IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN BUDAYA MUTU MADRASAH IBTIDAIYAH (Studi Terhadap Kepemimpinan Kepala Madrasah Ibtidaiyah Kota Bandar Lampung) Abstrak Mutu merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia baik secara individual, kelompok, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mutu dapat dijamin dengan cara memastikan bahwa setiap individu memiliki bidang yang diperlukannya untuk menjalankan pekerjaan dengan tepat. Dengan perangkat yang tepat, para pekerja akan membuat produk dan jasa secara konsisten sesuai dengan harapan kostumer. Perbaikan mutu merupakan proses yang berkesinambungan, dan tampa akhir bukan program yang sekali jalan. Sementara itu di level lembaga pendidikan pengembangan mutu memerlukan kepemimpinan dari anggota dewan sekolah dan administrator serta diperlukan sejenis latihan masal sebagai prasyarat mutu sehingga dimungkinkan setiap individu di sekolah mesti mendapatkan pelatihan. Setiap langkah dalam mewujudkan mutu memerlukan disiplin untuk selalu memenuhi seluruh persyaratan pekerjaan agar hasil yang diharapkan terwujud. Dalam sebuah lembaga mutu yang baik lahir dari disiplin bersama, tanggung jawab bersama, dan komitmen bersama, sehingga muaranya adalah hasil terbaik yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap apa yang dilakukan dan mampu memberikan kepuasan, kenyamanan, kesejahteraan, dan tidak menerima keluhan dari pelanggan.Tulisan ini merupakan rangkuman hasil penelitian terhadap 3sampel MIN di Kot Bandar Lampung dalam pengembangan budaya mutunya. Melalui pendekatan kualitatif diskriftif analitik penelitian ini diharapkan memberi konstribusi bagi peningkatan kualitas pendidikan Islam pada umumnya.
Kata Kunci: Pengembangan, Budaya Mutu, Meningkatkan Kualitas Madrasah, MIN Kota Bandar Lampung.
i
DAFTAR ISI
Abstrak …………………………………………………………………………….. Daftar Isi …………………………………………………………………………… BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………… A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………… B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian… …………………………………… C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………. D. Manfaat Penelitian ………………………………………………………. E. Penelitian Terdahulu yang Relevan …………………………………..
i ii 1 1 5 5 5 6
BAB II PENGEMBANGAN BUDAYA MUTU MADRASAH IBTIDAIYAH …. A. Konsep Pengembangan Mutu …………………………………………… B. Stake Holder Sebagai Pemicu Pengembangan Budaya Mutu di Madrasah Ibtidaiyah …………………………………………………….. C. Peranan Kepemimpinan Kepala Madrasah dalam Pengembangan Mutu Madrasah Ibtidaiyah ………………………………………………………
9 9 24 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...………………………………………. A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ………………………………………….. B. Sumber Data ………………………………………………………………… C. Teknik Pengumpulan Data ………………………………………………..... D. Strategi Pengumpulan Data ………………………………………………… E. Teknik Analisis Data………………………………………………………….
27 27 27 28 29 29
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………………………… A. Deskripsi dan Analisis Pengembangan Budaya Mutu di MIN Sukarame Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung ……………………………. B. Deskripsi dan Analisis Pengembangan Budaya Mutu di MIN Way Halim. C. Temuan Penelitian dan Pembahasan ……………………………………….
30
BAB V PENUTUP …………………………………………………………………… A. Simpulan ……………………………………………………………………… B. Rekomendasi …………………………………………………………………
52 52 53
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………..
54
ii
30 36 48
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Reformasi bidang politik di Indonesia pada penghujung abad ke 20 M telah membawa perubahan besar pada kebijakan pengembangan sektor pendidikan, yang secara umum bertumpu pada paradigma otonomisasi dan demokratisasi pendidikan. Dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah bahwa sektor pendidikan merupakan salah satu yang diotonomisasikan sebagaimana sektor-sektor pembangunan yang berbasis kedaerahan lainnya. Otonomisasi dimaksud selanjutnya didorong pada madrasah (sekolah) agar kepala madrasah dan guru memiliki tanggung jawab besar dalam pengembangan mutu madrasah dan peningkatan mutu proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Tinggi dan rendahnya mutu hasil belajar peserta didik menjadi tanggung jawab guru dan kepala madrasah sebagai manajerial, karena pemerintah daerah hanya memfasilitasi berbagai aktivitas pendidikan, baik sarana maupun berbagai program pembelajaran yang direncanakan madrasah. Dalam konteks peningkatan mutu ini kepala madrasah di samping bermitra dengan pemerintah daerah juga berkerjasama dengan masyarakat (komite madrasah) untuk membahas program madrasah dengan para stakeholder dan
user
ini.
Di
sinilah
kepala
madrasah
dapat
bertanya
dan
sekaligus
mempertanggungjawabkan berbagai aspek dan pelaksanaan programnya pada stakeholder madrasah tersebut. Untuk lebih melibatkan masyarakat dalam peningkatan mutu pendidikan ini, pemerintah selanjutnya mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di mana salah satu isu penting dalam undang-unadang dimaksud adalah pelibatan masyarakat dalam pengembangan sector pendidikan. Ditegaskan lebih jauh dalam pasal 9 undang-undang tersebut bahwa masyarakat berhak untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan guna lebih meningkatan mutu pendidikan secara umum. Orientasi mutu dalam kehidupan pembangunan di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat urgen, harus didukung dan dikembangkan dalam rangka merespon kecenderungan persaingan global. Imbasnya terjadi pada bidang pendidikan dengan munculnya sejumlah penelitian dalam mutu pendidikan. Mutu merupakan hasil karya dan budidaya manusia karena itu perkara yang mendasar adalah persoalan bagaimana transformasi nilai-nilai yang ada di dalamnya dilaksanakan. Transformasi nilai mutu hanya mungkin dilaksanakan dalam 1
konteks social pada unit-unit terdepan pendidikan, yakni madrasah (sekolah). Dalam konteks ini tranformasi nilai mutu oleh kepemimpinan pendidikan perlu dipersoalkan. Sistem nilai mutu merupakan system budaya mutu yang berkembang dalam interaksi social di antara orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan baik dalam proses edukatif maupun pengelolaan. Kepemimpinan madrasah dipandang sebagai hal strategis dalam upaya mengembangkan mutu, yaitu membinan tenaga kependidikan menjadi sadar mutu dengan wujud perilaku sadar mutu. Semua upaya pengembangan dan peningkatan mutu dimaksud sangat disadari akan sulit terwujud – tidak akan efektif – untuk membawa perubahan tanpa didukung dengan pola pengelolaan madrasah yang sesuai. Oleh sebab itulah model manajemen yang harus dikembangkan dalam konteks pengembangan mutu madrasah dimaksud adalah manajemen yang demokratis, yang memperbesar pelibatan teamwork dalam proses pengambilan putusan, perencanaan program, pendistribusian tugas dan wewenang, serta perubahan paradigma dalam menilai produktivitas kerja setiap unsur dalam organisasi madrasah, dengan orientasi kepuasaan pelanggan. Gagasan budaya mutu ini dapat diawali dari partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang bukan hanya dalam konteks retribusi uang sumbangan pendidikan, tetapi merambah ke dalam pembahasan dan kajian untuk mengindentifikasi berbagai permintaan stakeholder dan user madrasah tentang kompetensi peserta didik yang akan dihasilkannya, sehingga akan memperkaya substansi kurikulum serta menuntut kreativitas dan dinamika pengelolaan madrasah agar dapat melayani permintaan-permintaan tersebut, dengan tetap berpijak pada perkembangan psikologis peserta didik serta kemampuan madrasah dalam memberikan layanan pada para pemakainya tersebut. Selanjutnya gagasan budaya mutu ini juga dikembangkan dengan sebuah paradigma baru tentang pelibatan peserta didik dalam proses pembelajaran, yang tidak sekedar membuat mereka aktif dalam proses pembelajarannya, tapi mereka juga diberi kesempatan dalam menentukan aktivitas belajar yang akan mereka lakukan, bersama-sama dengan guru mereka, sehingga muaranya para peserta didik belajar dalam suasan yang menyenangkan, dinamis dan penuh keceriaan karena kondisi yang tercipta memang bernuansa aspiratif dan sesuai dengan permintaan para peserta didik. Proses pembelajaran di dalam kelas senantiasa memberikan perhatian pada aspirasi peserta didik, tidak mengabaikan mereka yang lamban dalam proses pemahaman, dan tidak merugikan mereka yang cepat dalam pemahaman bahan ajar. Peserta didik memperoleh pelayanan yang proporsional, dan semua harus bermuara pada batas
2
minimal pencapaian kompetensi sesuai angka yang ditetapkan bersama dalam koridor mastery learning.1 Isu tentang peningkatan mutu dan pengembangan budaya mutu sector pendidikan ini mencuat kepermukaan tidak hanya dalam jalur pendidikan umum, namun pada semua jalur dan jenjang pendidikan. Bahkan menurut Rosyada upaya advokasi untuk jalur pendidikan di Indonesia yang dikelola oleh beberapa departemen teknis, dengan tuntutan social equity sangat kuat yang tidak hanya disuarakan oleh departemen terkait sebagai otoritas pengelola jalur pendidikan tersebut, tetapi juga oleh para praktisi dan pengambil kebijakan dalam pembangunan sektor pembinaan sumber daya manusia, karena semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur yang memberikan kontribusi terhadap rata-rata hasil pendidikan secara nasional. Karena sejatinya kelemahan proses dan hasil pendidikan dari sebuah jalur pendidikan akan mempengaruhi indeks keberhasilan pendidikan secara keseluruhan.2 Pembinaan sumber daya manusia Indonesia harus menjadi prioritas utama sektor pendidikan di Indonesia. Sebab lemahnya sumber daya manusia hasil pendidikan mengakibatkan lemahnya Indonesia bangkit dari keterpurukan sektor lainnya seperti dalam sector ekonomi. Sebagaimana disinyalir Priatmoko bahwa pendidikan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dikatakan lebih lanjut oleh Priatmoko3 bahwa hal ini dapat diamati pada negara Jepang, di mana kemajuan ekonomi yang didapatnya sekarang tak lepas dari peranan pendidikan. Sistem pendidikan Jepang yang baik telah menghasilkan manusia-manusia berkualitas sehingga walaupun hancur setelah kekalahan dalam Perang Dunia II, Jepang mampu bangkit cepat dan maju serta dapat bersaing dengan negara yang mengalahkannya dalam peperangan. Hal demikian juga dapat dilihat pada Negara Asia lainnya seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, ataupun Singapura yang memperlihatkan bahwa kemajuan ekonomi yang mereka dapatkan adalah karena tingginya kualitas SDM-nya. Fenomena ini sangat berbeda dengan Indonesia yang ternyata tertinggal jauh dalam kualitas sumber daya manusia yang salah satu penyebab ketertinggalan tersebut adalah akibat dari kekeliruan dalam pembangunan yang berjalan cukup lama pada masa Orde Baru yang menekankan pada pembangunan fisik dan
1
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. (Jakarta : Kencana, 2004), hal. xiii. 2 Ibid, hal.1. 3 DH. Priatmoko, Reformasi Pendidikan Indonesia, Suatu Solusi Keluar dari Krisis. Makalah dalam Website Balitbang Depdiknas, 2003.
3
kurang serius dalam pembinaan sumber daya manusia yang mestinya lebih difokuskan dalam peningkatan mutu pendidikan. Indikator rendahnya mutu pendidikan menurut Priatmoko4 dapat diamati pada prestasi prestasi peserta didik. Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia tahun 1992, studi IEA (International Association for the Evaluation of Education Achievement) di Asia Timur memperlihatkan bahwa keterampilan membaca peserta didik kelas IV SD berada pada level terendah. Gambaran rata-rata skor tes membaca untuk peserta didik SD adalah sebagai berikut : 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), 51,7 (Indonesia). Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan mereka kesulitan menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Demikian juga dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di Asia Pasifik ternyata empat universitas terbaik Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73, dan ke-75. Indikator lain yang menunjukkan betapa kurang bermutunya pendidikan di Indonesia adalah peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Developmental Index), yakni komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Dari data UNESCO tahun 2000, di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke 102 pada tahun 1996, ke-99 tahun 1997, ke-105 tahun 1998, dan ke-109 tahun 1999, serta menurun ke urutan 112 pada tahun 2000. Bahkan hasil survai Political and Economic Risk Consultant (PERC) mengatakan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia berada di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Dari deskripsi fakta di atas maka gagasan tentang pengembangan budaya mutu madrasah dalam konteks pendidikan di Indonesia menjadi sangat relevan, khususnya dalam konteks peningkatan mutu pada jenjang pendidikan dasar, dimana sudah dikemukakan sebelumnya bahwa perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan adalah di semua jenjang dan jalur, dengan perbaikan komprehensif yang meliputi perbaikan perencanaan, proses pembelajaran, dukungan alat dan sarana pembelajaran, serta perbaikan manajemen yang bermuar pada perbaikan pada hasil pendidikan. Sosialisasi budaya mutu adalah pokok permasalahan yang dapat dipicu dan dibangkitkan oleh kepala madrasah, lingkungan madrasah, dan tenaga kependidikan yang ada di madrasah. Aspek lingkungan merupakan kompleksitas dari pekerjaan, fisik, sosial, tradisi, ekonomi, dan birokrasi. Aspek tenaga kependidikan diharapkan menjadi sadar mutu yang 4
Ibid
4
bermuara pada terimplementasinya nilai mutu ke dalam sikap dan tindakannya. Aspek pemicu dan pendorong utama adalah kepemimpinan kepala madrasah yang diliput dari nilainilai mutu yang dikembangkan, pola interaksi kepemimpinan dalam mengembangkan nilai mutu, dan nilai-nilai budaya yang dikembangkan, serta bidang tugas kepemimpinan yang diarahkan dalam mengembangkan mutu.
B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian Berangkat dari latar belakang masalah di atas maka penelitian ini difokuskan pada serangkaian nilai-nilai mutu yang dikembangkan oleh kepala madrasah ibtidaiyah yang ada di Bandar Lampung dan pola interaksi kepemimpinan yang dikembangkan oleh kepala madrasah ibtidaiyah dalam upaya mengembangkan nilai-nilai mutu di madrasah yang dipimpinnya. Untuk memandu penelitian ini maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Nilai-nilai mutu apa yang dikembangkan oleh kepala madrasah ibtidaiyah di Bandar Lampung? 2. Bagaimana pola interaksi kepemimpinan yang dikembangkan oleh kepala madrasah ibtidaiyah di Bandar Lampung dalam mengembangkan nilai-nilai mutu?
C. Tujuan Penelitian Penelitian tentang pengembangan budaya mutu di madrasah ibtidaiyah ini bertujuan untuk mengungkap gambaran empiric mengenai nilai-nilai mutu yang dikembangkan kepala madrasah ibtidaiyah di Kota Bandar Lampung dan pola interaksi kepemimpinan yang dikembangkan oleh kepala madrasah di Bandar Lampung dalam mengembangkan nilai-nilai mutu di madrasah ibtidaiyah yang dipimpinnya, sehingga akhirnya mutu dimaksud akan menjadi sesuatu yang membudaya. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Manfaat teoritis Dalam
kontek
pengembangan
nilai-nilai
mutu
untuk
meningkatkan
dan
mengembangkan budaya mutu di lembaga pendidikan formal awal seperti madrasah ibtidaiyah, belum ada strategi pengembangan yang dianggap jitu sehingga mampu dijadikan format strategi atau model yang relatif bisa dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan formal 5
secara nasional maupun lokal. Di sisi lain amanat tujuan pendidikan nasional dalam UndangUndang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di mana salah satu isu penting dalam undang-unadang dimaksud adalah peningkatan mutu pendidikan dengan salah satu cara adalah dengan pelibatan masyarakat dalam pengembangan sektor pendidikan yang bukan hanya dalam perencanaan namun lebih lanjut hingga pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi dalam semua satuan dan tingkat pendidikan Indonesia. Dengan demikian dimensi nilai-nilai mutu merupakan aspek utama dan pertama yang harus diperbaiki, ditingkatkan, dan dikembangkan secara holistik, tidak parsial, dan simultan walaupun mungkin dilakukan secara bertahap. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam menemukan kerangka pemikiran untuk membangun sebuah teori pendidikan yang berkaitan dengan aspek pengembangan budaya mutu di madrasah ibtidaiyah. 2. Manfaat Praktis Penembangan budaya mutu madrasah merupakan tanggung jawab semua warga madrasah terutama kepala madrasah sebagai manajer dan pemimpin madrasah. Karena sejatinya manajemen memang merupakan sesuatu yang amat bermakna dalam perubahan menuju sebuah kualitas. Perbaikan sektor, tenaga guru dan fasilitas serta sarana pembelajaran tidak akan terlalu membawa perubahan signifikan jika tidak disertai dengan perbaikan pola dan kultur manajemn yang mendukung perbaikan dan perubahan-perubahan tersebut. Dinamika guru dalam pengembangan program pembelajaran tidak akan bermakna bagi perbaikan proses dan hasil belajar peserta didik, bila manajemen sekolahnya tidak memberikan ruang untuk tumbuh dan berkembangnya kreativitas guru tersebut. Demikian juga penambahan dan penguatan sumber belajar berupa perpustakaan dan laboratorium tidak akan terlalu bermakna jika manajemen sekolahnya tidak memberi peluang dan perhatian serius dalam optimalisasi pemanfaatan sumber belajar tersebut dalam proses belajar peserta didik. Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat dikembangkannya strategi atau model pengembangan mutu oleh kepala madrasah ibtidaiyah di lingkungan madrasah yang dipimpinnya melalui implementasi perilaku kepemimpinan yang mendukung penciptaan nilai-nilai dan budaya mutu pendidikan.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan Beberapa hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Penelitian yang dilakukan Siti Irene Astuti Dwiningrum, dosen tetap FSP-FIP Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2011 tentang Desentralisasi dan Partisipasi 6
Masyarakat dalam Pendidikan. Kajian ini memfokuskan penelitiannya tentang analisis sosiologis dalam memahami dinamika disentralisasi pendidikan serta analisis partisipasi dalam kaitannya dengan kebijakan pendidikan yang desentralistik secara komprehensif dan aplikatif. Dalam penelitian ini dipaparkan serangkaian konsep dan praktek kebijakan pendidikan yang berkembang secara dinamis sesuai dengan tujuan pendidikan desentralistik. Rekonstruksi pendidikan merupakan bentuk adaptasi terhadap perubahan kebijakan pendidikan, sebagai bentuk transformasi nilai pada satuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan peran pendidikan sebagai transmisi kebudayaan antar generasi yang tidak pernah berhenti melakukan proses reproduksi ilmu. Dikatakannya bahwa adaptasi sekolah terhadap perubahan kebijakan membutuhkan kemampuan sekolah baik dalam tatanan institusi dan personal (kepala sekolah, guru, dan siswa) maupun stakeholder untuk bersikap proaktif. Oleh karena itu peningkatan mutu sekolah melalui perbaikan school performance memerlukan sinergi antar peran yang terlibat dalam proses pendidikan. Realitas yang berkembang adalah kemampuan sekolah dalam merespon kebijakan tidak selalu sama, sehingga school
performance
tetap
menunjukkan
dinamika
sosialnya.
