II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peranan Sektor Pertanian dalam Pengembangan Wilayah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor di bidang ekonomi yang memiliki arti dan kedudukan penting dalam pembangunan nasional. Sektor ini berperan sebagai sumber penghasil bahan makan, sumber bahan baku bagi industri, mata pencaharian sebagian besar penduduk, penghasil devisa negara dari ekspor komoditinya bahkan berpengaruh besar terhadap stabilitas dan keamanan nasional. Namun keberadaan sumberdaya lahan yang terbatas tidak mampu mengimbangi kebutuhan lahan yang sangat pesat baik dari sektor pertanian maupun non pertanian, akibatnya timbul persaingan penggunaan lahan yang saling tumpang tindih dan tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan (Djaenuddin, 1996). Hal ini dapat menjadi kendala bagi proses pembangunan nasional, khususnya di sektor pertanian. Perencanaan yang tepat dan informasi yang aktual sangat dibutuhkan oleh para pengguna lahan dan pihak-pihak yang terkait agar penggunaan lahan tersebut dapat optimal sesuai dengan kemampuannya dan dapat digunakan secara berkelanjutan. Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut,diantaranya dengan membuat suatu perencanaan yang tepat dan rasional baik melalui aspek teknis maupun non teknis. Aspek teknis dapat dilakukan diantaranya denganmenentukan potensi wilayah sedangkan aspek non teknis dapat dilakukan dengan pendekatan kebijaksanaan bagi pengembangan wilayah tersebut. Kedua aspek ini akan saling berkaitan erat terhadap keberhasilan proses dan hasil pembangunan suatuwilayah. Aspek teknis merupakan salah satu cara yang tepat dan mendasar bagiperencanaan pembangunan wilayah karena dengan cara ini dapat diketahui potensi dan daya dukung lahan di wilayah tersebut untuk jenis-jenis penggunaan lahan yangdipertimbangkan. Penilaian potensi wilayah merupakan salah satu cara yang dapat digunakanuntuk mencari lahan yang memang berpotensi bagi pembangunan pertanian. Dengan dilakukannya penilaian potensi wilayah ini diharapkan akan dihasilkan suatuperencanaan pembangunan pertanian yang tepat dan rasional, dimana pemanfaatanlahannya dapat optimum, lestari dan
13
berkelanjutan. Penilaian potensi wilayah ini dilakukan melalui analisis potensi wilayah baik secara fisik maupun sosial ekonomi. Dengan pendekatan tersebut diharapkan dihasilkan potensi wilayah berupa komoditas unggulan yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Kegiatan ini dilakukan dengan memanfaatkan data-data sekunder yang telah ada dan masih representatif bagi wilayah tersebut yang diolah melalui analisis wilayah dan diintegrasikan dengan Sistem Informasi Geografis. Rangkaian proses penilaian potensi wilayah di atas serta hasil akhirnya diharapkan dapat lebih mudah dimengerti dan dipahami, serta dapat memberikan informasi yang cepat, aktual dan rasional,sehingga dapat mendukung dalam perencanaan suatu wilayah khususnya bagiperencanaan pembangunan pertanian ataupun komoditas-komoditas unggulan sayuran dan buah-buahan di Kabupaten Karo. Sebagai sektor dominan di wilayah berbasis sumberdaya alam, pertanian memiliki peran sebagai penghasil pangan, bahan mentah dan bahan baku industri,penyedia lapangan kerja dan lapangan usaha, sumber devisa serta pelestari fungsi lingkungan.Peran tersebut menunjukan pentingnya pembangunan yang dapat diartikan sebagai perubahan dari sistem tradisional ke modern. Hayami dan Kikuchi dalam Kasryno, 1984 menyatakan bahwa aktivitas pertanian di kawasan perdesaan sulit untuk dipisahkan dari kegiatan ekonomi keseluruhan karena kegiatan yang telah berlangsung turun temurun tersebut telah menjadi budaya. Oleh karena itu, pembangunan pertanian bukan hanya berupaya agar terjadi transformasi system produksi semata, tetapi juga transformasi sosial. Dengan demikian, agar pembangunan pertanian di suatu wilayah berjalan efektif harus dikaitkan dengan tujuan sosial, ekonomi ataupun sumberdaya lainnya (Saragih, 1997; Jayadinata, 1999). Peran sektor pertanian lain yang juga sangat penting adalah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi daerah. Sesuai tujuan pokok dari pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, adalah untuk mempercepat perkembangan ekonomi daerah. Cara yang efektif dan efisien untuk membangun ekonomi daerah adalah melalui pendayagunaan berbagai sumber
14
daya ekonomi yang dimiliki daerah. Pada saat ini sumber daya ekonomi yang dimiliki dan siap didayagunakan untuk pembangunan ekonomi daerah adalah sumber daya agribisnis seperti sumber daya alam (lahan, air, keragaman hayati, agro-klimat), sumber daya manusia di bidang agribisnis, dan teknologi di bidang agribisnis. Selain itu, sektor agribisnis adalah penyumbang terbesar
dalam
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan ekspor daerah. Dalam penyerapan tenaga kerja, kesempatan berusaha di setiap daerah, sebagian besar juga disumbang oleh sektor agribisnis. Oleh karena itu, pembangunan agribisnis untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah merupakan pilihan yang paling rasional. Dengan kata lain, pembangunan agribisnis perlu dijadikan sebagai pilar pembangunan ekonomi wilayah. ( Kwik Kian Gie, 2002) Salah satu komoditas pertanian yang berpotensi dikembangkan dalam kerangka pengembangan wilayah adalah hortikultura. Hortikultura (Sayursayuran,buah-buahan) merupakan komoditas unggulan, khususnya di Kabupaten Karo. Keunggulan komoditas ini ditunjang oleh kondisi lingkungan (lahan dan iklim) yang menunjang di beberapa lokasi, sebagian masyarakat yang sudah mengenalnya
dengan
baik,
potensi
sumberdaya
manusia
yang
belum
dimanfaatkan secara optimal serta peluang pasar domestik dan internasional yang sangat besar (Saragih, 1997).Selain sebagai komoditas unggulan, hortikultura juga berperan sebagai sumber gizi masyarakat, penyedia lapangan pekerjaan, dan penunjang kegiatan agrowisata danagroindustri (Soekartawi, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan hortikultura terkait dengan aspek yang lebih luas yang meliputi tekno-ekonomi dengan sosio-budaya petani. Ditinjau dari proses waktu produksi, musim tanam yang pendek memungkinkan perputaran modal semakin cepat dan dapat meminimalkan ketidakpastian karena faktor alam (Mubyarto, 1989). Selain berperan penting dalam pengembangan wilayah, usaha tani hortikultura merupakan bentuk pertanian yang lebih maju dari pada usaha tani tanaman pangan.Sebagai pertanian yang lebih maju, usaha tani hortikultura berorientasi pasar sehinggaharus menguntungkan serta diusahakan secara intensif dengan modal yang memadai.Walaupun demikian, usaha tani hortikultura di Indonesia masih memperlihatkan sifat tradisional. Hal ini ditunjukan dengan
15
aktivitas yang mengandalkan kemampuan dan sumberdaya seadanya. Ciri umum aktivitas tersebut antara lain : tingkat pendidikan dan penguasaan teknologi pengelola rendah; penguasaan lahan kecil (< 0,25 Ha) dan terpencar lokasinya; akses terhadap informasi, pengetahuan, teknologi dan pasar yangterbatas; kesulitan permodalan; serta lemahnya kelembagaan pertanian (Soekartawi,1996) Di setiap wilayah berpenduduk selalu terjadi kegiatan pembangunan, namun ada beberapa wilayah yang pembangunannya berjalan di tempat atau bahkan berhenti sama sekali, dan wilayah ini kemudian menjadi wilayah kelas kedua dalam kegiatan ekonomi. Hal ini mengakibatkan penanam modal dan pelaku bisnis keluar dari wilayah tersebut karena wilayah itu dianggap sudah tidak layak lagi untuk dijadikan tempat berusaha. Akibatnya laju pertumbuhan ekonomi wilayah itu menjadi semakin lambat. Upaya pengembangan sektor agribisnis dapat menolong mengembangkan dan mempromosikan agroindustri di wilayah tertinggal. Program kerjasama dengan pemilik lahan atau pihak pengembang untuk mau meminjamkan lahan yang tidak dibangun atau lahan tidur untuk digunakan sebagai lahan pertanian perlu dikembangkan. Dari jumlah lahan pertanian yang tidak produktif ini dapat diciptakan pendapatan dan lapangan kerja bagi penganggur di perdesaan. Program kerjasama
mengatasi
keterbatasan
modal,
mengurangi
resiko
produksi,
memungkinkan petani memakai bahan baku impor dan produk yang dihasilkan dapat mampu bersaing dengan barang impor yang sejenis serta mencarikan dan membuka pasaran yang baru. (Darwanto, 2002). Untuk itu diperlukan suatu perencanaan yang matang dalam upaya untuk melaksanakan pengembangan tersebut. Perencanaan adalah suatu proses sistematis untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan-pilihan dengan memperhitungkan dan mengoptimalkan sumber daya yang ada. Juga upaya dalam penetapan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya dengan menggunakan alternatif-alternatif sesuai dengan sumberdaya yang ada. Selain itu perencanaan juga merupakan suatu cara rasional untuk mempersiapkan sesuatu yang lebih terkoordinasi guna mencapai suatu tujuan tertentu di dalam waktu tertentu yang menghasilkan suatu perubahan sosial.
