Jurnal Sentris No. 1 Tahun 7 – 2010
iii
Jurnal Sentris No. 1 Tahun 7 – 2010
iv
Jurnal Sentris No. 1 Tahun 7 – 2010
Jurnal Kelompok Studi Mahasiswa Pengkaji Masalah Internasional
JURNAL SENTRIS Ide pembuatan jurnal pertama kali tercetus pada tahun 2004, baik oleh anggota maupun non-anggota KSMPMI, yang saat itu melihat kurangnya wadah menulis secara akademik, khususnya di kalangan mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Hingga akhirnya, KSMPMI merealisasikannya melalui Jurnal Sentris ini. Dimana, mulai dari proses penulisan, redaksi, proses penerbitan hingga distribusi semuanya murni dilakukan oleh mahasiswa. Singkatnya, dengan berlandaskan pada pada
by the students, from the students and for the students, kami berusaha untuk dapat selalu mempersembahkan karya-karya terbaik. Kata SENTRIS sendiri dapat diartikan sebagai pusat, dengan harapan SENTRIS dapat menjadi pusat tersendiri, khususnya bagi mahasiswa/i yang ingin menyalurkan dan mengembangkan kemampuan menulisnya secara akademik. Namun, tidak sebatas itu, kami pun berharap agar SENTRIS dapat menjadi sarana mahasiswa Hubungan Internasional
untuk
dapat
lebih
memberdayakan
dan
mengembangkan
potensi
akademiknya. Menjadi pusat, kami berharap tidak berarti lebih hebat, kami sadar bahwa hal tersebut diiringi oleh tanggungjawab yang sangat besar. Harapan untuk memberikan kontribusi yang terbaik tidak hanya untuk kami, seluruh civitas akademik, serta masyarakat secara umum. Berpegangan pada filosofi yang mengatakan bahwa, with
great power comes great responsibility. Kami berharap agar SENTRIS dapat diterima dan memberi kesan mendalam di hati pembaca.
v
Jurnal Sentris No. 2 Tahun 7 – 2011
JURNAL SENTRIS DAFTAR ISI Kata Sambutan Ketua Jurusan Kata Pengantar Editorial
iv v vi
Artikel Pluralisme Beragama di Amerika Serikat : E Pluribus Unum. Sebuah Perjalanan Melalui Dialog 1 Zeva Aulia Sudana Kashmir: The Evolving Conflict & The Religion as Identity 20 Deviana Wijaya Dewi and Tommy Des Mulianta Islam, Hubungan Internasional, dan Media:“ Tauhid Internasional” vis a vis “Postmodernisme Media” 41 Nayaka Diasa The Need of an Institutional Secularization. Case Study: Indonesia 61 Rara Sekar Larasati Membangun Kembali Semangat Toleransi Beragama (Konteks Hubungan Barat dengan Islam) dalam Masyarakat Internasional dengan Meningkatkan Peran Interfaith Dialogue 71 Lukas Ronggur Tambunan Agama dan Gender :Teologi Feminisme Kristen 81 Eunike Gloria Keterangan Penulis Kelompok Studi Mahasiswa Pengkaji Masalah Internasional Susunan Kepengurusan Inti KSMPMI Ucapan Terima Kasih
vi
vii ix xii xiii
Jurnal Sentris No. 2 Tahun 7 – 2011
Sambutan
Jurusan sangat menyambut baik terbitnya Jurnal Sentris edisi no 2 Tahun 7-2011 dan bangga akan kreativitas dan daya kritis yang terus dikembangkan oleh mahasiswamahasiswa di Jurusan ini. Tema yang dipilih “Agama dan Hubungan Internasional” menunjukkan kehirauan yang besar akan isu sensitif namun sangat strategis baik di konteks nasional maupun internasional. Di dalam negeri, sejumlah anak bangsa terus memegang komitmen mereka akan pentingnya ideologi agama mayoritas sebagai fondasi fundamental-legal dalam membangun institusi negara; berbagai gerakan dan konter gerakan menyangkut toleransi antar pemeluk agama di dalam satu agama yang sama maupun antar agama yang berbeda belakangan telah melahirkan perdebatan dan bahkan aksi-aksi kekerasan. Dalam konteks internasional, bangsa-bangsa dunia juga menghadapi pertanyaan yang sama: bagaimana perbedaan agama dapat bersinergi positif bagi promosi perdamaian bangsa-bangsa? Semoga Sentris kali ini benar-benar membawa pemikiran bernuansa baru dan memperkaya penalaran atas agenda nasional dan internasional yang belum tuntas ini.
Bandung, Mei 2011
Yulius Purwadi Hermawan, Ph.D. Ketua Jurusan Hubungan Internasional UNPAR
vii
Jurnal Sentris No. 2 Tahun 7 – 2011
Pengantar
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas rahmatnya, Jurnal Sentris KSMPMI dapat terus terbit sebagai salah satu wadah aspirasi dan opini penting untuk menerbitkan tulisan-tulisan akademik mahasiswa Hubungan Internasional di UNPAR. Selaku Presiden KSMPMI saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ulbertus A. Silalahi, selaku Dekan FISIP UNPAR, dan Bapak Yulius P. Hermawan, Ph.D selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional. Tak lupa juga saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada segenap anggota KSMPMI yang telah bekerja keras dan semua pihak yang turut membantu dalam proses penerbitan Jurnal Sentris KSMPMI, terutama para penulis dalam jurnal dengan tema yang sangat menantang kali ini. Beyond Belief: Religion and International Relations adalah tema dari Jurnal Sentris no. 2 tahun 7 ini. Korelasi antara agama dan perjalanan peradaban memang adalah suatu hubungan yang tidak dapat dengan mudah dipisahkan dengan sebuah garis demarkasi yang jelas. Agama dapat menjadi suatu sumber kekuatan dalam kehidupan bernegara, menjadi sebuah nilai yang berperan utama dalam pembentukan negara, ataupun menjadi penghancur kedamaian dalam dunia. Konsepsi kini yang menganggap bahwa agama adalah media personal yang tidak dapat diganggu gugat memang adalah sah adanya, namun seiring dengan perkembangan zaman, agama tidaklah lagi menjadi suatu hal yang tabu untuk dibicarakan dan dikaji, secara analitikal. Tidak berarti bahwa ada nilai kesuciannya yang menurun, akan tetapi ruang keterkaitan agama dengan kehidupan bernegara telah begitu beririsan, bahkan untuk beberapa negara telah menyatu secara kultural dan subliminal menjadi fusi yang sangat eksotis untuk dikaji. Keterlibatan agama dalam dunia hubungan internasional telah pula melahirkan begitu banyak fenomena baru yang patut untuk dikaji dan dianalisis oleh para mahasiswamahasiswa Hubungan Internasional. Tidak hanya karena sifatnya yang kontemporer, juga karena adalah suatu kemungkinan yang besar bahwa isu agama dan hubungan internasional akan membangun suatu era baru dimana adanya varietas baru aktor dan faktor pendorong dan penarik dalam sistematika pengkajian isu HI. Maka, sebagai kaum intelektual dan masa depan bangsa Indonesia, sudah seharusnya setiap kita tergerak untuk mengkaji segala isu dan fenomena secara kritis, objektif dan komprehensif. Karena tidak ada isu yang layak ditabukan apabila disuarakan untuk membela kebenaran dan keadilan. Selamat membaca. Bandung, Mei 2011
Rara Sekar Larasati Presiden KSMPMI 2010-2011
viii
Jurnal Sentris No. 2 Tahun 7 – 2011
Editorial Dalam kesempatan kali ini, SENTRIS sebagai sebuah Jurnal Hubungan Internasional ingin mengangkat tema Beyond Belief: Religion and International Relations yang hendak melihat sebuah keterkaitan diantara agama dengan pola interaksi dalam hubungan internasional. Tema ini sengaja diangkat dengan melihat bahwa isu agama kini semakin penting dan tidak dapat dilepaskan dalam hubungan internasional. Agama sebagai sebuah ajaran kini telah menginspirasi beberapa orang untuk bertindak secara radikal dan menghancurkan kelompok yang lainnya. Aktivitas inilah yang akhirnya mempengaruhi para pengambil keputusan yang akan mempengaruhi pola-pola hubugan internasional. Oleh karena itu, dalam edisi SENTRIS kali ini, kita diajak untuk melihat bagaimana agama telah mempengaruhi masyarakat internasional dewasa ini. Dalam konflik Kashmir, agama telah dianggap sebagai sumber konflik yang hingga kini tidak ditemukan solusi damai di dalamnya. Di belahan dunia lainnya, serangan teror WTC di Amerika Serikat tahun 2001 silam, telah mengubah pandangan warga Amerika Serikat terhadap agama tertentu. Hal ini pada akhirnya memunculkan stereotip negatif yang menempel pada salah satu agama. Melihat permasalahan ini kita diajak untuk mengkaji ulang bagaimana sebenarnya Amerika Serikat memandang pluralitas agama di negaranya dan bagaimana usaha Amerika Serikat membangun relasi yang lebih harmonis dengan dunia Islam. Negara-negara barat dan dunia Islam kiranya memang perlu untuk membangun sebuah toleransi agama yang baru lewat dialog yang bersifat konstruktif. Agar nantinya keharmonisan dan keamanan dunia dapat dicapai dengan tidak lagi melandaskan konflik pada pemahaman yang salah atas ajaran agama tertentu. Namun, permasalahan kesetaraan gender dalam isu feminisme juga muncul dan tidak dapat dilupakan. Kita akan diajak untuk melihat bagaimana agama memandang kesetaraan gender dan bagaimana isu feminisme ini telah berkembang dalam isu-isu hubungan internasional. Edisi SENTRIS kali ini menjadi edisi yang spesial karena dalam kesempatan ini SENTRIS ingin menunjukkan sebuah perubahan kepada para pembaca setianya. Sesuai dengan motivasi kami yang selalu ingin berkembang dan berubah dari waktu ke waktu, SENTRIS kini mengubah konsep layout menjadi lebih menarik. Semoga perubahan yang kami lakukan juga selalu memotivasi anda untuk terus berkarya dan berupaya mengembangangkan Ilmu Hubungan Internasional lewat ide-ide tulisan. Akhir kata, segenap redaksi SENTRIS mengucapkan selamat membaca!! Bandung, Mei 2011
Redaksi
ix
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011
Pluralisme Beragama di Amerika Serikat : E Pluribus Unum. Sebuah Perjalanan Melalui Dialog Zeva Aulia Sudana Abstract The idea of Religious Pluralism has grown into significant concern nowadays with those whom affirm towards its significance and those whom disagree towards its concept. Debates within democratic countries on how to digest this idea, such as in Indonesia and America, forms into various perspectives towards this issue. On January 8th until February 12th 2011, the author was privileged enough to study for 5 weeks on the issue of Religious Pluralism in the United States of America through a scholarship program from the U.S. Department of State’s Educational and Cultural Bureau. Like Indonesia, the U.S. is a democratic country with a diverse society which spread throughout its lands. The upholding of Religious Pluralism within the U.S. has not been an easy process since the first settlers whom came to the continent in the 16th century from Europe and is still conducted until today and the future to come by various layers of the society. Similar to Indonesia, although supported by its constitution, in some cases the U.S. people have imperfections in accommodating its religious plurality, however many positive efforts are conducted to reach the just. Developments towards religious pluralism can been within its society. Within this article, the author elaborates the foundations of democracy, the U.S. government, and freedom of religion connected to civil religion and its implementations by the U.S. society. The challenges of Religious Pluralism in the U.S. are known throughout its long history and still a growing process until today. However, many parts of the society, backed by the support of various sides of the U.S. government, are trying to spread the importance of this idea, noting the condition of the diverseness of U.S. citizens. Because of efforts done such as through dialogue, a growing amount of its society especially within metropolitan areas, are embracing Religious Pluralism. The increasing importance and actions of interfaith dialogue appeared into surface within this contemporary era to decrease 1
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 prejudice between people of different religious and/or faith affiliations and reach tolerance and cooperation. This remains a set of homework for all. The author herself would like to share the knowledge she has received and combine it with her analytical perspectives towards this issue. Her love for Indonesia and her eagerness to learn from various experiences as what she has received in America, makes her want to forward this topic into further concern where people from both countries can learn from each other in making their diverse society an increasingly tolerant and cooperative one through Interfaith Dialogue, because differences will always co-exist. Further discussion regarding this article is welcome for knowledge will keep on growing and fulfill one another. * * “Like any democracy, you have known setbacks along the way. America is no different. Our own Constitution spoke of effort to forge a ‘more perfect union’, and that is a journey we have travelled ever since, enduring Civil War and struggles to extend rights to all of our citizens. But it is precisely this effort that has allowed us to become stronger and more prosperous, while also becoming a more just and free society,” – U.S. President Barack Obama, 9th November 2010, University of Indonesia, Indonesia.1 Pluralisme Beragama. Sebuah ide dan nilai yang semakin berkembang pada masa kini. Ide ini berkembang di negara-negara multikultural yang menginginkan penghargaan terhadap hak-haknya. Kita pernah mendengar sebuah ungkapan bahwa demokrasi merupakan model pemerintahan terbaik dari bermacam-macam model pemerintahan buruk yang pernah diterapkan oleh negara-negara. Kita boleh setuju dengan anggapan ini ataupun berseberangan pendapat. Demokrasi memiliki kelebihan dan kelemahannya. Diantara kelebihan yang ia miliki adalah penegakan Rule of Law; memberikan hak kepada semua orang di negaranya melalui konsensus, referendum langsung, atau perwakilan terpilih (terdapat penerapan pengendalian yang setara terhadap hal-hal yang mempegaruhi kepentingan mereka); dapat mengakomodasikan suara rakyat; terdapat 1
The Wall Street Journal Blogs, “Full Text: Obama’s Prepared Remarks in Indonesia,” November 9th 2010,
(diakses 17 Februari 2011).
2
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 checks and balances terhadap pemerintah; dan penegakan HAM.2 Namun, di sisi lain kelemahan demokrasi adalah terdapat kebebasan.3 Kebebasan adalah ibarat pedang berbilah dua. Kebebasan bukan hanya sebuah kekuatan namun dapat pula menjadi sebuah kelemahan yang besar. Jika kebebasan ini tidak disertai tanggung jawab, demokrasi dapat memancing ketidaktertiban masyarakat. Rakyat ataupun penguasa dapat bertindak semaunya dan justru melanggar hak pihak lain atas nama demokrasi. Kebebasan bersuara dan berpendapat dapat di selewengkan untuk menekan pihak lain, bahkan dapat disertai dengan kekerasan. Indonesia telah mengalami berbagai problematika terkait dengan ketegangan dan kekerasan antar-agama yang dipicu oleh oknum-oknum tertentu yang mengatasnamakan suatu agama. Mereka memang memiliki hak untuk berbeda pendapat dan ini sah dilakukan dalam sebuah negara demokratis, namun menjadi bahaya jika kekerasan sudah terlibat, apalagi kekerasan tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa.4 Amerika adalah negara multikultural dan seperti halnya dengan Indonesia, ia menganut sistem politik demokrasi dan memiliki rakyat beragam, khususnya dalam konteks agama kepercayaan. Bagaimanakah Amerika mengakomodasikan perbedaan-perbedaan yang ada di negaranya? Apakah ia juga melalui pasang-surut kendali terhadap kemajemukan rakyatnya? Amerika Serikat merupakan negara yang pemerintahannya menganut sistem politik demokrasi dimana proses pengelolaan kenegaraan diatur melalui cabang Legislatif (Senat dan House of Representatives), Eksekutif, dan Yudikatif (Mahkamah Agung).5 2
Miriam Budiarjdo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2008, hal. 112-114. 3 Kebebasan lahir dari penegakkan HAM, yaitu: Hak Asasi Pribadi, Hak Asasi Politik, Hak Asasi Hukum, Hak Asasi Ekonomi, Hak Asasi Peradilan, Hak Asasi Sosial Budaya. Hakhak ini jika diselewengkan dapat mengakibatkan ketidaktertiban. - “Pengertian Macam dan Jenis HAM yang berlaku Umum Global”, dalam Komunitas dan Perpustakaan Online Indonesia, 13 Juli 2006,
(diakses 17 Februari 2011). 4 Contoh salah satu kasus yang sedang disorot sejak tahun 2010-2011 adalah kasus Jemaat Ahmadiyah. Pada Februari 2011, 3 orang tewas dibunuh oleh oknum-oknum tertentu. – “Sudah 342 Kali Ahmadiyah Diserang”, dalam Jawa Pos National Network, 08/02/11 (diakses 17 Februari 2011). 5 Miriam Budiarjdo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi,. hal. 276-278.
3
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Suara rakyat Amerika terakomodasikan dengan adanya Congress (legislatif bikameral pemerintahan federal) yang terdiri dari Senat dan House of Representatives. Tiap negara bagian memiliki perwakilannya (senator atau representatif) dalam kedua bagian tersebut dan semua kepentingan, pendapat terhadap suatu isu, kritikan, keluhan, dan ide yang datang dari rakyat pernegara bagian, diangkat oleh wakil dan senator mereka dalam rapat-rapat yang diselenggarakan di US State Capitol di Washington DC. Voting terhadap isu-isu yang di bahas ditentukan melalui prinsip mayoritas sebelum keluar menjadi kebijakan, dengan tiap senator dan representatif hanya memiliki satu suara. Para wakil tersebut dipilih melalui eleksi langsung dan pemilihan dilakukan dalam jangka waktu dua tahun untuk House of Representatives dan 6 tahun untuk senat. Untuk House of Representatives kursi yang disediakan per-negara bagian tergantung jumlah populasi Negara bagian tersebut, dan untuk bagian Senat, tiap negara bagian memiliki jatah kursi dua senator. 6 Demokrasi di Amerika yang sangat vibrant dan sistem politik dan hukum yang diterapkan dengan baik dan taat secara general menyebabkan masyarakat Amerika bebas berpendapat namun tetap dalam kepatuhan terhadap koridor kebijakan dan hukum yang ada. Di Amerika, nilai-nilai demokrasi sudah mulai tertanam sejak awalawal kemerdekaannya. Sejak dituliskannya Deklarasi Kemerdekaan pada 1776, Amerika memandang bahwa semua manusia diciptakan setara oleh Sang Pencipta dan diberkahi hak-hak yang tak dapat diambil yaitu hak hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan.7 Hak-hak dasar ini pun berkembang seiring dengan waktu, salah satu yang terkandung ialah hak untuk bebas beragama. Bagaimana dengan hak-hak bebas beragama di Amerika Serikat? Kebebasan beragama di Amerika Serikat merupakan hak yang dijamin secara konstitusional pada Amandemen Pertama Konstitusi AS, tepat seperti yang dijabarkan pada klausul-klausul yang menyangkut agama. Amandemen ini dilakukan untuk melindungi hak bebas beragama, 6
“How Our Laws are Made” dalam The Library of Congress, (diakses 26 Februari 2011). 7 “US History”, The Declaration of Independence, (diakses 17 Februari 2011).
4
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 dimaksudkan untuk mencegah Pemerintah Federal mengintervensi praktik keagamaan dan untuk menghalangi terbentuknya agama nasional. Kebebasan ini sangat erat kaitannya dengan pemisahan antara negara dan Gereja, sebuah konsep yang dicetuskan oleh Thomas Jefferson8 yang menuai pro dan kontra. Dalam menyikapi konsep pemisahan negara dan Gereja tersebut, terdapat pihak yang setuju akan pembatasan keterlibatan pemerintah dengan institusiinstitusi agama dan terhadap penghapusan referensi-referensi religius dari institusi dan barang-barang milik pemerintah, dan terdapat pula pihak yang ingin larangan tersebut dilonggarkan. Pihak yang pro pembatasan menyatakan bahwa pembatasan antara urusan negara dan Gereja / agama akan menjamin Konstitusi Federal secara luas, melihat keadaan masyarakat yang plural di Amerika. Pihak yang kontra melihat dari sisi warisan Kristen, menggarisbawahi bahwa para Founding Fathers-pun beragama Kristen, melihat sejarah dari bangsa Amerika dimana ajaran Kristen (Protestan) sangat kental pengaruhnya, dan menekankan bahwa menjaga adanya hubungan dekat antara gereja dan negara adalah esensial.9 Kita dapat kembali mengacu pada Amandemen Pertama terhadap Konstitusi A.S. yaitu: “Congress shall make no law respecting the establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of speech, or of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for a redress of grievances.”10 Mari kita telaah amandemen diatas sebagai berikut pada dua poin penting: Klausul Pembentukan (Establishment Clause) yang terdapat dalam kutipan amandemen di atas memiliki pengertian bahwa Pemerintahan Federal dilarang mendirikan Gereja nasional / “agama” nasional atau melibatkan dirinya secara berlebihan terhadap aktivitas-aktivitas keagamaan. Dapat dikatakan berlebihan adalah jika Pemerintahan Federal mendukung kegiatan dan menyokong pendanaan secara penuh dan bahkan berlebih
8
“Library of Congress”, Jefferson’s Letter to the Danbury Baptists, January 1st 1802, (diakses 17 Februari 2011). 9 Noah Feldman, Divided By God: America’s Church-State Problem and What We Should Do About It, Farrar, Straus and Giroux: New York, hal.24 10 “GPO Access”, First Amendment: Religion and Expression (diakses 20 Februari 2011).
5
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 terhadap beberapa agama atau suatu agama tertentu diatas agama-agama lainnya. Yang kedua adalah Klausul Kebebasan Penerapan (Free Exercise Clause). Klausul ini memang menekankan tidak bolehnya melarang penerapan kepercayaan suatu agama, namun, Pengadilan Tertinggi A.S. mengumumkan bahwa klausul tersebut tidak absolut. Ini untuk mencegah terjadinya penerapan keagamaan yang berlebihan seperti pengorbanan manusia, penggunaan narkoba cannabis, atau praktik-praktik vampirisme.11 Pengadilan menyatakan bahwa hukum dibuat salah satunya untuk menjadi koridor bagaimana pemerintah bertindak, dan walau pemerintah tidak dapat menginterferensi kepercayaan dan pendapat suatu agama, mereka dapat menginterferensi kegiatan agama jika dan hanya jika kegiatan tersebut melanggar hukum atau hak-hak asasi manusia. Maka dari itu, dalam hal praktik keagamaan, pemerintah AS tidak menginterferensi terhadap suatu agama kecuali jika dan hanya jika terjadi pelanggaran hukum atau hak-hak asasi manusia dalam praktik ritual suatu agama (bukan terhadap kepercayaannya - faith). Amandemen Pertama ini kemudian diperkuat dengan Amandemen Ke-Empat Belas dimana melalui doktrin penggabungan, aturan Amandemen Pertama berlaku pada pemerintah daerah juga. Amandemen berikutnya ini menjamin hak-hak sipil untuk beragama dan melarang diskriminasi melalui penjagaan terhadap “perlindungan yang setara di mata hukum” untuk semua individu.12 Dari penjelasan diatas, dapat kita tarik pengertian bahwa secara konstitusional, Amerika Serikat berdasarkan paham demokrasinya, menjunjung tinggi dan melindungi hak –hak rakyatnya untuk bebas memilih agama / kepercayaan yang diinginkan dan melakukan praktik-praktik keagamaan selama tidak melanggar hukum dan hak-hak asasi manusia. Konstitusi Amerika Serikat secara ideal menjunjung tinggi penegakan hukum, sebagaimana ungkapan sejak jaman deklarasi kemerdekaan: “The King is not Law, but Law is King,”. Selanjutnya, pemisahan antara negara dan Gereja / agama diterapkan pada akhirnya untuk menjaga hak-hak 11
Ibid., “Religious Laws and Religious Bigotry: Religious Discrimination Built into the Constitutions on Seven US States”, Religious Tolerance, (diakses 20 Februari 2011). 12
6
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 masing-masing pihak dalam penerapan kepentingan dan kegiatankegiatannya. Namun, muncul sebuah pertanyaan: apakah dalam sistem pemerintahan A.S. benar-benar terlepas dari unsur-unsur agama dan agama dianggap sebagai sektor privat yang tidak boleh dicampuri urusan politik?13 Penulis kemudian mengetahui bahwa sistem pemerintahan Amerika sepanjang proses sejarahnya memisahkan antara kepentingan negara dan Gereja / agama ternyata mendapatkan pengaruh dasar dari satu agama, yaitu Kristen Protestan, agama yang dianut mayoritas rakyat Amerika. Namun, pengaruh ini lebih kepada nilai-nilai dan esensi general yang dapat diterima oleh semua kalangan, yaitu nilai-nilai dan norma-norma toleransi dan Ketuhanan atau Sang Pencipta Alam Semesta, sebagaimana ditunjukkan dalam motto Amerika yaitu “In God We Trust”.14 Konstitusi Amerika mengakui kepentingan unsur Tuhan dan bahwa manusia / warga Amerika berada di dunia untuk menerapkan kehendak Sang Khalik, yaitu membawa kebaikan terhadap sesama manusia dan segala sesuatu yang terdapat di bumi, lalu untuk bekerja keras dengan positif dan usaha semaksimal mungkin agar mencapai hasil yang maksimal. Namun, pengaruhnya adalah sebatas mengakui nilai-nilai Sang Pencipta dan mencantumkannya di dalam Konstitusi sebagai pedoman bagi rakyatnya yang menganut kepercayaan apapun. Jika kita bandingkan dengan Indonesia, cukup sama dengan isi Pancasila kita yang menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila pertamanya. Hal tersebut di atas akan penulis jelaskan lebih lanjut di dalam bagian artikel ini mengenai Civil Religion di AS. Berbagai usaha dilakukan untuk membangun jembatan toleransi demi mengakomodasi segala perbedaan agama / kepercayaan yang ada di Amerika. Lalu muncullah pertanyaan dalam benak penulis: “Bagaimana dengan kalangan ateis di Amerika yang tidak percaya dengan adanya Tuhan?”. Dari penelaahan penulis selama berada di Amerika adalah, bagi kaum ateis, hak mereka untuk tidak percaya pada Tuhan dilindungi walaupun tidak secara eksplisit dicantumkan dalam konstitusi, namun termasuk dalam tulisan Deklarasi Kemerdekaannya; 13
Pertanyaan ini mengiang-ngiang saat masa-masa pertama penulis berada di Amerika dalam program akademis Religious Pluralism di Temple University - Philadelphia, kota paling bersejarah di Amerika. 14 Robert N. Bellah, “Civil Religion in America”, Daedalus, Fall 2005
7
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 “We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal,”15 Kaum ateis juga termasuk dalam kesetaraan tersebut dengan apa yang mereka pahami. Yang penulis cerna mengenai mengapa dalam konstitusi AS lebih menekankan tentang pluralitas agama ialah karena sumber konflik yang dapat muncul dalam masyarakat adalah antara agama yang berbeda. Maka dari itu konstitusi AS ingin mengakomodasi keadaan majemuk tersebut. Terdapat usaha-usaha lain untuk menyatukan perbedaan yang terjumpa di AS dalam perjalanannya memaknai kepluralitasan rakyatnya agar setiap perbedaan dapat hidup berdampingan dengan keunikan masingmasing, khususnya dalam hal kepercayaan dan keagamaan, yaitu salah satunya merupakan pencarian suatu kesamaan bersama atau kehendak umum. Konsep ini dikenal sebagai konsep Civil Religion in America. Civil Religion Salah satu mata kuliah yang penulis pelajari untuk memahami proses Pluralisme Beragama di AS adalah Civil Religion in the US, yang merupakan ekstensi pemahaman dari sebuah istilah dasar Civil Religion ciptaan J.J Rousseau dalam bukunya “The Social Contract” pada tahun 1762. Konsep ini dibentuk untuk memberi paham agar suatu masyarakat setia dan terikat pada kontrak sosial untuk mencapai general will dalam bentuk keadilan dan kesejahteraan bersama. Bentuk dogma yang terdapat dalam agama-agama pada umumnya, dalam Civil Religion memiliki istilah berbeda yaitu aturan yang menjadi tuntunan sosial. Konsep ini sempat terbenam setelah Rosseau wafat, namun di angkat kembali oleh Abraham Lincoln pada masa-masa Perang Sipil Amerika (1861-1865) dan di angkat secara ilmiah oleh Robert Bellah pada tahun 1967 dalam artikel “American Civil Religion” yang tercakup di dalam suatu majalah bernama Daedalus.16 Bellah telah mengembangkan konsep Civil Religion secara sedemikian rupa, khusus bagi bangsa Amerika dimana mereka tunduk pada prinsip-prinsip etis yang teramat sangat. Bellah bukanlah pencetus konsep ini, namun beliaulah yang menyusun metode secara sistematis dari elemen Civil Religion. Bellah tergerak untuk mengembangkan konsep ini dan menerapkannya di Amerika 15
“US History”, The Declaration of Independence, (diakses 17 Februari 2011). 16 Jean Jacques Rousseau, “The Social Contract: Book IV”, The Great Books Of The Western World, Vol. 38 dalam Robert Maynard Hutchins (ed), Chicago: William Benton, 1952, 438.
