IMPLEMENTASI SPIRIT “HOLOPIS KUNTUL BARIS” UNTUK MEWUJUDKAN INKLUSIFITAS PENDIDIKAN DI JAWA TIMUR Oleh: Drs. H. Abdul Halim Iskandar, M.Pd. (Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur)
Pengantar Harus diakui bersama bahwa, sampai saat ini masih banyak anak dan remaja masih mengalami keterpinggiran, yang disebabkan oleh status kewargaannya. Di banyak daerah pedalaman dan terpencil, sebagaimana terjadi pada anak-anak buruh perkebunan di Kabupaten Jember dan sekitarnya, anak buruh migran di Tulungagung dan Trenggalek, pekerja rumah rumah tangga dan anak serta anak yang dilacurkan di Surabaya, yang mengalami keterpinggiran dari berbagai layanan sosial, baik pendidikan, kesehatan, kependudukan, serta layanan publik lainnya. Kondisi serupa juga dapat ditemukan di daerah terpencil lainnya di Jawa Timur, seperti di Daerah Kepulauan di Madura, maupun daerah-daerah terpencil lainnya. Akibat keterpenggiran tersebut, maka anak-anak tersebut, distereotipkan sebagai pembuat masalah (nakal, tidak tahu sopan santun bahkan kriminal). Toleransi terhadap perilaku sosial yang dianggap melenceng dari norma khalayak tersebut, masih sangat rendah. Dalam beberapa kasus anak jalanan bahkan dikriminalkan karenanya. Keterpinggiran
tersebut,
banyak
disebabkan
oleh
karena
kemiskinan orang tua atau ketidakhadiran negara dalam memberikan layanan sosial, khususnya layanan pendidikan pendidikan. Padahal, Pendidikan adalah salah satu aspek pelayanan dasar yang menjadi hak setiap warga negara. Dalam pembukaan (premabule) UUD 1945 maupun dalam Pasal 31 UUD 1945 telah dijelaskan bahwa salah satu tujuan didirikannya Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan
1
bangsa. Dengan demikian setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan negara berkewajiban menjamin setiap warga negaranya mendapatkan akses pendidikan yang memadai. Artinya pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar manusia, karena dengan pendidikan manusia memperoleh ilmu pengetahuan, nilai, sikap, serta keterampilan sehingga manusia dapat menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Melalui pendidikan juga, kualitas sumber daya manusia dapat meningkat, sehingga memiliki kemampuan dan keterampilan untuk membawa bangsa ke arah yang lebih baik. Itulah kenapa negara wajib memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali. Termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel), maupun mereka yang termarjinalkan secara sosial-ekonomi (anak buruh tani, anak nelayan miskin, pekerja anak di perkebunan dan rumah tangga, buruh informal di wilayah urban, anak yatim-piatu, dsb). Namun, meski sudah tercantum dalam Undang-undang dasar, dalam praktiknya tidak semua anak bangsa merasakan hak yang sama dalam hal akses pendidikan. Tidak sedikit anak-anak kita yang sampai sekarang masih tereksklusi dari dunia pendidikan karena berbagai sebab. Dalam konteks pelaksanaan pendidikan umum (mainstream), persepsi mayoritas masyarakat kita masih beranggapan bahwa pendidikan hanya berlaku untuk siswa/siswi yang berkategori “normal” atau tidak mengalami disabilitas (keterbatasan fisik). Sekilas persepsi semacam itu nampak bukan
masalah
besar.
Padahal
kelemahan
yang
tampak
dari
penyelenggaraa pendidikan seperti ini adalah tidak terakomodasinya kebutuhan idividual siswa di luar kelompok siswa “normal” (siswa/siswi penyandang disabilitas). Kondisi tersebut mencerminkan kondisi yang disebut sebagai PENDIDIKAN EKSKLUSI.