16
Perencanaan merupakan suatu siklus, sehingga perlu keterkaitan yang baik pada bagian implementasi dan pengendalian melalui monitoring dan evaluasi. Dari segi jangka waktu, perencanaan dapat dibedakan menjadi perencanaan jangka pendek, perencanaan jangka menengah dan perencanaan jangka panjang. Proses perencanaan dilakukan dengan menguji berbagai arah pencapaian dan mengkaji berbagai ketidakpastian yang ada serta mengukur kemampuan (kapasitas) kita untuk mencapainya. Perencanaan yang berhasil adalah perencanaan yang mampu meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Menurut Isard (1975), wilayah memiliki pengertian tidak hanya sekedar areal dengan batas-batas tertentu, tetapi merupakan suatu area yang memiliki arti (meaningfull) karena adanya keterkaitan antar masalah yang ada. Oleh karena itu para ahli regional berusaha untuk mengkaji dan menyelesaikan masalah tersebut. Wilayah perencanaan dan pengelolaan dapat mencakup wilayah administratif politis (pusat atau daerah) maupun wilayah perencanaan fungsional. Wilayah didefenisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas tertentu di mana komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan lainnya. Batasan yang ada lebih bersifat “meaningfull” baik untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi.( Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju. 2009) Riyadi dan Bratakusumah (2004) menyatakan bahwa perencanaan adalah upaya untuk memilih dan menghubungkan fakta-fakta serta menggunakan asumsiasumsi mengenal masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Perencanaan pada umumnya mengandung beberapa hal pokok yang merupakan unsur-unsur dalam perencanaan, unsur-unsur tersebut meliputi: 1. Adanya asumsi-asumsi yang didasarkan pada fakta-fakta. Perencanaan hendaknya disusun berdasarkan asumsi-asumsi yang didukung dengan faktafakta atau bukti-bukti yang ada. 2. Adanya alternatif-alternatif atau pilihan-pilihan sebagai dasar penentuan kegiatan yang akan akan dilakukan 3. Adanya tujuan yang dicapai. Perencanaan merupakan sarana atau alat untuk mencapai tujuan.
17
4. Bersifat mempredikasi sebagai langkah untuk mengantisipasi kemungkinankemungkinan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan perencanaan. 5. Adanya kebijaksanaan sebagai hasil keputusan yang harus dilaksanakan. Perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang (termasuk perencanaan pergerakan) dan perencanaan kegiatan pada wilayah tersebut. Perencanaan penggunaan ruang diatur dalam bentuk perencanaan tata ruang, sedangkan perencanaan kegiatan dalam wilayah diatur dalam perencanaan pembangunan wilayah (Tarigan, 2005). Ilmu regional (Regional Science) merupakan disiplin ilmu yang berkaitan dengan studi atau kajian mengenai dimensi wilayah atau spasial yang menggunakan atau mencakup kombinasi yang berbeda dari penelitian secara empirik dan matematis (Isard,1975 dalam Rustiadi et al. 2009). Isard (1975) juga mengemukakan defenisi ilmu regional lainnya, salah satunya menyatakan bahwa ilmu regional merupakan kajian mengenai wilayah sebagai suatu sistem yang dinamik, mencakup suatu analisis yang terintegrasi, baik faktor politik, ekonomi, sosial, budaya dan psikologis yang mempengaruhi perkembangan dari sistem tersebut. Perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai suatu perumusan alternatif-alternatif atau keputusan yang didasarkan pada fakta-fakta dan data yang akan digunakan sebagai bahan untuk melakukan suatu rangkaian/kegiatan kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik maupun non fisik dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah, 2004). Sedangkan untuk konteks regional atau suatu wilayah tertentu terdapat istilah perencanaan pembangunan daerah. Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungannya dalam suatu wilayah/ daerah tertentu dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tetapi masih tetap berpegang teguh pada azas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah, 2004). Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur di dalamnya, guna
18
pemanfaatan dan pengalokasian sumberdaya-sumberdaya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan
wilayah /daerah
dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu tersebut dalam bentuk perencanaan pembangunan jangka panjang (25 sampai dengan 30 tahun), perencanaan jangka menengah (5sampai dengan 6 tahun ), dan perencanaan jangka pendek (1 sampai dengan 2 tahun ). Perencanaan dapat dilakukandengan pendekatan sektoral dan pendekatan regional (wilayah).Pendekatan sektoral memfokuskan perhatian pada sektorsektor kegiatan yang ada di wilayah tersebut, sedangkan pendekatan regional memperhatikan penggunaan ruang untuk kegiatan produksi barang dan jasa, memprediksi arah konsentrasi kegiatan, memperkirakan kebutuhan fasilitas untuk masing-masing
konsentrasi
kegiatan
dapat
dihubungkan
secara
efisien.
Pendekatan pembangunan wilayah haruslah gabungan antara pendekatan sektoral dan pendekatan regional (Tarigan, 2005). Pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan lokal memandang penting keterpaduan sektoral, serta spasial (keruangan) serta antar pelaku (institusi) pembangunan di dalam dan antar daerah. Sehingga setiap program pembangunan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah (Rustiadi et al. 2009). Pengembangan wilayah diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Perbedaan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan geografis membutuhkan rencana pengembangan wilayah yang berbeda pula. Pengembangan wilayah yang berangkat dari permasalahan wilayah merupakan acuan dari berbagai sektor terkait. Menurut Friedman (1964) dalam Glasson (1977), pencanaan adalah terutama suatu cara berfikir mengenai persoalan-persoalan sosial ekonomi. Perencanaan terutama berorientasi pada masa datang, sangat berkenan pada hubungan antara tujuan dan keputusan-keputusan kolektif dan mengusahakan kebijakan dan program yang menyeluruh.Perencanaan regional adalah proses perumusan dan penegasan tujuan-tujuan sosial dalam penataan kegiatan-kegiatan dalam ruang di atas tingkat perkotaan (supra urban).Perencanaan pada tingkat nasional cenderung sangat bersifat ekonomis. Perencanaan ekonomi dapat dibagi
19
menjadi dua bentuk, yakni bentuk alokatif jangka pendek yang berkenaan dengan stabilisasi gelombang “naik-turunnya” dan bentuk inovatif jangka panjang yang terutama berkenaan engan pencapaian suatu laju pertumbuhan ekeonomi tertentu. Glasson (1977) juga mengemukakan istilah mengenai perencanaan pada tingkat pemerintah lokal. Dalam hal ini, perencanaan kota dan pedesaan telah memainkan peran yang lebih dominan sebagai faktoryang menimbulkan cara pendekatan yang lebih berorientasi pada tata gunalahan tanah (land use). Perencanaan pada tingkat regional merupakan penghubung antara perencanaan antara tingkat nasional dan lokal. Fokus perencanaan pada tingkat regional adalah perencanaan suatu daerah yang mempunyai ciri-ciri ekonomi dan sosial, kemungkinan-kemungkinan dan persoalan-persoalan yang berbeda, memperlakukannya secara terpisah dari daerah-daerah lain. Peranan perencanaan regional adalah menggarap secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional (Glasson, 1977 dalam Rustiadi et al. 2009).