8
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 karena ia menyadari, seperti halnya pada Abraham Lincoln di masa Perang Sipil Amerika, keadaan masyarakat Amerika yang pluralistik perlu dimaknakan. Ia menginginkan konsep yang dapat menyatukan segala perbedaan, khususnya perbedaan religius / kepercayaan tersebut melalui esensi utama American Civil Religion, yaitu yang penulis tangkap sebagai bentuk pembibitan Nasionalisme.17 Jika kita menilik pada pemikiran Robert Bellah sedikit lebih dalam, beliau mengelaborasikan definisi Civil Religion sebagai dimensi agama yang bersifat publik yang terdiri dari seperangkat kepercayaan, simbol-simbol, dan ritual-ritual aktivitas di Amerika. Sebuah definisi baru. Agama ini menyediakan dimensi religius bagi “Gaya Hidup Amerika”. Konsep ini menggerakan masyarakat Amerika untuk lebih memaknai identitas mereka dengan menjadikannya sebuah pegangan baru dalam menjalani hidup berdasarkan nilai-nilai universal yang telah disesuaikan. Ia secara spesifik dibuat untuk orang-orang Amerika dan merupakan sebuah pengertian keagamaan personal nasional yang murni. Warga Amerika, dalam harapan Bellah, diinginkan untuk memenuhi kehendak Tuhan di dunia yaitu melakukan hal-hal positif dan bekerja dengan keras untuk hasil yang baik. Terdapat kombinasi dan juga pembedaan antara lingkungan politik dan keagamaan di Amerika dalam Civil Religion. Civil Religion ber-antarkorelasi dengan masyarakat politik dan organisasi agama privat di Amerika. Bellah berusaha untuk menunjukkan bahwa bukan hanya gereja yang terpisah dari negara, dimana agama tidak bisa mengendalikan negara dan negara tidak bisa mengendalikan agama, namun dalam proses politik, siapapun dari latarbelakang dan afiliasi agama manapun dapat berpartisipasi.18 Prinsip dimana Gereja terpisah dari kegiatan kenegaraan menunjukkan kebebasan untuk memilih agama dan bahwa politik ataupun agama tidak dapat mencampuri satu sama lain karena agama adalah hak privat dan politik memiliki kepentingan publik. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa lingkungan politik bebas sama sekali dari apapun yang berhubungan dengan agama. Seperti yang telah dijelaskan secara singkat di atas, terdapat unsur-unsur umum tertentu dari suatu orientasi agama yang 17
Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essay On Religion In A Post-Traditional World. (New York: Harper and Row, 1970), 168-169. 18 Robert N. Bellah, “Civil Religion in America”, Daedalus, Fall 2005.
9
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 masyarakat Amerika gunakan yang berhubungan dengan keyakinan, simbolsimbol, dan ritual-ritual, yaitu Civil Religion itu sendiri. Agama ini secara fundamental berdasarkan konsep Tuhan, Sang Pencipta dari segalanya. Konsep ini dimasukkan ke dalam lingkungan politik melalui sarana konstitutif dan gagasan agama, seperti yang terdapat di dalam Deklarasi Kemerdekaan, sebuah dokumen yang dirilis pada masa Amerika memulai pertumbuhannya untuk berevolusi menjadi sebuah Republik. Konsep Civil Religion ini dapat diimplementasikan sejak awal Amerika terbentuk karena tidak hanya saat itu merupakan momen yang tepat dan konsep ini dapat merefleksikan perspektif privat dan publik, namun karena secara mendasar Tuhan dapat di definisikan dengan berbagai cara. Esensi dari Tuhan oleh semua adalah sama, tentunya bagi mereka yang mempercayai-Nya. Bellah mencatat bahwa dalam Civil Religion, konsep Tuhan merupakan lebih pada sisi Unitarian dan Austere, bukan spiritual. Konsep Tuhan disini lebih berhubungan dengan tata tertib, hukum, dan hakhak. Ia terlibat dalam sejarah dan tidak hanya sesuatu yang Maha Melihat dan khususnya perhatian terhadap Amerika. Agama ini dan konsep Ketuhanannya di anggap murni dan merefleksikan kepemahaman keagamaan diri nasional. Civil Religion di Amerika secara fundamental didasarkan kepada sebuah kepercayaan bahwa “kedaulatan tertinggi terkait dengan Tuhan” dan diakui dalam motto Amerika: “In God We Trust” untuk menguatkan rasa kebersamaan sebagai sebuah bangsa. Kepercayaan ini kemudian digunakan, diaplikasikan, dan disebarkan oleh berbagai kalangan dalam masyarakat.19 Walau pada dasarnya Civil Religion dipengaruhi oleh Kristen Protestan, istilah-istilah yang dipakai disesuaikan sedemikian rupa agar lebih umum namun tetap memiliki makna yang dalam dan dapat diterapkan secara universal. Konsep ini menyediakan dasar bagi hak-hak manusia dan menyediakan sasaran yang transcendent bagi proses politik, yaitu untuk membawa kehendak Tuhan di dunia oleh semua. Sebuah alasan lain yang dapat penulis tarik dari mengapa Civil Religion dibentuk adalah konsep ini dapat menjadi elemen penyatu untuk menyatukan rakyat Amerika yang berlatarbelakang beragam, khususnya
19
Ibid,
10
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 dalam hal agama yang muncul sejak masa-masa pergantian politik setelah Amerika mendapatkan kemerdekaannya, walau terdapat pro-contra. Jika kita kaitkan konsep Civil Religion dengan konsep Pluralisme Beragama, sisi positif yang didapat dari Civil Religion adalah bahwa ia melengkapi kebutuhan akan suatu masyarakat berbagai latarbelakang agama untuk menemukan konsep nilai yang mempersatukan keberagaman yang ada. Civil Religion melakukan ini dan dapat menemukan esensi dari apa itu agama yaitu iman dan Tuhan lalu menyatukan prinsip tersebut dengan sektor yang menjadi perhatian banyak orang, tanpa memperhatikan seseorang berafiliasi terhadap suatu agama ataupun tidak. Sektor ini dinamakan kehidupan material; kehidupan sehari-hari manusia, politik, dan lainnya, yang berangkat dari prinsip Ketuhanan atau Kekuatan Besar di luar sana, lalu bermuara dengan simbol dan ritual nasionalisme sebagai bangsa Amerika. Ini merupakan usaha central dalam konsep Civil Religion untuk menyatukan keberagaman yang ada, khususnya dalam konteks ini agama, dengan menciptakan suatu kesamaan melalui kepentingan sehari-hari dan sebagai warga Amerika. Civil Religion lebih menekankan terbentuknya tata tertib, kebebasan, dan penegakan hak-hak untuk melengkapi model pemerintah yang Republikan. Konsep ini mencerminkan perspektif publik dan privat dan memiliki symbol-simbol tertentu. Ia dapat membuat kepentingan politik berbasis pada keimanan terhadap Tuhan tanpa membawa konsep agama manapun. Civil Religion melahirkan sebuah nasionalisme yang kuat, yaitu nasionalisme Amerika. Civil Religion berjalan beriringan dengan konsep Pluralisme Beragama, dimana dalam dogmanya, terdapat “the reward of virtue and the punishment of vice” yang mengajarkan orang-orang untuk bekerja keras dan melakukan kebaikan untuk mencapai hasil yang baik pula (berasal dari Protestantisme) . Ia berseberangan dengan intoleransi agama dan satu paham dengan prinsip bahwa hal-hal religius yang privat terpisah dengan hal-hal kenegaraan, selebihnya hal-hal kenegaraan juga bebas dari kendali institusiinstitusi agama, namun semua itu berbasis pada Ketuhanan (In God We Trust). Civil Religion, seperti yang ditulis Bellah, adalah kematian, pengorbanan, dan kelahiran kembali, dalam esensi kebanggaan dan pertahanan terhadap nasionalisme.20 Lalu, Civil Religion menerima prinsip20
Robert N. Bellah, “Civil Religion in America”, Daedalus, Fall 2005.
11
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 prinsip agama yang universal karena hal-hal tersebut melengkapi moralitas nasional. Hal ini berbeda dalam kasus Perancis yang sepenuhnya sekuler dimana agama tidak dapat hidup berdampingan dengan politik dan nasionalisme. Civil Religion, walau tidak sempurna, memiliki sisi-sisi positif sebagaimana dijelaskan sebelumnya dimana terjadi kombinasi antara moralitas dan pengalaman religius (esensi universal agama dan Ketuhanan) dengan politik dan nasionalisme yang mewakili, secara spesifiknya, masyarakat Amerika yang beragam. Rakyat Amerika dan Pluralisme Agama: Kacamata Seorang Pendatang Setelah pengelaborasian diatas dari sisi konstitusi, pemerintahan, dan sejarah, bagaimanakah sebenarnya keadaan di lapangan? Apakah segala teori dan sejarah menghasilkan pengaruh yang diinginkan pada masyarakat AS hingga sekarang? Penulis menginjakkan kaki dan menyusuri beberapa kota besar dan bagian pinggir Amerika (suburb and counties)21 memang hanya untuk selama lima minggu, namun program yang penulis ikuti cukup memberi gambaran dan informasi secara padat melalui perkuliahan dan kunjungan ke lapangan untuk melihat langsung bagaimanakah berlangsungnya Pluralisme Agama di Amerika. Pada dasarnya, semua warga Amerika adalah imigran, kecuali kaum pribumi. Telah umum dikenal bahwa kaum Indian adalah kelompok asli yang menduduki benua Amerika Utara sebelum berbagai pendatang dari Eropa membangun kolono-koloninya sejak abad ke-16. Terbentuknya masyarakat Amerika yang kini kita lihat adalah hasil dari evolusi interaksi sosial dan dari datang, menetap, dan/ataupun perginya berbagai macam suku bangsa ke dalam negara ini. Dinamika perkembangan penduduk Amerika mendatangkan berbagai macam agama dan alirannya untuk berkembang. Walau Kristen Protestan dikatakan sebagai agama mayoritas, agama ini-pun memiliki puluhan denominasi, dan ditambah lagi dengan keberadaan agama-agama lain yang terdapat di A.S. dan denominasi tiap agama tersebut, menambah warna pada kemajemukan yang ada disana. Komposisi agama di A.S. sangatlah kaya dan beragam.
21
Philadelphia, Pennsylvania County, New York, Orlando –Florida, dan Washington DC
12
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Sebagai gambaran umum, berdasarkan data Pew Research Center pada tahun 2007 terhadap kaum dewasa, dalam ukuran presentase, Gereja Protestan Evangelical mencakupi 26.3% dari populasi total orang dewasa, Gereja Protestan Garis Umum (Mainline) mencakupi 18.1% dari populasi total orang dewasa, Gereja Warga Kulit Hitam 6.9%, Gereja Katolik 23.9%, Mormon 1.7%, Jehovah’s Witness 0.7%, Orthodox 0.6%, Jenis-jenis agama Kristen lain 0.3%, Yahudi 1.7%, Buddha 0.7%, Islam 0.7%, Hindu 0.4%, Kepercayaan-kepercayaan lainnya 1.2%, orang-orang yang tidak mengaitkan dirinya dengan suatu agama 16.1%, dan yang tidak menjawab 0.8%. Angkaangka ini hingga kini terus bersilih-ganti.22 Ada ungkapan bahwa tes yang paling menentu dimana kita menilai apakah suatu negara benar-benar bebas, adalah dengan melihat jumlah keamanan yang dinikmati oleh kalangan minoritas di negara tersebut.23 Di Amerika terdapat kaum mayoritas dan minoritas. Tiap ras, aliran politik, dan agama/kepercayaan yang terdapat di AS pernah dalam sejarah ataupun sedang mengalami pasang-surut usaha untuk diterima oleh masyarakat luas di AS. Prasangka buruk adalah bumbu sehari-hari dalam pluralitas agama / kepercayaan. Prasangka buruk ini lahir dari rasa ketidakamanan karena kekurangtahuan informasi mengenai suatu hal / kelompok sehingga menyebabkan prasangka jenis ini untuk muncul. Isu-isu negatif apapun yang terkait pada suatu kelompok merupakan bibit berkembang-biaknya prasangka buruk. Konstitusi memang mendukung terciptanya Pluralisme Beragama, namun tantangan sebenarnya berada di lapangan. Bagaimana masyarakat menerima perbedaan? Apakah toleransi dapat diaplikasikan? Apakah toleransi cukup untuk menciptakan rasa aman? Seberapa jauhkah masyarakat antar-agama dapat bekerjasama dan menerima adanya kepercayaan yang berbeda dari apa yang mereka percayai? Atau bahkan, apakah masyarakat sama sekali tidak peduli dengan adanya perbedaan agama namun yang terpenting adalah tiap pihak tidak boleh melanggar hak-hak satu sama lain? Beranjak dari sejarah, kebijakan, dan teori, yang juga perlu dilihat adalah keadaan di lapangan.
22
US Religious Landscape Survey, Pew Forum on Religion and Public Life: Religious Composition of the US, Pew Research Center 2007 . 23 Di ucapkan oleh John Dalberg-Acton dengan teks asli: “The most certain test by which we judge whether a country is really free is the amount of security enjoyed by minorities”
13
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Amerika merupakan negara yang sangat luas dan tiap daerah memiliki masyarakat dengan karakteristik, kecenderungan politik, dan ciri khas umumnya masing-masing. Implementasi Pluralisme Beragama secara umum cenderung lebih terlihat di kawasan metropolitan atau kota-kota besar dimana kemajemukan masyarakatnya lebih kental terasa dibandingkan dengan yang berada di daerah-daerah pelosok. Ini dikarenakan interaksi berbagai macam orang, khususnya untuk agama melalui dialog-dialog antaragama seperti yang sering dilakukan oleh berbagai organisasi agama contohnya adalah Muslim Community Centre / Islamic Cultural Centre yang terletak di New York, dilaksanakan secara terus-menerus. Imam Shamsi Ali, Imam Islamic Community Centre yang juga memiliki darah MakassarIndonesia dan kini berdomisili sebagai seorang Imam Islam moderat ternama di New York, mengatakan pada penulis bahwa telah banyak dikerahkan usaha-usaha dialog antar-agama oleh berbagai pihak, terutama pasca kejadian 9/11 pada tahun 2001. Islamic Community Centre sendiri, seperi yang disampaikan Imam Shamsi Ali. telah bekerjasama dalam dialog dan melalui program pelayanan masyarakat dengan tempat-tempat peribadatan dan organisasi keagamaan berbagai macam agama di berbagai negara bagian Amerika. Namun, tidak dapat kita pungkiri bahwa masih terdapat berbagai pihak yang sentimen, tidak percaya, ataupun kurang menyukai kalangan tertentu. Semuanya adalah wajar dan proses dialog adalah penting untuk dilanjutkan untuk membuka hubungan dan memberikan informasi nyata yang seringkali tidak dapat di akses atau dinikmati banyak orang sehingga muncullah prasangka buruk. Selama program berlangsung, penulis melihat sisi tantangan dari pluralitas dan implementasi pluralisme, namun juga melihat berbagai usaha nyata yang beragam dari berbagai kalangan untuk mencapai titik toleransi dan kerjasama dalam hal sosial. Selain mengunjungi Islamic Community Center, penulis mengunjungi Indonesian Muslim Cultural Centre di Philadelphia Selatan, St. Vincent de Paul Roman Catholic Church di Germantown, Arch Street Presbytarian Church, Quaker’s Meetinghouse, Mikveh Israel Synagogue, Christ Church, Makkah Masjid, Beth Am Israel Synagogue, New York Tolerance Center, Baha’I Community, Three Faiths – Judaism, Christianity, and Islam New York Public Library Exhibition, Human Rights Watch Headquarters, United Nations Headquarters, 14
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Weavertown Amish Mennonite Community, Northland Evangelical Church, dan Guang Ming Buddhist Temple di Orlando, Florida. Yang dibutuhkan memanglah dialog dan penumbuhan rasa percaya terhadap pihak yang dapat dibilang berbeda dari kita (apakah itu secara religius, ras, orientasi, etc) dan usaha menemukan titik-titik persamaan yang dapat menjadi pemersatu. Dialog bukan berarti memaksakan ide atau kepercayaan kita terhadap orang lain, namun merupakan sarana menyampaikan pendapat dan posisi masingmasing dan apabila menuai titik temu persamaan dalam hal-hal tertentu merupakan sebuah bonus berharga. The 10 Commandments of Dialogue (10 Perintah Berdialog) Prof. Leonard Swidler24, dosen di Temple University, Philadelphia dan ahli Interfaith Dialogue dari Amerika sekaligus pendiri Dialogue Institute: Interreligious, Intercultural International, menyebutkan 10 langkah / perintah yang harus dipersiapkan sebelum melakukan dialog, khususnya untuk dialog antar-agama. Sepuluh langkah tersebut jika penulis parafrase adalah sebagai berikut:25 26 Perintah Pertama, kita harus memiliki keinginan untuk belajar, berkembang, dan berubah. Dalam artian, kita harus memiliki kemauan untuk mencoba membuka diri, menerima keberadaan sesuatu yang berbeda yang merupakan bagian dari realita namun tetap berpegang teguh pada prinsipprinsip yang kita miliki. Yang perlu diingat, harus terdapat keinginan untuk berdialog dan terdapat kelonggaran untuk toleransi terhadap perbedaan. Perbedaan posisi suatu keyakinan akan mempengaruhi bagaimana hasil bentuk suatu hubungan, dan bagaimana kita menyikapi perbedaan dalam hubungan tersebut menentukan pembangunan persepi terhadap perbedaan yang ada. Seperti apa yang diucapkan Socrates yang berguna dalam proses dialog, “The wisest thing is to know we know nothing,”. Jika berada pada titik pemikiran seperti itu, kita akan memiliki keinginan lebih untuk belajar. Kita
24
CV online beliau dapat ditemukan di http://astro.temple.edu/~swidler/swidler_cvfinal.html 25 Leonard Swidler, Khalid Duran, Reuven Firestone, Trialogue: Jews, Christians, and Muslims in Dialogue, 2007, Twenty Third Publications: New London dan 26 Leonard Swidler, The Dialogue Decalogue: Ground Rules for Interreligious, Interideological Dialogue (diakses 20 Februari 2011).
15
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 dapat menyelami orang yang berdialog dengan kita secara total tanpa perlu berdebat. Perintah Kedua, dialog adalah proyek dua-sisi, dimana sebaiknya dilakukan di dalam suatu kelompok berpaham sama dan juga antara beberapa kelompok (intra dan inter). Growing up, reaching out, and strengthening in. Perintah Ketiga, kejujuran dan ketulusan. Mustahil dialog akan bermuara menuju hal-hal positif jika para pihak yang berdialog tidak melakukan keduanya. Keduanya dibutuhkan untuk membangun kepercayaan. Perintah Keempat, tidak ada standar ganda (double standard). Kita tidak bisa membandingkan idealisme kita dengan praktek ritual yang berpaham beda. Idealisme dibandingkan dengan idealisme dan praktek ritual dengan praktek ritual. Perintah Kelima, tiap peserta harus mendefinisikan diri mereka sendiri dan dengan bertemu orang yang berpaham beda dengan kita, kita akan sekaligus belajar untuk memahami diri kita sendiri karena kita akan diharuskan secara langsung ataupun tidak langsung untuk menjelaskan segala hal tentang diri kita. Know thyself. Perintah Keenam, kita tidak boleh langsung lari ke suatu asumsi dimana kira-kira akan terjadi kebuntuan dialog. Dengan tetap menjaga integritas, kita harus terus berusaha untuk menemukan titik temu hingga kita tidak dapat menemukan titik temu tersebut karena melanggar integritas yang kita punya. Perintah Ketujuh, dialog terjadi diantara pihak-pihak yang melihat satu sama lain secara setara, par cum pari. Ini adalah pintu untuk saling bertukar pendapat dengan hormat. Perintah Kedelapan, terdapat fondasi dalam bentuk saling percaya secara personal. Dialog yang baik bermula dengan mencari persamaan antara semua pihak, lalu dapat berkembang ke isu-isu yang lebih berat dan penting untuk didialogkan. Ini membutuhkan trust. Perintah Kesembilan, kita harus bisa bersikap kritis pada diri sendiri karena ini akan membuat kita belajar lebih banyak dan dapat menampung dan memikirkan ide-ide yang mungkin belum pernah terpikirkan. Dengan sikap ini kita dapat lebih mengerti diri sendiri dan orang lain. Perintah Kesepuluh, tiap pihak lambat laun harus mencoba untuk mengalami agama pihak lain “dari dalam”, yaitu secara spiritual dan melalui hati sebagai sebuah pengalaman, lalu setelah mengalami pengalaman itu, 16
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 menerima pencerahan, perluasan pemikiran, dan memperdalam hati. Perintah ini tidak mengajarkan untuk pindah agama, namun merasakan pengalaman di posisi lain agar kita lebih mengerti situasi berbeda dari perspektif berbeda. Kesepuluh perintah ini melengkapi pemahaman mengenai bagaimana melakukan dialog antar-agama, atau bahkan dalam kasus lain, antar ideologi. Perintah-perintah ini penting dalam Pluralisme Beragama karena dialog antar-agama adalah proses penting yang terdapat di dalamnya. Dialog antaragama berlangsung secara praktis, spiritual, dan kognitif, semuanya agar kita lebih memahami Pluralisme Beragama. Di Amerika yang sangat majemuk, cara-cara berdialog yang dikembangkan dari teori akademis seperti inilah yang kian di coba untuk diterapkan di berbagai daerah. Cara inipun bersifat universal dan dapat diterapkan oleh siapapun, dimanapun. E Pluribus Unum dan Dialog Antar-Agama Amerika merupakan negara demokrasi tertua di dunia dengan sejarah yang sangat panjang dan fluktuatif, khususnya mengenai pluralitas agama, sejak pertama kali diumumkannya Deklarasi Kemerdekaan pada 1775. Kemajemukannya, proses adaptasi terhadap berbagai latar belakang yang berkumpul menjadi satu di dalam naungan kibaran Star Spangled Banner, merupakan proses tersendiri bagi setiap individu yang menjadi bagian dari rakyat Amerika. Pencarian jati diri terus-menerus berlangsung, dimulai sejak dicetuskannya konsep Civil Religion di Amerika. Perdebatan terus bergulir, namun ide dan implementasi dialog bermunculan dimana-mana oleh berbagai kalangan untuk berusaha mencari kehendak-kehendak bersama. Dialog merupakan tata cara pendekatan yang bersifat lebih lunak dan berusaha mencapai keadaan saling pengertian dan idealnya mencapai sebuah kesepakatan bersama, dibandingkan tata cara debat yang lebih menginginkan suatu pihak keluar sebagai pemenang dan memiliki argument terkuat. Dua pendekatan ini adalah berbeda dengan kelebihan dan kekurangan masingmasing tergantung konteks dan situasi, namun dalam konteks isu yang penulis angkat dan situasi antar-agama yang ada, dialog-lah yang paling tepat untuk diterapkan. Dialog antar-agama semakin dibutuhkan dan Amerika Serikat pada khususnya sadar akan itu, melihat kemajemukan rakyatnya yang perlu diberi
17
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 akomodasi untuk menampung semua perbedaan dan menciptakan masyarakat yang lebih toleran dan mampu bekerjasama. Amerika tidaklah sempurna dan masih berproses dalam penerapan Religious Pluralisme, salah satu cara yang dapat ditempuh, yaitu Interfaith Dialogue, untuk mewujudkan negara yang benar-benar e pluribus unum. Out of many, one. * * Daftar Pustaka Buku dan teks Bellah, Robert N., Beyond Belief: Essay On Religion In A Post-Traditional World (New York: Harper and Row, 1970). Bellah, Robert N., “Civil Religion in America”, Daedalus, Fall 2005. Budiarjdo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008). Feldman, Noah, Divided By God: America’s Church-State Problem and What We Should Do About It (New York: Farrar, Straus and Giroux). Rousseau, Jean Jacques, “The Social Contract: Book IV”, The Great Books Of The Western World, Vol. 38 dalam Robert Maynard Hutchins (ed) (Chicago: William Benton, 1952). Swidler, Leonard, Khalid Duran, Reuven Firestone, Trialogue: Jews, Christians, and Muslims in Dialogue (New London: Twenty Third Publications, 2007). US Religious Landscape Survey, Pew Forum on Religion and Public Life: Religious Composition of the US, Pew Research Center 2007. Website “GPO Access”, First Amendment: Religion and Expression, (diakses 20 Februari 2011).
