihat dari banyaknya suku
tahun 2010 (BKKBN, 2010), dari 1.160 mahasiswa,
bangsa, etnik, adat istiadat, agama, bahasa, dan
sekitar 37 % mengalami kehamil an sebelum
budaya. Secara geografis, NKRI juga tergolong
menikah. Selain itu, data tentang penyalahgunaan
sebagai negara kepulauan paling luas di dunia,
narkoba menunjukkan bahwa dari 3,2 juta jiwa
dengan jumlah tidak kurang 17.000 pulau besar
yang ketagihan narkoba, 78% adalah remaja.
dan kecil, dan jumlah penduduk sekitar 240 juta
Meskipun demikian, masih ada pelajar yang
jiwa, terdiri atas 300 suku yang menggunakan
patut dibanggakan, yang mengharumkan nama
hampir 200 bahasa (daerah) yang berbeda. Selain
bangsa Indonesia, seperti mereka yang telah
itu, juga penganut agama yang plural, seperti:
menjuarai olimpiade sains, baik di tingkat nasional
Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha,
maupun internasional. Bahkan, pelajar Indonesia
Khonghucu,
ali ran
menjadi juara umum dalam International Con-
kepercayaan lainnya (Wahab, dalam Musfah (Ed.),
ference of Young Scientists (ICYS) atau Konferensi
2012)).
Internasional Ilmuwan Muda se-Dunia yang diikuti
sert a
be rbag ai m acam
Keragaman ini merupakan aset yang potensial menimbulkan berbagai macam persoalan, seperti: pr emanisme , ta wura n a ntar sisw a - anta rma hasi swa
-
Korupsi, kolusi, dan nepotisme meski gencar diberantas dengan dibentuknya Komite Pembe-
kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan
rantasan Korupsi (KPK) tetapi juga masih saja
lingkungan, korupsi, kolusi dan nepotisme, serta
ter jadi di sega la l apisan, baik di lemb aga
aneka tindakan amoral lainnya.
eksekutif, lembaga legislatif, maupun lembaga
antarsiswa ,
konfli k
tanggal 12–17 April 2010 (Judiani, 2010).
politi k,
Ta wura n
antarw arga ,
ratusan pelajar SMA dari 19 negara di Bali pada
a ntar maha sisw a,
yudikatif. Bahkan akhir-akhir ini kita dikagetkan
antarwarga belum lama menjadi berita yang
dengan berita adanya kong-kalingkong antara
mengagetkan kita semua. Antara siswa SMAN X
oknum p ejab at d i ke ment eria n da n ok num
dan SMAN Y yang letaknya berdampingan di
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Jakarta Selatan telah mengakibatkan terbunuh-
Andaikan semua elemen bangsa ini masih
nya salah seorang siswa di antaranya. Demikian
menjadikan kejujuran sebagai spirit dan etika
pula, tawuran anta rma hasi swa calon guru
dal am m enja lank an t ugas dan per anannya
sekampus di Makassar yang telah mengakibatkan
masing-masing, niscaya tidak perlu dibentuk
terbunuhnya dua orang calon guru di antara
berbagai lembaga pengawasan yang berlapis-
mereka. Seolah-olah nyawa manusia sudah tidak
lapis, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
ada nilainya. Demikian pula tawuran antarwarga
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan
sering sekali kita lihat di berbagai media massa.
(BPKP), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Selain itu, tindakan amoral semakin merisaukan
Bad an Penga wasa n Da erah (Ba wasd a), dan
kita semua. Dalam situs Badan Kependudukan
lembaga lainnya (Munip, 2009).
dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 2008) ter ungk ap
hasil
sur vei
tahun
20 08
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan
y ang
terjadinya gejala-gejala di atas, dan terdapat
mengejutkan, sehingga rasanya sulit dipercaya.
banyak faktor pula yang dapat menekan atau
Sebanyak
mem inim alisirny a, satu di a ntar anya yai tu
63% persen remaja di Indonesia usia
SM P da n SM A sudah mela kuka n hubung an
penyelenggaraan pendidikan holistik.
sesksual di luar nikah, 21% di antaranya melaku-
Sehubungan dengan hal-hal di atas, maka
kan aborsi. Persentase remaja yang melakukan
permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai
hubung an seksual p ranikah ini mengala mi
berikut: 1) apakah kurikulum pendidikan dasar dan
peningkatan jika dibandingkan dengan tahun-
menengah sudah memuat pendidikan holistik?;
tahun sebelumnya. Berdasar data penelitian pada
2) bila sudah, bagaimana implementasi pen-
ta hun 2005 -200 6 di kot a-kota b esar mul ai
didikan holistik dalam pembelajaran?
468
Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah
Tujuan penulisan artikel ini untuk memberikan ga mbar an
t enta ng
a da
t idak nya
sebagai makhluk sempurna (reverence), yang
muat an
kemudian diberi sebutan 3R yang merupakan
pendidikan holistik dalam kurikulum pendidikan
akronim dari Relationship, Responsibility, dan
dasar dan menengah. Selain itu juga memberikan
Reverence; bukan 3R yang dikenal dengan writing,
gambaran t entang implementasi pendidikan
reading, dan arithmetic (membaca, menulis,
holistik dalam pembelajaran di pendidikan dasar
berhitung).
dan menengah.
Miller, dkk., (2005) merumuskan bahwa pendidi kan holi stik ada lah pend idik an y ang
Kajian Literatur dan Pembahasan
mengembangkan seluruh potensi siswa secara
Pendidikan Holistik
harmonis (t erpadu dan seimbang) , meliputi
Pendidikan holistik merupakan filsafat pendidikan
potensi int elektual (int ellectua l), emosional
yang berangkat dari pemikiran bahwa pada
(emotional), phisik (physical), sosial (sosial),
dasarnya seorang individu dapat menemukan
estetika (aesthetic), dan spiritual. Masing-masing
identitias, makna, dan tujuan hidup melalui
potensi hendaknya dikembangkan secara harmo-
hubungannya dengan masyarakat, lingkungan
nis. Jangan sampai terjadi kemampuan intelek-
alam, dan nilai-nilai spiritual.
tualnya berkembang jauh melebihi sikap dan
Pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang
keterampilannya. Manusia yang mampu mengem-
baru. Beberapa tokoh perintis pendidikan holistik,
bangkan seluruh potensinya merupakan manusia
di antaranya (Martin, 2002): Jean Rousseau, Ralph
yang holistik, yaitu manusia pembelajar sejati
Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott,
yang selalu menyadari bahwa dirinya merupakan
Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel, dan Francisco
bagian dari sebuah sistem kehidupan yang luas,
Ferrer.
sehingga selalu ingin memberikan kontribusi positif
Pendukungnya yaitu: Rudolf Steiner, Maria
Montessori, Francis Parker, John Dewey, John
dan terbaik kepada lingkungannya.
Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan,
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu
Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung,
mengembangkan potensi individu dalam suasana
Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman,
pembelajaran yang lebih menyenangkan dan
Ivan Illich, dan Paulo Freire. Pemikiran dan
menggairahkan, demokratis, dan humanis melalui
gagasan inti dari para perintis pendidikan holistik
pe ngal aman
sempat tenggelam sampai dengan terjadinya
lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, siswa
loncatan paradigm kultural pada tahun 1960-an.
diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning
Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk
to be), dalam arti dapat memperoleh kebebasan
menggal i
k alangan
psikologis, mengambil keputusan yang baik, dan
penganut aliran holistik. Kemajuan yang signifikan
belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya.
ke mbal i
ga gasa n
da ri
dal am
b erintera ksi
deng an
terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama
Prinsip pendidikan holistik, yaitu: 1) berpusat
pendidikan holistik yang diselenggarakan oleh
pada Tuhan yang menciptakan dan menjaga
Universitas California pada bulan Juli 1979,
kehidupan; 2) pendidikan untuk transformasi; 3)
dengan menghadirkan The Mandala Society dan The
berkaitan dengan pengembangan individu secara
National Center for the Exploration of Human
ut uh d i da lam masy ara kat; 4) meng harg ai
Potential.
keunikan dan kreativitas individu dan masyarakat
Ena m ta hun kemudian, pa ra p enga nut
yang didasarkan pada kesalinghubungannya; 5)
pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang
memungkinan partisipasi aktif di masyarakat; 6)
dasar pendidikan holistik, yaitu interaksi atau
memperkukuh spiritualitas sebagai inti hidup dan
hubungan antara individu dengan lingkungannya
sekaligus pusat pendidikan; 7) mengajukan
(relation), tanggung jawab untuk menciptrakan
se buah pra ksis mengeta hui, mengaja r, d an
dan menj aga hubunga n yang harm onis dan
belajar; 8) berhubungan dan berinteraksi dengan
sinergis dengan alam semesta (responsibility),
pendekatan dan perspektif yang berbeda-beda
upaya menjaga keseimbangan dengan tetap
(Schreiner et. al., 2010).
mengedepankan aspek normatif dan sarat nilai
Selanjutnya, Miller, dkk. (2005) mengemu-
yang merupakan suatu kehormatan bagi manusia
ka kan prinsip peny elenggar aan pend idik an
469
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
holistik, yaitu: 1) keterhubungan (connectedness);
yang telah berpengalaman dan menyenangkan.
2) keterbukaan (inclusion); dan (3) keseimbangan
Sekolah hendaknya menjadi tempat siswa dan
(balance). Keterhubungan, dimaksudkan bahwa
guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling
pe ndid ikan hendaknya sela lu d ihub ungk an
menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan
dengan ling kung an f isik , li ngkungan ala m,
jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai
lingkungan sosi al, dan ling kung an b uday a.
dan kerja sama (kooperatif) lebih utama dari pada
Keterbukaan, dimaksudkan bahwa pendidikan
persaingan (kompetitif).
hendaknya m enja ngka u se mua anak tanpa kecuali. Semua anak pada hakikatnya berhak
Kurikulum
memperoleh pendidikan. Keseimbangan, dimak-
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
sudkan bahwa pendidikan hendaknya mampu
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
mengembangkan ranah pengetahuan, sikap, dan
pembelajaran agar siswa secara aktif mengem-
ket eram pila n
Terma suk
bangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
intele ktua l,
spiritual keagamaan, pengendalian diri, ke-
sei mbang
se cara
da lam
sei mbang.
kema mpua n
emosional, phisik, sosial, estetika, dan spiritual.
pri badi an, kece rdasan, akhl ak m ulia , se rta
Pendidikan holistik dapat dilihat dalam tiga
keterampilan yang diperlukan dirinya, masya-
kesatuan dimensi yang utuh dan tidak boleh
rakat, bangsa, dan Negara. Untuk mewujudkan
dipisahkan, karena antara yang satu dengan
hal tersebut perlu disusun kurikulum. Dalam
lainnya saling berkaitan. Ketiga dimensi tersebut
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
yaitu: 1) dimensi isi; 2) dimensi insentif; dan 3)
Sistem Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2003)
dimensi interaksi (Illeris, 2007). Dimensi isi
dijelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat
be rkai tan deng an p enge tahuan, sika p, d an
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
keterampilan. Pendidikan hendaknya mampu
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
me mber ikan pengeta huan, si kap, sek alig us
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
keterampilan sesuai dengan apa yang dibutuhkan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikian
siswa dan masyarakat. Dimensi insentif berkaitan
tertentu. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa
dengan motivasi, emosi, dan kemauan. Pendidikan
kurikulum pend idik an dasa r da n me neng ah
hendaknya memperhatikan kondisi psikhologis
dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh
siswa. Dimensi interaksi berkaitan dengan aksi,
setiap kelompok atau satuan pendidikan dan
komunikasi, dan kerja sama. Proses pendidikan
komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi
akan efektif apabila terjadi aksi, komunikasi, dan
dan supervisi di nas pendid ikan atau kantor
kerjasama antara pendidik dan siswa.
Dep arte men Agam a Ka bupa ten/ Kota unt uk
Untuk mengimplementasikan pendidikan
pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan
holistik, karakteristik pendidik holistik antara lain
menengah, berdasarkan Standar Kompetensi
(Rinke, dalam Miller, at.al., 2005) yaitu: 1) Pendidik
Lulusan dan Standar Isi dan berpedoman pada
holistik mengembangkan keragaman strategi
Panduan
Penyusunan KTSP.
pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan siswa;
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2) Pendidik holistik mem bantu siswa untuk
20 05 t enta ng Stand ar N asional Pend idik an
mengembangkan potensinya; 3) Pendidik holistik
(Depdiknas, 2005) dinyatakan bahwa kurikulum
menyusun lingkungan pembelajaran yang dapat
operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan
mengembangkan seluruh potensi siswa; dan
di masing-masing satuan pendidikan disebut
4)
Pendidik holistik mengimplmentasikan strategi
de ngan
penilaian yang beragam.
Pendidikan (KTSP). KTSP terdiri atas tujuan
ist ilah
Kur ikulum
Ting kat
Satuan
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas
pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur
guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan
dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan,
pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak
kalender pendidikan, dan silabus, serta rencana
berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator.
pelaksanaan pembelajaran (RPP). Penyusunan
Forbes and Robin (2004) mengibaratkan peran
tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan,
guru seperti seorang teman dalam perjalanan
struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan
470
Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah
pendidikan, serta kalender pendidikan yang
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
ber tang gung
sat uan
neg ara ya ng de mokrat is ser ta be rtangg ung
pendidikan; sedangkan silabus dan RPP yang
jaw ab,
yait u
ke pala
jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan
menyusun para guru, yang dapat dilakukan secara
ter sebut pe ngem bang an k ompe tensi si swa
berkelompok atau secara perseorangan.
disesuaikan dengan potensi, perkembangan,
Penyusunan KTSP mengacu pada tujuan
kebutuhan, dan kepentingan siswa serta tuntutan
pendidikan nasional dan tujuan masing-masing
lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan
jenjang pendidikan. Mengacu pada Undang-
pembelajaran berpusat pada siswa.
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pe ndid ikan
Nasiona l,
Pendi dika n
Na sional
Beragam dan terpadu. Kurikulum dikembangkan
dengan
memp erha tika n
ke raga man
bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa
karakteristik siswa, kondisi daerah, jenjang dan
aga r me njad i ma nusi a ya ng b erim an d an
jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku,
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta
jender. Kurikulum meliputi substansi komponen
bertanggung jawab. Selanjutnya, pendidikan
muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan
da sar bert ujua n me mba ngun landasa n ba gi
pengembangan diri secara terpadu, serta disusun
berkembangnya potensi siswa agar menjadi
dalam keterkaitan dan kesinambungan yang
manusia yang: 1) beriman dan bertakwa kepada
bermakna dan tepat antarsubstansi.
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan
Tanggap ter hada p pe rkem bang an i lmu
berkepribadian luhur; 2) berilmu, cakap, kritis,
pengetahuan, teknologi dan seni. Kurikulum
kreatif, dan inovatif; 3) sehat, mandiri, dan
dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu
per caya dir i; d an 4 ) tolera n, p eka sosi al,
peng etahuan, teknologi d an seni yang ber-
demokratis, dan bertanggung jawab. Adapun
kembang secara dinamis. Oleh karena itu, se-
pendidikan menengah bertujuan membentuk
mangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman
siswa m enja di insan yang : 1) beri man dan
belajar siswa untuk mengikuti dan memanfaatkan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
mulia, dan berkepribadian luhur; 2) berilmu, cakap,
seni.
kritis, kreatif, dan inovatif; 3) sehat, mandiri, dan
Re leva n de ngan keb utuhan kehi dupa n.
per caya dir i; d an 4 ) tolera n, p eka sosi al,
Pengembang an kurikulum dilakukan dengan
demokratis, dan bertanggung jawab (Depdiknas,
melibatkan pemangku kepentingan ( stakeholders)
2003).
untuk menjamin relevansi pendidikan dengan
KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-
kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya
prinsip sebagai berikut: 1) Berpusat pada potensi,
kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan
perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan
dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan
si swa dan ling kung annya; 2) Berag am d an
keterampilan pribadi, keterampilan berpikir,
terpadu; 3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu
keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan
pengetahuan, teknologi dan seni; 4) Relevan
keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
dengan kebutuhan kehidupan; 5) Menyeluruh dan
Menyeluruh dan berkesinambungan. Sub-
berkesinambungan; 6) Belajar sepanjang hayat;
stansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi
7) Seimbang antara kepentingan nasional dan
kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata
kepentingan daerah (BSNP, 2006).
pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara
Be rpusat p ada pote nsi, per kemb anga n, kebutuhan, dan kepentingan siswa dan ling-
berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
kungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan
Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarah-
prinsip bahwa siswa memiliki posisi sentral untuk
kan pada proses pengembangan, pembudayaan,
mengembangkan kompetensinya agar menjadi
dan pemberdayaan siswa agar mampu dan mau
manusia yang beriman dan bertakwa kepada
bel ajar y ang be rlangsung sepanja ng hay at.
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara
471
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan
ter isti k li ngkungan. Ma sing -masing daer ah
informal dengan memperhatikan kondisi dan
memerlukan pendidikan sesuai dengan karak-
tuntutan lingkungan yang selalu berkembang
teristik daerah dan pengalaman hidup sehari-hari.
serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
Ol eh k arena it u, k uri kulum ha rus memuat
Seimbang antara kepentingan nasional dan
keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan
kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan
yang relevan dengan kebutuhan pengembangan
dengan memperhatikan kepentingan nasional dan
daerah.
kepentingan daerah untuk membangun kehidupan
Tuntutan pembangunan daerah dan nasional.
be rmasyara kat, ber bang sa, dan bernegar a.
Dalam era otonomi dan desentralisasi untuk
Kepentingan nasional dan kepentingan daerah
mew ujud kan pend idik an y ang otonom d an
harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan
demokratis perlu memperhatikan keragaman dan
dengan mott o Bhinek a Tungga l Ik a da lam
mendorong partisipasi masyarakat dengan tetap
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
mengedepankan wawasan nasional. Untuk itu,
(NKRI).
keduanya harus ditampung secara berimbang dan
Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa acuan
saling mengisi.
operasional penyususnan KTSP sebagai berikut:
Tuntutan dunia kerja. Kegiatan pembelajaran
1) Peningkatan iman dan takwa serta akhlak
harus dapat mendukung tumbuh kembangnya
mulia; 2)
Peningkatan potensi, kecerdasan, dan
pribadi siswa yang berjiwa kewirausahaan dan
minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan
mempunyai kecakapan hidup. Oleh sebab itu,
kemampuan siswa; 3)
Keragaman potensi dan
kurikulum perlu memuat kecakapan hidup untuk
karakteristik daerah dan lingkungan; 4) Tuntutan
membekali siswa memasuki dunia kerja. Hal ini
pembangunan daerah dan nasional; 5) Tuntutan
sangat penting terutama bagi satuan pendidikan
dunia kerja; 6) Perkembangan ilmu pengetahuan,
kejuruan dan siswa yang tidak melanjutkan ke
teknologi, dan seni; 7) Agama; 8) Dinamika
jenjang yang lebih tinggi.
perkembangan global; 9) nilai-nilai kebangsaan; 10)
Persatuan nasional dan
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
Kondisi sosial budaya
dan seni. Pendidikan perlu mengantisipasi dampak
masyarakat setempat; 11) Kesetaraan jender;
global yang membawa masyaraka t berbasis
dan 12) Karakteristik satuan pendidikan (BSNP,
pengetahuan di mana Ipteks sangat berperan
2006).
sebagai penggerak utama perubahan. Pendidikan
Peningkatan iman dan takwa serta akhlak
harus terus menerus melakukan adaptasi dan
mulia. Keimanan dan ketakwaan serta akhlak
penyesuaian perkembangan Ipteks, sehingga
mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian
tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan.
siswa secara utuh. Kurikulum disusun agar sejauh
Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkan
mungkin semua mata pelajaran dapat menunjang
secara berkala dan berkesinambungan sejalan
peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.
dengan perk emba ngan Ilm u pe nget ahua n,
Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat
teknologi, dan seni.
sesuai deng an t ingk at p erke mbangan dan
Agama. Kurikulum harus dikembangkan untuk
kemampuan siswa. Pendidikan merupakan proses
mendukung peningkatan iman dan taqwa serta
sistematik untuk meningkatkan martabat manusia
akhlak mulia dengan tetap memelihara toleransi
secara holistik yang memungkinkan potensi diri
dan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu,
(sikap, pengetahuan, psikomotor) berkembang
muatan kurikulum semua mata pelajaran harus
secara optimal. Sejalan dengan itu, kurikulum
ikut mendukung peningkatan iman, taqwa, dan
disusun dengan memperhatikan potensi, tingkat
akhlak mulia.
perkembangan, minat, kecerdasan intelektual,
Dinamika perkembangan global. Pendidikan
emosional dan sosial, spritual, dan kinestetik
ha rus mencipta kan kema ndir ian, bai k pa da
siswa.
individu maupun bangsa, yang sangat penting
Keragaman potensi dan karakteristik daerah
dalam dinamika perkembangan global di mana
da n li ngkungan. Da erah mem ilik i potensi,
pasar bebas sangat berpengaruh pada semua
kebutuhan, tantangan, dan keragaman karak-
aspek kehi dupa n se mua bangsa. Per gaul an
472
Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah
antarbangsa yang semakin dekat memerlukan
Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses
individu yang mandiri dan mampu bersaing serta
pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan
me mpunyai kema mpua n untuk hidup be r-
secara intera ktif, inspiratif, menyenangkan,
dampingan dengan suku dan bangsa lain.
menantang, memotivasi siswa untuk berpar-
Persatuan nasional dan nilai-nilai kebang-
tisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup
saan. Pendidikan diarahkan untuk membangun
bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai
karakter dan wawasan kebangsaan siswa yang
dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta
menjadi landasan penting bagi upaya memelihara
psikologis siswa. Kegiatan inti menggunakan
persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka
metode yang disesuaikan dengan karakteristik
NKRI. Kurikulum harus dapat mendorong ber-
siswa dan mata pelajaran, yang dapat meliputi
kembangnya wawasan dan sikap kebangsaan
proses: 1) eksplorasi, 2) elaborasi, dan 3) kon-
serta persatuan nasional untuk memperkuat
firmasi, dengan menggunakan pendekatan belajar
keutuhan bangsa dalam wilayah NKRI. Muatan
siswa a ktif, gur u se baga i fa silit ator. Da lam
kek hasa n
kegiatan eksplorasi, guru: a) melibatkan siswa
da erah
har us
d ilak ukan
secara
proporsional.
mencari informasi yang luas dan dalam tentang
Kondisi sosial budaya masyarakat setempat,
topik/tema materi yang akan dipelajari dengan
bahwa kurikulum harus dikembangkan dengan
menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan
mem perhatik an k arak teri stik sosial buda ya
belajar dari aneka sumber; b) menggunakan
masyarakat setempat dan menunjang pelestarian
ber agam pendeka tan pemb elaj aran, me dia
keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi
pembelajaran, dan sumber belajar lain; c) mem-
pada budaya setempat harus terlebih dahulu
fasilitasi terjadinya interaksi antarsiswa serta
ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya dari
antara sisw a dengan guru, lingk ungan, dan
daerah dan bangsa lain. Sedangkan kesetaraan
sumber belajar lainnya; d) melibatkan siswa
jender, bahwa kurikulum harus diarahkan kepada
secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran;
terciptanya pendidikan yang berkeadilan dan
dan e) memfasilitasi siswa melakukan percobaan
mendukung upaya kesetaraan jender. Selan-
di laboratorium, studio, atau lapangan. Dalam
jutnya, karakteristik satuan pendidikan, bahwa
kegiatan elaborasi, guru: a) membiasakan siswa
kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi,
membaca dan menulis yang beragam melalui
mi si, tujuan, kond isi, da n ci ri k has satuan
tugas-tugas tertentuyang bermakna; b) mem-
pendidikan.
fasilitasi siswa melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru
Pelaksanaan Pembelajaran
baik secara lisan maupun tertulis; c) memberi
Pelaksanaan pembelajaran merupakan imple-
ke semp atan
mentasi dari RPP. Pelaksanaan pembelajaran
menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa
mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan
ra sa t akut ; d) mem fasi lita si siswa dal am
Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar
pembelajaran kooperatif dan kolaboratif; e) mem-
Pr oses unt uk Satua n Pe ndid ikan Dasar d an
fasilitasi siswa berkompetisi secara sehat untuk
Menengah (Depdiknas, 2007), yang langkah-
meningkatkan prestasi belajar; f) memfasilitasi
langkahnya meliputi: 1) kegiatan pendahuluan,
siswa membuat laporan eksplorasi yang dilakukan
2) kegiatan inti, dan 3) kegiatan penutup.
baik lisan maupun tertulis, secara individual
unt uk
b erpi kir,
mengana lisi s,
Dalam kegiatan pendahuluan, guru: a) me-
maupun kelompok; g) memfasilitasi siswa untuk
nyiapkan siswa secara psikis dan fisik untuk
me nyaj ikan hasil k erja ind ivid ual maup un
mengikuti proses pembelajaran; b) mengajukan
kelompok; h) memfasilitasi siswa melakukan
per tany aan- pert anya an
meng aitk an
pameran, turnamen, festival, serta produk yang
pengetahuan sebelumnya dengan materi yang
y ang
dihasilkan; i) memfasilitasi siswa melakukan
akan dipelajari; c) menjelaskan tujuan pem-
kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan
belajaran atau kompetensi dasar yang akan
ra sa p erca ya
dicapai; dan d) menyampaikan cakupan materi dan
konfirmasi, guru: a) memberikan umpan balik
penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.
positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan,
d iri
sisw a.
D alam
ke giat an
473
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan
memiliki informasi baru tentang pengetahuan,
siswa; b) memberikan konfirmasi terhadap hasil
da pat bela jar mula i da ri: 1) m enge tahui;
eksplorasi dan elaborasi siswa melalui berbagai
2) memahami; 3) menerapkan; 4) menganalisis;
sumber; c) memfasilitasi siswa melakukan refleksi
5) mensintesis; dan 6) mengevaluasi. Untuk
untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah
memiliki keterampilan, dapat belajar melalui:
dilakukan; d) memfasilitasi siswa untuk mem-
1) mengamati; 2) menanya; 3) mencoba; 4) meng-
per oleh pengala man yang ber makna da lam
olah; 5) menyajikan; 6) menalar; dan 7) mencipta.
mencapai kompetensi dasar: (1) berfungsi sebagai
Untuk memiliki sikap, dapat belajar melalui:
narasumber dan fasilitator dalam menjawab
1) menerima; 2) menanggapi; 3) menghargai;
pertanyaan siswa yang menghadapi kesulitan,
4) menghayati; dan 5) mengamalkan (Bloom,
dengan menggunakan bahasa yang baku dan
1956). Selanjutnya, setelah siswa memperoleh
benar; (2) membantu menyelesaikan masalah;
inform asi baru, ba ik b erup a pe nget ahua n,
(3) memberi acuan agar siswa dapat melakukan
keterampilan, maupun sikap, yang kemungkinan
pe ngecekan hasil e kspl orasi; ( 4) m embe ri
berbeda antara siswa yang satu dengan yang
informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; dan
lain, atau berbeda antara kelompok yang satu
(5) memberikan motivasi kepada siswa yang
dengan yang lain, kemudian perlu penegasan
kurang atau belum berpartisipasi aktif.
(konfirmasi) yang difasilitasi oleh guru. c) Kegiatan
Dalam kegiatan penutup, guru: a) bersama-
penutup, berupa evaluasi formatif untuk mengukur
sama dengan siswa dan/atau sendiri membuat
daya serap siswa. Yang sudah tuntas dapat
rangkuman/simpulan pelajaran; b) melakukan
dilanjutkan dengan mempelajari kompetensi
penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan
berikutnya, sedangkan yang belum tuntas perlu
yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan
dilakukan remedial teaching terlebih dulu sebelum
terprogram; c) memberikan umpan balik terhadap
melanjutkan kompetensi berikutnya.
proses dan hasil pembelajaran; d) merencanakan
Namun, dalam pelaksanaannya di satuan
kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran
pendidikan sering menyimpang. Guru cenderung
remedi, program pengayaan, layanan konseling
hanya m enge mbangkan ranah p enge tahuan
dan/atau memberikan tugas baik tugas individual
semata-mata dengan cara memberi tahu siswa,
maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar
bukan
siswa; dan e) menyampaikan rencana pem-
mengembangkan ranah sikap dan keterampilan.
belajaran pada pertemuan berikutnya.
Hal ini terbukti karena para guru ketika ditanya
sisw a
ya ng
m enca ri
t ahu;
bel um
Berdasar uraian tentang pengertian, tujuan,
gradasi ranah pengetahuan, pada umumnya
dan prinsip pendidikan holistik serta berbagai
mam pu m enja wab, yak ni: 1) p enge tahuan,
ketentuan mengenai penyusunan kurikulum serta
2) pem aham an, 3) p ener apan, 4) ana lisi s,
pelaksanaan pembelajaran di atas, maka dapat
5) sintesis, dan 6) evaluasi, yang dapat diartikan
disim pulkan bahwa: 1) Dokumen kuri kulum
ba hwa
pendidikan dasar dan menengah pada hakikatnya
implementasikannya dalam pembelajaran. Tetapi,
sud ah
d an
ketika ditanya t entang gra dasi ranah kete-
2) Impl ementasi pendidi kan holi stik dal am
rampilan dan sikap, tidak satupun guru mampu
pe mbel ajar an d apat dil akuk an d enga n ca ra
me njel aska nnya . Da pat disimpulkan bahwa
menggunakan pendekatan belajar siswa aktif,
pendidikan holistik belum diimplementasikan
yang
b erup a:
se cara kom prehensi f d alam pem bela jara n.
a) Kegiatan pendahuluan, yang tujuannya agar
Pem bela jara n ba ru m enge mbangkan ranah
siswa siap secara fisik dan mental untuk mencari
pengetahuan, belum mengembangkan ranah
inform asi baru, bi sa b erup a pe nget ahua n,
keterampilan dan ranah sikap siswa.
m emua t
pe ndid ikan
la ngka h-la ngka hnya
hol isti k;
dap at
pada umumnya
guru t elah
meng-
keterampilan, maupun sikap; b) Kegiatan inti,
Padahal pengembangan ranah keterampilan
berupa siswa melakukan eksplorasi dan elaborasi.
dan sikap tidak kalah pentingnya dibanding ranah
Siswa
buk an
pengetahuan. Pengembangan ranah pengeta-
diberitahu oleh guru tetapi mencari tahu dari
huan siswa diharapkan menjadi pribadi yang
berbagai sumber belajar yang relevan. Untuk
menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
474
m empe role h
inform asi
baru
Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah
budaya yang berwawasan kemanusiaan, ke-
Saran
bangsaan, kenegaraan, dan peradaban. Sedang-
Be rdasar simpulan di atas, da lam rang ka
kan pengembangan ranah keterampilan siswa
implementasi pendidikan holistik, disarankan agar
diharapkan menjadi pribadi yang berkemampuan
guru dalam melaksanakan pembelajaran tidak
pikir dan tindak yang efekif dan kreatif dalam
hanya m enge mbangkan ranah p enge tahuan
rana h abstr ak dan konkre t. Demi kian p ula,
semata-mata, melainkan juga mengembangkan
pengembangan ranah sikap siswa diharapkan
ranah keterampilan dan sikap, melalui pendekatan
menjadi pribadi yang beriman, berakhlak mulia,
bel ajar siswa a ktif. La ngka h-la ngka h pe m-
pe rcay a di ri, dan bert angung j awab dal am
belajaran siswa aktif
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan
pendahuluan, yang tujuannya agar siswa siap
sosial , al am sekit ar, ser ta d unia dan pera-
secara fisik dan mental untuk mencari informasi
dabannya (Kemdikbud, 2012).
baru, bisa berupa sikap, keterampilan, maupun
Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan seluruh potensi
dapat berupa: a) Kegiatan
pengetahuan; b) Kegiatan inti, berupa siswa
siswa secara harmonis
melakukan eksplorasi, elaborasi, dilanjutkan
(t erpa du d an seimb ang) , me liputi p otensi
konfirmasi. Siswa memperoleh informasi baru
intelektual, emosional, phisik, sosial, estetika, dan
bukan diberitahu oleh guru tetapi mencari tahu
spiritual, menjadi perilaku nyata dalam kehidupan
dari berbagai sumber belajar yang relevan.
sehari-hari. Masing-masing potensi hendaknya
Pengemb anga n
dikembangkan secara harmonis. Jangan sampai
dibiasakan belajar mulai dari: 1) mengetahui,
terjadi kemampuan intelektualnya berkembang
2) memahami, 3) menerapkan, 4) menganalisis,
jauh melebihi kemampuan aspek lainnya. Manusia
5) mensinte sis, 6) meng eval uasi , se hing ga
yang mampu mengembangkan seluruh poten-
menjadi pribadi yang menguasai ilmu pegetahuan,
sinya merupakan manusia yang holistik, yaitu
te knol ogi, seni, b uda ya y ang berw awasan
manusia pembelajar sejati yang selalu menyadari
kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan
bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah sistem
peradaban. Pengembangan ranah keterampilan,
kehidupa n yang lua s, sehingga sela lu ingin
siswa dibiasakan belajar mulai dari: 1) mengamati,
memberikan kontribusi positif dan terbaik kepada
2) menanya, 3) mencoba, 4) mengolah, 5) menyaji,
lingkungannya.
6) menalar, dan 7) mencipta sehinga menjadi
ra nah
peng etahuan,
siswa
pribadi yang berkemampuan pikir dan tindak yang Simpulan dan Saran
efekif dan kreatif da lam ranah abstrak dan
Simpulan
konkret. Peng embangan ranah sika p, si swa
Berdasar pembahasan di atas, dapat disimpulkan
dibiasakan belajar mulai dari: 1) menerima,
bahwa: 1) Dokumen kurikulum pendidikan dasar
2) menanggapi, 3) menghargai, 4) menghayati,
dan menengah pada hakikatnya sudah memuat
dan 5) mengamalkan sehinga menjadi pribadi
pendidikan holistik, karena prinsip, acuan, dan
yang beriman, berakhlak mulkia, percaya diri, dan
pr osed ur p enge mbangan kur ikul um sejal an
bertangung jawab dalam berinteraksi secara
de ngan
p rinsip
efektif dengan lingkungan sosial, alam sekitar,
pe nger tian,
pendidikan holistik;
t ujua n,
d an
2) Pendidikan holistik belum
serta dunia dan peradabannya; c) Kegiatan
diimplementasikan secara komprehensif dalam
Penutup, berupa evaluasi formatif untuk mengukur
pembelajaran. Pembelajaran pada umumnya baru
daya serap siswa. Yang sudah tuntas dapat
mengembangkan ranah pengetahuan, belum
dilanjutkan dengan mempelajari kompetensi
mengembangkan ranah keterampilan dan ranah
berikutnya, sedangkan yang belum tuntas perlu
sikap siswa.
dilakukan remedial teaching terlebih dulu sebelum melanjutkan kompetensi berikutnya.
475
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Pustaka Acuan Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). 2008. 63 Persen Remaja Berhubungan Seks di Luar Nikah. http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/arsip/63-persenremaja-berhubungan-seks-di-luar-nikah. Diunduh 30 Januari 2011. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). 2010. 51 Persen Remaja Jabodetabek Tidak Perawan. Hileud.com. Minggu 28 November 2010. Diunduh 30 Januari 2011. Bloom, Benyamin S. 1956. Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals, Handbook I Cognitive Domain. New York: Longman Inc. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2012. Bahan Uji Publik Kurikulum 2013. Jakarta. Forbes, Schott H., and Robin Ann Martin. 2004. What Holistik Education Claims About Itself: An Analysis of Holistik Schools’ Literature: Paper presented at the American Education Research Association Annual Conference. San Diego, California, April 2004. Illeris, Knud. 2007. How We Learn: Learning and Non-Learning in School and Beyond. London and New York: Routledge. Judiani, Sri. 2010. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar melalui Penguatan Pelaksanaan Kurikulum. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Vol. 16 Edisi Khusus III, Oktober 2010. Martin, Robin Ann. 2002. Alternatives in Education: An Exploration of Learner-Centered, Progrssive, and Holistik Education. Paper Presented at the Annual Meeting of the American Educational Research Association. New Orleans: L.A. April 1-5. Miller, John P., Selia Karsten, Diana Denton, Deborah Orr, Isabella Colalillo Kates. 2005. Holistik Learning and Spirituality in Education: Breaking New Ground. New York: State University of New York Press. Munip, Abdul. 2009, Reinventing Nilai-nilai Islam Mengenai Peranan Guru dalam Pendidikan Karakter. http://www.scribd.com/doc/12991475/ Guru Dalam Pendidikan Karakter. Diunduh 30/1/2011. Musfah, Jejen (Ed.).
2012. “Pendidikan Islam Holistik Berbasis Nilai dalam Perspektif Sirah Nabi”.
Pendidikan Holistik Pendekatan Lintas Perspektif. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group. Schreiner, Peter., J. Hare., Robert V. Kail. 2010. Holistik Education Resource Book: Learning and Teaching in an Ecumenical Context. New York: Waxmann Munster.
476
Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi
PELAKSANAAN PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DI PENDIDIKAN TINGGI (THE IMPLEMTATION OF ENTERPRENEURSHIP EDUCATION IN THE HIGHER EDUCATION) Siswo Wiratno Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan e-mail:
[email protected] Diterima tangagal:1/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 2/11/2012, Disetujui tanggal: 28/11/2012 Abstrak: Tujuan kajian ini dimaksudkan untuk menganalisis pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi, kaitannya dengan kompetensi lulusan yang diharapkan oleh dunia kerja dan kompetensi pendukung lainnya. Permasalahan yang berkaitan dengan pendidikan kewirausahaan antara lain: 1) persiapan dan pelaksanaan program kewirausahaan dan peran unit baru yang berfungsi dan bertugas sebagai pengelola program kewirausahaan belum optimal; 2) penyediaan sarana dan prasarana penyelenggaraan kewirausahaan yang masih terbatas (sarana dan prasarana, mitra kerja, dana,dan tenaga dosen yang berkompetensi dalam memberi bekal keterampilan kewirausahaan Hasil kajian menunjukkan bahwa: 1) pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di berbagai perguruan tinggi belum dilaksanakan secara optimal, antara lain disebabkan oleh belum optimalnya peran dan fungsi unit pengelola kewirausahaan; 2) kompetensi lulusan perguruan tinggi masih belum sepenuhnya memenuhi harapan dunia kerja, di mana diharapkan para lulusan perguruan tinggi memiliki kompetensi akademik, keterampilan berpikir, keterampilan manajemen dan keterampilan berkomunikasi. Di samping itu, lulusan belum cukup dibekali dengan keterampilan hidup (live skill), kemampuan beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan kerja serta belajar sepanjang hayat (lifelong education). Kata kunci: pendidikan kewirausahaan, perguruan tinggi, kompetensi lulusan, dan dunia kerja Abstract: The aims of this study is to analyze the implementation of entrepreneurship education in higher education, in relation to the competencies of graduates as expected by labour market and other supporting competencies. Problems related to entrepreneurship education, among others include: 1) preparation and implementation of entrepreneurship education program as well as the role of a new unit responsible to manage the program is not optimal; 2) provision of facilities and infrastructure for entrepreneurial implementation is still limited (means and infrastructure, partners, funding and competent lecturers in the subject of entrepreneurial skills). The assessment results showed that: 1) implementation of entrepreneurship education in various higher education institutios is not yet optimal, partly due to the failure of entrepreneurial management unit in optimizing its role and function; 2) competency of higher education graduates has not fully meet the expectations of the labour market, as they are expected to have academic competency, thinking skills, management skills and communication skills. In addition, graduates are not equipped with adequate live skills, ability to adapt and socialize with the working environment and life-long education. Keywords: entrepreneurship education, graduate competencies, higher education, and labour market
453
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Pendahuluan
mencerm inka n kondisi ri il y ang sela ma i ni
Secara nasi onal , im plem enta si p elak sana an
dirasakan oleh para pencari kerja, termasuk
pendidikan kewirausahaan di lingkungan per-
lulusan perguruan tinggi.
guruan tinggi dilakukan secara bertahap dan
Menurut data Badan Pusat Statistik (2008)
berkelanjutan. Dalam perjalanannya, pendidikan
tingkat pengangguran terbuka di Indonesia telah
kewirausahaan di lingkungan perguruan tinggi
mencapai 7,87%. Dari jumlah penduduk yang
akhir-a khir ini menjadi kaj ian di b erba gai
bek erja menurut jenis p endi dika n te rtinggi
kesempa tan, bai k me lalui di skusi, seminar,
menunjukkan
lokakarya, dan bahkan dijadikan lesson learn
universitas mengalami kenaikan. Pekerja yang
dengan
meng hadi rkan
sosok
bahwa l ulusan d iploma d an
k eber hasi lan
berasal dari lulusan diploma mencapai 2,79 juta
“alumni” da lam berwirausaha dan sekaligus
orang (2,55%) dan pekerja yang berasal dari
sebagai bench marking. Dalam penyelenggaraan
lulusan sarjana mencapai 4,66 juta (4,44%).
pendidikan kewirausahaan di lingkungan per-
Tampaknya, dari tahun ke tahun, jumlah pengang-
guruan ting gi, pe rmasala han yang diha dapi
guran yang berasal dari kalangan sarjana secara
antara lai n ad anya isu pengang gura n. H al
signifikan mengalami kenaikan dibanding dengan
tersebut diasumsikan ada faktor yang mempe-
pek erja yang be rasa l da ri d iploma. Hal ini
ngaruhinya, yaitu: kompetensi keahlian lulusan
mengindikasikan bahwa kurang lebih 20% dari
perguruan tinggi belum memenuhi kebutuhan
jumlah lulusan perguruan tinggi setiap tahunnya
pasar kerja, lulusan perguruan tinggi (prodi ilmu-
belum mendapatkan pekerjaan.
ilmu sosial) kalah bersaing dengan lulusan dari
Per masa lahan yang dia sumsikan terj adi
program studi bidang keteknikan di dunia kerja.
berkaitan dengan penyelenggaraan program
Sementara
itu, lulusan program studi teknik
pendidikan kewirausahaan, yaitu beragamnya
banyak dibutuhkan namun kompetensi keahli-
pe rgur uan ting gi d alam : 1) per siap an d an
annya masih belum memadai (Hendarman, 2011).
pelaksanaan program kewirausahaan dan peran
Di samping itu, keragaman kesiapan masing-
unit baru yang berfungsi dan bertugas sebagai
ma sing per guruan t ing gi d alam mengelola
pengelola program kewirausahaan belum optimal;
kew irusahaa n
Ma hasi swa
2) p enyedi aan sar ana da n prasa rana untuk
Wirausaha (PMW), Program Kreativitas Mahasiswa
penyelenggaraan kewirausahaan masih terbatas
(PKM), pelaksanaan Kuliah Kerja Usaha (PKU),
(sarana dan prasarana, mitra kerja, dana, dan
Program Magang Kewirausahhaan (MKU), dan
tenaga
Inkubator Bisnis (INBIS) masih belum sesuai
memberi bekal keterampilan kewirausahaan,
dengan tujuan yang diharapkan. Selanjutnya, hasil
sehingga bekal berbagai kompetensi belum me-
survei Litbang Media Group yang ditulis dalam
madai. Berkaitan dengan masalah tersebut, kajian
Editorial Media Indonesia tanggal 30 April 2007
ini dimaksudkan untuk menganalisis pelaksanaan
berjudul “Minimnya Minat menjadi Pengusaha”
pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi
menunjukkan
se pert i
bahwa
Pr ogra m
m otiv asi
dose n
ya ng b erkompet ensi
dal am
masy arak at
ka itannya deng an k omp etensi l ulusan d an
Indonesia (termasuk lulusan perguruan tinggi)
kompetensi pendukung lainnya sesuai dengan
untuk menjadi pengusaha masih sangat rendah.
yang diharapkan oleh dunia kerja.
Hasil survei tersebut sejalan dengan hasil Survei Tenaga Kerja Nasional 2001 hingga 2006 (dalam
Kajian Literatur
Balitbang, 2010a) menyatakan bahwa profil
Kewirausahaan (Entrepreneurship)
tenaga kerja Indonesia memang dikuasai pekerja.
Secara bebas kewirausahaan (entrepreneurship)
Dari total pekerja 25 juta orang, jumlah yang
dapat dimaknai sebagai jiwa, semangat, sikap,
menjadi pengusaha kurang dari seperlimanya.
perilaku, dan potensi kemampuan seseorang
Terhadap pertanyaan dalam survei yang sama
dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang
yaitu “mayoritas orang Indonesia ingin menjadi
mengarah pada upaya mencari, menciptakan,
ap a?” dipe role h ja wab an b ahwa 70% ing in
menerapkan cara kerja, teknologi, dan produk
menjadi pegawai negeri sipil (PNS), hanya 20%
baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka
ingin menj adi peng usaha. Angka ini jel as
memberikan pelayanan yang lebih baik untuk
454
Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi
me mper oleh keuntungan yang le bih besa r”
Percaya diri merupakan sikap dan keyakinan
(Subijanto, 2012). Dengan kata lain, kewira-
untuk memulai, melakukan, dan menyelesaikan
usa haan
tugas atau pekerjaan yang dihadapi. Berorientasi
dal am
hal
i ni
m erup akan
sua tu
kreativitas dan inovasi yang dimiliki para lulusan
pad a
perguruan tinggi untuk menghasilkan nilai tambah
seseorang wirausahawan harus berkonsentrasi
bagi dirinya dan bermanfaat bagi orang lain/
pada tugas dan hasil dari apa pun pekerjaannya
masyarakat serta mendatangkan kemaslahatan
serta harus jelas hasilnya. Apa yang dilakukan
bersama.
seorang wirausahawan merupakan usaha untuk
Pada hakikatnya, kewirausahaan merupakan
tugas
me ncap ai
dan
t ujua n
hasi l
ya ng
me ncir ikan
tela h
bahwa
di targ etka n.
sifat, ciri, dan watak seseorang yang memiliki
Keberhasilan tersebut akan sangat ditentukan
kemauan dan kemampuan dalam mewujudkan
oleh motivasi berprestasi, berorientasi pada
gagasan inovatif dalam dunia nyata (bisnis) secara
keuntungan, kekuatan dan ketabahan/keuletan
kreatif dan produktif. Seseorang yang memiliki
berusaha, kerja keras, enerjik, dan inisiatif
potensi atau jiwa kewirausahaan, ia mampu
(Hunger dan Wheelen, 2003).
melihat dan menilai kesempatan-kesempatan
Lebih lanjut, mengambil risiko dicirikan oleh
bisnis, mengumpulkan berbagai sumber daya
seseorang (wirausahawan) yang harus menge-
yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan
ta hui peluang kega gal an ( di m ana sumb er
secara tepat dan mengambil keuntungan meraih
kegagalan dan seberapa besar peluang kega-
peluang bisnis.
gal an), sehingg a da pat memi nima lis risi ko.
Secara epistimologis, kewirausahaan pada
Karakter kepemimpinan dicirikan oleh seseorang
prinsipnya merupakan suatu kemampuan berpikir
(wirausahawan) yang dapat memberikan suri
kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan
tauladan, berpikir positif, tidak antikritik, dan
dasar, sumber daya, motivator, tujuan, siasat/
memiliki kecakapan dalam berkomunikasi dan
strategi, dan kiat-kiat dalam menghadapi tan-
bersosialisasi (Hunger dan Wheelen, 2003).
tangan hidupnya (Hunger dan Wheelen, 2003).
Kepemimpinan yang dimaksud bukan hanya
Kew irausahaan (enterp ree neurshi p) muncul
memberikan pengaruh kepada orang lain atau
manakala seseorang berani mengembangkan
baw ahannya, mel aink an j uga siga p untuk
usaha-usahanya dan ide-ide barunya yang cerdas
mengantisipasi setiap perubahan. Di samping itu,
dan cermat dengan mengantisipasi berbagai risiko
mampu memimpin untuk melakukan perubahan
yang mungkin akan terjadi. Oleh karena itu, esensi
dengan menawarkan produk-produk baru dan
kewirausahaan yaitu menciptakan nilai tambah
menjadi pelopor dalam penciptaan produk yang
melalui proses pengkombinasian berbagai sumber
unggul atau memberikan nilai tambah yang
daya dengan car a-cara bar u yang ber beda,
berbeda dibandingkan dengan para pesaing.
sehingga mampu bersaing secara bebas di pasar bisnis.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan akan melibatkan pembentukan
Kewir ausahaan menurut Sukidjo ( 2011)
sikap/ pola pikir (at titud e), pengemb ang an
mencerminkan semangat, sikap, dan perilaku
keterampilan (skill), dan pembekalan pengeta-
sebagai teladan dalam keberanian mengambil
huan (knowledge). Dengan kata lain, kewira-
resiko yang telah diperhitungkan berdasar atas
usahaa n me rupa kan pot ensi yang di mili ki
kemauan dan kemampuan sendiri. Orang yang
seseorang untuk dikembangkan melalui pen-
memiliki sikap-sikap tersebut dikatakan sebagai
didikan dan pelatihan dalam bentuk pengalaman,
wir aswasta at au wi rausa ha. Sement ara i tu,
tantangan, dan keberanian untuk mengambil
Suryana (2006) berpendapat bahwa kewira-
resiko dalam bekerja dan/atau menciptakan
usahaan merupakan suatu disiplin ilmu yang
pekerjaan.
memperlajari tentang nilai, kemampuan, dan perilaku seseorang dalam menghadapi tantangan
Kebijakan Pendidikan Kewirausahaan
hid up untuk
Dalam implementasi program pendidikan ke-
mem peroleh peluang deng an
berbagai resiko yang mungkin dihadapinya.
wirausahaan, terdapat dua kebijakan terkait dengan kewirausahaan, yaitu: 1) kewirausahaan
455
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
sebagai mata pelajaran di tingkat pendidikan
rampilan para mahasiswa khususnya sense of
menengah, dan sebagai mata kuliah pada jenjang
business; 4) menumbuhkembangkan wirausaha-
pendidikan tinggi, serta 2) kewirausahaan sebagai
wir ausa ha b aru yang ber pend idik an t ingg i,
keahlian yang mengacu pada standar kompetensi
5) menciptakan unit bisnis baru yang berbasis ilmu
(Depdiknas, 2010).
pengetahuan, teknologi dan seni; dan 6) mem-
Sekalipun nama mata pelajaran/mata kuliah,
bangun jeja ring bisnis anta rpel aku bisnis,
baik di tingkat pendidikan menengah maupun
khususnya
a ntar a
wi rausaha
pemula
d an
pendidikan tinggi berbeda-beda, namun pada
pengusaha yang sudah mapan. Alokasi dana PMW
hakikatnya memiliki kandungan makna yang sama.
tidak seluruhnya untuk modal mahasiswa (Ditjen
Sebagai contoh, di lingkunagn sekolah menengah
Dikti, 2009a).
kejuruan (SMK), kewirausahaan pada umumnya
Mekanisme pelaksana program PMW diawali
dik enal dengan sebutan “uni t pr oduk si”. Di
dengan: 1) melakukan sosialisasi kepada para
kalangan LPTK (eks IKIP), pada bidang keahlian
mahasiswa; 2) identifikasi dan seleksi mahasiswa;
pengelolaan makanan, busana/kecantikan dikenal
3) pembekalan kewirausahaan; 4) penyusunan
dengan “pengelolaan boga” atau “usaha boga”.
rencana bisnis sambil magang di UKM (Ditjen Dikti,
Di bidang busana, pengelolaan busana (termasuk
200 9a).
usaha kecantikan), sedangkan pada universitas
dukungan permodalan dalam rangka pendirian
lebih dikenal dengan “inkubator bisnis” (inbis).
usa ha b aru maha sisw a wa jib meng ajuk an
Salah satu contoh pengembangan inbis yang
rencana bisnis yang layak untuk diseleksi oleh
dapat dijadikan model, yaitu model inbis Uni-
“Tim Seleksi” yang terdiri atas unsur perbankan,
versitas Barawijaya, Malang (Balitbang, 2010b).
UKM, dan perguruan tinggi pelaksana. Pengusaha
Sel anjutnya ,
untuk
mend apat kan
di liba tkan secara akti f untuk memb erik an Program Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tingi
bimbingan operasional kewirausahaan. Keberadaan kelembagaan yang bertang-
Beberapa pembekalan program Kewirausahaan
gungjawab atas program-program pendidikan
yang dapat dilakukan di perguruan tinggi dalam
ke wira usahaan merupak an salah sat u pe r-
mempersiapkan para lulusannya sebagai calon
timbangan penting bagi Direktorat Jenderal
wirausaha baru sebagai berikut.
Pendidikan Tinggi untuk memberikan dukungan pada perguruan tinggi yang bersangkutan. Dalam
Program Mahasiswa Wirausaha (PMW)
usaha mewujudkan calon-calon pengusaha muda
Ked uduk an Progr am M ahasiswa Wir ausa ha
dan terdidik atau pengusaha muda pemula,
(PMW) merupakan bagian dari sistem pendidikan
menumbuhkembangkan budaya kewirausahaan
di perg urua n ti nggi yang te lah diluncur kan
di perguruan tinggi dapat dimulai melalui program
semenjak tahun 2009. Dalam pelaksanaannya,
Kuliah Kewirausahaan/KWU (Ditjen Dikti, 2010b).
PMW terintegrasi dengan pendidikan kewira-
Selama program PMW berjalan, perguruan
usahaan yang sudah ada, antara lain dengan:
tinggi bekerja sama dengan para pengusaha, baik
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), Kuliah Kerja
dengan UKM Koperasi maupun perusahaan besar
Usaha (KKU) dan program kewirausahaan lain.
lainnya. Pengusaha dilibatkan secara aktif untuk
Tujuan penyelenggaraan PMW dimaksudkan
memberikan bimbingan praktis kewirausahaan,
untuk: 1) menumbuhkan motivasi berwirausaha
dimulai dari pendidikan dan pelatihan, pema-
di kalangan mahasiswa; 2) membangun sikap
gangan, menyusun rencana bisnis, dan pendam-
mental wirausaha, yakni: percaya diri, sadar akan
pingan secara terpadu. Oleh karena itu, perlu
jati dirinya, bermotivasi untuk meraih suatu cita-
dihindari terjadinya persaingan yang tidak sehat
cita, pantang menyerah, mampu bekerja keras,
di antara mahasiswa dan UKM pendamping.
kreatif, inovatif, berani mengambil risiko dengan
Sebaliknya, diperlukan adanya “sinergitas” antara
perhitungan, berperilaku pemimpin dan memiliki
jenis usaha yang dikembangkan mahasiswa dan
visi ke depan, tanggap terhadap saran dan kritik,
jenis usaha yang di kemb angk an oleh UKM
memiliki kemampuan empati dan keterampilan
pendamping.
sosial; 3) meningkatkan kecakapan dan kete-
456
Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi
Per syar atan
per tama
unt uk
m enja min
keberhasilan dan keberlanjutan PMW, perguruan
siap dalam pengelolaan usaha yang sedang akan dilaksanakan (Ditjen Dikti, 2010a).
tinggi pelaksana harus mempunyai lembaga yang memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai pengelola
Program Magang Kewirausahaan (MKU)
(perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
Program “magang kewirausahaan” merupakan
peng awasan dan pe ngeval uasian) serta pe-
kegiatan mahasiswa untuk belajar bekerja secara
ngembangan (penelitian dan pengembangan)
nyata (praktik) pada usaha kecil menengah, yang
program-program pendidikan kewirausahaan bagi
diharapkan dapat menjadi wahana penumbuhan
mahasiswa dan program lain yang terkait dengan
jiwa kewirausahaan. Magang merupakan salah
hubungan antarlembaga. Lembaga yang dimak-
satu cara mempersiapkan diri untuk menjadi
sud dapat bersifat formal struktural ataupun
wirausaha. Selama magang mahasiswa bekerja
fungsional yang bertanggung jawab langsung
seb agai tenaga kerj a di per usahaan mitr a,
kepada pimpinan perguruan tinggi (Ditjen Dikti,
sehingga mampu menyerap berbagai pengalaman
2009b).
praktik, seperti: 1) memahami proses produksi yang dihasilkan secara utuh; 2) mengenal metode
Program Kuliah Kewirausahaan (KWU)
yang dilakukan baik dari aspek teknologi maupun
Dalam usaha mewujudkan calon-calon pengusaha
organisasi; 3) mengenal pasar dari produk yang
muda terdidik atau pengusaha muda pemula dan
dihasilkan; 4) memahami permasalahan yang
menumbuhkembangkan budaya kewirausahaan
dihadapi dan cara mengatasi permasalahan; dan
di perguruan tinggi dapat dimulai dengan program
5) berkembangnya sifat kreatif dan inovatif
KW U. Penye leng gara an K WU d imak sudk an
mahasiswa untuk bergerak di bidang wirausaha
sebagai upaya memperkenalkan dunia kewi-
(Ditjen Dikti, 2010b).
rausahaan agar dapat menumbuhkembangkan
Magang Kewirausahaan dilaksanakan untuk
jiwa kewirausahaan bagi kalangan mahasiswa.
memberikan pengalaman praktis kewirausahaan
Di samping itu, KWU dilaksanakan untuk mem-
kepada mahasiswa dengan cara ikut bekerja
berikan pengetahuan kewirausahaan, pengalihan
sehari-hari pada usaha kecil dan menengah.
pengala man berw irausaha dan mendorong
Secara khusus tujuan MKU: 1) meningkatkan
tumbuhnya motivasi berwirausaha sebagai bentuk
kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dan
kegiatan awal mahasiswa calon wirausahawan
keterampilan yang dimiliki; 2) meningkatkan
baru (Ditjen Dikti, 2010b). Agar terjadi interaksi
pengetahuan kewirausahaan mahasiswa, baik
antarmahasiswa dari berbagai bidang studi dalam
dalam hal keilmuan maupun pengalaman ber-
pr oses pem bela jara n k ewir ausa haan, ma ka
wirausaha; 3) meningkatkan kemampuan ber-
peserta KWU diharapkan berasal dari berbagai
komunikasi dan bersosialisasi dengan kalangan
mahasiswa dari program studi/jurusan/fakultas
masyarakat di perusahaan; 4) memacu motivasi
lainnya.
kewirausahaan mahasiswa yang berminat menjadi
Dalam upaya mewujudkan program tersebut,
calon wirausaha; 5) membuka peluang untuk
setiap perguruan tinggi diharapkan mampu:
memperoleh pengalaman praktis kewirausahaan
1) meningkatkan pemahaman dan penjiwaan
bagi dosen pembimbing mahasiswa; dan 6) men-
kewirausahaan di kalangan mahasiswa agar
ciptakan keterkaitan dan kesepadanan antara
mampu menjadi wirausahawan yang berwawasan
pe rgur uan ting gi d eng an usaha kecil d an
jauh ke depan dan luas berbasis ilmu yang
menengah (Ditjen Dikti, 2010b).
diperolehnya; 2) mengenal pola berpikir wirausaha
Lebih lanjut, kegiatan MKU dilaksanakan
serta meningkatkan pemahaman manajemen
dalam lingkup: 1) penetapan usaha kecil mene-
(organisasi, produksi, keuangan dan pemasaran);
ngah yang layak untuk tempat magang (peru-
dan 3) memperkenalkan cara melakukan akses
sahaan mitra); 2) pembekalan magang maha-
inf orma si d an p asar ser ta t eknologi , ca ra
siswa oleh dosen pembimbing; 3) temu gagasan
pembentukan kemitraan usaha, strategi dan etika
antara per guruan t ing gi d enga n pi mpinan
bisnis, serta pembuatan rencana bisnis atau studi
perusahaan mitra; 4) pelaksanaan MKU; 5)
kelayakan yang diperlukan mahasiswa agar lebih
pem anta uan dan pemb imbi ngan ole h dosen
457
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
pembimbing dan perusahaan tempat magang;
kewirausahaan serta sadar dengan masalah
6) evaluasi pelaksanaan magang oleh mahasiswa,
lingkungannya; dan 3) menumbuhkembangkan
pengusaha dan dosen pembimbing; 7) penyu-
usaha kecil menengah yang memiliki daya saing
sunan business plan oleh mahasiswa peserta
tinggi dari segi kualitas produk/jasa, kinerja dan
magang; 8) penulisan laporan magang oleh
pemasaran (Ditjen Dikti, 2010a).
mahasiswa; dan 9) pembahasan hasil magang
Mahasiswa yang melaksanakan KKU, selain
yang diikuti semua pihak yang terkait (Ditjen Dikti,
belajar berwirausaha, juga menerapkan Iptek
2009b).
yang dikuasai, seperti penyempurnaan proses
Beb erap a
indika tor
pela ksanaan
MKU
produksi, peningkatan kualitas produk dan jasa,
dikatakan berhasil manakala: 1) pengusaha
penyempurnaan manajemen usaha, maupun pem-
te mpat mag ang mera saka n ma nfaa t MK U;
benahan metoda pemasaran. Sambil membantu
2) mahasiswa memperoleh pengetahuan, kompe-
menata proses produksi atau pemasaran produk.
tensi, dan pengalaman serta manfaat, baik dari
Di samping itu, mahasiswa belajar bagaimana cara
segi pengetahuan maupun keterampilan yang
berkomunikasi dengan mitra bisnisnya (pengu-
berguna sebagai bekal untuk berwirausaha; dan
saha, pegawai, konsumen, tengkulak, penjual
3) mahasiswa menjalankan tugas dengan disiplin
eceran dan grosir), sehingga mendorong tum-
dan mematuhi aturan perusahaan yang berlaku
buhnya kedewasaan berpikir, berkomunikasi, dan
(Ditjen Dikti, 2010b).
bertindak.
Program Kuliah Kerja Usaha (KKU)
Inkubator Wirausaha Baru (INWUB)
Jumlah lulusan pergururan tinggi (sarjana) yang
Inkubator Wirausaha Baru (INWUB) adalah suatu
mampu menciptakan lapangan kerja masih sangat
fasilitas fisik yang dikelola oleh sejumlah staf dan
terbatas. Hal ini diasumsikan, antara lain karena
menawarkan suatu paket terpadu kepada alumni
masih rendahnya kemampuan lulusan dalam
per guruan
berwirausaha. Naluri bisnis/jiwa kewirausahaan
wirausahawan dengan biaya terjangkau selama
tidak akan tumbuh berkembang manakala tidak
jangka waktu tertentu (2–3 tahun). Paket terpadu
dilengkapi dengan pelatihan dan pembinaan
tersebut, antara lain meliputi: 1) sarana fisik atau
secara intensif melalui kerja nyata berwirausaha.
ruang produksi dan fasilitas kantor yang dapat
Untuk menjadi wirausahawan, mahasiswa
dipakai bersama; 2) kesempatan akses dan
t ingg i
ya ng
b ermi nat
perlu dibekali kemampuan praktis yang mencakup
pem bent ukan
keterampilan menerapkan Iptek, keterampilan
pendukung teknologi dan bisnis, sumberdaya
ma naje rial wir ausa ha d an p emasaran ser ta
teknologi dan informasi, sumber daya bahan baku,
adopsi inovasi teknologi (Balitbang, 2010a).
dan keuangan; 3) pelayanan konsultasi yang
Pe ngal aman ini dap at d iper oleh mahasiswa
me liputi a spek tek nologi, mana jeme n, d an
melalui Kuliah Kerja Usaha (KKU), di mana
pemasaran; 4) pembentukan jaringan kerja antar
ke mamp uan
pengusa ha, dan 5) p enge mbangan prod uk
prak tis
ditumbuhkemb angk an
jar inga n ke rja
menj adi
dengan berperan aktif, antara lain membantu
pe neli tian
unt uk
d apat
usaha rumah tangga atau usaha kecil menengah
komersial (Ditjen Dikti, 2010a).
deng an j asa
dip roduksi
seca ra
tempat mahasiswa bermitra. Oleh karena itu,
Sebagai contoh rintisan inkubator wirausaha
kegiatan KKU, diharapkan dapat menumbuh-
baru atau inkubator bisnis yaitu Universitas
kembangkan calon wirausahawan yang handal
Brawijaya (UB) Malang telah berhasil dalam
dan mandiri dari kalangan mahasiswa melalui
menyelenggarakan program kewirausahaan dan
proses aktif yang berprinsip pada keberpihakan
sampai sekarang masih terus dikembangkan
dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka
manajemennya secara professional (Balitbang,
mendorong peningkatan pertumbuhan usaha kecil
201 0b). Mod el i nkub ator bisnis Univ ersi tas
menengah. Tujuan khusus yang ingin dicapai dari
Brawijaya kiranya dapat dipergunakan sebagai
KKU, yaitu: 1) berkembangnya budaya kewira-
salah satu bench marking bagi perguruan tinggi
usahaan di perguruan tinggi; 2) terwujudnya calon
di Indonesia.
sa rjana
458
ya ng
cende kiaw an
d an
b erji wa
Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi
Tujuan dibentuknya INWUB, yaitu untuk:
kurikulum yang dirancang perlu berorientasi pada:
1) menciptakan lapangan kerja baru sehingga
1) ber basi s kompet ensi , di maksudka n ag ar
meningkatkan standar hidup golongan ekonomi
perguruan tinggi menjadi individu-individu yang
lemah; 2) menciptakan UKM yang mandiri dan
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
berlandaskan iptek untuk memperkuat struktur
dituntut pekerjaan tertentu dan memiliki jiwa
ekonomi nasional; 3) membantu alih teknologi dari
visione r ya ng m ampu menerim a be rbag ai
teknologi konvensional ke teknologi mutakhir
tantangan, mampu melihat peluang, dan berani
(state of the art technology) yang tepat guna
mengambil risiko, termasuk melatih menganalisis
termasuk teknologi hasil putaran (spin off) industri
permasalahan dan mengambil keputusan dengan
besar, perguruan tinggi atau lembaga penelitian;
tepat sasaran; 2) memfasilitasi intensifikasi
dan 4) mempercepat perkembangan kewira-
keterampilan, talenta, dan kreativitas; serta
usahaan di Indonesia untuk mencapai pengem-
3) program yang seimbang antara hard science
bangan ketahanan ekonomi yang berkelanjutan
dengan soft science (seni dan ilmu sosial) bagi
dal am m enghadap i er a pe rdag anga n be bas
lulusan perguruan tinggi (Kepmendiknas RI Nomor
(Ditjen Dikti, 2010a).
045/U/2002). ata s,
Upaya untuk mewujudkan gagasan tersebut,
merupakan wujud nyata Pemerintah (Ditjen Dikti,
Be rbag ai
k omponen
ter sebut
antara lai n da pat dila kuka n de ngan car a:
2010a) dalam mewujudkan lulusan perguruan
1) meningkatkan efektivitas penyelenggaraan
tinggi memiliki kompetensi kewirausahaan sesuai
pendidikan link and match di tingkat perguruan
dengan kebutuhan masyarakat. Namun demikian,
tinggi
sampai saat ini hasil tersebut belum sesuai
mengkonversi pengetahuan kewirausaan yang
dengan tujuan penyelenggaraan dimaksud lebih
ada di Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) ke
dikarenakan masih dalam taraf pengembangan
masyarakat akademik. Pendidikan tinggi telah
dan penyempurnaan di berbagai aspek yang
melakukan dan bahkan telah menjadi tradisi
mendukung terwujudnya sarjana berwirausaha.
sebagai masyarakat keilmuan, yaitu melakukan
Oleh karena itu, perlu dilakukan monitoring dan
kombinasi dari explicit knowledge ke explicit
evaluasi secara berkala dan berkesinambungan
knowled ge l ainnya, yait u pr oses mensist e-
sebagai bahan masukan untuk peraikan dan
matisasikan konsep ke dalam pengetahuan.
penyempurnaan program dimaksud. Selanjutnya,
Konversi pengetahuan ini mencakup mengga-
evaluasi diri bagi penyelenggaraan program dapat
bungkan body of knowledge yang berbeda-beda
dilakukan secara mandiri dan akan lebih tepat lagi
sehingga diperoleh new body of knowledge;
jika hal tersebut dilakukan oleh sebuah organisasi
2) internalization dari explicit knowledge ke tacit
independen untuk mengevaluasinya. Lebih lanjut,
knowledge. Hal ini merupakan proses mewujudkan
perlu juga dilakukan “external audit” dalam
explicit knowledge menjadi tacit knowledge. Proses
penyele ngga raan
tersebut erat kaitannya dengan “learning by doing”.
program
di
kew irausaha an
sebagai bentuk akuntabilitas publik.
deng an m elak ukan
pra karsa
untuk
Manakala pengalaman yang dimiliki individu digabungkan dengan explicit knowledge, kemudian
Kurikulum Perguruan Tinggi
diinternalisasikan melalui sosialisasi, ekster-
Kurikulum perguruan tinggi selalu dituntut untuk
nalisasi, dan kombinasi sehingga terbentuk tacit
mengikuti perkembangan iptek dan tren kebu-
knowledge (Balitbang, 2010a).
tuhan dunia kerja. Sekalipun setiap perguruan
Tacit knowledge yang menjadi basis mental
tinggi memiliki otonomi dalam pengembangan
model merupakan aset yang sangat berharga
instit usinya ( term asuk kur ikul um), nam un
bagi institusi. Tacit knowledge yang ada pada level
kecende rung an
masing- masi ng
individu harus disebarkan ke level institusi. Dengan
perguruan tinggi akan sama. Kompetensi lulusan
k ebut uhan
penyebaran tersebut dimulailah suatu new spiral
merupakan hal yang wajib dikembangkan sesuai
knowledge creation. Perguruan tinggi yang berhasil
dengan ciri dan karakter perguruan tinggi itu
menempatkan dirinya sebagai perguruan tinggi
sendiri. Di samping itu, kecenderungan dalam
unggulan dan banyak melahirkan entrepreneur
pemenuhan kompetensi lulusan pergururn tinggi,
tacit knowledge ini juga memberikan sumbangan
459
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
bagi terbentuknya core competency; 3) ekster-
(job creator), daripada pencari kerja (job seeker),
nalisasi, yaitu proses mengartikulasikan tacit
oleh karenanya perlu dilakukan usaha nyata.
knowledge menjadi explicit knowledge. Hal ini
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian
mer upak an i nti
pemb entukan
Pendidikan dan Kebudayaan telah mengem-
pengetahuan, tacit knowledge diubah menjadi
bangkan Program Mahasiswa Wirausaha (Student
explicit knowledge.
Euntrepeneur Program) yang merupakan kelan-
Pe rgur uan
dari
ting gi
proses
pr oakt if
jutan dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)
melakukan dialog dengan komunitas yang memiliki
dan Coorperative Education (Co-op) yang men-
tacit
kal ang an
dukung terciptanya lulusan yang siap kerja dan
entrepreneur) dengan masyarakat akademik,
menciptakan kerja. Hasil-hasil karya mahasiswa
sehingga akan menciptakan proliferasi penge-
me lalui ke dua prog ram tersebut bel um d i-
tahuan (yang sifatnya tacit) dan akhirnya menjadi
tindaklanjuti secara komersial menjadi embrio
explicit. Mengundang para entrepreneur dan
berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek).
kalangan dunia usaha ke kampus untuk berbagi
Dengan demikian, program penguatan kelem-
pengala man seca ra b erke sina mbungan me-
bagaan yang mendorong peningkatan kreativitas
mungki nkan
knowled ge
sehar usny a
( dal am
hal
masyara kat
ini
dap at
be rwir ausa ha d an p ercepat an p ertumbuhan
mengkonstruksi pengetahuan kewirausahaan
akad emik
wi rausaha baru dengan basis I ptek per lu
melalui metafora, analogi, konsep, atau model
dikembangkan.
kewirausahaan yang eksplisit dan dapat dipelajari
Oleh karena itu, salah satu upaya untuk
oleh siapapun; dan 4) sosialisasi, yaitu proses
menindaklanjuti pogram unggulan di perguruan
ber bagi
(htt p:// www.suar a-
tinggi perlu ditindaklanjuti dengan suatu program
pembaruan.com/News/2004/ 02/27/index.html).
star-up business, di mana mahasiswa dibimbing
Permagangan di industri atau kerja magang
dan diarahkan ke dunia nyata, yaitu wirausaha
merupakan salah satu cara untuk mendapatkan
berbasis Iptek berbasis komersial (profit-benefit).
tacit knowledge, dari magang individu dapat
Program ini sejalan dengan strategi Perguruan
melakukan observasi, imitasi, dan mempraktikkan
Tinggi dalam kurun waktu 2003-2010 (Depdiknas,
apa yang telah dipelajarinya. Sampai saat ini masih
2010a). Program tersebut menekankan bahwa
terbatas mahasiswa atau dosen yang melakukan
kompetensi lulusan pergururan tinggi dalam suatu
magang di industri dan sebaliknya, masih terbatas
bidang ilmu tidak lagi mencukupi untuk memasuki
jumlah perusahaan yang memberikan kesem-
lapangan kerja yang semakin kompetitif. Di
pata n kepa da mahasiswa atau d osen untuk
samping lulusan perguruan tinggi dituntut untuk
melakukan “magang” atau kuliah kerja lapangan
memiliki kompetensi di bidang tertentu, kemam-
(KKL). Hal ini dapat diasumsikan bahwa pihak
puan lainnya seperti belajar sepanjang hayat,
industri belum memperoleh sosialisasi program
kemampuan menganalisis, mensintesis, kemam-
pendidikan kewirausahaan dari perguruan tinggi.
puan memanfaatkan peluang dengan keberanian
Alasan yang cukup klasik dari
pengala man
industri dan yang
mengambil risiko yang diperhitungkan (entrepre-
masih sering ditemui bahwa magang ataupun KKL
neurial spirit), diperlukan juga kompetensi entre-
mengganggu
preneurial. Hal ini sejalan dengan Instruksi
proses
i ndustri
dan
bahk an
adakalanya membebani perusahaan. Oleh karena
Presiden
tentang pengembangan ekonomi kreatif
itu, sosialisasi penting dilakukan dan seharusnya
(Inpres Nomor: 6/2009).
dengan adanya CSR (corporate social responsibility) oleh industri sudah merupakan keniscayaan
Lulusan Perguruan Tinggi dan Daya Saing
bagi industri untuk berbagai (sharing) dalam hal
Salah satu cara pendekatan dalam meningkatkan
peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan
kualitas perguruan tinggi yang dianggap cukup
pelatihan secara sinergi.
signifikan, yaitu menumbuhkan dan membang-
Dalam upaya menumbuhkembangkan jiwa
kit kan etos ker ja l ulusan sebel um m enja di
ke wira usahaan dan meni ngka tkan akt ivit as
pi mpinan organissa si/p erusahaa n da n/at au
kewirausahaan sehingga para lulusan perguruan
pendiri kewirausahaan. Pemahaman etos kerja
tinggi berorientasi pada pencipta lapangan kerja
berangkat dari pengertian etos (ethos) yang
460
Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi
secara etimologis terdapat tiga istilah dalam
seseorang tersebut menunjukkan bagaimana
bahasa Inggris, yaitu ethic, ethics dan ethos. Ethic
ked uduk an seseorang
diartikan sebagai standar moral atau nilai-nilai;
lembaga dengan lembaga lain yang berhubungan
ethics sebagai filsafat moral (moral philosophy)
dengan keunggul an d enga n ya ng l ainnya.
dan ethos bermakna watak atau character (Noah,
Keunggulan seseorang atau pemimpin mem-
1979).
berikan peluang untuk keberhasilan mencapai
Etos kerja yang mencerminkan semangat juang dia nut
banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang oleh
seseora ng
d alam
dengan
orang at au
tujuan pribadi atau tujuan organisasi. Salah satu faktor keunggulan tersebut dapat dicapai melalui
mel akuk an
pendidikan dan pelatihan dalam bentuk tingkat
pekerjaan, sedangkan nilai-nilai itu sendiri selalu
keterampilan (kompetensi) yang dimiliki sese-
berubah dan berkembang. Etos juga merupakan
orang atau pemimpin (Callon, 1996). Oleh karena
landasa n id e, cita- cita , pi kira n ya ng a kan
itu, daya saing dalam kewirausahaan difahami
menentukan sistem tindakan. Hal ini, karena etos
sebagai kesanggupan individu atau wirausa-
menentukan penilaian seseorang atas suatu
hawan dalam berkompetisi dengan wirausahawan
pekerjaan, maka ia akan menentukan pula hasil-
lain dalam lingkungan kelompoknya, sebagai
hasil yang akan dicapai secara kualitatif maupun
cerminan adanya
secara kuantitatif. Hal tersebut sesuai pendapat
yang memiliki, yaitu kemandirian, memiliki daya
Halexandria (2004) bahwa etos kerja adalah sifat
inovasi, dan keberanian menghadapi perubahan
yang khas (characteristic) semangat seseorang
meskipun mengandung risiko.
indikator pengembangan diri
atau kelompok terhadap suatu pekerjaan. Hasil
p endi dika n
ya ng
b ermutu
p ada
Metode Kajian
hakikatnya berakhir pada kemampuan daya saing.
