II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Itik Bali Itik Bali (Anas sp) adalah itik lokal indonesia yang banyak berkembang di
Pulau Bali dan Lombok. Itik ini memilki daya tahan hidup yang sangat tinggi, sehingga dapat dipelihara di berbagai tempat di Indonesia. Sesuai dengan namanya Itik ini banyak dibudidayakan di daerah Bali dan Lombok. Namun asal usul dari mana itik bali diperkirakan semula berasal dari Lombok, jadi Itik ini sering disebut Itik Lombok dikutip dalam buku (Suharno dan khairul, 2010). Samosir (1993) menyatakan bahwa itik bali (Anas sp) termasuk ordo antidae, kelas unggas air (water Fowl). Dikatakan pula bahwa itik bali memiliki sifat khas yaitu “omnivorus”, makan biji-bijian, rumput-rumputan, umbi-umbian dan makanan yang berasal dari hewan. Tanda-tanda yang di miliki oleh itik bali adalah badannya langsing dan berdiri tegak, warna bulunya sumi, putih atau belang putih dan ada juga bewarna kuning keabu-abuan lehernya panjang, sedangkan ekornya pendek dan hampir mendatar. Dalam keadaan berdiri tenang, badan itik membentuk sudut kira-kira 45-600 dengan bidang mendatar dan dalam keadaan gusar sikapnya akan lebih tegak lagi (Rasyaf, 1982). Tetapi, jika di bandingkan dengan itik jawa, badan itik bali lebih berisi dan lehernya lebih pendek. Menurut Marhijanto (1993) tanda-tanda umum itik bali adalah sebagai berikut: (a) Badannya tegak menyerupai botol; (b) Bagian belakang tubuhnya sempit; (c) Ekornya pendek dan hampir mendatar; (d) Kepalanya kecil; (e) Matanya tajam dan jernih; (f) Lehernya tidak terlalu panjang dan; (g) Bulunya bermacam-
macam yaitu sumbian, cemaning dan selem gulai. Sandhy (1999) menyatakan itk bali disebut juga itik penguin
(Anas sp), Karena bentuk tubuhnya hampir tegak, warna
bulunya cenderung lebih terang, badannya lebih berisi, paruh dan kakinya bewarna hitam. Menurut Murtidjo (1998), itik bali warna bulu “sumi” merupakan itik favorit dan termasuk tipe petelur dengan produksi telur 153 butir/tahun, disusul itik bali warna bulu “sumbian” dengan produksi telur 145 butir/tahun, dan itik bulu “sikep”, putih, hitam, dan belang putih produksi telurnya rata-rata 100 butir/tahun. Sedangkan menurut Agromedia (2003) produksi telur itik bali rata-rata pada peternakan intensif adalah 250 butir /ekor/tahun. Berat telur itik bali berkisar 60-75 gram dengan rata-rata 70 gram/butir (Rasyaf, 1982 dan Sandhy, 1999). Di jelaskan juga bahwa kerabang telurnya bewarna putih dan juga ada juga yang kebiru-biruan (biru pudar). Itik bali juga mempunyai ciri khas yang lain yaitu adanya itik bali yang berjambul. Bharoto (1993) membagi itik bali menjadi dua, yaitu itik bali yang berjambul dan itk bali yang tidak berjambul (itik bali yang biasa). Itik Bali yang berjambul memiliki kekhasan sendiri seperti memiliki beberapa bulu yang berdiri di kepalanya. Dengan ciri khas yang dimilikinya yaitu adanya jambul dengan warna yang lebih terang maka itik bali juga dapat dimasukan sebagai unggas tipe hias atau tipe ornamental. Murtidjo (1998) menyatakan bahwa itk Bali jantan mampu mencapai berat badan 1,8-2 kg dan itik betina berkisar antara 1,6-1,8 kg. Sehingga dengan berat badan seperti ini, Itik bali mempunyai peluang untuk dikembangakan atau diarahkan sebagai itik tipe dwiguna. Itik bali adalah pejalan kaki yang hebat dan dapat berlari dengan cepat, sehingga itik bali sangat tahan hidup dalam pemeliharaan pengembalaan. Itik bali biasanya di pelihara secara ekstensif (diumbar) dan