Peneliti
juga
mengemukakan bahwa pemahaman kriteria tentang sekolah bermutu tidaklah mudah, dikarenakan kategori sekolah unggul atau bermutu memiliki banyak aspek. Pemahaman kualitas sekolah terkadang hanya dimensi obyektif dinilai dari prestasi ujian nasional sebagai upaya mereduksi kemampuan siswa. Padahal sejatinya mutu sebagai produk manusia memiliki dimensi obyektif dan subyektif. Mutu dalam dimensi obyektif menggunakan UN sebagai standar mutu sekolah yang dalam dinamikanya antar sekolah memiliki standar kelulusan yang tidak sama. Dalam konteks inilah sekolah berperan penting dalam merekonstruksi kualitas/mutu sekolah berdasarkan kondisi obyektif dan subyektif melalui berbagai program sekolah. Akademisi yang berminat dalam masalah sosiologi kelurga, sosiologi pendidikan, dan antropologi pendidikan ini menemukan bahwa ketimpangan mutu dalam sebuah institusi pendidikan bersifat multidimensional dan membutuhkan penanganan yang komprehensif yang mampu menempatkan pendidikan sebagai kekuatan budaya, dan tidak terbelenggu dalam proses kapitalisasi pendidikan. Di sinilah partisipasi masyarakat diperlukan bagi penguatan proses pendidikan dan sebagai prasyarat penting bagi peningkatan mutu. 2. Penelitian Djam’an Satori, dosen tetap FIP UPI Bandung pada tahun 1999 mengenai pengembangan budaya mutu sekolah. Penelitian ini menekankan pada perluasan dan 7
pemerataan kualitas pendidikan dalam kerangka wajib belajar sembilan tahun dan upaya merespon kecenderungan global. Bagaimanapun juga persoalan mutu pendidikan sudah menjadi tuntutan masyarakat yang mendesak untuk dipenuhi. Menurut peneliti pengembangan mutu pendidikan di sekolah sangat berkaitan dengan budaya sebab pada hakikatnya pengembangan mutu membutuhkan sikap yang didasari pada nilai-nilai tertentu. Adanya “trade mark” favorit pada institusi pendidikan tertentu adalah fenomena pada sekolah yang bersangkutan sedang mengalami transformasi budaya. Personalia sekolah yang paling bertanggung jawab dalam pengembangan mutu di sekolah adalah kepala sekolah. Guru besar UPI ini menemukan bahwa kepala sekolah dan guru SDN sebagai PNS selalu berangkat dari kepatuhan terhadap birokrasi karena memang sejak diangkat dituntut untuk memperlihatkan loyalitasnya. Mereka diperkenalkan dengan tatanan hirarkhi bahwa setiap ada ide baru dari para guru maka harus disampaikan kepada kepala sekolah kemudian kepala sekolah ke yang lebih atas, dan tidak boleh dilaksanakan sebelum ada keputusan dari atas. Namun dalam suasana seperti ini sudah muncul nilai-nilai mutu seperti kemandirian dan inovatif yang berkembang dan bersentuhan dengan struktur yang telah mapan. Penelitian-penelitian di atas lebih terfokus pada lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang disebut sekolah atau diberi label sekolah umum. Sementara penelitian ini lebih difokuskan pada institusi madrasah pada level dasar yaitu madrasah ibtidaiyah yang berada di bawah naungan Kementerian Agama. Madrasah merupakan “sekolah umum yang bercirikan Islam”5 dan merupakan ujung tombak terdepan dalam proses pendidikaan Islam. Pengertian ini menunjukkan bahwa dari segi kurikulum, madrasah mengajarkan pengetahuan umum yang sama dengan sekolah umum yang sederajad, hanya saja pengetahuan agama yang diberikan lebih banyak dari sekolah umum. Karena madrasah ibtidaiyah adalah salah satu institusi pendidikan Islam di Indonesia maka ia juga dituntut untuk dapat meningkatkan mutu bahkan membudayakannya. Dengan demikian peneliti ingin fokus melihat bagaimana posisi madrasah ibtidaiyah bukan sematamata dipahami sebagai lembaga pendidikan yang sederajat dengan SD, namun juga harus mengemban mutu dan memiliki misi strategis dalam membentuk peserta didik yang religius dan berakhlak Islami. Di sinilah letak arti penting penelitian ini.
5
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta : Ditjenbinbaga Islam, 1991)
8
BAB II PENGEMBANGAN BUDAYA MUTU MADRASAH IBTIDAIYAH
A. Konsep Pengembangan Mutu 1. Pengertian Mutu Mutu merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia baik secara individual, kelompok, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mutu memiliki banyak pengertian yang berbeda antara menurut para ahli. Wiyono dalam Makawimbang1 mengemukakan bahwa mutu adalah factor yang mendasar dari pelanggan. Mutu adalah penentuan pelanggan, bukan ketetapan insinyur, pasar, atau ketetapan manajemen. Ia berdasarkan atas pengalaman nyata pelanggan terhadap produkdan jasa pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya, dijanjikan atau tidak, sadar atau hanya dirasakan, operasional teknik atau subyektif sama sekali dan selalu menggambarkan target yang bergerak dalam pasar yang kompetitif. Sementara itu Juran2 memberikan pengertian bahwa mutu sebagai “tepat untuk dipakai” dan menegaskan bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah adalah mengembangkan program dan layanan yang memenuhi kebutuhan pengguna seperti peserta didik dan masyarakat. Lebih jauh Juran mengatakan bahwa “tepat untuk pakai” lebih tepat ditentukan oleh pemakai bukan oleh pemberi. Pandangan ini menekankan pentingnya perencanaan dan kontrol mutu dan titik fokus filosofi manajemen mutu adalah keyakinan organisasi terhadap produktivitas individual. Mutu dapat dijamin dengan cara memastikan bahwa setiap individu memiliki bidang yang diperlukannyauntuk menjalankan pekerjaan dengan tepat. Dengan perangkat yang tepat, para pekerja akan membuat produk dan jasa secara konsisten sesuai dengan harapan kostumer. Dikatakan Juran bahwa mutu adalah proses yang tidak mengenal akhir. Perbaikan mutu merupakan proses yang berkesinambungan, bukan program yang sekali jalan. Sementara itu di level lembaga pendidikan pengembangan mutu memerlukan kepemimpinan dari anggota dewan sekolah dan administrator serta diperlukan sejenis latihan masal sebagai prasyarat mutu sehingga dimungkinkan setiap individu di sekolah mesti mendapatkan pelatihan. Mutu memerlukan waktu, proses dan ketelatenan untuk meujudkan ide-ide baru dengan baik sejak awal. Setiap langkah dalam mewujudkan mutu memerlukan disiplin untuk selalu memenuhi seluruh persyaratan pekerjaan agar hasil yang diharapkan terwujud. Dalam sebuah lembaga mutu yang baik lahir dari disiplin bersama, tanggung jawab bersama, dan 1 2
JH. Makawimbang, Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan, (Bandung : Alfabeta 2011), hal. 43. Ibid.
9
komitmen bersama, sehingga muaranya adalah hasil terbaik yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap apa yang dilakukan dan mampu memberikan kepuasan, kenyamanan, kesejahteraan, dan tidak menerima keluhan dari pelanggan. 2. Mutu Sebagai Konsep Nilai Budaya Menelaah nilai sebagai tema abstrak memang tidak sederhana. Nilai atau value (Inggris) berasal dari bahasa Latin valere atau bahasa Perancis Kuno valoir dapat dimaknai sebagai harga. Namun ketika kata tersebut sudah dihubungkan dengan suatu obyek atau dipersepsi dari suatu sudut pandang tertentu, harga yang terkandung di dalamnya memiliki tafsiran yang bermacam-macam, sehingga timbullah harga menurut ilmu ekonomi, psikologi sosiologi, antropologi, politik, maupun agama. Munculnya perbedaan tafsiran tentang harga suatu nilai bukan hanya disebabkan oleh perbedaan minat manusia terhadap hal yang material atau terhadap kajian-kajian ilmiah, tetapi lebih dari itu, harga suatu nilai perlu diartikulasikan untuk menyadari dan memanfaatkan makna-makna kehidupan3. Mengutip laporan yang ditulis A Club of Rome (Unesco) pada tahun 1993, Mulyana4 mengemukakan bahwa nilai diuraikan dalam dua gagasan yang saling berseberangan. Di satu sisi nilai dibicarakan sebagai nilai ekonomi yang disandarkan pada nilai produk, kesejahteraan, dan harga, dengan penghargaan yang demikian tinggi pada hal yang bersifat material. Sementara di lain hal, nilai digunakan untuk mewakili gagasan atau makna yang abstrak dan tak terukur dengan jelas. Nilai yang abstrak dan sulit diukur dimaksud antara lain keadilan, kejujuran, kebebasan, kedamaian, dan persamaan. Dikemukakan pula, sistem nilai merupakan sekelompok nilai yang saling berkaitan satu dengan lainnya dalam sebuah sistem yang saling menguatkan dan tidak terpisahkan. Nilai-nilai tersebut bersumber dari agama maupun dari tradisi humanistik. Karena itu perlu dibedakan secara tegas antara nilai sebagai kata benda abstrak dengan cara perolehan nilai sebagai kata kerja. Nilai acapkali didefinisikan dengan rumusan yang beragam. Sosiolog menafsirkan nilai dari sudut pandangnya sendiri tentang keinginan, kebutuhan, kesenangan seseorang sampai pada sanksi dan tekanan dari masyarakat. Psikolog menafsirkan nilai sebagai suatu kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti hasrat, kebutuhan, motif, sikap, dan keyakinan yang dimiliki secara individual hingga pada wujud perilakunya yang unik. Antropolog memandang nilai sebagai harga yang melekat pada pola budaya masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan, hokum, dan bentuk-bentuk organisasi social yang dikembangkan manusia. Sementara itu ekonom melihat nilai sebagai 3 4
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung : Alfabeta, 2011), hal.7. Ibid, hal.8-9.
10
harga suatu produk dan pelayanan yang dapat diandalkan untuk kesejahteraan manusia. Adanya perbedaan cara pandang demikian tentu saja berimplikasi pada perumusan definisi nilai, antara lain (1) nilai merupakan keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya; (2) nilai adalah patokan normative yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternative; (3) nilai adalah alamat sebuah kata “ya” (value is address of a yes) atau bila diterjemahkan secara kontekstual, nilai adalah sesuatu yang ditunjukkan dengan kata “ya” yang mencakup nilai keyakinan individu secara psikologis maupun nilai patokan normative secara sosiologis; (4) nilai adalah konsepsi (tersirat atau tersurat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tjuan, antara dan tujuan akhir tindakan. Thomas Kuhn5 menyatakan a value can be, if it is held to be more than a mere verbal formulation, bahwa nilai dapat terwujud andaikata nilai itu dilakukan daripada hanya sebagai bentuk ucapan saja. Dari pengertian ini dapat dimaknai bahwa dalam realitas sosial saat simbol-simbol nilai diangkat kepermukaan sebagai wacana saja – tanpa adanya upaya untuk mewujudkannya – cara itu tidak akan cukup meyakinkan orang lain terhadap pemilikan nilai yang sesungguhnya pada orang yang mengucapkannya. Seseorang yang berkata bahwa segala perikehidupan wajib dilandasi oleh rasa keikhlasan, padahal dalam fakta tindaknya banyak menampilkan kaidah dan warna untung rugi secara material, hal ini memperlihatkan adanya distorsi atau disorientasi nilai pada dirinya, karena apa yang diucapkan tidak sesuai dengan tindakannya. Keadaan demikian sejatinya akan semakin mengukuhkan dugaan orang banyak bahwa nilai keihklasan bukan miliknya. Driyarkara6 mengemukakan bahwa “nilai yang sebenarnya bagi manusia, satu-satunya nilai yang betul-betul dapat disebut nilai bagi manusia”. Pengertian ini menggambarkan bahwa nilai memegang peranan penting dalam kehidupan manusia yang berhubungan dengan benar dan baiknya suatu perilaku. Di dalamnya mencakup keseluruhan norma yang mengatur tindak dan perilaku manusia dalam kehidupan sosialnya dalam suatu masyarakat. Sebagaimana nilai-nilai yang terdapat dalam suatu organisasi yang berisikan sejumlah kebiasaan, sikap yang tumbuh dan berkembang menjadi pola-pola budaya organisasi (accepted and expected behavior).
5
Ahmad Sanusi, Pendidikan Alternatif. Penyunting D. Supriadi dan R. Mulyana (Bandung: PT Grafindo Media Pratama, 2004), hal. 89. 6 Driyarkara, Percikan Filsafat (Jakarta : Pembangunan 1999), hal. 75.
11
Menurut Mulyana7 nilai merupakan rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan, dan dapat disandingkan dengan fakta, tindakan dan norma serta moral. Pertimbangan nilai merupakan peristiwa yang sering dialami dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa pertimbang nilai dapat terjadi mulai dari yang sederhana sampai pada yang kompleks. Bayi yang menangis untuk mendapatkan perhatian, pembeli yang memilih barang di supermarket atau politisi yang tengah mendiskusikan persoalan bangsa, merupakan hal-hal yang melibatkan pertimbangan nilai. Pertimbangan nilai dimaksud dapat terjadi pada hal yang sepele, misalnya apakah seseorang memilih kopi atau teh saat hendak memesan minumannya atau pertimbangan nilai tersebut dapat berpengaruh terhadap seluruh hidup seseorang, misalnya apakah menjalani hidup sebagai ilmuan atau pengusaha, apakah cepat-cepat menikah atau tidak. Pada kenyataannya kehidupan selalu menuntut manusia untuk menentukan pilihan atas dasar kriteria terbaik atau terburuk demi memastikan acuan nilai. Seseorang boleh berkata bahwa : tindakan orang itu benar, tetapi caranya salah; sikap orang itu baik meski penampilan fisiknya buruk; atau lukisan itu indah walaupun figuranya jelek. Setiap orang memiliki cita rasa nilai (sense of value), dan tidak ada satu komunitas masyarakat pun yang terbebas dari system nilai. Karena itu ketika seseorang berada pada posisi tidak memilih nilaipun banyak factor luar seperti teman, lembaga, orang tua, atau tetangga ikut menentukan nilai yang pada akhirnya mempengaruhi pilihannya. Untuk menghindari adanya pilihan tidak baik atau destrukrif – tiga di antara nilai-nilai yang menyebabkan kekacauan (chaos) dan keruwetan (complexity) kehidupan manusia dewasa ini adalah suka mementingkan diri sendiri, ketidakberpihakan pada yang benar, dan ketidaksukaan pada orang lain – maka seseorang harus mempunyai pandangan yang utuh tantang manusia dan alam. Hal ini sangat urgen karena mayoritas manusia di satu sisi sering menyaksikan nilai-nilai konstruktif seperti kesopanan, keadilan, kasih saying, dan ketaatan, namun di sisi lain tidak jarang ia dihadapkan pada peristiwa yang bermuatan nilai destruktif seperti kebrutalan, kezaliman, kebencian, dan kecurangan. Kata “budaya” sangat umum dipergunakan dalam bahasa sehari-hari. Paling sering budaya dikaitkan dengan pengertian ras, bangsa, atau etnis. Kata budaya kadang kala dikaitkan dengan seni, music, tradisi-ritual, ataupun peninggalan-peninggalan masa lalu. Di dalam kamus Oxford budaya lebih dilihat sebagai seni dan semua hasil prestasi intelektual manusia yang dilakukan secara kolektif. Kata budaya digunakan dalam berbagai diskursus 7
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung : Alfabeta, 2011)
12
dan ini diakui karena luasnya aspek kehidupan yang disentuh. Berry8 mendeskripsikan budaya dalam delapan kategori aktivitas kehidupan, yaitu (1) karakteristik umum; (2) makanan dan pakaian; (3) rumah dan teknologi; (4) ekonomi dan transportasi; (5) aktivitas individual dan keluarga; (6) komunitas dan pemerintahan; (7) kesejahteraan, religi, dan ilmu pengetahuan; dan (8) seks dan lingkaran kehidupan. Kategorisasi di atas memperlihatkan betapa kompleksnya budaya sebagai sebuah konsep. Budaya menyentuh semua aspek hidup dan kehidupan. Dikatakan Drennan dalam Sanusi9, budaya merupakan how things are done around here. Dalam perspektif lebih luas budaya merupakan totalitas kehidupan manusia, mencukup unsur jasmaniah dan rohaniah. Koentjaraningrat10 memformulasikan budaya (kebudayaan) yang mencakup keseluruhan dari (1) gagasan; (2) kelakuan; dan (3) hasil-hasil kelakuan. Definisi ini menggambarkan bahwa segala sesuatu yang ada dalam pikiran manusia, yang dilakukan dan dihasilkanoleh kelakuan manusia adalah kebudayaan, budaya sebagai konstruk kata benda. Dengan demikian di sini kebudayaan diyakini sebagai produk, baik itu berupa gagasan ataupun sudah berwujud suatu perilaku tampak maupun material. Bahkan lebih dari sekedar suatu produk yang masif melainkan hidup dinamis dan menjadi bagian internal tak terpisahkan dari manusia. Uraian di atas membuktikan bahwa budaya adalah sebuah konsep yang sangat kompleks, yang menyentuh semua aspek kehidupan sehingga mungkin menjadi kehidupan itu sendiri. Setiap budaya tampaknya juga memahami apa arti budaya dengan cara pandang yang tidak selalu sama, sangat tergantung dari aspek yang menjadi penekanan dalam budaya tersebut. Apa yang muncul pertama kali dalam pemikiran orang Indonesia saat mendengar kata budaya, barangkali langsung merujuk pada tari-tarian, seni tradisional, ritual tertentu ataupun sesuatu yang sifatnya tradisi peninggalan masa lalu. Hal ini sangat mungkin berbeda dengan yang dipikirkan pertama kali oleh orang Eropa-Amerika saat mendengar kata yang sama, barangkali lkebih sebagai sebuah gaya hidup, perilaku, ataupun bertutur. Dari hal demikian terlihat bahwa pemahaman tentang budaya yang bersifat universal menjadi suatu langkah yang tampak sulit.
8
Berry, J.W. et al, Psikologi Lintas Budaya : Riset dan Aplikasi (edisi terjemahan), (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal.90. 9 Sanusi, Beberapa Dimensi Mutu Pendidikan, (Bandung : FPS UPI Bandung, 2000), hal.79. 10 Koenntjaraningrat, Ilmu Antropologi (Jakarta : Bhatara, 1998), hal.124.