2.2. Kawasan Hortikultura Istilah kawasan di Indonesia digunakan karena adanya penekanan fungsional suatu unit wilayah. Konsep kawasan menekankan adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional (Rustiadi et al. 2009). Konsep kawasan sentra produksi berawal dari perubahan UU Pemerintahan Daerah (UU No. 12 tahun 1999) tentang desentralisasi, ketahanan ekonomi masyarakat dalam situasi krisis ekonomi dan persiapan menghadapi persaingan ekonomi global. Di mana persaingan produksi dalam bidang kualitas, kuantitas, produkstivitas dan kontinuitas akan semakin tinggi sejalan dengan semakin meningkatnya sistem informasi dan komunikasi saat ini (Bappenas, 2007). Selanjutnya pengertian Kawasan Sentra Produksi (KSP) adalah kawasan budidaya yang potensial dan prospektif untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi sebaran pengembangan kegiatan produksi berikut pengolahannya, jasa dan permukiman, infrastruktur atau prasarana dan sarana bisnis serta telah memiliki pasar bagi produk unggulan. Program pengembangan KSP adalah upaya
20
terprogram sebagai strategi dalam pembangunan daerah dengan pendekatan wilayah. Hal ini diperuntukkan guna memacu kegiatan ekonomi yang berbasis pada bisnis dan industri serta pengelolaan melibatan berbagai pelaku pembangunan dengan mengembangkan jaringan kerja yang solid antara pemerintah, dunia usaha, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat. Komoditas hortikultura
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
Usaha
agribisnis hortikultura (buah, sayur, tanaman hias dan tanaman biofarmaka) dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat dan petani baik berskala kecil, menengah maupun besar.
Hal ini disebabkan karenakomoditas hortikultura
memiliki keunggulan berupa nilai jual yang tinggi, keragaman jenis, ketersediaan sumberdaya lahan dan teknologi, serta potensi serapan pasar di dalam negeri dan internasional yang terus meningkat. Pasokan produk hortikultura nasional diarahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri, baik melalui pasar tradisional, pasar modern, maupun pasar luar negeri (ekspor). Ketersediaan sumberdaya hayati dan sumberdaya lahan, apabila dikelola secara optimal akan menjadi sumber kegiatan usaha ekonomi yang bermanfaat untuk penanggulangan kemiskinan dan penyediaan lapangan kerja di perdesaan maupun perkotaan. Dalam dinamika perekonomian global yang semakin kompetitif, eksistensi wilayah sangat ditentukan oleh kemampuan wilayah tersebut menciptakan basis-basis keunggulan dalam persaingan ekonomi antar wilayah Globalisasi telah menciptakan diversifikasi pasar, pesaing yang semakin banyak dan pilihan produk yang semakin bervariasi. Perkembangan teknologi yang berlangsung cepat merupakan salah satu pendorong persaingan suatu wilayah. Hanya wilayah-wilayah yang berdaya saing tinggi mampu membangun strateginya
melalui
harmonisasi
pengembangan
sumberdaya
manusia,
pemanfaatan teknologi yang tepat, serta eksplorasi dan pemanfaatan sumberdaya alam yang optimal. Dengan diterapkannya kebijakan otonomi daerah di mana
tugas dan
kewenangan pembangunan, termasuk di dalamnya pembangunan pertanian, kini menjadi tanggung jawab sepenuhnya pemerintah daerah, yang dalam hal ini
21
adalah di tingkat kabupaten/kota sebagai daerah otonom. Maka daerah sebagai ujung tombak pembangunan nasional dituntut untuk dapat bersaing dalam meningkatkan daya saing wilayahnya agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan mengacu pada tolok ukur kemajuan pembangunan wilayah, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pendapatan perkapita yang merata dan tingkat pengangguran yang rendah. Hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang berkembang pesat di Indonesia. Selain sebagai komoditas yang esensial bagi manusia yaitu pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam menyediakan vitamin dan mineral, serta memberikan kontribusi PDB sebesar 14,95 % pada tahun 2008 terhadap subsektor lainnya. (Ditjen Hortikultura,2008). Pembangunan pertanian melalui pengembangan komoditas hortikultura yang potensial di suatu wilayah merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan perekonomian wilayah, yang pada akhirnya akan meningkatkan kegiatan ekonomi yang efektif dan efisien dan berdampak bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Kawasan agribisnis hortikultura merupakan suatu wilayah dengan kesamaan ekosistem dan disatukan oleh fasilitas infrastruktur ekonomi yang sama, sehingga membentuk kawasan yang berisi berbagai kegiatan usaha berbasis hortikultura mulai dari penyediaan sarana produksi, budidaya, penanganan dan pengolahan pasca panen dan pemasaran serta berbagai kegiatan pendukungnya. Tujuan pengembangan kawasan hortikultura adalah : 1)meningkatkan produksi dan produktivitas,2) mengembangkan keanekaragaman usaha pertanian untuk menjamin kelestarian fungsi dan manfaat lahan, 3) meningkatkan kesempatan berusaha dan meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara, 4) meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kapasitas ekonomi dan sosial masyarakat petani,5) meningkatkan kesempatan berusaha dan meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara maupun petani 6) meningkatkan ikatan komunitas masyarakat di sekitar kawasan yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian dan kenyamanannya (Ditjen Hortikultura, 2008). Manfaat dari pengembangan kawasan hortikultura diantaranya : (1) pengembangan kawasan hortikultura memungkinkan penanganan berbagai komoditas hortikultura secara terpadu sesuai dengan kesamaan karakteristiknya,
22
(2) membuka kesempatan semua komoditas hortikultura yang penting di suatu kawasan ditangani secara proporsional serta mengurangi keinginan daerah menangani komoditas prioritas nasional yang tidak sesuai untuk daerahnya, (3) pengembangan kawasan hortikultura dapat menjadi wahana bagi pelaksana desentralisasi pembangunan secara nyata dengan pembagian
dan keterkaitan
fungsi antar tingkatan pemerintah secara lebih proporsional (4) critical mass penggalangan sumberdaya akan lebih tercipta sehingga sinergi dari berbagai sumberdaya tersebut akan terjadi, dan (5) kejelasan karakter dan pengukuran kinerja untuk jenis kegiatan pengembangan dan perbaikan kawasan, sehingga akan tercipta insentif bagi para pelaksana di kabupaten untuk kedua jenis kegiatan tersebut
dibandingkan
dengan
kecenderungan
selama
ini
yang
lebih
mementingkan kegiatan pengembangan daripada pemantapan(perbaikan), serta (6) tumbuhnya kegiatan ekonomi di kawasan dan sekitarnya yang mempercepat pertumbuhan pendapatan, penyerapan tenaga kerja dan tumbuhnya sektor-sektor usaha terkait (Backward dan forward linkages). Di dalam pengembangan kawasan, baik yang lama maupun yang baru beberapa hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1) penyusunan profil dan peta jalan pengembangan kawasan sebagai acuan perencanaan ke depan, 2) identifikasi status rantai pasok (Existing suplly chain)
sebagai acuan untuk
strukturisasi rantai pasok yang lebih efisien, 3) perencanaan pengembangan kawasan secara terpadu dan komprehensif, 4) mensosialisasikan rancangan pengembangan kawasan, dan 5) menggalang dukungan sektor terkait dan para pelaku bisnis dan masyarakat hortikultura dalam pengembangan kawasan. Kriteria yang menjadi dasar penetapan kawasan budidaya hortikultura menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 41/Permentan/OT.140/9/2009 tentang Kriteria Teknis Kawasan Peruntukan Pertanian adalah: 1. Mempunyai kesesuaian lahan yang didukung adanya sarana dan prasarana budidaya, panen dan pasca panen 2. Memiliki potensi untuk pengembangan system dan usaha agribisnis hortikultura 3. Mempunyai akses dan prasarana transportasi jalan dan pengangkutan yang mudah, dekat dengan pusat pemasaran dan pengumpulan produksi.
