14
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Dasar Pertimbangan Penetapan Nilai Tukar Pemilihan rezim nilai tukar pada umumnya didasarkan atas beberapa
pertimbangan, (Goeltom dan Zulverdi, 1998) antara lain preferensi suatu negara terhadap keterbukaan ekonominya, apakah suatu negara lebih cenderung menerapkan kebijakan ekonomi yang terbuka atau tertutup. Jika suatu negara lebih cenderung menganut ekonomi yang lebih tertutup dan mengisolasikan gejolak keuangan dari negara lain (contagion effect) maka fixed exchange rate merupakan prioritas utama, sementara apabila suatu negara lebih condong terbuka, pilihan nilai tukar yang lebih fleksibel merupakan pilihan utama karena dengan sistem ini capital inflow dapat disterilisasi melalui sistem tersebut. Tingkat kemandirian suatu negara dalam melaksanakan kebijakan ekonomi misalnya dalam hal melaksanakan kebijakan moneter yang independen maka sistem nilai tukar fleksibel merupakan pilihan utama. Kegiatan perekonomian suatu negara jika kegiatan suatu negara semakin besar, maka kegiatan volume transaksi ekonomi semakin meningkat, sehingga menyebabkan permintaan uang juga semakin bertambah. Dalam hal ini, sistem yang tepat digunakan adalah sistem nilai tukar fleksibel karena jika negara tersebut memiliki sistem nilai tukar tetap maka dibutuhkan cadangan devisa yang sangat besar untuk menjaga kredibilitas sistem nilai tukar tersebut. Sementara itu dasar pertimbangaan pemilihan nilai tukar dalam konteks terjadinya underlying shock pada pasar uang dan barang (LM dan IS) dalam hal gejolak yang terjadi di pasar uang (LM) relatif lebih besar dari gejolak yang terjadi dipasar barang (IS) maka pilihannya yang lebih baik adalah floating exchange rate, Bila kasus sebaliknya, gejolak dipasar barang (IS) relatif lebih
15
besar dari gejolak di pasar uang (LM) maka pilihannya yang lebih baik adalah fixed exchange rate. Dalam hal keduanya tidak ada yang dominan maka kebijakan yang terbaik adalah managed floating. 2.2.
Sistem Nilai Tukar Mangambang Bebas Sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate system)
adalah sistem nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing yang nilai tukarnya ditentukan melalui mekanisme pasar, yaitu melalui kekuatan tarik menarik antara permintaan dan penawaran terhadap valuta asing di pasar valuta asing pada waktu tertentu. Dengan kata lain, melalui sistem ini kecenderungan suatu mata uang mengalami apresiasi ataupun depresiasi relatif terhadap mata uang lainnya. Hal tersebut akan sangat tergantung pada minat pasar untuk memegang mata uang yang bersangkutan, tanpa adanya pembatasan maupun intervensi secara langsung dari pihak-pihak tertentu, termasuk intervensi langsung dari pemegang otoritas moneter suatu negara. Jadi dengan sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar mata uang terhadap mata uang lainnya akan dibiarkan mengambang bebas, dalam arti fluktuasinya dibiarkan bebas tanpa dibatasi atau dikendalikan secara langsung. Sama seperti sistem nilai tukar yang lain, sistem nilai tukar mengambang bebas ini memiliki berbagai konsekuensi yang khas, baik yang positif maupun negatif, bagi perekonomian negara yang menerapkannya. Adapun konsekuensi positif (kelebihan) yang akan didapat oleh perekonomian suatu negara akibat menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas adalah sebagai berikut, (Sloman and Sutcliffe, 1998): 1. Terjadi koreksi otomatis terhadap ketimpangan neraca pembayaran nasional, sehingga seringkali disebut stabilisator otomatis (automatic stabilizer). Otoritas moneter suatu negara membiarkan kurs mata uangnya berfluktuasi
16
secara bebas menuju tingkat keseimbangannya di pasar valuta asing. Dalam hal ini ketidakseimbangan neraca pembayaran secara otomatis terkoreksi tanpa memerlukan kebijakan ekonomi pemerintah secara khusus. 2. Cadangan valuta asing suatu negara relatif utuh, dalam arti tidak digunakan untuk melakukan intervensi di pasar valuta asing demi stabilisasi kurs. Karena, nilai tukar mata uang nasional secara otomatis akan segera disesuaikan dengan tingkat nilai tukar di pasar valuta asing. 3. Relatif lebih memiliki daya lindung terhadap fluktuasi perekonomian dunia. Negara yang menerapkan sistem ini tidak akan terikat secara langsung terhadap suatu kemungkinan munculnya gejolak inflasi dunia yang tinggi. Hal ini juga merupakan suatu perlindungan yang lebih luas dari goncangan dan fluktuasi ekonomi dunia. 4. Pemerintah memiliki kebebasan (otonomi) yang lebih besar dalam menentukan kebijaksanaan ekonomi di dalam negerinya. Artinya, pemerintah dapat secara bebas memilih berapapun tingkat permintaan domestik yang dikehendaki, dan dengan mudah membiarkan pergerakan nilai tukar menyelesaikan
berbagai
permasalahan
yang
terdapat
pada
neraca
pembayarannya. 5. Kondisi asimetri dan ketidakadilan ala Bretton Wood dapat dihilangkan. Setiap negara memiliki peluang dan kedudukan yang relatif sama, paling tidak menurut hitungan teoritis, untuk mempengaruhi nilai tukar mata uang nasional terhadap mata uang – mata uang asing lainnya. Sedangkan, beberapa konsekuensi negatif (kekurangan) yang mungkin muncul dari penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas adalah sebagai berikut, (Krugman and Obstfeld, 2003):
17
1. Para pembuat keputusan, dalam hal ini bank sentral dan pemerintah, tidak lagi dibebani oleh kekuatiran terhadap berkurangnya cadangan devisa untuk mempertahankan
nilai
tukar,
dengan
demikian
dapat
menyebabkan
diterapkannya kebijaksanaan fiskal dan moneter yang terlalu ekspansif, yang bisa berakibat jatuhnya negara tersebut ke dalam perangkap inflasi. Atau dengan kata lain, dapat menyebabkan timbulnya kekurangan disiplinan pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan ekonominya. 2. Munculnya destabilizing speculation (spekulasi perusak stabilitas) dan gangguan terhadap pasar uang. Spekulasi perusak stabilitas ini cenderung memperbesar gejolak nilai tukar mata uang dalam jangka panjang daripada yang seharusnya terjadi sebagai akibat dari gangguan ekonomi yang tidak terduga. Hal ini akan membawa ketidakpastian pada bidang perdagangan dan investasi, khususnya dalam segala hal yang berkaitan dengan pembayaran luar negeri. 3. Timbulnya kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak terkoordinasi dengan baik. Masing-masing negara akan lebih berpeluang untuk menerapkan kebijaksanaan ekonomi sepihak yang menguntungkan dirinya sendiri, tanpa menghiraukan dampak negatif kebijakan tersebut terhadap negara lainnya. 4. Timbulnya ilusi tentang otonomi yang lebih besar. Para pembuat kebijakan ekonomi tidak dapat mengabaikan pengaruh pelaksanaan kebijakan ekonomi terhadap kondisi nilai tukar valuta asing, dan sebaliknya. Suatu depresiasi yang meningkatkan harga barang-barang impor akan mendorong kenaikkan upah tenaga kerja. Hal ini akan meningkatkan harga jual komoditi, sehingga merangsang inflasi, yang selanjutnya menyebabkan tuntutan kenaikkan upah yang lebih tinggi lagi. Oleh karena itu, pada akhirnya sistem nilai tukar
18
mengambang bebas dapat mempercepat reaksi harga terhadap kenaikan penawaran uang (sistem nilai tukar mengambang bebas tidak benar-benar memperkuat pengendalian terhadap tingkat penawaran riil uang). Mengingat konsekuensi negatif yang mungkin terjadi, terutama dalam menghadapi destabilizing speculation (spekulasi perusak stabilitas) dan gangguan terhadap pasar uang domestik, maka wajar saja bila dalam praktek belum pernah ada sistem nilai tukar mengambang bebas yang diterapkan secara murni, dalam arti benar-benar terbebas dari intervensi yang sifatnya tidak langsung dari pemegang otoritas moneter. 2.3.
Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia Penentuan sistem nilai tukar merupakan suatu hal penting bagi
perekonomian suatu negara karena hal tersebut merupakan satu alat yang dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengisolasikan perekonomian suatu negara dari gejolak perekonomian global. Sesuai dengan undang-undang No 13 tahun 1968 tentang bank sentral salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah secara garis besar, sejak tahun 1970 Indonesia telah menerapkan sistem nilai tukar yaitu, (Goeltom dan Zulverdi, 1998): 1.
Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rates 1970-1978) Sesuai dengan undang-undang No. 32 tahun 1964, Indonesia menganut sistem nilai tukar tetap dengan kurs resmi Rp. 250/USD (sebelum Rp. 45/USD) sementara kurs mata uang lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap USD di bursa valuta asing Jakarta dan dipasar international. Pada periode ini pemerintah melakukan devaluasi sebanyak 3 kali, masing-masing pada 17 April 1970 dengan kurs sebesar Rp. 378/USD,
19
tanggal 23 Agustus 1971 dengan kurs sebesar Rp. 415/USD, pada tanggal 15 November 1978 dengan kurs sebesar Rp. 625/USD. 2.
Sistem Nilai tukar Mengambang Terkendali (1978-Juli 1997) Pada sistem ini nilai tukar dilambangkan terhadap sekeranjang mata uang (basket of currencies) negara – negara mitra dagang utama Indonesia. Kebijakan ini diimplimentasikan bersamaan dengan dilakukan devaluasi rupiah pada tahun 1978 sebesar 33.6 persen Dengan sistem tersebut pemerintah menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak dipasar dengan spreed tertentu. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, pemerintah melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah dari spreed.
3.
Sistem nilai tukar mengambang bebas (14 Agustus 1997) Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar mengalami tekanan – tekanan yang menyebabkan semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD. Tekanan tersebut berawal dari currency turnmoil yang melanda Thailand yang dengan segera menyebar ke Indonesia dan negara ASEAN sehubungan
dengan
karakteristik
perekonomian
yang
mempunyai
kemiripan. Sejak awal bulan Juli 1997. Nilai tukar rupiah selalu berada disekitar batas bawah rentang intervensi, walaupun pada tangga 11 Juli 1997 band intervensi telah diperlebar dari sebesar 8 persen menjadi 12 persen. Langkah-langkah yang dilakukan Bank Indonesia antara lain dengan melakukan intervensi baik secara spot maupun forward untuk sementara memang dapat menstabilkan nilai tukar rupiah.
20
2.4.
Pendekatan Moneter
2.4.1. Teori Keseimbangan Pasar Uang Didalam pendekatan moneter diasumsikan bahwa tingkat harga secara penuh ditentukan oleh perubahan permintaaan dan penawaran uang didalam perekonomian, dan dinyatakan sebagai berikut : PIN =
MS L (i, Y )
...........................................................................................(2.1)
Atau MS P
= L(i, Y ) ........................................................................................(2.2)
dimana : P
= tingkat harga domestik
MS
= uang beredar domestik
L
= permintaan uang domestik
i
= suku bunga nominal domestik
Y
= pendapatan nasional riil domestik
Persamaan (2.1) menunjukkan bahwa tingkat harga itu ditentukan oleh suku bunga, tingkat penawaran uang domestik dan tingkat output riil. Keseimbangan tingkat harga jangka panjang adalah nilai Pd yang memenuhi kondisi yang ditunjukkan oleh persamaan (2.1) dimana suku bunga dan output berada pada tingkat jangka panjang yang konsisten dengan full employment. Bila pasar uang berada pada kondisi keseimbangan, maka tingkat harga akan tetap bertahan apabila penawaran uang, fungsi permintaan uang dan nilai – nilai jangka panjang i dan Y tidak berubah. Salah satu unsur prediktif yang terkandung dalam persamaan (2.1) diatas adalah menyangkut hubungan antara tingkat harga dan tingkat penawaran uang.
21
Jika semua kondisi lainya tetap, kenaikan jumlah penawaran uang akan mengakibatkan kenaikan tingkat harga secara proposional. Dengan demikian persamaan (2.2) dapat menjelaskan bahwa permintaan uang riil tidak akan meningkat sehubungan dengan kenaikan uang beredar (MS) yang tidak mengubah suku bunga (i) dan tingkat output (Yd), apabila penawaran uang riil juga tetap, agar penawaran uang riil (MS/P) tetap maka tingkat harga (P) harus mengalami kenaikan secara proposional dengan kenaikan uang beredar (MS). 2.4.2. Paritas Daya Beli 2.4.2.1.Hukum Satu Harga Hukum satu harga (The law of one prices) menyatakan bahwa harga produk yang sama/ identik di dua negara yang berbeda akan sama pula bila dinilai dalam currency atau mata uang yang sama. Teori ini dikenal sebagai Purchasing Power Parity (PPP) absolut. Misalnya harga barang di Amerika adalah Pusa harga barang tersebut dalam rupiah dapat dituliskan P IN = P US x Rp/USD dengan demikian nilai tukar adalah Rp/USD = P IN/P US. 2.4.2.2. Purchasing Power Parity Teori ini dikemukakan oleh Gustav Cassel, seorang ekonom swedia, yang memperkenalkan teori Purchasing Power Parity pada tahun 1918. Menurut Krugman (2003) menyebutkan bahwa salah satu teori mengenai penentuan nilai tukar adalah teori Purchasing Power Parity. Teori ini mengatakan bahwa nilai tukar antara dua negara akan berubah sesuai dengan perubahan harga di kedua negara. Jika misalnya, tingkat harga di suatu negara mengalami kenaikan yang berarti, maka terjadi penurunan daya beli mata uang domestik, menurut teori ini mata uang negara tersebut akan mengalami depresiasi. Sedangkan nilai mata uang
22
negara lain akan mengalami apresiasi, ceteris paribus. Demikian sebaliknya, penurunan tingkat harga disuatu negara (kenaikan daya beli mata uang domestik) akan dibarengi dengan apresiasi secara proprosional, cateris paribus. Sedangkan nilai mata uang negara lainnya mengalami depresiasi. Asumsi utama yang mendasari teori Purchasing Power Parity adalah bahwa pasar komoditi merupakan pasar yang efisien dilihat dari alokasi, operasional, penentuan harga, dan informasi (Tucker, et al, 1991). Secara implisit ini berarti: (1) semua barang merupakan barang yang diperdagangkan di pasar internasional (tradable goods) tanpa dikenal biaya transportasi sepersen pun, (2) tidak ada bea masuk, kuota, ataupun hambatan lain dalam perdagangan internasional, (3) barang luar negeri dan barang domestik adalah homogen secara sempurna untuk masing-masing barang, dan (4) adanya kesamaan indeks harga yang digunakan untuk menghitung daya beli mata uang asing dan domestik, terutama tahun dasar yang digunakan dan elemen indeks harga. Oleh karena itu bila indeks harga di kedua negara identik, hukum satu harga menjustifikasi Purchasing Power Parity (Bailie and Mac Mahon, 1990) artinya bila produk/ jasa yang sama dapat dijual dipasar yang berbeda dan tidak ada hambatan dalam penjualan maupun biaya transportasi, maka harga produk/ jasa cenderung sama di kedua pasar tersebut. Bila kedua pasar tersebut adalah dua negara yang berbeda, harga produk/jasa tersebut biasanya dinyatakan dalam mata uang yang berbeda, namun harga produk /jasa tetap masih sama. Perbandingan harga hanya memerlukan satu konversi satu mata uang ke mata uang lain misalnya.