13
Namun berangkat dari kesulitan tersebut terdapat sejumlah kesepakatan dari ciri khas budaya yang dapat dijadikan petunjuk untuk membangun sebuah definisi budaya yang tepat dan ringkas sebagaimana yang diutarakan Dayaksi dan Yuniardi berikut ini11. a. Budaya sebagai sebuah konsep abstrak Kesepakatan pertama adalah bahwa budaya adalah sebuah konsep yang abstrak. Namun bagaimana mungkin dapat dikatakan abstrak sedang beberapa aspeknya dengan sangat mudah dapat diamati dan ditangkap panca indra. Benar memang beberapa aspek dari budaya bersifat observable, namun sejatinya yang teramati tersebut bukanlah budaya itu sendiri melainkan perbedaan perilaku manusia dalam aktivitas dan tindakan, pemikiran, ritual, tradisi, ataupun material sebagai produk dari kelakuan manusia. Yang terlihat sejatinya hanyalah manifestasi dari budaya dan bukan kebudayaan itu sendiri. Sebagai sebuah entitas teoritis dan konseptual, budaya membantu memahami bagaimana individu berperilaku tertentu dan menjelaskan perbedaan dari sekelompok orang. Sebagai sebuah konsep abstrak – lebih dari sekedar label – budaya memiliki kehidupan tersendiri. Ia terus berubah dan tumbuh sebagai efek pertemuan dengan budaya lain, perubahan kondisi lingkungan, sosiodemografis, dan sebagainya merupakan beberapa factor yang menjadikan budaya hidup dinamis. Perbedaaan perilaku dan norma antara generasi tua dan generasi muda dari suatu budaya (gap antar generasi) merupakan bukti nyata terjadinya perubahan dalam budaya. b. Budaya sebagai konseptual kelompok Apa yang disebut budaya adalah ketika seorang manusia bertemu dengan manusia lain. Dari pertemuan tersebut tercipta pola-pola adaptasi : baik berupa tata prilaku, norma, keyakinan, maupun seni seiring pertemuan yang terus terulang. Selanjutnya semua produk yang hidup tersebut menjadi ciri khas dari kelompok orang-orang tersebut dan dikenal sebagai sebuah budaya. Ia merupakan kekhasan milik sebuah kelompok. Budaya tidak mungkin ada (tercipta) ketika seorang manusia tidak pernah bertemu dengan manusia lain. Meskipun individu tersebut memiliki pola perilaku yang khas, gagasan unik, keyakinan dan norma yang dipedomani, ataupun menghasilkan suatu produk material, tetap tidak dapat disebut budaya karena disebut budaya ketika ia menjadi ciri suatu kelompok. Sifat-sifat unik individual disebut kepribadian dan bukan budaya. 11
Tri Dayaksi dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, (Malang : UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2008), hal. 4-5.
14
c. Budaya diinternalisasi anggota kelompok Budaya adalah produk yang dipedomani oleh individu-individu yang tersatukan dalam satu kelompok. Di sini budaya sekaligus menjadi pengikat dari individuindividu dimaksud yang memberi ciri khas keanggotaan suatu kelompok yang berbeda dengan individu-individu dari kelompok budaya lain. Budaya diinternalisasi oleh seluruh individu anggota kelompok sebagai tanda keanggotaan kelompok baik secara sadar maupun naluriah tidak disadari. Di sisi lain diakui ada variasi derajat internalisasi dari tiap anggota kelompok. Tingkat internalisasi seorang anggota kelompok terhadap budaya kelompoknya adalah tidak selalu sama dengan anggota lain dari kelompok tersebut. Pemahaman dan kepatuhan setiap anggota di dalamnya tidak selalu sama, ada individual differences di situ. Sejalan dengan uraian di atas, Soekanto12 merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan (material culture) yang dibutuhkan setiap anggota masyarakat untuk mengolah dan memanfaatkan alam semesta guna kepentingan bersama. Rasa mewujud dalam bentuk nilai atau akidah yang perlu untuk mengatur beberapa masalah dan tatanan kemasyarakatan, misalnya agama (nonsamawi), kesenian, dan ideology yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia sebagai anggota masyarakat. Cipta merupakan kompentensi mental, kemampuan berpikir yang dapat menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Semua karya, rasa, dan cipta dikuasai oleh karsa (kehendak) para individu yang menentukannya. Uraian di atas menggambarkan bagaimana aspek-aspek kebudayaan dapat bernuansa jasmaniah seperti karya dan bernuansa rohaniah seperti rasa dan cipta. Lebih lanjut Soekanto13 menganalisis aspek kebudayaan berlandaskan pada pendapat Kluckhohn dan Ralph yaitu cultural-universal atau cultural activity dan trait-complex. Cultural-universal merupakan aspek-aspek kebudayaan yang bersifat universal, sedangkan trait-complex adalah rincian dari cultural-universal seperti pertanian sebagai cultural-universal dirinci dalam sejumlah aktivitas mulai dari mengolah tanah dengan cara membajak sebagai trait-complex yang bermuara pada terbentuknya trait (kebiasaan) dalam sistem pertanian. Meskipun tiap-tiap masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda, namun setiap kebudayaan memiliki sifat kesejatian yang bersifat umum bagi semua kebudayaan di manapun juga, yang menurut Soekanto dicakup dalam tiga sifat hakikat kebudayaan, yakni (1) kebudayaan terwujud dan terealisasikan lewat perilaku manusia; (2) kebudayaan telah ada 12 13
Soejono Soekanto, Sosiologi (Jakarta : PT Rajagrafindo, 2002), hal. 94. Ibid, 192-193.
15
terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.; (3) kebudayaan mencakup sejumlah aturan yang memuat beberapa kewajiban, serangkaian perilaku dan tindakan yang ditolak dan diterima, yang dilarang atau diizinkan. Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa sejatinya inti dari kebudayaan adalah system nilai yang dianut oleh masyarakat pendukung kebudayaan dimaksud, yang memuat sejumlah konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Organisasi sebagai kumpulan dari sejumlah individu menampakkan apa yang dimaksud dengan budaya (kebudayaan). Dalam organisasi lahir, tumbuh, dan berkembang suatu konsepsi nilai yang terwujud dalam bentuk sejumlah kebiasaan dan sikap yang bersifat tipikal serta merupakan accepted and expected behavior. Demikian juga madrasah adalah sistem sosial yang memiliki sejumlah ekspektasi terhadap serangkaian perilaku dari para anggotanya berdasarkan nilai-nilai tertentu secara normatif. Nilai-nilai normatif dimaksud akhirnya menjadi the total pattern of human behavior (kultur), yang menjadi orientasi para anggota organisasi. Dengan kata lain inti budaya adalah nilai yang melandasi sikap dan perilaku orang-orang yang tergabung dalam oraganisasi (madrasah). Penjelaskan ini menegaskan bahwa budaya dapat berpengaruh pada organisasi (madrasah) khususnya pada struktur organisasi dan fungsinya. Juga berpengruh pada hubungan antar anggota dalam organisasi dan hubungan antar organisasi. Pada budaya kolektivitas (organisasi) inilah kemampuan untuk memahami orang lain (empati) adalah sangat penting. Seorang manajer (kepala madrasah) diharapkan untuk lebih memberikan pertimbangan daripada memberi perintah. Sehingga diharapkan manajer atau supervisor memiliki skill dalam memberikan support dan mentoring. Selain itu skill yang penting adalah menyusun team building, sebab budaya organisasi yang mengutamakan nilai keharmonisan sehingga situasi konflik apalagi secara terbuka jarang sekali muncul. Saat diadopsi ke dalam organisasi madrasah manajemen mutu terpadu adalah ilmu pengetahuan dan teknologi yang memiliki sejumlah asumsi tertentu yang sistem nilainya juga diadopsi. Dalam perkembangan pengelolaan pendidikan di madrasah dibutuhkan perubahan dan perkembangan orientasi nilai para warganya karena ia merupakan pashion dan a way of life. Orientasi nilai yang diharapkan adalah orientasi nilai mutu yaitu system keyakinan bahwa “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini”. Dalam perspektif ini nilai budaya mutu lebih bernuansa subyektif-normatif dan obyektiffaktual. Sebagai subyektif normative nilai mutu adalah sejumlah keyakinan yang dimiliki, yang merupakan pafradigma dan prinsip dalam bersikap dan berperilaku, baik yang 16
diinginkan maupun yang dilarang. Saat nilai mutu yang
bernuansa subyektif normatif
tersebut mewujud dalam tataran implementasi maka harus dilekatkan sejumlah standar (kriteria) bahwa sesuatu itu dapat diberi label berkualitas atau bermutu. Standar atau kriteria inilah yang akhirnya menjadikan mutu dikatakan telah benar-benar terwujud dalam perspektif obyektif factual (the real quality)14. Mengutip Sallis dan Spanbauer, Satori lebih lanjut mengatakan terdapat sejumlah prinsip dalam upaya pengembangan mutu di sekolah, yang menjadi pedoman bagi kepala sekolah dalam pengembangan mutu sekolah yang dipimpinnya yang berangkat dari pandangan manajemen mutu. Manajemen mutu merupakan cara pandang (mind set) dan seperangkat aktivitas praktis sebagai metode mengembangkan perbaikan secara kontinyu. Fokus prinsip yang dipegang adalah perbaikan secara terus menerus, poeningkatan secara bertahap, perubahan kultur, paradigm upside-down organization, dan fokus pada pelanggan. Sejalan dengan pandangan ini Satori juga mengutip pendapat Hickman dan Silva yang lebih menekankan pengembangan keunggulan melalui perubahan kultur. 3. Pengembangan Nilai Dasar (Core Value) Mutu dalam Pendidikan Sebagai wahana untuk memanusiakan manusia, pendidikan mengemban dua misi penting, yaitu hominisasi dan humanisasi15. Sebagai proses hominisasi pendidikan berkepentingan untuk memposisikan manusia sebagai makhluk yang memiliki keserasian dengan habitat ekologinya. Manusia diarahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis seperti makan, minum, pekerjaan, sandang, tempat tinggal, berkeluarga, dan kebutuhan biologis lainnya dengan cara-cara yang baik dan benar. Dalam proses hominisasi seperti itu maka pendidikan dituntut untuk mampu mengarahkan manusia pada cara-cara pemilihan dan pemilihan nilai sesuai dengan kodrat biologis manusia. Sementara itu pendidikan sebagai proses humanisasi mengarahkan manusia untuk hidup sesuai dengan kaidah moral, karena sejatinya manusia adalah mahkluk yang bermoral. Moral manusia berkaitan dengan Tuhan, sesame manusia, dan lingkungan. Dalam konteks ini pendidikan seyogyanya tidak mereduksi proses pembelajarannya hanya semata-mata untuk kepentingan salah satu aspek kemampuan saja, melainkan harus mampu menyeimbangkan kebutuhan moral dan intelektual. Tujuan utama pendidikan adalah menghasilkan kepribadian manusia yang matang secara intelektual, emosional, dan spiritual. Karena itu, komponen esensial kepribadian 14
Jam’an Satori, Pengembangan Budaya Mutu di Sekolah, (Bandung : FIP Administrasi Pendidikan UPI Bandung, 1999), hal. 9 15 Rohmat Mulyana, Opcit, hal. 103.
17
manusia adalah nilai (values) dan kebajikan (virtues) yang harus menjadi dasar pengembangan kehidupan manusia yang memiliki peradaban, kebaikan, dan kebahagiaan secara individual maupun sosial. Pendidikan di sekolah seharusnya memberikan prioritas untuk membangkitkan nilai-nilai kehidupan serta menjelaskan implikasinya terhadap kualitas hidup masyarakat. Sebab di dalam realitas kehidupan masyarakat membutuhkan uraian rinci tentang prinsip-prinsip nilai tadi agar mencakup kemungkinan-kemungkinan tindakan manusia yang luas dan beragam, sehingga menghasilkan proses pendidikan yang efektif. Dalam konteks konteks pendidikan yang efektif, pada tahun 1991 UNESCO telah menekankan pentingnya martabat manusia (human dignity) sebagai nilai tertinggi. Penghargaan terhadap martabat manusia dianggap sebagai nilai yang tidak terbatas dan dapat mendorong manusia untuk memilih nilai-nilai dasar yang berkisar di sekelilingnya. Nilainilai dasar dimaksud dapat diuraikan seperti berikut ini16. 1. Nilai dasar kesehatan Nilai dasar ini berimplikasi pada kebersihan dan kebugaran fisik. Sejatinya fisik manusia diciptakan Tuhan dengan struktur paling sempurna. Hakikat fisik itu merupakan pemahaman keindahan bentuk dan ukuran alam serta benda-benda hasil ciptaan manusia. Karena manusia dikaruniai rasa keindahan (sense of aesthetic), maka ia harus mengembangkan apresiasinya terhadap seni dan keindahan. Untuk itu pendidikan harus mampu menumbuhkan rasa keindahan peserta didik melalui keserasian segala materi yang ada dalam lingkungan pendidikan. 2. Nilai dasar kebenaran Kebenaran berimplikasi pada upaya memperoleh pengetahuan secara kontinyu dalam segala hal. Peserta didik tidak cukup hanya menemukan kebenaran hanya sampai pada penemuan data dan pengetahuan fakta, namun harus mampu mengembangkan berpikir kritis dan kreatif agar mampu menghadapi tantangan dunia modern di masa mendatang. 3. Nilai dasar kasih sayang Hakikat moral manusia berada pada tempat paling utama yaitu berada dalam nilai kasih saying. Nilai tersebut berimplikasi pada kebutuhan untuk memperoleh integritas pribadi, harga diri, kepercayaan diri, kejujuran, dan disiplin diri pada peserta didik. Kemampuan mereka dalam menginternalisasi nilai kasih saying akan tampak dari kematangan pribadi dan peranan mereka dalam menjalin hubungan interpersonal yang saling memahami.
16
Rohmat Mulyana, Pendidikan Umum, Pengembangan Kepribadian, dan Kesadaran Beragama (Bandung : IMA-PU Pascasarjana UPI, 2003), hal. 107-109.
