III. KERANGKA TEORI 3.1. Fungsi Produksi Fungsi produksi dapat didefinisikan sebagai hubungan secara teknis dalam transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara hubungan input dengan output (Debertin, 1986; Doll dan Orazem, 1984). Secara umum hubungan antara input-output untuk menghasilkan produksi suatu komoditi pertanian (Y) secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut : Y = f (x1, x2, x3, x4)
…….………………………………………..(1)
dimana : Y x1 x2 x3 x4
= Output (Kg/ha) = Luas areal produksi (ha) = Jumlah modal (Rp/ha) = Tenaga kerja (HOK/ha) = Faktor produksi lainnya
Produsen yang rasional berusaha memaksimumkan keuntungannya pada tingkat produksi optimum dengan tingkat harga tertentu. Keuntungan maksimum harus memenuhi syarat FOC (First Order Condition) dan SOC (Second Order Condition). Syarat pertama dipenuhi apabila turunan pertama dari fungsi keuntungan sama dengan nol, yang berarti produktivitas marginal faktor produksi sama dengan harga faktornya, sedangkan syarat kedua yang harus dipenuhi yaitu, jika fungsi produksinya cembung, dan nilai determinan Hessian lebih besar dari nol (Koutsoyiannis, 1979). Jika digambarkan secara sederhana fungsi produksi dari minyak sawit kasar adalah : Y= f ( A, M, Z) ..………………………………………………………...(2)
38
dimana : Y A M Z
= Jumlah produksi minyak sawit (Kg) = Luas areal produksi (ha) = Jumlah modal (unit) = Jumlah tandan buah segar (unit)
Pada tingkat harga produksi minyak sawit tertentu (HY), maka fungsi keuntungan produksi minyak sawit dapat dirumuskan sebagai berikut : π = HY * f (A, M, Z) – HA * A – HM * M – HZ * Z...………………. (3) dimana: π HY HA HM HZ
= keuntungan (Rp/kg) = harga minyak sawit (Rp/kg) = harga faktor produksi A (Rp/ha) = harga faktor produksi M (Rp/unit) = harga faktor produksi Z (Rp/unit)
Fungsi keuntungan maksimum diperoleh jika turunan pertama dari fungsi keuntungan sama dengan nol dan turunan keduanya mempunyai nilai Hessian Determinan lebih besar dari nol. Dengan melakukan prosedur penurunan secara matematis dari persamaan 3 di atas maka diperoleh : ∂y ∂y ∂π = HY * − HA = 0 atau HY * = HA ………………………(4) ∂A ∂A ∂A ∂π ∂y ∂y = HY * − HM = 0 atau HY * = HM ………….………(5) ∂M ∂M ∂M ∂π ∂y ∂y = HY * − HZ = 0 atau HY * = HZ …………...…………(6) ∂Z ∂Z ∂Z
Dimana
∂y ∂y ∂y , dan adalah produk marginal dari masing-masing ∂Z ∂A ∂M
faktor produksi. Oleh sebab itu keuntungan maksimum diperoleh jika produk marginal sama dengan rasio harga faktor produksi terhadap harga produk. Dapat juga dikatakan bahwa keuntungan maksimum diperoleh jika nilai produk marginal
39
sama dengan harga faktor produksinya (NPM = HFP). Dari persamaan 4, 5 dan 6, fungsi permintaan faktor produksi oleh petani dirumuskan sebagai berikut : A = g (HA, HY, HM, HZ) ..………………………………………...(7) M = h (HM, HY, HA, HZ) .…...……………………………………..(8) Z = i (HZ, HY, HA, HM) .…..………………………………………(9) Dengan mensubstitusikan persamaan 7, 8 dan 9 ke persamaan 2 maka diperoleh fungsi penawaran minyak sawit sebagai berikut : Qs = qs ( HY, HA, HM, HZ) ..…………………………………………(10) Dolan (1974), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi, yaitu harga komoditi itu sendiri, harga komoditi lain (sebagai substitusinya), biaya faktor produksi, biaya perusahaan, tujuan perusahaan, tingkat teknologi, pajak, subsidi, harapan harga dan keadaan alam. 3.2. Permintaan Minyak Sawit Kasar oleh Industri Minyak Goreng Sawit Sebagai bahan baku untuk industri minyak goreng, permintaan terhadap minyak sawit kasar dapat diturunkan melalui fungsi permintaan turunan (derived demand), yaitu melalui fungsi keuntungan. Secara rasional, produsen akan berproduksi pada tingkat dimana keuntungan yang diperolehnya dalam keadaan maksimum (Debertin, 1986; Henderson dan Quant, 1980; Beattie dan Taylor, 1985). Dalam kondisi ini input yang digunakan berada dalam jumlah yang optimal. Bila Π adalah profit, P adalah harga output Y dan ri adalah harga input Xi, maka persamaan profit dapat dituliskan sebagai berikut :
Π = P.Y − ∑ ri .X i ……………………………………………………….(11)
40
dengan menurunkan fungsi di atas terhadap masing-masing input maka diperoleh :
δΠ / δX i = P. δY / δX i − ri = 0 .......…………………………………...…..(12) atau P.PMi = ri ………………………………………………………………..(13) dimana PMi adalah produk marjinal dan P.PMi adalah nilai dari produk marjinal dari input i. Pada persamaan di atas, penggunaan input yang optimal dicirikan oleh kondisi dimana nilai produk marjinal dari masing-masing input (P.PMi) sama dengan harga input yang bersangkutan. Implikasi dari kondisi ini adalah permintaan suatu input oleh industri sangat dipengaruhi oleh harga input yang bersangkutan (r), harga output (P) dan teknologi produksi (PMi). Disamping itu, permintaan suatu input dapat pula dipengaruhi oleh harga input substitusi dan faktor lain yang dapat mendistorsi pasar. Pada industri minyak goreng sawit, permintaan terhadap minyak sawit kasar selain dipengaruhi oleh harga minyak sawit kasar, juga dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit, harga input alternatif yaitu minyak inti sawit dan tingkat bunga. Dalam model ekonomi, permintaan input tersebut dituliskan sebagai berikut : D t = f (Pc t , Pk t , Pt , i t , D t −1 ) ……………………………………………(14) dimana Dt adalah permintaan minyak sawit kasar oleh industri minyak goreng sawit, Pct adalah harga minyak sawit kasar, Pt adalah harga minyak goreng sawit, Pkt adalah harga minyak inti sawit, it adalah tingkat bunga, dan Dt-1 adalah permintaan minyak sawit kasar pada tahun sebelumnya.
