perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST WOMEN (CEDAW) DALAM PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (STUDI DI SPEK-HAM SOLO)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persayaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh YUDANTO PRAWIRA PERTAMA NIM: E0007285
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi)
IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST WOMEN (CEDAW) DALAM PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (STUDI DI SPEK-HAM SOLO) Oleh YUDANTO PRAWIRA PERTAMA NIM.E0007285
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta,
Dosen Pembimbing I
Mei 2013
Dosen Pembimbing II
Siti Muslimah, S.H., M.H
Mulyanto, S.H., M.Hum
NIP. 19700926 1994032001
NIP. 19831210 2008011008
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST WOMEN (CEDAW) DALAM PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (STUDI DI SPEK-HAM SOLO)
Oleh YUDANTO PRAWIRA PERTAMA NIM.E0007285
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada : Hari
: jum‟at
Tanggal : 12 Juli 2013
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DEWAN PENGUJI
1. Sasmini, S.H., L.LM :…………………………………………… NIP. 19810504 2005012001
2. Siti Muslimah, S.H., M.H :……………………………………………. NIP. 19700926 1994032001
3. Mulyanto, S.H., M.Hum :…………………………………………….. NIP. 19831210 2008011008
Mengetahui Dekan,
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H, M.Hum. NIP. 195702031985032001
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Yudanto Prawira Pertama
NIM
: E0007285
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Penulisa hukum (skripsi) berjudul IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST WOMEN (CEDAW) DALAM PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (STUDI DI SPEK-HAM SOLO) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam Penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan Penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari Penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 23 Mei 2013 Yang membuat pernyataan
Yudanto Prawira Pertama NIM. E0007285 commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Yudanto Prawira Pertama, E0007285. 2013. IMPLEMENTASI PRINSIPPRINSIP CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST WOMEN (CEDAW) DALAM PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (STUDI DI SPEK-HAM SOLO). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) terhadap penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan oleh SPEK-HAM Solo dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas implementasi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif. Lokasi penelitian di kantor Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Solo. Jenis data yang dipergunakan meliputi data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan meliputi: wawancara dan studi kepustakaan baik berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumendokumen dan sebagainya. Analisis yang digunakan yaitu analisis data kualitatif. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa implementasi CEDAW terhadap penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan telah sesuai dengan CEDAW. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas dari implementasi CEDAW adalah pertama, mengenai substansi hukumnya sudah baik. Kedua, aparat penegak hukumnya khususnya pihak kepolisian yang masih mendahulukan birokrasi serta prosedur-prosedur yang memperlambat pemberian pertolongan. Ketiga, sarana dan fasilitas yang digunakan telah sesuai dengan CEDAW. Keempat, faktor lemahnya pemahaman hukum warga masyarakat mengenai CEDAW, sehingga kasus-kasus kekerasan berbasis gender yang menimpa kaum perempuan sering terjadi khususnya di ranah privat atau keluarga.
Kata kunci : Implementasi CEDAW, kekerasan terhadap perempuan
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Yudanto Prawira Pertama, E0007285. 2013. THE IMPLEMENTATION OF CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST WOMEN (CEDAW) PRINCIPLES IN MANAGING WOMEN VIOLENCE CASE (A STUDY ON SPEK-HAM IN SOLO). Faculty of Law of Sebelas Maret University. This research aimed to find out the implementation of Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) principles to the management of women violence case by SPEK-HAM Solo and to find out the factors affecting the effectiveness of the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). This study was an empirical descriptive law research. The research was taken place in the office of Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM = Women Solidarity for Humanity and Human Rights) Solo. The types of data employed were primary and secondary data. Techniques of collecting data used were interview and library study, constituting books, legislation, document and etcetera. The technique of analysis employed was qualitative data analysis. Considering the research it could be found that the implementation of CEDAW to the management of violence against woman case had been consistent with CEDAW. The factors affecting the effectiveness of CEDAW implementation were firstly, regarding the law is good. Secondly, the law enforcers particularly police officer still transcended bureaucracy and procedure leading to delayed help giving. Thirdly, the infrastructure and facility used had been consistent with CEDAW. Fourthly, the low understanding of law among the members of society about CEDAW made the gender-based violence cases frequently befell the women in private or family domain.
Keywords: CEDAW Implementation, Violence against Women
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Jadikanlah masa lalu sebagai pembelajaran, hari ini sebagai anugerah, dan masa depan sebagai hadiah dari Yang Maha Kuasa.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Karya ini Penulis persembahkan kepada :
Ibu dan Bapak, doamu adalah energiku dan harapanmu adalah semangatku
Teman-teman HMI Komisariat Fakultas Hukum UNS
Teman-teman kos Superboyo, keluarga ku di Solo
Fakultas Hukum UNS
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kata Pengantar Alhamdulillahhirobbil‟alamin. Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufik dan hidayah -Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Penulisan
Hukum
berjudul: “IMPLEMENTASI PRINSIP-
(skripsi) yang
PRINSIP CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST WOMEN (CEDAW) DALAM PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (STUDI DI SPEK-HAM SOLO)”. Skripsi
ini
Penulis
susun
sebagai
salah
satu
persyaratan
untuk
memperoleh gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis berharap dengan Penulisan hukum ini akan timbul adanya kesadaran penuh di tengah-tengah masyarakat dan pemerintah untuk mencegah, mengantisipasi dan segera melaporkan ke pihak yang berwajib atau lembaga swadaya masyarakat yang berkompeten khususnya SPEK-HAM Solo bila ditemukan adanya suatu kekerasan terhadap perempuan yang berbasis gender di lingkungannya. Konvensi CEDAW dapat diimplementasi secara baik dan optimal oleh seluruh lapisan masyarakat. Terwujudnya Penulisan Hukum (skripsi) ini tidak lepas dari bantuan segenap pihak, untuk itu perke nankanlah Penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Ibu Sri Lestari, S.H., M.H
selaku Kepala Bagian Hukum internasional
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Bapak Mohammad Adnan, SH, M.Hum selaku Kepala Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. 4. Ibu Siti Muslimah, S.H., M.H. dan Bapak Mulyanto, S.H., M.Hum selaku pembimbing Penulisan hukum ini yang telah dengan ikhlas dan sabar serta tanggung jawab dalam memberikan bimbingan dan arahan guna penyelesaian Penulisan hukum ini. 5. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik. 6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah banyak berjasa memberikan ilmu pengetahuan kepada Penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 7. Ibu Nila Ayu Puspaningrum dan Ibu Maria Sucianingsih serta seluruh anggota SPEK-HAM Solo yang telah membantu saya baik secara langsung maupun tidak langsung dan memberikan izin serta data guna penyelesaian Penulisan hukum ini. 8. Ibunda dan Ayahanda serta Adik saya Erwin Rinaldi Gautama dan Yogi Primadiza yang selalu memberi cinta kasih, perhatian, dorongan dan semangat serta restu yang tulus diberikan kepada Penulis. 9. Kawan-kawan Komisariat Himpunan Mahasiswa Islam Fakultas Hukum UNS atas semangat dan dorongannya. Gopal, Refi, Dayat, Edi, dan Shinta terima kasih atas dukungan dari kalian semua selama ini. 10. Keluarga Besar SUPERBOYO yang sudah menjadi teman, sahabat, keluarga saya selama merantau di kota Solo ini, dan Keluarga Besar Iyan Rachmat atas doa dan dukungannya selama ini. 11. Teman-teman kampus Universitas Sebelas Maret Surakarta yang sudah mensupport dan memotivasi saya untuk segera menyelesaikan kuliah saya. 12. Dan para pihak “di belakang layar” yang telah banyak membantu dalam Penulisan Hukum ini, yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, semoga commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Allah swt membalasnya dengan kebaikan yang lebih atas jasa-jasa yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa di dalam Penulisan Hukum (skripsi) ini masih terdapat
banyak
kekurangan
karena
keterbatasan -keterbatasan
pengetahuan
Penulis. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca akan diterima dengan senang hati demi perbaikan-perbaikan di masa mendatang. Semoga Penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama untuk Penulisan, kalangan akademisi, praktisi dan masyarakat umum. Surakarta, 23 Mei 2013
Penulis
YUDANTO PRAWIRA PERTAMA
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………………………………….………………….….... i HALAMAN PERSETUJUAN………………………...….………………….……. ii HALAMAN PENGESAHAN…………...………………………………….…….. iii HALAMAN PERNYATAAN………………………...………………….…………v ABSTRAK…………..………………………………………………….…..……… vi HALAMAN MOTTO……………………………………………...………..…….. viii HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………...…………..………... ix KATA PENGANTAR……………………………………………..……………….. x DAFTAR ISI……………………………………………………………….……… xiii DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….………... .xv
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah ……………………………………………….. 1
B.
Perumusan Masalah…………………………………………………….. 8
C.
Tujuan Penelitian……………………………………………………….. 9
D.
Manfaat Penelitian……………………………………...…….……….... 9
E.
Metode Penelitian…………………………………………........………. 9
F.
Sistematika Penulisan Hukum………………………………...……….. 15
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kerangka Teori………………….…………………………………..... 18
A. 1.
Tinjauan Tentang Konsep Seks dan Gender……………….……… 18
2.
Tinjauan Tentang Kekerasan……………………………………..... 21 a.
Pengertian Kekerasan………………………………..………. 21
b.
Jenis-Jenis Kekerasan Terhadap Perempuan……………….... 22
3.
Tinjauan Tentang Konvensi CEDAW…………………………..…. 25
4.
Tinjauan Tentang Perjanjian Internasional……………………..….. 28
5.
Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum………………………..…….. 32 Kerangka Pemikiran……………………………………………..……. 34
B.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.
Implementasi Prinsip-Prinsip The Convention On The Elimination Of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Di SPEK-HAM Solo…… ..… 36
B.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Prinsip-Prinsip CEDAW…………………………………………………………….…. 62 1.
Mengenai Kaidah Hukum atau Substansi Hukum………………….. 62
2.
Mengenai Petugas /Penegak hukum atau Struktur Hukum……….....65
3.
Mengenai Sarana dan Fasilitas……………………………………... 67
4.
Mengenai Kesadaran Masyarakat Yang Berkaitan Dengan Budaya Hukum…………………………………………………………….... 68
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP A.
Simpulan………………………………….………………….………… 72
B.
Saran……………………………………………..…………………….. 73
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran………………………………………..…… 34
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perempuan adalah makhluk ciptaan Tuhan yang mulia serta memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki, maka sudah seharusnya perempuan juga dapat mendapatkan kesempatan yang sama seperti halnya laki-laki. Terdapat banyak peraturan-peraturan baik internasional maupun nasional yang mengakui adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, salah satunya seperti Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau yang biasa disebut dengan CEDAW. CEDAW merupakan konvensi yang berisi tentang hak asasi perempuan yang mendapat persetujuan dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Desember 1979 dan kemudian dinyatakan berlaku pada tahun 1981 setelah 20 negara meratifikasi. Konvensi ini dibentuk sebagai usaha bagi kaum perempuan untuk mendapatkan hak-haknya sebagai perempuan sekaligus sebagai manusia pada umumnya yang telah lama diabaikan. CEDAW terkandung tiga prinsip. Pertama, prinsip non diskriminatif yang menurut konvensi ini, mempunyai maksud bahwa pengertian dari diskriminasi terhadap perempuan adalah “setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.”. Segala tindakan yang tersebut commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
di atas merupakan bentuk diskriminasi perempuan dan setiap negara di dunia harus dapat memberikan perlindungan kepada perempuan dari bentukbentuk tersebut. Kedua, prinsip persamaan atau keadilan substantif yang mempunyai makna bahwa setiap perempuan mendapatkan persamaan atau keadilan dalam berbagai aspek, terutama aspek budaya, peraturan, dan hukum sehingga perempuan mendapat bagian sesuai dengan proporsinya tanpa melupakan kodrat yang sudah diberikan oleh Tuhan itu sendiri. Prinsip ini mengakui bahwa benar adanya perempuan itu berada pada posisi yang lemah atau tidak setara serta tidak seimbang, oleh sebab itu perempuan harus diberlakukan secara berbeda dengan outputnya yaitu manfaat dan hasil akhir yang setara (Valentina Sagala, Ellin Rozana. 2007: 17-18). Ketiga, prinsip kewajiban negara yang tertuang di dalam Pasal 2 sampai 5 serta Pasal 18 CEDAW, mengenai pembuatan laporan pelaksanaan Konvensi. Prinsip ini memiliki tujuan bahwa negara berkewajiban untuk tidak menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan serta mengharuskan negara untuk tidak membuat peraturan perundang-undangan, kebijakan, program-program, dan lain-lain yang baik secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan perempuan tidak dapat menikmati secara setara hak-haknya. Negara juga berkewajiban untuk menyediakan peralatan, cara, kesempatan, mekanisme yang efektif untuk melindungi hak asasi perempuan (Kelompok kerja Convention Watch. 2012: 381-383).