23
2.3. Konsep Sistem Pengelolaan Agribisnis Istilah agribisnis pertama kali dilontarkan oleh John H. Davis pada suatu konferensi yang diadakan Badan Perdagangan Eceran Boston pada tahun 1955. Istilah ini kemudian menjadi sangat popular setelah dirumuskan dengan jelas pada suatu buku “A Concept of Agribussiness” yang ditulis oleh John H. Davis dan Ray A. Goldberg (1957). Menurut kedua penulis tersebut, pengertian agribisnis adalah : “Agribussiness is the sum total of all operations involved in the manufacturing and distribution of farm supplies, production activities on the farm and the storage, processing and distribution of farm commodities and items made from them (Syafaat, 2003). Menurut Saragih (2001a), agribisnis sebagai bentuk modern pertanian primer, mencakup empat subsistem yaitu : 1) subsistem agribisnis hulu (Up stream agribusiness) yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi pertanian primer, 2) subsistem usaha tani (on farm agribussiness) disebut sebagai sektor pertanian primer, 3) subsistem agribisnis hilir (down stream agribussiness) yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan baik untuk dimasak atau siap dikonsumsi beserta kegiatan perdagangannya di pasar domestik dan internasional serta 4) subsistem jasa layanan pendukung (supporting institutions) seperti lembaga keuangan dan pembiayaan, transportasi, penyuluhan dan layanan informasi agribisnis, penelitian pengembangan dan kebijakan pemerintah. Dalam kaitannya dengan pengembangan agribisnis berskala kecil, pengembangan agroindustri pedesaan masih menghadapi kendala-kendala, seperti (1) kegiatan pertaniannya belum memberikan dukungan yang optimal karena pada sebagian besar pola produksi komoditi pertanian belum dalam satu areal yang kompak berkelompok, sehingga skala ekonomi daerah belum efisien, (2) sarana dan prasarana ekonomi yang belum memadai untuk daerah produksi tersebut, (3) pola agroindustri sendiri kebanyakan masih terpusat bukan pada sentra produksi pertanian di pedesaan, tetapi di perkotaaan, (4) biaya transportasi yang masih relatif tinggi, (5) sistem kelembagaan yang belum mendukung dengan peranan petani produsen yang lemah dan informasi yaneg belum memadai (Saragih, 2001b).
24
Industrialisasi
pertanian
primer
menjadi sektor agribisnis tersebut
berimplikasi pada cara melihat, mengevaluasi, mengelola, dan membangun kegiatan ekonomi berbasis sumberdaya hayati. Dalam agribisnis, ke dalam kegiatan ekonomi tersebut harus dilihat sebagai suatu sektor agribisnis, di mana subsistem tersebut merupakan suatu kegiatan ekonomi yang terintegrasi. Dalam konteks konsep teori pengembangan wilayah pertanian berbasis agribisnis dapat dipandang sebagai suatu wilayah homogen yang memperlihatkan satu tingkat keherensi dalam kesatuan keputusan-keputusan ekonomi, yang dapat dikembangkan bersama-sama dengan wilayah pertanian lainnya dalam kawasan tersebut melalui pengembangan agribisnis. Dalam merencanakan pengembangan suatu wilayah untuk kegiatan pengembangan agribisnis, ada tiga pertanyaan pokok yang perlu dianalisis lebih lanjut (Dicken dan Lloyd, 1999 dalam Syafaat, 2003), yaitu bagaimana rencana bentuk spasial kegiatan agribisnis dan perspektif perubahannya ke depan?; mengapa bentuk spasial kegiatan agribisnis dipilih demikian?; serta bagaimana bentuk spasial kegiatan agribisnis tersebut membangkitkan atau mendorong perekonomian suatu wilayah? Dalam pengertian seperti itu, paradigma agribisnis tidak hanya mengandung makna kegiatan produksi pertanian saja, tetapi juga meliputi kegiatan manufaktur, distribusi input pertanian dan pengolahan serta distribusi hasil-hasil pertanian. Secara sektoral, agribisnis meliputi seluruh sektor pertanian dan sebagian sektor industri yang menghasilkan agroinput dan mengolah produk pertanian. Kegiatan terakhir ini umumnya disebut agroindustri. Dilihat dari luasnya cakupan sektoral, maka agribisnis sebagai suatu totalitas kegiatan dari ekonomi suatu negara mempunyai peranan penting baik bagi pertumbuhan maupun pemerataan. Berbeda dengan
paradigma
usahatani,
paradigma
agribisnis
memandang
bahwa
modernisasi teknologi dan pemasaran hasil pertanian telah mengubah sifat usaha tani budidaya yang semula independen menjadi suatu usaha ekonomi yang sangat tergantung pada kegiatan usaha tani lainnya ( Syafaat, 2003). Di sisi lain, pemasaran produk-produk pertanian juga telah mengalami perubahan mendasar. Perkembangan teknologi pengolahan hasil-hasil pertanian telah mendorong pengembangan produk (product development) pertanian, sehingga hasil usaha tani secara umum tidak berupa lagi produk akhir yang
25
langsung dikonsumsi. Kegiatan pasca panen dan agroindustri merupakan kunci utama pemasaran hasil-hasil pertanian. Dengan sendirinya keragaan usaha tani sangat tergantung pada keragaan bisnis perdagangan, pascapanen dan industri pengolahan produk yang dihasilkan usahatani tersebut. Agar sistem agribisnis secara keseluruhan mampu berkembang dan berkelanjutan (sustainable), semua unit kegiatan agribisnis secara ekonomi harus mampu hidup (economically viable). Untuk itu, unit-unit usaha agribisnis secara vertikal dari mulai hiliur harus salingmendukung dan memperkuat satu sama lain. Semua unit usaha tersebut tidak boleh bersaing dan saling mematikan. Kegiatan agribisnis dapat dipengaruhi oleh keputusan atau tindakan koordinator agribisnis, yang terdiri dari pemerintah, manajer agribisnis (termasuk asosiasi bisnis), pendidik dan peneliti. Peran utama pemerintah adalah sebagai regulator, fasilitator dan dinamisator, sehingga koordinasi vertikal kegiatan sistem agribisnis dan unit-unit usaha yang terlibat di dalamnya secara keseluruhan dapat berjalan secara terpadu dan terkoordinasi secara baik dengan memperhatikan secara seksama lingkungan strategis (sumberdaya alam, sosial, ekonomi, politik) yang terus bergerak secara dinamis, sehingga sistem agribisnis secara keseluruhan mampu terus berkembang dna berkelanjutan. Agribisnis sering diartikan dalam arti sempit, yaitu perdagangan atau pemasaran hasil pertanian. Padahal konsep agribisnis adalah utuh, mulai dari proses produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan aktivitas lain yang berkaitan dengan kegiatan pertanian. Agribisnis dapat berkembang di Indonesia karena kondisi daerah yang menguntungkan, antara lain : lokasinya di garis khatulistiwa, berada di luar zona angin taifun, tersedianya sarana dan prasarana pendukung berkembangnya agribisnis dan kemauan politik pemerintah untuk memberikan prioritas (Soekartawi, 2005). Secara konseptual sistem agribisnis dapat diartikan sebagai semua aktivitas, mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi (input) sampai dengan pemasaran produk-produk yang dihasilkan oleh usaha tani serta agroindustri yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Menurut Baharsjah (1997) di dalam Hasibuan (1999), sistem agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem yaitu :
