13
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kelangkaan Air Kelangkaan sumberdaya air terjadi karena berbagai dimensi baik dari segi
permintaan maupun penawaran. Permintaan sumberdaya air untuk keperluan rumah tangga, industri dan pertanian semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Sementara itu, ketersediaan sumberdaya air terutama pada musim kemarau semakin terbatas baik disebabkan oleh menurunnya debit sungai akibat kerusakan lingkungan, perubahan iklim global maupun penurunan kapasitas atau kerusakan sarana penyimpan dan penyaluran air. Terbatasnya ketersediaan sumberdaya air dapat menjadi salah satu kendala dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Keterbatasan ketersediaan air yang biasa disebut kelangkaan air dapat ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Kelangkaan air untuk sektor pertanian dapat mengganggu produksi pertanian yang sebagian besar merupakan sumber pangan. Selanjutnya, bagi sektor domestik dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesehatan masyarakat akibat tidak tersedianya air bersih untuk minum dan sanitasi serta kebersihan kota. Untuk sektor industri dimana air merupakan salah satu input bagi proses produksinya dapat mengakibatkan terganggunya proses produksi. Menghadapi kelangkaan air dan permintaan air yang semakin meningkat, dibutuhkan pengelolaan air yang efisien, agar dicapai alokasi yang optimal baik secara hidrologi maupun ekonomi. Mekanisme alokasi sumberdaya air merupakan konsep ekonomi untuk mengefisiensikan sumberdaya air dengan cara alokasi. Dinar et al. (1997) mengemukakan bahwa ada empat kerangka mekanisme alokasi
14
ketersediaan air, yaitu melalui marginal cost pricing (MCP), alokasi publik, water markets dan user-based allocation. Untuk mengukur kelangkaan air adalah perbandingan antara air yang tersedia dengan yang digunakan. Berbagai perhitungan kelangkaan air telah dilakukan antara lain dengan menggunakan indeks yang digunakan PBB (1997) dan diadopsi Voromarty el al.(2000) bahwa secara umum indeks kelangkaan air adalah (1) kurang dari 0.1 tidak ada kelangkaan, (2) antara 0.1 dan 0.2 adalah rendah, (3) antara 0.2 dan 0.4 adalah moderat, (4) kurang atau sama dengan 0.4 adalah tinggi Pengukuran kelangkaan sumberdaya air di atas, menunjukkan indeks kelangkaan air yang ada disaluran, bukan air tersisa di waduk. Kelangkaan ini berdasarkan fisik tanpa mempertimbangkan nilai ekonomi air. Perlu diketahui bahwa air adalah sumberdaya yang lebih cepat diperbaharui dan waktu yang digunakan untuk memperbaharui lebih cepat daripada air tanah dan tidak memperhatikan kualitas air yang ada. Dari sisi ekonomi, air tidak dilihat dari sisi fisiknya, tetapi juga dari sisi ekonomi. Hal ini berarti bahwa menghitung cadangan ekonominya dibagi dengan tingkat ekstrasinya. Untuk itu, Fauzi (2004) menyarankan penghitungan dengan menggunakan pengukuran moneter, yaitu dengan salah satu dari cara menghitung harga riil, unit cost, dan rente kelangkaan sumberdaya. Dengan cara rente, kelangkaan dianggap paling baik karena dasarnya menggunakan teori kapital sumberdaya dimana return manfaat yang diperoleh sama dengan biaya oportunitas dari aset yang lain. Makin tinggi rente kelangkaan makin langka sumberdayanya.
15
Kondisi
Daerah
Aliran
Sungai
aktual
menggambarkan
tahapan
pengembangannya yang berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya air dan finansial yang dibutuhkan. Tahapan pengembangan menjadi lebih lengkap dengan adanya pengukuran indeks kelangkaan. Indeks kelangkaan ini menunjukkan apakah wilayah tersebut sudah menghadapi permasalahan kelangkaan sumberdaya air dan sampai sejauh mana kelangkaan tersebut berpengaruh pada pengelolaan sumberdaya air yang ada. Bila indeks pengukuran sumberdaya air kelangkaan air menunjukkan telah terjadi kelangkaan air, alokasi bagaimana yang sebaiknya dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya air di wilayah tersebut dengan mempertimbangkan aturan alokasi sumberdaya serta mekanisme yang sesuai dengan kondisi yang ada. 2.2
Alokasi Sumberdaya Air Alokasi sumberdaya air merupakan tindakan ekonomi yang menghasilkan
baik benefit maupun biaya. Pengelolaan sumberdaya air khususnya air permukaan yang penggunanya beragam dan wilayahnya sangat luas membutuhkan suatu pemodelan yang dapat digunakan dan menghasilkan benefit yang optimum bagi baik pengguna maupun pengelola. Alokasi sebagai aktivitas ekonomi menjadi perhatian utama dalam pengelolaan sumberdaya air, terutama jika diperhadapkan pada masalah kelangkaan air suatu wilayah. Alokasi air yang baik ke semua sektor pengguna air guna
pencapaian
kesejahteraan
semua
pihak,
serta
memenuhi
kriteria
kesejahteraan antara lain: (1) kriteria kesejahteraan kosial, (2) kriteria pemerataan, (3) kriteria manfaat (utilitarian criterion), dan (4) kriteria maksimin.
16
Pertama kriteria kesejahteraan sosial adalah kriteria kesejahteraan yang mengasumsikan bahwa baik selera maupun kesejahteraan individu dapat dihitung. XAN
X
ON
Y
U1 M
U2 M
U1 N
A YA
M
U3 M
B
U2 N
U3 N OM
YAN
XA
Y X
M
Sumber: Pindyck, 2005
Gambar 1. Diagram Kotak Edgeworth Pertukaran Dari Gambar 1. bila X barang berupa air untuk irigasi dan Y barang berupa air untuk non irigasi, sedangkan M adalah pengguna barang sektor irigasi dan N adalah pengguna barang sektor non irigasi, maka kurva sepanjang O M -O N , merupakan kurva kontrak yang menunjukkan tingkat kepuasan yang dapat diperoleh dari barang X dan Y. Semua titik sepanjang kurva tersebut merupakan titik alokasi barang yang efisien yang memberikan kepuasan optimum bagi M dan N. Di sepanjang kurva kontrak, preferensi individu bersaing satu sama lainnya, yang berarti kesejahteraan yang diperoleh salah satu pihak hanya mungkin tercapai atas pengorbanan pihak lainnya.
Kondisi kesejahteraan sosial yang
optimum pada alokasi optimum merupakan kondisi Pareto optimum dan disebut alokasi Pareto optimum. Kedua adalah kriteria pemerataan, yang merupakan suatu kriteria berdasarkan pada tingkat kepuasan individu yang terlibat dan bukan
17
jumlah barang yang diberikan sama jumlahnya. Jika titik A dipilih, X A N > X A M dan Y A N < Y A M jumlah barang tidak
merupakan ukuran dalam kriteria
pemerataan, tetapi tingkat kepuasan yang optimum tiap-tiap individu menjadi tolok ukur utama. Ketiga adalah kriteria manfaat berdasarkan hampir sama dengan kriteria pemerataan dimana alokasi optimum yang dipilih pada saat tingkat utilitas bersamanya mencapai maksimum. Titik di sepanjang kurva kontrak yang dipilih adalah yang memberikan total kepuasan kedua sektor pengguna air yaitu pertanian dan non pertanian (U N + U M ), misalnya titik B, maksimum. Ketiga kriteria ini sulit untuk dikuantifikasikan dan sangat normatif. Keempat adalah kriteria maksimin yang dikemukakan oleh Rawls (1971), memandang masyarakat seperti pada posisi awal tidak ada yang tahu posisi (dan kepuasannya) akhirnya. Kriteria Rawls pada dasarnya memaksimalkan posisi yang paling lemah, atau dikatakan memaksimumkan mereka yang utilitasnya minimum, sehingga sering disebut kriteria maksimin. Sifat kriteria Rawls, yakni: (1) jika pilihan dilakukan di antara distribusi dengan jumlah konstan, kriteria ini memiliki implikasi egalitarian, semua orang akan menerima jumlah yang sama (distribusi merata), (2) jika pemilihan dilakukan di antara distribusi yang tidak tetap, kriteria Rawls selalu membela orang yang terburuk dan mengorbankan keseluruhan; atau dengan kata lain Rawls tidak konsisten dengan kriteria kompensasi ekonomi yang umum, dan (3) dalam kondisi yang lebih kompleks dengan barang dan individu yang mempunyai cita rasa sangat beragam, kriteria ini tidak dapat diterapkan. Dalam mengalokasikan sumberdaya, tiga hal pokok yang perlu diperhatikan, yakni: (1) efisiensi konsumsi, (2) efisiensi produksi, dan (3) efisiensi harga.
18
2.2.1
Efisiensi Produksi Produksi akan efisien jika kenaikan output untuk suatu barang berupa air
untuk non irigasi, Y mengharuskan penurunan output barang berupa air untuk irigasi, X yang dapat diilustrasikan seperi Gambar 1. tetapi untuk efisiensi produksi.
Efisiensi produksi akan terjadi jika MRTS (marginal
rate of
substitution) antara dua input adalah sama yaitu air dari Waduk Juanda, artinya isokuan harus bersinggungan, misalnya di titik A. Jika isokuan-isokuan tidak bersinggungan, misalnya air untuk irigasi di realokasi untuk non irigasi. Himpunan alokasi input produksi di titik-titik produksi yang efisien seperti A dikenal kurva kontrak produksi (production contract curve). 2.2.2
Efisiensi konsumsi Seperti dijelaskan dari 2.2 yang pertama bahwa konsumsi akan efisien
jika kenaikan kepuasan salah satu konsumen memerlukan penurunan kepuasan konsumen lainnya. Misalnya pengguna air untuk non irigasi memerlukan penurunan kepuasan pengguna air untuk irigasi. Efisiensi konsumsi akan terjadi jika MRTS adalah sama untuk semua pengguna yang meminta air dari Waduk Juanda. Hal ini berarti bahwa kurva-kurva indeferens kedua pengguna air dari irigasi dan non irigasi harus bersinggungan. Himpunan alokasi konsumsi yang efisien dikenal kurva kontrak konsumsi (consumtion contract curve) (Ekivalen Gambar 1 tetapi untuk konsumsi). 2.2.3
Efisiensi harga Konsumen harus bersedia untuk mengganti barang yang dikonsumsikan
tersebut pada tingkat rasio yang sama dimana perekonomiaan tersebut dapat mengubah satu barang untuk barang lainnya. Ini berarti bahwa untuk semua
19
konsumen yang membeli kedua barang tersebut, MRS (marginal rate of substitution) barang-barang tersebut harus sama dengan MRT (marginal rate of transformation). Ini berarti bahwa slope kurva-kurva indeferens dari pengguna air untuk irigasi dan non irigasi harus sama dengan slope batas kemungkinan produksi, atau slope di titik F harus sama dengan di titik B. Ini berarti MRT =MRS atau ratio MC
Irigasi /MC Nonirigasi
atau P Irigasi /P Nonirigasi harus sama antara di
titik F dan di titik B. Hal ini pengelola harus membuat alokasi yang baik mendekati persaiangan sempurna antara pengguna dan pengelola (Pindyck, 2005).
Nonirigasi
PIrigasi/PNonirigasi B
N* UB
F UA
PIrigasi/PNonirigasi BKP
A
I*
Irigasi
BKP=Batas Kemungkinan Produksi
Sumber: Arsyad, 1987
Gambar 2. Marginal Rate of Transformation dan Marginal Rate of Technical Substitution 2.3
Penentuan Harga Air: Tanpa dan Dengan Eksternalitas Penentuan harga dapat menggambarkan biaya yang sebenarnya dan akan
memberikan sinyal kepada user mengenai nilai air melalui water pricing. Model sumberdaya air yang didasarkan pada water pricing adalah marginal cost pricing. Mekanisme marginal cost pricing didasarkan pada prinsip ekonomi bahwa alokasi sumberdaya air yang optimal secara sosial, ketika manfaat sosial marjinal
20
yang diperoleh dari konsumsi air setara dengan biaya sosial marjinal yang dikeluarkannya. Manfaat sosial marjinal dicirikan oleh kurva permintaan terhadap air, sementara biaya sosial marjinal tanpa biaya lingkungan yang menggambarkan kurva pasokan air yang menunjukkan biaya yang harus dibayar oleh user sebesar P* untuk memproduksi satu unit tambahan air sebesar Q*.