18
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 “How Our Laws are Made” dalam The Library of Congress, (diakses 26 Februari 2011). “Library of Congress”, Jefferson’s Letter to the Danbury Baptists, January 1st 1802, (diakses 17 Februari 2011). “Pengertian Macam dan Jenis HAM yang berlaku Umum Global”, dalam Komunitas dan Perpustakaan Online Indonesia, 13 Juli 2006, (diakses 17 Februari 2011). “Religious Laws and Religious Bigotry: Religious Discrimination Built into the Constitutions on Seven US States”, Religious Tolerance, (diakses 20 Februari 2011). “Sudah 342 Kali Ahmadiyah Diserang”, dalam Jawa Pos National Network, 08/02/11 (diakses 17 Februari 2011). Swidler, Leonard, The Dialogue Decalogue: Ground Rules for Interreligious, Interideological Dialogue (diakses 20 Februari 2011). The Wall Street Journal Blogs, “Full Text: Obama’s Prepared Remarks in Indonesia,” November 9th 2010, (diakses 17 Februari 2011). “US History”, The Declaration of Independence, (diakses 17 Februari 2011). http://astro.temple.edu/~swidler/swidler_cv-final.html
19
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Kashmir: The Evolving Conflict & The Religion as Identity. Deviana Wijaya Dewi and Tommy Des Mulianta Abstract Conflict in Kashmir has its own complexity. For decades, Kashmir has never been at state of peace. It has been the roots of conflict between Indian and Pakistan and long-standing conflict between Indian and Kashmiris people. The authors will examine how the Kashmir conflict evolves with regard of religion as identity of the involving parties within it. Two dimensions of conflict in Kashmir are observed. First, the authors would highlight how the nature of the Kashmir conflict has evolved from interstate to intrastate conflict. Second, this article would show how religion plays its role in fueling the mushrooming militant groups in their attempts to secede Kashmir from Indian government. Using Protracted Social Conflict theory, the authors would explain the roots of the conflict and its dynamic, as it is believed that a resolution of this conflict should rely on the understanding of the conflict dynamics in Kashmir itself with emphasizing the involvement of civil society within Kashmiri people. * * Let us together solve the Kashmir dispute once and for all -Pervez MusharrafTheoretical Framework In explaining conflict in Jammu and Kashmir/J&K 1 , theoretical foundation is basically useful in order to select facts and interpret them in such a way to facilitate explanation concerning regularities, recurrences and repetitions of observed phenomena. The theoretical frameworks are tools of analysis of the conflict in this paper.
1
Jammu and Kashmir (J&K) would refer to Kashmir in general that includes the Kashmir Valley (15,948 sq.kms), Indian-control part Jammu and Ladakh (85,439 sq.kms), Pakistanicontrol part Azad Kashmir and Northern Territories (78,114 sq.kms), and Chinese-control part Aksai Chin (42,735 sq.kms). After the ceasefire in 1949, J&K (or Kashmir) is used to refer the Indian-administrative territory, unless specified otherwise. Source: India Together, “Understanding Kashmir: A Chronology of the Conflict,” June 2002.
20
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Understanding the conflict in J&K, one can see it from macro approach of conflict. Macro approach as I Nyoman Sudira stated is considered as classical perspective that underlies identities such as; religion, ethnicity, nation etc, as the main cause of the conflict. It argues that the conflicting actors understand and recognize their identity. Thus they use it to bind their relationship and initiate the fight against the other actors. Ultimately, conflict is the mean to an end, which is the will to power.2 Furthermore, Johan Galtung proposed a simplified model between conflict, violence and peace to explain where the conflict starts and its dynamic; he suggested a conflict triangle or so called the ABC conflict dynamic. The triangle consist attitude (A), behavior (B) and contradiction (C).3 Attitude (A) are often influenced by emotion such as hatred, fear, bitterness, etc. Behaviors (B) are classified by destructive attack, coercion, threat which can be viewed as the instrument of the source of the conflict. The last, contradiction (C), refers to the underlying conflict situation which includes the actual problem between the conflict parties. In this triangle, Galtung assumes that conflict is a life-cycle process which has never ending process. It can transform, escalade, de-escalate transcendence, etc. Kashmir conflict emerged in the decolonization era where the characteristic of conflict had also changed. Edward Rice argues that the characteristic of post colonial wars, or so called “wars of the third kind”4 have at least six aspects. The political goals have changed into the consolidation of a new form of power based on the ethnic and religion homogeneity, which is no longer the foreign policy interest. As Kalevi Holsti puts it “Wars of the late twentieth century are not about foreign policy, security, honor, or status; they are about statehood, governance, and the role of communities within the states”5. The ideologies have turned into tribalist and communalist identity politics. The mobilizations of the mass were organized by religion, fear, media and corruption. The state external supports become diasporas. The superpower or ex-colonial power is not the only or main support of the state 2
I Nyoman Sudira. Teori Konflict, Sebuah Penghampiran dan Pemahaman. In Jurnal Pacis No.2 Tahun 1. November 2003, p 65-67 3 Look Johan Galtung’s ABC conflict dynamic in Miall et al. 2005. Contemporary Conflict Resolution. Cambridge : Polity Press, p.10-11. 4 Look Edward Rice in Miall, Ibid p.81 5 Kalevi Holsti on Hugh Miall, ibid
21
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 but also criminal mafia, smuggler, regional powers, etc. the model of warfare is fragmented and disperses involving the paramilitary, criminal group, ethnic guerrillas. Last but not least, the use of atrocity, rape, famine, etc, has become the common strategy to conquer the other groups. Having identified this new type of conflict, Edward Azar made theory of what he called, the Protracted Social Conflict (PSC).6 He argues that PSCs universally are situations which arise out of attempts to combat conditions of perceived victimization stemming from; denial of separate identity of parties involved in political process, the absence of security culture and valued relationship, the lack of political participation through which victimization can be remedied.7 Azar believes that decentralization of political structure is the main visible solution in which the victim or discriminated groups can acquire their political and social needs and regain their identity. Moonish Anhar concludes that PSC in Kashmir has three things that must be considered in order to make comprehensive resolution8. 1. Question of identity 2. The issue of security of culture, 3. Absence of political participation Furthermore, Anhar in accordance to Azar believes that the decentralization within democratic process in the government is the solution to fulfill the society basic needs, cultural protection and political participation in conflicting region. By addressing this solution, it is most likely the terrorist or state supported militant cannot hold the change of fear and violence situation to peaceful conditions one. Background of the Conflict The Kashmir Conflict traced from its historical background had both interstate and interstate dimension of conflict. Kashmir in nature was a separate and autonomous territory from India and Pakistan. However, the emergence of decolonization era in mid-twentieth century and disruption in 6
Look Edward Azar’s Protracted Social Conflict (PSC) in Hugh Miall, Op.cit, p. 84 - 89 Moonis Ahmar, “Kashmir and The Process of Conflict Resolution,” Pakistan Security Research Unit (PSRU), August 2007, p.5 (23 March 2011) 8 Edwar Azhar in Ahmar, Ibid.,p. 5-6 7
22
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Kashmir & Jammu autocracy government caused a dramatic change of conflict in the region. The roots of Kashmir conflict originated from the signing of Treaty of Amritsar between British colonial and Maharaja Gulap Sings, a ruling Dogra princely from upper class-caste Hindus in Jammu. The treaty was signed when the Sikhs power lost its grap in Kashmir after the death of its leader Maharaja Ranjit Singh in 1838. Gulap Singh who had expanded its territory from southern base of Jammu region to the remote Himalayan regions of Ladakh and Baltistan in 1920 – 1930, conspire with the British to abolish Sikh power in Kashmir territory. Gulap singhs played its cards well, thus ultimately he can reign over the Valley of Kashmir and overthrown the Sikhs dynasty by cooperating with the British. Since then, Gulap Singhs dynasty become the King of Kashmir and Jammu regions and has its legacy until now. The treaty of Amritsar admitted the self-governing ruler of Maharaja Gulap Sings, King of Hindu Dogra ethnicity to rule the J&K region. In return, the king had to acknowledge the supremacy of British colonial by willing to pay tribute payment and lend his military forces to the British whenever needed. For almost a century, Maharaja Gulap Sings and his heirs built a Hindus centralized government In J&K. the legacy of this treaty was continued until the emergence of de-colonization event in the late 1940s. In 1941 consensus, held by the British, the population in J&K region is 77 percent Muslim, 20 percent Hindu and 3 percent other, mostly Sikhs and Buddhists. Despite Muslim people are vast in number, they did not have any privilege in political, societal and economic life in the region. All the political and economical sectors were highly controlled by the minority Hindu elites. Muslims, as Sumantra Bose noted, were commonly not allowed to become state’s officers both in civil and military which was led by Sikhs and Hindu caste.9 As consequences, Muslim societies in Jammu and Kashmir region were greatly impoverished for decades. The condition of J&K Muslims was described by a prominent Kashmiri Journalist, Prem Nath Bazaz as followed: “The poverty of the Muslim masses is appalling. Dressed in rags and barefoot, a Muslim peasant presents the appearance of a starving beggar . . . Most are 9
Sumantra Bose. 2003. Kashmir: Roots of Conflict, Paths to Peace. Massachusetts: Harvard University Press, p 17
23
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 landless laborers, working as serfs for absentee [Hindu] landlords . . . Almost the whole brunt of official corruption is borne by the Muslim masses . . . Rural indebtedness [to Hindu landlords and moneylenders] is staggering.”
There were no political actions or protest from the muslims to fight for their rights until 1930s. A prominent muslims figure in Kashmir, Sheikh Muhammmad Abdullah established All-India Kashmir Muslims Conferencre (MC) in Lahore, a forum to help young muslims from J&K to get proper education, especially in the university. In 1931, an attempt from young Muslims in J&K to protest the grievance of Muslims to Maharaja culminated in a riot on the streets of Srinagar and killed at least twenty-one people. Sumantra Bose argued that the killing of young muslims become the historical political movement of Muslims people in Kashmir.10 Sheikh Muhammad Abdullah was captured after the riot, and a year later, after his releasing, Abdullah along with his counterpart, Chaudry Ghulam Abbas established the All-India Kashmir Muslim Conference (MC) as political party to accommodate growing political and social movement in J&K. However, the relationship among those two prominent Muslims figure in J&K was not going well. Abdullah believed that the future of the party should be open to the non-muslim cadre, included the Hindus. Meanwhile Ghulam had always opposed it and defended the exclusiveness of muslims within the party. Disintegration within the party was unavoidable. Abdullah and his follower changed the name of the party to All Jammu Kashmir National Conference (NC) after won the party congress. Ghulam Abbas, and his majority follower from Jammu region who had lost the party congress decided split up from the party and revived the MC in 1940. National Conference became leftist secular party in the forthcoming years. As it shared the same ideology with Indian National Congress, it brought the relation between Abdullah closer to Indian political figure, Jawaharlal Nehru became very close. On the contrary, Ghulam Abbas with its MC was shared the same view with All India Muslim League, Pakistan’s founding party who was led by Muhammad Ali Jinnah. The engagement of both parties led to the first India – Pakistan War in 1947. The movement of the NC and MC in the leading years to 1947 had raised several protests to the J&K Government. In May to June 1946, the NC launched the Quit Kashmir movement to overthrown Maharaja Hari Singh 10
Ibid, p.19
24
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 with his Hindu autocracy and established a more democratic government. Mass protest was rampant in the Valley of Kashmir following to this movement. Responding to this protest, J&K Government arrested all the leaders of the NC, including Sheik Abdullah. As the NC leaders were arrested, the MC leaders saw that the opportunity to fill the vacuum political power in the Valley. Unfortunately, the plan was backfired when the Authority captured and arrested the MC leaders whilst they gave speech in Friday Prayer in the Big Mosque in Srinagar. The moment of political mobilization in J&K ended for a while until the establishment of India and Pakistan states in 1947. Decolonization of India and Pakistan had also brought the significant change to Kashmir conflict. It was thorn in the flesh to the India-Pakistan relation until today. As both countries proclaimed their independence from the British in 1947, the uprising against the J&K also occurred in Poonch, an area bordered with Kashmir Valley, Jammu and Rawalpindi regions in the same year. The revolt was against the taxation policy of the J&K government to the Muslims peasant in the area which damaged their economy. The protest was responded by sending Dogra and Sikhs Troops to the area which made severe retaliation from the locals. The newly state of Pakistan was getting involved to the uprising after several Muslims rebellion went to Pakistan territory, especially Punjab and NWFP regions when the had been cornered from the J&K army. Pakistani tribesman, who shared the same Muslim Identity decided to help the rebels. They believed that the minority Hindu centered government had tried to massacre the Muslims in Poonch and several Muslims majority regions. Therefore they decided to engage directly to the revolt.11 The Muslims revolt outnumbered the government army. As the consequences, the Muslim rebels together with Pakistani armed groups beleaguered J&K the army and took back majority of the Poonch area in September 1947. The battle of Poonch became the milestone of Muslims movement in the region and strengthened the Muslims position politically, especially in western of Jammu. Thus, in October 3rd 1947, directed by pro Pakistan Muslims, the formation of “Azad” Jammu Kashmir (AJK) was proclaimed for the first
11
Victoria Schofield.2003. Kashmir in Conflict: India, Pakistan and the Unending War. London: I.B Tauris & Co ltd, p 41
25
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 time which included the Poonch, Muzzafarabat and Mizpur.12 Muzafarabat city in the future become the capital of the AJK region. Following the Poonch event, in 21 October 1947, several Pasthun Tribesman came from Northwestern of J&K region began attacking Kashmir Valley, where Srinaga, Capital of J&K located. Mahajara accused Pakistan infiltration behind the mobilization. However, as noted by Victoria Schofield: “The general belief amongst Pakistanis is that the tribesman were incited to a ‘holy war’ by the stories of atrocities which fleeing Muslims brought with them to the market places of Peshawar”13 The Pasthun Tribesmans’ attack had seriously cornered the J&K government which had already weakened since the lost of Poonch. Even though Pakistan government denied its involvement to the rebellion, the J&K government urged Pakistan to stop the Pakistan-supported cross-border terrorism; it is the same reason Indian Government accused Pakistan for decades later.14 The Maharaja Hari Singh finally approached India to help his war in western territories. Jawaharlal Nehru, the first India Prime Minister agreed to help by offering some conditions. India urged Maharaja to released Sheik Abdullah and his followers and most importantly, offering the accession of J&K regions to Indian Territory with special autonomy, such as federal government. The Indian’s reason to offer accession was due to the legality terms. As newly independent states, Indian government did not want the international world think that India invaded neutral territory. Having agreed to the conditions, India immediately landed its troops to Srinagar, Valley of Kashmir in 27 October 1947. Pakistan was furious after knowing the Indian intervention. Muhammad Ali Jinnah directly ordered to the Pakistani army to deploy its troops in Kashmir. By sending the Pakistani army to the new part Indian legal territory, Pakistan openly declared war against India. This is the first interstate war between India and Pakistan. The battle was fierce in several areas in Srinagar, Baramulla and Ladakh region. The Pakistan troops together with the tribesmen offensively 12
Sumantra Bose, 2003. p 32-33 Schofield Op,cit, p 50 14 Sumantra Bose. 2003. p 34 - 36 13
26
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 raided to the main city of Kashmir which was defended by Indian army and the NC militia. As they fights against Pakistan, at the same time, India also complained the Pakistan aggression on Indian territory to the United Nation. Responding to the complained, the UN reacted as it established the United Nation Commission for India and Pakistan (UNCIP) to mediate both parties. The moment of ceasefire came in early January 1949. Suffered with great loss and exhausted, both India and Pakistan decided to comply with the truce that had been made by the UNCIP in August 1948. India and Pakistan were convinced that they could no longer make significant territorial gains again.15 The ceasefire line (CFL) was made to maintain the truce. India controlled approximately 63 percent of J&K territory, including the Kashmir Valley, Jammu and Ladakh regions, this was known as Indian Jammu Kashmir (IJK). While Pakistan controlled the western side of J&K regions, mostly bordered with Punjab and NWFP. This area was the previous AJK proclaimed territory. The CFL become the Line of Control (LoC) in the third Pakistan – India war in 1971 and put a long standing stalemate to India – Pakistan War. The stalemate and the LoC was the beginning of the new, long standing intrastate conflict in Indian Jammu Kashmir (IJK). Dynamics of Kashmir Issue: From Interstate to Intrastate Conflict Since the establishment of Ceasefire Line (CFL) between Indian Jammu Kashmir (IJK) and Pakistan-controlled Azad Jammu Kashmir (AJK), Kashmir has changed its nature to intrastate conflicts within the Indian Jammu Kashmir territory. The small-scale wars were still occurred between India and Pakistan after the ceasefire. However, since the Line of Control (LoC) was determined in 1971 as a continuity of CFL, India and Pakistan have never been involved into direct war. On the contrary, the tension heated within the Indian Jammu Kashmir toward the India. Iffat Malik separates the dynamic of Kashmir conflict into two distinctive phases. The first is build-up to Insurgency phase from 1987 to 1989. The second is the actual-scale conflict which was shaped after the “successful” de-alienation of Indian Jammu Kashmir from India government.16 The period of insurgency build up was started from the fraud election in 1987. Nonetheless, an event has always been the accumulation of 15 16
Ibid, p.43 See Iffat Malik in Ahmar, Op, Cit. p .7
27
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 the other events that have occurred. The period of insurgency build-up in IJK was clearly a continuity of dissatisfaction of the people in IJK over Indian constitution change in 1954 and the fierce conflict within the NC which caused economic deprivation to society. The instrument of accession of Indian Jammu Kashmir was guaranteed over special autonomy in article 370 of 1950’s Indian constitution. Nevertheless, as India became republic, parliament opposition and the army were dissatisfied over special treatment of the Kashmir region in the union republic. Thus, in 1955, India finally revised its constitution on IJK which gave the Indian central government the right to legislate the Indian Jammu Kashmir government within the Indian Parliamentary. This was later become the foundation of New Delhi government and the army to intervene IJK territory under the security acts. The conflict within the NC party was not less significant to lead the making of insurgency in Indian Jammu Kashmir. Soon after the end of India – Pakistan war in 1949, Sheikh Abdullah was appointed as prime minister of Indian Jammu Kashmir together with Bhaksi Ghulam Muhammad as his deputy. The power struggle among the IJK leaders led to the end of Sheik Abdullah administration. Abdullah was vocal to the Indian tendency to end IJK special autonomy. Therefore, New Delhi tried to find pro-indian person to rule IJK region in accordance with the Indian government. As has been noted in history, Bhaksi Ghulam Muhammad was elected as Abdullah’s successor. Bhaksi Ghulam Muhammad made transactional agreement with Indian government to secure its position as prime minister. As in return, he would facilitate IJK into Indian integrations. As the consequences, democracy declined while IJK autonomy was significantly reduced by central government. The undemocratic Bhaksi Ghulam Muhammad remained unchallenged until 1963 when Nehru advised him to step down and put some opposition due to the international pressure to a more democratic Kashmir and the economic deprivation in IJK. In the upcoming years, especially after Nehru’s dead in 1964, India intervention toward IJK politics was increasingly viloable, especially when Pakistan’s raid in 1965 and 1971. India saw its intervention to secure IJK integration to Delhi was essential to contain Pakistan supported guerilla in IJK. India, for instance merged the NC party into Indian Congress Party, as a consequences, India ruling party can 28
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 appoint leaders in IJK from Delhi’s desirability. It could be seen from Delhi intervention on the appointment and de-appointment of the next ruler of IJK, from Chief Minister Farooq Abbas, to G.M Shah. There had been great dissatisfaction among the Kashmiri people especially the young and urban Kashmiris towards the Indian-administrative government ruling in Jammu and Kashmir due to the conviction that Chief Ministers. They were not only extremely corrupt but also became a puppet of New Delhi, causing Srinagar to be seemingly alienated and neglected. This widespread grief and resentment among the Kashmiri, which the population consisted of mainly Muslims, would lead to the mushrooming movements of insurgency to strive for independent Kashmir in the future. It was the fraud of 1987 election which led to the build-up of insurgency in IJK. The years from 1987 to 1989 were important milestone of Kashmir conflict. It was the ‘end’ of political struggle and the beginning of organized armed rebellion in Indian Jammu Kashmir territory against India central government by using its Muslims identity. Syed Mir Qasim simply argued that it was the consequences of the reduced of National Conference to a nonentity in Kashmir’s politics.17 To a broader sense, Qasim argument was referring to the intervention of Delhi politics which eliminate the political entity within the IJK. The election of 1987 was the proved of Qasim apprehension. There were two candidates of 1987’s IJK general election, Ghulam Mohiuddin Shah, from NC and Muhammad Yusuf Shah, from Muslim United Front (MUF). As had been predicted, Muhammad Yusuf Shah won the election but his winning was turned down by the authority with fraud reason. Angered by the decision, Muhammad Yusuf Shah changed his name to Syed Salahhuddin, and took the role of Commander in Chief of Jammu and Kashmir Hizb-ul Mujahideen (JKHM) in early 1990s. His former colleague in MUF, quit the organization and went to AJK. He came back in 1989 and become the important member of the Jammu and Kashmir Liberation Front (JKLF). Both were guerillas fighter against Indian government in Kashmir. However, unlike Hizb-ul Mujahideen which supported by pro-pakistan movement, the JKLF was committed to make Jammu and Kashmir independent as state, seceded from India and Pakistan. 17
Syed Mir Qasim in Sumantra Bose.2003, Op, Cit. p 86
29
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 The principal guerrilla organization JKLF believed that engaging and cultivating young men in Kashmir valley would be essential to bring independence in the land of Kashmir with unification of the Indiancontrolled area and Pakistani-controlled area in a sovereign state. JKLF declared the starting point of its armed struggle on 1 August 1989 after four young Kashmiri men recruited as the core of the organization. As JKLF began its rebellious actions, the Kashmir police and Central Reserve Police (CRP, a federal force) continued to do the search of the JKLF supporters with gross abuses of Kashmiri people in the form of rape, theft and torture. However JKLF was still poorly armed and ineffective until January 1990 as more confrontations towards CRP and Kashmir police erupted which culminated with the killings of 130 protesters by CRP men. In January 1990 Jagmohan, the new governor in Srinagar, insisted to not blame the security forces for they dealt with ‘terrorists’ and that there was no any human rights problem in Kashmir.18 The government’s alienation of Kashmiri opinion generated more confrontations in greater extent and more support for the JKLF in the other hand. In February 1999 the entire population of Kashmiri civilians involved in the fight against the government as Edward Desmond described: “Kashmiris in Srinagar were turning out in groups of several tens of thousands to march on the United Nations’ office in Srinagar (established in 1953 (CKTK) as part of the UN’s mission to monitor the line of control), and the ambivalence of middle class Kashmiris had turned to militancy.”19
The eruption of insurgency in 1990 generated Indian central government’s direct rule on the state of Jammu and Kashmir. Thorough 1990s, the protracted guerrilla war between militant groups (mostly Muslims) and the Indian government (mostly Hindus) started to take place in Indian-controlled Kashmir particularly the area Line of Control nearby the Pakistani-controlled Kashmir valley. It is believed that in this case the Hindu Kashmiri minorities were seen to be outside the rest of Muslim Kashmiris that joined the militant groups and considered to be in support with Indianadministrative government, as religion became identity that recognized one 18
Edward Desmond, “The Insurgency in Kashmir (1989-1991),” Contemporary South Asia (March 1995) (26 March 2011). 19 Ibid.,
30
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 particular party from the other. The situation generally describes as following: “From the outset, the Indian government's campaign against the militants was marked by widespread human rights violations, including the shooting of unarmed demonstrators, civilian massacres, and summary executions of detainees. Militant groups stepped up their attacks, murdering and threatening Hindu residents, carrying out kidnappings and assassinations of government officials, civil servants, and suspected informers, and engaging in sabotage and bombings. With the encouragement and assistance of the government, some 100,000 Hindu Kashmiris, known as "Pandits," fled the valley.”20
Furthermore, some militant groups started to come out in J&K. in 1993 another militant insurgency group Jammu and Kashmir Hizb-ul Mujahideen (JKHM) overshadowed the JKLF. Although both JKLF and JKHM were both sharing resentment and dissatisfaction with Indian policy toward Kashmir, these two groups had differences. JKLF was a Muslim but not an Islamist movement while JKHM is an Islamist group tightly connected with Sunni Muslim political organization Jama’at-i-Islami (JI), and unlike JKLF that aimed for the independent and sovereign state of Kashmir, JKHM aimed for the unification of Kashmir with Pakistan with the background that JKHM was formed and backed by Pakistani military InterServices Intelligence (ISI) in the first place.21 Meanwhile in the late 1993 there established the All Parties Hurriyat Conference (APHC), to be an umbrella group of all political and militant organizations fighting for independence in Kashmir.22 The insurgency reached its highest intensity from 1990 to 1995, causing Indian forces on the defensive. During this period Srinagar was full by heavily armed rebels, a far cry from its image of heavenly touristic place. The insurgency waned to some extent after 1995, due to “the ruthlessness and tenacity of the Indian counter-insurgency effort – the Indians operated a policy known as “catch and kill” against suspects – and partly because of problems within the insurgent ranks,”23 as Sumantra Bose suggested. It was 20
Human Rights Watch, “Behind the Kashmir Conflict: Abuses by Indian Security Forces and Militant Groups Continue,” (25 March 2011). 21 Sumantra Bose. 2007. Contested Lands. Cambridge: Harvard University Press, p 180. 22 Human Rights Watch, “Behind the Kashmir Conflict: Abuses by Indian Security Forces and Militant Groups Continue.” 23 Sumantra Bose.2007, p 181.