Me tode kaj ian ini
Daya saing atau persaingan/kompetisi merupakan
sed erha na m elal ui “ anal isis” da ri b erba gai
usaha untuk mengalahkan lawan atau berusaha
dokumen sebagai sumber acuan yang terkait
melawan standar internal dan eksternal dalam
dengan peraturan perundangan-undangan yang
mencapai tujuan. Lebih lanjut, Pettgrew (1993)
re leva n de ngan pendidi kan Kewi rausahaa n,
mengemukakan bahwa persaingan pada dasar-
pembahasan kewirausahaan dari jurnal, Panduan
nya merupakan kemampuan untuk menyesuaikan
Pelaksanaan Kewirausahaan,
pe ruba han
lingkungany a.
dan hasil kajian Pendidikan Kewirausahaan di
Perubahan dalam hal ini, yaitu adanya proses
perguruan tinggi, serta Hasil Penelitian Balitbang
kemajuan yang terjadi di lingkungan perusahaan
tentang Alt erna tif Pela ksanaan Pend idik an
atau masyarakat sehingga pendidikan menjadi
Kewirausahaan di perguruan tinggi.
sua tu
yang
k ebut uhan
ter jad i
bag i
di
se tiap
ora ng
dil akuk an d enga n ca ra
Teori
pendukung,
a tau
karyawan. Hal tersebut sejalan dengan apa yang
Hasil Kajian dan Pembahasan
di kemukaka n Ga rell i (2 003) bahwa t ingk at
Kompetensi Keahlian Lulusan Perguruan
pendidi kan
Tinggi
dan
pela tiha n
se baga i
up aya
peningkatan pengetahuan bagi seorang pekerja
Komitmen Pemerintah yang secara eksplisit telah
merupakan dasar dalam persaingan.
menjadi prioritas nasional dalam pembangunan
Sementara itu, Israel (2001) mengatakan
pend idikan 2010- 2014, y aitu p embang unan
bahwa daya saing atau rivalitas merupakan
pendidikan diarahkan untuk tercapainya per-
perilaku pembawaan atau kualitas/potensi individu
tumbuhan ekonomi yang didukung oleh kese-
yang di mili kiny a. Setia p or ang tida k da pat
larasan antara ketersediaan tenaga pendidik
menghindarkan dirinya dari kondisi bersaing yang
dengan kemampuan: 1) menciptakan lapangan
terjadi di lingkunganya. Pada kesempatan lain,
kerja atau kewirausahaan; dan 2) menjawab
Ivancevich, et.al (1995) mengemukakan bahwa
tantangan kebutuhan tenaga kerja (Depdiknas,
daya saing (competitiveness) menunjukkan posisi
2010a).
relatif seseorang, unit, perusahaan atau suatu
Paradigma pendidikan yang bersifat supply
negara dibandingkan dengan seseorang, unit,
driven yang cenderung menghasilkan lulusan
perusa haan, atau negara lai n. Posisi r elatif
dalam jumlah banyak, sudah seharusnya ber-
461
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
geser me njad i de mand dr iven ya ng leb ih
kerja sesuai dengan pasokan (supply driven)
mempertimbangkan pada aspek permintaan dunia
maupun permintaan (demand driven).
kerja. Lulusan perguruan tinggi dituntut untuk
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
memiliki berbagai kompetensi seperti academic
kompetensi lulusan perguruan tinggi masih belum
knowledge, skill of thinking, management skill dan
sepenuhnya memenuhi harapan dunia kerja. Agar
communication skill. Sinergitas keempat kompe-
kebutuhan dunia kerja dapat terpenuhi, maka
tensi tersebut akan tercermin melalui kemampuan
para lulusan perguruan tinggi diharapkan memiliki
lulusan dalam kecepatan menemukan solusi atas
beb erap a kompet ensi sesuai deng an i lmu
persoalan-persoalan atau tantangan-tantangan
pengetahuan dan teknologi serta seni (Ipteks)
yang dihadapinya. Lulusan harus dibekali juga
yaitu berupa kompetensi akademik, kompetensi
keterampilan hidup (live skill) dan kemampuan
berpikir, kompetensi manajemen dan kompetensi
beradaptasi dengan kemampuan berkomunikasi
berkomunikasi. Di samping itu, lulusan hendaknya
bergaul dan berinteraksi dalam masyarakat ilmiah
dibekali dengan keterampilan hidup (live skill),
dan masyar akat profesi; kemam puan untuk
kom pete nsi bera dapt asi dan bersosia lisa si
bekerja dalam kelompok; kemampuan untuk
dengan lingkungan kerja serta kemauan belajar
menggunakan khasanah pengetahuan; memiliki
sepanjang hayat (life-long education).
integritas pribadi, moral dan etika profesi yang tinggi (soft skill).
Pemenuhan berbagai kompetensi tersebut nampaknya akan mengalami tantangan manakala
Dari tahun ke tahun, jumlah pengangguran
“peluang bisnis” bagi tamatan perguruan tinggi
lul usan sar jana secara nyat a le bih ting gi
tidak seimbang dengan jumlah lulusan yang
dibanding lulusan diploma. Kondisi tersebut
berpotensi untuk melakukan bisnis. Idealnya,
mengindikasikan bahwa sekurang-kurangnya
peluang bisnis harus diciptakan oleh lulusan
sekitar 20% dari jumlah lulusan perguruan tinggi
perguruan tinggi itu sendiri, namun perangkat
setiap tahunnya belum mendapatkan pekerjaan
pendukung lainnya perlu disinergikan dengan
tetap. Atas dasar tersebut, ada kecenderungan
DUDI dalam wujud jejaring kerja sama (network-
bahwa lulusan perguruan tinggi pada umumnya
ing) yang dapat mewujudkan suasana timbal balik
sebagai pencari kerja ( job-seeker) daripada
dalam wujud saling pengertian (mutual under-
pencipta kerja (job creator). Di samping itu, aktivitas
standing), dan saling menguntungkan (mutual
kewirausahaan masih relatif rendah dan cukup
benefit).
bervariasi antara perguruan tinggi yang satu dengan yang lainnya. Aktivitas kewirausahaan
Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan
dimaknai sebagai individu aktif dalam memulai
Kondisi lulusan program studi dengan pengem-
bisnis baru dan dinyatakan dalam persen total
bangan kurikulum yang digunakan sampai saat
penduduk aktif bekerja. Semakin tinggi indeks
ini, memiliki keterkaitan yang rendah dengan
aktivitas kewirausahaan (enterpreneurship activity)
kebutuhan atau tuntutan dari user (stakeholders).
maka semakin tinggi entrepreneurship level suatu
Pe ndap at Antonius (200 8) d alam Bal itba ng
neg ara (Boulton dan Tur ner, 200 5 da lam
(2010a) bahwa fenomena tersebut didukung oleh
Hendarman, 2011).
data bahwa hampir sekitar 35% lulusan per-
Dalam mengatisipasi kebutuhan kompetensi
guruan tinggi tidak terserap di pasar kerja, atau
yang dibutuhkan tenaga kerja, perlu dilakukan up-
sekitar 322.750 pengangguran terdidik. Jumlah itu
dat e a nali sis kebutuha n dunia kerj a ya ng
akan meningkat menjadi dua kalinya bila ditambah
mencakup d imensi kualit as/komp etensi dan
dengan mereka yang kini mengalami PHK, dan
kuantitas lulusan terhadap proyeksi kebutuhan
pada tahun 2008 mencapai
50,3%.
DUDI. Proyeksi kebutuhan harus mengacu pada
Tingginya a ngka pengang gura n te rdid ik
karakteristik khusus dan potensi yang dimiliki oleh
tersebut tidak lepas dari rendahnya etos kerja
potensi masing-masing daerah dan kebutuh-
lulusan perguruan tinggi dan kurangnya entrepre-
annya. Untuk menjawab persoalan tersebut salah
neurial mindset. Lebih lanjut, Antonius (2008)
satunya diperlukan program penguatan relevansi
dalam Balitbang (2010a) menyatakan bahwa
antara dunia pendidikan dan kebutuhan tenaga
penyeba b ut ama terj adinya p enga ngguran
462
Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi
terdidik antara lain kurang selarasnya peren-
“learning by doing”. Ketika pengalaman yang
canaan pembangunan pada sektor pendidikan
dimiliki individu digabungkan dengan explicit
dengan perkembangan lapangan kerja, sehingga
knowledge, hal itu dapat diinternalisasikan melalui
lulusan dari perguruan tinggi hanya sebagian
sosialisasi, eksternalisasi, dan kombinasi maka
yang terserap untuk pasar kerja.
terbentuk tacit knowledge. Tacit knowledge yang
Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu
menjadi basis mental model itu merupakan aset
menerapkan konsep link and match antara dunia
yang sangat berharga bagi organisasi. Tacit
pendidikan dan dunia ketenagakerjaan dengan
knowledge yang ada pada level individu harus
pendekatan market labour based. Dalam konteks
disebarkan ke level organisasi. Dengan penye-
ini , pr ogra m-pr ogra m ya ng m emungkinkan
bar an t erseb ut di mula ilah suat u new spi ral
tumbuhnya jiwa kewirausahaan atau enterpre-
knowledge creation. Perguruan Tinggi yang berhasil
neurship dalam lembaga pendidikan tinggi menjadi
menempatkan dirinya sebagai perguruan tinggi
sebuah alternatif dalam menjawab fenomena
unggulan dan banyak melahirkan entrepreneur,
seperti yang dijelaskan di atas.
salah satunya disebabkan oleh kemauan dan
Hasil penelitian Pendidikan Kewirausahaan
kemampuan melakukan internalisasi pengalaman
Balitbang (2010a) menunjukkan bahwa kurikulum
dan pengetahuan, sehingga dapat membentuk
yang berorientasi kreatif dan pembentukan jiwa
tacit knowledge pada komunitas akademik. Tacit
kewirausahaan perlu ditumbuhkembangkan dalam
knowledge ini juga memberikan sumbangan bagi
dunia pendidikan. Kurikulum yang dimaksudkan,
terbentuknya core competency (Ditjen Dikti, 2010a)
yaitu: 1) kurikulum yang membentuk kompetensi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
agar lulusan menjadi individu-individu visioner
melalui Direrktorat Pendidikan Tinggi sedang
yang ma mpu mene rima ber baga i sk enar io
mengembangkan sebuah Program Mahasiswa
tantangan, melihat peluang dan berani mengambil
Wirausaha (Student Euntrepeneur Program) yang
resiko, termasuk melatih kemampuan mencerna
meliputi program: Pendidikan Kewirausahaan
permasalahan dan mengambil keputusan dengan
(PMW, Kuliah Kewirausahaan (KWU), Magang
tepat walaupun tanpa adanya panduan yang
Kewirausahaan (MKU), Kuliah Kerja Usaha (KKU),
cukup; 2) kurikulum yang memfasilitasi intensifikasi
Coorperative Education (Co-op) dan inkubator bisnis
keterampilan, talenta dan kreativitas; serta 3)
(INBIS) yang mendukung terciptanya lulusan
kurik ulum yang mengandung program yang
yang siap kerja dan job creator (Ditjen Dikti, 2010b).
seimbang antara hard science dengan soft science (seni dan ilmu sosial).
Hasil-hasil karya mahasiswa melalui kedua program tersebut belum ditindaklanjuti secara
Untuk mewujudkan gagasan tersebut antara
komersial menjadi sebuah embrio berbasis Ilmu
lain dapat dilakukan melalui: pertama, perguruan
Pengetahuan dan Teknologi (Iptek). Program
tinggi harus mau mengambil prakarsa meng-
pe ngua tan
konversi pengetahuan kewirausaan yang ada di
pe ning kata n kr eati vita s be rwir ausa ha d an
dunia usaha ke dalam masyarakat akademik. Hal
percepatan pertumbuhan wirausaha baru dengan
ini telah dilakukan oleh perguruan tinggi dan
basis Ip tek m asih perl u dik embangkan dan
menjadi tradisi sebagai masyarakat keilmuan yaitu
diperkuat sebagai lembaga yang berwenang
melakukan combination dari explicit knowledge yang
dalama pengembangan kewirausahaan (Ditjen
satu ke explicit knowledge lainnya, yaitu proses
Dikti, 2010a).
kele mbag aan
yang
mendorong
mensistematisasikan konsep ke dalam sistem
Dalam upaya menindaklanjuti pogram kreatif
pengetahuan. Konversi pengetahuan ini men-
mahasiswa dan program kerja usaha yang telah
cakup menggabungkan body of knowledge yang
melahirkan karya-karya inovatif dan kreatif
berbeda-beda, sehingga diperoleh new body of
mahasiswa, maka perlu ditindaklanjuti dengan
knowledge.
program star-up business, di mana sebaiknya
Kedua, internalization dari explicit knowledge
mahasiswa dihantarkan dan dibawa dalam dunia
ke tacit k nowl edge . I ni m erupak an p roses
nyata wirausaha berbasis Iptek yang komersial
mewujudkan explicit knowledge menjadi tacit
(profit-benefit ). Program ini sejalan dengan
knowledge. Proses ini erat kaitannya dengan
Strategi Perguruan Tinggi
jangka panjang 2003-
463
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
2010 (HELTS 2003-2010) yang menjelaskan
Simpulan dan Saran
bahwa, kompetensi lulusan dalam suatu bidang
Simpulan
ilmu saja tidak lagi mencukupi untuk memasuki
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan dapat
lapangan kerja yang semakin kompetitif. Lulusan
disimpulkan bahwa: pertama, kompetensi lulusan
harus pula memiliki kemampuan untuk belajar
perguruan tinggi yang dibutuhkan oleh para
sepanjang hayat, kemampuan untuk menganalisis
pemangku kepentingan (stakeholders) belum
dan mensintesis, kemampuan untuk memanfa-
sepenuhnya memenuhi kebutuhan dunia kerja.
atkan peluang dengan keberanian mengambil
Diharapkan para lulusan perguruan tinggi memiliki
resiko yang diperhitungkan (entrepreneurial spirit),
ber baga i kompet ensi , antara lai n academ ic
sehingga diperlukan perubahan bukan saja pada
knowledge, skill of thinking, management skill dan
proses pembelajaran tetapi juga pengembangan
communication skill. Kedua, para lulusan perguruan
budaya dan spirit entrepreneurial. Hal ini sesuai
tinggi diharapkan pula memiliki keterampilan hidup
pula dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6
(live skill) dan kemampuan beradaptasi serta
tahun 2009 tentang pengembangan ekonomi
kemampuan bersosialisasi (soft skill) terhadap
kreatif dengan enam sasaran utama tahun 2009-
lingkungan kerja dan memiliki kemauan belajar
2015 (Depdiknas, 2010).
sepanjang hayat (life-long education). Ketiga,
Atas dasar uraian tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa
p elak sana an
pe laksanaa n pe ndid ika n ke wira usahaan
di
p rogr am
perguruan tinggi masih belum berhasil sesuai
kewirausahaan di berbagai perguruan tinggi
dengan yang diharapkan, di mana masing-masing
dalam tahap pelaksanaannya dalam hal persiapan
perguruan tinggi belum memiliki standar minimal
dan pelaksanaan program kewirausahaan dan
pelayanan yang sama dalam melayani maha-
peran unit baru yang berfungsi dan bertugas
siswanya yang mengikuti program pendidikan
sebagai pengelola program kewirausahaan belum
kewirausahaan. Keempat, beberapa perguruan
optimal. Di samping itu, penyediaan sarana dan
tinggi telah berhasil dalam melaksanakan dan
prasarana penyelenggaraan kewirausahaan yang
mengembangkan program pendidikan kewira-
masih terbatas (sarana dan prsarana, mitra kerja,
usahaan, misalnya Universitas Brawijaya Malang
dana,dan tenaga dosen yang berkompetensi
di mana dalam pelaksanaan tersebut berbagai
dalam m emberi bekal keterampilan kewira-
sarana dan prasarana telah cukup memadai
usahaa n Le bih lanj ut, dala m im plem enta si
termasuk jejaring kerja dengan mitra kerja bagi
program kewirausahaan masing-masing per-
mahasiswa serta dosen p enga mpu prog ram
guruan tinggi belum memiliki standar minimal yang
Pendidikan Kewirausahaan. Perguruan tinggi
sama dalam operasionalisasi pelaksanaannya
swasta seperti Universitas Ciputra Surabaya juga
dan para alumni masih belum optimal menin-
telah dinilai berhasil karena sarana dan prasarana
daklanjuti/mewujudkan sebagai wirausaha sesuai
le bih mema dai, ter utam a mi tra kerj a uni-
dengan pengetahuan dan pengalaman serta
ve rsit asny a se bagi an besa r be rada dal am
keterampilan melalui pemagangan di mitra kerja
kawasan industri pemilik universitas Ciputra
selama mengikuti perkuliahan.
(perusahaan milik Ciputra) sehingga sekaligus
Pe laksanaa n ke wira usahaan akan leb ih
dapat menerima lulusan universitas tersebut
sempurna manakala perguruan tinggi memiliki
secara bertahap dan berkesinambungan. Bagi
jejaring kerja sama dengan DUDI untuk mem-
perguruan tinggi yang telah dan sedang menye-
bentuk para lulusannya memiliki pengalaman
lenggar akan program kew irausaha an p ada
langsung jenis bisnis yang akan dikembangkan.
umumnya memiliki kendala belum optimalnya unit
Untuk mewujudkan hal tersebut, antara lain dapat
baru yang khusus bertugas dan berfungsi sebagai
dilakukan melalui jejaring kerja dengan para
pengelola kewirausahaan, serta masih belum
alumni di mana mereka bekerja. Hal ini sebagai
efektifnya pemberdayaan unit konsultasi bisnis
salah satu wujud kepedulian alumni terhadap
dan penempatan kerja (KBPK).
alm amet er y ang seca ra p sikologi s me mili ki hubungan emosional yang lebih dekat dengan sesama alumni.
464
Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi
Saran
Tahun 2009 tentang Ekonomi Kreatif dengan
Atas dasar simpulan, maka disarankan agar
segala komponen yang diperlukan, antara lain
perguruan tinggi: 1) memberikan materi Kewi-
melalui: a) pembenahan dan pemberdayaan
rausahaan lebih banyak praktik lapangan (learning
keberadaan unit baru sebagai unit pengelola
by doing) dibandingkan pemberian materi yang
pr ogra m
sifatnya simulasi dalam kondisi yang tidak riil. Di
konsultasi bisnis dan penempatan kerja (KBPK)
samping itu, dalam membekali berbagai kom-
dengan merumuskan kebijakan agar masing-
petensi, perguruan tinggi melakukan update
ma sing mahasiswa seca ra i ndiv idu maup un
kurikulum yang berorientasi pada kebutuhan
pasangan/kelompok melakukan usaha “kewira-
dunia kerja (demand driven) seperti academic
usahaan” atau “pengelolaan usaha” sesuai bakat
knowledge, analitical skil, managerial skill dan
dan minatnya melalui pemberian “dana bergulir”;
communication skill; 2) memberikan keterampilan
dan b) perguruan tinggi perlu merencanakan
tambahan seperti keterampilan hidup (live skill)
secara terencana, bertahap, dan berkesinam-
dan kemampuan beradaptasi serta kemampuan
bungan, dalam menyediakan infra struktur untuk
bersosialisasi (soft skill) terhadap lingkungan kerja
menunjang kelancaran dan keberhasilan penye-
dan memiliki kemauan belajar sepanjang hayat
le nggg araa n
(life-long education); 3) mengusahakan standar
program studi. Di samping itu, koordinasi dan
pelayanan minimal dalam menyelenggarakan
kerja sama/kemitraan atau jejaring kerja dengan
program pendidikan kewirausahaan sehingga
DUDI sebagai mitra kerja perguruan tinggi juga
pola penyele nggaraan kewirausahaan d apat
perlu ditingkatkan serta memberdayakan alumni
mencapai sasaran secara optimal; 4) mening-
untuk melakukan jejaring kerja dan sinergi dalam
katkan penerapkan Keputusan Presiden Nomor 6
dunia kewirausahaan.
Pe ndid ikan
Kew irausaha an
“k ewir ausahaa n”
di
d an
be rbag ai
Pustaka Acuan Anonim, Kurikulum Pendidikan Kewirausahaan Perlu Dirumuskan. (http://www.suarapembaruan.com/ News/2004/02/27/index.html) diakses pada tanggal 30 November, 2010. Badan Pusat Statistik. 2008. Sakernas Februari 2008: Penduduk Usia Kerja di Indonesia menurut Pendidikan Daerah 2008.
http://www.nakertrans.go.id/pusdatin.html,3,291,pnaker. Diakses
25 April 2009
Badan Penelitian dan Pengembangan. 2010a. Laporan Hasil Penelitian Alternatif Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi, bekerjasama dengan Universitas Negeri Jakarta, Kemdiknas, Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan. 2010b. Pedoman Umum Pengembangan Model Inkubator Bisnis Perguruan Tinggi, Balitbang Kemdiknas bekerja sama dengan Universitas Brawijaya, Malang. Callon, Jack D.1996. Competitive Adventage Trough Information Technology, Singapore, McGraw-HillBook Co. David Hunger. J. and Wheelen. Thomas L. 2003. Manajemen Strategis, ANDI: Yogyakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2010. Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (HELTS 2003-2010). Kemendiknas. Jakarta.
465
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2009a. Pedoman Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) Dikti. Jakarta: Direktorat Kelembagaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2009b. Laporan PMW di Perguruan Tinggi (tidak dipublikasikan). Jakarta: Direktorat Kelembagaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2010a. Pedoman Program Kreatifitas Mahasiswa. Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Jakarta. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2010b. Program Pengembangan Budaya Kewirausahaan. Bab V. Panduan Pengelolaan Program Hibah DP2M Ditjen Dikti – Edisi VII. Jakarta. Halexandria. 2004. (http://Halexandria.org/dward 333htm) diunduh pada tanggal 11 Juni 2009. Hendarman. 2011. Kajian Kebijakan PMW (Program Mahasiswa Wirausaha) dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Vol. 17. No. 8. Edisi November 2011, Balitbang, Kemdiknas, Jakarta. Ivancevich, John M., Donnely James H., Jr. James L Gibson. 1995. Fundamental of Management , USA: Richard D Irwin Inc,. Israel, Giana E. 2001. Competitiveness.
(http//www.firelily.com/gender/giana) diakses pada tanggal
12 Desember 2009. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif. Jakarta. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 045/U/2002 Tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Jakarta. Media Indonesia, 30 April 2007. Minimnya Minat Menjadi Pengusaha dalam Editorial Media Indonesia diunduh tanggal 1 Juni 2008. Stephane Garelli. 2003, Competitiveness of Nations: The Fundamentals, (http://members.shaw.ca/ compilerpress1/anno/gareel/ Fundamentals.htm, diunduh pada bulan Oktober 2009. Subijanto. 2012. Analisis Kebijakan Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah Menengah Kejuruan, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 18, No. 2 Edisi Juni 2012, Balitbang, Kemdikbud. Sukidjo. 2011. Membudayakan Kewirausahaan. WUNY Majalah Ilmiah Populer Tahun XII, Nomor 1, Januari 2011. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Suryana. 2006. KEWIRAUSAHAAN Pedoman Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses. (edisi 3). Jakarta: Salemba Empat. Webster Noah. 1979. Webster’s New Twentieth Century: Dictionary Unabridged, USA: William Collins Publishers.
466
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
PENGEMBANGAN KURIKULUM SEBAGAI INTERVENSI KEBIJAKAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN (CURRICULUM DEVELOPMENT AS A MEANS FOR THE IMPROVEMENT OF EDUCATION QUALITY) Bambang Indriyanto Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan e-mail:
[email protected] Diterima tanggal: 23/12/2012, Dikembalikan untuk revisi: 29/12/2012, Disetujui tanggal: 31/12/2012 Abstrak: Tujuan dari tulisan ini adalah mengajukan pengertian bahwa kurikulum dapat menjadi titik tolak bagi peningkatan mutu pendidikan. Berdasarkan pernyataan tersebut, tulisan ini mengajukan argumentasi bahwa efektivitas implementasi kurikulum tidak hanya terletak pada isi konsep yang komprehensif, tetapi juga pada kondisi kurikulum tersebut akan dilaksanakan. Kondisi tersebut meliputi kompetensi guru dan kecukupan ketersediaan sarana pendidikan pada tingkat sekolah. Pengembangan Kurikulum 2013 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang sedang berlangsung sedang dicermati oleh anggota masyarakat. Hal ini tentu saja merupakan konsekuensi kurikulum sebagai bagian dari kebijakan pendidikan. Ada yang mempertanyakan tentang konsepnya, tetapi ada juga yang setuju dengan ide Pengembangan Kurikulum 2013. Namun demikian tulisan ini berpendapat, meskipun ada yang tidak setuju atau setuju, bahwa faktor yang mendasari efektivitas pelaksanaan kurikulum adalah faktor manajemen. Faktor manajemen yang dimaksud meliputi manajemen pada tingkat sekolah dan kelas. Kehadiran teknologi informasi praktis pada setiap aspek kehidupan membawa dampak yang positif terhadap dunia pendidikan. Kata kunci: mutu pendidikan, kurikulum, manajemen pendidikan, kepemimpinan Abstract: The objective of this paper is to foster the notion that curriculum can serve as a standpoint to improving the quality of education. By stating so, it proposes an argument that the effectiveness of their implementations do not only depend on comprehensiveness of the concept, but also on their relevance to the circumstances in which they are going to be implemented. They include teacher competencies and the adequate availability of education facilities at school level. The on going curriculum development called Curriculum 2013 by the Ministry of Education and Culture are undergoing scrutinization by publics. This has been a consequence of curriculum as a part of education policies. Some cast doubts about the concept, some other support the idea of the development of curriculum 2013. This paper, however, argues, in spite of pro and cons, that management is an underlying factor which ensures the effectiveness of the implementation of the curriculum 2013. The concept of management consists of that in school and classroom levels. The present of information technology virtually in any walk of life, has positive impacts on education. Keywords: quality education, curriculum, education management, leadership.
Pendahuluan Keb ijak an
p eningkat an
kembangan berbagai aspek kehidupan, baik m utu
pend idik an
sosial, politik, dan ekonomi, serta terutama
merup akan kebij akan yang sangat dinamis,
ind ustr i, i lmu peng etahuan, dan tek nologi
karena peningkatan mutu pendidikan tidak pernah
memerlukan sumber daya manusia yang bermutu.
akan berhenti pada satu titik tertentu. Per440
Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan
Pendidi kan
merupaka n
sa rana
unt uk
faktor yang secara langsung berpengaruh dalam
menghantar pembentukan sumber daya manusia
pr oses keg iata n be laja r me ngaj ar. Seca ra
yang bermutu. Dasar teoritis dari argumentasi ini
kategoris faktor tersebut meliputi hardware yang
yaitu human capital theory. Argumentasi yang
terdiri atas sarana dan prasarana, humanware
dikemukakan oleh teori ini yakni investasi pada
yang terdiri atas pendidik dan tenaga kepen-
manusia akan meningkatkan kompetensinya,
didikan, dan software yang terdiri atas kurikulum,
se hing ga m embe rika n k ontr ibusi te rhad ap
met ode meng ajar. Ef ekti vita s ke tiga fak tor
pertumbuhan ekonomi (Schultz, 1977; Checchi,
tersebut tergantung dari sistem manajemen,
2005). Seiring dengan adanya bukti empiris yang
terutama yang diadopsi oleh sekolah, karena
menunjukkan kontribusi pendidikan terhadap
si stem
pertumbuhan ekonomi yang semakin nyata, maka
pemanfaatan ketiga secara lebih efisien. Di
pada sekitar pertengahan tahun 1990 human
samping itu, dengan adanya konteks birokrasi dan
capital theory dikembangkan menjadi konsep
geografis yang berbeda-beda antar satu sekolah
knowledge based economy. Konsep ini memperkuat
dengan sekolah lainnya, manajemen menjadi
human capital theory dengan penekanan bahwa
faktor strategis sebagai dasar untuk mencapai
sumber daya manusia tidak hanya memberikan
target pendidikan yang ditetapkan oleh sekolah.
kontribusi yang lebih tinggi dibanding dengan
Manajemen pada salah satu sekolah dapat saja
faktor mesin dalam proses produksi, tetapi faktor
memusatkan pada pemanfaatan sarana yang
sumber daya manusia merupakan faktor produksi
sudah tersedia di sekolahnya, dan manajemen
yang terbarukan dan tersedia dalam jumlah yang
pa da sekol ah l ain leb ih m emusatka n pa da
melimpah (non-scarcity) (Petters, 2010; Powell &
penyediaan sarana pendidikan, karena di sekolah
Snellman, 2004;
McInstosh, 2008).
tersebut belum tersedia sarana yang memadai
Meskipun dari perspektif ekonomi, kontribusi
untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar
pendidikan cenderung dilihat dari kontribusinya te rhad ap p ertumbuhan e konomi, kont ribusi pendidi kan
terhadap
me nent ukan
kom bina si
yang efektif di sekolah. Kurikulum merupakan bagian dari software
mem puny ai
ba gi b erla ngsungny a ke giat an b elaj ar d an
dampak externality. Sumber daya yang berkualitas
mengajar yang efektif. Tidak seperti hardware dan
tidak hanyak untuk mendukung pertumbuhan
humanware, kurikulum tidak merupakan faktor
ekonomi , te tapi jug a se baga i modal sosi al
det ermina n terhadap k eberhasilan kegia tan
pembentukan harmonisasi dalam lingkungan kerja
belajar mengajar di ruang kelas. Kurikulum tidak
(Flap & Boxman, 2001) dan menciptakan suasana
bisa dimanipulasi agar kegiatan belajar-mengajar
kehidupan yang liberal dan demokratis (Dewey,
di kela s da pat
2004 & Hutchin, 1999).
Sebaliknya, kurikulum menjadi titik tolak untuk
Be rdasarka n
pa da
ekonomi
manjeme n
p emba hasa n
ya ng
diketengahkan di atas, maka peningkatan mutu
berl angsung lebi h ef ekti f.
memanipulasi hardware dan humanware, sehingga kegiatan berlajar menjadi lebih efektif.
pendidi kan tent u sa ja t idak hanya b erar ti
Searah dengan upaya Kementerian Pen-
meningkatkan prestasi akademis saja, tetapi
didikan dan Kebudayaan yang pada saat ini
membentuk sikap. Sosok manusia berkualitas
sedang melakukan Pengembangan Kurikulum
tidak hanya tercermin dalam kompetensi berpikir,
2013, tujuan tulisan ini yaitu untuk menge-
te tapi jug a pa da k ompe tensi be rsik ap d an
tengahkan argumentasi di balik upaya Pengem-
berperilaku. Dalam ungkapan Ki Hajar Dewantara,
bangan Kurikulum 2013. Argumentasi tersebut
pendidikan merupakan suatu metode:
yaitu bahwa Pengembangan Kurikulum 2013
“memberi ilmu atau pengetahuan, serta juga
merupakan intervensi kebijakan mutu pendi-
memberi kecakapan kepada anak-anak, yang
didikan dengan mempertimbangkan keseim-
kedua-duanya dapat berfaedah buat hidup
bangan keterampilan, sikap, dan pengetahuan.
anak-anak baik lahir maupun batin” (Majelis
Dalam mengetengahkan argumentasi tersebut
Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977).
perspektif yang digunakan bukan perspektif
Untuk mendukung kebijakan peningkatan
ped agog is y ang seca ra m enda lam meli hat
mutu pendidikan intervensi diarahkan pada faktor-
kom pone n-komponen
p anda ngan
fil osof is
441
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
maupun epistimologis tentang pengembangan
did ikan, ji ka i si K urik ulum 201 3 te rseb ut
kur ikul um. Seba liknya, tuli san ini meli hat
mempunyai keterkaitan linier dengan rumusan
Pengembangan Kurikulum 2013 sebagai suatu
pada peraturan perundang-undangan. Pengem-
agenda kebijakan peningkatan mutu pendidikan.
bangan Kurikulum 2013 merujuk pada tujuan
Meskipun demikian, tulisan ini tidak bisa sama
si stem
sekali menghindari diskusi berkenaan kurikulum
dinyatakan pada Pasal 2 Undang-Unidang nomor
dalam perspektif pedagogis.
20 Tahun 2 003 tent ang Sistem Pend idik an
Di samping untuk menjawab keberhasilan
pendidi kan
nasiona l
se pert i
ya ng
Nasional yang berbunyi:
implementasi Kurikulum 2013 tersebut, tulisan ini
“Pendidikan nasional berfungsi mengem-
juga mengajukan argumentasi bahwa faktor
bangkan kemampuan dan membentuk watak
kemampuan guru menjadi faktor utama bagi
serta peradaban bangsa yang bermartabat
keberhasilan implementasi Kurikulum 2013.
da lam rang ka m ence rda skan kehidup an
Na mun demi kian, ke mamp uan guru dap at
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
mendukung keberhasilan implementasi Kurikulum
potensi peserta didik agar menjadi manusia
2013, jika kepemimpinan kepala sekolah sebagai
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
manajer sekolah dan kepemimpinan pedagogis
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
guru dapat berlangsung secara efektif.
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
Pada saat tulisan ini disusun, Pengembangan
warga negara yang demokratis serta ber-
Kurikulum 2013 sedang pada taraf uji publik,
tanggung jawab” (Depdiknas, 2003).
sehingga masih terbuka pintu kemungkinan terjadi per ubahan
w alaupun
Mi si y ang disa mpai kan pada Pasal i ni
te rseb ut
mempunyai keterkaitan dalam tiga hal. Pertama,
diharapkan tidak secara mendasar akan meng-
pend idikan tidak hanya dimaksudkan untuk
ubah niat Kementerian Pendidikan dan Kebu-
mengembangkan kecerdasan intelektual, tetapi
da yaan
unt uk
perubaha n
Pe ngem bang an
jug a kece rdasa n emosional dan k ecerda san
Kurikulum 2013. Artinya hasil uji publik diharapkan
m elak uka n
religius. Kedua, Pasal ini juga menekankan bahwa
tid ak m enghenti kan upay a pe ngem bang an
pendidikan mendorong terhadap pembentukan
kurikulum tersebut. Pengembangan kurikulum
manusia Indonesia yang sehat, dan ketiga Pasal
telah menjadi keputusan Pemerintah.
ini menekankan adanya sikap mandiri. Keman-
Dengan argumentasi tersebut, tulisan ini
dirian merupakan modal bangsa untuk menjadi
mengajukan suatu proposisi bahwa pengem-
bangsa yang mandiri dan sejajar dengan bangsa
bangan kurikulum merupakan langkah imperatif
lain.
sebagai titik tolak peningkatan mutu pendidikan. Pengemb anga n
kurikulum
Sebagai intervensi kebijakan, Pengembangan
a kan
Kur ikul um 2 013 mend apat tanggap an d ari
menimbulkan konsekuensi terhadap tata kelola
berbagai kalangan anggota masyarakat dengan
pada tingkat kelas dan sekolah, bahkan sampai
berbagai latar belakang sosial dan politik. Tidak
pada ekstra-organisasi sekolah seperti dinas
menutup kem ungk inan tanggap an t erse but
pendidikan dan kementerian. Namun, baik ada
cenderung mengandung kesalahan interpretasi.
maupun tidak ada pengembangan kurikulum,
Pada harian Kompas hari Senin, 26 November
perubahan tata kelola tersebut akan terjadi.
2012 terdapat artikel berjudul “Prospek Kurikulum
Perubahan secara sistematis dan terkoordinasi
Baru” terdapat pernyataan yang tidak tepat.
di hara pkan
ini siat if
Pernyataan tersebut berbunyi “Di SD misalnya,
pengembangan kurikulum merupakan intervensi
guru bidang studi studi IPA, IPS, dan Bahasa
kebijakan pendidikan dari Pemerintah.
Inggris akan bagaikan di-PHK” (Suwignyo, 2012).
aka n
te rjad i
mema ng
ke tika
Pernyataan ini mengandung dua ketidaksesuaian. Kajian Literatur dan Pembahasan
Pertama, guru di SD pada umumnya merupakan
Kurikulum sebagai Entitas Kebijakan
guru k elas. Bukan sel ureuhnya gur u ma ta
Salah satu indikator utama untuk mendeteksi
pelajaran. Oleh karena itu, tidak akan ada guru
bahwa Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan
yang di PHK meskipun dalam Pengembangan
intervensi kebijakan peningkatan mutu pen-
Kurikulum 2013 ada skenario mengintegrasikan
442
Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan
mata pelajaran IPA ke dalam matapelajaran
informasi, komputasi, otomasi dan komunikasi.
Ba hasa Ind onesia.
Jika ske nari o te rseb ut
Asp ek i nfor masi menekankan bahw a si swa
terrealisasi, maka tidak akan ada guru SD yang di
di dorong untuk mencar i ta hu, di sampi ng
PHK. Kedua, pada kurikulum SD tidak pernah ada
mendapatkan pengetahuan dari guru. Penge-
matapelajaran Bahasa Inggris yang diwajibkan
tahuan dari guru menjadi dasar bagi siswa untuk
untuk diajarkan. Jika Pengembangan Kurikulum
mencari inf orma si l ebih lanjut. Kom puta si
2013 diimplementasikan tidak ada guru Bahasa
merupakan suatu proses pengembangan daya
Inggris yang akan di-PHK karena memang pada
nalar siswa dengan tidak hanya mampu menjawab
kurikulum yang lama (sebelumnya) tidak ada
persoalan yang dihadapi, tetapi juga mengem-
matapelajaran Bahasa Inggris yang diwajibkan
bangkan sikap bertanya (skeptisme) terhadap
diajarkan di SD.
persoalan yang dihadapi oleh siswa.
Adanya matapelajaran bahasa Inggris yang
Penekanan pada otomasi mendorong siswa
diajarkan kepada siswa SD bukan merupakan
untuk lebih berpikir analitis. Setiap kejadian yang
kewajiban yang ditetapkan oleh Pemerintah, baik
ada di seki tar mere ka t idak ter jadi secara
Pusat maupun daerah. Ide untuk mengajarkan
independen, tetapi ada hal lain yang mem-
matapelajaran Bahasa Inggris kepada siswa SD
pengaruhi. Kema mpua n untuk meng etahui
merupakan inisiatif dari SD yang bersangkutan.
keterkaitan antara satu kejadian dengan kejadian
Pemerintah tidak melarang atau membolehkan
lainnya menjadi siswa mempunyai sikap curious
jika ada SD yang mengajarkan matapelajaran
terhadap apa yang terjadi. Semakin tinggi jenjang
Bahasa
deng an
pendidikan yang ditapakinya, semakin abstrak
beberapa syarat, antara lain: tidak mengganggu
Ingg ris
kepa da
siswa nya
sikap courious yang dimiliki oleh siswa. Komunikasi
pencapaian matapelajaran yang diwajibkan di SD
merupakan suatu keterampialn untuk menyam-
dan jika ada guru SD yang mengajar Bahasa
paikan pendapat tentang apa yang diketahuai
Inggris, maka konsekuensi untuk memberikan gaji
kepada siswa lain, dan menerima pendapat dari
kep ada guru te rsebut merupakan tangg ung
siswa lain. Proses komunikasi ini merupakan
jawab SD yang bersangkutan.
sarana akumulasi pengetahuan pada diri siswa.
Di samping itu, dimensi politik selalu akan
Dengan mempertimbangkan empat aspek
muncul dalam proses pegembangan Kurikulum
te rseb ut, kuri kulum ya ng r enca nany a ak an
2013. Harian Jakarta Globe (29 November 2012)
dib erla kuka n
me nyaj ikan
jud ul a rti kel
b ulan
Jul i
20 13
a kan
cenderung
mengantarkan siswa Indonesia menjadi siswa
menyampaikan pesan pesimisme, sabagai berikut
yang kreatif, inovatif, dan kompetitif. Hal tersebut
“Plans for New Curriculum Have Led to Confusion,
te refl eksi
Lack of Confidence”. Lebih lanjut, pada tubuh artikel
pengetahuan. Kompetensi sikap merefleksikan
disajikan kalimat berbunyi “People in the upper
rasa tanggung jawab kepada diri sendiri, dan juga
rungs of bureaucracy seem to compete with each
kepada masyarakat dan lingkungan di mana dia
ot her in i ssui ng m ore and more confusi ng
hi dup.
statements and expalanations”. Komentar tersebut
kompetensi yang mengekspresikan kemampuan
lebih melihat pengembangan kurikulum yang
pribadi, baik dalam hal memecahkan masalah yang
sedang dilaksanakan oleh Kementerian Pendi-
dihadapi diri sendiri maupun masalah-masalah
dikan dan Kebudayaan sebagai proses politik
lingkungan sosial maupun fisik. Pengetahuan
daripada proses pedagogis. Menteri Pendidikan
merupakan dasar bagi pengembangan kedua
dan Kebudayaan pada acara uji publik Pengem-
indikator kompetensi, yaitu sikap dan kete-
bangan Kurikulum 2013 yang diselenggarakan di
rampilan. Pengetahuan merupakan kompetensi
Jak arta pad a ta ngga l 30 Nov embe r 20 13,
ya ng t idak secara lang sung nam pak keti ka
me nyat akan
kur ikul um
seseorang tidak telibat dalam suatu aktivitas.
merupakan suatu keharusan, karena adanya
Dengan kat a lain, perwujudan p engetahuan
pengembangan peradaban. Tidak hanya itu, pada
dapat terlaksana melalui media kompetensi, sikap,
abad ini terjadi perubahan dalam pembelajaran.
dan keterampilan.
bahwa
yang
pa da
p erub ahan
pad a
si kap,
Ket eram pila n
ket eram pila n,
m erup akan
d an
ind ikat or
Perubahan tersebut meliputi empat aspek, yaitu:
443
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Di sam ping per timb anga n di ata s, p e-
Dalam melihat sosok kurikulum seperti itu,
ngembangan Kurikulum 2013 merupakan respons
sudut pandang foundationalism mengemukakan
terhadap berbagai kritik dan komentar dari
argumentasi bahwa knowlegde merupakan titik
berbagai lapisan dan kelompok masyarakat.
dasar untuk membentuk ketiga pola. Dalam hal
Wapres Boediono (2012) di harian Kompas,
ini sudut pandang foundationalism membedakan
misalnya, melontarkan kritiknya. Dalam artikel
antara knowledge dengan rationality. Knowledge
yang berjudul “Pendidikan Kunci Pembangunan”
me rupa kan muat an i nformasi ya ng d iseb ut
Wapres Boediono menyatakan bahwa belum
dengan pengetahuan, sedangkan rationality lebih
terwujudnya hasil pendidikan yang maksimal
merupakan pemanfaatan knowledge dalam suatu
karena belum adanya konsep pendidikan yang
tindakan yang diekspresikan dalam pola sikap,
jelas. Akibatnya, kurikulum cenderung memuat
pola perilaku, dan pola pikir.
beban berlebihan yang harus dipelajari oleh siswa.
Conventionalism
memandang kurikulum
Di lain pihak, meskipun kurikulum telah memuat
sebagai “canonical texts that constitute the various
berbagai hal, tetapi masih dinilai belum meng-
disciplinary traditions” (Scott, 2006) yang perlu
hasilkan kompetensi seimbang antara
penguatan
untuk dipreservasi sebagai suatu tradisi susunan
karakter dan daya nalar siswa. Komentar yang
pengetahuan (body of knowledge). Tidak seperti
dikemukakan oleh S. Rohman (2012) dan A. Wisnu
pandangan yang diajukan oleh foundationalism,
(2009) menunjukkan kurangnya muatan karakter
pandangan conventionalism mempunyai sudut
pada kurikulum yang berlaku saat ini, sementara
pandang lebih praktis. Kurikulum merupakan
argumentasi lain menyatakan bahwa kurikulum
sarana untuk menghantarkan siswa menjadi
masih belum meningkatkan kemampuan analisis
manusia yang mempunyai kompetensi sehingga
siswa karena pengajaran Sains masih sebatas
dia mampu bersaing dalam pasar kerja. Oleh
teori (Kompas, 7 Juni 2012). Tulisan ini tidak
kare na itu, sudut panda ng convensi onal ism
bermaksud membenarkan atau menyalahkan kritik
cenderung l ebih mengara h pa da k ejur uan
tersebut, tetapi menunjukkan suatu kecende-
daripada akademis. Namun demikian, bukan
rungan, yaitu ketika pendapat tersebut telah
berarti bahwa sudut pandang conventionalism
menyebar di publik, maka pendapat tersebut akan
tidak setuju dengan pendidikan umum seperti
membentuk opini publik, seolah-olah memang hal
SMA, penekanan sudut pandang ini yakni bahwa
tersebut yang menjadi permasalahan kurikulum.
setiap kurikulum ditujukan untuk memberikan
Kur ikul um sebag ai i nter vensi ke bija kan
bekal kepada para siswa, sehingga mereka siap
peningk atan
mut u
pe ndid ikan
mem puny ai
untuk memasuki pasar kerja,
berbagai bentuk yang memungkinkan menim-
Instrum enta lism me mand ang kur ikul um
bulkan berbagai interpretasi. Scott ( 2006),
seba gai ala t (instrumen) untuk menjad ikan
misalnya mengidentifikasi enam sudut pandang
(bukan mengantarkan) setiap siswa menjadi
tentang kurikulum. Keenam sudut pandang ini
manusia yang bert anggung ja wab terha dap
menyajikan perbedaan sosok kurikulum yang
dirinya, sehingga mereka dapat hidup bahagia
terdiri atas foundationalism, conventionalism,
(having good life). Kritik yang disampaikan
instrumentalism, technical rationality, critical
ter hadap pandanga n instrument alism y ai tu
pedagogy, dan transgression. Keenam sudut
tentang definisi hidup bahagia yang tidak bisa
pandang tersebut akan dielaborasi secara lebih
diukur. Pandangan ini memang tidak memberikan
rinci di bawah ini.
definisi yang jelas tentang hidup bahagia. Namun
Foundationalism menyajikan sosok kurikulum
demikian, pandangan ini tidak juga menolak
sebagai dasar pembentukan pola perilaku, pola
bahwa hidup bahagia dapat diukur dengan kriteria
si kap,
ekonomi (economism), tetapi kriteria ekonomi
dan
pol a
be rpi kir.
Seb agai
dasar
pembentukan ketiga pola tersebut, maka menjadi suatu
p rogr am
Technical rationality merupakan pandangan
pengajaran mempunyai dasar kurikulum yang
yang tidak beda, terutama dengan pandangan
secara seim bang meng andung a spek sik ap,
instrumentalism dalam konteks bahwa kurikulum
perilaku, serta pemikiran.
merupakan sarana untuk menghantarkan siswa
444
keha rusa n
ba hwa
seti ap
bukan satu-satunya ukuran hidup bahagia.
Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan
menjadi manusia dewasa yang bertanggung
Transgression menampilkan sosok kurikulum
jawab. Pandangan ini juga mempunyai kesamaan
yang didasarkan pada perspektif postmodernism.
dengan sudut pandang dari foundationalism,
Di antara ciri-ciri yang menonjol dari pandangan
conventionalism dalam arti kurikulum mempunyai
transgression yaitu melihat kurikulum dari sudut
muatan knowled ge di dalamnya . Perbe daan
pandang yang lain daripada apa yang secara
pandangan technical rationality dengan pan-
konvensional orang me mand ang kuri kulum.
dangan lainnya terletak pada penekanan konsep
Pandangan ini melihat kurikulum sebagai kemauan
knoweledge yang terkandung dalam kurikulum.
penguasa. Dengan pendekatan binary, pengem-
Pandangan ini secara eksplisit membedakan
bangan
antara knowledge yang sudah terkandung dalam
kemauan penguasa kepada “pihak lain”. Namun
kurikulum dengan knowledge creation. Knowledge
demikian, tidak ada definsi yang jelas apa yang
creat ion m erup akan pr oses pe ngem bang an
dimaksud dengan “pihak lain” tersebut. Upaya
berdasarkan knwoledge yang para siswa peroleh
dekonstruksi tidak hanya pada isi kurikulum, tetapi
dari kurikulum. Knowledge creation ini akan
juga termasuk pada bahasa dan isi dari buku teks
menghantarkan mereka menjadi mandiri dan
yang digunakan dalam proses kegiatan belajar
ber tang gung jaw ab k etik a me reka tum buh
mengajar.
dewasa.
kuri kulum
Dengan
me rupa kan
demi kian,
dekostruksi
pe rmasalahan y ang
Dalam perspektif ekonomi, knowledge yang
menjadi pusat perhatian dari sudut pandang ini
sudah terkandung dalam kurikulum merupakan
yakni yang penting dari sosok kurikulum, bukan
initial endowment. Kemampuan kurikulum untuk
seberapa komprehensif isi kurikulum tersebut,
menjadikan setiap siswa mempunyai nilai tambah
tetapi apakah isi kurikulum tersebut sebagai
ketika dalam proses belajar tersebut tumbuh dari
refleksi dari kemauan penguasa atau bukan.
knowledge creation. Dalam konsep ini, kurikulum
Dalam konteks pengembangannya ada suatu
hampir sama maknanya dengan learning. Dalam
proses dialogis antara penguasa dan “pihak lain”
konsep learning terdapat proses dialogis antar
(guru?) jika kurikulum harus mempunyai tingkat
guru sebagai sumber dan siswa sebagai penerima
akseptabilitas tinggi (Reid, 2005). Dalam proses
knowledge. Lebih tepatnya konsep learning yang
neg osia si, lebi h da ri seked ar d ialog, b aik
dimaksud yaitu learning maps, seperti yang
penguasa atau “pihak lain” sebagai pelaksana
didefinisikan oleh Rose dan Nicholl (1997): ..”are
kurikulum
a dynamic way to capture points of informations”.
proporsinya masing-masing. Konsekuensi jika
Dalam definisi ini kata points of information
tidak tercapai kesepakatan, maka kurikulum tidak
mengandung makna bahwa informasi yang di-
dilaksanakan.
maksud bukan sekedar informasi dalam pe-
memp unya i
d aya
tawa r
pa da
Dalam suatu sistem pendidikan, meskipun
ngertian khalayak pada umumnya, tetapi informasi
mel alui
yang mengandung makna knowledge creation.
berlangsung lama, tidak ada kegiatan belajar
proses
negosiasi
ya ng
m ungk in
Critical pedagogy menyajikan kurikulum
mengajar yang tidak didasarkan pada kurikulum.
sebagai entitas yang lebih radikal, karena dalam
Kurikulum tetap merupakan suatu dasar bagi
pandangan ini menjadikan kurikulum bukan hanya
dil aksa naka nnya keg iata n me ngaj ar. Keti ka
sebagai sarana untuk mentransfer knowledge dari
kurikulum diar ahka n untuk mengakumula si
guru kepada siswa, tetapi “the curriculum should
ke masl ahat an p edag ogi s ba gi semua siswa
be enacted so as to identify and unmask those
secara non-diskriminatif, maka pengembangan
human beliefs and practices that limit freedom,
kur ikulum senantiasa didasarkan pada p er-
justice and democracy” (Scott, 2006). Dalam
timbangan moral (Hausman dan McPherson,
per spek tif poli tik yang ekstrim , kurikulum
2006).
merupakan sarana “indoktrinasi” bagi siswa,
berarti meniadakan proses negosiasi dengan
se hing ga
m erek a
ak an
m empunyai
Memasukkan pertimbangan moral tidak
sua tu
pihak sekolah, negosiasi yang berlangsung tidak
pe maha man tent ang kehidup an sosia l ya ng
didasarkan pada mempertahankan kepentingan
mereka hadapi sesuai dengan apa yang mereka
masing-masing, tetapi lebih penting daripada itu,
yakini.
negosiasi merupakan cara untuk merekonsiliasi
445
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
subyektivitas dari masing-masing pihak, sehingga
2010) dan proses optimalisasi tersebut hanya
kurikulum dapat memfasilitasi minat dan bakat
dapat berlangsung dalam suatu organisasi karena
siswa dari berbagai latar belakang yang berbeda-
“ Management is the specific and distinguishing organ
bed a, b aik
of any and all organizations” (Drucker, 1999).
perb edaa n it u ad alah
aga ma,
stratifikasi sosial, atau karakter pribadi siswa.
Me ngap a
de miki an?
kare na
d alam
sua tu
organisasi terdapat aturan main yang diformalkan Faktor Pendukung Implementasi Kurikulum
dan pimpinan yang mengatur proses tersebut.
Efektivitas kurikulum sebagai intervensi kebijakan
Peran pemimpin yang menentukan arah alokasi
peningkatan mutu pendidikan bukan terletak
dan mobilisasi sumber daya yang tersedia di suatu
pada perumusan isinya, tetapi terutama pada
organisasi.
pelaksanaannya. Namun demikian, pelaksanaan
Dalam konteks pelaksanaan kurikulum kepala
kurikulum tidak juga bisa dilaksanakan jika misi
sek olah
dan isi kurikulum di luar kemampuan para guru
pendidikan yang disebut sekolah. Kepala sekolah
mer upak an
p emim pin
orga nisa si
untuk memahaminya, sehingga mereka tidak
menentukan alokasi sumber dana dan memo-
dapat mengartikulasikan isi kurikulum menjadi
bilisasinya menjadi target-target pendidikan yang
topik bahasan dari satu atau lebih mata pelajaran.
akan dicapai pada periode tertentu. Karena peran
Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa ketika
ini, maka kepala sekolah menjadi critical factor bagi
misi dan isi kurikulum merupakan ungkapan utopis
keberhasilan pelaksanaan kegiatan mengajar di
(Halpin, 2006), kecil kemungkinan isi kurikulum
sekolah (Earley dan Weindling; 2004).
tersebut dapat direalisasi dalam suatu proses
Dalam mengelola kurikulum sebagai program
interaksi di dalam ruang kelas melalui kegiatan
pendidikan yang harus dijabarkan dalam kegiatan
belajar mengajar yang melibatkan pihak, yaitu
belajar, kepala sekolah mempunyai dua peran,
guru dan siswa. Walker (1992) meringkasnya
yaitu sebagai manajer kurikulum dan manajer
dengan
“No
program. “It is classroom practice that has the most
curr iculum develop ment i s possi ble wit hout
perny ataa n
seb agai
beri kut:
direct impact on student learning ” demikian
assumptions about how learning and teaching can
dinyakatan oleh Hopkins (2001). Implikasi dari
and should proceed”.
pernyatan ini yaitu bahwa pusat perhatian kepala
Salah satu argumentasi menyatakan bahwa
sekolah, baik dalam fungsinya sebagai manajer
efektivitas implementasi kurikulum tergantung
program maupun manajer kurikulum dinamika
pada kompetensi guru dan sarana yang tersedia
yang terjadi pada ruang kelas. Apa yang terjadi
di sek olah yang me mfasilit asi guru dal am
dalam kelas memang merupakan black box yang
me ngar tikulasi
ya ng
hanya diketahui oleh guru dan siswa. Namun
dianjurkan kurikulum. Diperlukan software untuk
top ik- topi k
ba hasa n
demikan, apa yang terjadi di dalam kelas bukan
memfasilitasi maksimalisasi peran guru dan
merupakan suatu kondisi di luar kendali kepala
pemanfaatan sarana untuk mencapai hasil yang
sekolah.
maksimal. Sofware tersebut yaitu manajemen
Kegiatan belajar mengajar yang terjadi dalam
pendidikan, baik di tingkat kelas, sekolah maupun
ruang kelas melibatkan tiga faktor yaitu: guru,
ekstra-organisasi sekolah seperti kantor dinas
siswa, dan sarana pendidikan yang dimanfaatkan
atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
oleh guru dalam mengajar. Di antara tiga faktor
Tul isan
pa da
tersebut, faktor sarana yang berada dalam kendali
manajemen sebagai media untuk maksimalisasi
ini
mem usat kan
perhatia n
penuh kepala sekolah, dalam arti kepala sekolah
peran guru dan ketersediaan sarana di sekolah.
dapat menentukan jumlah dan jenis sarana yang
Manajemen yang dimaksud yaitu manajemen
diperlukan. Adapun faktor guru dan siswa meru-
sekolah yang berada di bawah pengendalian
pakan dua faktor yang tidak dapat sepenuhnya
kepala sekolah, manajemen kelas yang berada
dalam kendali kepala sekolah. Dimensi kecerdasan
di bawah pengendalian guru.
dan motivasi tidak sepenuhnya dalam kendali
Secara definisi manajemen merupakan suatu
kepala sekolah. Berkenaan dengan motivasi dan
proses pengalokasian dan pengaturan sumber
kecerdasan guru dan siswa yang dapat dilakukan
daya untuk memperoleh hasil optimal (Coleman,
oleh kepala sekolah yaitu menciptakan kondisi
446
Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan
yang kondusif bagi terciptanya kegiatan belajar-
Pemahaman learning needs menentukan tingkat
mengajar di kelas yang efektif.
kebutuhan sarana dan gaya mengajar guru agar
Pencipt aan kond isi yang kondusi f ba gi
setiap siswa dapat mengembangkan minat dan
terselengaranya kegiatan belajar dan mengajar
bakatnya secara maksimal. Kemampuan untuk
yang efektif muncul dalam peran kepala sekolah
mengide ntif ikasi
sebagai manajer kurikulum. Sebagai manajer
ber orie ntasi pa da k ondi si i nter nal sekolah
kurikulum, kepala sekolah memastikan empat hal.
daripada eksternal sekolah (Conger & Xin 2000).
Pertama, terciptAnya kesempatan bagi guru untuk
lea rning
nee ds
i ni
leb ih
Efektivitas peran kepala sekolah sebagai
mengartikulasikan isi kurikulum menjadi topik-
manajer
kur ikul um d an m anaj er p rogr am
topik bahasan yang kontekstual dan relevan
merupakan dua sisi dari satu mata uang. Kedua
dengan tingkat daya pikir siswa dan lingkungan
sisi tersebut harus hadir secara bersama-sama
sosial siswa. Kedua, terciptanya kondisi bagi
dalam proporsi yang setara. Pengembangan
perubahan dan pengembangan, baik pada guru
Kurikulum 2013 yang sedang dilaksanakan oleh
maupun siswa sebagai bagian dari proses kreatif.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada
Ketiga, terciptanya kesempatan, terutama bagi
saat ini memerlukan dukungan kepala sekolah
guru, untuk mendapatkan masukan terhadap
dengan dua sisi kepemimpinan ini. Kedua sisi
metode belajar yang digunakan oleh guru dalam
kepemimpinan kepala sekolah ini merupakan
menciptakan kegiatan belajar mengajar yang
kepemimpinan edukatif, dengan elaborasi sebagai
efektif di kelas. Masukan tersebut berasal dari
berikut:
berbagai pihak termasuk dari siswa. Keempat,
“……… the educative leader is a negotiator, an
mendorong guru untuk mempunyai sensitivitas
analyst of educational situations, an evaluator
terhadap berbagai perubahan untuk dipertim-
of the relative merits of a variety of often
bangkan dan diadopsi dalam pengembangan
conflicting viewpoints, a confident decision
metode belajar dan cara pencapaian isi kurikulum
maker, a teacher, and, most importantly, a
kepada siswa (Duignan & Macpherson, 1992).
learner. The leader brings all these together in
Dala m prakt iknya pe ran kep ala sek olah sebagai manajer kurikulum dan manajer program
curriculum development” (Walker, 1992). Seb agai mana
dik etengahk an
di
at as
berhimpit. Perbedaan yang ada hanya pada
efektivitas implementasi kurikulum merupakan
tataran akademis.
Dengan alasan itu, tulisan ini
hasil “rekayasa” kepemimpinan kepala sekolah,
mengide ntif ikasi dua pe ran kepa la sekol ah
baik sebagai manajer kurikulum maupun manajer
se baga i pr ogra m ma naj er. Pert ama adal ah
program. Pada pembahasan di atas juga di-
kemampuan untuk menetapkan tujuan strategis
ketengahkan bahwa apa yang terjadi di ruang
pendidikan pada tingkat sekolah. Kemampuan ini
kelas merupakan fenomena black box. Hanya guru
menjadi dasar d alam alokasi sum ber dan
dan siswa yang mengetahui apa yang sesung-
kompetensi guru yang diperlukan untuk dapat
guhnya terjadi di dalam ruang kelas ketika
merealisasikan misi sekolah. Tujuan strategis ini
kegiatan belajar mengajar terjadi. Kepala sekolah
tentu saja tidak hanya merujuk pada pencapaian
tid ak b isa seca ra l angsung meng inte rvensi
yang telah diperoleh oleh sekolah pada masa lalu,
terhadap apa yang terjadi di dalam ruang kelas.
tetapi juga menyesuaikan dengan perkembangan
Sebaliknya, peran kepemimpinan kepala sekolah
di luar bidang pendidikan. Penentuan tujuan
menciptakan kondisi yang memungkinan kegiatan
strategis ini didasarkan satu argumentasi bahwa
belajar mengajar di ruang kelas yang berlangsung
hasil pendidikan tida k diarahkan pada pen-
secara efektif dapat terwujud jika didukung oleh
caipaian internal utility, tetatpi lebih dari itu, yaitu
para guru yang kompeten.
ext ernal
unt uk
Kompetensi guru merupakan faktor deter-
mendukung, misalnya, pertumbuhan ekonomi,
utili ty
di ma na ke gunaan
minan agar apa yang terjadi di dalam ruang kelas
dem okra tisa si,
i lmu
kondusi f ba gi t erja diny a ke giat an b elaj ar-
pengetahuan dan teknologi. Kedua, kemampuan
sert a
pe rkem bang an
mengajar yang efektif. Kompetensi guru meru-
untuk mengidentifikasi learning needs siswa yang
pakan salah satu konsep yang menjelaskan
te rdaf tar pada sek olah yang di pimp inny a.
tentang karakteristik guru dalam mengelola
447
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
kegiatan belajar di kelas (Holland, 2001). Dalam
menyajikan informasi pada tempat dan waktu
konteks manajemen kelas tulisan ini mengajukan
yang
konsep kepemimpinan pedagogis guru
sebagai
pengguna (Amelung, 2007). Ke depan, peng-
refleksi kompetensi untuk mendukung keber-
gunaan teknologi informasi secara lebih luas
langsungan kegiatan belajar-mengajar yang
menjadi sarana kegiatan belajar-mengajar di
efektif di kelas. Pada tulisan ini kepemimpinan
kelas, sehingga siswa yang berada di daerah
pe dagogis merujuk pada kem ampuan d an
pedesaan dan perkotaan mempunyai akses yang
keterampilan dalam tiga hal, yaitu artikulasi isi
sama terdahap konsep yang mereka pelajari pada
kurikulum menjadi topik bahasan yang kom-
t ingkat comprehensiveness yang sama juga.
prehensif
be rsam aan
kepa da
l ebih
dar i
sa tu
dan kontekstual, komunsikasi konsep
Penggunaan teknologi informasi bagi siswa Taman
tersebut menjadi suatu penjelasan yang ilustratif
Kanak-kanak di Hongkong memungkinkan para
bagi siswa, dan evaluasi tingkat pemahaman
siswa untuk menyimpan hasil kerjanya. Hasil kerja
siswa terhadap apa yang diajarkan.
tersebut dapat dilihat lagi serta diperbaiki oleh
Berbagai literatur (misal. Danielson, 2006;
siswa (L eung , 20 03). Dengan peng guna an
Quinn, at.al. 2010) tidak secara eksplisit menyebut
teknologi informasi bagi siswa Taman Kanak-kanak
kepemimpinan pedagogis, tetapi mereka me-
tidak saja belajar menjadi lebih menyenangkan,
nye butnya
tet api
k epem impi nan
guru.
Me skip un
anak
ter dorong
untuk
mel akuk an
demikian, dalam menjelaskan tentang karak-
perbaikan-perbaikan. Dalam melakukan penilaian
teristik kepemimpinan guru tersebut terdapat
guru tidak hanya memperhatikan apa yang telah
ma kna
dicapai oleh siswa, tetapi juga kemajuan yang
yang
sam a de nga n ke pemi mpinan
pedagogis yang dimaksud dalam tulisan ini. Dalam
dicapai oleh siswa.
penjelasan yang dikemukakan mereka, kepe-
Me ngingat pent ingnya p eran tek nologi
mimpinan oleh guru mempunyai pengetahuan dan
informasi untuk mendukung kegiatan belajar di
keterampilan dalam mengendalikan kelas. Secara
kelas, CERI (2009) mengajukan paling tidak empat
lebih eksplisit, Danielson (2006) menyebutkan
saran untuk mengadopsi teknologi informasi
karakterisitik kepemimpinan guru “ It entails
dalam kegiatan belajar-mengajar. Saran tersebut
mobilizing and energizing others with the goal of
didasarkan pada hasil studi yang dilakukan di
improving the school’s performance of its critical
negara-negara Nordic, Eropa yaitu Denmark,
responsibilities related to teaching and learning”.
Finlandia, Iceland, dan Norwegia, serta Swedia.
Oleh karena itu,
agar kepemimpinan guru dapat
Ke empa t sa ran tersebut, y aitu: pe rtam a,
mewujudkan kegiatan belajar-mengajar yang
membuka kesadaran para guru tentang kebe-
efektif yaitu kemampuan untuk memanfaatkan
ra daan tek nologi i nformasi ya ng semak in
dan memobilisasi berbagai sumber belajar yang
per suasif. Eksp os siswa ter hada p inform asi
tersededia dan mendorong siswa untuk me-
berkenaan dengan apa yang dipelajari di kelas
ningkatkan motivasi belajar dan memantau dan
akan semakin luas dan jumlah yang tidak terbatas.
mengevaluasi kemajuan belajar siswa.
Ke dua, sek olah per lu sege ra m enye diak an
Teknologi informasi telah merupakan bagian
sumber-sumber belajar yang berbasis teknologi
dari kehidupan praktis hampir setiap orang dari
informasi. Implikasi dari hal ini yaitu bahwa konsep
berbagai profesi, termasuk siswa. Teknologi
perpustakaan sekolah akan berubah secara fisik,
informasi, terutama pada sekolah-sekolah di kota
yang semula perpustakaan terdiri atas susunan
besar, telah menjadi bagian dari sarana kegiatan
rak buk u, ak an me njad i wor k-st ation y ang
belajar di kelas. Dengan teknologi informasi
me mung kink an siswa me lakukan eksp lora si
kegiatan belajar dapat berlangsung secara lebih
inform asi dari ber baga i sumber. Me skip un
visual, sehingga siswa dapat menangkap konsep
demikian, keberadaan buku teks tidak akan hilang
yang dia pelajari, karena konsep tersebut dapat
sama sekali. Ketiga, perlu dibentuk mekanisme
divisualisasikan oleh teknologi informasi. Tidak
yang coherence antara sistem belajar-mengajar
hanya itu, teknologi informasi memungkinkan bagi
di kelas yang berbasis tekonologi informasi dengan
siswa secara bersama-sama mempelajari suatu
sistem evaluasi kemajuan belajar siswa yang juga
konsep , ka rena tek nologi i nfor masi dap at
menggunakan teknologi informasi. Keempat,
448
Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan
konsekuensi dari ketiga hal tersebut, program
Kurikulum 2013 jika dilaksanakan pada bulan Juni
pelatihan teknologi informasi kepada kepala
2013. Dengan kata lain, Pemerintah dianggap
sekolah dan guru menjadi kebutuhan mendesak.
tergesa-gesa dalam menerapkan Kurikulum 2013.
Dalam konteks Indonesia, pelatihan ini dapat
Di lain pihak, tanggapan yang pesimis menya-
dilakukan secara bertahap mulai dari sekolah-
takan bahwa pemerintah tergesa-gesa meng-
sekolah yang mempunyai akses internet, baik di
ambil keputusan untuk mengubah kurikulum,
kota besar, kota kabupaten/kota atau daerah
karena pelaksanaan kurikulum yang sekarang
pinggiran kota yang telah mempunyai akses
berlaku saja belum sepenuhnya dipahami.
terhadap internet.
Paling tidak, pelatihan dapat
Dengan memperhatikan berbagai pro dan
di priorita skan kep ada sekolah yang sud ah
kontra berkenaan dengan kemungkinan dite-
dilengkapi dengan aliran listrik, karena pada
rapkannya Kurikulum 2013, tulisan ini mengajukan
se kola h ini si swa dapa t me lakukan eksp os
sua tu
informasi berkenaan dengan konsep-konsep yang
keberhasilan pelaksanaan kurikulum tergantung
dipelajar menggunaan komputer off-line.
pada fa ktor manajeme n. Dalam kont eks ini
p roposisi
yang
me nyat akan
bahwa
manajemen yang dimaksud yaitu manajemen Simpulan dan saran
pada tingkat sekolah dan kelas. Inti dari faktor
Simpulan
manajemen tersebut adalah kepemimpinan.
Pengembangan Kurikulum 2013 yang sedang
Kepemimpinan pada tingkat sekolah meliputi
dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan dan
dua peran, yaitu kepala sekolah sebagai manajer
Keb uday aan memp unya i mi si utama unt uk
kurikulum dan mana jer program . Me skip un
meningkatkan mutu pendidikan. Pengembangan
keduanya merupakan dua konsep yang berbeda,
ini merupakan konsekuensi logis dari perubahan
tetapi dalam praktiknya kepala sekolah tidak bisa
berbagai segi kehidupan, terutama ilmu penge-
memisahkan satu dengan lainnya. Keduanya
tahuan dan teknologi, serta ekonomi dan politik.
bahkan bisa berlangsung secara bersamaan atau
Namun demikian, karena kurikulum merupakan
saling melengkapi. Keduanya mendorong ke arah
bagian dari kebijakan publik pendidikan, selalu
terwujudnya kegiatan belajar-mengajar yang
terdapat dua jenis tanggapan yaitu setuju dan
efektif di kelas. Kriteria ini dapat terwujud melalui
ti dak
pembinaan dan bimbingan kepada guru serta
setuju
d enga n
id e
pe ngem bang an
kurikulum.
penentuan alokasi sumber daya yang tersedia di
Konsekuensi leb ih l anjut de ngan sta tus
sekolah.
kurikulum sebagai kebijakan publik pendidikan
Adanya fenomena black box dalam kegiatan
adalah bahwa dalam pelaksanaannya tidak akan
belajar-mengajar di kelas, maka kepemimpinan
memuaskan semua pihak. Hal ini didasarkan pada
kepala sekolah dalam mewujudkan kegiatan
suatu real ita bahw a ma sih adanya t ingk at
belajar mengajar yang efektif di kelas dapat ter-
pe rbed aan perk emba nga n pe ndid ikan, ba ik
selenggara ketika kepemimpinan guru menjadi
antarprovinsi dan apalagi antar kabupaten/kota.
faktor pendukung (complementary factor). Dalam
Namun demikian, Pengembangan Kurikulum
tulisan ini kepemimpinan guru disebut dengan
2013 telah menjadi keputusan Pemerintah. Ketika
kepemimpinan pedagogis. Karakteristik dari
Pengembangan Kurikulum 2013 tersebut telah
kepemimpinan pedagogis meliputi tiga hal, yaitu
menjadi keputusan Pemerintah, maka tantangan
kompete nsi menjabarka n isi kurikul um, ke-
yang dihadapi oleh Kementerian Pendidikan dan
mampuan mengkomunikasikan isi kurikulum
Kebudayaan yaitu
kepada siswa, dan kemampuan untuk melakukan
mencari strategi paling efektif
dan efisien agar kurikulum tersebut dapat segera
penilaian.
dilaksanakan. Keputusan yang telah diambil pada
Teknologi informasi telah menjadi sarana
bulan Juni 201 3 kurik ulum ter sebut ak an
pendidikan yang semakin pervasif. Hal ini tentu
diterapkan.
saja mempunyai konsekuensi positif terhadap
Di antara berbagai tantangan, kompetensi
kegiatan belajar mengajar di sekolah. Siswa
guru menjadi tantangan yang paling menonjol.
se maki n mudah untuk m elak ukan ekp lora si
Guru diasumsikan tidak akan siap melaksanakan
informasi untuk memperdalam pemahamannya
449
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
terhadap konsep-konsep yang dipelajari. Peran
constituent Kurikulum 2013. Mereka merupakan
guru memang masih menjadi faktor utama, tetapi
pihak yang secara langsung menjadi target utama
tidak lagi menjadi sumber belajar satu-satunya.
pelaksanaan hasil Pengembangan Kurikulum 2013
Konsekuensinya guru juga dituntut untuk segera
dan bertanggung jawab terhadap keberhasil
meningkatkan kemampuannya dalam pengu-
peserta didik. Pendapat dari orang tua siswa patut
asaan teknolog i inform asi , ji ka t idak ing in
mendapatkan perhatian karena mereka juga
tertinggal dari siswanya. Hal ini dapat dilakukan
menjadi constituent dari orang hasil pendidikan
secara bertahap.
anaknya. Pendapat dari kelompok lain merupakan
Saran
refleksi stake holders. Untuk mengakomodasikan
Saran yang diajukan pada tulisan ini diarahkan
pe ndap at m erek a di har apka n ti dak seca ra
pada upaya menjamin efektivitas implementasi
signifikan mengubah masukan dari consituent.
Pengemb angan Kuri kulum 201 3. Be rkenaan
Pendapat stakeholder melengkapi pendapat guru,
dengan hal tersebut , sa ran seca ra spesi fik
kepala sekolah, dan orang tua dan bukan sebagai
memusatkan pada sudut pandang Kurikulum 2013
subsitusi pendapat mereka.
sebagai entitas kebijakan publik bidang pen-
Pada tingkat implementasi, sebagaimana
didikan. Di katakan demikian, ka rena ketika
dikemukakan pada diskusi, faktor manajemen
Kurikulum 2013 diimplementasikan akan meli-
sekolah dan kelas menjadi determinan untuk
batkan guru dan siswa seluruh Indonesia. Orang
menjamin efektivitas implementasi Kurikulum 2013.
tua sebagai salah satu pemangku kepentingan
Inti dari manajemen pada kedua tingkat tersebut
( stake holder) pendidikan sangat berkepentingan
yai tu kep emimpi nan. O leh k arena itu, a gar
terhadap kemanjuran Kurikulum 2013 sebagai
implementasi Kuriklum 2013 dapat didukung
upaya untuk meningkatkan prestasi akademis
dengan kepemimpinan yang efektif di dua tingkat
siswa.
tersebut, disarankan bahwa implementasi Kuri-
Saran yang kedua yaitu pada tingkat strategi
kulum 2013 membawa dampak positif terhadap
dengan mempertimbangkan faktor manajemen
peningkatan profesionalisme kepala sekolah dan
pada tingkat sekolah dan kelas. Faktor utama
guru. Profesionalisme yang dimaksudkan yaitu
yang akan diketengahkan yakni kepemimpinan
sistem pengangkatan kepala sekolah dan guru
kepala sekolah dan guru.
menuju jabatan profesional agar lebih terukur dan
Oleh karena Pengembangan Kurikulum 2013
transparan. Dengan dua kriteria tersebut, maka
telah menjadi keputusan Pemerintah, maka posisi
mekanisme pengangkatan kepala sekolah dan
pengembangan ini telah berada pada tahap point
guru pada jabatan profesional dapat meminimalir
of no return. Saran yang diajukan yaitu: uji publik
unsur politik, terutama politik pemerintah daerah.
se cara ekstensif m enja di suatu keharusan
Bagi kepala sekolah dan guru yang telah
sebelum Kurikulum 2013 ditetapkan sebagai
mendapatkan jabatan fungsional, maka sesuai
kebijakan efektif. Tujuan utama uji publik yaitu
dengan prinsip Manajemen Berbasis Sekolah,
menggali pendapat dari berbagai pihak dan
perlu untuk diberikan diskresi dalam mengelola
mengakomodasikan pendapat tersebut dalam
sekolah bagi kepala sekolah dan kelas bagi guru
fi nali sasi konsep. Nam un, dala m me ngak o-
secara independen. Ketika diskresi sudah di-
modasikan pendapat tersebut, terdapat berbagai
berikan kepada kepala sekolah dan guru maka
kelompok yang antara lain terdiri atas guru, kepala
mer eka dapa t di tunt ut untuk menetap kan
sekolah, pengamat pendidikan, orang tua siswa,
benchmark yang akan dicapai pada periode
anggot a
a nggota
tertentu. Dengan pencapaian benchmark tidak
masyarakat pada umumnya. Dari berbagai ke-
hanya mendorong kepala sekolah dan guru lebih
lompok tersebut, tulisan ini mengajukan pendapat
transparan dalam menjalankan tugas yang telah
guru dan kepala sekolah perlu mendapatkan
me njad i
prioritas utama untuk diakomodasikan dalam
menjadi kriteria pertanggungjawaban pelak-
penyempurnaan dokumen. Pertimbangan utama
sanaan tugasnya.
or gani sasi
pr ofesi,
d an
karena guru dan kepala sekolah merupakan
450
ta nggungja wab nya.
