IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN ASESMEN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS SEKOLAH INKLUSI DI DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA PROVINSI DIY
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Eka Rachmad Yuliawan NIM 12110244022
PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA MEI 2017
i
ii
iii
iv
MOTTO Orang yang menginginkan impiannya menjadi kenyataan, harus menjaga diri agar tidak tertidur (Richard Wheeler) Pendidikan yang benar untuk membuat ketimpangan, ketimpangan individualis, ketimpangan kesuksesan, dan ketimpangan kejeniusan. (Felix E. Schelling)
v
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya sederhana ini untuk : 1. Orang tuaku yang senantiasa mendukung dan mendoakan keberhasilan studiku 2. Almamaterku Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikanku ilmu. 3. Nusa, bangsa serta agamaku
vi
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN ASESMEN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS SEKOLAH INKLUSI DI DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA PROVINSI DIY Oleh Eka Rachmad Yuliawan NIM 12110244022 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan: 1) implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY; 2) Faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus DISDIKPORA DIY. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Subyek penelitian ini adalah Kepala Seksi PLB, Kepala Kursis TK-SD, Kepala sekolah, guru pendamping khusus, guru kelas, dan orang tua sebagai subyek pendukung. Setting penelitian berada di DISDIKPORA Prov. DIY, DISDIK Kab. Sleman, dan SD N Brengosan I. Metode Pengumpulan data dengan wawancara, dokumentasi, dan observasi. Uji Keabsahan dengan teknik triangulasi. Teknik analisis data menggunakan model interaktif dari Miles dan Huberman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : 1) Proses implementasi kebijakan pengelolaan asesmen ini dilakukan dengan membagi pihak yang berperan dalam mengelola pendidikan di DIY, mengembangkan kerangka kerja berdasar kebijakan pusat, mengkoordinasikan sumber daya dan pembiayaan antara Kabupaten/ Kota dengan Provinsi, dan mengaloksikan sumber daya dengan memperbantukan GPK. Hasil dari implementasi tersebut berupa pengadaan pelatihan asesmen, menjalin mitra kerja dengan lembaga terkait, dan membentuk lembaga khusus. SD N Brengosan I sebagai sekolah inklusi sudah dapat merasakan sarana seperti guru pendamping khusus, pelatihan guru, Puskesmas, dan pusat sumber yang diberikan Dinas terkait. Meskipun belum secara optimal, sekolah mampu untuk melaksanakan kebijakan asesmen ini melalui beberapa tahapan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan tindak lanjut asesmen. Didukung dengan pelayanan khusus berupa penambahan jam belajar siswa ABK; 2) faktor pendukung implementasi tersebut berupa materi PLB (Pendidikan Luar Biasa) sudah diberikan pada mata kuliah kependidikan, tingkat pemahaman masyarakat terhadap pendidikan inklusi sudah meningkat, adanya Puskesmas sebagai mitra kerja sekolah. Sedangkan faktor penghambatnya adalah pemahaman guru reguler masih lemah, alokasi tenaga GPK (Guru Pendamping Khusus) yang terbatas, anggaran pelatihan bagi guru yang terbatas dan belum merata, beberapa orang tua kurang peduli dan sulit memahami arahan dari sekolah. Kata Kunci : Implementasi kebijakan, asesmen, anak berkebutuhan khusus
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan skripsi dengan judul “Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus Sekolah Inklusi di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY” Skripsi yang ditulis sesuai dengan kemampuan yang ada pada diri penulis, namun demikian masih tersirat harapan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Penulis menyadari bahwa keberhasilan yang penulis capai ini bukanlah karena kerja individu semata, tetapi berkat bantuan semua pihak yang ikut mendukung dalam penyelesaianya proposal skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat: 1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah membantu dalam memberikan izin atas terealisasikannya penelitian ini. 2. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan atas izin yang diberikan untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Drs. Joko Sri Sukardi, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini sehingga dapat terwujud. 4. Bapak dan Ibu Dosen di Program Studi Kebijakan Pendidikan yang telah memberikan ilmu kepada penulis.
viii
5. Kepala Seksi Pendidikan Luar Biasa, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY yang telah memberikan izin penuiis untuk melakukan penelitian, memberikan dukungan, kemudahan dan kelancaran selama proses penelitian. 6. Kepala Bidang Kurikulum dan Kesiswaan TK-SD, Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian, memberikan dukungan dan data penelitian, kemudahan dan kelancaran selama proses penelitian berlangsung. 7. Kepala sekolah, guru kelas, guru pembimbing kbusus serta orang tua siswa berkebutuhan khusus SD N Brengosan I Kabupaten Sleman yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian, memberikan dukungan, kemudahan memperoleh data penelitian dan kelancaran selama proses penelitian. 8. Teman-teman Program Studi Kebijakan Pendidikan yang telah membantu dalam rangka pelaksanaan penelitian sampai tersusunya skripsi ini. 9. Semua pihak yang tidak dapat saya sampaikan satu persatu yang telah membantu dalam proses penyusunan penelitian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih mempunyai kekurangan. Oleh karena itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran kepada semua pihak. Yogyakarta, 3 Mei 2017 Penulis
ix
DAFTAR ISI hal HALAMAN JUDUL ................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................
ii
SURAT PERNYATAAN ............................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
iv
MOTTO .......................................................................................................
v
PERSEMBAHAN ........................................................................................
vi
ABSTRAK ...................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii DAFTAR ISI ................................................................................................
x
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii DAFTAR BAGAN ....................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xv
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................................
1
B. Identifikasi Masalah ...............................................................................
7
C. Batasan Masalah ....................................................................................
7
D. Rumusan Masalah ..................................................................................
8
E. Tujuan Penelitian ....................................................................................
8
F. Manfaat Penelitian ..................................................................................
9
BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Implementasi Kebijakan Pendidikan .......................................
11
1. Rumusan Implementasi ........................................................................
11
2. Pengertian Kebijakan ...........................................................................
13
3. Teori Implementasi Kebijakan Pendidikan ..........................................
14
4. Implementasi Kebijakan Pendidikan ....................................................
16
B. Pengertian Sekolah Inklusi .....................................................................
20
1. Pendidikan Inklusi ................................................................................
20
2. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi .......................................
22
x
3. Konsep Pendidikan Inklusi ...................................................................
23
C. Kajian Anak Berkebutuhan Khusus .......................................................
24
1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus ...............................................
25
2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus ...............................................
27
D. Kajian Pengelolaan Asesmen .................................................................
30
1. Kajian tentang Pengelolaan ..................................................................
30
2. Kajian tentang Asesmen .......................................................................
30
3. Tujuan Asesmen ...................................................................................
37
4. Tindakan dan Strategi Pelaksanaan Asesmen ......................................
39
E. Penelitian yang Relevan .........................................................................
44
F. Kerangka Pikir ........................................................................................
48
G. Pertanyaan Penelitian .............................................................................
50
BAB III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ............................................................
51
B. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................
52
C. Subjek Penelitian ....................................................................................
53
D. Teknik Pengumpulan Data .....................................................................
55
E. Instrumen Penelitian ...............................................................................
57
F. Teknik Analisis Data ..............................................................................
61
G. Uji Keabsahan Data ...............................................................................
63
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A . Deskripsi Umum ................................................................................... 65 1. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Yogyakarta .......... 65 2. Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman .................................................. 74 3. Sekolah Dasar Negeri Brengosan I ..................................................... 75 B. Hasil Penelitian ...................................................................................... 84 1. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaharaga Prov. DIY ......................... 84 2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK di DISDIKPORA Prov. DIY ................... 132
xi
B. Pembahasan ............................................................................................ 136 1. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaharaga Prov. DIY ......................... 136 2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK di DISDIKPORA Prov. DIY ................... 160 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................................ 163 B. Saran ....................................................................................................... 164
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 166 LAMPIRAN ................................................................................................. 168
xii
DAFTAR TABEL
hal Tabel 1. Indikator Asesmen ......................................................................
43
Tabel 2. Realisasi waktu penelitian ...........................................................
53
Tabel 3. Kisi- kisi pedoman wawancara ...................................................
57
Tabel 4. Kisi- kisi pedoman observasi ......................................................
59
Tabel 5. Kisi- kisi pedoman dokumentasi ................................................
60
Tabel 6. Rekapitulasi data individu sekolah inklusi dan ABK .................
73
Tabel 7. Data kepegawaian .......................................................................
80
Tabel 8. Data ruangan ...............................................................................
81
Tabel 9. Alat peraga/ praktek penunjang ..................................................
81
Tabel 10. Daftar siswa selama 3 tahun ......................................................
83
Tabel 11. Data siswa ABK SD N Brengosan I Thn. 2016/2017 ..............
83
xiii
DAFTAR BAGAN
hal Bagan 1. Relasi Identifikasi dan Asesmen ................................................
31
Bagan 2. Program Pembelajaran Individual .............................................
42
Bagan 3. Kerangka Pikir ...........................................................................
49
Bagan 4. Struktur Organisasi ...................................................................
68
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
hal Lampiran 1. Pedoman observasi, dokumentasi, dan wawancara ..............
169
Lampiran 2. Contoh analisis data ..............................................................
183
Lampiran 3. Catatan lapangan ...................................................................
206
Lampiran 4. Foto dokumentasi .................................................................
212
Lampiran 5. Dokumen peserta didik ........................................................
217
Lampiran 6. Surat-surat keputusan ...........................................................
236
Lampiran 7. Surat ijin penelitian ..............................................................
246
xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap pelaksanaan kegiatan tidak akan lepas dari sebuah kebijakan baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya atau pendidikan. Kebijakan menjadi satu hal yang sangat penting dalam pendidikan, dikarenakan menyangkut arah pendidikan itu akan dibawa, kemajuan dan pendidikan yang bermutu, tujuan dari pendidikan serta kepentingan unsur didalamnya. Proses pembuatan kebijakan tidak akan lepas dari beberapa langkah dalam merumuskan kebijakan pendidikan yaitu formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Pada dasarnya kebijakan dapat diungkap sebagai langkah dalam melakukan ataupun bertindak sesuatu yang disengaja untuk mengatasi beberapa masalah yang ditemui (Hugh Heclo dalam Arif Rohman, 2009: 108). Kebijakan pendidikan sendiri merupakan bagian dari kebijakan publik yang didalamnya mengandung acuan atau aturan yang berkaitan dengan alokasi, penyerapan, dan persebaran sumber, juga pengaturan perilaku dalam dunia pendidikan (Arif Rohman, 2009: 108). Kebijakan pendidikan ini merupakan bagian kebijakan publik dalam dunia pendidikan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Begitu halnya dengan kebijakan atau program yang ada di DISDIKPORA
(Dinas
Pendidikan
Pemuda
dan
Olahraga)
Provinsi
Yogyakarta khususnya Seksi PLB (Pendidikan Luar Biasa) dalam usaha
1
peningkatan mutu pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Seksi Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Provinsi Yogyakarta merupakan sebuah lembaga pendidikan yang bertugas melaksanakan perencanaan, pengelolaan, monitoring, serta pengawasan seluruh kegiatan pembelajaran pendidikan luar biasa di Provinsi Yogyakarta. Seksi PLB ini bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan SLB (Sekolah Luar Biasa) yang ada di 5 (lima) kabupaten di Provinsi Yogyakarta. Seksi PLB tidak hanya bertanggung jawab pada Sekolah Luar Biasa, namun juga berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan di setiap Kabupaten terhadap keberlangsungan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi (SPPI). Hal tersebut dikarenakan persebaran sekolah inklusi di seluruh kabupaten yang terbilang banyak, sehingga butuh peran dari setiap Dinas Pendidikan setempat. Seperti halnya DISDIKPORA Kabupaten Sleman yang turut berperan dalam mengelola pendidikan inklusi di Kabupaten Sleman. Anak yang dikategorikan sebagai ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) sesuai dengan Permendiknas RI No.70 Tahun 2009 menimbang bahwa ”anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mengalami kelainanan fisik emosional, mental, sosial, dan/ atau bakat istimewa”. Sebagai manusia, ABK memiliki hak untuk tumbuh kembang ditengah keluarga, masyarakat, dan bangsa. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Diperkuat dengan UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 pasal 5 ayat 1 yang mengatakan “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
2
bermutu”. ABK memiliki hak untuk sekolah sama seperti saudara lainnya yang normal. Setiap ABK diperlukan layanan pendidikan khusus sesuai dengan keterbatasan pada dirinya. Tidak ada satu alasan bagi Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah umum (TK, SD, SMP, SMA, atau SMK) melarang ABK untuk masuk ke sekolah tersebut. Pendidikan
inklusi
menurut
Permendiknas
No.70
tahun
2009
didefinisikan sebagai ”sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang mempunyai keterbatasan fisik atau kelainan dan mempunyai kecerdasan maupun bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran didalam lingkungan pendidikan bersama
peserta
didik
pada
umumnya”.Sistem
layanan
pendidikan
disesuaikan dengan kebutuhan anak yang bersifat khusus. Penyesuain dalam hal adapatasi kurikulum, pembelajaran, sarana prasarana ataupun penilaian. Secara sederhana pendidikan inklusi ini untuk memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anak, menghargai keberagaman, tidak diskriminasi kepada setiap peserta didik. Suatu proses pendidikan atau pembelajaran tidak akan lepas dari peran serta guru, murid, kurikulum dan faktor pendukung lainnya. Berdasarkan hal tersebut, guru memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Tanpa adanya guru yang berkompeten dapat menimbulkan kegagalan dalam proses pembelajaran. Khususunya peran guru dalam proses pembelajaran di Sekolah inklusi, sehingga dalam menentukan program belajar dan bimbingan anak terlebih pada anak berkebutuhan khusus diperlukan teknik yang berbeda.
3
Didalam menghadapi anak berkebutuhan khsusus tidak serta merta dapat diamati secara gamblang, sehingga peran guru harus berperan aktif dalam melihat apa yang menjadi kendala siswa dalam belajar ataupun mengetahui kebutuhan khusus yang dibutuhkan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui proses identifikasi dan asesmen pada peserta didik ketika ada anak berkebutuhan khusus masuk ke sekolah. Identifikasi dan asesmen pada anak berkebutuhan khusus merupakan dua jenis kegiatan yang sangat penting dilakukan oleh seorang guru untuk memahami anak. Hal tersebut sebagai bagian usaha mengembangkan kemampuan yang dimiliki anak berkebutuhan khsusus secara dini. Identifikasi anak berkebutuhan khusus sesuai Permendiknas No.70 tahun 2009 sebagai “proses penjaringan, yang akan menghasilkan peserta didik yang berkelainan dan perlu mendapat layanan pendidikan”. Asesmen merupakan “penyaringan, menyusun informasi untuk bahan program pembelajaran siswa, dengan memahami kelebihan dan kekurangan siswa”. Dengan demikian identifikasi merupakan tahapan pertama sebelum dilakukan asesmen, dan proses asesmen hanya dapat dilakukan setelah ada identifikasi (McLoughlin dan Lewis dalam Budiyanto, 2014: 33). Keduanya merupakan satu rangkaian yang saling berkaitan. Pelaksanaan asesmen terhadap ABK di sekolah inklusi lebih tertuju pada peran guru dalam mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal sesuai kebutuhan yang dibutuhkan anak. Pelaksanaan asesmen harus dilakukan secara mendalam terhadap siswa disekolah inklusi yang telah diidentifikasi
4
sebagai anak berkebutuhan khusus. Dilanjutkan dengan memberikan penanganan secara khusus pada ABK. Berhasil atau tidaknya pembelajaran juga dipengaruhi oleh pemberian pelayanan
anak berkelainan melalui
asesmen ini. Jika melihat orang yang melakukannya, proses identifikasi dapat dilakukan oleh guru, ahli yang profesioanal, dapat juga dilakukan oleh orang terdekat, orang tua ataupun keluarga. Hal tersebut dikarenakan proses identifikasi lebih menjaring kekurangan atau kelainan yang memang dapat diamati dan diukur sesuai kriteria yang berlaku, seperti ciri ketunaan, faktor penyebab, data anak dan sebagainya. Disisi lain proses asesmen yang ideal merupakan suatu proses yang harus dilakukan mendalam, berkesinambungan, melibatkan orang terdekat dan dilakukan oleh pakar atau tenaga ahli yang sesuai bidang kemampuan yang dimiliki seperti, psikolog, terapis ataupun sosiolog. Hal ini dikarenakan dalam memahami kekhususan anak, ada anak-anak yang dapat dikenali dengan mudah sebagai anak berkebutuhan khusus, namun ada juga yang membutuhkan pendekatan dan peralatan khusus untuk menentukan, penanganan yang akan diberikan. Anak-anak yang mengalami kelainan fisik misalnya, dapat dikenali melalui pengamatan guru saja, sedangkan untuk anak-anak yang mengalami kelainan dalam segi emosional dan intelektual memerlukan alat khusus, pemahaman lebih serta penelusuran mendalam untuk dapat menentukan penangan serta pelayanan bagi anak itu. Selain itu pemaknaan hasil asesmen yang diperoleh tidak hanya berakhir di sekolah
5
dalam penyusunan RPP dan pelayanan. Hasil tersebut dapat menjadi modal orang tua dalam membimbing anaknya dirumah. Berdasarkan proses asesmen inilah muncul keselarasan antara pemberian pembelajaran disekolah dan dirumah, sehingga ABK memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan, dan berkesinambungan sampai anak itu mampu mengembangkan diri Pada kenyataanya dilapangan banyak guru sekolah inklusi yang sukar untuk mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus, membuat rencana pembelajaran, atau memberikan pelayanan yang sesuai. Selain itu sulitnya guru dalam mengajar atau mengarahkan anak berkebutuhan khusus didalam kelas juga kerap ditemui. Hal ini dapat dipicu karena tidak semua guru di sekolah inklusi berlatar belakang Pendidikan Luar Biasa sehingga masih minim pengetahuan terkait penanganan anak berkebutuhan khusus. Tidak seimbangnya pula guru pendamping khusus dengan sekolah inklusi dan alokasi waktu yang diberikan. Selain itu adanya hubungan beberapa orang tua ABK dan sekolah yang tidak selaras dengan yang diharapkan, seperti beberapa orang tua yang kurang peduli dengan anaknya. Turut memberi gambaran bahwa sekolahlah
yang bertanggung jawab penuh,
dan
pelayananannya hanya sebatas di sekolah saja. Perbedaan penilaian dan pemahaman tersebut membuat pemberian pembelajaran yang dilakukan oleh sekolah menjadi kurang tepat sasaran dan pemenuhan kebutuhan terhadap anak didiknya menjadi terhambat. Hal tersebut membuat guru sulit untuk mengetahui perkembangan anak dan cara guru dalam memberikan pelayanan kebutuhan yang sesuai bagi anak.
6
Dampaknya justru menghambat bakat, minat, serta intelektual anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran. Implementasi kebijakan seharusnya mampu mengatasi permasalahan yang ada untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Sebuah proses penerapan kebijakan, harus ada bentuk pengawasan dan tindak lanjutnya. Apakah kebijakan tersebut mampu mengatasi permasalahan yang ada atau tidak. Berdasarkan permasalahan diatas dibentuklah kebijakan pendidikan dalam pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus di DISDIKPORA DIY. Kebijakan pengelolaan asesmen
seharusnya ada sinergi antara Dinas
Pendidikan sebagai pemegang kebijakan, pihak-pihak pendukung dan sekolah sebagai sasaran kebijakan. Dinas Pendidikan seharusnya menindaklanjuti kebijakan yang diterapkan, tidak hanya sebatas menerapkan. Sehingga penerapannya tidak hanya sebatas sampai di lembaga
saja, namun juga
elemen masyarakat. SD Negeri Brengosan I merupakan salah satu satuan pendidikan Dinas Pendidikan Provinsi Yogyakarta berbasis inklusi yang melaksanakan kebijakan pengelolaan asesmen tersebut. Sekolah ini berada di dusun Kayunan, Desa Donoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Tercatat pada tahun 2015/2016 ini ada sekitar 20 anak yang berkelainan (ABK) di SD N Brengosan I. Kenyataannya, sekolah masih mengalami kendala dalam melakukan asesmen dan pelayanan khusus. Kendala tersebut muncul karena faktor intern disekolah (SDM) dan ekstern (seperti orang tua). Oleh karena itu penelitian ini penting diteliti untuk mengetahui dan mendeskripsikan implementasi dari
7
kebijakan pengelolaan asesmen ABK yang dilaksanakan oleh DISDIKPORA DIY dan ditindaklanjuti dengan mengetahui penerapannya di sekolah inklusi tersebut. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis lampirkan dapat diidentifikasi beberapa masalah diantaranya: 1.
Anak Berkebutuhan khusus kurang mendapatkan pelayanan dan penanganan yang sesuai kebutuhan anak.
2.
Tidak semua guru berlatarbelakang Pendidikan Luar Biasa
3.
Guru sulit mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus
4.
Pemenuhan kebutuhan terhadap anak kurang tepat sasaran
5.
Terbatasnya guru pendamping khusus di sekolah inklusi.
6.
Beberapa orang tua anak berkebutuhan khusus yang kurang peduli.
7.
Implementasi kebijakan asesmen di sekolah belum optimal.
C. Batasan Penelitian Berdasarkan beberapa identifikasi masalah pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus yang luas, maka peneliti disini lebih berfokus pada masalah
implementasi kebijakan pengelolaan assesmen anak berkebutuhan
khusus di DISDIKPORA DIY.
8
D. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari penulisan penelitian skripsi ini adalah: 1. Bagaimana proses dan hasil
implementasi kebijakan pengelolaan
asesmen anak berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY? 2. Faktor
Pendukung
dan
penghambat
implementasi
kebijakan
pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus DISDIKPORA DIY? E.Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah
untuk mengetahui dan
mendeskripsikan: 1. Proses dan hasil implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus di DISDIKPORA DIY meliputi taahapan proses implementasi, program hasil implementasi kebijakan, pelaksanaan asesmen di sekolah, peran sekolah, guru kelas, dan guru pendamping khusus, proses belajar mengajar, evaluasi dan tindak lanjut. 2. Faktor yang menjadi pendukung dan penghambat proses implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus di DISDIKPORA DIY. F. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
9
1. Manfaat Teoritis a. Memberikan gambaran pengetahuan
bagi mahasiswa serta untuk
menambah perbendaharaan kepustakaan bagi kampus. b. Memberikan gambaran dan wawasan bagi penulis terkait masalah yang menjadi fokus penelitian. c. Menjadikan salah satu penggambaran tentang kebijakan pengelolaan asesmen
anak
berkebutuhan
khsusus
di
sekolah
inklusi
yang
dilaksanakan oleh Dinas terkait. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi: a. Kepala Sie. Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Provinsi Yogyakarta sebagai bahan masukan dalam pengambilan, pelaksanaan, pengembangan, permasalahan serta evaluasi dalam pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kepala sekolah dalam penentuan kebijakan pelaksanaaan dan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus, serta pelayanan pendidikan khusus. c. Guru (guru kelas/ dan guru pendamping khusus) dapat menjadi bahan masukan dalam meningkatkan kompetensi guru dalam pengelolaan asesmen, serta pemberian pelayanan pendidikan khusus bagi ABK. d. Mahasiswa tentang kajian yang telah dibuat ini, untuk dapat memperoleh
wawasan dan manfaat yang berguna di kemudian hari.
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Implementasi Kebijakan Pendidikan 1. Rumusan Implementasi Pada dasarnya dalam merumuskan kebijakan bertujuan untuk mengatasi suatu permasalahan atau hambatan yang ada.
Pencapaian
tujuan tersebut dapat dilaksanakan melalui proses implementasi kebijakan yang tepat sasaran. Webster (Arif Rohman , 2012: 105) menjelaskan implementasi sebagai ; “To provide the means for carrying out (mempersiapkan sarana untuk melaksanaan sesuatu); to give practical effect to ( mengakibatkan dampak/akibat terhadap sesuatu)”. Proses implementasi seperti yang dijelaskan Webster tersebut bahwasanya implementasi seperti sebuah tindakan dalam melaksanakan sesuatu yang dapat memunculkan dampak dan akibat. Dampak tersebut dapat berupa peraturan, kebijakan yang dirumuskan pemerintah atau lembaga untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pandangan lain seperti diungkapkan Van Meter dan Van Horn dalam Arif Rohman (2009: 134) bahwa implementasi adalah suatu tindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah atau swasta sebagai pemegang kebijakan yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Oleh karena itu, tindakan implementasi dilakukan oleh pemegang kebijakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
11
M Grindle dalam Arif Rohman (2009: 134) juga mendefinisikan implementasi sebagai berikut: “Implementasi mencakup tugas dalam membentuk suatu ikatan yang memungkinkan arah suatu kebijakan dapat direalisasikan sebagai hasil dari aktivitas pemerintah”. Jadi menurut pendapat tersebut implementasi merupakan keseluruhan hubungan yang berpengaruh dalam merealisasikan kebijakan yang dirumuskan pemerintah. Seorang pakar bernama Charles O, Jones (Arif Rohman, 2009: 135) mendasarkan diri pada konsep aktifasi fungsional, untuk mengoperasikan program. Tiga pilar tersebut adalah : a. Pengorganisasian, dengan cara pembentukan atau penataan kembali sumberdaya, unit, atau metode guna menjalankan program tersebut. b. Interpretasi, sebagai aktifitas dalam menafsirkan agar suatu program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima dan dilakukan. c. Aplikasi, meliputi perlengkapan rutin bagi pelayanan, pembayaran dan lain sebagainya yang disesuaikan dengan tujuan atau keperluan program. Lineberry dalam Sudiyono (2007: 80) menyatakan bahwa implementasi mencakup beberapa tahap- tahap, yaitu: a. Membuat dan menyusun staf suatu agen baru guna melaksanakan sebuah kebijakan baru. b. Menerjemahkan tujuan legislatif dan secara sungguh – sungguh memasukkannya dalam aturan pelaksanaan, mengembangkan panduan atau kerangka kerja bagi pelaksana kebijakan. c. Melakukan koordinasi terkait sumberdaya dan pembiayaan untuk kelompok sasaran, pengembangan pembagian tanggung jawab antar agen. d. Mengalokasikan sumber daya untuk mendapatkan dampak kebijakan. Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas dapat ditegaskan bahwa implementasi merupakan sebuah proses penerapan suatu kebijakan oleh
12
pemerintah atau organisasi tertentu untuk direalisasikan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 2. Pengertian Kebijakan Kebijakan Secara etimologi, istilah kebijakan berasal dari Bahasa Inggris yaitu “policy”. Istilah kebijakan kadang disamakan dengan makna kebijaksanaan. Pada dasarnya kebijakan dapat diungkapkan sebagai langkah dalam melakukan ataupun bertindak sesuatu yang disengaja untuk mengatasi beberapa masalah yang ditemui (Hugh Heclo dalam Arif Rohman, 2009: 108). Jadi menurut pendapat tersebut keijakan diartikan sebagai tindakan untuk mengatasi suatu permasalahan, baik disengaja ataupun tidak. James E. Anderson mengatakan jika suatu kebijakan merupakan tindakan yang
mempunyai tujuan, diikuti oleh sekelompok orang,
organisasi atau individu guna menyelesaikan permasalahan yang ditemui (Sudiyono, 2007: 4). Jadi Sebuah kebijakan dibuat untuk berbagai tujuan atau menyelesaikan masalah. Syafaruddin (2008: 75) mengatakan jika sebuah kebijakan atau policy yang menyangkut ide tata kelola, pengaturan didalam organisasi disebut policy berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi diterima pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah dibuat. Dengan demikian kebijakan merupakan ide, atau aturan yang dibuat organisasi atau pemerintah agar diikuti setiap individu untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
13
Perumusan kebijakan merupakan hal yang penting dan sangat berpengaruh kedepannya, para pemegang kuasa dalam membuat kebijakan tentu didasarkan pada aspek yang dihadapi, sarana yang dibutuhkan, serta pengaruh atau dampak yang dapat timbul. Setiap jenis perumusan kebijakan berkaitan dengan berbagai aspek seperti sudut pandang (perspective),
menyangkut
hakikat
(substance),
kajian
filosofi
(metapolicy), dan perilaku (behaviour) tersembunyi atau nyata dari pembuat kebijakan (Hodgkinson dalam Arif Rohman, 2009: 113). Terdapat dua jenis pendekatan dalam merumuskan sebuah kebijakan menurut Arif Rohman (2009: 114) yaitu: a.
b.
Social Demand Approach Social demand approach adalah suatu pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan yang berlandaskan pada aspek tuntutan, aspirasi dan apa yang didesakan oleh masyarakat kepada pemerintah. Pada dasarnya pendekatan ini tidak hanya menanggapi respon dari masyarakat namun juga tuntutan masyarakat terkait pelaksanaan pendidikan. Man-Power Approach Pendekatan man-power ini berfokus pada perumusan keijakan yang didasarkan pada pertimbangan –pertimbangan yang dibutuhkan dalam menciptakan ketersediaan sumberdaya manusia yang cukup di masayarakat. Pendekatan ini lebih memunculkan seorang pemimpin atau aktor kebijakan yang memiliki pandangan yang lebih jauh kedepan, tidak menunggu adanya tuntutan dari masyarakat. Jadi dua pendekatan kebijakan tersebut didasarkan pada dorongan
atau respon dari masyarakat, serta pendekatan yang berlandaskan pada pertimbangan kebutuhan di masyarakat. Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut dapat ditegaskan jika kebijakan adalah serangkaian langkah atau
14
tindakan yang dibuat oleh pemerintah atau organisasi untuk diterapkan dan diikuti, yang bertujuan untuk mengatasi suatu permasalahan yang ada. 3. Teori Implementasi Kebijakan Pendidikan Terdapat beberapa macam teori yang menjabarkan tentang implementasi kebijakan pendidikan yang digagas oleh para ahli. Diantaranya terdapat tiga teori yang paling menonjol. Menurut Arif Rohman (2009: 136-140) ketiga teori tersebut dikembangkan oleh: a. Brian W. Hoogwood dan Lewis A. Gunn Dua
ahli
ini
berpandangan
bahwa
dalam
mengimplementasikan suatu kebijakan yang sempurna (perfect implementation) diperlukan syarat khusus. Syarat tersebut diantaranya kondisi eksternal yang dihadapi instansi pelaksana tidak menimbulkan dampak atau kendala serius. Harus tersedia waktu dan sumber yang cukup bagi pelaksana program. Sumber –sumber yang dibutuhkan harus tersedia dan terpadu. Kebijakan yang akan diimplementasikan harus berdasar pada hubungan kausalitas yang handal. Hubungan kausalitas tersebut harus bersifat langsung dan minim rantai penghubungnya. b. Van Metter dan Van Horn Van Metter dan Van Horn menngembangkan sebuah teori yang disebut Model Proses Implementasi Kebijakan (A Model of the Policy Implementation Process). Kedua pakar tersebut kemudian membuat dua tipologi kebijakan. Pertama, yaitu
15
jumlah setiap perubahan yang akan dihasilkan. Kedua, jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan terkait tujuan diantara pihak – pihak yang turut serta dalam proses implementasi. Berdasar pada dua indikator tersebut, suatu proses implementasi kebijakan akan berhasil jika pada sisi segi perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, dan pada segi yang lain terdapat kesepakatan terhadap tujuan dari para pelaksana dalam mengoperasikan program yang cukup tinggi. c. Daniel Mazmanian dan Paul. A Sabatier Teori yang dikembangkan kedua ahli ini dikenal sebagai a frame work for implementation anlysis atau Kerangka Analisis Implementasi (KAI).
Peran dari teori KAI ini menunjukkan
bahwa suatu kebijakan pendidikan adalah mengidentifikasi variabel – variabel yang dapat mempengaruhi terwujud tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tercapainya tujuan formal implementasi diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu; (a) tingkat kesulitan yang akan digarap atau dikendalikan, (b) kemampuan dari keputusan kebijakan untuk menyusun struktur yang tepat dalam proses implementasi, (c) pengaruh langsung variabel politik terhadap keseimbangan dukungan terkait tujuan yang terkandung dalam keputusan kebijakan tersebut.
16
4. Implementasi Kebijakan Pendidikan Proses implementasi kebijakan merupakan proses yang sangat penting dan penuh resiko. Apabila sebuah kebijakan sudah dibuat namun tidak ada tindak lanjut atas penerapan kebijakan tersebut hanya sia –sia, hanya menjadi wacana. Peran dari setiap elemen sangat dibutuhkan agar suatu kebijakan dan terealisasaikan. Terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi sumber keberhasilan atau kegagalan dari proses implementasi kebijakan, yaitu; (a) faktor yang terletak pada rumusan kebijakan, (b) faktor yang terletak pada personil pelaksana, dan (c) faktor pada sistem organisasi pelaksana (Arif Rohman, 2009: 147). Beberapa faktor tersebut berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan dalam penerapan sebuah kebijakan. Pendidikan merupakan suatu proses pengembangan diri yang telah dimulai sejak manusia tersebut dilahirkan hingga mereka meninggal. Pendidikan
akan
menuntun
seorang
anak
untuk
tumbuh
dan
mengembangkan potensinya hingga anak menjadi dewasa. Pendidikan yang mampu memberikan bekal pengalaman bagi siswa pada masa yang akan datang. Proses pendidikan di keluarga sebagai bagian awal dari pembelajaran anak sudah berkembang seiring jaman dengan munculnya sekolah- sekolah. Saat ini proses pendidikan sudah banyak dilakukan di berbagai lingkungan baik itu formal, informal, atau non formal. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pendidikan tersebut dibutuhkan aturan yang akan mengelola proses pendidikan yang disebut sebagai
17
kebijakan pendidikan. Kebijakan pendidikan sebagai keseluruhan tatanan proses dan hasil perumusan langkah strategis pendidikan
yang
digambarkan melalui visi, misi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk kurun waktu tertentu (H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, 2008: 140). Kebijakan pendidikan menurut Arif Rohman (2009: 86) adalah “ Kebijakan pendidikan sebagai bagian dari kebijakan publik yang secara khusus mengatur penyerapan sumber, alokasi, perilaku dan distribusi sumber dalam pendidikan”. Jadi kebijakan pendidikan dapat dimaknai sebagai aturan tentang proses pendayagunaan berbagai sumber, alokasi, dan perilaku dalam pendidikan. Melalui kebijakan pendidikan tersebut maka tujuan dari lembaga pendidikan dapat tercapai. Implementasi kebijakan pendidikan sebagai proses yang tidak hanya menyangkut lembaga administratif yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan program serta memunculkan kepatuhan kepada kelompok sasaran, melainkan faktor hukum, politik, sosial, ekonomi yang secara langsung maupun tidak dapat berpengaruh pada perilaku pihak yang ada dalam program (Arif Rohman, 2009: 135). Tidak jarang munculnya kebijakan juga dipicu oleh adanya masalah yang terjadi antara kenyataan dan harapan yang berbanding terbalik. Seperti halnya dalam pemberian pelayanan pendidikan bagi setiap anak untuk bersekolah, namun memunculkan pandangan diskrimanasi pada
anak
berkebutuhan
khusus.
Harapan
untuk
meningkatkan
profesionalisme guru di sekolah inklusi yang terbentur pada terbatasnya
18
pengetahuan guru terhadap penanganan anak berkebutuhan khusus. Beberapa hal tersebutlah yang menjadi salah satu faktor adanya kebijakan pendidikan. Masalah yang dihadapi oleh suatu daerah atau bangsa tentunya berbeda- beda. Suryati Sidharto dalam Arif Rohman (2009: 87) mengatakan jika Indonseia sendiri mempunyai lima pokok masalah yakni a) b) c) d) e)
Relevansi pendidikan Daya tampung pendidikan Pemerataan pendidikan Kualitas pendidikan Efisiensi dan efektifitas pendidikan
Kelima pokok masalah tersebutlah yang sering dihadapi oleh Indonesia dan perlu untuk segera diatasi, salah satu nya melalui perumusan kebijakan pendidikan. Kebijakan tersebut akan menjadi pedoman yang dapat bersifat sederhana, rumit, khusus atau umum dan dirumuskan secara proses politik terkait satu arah tindakan, rencana, atau program tertentu dalam menyelenggarakan pendidikan (Arif Rohman, 2009: 86). Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kebijakan pendidikan dibuat dan dirancang untuk mengatasi suatu masalah dalam dunia pendidikan, selain itu sebuah kebijakan hanya akan menjadi wacana jika tidak dimplementasikan dalam suatu program untuk mengatasi masalah dan mencapai tujuan yang diharapkan.
19
B. Pengertian Sekolah Inklusi 1. Pendidikan Inklusi Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pendidikan inklusi ini berbeda dengan pendidikan luar biasa. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, seluruh kebutuhan yang dibutuhkan anak diupayakan agar dapat terpenuhi dengan baik melalui penyesuaian dalam pembelajaran yang meliputi guru, sarana dan prasarana, sistem penilaian, bahan ajar, kurikulum yang disesuaikan dari anak normal ke anak yang memilki kebutuhan khusus tersebut. Sehingga dalam pendidikan inklusi bentuk penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan dengan menggabungkan anak yang memiliki keterbatasan dengan anak yang normal pada umumnaya untuk saling belajar. Pendidikan inklusi ini menjadi cerminan pendidikan yang tidak membedakan karakter setiap anak (diskriminasi anak) khususnya dengan keterbatasan fisik seorang anak. Berdasarkan Permendiknas No.70 pasal 1 tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, disebutkan bahwa pendidikan inklusi adalah : “Sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama dengan peserta didik pada umumnya”. Jadi berdasarkan pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem penyelenggara pendidikan umum yang
20
menerima setiap anak, tanpa memandang latar belakang. Hal tersebut diperkuat dengan Peraturan Gubernur DIY No.21 pasal 1 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi adalah: “Sistem pendidikan yang memberikan peran kepada semua peserta didik dalam suatu iklim dan proses pembelajaran bersama dalam satu lingkungan tanpa membedakan latar belakang sosial, politik, ekonomi, etnik kepercayaan, kondisi fisik/ mental, sehingga sekolah merupakan miniatur masyarakat”. Oleh karena itu sistem pendidikan inklusi memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anak tanpa kecuali, untuk belajar bersama di sekolah pada umumnya. Konsep pendidikan inklusi ini menjadi bagian dalam menghilangkan pandangan diskrimnasi terhadap anak berkebutuhan khusus, serta mampu mengubah sikap masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi dapat disebut pula sebagai sebuah sistem pelayanan pendidikan yang mengharuskan setiap anak yang mempunyai keterbatasan untuk dapat bersekolah di lingkungan terdekat mereka, dikelas reguler (SD, SMP, SMA, dan SMK) bersama siswa lainnya (O’Neil dalam Muhammad Takdir Illahi, 2013: 27) Staub dan Peck dalam Budiyanto (2014: 4) menyebutkan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas untuk mengikuti pembelajaran dalam lingkungan pendidikan yang sama. Jadi setiap anak akan mempunyai hak yang sama dalam mengikuti proses pembelajaran sekolah yang sama. Tarmansayah (2007: 84) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah hak asai manusia, dimana pelayananan pendidikan harus diterima
21
oleh setiap anak tanpa memandang latar belakang anak seperti kondisi fisik, intelektual, sosial- emosional, linguistik, mencakup anak berkelainan dan bakat istimewa, kelompok minoritas atau anak dari daerah yang kurang beruntung. Oleh karena itu, setiap sekolah harus menerima setiap anak tanpa memandang latar belakang anak, sehingga pelayanan pendidikan dapat diterima setiap anak. Berdasarkan beberapa pandangan pendidikan inklusi tersebut dapat ditegaskan bahwa pendidikan inklusi merupakan bentuk pelayanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk dapat memperoleh pendidikan layak, yang ditempatkan pada kelas reguler dengan menggabungkan antara anak berkebutuhan khusus dan anak normal, dengan penyesuaian- penyesuaian yang dibutuhkan. 2. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Berdasarkan Permendiknas No.70 tahun 2009 dijelaskan bahwa dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi berlandaskan pada beberapa aspek diantaranya, yaitu: a) prinsip pemerataan dan peningkatan mutu; b) prinsip kebutuhan individual; c) prinsip kebermaknaan; d) prinsip keberlanjutan; e) prinsip keterlibatan. Secara lebih lanjut dapat dikaji sebagai berikut: a.