Biaya Marjinal dengan Biaya Lingkunan
(Rp)
B P Biaya Marjinal tanpa Biaya Lingkungan
L
A
P *
Manfaat Marjina l QL
Q *
Q (kuantitas)
Sumber: Fauzi, 2004 Gambar 3. Alokasi Optimal berdasarkan Marginal Cost Pricing Ketika terjadi eksternalitas misalnya terjadi erosi atau lingkungan sumberdaya air maka biaya marjinal atas sumberdaya air termasuk biaya pengguna (user cost) yang semula A menjadi B. Jadi untuk memproduksi satu unit tambahan air menjadi sebesar Q L maka memerlukan biaya sebesar P L. Dinar et al. (1997) menyatakan bahwa mekanisme marginal cost pricing memiliki beberapa kelebihan, antara lain, mekanisme ini secara teoretis paling efisien dan dapat menghindari underpriced (penilaian di bawah harga) dan penggunaan berlebihan (overuse). Selain itu, marginal cost pricing memiliki beberapa kelemahan, antara
21
lain, aspek kesetaraan (equity), termasuk masyarakat berpenghasilan rendah tidak dapat mengakses sumberdaya air terutama pada musim kemarau ketika air yang tersedia lebih sedikit dan harganya meningkat. 2.4
Permintaan dan Penawaran Air Terbatasnya ketersediaan sumberdaya air dapat menjadi salah satu kendala
dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Keterbatasan ketersediaan air yang biasa disebut kelangkaan air dapat ditinjau dari segi kualitas ataupun kuantitasnya. Kelangkaan air untuk sektor pertanian dapat mengganggu produksi sektor pertanian yang sebagian besar merupakan sumber pangan. Selanjutnya, bagi sektor domestik hal itu dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesehatan masyarakat akibat tidak tersedianya air bersih untuk minum dan sanitasi serta kebersihan kota. Untuk sektor industri, air merupakan salah satu input bagi proses produksinya dapat mengakibatkan terganggunya proses produksi. Dalam menghadapi kelangkaan air dan permintaan air yang semakin meningkat, dibutuhkan pengelolaan air yang efisien agar dicapai alokasi yang optimal baik secara hidrologi maupun ekonomi. Mekanisme alokasi sumberdaya air merupakan konsep ekonomi untuk mengefisienkan sumberdaya air dengan cara alokasi. Dinar et al. (1987) mengemukakan bahwa ada empat kerangka mekanisme alokasi ketersediaan air, yaitu melalui marginal cost pricing, alokasi publik, water markets, dan user-based allocation. Permintaan air di wilayah ini dapat dibagi dalam 2 kategori besar, yaitu sektor pertanian dan urban. Permintaan air urban terjadi akibat pertumbuhan dan perkembangan wilayah perkotaan yang pesat dan wilayah perkotaan ini
22
mengandalkan air dari sistem sungai yang ada sama seperti sektor pertanian. Pemukiman dan industri memberikan valuasi air lebih tinggi dari pada sektor pertanian sehingga menyebabkan terjadinya kompetisi dengan sektor pertanian. Misalkan, Da menggambarkan permintaan air sektor pertanian, Du permintaan air urban serta Dt merupakan total permintaan keduanya. Jika harga air diatur oleh pemerintah sebesar P, dan jumlah yang diminta sebanyak Wt d lebih kecil dari pada yang ditawarkan W s , terdapat kelebihan air yang ditawarkan. Ketika permintaan air urban meningkat menjadi Du’, dan total permintaan menjadi Dt’, terlihat adanya kekurangan air pada saat jumlah yang diminta Wt d ’ lebih besar dari pada yang ditawarkan W s (Gambar 4.). Ketika harga ditetapkan pemerintah sebesar P, harga tidak dapat merasionalisasi air yang tersedia pada berbagai variasi pengguna atau dengan kata lain harga tidak dapat merespons tekanan permintaan dan penawaran. Jika pemerintah meningkatkan harga air irigasi, beberapa metode yang rasional mengungkapkan akan terjadi kompetisi antar pengguna. HARGA AIR
Du
S
Du'
Dt’=Du+Da
P Da 0
Wtd
Ws
Wt’d
Sumber: Randall, 1987 Gambar 4. Permintaan dan Penawaran Air
Dt=Du+Da
JUMLAH AIR, W
23
Permintaan air sektor pertanian sebesar Dt, permintaan urban Du’ dan penawaran dan permintaan agregat keduanya sebesar Dt’, jumlah air yang diminta sebesar W d ’, maka terdapat kelebihan air sebesar Ws-Wt d . HARGA AIR
Du’
S
Du”
Pu
Dt" =Wu" +Da
Pa
Dt'=Wu'+Da Da 0
Wu’
Wu”
Wtd'
Ws
Wtd”
JUMLAH AIR, W
Sumber: Randall, 1987 Gambar 5. Sistem Harga Dual Air Ketika permintaan urban meningkat dari Du ke Du’, permintaan sektor pertanian tetap pada Da, maka permintaan keduanya menjadi Dt’, dan jumlah yang diminta sebesar Wt’ d , dan kekurangan air sebesar Wt d ’ -W s (Gambar 5.). Jika pemerintah menetapkan air yang tersedia untuk urban sebesar Su, pertanian sebesar S-Su = Sa, dengan catatan bahwa kondisi ini
untuk sektor merupakan
keseimbangan. Pada Du dan Su, terdapat kekurangan air untuk pengguna urban sebesar Wt d ” - Wt s ”(Gambar 6.), pada Da dan Sa terdapat kekurangan air untuk sektor pertanian sebesar Wa d (sama dengan (Wa s + Wa d ) ─ Wu s ’ lebih besar dari pada Sa = S-Su. Jika pemerintah tidak mengijinkan Pa untuk naik, maka akan terjadi
24
“black market” air irigasi, dan dapat dihindari dengan diijinkannya pengalihan antar user. Dari uraian di atas dapatlah dilihat bahwa alokasi sumberdaya air sangat kompleks dan rumit untuk dilakukan. HARGA AIR
Su
St
Du"
Pu
Pa
D'”=Wus”+Da Da
0
Wus”
Wud”
Ws
Wus”+Wad”
JUMLAH AIR, W
Sumber: Randall, 1987 Gambar 6. Sistem Harga Dual Air Rasionalisasi Pengguna Urban Keempat faktor yaitu kondisi Daerah Aliran Sungai, indeks kelangkaan air, kriteria alokasi sumberdaya air serta mekanisme alokasi sumberdaya air yang telah diuraikan di atas merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk model pengelolaan sumberdaya air. Kondisi suatu DAS perlu diketahui terlebih dahulu agar dapat mengindentifikasi keadaan sumberdaya air di wilayah tersebut dan menentukan keputusan yang terbaik dalam pengelolaan sumberdaya air di wilayah tersebut. Kondisi
Daerah
Aliran
Sungai
aktual
menggambarkan
tahapan
pengembangannya yang berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya air dan
25
finansial yang dibutuhkan. Tahapan pengembangan menjadi lebih lengkap dengan adanya pengukuran indeks kelangkaan. Indeks kelangkaan ini menunjukkan apakah wilayah tersebut sudah menghadapi permasalahan kelangkaan sumberdaya air dan sampai sejauh mana kelangkaan tersebut berpengaruh pada pengelolaan sumberdaya air yang ada. Bila indeks kelangkaan air menunjukkan bahwa telah terjadi kelangkaan air, alokasi bagaimana yang sebaiknya dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya air di wilayah tersebut dengan mempertimbangkan aturan alokasi sumberdaya serta mekanisme yang sesuai dengan kondisi yang ada. Setelah memahami kondisi yang ada di wilayah yang akan diteliti, konstruksi model pengelolaan sumberdaya air dilakukan berdasarkan faktor-faktor di atas sebagai bahan pertimbangan. Model yang dihasilkan akan benar-benar sesuai dengan gambaran wilayah tersebut, baik ketersediaan airnya maupun sektor-sektor yang terlibat di dalamnya. Keputusan yang diambil merupakan keputusan yang dapat memenuhi kriteria yang telah dikemukakan di atas. 2.5
Penentuan Harga Air Mekanisme pricing dan charging dapat dilakukan melalui volumetric
pricing, output pricing, area pricing, tiered dan two part tariff pricing, serta water markets. Mekanisme pricing dan charging seringkali diistilahkan sebagai valuasi air, yaitu valuasi air dibedakan menurut sektor yaitu sektor pertanian dan nonpertanian. Dalam menghitung valuasi air yang digunakan sektor pertanian, pendekatan yang dilakukan menggunakan fungsi produksi sektor pertanian yaitu air diperlakukan sebagai input-nya. Valuasi untuk sektor nonpertanian meliputi permintaan air untuk rumah tangga, industri, air minum, pembangkit tenaga
26
listrik, pertambangan dan pabrik, serta rekreasi dan lingkungan. Terdapat dua cara penentuan valuasi air sektor nonpertanian, yaitu berdasarkan pasar dan nonpasar. Valuasi berdasarkan pasar karena air merupakan barang nilai tambah, sebagai salah satu usaha untuk memberikan nilai kepada sumberdaya. Valuasi berdasarkan nonpasar karena air termasuk salah satu sumberdaya yang pengelolaannya cukup unik, air sulit diperlakukan sebagai barang yang diperdagangkan. Pada bagian sebelumnya telah diuraikan bahwa penentuan harga air dan alokasinya merupakan dua hal yang sangat berkaitan erat, yaitu untuk memperoleh suatu alokasi air yang optimal dilakukan melalui penentuan harga air. Penentuan harga air dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi pengguna (user) dan sisi penyalur atau pengelola. Pengelola sumberdaya air dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu pengelolaan secara publik yang dilaksanakan oleh pemerintah dan pengelolaan secara komersial oleh suatu badan usaha. Kelompok pengelola ini sangat penting artinya karena mempunyai dampak yang berbeda secara ekonomi terutama terhadap pengguna. Pengelola publik tidak berorientasi pada profit karena investasi dan biaya ditanggung oleh pemerintah dan pengguna tidak dibebani biaya pengambilan air. Pengelola komersial akan memperhitungkan investasi dan semua biaya yang dikeluarkannya dan membebankannya pada pengguna. Perbedaan kelompok pengelola ini akan menghasilkan perbedaan pada penentuan harga air. Selain pengelola, pengguna yang beragam dengan pandangan yang berbeda dalam memberikan valuasi terhadap sumberdaya air, memerlukan pendekatan dari berbagai bidang agar dapat dibangun suatu model yang
27
terintegrasi dan mencakup semua bidang yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya air. Pengguna sumberdaya air dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu yang memperlakukan sumberdaya air sebagai barang publik (sektor pertanian) dan sebagai barang ekonomi (sektor nonpertanian atau urban). Penentuan harga air dari sisi pengguna, yaitu sumberdaya air diperlakukan sebagai input untuk penentuan harga air oleh pengelalola sumberdaya air dianggap sebagai output. Penentuan harga air oleh pengelola yang bersifat badan usaha dan kelompok pengguna sektor nonpertanian jauh lebih mudah dibandingkan dengan apabila penggunanya sektor pertanian. Sektor pertanian, selain jumlah penggunanya yang banyak, luasan lahan serta jarak dengan saluran induk sangat bervariasi merupakan kendala dalam penghitungan harga air. Penetapan harga air bertujuan untuk mengembalikan baik biaya pengelolaan, infrastruktur, maupun penghematan penggunaan air per unit output yang dihasilkan. Kunci utama untuk pencapaian tujuan tersebut, yaitu merancang mekanisme penetapan harga yang efektif yang disesuaikan dengan kondisi setempat, serta membangun strategi agar mendapat tingkat pengumpulan dana setempat, serta membangun strategi agar mendapat tingkat pengumpulan dana yang tinggi. Terdapat empat metode penetapan harga air, yaitu: (1) berdasarkan areal, (2) volume, (3) keseimbangan pasar, dan (4) full cost recovery. Metode pertama dan kedua serta kombinasi keduanya telah banyak digunakan dan dikembangkan di berbagai belahan dunia. Metode penetapan harga air di setiap wilayah akan berbeda, sesuai dengan kondisi wilayah, petani, pengelola, dan kebijakan pemerintah.