Prinsip-prinsip yang dijelaskan diatas adalah tiga prinsip yang menjadi jiwa di dalam CEDAW ini dan menjelaskan secara rinci bahwa posisi perempuan sebenarnya dapat disetarakan dengan posisi laki-laki. Tapi commit to user
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
di dalam kenyataannya yang terdapat di struktur masyarakat Indonesia dan juga dunia internasional pada umumnya sampai saat ini, masih dapat ditemukan adanya kesenjangan hak dan kewajiban serta peranan pria dan perempuan yang disebabkan oleh sistem patriarki. Sistem patriarki merupakan sistem yang mengakibatkan timbulnya pria sebagai pihak yang superior atau yang diutamakan, sedangkan perempuan sebagai pihak yang tersubordinasikan. Akibat lain yang ditimbulkan dari adanya kesenjangan antara status dan peran antara pria dan perempuan ialah timbulnya kekerasan terhadap perempuan yang berbasis gender (L.M. Gandhi Lapian. 2012: 19-21). Contoh kasus yang ada di bagian belahan dunia lain mengenai kekerasan terhadap perempuan berbasis gender antara lain seperti di negara Afrika selatan, dimana masih berkecamuknya perang saudara di negara ini sampai dengan sekarang yang mengakibatkan perempuan di negara ini menjadi korban kekerasan dan penindasan berbasis gender. Di Guatemala ketika terjadi konflik bersenjata internal yang dilakukan oleh kelompok pemberontak bersenjata dengan tujuan untuk melawan kekerasan negara dan berupaya merebut kekuasaan politik, posisi perempuan dalam konflik tersebut sangat tidak bagus, perlakuan yang diterima oleh perempuan yang menjadi korban dari konflik yang memanas tersebut berupa penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, dan perkawinan paksa dengan cara ditawan (forced union with captors) (Ruth Rubio-Marin. 2008: 31-35, 95-101). Perempuan
di
Indonesia
masih
sering
mendapat
perlakuan
diskriminatif dan sering terlupakan keadilannya. Masih banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan baik secara fisik maupun psikis, hal ini terjadi karena tidak seimbangnya relasi antara korban atau perempuan commit to user
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan pelaku, contohnya dalam rumah tangga di mana suami memiliki posisi sebagai kepala keluarga (budaya Patriarkhi). Kekerasan terhadap istri bukanlah kekerasan biasa, kekerasan ini adalah sebuah gambaran mengenai relasi kekuasaan yang tidak seimbang dalam sebuah hubungan perkawinan (Dewita Hayu S, Oetari Cintya B, 2007: 6). Fenomena kekerasan terhadap perempuan sama sekali bukan merupakan masalah kelainan individual, akan tetapi merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang membentuk ketimpangan relasi yang kemudian tercipta pembagian kekuasaan yang lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan. Kenyataan ini kemudian menciptakan sebuah kondisi sosial yaitu, penggunaan kekuasaan yang berlebihan dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap pihak yang lebih lemah. Dan kekerasan terhadap perempuan berperan dalam pelestarian kondisi pembagian kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, ditambah lagi dengan masyarakat Indonesia yang terlanjur meyakini notion palsu yang mengatakan bahwa secara kodrati perempuan kurang pandai dan lebih lemah dari laki-laki, karena itu sebagian masyarakat Indonesia masih percaya pada adanya pembagian kerja secara seksual yang mensubordinasikan perempuan. Sejumlah steorotipe pun lantas melekat pada kaum perempuan dan laki-laki Indonesia. Ada semacam pemakluman bahwa perempuan adalah emosional, bodoh, penakut, cengeng. Hal-hal semacam inilah yang berkembang dalam masyarakat kita yang dapat menyebabkan perempuan menjadi target yang mudah untuk menjadi korban kekerasan (Achie Sudiarti Luhulima, 2000: 117-121). Indonesia telah meratifikasi CEDAW dalam Undang-Undang No 7 Tahun 1984, oleh karena itu pemerintah wajib menerapkan prinsip-prisnsip tersebut dalam peraturan dan kebijakannya. Secara hukum, perlindungan commit to user
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terhadap kaum perempuan memang telah terbentuk dan sudah berkekuatan hukum tetap seperti yang dijelaskan pada paragraf di atas. Tetapi pada kenyataannya untuk negara Indonesia sendiri berdasarkan data yang dimuat dalam harian Kompas tertanggal 16 Januari 2009, pada 2007 terdapat 17.772 kasus kekerasan terhadap istri, sedangkan
berdasarkan catatan Komisi
Nasional Perempuan tercatat kekerasan terhadap istri pada tahun 2006 sejumlah 1.348 kasus (http://www.spekham.org/archives/140, di akses pada tanggal 14 juni 2012 pada pukul 09.08 WIB). Tahun 2010 menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, sejumlah 383 lembaga mitra yang mengirimkan datanya kepada Komnas Perempuan, jumlah perempuan korban kekerasan sebanyak 105.103 orang, dimana 96 persennya masih didominasi oleh KDRT. Kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas tercatat 3.530 kasus, dan ranah negara 445 kasus. Kekerasan seksual yang dicatat oleh lembaga mitra mencakup: pelecehen seksual, pencabulan, percobaan perkosaan, perkosaan dan persetubuhan. Tahun 2011 Komnas Perempuan menangani 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan rincian sebanyak 113.878 kasus (95,61 persen) di antaranya adalah kekerasan yang terjadi di ranah domestik sementara 5.187 kasus terjadi di ranah publik dan 42 kasus terjadi di ranah negara. Berdasarkan laporan dari 395 lembaga layanan perempuan di Indonesia, perempuan yang menjadi korban kekerasan berada pada usia 13-40 tahun, namun kelompok yang paling rentan ada di usia 25-40 tahun dan sebanyak 87 kasus dari data yang ada itu berorientasi seksual sejenis dan transgender (http://id.berita.yahoo.com/kekerasan-terhadap-perempuancapai-119-107-kasus-081823285.html, di akses pada tanggal 14 juni 2012 pada pukul 11.35 WIB).
commit to user
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sementara menurut data dari SPEK-HAM Solo, kasus kekerasan di Karesidenan Solo sebagai berikut : Tahun KDRT
Perkosaan Pencabulan KDP
Traficking Jumlah
2007
25
4
4
0
0
33
2008
19
1
0
0
0
20
2009
33
0
0
0
0
33
2010
35
1
3
6
7
52
2011
16
5
2
2
1
26
(sumber: SPEK-HAM Solo, http://www.spekham.org/archives/1863 di akses pada tanggal 14 juni 2012 pada pukul 09.35 WIB)
Data di atas menjelaskan bahwa kota Solo juga tidak luput dari problematika kekerasan yang ditujukan kepada perempuan. Tabel diatas menunjukkan masih tidak stabilnya angka-angka tersebut dari tahun ke tahun. Angka pada tabel di atas bukanlah jumlah secara keseluruhan dari kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di kota Solo, karena masih adanya black number yang merupakan kendala untuk mendapatkan jumlah data secara lengkap dan menyeluruh. Fenomena gunung es adalah fenomena dimana apa yang terlihat di permukaan adalah sebagaian kecilnya saja sedangkan apa yang tidak terlihat atau yang berada di bawah permukaannya jauh lebih besar dari pada apa yang terlihat. Fenomena seperti inilah yang terjadi ketika dihadapkan pada kasus kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga dimana perempuan cenderung untuk lebih menyimpan rapat-rapat masalah tersebut karena perasaan malu terhadap masyarakat sekitarnya. SPEK-HAM Solo merupakan lembaga swadaya masyarakat yang didirikan pertama kali dengan bentuk yayasan pada tanggal 20 November commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1998 dan bertempat di kota Solo, berdasarkan hasil Musyawarah Anggota SPEK-HAM pada 28 April – 1 Mei 2006, SPEK-HAM berubah menjadi perhimpunan. SPEK-HAM Solo ikut menangani kasus-kasus yang menimpa kaum perempuan dan ikut bagian dalam usaha lembaga swadaya masyarakat perempuan Indonesia lainnya dalam memberikan perlindungan dan pertolongan kepada kaum perempuan yang membutuhkan. SPEK-HAM Solo memiliki visi menjadi organisasi pelopor gerakan perempuan dalam mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar dan hak dasar masyarakat miskin, khususnya perempuan. Kebutuhan dasar tersebut termasuk juga perlindungan yang diberikan kepada kaum perempuan dan pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan baik dalam segi lahir, batin, dan hukumnya sehingga SPEK-HAM Solo menjadi tempat yang tepat untuk melakukan penelitian mengenai strategi apa yang digunakan oleh SPEKHAM Solo dalam menjawab tantangan-tantangan yang muncul dalam kasus kekerasan terhadap perempuan sehingga kekerasan yang sering terjadi terhadap perempuan bisa ditekan seminimalisir mungkin. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis meneliti tentang langkahlangkah yang diambil oleh SPEK-HAM Solo dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan penerapan CEDAW dalam langkah penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang digunakan oleh SPEK-HAM Solo, maka penulis mengambil penulisan hukum dengan judul “IMPLEMENTASI
PRINSIP-PRINSIP
CONVENTION
ON
THE
ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST WOMEN (CEDAW) DALAM PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (STUDI DI SPEK-HAM SOLO)”.
commit to user
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Rumusan Masalah Perumusan masalah dalam suatu penelitian, diperlukan untuk memberikan kemudahan bagi penulis dalam membatasi permasalahan yang akan diteliti, sehingga dapat mencapai tujuan serta sasaran yang jelas dan memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Adapun rumusan masalah dalam penulisan hukum (skripsi) ini adalah : 1. Apakah Prinsip-Prinsip The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) sudah terimplementasikan dalam langkah-langkah SPEK-HAM Solo terhadap penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan ? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi efektivitas implementasi PrinsipPrinsip CEDAW di SPEK-HAM Solo?
commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui implementasi prinisi-prinsip The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) dalam langkah-langkah SPEK-HAM Solo terhadap penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. b.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas dari implementasi prinisi-prinsip The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) di SPEKHAM Solo.
2. Tujuan Subjektif a. Guna melengkapi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar kesarjanaan dibidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. b. Untuk
memperluas
dan
mengembangkan
wawasan
berpikir,
menambah kemampuan menulis, khususnya dalam penulisan ilmiah dibidang ilmu hukum, yaitu Hukum Gender dan Hukum dan Hak Asasi Manusia.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis a.
Dengan dilaksanakannya penelitian ini maka penulis diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan, khususnya Hukum Gender, dan Hukum dan HAM. commit to user
9
perpustakaan.uns.ac.id
b.
digilib.uns.ac.id
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan mengenai langkah-langkah penanganan yang dilakukan oleh SPEK-HAM Solo terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan.
2. Manfaat Praktis. a.
Hasil penelitian dapat menjadi sebagai sumbangan pemikiran bagi SPEK-HAM Solo dalam melaksanakan pengabdiannya terhadap masyarakat khususnya kaum perempuan ke depannya
b.
Sebagai manfaat bagi kaum perempuan dalam memperjuangkan hakhaknya yang saat ini masih kurang diperhatikan
E. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Pada penelitian hukum sosiologis atau empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer (Soerjono Soekanto, 2010: 52). Didalam penelitian hukum ini, penulis melakukan penelitian mengenai langkah-langkah yang dilakukan oleh SPEK-HAM Solo dalam menangani masalah-masalah kekerasan terhadap
perempuan di Solo
apakah sudah menerapkan prinsip-prinsip CEDAW. Berdasarkan sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. penelitian ini bersifat deskriptif karena penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan data-data tentang langkah-langkah penanganan yang dilakukan oleh SPEK-HAM Solo dalam menangani para perempuan korban kekerasan. commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditetapkan dengan tujuan agar ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti lebih sempit dan terfokus, sehingga penelitian yang dilakukan lebih terarah. Penelitian ini mengambil lokasi di kantor Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM SOLO). 3. Jenis dan Sumber Data Penelitian. Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian hukum ini adalah: a. Data Primer Data primer adalah data yang diambil langsung dari narasumber yang ada di lapangan dengan tujuan agar penelitian ini bisa mendapatkan hasil yang sebenarnya dari obyek yang diteliti. Dalam hal ini data diperoleh dari pihak-pihak yang terlibat langsung dalam SPEK-HAM SOLO yang diwakili oleh Ibu Nila Ayu Puspaningrum yang menjabat sebagai Koordinator Penanganan Kasus dan Ibu Maria Sucianingsih yang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. b. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang menunjang dan mendukung data primer, data ini diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan dan studi dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis. Sumber data sekunder dalam penulisan hukum (skripsi) ini diperoleh dari: 1) Bahan hukum primer yang meliputi Konvensi CEDAW dan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan, Rekomendasi umum no 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan pada sidang ke-11 tahun commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1992 Komite PBB, Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga 2). Bahan hukum sekunder yang meliputi bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti bahan-bahan kepustakaan, dokumen, artikel, makalah, literatur, dan surat kabar. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu (Burhan Ashshofa, 2001: 95),
dalam hal ini wawancara dilakukan dengan
tujuan memperoleh keterangan-keterangan yang jelas tentang hal-hal yang berkaitan dengan langkah-langkah yang dilakukan dalam hal penanganan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan serta kaitannya dengan Konvensi CEDAW. Dalam suatu wawancara terdapat dua pihak yang mempunyai kedudukan yang berbeda, yaitu pencari informasi yang biasa disebut dengan pewawancara atau interviewer, dalam hal ini adalah peneliti. Dalam pihak lain adalah narasumber yaitu Ibu Nila Ayu Puspaningrum yang menjabat sebagai Koordinator Penanganan Kasus dan Ibu Maria Sucianingsih yang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, dalam hal ini adalah pihak-pihak yang berkompeten di SPEK-HAM Solo. Teknik pelaksanaan wawancara adalah dengan wawancara yang terpimpin, terarah dan mendalam sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti
commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
guna memperoleh hasil berupa data informasi yang lengkap dan seteliti mungkin. b. Studi Pustaka Penelitian kepustakaan meliputi pengkajian terhadap bahan-bahan pustaka atau materi yang berkaitan langsung dan tidak langsung, berupa literatur meliputi buku, peraturan perundang-undangan, publikasi dari berbagai organisasi dan bahan kepustakaan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 5. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurusan data dalam pola, kategori, dan uraian dasar sehingga akan ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Maleong. 2002: 103). Dalam penelitian kualitatif ini sumber data bisa berupa orang, peristiwa, lokasi, dokumen, atau arsip. Beragam sumber tersebut menuntut cara tertentu yang sesuai guna mendapatkan data. Pada penelitian kualitatif proses analisisnya dilakukan sejak awal bersamaan dengan proses pengumpulan data (H.B Sutopo, 2002: 86). Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan metode analisis interaktif yang dimana aktifitasnya dilakukan dengan cara interaktif dalam proses yang berbentuk siklus.
commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengumpulan data
Reduksi data
Penyajian data
Penarikan Kesimpulan
Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif (H.B. Sutopo, 2002: 96). Analisis dalam penelitian kualitatif terdiri atas tiga komponen pokok, yaitu: a. Reduksi Data Merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi dari data pada penelitian (field note). Data yang telah teridentifikasi tersebut lebih memudahkan dalam penyusunan. b. Penyajian data Merupakan suatu penggabungan organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian yang dapat dilakukan. Sajian data harus mengacu pada rumusan masalah sehingga dapat menjawab permasalahan yang diteliti.
commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi pencatatan peraturan,
pernyataan-pernyataan,
konfigurasi-konfigurasi
yang
mungkin, alur sebab akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan (H.B. Sutopo, 2002: 37). Peneliti dalam melakukan kesimpulan dan verifikasi akan melakukan pengumpulan data baik wawancara maupun data berupa angka-angka di SPEK-HAM Solo, selanjtunya melakukan kegaiatan reduksi, penyajian dan penarikan kesimpulan selama sisa waktu penelitian. Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan jalan apa adanya sesuai dengan masalah yang diteliti dan data yang diperoleh, setelah semua data telah selesai diperoleh maka dapat dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan yang berhubungan terus menerus sehingga menciptakan siklus (H.B. Sutopo, 2002: 13).
F. Sistematika Penulisan Hukum Dalam menyusun penulisan hukum ini, penulis berpedoman pada suatu sistematika yang baku. Sistematika memberikan gambaran
dan
mengemukakan garis besar penulisan hukum agar memudahkan dalam mempelajari isinya. Penulisan hukum terbagi menjadi empat bab yang saling berhubungan. Setiap bab dibagi menjadi beberapa sub bab yang masingmasing merupakan pembahasan dari bab yang bersangkutan. Adapun sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam bab ini penulis
mengemukakan mengenai latar belakang
masalah yang merupakan hal-hal yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian, perumusan masalah
merupakan inti
permasalahan yang ingin diteliti, tujuan penelitian berisi tujuan dari penulis dalam mengadakan penelitian,
manfaat penelitian
merupakan hal-hal yang diambil dari hasil penelitian, metode penelitian berupa jenis penelitian, lokasi penelitian, jenis data, sumber data, selanjutnya adalah sistematika penulisan hukum yang merupakan kerangka atau susunan penelitian.