Akuntab ilit as
Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan
Ketika teknologi informasi telah bagian yang ti dak
jadi lebih visual sehingga siswa, terutama untuk
terp isahkan dala m ke giat an b elaj ar
siswa SD dan SMP pada kelas-kelas awal, dapat
mengajar, maka penggunaan teknologi informasi
menangk ap m akna dar i suatu konsep y ang
pada sebagian besar sekolah di Indonesia hanya
dijelaskan oleh guru. Dengan teknologi informasi
masalah waktu. Implikasi dari situasi ini baik
guru diharapkan dapat melakukan penilaian yang
kepala sekolah maupun guru tidak bisa lagi imun
lebih obyektif dalam arti mempertimbangkan
dari penggunaan teknologi informasi; atau pilihan
proses daripada hasil akhir dari suatu pekerjaan.
lain mereka merelakan dirinya tertinggal oleh
Dalam skenario Pengembangan Kurikulum 2013,
kemajuan zaman yang semakin berorientasi pada
pendekatan kegiatan belajar mengajar SD akan
penggunaan teknologi informasi. Penguasaan dan
menggunakan pendekatan tematik. Berdasarkan
penguasaan teknologi bagi kepala sekolah dan
pendekatan ini siswa tidak akan secara spesifik
guru merupakan suatu keharusan. Bagi kepala
belajar konsep, tetapi tema bahasan. Dengan
sekolah penggunaan teknologi informasi diarah-
teknologi informasi ada dua informasi yang
kan pada penyusunan program yang didasarkan
diharapkan dapat diperoleh oleh guru tentang
pada data yang akurat dan tepat waktu, sehingga
siswa yaitu proses akumulasi pengetahuan yang
implementasi Kurikulum 2013 dapat berlangsung
diperloleh oleh siswa, dan pemahaman kompre-
secara tepat waktu.
hensif siswa terhadap apa yang dipelajari.
Bagi guru, pemanfaatan teknologi informasi diarahkan pada visualisasi konsep abstrak men-
Pustaka Acuan Anonim. 29 November 2012. Plans for New Curriculum Have Led To Confusion, Lack of Confidence. Jakarta Globe. Hal. 10. Amelung, C. 2007. Using Social Context and E-Learner Identity as a Framework for an E-Learning. International Journal on ELearning; 6, 4; Hal. 501-517. Boediono, 27 Agustus, 2012. Pendidikan Kunci Pembangunan. Kompas. Hal 5. Centre for Educational Research and Innovations (CERI). 2009. Beyond Textbooks: Digital learning resources as systemic innovation in the Nordic countries. OECD: CERI. Checchi, D. 2005. The Economics of Education: Human Capital, Family Background and Inequality. Cambridge: Cambridge University Press Coleman, P. 2010. Management Briefs: Management and Leadership Theory Made Simple. Bookboon.com. Coleman Patterson & Ventus publishing Apps. Conger, J.A. dan Xin, K. 2000. Executive Education in the 21st century. Journal of Management. 24, 1. Hal.73-101. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta. Danielson, C. 2006. Teacher Leadership that Strengthens Professional Practice. Alexandria, VA: ASCD publications Dewey, J. 2004. Democracy and Education. Mineola, New York: Dover Publication. Inc. Drucker, P.F. 1999. Management Challenges for the 21st Century. New York: Harper Collins Publishers Inc.
451
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Duignan, P.A. & Macpherson, R.J.S. 1992. Educational Leadership for Curriculum Development: A Synthesis and a Comentary. Dalam Educative Leadership: A Practical Theory for New Administrators and Managers. London: The Falmer Press. Hal. 83-84. Earley, P. & Weindling, D. P. 2004. Understanding School Leadership. London: Chapman Publishing Flap, H. & Boxman, E. 2001. Getting Started: The Influence of Social Capital on the Start of the Occupational Career. Dalam Lin, N; Cook; K; dan Burt, R.S. (Eds). Social capital; theory and research. New York: Aldine de Gruyter. Halpin, D. 2006. Understanding Curriculum as Utopian Text. Dalam Moore, A.(eds) Schooling, Society and Curriculum, New York: Routledge. Hausman, D.M. & McPherson, M.S. 2006. Economic Analysis, Moral Philosophy, and Public Policy (Second Edition). Cambridge: Cambridge University Press Holland, R. 2001. How to Build a Better Teacher. Policy Review; 106. Hal. 37-47. Hopkins, D. 2001. School Improvement for Real. New York: Routledge Falmer. Hutchin, R.M. 1999. Pendidikan Liberal Sejati. Dalam Freire, P; Illich, I, dan Fromm, E. (eds, terjemahan). Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Leung, W. M. 2003. The Shift from a Traditional to a Digital Classroom: Hongkong Kindergarteens. Childhood Education; 80, 1. Hal 12-17. Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. 1977. (Cetakan ke 2). Karya Ki Hadjar Dewantar. Bagian pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. McInstosh, S 2008. Education and Employment in OECD Countries. UNESCO, International Institute for Educational Planning. Petters, M.A., 2010. Creativity, Openess, and The Global Knowledge Economy: The Advent of Usergenerated Cultures. Economic, Management and Financial Markets. Vol. 5 (3). Hal. 15-36. Powell, W. W & Snellman. K 2004. The Knowledge Economy. Annual Review of Sociology. 30. Hal. 199220. Pultorak. E. G. (eds). The Purposes, Practices, and Professionalism of Teacher Reflectivity: Insights for Twenty-First-Century Teachers and Students. Lanham: Rowman & Littlefield Education Reid, J. 2005. Negotiating Education. Dalam Boomer, G et.al. (2005). Negotiating the Curriculum: Educating for the 21st Century. London: The Falmer Press. Rohman, S. 3 Agustus, 2012. Kurikulum Berbasis Kekerasan. Kompas. Hal. 6. Rose, C. & Nicholl, M.J. 1997. Accelerated Learning for the 21st century. New York: Delacorte Press. Schultz, T.W. 1977. Investment in Human Capital. Dalam Karabel, J. dan Halsey A.H. Power and Idelology in Education. New York: Oxford University Press. Scott, D. 2006. Six Curriculum Discourses: Contestation and Edification. Dalam Moore, A. (eds) Schooling, Society and Curriculum New York: Routledge. Suwignyo, A. 26 November 2012. Prospek Kurikulum Baru. Kompas, hal. 7. Walker. J.C. 1992. A Philosophy of Leadership in Curriculum Development: A Pragmatic and Holistic Approach. Dalam Educative Leadership: A Practical theory for new administrators and managers. London: The Falmer Press.
452
Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan
Wisnu. A. 22 Mei 2009. Character Bulding: The Missing Link in Indonesia’s Public School Curriculum, The Jakarta Post. Hal. 19. Wisnu, A. 7 Juni 2012. Pendidikan Sains Masih Sebatas Teori. Kompas. Hal. 7. __________. 1977. (Cetakan ke 2). Karya Ki Hadjar Dewantar. Bagian pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. __________. 29 November 2012. menyajikan judul artikel yang cenderung menyampaikan pesan pesimisme, sabagai berikut Plans for New Curriculum Have Led to Confusion, Lak of Confidence. Jakarta Globe. Hal, 10.
453
Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana
PENGEMBANGAN PAKET DAN STRATEGI PEMBELAJARAN IPA MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL UNTUK SISWA KELAS 3 SD DI DAERAH RAWAN BENCANA Studi Kasus di SD Puncak Manis, Kecamatan Kadudampit, Sukabumi (DEVELOPMENT OF SCIENCE LEARNING PACKAGE AND STRATEGY THROUGH TRADITIONAL GAME FOR THIRD GRADE STUDENTS IN DISASTER PRONE AREA Case Study at Puncak Manis Primary School, Kadudampit District, Sukabumi) Sri Tatminingsih dan Sudarwo Universitas Terbuka, Jl. Raya Pondok Cabe, Tangerang Selatan e-mail:
[email protected] Diterima tanggal: 15/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 3/11/2012, Disetujui tanggal: 20/12/2012 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permainan tradisional, karakteristik, dan mengembangkan ujicoba paket dan strategi pembelajaran kelas 3 SD di wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat. Sampel penelitian terdiri atas siswa dan guru kelas 3 di SDN Puncak Manis dan Pemuka masyarakat di Kecamatan Kedungpi, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Teknik pengumpulan data dengan wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua siswa tidak mengenal permainan tradisional di wilayahnya, namun terdapat beberapa permainan tradisional yang masih dikenal oleh masyarakat di Kecamatan Kadudampit, di antaranya Oray-orayan, Cing Ciripit, Pacici Putri, Sonda dan Egrang. Karakterisitik siswa SD di daerah rawan bencana umumnya pasif dan kurang kreatif, bergantung pada guru. Paket pembelajaran yang sesuai siswa kelas 3 SD di wilayah rawan bencana berupa bahan ajar cetak, buku bergambar, dan video. Hasil ujicoba menunjukkan adanya peningkatan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran IPA untuk materi banjir sebesar 0,58 dan untuk materi gempa bumi sebesar 0,76. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan paket pembelajaran yang berupa booklet dan buku siswa tentang materi mitigasi dan sanitasi terkait dengan bencana banjir
dan gempa bumi yang disampaikan melalui permainan tradisional membantu siswa
dalam memahami materi tersebut. Kata kunci: paket dan strategi pembelajaran IPA, permainan tradisional, daerah rawan bencana, dan sekolah dasar Abstract: This research aims to identify traditional games and the characteristics of third grade elementary school students, as well as to develop packages and learning strategies that are appropriate for third grade elementary school students in the disaster-prone area in West Java Province. This study employed research and development as the research design by using third grade students and teachers in elementary school Puncak Manis as well as the community of district Kadudampit, Sukabumi in West Java as the samples. Interviews and observation were used as data collection techniques. The results showed that almost all students are not familiar with the games, but there are some traditional games that are still known by the community of district Kadudampit such as Oray-orayan, Cing Ciripit, Pacici Putri, Sonda and Egrang. The characteristics of elementary school students in the area of disaster-prone are generally passive, dependent on teachers and less creative. Learning packages in a form of printed or picture books and videos that are appropriate for the third grade elementary school students in disaster-prone areas were delivered through traditional games as the strategy. The try out results showed an increase in students’ understanding of science teaching materials especially for the topics of “flood” that is 0.58 and for “earthquake” that is 0.76. This suggests that the use of the learning package in the form of booklets and books students on material
427
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
related to disaster mitigation and sanitation floods and earthquakes which are delivered through traditional games (like Oray-orayan, Ciripit and Cing Pacici-cici Putri) assisted students in understanding the material about mitigation and sanitation related floods and earthquakes. Keywords: packages and learning strategies for science, traditional games, disaster-prone area, dan elementary school
Pendahuluan
kebutuhan mahluk hidup, penggolongan makhluk
Pada saat ini, teknologi canggih sudah merambah
hi dup, benda d an sifa tnya dan kesehat an
hampir seluruh wilayah tanah air seperti televisi,
lingkungan, gerak benda dan energi, penerapan
komputer dan internet mulai masuk ke rumah-
energi, permukaan bumi, cuaca dan sumber daya
rumah dan semakin menyempitnya lahan untuk
ala m da n li ngkungannya (Rositaw aty
arena bermain anak membuat
dan
kegiatan bermain
Muharam, 2008). Dalam materi sumber daya alam
anak-anak semakin berkurang. Anak lebih suka
dan lingkungan disi nggung sedik it t enta ng
duduk diam di depan televisi untuk menonton
bencana alam namun hanya jenis-jenisnya saja.
ataupun bermain game atau permainan di dalam
Padahal, bencana alam merupakan materi yang
rumah lainnya yang bersifat individu. Hal ini
sifatnya nyata dan kemungkinan terjadi di negara
banyak terjadi di daerah perkotaan. Sekarang ini
kita sangat besar.
jarang sekali kita melihat anak-anak di daerah
Indonesia merupakan negara yang rentan
perkotaan yang bermain–main bersama dengan
terhadap bencana alam, sehingga berada di
teman–temannya, berlari-lari ataupun bersenang-
urutan atas ranking bencana dunia. Bencana yang
senang berkelompok. Mereka umumnya sudah
sering terjadi di Negara Indonesia di antaranya
terlalu sibuk dengan kegiatannya masing-masing
adalah gempa bumi, letusan gunung berapi,
seperti sekolah, kursus piano, musik, les bahasa
tsunami, badai, banjir, kekeringan, tanah longsor,
Ing gris, le s ma tema tika , te nnis, be rena ng
gel omba ng p anas dan penyaki t ep idem ik.
ataupun kegiatan lainnya yang membuat anak
Minimnya infrastruktur ditambah kepadatan
tidak sempat menikmati indahnya dunia anak–
berlebihan dalam suatu area dengan risiko tinggi
anak melalui bermain dengan teman sebayanya.
seperti dataran rawan banjir, muara sungai, lereng
(Tatminingsih, 2009).
terjal dan tanah reklamasi menjadi penyebab
Pesatnya perkembangan teknologi informasi
tertinggi terjadinya bencana. Selain itu, tingkat
(TI) ini secara langsung maupun tidak langsung
kesadaran penduduk terhadap kondisi lingkungan
me njad i sa lah satu pe nyeb ab t ergusurnya
se kita r juga m endukung se baga i pe nyeb ab
berbagai permainan tradisional yang dimiliki oleh
terjadinya bencana alam. Indonesia sebagai
bangsa Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan
Negara yang rentan dengan bencana alam, setiap
banyaknya anak-anak yang lebih banyak, bahkan
warganegaranya seharusnya memiliki penge-
cenderung lebih menyukai permainan berbasis TI.
tahuan yang memadai tentang bencana alam ini,
Permainan tradisional pun kini sudah ditinggalkan,
termasuk anak-anak.
bahkan hampir dilupakan. Kenyataan ini dapat
Untuk wilayah Jawa Barat, pada saat terjadi
dib uktika n dengan ja waban anak- anak saat
ge mpa besa r ya ng t erj adi pada tanggal 2
ditanyakan apakah mereka mengetahui aneka
September 2009 dengan pusat sumber gempa di
permainan tradisional. Banyak anak yang tidak
Tasikmalaya, berdasarkan data Satkorlak Jawa
tahu beragam permainan tradisional yang dulu
Bar at, tercatat jum lah sekolah yang rusak
diwariskan turun temurun.
sebanyak 1.314 sekolah. Dari jumlah tersebut, 32
Pembelajaran IPA merupakan salah satu
sekolah di antaranya hancur, 674 sekolah lainnya
mata pelajaran yang sudah mulai dikenalkan sejak
rusak berat, dan 608 bangunan sekolah rusak
anak duduk di kelas 3 sekolah dasar (SD). Mata
ringan dan sedang (Kompas, 12 September 2009
pelajaran ini diberikan dengan bobot 2 jam per
(dalam Rahayu, dkk. 2010a). Dengan kondisi yang
minggu. Materi yang diajarkan meliputi beberapa
demikian, maka tidak dapat dihindari bahwa
hal di antaranya adalah tentang ciri-ciri dan
terpaksa kegiatan belajar menjadi terhambat.
428
Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana
Tid ak m enut up k emungkinan sekol ah a tau
Kajian Literatur
ke giat an
Bencana Alam (Gempa Bumi dan Banjir)
p embe laja ran
ter paksa
be rhenti
sementara (Rahayu, dkk. 2010a). Be rdasarka n
la tar
bela kang
Bencana adalah situasi dan kondisi yang terjadi ter sebut,
dalam kehidupan masyarakat. Tergantung pada
te rdap at b eber apa masa lah yang dap at d i-
cakupannya, bencana ini bisa mengubah pola
identifikasi terkait dengan pembelajaran di daerah
kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat
ra wan bencana, per mainan t radi sional d an
yang normal menjadi rusak, menghilangkan harta
strategi pembelajaran pada anak-anak SD yang
benda dan jiwa manusia, merusak struktur sosial
sekolah atau wilayahnya terkena bencana alam.
masyara kat,
Permasalahan yang muncul dirumuskan sebagai
kebutuhan dasar (Yayasan IDEP, 2007a). Bencana
berikut.
alam di antaranya adalah gempa bumi dan banjir.
ser ta
m enim bulk an
l onja kan
Per masa laha n ya ng d irum uska n da lam
Gemp a bumi terjadi karena pergesekan
penelitian ini, yaitu: 1) Apa saja permainan
antara lempeng-lempeng tektonik yang berada
tradisional yang terdapat di Propinsi Jawa Barat?;
jauh di bawah permukaan bumi. Pergesekan ini
2) Bagaimana
karakteristik siswa SD kelas 3 di
me ngel uark an e nerg i y ang luar bia sa d an
wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat?;
menimbulkan goncangan di permukaan. Indonesia
3) Bagaimana paket pembelajaran IPA yang
sangat rawa n ge mpa kare na b erad a de kat
sesuai untuk siswa SD kelas 3 di wilayah rawan
dengan lempeng-lempeng yang aktif dan saling
bencana di Propinsi Jawa Barat?; 4) Bagaimana
berhubungan satu sama lain, serta karena adanya
st rate gi p embe laja ran berb asis per mainan
gunung-gunung berapi yang juga aktif. Gempa
tradisional bagi siswa SD kelas 3 di wilayah rawan
bumi dapat menyebabkan kerusakan sarana
bencana di Propinsi Jawa Barat?; dan 5) Bagai-
seperti bangunan dan jalan-jalan yang hebat dan
mana hasil ujicoba strategi pembelajaran berbasis
luas. Gempa juga dapat diikuti bencana alam
permainan tradisional terhadap siswa SD kelas 3
berbahaya seperti tanah longsor dan tsunami.
di wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat?
Korban jiwa biasanya terjadi karena tertimpa
Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk:
bagian-bagian bangunan yang roboh atau objek
1) mengidentifikasi permainan trasisional yang
berat yang lain seperti pohon dan tiang listrik.
ter dapa t di Propinsi Ja wa Barat ; 2) meng-
Or ang
identifikasi karakteristik siswa SD kelas 3 di
bangunan yang runtuh. Gempa bumi sering diikuti
wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat;
oleh gempa susulan dalam beberapa jam atau hari
3) mengidentifikasi paket pembelajaran yang
atau bahkan minggu setelah yang pertama,
sesuai untuk siswa SD kelas 3 di wilayah rawan
walaupun sering tidak sekuat yang pertama.
bencana di Propinsi Jawa Barat; 4) mengem-
Bahaya gempa susulan adalah penghancuran
bangkan
banguna n ya ng t elah goy ah a kiba t ge mpa
str ateg i
pe mbel ajar an
b erba sis
permainan tradisional bagi siswa SD kelas 3 di
bany ak
y ang
terp erangkap
dal am
pertama (Yayasan IDEP, 2007a).
wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat;
Banjir merupakan bencana alam yang paling
da n 5) menguji coba str ateg i pe mbel ajar an
sering terjadi dan paling banyak merugikan, baik
berbasis permainan tradisional bagi siswa SD kelas
dalam segi kemanusiaan maupun ekonomi. Sekitar
3 di wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat.
90% dari kejadian bencana alam (tidak termasuk
Artikel ilmiah ini merupakan bagian dari laporan
be ncana ke keri ngan), berhubungan deng an
penelitian Strategis Nasional yang dilakukan oleh
banjir. Banjir dapat disebabkan antara lain
Ucu
Rahayu,
Sri
Tat mini ngsi h,
oleh
M esti ka
hujan dalam jangka waktu yang panjang atau
Sekarwinahyu dan Amalia Sapriati dengan judul
hujan deras selama berhari-hari, erosi tanah atau
Pengembangan Paket Pembelajaran untuk Siswa
buruknya penanganan sampah yang menyebab-
Sekolah Dasar di Daerah Rawan Bencana tahun
kan air dari sungai dan saluran-saluran meluap
2010.
dan membanjiri daerah sekitarnya, pembangunan dan perkembangan tempat permukiman, di mana tanah kosong diubah menjadi jalan atau tempat parkir yang menyebabkan hilangnya daya serap
429
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
air hujan, bendungan dan saluran air yang rusak,
bent uk per mainannya sendiri ya ng ber beda
tertutupnya tanah oleh semen, paving atau aspal
dengan daerah lainnya. Walaupun
sehingga sama sekali tidak menyerap air (Yayasan
ada beberapa permainan tradisional suatu daerah
IDEP, 2007b).
mempunyai kemiripan dengan permainan daerah
mungkin saja
Menurut Kodoatie dan Sugiyanto (2002)
yang lainnya. Misalnya Sonda (Betawi), Engklek
secara umum penyebab terjadinya banjir dapat
(Jawa Tengah), Ultop (Sumatra Utara) dan Dor
diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu banjir yang
Pletok (Jawa Tengah).
disebabkan oleh sebab-sebab alami dan banjir
Permainan tradisional/rakyat merupakan
yang diakibatkan oleh tindakan manusia. Hal-hal
salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia,
yang termasuk sebab-sebab alami di antaranya
maka tugas kitala h untuk melest arikannya.
curah hujan, pengaruh fisiografi, erosi dan sedi-
Mengingat saat ini berbagai macam permainan
mentasi, kapasitas sungai, kapasitas drainase
tradisional tampaknya banyak yang mulai tergusur
yang tid ak me madai , pe ngaruh air pasa ng.
dengan hadirnya permainan-permainan impor
Sementara itu, yang termasuk sebab-sebab banjir
yang lebih modern serta semakin menyempitnya
karena tindakan manusia adalah perubahan
lahan untuk berm ain dita mbah lagi dengan
Daerah Aliran Sungai (DAS), kawasan kumuh,
enggannya orangtua jika melihat anaknya bermain
sampah, drainase lahan, bendung dan bangunan
dengan sesuatu yang kotor dan tampak
‘jorok’.
air, kerusakan bangunan pengendali banjir, dan
Permainan tradisonal merupakan simbolisasi
perencanaan sistem pengendalian banjir yang
da ri p enge tahuan y ang tur un t emur un d an
tidak tepat.
mempunyai bermacam-macam fungsi atau pesan
Di daerah yang gersang di dunia, tanahnya
di baliknya, di mana pada prinsipnya permainan
mempunyai daya serapan air yang buruk, atau
anak tetap merupakan permainan anak. Dengan
jumlah curah hujan melebihi kemampuan tanah
demikian bentuk atau wujudnya tetap menye-
untuk menyerap air. Ketika hujan turun, yang
nangkan dan menggem birakan anak karena
kadang terjadi adalah banjir secara tiba-tiba yang
tujuannya sebagai media permainan. Aktivitas
diakibatkan terisinya saluran air kering dengan
permainan yang dapat mengembangkan aspek-
air. Banjir semacam ini disebut banjir bandang.
aspek psikologis anak dapat dijadikan sarana
Banjir tidak dapat sepenuhnya dihindari, namun
belajar sebagai persiapan menuju dunia orang
masyarakat dapat mengurangi kemungkinan
dewasa (Tatminingsih, 2009).
terjadinya banjir dan mengurangi dampaknya dengan melakukan tindakan-tindakan gahan atau
pence-
mitigasi.
Karakteristik Siswa Sekolah Dasar Masa usia sekolah dasar sebagai masa kanak-
Mitigasi yaitu mengurangi kerugian yang akan
kanak akhir yang berlangsung dari usia enam
ditimbulkan oleh bencana. Usaha mitigasi adalah
tahun hingga kira-kira usia sebelas tahun atau
meningkatkan ketahanan dan kesiapsiagaan
dua belas tahun. Karakteristik utama siswa
masyarakat dalam menghadapi bencana alam
se kola h da sar adal ah mere ka m enam pilk an
sehingga resiko bencana alam dapat dikurangi.
perbedaan-perbedaan individual dalam banyak
Kearifan lokal sangat membantu kesuksesan
segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam
mit igasi (Ri dwan, 2 008) . K egi atan mi tiga si
intelegensi, kemampuan dalam kognitif dan
bencana hendaknya merupakan kegiatan yang
bahasa, perkembangan kepribadian dan per-
bersifat rutin dan berkelanjutan.
kembangan fisik anak.
Permainan Tradisional
perkembangan kognitif seseorang, yaitu 1) ke-
Indonesia sebagai negara yang terdiri dari ribuan
matangan, sebagai hasil perkembangan susunan
pulau, budaya dan berbagai suku bangsa yang
syaraf; 2) pengalaman, yaitu hubungan timbal
berbeda antara satu dengan lainnya memiliki
balik antara orgnisme dengan dunianya; 3) inte-
ba nyak
sek ali perm aina n tr adisiona l at au
raksi sosial, yaitu p engaruh-pengar uh yang
permainan rakyat. Kekayaan ini dimungkinkan
diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan
karena setiap daerah biasanya memiliki ciri dan
social, dan 4) ekullibrasi, yaitu adanya kemam-
Menurut Piaget, ada empat aspek dalam
430
Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana
puan atau sistem mengatur dalam diri organisme
teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya,
aga r di a se lalu mem pau memp erta hank an
pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan,
keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap
yai tu:
lingkungannya (dalam Utomo, 2011).
berorientasi atau berpusat pada siswa (student
1)
p ende kata n pe mbel ajar an
y ang
Piaget (dalam Utomo, 2011) mengiden-
centered approach) dan 2) pendekatan pem-
tifikasikan tahapan perkembangan intelektual
belajaran yang berorientasi atau berpusat pada
yang dilalui anak, yaitu: a) tahap sensorik motor
guru (teacher centered approach) (Samsyudin, 2003
usia 0-2 tahun; b) tahap operasional usia 2-6
dalam Rahayu, dkk.2010a). Dari pendekatan
tahun; c) tahap operasional kongkrit usia 7-11
pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya
atau 12 tahun; d) tahap operasional formal usia
diturunkan ke dalam strategi pembelajaran.
11 atau 12 tahun ke atas. Berdasarkan hal
Newman dan Logan (dalam Rahayu, 2010a)
tersebut, siswa sekolah dasar berada pada tahap
merumuskan: 1) Menetapkan spesifikasi dan
ope rasi onal kongkri t, p ada taha p ini anak
kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan
mengembangkan pemikiran logis, masih sangat
profil peri laku dan pri badi peserta did ik;
terikat pada fakta-fakta perseptual, artinya anak
2) Memp erti mbangkan dan mem ilih sistem
mampu berfikir logis, tetapi masih terbatas pada
pendekatan pembelajaran yang dipandang paling
objek-objek kongkrit, dan mampu melakukan
efektif; 3) Mempertimbangkan dan menetapkan
konservasi
langkah-langkah atau prosedur, metode dan
Menurut Darmodjo (dalam Rahayu, dkk.
teknik pembelajaran; dan 4) Menetapkan norma-
2010a) anak usia sekolah dasar adalah anak yang
norma dan batas minimum ukuran keberhasilan
sed ang meng alam i pe rtum buha n ba ik p er-
atau kriteria dan ukuran baku keberhasilan.
tum buha n
maupun
Sementara itu, Kemp (dalam Senjaya, 2008)
pertumbuhan badaniyah, di mana kecepatan
intele ktua l,
e mosi onal
mengemukakan bahwa strategi pembelajaran
pertumbuhan anak pada masing-masing aspek
adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus
tersebut tidak sama, sehingga terjadi berbagai
dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pem-
variasi tingkat pertumbuhan dari ketiga aspek
belajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien.
tersebut. Ini suatu faktor yang menimbulkan
Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran David
adanya perbedaan individual pada anak-anak
(dalam Senjaya, 2008) menyebutkan bahwa
sekolah dasar walaupun mereka dalam usia yang
dalam strategi pembelajaran terkandung makna
sama. Dengan karakteristik siswa tersebut, guru
per enca naan. Ar tiny a, b ahwa str ateg i pa da
dituntut untuk dapat mengemas perencanaan dan
dasarnya masih bersifat konseptual tentang
pengalaman belajar yang akan diberikan kepada
keputusan-keputusan yang akan diambil dalam
siswa dengan baik, menyampaikan hal-hal yang
suatu pelaksanaan pembelajaran. Dilihat dari
ada di lingkungan sekitar kehidupan siswa sehari-
strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan
hari, sehingga materi pelajaran yang dipelajari
ke dalam dua bagian pula, yaitu: 1) exposition-
tidak abstrak dan lebih bermakna bagi anak.
discovery learning dan 2) group-individual learning
Selain itu, siswa hendaknya diberi kesempatan
(Rowntree dalam Senjaya, 2008). Ditinjau dari
untuk pro aktif dan mendapatkan pengalaman
cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi
langsung baik secara individual maupun dalam
pembelajaran dapat dibedakan antara strategi
kelompok.
pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif.
Strategi Pembelajaran Pe ndek atan
pem bela jar an d apat
dia rtik an
Metodologi Penelitian
sebagai titik tolak atau sudut pandang kita
Desain penelitian yang digunakan termasuk
terhadap proses pembelajaran, yang merujuk
Penelitian dan Pengembangan (R&D). Menurut De
pada pandangan tentang terjadinya suatu proses
Villiers (dalam Rahayu, dkk. 2010a) penelitian ini
yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya
memfokuskan pada: 1) pengembangan cara-cara
mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan
pra ktis
melatari metode pembelajaran dengan cakupan
permasalahan nyata
dan
inovati f
untuk
meme cahk an
dan 2) pengajuan prinsip-
431
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
prinsip rancangan umum untuk menginformasikan
karakteristik siswa, dan bahan kepustakaan
keputusan di masa yang akan datang. Dalam hal
lainnya; 3) Kuesioner, untuk mengetahui kondisi
ini, peneliti mencoba mengembangkan cara-cara
sebelum dan setelah dilaksanakannya uji coba.
praktis dan inovatif dalam memecahkan masalah
Kuesioner diberikan kepada guru dan siswa kelas
yang terjadi dalam kegiatan belajar pada anak-
3 yang menjadi sampel dalam penelitian; 4) Pre-
anak SD di daerah rawan bencana. Penelitian
tes dan postes, dilakukan untuk mengetahui ada
dilakukan dalam periode waktu dari April 2010
atau tidak adanya peningkatan kemampuan
sa mpai dengan Dese mbe r 20 10. Pene liti an
belajar siswa; dan 5) Observasi, dilakukan untuk
dilakukan di SD Puncak Manis, Desa Puncak Manis,
mengetahui pelaksanaan pembelajaran dengan
Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi
menggunakan permainan tradisional. Tahapan
dengan siswa dan guru kelas 3 SD Puncak Manis,
Penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Desa Puncak Manis, Kecamatan Kadudampit, Sukabumi Jawa Barat sebagai responden. Populasi
Teknik Pengolahan Data
penelitian ini mencakup siswa dan guru kelas 3
Data mengenai penggunaan buku siswa dan
dan kelas 5 di wilayah Jawa Barat. Sampel
petunjuk guru yang terkumpul dianalisis secara
penelitian terdiri atas siswa dan guru SD kelas 3
kualitatif
dan kelas 5 di Cirebon (SDN Kebon Baru 4) yang
dan data hasil belajar siswa yang berupa pretes
mewakili wilayah rawan bencana tsunami dan
dan postes dianalisis secara kuantitatif dengan
banjir, lalu di Sukabumi (SDN Puncak Manis dan
menggunakan t-tes untuk mengetahui ada tidak
SDN Cibunar 2) yang mewakili wilayah rawan
adanya peningkatan pemahaman siswa terhadap
gunung meletus dan tanah longsor serta di
materi yang disampaikan (Rahayu, dkk. 2010a).
Studi Pendahuluan: Identifikasi kearifan lokal dan karakteristik siswa.
Pengembangan Paket dan strategi Pembelajaran untuk siswa SD di wilayah rawan bencana Berbasis permainan tradisional.
Uji Coba penerapan strategi pembelajaran dengan menggunaka n permainan tradisional.
prosentase dengan analisis deskriptif,
Uji Coba Penerapan Paket dan strategi Pembelajaran untuk siswa SD di wilayah rawan bencana Berbasis permainan tradisional.
Analisis dan Interpretasi Data.
Penyusunan Laporan
Gambar 1. Tahapan Penelitian (Rahayu, dkk.2010a)
Pengalengan (SDN Pengalengan 4 dan 8) yang
Hasil Penelitian dan Pembahasan
mewakili wilayah rawan longsor, gempa bumi dan
Identifikasi Permainan Tradisional
banjir.
Mengenai permainan tradisional, melalui salah satu pertanyaan dalam kuesioner terhadap siswa,
Teknik Pengumpulan Data
menunjukkan bahwa sebag ian besa r si swa
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
menjawab tidak tahu dan tidak mengenal budaya
berbagai macam teknik, yaitu: 1) Wawancara,
di daerahnya. Sedangkan berdasarkan hasil
dilakukan untuk mend apatkan data tentang
wawancara dengan pemuka masyarakat, 4 orang
ker akte rist ik b elaj ar siswa dan per mainan
guru SD di Kecamatan Kadudampit (SD Cibunar 2
tradisional anak yang dilakukan terhadap guru,
dan SD Puncak Manis), diidentifikasikan bahwa
siswa dan pemuka adat setempat; 2) Studi
kaulinan barudak (permainan anak) tradisional di
dokumentasi, dilakukan untuk mengumpulkan
Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi
da ta t enta ng p erma inan tra disi onal ana k,
Jawa Barat, yaitu Bancakan, Perepet Jengkol, Oray-
432
Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana
orayan, Loncat Tinggi, Sonda, Egrang, Cing Ciripit
para guru yang akan menerapkan permainan ini
dan Pacici Putri. Setelah dianalisis lebih lanjut maka
menyatakan bahwa mereka mengenal dan tahu
pe rmai nan trad isional yang mungkin unt uk
tentang
diterapkan yaitu Oray-orayan, Cing Ciripit dan Pacici
demikian, para guru akan dapat mengajarkan
Putri.
permainan ini pada anak-anak didiknya.
Dari permainan yang teridentifikasi tersebut, dipilih permainan Oray-orayan, Cing Ciripit dan
memainkan permainan ini. Dengan
Ketiga permainan tersebut dijabarkan pada Tabel 1.
Pacici Putri. Ketiga permainan ini dipilih, karena Tabel 1. Jenis Permainan Tradisional
Oray-orayan Cara bermain (asli) Permainan ini seperti permainan ular naga, anak yang berada paling akhir kemudian ditangkap dan ditanya mau pilih bulan atau bintang (2 pilihan yang lain juga bisa) kalau anak yang ditangkap tersebut pilih bintang misalnya, maka anak tersebut harus ikut di belakang orang yang punya pilihan bintang.
Lagu pengiring (Bahasa Sunda) Oray-orayan luar leor mapay sawah Entong ka sawah parena keur sedeng beukah Oray-orayan luar leor mapay sawah, Entong ka sawah parena keur sedeng beukah, Mending ge teuleum, Di leuwi loba nu mandi, Saha nu mandi, Anu mandina pandeuri………. Kok…kok…kok….
Pacici-cici Putri
Cing Ciripit
Permainan ini melibatkan 3 anak atau lebih. Satu orang berperan sebagai pemimpin. Anak-anak yang lain menelungkupkan kedua telapak tangannya, dan anak yang jadi pemimpin menekan punggung tangan anak buahnya memakai telunjuk sambil “kawih” ketika di akhir lagu “ kalau mau kembang apa” anak yang tangannya terakhir ditunjuk harus menjawab… setelah menjawab tangan yang ditunjuk harus disimpan di pundaknya (kalau tangan kanan disimpan di pundak kiri, kalau tangan kiri disimpan di pundak kanan)
Permainan ini melibatkan 3 anak atau lebih. Satu orang menelentangkan telapak tangan kirinya, anak-anak yang lain menekan telapak tangan anak tersebut dengan telunjuk mereka sambil menyanyika lagu. Ketika di akhir lagu : “mawa wayang jrekjreknong” telapak tangan tersebut mencoba untuk menangkap telunjuk yang menempel di tangannya
“Pacici-cici putri térélék kembang celempung ada nona ada tuan kalau mau kembang apa........?" "Hayang kembang naon?" cék Inah nanya ka Titi bari nyekel kana leungeun katuhu Titi. "Hayang kembang sebé........!" témbal Titi. "Heeh........kabogohna ka anak Mang Lebé ... !"
Cingciripit tulang bajing kacapit Kacapit ku bulu pare Bulu pare seuseukeutna Jol Pa Dalang Mawa wayang, jrekjreknong!
433
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Cara bermain (dalam penerapan pembelajaran) Sebelum permainan ini dimulai, Sebelum permainan ini Sebelum permainan ini tentukan dua anak yang akan dimulai, tentukan satu anak dimulai, tentukan satu menjadi penjaga. Permainan yang akan menjadi pemimpin anak yang akan menjadi dilakukan seperti permainan permainan. Di akhir lagu, anak pemimpin permainan. Di aslinya. yang tangannya ditunjuk akhir lagu, pemimpin harus menjawab pertanyaan permainan akan menangkap Anak yang berada di paling dari kartu pertanyaan yang telunjuk salah satu peserta belakang akan ditangkap oleh dua dipilih. Bila anak menjawab permainan, dan anak penjaga. Anak yang tertangkap benar, maka dia akan masuk tersebut harus menjawab tersebut akan diberikan pertanyaan kelompok “Pemenang”, bila pertanyaan dari kartu sesuai dengan kartu yang anak tersebut menjawab salah pertanyaan yang dipilih. dipilihnya yang dipegang oleh salah maka dia akan masuk Bila anak menjawab benar, satu dari anak yang menjadi kelompok “Kalah”. Permainan maka dia akan masuk penjaga. Bila anak yang tertangkap ini berakhir jika semua anak kelompok “Pemenang”. Bila menjawab benar, maka dia akan sudah masuk menjadi anggota anak tersebut menjawab masuk kelompok “Pemenang”, bila kelompok. salah, maka dia akan masuk anak tersebut menjawab salah kelompok “Kalah”. maka dia akan masuk kelompok Bagi anak-anak yang masuk Permainan ini berakhir jika “Kalah”. kelompok “kalah” maka ia semua anak sudah masuk akan mendapat hukuman, menjadi anggota kelompok. Permainan ini berakhir jika semua yaitu menirukan salah satu anak sudah tertangkap dan masuk gerakan penyelamatan diri Bagi anak-anak yang masuk menjadi anggota kelompok. Bagi saat terjadi bencana gempa kelompok “kalah” maka ia anak-anak yang masuk kelompok bumi dan banjir. akan mendapat hukuman, “kalah” maka ia akan mendapat yaitu menirukan salah satu hukuman, yaitu menirukan salah gerakan penyelamatan diri satu gerakan penyelamatan diri saat terjadi bencana gempa saat terjadi bencana gempa bumi bumi dan banjir. dan banjir. Setelah kegiatan permainan selesai, guru akan mengulas kembali jawaban-jawaban siswa dalam kegiatan permainan tersebut. Sumber: Rahayu, dkk. 2010b)
Identifikasi Karateristik dan Gaya Belajar
maksud dari pertanyaan tersebut. Pada saat
Siswa SD Kelas 3
menjawab, guru dan peneliti tidak melakukan
Untuk mengidentifikasi karakteristik dan gaya
intervensi sama sekali terhadap jawaban yang
belajar siswa SD kelas 3, digunakan kuesioner
dituliskan siswa.
yang sifatntya terbuka dan tertutup. Terbuka
Be rdasarka n kuesioner
yang me ngga li
arinya pertanyaan yang diajukan dapat dijawab
pendapat siswa tentang karakteristik dan gaya
siswa secar a be bas sesuai d enga n pe ma-
belajar mereka, yang disebar kepada 28 siswa
hamannya sendiri. Tartutup artinya pertanyaan
kelas 3 SD Puncak Manis Kabupaten Sukabumi
dalam kuesioner dapat dijawab siswa dengan
diperoleh hasil sebagai berikut. Sebanyak
memilih salah satu atau lebih jawaban yang sudah
siswa dapat menerima pembelajaran dengan
disediakan dalam kuesioner tersebut. Kuesioner
cepat dan 10% menerima pembelajaran dengan
tentang karakteristik dan gaya belajar siswa
lambat dan 70% menyatakan antara cepat dan
diberikan kepada siswa kelas 3 SD.
lambat.
Untuk mengisi kuesioner tersebut, siswa
Ketika ditanyakan
20%
apakah mereka pernah
dibantu oleh guru. Caranya, yaitu dengan mem-
meminta bantuan guru untuk menje lasakan
bacakan tiap pertanyaan lalu guru menjelaskan
materi pembelajaran yang disampaikan, sebagian
434
Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana
besar 70% menyatakan tidak pernah bertanya
alat peraga, dan 36% siswa menyatakan bahawa
at au m eminta b antuan guru. Al asan siswa
guru tidak pernah menggunakan alat peraga.
bertanya atau meminta bantuan kepada guru
92% siswa menyatakan bahwa mereka mem-
adalah 48% siswa menginginkan pengulangan
perhatikan penjelasan yang disampaikan guru
penjelasan, 26% siswa mengharapkan klarifikasi
pada saat guru menggunakan alat peraga dan
dari yang dijelaskan guru, dan 20% meng-
8% lainnya tidak memperhatikannya.
harapkan diberikan contoh atau pendalaman atau pengayaan.
Media yang paling disukai untuk digunakan dalam pembelajaran oleh 26% siswa adalah
Data tentang lamanya siswa dapat ber-
gambar, 21% siswa menyukai buku, 17% siswa
konsentrasi pada pelajaran menunjukan bahwa
menyukai benda sebenarnya, 13% siswa menyu-
50% siswa menyatakan dapat berkonsentrasi
kai film, 8% siswa menyukai benda tiruan (model),
sampai dengan pelajaran selesai. Selama guru
8% siswa menyukai benda yang mengandung
menjelaskan pelajaran di kelas 100% siswa
unsur seni, dan 7% siswa menyukai media audio/
memperhatikan
penjelasan guru dan mencatat.
radio. Berdasarkan data tersebut, maka paket
Selain itu, 90% siswa menyatakan bahwa orang
pe mbel ajar an y ang dap at d igunakan dal am
tuanya membiasakan mereka untuk belajar pada
penelitian ini antara lain berupa bahan ajar cetak
jam tertentu. Tindakan orang tua apabila anak
(buku yang dilengkapi gambar), audio (kaset atau
tidak belajar setiap hari: 30% menasehati dan
compact disk) dan video
menemani 30% memarahi dengan kata-kata, 20% mendiamka n saj a, dan sisinya (2 0%) ti dak
Pengembangan Paket dan Strategi
me njaw ab. Wakt u ya ng disukai anak unt uk
Pembelajaran
belajar: 70% pada malam hari. Alasannya adalah
Da lam pene liti an i ni, dike mbangkan pak et
karena pada malam hari waktunya lebih panjang,
pembelajaran adalah materi yang terkait dengan
tidak panas dan bisa belajar sambil bertanya pada
materi pelajaran IPA SD yang dikaitkan dengan
orang tua/orang lain. Lama belajar pada waktu
bencana ala m. Paket pem bela jara n da lam
yang disukai adalah 30% siswa belajar selama
penelitian yang dikembangkan dijabarkan sebagai
30 menit - 1 jam, 50% siswa belajar selama 1-2
berikut: 1) Buku petunjuk guru yang di dalamnya
jam dan 30% siswa belajar lebih dari 3 jam. Hasil
me muat
tersebut menunjukkan bahwa siswa SD di daerah
Pembelajaran (strategi) dengan model PAKEM; 2)
tersebut memiliki karakteristik antara cepat dan
Buku siswa yang memuat materi dan petunjuk
lambat dan dapat berkonsetrasi dalam menerima
kerja bagi siswa yang dikaitkan dengan permainan
pel ajar an y ang d isam paik an. Adapun untuk
anak dengan lagu pengiring berbahasa Sunda;
belajar di rumah, mereka hanya akan belajar jika
3) Booklet seri bencana yang terdiri atas 5 booklet.
ada PR atau tugas dari sekolah. Mereka juga lebih
yaitu Bencana Gempa Bumi, Bencana Banjir,
nyaman belajar pada malam hari antara 30 menit
Bencana Longsor, Bencana Gunung Meletus, dan
hingga 2 jam. Orang tua tidak memaksa anaknya
Bencana Tsunami. Booklet ini dirancang bergambar
untuk belajar, namun hanya mengarahkan saja.
dan berwarna, serta menggunakan bahasa yang
Selain itu, bila anak mereka tidak belajar orang
komunikatif. Dalam artikel ini booklet yang
tua akan menasehati dan menemani hingga
digunakan hanya booklet yang diterapkan di SDN
memarahi anak mereka.
Puncak Manis, yaitu
tentang
Rancang an
Pelak sana an
booklet tentang Bencana
Gempa Bumi, Bencana Banjir; 4) Program video Identifikasi Paket Pembelajaran yang Sesuai
yang menggambarkan/mencontohkan permainan
untuk Siswa SD Kelas 3
anak yang diintegrasikan ke dalam pembelajaran
Identifikasi paket pembelajaran yang sesuai untuk
yang aktif kreatif dan menyenangkan terkait
siswa SD kelas 3 didapat dari hasil kuesioner yang
dengan topik bencana; 5) Perangkat kartu soal
diberikan kepada siswa SD kelas 3 dengan sampel
untuk materi bencana: gempa bumi dan banjir.
yang sama. 26% siswa menyatakan bahwa guru
Pertanyaan yang ada
sering menggunakan alat peraga, 38% siswa
materi bencana itu sendiri, mitigasi dan sanitasi.
menyatakan bahawa guru jarang menggunakan
Kartu soal memuat pertanyaan dan jawaban.
pada kartu soal
meliputi
435
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Kartu soal dibuat dengan menggunakan kertas
memahami materi. Untuk materi mitigasi dan
warna agar menarik bagi siswa (Rahayu, dkk.
sanitasi terkait bencana banjir, penguasaan dan
2010a).
pemahaman siswa kelas 3 SDN Puncak Manis
Selain Paket Pembelajaran, dikembangkan
mengalami peningkatan sebesar 0,58%. Hal ini
pula strat egi dala m me mbel ajar kan mate ri
menunjukkan bahwa isi materi booklet mitigasi dan
tersebut dengan mengintegrasikan permainan
sanitasi terkait bencana banjir sesuai untuk siswa
tradisional anak. Strategi pembelajaran digam-
kelas 3 SD dan penggunaan permainan tradisional
barkan pada Gambar 2.
(Oray-orayan, Cing Ciripit dan Pacici-cici Putri) dapat membantu siswa memahami materi tersebut.
Pretest Kuesioner siswa awal
Menjelaskan Tujuan Topik Manfaat
Membagi dan belajar booklet Nonton DVD
Mengondisikan kelas
Posttest Kuesioner siswa akhir
Bermain: Orayorayan Pacici Putri Cing caripit
Mengulas kembali materi Melengkapi buku siswa
Menegaskan cara bermain Membagi siswa menjadi 3 kelompok Mengisi buku siswa
Gambar 2. Alur Strategi Pembelajaran
Uji Coba Penerapan Pembelajaran Melalui Kegiatan Permainan Tradisional bagi Siswa Kelas 3 SD Hasil Pretest dan posttest
Nilai
Materi Gempa Bumi Pretes 3,15
Rata-Rata Peningkatan dalam%
Materi Banjir
Postes
Pretes
Postes
3,95
2,89
3,47
0,79
Dari data tersebut tampak bahwa untuk
Keterangan
0.58
Hasil kuesioner siswa sebelum ujicoba
materi mitigasi dan sanitasi terkait bencana gempa
penerapan pembelajaran melalui permainan
bumi, rata-rata pemahaman siswa kelas 3 SDN
tradisional
Puncak Manis Sukabumi mengalami peningkatan
Sebelum strategi pembelajaran diterapkan, siswa
sebesar 0,79%. Hal ini menunjukkan bahwa
diberikan kuesioner dengan pertanyaan terbuka.
penggunaan paket pembelajaran yang berupa
Be rikut ad alah rangkuman jawa ban sisw a.
booklet dan buku siswa tentang materi mitigasi
Sebagian besar siswa menyatakan menyukai
dan sanitasi terkait bencana gempa bumi yang
pelajaran IPA, dengan alasan pelajaran IPA
disampa ikan
pe rmai nan
sangat menarik, menyenangkan, asyik dan tidak
tradisional seperti Oray-orayan, Cing Ciripit dan
membosankan. Hanya 10% siswa yang tidak
Pacici-cici Putri, dapat lebih membatu siswa
menyukai pelajaran IPA dengan alasan pelajaran
436
mel alui
keg iata n
Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana
IPA sulit dipelajari. Sebagian besar siswa (95%)
Menurut pendapat guru, penerapan pem-
juga menyatakan kesulitan dalam mempelajari
belajaran IPA dengan fokus materi Banjir dan
IPA, karena mata pelajaran tersebut memang sulit
Gempa bumi untuk siswa kelas 3 SD adalah sangat
dan tidak mudah dimengerti.
baik dan sangat membantu guru dalam menyampai kan mate ri p embe laja ran. Str ateg i ya ng
Hasil kuesioner siswa dan guru setelah
di kemb angk an
ujicoba penerapan paket pembelajaran
diterapkan dan tidak membutuhkan pelatihan
j uga
sang at
m udah
unt uk
melalui permainan tradisional
yang panjang. Namun, untuk menerapkannya
Setelah selesai penerapan pembelajaran melalui
diperlukan perangkat multi media, seperti video
permainan tradisional, siswa
diberikan kuesioner
pl ayer aga r ke seluruha n ma teri dan pak et
untuk mengetahui pendapat mereka terhadap
pembelajaran yang disediakan dapat diman-
pelaksanaan pembelajaran melalui permainan
faatkan lebih optimal. Namun, dengan bahan ajar
tradisional. Berikut adalah rangkuman jawaban
cetak yang tersedia ( booklet, buku siswa dan buku
siswa. Sebanyak 26% siswa menyatakan tidak
petunjuk guru serta kartu soal) materi tersebut
menyukai pelajaran IPA melalui permainan,
da pat tersampa ikan de ngan bai k. Apala gi
karena menurut mereka, belajar IPA seharusnya
diterapkannya melalui permainan tradisional yang
tidak sambil bermain karena akan mengganggu
membuat kegiatan pembelajaran menjadi menarik
konsentrasi dan 74% siswa yang menyatakan
dan menyenangkan. Dengan cara ini juga, anak-
senang atau suka jika pelajaran IPA dilakukan
anak dapat lebih kreatif dan semangat mengikuti
melalui permainan dengan bernyanyi dan bermain
pembelajaran.
karena akan semakin menyenangkan. Selain itu, sebanyak 65% siswa menyatakan mer eka tida k
Kondisi Sekolah
me ngal ami kesulita n da lam
Puncak Manis t erle tak di D esa Suka Manis
mempelajari pelajaran IPA dengan alasan ada
Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi.
buku bergambar yang membantu mereka belajar,
Lokasi sekolah ini terletak di puncak bukit di kaki
dilakukan dengan permainan sehingga perasaan
Gunung Gede. Kelas-kelas terdapat dalam dua
mereka senang dan gembira, serta belajarnya di
lokasi yang berbeda. Kelas 1, 2, 3, 6
dalam d an di luar kel as. Ketika dit anyakan
bagian atas dan terlihat bagus dengan bangunan
tentang pe rasaan mereka saat p elaksanaan
tembok yang permanen. Meskipun di beberapa
pembelajaran melalui permainan, sebagian besar
tempat terdapat retakan yang menurut guru dan
siswa (85%) menyatakan sangat menyukai dan
siswa adalah akibat gempa yang terjadi padqa
menyenanginya karena pelajaran IPA menjadi
tanggal 2 September 2009 (yang berpusat di
tidak sulit, tidak menegangkan, menyenangkan,
Tasikmalaya). Dua kelas lainnya terletak di bagian
gembira dan bisa lebih bebas bermain. Ada 15%
bawah. Antara kelas bagian atas dan kelas bagian
siswa yang tetap menyatakan bosan, alasan
bawah di hubungkan dengan anak tangga yang
me reka ada lah deng an b elaj ar I PA m elal ui
terbuat dari adukan semen. Kemiringan letak
permainan tradisional, menjadi tidak serius, tidak
antara kelas di atas dan di bawah adalah sekitar
bi sa k onse ntra si d an k egia tannya m enja di
90
membosankan dan membuat mereka berpikir
ruang kelas yang terdapat pada bagian bawah
terus.
merupakan dua ruangan yang terpisah. Salah
Hasil
satunya berukuran kurang lebih 6X6 meter dan
menggunakan permainan tradisional dengan cara
yang satunya lagi berukuran 4 X 5 meter. Dinding
yang menyenangkan dalam pembelajaran IPA di
di kedua ruangan itu cukup memprihatinkan.
SD
Bagian temboknya sudah berlubang dan ditutupi
me mbua t
b ahwa
dan berjarak kurang lebih 50 meter. Kondisi
dengan
aka n
i ni m enunjukk an
0
terletak di
se bagi an
b esar
siswa
menyukai pelajaran IPA ini. Selain itu, penggunaan
papan triplek.
Di antara kelas yang terletak di
paket berupa booklet berupa buku bergambar
atas dan kelas yang di bawah, pada bagian
akan membuat siswa semakin tertarik untuk
tengah terdapat kamar mandi yang terdiri dari 2
mempelajari dan memahami materi pelajaran IPA.
kamar mandi. Meski kondisinya kurang bagus, namun kamar mandi ini tampak bersih dengan
437
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
sumber air yang jernih dan mengalir lancar. SD N
hasil belajar siswa. Menurut guru, strategi ini
Puncak Manis memiliki 177 murid yang terdiri dari
mudah diterapkan, hanya kendalanya adalah
kelas 1 hingga kelas 6 masing-masing yang
tidak adanya perangkat untuk memutar video
tergabung dalam
yang terdapat dalam paket pembelajaran ini.
satu rombongan belajar.
Kelima, hasil uji coba penerapan pembelajaran Simpulan dan Saran
melalui permainan tradisional ini menunjukkan
Simpulan
adanya peningkatan pemahaman siswa kelas 3
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
SDN Puncak manis terhadap materi yang di-
dengan populasi siswa SD kelas 3 SDN Puncak
sampaikan, yaitu untuk materi gempa bumi terjadi
Ma nis
Suk abum i,
peningkatan sebesar 0,79 dan untuk materi banjir
diperoleh hasil yang disimpulkan sebagai berikut.
Keca mata n
Ka duda mpit
terjadi peningkatan sebesar 0,58 dengan rentang
Pertama, permainan tradisional anak-anak
nilai 0-10. Skor tertinggi yang diperoleh siswa
( Kaulinan Barudak) termasuk budaya yang hampir
adalah 8 (dari sepuluh soal yang diberikan)
dilupakan oleh sebagian masyarakat Jawa Barat, khususnya anak-anak sebagai generasi penerus
Saran
bangsa. Hampir seluruh siswa kelas 3 di SDN
Ber dasar kan simpul an ya ng te lah d iurai kan
Puncak Manis t idak me nget ahui per mainan
tersebut, rekomendasi yang dapat disampaikan
tra disi onal yang ad a di dae rahnya. Kedua,
adalah sebagai berikut.
karakteristik siswa di SDN Puncak Manis Keca-
Pertama, sebaiknya kearifan lokal diinte-
matan Kadudampit-Sukabumi yang dapat ter-
grasikan dalam kegiatan pembelajaran, khusus-
identifikasi adalah bahwa sebagian besar siswa
nya permainan trasisional anak. Selain untuk
merasakan trauma terhadap bencana, khususnya
melestarikan kearifan masing-masing daerah juga
gempa bumi dan banjir. Selain itu, siswa di daerah
unt uk m engenalka n dan menanamk an p ada
sampel memiliki ketergantungan yang cukup tinggi
si swa tent ang buda ya l okal yang di mili ki
dengan guru, kurang kreatif, kurang memiliki
daerahnya masing-masing. Pengintegraian ini juga
keb eranian untuk ber tany a da n me njaw ab
da pat digunaka n untuk mem buat pel ajar an
pertanyaan. Selain itu, kemampuan membacanya
menjadi lebih bervariasi, menarik dan menye-
masih belum mahir dan kemampuan memahami
nangkan. Kedua, karakteristik siswa di tiap wilayah
materi masih cukup terbatas sehingga materi yang
berbeda-beda. Sebaiknya dalam menyampaikan
akan disampaikan harus jelas dan rinci serta
pelajaran, mengembangkan suatu model atau
menarik. Ketiga, berdasarkan hasil identifikasi
paket pembelajaran pengembang perlu mem-
karakteristik siswa dan permainan tradisional di
perhatikan karakteristik yang dimiliki oleh siswa
wilayah sampel, maka paket pembelajaran yang
yang akan menggunakannya. Ketiga, sebaiknya
paling sesuai untuk siswa kelas 3 SDN Puncak
dikembangkan paket pembelajaran yang bisa
Manis adalah paket dengan multi media, yaitu
mengoptimalkan belajar anak yang meliputi
berupa bahan ajar cetak yang juga dilengkapi
bahan ajar cetak, video dan audio sehingga
dengan media video. Paket pembelajaran yang
kemampuan belajar siswa yang berupa auditif,
dikembangkan meliputi materi pembelajaran IPA
visual dan audio visual dan reading, writing dapat
dengan fokus pada bencana gempa bumi dan
terakomodasi dengan baik. Keempat, meskipun
banjir yang dirancang dalam bentuk buku siswa
strategi pembelajaran ini dapat meningkatkan
dan buku petunjuk guru serta booklet bergambar
kreativitas, keaktifan dan hasil belajar siswa
yang diintegrasikan dengan permainan trasisional
namun peran guru/pendamping tetap tidak dapat
anak (Oray-orayan, Cing Ciripit dan Pacici Putri) yang
dig anti kan deng an m edia . Ke lima , St rate gi
dikemas dalam bentuk video sehingga menarik
pembelajaran ini masih jauh dari sempurna,
dan menyenangkan. Keempat, hasil penerapan
semoga ada pihak lain yang merasa berkepen-
st rate gi p embe laja ran berb asis per mainan
tingan yang akan melakukan penelitian dan
tradisional ini cukup memuaskan. Hal ini dapat
pengemb anga n la njuta n se hing ga hasil ny a
dilihat dari hasil kuseioner untuk siswa dan guru
semakin sempurna dan apat diterapkan pada
diperoleh hasil bahwa paket pembelajaran ini
siswa SD kelas 3.
dapat meningkatkan keaktifan, kreativitas dan
438
Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana
Pustaka Acuan Kodoatie Robert J. dan Sugiyanto. 2002. Banjir Berberapa Penyebab dan Metode Pengendaliannya dalam Perspektif Lingkungan, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Rahayu. U, Sekarwinahyu, M., Tatminingsih, S. 2010a. Pengembangan Paket Pembelajaran untuk Siswa Sekolah Dasar di Daerah Rawan Bencana, Laporan Penelitian Strategis Nasional, Jakarta: Kemendiknas. Rahayu. U, Sekarwinahyu, M., Tatminingsih, S. 2010b. Paket Pembelajaran di Daerah Rawan Bencana (Petunjuk Guru). Bagian dari Laporan Penelitian Strategis Nasional, Jakarta: Kemendiknas.
Ridwan N. A. 2008. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal, Diambil 9 Pebruari 2009 dari http:// ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf Rositawaty dan Muharam, Anis. 2008.
Senang Belajar Ilmu Pengetahuan Alam 3 (untuk Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah KelasIII). Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas. Senjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Tatminingsih, Sri. 2009. Membisikan Pesan-Permainan Sederhana Berguna Luar Biasa: Modifikasi Permainan Tradisional Sebagai Sarana Pengembangan Kemampuan Anak. Jurnal Online Jendela. Jakarta: Pusat Studi Psikologi dan Pendidikan Anak. Utomo, Pristiadi. 2011. Ilmuwan Muda, Piaget dan Teorinya.
Diunduh pada 15 Desember, 2011 pkl
15.33. http://ilmuwanmuda.wordpress.com/piaget-dan-teorinya. Yayasan IDEP. 2007a. Gempa Bumi! Cerita Tentang Peran Masyarakat Desa Saat Menghadapi Bencana Gempa. Bali: Yayasan IDEP. Yayasan IDEP. 2007b. Banjir! Cerita tentang Peran Masyarakat Saat Terjadi Banjir. Bali: Yayasan IDEP.
439
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN SEJARAH SMA BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SOLO RAYA (DEVELOPMENT HISTORY OF SMA-BASED LEARNING MODEL IN SOLO RAYA CHARACTER EDUCATION) Leo Agung S. Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan P.IPS FKIP-UNS Jl.Ir. Sutami No.36 A, Kentingan, Surakarta e-mail:
[email protected] Diterima tanggal: 1/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 3/11/2012, Disetujui tanggal: 20/12/2012 Abstrak: Penelitian eksploratif ini bertujuan untuk: 1) mengetahui tujuan, materi, metode, media, dan evaluasi pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah Atas (SMA); 2) mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat pembelajaran Sejarah di SMA; 3) mengeksploitasi pemahaman guru-guru Sejarah di SMA terhadap model-model pembelajaran Sejarah; dan 4) menyusun model Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendidikan Karakter. Subjek penelitian adalah guru-guru Sejarah SMA Solo Raya. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, analisis dokumen, angket dan Focus Group Discussion. Metode analisis data menggunakan analisis kualitatif model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa: 1) tujuan pembelajaran Sejarah menanamkan semangat kebangsaan, cinta bangsa dan tanah air; materi sesuai dengan Standar Isi; metode ceramah bervariasi, media power point, film dan Liquid Crystal Display, sedangkan evaluasinya masih banyak pada aspek kognitif; 2) Faktor pendukung pembelajaran Sejarah, yaitu adanya model-model pembelajaran inovatif, faktor penghambatnya buku BSE yang minim, dan adanya diskriminatif mata pelajaran; 3) sebagian besar guru-guru SMA telah memahami model-model pembelajaran; dan 4) tersusunnya model Kritis, Kreatif, Berantai dan Berkarakter (KKBB). Kata kunci: pembelajaran Sejarah, guru Sejarah, Sekolah Menengah Atas, dan pendidikan karakter Abstract: This exploratory study aims to: 1) determine objectives, materials, methods, media and evaluation of history teaching in senior secondary schools; 2) identify factors that support and inhibit history teaching in senior secondary schools; 3) exploit the understanding of history teachers of senior secondary schools on history teaching models; and 4) establish a model for character education based-history learning. Research subjects are history teachers of senior secondary schools in Solo Raya. Data were collected using observation, interviews, document analysis, questionnaire and Focus Group Discussion techniques, and analyzed using the method of qualitative interactive model. The results showed that: 1) purpose of history teaching inculcate the spirit of nationalism, love of nation and homeland; materials in accordance with the Content Standards; lecture methods varies, power point media, film and Liquid Crystal Display, while the evaluation is still tend to focus on cognitive aspects; 2) supporting factor of history teaching is the development of innovative learning models, while the inhibiting factors are the lack number of BSE book and discrimination on the subjects; 3) majority of history teachers of senior secondary schools have understood the learning models, and 4) completion of the Critical, Creative, Chain and Character model (KKBB). Keywords: history teaching, the history teacher, senior secondary schools, and character education
412
Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya
Pendahuluan
depan; 3) Menanamkan kesadaran persatuan dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi
Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa
perekat bangsa dalam menghadapi ancaman
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
disintegrasi bangsa; 4) Sarat dengan ajaran moral
ke mamp uan dan memb erik an w atak ser ta
dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis
peradaban bangsa yang bermart abat dalam
multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, ber-
sehari-hari; dan 5) Berguna untuk menanamkan
tujuan untuk mengembangkan potensi peserta
dan mengembangkan sikap bertanggung jawab
di dik agar menjadi manusia yang be rima n,
dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, ber-
lingkungan hidup.
akhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
Merujuk pendapat Kartodirdjo (1988) bahwa
mandiri , da n me njad i wa rga nega ra y ang
dalam rangka pembangunan bangsa, pengajaran
demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3, UU
Sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk
Nomor 20/2003).
me mber ikan pengeta hua n Se jara h, sebag ai
Rumusan tujuan pendidikan tersebut sangat
kumpulan informasi fakta Sejarah tetapi juga
ideal dan komprehensif. Hal ini dimaksudkan untuk
be rtuj uan meny adar kan pese rta didi k at au
memberikan suasana kebatinan dan semangat
membangkitkan kesadaran Sejarahnya. Sebab,
serta memberi motivasi bagi setiap komponen
seperti yang tertuang dalam Peraturam Menteri
manusia yang terkait untuk terus berusaha
Pe ndid ikan Nasiona l N omor 22 Tahun 20 06
mencapai cita-cita yang ideal. Dalam pelak-
tentang Standar Isi, pelajaran Sejarah atau
sanaannya pendidikan sebagai proses pembinaan
pengetahuan masa lampau tersebut mengandung
bangsa, masih sangat memprihatinkan. Per-
nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk
kembangan kehidupan masyarakat masih ditandai
melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak,
dengan berbagai ketimpangan moral, akhlak,
dan kepribadian peserta didik. Untuk itu, nilai-nilai
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik dan jati
Sejarah harus dapat tercermin dalam pola perilaku
diri bangsa. Inilah problem-problem yang kini
nyata peserta didik. Dengan melihat pola perilaku
banyak meng emuk a di Ind onesia. Hal ini
yang tampak, dapat mengetahui kondisi kejiwaan
menunjukkan bahwa pe ndid ikan kit a be lum
berada pada tingkat penghayatan pada makna
ma mpu
meng emba ngk an
masyara kat
Indonesi a
m anusia
d an
dan hakikat Sejarah pada masa kini dan masa
se baga imana
ya ng
mendatang. Dengan kata lain, pembelajaran
diharapkan (Rokhman, Nurhadi, dan Muhsinatun,
Sej arah
mem ilik i
pe rana n
pe nting
2006).
pembentukan karakter peserta didik.
da lam
Hal ini tid ak sesua i de ngan mak na d an
Berkaitan dengan pendidikan karakter, telah
maksud pembelajaran Sejarah. Mata pelajaran
dilakukan beberapa penelitian, antara lain oleh
Sejarah memiliki arti strategis dalam pemben-
Ghufron (2010) menyatakan bahwa salah satu
tuk an w atak dan per adab an b angsa ya ng
masalah krusial Bangsa Indonesia, terutama yang
bermartabat serta dalam pembentukan manusia
berka itan denga n penyiapa n SDM siap ber-
Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan
kompetitif di era global adalah krisis nilai-nilai
cinta tanah air. Menurut Permendiknas Nomor 22
karakter bangsa. Oleh karena itu, perlu adanya
Tahun 2006 materi Sejarah: 1) Mengandung nilai-
integr asi nila i-ni lai kar akte r ba ngsa dal am
nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan,
keg iata n pe mbel ajar an untuk sem ua m ata
patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang
pelajaran di sekolah.
menyerah yang mendasari proses pembentukan
Penelitian Wardhani (2010) menyatakan
watak dan kepribadian peserta didik; 2) Memuat
bahwa upaya mewujudkan peradaban bangsa
khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa,
melalui pendidikan karakter tidak pernah terlepas
termasuk peradaban Bangsa Indonesia. Materi
dari lingkungan pendidikan baik di dalam keluarga,
tersebut merupakan bahan pendidikan yang
sekolah, dan masyarakat. Guru memiliki tanggung
me ndasar
d an
jawab besar dalam menghasilkan generasi yang
penciptaan peradaban Bangsa Indonesia di masa
berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Untuk
b agi
proses
p embe ntuk an
413
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
mewujudkan manusia Indonesia yang berkarakter
haman guru-guru Sejarah SMA terhadap model-
kuat, perlu kiranya diterapkan konsep pendidikan
mod el p embe laja ran; dan 4) merumusk an
Ki Hajar Dewantara dengan sistem among, tutwuri
rancangan model Pembelajaran Sejarah Berbasis
handayani, dan tringa (ngerti, ngroso, nglakoni).
Pe ndid ikan Kar akte r di SMA seb agai upa ya
Penelitian Syukur (2010) menyatakan bahwa pad a ta hun 2010 Kem ente rian Pendidi kan
meningkatkan kualitas pembelajaran Sejarah dan memperkuat jati diri bangsa.
Nasional RI menetapkan pembangunan karakter bangsa menjadi program pendidikan nasional
Kajian Literatur
untuk menyelamatkan Bangsa Indonesia dari
Pa sal 3 Undang Und ang Sistem Pend idik an
keterpurukan akibat krisis multidimensional yang
Nasional
masih berlangsung hingga saat ini.
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
No. 20 Tahun 2003 disebutkan, bahwa
Meskipun cukup banyak penelitian tentang
dan membentuk watak serta peradaban bangsa
pe ndid ikan karakte r, namun dar i be rbag ai
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
penelitian tersebut masih sangat sedikit penelitian
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkem-
yang mengimplementasikan nilai-nilai karakter
bangnya potensi peserta didik agar menjadi
dalam pembelajaran Sejarah. Dengan demikian,
manusia yang beriman dan bertakwa kepada
pe neli tian tentang : “ Peng emba ngan Mod el
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
Karakter di Solo Raya’ perlu dilakukan dalam
neg ara ya ng de mokrat is ser ta be rtangg ung
mendukung program pemerintah umumnya dan
jaw ab”. Ama nah UU Sisdi knas tahun 2 003
program kebijakan Wali Kota Surakarta khu-
ber maksud
susnya tentang implementasi pendidikan karakter
membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun
dalam pembelajaran yang mulai dicanangkan pada
juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga
tahun pelajaran 2011-2012 (Solo Pos, 19 Juni
nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh
2011).
berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-
a gar
pend idik an
t idak
hanya
Berdasarkan paparan seperti yang telah
nilai luhur bangsa serta agama (Suyanto, 2010).
dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dalam
Tujuan pendidi kan nasi onal itu mer upak an
penelitian, yaitu: 1) bagaimanakah tujuan, materi,
rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia
me tode , me dia dan eva luasi pe mbel ajar an
yang harus dikembangkan oleh setiap satuan
Sejarah yang dilaksanakan di SMA
Solo Raya?;
pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan
2) apakah yang menjadi faktor penghambat dan
pe ndid ikan nasiona l m enja di d asar dal am
faktor pendukung terhadap pembelajaran Sejarah
pengembangan pendidikan budaya dan karakter
yang dilaksanakan di SMA Solo Raya?; 3) bagai-
bangsa.
manakah pemahaman guru-guru Sejarah SMA di Solo Raya terhadap model-model pembelajaran?;
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
dan 4) bagaimanakah merumuskan rancangan
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem
model pembelajaran Sejarah berbasis pendidikan
berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief)
karakter di SMA sebagai upaya memperkuat
manusia yang dihasilkan masyarakat (Kemdiknas,
jati
diri bangsa.
2010a). Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan
Secara umum, penelitian dan pengembangan
keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia
ber tujuan
model
dengan sesamanya dan lingkungan alamnya.
pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau
Karakter. Adapun secara khusus, tujuan yang
kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil
hendak dicapai melalui penelitian dan pengem-
internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang
bangan ini, sebagai berikut: 1) mengidentifikasi
diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk
tujuan, materi, metode, media dan evaluasi
cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak
pembelajaran Sejarah; 2) mengeksplorasi faktor
(Kemdiknas, 2010b). K ebajikan terdiri atas
penghambat dan faktor pendukung terhadap
sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur,
pembelajaran Sejarah; 3) mengekplorasi pema-
berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat
ini
414
untuk
menghasilka n
Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya
kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan
oleh Arends, yaitu: 1) rasional teoritis yang
orang lain menumbuhkan karakter masyarakat
bersifat logis yang bersumber dari perancangan;
dan kar akte r ba ngsa . Ol eh k arena it u, p e-
2) dasar pemikiran tentang tugas pembelajaran
nge mbangan kara kter bangsa hany a da pat
yang hendak dicapai dan bagaimana siswa belajar
di lakukan mela lui pengemb anga n ka rakt er
untuk mencapai tujuan tersebut; 3) aktivitas guru
individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia
yang diperlukan agar model pembelajaran dapat
hi dup dala m li ngkungan sosial dan buda ya
dilaksanakan; dan 4) lingkungan belajar yang
tertentu, maka pengembangan karakter individu
diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
se sera ng
hanya
dap at
d ilak ukan
dal am
Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa
lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan.
model pembelajaran merupakan petunjuk bagi
Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah
guru dalam merencanakan
Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter
pembelajaran di kelas. Lebih lanjut Joyce, Weil,
bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
dan Showers (2002) mengemukakan adanya lima
Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter
unsur penting dari suatu model pembelajaran,
ba ngsa
ada lah meng emb angk an nilai -nil ai
kelima unsur tersebut adalah syntac, social
Pancasi la p ada diri peserta did ik m elal ui
system, principle of reaction, support system dan
pendidikan hati, otak, dan fisik.
instructional and nurturent effecs.
dan melaksanakan
Pendidikan karakter adalah suatu sistem
Terkait dengan model-model pembelajaran,
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
Joyce, Weil dan Calhoun (2009) mengemukakan
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,
adanya empat family/rumpun, yaitu: 1) rumpun
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
sosial, 2) rumpun proses informasi, 3) rumpun
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap
pe rsonal, dan 4) r ump un p eril aku. Mod el
Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama,
Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan
lingkungan, maupun keba ngsa an sehingga
Kar akte r ini me ngacu ke pada mod el y ang
menjadi manusia insan kamil (Kemdiknas, 2010b).
dikemukakan oleh Joyce, Weil dan Calhoun (2009)
Berdasarkan pengertian budaya, karakter
se pert i ya ng d ikem uka kan di a tas, yak ni
bangsa, dan pendidikan yang telah dikemukakan
perubahan perilaku ke arah yang diharapkan, baik
di atas, maka pendidikan budaya dan karakter
dalam aspek kognitif maupun aspek afektif. Oleh
ba ngsa dim akna i se bag ai p endi dika n ya ng
karena itu, model ini lebih mengacu pada Rumpun
mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter
Perilaku.
bangsa pada diri peserta didik, sehingga memiliki nilai dan karakter, menerapkan nilai-nilai tersebut
Pendidikan Nilai dan Pendekatan Klarifikasi
da lam kehi dupa nnya , ba ik sebag ai a nggota
Nilai
masyarakat, maupun sebagai
Menurut
warganegara yang
Kaswadi (1993) pendidikan nilai adalah
re ligi us, nasi onal is, prod ukti f da n kr eati f.
penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada
Pengembangan nilai-nilai pendidikan budaya dan
diri seseorang. Mardiatmadja (1996) mendefi-
karakater bangsa diintegrasikan dalam setiap
nisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap
pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Nilai-
peserta didik untuk menyadari dan mengalami
nilai tersebut dicantumkan dalam silabus dan RPP.
nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Pendidikan nilai,
Model Pembelajaran
pada dasarnya merupakan proses penanaman
Jacobsen, Eggen, dan Kauchak (2009) menya-
nilai kepada peserta didik dengan harapan agar
takan bahwa model pembelajaran dimaksudkan
peserta didik dapat berperilaku sesuai dengan
sebagai strategi perspektif pembelajaran yang
pandangan yang dianggapnya baik dan tidak
dirancang untuk mencapai tujuan pembelajaran.