P * x S = P ..............................................................................................(2.3)
23
Dimana P* adalah harga produk luar negeri, dikalikan kurs spot/konversi (S) misalnya rupiah perdollar US), sama dengan harga produk dalam negeri (P) sebaliknya, bila harga kedua produk dinyatakan dalam mata uang lokal, dan pasar adalah efisien. Maka kurs valas dapat dinyatakan dalam harga lokal produk tersebut;
S = P / P * ...............................................................................................(2.4) Dimana S adalah kurs spot dollar AS per rupiah. Bila hukum satu harga berlaku untuk segala jenis barang dan jasa, kurs Purchasing Power Parity dapat dijumpai pada sejumlah harga. Dalam teori PPP dikenal dua versi Purchasing Power Parity, yaitu : versi absolut dan versi relatif. Purchasing Power Parity versi absolut mengatakan bahwa kurs valas dinyatakan dalam nilai harga di dua negara
S t = Pt / Pt * .............................................................................................(2.5) Dimana Pt dan Pt* masing-masing adalah harga rata-rata tertimbang dari komoditi di dua negara (tanda * menunjukkan luar negeri) dengan kata lain, Purchasing Power Parity absolut menerangkan bahwa kurs spot ditentukan oleh harga relatif dari sejumlah barang yang sama (ditunjukkan oleh indeks harga) misalnya, katakanlah tingkat harga saat ini di Indonesia Rp. 110/USD sedang di AS sebesar Rp. 105/USD. Jika kurs awal dollar adalah Rp. 2 500 maka menurut Purchasing Power Parity, kurs rupiah yang dinilai dalam dollar AS seharusnya meningkat menjadi Rp. 2 619 yang diperoleh dari (2 500 x 110/105), atau mengalami sebesar 4.76 persen. Dilain pihak, bila tingkat harga di AS sekarang menjadi Rp. 115 maka
rupiah akan mengalami apresiasi sekitar 4.36 persen atau menjadi
Rp. 2 391 yang diperoleh dari (2 500 x 110/115) jadi dapat di simpulkan pesan dari PPP adalah bahwa negara yang mata uangnya mengalami tingkat inflasi yang
24
tinggi seharusnya mengurangi nilai mata uangnya relatif terhadap mata uang dengan tingkat inflasi yang lebih rendah. Sementara itu Purchasing Power Parity yang relatif
mengatakan
persentase perubahan kurs nominal akan sama dengan perbedaan inflasi diantara kedua negara, dinyatakan dalam konteks mendatang (ex ante terms), harapan perubahan kurs valas sama dengan harapan perbedaan inflasi
∆S te = ∆pt − ∆pte* ....................................................................................(2.6) Dimana ? Ste = harapan perubahan kurs spot (Set+1-St) ; ? pte = harapan perubahan inflasi, (pet+1 - pt) notasi yang dinyatakan dalam huruf kecil berarti dinyatakan dalam bentuk logaritma natural (misal ; S = Ln S ) tanda * diatas variabel menunjukkan negara asing. Baik Purchasing Power Parity versi absolut maupun relatif dapat dinyatakan dalam nilai kurs Purchasing Power Parity riil (real exchange rate, StPPP) sebagai berikut:
S tPPP = S t Pt * / Pt .....................................................................................(2.7) Dimana mendefenisikan kurs riil dalam nilai daya beli antara dua kelompok konsumsi barang
dengan kata lain, Purchasing Power Parity absolut dapat
dinyatakan sebagai StPPP =1 ; dan Purchasing Power Parity relatif dapat nyatakan dalam = St+1 PPP = StPPP. 2.4.3. Teori Paritas Suku Bunga Teori berikutnya adalah berlakunya teori paritas suku bunga (Interest Rate Parity), yang menyatakan bahwa pasar valuta asing berada dalam kondisi keseimbangan apabila semua simpanan dalam berbagai valuta menawarkan imbalan yang sama, artinya perbedaan suku bunga simpanan domestik dengan suku bunga simpanan luar negeri sama dengan tingkat swap yaitu perbedaan
25
antara kurs dimasa mendatang dengan nilai tukar spot relatif terhadap nilai tukar spot. Kondisi demikian menunjukkan bahwa masyarakat tidak akan memperoleh keuntungan apapun bila menginvestasi dananya diluar negeri secara matematis, teori Interest Rate Parity dinyatakan sebagai berikut : e S Rp / $ − S Rp / $
S Rp / $
= iIN − iUS ..........................................................................(2.8)
Pada bagian kanan persamaan (2.8) menunjukkan keuntungan atau kerugian yang diperolehkan bila menyimpan aset dalam mata uang domestik jika suku bunga rupiah lebih tinggi daripada suku bunga dollar (iIN>iUS) berarti ada keuntungan yang akan diperoleh bila menyimpan aset domestik. Dengan demikian akan banyak investor berusaha untuk mengalihkan portofolio asetnya kedalam rupiah, sehingga akan terjadi capital inflow. Adanya capital inflow nantinya akan menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar mengalami apresiasi. Sebaliknya apabila iIN < iUS, berarti ada keuntungan yang akan diperoleh bila menyimpan aset dalam dollar Amerika Serikat. Hal ini akan mendorong terjadinya capital outflow sehingga rupiah nantinya mengalami depresiasi terhadap dollar Amerika Serikat. Sedangkan bagian kiri persamaan (2.9) menunjukkan adanya resiko yang akan ditanggung ataupun keuntungan yang akan diperoleh bila terjadi perubahan nilai tukar. Apabila (iIN >iUS) > (SeRp/$ > SRp/$), maka akan lebih menguntungkan bila menyimpan aset domestik, demikian pula sebaliknya. Berdasarkan persamaan (2.8) diatas maka rate of return rupiah atas simpanan dollar kurang lebih sama dengan suku bunga dollar Amerika Serikat ditambah dengan tingkat depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Jika tingkat bunga domestik diatas tingkat bunga luar negeri, maka akan terjadi apresiasi dalam mata uang domestik atau depresiasi mata uang Amerika Serikat,
26
yang harus diimbangi dengan penurunan tingkat bunga dalam negeri. Persamaan (2.8) selanjutnya dituliskan kembali sebagai berikut: iIN = iUS +
e S Rp / $ − S Rp / $
S Rp / $
≡ iUS + ∆e ........................................................(2.9)
dimana : iIN
= suku bunga simpanan rupiah (domestik) pertahun
iUS
= suku bunga simpanan dollar (luar negeri) pertahun
SeRp/$ = perkiraan nilai tukar pada waktu yang akan datang (Forward) SRp/$ = nilai tukar yang berlaku saat ini (Spot) ?e