18
4. Nilai dasar spiritual Keberadaan peserta didik dipengaruhi oleh sejumlah dimensi transcendental yang tingkat pemaknaannya bergantung pada pengalaman dan kesadaran pribadi masing-masing. Pada usia tertentu, mereka mampu menjangkau kesadaran supralogis yang membuat dirinyalebih dari sekedar ”manusia” (man more than man). Perwujudan dimensi spiritual ini adalah keimanan sedangkan semangat keimanan tersebut disebut spiritualitas. 5. Nilai dasar tanggung jawab social Sebagai individu yang tidak lepas dari lingkungan social, peserta didik senantiasa melakukan interaksi secara individual maupun kelompok. Interaksi yang dilakukan ditandai oleh adanya kepedulian terhadap orang lain, kebaikan antar sesame, kasih saying, kebebasan, persamaan, dan penghargaan atas hak asasi sesamanya. Karena itu penanaman rasa keadilan dan kedamaian merupakan hal penting dalam menumbuhkan aspirasi peserta didik terhadap kehidupan social. 6. Nilai dasar efisiensi ekonomi Nilai dasar ini perlu diajarkan agar peserta didik mau bekerja keras serta mampu memanfaatkan sumber daya alam secara kreatif dan imajinatif. Nilai dasar ini menekankan bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan agar peserta didik mampu berkreasi menghasilkan barang yang berharga dn bermanfaat bagi kehidupannya. Karena itu, elemen pendidikan dalam menanamkan nilai dasar efisiensi ekonomi adalah menciptakan semangat untuk berusaha. 7. Nilai dasar nasionalisme Nilai dasar ini berarti cinta kepada Negara dan bangsa. Rasa cinta ini diwujudkan oleh setiap warga Negara dan setiap unsur politik yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan, yaitu membangun harga diri dan citra bangsa. Nilai nasionalisme ini membentuk suatu komuitmen kolektif untuk melakukan suatu usaha rekonssiliasi dan rekonstruksi bangsa. 8. Nilai dasar solidaritas global Nilai ini dapat dimiliki apabila pendidik dan peserta didik memiliki pemahaman yang cukup tentang dunia internasional. Dengan nilai dasar ini, generasi yang memiliki wawasan yang luas tentang kehidupan global dapat disipkan melalui pendidikan. Nilai dasar solidaritas global ini penting mengingat tatanan kehidupan tidak lagi ditentukan oleh keadaan suatu bangsa. Kehidupan dewasa ini banyak dipengaruhi oleh factor-faktor kepentingan lintas Negara dan kesadaran antar bangsa. Dengan demikian generasi di masa mendatang diharapkan mampu kerjasama untuk memperjuangkan perdamaian dan keadilan. 19
Sementara itu Satori17 dalam kajiannya mengemukakan empat nilai dasar bagi pengembangan mutu di sekolah/madrasah yaitu seperti dikemukakan berikut ini. a. Nilai otonomi (kemandirian) Konteks managemen yang mandiri seperti “school based management (SBM) atau manajemen berbasis sekolah (MBS)” merupakan lahan yang penting bagi kepemimpinan mutu kepala sekolah. Karena itu kepala sekolah harus mengembangkannya. MBS merupakan jawaban atas perkembangan zaman dan berkembangnya aspirasi masyarakat terhadap perubahan masa depan generasinya melalui tuntutan terhadap keunggulan kualitas penyelenggaraan sekolah menuju sekolah mandiri. Konsep MBS bertalian dengan kebijakan desentralisasi authority ke dalam manajemen partisipatory, yaitu gagasan bahwa keputusan-keputusan lebih baik apabila dibuat pada tingkat-tingkat operasional dalam hirarki suatu organisasim yakni pada tingkat sekolah-sekolah. MBS merupakan suatu restrukturasi arus bawah suatu pendekatan button-up yang bergantung pada adopsi local terhadap gagasan-gagasan pembaharuan pendidikan. Operasionalisasi pada akhirnya tergantung pada para pengelola satuan pendidikan bersama perangkatnya. Pada hakekatnya MBS tergantung pada komitmen manajemen dan kepemimpinan situasional yaitu dinamika situasi (local pendidikan) tertentu dalam menentukan sendiri prosedur-prosedur yang paling efektif dan apa yang paling baik diberlakukan di salah satu sekolah dan mungkin tak berlaku di sekolah lainnya. Oleh karena itu kadar implementasi, metode-metode dan hasil-hasil MBS akan berbeda- beda. Perbedaan tersebut di dasarkan pada perbedaan kondisi structural dan kultural. Dalam konteks ini dimensi structural meliputi efektivitas fungsi dari peran-peran yang terkait dengan struktur organisasi sekolah (misalnya kepemimpinan, kerja tim, manajemen, komunikasi, sarana prasarana). Sedangkan dimensi kultural berkenaan dengan peran nuilai dalam proses MBS, seperti halnya budaya mutu atau respon terhadap perubahan. Pada perspektif ini dapat diasumsikan bahwa ada realitas subyektif yang terjadi dalam MBS yang menggambarkndinamika MBS terus berlangsung hingga kini, sehingga sekolah dalam menerapkan MBS sulit untuk mencapai adanya kesamaan target dan hasil dalam MBS. Sebagai konsekwensinya, dengan adanya perbedaan tersebut menjadikan sumber dalam proses peningkatan mutu secara bersamaan akan menimbulkan ketimbangan mutu social pada satuan pendidikan Sekaitan dengan pendapat Satori di atas, Irene18 mengemukakan bahwa perubahan kebijakan pendidikan dari sentralistik ke desentralistik membutuhkan transformasi kelembagaan agar sekolah dapat melulkuskan peserta didik yang demokratis dan prestatif. Demokratisasi pendidikan pada level sekolah ditentukan oleh peran kepala sekolah dan guru sebagai central of change dalam peningkatan mutu pendidikan. Dalam konteks ini ada tiga aspek yang perlu diperbaharui dalam proses transformasi birokrasi dan proses pendidikan yakni aspek regulator yang menekankan pada reformasi
17 18
Djam’an Satori, Pengembangan Budaya Mutu di Sekolah, Siti Irene AD,
20
kurikulum, aspek profesionalisme ditujukan untuk mengembalikan hak-hak dan wewenang kepada guru dalam melaksanakan tugas kependidikan, dan aspek manajemen dimaksudkan untuk mengubah pusat-pusat pengembalian keputusan dan kendali pendidikan pada level yang lebih dekat dengan proses belajar mengajar. Tidak jarang sekolah mengalami kesulitan membentuk “tim yang solid” dalam merancang dan menjalankan program-program sekolah yang disebabkan banyak hal. Selain manajemen sekolah lemah dalam merancang program peningkatan prestasi juga disebabkan kompetensi guru yang belum diimbangi dengan profesionalisme, masih rendahnya komitmen guru, dan input peserta didik yang relative masih rendah. Kondisi sekolah terkait dengan budaya sekolah, artinya ada sekolah yang mampu mengadopsi tuntutan masyarakat serta kompetitif dan kontinyu meningkatkan kualiutas pendidikannya , namun sebaliknya da sekolah yang nyaris stagnan dan kurang diminati masyarakatnya. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan budaya sekolah. Dalam konteks ini sekolah sebagai institusi social yang mempengaruhi proses sosialisasi dan berfungsi mewariskan kebudayaan masyarakat kepada peserta didik, memiliki organisasi unik dan pola relasi social di antara para anggotanya yang juga bersifat unik. Kebudayaan sekolah merupakan a complex a set of belief, values and traditions, way of thinking and behaving yang membedakannya dari institusi-institusi lainnya. Keberhasilan MBS tak dapat dipisahkan dengan kondisi sekolah yang meliputi factor kemampuan sekolah, kepala sekolah, pendapatan masyarakat, partisipasi masyarakat, dan anggaran sekolah serta sarana dan prasarana sekolah. Agar nilai otonomi (kemandirian) benar-banar menjadi ruh sebuah sekolah, maka di sini MBS harus menekankan dua aspek penting, yakni otonomi sekolah dan keputusan yang partisipasif. Dengan kedua hal tersebut maka sekolah memiliki kemampuan untuk menjalin network yang lebih luas. Kondisi demikian akan memungkinkan sekolah melakukan improvement di sekolah lebih cepat. b. Nilai Inovatif Inovasi Pendidikan adalah sesuatu yang disengaja (berupa ide, praktek atau objek) yang dianggap baru oleh penerima untuk memperbaiki kemampuan dalam bidang pendidikan. Suatu invoasi yang sudah diterima harus dibudidayakan dalam arti mempengaruhi denyut nadi prifesional seorang guru, sehingga inovasi itu menjadi “a state of mind dan administrative attitude”. Apabila suatu inovasi telah ditemukan penerapannya sangat sulit dilakukan guru, menjadi kewajiban kepala sekolah untuk mengkondisikannya agar invoasi tersebut dapat dilaksanakan secara bertahap. Secara umum invoasi mengandung arti adanya perbedaan keadaan sesuatu daripada waktu sebelumnya. Inovasi terjadi karena dilaksanakannya suatu pembaharuan yang dilancarkan untuk memecahkan permasalahan. Agar terwujud suatu inovasi maka perlu dikelola sedemikan rupa oleh kepala sekolah sebagai pemimpin. Kemauan berubah – secara psikologis dan fisik – dan senantiasa mampu berperilaku inovatif harus diupayakan kepala sekolah sebagai manajer sekolah. Kepala sekolah senantiasa harus mampu 21
menumbuhkan sikap responsif yang tinggi dalam menyikapi informasi dan perubahan kebijakan yang terjadi. Sehingga memungkinkan warga sekolah khususnya guru dalam menyikapi perubahan. Misalnya dalam perubahan kurikulum guru harus mampu mengubah kebiasaan cara bekerja dan mengajar untuk menjadi lebih mandiri, kreatif, proaktif, koordinatif, integrative, sinkronistis, kooperatif, dan professional. Tidak ada lagi guru yang cenderung mengajar tidak kraetif, menyebalkan, membosankan, atau terkesan teacher centered dalam mengajar di kelas. Tentu saja untuk mendukung pengembangan mutu ini maka sekolah harus – walaupun secara bertahap – mencoba memberikan pelatihan dan kesempatan untuk guru bekerja dalam team teaching guru-guru yang dinilai masih stagnan terhadap bentuk-bentuk perubahan dan inovasi. Dengan kata lain kepala sekolah harus mengupayakan guru yang sulit berubah untuk mampu bergerak dan berubah secara proaktif dan inovatif. Untuk itu bila ada program-program baru di sekolah maka kepala sekolah seyogyanya mampu mensosialisasikannya dan memotivasi bawahannya untuk meresponnya dengan baik. c. Nilai Continous Qualitiy Improvement (CQI) Continous Quality Impovement adalah suatu pendekatan dalam peningkatan mutu pendidikan melalui perbaikan kualitas secara terus menerus. Strategi CQI pada sekolah-sekolah dan kelas-kelas adalah belajar menciptakan proses-proses yang merangsang perbaikan-perbaikan kualitas secara kontinyu buka hanya sekedar individual tetapi juga secara teknis (kelompok kerja guru. Kelompok kerja kepala sekolah dan kelompok kerja pengawas) yang berkerja bersama menciptakan tujuantujuan bersama. Benang merah CQI di sekolah adalah Decision making, process improvement dan empowermentdari seluruh gugus dengan landasan paham “transformasi dari yang bagik ke yang lebih baik, dan pemecahan problems berfokus pada pelanggan , manajemen berdasar fakta dan perbailakn secara kontinu”. Kepala sekolah sebagai leader mempunyai peran yang penting untuk membawa sekolah ke dalam perbaikan mutu secara lebih progresif. Dinamika sekolah menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kecepatan dan adaptasi guru yang berpengaruh pada upaya sekolah
dalam melakukan process
improvement. Lumrahnya pada setiap sekolah ada beberapa guru yang menyatakan tidak mudah untuk melakukan perubahan, apalagi secara kontinyu. Namun jumlahnya tidak banyak dibandingkan yang sadar mau melakukan perubahan-perubahan. Adapun sumber perbedaan kemampuan dalam merespon perubahan waktu adalah factor umur dan factor kepribadian. Jadi dapat diasumsikan bahwa status pekerjaan yang sama belum tentu didasarkan pada motivasi yang sama. Dalam hal ini, analisis motif menjadi menarik dikarenakan dengan mempelajari motif berarti akan lebih tepat di dalam menganalisis setiap perilaku. Perbedaan motif di kalangan guru sangat dimungkinkan karena adanya berbagai perbedaan yang dimiliki mereka, khususnya secara formal, social, ekonomi, dan psikologis. Di sinilah kepala sekolah harus mampu mengelola perbedaan ada menjadi motif untuk mengembangan mutu sekolah secara berkelanjutan. 22
Perbaikan kualitas secara kontinyu dapat dimulai dari dari penegakan disiplin. Disiplin merupakan aspek penting bagi upaya peningkatan mutu pada satuan pendidikan termasuk pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI) karena sejatinya disiplin adalah bagian budaya sekolah yang perlu dibangun dalam kehidupan masyarakat sekolah. Disiplin sebagai tatanan social yang diproduksi manusia secara terus menerus sebagai bagian dari proses eksternalisasi. Dalam konsep eksternalisasi keberadaan manusia terus menerus mengeksternalisasikan dalam aktivitas. Aktivitas di sekolah yang menjadi kebiasaan, menghasilkan makna-makna yang sudah tertanam sebagai aktivitas rutin. Dengan demikian pembiasaan disiplin memberikan arah dan spesialisasi kegiatan yang berlangsung sepanjang waktu dan membentuk budaya sekolah. d. Nilai pemberdayaan Pemberdayaan dapat diartikan sebagi pelibatan guru-guru secara signifikan.tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan guru-guru agar ;ebih memberikan konstribusi terhadap kemajuan sekolah. system pembinaan professional yang dikembangkan di Indonesia merupakan wujud dari pemberdayaan guru, yang sering disebut sebagai gugus mutu atau gugus kendali mutu. Dalam gugus mutu itu diharapkan tercapai hal-hal sebagai berikut. 1) Terciptanya suasana kerja saling berpartisipasi aktif antara anggota gugus khususnya maupu seluruh karyawan sehingga tercapai persatuan dan kesatuan kerja yang lebih mantap. 2) Terciptanya peningkatan pengembangan diri serta pengembangan kelompok kerja sehingga diharapkan terjadi peningkatan efektivitas kerja yang mantap, seperti misalnya memperbaiki kemampuan kritis, kemampuan memimpin dan manajerial. 3) Terselenggaranya hubungan kerja yang lebih harmonis serta adanya rasa harga menghargai sehingga diharapkan adanya peningkatan kenyamanan kerja, yang akhirnya dapat mempertnggi tingkat semangat kerja sekaligus terciptanya suatu lingkuna kerja yang lebih sadar perlunya perbaikan hasil kerja. 4) Terbinanya kemampuan kerja yang lebih positif dan konkrit sehingga diharapkan dapat tercapai peningkatan potensi individu termasuk moral karyawan yang mampu berpartisipasi aktif dalam kerja untuk meningkatkan potensi organisasi yang sekaligus potensi bangsa dan Negara. Menurut Irene19 pelibatan dan partisipasi dalam kerangka pengembangan mutu sekolah bukan hanya pelibatan guru namun pemberdayaan masyarakat merupakan keniscayaan. Saat ini partisipasi masyarakat merupakan asset penting dalam pengembangan budaya mutu pendidikan, karena itu pemberdayaan masyarakat jangan lagi hanya menjadi jargon untuk legitimasi public atau partisipasi hanya bersifat semu (pseudo participation). Sebab bila hanya sebatas jargon maka hambatan-hambatan atas sejumlah kebijakan atau program yang didesain tidak bias berjalan secara optimal. Dengan kata lain peningkatan dan pengembangan mutu gagal jika tidak didukung 19
Irene, hal.43.
23
oleh partisipasi masyarakat. Adapun bentuk pemberdayaan masyarakat dalam konteks peningkatan mutu adalah keikutsertaan dalam perencanaan kebijakan program sekolah, keikutsertaan dalam pengawasan mutu pendidikan, serta keikutsertaan dalam pembiayaan pendidikan. Di samping pemberdayaan masyarakat Irene20 lebih jauh menyarankan untuk lebih meningkatkan budaya mutu di sekolah dengan melibatkan partisipasi peserta didik. Bentuk partisipasi peserta didik dalam kegiatan organisasi sekolah dalam kaitannya dengan kepemimpinan kepala sekolah adalah : (a) yang bersifat terpaksa; (b) yang bersifat memperhitungkan untung rugi (calculative participation); dan (c) yang muncul dari kesadaran diri sendiri
(moral
participation).
Kepemimpinan
kepala
sekolah
yang
demokratis
akan
mengembangkan organisasi siswa intrasekolah yang mandiridan banyak menimbulkan di kalangan peserta didik “moral participation”. Proses pendidikan dikatakan bermutu bila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benarbanr memberdayakan peserta didik. Sejatinya mutu memiliki arti yang kompleks, tidak saja berkaitan dengan biaya pendidikan dan hasil belajar peserta didik, tetapi secara luas berkaitan dengan dengan cita-cita atau harapan untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Dikatakan Arcaro21 terdapat lima fondasi yang mendasari bangunan program mutu, yaitu visi-misi, keyakinan, dan nilai-nilai sekolah, serta tujuan dan factor-faktor obyektif kritis yang akan menentukan kekuatan dan keberhasilan tranformasi mutu.
B. Stake Holder sebagai Pemicu Pengembangan Budaya Mutu Di Madrasah Ibtidaiyah Dalam konteks layanan stakeholder, madrasah dapat dianalisis dalam kaitan “supplier” dan “stakeholders”. Sebagai supplier, madrasah memberikan sejumlah layanan kepada stakeholders-nya. Layanan-layanan yang muncul merupakan desakan dari kebuthan-kebutuhan stakeholders baik internal maupun eksternal. Dalam institusi madrasah, titik temu kepentingan supplier dan stakeholders terletak pada proses pembelajaran. Sebagai institusi, madrasah berkepentingan terhadap upaya pengajaran, bimbingan dan pelatihan terhadap layanan-layanan belajar sebagai kebutuhannya. Kebutuhan-kebutuhan stakeholders terhadap sekolah bisa potensial maupun faktual. Kebutuhan yang bersifat potensial berupa kebutuhan yang lazim dimiliki oleh stakeholders tetapi belum merupakan satu kebutuhan yang mendesak dan bersifat universal. Sedangkan kebutuhan faktual merupakan kebutuhan yang dirasakan sebagai satu desakan (demand) untuk dipenuhi dan bersifat konstekstual. 20
Irene, hal.75. J.S Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu : Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan (terj), (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hal. 8. 21
24
Kajian terhadap sejumlah kebutuhan dan tuntutan (need dan demand) itu dapat dianalisis dari titik temu kepentingan sekolah dan stakeholders yakni pembelajaran. Respons yang diwujudkan oleh madrasah dalam rangka melayani pembelajaran berisikan sejumlah perilaku yang dilandasi sejumlah konsep nilai, di antaranya nilai kesehatan, nilai kebenaran, nilai kasih saying, nilai spiritual,
nilai tanggung jawab social, nilai efisiensi ekonomi, nilai nasionalisme, nilai kemandirian, nilai inovatif, nilai pemberdayaan dan nilai perbaikan serasa kontinu. Nilai-nilai dimaksud harus ditransformaikan dalam perilaku pengelolaan kurikulum, sarana/prasarana, ketenangan, kesiswaan, dan pembiayaan. Inilah fokus kajian dalam penelitian ini.
C. Peranan Kepemimpinan Kepala Madrasah dalam Pengembangan Mutu Madrasah
Ibtidaiyah Pengembangan mutu terjadi karena tuntutan zaman seiring dengan kemajuan dan ilmu pengetahuan dalam suasana kompetitif yang ketat. Survival tidaknya suatu bangsa dalam suasana global ini terletak pada upaya-upaya pengembangan mutu. Dalam sistem institusi madrasah, pengembangan mutu terletak pada persoalan apakah mutu merupakan culture focus bagi pihak managemen? Kalau ya, maka pengembangan mutu hendaknya dimulai dari satuan terdepan Sistem Pendidikan Nasional, yakni madrasah/sekolah. Dalam konteks madrasah, pengembangan mutu terletak ditangan kepala madrasah sebagai pemimpin dan manager. Inti pengembagan mutu di madrasah ibtidaiyah adalah adanya sharing nilai-nilai mutu di antara tenaga kependidikan. Pada konteks inilah kepala madrasah sebagai pemimpin diuji kehandalannya. Dengan demikian, leadership merupakan faktor lain yang menentukan perubahan kultur dalam organisasi. Nilai-nilai mutu berkembang dalam suatu organisasi melalui suatu transformasi. Ketika pemimpin berusaha menanamkan nilai-nilai mutu maka ia melakukan sejumlah transformasi sistem nilai. Transformasi ini terjadi dalam kontrol sosial antara pemimpin formal dengan bawahannya. Hickman dan Silva (1984:69-70) mengemukakan bahwa culture building reguires a sharpening of the soft people skills and it involves three steeps: instilling commitment, rewarding competence, and maintaining consistency. Upaya-upaya pemimpin membentuk soft people skills (sistem nilai) adalah suatu transformasi sistem nilai melalui (1) penanaman komitmen, (2) pengembangan dan pengimbalan kompetensi, serta (3) pemeliharaan konsistensi. Penanaman komitmen berkaitan dengan membangun kesepakatan-kesepakatan tentang filosofi dan tujuan. Pengembangan dan pengimbalan kompetensi merupakan upaya mengembangkan sejumlah kemampuan-kemampuan yang haru dimiliki. Terkahir, konsistensi yang telah dibangun. Pola-pola interksi kultural (penanaman komitmen, pengembangan dan pengimbalan kompetinsi, serta pemeliharaan konsistensi) ini memerlukan pemimpin yang mumpuni (persolan best). Kouzes dan Posner (1995) mengemukakan kepemimpinan yang demikian adlaah kepemimpinan yang mempunyai karakteristik, sebagai berikut: 25
1. Inisiatif terhadap sesuatu yang inovatif. Karakteristik ini perlu didukung sejumlah komitmen sebagai berikut: (1) sikap uji coba, (2) mengambil resiko, (3) mencari peluang untuk maju, (4) belajar dari kesalahan (5) mempertanyakan status quo, (6) memperbaharuin cara kerja, (7) belajar hal yang baru, (8) memberi kesempatan belajar 2. Sharing visi dengan karakteristi sebagai berikut: (1) mempelajari masa lalu, (2) menentukan apa yang diinginkan, (3) mentest keyakinan-keyakinan, (4) mengemukakan keinginankeinginan, (5) beribcara positif, (6) mendiskusikan keinginan-keinginan. 3. Mendorong orang lain bertindak dengan karakteristik sebagai berikut: (1) mengembangkan interkasi, (2) partnerships, (3) go first, (4) mengembangkan koneksi, dan (5) melakukan dlegasi. 4. Model figure dengan karakteristik sebagai berikut: (1) membuka dialog menegenai personal, (2)mengaudit diri sendirim dan (3) dicontoh orang lain. 5. Memberikan dorongan untuk bertindak dengan karakteristik seperti berikut: (1) mecinptakan system imbalan, (2) memberikan umpan balik, (3) merayakan keberhasilan, dan (4) menjadi cheerleader.
26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Sesuai dengan fokus, permasalahan, dan tujuan penelitian maka penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif, yakni suatu metode yang menggambarkan keadaan yang sedang berlangsung pada saat penelitian dilakukan, berdasarkan fakta yang ada1. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang pengembangan budaya mutu di madrasah ibtidaiyah. Satuan analisis tentang pengembangan budaya mutu merupakan realitas sosial yang bersifat kontekstual yang bermakna peristiwa, tempat, dan individu yang berbeda akan berlainan pula dalam pengembangan mutu. Konteks tersebut tidak dipandang sebagai hal yang terpisah antara satu dengan lainnya. Oleh karena itulah jenis penelitian yang tepat digunakan untuk memperoleh data tentang nilai-nilai mutu yang dikembangkan oleh kepala madrasah ibtidaiyah di Bandar Lampung dan bagaimana pola interaksi kepemimpinan yang dikembangkan oleh kepala madrasah di Bandar Lampung dalam mengembangkan nilai-nilai mutu dimaksud adalah jenis penelitian kualitatif.
