8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Model Pemecahan Masalah (Problem Solving)
Masalah pada dasarnya merupakan hal yang sangat sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Masalah dapat terjadi pada berbagai aspek kehidupan manusia. Masalah dapat dipecahkan dengan adanya tahapan-tahapan pada proses berpikir yang ilmiah. Untuk itu, diperlukannya pembelajaran yang dilakukan oleh guru dengan cara memecahakan masalah untuk melatih proses berpikir siswa menyelesaikan masalah dalam kehidupannya. Menurut Arends dalam Trianto (2010), dalam mengajar guru biasanya selalu menuntut siswa untuk belajar dan jarang memberikan pelajaran tentang bagaimana cara siswa untuk belajar, guru juga menuntut siswa untuk menyelesaiakan masalah, tetapi jarang mengajarkan bagaimana siswa seharusnya dapat menyelesaikan masalah.
Model pembelajaran dengan cara memecahkan masalah (problem solving) merupakan suatu model pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang dibutuhkan untuk penyelidikan yang membutuhkan penyelesaian yang nyata dari permasalahan yang nyata. Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran yang berlandaskan teori kontruktivisme. Kontruktivisme menurut Von Glasersfeld dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu (2001), “kontruktivisme juga menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita
9
peroleh adalah hasil konstruksi sendiri, maka sangat kecil kemungkinan adanya transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain”.
Hamalik (2001) mengemukakan bahwa problem solving adalah proses mental dan intelektual dalam menemukan masalah dan kesimpulan yang tepat dan cermat. Problem solving yaitu suatu pendekatan dengan cara problem identification untuk ketahap syntesis kemudian dianalisis yaitu pemilahan seluruh masalah sehingga mencapai tahap aplikasi selanjutnya comprehension untuk mendapatkan solution dalam penyelesaian masalah tersebut. Tentunya, dalam memberikan pembelajaran problem solving mempunyai proses serta tahapan-tahapan tertentu.
Tahap-tahap model problem solving (Depdiknas, 2008) yaitu meliputi : 1. Ada masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya. 2. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya dan lain-lain. 3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada tahap kedua di atas. 4. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam tahap ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa jawaban tersebut itu betul-betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji kebenaran jawaban ini diperlukan demonstrasi, tugas, diskusi, dan lain-lain. 5. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi.
Menurut Nasution (1992) mempelajari aturan perlu, terutama untuk memecahkan masalah. Problem solving merupakan perluasan yang wajar dari belajar aturan. Problem solving prosesnya terletak dalam diri siswa. Variabel dari luar hanya berupa instruksi verbal yang membantu atau membimbing siswa untuk memecahkan masalah itu. Memecahkan masalah dapat dipandang sebagai proses dimana siswa
10
menemukan kombinasi aturan-aturan yang telah dipelajarinya lebih dahulu yang digunakan untuk memecahkan masalah yang baru. Namun memecahkan masalah tidak sekedar menerapkan aturan-aturan yang diketahui, akan tetapi juga menghasilkan pelajaran baru. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pre-eksperimen. Desain penelitian menggunakan One Group PretestPosttest Design (Sugiyono, 2010).
Pembelajaran problem solving ini akan lebih produktif bila dalam pelaksanaannya disatukan metode diskusi dan kerja kelompok, sebagaimana yang dikemukakakan oleh Djsastra (1985) yaitu : “Dalam praktek mengajar di kelas model problem solving ini sebaiknya dipergunakan bersama-sama dengan metode diskusi dan metode proyek, tetapi yang jelas model problem solving ini akan lebih produktif (lebih stabil) bila disatukan dengan metode diskusi”.
Dalam pelaksanaannya, model pembelajaran problem solving biasanya dapat digabungkan dengan metode diskusi. Hal ini bertujuan agar pembelajaran yang dilakukan lebih produktif, siswa dapat bersama-sama dengan teman sekelompoknya berdiskusi dalam memecahkan permasalahan yang diberikan. Terdapat 3 ciri utama dari pembelajaran problem solving yaitu sebagai berikut: a. Pembelajaran problem solving merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran. Artinya dalam implementasi problem solving ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. b. Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Pembelajaran problem solving menempatkan masalah sebagai kunci dari proses pembelajaran.