41
3.3. Permintaan Minyak Goreng Sawit oleh Konsumen Secara umum, fungsi permintaan konsumen terhadap suatu barang diturunkan dari fungsi utilitas konsumen. Diasumsikan fungsi utilitas konsumen adalah : U = u (Cs, Cn ) ………………………………………………………….(15) dimana U adalah total utilitas konsumen dari konsumsi minyak goreng sawit (Cs) dan minyak goreng non sawit (Cn). Konsumen yang rasional akan berupaya memaksimumkan utilitas pada tingkat harga yang berlaku dan sesuai dengan kendala pendapatan (I). Ps * C s + Pn * C n = I …………………………………………………....(16) atau Ps * C s + Pn * C n − I = 0 dimana Ps adalah harga minyak goreng sawit dan Pn adalah harga minyak goreng non sawit. Dengan pendekatan Lagrangian Multipliers, persoalan maksimisasi berkendala di atas dapat dinyatakan sebagai berikut. Maksimum : U = u (Cs, Cn ) dengan kendala : Ps * C s + Pn * C n = I Fungsi komposit berupa gabungan dari kedua fungsi di atas atau disebut sebagai fungsi Lagrangian dapat ditulis sebagai berikut. φ = U = u (Cs , C n ) − λ (Ps * C s + Pn * C n − I) ……………………………...(17) Untuk mendapatkan utilitas maksimum, maka syarat pertama adalah turunan parsial dari fungsi Lagrangian harus sama dengan nol. ∂U ∂φ = − λ (Ps ) = 0 ∂C s ∂C s
…………………………..…………..(18)
42
∂φ ∂U = − λ (Pn ) = 0 ∂C n ∂C n
…………………………..…………..(19)
∂φ = − (Ps * C s + Pn * C n − I) = 0 …………………………..…………..(20) ∂λ
dari persamaan (18), (19) dan (20) di atas diperoleh : ∂U / ∂Cs ∂U = λ(Ps ) atau λ = Ps ∂Cs
….……………………………….(21)
∂U = λ (Pn ) ∂C n
….……………………………….(22)
λ=
∂U / ∂C n Pn
Ps * C s + Pn * C n = I
….……………………………….(23)
sedangkan ∂U / ∂Cs = MU s dan ∂U / ∂C n = MU n maka :
dan
λ = MU s / Ps = MU n / Pn
…………………………………..(24)
MU s / MU n = Ps / Pn = MRS s ,n
…………………………………..(25)
yang menyatakan bahwa kepuasan konsumen akan maksimum pada kondisi dimana rasio marjinal utilitas terhadap harga sama untuk semua komoditi, yaitu sebesar koefisien pengganda Lagrangian ( λ ). Penyelesaian Ps dan Pn pada persamaan (25) dan kemudian substitusikan ke dalam persamaan (23), maka dapat diperoleh fungsi permintaan terhadap minyak goreng sawit, yaitu : C s = f (Ps , Pn , I)
…………………………………...(26)
yang menyatakan bahwa konsumsi atau permintaan konsumen terhadap minyak goreng sawit ditentukan oleh harga minyak goreng sawit itu sendiri, harga komoditi alternatif, dan pendapatan konsumen. Dengan asumsi bahwa permintaan tersebut bersifat dinamis maka elastisitas permintaan minyak goreng sawit terhadap harga minyak goreng sawit, harga
43
minyak goreng non sawit, dan terhadap pendapatan dapat dihitung, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut Dolan, (1974) permintaan suatu barang dipengaruhi oleh harga barang tersebut, harga barang lain, selera, pendapatan, distribusi pendapatan, jumlah penduduk dan harapan harga. 3.4. Respon Bedakala Produksi Komoditi Pertanian Seperti yang kita ketahui, bawah karakteristik utama
produk pertanian
adalah adanya tenggang waktu (gestation period) antara menanam dengan memanen. Hasil yang diperoleh petani yang didasarkan pada perkiraan-perkiraan di masa mendatang serta pengalamannya di masa lalu. Karena pada kenyataannya komoditi pertanian, harga output tidak dapat dipastikan saat produk itu ditanam. Dengan kata lain bahwa, para petani harus mengambil keputusan produksi berdasarkan perkiraan atas harga produknya tahun lalu. Persoalan di atas mengacu pada bedakala (lag) di antara dua periode, yaitu saat penanaman dan panen. Respon petani terjadi setelah bedakala sebagai dampak perubahan pada harga-harga input dan produk serta kebijakan pemerintah. Jika peningkatan harga ini diperkirakan petani akan bertahan