mempunyai daya tahan yang cukup dalam pengembalaan. Itik bali dapat juga di pelihara secara terkurung dengan ransum seimbang tanpa perlu adanya dukungan kolam pengembalaan. Ini berarti penerapaannya pemeliharaanya dapat di terapkan secara meluas di Indonesia (Matram, 1984). 2.2
Pertumbuhan Setiap makhluk hidup pasti mengalami fenomena yang disebut dengan
pertumbuhan, demikianpula yang terjadi pada ternak, yang sudah pasti akan mengalami pertumbuhan, di mana pertumbuhan merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan, sebab produksi ternak seperti daging dan telur dalam usaha peternakan tergantung dari pemeliharaan dan masa pertuumbuhan. Pertumbuhan memiliki banyak definisi. Definisi pertumbuhan yang paling sederhana adalah perubahan ukuran yang meliputi berat hidup, bentuk, dimensi linier dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang, dan organ tubuh (Soeparno, 1998). Pertumbuhan secara totalitas berkaitan erat dengan tingkat kemampuan interaksi genetik dengan faktor lingkungan dan pakan. Kecepatan pertumbuhan hewan tergantung pada faktor spesies, jenis kelamin, umur ternak, kualitas dan kuantitas pakan (Maynard et al., 1979). Menurut Jull (1977), pertumbuhan merupakan suatu proses yang sangat kompleks yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup, tidak hanya terjadi penambahan ukuran saja melainkan juga penambahan air, protein, dan mineral. Pertumbuhan juga dapat diartikan sebagai perubahan bobot badan yang meliputi perubahan bagian-bagian komponen karkas yaitu tulang, daging dan lemak degan kecepatan yang berbeda (Mc Donald et al., 1990). Untuk mencapai
pertumbuhan yang optimal diperlukan pakan yang cukup dan berkualitas baik serta dengan perbandingan zat-zat makanan seimbang (Morran,1970). Pertumbuhan dalam bentuk peningkatan berat badan dan jaringan pembangun seperti urat, daging, tulang, otak, dan semua jaringan tubuh merupakan pertumbuhan murni (Anggorodi, 1994). Secara umum pertumbuhan dinyatakan dengan pengukuran kenaikan berat badan tiap hari, tiap minggu, atau tiap waktu lainnya (Tillman et al., 1989). Jika dilihat dari sudut kimiawi, pertumbuhan murni adalah suatu pertumbuhan jumlah protein dan zat-zat mineral yang tertimbun dalam tumbuh, sedangkan penambahan berat akibat penimbunan lemak dan penimbunan air dalam tubuh bukan merupakan pertumbuhan murni (Anggorodi, 1994). Pertumbuhan ternak secara normal terutama pertambahan beratnya akan mengikuti pola yang berkaitan dengan umur dan pola ini akan mengalami perubahan sesuai dengan jumlah ransum yang dikonsumsi (Crampton dan Haris, 1969). Jaringan tubuh mempunyai pertumbuhan maksimal dengan urutan jaringan saraf, tulang, otot, dan terakhir jaringan lemak (Hammond,1993 dalam Soeparno,1998). Selanjutnya di jelaskan juga pertumbuhan ternak dipengaruhi banyak faktor, diantaranya faktor spesies (genetik), jenis kelamin, umur, dan kualitas serta kuantitas pakan. Ternak jantan biasanya tumbuh lebih cepat pada umur yang sama lebih berat dibandingkan ternak betina. Pengaturan pertumbuhan melibatkan steroid kelamin yang bertanggung jawab terutama atas perbedaan komposisi tubuh antara jantan dan betina (Soeparno, 1998). Ternak yang kekurangan pakan atau gizi pertumbuahanya melambat atau berhenti dan kehilangan berat badan, tetapi setelah mendapatkan pakan yang cukup dan sesuai kebutuhannya, ternak dapat tumbuh dengan cepat dan
