PENERAPAN KELEMBAGAAN OPERASI PEMELIHARAAN UNTUK JARINGAN IRIGASI PADA MASYARAKAT LOKAL Implementation of an Institutional Operations and Maintenance for Irrigation Network In Local Communities Retta Ida Lumongga
Sekretariat Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Pattimura No. 20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Email:
[email protected] Tanggal diterima: 14 Juni 2013, Tanggal disetujui: 5 Oktober 2013 ABSTRACT The construction of sprinkler irrigation indryland farming operation could be delayed due to the absence of the formal institution of farmer group, who participate to perform maintenance operation. What is the right institutional forms of irrigation in conformity with the local conditions and local wisdom in dryland farming is a problem addressed by this study. The application on trial of the institutional of participation of the communities in the maintenance operations carried out on two selected provinces that both have a dry climate criteria and big gun sprinkler has not been operated, namely Desa Linelean, Districts Modoinding, North Sulawesi Province, and Desa Manusak and Desa Oesao, Districts East Kupang, East Nusa Tenggara Province. Qualitative approach is used. As a result, the organizational structure is possible to be made simpler, where jurupungut can be optionally adjusted to conditions at the application site. Conclusion, the application of institutional outline can be implemented according to the stages that have been there, however its application is not absolute, but rather, it takes an adjustment to the characteristics and local wisdom. Keywords: : institutional, maintenance operation, characteristics and local wisdom, application, local communities
ABSTRAK Pembangunan jaringan irigasi pada lahan kering dapat tertunda pengoperasiannya dikarenakan belum adanya kelembagaan formal pada masyarakat yang berpartisipasi untuk melakukan operasional pemeliharaan. Bagaimana bentuk kelembagaan operasi pemeliharaan irigasi yang sesuai dengan kondisi kearifan lokal daerah setempat sebagai upaya peningkatan akses partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air adalah permasalahan pada penelitian ini. Uji coba penerapan kelembagaan pada partisipasi masyarakat dalam operasi pemeliharaan dilakukan pada dua provinsi terpilih yang memiliki kriteria iklim kering dan big gun sprinkler belum dioperasikan, yaitu Desa Linelean Kecamatan Modoinding, Provinsi Sulawesi Utara dan Desa Manusak dan Oesao, Kecamatan Kupang Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pendekatan kualitatif digunakan. Hasilnya adalah struktur organisasi dimungkinkan untuk dibuat lebih sederhana dimana juru pungut menjadi opsional disesuaikan dengan kondisi pada lokasi penerapan. Kesimpulan adalah penerapan kelembagaan secara garis besar dapat diterapkan sesuai tahapan-tahapan yang telah ada tetapi penerapannya adalah tidak mutlak, melainkan dibutuhkan adanya penyesuaian dengan kondisi daerah dimana akan diterapkan , yaitu disesuaikan dengan karakteristik dan kearifan lokal di lokasi kelembagaan akan diterapkan. Kata kunci : kelembagaan, operasi pemeliharaan, , karakteristik dan kearifan lokal, penerapan, masyarakat lokal
187
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.3, November 2013 hal 140-216
PENDAHULUAN Secara geografis, Indonesia terletak di daerah khatulistiwa sehingga beriklim tropis. Berdasarkan hasil pemetaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana tahun 2010 untuk zona ancaman bencana kekeringan di Indonesia maka diketahui rata-rata tingkat ancaman kekeringan di Pulau Sumatera, Nusa Tenggara, dan Sulawesi bagian utara cukup tinggi. Kekeringan merupakan masalah utama bagi masyarakat yang memiliki mata pencaharian utama sebagai petani. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum membangun jaringan irigasi air tanah dengan teknologi sprinkler di daerah kering seperti di Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur guna meningkatkan produksi pertanian hortikultura. Pembangunan irigasi di lokasi ini telah selesai, tetapi pengoperasiannya terkendala belum adanya kelembagaan formal yang jelas untuk melakukan operasi dan pemeliharaan. Kelembagaan operasional dan kelembagaan sprinkler tidak harus merupakan bentukan baru tetapi dapat memanfaatkan kelembagaan yang sudah ada di masyarakat. Partisipasi masyarakat yang dimaksud disini adalah sebagai bentuk keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Sedangkan yang menjadi permasalahan adalah bentuk dan proses pembentukan kelembagaan bila diterapkan di daerah menemui kendala bila harus diterapkan sama persis di setiap daerah yang bisa jadi dikarenakan tiap daerah memiliki karakteristik dan kearifan lokal yang berbeda. Oleh karena itu, pertanyaan dari penelitian ini adalah bagaimana bentuk kelembagaan operasi dan pemeliharaan lahan kering yang disesuaikan dengan karakteristik dan kearifan lokal daerah setempat. Dari hasil penelitian terdahulu, tingkat perkembangan pada organisasi belum memuaskan yang diantaranya terkait sumber daya manusia pada daerah tersebut serta kebiasaan pada pola tanam, ada kemungkinan bentuk kelompok kerja di daerah Nusa Tenggara Barat yang pernah ada penelitian sebelumnya berbeda dengan yang ada di Nusa Tenggara Timur ataupun di Sulawesi Utara. Kebaharuan penelitian ini adalah bilamana kelembagaan hasil penelitian sebelumnya diterapkan pada daerah yang berbeda, ternyata kelembagaan tersebut tidak dapat diterapkan secara mutlak, melainkan diperlukan adanya beberapa penyesuaian dengan kondisi yang diakibatkan karakteristik dan kearifan lokal daerah. Dengan demikian penerapan kelembagaan ini tidak diterapkan sangat kaku melainkan perlu untuk diberikan catatan tambahan bahwa penerapannya
188
dapat disesuaikan dengan kondisi daerah penerapan. Tujuan penelitian adalah untuk memberikan masukan penyempurnaan membangun model kelembagaan operasi pemeliharaan yang sesuai dengan karakteristik dan kearifan lokal daerah setempat untuk masukan kepada pemerintah dalam rangka penerapan teknologi irigasi air tanah. Tulisan ini diolah dari hasil penelitian pada tahun 2011, dimana penulis ikut serta sebagai tim dengan fokus penelitian pada kelompok kerja tingkat desa sebagai yang bertanggungjawab untuk kerja operasi dan pemeliharaan mesin dan jaringan. Penelitian dilakukan di daerah dengan iklim kering, curah hujan rendah dan minim sumber air permukaan, yaitu Desa Linelean, Kecamatan Modoinding Kabupaten Minahasa Selatan di Provinsi Sulawesi Utara, juga pada Desa Manusak dan Desa Oesao, Kecamatan Kupang Timur Kabupaten Kupang di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pilihan lokasi ini karena mayoritas sumber pencaharian penduduk adalah petani dengan lahan pertanian bukan sawah dan irigasi alur sulit diterapkan.