B. Sumber Data Sumber data pada penelitian ini adalah peristiwa, obyek, dan sejumlah tindakan atau perilaku yang berkaitan dengan pengembangan mutu madrasah ibtidaiyah. Guna pengambilan data dan pemotretan hal-hal dimaksud maka diperlukan sumber kunci (key person) yang representatif untuk dapat mengungkapkannya. Secara purposive sumber data ditentukan yakni dengan ditetapkan berdasarkan akuntabilitas dan kelayakan dalam memberikan pemahaman makna terhadap serangkaian masalah yang menjadi focus penelitian. Sumber data pada penelitian ini adalah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Sukarame Kecamatan Sukarame, Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Kota Bandar Lampung. Sumber data ini dipilih sebagai lokasi penelitian berlandaskan pertimbangan bahwa ketiga MIN dimaksud merupakan MIN “favorit” di lingkungan kecamatan tersebut.
1
Furqon, (2003: 10; Arikunto, 1998: 309; Nawawi, 1993: 63). 27
C. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian yang mendasarkan pokok-pokok pikiran kualitatis terdapat beberapa teknik pengumpulan data. Pengumpulan data dimaksud dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi serta studi literatur yang bersifat open-ended. Observasi merupakan aktivitas pengamatan yang sistematik terhadap gejala-gejala baik yang bersifat fisikal maupun mental. Ditinjau dari intensitasnya pelaksanaan observasi dapat dikategorikan ke dalam observasi penuh, sedang, dan pasif. Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai-nilai mutu yang dikembangkan oleh kepala madrasah ibtidaiyah di Bandar Lampung dan bagaimana pola interaksi kepemimpinan yang dikembangkan oleh kepala madrasah di Bandar Lampung. Sedangkan wawancara merupakan proses komunikasi antara peneliti dengan sumber data dalam memperoleh data yang bersifat word view untuk mengungkapkan makna yang terkandung dalam masalah-masalah yang dijadikan fokus penelitian. Rasionalisasi penggunaan wawancara sebagai teknik pengumpulan data adalah (1) individu mempersepsi peristiwa, obyek, dan tindakan. Persepsi tentang hal-hal demikian lumrahnya dapat digali dan ditangkap maknanya dari pandangannya; (2) subyek yang representatif dapat mengungkapkan gambaran peristiwa, tindakan, atau obyek secara lengkap sebab telah lama mengenalinya. Oleh sebab itu wawancara terhadap orang yang representative untuk suatu persolan adalah penting untuk mengungkapkan sejumlah dimensi yang menjadi fokus penelitian wawancara dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pengembangan nilai-nilai mutu oleh kepala madrasah ibtidaiyah di Bandar Lampung sudah diapressiasi dan diimplementasikan oleh warga madrasah dan bagaimana pola interaksi kepemimpinan yang dikembangkan oleh kepala madrasah di Bandar Lampung hingga menjadi suatu hal yang membudaya. Wawancara dilakukan kepada kepala sekolah, guru, hingga staf sekolah. Studi
dokumentasi
digunakan
untuk
mengumpulkan
berbagai
informasi
terdokumentasi yang dibutuhkan yang erat kaitannya dengan nilai-nilai mutu yang dikembangkan oleh kepala madrasah ibtidaiyah di Bandar Lampung dan berbagai hal yang berkenaan dengan pola interaksi kepemimpinan yang dikembangkan oleh kepala madrasah ibtidaiyah di Kota Bandar Lampung. Studi literatur dilakukan untuk menggali sejumlah informasi secara teorits dan akademis yang berkaitan dengan tema penelitian, strategi dan program-program dikembangkan oleh kepala madrasah ibtidaiyah di Bandar Lampung berkenaan dengan nilainilai mutu dan berbagai hal yang berkenaan dengan pola interaksi kepemimpinan yang 28
dikembangkan oleh kepala madrasah ibtidaiyah di Kota Bandar Lampung untuk membudayakan nilai-nilai mutu tersebut.
D. Strategi Pengumpulan Data Sesuai dengan focus utama penelitian ini yakni mengungkapkan serangkaian kegiatan, tindakan, peristiwa, dan obyek dalam pengembangan mutu madrasah ibtidaiyah secara kontekstual, maka strategi pengumpulan data dilaksanakan melalui serangkaian tahapan yakni oreintasi, eksplorasi, dan member-chek. Tahapan orientasi dimaksudkan untuk mengenali segala persoalan baik secara empirik maupun konseptual yang berkaitan dengan fokus penelitian. Sedangkan tahapan eksplorasi ditujukan untuk menggali data secara empiric dengan metode yang lebih luas dan mendalam sesuai dengan focus penelitian. Adapun tahapan member-chek digunakan untuk memeriksa kembali semua data yang sudah dikumpulkan pada saat penelitian untuk memastikan konsistensinya. Dalam tahapan ini dilakukan serangkaian kegiatan untuk mendapatkan keabsahan temuan penelitian dengan cara lebih meningkatkan kredibilitas, transferabilitas, dan konfirmabilitas
E. Teknik Analisis Data Tujuan dan pokok penelitian ini adalah untuk mengetahui pengembangan budaya mutu di madrasah ibtidaiyah melalui identifikasi serangkaian tindakan, peristiwa dan obyek sebagai sumber data. Untuk itu maka analisis data penelitian ini menggunakan deskriptik analitik
kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut, yaitu dengan melakukan
unitisasi dan kategorisisasi, reduksi (ringkasan) data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan.
29
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab IV ini membahas tantang hasil penelitian di MIN Bandar Lampung. Dalam bab ini dikemukakan deskripsi pengembangan budaya mutu melalui kepemimpinan kepala madrasah (kamad) MIN Sukarame, MIN Way Halim, dan MIN ……. A. Deskripsi dan Analisis Pengembangan Budaya Mutu di MIN Sukarame Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung 1. Deskripsi latar penelitian MIN Sukarame Bandar Lampung yang berdiri sejak 05 Juni 1969 berdiri di atas tanah hibah seluas 1.260 m2 beralamat di Jalan Pulau Tegal No. 21 Sukarame Bandar Lampung, tepatnya di Desa Sukarame Kecamatan Sukarame, Kota Bandar Lampung, Propinsi Lampung, No. Telepon (0721) 772363, Kode Pos: 35131. Sebagai madrasah negeri dengan status Nomor 515 A Tahun 1995 pada Tanggal 22 September 1995. Madrasah ini berpredikat akreditasi B (85), dengan Nomor Dd.035056 Tanggal 30 Desember 2010, dengan NSM. 111118710005. Sejak 10-02-2012 sampai sekarang madrasah ini dipimpin oleh Hj. Salmah, S.Pd.I., MM.Pd. Jumlah peserta didik sekitar 955 orang yang terdiri dari kelas I 176 peserta didik, kelas II 169 peserta didik, kelas III 165 peserta didik, kelas IV 137 peserta didik, kelas V 159 peserta didik, dan kelas VI 149 peserta didik serta terdiri dari 24 rombongan belajar, masing-masing kelas (kelas I-VI) terdiri dari empat rombongan belajar. Luas bangunan 900 m2 dengan konstruksi permanen dua lantai. Calon peserta didik rata-rata tertampung 70% dari pendaftar dan lumrahnya pendaftaran telah ditutup sebelum waktunya. Calon peserta didik umumnya berasal dari Kecamatan Sukarame, Kecamatan Sukabumi, dan Kecamatan Way Dadi, bahkan ada yang berasal dari Kecamatan Way Huwi. Indeks prtestasi belajar peserta didik tercermin dari rata-rata NEM yang diperoleh 7,73 dengan NEM yang tertinggi 9,03 dan terendah 6,66 pada tahun 2013/2014. Tenaga pengajar MIN Sukarame pada tahun ajaran 2013/2014 berjumlah 35 orang, 25 orang berstatus PNS, semua sarjana dan empat orang magister. Guru Tidak Tetap 10 orang, bendahara madrasah 1 orang (PNS), tenaga honorer empat orang, masing-masing tenaga pustakawan 1 orang, staf TU 1 orang, penjaga madrasah 1 orang, dan satpam 1 orang. Kamad seorang Magister Pendidikan Islam lulusan PPs IAIN Raden Intan Lampung. Kegiatan dan proses pembelajaran dari pagi hingga sore hari, yaitu kelas kelas I, II, V, dan VI belajar mulai pukul 07.15 – 12.30, kelas III dan IV mulai belajar pukul 13.00 – 17.30. Program kegiatan dan
30
proses pembelajaran meliputi intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Keaktifan dalam proses pembelajaran menurut pengamatan peneliti cukup baik dan berjalan dengan lancar. 2. Deskripsi nilai mutu yang dikembangkan oleh kamad Deskripsi nilai mutu yang dikembangkan oleh kamad yaitu dengan mengidentifikasi respon kamad terhadap sejumlah kebutuhan dan dan tuntutan stakeholders terhadap sarana prasarana, proses pembelajaran, dan pembiayaan. Kebutuhan stakeholders terhadap sarana prasarana sangat dirasakan oleh kamad. Hal ini terlihat dari kelas yang padat dan hanya sepuluh ruangan teori/belajar, halaman, ruang kamad, ruang kerja guru, ruang staf TU, ruang UKS, ruang lab. multimedia, dan ruang perpustakaan yang tidak terlalu luas. Namun bila madrasah ini sedang libur, terlihat bangunan dan halaman sekolah bersih, dan nyaman dengan dihiasi pot bunga. Pandangan yang kontras akan tampak apabila peserta didik sedang istirahat, suasana hiruk pikuk, dan udara terasa panas. Reaksi dan respon kamad terhadap keadaan yang demikian adalah dengan terus mempertahankan kenyamanan dan sanitasi lingkungan. Walaupun demikian kamad tetap memiliki impian mempunyai bangunan madrasah yang lebih besar lagi. Berkenaan dengan media pembelajaran kamad senantiasa menyisihkan dana dari BOS untuk melengkapi media dan alat peraga pembelajaran. Media dan alat peraga pembelajaran ini dianggap memadai oleh para guru karena sebagian besar guru membuat sendiri media dan alat peraga sehingga para guru memiliki media dan alat peraga sekaligus miliknya sendiri. Namun kualitas dalam menciptakan ide-ide inovatif dalam proses pembelajaran perlu lebih ditingkatkan untuk meminimalisir kekakuan dalam menjabarkan kurikulum pendidikan sehingga proses pencapaian kurikulum selalu berjalan dengan isu-isu di masyarakat dan proses tranformasi nilai-nilai pendidikan Islam dapat berjalan dengan lancar. Kebutuhan stakeholder terhadap proses pembelajaran dapat dirasakan oleh kamad melalui pengamatan terhadap pekerjaan guru dan adanya sejumlah komentar dan keluhan dari orang tua peserta didik. Karena kamad seorang magister lulusan kependidikan Islam, maka dia memahami karakteristik anak didik sehingga mumpuni menjelaskan bagaimana mengajar dengan mempedulikan bakat dan minat anak. Kamad cukup telaten dalam hal bagaimana guru seharusnya mengajar. Hal ini dirasakan oleh para guru, sehingga adanya komentar dari orang tua bahkan yang bernada keluhan sekalipun dapat disikapi dengan baik. Misalnya adanya permintaan para orang tua agar anak-anak mereka diberi kesibukan dengan kegiatan belajar di rumah – agar tidak banyak bermain game di warnet – maka kamad meminta para guru senantiasa memberikan pekerjaan rumah yang proporsional. Selanjutnya kegiatan ini berkembang menjadi kegiatan belajar kelompok peserta didik secara bergiliran di rumah 31
orang tua peserta didik. Adanya forum komunikasi orang tua dan guru juga membuka adanya komunikasi yang terbuka antara stakeholder dengan pihak madrasah. Sementara itu aktivitas ektrakurikuler terus dipacu oleh kepala madrasah sehingga tidak mengherankan bila muaranya madrasah ini memiliki banyak piagam dan piala yang memenuhi rak dan lemari di ruang kamad. Dalam proses pembelajaran ini kamad mencoba menselaraskan kiprah pendidikannya di madrasah dengan kebijakan makro pemerintah yang tercakup dalam UUSPN No. 20 tahun 2003, misalnya memberikan penekanan pada aspek keimanan dan ketakwaan sebagai nilai dasar/inti pembangunan karakter moral bangsa yang berasal dari keyakinan beragama, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai-nilai kehidupan peserta didik perlu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan belajar mereka, dan untuk mengoptimalisasikan semua itu guru merupakan teladan bagi peserta didik. Berkaitan dengan prestasi belajar peserta didik kamad merasakan bahwa orang tua diliputi semacam sindrom yaitu adanya keinginan yang terasa berlebihan NEM adanya bagus sehingga dapat diterima di M.Ts atau SMP favorit. Menyikapi fenomena ini kamad memberikan kesempatan kepada para guru untuk melaksanakan kegiatan bimbingan belajar, khususnya untuk peserta didik kelas VI, di luar jam mengajar biasanya. Berkenaan dengan kebutuhan dan tuntutan stakeholders terhadap pembiayaan tidak terlalu menjadi persoalan bagi madrasah ini. Walaupun madrasah ini telah berkembang menjadi madrasah favorit namun sekolah ini tetap memberikan kesempatan kepada semua masyarakat terutama masyarakat Sukarame dan Way Dady di mana madrasah ini berlokasi. Kamad senantiasa berupaya menyikapi secara bijak hal-hal yang berkenaan dengan pembiayaan dengan kesadaran bahwa pendidikan itu memiliki misi sosial. Hal ini terlihat dengan menambah daya tampung peserta didik walaupun bangunan madrasah lokasinya sudah terasa sempit. Hampir setiap guru juga sudah mendapatkan tunjangan sertifikasi guru. 3. Analisis nilai mutu yang dikembangkan oleh kamad Berangkat dari deskripsi dan identifikasi nilai mutu yang dikembangkan oleh kamad di atas maka dapat dikemukakan beberapa analisis sebagai berikut. a. Nilai Kemandirian Sadar diri atas ketidakberdayaannya. Pernyataan ini mengisyaratkan kemandirian kamad dalam respon perilakunya terhadap kebutuhan dan tuntutan stakeholders. Saat kamad berhadapan dengan masalah bangunan madrasah yang kurang memadai ditinjau dari school size, kamad menyadari keterbatasannya. Kondisi helpless ini dapat dimaklumi sebab perluasan madrasah akan melibatkan pembuatan keputusan dengan pihak pemerintah 32
(kementerian agama) yang pada gilirannya berkaitan dengan APBN. Karena itu perluasan bangunan madrasah di luar batas kemampuan madrasah, tidak dapat dilakukan serta merta tanpa komunikasi dengan pihak terkait. Namun kamad memiliki kemampuan untuk mengomunikasikan masalah ini dengan pihak yang berwenang sehingga kamad tidak sebatas memimpikannya, tapi berupaya mewujudkan mimpinya itu. Kemandirian dibangun dengan sikap kompromistik. Pernyataan ini terlihat dari respon kamad dalam menyikapi keinginan orang tua agar anak-anak mereka diberi kesibukan belajar di rumah, agar anak tidak fokus dengan gencarnya hipnotis game online. Kamad telah berhasil membangun kompromi dengan orang tua bahwa di rumah lebih banyak waktu untuk belajar daripada di sekolah. Mandiri dalam membuat keputusan profesional. Analisis ini terlihat saat kamad berdiskusi dengan para guru sehingga para guru menyadari dan memahami bahwa “dia memahami karakteristik, bakat, dan minat anak sehingga mumpuni menjelaskan bagaimana mengajar sesuai dengan potensi yang dimiliki peserta didik”. Hal ini tentunya dapat dimengerti karena kamad ini berasal dari grassroot kependidikan dan merupakan alumni magister kependidikan. b. Nilai Inovatif Nilai inovatif dalam pendidikan dimaksudkan sebagai gagasan atau program yang dipersepsi sebagai sesuatu yang baru oleh pengguna. Nilai-nilai inovatif dimasud tampak dari adanya forum silaturrahim antar guru dan orang tua dan peserta didik rolling ke rumah orang tua dalam upaya belajar kelompok. Tidak dapat ditampik bahwa inovasi dalam bidang pendidikan tengah gencar-gencarnya merasuki dunia pendidikan. Banyak hal baru diperkenalkan seiring dengan perubahan orientasi kebijakan pendidikan nasional. Inovasi memang merupakan sesuatu yang amat bermakna dalam perubahan menuju sebuah perbaikan. Kamad sudah memiliki sikap yang responsif terhadap kebutuhan dan harapan dari stakeholdernya, dari para koleganya, menghargai keahlian dan keterampilan dari guru dan berupaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan keahlian koleganya itu untuk peserta didiknya. Kamad juga berupaya mencari dan menciptakan forum-forum formal maupun informal untuk menguji dan mengelaborasi inisiatif kebijakan. Tentunya hal ini dilakukan kamad untuk mendorong inovasi dan untuk memaksimalkan akseptabilitas dari putusan-putusan madrasah. Hal ini dapat dilakukan karena kamad telah sukses menjadi profesional sebagai guru dalam waktu yang cukup lama, sehingga cukup sensitif terhadap profesi keguruan dan cukup memiliki pengalaman untuk melakukan optimalisasi pemanfaatan keahlian dan skill guru untuk para peserta didiknya. c. Nilai Continous Qualitiy Improvement 33