bisa melebihi kecepatan pertumbuhan normalnya. Lebih lanjut Murtidjo (1988) menyatakan, kekurangan zat makanan pada saat pertumbuhan dapat menyebabkan itik terlambat mencapai dewasa kelamin sehingga itik tidak dapat berproduksi pada umur yang di harapkan. 2.3
Karkas Pada umumnya ternak itik merupakan ternak unggas penghasil telur maupun
penghasil daging. Dalam produksi itik yang diarahkan untuk produksi daging selain berat badan dan "Feed Convertion Ratio" (FCR), kualitas karkas merupakan hal yang perlu di perhatikan. Menurut USDA (1997) yang dimaksudkan dengan karkas adalah tubuh tanpa bulu, darah, kaki, kepala, dan jeroannya. Murtidjo (1988) menyatakan karkas adalah tulang, daging, dan lemak termasuk kulit hasil pemotongan setelah di pisahkan dari kepala sampai batas tulang leher, kaki sampai batas lutut dan rongga perut. Dalam memproduksi karkas terdapat bagian-bagian yang tidak termasuk karkas seperti kepala, leher darah, bulu dan organ dalam (isi rongga dada dan perut). Perbandingan berat karkas hidup sering digunakan sebagai ukuran produksi daging dibidang peternakan, karena berat hidup berpengaruh nyata terhadap berat karkas. Beberapa faktor yang mempengaruhi berat karkas adalah bangsa, perbedaan berat badan unggas, kegemukan dan daging yang ada pada bagian dada (Jull, 1951). Menurut Winter dan Funk (1960) berat karkas dipengaruhi oleh darah, bulu, organ dalam, kepala termasuk leher dan kaki. Semakin berat organ-organ tersebut pada dua individu yang beratnya sama maka berat karkasnya semakin rendah. Produksi karkas erat kaitanya dengan berat hidup, semakin tinggi berat hidupnya produksi karkas cenderung semakin tinggi pula (Resnawati dan Hardjosworo, 1976). Berat Karkas di
pengaruhi oleh jenis kelamin, di mana unggas jantan mempunyai berat karkas lebih tinggi daripada unggas betina (Japp dan Jensen,1950). Kualitas karkas di pengaruhi oleh faktor genetik, jenis hewan, bangsa atau tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan ternak, termasuk suplemen pakan, dan cekaman yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan (Sarwono, 1990). Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat dan komposisi kimia komponen karkas. Proporsi tulang, otot dan lemak sebagai komponen utama karkas, dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, temperatur, kelembaban, dan nutrisi (Soeparno, 1998). Faktor yang mempengaruhi nilai ekonomi karkas meliputi berat karkas, jumlah daging dan kualitas daging yang di hasilkan. Rozany (1981) mendapatkan bahwa persentase karkas dipengaruhi oleh berat badan, dimana berat badan yang lebih kecil mempunyai persentase karkas yang lebih kecil dan persentase bagian-bagian non karkas yang lebih tinggi 2.4
Bagian-Bagian Offal Eksternal Bagian-bagian non karkas (offal) adalah bagian-bagian yang hilang pada waktu
pemotongan dan pembersihan yang meliputi bulu, darah, kepala, leher, kaki, hati, empedal, usus halus, usus besar, tembolok, limpa dan jantung (Resnawati dan Hardjosworo. 1976). Winter dan Funk (1960) menyatakan bahwa bagian-bagian non karkas terdiri dari kepala, kaki, leher, organ dalam, darah dan bulu. Kepala adalah bagian dari tubuh unggas yang disusun oleh banyak tulang. Menurut Skold et al. (1973) kepala itik disusn oleh tulang os incisivum, os nasale, os maxillare, os frontale, os parietale, os temporale, os occipital dan ossa mandibulare.