11
c. Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah.
Kelebihan dan kekurangan pembelajran problem solving menurut Djamarah dan Zain (2002) adalah sebagai berikut. 1. Kelebihan pembelajaran problem solving a. Membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih relevan dengan kehidupan. b. Membiasakan siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil. c. Model pembelajaran ini merangsang pengembangan kemampuan berpikir siswa secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya siswa banyak menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya. 2. Kekurangan pembelajaran problem solving a. Memerlukan keterampilan dan kemampuan guru. Hal ini sangat penting karena tanpa keterampilan dan kemampuan guru dalam mengelola kelas pada saat strategi ini digunakan maka tujuan pengajaran tidak akan tercapai karena siswa menjadi tidak teratur dan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan dalam pembelajaran b. Memerlukan banyak waktu. Penggunaan model pembelajaran problem solving untuk suatu topik permasalahan tidak akan maksimal jika waktunya sedikit, karena bagaimanapun juga akan banyak langkahlangkah yang harus diterapkan terlebih dahulu dimana masing-masing langkah membutuhkan kecekatan siswa dalam berpikir untuk menyelesaikan topik permasalahan yang diberikan dan semua itu berhubungan dengan kemampuan kognitif dan daya nalar masing-masing siswa c. Mengubah kebiasaan siswa belajar dari mendengarkan dan menerima informasi yang disampaikan guru menjadi belajar dengan banyak berpikir memecahkan masalah sendiri dan kelompok memerlukan banyak sumber belajar sehingga menjadi kesulitan tersendiri bagi siswa. Sumber-sumber belajar ini bisa di dapat dari berbagai media dan buku-buku lain. Jika sumber-sumber ini tidak ada dan siswa hanya mempunyai satu buku / bahan saja maka topik permasalahan yang diberikan tidak akan bisa diselesaikan dengan baik.
Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran, perlu adanya suasana yang terbuka, akrab, dan saling menghargai. Hendaknya juga menghindari suasana belajar yang kaku, penuh dengan ketegangan dan sarat perintah dan instruksi yang dapat
12
membuat peserta didik menjadi pasif, tidak bergairah, dan mudah mengalami kebosanan (Budimansyah, 2002).
B. Keterampilan Proses Sains
Keterampilan proses yaitu merupakan bagian dari studi sains yang harus dipelajari oleh siswa. Jika mengajarkan bidang studi sains berupa produk dan fakta, konsep dan teori saja belum lengkap, karena itu baru mengajarkan salah satu komponennya saja. Proses dapat didefinisikan sebagai perangkat keterampilan kompleks yang digunakan ilmuwan dalam melakukan penyelidikan ilmiah, dapat juga diperinci menjadi sejumlah komponen yang harus dikuasai seseorang apabila hendak melakukan penelitian dibidangnya. Saintis mengembangkan teori antara lain melalui keterampilan proses sains, misalnya pengamatan, klasifikasi (mengelompokkan), inferensi (menyimpulkan), merumuskan hipotesis, dan melakukan eksperimen. Jadi, proses belajar mengajar dengan keterampilan proses sains adalah proses belajar yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan berbagai fakta, konsep, dan teori dengan keterampilan proses dan sikap ilmiah siswa (Soetardjo, 1998). Menurut Gagne dalam Dahar (1996) keterampilan proses sains adalah kemampuan-kemampuan dasar tertentu yang dibutuhkan untuk menggunakan dan memahami sains. Setiap keterampilan proses merupakan keterampilan yang khas yang digunakan oleh semua ilmuwan, serta dapat digunakan untuk memahami fenomena apapun juga. Keterampilan proses sains mempunyai cakupan yang sangat luas, sehingga aspek-aspek keterampilan proses sains dapat digunakan dalam beberapa pendekatan dan model pembelajaran.
