Herawan S.: Implikasi Hukum terhadap Pelaksanaan Program Landreform di Indonesia
IMPLIKASI HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM LANDREFORM DI INDONESIA Herawan S. Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
Abstract: The study intends to identify and explain factors constraining implementation of landreform regulations, law strategy, and their implications on implementing landreform in Indonesia. The Indonesian development agenda has shifted to economy growth strategy. It has implication on implementing landreform and law development strategies in Indonesia. The law tends to be directed to facilitating and engineering economy growth. These conditions have basic implication on law agrarian development. The strategy of law agrarian development finally is directed of generating economy growth. For instance, many partial agrarian law products are contrary to agrarian law policy mentioned in UUPA. Kata kunci: Implication, Law, Landreform
Seiring dengan lajunya pembangunan, yang pada saat ini telah memasuki era reformasi masalah dan tantangan di bidang pertanahan nampaknya terus bergulir. Konflik penguasaan dan pemanfaatan tanah di antara para pelaku dan kelompok masyarakat yang terlibat dalam pembangunan terus mewarnai perjalanan bangsa ini. Salah satu yang tidak kalah menarik adalah semakin tingginya kesenjangan dalam penguasaan tanah. Ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia ini pernah dikemukakan oleh Pemerintah melalui Menteri Koodinator Bidang EKUIN, Menhutbun, dan Menteri Negara Agraria (Kompas, 1998) menyatakan bahwa penguasaan atas lahan di negara ini sangat tidak adil dan merugikan (Bacriadi;Fauzi, 1998: 11). Dalam lingkup masalah tersebut Maria SW Sumardjono menyatakan:”Distribusi tanah yang timpang telah menunjukkan dampak yang merugikan, penguasaan tanah untuk industri dan permukiman yang berskala besar telah memaksa alih fungsi tanah pertanian dengan segala konsekwensinya” (Maria, 1995: 9-10). Dalam perspektif yang sama Adi Sasono Menyatakan: ”Pertambahan penduduk dan meningkatnya kebutuhan tanah untuk kegiatan pembangunan telah merubah struktur pemilikan dan penggunaan tanah secara terus menerus”. (Sasono, 1998: 4) Sebagai gambaran singkat khusus mengenai kondisi tanah pertanian, merujuk pada data Sensus pertanian tahun 1993, dapat diketahui bahwa terdapat 43% (11.084.605) rumah tangga petani (RTP) yang menguasai lahan pertanian rata-rata tidak lebih dari 0,1 Ha, 27% (7.645.428) RTP menguasai lahan pertanian antara 0,100,49 Ha, 14 % (4.130.221) RTP menguasai lahan pertanian seluas 0,50-0,99 Ha, dan 16 % (4.421.746) RTP menguasai lahan pertanian seluas lebih dari 1 Ha, dengan demikian jika RTP tersebut dibagi menjadi dua kelompok maka akan terlihat bahwa 16 % RTP menguasai tanah pertanian seluas 69% dan 84% RTP menguasai 31% dari luas tanah pertanian. (Bachriadi;Faryadi;Setiawan, 1997: 67 – 122). Sebenarnya Indonesia telah lama memiliki landasan hukum pemilikan tanah bagi petani.(PP.224, 1961). Hal tersebut secara jelas telah diatur di dalam UUPA, khususnya ketentuan-ketentuan mengenai landreform, akan tetapi pada kenyataannya program tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, bahkan areal pertanian semakin lama semakin menyempit. Berdasarkan pengamatan sementara, salah satu faktor yang menjadi kendala program tersebut antara lain adalah, faktor hukum. Oleh karena itu untuk melihat bagaimana implikasi hukum terhadap program tersebut hal ini akan menjadi permasalahan dalam penelitian. Dengan tujuan untuk mengetahui serta memahami implikasi hokum terhadap pelaksanaaan landreform di Indonesia. METODE Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mendiskripsikan tentang fakta dan kondisi atau gejala yang menjadi obyek penelitian. Ditinjau dari jenis penelitian hukum, penelitian ini dapat digolongkan ke dalam penelitian hukum kepustakaan (normatif). Dalam penelitian hukum normatif, data yang dipergunakan adalah data sekunder.(Soekanto;Sri, 1994: 151). Sedangkan bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Dalam penelitian kepustakaan metode yang dipergunakan adalah metode studi dokumentasi. Sedangkan instrument yang dipergunakan adalah berupa kartu-kartu. Dalam penelitian hukum ini digunakan analisis atau penafsiran fungsional (penafsiran bebas) yang tidak mengikatkan diri sepenuhnya kepada kalimat dan kata-kata peraturan, melainkan mencoba