= ekspektasi depresiasi nilai tukar
Sedangkan penentuan nilai tukar antara rupiah dan dollar berdasarkan pendekatan moneter dimulai dengan fungsi permintaan uang nominal dari Indonesia (MdIN) dan Amerika Serikat (MdUS) dalam keseimbangan, jumlah uang yang diminta sama dengan jumlah uang yang ditawarkan. Jadi MdIN=Ms US. Kemudian persamaan (2.9) tersebut dapat kita subtitusikan kedalam persamaan money market equilibrium (2.10) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut : M INS PIN = ..........................................................................(2.10) L (iUS + ∆e, YIN ) PUS =
S M US ...................................................................................(2.11) L(iUS , YUS )
Selanjutnya menurut teori Purchasing Power Parity pada persamaan (2.5) maka persamaan nilai tukar dapat diturunkan sebagai berikut : S Rp / $ =
M INS L(iUS , YUS ) ..................................................................(2.12) S M US (iUS + ∆e , YIN )
Didalam keseimbangan jangka panjang ?e =0, dimana nilai tukar diharapkan tidak lagi berubah, tetapi dalam jangka pendek ?e ? 0, sehingga memungkinkan
27
untuk melihat hubungan antara nilai tukar, jumlah uang beredar, output, suku bunga dan tingkat harga. 2.4.4. Ekspektasi Rasional Asumsi lain untuk melengkapi analisis ini adalah berlakunya Rational Expectation yaitu bahwa semua agen ekonomi mengetahui bekerjanya mekanisme perekonomian. Dalam hal ini apabila dinyatakan
e adalah nilai tukar
keseimbangan, maka dapat diasumsikan bahwa S e Rp / $ = ~ e hal ini dapat menggambarkan arah perkembangan perekonomian yaitu dengan menganalisis hubungan antara tingkat harga dan nilai tukar yang memenuhi persamaan (2.9 dan 2.10) (Ickes,2004) Dalam jangka panjang ?e=0, maka persamaan (2.9) dapat dituliskan menjadi sebagai berikut : S M IN = L(iUS ,YIN ) ..................................................................................(2.13) PIN
Berapapun besarnya nilai tukar akan selalu konsisten dengan money market equilibrium, sebaliknya dalam jangka pendek ?e ? 0 misalnya apabila ?e > 0 dimana nilai tukar diharapkan akan mengalami depresiasi sesuai dengan persamaan (2.8) maka suku bunga di Indonesia lebih tinggi daripada suku bunga di Amerika Serikat, sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan permintaan uang agregat. Untuk menjaga kondisi keseimbangan pasar uang pada jumlah uang beredar yang tertentu, maka tingkat harga domestik harus mengalami penurunan jadi dalam hal ini untuk menjaga money market equilibrium terdapat hubungan negatif antara nilai tukar dengan tingkat harga. Dalam situasi dimana perubahan moneter merupakan penyebab dominan dari suatu fluktuasi ekonomi, maka prediksi terhadap kebijakan moneter menjadi
28
sangat penting. Berdasarkan pendekatan moneter, dapat diperoleh gambaran mengenai hubungan antara uang beredar, suku bunga, nilai tukar, output, tingkat harga didalam perekonomian. Apabila tingkat harga di asumsikan fleksibel (Holod D ,2000), dimana tingkat harga merespon secara langsung atau on impact perubahan jumlah uang beredar. Ekspansi moneter akan mengarahkan terjadinya kenaikan tingkat harga dengan berlakunya Purchasing Power Parity dalam jangka pendek. Maka kenaikkan tingkat harga pada gilirannya kemudian akan me nyebabkan terjadinya depresiasi nilai tukar. Time path tingkat harga dan nilai tukar yang di harapkan mengikuti adanya kebijakan ekspansi moneter pada asumsi tingkat harga fleksibel dapat digambarkan sebagai berikut : e Rp/$ P IN
a) Time Path Tingkat Harga Setelah Terjadinya Ekspansi Moneter
b) Time Path Nilai Tukar setelah Terjadinya Ekspansi Moneter
Gambar 3. Time Path Asumsi Tingkat Harga Fleksibel Sebaliknya, apabila tingkat harga sticky dimana Purchasing Power Parity tidak berlaku dalam jangka pendek, kebijakan moneter beroperasi melalui jalur suku bunga. Positif shock pada kebijakan moneter domestik akan meningkatkan real money supply, karena tingkat harga sticky dalam jangka pendek maka peningkatan jumlah uang beredar ini akan menurunkan suku bunga domestik dengan berlakunya Interest Rate Parity, maka pembuat kebijakan melakukan
29
antisipasi dengan apresiasi mata uang domestik didalam jangka panjang dengan turunya suku bunga domestik dan terjadinya apresiasi mata uang domestik menyebabkan nilai aset domestik tidak menarik, sehingga terjadi aliran modal domestik keluar dan mata uang domestik terdepresiasi. P IN
e Rp/$
a) Time Path Tingkat Harga Setelah Terjadinya Ekspansi Moneter
b) Time Path Nilai Tukar Setelah Terjadinya Ekspansi Moneter
Gambar 4. Time Path Asumsi Tingkat Harga Sticky 2.5.
Kebijakan Moneter Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank
sentral
dalam
bentuk
pengendalian
besaran
moneter
untuk
mencapai
perkembangan kegiatan perekonomian yang di inginkan yaitu stabilitas ekonomi makro yang antara lain dicerminkan oleh stabilitas harga (laju inflasi) dan pertumbuhan ekonomi (Warjiyo, 2003). 2.5.1. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter Kerangka operasional kebijakan moneter yang diterapkan oleh bank sentral di berbagai negara pada dasarnya memiliki konsep yang sama. Di satu sisi, bank sentral ingin mencapai sasaran – sasaran akhir yang menjadi tugas pokok nya seperti laju inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan neraca pembayaran. Namun di sisi lain, bank sentral hanya mampu mempengaruhi beberapa instrumen kebijakan yang secara langsung di bawah pengendaliannya.
30
Karena itu diperlukan sasaran operasional sebagai sasaran segera yang hendak dicapai dari penggunaan instrumen tersebut dan dengan suatu mekanisme tertentu yang diasumsikan dapat mempengaruhi sasaran antara. Pada dasarnya pencapaian sasaran antara ini diharapkan dapat mempengaruhi pencapaian sasaran akhir yang di inginkan. Jadi alur mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia adalah instrumen kebijakan moneter, kemudian sasaran operasional, sasaran antara, dan terakhir adalah sasaran akhir (Hascaryo, 2003).