26
1)
Subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi dan pengembangan sumberdaya manusia
2)
Subsistem budidaya dan usaha tani
3)
Subsistem pengolahan hasil pertanian atau agroindustri
4)
Subsistem pemasaran hasil pertanian Gumbira
(2001) juga menjelaskan fungsi-fungsi agribisnis terdiri atas
kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi, kegiatan produksi primer (budidaya), pengolahan (agroindustri) dan pemasaran. Fungsi-fungsi tersebut kemudian disusun menjadi suatu sistem dari subsistem agribsisnis. Soekartawi (2005) juga menyatakan bahwa hambatan dalam pengembangan agribisnis di Indonesia terletak pada berbagai aspek, antara lain : (1) pola produksi terletak di lokasi yang terpencar, sarana dan prasaran belum memadai di luar Jawa, (2) biaya transportasi menjadi lebih tinggi, (3) adanya pemusatan agroindustri di kota-kota besar , dan (4) sistem kelembagaan kurang mendukung berkembangnya kegiatan agribisnis. Menurut Jaya (2009), agribisnis memerlukan lembaga penunjang termasuk kebijakan pemerintah seperti aspek pembiayaan/keunagan, pendidikan, penelitian, perhubungan dan pertanahan. Lembaga pendidikan dan pelatihan mempersiapkan para pelaku agribisnis yang profesional, sedangkan lembaga penelitian memberikan sumbangan berupa teknologi dan in formasi. Keberadaan lembagalembaga penunjang kebanyakan berada di luar sektor pertanian. Dengan demikian, dapat diartikanbahwa pengembangan sektor pertanian terkait dengan sektor lainnya. Dalam pengelolaan agribisnis, keterkaitan antar pelaku dari berbagai pihak seperti penghasil produk primer, pengolah, pedagang, distributor, importir, eksportir dan lain-lain sangat dibutuhkan. Semakin baik keterkaitan dalam pengelolaan sistem agribisnis, maka semakin besar pula perannya terhadap pemebentukan perekonomian wilayah, terutama dalam memberikan sumbangan terhadap
Produk
Domestik
Bruto
(PDB).
Selain
itu
agribisnis
juga
berperansebagai penyedia bahan kebutuhan hidup (pangan, perumahan dan pakaian), penghasil devisa, pencipta lapangan kerjadan sumber pendapatan masyarakat.
27
Agribisnis sebagai suatu sistem merupakan konsep pengelolaan pertanian secara luas dan utuh yang terdiri dari subsistem-subsistem. Oleh karena itu dalam pengelolaan sistem agribisnis dibutuhkan keterkaitan yang erat dan utuh antar subsistem seperti subsistem input, produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan faktor penunjang atau kinerja sistem agribisnis sangat ditentukan oleh efektivitas masing-masing subsistem. Menurut Tampubolon (2002), pengembangan
agribisnis memeprhatikan
strategi kegiatan yang berusaha semaksimal mungkin untuk mengoptimalkan potensi sumberdaya lokal yang ada (sumber daya alam dan sumber daya sosial budaya) dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Tampubolon(2002)
juga
menyatakan bahwa rancangan pewilayahan pertanian dengan sistem agribisnis adalah suatu hal yang penting karena hal-hal sebagai berikut : 1)
Pembangunan wilayah dan pengembangan agribisnis mengacu pada pewilayahan pertanian terkait erat dengan penggunaan sumberdaya agribisnis secara efisien dan optimal berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif.
2)
Setiap daerah dapat memutuskan jenis industri apa yang dapat dikembangkan agar perkembangan ekonomi daerah dapat optimal, baik dari segi pertumbuhan dan perluasan kesempatan kerja, maupun dalam rangka memaksimalkan PAD dan pelestarian sumberdaya alam. Hal ini mengingat skala ekonomi sangat penting bagi pengembangan sistem agribisnis dari hulu hingga ke hilir.
3)
Berkaitan dengan identifikasi skala ekonomi tersebut,antar pemerintah daerah dapat ditata kerjasama dalam rangka maksimalisasi PAD yang fair.
2.4. Kelembagaan Sistem Agribisnis Rangkaian kegiatan dalam sistem agribisnis digerakkan oleh berbagai kelembagaan. Peranan kelembagaan dalam sistem agribisnis sangat menentukan perkembangan pertanian. Pertanian berwawasan agribisnis memerlukan dukungan rancang bangun kelembagaan, dalam bentuk jaringan kelembagaan agribisnis yang terpadu, sistematis dan berfungsi secara efisien dalam mendukung kegiatan pertanian (Hasibuan, 1999).
28
Kelembagaan agribisnis terdapat dalam bentuk unit-unit usaha dalam subsistem sarana produksi, usaha tani/produksi, pasca panen dan pengolahan serta pemasaran hasil. Kelembagaan agribisnis tersebut secara lebih lengkap terdiri dari dari: (1)
Kelembagaan Sarana Produksi Kelembagaan sarana produksi merupakan kelembagaan ekonomi yang bergerak di bidang produksi, penyediaan dan penyaluran sarana produksi seperti BUMN, Koperasi Unit Desa (KUD) dan usaha perdagangan swasta. Bentuk- bentuk kelembagaan sarana produksi ini antara lain adalah produsen saprodi, distributor/penyalur dan asosiasi.
(2)
Kelembagaan Usaha Tani Produksi Kelembagaan agribisnis yang bergerak di bidang usaha tani/produksi meliputi rumah tangga petani sebagai unit terkecil, kelembagaan tani dalam bentuk kelompok tani, kelembagaan usaha dalam bentuk perusahaan. Unitunit usaha tani dalam bentuk rumah tangga petani meupun kelompok tani merupakan kelembagaanyang melaksanakan fungsi agribisnis di pedesaan. Kelompok tani merupakan bentuk kelembagaan yang lebih maju dan terorganisasi. Bentuk kelembagaan yang lebih modern adalah kelembagaan yang berwujud perusahaan budidaya murni atau perusahaan budidaya terpadu dengan pengolahan (agroindustri).
(3)
Kelembagaan Pasca Panen dan Pengolahan Hasil Kelembagaan yang melakukan usaha di bidang pasca panen antara lain adalah dalam bentuk usaha pengemasan, sortasi, grading, sedangkan kelembagaan usaha di bidang pengolahan (agroindustri) adalah seperti industri pengalengan, jus buah-buahan. Berdasarkan skala usaha, unit usaha di bidang pasca panen dan pengolahan hasil meliputi usaha dalam skala kecil (skala rumah tangga), skala menengah dan skala besar yang tersebar baik di pedesaan maupun perkotaan.
(4)
Kelembagaan Pemasaran Hasil Kelembagaan pemasaran dalam sistem agribisnis menempati posisi yang sangat penting, karena melalui kelembagaan ini arus komoditi atau barang berupa hasil pertanian dari produsen disampaikan kepada konsumen.