Nilai ini lebih banyak terlihat dari sisi pribadi kamad. Dia selalu meningkatkan dirinya terutama dalam hal pengetahuan. Banyak pengalaman penataran yang diikutinya, dan pernah menjadi kepala sekolah di MIN lainya sebelum di MIN ini serta senantiasa memiliki impian untuk melakukan perbaikan di madrasah yang dipimpinnya. Sebagai pemimpin dia menyadari bahwa dia bertugas memfasilitasi berbagai gagasan dan kemudian diputuskan secara konsensus atau kompromi lalu diimplementasikan secara bersama-sama. Kamad berusaha demokratis, lebih menonjolkan keahlian daripada otoritas official, yakni pengambilan keputusan tentang sesuatu harus dipertimbangkan berdasarkan pandangan dan pendapat mereka yang memiliki pengetahuan dan keahlian tentang hal tersebut daripada menggunakan otoritas kepemimpinannya. Kendati demikian kamad sangat menyadari bahwa hal demikian tidaklah mudah dan belum tentu semua aspirasi semua anggota tersebut menggambarkan realita, dan pada akhirnya gagasan untuk lebih banyak menyerap aspirasi publik justru bercampur dengan sikap dan pandangan personal, dan terkadang memakan biaya dan waktu. d. Nilai Pemberdayaan Nilai ini muncul saat kamad melibatkan para guru secara signifikan dalam kegiatan kurikuler maupun nonkurikuler, misalnya mengizinkan dan mengirim guru-guru untuk mengikuti pendidikan (S1 Kedua), mengikuti mekanisme sistem pembinaan profesional di KKG/MGMP dan sebagainya. Juga mendorong motivasi guru, staf, dan peserta didik untuk terus berprestasi dan menunjukkan prestasi terbaik melalui collaborative learning, guru mengajar dengan konsisten, staf tidak sering bolos dan mampu memberikan pelayanan yang tegas namun beradab serta senantiasa mengembangkan basic skill para peserta didik melalui program penguatan basic skill tersebut termasuk bagi anak yang belum mencapai penguasaan minimal dari target kurikulum dan pengayaan bagi anak yang memiliki kemampuan belajar cepat. Sementara itu dalam konteks pendidikan yang efektif kamad lebih memberikan penekanan akan pentingnya martabat manusia (human dignity) sebagai nilai tertinggi. Adapun nilai dasar yang berusaha diinternalisasi adalah nilai dasar kesehatan, kebenaran, kasih sayang, dan spiritual. Nilai dasar kesehatan berimplikasi antara lain pada kebersihan dan kebugaran fisik. Untuk itu dalam kesehariannya di madrasah berupaya menumbuhkan rasa keindahan peserta didik melalui keserasian segala materi yang ada dalam lingkungan madrasah. Nilai dasar kebenaran berimplikasi pada upaya memperoleh pengetahuan secara kontinyu dalam segala hal. Kamad berupaya agar peserta didik bukan hanya menemukan kebenaran sampai pada penemuan data dan pengetahuan fakta, namun hingga menyentuh 34
kemampuan berpikir kritis dan kreatif dalam upaya berkompetesi menghadapi tantangan dunia modern di masa mendatang. Nilai dasar kasih sayang dan spiritual dengan karakteristik menekankan kejujuran, dan disiplin diri pada peserta didik. Sehingga terbentuk karakter dalam menjalin hubungan interpersonal yang saling memahami. Dalam kerangka membangkitkan nilai-nilai kehidupan serta mencoba menjelaskan implikasinya terhadap kualitas hidup masyarakat, kamad senantiasa menanamkan kepada warga madrasah tanpa keraguan untuk menerima dan menghargai nilai spiritual, intelektual, moral, dan estetik. Sekalipun di masyarakat nilai ini masih sangat umum untuk dapat membantu masyarakat dalam memecahkan masalah yang lebih spesifik. Realitas kehidupan di masyarakat, mereka membutuhkan uraian rinci tentang prinsip-prinsip nilai yang mencakup kemungkinankemungkinan tindakan manusia yang luas dan beragam, yang diharapkan akan melahirkan proses pendidikan yang efektif. Untuk menyikapi hal dimaksud kamad mencoba menekankan kepada warga madrasah agar senantiasa menerima dan menghargai nilai-nilai hidup bersih, berucap dan berperilaku benar, saling mengasihi sesama makhluk Tuhan, belajar bertanggung jawab bila diberi pekerjaan, tidak boleh boros, dan selalu cinta tanah air sebagaimana yang tertera dalam visi, misi, dan tujuan madrasah. Dalam konteks ini pendidikan nilai-nilai dasar dapat diposisikan dalam statusnya sebagai kurikulum tersembunyi. 4. Pola interaksi kepemimpinan kamad dalam pengembangan mutu Gambaran konteks interaksi sosial kamad dengan para guru dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengidentifikasi pola interaksi kepemimpinan kamad. Sejatinya madrasah akan mencapai performa terbaik jika dipimpin oleh kamad yang kuat, visioner, konsisten, demokratis, dan berani mengambil keputusan stategis. Dalam konteks upaya pencapaian berbagai kemajuan dan peningkatan-peningkatan kualitas secara berkelanjutan dalam semua sektor aktivitas madrasah, maka pola-pola interaksi yang disodorkan pada para guru terlihat ada aspek dominan dimiliki kamad yaitu sebagai berikut. a. Kamad memiliki visi yang kuat sebagai gambaran madrasah di masa yang akan datang dan berorientasi outcome, serta mengomunikasikan visinya pada anggota tim kerjanya secara kreatif dengan menggunakan cara-cara tidak langsung. Hal ini nampak dalam diskusi yang begitu antusias saat merespon substansi dan mengemukakan gagasan kritisnya, misalnya dalam menyikapi kurikulum 2013 yang akan diterapkan pada tahun 2014 di madrasah. b. Berupaya memperoleh jalan untuk mampu melakukan perubahan-perubahan dalam madrasah. Memberikan kemudahan bagi para guru dalam berbagai persoalan yang 35
dihadapi guru di kelasnya. Melakukan kerjasama yang baik dengan guru dalam penetapan kurikulum dan proses pembelajaran. c. Mendorong semua guru untuk melakukan yang terbaik dalam bidang dan kewenangnya dengan memberikan bimbingan pada guru agar terus melakukan perbaikan dalam pelaksanaan tugasnya. Misalnya dengan menanyakan kepada para guru tentang sesuatu pekerjaan dan bagaimana pekerjaan itu bisa diselesaikan. d. Melakukan peningkatan skill, keahlian dan profesionalisme guru dengan memberikan berbagai pelatihan dan pendidikan. e. Memberikan
dorongan
untuk
bertindak
dengan
karakteristik
dalam
ketelitian/tanggapan tentang nilai-nilai dan keterampilan bawahannya. Hal ini menunjukkan bahwa kepekaan kamad secara positif sangat berkaitan dengan kecenderungan guru dan staf untuk mengadakan inovasi. Sehingga madrasah yang dipimpinnya menjadi dinamis dan dialektis dalam upaya inovasi.
B. Deskripsi dan Analisis Pengembangan Budaya Mutu di MIN Way Halim 1. Deskripsi latar penelitian MIN Way Halim Bandar Lampung yang berdiri sejak Tahun 1968 berdiri di atas tanah wakaf seluas 3451 m2 beralamat di Jalan Ki. Maja No. 50 Way Halim Kota Bandar Lampung, Propinsi Lampung, No. Telepon (0721) 771449. Sebagai madrasah negeri dengan status Nomor 515 A Tahun 1995 pada Tanggal 25 November 1995. Madrasah ini berpredikat akreditasi B dengan Nomor 080/BAP-SM/12-LPG/2011 Tanggal 22 November 2010, dengan NSM. 111118710006. Sejak 10 Februari 2012 sampai sekarang madrasah ini dipimpin oleh Dra. Hj. Nur Laily, MM.Pd. Jumlah peserta didik pada tahun 2013/2014 sekitar 388 orang yang terdiri dari kelas I, 80 peserta didik, kelas II, 59 peserta didik, kelas III, 49 peserta didik, kelas IV, 41 peserta didik, kelas V, 51 peserta didik, dan kelas VI 40 peserta didik serta terdiri dari 13 rombongan belajar, masing-masing kelas, yaitu kelas I tiga rombel dan kelas II-VI masingmasing dua rombongan belajar. Luas bangunan 2046 m2 dengan konstruksi permanen. Indeks prestestasi belajar peserta didik diperoleh tercermin dari rata-rata NEM yang diperoleh 86,96 dengan NEM yang tertinggi 94.00 dan terendah 40.00 pada tahun 2013/2014. Tenaga pengajar pada tahun ajaran 2013/2014 berjumlah 23 orang, Laki-laki 4 orang dan perempuan 19. Jumlah guru tetap (PNS) 21 orang, tiga orang D2, sarjana 17 orang, dan satu orang magister. Guru Tidak Tetap 2 orang, bendahara madrasah 1 orang (PNS), tenaga honorer tiga orang, masingmasing staf TU 1 orang, penjaga madrasah 1 orang, dan satpam 1 orang. Kamad seorang Magister Pendidikan Islam lulusan PPs IAIN Raden Intan Lampung. Kegiatan dan proses 36
pembelajaran dari pagi hingga siang hari yaitu dimulai pukul 07.15 – 12.45. Program kegiatan dan proses pembelajaran meliputi intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Keaktifan dalam proses pembelajaran menurut pengamatan peneliti cukup baik dan berjalan dengan lancar. Namun kamad mengemukakan bahwa madrasah ini sangat merasakan kurangnya buku paket pelajaran untuk peserta didik sesuai kurikulum yang berlaku dan kurangnya sarana meubeler serta sarana ekstrakurikuler. 2. Deskripsi nilai-nilai mutu yang dikembangkan oleh kamad Deskripsi nilai mutu yang dikembangkan oleh kamad adalah dengan mengidentifikasi respon kamad terhadap kebutuhan dan tuntutan stakeholders terhadap sarana/prasarana, proses pembelajaran, dan pembiayaan. Kebutuhan stakeholders terhadap sarana dan prasarana sangat dirasakan oleh kamad. Hal ini terlihat dari upaya dikembangkannya pengkoordinasian dan penyerasian sarana dan prasarana dan sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh madrasah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan madrasah (stakeholders) secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu madrasah, misalnya dalam menyikapi kekurangan buku paket dan sarana meubeler. Kamad berupaya mewujudkannya dengan mengadakan memutuskan pembelian buku paket secara bertahap sesuai RKAS dan berupaya mengajukan proposal kepada Kabag Perencanaan Pusat. Langkah dalam mewujudkan hal demikian adalah dengan mengelola madrasah lebih luwes dan mengambil
keputusan
yang
senantiasa
melibatkan
partisipasi
masyarakat,
serta
mengutamakan pendekatan profesionalisme ketimbang pendekatan birokratik. Selain itu kamad menerapkan regulasi pendidikan yang lebih sederhana, bila ada resiko bukan menghindarinya namun berupaya mengolahnya, dan meningkatkan manajemen yang lebih efisien dengan mengutamakan team work yang cerdas. Kamad dan guru cukup berbahagia memiliki bangunan sekolah yang cukup refresentatif dan berada di pinggir jalan raya. Kamad (seorang perempuan) cukup peduli dengan kebersihan dan keindahan madrasah dengan menghiasi kelas dan halaman dengan bunga-bunga yang asri. Kamad memiliki ruangan sendiri. Begitupun para guru memiliki ruangan khusus untuk guru-guru. Dalam konteks pembelajaran kamad berupaya mengembangkan dan mengejar kepandaian atau keahlian secara terus menerus sesuai dengan bidang/tugasnya walaupun dalam level yang paling sederhana sekalipun. Dalam setiap kesempatan kamad sering mendiskusikan kepada para guru bagaimana agar warga madrasah semua mulai meningkatkan komitmennya terhadap kualitas madrasah, karena kamad sangat menyadari 37
bahwa masih ada sinyalemen di masyarakat bahwa madrasah adalah “lembaga pendidikan kelas dua”. Untuk itulah kamad sangat concern dengan komitmen terhadap kualitas ini. Guna menunjukkan komitmen di maksud maka kamad senantiasa menyisihkan sebagaian dana baik dari dana BOS atau yang bersumber dari dana madrasah lainnya untuk melengkapi media pembelajaran, karena media pembelajaran masih dirasakan sangat kurang oleh para guru. Komitmen lain yang ditunjukkan kamad dengan memberikan kebebasan kepada guru di lapangan untuk mengembangkan dan melaksanakan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan, memodifikasi dan memperkaya bahan pembelajaran, dan mengembangkan situasi belajar yang memungkinkan setiap anak bekerja dengan masing-masing pada setiap pelajaran dengan mengusahakan keterlibatan peserta didik dalam berbagai kegiatan pembelajaran. Kebutuhan stakeholders terhadap proses pembelajaran dapat dirasakan oleh kamad melalui pengamatan terhadap tugas dan pekerjaan guru dan masukan/keluhan dari orang tua peserta didik. Kamad berupaya agar semua warga madrasah memahami dan memiliki komitmen tentang visi, misi dan nilai-nilai yang diemban madrasah dan berupaya mewujudkannya dan berjuang bersama-sama untuk itu. Visi madrasah yaitu menjadikan peserta didik yang islami, cerdas, kreatif, terampil, mandiri, dan bertanggung jawab diharapkan dan diperjuangkan kamad agar semua warga madrasah – kamad, para guru, staf, peserta didik, komite madrasah atau bahkan orang tua/wali peserta didik – harus sama-sama menjabarkan visi, misi, dan nilai-nilai tersebut secara lebih realistik sesuai dengan kondisi dan kemampuannya, untuk selanjutnya dapat dipahami bersama-sama serta dijadikan dasar berpijak dalam melakukan pengembangan dan pembaharuan madrasah. Salah satu mewujudkan cara mewujudkan visi dimaksud adlah kamad sangat fokus terhadap kedisiplinan baik terhadap guru maupun peserta didik. Karena jika terdapat sinyalemen yang berkaitan dengan kedisiplinan ini maka kamad akan segera menanganinya. Kepedulian ini terlihat dari ketelitiannya terhadap setiap kehadiran guru, dengan mencek setiap kelas untuk meyakinkan bahwa guru telah ada di ruang kelas untuk melaksanakan tugasnya. Berkenaan dengan disiplin peserta didik, kamad menganjurkan kepada para guru untuk tidak melakukan proses pembelajaran sebelum kondisi kelas bersih termasuk kebersihan peserta didik. Para gurupun terlihat sangat familier dengan anjuran kamad ini. Karena itu para guru juga sangat memperhatikan penyelesaian tugas piket yang dikerjakan para peserta didik. Begitupun kebersihan di halam sekolah kamad sangat memperhatikannya sehingga para guru dan peserta didik selalu hati-hati dalam menjaga kebersihan ini. Saat ditanya mengapa ia sangat peduli terhadap kebersihan, kamad menjawab bahwa ia menginginkan kebersihan itu bukan hanya menjadi semboyan atau keyakinan 38
bahwa “kebersihan adalah sebagian dari iman” tetapi benar-benar harus dinyatakan dengan tindakan. Dalam konteks proses pembelajaran ini juga kamad juga memperhatikan kesiapan para guru dalam menyiapkan proses pembelajaran mulai dari menyiapkan RPP hingga pengembangan evaluasi. Kamad mengajak para guru melakukan evaluasi mulai dari capaian minimum (perubahan terkecil yang dapat dicapai), sampai dengan capaian yang bagus sekali (kinerja yang menunjukkan keahlian). Dalam menyikapi akan diterapkannya Kurikulum 2013 di madrasah pada tahun 2014 ini maka kamad mengajak para guru untuk mulai berbenah menyiapkan diri, misalnya dengan mulai mempelajari apa itu Kurikulum 2013, memahami tentang perubahan yang baru dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, misalnya tentang Kompetensi Inti yang berbeda dengan SK/KD dalam kurikulum sebelumnya. Upaya ini dimaksudkan untuk memotivasi guru menyikapi perubahan yang terjadi karena kamad menyadari tidak sedikit guru yang bersikap statis yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi kinerja guru lainnya. Selain itu kamad senantiasa mengajak para guru untuk memenuhi berbagai tuntutan yang harus dipenuhi guru sebagai bagian dari tuntutan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, misalnya guru harus mumpuni dalam penyusunan rencana pembelajaran. Hal ini dimaksudkan bukan hanya semata untuk kepentingan keprofesionalan guru dalam mengajar, namun lebih dari itu adalah untuk memelihara kebiasaan yang baik dalam pelaksanaan pembelajaran yang mendidik yang muaranya akan membuat peserta didik lebih kreatif. Kamad meyakini pembelajaran yang mendidik tidak akan tercapai secara utuh dan menyeluruh tanpa didukung secara kondusif oleh keterampilan setiap guru dalam melaksanakan interaksi dengan peserta didiknya di dalam maupun di luar kelas. Berkenaan dengan proses pembelajaran ini kamad menghimbau guru untuk meningkatkan tanggung jawab profesional dan memotivasi para guru untuk berkomitmen terhadap pengembangan tanggung jawab profesional dimaksud. Untuk itu kamad mengutus beberapa guru untuk melakukan “studi banding” ke madrasah lain yang dipandang maju terutama dalam pengembangan model-model mengajarnya. Biasanya kegiatan ini dibarengi dengan mengadakan pertemuan dengan wakil kamad dan semua tenaga kependidikan di madrasah untuk menyampaikan hasil-hasil pelatihan dan studi banding. Kebutuhan dan tuntutan stakeholders terhadap pembiayaan dikemukan sebagai berikut. Adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) cukup bermakna bagi madrasah. Kamad merasakan bahwa BOS cukup signifikan untuk menguatkan dan merespon tuntutan yang 39
berkembang. Untuk itu dana ini merupakan salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pendidikan di madrasah khususnya dalam menyediakan sarana dan prasarana pendidikan dengan kualitas dan kuantitas standar. Kamad sangat menyadari bahwa suatu kegiatan pendidikan akan terhambat jika dari sarana dan prasarana kurang kondusif bagi peningkatan kualitas hasil pembelajaran. Secara riil diakui kamad bahwa madrasah ibtidaiyah menemukan problem yang relatif sama dalam hal sarana dan prasarana, yaitu masih terbatasnya sarana dan prasarana yang berfungsi sebagai pendukung pembelajaran. Relevan dengan cita-cita untuk meningkatkan kuantitas output madrasah maka kamad berupaya melakukan pembenahan terhadap sarana dan prasarana di MI yang dipimpinnya dengan menggunakan dana yang ada seoptimal mungkin sehingga memenuhi kriteria standar fasilitas pendidikan. Solusi lainnya dalam meningkatkan mutu pembelajaran dan pendidikan madrasah berkenaan dengan keterbatasan dana, maka kamad mengadakan skala prioritas. Skala prioritas yang dimaksud adalah sangat diutamakan adanya perpustakaan. Untuk menambah koleksi bacaannya maka dana yang ada selalu disisihkan untuk membeli buku-buku yang dibutuhkan peserta didik walaupun itu pada taraf yang sangat minimal.