2.5.2. Instrumen Kebijakan Moneter Dalam mencapai tujuannya, bank sentral memiliki beberapa instrumen kebijakan moneter yaitu operasi pasar terbuka (open market operation), cadangan minimum (reserve requirement), dan kebijakan diskonto (discount policy). 1. Operasi Pasar Terbuka Operasi pasar terbuka (Miskhin, 2001) merupakan intervensi yang dilakukan bank sentral untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar dengan membeli atau menjual surat berharga seperti Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Uang . Sertifikat Bank Indonesia merupakan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sedangkan Surat Berharga Pasar Uang diterbitkan oleh perusahaan atau bank. Kedua instrumen ini dikeluarkan pada saat bank sentral ingin membekukan likuiditas. Sertifikat Bank Indonesia sebagai surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia digunakan untuk melakukan operasi moneter secara tidak langsung. Selain itu, Sertifikat Bank Indonesia dapat digunakan untuk mengatur likuiditas jangka pendek dari bank, perusahaan ataupun masyarakat. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia merupakan indikator yang terbaik dalam kebijakan
31
moneter dan terkadang digunakan sebagai alternatif investasi (Agung, 1998). Bank sentral akan melakukan kebijakan moneter yang bersifat kontraksi dengan menjual surat berharga dan melakukan kebijakan ekspansif dengan membeli surat berharga. Terdapat beberapa keuntungan kebijakan moneter dengan menggunakan instrumen pasar terbuka, (Miskhin, 2001) diantaranya : (1) Operasi Pasar Terbuka merupakan kebijakan moneter yang muncul atas inisiatif dari bank sentral untuk mengontrol jumlah uang beredar, (2) Operasi Pasar Terbuka dapat digunakan secara luas, fleksibel dan tepat, (3) Operasi Pasar Terbuka sangat mudah dikoreksi atau dibetulkan jika terdapat kesalahan dalam pengambilan suatu kebijakan, dan (4) Operasi Pasar Terbuka dapat diterapkan secara cepat. 2. Giro Wajib Minimum Giro Wajib Minimum atau cadangan minimum bank merupakan dana yang harus disimpan oleh perbankan pada bank sentral. Besarnya Giro Wajib Minimum merupakan cerminan dari kebijakan bank sentral dalam menentukan besarnya jumlah uang uang beredar. Giro Wajib Minimum jarang digunakan sebagai instrumen kebijakan. Kelebihan menggunakan instrumen Giro Wajib Minimum (Miskhin, 2001) adalah memiliki dampak yang sama ke semua bank dan sangat berpengaruh terhadap jumlah uang beredar. Kekurangan penggunaan Giro Wajib Minimum adalah peningkatan Giro Wajib Minimum secara cepat akan mengakibatkan masalah likuiditas bagi bank – bank yang memiliki excess reserves yang rendah. 3. Tingkat Diskonto Tingkat diskonto merupakan suatu kebijakan untuk mengendalikan uang beredar dengan merubah tingkat suku bunga, namun kebijakan ini jarang
32
digunakan. Kebijakan ini hanya bisa dipakai oleh bank, berkaitan dengan fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort, artinya bank sentral sebagai alternatif terakhir bagi bank untuk memperoleh dana jika kekurangan likuiditas. Biasanya Bank Indonesia akan mengenakan suku bunga di atas rata-rata. Kekurangan menggunakan instrumen ini sebagai kebijakan moneter (Miskhin, 2001) yaitu; (1) menimbulkan kebingungan bagi bank sentral untuk menetapkan tujuan ketika perubahan tingkat diskonto diumumkan, dan (2) ketika bank sentral menetapkan tingkat diskonto pada level tertentu, akan terjadi fluktuasi antara suku bunga pasar dengan tingkat diskonto (i-id)
sebagai
perubahan suku bunga pasar. Secara umum, kebijakan moneter yang sehat memiliki karakteristik – karakteristik sebagai berikut, (Nugroho, 2002): 1. Bersifat antisipatif (forward looking) karena adanya lag kebijakan moneter 2. Hanya memiliki satu nominal anchor, sehingga sasaran kebijakan akan lebih terfokus. 3. Mengikatkan
diri
pada
suatu
rule
namun
cukup
fleksibel
dalam
operasionalnya (constrained discretion). 4. Sesuai dengan prinsip-prinsip good corporate government, yaitu memiliki tujuan yang jelas, transparan dan berakuntabilitas. Kebijakan moneter dapat mempengaruhi stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan keseimbangan neraca pembayaran. Secara ideal, semua sasaran akhir tersebut bisa dicapai secara bersamaan. Namun, sering kali pencapaian sasaran – sasaran akhir tersebut mengandung unsur kontradiktif. Oleh karena itu, dalam undang-undang bank sentral ada
33
kecenderungan bahwa sasaran akhir kebijakan moneter adalah kestabilan harga yang artinya memfokuskan pada sasaran tunggal. Kebijakan moneter dengan sasaran tunggal pada umumnya menggunakan pendekatan harga (price-based structure), sementara kebijakan moneter dengan sasaran multi menggunakan pendekatan kuantitas (quantitas-base structure). Tugas pokok Bank Indonesia sebagai otoritas moneter adalah merencanakan dan membuat program moneter (moneter programming) yang intinya adalah melakukan perencanaan kebijakan pengendalian uang beredar (moneter) seperti yang diterangkan pada Tabel 1. Dalam penyusunan program moneter, penentuan sasaran operasional dilakukan dengan memperhitungkan beberapa asumsi berikut: 1. Kebijakan dan perkembangan sektor-sektor lain (fiskal, perdagangan dan investasi, dan lain-lain) akan berjalan seperti ditetapkan. 2. Adanya hubungan yang stabil antara uang primer (sebagai sasaran operasional) dengan uang beredar (sebagai sasaran antara). Kondisi ini mensyaratkan adanya stabilitas perkembangan money multiplier. Tabel 1. Kerangka Secara Umum Sistem Operasi Kebijakan Moneter Pendekatan
Sistem Operational
a. Pendekatan harga
Instrumen Sasaran Operasional - Langsung - Suku bunga PUAB - Tidak langsung
b. Pendekatan Kuantitas
Intrumen
Sasaran Akhir - Stabilitas harga
Sasaran Sasaran Antara Sasaran Akhir Operasional - Langsung - monetary base -Besaran moneter - Stabilitas harga - Tidak Langsung seperti: seperti : - Pertumb.Ekonomi • Uang Primer o MI,M2 - Kesemptan Kerja • Reserve bank o Suku bunga - Keseimbangan o Nilai Tukar BOP 0 Kredit Perbankan
Sumber : Ascarya, 2002
2.5.3. Sasaran Operasional Pemilihan variabel yang dijadikan sasaran operasi adalah hal pertama yang harus ditentukan. Dalam hal ini, suku bunga Pasar Ua ng Antar Bank (PUAB),
34
suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan tingkat diskonto surat Berharga Pasar Uang (SBPU) merupakan tiga pilihan suku bunga jangka pendek yang dapat digunakan sebagai sasaran operasional. Pemilihannya didasarkan pada
dua
pertimbangan. Pertama, seberapa cepat perubahan masing-masing suku bunga jangka pendek tersebut ditransmisikan ke perubahan suku bunga deposito atau kredit dan perubahan nilai tukar. Kedua, seberapa jauh perubahan suku bunga jangka pendek tersebut dapat dipengaruhi oleh instrumen kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Ketiga jenis suku bunga jangka pendek tersebut mempunyai kelebihan sekaligus kekurangan masing-masing. Suku bunga SBI dan tingkat diskonto SBPU mempunyai kelebihan karena dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia. Bahkan kedua suku bunga ini dapat sekaligus menjadi instrumen dan sasaran operasional kebijakan moneter. Perbedaanya terletak pada pandangan perbankan bahwa SBI sebagai alternatif investasi, sementara SBPU sebagai alternatif pendanaan. Karena itu tingkat diskonto SBPU sering diyakini lebih dekat hubungannya dengan suku bunga deposito dan kredit. Sementara itu, suku bunga PUAB mempunyai kelebihan karena lebih menggambarkan kondisi pasar uang sebagai salah satu alternatif pendanaan dan penanaman modal jangka pendek perbankan. Karena langsung mempengaruhi return dan risk perbankan maka perubahan suku bunga ini diperkirakan lebih cepat ditransmisikan ke suku bunga dan kredit. Selain itu, PUAB sering pula dipergunakan sebagai alternatif sumber pendanaan bagi transaksi dipasar valuta asing karena eratnya keterkaitan antara kedua pasar uang ini. Dengan demikian diperkirakan perubahan suku bunga PUAB lebih cepat pula ditransmisikan ke pergerakan nilai tukar rupiah.