29
Kelembagaan tersebut dapat berupa pedagang pengumpul yang ada di daerah produsen (kabupaten/kecamatan), pedagang grosir baik yang adadi dalam wilayah maupun di luar wilayah. Selain jaa perdagangan, dalam kelembagaan pemasaran hasil termasuk juga usaha jasa transportasi hasil pertanian. (5)
Kelembagaan Jasa Layanan Pendukung Di dalam sistem agribisnis terdapat pula subsistem jasa layanan pendukung dengan berbagai kelembagaan yang sangat berbeda fungsinya. Kelembagaan ini sangat menentukan keberhasilan kelembagaan agribisnis dalam mencapai tujuannya. Beberapa kelembagaan jasa layanan pendukung yang dianggap penting adalah : a) Kelembagaan di bidang permodalan Kelembagaan ini sangat bervariasi mulai dari perbankan, dana dari penyisihan keuntungan BUMN, maupun bantuan dana bergulir yang disediakan oleh pemerintah. Kelembagaan permodalan ini menyediakan modal bagi sektor agribisnis baik berbasis komersial murni maupun menyalurkan kredit program yang diskemakan oleh pemerintah. b) Kelembagaan Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan Kelembagaan aparatur terdiri dari kelembagaan yang melakukan pelayanan
dan
penyuluhan,
pengaturan
dan
pembinaan.
Jadi
kelembagaan aparatur juga termasuk organisasi pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah.
2.5. Metode Input-Output Pendekatan sektoral adalah di mana seluruh kegiatan ekonomi di dalam wilayah perencanaan dikelompokkan atas sektor-sektor. Selanjutnya setian sektor dianalisis satu per satu. Setiap sektor dilihat potensi dan peluangnya, menetapkan apa yang dapat ditingkatkan dan di mana lokasi dari kegiatan peningkatan tersebut. Caranya adalah masing-masing sektor diuraikan (break down), sehingga terdapat kelompok-kelompok yang bersifat homogen. Terhadap kelompok yang homogen ini dapat digunakan peralatan analisis yang biasa digunakan untuk kelompok tersebut.
30
Analisis sektoral tidaklah berarti satu sektor dengan sektor yang lain terpisah total dalam analisis. Salah satu pendekatan sektoral yang sekaligus melihat kaitan pertumbuhan antara satu sektor dengan sektor lainnya dan sebaliknya, dikenal dengan nama analisis input-output. Perubahan pada sektor secara otomatis akan mendorong perubahan pada sektor lainnya. Semenjak dirintis oleh W.W. Leontif pada tahun 1930-an, input-output telah berkembang menjadi salah satu metode yang paling luas diterima, tidak hanya untuk mendeskripsikan struktur industri suatu perokonomian saja, tetapi juga dikaitkan dengan teknik-teknik lainnya, untuk memprediksikan perubahanperubahan struktur tersebut. Tabel input-output menggambarkan adanya saling hubungan antara berbagai sektor perekonomian, memusat terutama pada hubungan-hubungan antar industri (Glasson, 1977). Sektor menggambarkan hubungan-hubungan antara sektor-sektor eksternal. Dalam prakteknya, sektor ini tidaklah terlalu penting, terutama berfungsi sebagai faktor yang menyeimbangkan dalam akun keseluruhan. Akhirnya, dengan menjumlah baris-baris diperoleh output total, dan dengan menjumlahkan kolomkolom diperoleh input total harus sama dengan output total dan input dan output dari tiap industri dan sektor-sektor eksternal pun harus saling seimbang. Kombinasi dari keempat sektor ini menggambarkan metode yang rumit untuk mendeskripsikan sesuatu perekonomian dalam bentuk hubungan-hubungan input dan output dan telah diperluas hingga mencakup sejumlah sektor industri dan sektor eksternal dalam beberapa studi nasional. Akan tetapi, perkonomian regional jauh lebih terbuka di mana terdapat banyak sekali transaksi lintas batas dan dengan demikian menimbulkan lebih banyak persoalan. Model input-output termasuk ke dalam model keseimbangan umum. Dalam kerangka model input-output, produksi suatu sektor mempunyai dua dampak ekonomi terhadap sektor lain dalam perekonomian; bila sektor Y meningkat outputnya, maka akan terjadi kenaikan permintaan dari sektornya. Hal tersebut juga mengakibatkan akan terjadi kenaikan permintaan dari sektor akan barangbarang antara yang diproduksi oleh sektor lain. Keterkaitan ini disebut keterkaitan ke belakang (backward linkage) dalam model sisi permintaan, yang menunjukkan peran suatu sektor dalam menciptakan permintaan turunan. Sebaliknya, kenaikan
31
output di sektor Y juga berarti tambahan jumlah produk Y yang tersedia untuk digunakan sebagai input sektor lain dalam produksinya. Hal ini berarti bahwa, akan terjadi kenaikan penawaran dari sektor Y bagi sektor lain yang menggunakan produk Y dalam produksinya. Keterkaitan ini dalam model sisi penawaran disebut sebagai kaitan ke depan (forward linkage) karena menunjukkan derajat pemencaran penggunaan hasil produksi suatu sektor sebagai input bagi sektor lain. Konsep dasar yang dikembangkan oleh Leontif adalah : (1) struktur perekonomian tersusun dari berbagai sektor (industri) yang satu sama lain berinteraksi melalui transaksi jual beli, (2) output suatu sektor dijual kepada sektor-sektor lainnya untuk memenuhi permintaan akhir, (3) input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya, dan rumah tangga (dalam bentuk jasa tenaga kerja), pemerintah (misalnya pembayaran pajak tidak langsung, penyusutan), surplus usaha serta impor, (4) hubungan input dengan output bersyarat linier, (5)dalam suatu kurun waktu analisis (biasanya satu tahun), total input sama dengan total output dan (6) suatu sektor terdiri dari satu atau beberapa perusahaan dan output tersebut diproduksikan oleh teknologi (Issard, 1975). Tabel input-output pada dasarnya merupakan sistem penyajian data statistik tentang transaksi barang dan jasa antar sektor ekonomi yang terjadi di suatu wilayah. Namun demikian, tabel input-output tidak mampu memberikan informasi tentang persediaan serta arus barang dan jasa secara rinci menurut komoditi. Semua informasi yang dimuat oleh tabel input-output terbatas pada informasi untuk sektor ekonomi, yang merupakan gabungan dari berbagai kegiatan ekonomi atau komoditi (BPS, 2008). Menurut BPS (2008), meskipun memiliki keterbatasan, tabel input-output tetap merupakan sumber informasi yang komprehensif dalam melakukan berbagai analisis ekonomi. Berdasarkan tabel input-output antar lain dapat dikembangkan suatu model yang selanjutnya dapat dimanfaatkan dalam melakukan evaluasi, analisis dan perencanaan pembangunan di bidang ekonomi. Tabel input-output sebagai suatu sistem pencatatan transaksi disusun berdasarkan beberapa asumsi. Asumsi-asumsi tersebut antara lain adalah :
32
1.
Homogenitas (homogenity), yaitu asumsi bahwa kenaikan satu sektor hanya akan menghasilkan satu jenis output dengan struktur input yang tunggal dan tidak ada substitusi otomatis antar output dari sektor yang berbeda
2.
Proporsionalitas
(proportionality),
yaitu
asumsi
bahwa
kenaikan
penggunaan input oleh suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan output yang dihasilkan oleh sektor tersebut. 3.