KAJIAN PUSTAKA
Pengertian organisasi pengelola air bukan sekedar untuk kegiatan teknis, namun juga merupakan suatu lembaga sosial yang memiliki kandungan kaidah-kaidah (religi atau budaya). Oleh karenanya, pembentukan organisasi ini perlu memperhatikan kekhasan masing-masing masyarakat (Ariyanto 2008). Dengan mempertimbangkan hasil penelitian terdahulu tentang peningkatan peran masyarakat dan pemerintah daerah mendukung penerapan teknologi ke-PU-an di Desa Akar-Akar, Provinsi NTB diketahui bahwa tingkat perkembangan pada organisasi belum memuaskan antara lain disebabkan sumber daya manusianya yang berpendidikan rendah, insentif/gaji pengurus relatif kecil, pola tanam yang dikembangkan masih tradisional dan seragam belum mengikuti permintaan pasar, mutu produksi rendah di bawah standar, banyak lahan tidur yang tidak tergarap, terbatasnya modal kerja, dan hambatan teknis diakibatkan kerusakan pada pompa. Sedangkan yang menjadi pendukung pengembangan adalah adanya semangat petani untuk maju yang umumnya besar karena mata pencaharian utama dibidang pertanian, masih banyak tenaga kerja luar daerah yang mencari lahan garapan dengan sistem bagi hasil, adanya minat untuk membentuk koperasi dalam upaya mengatasi ketersediaan modal kerja, adanya investor swasta yang berminat membeli produk dengan mutu sesuai standar, banyak tenaga lembaga swadaya masyarakat yang siap membantu program pengembangan perekonomian perdesaan, adanya dukungan dari pemerintah daerah setempat dalam mengembangkan usaha/lahan pertanian
Penerapan Kelembagaan Operasi Pemeliharaan untuk Jaringan Irigasi pada Masyarakat Lokal Retta Ida Lumongga terutama dalam pembinaan teknis usaha tani serta sarana pemasaran hasil. Menurut Manan (2006) pengembangan pertanian di lahan kering dapat dilakukan dengan empat alternatif, yaitu 1) konservasi terpadu, 2)pengembangan embung dan pemanenan air, 3) amoliarisasi dan pemupukan, serta, 4) pengembangan irigasi bertekanan dan pompanisasi. Dalam tulisan ini, kelembagaan terkait dengan alternatif ke empat yaitu pengembangan irigasi bertekanan dan pompanisasi. Terdapat perbedaan teknik pengelolaan air antara lahan basah dan lahan kering (Notohadiprawiro 1989). Teknologi irigasi bertekanan lebih tepat diterapkan pada daerah yang relatif kering dan sumber air berasal dari air tanah dan air permukaan. Pemberian air dengan cara penyiraman (sprinkler) adalah sangat efisien (Kurnia 2004). Model kelembagaan Operasi dan Pemeliharaan (OP) irigasi sprinkler merupakan hasil penelitian terdahulu. Dasar pemikiran pembentukan kelembagaan adalah untuk mengorganisasikan masyarakat dalam melakukan pemanfaatan dan OP. Di Desa Akar-Akar, kelembagaan masyarakat ini berbentuk Kelompok Kerja (pokja) tingkat desa sampai dengan tingkat dusun. Pokja ini merupakan hasil kesepakatan masyarakat (awig-awig) yang berperan mengorganisir pelaksanaan OP sebelum terwujudnya kelembagaan yang lebih kuat secara legalitas dan kapasitasnya serta untuk menggali potensi dan kearifan lokal masyarakat setempat. Selain itu, pokja juga berfungsi menjembatani kelompok-kelompok masyarakat yang telah ada sebelumnya yang dapat menjadi ”pancingan” untuk mengaktifkan kembali kelompok masyarakat yang ada.
Pokja tingkat dusun cenderung menghadapi kendala dalam menjalin hubungan dan berkoordinasi dengan birokrasi setempat, maka dibentuk pula Pokja di tingkat desa yang akan menaungi dan mengkoordinasikan kegiatan masing-masing pokja tingkat dusun. Pokja yang dibentuk merupakan hasil kesepakatan masyarakat ini juga berperan untuk menggali potensi dan kearifan lokal masyarakat setempat. Pokja juga memiliki fungsi sebagai bentuk akomodatif untuk menjembatani kelompokkelompok masyarakat yang telah ada sebelumnya. Struktur organisasi adalah terdiri dari Penasehat, Ketua, Bendahara yang dibantu Juru Pungut, Sekretaris, termasuk pokja dan operator tingkat dusun dengan bagan pada Gambar 1. Struktur Organisasi Pokja Sprinkler. Masing-masing jabatan dalam struktur organisasi mempunyai tanggungjawab sebagai berikut: 1) Penasehat tugasnya memberikan dukungan dan pengawasan terhadap pelaksana kegiatan serta memberikan saran dan masukan kepada pengurus Pokja Tingkat Desa.