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku
Ar ends
(Sanjaya, 2010).
(19 77)
pe mbel ajar an
meny atak an b ahwa m enga cu
p ada
mod el
pend ekat an
Da ri b eber apa pend apat di atas dap at
pembelajaran yang akan diterapkan. Ada empat
disimpulkan bahwa pendidikan nilai adalah proses
ciri khas model pembelajaran yang dikemukakan
penanaman nilai-nilai luhur kepada peserta didik
415
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
de ngan har apan aga r p eser ta d idik dap at
2)
peng amat an
l angsung
atau
berperilaku sesuai norma-norma yang berlaku.
3) analisis dokumen; dan 4) FGD.
obe rvasi;
Oleh karena itu, untuk dapat melahirkan peserta
Untuk memperoleh derajad validitas tinggi,
didik yang mampu memilah dan memilih secara
dilakukan dengan teknik trianggulasi, recheck dan
cerdas terhadap nilai-nilai moral atau nilai-nilai
peer debriefinf (Sutopo, 2002). Pengolahan data
karakter adalah dengan pendekatan klarifikasi
hasil penelitian eksploratif dilakukan dengan teknik
nilai ( Values Clarification Technique= VCT).
analisis model interaktif (Miles dan Huberman,
Pendekatan klarifikasi nilai (VCT) adalah suatu
1984). Anal isis interaktif meliputi tahapan:
pendekatan yang bertujuan untuk menumbuhkan
1) pengumpulan data; 2) reduksi data; 3) sajian
kesadaran dan mengembangkan kemampuan
data; dan 4) verifikasi/menarik kesimpulan.
peserta didik dalam mengidentifikasi nilai-nilai
Pengembangan ini dilakukan atas dasar hasil
mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain (Zuriah,
temuan ekslporatif, kemudian dikembangkan
2007, dan Zaim 2008). Proses pemahaman nilai
untuk mencari model pembelajaran Sejarah
dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah
melalui Focus Group Discussion (FGD).
ada sebelumnya dalam diri peserta didik kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang
Hasil Penelitian dan Pembahasan
hendak
Tujuan, Materi, Metode, Media dan Evaluasi
dita namk an k epad a pe sert a di dik
(Sanjaya, 2010).
Pembelajaran Sejarah Terkait dengan tujuan, materi, metode, media dan
Metodologi
evaluasi pembelajaran Sejarah yang dilaksanakan
Metode penelitian tahun pertama ini dilakukan
di SMA di Solo Raya saat ini, dapat diungkapkan
dengan dua tahapan tindakan, yakni: 1) penelitian
seperti uraian berikut ini.
penjelajahan (eksploratif ); dan 2) melakukan penyusunan draf model pengembangan dengan
Tujuan Pembelajaran Sejarah
car a Focus G roup Discussi on ( FGD) . Loka si
Terkait dengan tujuan pembelajaran Sejarah SMA,
penelitian SMA Solo Raya yang meliputi: 1) Kota
hasil angket, rekaman observasi, dan wawancara
Surakarta; 2) Kabupaten Klaten; 3) Kabupaten
dari guru-guru Sejarah SMA dan beberapa kepala
Sukoha rjo; 4) Kabupat en K arangnya r; d an
sekolah dan kepala seksi kurikulum di Solo Raya
5) Kabupaten Boyolali.
serta dari studi pustaka dapat dikemukakan
Sumber data meliputi: 1) sumber informan;
sebagai berikut.
2) sumber tempat dan peristiwa; dan 3) sumber
Ib u Sa ra d ari SMA Nege ri 8 Sur akar ta
dok umentasi /arsip. Informan yang di mint ai
menyata kan: ”ba hwa tujuan p embe laja ran
keterangan meliputi Kadinas, Kasubdin SMA,
Sejarah adalah untuk membentuk pribadi yang
Ketua MKKS SMA, Kepala SMA dan Guru-guru
tidak lupa akan masa lampau untuk mewujudkan
Sejarah SMA. Sumber tempat dan peristiwa yang
masa depan dan menjadi manusia yang beriman
digunakan sebagai fokus informasi adalah ruang
dan bertaqwa”. Bapak Darmono dari SMA Negeri
pembelajaran Sejarah di kelas. Sumber dokumen/
2 Sukoharjo menyatakan “bahwa tujuan pem-
arsip terkait dengan kurikulum, silabus dan RPP
belajaran di SMA adalah untuk meningkatkan rasa
serta buku-buku sumber.
jiwa kebangsaan dan nasionalisme, patriotisme,
Sesuai dengan metode penelitian kualitatif,
serta meningkatkan perasaan persatuan dan
maka teknik sampling (cuplikan) yang digunakan
kesatuan bagi peserta didik”. Ibu Titik dari SMA
dalam penelitian ini adalah jenis purposive sampling
Negeri Ngemplak Boyolali menyatakan “bahwa
(Sutopo, 2002). Teknik pengumpulan data pada
tujuan pembelajaran Sejarah SMA adalah selain
awalnya digunakan metode penyebaran angket
mengemb angk an
kepada responden, yakni guru-guru SMA Solo
pengembangan sikap, terutama menumbuh-
Raya, kemudian ditindaklanjuti dengan teknik
kembangkan rasa nasionalisme, cinta tanah air
wawancara, pengamatan dan mencatat dokumen.
dan penghargaan terhadap pahlawan bangsa
Dengan demikian, teknik pengumpulan data
pendahulu negeri ini” tegasnya.
dilakukan dengan cara: 1) wawancara mendalam;
416
k ompt ensi
kog niti f
juga
Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya
Masih terkait dengan tujuan pembelajaran
tradisional di Indonesia; d) Indonesia pada masa
Sejarah SMA, lebih lanjut Ibu Anik dari SMA negeri
penjajahan; e) Pergerakan kebangsaan, dan
2 Karanganyar secara rinci menyatakan: ”bahwa
f)
tuj uan
kebangsaan Indonesia.
pemb elaj aran
Sej arah
SMA
yai tu:
1) menumbuhkan cinta tanah air; 2) mengetahui proses
Prok lama si
d an
p erke mbangan
nega ra
Dalam penelitian dan pengembangan ini
terbentuknya sebuah Negara Indonesia;
memfokuskan kelas X, sebab: 1) Kelas X masih
3) Mema hami proses kema juan per adab an
merupakan kelas yang umum, dan semua kelas
manusia Indonesia; dan 4) menanamkan sikap
mendapatkan materi yang sama; 2) Kelas X
patriotisme” ungkapnya.
mer upak an k elas awa l si swa masuk SM A,
Da ri b eber apa pend apat di atas dap at
sehingga sebagai pijakan untuk penanaman nilai;
disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran Sejarah
khususnya nilai karakter dan jati diri bangsa.
di SMA antara lain: 1) menanamkan semangat
Khusus untuk kelas X, cakupan materinya terdiri
cinta tanah air ; 2) m engeta hui pr oses t er-
atas: 1) Prinsip dasar ilmu Sejarah; 2) Peradaban
bentuknya Negara Indonesia; 3) meningkatkan
awal masyarakat duni a dan Indonesia yang
rasa persatuan dan kesatuan bagi peserta didik;
tercemin dalam Standar Kompetensi (SK) dan
dan 4) mengetahui proses peradaban manusia
Komptensi Dasar (KD) (Permendiknas Nomor 22/
Indonesia, khususnya dan masyarakat dunia pada
2006) yakni seperti Tabel 1.
umumnya dari masa dulu hingga sekarang.
Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) selain materi seperti yang
Materi Pembelajaran Sejarah
tertera dalam KD-KD tersebut, semestinya guru
Materi mata pelajaran Sejarah untuk sekolah
mengemb angk an a pa y ang menj adi “ local
menengah atas (SMA) meliputi aspek-aspek
wisdom”. Ada beberapa guru yang menyatakan
sebagai berikut: a) Prinsip dasar ilmu Sejarah;
belum, dengan alasan materi Sejarah sudah
b) Pera daba n aw al m asya raka t dunia dan
sangat banyak; namun ada beberapa guru yang
Indonesia; c) Perkembangan negara-negara
menyatakan sudah. Bagi guru Sejarah yang
Tabel 1. Materi Pembelajaran Sejarah Kelas X
Kelas X , Semester 1 Standar Kompetensi 1. Memahami prinsip dasar ilmu Sejarah
Kompetensi Dasar 1.1 Menjelaskan pengertian dan ruang lingkup ilmu Sejarah 1.2 Mendeskripsikan tradisi Sejarah dalam masyarakat Indonesia masa praaksara dan masa aksara 1.3 Menggunakan prinsip-prinsip dasar penelitian Sejarah
Kelas X , Semester 2 Standar Kompetensi 2. Menganalisis peradaban Indonesia dan dunia
Kompetensi Dasar 2.1 Menganalisis kehidupan awal masyarakat Indonesia 2.2 Mengidentifikasi peradaban awal masyarakat di dunia yang berpengaruh terhadap peradaban Indonesia 2.3 Menganalisis asal-usul dan persebaran manusia di kepulauan Indonesia
Sumber: Permendiknas No.22/2006
417
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
menuliskan dan menyatakan sudah, seperti Bapak
yang banyak, sedangkan jamnya sedikit, oleh
Darmono dari SMA Negeri 2 Sukoharjo, dari materi
karenanya metode mengajar yang digunakan
Sejarah Kelas XI tentang “Perlawanan Untung
adalah Cermah Bervariasi”, katanya. “Metode
Suropa ti k etik a me nghadap i Be land a ya ng
cem arah, kemud ian di kombi nasik an dengan
dipimpin oleh Kapten Tack, dan Boyongan Kraton
metode lain, seperti diskusi, tanya jawab dan
da ri K arta sura ke
Sura kart a Ha dini ngra t.
pemberian tugas, termasuk misalnya ada event-
Menying gung Per lawa nan Untung Surap ati
event tertentu, seperti 1 Muharam, dan Sekaten
termasuk local wisdom lebih lanjut Bapak Darmono
sering menugaskan anak-anak untuk membuat
menyatakan bahwa Untung sebagai pemimpin
klipping”, tambahnya.
perlawanan berhasil menghancurkan tentara
Terkait dengan metode mengajar Sejarah,
Belanda dan berhasil membunuh Kapten Tack
dalam prakteknya tidak digunakan sendiri-sendiri,
merupakan suatu prestasi yang gemilang. Dari
melainkan merupakan kombinasi dari beberapa
peristiwa ini, banyak nilai-nilai karakter yang perlu
metode mengajar, seperti ceramah, diskusi, tanya
diteladani oleh bangsa Indonesia, khususnya para
jawab, dan pemberian tugas; sosiodrama, dan lain
peserta didik, seperti nilai keberanian karena
sebagainya (Suryani, 2012).
benar, jiwa kepahlawanan, jiwa nasionalisme membela bangsa dan Negara, rela berkorban
Media Pembelajaran Sejarah
dengan senjata seadanya mampu menghan-
Pembelajaran akan berlangsung dengan efektif
curkan tentara Belanda dengan pasukan lengkap”
da n ef isie n ji ka d itunjang de ngan
ungkapnya.
pembelajaran. Terkait dengan media pembel-
med ia
Lebih lanjut, Ibu Titik dari SMA Ngemplak
ajaran yang digunakan oleh guru-guru Sejarah
Boyolali, “menyatakan ada local wisdom yang
SMA Solo Raya antara lain: gambar, peta Sejarah,
dikembangkan yakni Penulisan tentang Sejarah
peta Indonesia, peta dunia, peta konsep, media
Boyolali. Guru memberikan tugas untuk mene-
pohon pintar, kartu soal/pernyataan, microsof
lusuri, baik lewat wawancara, angket atau pun
power point, CD film, LCD. Seperti yang di-
dokumentasi yang selanjutnya membuat laporan
ungkapkan ibu Tatik dari SMA Negeri Ngemplak
tentang Sejarah Boyolali dan dipresentasikan di
“bahwa untuk media pembelajaran Sejarah yang
kelas” tuturnya.
sering saya gunakan adalah media pohon pintar,
Dengan gambaran di atas, dapat diketahui bahwa dengan diberlakukannya KTSP, mem-
kartu soal/pernyataan, microsof power point, CD film, LCD” tegasnya.
ber ikan kel elua saan bag i guru untuk dap at
Ibu Ida dari SMA Negeri Kartasura, me-
mengembangkan materi-materi Sejarah lokal yang
nyatakan “terkait media yang sering saya gunakan
dapat menunjang materi pembelajaran Sejarah
adalah media kartu soal atau pernyataan, peta
secara nasional.
konsep, dan LCD dengan power point dan ternyata ini sangat menarik bagi anak-anak” katanya.
Metode Pembelajaran
“Dengan power point kita sebagai guru juga enak
Terkait dengan metode pembelajaran yang sering
hanya perlu persiapan yang matang, sedangkan
digunakan guru-guru SMA di Solo Raya, antara
bagi siswa ternyata sangat menarik, perhatian
lain: ceramah, tanya jawab, diskusi, bermain
anak-anak terpusat” tambahnya.
peran, problem solving, dan pemberian tugas baik
Di liha t da ri m edia pem bela jara n ya ng
te rstr uktur ma upun mandiri . Se pert i ya ng
diterapkan guru-guru Sejarah di Solo Raya, untuk
diungkapkan Bapak Teguh dari SMA Negeri Sragen
penggunaan media dalam pembelajaran Sejarah
bahwa “Guru Sejarah kebanyakan menggunakan
tampaknya sudah bervariasi mulai dari yang
metode Ceramah atau Ceramah Bervariasi, yakni
sederhana seperti gambar/foto sampai dengan
me tode cer amah yang d ivar iasi kan deng an
LCD.
metode lain, seperti diskusi, tanya jawab dan pemberian tugas”.
Evaluasi Pembelajaran Sejarah
Hal senada juga diungkapkan Ibu Sara dari
Terkait dengan evaluasi pembelajaran Sejarah
SMA Negeri 8 Surakarta:”karena materi Sejarah
guru-guru Sejarah SMA Solo Raya menang-
418
Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya
gapinya bervariasi. Ada beberapa guru yang
1) kurangnya buku Sejarah yang dimiliki siswa,
menyata kan
seri ng
2) adanya d iskr iminasi dari pub lik tent ang
digunakan dalam pembelajaran Sejarah adalah
bahw a
ev alua si
y ang
pelajaran yang di-UAN-kan dan tidak di-UAN-kan;
tes lisan dan tes tertulis yang meliputi obyektif
3) siswa kurang semangat membaca; 4) kurang
tes dan essay. Hal ini seperti yang dikemukakan
mengikuti
Ibu Tita dari SMA Negeri 5 Surakarta:”untuk
5) sarana yang disediakan sekolah untuk IPS/
evaluasi pembelajaran Sejarah tes lisan dan tes
Sejarah kurang”. Ibu Titik dari SMA Ngemplak
tertulis yang meliputi obyektif tes dan essay atau
Boyola li m enya taka n: “fak tor peng hamb at
uraian” katanya.
pembelajaran Sejarah, yakni: 1) Buku Paket BSE
p erke mbangan
teknolog i;
d an
Ada juga yang menyebutkan tes pilihan ganda
tidak ada; 2) minimnya literatur Sejarah; 3) LCD
atau obyektif dan uraian atau essay, bahkan ada
yang terbatas sehingga power point yang telah
yang menyebutkan penilaian kognitif dan penilaian
disiapkan terkadang tidak dapat disampaikan
afektif. Hal ini seperti yang dikemukakan Bapak
secara optimal, dan 4) guru Sejarah sendiri yang
Heri dari SMA Negeri Surakarta “bahwa untuk
dalam mengajarnya monoton, sehingga berlaku
evaluasi pembelajaran Sejarah soal pilihan ganda
stigma “Sejarah membosankan”.
atau obyektif dan uraian atau essay” paparnya.
Terkait dengan minimnya jam pelajaran untuk Sejar ah, sebe narnya g uru seba gai de sainer
Faktor Penghambat dan Pendukung
pembelajaran diharapkan mampu untuk menge-
Pembelajaran Sejarah SMA
mas materi dan menyusun atau mengatur waktu
Untuk menelusuri faktor-faktor penghambat dan
sedemikian rupa, sehingga keterbatasan jam
faktor pendukung dalam pembelajaran Sejarah
dapat diatasi. Demikian pula agar pembelajaran
SMA di Solo Raya dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sejarah dapat manarik dan menyenangkan, guru Sej arah har us m ampu mem buat “mukjizat”
Faktor Penghambat Pembelajaran Sejarah
(M eule n, 1 987) ; se bab Sej arah mer upak an
Terkait dengan faktor penghambat dari hasil
peristiwa masa lampau, peristiwa yang sudah
ang ket dan wawa ncar a da pat dike muka kan
mati, maka tugas guru membuat peristiwa masa
sebagai berikut. Bapak Darmono dari SMA Negeri
lampau yang mati itu seolah-olah hidup kembali.
2
Sukoharjo
pengham bat
menyata kan:
“ba hwa
pemb elaj aran
Sej arah,
fakt or yai tu
Faktor Pendukung Pembelajaran Sejarah
terbatasnya waktu, khususnya untuk kelas X jam
Terkait faktor pendukung ada gambaran yang
pelajaran Sejarah hanya 1 jam yakni 1 x 45 menit,
bervariasi juga, antara lain ada yang menye-
dan kelas XI-IPA juga hanya 1 jam (1 x 45 menit).
butkan bahwa faktor pendukung pembelajaran
Padahal materi Sejarah Kelas X dan materi
Sejarah adalah adanya semangat siswa untuk
Sejarah Kelas XI IPS sangat banyak, sehingga
memiliki atau membeli buku dan LKS Sejarah
pembahasannya sering tidak tuntas” tegasnya.
sebagai pegangan. Ada yang menyebutkan faktor
“It ulah
ya ng
pendukung adalah adanya tambahan penge-
di guna kan adal ah cera mah, dan pem beri an
seb abny a
me tode
tahuan dari internet. Lain lagi seperti yang
tugas”. Bapak Sarjoko dari SMA Negeri 2 Boyolali
dikemukan oleh Ibu Titik dari SMA Negeri Ngemplak
me nyat akan:
peng hamb at
bahwa faktor pendukung pembelajaran Sejarah
pe laksanaa n pe mbel ajar an Sejar ah, yait u:
ada lah adanya p ener apan ber baga i model
1) minimnya buku-buku sumber, khususnya
pembelajaran yang diterapkan, sehingga pem-
pegangan siswa maupun referensi lain yang
be laja ran Seja rah menj adi “ fun” dan siswa
me nunj ang pemb elaj ara n; 2 ) ti dak adanya
menunggu “seorang guru Sejarah” tegasnya.
“b ahwa
mengaja r
fak tor
laboratorium atau lab IPS/Sejarah; dan 3) sulit dan mahalnya mengakses arsip nasional”. Masih terkait dengan faktor penghambat
Pemahaman Guru Sejarah SMA Terhadap Model-Model Pembelajaran
pembelajaran Sejarah, Ibu Ana dari SMA Negeri 2
Te rkai t de ngan mod el- mode l pe mbel ajaran
Karanganyar menyatakan: “bahwa yang menjadi
inovatif, sebagian besar guru-guru Sejarah SMA
faktor penghambat pembelajaran Sejarah adalah:
di Solo Raya telah memahami, namun dalam
419
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
pra ktek pem bela jara n be lum bany ak y ang
Bagaimana kesan para siswa ketika guru
menerapkannya. Model-model pembelajaran yang
menerapkan model-model pembelajaran inovatif,
pernah dipraktekkan antara lain: Pembelajaran
seperti sangat menyenangkan, bersemangat,
Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning
pembelajaran Sejarah menjadi hidup, siswa
(CTL), Pembelajaran Kooperatif, seperti Student
menjadi lebih aktif dalam pembelajaran. Seperti
Team Achievement Division (STAD), Jigsaw, Model
yang diungkapkan Bapak Sriyanto dari SMA Negeri
Index Card Macth, Teams Games Tournament (TGT),
Ngemplak Boyolali, bahwa “pembelajaran dengan
Metode Struktural seperti Mencari Pasangan,
model-model pembelajaran yang inovatif sangat
Benar Salah Berantai dan Peta Konsep. Variasi
menyenangkan, siswa menjadi lebih aktif dan
model-model pembelajaran inovatif dapat dilihat
pembelajaran menjadi bermakna” ungkapnya. Hal
pada Tabel 2.
senada juga diungkapkan Ibu Tatik dari SMA Neg eri
Ngemp lak
Boyol ali,
bahw a
“ kal au
Tabel 2. Model-Model Pembelajaran Inovatif yang pernah dipraktekkan
No.
Pernyataan
Frekuensi
Prosentase
1
Kontekstual
20
80
2
Kooperatif: STAD, Jigsaw, Model Index Card Macth, Metode Struktural seperti Mencari Pasangan, dan Benar Salah Berantai
15
60
3
Quantum: Peta Konsep
10
40
4
Model lainnnya
15
60
Dari data di atas dapat diketahui bahwa guru-
menerapkan model pembelajaran yang inovatif
guru SMA di Solo Raya sebagian besar pernah
anak-anak senang, ceria; mereka aktif dan kreatif
menerapkan model pembelajaran Kontekstual.
dalam pembelajaran, sehingga pembelajaran
De ngan
menjadi menarik, bermakna, dan menyenangkan”.
dem ikia n,
pemb elaj aran
Se jar ah
diharapkan menjadi lebih menarik dan bermakna
Terkait dengan rumusan 1 ,2 dan 3 yang erat
bagi peserta didik. Untuk model-model yang lain
kaitanya dengan upaya guru Sejarah di Solo Raya
masih banyak yang belum dipraktekkan secara
meningkatkan kualitas pembelajarannya adalah
optimal. Alasan guru-guru klasik, yakni materinya
kegiatan mengikuti Penataran, Seminar, Loka-
sa ngat banyak, sed angk an j amny a se diki t.
kar ya,
Padahal dengan mempraktekkan model-model
tambahan wawasan pengetahuan. Seperti yang
pembelajaran dapat menghemat waktu dan bagi
dilakukan oleh Ibu Ana dari SMA 2 Karanganyar.
Work shop
dan
sej enisnya
siswa sanga t me nari k da n me nyenangk an (Sugiyanto, 2010). Tabel 3. Kegiatan Seminar/Diklat/Workshoup Ibu Ana
No
420
1
Jenis Kegiatan Seminar
Judul Kegiatan
Tahun
Eksistensi Mata pelajaran Sejarah dalam KTSP
2008
2
Seminar
Profesionalisme Guru
2008
3
Diklat
Analisis Hasil Tes
2008
4
Seminar
2009
5
Diklat
Revitalisasi Nilia-Nilai Perjuangan RA Kartini dalam Pendidikan Basic Hipno Class Length of Time for Studying
6
Diklat
Percepatan Belajar siswa
2009
7
Workshop
In House Training (IHT)
2010
2009
seba gai
Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya
Adapun budaya yang telah ditanamkan di SMA
berdasarkan data yang dikumpulkan melalui
se-Solo Raya terkait dengan penanaman nilai-nilai karakter kepada warga SMA, khususnya peserta
wawancara; 2)
Tahap berikutnya perumusan model final yang
didik, seperti yang diungkapkan oleh Bapak
dilakukan secara partisifatif dengan melibat-
Darmono dari SMA Negeri 2 Sukoharjo, “Di SMA
kan seluruh pemangku kepentingan ( stake-
Negeri 2 Sukoharjo, upaya untuk menamkan nilai-
holder) terkait, yakni dinas pendidikan, Kepala
nilai karakter siswa, misalnya: 1) berjabat tangan
Sekolah, dan guru-guru Sejarah SMA di Solo
dengan Bapak/Ibu guru yang sedang tugas piket
Raya sebagai ujung tombak pelaksanaan
di depan pintu gerbang sekolah pada pagi hari;
pembelajaran di kelas;
2) Mengucapkan salam kepada Bapak/Ibu guru;
3.
Perumusan model
tahap akhir dilaksanakan
3) Pembelajaran diawali dan diakhiri dengan doa,
melalui diskusi kelompok terarah (FGD). Di
4) Bagi siswa yang terlambat diadakan pembinaan
FGD ini akhirnya disepatai model yang akan
sebelum diijinkan masuk, dan 5) Melepas jaket
diimplementasikan, yakni Model Kritis, Kreatif,
ap abil a
Berantai dan Berkarakter (KKBB).
me masuki
l ingk unga n
se kola h”
ungkapnya.
Contoh Silabus Sejarah SMA berkarakter
Dengan demikian, secara implisit terkait
(Kelas X Semester 1) dan sintak atau langkah-
dengan pembelajaran yang mengimplementasi-
langkah model KKBB, dapat dilihat pada Contoh
kan pendidikan karakter, sekolah-sekolah SMA di
1.
Solo Raya telah menanamkan pendidikan karakter kepada warga SMA, khususnya kepada peserta
Sintak/Langkah-langkah Model Pembelajaran
didik. Pembelajaran Sejarah sarat dengan nilai,
Kritis Kreatif Berantai dan Berkarakter
oleh karena itu guru Sejarah tidak hanya sekedar
(KKBB)
“transfer of knowledge”, tetapi juga “transfer of
Sebelum pelaksanaan pembelajaran Model KKBB,
values” (Sardiman, 2002). Nilai-nilai karakter
guru perlu menginformasikan kepada siswa:
seperti religius, semangat kebangsaan, cinta
1.
tanah air, rela berkorban, rasa tanggung jawab, disiplin, toleransi, kerja sama, cinta damai, kerja
Topik yang aka n di pela jari dan bahan bacaannya.
2.
Da ri b ahan yang di bahas a kan dibuat
keras dan kreatif perlu ditumbuhkembangkan
pertanyaan/pernyataan (40-45 soal) yang
ter us l ewat pem bela jara n Se jara h. H al i ni
mengandung unsur kritis dan kreatif, dan
diperkuat oleh penelitian Ghufron (2010) yang menyatakan bahwa salah satu masalah krusial
terbagi menjadi 8-9 Kartu Soal. 3.
Kelas akan dibagi menjadi 8-9 kelompok dan
bangsa Indonesia, terutama yang berkaitan
masing- masi ng k elom pok meng guna kan
dengan penyiapan SDM siap berkompetitif di era
nama pahlawan nasional, dan nama tersebut
global adalah krisis nilai-nilai
karakter bangsa.
Oleh karena itu, perlu adanya integrasi nilai-nilai
ditulis dalam Kartu Soal. 4.
Setiap kartu soal diberi tanda A, B, C, D, E, F,
karakter bangsa dalam kegiatan pembelajaran
G, H,dan I.
untuk semua mata pelajaran di sekolah, termasuk
Langkah-langkah Model Pembelajaran Kritis
mata pelajaran Sejarah. Dengan ini diharapkan
Kreatif Berantai dan Berkarakter (KKBB) dapat
para peserta didik kelak menjadi anak-anak
dilihat pada Contoh 2.
bangsa dan cerdas dan beraklak mulia, guna me ncap ai
I ndonesia
ema s
di
masa-ma sa
mendatang. Prosedur Penyusunan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter Prosedur dimaksud meliputi: 1)
Pengembangan model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Ra ya, pada tahap a wal nya dirumusk an
421
422 ……………………………….. NIP……………………………
Sejarah
……………, ………………….2012
…………………………… NIP. ………………………
: 1. Memahami Prinsip Dasar Ilmu Sejarah.
Standar Kompetensi
Guru
: Sejarah : X/ 1
Kelas X Semester 1
Mengetahui Kepala Sekolah
: SMA…………..
Mata Pelajaran Kelas Semester
Silabus Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendidikan Karakter
Nama Sekolah
Contoh 1.
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya
Contoh 2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kritis Kreatif Berantai dan Berkarakter (KKBB)
No
Fase
Kegiatan Guru
Kegiatan Siswa
1
Fase 1 Menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa
a. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan memotivasi belajar siswa b. Guru menyampaikan nilai-nilai karakter yang ingin dikembangkan
a. Siswa memperhatikan tujuan pembelajaran dan merespon motivasi belajar dari guru. b. Memperhatikan dan memahami Nilai
2
Fase 2 Penyajian materi dan pembagian kartu soal yang berisi materi dan nailai-nailai karakter yang dapat dipetik dan dikembangkan
a. Guru menjelaskan garis besar materi Prinsip-prinsip Dasar Penelitian Sejarah b. Guru menjelaskan langkahlangkah model pembelajaran Kritis Kreatif Berantai dan Berkarakter (KKBB). c. Guru membagi siswa dalam 9 kelompok, dan setiap kelompok terdiri dari 4 orang. Cara membagi kelompok yakni siswa satu persatu menyebutkan nomor urut 1 s.d 9. Siswa yang menyebut angka 1 berkumpul menjadi satu kelompok, siswa yang menyebut angka 2 berkumpul menjadi satu kelompok, dan seterusnya. d. Nama-nama kelompok diambil dari nama pahlawan Indonesia, yakni kelompok Soekarno, Moh. Hatta, Dr Soetomo. Dr Wahidin Sudirohusodo, Dowes Dekker, Moh Yamin, RA Kartini. Ki Hajar Dewantara, dan Slamet Riyadi. Setiap kelompok memilih dan mengambil satu kartu nama kelompok tersebut.
a. Siswa pemperhatikan dan merespon penjelasan guru, baik mengenai materi, sintak pembelajaran, maupun nilai-nilai karakter b. Siswa merespon dengan mengelompok menjadi 9 kelompok, dan namanama masing-masing kelompok ditulis dalam kartu soal. c. Setiap kelompok memilih dan mengambil satu kartu nama kelompok tersebut. d. Memilah dan memilih nilai
423
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
3
Fase 3 Mengorganisir ke dalam kelompokkelompok belajar
a. Guru memberikan satu kartu yang berisi 5 pernyataan untuk setiap kelompok. Kelompok pertama diberi kartu A, kelompok kedua diberi kartu B, dan seterusnya b. Guru meminta siswa untuk setiap kelompok mendiskusikan pernyataan tersebut, kemudian mengkritisi apakah pernyataan tersebut Benar atau Salah. c. Guru menginformasikan, jika jawaban salah, maka tugas tiap kelompok menuliskan jawaban yang benar.
a.
Setiap kelompok mendapat satu kartu yang berisi 5 pernyataan, Kelompok pertama diberi kartu A, kelompok kedua diberi kartu B dan seterusnya, hingga kartu I b. Tugas setiap kelompok adalah mendiskusikan pernyataan tersebut, kemudian mengkritisi apakah pernyataan tersebut Benar atau Salah. c. Siswa merespon informasi guru untuk mencermati setiap jawaban, dan jika jawaban salah, maka tugas tiap kelompok menuliskan jawaban yang benar. d. Mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai
4
Fase 4 Membimbing kelompok kerjasama dan mengerjakan tugas
a. Guru menginformasikan setelah semua kelompok selesai melakukan tugas, kartu soal diputar untuk diberikan kelompok di sampingnya. Dengan demikian, kelompok 2 akan mendapatkan kartu pernyataan baru, yakni kartu C, dan seterusnya. b. Setelah masing-masing kelompok menerima kertas yang baru, tugas seperti pada langkah nomor 6 diulangi sampai pada kartu soal kesembilan, artinya sampai semua kelompok mendapatkan semua kartu pernyataan.
a.
Siswa merespon informasi guru. b. Masing-masing kelompok menerima kartu soal yang baru, dan mengerjakan tugas tersebut sampai pada kartu soal kesembilan. c. Mengekpresikan dan menghargai nilai
Simpulan dan Saran
Sejarah dilakukan melalui ceramah bervariasi, dan
Simpulan
medianya menggunakan IT dalam bentuk media
Mengacu pada hasil penelitian dan pembahasan,
power point, film, dan LCD. Adapun pelaksanaan
disimpulkan sebagai berikut. Tujuan pembelajaran
eva luasi pe mbel ajar anny a
Se jara h
mena namk an
cenderung masih didominasi aspek kognitif,
semangat kebangsaan, cinta bangsa dan tanah
dibandingkan dengan aspek afektif dan spi-
air. Dalam penyampaian materi Sejarah telah
komotoriknya.
di maksudka n
untuk
pa da umumnya
sesuai dengan Standar Isi (SI) Kurikulum Sejarah
Faktor pendukung keberhasilan pembelajaran
SMA. Pa da umumnya m etod e pe mbel ajar an
Sejarah, yaitu adanya model-model pembelajaran
424
Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya
inovatif dari guru Sejarah sendiri, sedangkan
menyajikan materi dengan baik dan menarik,
faktor penghambatnya antara lain buku BSE yang
disarankan agar guru Sejarah menguasai materi
minim, jam pelajaran yang kurang (hanya 1 jam
dan media pembelajaran Sejarah; 2) Untuk
pelajaran/minggu) khususnya Kelas X dan kelas
mengatasi kekurangan buku sejarah, sekolah
XI IPA), serta materinya banyak. Bahkan terkesan
dapat menyarankan kepada setiap lulusan SMA,
terjadi diskriminatif antara mata pelajaran yang
baik secara orang per orang atau kelompok
di UAN-kan dan yang tidak di UAN-kan.
memberikan sumbangan buku Sejarah yang
Sebagian besar guru-guru SMA di Solo Raya
diperlukan oleh adik kelasnya. Di samping itu,
telah memahami dan mempraktikkan model-model
setiap SMA wajib menganggarkan sekurang-
pembe lajaran yang inovatif. Terkait d engan
kurangnya 5% dari RAPBS diperuntukkan untuk
pengembangan model, telah tersusun model
pembelian buku-buku pelajaran SMA secara
pembelajaran Sejarah SMA berbasis pendidikan
proporsional; 3) Pembelajaran Sejarah sarat
karakter, yakni Model Kritis, Kreatif Berantai, dan
dengan nilai, oleh karena itu guru Sejarah tidak
Berkarakter (KKBB).
hanya sekedar “transfer of knowledge”, akan tetapi juga “transfer of values”. Nilai-nilai karakter yang
Saran
dap at
Ber dasa rkan
pad a
si mpul an
d ikem bang kan
lewa t
pe mbel ajar an
p enel itia n,
Sejarah, antara lain: religius, semangat ke-
di sara nkan aga r: 1 ) Guru Sejar ah sebag ai
bangsaan, cinta tanah air, rela berkorban, rasa
seorang disainer harus mampu mengemas materi
tanggung jawab, menghargai prestasi, disiplin,
dan mengatur waktu dengan baik. Di samping itu,
toleransi, kerja keras, mandiri dan kreatif. Dalam
guru berusaha mengoptimalkan penggunaan
hal model pembelajaran, guru Sejarah diwajibkan
model- mode l pe mbel aja ran, kar ena deng an
untuk mengembangkan model-model pembel-
menerapkan model-model pembelajaran dapat
ajaran Sejarah lainnya, sehingga pembelajaran
meminimalkan waktu, sehingga pembelajaran
Sejarah akan lebih efektif dan efisien serta
menjadi menarik dan menyenangkan. Untuk dapat
menarik siswa untuk belajar lebih aktif.
Pustaka Acuan Arends, Ricahrd I. 2000. Learning to Teach. New York: Mc Graw Hill. Elmubarok, Zaim. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Ghufron, Anik. 2010. Integrasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa Pada Kegiatan Pembelajaran. Cakrawala Pendidikan. Mei 2010. Tahun XXIX. Edisi Khusus Dies Natalis UNY. Jacobsen, David A, Eggen, Paul, and Kauchak, Donald. 2009. Methods For Teaching. New Jersey: Pearson Education, Inc. Joyce, Bruce; Weil, Marsha, & Showers, B. 2002. Models of Teaching. Seventh Edition. Boston: Alylyn & Bacon. Joyce, Bruce, Weil, Marsha, and Calhoun, Emily.2009. Models of Teaching. New Jersey: Pearson Education, Inc. Kartodirdjo, Sartono. 1988. Fungsi Pengajaran Sejarah dalam Pembangunan Nasional. Harian Kompas, 26 September 1988. Kaswadi, E.K. 1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indoensia. Kementerian Pendidikan Nasional. 2010a. Bahan Pelatihan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.
425
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010b. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kemendiknas. Mardiatmadja, B.S.1996. Tantangan Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius Meulen, van der. 1987. Ilmu Sejarah dan Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Miles, Matthew B & Huberman, A Michael. 1984. Qualitative Data Analysis. London-New Delhi: Sage Publications. Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Pendidikan
Dasar dan Menengah. Rokhman, Nurhadi, dan Muhsinatun S. 2006. Pengembangan Kurikulum Pengetahuan Sosial Terpadu secara Tematik di Tingkat SLTP: Sebuah Pemikiran Awal. ISTORIA. Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah. Vol.1 No.2, Maret 2006. Yogyakarta: FISE. Sanjaya, Wina. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Cetakan ke-7. Jakarta: Prenada Media Group. Sardiman, A.M. 2002. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers. Solo Pos. 19 Juni,
2011. Pendidikan Karakter Dicanangkan: Siswa Harus SMK.
Sugiyanto. 2010. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru (PSG) Rayon 13 Surakarta. Suryani, Nunuk. 2012. Strategi Belajar Mengajar. Yogyakarta: Ombak. Sutopo, H.B. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Suyanto. 2010. Urgensi Pendidikan Karakter. http://www.mandikdasmen. depdiknas.go.id/web/pages/ urgensi.html, diunduh 11 April 2011. Syukur, Abdul. 2010. Membangun Karakter Bangsa Lewat Sejarah (Refleksi 65 Tahun Pengajaran Sejarah di Indonesia. Artikel. diunduh, 21 Juni 2012. Undang-Undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2005.
Jakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Wardhani, Kristi. 2010. Peran Guru dalam Pendidikan Karakter Menurut Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewsantara. Proceeding of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, 8-10 November 2010, diunduh 21 Juni 2012. Zuriah, Nurul. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara.
426
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL KOOPERATIF NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) DI KELAS X SMA NEGERI 1 BEDUAI KABUPATEN SANGGAU IMPROVING STUDENTS ACHIEVMENTS BY USING COOPERATIVE MODEL OF NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) AT CLASS X OF PUBLIC SENIOR HIGHT SCHOOL 1 BEDUAI SANGGAU Ahmad Jamalong STKIP PGRI Pontianak e-mail:
[email protected] Diterima tanggal: 4/04/2012, Dikembalikan untuk revisi: 6/08/2012 Disetujui tanggal: 20/12/2012 Abstrak: Penelitan ini bertujuan untuk menganalisis hasil belajar siswa dengan penggunaan sebuah model kooperatif Numbered Heads Together (NHT). Penelitian dilakukan pada Kelas X di SMAN 1 Beduai Kabupaten Sanggau tahun pelajaran 2011/2012 dengan menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Subyek penelitian sebanyak 38 siswa kelas X yang dipilih secara random sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan tes, kemudian dilakukan tindakan menggunakan Penelitian Tindakan Kelas. Tindakan penelitian dilakukan sebanyak 2 siklus dengan materi Sistem Hukum Nasional untuk siklus I, Peran dan Fungsi Lembaga Peradilan untuk siklus II. Setiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa sebelum dilaksanakan tindakan tidak ada satu pun siswa yang mencapai tingkat ketuntasan. Setelah dilaksanakan tindakan pada siklus I terjadi peningkatan hasil belajar pada siswa yang mencapai ketuntasan sebanyak 11 siswa (34,38%) dan tindakan pada siklus II terdapat 20 siswa (54,82%) yang mencapai ketuntasan belajar. Hal ini dinyatakan bahwa model kooperatif Numbered Heads Together (NHT), sangat efektif dapat meningkatkan hasil belajar siswa, khususnya pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Kata kunci: model kerja sama, teknik belajar mengajar kepala bernomor, hasil belajar, dan Pendidikan Kewarganegaraan Abstract: The purpose of the research is to analyze the students’ achievements by using Cooperative Model of Numbered Heads Together (NHT). The research was applied to class X of Public Senior High School 1 Beduai Sanggau in academic year of 2011/2012 by using classroom action research (CAR). The research subject consist of 38 students of class X that were chosen by using random sampling. The data were collected by using test, then action was applied by using classroom action research. Action research was applied for 2 cycles with “Sistem Hukum Nasional” in the first cycle and “Peran dan Fungsi Lembaga Peradilan” in the second cycle. Every cycle consist of planning, action, observation and reflection. The result of study shown that there were no students’ achievements before the action applied. In the cycle 1 there were an increasing achievements to 11 students (34.38%) dan action in the cycle II shown there were an increasing achievement to 20 students (54.82%). It can be stated that Cooperative Model of Numbered Heads Together (NHT) is very effective to improve students’ achievements especially in “Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)” subject. Keywords: model, cooperative numbered heads together (NHT), achievements, and Civics Education.
394
Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau
Pendahuluan
belajar, dan penerapan. Sebagai evaluator, guru
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20/2003
melakukan tes, pengukuran dan penilaian atau
tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan
evaluasi untuk dapat melihat
bahwa “Pendidik an adalah usaha sada r dan
ketuntasan tujuan pendidikan dan pengajaran.
ketercapaian
dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar
Pendidikan kewarganegaraan (PKn) di SMA
dan proses pembelajaran agar peserta didik
bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan
secara aktif mengembangkan potensi dirinya
membentuk sikap positif terhadap kepribadian
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
dirinya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
keluarga, masyarakat, dan negara, memupuk
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
sikap ilmiah yang jujur, objektif, terbuka, kritis dan
masyarakat, bangsa dan bernegara” (Depdiknas,
dapat bekerja sama dengan orang lain. Melalui
2003)
mata pelajaran PKn diharapkan agar siswa dapat
Pendidikan sebagai suatu upaya mencer-
mem aham i konsep dan pri nsip PKn ser ta
daskan kehidupan bangsa diharapkan mampu
ket erka itannya
memberikan peran dan andilnya dalam me-
menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-
ningkat kan pemba ngunan. Oleh kare na i tu,
hari.
pe ndid ikan
har usla h
ma mpu
memb erik an
Pe neli tian
dan
pene rapa nnya
ter hada p
unt uk
pe mbel ajar an Pkn
kontribusi yang nyata terhadap pembangunan
diperoleh antara lain temuan yang menunjukkan
tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
bahwa dalam mengajar guru sering menggunakan
wujud nyata dari kebijakan Pemerintah dengan
metode direct interaction (pembelajaran langsung)
menetapkan Undang-Undang Nomor 20 tahun
dengan mode l ce rama h, t anya jaw ab, dan
20 03 t enta ng Siste m Pendi dika n Na sional
penyampaiaan informasi, sehingga guru monoton
seb agai mana Pasal 3
“Pendidi kan
pada saat proses pembelajaran berlangsung.
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
Pembelajaran diawali dengan perkenalan diri
dan membentuk watak serta peradaban bangsa
ter lebi h da hulu. Pa da saat peny ajia n, g uru
yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan
langsung memberikan informasi tentang tata
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkem-
tertib saat proses belajar berlangsung, kemudian
ba ngny a pe sert a di dik agar dap at m enja di
guru langsung menyampaikan materi yang akan
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
disampaikan selama satu semester dan guru
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
mencatat di papan tulis. Keadaan seperti ini,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
mengakibatkan siswa lebih banyak mencatat apa
Negara yang demokratis serta b ertanggung
yang dicatat di papan tulis dan mendengarkan
jawab” (Depdiknas, 2003).
apa yang dijelaskan. Bahkan pada saat guru
bahwa:
Guru merupakan komponen yang paling
menjelaskan, masih ada juga siswa yang masih
penting perannya dalam kegiatan pembelajaran
me ncat at. Pemb elaj aran sep erti ini dap at
yang mengendalikan suasana di kelas. Oleh
mengakibatkan siswa tidak bergairah untuk
karena itu, sedini mungkin guru haruslah mampu
mengikuti p elaj aran ber lang sung , se hing ga
be rper an
mer eka menj adi kura ng b erse mang at d an
sebag ai
p elak u
da lam
proses
pe mbel ajar an d an j uga sek alig us sebag ai
bermalas-malasan.
evaluator terhadap proses pembelajaran yang
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini
diberikan kepada siswa. Sebagai pelaku, guru
yaitu apakah dengan penerapan model kooperatif
merupakan orang yang bertindak sebagai sumber
Numbered Heads Together (NHT) dapat me-
belajar yang menyimpan dan menyalurkan pesan
ningkatkan hasil belajar siswa kelas XA SMA Negeri
kepada siswa. Guru juga sebagai perantara dalam
1 Beduai Kabupaten Sanggau? Secara khusus
menyampaikan pesan
masalah dalam penelitian ini yaitu: Bagaimana
kep ada
sisw a.
materi atau bahan belajar proses
hasil belajar siswa kelas XA SMA Negeri 1 Beduai
pembelajaran, guru mengatur dan menciptakan
Sebag ai
p enge lola
Kab upat en Sangg au sebel um d an sesud ah
kondisi belajar yang kondusif dengan melakukan
dilaksanakannya tindakan?
pe rencanaa n pe ngaj ara n, p enyi apan med ia
395
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Kajian Literatur
5) siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan
Pembelajaran Kooperatif menurut Slavin (1995)
hadiah/penghargaan yang akan dikenakan untuk
adalah pembelajaran yang dilakukan secara
semua anggota kelompok; 6) siswa berbagi
berkelompok, siswa dalam satu kelas dijadikan
ke pemi mpinan
dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari
keterampilan untuk belajar bersama selama
4 sampai 5 orang untuk memahami konsep yang
pr oses bel ajar nya;
difasilitasi oleh guru (dalam Yuliarni, 2009).
mempertanggungjawabkan secara individual
Menurut Riyanto (2010) bahwa pembelajaran
materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
kooperatif merupakan model pembelajaran yang
Menurut Riyanto (2010) unsur-unsur dalam
d an
m ere ka da n 7)
siswa d iminta
di rancang untuk me mbe laja rkan kecakap an
pe mbel ajar an
ak adem ik,
sosia l.
1) mengembangkan interaksi yang silih asah, silih
Sementara itu, Hayati (2002) menyatakan bahwa
asih, dan silih asuh antar sesama sebagai latihan
pembelajaran kooperatif merupakan strategi
hidup bermasyarakat; 2) saling ketergantungan
pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa
positif antara individu (setiap individu mempunyai
da lam suat u ke lomp ok keci l untuk sali ng
kontribusi dalam mencapai tujuan); 3) tanggung
berinteraksi. Dalam sistem kooperatif, siswa
jawab secara individu; 4) temu muka dalam
belajar bekerja sama dengan anggota lainnya.
proses pembelajaran; 5) komunikasi antara
Dalam model ini, siswa memiliki dua tanggung
anggot a ke lomp ok; dan 6) e valuasi proses
jawab, yaitu mereka belajar untuk dirinya sendiri
pembelajaran kelompok.
seka ligus
ke tera mpil an
k oope rati f
m embutuhk an
se baga i
be rikut:
dan membantu sesama anggota kelompok untuk
Berdasarkan beberapa pendapat di atas,
belajar. Siswa belajar bersama dalam sebuah
dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur yang
kelompok kecil dan mereka melakukan seorang
penting dalam pembelajaran kooperatif, yaitu:
diri (Rusman, 2011).
1) adanya rasa tanggung jawab antaranggota merupakan kegiatan
kel ompok; 2 ) ad anya tenggang ra sa d an
be laja r si swa yang dil akuk an d enga n ca ra
Cooperative learning
menghar gai anta rang gota kel ompok da lam
berkelompok. Model pembelajaran kelompok
belajar, sehingga tercipta komunikasi yang baik;
adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan
3) adanya rasa kebersamaan dalam belajar
oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu
sehingga setiap siswa bisa memahami makna dan
untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah
hasil belajar mereka; dan 4) adanya presentasi
dirumuskan (Senjaya dalam Yatim Riyanto, 2010).
hasil kerja sama antaranggota kelompok yang
Dari pendapat para ahli, dapat disimpulkan
kemudian hasil itu akan menentukan mereka
bahwa pembelajaran kooperatif adalah bentuk
terhadap evaluasi/penghargaan dari guru.
pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil
Prinsip Pembelajarn Kooperatif
secara kolaboratif yang anggotanya terdiri atas
Ada lima prinsip yang mendasari pembelajaran
empat sampai lima orang siswa dengan struktur
kooperatif (Riyanto, 2010), yaitu: 1) Positive
kelompok yang bersifat heterogen.
independence, artinya adanya saling ketergantung an p osit if, yakni anggot a ke lomp ok
Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif
menyada ri
Unsur-unsur pembelajarn kooperatif (Rusman,
mencapai tujuan; 2) Face to face interaction,
2011) yaitu sebagai berikut: 1) siswa dalam
artinya antaranggota berinteraksi dengan saling
kel ompoknya har usla h be rang gapa n ba hwa
berhadapan; 3) Individual accountability, artinya
mer eka sehi dup sepe nang gung an b ersa ma;
setiap anggota kelompok harus belajar dan aktif
2) siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu
memberi kan kontribusi untuk menca pai ke-
dalam kelompoknya seperti milik mereka sendiri;
berhasilan kelompok; 4) Use of collaborative/social
3) siswa haruslah melihat bahwa semua anggota
skill, artinya harus menggunakan keterampilan
di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama;
bekerja sama dan bersosialisasi. Antara siswa
4) siswa haruslah membagi tugas dan tanggung
mampu berkolaborasi perlu adanya bimbingan
jawab yang sama di antara anggota kelompoknya;
guru; dan 5) Group processing, artinya siswa perlu
396
p enti ngny a
ke rja
sama
dal am
Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau
menilai bagaimana mereka bekerja sama secara efektif.
Langkah-langkah model kooperatif Numbered Heads Together sebagai berikut: 1) siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap
Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
kelompok mendapat nomor; 2) guru memberikan
Yat im R iyanto ( 2010 ) be rpendapa t ba hwa
tugas dan masing-masing kelompok menger-
langkah-langkah pembelajaran kooperatif sebagai
jakannya; 3) kelompok mendiskusikan jawaban
berikut: 1) berikan informasi dan sampaikan tujuan
yang be nar dan mema stik an t iap angg ota
sera skenario pembelajaran; 2) organisasikan
kel ompok da pat meng erja kannya; 4) g uru
siswa/peserta didik dalam kelompok kooperatif;
memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor
3)
untuk
yang dipanggil dan melaporkan hasil kerja sama
melakukan kegiatan/berkooperatif; 4) evaluasi;
bimb inga n
si swa/ pese rta
mereka; 5) meminta tanggapan dari teman yang
dan 5) berikan penghargaan. Dengan kata lain,
lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain;
pendapat tersebut mengandung makna bahwa
dan 6) kesimpulan.
la ngka h-la ngka h me ncak up:
pe mbe laja ran
1) m enya mpai kan
didi k
koop erat if mate ri d an
Pengertian Belajar dan Hasil Belajar
melaksanakan pembelajaran; 2) membentuk
Belajar
kelompok siswa; 3) memberikan arahan kepada
Plato (1986), melihat bahwa pengetahuan sebagai
siswa; 4) memberikan penilaian/evaluasi; dan
suatu yang ada dalam diri manusia dibawa sejak
5) memberikan penghargaan atau pengakuan tim.
lahir. Sementara itu, Aristoteles (1992), melihat pengetahuan sebagai suatu yang ada dalam
Model-Model Pembelajaran Kooperatif
dunia fisik bukan dalam pikiran. Kedua pendapat
Ad a be bera pa v aria si mode l pe mbel ajar an
tersebut memberikan gambaran tentang belajar.
kooperatif (Hamdani Mulya, 2012), walaupun
Bagi penganut falsafah idealisme hakikat realita
prinsip dasar dari pembelajaran kooperatif ini tidak
yang terdapat dalam pikiran, sumber pengetahuan
berubah. Je nis-jenis mod el tersebut ad alah
yaitu ide dalam diri manusia. Proses belajar
seb agai
Tea ms
merupakan pengembangan ide yang telah ada
Achievement Division (STAD), 2) Tipe Team Game
dalam pikiran. Bagi penganut realisme, realita
Tournament (TGT), 3) Tipe Jigsaw, 4) Tipe kelompok
terdapat dalam dunia fisik, sumber pengetahuan
Investigasi, 5) Tipe Numbered Heads Together
merupakan pengalaman sensori, dan belajar
(NHT), 6) Tipe Think-Pair-Share (TPS), 7) Tipe
merupakan kontak atau interaksi individu dengan
Debat, dan 8) Tipe Picture and Picture (PP). Dalam
lingkungan fisik.
ber ikut :
1)
Tip e
Student
penelitian ini, dilakukan penerapan pembelajaran
Belajar pada hakikatnya proses perubahan
kooperatif model Numbered Heads Together pada
pe rila ku b erka t pe ngal aman dan pel atihan
mata pelajaran PKn di kelas XA SMA Negeri 1
(Ahmadi, Abu., dan Tri Prasetya, Joko, 2005).
Beduai Kabupaten Sanggau.
Artinya, tujuan kegiatan belajar yaitu
perubahan
tingkah laku baik yang menyangkut pengetahuan, Kooperatif Numbered Heads Together
keterampilan, maupun sikap, dan bahkan meliputi
Teknik belajar mengajar kepala bernomor (Number
segenap aspek pribadi yang dimiliki oleh individu.
Heads Together) dikembangkan oleh Kagan (1992).
Sementara itu, Gagne (1989) menyatakan
Teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa
bahwa
untuk saling membagikan ide-ide dan mem-
per ubahan p ada diri manusia yang da pat
pertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain
di pert ahankan sela ma proses p ertumbuhan
itu, te knik ini mendorong siswa unt uk m e-
(dalam Riyanto, 2010). Dalam penjelasan Gagne,
ningkatkan semangat kerja sama mereka. Teknik
belajar merupakan suatu peristiwa yang terjadi
ini bisa digunakan dalam semua materi pada
di dalam kondisi yang dapat diamati, diubah, dan
pe mbel ajaran PKn. Tek nik ini juga dap at
dikontrol.
dilaksanakan pada semua tingkatan usia anak didik (Lie, 2010).
b elaj ar
m erup akan
kecende rung an
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses yang mengacu pada perubahan perilaku akibat dari proses
397
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
pengalaman, baik yang dialami ataupun yang sengaja dirancang.
Dal am pem belaja ran sebagai mana y ang dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan hasil belajar harus mem-
Hasil Belajar
per hati kan
Menurut Hamalik (1995), “hasil belajar adalah
pengetahuan, analisis, aplikasi, sintesis, dan
aspe k
kognit if,
yait u
ingata n,
perubahan tingkah laku subjek yang meliputi
evaluasi.
kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor dalam
Lebih lanjut Gagne, (dalam Sudjana, 2010)
situasi tertentu berkat pengalamannya berulang-
hasil belajar pada proses belajar ditentukan oleh
ulang”. Adapun menurut Sudjana (2010), hasil
lima faktor, yaitu: 1) I nformasi Verbal ( Verbal
belajar adalah suatu akibat dari proses belajar
Information) yaitu pengetahuan awal/dasar yang
dengan menggunakan alat pengukuran, berupa
dimiliki seseorang dan dapat diungkapkan dalam
tes yang disusun secara terencana, baik, tes
bentuk bahasa, lisan, dan tulisan. Apabila siswa
ter tuli s, t es l isan, ma upun tes per buat an.
hendak belajar/menerima pelajaran suatu pokok
Pendapat tersebut mengartikan bahwa hasil
bahasan, maka pengetahuan awal sebelum pokok
belajar tersebut diperoleh dari alat ukur yang
bahasan diberikan siswa harus sudah menguasai;
telah direncanakan sebelumnya dan dilakukan
2) Kemahiran Intelektual (Intelectual Skill) adalah
se tela h pr oses pem bela jara n be rlangsung.
kem ampuan
Sementara itu, Bloom (dalam Sudjana, 2010)
lingkungan hidup dan dirinya sendiri dalam bentuk
untuk
mend apat kan hasi l be laja r kognit if
suatu representasi. Intelektual atau kecerdasan
seseorang memiliki enam tingkatan kognitif, yakni:
bila dikembangkan dapat berupa Intellegence
1) Pengetahuan (knowledge), yaitu sebagai
Quotient (IQ), Emotional Intelligence (EI), Spiritual
perilaku mengingat atau mengenali informasi
Int elli gence (I S). IQ b erhubungan deng an
(m ater i pe mbel ajar an) yang tel ah d icap ai
intelegensi atau kecerdasan otak, EI berkaitan
sebelumnya; 2) Pemahaman (Comprehension),
dengan emosi atau tingkat pengendalian diri, IS
yaitu sebagai kemampuan memperoleh makna dari
berhubungan dengan tingkat keyakinan kepada
materi pembelajaran. Hal ini ditujukan melalui
Tuhan, strategi kognitif (pengaturan kegiatan
penerjemahan materi pembelajaran; 3) Pene-
kognitif) merupakan aktivitas mentalnya sendiri,
rapa n (app lica tion), yait u p ener apa n ya ng
sedangkan ruang gerak kemahiran intelektual
mengacu
mer upak an
pad a
ke mamp uan
meng guna kan
untuk
ber hubungan
r epre sent asi
dala m
dengan
ke sada ran
pembelajaran yang telah dipelajari di dalam
terhadap lingkungan hidup dan diri sendiri;
situasi baru dan konkrit. Ini mencakup penerapan
3) Strategi kognitif mencakup penggunaan konsep
hal-hal seperti aturan, metode, konsep, prinsip-
dan kaidah yang telah dimiliki, terutama bila
prinsip, dalil, dan teori; 4) Analisis (analysis), yaitu
sedang menghadapi suatu problem; 4) Kete-
mengacu pada kemampuan memecahkan materi
rampilan Motorik (Motor Skill) yaitu kemampuan
ke dalam bagian-bagian, sehingga dapat dipahami
melakukan suatu rangkaian gerak-gerik jasma-
st rukt ur organisasinya . Ha l ini me ncak up
niah dalam urutan tertentu yang terkoordinasikan
identifikasi bagian-bagian, analisis antarbagian,
dan terpadu. Ciri khas dari keterampilan motorik
dan mengenali prinsip-prinsip pengorganisasian;
yakni otomatisme, yaitu rangkaian gerak-gerik
5) Sintesis (synthesis), yaitu mengacu pada
berlangsung secara teratur dan berjalan secara
kem ampuan m engg abungkan bag ian- bagi an
la ncar dan luw es t anpa banyak dibutuhk an
dalam rangka membentuk struktur yang baru. Hal
refleksi tentang apa yang harus dilakukan dan
ini mencakup komunikasi yang unik (tema atau
mengapa diikuti gerak-gerik tertentu; dan 5) Sikap
percakapan), perencanaan operasional (pro-
(attitude) yaitu kecenderungan menerima atau
posal), atau seperangkat hubungan yang abstrak
menolak suatu objek b erdasarkan pe nilaian
(skema untuk mengklasifikasi informasi); dan
terhadap objek itu serta berguna/berharga atau
6) Penilaian (evaluation), yaitu mengacu pada
tidak sering dinyatakan sebagai suatu sikap dan
kemampuan membuat keputusan tentang nilai
bila dimungkinkan adanya berbagai tindakan. Dari
materi pembelajaran untuk tujuan tertentu.
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa dilihat dari 5 faktor utama, yaitu:
398
Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau
informasi verbal, kemahiran intelektual, strategi
positif dan demokratis untuk membentuk diri
kognitif, keterampilan motorik dan sikap.
berdasarkan karakter-karakter masyarakat di
Hasil belajar dapat dilihat dari hasil ulangan
Indonesia agar hidup bersama dengan bangsa-
ha rian (te s format if ), ni lai ulangan teng ah
bangsa lain; dan d)
semester (subtes sumatif), dan ulangan semester
la in d an m emat uhi pera tura n dunia seca ra
(tes sumatif). Dalam penelitian tindakan kelas ini
langsung de ngan mem anfa atka n te knol ogi
yang dimaksud dengan hasil belajar siswa adalah
informatika dan komunikasi.
hasil nilai yang diberikan pada awal pembelajaran (pre test) dan di akhir pembelajaran (post test).
berinteraksi dengan bangsa
Darmadi (2010) juga menjelaskan bahwa tujuan PKn yai tu untuk: a ) me ning katk an kesadaran dan kemampuan diri pribadi siswa
Pendidikan Kewarganegaraan
sebagai insan pancasilais; dan b) meningkatkan
Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan
diri siswa sebagai warga negara yang pancasilais
Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan adalah
yang mahir dalam hubungan sosial.
upaya sadar dan terencana untuk mencerdaskan
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan
kehidupan bangsa bagi warga negara dengan
bahwa tujuan PKn secara garis besar: a) mem-
menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai
persiapkan peserta didik untuk berpikir kritis;
landasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam
rasional, dan kreatif; b) berpartisipasi secara
bela negara, demi kelangsungan kehidupan dan
cerdas dan bertanggung jawab; c) berkembang
kejayaan bangsa dan negara (dalam http://
secara demokratis untuk membentuk karakter diri
tharra.wordpress.com/2010/02/24/ ). Hal ini
yang sesua i denga n masy arakat Indone sia;
berarti Pkn mempersiapkan peserta didik untuk
d) berinteraksi dengan sesama, baik nasional dan
memahami moral bangsa, serta memahami hak
internasional; e) meni ngka tkan kesadar an
da n ke waji ban seba gai war ga negar a ya ng
sebagai manusia pancasilais; dan f) meningkatkan
Pancasilais.
kesadaran sebagai makhuk sosial.
Darmadi (2010) mengatakan bahwa hakikat Pendidikan Moral Pancasila dari berbagai segi,
Metode Penelitian
ya ng k esel uruhanny a m enja di ciri khusus
Me tode yang di guna kan ada lah pene liti an
Pendidi kan Mora l Pa ncasila, dal am hal i ni
tindakan kelas yang
pendidikan tidak terlepas dari proses interaksi
di SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau, yang
belajar, karena pendidikan akan tercapai apabila
terletak di Jalan Raya Beduai. Penelitian ini
ada interaksi yang baik antara siswa dan guru di
dilaksanakan selama 8 bulan, yaitu mulai bulan
kelas.
Maret sampai bulan Agustus 2011. Subjek dalam
dilaksanakan pada
kelas X
Pendidikan Kewarganegaraan berdasarkan
penelitian ini yaitu siswa kelas X yang berjumlah
pendapat di atas dapat merupakan salah satu
38 orang dengan rincian 17 orang siswa laki-laki
mata pelajaran yang dilakukan secara sadar, di
dan 21 orang siswa perempuan, dengan obyek
mana untuk mempersiapkan peserta didik menjadi
hasil belalar-mengajar melalui penerapan
warga negara yang memahami hak dan ke-
Kooperatif Numbered Heads Together (NHT).
model
waj iban dan dap at m enge mbangkan ser ta melestarikan nilai-nilai luhur bangsa dalam bentuk
Pelaksanaan Penelitian
perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Pelaksanaan penelitian tindakan kelas meliputi beberapa siklus. Tiap siklus tersebut meliputi:
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Pertam a, perenca naan tinda kan (pl anning):
Tujuan PKn dalam Depdiknas (2006) yaitu untuk
a) Penyusunan rencana pembelajaran yang berisi
memberikan kompetensi sebagai berikut: a) ber-
langkah-langkah pembelajaran model Kooperatif
pikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menggapai
Numbered Heads Together yang akan digunakan
isu kewarganegaraan; b) berpartisipasi secara
pada siklus I dan siklus selanjutnya; b) Membuat
cerdas dan tanggung jawab serta bertindak
instrumen penelitian (LKS, kisi-kisi soal post test,
secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat,
dan post test tindakan) yang digunakan dalam
berbangsa dan bernegara; c) berkembang secara
siklus I dan siklus selanjutnya; c) Penyusunan
399
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
ala t-al at e valuasi tind akan ber upa lemb ar
dan memutuskan apakah siklus dilanjutkan atau
observasi KBM dan lembar jawaban siswa.
tidak. Jika siklus dilanjutkan, maka akan disusun
Ked ua, pela ksanaan tind akan (acting ): a) Pendahuluan; b) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa; dan c) Guru menjelaskan secara singkat tentang model NHT Kegiatan inti: a) Guru menyampaikan materi
kembali perencanaan untuk tindakan pada siklus selanjutnya. Untuk kegiatan pembelajaran pada siklus kedua dipengaruhi oleh hasil kegiatan pada siklus pertama, begitu pula kegiatan siklus ketiga akan
pembelajaran kepada siswa; b) Mengorgani-
di peng aruhi
sasikan siswa dalam kelompok belajar; c) Guru
seterusnya. Setiap siklus selalu diakhiri dengan
ol eh
hasi l
si klus
ked ua
d an
meminta siswa untuk berdiskusi dengan kelompok
tes. Jika siklus menunjukkan jumlah siswa yang
yang telah ditentukan; d) Membimbing siswa
mencapai ketuntasan belajar minimal 50% maka
untuk menyelesaikan soal; dan e) Melakukan
siklus berakhir.
evaluasi, meliputi: 1) Guru memanggil siswa untuk mengambil nomor kelompok dan nomor siswa;
Teknik Pengumpulan Data
2) Siswa yang nomornya terpilih mengambil nomor
Sugiyono (2011) menjelaskan teknik pengum-
soal dan mempresentasikan jawaban dari soal
pulan data merupakan lang kah yang p aling
ter sebut be rdasarka n ha sil kerj a ke lomp ok
strategis dalam penelitian, karena tujuan utama
mereka di depan kelas; 3) Siswa dari kelompok
dari penelitian yaitu mendapatkan data. Dari
lain menanggapi dan guru bertindak sebagai
penjelasan tersebut peneliti harus menentukan
fasilitator ; 4) Guru memanggil nomor yang
teknik yang digunakan dalam penelitannya.
ber beda dar i ke lomp ok y ang sama unt uk
Sehubungan dengan itu, Nawawi (2007)
membantu menjelaskan; 5) Guru mengulangi
mengatakan teknik pengumpulan data dapat
kegiatan di atas, sehingga semua kelompok
di beda kan menj adi enam tek nik pene liti an
mendapatkan giliran untuk melaporkan hasil kerja
seb agai car a ya ng d apat dit empuh untuk
mereka; dan 6) Memberikan penghargaan berupa
mengumpulkan data, yaitu: 1) teknik observasi
pujian,atau motivasi lainnya.
langsung; 2) observasi tidak langsung; 3) komunikasi langsung; 4) komunikasi tidak langsung;
Kegiatan Penutup
5) teknik p engukura n; d an 6 ) te knik studi
Guru bersama-sama siswa menarik kesimpulan
dokumenter.
dar i 1)
ma teri
yang
Obse rvasi
te lah
dipe laja ri,
pe laksanaa n
yait u;
Menurut
Tri anto
(20 11)
meny ebut kan
pe mbel ajar an
be bera pa t ekni k pe ngum pula n da ta, yakni:
dilakukan secara kolaboratif antara guru dan
1) Catatan Lapangan; 2) Angket (questionnaire);
penelit i
3) Daftar Cocok atau Ceklis (Checklist); 4) Lembar
de ngan
menggunakan
instrum en
monitoring yang te lah dir enca naka n; d an
Pe ngam atan
2) Refleksi ini dilakukan dengan cara berdiskusi
(interview); dan 6) Tes Hasil Belajar.
(ob servasi) ;
5)
Waw anca ra
antara guru dan peneliti terhadap masalah yang
Dar i pe ndap at y ang ada, penelit ian ini
diperoleh pada saat observasi dan melihat apakah
menggunakan teknik pengumpul data observasi
tindakan yang telah dilakukan dapat mening-
langsung, komunikasi langsung, pengukuran, dan
kat kan hasi l be laja r si swa dala m me ncap ai
studi dokumenter. Nawawi (2007) menjelaskan
ketuntasan belajar. Melalui refleksi inilah, peneliti
bahwa teknik observasi langsung merupakan cara
akan menentukan keputusan untuk melaksa-
mengumpulkan data yang dilakukan melalui
nakan siklus lanjutan ataukah berhenti.
pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang
Dalam setiap siklus, tindakan dilakukan
ta mpak pad a ob jek pene liti an yang pela k-
secara bervariasi dan disertai dengan lembar
sa naannya
pengamatan/observasi. Hal ini dimaksudkan untuk
peristiwa, keadaan, atau situasi yang sedang
lang sung
pad a
te mpat
sua tu
melihat apakah tindakan yang dilakukan dapat
terjadi. Teknik ini digunakan untuk melihat aktivitas
memberikan peningkatan hasil belajar siswa. Pada
guru maupun siswa.
tahap refleksi, pengajar dan peneliti berdiskusi
Nawawi (2007) menjelaskan bahwa teknik
tentang hasil yang didapat pada siklus tersebut
komunikasi langsung merupakan cara mengum-
400
Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau
pul kan
data
yang
me ngha rusk an
p enel iti
pencapaian hasil belajar (dalam Yuliarni, 2009).
mengadakan kontak langsung secara lisan atau
Dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan
tatap muka (face to face) dengan sumber data,
data berupa dokumen-dokumen seperti RPP,
baik dalam situasi yang sebenarnya maupun
si labus, soal, hasil b elaj ar, foto, da n la in
dalam situasi yang sengaja dibuat untuk keperluan
sebagainya yang dapat memperkuat data oleh
tersebut. Selanjutnya, Nawawi (2007) menje-
pe neli ti d alam pel aksa naan keg iata n pe m-
laskan bahwa teknik pengukuran adalah cara
belaj aran model kooperat if Numbered Heads
mengumpulkan data yang bersifat kuantitatif
Together (NHT).
untuk mengetahui tingkat atau derajad aspek tertentu dibandingkan dengan norma tertentu pula
Teknik Analis Data
sebagai satuan ukur yang relevan. Teknik ini
Data yang diperoleh melalui hasil belajar diolah
digunakan untuk melihat tingkat hasil belajar
menjadi nilai dan persentase ketuntasan. Untuk
siswa.
mengola h ha sil bela jar berupa nilai siswa
Lebih lanjut, Nawawi (2007) menjelaskan bahwa teknik studi dokumenter
adalah cara
digunakan rumus sebagai berikut:
S x100 TS
mengumpulkan data yang dilakukan dengan
Rumus : KB
kategori dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang
Keterangan:
berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari
KB
: Ketuntasan Belajar
sumber dokumen maupun buku-buku, koran, dan
S
: Skor
lain-lain. Teknik ini untuk mengumpulkan data hasil
TS
: Total Skor
belajar dan mendokumentasikan setiap kegiatan
( Trianto; 2011)
dilakukan saat penelitian berlangsung.
Untuk melihat persentase ketuntasan belajar siswa menggunakan rumus persentase, yaitu:
Alat Pengumpul Data
A x100% . B
Alat pengumpul data dalam penelitian ini yaitu:
Rumus %
lembar observasi langsung, panduan wawancara,
Keterangan:
tes, dan dokementasi.
%
: Persentase siswa
A
: Jumlah siswa yang tuntas
B
: Jumlah siswa seluruhnya
Lembar observasi digunakan sebagai alat mengukur at au m enil ai d alam
mel akuk an
pengamatan aktivitas siswa pada saat kegiatan pem bela jara n
be rlangsung
de ngan
(Trianto:2011)
mod el
Kooperatif Numbered Heads Together (NHT) dimulai
Hasil Penelitian dan Pembahasan
dar i ke giata n aw al, i nti, dan penut up y ang
Bentuk penelitian ini yaitu penelitian tindakan
dilakukan oleh peneliti.
kelas, bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar
Panduan
waw anca ra
d igunakan
unt uk
siswa pada mata pelajaran PKn. Penelitian ini
menghimpun data, terutama untuk mengetahui
dilakukan pada kelas XA SMAN 1 Beduai Kabu-
tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan,
paten Sanggau yang mengambil populasi 38
motivasi bagi objek yang akan diwawancarai,
siswa. Pelaksanaan penelitian menggunakan 2
setel ah kegia tan pemb elajaran berlang sung
siklus, di mana setiap siklusnya terdiri atas tahap
dengan model kooperatif Numbered Heads Together
perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi.
(NHT).
Satu siklus terdiri atas satu pertemuan meng-
Trianto (2011) mengatakan bahwa pemberian
gunakan alokasi waktu 2 x 45 menit dengan
tes dilakukan dua kali, yaitu sebelum proses
menggunakan satu rencana pelaksanaan pem-
pembelajaran dimulai (pretest) dan sesudah
belajaran yang telah disiapkan dan materi yang
proses pembelajaran (post test). Soal tes yang
di bahas sesuai dengan rencana pembelajaran.
digunakan dalam penelitian ini yaitu tes tertulis
Pad a pe neli tian ini , pe neli ti d an g uru
dalam bentuk essai. Menurut Arikunto (2010)
berkolaborasi membuat rencana pelaksanaan
instrumen yang berupa tes dapat digunakan
pem bela jara n
unt uk
tindakan dengan model pembelajaran kooperatif
m engukur
kema mpua n
da sar
dan
de ngan
menyusun
sk enar io
401
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Numbered Heads Together (NHT). Dalam pem-
Siklus 1
bahasan ini akan dij abarkan perke mbangan
Siklus I dilakukan dalam 1 kali pertemuan dan
kegiatan belajar mengajar mulai dari prasiklus
dilakukan pada hari Sabtu tanggal 5 September
sampai pelaksanaan siklus terhadap hasil belajar
2011 dari pukul 07.00–08.30 WIB. Siklus I ini
siswa selama tindakan berlangsung.
membahas tentang materi Sistem Hukum Nasional. Siklus ini terdiri atas tahap perencanaan, tindakan,
Prasiklus
observasi, dan refleksi.
Berdasarkan hasil observasi yang dilaksanakan
Pa da
t ahap
per enca naan
dir anca ng
pada praobservasi tanggal 6 Agustus 2011, guru
perangkat dan instrumen pembelajaran (rencana
lebih dominan menggunakan metode ceramah,
pelaksanaan pembelajaran model kooperatif
dan mencatat materi di papan tulis, sehingga
Numbered Heads Together, LKS, post test, dan
siswa kurang bersemangat dalam pelaksanaan
lembar observasi). Perangkat ini disusun oleh
pembelajaran. Banyak di antara siswa tidak
peneliti dan didiskusikan bersama guru mata
memperhatikan guru menjelaskan, dan ada juga
pelajaran PKn SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten
yang berbicara pada teman sebangkunya. Hasil
Sanggau. Sebelum tahap tindakan pada siklus I,
post test yang dilaksanakan pada tanggal 22
terlebih dahulu dilakukan post test dengan alokasi
Oktober 2011, menunjukkan bahwa tidak ada
waktu 45 menit. Post test ini dilakukan untuk
satu pun siswa yang tuntas. Oleh karena itu,
me liha t
diperlukan strategi yang dapat meningkatkan hasil
dilakukan tindakan. Pemberian post test diberikan
belajar siswa melalui model kooperatif Numbered
pada tanggal 22 Okober 2011, untuk melihat
Heads Together (NHT).
ke mamp uan awal siswa d an p embe ntuk an
ke mamp uan
awal
siswa
sebel um
kelompok belajar siswa. Dalam pemberian post test diikuti siswa sebanyak 23 orang. Hasil post test tidak ada satu pun siswa yang mencapai ketuntasan belajar. Adapun hasil post test dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Post Test
No
402
Nama
JK
Kelas
Skor 1
2
3
Jumlah Skor
Nilai
1
Ali Imran
L
XA
1
10
1
12
48
2
Andi Sopianus
L
XA
2
2
1
5
20
3
Andreas Enggi
L
XA
0
0
0
0
0
4
Anis Yuniasari
P
XA
1
8
2
11
44
5
Marselinus Aprianus
L
XA
2
5
2
9
36
6
Bayu Alhuda
L
XA
0
0
0
0
0
7
Budi Irawan
L
XA
0
10
0
10
40
8
Clara Erna
P
XA
2
5
2
9
36
9
Dessy Andri Yani
P
XA
0
0
0
0
0
10
Emilia Tiwi
P
XA
2
7
1
10
40
11
Erni
P
XA
0
0
0
0
0
12
Faleria Selvi
P
XA
5
1
1
7
28
13
Fransiskus Leonardo
L
XA
0
0
0
0
0
14
Hilarius Aprianto
L
XA
0
0
0
0
0
15
Indah Roida Simaremare
P
XA
0
0
0
0
0
16
Kornelius A'ad
L
XA
0
0
0
0
0
17
Kristina Kaleng
P
XA
0
0
0
0
0
18
Mariana Kartini
P
XA
0
0
0
0
0
Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau
19
Marselius Silvester
L
XA
0
0
0
0
0
20
Marsiana Kamsiar
P
XA
0
0
0
0
0
21
Muhamad Tri Hanafi
L
XA
0
0
0
0
0
22
Nataria Donata
P
XA
5
5
1
11
44
23
Palentinus Rulli Junardi
L
XA
2
8
2
12
48
24
Pasiah Tatah
P
XA
2
2
1
5
20
25
Pransiskus Eki
L
XA
2
2
2
6
24
26
Ratmiyati
P
XA
1
8
1
10
40
27
Sele Endah Lestari
P
XA
1
5
2
8
32
28
Silvester Sandika A.