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai hasil kepustakaan yang meliputi dua hal yaitu Kerangka Teori dan Kerangka Pemikiran. Kerangka teori akan diuraikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pokok masalah dalam penelitian ini yang meliputi tinjauan tentang konsep gender, tinjauan tentang kekerasan tinjauan tentang CEDAW, tinjauan tentang perjanjian internasional, dan tinjauan tentang efektivitas hukum. Sedangkan kerangka pemikiran akan disampaikan dalam bentuk bagan dan uraian singkat. BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan mengenai hasil penelitian dari data lapangan dan kajian kepustakaan yang diperoleh peneliti mengenai langkahlangkah penanganan yang dilakukan oleh SPEK-HAM Solo dalam menangani yang menjadi korban kekerasan terhadap perempuan serta sudahkan terimplementasikan secara baik The Convention on commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). BAB IV: PENUTUP Bab ini berisi tentang kesimpulan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini. Dan juga penulis mencoba memberikan saran-saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
commit to user
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Konsep Seks dan Gender Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut ini: laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat (Mansour fakih, 2010: 7-8). Konsep gender sendiri adalah suatu sifat yang melekat pada lakilaki dan perempuan, merupakan hasil dari konstruksi sosial maupun kultural yang diciptakan oleh masyarakat sendiri. Contohnya yaitu, lakilaki itu dianggap harus kuat, jangan lemah, gagah dan berkepribadian keras. sedangkan untuk perempuan itu harus lemah lembut, keibuan, feminim, emosional, dan tunduk kepada suami. Contoh-contoh yang disebutkan tadi merupakan hasil dari konstruksi yang diciptakan commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat, yang sebenarnya dalam kenyataannya dalam hidup bisa terjadi sebaliknya, karena ada juga perempuan yang sifatnya lebih kepriaan dan ada juga pria yang sifatnya lebih keperempuanan. Hal ini juga tergantung dari suatu masyarakat atau wilayah memandangnya karena di setiap tempat, pandangan mengenai gender itu bisa berbedabeda satu sama lain, hal ini disebabkan gender sendiri seperti yang dijelaskan tadi adalah hasil konstruksi suatu masyarakat. Disini juga perlu di jelaskan pula bahwa Gender tidak hanya membahas mengenai atau perihal perempuan saja, tetapi di dalamnya ada pembahasan tentang pencapaian kesetaraan dan kesederajatan atau kesederajatan dan keadilan, dalam tatanan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Dengan kata lain ketika kita berbicara tentang gender, berarti yang dibicarakan adalah tentang relasi sosial perempuan dan lelaki serta aspekaspek dalam kehidupan. Gender dan peran gender cenderung kurang menawarkan prestasi di semua lingkup kehidupan, kurangnya kesempatan terhadap kepemilikan kekayaan serta asset-aset lainnya, terhadap kekuasaan politik, pendidikan, kesehatan yang baik, dan penghidupan yang layak. Peran gender dikonstruksi dari tumpukan batu bata bangunan biologis dasar di mana kita semua dilahirkan, tetapi kelas, suku, warna kulit, agama, kasta, dan kebangsaan memiliki peranan vital dalam memutuskan secara tepat tentang kesempatan hidup, apa yang dimiliki perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki dengan latar belakang yang sama (Ariefa Efianingrum, 2008: 8).
commit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Secara universal, peran gender untuk perempuan dan laki-laki diklasifikasikan dalam tiga peran pokok yaitu peran reproduktif, peran produktif, dan peran sosial, berikut tabel klasifikasi tiga peran yang timbul dalam gender (Aida Vitayala S. Hubeis, 2010: 83-84).
Gender
Reproduktif
Produktif
Sosial
Perempuan
Peran Utama: Istri, Ibu, Ibu rumah tangga (Keluarga)
1.Acap.diasumsika 1. Manajemen, n tidak memiliki Jasa penyuluhan terkait pada peran produktif. aspek peran 2.Turut.mencari reproduktif. nafkah keluarga. 2. Pekerja tidak di bayar (informal)
Lelaki
Bapak, Kepala keluarga.
Peran Utama : Mencari nafkah keluarga
1.Kepemimpina n 2. Politik 3.Ketahanan 4. Pekerja dibayar
Kita juga telah menyadari bahwa perbedaan gender (Gender Differences) telah melahirkan ketidakadilan gender (Gender Inequalities), perbedaan gender ini ternyata telah melahirkan sifat dan stereotipe yang sebetulnya merupakan konstruksi ataupun rekayasa sosial dan akhirnya terkukuhkan menjadi kodrat kultural yang telah mengakibatkan terkondisikannya beberapa posisi perempuan terutama dalam hal kekerasan berdasarkan gender baik secara fisik maupun secara mental.
commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keberagaman bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan terjadi karena perbedaan gender muncul dalam berbagai bentuk, secara fisik seperti pemerkosaan, persetubuhan antar anggota keluarga, dan yang lebih sadis seperti pemotongan alat genital perempuan, sedangkan dalam bentuk non fisik yang sering terjadi misalnya pelecehan seksual yang menyebabkan ketidaknyamanan bagi perempuan secara emosional (Mansour Fakih, 2010: 147-151).
2. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan a. Pengertian Kekerasan Penjelasan mengenai kekerasan tertuang dalam Pasal 1 konvensi perempuan atau CEDAW tentang diskriminasi, yang berbunyi tentang diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan laki-laki dan perempuan. Menurut Rekomendasi Umum no.19 tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Sidang ke-11 Tahun 1992 bahwa kekerasan itu termasuk tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual atau ancaman-ancaman seperti itu, paksaan dan perampasan kebebasan lainnya. Dalam latar belakang Rekomendasi Umum no 19 dinyatakan bahwa kekerasan yang berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi. Selanjutnya, dalam ulasan umum dinyatakan bahwa definisi dari diskriminasi terhadap perempuan dalam Pasal 1 Konvensi commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perempuan, termasuk juga kekerasan berbasis gender, yaitu kekerasan yang ditujukan kepada perempuan karena dia adalah perempuan, atau menimbulkan akibat pada perempuan secara tidak proporsional (Achie Sudiarti Luhulima, 2000: 132-133). Kekerasan dalam pengertian secara yuridis sebagaimana yang diatur dalam Pasal 89 juncto Pasal 90 KUHP, menyebutkan bahwa Pasal 89 KUHP “membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah) disamakan dengan menggunakan kekerasan”, dalam Pasal 90 KUHP mengatur mengenai kekerasan yang menghasilkan luka berat pada korban, luka berat berarti kehilangan salah satu panca indera, mendapat cacat berat, menderita sakit lumpuh, terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih, dan gugurnya kandungan seorang perempuan. Menurut Mansour Fakih kekerasan (violence) adalah serangan (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang (Mansour fakih, 2010: 17). Peraturan yang mengatur tentang kekerasan lainnya terdapat dalam KUHPidana, misalkan tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap nyawa dan tubuh orang, seperti penganiayaan yang diatur pada Pasal 351-358 KUHP, pembunuhan dalam buku II KUHP mulai dari Pasal 338-350 KUHP, kejahatan dan pelanggaran mengenai kesopanan yang dimuat dalam Pasal 284 KUHP, perkosaan untuk bersetubuh dalam Pasal 285 KUHP, dan lain-lain.
b. Jenis-Jenis Kekerasan Terhadap Perempuan Kekerasan terhadap perempuan menurut E. Kristi Poerwandari, terdapat pemetaan-gambaran umum mengenai kekerasan terhadap perempuan, sebagai berikut : commit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bentuk-bentuk/dimensi kekerasan 1) Fisik. Memukul, menampar mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau alat/senjata, membunuh. 2) Psikologis. Tindakan-tindakan yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman dekat, dll) 3) Seksual. Melakukan tindakan-tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan/atau
melakukan
tindakan-tindakan
lain
yang
tidak
dikehendaki korban. 4) Finansial. Mengambil
uang korban, menahan atau tidak
memberikan pemenuhan kebutuhan financial korban dengan maksud untuk dapat mengendalikan tindakan korban. 5) Spiritual. Merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya (Achie Sudiarti Luhulima, 2000: 11-12). Pengertian kekerasan yang telah dijelaskan diatas ialah kekerasan yang secara garis besar atau umumnya, sedangkan untuk ranah yang lebih khusus salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga yang sebagian besar korbannya adalah perempuan atau isteri. Untuk kekerasan seperti ini
negara memberikan perhatian khusus
dengan mengesahkan Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No 23 Tahun 2004 Pasal 1 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan commit to user
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Jenis kekerasan dalam lingkup rumah tangga menurut Pasal 5 UU PKDRT adalah :
1) Kekerasan fisik, perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 6). 2) Kekerasan psikis, perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7). 3) Kekerasan seksual, pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (Pasal 8). 4) Penelantaran
rumah tangga, setiap orang
dilarang untuk
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberika kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut (Pasal 9). 3. Tinjauan Tentang Konvensi CEDAW Pada 18 Desember 1979, Majelis Umum PBB menyetujui sebuah rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Konvensi ini dinyatakan berlaku pada tahun 1981 setelah 20 negara menyetujui dan telah di ratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 24 juli tahun 1984 dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1984 , dengan pensyaratan (reservation) terhadap Pasal 29 commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(1) tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini, dengan konsekuensi bahwa Indonesia harus menerapkan Pasal-Pasal yang tertuang dalam CEDAW disetiap kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan. Teks yang paling penting tentang perjuangan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan adalah Deklarasi Umum Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan
dan
Konvensi
tentang
Penghapusan
Segala
Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW). CEDAW dilengkapi dan diberikan kekuatan hukum dari apa yang telah dihasilkan oleh Deklarasi Majelis Umum. Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan menyatakan keprihatinan bahwa diskriminasi yang luas terhadap perempuan terus eksis meskipun sudah adanya instrumen seperti Piagam dari Amerika Serikat, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan Kovenan Internasional tentang Hak Asasi Manusia (Felipe Gomez Isa. 2003 : 8). Konvensi CEDAW ini di dalamnya terdapat 30 Pasal yang mengatur dengan pembagian per bagian sebanyak enam bagian yang berisi tentang : a.
Bagian I, Pasal 1-6, berisi tentang prinsip-prinsip konvensi yang di bagi ke dalam tiga bagian yaitu, prinsip non diskriminatif, prinsip persamaan atau keadilan substantif, dan prinsip kewajiban negara.
b.
Bagian II, Pasal 7-9, berisi tentang hak-hak sipil dan politik perempuan. Pasal 7 yang berisi mengenai hak perempuan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan negaranya. Termasuk di dalam hak ini adalah, hak untuk memilih dan dipilih, berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, commit to user
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memegang jabatan dalam pemerintahan, berpartisipasi dalam organisasi-organisasi
non
pemerintah.
Pasal
8
tentang
hak
perempuan untuk mendapat kesempatan mewakili pemerintah pada tingkat
internasional
dan
berpartisipasi
dalam
organisasi
internasional. Pasal 9 tentang hak perempuan dalam kaitan dengan kewarganegaraannya c.
Bagian III, Pasal 10-14, berisi tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya kaum perempuan, yang juga meliputi hak di bidang pendidikan pada Pasal 10 yang berisi tentang kesempatan untuk mengikuti pendidikan disegala tingkatan yang ada, hak dibidang pekerjaan pada Pasal 11 yang berisi tentang hak untuk bekerja, hak atas kesempatan kerja, hak memilih profesi dan pekerjaan, hak menerima upah, hak atas jaminan social, hak atas masa cuti yang dibayar, hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Hak dibidang kesehatan pada Pasal 12 tentang hak untuk bebas dari kematian pada saat melahirkan, perkembangan kesehatan sejak kanak-kanak, lingkungan yang sehat, mendapatkan pelayanan dan perhatian medis. Hak lainnya dalam bidang ekonomi dan sosial pada Pasal 13 dalam hal mendapatkan hak atas tunjangan keluarga, atas pinjaman bank, hipotek dan lain-lainnya, hak untuk ikut serta dalam kegiatan rekreasi, olahraga dan lain sebagainya. Hak khusus untuk perempuan pedesaan pada Pasal 14 yang meliputi hak berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan disegala tingkatan, memperoleh fasilitas kesehatan yang memadai, memperoleh segala jenis pelatihan dan pendidikan, berpartisipasi dalam semua kegiatan masyarakat.
d.
Bagian IV, Pasal 15-16, berisi tentang persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan di mata hukum, dan penjaminan tentang hak-hak perempuan di
dalam
perkawinan.
commit to user
Pasal
15 mencantumkan 26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dihadapan hukum yang meliputi, hak untuk berurusan dengan instansi hukum, diakui kecakapan hukumnya, mengurus harta benda, serta perlakuan yang sama pada setiap tingkatan prosedur di muka penegak hukum. Pasal 16 secara khusus memberi tekanan hak yang sama dalam memasuki jenjang perkawinan, memilih suami secara bebas, tanggung jawab yang sama sebagai orang tua dalam hal urusan anak, hak pribadi yang sama sebagai suami istri, hak yang sama yang berhubungan dengan pemilikian atas perolehan, pengelolaan, penikmatan dan pemindahan harta benda. e.
Bagian V, Pasal 17-22, berisi tentang komite CEDAW dan mekanisme pelaporan dan pemantauan.
f.
Bagian VI, Pasal 23-30, berisi tentang penegasan terhadap pentingnya menegakkan prinsip persamaan di dalam undang-undang negara khususnya di dalam undang-undang negara pihak maupun di dalam setiap Konvensi, traktat, atau perjanjian internasional yang berlaku terhadap para pihak (ELSAM, 2004 : 6-21). Prinsip non diskriminatif di dalam Konvensi CEDAW adalah
prinsip yang menjamin kaum perempuan untuk tidak dibedakan, tidak di kucilkan atau dibatasi berdasarkan jenis kelaminnya yang dapat mempengaruhi pengurangan atau penghapusan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Prinsip persamaan atau keadilan substantif terdapat di dalam Konvensi CEDAW merupakan sebuah pendekatan yang mendasarkan pada hasil akhirnya, yaitu keadilan. Keadilan yang dimaksud disini adalah sesuai dengan proporsi atau bagiannya masing-masing antara laki-laki dengan commit to user
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perempuan, keadilan yang dimaksud disini dapat berbentuk perlakuan yang sama, perlakuan khusus untuk menyamakan situasi yang berbeda dengan tujuan agar dipercepatnya penghapusan kesejangan sehingga situasi menjadi sama. Prinsip
kewajiban
negara
merupakan
prinsip
ketiga
yang
terkandung di dalam Konvensi CEDAW ini, dimana negara wajib untuk menjalankan Konvensi ini. Kewajiban negara yang dimaksud dalam Konvensi ini adalah melaksanakan prinsip non diskriminatif dengan cara melindungi perempuan dari segala bentuk diskriminasi dan memenuhi segala hak-hak fundamentalnya, kemudian kewajiban negara dalam segi hukum seperti mengubah dan mencabut ketentuan yang diskriminatif serta memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan.
4. Tinjuan Tentang Perjanjian Internasional Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional. Serupa dengan definisi dalam Konvensi Wina 1969, Konvensi Wina 1986 merumuskan perjanjian internasional sebagai perjanjian yang tunduk kepada hukum internasional dan dibuat dalam bentuk tertulis antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional atau antara organisasi internasional. Bentuk-bentuk perjanjian internasional, sebagai berikut: a.
Treaty. Merupakan alat yang paling formal, yang dipakai untuk mencatat perjanjian antara negara yang ketentuan-ketentuannya bersifat menyeluruh.
commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id
b.
digilib.uns.ac.id
Konvensi. Biasanya dipakai untuk dokumen-dokumen yang bersifat resmi dan bersifat multilateral.
c.