13
Demikian halnya dalam model pembelajaran yang dikembangkan yaitu problem solving, keterampilan proses sains menjadi bagian yang tidak terpisah dalam kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan. Menurut Dahar (1985) keterampilan proses terdiri dari mengamati, menafsirkan pengamatan, meramalkan, menggunakan alat/bahan, menerapkan konsep, merencanakan penelitian, berkomunikasi, mengajukan pertanyaan. Adapun salah satu keterampilan proses sains yang ingin ditingkatkan pada penelitian ini adalah keterampilan mengelompokkan. Indikator keterampilan mengelompokkan adalah mampu menentukan perbedaan, mengkontraskan ciri-ciri, mencari kesamaan, membandingkan dan menentukan dasar penggolongan terhadap suatu objek. Pengelompokkan objek adalah cara memilah objek berdasarkan kesamaan, perbedaan, dan hubungan. Ini merupakan langkah penting menuju pemahaman yang lebih baik tentang objek yang berbeda dari gejala alam. Mengelompokkan adalah proses yang digunakan ilmuan untuk mengadakan penyusunan atau pengelompokkan atas objek-objek atau kejadian. Keterampilan mengelompokkan dapat dikuasai apabila siswa dapat melakukan dua keterampilan berikut ini: a.
Mengidentifikasi dan memberi nama sifat-sifat yang dapat diamati dari sekelompok objek yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengelompokkan.
b. Menyusun mengelompokkan dalam tingkat-tingkat tertentu sesuai dengan sifat-sifat objek. Mengelompokkan berguna melatih siswa menunjukkan persamaan, perbedaan, dan hubungan timbal baliknya (Cartono, 2007).
14
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2002), mengelompokkan merupakan keterampilan proses untuk memilah berbagai objek peristiwa berdasarkan sifat-sifat khususnya, sehingga didapatkan golongan/kelompok sejenis dari objek peristiwa yang dimaksud. Contoh kegiatan yang menampakkan keterampilan mengelompokkan adalah mengelompokkan makhluk hidup selain manusia menjadi dua kelompok misalnya: binatang dan tumbuhan serta mengklasifikasikan cat berdasarkan warna dan kegiatan lain yang sejenis.
C. Penguasaan Konsep
Menurut Uno (2007), konsep merupakan simbol berpikir. Hal ini diperoleh dari hasil tafsiran terhadap suatu fakta atau realita dan hubungan antara berbagai fakta. Suatu konsep dapat diklasifikasikan berdasarkan ciri-ciri tertentu, misalnya pada materi penelitian ini yaitu konsep tentang jenis-jenis koloid. Kompetensi dasar materi pokok koloid yaitu mengelompokkan sifat-sifat koloid dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari serta membuat berbagai sistem koloid dengan bahanbahan yang ada disekitarnya.
Indikator kognitif produk pada materi koloid yaitu mengidentifikasi pengertian koloid, memberikan contoh-contoh koloid yang ada dalam kehidupan sehari-hari, menjelaskan hasil pengamatan berupa tabel ataupun gambar tentang efek Tyndall, gerak Brown, dialisis, koagulasi, adsorpsi, dan elektroforesis serta memberikan contoh-contohnya dalam kehidupan sehari-hari, menjelaskan peristiwa terjadinya muatan listrik pada partikel koloid (elektroforesis), mendefinisikan koloid liofil dan liofob serta perbedaan keduannya dengan contoh yang ada di lingkungan, serta menjelaskan cara pembuatan koloid dengan cara kondensasi dan dispersi.