P
XA
2
1
2
5
20
29
Suliyani
P
XA
1
10
2
13
52
30
Tasiana Meri
P
XA
1
2
2
5
20
31
Uvi Srirahayu
P
XA
0
0
0
0
0
32
Viktor Use
L
XA
2
2
1
5
20
33
Yohana
P
XA
1
2
2
5
20
34
Yohanes Vicky
L
XA
1
5
2
8
32
35
Yosep Wely
P
XA
0
0
0
0
0
36
Yuli Herlina
L
XA
1
10
0
11
44
37
Yuliana Yulia
P
XA
1
5
1
7
28
38
Adhi Prabowo
L
XA
0
10
1
11
44
Tahap selanjutnya adalah tindakan dengan
WIB). Guru menjelaskan bahwa penggolongan
menggunakan model kooperatif Numbered Heads
hukum dapat dibagi menjadi beberapa aspek,
Together (NHT). Tindakan dilakukan dengan alokasi
yaitu berdasarkan bentuk, waktu, subjek, isi, dan
waktu selama 2 x 45 menit. Pertama-tama guru
fungsinya. Pada saat guru menyampaikan materi,
membuka pelajaran dengan mengabsen siswa.
guru sering meminta siswa untuk berpendapat
Selanjutnya, menyampaikan tujuan pembelajaran
tentang contoh hukum berdasarkan isi, ruang
dan memotivasi siswa dengan mengulas materi
lingkup, tugas, dan fungsinya. Selanjutnya, guru
sebelumnya, yaitu tentang konsepsi dari hukum.
menjelaskan tentang sumber hukum, hukum
Namun, g uru tid ak mena nya kan LKS ya ng
ter diri
diberikan sudah dipelajari atau belum. Kegiatan
keputusan hakim, traktat, dan dokrin. Guru juga
ini memakan waktu kurang lebih 10-12 menit.
menyelipkan sedikit pertanyaan kepada siswa
Dalam pembelajaran kooperatif Numbered
ata s
undang -und ang,
keb iasa an,
agar siswa mengeluarkan pendapat sendiri. Materi
Heads Together (NHT) terdapat 6 fase, yaitu: dalam
sel anjutnya
mengena i
ur utan
per atur an
fa se 1 , di awa l pe laksanaa n pe mbel ajar an
perundang-undangan menurut Ketetapan MPR No.
berlangsung disampaikan tujuan dan motivasi
III/MPR/2000 dan menurut Undang-Undang No 10
siswa dengan mengulas sedikit materi sebe-
Tahun 2004. Namun, selama guru menjelaskan
lumnya, yakni dengan melontarkan pertanyaan
materi tidak ada siswa yang bertanya kepada
seperti konsepsi hukum, sumber hukum, dan
guru terhadap materi yang kurang difahami.
pasal berapa yang menyatakan bahwa negara
Pada fase 3, mengorganisasikan siswa dalam
Indonesia adalah negara hukum. Siswa masih
kelompok belajar. Pada saat pembagian kelompok,
bel um a ktif dal am m enja wab pert anya an-
suasana kelas menjadi ribut dan waktu yang
pertanyaan oleh guru dan mereka sibuk untuk
dibutuhkan 5 menit (07.30–07.35). Pada saat
mencari jawaban. Setelah beberapa lama, barulah
pembagian kelompok guru hanya mengarahkan
mereka menjawab pertanyaan guru. Waktu yang
posisi kel ompok ma sing-ma sing . Ke lomp ok
digunakan dalam fase 1 ini selama sekitar10
tersebut sudah dibentuk seminggu sebelumnya
menit.
oleh guru. Setelah pembagian kelompok, guru
Dalam fase 2, guru menyampaikan informasi kepada siswa selama 20 menit (07.10–07.30
menjelaskan mekanisme pembelajaran pada saat evaluasi. 403
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Fase 4, membimbing kelompok belajar siswa.
Pada kegiatan penutup selama 15 menit
Pada fase ini guru terlihat tidak memberi bimbingan
(08.15-18 30 WIB), yakni penarikan simpulan
kepada kelompok belajar siswa dalam berdiskusi
terlihat siswa kurang memperhatikan guru, karena
menyelesaikan soal-soal yang ada di LKS, tetapi
sib uk untuk mencari tem pat duduk. G uru
guru hanya memberikan kesempatan kepada
menanyakan sedikit kepada siswa tentang apa
siswa untuk menyelesaikan tugas pada LKS. Pada
yang telah dipelajari tadi dan siswa pun menjawab
saat diskusi guru hanya memberikan waktu 10
dengan baik dari pertanyaan yang disampaikan
menit (07.35-07.45 WIB) untuk menyelesaikan
guru. Selanjutnya, guru memberikan post test
diskusi.
untuk mengukur hasil belajar siswa.
Pada fase 5, yaitu tahap evaluasi terlihat
Pada tahap ketiga observasi guru melakukan
siswa lebih bersemangat untuk belajar dan siswa
tindakan, sedangkan peneliti bertugas sebagai
masih mengerjakan soal di LKS. Waktu yang
observer. Tujuan dari observasi dalam penelitian
diperlukan dalam fase ini adalah 30 menit (07.45–
ini yaitu untuk mengetahui dan memperoleh
08.15 W IB). Guru meny uruh si swa unt uk
ga mbar an l engk ap secar a ob jekt if t enta ng
mem angg il
perkembangan proses dan pengaruh tindakan
nomor
kel ompok
ya ng
a kan
mempresentasikan di depan kelas. Kemudian guru
ya ng d ipil ih t erha dap
memberikan kepada kelompok yang lain untuk
dilakukan pendidik dalam menyampaikan materi
memanggil nomor-nomor siswa dan nomor soal.
sistem hukum nasional dengan model kooperatif
Begitu seterusnya sampai waktu yang ditentukan
Numbered Heads Together (NHT). Secara lengkap
selesai, dan bagi kelompok yang belum mendapat
hasil observasi sebagai berikut: a) Pada siklus 1,
giliran dipanggil minggu depan.
ada fase yang tidak dilakukan oleh guru, yaitu fase
Kelompok yang pertama maju yaitu kelompok
pem bela jara n ya ng
4 mengenai bimbingan guru kepada siswa dalam
D dan nomor siswa yang dipanggil yang pertama
kel ompok
D1 dengan nomor soal nomor 11, yaitu bagaimana
menyampaikan informasi (fase 2) guru terlihat
pendapat anda mengenai hukum di Indonesia?
terburu-buru, sehingga membuat siswa kurang
Kemudian D1 menjelaskan pendapatnya mengenai
terfokus terhadap apa yang disampaikan oleh
hukum di Indonesia, selanjutnya guru meminta
guru; c) Pada saat pengorganisasian kelompok,
tanggapan dari kelompok lain dengan nomor yang
sua sana kel as m enja di r ibut ; d) Pad a sa at
sama, yaitu nomor 1. Setelah semua kelompok
menyelesaikan tugas, terlihat hanya 6 kelompok
me mber i
yang
ta ngga pan
guru
tid ak
m embe ri
be laja r
me reka ;
me laksanak an
d iskusi
b)
Pad a
d enga n
sa at
ba ik,
penghargaan kepada siswa yang telah memberi
sedangkan 2 kelompok lainnya masih belum
tanggapannya.
berdiskusi dengan baik karena hanya sebagian
Selanjutnya, guru meminta kepada siswa
dari kelompoknya yang mengerjakan tugas yang
kembali untuk mengambil nomor siswa dan nomor
ada di LKS. Terlihat mereka kurang bertanggung
soal. Nomor yang dipanggil yaitu nomor D4 dan
jawab terhadap pekerjaan kelompoknya; e) Pada
soal nomor 3, yaitu sebutkan penggolongan
saat membahas hasil kerja kelompok, hanya 2
hukum. Guru melakukan hal yang sama pada
orang siswa yang memberikan tanggapan lain
pelak sanaan seb elumnya. Setelah 15 menit
dari nomor soal yang ada; f ) Setelah siswa
berakhir guru memanggil kelompok selanjutnya,
menjawab pertanyaan ataupun tanggapan, guru
kelompok yang dipanggil, yakni kelompok G. Hal
kurang memberikan penghargaan kepada siswa;
yang sama dilakukan seperti yang dilaksanakan
dan g) Di akhir pelajaran guru tidak menarik
dalam kelompok D sebelumnya.
simpulan, namun langsung menanyakan kepada
Fase 6, pemberian penghargaan kepada
siswa apa yang telah dipelajari. Alangkah baiknya
sisw a. Nam un, da lam pela ksanaannya g uru
guru menyimpulkan sedikit dari pembahasan
kurang memberikan penghargaan kepada siswa
kelompok, terutama soal-soal yang diambil.
baik yang menjawab, memberikan tanggapan,
Berdasarkan hasil observasi pada tindakan,
maupun kelompok yang telah berpresentasi di
peneliti melakukan refleksi dengan guru pada
depan kelas.
siklus I (pertama), walaupun hasil belajar dan proses pembelajaran sudah mengalami sedikit
404
Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau
per ubahan,
ma sih
memberikan motivasi dan mendorong siswa untuk
ditemui. Berikut hasil refleksi peneliti dengan guru,
dapat bekerja sama dengan kelompoknya; e)
yaitu: a) pada awal pembelajaran guru masih
Siswa masih terlihat canggung dalam menjawab
belum menanyakan kepada siswa apakah LKS
pertanyaan dan mengeluarkan pendapat. Ini
yang dibagikan sudah dipelajari. Solusinya, pada
dikarenakan mereka tidak terbiasa untuk bertanya
siklus II guru terlebih dahulu menanyakan kepada
atau mengemukakan pendapat. Disepakati pada
siswa sudah atau belum mempelajari LKS; b) guru
sikus II guru dapat memancing siswa untuk berani
belum membimbing siswa dalam kelompok ketika
ber tany a da n me njaw ab p erta nyaa n ya ng
diskusi kelompok. Hal ini dikarenakan guru belum
diberikan; f ) Guru kurang memberikan peng-
pernah melaksanakan model kooperatif Numbered
hargaan kepada siswa yang telah menjawab
Heads Together (NHT). Di siklus II, guru lebih
pertanyaan maupun memberikan tanggapan.
bersifat sosial terhadap siswa dalam membimbing
Untuk siklus II guru lebih sering memberikan
kelompok belajar siswa untuk menyelesaikan soal-
penghargaan kepada siswa yang mengemukakan
soal yang ada pada LKS; c) guru terlihat terburu-
pendapat dan menjawab pertanyaan, serta sudah
buru dalam penyampaian materi. Ini dikarenakan
berani tampil.
guru
t akut
kekurang an-k ekur anga n
ak an
Untuk mengetahui hasil belajar siswa pada
di laksanak an p ada fase ber ikut nya. Unt uk
kehabisan
w aktu
yang
siklus I diberikan post test. Kemampuan akhir siswa
mengatasi hal tersebut, guru meminta siswa untuk
dalam menguasai materi sistem hukum nasional
mempelajari LKS yang telah diberikan; d) siswa
setelah melalui pembelajaran dengan tindakan
canggung dalam berinteraksi dengan siswa lain
kel as b erup a pe mbel ajar an d enga n model
dalam berdiskusi kelompok, sehingga masih
kooperatif Numbered Heads Together (NHT) pada
banyak terdapat kelompok yang pasif. Hal ini
sikus I mengalami peningkatan dapat dilihat pada
dikarenakan siswa jarang melakukan diskusi
Tabel 2.
kelompok. Solusinya, pada siklus II guru lebih
Tabel. 2 Hasil Post Test Prasiklus dan Siklus I
Nilai No
Nama
JK
Kelas
Pra tindakan
Siklus I
Skor
Nilai
Skor
Nilai
1
Ali Imran
L
XA
12
48
40
80
2
Andi Sopianus
L
XA
5
20
18
36
3
Andreas Enggi
L
XA
0
0
40
80
4
Anis Yuniasari
P
XA
11
44
43
86
5
Marselinus Aprianus
L
XA
9
36
39
78
6
Bayu Alhuda
L
XA
0
0
33
66
7
Budi Irawan
L
XA
10
40
0
0
8
Clara Erna
P
XA
9
36
29
58
9
Dessy Andri Yani
P
XA
0
0
16
32
10
Emilia Tiwi
P
XA
10
40
31
62
11
Erni
P
XA
0
0
0
0
12
Faleria Selvi
P
XA
7
28
12
24
13
Fransiskus Leonardo
L
XA
0
0
31
62
14
Hilarius Aprianto
L
XA
0
0
20
40
15
Indah Roida Simaremare
P
XA
0
0
33
66
16
Kornelius A'ad
L
XA
0
0
33
66
17
Kristina Kaleng
P
XA
0
0
22
44
18
Mariana Kartini
P
XA
0
0
32
64
405
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
19
Marselius Silvester
L
XA
0
0
35
70
20
Marsiana Kamsiar
P
XA
0
0
35
70
21
Muhamad Tri Hanafi
L
XA
0
0
0
0
22
Nataria Donata
P
XA
11
44
34
68
23
Palentinus Rulli Junardi
L
XA
12
48
0
0
24
Pasiah Tatah
P
XA
5
20
28
56
25
Pransiskus Eki
L
XA
6
24
18
36
26
Ratmiyati
P
XA
10
40
32
64
27
Sele Endah Lestari
P
XA
8
32
33
66
28
Silvester Sandika A.
P
XA
5
20
43
86
29
Suliyani
P
XA
13
52
43
86
30
Tasiana Meri
P
XA
5
20
32
64
31
Uvi Srirahayu
P
XA
0
0
32
64
32
Viktor Use
L
XA
5
20
32
64
33
Yohana
P
XA
5
20
0
0
34
Yohanes Vicky
L
XA
8
32
29
58
35
Yosep Wely
P
XA
0
0
0
0
36
Yuli Herlina
L
XA
11
44
35
70
37
Yuliana Yulia
P
XA
7
28
35
70
38
Adhi Prabowo
L
XA
11
44
48
96
JUMLAH
780
2032
Rata-rata
32,5
61,58
Dari Tabel 2, dapat dilihat perkembangan hasil
dilakukan pada siklus II sama dengan tahap siklus
belajar yang diperoleh oleh siswa saat diberikan
I,
pretest dan post test pada siklus I. Siswa yang
diakhiri dengan refleksi. Pada siklus II terjadi
mengala mi
perubahan hari dan jam, karena pada
k etuntasa n be laja r
at au
y ang
yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan tanggal
memperoleh nilai ketuntasan 70-100 pada siklus
10-12 Nopember 2011 sekolah tidak melak-
I sekitar 11 siswa dari jumlah keseluruhan (32
sanakan pembelajaran. Berdasarkan hasil diskusi
siswa yang hadi r dari 38 siswa) dan da pat
bersama dengan guru mata pelajaran PKn, bahwa
persentasi siswa yang tuntas yaitu 34,38%.
jadwalnya diubah dari hari Sabtu menjadi hari
Hasil tindakan pada siklus I menunjukkan
Senin.
bahwa hasil belajar yang didapat belum mencapai
Perencanaan merupakan kegiatan lanjutan
indikator yang ditentukan untuk hasil belajar ( >
dar i si klus I. Berd asar kan pada be bera pa
50% dari siswa yang mencapai ketuntasan belajar
permasalahan dan solusi yang sudah didiskusikan
KKM = 70 pada materi yang disampaikan) dan pada
oleh peneliti dan guru dirancanglah kegiatan
proses pembelajaran masih banyak kekurangan
pembelajaran siklus II. Tahap-tahap kegiatan
dan berdasarkan hasil kesepakatan antara peneliti
pembelajaran sama dengan siklus I, namun
dengan guru PKn SMAN 1 Beduai Kabupaten
sebelum dilaksanakan siklus II siswa diminta
Sanggau, diputuskan untuk melanjutkan pada
mengerjakan soal di LKS di rumah terlebih dahulu.
siklus II
Hal ini bertujuan agar siswa mempelajari materi yang diberikan dan pada saat penyampaikan
Siklus 2
materi tidak memakan waktu yang lama.
Siklus II ter diri atas 1 kali pertemua n dan
Tahap tindakan pada siklus II sudah lebih baik
dilaksanakan pada hari Senin, 14 Nopember 2011,
dari siklus I. Sama seperti siklus I, pada kegiatan
dengan alokasi waktu 2 x 45 menit (10.30 – 12.00
pendahuluan guru mengulas materi yang telah
WIB.) dan materi yang diajarkan adalah lembaga-
disampaikan pada siklus I tentang Sistem Hukum
lembaga peradilan nasional. Tahap-tahap yang
Nasional. Sebelumnya, guru terlebih dahulu
406
Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau
menanyakan kepada siswa apakah LKS yang telah
di LKS kepada siswa. Pada saat diskusi guru hanya
dibagikan sudah dipelajari. Pada saat mengulas
memberikan waktu 10 menit (11.00–11.10 WIB)
materi, siswa terlihat aktif dalam menjawab
untuk menyelesaikan diskusi.
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru
Pada fase 5, tahap evaluasi terlihat siswa
tentang materi sebelumnya. Setiap pertanyaan
lebih bersemangat untuk belajar dan siswa masih
yang diberikan guru langsung dijawab oleh siswa.
ada kelompok yang mengerjakan soal di LKS.
Kemudian dilanjutkan dengan menyampaikan
Waktu yang diperlukan dalam fase ini adalah 30
tujuan pembelajaran. Pada siklus II ini tidak
menit (11.10–11.40 WIB). Guru menyuruh siswa
dilakukan lagi pembagian kelompok.
untuk memanggil nomor kelompok yang akan
Dalam fase 1, terlihat lebih baik dari siklus se belumnya ,
guru
m enya mpai kan
tujuan
pem bela jara n da n motiva si siswa
dengan
mengul as sedikit m ateri sebel umnya, ya kni
mempresentasikan di depan kelas. Kemudian guru memberikan kepada kelompok yang lain untuk memanggil
nomor siswa dan nomor soal. Begitu
seterusnya sampai waktu yang ditentukan selesai.
dengan melontarkan pertanyaan seperti konsepsi
Kelompok yang terpanggil yaitu kelompok A
hukum, sumber hukum, dan pasal berapa yang
dan nomor siswa yang dipanggil adalah yang
menyatakan bahwa negara Indonesia adalah
pertama A3 dengan nomor soal nomor 10, yaitu
ne gara huk um. Sisw a te rlihat a ktif dal am
menurut anda apakah peradilan yang ada di
menjawab pertanyaan-pe rtanyaan gur u dan
Indonesia sudah berjalan dengan baik sesuai
sudah berani
mengeluarkan pendapatnya. Waktu
dengan prosedur, tugas dan wewenang dari
yang digunakan dalan fase 1 ini adalah 10 menit.
suatu peradilan? Kemudian A3 menjelaskan
Dalam fase 2, guru menyampaikan informasi
pendapa tnya ,
se lanj utny a
guru
m eminta
kepada siswa selama 15 menit (10.40–10.55
tanggapan dari kelompok lain dengan nomor yang
WIB). G uru menj elaskan lemb aga- lemb aga
sama, yaitu nomor B3, C3, D3, E3, F3, dan G3.
peradilan yang ada di Indonesia, dimulai dari
Setelah semua kelompok memberi tanggapan
pengadilan tingkat 1, tingkat banding atau tingkat
gur u ta mpak sud ah m embe ri p engharga an
2, dan tingkat kasasi. Sama seperti di siklus
kepada siswa yang telah memberi tanggapan.
sebelumnya saat guru menyampaikan materi, guru
Selanjutnya, guru meminta kepada siswa
sering meminta siswa untuk berpendapat tentang
kembali untuk mengambil nomor siswa dan nomor
peradilan nasional ini. Guru juga menyelingkan
soal. Nomor yang dipanggil adalah nomor A4 dan
sedikit pertanyaan kepada siswa agar siswa
soal nomor 8, yaitu sebutkan dan jelaskan tugas
me ngel uark an p enda pat send iri. Saa t guru
dan wewenang pengadilan agama dan pengadilan
melontarkan kesempatan kepada siswa untuk
tinggi agama. Guru melakukan hal yang sama
bertanya, siswa sudah mau bertanya hal yang
pada pelaksanaan sebelumnya. Setelah 15 menit
bel um me reka keta hui aka n ma ter i ya ng
berakhir, guru memanggil kelompok selanjutnya,
disampaikan.
kelompok yang dipanggil adalah kelompok C. Hal
Pada fase 3, mengorganisasikan siswa dalam kelompok belajar. Pada saat pembagian kelompok,
yang sama dilakukan seperti yang dilaksanakan dalam kelompok A sebelumnya.
suasana kelas masih seperti siklus I, namun siswa
Fase 6, pemberian penghargaan kepada
langsung mencari anggota kelompoknya dan
siswa. Dala m pe laksanaa nnya gur u sudah
waktu yang dibutuhkan 5 menit (10.55–11.00
memberikan penghargaan berupa pujian kepada
WIB). Set ela h p emba gia n ke lom pok , guru
siswa,
menjelaskan mekanisme pembelajaran pada saat
tanggap an, maup un k elom pok
evaluasi.
berpresentasi di depan kelas. Pada fase ini siswa
Sama seperti siklus I, fase 4 membimbing
baik
yang me njaw ab,
memb erik an yang tel ah
tampak senang dan antusias lebih dari siklus I.
kelompok belajar siswa. Pada fase ini guru sudah
Pada kegiatan penutup diperlukan waktu 20
terlihat memberi bimbingan kepada kelompok
menit (11 .40–1 2.00 W IB), y akni penari kan
belajar siswa dalam berdiskusi menyelesaikan
simpulan dima na terli hat sisw a lebih mem-
soal-soal yang ada di LKS, guru juga memberikan
perhatikan guru. Guru meminta siswa untuk
sedikit pengarahan untuk menyelesaikan soal-soal
menyimpulkan sendiri materi yang disampaikan
407
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
pada hari ini dengan bertanya kepada setiap
bersama-sama menyimpulkan tentang materi
kelompok. Sedikit guru menanyakan kepada siswa
yang telah dipelajari; dan 8) Setelah pelaksanaan
tentang apa yang telah dipelajari. Siswa pun
pembelajaran
menjawab dengan baik dari pertanyaan yang
refleksi untuk membahas hasil observasi. Proses
di samp aika n guru, yang sel anjutnya , guru
pem bela jara n ya ng m enga lami per ubahan-
memberikan postes untuk mengukur hasil belajar
per ubahan k e ar ah y ang lebi h ba ik p ada
siswa.
pembelajaran dengan metode Numbered Heads
Sama seperti siklus I, observasi pada siklus
Tog ether
berlangsung, dilanjutkan dengan
(NH T)
sete lah
2
sikl us
dap at
II juga memerlukan observer. Pada siklus II ini
meningkatkan hasil belajar siswa pada pelajaran
telah banyak mengalami perubahan. Hal ini dapat
PKn.
dilihat dari hasil observasi sebagai berikut: 1) Pada
Hasil refleksi antara guru dan peneliti sebagai
siklus II semua langkah-langkah pembelajaran
berikut: a)
(fase-fase) telah dilaksanakan; 2) Pengalokasian
kepada siswa saat dalam berdiskusi kelompok;
Guru telah memberikan bimbingan
waktu sesuai dengan yang direncanakan; 3)
b) Guru sudah dapat mengalokasikan waktu
Terlihat sebagian siswa telah dapat mengikuti
dengan baik; c) Siswa sudah tidak canggung
pembelajaran dan memperhatikan guru saat
unt uk
menyamp aika n mat eri deng an ba ik. Hal ini
kel ompoknya , da n untuk bert anya maupun
menunjukkan bahwa mereka telah merasa ikut
menjawab; serta d) Siswa sudah aktif dalam
ambil bagian dalam pembelajaran ini; 4) Keaktifan
bertanya dan menjawab pertanyaan dari guru.
b erintera ksi
deng an
siswa
dal am
siswa dalam bertanya ataupun menjawab mulai
Suasana pembelajaran dirasakan lebih baik
te rlat ih, terl ihat siswa suda h be rani unt uk
dibandingkan siklus I. Hal ini tampak dari hasil
mengeluarkan pendapatnya masing-masing,
baik
observasi pada kegiatan belajar-mengajar. Sama
dalam penyampaian materi maupun dalam diskusi
halnya dengan siklus I, untuk melihat hasil belajar
kelompok; 5) Dari 11 soal di LKS, hanya soal nomor
dilakukan post test. Kemampuan akhir siswa dalam
11 saja mereka sedikit keliru mengerjakannya;
menguasai materi lembaga peradilan nasional
dan 6) Guru telah memberikan penghargaan
setelah melalui pembelajaran dengan tindakan
kepada siswa yang menjawab, ataupun yang
kelas yang berupa pembelajaran dengan model
bertanya kepada guru atau kepada temannya
kooperatif Numbered Heads Together (NHT) pada
sa at
sikus I dan II mengalami peningkatan. Dapat
m enya mpai kan
mate ri
d an
d iskusi
berlangsung; 7) Guru telah meminta siswa untuk
dilihat pada Tabel 3.
Tabel. 3 Hasil Post Test dari Prasiklus, Siklus 1 dan Siklus 2
Nilai No
408
Nama
JK
Kelas
Pra tindakan
Siklus I
Siklus 2
Skor
Nilai
Skor
Nilai
Skor
Nilai
1
Ali Imran
L
XA
12
48
40
80
35
70
2
Andi Sopianus
L
XA
5
20
18
36
35
70
3
Andreas Enggi
L
XA
0
0
40
80
32
64
4
Anis Yuniasari
P
XA
11
44
43
86
38
76
5
Marselinus Aprianus
L
XA
9
36
39
78
35
70
6
Bayu Alhuda
L
XA
0
0
33
66
35
70
7
Budi Irawan
L
XA
10
40
0
0
30
60
8
Clara Erna
P
XA
9
36
29
58
38
76
9
Dessy Andri Yani
P
XA
0
0
16
32
35
70
10
Emilia Tiwi
P
XA
10
40
31
62
38
76
11
Erni
P
XA
0
0
0
0
45
90
12
Faleria Selvi
P
XA
7
28
12
24
37
74
13
Fransiskus Leonardo
L
XA
0
0
31
62
32
64
Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau
14
Hilarius Aprianto
L
XA
0
0
20
40
45
90
15
Indah Roida Simaremare
P
XA
0
0
33
66
40
80
16
Kornelius A'ad
L
XA
0
0
33
66
64
64
17
Kristina Kaleng
P
XA
0
0
22
44
33
66
18
Mariana Kartini
P
XA
0
0
32
64
0
0
19
Marselius Silvester
L
XA
0
0
35
70
40
80
20
Marsiana Kamsiar
P
XA
0
0
35
70
0
0
21
Muhamad Tri Hanafi
L
XA
0
0
0
0
0
0
22
Nataria Donata
P
XA
11
44
34
68
35
70
23
Palentinus Rulli Junardi
L
XA
12
48
0
0
34
68
24
Pasiah Tatah
P
XA
5
20
28
56
38
76
25
Pransiskus Eki
L
XA
6
24
18
36
30
60
26
Ratmiyati
P
XA
10
40
32
64
45
90
27
Sele Endah Lestari
P
XA
8
32
33
66
38
76
28
Silvester Sandika A.
P
XA
5
20
43
86
32
64
29
Suliyani
P
XA
13
52
43
86
38
76
30
Tasiana Meri
P
XA
5
20
32
64
34
68
31
Uvi Srirahayu
P
XA
0
0
32
64
34
68
32
Viktor Use
L
XA
5
20
32
64
30
60
33
Yohana
P
XA
5
20
0
0
34
68
34
Yohanes Vicky
L
XA
8
32
29
58
33
66
35
Yosep Wely
P
XA
0
0
0
0
0
0
36
Yuli Herlina
L
XA
11
44
35
70
34
68
37
Yuliana Yulia
P
XA
7
28
35
70
38
76
38
Adhi Prabowo
L
XA
11
44
48
96
40
JUMLAH RATA-RATA
80
780
2032
2444
32,5
61,58
71,88
Dari Tabel 3 dapat dilihat perkembangan hasil
dan pada proses pembelajaran sudah banyak
belajar yang diperoleh oleh siswa saat diberikan
me ngal ami perubaha n ya ng l ebih bai k da ri
post test, yaitu post test pada siklus I, dan post
sebelumnya. Berdasarkan hasil kesepakatan
test siklus II. Siswa yang mengalami ketuntasan
antara peneliti dengan guru PKn SMAN 1 Beduai
belajar atau yang memperoleh nilai ketuntasan
Kabupaten Sanggau, maka siklus pembelajaran
70-100 pada siklus II sekitar 20 siswa dari jumlah
tidak dilanjutkan.
keseluruhan (34 siswa yang hadir dari 38 siswa) dan dapat persentasi siswa yang tuntas sebesar
Peningkatan Hasil Belajar
54,82%.
Peningkatan hasil belajar dapat diketahui dari
Hasil tindakan pada siklus II menunjukkan
hasi l post te st y ang dib eri kan set iap akhir
bahwa hasil belajar yang didapat sudah mencapai
pembelajaran dengan model Kooperatif Numbered
indikator yang ditentukan untuk hasil belajar
Heads Together (NHT) pada pra tindakan, siklus I,
(>50% dari siswa yang mencapai ketuntasan
dan siklus II. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.
belajar KKM = 70 pada materi yang disampaikan) Tabel. 4
Ketuntasan Belajar Siswa pada Setiap Siklus
Nilai
No
Siklus
Jumlah siswa
≤ 70
≥ 70
Rata-rata kelas
1
Pra siklus
38
2
I
38
3
II
38
Ketuntasan belajar (%)
38
0
32,50
0%
27
11
61,58
34,38%
18
20
71,88
54,82% 409
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Pada siklus I diketahui siswa yang tuntas
pratindakan. Nilai minimal yang diperoleh siswa
hanya 34,38%. Hal ini disebabkan siswa belum
20, dan nilai maksimal yang diperoleh siswa 48
menguasai materi dan tingkat soal yang diberikan
dari KKM yang ditetapkan, yaitu 70.
tergolong kateg ori tinggi, sehing ga tam pak
Ha sil bela jar
sisw a ke las XA sesud ah
banyak yang tidak tuntas. Ketuntasan belajar
dilaksanakan tindakan dengan Model Kooperatif
siswa meningkat menjadi 54,82%, karena siswa
Numbered Heads Together (NHT) dapat mening-
sudah lebih memahami materi dibandingkan siklus
katkan hasil belajar. Hal ini dapat dilihat dari nilai
sebelumnya dan soal yang diberikan tingkatannya
Post Test siswa setelah dilaksanakan siklus 1 dan
sedikit direndahkan.
siklus 2
menunjukkan adanya peningkatan. Pada
Dari hasil perolehan post test pratindakan,
siklus 2 indikator keberhasilan yang ditentukan
si klus 1 d an siklus 2 , ba nyak dit emuk an
dapat tercapai, sebanyak 20 siswa (54,82%)
pe ruba han- perubaha n pa da p erol ehan hasil
sudah mencapai ketuntasan dalam belajar, nilai
belajar siswa. Ada beberapa siswa memiliki nilai
minim al yang diperole h siswa 64, dan nilai
statis dan ada yang mengalami peningkatan
maksimal yang diperoleh siswa 90 dari KKM yang
maupun penurunan. Hal ini disebabkan kekeliruan
ditetapkan, yaitu 70.
dalam menganalisis soal, sehingga hasil jawaban yang dimaksud tidak mencapai skor maksimal.
Saran Berdasarkan
tindakan yang telah dilakukan pada
Simpulan dan Saran
sa at
Simpulan
menyarankan hal-hal sebagai berikut. Pertama,
Be rdasarka n ha sil tind akan dan dat a ya ng
pembelajaran melalui model kooperatif teknik
diperoleh dari tes hasil belajar pada siklus I dan
numbered heads together dapat menjadi salah satu
siklus II dapat ditarik kesimpulan bahwa secara
alternatif bagi guru. Dalam pelaksanaannya guru
umum ba hwa pene rapa n Model Koop erat if
harus merencanakan alokasi waktu untuk setiap
Numbered Heads Together (NHT) dapat mening-
fase-fase dalam pembelajaran, sehingga tidak
katkan hasil belajar siswa kelas XA SMA Negeri 1
menyebabkan kurangnya waktu. Guru harus
Beduai, Kabupaten Sanggau, sedangkan secara
membimbing siswa dalam kegiatan diskusi, dan
khusus sebagai berikut.
siswa sebaiknya ditugaskan untuk mempelajari
Ha sil bela jar sisw a ke las XA sebel um
p enel itia n
ti ndak an
k elas,
pe neli ti
materi yang akan disampaikan terlebih dahulu.
dilaksanakan tindakan dengan Model Kooperatif
Pengelompok an
Numbered Heads Together (NHT) dapat dikatakan
heterogen dari segi tingkat kecerdasan karena
siswa
har us
b enar -benar
sangat rendah, tidak ada satu siswa yang tuntas
sangat menentukan keberhasilan kelompok.
dilihat dari post test yang diberikan pada saat
Pustaka Acuan Ahmadi, Abu dan Tri Prasetya, Joko. 2005. Strategi Pembelajaran. Bandung: Pustaka Setia Aristoteles. 1992. The Story of Philosophy, Kinsington Publishing Corp: Citadel Press Astilia Pratiwi. 2010. Pentingnya Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan bagi Mahasiswa. Makalah dipublikasikan melalui
http://tharra.wordpress.com. Diakses pada tanggal 24 Pebruari 2010.
Darmadi, Hamid. 2010. Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Republik Indodesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Pendidikan Kewargarnegaraan. http:// www.gudangmateri.com /2011 /05/tujuan-pendidikan-kewarganegaraan.html. 11 oktober 2011)
410
Diakses tanggal
Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau
Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Bandung Gagne, Robert, M. 1989. The Conditions of Learning and Teory of Instruction. Fourth edition. Publisher by Horlt, Rinehart and Wiston. Diterjemahkan oleh Pusat Antar University Pengembangan dan Peningkatan Aktivitas Instruksional (PAU-PPAI) Universitas Terbuka. Ibrahim, H. Muslimin. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press Hamalik. 1995. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara Hayati, Nurul. 2002. Model Cooperative Learning. Jakarta: Erlangga Lie, Anita. 2010. Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: PT. Grasindo. Kagan, Spencer. 1992. The Structural Approach to Cooperative Learning,” in Cooperative Learning: A Response to Linguistic and Cultural Diversity. Edited by Daniel D. Holt. McHenry, Ill. and Washington, D.C.: Delta Systems and Center for Applied Linguistics, Mulya, Hamdani. 2012. Metode Pembelajaran Kooperatif. STAIN Malikussaleh Lhokseumaweh: Unimal Press. Nawawi, Hadari. 2007. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Plato.1986. Ilmu Filsafat. Bandung: Sinar baru Undang-Undang Republik Indonesia nomor
10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Jakarta Ketetapan MPR. Nomor III/MPR/2000. Peraturan Perundang Undangan tentang Sumber dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Riyanto, Yatim. 2010. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Rusman, 2011. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesional Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo. Slavin. 1995. An Introduction to Cooperative Learning Research. London: Plenum Press. Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Trianto. 2011. Panduan Lengkap Penelitian Tindakan Kelas (Classrooom Action Research).Surabaya: Prestasi Pustakaraya. Yuliarni, Asri. 2009. Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar Siswa melalui Model Kooperatif Teknik Think Pair Share (TPS) pada Materi Hidrokarbon Kelas X SMAN 02 Sekayam. Skripsi Sarjana Pendidikan pada Universitas Tanjungputa Pontianak. Widyaningsih, Wahyu. 2008. Kel. 3 Cooperative Learning sebagai Model Pembelajaran Alternatif untuk Meningkatkan Motivasi Siswa pada Mata Pelajaran Matematika. Makalah dipbulikasikan melalui http://tpcommunity05.blogspot.com. Diakses pada tanggal 10 Januari 2013).
411
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
KINERJA KEPALA SEKOLAH DAN GURU DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN PENDIDIKAN INKLUSIF (TEACHER AND HEADMASTER PERFORMANCE ON THE IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION) Munawir Yusuf Universitas Sebelas Maret Surakarta e-mail:
[email protected] Diterima tanggal: 29/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 3/11/2012, Disetujui tanggal: 3/12/2012 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kinerja kepala sekolah dan guru dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif di sekolah dasar (SD). Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan penelitian survei ke SD penyelenggara pendidikan inklusif di 4 (empat) wilayah kabupaten/kota, yaitu Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Jumlah sampel dalam penelitian ini 51 SD Inklusi, 51 kepala sekolah, dan 103 guru kelas. Data dikumpulkan dengan menggunakan angket dan diolah secara statistik deskriptif. Validitas angket kepala sekolah berada dalam rentang 0.312 - 0.796 dengan reliabilitas 0.962. Validitas angket guru berada dalam rentang 0.290 - 0.815 dengan reliabilitas 0.956. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) kinerja kepala sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif berada dalam kategori sedang; 2) kinerja guru kelas dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif berada dalam kategori sedang; dan 3) skor kinerja kepala sekolah rata-rata (65,45%), lebih tinggi dibanding skor rata-rata yang dicapai guru (62,3%). Kata kunci: pendidikan inklusif, sekolah inklusif, kinerja guru, kepala sekolah, dan SD Abstract: This study aimed to describe the performance of school principals and teachers in implementing inclusive education in primary school. To achieve these objectives, a research survey has been conducted at primary schools that organize inclusive education in 4 area districts, namely Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo and Boyolali, in Central Java Province. The numbers of samples in this study were 51 inclusion elementary schools, 51 school principals, and 103 classroom teachers. Data were collected and processed using questionnaires and descriptive statistics, respectively. Questionnaire Validity for School Principals is in the range of 0312-0796 with 0962 reliability. Questionnaire Validity for Teachers is in the range of 02900815 with 0956 reliability. The results can be summarized as follows: 1) The performance of school principals in implementing inclusive education is in the medium category; 2) performance of classroom teachers in implementing inclusive education is in the medium category; and 3) Principal performance score average (65.45 %), higher than the average score achieved by teachers (62.3%). Keywords: inclusive education, school Inclusive, teacher and school principal performance, elementary school
Pendahuluan
memiliki potensi-potensi kecerdasan dan bakat
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
istimewa, diselenggarakan secara inklusif atau
Sistem
me ng-
berupa satuan pendidikan khusus (penjelasan
amanatkan bahwa pendidikan bagi anak yang
Pasal 15). Sesuai dengan Peraturan Menteri
mengalami hambatan belajar karena kelainan fisik,
Pe ndid ikan Nasiona l N omor 70 Tahun 20 10
mental, intelektual, emosi dan sosial atau yang
tentang Pendidikan Inklusif. Pendidikan Inklusif
382
Pend idik an
N asional
tela h
Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif
adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang
rangka mewujudkan pendidikan inklusif yang lebih
memberikan kesempatan kepada semua peserta
baik pada tingkat sekolah.
didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
Be rdasarka n la tar
bela kang
pem ikir an
ke cerd asan dan/ata u ba kat isti mewa unt uk
tersebut, dirumuskan masalah penelitian sebagai
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam
berikut: 1) bagaimana tingkat kinerja kepala
satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama
sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan
dengan peserta didik pada umumnya (Pasal 1).
inklusif? 2) bagaimana tingkat kinerja guru dalam
Salah satu tujuan pendidikan inklusif dikem-
me ngim plem enta sika n pe ndid ikan ink lusi f ?
bangkan di Indonesia, yaitu untuk mewujudkan
3) apakah ada perbedaan kinerja kepala sekolah
penyelenggaraan pendidikan yang menghargai
dan guru dalam mengimplementasikan pendidikan
keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi
inklusif?
semua peserta didik (Pasal 2).
Dengan mengacu pada rumusan masalah
Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka
tersebut, maka tujuan penelitian ini dimaksudkan
setiap sekolah reguler yang menyelenggarakan
untuk mengetahui: 1) tingkat kinerja kepala
pendidikan inklusif perlu melakukan penyesuaian-
sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan
penyesuaian, baik dari aspek manajemen sekolah
inklusif; 2) untuk mengetahui tingkat kinerja Guru
yang merupakan tugas dan tanggung jawab
dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif;
kepala sekolah maupun manajemen kelas dan
dan 3) untuk mengetahui perbedaan kinerja
pembelajaran yang merupakan tugas dan tang-
kepala sekolah dan guru dalam mengimple-
gung jawab guru. Manajemen sekolah termasuk
mentasikan pendidikan inklusif di tingkat satuan
di dalamny a: 1) manajemen kur ikulum dan
pendidikan.
pembelajaran; 2) manajemen kesiswaan; 3) manajemen sarana dan prasarana; 4) manajemen
Kajian Literatur
SDM; 5) manajemen keuangan; dan 6) mana-
Pendidikan Inklusif
jemen kerja sama dan kehumasan.
Pendidikan inklusif pada dasarnya merupakan
Ada pun mana jeme n ke las term asuk di
seb uah
evol usi,
yak ni
p rose s
pe ruba han
dal amny a: 1 ) pe nyusunan per angk at p em-
paradigma pendidikan bagi Anak Berkebutuhan
belajaran; 2) pelaksanaan pembelajaran; 3) pe-
Khusus (ABK). Paradigma lama memandang ABK
nilaian; 4) penggunaan media dan sumber belajar;
seb agai sum ber hamb atan unt uk k emaj uan
dan 5) pengaturan tempat duduk. Beberapa
pendidikannya. Oleh karena itu, agar mudah
dimensi manajemen sekolah dan manajemen
dalam pengelolaannya, pendidikan bagi ABK
kelas tersebut akan mengalami penyesuaian,
harus dipisahkan dari anak lain yang sebaya.
perubahan, dan/atau adaptasi ketika sekolah
Dengan memisahkan ABK dari komunitas ’peer
regular biasa berubah menjadi sekolah inklusi.
group’nya dianggap dapat menjadi solusi terbaik
Oleh karena itu, pihak sekolah perlu memiliki
untuk kemajuan pendidikannya. Model pendidikan
pe maha man yang sam a t enta ng a pa d an
yang memisahkan ABK dari komunitas ’peer
bagaimana mengelola sekolah inklusi yang baik
group’nya disebut model ’segregatif’. Dalam
dan benar berdasarkan standar dan/atau kriteria
perspektif keilmuan Pendidikan Berkebutuhan
yang diakui dan berlaku secara nasional, serta
Khusus, model pendidikan segregatif bagi ABK
dapat dipertanggung jawabkan secara akademik
dikenal dengan pendekatan medis (Barnes &
maupun administratif.
Mercer, 2003). Anak-anak penyandang disabilitas peny elenggar aan
dipandang sebagai problem medis sebagai akibat
pend idikan inklusi f sang at terg antung pada
Keb erha sila n
da lam
kekurangan atau kerusakan fisik dan mental
banyak faktor. Di tingkat satuan pendidikan, kunci
(impairment) dan oleh sebab itu mereka harus
keberhasilan pendidikan inklusif terletak pada
’di semb uhka n’. Pand anga n te rseb ut d ikenal
kepala sekolah dan guru. Dengan demikian,
dengan istilah ’personal tragedy theory, individual
kinerja kepala sekolah dan guru sangat penting
model atau medical model (Oliver, 1990, Barnes &
menja di perhati an bagi se mua pihak dalam
Mercer, 2003). Inti dari pandangan lama tersebut
383
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
yaitu: 1) disabilitas merupakan problem pada level
ber gaul dan ber tema n de ngan ’te man se-
individu (individual model); 2) disabilitas disamakan
bayanya’. Secara sadar atau tidak sadar sistem
dengan kekurangan atau keterbatasan fisik/
ini telah menempatkan ABK ke dalam komunitas
mental (impairment); dan 3) solusi yang dianggap
yang eksklusif, mengurangi hak mereka untuk
paling tepat untuk mengatasi disabilitas intervensi
hidup secara wajar dalam komunitas masyarakat
medis, psikologis, dan psikiatris.
yang ’normal’.
Parad igma baru muncul sebagai sebuah pr otes
ata s
ke tida kad ilan
per lakuan
sistem yang dikembangkan untuk mengatasi
diskriminatif akibat pandangan medis terhadap
kelemahan dari sistem segregasi. Pendidikan
disabilitas. Sekitar tahun 1976 UPIAS (Union of the
terpadu memberikan kesempatan yang lebih luas
Physically Impaired Against Segregation) sebuah
bagi ABK untuk mengikuti pendidikan di sekolah
organisasi para difabel Inggris, mengusung ide
reguler bersama-sama dengan anak-anak sebaya
baru bahwa disabilitas merupakan problem yang
yang lain. Banyak hal positif dapat diperoleh dalam
diakibatkan oleh hambatan-hambatan lingkungan
pendidikan terpadu, terutama berkembangnya
dan sosial (social barriers). Disabilitas adalah
dimensi ’soft skills’ ABK, misalnya kemandirian,
keterbatasan aktivitas yang disebabkan oleh
ket eram pila n sosial , komuni kasi , si kap dan
karena pengaturan/pengorganisasian masya-
perilaku, kepemimpinan, dan lain-lain. Stainback
rakat kontemporer yang tidak atau sangat sedikit
& Stainback (1996) mengatakan bahwa “all
me mper timb angk an i ndi vidu yang me mili ki
children are enriched by having the opportunity to
ke kura ngan
fisik
d an
dan
Pendidikan integrasi atau terpadu adalah
ke mudi an
learn from one another, grow to care for one another,
mengucilkan mereka dari aktivitas sosial (UPIAS,
b ahka n
and gain the attitudes, skills, and values necessary
dalam Ro’fah, dkk. 2010).
for our communities to support the inclusion of all
Persepsi UPIAS ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh ilmuwan-ilmuwan penyandang
citizens” (p. 4). Per kemb anga n
il mu
p enge tahuan pend idik an
d an
tek nologi
(1990) dan Barnes, Colin (2003) sehingga menjadi
menemukan banyak bukti baru, bahwa ABK
sebuah pendekatan baru yang kemudian dikenal
de ngan ber baga i ha mba tan fisi k da n/at au
luas dengan istilah ’Social Model of Disability’.
int elek tual nya,
Pendekatan baru meyakini bahwa faktor–faktor
pendidikan di sekolah-sekolah reguler setelah
lingkungan
mamp u
me ngik uti
sosial
guru dan sumberdaya lain tersedia di sekolah, kurikulum dan pembelajaran didesain khusus
disabilitas (ABK). Jika kondisi lingkungan dan
sehingg a
pengorganisasian sosial dapat diubah sedemikian
mendapa tkan lay anan yang se suai dengan
rup a se hing ga m emungkinkan seti ap a nak
kebutuhan masing-masing (Ding, et.al., 2006).
mendapatkan akses dan pelayanan pendidikan
Te muan sem acam ini mem perj elas bahwa
yang sesuai dan layak, maka ABK akan tumbuh
pendekatan sosial dapat mengatasi hambatan
dan berkembang secara optimal seperti anak-
pendidikan bagi ABK dan sekaligus mempertegas
anak lain pada umumnya.
bahwa pendekatan medis bukan satu-satunya
dari
peng orga nisa sian
mer eka
ABK,
merupakan kunci pendidikan bagi penyandang
Im plik asi
dan
d alam
bid ang
disabilitas di Inggris, di antaranya Michael Oliver
per geseran
par adig ma
pendidikan ABK dari model medis ke model sosial,
me mung kink an
setia p
indivi du
solusi dalam mengatasi hambatan pendidikan bagi ABK.
maka sistem pendidikan ABK bergeser dari sistem
Lahirnya paradigma pendekatan sosial dalam
segregasi ke sistem integrasi dan inklusi. Sistem
pelayanan pendidikan bagi semua anak, menjadi
segregasi, adalah sebuah sistem pendidikan yang
salah satu titik tolak kelahiran pendidikan inklusif.
melayani ABK berdasarkan jenis kelainannya
Pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan yang
dalam satu atau beberapa unit sekolah untuk satu
memberikan kesempatan yang sama kepada
atau beberapa jenis kelainan. Anak-anak dengan
sem ua a nak untuk da pat bela jar bersama
jenis kelainan tertentu dikelompokkan dalam satu
meskipun de ngan tuntuta n kurikulum dan
sa tuan pendidi kan khusus sepanjang har i,
pembelajaran yang berbeda. Pendidikan inklusif
sehingga membatasi mereka untuk secara bebas
merupakan filosofi dan sekaligus metodologi
384
Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif
dalam mewujudkan sebuah lingkungan sosial dan
dilakukan, baik di luar maupun dalam negeri. Studi
pendidikan yang memungkinkan semua anak akan
terhadap 72 guru sekolah reguler di Serbia (Kalyva
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan
et.al., 2007) menyimpulkan bahwa guru-guru
keb utuhan m asing-ma sing ind ivid u. M elal ui
sekolah reguler lebih bersikap negatif dibanding
asesmen profesional, kurikulum dan pembelajaran
dengan guru-guru yang telah berpengalaman
yang diadaptasi, sistem penilaian yang adil, serta
dalam menangani anak SEN (Special Educational
media dan sarana prasarana yang disesuaikan,
Needs) dalam memandang pendidikan inklusif.
mak a
mengikuti
Dalam hal ini sosialisasi dan pelatihan dianggap
pendidikan yang layak dan bermutu dalam setting
se tiap
ana k
ak an
d apat
cukup membantu dalam rangka mewujudkan
pendidikan inklusif (Yusuf dan Indianto, 2009).
pendidikan inklusif yang lebih baik. Salah satu
Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak saja
studi yang dilakukan oleh Mdikana, et.al. (2007)
bernilai penting untuk pemerataan pendidikan,
terhadap sejumlah mahasiswa semester akhir di
akan tetapi juga mutu dan relevansi pendidikan.
Uni versitas Wit wate rsra nd d i Johannesburg progr am Post
Gr adua te C erti fica te
d al am
Kinerja Kepala Sekolah dan Guru
pendidikan, B. Phys. Ed. Dan BA (Ed.) dengan 22
Kinerja atau sering juga disebut performance
mahasiswa pria dan 17 mahasiswa perempuan,
secara etimologis adalah ’the act of performing’
rata-rata mempersepsi pendidikan inklusif sebagai
atau tindakan menampilkan, penampilan kerja,
hal yang positif. Tidak ada perbedaan sikap positif
unjuk kerja, melaksanakan suatu pekerjaan atau
antara
per ilak u ke rja. Menurut Dir ektorat Tena ga
menggambarkan bahwa penting bagi calon guru
Kependidikan (2008) kinerja dapat diartikan
mendapatkan bekal mengenai pendidikan inklusif
sebagai prestasi kerja, atau pelaksanaan kerja
dalam kurikulum mereka. Sementara guru-guru
atau hasil unjuk kerja.
ya ng sedah bek erja , ra ta-r ata belum me n-
Kinerja kep ala sekolah dan guru dal am penelitian ini dimaknai sebagai pelaksanaan kerja
lak i-la ki
d an
pere mpua n.
H al
i ni
dap atka n ma teri pendidi kan inkl usif ket ika mengikuti kuliah.
atau unjuk kerja kepala sekolah dan guru dalam
Masih rendahnya persepsi dan sikap guru
mengimplementasikan program pendidikan inklusif
terhadap pendidikan inklusif, sebagian disebabkan
di tingkat satuan pendidikan. Untuk mengetahui
karena menyangkut inovasi dan perubahan nilai.
tingkatan unjuk kerja perlu ada standar atau
Charema (2010) dalam penelitiannya tentang
kriteria yang dijadikan ukuran. Menurut Ivancevich
pendidi kan inkl usif di Sub Saha ran Afri ka,
dalam Direktorat Tenaga Kependidikan (2008)
menyimpulkan bahwa jalan menuju inklusi tidak
patokan atau ukuran dalam menentukan tingkat
mudah karena melibatkan perubahan sikap,
kinerja kepala sekolah atau guru, berhubungan
perubahan nilai, perubahan program pelatihan
dengan: 1) hasil, mengacu pada ukuran output;
guru dan perubahan sistem sekolah. Sementara
2) efisien, mengacu pada penggunaan sumber
it u, p erub ahan mer upak an salah sat u da ri
daya; 3) kepuasan, mengacu pada pelayanan;
beberapa aspek permanen dalam kehidupan dan
4) keadaptasian, mengacu pada inovasi dan
tidak banyak orang yang nyaman dengan itu.
perubahan. Pendapat ini juga sejalan dengan Piet
Studi yang dilakukan Andrews dan Frankel (2010)
A. Sahertian dalam Direktorat Tenaga Kepen-
di Guyana menyimpulkan bahwa ada empat faktor
didikan (2008), bahwa standar kinerja guru
utama yang menjadi hambatan potensial untuk
mengacu pada kualitas guru dalam menjalankan
pelaksanaan pendidikan inklusif, yaitu: 1) sikap
tugasnya, seperti: 1) bekerja dengan siswa secara
dan persepsi terhadap ABK; 2) agen perubahan;
ind ividual; 2) p ersi apa n da n p erencana an
3) sumber daya; dan 4) pengalaman dalam
pembelajaran; 3) pendayagunaan media pem-
pelibatan dengan ABK.
belajaran; 4) melibatkan siswa dalam berbagai
Studi yang dilakukan oleh Yusuf dan Indianto
pengalaman belajar; dan 5) kepemimpinan yang
(2010) tentang profil sekolah inklusi di salah satu
efektif.
kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, menemukan
Studi tentang unjuk kerja kepala sekolah dan guru dalam pendidikan inklusif, telah banyak
bahwa dari 74 SD inklusi yang diteliti, dalam hal im plem enta si
p enye lenggar aan
pend idik an
385
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
inklusif, termasuk kategori baik (24,18%), dan
aspek pembelajaran; 6) aspek penilaian; dan
sisanya (74,82%) masuk kategori sedang dan
7) aspek dukungan. Ketujuh dimensi ini akan
kurang baik. Penelitian serupa dilakukan oleh
dilakukan penysuaian sehingga menjadi enam
Sunardi, dkk (2010) telah mengkaji 184 sekolah
dimensi.
penyelenggara pendidikan inklusif di beberapa
Dim ensi kel emba gaan, me ncak up e nam
provinsi di Indonesia. Ada 7 (tujuh) aspek yang
indikator, yaitu: surat legalitas; struktur organisasi
diukur untuk menggambarkan kinerja sekolah
sekolah; sosialisasi; perencanaan; koordinasi; dan
berdasarkan kriteria ideal sekolah inklusif, yaitu:
pengendalian. Dimensi kurikulum, pembelajaran,
1) aspek manajemen dan kelembagaan; 2) aspek
dan evaluasi, mencakup tiga indikator, yaitu:
kesiswaan; 3) aspek identifikasi dan asesmen;
modifikasi kurikulum; modifikasi pembelajaran;
4) aspek kurikulum; 5) aspek pembelajaran;
dan modifikasi penilaian. Dimensi kesiswaan,
6) aspek penilaian; dan 7) aspek dukungan.
mencakup em pat indi kator, yaitu: se leksi;
Berdasarkan aspek-aspek tersebut, tingkat kinerja
identifikasi dan asesmen; tindak lanjut; serta
sekolah inklusi sebagai berikut: 1) skor aspek
pengembangan bakat khusus. Dimensi guru dan
manajemen dan kelembagaan 61%; 2) skor aspek
tenaga kependidikan, mencakup empat indikator,
kesiswaan 38%; 3) skor aspek identifikasi dan
yaitu: kualifikasi dan kompetensi; komitmen;
asesmen 46,6%; 4) skor aspek kurikulum 34,6%;
keb erad aan guru pem bimb ing khusus; dan
5) aspek pembelajaran 63,6%; 6) aspek penilaian
keberadaan tenaga terapis atau ahli lain. Dimensi
69,4%; dan 7) aspek dukungan 67,9%. Temuan
sarana dan prasarana sekolah, mencakup empat
ini menunjukkan bahwa di lapangan masih banyak
indikator, yaitu: keberadaan kelas khusus; sarana
permasalahan dalam implementasi pendidikan
pe mbel ajar an; akse sibi lit as f isik ; da n pe r-
inklusif.
pustakaan. Dimensi pembiayaan, mencakup tiga
Be rdasarka n fe nome na t erse but, dap at
indikator, yaitu: alokasi pembiayaan; dukungan
disimpulkan bahwa dalam implementasi pen-
pembiayaan; dan laporan penggunaan dana.
did ikan ink lusi f, hampi r se mua aspe k ya ng
Aspek-aspek ini akan digunakan sebagai kriteria
diharapkan berubah, masih jauh dari terlaksana
dalam mengukur kinerja kepala sekolah dan guru
dengan baik. Faktor-faktor persepsi yang masih
dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif
beragam, kebijakan Pemerintah yang kurang
di sekolah dasar.
tersosialisasi ke tingkat pengambil kebijakan di
Untuk mengukur kinerja kepala sekolah dan
level bawah, terbatasnya instrumen pendukung
guru, akan digunakan indikator manajemen
yang
d an
sekolah dalam implementasi pendidikan inklusif
penerimaan masyarakat terhadap ABK yang belum
ya ng t erdi ri a tas aspe k: 1 ) ke lemb agaa n;
merata, tentu saja berakibat pada kinerja sekolah
2) kurikulum; pembelajaran; dan penilaian;
yang kurang optimal dalam penyelenggaraan
3) kesiswaan; 4) sarana dan prasarana; 5) sumber
pendidikan inklusif. Untuk mencapai kinerja
daya manusia (SDM); dan 6) keuangan. Seberapa
sekolah yang efektif dan ideal sebagai sekolah
ba nyak dan ber kual itas dar i se tiap asp ek
inklusi, maka perlu dicarikan solusi mendasar yang
terimplementasi di sekolah mengindikasikaan
dapat membantu meningkakan kinerja kepala
tinggi rendahnya kinerja kepala sekolah dan guru
sekolah da n guru dalam mengelola sek olah
dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif.
di sedi akan
Pem erintah,
sik ap
inklusif secara efektif dan efisien.
Garis arah dari kotak kinerja kepala sekolah
Model pengukuran kinerja kepala sekolah dan
menuju kotak kinerja guru mengindikasikan
guru yang digunakan dalam penelitian ini, akan
secara hipotetik kinerja kepala sekolah akan
mengadopsi studi Sunardi dkk (2010) melalui LP2M
berdampak positif atau negatif terhadap kinerja
UNS. Setidaknya, ada tujuh dimensi atau aspek
guru. Secara skematik kerangka berpikir dalam
yang mengalami perubahan sebagai implikasi
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
manajerial sekolah inklusi. Ketujuh dimensi atau aspek tersebut yaitu: 1) aspek manajemen dan kelembagaan; 2) aspek kesiswaan; 3) aspek identifikasi dan asesmen; 4) aspek kurikulum; 5)
386
Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif
PENDIDIKAN INKLUSIF DI SEKOLAH Indikator Manajemen Sekolah dalam Implementasi Pendidikan Inklusif dari Perspektif Kepala Sekolah: 1. Aspek kelembagaan 2. Aspek kurikulum, pembelajaran dan penilaian 3. Aspek kesiswaan 4. Aspek sarana dan prasarana 5. Aspek SDM 6. Aspek keuangan
Tingkat Keterlaksanaannya di Sekolah oleh Kepala Sekolah
Kinerja Kepala Sekolah di Sekolah Inklusif
Tingkat Keterlaksanaannya di Sekolah oleh Guru
Kinerja Guru di Sekolah Inklusif
PENDIDIKAN INKLUSIF DI SEKOLAH Indikator Implementasi Pendidikan Inklusif dari Perspektif Guru: 1. Aspek kelembagaan 2. Aspek kurikulum, pembelajaran dan penilaian 3. Aspek kesiswaan 4. Aspek sarana dan prasarana 5. Aspek SDM
Gambar 1. Kerangka Berfikir Metodologi Penelitian
ditetapkan peneliti. Kriteria itu antara lain status
Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan
guru sebagai guru tetap/PNS, guru kelas, masa
melibatkan banyak subyek di beberapa wilayah
kerja di atas lima tahun. Dengan demikian, sampel
yang relatif luas. Alasan memilih jenis Suvei karena
gur u di ambi l de ngan menggunakan tek nik
sesuai tujuan penelitian, yaitu untuk mendes-
purposif. Jumlah sampel guru akhirnya ada 103
kripsikan tentang fenomena yang ada sehingga
orang karena satu sekolah ada yang terlanjur
dapat dijadikan titik tolak dalam kegiatan maupun
menunjuk tiga guru sebagai responden.
kajian lebih lanjut yang bersifat kebijakan dan/ atau pengembangan.
Teknik pengumpulan data menggunakan angket dengan empat pilihan jawaban yang dari
Penelitian ini mengambil lokasi di Solo Raya
setiap jawaban yang tersedia menggambarkan
yang terdiri atas tujuh kabupaten/kota. Karena
tingkat frekuensi atau kualitas dalam mengim-
luasnya wilayah, selanjutnya diambil empat
plementasikan aspek-aspek yang telah dijabarkan
wilayah secara random sebagai sampel wilayah,
ke dalam butir angket. Ada enam aspek yang
terpilih Solo, Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali.
diukur dari kinerja Kepala Sekolah (lihat kerangka
Jumlah SD penyelenggara pendidikan inklusif di
berpikir), dan dikembangkan menjadi enam puluh
empat wilayah tersebut ada sekitar 185 sekolah.
tiga (63) butir pernyataan/pertanyaan. Angket
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya dipilih
Guru dikembangkan dari enam aspek imple-
secara acak proporsional sehingga diperoleh lima
ment asi pendidikan inklusif (lihat kera ngka
puluh satu (51) SD sebagai sampel sekolah.
berpikir), dan dikembangkan menjadi empatpuluh
Semua kepala sekolah dijadikan responden,
delapan (48) butir pernyataan/pertanyaan.
sedangkan untuk responden guru, ditetapkan dua
Hasil hitung validitas dan reliabilitas angket
orang setiap sekolah. Penetapan dua orang guru
de ngan
menggunakan
tek nik
Chronbach,
setiap sekolah diserahkan penunjukannya oleh
disimpulkan telah memenuhi persyaratan validitas
ke pala sek olah ber dasa rkan kri teri a ya ng
dan reliabilitas yang
terlihat pada Tabel 1. 387
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Tabel 1. Validitas dan Reliabilitas
No
Skala Indeks Daya Beda
Validitas Item Valid
Reliabilitas Item Gugur
1
Kepala sekolah (pilihan a,b,c,d)
0,312 - 0,796
61
2 (no 30, 54)
0,962
2
Guru (pilihan a,b,c,d)
0,290 - 0,815
48
-
0,956
Hasil Penelitian dan Pembahasan Kinerja Kepala Sekolah dalam Implementasi Pendidikan Inklusif Tabel 2. Kinerja Kepala Sekolah dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif (N = 51 Responden Kepala Sekolah)
No
Aspek
Skor Rata-rata
Skor Ideal
1
Kelembagaan
31 (77,5%)
40
2
Kurikulum & Pembelajaran
48 (63,3%)
76
3
Kesiswaan
26 (64,7%)
40
4
Sumber Daya Manusia
30 (67,8%)
44
5
Sarana Prasarana
10 (50,0%)
20
6
Pembiayaan
15 (62,3%)
24
160 (65,5%)
244 (100%)
Rata-rata semua aspek Dari enam aspek implementasi pendidikan
(67 ,8%) serta aspek pembi ayaan (62,3 %).
inklusif yang diukur, dapat disimpulkan bahwa
Adapun kinerja terrendah ada pada aspek sarana
rata-rata kinerja kepala sekolah mencapai 65,5%.
prasarana (50%). Dengan bantuan diagram balok,
Kinerja tertinggi kepala sekolah ada pada aspek
hasil penelitian ini dapat digambarkan seperti
kelembagaan (77,5%) dan sumber daya manusia
pada Diagram 1.
388
Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif
Pertanyaan berikutnya yang harus dijawab,
cukup baik di kalangan sekolah dan terus semakin
yaitu apakah skor yang dicapai oleh kepala
meningkat. Jika dibandingkan dengan penelitian
sekolah sudah memenuhi standar atau kriteria
sebelumnya
ideal seperti yang diharapkan. Untuk menjawab
2010; Sunardi, dkk. 2010), sangat jelas ada
pe rtanyaan ter sebut di lak ukan uji sta tist ik
pergeseran yang sangat berarti dalam bentuk
deskriptif, yang hasilnya dapat ditunjukkan pada
pe ning kata n
Tabel 3 .
pendidikan inklusif. Kalau penelitian sebelumnya
(lihat Yusuf dan Indianto, 2009 dan
kualit as
dala m
im plem enta si
Tabel 3. Kategorisasi Tingkat Kinerja Kepala Sekolah Dibandingkan dengan Kriteria Ideal
Kuesioner
Kepala Sekolah
Kategorisasi
Subjek
Skor
Kategori
61< X <97,6
Rerata Empirik
Frek (N)
Prosen (%)
Sangat rendah
1
2.0
97,6 < X <134,2
Rendah
12
23.5
134,2 < X < 170,8
Sedang
16
31.4
170,8 < X <207,4
Tinggi
19
37.3
207,4 < X <244
Sangat tinggi
3
5.9
159,76
Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui bahwa
menemukan rata-rata implementasi pendidikan
kinerja kepala sekolah, cenderung berada dalam
inklusif masih di bawah 50% dengan angka
kategori sedang dan tinggi (68,7%), tetapi jika
tertinggi pada aspek kelembagaan yang hanya
dilihat dari rerata empirik, dengan skor 159,76
(52,2%), sedangkan penelitian saat ini telah
berada pada posisi sedang.
mencapai skor rata-rata (65,5%) dengan skor
Temuan dalam penelitian ini sedikit banyak
tertinggi (77,5%) pada aspek yang sama yaitu
memberikan pemahaman dan penguatan kepada
kelembagaan. Dapat disimpulkan bahwa semakin
peneliti bahwa pendidikan inklusif yang dikem-
tahun kinerja kepala sekolah semakin baik dalam
bangkan di Indonesia, telah diterima dengan
mengimplementasikan pendidikan inklusif.
Kinerja Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif Tabel 4. Kinerja Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif (N = 103 Responden Guru)
No
Aspek
Skor Rata-rata
Skor Edeal
1
Kelembagaan
14 (70,3%)
20
2
Kurikulum & Pembelajaran
47 (62,3%)
76
3
Kesiswaan
21 (59,4%)
36
4
Sumber Daya Manusia
25 (62,3%)
40
5
Sarana Prasarana
6 (56,1%)
12
6
Pembiayaan
5 (61,7%)
8
118 (61,45%)
192 (100%)
Rata-rata semua aspek
389
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Dari Tabel 4 diketahui bahwa dari semua aspek
Pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa tingkat
implementasi pendidikan inklusif yang diukur,
kinerja guru dalam implementasi pendidikan
da pat
rata -rat a ki nerj a guru
inklusif memperoleh rerata empirik 119,43 berada
mencapai (61,45%). Aspek-aspek yang men-
dalam kategori sedang. Temuan ini masih cukup
dapatkan skor rata-rata tinggi ada pada aspe
konsisten jika dilihat dari hasil hitung persentase,
kel emba gaan
disi mpul kan
kuri kulum,
yaitu jika diakumulasi persentase antara yang
pembelajaran dan penilaian (62,3%), aspek
(70 ,3%) ,
aspek
sedang ke atas dan sedang ke bawah, hasil hitung
sumberdaya manusia (62,3%), aspek pembiayaan
tampaknya tetap cukup berimbang, yang berarti
(61,7%). Dua aspek yang lain berada dalam
rata-rata.
kategori rendah, yaitu aspek kesiswaan (59,4%)
Sebagai studi awal tentang kinerja guru
dan sarana prasarana (56,1%). Berdasarkan hasil
dalam implementasi pendidikan inklusif, temuan
penelitian pada Tabel 3. Selanjutnya, dapat
ini cukup pent ing kar ena dapa t me njaw ab
dilukiskan dalam bentuk Diagram 2.
permasalahan di lapangan. Ketika masa-masa
Untuk mengetahui di posisi mana kinerja guru
awal sosialisasi pendidikan inklusif disodorkan
dilihat dari standar ideal, maka berdasarkan uji
kepada guru, pada umumnya mereka merasa
stat istik deskri ptif la njutan, hasi lnya d apat
berkeberatan, bahkan ada yang menolak untuk
digambarkan pada Tabel 5.
menjadi guru di kelas inklusi. Namun, setelah
Tabel 5. Posisi Kinerja Guru dibandingkan dengan Kriteria Ideal
Kuesioner
Guru
390
Kategorisasi
Subjek
Skor
Kategori
Frek (N)
Persen (%)
48< X <76,8
Sangat rendah
4
3.9
76,8< X <105,6
Rendah
34
33.0
105,6< X <134,4
Sedang
26
25.2
134,4< X <163,2
Tinggi
33
32.0
163,2< X <192
Sangat tinggi
6
5.8
Rerata Empirik
119,43
Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif
di lakukan pene lusuran ke sekol ah-sekol ah
yang sama. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi
penyelenggara pendidikan inklusif, dari enam
kesamaan pemahaman antara kedua subyek
aspek yang memiliki tingkat relevansi dengan
dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif.
tugas dan tanggung jawab guru, rata-rata berada
Aspek kedua, yaitu kurikulum, pembelajaran dan
dalam kategori sedang. Ini menunjukkan bahwa
penilaian. Pada aspek yang ketiga (C) yaitu
me skip un d enga n se gal a ke terb atasan d an
ketenagaan subyek kepala sekolah kembali lebih
diawali dengan rasa berat, akhirnya guru dapat
tinggi dari subyek guru. Ketenagaan juga lebih
bekerja dengan baik dalam mengimplementasikan
merupakan wilayah tugas dari kepala sekolah.
pendidikan inklusif.
Pada aspek yang keempat (D) yaitu kesiswaan, skor kepala sekolah masih lebih tinggi dari skor
Perbedaan kinerja Kepala Sekolah dan Guru
guru. Temuan i ni a gak unik kar ena urusan
Dari Tabel 2 dan Tabel 4 dapat diketahui bahwa
ke sisw aan sesungguhny a le bih deka t pa da
ada perbedaan tingkat kinerja kepala sekolah dan
urusan guru dari pada kepala sekolah. Rupanya
gur u da lam meng impl ementasi kan prog ram
dalam aspek pendidikan inklusif, pelayanan ABK
pe ndid ikan ink lusi f. K ine rja kepa la sekol ah
sej ak
cenderung lebih tinggi dibanding dengan kinerja
pe mbel ajar an d an k elul usan, pe ran kepa la
guru. Meskipun rerata empirik kinerja kepala
sekolah sebagai pengambil kebijakan masih
sekolah dan guru sama-sama berada dalam
sangat diperlukan oleh guru. Adapun interaksi
ka tegori sedang, namun per sent ase kepa la
guru dengan siswa ABK lebih banyak dalam
sekolah sedikit di atas persentase guru. Jika skor
konteks pembelajaran di kelas. Pada aspek yang
kinerja kedua kelompok subyek disandingkan
kelima (E) yaitu sarana prasarana, justru kinerja
melalui grafik, dapat dilihat seperti pada Grafik 1.
guru lebih tinggi dari kepala sekolah. Hal ini
a wal
anak
masuk
sampa i
poses
Grafik 1. Kinerja KepalaSekolah dan Guru Keterangan: A (kelembagaan), B (kurikulum, pembelajaran dan penilaian), C (ketenagaan), D (kesiswaan), E (sarana prasarana), F (keuangan). Aspek kelemba gaan kedua subyek agak
di seba bkan kar ena penggunaan sara na d an
berbeda, yaitu subyek kepala sekolah lebih tinggi
prasarana khusus untuk melayani ABK lebih
dari subyek guru. Hal ini wajar karena aspek
banyak
kelembagaan lebih banyak menyangkut wilayah
pembelajaran daripada kepala sekolah yang lebih
kerja kepala sekolah. Yang menarik, yaitu pada
ba nyak pad a ta tara n p enga daannya, buk an
aspek kedua (B), kedua subyek berada dalam titik
penggunnaannya. Pada aspek yang keenam (F)
dila kuka n
guru
untuk
kep erluan
391
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
pembiayaan, kedua subyek memiliki kinerja yang
aspek), kedua subyek sedikit berbeda kepala
sama, yaitu sama-sama menggunakan sumber-
sekolah memiliki skor capaian rata-rata (65,45%)
dana yang ada secaa bai k untuk keper luan
lebih baik dibanding dengan skor capaian guru
program pendidikan inklusif pada wilayahnya
(62,3%). Perbedaan i ni kemungkinan besar
masing-masing.
karena kepala sekolah lebih sering mengikuti
Secara umum dapat disimpulkan bahwa tidak
forum pertemuan sekolah inklusi, sedangkan guru
terjadi perbedaan yang cukup menyolok pada
relatif jarang mendapatkan kesempatan untuk
kinerja kepala sekolah dan guru untuk hampir
terlibat dalam forum pendidikan inklusif.
semua aspek yang dijadikan kriteria implementasi pendidikan inklusif. Kepala sekolah memiliki
Saran
persepsi dan kebijakan tertentu untuk keber-
Mengacu pada simpulan, maka disarankan agar
hasilan program pendidikan inklusif, dan ternyata
ke pala sek olah masih perl u me ning katk an
diikuti oleh sikap dan penerimaan guru untuk
kinerjanya dalam mengimplementasikan program
mengimplementasikannya dalam pelayanan ABK
pendidikan inklusif agar semakin optimal. Skor
di sekolah inklusi dengan baik. Meskipun demikian,
capaian rata-rata (65,45%) menunjukkan masih
secara deskriptif, kinerja kepala sekolah relatif
ada sekitar (35%) cakupan pekerjaan yang
sedikit lebih baik dibandingkan dengan kinerja
berhubungan dengan program iklusi yang belum
guru. Perbedaan ini diduga kuat terkait dengan
dapat dijalankan dengan baik. Upaya untuk
fr ekue nsi kepa la sekol ah d alam mengikuti
memperbaiki kinerja kepala sekolah tersebut
berbagai forum dan pertemuan yang berhubungan
da pat dila kuka n de nga n se ring mel akuk an
dengan penidikan inklusif. Hasil wawancara dan
evaluasi diri, yaitu melihat kembali apa yang sudah
analisis data profil responden, diketahui bahwa
dan perlu ditingkatkan dan apa yang belum dan
di Kabupate n Ka rang anya r da n Ka bupa ten
perlu dilakukan.