Prinsip Pemerataan dan Peningkatan Mutu Pemerintah mempunyai kuasa dan tanggung jawab didalam merumuskan kebijakan kaitannya dengan usaha mengatasi masalah pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu. Pendidikan inklusi merupakan strategi yang dilakukan pemerintah dengan memberikan
22
kesempatan kepada setiap anak untuk bersekolah menggunakan metode pengajaran yang bervariasi. b.
Prinsip Kebutuhan Individual Potensi serta kebutuhan setiap anak berbeda, dan pendidikan harus menyesuaikan dengan keadaan anak.
c.
Prinsip kebermaknaan Pendidikan inklusi sebagai pendidikan dengan lingkungan yang ramah anak, anti- diskriminasi, menghargai perbedaan.
d.
Prinsip Keberlanjutan Pelaksanaan pendidikan inklusi secara berkesinambungan pada setiap jenjang pendidikan.
e.
Prinsip Keterlibatan Pelaksanaan
pendidikan
inklusi
melibatkan
semua
unsur
pendidikan terkait. Berdasarkan penjelasan aspek- aspek pendidikan inklusi yang ada dalam Permendiknas RI No. 70 tahun 2009 tersebut dapat dimaknai sebagai prinsip-prinsip dasar dalam menciptakan lingkungan pendidikan inklusi yang dapat mengembangkan potensi, memberikan bekal pada anak, dalam upaya memeratakan pendidikan. 3. Konsep Pendidikan Inklusi Konsep pendidikan inklusi seperti yang dikemukakan oleh Moh. Takdir Ilahi (2013: 117-132) yakni: a) konsep anak dan peran orang tua; b) konsep sistem pendidikan dan sekolah; c) konsep keberagaman dan diskriminasi; d)
23
konsep memajukan inklusi; e) konsep sumber daya manusia. Lebih lanjut dapat dikaji sebagai berikut: a. Konsep anak dan peran orang tua, konsep anak ini lebih identik dengan dunia permainan, peran orang tua untuk mendidik dan membimbing perilaku anak hingga terjun di masyarakat. b. Konsep Sistem Pendidikan dan sekolah, peran lembaga sangat menunjang terhadap pengolahan sistem atau cara bergaul dengan orang lain. Sekolah inilah yang diharapkan dapat memberi skill atau bekal untuk hidup dimasa yang akan datang. c. Konsep keberagaman dan diskriminasi, konsep ini mencerminkan sikap saling menghormati satu sama lain, juga sebagai bentuk penghargaan terhadap segala perbedaan dalam setiap pribadi anak, baik normal atau cacat. d. Konsep memajukan inklusi, berkaitan bagaimana setiap unsur masyarakat secara bersama memajukan sekolah inklusi demi ABK. e. Konsep sumber daya manusia, konsep ini berkaitan dengan sumber daya manusia yang berperan dalam setiap kegiatan pelaksanaan kegiatan belajar anak didik. Sumber daya untuk mengoptimalkan potensi ABK. Dengan demikian konsep pendidikan inklusi menurut Tarmanysah tersebut dapat dimaknai bahwa pendidikan inklusi harus berpegang pada kelima konsep tersebut agar pembelajaran dapat berjalan sesuai tujuan. Hal tersebut diperkuat dengan konsep pendidikan inklusi yang
24
dikemukakan oleh Sunaryo (2009:4) yakni konsep sistem pendidikan dan sekolah diantaranya: a) Pendidikan yang lebih luas dibandingkan pendidikan formal umumnya; b) lingkungan pendidikan yang ramah anak; d) sistem yang bersifat responsif; e) perbaikan kualitas sekolah; f) pendekatan yang menyeluruh serta bekerja sama dengan mitra kerja. Jadi pendidikan inklusi juga melibatkan peran serta dari berbagai pihak, demi terwujudnya lingkungan inklusi yang optimal. Berdasarkan beberapa pandangan konsep pendidikan inklusi tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan inklusi sebagai lingkungan pembelajaran yang dekat dengan anak, jauh dari diskriminasi dan menjunjung keberagaman antar sesama. C. Kajian tentang Anak Berkebutuhan Khusus 1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebtuhan khusus secara sederhana sebagai anak yang mengalami kelainan dan membutuhkan pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak, berbeda dengan anak normal pada umumnya. Berdasarkan Permendiknas No.70 Tahun 2009 menyebutkan jika anak berkebutuhan khusus adalah: “ Mereka peserta didik yang mempunyai kelainanan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang membutuhkan pelayanan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan dan hak asasinya”. Jadi ABK adalah peserta didik yang memiliki kelainan dalam hal psikis, fisik, atau tingkat kecerdasaran anak, sehingga membutuhkan pelayanan yang menunjang kebutuhan anak tersebut. Mohammad Takdir
25
Illahi (2013: 137) mengatakan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki kecacatan ataupun kebutuhan khusus sementara atau permanen dan memerlukan pelayanan pendidikan yang intens. Sehingga anak tersebut membutuhkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu tidak semua kelainan yang ada pada ABK bersifat tetap, namun ada pula yang dapat disembuhkan melalui pelayanan pendidikan berupa terapi, sedangkan ABK tetap dapat melalui pengembangan potensi. Anak berkebutuhan khusus menurut Lynch dalam Lay Kekeh Marthan (2007: 33) semua anak yang mengalami gangguan fisik, mental, ataua emosi dari gangguan tersebut sehingga mereka membutuhkan pendidikan khusus beserta guru dan lembaga khusus baik permanen atau sementara. Jadi, anak berkebutuhan khusus membutuhkan kebutuhan dan pelayanan yang bersifat khusus untuk menunjang kemampuan anak. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat ditegaskan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak- anak yang mengalami kelainan baik fisik, emosional, sosial yang membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus menyesuaikan kebutuhan karakter anak. Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak bagi mereka, begitu pula dengan anak berkebutuhan khusus. Mereka mempunyai hak yang sama dengan anak normal lainya untuk dapat mengenyam pendidikan. Pendidikan yang mampu mengembangkan potensi anak.
26
2.
Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus dapat digolongkan dalam dua kategori, yakni anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara serta anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen (Moh. Takdir, 2013: 139). Perbedaan kelompok tersebut dapat dipicu oleh beberapa faktor yang berasal dari pengaruh luar (eksternal) dan pengaruh dari dalam (internal) diri anak (Budiyanto, 2014: 37). Anak berkebutuhan khusus sementara cenderung dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti pengaruh tindak kekerasaan, penyalahgunaan narkoba, kerusakan lingkungan, ekonomi,
dan
sebagainya
sehingga
mengalami
gangguan
dalam
kesehariaannya. Disisi lain anak berkebutuhan khusus permanen kebanyakan berasal dari faktor dalam diri anak seperti kelainana fisik, emosi yang sangat sulit untuk disembuhkan cenderung menetap. Perbedaan tersebut menjelaskan jika dalam penanganan anak berkebutuhan khusus tersebut juga berbeda, menyesuaikan kebutuhan anak.
Jika
pada
anak
berkebutuhan
khusus
sementara
mereka
membutuhkan pelayanan khusus seperti terapi atau pelatihan yang bertujuan untuk proses penyembuhan anak menjadi seperti semula. Sedangkan pada anak yang mengalami kelaianan permanen, penanganan lebih pada pengembangan potensi, ataupun meminimalisir kekurangan anak dengan bakatnya. Penanganan tersebut membutuhkan proses identifikasi dan asesmen agar penanganan dapat sesuai dengan karakter atau klasifikasi anak.
27
Tarmansyah (2012: 82) menjabarkan konsep anak berkebutuhan khusus berdasarkan jenis ketunaannya seperti: a) anak dengan gangguan penglihatan; b) anak dengan gangguan pendengaran; c) anak ganagguan kecerdasan; d) anak dengan intelegensi diatas rata-rata; e) anak dengan gangguan gerak; f) anak dengan gangguan perilaku; g) autisme; h) hiperaktif, dan i) anak berkesulitan belajar spesifik. Lebih lanjut dapat dikaji sebagai berikut: a). Anak dengan gangguan penglihatan, -
Anak low vision (menggunakan perabaan, mata bergoyang terus, tidak dapat mengikuti garis lurus)...
-
Anak tunanetra total.
b). Gangguan pendengaran dan bicara (tunarungu wicara). -
Anak kurang dengar (hard of hearing), anak sering memiringkan kepala, tidak ada reaksi terhadap bunyi disekitarnya, sering menggunakan isyarat, kurang tanggap dalam berkomunikasi...
-
Anak tuli atau tidak dapat mendengar (deaf).
c). Anak gangguan kecerdasan (intelektual) di bawah rata-rata (tunagrahita). -
Anak tunagrahita ringan ( IQ 50 - 70).Kriteria anak ini seperti dua kali anak tidak naik kelas, tidak mampu berpikir abstrak, cenderung acuh terhadap lingkungan, sulit berinteraksi sosial.
28
-
Anak tunagrahita sedang (IQ 25 - 49). Anak hanya mampu membaca kalimat tunggal, sulit berhitung, sulit beradaptasi dengan lingkungan baru, kurang mampu mengurus diri...
-
Anak tunagrahita berat (IQ 25 – ke bawah). Anak hanya mampu membaca satu kata, tidak dapat melakukan kontak sosial, tidak mampu mengurus diri, banyak bergantung pada bantuan orang lain...
d). Anak dengan kemampuan intelegensi di atas rata-rata. -
Giffted dan genius, yaitu anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata...
e). Anak dengan gangguan anggota gerak (tunadaksa). -
Anak layuh anggota gerak tubuh (polio). Anak memiliki anggota gerak yang kaku, lemah, lumpuh dan layu...
-
Anak dengan gangguan fungsi syaraf otak (cerebral palcy). Gerak yang ditampilkan cenderung kaku dan tremor.
f) Anak dengan gangguan perilaku dan emosi (tunalaras). Anak cenderung emosional, menentang otoritas, dan agresif. g) Anak autisisme, memiliki kecenderungan untuk sulit dalam mengenal dan mersepon emosi dan isyarat sosial, ekspresi emosi yang kaku, perilaku yang meledak – ledak... h).Anak
Hiperaktif
ADHD
(Attention
Disorders), i) Anak mengalami kesulitan belajar spesifik
29
Deficit
Hyperactivity
-
Gangguan belajar membaca (disleksia)...
-
Gangguan belajar menulis (disgrafia)...
-
Gangguan belajar berhitung (diskalkula)...
D. Kajian Tentang Pengelolaan Asesmen 1. Kajian tentang Pengelolaan Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 534), kata pengelolaan berasal dari kata “kelola”. Mendapat imbuhan pe- dan an sehingga menjadi pengelolaan. Pengelolaan sebagai proses, cara, perbuatan mengelola atau proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakan tenaga orang lain, dan atau proses yang membantu perumusanan kebijakan dan tujuan organisasi. Kata pengelolaan menurut Tatang M. Amirin (2011: 7) dapat diartikan sebagai : “manajemen mengandung dua substansi, yaitu sebagai proses atau kegiatan memanajeman dan orang yang melakukan manajemen menjadi manajer. Manajeman bukan sekedar menyelenggarakan atau melaksanakan dengan baik, dengan ditata atau diatur. Penataan dan pengaturan itulah yang kemudian disebut pengelolaan”. Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat ditegaskan bahwa pengelolaan dapat diartikan sebagai manajemen, yang mempunyai makna sebagai suatu rangkaian pekerjaan atau usaha yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk melakukan serangkaian kerja dengan lebih tertata dan teratur dalam mencapai tujan tertentu. 2. Kajian tentang Asesmen Kata
assessment merupakan istilah asing berbahasa Inggris yang
artinya penilaian. Pada akhir suatu program pendidikan dan pengajaran, pada umumnya diadakan assessment atau penilaian, namun dalam kaitannya
30
dengan pendidikan inklusi makna asesmen merupakan satu rangkaian kegiatan yang diawali dengan identifikasi (penjaringan) dilanjutkan dengan proses asesmen (penyaringan). Proses asesmen tidak dapat dilakukan jika kegiatan identifkasi belum dilakukan. Kedua proses tersebut dilaksanakan saat anak yang berkelainan akan mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Desain relasi identifikasi dan asesmen seperti yang dikemukakan Budiyanto (dalam Modul Training of Trainer, 2009: 27). Identifikasi
Diperoleh Data Anak Berkebutuhan Khusus Asesmen
Asesmen Akademik
Asesmen Non Akademik
Data Kebutuhan khusus sesuai kelainan anak
Data 1. Kecerdasan, potensi, bakat, emosi, komunikasi 2. Kondisi Kesiapan Pra Akademik
Data Kemampuan anak di bidang akademik (kelebihan dan kekurangan
Pedoman Penyusunan rencana pembelajaran
Pedoman Penyusunan program layanan kompensatoris
Bagan.1 Relasi Identifikasi dan Asesmen (Budiyanto, 2009: 27)
31
a. Hakikat Identifikasi Identifikasi
merupakan
kegiatan
yang
dilakukan
sebelum
dilaksanakan asesmen. Suatu proses yang dilakukan terhadap anak yang mengalami kelaianan atau gangguan, baik yang akan masuk di sekolah inklusi dan yang tidak bersekolah. Kegiatan identifikasi anak berkelaianan menurut Permendiknas RI No.70 tahun 2009 adalah ; “Teknik penjaringan, dengan kata lain proses identifikasi dimaksudkan sebagai upaya seseorang baik guru, orang tua atau tenaga kependidikan untuk melaksanakan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami gangguan atau kelaianan fisik, emosional, sosial, intelektual dalam rangka pemberian pelayanan pendidikan yang sesuai”. Jadi identifikasi merupakan proses penjaringan yang dilakukan guru atau orang tua terkait gangguan atau kelainan pada anak agar pemberian pelayanan dapat sesuai. Proses identifikasi sebagai tahap pertama sebelum melakukan asesmen, cenderung melihat karakter atau kelaianan yang dimiliki anak. Identifikasi menurut Budiyanto (2014: 34) adalah usaha sesorang (orang tua, keluarga, guru, atau tenaga kependidikan) untuk mengetahui seorang anak mengalami kelainan baik fisik, emosional, sosial, neuorolgis, intelektual dalam tumbuh kembang anak diluar dari konteks anak normal. Oleh karena itu, identifikasi dapat dilakukan oleh orang terdekat untuk mengetahui anak yang diduga mengalami gangguan atau penyimpangan dibandingkan anak normal seusianya. Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa identifikasi adalah proses menemukan dan mengenali anak berkebutuhan khusus, seperti kondisi, perilaku atau kebiasaan anak berkebutuhan khusus.
32
Proses ini harus dilakukan dengan baik agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menghimpun atau menafsirkan informasi, demi ketepatan tindak lanjut yang akan dilakukan. b. Tujuan Identifikasi Pada dasarnya kegiatan identifikasi untuk memperoleh data terkait kondisi anak sebagai bahan pertimbangan pelayanan kebutuhan dan rencana pembelajarannya.
Menurut
Lerner
dalam
Budiyanto
(2014:
35)
mengelompokkan identifikasi dalam lima keperluan, yaitu: 1) Penjaringan
(screening),
yaitu
kegiatan
identifikasi
yang
berfungsi untuk menetapkan anak yang mempunyai kondisi gangguan atau kelaianan fisik, emosional, intelektual, sosial beserta gejala tingkah laku menyimpang atau berlaianan dengan kondisi
anak normal. Jadi proses ini merupakan pengamatan
terhadap perilaku anak yang berbeda dengan anak normal, dan diduga mengalami gangguan. 2) Pengalihtanganan (referal), yaitu kegiatan yang dilakukan untuk mengalihtangankan ke tenaga ahli yang berkompeten di bidangnya seperti, seperti psikolog, terapis, dokter, konselor terhadap gejala yang diamati dengan teliti. Oleh karena itu untuk memastikan temuan yang ada, perlu dipastikan melalui tenaga ahli sesuai dibidangnya. 3) Klasifikasi (classification), yaitu kegiatan identifikasi yang dilakukan untuk menetapkan anak yang diidentifikasi termasuk
33
dalam anak berkebutuhan khusus yang memang mempunyai kelainan fisik, emosional, gejala menyimpang lain, sehingga dibutuhkan penanganan khusus. Jadi anak yang sudah ditetapkan menjadi ABK membutuhkan pelayanan khusus sesuai kebutuhan anak agar dapat berkembang. 4) Perencanaan Pembelajaran (instructional planning), kegiatan identifikasi yang dilakukan untuk bahan penyusunan program pengajaran individu yang bersangkutan berdasarkan hasil dari klasifikasi. Jadi kegiatan ini bertujuan untuk memetakan setiap penyusunan rencana belajar sesuai kebutuhan anak yang telah diklasifikasikan. 5) Pemantauan kemajuan belajar (monitoring pupil progress), kegiatan
untuk
mengetahui
keberlangsungan
program
pembelajaran khusus yang diberikan berhasil atau tidak dalam meningkatkan kemampuan anak. Jadi berhasil atau tidaknya progam pembelajaran yang diberikan, akan terlihat melalui kegiatan pemantauan belajar seperti tes, atau ulangan anak. c. Sasaran identifikasi Setiap anak dalam kehidupan sehari hari seperti dalam pembelajaran pasti mengalami hambatan dan kesulitan, namun kesulitan tersebut dapat diatasi dengan penanganan, pelayanan pendidikan pada umumnya. Berbeda dengan anak yang mengalami kelainan mereka cenderung hanya dapat diatasi dengan pelayanan pendidikan khusus.
34
Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus dapat dibedakan dari dua faktor, menurut Budiyanto (2014: 37) yakni faktor internal sebagai faktor yang berasal dari dalam diri anak seperti kelaianan fisik, sosial, emosi yang cenderung berifat susah disembuhkan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar anak, seperti korban bencana alam, narkoba, lingkungan. Oleh karena itu, ada ABK yang dapat disembuhkan karena ketunaannya sementara, namun ABK tetap sulit disembuhkan dan hanya diberi pelayanan pengembangan potensi. Sasaran dalam pelaksanaan identikasi anak berkebutuhan khusus ini sendiri dibatasi pada faktor internal
sesuai dengan Munawar Yusuf
dalam Budiyanto (2014: 37) seperti: 1) Anak yang mengalami gangguan belajar spesifik - Gangguan belajar membaca (disleksia) - Gangguan belajar menulis (disgrafia) - Gangguan belajar berhitung (diskalkula) 2) Anak lamban belajar 3) Anak dengan gejala Under Achiever 4) Anak memiliki gejala gangguan emosional (tunalaras) 5) Anak memiliki gangguan komunikasi 6) Anak dengan gangguan penglihatan (tunanetra) 7) Anak dengan gangguan pendengaran (tunarungu) 8) Anak dengan gangguan kesehatan 9) Anak dengan gangguan anggota tubuh (tunadaksa)
35
10) Anak autisme 11) Anak korban penyalahgunaan narkoba d. Hakekat Asesmen Kegiatan asesmen merupakan tahapan lanjutan setelah dilakukan identifikasi pada anak berkebutuhan khusus. Pelaksanaan asesmen hanya dapat dilakukan oleh pakar atau ahli yang ada dibidangnya. Asesmen pada anak berkebutuhan khusus berbeda dengan asesmen pada umumnya. Asesmen pada tingkatan sekolah khusus adalah penghimpunan informasi yang rinci, baik kelemahan, potensi dan perilaku anak untuk penetapan penyusunan rencana pembelajaran. Kegiatan Asesmen menurut Permendiknas RI No.70 Tahun 2009 adalah : “Proses pengumpulan informasi sebelum disusun program pembelajaran bagi siswa berkelainan. Asesmen ini ditujukan untuk memahami keunggulan dan hambatan belajar siswa, sehingga diharapkan program yang disusun benar- benar sesuai dengan kebutuhan belajar siswa”. Berdasarkan pengertian tersebut, asesmen dapat diartikan sebagai proses pengumpulan berbagai informasi tentang potensi, hambatan belajar sebelum disusun program pembelajaran. Lerner dalam Budiyanto (2014: 55) mengartikan asesmen sebagai langkah menghimpun informasi terkait anak berkebutuhan khusus yang dtujukan sebagai bahan pertimbangan dan keputusan terhadap anak tersebut. Jadi asesemen, adalah langkah menggali informasi secara rinci terkait ABK sebagai bahan dasar pertimbangan
36
keputusan anak tersebut. Serupa dengan Roger Pierangelo (2009: 9) menyatakan bahwa: “ assessment is a complex process that needs to be conducted by a multidiciplinary team of trained professionals and involved both formal and informa methods of collecting informatian about students.” Jadi asesmen sebagai suatu proses kompleks yang membutuhkan peran dari para ahli dalam team serta menggunakan formal dan informal metode asesmen untuk menggali informasi tentang siswa secara rinci. Tarmansyah (2007: 183) mengungkapkan jika kegiatan asesmen merupakan
serangkaian
kegiatan
yang
dilakukan
dalam
upaya
memperoleh informasi terkait hambatan belajar, kebutuhan pelayanan yang harus terpenuhi, serta potensi yang dimiliki, sehingga dapat menjadi dasar pembuatan rencana pembelajaran sesuai kemampuan anak. Jadi hasil dari asesmen ini menjadi bahan dalam menyusun program belajar anak. Berdasarkan beberapa pendapat mengenai asesmen tersebut dapat ditegaskan bahwa asesmen sebagai suatu proses menggali informasi tentang karakter, potensi dan kelemahan pada anak yang dilakukan oleh seorang pakar dibidangnya, sebagai bahan kajian dalam penetapan dan penyusunan rencana belajar yang optimal serta pelayanan khusus yang sesuai dengan kebutuhan anak. 3. Tujuan Asesmen Proses asemen merupakan tahapan penting dalam memberikan pelayanan khusus dan rencana pembelajaran yang dibuat oleh guru dapat
37
sesuai dengan kondisi pada anak. Mereka dapat mengikuti proses belajar mengajar di sekolah inklusi sesuai kondisi dan kebutuhan anak, sehingga anak dapat mengoptimalkan potensi yang ada dan meminimalisir kekurangan yang ada pada anak. Secara sederhana tujuan dari kegiatan asesmen (Sunardi dan Sunaryo dalam Budiyanto, 2014: 56) memaparkan tujuan utama dari proses asesmen ini sebagai berikut: 1) Mendapatkan informasi yang akurat, obyektif, relevan tentang keadaan anak berkebutuhan khusus. 2) Mengetahui data anak yang lengkap, seperti potensi dalam diri anak, hambatan dalam belajar, keadaan lingkungan, kebutuhan pelayanan khusus, serta kondisi lingkungan yang dapat mendukung anak. 3) Menetapakan pelayanan khusus yang sesuai dengan kondisi anak sesuai kebutuhannya, secara berkala dipantau kemajuan perkembangan anak. Marit Holm (Tarmansyah, 2007: 184) lebih lanjut mengatakan jika tujuan yang akan dicapai dalam melakukan asesmen adalah a) Menemukan jenis gangguan, apakah siswa memiliki gangguan akademik , maupun gangguan lain . b) Menganalisa pekerjaan siswa, hasil yang diperoleh dari kegiatan yang dilakukan siswa yang mengalami gangguan, cara kerja, pemahaman, dan merefleksikan kemampuan c) Menganalisa bagaimana cara siswa bekerja, melihat bagaimana siswa memecahkan masalah, memecahkan soal, hubungan sosial, berinteraksi dengan lingkunannya. d) Menganalisa penyebabnya, bertujuan untuk memahami apakah anak mengalami gangguan saat pra natal, lahir atau setelahnya.
38
e) Merumuskan hipotesa, dengan memberikan kesimpulan, cara siswa bekerja, dan masalah yang dialami siswa. f) Mengembangkan rencana intervensi, menyusun rencana pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, monitoring, evaluasi dan rekomendasi pelayanan. Hasil dari asesmen tersebut berguna dalam membuat pendidkan khusus untuk mengembangkan potensi yang dimilik anak. Dengan demikian, pelaksanaan asesmen menentukan bagaimana menciptakan lingkungan pembelajaran dan pelayanan yang sesuai dengan anak. Ditujukan agar potensi yang ada dapat lebih menonjol, dan meminimalisir kelemahan yang ada pada diri anak. Selain itu asesmen dilakukan berkesinambungan, tidak dalam waktu singkat agar informasi yang diperoleh akurat dan efektif. 4. Tindakan dan Strategi Pelaksanaan Asesmen a. Tindakan Asesmen Pelaksanaan asesmen, pada dasarnya merupakan tahap penyaringan setelah dilakukan penjaringan pada anak berkebutuhan khusus. Sasaran pelaksanaan asesmen ini ditujukan pada anak – anak yang ada disekolah reguler, khususnya anak yang telah teridentifikasi mengalami kelaianan atau berkebutuhan khusus dan membutuhkan pelayanan khusus. Penanganan tersebut diharapkan dapat mengembangkan potensi yang ada dalam anak. Didalam proses ini para pelaku asesmen dilakukan oleh seorang yang kompeten dibidangnya seperti sosiolog, terapis, psikolog, dokter. Walaupun sebenarnya dapat juga dilakukan oleh guru, namun ada beberapa hal yang harus didampingi oleh tenaga ahli. Proses asesmen ini bertujuan untuk
39
menggali
informasi
tentang
kondisi
anak
berkebutuhan
khusus
sesungguhnya untuk kemudian dapat menjadi acuan penaganan khusus. Didalam pelaksanan asesmen tersebut, informasi yang dibutuhkan dapat didapat melalui media tes. Tes tersebut dapat berupa tes yang dibuat oleh guru, tes yang ada didalam buku, atau observasi sistemik. Marit Holm (Tarmansyah, 2007: 185) juga membagi asesmen dalam dua rangkaian prosedur yang berbeda, diantaranya: 1) Static Assessment Procedure (SAP), kegiatan ini lebih proses asesmen konvensional, terkait aspek yang telah ada pada diri anak, maupun sesuatu yang telah didapat. Dilakukan berdasarkan waktu yang telah direncanakan atau ditetapkan. 2) Dynamic Assessment Procedure (DAP), kegiatan asesmen yang lebih berfokus pada perkembangan yang telah ada atau dicapai siswa saat itu sampai ke depannya. Asesmen ini tidak terikat waktu pelaksanaan. b. Strategi Pelaksanaan Asesmen Pelaksanaan asesmen dilakukan untuk mengumpulkan informasi terkait keadaan anak
yang teridentifikasi sebagai anak berkebutuhan
khusus, yang meliputi kondisi anak, kelebihan, kekurangan dengan tepat. Hal ini penting sebagai bahan dasar dalam membuat rencana pembelajaran dan pelayanan khusus yang akan diberikan kepada anak. Sehingga pelaksanaan pembelajaran yang diberikan oleh guru nantinya dapat tepat guna. Munawir Yusuf dalam Budiyanto (2014: 58) mengungkapkan jika
40
prosedur pelaksanaan asesmen ini dapat dilakukan dengan beberapa langkah diantaranya: 1) Observasi, proses ini sebagai tahap mengukur melalui pengamatan langsung terhadap perilaku dan keseharian anak berkebutuhan khusus. 2) Analisa sampel kerja, pengukuran informal yang dilakukan menggunakan hasil kerja siswa, seperti hasil tes, hasil praktek kesenian dan sebagainya. 3) Analisis tugas, sebagai kegiatan pemisahan, pengurutan, dan penguraian komponen. 4) Inventory informal, mengumpulkan informasi terkait aspek non akademik
siswa,
contohnya
seperti
perilaku,
keseharian,
komunikasi siswa. 5) Daftar cek (Check list) 6) Skala Penilaian (Rating Scale), teknik assessmen ini untuk mendapatkan informasi tentang opini dan penilaian. 7) Wawancara, sebagai metode tanya jawab yang akan dilakukan kepada anak yang bersangkutan. Secara garis besar strategi pelaksanaan tersebut umum dilakukan terutamanya oleh guru, namun lebih berfokus pada cara memperoleh informasi terkait karakter anak. Menjadi bahan pertimbangan pembuatan rencana pembelajaran, baik dilaksanakan pada kelas reguler, teman seusia, atau individu melalui Program Pengajaran Individual (PPI). Namun dalam
41
menyusun atau menyimpulkan hasil tersebut butuh peran dari pakar di bidangnya. Berikut skema kegiatan identifikasi dan asesmen yang dibuat Loughlin (dalam Budiyanto, 2014: 65) tentang penyususnan PPI tersebut: Penjaringan dan Identifikasi ABK
Rujukan ke Tim PK
Pertemuan Tim PK
Negatif
Positif Asesmen
Pertemuan Tim Asesmen
Negatif
Positif
PPI
Pelaksanaan PPI
Evaluasi
Kelas Reguler
Bagan. 2 PPI (Budiyanto, 2014:65)
c. Indikator Asesmen Akademik dan Non Akademik Pada dasarnya asesmen dapat dikelompokkan pada dua jenis yakni, asesmen akademik dan asesmen perkembangan. Asesmen akademik
42
dilakukan guna mengukur pencapaian prestasi belajar yang dilakukan siswa seperti baca tulis atau berhitung. Asesmen perkembangan menekankan pada keterampilan prasyarat yang dibutuhkan untuk keberhasilan
bidang
akademik
(Budiyanto,
2014:
59).
Asesmen
perkembangan ini akan mengumpulkan informasi yang diperlukan atau dapat memacu prestasi akdemik seorang siswa. Terdapat tiga tingkatan dalam belajar yang dapat digunakan sebagai acuan melakukan asesmen yakni, tingkatan motorik (doing level), tingkat
persepsi
(matching
level),
dan
tingkatan
konseptual
(categorization) yang menunjukkan tingkatan proses belajar (Modul Training of Trainer, 2009: 50). Ketiga tingkatan tersebut dijelaskan dalam matrik yang dibuat oleh Mangungsong dalam Modul Training of Trainer (2009: 50- 51), diantaranya sebagai berikut; Tabel.1 Indikator Asesmen
Tingkatan Proses Belajar
Indikator Asesmen
Diferensiasi
Keseimbangan Tingkat Motorik (Doing level)
Hubungan keruangan Ritme Mata- tangan
43
Uraian Kemampuan memilih dan menggunakan sendiri bagian tubuh secara terkontrol Kesadaran serta kemampuan mempertahankan suatu hubungan ketitik pusat dari gaya tarik bumi Kesadaran tubuh, lateeralitas (dua sisi bagian tubu) dan arah memproyeksikannya Jarak atau kombinasi dari interval waktu Kemampuan menggabungkan apa yang dilihat melalui gerakan motorik halus
Diskrimnasi Bentuk dan latar
Tingkatan persepsi (Matching level)
Closure Ingatan Sekuens Integrasi
Tingkatan Konseptual ( Caategorization)
Kemampuan membedakan bentuk Kemampuan memfokuskan atau membedakan bentuk utama dengan latarnya Kemampuan menambah detailyang hilang Kemampuan mengingat dari panca indra Kemampuan mengatur sesuai urutan yang diamati oleh indra Penggunaan dua saluran input atau lebih serta menghubungkannya Kemampuan anak dalam membuat kategori serta klasifikasi pengalaman yang diperoleh
Sumber: Mangunsong (Modul Training of Trainer, 2009: 50-51)
E. Penelitian yang Relevan 1. Penelitian relevan I: Hasil penelititan yang dilakukan Herdina Tyas Leylasari dari Prodi Psikologi, Fakultas Psikologi yang beralmamater Universitas Katolik Widya Mandala Madiun dengan judul Pengembangan Panduan Identifikasi dan Asesmen Siswa Berkebutuhan Khusus di SDN Inklusi X Surabaya tahun 2015. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pengembangan (research and development) yang merupakan suatu proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada tahap asesmen partisipan penelitian adalah wakil kepala sekolah, lima orang guru kelas (kelas 1-5), dan tiga orang guru kelas khusus. Sedangkan pada tahap intervensi partisipan penelitian adalah lima guru kelas (kelas 1-5)
44
dan tiga guru kelas khusus. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu pengumpulan data untuk asesmen dan pengumpulan data untuk intervensi. Hasil penelitian ini dibagi menjadi dua yakni Analisis Hasil Penelitian Tahap Asesmen dan intervensi. Untuk tahap assessmen diantaranya pelaksanaan identifikasi dan asesmen siswa berkebutuhan khusus di sekolah masih belum memahami cara-cara melakukan identifikasi dan asesmen yang tepat. Pihak sekolah juga selama ini belum mempunyai panduan yang baku dalam melakukan identifikasi dan asesmen. Sarana dan prasarana yang menunjang pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus
terbatas.
Pengelolaan kelas guru terutama pada siswa berkebutuhan khusus masih disamakan dengan siswa reguler. Guru juga tidak menempatkan posisi duduk siswa secara strategis berdasarkan gangguannya. Pendidik dan tenaga profesional lain yang mendukung layanan pendidikan bukan berasal dari pendidikan luar biasa. Sekolah memiliki psikolog namun psikolog di sekolah ini belum berperan dalam proses identifikasi dan asesmen. Tugas psikolog hanya membantu guru dalam menangani siswa berkebutuhan khusus. Kurikulum, proses dan penilaian pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus menggunakan kurikulum modifikasi bagi siswa berkebutuhan khusus. Program Pembelajaran Individual (PPI) baru dibuat tiga guru khusus saat ada penilaian kinerja dari Diknas dan modelnya belum sesuai dengan Program Pembelajaran Individual (PPI) yang sebenarnya.
45
Analisis studi kedua tentang intervensi menunjukkan hasil dari angket evaluasi buku panduan yang diberikan saat proses diseminasi buku panduan maka diperoleh hasil seluruh partisipan (100%) mengatakan bahwa buku panduan menarik. Alasan dikatakan menarik karena dapat digunakan semua guru yang menangani siswa berkebutuhan khusus (45,45%). Ada yang tertarik membaca karena isinya yang memberi banyak informasi tentang langkah-langkah identifikasi dan asesmen untuk siswa berkebutuhan khusus (27,27%) dan ada pula yang tertarik membaca buku panduan itu karena terdapat checklist atau contoh-contoh cara melakukan identifikasi dan asesmen untuk siswa berkebutuhan khusus (27,27%). 2. Penelitian relevan II : Hasil Penelitian skripsi Imam Yuwono dari FKIP UNLAM Banjarmasin, dengan judul Penerapan Identifikasi, Asesmen, dan Pembelajaran pada Anak Autis di Sekolah Inklusif. Implementasi dari identifikasi, asesmen dan pembelajaran dalam pendidikan inklusif di Kalimantan Selatan masih memiliki kendala yang dihadapi. Kurangnya pengetahuan guru dan tidak adanya pedoman pelaksanaan identifikasi menjadi alasan penting. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah salah satu guru dan satu kepala sekolah dari Banua Hanyar 8 Banjarmasin bahwa ada anak-anak dengan autisme. Sekolah ini sudah enam tahun penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pengambilan data menggunakan metode tes, observasi, wawancara dan dokumentasi.
Analisis
data
menggunakan
46
model
interaktif
yang
dikembangkan oleh Miles dan Huberman dengan tiga prosedur reduksi data, penyajian data dan verifikasi. Temuan penelitian 1) bagaimana mengidentifikasi anak autis di SD Banua Hanyar 8 menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh DSM IV, identifikasi dilakukan oleh guru untuk mengidentifikasi anak-anak dengan autisme; 2) asesmen guru dipahami untuk mengambil keputusan di membuat program pembelajaran. Yang dilakukan oleh guru dengan cara anak-anak mengumpulkan data, dan kemudian dianalisis untuk dipertimbangkan bersama-sama program pembelajaran; 3) dalam pembelajaran anak-anak autis dengan guru diperlukan memodifikasi kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak-anak autisme; 4) kendala yang dialami oleh guru dalam identifikasi dan asesmen pemahaman guru dari mereka tidak memadai, pendidikan inklusif hanyalah menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus. Relevansi dengan dari kedua penelitian diatas adalah sama- sama meneliti tentang implementasi pengelolaan asesmen ABK yang dlaksanakan di sekolah inklusi, dan berfokus pada penggambaran penerapan pelaksanaan identifikasi dan asesmen di sekolah. Sedangkan yang membedakan antara peneliti dengan penelitian diatas adalah fokus peneliti yang ingin menggambarkan pula proses implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus sekolah inklusi yang diterapkan Dinas Pendidikan. Sumbangsih dari kedua penelitian diatas terhadap penelitian ini adalah dapat memberikan gambaran tentang penerapan asesmen disekolah, permasalahan yang dihadapi dan faktor yang menyertainya.
47
F. Kerangka Pikir Setiap sekolah reguler saaat ini harus menerima anak berkebutuhan khusus dalam pembelajarannya. Pendidikan inklusi memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus untuk dapat memperoleh pendidikan dengan baik. Pelaksanaan pendidikan inklusi sendiri memerlukan perubahan dalam pembelajaranya yang disesuaikan dengan kebutuhan anak didiknya khususnya anak berkebutuhan khusus. Guru sebagai pelaku utama dalam menjadi tenaga pendidik pada suatu sekolah yang mempunyai tugas membimbing, mengajar anak didik di sekolah. Oleh karena itu dalam memberikan pembelajaran secara maksimal pada anak didiknya, guru di sekolah inklusi harus mempunyai kemampuan khusus dalam membimbing anak didiknya sesuai dengan kebutuhan anak. Pada dasarnya tindakan asesmen merupakan tindak lanjut dari kegiatan deteksi. Kegiatan ini berguna untuk menelusuri keadaan perkembangan anak, potensi, kelemahan dan kebutuhannya sehingga dapat diduga anak tersebut diklasifikasikan sebagai anak berkebutuhan khusus, serta cara penanganannya. Informasi
tersebut
akan
menjadi
acuan
dalam
pembuatan
rencana
pembelajaran. Banyak ditemui guru sulit mengelola asesmen didalam kelas sesuai kebutuhan anak didiknya atau guru yang mengganggap anak berkesulitan belajar sebagai anak berkebutuhan khusus atau sebaliknya. Selain itu ada pengklasifikasian ABK dengan pengamatan panca indra saja, namun ada yang membutuhkan alat dan strategi khusus, maupun pakar dibidangnya. Sulitnya
guru
untuk
mengklasifikasikan
48
anak
berkebutuhan
khsusus
berdampak pada pemenuhan kebutuhan anak yang tidak tepat sasaran. Sehingga anak justru sulit untuk mengembangkan bakat, minat serta intelektualitasnya. Berdasaarkan kajian teoritis diatas penulis dapat mengemukakan anggapan dasar atau kerangka pikir bahwa dengan melakukan penelitian tentang implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus sekolah inklusi, sehingga dapat mengetahui tahapan penerapan kebijakan dan pelaksanaan asesmen tersebut. Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Pergub. DIY No.21 Tahun 2013
Implementasi Kebijakan Pendidikan Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus
- Pengelola Kebijakan Asesmen ABK - Kepala Sekolah, GPK, Guru Kelas, Wali Siswa
- Penerapan Pengelolaan Asesmen di SD N Brengosan I - Hasil Asesmen
- Penyusunan Rencana Belajar - Pemberian Pelayanan Pendidikan khusus -
Bagan.3. Kerangka pikir 49
- Faktor Pendukung - Faktor Penghambat
G. Pertanyaan Penelitian Adapun pertanyaan penelitian dalam hal ini sebagai berikut: 1. Bagaimana langkah- langkah implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus sekolah inklusi ? 2. Bagaimana hasil implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus sekolah inklusi ? 3. Bagaimana langkah sekolah dalam melaksanakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus ini? 4. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran ABK di sekolah inklusi? 5. Bagaimana faktor pendukung dan faktor penghambat dalam implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus sekolah inklusi ini?