15
Penguasaan konsep akan mempengaruhi ketercapaian hasil belajar siswa. Suatu proses dikatakan berhasil apabila hasil belajar yang didapatkan meningkat atau mengalami perubahan setelah siswa melakukan aktivitas belajar, pendapat ini didukung oleh Djamarah dan Zain (2002) yang mengatakan bahwa belajar pada hakikatnya adalah perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktivitas belajar. Proses belajar seseorang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah pembelajaran yang digunakan guru dalam kelas, dalam belajar juga dituntut adanya suatu aktivitas yang harus dilakukan siswa sebagai usaha untuk meningkatkan penguasaan materi. Penguasaan terhadap suatu konsep tidak mungkin baik jika siswa tidak meakukan belajar karena siswa tidak akan tahu banyak tentang materi pelajaran. Sebagian besar materi pelajaran yang dipelajari di sekolah terdiri dari konsep-konsep. Semakin banyak konsep yang dimiliki seseorang, semakin banyak alternatif yang dapat dipilih dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Penguasaan terhadap suatu konsep akan lebih baik jika siswa terus belajar, sehingga siswa dapat mengetahui banyak materi pembelajaran. Sebagian besar materi pembelajaran yang dipelajari di sekolah terdiri dari berbagai konsep. Semakin banyak konsep yang dimiliki siswa, maka alternatif yang dapat dipilih dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya akan bertambah banyak.
Menurut Sagala (2003) definisi konsep adalah: Konsep merupakan buah pemikiran seseorang atau sekelompok orang yang dinyatakan dalam definisi sehingga menghasilkan produk pengetahuan yang meliputi prinsip, hukum, dan teori. Konsep diperoleh dari fakta, peristiwa, pengalaman, melalui generalisasi dan berpikir abstrak.
16
Konsep merupakan pokok utama yang mendasari keseluruhan sebagai hasil berpikir abstrak manusia terhadap benda, peristiwa, fakta yang menerangkan banyak pengalaman. Pemahaman dan penguasaan konsep akan memberikan suatu aplikasi dari konsep tersebut, yaitu membebaskan suatu stimulus yang spesifik sehingga dapat digunakan dalam segala situasi dan stimulus yang mengandung konsep tersebut. Jika belajar tanpa konsep, proses belajar mengajar tidak akan berhasil. Hanya dengan bantuan konsep, proses belajar mengajar dapat ditingkatkan lebih maksimal. Untuk mempermudah tercapainya hal tersebut, maka diperlukan instrumen. Instrumen adalah alat yang berfungsi untuk mempermudah pelaksanaan sesuatu. Instrumen pengumpulan data merupakan alat yang digunakan oleh pengumpul data untuk melaksanakan tugasnya mengumpulkan data (Arikunto, 1997). Instrumen ini menggunakan validitas isi. Menurut Ali (1992), validitas isi adalah kesesuaian antara instrumen dengan ranah atau domain yang diukur. Halhal yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran adalah inti yang akan disampaikan, tujuan pembelajaran, waktu yang tersedia, jumlah siswa, fasilitas, dan kondisi siswa (Suryabrata, 1993).
17
D. Data Penelitian yang Relevan Tabel 1. Data penelitian orang lain No
Nama dan Tahun
Judul Penelitian
1.
Adiyana, Gede. P, 2009
Meningkatkan Aktivitas Belajar, Kompetensi Kerja Ilmiah dan Pemahaman Konsep Siswa melalui Penerapan Model Problem Solving pada Pembelajaran Kimia
2.
Lidiawat, Efektivitas 2011 Penerapan Metode Problem Solving Dalam Meningkatkan Keterampilan Mengkomunikasikan dan Penguasaan Konsep Koloid
3.
Hertanti, Tri I., 2009
Metode/Desain
Hasil
Penelitian Tindakan Kelas (PTK)/ Siklus Belajar
Penerapan model problem solving pada pembelajaran kimia dapat meningkatkan aktivitas belajar, kompetensi kerja ilmiah, pemahaman konsep kimia dan respon positif siswa
Kuasi Eksperimen/PretestPosttest Control Group Design
Penerapan metode problem solving lebih efektif dalam meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan dan penguasaan konsep daripada pembelajarn konvensional.