31
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 by 1996 when the Indian military unites received more support from the groups of ex-guerrillas in the area of Kashmir Valley, making it easier for Indian government to regain control over Srinagar and other parts of both urban and rural areas. Furthermore Bose argues that the insurgency did not stop despite its decline in some extent, instead it gradually altered in two aspects: the broaden range of the conflicting area and the composition of the insurgent groups. First, the insurgent guerrillas expanded from the Kashmir valley to larger part of the Jammu region, which was multireligious unlike the Muslim-dominated Kashmir valley, included the remote rural areas such as forest and mountain. The second alteration lay in the increasing involvement of from Pakistani-radical-Islamist fighters and ISI’s members in the insurgency, thus the insurgency was no longer teemed with residents of Indian-administrative Kashmir. These two changes in the late 1990s made the insurgents expand in terms of strongholds and the fighters’ element. 24 As of 1999, most of militant groups such as JKHM, Harakat-ul Ansar and Lashgar-i Toiba supported the unified Kashmir with Pakistan as Pakistani government was clearly believed to involve in arming and training Kahmiri militants. Reacting to the mushrooming militant groups, in the mid 1999 India deployed thousands of troops and federal security forces to Kashmir valley and Kargil region.25 The 1999 war erupted between India and Pakistan regarding the Pakistani intruders on Kargil area in Kashmir and that India regained its lost territory as Pakistan withdrew from Kargil after the Washington Agreement with the US.26 Since 1990 to the mid of 2000 the estimated toll of the dead (including Muslim and Hindu civilians, Indian security forces and militant groups) are over 40,000 people. In the early 2000s numerous efforts of ceasefire and diplomatic agreement had been tried to impose but there had been little progress on the issue. As once recommended by the State Autonomy Committee (SAC) to restore the Kashmir to pre-1953 status with
24
Ibid., p.182. Human Rights Watch, “Behind the Kashmir Conflict: Abuses by Indian Security Forces and Militant Groups Continue.” 26 India Together, “Understanding Kashmir: A Chronology of the Conflict,” June 2002. (26 March 2011). 25
32
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Indian jurisdiction limited to defence and foreign affairs India rejected the autonomy recommendation, India clearly rejected the offer.27 Concerning the present relevance, violence has gradually decreased in particular area of Kashmir valley since a peace process between India and Pakistan in 2004 but the insurgent movements still carry on. Although some plans of troop withdrawal has been announced by India in the late 2009, India would still implement the controversial Armed Forces Special Powers Act, which authorizing the military unit to arrest people without warrant and detain people with violence and killings. It is also believed there would be about 500,000 Indian troops currently in Jammu and Kashmir.28 Slow progress in resolving this issue indicates how cooperation among all involving parties is needed to make considerable improvement in reaching resolution. Seeking Plausible Resolution Formulating a solution of Kashmir issue is no easy task. What happens in Kashmir for the last 60 years is a complex matter of both intrastate and interstate conflicts because it takes place in one particular region or society while it also involves several stakeholders in the region in the same time. One of the challenges needed to take into account is how to deal with the uncontrollable non-state actors in Kashmir. Several plausible solutions have been initiated in the past regarding the issue in Kashmir, nevertheless it is an uphill task to determine and implement solution that accommodates to all parties involved, which leads to the fact that there has been very slow progress in resolving the conflict. Plebiscite has been one of the popular options for solution in Kashmir. With the belief in the notion of right to self-determination, the United Nations had urged both India and Pakistan to hold a plebiscite in Kashmir since the 1948 Security Council Resolution 47/48 that proposed plebiscite for the Kashmiri people to determine the future of the state Jammu and Kashmir.29 Regretfully this proposed plebiscite never took place. The 27
Ibid. BBC News, “India Says Troops Have Been Withdrawn from Kashmir,” December 2009. (26 March 2011). 29 Karen Parker, “The Kashmiri War: Human Rights and Humanitarian Law,” Humanitarian Law Project International Educational Development. (23 March 2011). 28
33
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 three main actors in the conflict India, Pakistan and the Kashmiri people have viewed the conflict resolution in Kashmir particularly the idea of plebiscite differently. India sees Kashmir as an integral part of India historically and insists to maintain the status quo, Pakistan does not accept Indian control and perceives Kashmir ethnically as its part due to the major Muslim population in the region. In short, both India and Pakistan totally disapprove the independent state of Kashmir.30 Meanwhile the people in Kashmir had showed their strong willingness to have an independent Kashmir, but one needs to bear in mind that these people in Kashmir refer to the Muslim Kashmiris who automatically would have majority in regular voting procedure and that the Hindu Kashmiris would be likely overlooked as the minority in the region. In short, most of the Muslim Kashmiri people believe in the independence while the minority Hindu Kashmiri people would feel threatened if Jammu and Kashmir became an independent state as it would most likely be an Islamist state. Considering the fact that the idea of plebiscite has never been accepted by all parties, the prospect of this proposed solution of plebiscite would be least feasible unless there are conditions that all parties could agree upon. In dealing with the Kashmir issue, the role of United Nations has been questioned as the quantity of resolutions passed by the UN concerning this issue had decreased significantly since 1971.31 In the other hand, the role of non-state actors in Kashmir have increased since the early 1990s where the militant groups and separatist groups started to mushroom. Established in 1993 with purpose to merge alliance of more than twenty-five diverged separatist groups in Kashmir, the APHC has been trying to be an umbrella group to provide centralized platform in divided lot of separatist camp in Kashmir.32 The APHC led by Miwaiz felt pessimistic to rely on the UN in resolving the Kashmir issue as it has failed to implement its own resolutions in the region. Mirwaiz suggested the talks involving India, Pakistan and Kashmiri people under international monitoring as a very first stride to put an end for the conflict in Kashmir. Concerning the failure of bilateralism 30
Global Security, “Military: Kashmir,” (23 March 2011). 31 Kashmir in the United Nations (23 March 2011). 32 “Kashmir Separatist: Divided We Stand,” Kashmir Newz, September 30 2006, (23 March 2011).
34
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 between India and Pakistan, Mirwaiz believed the future talks should be time bound.33 To make this idea come into realization, the UN could still play its role as the facilitating party, not the mediator as the organization has slightly deprived its popularity in tackling Kashmir issue. UN can be the international monitoring body that hosts the talk involving India, Pakistan and the Kashmiri people. It is believed that this proposed plausible solution to resolve the Kashmir issue would be likely to happen if the UN or whoever would host the talk can suggest the provision of terms and conditions that all parties will approve of. Another proposal of solution was once initiated by Pakistan President Pervez Musharraf during 2006 and early 2007 that focus on four points, which were the following: 1) demilitarization and troops withdrawal gradually in Jammu and Kashmir, 2) self-governance in regional system for people in each area would be represented well, 3) establishing ‘soft borders’ where there would be free movement for Kashmiri people and 4) joint management and supervision of Jammu and Kashmir by India and Pakistan.34 This approach, if implemented well, can offer temporary solution for the conflict at the moment to maintain peace and stability in the region while it would potentially lead to future resolution. However, one might see that the Kashmir issue is a ‘classical case of a distinct ethnic and religious community (Muslims) feeling socially and politically deprived’35, as Moonish Ahmar suggests the conflict in Kashmir has evolved more into intrastate issue, classified as what Edward E. Azar calls ‘protracted social conflict’. As previously discussed, Ahmar examines Azar’s protracted social conflict theory in the context of Kashmir issue by identifying three things: the question of identity, the issue of security of culture and the absence of effective political participation. With regard to the notion of protracted social conflict in Kashmir, it is believed that the discriminatory attitude from state actors and the centralized structure of governance caused the people in Kashmir face the crisis of identity and security, which lead to the culture of violence and insecurity in Kashmir itself. Therefore a solution to the Kashmir conflict would have to embrace 33
“Forget UN, India & Pak must talk, says Hurriyat,” The Times Of India, January 5 2011 (23 March 2011). 34 Moonis Ahmar, “Kashmir and The Process of Conflict Resolution,” p.10-11 35 Ibid., p.5.
35
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 these three things in the first place by providing the people in Jammu and Kashmir the freedom of determining identity, cultural protection, basic traditional security and opportunity to involve in political activities in a decentralized state structure. These provisions would hinder the militant and terrorist elements from sustaining the environment of fear and violence in Kashmir.36 The Kashmir issue shows how religion takes part as distinctive feature that distinguishes one particular group from the others while in other way affiliates those who belong in a particular group as one identity. The identity based on religion would fuel the insurgency movement, which is mostly undertaken by the Muslim-dominated Kashmiri people, to fight against the Indian-administrative forces within Jammu and Kashmir. In the light of conflicts included Kashmir issue, religion would play its role in term of ideology rather than in term of faith. However, despite the growing scientific literature about religious violence, it is not feasible to use purely religious perspective in order to explain violent conflict generally due to the dynamic of religion as a social construction. To this extent, Carl Sterkens and Handi Hadiwitanto suggested: “Religion – as a social construction – is deeply embedded in its environment and changes continuously in relation to that environment. It cannot be separated from its societal context. Religion and religious ideologies are intertwined with economic, political, social and cultural ideologies and it is difficult, if not impossible. To isolate and identify religious origins or motives for violence in specific situations.”37
Viewing religion as a social construction, the religious dimension of Kashmir issue can be seen on the basis of economic, political, social and cultural deprivation among the Kashmiri people. Referring to Ahmar’s previous discussion about the context of protracted social conflict happening in Kashmir, the resolution towards this ongoing conflict should involve proportional participation of the parties concerned and provision of stakes that would later ‘encourage the parties to reach a plausible solution in a decentralized state structure.’38 This means such resolution would be best 36
Ibid., p.6. Carl Sterkens and Handi Hadiwitanto, “From Social to Religious Conflict in Ambon: An Analysis of the Origins of Religiously Inspired Violence,” in Religion, Civil Society and Conflict in Indonesia, eds. Carl Sterkens, Muhammad Machasin and Frans Wijsen (Berlin: Lit Verlag Dr. W. Hopf, 2009), p.59. 38 Moonis Ahmar, “Kashmir and The Process of Conflict Resolution,” 37
36
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 coming with bottom-up method at the grass-root level where the empowerment of civil society is imminent as a prerequisite to maintain peace in the region soon. The involvement of Kashmiri people in resolving this conflict would make the Kashmiri people themselves feel recognized that they would feel more secured and less threatened by both state and non-state actors thus the militant terrorist elements will be less likely to be able to sustain the environment of fear and violence. Concluding Remarks The Kashmir conflict was clearly Protracted Social Conflict which occurred after the emergence decolonization era in twentieth century. It is, as Sumantra Bose argues, driven by a complex of multiple, intersecting sources and defined by multiple interlocking dimensions.39 However, the Kashmir conflict is evolving through the time. The first notice was the change of its nature from interstate to intrastate conflict which started right after the establishment of Ceasefire Line (CFL). The CFL divided Pakistan controlled Azad Jammu Kashmir and Indian Jammu Kashmir. The term Line of Control (LoC) today was based on the CFL. The second was the insurgency period from 1989 until now. It was the period of the dynamic of intrastate conflict within Indian Jammu Kashmir and Indian Government. It occurred due to dissatisfaction of IJK people toward India’s intervention. India supports undemocratic and corrupt regime which make people suffer, economically, socially and politically. In people perception, what India has done in IJK was similar to what Hindu centered Dogra Ruler did when oppressing Muslims people in J&K for decades. The Hindu ruler versus the Muslims Consequently, insurgency movements are unavoidable as an instrument of fighting against the oppressor. Jammu and Kashmir Hizb-ul Mujahideen (JKHM) and Jammu Kashmir Liberation Front (JKLF) are notable insurgent groups within the IJK. Both are embedding Islamic identity as the majority of Indian Jammu Kashmir people are Muslim. Religion at this point is used to get support and unite the people in IJK to fight against Indian regimes in IJK. the fight has been occurring from 1990s until now, 39
Sumantra Bose. 2003, p 51
37
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 and consuming hundreds of thousands people as the victims. Although several resolutions was offered, there has not been any significance to end the conflict in Kashmir. We argue that decentralization of IJK is the best plausible solution to end the conflict of Kashmir to give back people participation. However, putting decentralization without empowering civil society in IJK is impossible. Thus, Indian government has to seriously construct civil society which is not bonded by religious sentiment. * * Bibliography Books: Bose, Sumantra. (2003). Kashmir: Roots of Conflict, Paths to Peace. Massachusetts: Harvard University Press. Bose, Sumantra. (2007). Contested Land. Cambridge: Harvard University Press. Miall, H. et al. (2005). Contemporary Conflict Resolution. Cambridge: Polity Press. Schofield, Victoria. (2003). Kashmir in Conflict: India, Pakistan and the Unending War. London: I.B Tauris & Co ltd. Sterkens, C. and Hadiwitanto, H. (2009). “From Social to Religious Conflict in Ambon: An Analysis of the Origins of Religiously Inspired Violence”, in Sterkens. C. and Machasin, M. et al. (eds), Religion, Civil Society and Conflict in Indonesia. Berlin: Lit Verlag Dr. W. Hopf Sudira, I Nyoman. (2003). “Teori Konflik: Sebuah Penghampiran dan Dasar Pemahaman.” Jurnal PACIS no.2 Tahun I November 2003.
38
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Website: Anonymous. (1999). “Behind the Kashmir Conflict: Abuses by Indian Security Forces and Militant Groups Continue.” Human Rights Watch, (25 March 2011). Anonymous. (2002). “Understanding Kashmir: A Chronology of the Conflict.” India Together, (26 March 2011). Anonymous. (2009). “India Says Troops Have Been Withdrawn from Kashmir.” BBC News, (26 March 2011). Anonymous. (2011). “Forget UN, India & Pak must talk, says Hurriyat,” The Times Of India, (23 March 2011). Anonymous. “Military: Kashmir.” Global Security, (23 March 2011). Anonymous. “Kashmir in the United Nations,” cc.ca/un/index.htm> (23 March 2011).
Ahmar, Moonish. (2007). “Kashmir and The Process of Conflict Resolution,” Pakistan Security Research Unit (PSRU). (23 March 2011).
39
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Desmond, Edward. (1995). “The Insurgency in Kashmir (1989-1991).” Contemporary South Asia March 1995, (26 March 2011). Parker, Karen. (1996). “The Kashmiri War: Human Rights and Humanitarian Law,” Humanitarian Law Project International Educational Development. (23 March 2011).
40
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Islam, Hubungan Internasional, dan Media: “Tauhid Internasional” vis a vis “Postmodernisme Media” Nayaka Diasa Abstract There are so many sophistries that developed when some scholars labelling a concept that related to religious thoughts which differ from their idea as unscientific. Whereas Immanuel Kant noted that it is about an a priori or most who argue that religion on human beings in some way influences how people’s think. In religious phenomena, normative factors have a significant influence on international relations and most of identity is an influence on international relations and religion is an influence on identity. Therefore, the concept of Islam have been engaging the international relations since long time ago. * * Pendahuluan Segala apa yang ada di dalam pikiran manusia, apa yang menjadi arah tujuan hidupnya dan bagaimana manusia tersebut melihat dirinya, masyarakat dan seluruh aspek di dalam kehidupannya, sangat dipengaruhi oleh paradigma yang diikuti oleh orang tersebut.1 Dalam hal ini, agama menjadi satu variabel yang sangat signifikan yang menjadi sebuah cara pandang umat manusia baik disadari dan diakui maupun tidak dalam menjalankan kehidupannya termasuk dalam politik. Dalam kajian ilmu-ilmu sosial yang ada kaitannya dengan dimensi agama, hampir tidak ditemui di berbagai literatur-literatur akademis yang tidak menuliskan peristiwa “11 September” sebagai titik balik terbukanya mata para sarjana Hubungan Internasional mengenai bagaimana fenomena agama mempengaruhi konstelasi politik internasional.2 Pasca peristiwa 11 September, muncul stereotip terhadap kelompok keagamaan yang salah satunya dibentuk oleh media massa sebagai aktor yang sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik hingga masuk ke dalam kalangan intelektual 1
Thomas Hidya Tjaya dan Sudarminta, J, Menggagas Manusia Sebagai Penafsir (Yogyakarta: Kanisius, 2005). 2 Jonathan Fox dan Shmuel Sandler, Bringing Religion Into International Relations (New York: Palgrave Macmillan, 2004).
41
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 yang membuat dunia sekular mulai membuka mata terhadap fenomena agama transnasional. Semakin meningkatnya religiusitas masyarakat dunia, munculnya pengaruh politik gerakan-gerakan keagamaan di banyak tempat, seperti fundamentalisme Yahudi di Israel, fundamentalisme Hindu di India, Kristen Kanan di Amerika Utara dan fundamentalisme Islam di banyak negara memaksa kalangan sekular meninjau kembali teori mereka.3 Dalam tulisan ini, ruang lingkup yang akan dibatasi pada bagian pertama yaitu bagaimana konsep dasar Islam menjelaskan konsep ketuhanan dan Qur’an serta Sunnah sebagai sumber pedoman utama bagi penganutnya. Pada bagian kedua, akan dijelaskan bagaimana agama sebagai suatu dimensi yang tidak terpisahkan dari umat manusia ikut berperan dalam hubungan sosial khususnya hubungan internasional yang dijelaskan melalui teori-teori hubungan internasional. Pada bagian ketiga, akan dijelaskan bagaimana perbedaan antara konsep dasar Islam yang diterjemahkan melalui pemikiran Postmodernisme dan kaitannya dengan konsep sekularisme dalam mengatur kehidupan politik dengan konsep dasar Islam ketika berkaca pada kepemimpinan Muhammad Saw saat memimpin Madinah. Selain itu akan diberikan contoh beberapa negara yang berusaha mengaplikasikan konsep Islam dalam bentuk pemerintahan. Pada bagian terakhir, akan dijelaskan analisis bagaimana peran media massa yang sangat signifikan ikut dalam mendefinisikan Islam pada masa sekarang ini. Tujuan tulisan ini adalah memberikan alternatif pandangan yang lebih jauh, luas, dan kritis serta terkesan tendensius bagi para penstudi ilmu sosial khususnya ilmu hubungan internasional di tengah begitu homogennya cara pandang dalam studi sosial mengenai Islam. Namun, hal ini bukan berarti mengesampingkan teori ilmu sosial yang sudah ada, mengutip tulisan dari Fox & Sandler: “We need to bring religion into international relations. This does not mean rejecting previous theories of international relations. Nor do we suggest disregarding the methods of research that have been developed during the twentieth century. Rather, it means that we must include in our understanding and research of international relations the various manifestations of religion and their influence on the range of social and political phenomena that the discipline of
3
Pippa Norris dan Ronald Inglehart, Sekularisasi Ditinjau Kembali: Agama dan Politik di Dunia Dewasa ini (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2009).
42
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 international relations seeks to explain. In short, no understanding of international relations can be complete without bringing religion into the discipline.”4
Bagian Pertama: Islam Banyak teori-teori yang menjelaskan tentang sejarah lahirnya agama sehingga muncul banyak perdebatan mengenai permulaan konsep ketuhanan dan agama. Manusia pada hakekatnya memiliki sifat “suka berterima kasih”. Manusia cenderung merasa berhutang budi terhadap apa yang telah membuatnya hidup dan dapat mempertahankan eksistensinya di dunia. Oleh sebab itu, hal ini membawa manusia ingin membalas budi kepada sesuatu yang menurutnya telah memberikan kehidupan, salah satunya adalah Tuhan. Wilhelm Schmidt dalam bukunya The Origin of the Idea of God (1912) menjelaskan bahwa pada perkembangan sejarah umat manusia, konsep monoteisme merupakan konsep yang paling pertama dalam sejarah spiritual umat manusia.5 Dalam konsep Islam, terdapat dua variabel utama dalam ajaran ini: “Tuhan” dan “ciptaan-Nya”.6 Dalam perkembangan sejarah monoteisme tersebut, muncul pergeseran kepercayaan yang menganggap bahwa Tuhan yang ‘satu’ itu begitu jauh untuk dicapai karena sebuah anggapan bahwa Tuhan itu berada di atas langit (Sky-God) yang jauh sehingga sulit untuk berkomunikasi dengan Tuhan oleh sebab itu manusia membuat media-media perantara yang dianggap dapat mendekatkan manusia dengan Tuhannya dan dianggap setara dengan Tuhannya berupa patungpatung7. Hal ini dikenal dengan Paganisme, yaitu bentuk kepercayaan yang menentang kepercayaan monoteisme.8 Oleh sebab itu, penyembahan umat manusia tidak lagi ditujukkan langsung kepada Tuhan mereka melainkan bergeser mengarah kepada selain Tuhan yang akhirnya menjadi cikal bakal politeisme.9 Hal tersebut menurut konsep Islam yang menjadi alasan Tuhan mengirim utusan yaitu manusia-manusia yang “terpilih”, dikenal dengan istilah Nabi atau Rasul yang diutus kepada manusia untuk satu tujuan yang sangat mendasar yaitu, mengembalikan penyembahan umat manusia kepada 4
Fox & Sandler (2004). Hlm. 2. Karen Armstrong, A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam (New York: Balantine Books, 1993). 6 Muhammad Nur Matutu, Dua Kalimat Syahadat (Makkah al-Mukarramah: 2009). 7 Op. cit., Norris, Hlm. 3. 8 Barbara Jane Davy, Introduction to Pagan Studies (Lanham,MD: Altamira Press, 2007). 9 Op. cit., Amstrong, hlm. 12. 5
43
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 satu Tuhan yang menciptakan seluruh alam semesta sehingga inilah yang menjadi permulaan lahirnya ajaran Islam yang dulunya dikenal dengan istilah kepercayaan ‘Tauhid’ (Tawheed), yaitu konsep yang melihat bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah secara benar selain Allah.10 Misi para utusan Tuhan untuk mengembalikan bentuk peribadatan manusia kembali kepada penyembahan kepada satu tuhan menimbulkan konflik horizontal dengan masyarakat yang sudah erat dengan paganisme sehingga dapat dipahami bahwa inilah cikal bakal konflik abadi sejak generasi manusia pertama antara apa yang para sarjana Barat maupun Timur sebut sebagai konflik golongan “puritan” atau “fundamentalis” dengan golongan “moderat”. Karen Armstrong kemudian menjelaskan bahwa konsekuensi dari konsep monoteisme ini menjadikan Tuhan sebagai sumber dari segala sesuatu.11 Matutu juga menjelaskan bahwa konsekuensi dari Tuhan sebagai sumber dari segala sesuatu inilah yang membuatNya menjadi absolut.12 Oleh karena itu, Matutu kembali menjelaskan bahwa Tuhan memiliki tiga hak absolut.13 Pertama, dia menjelaskan bahwa Tuhan diklaim memiliki hak cipta atas alam semesta dan segala isinya, oleh karena itu konsekuensi dari hak ini adalah variabel selain Tuhan, yaitu segala yang telah diciptakan oleh Tuhan termasuk manusia, harus beribadah hanya kepada Tuhan tanpa terkecuali.14 Kedua, Matutu menjelaskan bahwa Tuhan diklaim memiliki hak mutlak sebagai konsekuensi atas apa yang telah Dia ciptakan, sehingga segala apa yang ada di dalam alam semesta adalah hasil penciptaan Tuhan dan kepemilikan alam semesta tersebut secara langsung mutlak dimiliki oleh Tuhan dan selain Tuhan tidak memiliki hak sedikitpun15. Ketiga, Tuhan diklaim memiliki hak untuk menentukan hukum atas hak kepemilikan yang telah Dia ciptakan. Konsekuensi dari hak ini adalah variabel selain Tuhan, yaitu segala yang telah diciptakan oleh Tuhan harus berhukum pada hukum Tuhan16. Matutu lebih lanjut menekankan bahwa dua variabel ini (Tuhan dan ‘yang diciptakan’) tidak mungkin bisa menjadi satu atau bertemu dalam satu 10
Markaz Al-Urwah Al-Wutsqa, Penjelasan Inti Ajaran Islam (Solo: Pustaka Arafah, 2010). Ibid. 12 Op, cit., Matutu, M. N., hlm. 6. 13 Ibid. 14 Ibid., lihat juga nomor 102 (Diakses 21 Februari 2010). 15 Ibid., lihat juga nomor 17 (Diakses 21 Februari 2010). 16 Ibid., lihat juga nomor 26 (Diakses 21 Februari 2010). 11
44