2
Contoh
lain
dari
Pendidikan
Eksklusi
adalah
ketika
sistem
pendidikan di negeri ini masih belum mampu merangkul siswa/siswi dari kalangan marginal atau masyarakat yang terpinggirkan secara sosialekonomi. Karena kemiskinan yang mendera, maupun karena tidak tersedianya infrastruktur untuk akses pendidikan. Karenanya, banyak anak-anak dari kalangan masyarakat marginal secara ekonomi, dan marginal dari sisi tempat tinggal, tidak mampu mengenyam pendidikan dasar dan menengah. Hal tersebut juga menjadi cerminan bahwa sistem pendidikan mainstream masih cenderung mengeksklusi (meminggirkan) siswa/siswi dari kalangan disabel dan juga mengeksklusi anak-anak dari kelompok masyarakat marginal. Sebagai contoh. Merujuk “Hasil Pendataan Perlindungan Sosial (PPLS) 2011,” Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) 2012 mengungkap data bahwa di dalam Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) ditemukan anak yang berusia 7–17 tahun yang tidak sekolah dan bekerja sebanyak 177.374 anak. Anak ini sering bekerja di sektor pertanian, perikanan, perdagangan, jasa, dll. Sebagian besar pekerja anak bekerja pada jam kerja yang panjang, yaitu diatas 25 jam per minggu. Data ini mengungkapkan bahwa sebagaian besar pekerja anak berumur dibawah 15 tahun dengan status tidak sekolah dan bekerja. Hal
tersebut
kompatibel
dengan
hasil
kajian
organisasi
buruh
internasional (ILO) pada tahun 2009 yang melaporkan bahwa lebih dari 1,5 juta anak usia antara 10-17 tahun telah bekerja dan tidak sekolah, sebagian besar bekerja di sektor pertanian dan perkebunan. Mereka di antaranya tersebar di Sumatra Utara (155,196 anak), Jawa Tengah (204,406 anak), Jawa Timur (22,075 anak), dan tentu saja di Kalimantan yang marak dengan perkebunan sawit dan karet. Pendekatan Pendidikan Inklusi
3
Sebagai upaya melawan kecenderungan di atas, muncul sebuah pendekatan yang dinamakan pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan
dengan
meniadakan
hambatan-hambatan
yang
dapat
menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Ahuja, 2003). Demikian juga halnya, pendidikan inklusi harus dimaknai sebagai pelayanan pendidikan anak-anak termarginalkan untuk dididik bersama-sama anak didik lainnya demi optimalisasi potensi yang dimilikinya Namun, dalam penyelenggaraannya pendekatan pendidikan inklusi tersebut
masih
belum
terlaksana
dengan
baik
karena
tidak
terakomodasinya banyak kebutuhan siswa penyandang disabel maupun kurang
terakomodasinya
anak-anak
yang
termarginalkan
dalam
menggapai akses pendidikan formal. Bagi Tarmansyah (2009) salah satu sebab belum optimalnya pendidikan inklusi adalah lemahnya good will (kemauan) sekolah/penyelenggara pendidikan, baik pemerintah maupun masyarakat untuk memperbaiki pendekatannya. Sebab sekolah dengan orientasi inklusif adalah lembaga yang paling efektif untuk mengatasi diskriminasi,
menciptakan
komunitas
ramah,
membangun
suatu
masyarakat inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua. Padahal, menurut secara regulasi, penyelenggaraan pendidikan inklusi sudah diatur oleh pemerintah melalui Permendiknas nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif. Namun, menurut Trimo (2012), masih terdapat beberapa permasalahan krusial yang bermuara pada pemenuhan delapan standar nasional.
4
Holopis Kuntul Baris; Filosofi Nusantara untuk Mewujudkan Inklusifitas Pendidikan Masih belum optimalnya program pendidikan inklusi, terutama bagi anak-anak di Jawa Timur adalah representasi dari kurang optimalnya peran para aktor (stakeholders), terutama perumus dan pelaksana kebijakan di level eksekutif, dalam menyusun desain kebijakan yang berpihak kepada anak-anak didik yang masih mengalami problem ekslusi sosial dan ekslusi pendidikan. Kenapa bisa seperti itu? Sebab persoalan ekslusi pendidikan merupakan masalah yang sistemik dan melibatkan banyak pihak. Mulai dari unit sosial terkecil, yakni keluarga, lingkungan sekitar, komponen civil society, sampai pemerintah selaku pemegang mandat kekuasaan untuk membuat formulasi-formulasi kebijakan. Oleh karena itu, dalam konteks ini, masih terjadinya fenomena ekslusi pendidikan di Jawa Timur adalah akibat dari tidak optimalnya fungsi (disfungsi) dari stakeholders tersebut. Maka, dibutuhkan komitmen bersama (good will) dari masingmasing aktor untuk bekerja keras mewujudkan cita-cita terciptanya pendidikan inklusi di Jawa Timur. Sebagai sebuah sandaran nilai dan basis filosofis, kita tidak perlu jauh-jauh meminjamnya dari bangsa lain. Sebab para leluhur kita sudah meninggalkan sebuah warisan tata nilai kebersamaan dan gotong royong yang kita kenal sebagai semboyan, “HOLOPIS KUNTUL BARIS” Dalam kamus bahasa Jawa, HOLOPIS KUNTUL BARIS berarti, “saiyeg saeka praya, bebarengan mrantasi gawe.” Maksudnya kurang lebih bekerja dengan gotong royong. Dengan demikian, ungkapan Holopis
Kuntul Baris adalah metafor dari para sesepuh bijak di Nusantara untuk melambangkan makna penting dari kebersamaan, keguyuban atau spirit gotong royong dalam masyarakat Nusantara.