50
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian dan Jenis Penelitian Pendekatan penelitian menurut Arikunto (2006: 12) memiliki dua jenis, yaitu pendekatan penelitian kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan penelitian kualitatif adalah penelitian naturalistic (alami), peneliti tidak menggunakan penafsiran terhadap hasil dan data angka, jika pun ada hanya sebagai penunjang dalam mengumpulkan. Metode penelitian kuantitatif, banyak menuntut penggunaan data angka, baik dari pengumpulan, penafsiran data, hingga penampilan hasilnya. Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dengan mengumpulkan data berdasarkan fakta di lapangan. Peneliti bermaksud menggambarkan data yang diperoleh dari penelitian baik berupa data tertulis atau lisan melalui wawancara, dan pengamatan berdasarkan narasumber yang diteliti. Jenis penelitian ini adalah deskripsif kualitatif. Deskriptif menurut Moh Nazir (2005: 23) yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan berusaha menggambarkan suatu subjek/ objek penelitian (gejala,, fakta,lembaga, masyarakat, atau peristiwa), apa adanya sesuai yang terjadi di lapangan. Menjelaskan keterkaitan antara suatu kejadian dengan makna, terlebih menurut pandangan partisipan. Data yang dikumpulkan berwujud kata-kata, gambar bukan angka, jika terdapat data angka sifatnya hanya sebatas data pendukung dalam penelitian.
51
B. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Seksi Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga D.I Yogyakarta dan Bidang Kurikulum dan Kesiswaan TK-SD Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, dilanjutkan dengan memilih sekolah inklusi SD N Brengosan I.
Alasan pemilihan
tempat penelitian tersebut adalah : a. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY khususnya di bidang PLB yang membawahi pelaksanaan pendidikan luar biasa diseluruh wilayah Provinsi Yogyakarta. Dinas Pendidikan Kab. Sleman yang mengelola sekolah inklusi di Kabupaten Sleman. Hal tersebut untuk mendukung dan memperoleh informasi terkait bentuk implementasi kebijakan pengelolaan asesmen ABK. b. SD Negeri Brengosan I, dipilih oleh peneliti karena menjadi sekolah inklusi dan menjadi anggota dari Seksi PLB dan Kursis TK-SD, mempunyai jumlah murid ABK yang cukup banyak sejumlah 20 siswa, Guru kelas di SD Brengosan I ini juga pernah mengikuti program pelatihan pengelolaan asesmen guru sekolah inklusi yang dilaksanakan oleh Seksi PLB DISDIKPORA DIY.
52
2. Waktu penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2016 – Maret 2017 Tabel 2. Realisasi Waktu Penelitian No Kegiatan 1 Perencanaan Penelitian
2
Waktu
a. Pra observasi penelitian
April 2016
b. Penyusunan Proposal penelitian
April - Agustus 2016
c. Mengurus pengajuan ijin penelitian
Agustus 2016
Pelaksanaan Penelitian a. Penelitian di Dinas Pendidikan
September 2016
Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY b. Penelitian di Dinas Pendidikan
September 2016
Kabupaten Sleman c. Penelitian di SD Negeri 1 Brengosan
September – November 2016
3
Analisis Data
November 2016 – Januari 2017
4.
Penulisan Laporan Penelitian
Januari – Maret 2017
5
Penyusunan artikel jurnal
Maret 2017
C. Subjek Penelitian Didalam penelitian kualitatif,
Arikunto (2006: 88)
menjelaskan jika
subjek dalam penelitian kualitatif yaitu manusia sebagai hal, benda, maupun individu yang menjadi salah satu sumber data sebagai fokus dalam variabel penelitian yang dikaji. Penentuan subjek penelitian berdasarkan keterlibatan narasumber terhadap masalah penelitian yang akan diteliti. Pemilihan subjek penelitian menggunakan teknik purposive yakni teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu karakteristik narasumber dalam penelitian:
53
(Sugiyono, 2015: 52). Berikut
1. Kepala Seksi Pendidikan Luar Biasa (PLB) DISDIKPORA DIY selaku kepala bidang pendidikan luar biasa yang mengetahui dan mengelola kebijakan atau program yang berkaitan dengan ke-PLBan di lingkup Provinsi DIY. Pihak pembina bagi setiap Dinas Kabupaten/ Kota di Provinsi DIY. 2. Kepala Kurikulum dan Kesiwaan TK-SD DISDIK Kab. Sleman selaku pimpinan bidang penyelenggara pendidikan tingkat TK- SD, sekaligus pihak yang turut mengelola pelaksanaan pendidikan inklusi tingkat TKSD di Kabupaten Sleman. Pihak pelaksana dari kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DIY. 3. Kepala SD N Brengosan I selaku pimpinan sekolah dan konsultan bagi guru- guru dalam melakukan identifikasi dan asesmen. SD N Brengosan I sebagai sasaran kebijakan dari Dinas Pendidikan terkait. 4. Guru kelas sebagai pihak yang berhubungan langsung terhadap anak – anak saat proses pembelajaran dikelas, serta pihak yang mengelola proses identifikasi dan asesmen pada anak disekolah. 5. Guru Pendamping Khusus (GPK) sebagai pihak pendamping bagi sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi, mendampingi ABK ( anak berkebutuhan khusus) serta pihak yang mengelola proses identifikasi dan asesmen pada ABK di sekolah. SDM yang diperbantukan Dinas Pendidikan Provinsi DIY. 6. Wali siswa ABK sebagai pihak yang mempunyai hubungan dengan siswa ABK dalam keluarga, menjadi informan terkait perkembangan anak, dan
54
berpengaruh dalam pembelajaran anak dirumah. Elemen masyarakat yang merasakan dampak pembelajaran disekolah. D.Teknik Pengumpulan Data Berdasarkan bentuk pendekatan kualitatif dan sumber data yang digunakan, serta untuk memperoleh data
yang objektif dan dapat
dipertanggungjawabkan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara, observasi dan analisis dokumen. 1. Wawancara Wawancara merupakan teknis dalam upaya menghimpun data yang akurat berdasarkan permasalahan dalam penelitian tertentu. Wawancara adalah proses peneliti yang akan mengetahui hal – hal mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, yang belum bisa ditemukan melalui teknik observasi (Stainback dalam Sugiyono, 2015: 72). Data yang diperoleh dari teknis ini adalah dengan tanya jawab secara lisan dan bertatap muka langsung antara pewawancara dengan subjek penelitian diantaranya Kepala Bidang sie. Pendidikan Luar Biasa, Kepala Kursis TK-SD, Kepala Sekolah, Guru Pendamping Khusus, guru kelas sekolah inklusi dan wali siswa. Agar wawancara dapat berjalan lancar dan tidak keluar dari pokok permasalahan dan tujuan dari penelitian ini maka diperlukan pedoman wawancara sebagai pedoman dan acuan dalam proses wawancara.
55
Pedoman wawancara dibuat berdasarkan masalah penelitian. Permasalahan akan dijabarkan dalam sub- masalah, yang berisikan butiran pertanyaan terkait fokus penelitian yang dilakukan. Wawancara yang digunakan untuk mendapat informasi dari subjek penelitian. 2. Observasi Pengumpulan data dengan teknik observasi menuntut peneliti terjun langsung dalam merasakan kegiatan sehari- hari yang diamati sebagai sumber data penelitian (Sugiyono, 2015: 64). Peneliti dalam melakukan penelitian akan mengamati secara langsung dan mencatat setiap aktivitas kehidupan subjek yang diteliti sehingga data yang akan didapat lebih lengkap dan valid dari setiap perilaku yang terjadi. Peneliti hanya akan melihat keberlangsungan pelaksanaan pengelolaan kebijakan asesmen di SD Brengosan I terkait situasi dan kondisi sekolah, sarana prasarana, keadaan guru dan siswa, faktor pendukung dan penghambat. 3. Dokumentasi Dokumen merupakan catatan peristiwa yang telah dilakukan pada masa lalu, yang dapat berwujud gambar, tulisan, atau karya dari seseorang (Sugiyono, 2015: 82). Metode ini digunakan untuk memperoleh data dengan menganalisa dokumen seperti sarana prasarana, sejarah lembaga pendidikan, keadaan guru, siswa, karyawan, atau laporan pertanggunggjawaban. Pada penelitian ini peneliti akan mengkaji dokumen dari sejarah lembaga pendidikan, surat keputusaan, rekapitulasi SPPI dan laporan pertanggunggjawaban program pada Sie. PLB. Sedangkan studi dokumen di
56
SD Brengosan I akan mencari data terkait rekap sarana prasarana, keadaan guru dan siswa, visi misi, instrumen identifikasi/ assessmen, hasil asesmen, RPP, dan sejarah sekolah. E. Instrumen Penelitian Suharsimi Arikunto (2006: 151) mengatakan instrumen penelitian adalah alat pada waktu penelitian untuk mengumpulkan data. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa instrumen penelitian adalah alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian. Didalam penelitian ini untuk memperoleh data yang dapat digunakan untuk mengungkap permasalahan yang ada maka akan digunakan pedoman wawancara dan pedoman observasi. 1. Pedoman Wawancara Pada penelitian ini akan menggunakan pedoaman wawancara dengan kisi – kisi sebagaimana berikut : Tabel. 3 Kisi Pedoman Wawancara No
Komponen
Indikator
Sumber data
1.
Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK
a. Proses implementasi kebijakan pengelolaan asesmen ABK b. Bentuk implementasi kebijakan pengelolaan asesmen ABK yang dihasilkan
1. Kepala Seksi Pendidikan Luar Biasa DISDIKPORA Prov. DIY. 2. Kepala Kursis TK SD DISDIK Kab. Sleman.
57
No
Komponen
Indikator
2.
Pengelolaan Asesmen ABK di sekolah inklusi
a. Kebijakan sekolah dalam memberikan pengetahuan terkait asesmen ABK b. Kebijakan sekolah dalam merencanakan pelaksanaan asesmen, sarana dan prasarana yang digunakan dalam pelaksanaan asesmen c. Metode dan strategi yang digunakan dalam pelaksanaan asesmen ABK di sekolah d. Penyusunan pelayanan pendidikan khusus dan rencana pembelajaran bagi ABK. e. Pelaksanaan pembelajaran di SD N Brengosan I f. Peran sera orang tua dalam pengelolaan asesmen dan anak
3.
Faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi kebijakan pengelolaan assessmen ABK sekolah inklusi
a. Faktor Pendukung b. Faktor Penghambat
58
Sumber Data 1. Kepala Sekolah 2. Guru kelas 3. Guru pendamping khusus (GPK) 4. Wali siswa
1. Kepala Seksi PLB DISDIKPORA Prov. DIY. 2. Kepala Kursis TKSD DISDIK Kab. Sleman . 3. Kepala Sekolah, 4. Guru kelas, 5. GPK
2. Pedoman Observasi Observasi ini dilakukan di SD Brengosan I, dikarenakan untuk melihat dampak kebijakan dari Sie. PLB DISDIKPORA DIY dan Kursis TK-SD DISDIK Kab.Sleman terhadap pelaksanaan asesmen ABK khususnya di sekolah. Tabel. 4 Kisi Pedoman Observasi No
Komponen
Indikator
1
Kondisi dan Lokasi 1. Lokasi sekolah dan lingkungan sekitar Sekolah sekolah 2. Akses transportasi sekolah 3. Melihat keadaan guru, karyawan, dan siswa
2
Kegiatan 1. Persiapan dalam proses Pembelajaran dan pembelajaran PPI (Program 2. Pelaksanaan proses Pembelajaran pembelajaran, teknik mengajar. Individual) 3. Pendampingan dan bimbimbingan pada anak berkebutuhan khusus 4. Pengelolaan kelas, bahan ajar, siswa, waktu, sumber belajar
3
Pelayanan Kebutuhan 1. Persiapan Khusus 2. Penyampaian materi 3. Keaktifan ABK 4. Kesesuaian dengan kebutuhan anak
59
Sumber Data
1. Kepala Seksi PLB DISDIKPORA Prov. DIY. 2. Kepala Kursis TKSD DISDIK Kab. Sleman . 3. Kepala Sekolah, 4. Guru kelas, 5. GPK 6. Wali siswa
3. Pedoman Dokumentasi Dokumentasi ini dilakukan di SD Brengosan I dan lingkup Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, data tersebut dapat berupa data tertulis, catatan, laporan, arsip, rekap data, maupun foto untuk melengkapi kebutuhan data yang berhubungan dengan implementasi kebijakan pengelolaan asesmen. Adapun kisi pedoman dokumentasi tersebut adalah:
Tabel. 5 Kisi Dokumentasi No
Komponen
Indikator
1
Data 1. Rekapitulasi data sekolah Inklusi sekolah 2. Surat Keputusan Pembentukan Inklusi dan Lembaga Khusus Kebijakan 3. Kegiatan Pelatihan Asesmen Asesmen Guru Reguler 4. Surat Keputusan Sekolah Inklusi
2
Profil Sekolah
3
1. Form Isntrumen Identifikasi/ Asesmen ABK Pengelolaan 2. Hasil Asesmen ABK Asesmen 3. Rencana Pembelajaran (RPP) ABK 4. Standar Evaluasi Belajar
1. 2. 3. 4. 5.
Sumber data 1. DISDIKPORA Provinsi DIY 2. DISDIK Kabupaten Sleman
Data Siswa Berkebutuhan Khusus 1. SD Negeri Brengosan Sejarah Sekolah I Visi dan Misi Sekolah Sarana dan Prasarana Data Guru dan Karyawan
60
1. SD Negeri Brengosan I
F. Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses mencari serta menyusun sistematis data yang diperoleh setelah melakukan wawancara, dokumentasi, dan catatan lapangan. Dilakukan dengan mengorganisasikan data dalam kategori, dijabarkan dalam unit, melakukan sintesa, menyusun dalam pola, memilah data yang dianggap penting, dan menarik kesimpulan (Sugiyono, 2015: 89). Upaya ini dilakukan guna sebagai jalan bekerja dengan data, mengorganisasikannya, memilah data, mensintesiskan, mencari dan menemukan data yang dianggap penting, serta memutuskan hal yang perlu disampaikan pada orang lain (Bogdan dalam Moelong, 2005: 248). Data yang dikumpulkan pada penelitian ini akan diolah dan dikalsifikasikan guna menjawab pertanyaan permasalahan yang diteliti. Data akan diolah menggunakan teknik deskriptif kualitatif. Analisis data kualitatif untuk memberikan interpretasi terkait data hasil penelitian yang diperoleh, untuk disampaikan dalam bentuk kalimat, kemudian ditarik kesimpulan yang menggambarkan fakta di lapangan. Kegiatan analisis data dilakukan dengan menggunakan interactive model, berlangsung secara terus menerus hinggga data menjadi jenuh (Miles dan Huberman dalam Sugiyono, 2015: 91-99).
Proses analisis data dalam
penelitian kualitatif ialah sebagai berikut, antara lain: 1. Data Reduction (reduksi data), yang dimaksudkan dalam hal ini adalah merangkum. Memilah hal/ data yang pokok, memfokuskan pada yang pokok atau dianggap penting, serta dicari tema dan polanya. Sehingga
61
data yang direduksi akan lebih jelas dalam memberikan gambaran. Tujuan dari reduksi data ini untuk merangkum yang penting, membuang yang tidak diperlukan, mengarahkan, menajamkan, membuat kategorisasi, sehingga dapat diinterpretasikan. Peneliti akan menyederhanakan data hasil wawancara agar lebih fokus. 2. Display data (penyajian data), penyajian dapat dilakukan dengan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart atau sejenisnya. Data yang diperoleh akan terorganisasikan dan memudakan dalam memahami yang terjadi. Penelitian ini akan menyajikan uraian mengenai implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus sekolah inklusi yang dibuat Dinas Pendidikan terkait dan penerapannya di sekolah. 3. Conclusion drawing (penarikan kesimpulan) yaitu berupa kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang masih bersifat sementara, dan dapat berubah jika bukti kuat yang mendukung tahap pengumpulan data berikutnya tidak ditemukan. Jadi, kesimpulan dalam penelitian kualitatif ini akan mengaitkan benang merah antara data temuan satu dengan lainnya, sehingga memungkinkan muncul temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan yang dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang remang – remang, dan nampak jelas setelah diteliti.
62
G. Keabsahan Data Pada penelitian kualitatif, data yang diperoleh dapat dinyatakan valid jika tidak ada perbedaan antara yang disampaikan peneliti dengan fakta di lapangan. Untuk menetapkan keabsahan data dapat dilakukan teknik pemeriksaan. Menurut Lexy J. Moelong (2005: 324) terdapat empat kriteria dalam teknik pemeriksaan data, yaitu: 1) derajat kepercayaan (credibility); 2) keteralihan (transferability); 3) kebergantungan (dependability); dan 4) kepastian (confirmability). Peneliti dalam mengecek keabsahan data menggunakan credibility (derajat kepercayaan) untuk mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil penemuan dengan jalan pembuktian peneliti, sehingga data tersebut benar – benar
mengandung
nilai
kebenaran.
Teknik
yang
akan
dilakukan
menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain, diluar data itu untk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data tersebut (Lexy J. Moelong, 2005: 330). Teknik yang digunakan adalah teknik triangulasi sumber dan triangulasi metode. Triangulasi sumber pada penelitian ini melibatkan subyek penelitian. Subyek penelitian yang pertama adalah Kepala Sie. PLB DISDIKPORA Provinsi DIY, dan Kepala Kursis TK – SD DISDIK Kab. Sleman sebagai pengelola kebijakan asesmen. Subyek penelitian kedua yaitu kepala sekolah, guru kelas, dan GPK sebagai pihak sekolah yang melaksanakan pengelolaan asesmen. Subyek penelitian ketiga sebagai subyek pendukung yaitu wali
63
siswa ABK. Ketiga subyek di atas diharapkan dapat memberikan hasil yang bersifat kredibel. Triangulasi data dalam penelitian ini juga dilakukan pada teknik pengumpulan data yaitu wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Triangulasi pada teknik pengumpulan data diharapkan dapat meningkatkan keabsahan data yang diperoleh dari penelitian, sehingga data yang diperoleh berifat valid dan sesuai dengan keadaan di lapangan.
64
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Umum 1. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DISDIKPORA) sebagai salah satu instansi pemerintah yang memiliki wewenang dan bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pendidikan pada lima kabupaten di provinsi DIY melalui hubungan dengan Dinas Pendidikan disetiap Kabupaten/ Kota. DISDIKPORA DIY sendiri berada di Jl.Cendana No.9 Yogyakarta berdekatan dengan Inspektorat Provinsi DIY dan Universitas Ahmad Dahlan. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY dibentuk berdasar Peraturan Daerah Provinsi DIY Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi DIY. Berdasarkan Peraturan Gubernur DIY Nomor 41 tahun 2008, sebagaimana disebutkan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga DIY mempunyai tanggung jawab dalam melakukan urusan atau kepentingan Pemerintah Daerah di bidang pendidikan, pemuda, olahraga dan kewenangan dekonsentrasi serta tugas pembantuan yang dilimpahkan pemerintah. Berdasarkan Peraturan Gubernur DIY Nomor 41 Tahun 2008, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga DIY mempunyai tugas melaksanakan urusan Pemerintah Daerah di bidang pendidikan, pemuda dan olahraga dan kewenangan dekonsentrasi serta tugas pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah. Guna melaksanakan tugas tersebut, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY mempunyai fungsi :
65
a) Penyusunan program dan pengendalian pendidikan, pemuda, dan olahraga. b) Perumusan kebijakan teknis di bidang pendidikan, pemuda dan olahraga. c) Pelaksanaan koordinasi perijinan di bidang pendidikan. d) Pemberdayaan mitra kerja dan sumber daya yang ada di bidang pendidikan, pemuda dan olahraga. e) Pelaksanaan kewenangan daerah yang berkaitan dengan pembiayaan, kurikulum, sarana prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, pengendalian mutu pendidikan, pemuda, dan olahraga. f) Pelaksanaan pelayanan umum sesuai dengan kewenangannya. g) Pemberian fasilitasi penyelenggaraan bidang pendidikan, pemuda, dan olahraga Kabupaten/Kota. h) Pelaksanaan evaluasi pendidikan. i) Pelaksanaan kegiatan ketatausahaan. j) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur atu pemerintah daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya. Didalam pelaksanaannya sendiri DISDIKPORA terbagi dalam beberapa bidang seperti Bidang Pendidikan Luar Biasa dan Dasar (Bid. PLB- DIKDAS), Bidang Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti), Bidang Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI), Bidang Standarisasi dan Perencanaan, serta UPTD.Dimana setiap bidang tersebut di kepalai oleh Kepala Bidang atau Kepalas Seksi beserta staff dan jajarannya yang bertanggung jawab terhadap
66
pelaksanaan pendidikan sesuai dengan kebijakan dan kebutuhan yang dibutuhkan untuk mewujudkan pendidikan yang optimal di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun susunan struktur organisasi Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY yaitu sebagai berikut: 1.
Kepala Dinas
2.
Sekretariat
3.
Bidang Perencanaan dan Standarisasi
4.
Bidang Pendidikan Luar Biasa dan Pendidikan Dasar
5.
Bidang Pendidikan Menengah dan Tinggi
6.
Bidang Non Formal dan Informal
7.
Kelompok Jabatan Fungsional
8.
UPTD yang terdiri dari: a. Balai Pelatihan Pendidikan Teknik b. Balai Pengembangan Kegiatan Belajar c. Balai Teknologi Komunikasi Pendidikan d. Balai Pemuda dan Olahraga.
67
Bagan 4. Struktur Organisasi Sumber:http://pendidikan-iy.go.id/dinas_v4/index.php?view=baca_isi_lengkap&id_p=3 a. Visi dan Misi Berdasarkan pada kondisi provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang kaya akan keunggulan komparatif, budaya, serta julukan kota pendidikan yang melekat, ditandai dengan bermacam pilihan pendidikan di semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan yang berkualitas. Hal tersebut tidak lepas dari adanya modal budaya dan modal sosial serta komitmen dari berbagai daerah untuk memajukan dan mengunggulkan pendidikan. Bertolak dari pandangan tersebut, serta berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJPM) DIY dan perkembangan lingkungan strategis, harapan ini dituangkan dalam Visi Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY tahun 2012/2017
68
yaitu mewujudkan kualitas pendidikan, pemuda, dan olahraga yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya. Nilai-nilai luhur budaya yang dimaksud adalah nilai luhur budaya DIY yang beragam dan diperkaya dengan nilai luhur budaya nasional dalam perkembangan budaya global. Visi diatas sebagai upaya dalam mewujudkan visi pembangunan jangka panjang tahun 2005/ 2025 dan jangka menengah 2012/2017 Provinsi DIY. Penempatan nilai luhur budaya dalam pendidikan diletakkan pada tiga hal yaitu, pertama: nilai luhur budaya sebagai aspek penguat tujuan pendidikan, kedua: nilai luhur budaya sebagai pendekatan baik dalam pembelajaran maupun pengelolaan pendidikan, ketiga: nilai luhur budaya sebagai isi atau muatan pendidikan. Upaya untuk mewujudkan Visi Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY tersebut dilakukan dengan merumuskan suatu misi yaitu: 1) Menyediakan pendidikan berkualitas untuk semua dan nondiskriminatif 2) Mengembangkan pendidikan karakter berbasis budaya 3) Mengembangkan pusat-pusat unggulan mutu pendidikan 4) Mengembangkan peran sinergis pendidikan terhadappembangunan 5) Mengembangkan pembinaan pemuda dan olahraga yang berkualitas dan berkarakter 6) Mengembangkan tatakelola pendidikan, pemuda, dan olahraga berbasis budaya
69
Dengan demikian tingkat ketercapaian misi pendidikan di DIY tetap bersumber dari kondisi daerah masing- masing, yang mempunyai peran besar dalam pembangunan pendidikan nasional. b. Tujuan dan Sasaran 1) Tujuan Jangka Menengah Tujuan Jangka Menengah Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY Untuk mewujudkan visi dan misi pembangunan pendidikan DIY dirumuskan tujuan strategis pembangunan pendidikan DIY sebagai berikut: a) Mengembangkan pendidikan berkualitas yang merata untuk semua, berdaya saing, dan nondiskriminatif; b) Menghasilkan generasi muda berkarakter yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, cinta tanah air dan bangsa, berjiwa luhur, berbudaya, menjadi teladan, rela berkorban, kreatif, inovatif, serta profesional; c) Mewujudkan peran DIY dalam menciptakan inovasi pendidikan; d) Mewujudkan pendidikan yang responsif terhadap kebutuhan pembangunan; e) Mewujudkan pemuda dan olahraga yang berkualitas, berdaya saing, dan berbudaya; f) Meningkatkan layanan pendidikan, pemuda, dan olahraga yang akuntabel dan berbudaya.
70
2) Sasaran Jangka Menengah Sasaran Jangka Menengah Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY untuk mewujudkan tujuan strategis pembangunan pendidikan DIY dirumuskan sasaran strategis sebagai berikut: a) Terwujudnya pendidikan berkualitas untuk semua, berdaya saing dan nondiskrimatif b) Terwujudnya pendidikan karakter yang mengedepankan kemajuan dan kedamaian dalam kemajemukan; c) Terwujudnya inovasi pendidikan yang handal; d) Terwujudnya
pendidikan
yang
sinergis
dengan
kebutuhan
pembangunan; e) Terwujudnya kapasitas pemuda dan olahraga yang berkualitas, berdaya saing dan berbudaya; f) Terwujudnya layanan pendidikan, pemuda, dan olahraga yang akuntabel dan berbudaya. Salah satu bidang yang mejadi setting pada penelitian ini adalah Bidang PLB dan Dikdas, khususnya pada Seksi Pendidikan Luar Biasa (PLB). Seksi PLB bertanggung jawab dalam usaha peningkatan mutu pendidikan luar biasa bagi anak berkebutuhan khusus. Seksi Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Provinsi Yogyakarta merupakan sebuah lembaga
pendidikan
yang
bertugas
melaksanakan
perencanaan,
pengelolaan, monitoring, serta pengawasan seluruh kegiatan pembelajaran pendidikan luar biasa di Provinsi Yogyakarta. Dimana Seksi PLB ini
71
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan SLB (Sekolah Luar Biasa) yang ada di 5 (lima) kabupaten di Provinsi Yogyakarta yang berjumlah 76 SLB baik itu SLB Negeri dan Swasta. Sekolah Luar Biasa (SLB) merupakan lembaga pendidikan formal yang yang melayani pendidikan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus, baik secara fisik, mental maupun kemampuan sosialnya. Adapun rincian SLB di Kota Yogyakarta berjumlah
9 SLB, Kabupaten Bantul berjumlah 18 SLB,
Kabupaten Kulonprogo berjumlah 8 SLB, Kabupaten Gunung Kidul berjumlah 11 SLB, dan, dan Kota Sleman dengan 18 sekolah. Disamping SLB, Seksi PLB juga berwewenang sebagai pembina untuk membantu Dinas Kabupaten/ Kota dalam mengelola sekolah inklusi yang ada di lima kabupaten Provinsi Yogyakarta. Hal tersebut dikarenakan Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota sebagai pelaksana yang bertanggung jawab penuh terhadap pengelolaan sekolah inklusi. Sekolah inklusi sendiri adalah pendidikan yang menempatkan anak berkebutuhan khusus dan anak normal dalam satu kelas reguler baik itu Taman Kanak- Kanak, Sekolah Dasar, Menengah dan sebagainya. Pembelajaran yang diberikan terhadap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, seluruh kebutuhan yang dibutuhkan anak diupayakan agar dapat terpenuhi dengan baik melalui penyesuaian. Adapun beberapa sekolah inklusi tersebut sebanyak 156 sekolah yang ada di Provinsi DIY pada tahun ajaran 2015/2016, dengan rincian sebagai berikut:
72
Tabel. 6 Rekapitulasi data individu sekolah inklusi dan ABK No
Kabupaten/Kota
Jumlah Siswa ABK
Jumlah Sekolah
SD/MI
SMP/Mts SD/MI
SMP/ Mts
1
Yogyakarta
11
7
4
200
50
2
Bantul
39
36
3
580
50
3
Gunungkidul
47
41
6
689
120
4
Kulonprogo
26
22
4
236
16
5
Sleman
33
28
5
426
81
156
134
22
2131
317
Total
Sumber : Sie. PLB data per Februari 2015 Program Sie PLB yang dijadwalkan pada tahun pelajaran 2016 yaitu program pembinaan forum masyarakat peduli pendidikan, pengembangan kurikulum, pemberian layanan kesehatan siswa, pelatihan pendidikan kesehatan reproduksi, penyununan dan penulisan soal ujian SLB, koordinasi dan pembinaan guru SLB/ SPPI, koordinasi dan pembinaan kepala SLB, Pengembangan dan pembinaan forum penyelenggaraan pendidikan SLB, supervisi pengawas SLB, pembinaan minat bakat dan kreatifitas siswa, seleksi, pembinaan, dan pengiriman SOINA, jambora PK-PLK, dan pelatihan pengelolaan assessmen guru SPPI. Program tersebut ditujukan untuk mendukung terlaksananya pendidikan khusus dan pelayanan pendidikan khusus di provinsi DIY. Salah satu bentuk implementasi kebijakan terkait pengelolaan assessmen anak berkebutuhan khusus yang dilakukan oleh DISDIKPORA Provinsi DIY adalah dengan mengadakan suatu pelatihan pengelolaan assessmen anak berkebutuhan khusus kepada guru – guru SPPI di
73
DIY. Pada tahun ini dilakukan
pada tanggal 5-9 September 2016 di
University Hotel, dengan mengundang berbagai narasumber. 2. Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman Dinas Pendidikan Kabupaten
Sleman merupakan Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (SKPD) yang yang melaksanakan urusan pemerintahan dengan memperhatikan kebutuhan, potensi, cakupan tugas, jumlah dan kepadatan penduduk, kemampuan keuangan, serta sarana dan prasarana daerah. Hal itu berdasarkan Peraturan Bupati Sleman No.9 Tahun 2009 terkait Organisasi Pemerintah Daerah di Kabupaten Sleman. Berdasarkan uraian tersebut Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman mempunyai tugas untuk menjalankan pemerintahan daerah khususnya di bidang pendidikan, kepemudaan dan olahraga. Dinas Pendidikan (DISDIK) Sleman berada di Jl. Parasamya,
Beran,
Tridadi,
Kecamatan
Sleman,
Daerah
Istimewa
Yogyakarta. Lokasi ini berada di satu kompleks pemerintahan daerah Sleman berjajar dengan BKD (badan Kepegawaian Daerah), DPKAD (Dewan Pengelola Keuangan Anggaran Daerah) dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Sleman. Berhadapan dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Bapedda Sleman. Visi dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman adalah: “Terwujudnya Pendidikan yang Berkualitas Berlandaskan Budaya Bangsa” Makna dari Visi Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman adalah adanya harapan agar pendidikan yang berkualitas itu dapat terwujud secara nyata yang berdasar pada budaya bangsa. Budaya bangsa dijadikan dasar dalam upaya menciptakan pendidikan
74
yang berkualitas dalam rangka menciptakan insan pendidikan berkualitas yang tidak meninggalkan budaya bangsa.
Untuk mencapai visi tersebut,
Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman menetapkan misi sebagai berikut: a) Meningkatkan pemerataan dan kualitas pendidikan. b) Menciptakan iklim pendidikan yang kompetitif berdasarkan potensi dan budaya bangsa. c) Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan, organisasi pemuda dan olahraga serta peran serta masyarakat dalam pembangunan bidang pendidikan. Didalam penyusunan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD) Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, memiliki kebijakan–kebijakan sebagai berikut : a) Mempertahankan Wajar 9 tahun dan merintis Wajar 12 tahun. b) Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kependidikan. c) Melaksanakan dan mengembangkan kurikulum nasional maupun lokal dalam proses pembelajaran di sekolah. d) Rehabilitasi, pemeliharaan, dan pengadaan sarana prasarana pendidikan. e) Meningkatkan prestasi siswa, pemuda, dan olahraga. 3. SD Negeri Brengosan 1 a) Profil Sekolah Nama Sekolah
: SD Negeri Brengosan 1
Kabupaten
: Sleman
75
Propinsi
:DIY
Alamat Sekolah
: Kayunan, Donoharjo, Ngaglik, Sleman,
Status Sekolah
: Negeri
NSS
: 101040213003
NPSN
: 20401387
Tahun didirikan
: 1951
Nama Lengkap Kep Sek
: A.Sarjiyo, S.Pd
Pendidikan Terakhir
: S1
Jurusan
: PGSD
TMT Menjabat
: 05 Agustus 2011
b) Tinjauan Sekolah SD Negeri Brengosan 1 berada di Dusun Kayunan, Desa Donoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Walaupun berada di Dusun Kayunan tetapi namanya SD Negeri Brengosan 1 bukan SD Negeri Kayunan, hal itu terjadi karena pada awalnya sekolah berada di Dusun Brengosan
tetapi
tidak
mempunyai
gedung
permanen
sehingga
menumpang di salah satu rumah milik warga dusun Brengosan. Selanjutnya kedudukan sekolah pernah pindah dari rumah ke rumah dan ahirnya oleh pemerintah Desa Donoharjo, diberi tempat tanah kas desa yang berada di Dusun Kayunan dengan hak pakai. Nama sekolah tetap menggunakan nama SD Brengosan1. Sedangkan angka 1 dibelakang nama sekolah karena di Dusun Brengosan ada dua Sekolah Dasar, yaitu SD Negeri Brengosan 1 dan SD Negeri Brengosan 2.
76
Sekolah berdiri pada tahun 1951, dan sampai saat ini mengalami berbagai perubahan, mulai dari kondisi sarana prasarana yang sangat sederhana dan sampai saat ini telah memiliki gedung permanen walaupun belum memenuhi standar. Sekolah Dasar Negeri Brengosan 1 ditetapkan sebagai SD inti Gugus 1 Kecamatan Ngaglik. Mulai tahun pelajaran 2006/2007 menjadi sekolah inklusi.Tahun pelajaran 2011/2012 ini ada 14 anak berkebutuhan khusus yang menuntut ilmu bersama –sama dengan teman sebaya yang normal. Sekolah Dasar Negeri Brengosan 1 saat ini memiliki 6 rombongan belajar, dengan jumlah siswa 169 siswa, pembimbingnya ada 15 orang dengan rincian satu orang kepala sekolah, enam orang guru kelas, satu orang guru olahraga, satu orang guru agama Islam, satu orang guru mapel Bahasa Inggris, satu orang guru karawitan, satu orang guru inklusi, satu orang petugas tata usaha, satu orang pustakawan, dan satu orang penjaga sekolah. Walaupun kondisi pendidik dan tenaga kependidikan baru sebagian yang memenuhi standar pendidik dan tenaga kependidikan namun diharapkan dapat mengikuti perkembangan jaman, karena sebagian besar masih muda dan bersemangat. Dukungan masyarakat terhadap perkembangan sekolah cukup baik, dan masih memungkinkan untuk ditingkatkan. Letak geografis SD N Brengosan 1 tepatnya berada : Sebelah timur : SMP N 1 Ngaglik, Kantor Desa Sardonoharjo Sebelah Utara : Sawah
77
Sebelah Barat : Sawah Sebelah Selatan: Makam, Dusun Kayunan Lokasi tersebut dirasa cukup strategis karena berdekatan dengan instansi- instansi terkait seperti Kantor Desa, SMP, SMA, pemukiman penduduk, serta Puskesmas. Akses jalan juga dekat dengan jalan utama yaitu jalan Palagan Tentara Pelajar yang hanya berjarak kurang lebih 100 meter. Sedangkan untuk area lalu lintas sendiri tidak terlalu ramai sehingga memberikan suasana yang nyaman. Prestasi sekolah juga cukup membanggakan, rata-rata Ujian Nasional tahun 2010/2011 mencapai 7,28 prestasi non akademik juara III karawitan tingkat Kecamatan Ngaglik. Prestasi ini tentunya masih perlu mendapat perhatian untuk ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang. c) Visi dan Misi Sekolah Sekolah mempunyai visi yaitu unggul dalam prestasi dan berbudaya. Hal tersebut menunjukkan dalam mencapai sebuah prestasi yang diinginkan, tetap harus berpegang pada budaya sendiri, supaya nilai luhur budaya tidak akan hilang justru semakin berkembang. Dengan demikian upaya sekolah dalam mewujudkan misi itu adalah dengan menetapkan beberapa misi diantaranya: a) Mengembangkan kurikulum yang adaptif dan proaktif b) Mengintensifkan proses pembelajaran. c) Melengkapi sarana dan prasarana pembelajaran. d) Meningkatkan Profesionalitas Guru dan Tenaga Kependidikan
78
e) Meningkatkan prestasi akademik dan non akademik f) Melestarikan budaya bangsa g) Meningkatkan kerja sama inter dan antar sekolah h) Meningkatkan Peran serta masyarakat pada kegiatan sekolah. i) Melaksanakan dan mengembangkan Pendidikan berkarakter dan berbudaya Upaya yang dilakukan sekolah untuk mewujudkan visi dan misi SD N Brengosan 1 tersebut dengan menetapkan tujuan dalam kurun waktu 4 tahun ke depan 2012 – 2017 sebagai berikut : 1) Mengembangkan KTSP yang sudah ada 2) Melaksanakan tambahan pelajaran 3) Melaksanakan ekstra kurikuler karawitan dan seni tari 4) Melengkapi sarana dan prasarana pembelajaran 5) Mendorong peningkatan kualifikasi guru dan Tenaga Kependidikan 6) Meningkatkan Nilai rata-rata UN/US dan TKM 7) Meningkatkan prestasi dalam kegiatan lomba MTQ dan Olahraga 8) Menjalin kerja sama yang erat dengan masyarakat 9) Memberikan layanan pada anak berkebutuhan khusus Hal tersebut mnunjukkan jika SD N Brengosan I tidak hanya menjunjung atau mengedapankan keakademikan saja namun juga non akademik. selain itu sekolah tetap berkeinginan memberikan pelayanan pendidikan yang tidak diskrimansi anak, serta memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai.
79
d) Kondisi Ketenagaan Berikut data keadaan tenaga kepegawaian yang ada di SD Negeri Brengosan I tahun ajaran 2016/2017. Tabel.7 Data Kepegawaian No
Status Guru
Tingkat Pendidikan SLTA
D1
D2
D3
S1
S2
S3
1
Guru Tetap
-
-
4
-
4
-
-
2
Guru
Tidak
-
-
1
-
3
-
-
Tidak
1
-
-
-
1
-
-
Tetap 3
Peg. Tetap
Sumber: Data Pegawai SD Negeri Brengosan I Tahun 2016 Berdasarkan data diatas dapat diketahui jika data di SD Negeri Brengosan I , mayoritas guru tetap yang berjumlah 8 (delapan) guru, guru tidaktetap sebanyak 4 (empat guru), dan pegawai tidak tetap sebanyak 2 (dua) orang. Ditinjau dari status pendidikan terakhir guru yang lulusan S-1 sebanyak 7 (tujuh) guru dan lulusan D-2 sebanyak 5 (lima) guru, sehingga guru lulusan S-1 lebih banyak. Sedangan untuk data pegawai administrasi yang lulusan S-1 ada 1 (satu) orang, dan lulusan SMA/SLTA ada 1 (satu) orang. Dengan demikian total pegawai dan guru yang ada di SD Negeri Brengosan tersebut ada 14 (empat belas) tenaga. e) Kondisi Sarana dan Prasarana Berikut ini data terkait ruangan dan alat peraga atau penunjang yang ada di SD Negeri Brengosan I
80
Tabel. 8 Data Ruangan Jenis Ruang
Jumlah Ruang
Luas
Ruang Kelas
6
7X8m
Ruang UKS
1
4X2M
Ruang Kepala Sekolah
1
4X5M
Ruang Guru
1
7X8m
Ruang Komputer
1
4X7m
Mushola
1
7X7m
Tempat Parkir Guru
1
6X5m
Sumber: Data kelengkapan sarana di SD N Brengosan I Berdasarkan data diatas dapat diketahui jika ruangan yang ada di SD N Brengosan I sebanyak 11 (sebelas) ruangan. Ruang kelas dari jenjang kelas 1 (satu) hingga kelas 6 (enam) sebanyak 6 (enam) ruangan. Sedangkan ruang guru, komputer, kepala sekolah,tempat parkir dan mushola masing- masing satu ruangan. Tabel. 9 Alat Peraga / Praktek penunjang. No
Jenis Alat
Jumlah/Unit
Kebutuhan
Kekurangan
1
Alat Komputer KBM
1
10
9
2
Alat Olah Raga
25
50
25
3
Alat Kesenian
29
50
21
4
Alat Peraga IPA
8
25
17
5
Alat Peraga IPS
6
15
9
6
Alat Peraga Matematika
6
15
9
7
Mesin Ketik
1
1
-
8
Komputer Kantor
1
5
4
81
Lanjutan Tabel 9 Alat peraga No
Jenis/ Alat
Jumlah/Unit
Kebutuhan
Kekurangan
9
Televisi
1
3
2
10
Tape Recorder
1
2
1
Sumber: Data kelengkapan sarana di SD N Brengosan I Berdasarkan data diatas dapat diketahui jika alat peraga kesenian paling dominan sebanyak 29 (dua puluh sembilan) buah, dan alat olah raga sebanyak 25 (dua puluh lima) buah. Selian itu masih didukung dengan beberapa alat peraga/ penunjang lainnya seperti komputer KBM sebanyak satu buah, alat peraga IPA sebanyak 8 (delapan) buah, alat peraga IPS dan Matematika sebanyak 6 (enam), mesin ketik, komputer kantor, televisi, dan tape recorder masing- masing sebanyak satu buah. Kondisi lainnya adalah sarana penunjang tersebut masih membutuhkan beberapa tambahan alat, agar proses pembelajaran dan administrasi dapat berjalan optimal. f) Kondisi Kesiswaan Secara keseluruhan siswa yang ada di SD Negeri Brengosan I ini ada 169 siswa di tahun ajaran 2016/2017. Hal tersebut bisa dikatakan fluktuaktif jika dilihat selama 3 tahun terakhir ini, dengan rincian sebagai berikut:
82
Tabel 10. Daftar Siswa tahun selama 3 tahun No
Tahun Pelajaran
Jumlah Siswa per Kelas
Jumlah total
I
II
III
IV
V
VI
1
2014/2015
29
29
32
25
29
23
167
2
2015/2016
28
28
29
32
25
28
170
3
2016/2017
19
27
32
32
27
32
169
Sumber: Data kelengkapan sarana di SD N Brengosan I SD negeri Brengosan I merupakan salah satu sekolah inklusi yang ada di kecamatan Pakem, jika melihat data siswa yang dikategorikan ABK (anak berkebutuhan khusus) jumlah siswanya cukup banyak pada tahun ajaran 2016/2017. Rata – rata siswa tersebut memiliki jenis ketunaan lambat belajar (slow learner), beberapa siswa ada yang berketunaan tunagrahita. Berikut rincian data siswa ABK tahun ajaran 2016/2017: Tabel 11. Data Siswa Berkebutuhan Khusus SD N Brengosan I Tahun Ajaran 2016/2017 No.