Aditivitas (additivity), yaitu bahwa asumsi jumlah pengaruh dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan hasil penjumlahan dari setiap proses produksi masing-masing sektor secara terpisah,pengaruh yang timbul dari luar sistem input-output diabaikan. Tabel input-output disajikan dalam bentuk matriks, yaitu sistem penyajian
data yang menggunakan dua dimensi : baris dan kolom. Isian sepanjang baris menunjukkan pengalokasin atau pendistribusian dari output yang dihasilkan oleh suatu sektor dalam memenuhi permintaan antara oleh sektor lainnya dan permintaan akhir, sedangkan isian sepanjang kolom menunjukkan struktur input yang digunakan oleh masing-masing sektor dalam kegiatan produksinya. Sesuai dengan sifat dan jenis transaksinya, secara umum matriks dalam tabel input dapat dikelompokkan menjadi empat kuadran sebagai berikut: Tabel 4. Kerangka Penyajian Tabel Input-Output Kuadran I
Kuadran II
(nxn)
(nxm)
Kuadran III
Kuadran IV
(pxn)
(pxm)
Isian dari kuadran I adalah informasi tentang transaksi barang dan jasa yang digunakan dalam kegiatan produksi. Kuadran I sering disebut juga sebagai input/permintaan antara untuk menegaskan bahwa semua transaksi pada kuadran ini hanya merupakan “antara” untuk diproses lanjut dan bukan untuk keperluan konsumsi akhir. Kuadran ini menunjukkan saling keterkaitan antar sektor ekonomi dalam melakukan kegiatan produksi. Kuadran II mencakup dua jenis transaksi, yaitu transaksi permintaan akhir dan komponen penyediaan. Permintaan akhir yang dimaksudkan dalam hal ini
33
adalah permintaan atas barang dan jasa selain yang digunakan dalam kegiatan/proses produksi. Permintaan akhir pada umumnya dirinci lebih lanjut ke dalam
komponen-komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga, konsumsi
pemerintah, pembentukan modal tetap, dan perubahan stok dan ekspor. Sedangkan yang dimaksud dengan penyediaan adalah semua barang dan jasayang digunakan untuk memenuhi permintaan baik permintaan antara maupun akhir. Komponen penyediaan terdiri dari impor, margin perdagangan dan biaya pengangkutan sertaoutput dari sektor-sektor domestik. Informasi pada kuadran III berupa informasi input primer atau nilai tambah bruto (NTB) sehingga kuadran ini sering disebutkuadran nilai tambah bruto atau input primer. Input primer adalah input atau biaya yang timbul karena pemakain faktor produksi dan terdiri dari upah gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung netto. Kuadran IV memuat informasi tentang input primer yang didistribusikan ke sektor-sektor permintaan akhir. Namun demikian, kuadran ini bukan merupakan tabel pokok dan untuk beberapa alasan dalam penyusunan tabel input-output Indonesia, kuadran ini diabaikan. Berdasarkan asumsi tersebut, maka model yang dikembangkan berdasrkan tabel input-output memiliki berbagai keterbatasan. Keterbatasan tersebut antara lain adalah pada rasio input yang diasumsikan konstan selama periode analisis, sehingga perubahan susunan input atau perubahan teknologi dalam kegiatan produksi tidak dapat dideteksi menggunakan model input-output. Asumsi-asumsi tersebut juga menegaskan bahwa pelipatgandaan input di suatu sektor akan menghasilkan pelipatgandaan output yang sebanding. Hal tersebut berarti bahwa peningkatan output di suatu sektor hanya disebabkan oleh peningkatan inputnya dan bukan dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi yang digunakan seperti perubahan teknologi, peningkatan produktivitas faktor-faktor produksi dan lain sebagianya. Hal tersebut juga berarti bahwa harga dan kuantitas input dalam model input-output akan selalu sebanding dengan perubahan harga dan kuantitas outputnya. Transaksi yang disajikan pada tabel input-output dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu transaksi total dan transaksi domestik. Transaksi total
34
mencakup semua transaksi barang dan jasa, baik yang berasal dari impor maupun dari produk sektor domestik. Sedangkan pada transaksi domestik hanya mencakup transaksi barang dan jasa yang dihasilkan di wilayah dalam negeri (domestik). Selain itu, penilaian atas transaksi yang disajikan dalam tabel input-output dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penilaian atas dasar harga produsen dan atas dasar harga pembeli (konsumen). Jika penilaiannya dilakukan atas dasar harga produsen, maka nilai transaksinya hanya mencakup harga barang dan/ jasa yang dibayarkan kepada produsen barang /jasa tersebut. Sedangkan nilai transaksi atas dasar harga pembeli (konsumen) di samping mencakup harga yang dibayarkan kepada produsen juga mencakup margin perdagangan dan biaya pengangkutan yang timbul dari kegiatan penyaluran barang/jasa dari produsen ke konsumennya. Berdasarkan uraian di atas, maka jenis-jenis tabel transaksi yang dapat disajikan dalam penyusunan tabel input-output akan terdiri dari (a) tabel transaksi total atas dasar harga konsumen, (b) tabel transaksi total atas dasar harga produsen, (c) tabel transaksi domestik atas dasar harga konsumen, (d) tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen. Produk yang dihasilkan oleh produsen pada umumnya melalui proses penyaluran terlebih dahulu agar dapat sampai ke produsen. Akibat dari proses penyaluran tersebut, maka timbul selisih dari harga produk yang diterima oleh produsen dengan harga yang harus dibayar oleh pembeli(konsumen). Harga yang diterima oleh produsen disebut sebagai harga pembeli dan harga yang dibayar oleh pembeli disebut harga pembeli. Margin perdagangan dan biaya pengangkutan adalah selisih harga pembeli dan harga produsen. Berdasarkan klasifikasi sektor tabel input-output yang dikeluarkan oleh BPS, komoditi hortikultura yang masuk ke dalam klasifikasi tabel input-output BPS antara lain adalah buah-buahan dan sayur-sayuran. Hortikultura masuk ke dalam sektor pertanian, khusunya adalah tanaman bahan makanan. Susunan input sektor pertanian dirinci atas input antara dan input primer.Input antara lain adalah seluruh biaya selain biaya faktor produksi yang dikeluarkan mulai dari mengolah tanah, menanam, memelihara, memanen dan mengangkut hasil produksi ke gudang petani/ tempat penjualan. Beberapa contoh yang dimasukkan ke dalam
35
biaya bibit, pupuk, perbaikan saluran irigasi, obat-obatan, bahan-bahan atau alatalatnya yang digunakan (bukan barang modal), sewa alat pertanian, bahan pengikat, pembungkus, biaya administrasi, biaya pengangkutan dan lain sebainya. Jenis-jenis transaksi yang dapat disajikan dalam penyusunan tabel input-output adalah (1) tabel transaksi total atas dasar harga pembeli, (2) tabel transaksi total atas dasar harga produsen, (3) tabel transaksi domestik atas dasar harga pembeli dan (4) tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen. Analisis tabel I-O hanya melihat kondisi perekonomian pada satu tahun tertentu, oleh karena itu idealnya tabel I-O dibuat setiap tahun. Namun untuk melakukan kegiatan tersebut tidaklah mudah, karena survei dilakukan secara komprehensif untuk seluruh sektor perekonomian dalam waktu yang lama dan biaya yang besar. Berdasarkan kondisi tersebut, berkembang metode pembuatan tabel I-O dengan pendekatan lain yakni melakukan penyesuaian tabel I-O yang sudah ada untuk merefleksikan kondisi perekonomian saat ini (updating). Selain itu
berkembang
juga
pendekatan
lain,
yaitu
menggunakan
informasi
perekonomian tabel I-O suatu daerah untuk diterapkan pada daerah lain (derivasi). Dengan dua pendekatan tersebut, maka tabel I-O dapat dimodifikasi setia tahun dan dapat dibuat di setiap daerah (Miller dan Blair, 1985, dalam Samiun 2008). Metode updating dikenal juga dengan sebutan metode survei parsial, karena tidak perlu melakukan survei secara komprehensif seperti pembuatan tabel I-O metode survei. Dengan metode ini, data yang diperlukan adalah matriks koefisien input atau koefisien teknologi (sebagai tabel dasar), total output, total permintaan antara dan total input antara masing-masing sektor. Derivasi tabel I-O atau sering juga disebut sebagai metode non survei dilakukan apabila suatu daerah sama sekali belum mempunyai tabel I-O, oleh karena itu harus menggunakan tabel daerah lain untuk dijadikan sebagai tabel dasar untuk menderivasi. Glasson (1977), tabel input-output regional membutuhkan dua tipe informasi : pertama data akunting regional dan kedua adalah taksiran arus inter regional dan antar industri. Salah satu persoalan penting terkait tabel I-O adalah masalah mendisagregasikan input antar industri. Metode yang paling populer agaknya adalah mensurvei industri-industri di dalam daerah-daerah yang bersangkutan untuk mengidentifikasi komposisi inputnya. Akan tetapi hal ini
36
biasanya tidak dapat ditempuh karena pertimbangan biaya dan cenderung untuk diganti dengan mendisagregasikan data input-output nasional. Jadi, misalnya 10% input untuk industri teknik secara nasional berasal dari industri manufakturing, maka juga diasumsikan bahwa 10% input industri teknik regional berasal dari industri manufakturing. Penggunaan keofisien-koefisien input nasional ini memang sangat menghemat dalam pengumpulan data dan mungkin tidak begitu menyesatkan, asalkan teknologi yang digunakan oleh industri yang sama di daerah-daerah lain.