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 kesatuan, Tuhan bukanlah apa yang Dia ciptakan dan apa yang Dia ciptakan bukanlah Tuhan.17 Oleh sebab itu, konsep Islam menjelaskan bahwa seseorang yang tidak mengakui dirinya sebagai ciptaan Tuhan, maka secara otomatis dia secara sadar maupun tidak sadar mengakui bahwa dirinya adalah Tuhan.18 Menurut konsep Islam itu pula, apabila seseorang penganutnya (Muslim) melakukan kesalahan (dosa) terhadap ciptaan Tuhan, maka dia diwajibkan untuk memperbaiki kesalahan tersebut dan bertaubat di dunia sehingga di akhirat dia akan diampuni atau dihukum sesuai kehendak Tuhan.19 Akan tetapi, apabila seorang muslim melakukan dosa terhadap Tuhannya dengan melakukan peribadatan kepada selain Tuhan maupun menggunakan perantara untuk ibadah menuju Tuhannya padahal dia selama hidupnya berbuat baik terhadap sesama manusia dan tidak membuat kerusakan di alam maka hal ini tetap dianggap dosa yang sangat besar yang tidak diampuni apabila seseorang tersebut tidak berhenti dari tindakannya menyembah kepada selain Tuhan, karena hal ini menurut konsep Islam dianggap sebagai bentuk penghinaan yang paling besar terhadap Tuhan dengan menyamaiNya dengan ciptaanNya.20 Dosa ini disebut dengan istilah ‘Syirik’ di mana akan membawa penganutnya keluar dari Islam dan harus mengulangi ‘Syahadat’nya.21 Sumber utama Semua konsep Islam, diambil dari sumber utamanya yaitu Qur’an (Koran), dan Hadits (Hadith) yang berisi keterangan segala perilaku dan ucapan Muhammad Saw (Sunna).22 Qur’an menurut konsep Islam adalah Firman Tuhan yang diwahyukan kepada Muhammad Saw.23 Kandungan firman Tuhan yang disampaikan kepada Nabi pada awal abad ke-7 itu telah meletakkan fondasi kehidupan individual dan sosial umat Islam di segala aspeknya. Itulah yang menyebabkan Al-Qur'an berada tepat di jantung 17
Ibid. Ibid. 19 Op cit., Al-Wutsqa hlm. 138. 20 Ibid. hlm. 156. 21 Op cit., Matutu, M. N., hlm. 68. 22 Talal Asad, “The Idea of An Anthropology of Islam” in The Social philosophy of Ernest Gellner, John A. Hall, Ian Charles Jarvie (Amsterdam: Rodopi, 1996). 23 Hisham M. Ramadan, Understanding Islamic law: from classical to contemporary (Lanham: AltaMira Press, 2006). 18
45
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 kepercayaan umat Islam dan berbagai pengalaman keagamaannya. Tanpa pemahaman yang baik dan benar terhadap Al-Qur'an, kehidupan dan pemikiran umat Islam akan sangat sulit dipahami oleh para ilmuwan sosial dan siapapun yang mencoba memahami tentang antropologi Islam. Mohammed Arkoun menjelaskan bahwa kitab ini telah digunakan umat Islam untuk melegitimasi perilaku, menjustifikasi tindakan peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai harapan dan memperkuat identitas kolektif.24 Begitu banyak sarjana Barat memandang Al-Qur'an sebagai kitab yang sangat sulit dipahami, karena bahasa, gaya dan aransemen dari kitab ini dianggap telah menimbulkan masalah khusus bagi mereka. 25 Di samping itu, telah banyak buku yang ditulis oleh para sarjana Islam dan Barat untuk mengungkap sumber utama pemikiran umat Muslim ini akan tetapi pada umumnya buku-buku tersebut rentan terhadap berbagai kritik, ditambah dengan evaluasi dan dekonstruksi oleh Barat atas sejarah Al-qur'an yang di mana umumnya berpijak pada prasangka religius - terutama dari tradisi Yudeo-Kristiani - atau prasangka intelektual dalam bentuk prakonsepsi gagasan dan kategori, serta prasangka kulturan yang berakar pada etnosentrisme Barat yang tendensius. Pembahasan dekonstruksi ini akan dijelaskan lebih rinci di bagian ketiga. Kajian-kajian Barat juga sering tidak simpatik dan, hingga taraf tertentu, telah mengaduk-aduk berbagai prasangka dogmatis umat Islam.26 Oleh sebab itu, inilah fungsi hadits bagi Al-qur’an. Terdapat tiga fungsi Hadits.27 Pertama, adalah penjelas ayat Al-Quran yang masih bersifat global. Muhammad Saw diperintahkan untuk menjelaskan tiap-tiap ajaran kepada para sahabat setelah dia mendapatkan penjelasan dari malaikat utusan Tuhan.28 Kedua, adalah agar Hadits menjadi pedoman tambahan ketika muncul persoalan-persoalan yang tidak secara spesifik terdapat pada Al-Quran29. Hal ini berfungsi sebagai rujukan di mana Al-Quran dan Hadits dijadikan sebagai rujukan para ulama untuk 24
Taufik Adnan Amal, Rekontruksi sejarah al-Quran (Jakarta: Pustaka Alvaber, 2005). A.T. Welch, “Introduction: Qur'anic Studies - Problems and Prospect" Journal of the American Academy of Religion (1979), Hlm. 620. 26 Op cit., hlm. 2. 27 Atang Abd. Hakim, Metodologi studi Islam (Banudng: Remaja Rosdakarya, 1999). 28 Martin Lings, Muhammad: Kisah hidup Nabi Berdasarkan sumber Klasik (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007). 29 Op. Cit., Matutu. 25
46
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 mengeluarkan fatwa dan aturan lainnya setelah Muhammad Saw wafat.30 Peran yang ketiga, menjaga agar ayat-ayat Al-Quran tidak secara sembarangan ditafsirkan dan dilencengkan sehingga seolah ayat-ayat AlQuran berkontradiksi.31 Penjelasan Muhammad Saw dalam Hadits sudah merupakan penjelasan yang dapat dipahami oleh penganut agamanya dengan mudah.32 Namun yang perlu ditekankan adalah, dalam kajian studi ilmiah hal ini berbeda dengan konsep dasar Islam karena ilmuwan cenderung melihat fenomena, bukan konsep dasar seorang penganut agama sehingga dalam pendekatan konstruktivis, Islam dilihat menjadi dua bagian: Islam dalam konsep agama dan Islam dalam kajian fenomena sosial.33 Namun, kritik terhadap pandangan ini adalah setiap penganut agama Islam dituntut untuk tidak boleh melepaskan keyakinannya dan berpedoman kepada Qur’an dan Hadits dalam seluruh aspek hidupnya – termasuk dalam proses penelitiandan dituntut kembali kepada dua sumber tersebut apabila terjadi penyimpangan dalam praktek di dalam kehidupannya sebagai konsekuensi dari agama yang dianutnya sehingga apabila dia tidak berpegang terhadap dua hal tersebut, sama saja dia keluar dari Islam.34 Namun, konsep dasar ini dalam beberapa abad terakhir sering diasosiasikan dengan perilaku “ekstrim”, “radikal”, “intoleran”, ”fundamentalis” atau penafsiran teks kitab suci secara “literal buta”. Inilah problematika ilmuwan-ilmuwan muslim ketika harus memetakan konsep Islam sebagai agama dengan fenomena Islam sebagai studi ilmiah. Bagian Kedua: Memasukkan agama ke dalam hubungan internasional Fox & Sandler menjelaskan bahwa agama sudah dilupakan oleh para sarjana-sarjana hubungan Internasional dengan banyak alasan walaupun agama memainkan peranan yang sangat penting.35 Hal ini disebabkan hubungan internasional cenderungan terpusat pada pemikiran Barat di mana teori-teori hubungan internasional juga banyak terfokus dan digali di Barat ditambah disiplin ilmu ini lahir dari pengalaman Barat pada ‘masa 30
Ibid. Ibid. 32 Ibid. 33 Aini Linjakumpu, Political Islam in the Global World (Reading: Ithaca Press, 2008). 34 Op. cit. 35 Op cit., Fox, hlm. 163. 31
47
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 pencerahan’ sehingga mayoritas teori-teori hubungan internasional dan berbagai metodologinya tidak mengikutkan agama ke dalamnya.36 Selain itu, agama secara sadar atau tidak sadar akan memaksa manusia melibatkan dimensi agama dalam hubungan politik, dan bidang lainnya, karena melupakan pengaruh agama atau mengurangi pengaruhnya dalam politik, ekonomi, menurut Hanson merupakan suatu kesalahan yang menyedihkan.37 Sebagai bukti agama dapat mempengaruhi hubungan internasional adalah ketika isu-isu agama dalam ruang lingkup domestik terjadi dan konfliknya itu melampaui batas-batas negara dan akhirnya menjadi isu Internasional.38 Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh ini : (1) negara Iran, sebagai negara Islam Syiah, memberikan dukungan militer kepada minoritas Syiah di Irak dan Afganistan (2) Pakistan dan Arab Saudi turut campur dengan militer dalam kepentingan mayoritas umat Islam Pashtun yang Sunni (3) Kelompok Tamil Hindu di Srilanka mendapat dukungan dari India, negara dengan mayoritas umat Hindu.39 Sebagai tambahan, sudah cukup jelas bahwa sistem internasional juga sangat dipengaruhi oleh norma-norma, termasuk agama40. Sebagai contoh, hukum internasional saat mengenai perang banyak mengambil konsep City of God karya Santo Agustinus Hippo yang sangat kental dengan nuansa keagamaan, maupun norma hukum perang yang banyak bersumber dari hukum Islam.41 Instrumentalisme Menurut Rittberger yang dikutip oleh Fox & Sandler, pendekatan instrumentalis dapat digunakan untuk memahami peran agama dalam kehidupan umat manusia dalam kaitannya dengan kehidupan berpolitik.42 Fox dan Sandler menjelaskan bahwa pendekatan instrumentalis melihat agama merupakan landasan kekuatan individu dan sosial yang paling dasar di mana dalam praktek politik domestik, agama digunakan sebagai alat atau instrumen untuk memobilisasi kehidupan masyarakat secara menyeluruh 36
Ibid. Eric O. Hanson, Religion and Politics in the International System Today (New York: Cambridge University Press, 2006). 38 Ibid., Hlm 164. 39 Ibid , Hlm 64. 40 Ibid., Hlm 167. 41 Ibid. 42 Op cit., Fox, hlm. 48. 37
48
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 untuk mencapai tujuan-tujuan negara.43 Apabila tujuan-tujuan kebijakan politik tersebut sudah mendapat dukungan dari masyarakatnya, maka para pembuat kebijakan akan menuju pada langkah selanjutnya yaitu pembuatan kebijakan luar negeri dalam kaitannya dengan hubungan antar negara sehingga isu yang dibangun dari perspektif agama di dalam lingkup domestik akan berimplikasi pada lingkup internasional dalam tahap berikutnya.44 Bagian Ketiga: Islam, Sekularisme, dan Posmodernisme Sudah muncul begitu banyak perdebatan panjang bagaimana konsep Islam melihat politik dalam kaitannya dengan sistem kenegaraan. Para sarjana seperti John Esposito, Graham Fuller, Ian Lessor, Leon Hadar, El Fadl, dan lainnya berusaha membongkar kodifikasi Islam dari sebuah aturan baku yang bersifat global (melalui Qur’an) dan juga teknis (melalui Sunnah) menjadi hanya sebuah nilai-nilai keislaman yang bersifat umum (Universal) kemudian memisahkan antara Qur’an dan Sunnah sehingga dapat disatukan dan berbaur dengan konsep sekular. 45 Hal ini dapat dilihat bagaimana gaya “Postmodernisme” Nader Hashemi dalam tulisannya Islam, secularism, and liberal democracy yang justru berbalik mempertanyakan definisi konsep Islam dalam kaitannya dengan sekularisme, dengan kata lain Nader Hashemi mencari kebenaran pada susunan tiang huruf yang coba dirubuhkan pada arti dan definisi. Dalam konstruksi posmodernisme, “sekular” belum berarti “anti-tuhan” atau “keduniaan” , namun bisa jadi dalam versi yang lain. Hal ini yang dikenal dengan istilah Dekonstruksi (Sutrisno dan Hendar Putranto 2005).46 Alih-alih dekontruksi bertujuan untuk melakukan reformasi, turunan dari Posmodernisme ini semakin membingungkan. Dekonstruksi mencoba merusak makna sesuatu yang sebenarnya sudah jelas47. Jika ada pernyataan, “Sumber ajaran Islam adalah Qur’an dan Sunnah”, namun bagi 43
Ibid. Ibid. 45 Lihat :An-NaÀim, A. A. (2008). Islam and the secular state : negotiating the future of ShariÀa. Harvard University Press., Lihat: Hashemi, N. (2009). Islam, Secularism,and Liberal Democracy: Toward a Democratic Theory for Muslim Societies. New York: Oxford University Press., Lihat: Sheikh, N. S. (2003). THE NEW POLITICS: Pan-Islamic Foreign Policy in a. London: RoutledgeCurzon., lihat: El Fadl, K. M. (2005). The Great Theft: Wrestling Islam from the extremists. San Francisco: Harper Collins Publisher. 46 Mudji Sutrisno, Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2005). 47 Ibid., hlm. 171. 44
49
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 posmodernisme, “Qur’an yang mana? Yang ditafsirkan dengan bagaimana dan oleh siapa?”. Dekonstruksi berusaha mengajak manusia untuk “menari” dalam teks, dan secara bertahap melupakan kebenaran tunggal dalam teks tersebut48. Seperti apa yang menjadi ide dari Derrida, dekonstruksi menggambarkan sebagai suatu kekuatan untuk mengubah dan membelah kepastian dan pakem-pakem lama yang tidak lagi dipertanyakan49. Derrida mencoba melakukan “de-sedimentasi” terhadap teks, dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dalam konteks ini, Derrida berusaha menciptakan gempa di dalam setiap teks. Hasilnya, banyak konteks dekonstruksi ini mencoba mencari ruangnya dalam dimensi spiritualitas khususnya dalam dimensi keislaman. Salah satu hasilnya adalah tulisan-tulisan para sarjana Barat dan Timur yang berusaha menggabungkan antara Islam dengan Demokrasi sebagai “jalan tengah” atau apa yang mereka sebut sebagai “moderat”, seperti contoh buku Islam, secularism, and liberal democracy oleh Nader Hashemi. Di dalam tulisan itu pun dikutip pemikiran dari Almarhum Nurcholish Madjid yang dengan bebas mengubah konsep dasar makna Islam menjadi sekadar “nilai dan kepasrahan”50. Islam mengalami reduksi dari artian konsep, sistem kehidupan yang menyeluruh, menjadi hanya sebuah sikap menyerahkan diri yang berupa nilai-nilai (values)51. Kemudian apabila konsep Islam ini bisa direduksi menjadi sekadar values yang bersifat umum dan universal, maka akan sangat mudah diasosiasikan dan digabungkan dengan values dari sekularisme yang universal pula, dalam hal ini, demokrasi. Pada kutub pemikiran diseberangnya, misalnya kelompok Hizbu Tahrir, melihat bahwa hukum Islam tersebut harus berdiri sendiri melalui sistem yang berbeda dari yang lain, yang dikenal dengan sistem Khalifah yang dulu pernah dibentuk oleh para Sahabat Muhammad Saw.52 Hal ini menimbulkan kebingungan yang menuntut pencarian pada sumber sejarah konsep pemerintahan Islam yang paling pertama.
48
Ibid. Ibid. 50 Op cit., Hashemi, N., Hlm. 161. 51 Ibid. 52 Hizbu Tahrir Indonesia, Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi) (Jakarta: Tim HIT Press, 2006). 49
50
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Pemerintahan Madinah Apabila melihat mundur empat belas abad yang lalu bagaimana Muhammad Saw memimpin Madinah, sistem pemerintahannya bukanlah monarki, demokrasi, maupun republik namun kepemimpinan di mana segala keputusannya bersadarkan pada Qur’an yang dia aktualisasikan dalam ucapan dan sikapnya (Sunnah) dan melakukan musyawarah bersama para ‘sahabat’ dalam penentuan hal yang bersifat teknis yang tidak bertentangan dengan Qur’an dan ‘sunnah’nya.53 Kemudian mengenai hubungannya dengan penduduk Yahudi yang non-muslim, dibuatlah sebuah undangundang atau kontrak sosial yang dikenal dengan istilah “Piagam Madinah”, sebuah undang-udang yang mengatur hukum antara sesama muslim dan antara muslim dengan non-muslim di dalam Madinah berdasarkan Qur’an dan Sunnah.54 Untuk memberikan contoh kasus konkrit pengaplikasian Qur’an dan Sunnah dalam konsep negara, dapat diliat dari Kerajaan Arab Saudi. Kerajaan Arab Saudi memiliki sistem kerajaan dengan pewarisan tahta kepada anak-cucunya.55 Hukum yang digunakan adalah berdasarkan Qur’an dan Sunnah akan tetapi beberapa sarjana mengklaim ajaran Islam yang ada di Arab Saudi merupakan usaha doktrinasi dari seorang ulama Islam yang bernama Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M). Tokoh ini adalah satu contoh ulama yang memperjuangkan konsep ‘Tauhid/Tawheed’ yang dianggap sudah lama pudar dalam diri umat manusia.56 Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb menulis buku yang sangat fenomenal yang juga dianggap kontroversial yaitu “Kitab Tauhid”.57 Namun, muncul banyak kritik terhadap buku ini karena dianggap mengancam nilainilai budaya yang sudah melekat pada manusia, tidak toleran, kaku, sehingga banyak sarjana menyebutnya sebagai ajaran yang ekstrim58 dan para sarjana
Op cit., Lings. Al-Buthy, Said Ramadhan, Fikih Sirah (Jkarta: Himah, 2009). 55 Ministry of Foreign Affairs, “The kingdom : site and geographical Position,” (Diakses 25 Februari 2011). 56 David Dean Commins, The Wahhabi mission and Saudi Arabia (New York: I. B. Tauris, 2006). 57 Muhammad Abdul Wahhab, Kitab Tauhid (Yogyakarta: Pustaka Al-Haura', 2009). 58 As'ad AbuKhadil, The battle for Saudia Arabia: royalty, fundamentalism, and global power (New York: Seven Stories, 2004). 53 54
51
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 pula menyebutnya dan melabelisasi apa yang disampaikan Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb ini dengan istilah Wahhabiah/Wahhabisme.59 Pada perkembangan selanjutnya, Raja Abdullah telah mengamandemen pasal-pasal dengan mengeluarkan UU yang membentuk lembaga suksesi kerajaan (Allegiance Institution) terdiri dari para anak dan cucu dari Raja Abdul Aziz Al-Saud di mana raja tidak lagi memilki hak penuh dalam memilih Putera Mahkota. Namun, Komite Suksesi akan memilih melalui pemungutan suara dan bila Raja atau Putera Mahkota berhalangan, Komite Suksesi akan membentuk Dewan Pemerintahan Sementara (Transitory Ruling Council) yang beranggotakan lima orang. Akan tetapi hal itu tidak menghilangkan pewarisan tahta terhadap anakanaknya, dimana hal ini dianggap sebagai bentuk penyimpangan dari konsep utama pemerintahan Islam yang bukan monarki. Akan tetapi, Arab Saudi memiliki apa yang mereka sebut sebagai dewan Al-shoura, yaitu dewan yang bertugas memberikan rekomendasi kepada Raja atas segala permasalahan di negara Arab Saudi (Central Intelligence Agency t.thn.).6061 Akan tetapi hal ini dikhawatirkan tidak berpengaruh karena Raja tidak tersentuh hukum meskipun dia dikhawatirkan akan berbuat buruk. Meskipun demikian, terjadi perkembangan yang cukup baik di mana telah diadakannya pemilihan umum gubernur di setiap wilayah di Arab Saudi walaupun sebagian wilayah masih dilakukan penunjukkan oleh Raja.62 Di lain tempat, dalam Republik Islam Iran, sistem republik pertama kali tumbuh sebagai reaksi praktis terhadap penindasan sistem kerajaan (monarki) atau dikenal dengan Syah.63 Kemerdekaan Iran yang menjadikan negara tersebut sebagai republik dimulai ketika keberhasilan Imam Khomaini menjatuhkan rezim Reza Pahlevi yang dianggap tidak adil dan terlalu condong terhadap Barat, yang kemudian Imam Khomaini diangkat
El Fadl, Khaled M. Abou, The Great Theft: Wrestling Islam from the extremists (San Fransisco: Harper Collins Publiser, 2005). 60 Central Intelligence Agency (diakses 25 Februari 2011). 61 Loc cit., Ministry of Foreign Affairs. 62 (diakses 25 Februari 2011). 63 Anton MInardi, Hubungan Internasional Perspektif Islam dan Perwujudannya: Politik Luar Negeri Republik Islam Iran (Bandung: Yayasan DAI, 2009). 59
52
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 menjadi pemimpin revolusi Islam Iran.64 Kekuasaan tertinggi dalam struktur politik republik Islam Iran menyebutkan: “Selama ketidakhadiran Imam yang kedua belas, dalam republik Islam Iran, kepemimpinan urusan-urusan dan pimpinan umat merupakan tanggung jawab dari seorang faqih ( ahli hukum Islam ) yang adil dan takwa, mengenal zaman, pemberani, giat dan berinisiatif yang dikenal dan diterima oleh mayoritas umat sebagai pemimpin mereka. Apabila faqih tidak memiliki kriteria yang di atas, suatu Dewan Pimpinan yang terdiri dari para fuqaha yang memenuhi syarat-syarat tersebut di atas akan memegang tanggung jawab itu”65
Pada kekuasaan legislatif, Iran memiliki tiga lembaga yang berfungsi sebagai parlemen, Dewan Perwalian sebagai menjaga keputusan-keputusan majelis tetap dalam ajaran Islam dan prinsip konstitusi dan yang terakhir adalah majelis ahli yang beranggotakan 73 ulama senior yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang berfungsi untuk memilih atau memberhentikan pemimpin eksekutif.66 Dua negara inilah yang dianggap paling mendekati sistem pemerintahan yang berdasarkan hukum Qur’an dan Sunnah. Hal ini menunjukkan bahwa seperti yang sudah dijelaskan pada Bagian Pertama tulisan ini, dimensi spiritual dalam umat Islam tidak akan pernah bisa dilepaskan dengan dimensi temporalnya.67 Dengan kata lain, akan sangat sulit, jika tidak mau dikatakan mustahil, apabila agama (dalam hal ini konsep Islam) dalam praktik politiknya dipisahkan dengan Qur’an dan Sunnah, atau pemisahan seperti dalam konsep sekularisme. Bagian Keempat: Islam dan Media Ada hal yang sangat menarik yang perlu diperhatikan dari semua pembahasan mengenai konsep dan fenomena Islam terkait dengan studi ilmu sosial dan khususnya dalam hubungan Internasional pada satu dekade terakhir, yaitu pemahaman masyarakat di seluruh dunia tentang Islam itu sendiri. Seperti yang sudah dibahas dalam bagian sebelumnya, pemahaman tentang Islam begitu banyak serta beragam antar masyarakat, antara Arab Saudi dan Indonesia, antara ilmuwan A dan ilmuwan B. Terdapat Islam “moderat”, Islam “fundamentalis” atau Islam “ekstrimis”. Hal ini membuat Nikki R. Keddie, Yann Richard, Modern Iran: roots and results of revolution (Yale University Press, 2006). 65 Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran, Pasal 5, dalam Minardi, A. (2009). Hlm 146 66 Op cit., Minardi, Hlm 155. 67 Zeenath Kausar, Colonization to Globalization: 'MIGHT IS RIGHT' CONTINUES (Earthly City Versus Civilized City, Madinah) (Selangor: Thinker’s Library, 2007). 64
53
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 definisi Islam menjadi tidak universal dan menjadi tidak pasti. Akan tetapi, terdapat ada satu hal yang menjadi suatu kepastian, yaitu referensi konkrit atas istilah Islam, berbeda: pada satu sisi merujuk pada definisi oleh Barat dan pada sisi lainnya merujuk pada kelompok apa yang Barat sebut sebagai “fundametalis”. Implikasinya adalah makna Islam menjadi bias. Peran Media Kemajuan teknologi dalam satu abad terakhir ini telah menjadikan teknologi media menjadi maju, semakin beragam, semakin mudah di akses, menjamur, semakin cepat dalam menyajikan informasi, dan semakin murah. Hal inilah yang menghasilkan gambaran mengenai suatu hal (dalam hal ini Islam) di pikiran orang banyak.68 Oleh karena itu, meskipun media bukanlah sebagai faktor satusatunya, namun media menyadari peran besar ini sehingga dapat mengatur mode-mode pemberitaannya. Pengaturan mode ini berkaitan dengan sudut pandang mana yang akan dibingkai sebagai “moderat” dan siapa yang “radikal” dalam agenda setting media karena media memiliki kekuasaan penuh terhadap isi dari pemberitaannya.69 Para konsumen media, akan menganggap berita yang disampaikan media merupakan sesuatu yang memiliki kebenaran objektif, sehingga para konsumen media tersebut cenderung menerimanya secara pasrah.70 Terdapat tiga faktor yang menentukan keberpihakan media. Pertama, Faktor politik, yaitu media menjadi alat bagi pemerintah dalam pengaturan mode pemberitaannya sesuai kehendak pemerintah.71 Kedua, faktor ideologi, yaitu media akan mengatur pengaturan mode pemberitaannya untuk membingkai kelompok yang didukungnya secara ideologis sebagai kelompok “moderat” yang protagonis dan oposisinya sebagai “radikal” yang antagonis.72 Hal ini menyebabkan objektivitas pemberitaan menjadi hilang saat proses pembingkaian tadi adalah hasil yang telah dimanipulasi, Lippmann, W., Public Opinion, (New York: Free Press, 1922). M.E. McCombs dan D.L. Shaw, “The Agenda-Setting Function of Mass Media”, Public Opinion Quarterly, 36 (Summer), 1972. 70 S.J. Baran, Introduction to Mass Communication Studies: Media Literacy and Culture (California: Mayfield Publishing Company, 1998). 71 Asa Briggs, Sejarah Sosial Media (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006). 72 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, “Transformasi Usaha Industri Media Massa”, Komunika, 2006), hal. 9. 68 69
54
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 kelompok yang satu secara bertubi-tubi disorot keburukannya, sementara kelompok lain yang didukung, disorot kebaikan atau posisi tertindasnya. Ketiga, faktor ekonomi, yaitu media akan mengatur pengaturan mode pemberitaannya berdasarkan preferensi kebanyakan komsumennya, di mana tujuannya hanya untuk mengambil profit yang tinggi.73 Pada dekade terakhir saat ini, media memperoleh keuntungan besar ketika mereka menayangkan aksi-aksi terorisme,dalam hal ini terorisme yang diasosiasikan dengan gerakan Islam “radikal”, atau film-film tentang terorisme maupun aksi-aksi “fundamentalisme” agama di mana hal ini dimanfaatkan oleh para industri media global. Dalam negara yang sangat demokratis sekalipun, liberalisme sebagai rahim dari kapitalisme telah membentuk cara berpikir para hartawan media global untuk melihat nilai ekonomis dari “fundamentalisme Islam” sebagai rasio Instrumentalis,74 yaitu sebuah rasio yang melihat fenomena sebagai potensi yang dapat dimanipulasi dan dieksploitasi demi mendapat profit yang tinggi. Mayoritas pasif dan Minoritas aktif Selain itu, dalam sistem Demokrasi, media juga memiliki kebebasan untuk memberitakan dan tidak memberitakan informasinya sehingga agenda pengaturan media-media ini akan beragam: ada yang mendukung A dan mencela B, begitu juga sebaliknya, ada juga yang mengklaim netral untuk menutupi keberpihakan mereka. Hal tersebut membuat sebuah kebingungan bagi audience karena banyaknya versi pemberitaan yang bisa berbeda jauh dari versi lainnya. Media CNN bisa jauh berbeda dengan apa yang diberitakan oleh Al-Jazeera mengenai berita yang sama. Beragamnya versi pemberitaan media memaksa para konsumennya untuk ikut aktif memilih pemberitaan pemberitaan yang menurutnya benar dan yang menurutnya salah. Para konsumen media akan memilih preferensinya, yang mana yang sesuai dengan identitasnya, yang mana yang sesuai dengan idiologinya, dan yang mana yang akan memfasilitasi integrasi sosialnya di masyarakat.75 Apabila tindakan atau pemahaman Islam tersebut tidak sesuai dengan Ibid. M. Horkmeimer dan T.W. Adorno, Dialectic of Enlightenment (Yogyakarta: Penerbit IRCiSoD, 1972). 75 D. McQuail, Mass Communication Theory: An Introduction (Beverly Hills, Sage Publications, 1987). 73 74
55
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 identitas diri baik kebangsaannya atau komunitasnya, atau mencegah dirinya dan komunitasnya untuk beritegrasi secara sosial dalam lingkungannya, maka hal itu yang akan disebut “ekstrim”. Kemudian apabila pemahaman Islam itu sesuai dengan identitas dirinya, lingkungannya, kebudayaan yang mengakar dalam hidup dan masyarakat di sekitarnya, maka itulah yang akan disebut sebagai “moderat” oleh mereka. Setelah mereka memilih, berita tersebut akan dipakai sebagai dalil yang menguatkan untuk argumentasi dan penilaian mereka terhadap Islam.76 Hal tersebut menyebabkan masyarakat dunia terfragmentasi berdasarkan preferensinya mengenai Islam. Setiap pandangan tentang Islam memiliki pendukung yang secara giat merekrut para pendukung yang baru melalui berbagai media seperti internet, propaganda media cetak dan sebagainya sehingga menciptakan kondisi dimana wacana-wacana yang berkembang tentang Islam yang difasilitasi oleh media berhasil melahirkan “minoritas aktif”, yaitu para pembentuk opini masyarakat yang mempropagandakan ide-idenya untuk menarik simpati dan dukungan seperti pejabat-pejabat pemerintah, para pemimpin kelompok kepentingan yang gencar mengagitasi. Di sisi lain, “mayoritas pasif” , atau yang disebut Jean Baudrillard sebagai Silent Majority, merupakan massa yang jumlahnya sangat besar di mana mereka terpengaruh oleh propaganda “minoritas aktif” tersebut kemudian bertindak secara taken for granted. Namun, Patrick Fagan menjelaskan bahwa kemudian muncul pula kelompok yang disebut sebagai Sphere of Silence, yaitu kumpulan orang yang berbeda pendapat dengan pandangan umum yang mainstream tentang Islam, akan tetapi mereka enggan untuk mengatakannya dan memilih untuk diam, memilih berdamai dengan pandangan-pandangan mainstream bahkan banyak yang akhirnya bergabung pada mayoritas pasif (Spiral of Silence) karena implikasinya mereka harus menjadi oposisi yang dapat membuat mereka dikucilkan, diacuhkan, hingga dikelompokan sebagai kelompok pendukung Islam yang “ekstrim”.77 Tulisan ini bisa dijadikan contoh hasil dari Sphere of Silence. Selain itu, dunia akademis ternyata juga terseret dalam arus Spiral of Silence ini. Pandangan-pandangan para akademisi terfragmentasi berdasarkan keberpihakan mereka yang di mana selanjutnya menciptakan 76 77
J.T. Klapper, The Effects of Mass Communication (New York: Free Press, 1960). E. Noelle-Neumann, The Spiral of Silence. (Chicago: University of Chicago, 1984).