5
Kenapa harus menggunakan burung kuntul sebagai lambang metafor? Sebab karakter burung Kuntul merupakan burung yang sangat kolektif dalam kesehariannya. Secara sosio-biologis, burung kuntul merupakan kelompok burung air dari famili Ardeidae yang terdiri dari 6 (enam)
spesies,
yaitu;
Egretta
Alba,
Egretta
Garzetta,
Egretta
Intermediate, Egretta Sacra, Egretta Eulophotes dan Bubulcus Ibis. Seperti burung air lainnya, burung kuntul dalam hidupnya sangat kolektif dalam bermigrasi mencari makanan, membangun sarang, maupun saling memberi perlindungan dari ancaman pemangsa (MacKinnon, 1993). Selain itu, burung Kuntul merupakan salah satu hewan yang gampang ditemui dan
gampang
dikenali
dalam
lingkungan
kehidupan
masyarakat
Nusantara. Sehingga burung Kuntul sudah akrab dalam kosmologi masyarakat Nusantara, khususnya Jawa. Oleh
karena itu, ketika
menggelorakan semangat revolusi kemerdekaan, Bung Karno juga menggunakan ungkapan Holopis Kuntul Baris untuk mengobarkan semangat persatuan dan gotong royong dalam perjuangan melawan penjajah. Yudi Latif dalam buku, “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas,
dan Aktualitas Pancasila” (2011) mengatakan, jika harus diringkas dengan sangat padat, sesungguhnya hakikat inti dari Pancasila sebagaimana dirumuskan Soerkarno dalam pidato 1 Juli 1945 di sidang BPUPKI adalah Gotong Royong. Dengan demikian sesungguhnya semangat gotong royong adalah elan vital dari Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara kesatuan Republik Indonesia. Konklusi awal yang dapat kita garisbawahi adalah, semangat Holopis Kuntul Baris merupakan nilai hidup yang sudah tertanam dalam benak masyarakat Nusantara. Manifestasinya adalah prinsip Holopis Kuntul Baris tersebut menjadi salah satu dasar dari penyusunan Pancasila.
6
Maka, hanya dengan merevitalisasi prinsip HOLOPIS KUNTUL BARIS, maka visi pemerintah yang ingin mewujudkan Pembangunan Inklusif akan terwujud, yaitu semua warga terlibat dalam seluruh proses pembangunan sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing, dan semua warga juga berhak menikmati hasil pembangunan tersebut, tanpa terkeculi, termasuk warga yang selama ini masih tereksklusi. Sebab keberhasilan pendidikan inklusi mensyaratkan pendekatan dua arah yaitu pendekatan penguatan pada pihak yang terpinggirkan dan pendekatan perubahan
perilaku
pada
masyarakat
maupun
pemerintah
untuk
terwujudnya penerimaan dan toleransi dalam kehidupan sosial. Penutup Berdasarkan skema tersebut menjadi indikasi bahwa persoalan pendidikan inklusi tidak dapat diselesaikan oleh salah satu aktor saja. Melainkan harus dilaksanakan dengan semangat kolektivitas tinggi yang berbasis pada good will serta political will dari seluruh aktor; mulai dari eksekutif, legislatif, penyelenggara layanan pendidikan, civil society, orang tua/keluarga,
aparatur
masyarakat/agama.
desa,
Melalui
lingkungan
kolektivitas
sekitar,
tersebut,
serta maka
tokoh problem
ekslusivitas anak dan remaja di Jawa Timur akan teratasi dengan mudah. Disinilah,
urgenisitas
semangat
kebersamaan
dibutuhkan
untuk
menyelesaikan problem-problem sosial di Jawa Timur. Akhirnya, sekali lagi saya sampaikan penghargaan yang setinggitingginya serta ungkapan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang dengan ikhlas bekerja untuk mewujudkan inklusivitas sosial di Jawa Timur dan Indonesia. Untuk itu pula, saya siap memfasilitasi berbagai kegiatan dan bekerja bersama semua pihak, untuk mewujudkan inklusi sosial khususnya di Jawa Timur. HOLOPIS KUNTUL BARIS!.
7
Referensi Ahuja, A. (2003). Inclusive Education Pilot Project In Bandung Indonesia, Consultant Report. UNESCO, Bangkok, Thailand ILO, 2009,
Survei Pekerja Anak Indonesia (SPAI)
Hildegum Olsen. 2003. Pendidikan Inklusif Suatu Strategi Manuju Pendidikan Untuk Semua (Materi Lokakarya)Mataram : Direktorat PSLB. ILO. 2009. Survei Pekerja Anak Indonesia (SPAI) Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Tarmansyah. 2009. Pelaksanaan Pendidikan Inklusifdi Sd Negeri 03 Alai Padang Utara Kota Padang. Pedagogi: Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan. Volume IX No.1. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). 2012. Hasil Pendataan Perlindungan Sosial (PPLS) 2011. Trimo. 2012. Manajemen Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif: Kajian Aplikatif Pentingnya Menghargai Keberagaman Bagi AnakAnak Berkebutuhan Khusus. JMP Volume 1 Nomor 2.
8