Leher merupakan tempat pertauatan oesofagus dan trachea yang tersusun dari tulang kecil (Soeparno, 1998). Sisson dan Grossman (1953) menyatakan bahwa leher itik sebagian besar terdiri atas tulang-tulang leher (vertebrae cervicales) yang berjumlah 13 sampai 14 ruas. Kaki merupakan bagian tubuh unggas yang digunakan untuk berjalan dan berfungsi untuk menahan tubuh. Menurut Card (1962), kaki tersusun oleh tulang yang panjang dan jari-jari kakinya tersusun oleh tulang yang pendek. Darah adalah suatu cairan jaringan yang beredar melalui jantung, melalui pembuluh darah dari ternak itik (Tri Akoso, 1993). Darah merupakan cairan yang berwarna merah terdiri dari cairan (plasma darah) dan sel-sel darah merah dan berfungsi membawa O 2 , CO 2 dan zat-zat makanan, hormon dan sisa-sisa hasil metabolisme, juga berperan dalam pengaturan suhu tubuh (Card et al., 1979). Bulu merupakan organ tubuh yang berfungsi untuk melindungi tubuh terhadap kerusakan-kerusakan fisik, menjaga suhu tubuh dan untuk terbang (Tanudimadja, 1977). Secara fisiologis bulu merupakan organ untuk mempertahankan suhu tubuh akibat pengaruh iklim yang kurang menguntungkan. 2.5
Ransum Ransum adalah segala sesuatu yang berupa bahan organik maupun anorganik
yang dapat diberikan kepada ternak baik dapat dicerna sebagian maupun keseluruhan (Anggorodi, 1994). Ransum seimbang adalah ransum yang diberikan selama 24 jam yang mengandung semua zat nutrien (jumlah dan macam nutriennya) dan perbandingan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi sesuai dengan tujuan pemeliharaan ternak (Chuzaemi, 2002). Dalam pengolahan bahan pangan seringkali
di peroleh sisa-sisa bahan pangan yang tidak di manfaatkan dan ternyata bahan-bahan tersebut masih bisa di gunakan sebagai bahan pakan ternak. Bahan baku pakan ternak berdasarkan asalnya terbagi menjadi dua golongan yaitu bahan baku asal tumbuhtumbuhan dan hasil ikutanya. Bahan baku asal tumbuh-tumbuhan dan ikutannya merupakan sumber karbohidrat serta diketahui banyak mengandung serat kasar. Bahan baku asal hewan mengandung protein asam amino lebih lengkap dan serat kasarnya lebih kecil sehingga umumnya sangat mudah dicerna bila di konsumsi ternak unggas. Untuk menyusun komposisi pakan unggas yang baik harus memperhitungkan kadar serat kasar. Komposisi pakan ternak unggas yang mengandung serat kasar tinggi akan menyebabkan lebih banyak serat kasar dikeluarkan, dan hal ini menyebabkan ternak unggas berproduksi tidak optimal, (Murtidjo, 1987).
Maka dari itu dalam penyusunan bahan pakan ternak harus
menyesuaikan kebutuhan dari ternak tersebut agar kandungan nutrisi dalam bahan pakan dapat di manfaatkan secara maksimal. Menurut (Anon, 2011) berdasarkan kelazimannya bahan pakan dibedakan menjadi 2 jenis yaitu: bahan pakan konvensional dan bahan pakan non konvensional. Bahan pakan konvensional adalah bahan baku yang sering digunakan dalam pakan yang biasanya mempunyai kandungan nutrisi yang cukup (misalnya protein) dan disukai ternak. Bahan pakan ini dapat berasal dari tanaman ataupun hewan, ikan, dan hasil sampingan industri pertanian. Contoh bahan baku ini yaitu; Rumput, Jagung, Dedak, Tepung Ikan, Bekatul, dan lain lain. Selanjutnya menurut anon (2011) Bahan pakan non konvensional adalah bahan pakan yang tidak atau belum lazim dipakai untuk menyusun ransum. Bahan pakan ini