28
2.5.1
Penetapan Harga Air Berdasarkan Areal Pembayaraan berdasarkan areal merupakan pembayaran tetap, berdasarkan
pada luas areal yang diairi. Keterbatasan metode ini, biaya operasi dan pemeliharaan biasanya jarang diperhitungkan, dengan membagi total biaya operasi dan pemeliharaan dengan total luas areal yang diairi. Padahal, kedua biaya ini sebaiknya diperhitungkan agar petani lebih hemat dalam menggunakan air. Selain itu, penggunaan areal irigasi bervariasi dari waktu ke waktu dan dari musim ke musim. Luas areal irigasi yang digunakan selama musim basah biasanya lebih besar dibandingkan dengan selama musim kering. Luas pertanaman yang bervariasi ini dapat diatasi dengan memperkirakan luas setiap musim berdasarkan data pada tahun-tahun sebelumnya. Besarnya pembayaran yang tetap tanpa mempertimbangkan musim akan berimplikasi pada konsumsi air oleh petani, karena marginal cost setiap penambahan jumlah air per hektar sama dengan nol. Permintaan air biasanya lebih tinggi dibandingkan jika pembayaran sesuai dengan jumlah air yang digunakan, terutama petani yang berada dekat saluran induk. Keunggulan metode ini, yaitu cara penghitungannya sederhana, petani mudah memahaminya, harga ditetapkan lebih rendah dibandingkan dengan penetapan harga berdasarkan volume. Diasumsikan, bahwa (1) seluruh pengguna memenuhi kewajibannya, (2) besarnya pungutan per hektar, dan (3) didasarkan pada biaya langsung rata-rata, sehingga seluruh biaya langsung terbayar. Metode ini tidak mendorong petani untuk mengurangi penggunaan air per hektar, tetapi karena implementasinya sederhana, metode ini telah banyak
29
diterapkan di berbagai negara. Misalnya, di Haryana (India), air irigasi dihargai US$2.50 per hektar (Cornish and Perry, 2003), di Pakistan, harganya $2 sampai $8 per hektar (Ahmad, 2002). Penetapan harga berdasarkan areal, biasanya diterapkan di wilayah air tidak langka, tanaman tidak bervariasi, dan pemasangan meter sangat sulit atau biayanya tinggi. Metode ini akan jarang digunakan pada masa mendatang, kecuali jika memodifikasinya dengan mempertimbangkan klasifikasi areal berdasarkan jarak dengan saluran irigasi, musim, jenis tanaman, serta teknologi yang digunakan. Sistem penetapan harga berdasarkan areal dan jenis tanaman, yang besar pungutan berdasarkan luas areal dan jenis tanaman yang ditanam. Harga airnya bervariasi antartanaman, yaitu harga setiap jenis tanaman ditetapkan oleh pembuat kebijakan. Jika pemerintah menginginkan peningkatan efisiensi penggunaan air, jenis tanaman yang menggunakan air terbanyak seperti padi, harga per hektarnya lebih tinggi dibandingkan dengan palawija. Metode ini akan mendorong petani mengubah jenis tanaman dengan harga yang menggunakan air lebih sedikit sehingga harga air per hektarnya lebih kecil. Sebaliknya, jika pemerintah menetapkan kebijakan harga pangan murah atau menginginkan produksi tanaman komersial (seperti padi dan tebu), harga air untuk jenis tanaman ini diatur lebih rendah dibandingkan jenis tanaman lainnya. Pada situasi seperti ini, diperlukan subsidi input, antara lain, air irigasi, agar produksi pangan meningkat, di lain pihak menyebabkan penggunaan sumberdaya yang berlebihan.
30
Dalam metode kombinasi antara areal dan metode irigasi, pembayaran air biasanya merefleksikan perbedaan biaya penyaluran di antara metode irigasi yang berbeda. Sebagai contoh, biaya pada sistem irigasi gravitasi lebih rendah dibandingkan dengan biaya irigasi pompa. Keunggulan irigasi pompa jumlah air yang disalurkan terukur dan penyalurannya lebih mudah dibandingkan pada sistem irigasi gravitasi. Jadi, pembayaran pada sistem irigasi pompa lebih tinggi karena biaya irigasi serta pendapatan bersihnya pada umumnya lebih tinggi. Beberapa negara menerapkan metode pembayaran berdasarkan kombinasi areal dengan musim, yaitu harga yang diberlakukan pada musim kering lebih tinggi karena air langka, dan lebih rendah pada musim basah ketika air berlimpah. Jika harga ditetapkan tinggi pada musim kering, petani akan membatasi luas areal pada musim tersebut. Di Perancis, struktur penetapan harga didasarkan pada perbedaan biaya antara tinggi rendahnya air yang digunakan. Pada musim panas, harga air merefleksikan marginal cost jangka panjang air yang dipasok. Biaya marjinal jangka panjang biasanya merupakan biaya ekspansi pada masa mendatang. Dalam kenyataannya, sulit sekali mengestimasi biaya proyek perluasan kapasitas pasokan (McNeill and Tate 1991). Selama musim basah, Perancis hanya memasukkan biaya operasi. Struktur penetapan harga ini dapat membantu pengurangan penggunaan air selama musim panas ketika permintaan lebih tinggi dibandingkan dengan pasokan (Tiwari and Dinar 2003; Johansson, 2000). Penetapan harga yang didasarkan pada kombinasi areal dan teknologi, dengan menyeleksi teknologi irigasi yang digunakan berdasarkan teori yang ide dasarnya mirip dengan penetapan harga berdasarkan kombinasi areal dan jenis
31
tanaman, yaitu petani menggunakan teknologi penyimpanan air agar membayar biaya per hektarnya mejadi lebih rendah. Sebagai contoh irigasi drip dan sprinkler, dimana pengendalian airnya lebih baik dan output yang dihasilkan per unit air yang disalurkan lebih besar dibandingkan irigasi dengan pengendalian aliran. Pembayaran per hektar teknologi pengendalian air yang lebih tinggi akan mendorong petani mengganti dengan teknologi yang pembayaran per hektarnya lebih rendah. Jika pembayaran berdasarkan areal dapat dibuat dengan merefleksikan perbedaan penggunaan air oleh musim, jenis tanaman dan
teknologi irigasi,
penetapan harga berdasarkan areal lebih menguntungkan dibandingkan dengan penetapan harga berdasarkan volume. Jika musim, jenis tanaman dan teknologi irigasi terkendali, maka penggunaan air per hektarnya menjadi sedikit. Masalah yang mungkin timbul, petani yang berada dekat dengan saluran induk cenderung mengairi lahannya lebih banyak ketika pembayaran hanya berdasarkan areal. Jika pengelola dapat menjamin ketepatan jadwal penyaluran dan jumlah air yang dibutuhkan, petani akan mengalami kerugian apabila penggunaannya berlebih dan penggunaannya tidak teratur. 2.5.2
Penetapan Harga Air Berdasarkan Volume Penetapan harga air berdasarkan volume, adalah pembayaran didasarkan
pada jumlah air yang disalurkan. Aturan penetapan harga ekonomi yang optimal jika ditentukan sama dengan biaya marjinal air yang disalurkan memerlukan pengukuran air yang akurat melalui meter. Keunggulan metode ini, mendorong petani membatasi penggunaan airnya, serta lebih mudah dipahami oleh pengguna untuk membayar sejumlah air yang
32
disalurkan ke lahan petani. Keterbatasan metode ini, (1) biaya implementasi lebih tinggi karena dibutuhkan alat ukur serta kejujuran dalam membaca dan melaporkan jumlah air yang digunakan dan (2) penetapan harga, biaya marjinal bukan merupakan pengembalian biaya seluruhnya, yaitu menurunnya biaya ratarata (sebagai contoh sistem kanal yang besar) akibat pembangunan infrastruktur. Dengan demikian biaya marjinal proyek akan lebih rendah dari biaya rata-rata, sehingga penetapan harga berdasarkan biaya marjinal tidak akan menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan.
Sebaliknya,
pada
irigasi
pompa
dengan
menggunakan air tanah, biaya proyek marjinal lebih tinggi dari pada biaya ratarata proyek, kecuali jika biaya marjinal termasuk biaya marjinal pengguna. Pada beberapa proyek air tanah, penetapan harga biaya marjinal mengakibatkan penarikan harga air relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan usahatani. Sebagai contoh, dalam proyek di Gujarat India, proporsi pembayaran air sebesar 37 persen dari pendapatan usaha tani bersih. 2.5.3
Penetapan Harga Air Berdasarkan Blok Penetapan harga air berdasarkan blok akan bervariasi ketika ditetapkan
waktu dan volume penggunaan air (sebagai contoh 5 000 m3 per hektar per musim). Jika yang menjadi pertimbangan pembayaran air yang lebih tinggi, maka pembayaran peningkatan blok dapat digunakan. Pembayaran pada blok pertama lebih rendah dari biaya pemeliharaan dan operasi. Blok kedua dan selanjutnya meningkat lebih tinggi dari biaya pemeliharaan dan operasi yang ditanggung dan merefleksikan biaya marjinal operasi. Menurut Easter et al. (1999), di Israel dan Botswana digunakan metode ini. Jumlah air pada blok pertama seringkali mempertimbangkan jumlah
33
kebutuhan dasar yang mendukung keluarga petani. Metode ini memperhatikan isu keadilan. Petani membayar lebih rendah pada blok pertama dan lebih tinggi jika pemakaian lebih banyak. Di Botawana harga pada blok kedua sama dengan pada blok pertama. Pengoperasian metode ini mirip dengan kuota, yang merupakan suatu kasus ekstrim dari penetapan harga peningkatan blok. Petani tetap bisa mendapatkan tambahan air dari pengelola tetapi dengan harga lebih tinggi. Botswana menetapkan blok pertama sebagai kuota ketika petani mengonsumsi melebihi kuotanya, petani membayar harganya dua kali lipat. Di Israel, kuota mencakup tiga blok dan membayar sesuai dengan kontrak dengan pengelola air. Jika perbedaan harga yang besar antar blok, petani akan mencoba menggunakan air tidak melebihi blok pertama. Keterbatasan penetapan harga berdasarkan blok, tidak mudah memutuskan tingkat harga tiap-tiap blok atau volume tiap-tiap blok (sebagai contoh harga terendah jika penggunaan air kurang dari 5 000 m3 air per musim per hektar atau di atasnya misalnya 6 000 m3). Jika batas maksimum blok pertama terlalu besar, penerimaan tidak dapat menutupi biaya pemeliharaan dan operasi. Metode ini sebaiknya digunakan ketika air langka, pendapatan usaha tani rendah, dan pembayaran air relatif tinggi pada pendapatan bersih usaha tani. 2.5.4
Tarif Dua Bagian Penetapan tarif dua bagian merupakan kombinasi penetapan harga
berdasarkan harga dan biaya administrasi (kadang-kadang didasarkan pada ukuran areal irigasi). Metode penetapan harga blok yang telah digambarkan sebelumnya
34
memiliki dua tujuan, yaitu pengembalian seluruh biaya dan pengurangan penggunaan air. Kedua tujuan ini jarang sekali menimbulkan konflik. Keunggulan metode tarif dua bagian ini adalah dapat meredam konflik. Bagian volume dapat dijadikan dasar biaya marjinal, yang menyebabkan penggunaan air lebih sedikit. Untuk bagian tetap yang dapat memperbaiki beberapa kekurangan, dan menjamin kepastian pendapatan yang akan terbentuk, berapa banyak air yang tersedia dan disalurkan. Ketika biaya pemeliharaan dan pengoperasian merupakan komponen tetap yang tidak tergantung pada jumlah air yang disalurkan, biaya tetap ini tetap dibayarkan meskipun air tidak digunakan untuk satu musim. Keterbatasan metode ini, yaitu perhitungannya relatif lebih rumit sehingga sulit untuk dipahami petani dan biaya administrasi dari metode penetapan harga berdasarkan dua bagian, lebih tinggi dibandingkan dengan pembayaran tunggal. Menurut Easter et al. (1999), di Jaiba Brazil, rancangan penetapan harga direvisi dari pembayaran dua-bagian, yang terdiri dari dua komponen, K1 dan K2. Komponen pertama, K1 merefleksikan biaya modal proyek, dihitung berdasarkan periode 50 tahun pengembalian dan tingkat bunga yang disubsidi. Komponen kedua, K2, diperkirakan untuk menutupi seluruh biaya pemeliharaan dan pengoperasian, diestimasikan sebagai fungsi dari volume air yang digunakan. Komponen kedua dipecah lagi menjadi dua komponen, yaitu biaya tetap (pemeliharaan dan operasi) dan biaya variabel. Jika petani memutuskan tidak menanam selama satu musim, petani tetap harus membayar biaya tetap untuk pemeliharaan dan operasi.
35
2.5.5
Pasar Air Di negara yang memiliki pasar air, baik formal maupun nonformal,
perusahaan atau individu dapat memperdagangkan air pada harga keseimbangan pasar, dan berubah sesuai dengan musim. Efektivitas pengoperasian pasar air membutuhkan seperangkat Undang-Undang sumberdaya air yang benar, aturan perdagangan air yang jelas dan komprehensif, suatu kesatuan pengelolaan penyaluran air, serta badan hukum yang mengatur aktivitas dan penyelesaian perselisihan. Selain itu, dibutuhkan pembangunan sistem saluran yang dapat menyalurkan air ke semua pengguna (Tsur and Dinar, 1998). Jika semua syarat ini terpenuhi, maka harga keseimbangan pasar yang terbentuk dari pertemuan antara pemintaan dan pasokan akan efektif. Menurut Easter et al. (1999), di Chili hasil analisis terhadap dua sungai, menunjukkan pasar air yang menghasilkan penerimaan yang substansial secara ekonomi dari perdagangan. Di Konservasi Air Colorado Utara, pasar air telah dioperasikan sejak akhir tahun 1950-an, dimana distrik tersebut mengumumkan secara luas pembeli potensial dan penawaran penjual (Howe et al. 1986). Di sana terdapat satu pasar dengan regulasi yang tetap, dan penjualan dilakukan secara temporer, untuk penggunaan air musiman. Seiring dengan berjalannya waktu, regulasi permanen ini secara berangsur-angsur hilang dari penggunaan sektor pertanian ke municipal dan sektor industri. Meskipun sektor pertanian merupakan pengguna air terbesar (Kemper et al. 1999). Penetapan pasar telah dikembangkan di sejumlah negara, termasuk pasar irigasi di distrik Siurana-Riudeanyes di Provinsi Tarragone, Spanyol, merupakan contoh klasik dan hal yang sama di Alicante Spanyol (Maass dan Anderson,
36
1978). Sistem Siurna-Riudeanyes melayani petani, munipical, dan pengguna lainnya, serta menyalurkan sekitar 6 juta m3 air per tahunnya. Regulasi penggunaan air, baik jangka panjang maupun temporer, diperdagangkan antaranggota kelompok pemakai air (Water User Association ~ WUA), termasuk petani dan municipal. Pada tahun 1982, pengalihan dari pengaturan oleh petugas ke WUA, secara signifikan mengurangi peningkatan harga air dan menjadi lebih transparan. Suatu sistem bonus dan insentif juga ditetapkan untuk pekerja WUA guna meminimumkan kehilangan air dan mengurangi biaya pemeliharaan dan operasi. Dewan Kota Reus, kota utama di irigasi distrik Siurana-Riudecanyes, berperan penting dalam pasar air dan membangun sistem pengairan. Kota memberikan sebagian besar dana yang dibutuhkan untuk membangun dam dan infrastruktur, dengan pendanaan langsung sebesar 50 persen, dan 4 persen yang merupakan
pinjaman
yang
harus
dikembalikan.