Rombongan Belajar
Ketunaan H (slow learner)
Ketunaan C (Tunagrahita)
L
P
L
P
Jumlah
1
Kelas I
1
-
-
-
1
2
Kelas II
2
-
-
-
2
3
Kelas III
2
1
2
-
5
4
Kelas IV
3
2
1
-
6
5
Kelas V
3
-
-
-
3
6
Kelas VI
3
-
-
-
3
14
3
3
-
20
Jumlah
Sumber: Data siswa SD N Brengosan 1 Tahun 2016 dengan pengolahan
83
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui jika keadaan siswa berkebutuhan khusus yang ada di SD Negeri Brengosan I mayoritas mengalami gangguan atau hambatan pada aspek intelektual dan kecerdasan. Anak yang mengalami lambat belajar (slow learner) sebanyak 17 siswa dan anak tunagrahita terdapat 3 siswa. Siswa berkebutuhan khusus lebih banyak di kelas tiga dan empat berbeda dengan empat kelas lainnya. B. Hasil Penelitian 1. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen Anak berkebutuhan Khusus di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi yang terdiri dari lima kabupaten/ kota. Daerah yang kaya akan potensi budaya, sosial, wisata
dan pendidikan yang bernilai tinggi. Pendidikan
merupakan hal yang penting bagi perkembangan moral, kemampuan dan karakter guna menciptakan masyarakat yang berkualitas. Didalam upaya memenuhi kebutuhan pendidikan
tersebut dibentuklah Satuan Kerja
Pemerintahan Daerah (SKPD) yang bergerak dibidang pendidikan yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan pendidikian di setiap Kabupaten/ Kota. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga baik di Provinsi DIY dan kabupaten Sleman merupakan salah satu bagian Satuan Kerja Pemerintahan Daerah yang bersama – sama bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan, kepemudaan dan keolahragaan. Jikalau DISDIKPORA Provinsi bertanggung jawab pada pengelolaan pendidikan di lima Dinas Pendidikan setiap kabupaten yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. DISDIK
84
Sleman lebih khusus pada pengelolaan pendidikan di Kabupaten Sleman itu sendiri. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak merupakan suatu kewajiban yang harus diperjuangkan, dipenuhi dan dirasakan oleh setiap masyarakat tanpa kecuali. Hal tersebut telah diatur dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab IV pasal 5 yang mengatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang layak. Pernyataan tersebut menunjukkan jika negara juga berkewajiban untuk memberikan akses pendidikan yang mencakup semua, serta pelayanan pendidikan yang bermutu bagi masyarakat tanpa kecuali mereka yang berkebutuhan khusus. Implementasi kebijakan adalah suatu tindakan yang dilakukan pemerintah atau pihak yang berwenang untuk mencapai tujuan dari suatu kebijakan. Implementasi kebijakan mempunyai beberapa tahapan yang dapat dilakukan agar tujuan kebijakan tercapai. Lineberry menjelaskan terdapat empat pilar tahapan dalam pelaksanaan kebijakan yaitu membuat dan menyusun staf atau agen, mengembangkan kerangka kerja, melakukan koordinasi sumberdaya dan pembiayaan, serta pengalokasian sumber daya. Berikut hasil penelitian mengenai tahapan yang dilalui Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Provinsi DIY dalam implementasi kebijakan tersebut:
85
a.
Membuat dan Menyusun Staf atau Agen Tahap ini mempunyai tujuan untuk menyusun agen guna melaksanakan kebijakan yang akan dilaksanakan. Pemenuhan pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus merupakan kewajiban dari pemerintah untuk dapat terpenuhi. Kebijakan terhadap pemenuhan pendidikan bagi penyandang kebutuhan khusus telah diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi DIY No 4 tahun 2012 tentang perlindungan penyandang disabilitas. Bahwasanya pendidikan anak berkebutuhan khusus dilakukan dalam dua pelayanan yaitu pendidikan luar biasa dan pendidikan inklusif. Berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka pengelolaan pendidikan khusus menjadi kewenangan Daerah Provinsi yang bertugas dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman berupaya memenuhi pendidikan anak berkebutuhan khusus tersebut melalui pendidikan inklusi yang mengacu pada Permendiknas No. 70 tahun 2009 dan
Peraturan
Gubernur
DIY
No.21
tahun
2013
tentang
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Seperti halnya yang dikemukaan bapak S selaku Kepala Seksi Kurikulum TK-SD Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman pada wawancara tanggal 30 September 2016: “Peran dikpora sleman adalah sebagai pelaksana dari pemerintah
daerah sleman khususnya di bidang pendidikan, pelayanan kepada masyarakat dalam dunia pendidikan tanpa terkecuali for all, baik anak sempurna atau anak yang dilahirkan dalam tanda petik berkebutuhan khusus. Sehingga anak berkebutuhan khusus jika secara akademik dia mampu di bina, dilatih, dikembangkan disekolah umum tetep dapat mengakses di sekolah umum atau
86
sekolah inklusi. Juga mendasar pada Permendikud No. 70 tahun 2009 kaitannya dengan pendidikan inklusi.” Pendidikan inklusif merupakan penempatan anak berkebtuhan khusus pada lingkungan pembelajaran yang sama dengan anak normal, yang dilakukan di sekolah reguler atau umum. Sekolah inklusi berupaya mengatasi permasalahan pemerataan pendidikan anak berkebutuhan khusus untuk dapat bersekolah di sekolah umum. Oleh karena itu penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Sleman dilakukan melalui pendidikan inklusi. Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman tidak berwenang menyelenggarakan pendidikan khusus atau pendidikan luar biasa dikarenakan SLB berada di bawah naungan dan tanggung jawab Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY. Seperti halnya yang disampaikan Bapak P selaku Kepala Seksi Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY pada wawancara tanggal 6 September 2016 : “Jadi sekolah inklusi merupakan sekolah reguler seperti SD,SMP, SMA, yang menerima anak berkebutuhan khusus, sekolah reguler tersebut berada di kabupaten/kota masing- masing, akan tetapi memang untuk koordinasinya ada koordinasi dengan kami jika ada permasalahan. Namun bukan sepenuhnya menjadi tanggungan kami. Jadi sekolah inklusi tidak berada DISDIKPORA Provinsi, sedangkan SLB langsung berada dibawah binaan kami. Untuk saat ini ada sekitar 76 sekolah luar biasa di Jogja. Kalau sekolah inklusinya ada 150 an sekolah di lima kabupaten, jadi kami juga mengakomodasi pelaksanaan inklusi di 5 Kabupaten” Dengan demikian penyusunan agen yang dilakukan di Provinsi DIY dibagi dalam dua peran. Pengelolaan sekolah inklusi yang berada di Dinas Pendidikan Kabupaten, dan pengelolaan SLB yang dilakukan oleh
87
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY. Agen kebijakan tersebut akan tetap terikat dalam mengatasi permasalahan yang terjadi. Pada dasarnya Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY tetap berperan dalam mengawasi pendidikan di lima kabupaten. Dengan kata lain Dinas pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY berperan sebagai pembina di sekolah inklusi, sedangkan Dinas Pendidikan Kabupaten sebagai pelaksana. Sehingga antara dua lembaga pendidikan tersebut mempunyai hubungan dalam melaksanakan, mengelola pendidikan yang ada dari provinsi ke daerah lainnya. Namun tetap yang mengelola secara penuh pendidikan inklusi adalah Kabupaten/ Kota itu sendiri. b. Mengembangkan Kerangka Kerja Tahap ini bermaksud untuk menerjemahkan tujuan legislatif dan secara sungguh – sungguh memasukkannya dalam aturan pelaksanaan, mengembangkan panduan atau kerangka kerja bagi pelaksana kebijakan. Didalam praktek pendidikan inklusi penetapannya dilakukan melalui penunjukkan yang dikeluarkan olah Pendidikan
untuk
menjalankan
Kepala Bupati atau Dinas
pendidikan
inklusi.
Keputusan
Penunjukkan Inklusi di Kabupaten Sleman sendiri tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sleman No. 245 tahun 2012 menetapkan bahwa dalam rangka peningkatan kualitas dan akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus perlu adanya sekolah pendidikan inklusi. Hal itu menunjukkan
88
jika penetapan keputusan tersebut menjadi panduan atau petunjuk bagi sekolah yang melaksanakan pendidikan inklusi. Berbeda dengan saat ini dimana sudah tidak menggunakan aturan tentang surat penunjukkan inklusi disekolah- sekolah. Dikarenakan pemerintahan DIY sudah berkomitmen bahwa setiap sekolah umum di DIY wajib menerima ABK, sebagai bentuk mewujudkan pendidikan bagi semua masyarakat khususnya anak yang mengalami kebutuhan khusus tanpa diskrimanasi. Seperti yang dikemukakan Bapak S pada wawancara 9 September 2016: “Penunjukan inklusi itu kadangkala membutuhkan surat penetapan inklusi untuk mendapatkan hibah bantuan dari APBN, contohnya pengadaan bantuan kursi roda, braile terkadang membutuhkan itu. Tapi sebenarnya penetapan sekolah inklusi dari kepala SKPD sebetulnya tidak diperlukan. Karena nanti dikhawatirkan ada pelemparan tanggung jawab antara sekolah inklusi yang ditunjuk dengan sekolah umum. Pada prinsipnya sekolah di DIY itu inklusi jadi wajib menerima abk sejauh anak ini mampu dididik, tapi kalo anak itu memiliki ketunaan yang serius seharusnya disekolah SLB, jangan sampai ada tumpang tindih atau overlaping antara SLB dan inklusi. Tentunya sekolah juga mempunyai standar tersendiri dalam penerimaan siswa baru “ Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Bapak P pada wawancara 6 September 2016: “Sekolah inklusi merupakan sekolah umum yang didalamnya ada
anak berkebutuhan khusus, jadi sesuai dengan deklarasi inklusi di DIY pada bulan September 2014, bahwa semua sekolah di DIY itu wajib menerima abk dan wajib menjadi sekolah inklusi” Hal tersebut menunjukkan jika saat ini semua sekolah harus mampu untuk menerima dan memberikan pelayanan pendidikan tidak hanya anak normal tapi anak berkebutuhan khusus tetap mendapat hak
89
yang sama. Setiap sekolah dilarang untuk menolak keberadaan anak berkebutuhan khusus di sekolah umum. Apabila ada sekolah yang menerima ABK dia menjadi inklusi, jika tidak ada sekolah hanya menjadi sekolah umum. Sehingga tidak akan adalagi pelemparan anak didik yang di sekolah umum ke sekolah inklusi yang telah ditunjuk, karena hakekatnya semua sekolah di DIY wajib menerima ABK. Apabila menyangkut tentang Peraturan Daerah tentang pendidikan inklusi di Sleman untuk saat ini belum ada, seperti pendapat Bapak S pada wawancara 9 September 2016: “jika menyangkut regulasi yang dibuat oleh sleman sendriri belum
ada, masih mengacu Pergub dan Permendiknas. Belum ada bukan berati sekolah inklusi di sleman ini tertinggal, sering juga melakukan studi bandiing untuk belajar bersama dengan daerah lain” Walaupun tidak ada regulasi khusus, namun Sleman tetap berkomitmen bahwa pendidikan inklusi tetap dapat jalan, karena sudah mengacu ke kebijakan pusat. Hal tersebut menunjukkan jika kebijakan yang dibuat pusat menjadi acuan dalam pelaksanaan kerja Dinas Pendidikan di Provinsi DIY. Acuan tersebut menjadi dasar dalam menyusun petunjuk teknis yang dikembangkan Dinas Pendidikan di Provinsi DIY bagi sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi sebagai sasaran kebijakan. Aturan yang mengatur segala sesuataunya terkait pendidikan inklusi, seperti pembelajarannya, pengelolaan ABK, sumber –sumber pendukung, serta proses identifikasi atau asesmennya.
90
c.
Melakukan Koordinasi terkait Sumber Daya dan Pembiayaan Pada tahap ini dilakukan koordinasi terkait sumberdaya dan pembiayaan untuk kelompok sasaran, pengembangan dan pembagian tanggung jawab antar agen. Proses pembelajaran pendidikan inklusi pada dasarnya sama dengan sekolah reguler lainnya, hanya saja ada perubahan pada karakter siswanya, modifikasi di kurikulum sesuai kebutuhan anak, serta guru pendamping khusus. Guru pendampig khusus (GPK) merupakan sumber daya manusia yang bekerja langsung mendampingi anak berkebutuhan khusus, memahami karakter anak, dan penanganan yang baik dan sesuai di sekolah. Sehingga anak dapat mengikuti pembelajaran di kelas dengan maksimal, idealnya seorang guru pendamping khusus menangani satu ABK. Alokasi waktu seorang GPK di sekolah inklusi sendiri hanya dua hari dalam satu minggu. Seiring perkembangan waktu permintaan GPK dari sekolah inklusi terus bertambah. Untuk itu dalam pengelolaan GPK di Daerah Sleman berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY dalam memenuhi permintaan GPK seperti halnya yang dikemukakan bapak S pada wawancara 9 September 2016: “Pengelolaan GPK itu kewenangan Dinas Pendidikan tingkat Provinsi, Sleman tidak mempunyai kewenangan untuk mengangkat. Selain itu yang memberi gaji GPK adalah Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY khususnya Seksi PLB” Jadi Dinas Pendidikan Sleman masih meminta bantuan dari Dinas Provinsi terkait pemenuhan GPK, belum secara khusus mencari lulusan PLB untuk ditugaskan menjadi GPK honorer di sekolah inklusi. Dinas
91
Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY sendiri telah mengirim 138 GPK ke sekolah inklusi yang sudah lama atau sudah mendapat SK penunjukkan, dan masih ada beberapa sekolah inklusi belum memiliki GPK. Hal ini seperti yang dijelaskan bapak P pada wawancara 6 September 2016: “Jadi kita berupaya memberikan GPK ke sekolah inklusi tetapi hanya sebagian kecil. Seharusnya Kab/ Kota yang otomatis memang secara betul-betul mengelola untuk memfasilitasinya tetapi karena kaitanya dengan adanya anak berkebutuhan khusus, terkadang mereka lapor ke kami dan kami menindaklanjuti sesuai kemampuan.” Berdasarkan
wawancara
tersebut
dapat
diketahui
bahwa
Kabupaten/ Kota masih sangat bergantung dari sumber daya yang ada di tingkat Provinsi. Tidak semua Kabupaten/ Kota merekrut tenaga guru PLB yang dapat menjadi GPK di sekolah inklusi. Peran GPK dalam pendidikan inklusi memang penting, untuk membantu siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas secara penuh. Seperti pernyataan dari Ibu Astuti selaku Guru Pembimbing Khusus di SD N Brengosan I pada wawancara 15 September 2016 yaitu “Peran yang selama ini saya lakukan jadi karena waktu saya hanya dua hari ya mas jadi saya membagi setiap kelas yang memang saya prioritaskan perlu sangat perlu untuk saya dampingi yang abknya banyak untuk mendampingi pembelajaran, jadi ketika siswa mengalami ksulitan dalam pembelajaran saya akan membantu bukan membantu pengajaran tetapi memberikan pemahaman apa yang dia belum paham. Paling banyak abk ada dikelas 4 dan 3, tapi kebanyakan disini slow learner atau lambat belajar” Sebuah sekolah tentu akan membutukan GPK yang lebih jika mendapati
anak
didiknya
yang mempunyai
92
ketunaan beragam.
Dikarenakan guru kelas bukan lulusan pendidikan luar biasa, dan minim pengetahuan ABK. Sehingga tetap dibutuhkan alokasi GPK yang lebih di sekolah inklusi. Upaya yang dilakukan Dinas Pendidikan saat ini dengan meningkatkan sumber daya manusia yang ada di sekolah melalui pelatihan- pelatihan. Selain
itu
anggaran
pembiayaan
yang
digunakan
dalam
pelaksanaan pendidikan inklusi, diantaranya untuk keperluan sarana prasarana yang dibutuhkan, mengadakan pelatihan atau penguatan SDM, atau pelaksanaan asesmen disekolah. Pembiayaan yang dikeluarkan bersumber dari APBD untuk menunjang pelaksanaan pendidikan inklusi itu. Hal tersebut seperti yang dinyatakan kepala Kursis TK-SD, yang mengatakan bahwa” pengeluaran APBD untuk sekolah inklusi sama dengan sekolah umum, bersumber dari BOSNAS, BOSDA, dan BOSKAB, hanya saja ada pengeluaran khusus APBD seperti anggaran adanya pelatihan”. Hal itu diperkuat dengan pernyataan kepala seksi PLB yang mengatakan “Itu yang mengelola dari Dinas Kabupaten atau Kota seperti BOS dan APBD, kalau dari kami biasanya menggunakan bantuan APBD untuk mengadakan pelatihan – pelatihan, dan membantu sarana – sarana untuk sekolah inklusi”. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditekankan bahwa Dinas Pendidikan berupaya memaksimalkan anggaran yang diperoleh untuk menunjang keberlangsungan pendidikan inklusi, baik dalam penguatan SDM, pemberian bantuan sarpras, maupun dalam pelaksanaan asesmen.
93
d. Pengalokasian Sumber Daya Tahapan
dalam mengalokasikan sumber daya ini untuk
mendapatkan dampak kebijakan. Suatu proses pendidikan atau pembelajarannya tidak akan lepas dari peran serta guru, murid, kurikulum dan fasilitas. Berdasarkan hal tersebut, guru memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Guru merupakan tenaga pendidik yang mempunyai tugas untuk membimbing, membelajarkan, dan melatih peserta didik. Guru harus mampu untuk memberikan materi atau bimbingan dalam pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak yang dapat dilakukan melalui proses asesmen baik disekolah umum (inklusi) atau sekolah luar biasa. Guru kelas akan melaksanakan tugasnya bersama dengan guru pendamping khusus (GPK). Hal ini untuk menyeimbangkan pengetahuan tentang kekhususan pada ABK yang belum secara penuh dipahami beberapa guru kelas. Pengalokasian GPK tersebut berasal dari tenaga yang ada di SLB, untuk diperbantukan di sekolah inklusi. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY sebagai badan yang bertanggung jawab dan mengelola SLB di Provinsi DIY mengalokasikan beberapa tenaga guru SLB untuk menjadi GPK. Sesuai dengan keberadaan sekolah inklusi yang ada di setiap Kabupaten/Kota. Walaupun Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY sudah mengirim GPK dari SLB untuk diperbantukan di sekolah inklusi namun tidak bisa memenuhi semua permintaan, dikarenakan SLB justru akan kekurangan guru atau bahkan
94
tutup. Hal tersebut disampaikan oleh Bapak P pada wawancara 6 September 2016 yang mengatakan: “...tapi seperti yang disampaikan Kepala Dinas, kami mengirim GPK kesana dengan jumlah terbatas. Jika kami mengirim GPK sesuai dengan permintaan yang diharapkan oleh sekolah reguler dalam artian sekolah inklusi itu habis guru- guru PLB. Nantinya SLB bisa tutup, karena sekolah SLB jika dibandingkan sekolah reguler jauh lebih banyak sekolah reguler” Pernyataan tersebut didukung oleh Bapak S pada wawancara tanggal 9 September 2016 bahwa: “....Jadi kebutuhan tenaga GPK saat ini masih terbatas dari Dinas Pendidikan Provinsi, tetapi kalau sekolah yang mampu mereka akan mencari GPK sendiri tetapi itu hanya beberapa saja”. Berdasarkan wawancara tersebut diketahui jika sumber daya guru di SLB sendiri terbatas, dan perbandingan antara SLB dengan sekolah umum sangat jauh. Apabila guru di SLB dipinjamkan ke sejumlah sekolah inklusi, dampak yang ditimbulkan adalah siswa SLB akan tertinggal bahkan SLB akan tutup. Dikarenakan kekurangan sumber daya pengajar di SLB. Sesuai dengan ketetapan pemerintah DIY tentang setiap sekolah reguler sama dengan inklusi, banyak permintaan GPK yang diajukan dari Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota. Peran GPK dalam pelaksanaan pendidikan inklusi sangat penting, selain bertugas mendampingi ABK, dan guru dalam proses belajar. Seorang GPK juga memberikan bimbingan yang berkesinambungan, dan melaksanakan pengelolaan asesmen disekolah bersama guru kelas. Asesmen menjadi proses awal dari pembelajaran inklusi untuk mengklasifikasikan anak
berkebutuhan khusus dengan anak normal
95
meningkatkan potensi, dan meminimalisir kelemahan pada anak. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam menyusun rencana pembelajaran, penanganan, pelayanan dan pembimbingan kepada ABK. Pada pelaksanaanya asesmen hanya dapat dilakukan oleh orang orang ahli dibidangnya seperti dokter, psikolog, atau terapis, sehingga hasil dari asesmen tersebutlah yang menjadi dasar dalam membuat rencana pembelajaran khusus oleh guru yang bersangkutan. Didalam pelaksanaannya asesmen dilakukan jika telah dilakukan proses identifikasi terhadap anak berkebutuhan khusus. Secara khusus asesmen merupakan penyaringan, dengan mengumpulkan informasi lebih rinci. Sehingga asesmen ini merupakan proses penting dalam menyiapkan pemberian pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi. Hal tersebut seperti yang dikemukakan bapak S pada wawancara tanggal 9 September 2016 : “Penting, jadi anak itu kekhususannya seperti apa, apakah anak yang nakal, anak slow learner, ataukah anak yang tidak punya semangat belajar. Tapi asesmen juga harus diberikan oleh lembaga yang kompeten, jika asesmen dilakukan oleh orang yang tidak berkompeten nanti menyangkut harga diri orang tua. Tapi kalau mengeluarkan salah satu lembaga yang sudah menjadi profesi seperti rumah sakit, atau psikolog, itu sudah profesional. Jadi guru hanya menyampikan” Pendapat tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Bapak P pada wawancara tanggal 6 September 2016 sebagaiamana berikut: “Asesmen kalau dikatakan penting ya penting sekali untuk
dilakukan. Jadi memang untuk mengetahui kemampuan dan ketunaan siswa seperti apa kita harus asesmen, dan itu memang penting sekali. Jadi setiap ABK yang masuk apakah di sekolah regular dalam artian sekolah inklusi atau sekolah khusus PLB juga
96
harus melakukan asesmen, disana harus dilakukan asesmen tersebut” Jadi dapat diketahui memang asesmen menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan anak dalam pembelajaran di kelas. Melalui asesmen inilah kelemahan, potensi dan bentuk pelayanan yang sesuai dapat ditentukan. Asesmen khususnya bagian psikologis tidak bisa dilakukan oleh guru kelas, atau guru pendamping kelas (GPK), mereka hanya menduga, menetapkan sementara, dan menyampaikan saja. Dikarenakan yang berhak melakukan hanyalah seorang pakar dibidangnya, sekolah tidak memiliki tolak ukur dalam penanganan ke PLB- an, atau bidang psikolognya. Seperti yang dkemukakan bapak S pada wawancara 9 September 2016 : “asesmen tidak bisa dilakukan oleh sekolah, sebab assessmen hanya dilakukan ahli atau pakar dibidangnya dan sekolah hanya menduga, memberi tahu saja. Jadi ya asesmen memang harus dilakukan oleh ahli, karena nantinya itu akan menyangkut harga diri orang tuanya mas, selain itu sekolah juga tidak mempunyai psikolog atau tolak ukur psikologisnya.” Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan dari bapak P pada wawancara 6 September 2016 : “Asesmen itu tidak bisa dilakukan oleh guru, seorang guru pendamping khusus pun tidak bisa melakukan asesmen. Yang bisa melakukan itu hanya pakar ahli, SLB bisa melakukan assessmen tetapi yang sudah berstatus sekolah Negeri” Asesmen dilakukan di sekolah tapi harus bersama pakar seperti Dokter, Psikolog, selain itu hal tersebut juga menyangkut harga diri orang tua siswa. Sehingga peran sekolah atau guru hanya menduga sementara siswa berkebutuhan, merujuk ke pakar yang dianggap mampu,
97
memberikan hasil asesmen terkait kondisi siswanya. Guru tidak bisa melakukan asesmen yang menyangkut besaran IQ seorang anak dan minim pengetahuan PLB. Hal tersebut menunjukkan jika seorang guru kelas harus mempunyai pengetahuan tentang asesmen ABK, atau keinklusiannya. Dengan demikian itu hasil atau dampak dari implementasi kebijakan pengelolaan asesmen ABK yang diterapkan oleh Dinas Pendidikan terkait untuk mendukung pelaksanaan disekolah inklusi dilakukan dengan cara: 1. Mengadakan Pelatihan Guru Kelas Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi Tentang Pengelolaan Asesmen Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY dan Kabupaten/ Kota berupaya mengatasi kelemahan pengetahuan guru- guru tentang ABK, serta dalam upaya mewujudkan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal 10 tentang kewajiban pemerintah provinsi dan Kabupaten/ Kota dalam meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi tenaga pendidik dan tenaga non kependidikan. Salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah melalui pelatihan kompetensi untuk menguatkan sumber daya manusia yang ada di sekolah-sekolah. Keberadaan GPK disekolah inklusi sendiri sangat terbatas baik dari segi waktu dan kemampuan yang dimiliki. Untuk mengatasi hal tersebut Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga dengan mengadakan pelatihan terkait pengelolaan assessmen anak berkebutuhan khusus.
98
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY dalam rangka meningkatkan kualitas guru dalam penanganan anak berkebutuhan khusus mengadakan pelatihan peningkatan pengelolaan asesmen guru sekolah inklusi. Hal tersebut didasari supaya guru mempunyai pengetahuan, dan lebih mandiri jika seorang GPK sedang tidak ditempat atau dipindah tugaskan. Seperti yang dikemukakan bapak P pada wawancara 6 September 2016: “Jadi begini sekolah inklusi tidak berada DISDIKPORA, sedangkan SLB langsung berada dibawah binaan kami, sedangkan sekolah reguler SD,SMP,SMA, ada dikabupaten/kota. Jadi terkait implementasi pengelolaan asesmen di DISDIKPORA DIY yang disekolah itu ada di Kab/Kota. Memang itu kebijakan kami, jadi Asesmen itu ada disekolah namun kami hanya memberikan bekal kemampuan guru reguler disekolah inklusi untuk mampu mengasesmen anak itu. Tapi kemampuannya seperti apa memang itu lain kita belum tahu, jadi disana belum tentu tahu tapi paling tidak ada bekal. Jadi terkait kebijakannya kami hanya memberikan pelatihan kepada guru reguler kaitannya dengan pembekalan pengetahuan bagaimana melakukan asesmen kepada peserta didik, sebatas pengetahuan saja.” Berdasarkan wawancara diatas dapat diketahui jika Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY mengupayakan memberikan pelatihan terhadap guru terkait pengetahuan pelaksanaan asesmen secara khusus. Jadi pelaksanaan asesmen berada disekolah, kebijakan yang diambil Dinas Pendidikan Provinsi dengan memberikan pelatihan pengelolaan asesmen tersebut. Pelaksanaan diklat ini dapat menjadi wahana pengembangan,
peningkatan dan pelayanan yang
prima dalam pembelajaran terutama dalam pegetahuan pelaksanaan asesmen guru terhadap ABK dapat sesuai dan pemberian kebutuhan
99
serta bimbingan anak dapat berjalan
optimal. Tujuan dilaksanakan
program pelatihan dan peningkatan pengelolaan asesmen guru sekolah inklusi adalah a) Meningkatkan profesionalisme guru dalam membimbing dan mengajar anak didik b) Membangkitkan dan mendorong guru agar dalam melaksanakan tugasnya
senantiasa
memperhatikan
bakat
dan
minat
dan
keterbatasan peserta didik dalam mengembangkan potensinya c) Mendorong daya upaya guru di sekolah inklusi untuk meningkatkan dedikasi kerja dan profesionalisme dalam melakukan tugas pedidikan d) Menyampaikan
bekal
keterampilan
pembelajaran
khususnya
membedakan masing anak sesuai kebutuhan kepada guru di sekolah inklusi e) Mengimbaskan kepada sesama guru yang menangani anak berkebutuhan khusus Jadi setiap pelaksanaan pelatihan perencanaan kegiatan yang dilakukan dengan mengundang narasumber dari UNY, SLB, Pengawas, Kepala seksi atau kepala sekolah. Jadi ada kebijakan terkait pelaksanaan untuk kedinasan yang harus dicapai seperti ini, untuk pelaksanaan dilapangan terkait dengan penerapan dilapangan oleh SLB, serta kaitananya dengan bidang akedemiknya dari UNY. Sehingga Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY bersama- sama melibatkan unsur yang teribat dalam pelaksanakannya. Sedangkan
100
Penentuan peserta itu tidak memilih –milih harus sekolah ini namun meminta perwakilan dari kabupaten kota dengan pembagian 30 per kabupaten, khusus untuk pelatihan asesmen tersebut. Dinas
Pendidikan
Pemuda
dan
Olahraga
Sleman
dalam
peningkatan kualitas guru di sekolah inklusi juga mengadakan pelatihan keinklusian. Namun bentuk pelatihannya, pengelolaan asesmen dberikan bersama materi pendidikian inklusi. Pemberian materi asesmen tersebut semata-mata untuk memberikan pengetahuan terhadap tenaga pendidik yang ada di sekolah, salah sautnya terkait pengelolaan dan penanganan pendidikan bagi ABK. Hal tersebut seperti yang dikatakan bapak S pada wawancara 9 September 2016 sebagaimana berikut ini : “Bentuk pelatihan yang kami berikan berfokus pada
materi penguatan SDM. Hanya saja untuk pelatihan asesmen tersendiri belum ada, karena materinya sudah disatukan dengan materi pelatihan pendidkan inklusi, karena juga menyampaikan teori assessmen juga. Jadi kita ya hanya memberikan pengetahuan tentang asesmen karena yang punya itu kan para ahli seperti psikolog gitu mas” Jadi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaharaga di DIY telah mengupayakan untuk tetap meningkatkan kualitas SDM di sekolah inklusi kaitannya dengan pengelolaan asesmen terhadap ABK. Hal tersebut berguna agar pelayanan pada ABK dapat sesuai, selain itu setiap guru yang diundang dapat menularkan pengetahuan yang didapat kepada rekan sejawatnya disekolah. Asesmen memang berada di sekolah, namun kebijakan Dinas hanya memberikan pengetahuan terkait asesmen atau inklusi serta kebutuhan dana kepada tiap sekolah. Selain itu untuk
101
membuat guru reguler tidak tergantung dengan GPK ataupun SLB, dalam melakukan asesmen. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Bapak A. Sarjiyo selaku Kepala Sekolah Dasar Negeri Brengosan I pada wawancara 15 September 2016: “Kalau dari Dinas kabupaten dan provinsi itu mendukung dan memberikan bantuan dalam bentuk satu dana dan dua teknis. Jadi kami sering ada pelatihan ataupun ada kunjngan ke sekolah inklusi, selain itu ada beasiswa khusus untuk sekolah inklusi” Pernyataan tersebut diperkuat dengan yang diungkapkan Ibu Yuning pada wawancara 29 September 2016: “Dinas sering melakukan pelatihan inklusi, tapi kalau keabkan masih banyak di provinsi, kalau kabupaten sekedar diklat pendidikan inklusi. Kalo di DIKPORA Sleman kemarin juga pernah ikut, tapi cuman kedua presentasi tentang abk disini. Ya kelebihannya lebih paham terhadap abk dibandung yang lalu” Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga telah memberikan fasilitas dalam penguatan SDM di sekolah inklusi. Akan tetapi bentuk pelatihan menyangkut kekhususan anak berkebutuhan lebih banyak diberikan oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY dibandingkan dengan Kabupaten. Secara tidak langsung diberikannya pelatihan tersebut untuk menyiapkan guru kelas agar dapat menangani ABK, dan tidak tergantung pada GPK.
2. Menjalin Mitra Kerja dengan Lembaga Terkait Berdasarkan Permendiknas No.70 Tahun 2009 Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif (PENSIF) pasal 11 bahwasanya satuan pendidikan penyelenggaraan pendidikan inklusif berhak memperoleh bantuan
102
operasional
sesuai
dengan
kebutuhan
dari
pemerintah,
dengan
membentuk jaringan kerja sama dengan organisasi profesi, rumah sakit, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya. Selain melakukan pelatihan, agar pelaksanaan pengelolaan asesmen dapat berjalan dengan baik. Pemerintah bekerja sama dengan pihak – pihak ketiga
guna
membantu
terlaksananya
program
pelatihan
serta
pelaksanaan asesmen disekolah. Pihak-pihak dalam bidang akademis yang sering terlibat dalam hal ini seperti Universitas Negeri Yogyakarta jurusan Pendidikan Luar Biasa, Universitas Islam Sunan kalijaga, Universitas Gadjah Mada dan sebagainya. Pihak –pihak tersebut turut menjadi pembina akademik, kadangkala menjadi konsultan. Selain itu mereka juga sering menjadi narasumber dalam pelatihan inklusi khususnya asesmen. Hal tersebut menunjukkan jika Perguruan Tinggi berperan dalam program pelatihan asesmen, serta menjadi pembina akademik bagi Dinas Pendidikan. Pelaksanaan asesmen di sekolah inklusi sendiri Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sleman menjalin kerja sama dengan lembaga kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas atau Dinas Kesehatan. Dikarenakan merekalah yang memiliki tolak ukur dalam melakukan asesmen, dan dipandang lebih berkompeten di bidang psikiologinya untuk dilakukan asesmen. Hal tersebut sesuai pernyataan bapak S pada wawancara tanggal 9 September 2016 sebagaimana berikut:
103
“Asesmen itukan penilaian, jadi kebijakannya diserahkan kelembaga yang profesional. DIKPORA Sleman atau sekolah itu menjalin kerja sama dengan mitra kerja seperti Puskesmas, RS, atau Psikolog, sekolah menjalin kerja sama dengan instansi terkait seperti instansi kesehatan tersebut. Dan pelatihan hanya di penguatan SDM-nya, jadi lebih ke pendekatannya, oh anak itu harus diasesmen dahululu. Jadi dia itu kekhususnanya itu dibidang apa, nanti penanaganan nya seperti apa akan lebih mudah nanti ditanganinya” Pemberian
pelatihan
dilakukan
untuk
memberikan
bekal
pengetahuan tentang pengelolaan asesmen, kelemahan yang dimiliki, serta penangananya. Hal tersebut penting karena, keahlian sekolah untuk ke PLB-an masih kurang, mereka tidak bisa termasuk didalamnya standar tes
pengukuran
psikologi.