2) Ketua tugasnya bertanggung jawab atas jalannya pelaksanaan kegiatan pendampingan masyarakat dalam rangka OP irigasi sprinkler terhadap para pengurus dan anggota pokja di tiap dusun. 3) Bendahara tugasnya mengelola keuangan.
4) Sekretaris tugasnya mengurus tata persuratan yang berhubungan dengan pelaksanaan OP irigasi sprinkler.
Gambar 1. Struktur Organisasi Pokja
Sumber: Laporan Akhir Penelitian Puslitbang Sosekling 2011
189
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.3, November 2013 hal 140-216
5) Juru Pungut tugasnya untuk memungut iuran dalam rangka pelaksanaan OP sprinkler. Untuk kemudahan koordinasi, di setiap pokja di setiap dusun, disediakan juru pungut yang akan bertanggung jawab kepada bendahara.
6) Pokja-pokja sprinkler tingkat dusun, bertanggung jawab untuk melaksanakan operasi dan pemeliharaan sprinkler di wilayah dusun masing-masing. Pembentukan pokja tingkat desa ini diharapkan dapat berkembang menjadi kelompok masyarakat dengan dasar kegiatan pelaksanaan OP irigasi sprinkler. Dengan demikian akan terlaksana kesinambungan dan keberlanjutan pelaksanaan OP irigasi sprinkler tersebut. 7) Operator sprinkler tingkat dusun tugasnya menjalankan pengoperasian mesin dan bertanggung jawab terhadap operasi pompa dan sprinkler.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam kegiatan ujicoba penerapan kelembagaan operasi pemeliharaan irigasi lahan kering adalah pendekatan kualitatif. Peneliti telah memiliki sebuah model kelembagaan hasil penelitian terdahulu yang terdapat pada bakal pedoman yang saat penelitian ini dilakukan adalah belum diujicobakan. Dan akan diujicobakan pada daerah lain untuk menjawab masalah baru dalam penelitian yaitu keberadaan karakteristik dan kearifan lokal daerah yang perlu atau tidak perlu untuk dipertimbangkan dalam penerapan kelembagaan, sehingga ingin diketahui bagaimana bentuk kelembagaan operasi dan pemeliharaan lahan kering yang disesuaikan dengan karakteristik dan kearifan lokal daerah setempat. Metode pengumpulan data adalah untuk pengumpulan data kualitatif, yaitu untuk mengumpulkan data dari masyarakat di lokasi penelitian, dengan cara: 1)Melakukan wawancara mendalam dengan melakukan wawancara terstruktur. Yang menjadi narasumber adalah kepala desa, ketua kelompok tani yang dianggap memenuhi kriteria orang yang ditokohkan oleh masyarakat desa serta dianggap mengenal wilayahnya dengan isu seputar permasalahan yang dihadapi oleh petani dalam meningkatkan produksi dengan menggunakan teknologi irigasi di lahan kering. 2) Focus Group Discussion/ Participatory Rural Appraisal. Peserta diskusi diutamakan orang yang bekerja sebagai petani dan yang akan memanfaatkan Jaringan Irigasi Air Tanah. Diskusi dilakukan dengan bahasan mengenai persepsi masyarakat terhadap kelembagaan OP, permasalahan dan kebutuhan petani, pembentukan dan pemberdayaan kelembagaan OP, kesepakatan
190
yang mungkin dibangun untuk OP Jaringan Irigasi Air Tanah, dan juga untuk mengetahui dan merumuskan rencana solusi masalah sosial ekonomi dengan adanya teknologi irigasi di lahan kering dalam bentuk rencana tindak. 3) Observasi partisipatif. Unit analisis adalah kelompok tani. Desa Linelean ada 5 kelompok tani. Desa Oesao dan Desa Manusak masing-masing sebanyak 1 kelompok tani. 4) Studi pengumpulan data sekunder langsung ke pusat-pusat informasi, data yang diperoleh dari penelusuran internet, studi literatur dan media massa. Lokasi dipilih berdasarkan pertimbangan lokasi dengan iklim kering (tanah menyerap air dan penguapan tinggi), curah hujan rendah, minim sumber air permukaan. Lokasi tersebut tepat untuk pengembangan JIAT sprinkler yaitu Kecamatan Modoinding di Provinsi Sulawesi Utara dan Kecamatan Kupang Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang sudah memiliki sprinkler namun terkendala ketidaksiapan kelembagaan OP setempat. Pelaksanaan penelitian adalah pada tahun 2011.