3. Analisis nilai mutu yang dikembangkan oleh kamad Dari serangkaian deskripsi dan identifikasi nilai mutu yang dikembangkan oleh kamad di atas maka dapat dikemukakan beberapa analisis sebagai berikut. a. Nilai Kemandirian Saat menghadapi masalah yang bekenaan dengan sarana dan prasarana, proses pembelajaran, dan pembiayaan, kamad berusaha memutuskannya secara kompromistik dengan orang tua dan guru Hal ini terlihat dalam hal berikut. Pengelolaan madrasah yang lebih luwes dengan menggunakan pendekatan profesionalisme ketimbang pendekatan birokratik yaitu mengambil keputusan yang melibatkan partisipasi masyarakat (orang tua), serta berupaya menerapkan regulasi pendidikan yang lebih sederhana dengan meningkatkan manajemen team work yang cerdas. Menyisihkan sebagian dana baik dari dana BOS atau yang bersumber dari dana madrasah lainnya untuk melengkapi buku paket dan media pembelajaran. Mengajak para guru untuk memenuhi berbagai tuntutan yang harus dipenuhi guru sebagai bagian dari tuntutan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, yaitu mumpuni dalam penyusunan rencana pembelajaran. Ini merupakan indikator kemandirian, yakni suatu upaya membuat keputusan berdasar pada pertimbangan orang lain (kompromi). b. Nilai Inovatif
40
Inovasi proses pembelajaran di madrasah terutama dalam penerapan metode pembelajaran sejatinya tidak terlepas dari input pendidikan, terutama guru dan sarana pendidikan. Sebagai pimpinan kamad sudah memperlihatkan kesadaran dan komitmennya dalam program pembelajaran yang inovatif ini, yaitu mengajak para guru untuk mulai berbenah menyiapkan diri mempelajari Kurikulum 2013, mengajak untuk menjabarkan visi, misi, dan nilai-nilai madrasah secara lebih realistik sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing, dijadikan dasar berpijak dalam melakukan pengembangan dan pembaharuan madrasah, dan senantiasa menghimbau para guru untuk mumpuni dalam penyusunan rencana pembelajaran. Guru perlu mengubah pedagogi ke arah pendidikan kreatif sehingga menghasilkan peserta didik yang memiliki kreativitas. Bila nilai inovatif dapat berupa gagasan dan praktek yang bersifat pembaharuan, maka nilai inovatif di madrasah bukan lagi pada level periferal namun sudah mulai menyentuh hal esensial. Persoalan seperti analisis mata pelajaran, disiplin atau menjaga keindahan dan kebersihan memang merupakan persoalan periferal. Namun nilai inovatif dengan substansi yang bersifat esensial, misalnya inovatif dalam proses pembelajaran sudah mulai diupayakan terwujud. b. Nilai Continuous Improvement Nilai “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan esok harus lebih baik dari hari ini” terlihat lebih korektif daripada kuratif. Kamad yang memegang teguh disiplin seperti yang dideskripsikan di atas merupakan prototype kamad yang suka terhadap tindakan korektif dan cenderung preventif, misalnya proses pembelajaran belum akan dimulai sebelum kelas bersih dan mengontrol kehadiran guru. Upaya-upaya korektif semacam ini dibangun atas orientasi nilai “bertindak bila terjadi kekeliruan”. Mengadakan skala prioritas juga mengisyaratkan bahwa kamad tidak berlepas tangan terhadap banyaknya permasalahan dan berbagai keterbatasan, misalnya dalam mengembangkan perpustakaan. Di sini tampak bahwa kamad meyakini akan pentingnya perpustakaan sebagai gudang ilmu, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. c. Nilai Pemberdayaan Pemberdayaan sesungguhnya adalah artikulasi dari kebutuhan untuk adanya perubahan baik dipengaruhi kekuatan eksternal maupun internal. Guna mengoptimalkan peran madrasah yang dipimpinnya, kamad mencoba melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan melalui manajemen berbasis madrasah (school based manajement). Kamad berupaya mengelola madrasahnya secara serasi mandiri dan melibatkan steakholders yang terkait secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu madrasah atau mencapai mutu madrasah dalam pendidikan nasional. Kamad lebih 41
memilih bekerja dengan menggunakan teamwork, membuat regulasi pendidikan menjadi lebih sederhana dan menjadikan peran kamad sebagai pengawas madrasah bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi, dari mengarahkan menjadi memfasilitasi dan dari menghindari resiko menjadi mengelola resiko. Nilai pemberdayaan ini ditempuh kamad agar guru memiliki sikap mental dan pandangan bahwa pekerjaan mengajar adalah milik dan tanggung jawab guru. Untuk itu guru diminta agar mengetahui posisi dirinya dan memiliki kontrol terhadap pekerjaannya. Selanjutnya dalam memberdayakan madrasah yang efektif adalah membangun manajemen madrasah yang bukan sekedar wacana, namun terindikasi dari sejumlah karakteristik misalnya visi dan misi yang jelas dan target mutu yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan secara lokal serta lingkungan madrasah yang aman, tertib, dan menyenangkan. Sementara itu dalam konteks pendidikan yang efektif kamad lebih memberikan penekanan akan pentingnya martabat manusia (human dignity) sebagai nilai tertinggi. Adapun nilai dasar yang berusaha diinternalisasi adalah nilai dasar kesehatan, kebenaran, kasih sayang, dan spiritual. Untuk itu menjaga kebersihan dalam kesehariannya di madrasah dan berupaya menumbuhkan rasa keindahan di lingkungan madrasah, menjadi fokus kamad. Kamad juga menanamkan kepada warga madrasah tanpa keraguan untuk menerima dan menghargai nilai spiritual, intelektual, moral, dan estetik, mencoba menekankan kepada warga madrasah agar senantiasa menerima dan menghargai nilai-nilai hidup bersih, berucap dan berperilaku benar, saling mengasihi sesama makhluk Tuhan, belajar bertanggung jawab bila diberi pekerjaan, tidak boleh boros, dan selalu cinta tanah air sebagaimana yang tertera dalam visi, misi, dan tujuan madrasah. Hal lain yang juga menjadi prioritas yang dilakukan kamad adalah selain berupaya memperkuat kemampuan peserta didik untuk memiliki semangat kemandirian, demokratis, kesadaran nilai, dan intelektual yang kuat juga mampu mengembangkan diri sebagai individu, anggota masyarakat, sebagai warga negara, dan sebagai makhluk beragama. Dalam konteks ini pendidikan nilai-nilai dasar dapat diposisikan dalam statusnya sebagai kurikulum tersembunyi. 4. Pola interaksi kepemimpinan kamad dalam pengembangan mutu Deskripsi konteks interaksi sosial kamad dengan para guru dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengidentifikasi pola interaksi kepemimpinan kamad. Dari daftar pola-pola interaksi yang disodorkan pada para guru terlihat ada aspek dominan dimiliki oleh kamad. Lebih rinci dapat diamati sebagai berikut. a. Inisiatif terhadap sesuatu yang inovatif. Karakteristik ini bukan hanya didukung oleh komitmen kamad mengutus beberapa guru untuk melakukan “studi banding” ke 42
madrasah lain yang dipandang maju terutama dalam pengembangan model-model mengajar, namun juga memberikan kesempatan kepada para guru untuk mengikuti S1 Kedua di LPTK yang telah ditetapkan pemerintah, agar para guru senantiasa memiliki pertumbuhan profesional dan visi untuk meningkatkan mutu madrasah. b. Sharing visi. Komitmen yang terlihat sebagai wujud dari visi mengenai kebersihan, keamanan, kedisiplinan, dan kenyamanan. c. Mendorong orang lain bertindak dalam bingkai komitmen terhadap pengembangan interaksi yang bukan hanya periferal tapi substansi esensial. Upaya merealisir seluruh aktivitas manajemen kelas diberi penekanan bahwa hal dimaksud adalah tanggung jawab guru, oleh karena itu guru fokusnya mengontrol proses pembelajaran yang bersifat aplikatif terhadap kinerjanya, baik sebagai pendidik, pengajar, pelatih, dan pembimbing. d. Model figur dengan karakteristik dalam bentuk membuka dialog personal, mengaudit diri sendiri, dan dicontoh orang lain dalam hal-hal yang bukan hanya periferal namun esensial. e. Ketelitian/tanggapan tentang nilai-nilai dan keterampilan bawahannya menunjukkan bahwa kepekaan kamad secara positif sangat berkaitan dengan kecenderungan guru dan staf untuk mengadakan inovasi. Sehingga madrasah yang dipimpinnya menjadi dinamis dan dialektis dalam upaya inovasi. 1. Deskripsi dan Analisis Pengembangan Budaya Mutu di MIDeskripsi latar penelitian MIN Tanjung Karang yang berdiri sejak tahun 1950 berdiri di atas tanah seluas 1.159 m2 beralamat di Jalan Teuku Umar/Gajah No. 2 Sidodadi Kedaton Bandar Lampung, Propinsi Lampung, No. Telepon (0721) 786362, Kode Pos: 35147. Sebagai madrasah negeri dengan status Nomor 515 A Tahun 1995 pada Tanggal September 1995. Madrasah ini berpredikat akreditasi B (85), dengan Nomor Dd.035047 Tanggal 30 Desember 2010, dengan NSM. 111118710001. Sejak 10-02-2012 sampai sekarang madrasah ini dipimpin oleh ibu Dra.Upik Dahlenawati. Jumlah peserta didik sekitar 309 orang yang terdiri dari kelas 86 peserta didik, kelas II 46 peserta didik, kelas III 61 peserta didik, kelas IV 31 peserta didik, kelas V 41 peserta didik, dan kelas VI 44 peserta didik serta terdiri dari 12 rombongan belajar, masing-masing kelas terdiri dari rombongan belajar sebagai berikut:. Kls 1= 3 rombel, , kls 11 = 2rombel, kls 111 = 2 rombel, kls 1V = 1 rombel, kls V = 2 rombel dan kls V1 = 2 rombel. Luas bangunan 788 m2 dengan konstruksi permanen dua lantai. Calon peserta didik rata-rata tertampung 95% dari pendaftar dan lumrahnya pendaftaran ditutup tepat waktu. Calon peserta didik umumnya 43
berasal dari Kecamatan Tanjungkarang Pusat,, Kecamatan Raja Basa, dan Kecamatan Tanjungkarang Barati,Kedaton,Labuhan Ratu, ahkan ada yang berasal dari Kecamatan Way Halim. Namun yang paling banyak peminat yang masuk adalah pada Kecamatan Kedaton. Indeks prtestasi belajar peserta didik tercermin dari rata-rata NEM yang diperoleh 8.00 dengan NEM yang tertinggi 9.20 dan terendah 7.20 pada tahun 2013/2014. Tenaga pengajar MIN Sukarame pada tahun ajaran 2013/2014 berjumlah 20 orang, 17 orang berstatus PNS, semua sarjana dan empat orang magister. Guru Tidak Tetap 3 orang, bendahara madrasah 1 orang (PNS), tenaga honorer empat orang, masing-masing tenaga pustakawan 1 orang, staf TU 2 orang, penjaga madrasah 1 orang, dan satpam 1 orang. Kamad seorang Sarjana Pendidikan Islam lulusan IAIN Raden Intan Lampung. Kegiatan dan proses pembelajaran dari pagi hingga sore hari, yaitu kelas kelas I, II, belajar mulai pukul 07.15 – 10. 15, kelas III dan IV dan Kls V mulai belajar pukul 10.30 – 15.00. Sedangkan untuk kls V1 dimulai dari pukul 07.17- 12.40. Program kegiatan dan proses pembelajaran meliputi intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Keaktifan dalam proses pembelajaran menurut pengamatan peneliti cukup baik dan berjalan dengan lancar. 2. Deskripsi nilai-nilai mutu yang dikembangkan oleh kamad Deskripsi nilai mutu yang dikembangkan oleh kamad adalah dengan mengidentifikasi respon kamad terhadap kebutuhan dan tuntutan stakeholders terhadap sarana/prasarana, proses pembelajaran, dan pembiayaan. Kebutuhan stakeholders terhadap sarana dan prasarana sangat dirasakan oleh kamad. Hal ini terlihat dari kelas yang padat, halaman, ruang kamad, dan guru sempit. Apabila peserta didik sedang istirahat, suasana hiruk pikuk, dan udara panas. Respon kamad terhadap keadaan yang demikian adalah sebatas mempertahankan sanitasi lingkungan madrasah walaupun demikian kamad sering memimpikan bangunan madrasah yang besar. Kamad pernah mengajukan proposal untuk rehabilitasi bangunan madrasah, namun tidak pernah ada hasilnya. Dalam kaitannya dengan media dan alat peraga, kamad senantiasa menyisihkan sebagian dana yang bersumber dari BOS untuk melengkapi media dan alat peraga. Media dan alat peraga ini dianggap memadai oleh para guru. Tempat penyimpanan alat peraga di ruangan kamad. Kebutuhan stakeholders terhadap proses belajar mengajar dapat dirasakan oleh kamad melalui pengamatan terhadap pekerjaan guru dan keluhan-keluhan dari orang tua peserta didik. Keluhan yang muncul dari orang tua peserta didik selama menjadi kamad diantaranya meminta diperbanyak pekerjaan rumah, hasil pekerjaan rumah diperiksa oleh guru, memohon 44
diadakan bimbingan belajar khususnya untuk anak kelas VI. Keluhan dari guru dalam hubuingannya dengan proses pembelajaran adalah meminta kelas jangan sampai kosong ketika proses pembelajaran harus berlangsung, meminta alat peraga, dan menuntut pengembangan bank soal untuk evaluasi hasil belajar peserta, serta memberikan kesempatan kepada guru untuk mengikuti kegiatan MGMP. Sejumlah respon yang diberikan kamad terhadap keluhan-keluhan yang dimaksud adalah (1) kamad mengadakan kerjasama dengan MIN atau sekolah yang berdekatan untuk melakukan pembinaan guru secara kooperatif; (2) mengadakan kunjungan kelas untuk meyakinkan bahwa guru memberikan dan memeriksa PR peserta didik; (3) mengadakan bimbingan belajar terutama untuk anak kelas satu yang lambat kemampuannya dalam calistung (baca, tulis, berhitung) dan kelas enam sebagai persiapan UN; (4) mengajukan proposal kepada pihak terkait untuk memperoleh buku paket dan sebagian dikabulkan sesuai permintaan; (5) mengembangkan validasi rekan sejawat; (6) mengembangkan tes prestasi hasil belajar yang “baku”; dan (7) memberikan kesempatan kepada para guru untuk mengikuti kegiatan MGMP. Respon ini terlihat diupayakan konsisten oleh kamad khususnya yang berkaitan dengan validasi rekan sejawat, yaitu dengan dikembangkannya se n macam diskusi informal di antara para guru untuk saling berbagi ilmu dan pengalaman. Wujud yata dari kegiatan validasi ini tersirat dalam keberanian para guru memohon kepada kamad untuk memindahkan seorang guru yang jarang masuk kelas, semntara peringatan dan nasehat secara informal sudah dilakukan tapi tak digubris oleh guru yang bersangkutan. Kebutuhan dan tuntutan stake holder terhadap pembiayaan dikemukakan sebagai berikut. Adanya BOS dirasakan belum mencukupi dan penyalurannya terkadang masih kurang tepat sasaran. Namun menurut para guru dalam penggunaan dana BOS ini kamad terkesan kurang terbuka, sehingga untuk apa saja dana tersebut digunakan umumnya para guru dan staf banyak yang tidak mengetahui. Namun walau demikian keberadaan dana BOS tersebut sangat berarti dalam meningkatkan aktivitas dan kebutuhan sekolah. 3. Analisis nilai mutu yang dikembangkan oleh kamad Dari serangkaian deskripsi dan identifikasi nilai mutu yang dikembangkan oleh kamad di atas maka dapat dikemukakan beberapa analisis sebagai berikut. a.
Nilai Kemandirian Mandiri dalam membuat keputusan dan berani menanggung resiko atas keputusan yang
dibuatnya. Keputusan untuk membuat proposal rehabilitasi dan pengadaan bangunan madrasah ketika mendapat informasi ada dana untuk pembangunan madrasah ibtidaiyah dilakukan kamad dengan cara mengajukan secara langsung kepada atasannya di Kementerian 45
Agama, mengingat kondisi madrasah masih sangat berkekurangan sarana dan lokal. Namun demikian pihak Kemenag menganggap sarana dan local madrasah ini dinilai masih cukup dan belum mendesak untuk direhab atau penambahan gedung baru dan menyalurkan bantuan kepada MIN lain dan MI swasta yang dianggap lebih mendesak untuk direhab dan dibangun gedung baru. Walupun tidak berhasil kamad terlihat cukup puas karena merasa telah membuat sesuatu yang jarang dilakukan oleh kamad MIN kebanyakan. Nilai kemandirian lain yang diperoleh dari madrasah ini adalah mengambil keputusan yang cukup kompromistik terutama dengan kamd MIN atau sekolah yang berdekatan dalam melakukan pembinaan terhadap para pengajarnya. b. Nilai Inovatif Nilai inovatif yang didapat dari madrasah ini adalah adanya suasana informal dalam sharing ilmu dan pengalaman di antara guru dan pengembangan tes belajar “baku”. Namun menurut para guru sebenarnya menginginkan lebih dari itu, terutama dalam menyahuti akan diterapkannya kurikulum 2013, di mana para guru merasakan meraka sangat “buta” dengan kurikulum yang akan diterapkan pada tahun pelajaran 2014/2015 ini. Menurut sebagian guru kamad terkesan “kurang progresif” terhadap fenomena inovasi yang satu ini dan kurang memainkan peranan penting langsungnya dalam mempengaruhi proses inovasi, misalnya kamad belum mendorong/mengutus guru mengikuti pelatihan kurikulum 2013 atau mengundang pihak yang berkompeten untuk menjelaskan kurikulum baru tersebut. Padahal guru menganggap mereka dapat belajar dari pengalaman guru lain dan dari situasi manapun yang memperbesar jaring tukar menukar pendapat dan pengalaman di antara mereka. Namun demikian kesadaran guru untuk bagaimana mengimplementasikan kurikulum 2013 ini sangat tinggi maka berbagai cara yang dapat dilakukan oleh para guru antara lain mengikuti berbagai seminar atau works shop tentang kurikulum 2013 baik dilakukan oleh instansi kemenag maupun oleh IAIN dan lembaga lainnya. c. Nilai Continuous Improvement Nilai ini diperlihatkan oleh adanya instrument untuk menguji kemampuan belajar peserta didik yang ditindaklanjuti dalam sejumlah kegiatan-kegiatan pengayaan di luar jam belajar di madrasah yang dilakukan oleh para guru.Dalam konteks ini para guru memberikan materi dan bahan pengayaaan kepada para siswa baik dalam bentuk bimbingan belajar maupun dalam bentuk penugasan-penugasan terstruktur. d. Nilai Pemberdayaan Nilai pemberdayaan lebih menekankan pada partisipasi aktif guru-guru untuk menjaga jalannya proses pembelajaran sehingga jika salah satu kelas terganggu kelas yang 46
lain akan merasakannya. Misalnya bila anak kelas dua belum bisa calistung maka guru di kelas dua harus kembali mengajar calistung dasar tersebut. Dengan kata lain guru di kelas dua mempertanyakan bagaimana guru kelas satu melakukan proses pembelajaran sehingga peserta didiknya terasa “mengecewakan”. Namun sebagian guru merasakan kesempatan untuk belajar cukup terbuka lebar walaupun hal tersebut merupakan ide guru yang bersangkutan, bukan atas dorongan dari kamad. Sementara itu dalam konteks pendidikan yang efektif kamad lebih memberikan penekanan akan pentingnya martabat manusia (human dignity) sebagai nilai tertinggi. Adapun nilai dasar yang berusaha diinternalisasi adalah nilai dasar kesehatan, kebenaran, kasih sayang, dan spiritual. Berkenaan dengan prioritas untuk membangkitkan nilai-nilai kehidupan serta mencoba menjelaskan implikasinya terhadap kualitas hidup masyarakat, kamad mengajak untuk menerima dan menghargai nilai spiritual, intelektual, moral, dan estetik. Kamad mlihati realitas di masyarakat nilai ini masih sangat umum untuk dapat membantu masyarakat dalam memecahkan masalah yang lebih spesifik. Karena realitas kehidupan di masyarakat, membutuhkan uraian rinci tentang prinsip-prinsip nilai yang mencakup kemungkinan-kemungkinan tindakan manusia yang luas dan beragam. Karenanya kamad mencoba menekankan kepada warga madrasah agar senantiasa menerima dan menghargai kebersihan, berucap dan berperilaku jujur, saling menyayangi, belajar bertanggung jawab bila diberi pekerjaan, tidak foya-foya, dan mencintai tanah air agar nantinya memiliki semangat kemandirian, demokratis, kesadaran nilai, dan intelektual yang kuat. Dalam konteks ini pendidikan nilai-nilai dasar dapat diposisikan dalam statusnya sebagai kurikulum tersembunyi. e. Pola interaksi kepemimpinan kamad dalam pengembangan mutu Deskripsi konteks interaksi sosial kamad dengan para guru dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengidentifikasi pola interaksi kepemimpinan kamad. Dari daftar pola-pola interaksi yang disodorkan pada para guru terlihat ada aspek dominan dimiliki oleh kamad. Lebih rinci dapat diamati sebagai berikut. 1. Inisiatif terhadap sesuatu yang inovatif. Karakteristik ini didukung sejumlah komitmen sebagai berikut, diantaranya berani mengambil resiko, mempertanyakan status quo, dan memberikan kesempatan belajar. 2. Sharing visi dengan karakteristik antara lain menentukan keinginan, mengemukakan keinginan, berbicara positif dan mendiskusikan keinginan-keinginan. Hal ini dirasakan
47
para guru, walaupun terkesan “kurang progresif” namun sebagian guru menganggap kamad termasuk tegas dan lugas dalam ucapan dan perbuatannya. 3. Mendorong orang lain bertindak dengan karakteristik antara lain go first dalam wujud memberikan teladan terutama berkaitan dengan integritas pribadi. Tampilan dimaksud menurut sebagian guru boleh dikatakan kamad sebagai model figure, walaupun tampilan “kurang peduli” kamad sedikit menodai model figur dimaksud. 4. Kamad kurang memberikan dorongan untuk bertindak dengan karakteristik cenderung abai terhadap perkembangan pendidikan, misalnya tidak menjadikan pengetahuan guru sebagai prioritas perbaiakan dan peningkatan mutu dalam rangka memahami inovasi yang dikehendaki. Terkesan kamad yang dibantu staf yang kurang inovatif hanya berhubungan secara formal saja dengan guru dan kurang mampu memahami nilai-nilai mereka dan ikatan emosinya.Indikasi ini terasa bila dicermati model tampilan Kamad lebih bersifat formalistic dan birokratik ketimbang bernuansa akademik dalam pola interaksi dan komunikasi social pembelajaran. Meskipun mereka para Kamad dalam konteks akademik seharusnya adalah sosok guru yang harus lebih banyak menampilkan sikap dan prilaku akademik terhadap relasinya dengan guru.