Selain
memberikan
pelatihan
Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga mengupayakan untuk dapat menjalin kerjasama dengan pihak profesional dalam bidang kesehatan untuk mendukung terlaksananya asesmen disekolah inklusi. Pihak yang terlibat dalam pelaksanaan asesmen ABK kebanyakan dari Puskesmas di tiap Kecamatan. Puskesmas dianggap mempunyai jarak yang tidak terlalu jauh dengan keberadaan sekolah- sekolah inklusi di Kabupaten Sleman, dibandngkan dengan Rumah Sakit yang cenderung terpusat di Kota. Persebaran Puskesmas sendiri saat ini dirasa masih minim yang mempunyai pakar psikologinya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Kurikulum Siswa Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sleman, keberadaan Puskesmas di Sleman sekitar 27 puskesmas, dari 27 itu separuh lebih terdapat pakar psikolognya sekitar 15 orang yang dianggap mampu untuk melakukan asesmen. Sehingga
104
pemenuhan Puskesmas sebagai pelaksanaa asesmen masih belum mencukupi, jikalau menggunakan jasa Rumah Sakit tentu membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan Puskesmas. Oleh karena itu Sleman berupaya untuk memenuhi Puskesmas dengan psikolog yang profesional, sehingga jikalaua ada anak yang perlu asesmen tidak perlu menuju ke RSUD. Hal tersebut dapat memperpendek alur pengelolaannya. 3. Membentuk Lembaga Khusus Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY telah membentuk Resource Center (Pusat Sumber) dan Sub Pusat Sumber disetiap kabupaten/ kota. Pusat Sumber ini merupakan lembaga non struktural yang bersifat ad hoc yang bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Kepala SKPD yang mempunyai tugas pokok di bidang pendidikan inklusif. Berdasarkan Peraturan Gubernur DIY No. 41 tentang Pusat Sumber dan Surat Keputusan Gubernur DIY No. 91/ Kep/ tahun 2015 tentang Pembentukan Anggota Pusat Sumber Pendidikan Inklusif. Pusat Sumber bertugas melaksanakan koordinasi, fasilitasi, penguatan,
dan
pendampingan
pelaksanaan
sistem
dukungan
penyelenggaraan pendidikan inklusi. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY juga membentuk Sub Pusat Sumber disetiap Kabupaten/ Kota sesuai Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY No. 0131 Tahun 2013 tentang Pembentukan Sub Pusat Sumber di DIY. Hal tersebut sesuai pernyataan dari Bapak P pada wawancara tanggal 6 September 2016 :
105
“Kalau pusat sumber itu ada di SLB N 2 Yogyakarta
berdasarkan SK Gubernur, kalau disetiap kabupaten itu namanya sub pusat sumber dan pembentukannya dari SK Kepala Dinas. Jadi dibawah pusat sumber itu ada sub pusat sumber, itu ada di masing kabupaten/ kota, kebanyakan SLB yang ditunjuk SLB Negeri, jadi kalo sub pusat sumber yang dikabupaten/ kota itu biasanya negeri tapi kalau yang kekhususan, seperti autis ada yang swasta juga.” Pendapat
tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Bapak S
pada wawancara tanggal 9 September 2016 : “Ada, pusat sumber yang di Kabupaten itu ada di beberapa SLB namanya RC (resource center) sudah ada sejak tahun 2013. Surat pemutusannya ada di DIKDAS PLB Dinas Provinsi. SLB itu dipilih yang mampu sebagai menjadi pusat rujukan artinya kalo ada permasalahan bisa menjadi sumber pertanyaan informasi, atau konsultan bagi sekolah inklusi mas” Hal tersebut menunjukkan jika Dinas Pendidikan terkait telah berupaya untuk memberikan fasiltas untuk mendukung
pendidikan
inklusi atau sebagai rujukan jika sekolah mengalami permasalahan. Hal tersebut perlu agar penanangan ABK di sekolah dapat efektif. Pusat Sumber dan Sub pusat sumber ini juga dapat membantu melaksanakan asesmen bagi ABK. Secara fungsional, tugas dari Sub Pusat Sumber tersebut adalah sebagai berikut: Menjalin kemitraan dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota, sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, dan atau lembaga lain yang bergiat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi di masing wilayah Menyediakan layanan pendidikan khusus bagi sekolah inklusi Menyediakan layanan asesmen fungsional dan akademik
106
Menyediakan layanan konsultasi e. Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus di SD Negeri Brengosan I Sekolah Dasar Negeri Brengosan I merupakan salah satu sekolah inklusi yang ada di Kabupaten Sleman tepatnya berada di Kecamatan Ngaglik. Sekolah ini merupakan sekolah reguler biasa, namun sejak tahun 2012 telah ditetapkan secara resmi menjadi sekolah inklusi. Hal tersebut secara resmi telah tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga No. 245 tahun 2012 tentang peningkatan kualitas dan akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Selain itu adanya faktor prestasi anak didik di SD N Brengosan dan kondisi anak berkebutuhan khusus disekitar sekolah yang menjadi dasar sekolah inklusi. Seperti yang diungkapkan bapak A. Sarjiyo selaku Kepala Sekolah Dasar Negeri Brengosan I pada wawancara 15 September 2016 bahwa: “Jadi awal mulanya adanya beberapa anak yang selalu tidak naik kelas, kemudian ada masukan dari SLB terdekat supaya dapat diajukan menjadi sekolah inklusi, sehingga nanti guru- gurunya mendapat pengetahuan dasar untuk membina anak- anak berebutuhan khusus tersebut, sehingga atas saran saran dari SLB dan adanya ABK maka disini kemudaian dijadikan seklah inklusi. Sebetulnya kalo kemauan dari sekolah juga tidak tapi karena dari masyarakat ada ABK, juga saran saran dari SLB, kemudian dari Dinas juga menunjuk sekolah juga dan sudah ada SK dari Dinas Kota.” Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Ibu Yuning selaku Guru Kelas IV SD Brengosan I pada wawancara 15 September 2016 yaitu:
107
“Pada mulanya itu ada anak di lingkungan sekitar SD yang memiliki kebutuhan khusus, dan siswa yang tidak naik kelas juga cukup banyak. Kebetulan ada guru SLB setelah bermusyawarah dengan kami kemudian menyarankan kita untuk menjadi sekolah inklusi. Kemungkinan beliau laporan dan tahu-tahu disini sudah menjadi inklusi. “ Latar belakang SD N Brengosan I yang semula reguler menjadi inklusi cenderung dipengaruhi oleh keadaan peserta didik serta adanya saran dari guru SLB. Dikarenakan adanya siswa yang setelah masuk mengalami hambatan dalam pembelajaran dan ada ABK yang akan masuk, maka diajukan menjadi sekolah inklusi. Penetapan itu supaya sumber daya manusia di SD N Brengosan I mempunyai pengetahuan penanganan ABK. Hingga
saaat
ini
kebanyakan
siswa
di
sekolah
tersebut
kecenderungan hambatan kecerdasan, untuk siswa yang berkebutuhan pada panca indra beberapa tahun lalu ada, namun disarankan untuk ke SLB. Hal tersebut dilakukan karena keterbatasan SDM dan perkembangan anak. Diketahuinya siswa ABK tersebut melalui sebuah proses yang disebut identifikasi dan assessmen, untuk memastikan kondisi anak, kelemahan, potensi anak, serta rencana pembelajaran yang akan diberikan. 1) Perencanaan Pengelolaan Asesmen Sekolah dalam memutuskan seorang anak ketunaan dan pelayanananya didahului dengan proses asesmen. Sekolah telah merencanakan pelaksanaan asesmen setiap tahun ajaran baru dimulai tepatnya saat masuk kelas I (satu). Hal tersebut seperti pernyataan dari ibu A selaku Guru Pendamping Khusus pada wawancara tanggal 15 September 2016 yang mengatakan:
108
“Perencanaan pelaksaanaan asesmen yang dilakukan sekolah, kita merencanakan pelaksanaan asesmen tiap tahunnya, nanti ada instrumen pelaksanaan asesmen, kemudian saya memberikan instrumen itu ke guru kelas, nanti guru kelas mengadakan asesmen. bahkan ada yang dilakukan setiap satu semester. Jadi tetap kita pantau perkembangannya. Selain itu ada instrumen untuk ke orang tua, itu biasanaya lebih ke riwayat anak, kelahiran, riwayat pertumbuhan dan lainnya”. Pendapat tersebut diperkuat oleh bapak SA pada wawancara 15 September 2016 yaitu: “Kalau diharuskan walaupun tidak diharuskan kami sekolah inklusi tetap melaksanakan di awal tahun pelajaran, karena akan menentukan anak tersebut berkebutuhan atau tidak. Jadi asesmen tetap diadakan di awal tahun pelajaran. Karena kami menyadari kalo sekolah inklusi ya harus ada asesmen” Hal tersebut menunjukkan jika perencanaan pelaksanaan asesmen dilakukan sejak kelas rendah, dan dilakukan secara berkesinambungan dari kelas rendah ke kelas yag lebih tinggi. Sehingga perkembangan anak akan terus teramati apakah anak masih mengalami hambatan belajar atau tidak, apabila tidak anak tersebut tidak akan diberikan asesmen lagi. Selain itu pada penerimaan peserta didik baru sekolah juga melakukan pengamatan terhadap calon siswa yang diduga mengalami kebutuhan khusus. Secara teknis sekolah mempunyai tim pelaksana yang secara tidak langsung terlibat. Seperti halnya yang dikatakan bapak Sa pada wawancara tanggal 15 September 2016 yaitu: “Pertama, ada guru kelas mereka yang mengerti dan mengenal siswanya sendiri, GPK yang lebih tahu tentang anak berkebutuhan khusus, kepala sekolah, lalu orang tua siswa yang mengetahui perkembangan anak dari lahir, dan pihak Puskesmas Ngaglik I yang mampu melakukan tes IQ”
109
Pernyataan tersebut diperkuat dengan pendapat ibu A pada wawancara tanggal 15 September 2016 yang mengatakan: “Guru kelas nanti saya beri instrumen untuk pengamatan siswa karena guru kelas yang setiap hari bertatap muka dengan siswa, lalu saya sebagai GPK mendampingi guru kelas bersama dengan kepala sekolah sebagai konsultan. Peran orang tua kita libatkan untuk mencari riwayat anaknya, dan bantuan dari Puskesmas Ngaglik, karena disana sudah ada psikolognya” Jadi secara tak langsung pihak yang terlibat dalam proses identifikasi dan asesmen anak cukup beragam dan mempunyai perannya masing masing. Pihak tersebut akan terlibat mulai dari proses identifikasi hingga pelayanan pendidikan khusus. 2) Pengelolaan Asesmen di Sekolah Pelaksanaan
asesmen
dapat
dilakukan
setelah
dilakukan
identifikasi, pelaksanaan identifikasi untuk menentukan dugaan ketunaan pada anak dan
penanganan dini. Strategi pelaksanaan asesmen yang
dilakukan SD Negeri Brengosan sebagai berikut: a. Tahap Identifikasi SD N Brengosan I melakukan identifikasi terlebih dahulu sebelum tahap asesmen dilakukan. Identikasi tersebut dilakukan dengan menghimpun data anak, menganalisa data anak, pertemuan konsultasi dengan kepala sekolah, dan menyelenggarakan pertemuan kasus, untuk kemudian melakukan perekapan data yang diperoleh. Identifikasi dilakukan terhadap anak – anak di sekolah yang diduga mengalami kelainan berdasarkan pengamatan guru, hasil belajar, dan perilaku
110
siswa. Seperti halnya pendapat dari Ibu Y pada wawancara tanggal 29 September 2016 bahwa: “Dilihat dari prestasinya bagaimana, perilakunya, kepribadiannya juga. Kalau prestasinya jauh dari temen lainnya, Oh anak ini kemungkinan ABK, nanti saya lapor ke GPK baru GPK yang menindak lanjuti” Pendapat tersebut didukung dengan pernyataan dari Bapak SA pada wawancara 15 September 2016 bahwa: “Pertama, ada pengamatan yang dilakukan guru kelas dan dikonsultasikan ke GPK dan Kepala Sekolah. Selanjutnya baru ditindaklanjuti dengan wawancara atau pengisian instrumen/ blangko untuk penentuan ketunaan sementara. Tahapan selanjutnya dengan membawa anak itu untuk diasesmenkan di Puskesmas” Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Ibu Andini Lestari selaku Guru Kelas III pada wawancara 15 September 2016 yakni: “Kalau saya menilai dengan cara lisan, dan mengamati perkembangan belajar anak seperti keakftifan anak, hasil belajar dan nanti berdiskusi dengan GPK” Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui pelaksanaan identifikasi dilakukan guru kelas melalui pengamatan, dan instrumen. Kriteria yang menjadi acuan penetapan sementara ABK biasanya berupa faktor prestasi, perilaku,dan kepribadian anak. Identifikasi tersebut dilakukan untuk menentukan dugaan sementara bahwa anak tersebut memiliki ketunaan dan sebagai dasar tindak selanjutnya. Pelaksanaan sendiri dilakukan dengan menggunakan instrumen identifikasi dengan bentuk 5 Form Identifikasi. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Ibu A pada wawancara 19 Oktober 2016 yaitu:
111
“Jadi pelaksanaan identifikasi sudah ada intrumennya. Jadi setelah diidentifikasi nanti kita rekap. Berdasarkan hasil dari identifikasi nanti bisa kita lihat oh ternyata anak ini treatmentnya harus seperti ini, oh ternyata anak ini perlu dites IQ, ternyata ada beberapaa indikator dari identifikasi ini yang menunjukkan dia ada permasalahan dalam belajar. Nah setelah itu misallkan anak terdeteksi slow learner nanti kita putuskan untuk Tes IQ di Puskesmas, jadi saya tidak saya ngejudge saya gak berani. Jadi identifikasi dilakukan oleh guru kelas dulu, nanti saya baru mendampingi” Berdasarkan hal tersebut diketahui jika pelaksanaan identifikasi hanya menduga sementara, yang dilakukan oleh guru kelas. Sekolah tidak bisa menetapkan seorang anak sebagai ABK, sebelum dilakukan asesmen. Form Identifikasi yang digunakan SD Negeri Brengosan I untuk menghimpun data anak diantaranya sebagai berikut: -
Form I : instrumen berisikan penggalian informasi terkait perkembangan anak mulai dari anak lahir hingga masuk pendidikan terakhir anak.
-
Form II : bertujuan untuk memperoleh informasi terkait data orang tua atau wali murid siswa yang diduga anak berkebutuhan khusus.
-
Form III : instrumen tentang AI ABK, yang bertujuan untuk mengidentifikasi
atau
mengamati
anak
yang
diduga
berkebutuhan khusus dikelas, dengan melihat gejala- gejala yang nampak pada anak sesuai dengan tolak ukur yang ada pada instrumen. -
Form IV : instrumen ini memuat tentang uraian kasus atau masalah yang ditemui pada anak yang terindikasi berkelainan
112
dan membutuhkan pelayanan khusus. Penemuan kasus berdasarkan hasil pengamatan guru kelas. -
Form V : memuat laporan hasil pertemuan kasus anak yang memerlukan pelayanan khusus.
Instrumen identifikasi yang dilaksanakan oleh guru kelas tersebut diberikan kepada wali siswa khusu untuk Form 1 dan II, sedangkan form III, IV, dan V berdasarkan pengamatan guru kelas serta diskusi dengan GPK. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ibu Y pada wawancara 29 September 2016 bahwa: “Saya hanya menyerahkan blangko atau instrumen ke orang tua. Jadi nanti GPK memberi blangko itu untuk diserahkan ke wali murid. Sebagai bahan pertimbangan rujukan ke puskesmas. Tapi itu juga lama, anaknya sering lupa memberikannya. Bahkan diberi blangko kadang hilang” Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan dari Ibu A pada wawancara tanggal 15 September 2016 bahwa: “...Jadi instrumen saya tujukan ke orang tua, tetapi kadang orang tua itu mengisikan instrumen itu tidak sesuai kenyataan, terkadang orang tua itu malu atau bagaimana, mereka cenderung menutupi. Kadang saat saya memberikan intrumen itu, orang tua mengisi tidak seperti apa yang saya lihat gitu lho mas. Itu menghambat pengumpulan informasi, ada lagi orang tua yang pemahamanya juga kurang untuk memahami apa maksud dari yang saya inginkan, jadi terkait assessmen itu juga perlu pemahaman mas, kalo orang tua tidak mampu ya bagaimana lagi” Hal tersebut diperkuat pernyataan dari Ibu Ika Pratiwi selaku wali siswa berkebutuhan pada wawancara tanggal 6 November 2016 bahwa: “Kalau dulu itu ada angket – angket kesaya, isinya pertanyaan itu seperti anak anda kelahiran normal atau tidak, bisa berjalan umur berapa, saat di TK bagaimana, semacam pendataan gitu mas. Tapi itukan sudah lama jadi sedikit lupa keadaan saat itu”
113
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui jika pembuatan instrumen masih tergantung pada pemberian GPK, guru kelas lebih pada menyampaikan pada orang tua dan proses pengamatan saja. Selain itu adanya kendala yang ditemui di SD Negeri Brengosan I dalam menghimpun data anak cukup beragam mulai dari adanya instrumen yang hilang, anak yang tidak memberikan ke orang tua, orang tua yang kurang mengetahui maksud dari instrumen, dan orang tua yang cenderung menutupi keadaan anaknya. Setelah data diperoleh, data yang diperoleh akan direkap oleh guru kelas bersama GPK dan melihat perkembangan anak yang diduga ABK tersebut. Selain itu sebagai bahan pertimbangan sebelum berkonsultasi ke Kepala Sekolah,dan bahan data rujukan. Jadi sebagai tindak lanjut
identifikasi ABK untuk dapat diberikan pelayanan
pendidikan bagi anak yang tepat, maka tindak lanjut yang dilakukan adalah melaksanakan asesmen. b. Tahap Asesmen ABK Asesmen ini merupakan proses penyaringan terhadap anak yang telah teridentifikasi sebagai ABK, proses ini penting dalam menyiapkan pembelajaran yang sesuai bagi anak. Selain itu
untuk lebih dapat
melihat kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri anak. Proses Asesmen yang dilakukan SD Negeri Brengosan I menggunakan teknik asesmen psikolgi yang bekerja sama dengan Psikolog di Puskesmas Ngaglik II. Puskesmas dipilih sekolah sebagai pihak yang berkompeten
114
melakukan asesmen dikarenakan sudah mempunyai ahli psikolog Strata 2 (S2) yang mampu melakukan tes IQ. Perencaanaan Puskesmas Ngaglik II sebagai mitra di sarankan oleh GPK setelah berkonsultasi ke Puskesmas. Seperti halnya pernyataan dari Ibu A pada wawancara 19 Oktober 2016 bahwa: “Asal mulanya saya sendiri, jadi saya datang ke puskesmas, saya tanyakan disana apakah ada psikolognya, jadi saya kan memang mencari psikolog yang sudah S-2 karaena yang mempuyai wewenang melaksanakan tes IQ kan pskolog Strata 2, kalau S1 kan belum ada, jadi karena sudah terjalin, nanti sewaktu saya akan tes IQ disana saya tingga menghubungi nanti pihak Puskesmas yang akan menyiapkan persiapan dan jadwalnya” Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari Bapak SA pada wawancara 19 Oktober 2016 yang mengatakan : “Puskemas II Ngaglik itu yang memilihkan itu dari GPK, karena disana sudah ada Psikolog yang berstrata S-2 dan mampu untuk melakukan tesIQ pada siswa, selain itu lokasinya pun cukup dekat dari sekolah hanya beberapa meter saja” Berdasarkan pernyataan tersebut diketahui jika peran GPK selain sebagai pendamping juga mencarikan mitra Puskesmas sebagai mitra yang mempunyai pakar psikologinya, selain itu sekolah juga mengupayakan untuk memilih mitra yang dapat melakukan tes IQ. Lokasi yang dekat juga dapat mempersingkat alur pengelolaan asesmen di sekolah. Tes IQ dianggap mampu menunjukkan tingkat intelegensi anak yang bersangkutan, selain itu karena kebanyakan siswa yang dianggap ABK berparas seperti anak normal. Setelah mengikuti pembelajaran
baru
diketahui
jika
anak
mempunyai
hambatan
kecerdasan. Jadi dapat diketahui jika alur pengelolaan asesmen yang
115
dilakukan di SD N Brengosan I
mulai dari tahap identifikasi,
perujukan, pemberian arahan dan pembahasan hasil asesmen dari Puskesmas. Seperti pernyataan dari Ibu A pada wawancara 15 September 2016 bahwa: “Kalau metode asesmen kita pertama melakukan wawancara pada orang tua atau mulai dari lahir selama perkembangan bagaimana. Kemudian jika saya berdiskusi dengan guru kelas kita lihat bagaimana perkembangan anak selama pertama masuk mungkins setelah satu bulan nanti bisa kelihatan apakah anak itu kita curigai sebagai abk, setelah itu kita konsultasi, dan memberi tahu ke orang tua bahwa ini anak ibu seperti ini, kemudain kita ke Puskesmas untuk dites IQ. Kalau sudah ada tes IQ kita tahu dan memastikan bagaimana kondisi anak, kemudian orang tua tahu kita beri arahan kalo dia memang tidak bisa berkembang secara akademik kita arahkan ke SLB. Tapi itu kembali ke orang tuanya lagi mas, apakah orang tua tidak mau dipindah anaknya akan dikeluarkan kan juga eman- eman dan tidak boleh kan mas, dan tetap itu tanggung jawab kita bersama”. Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan dari Ibu I pada wawancara tanggal 6 November 2016yaitu: “Kalau tes IQ sudah pernah di tes IQ kan satu kali, hasilnya diberikan kesekolah. Dari surat itu dikasih tahu anak ibu itu usianya berkisar 4 tahun 6 bulan, kemudian diberikan saran harus belajar rutin dan dipantau terus menerus, ada saran untuk dileskan namun kami sedikit kesulitan, jadi hanya saya ajari saja dirumah” Hal tersebut menunjukkan jika asesmen dilakukan secara sistematis, mulai pengumpulan informasi, pengamatan, konsultasi, dan tes IQ. Peran orang tua juga dilibatkan dan berpengaruh pada perkembangan anak selanjutnya. Jikalau orang tua tidak begitu peduli
116
dengan hasil dan arahan, anak akan sulit berkembang. ABK yang sulit berkembang akan disarankan untuk dirujuk ke SLB. Sedangkan besar anggaran untuk melakukan tes IQ yang digunakan berasal dari dana BOS yang diterima oleh sekolah. Pernyataan tersebut berdasarkan wawancara dengan Bapak SA pada tanggal 15 September 2016 yaitu: “Anggaran khusus itu hanya saat proses asesmen itu kami ambilkan dari BOS, jadi dari bos ini ada melakukan asesmen, jadi alokasi bos itu kami gunakan untuk keperluan proses pelaksanaan Asesmen” Pendapat tersebut didukung oleh Ibu A pada wawancara tanggal 15 September 2016 bahwa: “Biaya dari sekolah, karena itu kebijakan Puskesmas sekarang. Pembiayaanya biasanya sekitar Rp 20.000, itupun tergantung jenis tesnya seperti Wyse atau BINe, dan itu tergantung usia anak. Jadi kalau dia kelas 1-2 biasanya tes dengan model SPM/ Bine. Tetapi kalau sudah pindahan dari sekolah lain menggunakan tes Wyse, karena yang diamati lebih luas, berbeda dengan SPM dia lebih berfokus pada kesiapan anak masuk sekolah”. Berdasarkan peryataan tersebut biaya asesmen pada orang tua digratiskan. Sekolah bertanggung jawab dalam pengelolaan biaya yang dibutuhakan selama proses asesmen. Tes yang digunakan bergantung dari kebijakan Puskesmas dan melihat usia anak yang akan dites IQ. Proses identifikasi dan asesmen ini akan tetap berlanjut dikelas yang lebih tinggi, jika anak yang sebelumnya mengalami gangguan dan masuk kelas selanjutnya sudah tidak mengalami gangguan. Anak tersebut sudah dilepas dari kategori ABK yang ada di SD Negeri 1 Brengosan.
117
c. Pembahasan Hasil Asesmen Setelah asesmen dilakukan oleh Puskesmas, akan diketahui karakter anak yang menjadi klien mulai dari kelemahan, kelebihan, dan bentuk pelayanan yang dianggap cocok diberikan pada anak. Sekolah dapat memastikan ketunaan anak, dan pelayanananya. Bentuk hasil tes IQ yang dikeluarkan oleh Puskesmas berupa skor tingkat intelegensi yang didapat anak dan saran. Hal seperti itu diungkapkan oleh Ibu A pada wawancara 19 Oktober 2016 bahwa: “Saran yang diberikan Pukesmas itu ada, seperti gambaran anak itu seperti apa, kelemahan anak sepertai apa, kelebihanya, terus yang bisa dikembangkan seperti apa itu ada. Jadi biasanaya kalau orang tuanya kooperatif nanti juga saya ajak untuk diberikan penyuluhan dari Puskesmas”. Selain itu terdapat rincian pengukuran yang disertakan diantaranya dalam kemampuan pengetahuan umum, visual motorik, penalaran aritmatik, konsentrasi dan memori, kemampuan kata dan verbal, dan evaluasi dan penalaran. Tindakan selanjutnya yang dilakukan sekolah adalah melakukan pembahasan terhadap hasil yang didapat serta meneruskan memberikan arahan kepada orang tua. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Bapak SA pada wawancara 19 Oktober 2016 bahwa: “Pembahasan hasil identifikasi.asesmen biasanya dilakukan oleh GPK, guru kelas dan orang tua, untuk digunakan sebagai perumusan rancangan pembelajaran, kalau orang tua untuk memberikan hasil assessmen dan apa –apa saja yang perlu diberikan kepada anak saat dirumah. Karena kalau hanya dari pihak sekolah sendiri, nantinya anak akan sulit berkembang”.
118
Pernyataan tersebut didukung dengan pendapat dari Ibu A pada wawancara 19 Oktober 2016 yang mengatakan: “Jadi antara saya dan guru kelas setelah diadakan identifikasi, asesmen dan tes IQ nanti ada pembahasan, oh anak ini mengalami masalah seperti ini, maka pemecahan masalahnya seperti ini, pembelajarannya seperti ini. Dan kemudaian guru kelas yang meneruskan ke orang tua, jadi saya hanya membantu saja atau mendampingi saja agar guru itu bisa mandiri, ataupun saat nanti saya ditarik mereka sudah siap. Jadi setelah di asesmen ini ada pembahasan antara GPK, guru kelas, orang tua”. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Ibu I pada wawancara tanggal 1 Oktober 2016 bahwa: “Dulu pernah disuruh Ibu wali kelas sama Ibu Astuti untuk memantau belajar anak dan perutinan belajar, dan dulu pernah saya leskan ke tempat wali kelas tapi karena anaknya dulu tidak penuh berangkat, kemudian saya stop, karena hanya membuang biaya”. Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa setelah dilakukan tes IQ dilakukan pembahasan hasil untuk mencari solusi memecahkan masalah atau kelemahan pada anak, serta menyampaikan arahan kepada wali siswa terkait hasil dan penanganan anak dirumah. Selain memberikan hasil dari tes IQ tertulis, Psikolog di Puskesmas II Ngaglik juga memberikan saran kepada guru atau orangtua. Beberapa hal tersebut yang menjadi dasar dalam pertimbangan pembuatan RPP oleh guru. Selain itu menyiapkan pelayanan pembelajaran yang dapat sesuai dengan anak. Seperti halnya pernyataan dari Ibu Y pada wawancara tanggal 29 eptember 2016 yaitu:
119
“Setelah diasesmen saya menanangi anak tergantung saran dari Puskesmas, contohnya kalau anak slow learner nanti ditambahi atau membutuhkan pendampingan khusus, jadi kalo saya diberi tugas pada teman lain bisa jalan tapi nanti saya mendampingi terus abk itu. Juga ada diskusi dengan GPK dalam membuat RPP,sama pemberitahuan ke wali siswanya”. Hal tersebut didukung pernyataan dari Ibu AL pada wawancara tanggal 15 September 2016 bahwa: “Setelah dites IQ saya berdiskusi dengan GPK berdasarkan hasil dan saran dari Puskesmas, kemudian memberi tahu orang tua anak”. Dengan demikian pembahasan yang dilakukan sekolah dalam menanggapi hasil asesmen yang diperoleh anak dilaksanakan oleh Guru Kelas, Guru Pembimbing Khusus dan Orang tua anak. Selain sebagai dasar pertimbangan dalam membuat rencana pembelajaran dan pelayanan bagi anak, namun juga mengupayakan agar selain mendapatkan pembelajaran di sekolah, peran orang tua dirumah dalam memberikan pengajaran tetap diutamakan agar anak tersebut benar – benar dapat berkembang. Berdasarkan data di sekolah, dikarenakan banyak anak yang mengalami gangguan kecerdasan maka upaya yang sering dilakukan dengan meningkatkan jam pembelajaran, dan penyesuaian pada RPP. 3) Tindak Lanjut Asesmen Tujuan utama asesmen adalah untuk kepentingan penyusunan program belajar ABK. Jika sekolahtelah mendapati gambaran dari hasil asesmen, kemudian guru membuat rancangan pembelajaran bagi ABK.
120
a). Perencanaan Pembelajaran Pada tahap ini SD N Brengosan I akan menganalisa hasil asesmen untuk menyesuaian dengan kurikulum yang digunakan. Dikarenakan faktor hambatan yang ditemui sekolah adalah hambatan pada kecerdasan, maka kurikulum yang digunakan menggunakan model modifikasi sesuai karakter anak meyesuaikan tingkat intelegensi anak. Jadi kurikulum yang digunakan sekolah sama dengan kurikulum pada umumnya, hanya dimodifikasi saja. Penyusunan RPP sendiri dilakukan oleh guru kelas dan GPK, namun GPK hanya mendampingi. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Ibu A pada wawancara 19 Oktober 2016 bahwa: “Rencana pembelajaran itu saya dan guru kelas, jadi saya hanya membimbing dan mendampingi guru kelas dalam membuat RPP, karena kecenderungan RPP di sini menurunkan indikator kesulitan, dilihat dari banyak ABK yang mengalami hambatan kecerdasannya”. RPP yang digunakan oleh guru kelas di SD N Brengosan I kebanyakan
menggunakan
model
terintegrasi.
Hal
tersebut
diungkapkan oleh Ibu Y pada wawancara tanggal 29 September 2016 yaitu: “Kalau penyusunan RPP terintegrasi, RPPnya masih sama jika yang saya buat, belum disendirikan. Karena kalau saya sendirikan nanti repot mas”. Peryataan tersebut didukung pernyataan dari Bapak SA pada wawancara tanggal 15 September 2016 bahwa: “...kami dalam perencanaan RPP, ada RPP yang di modifikasi jadi RPPnya itu tujuannya sudah dibagi dua
121
untuk ABK dan reguler, dan itu sudah ada penurunan tingkat kesukaran materi, dari kelas satu sampai kelas 5. Untuk kelas 6 kami tidak menurunkan kesukaran materi, karena agar kelas enam bisa mengikuti ujian nasional semua. Karena untuk naik masuk ke SMP inklusi itu disini masih jauh, kasihan orang tua mereka. Karena kan jika sekolah sendiri yang membuat ujian nanti anak tidak punya ijazah hanya STTD. Dan saat mau melanjutkan ke SMP harus SMP inklusi dan itu jauh, jadi kami justru takut kalau anak itu bisa putus sekolah. Jadi kelas enam kami paksakan untuk sama rata, hanya kami menurunkan nilai KKM sehingga mendekati ABK itu bisa lulus, bisa KKM itu skor 2. Jadi ada mata pelajaran tertentu itu kami menerapkan KKM itu bisa 1-2 karena untuk mengawekani ABK itu agar bisa lulus”. Hal tersebut diperkuat dengan hasil dokumen berupa RPP yang dibuat oleh Ibu AL selaku guru Kelas III dan wawancara dengan beliau pada tanggal 15 September 2016 bahwa : “Saya menggunakan RPP yang terintegrasii. Tapi RPP yang saya buat saya rasa belum mampu meningkatkan kemampuan anak, jadi jika saya setarakan dengan anak nomal kemungkinan gak bisa mengikut. Kalau RPP khusus ABK juga dirasa belum mampu juga. Terkadang saya buat soal dua macam yang satu normal dan satu abk. Tapi kadang matematika saya turunkan angkanya”. Hal ini menunjukkan kebanyakan guru mempunyai satu RPP namun didalamnya memuat dua rumusan perencanaan yaitu untuk siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus. Terdapat komponen pembelajaran yang tidak dimodifikasi seperti rumusan Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD) dan alokasi waktu. Komponen yang dimodifikasi terletak pada indikator pembelajaran, tujuan pembelajaran, kegiatan inti, dan instrumen penilaian. Modifikasi yang dilakukan pada penurunan tingkat kesukaran.
122
Kebijakan yang diterapkan sekolah adanya pengecualian modifikasi RPP di kelas 6, agar semua anak baik reguler atau umum dapat mengikuti ujian nasional dan mendapatkan ijazah. Selain itu untuk memberikan akses yang luas dalam melanjutkan sekolah. b) Pelaksanaan Pembelajaran Tahap
setelah
menyusun
RPP,
guru
melaksanakan
pembelajaran dan mengorganisasikan siswa berkebutuhan sesuai rencana yang telah dibuat. Berdasarkan observasi yang dilakukan diketahui jika proses belajar mengajar pada umumnya sama dengan pengajaran reguler. Semua siswa berada dalam satu kelas dan menerima penyampaian topik yang sama, ruang dan waktu yang sama, namun untuk ABK ada pengurangan materi, pengulangan, dan pendampingan baik oleh guru kelas atau GPK jika sedang masuk kekelas. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Ibu A pada wawancara tanggal 15 September 2016 yaitu: “Pelaksanaan pembelajaran lebih ke guru kelas, dan saya hanya mendampingi saja jika ada kesulitan”. Pernyataan terebut didukung pendapat dari Ibu AL pada wawancara tanggal 15 September 2016 bahwa: “Kalau yang saya lakukan pengajaran dilakukan seperti pada RPP yang saya buat, kadang diskusi, ceramah, atau dikte. GPK kadang masuk kekelas III, biasanya mendampingi anak yang tunagrahita. Kalau penempatan tempat duduknya saya pisah antara ABK dan yang biasa, namun tetap tempat duduknya berputar setiap minggunya”.
123
Pendapat tersebut diperkuat pernyataan dari Ibu Y pada wawancara 29 September 2016 yakni: “Kalau pengelolaan didalam kelas itu diajarkan sama dengan yang umum, tapi ada tambahannya supaya tidak ketinggal jauh dari temannya diberi jam tambahan. Dan tempat duduknya dicampur tapi disendirikan yang ABK-nya. Prestasi belajarnya juga jauh dibandingkan dengan anak normal. Kalau ada tugas tetap kita dampingi tidak ditinggal”. Hal tersebut diperkuat oleh hasil observasi yang dilakukan peneliti pada tanggal 15 September 2016 bahwa pelaksanaan belajar dilakukan dengan ceramah dan pendampingan oleh GPK terhadap anak yang mempunyai hambatan kecerdasan cukup berat yaitu tunagrahita. Sebelum memulai pembelajaran guru hanya menanyakan kepada siswa apakah sudah siap, serta menyiapkan materi belajar. Sedangkan saat usai pembelajaran terkadang guru akan memberikan PR, dan anak akan melakukan bersih – bersih ruang kelas. Penempatan tempat duduk antara siswa berkebutuhan dan reguler diletakkan secara terpisah. Siswa ABK kelas III diposisikan dengan siswa ABK dikelompokkan tersendiri, dan tetap ada rolling tempat duduk. Sedangkan anak tunagrahita berada didepan meja guru dan duduk sendiri untuk mempermudah pendampingan. Penempatan tempat duduk ABK di kelas IV pun sama, dan menggunakan sistem pergeseran tempat duduk setiap minggunya. Pelaksanaan pembelajaran dikelas yang dilakukan oleh guru sendiri juga mengalami kesulitan. Hal tersebut memang tidak dapat
124
dipungkiri karena, faktor anak berkebutuhan yang mempunyai hambatan kecerdasan harus pelan- pelan khusunya slow learner. Namun untuk tunagrahita dirasa sulit karena kemampuan anak akan seperti itu terus. Banyak guru yang mengatakan jika kesulitan yang dialami banyak dari segi prestasi dan memfokuskan anak, selain itu juga terbatasnya GPK masuk kelas, membuat guru kelas kesulitan. Hal tersebut diungkapkan oleh Bapak SA pada wawancara 15 September 2016 yakni: “Kekuranganya itu prestasi anak sulit untuk naik karena terbebani oleh ABK itu. Guru-guru menjadi terkonsen ke sana karena bercabang dua. Karena dalam itukan di katakan anak inklusi harus mendapat perlakuan yang lebih banyak atau khusus, jadi waktunya ya agak terserap kesana, sehingga prestasinya yang lain agak terbebani, dan KKMnya juga turun”. Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan Ibu AL pada wawancara 15 September 2016: “Kekurangannya karena GPK hanya satu dan seminggu hanya dua hari, jadi guru kelas itu tidak bisa mengikuti, fokus anak yang ABK karena membaur kan dengan anak yang normal. Jadi ya tidak bisa fokus untuk memberikan pengajaran. Kaau saya memegang yang ABK nanti anak yang normal akan ketinggalan”. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Ibu Y pada wawancara 29 September 2016 bahwa: “kalau kekurangannya prestasi, jadikan jika sekolah umum dan sekolah inklusi itukan disamakan hasilnya. Jadi sekolah inklusi yang banyak abknya tidak bisa meraih prestasi seperti sekolah lain, karena sekolah inklusi lebih mengutamakan pelayanan pada prinsipnya”.
125
Keadaan seperti itu merupakan hal yang umum dialami oleh sekolah, dan menjadi tanggung jawab bersama dalam meningkatkan kemampuan anak. Disamping kendala tersebut sekolah juga telah berperan
dalam
memberikan
pendidikan
bagi
anak
yang
membutuhkan, dan sekolah sudah memaklumi. Hal tersebut diungkapkan bapak SA pada wawancara tanggal 15 September 2016 yang mengatakan : “Kemudian untuk kelebihannya kita bisa menolong mendidik anak yang ditolak disana sini, biasanya anak yang ABK jika disekolah umum atau tidak naik anak itu akan keluar dan ditolak dibebrapa sekolah, nah disini kami bisa menerima. Jadi kita bisa bersyukur kita bisa menolong anak yang berkebutuhan khusus, kemudian kita juga bisa lebih menghargai, tidak diskrimansi, memberikan pengetahuan kepada anak anak lain untuk bisa lebih menghargai pada ABK sehingga kita dengan adanya itu ya toleransi kita guru dan anak bisa lebih tinggi”. Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari Ibu Y pada wawancara tanggal 29 September 2016 bahwa: “Kalau kelebihan itu bisa menolong anak yang tidak bisa diterima disekolah lain” Proses pembelajaran yang dilakukan SD N Brengosan I dapat dikatakan berjalan baik, banyak guru yang takut prestasi sekolah turun. Salah satu upaya mengatasi dengan memberikan pengarahn pada orang tua, penambahan jam belajar, memang pembelajaran pada ABK di sekolah harus pelan- pelan. Salah satu kebijakan yang diambil sekolah karena keterbatasan tenaga dan sarana adalah menyarankan ABK yang memiliki ketunaan sedikit berat untuk
126
pindah ke SLB. Namun itu membutuhkan proses dan persetujuan orang tua. c) Pelaksanaan Evaluasi Belajar Setelah
proses
pembelajaran
untuk
dapat
memantau
perkembangan belajar anak dilakukan evaluasi atau melalui ulangan. Evaluasi ini dilakukan setiap pembelajaran telah selesai dilakukan. Standar dan alat penilaian yang diterapkan oleh guru menyesuaikan kebutuhan anak terutama ABK. Evaluai ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan pembelajaran sudah tercapai, serta tindak lanjut selanjutnya. Hal tersebut yang dikemukakan Ibu Y pada wawancara 29 September 2016 bahwa: “Model evaluasi yang dilakukan sendiri, contohnya kalau misalnya matematika, MTK jika perkalian kalau yang anak normal bilangannya besar tapi kalo ABK masih rendah bilangannya. jika belum ada peningkatan nanti ada perbaikan, itupun masih tetap saya dampingi, karena anaknya sulit membaca dan tidak bisa memahami isi bacaan belum tahu maksudnya. Nanti kalo dibiarkan nilainya bisa nol- nol terus mas”. Pernyataan trsebut didukung pernyataan dari Ibu AL pada wawancara 15 September 2016 yaitu: “...yang khusus inklusi hanya lisan, sedangkan saat pas ulangan ya saya bacakan tapi kadang juga tidak bisa dan sulit nyambung. Ada juga yang suruh milih pilihan ganda abc, itu disilang semua. Evaluasinya saya kasih soal sendiri untuk yang normal kalau yang abk ya lisan, jawabanya nanti saya tulis baru bisa saya lakukan penilaian. Kalau lisan dia bisa jawabnya, tapi kalau nulis itu disilang semua. hal itu dialami oleh anak abk yang tunagrahita”.