terus pada periode berikutnya maka petani merubah komposisi sumberdayanya pada masa tanam mendatang, sehingga pengaruh kenaikan harga tersebut terlihat pada periode tanam berikutnya. Bila praduga adanya ekspektasi demikian dapat diterima maka hubungan-hubungan yang spesifik di antara harga harapan dengan harga di masa lalu dapat dibuat. Sehingga model dapat dikembangkan menjadi dinamik yang dirintis antara lain oleh Nerlove melalui penyesuaian parsial. Nerlove (1958), mengemukakan bahwa, para petani setiap saat periode produksi merevisi dugaan mereka terhadap apa yang mereka anggap sebagai
44
proporsi yang normal terhadap perbedaan yang terjadi dengan yang sebelumnya dianggap normal. Dengan kata lain, petani menyesuaikan prakiraan harga di masa mendatang dalam bentuk proporsi dari selisih antara prakiraan dengan kenyataan. 3.4.1. Model Nerlove Model penyesuaian parsial (Nerlove’s Model), didasarkan atas hipotesis perilaku satuan-satuan ekonomi yang lebih realistis dalam bentuk model-model lag. Model penyesuaian parsial yang dikembangkan Nerlove merupakan model yang populer digunakan dalam studi-studi ekonometrika dalam hal ini respon penawaran. Dalam bentuknya yang paling sederhana misalnya dalam konteks respon areal kelapa sawit. Areal panen kelapa sawit yang diinginkan (Yt* ) dipengaruhi oleh tingkat harga komoditi ( Pt ) , maka persamaannya dituliskan sebagai berikut : Yt * = β 0 + β1 Pt + U t ….………………………………………………….(27)
dimana : Yt *
= areal panen yang diinginkan tahun ke t
Pt
= harga tahun ke t
Pada persamaan di atas perubahan Yt * tidak teramati (not observable) karena masih merupakan target (bukan aktual), atau dengan kata lain areal yang diharapkan tidak dapat diamati secara langsung sehingga untuk mengatasinya didalilkan suatu hipotesis yang merupakan hipotesis perilaku penyesuaian parsial. Oleh karena itu peubah ini harus diganti untuk menaksir modelnya dengan menghipotesiskan perilakunya, sebagai berikut ini :
(
)
Yt − Yt −1 = δ Yt* − Yt −1 + Vt .……………………...……………………..(28)
45
dimana : Yt − Yt −1 = perubahan yang sesungguhnya Yt * − Yt −1 = perubahan yang dibutuhkan
δt
= koefisien penyesuaian parsial dan nilainya ( 0 < δ ≤ 1 )
Perubahan areal yang sebenarnya terjadi merupakan proporsi tertentu dari perubahan yang diinginkan. Proporsi ini disebut koefisien penyesuaian parsial (δ), jika nilai δ = 0, berarti tidak ada perubahan apapun dalam areal, dan jika δ = 1, maka areal yang diharapkan sama dengan yang dibutuhkan. Areal panen kelapa sawit yang diamati pada periode tahun ke-t dipengaruhi oleh luas areal yang diinginkan dan luas areal yang ada pada permulaan periode sebelumnya. Substitusikan persaman 27 ke persamaan 28, maka akan diperoleh persamaan berikut ini: Yt − Yt −1 = δ [(β 0 + β 1 Pt + U t ) − Yt −1 ] + Vt …………………………….…(29) Yt = δβ 0 + δβ 1 Pt + (1 − δ )Yt −1 + (Vt + δU t ) …......……………………….(30) dimana : δ β0 adalah konstanta, δ β1 dan (1-δ) adalah paremeter yang diduga sedangkan (Vt + δUt) adalah merupakan peubah pengganggu. Persamaan di atas menunjukkan suatu fungsi dalam bentuk yang dinamis. Untuk mengetahui dalam model ini apakah galat tidak mengalami korelasi serial dapat diuji dengan melihat nilai perhitungan uji Durbin Watson (Koutsoyiannis, 1977). Nerlove (1958), mengemukakan bahwa tidaklah mudah untuk menghitung elastisitas penawaran jangka pendek karena sebenarnya merupakan elastisitas titik (point elasticity) sehingga nilainya berubah-ubah pada titik yang berbeda. Adapun elastisitas
jangka
panjang
sukar
dihitung
secara
langsung.
Sehingga
ditawarkannya cara baru dengan model distribusi beda kala penyesuaian parsial.