Sebagai alat bantu analisis yang digunakan tiap tahapan pelaksanaan yang ada pada bakal pedoman dengan parameter dan indikator sebagai berikut: untuk identifikasi potensi dan permasalahan, parameter yang digunakan adalah permasalahan alam, permasalahan sosial kelembagaan, permasalahan kebutuhan irigasi. Untuk sosialisasi program, parameter adalah rencana dan pemahaman daeran partisipatif (PRA) dengan indikator adanya penyuluhan aparat pemerintah dan adanya sikap tekad masyarakat untuk berperan. Pada pembentukan kelembagaan, parameter adalah kelompok kerja (pokja), penyusunan aturan kelompok dan perencanaan iuran dan OP, dan indikator adalah struktur organisasi pokja, adanya aturan yang telah disepakati dan rencana iuran dan OP. Terakhir perkuatan kelembagaan, parameter berupa pelatihan, demplot sosek, penyusunan rencana aksi, ujicoba tanam, legalisasi kelembagaan dengan indikator anggota pokja mengerti dasar OP jaringan irigasi sprinkler, peningkatan kemampuan masyarakat dan bentuk kesepakatan yang berisi kegiatan, pihak pelaksana dan keterangan cara, dan adanya AD/ART. Pada tahap pertama adalah sejak dimulai hingga identifikasi potensi dan permasalahan sosial ekonomi pada irigasi dengan daerah uji coba di Kecamatan Modoinding dan Kecamatan Kupang Timur. Pada tahap kedua, sosialisasi program, dilakukan pada bulan Maret di Kecamatan Kupang Timur dan Juni di Kecamatan Modoinding. Pada tahap ketiga, dilakukan pengecekan kelembagaan setempat, jika belum terbentuk, maka dilanjutkan pada melakukan pembentukan kelembagaan baru masuk ke tahap selanjutnya,
Penerapan Kelembagaan Operasi Pemeliharaan untuk Jaringan Irigasi pada Masyarakat Lokal Retta Ida Lumongga sedangkan jika memang sudah ada terbentuk, maka dilanjutkan langsung pada tahap selanjutnya. Pada tahapan keempat sebagai kelanjutannya dilakukan pelatihan, demo plot sosial ekonomi, dan penyusunan rencana aksi. Selanjutnya dalam diagram alur adalah melakukan uji tanam yang diulang-ulang hingga berhasil, namun untuk penelitian ini uji tanam tidak dilakukan. Peneliti dapat memodifikasi tahapan yang ada pada bakal pedoman sesuai dengan kondisi lapangan pada saat dilakukan penerapan dan hasil modifikasi dapat menjadi masukan untuk penyempurnaan pedoman. Dari hasil yang diperoleh dari hasil ujicoba tersebut dan pengumpulan data, peneliti melakukan analisis untuk melihat tahapan mana yang sukses diterapkan tanpa membutuhkan penyesuaian dan tahapan mana karena karakteristik dan kearifan lokal setempat yang tidak memerlukan penyesuaian.
HASIL PEMBAHASAN
Kecamatan Modoinding berada di ketinggian lebih dari 1000 m di atas permukaan laut dan lebih dari 90% wilayah kecamatan merupakan lahan pertanian bukan sawah. Dari pengamatan di lapangan, hampir seluruh hamparan ditanami tanaman hortikultura seperti kentang, bawang daun, kubis, wortel, cabe, dan labu. Sedangkan lahan non-pertanian merupakan permukiman atau lahan yang tidak dapat diusahakan untuk pertanian seperti perbukitan. Dikarenakan kondisi geografis dan sifat tanah yang porous,irigasi alur tidak dapat dimanfaatkan. Petani menggunakan pompa kecil untuk mengambil sumber air terdekat yaitu Danau Moat dan Sungai Boigar,namun hanya efektif untuk mengairi hamparan yang jauhnya 200m dari sumber air dan harus menggunakan dua pompa. Bagi masyarakat yang lebih jauh dari sumber air, menggunakan truk untuk mengangkut air ke lokasi hamparan dan kemudian menggunakan pompa untuk menyiram. Mayoritas penduduk adalah menggantungkan hidupnya dari hasil pertanaian dan ada budaya bertani yang masih menganut nilainilai luhur yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat setempat yang masih dilakukan yaitu Mapalus. Tradisi budaya kelompok pekerja ini lahir dari akar budaya nilai-nilai kebersamaan dan tolong menolong diantara sesama warga etnik Minahasa. Kelembagaan yang kental diantaranya kelompok PKK, kelompok tani, dan kelompok keagamaan. Berdasar keterangan petugas penyuluh lapangan di Modoinding, di Desa Linelean terdapat 5 kelompok tani yang masih aktif. Fungsi kelompok tani adalah sebagai sarana Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) setempat dalam memberikan penyuluhan pertanian serta untuk membahas masalah pertanian. Kekurangan kelompok tersebut hanya disahkan
oleh hukum tua setempat dan tidak mempunyai anggaran dasar/anggaran rumah tangga. Ketiadaan legalisasi ini berdampak pada kelangsungan hidup kelompok tani yaitu kesulitan akses kepada stakeholders lainnya. Berbeda dengan Kecamatan Modoinding , di Provinsi Sulawesi Utara dan pada Kecamatan Kupang Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur, kekeringan merupakan masalah utama yang melanda seluruh wilayah. Jaringan irigasi air tanah terdiri atas saluran terbuka dan saluran tertutup. Berdasarkan tipologi, status petani adalah petani pemilik,petani penggarap,buruh tani, dan petani yang merangkap petani pemilik dan penggarap serta petani pemilik dan buru tani. Kelembagaan masyarakat di lingkungan petani diantaranya PKK, Karang Taruna, Kelompok Tani, Perkumpulan Petani Pemakai Air, dan organisasi keagamaan. Eksistensi kelembagaan tersebut memiliki variasi yang berbeda-beda,ada yang kuat eksistensinya dan ada juga yang relatif sudah berkurang. (Lihat Tabel 1).