127
Hal tersebut menunjukkan jika
pelaksanaan evaluasi
disesuaikan dengan kondisi siswanya, terkadang siswa juga mendapat pendampingan saat mengerjakan soal. Dikarenakan untuk mengatasi ABK yang sulit membaca, menulis, atau yang terlalu aktif. Hasil dari evaluasi akan diberitahukan kepada orang tua untuk dapat melihat perkembangan yang diperoleh anak mulai dari tahap identifikasi hingga evaluasi. Biasanya akan ada saran tindakan yang diberikan oleh sekolah. Jadi terkadang orang tua ada yang berperan aktif dalam proses identifikasi dan asesmen namun tidak semua orang tua turut kooperatif dalam menangani anak. Hal tersebut disampaikan Ibu AL pada wawancara 15 September 2016 bahwa: “Orang tua itu tidak peduli dengan ABK-nya, dianjurkan ke SLB orang tua masih tidak mau mendukung, pokoknya saya titip anak saya gak naik tidak papa asalkan tidak ke SLB. Tapikan kemampuan anak itu ya seperti itu terus dinaikkan ke kelas empat pun juga sama, soalnya ingatannya supa lupa”. Pendapat didukung oleh pernyataan dari Ibu Y pada wawancara 29 September 2016 yang mengatakan: “Sebenarnya orang tua dilibatkan, tapi orang tauanya tidak mau tahu. Sudah diberitahu kalo anaknya dibimbing dirumah, tapi nyatanya tidak dibimbing katanya kula nderek ibu mawon saya sudah tobatme ngajari. Jadi semuanya diserahkan ke sekolah. Jadi kalau dirumah tidak ada bantuan orang tua manabisa berkembang”. Pendapat tersebut diperkuat oleh Bapak SA pada wawancara tanggal 15 September 2016 bahwa: “Sudah,orang tua itu sudah mendukung hanya mendukungnya itu dalam bentuk kerjasamanya yang bagus, hanyasaja untuk diarahkannya karena misalnya hasil asesmen guru- guru itu anak itu sudah diberi pelajaran inklusi itu sulit diarahkan untuk
128
dipindahkan ke SLB itu sulit itu susah. Jadi kalau diajak wawancara itu mudah, hanya saat diarahkan disuruh menyesuaikan kemampuan anak untuk pindah ke SLB itu sulit, bilangnya sudah disini aja, tidak naik tidaak apa-apa begitu. Jadi mungkin dari orang tua itu imagenya jika sekolah di SLB itu kurang. Kami sarankan kalau yang banget –banget itu untuk ke SLB tapi orang tuanya susah atau tidak mau, tapi ada juga orang tua yang mau untuk pindah tapi itu butuh proses panjang. Pemberitahuan hanya kami wawancara lisan dan menunjukkan hasil ulangan anak, kemudian kemungkinan perkembangan kedepan anak, dan kami beri waktu jika sekarang belum berkenan, satu dua bulan atau beberapa tahun lagi, jika hasilnya masih kurang ya bagaimana lagi harus kesana tapi ya prosesnya itu sulit” Hal tersebut menunjukkan jika karakter orang tua berbedabeda, pengarahan yang dilakukan sekolah setelah mendapat hasil assessmen dan evaluasi ini untuk mengetahui dan menyesuaikan kemampuan anak. Namun ada beberapa anak yang sudah mendapati perkembangan dari proses belajar mengajar di SD N Brengosan I kemajuan yang diperoleh rendah. Hal tersebut diungkapkan oleh Ibu I pada wawancara 6 November 2016 bahwa: “Saya rasa nilai anak saya sekarang tidak beda jauh dengan nilai anak lainnya, dan perkembangan yang saya rasakan sekarang anak sudah lebih peka, bisa membaca, menulis dan tanggungg jawab”. Perkembangan yang dirasakan orang tua sudah lebih baik setelah diberikan pengajaran dan pendampingan di sekolah. Anak yang diputuskan mengalami slow learner kini sudah mulai berkembang, hanya kurang di pelajaran matematika. Pembelajaran untuk anak slow learner meang harus pelan, namun untuk anak yang tunagrahita atau ketunaan yang cukup berat sekolah mempunyai
129
kebijakan sendiri. Dilihat dari keterbatasan tenaga serta hasil tes yang diperoleh anak, jika anak sulit berkembang akan ada arahan untuk dirujuk ke SLB. Akan tetapi karena berbagai alasan ada orang tua yang tidak berkenan, dan upaya sekolah dalam menanggapinya dengan menunggu serta tetap menerima keadaan anak. Guru akan tetap memantau secara berkala perkembangan ABK dikelas. Hal tersebut untuk mengantisipasi jika anak keluar sekolah justru putus sekolah. 4) Pelayanan Pendidikan Khusus Sekolah mengupayakan setelah dilakukan identifikasi/asesmen dan pembelajaran di kelas, membentuk sebuah pelayanan khusus berupa jam tambahan belajar bagi ABK. Didasarkan pada keberadaan ABK yang belajar kebanyakan mengalami gangguan kecerdasan, selain memberikan pengajaran bersama dengan teman lainnya. Sekolah tetap memberikan waktu tambahan belajar khusus bagi ABK pascapembelajaran kurang lebih 30 sampai 60 menit untuk mengulang dan menguatkan materi yang diterima dan sulit dipahami anak. Hal ini disampaikan bapak SA pada wawancara 15 September 2016 bahwa: “Sebatas pengulangan materi, tambahan kalau disinag hari sekitar 1-1/2 jam ada pengulangan materi pada ABK supaya tidak kebingungan dan diakhir pelajaran. Itu hanya tinggal ABK yang mendapat pendalaman materi”. Hal tersebut didukung pendapat Ibu A pada wawancara 15 September 2016 yakni:
130
“Pelayanan pendidikan khusus hanya pemberian tambahan jam belajar, dan guru kelas ada yang seperti itu mas, tapi ya itu kesadaran sih mas, kalau saya ingin ngopyak opyak tidak enak gitu mas”. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Ibu Y pada wawancara 29 September 2016 yang mengatakan: “Pelayanan pendidikan khusus hanya penambahan jam belajar, dan pelaksanaanya tidak tentu tapi setelah pulang pelajaran khusus ABKnya. Tapi kadang kalau teman ABK lainnya sudah pulang , mereka ikut gelisah ingin pulang. Jadi hanya sebentar. Itupun responya, ada satu anak yang tidak mau dengan pelajaran yang diberikan, responya sulit. Dia itu mudah lupa, suka bengong, kalau ditanya atau diingatkan menunduk”. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui jika sekolah tetap mengupayakan pelayanan pendidikan yang maksimal bagi anak. Salah satunya dengan memberikan pelayanan khusus berupa penambahan jam belajar siswa. Sehingga pembelajaran yang diperoleh anak tidak akan lupa. Selanjutnya peran orang tua dirumah yang akan turut memantau belajar anak. Sehingga pembelajaran tidak akan berjalan disekolah saja, namun dirumah anak tetap berjalan. Senada dengan yang diungkapkan Ibu I selaku wali yang turut memantau dan mengelola belajar anak dirumah pada wawancara tanggal 6 November 2016 bahwa: “Kalau saya, sekarang setiap hari tetap saya ingatkan harus belajar, sudah ada perkembangan dibanding kemarin. Kemudian kita lihat juga hasil ulangan anak,untuk saat ini sudah lumayan bisa menulis, dibanding dahulu kelas satu yang tidak mau menulis, tapi kalau matematika masih pelan-pelan, yang penting membaca menulis itu dulu mas. Kalau pengelolaan dirumah kadang saya paksa, tapi tergantung juga dari mod anak sendiri, kadang dia yang meminta untuk diajari. Tanggung jawab sekolah sekarang sudah tinggi dibanding sebelumnya.”
131
Dengan demikian hubungan antara orang tua dan sekolah dalam memantau perkembangan belajar anak sudah berjalan, namun tidak semua. Jam tambahan belajar yang dilakukan sekolah belum semua guru menjalankan setiap harinya, oleh karena itu peran orang tua dirumah tetap diperlukan. Hal itu untuk menghindari proses pembelajaran yang hanya berakhir saat disekolah selesai, sehingga ABK dapat lebih berkembang. 2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY. Didalam penerapan kebijakan pengelolaan asesmen ABK yang dilakukan
Dinas
Pendidikan
Pemuda
dan
Olahraga
hingga
pada
pengelolaannya disekolah tentu tidak lepas dari berbagai kendala dan dukungan. Banyak faktor yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Seperti halnya yang dikemukakan Bapak P pada wawancara 6 September 2016 yang mengatakan: “Kemampun guru atau kekurangan guru itu sendiri pertama kurang, kedua mereka belum tahu dan perlu dilatih. Seperti yang pernah disampikan bapak Rochmat Wahab sekarang ini ada materi PLB sekian SKS masuk dalam mata kuliah di setiap prodi UNY juga menjadi faktor pendukungnya. GPK alokasi waktunya hanya 2 hari, dengan 4 hari di SLB. Itupun di slb ditinggal 2 hari juga kewalahan. Faktor penghambat lainnya seperti jumlah sekolah inklusi kan sekian banyak, jadi kendala yang sering ditemui di penganggarannya. Mungkin juga kendalanya jumlah sekolah itu sekian dan kita hanya bisa melaksanakannya tidak semua kena hanya sekitar 80 saja. Selain itu termasuk didalamnya pengalokasikan pembinaan sekolah oleh dinas kota dalam membina sekolah inklusi belum maksimal” . Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari bapak S pada wawancara 9 September 2016 bahwa:
132
“Faktor penghambatnya itu pemahaman terhadap kebijakan pendidikan inklusi belum semua dipahami guru reguler. Jadi mereka beranggapan jika siswa inklusi itu akan menghambat prestasi sekolah. Perumpamaanya seperti ini anak lambat belajar ini kalau diiterima disekolah akan mengurangi rata rata prestasi sekolah kami. Padahal kebijakan di pemerintah pusat itu ada peningkatan mutu / kualitas akademik dan non akademik dan peningkatan akses, semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dan dua kebijakan itu yang kadangkala belum sinkron, jadiyaa bukan penghambat cuman butuh pemahaman saja. Kalau pendukungnya pemahaman tentang pendidikan inklsui sudah mampu diaksses oleh setiap masyarakatnya”. Faktor penghambat yang dirasakan Dinas Pendidikan mengacu pada permasalahan dalam peningkatan akses dan mutu. Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat diketahui jika kendala yang dialami kebanyakan dari faktor kemampuan guru dalam hal pendidikan dan pelayanan ABK masih kurang, diperbantukan GPK dari Dinas juga dirasa belum mampu. Dikarenakan sekolah inklusi yang ada berbanding terbalik dengan ketersediaan GPK yang diambil dari SLB. Upaya yang dilakukan oleh Dinas dengan membentuk pelatihan juga belum mampu diterima oleh guru- guru reguler. Hal tersebut membuat kemampuan guru reguler dalam melayani ABK khususnya proses identifikasi dan asesmen cukup terganggu dan tergantung pada keberadaan GPK. Kebanyakan sekolah hanya terbatas mengikuti pelatihan yang disediakan oleh Dinas terkait. Faktor pendukung dalam implementasi kebijakan asesmen ini dalam penerapannya di sekolah inklusi sudah mendapat dukungan dengan adanya pemberian materi PLB pada perkuliahan yang mencetak tenaga guru. Sehingga masalah pemahaman guru kedepannya dapat lebih luas dan siap jika menangani ABK. Apabila GPK terbatas guru sudah mampu menangani ABK
133
tersebut. Pemahaman masyarakat terkait pendidikan inklusi saat ini sudah dapat diketahui serta diakses setiap masyarakat. Selain faktor pendukung dan penghambat
pada tingkatan Dinas
Pendidikan, implementasinya disekolah sendiri tidak lepas dari berbagai macam hal. Pernyataan tersebut diutarakan oleh pendapat Bapak SA pada wawancara tanggal 15 September 2016 yaitu : “Kalau faktor pendukungnya yaitu orang tua siswa kooperatif bisa diajak untuk bermusyawarah, gurunya juga sabar, pihak puskesmas juga bisa menerima kami dengan enak, kalau kekurangannya kami sebatas pengetahuannya, kami guru –guru tidak lulusan SLB, kebanayakan hanya PGSD. Jadi untuk keabkan hanya diberikan saat ada pelatihan. Jadi ya hanya tahu sedikit sebatas mengisii blangko untuk membuat hasil atau menentukan dari isian itu diputuskan kebkan anak itu mungkin kurang maskimal. Jadi pengetahuan tentang keabkan hanya sebatas jika ada pelatihan” Faktor pendukung pelaksanaan asesmen di SD N Brengosan Idiantaranya sudah terbantu dengan adanya Puskesmas. Ketersediaan tenaga yang profesional dan jarak yang dekat membantu sekolah dalam melaksanakan assessmen bagi anak didik. Selain itu pemahaman masyarakat terkait pendidikan inklusi sudah tinggi, dalam bekerja sama pelaksanaan asesmen disekolah sudah terlibat. Faktor yang menjadi penghambat banyak dalam bentuk kerjasama yang diberikan orang tua, tidak semua orang tua mengisi instrumen yang diserahkan oleh sekolah sesuai kenyataan. Beberapa orang tua cenderung menutupi keadaan siswanya, dan menyulitkan guru dan sekolah dalam mengumpulkan informasi terkait proses identifikasi dan asesmen. Hal
134
tersebut seperti yang diungkapakan Ibu A pada wawancara 15 September 2016 bahwa: “Kalau faktor pendukungnya yaitu instrumen sudah ada, sedangkan kalau faktor penghambat kadang orang tua itu mengisikan instrumen itu tidak sesuai apa kenyataan kadang orang tua itu yang malu atau bagaimana, cenderung menutupi. Jadi instrumen saya tujukan ke orang tua. Kadang saat saya memberikan intrumen itu, orang tua mengisi tidak seperti apa yang saya lihat gitu lho mas. Itu menghambat pengumpulan informasi, ada lagi orang tua yang pemahamanya juga kurang untuk memahami apa maksud dari yang saya inginkan, jadi terkait assessmen itu juga perlu pemahaman mas, kalau orang tua tidak mampu ya bagaimana lagi”. Pernyataan tersebut didukung oleh Ibu AL pada wawancara tanggal 15 September 2016 yang mengatakan: “Pendukungnya hanya dari pihak puskesmas sudah kooperatif dengan sekolah, dan pemerolehan informasi oleh orang tua saya rasa cukup baik walaupun ada beberapa yang belum sesuai dengan kenyataaan. Kalau penghambatnya itu peran orang tuanya, jadi orang tuanya itu yang kurang peduli dengan kemampuan anaknya, dan ada orang tua yang sama dengan kemampuan anaknya”. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Ibu Y pada wawancara 29 September 2016 bahwa: “Kalau penghambatnya ini orang tua itu hanya sesuatunya itu menyerahkan pada sekolah. Dirumah tidak ditangani bagaimnanya tidak. Soalnya diberi PR tetap berangkat masih utuh, tidak diajari oleh orang tua. Kan orang tuanya banyak yang kurang mampu, banyak yang SD, dan kalau pelajaran dikelas tinggi kurang mampu. Kalau mengisi blangko itu tidak disi semua, ngisinya tidak sesuai pengamatan saya dan diiisi yang bagus bagus saja kebanyakan. Pendukungnya pihak Puskesmas yang kooperatif”’. Melihat keadaan yang dialami beberapa guru dalam menerapkan proses identifikasi dan asesmen tersebut, akan menghambat pengumpulan data sebagai dasar penetapan ABK sementara dan rujukan ke Puskesmas. Peran
135
guru kelas atau sekolah dalam hal ini perlu untuk meningkatkan komunikasi dan arahan kepada orang tua agar dapat lebih kooperatif. Jika melihat dari hal tersebut
banyak
faktor
yang
mempengaruhi
implemantasi
kebijakan
pengelolaan asesmen ABK di sekolah inklusi baik oleh Dinas maupun sekolah itu sendiri. C. Pembahasan 1. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK sekolah inklusi di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY Kebijakan menurut pendapat James E. Anderson (dalam Sudiyono, 2007: 4).
mengatakan jika suatu kebijakan merupakan tindakan yang
mempunyai tujuan, diikuti oleh sekelompok orang, organisasi atau individu guna menyelesaikan permasalahan yang ditemui. Implementasi kebijakan merupakan seluruh tindakan yang dilakukan untuk merealisasikan tujuan kebijakan. Implementasi kebijakan memiliki beberapa tahapan yang harus dilakukan agar sesuai dengan tujuan kebijakan, Lineberry (dalam Sudiyono , 2007: 80) menyatakan bahwa implementasi mencakup beberapa tahaptahap, yaitu membuat dan menyusun staf , menerjemahkan tujuan legislatif dan secara sungguh – sungguh memasukkannya dalam aturan pelaksanaan, mengembangkan panduan atau kerangka kerja bagi pelaksana kebijakan., melakukan koordinasi terkait sumber daya dan pembiayaan, dan mengalokasikan sumber daya untuk mendapatkan dampak kebijakan. Dinas Pendidikan tentu saja harus melewati tahapan tersebut untuk dapat mengatasi permasalahan dan menerapkan kebijakan pengelolaan
136
asesmen yang ada disekolah inklusi melalui beberapa penerapan. Berikut pembahasan dari hasil penelitian tentang tahapan, hasil, dan penerapananya. a.
Membuat dan Menyusun Staf atau Agen Tahap ini mempunyai tujuan untuk menyusun agen guna melaksanakan kebijakan yang akan dilaksanakan. Memeprsiapkan agen pelaksana kebijakan yang dibuat. Pada tahap ini setiap lembaga dibagi kewenangannya dalam mengelola pendidikan reguler dan khusus. Kebijakan terhadap pemenuhan pendidikan bagi penyandang kebutuhan khusus telah diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi DIY No 4 tahun 2012 tentang perlindungan penyandang disabilitas. Berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka pengelolaan pendidikan khusus merupakan kewenangan Provinsi, yang bertugas dalam bidang pendidikan. Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman berupaya memenuhi pendidikan anak berkebutuhan khusus tersebut melalui pendidikan inklusi yang mengacu pada Permendiknas No. 70 tahun 2009 dan
Peraturan
Gubernur
DIY
No.21
tahun
2013
tentang
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Hal itu juga mengacu pada kewajiban Kabupaten/ Kota yang harus mengelola pendidikan reguler di wilayahnya. Penerapanya di Provinsi DIY dibagi dalam dua bagian. Pengelolaan sekolah inklusi yang berada di Dinas Pendidikan Kabupaten, dan pengelolaan SLB yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY.
Agen kebijakan tersebut akan tetap terikat
137
dalam mengatasi permasalahan yang terjadi. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY sebagai pembina bagi Dinas Pendidikan Kabupaten serta lebih mengetahui tentang kebijakan PLB. Sedangkan Dinas
Pendidikan Kabupaten Sleman sebagai
pelaksana, yang akan meneruskan kebijakan daripusat dan mengelola pendidikan diwilayahnya, untuk dapat dilaksanakan sekolah sebagai sasaran kebijakan. Sehingga antara dua lembaga pendidikan tersebut mempunyai hubungan dalam melaksanakan, mengelola pendidikan yang ada dari provinsi ke daerah lainnya. Namun tetap yang mengelola secara penuh pendidikan inklusi adalah Kabupaten/ Kota itu sendiri. Berdasarkan penjelasan diatas penyusunan agen yang dilakukan Dinas Pendidikan terkait sudah sesuai dengan teori Lineberry. Pada tahap tersebut dijelaskan bahwa dilakukan dengan cara membuat dan menyusun staf suatu agen baru guna melaksanakan sebuah kebijakan baru
(Lineberry
dalam
Sudiyono,
2007:80).
Sehingga
dalam
penerapannyadapat meminimalisir terjadinya miss atau kurang persiapan b. Mengembangkan Kerangka Kerja Tahap ini menurut Lineberry adalah untuk menerjemahkan tujuan legislatif dan secara sungguh – sungguh memasukkannya dalam aturan pelaksanaan, mengembangkan panduan atau kerangka kerja bagi pelaksana kebijakan. Tahap ini mencoba untuk menjabarka setiap tujuan kebijakan untuk dapat dikembangkan lagi menjadi sebuah pedoman kerja.
138
Didalam penerapannya dikeluarkan olah
dilakukan melalui penunjukkan yang
Kepala Bupati atau Dinas Pendidikan untuk
menjalankan pendidikan inklusi dan menyebarkan petunjuk teknisnya melalui modul. Keputusan Penunjukkan Inklusi di Kabupaten Sleman sendiri tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sleman No. 245 tahun 2012 menetapkan bahwa dalam rangka peningkatan kualitas dan akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus melalui sekolah pendidikan inklusi. Penetapan keputusan tersebut menjadi panduan atau petunjuk bagi sekolah sebagai sasaran kebijakan yang melaksanakan pendidikan inklusi. Aturan
tersebut
kemudian
dikembangkan
menjadi
bentuk
komitmen bersama di Provinsi DIY, bahwa setiap sekolah umum di DIY wajib menerima ABK sebagai kota anti-diskriminasi.
Didalam
pelaksanaanya Surat Keputusan tetap digunakan sebagai acuan pelaksanaan dan syarat dalam mengajukan bantuan operasional. Walaupun tidak ada regulasi secara khusus, namun Sleman tetap berkomitmen bahwa pendidikan inklusi tetap dapat jalan, karena sudah mengacu ke kebijakan pusat. Setiap kebijakan pusat merupakan pedoman dalam
mengembangkan
aturan
pelaksanaan
yang dibuat
Dinas
Pendidikan di Provinsi DIY terhadap sekolah sebagai sasaran kebijakan. Aturan
pendidikan
inklusi
yang
139
mengatur
tentang
seperti
pembelajarannya, pengelolaan ABK, sumber –sumber pendukung, serta proses identifikasi atau asesmennya. Berdasarkan penjelasan diatas penyusunan kerangka kerja yang dilakukan Dinas Pendidikan terkait sudah sesuai dengan teori Lineberry (dalam Sudiyono, 2007:80) Pada tahap tersebut dijelaskan bahwa dilakukan dengan cara mengembangkan kerangka kerja berdasarkan kebijakan pusat agar dapat dilakukakn pelaksana dan sasaran kebijakan. Panduan
tersebut
sudah
digunakan
menjadi
acuan
dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusi. c. Melakukan Koordinasi terkait Sumber Daya dan Pembiayaan Pada tahap ini dilakukan koordinasi terkait sumberdaya dan pembiayaan untuk kelompok sasaran, pengembangan dan pembagian tanggung jawab antar agen. Proses pembelajaran pendidikan inklusi pada dasarnya sama dengan sekolah reguler lainnya, hanya saja ada perubahan pada karakter siswanya, modifikasi di kurikulum sesuai kebutuhan anak, serta guru pendamping khusus. Guru pendampig khusus (GPK) merupakan sumber daya manusia yang bekerja langsung mendampingi anak berkebutuhan khusus, memahami karakter anak, dan penanganan yang baik dan sesuai di sekolah. Seiring perkembangan waktu permintaan GPK dari sekolah inklusi terus bertambah. Pengelolaan GPK di Daerah Sleman berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY dalam memenuhi permintaan GPK.
140
Jadi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Sleman masih meminta bantuan dari Dinas Provinsi terkait pemenuhan GPK, belum secara khusus mencari lulusan PLB untuk ditugaskan menjadi
GPK
honorer di sekolah inklusi. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY sendiri telah mengirim 138 GPK ke sekolah inklusi yang sudah lama atau sudah mendapat SK penunjukkan, dan masih ada beberapa sekolah inklusi belum memiliki GPK. Hal tersebut menunjukkan jika Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota masih ada yang belum berupaya untuk merekrut tenaga guru PLB yang dapat menjadi GPK di sekolah inklusi. Peran GPK dalam pendidikan inklusi memang penting, untuk membantu siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas secara penuh. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa anggaran pembiayaan yang digunakan dalam pendidikan inklusi bersumber dari APBD, BOSNAS, BOSDA, dan BOSKAB. Anggaran tersebut dipergunakan untuk mengadakan pelatihan – pelatihan, dan membantu sarana – sarana untuk sekolah inklusi. Hal tersebut sudah sesuai dengan tahapan implementasi kebijakan yang dinyatakan oleh Lineberry dalam tahap koordinasi sumber daya dan pembiayaan, bahwa Dinas Pendidikan berupaya memaksimalkan anggaran yang diperoleh untuk menunjang keberlangsungan pendidikan inklusi, pemberian bantuan sarpras, maupun dalam pelaksanaan asesmen, serta penguatan SDM untuk mengatasi minim.
141
Berdasarkan penjelasan diatas koordinasi SDM dan pembiayaan sudah dilakukan Dinas Pendidikan terkait sudah sesuai dengan teori Lineberry. Koordinasi terkait sumberdaya dan pembiayaan untuk kelompok sasaran, pengembangan dan pembagian tanggung jawab antar agen. Koordinasi dilakukan antara Dinas Pendidikan Provinsi dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota. d. Pengalokasian Sumber Daya Tahapan
dalam mengalokasikan sumber daya ini untuk
mendapatkan dampak penerapan kebijakan. Suatu proses pendidikan atau pembelajarannya tidak akan lepas dari peran serta guru, murid, kurikulum dan fasilitas. Berdasarkan hal tersebut, guru memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Guru merupakan tenaga pendidik yang mempunyai tugas untuk membimbing, membelajarkan, dan melatih peserta didik. Guru harus mampu untuk memberikan materi atau bimbingan dalam pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak yang dapat dilakukan melalui proses asesmen baik di sekolah umum (inklusi) atau sekolah luar biasa. Guru kelas akan melaksanakan tugasnya bersama dengan guru pendamping khusus (GPK). Hal ini untuk menyeimbangkan pengetahuan tentang kekhususan pada ABK yang belum secara penuh dipahami beberapa guru kelas. Kebijakan terkait GPK masih bersumber dari DISDIKPORA Provinsi DIY, sehingga pengalokasian GPK tersebut bersumber dari tenaga yang ada di SLB, untuk diperbantukan di sekolah inklusi, namun tidak bisa
142
memenuhi semua permintaan sekolah inklusi, dikarenakan SLB justru akan kekurangan guru atau bahkan tutup. Jadi sumber daya guru di SLB sendiri terbatas, perbandingan antara SLB dengan sekolah umum sangat jauh, dan tidak semua sekolah inklusi mampu. Apabila guru di SLB dipinjamkan ke sejumlah sekolah inklusi, dampak yang ditimbulkan adalah siswa SLB akan tertinggal bahkan SLB akan tutup. Kabupaten/ Kota sendiri beberapa saja yang sudah memapu memberikan GPK ke tiap sekolah, sedangkan dari Kabupaten Sleman masih bergantung pusat, sehingga sulit terpenuhi. Seorang GPK berperan dalam memberikan bimbingan yang berkesinambungan, dan melaksanakan pengelolaan asesmen disekolah bersama guru kelas. Asesmen menjadi proses awal dari pembelajaran inklusi untuk mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal meningkatkan potensi, dan meminimalisir kelemahan pada anak. Hal ini sebagai bentuk persiapan dalam menyusun rencana pembelajaran, penanganan, pelayanan dan pembimbingan kepada ABK.. Didalam pelaksanaannya asesmen dilakukan jika telah dilakukan proses identifikasi terhadap anak berkebutuhan khusus. Secara khusus asesmen merupakan penyaringan, dengan mengumpulkan informasi lebih rinci. Asesmen harus diberikan oleh lembaga yang kompeten, jika asesmen dilakukan oleh orang yang tidak berkompeten nanti menyangkut harga diri orang tua. Namun jika dikeluarkan salah satu lembaga yang
143
sudah menjadi profesi seperti rumah sakit, atau psikolog,
itu sudah
profesional. Jika asesmen khususnya bagian psikologis tidak bisa dilakukan oleh guru kelas, atau guru pendamping kelas (GPK). Sedangkan alokasi GPK masih terbatas dan pengetahuan guru reguler juga terbatas, maka pelayanan pendidikan inklusi akan kurang optimal. Disisi lain yang berhak melakukan hanyalah seorang pakar dibidangnya, sekolah tidak memiliki tolak ukur dalam penanganan ke PLB- an. Guru tidak bisa melakukan asesmen yang menyangkut besaran IQ seorang anak dan minim pengetahuan PLB. Hal tersebut menunjukkan jika seorang guru kelas harus mempunyai pengetahuan tentang asesmen ABK, atau keinklusiannya. Langkah kebijakan yang diambil Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY dalam mengatasi dampak yang ada, maka hasil dari kebijakan pengelolaan asesmen ABK yang diterapkan oleh Dinas Pendidikan terkait adalah: 1) Mengadakan Pelatihan Asesmen Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di DIY berupaya memberikan pelatihan bagi guru reguler untuk mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan asesmen dan keinklusian. Khusus pelatihan assessmen masih dilakukan oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY, sedangkan pelatihan asesmen di Kabupaten Sleman terintegrasi dengan materi inklusi. Pelatihan
144
tersebut dilakukan untuk memberikan pengetahuan kepada guru reguler dalam mengelola pelaksanaan asesmen di sekolah, namun bukan asesmen pada tingkat psikologinya. Pelatihan tersebut untuk meminimalisir kekurang mampuan guru dalam bidang pelayanan ABK karena guru reguler kebanyakan dari jurusan PGSD bukan PLB. Selain itu untuk mempersiapkan guru agar tidak tergantung dengan GPK, dan dapat memberikan apa yang didapat kepada rekan guru lainnya. 2) Menjalin mitra kerja dengan lembaga rerkait Pemerintah DIY bekerja sama dengan pihak – pihak terkait guna membantu terlaksananya program pelatihan serta pelaksanaan asesmen disekolah. Baik dari bidang akademis seperti Perguruan Tinggi, dan bidang Kesehatan seperti Puskesmas, Dinas Kesehatan. Sesuai Permendiknas No.70 Tahun 2009 Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
(PENSIF)
pasal
11
bahwasanya
satuan
pendidikan
penyelenggaraan pendidikan inklusif berhak memperoleh bantuan operasional sesuai dengan kebutuhan dari pemerintah, dengan membentuk jaringan kerja sama dengan organisasi profesi, rumah sakit, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya. Pihak akademis tersebut berperan sebagai pembina akademik, konsultan, atau narasumber. Pihak kesehatan yang menjalin kerja dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman umumnya Puskesmas ditiap kecamatan. Sebagai
145
pihak
yang memiliki tolak ukur dalam melakukan asesmen, dan
dipandang lebih berkompeten di bidang psikiologis dalam melakukan asesmen. Pemberian pelatihan dilakukan untuk memberikan bekal pengetahuan tentang pengelolaan asesmen, kelemahan yang dimiliki, serta penangananya. Hal tersebut penting karena, keahlian sekolah untuk ke PLB-an masih kurang, mereka tidak
bisa termasuk
didalamnya standar tes pengukuran psikologi. Puskesmas dianggap mempunyai jarak yang tidak terlalu jauh dengan keberadaan sekolah- sekolah inklusi di Kabupaten Sleman, dibandingkan dengan Rumah Sakit yang terpusat di Kota. Persebaran Puskesmas sendiri saat ini dirasa masih minim yang mempunyai pakar psikologinya. Hanya 15 Puskesmas dari 27 Puskesmas di Kabupaten Sleman yang mampu melakukan asesmen psikologis. Pemilihan Puskesmas dirasa lebih ringan dibandingkan Rumah Sakit dalam hal pengeluaran biayanya dan dapat memperpendek alur pengelolaan asesmen. 3) Membentuk Lembaga Khusus Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di DIY membentuk sebuah lembaga khusus yang bertujuan membantu pelaksanaan pendidikan inklusi ditiap daerah melalui Pusat Sumber dan Sub Pusat Sumber. Pembentukan lembaga tersebut berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY No. 0131 Tahun 2013 tentang Pembentukan Sub Pusat Sumber di DIY. Beserta Surat
146
Keputusan Gubernur DIY No. 41 tentang Pusat Sumber dan Surat Keputusan Gubernur DIY No. 91/ Kep/ tahun 2015 tentang Pembentukan Anggota Pusat Sumber Pendidikan Inklusif. Tujuan dari lembaga tersebut adalah untuk - Menjalin kemitraan dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota, sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, dan atau lembaga
lain
yang
bergiat
dalam
penyelenggaraan
pendidikan inklusi di masing wilayah - Menyediakan layanan pendidikan khusus bagi sekolah inklusi - Menyediakan layanan assessmen fungsional dan akademik - Menyediakan layanan konsultasi Pusat Sumber dan sub pusat sumber tersebut dapat membantu mengatasi permasalahan di sekolah inklusi, baik berupa konsultasi, bantuan sarpras, pelatihan, dan pelaksanaan asesmen. Lembaga ini dapat menjadi rujukan jika sekolah akan mengadakan asesmen bagi ABK. Namun saat ini Pusat Sumber dan Sub Pusat Sumber belum mampu dimanfaatkan oleh sekolah inklusi, dikarenakan kurang adanya sosialiasasi dan letaknya yang berjauhan. Berdasarkan
penjelasan
diatas
pengalokasian
SDM
untuk
mendapatkan dampak dari penerapan kebijakan yang dilakukan Dinas Pendidikan terkait sudah sesuai dengan teori Lineberry (dalam Sudiyono, 2007: 80). Pengalokasian GPK yang terbatas memunculkan kebijakan baru yaitu : 1)
147
pengadaan pelatihan guru SPPI; 2) menjalin mitra kerja dengan lembaga terkait; dan 3) membentuk lembaga khusus. Hal tersebut untuk mendukung pelaksanaan asesmen dan pembelajaran di sekolah inklusi, dikarenakan terbatasnya GPK. e.Pengelolaan Asesmen di Sekolah Inklusi Implementasinya di sekolah sendiri sudah dapat dilakukan, SD Negeri Brengosan I sebagai salah satu sekolah inklusi di Sleman sudah menerapkan kebijakan inklusi dan pengelolaan asesmen ini. Namun masih belum bisa maksimal dan memenuhi target. Secara pembelajaran, setiap anak di sekolah sudah ditempatkan pada ruangan yang sama antar anak yang lain. Hal tersebut sesuai dengan Staub dan Peck dalam Budiyanto (2014: 4) menyebutkan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas untuk mengikuti pembelajaran dalam lingkungan pendidikan yang sama. Sedangkan upaya dalam memenuhi kebutuhan belajar anak sudah dilakukan melalui beberapa penyesuaian dalam pembelajaran, yang dihasilkan dari proses sistematis melalui identifikasi dan assessmen. Pengelolaan asesmen yang dilakukan SD N Brengosan dilakukan melalui beberapa tahapan yakni perencanaan, pelaksanaan asesmen, tindak lanjut, dan pemberian pelayanan khusus. a. Perencanaan Pelaksanaan Asesmen Proses Perencanaan asesmen yang dilakukan sekolah dengan mengkoordinasikan beberapa pihak yang akan terlibat didalamnya serta waktu pelaksanaan. Pihak yang terlibat diantaranya seperti Kepala
148
Sekolah, Guru Kelas, Guru Pendamping Khusus, Orang tua dan Psikolog. Sekolah telah merencanakan pelaksanaan asesmen setiap tahun ajaran baru dimulai tepatnya saat masuk kelas I (satu). Proses tersebut akan berlanjut hingga kelas selanjutnya dan dirasa sudah tidak mengalami hambatan belajar lagi. Dengan demikian dapat diketahui bahwa strategi asesmen yang diterapkan sekolah adalah Static Assessment Procedure (SAP), sebagai proses asesmen yang konvensional karena terkait aspek yang telah ada pada diri anak, maupun sesuatu yang telah didapat, serta dilaksanakan sesuai waktu yang telah ditetapkan diawal tahun ajaran
(Marit Holm
dalam Tarmansyah, 2007: 185). b. Pelaksanaan Pengelolaan Asesmen Pada pelaksanaan di sekolah, asesmen ABK dilakukan setelah dilaksanakan proses idnetifikasi. 1) Proses Identifikasi Budiyanto (2014: 34) mengatakan identifikasi adalah usaha sesorang (orang tua, keluarga, guru, atau tenaga kependidikan) untuk mengetahui seorang anak mengalami kelainan baik fisik, emosional, sosial, neuorolgis, intelektual dalam tumbuh kembang anak diluar dari konteks anak normal. SD N Brengosan I melakukan identifikasi terlebih dahulu sebelum tahap asesmen dilakukan. Identikasi tersebut dilakukan dengan menghimpun data anak, menganalisa data anak, pertemuan konsultasi dengan kepala sekolah, dan menyelenggarakan
149
pertemuan kasus, untuk kemudian melakukan perekapan data yang diperoleh. Tolak ukur yang digunakan guru dalam melihat anak umumnya dilihat dari prestasi belajar, perilaku, dan keaktifan saat disekolah. Selain itu sekolah juga dengan mengkaitkan pernyataan dari orang tua siswa yang diduga ABK. Jadi metode yang digunakan sekolah selain pengamatan menggunakan instrumen form
identifikasi yang
digunakan SD Negeri Brengosan I untuk menghimpun data anak diantaranya sebagai berikut: -
Form I : instrumen berisikan penggalian informasi terkait perkembangan anak mulai dari anak lahir hingga masuk pendidikan terakhir anak.
-
Form II : bertujuan untuk memperoleh informasi terkait data orang tua atau wali murid siswa yang diduga anak berkebutuhan khusus.
-
Form III : instrumen tentang AI ABK, yang bertujuan untuk mengidentifikasi
atau
mengamati
anak
yang
diduga
berkebutuhan khusus dikelas, dengan melihat gejala- gejala yang nampak pada anak sesuai dengan tolak ukur yang ada pada instrumen. -
Form IV : instrumen ini memuat tentang uraian kasus atau masalah yang ditemui pada anak yang terindikasi berkelainan
150
dan membutuhkan pelayanan khusus. Penemuan kasus berdasarkan hasil pengamatan guru kelas. -
Form V : memuat laporan hasil pertemuan kasus anak yang memerlukan pelayanan khusus.
Form tersebut diberikan
kepada guru (Form III, IV, V) dan
beberapa kepada orang tua (Form I, II) siswa. Hal yang sering dialami sekolah
adalah orang tua yang mengisi form tersebut tidak sesuai
dengan apa yang dirasakan guru, terkadang form tidak diisi sehingga menyulitkan pengumpulan informasi dari orang tua. Setelah data diperoleh, data yang diperoleh akan direkap oleh guru kelas bersama GPK dan melihat perkembangan anak yang diduga ABK tersebut. Selain itu sebagai bahan pertimbangan sebelum berkonsultasi ke Kepala Sekolah,dan bahan data rujukan. 2) Tahap Asesmen ABK Tarmansyah (2007: 183) mengungkapkan jika kegiatan asesmen merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya memperoleh informasi terkait hambatan belajar, kebutuhan pelayanan yang harus terpenuhi, serta potensi yang dimiliki, sehingga dapat menjadi dasar pembuatan rencana pembelajarn sesuai kemampuan anak. Proses Asesmen yang dilakukan SD Negeri Brengosan I menggunakan teknik assessmen psikologi yang bekerja sama dengan Psikolog di Puskesmas Ngaglik I. Asesmen ini merupakan proses penyaringan terhadap anak yang telah teridentifikasi sebagai ABK
151
untuk menyiapkan pembelajaran yang sesuai bagi anak. Selain itu untuk lebih dapat melihat kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri anak. Puskesmas dipilih sekolah sebagai pihak yang berkompeten melakukan assessmen dikarenakan sudah mempunyai ahli psikolog Strata 2 (S2) yang mampu melakukan tes IQ. Perencanaan Puskesmas Ngaglik II sebagai mitra disarankan oleh GPK setelah berkonsultasi ke Puskesmas. Tes IQ dianggap mampu menunjukkan tingkat intelegensi anak yang bersangkutan, selain itu karena kebanyakan siswa yang dianggap ABK berparas seperti anak normal. Tes dilakukan tergantung dari kebijakan Puskesmas dan usia anak, umumnya menggunakan tes Byne dan Wyse. Peran GPK di SD Negeri Brengosan I lebih beragam karena selain memberikan pendampingan dikelas juga mencari Puskesmas. Pemilihan Puskesmas sesuai dengan yang disampaikan Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, karena lebih dekat dan alur yang praktis. Besaran anggaran yang dikeluarkan sekolah diambil dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan memakan Rp 20.000, 00 untuk operasional tes IQ di Puskesmas. Hasil dari asesmen itu akan diberitahukan kepada sekolah dan diteruskan ke orang tua, atau dengan mengikutsertakan orang tua untuk datang ke Puskesmas dan berdiskusi dengan GPK serta pihak Psikolog. Kebijakan SD Negeri Brengosan I yang telah dilaksanakan, jika anak berkebutuhan khusus yang ada di sekolah sudah tidak mengalami
152
hambatan akan dilepas dari status ABK dan tidak dilakukan identifikasi dan asesmen padanya. 3) Pembahasan Hasil Asesmen Sekolah telah mampu melaksanakan proses identifikasi dan asesmen pada anak yang terindikasi ABK bekerja sama dengan psikolog di Puskesmas. Setelah asesmen dilakukan oleh Puskesmas, akan diketahui karakter anak yang menjadi klien mulai dari kelemahan, kelebihan, dan bentuk pelayanan yang dianggap cocok diberikan pada anak. Sekolah dapat memastikan ketunaan anak, dan pengembangan anak bagaimana. selain itu peran orang tua diutamakan untuk memberikan bimbingan di rumah berdasarkan saran dari sekolah dan Puskesmas. Bentuk hasil tes IQ yang dikeluarkan oleh Puskesmas berupa skor tingkat intelegensi yang didapat anak dan saran. Jika orang tua kooperatif akan diberikan penyuluhan secara khusus dari psikolog. Rincian pengukuran yang dicari dalam tes IQ tersebut berupa kemampuan pengetahuan umum, visual motorik, penalaran aritmatik, konsentrasi dan memori, kemampuan kata dan verbal, dan evaluasi dan penalaran. Tindakan selanjutnya yang dilakukan sekolah adalah melakukan pembahasan terhadap hasil yang didapat serta meneruskan memberikan arahan kepada orang tua. Sehingga peran orang tua dituntut aktif dalam membimbing anak dilingkungan keluarga agar ABK dapat berkembang. Selain memberikan pengarahan, upaya selanjutnya dengan mempersiapkan penyesuaian – penyesuaian
153
pembelajaran yang akan dilakukan dikelas. Jika kebanyakan anak yang terindikasi ABK mengalami hambatan kecerdasan, arahan yang diberikan berupa penambahan jam belajar, penyesuaian RPP, pengajaran pendampingan, dan perutinan belajar dirumah. Dengan demikian pembahasan yang dilakukan sekolah dalam menanggapi hasil asesmen yang diperoleh anak dilaksanakan oleh Guru Kelas, Guru Pembimbing Khusus dan Orang tua anak. Guru mempersiapkan penyesuaian pembelajaran atau rencana belajar sesuai karakter anak. SD N Brengosan I tetap mengutamakan agar perhatian dan bimbingan orang tua di keluarga harus berjalan, namun hal tersebut kurang dapat berjalan karena masih banyak wali siswa yang kurang peduli. Hal tersebut menunnjukkan jika pelaksanaan yang dilakukan sekolah sesuai dengan teori konsep pendidikan inklusi Moh. Takdir Ilahi (2013: 117-132) yakni konsep memajukan sekolah inklusi dan konsep sumber daya, bahwa setiap sumber daya manusia bergerak bersama untuk mengoptimalkan potensi anak. Oleh karena itu, SD N Brengosan I mengupayakannya melalui pelaksanaan tambahan jam pembelajaran khusus ABK, dan penyesuaian pada RPP. c. Tindak Lanjut Asesmen 1). Perencanaan Pembelajaran Proses ini SD N Brengosan I akan menganalisa hasil asesmen untuk menyesuaian dengan kurikulum yang digunakan. Kurikulum yang diterapkan sama pada umumnya hanya terdapat beberapa
154
modifikasi. Penyesuaian tersebut dilakukan oleh guru kelas dengan didampingi GPK. Kebanyakan guru membuat RPP satu jenis, tidak dipisahkan antara siswa ABK dan anak normal. Hanya diberikan penyesuaian seperti arah, tujuan, materi pembelajaran ataupun tingkatatan evaluasi belajar. Sedangkan Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD),dan alokasi waktu tetap disamakan.