Boyolali, telah terbentuk forum sekolah inklusi ya ng
setia p
bulan
sek ali
kepa la
Kepala sekolah perlu lebih memainkan peran
sekol ah
dan kewenangannya dalam mendorong para guru
menyelenggarakan pertemuan bulanan. Per-
aga r me ning katk an k iner ja m erek a da lam
te muan-per temuan
memp erkuat
mengimplementasikan pendidikan inklusif yang
kesadaran dan komitmen kepala sekolah dalam
lebih baik. Kepala sekolah juga diharapkan dapat
mengembangkan pendidikan inklusif yang lebih
memberikan kesempatan yang lebih banyak
maju. Sayangnya, untuk kelompok guru belum
kepada para guru untuk mengikuti berbagai
terbangun kesadaran seperti itu.
kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan
t erse but
pengetahuan dan kompetensi mereka dalam Simpulan dan Saran Simpulan
pendidikan inklusif. Guru sekolah re gular per lu lebih sering
Kinerja kepala sekolah dalam mengimplemen-
diberikan kesempatan dan dilibatkan dalam
tasikan pendidikan inklusif, untuk semua aspek/
be rbag ai
dimensi berdasarkan analisis deskriptif kategorik,
pemahaman dan kompetensinya dalam mena-
rerata empirik berada dalam kategori sedang.
ngani ABK semakin meningkat. Skor pelayanan
Demikian juga kinerja guru dalam mengimple-
kesiswaan ABK yang masih rendah oleh Guru,
mentasikan pendidikan inklusif untuk semua
seharusnya tidak perlu terjadi jika Guru lebih
aspek/dimensi cenderung berada dalam kategori
sering diberikan pelatihan tentang bagaimana
sedang. Meskipun demikian, dilihat dari skor
menangani ABK di sekolah inklusi.
capaian prosentasi masing-masing aspek (6
392
f orum
pendid ikan
ink lusi f
ag ar
Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif
Pustaka Acuan Andrews, Amanda Ajodhia
& Frankel, Elaine: Ryerson University. 2010. Inclusive Education in
Guyana: A Call For Change, International Journal of Special Education, Vol. 25 No. 1, 2010. Barnes, C. & Mercer, G. 2003. Disability Cambridge, UK: Polity Press (Chapter 1-Disability and Choices of Model). Charema, John: Mophato Education Centre. 2010. Inclusive Education in Developing Countries in The Sub Saharan Africa: From Theory to Practice, International Journal of Special Education, Vol. 25 No. 1, 2010. Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. 2008. Penilaian Kinerja Guru, Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta. Kalyva, Efrosini; Gojkovic, Dina; & Tsakiris, Vlastaris’ City Liberal Studies, Thessaloniki, Greece. 2007. Serbian Teachers’ Attitudes Towards Inclusion, International Journal of Special Education, Vol. 22, No. 3, 2007. Mdikana, Andile; Ntshangase, Sibusiso & Mayekiso, Tokozile: University of the Witwatersrand (2009), International Journal of Special Education, Vol.22, No. 1. 2007. Oliver, M. 1990. The Politics of Disablement: A Sociological Approach, New York: St Martin’s Press. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2010 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik Berkelainan dan/atau Peserta Didik dengan Potensi Kecerdasan dan Bakat Istimewa. Ro’fah, Andayani, dan Muhrisun. 2010. Membangun Kampus Inklusif, Best Practices Pengorganisasian Unit Layanan Difabel, Diterbitkan oleh Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Stainback, Susan & Stainback, William. 1996. Inclusion, A Guide for Educators, Paul. H. Brokes Pubisihing, Co. Baltimore, London, Toronto, Sydney. Sunardi; Yusuf, Munawir; Gunarhadi; Priono. 2010. The Implementation of Inclusive Education in Indonesia, Research Report International Collaborative Research Grant Funded by World Class University Project DIPA Sebelas Maret University. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yi Ding; Gerken, Kathryn C.; VanDyke Don C.; and Fei Xiao. 2006. Parents’ and Special Education Teachers’ Perspectives of Implementing Individualized Instruction in P.R. China: An Empirical and Sociocultural Approach, International Joournal of Special Education, Vol.21 No. 3, 2006. Yusuf, Munawir dan Indianto, R. 2009. Kajian tentang Implementasi Pendidikan Inklusif sebagai Alternatif Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Kabupaten Boyolali, Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Sebelas Maret. Yusuf, Munawir dan Indianto, R. 2010. Kajian tentang Implementasi Pendidikan Inklusif sebagai Alternatif
Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar bagi Anak Berkebutuhan Khusus di
Kabupaten Boyolali, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Edisi Khusus II, Agustus, 2010, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, hal. 136-148.
393
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP GRAFIK FUNGSI TRIGONOMETRI SISWA SMK MELALUI PENEMUAN TERBIMBING BERBANTUAN SOFTWARE AUTOGRAPH (THE INCREASE OF SMK STUDENT’S CONCEPTUAL UNDERSTANDING OF TRIGONOMETRIC FUNCTION GRAPH THROUGH GUIDED INQUIRY USING AUTOGRAPH) Sahat Saragih PPs. UNIMED Jl. Wilem Iskandar Psr. V Medan e-mail:
[email protected] Vira Afriati SMA Negeri 13 Medan Jl. Brigjen Zein Hamid Km.7, Medan e-mail:
[email protected] Diterima tanggal: 1/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 2/11/2012, Disetujui tanggal: 14/12/2012 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) apakah peningkatan pemahaman konsep siswa pada grafik fungsi trigonometri dengan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi daripada siswa yang diberi pendekatan biasa; dan 2) bagaimana ketuntasan dan aktivitas belajar siswa dengan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph. Penelitian ini merupakan studi eksperimen di SMK Telkom Sandhy Putra dan SMK Sandhy Putra II Medan (Kelompok Pariwisata) dengan mengambil sampel 2 kelas dari masingmasing sekolah secara acak. Data yang diperoleh secara ternormalisasi dinalisis dengan menggunakan uji t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) peningkatan pemahaman konsep siswa pada grafik fungsi trigonometri yang memperoleh pendekatan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatan biasa; dan 2) ketuntasan dan aktivitas belajar siswa yang memperoleh pendekatan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatan biasa. Kata kunci: pemahaman konsep, konsep grafik, penemuan terbimbing, fungsi trigonometri, software autograph, dan SMK Abstract: This research is aimed to know 1) if the increase of student’s conceptual understanding on trigonometric function graph through guided inquiry using Autograph software is greater than those with usual approach, 2) how the student’s mastery in learning and student’s learning activity are. This is an experimental research conducted in SMK Telkom Sandhy Putra and SMK Sandhy Putra II Medan (tourism group) with the population are all the students in grade XI of the schools and two classes from each school were randomly taken as samples. t – test is applied to analyze the normalized gain of students’ conceptual understanding. The research shows that the increase of student’s conceptual understanding on trigonometric function graph through guided inquiry using Autograph software is greater than those with usual approach, 2) the mastery in learning and learning activity of students implementing guided inquiry using Autograph is greater than those with usual approach So, teachers should apply guided inquiry approach using Autograph as one of learning approach alternatives. Keywords: conceptual understanding, graphic concept, guided inquiry, trygonometry function, autograph software, and vocational school
368
Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph
Pendahuluan
menginv esti gasi ,
Matematika disadari sangat penting peranannya.
menemukan sendiri konsep Matematika yang
Namun, tingginya tuntutan untuk menguasai
dimaksud. Para pakar matematika berpendapat
matematika tidak berbanding lurus dengan hasil
bahwa pengetahuan tidak diterima secara pasif
belajar matematika siswa. Kenyataan yang ada
seperti sebuah hadiah, tetapi harus secara aktif
menunjukkan hasil belajar siswa pada bidang
diciptakan, ditemukan atau dikonstruksi siswa.
studi matematika kurang menggembirakan. Rata-
Piaget (Reys, 2001) menyatakan, “mathematics
rata nilai ulangan harian 1 seluruh siswa kelas 2
ia made (constructed) by children, not found like a
SMK Telkom Sandhy Putra dan SMK Sandhy Putra
rock nor received from others as a gift”. Reys (2001)
II Medan (Kelompok Pariwisata) belum mencapai
mengata kan hal serupa, “knowle dge is not
ketuntasan, yaitu 66,58 padahal KKM sekolah
passively received; rather, knowledge is actively
tersebut 70 (Sumber: dokumentasi SMK Telkom
created or invented (constructed) by students”.
Sandhy Putra Medan dan SMK Sandhy Putra - 2
Be gitu jug a Fr uede ntha l (M arka ban, 200 6)
Medan)
mengatakan, “mathematics as a human activity.
Ke nyat aan
yang
kurang
me ncob a,
d an
a khir nya
mem uask an
Education should give students the “guided”
ter sebut, salah sat unya disebab kan kare na
opportunity to “reinvent” mathematics by doing it”.
pemahaman konsep Matematika siswa masih
Berdasarkan pendapat para pakar Mate-
rendah. Siswa pada umumnya belum memiliki
matika tersebut, maka Guided Inquiry atau
pemahaman konsep yang baik, khususnya pada
pendekatan penemuan terbimbing dapat menjadi
materi grafik fungsi trigonometri. Hal ini terlihat
salah satu alternatif yang dapat meningkatkan
dari jawaban siswa 2TS1 SMK Telkom Sandhy
pemahaman konsep siswa. Pada pendekatan ini
Putra saat ulangan harian 1 untuk kompetensi
siswa t erli bat akti f be kerj a sa ma m enca ri,
dasar menggambar atau membaca grafik fungsi
me ngga li,
trigonometri. Misalnya, ketika siswa diminta untuk
me nyel idik i da ri b erba gai kead aan, unt uk
menggambar grafik fungsi trigonometri, siswa
menemuk an d an m engk onst ruksi id e ba ru,
tidak mampu menggambarnya dengan benar,
pengetahuan baru, berdasarkan berbagai sumber
sehingga tidak dapat memberikan alasan atau
informasi dan pengetahuan awal atau konsep
penjelasan yang benar atas grafik tersebut,
yang telah dikuasai sebelumnya, dan selanjutnya
seperti terlihat pada gambar berikut.
menyimpulkan, menguji simpulannya dan memberi
meng eksp lor asi,
mencoba -cob a,
laporan atas hasil kerjanya. Selama melakukan proses inquiry, siswa akan leb ih m udah mel akuk anny a ji ka p enem uan terbimbing dipadu dengan penggunaan ICT. Penggunaan ICT termasuk salah satu dari enam pri nsip sekola h Mate matika . Menurut N CTM (1991), “Technology is essential in teaching and Salah satu penyebab rendahnya pemahaman
learning mathematics; it influences the mathematics
konsep siswa adalah proses pembelajaran yang
that is taught and enhances students’ learning.”
berpusat pada guru. Siswa tidak banyak terlibat
Untuk penerapan di kelas, penggunaan ICT dapat
dalam mengkonstruksi pengetahuannya, hanya
diintegrasikan dengan beberapa pendekatan
menerima informasi yang disampaikan searah dari
belajar. Seperti dikatakan Karnasih (2008),” There
guru. Dengan pembelajaran konvensional seperti
are four different approaches can be implemented in
ini siswa cenderung cepat lupa pada materi yang
integrating ICT teaching and learning mathematics:
telah diajarkan guru. Jika siswa diberi soal yang
1) Expository learning; 2) Inquiry based learning;
berbeda dengan contoh soal mereka kebingungan
3) Cooperative learning; and 4) Individual learning”.
karena tidak tahu harus mulai dari mana mereka
Pe rnya taan Kar nasi h d i at as m enunjukk an
bekerja (Mettes dalam Ansari, 2009).
penggunaan ICT sangat cocok jika diintegrasikan
Berbeda halnya jika siswa mengkonstruksi
dengan penemuan terbimbing. Software Mate-
pengetahuannya sendiri. Siswa m enyelidiki,
matika yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
369
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Autograph. Autograph sendiri telah direkomen-
sampai yakin dan terbukti benar simpulan yang
dasikan oleh NCTM (the National Council of Teachers
diambilnya.
of Mathematics) pada Curriculum and Evaluation
Berdasarkan uraian pada latar belakang,
Standards for School Mathematics (1989) yang
maka rumusan masalah dalam penelitian ini
menyarankan:
adalah: 1) apakah peningkatan pemahaman
All student should have a calculator, posibly one
konsep Matematika siswa dengan penemuan
that has graphing capabilities, a computer
terbimbing berbantuan Software Autograph lebih
should be available at all times in every
tinggi daripada siswa yang diberi pendekatan
classroom for demonstration purposes and all
biasa? 2) bagaimanakah ketuntasan dan aktivitas
students should have access to computers for
belajar siswa dengan penemuan ter bimbing
individual and group work.
berbantuan Software Autograph?
Dengan Autograph siswa dapat melakukan
Ber dasa rkan ura ian lata r be laka ng d an
eksplorasi, investigasi, dan pencarian. Siswa
rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini
dapat menguji lebih banyak contoh dalam waktu
yaitu 1) untuk mengetahui apakah peningkatan
singkat daripada hanya menggunakan tangan,
pemahaman konsep siswa dengan penemuan
sehingg a
da pat
terbimbing berbantuan Software Autograph lebih
menemukan, mengkonstruksi dan menyimpulkan
da ri
e kper imennya
sisw a
tinggi daripada siswa yang diberi pendekatan
prinsip-prinsip matematika, dan akhirnya paham
bi asa; 2) untuk me nge tahui ba gaim anak ah
bagaimana menggambar dan membaca grafik
ketuntasan dan aktivitas belajar siswa dengan
fungsi trigonometri dengan benar.
pe nemuan t erbi mbing be rbantuan Softwa re
Sayangnya penggunaan media komputer di
Autograph.
sekolah-sek olah m asih be lum dioptimal kan, terutama saat belajar Matematika. Malah banyak
Kajian Literatur
guru y ang mene ntang pe nggunaan med ia
Pemahaman Konsep
berbasis ICT dalam pembelajaran Matematika
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata
dikarenakan masalah waktu dan ketidakmampuan
pem aham an m enga ndung ar ti k esanggup an
dalam memanfaatkan media tersebut. Minimnya
intelegensi untuk menangkap makna suatu situasi
pengetahuan guru dalam pemanfaatan media
atau perbuatan (Depdikbud, 1989). Menurut Driver
komputer dan Software Matematika menjadi salah
dan Leach (dalam Hasanah, 2004) pemahaman
sat u fa ktor tida k di gunak anny a IC T d al am
adalah kemampuan untuk menjelaskan suatu
pembelajaran Matematika.
sit uasi
ata u
suatu
tind akan.
Pe maha man
Ketika mempelajari grafik fungsi trigonometri
termasuk dalam ranah kognitif taksonomi Bloom
guru lebih memilih menggambarnya di papan tulis
yang dikenali dari kemampuan untuk membaca
dan siswa menggambar di bukunya masing-
dan mem aham i ga mbar an, laporan, tab el,
masing. Tentunya cara ini memakan waktu lama
diagram, arahan, dan sebagainya.
dan siswa hanya menggambar sedikit contoh
Konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili
grafik fungsi trigonometri tersebut. Dengan
kel as objek-obj ek, keja dian-kej adia n, a tau
mengandalkan apa yang disampaikan guru, tak
hubungan-hubungan yang mempunyai atribut
jarang siswa lupa atau bingung ketika diminta
yang sama (Rosser dalam Dahar, 1996). Dahar
menggam bark an k emba li a tau menulisk an
(19 96) m enyi mpulk an konsep adal ah suatu
pe rsam aan fung si d ari gamb ar g rafi k ya ng
abstraksi mental yang memiliki suatu kelas
tersedia. Sebaliknya jika menggunakan Autograph
stimulus-stiimulus. Adapun pengertian konsep
siswa
menurut Soedjadi (dalam Ahmad, 2011) adalah
d apat
ber ulangkal i
me ncob a-coba
me ngha silk an b anya k contoh gra fik fung si
ide abstrak
tri gonometr i, sampa i ak hirnya siswa dap at
mengadakan klasifikasi atau penggolongan. Jadi,
mengambil simpulan tentang bagaimana gambar
konsep adalah suatu ide abstrak yang memung-
grafik sinus, grafik cosinus, grafik tangen, berapa
kinkan seseorang untuk mengklasifikasikan objek-
nilai maksimum dan minimumnya, dan jika siswa
objek atau kejadian-kejadian, sehingga dapat
ragu siswa dapat mencoba lagi berulang kali
menentukan apakah objek atau kejadian itu
370
yang da pat
digunaka n untuk
Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph
merupakan contoh atau bukan contoh dari ide
dan menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh
tersebut.
akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak
Dalam kurikulum 2004 (Depdiknas, 2003)
mudah dilupakan anak ; 3) pengertian yang
dinyatakan bahwa “...beberapa kemampuan yang
ditemukan sendiri merupakan pengertian yang
perlu diperhatikan dalam penilaian Matematika
betul-betul dikuasai dan mudah digunakan atau
ada lah pema hama n konsep yang me liputi
ditransfer dalam situasi lain; 4) dengan menggu-
kemampuan mendefinisikan konsep, mengiden-
nakan strategi discovery anak belajar menguasai
tifikasi konsep dan memberi contoh dan bukan
sa lah satu met ode ilmi ah y ang akan dap at
contoh dari konsep”. Adapun tujuh indikator
dikembangkan sendiri; dan 5) dengan metode ini,
pemahaman konsep menurut Depdiknas (Tim
anak belajar berpikir analisis dan mencoba meme-
PLPG, 2008) yaitu: 1) menyatakan ulang sebuah
cahkan masalah yang dihadapi, kebiasaan ini akan
konsep; 2) mengklasifikasikan objek menurut sifat
ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat.
tertentu; 3) memberi contoh dan bukan contoh;
Ruseffendi (dalam Suriadi, 2006) menyatakan
4) menyajikan konsep dalam berbagai repre-
bahwa belajar melalui penemuan itu penting
sentasi matematik; 5) mengembangkan syarat
sebab: 1) pada hakikatnya ilmu-ilmu itu diperoleh
perlu dan syarat cukup suatu konsep; 6) meng-
melalui penemuan; 2) Matematika adalah bahasa
gunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur
yang abstrak, konsep dan lain-lainnya itu akan
atau operasi tertentu; dan 7) mengaplikasikan
lebih melekat bila melalui penemuan dengan jalan
konsep ke pemecahan masalah. Berdasarkan
memanipulasi dan pengalaman benda-benda
uraian tersebut maka yang menjadi indikator
kongrit; 3) generalisasi itu penting, karena melalui
pemahaman konsep dalam penelitian ini yaitu:
penemuan generalisasi yang diperoleh akan
1) menyatakan ulang sebuah konsep; 2) memberi
mantap; 4) dapat meningkatkan kemampuan
contoh dan bukan contoh; dan 3) mengaplikasikan
pemecahan masalah; 5) setiap anak adalah
konsep ke pemecahan masalah.
makhluk kreatif; dan 6) menemukan sesuatu oleh siswa dapat menumbuhkan rasa percaya dirinya
Pendekatan Penemuan Terbimbing
sendiri, dapat meningkatkan motivasi, melakukan
Pemb elajar an penemuan t erbimb ing di kem-
pengkajian lebih lanjut, dan dapat menumbuhkan
bangkan berdasarkan pandangan kognitif tentang
sikap positif terhadap manusia.
pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis.
Dalam pendekatan penemuan terbimbing,
Menurut prinsip ini siswa dilatih dan didorong
siswa dan guru berkolaborasi bekerja sama untuk
untuk dapat belajar secara mandiri. Secara tegas
mene mukan ide-ide . Sisw a beker ja seb agai
Amin (dalam Suriadi, 2006) mengemukakan bahwa
komunitas belajar, saling membantu dan belajar
suatu kegiatan “discovery atau penemuan” ialah
satu sama lain, tidak hanya sebagai individu-
sua tu
ya ng
individu yang bekerja sendirian menyelesaikan
dirancang sedemikian rupa, sehingga siswa dapat
k egia tan
atau
pem bela jara n
tugas pribadinya. Ciri-ciri penemuan terbimbing
menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip
da pat lebi h je las dili hat dar i enam p rinsip
melalui proses mentalnya sendiri. Dalam hal ini
penemuan terbimbing yang dijabarkan Kuhlthau
penemuan terjadi apabila siswa dalam proses
(2007), yaitu: 1) siswa belajar secara aktif dili-
mentalnya seperti mengamati, menggolongkan,
batkan dalam pengalaman dan merefleksikan
mem buat dug aan, mengukur, m enje lask an,
pengalaman tersebut; 2) siswa belajar dengan
menarik kesimpulan dan sebagainya menemukan
membangun pengetahuan berdasarakan dari apa
beberapa konsep atau prinsip.
yang telah mereka ketahui; 3) siswa mengem-
Sementara Suryosubroto (dalam Suriadi,
bangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi melalui
2006) mengemukakan bahwa salah satu metode
bimbingan dalam proses belajarnya; 4) siswa
mengajar yang akhir-akhir ini banyak digunakan
mempunyai banyak cara belajar; 5) siswa belajar
di sekolah-sekolah yang sudah maju adalah
melalui interaksi sosial dengan yang lain; dan
metode discovery. Hal ini disebabkan metode ini:
6) siswa belajar melalui petunjuk dan pengalaman
1) merupakan suatu cara untuk mengembangkan
yang sesua i denga n perk embanga n kognitif
cara belajar siswa aktif; 2) dengan menemukan
mereka.
371
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Langkah-langkah dalam Penemuan
itu per lu d iing at p ula bahw a induksi ti dak
Terbimbing Ag ar
menjamin 100% kebenaran konjektur; 7) sesudah
p elak sana an
pe nemuan
siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya
terbimbing ini berjalan dengan efektif, beberapa
guru m enye diak an soal lat ihan ata u soal
langkah
tam baha n untuk
yang
p ende kata n
pe rlu
dite mpuh
ole h
guru
matematika dijabarkan Markaban (2006), yaitu: 1) merumuskan masalah yang akan diberikan ke pada
siswa
d enga n
da ta
secuk upny a,
meme riksa
ap akah
hasil
penemuan itu benar. Dalam penemuan terbimbing guru dapat me nggunaka n st rate gi i nter vensi ya ng m e-
perumusannya harus jelas, hindari pernyataan
mungkinkan
sisw a
me ngkonstr uksi
pem a-
yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang
hamannya sendiri. Strategi ini membantu siswa
ditempuh siswa tidak salah; 2) dari data yang
mencari fakta, menjelaskan dan sintesa terhadap
diberikan guru, siswa menyusun, memproses,
fakta-fakta. Strategi yang dimaksud menurut
mengorganisir, dan menganalisis data tersebut.
Kuhlthau (2007) terlihat pada Tabel 1.
Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperluka n saja. Bimbingan ini
Kekuatan dan Kelemahan Pendekatan
sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah
Penemuan Terbimbing
ke arah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-
Manfaat pembelajaran penemuan terbimbing bagi
pertanyaan, atau lembar aktivitas siswa (LAS);
siswa dan guru menurut Khulthau (2007) sebagai
3) siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari
berikut. Manfaat untuk siswa: a) mengembangkan
hasil analisis yang dilakukannya; 4) bila dipandang
kemampuan berinteraksi sosial; b) berbahasa dan
perlu, konjektur yang telah dibuat siswa tersebut
membaca; c) menyusun pemahaman mereka
di atas dip erik sa oleh gur u. H al i ni p enti ng
sendiri; d) m ening katk an ke bebasan da lam
dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan
meneliti dan belajar; e) mengembangkan motivasi
siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak
dan keterlibatan tingkat tinggi; dan f) mempelajari
dicapai; 5) apabila telah diperoleh kepastian
strategi dan kemampuan mentransfer ke bentuk
tentang kebenaran konjektur tersebut, maka
penemuan yang lain. Keuntungan untuk guru:
verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga
berb agi ta nggung jawab dengan teman tim
kepada siswa untuk menyusunnya; 6) di samping
pengaja r la inny a, b erba gi k eahl ian anta ra
Tabel 1. Strategi Penemuan Terbimbing Intervention Strategies for Guided Inquiry
Intervention Strategies for Guided Inquiry The Six Cs 1. collaborate kolaborasi
Work jointly with others Bekerja sama dengan yang lain
2. converse membicarakan
Talk about ideas for clarity and further questions
3. continue berkesinambungan
Develop understanding over a period of time
4. choose memilih
Select what is intere sting and pertinent
5. chart grafik
Visualize ideas using pictures, timelines, and graphic organizers
Membicarakan tentang kejelasan ide dan pertanyaan lebih jauh Mengembangkan pemahaman terus-menerus Memilih apa yang penting dan cocok
Menggambarkan ide-ide menggunakan gambar, time line, dan grafik 6. compose menyusun
Sumber: Kuhlthau (2007)
372
Write all the way along, not just at end; keep journals Menuliskan semua langkah-langkah, tidak hanya hasilnya, buat jurnalnya.
Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph
anggota tim, memunculkan ide dan membuat
mencerna, mengerti, membuat dugaan, men-
perencanaan dengan lebih kreatif, meningkatkan
jelaskan, menganalisis, sehingga dapat meng-
pengalaman terhadap keluasan isi kurikulum.
konstruksi dan menemukan sendiri prinsip umum
Selain manfaat di atas, dapat diidentifikasi
yang diinginkan dengan bimbingan dan petunjuk
kekuatan dan kelemahan pendekatan penemuan
dari guru dan lembar kerjanya, berupa perta-
te rbim bing . Soedja na (198 6) m enguraik an
nyaan-pertanyaan yang mengarahkan. Pende-
kekuatan dan kelemahan tersebut. Kekuatannya
katan penemuan terbimbing ini tentunya berbeda
yaitu: 1) siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab
dengan pendekatan biasa atau konvensional yang
ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk
sering diterapkan guru di kelas.
menemukan hasil akhir; 2) siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses
Pendekatan Biasa
menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan
Pe ndek atan bia sa d iseb ut j uga pend ekat an
cara ini lebih lama diingat; 3) menemukan sendiri
konvensional atau pendekatan tradisional, yaitu
menimbulkan rasa puas. Kepuasan intrinsik ini
pendekatan belajar yang biasa diterapkan guru.
mendorongnya ingin melakukan penemuan lagi
Menurut Turmudi (2008) pendekatan pembel-
hingga minat belajarnya meningkat; 4) siswa yang
ajaran tradisional yang sering digunakan lebih
me mper oleh
metode
menekankan guru mendemonstrasikan materi,
penemua n ak an l ebih mam pu m entr ansf er
siswa dianggap berhasil apabila menyelesaikan
pe negt ahua nnya ke ber baga i kontek s; d an
lat ihan deng an l angka h-la ngka h yang te lah
5) metode ini melatih siswa untuk lebih banyak
diajarkan guru. Menurut Ruseffendi (dalam Suriadi,
belajar sendiri. Adapun kelemahannya yaitu:
20 06) pemb elaj aran bi asa diaw ali deng an
1) metode ini banyak menyita waktu, juga tidak
pemberian informasi (ceramah). Guru memulai
menjamin siswa tetap bersemangat menemukan;
dengan menerangkan suatu konsep, mende-
2) tidak setiap guru mempunyai selera atau
monstrasikan keterampilannya mengenai pola/
kemampuan mengajar dengan cara penemuan,
aturan/dalil tentang konsep itu, kemudian siswa
selain itu tugas guru sekarang cukup sarat;
bertanya, guru memeriksa (mengecek) apakah
3)
mel akuk an
siswa sudah mengerti atau belum. Kegiatan
penemuan. Apabila bimbingan guru tidak sesuai
selanjutnya ialah guru memberikan contoh-contoh
dengan kesiapan intelektual siswa, ini dapat
soal aplikasi konsep itu. Selanjutnya meminta
merusak struktur pengetahuannya. Bimbingan
siswa untuk menyelesaikan soal-soal di papan
yang terla lu bany ak jug a dapat memat ikan
tulis atau di mejanya . Siswa dapat bekerja
inisiatifnya; 4) metode ini tidak dapat digunakan
individual atau bekerja sama dengan teman yang
untuk mengajarkan setiap topik; 5) kelas yang
duduk di sampingnya, dan sedikit ada tanya
banyak muridnya akan sangat merepotkan guru
jawab. Hal senada juga diungkapkan oleh Saragih
dalam memberikan bimbingan dan pengarahan
(2007) yang menjelaskan ciri-ciri dari pendekatan
belajar dengan metode penemuan.
matematika biasa adalah guru berperan sebagai
tid ak
pengeta huan
semua
ana k
dengan
m ampu
Bruner (dalam Dahar, 1996) mengemukakan
sumber belajar, menjelaskan konsep, menje-
pengetahuan yang diperoleh dengan belajar
laskan contoh soal, memberi soal-soal latihan
discovery menunjuk kan beberapa k ebaikan.
yang harus dikerjakan dan mengevaluasi hasil
Pertama, pengetahuan itu bertahan lama atau
belajar siswa.
lama diingat, atau lebih mudah diingat. Kedua,
Berdasarkan uraian di atas maka pendekatan
hasil belajar discovery mempunyai efek transfer
biasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
yang lebih baik daripada hasil lainnya. Ketiga,
prosedur yang pada umumnya digunakan guru
secara menyeluruh belajar discovery mening-
dal am m enga jar yang langkah-langkahnya
katkan penalaran siswa dalam kemampuan untuk
menjelaskan materi pelajaran, guru memberi
berfikir secara bebas.
contoh, siswa diberikan kesempatan bertanya,
Dar i
ur aian
di
atas
mak a
pe nemuan
siswa mengerjaka n latihan, guru dan siswa
terbimbing yang dimaksud dalam penelitian ini
mem baha s la tiha n. Sedangkan pendeka tan
yaitu proses di mana siswa berfikir, mengamati,
penemuan terbimbing yang telah dijabarkan
373
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
sebelumnya menitikberatkan pada aktivitas siswa
Autograph membentuk siswa untuk belajar
untuk menemukan dan mengkonstruksi sendiri
de ngan
pe nget ahua nnya , me nga mbil sim pula n da ri
menggunakan teknologi yang memerlukan klik
eksplor asi
dan
inve stig asi.
Siswa
percobaan-percobaannya, dengan bimbingan dan
dan point. Program Autograph menggunakan
petunjuk dari guru berupa pertanyaan-pertanyaan
warna dan animasi dan menyediakan fasilitas
yang mengarahkan.
“help” sebagai bantuan saat menggunakannya.
Perbedaan pendekatan penemuan terbim-
Siswa dapat menggunakan autograph untuk
bing dan pendekatan biasa di atas sejalan dengan
menggambarkan sendiri grafik yang mereka
perbedaan yang diberikan Kuhlthau (2007) yang
ingink an d an m enge mbangkan pem aham an
mengataka n bel ajar d engan pene muan t er-
mereka sendiri. Misalnya, siswa diminta meng-
bimbing berbeda dengan belajar konvensional.
gambar grafik fungsi trigonometri, menuliskan
Penemuan terbimbing merupakan persiapan untuk
kembali gambar grafik yang diperolehnya dan
belajar seumur hidup, menggunakan banyak
memberi penjelasan terhadap grafik tersebut.
sumber, menyertakan siswa dalam setiap tahap pembelajaran dari perencanaan sampai hasil
Pembelajaran Grafik Fungsi Trigonometri
akhir, tercipta komunitas belajar yang bekerja
dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing
bersama, guru dan siswa bekerja sama dan
Berbantuan Software Autograph
penemuan terbimbing menekankan pada proses
Adapun contoh kegiatan siswa selama belajar
dan hasil. Pada bel ajar konvensiona l si swa
grafik fungsi trigonometri dengan penemuan
dip ersi apka n ha nya
ter bimb ing b erba ntua n Sof twar e Autog ra ph
untuk
te s, m enja wab
pertanyaan, berpegangan hanya pada satu buku
sebagai berikut:
teks, siswa secara individu bekerja untuk tugas
1.
tertentu, pembelajaran terjadi searah dari guru
Masing-masing kelompok siswa menggunakan komputer yang telah diinstal Software
dan terlalu menekankan pada hasil akhir saja.
autograph 2.
Masing-masing siswa mendapatkan lembar
Media Software Autograph
aktivitas siswa (LAS) yang juga berguna
Autograph merupakan program komputer baru
se baga i
yang
di kemb angk an
oleh
Doug las
Butl er.
Ditawarkan 3 pilihan dalam penggunaannya, yaitu
pa ndua n
se lama
mel akuk an
percobaan 3.
Siswa membuka autograph dengan mendouble
1D untuk statistika, 2D untuk grafik, koordinat,
clik ikon Autograph yang ada pada desktop
transformasi dan geometri, 3D untuk grafik,
at au
koordinat, dan transformasi. Autograph sebagai
PROGRAMS => AUTOGRAPH 3.0. Akan
salah satu media pembelajaran menitikberatkan
muncul worksheet dua dimensi seperti berikut.
peran aktif siswa dalam belajar eksplorasi dan investigasi. Desain Autograph melibatkan tiga prinsip utama dalam belajar, yaitu fleksibilitas, berulang-ulang, dan menarik simpulan. Prinsip ini sa ngat
sel aras dengan ciri -cir i pe nemuan
ter bimb ing yang mengara hkan siswa p ada pengalaman investigasi dalam belajar Matematika. Dengan menggunakan Software Autograph diharapkan dapat membantu para pendidik dan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran di sekolah, sebagaimana dinyatakan Karnasih (2008) mengatakan bahwa “Most teachers find Autograph as a powerful tool in teaching students of different age groups or different ability group so as to inject pace and animation into a challenging topic for the less motivated student”.
374
d enga n
m eng- klik
ST ART
=>
Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph
4.
Jika ingin mengganti axes maka siswa mengklik axes => edit axes => mengganti range maksimum minimum sesuai yang diinginkan, misal sumbu x dari 0 sampai 2 dan sumbu y dari -1 sampai 1
5.
Klik ok, akan terlihat sheet sebagai berikut.
375
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
6.
Untuk meng gamb ar g rafi k, siswa dap at mengklik kanan =>ENTER EQUATION, atau
10. mengklik CONSTANT CONTROLLER , akan muncul kotak
mengklik 7.
Siswa menuliskan persamaan y=sin x pada baris kosong yang disediakan, OK 11. Siswa mengklik tombol
untuk menambah
nilai a menjadi semakin besar dan mengklik tombol
untuk mengurangi nilai a menjadi
semakin kecil 12. Siswa akan melihat bahwa nilai maksimum grafik fungsi sinus sama dengan nilai a dan nilai minimum sama dengan –a, begitu juga amplitudonya.
8.
Akan muncul tampilan grafik y = sin x seperti berikut.
13. Setiap kali siswa mendapat hasil berupa gambar grafik, siswa menggambarkannya di lem bar akti vita s si swa (LAS). Setel ah 9.
Siswa menggambar grafik y = a sin x, hingga muncul grafik y = a sin x dengan a = 1 seperti di bawah ini.
beberapa kali percobaan siswa berfikir untuk mengambil simpulan dan menuliskannya di lembar aktivitas siswa (LAS), misalnya siswa menyimpulkan cara menggambar grafik y = a sin x 14. Akhirnya, siswa menguji simpulannya, yaitu de ngan menggam bar terl ebih dahulu di lembar aktivitas siswa (LAS), misalnya grafik y = a sin x dengan konstanta a yang dipilihnya. Se tela h se lesa i me ngga mbar di lemb ar akt ivit as siswa (LAS) siswa mem erik sa dengan Autograph apakah gambar di lembar aktivitas siswa (LAS) sama dengan yang ditunjukkan Autograph.
376
Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph
Metodologi Penelitian
perbeda an peningkat an pemahaman konsep
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa
antara kedua kelompok digunakan uji beda,
SMK kelas XI se Kodya Medan yang terakreditasi
dengan sebelumnya menguji normalitas dan
A p ada tahun 2 010. Da ri sekol ah-sekol ah
homogenitas dari data gain ternormalisasi skor
berakreditasi A, terpilihlah SMK Telkom Sandhy
pretes-postest. Selain itu, data skor postest
Putra Medan dan SMK Sandhy Putra II Medan
pem aham an k onse p juga d igunakan unt uk
(Kelompok Pariwisata). Penelitian dilaksanakan
menjela skan
pada bulan Maret – April 2011. Teknik pengambilan
mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) > 65.
sampel kelompok secara acak (cluster random
Peneliti juga mengkaji keaktivan belajar siswa dari
sampling). Sampel yang terpilih di SMK Telkom
hasil lembar observasi aktivitas siswa.
tentang
ket unta san,
apa kah
Sandhy Putra Medan adalah siswa kelas 2 TKJ 2 seb agai kel ompok eksperi men dan 2 TK J 3
Hasil Penelitian dan Pembahasan
sebagai kelompok kontrol. Adapun di SMK Sandhy
Analisis Peningkatan Pemahaman Konsep
Putra II Medan (kelompok pariwisata) siswa kelas
Siswa
2 AP sebagai kelompok eksperimen dan 2 UPJ
Dari hasil uji persyaratan analisis terhadap data
sebagai kelompok kontrol. Kelompok eksperimen
peningkatan (gain ternormalisasi) pemahaman
terdiri atas 73 siswa diberi perlakuan pendekatan
konsep pada masing-masing kelompok perlakuan
pe nemuan t erbi mbing be rbantuan Softwa re
diperoleh data berdistribusi normal, tetapi tidak
Autograph, sedangkan kelompok kontrol terdiri dari
homogen maka dengan demikian untuk melihat
71 siswa diberi perlakuan pendekatan biasa.
perbeda an peningkat an pemahaman konsep
Penelit ian
ini
dika tegorika n ke
dal am
antara kelompok eksperimen dengan kelompok
penelitian eksperimen semu (quasi experiment)
kontrol dapat dilakukan statistik parametrik uji t’
dengan rancangan penelitian Pretes Posttest
pada taraf signifikan
Control Group Design. Menurut Saragih (2007)
pengujian Ho yang menyatakan tidak terdapat
rancangan penelitian tersebut dapat digambarkan
perbeda an peningkat an pemahaman konsep
seperti dalam diagram berikut:
antara siswa kelompok eksperimen dengan siswa
=0,05, dengan kriteria
A O X O
kelompok kontrol diterima jika t hit ung < t Tab el
A O -
sedangkan untuk hal lain Ho ditolak. Rangkuman
O
Pada rancangan ini, pengelompokan subjek peneli tian dilak ukan secara acak kela s (A),
hasil perhitungan uji beda dengan uji t’ disajikan pada Tabel 2.
kelompok eksprimen d iberi pe rlakuan pembe laja ran
deng an
p ende kata n
Berdasarkan hasil pengujian di atas diperoleh
pe nemuan
thitung = 4,82 > tTabel = 1,65, dengan demikian Ho
terbimbing berbantuan Software Autograph (X), dan
ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
kelompok kontrol diberi perlakuan pende-katan
perbeda an peningkat an pemahaman konsep
biasa, kemudian masing-masing kelompok diberi
si swa anta ra e kspe rim en d enga n ke lomp ok
pretes dan postes (O).
kontrol . De ngan kat a la in p eningkat an p e-
Da ta d iper oleh mel alui tes pem aham an
mahaman konsep siswa yang diajar melalui
konsep berupa soal-soal grafik fungsi trigonometri
pe nemuan t erbi mbing be rbantuan Softwa re
sebanyak 4 soal uraian yang disusun berdasarkan
Autograph lebih tinggi dibandingkan siswa yang
indika tor pema hama n k onse p se rta lemb ar
diajar melalui pendekatan pembelajaran biasa.
observa si ak tivi tas siswa .
Untuk
me nguji
Tabel 2. Rangkuman Uji Perbedaan Rerata Peningkatan Pemahaman Konsep
Aspek
Peningkatan Pemahaman Konsep
Kelompok Eksperimen ̅ 0,668
Kelompok Kontrol ̅ 0,532
thitung
4,82
tTabel
1,65
Simpulan
Tolak Ho
377
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Analisis Ketuntasan Klasikal Pemahaman
Perta ma, b ahan aj ar d alam pe nemuan
Konsep
terbimbing berupa LAS yang dirancang untuk
Hasil perhitungan rerata skor peningkatan (gain)
membantu siswa melakukan proses pencarian dan
dan persentase ketuntasan pemahaman konsep
investigasi, sehingga dengan melakukan pene-
siswa pada materi grafik fungsi trigonometri untuk
muan siswa mengkontruksi sendiri pengeta-
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
huannya. LAS berperan sebagai panduan (guided)
dirangkum dalam Tabel 3.
ya ng
b erisi
pe rtanyaa n-pe rtanyaan
unt uk
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa pening-
mengarahkan siswa mengambil kesimpulan dari
katan (gain) di kelompok eksperimen lebih tinggi
beberapa percobaannya. LAS diberikan ke tiap
dari kelompok kontrol dan secara klasikal siswa
siswa agar semua siswa mengerjakannya, tidak
kelompok eksperimen telah memenuhi kriteria
hanya asyik dengan Autograph. Dengan me-
ketuntasan, sedangkan pada kelompok kontrol
ngerjakan LAS tersebut siswa melakukan proses
belum memenuhi ketuntasan. Hal ini menunjukkan
inquiry. Karena siswa sendiri yang menemukan
ba hwa
berb antuan
suatu konsep, maka siswa memperoleh pema-
Software Autograph lebih dapat meningkatkan
pene muan
ter bimb ing
haman konsep yang lebih baik dibanding jika siswa
pemahaman konsep dan mampu membantu siswa
hanya mendengar dari guru. Berbeda dengan
me ncap ai k etuntasa n be laja r di band ingk an
pendekatan biasa di mana bahan ajar yang
pendekatan biasa.
digunakan adalah buku paket yang biasa dipakai gur u.
Buk u
pa ket
ter sebut
m emb erik an
Analisis Aktivitas Siswa Selama Proses
pengetahuan dalam bentuk jadi, memberikan
Pembelajaran
contoh-contoh soal dan pertanyaan latihan. Bahan
Rerata keaktifan siswa yang mendapat pembel-
ajar dalam buku paket membuat siswa sebagai
ajaran dengan penemuan terbimbing berbantuan
penerima informasi pasif yang belajar dengan cara
Software Autograph sebesar 4,15 atau 83% yang
meniru contoh soal untuk mengerjakan soal-soal
berarti siswa beraktivitas dengan baik. Sedangkan
latihan yang tersedia.
rerata keaktifan siswa yang mendapat pembel-
Kedua, guru dalam penemuan terbimbing ber-
ajaran biasa sebesar 3,44 atau 68,78% yang
bantuan Software Autograph berperan sebagai
berarti siswa
fasilitator, mediator, dan partner yang mendam-
beraktivitas dengan cukup baik.
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa
pingi siswa dalam proses inquirynya. Dibutuhkan
peningkatan pemahaman konsep siswa serta
kreativitas guru yang tinggi dalam merancang
ketuntasan dan keaktifan belajar siswa melalui
bahan ajar agar pengetahuan tidak disajikan
pendekatan penemuan terbimbing berbantuan
dalam bentuk jadi. Guru diharapkan
Software Autograph lebih tinggi dari siswa yang
mendominasi, dan tidak terlalu banyak memberi
memperoleh pendekatan biasa. Hal ini dikare-
pe njel asan yang ak hirnya k emba li seper ti
nakan penemuan terbimbing berbantuan Software
pendekatan biasa. Guru memberikan bantuan
Autoraph memiliki keunggulan dibandingkan
be rupa
pendekatan biasa. Keunggulan tersebut dapat
pembenaran setuju atau tidak setuju, refleksi dan
dilihat dari lima hal, yaitu bahan ajar, guru,
evaluasi. Peran guru di atas memberi kesempatan
keaktifan siswa, interaksi siswa, dan media
bagi siswa untuk lebih kritis, lebih mandiri,
Autograph.
mencari, menemukan dan membangun sendiri
per tany aan- per tany aan
untuk tidak
pancinga n,
pengetahuannya, bukan menghafal rumus dan Tabel 3.
Rangkuman Rerata Skor Gain dan Persentase Ketuntasan Pemahaman Konsep
Kelompok
378
Aspek Pretest
Postest
Gain
Jumlah siswa tuntas
% ketuntasan
Eksperimen
34,3
77,74
43,44
67 dari 73
91,78%
Kontrol
32,2
66,66
34,46
44 dari 71
61,97%
Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph
meniru contoh. Sebaliknya, dengan pendekatan
siswa terpaksa harus aktif bekerja dan harus
biasa guru berperan sebagai sumber belajar
memahami hasil kerjanya agar dapat menye-
menjelaskan konsep, memberikan contoh soal,
lasaikan LAS dan memperoleh kesimpulannya.
memberikan soal-soal latihan yang mirip contoh
Dengan demikian, siswa pada kelompok ekspe-
da n me meri ksanya. Pera n guru seper ti i ni
rimen lebih sering berinteraksi, yaitu berdiskusi
mengaki batk an siswa
dengan temannya dan tidak sungkan bertanya
menghaf al p rose dur
penyelesaian soal bukan memahaminya. Siswa menjadi robot yang harus mengikuti cara guru.
pada guru. Kelima, media be lajar Autograph dal am
Ketiga, siswa lebih berperan aktif dalam
pe nemuan t erbi mbing be rbantuan Softwa re
penemuan t erbimbing berbant uan Softwa re
Autograph membantu siswa lebih mudah me-
Autograph. Siswa lebih dituntut untuk berfikir,
lakukan proses inquiry. Siswa dapat mengum-
menemukan sendiri suatu konsep dan bukan
pulkan banyak gambar grafik untuk dianalisis.
menghapal materi yang diberikan guru. Proses
Siswa dapat lebih fokus pada proses inquiry,
penemuan terjadi ketika siswa dalam proses
mengana lisi s
me ntal nya mela kuka n seper ti: meng amat i,
dihasilkan melalui media Autograph daripada
menggolongkan, membuat dugaan, mengukur,
meng habiskan waktu menggam bar di b uku,
menjelaskan, menarik simpulan dan sebagainya
memindahkan gambar guru yang ada di papan
untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip.
tulis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Evan
Kegiatan penemuan terbimbing tersebut membuat
(Karnasih, 2008) yang menjabarkan keunggulan
siswa lebih memahami materi, menguasai materi
Autograph,
ga mbar -gam bar
graf ik
y ang
tersebut, lebih ingat dan mampu mentransfernya.
“This package can support most graph topics
Seperti yang dikatakan Suryosubroto (dalam
and has a good statistic section. One of the most
Suriadi, 2006) bahwa dengan menemukan sendiri,
powerful features is its ability to draw graphs
menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh
quickly and accurately, allowing the student to
ak an t etap dan tahan l ama dala m ingata n,
concentrate on the outcome, rather than the
sehingga tak mudah dilupakan siswa. Pengertian
manual task of drawing the graph..”
yang ditemukan sendiri merupakan pengertian
Per nyat aan
Evan
menjela skan
bahwa
yang betul-betul dikuasai dan mudah digunakan
Autograph dapat membantu di topik-topik grafik.
atau ditransfer dalam situasi lain. Sebaliknya,
Autograph mampu menggambar grafik dengan
dengan pend ekat an b iasa
siswa b erpe ran
cepat dan akurat, sehingga membuat siswa dapat
sebagai penerima informasi yang diberikan guru,
lebih berkonsentrasi pada analisis grafik daripada
mendengarkan penjelasan guru, memperhatikan
menggambar grafik secara manual.
contoh soal yang diberikan dan mengerjakan
Berbeda dengan pendekatan biasa yang
latihan. Pengetahuan jadi yang diterima siswa
tidak menggunakan media belajar,
seperti ini akan lebih mudah hilang dan siswa pun
menggunakan papan tulis untuk menjelaskan
guru hanya
belum tentu memahami konsepnya. Siswa lebih
gambar-gambar grafik dan siswa mencatat grafik
memilih menghapal prosedur penyelesaian soal
tersebut ke buku tulisnya. Tentu saja visualisasi
untuk mendapatkan jawaban soal tersebut.
yang manual ini tidak sejelas jika menggunakan
Keempat, interaksi siswa kepada temannya
Software Autograph dan waktu lebih banyak
dan kepada guru di kelompok eksperimen jauh
terpakai untuk menggambar bukan menganalisis
lebih dinamis dan multiarah. Siswa yang mendapat
gambar tersebut.
pendekatan biasa hanya mendengar penjelasan guru dan mencatat. Sedikit sekali siswa yang
Simpulan dan Saran
bertanya agar lebih memahami penjelasan guru
Simpulan
te rseb ut.
ke lomp ok
Berdasarkan hasil temuan yang telah dikemuka-
pe nemuan t erbi mbing be rbantuan Softwa re
kan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
Autograph silih berganti bertanya kepada guru dan
berikut: 1) siswa yang memperoleh pembelajaran
berdiskusi dengan temannya dalam menye-
dengan
lesaikan LASnya. Dalam pembelajaran ini semua
ber bantua n
Adap un
siswa
pad a
pend ekat an p enem uan Sof twar e
terb imbi ng
Autog rap h
me mili ki
379
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
peningkatan pemahaman konsep secara signifikan
Saran
lebih baik jika dibandingkan dengan siswa yang
Berdasarkan simpulan di atas, disarankan: 1) Pen-
memperoleh pembelajaran pendekatan biasa;
dek atan penemua n te rbim bing ber bant uan
2) ketuntasan dan aktivitas belajar siswa yang
sof twar e Autogr aph sang at p otensial unt uk
memperoleh pembelajaran dengan pendekatan
diterapkan dalam pembelajaran matematika,
pe nemuan t erbi mbing be rbantuan Softwa re
khususnya pada materi grafik fungsi trigonometri
Autograph secara signifikan lebih tinggi daripada
maupun pada materi matematika yang sesuai;
siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
dan 2) Untuk lebih meningkatkan ketuntasan dan
pendekatan biasa. Lebih lanjut, sisw a yang
aktivitas belajar siswa, sebaiknya guru dan siswa
memperoleh pembelajaran dengan pendekatan
menerapkan pendekatan penemuan terbimbing
pe nemuan t erbi mbing be rbantuan Softwa re
berbantuan software Autograph dengan bahan ajar
Autograph telah mencapai ketuntasan, sedangkan
dan perangkat pembelajaran yang dirancang
siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
secara khusus dalam bentuk lembar aktivitas siswa
pendekatan biasa belum mencapai ketuntasan.
(LAS).
Pustaka Acuan Ansari, B.I. 2009. Komunikasi Matematik. Banda Aceh: Yayasan Pena. Ahmad, B. 2011. Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah.Tesis. Medan: Program Pascasarjana UNIMED Medan. Dahar, R.W. 1996. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. Dokumentasi SMK Telkom Sandhy Putra Medan dan SMK Sandhy Putra - 2 Medan. Hasanah, A. 2004. Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pembelajaran Berbasis Masalah yang Menekankan pada Representasi Matematik. Tesis. Bandung: Program Pascasarjana UPI Bandung. Karnasih, I. 2008. Paper Presented in International Worksop : ICT for Teaching and Learning Mathematics, Unimed, Medan. (In Collaboration between UNIMED and QED Education Kuala Lumpur, Malaysia, 23-24 May 2008). Kuhlthau, C. C. 2007. Guided Inqury: Learning in The 21st Century School. Wesport, CT: Libraries Unlimited. Markaban. 2006. Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing, (http:// p4tkmatematika.org /downloads /ppp/ PPP Penemuan-terbimbing.pdf, diakses pada 25 Maret 2010). National Council of Teachers of Mathematics. 1989. Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. National Council of Teachers of Mathematics. 1991. Professional Standar for Teaching Mathematics. Reston, VA: NCTM
380
Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph
Reys, E.R. 2001. Helping Children Learn Mathematics, John Wiley and Sons, Inc, United States of America. Saragih, S., 2007. Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi. Bandung: Pendidikan Matematika UPI Bandung. Suriadi. 2006. Pembelajaran dengan Pendekatan Discovery yang Menekankan Aspek Analogi untuk Meningkatkan Pemahaman Matematik dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA. Tesis. Bandung: Program Pascasarjana UPI Bandung. Soedjana, W. 1986. Strategi Belajar Mengajar Matematika, Modul 1-3, Jakarta: Karunika. Tim PLPG. 2008. Metodologi Pembelajaran Matematika, Modul Pelatihan Pendidikan Guru. Medan: Jurusan Pendidikan Matematik, Unimed. Turmudi. 2008. Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cita Pustaka.
381
Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar
SUASANA KERJA DAN PENGARUH KEPEMIMPINAN DALAM KONTEKS PENDIDIKAN DASAR (WORKING CLIMATE AND THE EFFECT OF LEADERSHIP IN THE CONTEXT OF BASIC EDUCATION) Mieske Theresia Tulung SMPK Renya Rosari Lilitira Rantepao – Toraja Utara, Sulawesi Selatan e-mail:
[email protected] L. Kaluge Universitas Kanjuruhan Malang e-mail:
[email protected] Diterima tanggal: 1/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 3/11/2012, Disetujui tanggal: 20/12/2012 Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengungkap suasana kerja di sekolah yang dikondisikan oleh persepsi kepemimpinan. Fokus dari tujuan tersebut, yaitu: gambaran suasana kerja, persepsi para guru, dan hubungan kausal antara keduanya. Metode yang ditempuh bersifat kuantitatif. Sampel sebanyak 386 guru diambil dari 24 SMP Negeri dan Swasta di kota Manado secara acak dengan memperhatikan cluster proportionate. Data dianalisis secara deskriptif serta inferensial. Delapan konstrak kepemimpinan dan dua konstrak suasana kerja terbukti valid dan reliabel. Dengan rentangan 0-4, rerata suasana kerja di sekolah sebesar 2,9 untuk semangat kerja, dan 2,8 untuk suasana kreatif. Juga dengan rentangan yang sama, rerata kedelapan subskala kepemimpinan berkisar 2,55 dan 3,19. Analisis regresi mengungkapkan tidak semua komponen kepemimpinan merupakan faktor signifikan untuk pengembangan suasana kerja di sekolah. Kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, dan mendukung berpengaruh signifikan terhadap semangat kerja para guru, dan pengembangan suasana kreatif dipengaruhi secara signifikan oleh kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, mendukung, dan memberdayakan. Temuan ini bermanfaat bagi kebijakan pendidikan dan pengembangan sekolah. Kata kunci: persepsi kepemimpinan, kepala sekolah, suasana kerja, guru, dan sekolah menengah pertama. Abstract: This study aimed at discovering the leadership perception in conditioning the working climate at schools. Three objectives of the aim were describing working climate, teachers’ perception on leadership, and the causal relationship between them. The cluster proportionate random sampling obtained 386 teachers from 24 state and private junior-secondary-schools in the city of Manado. Data were collected through questionnaire administration and analyzed using descriptive and inferential methods. Eight leadership constructs and two working climate were proven to be valid and reliable. Using range criteria of 0-4, the averages of working climate were 2.9 and 2.8 for working spirit and creative climate. On the other hand, using the same criteria, the average of the eight leadership sub-scales ranged between 2.55 and 3.19. The regression analyses found that not all of the leadership components were significant factors for developing the school working climate. Disciplining, listening, and supporting were significant factors for teachers’ working spirit. Whereas, the creative climate of teachers was affected significantly by disciplining, listening, supporting, and empowering factors. The results would be of benefit for educational policies and school improvement. Keywords: perceived leadership, school principals, working climate, teachers, and junior secondary school.
353
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Pendahuluan
dikatakan bahwa kepala sekolah adalah pelaku
Kualitas pendidikan selalu menjadi topik menarik
kep endi dika n
bagi masyarakat Indonesia karena pendidikan
keb erha sila n pe ngel olaa n se kola h. K uali tas
memiliki andil masa depan dan martabat bangsa.
kepemimpinan kepala sekolah yang di dalamnya
Diakui bahwa kualitas pendidikan pada umumnya
termasuk kepribadian dan keterampilan me-
dan pre stasi be laja r si swa di sekol ah p ada
nangani masalah terasa di sekolah. Kemampuan
khususnya merupakan hasil dari proses interaksi
menjalin hubungan antara manusia serta gaya
berbagai faktor seperti guru, siswa, kurikulum,
kepemimpinan sangat menentukan dan memiliki
buku paket, laboratorium, metodologi pem-
pengaruh yang besar terhadap pencapaian tujuan
belajaran, peraturan perundang-undangan di
sekolah. Namun, kenyataannya tidak semua
bidang pendidikan dan berbagai input serta
kepala sekolah ketika mengelola sekolah yang
kondisi proses lainnya (Agung, 2009; Ismail, 2006;
dipimpinnya mampu berperan sesuai dengan
Koster, 2006).
fungsi yang sebenarnya karena terlalu mem-
Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebagai bagian dari pendidikan dasar sembilan tahun
ya ng
b erpe ran
besa r
ba gi
fokuskan diri pada pengelolaan administrasi rutin semata.
merupakan sektor esensial dalam pembangunan
Keefektifan kepemimpinan kepala sekolah
pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan SMP di
memiliki pengaruh yang besar dalam penciptaan
Indonesia mempunyai misi luhur, yaitu sesuai
iklim kerja yang kondusif bagi pencapaian tujuan
dengan misi pendidikan nasional yang bertujuan
yang dicita-citakan. Dengan demikian, diharapkan
agar peserta didik memiliki akhlak mulia, bersifat
dapat terwujud semangat kerja maksimal dari
kreatif dan inovatif, berwawasan kebangsaan,
seluruh komponen personal yang ada di sekolah.
cerdas dan sehat, berdisiplin dan bertanggung
Agar relevan dan efisien, diperlukan pember-
jawab. Oleh sebab itu, penyelenggaraannya
dayaan kepala sekolah, yaitu berupa pembenahan
dimaksudkan sebagai upaya menangkal nilai-nilai
kepemimpinan kepala sekolah sebagai unsur
budaya dari luar yang tidak sesuai dengan nilai-
utama dalam manajemen peningkatan mutu
nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagai
berbasis satuan pendidikan, sehingga sekolah
dampak globalisasi yang tidak mengenal batasan
dap at m andi ri, krea tif dan inov atif dal am
ruang dan waktu. Salah satu syarat yang tak
me laksanak an k egia tan
ka lah
d an
dengan daya pendidikan yang ada (Sidi, 2001;
kemampuan para kepala sekolah memimpin
Suraji, 2010). Apalagi bekerja dengan kondisi
sekolahnya.
para guru di tanahair yang saat ini terungkap
pent ing
adal ah
p enge tahuan
pendidi kan
sesuai
Rimba masalah pembangunan pendidikan
memprihatinkan (Emy, 2012; Wedhaswary, 2012).
saat ini amat kompleks. Kurangnya pembinaan
Ulasan di atas mengandung masalah pene-
memadai tentang kepemimpinan kepala sekolah
litian yang dirumuskan dalam tiga pertanyaan
berada dalam rimba tersebut. Sesungguhnya,
berikut. Pertama, bagaimanakah suasana kerja
se besa r
pe rsek olahan
di sekolah? Kedua, bagaimana persepsi para guru
ditambah atau diperbaiki, keluarannya tetap tidak
ap a
pun
ma suka n
tentang kepemimpinan kepala sekolah? Ketiga,
akan optimal, apabila faktor kepemimpinan kepala
apakah kepemimpinan berpengaruh terhadap
sekolah yang merupakan aspek sangat strategis
pe ngem bang an suasa na kerj a pa ra g uru di
dalam proses belajar mengajar dibiarkan terlantar
sekolah? Ketiga pertanyaan tersebut bertujuan
atau tidak diberikan perhatian yang serius.
untuk memahami lebih rinci persepsi kepemim-
Kepemimpinan merupakan suatu kekuatan penting dalam menggerakkan orang lain untuk menjalankan kegiatan manajemen. Kepemimpinanlah yang menentukan arah dan tujuan, memberikan bimbingan dan menciptakan iklim ke rja yang mendukung pela ksanaan proses manajemen secara keseluruhan (Hoy & Miskel, 2008; McBeath, 2005). Dengan demikian, dapatlah
354
pinan kepala sekolah dan situasi lingkungan kerja para guru.
Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar
Kajian Literatur
Dem i
suasana
se kola h
ya ng
k ondusif
Suasana Kerja dan Persepsi Kepemimpinan di
seyogyanya para guru merasa diperlakukan
Sekolah
sesuai dengan bakat dan keterampilan, ke-
Suasana Kerja Para Guru
mampuan dan minat masing-masing, dan mem-
Ada banyak cara membahas dan mencermati
beri dorongan sehingga mereka leluasa untuk
suasana kerja para guru di sekolah dari berbagai
mengemukakan keluhan, pendapat, harapan
aspek. Lazimnya, suasana lingkunga n kerja
yang semuanya itu mendukung lancarnya proses
di baha s da ri segi fisi k da n sosio- psik olog is
pencapaian tujuan sekolah. Melalui kepemimpinan
(Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2005;
kepala sekolah segenap potensi staf dikem-
Owens, 2004). Pada kesempatan ini dicermati
bangkan dan dimanfaatkan untuk membina mutu
aspek sosio-psikologis. Suasana lingkungan kerja
organisasi.
di sekolah, dalam artikel ini dibataskan dalam dua tema pokok, yaitu semangat kerja kelompok dan
Kepemimpinan Kepala Sekolah
kreativitas kerja.
Posisi jabatan kepala sekolah pada dasarnya tidak
Pertama, semangat kerja. Semangat kerja
lepas dari aspek kepemimpinan pada umumnya.
merupakan gejala psikologis, seperti perasaan,
Me nurut de fini siny a, k epem impi nan kepa la
sikap, suasana batin, dan reaksi mental yang
sekolah diartikan sebagai kemampuan dalam
diekspresikan dalam rasa senang atau tidak
me meng aruhi,
senang, rasa bergairah atau tidak bergairah, dan
memacu, berkomunikasi dan membimbing stafnya
bergejolak atau sebaliknya. Semangat kerja
(terutama guru) dalam rangka mencapai tujuan
muncul dar i ke puasan para pek erja dal am
sekolah
menjalankan pekerjaan dan interrelasi mereka
m endorong ,
me ngar ahka n,
(Nawawi, 2003).
Seluk-beluk kepemimpinan dijelaskan dalam
dengan lingkungan tempat kerjanya. Dalam
se juml ah t eori dan
penelit ian.
Sek urang-
sat uan pend idik an, kepa la sekol ah sebag ai
kur angnya a da t iga klasifik asi dasa r te ori
pemimpin berperan penting dalam memberi
kepemimpinan, yaitu pendekatan sifat, perilaku,
semangat kepada guru-guru yang dipimpinnya
dan sit uasi onal (conti nge ncy) . Pende kat an
(Sion, 2007; Sulton, 2006). Semangat kerja
pertama memandang kepemimpinan sebagai
kelompok yang tinggi ditandai dengan kegairahan
kom bina si si fat- sifa t (tr aits) y ang ta mpa k.
para guru dalam menjalankan tugasnya. Pimpinan
Pendeka tan kedua be rmak sud meng identi-
sekolah dapat membina kerja sama kelompok
fikasikan perilaku-perilaku (behaviors) pribadi yang
dalam memecahkan masalah, melibatkan warga
berhubungan dengan k epemimpinan efektif.
sekolah dalam mengambil keputusan dan seluruh
Ked ua p ende kata n ini be rang gapa n ba hwa
staf didorong untuk mencapai potensinya (Adams,
seorang individu yang memiliki sifat-sifat tertentu
2006).
atau memperagakan perilaku-perilaku tertentu
Kedua, kreativitas kerja. Dari segi proses,
akan muncul sebagai pemimpin dalam situasi
secara garis besar kreativitas kerja mengacu pada
kelompok apa pun di mana ia berada. Pendekatan
upaya-upaya menciptakan kondisi yang meng-
yang ke tiga , ya itu pand anga n si tuasiona l.
galakan kerja kelompok, menumbuhkan rasa
Pandangan ini menganggap bahwa kondisi yang
saling percaya, dan melibatkan anggota dalam
menentukan keefektifan kepemimpinan bervariasi
kegiatan-kegiatan sekolah. Dengan demikian,
dalam situasi – tugas-tugas yang dilakukan,
terjalin hubungan interpersonal yang baik antara
keterampilan dan pengharapan bawahan, dan
sesama anggota, dan terwujud suasana kerja
se baga inya . Pa ndangan ini terw ujud dal am
yang kondusif (Fink & Brayman, 2006). Salah satu
pendekatan “contingency” pada kepemimpinan
faktor penting dalam memimpin bawahan adalah
dengan menjelaskan faktor-faktor situasional
faktor kreativitas. Dari segi dampak, kreativitas
yang menentukan keefektifan gaya kepemim-
se ring
pinan tertentu.
mengand ung
arti
kem ampuan
d an
kekuasaan untuk mengem-bangkan gagasangagasan baru.
Kepemimpinan situasional menjadi fokus utama dalam artikel ini lantaran dua alasan. Pertama, teori ini didasarkan atas asumsi bahwa
355
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
keberhasilan memimpin suatu lembaga tidak
Pertama, menjelaskan. Menjelaskan adalah
hanya bergantung pada perilaku dan sifat-sifat
proses komunikasi dari pimpinan kepada para
pemimpin. Tiap lembaga memiliki ciri-ciri yang unik.
bawahan, rekan sejawat, dan pihak luar yang
Bahkan, lem baga yang se jeni s pun da pat
memberi kontribusi penting kepada kegiatan unit
menghad api masa lah yang ber beda kar ena
ke rja agar tid ak t erja di k esal ahpa hama n.
lingkungan, semangat dan watak bawahan yang
Menjelaskan kepada bawahan menyangkut komu-
berbeda. Kedua, pertimbangan bahwa salah satu
nikasi rencana-rencana, kebijakan-kebijakan,
faktor yang menunjukkan adanya perbedaan
serta harapan peran serta instruksi tentang
situasi organisasi adalah tingkat kematangan dan
pekerjaan. Empat buah subkategori mengenai
perilaku kelompok atau bawahan (Purwanto,
menjelaskan, yaitu: a) menetapkan tanggung
2003). Tinggi rendahnya tingkat kematangan
jawab kerja bagi para bawahan atau anggota tim;
kelompok turut menentukan ke mana kecen-
b) menetapkan tujuan-tujuan kinerja dan otorisasi
derungan gaya kepemimpinan seorang pemimpin
re ncana
harus diarahkan.
c) menugaskan pekerjaan; dan d) memberikan
Gaya kepemimpinan kepala sekolah sangat
ti ndak an
untuk
me ncap ainy a;
instruk si m enge nai cara sua tu t ugas har us
tergantung pada situasi dan kondisi staf yang
dil akuk an
dipimpinnya. Jika menghadapi staf yang memiliki
ta nggung j awab pek erj aan, per atur an d an
kemampuan yang kurang baik dan motivasi kerja
prosedur,
juga kurang baik maka gaya kepemimpinan telling
menetapkan tujuan-tujuan kinerja yang spesifik
paling efektif. Artinya, kepala sekolah lebih banyak
bagi seorang bawahan, menetapkan batas-batas
memberi petunjuk yang spesifik dan secara ketat
waktu yang spesifik untuk suatu penugasan,
mengawa si staf/ guru dal am m elak sana kan
memberi persetujuan atau menguji kembali
tugasnya. Jika menghadapi staf yang memiliki
re ncana-re ncana ti nda kan untuk me ncap ai
kemampuan yang kurang baik, tetapi memiliki
tuj uan- tujuan p rest asi kerj a, d an m embe ri
motivasi kerja baik maka gaya kepemimpinan
instruksi dalam mengerjakan tugas.
selling paling efektif. Artinya, kepala sekolah ba nyak
mem beri kan
bimb inga n
m enya ngkut
pe mbag ian
m engk omunikasikan
tuga s,
pri orit as,
Kedua, mengarahkan. Untuk menjaga agar
se hing ga
apa yang telah direncanakan dapat berjalan
kemampuan staf secara bertahap meningkat. Jika
se pert i ya ng d ikehenda ki m aka dipe rluk an
menghadapi staf yang memiliki kemampuan kerja
pengarahan. Semua orang bekerja demi tujuan
yang baik, tetapi motivasi kerjanya kurang maka
yang ditetapkan dan secara konsisten berpacu
kepemimpinan participating paling efektif. Artinya,
me nuju tuj uan itu. Ka dang -kad ang kare na
kep ala sekolah berp arti sipa si a ktif dal am
beberapa faktor, perumusan tujuan tidak jelas,
mendorong staf untuk menggunakan kemampuan
sehingga upaya pencapaiannya pun tidak jelas.
secara optimal. Jika menghadapi staf yang memiliki
Aga r pe ngar ahan ini sesuai deng an y ang
kemampuan baik dan motivasi kerja juga baik
dite tapkan, penga rah pe rlu mem punyai ke-
maka gaya kepemimpinan delegating paling efektif.
mampuan kepemimpinan, yaitu memengaruhi
Artinya, kepala sekolah lebih banyak memberikan
orang lain sehingga mau bekerja sebaik-baiknya
duk unga n da n me ndel egasikan
dalam mencapai tujuan bersama (Suryosubroto,
tug as d an
wewenang kepada staf/guru.
2004).
Kondisi kepemimpinan tersebut mengandung
Ketiga, mendisiplinkan. Menegakkan kedi-
delapan makna generik, yaitu: menjelaskan,
siplinan adalah hal yang penting bagi suatu
mengara hkan,
me mant au,
organisasi pendidikan. Dengan kedisiplinan,
memb erik an
diharapkan peraturan-peraturan dilaksanakan
dukungan dan memberdayakan (Ivancevich,
secara efektif dan efisien. Sekolah yang tertib,
Konopaske, & Matteson, 2005; Owens, 2004).
aman, dan teratur merupakan prasyarat agar
Kedelapan elemen itu umumnya diterapkan oleh
siswa dapat belajar secara optimal. Kondisi
kepala sekolah dalam kepemimpinannya. Berikut
semacam ini terjadi jika disiplin di sekolah berjalan
ini akan diulas setiap elemen tersebut.
dengan baik (Watson & Scribner, 2007). Kepala
me liba tkan,
me ndisipli nkan, me ndengark an,
se kola h
356
me mega ng
p eran
penting
dal am
Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar
mendisiplinkan sekolah, mulai dari merancang,
komponen inti dari kepemimpinan yang suportif
melaksanakan dan menjaganya.
(Clarke, 2009; McBeath, 2005). Sasaran lain dari
Kee mpat , me mant au. Mema ntau ada lah
per ilak u me mber i dukung an a dala h untuk
kegiatan mengumpulkan data dalam rangka
meningkatkan kepuasan kerja para bawahan
mengetahui seberapa jauh kegiatan pendidikan
atau para rekan sejawat. Pemberian dukungan
telah mencapai tujuannya dan kesulitan apa yang
dip erli hatk an m elal ui p ujia n da n ap resi asi
ditemui dalam kegiatan sekolah. Pemantauan
terhadap orang lain demi kinerja yang efektif,
dilakukan untuk memastikan apakah tujuan bakal
keberhasilan yang memadai, serta kontribusi
tercapai atau tidak (McBeath, 2005). Data itu
kepada organisasi.
dipakai untuk mengidentifikasikan apakah proses
Ked elap an,
memb erda yaka n.
M embe r-
pencapaian tujuan berjalan dengan baik, apakah
dayakan adalah perwujudan dari ide bahwa
ada penyimpangan dalam kegiatan itu serta
ka ryaw an m erup akan kontri butor be rhar ga
kelemahan apa yang didapatkan dalam penye-
terhadap kesuksesan organisasi. Keadaan ini
lenggaraan kegiatan tersebut.
memungkinkan karyawan belajar dari kesalahan
Kelima, melibatkan. Pengambilan keputusan
mereka dan secara efektif bekerja lebih baik dan
merupakan kegiatan yang selalu dijumpai dalam
lebih cerdas. Tipe pemimpin yang paling baik
setiap kegiatan kepemimpinan. Bahkan, dapat
adalah yang memanfaatkan potensi dari para
juga dikatakan, cara pengambilan keputusan
pekerja. Pemimpin mendorong, meyakinkan, dan
yang dilakukan seseorang pemimpin menunjukkan
membantu mengembangkan berbagai keteram-
ga ya k epem impi nannya. Keb erha sila n da ri
pilan dan bakat mereka.
kep utusan y ang tepa t ma upun pem ecahan
Keberhasilan dalam memimpin bergantung
masalah organisasi secara memuaskan hanya
juga pada kemampuan dalam mendelegasikan
dapat dicapai melalui kadar usaha pemimpin
tugas dan tanggung jawab kepada bawahan
melibat kan anggota-anggotanya. Hasi l-hasil
secara efektif. Yang jelas, pemimpin yang baik
penelitian menunjukkan bahwa pengambilan
tidaklah melakukan tugas-tugas yang bersifat
keputusan yang berpartisipatif dapat mening-
te knis-ope rasi onal yang se mest inya cuk up
katkan keefektifan organisasi atau lembaga
didele gasikan ke pada bawahan (Holtap pels,
(Owens, 2004).
2009; Precey & Entrena, 2011). Keuntungan dari
Kee nam, mendeng arka n. M ende ngar kan
proses pende lega sian juga dap at di rasa kan
adalah kegiatan penting yang untuk memastikan
dalam mempersiapkan kader-kader pimpinan
bahwa seseorang berkomunikasi dengan baik
se hing ga secar a kontinu pe mbia saan kep e-
unt uk m empe role h pe nger tian yang sa ma.
mimpinan staf dapat terwujud dan pada gilirannya
Pengert ian yang sam a ini ad alah int i da ri
mereka akan memberikan pengaruh yang positif
komunikasi dan harus dicapai bila ingin menjadi
bagi peningkatan mutu lembaga.
pemimpin yang sukses (Adams, 2006). Mendengarkan merupakan metode utama dalam
Persepsi Kepemimpinan dan Suasana Kerja di
menerima pesan-pesan. Carl Rogers (dalam
Sekolah
Tir tami hard ja,
bahwa
Sekolah adalah suatu sistem interaksi sosial, yang
ketidakmampuan orang berkomunikasi meru-
2005 )
me ngat akan
terdiri atas pribadi-pribadi yang berinteraksi
pakan hasil dari kegagalan mendengarkan secara
bersama di dalam hubungan keorganisasian.
efektif, kurang terampil dan kurang memiliki
Sebagai sistem sosial, sekolah ditandai oleh saling
pengertian pada orang lain.
ketergantungan antara bagian-bagiannya, di
Ket ujuh, me mber i dukung an. Memb eri
mana populasinya didefinisikan secara jelas.
dukungan termasuk perilaku pemimpin yang
Sekolah memiliki lingkungannya sendiri, suatu
memperlihatkan pertimbangan, penerimaan, dan
jaringan hubungan sosial yang kompleks dan
perhatian terhadap kebutuhan dan perasaan
budayanya yang unik (Hoy & Miskel, 2008).
orang lain. Perilaku memberi dukungan membantu
Watson dan Scribner (2007) juga menjelaskan
membangun dan mempertahankan hubungan
bahwa esensi dari hubungan antarpribadi, antara
antar pribadi yang efektif, serta merupakan
lain saling pengertian dan kedekatan untuk
357
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
me ncap ai t ujua n be rsa ma. Seme ntar a it u,
pemimpin mampu mengubah-ubah perilakunya
keefektifan kepemimpinan juga memberi pene-
sesuai dengan situasi dan memperlakukan sesuai
kanan pada hubungan antarpribadi dan upaya
tingkat kematangannya.
unt uk m enca pai tujuan. Fakt or-f aktor ya ng
Penerapan gaya kepemimpinan yang tepat
be rpengaruh pa da k omunikasi antarp riba di
akan berdampak pada peningkatan keefektifan
antara lain hubungan antarpribadi, rasa simpati
kepemimpinan dalam mencapai tujuan lembaga.
dan empati, keterbukaan dan saling percaya
Hal ini didukung oleh penelitian Goleman (2003)
antarpersonal yang terlibat. Sementara itu, salah
yang menunjukkan bahwa semakin banyak gaya
satu orientasi utama dari keefektifan kepe-
yang dipraktikkan oleh seorang pimpinan maka
mim pina n ad alah hub unga n antarp impi nan
akan semakin baik hasilnya. Para pimpinan yang
dengan bawahan yang menekankan pada aspek
menguasai empat atau lebih gaya kepemimpinan,
humanis.
terutama gaya otoriter, demokratis, afiliatif, dan
Ura ian di a tas meng indi kasi kan adanya
coaching, akan mendapat suasana kerja dan
hubungan secara teoretis antara komunikasi
kinerja bisnis yang terbaik. Pimpinan paling efektif
antarpribadi dengan keberhasilan kepemimpinan
akan mampu mengganti gaya kepemimpinannya
kepala sekolah. Wiyono (2000) mengemukakan
secara fleksibel dari satu gaya ke gaya lain
bahwa para guru ataupun staf lainnya akan dapat
sebagaimana dibutuhkan.
bekerja dengan baik dan penuh semangat bila kepala sekolah mampu menerapkan kepemim-
Persepsi Aktivitas Kepemimpinan
pinan yang efek tif. Ole h ka rena itu, untuk me ning katk an semangat ker ja g uru, per lu
X1 Menjelaskan
diperhatikan kepemimpinan yang diterapkan oleh
X2 Mengarahkan
kepala sekolah. Hal ini sejalan dengan temuan
X3 Mendisiplinkan
Sulaiman (1992) yang memperlihatkan adanya
X4 Memantau
Y1 Semangat Kerja
hubungan antara dimensi perilaku kepemimpinan
X5 Melibatkan
Y2 Suasana kreatif
dengan semangat guru, dan Darmadi (1994) yang
X6 Mendengarkan
menyatakan bahwa perilaku kepemimpinan akan
X7 Memberi dukungan
sangat efektif untuk mengarahkan guru.