56
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 kutub-kutub sentral gagasan Islam “moderat” dan Islam “radikal”. Walaupun Sphere of Silence akan tetap ada di dalamnya akan tetapi sanksi bagi mereka yang berlawanan dengan mainstream adalah dianggap tidak valid, tidak ilmiah, terkadang bisa sampai pengucilan intelektual, dan bisa mempengaruhi nilai bagi seorang mahasiswa. Sebuah hal yang sangat ironis ketika dunia akademis menjadi garda terakhir objektivitas, harus dibungkam oleh sesama intelektual lainnya yang memiliki pengaruh yang lebih luas, jabatan yang lebih tinggi, posisi yang lebih kuat dan gelar yang lebih banyak. Dengan terlibatnya para ilmuwan dalam pertarungan wacana Islam “moderat” dan Islam “radikal”, maka medan pertarungan pun berlangsung tidak hanya di media massa, namun menyebar seperti virus ke dalam premispremis yang ditulis dalam literatur dan ruang-ruang kuliah serta seminar maupun workshop. Melalui scholarly writings, kalangan ilmuwan menjadi simpatisan dalam memeriahkan wacana Islam sehingga siapa yang mendapat gelar “moderat” dan “radikal” mendapat legitimasi “ilmiah” dari mereka. Berbagai makalah, jurnal, dan buku tentang studi Islam mulai diterbitkan dengan bertubi-tubi dan kebanyakan rujukan data dari buku-buku tersebut adalah Media. Hal tersebut disebabkan karena media menyediakan bahan penguat argumentasi yang cukup efektif dan efisien bagi seseorang tentang suatu hal, dalam hal ini Islam.78 Dan bagi para ilmuwan yang memiliki pandangan berbeda dengan hal mainstream tersebut akan segera dianggap unscientific. Saat ini masyarakat dunia menerima mentah-mentah segala informasi yang menurut mereka baik mengenai stigma Islam “radikal”. Preferensi ini, diperparah karena terbentuk bukan karena hasil verifikasi dan falsifikasi, akan tetapi disebabkan oleh SARA, primordial dan idiologi. Masyarakat saat ini hanya mampu membiaskan dan menularkan informasi mengenai “kesucian” dan baiknya Islam “moderat” dan jahatnya Islam “fundamental” tanpa memahami apakah labelisasi tersebut sudah benar dan tepat ditujukan terhadap kelompok Islam tersebut sehingga memunculkan phobia yang sangat akut terhadap Islam.79 Para Ilmuwan atau akademisi yang seharusnya menjadi garda terakhir bagi pencerdasan masyarakat pun mengalami penyakit yang sama, mereka hanya mampu menjadi konduktor informasi, akan tetapi mereka menggunakan bahasa yang scientific dan Op cit., Klapper. Andrew Shryock, Islamophobia/Islamophilia: beyond the politics of enemy and friend (Bloomington: Indiana University Press, 2010). 78 79
57
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 sophisticated sehingga memberikan decak kagum dan menggugah bagi pendengar dan pembacanya sehingga diyakini oleh masyarakat dunia sebagai kebenaran dan dijadikan think-tank oleh pemerintah untuk menjadi bahan policy maker negara tersebut. Kesimpulan Dapat disimpulkan bahwa dimensi spiritual pada manusia baik monoteisme yang diwakili Islam maupun konsep kepercayaan lainnya sudah menjadi bagian dari sejarah perkembangan umat manusia yang melekat sejak generasi pertama umat manusia. Hal ini membuktikan bahwa dalam pengambilan keputusan baik secara individu maupun kolektif dalam berbagai aspek kehidupan, manusia tidak akan bisa lepas dari dimensi spiritual yang melatar belakangi keputusan tersebut. Hal ini pula yang menjadi dasar pembuktian bahwa agama, dalam hal ini konsep Islam memiliki peran yang begitu penting dalam pengambilan keputusan penganut agamanya sehingga menjadi relevan bahwa agama dapat mempengaruhi konstelasi politik domestik dan Internasional. Akan tetapi, di luar hal tersebut terdapat media yang ikut mendefinisikan Islam yang juga berusaha ikut berperan “mendefinisikan” konsep ajaran ini dalam kehidupan umat Islam * * Bibliography AbuKhalil, As'ad. The battle for Saudia Arabia: royalty, fundamentalism, and global power. New York: Seven Stories, 2004. Al-Buthy, Said Ramadhan. Fikih Sirah. Dialihbahasakan oleh Fuad Syaifudin Nur. Jakarta: Hikmah, 2009. Amal, Taufik Adnan. Rekontruksi sejarah al-Quran. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005. Amstrong, Karen. A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam. New York: Ballantine Books, 1993. An-NaÀim, Abdullahi Ahmed. Islam and the secular state : negotiating the future of ShariÀa. Harvard University Press, 2008. Asad, Talal. “The Idea of An Anthropology of Islam.” Dalam The Social philosophy of Ernest Gellner, oleh John A. Hall dan Ian Charles Jarvie, disunting oleh John A. Hall dan Ian Charles Jarvie, 381-403. Amsterdam: Rodopi, 1996. Baran, S.J. Introduction to Mass Communication Studies: Media Literacy and Culture. California: Mayfield Publishing Company, 1998. 58
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Briggs, Asa. Sejarah Sosial Media. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. Central Intelligence Agency. Publications. https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook/geos/sa.html (diakses 25 Februari 2011). Commins, David Dean. The Wahhabi mission and Saudi Arabia. New York: I.B.Tauris, 2006. Davy, Barbara Jane. Introduction to pagan studies. Lanham,MD: Altamira Press, 2007. El Fadl, Khaled M. Abou. The Great Theft: Wrestling Islam from the extremists. San Francisco: Harper Collins Publisher, 2005. Fox, Jonathan, dan Shmuel Sandler. Bringing Religion Into International Relations. New York: Palgrave Macmillan, 2004. Greenberg, Robert. Kant's Theory of A Priori Knowledge. University Park: The Pennsylvania State University Press, 2001. Hakim, Atang Abd. Metodologi studi Islam. 1st Edition. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. Hanson, Eric O. Religion and Politics in the International System Today. New York: Cambridge University Press, 2006. Hashemi, Nader. Islam, Secularism,and Liberal Democracy: Toward a Democratic Theory for Muslim Societies. New York: Oxford University Press, 2009. Hizbu Tahrir Indonesia. Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi). Dialihbahasakan oleh Yahya A.R. Jakarta: Tim HTI-Press, 2006. Horkmeimer, M., dan T.W. Adorno. Dialectic of Enlightenment. Dialihbahasakan oleh Ahmad Sahidah. Yogyakarta: Penerbit IRCiSoD, 1972. Kausar, Zeenath. Colonization to Globalization: 'MIGHT IS RIGHT' CONTINUES ( Earthly City Versus Civilized City, Madinah ). Selangor: Thinker's Library, 2007. Keddie, Nikki R., dan Yann Richard. Modern Iran: roots and results of revolution. Yale University Press, 2006. Klapper, J.T. The Effects of Mass Communication. New York: Free Pers, 1960. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. “Transformasi Usaha Industri Media Massa.” Komunika 9 (2006). Lings, Martin. Muhammad: Kisah hidup Nabi Berdasarkan sumber Klasik. Dialihbahasakan oleh Qamaruddin SF. Jakarta: PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2007. Linjakumpu, Aini. Political Islam in the Global World. Reading: Ithaca Press, 2008. Lippmann, W. Public Opinion. New York: Free Press, 1922. 59
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Markaz Al-Urwah Al-Wutsqa. Penjelasan Inti Ajaran Islam. Disunting oleh Abu Husamuddin Al-Fawwaz dan Abil Farisi. Dialihbahasakan oleh Muhammad Isa Anshory. Solo, Jawa Tengah: Pustaka Arafah, 2010. Matutu, Muhammad Nur. Dua Kalimat Syahadat. Makkah al-Mukarramah, 2009. McCombs, M.E., dan D.L. Shaw. “The Agenda-Setting Function of Mass Media.” Public Opinion Quarterly, 36 (Summer), 1972: 176-187. McQuail, D. Mass Communication Theory: An Introduction. Beverly Hills, CA: Sage Publications, 1987. Minardi, Anton. Hubungan Internasional Perspektif Islam dan Perwujudannya: Politik Luar Negeri Republik Islam Iran. Bandung: Yayasan DAI, 2009. Ministry of Foreign Affairs. The Basic Law of Governace. 2005. http://www.mofa.gov.sa/SITES/MOFAEN/ABOUTKINGDOM/SAUDIGOVER NMENT/Pages/BasicSystemOfGovernance35297.aspx (diakses 25 Februari 2011). —. The kingdom : site and geographical Position . 2005. http://www.mofa.gov.sa/SITES/MOFAEN/ABOUTKINGDOM/Pages/Kingdo mGeography46466.aspx (diakses 25 Februari 2011). Noelle-Neumann, E. The Spiral of Silence. Chicago: University of Chicago, 1984. Norris, Pippa, dan Ronald Inglehart. Sekularisasi Ditinjau Kembali: Agama dan Politik di Dunia Dewasa ini. 1st Edition. Disunting oleh Ihsan Ali-Fauzi. Dialihbahasakan oleh Zaim Rofiqi. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2009. Ramadan, Hisham M. Understanding Islamic law: from classical to contemporary. Lanham: AltaMira Press, 2006. Sheikh, Naveed S. THE NEW POLITICS: Pan-Islamic Foreign Policy in a. London: RoutledgeCurzon, 2003. Shryock, Andrew. Islamophobia/Islamophilia : beyond the politics of enemy and friend. Bloomington: Indiana University Press, 2010. Sutrisno, Mudji, dan Hendar Hendar Putranto. Teori-Teori Kebudayaan. Disunting oleh Mudji Sutrisno dan Hendar Hendar Putranto. Yogyakarta: Kanisius, 2005. Tjaya, Thomas Hidya, and J. Sudarminta. Menggagas Manusia Sebagai Penafsir. Edited by Th. Hidya Tjaya and J. Sudarminta. Yogyakarta: Kanisius, 2005. Wahhab, Muhammad Abdul. Kitab Tauhid. Disunting oleh Abu Sa'id Hamzah. Dialihbahasakan oleh Abu Ismail Fuad. Yogyakarta: Pustaka Al-Haura', 2009. Welch, A.T. “Introduction: Qur'anic Studies - Problems and Prospect".” Journal of the American Academy of Religion 47 (1979).
60
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 The Need of an Institutional Secularization. Case Study: Indonesia Rara Sekar Larasati Abstract The rise of religious radicalism, has been devastating for Indonesia. As Indonesia’s government struggles to forge a lasting solution it is clear that the actions it has taken has not prevented nor lessen religious radicalism in Indonesia. As it happens religious fanatics have only become even more agitated due to the immense pressure and have found new ways to launch terror towards innocent Indonesians. The recent attacks by terrorist have only shown that the problem is far from being solved. This paper tries to describe preventive solutions towards religious radicalism in the form of institutional secularization. By secularizing the public institutions including schools, Indonesia has a fighting chance to minimize the growth of religious radicalism not only in the society but also in the government themselves, thus producing more neutral policies that is based on the rule of law rather than pressure from a certain religious group. * * Introduction Secularization has had a long history in itself. Starting in Europe it was a critical and immediate response of exhausted Europeans in the 18th century, and the many centuries before that, towards the overwhelming power of the Church. Not only was the Church dominant in the spiritual arena but also (and especially) in the political and social sectors of European nations. It had the supreme control to construct religious based policies that has its grounds not on sane rationality but on the conservative interpretations of a holy book, which in this particular case is the Bible. The power that has been vested towards the Church, that claims to be the worldly representative of God on earth, has resulted in a regional theocratic government that has caused more harm than good towards the people of Europe. If we take an example of France we can see how secularization has come to be in that particular country. Although secularization was officially conducted and established through the 1905 French law on the Separation of the Churches and the State (Loi du 9 décembre 1905 concernant la
61
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 séparation des Églises et de l'État), the principle concept of a secular state is often seen to arise due to the French Revolution of 1789.1 One of the causes of the French Revolution was the domination of the church in various political and social matters in France’s society. The French Revolution resulted in various policy changes within France, which in return resulted in the brief separation of State and Church. Yet due to pressure from Vendeans (War in Vendee 1793-1796) resulted in the Concordat of 1801 where in this agreement between Napoleon Bonaparte and Pope Pius VII brought back some minor policies towards the papacy (Vatican).2 Thereafter public schools experienced secularization in 18811882 headed by Jules Ferry Laws.3 The Concordat of 1801 was broken in 1905 due to the problematic diplomatic ties with the Holy See and France resulting in 1905 French law on the Separation of the Churches and the State. Of course this is a simplified history of secularization in France and Europe, but it gives a practical outlook on why secularization was needed in Europe, particularly France. The church was overwhelmed with the power that it has been entrusted upon for hundreds of years resulting in the fall of the church itself. This particular historical event that has its roots in the late 18th century has shown that countries such as Indonesia, whom is more or less may in the future undergo a similar situation if its religious problems are not dealt with, has actually regressed it’s way of thought by two hundred or so years. Indonesia, I’m afraid has learned nothing of the failure that religion has brought towards the functioning of the state. The Problem of Religion in Indonesia Many social theorists of the nineteenth century, ranging from Auguste Comte, Emile Durkheim, Max Weber, Karl Marx, Sigmund Freud etc all believed that religion would gradually fade in importance and cease to 1
Seperation of Church and State, 1905, (Accessed on 25 April 2011). 2 “Concordat 1801”, Encylopedia of Britannica, (Accessed on 25 April 2011). 3 “Jules François Camille Ferry”, Encyclopedia of World Biography. (Accessed on 24 April 2011).
62
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 be significant with the modernization and industrialization of the society. 4 The 1950s, 60s, and 70s, the years where many of whom quickly became busy celebrating the death of God, the rise of the secular states, and the general triumph of secularization theory.5 Europe and America seemed to become increasingly secular as they advanced and modernize themselves. Yet in the following years up until know, nations across the world have becoming increasingly religious. Countries like the United States were witnessing something of a return to religion during the last quarter of the twentieth century. Indonesia is also experiencing the same “problem” if we may say so. As I have said above, the rise of religiosity is a complex matter to elaborate but what we can make sure of is the increase of unguided religiosity has then resulted in 33% of Indonesian’s identifying themselves as fundamentalists, there is now a clear struggle between the modernizers and the fundamentalists in Indonesia.6 Seeing Indonesia’s current state of affairs it is incredibly easy to detect the problems it is undergoing. If we dissect these religious problems occurring in Indonesia we may see that it is a very complex matter to deal with, its root causes may range from economic disparities to the psychological need to belong towards a certain group. Whatever the reason may be there is one problem of why perhaps the situation in Indonesia may be harder to deal with. The government of Indonesia, where its stance is needed to be neutral cannot maintain its neutrality nor cannot it stop religion in entering its politics. The collective influence of religion, which in this case is Islam, on the country's political, economical and cultural life is significant. We need not look further than the recent events regarding the persecution of the Ahmadis. Murders in the name of religion has been conducted constantly by religious Muslim fundamentalists that refuses to see that Ahmadiyah is a part of Islam. On this issue Indonesia’s government has constantly failed to act and uphold its laws on human rights. Many Ahmadi 4
Chapter 1: The Secularization Debate, p.1. (Accessed on 24 April 2011). 5 Schultz, Kevin M. Secularization: A Bibliographic Essay. p.3. (Accessed on 25 April 2011). 6 “Most Embrace a Role for Islam in Politics Muslim Publics Divided on Hamas and Hezbollah”, PEW Research Center, (Accessed on 23 April 2011).
63
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 mosques has been continuously burned down without any intervention from the government.7 Several thousands of Ahmadis have become refugees within their own country in the past recent years. Seeing from this case it is clearly seen how the Indonesian government seems to have become hostage to the demands of extremist Islamic parties. Indonesia is incredibly ambiguous on its stance towards religion, refusing to define itself as secular or as an religious (Islamic) state. There has been an ongoing debate of whether Indonesia, based on its constitution, is a secular state or is it a religious nation where its laws have been sided towards a particular religious group. Indonesia’s government of course denies such a thing, saying that Indonesia will never become an Islamic country. 8 Yet the policies it has constructed ranging from the Blasphemy Law, AntiPornography Law and many other local regulations have proven otherwise. Religious studies are compulsory for students and Indonesia has a Minister of Religious Affairs responsible for administering and managing government affairs related to religion.9 It forces us to ask the question, has Indonesia’s government muddled too much in the religious affairs of Indonesia’s society? The first principle of the Pancasila, which is the national ideology of Indonesia states the "belief in the one and only God" (Ketuhanan yang Maha Esa). Indonesia’s constitution guarantees freedom of religion among Indonesians. However, the government only recognizes six official religions, namely Islam, Protestantism, Catholicism, Hinduism, Buddhism and Confucianism. There are other religious groups that have been categorized as kepercayaan or faith, this includes indigenous beliefs yet these beliefs has not been accepted by Indonesia as an official religion, due to the first principle of Pancasila that states in the belief of a supreme deity. Animism as we have come to know, does not have a particular god. The country has in a perhaps rather vague way defined the concept of God. The interpretation of this in the everyday lives of indigenous tribes in Indonesia, which has “Indonesia protesters torch mosque of 'heretical' Muslim sect”, The Jakarta Post. April 28, 2008. (Accessed on 23 April 2011). 8 MetroTV News, March 24, 2010, (Accessed on 25 April 2011). 9 Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, (Accessed on 24 April 2011). 7
64
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 numbered in the hundreds, has proven to be disastrous. One example of such indigenous belief that has experienced tragic consequences is that belief of the Dayaks of Kalimantan known as Kaharingan. Located mainly in central Kalimantan, the people who has instilled their beliefs in Kaharingan has been requested embrace one of the six religions that has been officially recognized. Failing to do so has will result in the students currently studying in a school to fail their religious education school subject given by the school.10 We can clearly see the ambiguity that Indonesia’s constitution has developed. This ambiguity has costs Indonesia the lives and freedom of many Indonesians. If Indonesia wishes to move forwards in every possible area and not be stagnant it needs to conduct some form of secularization. The state and Church or perhaps in this case mosque must be separated. The government must undergo secularization in its public institutions. Defining Secularization There have numerous interpretations on what secularization is, the word “secularization” has been stripped of its meaning and perhaps expanded to a degree where it has strayed on what it originally wished to convey. When we talk of secularization of Indonesia, we must first specifically define on what aspects of Indonesia that must undergo secularization. Secularization’s first widely accepted definition was the process of separation of Church and state.11 Specifically speaking it also meant the confiscation of some property of the Catholic Church, and also meant that several institutions like the state and the educational bodies were “secularized,” meaning they were no longer controlled by formal religious bodies. This type of secularization can be described as Institutional Secularization.12 There is also another type of secularization, which emphasizes on the private sphere rather than the public sphere. It is a type of secularization that enforces secularization in a individual hence secularizing “Hak-hak Sipil yang Terabaikan“, BBC News Indonesia, April 5, 2011, (Accessed on 24 April 2011). 11 Schultz, Kevin M. Secularization: A Bibliographic Essay. p.3. (Accessed on 25 April 2011). 12 Ibid. 10
65
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 an individual, this can be defined as Secularization as an Individual Disbelief.13 The type of secularization that I am proposing to be implemented in Indonesia is the Institutional Secularization. The state must be secularized, meaning that is must be purged of all aspects of religion in order for it to be neutral. The reasons will be elaborated below. Secularizing Indonesia The problem with any attempt towards the secularization of Indonesia has to be limited solely towards the public sphere, meaning that the state and other institutions that is of public use, including schools and universities must undergo secularization. The reason for this, is that we must understand the importance of religion for Indonesia’s society. Indonesia is in fact, as history has shown, a very religious society. By removing religion from the personal spheres of Indonesia’s society would be limiting the very essence of Indonesia’s culture which has been entwined for centuries with religion. Basically, Indonesia is inseparable from religion. Secularization is not in any way against religion. Religion is incredibly important for Indonesia’s society that the state must be left out. The role of a state within religion may result in a corrupted form of religion. Power has the tendency to corrupt, but absolute power of the society (power towards all aspects of society including religion) will corrupt absolutely. It is inherent of man to be overwhelmed by supreme power. There are several aspects that can be defined as the adavantages of embracing secularization in Indonesia. 1.
Freedom of Religion The freedom of choice is an inherent freedom within a human being. This of course is almost an unfathomable aspect to reflect on when it comes to freedom of religion in a society where religion has a severely firm grasp upon its society. Labeling an individual as heretic or blasphemous is a common matter and when labeling has concurred, social stigmatization of the individual may developed from and this it may evolve into other horrific consequences such as that has been conducted towards the Ahmadiyyah
13
Ibid.
66
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 community at Cikeusik.14 Another example of poor freedom of choice in Indonesia are laws concerning marriage between individuals. Although Indonesia does not have laws limiting an individual to leave a certain religion and embrace the next religion who he or she believes in, it does have laws limiting marriage between two different religions, we can see this in the no. 1 laws of 1974 concerning marriages.15 The laws state that any individuals may marry as long as it does not cross any religious regulations that have given by the religion at hand. It is clear that freedom within an individual is lingering in the hands of religious scholars and their interpretations of the holy books. Institutional secularization guarantees the freedom of individuals towards their personal choices on how they wish to conduct their religion. The state that has undergone secularization is obliged to protect the right of the individuals at hand thus guaranteeing any form of individual human rights violations. 2.
Freedom of Knowledge If we take a critical examination of the relationship of science and religion in the 15th century Europe, we can clearly see how limiting it was to conduct any liberal thoughts that due to conservative interpretations of the Bible have seen to be in direct violation of the Bible. This may perhaps be a problem within Indonesia, again labeling certain ideologies as heretic. MUI (Majelis Ulama Indonesia) for example has taken illogical steps in churning religious edicts or fatwas towards various matters ranging from Yoga and even to secularism and liberalism. It may seem at insignificant today, yet if we are to let this evolve, this conservative act might spill into our educational system thus limiting a student on what he or she may learn.16 This in return will produce more ill minded individuals that have minimal knowledge and will be easily influenced by religious fundamentalists resulting in even more terrorists for Indonesia to deal with. Some extremist faiths keep their girls “PKB Kutuk Kekerasan di Cikeusik“, KOMPAS, February 2, 2011, (Accessed on 24 April 2011). 15 “Perkawinan Beda Agama Di Indonesia”, (Accessed on 25 April 2011). 16 “Fatwa MUI”, (Accessed on 25 April 2011). 14
67
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 and women ignorant of almost everything, believing that the only suitable occupations for women are marriage and motherhood. Secularization has no such restrictions; the society is free from fear to obtain any sort of knowledge they desire. 3.
Tolerance In a recent survey conducted by Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (The Institution of Islamic Studies and Peace) towards 59 private schools and 41 public schools, has shown that 48.9% of students have shown their willingness to take part in violent acts as long as it coincides with religion and morality, a small number of those have also expressed approval towards extreme actions such as suicide bombs.17 63.8% of students have also approved the closure of other religious places of worships. This staggering result has shown the increase intolerance in Indonesia. Secularization may be able to repair this critical problem. The secularization of Indonesia forces its citizens to be tolerant. This does not merely mean the enforcing of secular laws but also by secularizing public spheres which includes schools. Education should have moral values basing itself not on religion but on secular values that embraces tolerance. The problem of teaching religious education in schools, in hopes of forming morally aware human beings, is that there will always be the possibility of radical interpretations of the religion being taught which can be clearly seen in Indonesia. To deny access of radicalism towards the young minds of Indonesians, religious education needs to be reevaluated of its effectiveness in forming morally sound individuals. Only by embracing secular moral values, individuals will have a logical base towards its morality rather than await an interpretation by religious scholars that are on par with the moral values being taught. Religion can be easily twisted according to its interpretation of its holy books, hence resulting in a twisted form of morality itself. By not indulging itself in religion, the government’s neutrality plays a pivotal role in the protection of its citizens, a role in which the government is required to perform. 17
“Separuh Pelajar Setuju Aksi Radikal Berlabel Agama.” Tempo Interaktif. April 25, 2011, (Accessed on 25 April 2011).