Untuk potensi permasalahan, baik pada alam, sosial kelembagaan, dan irigasi adalah sudah jelas terlihat pada Tabel 2 di bawah. Pada sosialisasi, pendekatan secara informal dilakukan agar timbul keakraban antara fasilitator dengan masyarakat. Pada kelembagaan, pembentukan kelembagaan dilakukan apabila di lokasi pembangunan belum ada kelembagaan atau kelompok petani terkait pengairan atau pertanian. Terdapat dua jenis pertemuan yang dilakukan dalam proses pembentukan kelembagaan yaitu pertemuan formal dan pertemuan informal. Terdapat tiga aktivitas dalam pembentukan kelembagaan yaitu: Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) tingkat Desa, Penyusunan Aturan Pokja, Penyusunan Rencana Iuran dan OP. Diskusi pembentukan pokja dilakukan 2 (dua) kali dengan agenda sebagai berikut: pertemuan pertama, petani mendapat penjelasan pentingnya pembentukan pokja dan model pokja (berdasarkan penelitian terdahulu). Pertemuan kedua, petani membuat struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka termasuk memilih para pengurusnya. Struktur organisasi kelompok yang disepakati oleh petani terdiri dari penasihat, ketua, sekretaris, bendahara, dan operator. Terdapat perbedaan model struktur organisasi di lapangan. Dalam penerapannya, juru pungut diperlukan bila dalam satu desa terdapat lebih dari satu pokja. Demikian pula, operator tingkat dusun tidak diperlukan bila hanya ada satu sumur pompa di lokasi. Menurut petani, iuran anggota langsung diberikan kepada bendahara, sehingga tidak perlu ada juru pungut. Untuk petugas operator mesin dan jaringan, masyarakat memilih orang yang mampunyai kemampuan di bidang teknis. Di Desa Oesao dan Desa Manusak, penyusunan aturan pokja dilakukan
191
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.3, November 2013 hal 140-216
Tabel 1. Gambaran Umum Kecamatan Modoinding dan Kecamatan Kupang Timur
Kondisi Fisik
Kembang • Dibangun th 2007, kondisi baik • Parkir mobil tidak ada, parkir motor luas 205 m. lingkungan • Ada 12 KM/WC, 2 rusak • Ada kipas angin 20 bh • Penampungan sampah rusak
Triwindu • Status milik pemkot, berasal dari hibah Mangkunegaran • LT/LB 1530 m2/1105 m2 dua lantai • Kondisi bangunan baik • Ada akses jalan dua arah dan dilewati angkutan perkotaan • Ada akses bongkar muat • Parkir menggunakan badan jalan
Nusukan • LT/LB 6531 m2 / 4850 m2 (dua lantai), renovasi tahun 2006 • Kondisi bangunan baik, ada tempat parkir kondisi baik, sampah kategori sedang • Lokasi strategis di pinggir jalan, ada jalur pejalan kaki, dilewati angkutan perkotaan
Sosial Budaya
• Paguyuban “Sekar Manunggal” beranggota 100 orang, yg aktif 25 orang • Tujuan menampung aspirasi pedagang, dan memecahkan masalah • Kegiatan bersama dengan pemkot dan Papasuta
• Paguyuban pasar Triwindu beranggota 70% pedagang, hanya sedikit anggota yg aktif (30%) • Tujuannya untuk mengatasi masalah di pasar • Melakukan kemitraan dengan bank mandiri • Ada koperasi pasar PERTADAN yang bermitra dengan mandiri, BTN, Bukopin • Ada kegiatan arisan
• Ada paguyuban dengan anggota aktif 60% • Kegiatan mengorganisir pekan seni, promo/social, membuat event seperti pasar murah • Bermitra dengan dinas koperasi, kegiatan utama simpan pinjam • Ada kegiatan arisan • Ada kegiatan pengajian
Ekonomi
• Jml pedagang: los 80, kios 30klemprakan 20, plataran luar 66 • Asal pedagang : mayoritas berasal dari Boyolali dan sukoharjo • Pembeli eceran dari wonogiri, sragen, Surakarta, sukoharjo • Pendapatan retribusi, los 20 jt/th, kios 33jt, plataran 29 jt/th
• Pasar khusus seni dan barang antiq dengan pasar lokal, nasional, dan internasional • Jml pedagang kios 255 SHP (30% kios tdk terisi) • Mayoritas pedagang menengah/besar • Pasokan barang dari batur, mojokerto, wonogiri, bandung, sukoharjo, bali, dll • Retribusi 25 jt/
• Jumlah pedagang 563 los, 108 kios, 160 klemprakan, dan 70 plataran luar • Asal pedagang dari Surakarta dan boyolali • Komoditi utama: sayur, grabadan, buah, jajan pasar/snack dll • Pasokan dari boyolali, pacitan, kebumen, • Retribusi los 126jt/ ?, kios 98 jt/? Plataran 29jt/
Gading • Pasar kelas II LT/LB 2283 m2/2283 m2 dua lantai • Kondisi bangunan baik, berada di pinggir jalan dua arah lebar, dilewati angkutan umum • Punya tempat parkir • Direnovasi tahun 2008, fasilitas sanitasi dan persampahan baik • Paguyuban pasar beranggota 300 orang, berfungsi meningkatkan kesejahteraan pedagang dan menambah modal • Ada arisan bulanan dan pengajian
• Jumlah pedagang mengisi penuh 204 los, 72 kios, 110 plataran dalam • Komoditi utama : sembako • Retribusi los 1,9 jt/bl, kios 2,9 jt/bl, 1,8 jt/bl • Biaya listrik 5 jt/bln