berpotensi digunakan sebagai campuran pakan unggas karena tingkat ketersediaannya banyak diberbagai daerah. Bahan ini mengandung nutrisi yang diperlukan unggas dan kurang bersaing dengan manusia, tapi belum banyak dimanfaatkan karena hanya daerah-daerah tertentu yang tersedia. Contoh dari bahan baku ini adalah Urea, Diamonium fosfat, Isi rumen, ragi, dan lain lain). Berikut beberapa penelitian dari bahan pakan kovensional dan non konvensional, Penggunaan eceng gondok fermentasi sampai tingkat 15% pada ayam pedaging ini tidak berpengaruh terhadap kandungan lemak abdomen, tetapi dari angka terlihat penurunannya sejalan dengan meningkatnya penggunaan eceng gondok fermentasi. Fermentasi dengan menggunakan kapang dari galur T. harzianum mampu meningkatkan nilai gizi tepung eceng gondok yaitu dengan meningkatnya protein kasar sebesar 61,81% (6,31 menjadi 10,21%) dan menurunnya serat kasar sebesar 18% (26,61 menjadi 21,82) (Mahmilia, 2005). Sutama (2005) menunjukkan bahwa bahwa pemberian daun apu–apu sampai 30% dalam ransum ayam kampung menurunkan LDL serum dan total kolesterol daging, serta meningkatkan HDL serum. Daun apu apu memiliki kesamaan dengan Salvinia molesta pada kandungan serat kasar. Candrawati (2012) menunjukan Suplementasi 0,20 % enzim Phylazim dalam ransum yang menggunakan 30 % dedak padi dapat meningkatkan pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan ransum broiler umur 2 – 6 minggu. Dedak padi mengandung energi termetabolis berkisar antara 1640 – 1890 kkal/kg. Kelemahan lain pada dedak padi adalah kandungan asam aminonya yang rendah, demikian juga halnya dengan vitamin dan mineral (Rasyaf, 2004). Pemberian bungkil kelapa fermentasi dalam ransum dapat meningkatkan konversi ransum dan pertambahan
bobot hidup. Batas optimal pemberian produk fermentasi bungkil kelapa pada ransum ayam pedaging adalah 15% (Haryati, 2006). 2.6
Biosuplemen Pemanfaatan limbah dan gulma juga berpotensi membantu meningkatkan
produktivitas ternak mengingat limbah dan gulma tanaman masih banyak tersedia, tetapi limbah dan gulma tanaman masih mempunyai kadar serat kasar yang tinggi. Salah satu langkah yang dapat ditempuh dalam mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui aplikasi teknologi suplementasi. Produksi biosuplemen berprobiotik dari limbah isi rumen sapi bali cukup potensial dikembangkan dalam mengatasi permasalahan pengembangan usaha peternakan itik rakyat berbasis limbah dan gulma tanaman pangan. Pemanfaatan limbah rumen sebagai produk bioinokulan dan suplemen terbukti mampu meningkatkan kualitas dan kecernaan in-vitro ransum berbasis limbah nonkonvensional (Mudita et al., 2009-2010; Rahayu et al., 2012). Hasil penelitian Mudita et al. (2009-2010) menunjukkan pemanfaatan 5-20% limbah cairan rumen menjadi produk biosuplemenplus mampu menghasilkan biosuplemen dengan kandungan nutrien dan populasi mikroba tinggi. Pemanfaatan biosuplemen tersebut juga mampu menurunkan kadar serat kasar, meningkatkan kadar protein dan kecernaan in vitro bahan kering dan bahan organik ransum asal limbah. Rahayu et al. (2012) mengungkapkan isi rumen kerbau, sapi dan/atau domba dapat dijadikan starter fermentasi kering melalui penambahan 30% dedak padi melalui proses inkubasi dan pengeringan terkendali dengan populasi total mikroba yang cukup tinggi. Sanjaya (1995) menunjukkan penggunaan isi rumen sapi sampai 12% dalam ransum mampu
meningkatkan pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan serta menekan konversi pakan ayam pedaging. Potensi pemanfaatan limbah isi rumen sapi bali sebagai biosuplemen berprobiotik sangat tinggi mengingat limbah isi rumen sapi bali kaya nutrient available, enzim dan mikroba pendegradasi serat serta probiotik (Mudita et al., 20092012; Partama et al., 2012; Suardana et al., 2007). Namun informasi mengenai level limbah isi rumen dalam produksi produk biosuplemen berprobiotik bagi ternak unggas (itik) belum diperoleh. Padahal proporsi limbah isi rumen yang tepat dan didukung komposisi media induser khususnya sumber nutrien ready available yang tinggi bagi aktivitas mikroba fibrolitik maupun probiotik sangat menentukan kualitas produk yang dihasilkan. Mengingat hal itu dipandang perlu untuk mencari formulasi terbaik sehingga menghasilkan produk biosuplemen probiotik yang mampu mengoptimalkan usaha peternakan itik rakyat berbasis limbah dan gulma tanaman pangan, maka penelitian ini dilakukan.