Protokol. Merupakan
suatu
persetujuan
yang
sifatnya
kurang
resmi
dibandingkan treaty atau Konvensi pada umumnya tidak dibuat oleh kepala-kepala negara. d.
Persetujuan. Bentuk ini dipakai untuk persetujuan-persetujuan yang ruang lingkupnya lebih sempit dan pihak-pihak yang terlibat lebih sedikit dibandingkan dengan konvensi biasa.
e.
Arrangement. Lebih banyak dipakai untuk transaksi-transaksi yang sifatnya mengatur dan temporer.
f.
Proses Verbal. Dipakai untuk mencatat suatu pertukaran atau himpunan ratifikasi atau untuk membuat perubahan kecil dalam konvensi.
g.
Statuta. Himpunan peraturan-peraturan penting mengenai pelaksanaan fungsi lembaga internasional.
h.
Deklarasi. Dokumen yang tidak resmi yang dilampirkan pada suatu traktat atau konvensi yang memberikan penafsiran ketentuan-ketentuan traktat atau konvensi.
i.
Modus Vivendi. Suatu dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat temporer atau provisional yang dimaksudkan untuk diganti dengan arrangement yang sifatnya lebih permanen dan terinci. commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id
j.
digilib.uns.ac.id
Pertukaran Nota atau Surat. Merupakan suatu metode tak resmi yang seringkali digunakan pada tahun-tahun terakhir ini.
k.
Ketentuan Penutup (Final Act). Suatu dokumen yang mencatat laporan akhir acara suatu konferensi yang mengadakan suatu konvensi.
1) Ketentuan Umum (General Act). Sebenarnya adalah traktat, tapi dapat bersifat resmi atau tidak resmi (T. May Rudy. 2011: 123-126). Pengesahan suatu perjanjian internasional menurut Undang-Undang nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk
ratifikasi
(ratification),
aksesi
(accession),
penerimaan
(acceptance), dan penyetujuan (approval). Suatu perjanjian Internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut (Pasal 15 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional). Pasal 9 UU No 24 Tahun 2000 juga mengatur mengenai pengesahan suatu perjanjian internasional, dimana ayat 1 mengatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut, Pasal 2 nya juga mengatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden. Perjanjian internasional dalam penerapannya terhadap negaranegara lain, sangat dimungkinkan adanya satu atau beberapa negara yang tidak menyetujui seluruh materi perjanjian internasional tersebut, dikarenakan adanya beberapa materi perjanjian internasional tersebut commit to user
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional dari negara yang bersangkutan. Alhasil, muncullah beberapa pensyaratan atau resevasi (reservation) dari negara yang bersangkutan tersebut. Pasal 19 sampai dengan Pasal 23 Konvensi Wina 1969 mengatur prosedur tentang pensyaratan, Untuk menguji validitas suatu reservasi, Pasal 19 Konvensi Wina 1969 dijadikan sebagai acuan, dan sesuai dengan ketentuan Pasal 19 tersebut, negara tidak dapat menyampaikan pensyaratan apabila: a) Reservasi dilarang oleh suatu perjanjian. b) Perjanjian mengatur hanya reservasi yang spesifik yang dapat dilakukan. c) Dalam hal tidak termasuk ayat (1) dan (2), reservasi tidak sesuai dengan tujuan dan maksud suatu perjanjian (Eddy Pratomo. 2011: 277-278).
5. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum Hukum itu sebagai alat yang dapat merubah masyarakat, yang artinya bahwa hukum digunakan sebagai alat untuk mengubah sistem sosial. Hukum pula memiliki pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung di dalam mendorong terjadinya suatu perubahan sosial. Hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-perubahan yang dikehendaki atau perubahan-perubahan yang direncanakan (intended change dan planned change) (Soerjono Soekanto, 2011: 126). Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu sendiri dalam mengatur atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, commit to user
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologi, berlaku secara filosofis. Faktor-faktornya yang membuat hukum itu berfungsi di dalam masyarakat
ada empat, yaitu kaidah hukum / peraturan itu sendiri,
petugas atau penegak hukum, sarana dan fasilitas yang digunakan penegak
hukum,
dan
kesadaran
masyarakat.
Faktor-faktor
tadi
mempunyai penjelasan masing-masing sehingga dapat menjadi faktor yang menentukan yang membuat hukum itu berfungsi di dalam masyarakat. Pertama, kaidah hukum memiliki tiga macam hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah, seperti kaidah hukum berlaku secara yuridis, kaidah hukum berlaku secara sosiologis, dan kaidah hukum berlaku secara filosofis. Kedua, penegak hukum ialah yang bertugas untuk menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, yang artinya dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum, harus memiliki pedoman seperti peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang linkup tugas-tugasnya. Ketiga, sarana atau fasilitas amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung, dan yang terakhir adalah tentang warga masyarakat, faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat, kesadaran untuk mematuhi suatu peraturan perundangundangan, yang kerap disebut sebagai derajat kepatuhan. Derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang dibuat (Zainuddin Ali, 2010: 62-64). Menurut Lawrence, tiga elemen penting yang menentukan berfungsi atau tidaknya hukum antara lain :
commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Struktur Hukum meliputi : tatanan daripada elemen lembaga hukum (kerangka organisasi dan tingkatan dari lembaga kepolisian, kejaksaan, kehakiman, pemasyarakatan, kepengacaraan). 2. Budaya hukum meliputi : nilai-nilai, norma-norma dan lembagalembaga yang menjadi dasar daripada sikap perilaku hamba hukum. 3. Substansi hukum meliputi : peraturan - peraturan atau regulasi yang di buat oleh lembaga yang berwenang (Sabian Utsman.2009:356).
Hukum dalam merubah suatu masyarakat beserta sistemnya tidak dapat di lepas dari efektivitasnya sebagai hukum itu sendiri, hukum harus dapat mengenai sasaranya secara tepat sehingga manfaat kegunaannya dapat terasa secara langsung, penilaian secara efektivitas inilah yang sangat penting dan tidak dapat dilepaskan karena perlu adanya evaluasi terhadap hukum atau peraturan itu sendiri mengenai hasil output nya kepada masyarakat, oleh karena itulah efektivitas suatu hukum yang ada dalam masyarakat perlu di ketahui secara yuridis, secara sosiologi, dan secara filosofis agar dapat ditemukan apakah hukum tersebut telah berlaku sesuai dengan jalur atau track yang diinginkan atau malah di dalam masyarakat peraturan tersebut tidak efektif baik sebagain maupun keseluruhan.
commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Kekerasan Terhadap Perempuan
Lembaga Swadaya Masyarakat SPEK HAM SOLO
Konvensi CEDAW [Sesuai / Tidak Sesuai]
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan : Kekerasan terhadap perempuan yang berbasis gender merupakan hal yang sudah terjadi sejak dahulu bahkan sejak jaman kerajaan sehingga menjadi sesuatu yang sudah membudaya dalam masyarakat baik di Indonesia sendiri maupun masyarakat internasional, oleh karena itu dibentuklah Konvensi CEDAW sebagai jawaban atas permasalahan yang commit to user 34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ingin segera dipecahkan dan dicari solusinya oleh masyarakat dunia, dan pada tanggal pada tanggal 18 Desember 1979 mendapat persetujuan dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
kemudian dinyatakan
berlaku pada tahun 1981 setelah 20 negara menyetujui. Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi ini pada tanggal 24 juli tahun 1984 di dalam UndangUndang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1984 , dengan persyaratan (reservation) terhadap Pasal 29 (1) tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini, dengan di ratifikasinya CEDAW oleh negara Indonesia maka setiap unsur-unsur dan bagian yang berada dalam lingkup negara harus dan wajib mematuhi dan mentaatinya. SPEK-HAM Solo merupakan bagian dari Negara Indonesia sehingga lembaga ini pun harus patuh dan tunduk terhadap Konvensi tersebut dan menjadikannya sebagai dasar hukum dalam memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan yang membutuhkan pertolongan termasuk di dalamnya terhadap kaum perempuan yang menjadi korban kekerasan yang terjadi di kota Solo, perlindungan dan pertolongan yang diberikan oleh SPEKHAM Solo itulah yang akan peneliti teliti termasuk di dalamnya tentang langkah-langkah yang diambil dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan
serta
implementasi
CEDAW
dalam
langkah-langkah
penanganannya sebagai bentuk konsekuensi sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia.
commit to user
35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Implementasi Prinsip-Prinsip The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di SPEK-HAM Solo Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia atau yang biasa disebut dengan SPEK-HAM Solo ini, merupakan sebuah organisasi yang non profit, independen, mandiri. SPEK-HAM Solo didirikan pertama kali pada tanggal 20 November 1998, organisasi ini terdiri dari elemen-elemen yang merupakan kumpulan dari
orang-orang berlatar
belakang gerakan mahasiswa, organisasi sosial, serta bersifat pluralis, dengan komitmen pada penegakan Hak Asasi Manusia khususnya Hak Asasi Perempuan. Perlunya suatu penyadaran bahwa masih berlanjutnya sampai sekarang ketidakadilan di masyarakat dalam macam-macam bentuk yang dalam kenyataannya problem sosial, ekonomi, politik dan budaya yang ada di
masyarakat
masih
menempatkan
perempuan
dalam
posisi
tersubordinatkan dalam masyarakat yang termiskinkan. Persoalan dominasi ideologi atau budaya, persoalan kelas, gender dan lingkungan, sehingga menciptakan berbagai bentuk ketidakadilan yang menjadi muara atas situasi kemiskinan yang ada. Dalam situasi ini, kelompok perempuan yang secara kultural dan struktural didiskriminasikan menjadi bagian yang paling menderita dan terlemahkan. SPEK-HAM Solo sejak awal berkiprahnya lembaga ini dalam pelayanan terhadap kaum perempuan, selalu mengupayakan berbagai upaya penguatan dan pembangunan kesadaran masyarakat sebagai bentuk commit to user
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
komitmen untuk berperan dalam proses perubahan sosial menuju tatanan masyarakat yang lebih adil dan bermartabat, dengan menggunakan perspektif gender, hak asasi manusia, pluralisme, dan keseimbangan lingkungan sebagai landasan gerak organisasi dalam memperjuangkan visi, misi, dan tujuannya. SPEK-HAM melihat perjuangan untuk mendapatkan hak-hak dan pemenuhan atas kebutuhan dasar masyarakat merupakan mandat organisasi. SPEK-HAM merumuskan tiga strategi utama, yaitu: pengorganisasian kelompok masyarakat miskin, pendidikan kritis untuk perubahan pola pikir, dan advokasi untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan perlindungan hak dasar masyarakat sipil. Dari semua tahapan tersebut di atas, proses pembangunan gerakan sosial menuju masyarakat yang berkeadilan sosial dengan menggunakan perspektif gender, hak asasi manusia, pluralisme, dan lingkungan menjadi dimensi terpenting. Pertama, pengorganisasian kelompok masyarakat miskin yang dilakukan SPEK-HAM Solo lebih kepada mendukung peluang dukungan ekonomi alternatif seperti yang SPEK-HAM Solo lakukan dengan bermitra terhadap komunitas perempuan Kemlayan mengenai Kelompok Pra Koperasi KSG (Koperasi Sadar Gender), guna meningkatkan perekonomian perempuan di daerah tersebut. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya perempuan atau ibu-ibu yang lebih sering memanfaatkan pinjaman untuk menutup kebutuhan sehari-hari, salah satunya kebutuhan konsumsi. Maka dari itu dengan bermitranya SPEK-HAM Solo dengan Kelompok Pra Koperasi KSG Kemlayan diharapkan dapat meningkatkan perekonomian perempuan sekitar daerah tersebut, sesuai dengan salah satu semangat dari Pasal CEDAWyaitu Pasal 14 huruf (e) mengenai “To organize self-help groups and co-operatives in order to obtain equal access to economic opportunities through employment or self employment”. commit to user
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kedua, pendidikan kritis untuk perubahan pola pikir. Contoh kegiatan yang dilakukan SPEK-HAM Solo guna meningkatkan pendidikan kritis guna perubahan pola pikir ini seperti sekolah perempuan yang diadakan di desa Pasung, desa Pacing, desa Melikan dan desa Kadilanggon yang berada di Klaten, dan desa Pandes yang berada di Bantul . Materi yang disampaikan di dalam sekolah perempuan tersebut cukup menarik yaitu mengenai sejarah perempuan dengan potensinya, pembangunan gerakan perempuan, perempuan dan ekonomi, perempuan dan globalisasi, analisis sosial, anggaran peka gender, dan alur materi dan rencana tindak lanjut. Selain itu masih ada lagi kegiatan lainnya yang bernama Pelatihan Jurnalis Berspektif Gender yang diikuti oleh jurnalis dan masyarakat sipil pada tanggal 16 – 17 Juli 2010. Semua kegiatan diatas yang dijalankan oleh SPEK-HAM Solo merupakan kegiatan yang bertujuan agar masyarakat luas dapat
lebih
paham
secara
baik
mengenai
gender
dan
berbagai
permasalahannya guna terbentuknya perubahan pola pikir yang kritis di tengah-tengah masyarakat. Ketiga,
advokasi
untuk
pemenuhan
kebutuhan
dasar
dan
perlindungan hak dasar masyarakat sipil. Sebelum membahas lebih dalam mengenai advokasi untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan perlindungan hak dasar masyarakat sipil, penulis ingin menjelaskan data kasus yang diterima penulis dari SPEK-HAM Solo. Pada tahun 2008 jumlah data kasus yang masuk ke SPEK-HAM Solo berjumlah 22 kasus, di tahun ini tercatat bahwa daerah Surakarta menempati peringkat pertama dengan total kasus yang masuk pada tahun tersebut sebanyak 9 kasus dengan kasus KDRT yang sering terjadi. Secara keseluruhan pada tahun 2008 tersebut, memang KDRT lah yang paling banyak terjadi di tahun tersebut. Selain kota Surakarta, di tahun ini juga terdapat kota-kota seperti Karanganyar, Sragen, Wonogiri, Boyolalai, Yogyakarta, dan kecamatan Klaten Utara. Kemudian di tahun commit to user 38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2009 terjadi peningkatan jumlah kasus yang masuk ke SPEK-HAM Solo sebanyak 33 kasus, di tahun ini pula KDRT paling banyak di laporkan ke SPEK-HAM Solo terutama kasus KDRT yang berdasarkan pada masalah psikologi dan ekonomi yang menjadi awal mula kekerasan tersebut terjadi. Tidak hanya KDRT yang di laporkan, tetapi terdapat juga kasus-kasus seperti KDP (Kekerasan Dalam Pacaran) yang terjadi Klaten, pemerkosaan yang terjadi di Karanganyar, penelantaran yang terjadi di Surakarta yang dilakukan oleh suami kepada istrinya, dan incest yang terjadi di Karanganyar. Tahun 2010 tercatat terjadi peningkatan lagi sebanyak 55 kasus, peningkatan ini cukup tinggi dibandingkan dengan 2 tahun terakhir. KDRT tetap menjadi kasus terbanyak yang diterima oleh SPEK-HAM Solo dengan total kasus KDRT sebanyak 35 kasus, di tahun ini terdapat pula kasus trafficking yang telah di tangani SPEK-HAM Solo sebanyak 7 kasus yang semuanya terjadi di kota Klaten, dengan proses hukum yang telah selesai dan masih pendekatan pada korban untuk penguatan psikologis. Lalu setelah terjadi adanya peningkatan kasus di tahun 2010 tersebut, di tahun 2011 terjadi penurunan hingga setengahnya dengan jumlah angka sebanyak 28 kasus. Meskipun begitu, KDRT dengan total 18 kasus tetap menjadi jenis kasus yang paling sering di tangani oleh SPEK-HAM Solo. Di tahun ini selain KDRT juga terdapat kasus sexual abuse sebanyak 2 kasus, trafficking sebanyak 1 kasus, perkosaan sebanyak 5 kasus, KDP-ingkar janji sebanyak 2 kasus. Tahun 2012 jumlah kasus yang masuk ke SPEK-HAM Solo mengalami penurunan sebanyak 4 kasus menjadi total sebanyak 24 kasus dengan 19 kasus KDRT, 1 kasus perkosaan, 3 kasus pencabulan, dan 1 kasus KDP. Dari data diatas secara keseluruhan penulis mengambil kesimpulan commit to user
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sementara bahwa kasus KDRT merupakan kasus yang paling sering terjadi di tengah-tengah masyarakat eks Karesidenan Surakarta, fakta ini sangat memilukan ditambah hampir keseluruhan korban KDRT tersebut adalah pihak istri atau perempuan. Dalam gerak dan perjuangan SPEK-HAM Solo untuk memberikan pelayanan yang semaksimal mungkin terhadap kaum perempuan tetaplah dilandasi dengan berbagai aturan-aturan yang ada terkait perlindungan terhadap perempuan, dalam hal ini ialah perempuan-perempuan yang menjadi korban diskriminasi berbasis gender. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) adalah sebuah peraturan internasional yang ikut menjadi landasasan hukum bagi SPEKHAM Solo untuk bergerak dan memberikan kontribusinya terhadap kaum perempuan yg menjadi korban kekerasan berbasis gender. SPEK-HAM Solo dalam menjalankan tugas dan fungsinya menempatkan dirinya sebagai partner atau rekan kerja pemerintah yang saling bekerja sama dalam usaha untuk terus dapat mengimplementasikan aturan-aturan yang tertuang di dalam CEDAW tersebut guna perlindungan terhadap kaum perempuan. Aktifitas dan kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan oleh SPEKHAM Solo dapat
dilihat pada website SPEK-HAM Solo yang penulis
ketahui dari narasumber, beberapanya yaitu SPEK-HAM Solo Friday Morning, aksi 1.000 bantal simbol peringatan 16 hari tanpa kekerasan yang dilakukan oleh SPEK-HAM Solo bersama-sama dengan lembaga-lembaga perempuan lainnya pada Desember 2008, pelatihan jurnalis berperspektif gender, Gender Sensitive Training For Medical Staff pada Juli 2008, pemeriksaan IMS (Infeksi Menular Seksual) pada November 2012 di daerah Gilingan, penerbitan fact sheet dan newsletter, serta press realease
commit to user
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Wawancara dengan Ibu Maria Sucianingsih yang menjabat sebagai Bagian Penanganan Kasus, pukul 13.00 WIB 15 April 2013). SPEK-HAM Solo dalam melakukan baktinya pada masyarakat memiliki standar prosedur penerimaan atau pelayanan suatu kasus, karena tidak hanya melakukan kegiatan-kegiatan penyadaran akan pentingnya penghapusan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender saja melainkan SPEK-HAM
Solo
juga
menerima
kasus-kasus
kekerasan
terhadap
perempuan yang berbasis gender yang terjadi di kota Solo yang memerlukan penanganan khusus dan membutuhkan perhatian besar. Kasus-kasus yang diterima SPEK-HAM Solo yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender, diperlukanlah standar prosedur penanganan suatu kasus agar dalam penanganannya sesuai dengan aturan dan tidak keluar dari jalur yang seharusnya. Prosedure penanganan kasus yang ada di SPEK-HAM Solo adalah sebagai berikut: 1.