Peningkatan Penelitian Tindakan 1. Pembelajaran dengan berbasis Pemahaman Konsep Kelas/Siklus Belajar problem solving Hakikat Biologi dapat Sebagai Ilmu meningkatkan Dengan pemahaman Pembelajaran konsep Biologi Problem Solving sebagai ilmu sehingga Melalui Media VCD kreatifitas siswa Lingkungan Bagi dalam Siswa kelas X2 SMA memecahkan Muhammadiyah I masalah yang Semarang terjadi di dalam lingkungan meningkat. 2. Pemanfaatan media pembelajaran yang berupa VCD lingkungan dapat dipakai sebagai
18
pengganti ekosistem yang asli, sehingga dapat meningkatkan pemahaman konsep biologi sebagai ilmu. 3. Pembelajaran dalam kelompok kecil dapat meningkatkan pemahaman konsep biologi sebagai ilmu dan terciptanya kerjasama diantara siswa sehingga siswa dapat dengan mudah menyelesaikan tugas-tugasnya.
E. Kerangka Berpikir
Model pembelajaran problem solving sebagai salah satu faktor pendukung pencapaian tujuan pembelajaran yang menempati peran penting dalam proses pembelajaran. Kemampuan guru untuk memilih dan menerapkan model pembelajaran yang tepat akan menentukan sejauh mana siswa dapat mengembangkan keterampilan proses sains siswa dalam pembelajaran IPA, khususnya mata pelajaran kimia. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan proses sains siswa adalah dengan model pembelajaran problem solving. Model ini membiasakan siswa untuk mampu memecahkan permasalahan secara ilmiah, yaitu secara rasional dan dapat dibuktikan melalui percobaan.
19
Fase pertama dalam model pembelajaran problem solving adalah mengidentifikasi masalah untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya. Fase kedua adalah mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Proses pencarian data diperoleh dengan mengkaji literatur berupa buku pelajaran atau dapat juga memanfaatkan media internet. Dalam fase ini peranan guru sebagai fasilitator sangat penting. Hasil yang diperoleh dari fase ini adalah siswa dapat mengembangkan keterampilan proses mengamati, menafsirkan, mengajukan pertanyaan, mengelompokkan dan penyelidikan. Fase ketiga adalah menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan pada data yang telah diperoleh pada langkah kedua. Hasil dari fase ketiga ini adalah siswa dilatih untuk mengembangkan keterampilan proses memprediksi dan merumuskan hipotesis atau dugaan sementara. Fase keempat adalah menguji hipotesis yang telah dibuat. Pengujian hipotesis umumnya dilakukan melalui percobaan. Dari fase ini hasil yang diperoleh siswa adalah dapat mengembangkan keterampilan proses mengamati, berkomunikasi, melakukan percobaan dan penyelidikan serta menggunakan alat dan bahan. Pada fase ini keaktifan, kreatifitas, dan rasa ingin tahu siswa sangat diperlukan dalam pembelajaran. Fase terakhir dalam pembelajaran problem solving adalah menarik kesimpulan. Dari fase ini hasil yang dicapai siswa adalah dapat mengembangkan keterampilan proses menarik kesimpulan. Dari uraian di atas terlihat bahwa model pembelajaran problem solving sangat mendukung siswa untuk mengembangkan keterampilan proses sains yang dimilikinya terutama keterampilan mengelompokkan yang sangat relevan dengan langkah kedua model pembelajaran problem solving.
20
F. Anggapan Dasar
Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah: 1.
Siswa-siswa kelas XI IPA4 semester genap SMA YP UNILA TP 2011/2012 yang menjadi subjek penelitian mempunyai kemampuan dasar yang sama dalam penguasaan konsep kimia.
2.
Tingkat kedalaman dan keluasan materi yang dibelajarkan sama.
3.
Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi peningkatan keterampilan mengelompokkan dan penguasaan konsep pada materi pokok koloid siswa kelas XI semester genap SMA YP UNILA TP 2011/2012 di kelas XI IPA4 sekecil mungkin sehingga dapat diabaikan.
G. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah model pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan penguasaan konsep pada materi koloid.