Keuntungan
langsung
menyisihkan 10 persen dari pendanaan konstruksi awal. WUA terfokus pada sistem pengairan, pengguna berpartisipasi aktif, transparansi, dan fleksibilitas dalam menanggapi perubahan air dan kondisi ekonomi (Tarrech et al, 1999). Contoh pasar air lainnya yang dibangun petani di wilayah Cariri negara bagian timur laut Brazil, dimana pasar didasarkan pada ketersediaan air di sungai. Alokasi air ke petani diatur berdasarkan luasnya lahan, yaitu air diperdagangkan sebagai bagian dari tanah dan keinginan petani sendiri. Umumnya, sistem perdagangan
memberikan
jaminan
air
yang
dipasok
dan
fleksibilitas
pengalokasian air. Pasar air dirancang dengan melibatkan pemerintah langsung karena terdiri atas sejumlah petani yang homogen, yang menanam tebu dan lainnya (Kemper et al. 1999).
37
2.5.6
Metode Cost Recovery Metode penentuan harga air sektor pertanian oleh pengelola yang banyak
digunakan dan dianggap memenuhi kriteria ekonomi yaitu full cost recovery yaitu penentuan harga air irigasi berdasarkan pada pengembalian biaya-biaya yang dikeluarkan pengelola untuk penyaluran air irigasi sampai kepada pengguna. Metode cost recovery dapat mengatasi biaya pengelolaan air dan bukan hanya sekedar penetapan harga yang tinggi atau penyimpanan dana yang lebih banyak. Ketika biaya air dapat diatasi dengan mekanisme yang digunakan untuk mengatasinya metode ini mempunyai spesifikasi sesuai dengan kondisi yang ada di wilayah tersebut. Secara umum, biaya penyaluran air irigasi dapat dibagi dalam tiga ketegori, yaitu (1) biaya proyek langsung, (2) biaya lingkungan, dan (3) biaya marjinal pengguna. Biaya proyek langsung merupakan pengukuran termudah dibandingkan kategori lainnya dan banyak proyek menggunakan cara ini. Biaya langsung cenderung digunakan dalam penentuan biaya, mulai dari proses sampai penyaluran air irigasi yang dapat dipisahkan dalam biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap termasuk seluruh investasi sarana irigasi seperti pembangunan waduk dan saluran serta pemasangan meter dan pompa, ditambah depresiasi, dan tingkat bunga investasi. Biaya administrasi dan biaya operasi serta pemeliharaan tidak termasuk dalam biaya penyaluran air, tetapi dimasukkan dalam biaya tetap karena tidak bervariasi sesuai jumlah air yang disalurkan. Biaya variabel terdiri dari biaya operasi dan pemeliharaan dalam penyaluran air, biaya tenaga kerja, dan biaya penyaluran air, termasuk biaya penyaluran, dan biaya pengambilan air tanah, dan
38
biaya hilangnya air. Biaya-biaya ini bervariasi, metode penyaluran air, teknologi irigasi, dan musim (Massarutto, 2002). Biaya lingkungan meliputi erosi tanah dan kerusakan ekosistem selama dan sesudah pembangunan suatu proyek irigasi. Sejauh ini, hanya sebagian kecil proyek irigasi yang memasukkan biaya lingkungan sebagai bagian keseluruhan biaya yang akan dikembalikan. Biaya lingkungan secara substansial akan meningkatkan total biaya pembangunan proyek irigasi. Di Afrika Selatan telah dikembangkan suatu sistem pembayaran yang merefleksikan dan menutupi biaya langsung dan tidak langsung dengan memasukkan biaya pembuangan limbah. Biaya pembuangan limbah ini berhubungan dengan salinitas, nitrase, dan phospor dalam air pembuangan. Suatu pembayaran ekstra akan dibebankan kepada pembuang limbah, jika limbah yang dibuang melebihi batas maksimum yang diijinkan. Dan sebaliknya jika limbah yang dibuang kualitasnya lebih tinggi dibandingkan pada waktu pengambilan akan diberikan insentip berupa pengurangan pembayaran limbah (Republic of South Afrika, 2004). Pemerintah Australia Selatan sepakat membiayai pengelolaan salinitas yang diakibatkan oleh pembangunan irigasi sebelum 1988, petani menyanggupi menanggung biaya pembangunan irigasi sesudah tahun 1988. Struktur biaya dua bagian (two part tariff) dapat dipilih untuk mengakomodasi eksternalitas. Ketika infrastruktur dibangun atau diperbaiki untuk mengurangi hubungan kualitas air dengan eksternalitas, biaya tetap dapat dimasukkan sebagai bagian tetap dari harga dua sisi, untuk kuantitas yang dihubungkan dengan eksternalitas dimasukkan dalam porsi volume (Bueren and MacDonald, 2004). Di Queenslands
39
ketika pemerintah meninjau kembali pembayaran air di tahun 2004, banyak masyarakat yang menolak ide pengenalan biaya eksternalitas. Masyarakat berpendapat bahwa banyak pengguna air telah siap dengan infrastruktur yang mencegah
eksternalitas,
serta
melakukan
beberapa
perbaikan
regulasi
(Queensland Government, 2004). Marginal User Cost didefinisikan sebagai nilai sekarang dari kelangkaan sumberdaya di masa mendatang sebagai implikasi penggunaan sumberdaya saat ini (Howe et al. 1979). Akibatnya, biaya pengadaan pasokan air di masa mendatang lebih tinggi karena pengambilan sumberdaya pada masa sekarang. Kondisi ini sangat relevan untuk sumberdaya air tanah, terutama jika tidak ada pengisian kembali (recharge) atau tingkat rechargenya kecil. Ketika harga air tanah tidak dimasukkan ke marginal user cost, akan mengakibatkan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya tersebut. Proyek sumberdaya air biasanya memiliki multitujuan, yaitu (1) memasok air
irigasi, (2) memasok rumah tangga dan industri, (3) sebagai pengendali
banjir, dan (4) pembangkit listrik tenaga listrik. Sekitar 90 persen waduk yang ada di Asia memiliki multitujuan, pengguna yang berbeda akan memberikan kontribusi biaya yang berbeda, sesuai dengan jasa layanan yang diterimanya. Terdapat tiga metode yang biasa digunakan untuk mengalokasikan kontribusi kepada setiap pengguna, yaitu (1) metode penggunaan fasilitas (use of facilities atau UOF), (2) penyesuaian pengeluaran (alternative justifiable expenditures atau AJE), dan (3) biaya terpisah dan sisa benefit (separate costs, remaining benefits atau SCRB) (Easter, 1999; Young et al., 1982; dan Young, 1985).
40
Pendekatan use of facilities mengalokasikan biaya pada setiap pengguna yang menggunakan fasilitas yang sama sesuai dengan proporsi air yang disalurkan (sebagai contoh irigasi dan domestik). Pendekatan alternative justifiable expenditures mengalokasikan biaya bersama didasarkan sisa benefit setelah dikurangi dengan biaya spesifik, yaitu biaya langsung dari setiap pengguna (sebagai contoh irigasi), tidak memasukkan biaya perubahan rancangan proyek apabila terjadi penambahan tujuan. Pendekatan yang terakhir adalah pendekatan SCRB mirip dengan pendekatan alternative justifiable expenditures, yaitu pendekatan ini menetapkan biaya sebagai tujuan tunggal untuk mencapai manfaat ekonomi, dan biaya perubahan rancangan sehubungan dengan penambahan tujuan dimasukkan dalam total biaya. Sisanya merupakan biaya bersama sesudah dikurangi dengan biaya tiap-tiap pengguna. Biaya bersama ini akan dibebankan pada pengguna dengan proporsi sesuai dengan besarnya biaya untuk tiap-tiap pengguna. Proyek yang menggunakan pendekatan ini terdapat di Anda Pradesh India, dimana proyek dengan multi tujuan dapat mengalokasikan biaya yang berbeda sesuai dengan tipe pengguna. Proyek dengan benefit tidak langsung yang besar, ada beberapa biaya dapat dialokasikan menjadi benefit. Sebagai contoh, negara dengan kebijakan harga pangan rendah, ketika sarana irigasi diperbaiki, perusahaan pengolah makanan dan konsumen lebih diuntungkan bila dibandingkan dengan petani. Dalam berbagai kasus, pemberian subsidi terhadap proyek melalui penerimaan pajak dari konsumen yang menghasilkan benefit, dan pajak yang dibayarkan oleh perusahaan pengolah pangan dapat membantu pendanaan proyek tersebut.
41
Proyek pengelolaan air di Daerah Aliran Sungai Sana’a Yemen, memberikan suatu ide kontribusi biaya oleh pemerintah, dimana program perbaikan irigasi yang bertujuan untuk mengurangi tingkat eksploitasi air tanah, sehingga keberlanjutan akuifer dapat dipertahankan serta memberikan waktu pada pemerintah untuk menemukan solusi jangka panjang. Jika strategi kelestarian yang dipilih, pencapaian benefit secara ekonomi bukan merupakan prioritas utama. Strategi ini juga mendorong pengalihan irigasi dari irigasi air tanah menjadi irigasi dengan menggunakan teknologi lainnya, seperti teknologi drip dan gelembung yang menggunakan pipa sebagai saluran distribusi. Teknolgi drip dan gelembung terbukti dapat meningkatkan efisiensi irigasi dari 35 persen menjadi 60 persen. Biaya ditanggung oleh pemerintah dan petani, dengan kontribusi pemerintah sebesar 75 persen dari biaya investasi dan 90 persen dari biaya instalasi, dan petani menanggung sisanya. Biaya operasi dan pemeliharaan seluruhnya ditanggung oleh petani. Selain untuk
pembiayaan, petani juga
memberikan kontribusi melalui pengurangan jumlah air yang digunakan per hektar (World Bank, 2003a). Ahli pengelolaan air MF. Abu Taleb dari World Bank melaporkan bahwa water user allocation yang termasuk dalam implementasi proyek menanggapinya dengan sangat positif. Hal ini terbukti dengan kesepakatan pengguna untuk membayar dan memasang instalasi konservasi air. 2.6
Penelitian Terdahulu:Model Pengelolaan Sumberdaya Air Perencanaan, pengelolaan, dan rancangan merupakan bagian terpenting
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan (sustainable economic). Proses perencanaan sampai dengan perancangan membutuhkan analisis kritis dengan
42
biaya ekonomi yang sebenarnya, benefit, dan dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Analisis tersebut menggambarkan kualitas rancangan dan seberapa jauh dampaknya terhadap ekonomi, sumberdaya alam, dan lingkungan secara umum (Mc Kinney and Savitsky, 2003). Sistem terdiri dari sekumpulan komponen serta bentuk hubungan antar komponen yang melakukan aktivitas dalam sistem (satuan wilayah sungai) melalui kekuatan eksternal, pengaruh atau input (curah hujan), dan memproduksi pengaruh spesifik atau output (streamflow). Oleh sebab itu suatu sistem merupakan transformasi satu input menjadi satu output, output yang diproduksi tergantung pada properti dari sistem atau parameter (seperti tipe tanah, vegetasi, dan topografi). Transformasi tergantung pada parameter dari sistem dan rancangan kebijakan yang mendukungnya. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan air di Daerah Aliran Sungai meliputi perkembangan sektor industri, perkembangan kota yang semakin cepat, dan kebutuhan langsung air oleh sektor pertanian. Demikian pula pencemaran yang dilakukan oleh sektor industri dan limbah domestik yang cenderung meningkat sehingga menekan pengalokasian air ke sektor-sektor pengguna lainnya. 2.6.1
Pemodelan Pengelolaan Air Permasalahan sumberdaya air saat ini adalah alokasi air antar sektor yang
diakibatkan oleh perkembangan perkotaan dan sektor industria, serta beralihnya lahan sektor pertanian menjadi sektor nonpertanian. Model yang sesuai dengan fenomena tersebut yaitu model optimasi dinamik. Sebagai contoh model dinamik
43
yang terkait dengan air seperti yang dilakukan oleh Syaukat (2000) tentang pengelolaan air tanah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta; Ringler et al. (2004) di Daerah Aliran Sungai Brantas dan Dong Nai; model yang dikembangkan Rosegrant et.al. (2001) di Maipo Basin Chili; Optimasi Laut Aral, yang dipaparkan oleh Cai et.al. (2002 dan 2003); dan Model Sumberdaya Air Dalam Kompetisi Antar Sektor di Wilayah Hilir Daerah Irigasi Jatiluhur (Katiandagho, 2007). Model-model pengelolaan air dilakukan dengan model simulasi ataupun optimasi. Terdapat dua macam model optimasi yaitu optimasi statik dan optimasi dinamik. Model yang sesuai untuk air yang mempunyai feature selalu berubah antarwaktu adalah model dinamik yang mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya air antar waktu. Namun, ada juga yang menggabungkan keduanya yaitu antara model simulasi dan optimasi. Aktivitas yang dipertimbangkan dalam mengkonstruksi model optimasi oleh Ringler et al. (2004) meliputi produksi sektor pertanian, luas lahan, alokasi ke sektor-sektor pengguna air, dan hidrologi. Model akan memilih alokasi air yang optimal ke sektor-sektor pengguna dan secara khusus untuk sektor pertanian, luas lahan yang akan diairi, dan produktivitas tiap-tiap lahan, sedangkan kompleksitas alokasi air dan penggunaannya juga dihadapi di Dong Nai River Basin dan Daerah Aliran Sungaai Brantas yang dilakukan Ringler et al. (2004) yang membutuhkan pendekatan holistik pada tahapan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air guna mencapai manfaat yang optimal seiring dengan waktu, efisien, dan merata.