Pengaduan kasus bisa dilakukan dengan cara korban/keluarga korban/pengadu datang sendiri ke kantor SPEK-HAM Solo, atau SPEKHAM Solo melakukan out reach dari media massa atas kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi.
2.
Mendatangi korban/keluarga korban untuk merespon (memberikan dukungan, mendampingi, dan menangani kasus kekerasan berbasis gender yang dialami korban).
3.
Pengaduan bisa diterima melalui datang langsung di kantor SPEK-HAM Solo, telfon, surat/email, atau rujukan dari lembaga lain.
4.
Pengaduan bisa dilayani langsung oleh para pendamping atau staff administrasi yang berada di kantor untuk mendengarkan pengaduan (identifikasi kasus dan kebutuhan korban) dengan mengisi form
commit to user
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengaduan untuk selanjutnya melaporkan kasus tersebut kepada Koordinator Penanganan Kasus. 5.
Setelah mengetahui identifikasi kasus dan kebutuhan korban (lanjut atau tidak lanjut untuk didampingi), jika berlanjut maka Koordinator Penanganan Kasus mendistribusikan kewenangan penanggung jawab kasus kepada para pendamping untuk bertindak sebagai konselor.
6.
Apabila ternyata korban hanya ingin mengadu dan tidak ada keinginan korban untuk menindaklanjuti maka kasus dinyatakan ditutup setelah melewati masa tunggu 3 bulan ditambah 1 bulan dalam rangka menunggu dan pendamping menghubungi korban untuk tindak lanjut kasusnya.
7.
Pendamping yang ditunjuk Koordinator Penanganan Kasus mulai merespon kasus dengan menindaklanjutinya dari form pengaduan dan melanjutkannya dengan meminta korban mengisi form B (surat kuasa pendampingan).
8.
Pendamping melakukan investigasi mendalam untuk menentukan apakah kasus tersebut akan ditangani langsung oleh SPEK-HAM Solo, atau ditangani bersama lembaga lain, atau dirujuk ke lembaga lain. Adapun hasil investigasi mendalam tersebut dilaporkan ke Koordinator Penanganan Kasus untk diketahui.
9.
Ketika kebutuhan penanganan kasus korban mengarah ke proses nonlitigasi
(konseling
dan
mediasi)
atau
penaganan
kasus
yang
membutuhkan layanan atau kerjasama dengan pihak lain (Rumah Sakit, Psikolog, Psikiater, dan lembaga-lembaga terkait), korban dan pendamping cukup berpegang pada surat kuasa pendampingan yang ditandatangani oleh korban pada awal penanganan kasus. 10. Sementara ketika kebutuhan penanganan kasus korban mengarah ke proses litigasi maka korban diminta untuk menandatangani surat kuasa commit to user
42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pendampingan khusus yang telah dibuat oleh pengacara SPEK-HAM Solo. 11. Pendamping mendampingi korban sampai seluruh proses penanganan kasus selesai sampai pada pasca penanganan kasus sesuai dengan peran dan fungsinya dalam penanganan kasus. 12. Pada pasca penanganan kasus, pendamping hanya bersifat konsultatif dan komunikatif dengan survivor untuk melibatkannya dalam konseling lanjutan dan support group yang diadakan oleh SPEK-HAM Solo. 13. Apabila dalam perjalanan penanganan kasus, korban tidak puas dengan pelayanan, model dan metode penanganan kasus yang dilakukan pendamping, korban berhak mencabut kuasa pendampingan dari SPEKHAM Solo baik untuk penanganan non-litigasi maupun litigasi. 14. Dalam hal mencabut kuasa pendampingan, korban diminta untuk mengisi dan menandatangani surat pencabutan kuasa pendampingan (form E) dan kasusnya dinyatakan ditutup. 15. Sementara apabila dalam penanganan kasus tiba-tiba berhenti dengan sendirinya (korban tidak ada informasi kelanjutannya), pendamping menentukan masa tunggu 3 bulan ditambah 1 bulan untuk memberikan kesempatan bagi korban jika ternyata masih ingin didampingi. 16. Sambil menunggu jawaban kelanjutan kasus pendampingan secara aktif menghubungi korban untuk mendapatkan keterangan keberlanjutan kasus. 17. Penanganan kasus dinyatakan selesai apabila sudah memenuhi kebutuhan korban akan kebenaran, keadilan, dan perlindungan dari kekerasan yang dialaminya.
Jika dalam penanganannya ternyata membutuhkan kerjasama dengan lembaga/jaringan lain, SPEK-HAM Solo sudah mempersiapkan prosedur commit to user
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang harus di terapkan serta diberlakukan bila harus dijalankannya kerjasama dengan lembaga/jaringan lain yang memiliki benang merah terhadap kasus yang sedang ditangani SPEK-HAM Solo. Berikut mekanismenya, yaitu :
1.
Kasus yang ditangani bersama lembaga/jaringan lain diutamakan termasuk kedalam kriteria dibawah ini, yaitu : a.
Kasus kekerasan berbasis gender yang mengancam dan berdampak pada kesehatan jiwa dan raga korban.
b.
Kasus tersebut belum/tidak ada yang mendampingi.
c.
Kasus kekerasan berbasis gender tersebut menimpa perempuan dewasa.
2.
SPEK-HAM Solo akan memfokuskan diri untuk melakukan hal-hal di bawah ini : a.
Mendampingi korban yang bertujuan untuk memberikan penguatan kepada korban berupa dampingan psikososial.
b.
Terlibat dalam pendampingan kasus secara litigasi di dalam dan bersama dengan tim advokasi penanganan kasus.
c.
Pendampingan kasus secara litigasi dilakukan dari awal laporan ke kepolisian sampai putusan di pengadilan.
d.
Pendampingan secara litigasi dilakukan oleh pendamping dan pengacara SPEK-HAM Solo.
3.
Tanggung jawab dan kewenangan. a. Dalam menjalankan penanganan kasus, Divisi Advokasi SPEKHAM Solo mendelegasikan tugas dan tanggung jawab penanganan kepada pendamping dan pengacara SPEK-HAM Solo melalui Koordinator Penanganan Kasus.
commit to user
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Pendamping dan pengacara SPEK-HAM Solo bertanggung jawab sebatas fokus kerja penanganan kasus pada nomor 2 huruf a dan b kepada tim advokasi penanganan kasus. c. Pendamping dan pengacara yang terlibat dalam tim, berwenang untuk berkoordinasi seputar strategi penanganan kasus dan mempertanggung jawabkan hasil intervensi penanganan kasus kepada Divisi Advokasi SPEK-HAM Solo melalui Koordinator Penanganan Kasus. d. Ketika ada hal-hal yang menyimpang dari fokus kerja penanganan dan telah dikoordinasikan dengan Koordinator Penanganan Kasus dan Divisi Advokasi SPEK-HAM Solo, bahwa diidentifikasikan kasus tersebut tidak bisa ditangani lebih lanjut maka pendamping dan pengacara SPEK-HAM Solo berhak menarik diri dari tim Advokasi dengan menyampaikan rasionalitas tindakan tersebut. 4.
Kontribusi yang bisa diberikan oleh SPEK-HAM Solo yaitu : a. Memberikan
layanan
konsultasi
hukum,
konseling
dan
pendampingan litigasi yang berperspektif kepentingan terbaik bagi korban, termasuk layanan Shelter non permanent yang ditentukan dalam aturan Shelter. b. Memberikan kontribusi finansial kepada tim sesuai dengan kebutuhan tim / jaringan advokasi dalam penanganan kasus yang telah
sebelumnya
dikoordinasikan
antara
pendamping
dan
pengacara dengan Koordinator Penanganan Kasus SPEK-HAM Solo dan Divisi Advokasi. c. Memberikan legal opinion untuk keperluan kampanye advokasi kasus tersebut. 5. Pembiayaan
dilakukan
berdasarkan
kesepakatan
dengan
lembaga/jaringan lain secara transparan dan seimbang. commit to user
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SPEK-HAM Solo juga mengatur mengenai mekanisme rujukan kasus, baik itu SPEK-HAM Solo sendiri yang melakukan rujukan kasus kepada lembaga lain atau SPEK-HAM Solo yang menerima rujukan kasus dari lembaga lain. Berikut pengaturannya :
1.
Rujukan kasus terdiri dari dua model yaitu : a. SPEK-HAM Solo merujuk kasus kepada lembaga/jaringan lain. b. SPEK-HAM Solo menerima rujukan kasus dari lembaga/jaringan lain.
2.
Prosedur
SPEK-HAM
Solo
untuk
merujuk
kasus
kepada
lembaga/jaringan lain adalah sebagai berikut : a. SPEK-HAM Solo merujuk kasus kepada lembaga/jaringan lain apabila SPEK-HAM Solo secara kompetensi maupun kemampuan tidak dapat menangani kasus yang diterima oleh SPEK-HAM Solo. b. Kasus diluar kompetensi maupun kemampuan itu adalah kasus yang menimpa korban laki-laki, anak, difabel, dan korban yang mengalami gangguan kejiwaan. c. SPEK-HAM Solo merujuk korban yang membutuhkan layanan medis, psikologis, dan penanganan khusus lain sesuai dengan kapasitas lembaga yang ada. d. SPEK-HAM Solo memberikan surat rujukan kepada para pihak yang berkompeten dan mampu dalam menangani kasus tersebut. e. Dalam surat rujukan tersebut dilampirkan keterangan tentang identitas korban dan deskripsi kasusnya, serta kebutuhan spesifik yang mendasari dirujuknya kasus korban tersebut. f. Setelah lembaga/jaringan yang diminta rujukan menerima, maka tanggung jawab SPEK-HAM Solo atas korban selesai. commit to user
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
g. Tanggung jawab SPEK-HAM Solo terhadap korban masih berlanjut untuk rujukan medis dan psikologis yang masih terkait dengan kebutuhan korban yang masih dalam penanganan kasus SPEKHAM Solo. h. Pembiayaan untuk rujukan medis dan psikologis dilakukan oleh SPEK-HAM Solo setelah dikoordinasikan dengan Koordinator Penanganan Kasus dan bagian keuangan. 3.