30
JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 1 Februari 2006 untuk memahami maksud sebenarnya dari suatu peraturan dengan menggunakan berbagai sumber lain yang dianggap bisa memberikan kejelasan yang lebih memuaskan.(Rahardjo, 1991: 95). HASIL Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu penyebab kurang lancarnya program landreform dimaksud adalah karena semakin meningkatnya kebutuhan-kebutuhan akan tanah untuk keperluan pembangunan sektor-sektor lain yang telah mendapat ligitimasi hukum dari beberapa peraturan yang mengatur agraria, yang ditinjau dari sisi hukum adanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai implikasi terhadap pelaksanaan landreform. Karakter hukum suatu bangsa/negara sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi bangsa/negara di tempat hukum itu berlaku, baik law making dalam arti produk-produk hukum yang dihasilkan maupun law enforcement. Sebagai contoh bagi negara yang menganut sistem perekonomian bersifat kapitalis, maka corak atau wujud hukumnyapun akan bersifat kapitalistik tersebut. Demikian juga dengan situasi dan kondisi negara. Misalnya negara yang diperoleh melalui suatu revolusi biasannya karakter (sifat) hukumnyapun tentunya akan bersifat revolusioner, dan biasanya bersifat populis. Nonet dan Zelsnick dalam bukunya Law and society in transition toward responsive Law.(Mahfud, 1999: 42) mengemukakan beberapa model pembangunan hukum di negara berkembang, yaitu hukum refresif, otonom, dan responsif. Bagi negara-negara baru (negara-negara yang sedang berkembang) ada kecenderungan memiliki hukum yang bertipe menindas (refresif). Menurutnya masuknya pemerintah ke dalam kekuasaan yang bersifat menindas, melalui hukum biasanya terdapat pada masyarakat yang masih berada pada tahap pembentukan suatu tatanan politik tertentu. Masyarakat baru harus membuktikan atau menunjukkan, bahwa ia bisa menguasai keadaan, menguasai anggota-anggotanya, serta menciptakan ketertiban sehingga jika perlu masalah prosedur dan cara-cara (hukum) dapat dikesampinngkan asalkan ketertiban dan keamanan dapat tercapai.Pada tulisan yang lain Mahfud mengemukakan dua macam strategi pembangunan hukum yang akhirnya sekaligus berimplikasi pada karakter produk hukumnya yaitu pembangunan hukum ortodoks dan responsif sebagaimana yang pendapat John Henry Marryman. Pada strategi pembangunan hukum ortodoks, peranan lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) sangat dominan dalam menentukan arah perkembangan hukum. Sebaliknya pada strategi pembangunan hukum responsif, peranan besar terletak pada lembaga-lembaga peradilan yang disertai partisipasi luas kelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat.(Mahfud, 1998: 22). Kedua strategi tersebut memberi implikasi berbeda pada produk hukumnya. Strategi pembangunan hukum yang ortodoks bersifat positivistis-instrumentalis, yaitu menjadi alat yang ampuh bagi pelaksanaan program-program pemerintah. Sedangkan strategi pembangunan hukum responsif, akan menghasilkan hukum yang bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok sosial dan individu dalam masyarakat. Lebih lanjut dinyatakan teorisasi tersebut barangkali mempunyai benang merah dengan realitas politik hukum di Indonesia sebab tujuan untuk membangun ekonomi harus dibayar kontan dengan stabilitas nasional agar tercipta ketertiban dan keamanan. Dengan demikian ada alasan logis untuk meletakkan hukum pada posisi yang tidak sentral.