44
Pengelolaan sumberdaya air, khususnya air permukaan, penggunanya beragam dan wilayahnya sangat luas, membutuhkan suatu pemodelan yang dapat digunakan dan menghasilkan benefit yang optimum baik bagi pengguna maupun pengelola. Pemodelan satuan wilayah sungai (SWS) merupakan alat pemodelan yang dapat mengintegrasikan kompleksitas pengelolaan sumberdaya air dalam suatu kerangka analisis yang terintegrasi yang dapat memberikan arahan dan putusan bagi pengelola sumberdaya (Mc Kinney et al. 1999, Rodgers dan Fiering, 1986). Analisis sistem bertujuan mengindentifikasi situasi yang dengan investasi modal dan energi yang minimum dapat menghasilkan penerimaan yang maksimum dengan kendala alokasi sumberdaya, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa analisis sistem merupakan seni dan ilmu penyederhanaan fenomena yang kompleks menjadi suatu bentuk yang lebih kecil, terisolasi dan mudah dimengerti, interaksi antar sub sistem serta interaksi antara subsistem dengan lingkungan yang lebih luas (Churchman, 1968 dalam McKinney and Savitsky, 2003). Metode yang digunakan dalam analisis sistem sumberdaya air merupakan sistem kondisi fisik dan sosial ekonomi yang dibuat melalui model matematis. 2.6.2
Model Dong Nai River Basin Model Dong Nai River Basin (DNRB) diturunkan dari model yang
dikembangkan sebelumnya oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI) untuk Maipo River Basin di Chile (Rosegrant et al, 2000) yang
45
memfokuskan pada komponen ekonomi.
Model ini mengintegrasikan model
ekonomi dan hidrolis, termasuk komponen ekonomi, hidrolis, dan kelembagaan. Model Dong Nai River Basin merupakan penggabungan model jaringan hidrolis dengan model-model simulasi proses produksi sektor pertanian irigasi, pembangkit listrik tenaga air, municipal (domestik), dan permintaan sektor industri dengan hubungan ekonomi yang dikarateristikkan oleh harga dan nilai air yang digunakan. Hubungan fungsional antarkomponen membentuk suatu sistem optimasi nonlinier dengan skala besar yang menggambarkan suatu model optimasi simulasi satuan wilayah sungai. Konsep dan teknik ini didasarkan pada pemodelan yang dibuat oleh Mc Kinney et al. (1999).
Sumber: International Food Policy Research Institute, 2003 Gambar 7.
Komponen Model, Model Integrasi Hidrolis, dan Ekonomi pada Satuan Wilayah Sungai di Dong Nai Basin
Jaringan pemodelan mencakup (1) komponen hidrolis, termasuk keseimbangan di waduk, sungai, dan areal irigasi, (2) komponen ekonomi termasuk penghitungan benefit pemakaian air tiap sektor, sisi permintaan, dan negara, dan (3) aturan
46
institusional dan insentif ekonomi yang merupakan akibat komponen hidrolis dan ekonomi. Pasokan air dibatasi oleh keseimbangan dalam sistem. Adapun permintaan air ditetapkan secara endogen dalam model yang didasarkan pada hubungan fungsional antara air yang digunakan dalam produksi sektor pertanian, penggunaan domestik dan sektor industri, serta pembangkit listrik tenaga air. Keseimbangan pasokan dan permintaan air didasarkan pada maksimisasi benefit ekonomi akibat penggunaan air. Jaringan node menggambarkan suatu hubungan spatial antar bangunan fisik air yang ada di basin yang menghubungkan sungai (saluran), dengan waduk, bendung, dan wilayah permintaan, node dapat berupa pintu air, bendung, bendungan, wilayah permintaan inflow dalam node terdiri dari air yang masuk, baik dari saluran maupun sungai setempat serta curah hujan. Keseimbangan aliran dihitung pada tiap-tiap node pada setiap periode. Adapun pemindahan atau transfer aliran dihitung berdasarkan ruang yang terhubung dalam jaringan. Model ini juga memperhitungkan return flow yang merupakan air sisa pemakaian dari sektor pengguna, dimanfaatkan kembali oleh sektor lainnya di wilayah hilirnya, dan biasanya air yang ada di saluran pembuangan atau drainase. Persyaratan lingkungan tercakup dalam kendala aliran, kurun waktunya setahun dengan 12 periode (bulanan). Provinsi menjadi unit pemodelan major dalam satu wilayah sungai. Adapun yang dioptimasikan adalah seluruh wilayah sungai Dong Nai tersebut.
Fungsi tujuannya memaksimumkan net profit tahunan akibat
pemakaian air irigasi, municipal, sektor industri dan pembangkit listrik tenaga air, yang diformulasikan sebagai berikut:
47
∑ VA(agdm) + ∑ VM (mundm)
= Max obj
agdm
muval
+ ∑ VI (indm) + indm
(1)
∑ VP( pwst )
powval
dimana: VA
= net profit irigasi
VM
= net benefit dari pemakaian air municipal (domestik)
VI
= net profit dari sektor industri
VP
= net profit dari pembangkit listrik tenaga air
Agdm
= indeks wilayah sektor pertanian
mundm
= indeks wilayah municipal
indm
= indeks wilayah sektor industri
pwst
= indeks turbin pembangkit listrik tenaga air
Dalam rangka konsistensi antara fungsi produksi sektor pertanian dan air yang diaplikasikan per bulan, fungsi penalti ditambahkan ke fungsi tujuan. Fungsi tersebut membantu distribusi air yang disalurkan per bulan dengan produksi sektor pertanian per musim yang dihubungkan dengan produksi sektor pertanian pada saat defisit, yang didefinisikan Food and Agriculture Organization (FAO). Hubungan
antara
produksi
dan
air
diadopsi
dari
model
yang
dikembangkan Food and Agriculture Organization, dan dapat dilihat lebih rinci dalam Dorenboos and Kassam (1979) serta Dorenboos dan Pruitt (1977). Koefisien respon tanaman didasarkan pada asumsi hubungan antara produksi relatif (produksi aktual terhadap produksi maksimum) serta evapotranspirasi relatif (ETa/ETm) bentuknya linier untuk kekurangan air di atas 50 persen, maka (1 - ETa/ETm = 0.50). Respon tanaman terhadap air sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari faktor agronomis tanaman itu sendiri, serta respon tanaman terhadap input lainya seperti pupuk. Perhitungan profit dari sektor pertanian (VA) sebagai berikut:
48
area ( agdm, cp ) * ylda ( agdm, cp ) * price ( crop ) − labor ( crop ) * laborc ( crop ) + fertn ( crop ) * fertnc ( crop ) + fertp ( crop ) * fertpc ( crop ) + fertk ( crop ) * fertkc ( crop ) + − VA(agdm) = ∑ mach(crop ) + pesti ( crop ) a ,c ,tp ,t w _ ca ( agdm ) * pd ( to _ infa ( agdm, pd ) ) − ∑ pd ∑ pumpa ( gw, agdm, crop, pd ) * ppumpa ( crop ) gw, pd
(2)
dimana: area
= luas panen (ha)
ylda
= hasil panen aktual dari fungsi FAO
price
= harga komoditas (Rp ribu/kg)
labor
= tenaga kerja dalam dan luar keluarga (Rp/HOK)
laborc
= upah tenaga kerja (US$/MD)
fertn
= banyaknya pupuk N yang digunakan (kg/ha)
fertnc
= harga pupuk N (US$/kg)
fertp
= banyaknya pupuk P 2 O 5 yang digunakan (kg/ha)
fertpc
= harga pupuk P 2 O 5 (US$/kg)
fertk
= banyaknya pupuk KCl yang digunakan (kg/ha)
fertkc
= harga pupuk KCl (US$/kg)
mach
= mesin dan hewan (US$/ha)
pesti
= pestisida (US$/ha)
w_ca
= biaya pasokan air permukaan (US$/m3)
to_infa
= jumlah air irigasi yang digunakan per bulan (m3)
pumpa
= jumlah air tanah yang dipompa (m3)
ppumpa = biaya pemompaan air tanah (US$/m3) Net benefit penggunaan air oleh rumah tangga yang diturunkan dari invers fungsi permintaan air diestimasi dengan fungsi double log yaitu pendapatan (I) dan harga air (P mwd ) merupakan variabel bebas dan permintaan air oleh rumah tangga (mwd) merupakan variabel tak bebas. Rumah tangga yang berlangganan air minum dengan yang tidak berlangganan diestimasikan secara terpisah.
49
ln (mwd )= a + b ln (I )- e×ln (Pmwd )
(3)
dimana: mwd
=
permintaan air per kapita (m3/kapita)
α
=
konstan
I
=
pendapatan per kapita (US$/kapita/bulan)
P mwd
=
harga air (US$/m3)
β
=
elastisitas pendapatan
ε
=
elastisitas permintaan
Dari invers fungsi permintaan di atas untuk mendapatkan invers demand atau kurva willingness to pay akan diperoleh tingkat konsumsi minimum (mwd 0 ). Nilai ini dapat diperoleh dari survei ataupun dari syarat yang ditetapkan World Health Organization (WHO). Unttuk itu, dalam penelitian ini digunakan permintaan air aktual. Pendekatan consumer surplus (CS) diperoleh dari pengintegrasian fungsi permintaan air dengan fungsi permintaan invers dari mwd dan mwd 0 untuk mengestimasi surplus konsumen dikurangi dengan harga yang dibayar konsumen. Fungsi benefit penggunaan air domestik adalah sebagai berikut:
CS = VM (mundm)= e(
a e)
å urban , rural , pd , pop
×I ( 1- 1
(
b e)
)
e
{
}
(1- 1 ) (1- 1 ) × mwd (mundm) e - mwd 0 (mundm) e
(4)
- mwd (mundm)* Pmwd
dimana: CS
= surplus konsumen (juta US$)
mwd
= permintaan air per kapita (m3/kapita), dipisahkan antara air tanah dan air permukaan
mwd 0
= permintaan air normal per kapita (m3/kapita)
P mwd
= harga air di kota dan desa, air tanah dan permukaan (US$/m3)
e
= bilangan natural (e = 2.71828)
50
Sebagaimana penggunaan air domestik, penggunaan air sektor industri merupakan input bagi sektor industri tersebut dan menghasilkan produk yang dapat dijual di pasar. Dalam mengindentifikasi fungsi produksi setiap sektor industri, dialami hambatan sehingga penggunaan air sektor industri menggunakan pendekatan permintaan air sebagaimana yang digunakan dalam penggunaan air domestik, dengan melihat hubungan antara air yang diminta dengan harga air baku. Net benefit sektor industri (VI) merupakan benefit yang dihasilkan karena pemakaian air sektor industri, sama halnya dengan permintaan air domestik, merupakan consumer surplus. ln (iwd )= m- q ln (Piwd )
(5)
dimana: iwd
= permintaan air sektor industri (m3/bulan)
θ
= elastisitas permintaan air sektor industri
P iwd
= harga air sektor industri (US$/m3)
( µ θ ) e * iwd (1− 1θ ) − iwd (1− 1θ ) n θ VI ( indm ) = ∑ 1 − 1 θ indm , pd − ( iwd * Piwd (t ) )
(
)
(6)
dimana: VI
= net benefit penggunaan air sektor industri
µ
= konstanta penggunaan air sektor industri
iwd θ
= permintaan normal air sektor industri (m3/bulan)
e
= bilangan natural (e = 2.71828)
Produksi listrik diestimasikan dengan menentukan efisiensi pembangkit tenaga listrik dengan data penyaluran dan produksi listrik harian. Profit produksi listrik (VP) dihitung dengan fungsi linier, produksi listrik (pow) dikalikan dengan selisih harga listrik (pp) dan biaya produksi per pembangkit listrik (pc).