Prosedur SPEK-HAM Solo dalam menerima rujukan kasus dari lembaga/jaringan lain adalah sebagai berikut : a. SPEK-HAM Solo menerima rujukan kasus dari lembaga/jaringan lain untuk melakukan pendampingan dalam kasus yang menjadi kompetensi dan kemampuan SPEK-HAM Solo. b. Penerimaan rujukan kasus harus sudah melewati identifikasi oleh lembaga/jaringan perujuk terhadap jenis dan bentuk kasus juga kebutuhan penanganan kasus bagi korban, dan SPEK-HAM Solo kemudian hanya melanjutkan proses penanganan yang sudah berjalan. c. Tanggung jawab, hak dan wewenang lembaga perujuk selesai setelah kasus diterima SPEK-HAM Solo, dan baru kembali berjalan setelah penanganan kasus yang dilakukan SPEK-HAM Solo selesai. d. Korban rujukan dari lembaga/jaringan lain menjadi tanggung jawab SPEK-HAM Solo sepanjang kebutuhannya dapat disediakan oleh SPEK-HAM Solo. e. Layanan
yang
diberikan
kepada
korban
rujukan
berupa
pendampingan non litigasi dari pendamping (konselor) dan pendampingan litigasi dari pengacara SPEK-HAM Solo, dan layanan lain yang disediakan SPEK-HAM Solo ( support shelter menurut ketentuan yang berlaku). commit to user
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
f. Tanggung jawab dan wewenang SPEK-HAM Solo melalui pendamping dan pengacara hanya terbatas pada layanan yang diberikan. g. Pembiayaan kasus ini dilakukan dengan perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak terhadap layanan yang disediakan SPEKHAM Solo. h. SPEK-HAM Solo berhak melakukan tindakan-tindakan terkait dengan penanganan kasus seperti merujuk pada layanan medis dan psikologis atau mediasi dengan pihak-pihak terkait sesuai dengan kebutuhan korban dan perkembangan kasus yang didasarkan pada kepentingan terbaik korban. i. Untuk tindakan-tindakan pada huruf (h), sebisa mungkin dilakukan oleh lembaga/jaringan yang merujuk, atau kalau tidak bisa hal ini bisa dimusyawarahkan bersama. Penjabaran diatas merupakan prosedur standar atau langkah-langkah yang telah dibuat oleh SPEK-HAM Solo dalam menerima datangnya laporan atau pengaduan seseorang mengenai tindakan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender. Tahap selanjutnya penulis akan mempelajari apa yang telah penulis dapatkan mengenai prosedur penanganan yang dilakukan oleh SPEK-HAM Solo dengan prinsip- prinsip CEDAW yang menjadi dasar bagi penulis dalam melakukan penelitiannya. CEDAW merupakan sebuah Konvensi yang dibuat sebagai tindakan terhadap adanya pendikotomian antara hak sipil dan politik dan hak ekonomi, sosial, dan budaya yang terdapat di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditentang keras dari beberapa pihak terutama oleh kaum perempuan, karena dianggap telah memisahkan antara dunia publik dengan ranah privat, yang menganggap seolah-olah ranah privat ini menjadi ranah commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang tidak rentan terhadap pelanggaran HAM. CEDAW muncul sebagai sebuah aturan tersendiri yang mengatur tentang hak asasi perempuan yang pertama dan dapat mengakomodasi kesenjangan antara ranah publik dan ranah privat. CEDAW merupakan konvensi yang didalamnya berisi tentang adanya sebuah perbedaan (differences) antara perempuan dan laki-laki mengenai perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan yang membuat perempuan membutuhkan adanya suatu perlakuan yang khusus, misalkan cuti hamil dan cuti pada saat haid. CEDAW juga menganut adanya sebuah aksi afirmatif (affirmative action) yang ditujukan kepada kelompokkelompok perempuan yang berada pada posisi lemah, istilah aksi afirmatif ini pertama kali digunakan oleh Presiden Amerika Serikat John. F Kennedy mengenai permasalahan diskriminasi rasial pada tahun 1961. Berdasarkan pemaparan di atas, merupakan sebuah gambaran umum mengenai ranah gerak CEDAW yang memiliki tiga tujuan besar yaitu pertama,
mengakomodir
hak-hak
perempuan
dan
menjembatani
pendikotomian antara ranah publik dan privat. Kedua, ditegaskannya bahwa perempuan dan laki-laki itu memiliki perbedaan (difference) sehingga dibutuhkannya
suatu
perlakuan
khusus
tanpa
cenderung
proteksionis. Ketiga, perlunya suatu aksi afirmatif
bersifat
guna mengejar
ketertinggalan yang dialami oleh perempuan terhadap laki-laki. Dari ketiga tujuan besar yang ingin dicapai CEDAW maka SPEK-HAM Solo harus dapat menyesuaikan langkah-langkah penanganannya terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan yang mereka tangani sekaligus sebagai sebuah tanggung jawab karena Indonesia sendiri sudah meratifikasi CEDAW.
commit to user
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang turut serta dalam peratifikasian CEDAW sehingga dalam segi pengambilan kebijakan dan pembuatan undang-undang tidak boleh mengandung unsur diskriminasi terhadap perempuan sebagai bentuk tindak lanjut atau follow upnya, dengan diratifikasinya CEDAW maka Indonesia juga secara langsung maupun tidak langsung telah terikat dengan tiga prinsip utama yang terdapat di dalam CEDAW yaitu mengenai persamaan subsantif, non diskriminasi dan kewajiban negara pada khususnya. Diskriminasi di dalam CEDAW tertuang pada Pasal 1 yang berbunyi “ Shall mean any distinction, exclusion, or restriction made on the basis of sex which has the effect or purpose of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or exercise by women, irrespective of their marital status, on a basis of equality of men and women, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural, civil or any other field.”. Maksud dari Pasal 1 tentang diskriminasi tersebut adalah, setiap perbedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Penambahan dalam pengertian diskriminasi oleh CEDAW juga diatur oleh Rekomendasi umum no 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan pada sidang ke-11 tahun 1992 Komite PBB, mengenai penambahan unsur bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang mengakibatkan kerugian fisik, mental dan seskual.
commit to user
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menanggapi unsur-unsur diskriminasi tersebut, maka Indonesia mengimplentasikanya menjadi sebuah Undang-Undang. Pada UU Republik Indonesia No.39 tahun 1999 tentang HAM, terlihat jelas salah satunya pada bagian ketentuan umum Pasal 1 no 3 dan 4 yang menjelaskan pengertian dari diskriminasi yang berimbas pada bidang ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek lainnya atas dasar jenis kelamin, dan pengertian kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari diskriminasi terhadap perempuan yang terdapat di dalam kalimat berikut “Penyiksaan…….untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi….”. SPEK-HAM Solo dalam melaksanakan tugasnya memiliki tujuan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan seperti apa yang disebutkan di atas, terutama apa yang dijabarkan pada Pasal 1 CEDAW tentang diskriminasi. Dapat kita lihat pada tanggal 23 januari 2013 lalu, dimana SPEK-HAM Solo turut menjadi bagian Lingkar Advokasi Untuk Perempuan (Link-AP) jaringan Jawa Tengah dan DIY saat membuat suatu surat pernyataan permohonan kepada Menteri Dalam Negeri, yang inti dari isi surat tersebut ialah mengenai untuk segera melakukan tindakan tegas kepada semua Pejabat yang melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak, tidak melakukan „pembiaran‟ dan memberikan sanksi yang jelas kepada aparat pemerintah yang menjadi pelaku dalam kasus-kasus berbasis gender dan mengenai pengimplementasian berbagai kebijakan terkait perlindungan hak-hak perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak pada pegawai negeri sipil. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan sikap yang prinsipnya sebagai berikut : 1. Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang mengutuk kekerasan terhadap perempuan yang menyatakan bahwa Negara harus mengupayakan cara-cara yang sesuai dan commit to user
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak menunda-nunda kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. 2.
Pasal 28i UUD 1945 ayat (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Sehubungan dengan hal itu dan memegang dasar pertimbangan di atas, maka Lingkar Advokasi untuk Perempuan Jawa Tengah dan DIY mengajukan permohonan kepada : 1. Menteri Dalam Negeri, untuk segera melakukan tindakan tegas kepada semua Pejabat yang melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak, tidak melakukan „pembiaran‟ dan memberikan sanksi yang jelas kepada aparat pemerintah yang menjadi pelaku dalam kasus-kasus berbasis gender. 2. Menteri Dalam Negeri, untuk segera melakukan tindakan tegas dan memberikan sanksi sesuai dengan 15 PP No. 45 tahun 1990 berupa dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat sebagaimana ketentuan PP No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang dirubah menjadi PP No. 53 Tahun 2010 dan Pasal 27 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (2)
UU
Pemerintahan
Daerah,
Wakil
Walikota
dapat
diberhentikan dengan tatacara yang diatur di dalam ketentuan Pasal 29 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan
commit to user
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. 3. Mengimplemantasikan berbagai kebijakan terkait perlindungan hak-hak perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak pada pegawai negeri sipil. (selengkapnya baca dilampiran) Dari pernyataan sikap diatas, terlihat bahwa memang SPEK-HAM Solo menempatkan sebuah non diskriminasi terhadap perempuan sebagai suatu hal yang masih dan harus terus diperjuangkan selama masih ditemukannya kejadian dan peristiwa yang mengandung unsur-unsur diskriminasi. Keterlibatan SPEK-HAM Solo dalam surat pernyataan pada Menteri Dalam Negeri tersebut juga sebagai bukti semangat penanggulangan dan pengurangan diskriminasi terhadap perempuan berbasis gender yang dimiliki SPEK-HAM Solo masih kuat. Tidak hanya sebatas pada surat pernyataan pada Menteri Dalam Negeri saja, masih ada berbagai kegiatan SPEK-HAM Solo supaya apa yang termuat di dalam Pasal 1 CEDAW tentang non diskriminasi dengan penambahan Rekomendasi Umum no 19 tentang Kekerasan Terhadap Perempuan dapat tersosialisasikan kepada masyarakat luas khususnya Kota Solo sendiri. Tidak hanya surat pernyataan kepada Menteri Dalam Negeri yang penulis dapatkan sebagai bentuk kepedulian SPEK-HAM Solo terhadap non diskriminasi, terdapat kasus lagi yang dimana SPEK-HAM Solo bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat lainnya guna menanggapi isu-isu diskriminasi. Pada kasus tahun lalu yang melibatkan antara Kepala Sekolah salah satu SMP Negeri Di Klaten dengan salah satu Siswi SMP tersebut, singkat cerita Siswi SMP tersebut menurut SPEK-HAM Solo merupakan korban dari tindakan yang dilakukan kekasih korban yang termasuk ke dalam murni sebuah kekerasan seksual, ada relasi yang tidak seimbang commit to user
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
antara korban dan pelaku, tetapi Kepala Sekolah SMP Negeri Klaten yang bersangkutan malah melakukan tindakan yang ternyata merugikan Siswi SMP Negeri tersebut yang berakibat keluarnya (diposisikan atau dimintai untuk mengundurkan diri) dari sekolahnya. Kejadian ini jelas sebuah tindakan diskriminatif terhadap Siswi tersebut, karena sudah jelas bahwa Siswi tersebut adalah sebagai korban dari kekerasan seksual dan bukanlah sebagai pelaku kekerasan seksual. SPEK-HAM Solo bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat lain yang berkompeten dalam kasus diskriminasi terhadap perempuan melakukan tindakan dengan melakukan sebuah pernyataan sikap guna menyebarkan semangat salah satu prinsip dari CEDAW, non diskriminasi. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan sikap yang prinsipnya sebagai berikut : Sebagai bentuk advokasi dan penolakan terhadap sikap sekolah yang tidak dengan adil memperlakukan korban kekerasan seksual yang terjadi beberapa waktu lalu di Klaten, Jawa Tengah. Maka bersama dengan segenap LSM dan organisasi yang tergabung dalam Jaringan Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Eks-Karesidenan Surakarta mengirimkan surat pernyataan sikap kepada pihak sekolah. Surat pernyataan ini telah dikirimkan dan diharapkan adanya perubahan sikap sekolah yang lebih baik terhadap korban, dengan dasar pertimbangan sebagai berikut : 1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Komnas Perempuan tengah berupaya mendorong kurikulum Hak Asasi Manusia (HAM) berperspektif gender di lembaga pendidikan. Selain itu juga mendorong lembaga pendidikan mempunyai mekanisme pengaduan dan perlindungan bagi pelajar perempuan dari ancaman diskriminasi dan kekerasan khususnya kekerasan seksual,
commit to user
54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana yang telah ditentukan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia tahun 1948, 3. Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia No 23 tahun 2002 yang berbunyi : Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran;
d.
kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya, 4. Bab III Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Pendidikan Nasional no 20 tahun 2003 : Pendidikan diselenggarakan
secara
demokratis
dan
berkeadilan
serta
tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa,
Bahwa kasus yang dialami oleh korban adalah murni kekerasan seksual, ada relasi tidak seimbang antara korban dengan pelaku. Hubungan korban dan pelaku yang dekat tidak bisa menjadi alasan bahwa kasus tersebut dilakukan suka sama suka. Dalam UU No 23 tahun 2002 Pasal 82 dijelaskan bahwa pertimbangan korban dalam kekerasan seksual tidak dihiraukan. Artinya dengan atau tanpa persetujuan korban, tindakan terhadap korban termasuk kekerasan seksual yang dapat diproses secara hukum. Pertimbangan lain yang dapat dijadikan dasarnya seperti di dalam UU RI No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Pemerintah Indonesia mengutuk commit to user
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya termasuk kekerasan terhadap perempuan, dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan menghapus diskriminasi terhadap perempuan dan untuk tujuan ini, berusaha untuk: menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, perlindungan kaum perempuan yang efektif terhadap tindakan diskriminasi apa pun. Deklarasi Peghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang mengutuk kekerasan terhadap perempuan yang menyatakan bahwa Negara harus mengupayakan cara-cara yang sesuai dan tidak menunda-nunda kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, dan dipertegas pula dengan pernyataan untuk menghukum dan menindak berbagai ketidakadilan yang dialami perempuan sebagai akibat dari kekerasan terhadapnya; sebagaimana diatur oleh perundang-undangan nasional, ganti rugi yang efektif dan adil atas kerugian yang mereka derita. (selengkapnya baca dilampiran) Kekerasan dalam rumah tangga atau yang biasa disingkat dengan KDRT adalah kasus yang juga di tangani oleh SPEK-HAM Solo selain kasus-kasus di atas. Kasus KDRT merupakan kasus yang paling sering di tangani oleh SPEK-HAM Solo, ini terbukti dari data kasus yang dibuat oleh SPEK-HAM Solo tahun 2012 yang diterima peneliti beserta penjelasannya dari narasumber yang peneliti temui. Negara Indonesia dalam hal ini telah berusaha untuk menjalankan dan menerapkan prinsip non diskriminatif, kewajiban negara dan keadilan substantive seperti apa yang tertuang di dalam Pasal-Pasal CEDAW, dengan cara membuat Undang-Undang dan kebijakan-kebijakan yang pro commit to user
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perempuan dan non diskriminatif. Output yang dapat kita lihat sebagai usaha negara dalam menjalankan tiga prinsip CEDAW tersebut dapat kita lihat dari berbagai Undang-Undang yang dibuat negara yang pro perempuan, beberapa diantaranya peneliti gunakan guna menunjang tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dalam penulisan hukum ini, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan nasional sebagai follow up atau tindak lanjut ke depannya. Sebelum peneliti mengkaji lebih dalam lagi mengenai tiga aturan yang dibuat oleh negara diatas dengan langkah-langkah yang SPEK-HAM Solo telah lakukan, peneliti akan memberikan gambaran alur dari prosedur penanganan kasus SPEK-HAM Solo, sebagai berikut.