(Ibid: 42). Dalam lingkup masalah tersebut hukum ada kecenderungan lebih berpihak kepada terciptanya kelancaran pembangunan ekonomi dimaksud, baik dalam wujud kemudahan-kemudahan maupun jaminan rasa aman. Dengan memadukan kedua model pembangunan hukum Nonet-Zelsnick dan Marryman tersebut, dinyatakan bahwa selama orde baru di Indonesia telah tampil hukum-hukum yang ortodoks dan hukum-hukum yang refressif. (Mahfud, 1999: 20). Menurutnya ada lima ciri kinerja hukum yang tampak menonjol dalam konteks ini yaitu: Pertama, Pembuatannya sangat sentralistik. Semua rencana hukum disusun oleh lembaga eksekutif, dan lembaga perwakilan rakyat sebagai rubber stamp yang hanya menjadi alat pemberi justifikasi. Kedua, karakter isinya memiliki kecendrungan kuat pada “Positivist-instrumentalistik”. Biasanya kehendak-kehendak negara baik yang akan maupun yang telah terlanjur dilakukan dipaksakan untuk memberi pembenaran dengan baju-baju hukum sehingga memenuhi syarat “formalitas-prosedural” tanpa mengindahkan “keadilan substansial”. Ketiga, bersifat “open interpretatif”. Keempat, “pembelokan kasus”. Kelima, banyaknya kebijakan pragmatis yang melanggar hukum yang resmi berlaku Dalam kaitannya dengan penguasaan tanah dan akses petani terhadap tanah telah dikeluarkan beberapa peraturan yang mengatur masalah landreform, demikian juga dengan masalah agraria yang lainnya telah, telah dikeluarkan beberapa peraturan seperti peraturan kehutanan, pertambangan, industri, serta peraturan-peraturan lain yang juga erat kaitannya dengan penguasaan tanah seperti perumahan. Adanya beberapa peraturan tersebut mempengaruhi pengusaan tanah di Indonesia. Untuk melihat sejauhmana ketentuan-ketentuan tersebut mempengaruhi struktur penguasaan tanah pertanian yang merupakan tujuan dari program landreform. Dalam arti, secara substantif peraturan-peraturan tersebut bagian tidak mengatur tanah secara khusus, tetapi mempunyai kaitan erat dengan tanah. Berkaitan dengan hal tersebut, akan dijelaskan pada uraian-uraian berikut ini. Di sektor agraria kehutanan lahirnya UUPK 1967 tidak lain mempunyai tujuan untuk meningkatkan pendapan negara dari sektor kehutanan yaitu dengan cara mengekploitasi kekayaan hutan khususnya kayu. Sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut pada tahun 1970 pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH). Dalam perkembangan UUPK 1967 telah diganti dengan Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.(UU
31
Herawan S.: Implikasi Hukum terhadap Pelaksanaan Program Landreform di Indonesia
No.41, 1999). Selain itu dalam kerangka pembangunan ekonomi di sektor pertambangan, telah dibentuk UU, No.11 Tahun 1967, tentang Undang-undang Pokok Pertambangan (UUPP). Dengan keluarnya peraturan ini terutama dengan adanya mining authority, telah memberikan pengaruh yang besar terhadap luasan penguasaan tanah di Indonesia. Dengan mengutip Dianto Bachriadi, ”Luas wilayah kuasa pertambangan tercatat seluas 50 juta acre atau sekitar 26 juta hektar”. (Bachriadi, 1998: 49). Dalam lingkup penguasaan tanah HPH dan Kuasa Pertambangan tersebut di atas tidak terdapat penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam arti hak atas tanah apa yang dimiliki oleh pemegang HPH demikian juga dengan Kuasa pertambangan. Sebab menurut UUPA adanya hak-hak tersebut di atas tidak dengan sendirinya menguasai/memiliki tanah yang bersangkutan. Seharusnya terdapat kejelasan hukum yang menjadi dasar penguasaan tanah tersebut. Dalam perspektif UUPA (pertanahan) sebenarnya telah ada konstruksi hukum yang dapat mewadahi hak-hak tersebut yaitu Hak Pengelolaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UUPA dan Permendagri No. 1 tahun 1977. Dari Hak Pengelolaan tersebut kemudian dapat diberikan hak-hak lain, seperti Hak Milik. Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai kepada pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian akan terdapat kepastian hukum mengenai kepemilikan/penguasaan tanah tersebut. Hal ini sekaligus juga untuk menghindari terjadinya tumpang tindih penggunaan tanah. Untuk melihat bagaimana konstruksi hukum penguasaan tanah HPH dan Kuasa Pertambangan tersebut dapat dilihat dalam ragaan berikut:
Hak Menguasai Negara BPN
Hak Pengelolaan Departemen Departemen Kehutanan Pertambangan
Hak Pakai Hak Pengusahaan Hutan/ Kuasa Pertambangan
Selain itu di sektor pembangunan industri melalui UU. Nomor 5 tahun 1974 dan Keppres No. 53 tahun 1989 dan yang terakhir Keppres No. 41 tahun 1996, yang telah memberikan landasan hukum berdirinya Kawasan Industri di Indonesia. Untuk mengakomodasi ketentuan-ketentuan tersebut di atas telah mengalokasikan tanah seluas 51.744 Hektar. Untuk memenuhi kebutuhan Kawasan industri tersebut diantaranya telah menyebabkan terjadinya alih fungsi tanah pertanian menjadi non-pertanian. Demikian juga dengan sektor lain seperti perumahan dan permukiman (UU No. 4 tahun 1992), Hak Guna Usaha (HGU) PP No.40, dengan tanpa membatasi luas maksimum HGU bagi perkebunan yang dikuasai oleh Badan Hukum. Telah menyebabkan terakumulasinya penguasaan tanah pada beberapa Badan Hukum. Uraian mengenai beberapa produk hukum yang mengatur masalah bidang keagrarian setelah berlakunya UUPA tersebut kiranya, telah menjelaskan kepada kita, di samping beragamnya peraturan yang mengatur masalah agraria khususnya tanah yang bersifat parsial. Adanya ketentuan-ketentuan hukum tersebut, terlepas dari apakah bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUPA keberadaan ketentuan-ketentuan hukum dimaksud suka atau tidak dari sisi pengalokasian tanah untuk keperluan sektor-sektor pembangunan yang telah memperoleh pijakan hukum tersebut telah mempunyai pengaruh besar terhadap penguasaan tanah di Indonesia saat ini. Dalam lingkup masalah tersebut di samping beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan ketentuan landreform di atas, menurut penulis adanya faktor hukum mempunyai implikasi (keterlibatan) terhadap kelancaran pelaksanaan program landreform di Indonesia. Perubahan strategi kebijakan pembangunan hukum di Indonesia terutama yang berkembang setelah berlakunya UUPA telah mempengaruhi kebijakankebijakan hukum (legal policy) di bidang agraria khususnya pertanahan. Hal ini ditandai dengan keluarnya produk-produk hukum yang dibuat pada masa tersebut, seperti beberapa contoh di bidang hukum agraria tersebut di atas. Kebijakan hukum pada era tersebut diarahkan pada upaya untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan pembangunan yang menjadi prioritas masa itu. Pada masa itu bangsa Indonesia sedang giatnya melaksanakan
32
JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 1 Februari 2006 pembangunan di segala bidang, terutama pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, dalam pembangunan hukumpun pembangunannya diarahkan pada pencapaian pembangunan ekonomi tersebut. Dalam era ini hukum dijadikan sebagai “a tool of social engineering” untuk pertumbuhan ekonomi. Akibatnya program landreform sebagaimana yang terdapat dalam UUPA dan beberapa ketentuan pelaksanaannya yang lebih menintikberatkan pada pemerataan aset yang berupa tanah ada kecendrungan kurang mendapat perhatian yang memadai, khususnya dalam pelaksanaannya. Produk-produk hukum di bidang agraria yang dibuat ada kecenderungan memberikan legitimasi bagi program-program yang dibuat oleh penguasa di dalam mewujudkan keinginannnya, sehingga konfigurasinya (wujud) dari hukum tersebut mempunyai karakter hukum yang refresif khususnya bagi petani. Dari uraian tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa ternyata faktor hukum, dalam hal ini kebijakan pembangunan hukum mempunyai implikasi terhadap perkembangan politik hukum agraria. Politik