Sumber: Diolah dari Laporan Akhir Penelitian Puslitbang Sosekling 2011
Tabel 2. Potensi dan Permasalahan, Sosialisasi, Kelembagaan, Perkuatan Kelembagaan di Kecamatan Modoinding dan Kecamatan Kupang Timur Kol
Ket
1
Potensi dan Permasalahan
1.1
Alam
1.2
Sosial Kelembagaan
1.3
Irigasi
2
Sosialisasi
3
Kelembagaan
4
Perkuatan Kelembagaan
Modoinding A
Luas wilayah 6639ha, iklim kering, jenis tanah porous, Luas wilayah 17763, iklim tropis/ kering (kemarau 9bln, hujan komoditas: holtikultura, ketinggian > 1.000 m di atas 3bln) jenis tanah lempung pasir, komoditas padi-palawija, permukaan laut, wilayahnya berbukit-bukit, merupakan lahan tanah pertanian umumnya bukan sawah (basah) pertanian bukan sawah (basah) Sebagian besar (90%) masyakarat bermatapencaharian Penghasilan petani diperoleh dari komoditas jagung yang sebagai petani kentang. Penghasilan petani lebih besar dari jumlahnya dibawah 500.000/bulan. UMR Provinsi Sulawesi Utara (>Rp 1.000.000 per bulan.) Ada Tidak ada budaya bertani MAPALUS budaya bertani MAPALUS. Pernah dibangun irigasi alur, namun kondisi berbukit telah dibangun irigasi boks. Jaringan irigasi air tanah (JIAT) menyebabkan tidak mengalir jauh, maka irigasi ini tidak terdiri dari atas saluran terbuka dan saluran tertutup. digunakan. Masyarakat terpaksa menggunakan pompa alkon untuk mengambil air dari sumur irigasi boks. - Sosialisasi Aparat Kecamatan dan Desa - Sosialisasi Aparat Kecamatan dan Desa Desa Linelean, Kecamatan Modoinding direkomendasikan untuk mendapat layanan irigasi springkler dengan pertimbangan :
Desa Oesao dan Desa Manusak, Kecamatan Kupang Timur direkomendasikan untuk mendapatkan layanan irigasi springkler dengan pertimbangan:
Terdapat 6 kelompok tani yang masih aktif , empat diantaranya akan terlayani irigasi springkler yaitu Betania, Maesaan, Melati dan Permata. Sedangkan dua kelompok lainnya telah menggunakan irigasi springkler standard (mini springkler) yaitu Kemala dan Barito. Seluruh lahan pertanian di Desa Linelean dimiliki oleh petani setempat dengan total luas lahan sekitar 10 hektar. Sumber air permukaan yang melintas Kecamatan Modoinding adalah Sungai Boigar. Desa Linelean adalah desa terjauh dari sungai tersebut, sehingga petani harus mengambil air dari sungai menggunakan sepeda motor dan truk.
Di Desa Manusak, terdapat kelompok tani yang aktif dengan jumlah anggota 10 petani. Kelompok tani tersebut dinamai “GACINDA”. Sedangkan di Desa Oesao terdapat kelompok tani dengan nama “MANDIRI”. Jumlah anggota kelompok MANDIRI sekitar 15 orang. Lahan pertanian di kedua lokasi tersebut dimiliki oleh petani setempat. Rata-rata setiap petani memiliki lahan 0,5 hektar.Petani di Desa Oesao mengandalkan sumur pantek untuk mengairi lahannya. Meskipun demikian, jumlah air yang keluar tidak cukup untuk mengairi seluruh lahan. Sedangkan petani di Desa Manusak lebih mengandalkan air hujan.
- Sosialisasi Tokoh/Wakil Masyarakat
- Sosialisasi Tokoh/Wakil Masyarakat
Sosialisasi dilakukan secara informal Sudah ada kelembagaan yang kental di masyarakat antara lain kelompok PKK, kelompok tani, dan kelompok keagamaan. (sebagai dasar)
Sosialisasi dilakukan secara informal Kelembagaan masyarakat di lingkungan petani yakni PKK, Karang Taruna, Kelompok Tani, organisasi keagamaan, dan lain-lainnya. Penyusunan aturan pokja di Desa Oesao dan Desa Manusak, kecamatan Kupang Timur dilakukan melalui forum FGD yang dihadiri oleh seluruh anggota pokja Program BWS membangun sumur bor untuk air baku dan air pertanian. Teknologi sprinkler sudah ada, namun terkendala teknis, kurang siapnya masyarakat
Program BWS Pembangunan dan Peningkatan JIAT (Terkendala teknologi yang belum didukung kesiapan OP) Demplot Sosek dan Ujicoba Tanam tidak dilakukan
Sumber: Diolah dari Laporan Akhir Penelitian Puslitbang Sosekling 2011
192
Kupang Timur B
Demplot Sosek dan Ujicoba tanam tidak dilakukan
Penerapan Kelembagaan Operasi Pemeliharaan untuk Jaringan Irigasi pada Masyarakat Lokal Retta Ida Lumongga melalui forum FGD yang dihadiri oleh seluruh anggota pokja. Demikian pula hasil penerapan untuk penentuan besaran iuran, masyarakat desa setuju dengan adanya 2 jenis iuran, yaitu iuran pokok dan iuran bulanan. Untuk menetapkan besaran iuran, para petani mengadakan rapat yang dihadiri oleh seluruh petani. Rapat tersebut telah menghasilkan kesepakatan sementara yaitu besaran iuran bulanan. Petani di Desa Oesao sanggup membayar iuran bulanan sebesar Rp 10.000,00/ bulan dan petani di Desa Manusak sepakat iuran bulanan sebesar Rp 5.000,00/bulan dan iuran pokok sebesar Rp 25.000,00. Untuk memenuhi asas adil dan merata, besaran iuran tidak disamaratakan antara petani yang lahan garapannya