35
2.5.4. Sasaran Antara Tercapainya sasaran akhir kebijakan moneter seperti laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi akan sangat bergantung pada kemampuan Bank Indonesia dalam mempengaruhi permintaan agregat baik konsumsi, investasi, maupun transaksi berjalan. Untuk itu bank Indonesia dapat menggunakan model ekonomi makro yang telah ada untuk memperkirakan seberapa besar permintaan agregat yang dianggap aman dan sesuai dengan laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. sasaran tersebut diperlukan untuk dipergunakan sebagai acuan dalam memperkirakan besarnya demand pressure atau output gap yang dapat ditolerir dan perlu dikendalikan melalui kebijakan moneter yang dilakukan. Langkah selanjutnya adalah merumuskan suatu indikator yang dapat dipergunakan sebagai sasaran antara dalam pengendalian permintaan agregat tersebut. Dalam hubungan ini, Indikator Kondisi Moneter (IKM) yang ditempuh oleh Kanada, Selandia Baru, dan Australia kiranya dapat digunakan sebagai acuan penerapannya di Indonesia. IKM pada dasarnya mengukur pengaruh suku bunga dan nilai tukar terhadap aggregate demand pressures yang dicerminkan pada besarnya output gap sebagai berikut: IKM(v)
=
a(sukubunga(t)-sukubunga
(base))+ß(REER(t)-REER(base))100
dimana IKM (v) mencerminkan aggregate demand pressures, t menunjukkan periode sekarang, base adalah periode dasar, dan angka 100 untuk menunjukkan indeks. suku bunga yang berpengaruh pada permintaan agregat pada umumnya adalah sukubunga menengah panjang. Untuk Indonesia, suku bunga deposito atau sukubunga kredit dapat dipergunakan sebagai proksi mengingat tidak adanya suku bunga menengah panjang. REER adalah real efective exchange rate.
36
Parameter a dan ß diperoleh melalui penaksiran fungsi permintaan agregat dengan variabel suku bunga dan REER sebagai varaibel bebas. Dengan demikian suatu rasio IKM yang dicerminkan dengan a/ß menunjukkan seberapa kuatnya pengaruh sukubunga terhadap permintaan agregat relatif terhadap pengaruh REER. Rasio IKM ½ artinya bahwa 1 persen pengaruh kenaikkan suku bunga sama dengan 2 persen apresiasi nilai tukar dalam mempengaruhi permintaan agregat. Dengan kata lain, agar permintaan agregat tidak mengalami perubahan maka kenaikan suku bunga sebesar 1 persen harus diimbangi dengan depresiasi nilai tukar sebesar 2 persen. Semakin rendah rasio IKM berarti bahwa untuk mempengaruhi permintaan agregat diperlukan fluktuasi nilai tukar yang lebih besar. Karena IKM dinyatakan dalam perubahan relatif terhadap periode dasar maka perkembangan IKM dari waktu ke wkatu menunjukkan semakin besar/tidaknya agregate demand pressures. Kenaikan IKM menggambarkan semakin besarnya pengaruh suku bunga dan nilai tukar dalam mengurangi tekanan permintaan agregat tersebut. Dengan kata lain, gerakan IKM menunjukkan ketat/tidaknya stance dari kebijakan moneter yang ditempuh. Apabila bank Indonesia ingin mengetatkan pengendalian untuk mengantisipasi tekanan permintaan agregat yang semakin besar maka IKM diupayakan untuk dapat ditingkatkan dari waktu kewaktu.
2.5.5. Sasaran Akhir Selama ini manajemen moneter di Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran akhir kestabilan ekonomi makro, yaitu laju inflasi yang cukup rendah, laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan kemantapan neraca pembayaran.
37
Berbagai perubahan mendasar terutama perubahan sistem nilai tukar tetap menjadi sistem nilai tukar yang fleksibel mengharuskan Indonesia untuk memikirkan kembali tentang bagaimana kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Suatu hal yang pasti adalah dalam sistem nilai tukar fleksibel, gerakan nilai tukar akan berfluktuasi sesuai dengan kekuatan pasar sehingga tidak lagi dapat diarahkan untuk mencapai suatu sasaran tingkat depresiasi tertentu untuk mendorong ekspor. Dengan demikian, dalam sistem nilai tukar fleksibel, kebijakan moneter lebih difokuskan pada pengendalian permintaan agregat. Lebih jelasnya bahwa kebijakan moneter diarahkan untuk mengendalikan tekanan-tekanan permintaan (aggregate demand pressures) yang disebabkan oleh tingginya kesenjangan antara permintaan agregat dengan output potensial (output gap). Hal ini mengingat besarnya output gap tersebut menentukan tingkat laju inflasi dan laju pertumbuhan dalam ekonomi. Semakin tinggi output gap, laju pertumbuhan ekonomi dapat lebih tinggi, akan tetapi akan dibarengi dengan laju inflasi yang lebih tinggi pula. Bank Indonesia harus menentukan seberapa jauh output gap tersebut akan diperkecil untuk menentukan imbangan antara sasaran laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang dianggap paling optimal. 2.6.
Hasil Penelitian Terdahulu Santoso dan Iskandar (1999), dalam penelitian mengenai pengendalian
moneter dalam sistem nilai tukar yang fleksibel menjelaskan bahwa pengujian empiris dengan menggunakan vector autoregression dan granger causality test versi Hsiao menunjukkan bahwa kebijakan moneter dengan inflation targetting dapat digunakan di Indonesia khususnya setelah era sistem nilai tukar fleksibel.