commit to user
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 1
Gambar di atas menjelaskan alur-alur yang dimiliki oleh SPEK-HAM Solo dalam prosedur penanganan kasus yang mereka terima, jika dilihat secara keseluruhan gambar diatas telah menjiwai semangat dari UndangUndang yang peneliti sebutkan diatas, sebagai salah satu output yang dibuat pemerintah dalam dukungannya terhadap Hak Asasi Perempuan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, merupakan Undang-Undang yang paling sering digunakan oleh SPEK-HAM Solo, seperti data kasus yang akan peneliti tunjukkan memang jelas terlihat bahwa KDRT menempati urutan pertama dalam berkas-berkas data SPEK-HAM Solo seperti yang disampaikan narasumber. Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 atau yang dapat disingkat dengan PKDRT, tujuan yang ingin dicapai oleh Undang-Undang ini ialah untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga yang contoh upayanya dapat kita lihat di gambar atas terletak pada kotak yang memuat tulisan “SHELTER” dengan berkoordinasi kepada PPT (pusat layanan terpadu bagi perempuan dan anak di tingkat kota/kabupaten) Sesuai dengan mandat Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 5 tahun 2010, bahwa menjadi tanggungjawab pemerintah daerah dalam menyediakan layanan dan fasilitas bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Tujuan selanjutnya yaitu menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dalam usahanya untuk menjalankan tujuan ini maka SPEK-HAM Solo sesuai dengan gambar diatas pada bagian “HUKUM” melakukan kerjasama dengan kepolisian, kejaksaan, pengadilan guna menindak pelaku commit to user
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kekerasan dalam rumah tangga tersbut di bidang pidana. Sedangkan di bidang perdata SPEK-HAM Solo melakukan kerjasama dengan Pengadilan Agama. Tujuan yang terakhir ialah memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera, untuk tujuan yang ini dapat dilihat secara keseluruhan bahwa output dari prosedur penanganan kasus yang dibuat SPEK-HAM Solo diharapakan menciptakan efek takut untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap calon pelaku sehingga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga serta seimbangnya posisi suami dengan istri dapat bekembang. Prosedur penanganan kasus tersebut juga sesuai dengan apa yang diinginkan Pasal 10 PKDRT mengenai hak-hak korban yaitu, mendapatkan perlindungan dari berbagai pihak seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga sosial. Korban juga memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum serta pelayanan bimbingan rohani dan psikologisnya. Pasal 43 PKDRT mengenai upaya pemulihan dan kerja sama diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pasal 5 Peraturan Pemerintah ini menjelaskan secara baik mengenai pelayanan kesehatan, pendampingan korban, pemberian konseling, bimbingan rohani, dan resosialisai korban. Pelayanan kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat termasuk swasta. Pendampingan korban harus dilakukan oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial dengan cara memberikan konseling dan terapi guna penguatan dan pemulihan korban, dalam memberikan konseling diharuskan mendengarkan secara empati dan commit to user
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menggali permasalahan yang sebenarnya terjadi kepada korban dengan tujuan untuk penguatan psikologis korban. Dalam hal kerohanian korban dikuatkan iman dan takwanya sesuai dengan kepercayaan yang dianut korban. Dari kesemua yang dijabarkan di atas dapat terlihat keseuaian apa yang ada di Pasal 5 Peraturan Pemerintah tersebut dengan prosedur penanganan kasus yang dimiliki SPEK-HAM Solo yang terletak pada kotak “PSIKOLOGIS” dan “MEDIS” dengan berkoordinasi kepada PPT atau RS dr. Moewardi milik pemerintah daerah. Keseluruhan langkah-langkah, prosedur-prosedur, dan tindak tanduk SPEK-HAM Solo yang peneliti dapatkan dan jabarkan diatas, merupakan suatu upaya yang dilakukan SPEK-HAM Solo guna menyebarkan semangat Hak Asasi Perempuan yang terdapat di dalam CEDAW, yang kemudian diturunkan ke berbagai Undang-Undang dan Kebijakan-Kebijakan yang dibuat Negara. Upaya yang telah dilakukan dan diusahakan oleh SPEKHAM Solo, peneliti melihat telah adanya kesesuaian dengan jiwa dan semangat keadilan yang tertuang dan tertanam di dalam CEDAW atau dapat dikatakan telah terimplementasi cukup baik, peneliti harapkan kedepannya segala upaya dan usaha yang telah dilakukan SPEK-HAM Solo supaya terciptanya keadilan gender dapat terus berkembang dan semakin luas melebarkan sayap-sayap perjuangannya ke masyarakat luas.
commit to user
61
perpustakaan.uns.ac.id
B. Faktor-faktor
digilib.uns.ac.id
yang
mempengaruhi
implementasi
Prinsip-Prinsip
CEDAW Efektivitas hukum di dalam bukunya Zainuddin Ali disebutkan bahwa terdapat 4 faktor yang dapat mempengaruhi suatu efektivitas hukum di masyarakat, yaitu (1) kaidah hukum/peraturan itu sendiri; (2) petugas/penegak hukum; (3) sarana atau fasilitas yang digunakan; (4) kesadaran masyarakat. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum di dalam masyarakat menurut Friedman di kerucutkan menjadi 3 faktor saja, yaitu (1) struktur hukum; (2) budaya hukum; (3) substansi hukum, dari dua pendapat tersebut terdapat keterkaitan dengan merujuk pada konsep yang sama mengenai faktor-faktor efektivitas hukum di masyarakat terhadap hal-hal apa saja hukum tersebut dapat sesuai dan tepat sasaran dari awal pembentukannya sampai praktiknya ke lapisan masyarakat. Peneliti akan memulai pembahasan mengenai CEDAW yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia terhadap pelaksanaannya di wilayah kerja SPEK-HAM Solo berdasarkan data yang peneliti dapat dengan bertolak dari pendapat di atas. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas atau pelaksanaan prinsip-prinsip CEDAW di SPEK-HAM Solo sebagai berikut. Pertama, mengenai kaidah hukum/substansi hukumnya, CEDAW sebagai instrument HAM, dalam sejarah pembentukkannya di dasari oleh dikeluarkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tanggal 10 Desember 1948 yang disebabkan pasca perang dunia II yang pada saat itu menjadikan isu kemanusiaan internasional dan menjadi topik permasalahan utama guna pemenuhan hak-hak asasi yang dimiliki manusia. Seiring berjalannya waktu DUHAM di bagi menjadi dua konvensi, yaitu commit to user
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Convenat on Economic, Social, and Cultural Rights ( ICESCR). CEDAW dibentuk selain memang berdasarkan pada DUHAM, CEDAW juga memiliki alasan lain dalam terciptanya Konvensi ini. Hal ini dikarenakan di dalam DUHAM yang kemudian diturunkan menjadi dua konvensi, kaum feminis menganggap ini akan mengakibatkan timbulnya sebuah dikotomi antara ranah publik dan privat yang kemudian menghasilkan ketidakadilan antara ranah publik dan privat. Kritik terbesar diajukan kepada ICCPR yang secara substantif hanya akan memberikan perhatian penuh kepada ranah publik saja, ranah privat pun kurang diperhatikan. Meskipun protes tersebut dilayangkan oleh kaum feminis, tetapi protes disebut hanya ditujukan kepada permasalahan pemisahan dua ranah tersebut saja. Namun CEDAW dalam hal tujuan dan semangat yang ingin dicapai, tetap menyesusaikan dengan apa yang ingin dicapai dan dipenuhi oleh DUHAM sehingga CEDAW dan DUHAM dapat dikatakan sesuai (R. Valentina Sagala dan Ellin Rozana. 2007: 7-9). Kesesuaian tersebut dapat kita lihat pada Pasal 2 DUHAM yang berbunyi “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada kekecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain” dengan prinsip commit to user
63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
CEDAW yaitu keadilan Substantif dan Pasal 3 CEDAW mengenai kewajiban negara untuk membuat peraturan yang tepat dalam hal ekonomi, sosial, politik dan budaya untuk menjamin pemenuhhan hak perempuan Pasal 4 DUHAM yang berbunyi “Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang” dengan pasal 6 CEDAW mengenai kewajiban negara untuk membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang untuk memberantas segala bentuk perdagangan perempuan eksploitasi pelacuran. Kesesuaian lain dapat ditemukan di Pasal 7 DUHAM yang berbunyi “Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini” dengan salah satu prinsip yang terdapat di dalam CEDAW mengenai prinsip non diskriminatif pada Pasal 1 dan Pasal 2 CEDAW mengenai kewajiban negara dalam segi hukum berupa menyediakan perlindungan hukum terhadap hak perempuan, tindakan tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan, dan tidak terlibat dalam tindakan atau praktek diskriminasi, bahkan untuk yang satu ini CEDAW selain sesuai dengan DUHAM juga melengkapi atau menambahkan pengertian tentang apa itu diskriminasi tersebut. Pasal 22 DUHAM “Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan pengaturan serta sumber daya setiap negara” dengan Pasal
4 CEDAW tentang kewajiban negara untuk commit to user
64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyusun kebijakan khusus (mengutamakan pemenuhan hak secara de facto tidak saja de jure). Serta Pasal 29 angka (2) DUHAM berbunyi “Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis” dengan Pasal 5 CEDAW mengenai negara yang harus mengambil semua langkah yang tepat untuk mengubah pola tindak tanduk sosial dan budaya dan prakteknya yang subordinat terhadap perempuan dan mengandung nilai steriotip. Secara
sosiologis CEDAW dianggap efektif apabila juga berlaku karena adanya sebuah pengakuan dari masyarakat dan diberlakukan oleh penguasa (H. Zainuddin Ali. 2010: 62). CEDAW sampai tahun 2006 lalu terhitung sudah ada sebanyak 185 negara menjadi negara peserta konvensi ini, termasuk Indonesia di dalamnya. “Substansi hukum yang terdapat di dalam CEDAW sudah baik dan dapat di katakan telah mencover permasalahan perempuan yang ada. CEDAW di dalam substansi hukumnya tidak bermasalah dan sudah dapat dikatakan “oke”, meskipun CEDAW sudah baik dan tidak cacat, tapi aparat penegak hukumnya yang jarang bahkan langka sekali menggunakan CEDAW sebagai acuan dasar hukum bagi mereka bertindak, hal inilah yang sangat disayangkan” (Wawancara dengan Ibu Maria Sucianingsih yang menjabat sebagai Koordinator Penanganan Kasus, pukul 13.00 WIB 15 April 2013). Kedua, mengenai petugas/penegak hukumnya atau struktur hukum, Peraturan hukum dikatakan efektif apabila aparat penegak hukum dalam bekerja terdapat kesesuaian dengan hukum yang merupakan landasan dasar baginya untuk bertugas, sedangkan pada kenyataannya di lapangan hal ini masih dirasa cukup kurang dikarenakan tanggapan polisi terhadap kekerasan commit to user
65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
rumah tangga dan jumlah diskresi yang akan atau harus mereka gunakan dalam melakukan menahan pada peristiwa pelanggaran ringan masih merupakan pertanyaan terbuka (http://www.metro.polri.go.id/kekerasandalam-rumah-tangga, di akses pada tanggal 22 juli 2013 pada pukul 12.00 WIB). Khusus untuk hal yang satu ini peneliti telah melakukan wawancara kepada narasumber dari SPEK-HAM Solo yang mengatakan bahwa, praktek dilapangan pada saat terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang berbasis gender ketika pihak korban bersama SPEK-HAM Solo hendak melaporkannya, terkadang masih diketemukannya aparat penegak hukum yang seringkali memperumit dan memperhambat serta memperlama proses pelaporan tersebut (http://www.spekham.org/archives/1863, di akses pada tanggal 20 juli 2013 pada pukul 22.00 WIB). Komnas Perempuan juga memiliki nada suara yang sama dengan apa yang dialami SPEK-HAM Solo bahwa respon kepolisian terhadap perempuan
korban
kekerasan
masih
dinilai
lambat
(http://www.komnasperempuan.or.id, di akses pada tanggal 20 juli 2013 pada pukul 22.30 WIB) Contoh kasus ialah pada saat SPEK-HAM Solo ingin melaporkan adanya kekerasan dalam rumah yang menimpa salah satu korban, secara kondisi korban mengalami penderitaan yang cukup parah dengan badan yang penuh luka serta kondisi rahang yang patah akibat kekerasan tersebut. Sesampainya di kantor polisi, korban dengan keadaan yang membutuhkan pertolongan yang cepat ternyata masih dipersulit dengan birokrasi dari penegak hukum tersebut, sehingga korban harus bolak-balik antara rumah dengan kantor polisi tersebut guna memenuhi segala persyaratan dan administrasi yang dibutuhkan. Kejadian ini jelas merugikan korban yang membuat korban menderita cukup lama dengan luka-luka yang dimilikinya. commit to user
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
CEDAW padahal sudah mengatur masalah ini di dalam Pasal 4 yang mengatakan bahwa harus dilakukannya affirmative action atau tindakantindakan khusus yang bersifat sementara yang ditujukan guna peningkataan persamaan de facto bagi kaum perempuan. Ketidaksesuain pada bagian inilah yang membuat peniliti menganggap bahwa secara aparat hukumnya, CEDAW belum diberlakukan secara efektif oleh aparat penegak hukum terutama dalam kasus ini adalah pihak kepolisian (wawancara dengan Ibu Nila Ayu Puspaningrum yang menjabat sebagai Koordinator Penanganan Kasus, pukul 10.00 WIB 12 Desember 2012). Ketiga, mengenai sarana dan fasilitas yang digunakan. Sarana dan fasilitas juga merupakan bagian dari efektifnya CEDAW ini, sarana atau fasilitas yang telah disediakan guna tercapainya cita-cita dan semangat hak asasi perempuan yang diinginkan CEDAW peneliti melihat sudah cukup baik. Terlihat dari sarana atau fasilitas seperti Shelter dan PPT (pusat layanan terpadu bagi perempuan dan anak di tingkat kota/kabupaten) Sesuai dengan
mandat
Peraturan
Menteri
Pemberdayaan
Perempuan
dan
Perlindungan Anak Nomor 5 tahun 2010, bahwa menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dalam menyediakan layanan dan fasilitas bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Hal ini merupakan sarana dan fasiltas yang disediakan oleh negara dengan bekerja sama dengan berbagai pihak guna tercapainya hak asasi perempuan yang tertuang di CEDAW. Semakin banyaknya lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap penderitaan kaum perempuan sampai saat ini yang telah mendapat ijin dari pemerintah, merupakan bukti nyata bahwa sarana dan fasilitas guna efektifnya CEDAW sebagai usaha untuk penegakkan hak asasi perempuan masih terus diadakan dan dikembangkan secara baik. commit to user
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keempat, mengenai kesadaran masyarakat yang berkaitan dengan budaya hukum. Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat, yang dimaksud di sini adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut sebagai derajat kepatuhan
(H. Zainuddin Ali. 2010: 64). Sebelum membahas
mengenai efektifnya CEDAW dari segi warga masyarakatnya, peneliti akan memberikan tabel data kasus tahun 2008 lalu sampai dengan November
Tahun
KDRT
Perkosaan
Pencabulan
KDP
Traficking
Jumlah
2008
15
1
0
5
0
21
2009
26
4
0
2
0
32
2010
35
4
1
7
7
54
2011
18
5
2
2
1
28
2012s/dNov
19
1
3
1
-
24
Jumlah
159 Kasus 2012 lalu, Berikut tabel tersebut :
(sumber: Data Kasus SPEK-HAM Solo, tahun 2008 sampai dengan tahun 2012)
Berdasarkan data di atas, kasus kekerasan yang menimpa kaum perempuan yang terjadi di dalam masyarakat sesuai dengan data yang peneliti dapat dari SPEK-HAM Solo totalnya sebanyak 159 kasus selama rentan tahun dari 2008 sampai dengan Nopember 2012 lalu. Dapat dilihat data per tahunnya angka kasus diskiriminasi terhadap perempuan pada tahun 2008 sebanyak 21 kasus yang kemudian hingga tahun 2010 meningkat menjadi 54 kasus, lalu mengalami penurunan pada tahun 2011 menjadi hanya sebanyak 28 kasus, di tahun berikutnya yaitu tahun 2012 kembali commit to user