2.6. Penelitian-Penelitian Yang Terkait Dengan Kajian Sumunaringtyas (2010) mengkaji mengenai peran agribisnis hortikutura dalam perekonomian wilayah dengan studi kasus di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat.Dalam penilitian ini, salah satu analisis yang digunakan adalah analisis input output. Di mana sektor stroberi, buah-buahan, kentang dan sayur-sayuran memiliki kontribusi yang rendah terhadap kontribusi PDRB dan jumlah output total. Kontribusi PDRB sektor stroberi, , buah-buahan, kentang dan sayur-sayuran terhadap total PDRB masing-masing adalah 0,06%, 1,09%,0,11% dan 0,66%. Kontribusi output total sektor stroberi, buah-buahan, kentang dan sayur-sayuran adalah 0,04%,1,86%,0,07% dan 1,2%. Sektor hortikultura memiliki keterkaitan yang lebih kuat dengan sektor hulunya dibandingkan dengan sektor hilirnya. Sektor hortikultura terkait ke belakang cukup kuat dengan sektor industri pengolahan. Sektor industri pengolahan manghasilkan output yan digunakan sebagai input oleh sektor-sektor hortikultura. Hotman (2006) mengkaji mengenai Peran Sektor Tanaman Bahan Makanan dalam pembangunan ekonomi di Propinsi Sumatera Utara menggunakan pendekatan analisis input-output 2002 berdasarkan updating. Dalam analisa keterkaitan, diperoleh bahwa subsektor sayuran merupakan sektor dengan keterkaitan langsung ke belakang terbesar baik keterkaitan langsung maupun total dibandingkan dengan sektor tanaman bahan makan lainnya. Hasil lainnya adalah bahwa sektor tanaman bahan makanan memiliki keterkaitan langsung ke belakang terbesar terhadap sektor industri karet, plastik, kimia dan pupuk dengan nilai 0,11429. Sektor tanaman bahan makanan di Provinsi Sumatera Utara mempunyai
37
keterkaitan tertinggi ke depan teringgi dengan sektor industri makanan, minuman dan tembakau. Jaya (2009) melakukan penelitian mengenai kebocoran wilayah dalam komoditas kayu manis rakyat di kabupaten Kerinci, Jambi. Dalam penelitian ini, salah satu analisis yang digunakan adalah analisis input-output. Peran sektor kayu manis dalam perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci antara lain (1) output sektor kayu manis berkontribusi 5,58% terhadap keseluruhan nilai output, (2) nilai tambah bruto sektor kayu manis berkontribusi sebesar 6,35% terhadap keseluruhan nilai tambah bruto. Hasil analisis indikasi kebocoran wilayah menunjukkan bahwa sektor kayu manis terbukti memilki indikasi kebocoran ke depan dan kebocoran ke belakang berdasarkan nilai forward linkage dan backward linkage yang kurang dari 1 (satu). Samiun (2008) mengkaji tentang Analisis Perekonomian Provinsi maluku Utara : Pendekatan Multisektoral. Pada penelitian tersebut, penulis melakukan updating tabel input-output Provinsi Maluku Utara dengan menggunakan metode RAS. Tabel Input-output dilakukan untuk mengkaji sektor unggulan di Provinsi Maluku Utara. Berdasarkan hasil kajian tersebut diperoleh hasil bahwa input primer memiliki kontribusi 43,80% terhadap total input, input antara sebesar 46,07% dan impor 10,13%. Kontribusi input antar lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontribusi input primer. Penelitian di atas mengacu pada konsep sektor unggulan dengan tidak hanya berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif saja, tetapi juga berdasarkan keterkaitan sektor tersebut dengan sektor lainnya. Sitanggang (2002) melakukan penelitian tentang Peran Sektor Agroindustri Tehadap Perekonomian Sumatera Utara, Analisis Tabel Input Output tahun 2000. Dari hasil kajiannya terlihat bahwa sektor agroindustri memiliki nilai keterkaitan langsung ke belakang dan keterkaitan tak langsung ke belakang lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya masing 0,68 dan 1,9. Berbeda dengan keterkaitan langsung ke depan dengan nilai 0,35 lebih rendah bila dibandingkan sektor pertanian dan non agroindutri, sedangkan keterkaitan tidak langsung ke depannya sebesar 1,77 lebih rendah dibanding sektor perdagangan dan pertambangan, namun lebih besar dibanding sektor pertanian dan non agroindustri.
38
Suryawardana (2006) melakukan kajian mengenai analisis keterkaitan sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur. Pada penelitian ini juga menggunakan tabel input-output Provinsi Jawa Timur 2000 (100 sektor) menjadi tabel inputoutput Provinsi Jawa Timur 2003 (44 sektor). Pada kajian ini juga dilakukan agregasi atau reklasifikasi terlebih dahulu sebelum dilakukan updating dengan metode RAS. Menurut Jalili (2006), untuk berbagai alasan input-output peneliti memperbarui tabel input-output dengan melakukan agregasi terhadap sektorsektor yang ada. Hal ini memberikan pengaruh terhadap (1) efek dari agregasi pada keakuratan hasil yang diperoleh berdasarkan metode yang dipilih, dan (2) efek dari agregasi terhadap stabilitas antar waktu koefisien input-output. Tabel input-output yang lebih rinci atau detil dapat memberikan informasi yang lebih banyak, tetapi dengan tujuan tertentu peneliti melakukan agregasi. Penyusunan tabel input-output dengan metode survei memang lebih akurat, tetapi hal tersebut selain memerlukan biaya juga terdapat lag atau waktu anatar survei, pengolahan data dan penerbitan. Updating tabel input-output dengan metode non survei merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Dalam penelitiannya, dilakukan perbandingan terhadap berbagai metode updating tabel input-output apabila dilakukan agregasi. Hasil kajian menujukkan bahwa metode RAS adalah metode yang paling efisien di antara metode-metode lainnya. Metode RAS juga memiliki keunggulan dibandingkan metode-metode lainnya yaitu NAIVE dan Langrangian. Jackson dan Murray (2003) juga mengkaji mengenai berbagai metode updating tabel input-output. Berdasarkan kajian tersebut, metode RAS merupakan metode yang banyak digunakan karena memiliki kelebihan-kelebihan tertentu. Metode ini merupakan metode yang paling rasional, sehingga umum digunakan. Metode RAS dapat bekerja pada matriks ukuran besar dan mengakomodir nilai positif dan negatif dari matriks tersebut.