68
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 What we may conclude from this short description of the possible benefits of secularization in Indonesia, is that the future growth of Indonesia is highly dependent on some form of secularization. Much like democracy, I am not proposing to implement directly the democracy that has been implemented in the west but rather to find a local form of secularization that fits the needs of the Indonesian society. It must be able to not only convey the desires of the people and its culture and history, which as said above is highly rooted in religion, but also the needs that our society has not been able to see due them being shrouded by the increasing religious fundamentalism. This short paper may only be a vague description of why Indonesia is in dire need of institutional secularization, but it is hard to refute the possible benefits Indonesia may gain from institutional secularization. The concept of unity in diversity may only perhaps be implemented truly through this matter. * * Bibliography “Concordat 1801”, Encylopedia of Britannica, (Accessed on 25 April 2011). Chapter 1: The Secularization Debate, p.1. (Accessed on 24 April 2011). Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, (Accessed on 24 April 2011). “Fatwa MUI”, (Accessed on 25 April 2011). “Hak-hak Sipil yang Terabaikan“, BBC News Indonesia, April 5, 2011, (Accessed on 24 April 2011). “Indonesia protesters torch mosque of 'heretical' Muslim sect”, The Jakarta Post. April 28, 2008. 69
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 (Accessed on 23 April 2011). “Jules François Camille Ferry”, Encyclopedia of World Biography. (Accessed on 24 April 2011). MetroTV News, March 24, 2010, (Accessed on 25 April 2011). “Most Embrace a Role for Islam in Politics Muslim Publics Divided on Hamas and Hezbollah”, PEW Research Center, (Accessed on 23 April 2011). “Perkawinan Beda Agama Di Indonesia”, (Accessed on 25 April 2011). “PKB Kutuk Kekerasan di Cikeusik“, KOMPAS, February 2, 2011, (Accessed on 24 April 2011). Schultz, Kevin M. Secularization: A Bibliographic Essay. p.3. (Accessed on 25 April 2011). Seperation of Church and State, 1905, (Accessed on 25 April 2011). “Separuh Pelajar Setuju Aksi Radikal Berlabel Agama,” Tempo Interaktif. April 25, 2011, (Accessed on 25 April 2011).
70
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Membangun Kembali Semangat Toleransi Beragama (Konteks Hubungan Barat dengan Islam) dalam Masyarakat Internasional dengan Meningkatkan Peran Interfaith Dialogue Lukas Ronggur Tambunan Abstract Nowadays the spirit of religious tolerance among the peoples within a country or even between countries can be said has decreased significantly. For examples we can see the condition of religious freedom in Indonesia. Religion in Indonesia is ruled by the government. The other example is how Western people left very high suspicion on Islamic country and its peoples. They are afraid about terrorism that very close to the Muslims. Also Western people will always observe very seriously on the movement of Islamic group in the specific Muslim country. Western countries and its government may send its intelligence agent to observe and giving the report about the recent news. This kind of situation may cause conflict or even war between states. It can be said the purposes of religion which are creating a better living between peoples, peoples from different backgrounds may live peacefully, and also to humanize human being, these purposes in our point of view, cannot be achieved if the situation is still happening. Then, it is quite embarrassing while the religion is one of the causes why the war happened, why the conflict among people occur. In this paper, I would like to tell the readers and I hope this paper also can persuade all of us to rebuild the spirit of religious tolerance among the people, whether within a country or even in the global scope. One of the way is the improvement of the role of interfaith dialogue. I am going to elaborate how the effectiveness of interfaith dialogue and how the interfaith dialogue can reach people from different backgrounds, no matter if they are rich or poor people, no matter if they are Christian or Moslem, and also no matter if they are old and young. *
*
Pendahuluan Dewasa ini, semangat toleransi antar umat beragama baik dalam kehidupan nasional maupun dalam tataran global dapat dikatakan mengalami 71
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 penurunan yang signifikan. Semangat toleransi yang selalu didengung – dengungkan oleh para tokoh nasional bangsa ini maupun yang selalu dipesankan oleh para tokoh dunia dapat dikatakan mengalami penurunan. Kecurigaan akan suatu ajaran kepercayaan tertentu dan juga akan para pemeluk ajaran tersebut menjadi hal yang wajar, hal yang lumrah ditemui di era globalisasi dan teknologi informasi ini. Contoh yang paling nyata adalah bagaimana penilaian bangsa Barat mengenai ajaran – ajaran Islam, terlebih setelah perisitwa terorisme 11 September. Yang menegaskan bahwa terorisme identik dengan Islam. Hal yang demikian juga terjadi di negara – negara yang mayoritas berpenduduk Islam mengenai kebencian terhadap bangsa Barat yang dianggap melakukan Kristenisasi dalam setiap kebijakan maupun aksi yang dilakukan oleh negara – negara Barat. Tentunya keadaan tersebut sangatlah memprihatinkan. Agama diharapkan mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, sejahtera, dan lebih dari itu adalah memanusiakan manusia dalam setiap sendi – sendi kehidupan bermasyarakat. Kondisi dan dinamika global yang terjadi terutama setelah peristiwa 11 September telah cukup memberikan perubahan negatif dan signifikan, terutama menjadikan agama menjadi suatu bahasan diskusi yang sangat sensitif dan tabu untuk dibicirakan dalam setiap forum – forum internasional. Keberadaan lembaga – lembaga internasional yang dianggap mampu untuk membawa perubahan positif dan mengubah paradigma terhadap agama tertentu baik di masyarakat Barat maupun masyarakat di negara – negara Muslim, justru belum dirasakan maksimal. Permasalahan klasik seperti terbenturnya kepentingan antara negara – negara Barat dengan negara – negara Muslim yang diawali dengan kecurigaan masing – masing pihak membuat forum – forum internasional seperti menemui jalan buntu. Dalam paper ini, saya akan mencoba selain memberi pemaparan terhadap peran interfaith dialogue sebagai langkah alternatif untuk setidaknya menyelaraskan pemikiran yang positif terhadap agama, dan juga kembali menyadarkan masyarakat khususnya teman – teman akademisi mengenai pentingya toleransi dan penghargaan yang sebesar – besarnya terhadap ajaran agama tertentu dan juga pemeluk ajaran agama tersebut dalam menjalankan ibadahnya. Tentunya kami akan mencoba melakukan tinjauan teori terlebih dahulu mengenai kemunculan isu agama dalam disiplin ilmu hubungan internasional dan juga dalam praktek – praktek 72
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 hubungan internasional antar negara. Dalam tinjauan teori tersebut saya akan memberikan eksplanasi mengenai fokus perhatian yang baru dalam disiplin ilmu hubungan internasional. Setelah melakukan tinjauan teori, saya akan membahas praktek hubungan internasional yang dilakukan antar negara, dimana misalnya terjadi perubahan peta pembicaraan dalam diskusi maupun dalam forum internasional yang membahas mengenai keamanan global dimana agama menjadi salah satu poin bahkan menjadi poin terpenting yang dibahas. Di poin pembahasan terakhir saya akan mengidentifikasi pentingnya forum – forum maupun diskusi baik bilateral, regional, maupun multilateral terutama mengenai pentingya peningkatan peran interfaith dialogue. Tidak lupa juga, saya akan memberikan beberapa poin rekomendasi sekaligus masukan terutama ditujukan kepada golongan akademisi untuk membantuk menyadarkan masyarakat bahwa pentingya suatu dialog emansipatoris, suatu dialog yang egaliter, dimana tidak ada kecurigaan di masing – masing pihak. Tinjauan Teori Sebelum terjadinya peristiwa 9/11, sebenarnya diskusi mengenai agama dalam suatu sistem hubungan internasional sudah ada sejak lama. Salah satu contoh yang adalah bagaimana faktor agama menjadi salah satu penyebab pecahnya Perang Salib, meskipun tidak terlalu kuat dan berdasar, dimana faktor yang paling mendasar dan yang paling kuat adalah faktor ekonomi dan politik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa adanya ego agama menjadi faktor dari pecahnya Perang Salib ini. Begitu juga dengan yang terjadi di Iran saat terjadinya revolusi pemerintahan tahun 1970an, dimana saat Iran masih menganut sistem monarki, yang dipimpin oleh Shah Reza Pahlevi yang kemudian digulingkan oleh Ayatolah Ali Khomeini yang lantas mengubah sistem pemerintahan Iran menjadi Republik Islam yang sangat konservatif dan tidak menjalin kerjasama yang baik dengan Barat. Lantas apa yang dilakukan oleh Ali Khomeini direspon dengan luar biasa oleh pihak Barat, yang tentunya diwakili oleh Amerika Serikat. Terakhir, seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa peristiwa 9/11 memberikan suatu gambaran dan perspektif yang baru dalam hubungan antara Islam sebagai suatu kepercayaan dengan praktek – praktek hubungan internasional antar negara. Dalam artikel yang ditulis oleh Jack Snyder, terorisme yang berlandaskan ajaran Islam telah mengakibatkan agama menjadi satu aspek disiplin yang disorot dalam disiplin maupun praktek hubungan internasional. 73
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 1
Memang sangat sulit sebelumnya menjadikan agama sebagai suatu bagian integral dalam disiplin ilmu hubungan internasional. Agama yang diyakini sangat sakral karena berkaitan dengan privasi individu menjadi suatu hal yang harus dibuka dan dibahas. Dalam papernya Jack Snyder mencoba untuk memberikan analisa mengenai apa yang dikemukakan oleh teori – teori klasik hubungan internasional seperti Realisme, Liberalisme, maupun Konstruktivisme. Menurut teori realisme, menjadi suatu hirauan pokok mengenai bagaimana kewenangan yang dipunyai Paus dalam hubungannya antara Takhta Suci Vatikan yang merupakan salah satu subyek hubungan internasional dengan negara – negara berdaulat. Selain itu, Snyder juga mengutip dari pandangan kaum realis mengenai seberapa banyak divisi – divisi kerja yang dimiliki oleh seorang Paus terkait dengan kewenangan – kewenangan yang dimilikinya. Sementara penilaian pandangan Liberalisme mengenai agama adalah sesuatu yang murni dan berhak dimiliki oleh masing – masing individu, dianggap sakral. Konstruktivisme mecoba untuk menguraikan suatu kecerdasan alami yang dimiliki oleh masing – masing individu untuk dapat mengintegrasikan agama ke dalam teori – teori hubungan internasional. Berikut adalah kutipan yang kami ambil dari pendapat Jack Snyder mengenai agama: “Religion is one of the basic forces of the social universe, not just an ‘omitted variable.’ Religions have special potential for engendering sistem-wide change because they transcend unit boundaries, have implications for the full range of society’s institutions and ideas, and compellingly motivate individuals who are in their thrall.2
Dalam pendapatnya, agama jelas sekali mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam suatu sistem masyarakat. Hal ini disebabkan karena agama mempunyai kemampuan untuk mentransformasikan nilai – nilai yang dimilikinya ke dalam setiap unit – unit masyarakat yang kemudian menjadi suatu keharusan bagi masing – masing individu untuk mengikuti norma dan nilai yang berlaku dalam agama tersebut.
1
Snyder, Jack, “Religion and International Relations Theory”, July 2009, p. 1. 2 Ibid., p. 3.
74
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Lebih lanjut mengenai nilai dan norma yang harus dipatuhi oleh masing – masing individu yang merupakan bagian integral dalam suatu masyarakat, Monica Toft memberikan gambaran bahwa agama memberikan suatu ajaran yang bertujuan menjadi pedoman yang mengatur setiap sifat dan perilaku sesuai dengan ajaran agama tersebut. Ajaran – ajaran tersebut kemudian memberikan arahan kepada setiap individu untuk melakukan pengorbanan terhadap agama yang mereka peluk, entah itu dengan memberikan suatu persembahan baik itu berupa keinginan untuk menyebarkan ajaran agama tersebut, hingga persembahan berupa uang. Daniel Philpott dan Timothy Shah memberikan pendapat bahwa agama sudah ada sejak lama bahkan lebih tua daripada negara dimana tidak bertujuan hanya di kehidupan politik tapi di seluruh aspek kehidupan. Para kaum religius yang berada dalam dunia politik biasanya mendukung setiap tujuan dan kepentingan nasional di mana agama itu berada, bisa juga agar melalui negara setiap kepentingan dan tujuan dari masing – masing kaum religius dan kepercayaan yang dianutnya dapat terwujud, atau yang lebih parah terkadang dijumpai agama menjadi suatu gerakan radikal yang kemudian dapat memberikan perubahan drastic baik dalam sistem kenegaraan yang sudah terbentuk hingga mencakup segi – segi konstitusional. 3 Agama dalam Praktek Hubungan Internasional Dalam praktek hubungan internasional, Jack Snyder memberikan argumentasi mengenai fungsi dan peranan agama dalam suatu sistem hubungan internasional: Religion may shore up the state-centered international order as it is conventionally understood and help to explain it, but it may also work at cross-purposes to that order. Religion helped to forge the sistem of sovereign states, yet cuts across it. Religion can help to legitimate state authority, yet may also undermine it. Religion may help to delimit the territorial boundaries of a state, yet also creates loyalties and networks that cross boundaries. Religion may reinforce ethno-national identity, bridge the gap between national identities, or divide a nation. Religion may facilitate otherwise improbable coalitions or wreck otherwise obvious ones. Religion may affect politics by shaping its organizational and network structures and by affecting its values and motives.4
3 4
Ibid., p. 4. Ibid., p. 5.
75
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Dapat disimpulkan bahwa begitu kompleksnya peranan dan fungsi yang dapat dijalankan oleh agama dalam sistem hubungan internasional. Bahkan dapat dikatakan agama menjadi suatu pisau bermata ganda dimana dalam suatu keadaan dapat mendukung dan membantu program – program negara, namun di lain pihak dapat juga menjadi suatu penghambat atau bahkan faktor pengganggu dalam suatu sistem hubungan internasional. Salah satu contoh yang dapat menggambarkan teori yang disampaikan oleh Jack Snyder adalah bagaimana dalam suatu sistem hubungan internasional agama dapat mempengaruhi dan membentuk pola pikir masing – masing aktor pengambil keputusan terkait dalam menentukan mitra koalisi ataupun dalam menyatakan musuh bersama. Contoh nyata yang dapat dilihat adalah bagaimana Amerika Serikat bersama sekutunya yaitu seperti Inggris dan Perancis kemudian menyatakan bahwa negara – negara seperti Irak, Iran, dan Afghanistan merupakan negara sarang teroris. Sehingga dibutuhkan intervensi internasional untuk membendung kekuatan dari kelompok – kelompok terorisme. Agama juga dapat menjadi salah satu alasan berdirinya suatu organsisasi internasional, seperti OKI. Sangat jelas dari namanya OKI merupakan organsisasi internasional yang menjadi wadah silaturahmi dan juga wadah kekerabatan negara – negara Islam. Di negara – negara yang sangat kental dengan Islam yang sangat fundamentalis, setiap arah kebijakan dan penentuan mitra kerjasama dengan negara lain akan sangat dipengaruhi oleh agama. Kecenderungan yang selama ini terjadi adalah, negara – negara yang sangat dipengaruhi oleh Islam fundamentalis berupaya untuk menjauhkan kerjasama dari negara Barat. Selain itu juga negara – negara tersebut akan berupaya semaksimal mungkin untuk tidak membuka jalan kerjasama baik itu berupa ekonomi, pendidikan dan pertahanan keamanan dengan negara – negara Barat. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana peran agama kemudian dapat menjadi suatu penentu arah kebijakan satu negara dalam sistem hubungan internasional. Melihat dari kecenderungan tersebut terutama paska peristiwa 11 September, pemerintahan negara – negara Barat kemudian menerapkan kebijakan yang menurut mereka sebagai upaya perlindungan terhadap warga sipil, namun di lain pihak kebijakan yang dikeluarkan justru merugikan penduduk atau pemerintahan dari suatu negara Islam. Salah satu yang paling jelas adalah bagaimana kebijakan Travel Warning yang dikeluarkan oleh pemerintahan Australia terhadap warga negaranya yang akan berwisata ke 76
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Indonesia, terutama ke Pulau Bali, paska peristiwa Bom Bali tahun 2002. Contoh yang lain adalah Amerika Serikat dan sekutunya merilis Global War on Terrorism dimana negara – negara Islam seperti Irak, Afghanistan, dan Iran menjadi target operasi sebagai upaya untuk menghancurkan kelompok – kelompok radikal yang terdapat di negara – negara tersebut yang dianggap sebagai dalang aksi terorisme di belahan dunia. Tentunya keadaan yang memburuk tersebut dapat mengakibatkan munculnya rasa kecurigaan yang berlebihan baik dalam pemerintahan maupun dalam masyarakat. Suatu survei independen menyebutkan bahwa paska peristiwa 11 September, terjadi peningkatan kekhawatiran yang dialami masyarakat Amerika Serikat terhadap agama Islam dan juga terhadap negara – negara yang mayoritas berpenduduk Islam. Kecurigaan tersebut kemudian mengakibatkan polemik tersendiri yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di Amerika, dimana penduduk Muslim di negara tersebut atau yang setidaknya penduduk yang berasal dari negara – negara Islam mengalami diskriminasi yang sangat luar biasa dan juga penilaian yang sangat – sangat buruk yang dilakukan oleh mayoritas penduduk Amerika Serikat. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara Islam, sebagai suatu respon atas kesewenang – wenangan negara Barat dalam melakukan operasi militernya di negara – negara yang diduga menjadi sarang teroris, di Indonesia misalnya, bagaimana kelompok masyarakat seperti Front Pembela Islam melakukan demonstrasi di depan kedutaan besar Amerika Serikat untuk Indonesia, yang menolak intervensi militer Amerika Serikat dan sekutunya di Afghanistan dan Irak. Peranan Interfaith Dialogue sebagai Upaya untuk Meningkatkan Rasa Toleransi Lantas dengan keadan – keadaan yang sudah sangat kacau, kemudian memunculkan perhatian yang sangat mendalam terutama berasal dari golongan akademisi dan humanis untuk kembali mengembalikan keadaan seperti semula, dimana tidak ada kecurigaan antar umat beragama, tidak ada kecurigaan terhadap suatu ajaran agama tertentu, dan juga diharapkan dapat membawa perubahan positif yang signifikan terutama berkaitan dengan hubungan antar negara dalam suatu sistem internasional. Salah satu cara yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun aktor – aktor hubungan internasional yang lain dengan melakukan dialog – dialog 77
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 emansipatoris, dialog kesetaraan yang dalam konteks agama disebut interfaith dialogue atau dialog antar agama. Kesadaran – kesadaran inilah yang kemudian diharapkan sebagai suatu milestone untuk terwujudnya keadaan dunia yang damai, tidak terjadi kecurigaan baik yang dilakukan oleh masyarakat Barat dan juga masyarakat di negara Islam, dan yang lebih penting adalah memudahkan proses kerjasama antar negara baik berupa perdagangan internasional, pertahanan keamanan, pendidikan dan kebudayaan. Pentingnya interfaith dialogue dalam mencapai suatu kesetaraan pemikiran terkait dengan ajaran agama tertentu diharapkan dapat membantu para pengambil keputusan terutama berkaitan dengan hubungan antar negara Islam dan non-Islam. Namun perlu disadari sangatlah sulit untuk merealisasikan apa yang sudah disepakati dan diapahami secara bersama – sama ketika dialog tersebut terjadi. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya lagi kepentingan – kepentingan politis yang diinginkan oleh golongan tertentu dalam sistem pemerintahan dan juga bisa saja kepentingan dalam hubungan internasional. Misalnya seperti tetap menjaga akses untuk tidak dibuka selebar – lebarnya ke negara lain. Yang menjadi poin pembahasan berikutnya adalah bagaiamana untuk menciptakan dan melaksanakan interfaith dialogue yang efektif, dimana pada akhirnya hasil dari dialog dan diskusi tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat baik secara domestik maupun internasional. Dalam pandangan saya, ada beberapa poin yang saya rasa sangat penting untuk menjadikan suatu interfaith dialogue sebagai suatu fórum yang efektif yang kemudian dapat direalisasikan secara komprehensif. Pertama adalah dengan melibatkan seluruh aktor – aktor yang terlibat, baik itu dari golongan birokrat, agama, cendekiawan. Dengan melibatkan aktor – aktor tersebut diharapkan akan melahirkan suatu multi perspektif. Perlu dicatat multi-perspektif yang muncul tersebut tidak melahirkan multi-tafsir ketika hasil dan rekomendasi dari diskusi tersebut diberitakan kepada publik. Sangat perlu untuk menekankan pada satu definisi yang tegas dan singkat agara kemudian tidak menimbulkan multi-tafsir di dalam masyarakat. Kedua adalah setelah melibatkan para tokoh – tokoh, perlu juga dicatat pentingya peranan media dalam mempublikasikan hasil dari dialog tersebut. Sangat dihargai apabila media perantara yang digunakan untuk 78
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 mentransferkan hasil – hasil diskusi yang sudah dipadatkan, tidak mereduksi sekaligus melebihkan esensi dari pemberitaan itu sendiri. Masyarakat akan sangat menghargai dan tentunya mengapresiasi media apabila media tersebut memang benar – benar menyampaikan pemberitaannya apa adanya. Yang ketiga dan yang terakhir adalah dengan menyusun suatu Confidence Building Measure yang bertujuan untuk mengukur sejauh mana realisasi yang sudah dilakukan terkait dengan hasil – hasil forum diskusi. Confidence Building Measure ini kemudian diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi kerja ketika interfaith dialogue yang baru akan dilaksananan. Kesimpulan Pentingnya suatu kesadaran dalam masyarakat baik dalam tataran domestik maupun global terkait dengan toleransi beragama dewasa ini sangat perlu untuk ditingkatkan. Kondisi global yang memunculkan paradigma tertentu terhadap suatu ajaran agama kemudian menjadi suatu stimulus yang melahirkan situasi yang tidak kondusif, situasi dimana setiap negara saling mencurigai satu sama lain, situasi dimana pre-kondisi yang dibutuhkan untuk menjalin suatu relasi dengan negara lain adalah dengan melihat mayoritas penduduk di negara lain tersebut apakah berpenduduk Muslim atau nonMuslim. Keadaan yang semakin tidak menentu tersebut melahirkan ancaman – ancaman yang tentunya tidak hanya dirasakan oleh satu negara saja, tetapi juga dirasakan oleh negara lain sebagai kesatuan sistem hubungan internasional. Kecurigaan – kecurigaan terhadap suatu agama tertentu dan juga kecurigaan terhadap setiap pemeluknya menyebabkan keadaan yang tidak harmonis baik itu antar individu maupun pada akhirnya antar negara. Maka dari itu, sangat penting dan perlu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap toleransi beragama. Menghargai agama dan pemeluknya dan tidak melakukan justifikasi semu yang dapat melahirkan konflik. Salah satu cara yang tepat adalah dengan memberadayakan diskusi – diskusi baik yang dirancang secara nasional maupun internasional, untuk kemudian melahirkan suatu persepsi yang baru, suatu persepsi yang positf terhadap satu agama tertentu. Dalam konteks agama, interfaith dialogue, menjadi trending topic yang selalu diharapkan mampu membawa perubahan positif di tengah - tengah masyarakat. Tentunya fokus perhatian tersebut haruslah menjadi kesadaran bersama semua pihak. Tidak hanya menjadi fokus perhatian dari negarawan saja, atau budayawan, tapi seluruh 79
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 masyarakat. Agar nantinya kesepahaman dan keselarasan yang dihasilkan tercipta berdasarkan pemikiran bersama untuk menciptakan suatu kondisi ideal yang damai. * * Daftar Pustraka Asad, Talal, “The Idea of an Anthropology Of Islam,” Center For Contemporary Arab Studies Georgetown Univ., Washington DC, March 1986. Berger, Maurits, “Religion and Islam in Contemporary International Relations,” Netherlands Institute of International Relations 'Clingendael', The Hague, April 2010, Fox, Jonathan, “The Multiple Impacts of Religion on International Relations: Perceptions and Reality” Fox, Jonathan and S. Sandler, Religion in World Conflicts (London, Routledge, 2006). Mastnak, Tomaz, “Western Hostility toward Muslims: A History of the Present,” in Islamophobia/Islamophilia: Beyond the Politics of Enemy and Friend, Andrew Shryock (Bloomington: Indiana University Press, 2010). Rosen, Rabbi David, “Contemporary Use and Abuse of Religion in International Relations,” September 2003 Shryock, Andrew, Islamophobia/Islamophilia: Beyond the Politics of Enemy and Friend (Bloomington: Indiana University Press, 2010). Snyder, Jack, “Religion and International Relations Theory”, July 2009, 80
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Agama dan Gender : Teologi Feminisme Kristen Eunike Gloria Abstract Christianity had become a dominant focus in Middle Age and trauma about it in the past makes religion lost its role in all of aspects, related to state or government. But after 9/11, worldview of religion increased rapidly and created a new approach to analyze any issue in international scale. Christianity still has a lot of influence in some issues, like peace and gender studies. In the society, gender studies, especially feminism,still become controversial issue. Culture and social custom make feminism cannot develop as well as other studies. This paper will try to elaborate how Christianity, as representation of world religion, contributes its idea in feminist theology study. * * Tuhan Allah berfirman, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia,” … Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Kejadian 2 : 18, 21 Agama dan gender telah lama menjadi suatu paduan yang sangat dekat, bahkan sebelum teori gender mulai dikembangkan oleh para ahli. 1 Kisah penciptaan manusia yang diwariskan secara turun temurun oleh tiga agama yang lahir dari nabi bernama Abraham, menjadi salah satu bukti bahwa bahwa gender bukanlah sesuatu yang baru di dalam masyarakat. Kisah ini menjadi landasan penting bagi studi gender dimana konsep persamaan diperkenalkan dengan jelas dan akhirnya dikembangkan secara lebih mendalam. Berangkat dari studi gender, muncullah sebuah gerakan baru yang dikenal dengan feminisme. Feminisme diawali oleh pemikiran Jeremy Bentham (1781) dalam tulisannya yang berjudul An Introduction to the 1