hukum agraria yang berwujud produk hukum agraria yang bersifat parsial lebih berorientasi kepada memfasilitasi pemanfaatan sumberdaya alam dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, melalui sektor-sektor pembangunan yang berkaitan dengan agraria. Adanya produk-produk hukum yang mengatur masalah agraria tersebut mempunyai implikasi terhadap timbulnya akumulasi penguasaan tanah yang sangat luas. Landreform yang semula diharapkan dapat menjadi sarana untuk memperbaiki, dalam arti menata struktur penguasaan/ pemilikan tanah pertanian menjadi terkendala. Hal tersebut terutama disebabkan adanya benturan dalam penggunaan tanah, sebagai akibat dari pengaturan yang tumpang tindih serta adanya egoisme sektoral dari instansi-instansi dalam rangka melaksanakan program pembangunan. Akibat dari peraturan-peraturan tersebut bukan saja telah mengurangi tanah-tanah obyek landreform yang akan diredistribusikan kepada para petani, yang disinyalir sementara orang belum teredistribusikan, demikian juga dengan pelaksanaan landreform melalui pembagian tanah (trasmigrasi dan percetakan SAWah baru), tetapi juga telah menyebabkan hilangnya sebagian tanah-tanah pertanian yang telah ada. KESIMPULAN Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: Hukum sebagai suatu subsistem dari sistem kehidupan nasional, baik pada tataran legislasi maupun pada tataran implementasi sedikit banyak telah menyebabkan terkendalanya program landreform. Dalam kebijakan pembangunan hukum (legal policy), hukum diarahkan pada fungsi sebagai instrumen pembangunan, baik dalam mengamankan hasil pembangunan (kontrol) maupun dalam kerangka memberikan kelancaran untuk mewujudkan program pembangunan yang menjadi prioritas (rekayasa). Dalam kerangka fungsi hukum sebagai sarana pembangunan yang di adopsi dari ajaran law as a tool of social engeneering, yang dalam penerapannya tidak didasarkan pada kondisi masyarakat Indonesia, dalam arti kebutuhan kebanyakan rakyat Indonesia, telah menyebabkan hukum (perundangundangan) yang dibuat tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat tersebut. Pada tataran yang demikian hukum yang dibuat cendrung hanya bersifat legalistik-instumentalistik bagi penguasa. Dalam keterhubungannya dengan masalah pertanahan, baik dalam tataran legislasi maupun implementasi telah menyebabkan timbulnya peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan acuan hukum agraria yang telah ada. Dalam arti banyak peraturan-peraturan yang mengatur masalah agraria termasuk pertanahan yang tidak mengacu kepada UUPA sebagai acuan hukum dalam menentukan kebijakan hukum (legal policy) agraria. Sebagai akibat dari hal tersebut terjadi tumpang tindih dalam pengaturan masalah pertanahan, serta ada kecenderungan tidak memihak kepada rakyat kecil (petani) sebagaimana yang diamanatkan oleh UUPA. Dalam kaitan dengan hal ini terlihat pada keluarnya Undang-undang Pokok Kehutanan, Undang-undang Pokok Pertambangan, Undang-undang Perindustrian, serta ketentuan-ketentuan yang mengatur Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan. Dengan kata lain keberadaan hukum mempunyai implikasi terhadap pelaksanaan program landreform Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Bachriadi, Dianto dan Noer, Fauzi. 1998. Pembaharuan Agraria (Agrarian Reform) Adalah Agenda Yang Inklunsif Dengan Reformasi Sosial Secara Menyeluruh “Suara Pembaruan Agraria Nomor 4”. KPA. Bandung. Bachriadi, Dianto. 1998. Merana Di Tengah Kelimpahan. ELSAM. Jakarta. Fauzi, Noer. 1998. “Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme, Dinamika Politik Agraria Indonesia Pasca Kolonial” Dalam Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaharuan Agraria di Indonesia. Diedid oleh Dianto Bochriadi;Erfan Fariyadi;dan Boni Setiawan, KPA-LPFEUI. Bandung. Hariadi, Utoro dan Masruchah, ed. 1995. Tanah, Rakyat Dan Demokrasi. Forum LSM-LPSM. Yogyakarta.