Hal
tersebut menunjukkan kesesuaian dengan teori dari Budiyanto (2009: 27) terkait alur identifikasi dan asesmen bahwa data yang diperoleh dari proses asesmen menjadi pedoman dalam penyusunan rencana belajar. Kebijakan lain yang dibuat SD N Brengosan I adalah menyamakan RPP pada tingkatan kelas VI baik siswa ABK dan normal. Hal tersebut didasarkan agar semua anak dapat mengikuti ujian nasional dan mendapatkan ijazah. Selain itu untuk memberikan akses yang luas dalam melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.
Sesuai dengan
Permendiknas RI No. 70 tahun 2009 bahwa pendidikan inklusi menjunjung prinsip keberlanjutan, berkesinambungan pada setiap jenjang pendidikan 2) Pelaksanaan Pembelajaran Proses belajar mengajar dikelas sama dengan sekolah lainnya pada saat penulis mengikuti proses belajar di kelas III dan IV, umumnya guru menggunakan metode ceramah dan dikte dengan sesekali menghampiri tiap siswa. Khusus untuk ABK mereka mendapat porsi pendampingan lebih sering oleh guru kelas maupun GPK. Tahap
155
setelah menyusun RPP, guru melaksanakan pembelajaran dan mengorganisasikan siswa berkebutuhan sesuai rencana yang telah dibuat. Semua siswa berada dalam satu kelas dan menerima penyampaian topik yang sama, ruang dan waktu yang sama. Kunjungan GPK masuk kekelas setiap harinya dijadwal sesuai kesepakatan sekolah dan GPK selama dua hari di sekolah. GPK lebih fokus mendampingi anak yang mempunyai hambatan kecerdasan cukup berat seperti tunagrahita. Penempatan tempat duduk antara siswa berkebutuhan dan reguler diletakkan secara terpisah. Hal yang umum dilakukan guru sebelum memulai pembelajaran guru hanya menanyakan kesiapan belajar siswa, serta menyiapkan materi belajar. Sesudah usai pembelajaran terkadang guru akan memberikan PR, dan anak akan melakukan bersih – bersih ruang kelas serta meletakkan kursi daiatas meja. Kegiatan tersebut teramati sama untuk kelas III dan kelasIV di SD N Brengosan I. Selain itu guru banyak mengalami kesulitan mengajar pada ABK khususnya tunagrahita. sedangkan anak slow learner beberapa guru masih sanggup untuk memberikan pengajaran walau pelan. kebanyakan guru merasa sulit dalam memfokuskan siswa dan cara agar ABK tersebut tidak tertinggal dalam prestasi. Namun tetap sekolah berupaya memberikan pelayanan terbaik agar anak dapat berkembang, sesuai dengan prinsip pendidikan inklusi. Sesuai dengan Permendiknas RI No.70 tahun 2009 tentang prinsip kebermaknaan, sekolah mampu
156
memberikan pelayanan pendidikan dengan lingkungan yang ramah anak, anti- diskriminasi, menghargai perbedaan. Salah satu upaya yang dilakukan sekolah dengan memberikan pengarahan pada orang tua, dan penambahan jam belajar. Hal tersebut menunjukkan jika sekolah berupaya untuk memberikan pelayanan pendidikan pada anak, meskipun pelan- pelan. Sesuai dengan Tarmansayah (2007: 84) bahwa pendidikan inklusi adalah hak asasai manusia, dimana pelayananan pendidikan harus diterima oleh setiap anak tanpa memandang latar belakang anak seperti kondisi fisik, intelektual, sosial- emosional, linguistik, mencakup anak berkelainan dan bakat istimewa. 3) Pelaksanaan Evaluasi Belajar Setelah dilakukan proses identifikasi dan asesmen, serta diberikan pembelajaran dari hasil temuan- temuan. Dilaksanakan evaluasi belajar untuk dapat memantau perkembangan belajar anak dilakukan melalui ulangan.. Standar dan alat penilaian yang diterapkan oleh guru menyesuaikan kebutuhan anak terutama ABK. Evaluai ini dengan sekolah lainnya sama bentuknya, hanya berbeda pada indikator khusus ABK. Model evaluasi yang dilakukan sekolah disesuaikan dengan kondisi siswanya, terkadang siswa juga mendapat pendampingan saat mengerjakan soal. Hal itu untuk membantu ABK yang lemah dalam membaca maupun menulis, selain itu tingkatan kesukaran soal juga
157
dibedakan. Penyesuaian lebih pada tingkat indikator soal ABK yang lebih rendah dibanding anak normal, serta nilai KKMnya. Sesuai dengan Permendiknas RI No.70 tahun 2009 tentang prinsip kebutuhan individual bahwa potensi serta kebutuhan setiap anak berbeda, dan pendidikan harus menyesuaikan dengan keadaan anak Hasil ulangan yang didapat akan diberikan kepada orang tua sekaligus pengarahan. Jika siswa ABK mengikuti ulangan dan sudah mendapatkan hasil yang bagus, kelemahan yang ada telah hilang. Anak akan dilepas dari status anak berketunaan, namun jika anak masih mengalami hambatan. Pihak sekolah tetap memberikan pelayanan khusus bagi ABK dan dikemudian hari proses identifikasi dan asesmen tetap berlanjut. Siswa yang mengalami gangguan ringan banyak dirasakan wali murid di SD N Brengosan I sudah mengalami perubahan perlahan. Akan tetapi jika ditemukan ABK tersebut sulit untuk berkembang (ABK berat) dan terbatasnya sarana dan tenaga. SD N Brengosan I akan mengarahkan ABK tersebut untuk pindah ke SLB. Orang tua akan diberikan pengarahan kondisi anak didiknya. pengarahan yang dilakukan sekolah setelah mendapat hasil asesmen dan evaluasi ini untuk mengetahui dan menyesuaikan kemampuan anak. Orang tua yang kooperatif akan menerima arahan sekolah untuk memindahkan anaknya ke SLB. Namun jika bersikeras, sekolah tetap bersedia menampung ABK berat tersebut. Guru akan tetap memantau secara berkala perkembangan ABK dikelas. Kebijakan tersebut
158
dilakukan pihak SD N Brengosan I tersebut untuk mengantisipasi jika anak keluar sekolah justru putus sekolah. Berdasarkan data yang diperoleh pelaksanaan pembelajaran di SD N Brengosan I belum semua dilaksanakan sesuai dengan pedoman PPI yang dinyatakan Loughin (Budiyanto, 2014: 65). Dikarenakan dalam prakteknya PPI masih dilakukan secara tertulis saja. d. Pelayanan pendidikan khusus Tindakan dalam mengoptimalkan hasil dari asesmen yang dilakukan sekolah dilakukan dengan mengadakan penambahan jam tambahan belajar bagi ABK sebagai wujud dari pelayanan khusus. Sekolah memberikan waktu tambahan belajar khusus bagi ABK pascapembelajaran kurang lebih 30 sampai 60 menit perkelas untuk mengulang dan menguatkan materi yang diterima anak. Hal tersebut berkaitan dengan kebanyakan kelemahan siswa yang lemah intelegensi, sehingga perlu disokong dengan perutinan belajar. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari dilaksanakan asesmen yang disampaikan oleh Sunardi dan Sunaryo (Budiyanto, 2014: 56) yaitu: 1)
untuk mendapatkan informasi yang
akurat, obyektif, relevan tentang keadaan anak berkebutuhan khusus; 2) untuk mengetahui data anak yang lengkap, seperti potensi dalam diri anak, hambatan dalam belajar, keadaan lingkungan, kebutuhan pelayanan khusus; dan 3) untuk menetapakan pelayanan khusus yang sesuai dengan kondisi anak sesuai kebutuhannya, secara berkala dipantau kemajuan perkembangan anak.
159
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY. Didalam setiap penerapan sebuah kebijakan terdapat faktor yang mendorong dan ada pula yang menghambat. Faktor pendorong yang dirasakan pihak Dinas Pendidikan dengan adanya materi PLB dalam mata kuliah jurusan kependidikan, serta pemahaman masyarakat terkait akses pendidikan inklusi yang sudah berkembang. Hal tersebut menunjukkan jika kedepannya
lemahnya
pemahaman
guru
terkait
asesmen
dapat
diminimalisir. Sedangkan akses pendidikan bagi setiap anak dapat lebih luas. Anak yang dikategorikan ABK dapat belajar bersama dengan anak lainnya.Sehingga tindakan pendiaman ABK dirumah, atau rasa malu yang kerap diasakan orang tua dapat berkurang. Selain faktor pendukung tersebut, kendala yang kerap ditemui pihak Dinas Pendidikan diantaranya lemahnya pemahaman terhadap kebijakan pendidikan inklusi dapat dipahami guru reguler, serta alokasi GPK yang tidak bisa mencakup semua, Sehingga pelayanan pendidikan inklusi baik proses identifikasi dan asesmen menjadi kurang maksimal. Alokasi waktu dan tenaga GPK yang terbatas sering dikeluhkan sekolah. Salah satu upaya mengatasi minim GPK dengan memberikan pelatihan bagi guru reguler, namun juga terbentur akan beberapa hal. Faktor anggaran dan pemerataan guru untuk mengikuti pelatihan asesmen guru reguler tidak dapat setiap tahun diadakan dan dirasakan semua guru – guru.
160
Penerapan kebijakan asesmen di sekolah tidak lepas dari faktor pendukung dan penghambat. Adanya Pusksesmas yang menyediakan jasa kesehatan psikologis dan tenaga profesional dirasa membantu pelaksanaan asesmen di SD N Brengosan I. Sehingga memudahkan alur identifikasi dan asesmen disekolah. Selain itu bentuk kerjasama orang tua dalam pelaksanaan asesmen sudah baik. Mereka sudah berkenan untuk bekerjasama dengan pihak sekolah. Faktor penghambat yang dihadapi sekolah adalah beberapa orang tua yang kurang kooperatif dengan tidak mengisi instrumen dari sekolah. Kadangkala hal tersebut membuat pihak sekolah kesulitan dalam mengumpulkan informasi guna melengkapi data yang diperlukan dalam proses asesmen dan identifikasi. Kurangnya perhatian orang tua dirumah membuat pelayanan belajar yang diterima ABK disekolah menjadi terbuang. Keadaan
ini dianggap kurang sinkron dengan upaya yang diberikan
sekolah. Beberapa faktor tersebut yang dirasa mengahambat pelaksanaan asesmen dan pendidikan inklusi dirasa kurang maksimal. Namun hal itu wajar terjadi karena karakter setiaporang tua berbeda- beda, dan sekolah hanya dapat melayani, menerima dan mengarahkan saja. Berdasarkan paparan data tersebut dapat diketahui jika implementasi kebijakan pengelolaan asesmen terhadap ABK mulai sesuai dengan teori Lineberry yang dimulai dari tahap membuat dan menyusun staf agen, menyususn kerangka kerja, melakukan koordinasi terkait sumber daya dan pembiayaan, dan mengalokasikan sumber daya. Hasil dari implementasi kebijakan pengelolaan
161
asesmen ABK yang diterapakan Dinas Pendidikan dilaksanakan melalui tiga bentuk yaitu dengan memberikan pelatihan, menjalin mitra kerja dan membentuk lembaga khusus. Semua itu untuk meningkatkan profesionalitas guru dan memberikan sarana/ upaya pendukung terhadap pelaksanaan asesmen disekolah. SD N Brengosan I sendiri telah mampu dan merasakan bentuk kebijakan yang diberikan Dinas Pendidikan. Sekolah melaksanakan pengelolaan asesmen melalui tahap perencanaan, pelakasanaan, dan tindak lanjut. Tindak lanjut ini dimulai dari penyusunan RPP, proses pembelajaran, hingga evaluasi dari pemberian pelayanan dan pembelajaran. Serta memberikan pelayanan pendidikan khusus berupa jam tambahan belajar bagi ABK yang mengalami hambatan belajar.
162
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi dilakukan melalui empat tahapan dengan membagi pihak yang berperan dalam mengelola pendidikan di DIY, mengembangkan kerangka kerja berdasar kebijakan pusat, mengkoordinasikan sumber daya dan pembiayaan antara Kabupaten/ Kota dengan Provinsi, dan mengaloksikan sumber daya dengan memperbantukan GPK. Dampak atau hasil dari penerapan tersebut adalah;
1) diadakannya pelatihan asesmen atau pengetahuan PLB; 2)
menjalin mitra kerja dengan lembaga terkait; 3) serta membentuk lembaga khusus. Untuk meningkatkan kinerja, pemahaman guru, dan pengelolaan asesmen di SD N Brengosan I sebagai sekolah inklusi sudah dapat merasakan apa yang diberikan Dinas terkait. Meskipun belum secara optimal, sekolah mampu untuk melaksanakan kebijakan asesmen ini melalui beberapa tahapan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, tindak lanjut asesmen, dan pemberian pelayanan khusus jam tambahan belajar. Dimana sekolah turut bekerja sama dengan pihak Puskesmas II Ngaglik sebagai mitra kerja sekolah. Dengan demikian bentuk implementasi yang dilakukan Dinas berupa program pendukung pelaksanaan asesmen di sekolah inklusi.
163
2. Faktor Pendukung dalam implementasi kebijakan pengelolaan assessmen ABK sekolah inklusi di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY ini adalah: 1) materi PLB (Pendidikan Luar Biasa) sudah diberikan pada mata kuliah
kependidikan;
2)
tingkat
pemahaman
masyarakat
terhadap
pendidikan inklusi sudah meningkat; 3) adanya Puskesmas sebagai mitra kerja sekolah. Sedangkan faktor penghambat implementasi kebijakan pengelolaan asesmen ini diantaranya: 1) pemahaman guru reguler masih lemah; 2) alokasi tenaga GPK (Guru Pendamping Khusus) yang terbatas; 3) anggaran pelatihan bagi guru yang terbatas dan belum merata; 4) beberapa orang tua kurang peduli dan sulit memahami arahan dari sekolah. B. Saran Berdasarkan temuan hasil penelitian yang didapat, maka penulis dapat memberikan saran sebagai berikut: 1. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY seharusnya dapat meningkatkan upaya pembinaaan dan pengarahan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten dalam mengelola pelaksanaan pendidikan inklusi. Mengadakan musyawarah bersama antar setiap Dinas Pendidikan di Provinsi DIY dalam mendukung pelaksanaan pendidikan inklusi. Selain itu dapat melakukan studi banding antara sekolah inklusi dengan SLB, sehingga dapat saling bertukar pemahaman dan pengetahuan. 2. Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman untuk dapat memanfaatkan tenaga lulusan PLB untuk dapat diangkat menjadi tenaga GPK di sekolah inklusi.
164
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi di Kabupaten Sleman. 3.
Kepala Sekolah untuk dapat lebih meningkatkan hubungan sekolah dengan orang tua agar dapat bersinergi dengan kebijakan yang dibuat sekolah. Lebih mendekatkan kepada orang tua siswa ABK secara perlahan. Dapat melakukan sosialisasi terhadap orang tua terkait penanganan ABK.
4.
Guru Kelas agar lebih meningkatkan keterlibatan siswa normal dalam memotivasi ABK agar lebih memupuk rasa percaya diri dan kemauan belajar Selain itu guru untuk dapat lebih aktif dalam keikutsertaan pengelolaan identifikasi dan asesmen, tidak bergantung pada posisi GPK. Serta memperhatikan kebutuhan ABK dengan pembelajaran
yang
disampaikan. 5.
Orang Tua diharapakan mampu untuk mengarahkan dan mendampingi anak dalam belajar. Rasa keterbukaan pada orang tua untuk lebih terbuka, agar proses identifikasi dan asesmen dapat berjalan optimal disekolah.
165
DAFTAR PUSTAKA
Arif Rohman. (2009). Politik Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: LaksBang Mediatama. (2012). Kebijakan Pendidikan (Analisis Dinamika Formulasi dan Implementasi).Yogyakarta: Aswaja Presindo. Budiyanto, dkk. (2014). Modul Pelatihan Pendidikan Inklusi. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar. dkk & TIM MCPM-AIBEP. (2009). Modul Training of Trainers Pendidikan Inklusif. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. H.A.R.Tilaar & Riant Nugroho. (2008). Kebijakan Pendidikan (Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hasan Alwi. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Herdina Tyas Leylasari. (2015). Pengembangan Panduan Identifikasi dan Assessmen Siswa Berkebutuhan Khusus Di SD N Inklusi X Surabaya. Diakses dari laman http://portal.widyamandal.ac.id/jurnal/index.php/warta/article/view/238/0. Pada hari Kamis 28 Juli 2016 pukul 21.40 WIB. Imam Yuwono. (2015). Penerapan Identifikasi, Assessmen dan Pembelajaran pada Anak Autis di Sekolah dasar Inklusif. Diakses dari http://eprints.unlam.ac.id/318/1/JURNAL%201.pdf. Pada hari Kamis 28 Juli 2016 pukul 20.49 WIB. Lay Kekeh Marthan. (2007). Manajemen Pendidikan Inklusif. Jakarta: DIRJEN DIKTI. Lexy J. Moelong. (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mohammad Nazir. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Moh. Takdir Illahi. (2013). Pendidikan Inklusif (Konsep dan Aplikasi). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. M. Tatang Amirin dkk. (2011). Manajemen Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. Peraturan Daerah Provinsi DIY No. 4 tahun 2012 tentang Perlindungan Penyandang Disabilitas.
166
Peraturan Gubernur DIY No. 21 pasal 1 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Peraturan Gubernur DIY No. 41 tentang Pusat Sumber dan Surat Keputusan Gubernur DIY No. 91/ Kep/ tahun 2015 tentang Pembentukan Anggota Pusat Sumber Pendidikan Inklusif. Permendiknas RI No.70 pasal 1 tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif. Pierenglo, Roger. (2009). Assessment in Special Education (a Practical Approach). United States: Pearson Education. Sudiyono. (2007). Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta:UNY Press. Sugiyono. (2015). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Suharsim Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:Rinneka Cipta. Sunaryo. (2009). Manajemen Pendidikan Inklusif (Konsep, Kebijakan, dan Implementasinya dalam Perspektif Pendidikan Luar Biasa). Diakses dari http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195607221 985031-SUNARYO/Makalah_Inklusf. Pada hari Senin, 1 Agustus 2016 pukul 23.00 WIB. Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY No. 0131 Tahun 2013 tentang Pembentukan Sub Pusat Sumber di DIY. Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kab. Sleman No. 245 tahun 2012 tentang Penetapan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi Kabupaten Sleman. Syafarudin. (2008). Efektifitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Rinneka Cipta. Tarmansyah. (2007). Inklusi Pendidikan untuk Semua. Jakarta: DEPDIKNAS. UUD 1945 pasal 31 ayat 1 tentang Pendidikan dan Kebudayaan. UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
167
LAMPIRAN
168
Lampiran I PEDOMAN OBSERVASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN ASESMEN ABK SEKOLAH INKLUSI
NO
KOMPONEN
HAL YANG DIAMATI
KEADAAN YA
1
Kondisi Lokasi dan Keadaan Sekolah
KETERANGAN
TIdak
Keadaan dan lingkungan sekitar
√
Sekolah berada disekitaran lingkungan SMP, dan SMA. Lokasi cukup kondusif untuk aktivitas belajar
Akses Transportasi
√
Lalu lintas transportasi cukup aman tidak padat, sekolah berdekatan dengan jalan sehingga tetap membutuhkan pengawasan. Kurang adanya zona penyeberangan sekolah.
Keadaan guru dan karyawan
√
Sekolah mempunyai ruangan tersendiri namun masih kurang begitu luas. Data guru dan karyawan sudah ada di ruang guru
Kesiswaan
√
Sekolah mempunyai 6 kelas, dengan keberadaan ABK sebanyak 20 anak. Sudah tersedia papan informasi kesiswaan di ruang guru
Fasilitas sekolah
√
Mempunyai ruang Mushola, tempat Parkir, UKS, dan tempat rapat hanya belum ada perpustakaan. Sarana prasaranan cukup memadai, hanya untuk ABK dengan kekhususan pancaindra atau gerak masih belum.
169
Lanjutan Lampiran 1. Pedoman Observasi KEADAAN NO
KOMPONEN
HAL YANG DIAMATI
KETERANGAN Ya
2
Kegiatan pembelajaran
Tidak
Kegiatan awal
√
Guru menanyakan kesiapan siswa dalam belajar, memimpin doa dan menerangkan materi yang akan diberikan
Kegiatan Inti
√
Materi belajar sering menggunakan metode ceramah/ dikte. Beberapa saat mendampingi ABK di kelas
Pengelolaan ruang kelas
√
Siswa ABK duduk didepan, bersama siswa ABK lainnya. khusus ABK berat duduk disendirikan
Pengelolaan bahan ajar
√
Bahan ajar yang digunakan antara ABK dan anak normal sama, menggunakan LKS (Lembar Kerja SISwa)
Pengelolaan siswa
√
Siswa dituntut untuk tidak berisik, dan jika kesulitan bertanya. sesekali guru kelas mendampingi ABK
Pengelolaan waktu
√
Waktu belajar sama dengan kelas lainnya. 1 jam pelajaaran selama 40 menit.
Tingkat pemahaman siswa
√
Biasanya dilakukan dengan tanya jawab atau mencocokan hasil jawaban siswa berasama.
Kegiatan Penutup
√
Guru kelas memberikan PR, ditutup dengan doa dan siswa membersihkan kelas. Selanjutnya dilakukan penambahan jam belajar khusus ABK
170
Lanjutan lampiran 1. Pedoman Observasi KEADAAN NO
KOMPONEN
HAL YANG DIAMATI
KETERANGAN Ya
3.
Pelayanan kebutuhan khusus
Tidak
Persiapan
√
Siswa ABK diinstruksikan untuk tinggal dikelas, mengikuti penguatan materi
Kesesuaian Pembelajaran
√
Penguatan materi diberikan sesuai dengan kesulitan yang dialami siswa saat belajar
Keaktifan ABK
√
ABK cukup aktif mengikuti tambahan belajar dan menerima arahan guru, walaupun sesekali meminta pulang
Penutup
√
Guru memberikan tugas tambahan kepada ABK untuk mempelajari materi yang dianggap lemah oleh anak.
171
PEDOMAN DOKUMENTASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN ASESMEN ABK SEKOLAH INKLUSI NO
KOMPONEN
DATA YANG DIBUTUHKAN
KEADAAN Ya
1.
Data SPPI dan Kebijakan Asesmen
KETERANGAN
Tidak
Data Sekolah Inklusi di Provinsi DIY
√
Rekap data SPPI berjumlah 156 sekolah, DIY sekitar 11 sekolah, Sleman sejumlah 33 sekolah, Kulon Progo terdapat 26 sekolah, Bantul sejumlah 39sekolah, dan Gunungkidul berjumlah 47 sekolah
Surat Keputusan Pembentukan Lembaga Khusus
√
Peraturan Gubernur DIY No. 41 tentang Pusat Sumber dan Surat Keputusan Gubernur DIY No. 91/ Kep/ tahun 2015 tentang Pembentukan Anggota Pusat Sumber Pendidikan Inklusif. Beserta Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY No. 0131 Tahun 2013 tentang Pembentukan Sub Pusat Sumber di DIY
Kegiatan Pelatihan Asesmen Guru Reguler
√
Pelatihan Asesmen bagi guru reguler diadakan Seksi PLB DISDIKPORA DIY pada tanggal 11 September 2016.
Surat Keputusan Sekolah Inklusi
√
SK Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sleman Nomor: 245/KPTS/ 2012 tentang penetapan SPPI di Kabupaten Sleman
172
Lanjutan Lampiran 1. Pedoman Dokumentasi
NO
KOMPONEN
KEADAAN
DATA YANG DIBUTUHKAN
KETERANGAN Ya
2
Profil Sekolah
Tidak
Data Siswa Berkebutuhan Khusus
√
Rekap Data ABK berjumlah 20 siswa ABK. 17 siswa berketunaan slow learner (lambat belajar), dan 3 siswa berketunaan tuangrahita.
Sejarah Sekolah
√
Sekolah beridiri tahun 1951,
berada di Dusun Kayunan, Desa Kayunan, Kecamatan Ngaglik, Kab. Sleman. Berstatus Negeri . √
Visi dan Misi Sekolah
Sekolah
mempunyai
Visi
unggul dalam prestasi dan berbudaya dan diwujudkan dalam 9 Misi untuk tujuan
3
Pengelolaan Asesmen ABK
Sarana dan Prasarana
√
Sekolah mempunyai 7 Ruangan, dan 10 alat peraga untuk membantu pembelajaran.
Data Guru dan Karyawan
√
Rekap data guru berjumlah 12 orang, dan karyawan sebanyak 2 orang
Form Isntrumen Identifikasi/ Asesmen ABK
√
Instumen terdiri dari 5 Form isian, 3 Form untuk guru kelas dan 2 form untuk orang tua .
Hasil Asesmen ABK
√
Hasil asesmen berdasarkan hasil tes IQ berupa skor dan surat keterangan kelemahan dan kelebihan siswa. Serta arahan dari Puskesmas.
173
Lanjutan Lampiran 1. Pedoman Dokumentasi
NO
KOMPONEN
KEADAAN
DATA YANG DIBUTUHKAN
KETERANGAN Ya √
Rencana Pembelajaran (RPP)
174
Tidak
Rencana Pembelajaran atau silabus sama dengan peserta didik reguler hanya disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan ABK ketika proses KBM berjalan
PEDOMAN WAWANCARA A. Pedoman Wawancara Kepala Seksi PLB DISDIKPORA Provinsi DIY 1. Bagaimana peran DIKPORA Provinsi dalam memenuhi kebutuhan pendidikan ABK sekolah inklusi? 2. Bagaimana Pengelolaan GPK yang dibutuhkan sekolah inklusi? 3. Bagaimana dasar penetapan sekolah reguler menjadi sekolah inklusi? 4. Menurut Anda, apakah asesmen penting untuk dilakukan? 5. Adakah Juknis tentang pendidikan inklusi, adakah juknis pelaksanaan asesmen? 6. Bagaimana Implementasi Kebijakan pengelolaan asesmen abk di DIKPORA Sleman? 7. Mengapa kegiatan tersebut dianggap penting diberikan
kepada guru
sekolah inklusi? 8. Apakah
Fakultas
Ilmu
Pendidikan
UNY
turut
berperan
dalam
Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK? 9. Apa yang diharapkan terhadap implementasi pengelolaan asesmen tersebut?sudahkah tercapai dengan yang diharapkan? 10. Sudahkah setiap sekolah
inklusi mampu untuk melakukan asesmen
tersebut? 11. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dari Implementasi Kebijakan pengelolaan asesmen ABK di DISDIKPORA Provinsi DIY? 12. Setelah sekolah
melaksanakan asesmen dan dapat diketahui jenis
pelayanannya apakah perlu untuk dilaporkan ke Disdik Sleman? 13. Adakah Resource center di setiap kabupaten?
175
B. Pedoman Wawancara Kepala Kursis TK-SD DISDIK Kabupaten Sleman 1. Bagaimana peran DIKPORA Provinsi dalam memenuhi kebutuhan pendidikan ABK sekolah inklusi? 2. Bagaimana Pengelolaan GPK yang dibutuhkan sekolah inklusi? 3. Bagaimana dasar penetapan sekolah reguler menjadi sekolah inklusi? 4. Menurut Anda, apakah asesmen penting untuk dilakukan? 5. Adakah Juknis tentang pendidikan inklusi, adakah juknis pelaksanaan asesmen? 6. Bagaimana Implementasi Kebijakan pengelolaan asesmen abk di DIKPORA Sleman? 7. Mengapa kegiatan tersebut dianggap penting diberikan
kepada guru
sekolah inklusi? 8. Apakah
Fakultas
Ilmu
Pendidikan
UNY
turut
berperan
dalam
Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK? 9. Apa yang diharapkan terhadap implementasi pengelolaan asesmen tersebut?sudahkah tercapai dengan yang diharapkan? 10. Sudahkah setiap sekolah
inklusi mampu untuk melakukan asesmen
tersebut? 11. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dari Implementasi Kebijakan pengelolaan asesmen ABK di DISDIKPORA Provinsi DIY? 12. Setelah sekolah
melaksanakan asesmen dan dapat diketahui jenis
pelayanannya apakah perlu untuk dilaporkan ke Disdik Sleman? 13. Adakah Resource Center di setiap kabupaten?
176
C. Pedoman Wawancara Kepala SD Negeri Brengosan I 1. Latar belakang berdirinya sekolah inklusi di SD Brengosan I seperti apa? 2. Apa kelebihan dan kekurangan adanya pendidikan inklusi di SD N Brengosan I? 3. Bagaimana implementasi kebijakan pengelolaan asesmen yang ada di SD N Brengosan I? 4. Bagaimana peran DISDIK Sleman dan DISDIKPORA Provinsi terkait Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK sekolah inklusi? 5. Adakah kebijakan sekolah yang berhubungan tentang pemberian pengetahuan terkait pengelolaan asesmen ABK terhadap guru - guru? 6. Adakah kebijakan teknis waktu diharuskan dilaksanakan asesmen ABK? 7. Bagaiaman pemenuhan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pengelolaan asesmen di sekolah? sudahkah efektif? 8. Strategi atau metode asesmen ABK yang digunakan di SD N Brengosan I? 9. Siapa yang terlibat dalam alur pelaksanaan identifikasi dan asesmen ABK di sekolah? 10. Dasar penetapan Puskesmas II Ngaglik sebagai mitra sekolah dalam melakukan asesmen seperti apa? 11. Apa ada proses pembahasan hasil identifikasi/asesmen ABK? Pihak yang terlibat? 12. Apa saja yang menjadi faktor pendukung dan penghambat terlaksananya pengelolaan asesmen ABK di SD N Brengosan I 13. Apa saja kesulitan yang dihadapi guru terkait penanganan dan pembelajaran ABK di kelas ? solusinya seperti apa? 14. Bentuk pelayanan pendidikan khusus apa yang diberikan oleh sekolah? 15. Apakah pelayanan pendikikan khusus dan rencana pembelajaran pada ABK sudah mampu mendukung kemampuan pembelajaran ABK yang bersangkutan 16. Adakah anggaran khusus bagi pendidikan ABK? 17. Apakah peran orang tua dilibatkan dalam implementasi pengelolaan asesmen ABK?
177
D. Pedoman Wawancara untuk Guru Pembimbing Khusus 1. Apa peran guru pendamping khusus dalam pembelajaran ABK di kelas inklusi? 2. Teknik pendampingan apa yang digunakan dalam proses pembelajaran ABK di kelas? 3. Apa saja tugas dan fungsi guru pendamping dalam pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus di kelas ? 4. Adakah kesulitan yang ditemui dalam menangani ABK di kelas? Solusinya seperti apa? 5. Apakah alokasi waktu yang ada sudah mencukupi dalam memberikan pendampingan ABK? 6. Bagaiamana implementasi kebijakan pengelolaan asesmen yang dilakukan di SD N Brengosan I? 7. Adakah kebijakan sekolah yang berhubungan tentang pemberian pengetahuan terkait pengelolaan asesmen ABK terhadap guru – guru? 8. Siapa yang terlibat dalam proses identifikasi dan asesmen ABK? 9. Bagaimana perilaku yang ditunjukkan dalam mengamati dugaan ABK di kelas? 10. Strategi atau metode asesmen ABK yang digunakan di SD N Brengosan I? 11. Apakah guru kelas melakukan pengelolaan asesmen di kelas? 12. Bagaiamana pemenuhan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pengelolaan asesmen di kelas? sudahkah efektif 13. Tolak ukur seperti apa yang dicari dalam melakukan asesmen kepada anak? Slow learner seperti apa?tunagrahita seperti apa 14. Dasar pemilihan mitra Puskesmas II Ngaglik sebagai pihak pelaksana asesmen seperti apa? 15. Apa ada proses pembahasan hasil identifikasi/asesmen ABK? Pihak yang terlibat 16. Saran yang diberikan oleh Puskesmas seperti apa? 17. Apa saja yang menjadi faktor pendukung dan penghambat terlaksananya pengelolaan asesmen ABK di kelas?
178
18. Didalam perencanaan pembelajaran ABK sekolah melibatkan siapa? 19. Bentuk pelayanan pendidikan khusus apa yang diberikan oleh sekolah? 20. Apakah pelayanan pendikikan khusus dan rencana pembelajaran pada ABK sudah mampu mendukung kemampuan pembelajaran ABK yang bersangkutan? 21. Apakah peran orang tua dilibatkan dalam implementasi pengelolaan asesmen ABK?
179
E. Pedoman Wawancara untuk Guru Kelas 1. Latar belakang berdirinya sekolah inklusi SD Brengosan I seperti apa? 2. Apa kelebihan dan kekurangan dengan adanya pendidikan inklusi di SD N Brengosan I? 3. Bagaimana langkah dalam melakukan identifikasi pada ABK di kelas? 4. Bagaimana implementasi kebijakan pengelolaan asesmen yang ada di SD N Brengosan I? 5. Bagaimana peran DISDIK Sleman dan DISDIKPORA Provinsi terkait Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen ABK sekolah inklusi? 6. Adakah kebijakan teknis waktu yang diharuskan dalam pelaksanaan asesmen ABK? 7. Adakah kebijakan sekolah yang berhubungan tentang pemberian pengetahuan terkait pengelolaan asesmen ABK terhadap guru - guru? 8. Alat seperti apa yang dibutuhkan dalam pengelolaan asesmen di kelas? 9. Apa strategi pelaksanaan asesmen ABK yang digunakan di kelas? 10. Adakah kerajasama dengan pihak luar(pakar) dalam pengelolaan asesmen? 11. Apa faktor penghambat dan pendukung dalam terlaksananya implementas kebijakan pengelolaan asesmen ABK di sekolah? 12. Setelah anak dilakukan assessmen oleh pakar, tindak lanjut yang dilakukan guru seperti apa? 13. Ada 4 model kurikulum pendidikan inklusi yaitu, duplikasi, modifikasi, substitusi, dan omisi. Model kurikulum apa yang digunakan di SD Brengosan I? 14. Pada penyusunan RPP menggunakan format RPP pembelajaran inklusi yang seperti apa? (terintegrasi atau individual) 15. Bagaimana pengelolaan pembelajaran yang Anda lakukan saat dikelas? 16. Model Evaluasi yang dilakukan dalam kelas inklusi di SD N Brengosan I seperti apa? 17. Apa saja kesulitan yang dihadapi guru terkait proses pembelajaran ABK di kelas ? solusinya seperti apa? 18. Adakah bentuk pelayanan pendidikan khusus yang diberikan oleh sekolah?
180
19. Apakah pelayanan pendikikan khusus dan rencana pembelajaran pada ABK sudah mampu mendukung kemampuan pembelajaran ABK yang bersangkutan? 20. Apakah peran orang tua dilibatkan dalam implementasi pengelolaan asesmen ABK? Sudahkah berperan aktif?
181
F. Pedoman Wawancara untuk Orang Tua 1.
Apakah Anda tahu jika anak Anda sebagai anak berkebutuhan khusus? ( sebelum disekolahkan atau sesudah disekolahkan)
2.
Bagaimana kelebihan dan kekurangan adanya pendidikan inklusi di SD N Brengosan I?
3.
Mengapa anda memilih SD Brengosan I sebagai tempat memperoleh pendidikan bagi anak Anda?
4.
Menurut anda sudahkah anak Anda diasesmen?
5.
Apakah Anda ikut berperan dalam proses pelaksanaan identifikasi yang dilakukan pihak sekolah?
6.
Pada
saat sekolah memberikan blangko identifikasi/asesmen, apakah
pernyataan yang ada mudah untuk dipahami? 7.
Bagaiamana pengelolaan assessmen yang ada di SD Brengosan I sudahkah berjalan dengan baik?
8.
Adakah himbauan terhadap penanagan anak yang diberikan sekolah?
9.
Adakah sosialisasi tentang pembelajaran inklusi dan perkembangan berkala anak yang diberikan sekolah kepada Anda ?
10. Adanya kebijakan sekolah dalam menyesuaikan rencana pembelajaran dalam hal ini seperti tingkat kesukaran, KKM, atau pendampingan oleh GPK sudah mampu memberikan dampak yang positif bagi anak Anda? 11. Apakah pembelajaran yang diberikan sekolah sudah mampu meningkatkan kemampuan belajar anak Anda? 12. Apakah cara kerja yang diberikan oleh guru kelas, guru pendamping khusus sudah baik selama membimbing anak Anda, memberikan pengarahan dan informasi kepada orang tua? 13. Apakah anak Anda pernah diperiksa oleh tenaga ahli selama disekolah? 14. Potensi yang menonjol menurut orangtua seperti apa? Serta perkembangan anak yang ditunjukkan saat ini bagaimana? 15. Apakah orang tua turut memantau perkembangan belajar anak? Pengelolaan anak dirumah seperti apa?
182
Lampiran II
CONTOH ANALISIS DATA WAWANCARA 1. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus Sekolah Inklusi di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY a. Menyusun Staf Agen Informan S
Display Data Peran dikpora sleman adalah sebagai pelaksana
dari
pemerintah
daerah
sleman khususnya di bidang pendidikan, pelayanan kepada masyarakat dalam dunia pendidikan tanpa terkecuali for all, baik anak sempurna atau anak yang dilahirkan
dalam
tanda
petik
berkebutuhan khusus. Sehingga anak berkebutuhan
khusus
jika
secara
akademik dia mampu di bina, dilatih, dikembangkan disekolah umum tetep dapat mengakses di sekolah umum atau sekolah
inklusi. Juga mendasar pada
Permendikud
No.
70
tahun
2009
kaitannya dengan pendidikan inklusi P
Jadi sekolah inklusi merupakan sekolah reguler seperti SD,SMP, SMA, yang menerima anak berkebutuhan khusus, sekolah reguler tersebut berada di kabupaten/kota masing- masing, akan tetapi memang untuk koordinasinya ada koordinasi dengan permasalahan.
183
kami
jika ada
Namun
bukan
sepenuhnya menjadi tanggungan kami. Jadi
sekolah
inklusi
DISDIKPORA
tidak
Provinsi,
berada
sedangkan
SLB langsung berada dibawah binaan kami. Untuk saat ini ada sekitar 76 sekolah luar biasa di Jogja. Kalau sekolah inklusinya ada 150 an sekolah di lima kabupaten, jadi kami juga mengakomodasi pelaksanaan inklusi di 5 Kabupaten Pengelolaan sekolah inklusi yang berada
Kesimpulan
di Dinas Pendidikan Kabupaten, dan pengelolaan SLB yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi
DIY.