C. Temuan Penelitian dan Pembahasan 1. Nilai mutu yang dikembangkan kamad Respon kamad terhadap stakeholders sebagai pemicu utama peningkatan kualitas mengandung nilai-nilai mutu yang dikembangkan kamad. Nilai-nilai yang dimaksud adalah sebagai berikut. a. Nilai Kemandirian Kemandirian merupakan upaya-upaya kamad dalam membuat keputusan, keberanian menanggung resiko atas keputusan yang dibuatnya dalam penyelenggaraan madrasah. Berdasarkan pengertian di atas ditemukan nilai kemandirian yang terdiri dari kemandirian mengambil keputusan yang berkaitan dengan kompetensi guru, pembuatan keputusan yang dibangun atas dasar kompromistik dan menyadari akan ketidakberdayaan diri dalam membuat keputusan. b. Nilai Inovatif Nilai inovatif terlihat dari sejumlah gagasan dan praktek. Ide inovatif berkembang pada madrasah. Walau secara umum belum begitu menyentuh substansi esensial namun nilai inovatif ini sudah merambah semua aspek secara periferal, bukan hanya aspek yang bersifat rutin, seperti dalam pengelolaan sarana prasarana, proses pembelajaran ataupun pembiayaan, 48
namun sudah menyentuh esensi inovasi itu sendiri. Dengan kata lain nilai inovatif dalam kerangka pengembangan budaya mutu sudah mulai dimaknai oleh warga madrasah sebagai penjabaran dari visi, misi, dan nilai-nilai yang diemban madrasah dan harus diwujudkan dalam realitas sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing, untuk selanjutnya dipahami bersama serta dijadikan dasar berpijak dalam melakuan mengembangan dan pembaharuan di madrasah. Nilai inovatif bukan hanya mendekati perbaikan kebiasaan kerja namun sudah mulai merambah pada peningkatan kinerja, mencari dan mengembangkan caracara baru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Dengan kata lain sudah muncul kesadaran kolektif sekolah akan pentingnya inovasi-inovasi dalam pendidikan dan pembelajaran, baik bersifat muncul dari dorongan eksternal maupun dorongan dari internal masing-masing. c. Nilai Continuous Improvement Nilai ini berkembang dengan adanya kelompok guru yang secara informal memiliki keinginan secara lebih progresif. Adanya sharing dan saling kritik yang membangun di antara mereka dapat ditemukan dalam berbagai ilmu dan pengalaman dalam kerangka saling asah, asih, dan asuh. Frekwensi interaksi tatap muka yang sering dan dalam jangka waktu yang lama membuat para guru memiliki sense of belongingness yang tinggi dalam interaksi keseharian mereka terjadi diskusi-diskusi dengan tema-tema sekitar bagaimana agar peserta didik dapat mencapai prestasi yang lebih baik dalam suasana penuh kekeluargaan.yang lebih menarik lagi nilai-nilai ini dapat diidentifikasi adanya admusfir baru dikalangan para guru untuk selalu ingin meningkatkan kompetensi dan kualifikasi pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi, yaitu melanjutkan studi S.2 dalam bidangnya. Tercatat masing-masing MIN telah memiliki tenaga pengajarnya telah berpendidikan S.2. d. Nilai pemberdayaan Nilai pemberdayaan banyak terlihat dalam tatanan struktural yakni dalam sistem pembinaan profesional di mana para guru terlibat secara signifikan dalam diskusi-diskusi profesional. Warga madrasah dibawah pimpinan kamad mencoba melakukan pengkajian secara kolektif tentang hal-hal yang berkenaan dengan pengembangan mutu madrasah. Tidak jarang terjadi para guru dan kamad sebagai tim saling membicarakan dan mengemukakan pendapatnya, asumsi-asumsi, keyakinan, dan/atau tantangan-tantangan yang dihadapi dalam rangka pengembangan madrasah. Adanya kerjasama tim secara kolaboratif, bukan tim buiding, adalah belajar. Bukan hanya peserta didik yang belajar, tetapi kamad, para staf, guru dan tenaga-tenaga lainnya juga belajar.
49
Dalam konteks pendidikan efektif kamad lebih memberikan penekanan akan pentingnya martabat manusia (human dignity) sebagai nilai tertinggi. Adapun nilai dasar yang berusaha diinternalisasi adalah nilai dasar kesehatan, kebenaran, kasih sayang, dan spiritual. Untuk itu menjaga kebersihan dalam kesehariannya di madrasah dan berupaya menumbuhkan rasa keindahan di lingkungan madrasah, menjadi fokus kamad. Kamad juga menanamkan kepada warga madrasah tanpa keraguan untuk menerima dan menghargai nilai spiritual, intelektual, moral, dan estetik, mencoba menekankan kepada warga madrasah agar senantiasa menerima dan menghargai nilai-nilai hidup bersih, berucap dan berperilaku benar, saling mengasihi sesama makhluk Tuhan, belajar bertanggung jawab bila diberi pekerjaan, tidak boleh boros, dan selalu cinta tanah air sebagaimana yang tertera dalam visi, misi, dan tujuan madrasah. Hal lain yang juga menjadi prioritas yang dilakukan kamad adalah selain berupaya memperkuat kemampuan peserta didik untuk memiliki semangat kemandirian, demokratis, kesadaran nilai, dan intelektual yang kuat juga mampu mengembangkan diri sebagai individu, anggota masyarakat, sebagai warga negara, dan sebagai makhluk beragama. Dalam konteks ini pendidikan nilai-nilai dasar dapat diposisikan dalam statusnya sebagai kurikulum tersembunyi.
2. Pola interaksi kepemimpinan kamad dalam mengembangkan nilai mutu Pola interaksi kepemimpinan kamad dalam mengembangkan mutu madrasah banyak menekankan pendekatan kultural, yakni pendekatan dengan medium hubungan manusiawi antara kamad dengan para guru, dan warga madrasah lainnya. Pola interaksi terdiri dari halhal berikut ini. a. inisiatif terhadap sesuatu yang inovatif. Karakteristik ini didukung sejumlah komitmen yang nampak pada semua kamad – walau dalam kasus yang berlainan – seperti keberanian mengambil resiko, mempertanyakan status quo, dan memberikan kesempatan belajar. b. Sharing visi dengan karakteristik menentukan dan mengemukakan keinginan, berbicara positif, dan mendiskusikan keinginan-keinginan yang ada. Hal ini nampak dari dua orang kamad. c. Mendorong orang lain bertindak dengan karakteristik go first dalam wujud memberikan contoh teladan (uswah hasanah) khususnya yang berkenaan dengan integritas pribadi. Para guru merasakan bahwa kamad merupakan figur. Komitmen ini terlihat pada seluruh kamad walaupun dengan konteks yang berbeda. d. Memberikan dorongan untuk bertindak dengan karakteristik dalam ketelitian/tanggapan tentang nilai-nilai dan keterampilan bawahannya. Hal ini menunjukkan bahwa kepekaan 50
kamad secara positif sangat berkaitan dengan kecenderungan guru dan staf untuk mengadakan inovasi. Sehingga madrasah yang dipimpinnya menjadi dinamis dan dialektis dalam upaya inovasi. Menyediakan sumber-sumber belajar, alat serta berbagai fasilitas belajar yang dapat mendukung peningkatan kualitas sesuai dengan kemampuan madrasah dan senantiasa berupaya meningkatkan iklim kerja yang stimulatif dan sesuai dengan berbagai kebutuhan kemajuan. Namun ada salah satu kamad yang cenderung kurang memberikan dorongan untuk bertindak dengan karakteristik cenderung abai terhadap perkembangan pendidikan, misalnya tidak menjadikan pengetahuan guru sebagai prioritas perbaiakan dan peningkatan mutu dalam rangka memahami inovasi yang dikehendaki.
51
BAB V PENUTUP
A. Simpulan 1. Sebagai pegawai negeri sipil (PNS) kepala madrasah dan para guru MIN senantiasa berangkat dari kepatuhan terhadap birokrasi. Terhitung sejak pertama diangkat mereka didoktrin soal kepatuhan (loyalitas), diperkenalkan dengan tatanan bahwa dalam menyelesaikan tugas sehari-hari sebagai PNS dikenal adanya hirarkhi dan tidak boleh melanggar hirarkhi ini. Bila ada ide dan gagasan yang muncul harus disampaikan kepada kepala madrasah selanjutnya kepala madrasah melaporkan ke yang lebih atas, dan tidak boleh dilaksanakan sebelum ada keputusan dari atas. Namun demikian, dalam tatanan birokrasi seperti ini telah berkembang nilai-nilai budaya mutu, yakni nilai kemandirian, nilai inovatif, nilai perbaikan yang kontinyu, dan nilai pemberdayaan serta nilai-nilai dasar yaitu nilai dasar kesehatan, kebenaran, kasih sayang, dan spiritual. Nilai-nilai yang dimaksud tumbuh dan berkembang bersentuhan dengan struktur yang telah mapan. Nilai kemandirian merupakan kemampuan membuat keputusan dan menerima resiko dari keputusan yang diperbuatnya. Nilai kemandirian ini nampak dalam suasana (1) kompromistik dalam mengambil keputusan; (2) tidak mengambil keputusan karena sadar dirinya tidak berdaya; (3) mandiri dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan kompetensi guru. Dalam prakteknya, substansi yang diputuskan tidak boleh bertentang dengan kemauan dan tatanan birokrasi. Nilai inovatif tercermin dari gagasan dan praktek penyelenggaraan madrasah. Inovasi yang ada bukan hanya mengacu pada perbaikan-perbaikan kerja yang bersifat periferal namun sudah merambah pada hal-hal yang bersifat esensial dan orisinal walaupun masih pada tataran yang sangat sederhana. Demikian dengan nilai continuous improvement “perbaikan secara kontinyu” falsafah “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan esok harus lebih baik dari hari ini” berkembang di madrasah dalam iklim yang terbuka, penuh kekeluargaan untuk saling asah, saling asuh, dan saling asih yang secara struktural dikembangkan dalam sistem pembinaan dan pengembangan profesional. Begitu pula nilai pemberdayaan berkembang di madrasah melalui pendekatan komunikasi antarpribadi berupa diskusi dan sharing pengetahuan dan pengalaman, sedangkan secara struktural melalui sistem pembinaan profesional atau pendidikan lanjutan. Sementara itu nilai-nilai dasar yakni kesehatan, 52
kebenaran, kasih sayang, dan spiritual lebih terdeteksi dalam hubungan interpersonal antar warga madrasah dan penataan iklim psikologis lingkungan madrasah – kepala madrasah, guru, peserta didik, staf dan orang tua pesrta didik – yang muaranya melahirkan
rasa
kepedulian, kebersamaan,
dan kesadaran kolektif dalam
mengembangkan nilai-nilai kehidupan ini, dengan karakteristik antara lain anak sebagai pembelajar merasa tenang, nyaman, senang, dan penuh gairah dalam belajar. Semboyan atau keyakinan bahwa “kebersihan adalah sebagian dari iman” benarbenar dinyatakan dengan tindakan. Dalam konteks ini pendidikan nilai-nilai dasar dapat diposisikan dalam statusnya sebagai kurikulum tersembunyi. 2. Pola interaksi kepemimpinan mengacu pada pola interaksi kepemimpinan yang berorientasi pada pengembangan mutu, yakni inisiatif terhadap sesuatu yang inovatif, sharing visi, mendorong orang lain bertindak, dan menjadi teladan (model figure). Pola interaksi ini lebih banyak bersifat kultural dalam arti terjadi dalam hubungan antar manusiawi, tidak dikembangkan dalam sutu struktur. Karena pola interaksi kepemimpinan lebih menekankan pada tilikan dalam konteks hubungan antar manusia maka perilaku-perilaku kepala madrasah dalam mengembangkan pola interaksi itu sangat beragam dan kontekstual.
B. Rekomendasi 1. Penelitian ini merupakan penelitian analisis deskriftif dan dilaksanakan dalam waktu relative singkat terhadap pengembangan budaya mutu di tiga MIN. Karena itu dapat dikembangkan lagi oleh peneliti secara lebih mendalam lagi dalam jumlah sampel Yang lebih luas. 2. Nilai-nilai budaya mutu (baca nilai kemandirian, inovatif, perbaikan kontinyu, dan pemberdayaan, serta nilai-nilai dasar sering bersentuhan dengan struktur birokrasi yang memperthankan kemapanan. Karena itu disarankan agar tidak dikembangkan deregulasi dalam bidang manajemen pendidikan sampai unit madrasah ibtidaiyah. 3. Pola interaksi kepemimpinan dalam mengembangkan budaya mutu secara struktural telah dibangun dalam system pembinaan profesional. Lebih lanjut perlu mendapat perhatian pembinaan mutu secara kultural. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan sosialisasi budaya mutu di madrasah-madrasah, khususnya madrasah ibtidaiyah.
53
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkan (2001). “Humanisasi Pendidikan Islam”, Afkar. Edisi No. 11 Tahun 2011. Abuddin Nata (2010). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana. Ainurrafiq Dawam (2004). Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren. Yogyakarta : Lista Fariska Putra. Al-Syaibani, Omar Mohammed al Toumy (1979). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bulan Bintang. Aqib Z. (2009). Standar Pengawas Sekolah/Madrasah. Bandung : Yrama Widya. Arcaro, Jerome S. (2005). Pendidikan Berbasis Mutu : Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan. Hak Cipta oleh St Lucie Press, 1995. (Terj) Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Arif Furqan ( 2004). Transformasi Pendidikan Islam Di Indonesia. Yogyakarta : Gama Media Azyumardi Azra (1998). Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta : Logos. Buchari, Mochtar. (1995). Transformasi Pendidikan. Jakarta : IKIP Muhammadiyah Jakarta Press. Dede Rosyada (2004) Paradigma Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta : Kencana. Ditjen Bimbagais (2000). Pola Pengembangan Madrasah Diniyah. Hadis, A. (2010). Manajemen Mutu Pendidikan. Bandung : Alfabeta. Hasan Asari (2001). Sejarah Pertumbuhan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam. Jakarta : Grasindo. Hasbi Indra (2005). Pendidikan Islam Melawan Globalisasi. Jakarta : Ridamulia. Husni Rahim (2001). Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta : Logos. Makawimbang, Jerry H. (2001). Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung : Alfabeta. Maksum (1999). Madrasah – Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta : Logos. Muhaimin (2011). Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam. Jakarta : Rajawali Pers. 54
Mulyasa, E. (2004) Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung : Remaja Rosdakarya. -------, (2005). Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung : Remaja Rosdakarya. Muslim B. (2009). Supervisi Pendidikan Meningkatkan Kualitas Profesionalisme Guru. Bandung : Alfabeta. Winarno Surakhmad dkk. (2003). Mengurai Benang Kusut Pendidikan. Sjafnir Ronisef dkk (Ed). Jakarta : Transformasi UNJ & Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Saleh, Abdul Rahman (2004). Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Sallis, Edward. (2010). Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan. Yogyakarta : IRCiSoD. Siti Irene AD. (2011). Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sudarwan Danim (2006). Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. -------- (2006). Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta : Bumi Aksara. Tim Penyusun KBBI (1996). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Umaidi (2004). Manajemen Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah. Jakarta : CEQM. Wahyudi (2009). Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Organisasi Pembelajar. Bandung : Alfabeta. Widodo, E. S. (2011) Manajemen Mutu Pendidikan Untuk Guru dan Kepala Sekolah. Jakarta : Ardadizya. Zamroni (2007). Meningkatkan Mutu Sekolah : Teori, Strategi, dan Prosedur. Jakarta : PSAP Muhammadiyah. -------, (2000) Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : Bigraf Publishing. Zulkarnain (2008). Transformasi Nilai-nilai Pendidikan Islam : Manajemen Berorientasi Link and Match, Yogyakarta : Pustaka Pelajar bekerjasama dengan STAIN Bengkulu.
55