38
Pengendalian moneter dalam kerangka inflation targetting dapat dilakukan dengan menggunakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank overnight sebagai kandidat utama sasaran operasional dan (Monetary Condition Index) sebagai sasaran antara, sementara underlying inflation sebagai sasaran akhir tunggal. Sementara penggunaan Monetary Condition Index sebagai sasaran antara tidak dilakukan secara kaku (policy rules) tetapi dimungkinkan terjadinya discretionary policy sepanjang shock terhadap inflasi dan nilai tukar berasal dari supply shock dan bersifat sementara. Disamping itu masih kuatnya hubungan langsung antara monetary
aggregate dengan inflasi maka pengalihan kebijakan moneter dari
quantity targetting ke price targeting
bukan merupakan substitusi penuh.
Monetary aggregate masih tetap digunakan sebagai variabel indikator untuk mendeteksi tekanan terhadap inflasi. Studi empiris mengenai mekanisme transmisi moneter di Indonesia yang menjelaskan mengenai sumber – sumber fluktuasi makroekonomi di Indonesia telah dilakukan oleh Siregar and Ward (2002). Penelitian ini mengemukakan bahwa shock kebijakan moneter mempengaruhi output melalui suku bunga domestik kepada nilai tukar. Namun shock nilai tukar lebih penting dan menandakan bahwa adanya keterbatasan dari kebijakan moneter dalam upaya menstabilkan fluktuasi makroekonomi Indonesia. Selain itu, diinformasikan pula bahwa shock General Spending Balance atau nilai tukar rupiah riil terhadap nilai tukar riil dan permintaan uang ternyata mempunyai pengaruh nyata sehingga efek guncangan tersebut terhadap output lebih besar. Studi mengenai pentargetan inflasi di Indonesia yang juga dilakukan oleh Chowdhury dan Siregar (2002). Studi tersebut menggaris bawah adanya kendala yang serius dalam pembuatan kebijakan makroekonomi di Indonesia. Pada sisi
39
fiskal kendala utamanya adalah pemerintah menanggung beban hutang dan tekanan memperbaiki pengeluaran pembangunan. Sementara pada sisi moneter bagaimana mengupayakan tingkat inflasi yang rendah dan kebutuhan bagaimana memelihara likuiditas untuk mendorong perekonomian yang resesi. Didukung dengan adanya kompleksitas permasalahan moneter dan fiskal menyebabkan pengambilan kebijakan saling bertolak belakang dan sulit terkoordinasi dengan baik. Kajian mengenai hal tersebut menghasilkan suatu model trade off antara inflasi dengan pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan bahwa inflasi yang tinggi namun sampai pada batas tertentu masih berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pendekatan moneter dalam perekonomian terbuka telah memperluas analisisnya terhadap sistem nilai tukar fleksibel yang telah diadopsi negara negara didunia sejak tahun 1979. Model moneter untuk nilai tukar telah diformulasikan Dornbusch (1976). Model moneter Dornbusch telah melakukan suatu penyesuaian harga yang kaku (Sluggish price adjustment) dalam pasar barang, Frangkel (1976) ia telah mengembangkan suatu pandangan moneter tentang faktor-faktor yang menentukan nilai tukar. Pendekatan terbarunya menekankan pada pertimbangan yang berkaitan dengan permintaan uang dan the interest parity theory. Frangkel juga menekankan peranan ekspektasi dan menemukan suatu ukuran yang dapat di observasi secara langsung yang dibangun atas informasi yang termuat dalam data dari pasar dimuka (forward market) nilai tukar dan ditunjukkan secara konsisten dengan hipotesa sentral dari pendekatan moneter. Dalam model ini, analisis terdahulu telah menunjukkan asosiasi tertutup antara perkembangan moneter dan nilai tukar. Dari permintaan keseimbangan kas riil, md = g ( ? *) dan kondisi The Purchasing Power Parity, P = sP*, nilai tukar dapat ditulis seperti e = M/g (? *)
40
dimana P* adalah tingkat harga luar negeri, ? * adalah expected rate of inflation, M adalah stok uang nominal dan e adalah nilai tukar. Model ini menyatakan bahwa inflasi yang terlalu diantisipasi dapat meningkatkan tingkat bunga nominal yang selanjutnya menyebabkan nilai tukar spot menurun, yang berarti mata uang domestik mengalami apresiasi, interpretasi lain untuk pendekatan ini menyatakan bahwa tingkat bunga tinggi menurunkan pengeluaran dan menyebabkan surplus dalam neraca pembayaran, yang selanjutnya menurunkan nilai tukar spot. Dornbusch (1976) telah menunjukkan bahwa nilai tukar fleksibel tidak memberikan penyekatan dari gangguan harga luar negeri, dalam jangka pendek, harga atau ekspektasi adalah lambat untuk menyesuaikan. Ia juga membedakan antara komoditi yang diperdagangkan dan yang tidak diperdagangkan. Dornbusch memberikan fungsi logaritmik sebagai berikut :
e = (M − M *) + ( L − L*)(φ − φ*) .........................................................(2.14) dimana: M
= pertumbuhan kuantitas nominal uang domestik
M* = pertumbuhan kuantitas nominal uang luar negeri L
= permintaan keseimbangan riil domestik
L*
= permintaan keseimbangan luar negeri
φ − φ * = Harga relatif barang yang diperdagangkan domestik dan asing. Bentuk pertama dari tingkat harga ini mencakup efek perubahan moneter atas nilai tukar, dengan asumsi faktor-faktor lain konstan, maka pertumbuhan moneter yang tinggi dalam suatu negara dapat menyebabkan depresiasi dalam mata uangnya. Bentuk khususnya ini mencakup perbedaan pengaruh dalam inflasi jangka panjang antara negara-negara dan refleksinya dalam nilai tukar. Bentuk
41
kedua menjelaskan efek perubahan permintaan uang riil. Jadi kenaikan dalam permintaan uang riil akan menyebabkan apresiasi dalam mata uang domestik. Bentuk terakhir menjelaskan efek perubahan dalam harga struktur relatif atas nilai tukar. Frangkel (1979) menemukan faktor untuk versi harga kaku (the sticky price). Frangkel (1984), kembali mengestimasi suatu variasi struktur model nilai tukar yang berbeda dari versi harga fleksibel dan kaku dari pendekatan moneter. Ia menemukan beberapa point kritik dalam model moneter seperti pergeseran dalam fungsi permintaan uang dan nilai tukar dalam jangka panjang. Dibawah pendekatan moneter, proses penyesuaian dimana pendekatan tingkat keseimbangan nilai tukar aktual didefenisikan dengan baik untuk sistem nilai tukar tetap dan fleksibel. Untuk mengantisipasi gangguan terhadap neraca pembayaran, suatu negara dapat : 1) meng-peg kan nilai tukarnya dari pengaruh fluktuasi pasar valas, atau 2) ia dapat membolehkan nilai tukar untuk menyesuaikan dan menjaga tingkat cadangan konstan atau 3) ia dapat melakukan beberapa kombinasi perubahan cadangan dan nilai tukar. Kombinasi model nilai tukar nominal dan riil memberikan suatu kerangka yang luas untuk menganalisa perekonomian terbuka. Tetapi disebabkan upah dan harga adalah fleksibel ia dapat menjelaskan deviasi dari purchasing power parity hanya untuk memperluas gangguan yang berasal dalam sektor riil. Cagan (1984) telah memodifikasi modelnya dengan memperkenalkan harga dinamis. Dengan harga secara sesaat kaku, gangguan moneter dapat menyebabkan deviasi sesaat dari Purchasing Power Parity dan overshooting nilai tukar akan terjadi. Untuk membentuk blok terakhir dari pendekatan moneter adalah perkiraan rasional (rational expectations) yang tanpanya tidak dapat menjamin efisiensi