X8 Memberdayakan
Lingkungan Kerja
Sementara untuk mendukung terciptanya sua sana sekol ah ya ng k ondusif se yogya nya seorang pemimpin memperlakukan bawahan sesuai
deng an
b akat
dan
Ilustrasi 1. Diagram Rancangan Penelitian
ket eram pila n,
kem ampuan d an m inat masing- masi ng d an
Metode Penelitian
memberi dorongan sedemikian sehingga mereka
Pendekatan Penelitian
le luasa me ngem ukak an keluhan, pendapa t,
Pendekatan penelitian ini adalah kuantitatif.
ha rapa n
Dengan pendekatan ini dijabarkan hubungan
ya ng
semua nya
itu
mendukung
lancarnya proses pencapaian tujuan sekolah.
sebab-akibat antara persepsi aktivitas kepe-
Sela njutny a, menurut te ori si tuasi atau
mimpinan kepala sekolah terhadap lingkungan
kontingensi ada lima prinsip dasar yang perlu
kerja para guru SMP. Ilustrasi 1 memaparkan
diperhatikan dan penting untuk dipahami serta
rancang an p enel itia n ini. L ingk unga n ke rja
dilaksanakan oleh para pemimpin. Pertama,
meliputi semangat kerja dan suasana kreatif.
kepemimpinan yang efektif selalu menyesuaikan
Faktor persepsi kepemimpinan mencakup delapan
diri dengan tingkat kematangan bawahan. Kedua,
variabel aktivitas, yaitu menjelaskan, meng-
pemimpin yang efektif selalu membantu bawahan
arahkan, mendisiplinkan, memantau, melibatkan,
untuk berkembang dari tidak atau belum dewasa
me ndengark an,
menjadi dewasa. Ketiga, perilaku pemimpin yang
memberdayakan.
cenderung berbeda-beda dari satu situasi ke situasi lain. Keempat, pemimpin melakukan diagnosis dengan baik terhadap situasi. Kelima,
358
memb eri
duk unga n,
d an
Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar
Populasi dan Sampel
instrumen yang disusun perlu diuji validitas dan
Populasi adalah kelompok yang menjadi perhatian
reliabilitasnya.
peneliti untuk rujukan generalisasi hasil penelitian
Uji validitas dilakukan dengan memeriksa
(Fraenkel & Wallen, 2008). Sehubungan dengan
koefisien korelasi antarbutir dan skor total, apabila
hal tersebut, populasi dalam penelitian ini adalah
rendah (r < 0,3), maka butir bersangkutan gugur.
guru SMP Kota Manado, baik negeri maupun
Berdasarkan hasil analisis korelasi uji validitas
swasta. Jumlah SMP di Kota Manado sebanyak 78
diketahui bahwa berkaitan dengan kedelapan
sekolah dengan tenaga pengajar sebanyak 1.360
kom pone n da ri k epem impi nan kont inge nsi
orang.
diperoleh 47 butir yang valid, sedangkan pada
Pengambilan sampel guru ditempuh dengan proportionate random sampling. Teknik ini selain
kedua komponen suasana kerja diperoleh butirbutir valid sebanyak 20 buah.
dilakukan secara acak, juga diperhatikan proporsi
Reliabilitas dalam penelitian ini diartikan
sampel di tiap sekolah, sehingga sebanding
sebagai konsistensi internal antarbutir dalam
dengan besarnya dalam populasi. Jumlah sampel
sebuah komponen tertentu. Uji reliabilitas yang
guru sebanyak 386 orang, sekitar 28,4% dari
digunakan yaitu untuk mengestimasi alpha ( )
populasi guru SMP.
Cronbach. Patok an y ang dipa kai iala h 0,65
SMP yang dijadikan sampel dalam penelitian
sebagai suatu kewajaran minimum (Mehrens &
ini sebanyak 24 sekol ah de ngan r incian 12
Lehmann, 1984) untuk skala instrumen demikian.
berstatus negeri dan 12 swasta. Pengambilan
Apabila
sampel SMP dilakukan dengan cluster proportion-
maka dapat dikatakan reliabel.
lebih besar daripada patokan tersebut,
ate random sampling. Dengan teknik ini sampel diambil secara acak dari sekolah negeri dan
Analisis Data
swasta.
Masalah penelitian yang terumus di depan perlu dijawab lewat pengana lisisan data. Sebagai
Pengembangan Instrumen dan Pengumpulan
penelitian kuantitatif, digunakan analisis statistik
Data
deskriptif dan inferensial. Analisis deskriptif
Data yang dikumpulkan berkaitan dengan dua hal,
dilakukan untuk memaparkan gambaran umum
yaitu persepsi aktivitas pemimpin dan suasana
pe rsep si r esponden te ntang ke pemi mpinan
kerja SMP baik di sekolah negeri maupun swasta.
kontingensi dan suasana kerja di lingkungan SMP
Oleh karena itu, angket yang disusun berisi butir-
Kota Manado. Diawali dengan analisis deskriptif
butir pernyataan yang mencerminkan kedua hal
berupa rerata, deviasi baku; diikuti korelasi antara
tersebut dengan empat urutan pilihan jawaban
fak tor untuk me mast ikan ada nya peluang
yaitu selalu, sering, jarang, dan tidak pernah. Butir-
multikoliniaritas antar variabel pada analisis
butir kedua hal tersebut disusun oleh peneliti dan
berikutnya.
dik aji
oleh
pak ar
y ang
Per nyat aan- pernyata an
memb idanginy a.
y ang
dirumusk an
Kemudian analisis statistik inferensial, regresi ganda, dipakai untuk menguji hubungan sebab
tergambar dalam Tabel 1 agar tercermin skema
ak ibat
kedua konsep utama beserta komponennya.
kepemimpinan kontingensi dan suasana kerja di
Untuk
pernyata an
yang
ant ara
kedua
k onse p be sar,
yai tu
mendukung
sekolah. Sesuai dengan karakteristik data setiap
(favourable), pemberian skor dimulai dari “sering”
komponen yang dijadikan variabel utama, dipilihlah
dengan angka 4 dan bergerak ke “tidak pernah”
analisis regresi ganda setelah teruji asumsi
dengan angka 1. Sebaliknya untuk pernyataan
dasarnya.
yang tidak mendukung (unfavourable), pemberian skor terbalik, yaitu 1 untuk “sering” dan 4 untuk
Hasil dan Pembahasan Penelitian
“tidak pernah”.
Hasil Penelitian Data yang terkumpul dideskripsikan sebagai
Validitas dan Reliabilitas
berikut. Dalam hal suasana kerja, sebagian besar
Agar data yang diperoleh mempunyai tingkat
kepala SMP di Manado menciptakan suasana
akurasi dan keajegan yang tinggi, oleh karenanya
kreatif (sebesar 82%); dan mendorong semangat
359
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
kerja (sebesar 77%). Data tersebut menunjukkan
Ta bel 1 me nunj ukka n a lpha ked elap an
bahwa tingkat keefektifan kepemimpinan para
komponen persepsi kepemimpinan kontingensi
kepala sekolah memiliki kualitas yang berkategori
berkisar 0,65 – 0,84, sedangkan kedua komponen
baik.
suasana kerja sekolah berkisar 0,71 (dorongan
Mengenai persepsi para guru, terungkap
semangat kerja) dan 0,82 (suasana kreatif ).
bahwa sebagian besar kepala sekolah mene-
Dengan demikian, kesepuluh komponen tersebut
rapkan perilaku kepemimpinan kontingensi yang
reliabel dan dapat digunakan untuk analisis
sangat tinggi, yaitu telling dan selling yang
selanjutnya.
mencakup: menjelaskan sebesar 82%; meng-
Korelasi antara kedua konstrak dependen,
arahkan sebesar 83%, dan mendisiplinkan se-
ya itu suasana kerj a da n dorong an k reat if
be sar 82%. Yang di kat akan tinggi, yak ni
signifikan dengan besaran r = 0.38 (p <0,00).
participating dan delegating yang mencakup:
Interkorelasi antarkedelapan konstrak inde-
melibatkan 83%, mendengarkan 85%; memberi
pe nden, pa da Tabel 2 b erki sar 0,01 –0,6 2,
dukung an 8 8% d an m emb erda yaka n 85 %.
dianggap sebagai hal yang wajar dalam artian
Dikatakan agak tinggi, yaitu memantau sebesar
tidak terlampau tinggi, sehingga tidak berpeluang
74%. Data tersebut menunjukkan bahwa pada
menimbulkan masalah multikoliniaritas dalam
dasarnya para kepala sekolah dalam menjalankan
analisis regresi ganda. Matriks interkorelasi
pr akte k
menunjukkan bahwa semua koefisien korelasi
ke pemi mpinannya
t elah
mam pu
menerapkan gaya kepemimpinan kontingensi. Deskripsi pada Tabel 1 menjelaskan bahwa
signifikan (p<0,05), kecuali dua koefisien. Kedua koefisien yang tidak signifikan ialah korelasi
kedelapan komponen kepemimpinan kontingensi
‘mengara hkan’-‘m ende ngar kan’
(r= 0,01 0,
yang dipersepsi para guru reratanya berkisar
p>0 ,05) , da n ‘me liba tkan’- ‘m end enga rka n’
2,55–3,19 dengan simpangan bakunya berkisar
(r=0,094, p>0,05). Hal ini mencerminkan bahwa
0,37–0,52. Selain itu, kedua komponen suasana
hubungan antara keempat konstrak tersebut
kerja di sekolah reratanya berkisar 2,8–2,9
bersifat ortogonal dan baik untuk digunakan
dengan simpangan bakunya berkisar 0,36-0,45.
seb agai var iabe l indepe nden pad a analisis
Dengan mempertimbangkan rerata, deviasi baku,
inferensial berikutnya.
mínimum dan maksimum, disimpulkan distribusi kesepuluh konstrak umumnya masih wajar walau ada kecenderungan skewed atau tidak terdistribusi secara normal. Tabel 1. Deskripsi Konstrak dalam Penelitian
No
Konstrak setiap konsep
1
Kepemimpinan kontingensi
2
Menjelaskan Mengarahkan Mendisiplinkan Memantau Melibatkan Mendengarkan Memberi dukungan Memberdayakan
Suasana kerja di sekolah Semangat kerja Suasana kreatif
Rerata
Deviasi baku
Minimum
Maksimum
2.83 3.19 2.65 2.73 2.82 2.55 2.71 2.82
0.39 0.53 0.39 0.46 0.52 0.46 0.37 0.52
1.50 1.33 1.17 1.33 1.67 1.14 1.57 1.33
9.00 4.00 3.83 4.00 7.33 9.14 4.00 4.00
0.77 0.84 0.65 0.74 0.77 0.73 0.78 0.79
2.9 2.8
0.45 0.36
1.67 10.00
7.50 22.00
0.71 0.82
Keterangan: setiap konstrak terdiri atas 6 butir pernyataan yang valid.
360
Alpha
Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar
Tabel 2. Interkorelasi Konstrak Persepsi Aktivitas Kepemimpinan Kontingensi (N = 386)
JLS 1.00
ARH
JLS
DSP
MMN
LBT
DNG
DKN
ARH
.595
1.00
DSP
.424
.481
MMN
.448
.461
.622
LBT
.283
.399
.334
.339
DNG
.124
.010*
.159
.156
.094*
DKN
.387
.466
.494
.445
.416
.202
1.00
BRD
.233
.218
.247
.211
.179
.136
.298
BRD
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
Keterangan: JLS=menjelaskan, ARH=mengarahkan, DSP=mendisiplinkan, MMN= memantau, LBT=melibatkan, DNG=mendengarkan, DKN=mendukung, BRD=memberdayakan. Semua koefisien signifikan, p<0,01 kecuali yang bertanda* memiliki p>0,05 sehingga tidak signifikan.
Penggunaan analisis regresi dimaksudkan untuk
memp redi ksi
nila i
va riab el
t erik at
Dalam hal dorongan semangat, pada Tabel 3, tampak tiga faktor yang signifikan, yaitu men-
berdasarkan nilai variabel bebas atau prediktor.
disipli nkan,
Gambaran tentang pengaruh atau hubungan
dukungan; sedangkan empat faktor lainnya, yaitu:
kausal variabel prediktor (menjelaskan, meng-
menjelaskan, mengarahkan, memantau, meli-
arahkan, mendisiplinkan, memantau, melibatkan,
batkan, dan memberdayakan tidak signifikan.
mendengarkan, memberi dukungan dan member-
Koefisien regresi sebesar 0,169 (mendisiplinkan),
dayakan) terhadap suasana kerja sekolah (doro-
0,112 (mendengarkan) dan 0,212 (mendukung)
ngan semangat kerja, dan penciptaan suasana
menggambarkan besarnya pengaruh faktor-faktor
kreatif) diperoleh lewat analisis regresi ganda.
tersebut terhadap tingkat keefektifan kepribadian
Ana lisi s re gresi ha nya tepa t di guna kan
me ndengark an,
dan
memb eri
ke pala sek olah dal am mela ksanakan kep eKoefisien
R2
apabila memenuhi asumsi dasar tertentu. Asumsi
mim pina nnya .
itu ialah adanya hubungan linear, data terdistribusi
menunjukkan bahwa kontribusi faktor-faktor pada
pa da
Tabel
3
secara normal dan heteroskedasitas. Pengujian
variabel bebas secara bersama-sama terhadap
asumsi itu telah dilakukan dan ternyata hasilnya
tingkat keefektifan kepribadian sebesar 16,2%,
memenuhi syarat penggunaan analisis regresi
suatu gambaran yang moderat.
ganda.
Tabel 3. Regresi Ganda antara Dorongan Semangat Kerja dan Kepemimpinan Kepala Sekolah
Estimasi regresi Variabel bebas X1-Menjelaskan X2-Mengarahkan X3-Mendisiplinkan X4-Memantau X5-Melibatkan X6-Mendengarkan X7-Mendukung X8-Memberdayakan
B -.031 .074 .169 .024 -.002 .112 .212 .072
Intersep =0.964 (SE= 4.487);
Kebermaknaan
SE B
Beta
t
.068 .054 .074 .061 .045 .047 .073 .043
-.027 .086 .144 .024 .002 .113 .172 .083
-.452 1.344 2.269 .390 .052 2.344 2.905 .692
Signifikansi .65 .18 .02* .69 .95 .02* .003* .09
R2= .162; F = 9.473 (df = 9), p < 0,000
Keterangan: * signifikan (p <0,05).
361
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Tabel 4. Regresi Ganda antara Suasana Kreatif dan Kepemimpinan Kepala Sekolah
Estimasi regresi Variabel bebas X1-Menjelaskan X2-Mengarahkan X3-Mendisiplinkan X4-Memantau X5-Melibatkan X6-Mendengarkan X7-Mendukung X8-Memberdayakan
Kebermaknaan
B
SE B
Beta
t
Signifikansi
.045 .103 .095 .063 .056 .083 .106 .097
.049 .039 .054 .044 .033 .034 .053 .031
.051 .155 .104 .083 .084 .107 .111 .142
.912 2.601 1.762 1.432 1.704 2.393 2.007 3.121
Intersep = 0.976 (SE = 0.156); R2= 0,28; F =19.049 (df = 9),
.65 .17 .02* .69 .95 .02* .003* .01* p < 0,000
Keterangan: * signifikan (p <0,05). Suasana sekolah yang kreatif, pada Tabel 4,
bahwa pada saat tertentu para kepala sekolah
secara signifikan dipengaruhi oleh empat faktor.
mampu mengambil gaya kepemimpinan yang
Kee mpat fak tor itu, yak ni m endi sipl inka n,
paling tepat sesuai dengan kondisi yang terjadi,
mendengarkan, memberi dukungan, dan mem-
sehingga kepemimpinannya efektif. Pada keadaan
berdayakan. Koefisien regresi masing-masing
tertentu gaya yang satu lebih menonjol daripada
sebesar 0,095 (mendisiplinkan), 0,083 (men-
gaya yang lainnya, dan ini tergantung pada
dengarkan), 0,106 (memberi dukungan), dan
ba waha n ya ng d ihad api sert a pa da t ingk at
0,097 (memberdayakan). Determinasi kelima
kedewasaan bawahan tersebut. Keyakinan ini
faktor tersebut sebesar 28%.
dibuktikan dengan besarnya persentase para
Secara umum dap at d ikat akan bahwa:
kep ala sekolah yang mem ilik i ke mamp uan
1) mendorong semangat kerja dipengaruhi oleh
menerapkan perilaku kepemimpinan kontingensi
perilaku mendisiplinkan, mendengarkan, memberi
yang sangat tinggi sesuai dengan lingkungan
dukungan dan memberdayakan; dan 2) suasana
pendidikan dasar.
kreatif dipengaruhi oleh perilaku menjelaskan,
Temuan ini didukung oleh teori Hersey dan
memantau, melibatkan, mendengarkan, dan
Blanchard (Hersey, Blanchard, & Johnson, 2012)
memberdayakan. Patut diwaspadai, pemberian
yang mengemukakan bahwa kepemimpinan yang
dukungan tidak selalu berdampak positif. Dalam
efektif dapat diwujudkan melalui kemampuan
upa ya m endorong sem anga t ke rja, mal ah
memilih dan menyerasikan perilaku atau gaya
pemberian dukungan berpengaruh negatif dan
kepemimpinan yang tepat berdasarkan tingkat
signifikan. Dengan kata lain, pemberian dukungan
kesiapan (readiness) dan kematangan (matura-
dari pihak kepala sekolah dapat menurunkan
tion) anggota organisasi atau bawahan. Tinggi
semangat kerja para staf pendidik.
rendahnya tingkat kematangan kelompok turut
Tiga hal yang hendak diulas dalam pem-
menentukan ke m ana kece nder unga n ga ya
bahasan ini, yakni pelaksanaan dan pengaruh
ke pemi mpinan
kepemimpinan kontingensi kepala sekolah serta
diarahkan.
keterbatasan penelitian untuk peluang tindak lanjut.
seora ng
pemi mpin
har us
Dari temuan penelitian ini terungkap bahwa pemilihan dan penggunaan gaya kepemimpinan
Pertama, pelaksanaan kepemimpinan
harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi
kontingensi kepala sekolah. Perilaku kepe-
masing-masing sekolah. Semakin mampu kepala
mimpinan kontingensi yang ditunjukkan melalui
sekolah menyesuaikan kepemimpinannya dengan
kemampuan para kepala sekolah dalam me-
situasi dan kebutuhan para bawahannya, semakin
laksanakan tugas dan tanggung jawabnya sudah
efektif ia dapat mencapai tujuan yang telah
mencerminkan suatu pola kerja yang dapat
ditetapkan sekolahnya (Raharjo, 2008; Safari,
meningkatkan mutu pendidikan ke arah yang lebih
2008).
baik. Denga n perilaku tersebut ditunjukkan 362
Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar
Penelitian ini menemukan bahwa para kepala se kola h
te lah
memi liki
kem ampuan
komponen yang lain dalam sekolah. Namun,
d an
pengaruh dari beberapa faktor tersebut tidak
ke tera mpil an y ang bai k untuk mewujudk an
semua pada tingkatan yang sama, artinya nilai
peranannya sebagai pemimpin dalam upaya
yang dihasilkan ada perbedaan antara satu faktor
memajukan dan meningkatkan suasana kerja di
dengan faktor yang lain. Bahkan, ada beberapa
sekolahnya. Dengan kata lain, bahwa para kepala
fa ktor yang ti dak memi liki pengaruh ya ng
sekolah mampu melaksanakan perannya secara
signifikan. Hal ini dapat dimengerti karena adanya
profesional. Hal ini sejalan dengan pendapat yang
perbedaan karakteristik individu yang berinteraksi
dikemukakan Sanusi dkk (dalam Winardi, 2000)
di dalam sekolah.
bahwa kepemimpinan kepala sekolah yang efektif sesungg uhny a ad alah
Masalah semangat kerja amat penting dalam
kep emim pina n ya ng
setiap usaha kerja sama sekelompok orang dalam
profesional. Untuk disebut sebagai kepala sekolah
mencapai tujuan tertentu dari kelompok tersebut.
yang profesional diperlukan persyaratan yang
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
khusus, yaitu: 1) kemampuan untuk menjalankan
hub unga n antara gay a ke pemi mpinan d an
tanggung jawab yang diserahkan kepadanya;
semangat kerja kelompok timbul di antaranya
2) kemampuan untuk menerapkan keterampilan-
dengan memb erik an d orongan, sed angk an
keterampilan konseptual, manusiawi dan teknis;
dorongan itu sendiri adalah kegiatan pimpinan.
3) kemampuan memotivasi para bawahan untuk
Temuan ini mendukung penelitian Sulaiman (1992)
be kerj a sa ma secar a sukare la; dan 4) k e-
dan Sulton (2006) yang mengatakan salah satu
mampuan untuk memahami implikasi-implikasi dari
faktor yang berhubungan dengan semangat kerja
pe ruba han
bawahan adalah bagaimana hubungan antara
sosi al,
ekonomis,
politi k,
d an
pendidikan.
bawahan dengan pemimpinnya. Dengan kata lain,
Hasil penelitian ini juga mendukung hasil
salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
penelitian terdahulu, yaitu Sulaiman (1992) yang
sem anga t
mem perl ihat kan
kepemimpinan atasannya.
adanya
hubungan
anta ra
ke rja
bawa han
adal ah p eril aku
perilaku kepemimpinan dengan semangat kerja
Dalam konteks ini kepala sekolah sebagai
guru dan Darmadi (1994) yang menyatakan bahwa
pem impi n da lam suat u se kola h me mpunyai
perilaku kepemimpinan akan sangat efektif dalam
peranan yang penting dalam memberi dorongan
mengarahkan guru; serta Ekosiswoyo (2007)
semangat kerja guru-guru yang dipimpinnya. Hal
yang mengungkapkan bahwa kepemimpinan,
ini sejalan dengan temuan Diana (2009) bahwa
upaya-upaya strategis demi penciptaan kondisi
ke pala sek olah seb agai fig ur k unci dal am
yang kondusif memungkinkan kepala sekolah
me ndor ong
memiliki motivasi untuk berprestasi yang tinggi.
sekolah.
perk emba nga n
da n
ke majuan
Di samping itu, komunikasi antara pribadi perlu
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui
menjadi keterampilan dasar bagi calon kepala
bahwa terdapat tiga faktor signifikan terhadap
sekolah. Ketiga penelitian tersebut sama-sama
semangat kerja, yaitu mendisiplinkan, men-
menunjukkan bahwa k epem impi nan kepa la
de ngar kan, dan mem ber i dukung an. Fakt or
se kola h sa ngat ber pengaruh te rhad ap k e-
menj elaska n, mengarahk an, me mantau dan
efektifan pengelolaan sekolah.
melibatkan, dan memberdayakan bawahan tidak
Kedua, pengaruh kepemimpinan kontingensi
signifik an. Faktor-fakt or tidak signif ikan ini
kepala sekolah. Hasil analisis data memper-
di kare naka n: 1 ) me njel aska n ti dak bany ak
lihatkan ba hwa faktor-faktor ke pemimpinan
dibutuhkan jika sekolah memiliki bawahan yang
kontingensi berhubungan fungsional dan efektif
terlatih-profesional, berpengalaman dan terampil
terhadap suasana kerja di sekolah. Kenyataan ini
melakukan pekerjaannya; 2) kepala sekolah
memberikan pemahaman bahwa keefektifan
cend erung me mbiarkan staf m engalami ke-
kepemimpinan kepala sekolah tidak berdiri sendiri,
bingungan/kesulitan dalam tugas; 3) kepala
melainkan sangat dipengaruhi oleh elemen-
sek olah menga wasi guru terla lu ke tat; dan
elemen kegiatan berupa interaksi sosial yang
4) kepala sekolah kurang melibatkan guru/staf
terjadi di antara pemimpin dan bawahan dengan
dalam pengambilan suatu kebijakan.
363
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Salah satu kondisi yang dapat mendukung
Implikasi temuan ini terhadap keefektifan
terciptanya suasana sekolah yang kondusif, yaitu
kepemimpinan adalah: diharapkan para kepala
pra ktik kep emim pina n. Seora ng p emim pin
sekolah tidak hanya membuat aturan-aturan dan
memperlakukan bawahan sesuai dengan bakat
pedoman yang jelas, melainkan juga dituntut
dan keterampilan, kemampuan dan minat masing-
untuk menciptakan suasana kerja yang harmonis.
masing dan memberi dorongan sehingga mereka
Suasana kerja demikian bercirikan suasana penuh
leluasa untuk mengemukakan keluhan, pendapat,
keakraban di antara personalia sekolah, mem-
ha rapa n
mendukung
percayai, dan mendorong staf agar melaksanakan
lancarnya proses pencapaian tujuan sekolah
ya ng
semua nya
tugas- tuga snya secara ber tang gung jaw ab
(Durrant, Ekins, Grimes, & Precey, 2009; Hulpia &
(McBeth, 2005; Precey & Entrena, 2011). Dalam
Devos, 2009). Dengan kata lain, dalam rangka
suasana seperti itu, para staf diberi peluang dan
membina proses pengajaran, kepala sekolah
dukungan mengembangkan kemampuannya agar
berperan penting. Melalui kepemimpinan kepala
berunjuk kerja sebaik mungkin dan bertumbuh
sek olah
secara
seg enap
pot ensi
itu
sta f
he ndak nya
dikembangkan dan dimanfaatkan untuk membina mutu organisasi.
berk elanjuta n
se hing ga
m enca pai
pengembangan karier yang maksimal dan optimal. Ket iga, kete rbata san Penel itia n. Kep e-
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan
mimpinan merupakan katalisator bukan pada level
bahwa hubungan antara gaya kepemimpinan dan
individu melainkan pada level lembaga. Penelitian
menciptakan suasana sekolah yang kreatif sangat
ini masih terbatas pada analisis datar (flat) di mana
signifikan dalam mengefektifkan suatu sekolah.
data para guru dari berbagai sekolah dipadukan
Hal ini didukung oleh pendapat beberapa penulis
dan dianalisis. Hal ini amat lumrah dan terbiasa
(Goleman, 2003; Holtapples, 2009; Hoy & Miskel,
dilakukan oleh kebanyakan penelitian di negara
2008) bahwa untuk mengejar segala ketinggalan
sed ang berk emba ng, teta pi sesungguhnya
akibat pergeseran ilmu pengetahuan teknologi
mengandung kelemahan serius (Creemers &
dan peradaban manusia yang begitu drastis,
Kyriakides, 2010). Dengan cara demikian peneliti
dip erlukan
mem puny ai
tida k mampu menganal isis da n mencer mati
kreativitas tinggi. Untuk menumbuhkan sikap
orang-or ang
yang
variabel mana yang berpengaruh terhadap individu
demikian sangat ditentukan pula oleh tindak-
gur u, d an m ana yang ber peng aruh besar
tanduk kepemimpinan yang mampu membang-
terhadap suatu lembaga secara umum. Besarnya
kitkan kreativitas orang-orang yang dipimpinnya
sumbangan setiap variabel pada masing-masing
(Watson & Scribner, 2007).
level tidak dapat diestimasi. Padahal informasi per
Berdasarkan hasil penelitian ini empat faktor
jenjang tersebut amat penting bagi pembenahan
berpengaruh terhadap suasana sekolah yang
sek olah
dan
kreatif, yakni mendisiplinkan, mendengarkan,
pendidikan.
pengemb anga n
ke bija kan
memberi dukungan, dan memberdayakan. Faktor
Te muan dar i pe neli tian dem ikia n bi sa
menjelaskan, mengarahkan, dan memantau tidak
mengungkap lebih banyak apabila menggunakan
signifikan. Ketidaksignifikansi tersebut disebabkan
pendekatan kualitatif. Padahal penelitian ini
oleh 1) kegiatan menjelaskan dan mengarahkan
bersifat kuantitatif semata. Oleh karena itu, data
merupakan suatu usaha untuk menjaga agar apa
dan analisis kualitatif belum tersentuh dengan
yang direncanakan dapat berjalan seperti yang
baik. Persepsi para guru terkadang tidak dapat
dikehendaki. Bila hal ini terlalu dominan dilakukan
didalami dengan mudah karena baru sekedar
oleh pemimpin atau hanya terjadi komunikasi satu
ekspresi individual, yang masih perlu direnungkan
arah maka akan mengurangi peluang untuk
ata u di refl eksi kan lebi h me ndal am seper ti
menciptakan suasana sekolah yang kreatif karena
didemonstra sikan oleh Elmeski ( 2012), dan
ba waha n be rsif at
ke giat an
Holtappels (2009). Apalagi dengan banyaknya
memantau menjadi tidak efektif karena kepala
sam pel sekolah dari beb erap a se tting m e-
sekolah cenderung mencari kesalahan dan tidak
mungkinkan terjadinya analisis multisitus, hal
memotivasi guru untuk mengembangkan dan
tersebut belum dilakukan dalam studi ini.
p asi f;
d an 2 )
menyalurkan bakat serta potensi yang dimiliki.
364
Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar
Simpulan dan Saran
Saran
Simpulan
Berdasarkan temuan dan diskusi keterbatasan
Simpulan utama merupakan jawaban umum
penelitian ini, diajukan beberapa saran berikut.
terhadap masalah penelitian yang diutarakan di
Pertama, bagi kepala sekolah agar penerapan
depan. Ada tiga pertanyaan yang akan dijawab
kepemimpinan kontingensi lebih cermat mem-
satu per satu dalam konteks pendidikan dasar.
perhatikan kondisi kesiapan dan kematangan
Pertama, tentang suasana kerja di sekolah,
bawahan. Kedua, dalam situasi perkembangan
suasana kreatif paling tinggi (82%) diikuti oleh
teknologi komunikasi yang amat unik dan cepat
dorongan semangat kerja (77%). Secara umum
sa at i ni, perl u fl eksi bili tas pimp inan unt uk
suasana kerja di sekolah termasuk positif tinggi.
menyesuaikan pola tindak kepemimpinannya
Kedua, gambaran persepsi kepemimpinan para
yang bervariasi dan tidak monoton. Ketiga, untuk
kepala sekolah sebagai berikut. Yang memenuhi
kepentingan penelitian perlu pengembangan
krit eria sangat t inggi ialah telling dan selling,
desain hirarkis dari level individu sampai pada
kriteria tinggi adalah participating dan delegating,
level institusi dan geografis; serta pengujian
sedangkan agak tinggi adalah monitoring. Ketiga,
pengaruh langsung dan tidak langsung yang lebih
tidak semua komponen persepsi kepemimpinan
cermat termasuk kondisi berbagai level penelitian.
kontingensi berpenga ruh terhadap pengem-
Di samping itu, masih perlu masukan imbangan
bangan suasana kerja para guru di sekolah. Faktor
terkait dari penelitian yang bersifat kualitatif untuk
mendisiplinkan, mendengarkan, dan memberi
mem perk aya wawa san dan disk usi tent ang
dukungan kepada para guru berpengaruh secara
pembinaan serta pengembangan suasana kerja
berarti terhadap upaya mendorong semangat
para guru dari segi kepemimpinan situasional.
kerja. Terhadap penciptaan suasana kerja yang kreatif, faktor-faktor yang signifikan adalah mendisi plinkan,
mendeng arka n,
m embe ri
dukungan, dan memberdayakan staf.
Pustaka Acuan Adams, B. 2006. Memahami Segalanya tentang Kepemimpinan (Terjemahan oleh A. Sindoro). Batam: Penerbit Karisma Publishing Group. Agung, I. 2009. Sekolah sebagai Organisasi Pembelajar (Learning Organization): Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 15(2), 281-312. Clarke, P. 2009. Sustainability and Improvement: A Problem of Education and for Education. Improving Schools. 12(1), 11-17. Creemers, B.P.M., & Kyriakides, L. 2010. Improving Quality in Education: Dynamic Approaches to SchoolI improvement. London: Routledge as an imprint of Taylor & Francis Group. Darmadi, H. 1994. Studi Hubungan antara Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah dengan Kepuasan Kerja Guru pada Sekolah Menengah Atas Negeri Kotamadya Pontianak. Tesis tidak dipublikasi. Program Pascasarjana IKIP Malang. Diana, N. 2009. Pengaruh Kepemimpinan, Lingkungan Kerja dan Motivasi Kerja terhadap Kepuasan Guru. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 15(4), 684-705. Durrant, J., Ekins, A., Grimes, P., & Precey, R. 2009. Leadership, Learning and Inclusion: Exploring Innovative Approaches to School Improvement. Paper Presented at the ICSE Conference, 4-7 January 2009, Vancouver-Canada.
365
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Ekosiswoyo, R. 2007. Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Efektif Kunci Pencapaian Kualitas Pendidikan. Jurnal Ilmu Pendidikan, 14(2), 76-82. Emy. 2012. Pendidikan – Kualitas Guru Masih Rendah. (http://www.sstv.co.id/pendidikan-kualitas-gurumasih-rendah)., diakses 17 Juni 2012) Elmeski. M. 2012. The Art of the Possible in the Leadership of Place in Morocco: Case Studies from Three Urban Schools. ICSEI conference paper, Malmo – Swedia, 5-8 January 2012. Fink, D., & Brayman, C. 2006. School leadership succession and the challenges of change. Educational Administration Quarterly, 42 (1), 62-89. Fraenkel, J. R., & Wallen, N.E. 2008. How to Design and Evaluate Research in Education. New York: McGraw-Hill. Goleman, D. 2003. Kepemimpinan yang Mendatangkan Hasil (Terjemahan oleh P. D. Nugraheny). Yogyakarta: Penerbit Amara Books. Hersey, P., Blanchard, K.H., & Johnson, D.E. 2012. Management of Organizational Behavior: Leading Human Resources. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall. Holtappels, H. G. 2009. School Improvement through Leadership and Professional Collaboration in SelfManaging Schools. Paper presented at the ICSEI Conference, 4-7 January 2009, VancouverCanada. Hoy, W. K., & Miskel, C.G. 2008. Educational Administration: Theory, Research, and Practice. New York: McGraw-Hill. Hulpia, H., & Devos, G. 2009. Does Distributed Leadership Affect Teachers’ Organizational Commitment? A Multilevel Analysis. Paper presented at the ICSEI Conference, 4-7 January 2009, VancouverCanada. Ismail, H. 2006. Hubungan antara Persepsi terhadap Dunia Usaha, Kecerdasan Emosional, Sikap terhadap Profesi Akuntan dan Motivasi Berprestasi Mahasiswa Akuntansi. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 12(61), 448-472. Ivancevich, J.M., Konopaske, R., Matteson, M.T. 2005. Organizational Behavior and Management. New York: McGraw-Hill. Koster, W. 2006. Membangun Kemandirian dan Peradaban Bangsa melalui Pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 12(61), 500-511. McBeath, J. 2005. Leadership as Distributed: A Matter of Practice. School Leadership and Management, 25(4), 349-366. Mehrens, W. A., & Lehmann, I.J. 1984. Measurement and Evaluation in Education and Psychology. New York: Holt, Rinehart and Winston. Nawawi, H. H. 2003. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Owens, R. G. 2004. Organizational Behavior in Education - Adaptive Leadership and School Reform. Boston, MA: Pearson Education, Inc. Precey, R., & Entrena, M.J.R. 2011. Developing the Leaders We Want to Follow: Lessons from an
366
Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar
International Leadership Development Programme. ICSEI Conference Paper, Limassol-Cyprus 47 January 2011. Purwanto, N. 2003. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Raharjo, S. B. 2008. Pengaruh Motivasi Berprestasi, Pengetahuan Pengelolaan Informasi, Gaya Kepemimpinan dan Etos Kerja terhadap Daya Saing Kepala Sekolah Dasar di Kota Malang, Jawa Timur (2004). Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 14(74), 868-887. Safari. 2008. Leadership Kepala Sekolah dan Tingkat Penguasaan Guru terhadap Materi Ujian Nasional. Jurnal Universitas Paramadina, 5(3), 232-242. Sidi, I. D. 2001. Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina. Sion, H. 2007. Hubungan Keterampilan Manajerial Kepala Sekolah dan Kepuasan Kerja Guru dengan Performansi Mengajar Guru. Jurnal Ilmu Pendidikan, 14(2), 83-90. Sulaiman. 1992. Hubungan antara Perilaku dan Semangat Kerja Guru-guru Sekolah Dasar Negeri di Kotamadya Banjarmasin. Tesis tidak dipublikasi. Program Pascasarjana IKIP Malang. Sulton, H. M. 2006. Kontribusi Perilaku Kepemimpinan dan Perilaku Supervisi Kepala Sekolah terhadap Semangat Kerja Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Jember. Pancaran Pendidikan, 19(63), 438447. Suradji, A. 2010. Pemimpin, Keberanian dan Perubahan. Kompas, 6 September, hlm. 6. Suryosubroto, B. 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: PT Rineka Cipta. Tirtamihardja. 2005. Seni Kepemimpinan Mendengarkan adalah Emas. Tangerang: YASKI. Wedhaswary, I.D. 2012. Kualitas Guru Masih Rendah. (http://edukasi.kompas.com/read/2012/03/07/ 08304834/Kualitas.Guru.Masih.Rendah, diakses 20 Mei 2012) Watson, S. T., & Scribner, J. P. 2007. Beyond Distributed Leadership: Collaboration, Interaction, and Emergent Reciprocal Influence. Journal of School Leadership, 17(4), 443-468. Winardi. 2000. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: PT Rineka Cipta. Wiyono, B. B. 2000. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Semangat Kerja Guru dalam Melaksanakan Tugas Jabatan di Sekolah Dasar. Jurnal Ilmu Pendidikan, 27(1), 71-83.
367
Daftar Isi Daftar2,Isi Vol. 18, Nomor Juni 2012 Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012 Editorial ........................................................................................................................................ Subijanto
ii-iv
Lembar Abstrak ............................................................................................................................
v-xxvii
Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar ............................... Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge
353-367
Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan ............ Terbimbing Berbantuan Software Autograph Sahat Saragih dan Vira Afriati
368-381
Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif ......................... Munawir Yusuf
382-393
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X ...................................... SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau Ahmad Jamalong
394-411
Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya ......... Leo Agung S.
412-426
Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional ....................... untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana Sri Tatminingsih dan Sudarwo
427-439
Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan .................... Bambang Indriyanto
440-452
Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi .......................................................... Siswo Wiratno
453-466
Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah ................................ Herry Widyastono
467-476
Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah .......................................... Yudi Setianto
477-488
Indeks ..........................................................................................................................................
489-495
i
Editorial Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi-ke 4 Bulan Desember 2012 ini menyajikan sepuluh artikel dari hasil penelitian dan kajian sebagai berikut.
Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge memaparkan hasil penelitiannya tentang suasana kerja dan pengaruh kepemimpinan dalam konteks pendidikan dasar, menunjukkan bahwa delapan konstrak kepemimpinan dan dua konstrak suasana kerja terbukti valid dan reliabel. Dengan rentangan 0-4, rerata suasana kerja di sekolah sebesar 2,9 untuk semangat kerja, dan 2,8 untuk suasana kreatif. Dengan rentangan yang sama, rerata kedelapan subskala kepemimpinan berkisar 2,55 dan 3,19. Analisis regresi mengungkapkan tidak semua komponen kepemimpinan merupakan faktor signifikan untuk pengembangan suasana kerja di sekolah. Kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, dan mendukung berpengaruh signifikan terhadap semangat kerja para guru. Pengembangan suasana kreatif dipengaruhi secara signifikan oleh kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, mendukung, dan memberdayakan. Hasil penelitian Sahat Saragih dan Vira Afriati tentang peningkatan pemahaman konsep grafik fungsi trigonometri siswa SMK melalui penemuan terbimbing berbantuan software autograph menunjukkan bahwa: 1) peningkatan pemahaman konsep siswa pada grafik fungsi trigonometri yang memperoleh pendekatan penemuan terbimbing berbantuan software autograph lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatan biasa; dan 2) ketuntasan dan aktivitas belajar siswa yang memperoleh pendekatan penemuan terbimbing berbantuan software autograph lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatan biasa. Munawir Yusuf memaparkan hasil penelitian tentang pengembangan model evaluasi diri sekolah inklusi untuk meningkatkan kinerja kepala sekolah dan guru menunjukkan bahwa: 1) kinerja kepala sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif
berada dalam kategori sedang dan tinggi; 2)
kinerja guru kelas dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif berada dalam kategori sedang dan rendah; 3) content materi evaluasi diri sekolah inklusi yang disetujui kepala sekolah ada 61 butir (96,8%) dan tidak disepakati ada 2 butir ( 3,2%); 4) content materi evaluasi diri sekolah inklusi yang disetujui guru ada 39 butir (81,25%) dan tidak disepakati ada 9 butir (18,75%). Penelitian Ahmad Jamalong tentang meningkatkan hasil belajar siswa melalui model kooperatif numbered heads together (NHT) di kelas x SMA Negeri 1 Beduai, Kabupaten Sanggau menunjukkan bahwa hasil belajar siswa sebelum dilaksanakan tindakan tidak ada satu pun siswa yang mencapai tingkat ketuntasan. Setelah dilaksanakan tindakan pada siklus I terjadi peningkatan hasil belajar pada siswa yang mencapai ketuntasan sebanyak 11 siswa (34,38%) dan tindakan pada siklus II terdapat 20 siswa (54,82%) yang mencapai ketuntasan belajar. Hal ini menyatakan bahwa model Kooperatif Numbered Heads Together (NHT), sangat efektif dapat meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Leo Agung S. memaparkan hasil penelitiannya tentang pengembangan model pembelajaran Sejarah SMA berbasis pendidikan karakter di Solo Raya, menunjukkan bahwa: 1) tujuan pembelajaran Sejarah menanamkan semangat kebangsaan, cinta bangsa dan tanah air; materi sesuai dengan Standar Isi; metode ceramah bervariasi, media power point, film dan Liquid Crystal Display, sedangkan evaluasinya masih banyak ke aspek kognitif; 2) faktor pendukung pembelajaran Sejarah yaitu adanya model-model pembelajaran inovatif, faktor penghambatnya buku BSE yang minim, dan adanya diskriminatif mata pelajaran; 3) sebagian besar guru-guru SMA telah memahami model-model pembelajaran, dan 4) tersusunnya model Kritis, Kreatif, Berantai dan berkarakter (KKBB). Hasil penelitian Tatminingsih dan Sudarwo tentang pengembangan paket dan strategi pembelajaran IPA melalui permainan tradisional untuk siswa kelas 3 SD di daerah rawan bencana,
ii
menunjukkan bahwa hampir semua siswa tidak mengenal permainan tradisional di wilayahnya, namun terdapat beberapa permainan tradisional yang masih dikenal oleh masyarakat di Kecamatan Kadudampit, di antaranya Oray-orayan, Cing Ciripit, Pacici Putri, Sonda dan Egrang. Karakterisitik siswa SD di daerah rawan bencana umumnya pasif dan kurang kreatif, bergantung pada guru. Paket pembelajaran yang sesuai siswa kelas 3 SD di wilayah rawan bencana berupa bahan ajar cetak, buku bergambar, dan video. Hasil ujicoba menunjukkan adanya peningkatan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran IPA untuk materi Banjir sebesar 0,58 dan untuk materi gempa bumi sebesar 0,76. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan paket pembelajaran yang berupa booklet dan buku siswa tentang materi mitigasi dan sanitasi terkait bencana banjir dan gempa bumi yang disampaikan melalui permainan tradisional membantu siswa dalam memahami materi tersebut. Bambang Indriyanto mengkaji tentang pengembangan kurikulum sebagai intervensi kebijakan peningkatan mutu pendidikan, menunjukkan bahwa kurikulum dapat menjadi titik tolak bagi peningkatan mutu pendidikan dengan argumentasi bahwa efektivitas implementasi kurikulum tidak hanya terletak pada isi konsep yang komprehensif, tetapi juga pada kondisi kurikulum tersebut akan dilaksanakan. Kondisi tersebut meliputi kompetensi guru dan kecukupan ketersediaan sarana pendidikan pada tingkat sekolah. Pengembangan Kurikulum 2013 yang sedang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang dicermati oleh anggota masyarakat. Hal ini tentu saja merupakan konsekuensi kurikulum sebagai bagian dari kebijakan pendidikan. Ada yang mempertanyakan tentang konsepnya tetapi ada juga yang setuju dengan ide Pengembangan Kurikulum 2013. Namun demikian, penulis berpendapat bahwa meskipun ada yang tidak setuju dan ada yang setuju, faktor yang mendasari efektivitas pelaksanaan kurikulum yaitu faktor manajemen. Faktor tersebut meliputi: manajemen pada tingkat sekolah dan kelas. Di samping itu, kehadiran teknologi informasi praktis pada setiap aspek kehidupan membawa dampak yang positif terhadap dunia pendidikan. Hasil kajian Siswo Wiratno tentang pelaksanaan pendidikan Kewirausahaan di pendidikan tinggi menunjukkan bahwa: 1) pelaksanaan pendidikan Kewirausahaan di berbagai perguruan tinggi belum dilaksanakan secara optimal, antara lain disebabkan oleh belum optimalnya peran dan fungsi unit pengelola kewirausahaan; 2) kompetensi lulusan perguruan tinggi masih belum sepenuhnya memenuhi harapan dunia kerja, di mana diharapkan para lulusan perguruan tinggi memiliki kompetensi akademik, keterampilan berpikir, keterampilan manajemen dan keterampilan berkomunikasi. Di samping itu, lulusan belum cukup dibekali dengan keterampilan hidup (live skill), kemampuan beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan kerja serta belajar sepanjang hayat (life-long education). Herry Widyastono memaparkan hasil kajiannya tentang muatan pendidikan holistik dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah, menunjukkan bahwa: 1) dokumen kurikulum pendidikan dasar dan menengah pada hakikatnya sudah memuat pendidikan holistik, karena prinsip, acuan, dan prosedur pengembangan kurikulum sejalan dengan pengertian, tujuan, dan prinsip pendidikan holistik; 2) pendidikan holistik belum diimplementasikan secara komprehensif dalam pembelajaran. Dalam rangka mengimplementasikan pendidikan holistik dalam pembelajaran, direkomendasikan agar guru dalam melaksanakan pembelajaran tidak hanya mengembangkan ranah pengetahuan, melainkan juga ranah keterampilan dan sikap, melalui pendekatan belajar siswa aktif. Hasil kajian Yudi Setianto tentang dikotomi bebas nilai dan nilai pendidikan dalam pembelajaran Sejarah menunjukkan bahwa dalam konteks sejarah, objektivitas bisa diterjemahkan sebagai kebenaran dan kejujuran, fakta yang direkonstruksi dituntut dikemukakan secara transparan. Namun, dalam ranah pembelajaran Sejarah, sejarah tidak mungkin dikemukakan secara obyektif. Hal ini bukan berarti jika pembelajaran bersifat subjektif ataupun mengingkari fakta. Bagi tujuan yang lebih bijaksana, polarisasi sejarah yaitu dalam rangka menumbuhkan nasionalisme, patriotisme serta tujuan-tujuan pendidikan lainnya, tidak mungkin disandingkan dengan sejarah sebagai alat legitimasi konflik sosial bahkan disintegrasi bangsa. Ilmu Sejarah tetap bersifat objektif dalam mengungkap fakta sejarah, sementara itu tujuan pelajaran Sejarah merupakan bagian dari tujuan pendidikan. Sejarah sebagai bahan pelajaran harus disusun searah dengan dasar dan tujuan Pendidikan Nasional. Sejarah sebagai mata pelajaran iii
yang mempunyai misi tertentu dan sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Pembelajaran Sejarah menempatkan fakta-fakta sejarah yang disaring, demi tujuan pendidikan agar sejarah menjadikan yang mempelajarinya lebih bijaksana.
Editor Subijanto
iv
Lembar abstrak
LEMBAR ABSTRAK JURNAL PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN VOLUME 18, 2012
375 Al Musanna (Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon, Aceh Tengah,
[email protected]./
[email protected]) Quo Vadis Praksis Evaluasi Kurikulum: Studi Pendahuluan Terhadap Ranah Kurikulum yang Terlupakan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 1-11 Abstrak Setiap kurikulum merupakan produk zaman, sehingga keberadaannya senantiasa merepre-sentasikan semangat zaman ketika kurikulum tersebut dikembangkan. Untuk mengetahui relevansi teori dan praktik (praksis) kurikulum dengan tuntutan semangat zaman diperlukan adanya evaluasi kurikulum. Melalui evaluasi kurikulum dapat diketahui apakah kurikulum mampu berkontribusi mempersiapkan peserta didik bertahan hidup dan pada saat bersamaan mampu membekali peserta didik untuk menjalani dan memuliakan kehidupan (nobelling life). Dalam realitas aktualnya, evaluasi kurikulum belum mendapat perhatian proporsional di kalangan akademisi maupun praktisi pendidikan di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Untuk itu, upaya memahami dan menyebarluaskan kesadaran mengenai signifikansi evaluasi kurikulum dalam reformulasi kebijakan pendidikan merupakan prasyarat dalam pembenahan pendidikan pada masa-masa mendatang. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan studi literatur mengenai dinamika dan kompleksitas teori dan praktik evaluasi kurikulum yang diharapkan dapat memberi secercah terang mengenai salah satu ranah kajian dalam displin ilmu kurikulum. Kata Kunci: evaluasi, kurikulum, positivistik, naturalistik dan pragmatis The curriculum is a product of the time, it has always been a representation of passion of time. The existence of curriculum evaluation plays a strategic role to find out the practical relevance of the curriculum and spirit of the times. The curriculum evaluation can determine not only whether the curriculum can contribute to prepare students to survive but also whether the curriculum is able to equip learners to live a noble life. Actually, the evaluation of the curriculum has not received sufficient attention from both academics and practitioners of education in developing countries, including in Indonesia. Efforts to understand and spread awareness about the significance of curriculum evaluation in reformulation of education policy are prerequisites in the improvement of education. This paper aims to conduct a literature review to give a spotlight on the dynamics of curriculum evaluation praxis. Keywords: curriculum,
evaluation, positivistic, naturalistic, and pragmatism.
375 Hermana Somantrie (
[email protected]/
[email protected]) Analisis-Kritis Perlunya Perubahan Kebijakan Terhadap Pelabelan Mata Pelajaran dalam Kurikulum Sekolah Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 12-20 Abstrak Mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Indonesia telah dikelompokkan secara irasional ke dalam dua jenis labeling (penamaan atau pelabelan). Di satu sisi, beberapa mata pelajaran menggunakan label “pendidikan”; di sisi lain beberapa mata pelajaran tidak menggunakannya. Kedua jenis pelabelan itu perlu dipertanyakan secara kritis melalui pertanyaan filosofis: 1) mengapa pelabelan ini telah terjadi dalam kurikulum sekolah?, dan 2) apa filosofi dasar untuk pelabelan ini? Pada kenyataannya, kurikulum merupakan suatu instrumen penting pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, semua mata pelajaran dalam kurikulum semestinya mempunyai label pendidikan yang sama atau sebaliknya. Hal ini tampak sebagai suatu masalah krusial dalam dunia pendidikan yang perlu diselesaikan terlebih dahulu sebelum mengembangkan kurikulum baru. Untuk melakukan hal tersebut, semua ahli pendidikan, pengembang kurikulum, birokrasi pendidikan harus memiliki persepktif yang kuat mengenai filsafat pengetahuan. Kata kunci: filsafat, pengetahuan, kurikulum, dan mata pelajaran. The subject matters in Indonesian elementary and secondary education curriculum have been clustered irrationally by two kinds of labeling. On one side, there are some subject matters using “education” label; on the other side, the rests are without “education” label. Both kinds of labeling need to be asked critically through philosophical questions: 1) why has this clustering happened in the school curriculum? and 2) what is the basic philosophy for this clustering? As a matter of fact, curriculum is a pivotal instrument of education in attaining the National Education
v
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012
Aim; therefore, all subject matters in the curriculum should have the same “education” label or should not have one. It seems to be a crucial problem in education world that need to be overcome at the first place before developing a new curriculum. In doing so, all education experts, curriculum developer, and education bureaucracies should have a strong perspective on the matter of “knowledge philosophy”. Keywords: philosophy; knowledge; perception; conception; curriculum; and subject matters. 375 Bambang Indriyanto (Pusat Penelitian Kebijakan Balitbang, Email:
[email protected]) Dimensi Pembangunan Karakter Dan Strategi Pendidikan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 21-33 Abstrak Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengidentifikasi strategi pendidikan yang mempromosikan pembangunan karakter. Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini mengajukan suatu tesis tentang dua peran pendidikan yakni transfer dan transformasi. Peran transfer menekankan pada penyampaian ilmu pengetahuan yang ditujukan untuk mendukung pengembangan kompetensi berpikir analitis, sedangkan peran transformasi menekankan pada penanaman nilai yang mengembangkan kompetensi afektif. Pembangunan karakter yang menjadi pusat perhatian pada tulisan ini berorientasi pada pencapaian kehidupan yang harmonis dan kemampuan mengatasi tantangan ke depan. Dua dimensi pembangunan karakter ini menjadi dasar untuk memelihara stabilitas kehidupan dan kemajuan kehidupan sosial. Kedua dimensi menjadi syarat bagi Indonesia sebagai suatu bangsa dan bangsa Indonesia untuk memasuki kompetisi global. Tulisan ini mengajukan saran bahwa agar strategi pendidikan dapat memberikan sumbangan terhadap dua dimensi pembangunan karakter tersebut yakni pencapaian kehidupan yang harmonis dan kemampuan mengatasi tantangan ke depan maka strategi pendidikan yang dimaksud meliputi misi kurikulum yang komprehensif dan saling berkaitan dengan tujuan dan isi; strategi pengajaran yang relevan, dan penilaian pendidikan yang komprehensif. Kata kunci: karakter, strategi kurikulum, strategi mengajar The objective of this paper is to identify an educational strategy which promotes character buildings. To achieve the objective, this paper proposes a thesis about two roles of education: transferring and transforming. The previous role emphasizes knowledge transfer which boosts analytical thinking competences, while the later emphasizes inculcating values which promotes affective competences. The character buildings being concerned in this matter are oriented in achieving harmonious life and in coping with future challenges. These two dimensions of character building serve as foundations for maintaining social stabilities and social progresses. They are two factors required by the nation of Indonesia and Indonesians to enter a global competition. This paper suggests that the education strategy which contributes to the two dimensions of character building i.e. orientations on achieving harmonious life and
coping with future challenges comprise comprehensive and congruence curriculum missions,
objectives, and content; relevant teaching strategy, and comprehensive education evaluation. Keywords: characters, curriculum strategy, teaching strategy 371 Hendarman (Balitbang Kemdikbud/FKIP, Universitas Pakuan Bogor email:
[email protected]) Peran Dewan Pendidikan dalam Meningkatkan Mutu Pelayanan Pendidikan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 34-44 Abstrak Keberadaan Dewan Pendidikan masih dipertanyakan terkait dengan peningkatan mutu pelayanan pendidikan. Meskipun sudah dibentuk di berbagai provinsi/kabupaten/kota, tampaknya dewan ini masih belum dianggap sebagai mitra bagi berbagai pemangku kepentingan khususnya pemerintah daerah dalam rangka peningkatan mutu pelayanan pendidikan.
Penelitian ini mengkaji berbagai kegiatan atau terobosan yang telah dilakukan Dewan
Pendidikan khususnya dalam kaitan peningkatan mutu pelayanan pendidikan serta kendala-kendala yang dihadapi untuk melaksanakan peran tersebut. Data dan informasi diperoleh dari data primer dan sekunder yang berasal dari hasil wawancara dan analisis informasi terkait yang dimunculkan dalam berbagai media termasuk surat kabar dan situs-situs. Secara umum, dewan pendidikan telah berpartisipasi dan memberikan kontribusi dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dengan merujuk kepada standar nasional pendidikan. Kendalakendala yang dihadapi dewan pendidikan lebih sebagai akibat belum adanya persepsi dan apresiasi yang sama dari pemerintah daerah terhadap keberadaan dan peran dari dewan pendidikan. Kata kunci: dewan pendidikan, mutu pelayanan pendidikan, masyarakat
vi
Lembar abstrak
Board of education has been established the issuance of Minister of National Education’s decree number 044/U/ 2002 concerning Board of Education and School Committee and the Government Gazette number 17 year 2010 concerning the implementation and management of education. In principle, this board plays the role as society representatives in improving quality improvement, equality and efficiency of educational management. Also, this board could play as the mediator for the needs and aspiration of society related to educational policies taken by local government and schools. This study focused on the analysis of 2 (two) main research questions, namely to what extent the stakeholders are aware of this board and its roles, and the barriers that this board encounters in its implementation. The findings showed that this board has yet to 1) be the strategic partner of the local government and schools, 2) maximally function in a number of districts/cities, and 3) contribute for the education advancement. It is recommended that the establishment of this board shall be based on the principles of transparent, accountable, and democratic. In addition, it is suggested to encourage the regular meetings between local education authorities and board of education aims for the analysis of critical issues in the local areas for its solutions. Keywords: board of education, educational management, and society 371.2 Handaru Catu Bagus (Puspendik Balitbang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, e-mail:
[email protected]/
[email protected]) Administrasi Ujian Nasional (UN) Dengan Menggunakan Model Computerized Adaptive Testing (CAT) Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 45-53 Abstrak Model Penilaian yang mengabaikan kemampuan variasi individu menyebabkan informasi yang diterima tidak akan optimal. Model computerized adaptive testing (CAT) dapat mengatasi kelemahan ini karena tingkat kesukaran soal menyesuaikan dengan kemampuan penempuh didik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektifitas, efisiensi dan keakuratan model CAT apabila digunakan sebagai alternatif pengganti model penilaian konvensional dalam ujian nasional (UN). Metodologi penelitian adalah kuantitatif komparatif. Penelit ian ini menggunakan data populasi dari jawaban penempuh didik yang mengikuti UN di propinsi Daerah istimewa Yogyakarta (DIY) tahun 2009 dengan mata pelajaran matematika dan fisika. Hasil penelitian ini terlihat bahwa jumlah soal yang dipilih oleh model CAT lebih sedikit dibandingkan dengan model PPT dan soal tersebut menyesuaikan dengan tingkat kemampuan penempuh serta terdapat hubungan yang signifikan dengan model PPT. Oleh karena itu, model CAT lebih efisien dalam hal waktu karena jumlah soal lebih sedikit dibandingkan dengan model PPT, efektif karena menyesuaikan dengan kemampuan peserta dan memiliki keakuratan yang sama dibandingkan dengan model PPT. Kata kunci: komputer, Computerized Adaptive Testing, Ujian Nasional, , penilaian, model adaptif, dan teori respon soal Assessment model that ignores individual variations ability may cause information to be un-optimally received. Model of computerized adaptive testing (CAT) can get over these weaknesses because the level of difficulty of the item is adjusted with the abilities of students. The purpose of this study is to analyze the effectiveness, efficiency and accuracy of CAT models when used as an alternative replacement of conventional assessment models in national examinations (UN). Methodology of this research was quantitative comparative. This research used population of student answers that follow the UN province of Yogyakarta in 2009 with the subjects of mathematics and physics. The results of this study showed that the number of items selected by the CAT model is less than PPT model; the ability is adjusted to the level of participants; and there is a significant correlation with the PPT model. Therefore, CAT model is more efficient in term of time because it has fewer items than PPT model. It is also effective because it is adjusted to the ability of participants yet has the same accuracy compared to the PPT model. Keywords: computerized adaptive testing, national examination, computer, assessment, adaptive model, item response theory. 371.1 Prayekti (
[email protected]) dan Rasyimah (
[email protected]) Universitas Terbuka Lesson Study Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan Alam Bagi Siswa Sekolah Dasar Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 54-64 Abstrak Tujuan penelitian ini yaitu untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa sekolah dasar (SD). Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret-April 2011. Peneliti
berkolaborasi dengan sekelompok guru IPA kelas IV dan V SD
vii
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012
Negeri
di Jakarta Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah lesson study pemahaman para guru menjadi
lebih baik dalam hal: bagaimana siswa belajar dan guru mengajar; pemanfaatan kegiatan refleksi dan pengamatan teman sejawat; pembelajaran secara sistematis berdasarkan refleksi dan masukan dari teman sejawat secara kolaboratif; menimba pengetahuan dari guru lainnya; mendokumentasikan kemajuan kerjanya; memperoleh umpan balik dari teman guru; mampu mempublikasikan dan mendiseminasikan hasil akhir dari lesson study. Hasil yang diperoleh siswa,
selain terlibat langsung dalam proses pembelajaran, kreativitas lebih meningkat baik
dalam kegiatan diskusi maupun melaksanakan percobaan IPA dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkait dengan materi yang sedang dibahas. Dalam kegiatan diskusi kelompok nampak siswa-siswa yang lebih menonjol dari teman–teman satu kelompoknya, sehingga pembelajaran IPA menjadi hidup dan kegiatan lebih terpusat pada siswa, dan lebih berkembang. Kata Kunci: lesson study, kerja sama, perencanaan, pelaksanaan, refleksi, kegiatan, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). The research objective is to improve science learning outcomes of students in elementary schools. The data was collected in March-April 2011. Researchers collaborated with a group of science teachers in grade IV and V Elementary School in East Jakarta. The results showed the existence of teachers’ better understanding about how students learn and teachers teach, benefit of the reflection and peer observation, systematic learning improvement based on reflection and input from colleagues in a collaborative manner, knowledge exchange among teachers, teachers’ documentation of their work progress, feedback exchange among teachers, and publicity and dissemination of the final results of Lesson Study. Meanwhile, the results obtained by students, in addition to direct involvement in the learning process, are the improvement of creativity in both discussion and in the establishment of science experiments upon the posed questions related to the material being discussed. In group discussions, there have been students who stand out their friends in a group. Therefore, the science learning activity becomes developed and focused on students more. Keywords : lesson study, colaborative, plan, do, check, act, and science 371 Ida Kintamani Dewi Hermawan (e-mail
[email protected]) Kinerja Pendidikan Kesetaraan Sebagai Salah Satu Jenis Pendidikan Nonformal Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 65-84 Abstrak Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis sasaran pendidikan kesetaraan, profil pendidikan kesetaraan, dan kinerja pendidikan kesetaraan. Metode yang digunakan adalah studi dokumentasi menggunakan tiga terbitan, yaitu Profil Pendidikan Kesetaraan dalam Fakta dan Angka, Statistik Pendidikan Nonformal, dan Profil Pendidikan Nonformal. Data yang digunakan pada tingkat nasional dengan menghitung lima indikator pemerataan dan tujuh indikator mutu pendidikan. Kinerja pendidikan kesetaraan diperoleh melalui rata-rata perhitungan nilai pemerataan dan mutu pendidikan kemudian dibagi dua. Hasilnya menunjukkan bahwa pemerataan Paket A yang terbesar dengan nilai 87,22 dan Paket C yang terkecil dengan nilai 79,77 sehingga rata-rata pendidikan kesetaraan sebesar 83,24. Sebaliknya, nilai mutu Paket B yang terbesar dengan nilai 64,61 dan Paket A yang terkecil dengan nilai 48,03 sedangkan rata-rata pendidikan kesetaraan sebesar 54,86. Berdasarkan nilai pemerataan dan mutu maka kinerja Paket B yang terbesar dengan nilai 73,68 dan Paket C yang terkecil dengan nilai 65,85. Dengan demikian, kinerja pendidikan kesetaraan sebesar 69,05 atau hanya tercapai kurang dari 70%. Kata kunci: potensi daerah, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pendidikan kesetaraan, kinerja This paper aims to analyze the goals, the profile and the performance of equality education. This study employs the documentation method by using the three publications: facts and figures of educational equality profile, statistics of non-formal education, and profile of non-formal education. This study analyzes the national level data attained by calculating the five indicators of equity and seven indicators of the quality of education. Performance of equality education is attained from the average value of education equity and quality. The results showed that the equity of Package A is the biggest (87.22) and the smallest is Package C (79.77), so that the average value of equity of equality education is 83.24. In contrast, the quality of Package B is the largest (64.61) and Package A is the smallest (48.03) so that the average value of quality of equality education is 54.86. On the basis of the equity and quality value, the largest performance is Package B with the value of 73.68 and the smallest is Package C with the value of 65.85. Thus, the performance of equality education only achieves 69.05 or less than 70%. Keywords: potential regions, formal education, non-formal education, equality education, and performance
viii
Lembar abstrak
371.9 Didi Tarsidi (Universitas Pendidikan Indonesia) Mengatasi Masalah-Masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia Dewasa Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 85-97 Abstrak Penelitian ini dilakukan berdasarkan berbagai teori dan temuan penelitian yang menyatakan bahwa ketunanetraan yang terjadi pada usia dewasa lebih banyak menimbulkan permasalahan daripada ketunanetraan yang terjadi pada awal kehidupan. Penelitian ini dilakukan untuk menemukan suatu model konseling rehabilitasi yang dapat digunakan untuk membantu para tunanetra dewasa mengatasi secara lebih efektif masalah-masalah psikososial yang diakibatkan oleh ketunanetraannya, agar mereka dapat memperoleh kembali kemandiriannya dan mampu mencapai kehidupan yang bermakna. Model konseling tersebut dikembangkan melalui penelitian yang dilakukan menggunakan exploratory mixed methods research design. Konstruk model dikembangkan berdasarkan data hasil studi kasus terhadap enam orang yang ketunanetraannya terjadi pada usia dewasa dan telah terbukti berhasil dalam kehidupannya, sedangkan model divalidasi dengan expert judgment dan diujicobakan dengan desain singlesubject research pada dua orang klien yang relatif baru mengalami ketunanetraan. Kata Kunci: konseling rehabilitasi, tunanetra dewasa, psikososial, dan strategi coping This research has been conducted based on various theories and research findings revealing that blindness occurring during adulthood cause more problems than that occurring earlier in life. The research has been done to find a rehabilitation counseling model that can be used to help blind adults to more effectively overcome psychosocial problems caused by their blindness so that they will be able to regain their independence and will be able to achieve meaningful life. The rehabilitation counseling Model has been developed through research using exploratory mixed methods research design. The construct of the model has been developed based on the data of case studies on six persons whose blindness occurred during adulthood and they have proved to be successful in their lives. The model has been validated with expert judgment and tried out using single-subject research design on two relatively newly blind clients. Keywords: rehabilitation counseling, adult blindness, and coping strategies. 371.3 Masganti Sit Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara (
[email protected] ) Peningkatan Kompetensi Sosial Anak Usia Dini dengan Metode Bermain Peran (Studi Kasus di Raudhatul Athfal Muhajirin-Medan) Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 98-106 Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kompetensi sosial anak usia dini dengan menggunakan metode bermain peran. Penelitian dilakukan di Raudhatul Athfal al-Muhajirin pada tahun 2010 dengan jumlah sampel sebanyak 24 orang anak. Penelitian tindakan kelas ini menggunakan model dari Kemmis (1997) dan Taggart dengan tiga siklus. Setiap siklus memiliki empat langkah yaitu:1) perencanaan; 2) tindakan; 3) pengamatan; dan 4) refleksi. Analisis data menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif. Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa metode bermain peran dilakukan dengan tiga tahapan yaitu bermain peran personifikasi, bermain peran berdua dengan menggunakan media, dan bermain peran dengan situasi sosial. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa terdapat peningkatan nilai rata-rata antara asesmen awal dan akhir tiap siklus pada nilai kompetensi sosial anak usia dini. Kata Kunci: kompetensi sosial, anak usia dini, dan metode bermain peran The objective of this research is to increase early childhood’s social competence by using role playing method. The study was conducted at Raudhatul Athfal al-Muhajirin in Medan in the year of 2010 with n = 24. This classroom action research was using Kemmis and Taggart (1997) model with three cycles. Each cycle has four steps. They are follows: 1) plan; (2) action; 3) observe; and 4) reflect. To analyze the data, qualitative and quantitative research method were used. The result of the qualitative analysis shows that the role playing method conducted with three steps are personification role playing, role playing with media, and role playing with social condition. The result of the quantitative analysis shows that there are significant differences between pre and post assessment of early childhood’s social competence. Keywords: early childhood’s social competence, and role playing method
ix
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012
384 R a s m a d i (Universitas Pamulang) Korelasi Antara Komunikasi Antarpersonal, Etos Kerja, dan Budaya Organisasi Dengan Pelayanan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 107-119 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara komunikasi antarpersonal, etos kerja, dan budaya organisasi dengan pelayanan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Penelitian dilaksanakan di Pusdiklat Pegawai Departemen Pendidikan Nasional. Penelitian mengambil sampel 90 orang, dilakukan dengan sampel acak. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa, terdapat hubungan positif antara komunikasi antarpersonal, etos kerja, dan budaya organisasi dengan pelayanan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sam a. Semakin tinggi komunikasi antarpersonal, etos kerja, dan budaya organisasi, maka semakin tinggi mutu pelayanan aparatur. Sehubungan dengan itu, upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan aparatur, dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan komunikasi antarpersonal, etos kerja, dan budaya organisasi. Kata kunci: komunikasi antarpersonal, etos kerja, budaya organisasi, dan pelayanan. The objective of the research is to study the relationship between Interpersonal Communication, Work Ethos, and Organizational Culture with Services. The survey was conducted at Training Center for Employees the Ministry of Education and Cukture (MoEC). Sample of 90 respondents were selected randomly. The study finds out that there are positive correlation, between : a) Interpersonal Comunication (X1) and Services (Y); b) Work Ethos (X2) Services (Y); c) Organizational Culture (X3) and Services (Y);
d)
and
Finally the study concludes that those three
independent variables all together show positive correlation with Services. Furthermore, the employee service could be improved by improving interpersonal communication, Work Ethos, and Organizational Culture. Keywords: interpersonal comunication, work ethos, organizational culture, and services 371.2 Rog e rs
Pak p ahan
(Pusat
Pe nilaian
Pe nd id ik an,
Jl
G unung
S ahari
Ray a,
Jak arta
Pusat,
e -mail:
[email protected]) Model Alternatif Ujian Akhir Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 121-131 Abstrak Tulisan ini dimaksudkan sebagai sumbangan pemikiran dalam penyelenggaraan ujian akhir di tingkat satuan pendidikan. Berbagai permasalahan muncul dalam pelaksanaan ujian akhir nasional sehingga diperlukan upaya perbaikan melalui pembentukan lembaga penilaian mandiri dan model penyiapan bahan ujian. Penyusunan bahan ujian dilakukan dalam dua model. Model pertama merupakan penyusunan kisi-kisi oleh sekolah/daerah dan soal disusun oleh lembaga penilaian atau sebaliknya kisi-kisi disusun lembaga penilaian dan soal disusun oleh sekolah atau lembaga independen. Model kedua, soal disediakan oleh lembaga penilaian atau soal disiapkan oleh sekolah. Pada setiap model lembaga penilaian berperan untuk penetapan skor dari seluruh peserta ujian sehingga skala berlaku nasional. Untuk itu, lembaga penilaian menyetarakan skor atau nilai yang dikeluarkan sekolah, sehingga nilai tersebut dapat digunakan untuk sertifikasi, pemetaan mutu, dan untuk seleksi penerimaan siswa baru. Penentuan standar skor dilakukan melalui serangkaian pertimbangan dengan mengacu pada kemampuan peserta ujian. Standar skor setiap tahun dapat diubah sesuai dengan perkembangan pencapaian kompetensi siswa setiap tahun. Kata kunci: ujian akhir, lembaga penilaian, kisi-kisi, bahan ujian moderasi, dan tes This paper is intended as a contribution of idea to the implementation of final examination at the education unit level. Various problems arising in the implementation of the national final examination require improvement efforts through the establishment of an independent assessment agency and an examination material preparation model. Preparation of test materials is done in two models. The first model is the map of questions is prepared by the school/regional office of education and the question is prepared by the assessment body or the map is prepared by the assessment body while the question is prepared by the school/independent body. The second model, the questions are prepared by the assessment body or the questions are prepared by the school. At each model, the assessment body plays its role to set the score for all examinees so that the scale can be applied nationally. It is therefore the assessment body equalizes the score or grade given by the school so that the score can be used for certification, quality mapping, and enrollment. Determination of score standard is done through a series of considerations with reference to the ability of the examinee. The score standard may be changed pursuant to the student’s competence achievement at every year. Keywords: final exam, assessment agency, map of questions, moderation examination materials, and tests
x
Lembar abstrak
371.2 S ud ary ono
(S TMIK
Raharja
Tang e rang ,
Jl.
Je nd .
S ud irman
No.