46
Elastisitas jangka pendek selalu lebih kecil daripada jangka panjang karena dalam periode jangka panjang dapat terjadi pergeseran fungsi penawaran dan penyesuaian sumberdaya. Dia berpendapat masalah formulasi hubunganhubungan ekonomi yang memasukkan distribusi beda kala terletak pada bagaimana memformulasikan hubungan-hubungan di antara peubah yang dapat diamati. Masalah pada dugaan distribusi beda kala sesungguhnya terletak pada dugaan elastisitas jangka panjang. 3.4.2. Model Respon Penawaran Minyak Sawit Model empiris yang digunakan dalam studi ini pada dasarnya menggunakan model penyesuaian Nerlove, seperti yang telah dilakukan oleh Nainggolan dan Suprapto (1987), dimana untuk memperoleh dugaan penawaran dilakukan dengan menggunakan pendugaan tak langsung. Dalam bentuk sederhana output dispesifikasikan sebagai perkalian antara luas panen dan produktivitas, sehingga dapat dituliskan: Q = A * Y ……………………………………………………………….(31) dimana : Q = output (Kg) A = luas areal panen (ha) Y = produktivitas (Kg/ha) Dalam bentuk logaritma natural (ln) ln Q = ln A + ln Y ………….………………………………………..(32) Selanjutnya diasumsikan bahwa produktivitas (Y) dan luas panen (A) respon terhadap perubahan harga (P), juga diasumsikan bahwa produktivitas respon terhadap perubahan areal. Jika didiferensialkan secara total terhadap harga (P), maka akan diperoleh :
47
1 dQ 1 dA 1 dY = + ..……………………………………………….(33) Q dP A dP Y dP dY ∂Y ∂Y ∂A + = dP ∂P ∂A ∂P
…………………………………………………..(34)
Artinya bahwa perubahan produktivitas karena terjadi perubahan harga terdiri atas perubahan produktivitas secara partial terhadap harga dan perubahan produktivitas karena terjadi perubahan areal akibat dari perubahan harga. Apabila persamaan 34 disubstitusikan ke dalam persamaan 33, maka akan diperoleh penjabaran sebagai berikut :
1 dQ 1 dA 1 ⎛ ∂Y ∂Y ∂A ⎞ = + ⎜ + ⎟ ……….……………………………(35) Q dP A dP Y ⎝ ∂P ∂A ∂P ⎠ Jika kedua ruas kiri dan ruas kanan dikalikan dengan P, maka: dQ P dA P dY P dY dA P A .………………………………(36) = + + dP Q dP A dP Y dA dP Y A
dQ P dY P dA P ⎛ dY A ⎞ = + ⎜1 + ⎟ ……...…………………………..(37) dP Q dP Y dP A ⎝ dA Y ⎠ Jika dinyatakan dalam bentuk elastisitas maka : E(Q,P) = E(Y,P) + E(A,P) (1 + E(Y,A) )
…………………………………….(38)
dimana : E(Q,P) E(Y,P) E(A,P) E(Y,A)
= Elastisitas penawaran (produksi) = Elastisitas produktivitas terhadap harga = Elastisitas luas panen terhadap harga = Elastisitas produktivitas terhadap areal panen
Sehingga dengan demikian maka respon penawaran secara agregat (E(Q,P)) dapat diduga secara tidak langsung dengan menduga terlebih dahulu elastisitas produktivitas terhadap harga, elastisitas luas panen terhadap harga dan elastisitas produktivitas terhadap areal.
48
Untuk mendapatkan nilai kuantitatif dari respon suatu fungsi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya, dapat digunakan konsep elastisitas. Untuk model yang dinamis dapat dihitung elastisitas jangka pendek dan jangka panjang. Adapun persamaan untuk mendapatkan nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang adalah : Elastisitas Jangka Pendek (ESR) ESR =
∂Yt X X * = b ...………………….………………….……..(39) ∂X t Y Y
Elastisitas Jangka Panjang (ELR) ELR =
ESR .………………………………..………………………….(40) 1 − blag
dimana : b blag X Y
= parameter dugaan dari peubah eksogen = parameter dugaan dari lag endogen = rata-rata peubah eksogen = rata-rata peubah endogen
3.5. Surplus Produsen dan Surplus Konsumen Compensating variation (CV) dan equivalent variation (EV) digunakan untuk mengukur kesejahteraan pertama kali diajukan oleh John R. Hicks. Ukuran ini berhubungan dengan pengukuran kesejahteraan klasik dari ilmu ekonomi kesejahteraan lama, tapi tidak menderita kekurangan yang sama. Yang paling penting, pengukuran ini bisa langsung digunakan dalam melakukan tes kompensasi dari ekonomi kesejahteraan yang baru (Just, Hueth, dan Schmitz, 1982). Dalam ilmu ekonomi kesejahteraan, pertimbangan yang berbeda timbul antara perumusan teoritis dari suatu masalah atau isu dan pengukuran aktual
49