John C. Green, The Faith Factor, (Wesport : Praeger Publisher, 2007), hal. 92
81
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Principles of Moral and Legislations. Bentham secara keras mencela praktik negara-negara yang tidak mengakui hak perempuan karena pikirannya yang inferior.2 Pemikiran akan feminisme pun semakin berkembang di abad 19 hingga akhirnya gerakan-gerakan yang lebih gencar mulai dilakukan pada abad 20. Perjuangan akan hak-hak perempuan mulai didengungkan baik melalui tulisan-tulisan kritis maupun melalui institusi akademik. Saat ini perkembangan studi feminisme pun tidak hanya berputar di arena sosial dan budaya. Dunia politik dan negara pun mulai menjadi perhatian dari feminisme. Mengutip pernyatan Jan Jindy Pettmen, “women are slowly becoming visible internationally and in the changing international agenda, whose ‘new items’ include issues raised here,” perempuan mulai mendapatkan ruang yang lebih bebas dalam setiap isu internasional, baik itu tradisional maupun non-tradisional. Pemahaman akan feminisme pun tentunya menerima banyak tanggapan dari beberapa kalangan studi yang berbeda. Para ahli budaya dan sosiologi menangkap fenomena ini sebagai suatu wilayah kajian yang kontroversial, yaitu munculnya kontradiksi antara warisan budaya patriarki yang telah lama menjadi duri dalam daging dengan paham feminisme yang menuntut persamaan. Kekristenan sebagai salah satu paradigma agama juga memiliki pandangannya sendiri mengenai feminisme. Banyak orang, bahkan kaum Kristiani sendiri, menganggap bahwa budaya Kekristenan masih bersifat patriarki. Patriarki dalam Kekristenan memang tidak dapat disangkal, namun kutipan ayat dari kitab Kejadian di atas akan menjadi batu loncatan untuk memahami bagaimana sebenarnya kekristenan memandang konsep feminisme secara khusus dan bagaimana agama mampu membawa perkembangan besar terhadap gender secara umum sebagai salah satu isu di dunia internasional. Teologi Feminis Kristen: Sebuah Pengantar Di antara kajian studi teologi yang semakin berkembang di pertengahan abad 20, teologi feminis telah menjadi wacana bersama bagi para perempuan lintas kepercayaan dan intelektuakitas.3 Secara umum. Miriam Williford, “Bentham on the Rights of Women”, Journal of History of Ideas, Vol. 36, No. 1 (Jan. - Mar., 1975), hal. 167 3 Susan Frank Parsons (ed.), The Cambridge Companion of Feminist Theology, (Cambridge : Cambridge University Press, 2004), hal. xiii 2
82
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 teologi feminis memiliki pertanyaan mendasar seperti mengapa Tuhan lebih bersifat laki-laki dibanding perempuan. Atau mengapa dalam kepemimpinan agama Tuhan lebih memilih laki-laki sebagai pemimpin dibanding perempuan. Hauge, seorang peneliti dari Norwegian Lutheran College, mendefinisikan teologi feminisme “as a reflection on the content and meaning of religion with particular regard to women’s status and situations, which recognizes the use and misuse of religion in the past and the present for the oppression of women and has as its aim to contribute to the liberation of women.”4 Hauge pun juga menjelaskan bahwa asumsi dari semua gerakan feminis pada dasarnya sama, yaitu, budaya patriarki, antropologi egaliter yang mengedepankan persamaan, serta komitmen terhadap perjuangan sosial politik terhadap liberalisasi perempuan.5 Teologi feminis tidak terdiri dari satu bentuk saja. Setiap agama memiliki pandangan teologinya masing-masing terhadap feminisme. Namun, aliran teologi feminis memang dimulai dari para feminis Kristen, sedangkan di agama lain seperti Hindu dan Islam, pendekatan teologi feminis masih dalam pembahasan yang sangat sederhana.6 Teologi feminis Kristen lahir sebagai respon protes terhadap dominasi dan penindasan terhadap perempuan di dalam Gereja selama berabad-abad.7 Bahkan pada zaman permulaan bapa-bapa Gereja, salah seorang bapa Gereja bernama Tertullian mengatakan bahwa perempuan adalah pintu gerbang bagi iblis karena perempuanlah (kisah Adam dan Hawa) yang menyebabkan manusia jatuh dalam dosa.8 Pemikiran teologi feminis di dunia barat pun terus berkembang dan menghasilkan berbagai macam interpretasi dan tafsiran terhadap Alkitab mengenai feminisme. Para feminis menggunakan ayat-ayat Alkitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sebagai alat legitimasi atas suara mereka. Salah satunya melalui kisah penciptaan laki-laki dan A. Hauge, “Feminist Theology as Critique and Renewal of Theology”, Themelios 17.3, April/May 1992, hal. 8 5 ibid 6 Eszter Andorka, Feminist Theology and Jewish-Christian Issues, , hal. 1, diakses pada 28 Februari 2011 7 Lie Ing Sian, “Sebuah Tinjauan terhadap Teologi Feminis Kristen”, Jurnal Veritas Vol. 42, Oktober 2003, hal. 4. 8 Geoffrey D. Dunn, Tertullian, (London and New York : Routledge, 2004), hal. 36 4
83
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 perempuan dan interpretasi dari Galatia 3 : 28 yang berbunyi, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Para teolog feminis meyakini bahwa ayat ini memiliki pesan eksplisit bahwa perempuan memiliki status dan posisi yang sama dengan laki-laki baik dalam urusan rumah tangga maupun di dalam masyarakat, bahkan dalam pelayanan Gereja. Pandangan para teolog feminis Kristen terhadap Alkitap sebagai landasan dan sumber utama pemikiran mereka menimbulkan beberapa kesulitan sendiri dalam menginterpretasi dan menafsirkan isi Alkitab. Kisah penghukuman Tuhan terhadap Adam dan Hawa dapat menjadi salah satu contoh konkrit kesulitan ini. Dalam kitab Kejadian disebutkan bahwa Tuhan menghukum Hawa dan berkata, “…. Namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu,” (Kejadian 3 : 16). Kesalahan interpretasi terhadap ayat ini dapat menjadi ‘batu sandungan’ bagi para teolog feminis dan mereka memerlukan analisa yang lebih menyeluruh lagi baik secara terminologi waktu maupunmakna. Selain itu, landasan teologi feminis pun tidak lepas dari kritik oleh banyak pihak. Para kritikus menyatakan bahwa, feminisme merupakan sebuah gerakan yang lahir dari pengalaman. Dark background yang dialami oleh perempuan di abad pertengahan merupakan dorongan dan faktor penentu mengapa feminisme dapat berkembang. Teologi tidak dapat dijadikan salah satu kajian ilmu untuk memahami feminisme. Bahkan sebuah kritik keras menyatakan, “Bagaimana bisa perempuan memiliki pemahaman sejati mengenai teologi apabila dasar pemikiran mereka dilandasi oleh pengalaman?”9 Di luar kesulitan dan kritik tersebut, tidak dapat menutup mata bahwa teologi feminis memiliki ekspektasi tinggi sebagai refleksi studi teologi secara umum yang selama beberapa abad didominasi oleh pemahaman lelaki. Kehadiran teologi feminis menjadi batu loncatan bagi teologi untuk terus mengembangkan pemahaman akan Ketuhanan. The advance theologies, hasil perkembangan studi teologi ini pun pada akhirnya akan membawa perubahan besar terhadap peran agama dalam menghadapi isu gender secara umum. 9
Malena Bjorkgen, “Liberation Theology and Feminist Theology : Similarities and Differences”, Mozaik, January 2004, hal. 35
84
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Evaluasi : Teologi Feminis Kristen di Asia Dari segi sosial budaya, perkembangan teologi feminis Kristen yang pesat di dunia barat pun menimbulkan asumsi bahwa teologi feminis tersebut didominasi oleh perempuan barat.10 Asumsi inilah yang menyebabkan pemikiran teologi feminis Kristen belum dapat dikembangkan secara utuh oleh perempuan Timur. Teolog perempuan di Asia belum dapat memunculkan suatu nama dari studi teologi yang mereka pelajari dikarenakan tidak ada bahasa umum yang dapat digunakan bersama.11 Masyarakat Asia lebih memilih “hasil kerja teolog perempuan Asia” dibanding “teologi feminisme”, karena ada anggapan bahwa “feminisme” mengandung unsur militan, bahkan dalam bahasa Cina, kata “feminisme” diterjemahkan sebagai “gerakan hak perempuan”.12 Satoko Yamaguchi, dalam tulisannya Christian Feminist Theology in Japan, menceritakan suatu kondisi dimana ketika isu gender dan feminisme muncul, perempuan Kristen lambat dalam memberikan suaranya. Hal ini disebabkan oleh adanya kekecewaan mendalam terhadap perlakuan Gereja terhadap perempuan. Mereka mengatakan, “Kami tertarik dengan ajaran kekristenan yang tidak membeda-bedakan perempuan dan laki-laki, namun ketika bergabung di dalam Gereja, kami mendapatkan bahwa struktur Gereja tidak jauh berbeda dengan struktur di masyarakat.”13 Situasi ini menjadi evaluasi tersendiri bagi teologi feminis dalam mengimplementasikan pemikirannya secara nyata. Teori dan tulisan akademis teologi feminis dunia Barat perlu mendapatkan masukan secara sosial budaya terutama bila berkaitan dengan masyarakat Asia yang kental akan budaya patriarki dalam kehidupan sehari-hari. Paham Konfusianisme memiliki konsep budaya yang menyingkirkan perempuan dari hak-haknya14 dan paham ini memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan budaya masyarakat di Asia khususnya di wilayah Timur (Jepang, Cina, Asia). Selain Margaret D. Kamitsuka, Feminist Theology and the Challenge of Difference, (New York : Oxford University Press, 2007), hal. 3 11 Kwok Pui Lan,. The Future of Feminist Theology : An Asian Perspective dalam Ursula King, Feminist Theology from the Third World, (London : SPCK/Orbis Press, 1994), hal. 65 12 ibid 13 Satoko Yamaguchi, Christian Feminist Theology in Japan, 2006, hal. 3 14 Dorothy KO, Jahyun Kim Haboush, Joan R. Piggot (ed), Women and Confucian Cultures in Premodern China, Korea, and Japan, (London : University of California Press, 2003), hal. 3 10
85
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 itu, meskipun para teolog feminis perempuan Asia berada dalam satu kawasan yang sama, mereka memiliki banyak perbedaan pengalaman, perspektif, pengetahuan, dan perbedaan-perbedaan tersebut membutuhkan perkembangan strategi yang lebih bervariasi terhadap partisipasi dan transformasi.15 Korea Selatan, dimana agama Kristen menjadi agama dominan (26,3%),16 merupakan salah satu bukti otentik dari keterbatasan perkembangan teologi feminis di Asia Timur. Berdasarkan tulisan Nam Soon Kang, teolog perempuan di Korea Selatan belum mampu menghasilkan pengembangan akan pemikiran teologi feminis. Keterbatasan akan sumber daya mempersulit pengaruh perempuan Gereja dalam memperjuangkan ide feminisme.17 Bukan hal yang mudah menghadapi warisan budaya yang masih sangat kaku bahkan kehadiran Gereja yang diharapkan mampu memperjuangkan hak-hak semua orang tanpa terkecuali pun belum mampu membawa banyak perubahan dalam kehidupan perempuan di Korea Selatan. Kondisi ekonomi dan sosial budaya di wilayah bagian Asia yang lain, seperti Bangladesh, India, bahkan Indonesia juga menjadi isu yang mempengaruhi perkembangan teologi feminis. Tingkat kemiskinan di ketiga negara tersebut, bahkan di sebagian besar wilayah Asia, masih terlalu tinggi. Perempuan di negara-negara Asia lebih memilih memikirkan kelangsungan hidup mereka dibanding memikirkan feminisme, apalagi secara teologi. Kesadaran akan kondisi mereka yang termajinalisasi masih belum bangkit secara utuh selama ekonomi masih menjadi permasalahan utama. Kesimpulan Teologi feminis Kristen hadir dalam kajian studi sebagai salah satu bahan referensi dalam mengembangkan studi gender khususnya feminisme secara lebih luas. Evaluasi sosial budaya terhadap teolog feminis Kristen menjadi bahan refleksi bahwa perjuangan hak-hak perempuan tidak hanya milik negara Barat. Meskipun selama dekade terkahir perkembangan dalam memperjuangkan peran dan hak perempuan Timur telah mengalami kenaikan, perempuan di Asia masih membutuhkan dukungan dari para 15
Nam Soon Kang, “Creating ‘dangerous memory’ : Challenges for Asian and Korean Feminist Theology”, The Ecumenical Review, January 1995, hal. 2 16 CIA The World Fact Book, , diakses pada 28 Februari 2011 17 Nam Soon Kang, hal. 11
86
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 aktivis maupun akademisi untuk terus mengembangkan pemikiran feminisme secara sosial. Teologi feminis Kristen perlu dilihat kembali, tidak hanya sebagai alat legitimasi ide perjuangan perempuan, namun juga sebagai perjuangan untuk mengembalikan relevansi agama, dalam hal ini Kristen, dalam kehidupan sehari-hari. Perspektif dalam menginterpretasikan Alkitab bersifat sangat subjektif, maka perlu adanya penyeimbangan yang dilakukan oleh Gereja, sebagai institusi, secara teologis maupun praksis. Lebih dalam lagi, teologi feminis Kristen yang telah berkembang secara transnasional mampu membangkitkan lagi nilai-nilai universal baik itu dari segi agama maupun sekuler. Norma dan nilai akan hak asasi manusia yang masih dan akan tetap diperjuangkan oleh masyarakat dunia menjadi tolak ukur bagi teologi feminis untuk terus mengembangkan pemikirannya, khususnya di wilayah Asia. * * Daftar Pustaka Buku Dunn, Geoffret D. 2004. Tertullian.London and New York : Routledge. Green, John C. 2007. The Faith Factor.Wesport : Praeger Publisher. Kamitsuka, Margaret D. 2007. Feminist Theology and the Challenge of Difference.New York : Oxford University Press. KO, Haboush, Piggot. 2003. Women and Confucian Cultures in Premodern China, Korea, and Japan, London : University of California Press. Parsons, Susan Frank (ed.). 2004. The Cambridge Companion of Feminist Theology, Cambridge : Cambridge University Press. Pui Lan, Kwok. 1994. The Future of Feminist Theology : An Asian Perspective. Hal. 63 dalam Ursula King. 1994. Feminist Theology from the Third World, London : SPCK/Orbis Press
87
Jurnal Sentris No.2 Tahun 7 - 2011 Jurnal Bjorkgen, Malena, “Liberation Theology and Feminist Theology : Similarities and Differences”, Mozaik, Januari 2004. Hague, A, “Feminist Theology as critique and Renewal of Theology”, Themelios 17.3, April/Mei 1992 Ing Sian, Lie. “Sebuah Tinjauan terhadap Teologi Feminis Kristen”, Jurnal Veritas Vol. 4-2, Oktober 2003. Kang, Nam Soon, “Creating ‘dangerous memory’ : Challenges for Asian and Korean Feminist Theology”, The Ecumenical Review, January 1995. Williford, Miriam, “Bentham on the Rights of Women”, Journal of History Ideas, Vol.36, No. 1. Januari-Maret 1975.Yamaguchi, Satoko, “Christian Feminist Theology in Japan”, 2006. Website Andorka, Eszter, Feminist Theology and Jewish-Christian Issues, (diakses pada 28 Februari 2011). CIA The World Fact Book, , diakses pada 28 Februari 2011
88
Jurnal Sentris No. 2 Tahun 7 – 2011
Penulis Zeva Aulia Sudana Mahasiswi angkatan 2007 Departemen Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (Unpar). Berkecimpung lama dalam KSMPMI melalui divisi materi, SentriS, dan merupakan mantan Koordinator SentriS 2009/2010. Memiliki ketertarikan terhadap isu-isu Human Rights, Women and Children Empowerment, Strategic Studies, Humanitarian Aid, Sustainable Development, Transnational dan Multinational Cooperation. Zeva berafiliasi dengan Sehama KontraS, Duta Bahasa Lingkup Jawa Barat, Lingkaran Alumni Penerima Beasiswa dari U.S. Department of State dan merupakan salah satu pendiri Rumah Dialog. Deviana Wijaya Dewi Mahasiswa angkatan 2007 Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan. Menjabat sebagai kepala divisi External HMPSIHI periode 2009-2010 dan aktif berpartisipasi dalam kegiatan akademik seperti konferensi dalam lingkup nasional dan internasional dan kegiatan nonakademik seperti voluntary works. Memiliki ketertarikan di bidang human rights, resolusi konflik, politik luar negeri khususnya di Asia Pasifik. Tommy Des Mulianta Mahasiswa aktif tingkat akhir Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan. Menjabat sebagai President KSMPMI periode 20092010 dan aktif mengikuti kegiatan akademik dan non-akademik lainnya di dalam maupun luar negeri. Memiliki ketertarikan di bidang security, politik luar negeri dan Asian Studies. Nayaka Diasa Mahasiswa angkatan 2008 Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan. Koordinator divisi Penelitian dan Pembangunan KSMPMI periode 2010-2011. Memiliki ketertarikan khusus terhadap filsafat, psikologi,ilmu komunikasi, agama Islam, dan Hubungan Internasional di kawasan Timur Tengah. vii
Jurnal Sentris No. 2 Tahun 7 – 2011
Rara Sekar Larasati Mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan angkatan 2008. Mendalami isu-isu Hak Azasi Manusia, isu-isu agama dalam politik global terutama isu fundamentalisme agama dan kebebasan beragama dalam kehidupan berdemokrasi. Pemenang Juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah Pertemuan Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional seIndonesia XXI di Universitas Jember dan memperoleh penghargaan Siswa Terbaik dalam Sekolah Hak Azasi Manusia KontraS pada tahun 2009. Saat ini menjabat sebagai Presiden Kelompok Studi Mahasiswa Pengkaji Masalah Internasional periode 2010/2011 juga bekerja sebagai freelance photographer. Lukas Ronggur Tambunan Mahasiswa angkatan 2008 Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan. Aktif dalam kegiatan akademik dan nonakademik. Ketua Himpunan Mahasiswa HI periode 2010-2011. Memiliki ketertarikan terhadap dinamika politik dalam negeri RI, development study, extra terrestrial issue dalam hal ini explorasi luar angkasa, dan juga pluralisme dalam kehidupan sosial masyarakat. Eunike Gloria Setiadarma Mahasiswi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan angkatan 2009. Aktif dalam kegiatan organisasi dan menjabat sebagai staff Divisi Analisa Literatur dan Film KSMPMI selama dua periode (2009-2011). Memiliki ketertarikan khusus terhadap isu-isu sosial budaya, gender, dan agama di kawasan Asia.
viii
Jurnal Sentris No. 2 Tahun 7 – 2011
Kelompok Studi Mahasiswa Pengkaji Masalah Internasional
(KSMPMI)
Sejarah Awal KSMPMI Kelompok Studi Mahasiswa Pengkaji Masalah Internasional (KSMPMI) dibentuk pertama kali oleh mahasiswa HI Unpar pada tahun 1984 sebagai sarana untuk membahas studi ekskursi. Awal mula kepengurusan KSMPMI ini diketuai oleh Bpk. Irawan (sekarang menjabat sebagai dosen di HI Unpar). Dalam kurun waktu dua tahun ke depan, KSMPMI mulai menyajikan makalah minimal satu kali sebulan secara rutin dan dengan topik tertentu, kemudian mengirimkan makalah tersebut ke Departemen Luar Negeri sebagai wadah untuk meningkatkan kualitas dan sebagai ajang berlatih mahasiswa untuk mempresentasikan makalah tersebut. Penyajian makalah tersebut, menjadi sebuah acara regularitas KSMPMI. Semangat untuk terus mengembangkan KSMPMI itu sendiri dilakukan dengan berusaha menjalin kooperasi dan kompetisi dari universitas lain, dengan tujuan untuk mendapatkan respon dari mahasiswa agar meningkatkan aktivitas mahasiswa; terutama dengan masalah-masalah HI. Namun terdapat beberapa masalah yang muncul seiring dengan perkembangan KSMPMI sendiri; terutama bagi mahasiswa Unpar, karena mereka sempat beranggapan bahwa KSMPMI itu eksklusif. Untuk mengatasinya, KSMPMI mengadakan diskusi-diskusi panel yang dihadiri oleh kalangan mahasiswa lain atau umum. Pembahasannya sendiri meliputi masalah-masalah internasional, isu-isu politik global, ataupun masalah-masalah seputar kuliah. Diskusidiskusi ini pada akhirnya justru menjadi kegiatan rutin KSMPMI yang masih dipertahankan sampai sekarang. Forum diskusi ini mencoba untuk mengakomodasi berbagai pertanyaan dan rasa keingintahuan yang besar mengenai isu lokal maupun internasional. Tujuan organisasi ini adalah untuk mengembangkan dan mendorong, baik anggota maupun himpunannya, untuk dapat lebih memahami HI melalui metode diskusi ataupun dialog. Melalui metode tersebut, mahasiswa diharapkan untuk saling bertukar pikiran dan ide; serta mampu
ix
Jurnal Sentris No. 2 Tahun 7 – 2011 bersaing secara sehat, baik dari segi kualitas dan kuantitas, terutama dengan perubahan dan tantangan global yang terjadi di dalam komunitas internasional. Seiring dengan perkembangannya, dan banyaknya pihak yang ikut ambil bagian dalam forum diskusi ini, menjadikan forum ini pada akhirnya dibedakan menjadi diskusi internal yang lebih dikhususkan untuk anggota KSMPMI, dan diskusi eksternal (berganti nama menjadi diskusi terbuka pada periode 2004-2005) yang diperuntukkan untuk pihak luar selain anggota KSMPMI. Dan akhirnya pada tahun 1989, KSMPMI secara resmi berada di bawah naungan HIMAHI
(Himpunan Mahasiswa
Hubungan
Internasional)
Unpar
berdasarkan UU Pendidikan dan aturan-aturan Universitas. Penerimaan KSMPMI Untuk dapat menjadi anggota KSMPMI, proses penerimaannya dilakukan melalui seleksi dari formulir pendaftaran yang diisi oleh mahasiswa HI tahun pertama dan tahun kedua, kemudian dilanjutkan dengan wawancara lisan dan tertulis untuk mengetahui seberapa besar pengetahuan dan ketertarikan mereka dengan isu-isu HI serta kebijakankebijakannya. Sementara itu, pemilihan dan pengangkatan Presiden KSMPMI yang baru beserta kabinetnya, dilakukan oleh anggota KSMPMI yang lama dan yang baru; dan tercatat masih aktif ataupun alumni KSMPMI tanpa dipandang status jabatan sebelumnya. Ini berkaitan dengan status keanggotaan KSMPMI yang bersifat seumur hidup, kendati tidak lagi aktif. Proses penerimaan anggota dan pengangkatan Presiden KSMPMI diatur dalam Charter KSMPMI. Seiring dengan perkembangan KSMPMI dalam kurun waktu 20 tahun belakangan ini; proses penerimaan itu sendiri bukan hanya menjadikan anggota KSMPMI hanya sebagai anggota, melainkan juga sebagai pengurus dari KSMPMI. Dalam kepengurusan 2007-2008, kepengurusannya dibagi ke dalam beberapa divisi, yaitu divisi Materi, divisi Hubungan Masyarakat, divisi Penelitian dan Pengembangan, divisi Publikasi dan Dokumentasi, divisi Dana dan Usaha, divisi SENTRIS serta divisi Analisa Literatur dan Film. Divisi Analisa Literatur dan Film baru dibentuk pada kepengurusan 2007-2008, kami melihat pentingnya sarana buku dan film dalam menyalurkan ide, nilai serta pembentukkan pola pikir mahasiswa. Oleh karena itu, divisi yang bersangkutan akan sangat fokus dalam kegiatan-kegiatan seperti bedah buku, acara menonton film bersama lalu kemudian diskusi film tersebut. Pemilihan Buku dan Film diusahakan memiliki hubungan erat dengan isu hubungan internasional.
x
Jurnal Sentris No. 2 Tahun 7 – 2011 Kegiatan KSMPMI Seperti yang disinggung di atas, inti ( core) dari kegiatan KSMPMI adalah diskusidiskusinya, yakni diskusi internal (bagi anggota) dan diskusi terbuka (bagi mahasiswa HI). Namun dalam kepengurusan 2004-2005 mulai dicoba untuk menambahkan diskusi ekskursi, yakni ajang diskusi dengan berbagai universitas HI luar Unpar. Mulai kepengurusan 2004-2005 pula dimulai adanya usaha-usaha untuk mengadakan berbagai diskusi tersebut secara rutin. Kemudian salah satu tugas yang harus diemban oleh KSMPMI setelah proses penerimaan selesai, adalah bekerjasama dengan organisasi HI lainnya untuk mengadakan Seminar Nasional, yang telah diadakan secara rutin dari tahun ke tahun dan dianggap sebagai puncak acara kepengurusan tahun tersebut. Selain itu, KSMPMI juga bekerjasama dengan PACIS dalam mengorganisasi berbagai dialog dan diskusinya. KSMPMI juga memiliki jurnal mahasiswa “Sentris” sebagai sarana apresiasi dan ajang kreatifitas mahasiswa dalam kegiatan menulis. Dalam perkembangannya, diharapkan jurnal mahasiswa ini
mampu
mengakomodasi kemampuan menulis mahasiswa, dan mampu memberikan kontribusi kembali kepada mahasiswa HI Unpar pada khususnya, dan komunitas Hubungan Internasional pada umumnya. Keterlibatan KSMPMI saat ini, lebih kepada masalah-masalah yang bukan hanya menyangkut masalah di perkuliahan; melainkan juga memberikan kesempatan untuk memperkaya
pengetahuan
dan
sudut
pandang
tertentu
dalam
isu-isu
terbaru
internasional. Namun di atas semua itu, KSMPMI juga memberikan kesempatan untuk memformulasikan dan menganalisa masalah dan realita HI melalui adanya saling tukar pikiran antar anggota, mahasiswa dan dosennya dewasa ini.
xi
Jurnal Sentris No. 2 Tahun 7 – 2011
Susunan Kepengurusan Inti KSMPMI Periode 2010-2011
Presiden KSMPMI
:
Rara Sekar Larasati
Wakil Presiden KSMPMI
:
Kevin Tigana
Sekretaris KSMPMI
:
Garjita Puspita Arum Sari
Bendahara KSMPMI
:
Nike Yosephine
:
Annisa Kartabrata
:
Dimas Muhammad
:
Nayaka Diasa
:
Shafira Ayunindya
:
Dinasty Limantono
:
Dendy Nugraha
Divisi Hubungan Masyarakat Koordinator Divisi Materi dan Diskusi Koordinator Divisi Penelitian dan Pengembangan Koordinator Divisi Publikasi dan Dokumentasi Koordinator Divisi Sentris Koordinator Divisi Analisis Literatur dan Film Koordinator
xii
Jurnal Sentris No. 2 Tahun 7 – 2011
Ucapan Terima Kasih Y. Purwadi Hermawan, Ph.D, selaku Ketua Jurusan program studi hubungan internasional. Terima kasih atas semangat yang terus dikobarkan untuk menulis. Terima kasih pula untuk kepercayaan dan keoptimisan yang telah diberikan sehingga Sentris dapat terbit.terima kasih atas kesabaran dan masukan-masukan yang membangun. Untuk Mbak Cucu, staff Tata Usaha FISIP UNPAR, terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam proses penerbitan jurnal ini. Zeva Aulia Sudana untuk masukan-masukan, motivasi, dan dukungan yang telah diberikan yang membuat jurnal ini menjadi lebih baik. Untuk dosen-dosen dan berbagai pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu, terima kasih atas kontribusinya dan pemikiran-pemikirannya yang menginspirasi kami dalam membuat jurnal ini menjadi lebih baik. Segenap anggota KSMPMI dari berbagai angkatan yang turut memberikan sumbangsih dan kontribusi pemikirannya sehingga jurnal ini dapat terealisasi. Kepengurusan KSMPMI 2010-2011. HIMAHI periode kerja 2010-2011 atas pengertian dan kerjasamanya untuk merealisasikan jurnal ini. Teman-teman yang telah membantu menerbitkan jurnal ini.
xiii
Jurnal Sentris No. 2 Tahun 7 – 2011
xiv