51
VP ( pw)= Pow ( pw)×{ pp ( pw)- pc ( pw)}
(7)
Pasokan air terkendala oleh keseimbangan air dalam sistem, permintaan air ditetapkan endogen dalam model yang didasarkan pada hubungan fungsional antara air dan penggunaan air produktif pada sektor pertanian, irigasi, domestik, sektor industri dan pembangkit listrik tenaga air. Penggunaan air sebagai dasar tujuan memaksimisasi benefit ekonomi, yang merupakan akumulasi penggunaan air pada sektor-sektor pemakai air. Selain air disalurkan untuk memenuhi permintaan, lingkungan mensyaratkan aliran minimum yang dipertahankan di seluruh jaringan, guna pemeliharaan saluran dan pengendalian interupsi air laut. Aktivitas alokasi
air
kendalanya
oleh
beberapa
kondisi,
antara
keseimbangan, transfer air dan kapasitas saluran bendung ataupun waduk. Selain menghitung alokasi optimal bagi pengguna, model DNRB juga menghitung daya listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik, dimana pembangkit listrik tersebut ada di beberapa tempat. Daya listrik yang dihasilkan merupakan fungsi dari tinggi air yang disalurkan melewati turbin, dan untuk menghitung daya listrik yang diproduksi, terlebih dahulu dihitung efisiensi pembangkit listrik yang dihitung berdasarkan data harian daya listrik yang diproduksi berdasarkan tinggi muka air yang dialirkan.
pw _ effi ( pwst ) =
power ( pwst ) *1000 Q( pwst ) * ( h( pwst ) − h0 ( pwst ) ) * 24 *9.8
dimana: Q
=
aliran yang melalui turbin (m3)
h
=
tinggi turbin (m)
h0
=
tinggi tail water (m)
(8)
52
2.6.3
Model Alokasi Air untuk Wilayah Jakarta Model alokasi air untuk wilayah Jakarta dikemukakan oleh Syaukat
(2000), dengan fungsi tujuannya menghitung present value net social benefit pada Perusahaan Air Minum (PAM) Jakarta dan semua pemakai air dari penyediaan dan konsumsi sejumlah air pipa dan air tanah, biaya netto, dan privatisasi PAM dengan kendala aspek hidrolis dan ekonomis dari pasokan dan konsumsi serta infrastruktur PAM. Net social benefit adalah perbedaan antara total benefit dari konsumsi air dan total biaya penyediaan sejumlah air, total benefit yang diterima dan total biaya yang dikeluarkan PAM Jakarta dan pemakai air. Present value net social benefit sama dengan penjumlahan total benefit pemakai air dan total benefit PAM Jaya dikurangi total biaya konsumsi pemakaian air pipa dan air tanah untuk semua pemakai air dan total biaya produksi air PAM. Present value net social benefit menggambarkan perbedaan antara total benefit untuk semua pemakai air dan total biaya produksi air pipa dan pengambilan air tanah. Present value net social benefit pada horison waktu digambarkan pada persamaan berikut. NS (Byijk ( t ) , gijk ( t ) ,V ( t ) , S ( t ) , K1 ( t ) , K 2 ( t ) , I1 ( t ) , I 2 ( t ) , q ) = 2 5 3 dijk 2 yijk ( t ) ∑∑∑12 nijk ( t ) cijk yijk (t ) − 2 =i 1 =j 1 =k 1 3 8 3 d + ∑∑∑12 nijk ( t ) cijk yijk (t ) − ijk gijk ( t )2 =i 3=j 6=k 1 2 cijk ( yijk ( t ) + gijk ( t ) ) 6 15 3 ∞ t β + ∑∑∑12 nijk ( t ) d ∑ 2 ijk t =0 =i 4=j 9=k 1 ( yijk (t ) + gijk (t ) ) − 2 6 15 3 6 15 3 ϕijk −ψ ijk −∑∑∑12 nijk ( t )ηijk S ( t ) gijk ( t ) − ∑∑∑12 nijk ( t ) FCwellijk k 1 =i 1 =j 1 = =i 1 =j 1 =k 1 θ −γ −κ α K1 ( t ) V ( t ) + tK 2 ( t ) − {I ( t ) + I ( t )} − FC ( t ) 12 1 2 PAM ω − K (t ) ( ) ζ 1 − e 2 V ( t ) + q Vt
(
)
−
(9)
53
dimana: g ijk (t) y ijk (t)
= volume pengambilan air tanah bulanan untuk masing-masing kategori pemakai air = volume konsumsi air pipa bulanan untuk masing-masing kategori pemakai air
V(t)
= volume air baku bulanan yang diproses PAM Jaya
S(t)
= sisa stok air tanah di akuifer pada setiap tahun t
Q
= harga air baku per meter kubik
η,ϕ,ψ
= parameter fungsi biaya pemompaan air tanah
α,γ,θ
= parameter fungsi biaya pengolahan air
ι,κ,ω
= parameter fungsi biaya distribusi air
FC PAM
= biaya tetap tahunan PAM Jaya
FC well
= biaya tahunan dan pemompaan
c ijk , d ijk
= parameter fungsi marjinal benefit
I 1 (t)
= biaya investasi fasilitas pengolahan air pada tahun t
I 2 (t)
= biaya investasi fasilitas distribusi air pada tahun t
K1 (t)
= stok modal fasilitas pengolahan air pada tahun (t)
K2 (t)
= stok modal fasilitas distribusi air pada tahun t
e
= bilangan natural (e = 2.71828)
τ
= parameter stok modal fasilitas perlakuan air
ζ
= konstanta, lebih kecil dari 1
β
= diskon faktor, didefinisikan sebagai [1 / (1 + r)], dimana r adalah tingkat suku bunga waktu, 0 < r < 1 = jumlah bulan dalam setahun, untuk mengkonversikan benefit dan biaya dari bulanan menjadi tahunan
12
Present value net social benefit menggambarkan penjumlahan dari konsumen surplus dan produser surplus digabungkan dengan konsumsi dan pasokan air. Ketika fungsi benefit dan biaya konstan terhadap waktu, surplus konsumen dan produsen dapat diubah dengan konsumsi air yang disalurkan. Jika surplus konsumen dan produser dianggap sama penting, perencana sosial akan memaksimumkan net benefit melalui pemilihan tingkat optimal konsumsi air pipa y ijk (t) dan air tanah g ijk (t), volume air baku yang diolah V(t) dan investasi fasilitas
54
pengolahan air dan distribusi, I 1 (t) dan I 2 (t), dengan kendala pada sistem pasokan dan konsumsi air. Di bawah solusi perencana net social benefit dapat dimaksimumkan, sebagai implikasi kondisi pareto yang efisien. Kendala dalam model optimasi ini sebagai berikut: 1. Total Piped Water Consumption 6
15
2
∑∑∑η
=i 1 =j 1 = k 1
ijk
(t ) yijk (t ) ≤ z (t )V (t )
(10)
2. Groundwater Stock Equation of Motion 2
6
15
2
S ( t + 1= ) S ( t ) + ∑ Rk ( t ) − ∑∑∑12 nijk ( t ) gijk ( t ) =i 1
(11)
=i 1 =j 1 = k 1
dimana: S(t+1),S(t) = stok sisa air tanah di akuifer pada tahun t + 1 dan t Rk(t)
= tingkat recharge tahunan pada akuifer di wilayah k diasumsikan konstan
12
= jumlah bulan dalam setahun, untuk mengkonversi pengambilan air tanah bulanan menjadi tahunan
3. Capital Stock Equation of Motion K1 ( t + 1= ) I1 ( t ) + (1 − δ1 ) K1 ( t )
(12)
K 2 ( t + 1= ) I 2 ( t ) + (1 − δ 2 ) K 2 ( t )
(13)
dimana: K1 (t)
= total stok modal perusahaan pengolahan air pada tahun t
K2 (t)
= total stok modal fasilitas distribusi air pada tahun t
I 1 (t)
= investasi baru perusahaan pengolahan air pada tahun t
I 2 (t)
= investasi baru dalam fasilitas distribusi air pada tahun t
δ2
= tingkat depresiasi modal fasilitas distribusi air, suatu konstanta = tingkat depresiasi modal perusahaan pengolahan diasumsikan konstan
δ1
air,
4. Capacity of Water Treatment Facilities V ( t= ) v0 + v1K1 ( t )
(14)
55
dimana: V(t)
= kapasitas pengolahaan air baku (juta m3/bulan)
K1 (t)
= stok modal fasilitas pengolahan air
V 0, v 1
= parameter fungsi
5. 1) Efficiency of Water Distribution adalah sebagai berikut: z (t ) = (1 − IPL ( t ) ) (1 − NRW ( t ) )
(15)
2) Efisiensi distribusi air z(t) didefinisikan sebagai berikut ini:
(
z (= t ) ζ 1 − e −τ K2 ( t )
)
(16)
dimana: z(t)
=
koefisien efisiensi distribusi air
K2 (t)
=
stok modal fasilitas distribusi air dalam tahun t (Rp juta)
e
=
bilangan natural (e = 2.71828)
τ
=
koefisien stok modal fasilitas distribusi air 0 < τ < 1
ζ
=
konstanta lebih kecil dari satu
Volume air bersih yang dibayar, pada beberapa tahun, W(t) didefenisikan dalam persamaan, W(t) dalam juta m3 sebagai berikut ini:
(
)
W (= t ) z ( t ) V (= t ) ζ 1 − e −τ K2 ( t ) V ( t )
(17)
6. Kendala lainnya, sebagai berikut ini: V (0)
= V0
kapasitas awal pengolahan air
K1 ( 0 ) = K10
stok modal awal perusahaan pengolah air
K 2 ( 0 ) = K 20
stok modal awal jaringan distribusi air
S (0)
stok awal air tanah di akuifer
= S0
V (T ) =
free fasilitas pengolahan air pada akhir tahun (tahun 2025)
K1 (T ) =
free stok modal fasilitas pengolahan air pada akhir tahun
K 2 (T ) =
free stok modal jaringan distribusi air pada akhir tahun
56
S (T ) =
free stok air tanah pada tahun terakhir
yijk ( t ) , gijk ( t ) , I1 ( t ) , I 2 ( t ) = variabel-variabel positif 2.6.4
Model Pengelolaan Sumberdaya Air di Wilayah Tangkapan Air Bendungan Sutami dan Sengguruh Model pengelolaaan sumberdaya di wilayah tangkapan air bendungan
Sutami dan Sengguruh yang dikembangkan Dwiastuti (2005) bertujuan (1) menganalisis alokasi optimal intertemporal dari lahan budidaya intensif, (2) mengestimasi nilai ekonomi dampak eksternalitas erosi dari pengelolaan lahan budidaya terhadap ketebalan lapisan tanah dan kapasitas tampungan waduk, dan (3) mengevaluasi dampak perubahan harga komoditas, tingkat bunga dan pengurangan konversi lahan hutan menjadi lahan budidaya intensif terhadap variabel keputusan dan nilai ekonomi dampak eksternalitas erosi. Fungsi tujuannya adalah sebagai berikut: Max MSB (Xijk(t), Sik(t), Wol(t), Vkpl(t)) = 6 25 5 SD X ijk (t ) * Pc (t )(ai + b1i )(1 − R jk ) − CFij (t ) + =i 1 =j 1 =k 1
∑∑∑
(18)
2 ∗ PE1 ∗ {1.22 ∗ Wo1 (t )} + 3 ∗ PE2 ∗ {2.46 ∗ Wo2 (t )} +
9.07 ∗ PI ∗ Wo2 (t ) + 0.65 ∗ PM ∗ Wo2 (t ) − CK * Vks1 (t )
dimana: MSB
=
net social benefit (Rp juta/tahun)
X ijk (t)
=
luas areal lahan komoditas/pola tanam ke-i pd kemiringan ke-j, sub sub DAS ke-k pada tahun t (ha)
P C (t)
=
harga komoditas pada tahun t per ton (Rp juta)
S ik (t)
=
ketebalan lapisan olah dari paket pola tanam ke-i pada sub sub DAS ke-k pada tahun t (cm)
CF ij (t)
=
biaya usaha tani per ha dari pola tanam ke-i pada kemiringan ke-j pada tahun t (Rp juta/ha)
Wo 1 (t)
=
debit outflow operasi bulanan waduk Sengguruh tahun t (m3/detik)
57
Wo 2 (t)
=
PE l
=
debit outflow operasi bulanan waduk Sutami tahun t (m3/detik). harga energi listrik (Rp/kWh)
PI
=
nilai air baku untuk pengairan (Rp/m3)
PM
=
harga air baku untuk sektor industri (Rp/m3)
CK
=
biaya pengerukan (Rp/m3)
Vks 1 (t)
=
volume sedimen yang dikeruk pada tahun t (106 m3)
SD
=
kedalaman lapisan tanah (cm)
R
=
estimasi parameter fungsi respon SD
a,b 1
=
koefisien regresi fungsi produksi (ton/ha)
i
=
klasifikasi jenis tanah, 1 = sawah I, 2 = sawah II, 3 = tegal I, 4 = tegal II, 5 = kebon I, dan 6 = kebon II
j
=
paket pola tanam
k
=
wilayah sub sub DAS, 1 = Bango, 2 = sumber Brantas, 3 = Amprong, 4 = Lasti, dan 5 = Metro
l
=
jenis waduk/ pembangkit listrik tenaga air,1 = Sengguruh, dan 2 = Sutami
Vkp l (t)
=
kapasitas waduk ke-l pada tahun t (106 m3)
Manfaat air baku dari waduk yang dipertimbangkan dalam model terdiri atas nilai outflow waduk yang dioperasikan untuk (1) pembangkit listrik tenaga air, (2) irigasi atau pengairan, dan (3) sektor industri. Manfaat air untuk pembangkit listrik tenaga air didasarkan pada pendekatan manfaat langsung (direct benefit) air sebagai input utama, yaitu melalui pengukuran manfaat kotor (gross benefit) dari produsen (Unit Pembangkitan Brantas). Pertimbangan pemilihan pendekatan tersebut pertama, dalam praktek perhitungan manfaat langsung dapat dianggap sama dengan manfaat kotor, biaya alternatif dan manfaat bersih (Perusahaan Umum Jasa Tirta I, 2002). Kedua, harga energi listrik di tingkat produsen mencerminkan beberapa komponen biaya, yaitu mulai dari biaya investasi hingga biaya operasi dan pemeliharaan daerah tangkapan air.