secara kuantitatif dari efek kesejahteraan. Ketika ilmu ekonomi kesejahteraan dibawa ke tingkat empiris, peneliti harus concerned tentang apakah variabel yang relevan yang diamati. Karena utilitas tidak terukur, pengukuran alternatif yang harus dipilih. Sebuah alternatif diamati untuk mengukur intensitas preferensi individu untuk suatu situasi dibandingkan situasi lain adalah jumlah uang yang individu bersedia untuk membayar atau menerima untuk berpindah dari satu situasi ke yang lain. Seperti yang disebutkan sebelumnya, sebuah premis dasar dari beberapa ekonom kesejahteraan terdahulu adalah bahwa surplus konsumen merupakan daerah segitiga di bawah kurva permintaan dan di atas garis harga. Hal itu adalah ukuran kesejahteraan yang layak bagi konsumen. Daerah surplus konsumen memiliki signifikansi kesejahteraan hanya jika mendekati "benar" dari pengukuran willingness to pay (WTP). Baru-baru ini, suatu teknik yang relatif sederhana untuk menentukan kebaikan pendekatan ini telah dikembangkan. Dua hal yang paling penting untuk mengukur WTP adalah CV dan EV. Compensating variation adalah jumlah uang yang diambil dari individu setelah perubahan ekonomi, membuat orang itu sama sejahtera seperti sebelumnya. Untuk suatu perolehan kesejahteraan, CV adalah jumlah maksimum yang orang akan bersedia membayar atas perubahan. Sementara untuk suatu kehilangan kesejahteraan, CV adalah negatif dari jumlah minimum yang dibutuhkan orang sebagai kompensasi atas perubahan. Equivalent variation adalah jumlah uang yang dibayarkan kepada seseorang yang mana suatu perubahan ekonomi tidak terjadi, membuat individu sama sejahtera seperti jika perubahan itu terjadi. Untuk suatu perolehan kesejahteraan,
50
EV adalah kompensasi minimum bahwa orang perlu untuk membatalkan perubahan. Untuk suatu kehilangan kesejahteraan, EV adalah negatif dari jumlah maksimum yang individu akan bersedia membayar untuk menghindari perubahan. CV dan EV juga dapat digunakan untuk mengukur efek kesejahteraan produsen. Mengukur efek kesejahteraan produsen di pasar output adalah pendekatan yang berguna dalam analisis kesejahteraan yang mana data telah tersedia untuk memperkirakan kurva penawaran produk akhir. Permasalahannya ini menjadi tidak mungkin yaitu bila data mungkin cukup hanya untuk memperkirakan permintaan berasal dari produsen di pasar produk setengah jadi. Sebagai contoh, dimungkinkan untuk memperkirakan kurva permintaan yang diperoleh dari bijih besi di tingkat perusahaan atau industri walaupun kurva biaya marjinal untuk produksi baja untuk sebuah perusahaan individu atau industri tidak dapat diperkirakan. Dalam kasus seperti itu, apakah mungkin untuk memperoleh estimasi kesejahteraan dengan melihat hanya pada pasar input?. Untuk menjawab pertanyaan ini adalah penting untuk memahami pentingnya perubahan kesejahteraan di daerah-daerah di bawah kurva permintaan berasal dan bagaimana ini berhubungan dengan quasi-rent atau surplus produsen di pasar output. Para praktisi
telah
membuat
transisi
dari
input
ke
pasar
output.
Compensating variation bagi produsen, misalnya kasus penurunan harga input, dari W0 ke W1, adalah jumlah uang yang produsen akan bersedia membayar untuk mendapatkan hak istimewa untuk membeli pada harga yang lebih rendah (yaitu, yang akan membuat perusahaan sama sejahtera pada harga yang lebih rendah). Equivalent variation bagi produsen adalah jumlah uang yang produsen akan
51
menerima untuk membatalkan hak istimewa untuk membeli pada harga yang lebih rendah (yaitu, yang akan membuat perusahaan sama sejahtera pada harga sebelumnya) (Just, Hueth, dan Schmitz, 1982). Kebijakan harga dasar dilakukan untuk melindungi produsen, dan harga batas tertinggi dilakukan untuk melindungi konsumen sementara dalam hal perdagangan dunia, pemerintah dapat melindungi produsen maupun konsumen domestik berupa kebijakan tarif, pembatasan (restriction, kuota) impor untuk kasus negara pengimpor, atau subsidi ekspor untuk negara pengekspor. Selain itu, pemerintah juga dapat menetapkan pajak ekspor maupun kuota ekspor bagi komoditi yang merupakan bahan baku bagi industri domestik, dengan tujuan untuk menjamin ketersediaan output bagi industri yang membutuhkan komoditi yang diekspor tersebut sebagai bahan baku. Semua kebijakan ini umumnya berdampak terhadap produsen, konsumen maupun pemerintah. Dampak
yang
ditimbulkan
dapat
diketahui
dengan
menggunakan
pendekatan teori ekonomi kesejahteraan (welfare economics), yaitu dengan konsep pengukuran surplus konsumen (consumer’s surplus) dan surplus produsen (producer’s surplus). Surplus konsumen dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara jumlah maksimum nilai uang yang ingin dibayar oleh konsumen dengan nilai yang benar-benar dibayar terhadap jumlah tertentu dari suatu produk. Surplus produsen adalah perbedaan antara jumlah nilai uang yang benar-benar diterima produsen dengan jumlah nilai minimum yang diinginkan produsen tersebut (Just, Hueth, dan Schmitz, 1982; Hirshleifer, 1988). Vesdapunt (1984) menyatakan ada tiga dasar postulat yang penting dalam penggunaan surplus konsumen dan surplus produsen untuk mengukur
52
kesejahteraan yaitu : (1) permintaan merupakan refleksi dari keinginan untuk membayar (willingness to pay), (2) penawaran merupakan refleksi dari biaya marginal (marginal cost), dan (3) perubahan pada pendapatan individu bersifat penambahan (additive). Harga (P) S