sempit dan petani yang lahan garapannya luas. Oleh karena itu, disepakati bahwa iuran pokok tetap disamaratakan jumlahnya, namun untuk iuran rutin disesuaikan dengan luas lahan garapan yaitu Rp 5.000/ha/ bulan. Jumlah iuran ini dapat berubah sesuai kebutuhan.Selain iuran pokok dan bulanan, petani setuju untuk dimintai dana perbaikan luar biasa jika iuran rutin tidak mencukupi namun harus dirapatkan sebelumnya dan berdasarkan kerusakan yang terjadi. Untuk perkuatan kelembagaan adalah mengikuti enam tahap yang ada, yaitu: pelatihan, pembuatan demoplot, penyusunan rencana aksi, uji coba tanam, dan legalisasi lembaga. Yang berbeda adalah dalam proses legalisasi, pemilihan pengurus tidak dilakukan karena dipilih pada saat pembentukan struktur organisasi pokja. Analisis terhadap hasil ujicoba penerapan ini adalah, secara garis besar, tahapan-tahapan sebagaimana yang telah dijabarkan pada bab metode adalah dapat diterapkan, tetapi perlu dicatat bahwa ada beberapa tahapan yang masih memerlukan penyesuaian dengan kondisi setempat saat penerapan di lapangan. Terdapat perbedaan istilah yang digunakan oleh masyarakat pada daerah yang berbeda. Pada metoda wawancara melibatkan masyarakat desa selain pemerintah untuk memperoleh masukan dari dasar yang maksudnya para petani sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan JIAT dan implementasi pedoman kelak. Namun, dari sisi hasil, ada perbedaan diantara kedua kecamatan, dikarenakan adanya perbedaan kondisi, baik kondisi alam, sosial kelembagaan maupun kebutuhan irigasi. Untuk daerah Sulawesi Utara adalah lebih berbukit daripada Nusa Tenggara Timur, yang berpengaruh pada tingkat kesulitan pencapaian sumber mata air. Demikian juga jenis holtikultura yang berbeda. Penghasilan petani di Kecamatan Modoinding lebih besar daripada di Kecamatan Kupang Timur, sehingga untuk aspek sosial, kelembagaan dan perkuatan kelembagaan juga diperlukan penyesuaian sesuai kondisi setempat. Antusiasme masyarakat terhadap pembentukan OP
kelembagaan juga berbeda, Modoinding merespons dengan lebih antusias dibanding Kupang Timur. Masyarakat Modoinding yang mengenal budaya Mapalus lebih terbiasa dengan kelembagaan masyarakat dibanding masyarakat di Kupang Timur. Dari pembentukan kelembagaan, banyak sedikitnya pokja pada suatu kecamatan menentukan bentuk birokrasi kepengurusan, pada pokja yang kecil (hanya ada 1) jabatan petugas pemungut iuran dipangkas. Pada perkuatan, ujicoba tidak mencakup demplot sosek dan ujicoba tanam, dikarenakan kondisi tidak memungkinkan. Tidak dilakukannya demplot sosek dan uji coba tanam dikarenakan ketidaksiapan kondisi lapangan. Prinsip penerapan adalah bahwa pelaksanaan operasi pemeliharaan partisipatif dilakukan dengan berbasis pada sumber daya yang tersedia disekitar lokasi, diantaranya sumber daya alam, sumber daya manusia termasuk potensi kelembagaan berupa kelompokkelompok kerja yang telah ada. Pembentukan kelembagaan dilakukan bila belum ada lembaga yang terkait dengan pertanian atau irigasi, namun bila sudah ada lembaga tersebut,hanya perlu memperkuat dan menambah tugas fungsinya. Dalam pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air ini seluruh stakeholder, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat, terlibat sesuai dengan peran masing-masing. Pemerintah melakukan pembinaan,menyediakan perlindungan terhadap kegiatan masyarakat, menjembatani persoalan yang timbul antar pihak yang berhubungan dan melakukan pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air. Peran masyarakat adalah berpartisipasi sesuai kapasitas dan kemampuan atau sumberdaya yang dimiliki. Peran swasta adalah mitra dalam pembentukan kelembagaan dan penguatannya. Pembentukan pokja dimulai dari melakukan identifikasi potensi dan permasalahan (kondisi wilayah dan sosial ekonomi) yang merupakan bentuk pemetaan sosial ekonomi, yang menjadi pertimbangan dalam perencanaan pengembangan irigasi lahan kering. Pada tahap selanjutnya, sosialisasi program adalah menjadi sarana penyampaian rencana pengembangan irigasi tersebut dan rencana pembentukan kelompok kerja kepada pemerintah daerah setempat dan masyarakat. Sosialisasi dapat dilakukan secara formal dan informal, namun kekurangannya adalah belum adanya penjelasan akan penggunaannya. Diketahui kemudian bahwa pertemuan formal umumnya dihadiri oleh para stakeholder sesuai lingkup sosialisasi. Keuntungan dari pertemuan yang dilakukan secara formal adalah dihadiri oleh para pengambil keputusan. Kelemahannya adalah jalan diskusi yang didominasi oleh orang-orang yang mempunyai jabatan lebih tinggi sehingga akan membatasi kesempatan menyampaikan pendapat.