58
Secara teknis, kuantitas produksi daya listrik dari setiap turbin ditentukan berdasarkan rumus berikut: D = g ∗ η ∗ Wo ∗ H ef
(19)
dimana: D
= daya yang dibangkitkan (watt) yang dihasilkan suatu turbin dalam kurun waktu satu detik
Wo
= debit pembangkitan (m3/detik)
H ef
= tinggi jatuh efektif (m)
g
= grafitasi (9.8 m2/detik)
η
= efisiensi turbin dan generator
Dalam pendugaan kuantitas daya yang dibangkitkan oleh setiap turbin, dipergunakan tinggi jatuh efektif (H ef) dan efisiensi (η) pada tingkat tertentu. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa variasi tinggi jatuh efektif (H ef) sangat berperan terhadap kuantitas daya yang dibangkitkan pada periode (decision stage) bulanan selama kurun waktu (time horizon) satu tahun. Periode keputusan dan kurun waktu yang diterapkan pada penelitian ini adalah tahunan dan selama 17 tahun (2003 hingga 2020). Tinggi jatuh efektif (H ef ) pembangkit listrik tenaga air Sengguruh sebesar selisih antara elevasi tertinggi (292.50 m) dan elevasi dasar sungai (264 m); pada pembangkit listrik tenaga air Sutami adalah selisih antara rata-rata tinggi muka air waduk (MAW) selama musim kemarau tahun 2002 sampai dengan musim penghujan tahun 2003 (sebesar 267.31 m) dan menggunakan tail race (TWL) yang diterapkan oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta I. Pola operasi Waduk Sengguruh bersifat harian maka pendugan produksi energi listrik dalam kurun waktu satu hari didasarkan pada perkalian antara daya
59
yang dibangkitkan dan waktu yang dipakai untuk operasi. Pendugaan rata-rata waktu yang dipakai untuk operasi harian didasarkan pada waktu operasi sepuluh harian selama kurun waktu dari bulan Juni 2002 hingga Mei 2003. Adapun ratarata waktu yang dipakai untuk operasi adalah 13.31 jam per hari. Dengan mengaplikasikan persamaan pada efisiensi turbin dan generator (η) sebesar 0.90, maka didapatkan produksi energi listrik setiap turbin pada pembangkit listrik tenaga air Sengguruh selama satu hari sebesar: q 1 = (9.8 ∗ 0.9 ∗ Wo 1 ∗ Hef1 ∗ 13.31)
(kWh)
(20) Pembangkit listrik tenaga air Sengguruh memiliki dua unit turbin serta tinggi jatuh efektif (H ef) pembangkit listrik tenaga air Senguruh adalah 28.50 m, sehingga total produksi energi listrik dari waduk Sengguruh dalam periode satu tahun adalah: TE 1
= (365 ∗ 2 ∗ 3 345.73 ∗ Wo 1 )
(kWh)
(21)
= 2 ∗ (1.22 ∗ Wo 1 )
(gWh)
(22)
Sementara itu, pola operasi waduk Sutami bersifat tahunan sehingga pada pendugaan produksi energi listrik mempertimbangkan fenomena baik debit pada waktu beban puncak (P peak ) maupun beban dasar (P off). Berdasarkan data produksi beban puncak (P peak ) dan beban dasar (P off) pada musim kemarau tahun 2002 dan musim penghujan tahun 2003 dapat diperoleh informasi bahwa: 1.
Rata-rata produksi beban puncak (operasi lima jam per hari) sebesar 84 persen bila dibandingkan dengan beban puncak potensial (105 MW per detik).
60
2.
Rata-rata produksi beban dasar (operasi 19 jam per hari) sebesar 25 persen beban puncak potensial (105 MW per detik).
Persentase tersebut lebih lanjut dipergunakan sebagai dasar perumusan pendugaan produksi energi listrik dari pembangkit listrik tenaga air Sutami yang mempertimbangkan fenomena baik debit pada waktu beban puncak (P peak ) maupun beban dasar (P off). Berdasarkan persamaan di atas dan η = 0.90, maka didapatkan pendugaan total energi dari setiap turbin dalam satu hari sebesar: q 2 = (9.80 ∗ 0.90 ∗ 5 ∗ 0.84 ∗ Wo 2 ∗ H ef2 ) + (9.80 ∗ 0.90 ∗ 19 ∗ 0.25 ∗ Wo 2 ∗ H ef2 ) = (9.80 ∗ 0.90 ∗ 8.95 ∗ Wo 2 ∗ H ef2 ) = (78.94 ∗ Wo 2 ∗ H ef2 )
(kWh)
(23)
Pada pembangkit listrik tenaga air Sutami terdapat tiga unit turbin dan rata-rata tinggi muka air waduk (MAW) selama musim kemarau tahun 2002 sampai dengan musim penghujan tahun 2003 sebesar 267.31 meter. Tinggi jatuh efektif (H ef) pembangkit listrik tenaga air Sutami sebesar 85.41, dengan menggunakan tail race (TWL) setinggi 181.90 m sehingga Nilai Produk Total (TVP = Total Value Product) energi listrik waduk Sutami dalam satu tahun sebesar: TE 2 = 3 ∗37 ∗ (78.94 ∗ Wo 2 ∗ 85.41) = 3 ∗ (2.46 ∗ Wo 2 )
(kWh) (gWh)
(24) Manfaat air baku yang lain dari waduk adalah nilai untuk pengairan dan sektor industri. Karena Iuran Pengelolaan Air Irigasi (IPAIR) yang ditetapkan
61
Pemerintah Daerah Tingkat II kurang mencerminkan harga air baku untuk irigasi, penentuan nilai air baku untuk pengairan dikembangkan dari factor income method (FIM) sebagaimana yang diuraikan oleh Chutubtim (2001). Metode tersebut dipergunakan untuk mengestimasi dampak proyek sebagai input dari produksi sehingga nilai air irigasi didekati dengan tambahan penerimaan (incremental income earned). Dengan demikian, harga air baku untuk pengairan dalam penelitian ini diduga berdasarkan rumus sebagai berikut: hp =
Pk (Ytp / Yp )
(25)
Ap
dimana: hp
= harga air air baku untuk pengairan (Rp/m3)
Pk
= harga komoditas padi (Rp ribu/ton)
Ytp /Yp
= proporsi perbedaan produktivitas antara pengairan dan tanpa pengairan (ton/ha)
Ap
= volume kebutuhan air irigasi tanaman padi (m3/ha)
Nilai satuan air untuk irigasi tersebut dianggap telah mencerminkan manfaat dari investasi sekaligus biaya operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana pengairan. Proporsi perbedaan produktivitas antara padi dengan pengairan dan tanpa pengairan didekati dengan rasio antara produktivitas padi sawah dan padi tegal. Hal tersebut dilakukan karena hasil kajian secara spesifik tentang perbedaan produktivitas dengan pengairan dan tanpa pengairan relatif sulit didapatkan. Manfaat air baku untuk pengairan merupakan hasil kali antara harga air persatuan dan kuantitas air waduk yang dipergunakan untuk pengairan. Volume air untuk pengairan
didekati dengan besarnya sumbangan outflow Sutami
terhadap air baku untuk pengairan.
62
Sementara itu, pendugaan manfaat air baku Waduk Sutami untuk sektor industri sebesar hasil kali antara harga air sektor industri dan sumbangan outflow Waduk Sutami terhadap alokasi air baku untuk sektor industri. Harga air baku yang didistribusikan untuk sektor industri didasarkan pada tarif yang merupakan hasil kesepakan antara pihak otorita dengan pengguna, yaitu sebesar Rp60 per m3 (Perusahaan Umum Jasa Tirta I, 2003). Disadari bahwa tingkat tarif tersebut baru mencerminkan komponen biaya operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana, sehingga belum mempertimbangkan biaya investasi. Namun, karena keterbatasan peneliti dalam pengumpulan data dan kesulitan perhitungan nilai satuan air untuk sektor industri, manfaat air untuk penggunaan sektor industri didasarkan pada tarif tersebut. 2.6.5
Model Pengelolaan Sumberdaya Air Dalam Kompetisi Antar Sektor di Wilayah Hilir Daerah Irigasi Jatiluhur Model Integrasi Ekonomi dan Hidrologi Daerah Irigasi Jatiluhur (Model
DIJ) dibangun dari beberapa model yang telah ada, dengan beberapa perubahan sesuai dengan kondisi yang ada di Daerah Irigasi Jatiluhur. Model DIJ yang dikembangkan oleh Katiandagho (2007) merupakan model ekonomi dengan mempertimbangkan
pengaruh
hidrologis.
Fungsi
tujuannya
adalah
memaksimumkan net social benefit dari alokasi air ke sektor pertanian, domestik dan sektor industri dengan menggunakan pendekatan optimasi dinamik. Pendekatan dinamik yang dipilih sebab kondisi sumberdaya air yang selalu berubah menurut waktu (Conrad 1999). Net social benefit merupakan kumulatif net benefit sektor pertanian, net benefit PDAM, net benefit sektor industri, dan net benefit Perusahaan Umum Tirta II.
63
max NSB ( X ijk (t ) ) = NBPRT (t ) + NBPDAM (t ) + NBIND (t ) + NBJT (t )
(26)
Net benefit sektor pertanian merupakan selisih total penerimaan dengan biaya total selama satu musim tanam. Total penerimaan sektor pertanian merupakan perkalian antara luas areal panen dikalikan dengan produktivitas padi dan harga gabah kering di tingkat petani, total biaya sektor pertanian (TBA jkm ) meliputi biaya untuk pupuk, pestisida dan herbisida, tenaga kerja termasuk hewan dan mesin yang digunakan, adapun biaya air irigasi dipisahkan dari total biaya input lain. 1
5
10
8
2
{YAjkmn * PPD } - {TBAjkn } - { X 1jkmn (t)* PIR }
NBPRTn = ∑∑∑∑∑ L j kn * i=1 j=1 k=1 m=1 n=1
(27)
dimana: L jkn
= luas areal irigasi pada sawah j wilayah k musim tanam n
YA jkn
= produktivitas padi aktual pada sawah j wilayah m musim tanam n
P PD
= harga padi (Rp ribu/ha)
TBA jkn
= total biaya pada sawah j wilayah k musim tanam n
X 1jkmn (t) = banyaknya air irigasi pada sawah j, wilayah k, aktivitas tanam m, musim tanam n (m3/dua minggu) P IR
= harga air irigasi
1
= sektor pertanian
j
= golongan sawah j = 1, 2, ..., 5
k
= wilayah, k = 1,2,...,8; 1 - wilayah Curug, 2 - wilayah Cibeet A, 3 - wilayah Cibeet B, 4 - wilayah Cikarang A, 5 wilayah Cikarang B, 6 - wilayah Bekasi A, 7 - wilayah Bekasi B dan 8 - wilayah Bekasi C
m
= tahap pertumbuhan, m = 1, 2, ..., 10 untuk setiap golongan sawah
n
= musim tanam, n = 1, 2
64
Dalam model ASDIJ, air dianggap sebagai salah satu input karena tanpa adanya air irigasi produktivitas tanaman akan menurun, terutama untuk tanaman padi sawah. Meskipun pada kondisi riil petani tidak diwajibkan membayar air irigasi yang diterimanya kepada Perusahaan Umum Jasa Tirta II, sebagai salah satu input untuk memperolehnya petani dianggap membayar setiap meter kubik air yang diterimanya, harga air irigasi yang dipakai adalah harga air irigasi yang ditetapkan JICA diacu dalam Ringler et al. (2004), yaitu Rp5 per meter kubik. Net benefit domestik (NB PDAM ) merupakan benefit yang dihasilkan dari pemakaian air baku oleh perusahaan daerah air minum.