B Pe
E
A D Qe
0
Jumlah (Q)
Sumber : Just, Hueth, dan Schmitz (1982) Gambar 7. Surplus Produsen dan Surplus Konsumen pada Kondisi Keseimbangan Pasar Penjelasan surplus produsen dan konsumen ini secara sederhana dijelaskan pada Gambar 7. Jika diasumsikan tidak ada perdagangan ke luar negeri, maka pada keadaan keseimbangan (Pe dan Qe), surplus konsumen adalah sebesar PeEB dan surplus produsen adalah sebesar PeEA. Kelemahan pengukuran surplus konsumen dengan kurva permintaan biasa adalah tidak mempertimbangkan efek pendapatan akibat dari perubahan harga, sehingga konsep surplus konsumen kurang menggambarkan kondisi keinginan konsumen untuk membayar atau menerima (consumer willingnes to pay or to accept). Secara matematis, surplus produsen dan konsumen diukur dengan mengintegralkan fungsi penawaran dan fungsi permintaan (Chiang, 1984). pd
CS = ∫ Qd ( P) dp …………………………………………………….(41) Pe
53
pe
PS = ∫ Qm ( P) dp ….…………………………………………………(42) Pm
dimana: CS PS Pe Pd
= = = =
nilai surplus konsumen (Rp) nilai surplus produsen (Rp) harga keseimbangan (Rp) harga pada perpotongan kurva permintaan dengan sumbu harga (Rp/unit) Pm = harga pada perpotongan kurva penawaran dengan sumbu harga (Rp/unit) Perubahan harga pada pasar minyak sawit dunia melalui integrasi harga akan berpengaruh terhadap harga minyak sawit domestik sehingga akan mempengaruhi penawaran dan permintaan minyak sawit domestik. Dampak selanjutnya adalah terjadi perubahan pada surplus produsen dan surplus konsumen baik pada minyak sawit maupun minyak goreng sawit domestik. Dalam penelitian ini, analisis surplus konsumen dan surplus produsen dipelajari melalui pasar input dan pasar output khususnya untuk industri minyak goreng sawit. Produsen pada pasar input adalah produsen minyak sawit sedangkan konsumen adalah industri minyak goreng sawit. Adapun pada pasar output, produsen adalah industri minyak goreng sawit dan konsumen adalah masyarakat sebagai konsumen akhir minyak goreng sawit. Industri minyak goreng sawit bertindak ganda yaitu sebagai konsumen pada pasar input dan sebagai produsen pada pasar output maka perubahan net surplus industri ini dapat didekati melalui salah satu pasar (Just, Hueth, dan Schmitz, 1982). Namun demikian penelitian ini melakukan analisis perubahan kesejahteraan produsen dan konsumen dari 4 sisi, yaitu perubahan surplus produsen minyak sawit, perubahan surplus konsumen minyak sawit, perubahan surplus produsen minyak goreng sawit, dan perubahan surplus konsumen minyak goreng sawit.
54
3.6. Konsep dan Berbagai Distorsi dalam Perdagangan Menurut Gonarsyah (1987), ada beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan dunia (ekspor-impor) suatu negara dengan negara lain, yaitu keinginan untuk memperluas pemasaran komoditi ekspor, memperbesar penerimaan devisa bagi kegiatan pembangunan, adanya perbedaan penawaran dan permintaan antar negara, tidak semua negara mampu menyediakan kebutuhan masyarakatnya serta akibat adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditi tertentu. Dalam kegiatan ekspor suatu komoditi, Kindleberger dan Lindert (1982) menyatakan bahwa secara teoritis, volume ekspor suatu komoditi tertentu dari suatu negara ke negara lain merupakan selisih antara penawaran dan permintaan domestik yang disebut sebagai kelebihan penawaran (excess supply). Di lain pihak kelebihan penawaran dari negara tersebut merupakan permintaan impor bagi negara lain atau merupakan kelebihan permintaan (excess demand). Untuk melihat proses terjadinya perdagangan dunia perhatikan Gambar 8. Suatu negara (negara A) akan mengekspor suatu komoditi (misalkan minyak sawit) ke negara lain (negara B) apabila harga domestik di negara A (sebelum terjadinya perdagangan dunia) relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan harga domestik di negara B. Struktur harga yang terjadi di negara A lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya, sehingga di negara A telah terjadi kelebihan produksi (excess supply). Dengan demikian negara A memiliki kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Di lain pihak, negara B terjadi kekurangan penawaran karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada produksi domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di negara B lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk
55
membeli komoditi dari negara lain yang harganya relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara negara A dan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengan harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama.