Dinas
pendidikan
Pemuda dan Olahraga DIY berperan sebagai pembina di sekolah inklusi, sedangkan Dinas Pendidikan Kabupaten sebagai pelaksana. b. Mengembangkan Kerangka Kerja Informan S
Display Data Penunjukan
inklusi
itu
kadangkala
membutuhkan surat penetapan inklusi untuk mendapatkan hibah bantuan dari APBN, contohnya pengadaan bantuan kursi
roda,
braile
terkadang
membutuhkan itu. Tapi sebenarnya penetapan sekolah inklusi dari kepala SKPD sebetulnya tidak diperlukan. Karena
184
nanti
dikhawatirkan
ada
pelemparan
tanggung
jawab
antara
sekolah inklusi yang ditunjuk dengan sekolah umum. Pada prinsipnya sekolah di DIY itu inklusi jadi wajib menerima abk sejauh anak ini mampu dididik, tapi kalo anak itu memiliki ketunaan yang serius
seharusnya
disekolah
SLB,
jangan sampai ada tumpang tindih atau overlaping antara SLB dan Tentunya
sekolah
juga
inklusi.
mempunyai
standar tersendiri dalam penerimaan siswa baru P
Sekolah inklusi merupakan sekolah umum yang didalamnya ada anak berkebutuhan
khusus,
jadi
sesuai
dengan deklarasi inklusi di DIY pada bulan September 2014, bahwa semua sekolah di DIY itu wajib menerima abk dan wajib menjadi sekolah inklusi Kesimpulan
Kebijakan yang dibuat pusat menjadi acuan dalam pelaksanaan kerja Dinas Pendidikan di Provinsi DIY. Acuan tersebut menjadi dasar dalam menyusun petunjuk teknis yang dikembangkan Dinas Pendidikan di Provinsi DIY bagi semua
sekolah
umum
yang
menyelenggarakan pendidikan inklusi sebagai sasaran kebijakan.
185
c. Mengkoordinasikan Sumber Daya dan Pembiayaan Informan Display Data S
Pengelolaan GPK Dinas
Pendidikan
itu kewenangan tingkat
Provinsi,
Sleman tidak mempunyai kewenangan untuk mengangkat. Selain itu memberi
gaji
GPK
adalah
yang Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY khususnya Seksi PLB P
Jadi kita berupaya memberikan GPK ke sekolah inklusi tetapi hanya sebagian kecil. Seharusnya Kab/ Kota yang otomatis memang mengelola
untuk
secara betul-betul memfasilitasinya
tetapi karena kaitanya dengan adanya anak berkebutuhan khusus, terkadang mereka lapor ke kami dan kami menindaklanjuti sesuai kemampuan Kesimpulan
Pengelolaan GPK di Daerah Sleman berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY dalam memenuhi
permintaan
Pendidikan
Pemuda
GPK.
Dinas
Sleman
masih
meminta bantuan dari Dinas Provinsi terkait pemenuhan GPK,
186
d. Mengalokasikan sumber daya Informan S
Display Data Jadi kebutuhan tenaga GPK saat ini masih terbatas dari Dinas Pendidikan Provinsi, tetapi kalau sekolah yang mampu mereka akan mencari GPK sendiri tetapi itu hanya beberapa saja
P
tapi seperti yang disampaikan Kepala Dinas,
kami mengirim GPK kesana
dengan jumlah terbatas. Jika kami mengirim
GPK
sesuai
permintaan yang diharapkan sekolah reguler dalam
dengan oleh
artian sekolah
inklusi itu habis guru- guru PLB. Nantinya
SLB bisa tutup, karena
sekolah SLB jika dibandingkan sekolah reguler jauh lebih banyak sekolah reguler Kesimpulan
Alokasi GPK dari DISDIKPORA Prov. DIY
merupakan
dipinjamkan inklusi,
ke
dampak
guru
SLB
sejumlah yang
yang sekolah
ditimbulkan
adalah siswa SLB akan tertinggal bahkan SLB akan tutup. Dikarenakan kekurangan sumber daya pengajar di SLB. Perbandingan sekolah inklusi dan SLB yang tidak sepadan.
187
e. Hasil/ dampak implementasi kebijakan 1) Mengadakan Pelatihan Asesmen Informan P
Display Data Jadi begini sekolah inklusi tidak berada DISDIKPORA,
sedangkan
SLB
langsung berada dibawah binaan kami, sedangkan
sekolah
reguler
SD,SMP,SMA, ada dikabupaten/kota. Jadi terkait implementasi pengelolaan asesmen di DISDIKPORA DIY yang disekolah itu ada di Kab/Kota. Memang itu kebijakan kami, jadi Asesmen itu ada disekolah
namun
kami
hanya
memberikan bekal kemampuan guru reguler disekolah inklusi untuk mampu mengasesmen
anak
itu.
Tapi
kemampuannya seperti apa memang itu lain kita belum tahu, jadi disana belum tentu tahu tapi paling tidak ada bekal. Jadi terkait kebijakannya kami hanya memberikan
pelatihan
kepada
guru
reguler kaitannya dengan pembekalan pengetahuan
bagaimana
melakukan
asesmen kepada peserta didik, sebatas pengetahuan saja
188
S
Bentuk pelatihan yang kami berikan berfokus pada materi penguatan SDM. Hanya saja untuk pelatihan asesmen tersendiri belum ada, karena materinya sudah
disatukan
dengan
pelatihan pendidkan
materi
inklusi, karena
juga menyampaikan teori assessmen juga. Jadi kita hanya memberikan pengetahuan tentang asesmen karena yang punya para ahli seperti psikolog gitu mas Y
Dinas
sering
melakukan
pelatihan
inklusi, tapi kalau keabkan masih banyak di provinsi, kalau kabupaten sekedar diklat pendidikan inklusi. Kalo di DIKPORA Sleman kemarin juga pernah ikut, tapi cuman kedua presentasi tentang abk disini. Ya kelebihannya lebih paham terhadap abk dibandung yang lalu Kesimpulan
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga telah
memberikan
fasilitas
dalam
penguatan SDM di sekolah inklusi. bentuk
pelatihan
menyangkut
kekhususan anak berkebutuhan lebih banyak diberikan oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY dibandingkan dengan Kabupaten.
189
2) Menjalin mitra kerja dengan lembaga terkait Informan S
Display Data
Asesmen
itukan
kebijakannya
penilaian,
diserahkan
jadi
kelembaga
yang profesional. DIKPORA Sleman atau sekolah itu menjalin kerja sama dengan mitra kerja seperti Puskesmas, RS, atau Psikolog, sekolah menjalin kerja sama dengan instansi terkait seperti instansi kesehatan tersebut. Dan pelatihan hanya di penguatan SDM-nya, jadi lebih ke pendekatannya, oh anak itu harus diasesmen dahululu. Jadi dia itu kekhususnanya itu dibidang apa, nanti penanganannya seperti apa akan lebih mudah nanti ditanganinya Kesimpulan
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga mengupayakan untuk dapat menjalin kerjasama dengan pihak profesional dalam
bidang
mendukung
kesehatan
terlaksananya
untuk asesmen
disekolah inklusi. Pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan
kebanyakan dari Kecamatan
190
asesmen
ABK
Puskesmas di tiap
3) Membentuk Lembaga Khusus Informan P
Display Data pusat sumber itu ada di SLB N 2 Yogyakarta berdasarkan SK Gubernur, kalau disetiap kabupaten itu namanya sub pusat sumber dan pembentukannya dari SK Kepala Dinas. Jadi dibawah pusat sumber itu ada sub pusat sumber, itu ada di masing kabupaten/ kota, kebanyakan SLB yang ditunjuk SLB Negeri, jadi kalo sub pusat sumber yang dikabupaten/ kota itu biasanya negeri tapi kalau yang kekhususan, seperti autis ada yang swasta juga.
S
Ada, pusat sumber yang di Kabupaten itu ada di beberapa SLB namanya RC (resource center) sudah ada sejak tahun 2013.
Surat
pemutusannya
ada
di
DIKDAS PLB Dinas Provinsi. SLB itu dipilih yang mampu sebagai menjadi pusat
rujukan
artinya
kalo
permasalahan bisa menjadi
ada
sumber
pertanyaan informasi, atau konsultan bagi sekolah inklusi mas. Kesimpulan
Dinas Pendidikan terkait telah berupaya untuk
memberikan
mendukung
fasiltas
untuk
pendidikan inklusi atau
sebagai rujukan jika sekolah mengalami permasalahan, dengan memilih SLB yang mampu menjadi pusat rujukan.
191
f. Pengelolaan Asesmen di Sekolah Inklusi 1) Perencanaan Pengelolaan Asesmen Informan A
Display Data Perencanaan yang
pelaksaanaan
dilakukan
asesmen
sekolah,
kita
merencanakan pelaksanaan asesmen tiap tahunnya,
nanti
ada
instrumen
pelaksanaan asesmen, kemudian saya memberikan instrumen itu ke guru kelas, nanti guru kelas mengadakan asesmen. bahkan ada yang dilakukan setiap satu semester. Jadi tetap kita pantau perkembangannya. Selain itu ada instrumen untuk ke orang tua, itu biasanaya
lebih
ke
riwayat
anak,
kelahiran, riwayat pertumbuhan dan lainnya SA
Kalau
diharuskan
walaupun
tidak
diharuskan kami sekolah inklusi tetap melaksanakan di awal tahun pelajaran, karena akan menentukan anak tersebut berkebutuhan atau tidak. Jadi asesmen tetap diadakan di awal tahun pelajaran. Karena kami menyadari kalo sekolah inklusi ya harus ada asesmen Kesimpulan
Perencanaan
pelaksanaan
asesmen
dilakukan sejak kelas rendah, dan dilakukan secara berkesinambungan dari kelas rendah ke kelas yang lebih tinggi, dengan melibatkan berbagai pihak.
192
2) Pengelolaan Asesmen di Sekolah a) Tahap Identifikasi Informan Y
Display Data Dilihat dari prestasinya bagaimana, perilakunya, kepribadiannya juga. Kalau prestasinya jauh dari temen lainnya, Oh anak ini kemungkinan ABK, nanti saya lapor ke GPK baru GPK yang menindak lanjuti
SA
Pertama, dilakukan
ada
pengamatan
guru
kelas
yang dan
dikonsultasikan ke GPK dan Kepala Sekolah.
Selanjutnya
baru
ditindaklanjuti dengan wawancara atau pengisian instrumen/ blangko untuk penentuan ketunaan sementara. Tahapan selanjutnya dengan membawa anak itu untuk diasesmenkan di Puskesmas AL
Kalau saya menilai dengan cara lisan, dan mengamati perkembangan belajar anak seperti keakftifan anak, hasil belajar dan nanti berdiskusi dengan GPK
193
Kesimpulan
Pelaksanaan identifikasi dilakukan guru kelas
melalui
pengamatan,
dan
instrumen. Kriteria yang menjadi acuan penetapan sementara ABK biasanya berupa faktor prestasi, perilaku,dan kepribadian anak. Identifikasi tersebut dilakukan untuk menentukan dugaan sementara bahwa anak tersebut memiliki ketunaan dan sebagai dasar tindak selanjutnya.
b) Tahap Asesmen Informan A
Display Data Kalau metode asesmen kita pertama melakukan wawancara pada orang tua atau
mulai
dari
lahir
selama
perkembangan bagaimana. Kemudian jika saya berdiskusi dengan guru kelas kita lihat bagaimana perkembangan anak selama pertama masuk mungkins setelah satu bulan nanti bisa kelihatan apakah anak itu abk,
kita curigai sebagai
setelah itu kita konsultasi, dan
memberi tahu ke orang tua bahwa ini anak ibu seperti ini, kemudain kita ke Puskesmas untuk dites IQ. Kalau sudah ada tes IQ kita tahu dan memastikan bagaimana kondisi anak, kemudian orang tua tahu kita beri arahan kalo dia memang tidak bisa berkembang secara
194
akademik kita arahkan ke SLB. Tapi itu kembali ke orang tuanya lagi mas, apakah orang tua tidak mau dipindah anaknya akan dikeluarkan kan juga eman- eman dan tidak boleh kan mas, dan tetap itu tanggung jawab kita bersama I
Kalau tes IQ sudah pernah di tes IQ kan satu kali, hasilnya diberikan kesekolah. Dari surat itu dikasih tahu anak ibu itu usianya berkisar 4 tahun 6 bulan, kemudian diberikan saran harus belajar rutin dan dipantau terus menerus, ada saran untuk dileskan namun kami sedikit kesulitan, jadi hanya saya ajari saja dirumah
Kesimpulan
asesmen dilakukan secara sistematis, mulai
pengumpulan
informasi,
pengamatan, konsultasi, dan tes IQ. Peran orang tua juga dilibatkan dan berpengaruh pada perkembangan anak selanjutnya, dengan pengarahan dari sekolah atau Puskesmas.
195
c) Pembahasan Hasil Asesmen Informan A
Display Data Saran yang diberikan Pukesmas itu ada, seperti gambaran anak itu seperti apa, kelemahan
anak
kelebihanya,
sepertai
apa,
yang
bisa
terus
dikembangkan seperti apa itu ada. Jadi biasanaya kalau orang tuanya kooperatif nanti juga saya ajak untuk diberikan penyuluhan dari Puskesmas SA
Pembahasan hasil identifikasi.asesmen biasanya dilakukan oleh GPK, guru kelas dan orang tua, untuk digunakan sebagai
perumusan
rancangan
pembelajaran, kalau orang tua untuk memberikan hasil assessmen dan apa – apa saja yang perlu diberikan kepada anak saat dirumah. Karena kalau hanya dari pihak sekolah sendiri, nantinya anak akan sulit berkembang AL
Setelah dites IQ saya berdiskusi dengan GPK berdasarkan hasil dan saran dari Puskesmas, kemudian memberi tahu orang tua anak
I
Dulu pernah disuruh Ibu wali kelas sama Ibu Astuti untuk memantau belajar anak dan perutinan belajar, dan dulu pernah saya leskan ke tempat wali kelas tapi karena anaknya dulu tidak penuh berangkat, kemudian saya stop, karena
196
hanya membuang biaya Kesimpulan
Pembahasan hasil untuk mencari solusi memecahkan masalah atau kelemahan pada anak, serta menyampaikan arahan kepada wali siswa terkait hasil dan penanganan anak dirumah. Pembahasan tersebut melibatkan peran dari guru kelas, GPK, dan orang tua anak.
g. Tindak Lanjut Asesmen 1) Perencanaan Pembelajaran Informan A
Display Data Rencana pembelajaran itu saya dan guru kelas, jadi saya hanya membimbing dan mendampingi
guru
kelas
dalam
membuat RPP, karena kecenderungan RPP di sini menurunkan indikator kesulitan, dilihat dari banyak ABK yang mengalami hambatan kecerdasannya SA
kami dalam perencanaan RPP, ada RPP yang di modifikasi jadi RPPnya itu tujuannya sudah dibagi dua untuk ABK dan
reguler,
dan
itu
sudah
ada
penurunan tingkat kesukaran materi, dari kelas satu sampai kelas 5. Untuk kelas
6
kami
tidak
menurunkan
kesukaran materi, karena agar kelas enam bisa mengikuti ujian nasional semua. Karena untuk naik masuk ke SMP inklusi itu disini masih jauh,
197
kasihan orang tua mereka. Karena kan jika sekolah sendiri yang membuat ujian nanti anak tidak punya ijazah hanya STTD. Dan saat mau melanjutkan ke SMP harus SMP inklusi dan itu jauh, jadi kami justru takut kalau anak itu bisa putus sekolah. Jadi kelas enam kami paksakan untuk sama rata, hanya kami menurunkan
nilai
KKM
sehingga
mendekati ABK itu bisa lulus, bisa KKM itu skor 2. Jadi ada mata pelajaran tertentu itu kami menerapkan KKM itu bisa 1-2 karena untuk mengawekani ABK itu agar bisa lulus Y
Kalau penyusunan RPP terintegrasi, RPPnya masih sama jika yang saya buat, belum disendirikan. Karena kalau saya sendirikan nanti repot mas
AL
Saya
menggunakan
RPP
yang
terintegrasii. Tapi RPP yang saya buat saya rasa belum mampu meningkatkan kemampuan setarakan
anak, dengan
jadi
jika
anak
saya nomal
kemungkinan gak bisa mengikut. Kalau RPP khusus ABK juga dirasa belum mampu juga. Terkadang saya buat soal dua macam yang satu normal dan satu abk. Tapi kadang matematika saya turunkan angkanya
198
Kesimpulan
guru
mempunyai satu RPP namun
didalamnya
memuat
dua
rumusan
perencanaan yaitu untuk siswa reguler dan
siswa
berkebutuhan
khusus.
Terdapat komponen pembelajaran yang tidak
dimodifikasi
seperti
rumusan
Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar
(KD)
Modifikasi
dan yang
alokasi dilakukan
waktu. pada
penurunan tingkat kesukaran, namun untuk kelas VI disamaratakan. b) Pelaksanaan Pembelajaran Informan A
Display Data Pelaksanaan pembelajaran lebih ke guru kelas, dan saya hanya mendampingi saja jika ada kesulitan”.
AL
Kalau yang saya lakukan pengajaran dilakukan seperti pada RPP yang saya buat, kadang diskusi, ceramah, atau dikte. GPK kadang masuk kekelas III, biasanya
mendampingi
anak
yang
tunagrahita. Kalau penempatan tempat duduknya saya pisah antara ABK dan yang
biasa,
namun
tetap
tempat
duduknya berputar setiap minggunya Y
Kalau pengelolaan didalam kelas itu diajarkan sama dengan yang umum, tapi ada tambahannya supaya tidak ketinggal jauh
dari
tambahan.
199
temannya Dan
tempat
diberi
jam
duduknya
dicampur tapi disendirikan yang ABKnya. Prestasi belajarnya juga jauh dibandingkan
dengan
anak
normal.
Kalau ada tugas tetap kita dampingi tidak ditinggal Kesimpulan
Pelaksanaan
pembelajaran
dilakukan
seperti kelas reguler pada umumnya, GPK
hanya
Sedangkan disendirikan
mendampingi tempat
duduk
bersama
ABK
ABK. ABK atau
didekatkan dengan meja guru, agar guru mudah memantau dan mendampingi anak.
d) Evaluasi Belajar Informan Y
Display Data Model evaluasi yang dilakukan sendiri, contohnya kalau misalnya matematika, MTK jika perkalian kalau yang anak normal bilangannya besar tapi kalo ABK masih rendah bilangannya. jika belum
ada
peningkatan
nanti
ada
perbaikan, itupun masih tetap saya dampingi,
karena
anaknya
sulit
membaca dan tidak bisa memahami isi bacaan belum tahu maksudnya. Nanti kalo dibiarkan nilainya bisa nol- nol terus mas
200
AL
yang
khusus
inklusi
hanya
lisan,
sedangkan saat pas ulangan ya saya bacakan tapi kadang juga tidak bisa dan sulit nyambung. Ada juga yang suruh milih pilihan ganda abc, itu disilang semua. Evaluasinya saya kasih soal sendiri untuk yang normal kalau yang abk ya lisan, jawabanya nanti saya tulis baru bisa saya lakukan penilaian. Kalau lisan dia bisa jawabnya, tapi kalau nulis itu disilang semua. hal itu dialami oleh anak abk yang tunagrahita. I
Saya rasa nilai anak saya sekarang tidak beda jauh dengan nilai
anak lainnya,
dan perkembangan yang saya rasakan sekarang anak sudah lebih peka, bisa membaca, menulis dan tanggungg jawab Kesimpulan
Model
evaluasi
mengikuti disendirikan
yang
dilakukan
kebutuhan
siswa,
dengan
siswa
reguler.
Beberapa orang tua sudah merasakan perkembangan belajar anak meningkat.
h. Pelayanan Pendidikan Khusus Informan SA
Display Data Sebatas pengulangan materi, tambahan kalau disinag hari sekitar 1-1/2 jam ada pengulangan materi pada ABK supaya tidak
201
kebingungan
dan
diakhir
pelajaran. Itu hanya tinggal ABK yang mendapat pendalaman materi A
Pelayanan pendidikan khusus hanya pemberian tambahan jam belajar, dan guru kelas ada yang seperti itu mas, tapi ya itu kesadaran sih mas, kalau saya ingin ngopyak opyak tidak enak gitu mas
Y
Pelayanan pendidikan khusus hanya penambahan
jam
belajar,
dan
pelaksanaanya tidak tentu tapi setelah pulang pelajaran khusus ABKnya. Tapi kadang kalau teman ABK lainnya sudah pulang, mereka ikut
gelisah ingin
pulang. Jadi hanya sebentar. Itupun responya, ada satu anak yang tidak mau dengan
pelajaran
yang
diberikan,
responya sulit. Dia itu mudah lupa, suka bengong, kalau ditanya atau diingatkan menunduk Kesimpulan
Pelayanan pendidikan khusus hanya jam tambahan belajar seusai pembelajaran reguler berakhir, untuk menguatkan materi.
202
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Pengelolaan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY. a.
Faktor Pendukung Informan
P
Display Data Kemampun guru atau kekurangan guru itu sendiri pertama kurang, kdua mereka belum tahu dan perlu dilatih. Seperti yang pernah disampikan bapak Rochmat Wahab sekarang ini ada materi PLB sekian SKS masuk dalam mata kuliah di setiap prodi UNY juga menjadi faktor pendukungnya.
S
Kalau
pendukungnya
tentang
pendidikan
mampu
diakses
pemahaman inklsui
sudah
oleh
setiap
masyarakatnya SA
Kalau faktor pendukungnya yaitu orang tua siswa kooperatif bisa diajak untuk bermusyawarah, gurunya juga sabar, pihak puskesmas juga bisa menerima kami dengan enak,
Kesimpulan
Faktor pendukung dalam implementasi kebijakan
asesmen
penerapannya inklusidiantaranya
ini
di pemberian
dalam sekolah materi
PLB pada perkuliahan yang mencetak tenaga
guru.
Sehingga
masalah
pemahaman guru kedepannya dapat lebih luas dan siap jika menangani
203
ABK. Pemahaman masyarakat terkait pendidikan inklusi saat ini sudah dapat diketahui serta diakses setiap masarakat. Orang tua anak mulai kooperatif dalam bermusyawarah.
b)Faktor Penghambatnya Informan P
Display Data GPK alokasi waktunya hanya 2 hari, dengan 4 hari di SLB. Itupun di slb ditinggal 2 hari juga kewalahan. Faktor penghambat
lainnya
seperti
jumlah
sekolah inklusi kan sekian banyak, jadi kendala
yang
sering
penganggarannya.
ditemui
Mungkin
di juga
kendalanya jumlah sekolah itu sekian dan kita hanya bisa melaksanakannya tidak semua kena hanya sekitar 80 saja. Selain
itu
pengalokasikan
termasuk
didalamnya
pembinaan
sekolah
oleh dinas kota dalam membina sekolah inklusi belum maksimal S
Faktor penghambatnya itu pemahaman terhadap kebijakan pendidikan inklusi belum semua dipahami guru reguler. Jadi mereka beranggapan jika siswa inklusi itu akan menghambat prestasi sekolah. Perumpamaanya
seperti ini
anak lambat belajar ini kalau diiterima disekolah
204
akan mengurangi rata rata
prestasi
sekolah
kami.
Padahal
kebijakan di pemerintah pusat itu ada peningkatan mutu / kualitas akademik dan non akademik
dan peningkatan
akses, semua warga negara
berhak
mendapatkan pendidikan Kesimpulan
Faktor
penghambat
yang
dirasakan
Dinas
Pendidikan
mengacu
pada
permasalahan dalam peningkatan akses dan
mutu.
Kendala
yang
dialami
kebanyakan dari faktor kemampuan guru
dalam
pelayanan
hal ABK
pendidikan masih
dan
kurang,
diperbantukan GPK dari Dinas juga dirasa
belum
mampu.
Dikarenakan
sekolah inklusi yang ada berbanding terbalik dengan ketersediaan GPK yang diambil dari SLB, serta pelatihan dan terbatas anggaran yang ada.
205
Lampiran III
CATATAN LAPANGAN Catatan Lapangan I Hari/ Tanggal : Selasa, 6 September 2016 Pukul
: 12. 39 WIB
Pada hari tersebut peneliti berkunjung ke Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY pada pukul 12. 39 WIB untuk menemui Bapak Purwadi selaku Kepala Seksi Pendidikan Luar Biasa untuk wawancara penelitian. Suasana yang sibuk nampak dalam ruangan tersebut. Selain itu mengingatkan kembali masa – masa saat melakukan PPL (Praktek Pengalaman Lapangan ) dahulu. Penulis menyampaiakan proposal penelitian dan maksud dari penelitian tersebut. Selain mewanancarai beliau, penulis juga mencari data – data pendukung dalam penelitian, seperti program-program, rekap data SPPI, serta SK pembentukan Pusat Sumber dan Sub Pusat Sumber. Penulis juga disarankan untuk mengikuti pelatihan pengelolaan assessmen guru SPPI yang sedang berlangsung saat itu. Tepatnya Hotel UIN Yogyakarta selama 5 hari mulai dari tanggal 5 September hingga 10 September 2016. Selepas itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan berpamitan.
206
Catatan Lapangan II Hari/Tanggal
: Jum’at, 9 September 2016
Pukul
: 08. 54 WIB Pagi itu sekitar pukul 08.54 WIB penulis datang ke Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sleman, untuk melakukan wawancara lanjutan. Sebelumnya penulis telah datang namun gagal bertemu dengan Kepala Seksi Bidang Kurikulum dan Kesiswaan TK dan SD, Bapak Subardi. Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman dianggap turut berperan dalam pelaksanaan dan pengelolaan sekolah inklusi di Kabupaten Sleman, selain itu dikarenakan sekolah yang menjadi subjek penelitian selanjutnya berada di Sleman. Di hari itu penulis bertemu dengan beliau, bercengkrama terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan menjabarkan maksud dan tujuan kedatangan. wawancara berlangsung sekitar setengah jam. Beliau akan bertemu dengan tamu sehingga proses wawancara kami percepat. Setelah wawancara selesai dilakukan saya berpamitan dan mengucapkan terima kasih, selain itu juga memohon jika masih ada kekurangan untuk dapat bertemu dengan beliau. Pada hari pula penulis berkunjung ke SD Negeri Brengosan I sekitar pukul 09.30 WIB dan disambut dengan suasana sekolah yang asri. Saat itu penulis bermaksud untuk menyampaikan ijin penelitian dan proposal penelitian, serta memohon bantuan dari sekolah dalam proses penelitian tersebut. Janji antara kedua belah pihak telah disepakati untuk melakukan wawancara pada hari kamis tanggal 15 September 2016.
207
Catatan Lapangan III Hari/Tanggal
: Kamis, 15 September 2016
Pukul
: 08. 47 WIB Setelah hari yang disepakati tiba, penulis datang ke SD N Brengosan I
untuk melakukan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan terhadap 3 narasumber diantaranya Kepala Sekolah yaitu bapak Sarjiyo, Ibu Guru Pendamping Khusus yakni Ibu Astuti, dan Ibu guru kelas atas nama Ibu Andri Lestari. Wawancara berlangsung sekitar 70 menit dengan rata –rata durasi 22 menit. Ketiga pihak tersebut dapat bekerjasama dengan kooperatif. Setelah melakukan wawancara, penulis meminta dokumen pendukung berupa rekap data siswa, guru dan karyawan, riwayat sekolah, RPP (rencana pembelajaran), serta instrumen identifikasi/ assessmen. Dokumen tersebut dapat terpenuhi, namun belum semua karena untuk instrumen identifikasi/ assessmen belum dibawa GPK. Selain itu penulis ikut bergabung dalam kegiatan belajar di kelas III, sebagai kelas yang memiliki ABK cukup banyak. Anak berketunaan lambat belajar sebanyak 3 siswa, dan 2 siswa berketunaan tunagrahita. Proses belajar mengajar dilakukan seperti kelas pada umumnya, namun ada peran GPK yang turut mendampingi siswa ABK di Kelas. GPK lebih sering mendampingi anak tunagrahita. Selepas itu peneliti mengajukan pamit dan berterimakasih.
208
Catatan Lapangan IV Hari/Tanggal
:Kamis, 29 September 2016
Pukul
: 10.29 WIB Selang beberapa hari peneliti kembali berkunjung ke SD N Brengosan I
untuk melengkapi tambahan narasumber untuk guru kelas, sebagai pembanding antara guru kelas rendah dan tinggi. Saat itu peneliti memilih perwakilan dari guru kelas IV, dikarenakan jumlah ABK di kelas tersebut lebih banyak dibandingkan kelas V dan VI. ABK yang ada berjumlah 6 siswa, 5 siswa berketunaan lambat belajar dan 1 siswa berketunaan tunagrahita. Wawancara dilakukan selama 38 menit, dan dilanjutkan dengan observasi mengikuti proses KBM di kelas IV. Suasana pengajaran dilakukan seperti biasa, guru kelas mengajar sendiri tanpa GPK. Sesekali mengajari siswa yang berketunaan, nampak kesulitan sekali adalah siswa ABK tunagrahita. Setelah selesai peneliti mengajukan untuk pergi dan berterima kasih.
209
Catatan Lapangan V Hari/Tanggal
: Jum’at, 30 September 2016
Pukul
: 14.52 WIB Peneliti kembali menemui bapak Subardi selaku Kepala Seksi Kurikulum
dan Kesiswaan Dinas Pendidikan Sleman untuk melakukan wawancara tambahan. Untuk melengkapi wawancara terdahulu yang terpotong dikarenakan kesibukan beliau. Wawancara dilakukan santai namun tetap fokus pada masalah. Kurang lebih 20 menit peneliti dan narasumber saling berbincang.
210
Catatan Lapangan VI Hari/Tanggal
: Rabu, 19 Oktober 2016
Pukul
: 10.03 WIB Peneliti datang ke SD Negeri Brengosan I untuk melakukan wawancara
tambahan, sekaligus mengumpulkan dokumentasi instrumen Identifikasi dan assessmen, serta mendokumentasikan proses jam tambahan belajar dan ekstrakurikuler. Hal ini dikarenakan sebelumnya data instrumen tersebut belum ada, dan dapat diterima peneliti pada hari itu. Kurang lebih 23 menit peneliti dan narasumber berbincang- bincang dengan GPK yakni Ibu Astuti. Peneiliti juga meminta bantuan dari GPK untuk menghubungkan kepada wali murid ABK yang dapat diwawancarai. Kemudian GPK akan memberi tahu peneliti jika ada walimurid yang
bersedia diwawancarai. Selepas itu peneliti menunggu jam
pulang sekolah untuk dapat mengikuti jam tambahan belajar bagi Kelas I, dikarenakan untuk kelas lainnya terbentur jadwal ekstrakurikurikuler Pramuka. Jam tambahaan belajar diikuti oleh 3 siswa, 2 siswa dianggap lemah dan satu siswa diikutsertakan sebagai teman tambahan. Materi yang diajarkan saat itu pembelajaran huruf dan membaca, siswa sangat terpengaruh kepada teman lainnya yang sudah pulang sehingga sulit fokus. Kgiatan tersebut berlangsung sekitar 20 menit karena siswa sudah tidak kerasan, sehingga guru hanya memberi tugas bagi siswa ABK. Selepas jam tambahan belajar usai peneliti juga berkesempatan untuk mendokumentasikan kegiatan ekstrakurikuler Pramuka, baik anak normal dan ABK semua wajib mengikuti Pramuka.
211
Catatan Lapangan VII Hari/Tanggal
: Minggu, 6 November 2016
Pukul
: 16.40 WIB Setelah mendapat informasi dari GPK bahwa ada wali murid yang
bersedia diwawancarai, peneliti menghubungi beliau Bapak Sihomo sesuai saran dari GPK. Beberapa hari peneliti sulit menemui, hingga pada akhirnya peneliti dapat bertemu dengan beliau pada hari tanggal 6 November 2016 pukul 16. 40 WIB. Sore itu peneliti datang berkunjung kerumah beliau untuk melakukan wawancara, dan disambut oleh walimurid. Siswa yang dianggap ABK juga sedang bermain disekitar rumah. Nampak dari wajah anak tersebut seperti anak normal pada umumnya, hanya sedikit hiper. Peneliti berbincang – bincang dengan wali murid berdasarkan fokus yang dicari, nampak pula ABK tersebut memberikan makanan dan minuman kepada kami. Sekitar 60 menit kami berbincang- bincang dengan bapak Sihomo bersama istrinya, setelah dirasa data yang diperoleh telah mencukupi. Peneliti berterimakasih dan memohon pamit.
212
Lampiran IV
DOKUMENTASI
Gambar 2. Materi pelatihan Alphabet Braile saat pelatihan asesmen ABK guru SPPI
Gambar 1. Proses pelaksanaan pelatihan asesmen ABK guru SPPI tahun 2016
Gambar 3. Plang penampang identitas SD N Brengosan I
Gambar 4. Piala – piala dan prestasi yang diperoleh SD N Brengosan I
213
Gambar 5. Struktur organisasi pengurus (guru & karyawan) sebagai SDM pelaksanaan pengelolaan asesmen dan pendidikan inklusi SD N Brengosan I selaku sasaran kebijakan Dinas Pendidikan terkait
214
Gambar 6.Pelayanan khusus ABK berupa Pendampingan oleh guru reguler saat KBM dikelas IV
Gambar 7. Pelayanan ABK berupa pendampingan oleh GPK terhadap ABK kategori berat di kelas III
Gambar 8. Ekstrakurikuler kesenian tari pada kelas II yang diikuti siswa normal dan ABK dalam rangka pengembangan potensi anak
Gambar 9. Pelayanan Pendidikan Khusus berupa jam tambahan belajar untuk siswa ABK
215
Gambar 10. Wawancara dengan Kepala Sie. PLB DISDIKPORA Prov. DIY selaku agen kebijakan (Pembina)
Gambar 11. Wawancara dengan Kepala Kursis TK- SD DISDIK Kab. Sleman selaku agen kebijakan (Pelaksana)
Gambar 12. Wawancara dengan Kepala SD N brengosan I yaitu Bapak SA
Gambar 13. Wawancara dengan GPK SD N brengosan I yaitu Ibu A
Gambar 14. Wawancara dengan Ibu Y selaku Guru kelas IV
Gambar 15. Wawancara dengan Ibu I sebagai wali siswa ABK (slow learner)
216
Lampiran V
A. Instrumen Identifikasi SD N Brengosan I
217
218
219
220
221
222
223
224
225
226
227
228
B. Hasil Asesmen Siswa ABK
229
230
231
232
C. Rencana Pembelajaran Siswa (RPP)
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Nama Sekolah : SD Negeri Brengosan 1 Mata Pelajaran : Matematika Kelas/Semester : III/1 Waktu : 2 X 35 menit (2 JP) Tahun Pelajaran: 2015/2016 Standar Kompetensi 1. Melakukan operasi hitung bilangan sampai tiga angka Kompetensi Dasar 1.1. Menentukan letak bilangan pada garis bilangan Indikator Umum 1.1.1. Membilang secara urut 1.1.2. Mengurutkan bilangan dan menentukan posisinya pada garis bilangan 1.1.3. Membandingkan bilangan
ABK 1.1.1. Membilang secara urut bilangan 2 angka 1.1.2. Mengurutkan bilangan dan menentukan posisinya pada garis bilangan dari bilangan 2 angka 1.1.3. Membandingkan bilangan dari bilangan 2 angka
Nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa - Disiplin - Jujur - Kerja keras Tujuan Pembelajaran Umum 1. Siswa dapat membilang bilangan tiga angka secara urut 2. Siswa dapat mengurutkan bilangan tiga angka dan menentukan posisinya pada garis bilangan 3. Siswa dapat membandingkan bilangan tiga angka “kurang dari” atau “lebih dari” dan “sama dengan” dengan tanda <, >, =
ABK 1. Siswa dapat membilang bilangan 2 angka secara urut dengan bimbingan guru 2. Siswa dapat mengurutkan bilangan 2 angka dan menentukan dengan bimbingan guru 3. Siswa dapat membandingkan bilangan 2 angka “kurang dari”, atau ” lebih dari”, dan “sama dengan” dengan tanda <, >, = dengan bimbingan guru
233
Materi Ajar Operasi Hitung Bilangan Metode Pembelajaran - Diskusi - Penugasan - Ceramah Langkah-langkah Pembelajaran 1. Kegiatan Awal ( 5 menit) Berdoa, salam, menyanyikan lagu Indonesia Raya, mengabsensi siswa Apersepsi - Tanya jawab tentang materi yang lalu - Menyampaikantujuan yang hendakdicapai 2.
Kegiatan Inti (55 menit)
Umum Eksplorasi Siswa diminta membaca lambang bilangan 3 angka Elaborasi Siswa dibagi dalam beberapa kelompok Siswa diminta membuat garis bilangan Siswa diminta membandingkan bilangan Konfirmasi Siswa diberikan tugas mengerjakan soal latihan Guru bertanya jawab tentang hal-hal yang belum diketahui siswa Guru bersama siswa bertanya jawab memberikan penguatan dan penyimpulan
ABK Eksplorasi Siswa diminta membaca lambang bilangan 2 angka Elaborasi Siswa dibimbing guru membuat garis bilangan dan membandingkan bilangan dari 2 angka Konfirmasi Siswa diberikan tugas mengerjakan soal latihan Guru bertanya jawab tentang hal-hal yang belum diketahui siswa Guru bersama siswa bertanya jawab memberikan penguatan dan penyimpulan
2. Kegiatan Penutup (10 menit) Membuat rangkuman materi yang telah disampaikan Memberikan pekerjaan rumah Menginformasikan materi yang akan dipelajari pada pertemuan selanjutnya NB : Jika siswa ABK masih mengalami kesulitan dalam memahami materi, diberikan tambahan waktu diluar jam pelajaran Alat/Bahan dan Sumber Belajar - Nur Fajariyah, Devi Triratnawati, Cerdas Berhitung Matematika SD kelas 3 - Kartu angka - Gambar kubus - Garis bilangan - Kartu tanda <, >, =
234
-
Lembar kerja siswa
Penilaian 1. Teknik Penilaian : Pengamatan, dan tertulis Bentuk tes : Isian singkat 2. Penugasan Guru memeriksa dan mengecek apakah tugas yang diberikan ke siswa dapat terselesaikan dengan baik atau tidak
Instrumen Penilaian : Umum ABK Kerjakan soal berikut ini ! Kerjakan soal berikut ini ! 1. Urutkan bilangan 374, 375, 381, 377, 378, 1. Urutkan bilangan 27, 29, 376, 379, 380 pada garis bilangan! 30,31,25, 28, 24, 26 pada garis 2. Tulislah bilangan antara : bilangan ! a. 227 dan 235 2. Tuliskan bilangan antara : b. 233 dan 238 a.30 dan 35 3. Bandingkan angka di bawah ini dengan b.23 dan 29 tanda < , >, atau = : 3. Bandingkan angka di bawah ini a. 252 ... 249 dengan tanda <, >, atau = : b. 356 ... 360 a. 28 ... 15 b. 34 ... 40 Kunci jawaban Kunci jawaban 1. 1. 2. a. 227,228,229,230,231,232,233,234,235 2. a. 30,31,32,33,34,35 b. 233,234,235,236,237,238, b. 23,24,25,26,27,28,29 3. a. > 3. a. > b. < b. < Nilai Jumlah benar X 20
Nilai Jumlah benar X 20
Mengetahui , Kepala Sekolah
Brengosan 1, 28 Agustus 2015 Guru Kelas III
A. Sarjiyo, S.Pd. NIP. 19580811 197803 1 009
Andy Lestari, S.Pd NIP. -
235
Lampiran VI
A. Surat Keputusan Pembentukan Anggota Pusat Sumber
236
237
238
239
240
B. Surat Keputusan Pembentukan Sub Pusat Sumber
241
242
243
C. Surat Keputusan Penetapan Sekolah Inklusi
244
245
Lampiran VII
A. Surat Ijin Penelitian
246
247
248