33
Herawan S.: Implikasi Hukum terhadap Pelaksanaan Program Landreform di Indonesia
Hartono, C.F.G. Sunaryati. 1994. Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20. Alumni. Bandung. Husien, Ali Sofwan. 1995.Ekonomi Politik Penguasaan Tanah. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Kasim, Ifdal., Suhendar, Endang. 1997. ”Kebijakan Pertanahan Orde Baru mengabaikan Keadilan Demi Pertumbuhan Ekonomi”, dalam Noer Fauzie, Ed. Tanah Dan Pembangunan. Sinar Harapan. Jakarta. Kuntoro, Sapto, et.all, ed. 1999. Reformasi Kebijakan Pembangunan Pertanian, Visi Misi, dan Strategi. Ikatan Alumni ITB. Bandung. Kusumaatmadja, Mochtar. Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional. Bina Cipta. Bandung. Kusumah, Mulyana W. dan Paul S. Baut, ed. 1988. Hukum, Politik dan Perubahan Sosial. YLBHI. Jakarta. Lubis, M. Solly. 2000. Politik dan Hukum Di Era Reformasi. Mandar Maju. Bandung. Mahfud MD, Moh. 1998. Politik Hukum Di Indonesia. LP3ES. Jakarta. Mahfud M.D, Moh. 1999. Konfigurasi Politik Dan Hukum Pada Orde Lama dan Orde Baru”. Dalam Khamasnirada dan Idy Muzayyad, (ed), Wacana Politik Hukum Dan Demokrasi Indonesia. IAIN Sunan Kalijaga Dan Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Mahfud MD. Moh. 1999. Pergulatan Politik Dan Hukum Di Indonesia. Gama Media. Yogyakarta. Montgomery, John Warwick. 2000. [Legal Hermeneutics and The Interpretation of Scripture], Diterjemahkan oleh Inung Zainul hamdi dan Anom SP, Dalam Wacana edisi 6 Tahun II, Insist. Yogyakarta. Nonet, Philipe and Philip Selznick. 1978. Law And Society In Transition. New York: Harten Torchrooks Harper And Row Publishens, Parlindungan, A.P. 1993. Komentar Undang-Undang Pokok Agraria. Mandar Maju. Bandung. Rahardjo, Satjipto. 1991. Ilmu Hukum. Cet 3. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Sadjad, Sjamsoe’oed. 1998. “Reformasi Di bidang Pertanian.”. Kompas. Jakarta. Setiawan, Bonie. Sinar Harapan. 1997. “Perubahan Strategi Agraria Kapitalisme Dan Pembaruan Agraria Di Indonesia”, dalam Noer Fauzie, ed, Tanah Dan Pembangunan. Jakarta. Sokanto, Soerjono dan Sri, Mamudji. 1985. Penelitian Normatif Suatu Tinjauan Singkat. CV Rajawali. Jakarta. Suhendar, Endang. 1997.“Kondisi Dan Permasalahan Di Sektor Pertanian”, dalam Dianto Bachriadi, Erfan Faryadi, dan Bonie Setiawan, ed. Reformasi Agraria. KPA-LPFE-UI. Jakarta. Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni. 1997. Petani dan Konflik Agraria. Akatiga. Bandung. Sumarjono, Maria S.W. 1995. Dampak Liberalisasi Ekonomi Terhadap Distribusi Penguasaan Tanah dan Implikasi Yuridisnya. Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Kebijaksanaan Pertanahan dan Liberalisasi Ekonomi (antisipasi dan Implikasinya). Yogyakarta. Tjodronegoro, Sediono MP., Wiradi, Gunawan. 1989. Dua Abad Penguasaan Tanah di Jawa dan Madura Dari Masa ke Masa. PT Gramedia. Jakarta. Unger, Roberto Mangabeira. 1999. Gerakan Studi Hukum Kritis. [The Critical Legal Studies Movenment], Penterjemah Ifdal Kasim. Elsan. Jakarta.
34