P
DA
r x
SA
P
P
ES
DB
Pw m
PA
s
ED 0
SB
PB
QA
Q 0 Qe
Q
Negara A Pasar Dunia (Eksportir) Sumber : Kindleberger dan Lindert, 1982; Tweeten, 1992
0
QB
Q
Negara B (Importir)
Gambar 8. Proses Terjadinya Perdagangan antara Dua Negara Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa sebelum terjadinya perdagangan dunia harga di negara A sebesar PA, sedangkan di negara B sebesar PB. Penawaran di pasar dunia akan terjadi jika harga dunia lebih tinggi dari PA, sedangkan permintaan di pasar dunia akan terjadi jika harga dunia lebih kecil dari PB. Pada saat harga dunia (Pw) sama dengan PA maka di negara A tidak terjadi excess supply (ES), namun di negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar s. Adapun jika harga dunia (Pw) sama dengan PB maka di negara A akan terjadi excess supply (ES) sebesar r, namun di negara B tidak terjadi excess demand (ED). Dari PA dan PB tersebut maka akan terbentuk kurva ES dan ED di pasar dunia, dimana perpotongan antara kurva ES dan ED akan menentukan harga yang terjadi di pasar dunia sebesar Pw. Dengan adanya perdagangan tersebut maka negara A akan mengekspor komoditi (minyak sawit) sebesar x, sedangkan negara
56
B akan mengimpor minyak sawit sebesar m, dimana di pasar dunia besarnya x sama dengan m yaitu Qe (Kindleberger dan Lindert, 1982; Tweeten, 1992). Menurut pemikiran kaum klasik maupun neo-klasik, sistem perdagangan bebas antar negara akan dapat memberikan manfaat yang maksimal. Akan tetapi, dalam kenyataannya banyak ditemukan distorsi pasar yang pada dasarnya berasal dari adanya intervensi pemerintah berupa kebijakan-kebijakan perdagangan, diantaranya berupa pemberlakuan pajak ekspor, tarif impor, pembatasan ekspor/impor (kuota), pemberian subsidi ekspor/impor dan berbagai bentuk distorsi non tarif (non tariff barriers). Analisis parsial mengenai dampak kebijakan-kebijakan tersebut terhadap negara eksportir dan negara importir dapat dijelaskan pada uraian berikut. 3.6.1. Dampak Pajak Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat Gambar
9
berikut
menunjukkan
tentang
dampak
ekonomi
dari
pemberlakuan pajak ekspor.
(a)
P
(b)
P
ES’
SA
Pw’-t
a
c b
DB SB
ES
DA Pw’ Pw
(c)
P
1
f d e
2 3 4
t
ED 0
Q 0 Q’e Qe
qc q’c q’p qp
Negara A (Eksportir) Sumber : Tweeten, 1992
Q
Pasar Dunia
Gambar 9. Dampak Pajak Ekspor
0
QpQ’p Q’c Qc Negara B (Importir)
57
Pada dasarnya, pemberlakuan pajak ekspor terhadap suatu produk akan meningkatkan biaya ekspor sehingga dapat mengurangi jumlah produk yang diekspor. Di samping itu, pemberlakuan pajak ekspor akan menyebabkan harga yang diterima produsen domestik menjadi lebih rendah dari harga dunia sebesar pajak yang diberlakukan (Grennes, 1984). Sebagai upaya penyederhanaan analisis, asumsi-asumsi yang digunakan adalah (1) hanya ada dua negara, yaitu negara A sebagai negara eksportir dan negara B (atau gabungan negara-negara lainnya, ROW) sebagai negara importir, (2) pajak ekspor yang diberlakukan adalah pajak spesifik, yaitu pemberlakuan pajak per unit produk yang diekspor, dan (3) negara eksportir adalah negara besar dalam
perdagangan,
dimana
perubahan-perubahan
jumlah
ekspor
dapat
mempengaruhi harga dunia. Pada Gambar 9, pemberlakuan pajak ekspor spesifik (t) akan menggeser secara paralel kurva penawaran ekspor ES ke atas dengan jarak sebesar pajak (t) menjadi ES’. Pada kasus negara besar, dimana slope kurva permintaan impor yang dihadapi adalah negatif, maka penurunan jumlah penawaran ekspor pada harga tertentu akan meningkatkan harga dunia menjadi Pw’. Harga yang diterima produsen domestik pada negara A setelah adanya pajak ekspor adalah Pw’-t, dimana pada harga ini konsumsi domestik naik menjadi q’c dan produksi domestik turun menjadi q’p sehingga kelebihan penawaran yang terjadi sekarang adalah q’p - q’c. Sebaliknya di negara importir, dengan harga dunia Pw’, produksi meningkat menjadi Qp’ dan konsumsi turun menjadi Qc’ sehingga terjadi kelebihan permintaan sebesar Qc’-Qp’ yang besarnya sama dengan qp’-qc’ atau jumlah keseimbangan baru pada pasar dunia, yaitu qe’.