193
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.3, November 2013 hal 140-216
Metode ini dianggap cocok untuk sosialisasi kepada aparat pemerintah. Sedangkan pertemuan informal mempunyai keuntungan bahwa peserta pertemuan merasa lebih bebas menyampaikan pendapat atau aspirasi tanpa memandang jabatan atau strata, namun kelemahannya adalah sosialisasi seperti ini dipandang tidak resmi. Metode ini dianggap cocok digunakan untuk sosialisasi kepada masyarakat. Selanjutnya pada tahap tiga, pembentukan kelembagaan dalam hal ini setingkat desa yang disebut kelompok kerja (pokja). Di dalam pedoman disebutkan bahwa terdapat tiga agenda utama dalam proses pembentukan kelembagaan yaitu pembentukan pokja, penyusunan aturan kelompok dan perencanaan iuran dan operasi pemeliharaan. Dalam hal ini, metode informal lebih efektif daripada formal dilihat dari sisi perolehan informasi dan kebebasan berpendapat. Disini pertemuan difasilitasi baik oleh tim peneliti dan juga oleh tokoh masyarakat. Dari ujicoba, struktur organisasi kelompok kerja yang dihasilkan ternyata lebih sederhana daripada pada pedoman, yaitu terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Bendahara, Sekertaris, Operator, dan Anggota. Jika dilakukan perbandingan dengan Struktur Organisasi Pokja Sprinkler sesuai pedoman seperti yang telah dibahas pada kajian pustaka, maka berbeda dengan pedoman, pada struktur organisasi pokja sprinkler hasil ujicoba pedoman ini, disini Jurupungut hanya diperlukan bila dalam satu desa terdapat lebih dari satu kelompok kerja, demikan halnya dengan operator tingkat dusun adalah tidak diperlukan bila hanya ada satu sumur pompa di lokasi. Iuran anggota menurut para petani dapat langsung diberikan kepada bendahara sehingga tidak diperlukan adanya jurupungut. Pada penetapan besaran iuran, selain memperhatikan besar kebutuan operasi pemeliharaan juga dengan memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat di tempat kelembagaan OP, dengan
demikian pentingnya pemetaan ekonomi yang telah dilakukan sebelumnya. Iuran yang disepakati adalah adanya iuran pokok dan iuran rutin, yang besarnya disesuaikan dengan lahan dimiliki. Perbedaan besaran iuran adalah berdasarkan kemampuan masyarakat dan kesepakatan.Pada tahap empat yaitu perkuatan kelembagaan, aktifitas yang dilakukan antara lain pelatihan, demplot sosial ekonomi, penyusunan rencana aksi, ujicoba dan legalisasi. Dalam tahap ini, pelaksanaan pada dasarnya disesuaikan dengan tahapan yang tercantum dalam pedoman dan tidak ada perbedaan metode pelaksanaannya, namun dalam penelitian ini untuk ujicoba tanam tidak dilakukan juga pada proses legalisasi sudah tidak ada pemilihan pengurus lagi dikarenakan pengurus telah dipilih saat pembentukan struktur organisasi pada tahap sebelumnya.
KESIMPULAN
1. Untuk menjawab masalah bentuk kelembagaan operasi dan pemeliharaan lahan kering yang sesuai dengan karakteristik dan kearifan lokal daerah setempat, maka dalam penerapan model kelembagaan ini adalah perlu untuk dimungkinkan ada penyesuaian-penyesuaian, yaitu disesuaikan dengan karakteristik dan kearifan lokal di daerah tempat kelembagaan akan diterapkan. Kesimpulan ini mempertimbangkan hasil ujicoba yaitu dari penerapan kelembagaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi diketahui bahwa kelembagaan dibutuhkan dalam rangka keberlanjutan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi air tanah dengan bentuk kelembagaan yang paling sederhana adalah kelompok kerja (pokja) tingkat desa dengan struktur organisasi terdiri dari Penasehat, Ketua, Bendahara, Sekertaris, Operator, Anggota dan penyesuaian adalah pada keberadaan juru pungut untuk membantu bendahara yang
Gambar 2. Struktur Organisasi Pokja Sprinkler (Olah Hasil Penerapan)
Sumber : Laporan Akhir Penelitian Puslitbang Sosekling. 2011
194
Penerapan Kelembagaan Operasi Pemeliharaan untuk Jaringan Irigasi pada Masyarakat Lokal Retta Ida Lumongga keberadaannya harus disesuaikan dengan kondisi kelompok masyarakat di daerah penerapan, yaitu diadakan bila dalam desa tersebut terdapat lebih dari satu pokja. Penyesuaian bila di lokasi tersebut hanya terdapat satu pokja, maka jurupungut dapat ditiadakan. Juga untuk penetapan besaran iuran, selain berdasarkan kebutuhan operasi pemeliharaan, juga dengan memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat desa di lokasi penerapan kelembagaan OP.
2. Dari sisi cara yang digunakan untuk pertemuan, juga terdapat perbedaan terutama dalam rangka sosialisasi dan pembentukan kelembagaan. Pertemuan informal dianggap lebih efektif untuk berdiskusi dengan masyarakat desa, sedangkan pertemuan formal dianggap lebih efektif untuk berdiskusi dengan aparat pemerintahan. Pembentukan kelembagaan juga hanya perlu dilakukan bila di lokasi belum ada kelompok masyarakat, tetapi jika sudah ada, dapat memberdayakan kelompok masyarakat yang sudah berjalan dengan melakukan perkuatan. Perkuatan kelembagaan yang dilakukan setelah ada kelembagaan, dalam pelaksanaannya secara garis besar tidak berbeda. Aktivitas pemahaman daerah secara partisipatif terdapat dalam sosialisasi program, namun sebenarnya merupakan bagian dari proses pemetaan sosial ekonomi. Dalam ujicoba ini, masyarakat Modoinding dikarenakan mengenal budaya mapalus lebih terbiasa dengan sistem kelembagaan masyarakat bila dibandingkan masyarakat Kupang Timur.
Manan, Hilman. 2006. Teknologi Pengelolaan Lahan dan Air Mendukung Ketahanan Pangan. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian. Notohadiprawiro, Tejoyuwono. 1989. Pertanian Lahan Kering di Indonesia: Potensi, Prospek, kendala dan Pengembangannya. Bogor: Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija SFCDPUSAID. Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air dalam Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi Sprinkler. Puslitbang Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat. Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Ariyanto, Dwi Priyo. 2008. Organisasi Irigasi dalam Operasional dan Perawatan Irigasi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Kurnia, Undang. 2004. Prospek Pengairan Pertanian Tanaman Semusim Lahan Kering. Jurnal Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Laporan Akhir Penelitian. 2007. Peningkatan Peran Masyarakat dan Pemerintah daerah mendukung Penerapan Teknologi ke-PUan di Desa Akar-Akar, Nusa Tenggara Barat. Puslitbang Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat. Jakarta. Laporan Akhir Penelitian. 2011. Ujicoba Penerapan Kelembagaan Operasi Pemeliharaan Irigasi Lahan Kering. Jakarta: Puslitbang Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat.
195