40
Cik ok ol-Tang e rang ,
e mail:
[email protected]) Kajian Metode Deteksi Differential Item Function (DIF) Butir Soal Ujian Nasional dengan Teori Tes Klasik Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 132-144 Abstrak Tujuan umum kajian ini dimaksudkan untuk menjelaskan berbagai metode pendeteksian keberadaan Differential Item Function (DIF) pada butir-butir soal ujian nasional dengan teori tes klasik. Tujuan khusus penulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan: 1) berbagai metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan DIF pada butir soal ujian nasional berdasarkan teori tes klasik (classical test theory); dan 2) kelebihan dan kekurangan masing-masing metode yang digunakan dan mengetahui metode mana yang paling sensitif dalam mendeteksi keberadaan DIF butir soal ujian nasional. Permasalahan kajian ini adalah: 1) metode apa saja yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan DIF pada butir soal ujian nasional berdasarkan teori tes klasik?; 2) metode mana yang paling sensitif dalam mendeteksi keberadaan DIF pada butir soal ujian nasional tersebut berdasarkan teori tes klasik. Metodologi yang digunakan adalah melakukan kajian pustaka dari buku-buku, jurnal-jurnal dan telaah hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Ada banyak cara untuk mendeteksi butir bias dan uji tes bias pada skor yang dicapai melalui teori skor klasik, yaitu: korelasi kelompok tunggal, korelasi diferensial, prosedur diskriminasi butir, metode plot delta, metode Standarisasi, metode Chi-square Scheuneman, metode Chi-square Camilli, metode Mantel-Haenszel, prosedur standar yang telah dikembangkan oleh Dorans dan Kulick, dan metode estimasi bias butir dengan Analisis Faktor Konfirmatori. Kata kunci: differential item function, butir soal ujian, teori tes klasik, plot delta, dan estimasi bias butir The general objective of this study is intended to explain the various methods of detecting the existence of Differential Item Function (DIF) in items of national exam with classical test theory. While the specific purpose of writing the article is intended to explain: 1) the various methods that can be used to detect the presence of DIF in items of national exam based on classical test theory, and 2) the advantages and disadvantages of each method used and find out which method is most sensitive in detecting the presence of DIF items the national exam. Problems of this study are: 1) what methods can be used to detect the presence of DIF in items based on the national exam classical test theory? 2) which method is most sensitive in detecting the presence of DIF in items such national exam based on classical test theory. The methodology used is to review literature from books, journals and study the results of research that has been done. There are many ways to detect item bias and bias test the scores achieved by the theory of classical scores, namely: single group validity, differential validity, item discrimination procedure, the delta plot method, methods of standardization, Scheuneman chi-squared approach, Camilli chi-square approach, Mantel-Haenszel method, a standard procedure which has been developed by Dorans and Kulick, and item bias estimation method with Confirmatory factor Analysis. Keywords: differential item function, item national exam, classical test theory, the delta plot, and estimate the DIF 371.3 Leo Agung S. (Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan PIPS FKIP-UNS Surakarta, Jl. Ir. Sutami, Kampus Kentingan Surakarta, e-mail:
[email protected]) Implementasi Model Pembelajaran IPS Terpadu (Suatu Studi Evaluatif di SMP Kota Surakarta) Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 145-155 Abstract Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui implementasi model pembelajaran IPS Terpadu di SMP Kota Surakarta; 2) mengidentifikasi faktor-faktor penghambat, dan 3) mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh guru IPS dalam meningkatkan profesionalisme. Penelitian ini merupakan studi evaluasi dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Bentuk penelitian cenderung menggunakan studi kasus tunggal. Subyek penelitian, yaitu guru-guru IPS di SMP/MTs Kota Surakarta. Teknik dan alat pengumpul data yang digunakan, yaitu: wawancara, observasi, dan mencatat arsip serta dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) dalam implementasinya pembelajaran IPS di SMP/MTs masih terdapat banyak perbedaan. Ada yang melaksanakan pembelajaran IPS terpadu secara penuh, setengah terpadu, dan tidak terpadu; 2) hambatan yang dihadapi, antara lain: (a) kurang pemahaman/penguasaan terhadap materi di luar bidangnya; (b) kurangnya pengetahuan dan pemahaman modelmodel pembelajaran IPS Terpadu; (c) kesulitan dalam menerapkan konsep pembelajaran IPS Terpadu; dan (d) sikap skeptis dari guru IPS itu sendiri; 3) upaya yang dilakukan guru IPS dalam meningkatkan kompete nsi profesionalnya, antara lain: (a) bertanya kepada guru IPS yang lain; (b) membaca buku-buku referensi tentang
xi
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012
IPS; (c) mengikuti pelatihan, sosialisasi, workshop, seminar, semiloka; dan (d) berbagai (sharing) pengalaman. Kata kunci: model pembelajaran, IPS terpadu, studi evaluasi, guru IPS, dan Sekolah Menengah Pertama The objective of this study is: 1) to obtain information in relation to the implementation of instructional model of integrated social science at Junior Secondary School in Surakarta City; 2) to identify the inhibiting factors; and 3) to know some efforts performed by Social Science teachers to enhance their professionalism. This study is an evaluation study using qualitative-descriptive research method. This research tends to use a single case study. The subject of this research is Social Science teachers of SMP/MTs (Junior Secondary School/Islamic Junior Secondary School) in Surakarta City. The data was collected through interviews, observation, and archival records and documents. The findings showed that: 1) there were still many differences in the implementation of Social Science instruction at SMP/MTs. There were teachers who delivered Social Science in integrated way, semi integrated and partially; 2) there were many obstacles faced by the teachers, among others: (a) lack of understanding/mastery of the material outside their competency, (b) lack of knowledge and understanding of instructional models of Integrated Social Science, (c) difficulties to apply the instructional concepts of Integrated Social Science, and (d) a skeptical attitude of Social Science teachers; 3) some efforts performed by Social Science teachers to improve their professionalism, among others: (a) asking other Social Science teachers, (b) reading Social Science-related reference books, (c) attending training, socializaion, seminar, workshop, and (d) sharing experiences. Keywords: instructional model, integrated social science, evaluation study, social science teachers, and Junior Secondary School. 371.3 Munir Tanrere dan Sumiati Side (Jurusan Kimia FMIPA UNM Makassar, Jl. Daeng Tata, Parang Tambung) Pengembangan Media Chemo-Edutainment Melalui Software Macromedia Flash MX pada Pembelajaran IPA Kimia SMP Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 156-162 Abstract Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menghasilkan media pembelajaran berupa CD interaktif chemo-edutainment yang memanfaatkan software macromedia flash
dalam pembelajaran Kimia SMP;
2) menguji keterandalan dan
efektivitas pembelajaran dengan menggunakan CD interaktif chemo-edutainment melalui pembelajaran di sekolah. Hasil penelitian tahun pertama adalah CD pembelajaran interaktif untuk materi pokok asam, basa, dan garam. Kesimpulan hasil penelitian, yaitu: 1) media CD pembelajaran dapat digunakan dengan
baik oleh siswa; 2)
media CD pembelajaran adalah efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Kata kunci: pembelajaran kimia, macromedia flash, CD pembelajaran interaktif, chemo-edutainment, dan hasil belajar. The aims of this research are: 1) to produce an interactive instructional CD - Chemo-edutainment that utilizes macromedia flash software for Chemistry instruction at Junior Secondary School; 2) to examine the reliability and effectiveness of learning by using interactive instructional CD - Chemo-edutainment through instruction at school. The products in the first year of research are an interactive instructional CD for main material of acid, base and salt. The conclusions of the study are:
1) the instructional CD media can be used well by students; and 2) the
instructional CD media is effective for improving student learning outcomes. Keywords: teaching learning media, macromedia flash, chemo-edutainment, chemistry instruction, interactive instructional CD, and learning outcomes. 370.1 S ub ijanto (S e kre tariat B alitbang Kemd ik b ud , Jln. Je nde ral S ud irman, Se nayan-Jak arta Pusat, e -mail:
[email protected]) Analisis Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah Menengah Kejuruan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 163-173 Abstract Tujuan penulisan artikel ini dimaksudkan untuk menganalisais perkembangan pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di SMK. Permasalahan yang dirumuskan: 1) bagaimana kondisi sarana dan prasarana pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di SMK?; 2) bagaimana pola kerjasama yang dilakukan antara SMK dengan dunia usaha/dunia industri? 3) bagaimana pengelolaan SMK khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan? Hasil analisis menunjukkan bahwa: 1) penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan belum didukung oleh sarana dan
xii
Lembar abstrak
prasarana pelatihan/praktik yang memadai; 2) pola kerjasama penyelenggaraan pendidikan
kewirausahaan
antara SMK dengan dunia usaha dan industri (DUDI) belum dirumuskan secara operasional; dan 3) penyelenggara pendidikan kejuruan belum dikelola secara optimal, khususnya dalam hal kerjasama dan sharing berbagai sarana pembelajaran. Kata kunci: pendidikan kewirausahaan, sekolah menengah kejuruan, model kolaborasi, dunia usaha/industri The objective of this article is to analyze the development of implementation for entrepreneurship education at senior vocational school. The problem formulation of this article are as follow: 1) how is the condition of facilities and infrastructure for implementation of entrepreneurship education at senior vocational school?; 2) how is the model of collaboration between Senior Vocational School and business/industry?; 3) how is the management of Senior Vocational School particularly for the implementation of entrepreneurship education? The result of analysis shows that: 1) the implementation of entrepreneurship education has not yet supported by sufficient facilities and infrastructure for training/practice; 2) collaboration model for the implementation of entrepreneurship education between Senior Vocation School and business or industry has not formulated operationally; and 3) the vocational education has not yet managed optimally, particularly in term of collaboration and sharing of various learning facilities. Keywords: entrepreneurship education, the model of collaboration, senior vocational school, and business/industry. 371.3 I Made
Astra, Umiatin, dan Dian Ruharman (Jurusan Fisika, FMIPA,Universitas Negeri Jakarta Kampus B, Jalan
Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur, e-mail:
[email protected]) Aplikasi Mobile Learning Fisika dengan Menggunakan Adobe Flash Sebagai Media Pembelajaran Pendukung Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 174-180 Abstract Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan media pembelajaran pendukung berbentuk mobile learning p ada materi esensial untuk siswa SMA. Mobile learning yang dibuat dijalankan pada handphone yang mendukung flash player terutama berbasis symbian S60 3rd. Metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode penelitian dan pengembangan (Research and Development). Tahap pertama dibatasi pada materi perpindahan kalor. Uji coba aplikasi dilakukan kepada 2 orang dosen ahli materi dan 2 orang ahli media, dan 2 guru fisika SMA, serta 44 siswa SMA Diponegoro 1 Jakarta. Indikator yang digunakan untuk menilai media pembelajaran yang dibuat, yaitu kesesuaian isi dan tujuan, kesesuaian pembelajaran dan kualitas teknis . Nilai dari ketiga indikator berada di atas 80%, sehingga mobile learning yang dibuat dikategorikan sangat baik. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran berbentuk mobile learning
dapat dijadikan sebagai media pembelajaran
pendukung pada pelajaran Fisika untuk siswa SMA. Kata kunci: media pembelajaran, mobile learning, perpindahan kalor, Fisika, dan SMA The objective of this research is to create a supporting instructional media in the form of mobile learning of main material for Senior Secondary School students. The created mobile learning was played on mobile phone that supports flash player, mainly Symbian S60 3rd-based mobile phone. The method applied in this research was research and development. The first step was limited on material of heat transfer. The trial of application was conducted to 2 specialized lecturers, 2 media experts, 2 Physics teachers of Senior Secondary School, and 44 students of Diponegoro Senior Secondary School, Jakarta. Indicators used to assess the created instructional media were appropriateness of the content to the purpose, appropriateness of instruction to the technical quality. Marks of the three indicators were above 80%, so that the created mobile learning was categorized as very good. Based on the findings, it may be concluded that the instructional media in the form of mobile learning can be used as a supporting instructional media for Senior Secondary School students to learn Physics subject. Keywords: instructional media, mobile learning, heat transfer, physic subject, and Senior Secondary School. 371.7 Hayadin (Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama RI. Jl. Lapangan Banteng, Jakarta Pusat) Pengelolaan Guru Pendidikan Agama dalam Konteks Desentralisasi Pendidikan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 181-191 Abstract Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan proses pengelolaan guru pendidikan agama di era desentralisasi pendidikan di Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah. Penelitian ini merupakan studi kasus yang bersifat kualitatif
xiii
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012
yang dilakukan pada tahun 2010. Pengumpulan data dilakukan secara langsung di Kota Palangkaraya, dengan sumber data primer dan sekunder yang berasal dari data dan dokumen yang diperoleh di kantor Kementerian Agama, Dinas Pendidikan dan Badan Kepegawaian Daerah Kota Palangkaraya. Untuk mengumpulkan data tersebut, peneliti menggunakan metode wawancara, dan studi dokumen, dengan instrumen pedoman wawancara dan cheklist kelengkapan dokumen. Proses verifikasi data melalui triangulasi kepada beberapa narasumber terhadap satu isu yang diteliti dilakukan untuk menjamin keabsahan dan kebenaran data yang diambil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) rekruitmen tenaga pendidik guru pendidikan agama di era desentralisasi turut dilakukan oleh pemerintah daerah Kota Palangkaraya dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan guru agama di daerah tersebut. Hal tersebut karena jumlah tenaga kependidikan yang diangkat oleh pemerintah pusat (c.q, Kementerian Agama RI) masih sangat kurang; 2) dalam proses pembinaan karir dan kesejahteraan, tenaga pendidik guru pendidikan agama mendapatkan perlakuan yang sama dengan guru lainnya; 3) kondisi sosial politik dan kejelasan Peraturan Badan Kepegawaian Daerah tentang Manajemen Pegawai Daerah merupakan salah satu faktor pendukung dari pengelolaan guru pendidikan agama di Kota Palangkaraya. Kata kunci: desentralisasi pendidikan, pengelolaan guru, guru pendidikan agama, pengadaan guru pendidikan agama, dan pembinaan karir guru pendidikan agama. The objective of this study is to describe the process of managing religious education teachers in the era of decentralization of education in Palangkaraya City, Central Kalimantan Province. This study was a case study – qualitative in nature which was conducted in 2010. The data was collected directly in
Palangkaraya City using
primary and secondary data sources, which is information and document from office of the Ministry of Religious Affairs, education office, and local personnel board of Palangkaraya City. To collect the data, the researcher used interview and document study with interview sheets and checklist. The data was verified through triangulation to some resource persons in relation to the one research problem in order to ensure the validity and reliability. The findings showed that: 1) recruitment of religious education teachers was also conducted by Palangkaraya local administration in order to meet the requirement of religious teachers in the city because the number of teachers appointed by the central government (cq, Ministry of Religious Affairs) is so small; 2) In the process of career development and welfare, religious education teacher is treated with the same respect as other teachers; 3) Social-political conditions and the clarity of Regional Personnel Board Regulation concerning management of local personnel are other factors contributing to the management of religious education teachers in Palangkaraya City. Keywords: decentralization of education, teacher management, religious education teachers, provision of religious education teachers, career development of religious education teachers. 791.5 Sunardi (Institut Seni Indonesia Surakarta,
Jalan Ki Hajar Dewantara No 19, Kentingan, Jebres – Surakarta, e-
mail:
[email protected]) Konsep Rasa dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 192-203 Abstrak Tulisan ini bertujuan membahas konsep rasa dalam pertunjukan wayang kulit purwa. Konsep rasa dipergunakan sebagai landasan utama dalam menyajikan dan mengapresiasi pertunjukan wayang. Rasa dihadirkan dalang melalui ekspresi unsur-unsur pertunjukan wayang, yaitu bahasa, gerak, dan musik dalam kesatuan lakon wayang. Ada empat rasa dominan yang selalu muncul dalam pertunjukan wayang, yaitu rasa regu (agung), sedhih (sedih), dan greget (semangat), serta prenès (asmara dan humor). Dalam pertunjukan wayang, rasa hadir dalam berbagai pola, seperti: oposisi berpasangan dan siklus. Rasa menjadi konsep kunci untuk memahami pertunjukan wayang. Kata kunci: konsep rasa, pertunjukan wayang, dalang, dan pola estetika This article aims to discuss the concept of rasa in a wayang performance. The concept of rasa is used as the main basis in presenting and appreciating a wayang performance. Rasa is presented by the puppeteer (dalang) through the expression of the wayang performance elements, such as language, movement, and music in the unity of puppet story. There are four dominant rasa, which always emerge in every wayang performance, that is rasa regu (exalted), sedhih (sad), greget (enthusiasm), and prenes (love and humor). In a wayang performance, these rasa present in a various patterns, such as coupled opposition and cycle. The rasa has become the key concept in understanding a wayang performance. Keywords: the sense of concept, wayang performance, puppeteer, and aesthetic patterns
xiv
Lembar abstrak
495.5 Fanny Henry Tondo (Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI), Email:
[email protected]) Bahasa Minoritas Hamap dalam Perkebunan Jagung: Tinjauan Etnolinguistik Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 204-215 Abstrak Artikel ini mengkaji bentuk-bentuk bahasa yang digunakan oleh orang Hamap di perkebunan jagung. Studi kualitatif ini bersifat interdisipliner, karena menggabungkan dua disiplin ilmu, yaitu linguistik dan antropologi (etnolinguistik). Berdasarkan perspektif ini, ditemukan bahwa dalam era modern sekarang ini orang Hamap masih mempertahankan tradisi asli mereka. Tradisi ini dapat ditemukan pada saat penanaman jagung yang diekspresikan melalui namanama alat perkebunan, jagung dan bagian-bagiannya, proses penanaman jagung, dan nyanyian tradisi yang menyertai penanaman jagung. Bentuk-bentuk bahasa ini secara implisit menggambarkan bahwa meskipun tergolong minoritas dan berpotensi terancam punah, bahasa Hamap masih digunakan dalam perkebunan jagung. Kata Kunci: bahasa minoritas, bentuk bahasa, perkebunan jagung, bahasa yang terancam punah, dan etnolinguistik. This objective of this article is to analyze the linguistic forms used by Hamap people in a corn plantation. This qualitative study is interdisciplinary, because it combines two scientific disciplinaries, namely li nguistics and anthropology (ethnolinguistics). Based on this perspective, it is found that in this modern era Hamap people still retain their original traditions. The traditions can be found in the corn plantation which is expressed by the names of plantation tools, corn and its traditional names, the process of corn plantation, and traditional songs accompanying the corn planting process. These linguistic forms implicitly describe that although Hamap language is minor and includes potential endangered language it is still used in the corn plantation. Keywords: minor language, linguistic forms, corn plantation, potential endangered language, and ethnolinguistics 370.1 Siswantari (Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang Kemdikbud, Jalan Jenderal Sudirman, Senayan - Jakarta Pusat, e-mail:
[email protected] ) Kompetensi Keahlian di SMKN 6 Pertanian Jeneponto Sulawesi Selatan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 216-227 Abstrak Tujuan studi ini dimaksudkan untuk meneliti kesenjangan kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia usaha/industri (DUDI) dengan yang dihasilkan oleh SMKN 6 Jeneponto, Sulawesi Selatan. Studi dilaksanakan, karena terdorong oleh rendahnya lulusan SMK yang diserap oleh dunia kerja. Fokus studi terkait dengan kompetensi yang perlu dikembangkan oleh SMK sesuai dengan potensi daerah dan kebutuhan DUDI. Pengumpulan data penelitian dilaksanakan melalui wawancara dengan para pemangku kepentingan. Hasil studi menunjukkan bahwa SMK belum mengembangkan kompetensi yang dibutuhkan oleh mitra kerjasama lokal. Kata kunci: sekolah menengah kejuruan, pengembangan kompetensi, pengembangan pendidikan,
potensi lokal,
dan kebutuhan dunia industri. The aims of this study is to investigate the gap between industrial needs and the competences earned at vocational school of agricultural that has been conducted at SMK 6 Jeneponto, South Sulawesi. The study was motivated by the fact that the SMK 6 alumni are suffered from unemployed. The investigation has been performed through interview with stakeholders and focused on how the competency development conducted at the school could fulfill the local industry needs. It has been found that the school lacks of competences which are required by the local partners. Keywords: vocational school, competency development, education development, local potential, and industry needs. 371.2 Soebagyo Brotosedjati (FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo Jl. Letjen Sudjono Humardani No. 1 Kampus Jombor Sukoharjo, e-mail:
[email protected]) Pengaruh Supervisi Kunjungan Kelas oleh Kepala Sekolah dan Kompensasi terhadap Kinerja Guru SD Negeri di Kecamatan Sukoharjo Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 229-243
xv
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh
supervisi kunjungan kelas oleh kepala sekolah
dan kompensasi terhadap kinerja guru. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional kausal. Sampel penelitian ini adalah 170 guru SD Negeri se Kecamatan Sukoharjo. Pengumpulan data menggunakan angket. Data hasil penelitian dianalisis dengan bantuan komputer program SPSS Versi 17. Hasil peneli tian menunjukkan bahwa: 1) ada pengaruh yang signifikan supervisi kunjungan kelas oleh kepala sekolah terhadap kinerja guru; 2) ada pengaruh yang signifikan kompensasi terhadap kinerja guru; dan 3) secara bersama-sama ada pengaruh yang signifikan supervisi kunjungan kelas oleh kepala sekolah dan kompensasi terhadap kinerja guru. Kompensasi mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada supervisi kunjungan kelas oleh kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru SD. Kata kunci: supervisi kunjungan kelas, kompensasi, dan kinerja guru. This study aimed to determine whether there is an effect of classroom visit supervision by the principal and compensation to teacher’s performance. This study uses a quantitative approach to causal correlation. The sample was 170 elementary school teachers in Sukoharjo District. Data collection was using questionnaires. Data were analyzed with the aid of a computer program SPSS version 17. The results showed that: 1) there was a significant effect of classroom visit supervision by principals on teacher performance, 2) there is a significant influence of compensation to teacher’s performance, and 3) simultaneously there is a significant influence of a classroom visit supervision by principals and compensation to teacher’s performance. Compensation has a greater influence than the classroom visits supervision by principals in improving the performance of elementary school teachers. Keywords: classroom visit supervision, compensation, and teachers’ performance. 371.1 Herry Widyastono (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Kemdikbud Jl. Gunung Sahari IV - Jakarta Pusat, email:
[email protected] ) Kemampuan Guru dalam Menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 244-253 Abstrak Studi bertujuan untuk memperoleh informasi tentang kemampuan guru dalam menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan. Studi ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan September 2011. Responden berasal dari
Jakarta, Bekasi, Depok, Bogor, dan
Tangerang sebanyak 150 orang guru yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Terdiri atas 30 orang guru SD, 50 orang guru SMP, dan 70 orang guru SMA, mengajar Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam,
Fisika, Kimia,
atau Biologi. Teknik pengolahan datanya adalah studi analisis dokumen. Triangulasi dilakukan dengan cara diskusi fokus di dalam kelas (6 kelas), yang kemudian dilanjutkan dengan wawancara mendalam
terhadap orang-orang
tertentu untuk memvalidasi data dan informasi. Hasil studi menyimpulkan bahwa kemampuan guru dalam menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan (silabus), yang meliputi komponen: 1) standar kompetensi; 2) kompetensi dasar; 3) materi pokok; 4) kegiatan pembelajaran; 5) indikator; 6) penilaian; 7) alokasi waktu; dan 8) sumber belajar, masih sangat rendah, bahkan kebanyakan hanya mengadopsi kurikulum dari satuan pendidikan lain atau dari penerbit buku yang belum tentu sesuai dengan satuan pendidikannya. Oleh karena itu, disarankan kepada pemerintah pusat agar melakukan penataan ulang kurikulum tingkat satuan pendidikan
menjadi kurikulum tingkat
nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan. Kata kunci: kemampuan guru, kurikulum tingkat satuan pendidikan, silabus. The objective of the study is to obtain the information on the teachers’ ability
in enacting the school-based
curriculum. This is a descriptive research using qualitative approach. The data collection was conducted in September 2011. The respondents of the research are from Jakarta, Bekasi, Depok, Bogor, and Tangerang as much of 150 teachers, and they are chosen based on the purposive technique sampling. They consist of 30 primary teachers, 50 junior high teachers, and 70 senior high teachers. Some of whom are teaching Math, Science, Physics, Chemistry, or Biology. The data of the document is analised, and the triangulation was conducted through focus discussion in a classroom (6 classroom), which then be continued by interviewing comprehensively to some of them in order to get the valid data. The research concludes that the teachers’ ability in writing up school-based curriculum (syllabus) which comprises the components of 1) standard competence; 2) basic competence; 3) core content; 4) learning activities; 5) indicator; 6) evaluation; 7) time allotment; and 8) learning resource are still very low and even most of them merely adobt other school curriculum or using them
produced by book-publishers which are not actually
suitable to themselves. It is therefore, advisable that the government should do some serious effort to redesign
xvi
Lembar abstrak
the in effect curriculum to become the national, province, district, and school curriculums. Keywords: the teachers’ ability, school-based curriculum, syllabus. 378.1 Simon Sili Sabon (Puslitjak, Balitbang Kemdikbud, Jl. Jenderal Sudirman, Senayan Jakarta Pusat, e-ma il:
[email protected] ) Potensi TIK dalam Meningkatkan Daya Tampung LPTK bagi Guru dalam Jabatan di Sulawesi Selatan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 254-263 Abstrak Tujuan studi ini dimaksudkan untuk: 1) mengidentifikasi berbagai jenis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang saat ini dimanfaatkan LPTK dalam perkuliahan dan 2) mengidentifikasi berbagai jenis TIK lainnya yang berpotensi dapat dimanfaatkan LPTK. Studi ini merupakan suatu studi kasus yang dilakukan di Sulawesi Selatan. Pengumpulan data studi ini menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD) dengan pihak-pihak yang berkepentingan dalam peningkatan kualifikasi akademik guru dalam jabatan. Temuan studi adalah: 1) jenis-jenis TIK yang digunakan oleh LPTK saat ini antara lain komputer/laptop, LCD atau in-focus dan juga pemanfaatan teknologi internet. Pada umumnya jenis TIK yang digunakan ini hanya sebagai pelengkap atau suplemen saja, yaitu memperlancar perkuliahan. Pemanfaatan jenis TIK ini belum dapat meningkatkan daya tampung LPTK; 2) dari berbagai jenis TIK yang berpotensi meningkatkan daya tampung LPTK bagi guru dalam jabatan yaitu televisi dan radio. Selain itu, materi kuliah yang disimpan dalam bentuk kaset/CD/VCD/DVD akan sangat bermanfaat dalam meningkatkan daya tampung LPTK. Kata kunci: TIK, guru dalam jabatan, dan kualifikasi akademik guru The goals of this study are: 1) to identify various kinds of Information and Communication Technology (ICT) which are currently used by teacher’s colleges (TC) in lecturing process, and 2) to identify any other kinds of ICT’s which can be used by TC. This study is a case study conducted in South Sulawesi. The data collecting method is Focus Group Discussion (FGD) with the stakeholders of the academic qualification upgrading of the in-service-teachers. Study findings are: 1) the currently ICT used by TC are computer/laptop, LCD/in-focus and also internet technology. The use this kinds of ICT is only as supplement, just for smoothing the lecturing process. The use of this kinds of ICT is not yet for increasing the capacity of TC; 2) among the various kinds of ICT which are potential to increase the capacity of TC are television and radio. Besides that, the lecturing materials saved in the form of cassette/CD/ VCD/DVD will be very useful for increasing the capacity of TC. Keywords: ICT, in-service-teachers, and teacher’s academic qualification 371.1 Eka Kasah Gordah (Program Studi Pendidikan Matematika, STKIP PGRI Pontianak, e-mail:
[email protected]) Upaya Guru Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis Peserta Didik melalui Pendekatan Open Ended Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 264-279 Abstrak Tujuan penelitian ini yaitu untuk melihat peningkatan kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis peserta didik dalam pembelajaran matematika melalui pendekatan open ended. Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 9 Bandung pada tahun pelajaran 2008/2009. Sampel penelitian dipilih dua kelas dari delapan kelas yang ada pada kelas X semester genap dengan teknik purposive sampling. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan desain penelitian “disain kelompok kontrol pretes-postes”. Adapun hasil penelitian ini adalah pembelajaran melalui pendekatan open ended dapat meningkatkan kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis peserta didik yang lebih baik daripada pembelajaran konvensional. Pembelajaran melalui pendekatan open ended dapat meningkatkan kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis peserta didik dengan kualitas peningkatan tergolong sedang. Kata Kunci: pendekatan open ended, koneksi, pemecahan masalah, dan masalah matematis The purpose of this study is to study increased connections abilities and mathematical problem solving of the student in the learning of mathematics through open-ended approach. This research was conducted at SMA Negeri 9 Bandung in the academic year of 2008/2009. The sample of this research was two classes of the eight available classes of grade X of even semester which were selected by using purposive sampling technique. The method used experimental method by using “pretest-postest group control design”. The results of this research was
xvii
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012
learning through open-ended approach could increase the ability of connections and solving mathematical problems of the students which was better than conventional learning. Learning through open ended approach could increase the ability of connections and solving mathematical problems of the students in the average level. Keywords: open ended approach, connection, problem solving, and mathematics problems 331.7 Nugroho Trisnu Brata (Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, e-mail:
[email protected]) Korelasi Budaya Perkebunan dan Fenomena “Buruh Borong” Perkebunan Sawit di Kalimantan Barat Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 280-293 Abstrak Tujuan penulisan risalah artikel ini mengkaji fenomena kebudayaan masyarakat yang kemudian dihubungkan dengan keberadaan pekerja “buruh borong” di area perkebunan sawit. Setiap kebudayaan masyarakat diasumsikan memiliki karakter yang tergantung pada konteks spasial (tempat) maupun temporal (waktu). Salah satu aspek kebudayaan adalah nilai budaya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah, “Nilai apa saja yang menjadi penuntun komunitas buruh borong (BB) dalam bekerja di area perkebunan sawit?”. Metode penelitian yang digunak an adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian dilakukan selama satu bulan di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang bekerja di perkebunan sawit latar belakangnya berbeda-beda. Nilai-nilai budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan ternyata juga muncul dalam fenomena para pekerja perkebunan. Konsep nilai menjadi konsep kunci dalam teori tindakan (theory of action). Bekerja sebagai fenomena sosial pun bisa diletakkan di atas kerangka pikir orientasi nilai maupun teori tindakan. Pada kelompok pekerja “buruh borong” terdapat nilai saling percaya, nilai kebersamaan, nilai perlawanan kultural, nilai religi, relasi patron-klien, dan nilai ketekunan. Kata kunci: buruh borong, perkebunan, sawit, nilai, dan fenomena kebudayaan This essay aims at analyzing a connection of a community cultural phenomenon in oil palm plantation area and the existence of ‘buruh borong’. Each community cultural phenomenon is assumed to have characteristic which depend on both spatial and temporal context. One of cultural aspects is cultural value. The problem scope of this research is cultural value which guide the buruh borong (BB) in oil palm plantation area. Qualitative method is applied on the research. The research lasts for a month on field. The result of the research shows that the people working in oil palm plantation have various background. Cultural values as parts of culture appear in the phenomenon of plantation workers. The concept of value is the main concept in theory of action. Working as a social phenomenon is also done in the framework of value orientation and theory of action. Among the workers of buruh borong, there are values of
trusting each other, togetherness, cultural defence, religion, patron-client relation, and diligence.
Keywords: buruh borong, plantation, palm oil, value, and culture phenomena 371.4 Ida Kintamani Dewi Hermawan (Pusat Data dan Statistik Pendidikan, Sekretariat Jenderal Kemdikbud, Jl. Sudirman, Senayan - Jakarta Pusat, e-mail:
[email protected] ) Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Pengumpulan Data Pendidikan Nonformal Tidak Tepat Waktu dan Tidak Berkualitas Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 294-309 Abstrak Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor-faktor penyebab pengumpulan data pendidikan nonformal (PNF) tidak tepat waktu dan tidak berkualitas. Metode yang digunakan yakni survei dengan populasi dinas pendidikan kabupaten/kota di seluruh Indonesia, sedangkan metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan teknik analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tujuh faktor, yaitu pemahaman pendataan, sumber daya manusia, dukungan dinas pendidikan kabupaten/kota, dana, infrastruktur pendataan, monitoring dan evaluasi, dan kondisi geografis yang mempengaruhi pengumpulan data PNF tidak tepat waktu dan tidak berkualitas, terdapat empat faktor yang sangat mempengaruhi. Keempat faktor tersebut ialah dukungan dari dinas pendidikan kabupaten/kota (26,00%), monitoring dan evaluasi (31,57%), dana (32,25%), dan infrastruktur (39,40%). Bila ketujuh variabel tersebut digabungkan, maka rata-rata sebesar 36,75% berarti juga sangat mempengaruhi pengumpulan data PNF tidak tepat waktu dan tidak berkualitas. Dengan demikian, disarankan agar ada dukungan dari dinas pendidikan kabupaten/kota terhadap pendataan PNF,
monitoring dan evaluasi
pendataan PNF di tingkat satuan pendidikan sampai kabupaten/kota dapat dilaksanakan, dukungan dana bagi pengelola pendataan PNF dan peningkatan infrastruktur, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Kata kunci: pendidikan nonformal (PNF), pengumpulan data, tidak tepat waktu, tidak berkualitas, dan dukungan dinas
xviii
Lembar abstrak
The purpose of this research is to find out the cause of the factors in the Non-formal education collection of data not timely and not quality. The method used is the population of the survey in office of education at district level throughout the country. The taking of a sample of the method used is a purposive sampling techniques and
of
analysis with a descriptive . The result showed that seven of the factors, these are the understanding , human resources , the support of the office of education at district level, the fund, monitoring and evaluation , infrastructure; and geography affect the collection of data of Non-formal education not timely and not quality and there are four factors
that are strongly influence.
The four factors
are the support of the office of education at district level
(26,00%), monitoring and evaluation (31,57%), funding (32,25%), and infrastructure (39,40%). When these variables are combined then the average by 36,75% means also greatly affects the data collection of the Non-formal education did not timely and not quality. Thus, it is recommended that the support of the Non-formal Education service by Office of education at district level, monitoring and evaluation at the unit level in the case of the Nonformal Education can be implemented. In addition, the necessary support funding for the logging manager and and the improvement of the infrastructure both in quantity as well as quality. Keywords: nonformal education, data collection, not on time, not qualified, and official support 379.1 Subijanto dan Siswo Wiratno (Pusat Penelitian dan Kebijakan, Balitbang Kemdikbud Jl. Jenderal Sudirman, Senayan-Jakarta, e-mail:
[email protected]; swiratno2002@yahoo com) Analisis Kinerja Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 310-318 Abstrak Tujuan dari analisis ini dimakudkan untuk memperoleh data dan informasi tentang kinerja BAN S/M. Permasalahan yang dirumuskan antara lain: 1) berapa banyak satuan pendidikan yang telah diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah bekerja sama dengan Badan Akreditasi Propinsi (BAP); 2) Bagaimana ketersediaan tenaga asesor untuk melakukan akreditasi pada setiap jenis dan jenjang satuan pendidikan; 3) sejauh mana hasil akreditasi pada satuan dan jenis pendidikan disosialisasikan secara internal dan dipergunakan sebagai acuan dalam mencapai layanan pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Hasil analisis menunjukkan bahwa sekalipun jumlah asesor terbatas: 1) Tata kelola BAN S/M cukup efektif dengan telah diakreditasinya 212.137 satuan pendidikan dan program keahlian selama kurun waktu 5 tahun; 2) Capaian BAN S/M menunjukkan: (a) sebagian kecil dari satuan pendidikan dan program keahlian terakreditasi dapat memenuhi tingkat mutu sesuai SNP; (b) terdapat jumlah satuan pendidikan yang cukup besar tidak memenuhi SNP sehingga memerlukan dukungan dana dari pemerintah agar dapat memenuhi SNP; dan (c) komponen SNP yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi terkait dengan: standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan kependidikan, serta sarana prasarana. Kata kunci: asesor, kinerja, Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, Badan Akreditasi Propinsi, dan Standar Nasional Pendidikan The aim of this analysis is to find data and an information about the performance National Board Accreditation for School/Madrasah. The analysis shows that: 1) the management of the National Board Accreditation for School/ Madrasah is an effective enough with the 212.137 educational unit and study program has been accrediting; 2) the achievenment of this accreditationshows that: (a) the only small education unit
and study program shown the
quality of national educational standar: (b) Most of the educational unit shown that does not achieve for national education standard therefore the local goverment should be allocated budget for supporting in order to that educational unit can achieve national education standar; (c) a number of national educational standar componens which can not be able to achieve yet are: graduation standar; teacher and education administration; and educational facilities. Keywords: assessors, performance, National Accreditation Board for School/Madrasah, Provincial Accreditation Board, and National Standard of Education 372.2 Oos M. Anwas (Pustekkom, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, e-mail:
[email protected] ) Model Paud Posdaya sebagai Alternatif Pelaksanaan Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Masyarakat Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 319-327 Abstrak Partisipasi masyarakat dalam mensukseskan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangat penting. Pos Pemberdayaan Masyarakat (Posdaya) merupakan forum komunikasi dan wahana pemberdayaan masyarakat di tingkat akar
xix
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012
rumput. Pembentukan Posdaya tidak harus membentuk kelembagaan baru tetapi dapat menguatkan dan menyatukan kelembagaan yang telah ada melalui berbagai kegiatan pemberdayaan. Begitu pula Model PAUD Posdaya dikembangkan dengan cara membentuk PAUD baru dan menguatkan PAUD yang telah ada. Model PAUD Posdaya menjadi kuat karena menyatukan dan menselaraskan berbagai kelembagaan masyarakat dalam wahana Posdaya. Kelembagaan masyarakat tersebut misalnya: Bina Keluarga Balita, Posyandu, Bina Keluarga Remaja, PKK, Koperasi, Kelompok Usaha (UKM), Kelompok Lansia, Kelompok Masjid, Kelompok Arisan, Orsos, dan kelompok masyarakat lainnya. Kelompok masyarakat tersebut menyatu dalam wahana Posdaya guna mensukseskan PAUD sesuai potensi dan perannya masing-masing. Keunggulan lainnya adalah partisipasi masyarakat menjadi meningkat melalui berbagai kegiatan pemberdayaan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan, keagamaan maupun bidang lainnya yang ada dalam wahana Posdaya. Kata kunci: Model PAUD Posdaya, kelembagaan masyarakat, pemberdayaan masyarakat, dan partisipasi masyarakat Community participation in the success of Early Childhood Education (PAUD) is very important. The Family and Community Empowering is a communication forum and vehicle for community empowerment at the grassroots level. The development of a Posdaya can be done by strengthening and unifying the existing institution through empowerment activities instead of developing a new one. Similarly, the PAUD Posdaya model is developed by establishing a new institution or by strengthening the existing Early Chilhood Education. PAUD Posdaya model becomes powerful since it unifies and harmonizes various community institutions within Posdaya vehicle. Among the institutions are: Bina Keluarga Balita, Posyandu, Bina Keluarga Remaja, PKK, Koperasi, Group of enterprises (Kelompok Usaha), Elder Community Group (Kelompok Lansia), Mosque Community Group (Kelompok Masjid), Kelompok Arisan, Social Organization, and other community groups. All the community groups are gathered within Posdaya vehicle in order to succeed the Early Childhood Education according their potential and roles. The other advantage of PAUD Posdaya is the increasing participation of
community in various empowering activities
such as education, economics, environment, religion, and other sectors within Posdaya. Keywords: early childhood education (PAUD) Posdaya model, community institutions, community empowerment, and community participation 371.1 A l Musanna
(S e k olah Ting g i A g ama Islam Ne g e ri G ajah Putih
Tak e ng on, A ce h
Te ng ah, e -mail:
[email protected] ) Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal
untuk Mempersiapkan Guru yang Memiliki Kompetensi Budaya
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 328-341 Abstrak Tulisan ini bertujuan mengemukakan model pendidikan guru berbasis kearifan lokal. Signifikansi pembahasan terkait minimnya perhatian akademisi dan praktisi pendidikan untuk mengembangkan praksis (teori dan praktik) pendidikan guru yang berpijak pada kearifan lokal, sehingga berimplikasi pada minimnya kompetensi budaya guru dalam menjalankan tugas profesinya. Terdapat tiga masalah yang menjadi fokus pembahasan tulisan ini: teori yang melandasi pengembangan model pendidikan guru berbasis kearifan lokal;
hakikat
kompetensi budaya
guru, serta prasyarat yang diperlukan untuk mengembangkan model pendidikan guru berbasis kearifan lokal. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa kearifan lokal mengandung nilai-nilai potensial yang diperlukan untuk mewujudkan pendidikan yang lebih bermakna dan relevan dengan situasi sosial-budaya. Revitalisasi kearifan lokal melalui pendidikan menuntut adanya guru yang mempunyai kompetensi budaya dan hal ini hanya akan mungkin dicapai apabila pendidikan guru memberi perhatian secara proporsional untuk menginternalisasikan kearifan lokal. Kata Kunci: model pendidikan guru, kearifan lokal, kompetensi budaya, kompetensi budaya guru, dan situasi sosial budaya. The following discussion summarized from the literature review present an alternative model of teacher education based on local wisdom to enhance the cultural competency of teachers. There are three issues that became the focus of this paper: the theory that underlies the development of teacher education based on local wisdom; nature of the cultural competency of teachers, as well as the necessary prerequisite for developing teacher education based on local wisdom. The results indicate that local wisdom contains the values
needed to realize the potential
of education more meaningful and relevant. Revitalization of local wisdom through education requires teachers who have cultural competence and this will only be achieved if teacher education give proper attention to internalize the local wisdom synergistically. Marginalization of local wisdom in praxis of teacher education has impacted on alienation of teachers from the context of his/her life.
xx
Lembar abstrak
Keywords: teacher education model, local wisdom, cultural competency, culturally competence teacher, and cultural social situation 375 Herry Widyastono (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Kemdikbud, Jl. Gunung Sahari - Jakarta Pusat, email:
[email protected]) Implikasi RPJMN 2010-2014 Sektor Pendidikan terhadap Manajemen Pengembangan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 342-351 Abstrak Tujuan penulisan untuk menyusun rencana strategi pengembangan kurikulum nasional, daerah, dan satuan pendidikan sesuai amanah RPJMN 2010-2014 sektor pendidikan. Hasil kajian menyimpulkan: a) Secara umum dibedakan antara manajemen pengembangan kurikulum terpusat
(sentralistik), tersebar (desentralistik), dan
sentral-desentral; b) KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan, dengan mengacu Standar Nasional Pendidikan.
KTSP merupakan manajemen pengembangan
kurikulum sentral-desentral; c) Pada umumnya guru hanya mengadaptasi bahkan mengadopsi KTSP dari satuan pendidikan lain yang belum tentu sesuai dengan karakteristik satuan pendidikannya; d) Pemberian kewenangan lebih baik berjenjang, mulai dari kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/ kota, dan satuan pendidikan. Berdasarkan kesimpulan tersebut, direkomendasikan agar melakukan:
unit-unit kerja terkait,
a) penyusunan dan penetapan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Penataan
Kurikulum Nasional, Daerah, dan Sekolah; b) sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan pendidikan di tingkat pusat dan daerah; c) bantuan profesional pengembangan kurikulum dan pembinaan teknis kepada para penyelenggara pendidikan; d) pelatihan bagi para pendidik dan tenaga kependidikan; dan e) penyiapan dan penggandaan seluruh sarana pembelajaran yang diperlukan. Kata Kunci: strategi manajemen kurikulum nasional, kurikulum daerah, standar nasional pendidikan, dan kurikulum satuan pendidikan. The goal of writing this article is to set a management strategy of national curriculum development, regional curriculum, and school curriculum
in accordance with RPJMN 2010-2014 education sector. The results of the study
are as follows: a) In general, distinguished between centralized curriculum development management (centralized), spread (decentralized), and central-decentralized; b) KTSP is the operational curriculum developed by and implemented in each school, with reference to the National Education Standards. So the KTSP is the central decentralized management of curriculum development, c) In general, teachers are adapting even adopt KTSP from other schools that do not necessarily correspond to the characteristics of their schools, d) The authorization better tiered, ranging from the authority of the central government, provincial, district/city governments, and schools. Based on these conclusions, it is recommended that the relevant work units, in accordance with the duties and functions, shall: a) preparing and determining the Regulation of Minister of Education and Culture on the National Curriculum Arrangement, District, and School, as well as all the conflicting rules regarding curriculum revoked and is no longer valid; b) socialization to all education stakeholders at national and regional levels, c) giving technical and professional training on curriculum development, d) giving training for educators and education personnel, and (e) prepare and copying all the necessary learning tool. Keywords: management strategy national curriculum, regional curriculum, national standard of education, and school curriculum 371.1 Miesk e Theresia Tulung SMPK Re nya Rosari Lilitira (Rantepao – Toraja Utara, Sulawesi Selatan, e-mail :
[email protected] ) dan L. Kaluge Universitas Kanjuruhan Malang, e-mail:
[email protected] ) Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 353-367 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengungkap suasana kerja di sekolah yang dikondisikan oleh persepsi kepemimpinan. Fokus dari tujuan tersebut, yaitu: gambaran suasana kerja, persepsi para guru, dan hubungan kausal antara keduanya. Metode yang ditempuh bersifat kuantitatif. Sampel sebanyak 386 guru diambil dari 24 SMP Negeri dan Swasta di kota Manado secara acak dengan memperhatikan cluster proportionate.
Data dianalisis secara deskriptif
serta inferensial. Delapan konstrak kepemimpinan dan dua konstrak suasana kerja terbukti valid dan reliabel.
xxi
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012
Dengan rentangan 0-4, rerata suasana kerja di sekolah sebesar 2,9 untuk semangat kerja, dan 2,8 untuk suasana kreatif. Juga dengan rentangan yang sama, rerata kedelapan subskala kepemimpinan berkisar 2,55 dan 3,19. Analisis regresi mengungkapkan tidak semua komponen kepemimpinan merupakan faktor signifikan untuk pengembangan suasana kerja di sekolah. Kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, dan mendukung berpengaruh signifikan terhadap semangat kerja para guru, dan pengembangan suasana kreatif dipengaruhi secara signifikan oleh kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, mendukung, dan memberdayakan. Temuan ini bermanfaat bagi kebijakan pendidikan dan pengembangan sekolah. Kata kunci: persepsi kepemimpinan, kepala sekolah, suasana kerja, guru, dan sekolah menengah pertama. This study aimed at discovering the leadership perception in conditioning the working climate at schools. Three objectives of the aim were describing working climate, teachers’ perception on leadership, and the causal relationship between them. The cluster proportionate random sampling obtained 386 teachers from 24 state and priv ate junior-secondary-schools in the city of Manado. Data were collected through questionnaire administration and analyzed using descriptive and inferential methods. Eight leadership constructs and two working climate were proven to be valid and reliable. Using range criteria of 0-4, the averages of working climate were 2.9 and 2.8 for working spirit and creative climate. On the other hand, using the same criteria, the average of the eight leadership sub-scales ranged between 2.55 and 3.19. The regression analyses found that not all of the leadership components were significant factors for developing the school working climate. Disciplining, listening, and supporting were significant factors for teachers’ working spirit. Whereas, the creative climate of teachers was affected significantly by disciplining, listening, supporting, and empowering factors. The results would be of benefit for educational policies and school improvement. Keywords: perceived leadership, school principals, working climate, teachers, and junior secondary school. 371.1 Sahat Saragih
PPs. UNIMED Jl. Wilem Iskandar Psr. V Medan, e-mail:
[email protected] ) dan Vira Afriati
SMA Negeri 13 Medan Jl. Brigjen Zein Hamid Km.7, Medan (e-mail:
[email protected]) Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK Melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 368-381 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) apakah peningkatan pemahaman konsep siswa pada grafik fungsi trigonometri dengan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi daripada siswa yang diberi pendekatan biasa; dan 2) bagaimana ketuntasan dan aktivitas belajar siswa dengan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph. Penelitian ini merupakan studi eksperimen di SMK Telkom Sandhy Putra dan SMK Sandhy Putra II Medan (Kelompok Pariwisata) dengan mengambil sampel 2 kelas dari masing-masing sekolah secara acak. Data yang diperoleh secara ternormalisasi dinalisis dengan menggunakan uji t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) peningkatan pemahaman konsep siswa pada grafik fungsi trigonometri yang memperoleh pendekatan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatan biasa; dan 2) ketuntasan dan aktivitas belajar siswa yang memperoleh pendekatan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatan biasa. Kata kunci: pemahaman konsep, konsep grafik, penemuan terbimbing, fungsi trigonometri, software autograph, dan SMK This research is aimed to know 1) if the increase of student’s conceptual understanding on trigonometric function graph through guided inquiry using Autograph software is greater than those with usual approach, 2) how the student’s mastery in learning and student’s learning activity are. This is an experimental research conducted
in
SMK Telkom Sandhy Putra and SMK Sandhy Putra II Medan (tourism group) with the population are all the students in grade XI of the schools and two classes from each school were randomly taken as samples. t – test is applied to analyze the normalized gain of students’ conceptual understanding. The research shows that the increase of student’s conceptual understanding on trigonometric function graph through guided inquiry using Autograph software is greater than those with usual approach, 2) the mastery in learning and learning activity of students implementing guided inquiry using Autograph is greater than those with usual approach So, teachers should apply guided inquiry approach using Autograph as one of learning approach alternatives. Keywords: conceptual understanding, graphic concept, guided inquiry, trygonometry function, and vocational school
xxii
autograph software,
Lembar abstrak
371.9 Munawir Yusuf (Universitas Sebelas Maret Surakarta, e-mail:
[email protected]) Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 382-393 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kinerja kepala sekolah dan guru dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif di sekolah dasar (SD). Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan penelitian survei ke SD penyelenggara pendidikan inklusif di 4 (empat) wilayah kabupaten/kota, yaitu Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Jumlah sampel dalam penelitian ini 51 SD Inklusi, 51 kepala sekolah, dan 103 guru kelas. Data dikumpulkan dengan menggunakan angket dan diolah secara statistik deskriptif. Validitas angket kepala sekolah berada dalam rentang 0.312 - 0.796 dengan reliabilitas 0.962. Validitas angket guru berada dalam rentang 0.290 - 0.815 dengan reliabilitas 0.956. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) kinerja kepala sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif berada dalam kategori sedang; 2) kinerja guru kelas dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif berada dalam kategori sedang; dan 3) skor kinerja kepala sek olah rata-rata (65,45%), lebih tinggi dibanding skor rata-rata yang dicapai guru (62,3%). Kata kunci: pendidikan inklusif, sekolah inklusif, kinerja guru, kepala sekolah, dan SD This study aimed to describe the performance of school principals and teachers in implementing inclusive education in primary school. To achieve these objectives, a research survey has been conducted at primary schools that organize inclusive education in 4 area districts, namely Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo and Boyolali, in Central Java Province. The numbers of samples in this study were 51 inclusion elementary schools, 51 school principals, and 103 classroom teachers. Data were collected and processed using questionnaires and descriptive statistics, respectively. Questionnaire Validity for School Principals is in the range of 0312-0796 with 0962 reliability. Questionnaire Validity for Teachers is in the range of 0290-0815 with 0956 reliability. The results can be summarized as follows: 1) The performance of school principals in implementing inclusive education is in the medium category; 2) performance of classroom teachers in implementing inclusive education is in the medium category; and 3) Principal performance score average (65.45 %), higher than the average score achieved by teachers (62.3%). Keywords: inclusive education, school Inclusive, teacher and school principal performance, elementary school 371.3 Ahmad Jamalong (STKIP PGRI Pontianak, e-mail:
[email protected]) Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif Numbered Heads Together (NHT) di Kelas X Sma Negeri 1 Beduai
Kabupaten Sanggau
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 394-411 Abstrak Penelitan ini bertujuan untuk menganalisis hasil belajar siswa dengan penggunaan
sebuah model kooperatif
Numbered Heads Together (NHT). Penelitian dilakukan pada Kelas X di SMAN 1 Beduai Kabupaten Sanggau tahun pelajaran 2011/2012 dengan menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Subyek penelitian sebanyak 38 siswa kelas X yang dipilih secara random sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan tes, kemudian dilakukan tindakan
menggunakan Penelitian Tindakan Kelas. Tindakan penelitian dilakukan sebanyak 2 siklus
dengan materi Sistem Hukum Nasional untuk siklus I, Peran dan Fungsi Lembaga Peradilan untuk siklus II. Setiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa sebelum dilaksanakan tindakan tidak ada satu pun siswa yang mencapai tingkat ketuntasan. Setelah dilaksanakan tindakan pada siklus I terjadi peningkatan hasil belajar pada siswa yang mencapai ketuntasan sebanyak 11 siswa (34,38%) dan tindakan pada siklus II terdapat 20 siswa (54,82%) yang mencapai ketuntasan belajar. Hal ini dinyatakan bahwa model kooperatif Numbered Heads Together (NHT),
sangat efektif
dapat
meningkatkan hasil belajar siswa, khususnya pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Kata kunci: model ke rja sama, teknik belajar mengajar kepala bernomor, hasil belajar, dan Pendid ikan Kewarganegaraan The purpose of the research is to analyze the students’ achievements by using Cooperative Model of Numbered Heads Together (NHT). The research was applied to class X of Public Senior High School 1 Beduai Sanggau in academic year of 2011/2012 by using classroom action research (CAR). The research subject consist of 38 students of class X that were chosen by using random sampling. The data were collected by using test, then action was applied by using classroom action research. Action research was applied for 2 cycles with “Sistem Hukum
xxiii
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012
Nasional” in the first cycle and “Peran dan Fungsi Lembaga Peradilan” in the second cycle. Every cycle consist of planning, action, observation and reflection. The result of study shown that there were no students’ achievements before the action applied. In the cycle 1 there were an increasing achievements to 11 students (34.38%) dan action in the cycle II shown there were an increasing achievement to 20 students (54.82%). It can be stated that Cooperative Model of Numbered Heads Together (NHT) is very effective to improve students’ achievements especially in “Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)” subject. Keywords: model, cooperative numbered heads together (NHT), achievements, and Civics Education. 371.3 Leo Agung S. (Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan IPS FKIP-UNS, Jl.Ir. Sutami No.36 A, Kentingan, Surakarta, e-mail:
[email protected]) Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 412-426 Abstrak Penelitian eksploratif ini bertujuan untuk: 1) mengetahui tujuan, materi, metode, media, dan evaluasi pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah Atas (SMA); 2) mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat pembelajaran Sejarah di SMA; 3) mengeksploitasi pemahaman guru-guru Sejarah di SMA terhadap model-model pembelajaran Sejarah; dan 4) menyusun model Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendidikan Karakter. Subjek penelitian adalah guru-guru Sejarah SMA Solo Raya. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, analisis dokumen, angket dan Focus Group Discussion. Metode analisis data menggunakan analisis kualitatif model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa: 1) tujuan pembelajaran Sejarah menanamkan semangat kebangsaan, cinta bangsa dan tanah air; materi sesuai dengan Standar Isi; metode ceramah bervariasi, media power point, film dan Liquid Crystal Display, sedangkan evaluasinya masih banyak pada aspek kognitif; 2) Faktor pendukung pembelajaran Sejarah, yaitu adanya model-model pembelajaran inovatif, faktor penghambatnya buku BSE yang minim, dan adanya diskriminatif mata pelajaran; 3) sebagian besar guru-guru SMA telah memahami model-model pembelajaran; dan 4) tersusunnya model Kritis, Kreatif, Berantai dan Berkarakter (KKBB). Kata kunci: pembelajaran Sejarah, guru Sejarah, Sekolah Menengah Atas, dan pendidikan karakter This exploratory study aims to: 1) determine objectives, materials, methods, media and evaluation of history teaching in senior secondary schools; 2) identify factors that support and inhibit history teaching in senior secondary schools; 3) exploit the understanding of history teachers of senior secondary schools on history teaching models; and 4) establish a model for character education based-history learning. Research subjects are history teachers of senior secondary schools in Solo Raya. Data were collected using observation, interviews, document analysis, questionnaire and Focus Group Discussion techniques, and analyzed using the method of qualitative interactive model. The results showed that: 1) purpose of history teaching inculcate the spirit of nationalism, love of nation and homeland; materials in accordance with the Content Standards; lecture methods varies, power point media, film and Liquid Crystal Display, while the evaluation is still tend to focus on cognitive aspects; 2) supporting factor of history teaching is the development of innovative learning models, while the inhibiting factors are the lack number of BSE book and discrimination on the subjects; 3) majority of history teachers of senior secondary schools have understood the learning models, and 4) completion of the Critical, Creative, Chain and Character model (KKBB). Keywords: history teaching, the history teacher, senior secondary schools, and character education 371.3 Sri Tatminingsih d an S udarwo (Univ ersitas Terb uka, Jl. Raya Pondok Cabe, Tang erang Se latan, e -mail:
[email protected]) Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA Melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana (Studi Kasus di SD Puncak Manis, Kecamatan Kadudampit, Sukabumi) Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 427-439 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permainan tradisional, karakteristik, dan mengembangkan ujicoba paket dan strategi pembelajaran kelas 3 SD di wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat. Sampel penelitian terdiri atas siswa dan guru kelas 3 di SDN Puncak Manis dan Pemuka masyarakat di Kecamatan Kedungpi, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Teknik pengumpulan data dengan wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua siswa tidak mengenal permainan tradisional di wilayahnya, namun terdapat
xxiv
Lembar abstrak
beberapa permainan tradisional yang masih dikenal oleh masyarakat di Kecamatan Kadudampit, di antaranya Oray-orayan, Cing Ciripit, Pacici Putri, Sonda dan Egrang. Karakterisitik siswa SD di daerah rawan bencana umumnya pasif dan kurang kreatif, bergantung pada guru. Paket pembelajaran yang sesuai siswa kelas 3 SD di wilayah rawan bencana berupa bahan ajar cetak, buku bergambar, dan video. Hasil ujicoba menunjukkan adanya peningkatan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran IPA untuk materi banjir sebesar 0,58 dan untuk materi gempa bumi sebesar 0,76. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan paket pembelajaran yang berupa booklet dan buku siswa tentang materi mitigasi dan sanitasi terkait dengan bencana banjir
dan gempa bumi yang
disampaikan melalui permainan tradisional membantu siswa dalam memahami materi tersebut. Kata kunci: paket dan strategi pembelajaran IPA, permainan tradisional, daerah rawan bencana, dan sekolah dasar This research aims to identify traditional games and the characteristics of third grade elementary school students, as well as to develop
packages and learning strategies that are appropriate for third grade elementary school
students in the disaster-prone area in West Java Province. This study employed research and development as the research design by using third grade students and teachers in elementary school Puncak Manis as well as the community of district Kadudampit, Sukabumi in West Java as the samples. Interviews and observation were used as data collection techniques. The results showed that almost all students are not familiar with the games, but there are some traditional games that are still known by the community of district Kadudampit such as Orayorayan, Cing Ciripit, Pacici Putri, Sonda and Egrang. The characteristics of elementary school students in the area of disaster-prone are generally passive, dependent on teachers and less creative. Learning packages in a form of printed or picture books and videos that are appropriate for the third grade elementary school students in disasterprone areas were delivered through traditional games as the strategy. The try out results showed an increase in students’ understanding of science teaching materials especially for the topics of “flood” that is 0.58 and for “earthquake” that is 0.76. This suggests that the use of the learning package in the form of booklets and books students on material related to disaster mitigation and sanitation floods and earthquakes which are delivered through traditional games (like Oray-orayan, Ciripit and Cing Pacici-cici Putri) assisted students in understanding the material about mitigation and sanitation related floods and earthquakes. Keywords: packages and learning strategies for science, traditional games, disaster-prone area, dan elementary school 375 Bambang Indriyanto (Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, e-mail:
[email protected]) Pengembangan Kurikulum Sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 440-452 Abstrak Tujuan dari tulisan ini adalah mengajukan pengertian bahwa kurikulum dapat menjadi titik tolak bagi peningkatan mutu pendidikan. Berdasarkan pernyataan tersebut, tulisan ini mengajukan argumentasi bahwa efektivit as implementasi kurikulum tidak hanya terletak pada isi konsep yang komprehensif, tetapi juga pada kondisi kurikulum tersebut akan dilaksanakan. Kondisi tersebut meliputi kompetensi guru dan kecukupan ketersediaan sar ana pendidikan pada tingkat sekolah. Pengembangan Kurikulum 2013 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang sedang berlangsung sedang dicermati oleh anggota masyarakat. Hal ini tentu saja merupakan konsekuensi kurikulum sebagai bagian dari kebijakan pendidikan. Ada yang mempertanyakan tentang konsepnya, tetapi ada juga yang setuju dengan ide Pengembangan Kurikulum 2013. Namun demikian tulisan ini berpendapat, meskipun ada yang tidak setuju atau setuju, bahwa faktor yang mendasari efektivitas pelaksanaan kurikulum adalah faktor manajemen. Faktor manajemen yang dimaksud meliputi manajemen pada tingkat sekolah dan kelas. Kehadiran teknologi informasi praktis pada setiap aspek kehidupan membawa dampak yang positif terhadap dunia pendidikan. Kata kunci: mutu pendidikan, kurikulum, manajemen pendidikan, kepemimpinan The objective of this paper is to foster the notion that curriculum can serve as a standpoint to improving the quality of education. By stating so, it proposes an
argument that the effectiveness of their implementations do not only
depend on comprehensiveness of the concept, but also on their relevance to the circumstances in which they are going to be implemented. They include teacher competencies and the adequate availability of education facilities at school level. The on going curriculum development
called Curriculum 2013 by the Ministry of Education and
Culture are undergoing scrutinization by publics. This has been a consequence of curriculum as a part of education
xxv
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012
policies. Some cast doubts about the concept, some other support the idea of the development of curriculum 2013. This paper, however, argues, in spite of pro and cons, that management is an underlying factor which ensures the effectiveness of the implementation of the curriculum 2013. The concept of management consists of that in school and classroom levels. The present of information technology virtually in any walk of life, has positive impacts on education. Keywords: quality education, curriculum, education management, leadership. 378.1 Siswo Wiratno (Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, e-mail:
[email protected] ) Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 453-466 Abstrak Tujuan kajian ini dimaksudkan untuk menganalisis pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi, kaitannya dengan kompetensi lulusan yang diharapkan oleh dunia kerja dan kompetensi pendukung lainny a. Permasalahan yang berkaitan dengan pendidikan kewirausahaan antara lain: 1) persiapan dan pelaksanaan program kewirausahaan dan peran unit baru yang berfungsi dan bertugas sebagai pengelola program kewirausahaan belum optimal; 2) penyediaan sarana dan prasarana penyelenggaraan kewirausahaan yang masih terbatas (sarana dan prasarana, mitra kerja, dana,dan tenaga dosen yang berkompetensi dalam memberi bekal keterampilan kewirausahaan Hasil kajian menunjukkan bahwa: 1) pelak-sanaan pendidikan kewirausahaan di berbagai perguruan tinggi belum dilaksanakan secara optimal, antara lain disebabkan oleh belum optimalnya peran dan fungsi unit pengelola kewirausahaan; 2) kompetensi lulusan perguruan tinggi masih belum sepenuhnya memenuhi harapan dunia kerja, di mana diharapkan para lulusan perguruan tinggi memiliki kompetensi akademik, keterampilan berpikir, keterampilan manajemen dan keterampilan berkomunikasi. Di samping itu, lulusan belum cukup dibekali dengan keterampilan hidup (live skill), kemampuan beradaptasi dan
bersosialisasi dengan lingkungan kerja serta
belajar sepanjang hayat (life-long education). Kata kunci: pendidikan kewirausahaan, perguruan tinggi, kompetensi lulusan, dan dunia kerja The aims of this study is to analyze the implementation of entrepreneurship education in higher education, in relation to the competencies of graduates as expected by labour market and other supporting competencies. Problems related to entrepreneurship education, among others include: 1) preparation and implementation of entrepreneurship education program as well as the role of a new unit responsible to manage the program is not optimal; 2) provision of facilities and infrastructure for entrepreneurial implementation is still limited (means and infrastructure, partners, funding and competent lecturers in the subject of entrepreneurial skills). The assessment results showed that: 1) implementation of entrepreneurship education in various higher education institutios is not yet optimal, partly due to the failure of entrepreneurial management unit in optimizing its role and function; 2) competency of higher education graduates has not fully meet the expectations of the labour market, as they are expected to have academic competency, thinking skills, management skills and communication skills. In addition, graduates are not equipped with adequate live skills, ability to adapt and socialize with the working environment and life-long education. Keywords: entrepreneurship education, graduate competencies, higher education, and labour market 375 Herry Widyastono (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Kemdikbud, e-mail:
[email protected]) Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 467-476 Abstrak Pendidikan holistik merupakan pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi
siswa secara harmonis, meliputi
potensi intelektual, emosional, phisik, sosial, estetika, dan spiritual. Kajian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang ada tidaknya muatan pendidikan holistik dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Selain itu juga memberikan gambaran tentang implementasi pendidikan holistik dalam pembelajaran di pendidikan dasar dan menengah. Permasalahan dirumuskan sebagai berikut: 1) Apakah kurikulum pendidikan dasar dan menengah sudah memuat pendidikan holistik? 2) Bila sudah, bagaimana imple-mentasi pendidikan holistik dalam pembelajaran? Kajian menyimpulkan bahwa: 1) Dokumen kurikulum pendidikan dasar dan menengah pada hakikatnya sudah memuat pendidikan holistik, karena prinsip, acuan, dan prosedur pengembangan kurikulum sejalan dengan
xxvi
Lembar abstrak
pengertian, tujuan, dan prinsip pendidikan holistik; 2) Pendidikan holistik belum diimplementasikan secara komprehensif dalam pembelajaran. Dalam rangka mengimplementasikan pendidikan holistik dalam pembelajaran, direkomendasikan agar guru dalam melaksanakan pembelajaran tidak hanya mengembangkan ranah pengetahuan, melainkan juga ranah keterampilan dan sikap, melalui pendekatan belajar siswa aktif. Kata kunci: pendidikan holistik, kurikulum, pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Holistic education is the education which develops all students potentials in harmony comprises intellectual, emotional, physical, social, esthetic, and spiritual potentials. This article is aimed at describing on whether or not there is the degree of holistic approach in education, particularly for
the basic and secondary education. In addition, this
describes its implementation at the schools within the basic and secondary education. The problems are formulated as follows 1)
whether the basic and secondary education has already been regarded as holistic education?, 2) if
yes, how its implementation at the schools concerned. This concludes that: 1) the basic and secondary curriculums have, in principle, been as holistic ones because its principles, reference, and procedure to develop the curriculum are in line with the definition, objective, and the principles which support to it. 2) The holistic education is not yet implemented comprehensively at the schools. In terms of its implementation it is, therefore, advisable that all teachers, while teaching in the classroom, should give the students to have ample opportunities to develop not only their cognitive domain, but their psychomotor and affective ones through active learning. Keywords: holistic education, curriculum, cognitive, psychomotor, and affective. 901 Yudi Setianto (PPPPTK PKn-IPS Malang, Jl. Raya Arhanud, Pendem, Batu,
e-mail:
[email protected])
Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 477-488 Abstrak Tujuan penulisan artikel ini untuk menemukan win-win solution, dalam rangka memisahkan sekaligus sal ing menghormati antara Sejarah dalam ranah ilmu murni dan Sejarah dalam domain pendidikan atau pembelajaran ke siswa. Penulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Sejarah sebagai ilmu dituntut objektif, dan tetap menjaga kebebasan nilai (value-free). Dalam konteks Sejarah, objektivitas bisa diterjemahkan sebagai kebenaran dan kejujuran, fakta yang direkonstruksi dituntut dikemukakan secara transparan. Namun, dalam ranah pembelajaran Sejarah, Sejarah tidak mungkin dikemukakan secara objektif. Hal ini bukan berarti jika pembelajaran bersifat subyektif ataupun mengingkari fakta. Bagi tujuan yang lebih bijaksana, polarisasi Sejarah, yaitu dalam rangka menumbuhkan nasionalisme, patriotisme serta tujuan-tujuan pendidikan lainnya, tidak mungkin disandingkan dengan sejarah sebagai alat legitimasi konflik sosial, bahkan disintegrasi bangsa. Ilmu Sejarah tetap bersifat objektif dalam mengungkap fakta Sejarah, sementara itu tujuan pelajaran Sejarah merupakan bagian dari tujuan pendidikan. Sejarah sebagai bahan pelajaran harus disusun searah dengan dasar dan tujuan Pendidikan Nasional. Sejarah sebagai mata pelajaran yang mempunyai misi tertentu dan Sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Pembelajaran Sejarah menempatkan fakta-fakta Sejarah yang disaring, demi tujuan pendidikan agar Sejarah menjadikan yang mempelajarinya lebih bijaksana. Kata kunci: ilmu Sejarah, bebas nilai, objektivitas sejarah, dan pendidikan Sejarah The aim of writing this article is to offer a win-win solution to put history learning, both as a pure social science as well as an education and learning tools for students. This study used qualitative descriptive approach. As a science, history should be objective and at the same time keep the value-free concept. In the context of history, objectivity means truth and honesty, that is all facts must be disclosed transparantly. However, in history learning, not all the historical facts should be revealed fully. Yet, it does not necessarily mean that history learning is not objective or even denying the facts. For the wiser purpose, the history polarisation aiming at growing students’ nationalisme, patriotism, and other noble educational objectives, it is not possible to treat history as a tool to legitimate social conflicts or even the nation disintegration. History in learning should keep objective in uncovering historical facts, while also maintain the purpose of the learning itself. History as a learning must be built upon the foundation and aim of the national education system. Thus, history as a school subject having particular education objectives must be put in line, side by side, compromise with its position as a social science, without eliminating the principles of one or both of them. History learning uses filtered historic facts, so the learners are led to be wise people. Keywords: the science of history, value-free, objectivity of history, and history learning
xxvii
ISSN 0215-2673
Mulai 2012 terbit empat kali setahun pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember Penanggungjawab: Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Redaktur: Ir. Hendarman, M.Sc., Ph.D. Dr. Bambang Indriyanto Ramon Mohandas, Ph.D Ir. Hari Setiadi, Ph.D. Dr. Hurip Danu Ismadi, M.Pd. Ketua Penyunting: Dr. Subijanto, M.Ed. (Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan) Penyunting: Dr. Herry Widyastono, M.Pd. (Kurikulum untuk Ilmu Pendidikan), Drs. Philip Suprastowo (Kebijakan Pendidikan), Dra. Ida Kintamani Dewi, M.Sc. (Kebijakan Pendidikan), Drs. Sutjipto, M.Pd. (Kurikulum untuk Ilmu Pendidikan), Dra. Nur Listiawati, M.Ed. (Kebijakan Pendidikan), Dr. Sabar Budi Raharjo, M.Pd. (Kebijakan Pendidikan), Dr. Ence Oos Mukhamad Anwas, M.Si. (Komunikasi/Penyuluhan Pembangunan), Dra. Ariani Soelistyarini, M.A. (Penilaian Pendidikan), dan Drs. Nasrudin (Budaya/Sastra) Mitra Bestari: Prof. Dr. Madyo Eko Susilo, M.Ed. (Universitas Veteran Sukoharjo/Manajemen Pendidikan), Prof. Dr. Sugiyono, M.Pd. (Universitas Negeri Yogyakarta/Teknik), Dr. Retno Dwi Suyanti (Universitas Negeri Medan/Kebijakan Pendidikan), Prof. Dr. Muhammad Sidin Ali, M.Pd. (Universitas Negeri Makassar/Evaluasi Pendidikan), Nonny Swediaty, Ph.D. (Institute for Research, Training & Development/Psikometri, PAUD, Educational & Brain) Desain Grafis Dra. Agus Prayitno, Eko Purwanto, Sekretariat: Bandiyah, S.IP., Rochana, S.S., Erwin, S.Pd., Dodi R. Pribadi Nugroho, S.S. Penerbit: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Izin Terbit: SK MENPEN No. 1045/SK/Ditjen PPG/STT/1986 Tgl. 7 Agustus 1986 dan SK MENPEN No. 88/Ditjen PPG/K/1995 Tgl. 30 Mei 1995 Alamat Penyunting dan Redaksi: Sekretariat Balitbang Kemdikbud Gedung E Jalan Jenderal Sudirman, Senayan Jakarta 10270 Telepon : (021) 5727044, 57900406 Faksimile: (021) 57900406 Email :
[email protected];
[email protected] Distribusi: Bagian Hukum dan Kepegawaian, Sekretariat Balitbang Kemdikbud
Sekretariat menerima artikel tentang kebijakan, penelitian, pemikiran, reviu/teori/konsep/metodologi/resensi buku baru, dan informasi lain yang berkaitan dengan permasalahan pendidikan dan kebudayaan “Isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis”
ISSN 0215-2673
Pedoman Penulisan 1.
Naskah belum pernah dimuat/diterbitkan di media lain, diketik dengan 2 spasi pada kertas A4 dengan huruf Time Romans berukuran 12, jumlah 10-30 halaman dilengkapi: judul maksimal 14 kata (Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris); abstrak sebanyak 100-150 kata (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris); dan kata kunci sebanyak 3-5 pengertian (deskriptor). Naskah dikirim ke alamat Sekretariat Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan dalam bentuk printout dan disertai softcopynya.
2.
Naskah yang dapat dimuat dalam jurnal ini meliputi tulisan tentang kebijakan, penelitian, pemikiran, reviu teori/konsep/metodologi, resensi buku baru, dan informasi lain yang berkaitan dengan permasalahan pendidikan dan kebudayaan.
3.
4.
Jika ada beberapa buku yang dijadikan sumber ditulis oleh orang yang sama dan diterbitkan dalam tahun yang sama pula, data tahun penerbitan diikuti oleh lambang a, b, c, dan seterusnya yang urutannya ditentukan secara kronologis atau berdasarkan abjad judul buku-bukunya. Contoh: Cornet, L. & Weeks, K. 1985a. Career Ladder Plans. Altanta GA: Career Ladder Clearinghouse. Cornet, L. & Weeks, K. 1985b. Planning Carrer Ladder: Lesson from the States. Altanta GA: Career Ladder Clearinghouse. Rujukan dari buku yang berisi kumpulan artikel (ada editornya). Ditambah dengan ed jika satu editor, eds jika editornya lebih dari satu. Contoh: Denzin, N.K., Lincoln, Y. S., ed. 2009. Handbook of Qualitative Research. Terj. Daryatmo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Artikel hasil penelitian memuat judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, dan isi. Isi artikel mempunyai struktur dan sistematika serta persentase jumlah halaman sebagai berikut. a. Pendahuluan meliputi latar belakang, perumusan masalah, dan tujuan penelitian (10%). b. Kajian Literatur mencakup kajian teori dan hasil penelitian terdahulu yang relevan (15%). c. Metodologi yang berisi rancangan/model, sampel dan data, tempat dan waktu, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data (10%). d. Hasil dan Pembahasan (50%). e. Simpulan dan Saran (15%). f. Pustaka Acuan. (Sistematika/struktur ini hanya sebagai pedoman umum. Penulis dapat mengembangkannya sendiri asalkan sepadan dengan pedoman ini).
Rujukan dari artikel dalam buku kumpulan artikel (ada editornya) contoh: Hasan, M.Z. 1990. Karakteristik Penelitian Kualitatif. Dalam Aminuddin (Ed.). Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: HISKI Komisariat dan YA3. Rujukan dari artikel dalam jurnal, contoh: Dali S, Naga. 1998. Karakteristik Butir pada Alat Ukur Model Dikotomi. Jurnal Ilmiah Psikologi, III 4 34-42 Rujukan dari artikel dalam Majalah atau Koran, contoh: Alka, David Krisna. 4 januari 2011. Republik Rawan Kekerasan? Suara Karya hlm. 11 Rujukan dari Koran tanpa penulis, contoh: Kompas. 19 September, 2011. Sosok: Herlambang Bayu Aji, Berkreasi dengan Wayang di Eropa, hlm. 16
Artikel pemikiran/gagasan dan atau reviu teori memuat judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, dan isi. Isi artikel mempunyai struktur dan sistematika serta persentasenya dari jumlah halaman sebagai berikut. a. Pendahuluan meliputi latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penulisan (10%) b. Kajian literatur dan pembahasan serta pengembangan teori/konsep (70%). c. Simpulan dan saran (20%) d. Pustaka Acuan. (Sistematika/struktur ini hanya sebagai pedoman umum. Penulis dapat mengembangkannya sendiri asalkan sepadan).
5.
Artikel resensi buku selain menginformasikan bagian-bagian penting dari buku yang diresensi juga menunjukkan bahasan secara mendalam kelebihan dan kelemahan buku tersebut serta membandingkan teori/konsep yang ada dalam buku tersebut dengan teori/konsep dari sumber-sumber lain.
6.
Khusus naskah hasil penelitian yang disponsori oleh pihak tertentu harus ada pernyataan (acknowledgement) yang berisi informasi sponsor yang mendanai dan ucapan terima kasih kepada sponsor tersebut.
7.
80% atau lebih Pustaka yang diacu hendaknya bersumber dari hasil-hasil penelitian, gagasan, teori/konsep) yang telah diterbitkan di jurnal (komposisi sumber acuan dari hasil penelitian lebih banyak daripada sumber yang diacu dari buku teks). Hasil penelitian paling lama 10 tahun terakhir, kecuali Pustaka Acuan yang klasik (tua) yang memang dimanfaatkan sebagai bahan kajian historis. Penulisan pustaka acuan yang bersumber dari internet, agar ditulis secara berurutan sebagai berikut: penulis, judul, alamat web, dan tanggal unduh (down load). Unsur yang ditulis dalam Daftar Rujukan secara berturut-turut meliputi: 1) nama pengarang ditulis dengan urutan: nama akhir, nama awal, dan nama tengah, tanpa gelar akademik; 2) tahun penerbitan; 3) judul, termasuk subjudul; 4) tempat penerbitan; dan 5) nama penerbit. Unsur-unsur tersebut dapat bervariasi tergantung jenis sumber pustakanya. Rujukan dari buku, contoh: Dekker, N. 1992. Pancasila sebagai Ideology Bangsa: dari Pilihan Satu-satunya ke Satu-satunya Azas. Malang: FPIPS IKIP Malang.
Rujukan dari dokumen resmi pemerintah yang diterbitkan oleh suatu penerbit tanpa pengarang dan tanpa lembaga, contoh:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: diperbanyak oleh PT Armas Duta Jaya. Rujukan dari lembaga yang ditulis atas nama lembaga tersebut, contoh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Panduan Manajemen Sekolah. Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Jakarta. Rujukan dari karya terjemahan, contoh: Sztompka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial (Terjemahan Alimandan) Jakarta: Penerbit Prenada Rujukan berupa skripsi, tesis, atau disertasi, contoh: Indarno, Jasman. 2002. Kontribusi Penerapan Berbasis Sekolah terhadap Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan Tingkat Dasar di Jawa Tengah. Tesis. Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Rujukan berupa makalah yang disajikan dalam seminar, penataran, atau lokakarya, contoh: Siskandar. 2003. Teknologi Pembelajaran dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah: Disajikan pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran pada Tanggal 22-23 Agustus 2003 di Hotel Inna Garuda Yogyakarta. Rujukan dari internet, contoh:
Wikipedia. 2007. Lesson Study (Online) (http://en.wikipedia.org/wiki/ Lesson_study) diunduh 9 April 2011 8.
Naskah diketik dengan memperhatikan aturan tentang penggunaan tanda baca dan ejaan yang dimuat dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (terbaru).
9.
Pengiriman naskah disertai dengan alamat, nomor telepon, fax dan E-mail (bila ada). Pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis. Naskah yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. Kepada penulis diberikan 2 eksemplar jurnal sebagai tanda bukti pemuatan.