68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menurun sebanyak 24 kasus. Keadaan yang fluktuatif ini disadari narasumber sebagai hal yang patut diwaspadai karena dimungkinkan suatu saat nanti di tahun-tahun mendatang dapat melonjak tinggi, beliau juga mengatakan kalau penurunan yang sempat terjadi pada tahun 2011 lalu dikarenakan memang dari faktor masyarakat sendiri yang melaporkan kasus nya ke SPEK-HAM Solo yang menyebabkan penurunan itu, yang pada saat itu hanya 28 kasus saja yang dilaporkan (Wawancara dengan Ibu Maria Sucianingsih yang menjabat sebagai Koordinator Penanganan Kasus, pukul 10.00 WIB 24 April 2013). Kasus KDRT sebenarnya adalah kasus yang paling rentan terjadi di dalam masyarakat yang di karenakan kurangnya kondisi yang harmonis antara anggota keluarga yang terlibat, terutama pihak suami yang sering dilaporkan. Ibarat seperti fenomena gunung es di lautan kasus-kasus kekerasan yang berbasis gender yang menimpa kaum perempuan khusunya KDRT, yang dapat dilihat hanyalah ujungnya saja dari fenomena gunung es, sedangkan apa yang tidak terlihat atau sisa dari gunung es yang berada di bawah permukaan lautan masih lah besar dan banyak sekali terjadi, namun sekali lagi kurangnya keharmonisan di dalam keluarga dan masih adanya kaum perempuan yang menjadi korban, enggan untuk melaporkannya ke pihak-pihak yang berwajib dikarenakan hal tersebut merupakan urusan antar anggota keluarga saja atau pribadi yang harus diselesaikan serta dapat menjadi aib bagi keluarga jika sampai ketahuan oleh masyarakat banyak. Pemikiran-pemikiran seperti itulah yang bisa jadi suatu saat nanti melemahkan keefektifan CEDAW yang salah satu tujuannya ialah untuk melindungi kaum perempuan dari kejadian-kejadian seperti itu. Oleh karena itu, SPEK-HAM Solo yang menyadari akan hal itu terus menerus gencar melakukan seminar-seminar dan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk commit to user
69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
meningkatkan pemahaman warga masyarakat akan pentingnya perlindungan serta pemenuhan hak-hak asasi kaum perempuan sampai saat ini (wawancara dengan Ibu Nila Ayu Puspaningrum yang menjabat sebagai Koordinator Penanganan Kasus, pukul 10.00 WIB 12 Desember 2012). Hasilnya dapat kita lihat dari total keseluruhan kasus yang di terima SPEK-HAM Solo di lingkup wilayah kota Solo. Total kasus yang di terima menurut narasumber bukanlah angka yang terbilang sedikit sepanjang tahun-tahun tersebut, hal ini dikarenakan kesadaran akan hukum yang ada pada diri-diri masyarakat sudah dikatakan cukup baik, karena dengan sudah baiknya pemahaman hukum di dalam masyarakat maka masyarakat yang melihat atau mengalami, khususnya perempuan yang menjadi korban menjadi lebih berani untuk melaporkan kasusnya ke lembaga-lembaga swadaya terkait, dalam hal ini SPEK-HAM Solo (http://www.spekham.org/archives/140, di akses pada tanggal 22 juli 2013 pada pukul 12.30 WIB). Meskipun masih terdapat adanya kasus kekerasan terhadap perempuan yang
tergolong black number,
tetapi
perlahan namun pasti kaum perempuan yang khususnya menjadi korban sudah mulai memberanikan diri dalam memperjuangkan hak-haknya baik melalui jalur hukum maupun jalur pendidikan dan pelatihan di segala aspek (Ani Purwanti, 2009 : 1-3). Berbagai kegiatan yang dilakukan kaum perempuan sendiri sebagai bagian dari masyarakat sebagai bentuk kesadaran yang timbul akan pentingnya memperjuangkan hak-hak mereka seperti beberapa diantaranya ialah, sekolah perempuan yang diadakan di desa Pasung, desa Pacing, desa Melikan dan desa Kadilanggon yang berada di Klaten, dan desa Pandes yang berada di Bantul. Puluhan ibu-ibu dan remaja putri yang ikut ke dalam aksi 1.000 bantal memperingati 16 hari tanpa kekerasan lalu, dan perempuan commit to user
70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang tergabung ke dalam forum kelompok belajar Desa Jatimulyo yang sepakat untuk membentuk Simpan Pinjam yang diberi nama ”Perempuan Mulyo”, dengan harapan bahwa ke depan perempuan di Desa Jatimulyo hidup sejahtera Berdasarkan data baik berupa wawancara dengan narasumber dan data kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang peneliti dapat, disimpulkan bahwa kesadaran masyarakat yang berkaitan dengan budaya hukumnya sudah baik sehingga implementasi CEDAW ke dalam masyarakat akan terus ditingkatkan.
commit to user
71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperolehh kesimpulan sebagai berikut : 1.
SPEK-HAM Solo dalam menjalankan langkah-langkah penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang berbasis gender khususnya di kota Solo sudah mengimplementasikan dengan baik prinsip-prinsip CEDAW. Hal tersebut diperkuat dengan indikator usaha-usaha penyadaran hukum masyarakat melalui forum-forum diskusi dan seminar-seminar tentang perempuan serta kegiatan-kegiatan SPEKHAM Solo dalam hal pendampingan-pendampingan serta pemberian bantuan-bantuan kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan berbasis gender seperti bantuan hukum, bantuan psikologis, bantuan medis, dan bantuan shelter atau tempat tinggal sementara guna memperbaiki kondisi batin dan kejiwaan korban.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas CEDAW oleh SPEKHAM Solo. Pertama, mengenai substansi hukumnya sudah baik hal ini dapat dilihat dari kesesuaian antara CEDAW dengan peraturan diatasnya yaitu DUHAM yang menjadi dasar bagi CEDAW untuk terbentuk, meskipun umur CEDAW sudah lama tetapi tetap dapat mencover permasalahan perempuan yang ada. Kedua, dari para penegak
hukumnya
khususnya
pihak
kepolisian
yang
masih
mendahulukan birokrasi serta prosedur-prosedur yang SPEK-HAM Solo lihat masih memperlambat pemberian pertolongan secepat commit to user 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mungkin bagi korban. Ketiga, mengenai sarana dan fasilitas yang digunakan telah sesuai dengan CEDAW yaitu telah adanya shelter dan PPT (pusat layanan terpadu bagi perempuan dan anak di tingkat kota/kabupaten)
Sesuai
dengan
mandat
Peraturan
Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 5 tahun 2010 yang ada di kota Solo guna memberikan keadilan, keamanan, dan perlindungan yang baik kepada perempuan yang menjadi korban. Keempat, faktor warga masyarakatnya sudah cukup baik mengenai pemahaman hukumnya, sehingga tidak sedikit pula berbagai kegiatan yang dilakukan kaum perempuan sendiri sebagai bagian dari masyarakat sebagai bentuk kesadaran yang timbul akan pentingnya memperjuangkan hak-hak mereka telah banyak diadakan dan mendapat antusiasme yang baik dari masyrakat dan kaum perempuan pada khususnya.
B. SARAN-SARAN 1.
Bagi SPEK-HAM Solo, agar terus menerus dan lebih ditingkatkan lagi pemberian pemahaman kepada warga masyarakat dengan bekerja sama dengan berbagai pihak melalui seminar-seminar dan forum-forum diskusi tentang isu gender terkini yang melibatkan seluruh lapisan maskarakat, diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat akan bahayanya kondisi kekerasan berbasis gender di wilayahnya sehingga dapat dikurangi atau diminimalisir sebaik mungkin.
2.
Bagi masyarakat, khususnya bagi kaum perempuan yang menjadi korban kekerasan berbasis gender di wilayahnya agar lebih proaktif lagi jika dirinya ternyata menjadi salah satu korban kekerasan berbasis gender di wilayahnya baik dalam hal ranah privat maupun publik, segera commit to user
73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melapor ke instansi terkait yang terdekat jika melihat ataupun menjadi korban langsung tindak kekerasan semacam itu. Keamanan, kesehatan dan kerahasiaan akan dijamin baik itu dari negara maupun lembaga swadaya masyarakat yang menanganinya, khususnya SPEK-HAM Solo.
commit to user
74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA Buku Achie Sudiarti Luhulima. 2000. Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Jakarta: P.T Alumni. Aida Vitayala S. Hubeis. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor: IPB Press. Amiruddun. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Anonim. 2011. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Negara Tahun 2010 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Surabaya: Anfaka Perdana Arief Budiman. 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat.Jakarta: Gramedia. Burhan Ashshofa. 2001. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Dewita Hayu S dan Oetari Cintya Bramanti. 2007. Kekerasan dalam Rumah Tangga: Reduksi Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam RUU KUHP. Jakarta: LBH APIK dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP Eddy Pratomo. 2011. Hukum Perjanjian Internasional: Pengertian, Status Hukum, dan Ratifikasi. Bandung: P.T Alumni. Heribertus Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Kelompok Kerja Convention watch. 2012. Hak azasi Perempuan, Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia L. M. Gandhi Lapian. 2012. Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Lexy. J. Maleong. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: P.T. Remaja Rosadakarya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Majda El Muhtaj. 2009. Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta: Rajawali Pers. Mansour Fakih. 2010. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. R. Valentina Sagala dan Ellin Rozana. 2007. Pergulatan Feminisme dan Ham. Bandung: Institut Perempuan. Ruth Rubio-Marin. 2008. Perempuan Menggugat, Masalah Gender dan Reparasi dalam Kejahatan Hak Asasi Manusia. Jakarta: ELSAM. Sabian Utsman. 2009. Dasar-dasar Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press _______________. 2011. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum.Jakarta: Rajawali Pers. T. May Rudy. 2011. Hukum Internasional 2. Bandung: PT Refika Aditama. Zainuddin Ali. 2010. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Zeffry Alkatiri. 2010. Belajar Memahami HAM. Jakarta: Ruas. Jurnal dan Makalah Ariefa Efianingrum. 2008. “Pendidikan dan Pemajuan Perempuan: Menuju Keadilan Gender”. Jurnal Fondasia Donovan A. McFarlane. 2010. “Gender Compensation Discrimination: An Exploration Of Gender Compensation Gap and the Higher Education Connection”. Journal of Business Studies Quarterly, Vol. 2, No. 1, pp. 65-8. Felipe Gomez Isa. 2003. “The Optional Protocol For The Convention OnThe Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women: Strenghthening The Protection Mechanism Of Women‟s Human Rughts”. Arizona Journal of International and Comparative Law Vol 20, No. 2 Sri Wiyanti Eddyono, S.H. 2004. “Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW”. Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2004. Jakarta: ELSAM. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Ani
digilib.uns.ac.id
Purwanti. 2009. “Feminisme mengubah masyarakat”. http://eprints.undip.ac.id/759/1/Feminisme_Mengubah_Masyarakat__Revisi_.p df di unduh 23 juli 2013.
.
Wawancara wawancara dengan Ibu Nila Ayu Puspaningrum yang menjabat sebagai Koordinator Penanganan Kasus. Tanggal 12 Desember 2012, pukul 10.00 WIB wawancara dengan Ibu Maria Sucianingsih yang menjabat sebagai Koordinator Penanganan Kasus. Tanggal 15 April 2013, pukul 13.00 WIB wawancara dengan Ibu Maria Sucianingsih yang menjabat sebagai Koordinator Penanganan Kasus. Tanggal 24 April 2013, pukul 10.00 WIB
Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Negara Tahun 2010 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan 18 Desember 1979. Rekomendasi Umum Nomor 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan pada sidang ke-11 tahun 1992 Komite PBB.
L.ampiran-lampiran
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1984 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKIRIMINASI TERHADAP WANITA (CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMANATION AGAINST WOMEN)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap wanita harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam sidangnya pada tanggal 18 Desember 1979, telah menyetujui Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); c. bahwa ketentuan-ketentuan di dalam Konvensi tersebut di atas pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Konvensi tersebut pada tanggal 29 Juli 1980 sewaktu diadakan Konperensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen; e. bahwa berhubung dengan hal tersebut di atas maka dipandang perlu mengesahkan Konvensi sebagaimana tersebut pada huruf b di atas dengan Undang-undang;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UndangUndang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara;
Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP WANITA (CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST WOMEN). Pasal 1 Mengesahkan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa pada tanggal 18 Desember 1979, dengan pensyaratan (reservation) terhadap Pasal 29 ayat (1) tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini, yang salinannya dilampirkan pada Undang-undang ini. Pasal 2
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta Pada tanggal 24 Juli 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SOEHARTO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Juli 1984 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1984 NOMOR 29 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1984 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP WANITA (CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST WOMEN) I.UMUM Pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyatakan agar diambil langkah-langkah pelaksanaan Deklarasi tersebut.
seperlunya
untuk
menjamin
Oleh karena Deklarasi itu sifatnya tidak mengikat maka Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan Wanita berdasarkan Deklarasi tersebut menyusun rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Pada tanggal 18 Desember Tahun 1979 Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa telah menyetujui Konvensi tersebut. Karena ketentuan Konvensi pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Pemerintah Republik Indonesia dalam Konperensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen pada tanggal 29 Juli 1980 telah menandatangani Konvensi tersebut. Penandatanganan itu merupakan penegasan sikap Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 18 Desember 1979 pada waktu Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan pemungutan suara atas resolusi yang kemudian menyetujui Konvensi tersebut. Dalam pemungutan suara itu Indonesia memberikan suara setuju sebagai perwujudan keinginan Indonesia untuk berpartisipasi dalam usaha-usaha internasional menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap wanita karena isi Konvensi itu sesuai dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Ketentuan dalam Konvensi ini tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan nasional yang mengandung asas persamaan hak antara pria dan wanita sebagai perwujudan tata hukum Indonesia yang sudah kita anggap baik atau lebih baik bagi dan sesuai, serasi serta selaras dengan aspirasi bangsa Indonesia. Sedang dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan UndangUndang Dasar 1945 sebagai sumber hukum nasional memberikan keyakinan dan jaminan bahwa pelaksanaan ketentuan Konvensi ini sejalan dengan tata kehidupan yang dikehendaki bangsa Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasal 1 Pasal 29 Konvensi memuat ketentuan tentang cara untuk menyelesaikan setiap perselisihan antara negara peserta Konvensi mengenai penafsiran atau penerapan ketentuan Konvensi. Pemerintah Indonesia tidak bersedia untuk mengikatkan diri pada ketentuan pasal tersebut, karena pada prinsipnya tidak dapat menerima suatu kewajiban untuk mengajukan perselisihan internasional, dimana Indonesia tersangkut, kepada Mahkamah Internasional. Dengan pertimbangan tersebut di atas Indonesia mengadakan pensyaratan terhadap Pasal 29 ayat (1) Konvensi, hingga dengan demikian Indonesia menyatakan dirinya tidak terikat oleh pasal tersebut. Pasal 2 Cukup jelas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
8