Fungsi net benefit
perusahaan daerah air minum diturunkan dari formula yang dikemukakan Syaukat (2000) dengan beberapa penyesuaian. Total penerimaan perusahaan daerah air minum (TR PDAM ) merupakan pengeluaran pelanggan perusahaan daerah air minum untuk pembayaran pemakaian air bersih yang telah dikonsumsi per setengah bulan adalah sebagai berikut: 2
TRPDAM (t ) =
8
8
å å å {cwc j * X 2 jk (t ) * PCW j }
(28)
i= 2 j = 6 k = 1
Total biaya perusahaan daerah air minum (TC PDAM ) merupakan penjumlahan biaya pengolahan air baku, biaya distribusi per setengah bulanan. Total biaya perusahaan daerah air minum adalah sebagai berikut: ïìï (1/ efo )* ktbo * X (t ) kfbo + ïü ïï 2 jk j ï ïï 2 8 8 ïï TCPDAM (t ) = å å å ïí (1/ efd j )* ktbd * X 2 jk (t ) kfbd + ïý ïï i= 2 j = 6 k = 1ïï ïï ïï ïï (X 2 jk (t ) * PWD j ) ïï î þ
( (
) )
Net benefit perusahaan daerah air minum sebagai berikut:
(29)
65
é{cwc * X (t ) * PCW } ù j 2 jk j ê ú ê ú kfbo êïì ú + ïïüú 2 8 8 êïï (1/ efo j )* ktbo * X 2 jk (t ) ï ê ú ïï NBPDAM (t ) = å å å nd jk * êïï ú kfbd ï + ïýú i= 2 j = 6 k = 1 êíï (1/ efd j )* ktbd * X 2 jk (t ) ïï ú êï ïï ú êïï êïï (X 2 jk (t ) * PWD j ) ïï ú þû ëî
( (
) )
(30)
dimana: X 2jk
= volume air bersih yang diambil pelanggan perusahaan daerah air minum per golongan per wilayah (m3/dua minggu)
PCW j
= harga air bersih perusahaan daerah air minum per meter kubik (Rp/m3)
PWD j
= harga air baku per meter kubik per golongan PDAM (Rp/m3)
efo j
= efisiensi pengolahan air pada perusahaan daerah air minum golongan j
efd j
= efisiensi distribusi air pada perusahaan daerah air minum golongan j
ktbo
= konstanta biaya pengolahan air bersih
ktbd
= konstanta biaya distribusi air bersih
kfbo
= koefisien biaya pengolahan air baku
kfbd
= koefisien biaya distribusi air bersih
cwc
= koefisien konversi air baku menjadi air bersih
Net benefit sektor industri (NB IN ) didekati dengan menggunakan consumer surplus. Pendekatan ini dilakukan karena sulitnya mengelompokkan jenis sektor industri serta kebutuhan air setiap jenisnya sehingga pendekatan yang dilakukan dengan melihat permintaan air sektor industri dipengaruhi oleh harga air sektor industri. ln( X 3 jk ) = µ - θ ln ( PWI ) dimana: X 3jk
= permintaan air sektor industri (m3/dua minggu)
μ
= konstanta permintaan air sektor industri
θ
= elastisitas permintaan air sektor industri
(31)
66
PWI
= harga air industi (Rp/m3)
Berdasarkan nilai X 3 , PWI, estimasi θ,dan konstanta μ dapat dihitung net benefit dari pemakaian air sektor industri yang didekati dengan consumer surplus sebagai berikut: m 1- 1 ) e( q ) (1- 1 q ) ( q 11 8 * X 3jk (t) - X 3jk0 NBIND ( t ) = ∑∑ ni jk * 1- 1 q j=9 k=1 - X (t)* PWI (t) } 3jk { 3jk
(
)
(32)
dimana: NB IND (t) = net benefit pemakaian air sektor industri (Rp Juta/dua minggu) X 3jk (t)
= permintaan air sektor industri golongan j wilayah k (m3/dua minggu)
X 3jk0
= permintaan normal air sektor industri golongan j wilayah k (m3/dua minggu)
PWI jk
= harga air sektor industri golongan j di wilayah k (Rp/m3)
μ
= konstanta
θ
= elastisitas permintaan air sektor industri
e
= bilangan natural (e = 2.71828)
Net benefit Perusahaan Umum Jasa Tita II merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan dari penyaluran air ke sektor pemakai air. Total penerimaan Perusahaan Umum Jasa Tita II merupakan total biaya yang harus dikeluarkan oleh sektor pemakai air untuk memperoleh air baku. Total biaya yang dikeluarkan oleh Perusahaan Umum Jasa Tita II adalah total biaya yang dikeluarkan untuk mendistribusikan air, yang terdiri dari biaya distribusi dan pemeliharaan saluran.
67
éìï 5 7 ü ü ïï ìïï 8 7 ïï ù êï ú íê å å (X1, j,k (t ))* PIR ý +í å å (X 2,j,k (t ))* PDO j ý +ú ïêï j= 1 k= 1 ïï ïï j= 6 k= 1 ïï ú þ î þ ú TRJT (t )= êî êïì 11 7 ú ïü êï ú ï êíï å å (X 3,j,k (t ))* PIN (t )ýï ú ê ú ï þ ëîï j= 9 k= 1 û
(33)
bd ù é ì 3 11 8 ö 3 11 8 ïïü æ ê ïï ú ÷ ç ÷ TBJT (t )= êbt * í å å å (X i , j ,k )ý + ççå å å (X i , j ,k )÷ ú ÷ ïï çèi= 1 j= 1 k = 1 ê ï ú ÷ ø ú þ ê îï i= 1 j= 1 k = 1 ë û
(34)
NBJT (t )= TRJT (t )- TBJT (t )
(35)
dimana: TR JT (t)
= total penerimaan Jasa Tirta (Rp juta/dua minggu)
TB JT (t)
= total biaya Jasa Tirta (Rp juta/dua minggu)
NB JT (t) = net benefit Jasa Tirta (Rp juta/dua minggu) X 1,j,k (t)
= air irigasi yang diambil sektor pertanian (m3/dua minggu)
X 2,j,k (t)
= air baku yang diambil PDAM dan PAM DKI (m3/dua minggu)
X 3,j,k (t)
= air yang digunakan sektor industri (m3/dua minggu)
P IR (t)
= harga air irigasi (Rp/m3)
P DO (t)
= harga air baku untuk PDAM dan PAM DKI (Rp/m3)
P IN (t)
= harga air untuk sektor industri (Rp/m3)
bt
= koefisien biaya operasi
bd
= koefisien biaya distribusi
Net social benefit merupakan kumulatif dari net benefit Perusahaan Umum Jasa Tirta II dan net benefit dari sektor pemakai air selama satu tahun. Net social benefit diformulasikan sebagai berikut:
68
NSB ( X ijkmn (t ) ) =
1 5 8 10 2 ρ t ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ L j kn * {YA jkmn * PPD } - {TBA jkn } - { X 1jkmn (t)* PIR } + i=1 j=1 k=1 m=1 n=1 {cwc j * X 2jk (t)* PCW j } 2 8 8 ( ( 1/efo j ) * ktbo* X 2jk (t)kfbo ) + ∑ ∑ nd jk * 1/efd * ktbd * X (t)kfbd + + ∑ i=2 j=6 k=1 ( ( ) j ) 2jk X (t)* PWD ( ) 2jk j ( m q ) 11 8 (1- 1 q ) e (1- 1 q ) ∑ ∑ ni jk * * X 3jk (t) - X 3jk0 - { X 3jk (t)* PWI 3jk (t)} + j=9 k=1 1- 1 q 5 7 8 7 X 1, j,k ( t ) * PIR + ∑∑ X 2,j,k ( t ) * PDO j + =∑∑ =j 6 = j 1= k 1 k 1 3 11 8 bt * ∑∑∑ X i , j , k + 11 7 =i 1 =j 1 =k 1 ∑∑ X 3,j,k ( t ) * PIN ( t ) − bd 3 11 8 j=9 k =1 ∑∑∑ X i , j , k = = = i j k 1 1 1
)
(
(
)
(
(
)
)
(
(
)
(36)
)
Pengelolaan air Daerah Irigasi Jatiluhur berbeda dengan pengelolaan di berbagai wilayah seperti yang telah diuraikan sebelumnya, yang pengelolanya merupakan badan usaha milik pemerintah, penggunanya terdiri dari sektor pertanian, domestik, dan sektor industri, serta pembangkit listrik tenaga air (Katiandagho, 2007). Pengguna airnya dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok yang memandang air sebagai barang publik karena tidak dibebankan pembayaran atas air yang diterimanya dan kelompok yang memandang air sebagai barang ekonomi yang membayar sesuai dengan jumlah air yang diterimanya. 2.6.6
Matrik Model Pengelolaan Satuan Wilayah Sungai Model-model yang telah diuraikan di atas pada umumnya memperhatikan
benefit dari sisi pengguna, sedangkan dari sisi pengelola terutama pengelola badan usaha Pemerintah dengan kelompok pengguna yang berbeda belum dilakukan.
69
Penelitian ini akan membangun model pengelolaan sumberdaya air dari sisi pengelola dengan 5 kelompok pengguna yang berbeda. Keempat model di atas dapat dipetakan pada Tabel 2. Dengan dasar model yang telah dikembangkan dari keempat model tersebut, model yang akan dikembangkan adalah Model Alokasi Sumberdaya Air Daerah Irigasi Jatiluhur (Model ASDIJ) yang dikembangkan oleh Katiandagho (2007) dari beberapa model yang telah ada, dengan beberapa perubahan sesuai kondisi dengan yang ada di Daerah Irigasi Jatiluhur. Hal itu, merupakan model ekonomi dengan mempertimbangkan pengaruh hidrologis. Model Katiandagho dibatasi hanya pada subsistem Daerah Irigasi Jatiluhur, yaitu Tarum Barat. Salah satu menyarankan agar peneliti selanjutnya mengembangkan seluruh sistem Daerah Irigasi Jatilihur. Masalah harga air pada penelitian Katiandagho menyangkut masalah memaksimumkan net social benefit dari alokasi air ke sektor pertanian, domestik, dan sektor industri dengan menggunakan pendekatan optimasi dinamik. Tabel 2.
Matrik Perbandingan Model Pengelolaan Air Secara Ekonomi
Lokasi
Dong Nai River Basin Vietnam
Sistem PDAM DKI
Sungai Brantas
Subsistem Daerah Irigasi Jatiluhur
Penulis
International Food Policy Research Institute
Yusman Syaukat
Rini Dwiastuti
Kantiandagho
Tahun Penelitian
Tahun 2000
Tahun 2000
Tahun- 2005
Tahun 2007
Model Lokasi
Model di Dong Nai River, Vietnam
Model Alokasi Air di PAM DKI
Model Pengelolaan Sumberdaya Air di Wilayah Tangkapan Air Bendungan Sutami dan Sengguruh
Model integrasi Ekonomi dan Hidrologi di Daerah Irigasi Jatiluhur Bagian Barat
Pendekatan
Pendekatan Optimasi Dinamik
Pendekatan Optimasi Dinamik
Pendekatan Optimasi Dinamik
Lokasi
Wilayah Sungai Dong Nai
PDAM DKI
Wilayah Sungai Brantas
Pendekatan Optimasi Dinamik Wilayah Tarum Barat, sub sistem Daerah Irigasi Jatiluhur
Air Permukaan
Berkaitan air permukaan
Berkaitan air permukaan dan air bawah tanah Berkaitan air permukaan terintegrasi
Berkaitan air permukaan
70
Model Air
Model integrasi hidrolis dan ekonomi
Model integrasi air tanah dan air permukaan PAM DKI
Model pengelolaan sumberdaya air akibat sedimentasi
Model integrasi hidrolis dan ekonomi
Kepentingan
Kepentingan publik
Kepentingan Private
Kepentingan publik
Kepentingan publiksemi private
Kebutuhan
Sektor pertanian irigasi, pembangkit listrik tenaga air, municipal, sektor industri
Air pipa, air tanah untuk air minum DKI
Air permukaan untuk sektor pertanian irigasi, pembangkit listrik tenaga air, municipal, sektor industri
Air permukaan untuk irigasi sektor pertanian, PDAM, sektor industri
Penggunaan Air
Pengguna air tidak terukur
Pengguna air terukur (water meter)
Pengguna air tidak terukur
Pengguna air terukur (PAM) dan tidak terukur (sektor pertanian)
Harga Air
Harga air ditentukan
Harga air ditentukan
Harga air ditentukan
Harga air dicari dari sisi penawaran
Perhitungan
Menghitung net profit tahunan, akibat pemakaian air irigasi, municipal, sektor industri, pembangkit listrik tenaga air
Menghitung present value NSB antara pemakai air dan biaya produksi dan pengambilan air tanah
Menganalisis alokasi optimal intertemporal dari lahan dan dampaknya akibat eksternalitas
Menghitung NSB dari alokasi air ke sektor pertanian,PAM, dan sektor industri
Harga air bersih dihitung dari sisi pemasok/perusahaan
Harga air baku ditentukan dari sisi pengguna
Harga air baku ditentukan dari sisi pengguna
Harga Air Bersih
-
Dengan pendekatan dinamik seperti itu, harga air dalam penelitian ini diasumsikan tertentu. Tentang harga air telah dilakukan penelitian oleh Syaukat (2000) tetapi hanya menyangkut air minum di Perusahaan Air Minum
DKI
Jakarta. Jadi, yang akan dikembangkan penelitian ini adalah optimasi alokasi dan nilai air yang memberikan manfaa sosial bersih, baik pengguna maupun penglola dari sisi ekonomi dengan mempertimbangkan pengaruh hidrologis untuk seluruh sistem Daerah Irigasi Jatiluhur.