42
pasar pertukaran luar negeri
dalam konteks ini perkiraan rasional dapat
didefenisikan sebagai penggunaan penuh dari semua informasi yang tersedia. Hal ini tidak dibutuhkan berkaitan dengan tinjauan kemasa depan yang sempurna (perfect forsight) diatas periode waktu yang terbatas tetapi jika pasar aset keuangan adalah proses informasi yang tidak efisien, maka tidak ada alasan untuk memperkirakan pasar ini daripada aliran pasar barang-barang dan jasa-jasa untuk memainkan peranan penting dalam penyesuaian nilai tukar terhadap exogenous shock. Pertimbangan ini mendukung bahwa suatu fungsi ekspektasi yang tepat suatu model harus memulai dengan perkiraan bahwa nilai tukar akan ceteris paribus, merespon satu persatu perubahan dalam perbedaan inflasi yang diperkirakan secara rasional (the rationally expected inflation differential). Validasi model moneter harga fleksibilitas tergantung dari realistis tidaknya asumsi – asumsi yang mendasarinya. Pertama, Purchasing Power Parity dalam banyak kasus studi empiris tidak dipenuhi dalam jangka pendek, kedua, model harga fleksibel tidak memasukkan peranan harapan sehingga model ini gagal, menangkap karakteristik dinamik dari perilaku nilai tukar, ketiga, sampai taraf tertentu, suplai uang dan suku bunga merupakan faktor endogen, tergantung dari kebijakan moneter yang dianut dan perilaku perbankan. Pendekatan moneter tidak secara eksplisit membuat perbedaan ini dan keempat, obligasi domestik dan luar negeri diasumsikan saling mengganti secara sempurna. Oleh karena itu perbedaan suku bunga dihilangkan oleh harapan perubahan kurs. McNown dan Wallace (1994), menggunakan metodologi kontemporer dari kontegrasi Johansen, menguji pendekatan moneter terhadap determinasi nilai tukar bagi tiga negara industri inflasi tinggi dalam periode yang berbeda: Israel (1979;01-1988;10), Chili (1973;06-1985;06) dan Argentina (1977;03-1986;12).
43
Dibawah sistem nilai tukar mengambang mereka menemukan bukti yang mendukung dalil purchasing power parity pada ketiga negara Amerika Latin tersebut dengan karakteristik tinggi pertumbuhan uang beredar dan besarnya perubahan nilai tukar nominal relatif terhadap AS. Untuk Chili, satu vektor kointegrasi diindikasikan oleh kriteria rasio kemungkinan maksimum (maximum likelihood) dengan spesifikasi uang Amerika M1 dan dua vektor kointegrasi ditemukan ketika variabel moneter Amerika M2. Sedangkan untuk Argentina, dua vektor kointegrasi dan untuk Israel tepat satu vektor kointegrasi. Namun bagi Israel kointegrasi tidak ditemukan dalam model reduksi. Penelitian mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga pernah dilakukan oleh Warjiyo dan Zulverdi (1998). Studi ini mengadopsi mekanisme transmisi kebijakan moneter di Australia dan Selandia Baru yang disesuaikan dengan instrumen – instrumen pasar keuangan yang ada di Indonesia. Warjiyo dan Zulverdi menggunakan metode Granger Causality Test dalam penelitiannya dan menggunakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank sebagai sasaran operasional, suku bunga deposito dan nilai tukar sebagai sasaran antara, serta tingkat inflasi sebagai sasaran akhir. Perubahan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia/Suku Bunga Pasar Uang akan ditransmisikan ke suku bunga Pasar Uang Antar Bank, selanjutnya diteruskan ke suku bunga deposito dan nilai tukar. Dengan asumsi Indonesia menggunakan sistem nilai tukar mengambang, suku bunga deposito dan nilai tukar akan ditransmisikan ke sektor riil melalui tingkat output nasional. Perbedaan antara output aktual dengan output potensial akan mempengaruhi laju inflasi. Disamping itu penelitian mengenai transmisi kebijakan moneter di Indonesia melalui jalur nilai tukar pernah dilakukan oleh Benny Siswanto et al (2001)
44
dengan menggunakan metode analisis VAR. Hasil estimasi VAR menunjukkan bahwa selama periode sebelum krisis, mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar tidak bekerja dengan baik, namun sebaliknya sejak diterapkannya sistem nilai tukar fleksibel ternyata peranan jalur transmisi ini menjadi sangat penting. Atmadja (2001) menganalisis pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dengan non ekonomi seperti politik, hankam, konsistensi, dalam penegakan hukum, sosial budaya dan sebagainya dan variabel ekonomi seperti tingkat inflasi, tingkat suku bunga, jumlah uang beredar, pendapatan nasional di Indonesia dan Amerika Serikat serta posisi neraca pembayaran internasional Indonesia dalam mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Dari analisis diperoleh bahwa hanya variabel jumlah uang beredar yang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika sedangkan variabel – variabel yang lainnya tidak. Nuryadin dan Santoso (2004), menganalisis variabel – variabel yang menentukan nilai tukar rupiah selama periode tahun 1980;1-2000;4. Dalam mengaplikasikan
model
neraca
pembayaran
dan
model
moneter
yang
dikembangkan oleh Fullerton Calderon (2001), mereka menambahkan dua variabel dummy: variabel kebijakan (devaluasi) dan variabel krisis. Hasil uji kointegrasi berdasarkan Augmented Dickey Fuller (ADF) menunjukkan bahwa variabel – variabel yang dipilih pada kedua model mempunyai hubungan jangka panjang. Sementara hasil uji kointegrasi dalam kerangka analisis Vector Autoregression/ VAR (devaluasi dan krisis sebagai variabel eksogen) pada model moneter menunjukkan adanya vektor kointegrasi diantara variabel – variabel
45
dalam model tersebut, tetapi pada model neraca pembayaran tidak menunjukkan adanya vektor kointegrasi. Namun demikian setelah dilakukan koreksi Reimers dalam penelitian tersebut tidak di temukan adanya vektor kointegrasi antar variabel pada kedua model. Secara umum variabel – variabel yang digunakan menunjukkan koefisien regresi dengan arah yang sesuai harapan teori, atau kesesuaian hipotesis pada model neraca pembayaran dan model moneter terpenuhi. Namun variabel cadangan internasional dan pendapatan nasional mengalami perbedaan arah hubungan antara masa sebelum krisis dan masa krisis. Pada masa sebelum krisis variabel cadangan internasional menunjukkan arah yang tidak konsisten dengan teori dan berubah arah pada masa krisis. Sedangkan variabel pendapatan nasional menunjukkan arah hubungan yang konsisten dengan teori pada masa sebelum krisis dan berubah arah pada masa krisis. Selanjutnya hasil estimasi Engle Granger – Error
Correction Model
(EG-ECM) pada kedua model
mengindikasikan bahwa dampak dari perubahan variabel – variabel dalam mempengaruhi nilai tukar memerlukan koreksi antar waktu yang berbeda. Proses penyesuaian dari ketidakseimbangan menuju keseimbangan pada model neraca pembayaran lebih besar, 17.51 persen daripada model moneter 12.47 persen.