58
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan pajak ekspor, dengan asumsi negara eksportir adalah negara besar, akan menyebabkan penurunan harga yang diterima produsen, penurunan produksi domestik, penurunan volume ekspor, peningkatan konsumsi domestik dan dapat memberikan penerimaan bagi pemerintah di negara eksportir. Sementara di negara importir, terjadi kenaikan harga sehingga merangsang kenaikan produksi dan penurunan konsumsi yang selanjutnya akan mengakibatkan penurunan volume impor. Tabel 6. Dampak Pajak Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Eksportir dan Importir Perubahan pada Negara Eksportir Negara Importir Surplus konsumen a+b – (1 + 2 + 3 + 4) Surplus produsen – (a + b + c + d + e) 1 Penerimaan pemerintah d+f -------Kesejahteraan nasional bersih –c–e+f – (2 + 3 + 4) Kesejahteraan dunia bersih –c–e–2–4 Keterangan : daerah f pada Gambar 9(a) sama dengan daerah 3 pada Gambar 9(c). Sumber : Tweeten, 1992 Dampak kesejahteraan dari pemberlakuan pajak ekspor dibandingkan dengan perdagangan tanpa distorsi (free trade) dapat dianalisis melalui perubahan-perubahan pada surplus konsumen dan produsen serta penerimaan yang diperoleh pemerintah. Berdasarkan Gambar 9, perubahan-perubahan tersebut disajikan pada Tabel 6. Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa secara umum dampak dari pemberlakuan pajak ekspor akan menurunkan kesejahteraan dunia. Di negara importir, terjadi penurunan kesejahteraan nasional sebesar daerah (2+3+4), sedangkan di negara eksportir dampaknya terhadap kesejahteraan nasional sangat ditentukan oleh elastisitas permintaan dan penawaran. Pajak yang optimal bagi negara eksportir
59
akan berada pada kondisi (f-c-e) maksimum. Oleh karena itu, untuk tingkat pajak ekspor tertentu, kesejahteraan nasional bersih bagi negara eksportir akan negatif bilamana (c+e) lebih besar dari f. Penurunan pajak ekspor dari kondisi yang diuraikan di atas berarti memperkecil penurunan kesejahteraan masyarakat dunia. Produsen di negara eksportir akan menerima penurunan harga yang lebih kecil sehingga dapat merangsang terjadinya peningkatan volume ekspor, sementara konsumen di negara importir akan membayar dengan harga yang lebih rendah. 3.6.2. Dampak Kuota Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat Dampak ekonomi dari kuota ekspor dalam perdagangan dapat dijelaskan pada Gambar 10. Pada dasarnya kuota ekspor bertujuan untuk menjamin ketersediaan suatu barang di dalam negeri. Selain itu, kuota ekspor juga dimaksudkan untuk mengadakan pengawasan produksi serta pengendalian harga untuk mencapai stabilisasi harga. Pada analisis ini diasumsikan hanya ada dua negara, yaitu negara A sebagai negara eksportir dan negara B (atau gabungan negara-negara lainnya, ROW) sebagai negara importir, serta negara eksportir adalah negara besar dalam perdagangan. Keseimbangan semula terjadi pada saat harga dunia (Pw) sama dengan harga domestik (P) dengan jumlah ekspor dari negara A sebesar qp-qc = Qe. Dengan kuota ekspor oleh negara A sebesar Qe’, maka kurva penawaran ekspor negara A menjadi kurva patah ES’ dan berpotongan dengan kurva ED membentuk harga dunia Pw’. Akan tetapi, pada harga ini di negara A terjadi kelebihan penawaran. Kelebihan penawaran ini akan hilang pada tingkat harga
60
domestik P’, yaitu pada perpotongan antara kurva penawaran (SA) dan kurva permintaan domestik plus kuota (DA’), dimana kurva DA’ sejajar dengan kurva DA dengan jarak horisontal sebesar kuota yang ditetapkan. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa pembatasan ekspor akan menyebabkan penurunan harga domestik di negara A dan kenaikan harga dunia sehingga volume perdagangan menjadi berkurang.
(a)
(b) P
P SA
DA DA’ Pw’ Pw=P
P’
(c) P
ES’
DB SB
ES 1
e
a
d b c
2 3 4
ED 0
qc q’c q’p qp
Negara A (Eksportir) Sumber : Tweeten, 1992
Q 0 Q’e Qe
Q
0
Pasar Dunia
QpQ’p Q’c Qc Negara B (Importir)
Gambar 10. Dampak Kuota Ekspor Dampak kesejahteraan dari kuota ekspor dibandingkan dengan perdagangan bebas dapat dianalisis melalui perubahan-perubahan surplus konsumen dan produsen. Berdasarkan Gambar 10, perubahan-perubahan surplus tersebut disajikan pada Tabel 7. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa secara umum dampak dari kuota ekspor akan menurunkan kesejahteraan dunia. Di negara eksportir, jika daerah e lebih besar dari daerah d pada Gambar 10(a), maka negara eksportir akan memperoleh manfaat dari kuota ekspor dimana konsumen dan
61
pemegang kuota akan memperoleh keuntungan. Akan tetapi, di negara importir terjadi penurunan kesejahteraan nasional yang jauh lebih besar dari manfaat yang diperoleh oleh negara eksportir, sehingga secara total terjadi penurunan kesejahteraan dunia sebesar daerah (d+2+4). Tabel 7. Dampak Kuota Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara Eksportir dan Importir Perubahan pada Negara Eksportir Negara Importir Surplus konsumen a+b – (1 + 2 + 3 + 4) Surplus produsen – (a + b + c + d) 1 Penerimaan kuota c+e -------Kesejahteraan nasional bersih –d+e – (2 + 3 + 4) Kesejahteraan dunia bersih –d–2–4 Keterangan : daerah e pada Gambar 10(a) sama dengan daerah 3 pada Gambar 10(c). Sumber : Tweeten, 1992